Upload
ardi
View
92
Download
9
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Laporan Kasus Sudah Fix
Citation preview
RADIOGRAPH BASED DISCUSSION
SUBDURAL HEMATOME
Untuk memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu
Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Radiologi
Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang
Oleh :
Arif Driyagusta Prabowo 01.210.6088
Dina Amalia 01.209.6
Rizka Permatasari 01.209.6009
Veransa Arizona 01.210.6293
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN RADIOLOGI
RS ISLAM SULTAN AGUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2014
LEMBAR PENGESAHAN
RADIOGRAPH BASED DISCUSSION
Diajukan guna melengkapi tugas
kepaniteraan klinis bagian ilmu radiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Islam
Sultan Agung
Nama :
Arif Driyagusta Prabowo 01.210.6088
Dina Amalia 01.209.5875
Rizka Permatasari 01.209.6009
Veransa Arizona 01.210.6293
Judul : Hematoma Subdural
Bagian : Ilmu Radiologi
Fakultas : Kedokteran UNISSULA
Pembimbing : dr. Bambang Satoto, Sp. Rad
Telah diajukan dan disahkan
Semarang, Agustus 2014
Pembimbing,
dr. Bambang Satoto, Sp. Rad
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma kapitis merupakan salah satu keadaan gawat darurat yang perlu
penanganan segera. Trauma timbul akibat adanya gaya mekanik yang secara langsung
menghantam kepala. Akibatnya dapat terjadi laserasi serebri, fraktur tulang
tengkorak, kontusio serebri, dan perdarahan intrakanial seperti subdural hematom,
epidural hematom, atau intraserebral hematom (Sidharta et Mardjono, 2006).
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural (diantara
duramater dan arachnoid). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena
jembatan yang terletak antara kortek serebri dan sinus venosus tempat vena tadi
bermuara. Perdarahan serebral paling sering terjadi pada permukaan lateral
hemsferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi bridging veins.
Perdarahan subdural dibagi menjadi perdarahan akut, sub akut dan kronis.17
Di Indonesia belum ada catatan catatan nasional mengenai morbiditas dan
mortalitas perdarahan subdural. Mayoritas perdarahan subdural berhubungan dengan
faktor umur yang merupakan faktor resiko pada cedera kepala (Blunt Head Injury)17.
Perdarahan subdural biasanya lebih sering ditemukan pada penderita penderita
dengan umur antara 50-70 tahun. Pada orang orang tua bridging veins mulai agak
rapuh sehingga lebih mudah pecah/rusak bila terjadi trauma15. Pada penelitian yang
dilakukan Meagher (2013) hematoma subdural akut dilaporkan 5-25% pasien dengan
cedera kepala berat, tergantung pada penelitian yang dilakukan. Insiden tahunan pada
hematoma subdural kronis dilaporkan 1-5.3 kasus per 100.000 populasi. Penelitian
terbaru menunjukkan tingginya insiden tersebut, mungkin karena lebih baiknya
teknik pencitraan.
Menentukan prognosis untuk penderita dengan cedera kepala berat sering
sekali sulit. Sebuah prognosis yang akurat adalah sangat penting untuk membuat
suatu keputusan agar segera dilakukan tindakan berdasarkan inform consent. Dengan
adanya parameter-parameter prognosis yang lebih baru dan berbagai tes-tes
penunjang telah menolong menentukan potensi untuk penyembuhan fungsional17.
BAB 2TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di
dalam rongga subdural (diantara duramater dan arakhnoid).
Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena
jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus
venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga
akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaanotak.
Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan
lateral hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai
dengan distribusi bridging veins. Perdarahansubdural juga
menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan
otak dibawahnya berat.
Gambar 1. Subdural hematoma
Perdarahan subdural yang disebabkan karena
perdarahan vena, biasanya darahyang terkumpul hanya 100-
200 cc dan berhenti karena tamponade hematom
sendiri.Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan
reorganisasi yang akan terselesaikandalam 10-20 hari. Darah
yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya
dengan pembuluh darah sehingga dapat memicu lagi
timbulnya perdarahan-perdarahan kecildan membentuk
suatu kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa
darah.Subdural hematome dibagi menjadi 3 fase, yaitu akut,
subakut dan kronik. Dikatakanakut apabila kurang dari 72
jam, subakut 3-7 hari setelah trauma, dan kronik bila 21hari
atau 3 minggu lebih setelah trauma.
B. ANATOMI
Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP
yaitu; Skin atau kulit,connective tissue atau jaringan
penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika loose
conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan
pericranium.
Gambar 2. Lapisan Kranium
Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan
basis kranii. Tulangtengkorak terdiri dari beberapa tulang
yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital.Kalvaria
khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini
dilapisi oleh otottemporalis. Basis kranii berbentuk tidak
rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak
akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak
dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus
frontalis, fosa media tempattemporalis dan fosa posterior
ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.
Gambar 3. Calvaria
Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak
dan terdiri dari 3 lapisanyaitu:
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua
lapisan yaitu lapisan endostealdan lapisan
meningeal. Duramater merupakan selaput yang
keras, terdiri atas jaringanikat fibrosa yang melekat
erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena
tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya,
maka terdapat suatu ruang potensial(ruang subdura)
yang terletak antara duramater dan arachnoid,
dimana seringdijumpai perdarahan subdural. Pada
cedera otak, pembuluh-pembuluh vena
yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah
ataudisebut Bridging Veins, dapat mengalami
robekan dan menyebabkan perdarahansubdural.
Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke
sinus transversus dansinus sigmoideus. Laserasi dari
sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahanhebat. Arteri meningea terletak antara
duramater dan permukaan dalam dari kranium(ruang
epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi padaarteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling
sering mengalamicedera adalah arteri meningea
media yang terletak pada fosa temporalis (fosa
media).
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan
tembus pandang. Selaputarakhnoid terletak antara
pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar
yangmeliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura
mater oleh ruang potensial, disebut spatium
subdural dan dari pia mater oleh
spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor
serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya
disebabkan akibat cederakepala.
3. Piamater
Piamater melekat erat pada permukaan korteks
serebri. Pia mater adalahmembrana vaskular yang
dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana
ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan
epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh piamater.
Gambar 4. Meningen
Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana
berat pada orang dewasasekitar 14 kg. Otak terdiri dari
beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan)terdiri dari
serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah)
danrhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons,
medula oblongata dan serebellum.
Gambar 5. Lobus-lobus Otak
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal
berkaitan denganfungsi emosi, fungsi motorik dan pusat
ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungandengan fungsi
sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur
fungsi memoritertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab
dalam proses penglihatan. Mesensefalondan pons bagian
atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam
kesadarandan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat
pusat kardiorespiratorik.Serebellum bertanggung jawab
dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.
Cairan Serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus
khoroideus dengankecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam.
CSS mengalir dari dari ventrikel lateralmelalui foramen
monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju
ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena
melalui granulasioarakhnoid yang terdapat pada sinus
sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS
dapatmenyumbat granulasio arakhnoid sehingga
mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan
takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok
populasidewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan
sekitar 500 ml CSS per hari.
