Upload
lisna-k-rezky
View
2.046
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN KASUS
MODUL LESI ORAL
HIPERPIGMENTASI GINGIVA
Nama Mahasiswa : Lisna Kurnia Rezky
NIM : 20070340056
PJ Modul Lesi Oral: drg. Erlina Sih Mahanani
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN & ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2012
LAPORAN KASUS MODUL LESI ORAL
HIPERPIGMENTASI GINGIVA
Nama Mahasiswa : Lisna Kurnia Rezky
NIM : 20070340056
Tempat Kegiatan : RSGM UMY Bangsal Multazam B.48
I. DESKRIPSI KASUS
Pemeriksaan subjektif :
Pasien anak laki-laki SD kelas 6 yang berusia 11 tahun datang ke RSGM UMY atas
motivasi operator untuk diperiksa keadaan gigi dan mulutnya. Pasien merasa sedikit risih
dengan gusinya yang berwarna kehitaman pada gusi di atas gigi-gigi depan atas, namun
tidak pernah merasa sakit/ perih pada gusinya yang menghitam tersebut. Pasien mulai
merasakan adanya perubahan warna pada gusinya sejak kenaikan kelas 4 atau kurang
lebih 1,5 tahun lalu saat pasien berusia ±10 tahun dan perubahan warna gusinya tersebut
pada awalnya sudah langsung menghitam dan memanjang di gusi pada gigi-gigi depan
atas. Pasien belum pernah memeriksakan kondisi tersebut ke dokter gigi dan tidak pernah
diberi obat atau perawatan pada gusinya tersebut. Ayah pasien adalah seorang
wiraswasta yang bekerja pada bidang pembuatan benda-benda yang terbuat dari perak
dan stainless-steel dan seorang perokok aktif. Pasien memiliki saudara perempuan dan
laki-laki, namun tidak ada yang mengalami gusi yang menghitam seperti pada pasien.
Pasien dan anggota keluarganya tidak memiliki riwayat penyakit sistemik.
Pemeriksaan subjektif :
Pemeriksaan Ekstra Oral:
Tidak ada kelainan/ keluhan pada jaringan sekitar kepala, leher, TMJ dan
jaringan limponodi pasien.
Pemeriksaan Intra Oral:
Setelah dilakukan pemeriksaan (terutama pada jaringan lunak) didapatkan suatu
temuan klinis pada gingiva labial sisi gigi anterior atas yang menghitam dan memanjang
dari gigi 14 hingga gigi 24 namun tidak ditemukan pada gingiva di regio lain. Tidak
tampak adanya pembesaran gingiva.
Palpasi : (-) tidak sakit
Warna gingiva : kehitaman
Konsistensi gingiva : lunak
Kontur gingiva : stippling seperti kulit jeruk
Interdental gingiva : meruncing seperti kerah baju dan tidak ada
pembesaran pada papilla interdental.
Bleeding on Probing (BoP) : (-) tidak terjadi perdarahan saat probing
Probing depth : ± 1 mm
OHI : DI+CI = (31+14) = 7,6 (buruk)
6 6
Pemeriksaan Penunjang
Operator tidak melakukan pemeriksaan penunjang (pemeriksaan histologis).
dd : Hiperpigmentosis gingiva, Physiologic Pigmentation
Treatment : Dental Health Education
Penampakan Klinis
II. PERTANYAAN KRITIS
1. Bagaimana mekanisme terjadinya hiperpigmentasi gingiva?
2. Apa saja faktor-faktor yang dapat menyebabkan hiperpigmentasi gingiva?
3. Apakah tiap-tiap faktor penyebab hiperpigmentasi gingiva memberikan gambaran
klinis yang sama? jika berbeda, dimana letak perbedaannya?
4. Adakah temuan klinis/ sistemik yang menyertai keadaan hiperpigmentasi gingiva?
5. Bagaimana cara mendiagnosis secara pasti suatu hiperpigmentasi gingiva?
6. Apa saja pilihan perawatan yang dapat diaplikasikan pada pasien hiperpigmentasi
gingiva?
