Upload
fadila-safira
View
58
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
jdkhoaeieo
Citation preview
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionik
usus, mulai dari spinkter ani interna ke arah proksimal dengan panjang yang
bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum
dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus. ¹
Pasien dengan penyakit Hirschprung ini pertama kali di laporkan pada tahun
1691 oleh Frederick Ruysch, tetapi Harald Hirschsprung baru mempublikasikan
penyakit ini pada tahun 1886 dengan deskripsi megakolon kongenital. Awalnya,
patofisiologi dari penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938,
dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai
pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian usus akibat
defisiensi ganglion.2
Pada tahun 1888, Hirschsprung melaporkan dua kasus bayi meninggal dengan
perut yang kembung akibat kolon yang sangat melebar dan penuh massa feses.
Penyakit ini disebut megakolon kongenitum dan merupakan kelainan yang
tersering dijumpai sebagai penyebab obstruksi usus pada neonatus.3
Penyakit Hirschsprung terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup, Insidensi
penyakit Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1
diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan
tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi
dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit
Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo
Jakarta.³
Kelainan pada penyakit ini biasanya ditemukan mulai dari bagian distal kolon
yaitu di peralihan antara usus dengan anus. Panjang dari bagian segmen yang
tidak mempunyai sel ganglion (aganglionik) itu biasanya berbeda-beda ; 75%
2
pasien terbatas pada bagian rektum dan sigmoid, 8% pasien mengalami segmen
aganglionik pada seluruh bagian kolon, dan jarang melibatkan usus kecil.²
Setelah muncul penemuan kelainan histologik pada penyakit ini, barulah
ditemukan teknik operasi yang rasional untuk penyakit ini.³
Mortalitas dari kondisi ini dalam beberapa dekade ini dapat dikurangi dengan
peningkatan dalam diagnosis, perawatan intensif neonatus, tekhnik pembedahan
dan diagnosis dan penatalaksanaan dengan enterokolitis.³
1.2. Rumusan Masalah
Laporan kasus ini membahas definisi, etiologi, epidemiologi, anatomi,
patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, teknik pembedahan,
dan komplikasi dari penyakit Hirschsprung.
1.3. Tujuan Penulisan
a. Memahami definisi, etiologi, epidemiologi, anatomi, patofisiologi,
manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, teknik pembedahan, dan
komplikasi penyakit Hirschsprung.
b. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.
c. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Program Pendidikan Pofesi
Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara RSUP Haji Adam Malik Medan.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Anatomi dan Histologi Usus Besar
Usus besar terdiri dari kolon, sekum, apendiks, dan rektum. Kolon terdiri atas
tiga bagian yaitu, pars ascendens, pars transversus, dan pars descendens. Bagian
akhir dari kolon pars descendens adalah sigmoid yang membentuk huruf “S”,
kemudian lanjut menjadi bagian yang lurus yaitu rektum. 4
Gambar 2.1. Anatomi usus besar
Usus memiliki empat lapisan yaitu tunica mucosa, tunica submukoca, tunica
muscularis,dan tunica serosa. Lapisan mukosa dilapisi oleh lamina propria dari
jaringan ikat longgar yang kaya akan pembuluh darah, pembuluh limfe, dan otot
polos. Lapisan submukosa terdiri atas jaringan ikat padat, pembuluh darah, dan
pembuluh limf. Lapisan ini juga terdiri atas pleksus Meissner. Lapisan muskularis
terdiri atas dua sub lapisan mengikuti arah sel otot. Lapisan internal yang dekat
dengan lumen mengikuti pola sirkuler, dan bagian eksternal mengikuti arah
4
longitudinal. Lapisan muskular juga terdiri dari pleksus Auerbach yang berada
diantara dua lapisan sirkular dan longitudinal. Sementara lapisan serosa terdiri
dari jaringan ikat longgar, pembuluh darah, pembuluh limfe, juga lapisan
squamous cell.5
Gambar 2.2. Lapisan Otot
Rektum memiliki 3 buah valvula yaitu valvula superior kiri, medial kanan dan
inferior kiri. 1/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvis dan tefiksasi,
sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak di rongga abdomen dan relatif mobile.
Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior
lebih panjang dibanding posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir
dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal.
Saluran anal dikelilingi oleh sfingter ani (eksternal dan internal) serta otot-otot
yang mengatur pasase isi rektum ke dunia luar . Sfingter ani eksterna terdiri dari
3 sling : atas, medial dan depan..6
Persarafan motorik sfingter ani interna berasal dari serabut saraf simpatis ( N.
Hipogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut saraf simpatis
(N.Splancnicus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis serabut saraf ini
5
membentuk pleksus rektalis, sedangkan muskulus levator ani dipersarafi oleh N
sakralis III dan IV. Nervus pudendalis mempersarafi sfingter ani eksterna dan
m.puborektalis. Saraf simpatis tidak memengaruhi otot rektum. Defekasi
sepenuhnya dikontrol oleh N. Splanknikus ( parasimpatis). Akibatnya kontinensia
sepenuhnya dipengaruhi oleh N. Pudendalis dan N.Splanknikus Pelvis
(parasimpatis).7
Sistem saraf otonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus:
a. Pleksus Auerbach: terletak dilapisan otot sirkuler dan longitudinal
b. Pleksus Henle : terletak di sepanjang batas dalam otot sirkuler
c. Pleksus Meissner: terletak di submukosa
1.2. Fisiologi Refleks Defekasi
Ketika makanan memasuki lambung, pergerakan massa yang dipicu di kolon
disebut sebagai refleks gastrokolik yang diperantarai oleh gastrin dan persarafan
autonomik. 1 Refleks gastroenterik dan refleks gastroileal akan mentransfer
material dari sekum ketika makan. Pergerakan dari sekum ke kolon transversus
sangat lambat, sehingga material yang terdiri dari banyak cairan akan diubah
menjadi lebih padat karena absorpsi air. Gelombang peristaltik di usus akan
memindahkan isi di sepanjang usus. 8
Kontraksi peristalsis yang cukup kuat akan muncul beberapa kali sehari.