Gambar 6. Cairan cerebrospinalis
Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak
menjadi ruang supratentorial(terdiri dari fosa kranii anterior
dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisifosa
kranii posterior).
Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua
arteri vertebralis.Keempat arteri ini beranastomosis pada
permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi.
Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam
dindingnya. yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup.
Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus
venosus cranialis.
C. EPIDEMIOLOGI
Subdural hematoma akut dilaporkan terjadi pada 5-
25% pasien dengan traumakepala berat, berdasarkan suatu
penelitian. Sedangkan kronik subdural hematomaterjadi 1-3
kasus per 100.000 populasi. Laki-laki lebih sering terkena
daripada perempuan dengan perbandingan 3:1. Di Indonesia
belum ada catatan nasionalmengenai morbiditas dan
mortalitas perdarahan subdural. Mayoritas
perdarahansubdural berhubungan dengan faktor umur yang
merupakan faktor resiko pada cederakepala (blunt head
injury). Perdarahan subdural biasanya lebih sering
ditemukan pada penderita-penderita dengan umur antara 50-
70 tahun. Pada orang-orang tua bridging veins mulai agak
rapuh sehingga lebih mudah pecah/rusak bila terjadi trauma.
Pada bayi-bayi ruang subdural lebih luas, tidak ada adhesi,
sehingga perdarahan subdural bilateral lebih sering di dapat
pada bayi-bayi.
D. KLASIFIKASI
Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera kurang dari 72 jam setelah
trauma. Biasanyaterjadi pada cedera kepala yang cukup
berat yang dapat mengakibatkan perburukanlebih lanjut
pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan
tandavitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya
tetapi melebar luas. Padagambaran Ct-scan, didapatkan lesi
hiperdens.
Perdarahan sub akut
Biasanya berkembang dalam beberapa hari sekitar
4-21 hari sesudah trauma.Awalnya pasien mengalami
periode tidak sadar lalu mengalami perbaikan
statusneurologi yang bertahap. Namun, setelah jangka waktu
tertentu penderitamemperlihatkan tanda-tanda status
neurologis yang memburuk. Sejalan denganmeningkatnya
tekanan intrakranial, pasien menjadi sulit dibangunkan dan
tidak berespon terhadap rangsang nyeri atau verbal. Pada
tahap selanjutnya dapat terjadisindrom herniasi dan
menekan batang otak. Pada gambaran skening
tomografinyadidapatkan lesi isodens atau hipodens. Lesi
isodens didapatkan karena terjadinyalisis dari sel darah
merah dan resorbsi dari hemoglobin.
Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 21 hari setelah trauma
bahkan bisa lebih.Perdarahan kronik subdural, gejalanya
bisa muncul dalam waktu berminggu-minggu ataupun bulan
setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak
jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa
mengakibatkan perdarahan subduralapabila pasien juga
mengalami gangguan vaskular atau gangguan
pembekuandarah. Pada perdarahan subdural kronik, kita
harus berhati hati karena hematomaini lama kelamaan bisa
menjadi membesar secara perlahan- lahan
sehinggamengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada
subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk
mengelilingihematoma, pada yang lebih baru, kapsula masih
belum terbentuk atau tipis didaerah permukaan arachnoidea.
Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadirobekan pada
selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah
yang tipisdindingnya terutama pada sisi duramater. Karena
dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat
menembusnya dan meningkatkan volume dari
hematoma.Pembuluh darah ini dapat pecah dan
menimbulkan perdarahan baru yangmenyebabkan
menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan
membentuk cairan kental yang dapatmenghisap cairan dari
ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar
danmenimbulkan gejala seprti pada tumor serebri.
Sebagaian besar hematomasubdural kronik dijumpai pada
pasien yang berusia di atas 50 tahun. Padagambaran skening
tomografinya didapatkan lesi hipodens.Jamieson dan
Yelland mengklasifikasikan SDH berdasarkan
keterlibatan jaringan otak karena trauma. Dikatakan SDH
sederhana ( simple SDH ) bila hematomaekstra aksial
tersebut tidak disertai dengan cedera parenkim otak,
sedangkan SDH. kompleks (complicated SDH ) adalah bila
hematoma ekstra axial disertai denganlaserasi parenkim
otak, perdarahan intraserebral (PIS) dan apa yang disebut
sebagai ’exploded temporal lobe’. Lebih dari 70% perdarahan
intraserebral, laserasi dankontusio parenkim otak yang
berhubungan dengan SDH akut disebabkan oleh kontrakup
(contrecoup) trauma, kebanyakan dari lesi parenkim ini
terletak di lobustemporal dan lobus frontal. Lebih dari dua
pertiga fraktur pada penderita SDH akut terletak di posterior
dan ini konsisten dengan lesi kontra cop.
E. ETIOLOGI
Keadaan ini timbul setelah cedera/trauma kepala
hebat, seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan
ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural.
Perdarahan subdural dapat terjadi pada:
a) Trauma
Trauma kapitis
Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran
atau putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh
terduduk.
Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih
mudahterjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak,
misalnya padaorangtua dan juga pada anak -anak.
b) Non trauma
Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam
ruangansubdural.
Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan
perdarahansubdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan
dari tumor intrakranial.
Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati, penggunaan antikoagulan
F. PATOFISIOLOGI
Perdarahan terjadi antara duramater dan
arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadiakibat robeknya vena
jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena
di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater
atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang
bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak,sedangkan
sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi
otak yangterjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena
halus pada tempat di mana merekamenembus duramater.
Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala
akutmenyerupai hematoma epidural. Kebanyakan
perdarahan subdural terjadi pada konveksitas otak
daerah parietal. Sebagian kecil terdapat di fossa posterior
dan pada fisura interhemisferik serta tentorium atau diantara
lobus temporal dan dasar tengkorak. Perdarahan subdural
akut pada fisura interhemisferik pernah dilaporkan,
disebabkan oleh ruptur vena-vena yang berjalan diantara
hemisfer bagian medial dan falks; juga pernah dilaporkan
disebabkan oleh lesi traumatik dari arteri pericalosal karena
cedera kepala. Perdarahan subdural interhemisferik akan
memberikan gejala klasik monoparesis pada tungkai bawah.
Pada anak–anak kecil perdarahan subdural difisura
interhemisferik posterior dan tentorium sering ditemukan
karena goncangan yang hebat pada tubuh anak ( shaken
baby syndrome). Walaupun perdarahan subdural jenis ini
tidak patognomonis akibat penyiksaan kejam (child abused )
terhadap anak, kemungkinannya tetap harus dicurigai.