7. Apa perbedaan antara Hiperpigmentosis gingiva dengan Physiologic Pigmentation ?
III.LANDASAN TEORI
Gingiva adalah bagian mukosa rongga mulut yang mengelilingi gigi dan menutupi
ridge alveolar. Gingiva terdiri dari 3 bagian yakni marginal gingiva, attached gingiva, dan
interdental papilla. Gingiva normal akan tampak berwarna merah muda, konturnya halus
dan mengisi setiap ruang interdental sehingga pada baggian interdental akan tampak
meruncing seperti kerah baju, teksturnya pada bagian margin halus/licin, pada bagian
attached stippling, dan konsistensi kenyal (Manson dan Elley, 1993).
Warna gingiva bervariasi tergantung dari jumlah pigmen melanin pada epithelium,
derajat keratinisasi epithelium dan vaskularisasinya serta sifat fibrosa dari jaringan ikat di
bawahnya. Pada bangsa Kaukasia pigmentasi umumnya minimal, pada bangsa Afrika
atau Asia daerah pigmentasi kecoklatan atau hitam kebiruan terlihat menutupi sebagian
besar gingival. Pada bangsa Mediterania kadang-kadang terlihat adanya bercak
pigmentasi hal inilah yang sering disebut Physiological pigmentation atau pigmentasi
fisiologis yang dimanifestasikan sebagai multifokal atau pigmentasi melanin yang difus
dengan jumlah yang beragam dalam suatu kelompok etnik tertentu.
Hiperpigmentasi gingiva secara klinis ditandai dengan adanya pewarnaan coklat gelap
hingga hitam pada gingiva. Gingiva merupakan jaringan intraoral yang paling sering
terjadi pigmentasi. Dalam penelitian Cicek (2003) diketahui bahwa pigmentasi umumnya
disebabkan oleh 5 pigmen utama yaitu: melanin, melanoid, oxyhemoglobin, hemoglobin
dan karoten, selain itu pigmen lainnya bilirubin dan besi. Melanin, adalah pigmen coklat,
merupakan pigmen alami yang ada dan mengkontribusi pigmen endogen gingiva yang
menjadi titik paling predominan dari mukosa yang ada. Melanin merupakan suatu polimer
tidak larut yang memiliki berat molekul tinggi dan biasanya terikat dengan protein.
Pigmen melanin adalah suatu hasil dari granula melanin yang diproduksi oleh
melanoblast yang berada antara sel epitelial pada lapisan basal dari epitelium gingival.
Secara mikroskopis, melanoblast secara normal ada di lapisan basal pada lamina propria.
Pemeriksaan histologis hiperpigmentasi akan menunjukkan adanya penimbunan granule
melanin pada stratum basal dan lapisan epitel berpindah menjadi suatu keratinosit.
Faktor penyebab hiperpigmentasi gingiva kemudian dikelompokkan menjadi 2
berdasarkan asal paparannya yakni pigmentasi endogen dan eksogen. Kondisi dari
pigmentasi endogen antara lain pada penyakit Addison, sindroma peutz-Jeghers,
hiperfungsi kelenjar hipofisis, juga dialami semasa kehamilan. Kondisi dari pigmentasi
eksogen antara lain paparan logam berat seperti emas, bismuth, merkuri, perak, timah,
timbal, dan rokok (Burket, 1994). Penelitian yang dilakukan oleh Miller (1998)
menyatakan bahwa merokok dapat merangsang melanosit mukosa oral untuk
memproduksi melanin secara eksesif, sehingga menciptakan patch pigmentasi coklat di
atas mukosa gingival atau bukal diantara 5-22% perokok. Jumlah dan intensitas melanosis
pada rongga mulut bergantung kepada dosis, dan penghentian merokok tampaknya
menghilangkan kondisi ini sepenuhnya. Dalam suatu penelitian Lessan, dkk tahun 2010
diketahui ternyata tidak hanya peroko aktif saja yang dapat terjadi hiperpigmentasi
gingiva, perokok pasif pun juga dapat terinduksi untuk hiperpigmentasi gingiva.
Pigmentasi ini bisa terjadi secara normal, misalnya karena faktor genetik. Namun
derajat pigmentasi dipengaruhi oleh stimulasi mekanik, fisik dan kimia. Tipe pigmentasi
ini simetris dan tetap, dan keadaan ini tidak mempengaruhi bentuk normal gusi.