Kontraksi ini akan memindahkan material dari kolon transversus ke bagian usus
besar selanjutnya. Stimulus berasal dari lambung dan usus, yang akan di
hantarkan ke pleksus saraf. Kontraksi tersebut akan memaksa feses untuk masuk
ke rektum dan menghasilkan keinginan untuk defekasi.8
Rektum biasanya dalam keadaan kosong, kecuali adanya kontraksi peristalsis
yang cukup kuat untuk memindahkan feses dari kolon sigmoid ke rektum.
Peregangan dinding rektum akan menghasilkan refleks defekasi. Refleks ini akan
menghasilkan dua umpan balik positif. Reseptor peregangan rektum akan memicu
kontrol defekasi yang dapat disadari. Refleks pertama dimediasi oleh inervasi
6
parasimpatis di pelvis. Refleks ini akan menyebabkan relaksasi sfingter anal
internal. Otot polos sfingter akan mengontrol pergerakan feses ke kanal anal.
Refleks kedua adalah refleks somatis yang memicu kontraksi segera dari sfingter
anal eksterna. N. Pudenda akan membawa perintah motorik.8
Kedua sfingter anal interna dan eksterna harus berelaksasi agar feses dapat
dikeluarkan. Tetapi, kedua refleks membuka sfingter internal namun menutup
sfingter eksternal. Pengeluaran feses harus dalam keadaan yang disadari untuk
membuka sfingter eksternal. Aktivitas lainnya yang dapat membantu pengeluaran
feses melalui peningkatan tekanan intraabdomen, seperti mengedan. Keinginan
untuk mengeluarkan feses muncul ketika tekanan di rektum mencapai 15 mmHg.
Jika tekanan ini melebihi 55 mmHg, sfingter anal eksternal akan relakasi secara
tidak sadar sehingga terjadi defekasi. Mekanisme ini muncul pada bayi dan pada
pasien dengan kerusakan medulla spinalis. 8
Gambar 2.3. Refleks Defekasi
7
1.3. Definisi Penyakit Hirschsprungs
Penyakit Hirschsprungs adalah suatu penyakit kongenital yang disebabkan
oleh malformasi dari sistem parasimpatis pelvik yang mengakibatkan ketiadaan
sel-sel ganglion pada pleksus auerbach dan miessner pada bagian kolon distal.9
1.4. Etiologi dan Faktor Risiko
Penyakit hirschprung berkaitan erat dengan genetik. Tidak adanya ganglion
dapat disebabkan oleh mutasi gen yang menyebabkan kegagalan pada migrasi,
diferensiasi atau kehidupan pada sel tersebut. Reseptor Tyrosine Kinase Gene
(RET) merupakan gen yang biasanya mengalami mutasi. Secara signifikan mutasi
gen RET juga ditemukan pada sindrom neoplasma endokrin multipel tipe IIA dan
IIB dan karsinoma tiroid medullar familiar. Penyakit Hirschprungs juga sering di
temukan pada anak dengan trisomi 21 ( Sindrom Down). Gen yang telah
bermutasi tersebut bisa mengakibatkan defek saat embriogenesis. Sebuah studi
yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa kolon yang normal memiliki banyak
NCAM (Neural Cell Adhesion Molecules), akan tetapi NCAM tidak ditemukan
pada bagian yang aganglionik pada penyakit Hirschprungs. NCAM ini
diperkirakan berperan penting dalam pembentukan sel ganglion pada saat
embriogensis. 10
Adapun faktor risiko penyakit Hirschsprung adalah sebagai berikut:
a. riwayat keluarga menderita penyakit Hirschsprung,
b. menderita Sindom Down,dan
c. laki-laki.22
1.5. Epidemiologi
Penyakit Hirschsprungs dapat terjadi dalam 1:5000 kelahiran. Risiko tertinggi
terjadinya penyakit Hirschsprungs biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat
keluarga dengan Hirschsprungs dan pasien yang menderita Sindrom Down.
8
Daerah Rektosigmoid paling sering terkena sekitar 75% kasus, fleksura lienalis
atau transversum pada 17 kasus.9
Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan risiko terjadinya
Penyakit Hirschsprung. Laporan insidensi tersebut bervariasi sebesar 1,5-17%
dengan 130 kali lebih tinggi pada anak laki-laki dan 360 kali lebih tingi pada anak
perempuan. Penyakit Hirschsprungs lebih sering diturunkan oleh ibu yang
aganglionosis dibanding ayah. Sebanyak 12.5% dari kembaran pasien mengalami
aganglionosis total pada kolon ( sindrom Zuelzer-Wilson). Salah satu laporan
menyebutkan 4 keluarga dengan 22 pasangan kembar yang terkena, kebanyakan
mengalami aganglionosis segmen panjang. 9,11
1.6. Klasifikasi
Hirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak colon yang
terkena. Adapun klasifikasi dari Hirschsprung’s Disease adalah sebagai berikut. 23
1. Ultra short segment: Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecil
dari rectum.