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di
sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk
kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik
cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala
seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang
berangsur meningkat
Gambar 7. Lapisan subdural
Perdarahan subdural kronik
umumnya berasosiasi dengan atrofi
cerebral.Vena jembatan dianggap dalam
tekanan yang lebih besar, bila volume otak
mengecilsehingga walaupun hanya trauma
yang kecil saja dapat menyebabkan robekan
padavena tersebut. Perdarahan terjadi secara
perlahan karena tekanan sistem vena
yangrendah, sering menyebabkan
terbentuknya hematoma yang besar sebelum
gejalaklinis muncul. Karena perdarahan
yang timbul berlangsung perlahan, maka
lucid interval juga lebih lama dibandingkan
perdarahan epidural, berkisar dari
beberapa jam sampai beberapa hari. Pada
perdarahan subdural yang kecil sering
terjadi perdarahan yang spontan. Pada
hematoma yang besar biasanya
menyebabkanterjadinya membran vaskular
yang membungkus hematoma subdural
tersebut.Perdarahan berulang dari pembuluh
darah di dalam membran ini memegang
peranan penting, karena pembuluh darah
pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga
dapat berperan dalam penambahan volume
dari perdarahan subdural kronik.Akibat dari
perdarahan subdural, dapat meningkatkan
tekanan intrakranial dan perubahan dari
bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial
dikompensasi oleh refluks dari cairan likuor
ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem
vena. Pada fase ini peningkatan tekanan
intra kranial terjadi relatif perlahan karena
komplains tekanan intra kranial yang cukup
tinggi. Meskipun demikian pembesaran
hematoma sampai pada suatu titik tertentu
akan melampaui mekanisme kompensasi
tersebut. Komplains intrakranial mulai
berkurang yang menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial yang
cukup besar. Akibatnya perfusi serebral
berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih
lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial
atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui
foramen magnum dapat terjadi jika seluruh
batang otak terdorong ke bawah melalui
incisura tentorial oleh meningkatnya
tekanan supra tentorial. Juga pada
hematoma subdural kronik, didapatkan
bahwa aliran darah ke thalamus danganglia
basaalis lebih terganggu dibandingkan
dengan daerah otak yang lainnya.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan
terjadinya perdarahan subdural kronik,
yaitu teori dari Gardner yang mengatakan
bahwa sebagian dari bekuan darah akan
mencair sehingga akan meningkatkan
kandungan protein yang terdapat di dalam
kapsul dari subdural hematoma dan akan
menyebabkan peningkatan tekanan
onkotik didalam kapsul subdural
hematoma. Karena tekanan onkotik yang
meningkat inilah yang mengakibatkan
pembesaran dari perdarahan tersebut.
Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori
Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian
didapatkan bahwatekanan onkotik di dalam
subdural kronik ternyata hasilnya normal
yang mengikutihancurnya sel darah merah.
Teori yang ke dua mengatakan bahwa,
perdarahan berulang yang dapat
mengakibatkan terjadinya perdarahan
subdural kronik, faktor angiogenesis juga
ditemukan dapat meningkatkan terjadinya
perdarahan subdural kronik, karena turut
memberi bantuan dalam pembentukan
peningkatan vaskularisasi di luar membran
atau kapsul dari subdural hematoma. Level
dari koagulasi, level abnormalitas enzim
fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari
fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan subdural kronik. Penyembuhan
pada perdarahan subdural dimulai dengan
terjadinya pembekuan pada perdarahan.
Pembentukan skar dimulai dari sisi dural
dan secara bertahap meluas ke seluruh
permukaan bekuan. Pada waktu yang
bersamaan, darah mengalami degradasi.
Hasil akhir dari penyembuhan tersebut
adalah terbentuknya jaringan skar yang
lunak dan tipis yang menempel pada dural
Sering kali, pembuluh darah besar menetap
pada skar, sehingga membuat skar tersebut
rentan terhadap perlukaan berikutnya yang
dapat menimbulkan perdarahan kembali.
Waktu yangdiperlukan untuk penyembuhan
pada perdarahan subdural ini bervariasi
antar individu, tergantung pada kemampuan
reparasi tubuh setiap individu sendiri.
Prinsipnya kalau berdarah, pasti ada suatu
proses penyembuhan. Terbentuk granulation
tissue pada membrane luar. Fibroblas
kemudian akan pindah kemembrane yang
lebih dalam untuk mengisi daerah yang
mengalami hematom. Untuk sisanya, ada
dua kemungkinan (1) direabsorbsi ulang,
tapi menyisakan hemosiderofag dengan
heme di dalamnya, dan (2) tetap demikian
dan berpotensi untuk terjadi kalsifikasi.
Gambar 8. Patofisiologi SDH
STADIUM-STADIUM DALAM
PERJALANAN ALAMIAH HEMATOMA
SUBDURAL
S
T
A
D
I
U
M
P
E
N
J
E
L
A
S
A
N
S
T
A
D
I
U
M
I
D
ar
a
h
b
er
w
ar
n
a
g
el
a
p
te
rs
e
b
ar
lu
as
di
p
er
m
u
k
aa
n
ot
a
k
di
b
a
w
a
h
d
ur
a
S
T
A
D
I
B
e
k
u
a
U
M
I
I
n
d
ar
a
h
m
e
nj
a
di
le
bi
h
hi
ta
m
,
te
b
al
d
a
n
g
el
at
in
o
sa
(2
-4
h
ar
i)
S
T
A
D
I
U
M
I
I
I
B
e
k
u
a
n
p
ec
a
h
d
a
n
se
te
la
h
2
m
in
g
g
u
a
k
a
n
b
er
w
ar
n
a
d
a
n
b
er
k
o
n
si
st
e
n
si
se
p
er
ti
m
in
y
a
k
p
el
u
m
as
m
es
in
S
T
A
D
I
U
M
I
V
T
er
ja
di
or
g
a
ni
sa
si
y
a
n
g
di
m
ul
ai
d
ar
i
p
e
m
b
e
nt
u
k
a
n
m
e
m
br
a
n
e
lu
ar
y
a
n
g
te
b
al
d
a
n
k
er
as
b
er
as
al
d
ar
i
d
ur
a,
d
a
n
m
e
m
br
a
n
e
d
al
a
m
y
a
n
g
ti
pi
s
d
a
n
ar
a
k
n
oi
d.
C
ai
ra
n
n
y
a
m
e
nj
a
di
x
a
nt
o
kr
o
m
ik
.