Pigmentasi dapat terjadi pada semua ras dan berbagai umur dan juga tidak mempunyai
perbedaan dengan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Terdapat hubungan yang
positif antara pigmentasi gusi dengan warna kulit. Ditinjau dari faktor genetik, orang kulit
hitam lebih memiliki kemungkinan pigmentasi pada gusi. Meski jumlah melanosit pada
tiap ras tidak jauh berbeda, namun pigmentasi ditentukan oleh jumlah melanosit yang
aktif.
Pada hiperpigmentasi gingiva baik dari pigmentasi eksogen maupun endogen secara
klinis tampak sama yakni berupa warna mulai dari coklat, biru hitam hingga hitam,
namun densitas deposisi pigmentasi pada pigmentasi endogen tergantung dari tingkat
keparahan dari gangguan metabolisme yang mempengaruhi produksi melanin, sedangkan
pada pigmentasi eksogen tergantung pada frekuensi paparan. Konsistensi maupun tekstur
gingiva sebagian besar sama yakni tampak halus/ licin, namun pada beberapa kasus
seperti pada penyakit Addison akan ada tendensi untuk terjadi di jaringan parut.
Terdapat beberapa temuan klinis/ sistemik yang menyertai keadaan hiperpigmentasi
gingiva sebagai contoh pada penyakit Addison biasanya ada gejala sistemik seperti
lemah, mual, muntah, disertai dengan tekanan darah rendah; pigmentasi karena paparan
logam biasanya juga disertai dengan ikterus, gangguan gastrointestinal, ada rasa logam di
mulut, rasa panas terbakar pada jaringan mulutnya, gejala keracunan (Burket, 1994).
Namun demikian, tidak semua kasus hiperpigmentasi harus menunjukkan gejala klinis
sistemik/ lokal yang sama. Oleh karena itu, dalam langkah untuk mendiagnosis suatu
temuan klinis yang mengarah pada hiperpigmentasi gingiva perlu dilakukan antara lain
anamnesa yang mendalam dan holistik mulai dari :
1. Keluhan utama pasien seperti apa dan pada bagian mana yang dikeluhkan,
2. Riwayat perjalanan penyakit mencakup sejak kapan muncul, faktor apa yang
sekiranya yang menyebabkan atau pasien setelah konsumsi apa pada saat tiba-tiba
muncul atau pasien pasca melakukan kegiatan apa, dimanakah pertama kali muncul
dan bagaimana penampakan saat pertama kali muncul, apakah pernah ada rasa sakit/
perih, apakah pernah warna gingivanya tidak berwarna kehitaman setelah pertama kali
muncul tersebut, apakah warna gingivanya semakin lama semakin menghitam atau
dari awal muncul warna tetap seperti itu, apakah sudah pernah diperiksa dan diberi
perawatan, dll.
3. Riwayat keluarga, apakah anggota keluarga yang lain ada mengalami hal yang sama,
apakah orang tua adalah seorang perokok aktif (sebagai salah satu kemungkinan
faktor penyebab),dll.
4. Kehidupan sosial, bagaimana kondisi lingkungan tempat tinggal pasien, apa kegiatan
yang biasa dilakukan pasien sehari-hari (menanyakan kemungkinan terkena paparan
eksogen)
5. Pemeriksaan sistemik mencakup pemeriksaan laboratorium darah, serta histologis.
Pemeriksaan laboratorium darah biasanya digunakan untuk menegaskan apakah ada
kandungan misalnya logam pada darah pasien? seberapa besar persentase kandungan
logam tersebut dalam plasma darah? apakah ada gangguan sistemik contoh gangguan
darah, gangguan endokrin; sedangkan pemeriksaan histologis akan melihat secara
lebih jelas mikroskopis dari biopsi jaringan yang terkena paparan sehingga dapat
diketahui paparan apa yang mengenai jaringan.
Secara klinis pigmentasi melanin pada gusi tidak menggangu masalah kesehatan, tetapi
keluhan gusi berwarna hitam atau coklat mengganggu penampilan terutama jika pewarnaan
gusi ini terlihat ketika berbicara atau tersenyum. Berdasarkan penelitian Mokeem (2006)
serta Humagain (2009) menyatakan bahwa perawatan hiperpigmentasi gusi terdiri dari
berbagai macam cara dan metode yaitu : gingivektomi, gingivektomi dengan free gingival
autografting, electrosurgery, cryosurgery, bahan kimia seperti fenol90%, tehnik abrasi
dengan bor diamond, Nd: Yag Laser dan CO2 laser. Perawatan hiperpigmentasi tersebut
memiliki kelebihan dan kekurangan antara lain:
1. Gingivektomi : dapat dilakukan untuk perawatan hiperpigmentasi gingiva tetapi
prosedure ini dilakukan untuk pasien yang mengalami resorbsi tulang alveolar.
