28
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179 Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622 Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil Wakalah (Studi Analisis Perkara Nomor : 0001/Pdt.G.S/2020/PA.Pwt) Endang Eko Wati 1 , Fetri Fatorina 2 1,2 Prodi Ilmu Hukum Fakultas Sosial Ekonomi dan Humaniora UNU Purwokerto. Email: [email protected] Abstract The existence of regulations that are so complex in concept and easy to implement in practice related to the implementation of the murabahah contract, especially murabahah if the wakalah cannot be a guarantee that there will not be a dispute in the implementation of the contract. One by one problems arise in the implementation of the murabahah bil wakalah contract on existing financing products in Islamic banking. One example is the implementation of the murabahah bil wakalah contract in the case of sharia economic disputes case number 0001 / Pdt.G.S / 2020 / PA.Pwt. The interesting thing in this case, which is filed by the Islamic bank against the debtor is that when the murabahah bil wakalah contract occurs, it turns out that the Islamic bank binds immovable property (land owned by the debtor's parents) with a power of attorney to sell. This research is a library research with a juridical-normative approach. Based on the author's investigation, until now there has been no fatwa regulating in detail the implementation of the murabahah bil wakalah contract so that the implementation of the murabahah bil wakalah contract is still based on the DSN-MUI fatwa number DSN- MUI Number 04 / DSN-MUI / IV / 2000 regarding murabahah. Seeing the process, there is a principal agreement in the form of a murabahah contract accompanied by an access agreement in the form of a guarantee agreement where a new guarantee can be taken if the debtor is in default. So that if at the same time there is a main agreement in the form of a murabahah contract and the power to sell guarantees, there is law smuggling that is prohibited by law and. Keywords: Authorized selling guarantee; Guarantee; Murabahah bil wakalah contract makes the contract unclear. Abstrak Adanya peraturan yang begitu komplek secara konsep dan mudah dilaksanakan pada prakteknya terkait pelaksanaan akad murabahah khususnya murabahah bil wakalah belum bisa menjadi jaminan tidak akan timbul sengketa dalam pelaksanaan akad tersebut. Satu demi satu permasalahan muncul dalam pelaksanaan akad murabahah bil wakalah pada produk pembiayaan yang ada di perbankan syariah. Salah satu contohnya adalah pelaksanaan akad murabahah bil wakalah dalam perkara sengketa ekonomi syariah nomor perkara 0001/Pdt.G.S/2020/PA.Pwt. Hal yang menarik dalam perkara tersebut, yang diajukan oleh bank syariah terhadap debiturnya adalah ketika akad murabahah bil wakalah terjadi ternyata bank syariah mengikat jaminan benda tidak bergerak (tanah milik orang tua debitur) dengan surat kuasa menjual. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan pendekatan yuridis- normatif. Berdasarkan penelusuran penulis sampai saat ini belum ada fatwa yang mengatur secara rinci terkait pelaksanaan akad murabahah bil wakalah sehingga pelaksanaan dari akad murabahah bil wakalah masih menginduk pada fatwa DSN-MUI At-Turost: Journal of Islamic Studies 102

Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

  • Upload
    others

  • View
    13

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah BilWakalah (Studi Analisis Perkara Nomor : 0001/Pdt.G.S/2020/PA.Pwt)

Endang Eko Wati1, Fetri Fatorina2

1,2Prodi Ilmu Hukum Fakultas Sosial Ekonomi dan Humaniora UNU Purwokerto.Email: [email protected]

AbstractThe existence of regulations that are so complex in concept and easy to implement inpractice related to the implementation of the murabahah contract, especiallymurabahah if the wakalah cannot be a guarantee that there will not be a dispute in theimplementation of the contract. One by one problems arise in the implementation of themurabahah bil wakalah contract on existing financing products in Islamic banking. Oneexample is the implementation of the murabahah bil wakalah contract in the case ofsharia economic disputes case number 0001 / Pdt.G.S / 2020 / PA.Pwt. The interestingthing in this case, which is filed by the Islamic bank against the debtor is that when themurabahah bil wakalah contract occurs, it turns out that the Islamic bank bindsimmovable property (land owned by the debtor's parents) with a power of attorney tosell. This research is a library research with a juridical-normative approach. Based onthe author's investigation, until now there has been no fatwa regulating in detail theimplementation of the murabahah bil wakalah contract so that the implementation ofthe murabahah bil wakalah contract is still based on the DSN-MUI fatwa number DSN-MUI Number 04 / DSN-MUI / IV / 2000 regarding murabahah. Seeing the process,there is a principal agreement in the form of a murabahah contract accompanied by anaccess agreement in the form of a guarantee agreement where a new guarantee can betaken if the debtor is in default. So that if at the same time there is a main agreement inthe form of a murabahah contract and the power to sell guarantees, there is lawsmuggling that is prohibited by law and. Keywords: Authorized selling guarantee; Guarantee; Murabahah bil wakalah contractmakes the contract unclear.

AbstrakAdanya peraturan yang begitu komplek secara konsep dan mudah dilaksanakan padaprakteknya terkait pelaksanaan akad murabahah khususnya murabahah bil wakalahbelum bisa menjadi jaminan tidak akan timbul sengketa dalam pelaksanaan akadtersebut. Satu demi satu permasalahan muncul dalam pelaksanaan akad murabahah bilwakalah pada produk pembiayaan yang ada di perbankan syariah. Salah satu contohnyaadalah pelaksanaan akad murabahah bil wakalah dalam perkara sengketa ekonomisyariah nomor perkara 0001/Pdt.G.S/2020/PA.Pwt. Hal yang menarik dalam perkaratersebut, yang diajukan oleh bank syariah terhadap debiturnya adalah ketika akadmurabahah bil wakalah terjadi ternyata bank syariah mengikat jaminan benda tidakbergerak (tanah milik orang tua debitur) dengan surat kuasa menjual. Penelitian inimerupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan pendekatan yuridis-normatif. Berdasarkan penelusuran penulis sampai saat ini belum ada fatwa yangmengatur secara rinci terkait pelaksanaan akad murabahah bil wakalah sehinggapelaksanaan dari akad murabahah bil wakalah masih menginduk pada fatwa DSN-MUI

At-Turost: Journal of Islamic Studies 102

Page 2: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

nomor DSN-MUI Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah. Melihatprosesnya ada perjanjian pokok berupa akad murabahah disertai dengan perjanjianaccesoir berupa perjanjian penjaminan dimana jaminan baru bisa dilakukan tindakanpengalihan apabila debitur wanprestasi. Sehingga apabila pada waktu yang bersamaanada perjanjian pokok berupa akad murabahah dan kuasa menjual jaminan maka disiniada penyelundupan hukum yang dilarang oleh undang-undang dan menjadikan akadtersebut tidak jelas.Kata Kunci : Kuasa jual jaminan; Jaminan; Akad murabahah bil wakalah

Pendahuluan

Pembiayaan murabahah yaitu pembiayaan berupa talangan dana yang

dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu barang atau jasa dengan kewajiban

mengembalikan talangan dana tersebut seluruhnya, ditambah margin keuntungan bank

pada waktu jatuh tempo. Bank memperoleh margin keuntungan berupa selisih harga

beli dari pemasok dengan harga jual bank kepada nasabah. Widyaningsih (2005: 131)

Pembiayaan murabahah merupakan jenis pembiayaan yang sering diaplikasikan

dalam bank syariah, yang pada umumnya digunakan dalam transaksi jual beli barang

investasi dan barang-barang yang diperlukan oleh individu. Jenis penggunaan

pembiayaan murabahah lebih sesuai untuk pembiayaan investasi dan konsumsi. Dalam

pembiayaan investasi, akad murabahah sangat sesuai, karena ada barang yang

diinvestasi oleh nasabah atau akan ada barang yang menjadi objek investasi. Dalam

pembiayaan konsumsi, biasanya barang yang akan dikonsumsi oleh nasabah jelas dan

terukur. Pembiayaan murabahah kurang cocok untuk pembiayaan modal kerja yang

diberikan langsung dalam bentuk uang. Ismail (2011: 140-141)

Penjelasan Pasal 19 huruf (d) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang

Perbankan Syariah menerangkan bahwa maksud akad murabahah adalah akad

pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan

pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.