S
T
A
D
I
U
M
V
O
rg
a
ni
sa
si
s
u
d
a
h
le
n
g
k
a
p,
b
e
k
u
a
n
d
a
p
at
m
e
n
g
al
a
m
i
k
al
si
fi
k
as
i
at
a
u
b
a
h
k
a
n
o
si
fi
k
as
i
at
a
u
d
a
p
at
di
se
ra
p
G. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor:
beratnya cedera otak yang terjadi pada saat benturan trauma
dan kecepatan pertambahan volume SDH. Penderita-
penderita dengan trauma berat dapat menderita kerusakan
parenkimotak difus yang membuat mereka tidak sadar
dengan tanda-tanda gangguan batang otak. Penderita dengan
SDH yang lebih ringan akan sadar kembali pada derajat
kesadaran tertentu sesuai dengan beratnya benturan trauma
pada saat terjadi kecelakaan (initial impact ). Keadaan
berikutnya akan ditentukan oleh kecepatan pertambahan
hematoma dan penanggulangannya. Pada penderita dengan
benturan trauma yang ringan tidak akan kehilangan
kesadaran pada waktu terjadinya trauma. SDH dan lesi
massa intrakranial lainnya yang dapat membesar hendaklah
dicurigai bila ditemukan penurunan kesadaran setelah
kejadian trauma. Stone dkk melaporkan bahwa lebih dari
separuh penderita tidak sadar sejak kejadian trauma, yang
lainmenunjukkan beberapa lucid interval. Gejala-gejala
klinis terjadi akibat cedera otak primer dan tekanan oleh
massa hematoma. Pupil yang anisokor dan defisit motorik
adalah gejala klinik yang paling sering ditemukan. Lesi
pasca trauma baik hematoma atau lesi parenkim otak
biasanya terletak ipsilateral terhadap pupil yang melebar dan
kontralateral terhadap deficit motorik. Akan tetapi gambaran
pupil dan gambaran motorik tidak merupakan indikator yang
mutlak bagi menentukan letak hematoma. Gejala motorik
mungkin tidak sesuai bila kerusakan parenkim otak terletak
kontralateral terhadap SDH atau karena terjadi kompresi
pedunkulus serebral yang kontralateral pada tepi bebas
tentorium. Trauma langsung pada saraf okulomotor atau
batang otak pada saat terjadi trauma menyebabkan dilatasi
pupil kontralateral terhadap trauma. Perubahan diamater
pupil lebih dipercaya sebagai indikator letak SDH. Secara
umum, gejala yang nampak pada subdural hematom seperti
pada tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penurunan
kesadaran. Penurunan kesadaran hematom subdural tidak
begitu hebat seperti kasus cedera neuronal primer,
kecuali bila ada efek massa atau lesi lainnya. Gejala yang
timbul tidak khas dan merupakan manisfestasi dari
peninggian tekanan intrakranial seperti: sakit kepala, mual,
muntah,vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n.
III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya,
kadang kala dengan riwayat trauma yang tidak jelas, sering
diduga tumor otak.
a). Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala
neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan
berkaitan erat dengan trauma otak berat.
Gangguanneurologik progresif disebabkan oleh tekanan
pada jaringan otak dan herniasi batangotak dalam foramen
magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada
batangotak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan
berhentinya pernapasan dan hilangnyakontrol atas denyut
nadi dan tekanan darah.
b). Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik
dalam waktu lebih dari 48 jamtetapi kurang dari 2 minggu
setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural
akut,hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena
dalam ruangan subdural. Anamnesis klinis dari penderita
hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang
menyebabkan ketidak sadaran, selanjutnya diikuti perbaikan
status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu
tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status
neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai
menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam. Dengan
meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran
hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar
dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara
maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan
intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan
menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi
tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.
c). Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa
minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera
pertama. Trauma pertama merobek salah satuvena yang
melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara
lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari
setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membrane
fibrosa. Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang
mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi
kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan
ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih
lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di
sekelilingnya, menambah ukuran dantekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan
paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh)
dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera
tampaknya ringan, sehingga selama beberapa minggu
gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan
MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah. Hematoma
subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah
besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak.
Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali
diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar,
yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya
dikeluarkan melalui pembedahan.Petunjuk dilakukannya
pengaliran perdarahan ini adalah:
- sakit kepala yang menetap
- rasa mengantuk yang hilang-timbul
- linglung
- perubahan ingatan
- kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
H. DIAGNOSIS
1. AnamnesisDari anamnesis di tanyakan adanya riwayat trauma
kepala baik dengan jejasdikepala atau tidak, jika terdapat
jejas perlu diteliti ada tidaknya kehilangankesadaran atau
pingsan. Jika ada pernah atau tidak penderita kembali pada
keadaansadar seperti semula. Jika pernah apakah tetap sadar
seperti semula atau turun lagikesadarannya, dan di
perhatikan lamanya periode sadar atau lucid interval.
Untuk tambahan informasi perlu ditanyakan apakah disertai
muntah dan kejang setelahterjadinya trauma kepala.
Kepentingan mengetahui muntah dan kejang adalah
untuk mencari penyebab utama penderita tidak sadar apakah
karena inspirasi atau sumbatannafas atas, atau karena proses
intra kranial yang masih berlanjut. Pada penderita
sadar perlu ditanyakan ada tidaknya sakit kepala dan mual,
adanya kelemahan anggotagerak sesisi dan muntah-muntah
yang tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga penyakitlain yang
sedang diderita, obat-obatan yang sedang dikonsumsi saat
ini, dan apakahdalam pengaruh alkohol.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer
( primary survey) yang mencakup jalan nafas (airway),
pernafasan (breathing) dan tekanan darah atau
nadi(circulation) yang dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan
nafas harus dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau
obstruksi, bila perlu dipasang orofaring tube atau
endotrakeal tube lalu diikuti dengan pemberian oksigen. Hal
ini bertujuan untuk mempertahankan perfusi dan oksigenasi
jaringan tubuh. Pemakaian pulse oksimetrisangat
bermanfaat untuk memonitor saturasi O2. Secara bersamaan
juga diperiksanadi dan tekanan memantau apakah terjadi
hipotensi, syok atau terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial. Jika terjadi hipotensi atau syok harus segera
dilakukan pemberian cairan untuk mengganti cairan tubuh
yang hilang. Terjadinya peningkatan tekanan intrakranial
ditandai dengan refleks Cushing yaitu peningkatan tekanan
darah, bradikardia dan bradipnea. Pemeriksaan neurologik
yang meliputkan kesadaran penderita dengan menggunakan
Skala Koma Glasgow, pemeriksaan diameter kedua pupil,
dan tanda-tanda defisit neurologis fokal. Pemeriksaan
kesadaran dengan Skala Koma Glasgow menilai
kemampuan membuka mata, respon verbal dan respon
motorik pasien terdapat stimulasi verbal atau nyeri.
Pemeriksaan diamter kedua pupil dan adanya defisit
neurologi fokal menilai apakah telah terjadi herniasi di
dalam otak dan terganggunya sistem kortikospinal di
sepanjang kortex menuju medula spinalis. Pada pemeriksaan
sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial meliputi
GCS, lateralisasi dan refleks pupil. Hal ini dilakukan
sebagai deteksi dini adanya gangguan neurologis. Tanda
awal dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah
dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya.
Adanya trauma langsung padamata membuat pemeriksaan
menjadi lebih sulit.