Tindakan ini juga menyebabkan ketidaknyamanan dan rasa sakit yang berlebih juga
penyembuhan luka lebih lama
2. Bedah konvensional : mengambil secara bedah untuk deepitelisasi. Pada perawatan
dengan bedah konvensional ada yang dengan gingival abrasi disertai dengan
menggunakan bur abrasi dan ada juga dengan menggunakan metode scrapping atau
menggosok gingiva dengan scalpel tersebut. Penyembuhan jaringan akan sedikit lebih
lama sekitar 12 minggu.
3. Penggunaan bahan kimia : dengan menggunakan fenol90%, memiliki efek negatif
dapat menimbulkan rasa panas dan sakit pada jaringan lunak mulut.
4. Electro surgery : keuntungannya adalah untuk eksisi jaringan lunak yang memiliki
vaskularisasi tinggi dapat memberikan efek hemostatis. namun jika panas yang
digunakan terlalu lama dapat menyebabkan kerusakan jaringan lunak dan jaringan
periodontal jika digunakan di dekat tulang.
5. Laser. Penggunaan laser mencipakan cara yang paling efektif dan efisien karena tidak
menimbulkan efek samping seperti perdarahan, infeksi dan rasa sakit pasca bedah.
Semua macam teknik untuk penatalaksanaan hiperpigmentasi gingiva tersebut memiliki
tujuan yang sama yakni menciptakan suatu depigmentasi gingiva, sehingga dapat
mencapai pengkoreksian terutama faktor estetiknya. Berdasarkan penelitian dari
Hariyanti dan Lastianny tahun 2008 menyatakan bahwa depigmentasi gingiva dengan
metode scrapping memberikan hasil yang lebih optimal dan setelah 1 bulan sudah
menunjukkan penyembuhan total dari gingiva.
IV. KESIMPULAN
Pada kasus yang saya temukan, sebaiknya dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang
untuk mengetahui secara pasti etiologi kasusnya. Intervensi atau paparan dari lingkungan
kerja ayah pasien, dan pasien sebagai perokok pasif memberikan pertimbangan dalam
mencari etiologi kasus. Pasien juga sudah dijelaskan tentang beberapa pilihan tindakan
perawatan namun pasien serta orang tua pasien tidak ingin dilakukan apapun. oleh karen
itu pasien hanya diberi Dental Health Education (DHE) mengenai faktor-faktor penyebab
dan bahaya paparan atau faktor eksogen yang dapat memperparah kondisi yang ada
sekarang.
V. DAFTAR PUSTAKA
1. Mokeem, SA. 2006. Management of Gingival Huperpigmentation by Surgical
Abrasion- Report of Three cases. Saudi Dental Journal Vol 18 (3): 162-166.
2. Hartanti, P.L. Sri. 2008. Perawatan Hiperpigmentasi Gingiva dengan Metode
Scrapping. Majalah Kedokteran Gigi Vol. 15 (2): 141-144.
3. Humagain, dkk. 2009. Gingival Depigmentation: A Case Report with Review of
Literature. Journal of Nepal Dental Association Vol. 10 No. 1 : 53-56.
4. Lessan, dkk. 2010. Relationship Between Passive Smoking And Pigmentation.
Journal of Dentistry, Tehran University of Medical Sciences Vol 7 No. 3:119-123.
5. Cicek. 2003. The Normal and pathological Pigmentation of Oral Mucous Membrane:
A Review. Journal of Contemporary Denta Practice Vol.4 No. 3.
6. Burket. 1994. Ilmu Penyakit Mulut Diagnosis dan Terapi. Jakarta : Banguntapa
Aksara.
7. Langlais, Miller. 1998. Atlas Berwarna Kelainan Rongga Mulut yang Lazim. Jakarta:
Hipokrates.
8. Manson J.D, Elley. 1993. Buku Ajar Periodonsi. Jakarta: Hipokrates.