2. Short segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian kecil dari
colon.
3. Long segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian besar colon.
4. Very long segment: Ganglion tidak ada pada seluruh colon dan rectum
dan kadang sebagian usus ke
9
Gambar. Tipe Hirschsprung’s Disease23
1.7. Patogenesis
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada kolon distal dan
spfingter anus interna sehingga terjadi obstruksi. Sehingga pada bagian abnormal
akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal, sedangkan bagian yang
normal akan mengalami dilatasi di bagian proksimalnya.6 Dasar patofisologi
penyakit Hirschcprungs adalah tidak adanya gelombang propulsif dan
abnormalitas atau hilangnya relakasasi dari sfingter anus internus yang
disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis, atau disganglionosis pada usus yang
terkena.12,13
Tidak terdapatnya ganglion pada kolon menyebabkan peristaltik usus
menghilang sehingga feses dalam lumen kolon terhambat yang menimbulkan
terjadinya distensi dan penebalan dinding kolon di bagian proksimal daerah
10
aganglionik sebagai akibat usaha melewati daerah obstruksi di bawahnya.
Keadaan ini akan menimbulkan gejala obstruksi usus akut atau kronis yang
tergantung panjang usus yang mengalami aganglionik. Obstruksi kronis
menimbulkan distensi usus sehingga dinding usus mengalami iskemia yang
disertai iritasi feses dan menyebabkan invasi bakteri. Pada tahap selanjutnya
terjadi nekrosis, ulkus mukosa kolon, pneumomatosis, sampai perforasi kolon.
Keadaan ini menimbulkan gejala enterokolitis dari ringan sampai berat. Bahkan
terjadi sepsis, dan kehilangan cairan tubuh yang berlebihan.12,13,14
1.8. Gejala Klinis
Pada bayi yang baru lahir biasanya terjadi keterlambatan pengeluaran
mekonium pertama, diikuti dengan distensi abdomen, dan muntah berwarna hijau.
Pada bayi normal, mekonium akan keluar dalam usia 24 jam pertama, namun pada
penyakit Hirschcprungs, mekonium keluar setelah 24 jam. Mekonium normalnya
berwarna hitam kehijauan, sedikit lengket dan dalam jumlah yang cukup. Diare
dapat menunjukkan adanya suatu enterokolitis.17,13
Pada anak yang lebih besar, dapat mengalami kesulitan makan, distensi
abdomen kronis, dan adanya riwayat konstipasi. Gejala penyerta lain seperti
impaksi feses, demam, dan diare menunjukkan terjadinya tanda-tanda
enterokolitis, malnutrisi, dan gagal tumbuh.15,14
Pada pemeriksaan colok dubur, sfingter ani teraba hipertonus dan rektum
biasanya kosong. Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan disekitar
umbilikus, punggung, dan disekitar genitalia ditemukan bila telah terjadi
komplikasi peritonitis.15,12,14
1.9. Pemeriksaan Penunjang
1.9.1. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos abdomen (BNO)
11
Sulit untuk membedakan antara distensi kolon dengan distensi pada usus
kecil jika hanya melalui foto polos abdomen. Oleh karena itu, harus dilakukan
pemeriksaan radiologi lanjutan untuk mendiagnosa penyakit ini. Pemeriksaan
dengan barium enema adalah pemeriksaan yang terbaik untuk melihat obstruksi
yang disebabkan oleh penyakit Hirschsprung ini. 19
b. Pemeriksaan Barium Enema
Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa
Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas :
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi;
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah
daerah dilatasi;
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit
Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto
setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feses. Gambaran khasnya
adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feses kearah proksimal kolon.
Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan
obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daereah rectum dan
sigmoid.16
12
Gambar 2.4. Pemeriksaan barium enema menunjukkan zona transisi. Zona ini
merupakan transisi dari dilatasi usus yang biasanya diinervasi normal. 18
Gambar 2.5. Pemeriksaan barium enema pada penderita dengan penyakit
Hirschsprung. Tampak rektum yang mengalami penyempitan, dilatasi sigmoid
serta pelebaran di bagian atas dari zona transisi. 16
13
Gambar 2.6. Zona transisi yang khas, tampak dilatasi di antara kolon yang terisi
massa feses dibagian atas dan rektum yang relatif menyempit di bagian bawah. 20
Gambar 2.7. Rektum pada bayi baru lahir ini kelihatan lebih kecil dari sigmoid
dan kolon descendens, tetapi tidak terdapat zona transisi yang jelas. 20
14
Gambar 2.8. Pemeriksaan dengan kontras (barium enema) pada bayi lainnya
menunjukkan segmen aganglionik yang ireguler dan mengalami spasme. 20
Gambar 2.9. Tampak penyempitan dibagian rektum dan sigmoid pada foto barium