Gambar 9. Glasgow Coma Scale
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan
darah rutin, elektrolit, profil hemostasis/koagulasi.
b. Radiologi
1. PEMERIKSAAN SKEN KOMPUTER TOMOGRAFI OTAK
(CT-SCAN)
Pemeriksaan ini merupakan metode diagnostic
standar terpilih (gold standard) untuk kasus cedera
kepala dan prosedur ini tidak bersifat invasive, juga
memiliki kehandalan yang tinggi. Dari pemeriksaan
ini dapat diperoleh infrmasi yang lebih jelas tentang
lokasi dan adanya perdarahan intracranial, edema,
kontusi, udara, benda asing intracranial serta
pergeseran struktur di dalam rongga tengkorak.3
Ada pendapat yang menyatakan, pemeriksaan
CT-scan selepas kejadian akan memberikan
keputusan yang negative. Namun, insidens
menunjukkan sangat rendah yaitu <0.02%. Oleh
kerana itu indikasi CT-scan pada pemeriksaan triage
dapat dipercayai 100%.13
CT scan kepala dapat dibuat dalam dua
window level, yaitu: window jaringan (window
normal) untuk melihat hematoma intra dan
ekstrakranial; window tulang untuk melihat fraktur
neurocranium maaupun viscerocranium. Densitas
lesi dapat dibagi atas high density atau hiperdens,
isodensiti dan low density atau hipodense.1 Densitas
normal otak ialah 18 – 30 H.5
Perbedaan gambaran sken computer
tomografi antara lesi akut, subakut dan kronis agak
sulit. Kebanyakan hematom berkembang segera
setelah cedera, tetapi ada juga yang baru timbul
kemudian sampai satu minggu.3
Pada hematoma subdural akut tampak
gambaran hyperdens sickle (seperti bulan sabit)
dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan
dengan hematoma epidural. Batas medial hematom
bergerigi. Adanya hematoma di daerah fissure
interhemisfer dan tentorium juga menunjukaN
adanya hematoma subdural.1 Ukuran densitas
hiperdens ialah kira-kira 50 – 60 H. Berbeda pada
pasien yang mengalami anemia berat atau
kehilangan darah massive (hyperakut subdural
hematoma) akan mengalami isodens atau hipodens.5
Gambaran CT Scan untuk hematom subdural
kronik ialah kompleks perlekatan, transudasi,
kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacam-macam
perubahan, oleh karena itu tidak ada pola tertentu.
Tampak juga area hipodens, isodens atau sedikit
hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas
melekat pada tabula. Jadi prinsipnya, gambaran
hematoma subdural akut adalah hiperdens. Semakin
lama densitas ini semakin menurun, sehingga
menjadi isodense, bahkan akhirnya menjadi
hipodens.1
Gambar 3: Gambaran crescent shape yang hiperdens dan
Gambar 5: CT Scan potongan axial pada
Gambar 4: Gambaran subdural hematoma setelah 3 minggu.
Gambar 3: Gambaran crescent shape yang hiperdens dan
Ada 4 macam tampilan CT-
scan untuk Hematoma subdural kronik,
yaitu:
1. Tipe I Hipodens kronik subdural Hematoma
2. Tipe II Kronik subdural hematoma densitas inhomogen
3. Tipe III Isodens kronik subdural hematoma (2 – 4 minggu)
4. Tipe IV Slightly hiperdens kronik subdural hematoma
Densitas hematoma subdural meningkat kerna
adanya clot retraksi. Densitas semakin menurun kerana
Gambar 7: Subdural hema
Gambar 6: gambaran subdural hematoma isodens pada pem
Gambar 5: CT Scan potongan axial pada
Gambar 4: Gambaran subdural hematoma setelah 3 minggu.
berlakunya degradasi protein di dalam hematoma. Jika
terjadinya perdarah ulang pada saat hematoma mulai
berevolusi akan terlihat gambaran dengan densitas yang
berbeda. Efek hematokrit akan tergambar pada perdarahan
ulang atau pasies dengan gangguan pembekuan darah.5
Jika hematoma subdural terletak di daerah vertex,
pada potongan axial tidak akan dapat tergambar, oleh itu
diperlukan potongan coronal untuk gambaran yang jelas.7
Penemuan spesifik yang dapat ditemukan pada
hematoma subdural kronik ialah pemindahan parenkim otak
jaoh dari tulang cranium dan batas convex menjadi rata
bahkan konkave. Bilateral hematoma bisa menyebabkan
kompresi medial pada kedua-dua ventrikel hingga tergambar
ventrikel yang menyempit atau berbentuk garisan(rabbit’s
ear sign). Gejala-gejala lain yang dapat membantu
mendiagnosa ialah hilangnya gambaran sulci, terjadinya
midline shift, deformitas anatomy ventrikel dan obliterasi
sistern basal. Semua gejala ini dapat menegakkan diagnose
jika lokasinya di seperolateralli.14
2. PEMERIKSAAN MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING)
Gambar 8: Kronik subdural hematom pada gam
Gambar 7: Subdural hema
Gambar 6: gambaran subdural hematoma isodens pada pem
Pemeriksaan MRI memiliki keunggulan untuk
melihat perdarahan kronis maupun kerusakan otak yang
kronis. Dalam hal ini MRI T2 mampu menunjukkan
gambaran yang lebih jelas terutama lesi hipodens pada CT
Scan atau lesi yang sulit dibedakan densitasnya dengan
korteks.2
Gambaran hematoma subdural pada MRI tergantung
pada status biokemikal hemoglobinnya, yang berbeda-beda
mengikut usia hematoma. Hematoma subdural akut
isointens pada T1W1 berbanding otak dan hipointens pada
T2W1. MRI membantu pada fase subakut, dimana
hematoma tampak isodens atau hipodens di gambaran CT
scan. Kewujudan methemoglobin di hematoma subdural
memberikan signal intensity yang tinggi. Signal tinggi dapat
dibedakan secara jelas pada pengumpulan cairan non-
hemoragik.5
Hematoma akut memberikan gambaran TR yang
gelap kerana efek suseptibel. Pada awal fase subakut
gambaran perifer yang terang dengan sentral yang
hipointens kerna adanya terbentuknya extracellular
methemoglobin di bagian perifer. Pada fase lanjut subakut
pembekuan akan terjadi secara menyeluruh hiperintens.
Apabila darah mula diserap kembali secara perlahan-lahan,
signal intensitas akan berkurang pada T1 menjadi hipointens
atau isointens berbanding white matter tapi lebih intens dari
cairan cerebrospinal kerna kandungan protein.5 Pada fase
kronik, MRI dapat mengklasifikasikan kepada lima tipe
yaitu; low, high, mixed intensity, isointensity dan layered.
Gambar 8: Kronik subdural hematom pada gam
Gambar 7: Subdural hema
MRI dapat memberikan gambaran lentiform atau
gambaran biconvex jika diambil dari potongan coronal,
berbanding gambaran crescent-shaped appearance pada
potongan axial CT Scan. Gambaran MRI yang multiplanar
dapat membantu identifikasi convex yang kecil dan vertex
hematom yang mungkin tidak dapat terdeteksi pada CT
Scan potongan axial atau coronal.5
Untuk membedakan hematoma subdural dan
hygroma subdural, pemeriksaan proton-density weighted
sequences atau FLAIR diperlukan. Hematoma subdural
dapat dibedakan dengan CSF-like substansi melalui signal
proton T1- dan T2 sequence. Namun dalam gambaran
Gambar 10: Gambaran subdural hematoma bilat
Gambar 9: gambaran MRI (T1-weighted) subdural hematoma pad
Gambar 7: Subdural hema
FLAIR, hematoma akan tergambar lebih jelas tinggi
intensnya dari cairan serebrospinal.9
3. DIFFUSION-WEIGHTED IMAGING (DWI)
DWI memberikan gambaran hematoma subdural
dengan intensitas yang berbeda tergantung usi hematoma.