Peraturan Bank Indonesia Nomor : 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip

Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan

Jasa Bank Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor :

10/16/PBI/2008, pengertian murabahah adalah transaksi jual beli suatu barang sebesar

harga perolehan barang ditambah dengan margin yang disepakati oleh para pihak,

dimana penjual menginformasikan terlebih dahulu harga perolehan kepada pembeli.

At-Turost: Journal of Islamic Studies 103

Page 3: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

Bank syariah dalam aplikasinya dimana bank merupakan penjual atas objek

barang sedangkan nasabah adalah pembeli. Bank menyediakan barang yang dibutuhkan

oleh nasabah dengan membeli barang dari supplier, kemudian menjualnya kepada

nasabah dengan harga yang lebih tinggi dibanding harga beli yang dilakukan oleh bank

syariah. Pembayaran atas transaksi murabahah dapat dilakukan dengan cara membayar

langsung pada saat jatuh tempo atau melakukan pembayaran angsuran selama jangka

waktu yang disepakati. Ismail (2011: 138)

Ahmad Dahlan menyatakan bahwa pembiayaan dengan prinsip jual beli

diaplikasikan dalam skim murabahah (deffered payment sale), yaitu pembelian barang

oleh bank untuk nasabah dalam pemenuhan kebutuhan produksi (inventory) dengan

pembayaran ditangguhkan dalam jangka di bawah satu tahun (short run financing).

Dahlan (2012: 191)

Komoditas atau barang atau aset yang dapat digunakan sebagai objek

murabahah adalah sebagai berikut : (1). Rumah, (2). Kendaraan bermotor dan atau alat

transportasi. (3). Pembelian alat-alat industri, (4). Pembelian pabrik, gudang, dan aset

tetap lainnya, (5). Pembelian aset yang tidak bertentangan dengan syari’ah Islam. Ismail

(2011: 141)

Muhammad menyatakan bahwa akad murabahah digunakan oleh bank untuk

memfasilitasi nasabah melakukan pembelian dalam rangka memenuhi kebutuhan akan :

(1). Barang konsumsi, seperti rumah, kendaraan atau alat transportasi, alat-alat rumah

tangga dan sejenisnya (tidak termasuk renovasi atau proses membangun), (2).

Pengadaan barang dagangan, (3). Bahan baku dan atau bahan pembantu produksi (tidak

termasuk proses produksi), (4). Barang modal, seperti pabrik, mesin dan sejenisnya, (5).

Barang lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan disetujui bank. Muhammad

(2009: 68)

Pelaksanan akad murabahah pada lembaga keuangan syariah sudah diatur

sedemikian rupa baik dari segi konsep dan peraturan yang sesuai dengan peraturan yang

tertuang dalam fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah dan fatwa Nomor : 111/DSN-MUI/

IX/2017 tentang akad jual beli murabahah guna menghindari adanya pelanggaran-

pelanggaran baik dari segi akad atau pun pelanggaran-pelanggaran lainnya yang dapat

At-Turost: Journal of Islamic Studies 104

Page 4: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

merugikan pihak bank yang berperan sebagai lembaga keuangan syariah dan nasabah

sebagai konsumen dari lembaga keuangan syariah.

Peraturan yang begitu komplek secara konsep dan mudah dilaksanakan pada

prakteknya terkait pelaksanaan akad murabahah khususnya murabahah bil wakalah

belum bisa menjadi jaminan tidak akan timbul sengketa terhadap pelaksanaan akad

tersebut. Satu demi satu permasalahan muncul dalam pelaksanaan akad murabahah bil

wakalah pada produk pembiayaan yang ada di perbankan syariah. Salah satu contoh

kasus permasalahan yang muncul dari sekian banyaknya permasalahan terkait

pelaksanaan akad murabahah bil wakalah yaitu perkara sengketa ekonomi syariah

nomor perkara : 0001/Pdt.G.S/2020/PA Pwt.

Duduk perkara pada sengketa ekonomi syariah tersebut yaitu seorang nasabah

mengajukan pembiayaan menggunakan akad murabahah bil wakalah. Sampai jatuh

tempo pembayaran ternyata nasabah tidak mampu melakukan pembayaran sehingga

nasabah dianggap telah melakukan wanprestasi. Ketika nasabah tidak melakukan

angsuran pihak bank memberi peringatan dan akhirnya pembayaran berlanjut lagi.

Namun kemudian karena usaha nasabah mengalami bangkrut maka pihak nasabah tidak

mampu melaksanakan kewajiban sesuai dengan akad yang telah disepakati sampai jatuh

tempo pelaksanaan akad tersebut.

Disaat terakhir sebelum mengajukan gugatan sederhana ke pengadilan, bank

tidak melakukan peringatan atau somasi secara tertulis lagi namun langsung menempuh

jalur hukum untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Dalam perkara tersebut diketahui

bahwa sebagai penjamin adalah bapak kandung debitur karena sertifikat tanah yang

digunakan sebagai jaminan adalah atas namanya. Penjaminan diikat dengan surat kuasa

menjual jaminan. Surat kuasa menjual dibuat terpisah dengan akad murabahah bil

wakalah namun dalam tanggal yang sama. Secara konsep baik dalam fikih dan fatwa

DSN-MUI tidak dijelaskan mengenai kuasa menjual jaminan pada akad murabahah bil

wakalah.

Kajian terkait akad murabahah bil wakalah berdasarkan hasil penelusuran dan

pengamatan penulis pembahasan tentang akad murabahah bi wakalah masih sebatas

rekontruksi, penerapan akad murabahah bil wakalah pada Lembaga Keuangan Syariah.

Pembahasan terkait kuasa hak menjual jaminan pada akad murabahah bil wakalah

At-Turost: Journal of Islamic Studies 105

Page 5: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

belum tersentuh. Padahal kejadian tersebut seringkali terjadi di kehidupan masyarakat.

Untuk itulah penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut dengan judul

penelitian “Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil Wakalah

(Studi Analisis Perkara Nomor : 0001/Pdt.G.S/2020/PA.Pwt)” dengan rumusan

masalah bagaimana keabsahan akad murabahah bil wakalah dan hukum kuasa menjual

jaminan pada akad murabahah bil wakalah menurut hukum positif yang ada di

Indonesia?. Adanya penelitian ini diharapkan menjadi wacana keilmuan baru terkait

akad murabahah bil wakalah bukan hanya dari penerapannya saja melainkan dari segi

hak kuasa menjual jaminan mengingat untuk sekarang ini pembiayaan yang ada di

Lembaga Keuangan Syariah mesti diharuskan menggunakan jaminan.

PEMBAHASAN

MURABAHAH BIL WAKALAH DALAM PERSPEKTIF FIKIH

Murabahah bil wakalah merupakan salah satu bentuk turunan dari akad

murabahah. Dalam fikih Islam Murabahah sendiri secara sederhananya dipahami

sebagai bentuk turunan dari akad jual beli. Akad jual beli pada akad murabahah

merupakan penentu sah-tidaknya pelaksanaan akad murabahah pada prakteknya.

Bentuk murabahah yang diterapkan pada produk pembiayaan di perbankan syariah

dalam perspektif fikih dikenal dengan murabahah bil wakalah atau murabahah lil amir

bi asy-syira. Sa’ad bin Turki al-Khaslani menyebutkan bahwa:

,حقيقة بيع المرابحة للآمر بالشراء وتكييفها الفقهي - وتسمى المرابحة المركبة

– أو المرابحة0 للواعد بالشراء, والتسمية0 الأخيرة أدل على حقيقة هذه المعاملة

أن يأتي رجل يريد سلعة معينة وليس عنده نقد ليشتريها, فيذهب إلى مصرف

أو مؤسسة أو فرد من الناس ويطلب أن تشترى له تلك السلعة, ثم يشتريها

ممن اشتراها بالتقسيط. وهذه المعاملة ليست مستحدثة وإنما المستحدث

.هو التسمية فقط. أما حقيقة المعاملة فهي معروفة في الفقة الإسلامي

“Murabahah bil wakalah atau murabahah lil amir bi asy-syira sesuai dengan aturan

fikih. Nama lain dari akad ini adalah akad murabahah al-murakkabah atau murabahah

lil wa’ad bi asy-syira. Penamaan ini, dibuktikan dengan banyaknya transaksi yang

menggunakan akad ini baru-baru ini. Akad ini mulai dipraktekkan di bank syariah

At-Turost: Journal of Islamic Studies 106

Page 6: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

ketika seseorang datang dan mengatakan ingin membeli barang tertentu, tetapi ia tidak

memiliki uang untuk membelinya. Kemudian dia pergi ke bank atau lembaga atau orang

perorangan meminta bank atau lembaga atau orang perorangan untuk membelikan

barang tersebut, kemudian barang tersebut akan dibeli orang itu dengan cara mencicil.