enema sisi lateral20
Semakin lanjut usia pasien saat terdeteksi penyakit ini, maka semakin jelas
perbedaan yang tampak antara usus yang normal dan abnormal19
15
Gambar 2.10.. Pemeriksaan barium enema pada bayi baru lahir dengan penyakit
Hirschsprung. Biasanya perubahan klasik dari penyakit ini tidak begitu jelas pada
periode neonatal.20
Gambar 2.11. Pemeriksaan barium enema yang dilakukan selanjutnya
memperlihatkan gambaran megakolon yang tipikal, zona transisi serta bagian
aganglionik yang tidak melebar.20
16
Gambar 2.12. Pemeriksaan barium enema pada seorang pria muda dengan
penyakit Hirschsprung tipe segmen pendek. Pria ini mengalami konstipasi kronis
yang berlangsung sepanjang hidupnya. Perhatikan adanya dilatasi usus besar dan
residu feses. 20
17
Gambar 2.13. Penyakit Hirschsprung. Pemeriksaan barium enema tampak
pengurangan kaliber rektum dan dilatasi loop usus besar dengan permukaan
mukosa yang ireguler (diskinesia).20
Gambar 2.14. Penyakit Hirschsprung pada bayi yang berusia 6 bulan
dengan riwayat konstipasi kronis. Foto barium enema sisi lateral ini menunjukkan
dilatasi pada sigmoid kolon proksimal dan kolon asendens 17
Pada orang dewasa yang menderita penyakit ini, biasanya lesi hanya
terbatas pada bagian sigmoid kolon atau rektum. Pemeriksaan yang dilakukan
pada penderita dewasa itu hampir sama seperti dengan pemeriksaan yang
dilakukan ke atas bayi, iaitu dengan pemeriksaan barium enema. Dalam suatu
studi, didapatkan pemeriksaan dengan CT scan juga bermanfaat untuk
menentukan letak zona transisi dari penyakit ini. Hasil gambaran CT scan yang
didapatkan juga sesuai dengan hasil pemeriksaan histopatologis pada biopsi
rektum. 17
18
Gambar 2.15. Gambaran penyakit Hirschsprung dengan segmen aganglionik di
bagian atas rektum pada seorang pria muda berusia 19 tahun. AC = ascending
colon, DC = descending colon. Segmen kolon yang lain dalam batas normal.17
19
Gambar 2.16. Pemeriksaan double kontras barium enema tampak dilatasi bagian
atas dari rektum dan rectosigmoid junction yang terisi massa feses (pada anak
panah).17
Gambar 2.17. Foto CT scan dengan kontras potongan transversal tampak dilatasi
bagian proksimal rektum serta bagian rektosigmoid yang terisi massa feses. 17
20
Gambar 2.18. Foto CT scan kontras potongan transversal. Tampak zona transisi
dan penyempitan di bagian distal rektum.18
c. Pemeriksaan lainnya
Laboratorium Studi
CBC count: Tes ini dilakukan untuk mendeteksi terjadinya komplikasi
seperti enterokolitis yang disebabkan oleh penyakit Hirschsprung. Peningkatan
WBC count atau bandemia harus dicurigai terjadinya enterokolitis.18
Anorektal manometri
Gejala yang ditemukan adalah kegagalan relaksasi sfingter ani interna
ketika ekttum dilebarkan dengan balon. Keuntungan metode ini adalah bisa segera
dilakukan dan pasien dapat cepat pulang karena tidak dilakukan anestesi umum.
Metode ini lebih serig dilakukan pada pasien yang lebih besar dibandingkan pada
neonatus. Pada anak berusia lebih lanjut dengan keluhan sembelit kronis dan
riwayat atipikal baik untuk penyakit Hirschsprung atau konstipasi fungsional,
manometri anorektal dapat membantu dalam membuat diagnosis. Anak-anak
21
dengan penyakit Hirschsprung gagal untuk menunjukkan reflex relaksasi pada
spinkter ani interna dalam menanggapi inflasi balon dubur. 18
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat refleks anorektal pada pasien
yang dicurigai dengan penyakit Hischsprung. Orang yang menderita penyakit ini
biasanya akan kehilangan atau berkurang refleks anorektalnya. Penurunan refleks
anorektal yang dimaksudkan adalah kurangnya relaksasi pada bagian anus setelah
dilakukan inflasi balon di bagian rektum. Bagaimanapun, terdapat banyak
perbedaan pendapat tentang penilaian pada tes diagnostik ini. 21
Biopsi rektum
Biopsi rektum merupakan tes yang paling akurat untuk mendeteksi
penyakit Hirschsprung. Biopsi rektum merupakan gold standart untuk
mendiagnosis penyakit Hirscprung. Pada bayi baru lahir metode ini dapat
dilakukan dengan morbiditas minimal karena menggunakan suction khusus biopsi
rektum. Dokter mengambil bagian sangat kecil dari rektum untuk dilihat di bawah
mikroskop. Untuk pengambilan sampel biasanya diambil 2 cm diatas linea dentate
dan juga mengambil sampel yang normal dari yang normal ganglion hingga yang
aganglionik. Metode ini biasanya harus menggunakan anestesi umum karena
sampel yang diambil pada mukosa rektal lebih tebal. Anak-anak dengan penyakit
Hirschsprung tidak memiliki sel-sel ganglion pada sampel yang diambil. Pada
biopsi hisap, jaringan dikeluarkan dari kolon dengan menggunakan alat
penghisap. Karena tidak melibatkan pemotongan jaringan kolon maka tidak
diperlukan anestesi.