Kelebihan penggunaan DWI ialah kemampuannya untuk
deteksi mendasari atau terkait lesi parenchymal.6
G
a
m
b
a
r
1
1
:
G
a
m
b
a
r
a
n
h
e
m
a
t
o
m
a
Gambar 10: Gambaran subdural hematoma bilat
Gambar 9: gambaran MRI (T1-weighted) subdural hematoma pad
Gambar 12: Gambaran perdarahan subdural 2 minggu setelah
onset a) T1-weighted b) T2-weighted c) dan d) hiperintense
DWI e) hipointens lesi f) gambaran coronal hiperintens6
4. ANGIOGRAFI
Pada kasus pos-traumatik hematoma subdural sangat
jarang digunakan angiografi untuk mendapatkan diagnostic.
Tetapi angiografi dapat membantu menegakkan diagnosis
jika etiologi terjadinya hematoma subdural akibat gangguan
pada vessel di serebral seperti rupture dinding vena,
postrauma aneurisme, arterio-venous malformation atau
fistula. Pemeriksaan ini dapat membedakan koleksi darah
yang mildly hiperdens dengan tulang-tulang adjacent yang
hiperdensity.
I. DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
1. EPIDURAL HEMATOM7
Hematom epidural yang kadang sulit dibedakan dari
subdural, mempunyai ciri gambaran khas berupa bentuk
bikonveks atau lentikuler (ada perlekatan yang erat antara dura
dengan tabula interna sehingga hematom menjadi terbatas).
Hematom subdural cenderung lebih difus berbanding dengan
hematom epidural dan mempunyai tampilan batas dalam yang
konkav sesuai dengan permukaan otak.3
E
P
S
U
G
a
m
b
a
r
1
1
:
G
a
m
b
a
r
a
n
h
e
m
a
t
o
m
a
I
D
U
R
A
L
H
E
M
A
T
O
M
B
D
U
R
A
L
H
E
M
A
T
O
M
I
N
S
I
D
E
N
1
-
4
%
k
a
s
u
s
t
r
a
u
1
0
-
2
0
%
s
e
m
u
a
k
a
G
a
m
b
a
r
1
1
:
G
a
m
b
a
r
a
n
h
e
m
a
t
o
m
a
m
a
;
1
0
%
k
a
s
u
s
t
r
a
u
m
a
f
a
t
a
l
s
u
s
t
r
a
u
m
a
;
3
0
%
k
a
s
u
s
t
r
a
u
m
a
f
a
t
a
l
E
T
I
O
L
O
G
I
8
5
-
9
5
%
d
i
s
e
r
t
a
i
f
r
a
k
t
u
r
;
V
e
n
a
k
o
r
t
i
k
a
l
d
i
p
o
n
r
o
b
e
7
0
-
8
0
%
l
a
s
e
r
a
s
i
A
r
t
e
r
i
m
e
n
i
n
g
k
e
a
l
m
e
d
i
a
/
s
i
n
u
s
d
u
r
a
l
v
e
n
o
u
s
S D D
I
T
E
i
a
n
t
a
r
a
t
u
l
a
n
g
c
r
a
n
i
a
l
d
a
n
d
u
i
a
n
t
a
r
a
d
u
r
a
m
a
t
e
r
d
a
n
a
r
a
c
h
n
r
a
m
a
t
e
r
;
M
e
l
i
n
t
a
s
i
d
u
r
a
m
a
t
e
o
i
d
m
a
t
e
r
;
M
e
l
i
n
t
a
s
i
s
u
t
u
r
a
c
r
r
t
a
p
i
t
i
d
a
k
s
u
t
u
r
a
c
r
a
n
i
a
l
n
y
a
n
i
a
l
t
a
p
i
t
i
d
a
k
d
u
r
a
m
a
t
e
r
;
9
a
;
9
5
%
s
u
p
r
a
t
e
n
t
o
r
i
a
l
5
%
s
u
b
t
e
5
%
s
u
p
r
a
t
e
n
t
o
r
i
a
l
5
%
b
i
l
a
t
e
r
a
n
t
o
r
i
a
l
5
%
b
i
l
a
t
e
r
a
l
l
P
E
N
E
M
U
A
N
B
e
n
t
u
k
b
i
A
k
u
t
:
6
0
%
C
T
c
o
n
v
e
x
;
P
e
n
d
o
r
o
n
g
a
n
w
h
i
t
e
-
g
r
a
h
i
p
e
r
d
e
n
s
;
4
0
%
c
a
m
p
u
r
a
n
(
h
i
p
e
y
m
a
t
t
e
r
p
a
d
a
d
a
e
r
a
h
y
a
n
g
t
e
r
r
-
/
h
i
p
o
d
e
n
s
)
S
u
b
a
k
u
t
:
i
s
o
d
e
n
s
g
a
n
g
g
u
;
6
6
%
h
i
p
e
r
d
e
n
s
;
3
3
%
c
a
m
C
h
r
o
n
i
c
:
h
i
p
o
d
e
n
s
e
C
r
e
s
c
e
n
t
s
p
u
r
a
n
(
h
i
p
e
r
-
/
h
i
p
o
d
e
n
s
)
h
a
p
e
;
Gambar 13: CT Scan menunjukkan epidural hematoma (anak panah
putih), subdural hematoma (anak panah hitam), intracerebral hematoma
(anak panah putih kecil) dan subarachnoid hemorage (anak panah hitam
kecil).
Jika gejala-gejala hilangnya gambaran sulci,
terjadinya midline shift, deformitas anatomy ventrikel dan
obliterasi sistern basal di lokasi yang lebih anterior dan
medial, intensity yang hiperdens, diselaputi kapsul yang
tebal serta berkemungkinan bentuk bikonvek mengelirukan
dengan ekstradural hematoma. Untuk membedakannya,
pemeriksaan MRI diperlukan.14
2. NEOPLASMA
Intracranial neoplasma dan hematoma subdural kronik amat
sukar dibedakan tanpa bantuan neuroimaging. Menifestasi klinis
untuk neoplasma seperti nyeri kepala, gangguan status mental
berubah dan tanda neurologic fokal sama dengan hematoma
subdural. Untuk membedakannya pemeriksaan CT-scan atau
MRI diperlukan.16
3. EKSTRADURAL HEMATOMA
Extradural hematoma ini dipandang sebagai cembung
gandayang high-density daerah segera yg terletak di bawah ke
kubah. Paling sering di daerah frontoparietal, tetapi mungkin
terjadi di fossa posterior. Kadang-kadang daerah kurang padat
muncul, mungkin karena darah tidak membeku, dan jika mereka
harus kambuh setelah operasi bentuk klasik mungkin akan
hilang. Ventrikel lateral yang khas mengungsi ke sisi
kontralateral, dan biasanya ada beberapa pembengkakan pada
belahan otak yang terkena, meskipun edema yang jelas mungkin
tidak terlihat.