Pada dasarnya transaksi ini sudah ada dalam fikih Islam, hanya diperbaharui dari segi

namanya saja.” Sa’ad (2012: 108) Rafiq Yunus al-Misri menyatakan hal serupa. Dia

menyebutkan bahwa:

بيع المرابحة0 المصرفية: المشتري محتاج إلى المال, والبائع لا يؤجله أو ال0مصرف

.لايقرضه إلا بمنفعة, فيشتري له بنقد, ويبيعه لأجل بزيادة

“Akad murabahah di perbankan syariah bermula dari nasabah atau pembeli

membutuhkan barang yang diinginkan, tetapi dia tidak memiliki uang. Penjual tidak

menyediakan barang yang diinginkan tersebut, dan bank tidak mau memberikan

pinjaman uang untuk membeli barang tersebut. Bank hanya berjanji akan membelikan

barang tersebut secara tunai, dan nasabah membelinya dengan cicilan dan adanya

tambahan pada harga.” Yunus (2009: 112). Nazih Hammad menyebutkan bahwa:

ال0مرابحة0 للآمر بالشراء:0 تجري هذه العملية في الم0صارف الإسلامية عادة على

:أساس

طلب العميل من ال0مصرف أن يقوم بشراء0 سلعة معينة, ثم بيعها له بالنسيئة

إلى أجل محدد بعد تملكها على أساس ال0مرابحة0 التى تشمل التكلفة الكلية

للسلعة. مضافاف إليها الربح ال0متفق عليه مسبقا. ثم تعهد الم0صرف بشراء

السلعة ثم بيعها للعميل بعد تملكها بالثمن ال0معلوم. ثم تعهد العميل بشراء

.السلعة من ال0مصرف بعد تملكها مرابحة إلى الأجل ال0محدد بالثمن ال0متفق عليه

قيام ال0مصرف عقب ذلك بشراء0 تلك السلعة ال0مطلوبة, ثم بيعها بعد تملكها

.من العميل مرابحة0 وفق ما سبق الإتفاق عليه

"Murabahah bil wakalah atau murabahah lil amir bi syira merupakan penjualan harta

yang biasa terjadi di bank-bank Islam atas dasar:

At-Turost: Journal of Islamic Studies 107

Page 7: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

1. Nasabah bank meminta bank untuk membeli sejumlah barang tertentu. Kemudian

barang tersebut dijual dengan harga total biaya atas barang atau harga pokok barang

ditambah keuntungan yang disepakati bersama sebelumnya. Bank menjanjikan untuk

membelikan barang yang diinginkan oleh nasabah. Selanjutnya bank akan menjual

barang tersebut kepada nasabah setelah barang itu dimiliki oleh bank. Nasabah yang

telah berjanji, membeli barang dari bank setelah akad murabahah disepakati.

2. Bank membeli barang yang dibutuhkan, kemudian menjual barang setelah dimiliki

bank kepada nasabah sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Hammad (2007: 81)

Sa’ad bin Turki al-Khaslani juga mengatakan bahwa akad ini terjadi melalui dua

cara: (1). Orang atau nasabah berakad dengan bank atau lembaga atau perorangan

langsung berakad untuk membeli barang, (2). Akad ini didahului oleh akad murabahah

antara orang atau nasabah dengan bank atau lembaga atau perorangan, tetapi orang atau

nasabah tersebut hanya dijanjikan oleh lembaga atau bank atau perorangan akan

dibelikan barang yang diinginkan nasabah. Kemudian orang atau nasabah itu juga

berjanji akan membeli barang yang dijanjikan oleh bank atau lembaga atau perorangan.

Janji (wa’ad) di sini tidak mengikat, karena tidak akan ada janji (wa’ad) bila tidak ada

akad. Janji (wa’ad) ini akan mengikat orang atau nasabah berkata: jika kamu membeli

barang dengan spesifikasi ini, maka saya berjanji akan membelinya darimu. Saad (2012:

108)

Hukum murabahah bil wakalah atau murabahah lil amir bi asy-syira kasus

pertama menurut mayoritas ulama adalah haram. Alasannya, bank atau lembaga atau

perorangan tidak menjual obyek akad. Diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam, Rasulullah

saw berkata: seorang laki-laki datang kepadaku dan menginginkan saya menjual apa

yang tidak saya miliki. Laki-laki tersebutkan kemudian bertanya kepada Rasulullah

saw: Apa dapat dibenarkan praktik seperti itu di pasar? Rasulullah berkata: janganlah

kamu menjual yang tidak kamu miliki karena hal tersebut merupakan hilah riba. Artinya

laki-laki tersebut, melakukan hilah riba atas bunga pinjaman. Dikatakan oleh laki-laki

itu bahwa meminjamkan suatu barang untuk kepentingan tertentu dengan akad jual beli

sebagai gantinya berarti telah melakukan hilah riba. Bentuk pinjaman yang seperti itu

adalah haram. Sa’ad (2012: 109-113)

At-Turost: Journal of Islamic Studies 108

Page 8: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

Hukum murabahah bil wakalah atau murabahah lil amir bi asy- syira pada

kasus kedua terbagi menjadi dua kelompok yaitu: (1). Kelompok yang mengharamkan,

ulama yang mengharamkan murabahah bil wakalah atau murabahah lil amir bi asy-

syira adalah Syaikh Mohammed Ibn Usaimin dan Syaikh Nasiruddin al-Bani dari

mazhab Malikiyah. Mereka beranggapan bahwa murabahah bil wakalah atau

murabahah lil amir bi syira adalah haram, karena hal tersebut temasuk hilah riba. (2),

Kelompok yang membolehkan, ulama yang membolehkan murabahah bil wakalah atau

murabahah lil amir bi asy-syira adalah mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah, Hanabilah.

Mereka beranggapan bahwa hukum murabahah bil wakalah atau murabahah lil amir bi

asy-syira adalah boleh. Hukum kebolehan murabahah bil wakalah atau murabahah lil

amir bi asy- syira disahkan oleh para ulama dan ilmuwan International Fiqh Islamy

Academy, dengan dua syarat : (a) Adanya kesepakatan akan janji (wa’ad) diantara

mereka yang bersepakat, baik janji untuk menjual maupun untuk membeli. Janji

(wa’ad) dalam akad ini tidak mengikat masing-masing pihak. Masing-masing pihak

mempunyai satu atau dua pilihan yaitu untuk meneruskan atau tidak meneruskan akad

tersebut. Dalam pelaksanaannya, jika pembeli tertarik dengan barang yang dijadikan

objek akad, pembeli berjanji untuk membeli barang tersebut. Janji (wa’ad) tersebut

dilakukan sebelum penandatangan akad. Tujuannya, untuk memastikan bahwa lembaga

atau bank atau perorangan berjanji membelikan barang yang diinginkan nasabah sebagai

pembeli. Hal ini, karena lembaga atau bank atau perorangan tidak memiliki barang yang

diinginkan nasabah atau pembeli untuk waktu sekarang ini. Bank atau lembaga hanya

bisa berjanji untuk membelikan barang yang diinginkan oleh nasabah atau pembeli. Dari

situlah, dapat diketahui perbedaan antara janji (wa’ad) dan akad, (b). Akad yang

disepakati bersama antara mereka tidak rusak, setelah adanya janji untuk membeli

barang dari lembaga atau bank atau perorangan. Adanya janji tersebut nasabah atau

pembeli dapat mengambil alih kepemilikan barang tersebut sepenuhnya.

Pelanggaran terhadap dua syarat tersebut atau salah satu dari dua syarat tersebut,

menjadikan haram hukumnya akad murabahah bil wakalah atau murabahah lil amir bi

asy-syira. Bentuk pelanggaran dua syarat tersebut adalah sebagai berikut: (1). Penjual

atau lembaga atau bank atau perorangan membeli barang sebelum akad murabahah

terjadi. Hal tersebut sama saja dengan menjual barang yang belum dimiliki. Karena

At-Turost: Journal of Islamic Studies 109

Page 9: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

barang yang sudah dibeli belum tentu sesuai dengan yang diinginkan oleh nasabah atau

pembeli, (2). Tidak adanya janji (wa’ad) dalam akad murabahah bil wakalah atau

murabahah lil amir bi asy-syira, tetapi bank atau lembaga atau perorangan berjanji

untuk membelikan barang. Padahal bank atau lembaga atau perorangan tidak memiliki

barang yang dijadikan objek akad sesuai dengan yang diinginkan nasabah atau pembeli.