Jika biopsi menunjukkan adanya ganglion, penyakit Hirschsprung tidak
terbukti. Jika tidak terdapat sel-sel ganglion pada jaringan contoh, biopsi full-
thickness biopsi diperlukan untuk mengkonfirmasi penyakit Hirschsprung. Pada
biopsi full-thickness lebih banyak jaringan dari lapisan yang lebih dalam
dikeluarkan secara bedah untuk kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Tidak
adanya sel-sel ganglion menunjukkan penyakit Hirschsprung.19
1.10. Diagnosis Banding
22
Diagnosis banding dari Penyakit Hirschcprungs harus meliputi seluruh
kelainan dengan obstruksi pada distal usus kecil dan kolon, meliputi:20
Obstruksi mekanik Obstruksi fungsional
Meconium ileus
- Simple
- Complicated (with
meconium cyst or
peritonitis)
Meconium plug syndrome
Neonatal small left colon
syndrome
Malarotation with volvulus
Incarcerated hernia
Jejunoileal atresia
Colonic atresia
Intestinal duplication
Intussusceptions
NEC
Sepsis
Intracranial hemorrhage
Hypothyroidism
Maternal drug ingestion or
addiction
Adrenal hemorrhage
Hypermagnesemia
Hypokalemia
1.11. Penatalaksanaan
1.11.1. Non Pembedahan
Ketika diagnosis penyakit Hirschsprung disangkakan maka pasien
ditangani sebagai pasien obstruksi. Sesegera mungkin pasien dipuasakan dan
dilakukan dekompresi dengan memasang selang NGT dan kateter urin. IV line
dipasang untuk memastikan rehidrasi yang cukup dan antibiotik empiris sistemik
diberikan.21
1.11.2. Pembedahan
23
Penyakit Hirschsprungs memerlukan tindakan pembedahan sebagai
tatalaksana definitif pada semua kasus. Pendekatan pembedahan klasik terdiri dari
prosedur yang bertingkat. Ini termasuk pembuatan kolostomi pada neonatus,
diikuti dengan pembedahan definitif setelah berat anak >10 kg. Ada tiga prosedur
pembedahan pull-through yang saat ini digunakan. Untuk masing – masing
operasi yang dilakukan, prinsip tatalaksana pada pembedahan adalah memastikan
lokasi dari usus dimana transisi antara usus berganglion dengan yang tak
berganglion terletak, reseksi segmen tak berganglion dari usus, dan melakukan
anastomosis dari usus berganglion ke anus ataupun ke selubung rektum.21
Sekarang sudah sepenuhnya diketahui bahwa operasi pull – through dapat
dilakukan secara aman, bahkan pada periode neonatus. Pendekatan ini mengikuti
prinsip yang sama seperti pembedahan bertingkat dan menghindarkan pasien dari
pembedahan tambahan. Beberapa ahli bedah melakukan diseksi intra abdominal
menggunakan laparoskop. Pendekatan ini terutama berguna pada pembedahan
dengan pasien neonatus, karena memberikan visualisasi yang sangat baik pada
pelvis. Pada anak dengan distensi abdomen yang signifikan, dapat dilakukan
kolostomi untuk dekompresi.21
Dari ketiga prosedur operasi pull – through yang dilakukan pada penyakit
Hirschsprungs, yang pertama adalah prosedur Swenson. Pada operasi ini, rektum
aganglion di diseksi dari pelvis dan dikeluarkan melalui anus. Kolon berganglion
kemudian disambungkan ke anus melalui pendekatan perineal. Prosedur kedua
adalah prosedur Duhamel, diseksi di luar rektum dibatasi pada ruang retrorektal,
dan kolon berganglion disambungkan secara posterior tepat di atas anus. Dinding
anterior pada kolon berganglion dan dinding posterior dari rektum aganglion
disambungkan menggunakan stapler. Meskipun kedua prosedur ini terbukti sangat
efektif, prosedur ini memiliki potensi untuk terjadi kerusakan pada syaraf
parasimpatik yang berada di sekitar rektum. Untuk menghindari masalah potensial
ini. Prosedur ketiga adalah prosedur Soave yang dikerjakan dengan mendiseksi
mukosa rektum secara keseluruhan dan kolon berganglion ditarik melewati
selubung muskular ini dan disambungkan pada anus.21
24
Pada semua kasus, sangat penting untuk memastikan lokasi usus
berganglion. Kebanyakan ahli bedah percaya bahwa anastomosis harus dilakukan
sekurangnya 5 cm dari titik dimana usus berganglion ditemukan. Hal ini
mencegah dari melakukan operasi pull – through pada zona transisi, yang
berkaitan dengan tingginya insidensi dari komplikasi akibat pengosongan tidak
optimal pada segmen pull – through.21
1.12. Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi pada ketiga prosedur ini termasuk enterokolitis pos operasi,
konstipasi, dan striktur anastomosis. Seperti dijelaskan sebelumnya, hasil jangka
panjang dari ketiga prosedur sangat baik. 21
Gambar 2.19. Prosedur Duhamel
25
Gambar 2.20. Prosedur Swenson
Gambar 2.21. Prosedur Soave
26
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Alicia
Gender : Perempuan
Umur : 32 Hari
MR : 00.63.35.11
Ruangan : Perinatology (RB4A)
Tanggal masuk : 16 Februari 2015
II. ANAMNESIS
Keluhan utama : SulitBuang Air Besar
Telaah :
- Hal ini dialami os sejak lahir. Os jarang BAB. Terkadang tidak ada
BAB dalam sehari. Kotoran sangat sedikit hanya berupa bercak-bercak
pada popok. Riwayat anus dicolok untuk mengeluarkan kotoran
disangkal.
- Keluhan perut membesar dijumpai. Hal ini dialami sejak osberumur 1
minggu. Perut semakin membesar dan teraba keras dalam 1 minggu
terakhir.