Gambar 15: Ekstrad
G
a
m
b
a
r
1
4
:
g
a
m
b
a
r
a
n
n
e
o
p
l
a
s
m
4. SUBDURAL HYGROMA
Higroma subdural adalah kumpulan cairan serebrospinal
tidak berdarah yang terletak di ruang subdural, mirip dengan
hematoma. Dengan pemeriksaan CT-scan, subdural hematoma
kronis dapat dibedakan dari hygroma subdural. Namun,
intensitas dinding hygromas tidak meningkatkan. MRI
menunjukkan bahwa hygromas memiliki intensitas sinyal yang
sangat mirip dengan CSF pada semua urutan, termasuk
pemulihan inversi atenuasi cairan (FLAIR) gambar. Secara
kasar seperlima dari semua pasien dengan hygroma subdural
menunjukkan lesi traumatis di otak.10
J. PENATALAKSANAAN
a. OPERATIF
Kebanyakan teknis yang digunakan pada
penanganan hematoma subdural ialah sistem drainage.
Antara yang paling sering dilaksanakan ialah advokat twist
drill craniostomy, burr hole surgery atau craniotomy.
Carmel et al. melaporkan pada operasi twist drill
craniostomy, sebanyak 86% dengan prognosis baik. Namun
banyak sumber menyatakan pilihan surgery yang optimal
ialah burr-hole trepanation surgery dengan sistem drainage
tertutup. Sebanyak 80% prognosisnya baik.11
Operasi craniotomy juga masih dianggap sebagai
terapi principal. Craniotomy temporal kecil di mana lapisan
dura dibiarkan terbuka.11
Gambar 15: Ekstrad
G
a
m
b
a
r
1
4
:
g
a
m
b
a
r
a
n
n
e
o
p
l
a
s
m
b. FARMAKOTERAPI
Terapi konservatif yang diberikan tergantung kepada
pasien dengan gejala neurologic seperti nyeri kepala tanpa
gejala lain, gejala fokal neurologic atau gangguan memori.
Pemberian yang diberikan ialah steroid atau mannitol.
Pemberian ubat farmakoterapi sangat jarang kerna biasanya
pasien akan membaik setelah dioperasi. Dexamethason
16mg/hari dapat diberikan pada pasien tanpa midline shift
selama dua minggu.16
Hematoma kecil akan mengalami resolusi secara
spontan bila dibiarkan mengikut alamiah. Pada penderita
dengan hematoma kecil tanpa tanda-tanda neurologic, maka
tindakan pengobatan yang terbaik mungkin hanyalah
melakukan pemantauan ketat.4
Hematoma subdural akut kerna aneurisme intracranial ruptur
deteriosasi kesadaran terganggu (tanda-tanda herniasi)
CT + CTA
cardiopulmonary stabil
evakuasi-intraoperatif hematoma segera
cardiopulmonary tidak stabil
angiografi yang tertangguh
kondisi neurologi stabil
CT+CTA+DSA
Hematoma evakuasi dan
klipping
coiling, evakuasi hematoma yang
tertangguh
Gambar 15: Ekstrad
G
a
m
b
a
r
1
4
:
g
a
m
b
a
r
a
n
n
e
o
p
l
a
s
m
K. KOMPLIKASI
Setiap tindakan medis pasti akan mempunyai resiko.
Cedera parenkim otak biasanya berhubungan dengan
subdural hematom akut dan dapat meningkatkan tekanan
intrakranial. Pasca operasi dapat terjadi rekurensi atau masih
terdapat sisa hematom yang mungkin memperlukan
tindakan pembedahan lagi. Sebanyak sepertiga pasien
mengalami kejang pasca trauma setelah cedera kepala berat.
Infeksi luka dan kebocoran CSF bisa terjadi setelah
kraniotomi. Meningitis atau abses serebri dapat terjadi
setelah dilakukan tindakan intrakranial. Pada pasien dengan
subdural hematom kronik yang menjalani operasi drainase,
sebanyak 5,4-19% mengalami komplikasi medis atau
operasi. Komplikasi medis, seperti kejang, pneumonia,
empiema, dan infeksi lain, terjadi pada 16,9% kasus.
Komplikasi operasi, seperti massa subdural, hematom
intraparenkim, atau tension pneumocephalus terjadi pada
2,3% kasus. Residual hematom ditemukan pada 92% pasien
berdasarkan gambaran CTscan 4 hari pasca operasi.
Tindakan reoperasi untuk reakumulasi hematom dilapaorkan
sekitar 12-22%. Kejang pasca operasi dilaporkan terjadi
pada 3-10% pasien. Empiema subdural, abses otak dan
meningitis telah dilaporkan terjadi padakurang dari 1%
pasien setelah operasi drainase dari hematoma subdural
kronis(SDH). Pada pasien ini, timbulnya komplikasi terkait
dengan anestesi, rawat inap,usia pasien, dan kondisi medis
secara bersamaan.
L. PROGNOSIS
Mortaliti pada subdural hematoma dapat mencecah 30%.
Faktor yang mempengaruhi ialah Glagow Coma Scale <7, umur
>80 tahun, durasi yang akut dan kraniotomi. Gejala neurologic
dan midline shift tidak mempengaruhi kadar mortality.
Gambaran isodensiti pada CT scan dianggap sebagai prognosis
yang baik dan gambaran hipodensiti faktor prognosis buruk.16
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas
Nama : Tn. Salamun
Usia : 34 thn 11 bln 27 hari
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Karang Malang RT 01/03 Gemulak Sayung Demak
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SMA
Status : Menikah
Suku bangsa : Jawa (WNI)
Ruangan : Kelas I Baitus Syifa
Masuk RSISA : 21/07/2014
3.2. Anamnesis
Keluhan utama : Nyeri kepala
Riwayat Penyakit Sekarang
Onset : ± 1 hari yang lalu
Lokasi : seluruh bagian kepala
Kualitas : nyeri semakin berat, nyeri seperti ditusuk terus
menerus
Kuantitas : nyeri tersebut membuat penderita terganggu dalam
melakukan pekerjaan
Faktor memperberat : saat aktifitas
Faktor memperingan : istirahat/berbaring sedikit berkurang
Gejala penyerta : (-)
Kronologi : ± 1 bulan yang lalu pasien jatuh dari tangga ketika
sedang memperbaiki genteng rumah kepala pasien terbentur
lantai. Setelah kejadian itu pasien tidak merasakan keluhan
apapun pada kepala maupun lainnya, namun sejak ± 1 hari
pasien mengeluh nyeri kepala, nyeri terasa seperti di tusuk-
tusuk, nyeri sedikit berkurang saat istirahat dengan berbaring
dan bertambah saat aktivitas. Karena keluhan dirasakan sangat
berat pasien di bawa ke IGD RS Islam Sultan Agung Semarang
oleh keluarganya.
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat trauma kepala : disangkal
Riwayat demam : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
Riwayat penyakit keluarga :
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Mellitus : disangkal
Riwayat psikososial ekonomi
Penderita bekerja di salah satu perusahaan swasta, penderita tinggal
serumah dengan istri dan seorang anak. Biaya pengobatan di tanggung
sendiri.
Kesan ekonomi : cukup.