Caranya, adalah menunjukkan bukti penjualan barang yang diinginkan oleh nasabah.

Tujuannya, adalah bank atau lembaga atau perorangan tidak mau mengecewakan dan

kehilangan nasabah atau pembeli. Meskipun cara ini tidaklah cukup menarik nasabah

atau pembeli akan barang yang ditawarkan. Sa’ad (2012: 109-113)

MURABAHAH BIL WAKALAH DALAM PERSPEKTIF FATWA DSN MUI

Fatwa DSN-MUI yang mengatur terkait pembiayaan Murabahah yaitu fatwa

DSN-MUI Nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah. Kemudian didukung

dengan fatwa DSN-MUI Nomor : 111 DSN-MUI/IX/2017 tentang akad jual beli

murabahah.

Fatwa DSN-MUI Nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah memuat

aturan-aturan terkait pelaksanaan pembiayaan menggunakan akad murabahah mulai

dari pengertian akad murabahah, ketentuan umum pelaksanaan murabahah pada bank

Syariah, ketentuan murabahah kepada nasabah, ketentuan jaminan dalam murabahah,

ketentuan utang dalam murabahah, ketentuan penundaan pembayaran dalam

murabahah, ketentuan jika nasabah bangrut dalam murabahah.

Dari seluruh ketentuan dalam fatwa DSN-MUI Nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000

tentang murabahah dapat diketahui bahwa konsep murabahah yang diterapkan pada

perbankan syariah menurut fatwa DSN-MUI yaitu murabahah menggunakan jaminan

dan ada penangguhan pembayaran dalam pembayarannya. Selain itu, dalam

pembiayaan murabahah diperbolehkan mewakilkan pembelian objek akad

murabahah. Adapun syarat yang berlaku pada pembiayaan murabahah adalah sebagai

berikut: (a). Akad murabahah bebas dari riba, (b). Objek murabahah tidak dilarang

syar’i, (c). Pembelian objek murabahah harus sah dan bebas dari riba, (d). Adanya

penyampaian dari pihak bank terkait segala sesuatu dalam pembelian objek

murabahah. (e). Bank harus memiliki objek murabahah, apabila ingin mewakilkan

At-Turost: Journal of Islamic Studies 110

Page 10: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

pembelian objek akad, maka bank harus mewakilkan pada pihak ketiga, (f). Nasabah

diharuskan membeli objek murabahah yang dipesannya, (g). Harga jual murabahah

ditentukan berdasarkan pada harga beli ditambah keuntungan, (h). Nasabah harus

membayar uang muka atas pemesanan objek murabahah sesuai dengan kesepakatan,

jika pihak bank menghendakinya, (i). Nasabah harus membayar ganti kerugian yang

ditanggung pihak bank atas pembatalan pembelian objek murabahah, (j). Nasabah

harus menyiapkan jaminan yang bisa dipegang oleh pihak bank, (k). Nasabah

diharuskan membayar keseluruhan angsuran dalam keadaan apapun atas pemesanan

objek murabahah. (l). Sah tidaknya akad murabahah pada pembiayaan murabahah

tergantung pada sahnya akad pertama.

Konsep murabahah dalam fatwa DSN-MUI apabila dilihat dari konsep multi

akad dapat diketahui bahwa bentuk multi akad pada akad murabahah dianggap sah

apabila memenuhi segala ketentuan yang berlaku pada akad pertama. Apabila

ketentuan akad pertama tidak terpenuhi, maka multi akad tersebut dianggap tidak sah.

Alasannya, akad pertama dianggap tidak sah dan dapat dibatalkan. Sehingga tidak

berlaku akibat hukum yang ditimbulkan pada akad pertama dan tidak berlaku pula

akibat hukum pada akad-akad yang terhimpun didalamnya.

Murabahah dianggap sah apabila terpenuhi segala ketentuan hukum yang

berlaku pada akad wakalah sebagai akad pertama dalam multi akad tersebut. Hal

tersebut, seperti tertuang pada ketentuan umum point kesembilan fatwa DSN-MUI

Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 yang menyatakan bahwa “Jika bank hendak

mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli

murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank.”

Adanya akad wakalah pada bentuk multi akad murabahah menjadikan pihak bank

memiliki barang yang diinginkan oleh nasabah. Selain itu, adanya akad wakalah

menjadikan pihak bank tidak melanggar larangan hadis yang menyatakan dilarang

menjual barang yang tidak ada dalam genggamannya (penjual atau bank).

Landasan hukum yang dijadikan landasan kebolehan multi akad dalam fatwa

DSN-MUI tidak terlepas dari landasan hukum tentang akad, dan landasan hukum akad

pertama pada akad-akad dalam fatwa DSN-MUI yang mengandung multi akad.

Namun hal ini berbeda pada akad murabahah. Pada akad murabahah yang dijadikan

At-Turost: Journal of Islamic Studies 111

Page 11: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

landasan hukum adalah landasan hukum kedua yaitu akad murabahah, bukan akad

wakalah sebagai akad pertama. Hal ini dikarenakan praktek pada umumnya, akad

yang pertama pada multi akad murabahah adalah akad murabahah, bukan akad

wakalah. Adapun landasan hukum murabahah antara lain sebagai berikut:

1) al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 275

....وأحل الله البيع وحرم الربا...

“…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….” (Q.S. al-

Baqarah:275).

2) Hadis

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه واله وسلم

قال: إنما البيع عن تراض ,رواه ابن ماجه

“Dari Abu Sa’id al-Khudry bahwa Rasulullah saw bersabda “sesungguhnya jual beli

itu harus dilakukan suka sama suka.” (HR. Ibnu Majjah).

3) Ijma

Mayoritas ulama membolehkan jual beli dengan cara murabahah.

Landasan hukum tersebut di atas, memang tidak menyebutkan secara langsung

adanya akad wakalah pada bentuk multi akad murabahah, sehingga apabila dilihat

dari segi akadnya, fatwa DSN-MUI Nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang

murabahah tidak terlihat adanya multi akad atau akad ganda, yang terlihat hanyalah

murni akad murabahah. Landasan hukum tersebut hanya menjelaskan tentang

murabahah, sama sekali tidak menyinggung landasan hukum wakalah yang berlaku

pada akad murabahah. Akibatnya, keberadaan akad wakalah pada fatwa DSN-MUI

Nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah adalah lemah, bahkan dapat

dikatakan tidak terlihat. Meskipun dalam ketentuan umum fatwa DSN-MUI

tersebut, mencantumkan kebolehan adanya akad wakalah pada akad murabahah.

Menurut penulis, landasan hukum kebolehan adanya akad wakalah pada

akad murabahah terletak pada hadis nabi saw yang menyatakan bahwa:

At-Turost: Journal of Islamic Studies 112

Page 12: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه واله وسلم

قال: إنما البيع عن تراض )رواه ابن ماجه(

“Dari Abu Sa’id al-Khudry bahwa Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya jual beli

dilakukan atas dasar suka sama suka.” (HR. Ibnu Majjah).

Adanya hadis tersebut, dapat memperkuat kedudukan akad wakalah pada

akad murabahah. Alasannya, akad wakalah yang berlaku pada akad murabahah

terjadi atas dasar suka sama suka dan atas persetujuan dari kedua belah pihak yaitu

pihak bank sebagai penjual, dan pihak nasabah sebagai pembeli sekaligus wakil

bank.

Landasan hukum kebolehan akad wakalah pada akad murabahah, juga dapat

dilihat dari kaidah yang menyatakan bahwa:

أن يدل دليل على تحريمها الأصل في المعاملات الإ باحة إلا

“Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang

mengharamkan.” A. Djazuli (2007: 130)

Artinya, adanya akad wakalah pada akad murabahah hukumnya adalah

boleh, selama belum ada dalil yang melarang atau mengharamkannya. Selain itu,

menurut penulis, landasan hukum kebolehan multi akad murabahah masih terlalu

umum, dan hanya terfokus pada akad murabahah. Padahal di dalam akad

murabahah terdapat akad wakalah, sehingga perlu adanya landasan hukum akad

wakalah untuk memperkuat akad wakalah pada akad murabahah.