- Keluhan muntah dijumpai 3 hari SMRS. Muntah berwarna kuning-
kehijauan. Muntah dialami sebanyak 2 kali, sebanyak 2 sendok makan
per kali muntah.
- BAB pertama keluar lebih dari 24 jam setelah lahir.
- Riwayat demam tidak dijumpai. Buang air kecil normal.
- Riwayat keluarga mengalami hal yang sama disangkal.
RPT : Tidak ada
RPO : Tidak jelas
27
Riwayat Kehamilan: Usia Ibu saat Hamil 40 tahun, ANC ke Bidan dan dokter
kandungan, Riwayat Hipertensi, DM dan adanya demam saat hamil (-).
Riwayat Kelahiran : BBL = 2500 gram, anak ke-4 dari 4 bersaudara, os segera
menangis saat lahir, terlillit tali pusat (+), biru (-), Mekonium baru keluar lebih
dari 24 jam setelah lahir.
III. STATUS PRESENS
Sensorium : Compos Mentis
Temperature : 36,8 oC
Nadi : 140x/i
Pernafasan : 40x/i
IV. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalisata :
Kepala
Mata : refleks cahaya (+/+), pupil isokor, konjungtiva palpebra inferior
pucat (+/+), sklera ikterus (-/-)
T/H/M : DBN
Leher : Trakea medial, pembesaran KGB (-), TVJ R+2 cmH2O
Toraks
Inspeksi : simetris fusiformis, retraksi dada (-)
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : SP: vesikuler, ST: tidak dijumpai, RR : 42 x/menit
Jantung: S1 (N), S2 (N), Murmur (-), HR: 140 x/menit
Abdomen
Inspeksi : Distensi
Palpasi : soepel
Perkusi : timpani
Auskultasi : Normoperistaltik
28
Ekstremitas
Superior : oedem (-), Tidak Ada Kelainan,
Inferior : oedem (-) , Benjolan pada paha (-)
V. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Laboratorium 14 Februari 2015 di RSU Metodist
WBC 11,2 x 103/mm3
RBC 3,55 x 106/mm3
HGB 11,2 g%
HCT 33,7 %
Trombosit 375 x 103/ mm3
MCV 94,9 fL
MCH 33,5 pg
MCHC 35,5 g %
Neutrofil 64 %
Limfosit 32%
Monosit 4 %
Eosinofil 0,00 %
Basofil 0,00 %
Faal Hati
Protein total 5,21 g/dl (6,6-8,7)
Albumin 3,56 g/dl (3,5-5,3)
Globulin 1,65 g/dl (1,3-3,0)
Faal Hemostatis
PT 17,8 (normal)
APTT 35,3 (normal)
INR 1,18
Hasil Foto Barium Enema 7 Februari di RS Santa Elisabeth
29
Foto Barium Retensi
Interpretasi Foto Barium Retensi
30
Dilakukan pemeriksaan colon dengan contrast water soluble.
Ampula-recti dan recto-sigmoid tampak normal.
Colon sigmoid, decendense, transversum dan asendens tampak
panjang dan berkelok kelok, haustrae tampak normal
Caecum dan ileo-caecal baik
Tidak tampak filling defect maupun aditional defect pada sepanjang
lumen colon.
Kesimpulan : tidak tampak tanda-tanda radiologis hirschsprung’s disease
maupun kelainan lain pada colon in loop.
Hasil Foto Baby Gram 14 Februari di RSUP HAM
Interpretasi Foto Baby gram
31
Scheedel : Ekstremitas atas dan bawah dalam batas normal
Thorax : Infiltrat minimal di perihilar dan parakardial kanan
Jantung ukuran normal
Vertebra: suspek gambaran hemivertebra thoracal 6
Pedicel intact
Diskus intervertebralis baik
Abdomen : distribusi udara usus tidak sampai ke pelvic minor, tampak
dilatasi dan penebalan dinding usus, tidak tampak udara bebas di
ekstralumen
Kesimpulan : Penebalan dinding usus dd hirscprung’s disease
VI. DIAGNOSIS
Suspek Hirschprung’s Disease
VII. RENCANA TERAPI
Rawat Inkubator, target suhu 36,5-37,5 C
Inj, Ceftazidim 140 mg/8 jam / IV
Inj. Gentamycin 14 mg/24 jam/ IV
Inj. Metronidazole LD 42 ng -> MD 21 ng/12 jam
Wash-Out Pagi dan Sore
VII. RENCANA
Barium Enama dan Barium Retensi.