3.3. Pemeriksaan Penunjang
CT SCAN KEPALA
Tanggal pemeriksaan 21 Juli 2014
Hasil Pemeriksaan CT-Scan :
CT SCAN CRANIOCEREBRAL NON KONTRAS
Sulci, fissure dan cysterna tak sempit.
Tampak lesi hipodens tipis semilunar di regio fronto-parietal kiri.
Sistem ventrikel tak sempit.
Tak tampak deviasi garis tengah.
Batang otak dan serebelum tak jelas kelainan.
Tak tampak discontinuitas os. Cranium
KESAN :
Perdarahan subdural tipis di regio fronto-parietal kiri
Tak tampak fraktur os. Cranium.
BAB IV
PEMBAHASAN
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural
(diantara duramater dan arachnoid). Robeknya jembatan vena (“bridging veins”) di
antara kortek serebri dan sinus venosus penyebab utama terjadinya hematoma
subdural. Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor, yaitu beratnya cedera otak
yang terjadi pada saat benturan trauma dan kecepatan pertambahan volume
hematoma subdural. Hematoma subdural dapat dinilai menggunakan pemeriksaan
radiologi, yaitu pemeriksaan CT-Scan kepala. Pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengetahui lokasi hematom dengan gambaran hiperdens/hipodens guna tatalaksana
lebih lanjut.
Pada kasus ini seorang laki-laki usia 34 tahun dibawa ke UGD RSISA oleh
keluarganya dengan riwayat ± 1 bulan yang lalu pasien jatuh dari tangga ketika
sedang memperbaiki genteng rumah kepala pasien terbentur lantai. Setelah kejadian
itu pasien tidak merasakan keluhan apapun pada kepala maupun lainnya, namun sejak
± 1 hari pasien mengeluh nyeri kepala, nyeri terasa seperti di tusuk-tusuk, nyeri
sedikit berkurang saat istirahat dengan berbaring dan bertambah saat aktivitas.
Berdasarkan riwayat dan keluhan pasien maka dilakukan pemeriksaan CT-
Scan Kepala untuk mengetahui penyebab pasti nyeri kepala akibat trauma. Pada
pemeriksaan CT-Scan non kontras kepala didapatkan gambaran lesi hipodens tipis
semilunar di regio fronto-parietal kiri, sulci,fissure,dan cysterna tak sempit,
ventrikeltak sempit, tak tampak deviasi garis tengah, batang otak dan serebelum tak
jelas ada kelainan, serta tidak tampak adanya fraktur os.Cranium.
BAB V
KESIMPULAN
Hematoma subdural merupakan penimbunan darah di dalam rongga
subdural dimana dapat disebabkan karena cidera kepala berat yang dapat
menyebabkan perdarahan pada bridging veins karena tarikan ketika terjadi
penggeseran rotatorik pada otak.Gejala klinis ditentukan oleh dua faktor yaitu
beratnya cedera otak yang terjadi pada saat benturan trauma dan kecepatan
pertambahan volume perdarahan subdural.Pupil anisokor dan deficit motoric adalah
gejala klinik yang sering ditemukan, tetapi tidak dapat digunakan sebagai indicator
mutlak untuk menentukan letak perdarahan.
Hematoma subdural dibagi menjadi tiga yaitu perdarahan akut, sub akut dan
kronis. Pada perdarahan subdural akut menimbulkan gejala segera kurang dari 72 jam
setelah cedera. Pada CT scan didapatkan gambaran lesi hiperdens. Perdarahan
subakut biasanya berkembang dalam beberapa hari sekitar 4-21 hari setelah
cidera.Pada CT scan didapatkan gambaran lesi isodens atau hipodens. Perdarahan
subdural kronis biasanya terjadi setelah 21 hari setelah cidera bahkan bisa lebih. Pada
CT scan didapatkan gambaran lesi hipodens
Dalam menentukan diagnosis hematoma subdural sering kali didasarkan
pada pemeriksaan CT scan untuk didapatkan gambaran lesi hipodens atau hiperdens
pada rongga subdural.
Prinsip pengobatan hematoma subdural adalah dengan melakukan operasi
untuk pengeluaran hematoma, tetapi pada kasus perdarahan kecil (volume 30 cc atau
kurang) dilakukan tindakan konservatif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rusdy Ghazali Malueka; Radiologi Diagnostik; Yogyakarta; Pustaka Cendekia
Press Yogyakarta; April 2011; Halaman 140 – 147
2. Harsono DSS; Kapita Selekta Neurologi; Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada; Gadjah Mada University Press; Halaman 309, 315
3. Satyanegara dan lain-lain; Ilmu Bedah Saraf, Edisi IV; Jakarta; Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama; Halaman 212-213
4. Sylvia Anderson Price dan Lorraine McCarty Wilson; PATOFISIOLOGI: Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 4, Buku 2; Penerbit Buku Kedokteran; 1994;
Halaman 1014-1019
5. Brant, William E. dan Helms, Clyde A.; Fundamentals of Diagnostic Radiology, 3rd
edition; Lippincott Williams & Wilkins; 2007; Halaman 56 – 61
6. T. Moritani, S. Ekholm & P. L Westesson; Diffusion-Weighted MR Imaging of The
Brain; German; Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2005; Halaman 64, 156 -157,
209
7. T. Scarabino, U. Salvoni & J.R. Jinkins; Emergency Neuroradiology; German;
Springer Berlin Heidelberg; 2006; Halaman 59, 118, 139, 146, 150 – 154
8. R.G Grainger, D. J. Allison, A. Adam & A. K. Dixon; Grainger & Allison’s
Diagnostic Radiology: A Textbook Medical Imaging, 4th Edition; Harcourt
Publishers Limited; 2001.
9. Rudiger von Kummer & Tobias Back; Magnetic Resonance Imaging in Ischemic
Stroke; German; Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2006; Halaman 164 – 165
10. David Sutton; Textbook of Radiology and Imaging, Volume 2; 7th Edition; Elsevier
Science Ltd.; 2003; Halaman 1767 – 1769, 1779 – 1782
11. James L. Ausman; Chronic Subdural Hematomas and The elderly: Surgical results
from a series of 125 cases: Old “horses” are not to be shot!; 14th December 2012;
Available from: http://www.surgicalneurologyint.com
12. Serge Marbacher, Ottavio Tomasi and Javier Fandino; Review Article: Management
of Patients Presenting with Acute Subdural Hematoma due to Ruptured Intracranial
Aneurysm; 28th November 2011; Available from:
http://www.hindawi.com/journals/ijvm/2012/753596
13. Amit Agrawal; Bilateral Biconvex Fronal Chronic Subdural Hematoma Mimicking
Extradural Hematoma; Available from: http://www.jstcr.org
14. Anita Shirley Joselyn, Grace Korula, Smiths Elizabeth George & Saravanan P.A.;
Spontaneous Intracranial Hypotension – A cause for recurrent chronic subdural
hematoma; 2010; Available from: http://www.joacp.org
15. Meagher, R. dkk.Subdural Hematoma, Medscape Reference, 2011
16. Meagher, R. dkk.Subdural Hematoma, Medscape Reference, 2013
17. Sastrodiningrat, A. G. 2006. Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan Subdural
Akut.