Selain itu, kebolehan multi akad pada akad murabahah dalam fatwa DSN-

MUI ditentukan oleh adanya janji (wa’ad) yang disepakati oleh kedua belah pihak

yang berakad. Janji (wa’ad) tersebut dilaksanakan setelah berakhirnya akad

pertama atau setelah terpenuhinya semua kewajiban yang timbul dari akad pertama.

Hal tersebut seperti tertuang dalam ketentuan yang menyatakan bahwa “Untuk

mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank

dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.

At-Turost: Journal of Islamic Studies 113

Page 13: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

Sedangkan fatwa DSN-MUI Nomor : 111 DSN-MUI/IX/2017 tentang akad

jual beli murabahah merupakan fatwa DSN-MUI yang menjelaskan aturan

tambahan terkait pelaksanaan akad murabahah yang belum tertuang pada fatwa

DSN-MUI Nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah. Aturan tambahan

yang tertuang pada fatwa DSN-MUI Nomor: 111 DSN-MUI/IX/2017 tentang akad

jual beli murabahah diantaranya: (a). ketentuan umum istilah-istilah baru dalam

akad murabahah seperti bai' al-murabahah, al-Ba'i, al-Musytari, Wilayah

ashliyyah, Wilayah niyabiyyah, Mutsman/mabi, Ra's mal al-murabahah, Tsaman

al-murabahah, Bai' al-murabahah al-'adiyyah, Bai' al-murabahah li al-amir bi al-

syira, At-Tamwil bi al-murabahah, Bai' al-muzayadah, Bai' al-munaqashah, Al-Bai'

al-hal, Al-Bai' bi al-taqsith, Bai' al-muqashshah, Khiyanah/Tadlis, (b). Ketentuan

terkait Hukum dan Bentuk Murabahah Akad jual beli murabahah, (c). Ketentuan

terkait Shigat al-'Aqd, (d).Ketentuan terkait para pihak yang terlibat dalam akad

murabahah, (e). Ketentuan terkait Mutsman/Mabi', (f). Ketentuan terkait Ra's Mal

al-Murabahah, (g). Ketentuan terkait Tsaman, (h). Ketentuan terkait produk dan

kegiatan murabahah, (i). Ketentuan terkait penyelesaian sengketa pada akad

murabahah.

Secara sederhana dapat dipahami bahwa dua fatwa tersebut sama-sama

mengatur terkait praktek pembiayaan murabahah pada lembaga keuangan syariah

terutama perbankan syariah. Perbedaan keduanya yaitu fatwa DSN-MUI Nomor :

04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah menjelaskan tentang konsep

pelaksanaan murabahah secara umum saja sehingga fokusnya masih sah dan

tidaknya akad, belum diatur secara rinci terkait harga, cara pembayaran, untung dan

ruginya. Sedangkan fatwa DSN-MUI Nomor : 111 DSN-MUI/IX/2017 tentang

akad jual murabahah menjelaskan secara rinci terkait harga, cara pembayaran,

untung dan rugi, bentuk murabahah yang dapat dilaksanakan pada lembaga

keuangan syariah khususnya perbankan syariah. Namun dari dua fatwa yang

menjelaskan tentang murabahah belum terlihat penjelasan terkait teknik

pelaksanaan murabahah bil wakalah ataupun teknik pelaksanaan wakalah secara

rinci.

At-Turost: Journal of Islamic Studies 114

Page 14: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

Berdasarkan penelusuran penulis sampai sekarang ini belum ditemukan

secara khusus terkait fatwa murabahah bil wakalah yang diterapkan pada lembaga

keuangan syariah khususnya perbankan syariah. Pelaksanaan murabahah bi

wakalah yang diterapkan lembaga keuangan syariah masih mengacu pada fatwa

DSN-MUI Nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah. Hal tersebut

dipertegas dalam fatwa DSN-MUI Nomor : 111/DSN-MUI/IX/2017 tentang akad

jual murabahah pada poin “Ketentuan terkait produk dan kegiatan murabahah

dalam fatwa DSN-MUI Nomor : 111/DSN-MUI/IX/2017 tentang akad jual

murabahah menyatakan bahwa murabahah yang direalisasikan dalam bentuk

pembiayaan (al-tamwil bi al-murabahah), baik al-murabahah li al-amir bi al-syira'

maupun al-murabahah al-'adiyah, berlaku ketentuan (dhawabith) dan batasan

(hudud) murabahah sebagaimana terdapat dalam fatwa DSN-MUI Nomor :

04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah.”

APLIKASI AKAD MURABAHAH BIL WAKALAH PADA PERBANKAN

SYARIAH

Bentuk pembiayaan murabahah memiliki beberapa ciri atau elemen dasar, dan

yang paling utama adalah bahwa barang dagangan harus tetap dalam tanggungan bank

selama transaksi antara bank dan nasabah belum diselesaikan. Ciri atau elemen pokok

pembiayaan murabahah adalah sebagai berikut: (1). Pembiayaan murabahah bukan

pinjaman yang diberikan dengan bunga. Pembiayaan murabahah adalah jual beli

komoditas dengan harga tangguh yang termasuk margin keuntungan di atas biaya

perolehan yang disetujui bersama, (2). Sebagai bentuk jual beli, dan bukan bentuk

pinjaman, pembiayaan murabahah harus memenuhi semua syarat-syarat yang

diperlukan untuk jual beli yang sah, (3). Murabahah tidak dapat digunakan sebagai

bentuk pembiayaan, kecuali ketika nasabah memerlukan dana untuk membeli suatu

komoditas atau barang, (4). Pemberi pembiayaan harus telah memiliki komoditas atau

barang sebelum dijual kepada nasabahnya, (5). Komoditas atau barang harus sudah

dalam penguasaan pemberi pembiayaan secara fisik atau konstruktif, dalam arti bahwa

risiko yang mungkin terjadi pada komoditas tersebut berada di tangan pemberi

pembiayaan meskipun untuk jangka waktu pendek, (6). Cara terbaik untuk

At-Turost: Journal of Islamic Studies 115

Page 15: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

bermurabahah, yang sesuai syariah, adalah bahwa pemberi pembiayaan membeli

komoditas dan menyimpan dalam kekuasaannya atau membeli komoditas melalui orang

ketiga sebagai agennya sebelum menjualnya kepada nasabah, (7). Jual beli tidak dapat

berlangsung kecuali komoditas atau barang telah dikuasai oleh penjual, tetapi penjual

dapat berjanji untuk menjual meskipun barang belum berada dalam kekuasaan ini.

Ketentuan ini berlaku juga untuk murabahah, (8). Sejalan dengan prinsip-prinsip yang

telah dikemukakan di atas, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dapat menggunakan

murabahah sebagai bentuk pembiayaan dengan mengadopsi prosedur pembiayaan

murabahah yang berlaku pada lembaga keuangan syariah pada umumnya, (9). Syarat

sah yang harus dipenuhi dalam murabahah adalah komoditas atau barang dibeli dari

pihak ketiga, (10). Prosedur pembiayaan murabahah yang dijelaskan di atas merupakan

transaksi yang rumit ketika pihak-pihak terkait memiliki kapasitas berbeda pada tahap

yang berbeda, (11). LKS dapat meminta nasabah untuk menyediakan keamanan sesuai

permintaan untuk pembayaran yang tepat waktu dari harga tangguh. LKS juga dapat

meminta nasabah untuk menandatangani promissory nota (nota kesanggupan) atau bill

of exchange sesudah jual beli dilaksanakan, (12). Jika terjadi wanprestasi oleh pembeli

(nasabah) dalam pembayaran yang jatuh waktu, harga tidak boleh dinaikkan. Namun

demikian, jika dalam perjanjian awal disepakati bahwa nasabah harus memberikan

donasi atau infak kepada lembaga sosial, maka nasabah harus memenuhi janji tersebut.