Biopsi Rektal
Follow Up Pasien
15/2/2015 S : Perut membesar (+), BAB (-)
O : Compos Mentis. HR: 140 x/1’, RR: 38 x/1’, Temp: 36,9 0C
32
Abdomen :
I : distensi
P : soepel
P : timpani
A : peristaltik (+)
A : Sangkaan Hirschsprung’s disease
P : rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C
IVFD D5% NaCl 0,225% 18 cc/jam
Pasien dipuasakan sampai BAB(+)
Inj. Ceftazidime 140 mg/8 jam IV
Inj. Gentamicin 14 mg/24 jam IV
Popok basah segera ganti
Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30 cc/x
16/2/2015 S : Perut membesar (+), BAB (+)
O : Compos Mentis. HR: 140 x/1’, RR: 49 x/1’, Temp: 36,8 0C
Abdomen :
I : distensi
P : soepel
P : timpani
A : peristaltik (+)
A : Sangkaan Hirschsprung’s disease
P : rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C
IVFD D5% NaCl 0,225% 17-18 cc/jam
Enteral 50 cc/KgBB/hari 137 cc/hari diet ASI/PASI 11
cc/2 jam/OGT
Inj. Ceftazidime 140 mg/8 jam IV
Inj. Gentamicin 14 mg/24 jam IV
Popok basah segera ganti
Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30 cc/x
Menunggu hasil babygram
33
Hasil Laboratorium
Bilirubin total 0,66 mg/dl
Bilirubin direk 0,31 mg/dl
KGD ad random 59,4 mg/dl
Ureum – Kreatinin : 2,50 mg/dl ; 0,23 mg/dl
Ca : 9,8 mg/dL
Na : 130 mEq/L
K : 2,7 mEq/L
Cl : 99 mEq/L
CRP kualitatif : positif
Procalcitonin : 0,32 ng/mL
Hematologi IT ratio : 0,02 (normal < 0,2)
17/2/2015 S : Perut membesar (+), BAB (+)
O : Compos Mentis. HR: 146 x/1’, RR: 48 x/1’, Temp: 36,8 0C
Abdomen :
I : distensi
P : soepel
P : timpani
A : peristaltik (+)
A : Sangkaan Hirschsprung’s disease
P : rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C
IVFD D5% NaCl 0,225% (430 cc) + D40% (70 cc) + KCl 10
mEq + Ca glukonas 10 cc 274 cc/hari 11 cc/jam
Enteral 50 cc/KgBB/hari 137 cc/hari diet ASI/PASI 11
cc/2 jam/OGT
Inj. Ceftazidime 140 mg/8 jam IV
Inj. Gentamicin 14 mg/24 jam IV
Popok basah segera ganti
Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30 cc/x
34
18/2/2015 S : Perut membesar (+), BAB (+)
O : Compos Mentis. HR: 140 x/i, RR: 40 x/i, Temp: 37,1 0C
Abdomen :
I : distensi
P : soepel
P : timpani
A : peristaltik (+)
A : Sangkaan Hirschsprung’s disease
P : rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C
IVFD D5% NaCl 0,225% (430 cc) + D40% (70 cc) + KCl 10
mEq + Ca glukonas 10 cc 9 cc/jam
Enteral 70 cc/KgBB/hari 195 cc/hari diet ASI/PASI 16
cc/2 jam/OGT
Inj. Ceftazidime 140 mg/ 8 jam IV
Inj. Gentamicin 14 mg/ 24 jam IV
Popok basah segera ganti
Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30 cc/x
Hasil Laboratorium
Na : 135 mEq/L
K: 3,6 mEq/L
Cl : 106 mEq/L
Tiroid
T3 total : 1,34 ng/ml
T4 total : 9,96 µg/ml
TSH : 2,330 µIU/ml
19/2/2015 S : Perut membesar (+), BAB (+)
O : Compos Mentis. HR: 136 x/1’, RR: 44 x/1’, Temp: 36,9 0C
Abdomen :
I : distensi
P : soepel
35
P : timpani
A : peristaltik (+)
A : Sangkaan Hirschsprung’s disease
P : rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C
IVFD D5% NaCl 0,225% (430 cc) + D40% (70 cc) + KCl 10
mEq + Ca glukonas 10 cc 9 cc/jam
Enteral 70 cc/KgBB/hari 195 cc/hari diet ASI/PASI 16
cc/2 jam/OGT
Inj. Ceftazidime 140 mg/8 jam IV
Inj. Gentamicin 14 mg/24 jam IV
Popok basah segera ganti
Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30cc/x
36
20/2/2015 S : Perut membesar (+), BAB (+)
O: Compos Mentis. HR: 140 x/1’, RR: 42 x/1’, Temp: 37,2 0C
Abdomen :
I : distensi
P : soepel
P : timpani
A : peristaltik (+)
A: Sangkaan Hirschsprung’s disease
P: rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C
IVFD D5% NaCl 0,225% (430 cc) + D40% (70 cc) + KCl 10
mEq + Ca glukonas 10 cc 7 cc/jam
Enteral 90 cc/KgBB/hari 256 cc/hari diet ASI/PASI 22
cc/2 jam/OGT
Inj Ceftazidim 140 mg/ 8 jam /iv
Inj Gentamicin 14 mg/ 24 jam/iv
Inj Metronidazole MD 21mg/ 12 jam/iv
Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30cc/x
21/2/2015 S : Perut membesar (+), BAB (+)
O: Compos Mentis. HR: 136 x/1’, RR: 40 x/1’, Temp: 36,9 0C
Abdomen :
I : distensi
P : soepel
P : timpani
A : peristaltik (+)
A: Sangkaan Hirschsprung’s disease
P: rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C
IVFD D5% NaCl 0,225% (430 cc) + D40% (70 cc) + KCl 10
mEq + Ca glukonas 10 cc 6 cc/jam
Enteral 100 cc/KgBB/hari 285 cc/hari diet ASI/PASI 24
cc/2 jam/OGT
37
Inj Ceftazidim 140 mg/ 8 jam /iv
Inj Gentamicin 14 mg/ 24 jam/iv
Inj Metronidazole MD 21 mg/ 12 jam/iv
Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30 cc/x
R/ Rencana rektum biopsi pada tanggal 23/2/2015
Konsul anestesi untuk toleransi rektum biopsy
22/2/2015 S : Perut membesar (+), BAB (+)