Uang ini tidak boleh diambil sebagai penghasilan LKS, tetapi harus disalurkan ke

kegiatan sosial atas nama nasabah. Ascarya (2011: 85-88)

Aplikasi akad murabahah pada pembiayaan murabahah di bank syariah tidak

akan dapat berjalan tanpa harus memenuhi ketentuan yang berlaku. Adapun ketentuan-

ketentuan yang berlaku pada pembiayaan murabahah di bank syariah adalah sebagai

berikut:

1. Ketentuan yang berlaku bagi pihak bank, di antaranya adalah sebagai berikut: (a).

Bank berhak menentukan dan memilih supplier dalam pembelian barang. Bila

nasabah menunjuk supplier lain, maka bank syariah berhak melakukan penilaian ter-

hadap supplier untuk menentukan kelayakannya sesuai dengan kriteria yang ditetap-

kan oleh bank syariah, (b). Bank menerbitkan purchase order (PO) sesuai dengan ke-

sepakatan antara bank syariah dan nasabah agar barang dikirimkan ke nasabah, (c).

At-Turost: Journal of Islamic Studies 116

Page 16: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

Cara pembayaran yang dilakukan oleh bank syariah yaitu dengan mentransfer lang-

sung pada rekening supplier atau penjual, bukan kepada rekening nasabah.

2. Ketentuan yang berlaku bagi nasabah, di antaranya sebagai berikut: (a). Nasabah

harus sudah cakap hukum menurut hukum, sehingga dapat melakukan transaksi, (b).

Nasabah memiliki kemauan dan kemampuan dalam melakukan pembayaran.

3. Ketentuan yang berlaku bagi supplier, adalah sebagai berikut: (a). Supplier adalah

orang atau badan hukum yang menyediakan barang sesuai permintaan nasabah, (b).

Supplier menjual barangnya kepada bank syariah, kemudian bank syariah akan

menjual barang tersebut kepada nasabah, (c). Dalam kondisi tertentu, bank syariah

memberikan kuasa kepada nasabah untuk membeli barang sesuai dengan spesifikasi

yang ditetapkan dalam akad. Purchase Order (PO) atas pembelian barang tetap yang

diterbitkan oleh bank syariah, dan pembayarannya tetap dilakukan oleh bank kepada

supplier. Namun penyerahan barang dapat dilakukan langsung oleh supplier kepada

nasabah atas kuasa dari bank syariah.

4. Ketentuan yang berlaku pada harga, adalah sebagai berikut: (a). Harga jual barang

telah ditetapkan sesuai dengan akad jual beli antara bank syariah dan nasabah dan

tidak dapat berubah selama masa perjanjian. (b). Harga jual bank syariah merupakan

harga jual yang disepakati antara bank syariah dan nasabah. (c). Uang muka (urbun)

atas pembelian barang yang dilakukan oleh nasabah (bila ada), akan mengurangi

jumlah piutang murabahah yang akan diangsur oleh nasabah. Jika transaksi muraba-

hah dilaksanakan, maka urbun diakui sebagai bagian dari pelunasan piutang muraba-

hah, sehingga akan mengurangi jumlah piutang murabahah. Jika transaksi muraba-

hah tidak jadi dilaksanakan (batal), maka urbun (uang muka) harus dikembalikan

kepada nasabah setelah dikurangi dengan biaya yang telah dikeluarkan oleh bank

syariah.

5. Ketentuan yang berlaku pada jangka waktu, adalah sebagai berikut: (a). Jangka

waktu pembiayaan murabahah, dapat diberikan dalam jangka pendek, menengah,

panjang, sesuai dengan kemampuan pembayaran oleh nasabah dan jumlah

pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah, (b). Jangka waktu pembiayaan tidak

dapat diubah oleh salah satu pihak. Bila terdapat perubahan jangka waktu, maka pe-

rubahan ini harus disetujui oleh bank syariah maupun nasabah.

At-Turost: Journal of Islamic Studies 117

Page 17: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

6. Ketentuan-ketentuan lain yang berlaku pada pembiayaan murabahah yang meliputi:

(a). Denda atas tunggakan nasabah (bila ada), diperkenankan dalam aturan perbankan

syariah dengan tujuan untuk mendidik nasabah agar disiplin dalam melakukan

angsuran atas piutang murabahah. Namun pendapatan yang diperoleh bank syariah

karena denda keterlambatan pembayaran angsuran piutang murabahah, tidak boleh

diakui sebagai pendapatan operasional, akan tetapi dikelompokkan dalam pendapatan

non halal, yang dikumpulkan dalam suatu rekening tertentu atau dimasukkan dalam

titipan (kewajiban lain-lain). Titipan ini akan disalurkan untuk membantu masyarakat

ekonomi lemah, misalnya bantuan untuk bencana alam, beasiswa untuk murid yang

kurang mampu, dan pinjaman tanpa imbalan untuk pedagang kecil, (b). Bila nasabah

menunggak terus, dan tidak mampu lagi membayar angsuran, maka penyelesaian

sengketa ini dapat dilakukan melalui musyawarah. Bila musyawarah tidak tercapai,

maka penyelesaiannya akan diserahkan kepada pengadilan agama. Ismail (2011:

141-144)

Aplikasi akad murabahah pada perbankan syariah dapat dibedakan menjadi dua

macam, yang meliputi:

1. Murabahah tanpa pesanan

Murabahah tanpa pesanan, maksudnya ada yang memesan atau tidak, ada

yang membeli atau tidak, bank syariah menyediakan barang dagangannya.

Penyediaan barang dilakukan sendiri oleh bank syariah dan dilakukan tidak terkait

dengan jual beli murabahah sendiri.

2. Murabahah berdasarkan pesanan

Murabahah berdasarkan pesanan, maksudnya bank syariah baru akan

melakukan transaksi murabahah atau jual beli apabila ada nasabah yang memesan

barang sehingga penyediaan barang baru dilakukan jika ada pesanan. Pada

murabahah ini, pengadaan barang sangat tergantung atau terkait langsung dengan

pesanan atau pembelian barang tersebut.

Murabahah berdasarkan pesanan dapat dibedakan menjadi dua yang meliputi:

(a). Murabahah berdasarkan pesanan dan bersifat mengikat, maksudnya apabila telah

pesan harus dibeli, (b). Murabahah berdasarkan pesanan bersifat tidak mengikat,

At-Turost: Journal of Islamic Studies 118

Page 18: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

maksudnya walaupun nasabah telah memesan barang, tetapi nasabah tidak terikat,

nasabah dapat menerima atau membatalkan barang tersebut.

Sedangkan jika dilihat dari cara pembayarannya, maka murabahah dapat

dilakukan dengan cara tunai atau dengan pembayaran tangguh. Yang banyak dijalankan

oleh bank syariah saat ini adalah murabahah berdasarkan pesanan dengan sifatnya

mengikat dan cara pembayarannya tangguh. Ismail (2011: 37)

Pada prinsipnya, dalam transaksi murabahah pengadaan barang menjadi

tanggung jawab bank syariah sebagai penjual. Dalam murabahah tanpa pesanan, bank

syariah menyediakan barang atau persediaan barang yang akan diperjualbelikan

dilakukan tanpa memperhatikan ada nasabah yang membeli atau tidak. Sehingga proses

pengadaan barang dilakukan sebelum transaksi jual beli murabahah dilakukan.

Pengadaan barang yang dilakukan oleh bank syariah ini dapat dilakukan dengan

beberapa cara antara lain: (1). Membeli barang jadi kepada produsen (prinsip

murabahah), (2). Memesan kepada pembuat barang dengan pembayaran dilakukan

secara keseluruhan setelah akad (prinsip salam), (3). Memesan kepada pembuat

(produsen) dengan pembayaran yang bisa dilakukan didepan, selama dalam proses

pembuatan, atau setelah penyerahan barang (prinsip istisna), (4). Merupakan barang-

barang dari persediaan mudarabah atau musyarakah. Ismail (2011: 38)

Sedangkan proses transaksi jual beli murabahah, dilakukan oleh bank syariah

dengan nasabah dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: (1). Nasabah melakukan

proses negosiasi atau tawar menawar keuntungan dan menentukan syarat pembayaran

dan barang sudah berada ditangan bank syariah. Dalam negosiasi ini, bank syariah

sebagai penjual harus memberitahukan dengan jujur perolehan barang yang

diperjualbelikan beserta keadaan barang, (2). Apabila kedua belah pihak sepakat, tahap

selanjutnya dilakukan akad untuk transaksi jual beli murabahah tersebut, (3). Tahap

berikutnya, bank syariah menyerahkan barang yang diperjualbelikan (yang diserahkan

dari penjual ke pembeli adalah barang). Dalam penyerahan barang ini, hendaklah

diperhatikan syarat penyerahan barang, misalnya sampai tempat pembeli atau sampai

tempat penjual saja. Hal ini akan mempengaruhi biaya yang dikeluarkan dan akhirnya

akan mempengaruhi harga perolehan barang, (4). Setelah penyerahan barang, pembeli

atau nasabah melakukan pembayaran harga jual barang dan dapat dilakukan secara tunai

At-Turost: Journal of Islamic Studies 119

Page 19: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

atau dengan tangguh. Kewajiban nasabah adalah sebesar harga jual, yang meliputi harga

pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati dan dikurangi dengan uang muka

jika ada. Ismail (2011: 39)

Fathurrahman Djamil menyatakan bahwa mekanisme penerapan murabahah di

LKS, didasarkan pada asumsi bahwa nasabah membutuhkan barang atau objek tertentu,

tetapi kemampuan finansial tidak cukup untuk melakukan pembayaran secara tunai.

Untuk itulah maka nasabah berhubungan dengan LKS. Namun karena LKS pada

umumnya tidak memiliki inventory terhadap barang atau objek yang dibutuhkan oleh

nasabah, maka LKS melakukan pembelian atas barang yang yang diinginkan nasabah

kepada pihak lainnya, seperti kepada supplier atau pemasok, dealer, developer, atau

penyedia barang lainnya. Dengan demikian, LKS bertindak selaku penjual disatu sisi,

dan disisi lain bertindak selaku pembeli, yang kemudian akan menjualnya kembali

kepada nasabah pemesan dengan harga jual yang disepakati. Fathurrahman (2012: 120)

Ismail menyebutkan bahwa prosedur yang berlaku pada pembiayaan murabahah

adalah sebagai berikut: (1). Bank syariah dan nasabah melakukan negosiasi tentang

rencana transaksi jual beli yang akan dilaksanakan. Poin negosiasi meliputi jenis barang

yang akan dibeli, kualitas barang, dan harga jual, (2). Bank syariah melakukan akad jual

beli dengan nasabah, dimana bank syariah sebagai penjual dan nasabah sebagai

pembeli. Dalam akad jual beli ini, ditetapkan barang yang menjadi objek jual beli yang

telah dipilih oleh nasabah, dan harga jual barang, (3). Atas dasar akad yang

dilaksanakan antara bank syariah dan nasabah, maka bank syariah membeli barang dari

supplier atau penjual. Pembelian yang dilakukan oleh bank syariah ini sesuai dengan

keinginan nasabah yang telah tertuang dalam akad, (4). Supplier mengirimkan barang

kepada nasabah atas perintah bank syariah. (5). Nasabah menerima barang dari supplier

dan menerima dokumen kepemilikan barang tersebut, (5). Setelah menerima barang dan

dokumen, maka nasabah melakukan pembayaran. Pembayaran yang lazim dilakukan

oleh nasabah ialah dengan cara angsuran. Ismail (2011: 139-140)

Ahmad Dahlan menyatakan bahwa prosedur pembiayaan murabahah pada

perbankan syariah adalah sebagai berikut:

1. Nasabah mengajukan pembiayaan dalam bentuk barang. Dalam tahap ini antara bank

dan nasabah melakukan negoisasi dalam: (a). Teknis dan spesifikasi barang atau

At-Turost: Journal of Islamic Studies 120

Page 20: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

objek yang dibutuhkan oleh nasabah, (b). Nominal harga barang yang dibutuhkan

serta estimasi kemampuan nasabah untuk membayar secara tangguh, (c). Jangka

waktu pembiayaan. Penentuan jangka waktu didasarkan pada kemampuan nasabah

dalam mengangsur cicilan dari harga barang yang dibeli. Serta, jangka waktu perjan-

jian akan berpengaruh pada mark-up price atau profit margin yang akan diambil oleh

bank.

2. Bank membeli barang yang dibutuhkan oleh nasabah kepada supplier sesuai yang

telah disepakati pada negosiasi.

3. Supplier bersama-sama dengan pihak bank mengirim barang kepada nasabah.

Setelah barang terkirim kepada nasabah, dan terdapat syarat nasabah untuk

melengkapi segala persyaratan yang tertuang dalam perjanjian formal, maka dalam

aspek ini disebut telah terjadi asas formalisme.

4. Nasabah membayar keuntungan (ribhun) dan cicilan harga pokok barang yang dibeli.

Waktu pembayaran sesuai dengan kesepakatan, tetapi biasanya setiap bulan.

5. Akhir akad sesuai dengan kesepakatan pada negosiasi. Barang sudah menjadi milik

nasabah sebagaimana pada jual beli. Dahlan (2012: 192)

Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa pada pembiayaan murabahah

yang diterapkan di perbankan syariah, melibatkan tiga pihak yaitu pihak bank, nasabah,

dan supplier atau pemasok. Supplier sebagai pihak ketiga terlibat langsung pada

pembiayaan murabahah yang diterapkan di bank syariah. Alasannya, seperti telah

dijelaskan sebelumnya bahwa pihak bank tidak memiliki barang atau komoditas yang

diinginkan oleh nasabah. Selain itu, pembiayaan murabahah yang diterapkan di bank

syariah mengenal adanya penangguhan dalam pembayarannya.

Dari keterangan tersebut, juga dapat diketahui bank syariah menerapkan akad

wakalah pada pembiayaan murabahah. Dengan akad wakalah, pihak bank mewakilkan

pembelian atas barang atau komoditas yang menjadi objek murabahah kepada supplier

ataupun nasabah. Adanya akad wakalah pada pembiayaan murabahah dirasa efisien

bagi pihak nasabah dan pihak bank. Adanya akad wakalah pada pembiayaan

murabahah menjadikan bank memiliki barang yang diinginkan oleh nasabah. Meskipun

bank tidak membeli secara langsung barang tersebut.

At-Turost: Journal of Islamic Studies 121

Page 21: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

Hal ini sejalan dengan pernyataan Jaih Mubarok yang menyatakan bahwa alasan

adanya akad wakalah pada pembiayaan murabahah yaitu: (a). Adanya akad wakalah

menjadikan pembelian objek murabahah lebih simpel dibandingkan pihak bank

membeli sendiri objek murabahah. Alasannya, dalam penyediaan objek murabahah

oleh bank terjadi ketidakcocokan barang yang dibeli oleh bank dengan barang yang

diinginkan nasabah. (b). Adanya akad wakalah pada pembiayaan murabahah

menjadikan pihak bank terhindar dari larangan hadis yang melarang menjual barang

yang tidak dipegang atau dimiliki. Apabila tidak ada wakalah pada murabahah,

menjadikan pihak bank melakukan larangan yang ada pada hadis yang melarang

menjual barang yang tidak dimiliki. Selain itu, bank tidak bisa transparan terhadap

nasabah seperti tuntutan pada akad murabahah itu sendiri.

Apabila aplikasi pembiayaan murabahah di bank syariah diterapkan sesuai

dengan bagan tersebut, maka akan terjadi ketidakefisienan bagi pihak bank dan nasabah.

Ketidakefisienan tersebut pada pihak bank terlihat dengan adanya penumpukan barang

atau komoditas objek murabahah di bank syariah ataupun pada supplier yang melebihi

kapasitasnya, apabila nasabah menolak untuk membeli objek akad. Sedangkan

ketidakefisienan pada pihak nasabah terlihat pada tingkat kepuasan nasabah. Apabila

barang atau komoditas objek murabahah sesuai dengan keinginan nasabah, maka

nasabah akan terpuaskan. Apabila sebaliknya, maka tingkat kepuasan nasabah

cenderung berkurang.

Alternatifnya, bank mewakilkan secara langsung untuk pembelian objek akad

murabahah kepada nasabah. Dengan begitu tingkat kepuasan nasabah akan terpenuhi

secara langsung. Meskipun, tingkat kerugian yang harus ditanggung oleh bank lebih

besar dibandingkan bank mewakilkan pembelian pada supplier.

KUASA MENJUAL JAMINAN DALAM AKAD MURABAHAH BIL WAKALAH

Pelaksanaan akad murabahah bil wakalah dilihat dari segi konsep akad dalam

fikih mualamah termasuk kategori akad ghairu musamma (akad tak bernama) karena

akad ini merupakan akad baru. Selain itu akad murabahah bil wakalah juga termasuk

salah satu bentuk multi akad atau gabungan beberapa akad didalamnya. Kebolehan akad

murabahah bil wakalah dalam ketentuan yang tertuang dalam fatwa DSN-MUI

At-Turost: Journal of Islamic Studies 122

Page 22: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

mengacu pada konsep multi akad termasuk kategori akad muta’addidah yaitu

penggabungan dua akad atau lebih yang masing-masing akadnya berdiri sendiri.