O: Compos Mentis. HR: 144 x/1’, RR: 46 x/1’, Temp: 36,8 0C
Abdomen :
I : distensi
P : soepel
P : timpani
A : peristaltik (+)
A: Sangkaan Hirschsprung’s disease
P: rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C
IVFD D5% NaCl 0,225% (430 cc) + D40% (70 cc) + KCl 10
mEq + Ca glukonas 10 cc 6 cc/jam
Enteral 100 cc/KgBB/hari 285 cc/hari diet ASI/PASI 24
cc/2 jam/OGT
Inj Ceftazidim 140 mg/ 8 jam /iv
Inj Gentamicin 14 mg/ 24 jam/iv
Inj Metronidazole MD 21 mg/ 12 jam/iv
Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30 cc/x
Diet ASI/PASI 16 cc/ 2 jam /OGT
23/2/2015 S : Perut membesar (+), BAB (+)
O: Compos Mentis. HR: 128 x/1’, RR: 50 x/1’, Temp: 37,1 0C
Abdomen :
I : distensi
P : soepel
P : timpani
A : peristaltik (+)
38
A: Sangkaan Hirschsprung’s disease
P: rawat inkubator dengan target suhu 36,5-37,5 0C
IVFD D5% NaCl 0,225% (430 cc) + D40% (70 cc) + KCl 10
mEq + Ca glukonas 10 cc 6 cc/jam
Enteral 100 cc/KgBB/hari 285 cc/hari diet ASI/PASI 24
cc/2 jam/OGT
Inj Ceftazidim 140 mg/ 8 jam /iv
Inj Gentamicin 14 mg/ 24 jam/iv
Inj Metronidazole MD 21 mg/ 12 jam/iv
Wash out pagi-sore, NaCl 0,9% hangat 30 cc/x
BAB IV
KESIMPULAN
39
Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan karena tidak adanya
persarafan di daerah usus besar berupa pleksus Meissner dan Auerbach. Pada
pasien ini diduga mengalami penyakit Hirschsprung karena dari anamnesis
hingga pemeriksaan fisik dijumpai perut membesar, muntah kehijauan, dan
pengeluaran mekonium yang terlambat ( >24 jam ).
DAFTAR PUSTAKA
40
1. Azila Aidawati Bt Hazwan, Radus Pakadang, Amir, BAB 1 dalam:
Hirschsprung’s Disease. Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.
2. Samuel Nurko MD, MPH, Hirschprung Disease dalam; American Motility
Society (AMS) and the International Foundation For Functional
Gastrointestinal Disorders (IFFGD)
3. Nur Rahmat Wibowo, Hermanto, BAB 1 dalam: Hirschsprung’s Disease.
Bagian SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Tanjung Pura.
4. Sherwood., Lauralee., 2010. Fundamentals of Human Physiology 4th
edition. Brooks-Cole:USA.
5. Junquiera, Luiz Carlos., & Jose, Carneiro. Basic Histology Text and Atlas
11th Edition. Mc Graw Hill : Philadelphia.
6. Martini, Frederic H., Judi, Nath., & Edwin, Bartholomew. Martini :
Fundamentals of Anatomy & Physiology 9th Edition.
7. Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pedriatric Surgery in Towsend Sabiston
Textbook Of Surgery. 17th ed. Elveiser-Saunders. Philadelphia. Page 2113-
2114
8. University of Michigan Pedriatric Surgery. Hirschprung’s disease.
[Online].2005.[Cited: 23 February 2015]. Available from URL:
http://surgery.med.umich.edu/pedriatric/clinical/physician _content/
9. Netter F interactive atlas of clinical anatomy. Icon learning System All
Right reserved;2003.
10. Sherwood L. Usus besar. Dalam: FIsiologi Manusia daro sel ke SIstem.
Edisi 2. Jakarta: EGC; 2000. Hal. 582
11. Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprung’s Disease in:
Aschaft Pediatric Surgery 3rd ed W.B Saunders Company. Philadelphia.
page 453-468
12. Kartono D. Penyakit Hirschsprung: Perbandingan Prosedur Swenson dan
Duhamel Modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI.1993.
41
13. Pasumarthy L, Srour JW. Hisrschprung’s Disease: A Case to Remember.
Practical Gastroenterology. 2008: 42-45.
14. Nurko SMD. Hirschsprung’s Disease. Center for Motility and Functional
Gastrointestinal Disorder.2007.
15. Irawan, B., Pengamatan fungsi anorektal pada penderita penyakit
Hirschprung pasca operasi pull- through. Bagian Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2003:1-15.
16. Abbas, K., and Mitchell, F., Developmental Anomalies. In Robin
Pathologic Basis of Disease 8th Edition. 2005:601.
17. Neville, H.L., Penyakit Hirschprung. Pediatric, updated on July 13,
2010. Assess in www.emedicine.com.
18. Corman, L., Lippincott Williams and Wilkins. Ed. 5. 2005: 559-560.
19. William, E., Brant, E., Helms, C.A., Pediatric Abdomen and Pelvis
Fundamentals of Diagnostic. Pediatric Radiology. Ed.3.
20. Kessman JMD. Hirschsprung’s Disease: Diagnosis and Management.
American Family Physician. 2006;74:1319-1322.
21. Brunicardi, F. Charles et al., 2014. Schwartz’s Principles of Surgery 10th
Edition. Mc Graw Hill : Philadelphia.
22. Badash, M., Hirschsprung’s Disease. EBSCO Publishing. 2011 : 1- 4.
23. Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprung’s Disease in:
Ashcraft Pediatric Surgery 3rd edition W.B. Saunders Company.
Philadelphia. page 453-468.