Pelaksanaan akad murabahah bil wakalah pada perkara ekonomi syariah dengan

register Nomor : 0001/Pdt.G.S/2020/PA.Pwt dilihat dari segi pelaksanaan akadnya

dinyatakan sah karena sudah sesuai dengan aturan yang terdapat dalam fikih dan sesuai

dengan ketentuan yang tertuang dalam fatwa DSN-MUI tentang murabahah. Namun

adanya kuasa untuk menjual jaminan yang dibuat secara tersendiri diluar akad

murabahah menjadikan pelaksanaan akad murabahah tidak sesuai aturan yang tertuang

dalam fatwa DSN-MUI. Memang di dalam fatwa DSN-MUI nomor DSN-MUI Nomor

04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah disebutkan adanya jaminan dan perjanjian

khusus dalam pelaksanaan akad murabahah Menurut hemat penulis, jaminan dalam

akad murabahah tertuang dalam klausul perjanjian antara pihak penjual dan pembeli

yang menjadikan akad murabahah terjaga keabsahan dalam satu perjanjian sehingga

tidak menimbulkan dua perjanjian yang dilakukan secara bersamaan dan tidak

menyalahi aturan yang tertuang dalam fatwa DSN-MUI tentang pelaksanaan akad

murabahah khususnya murabahah bil wakalah. Adanya bukti kuasa untuk menjual

jaminan dalam pelaksanaan akad murabahah bil wakalah pada perkara Nomor :

0001/Pdt.G.S/2020/PA.Pwt menjadikan pelaksanaan akad murabahah bil wakalah pada

produk pembiayaan menggunakan akad murabahah bil wakalah kurang sesuai dengan

ketentuan fatwa DSN-MUI.

Pelaksanaan akad murabahah bil wakalah pada perkara ekonomi syariah dengan

register Nomor : 0001/Pdt.G.S/2020/PA.Pwt dilihat dari segi hukum positif Indonesia

berkaitan erat dengan keabsahan surat kuasa, dan hak tanggungan. Adapun

penjelasannya adalah sebagai berikut:

Surat Kuasa

Pengertian kuasa secara umum, merujuk pada Pasal 1792 KUH Perdata yang

berbunyi: “Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang

memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk dan atas

namanya menyelenggarakan urusan.” Bertitik tolak dari ketentuan tersebut, dalam

perjanjian kuasa, terdapat dua pihak, yang terdiri dari : (a). Pemberi kuasa, (b).

Penerima kuasa. Lembaga hukumnya disebut pemberian kuasa atau lastgeving

At-Turost: Journal of Islamic Studies 123

Page 23: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

(volmacht, full power), jika : 1). Pemberi kuasa melimpahkan perwakilan atau

mewakilkan kepada penerima kuasa untuk mengurus kepentingannya, sesuai dengan

fungsi dan kewenangan yang ditentukan dalam surat kuasa, 2). Dengan demikian,

penerima kuasa berkuasa penuh bertindak mewakili pemberi kuasa terhadap pihak

ketiga untuk dan atas nama pemberi kuasa, 3). Oleh karena itu, pemberi kuasa

bertanggung jawab atas segala perbuatan kuasa.

Sifat pokok yang penting dalam surat kuasa : (a). Penerima kuasa langsung

berkapasitas sebagai wakil pemberi kuasa, (b). Pemberian kuasa bersifat konsensual

yaitu berdasarkan kesepakatan, (c). Berkarakter garansi kontrak sesuai dengan Pasal

1806 KUH Perdata. Dan berakhirnya kuasa menurut Pasal 1813 KUH Perdata yaitu :

(a). Pemberi kuasa menarik kembali secara sepihak, (b). Salah satu pihak meninggal

dunia, (c). Penerima kuasa melepas hak.

Untuk menghindari ketidakpastian pemberian kuasa, dihubungkan dengan hak

pemberi kuasa untuk dapat mencabut secara sepihak, serta hak penerima kuasa untuk

melepas secara sepihak maka lalu lintas pergaulan hukum telah memperkenalkan dan

membenarkan pemberian kuasa mutlak, yang memuat klausul : (a). Pemberi kuasa tidak

dapat mencabut kembali kuasa yang diberikan kepada penerima kuasa, (b).

Meninggalnya pemberi kuasa, tidak mengakhiri perjanjian pemberian kuasa. Klausul

tersebut menyingkirkan ketentuan Pasal 1813 KUH Perdata, sehingga ada yang

berpendapat, persetujuan kuasa mutlak bertentangan dengan hukum. Akan tetapi,

pendapat tersebut dikesampingkan dalam praktik peradilan yang membenarkan

persetujuan yang demikian Diperbolehkannya membuat persetujuan kuasa mutlak,

bertitik tolak dari prinsip kebebasan berkontrak yang digariskan Pasal 1338 KUH

Perdata.

Asas ini menegaskan, para pihak bebas mengatur kesepakatan yang mereka

kehendaki, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Pasal 1337 KUH Perdata, yaitu

kesepakatan itu tidak mengandung hal yang dilarang oleh undang-undang atau

berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Akan tetapi, perlu diingat larangan

yang dimuat dalam Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982, Notaris dan PPAT dilarang

memberi surat kuasa mutlak dalam transaksi jual beli tanah. Pemilik tanah dilarang

memberi kuasa mutlak kepada kuasa untuk menjual tanah miliknya. Alasan larangan

At-Turost: Journal of Islamic Studies 124

Page 24: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

itu, dijelaskan dalam Putusan MA No. 2584 K/Pdt/1986 (14-4-1988), yang mengatakan

surat kuasa mutlak, mengenai jual beli tanah, tidak dapat dibenarkan karena dalam

praktik sering disalahgunakan menyelundupkan jual beli tanah. Yahya (2006: 1-6)

Yang dimaksud dengan kuasa mutlak oleh Instruksi Menteri Dalam Negeri

Nomor 14 Tahun 1982 adalah kuasa mutlak yang pada hakekatnya merupakan

pemindahan hak atas tanah, yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa

untuk melakukan semua tindakan kepemilikan yang disebutkan satu per satu yang

menurut hukum hanya boleh dilakukan oleh pemegang haknya. Satrio (2018: 104)

Kuasa mutlak sebagaimana tersebut didalam Pasal 39 ayat (1) huruf (d) PP Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dimana Pejabat Pembuat Akta Tanah menolak

untuk membuatkan akta, jika salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu

surat kuasa khusus mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum

pemindahan hak.

Dalam penjelasan PP Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan surat kuasa mutlak

adalah pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali oleh pihak yang memberi

kuasa, sehingga pada hakekatnya merupakan perbuatan hukum pemindahan hak.

Hak Tanggungan

Hipotik adalah lembaga yang diatur dalam KUH Perdata. Sebagai konsekuensi

dari asas pembedaan benda ke dalam benda bergerak dan benda tidak bergerak, maka

diaturlah lembaga jaminan gadai untuk benda bergerak dan hipotik untuk benda tidak

bergerak. Dan mengenai apa yang dimaksudkan dengan benda tidak bergerak, undang-

undang pun telah menegaskannya (Pasal 506, Pasal 507, dan Pasal 508), dengan

mengambil tanah sebagai pokok dan berdasarkan asas accesie meliputi pula bangunan-

bangunan, tanaman-tanaman yang melekat atau tertanam dan beberapa benda lain

berdasarkan peruntukannya. Namun, dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang

Berkaitan Dengan Tanah, maka semua itu menjadi berubah total, sebab objek hipotik

yang berupa tanah dan segala sesuatu yang berkaitan dengan tanah, sekarang

dikeluarkan dan menjadi objek hak tanggungan (Pasal 29 jo Pasal 1 sub 1 dan Pasal 4

Undang-Undang Hak Tanggungan). Satrio (2002: 189)

At-Turost: Journal of Islamic Studies 125

Page 25: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

Objek hak tanggungan terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-Undang

Hak Tanggungan yang menyebutkan : (1). Hak atas tanah yang dapat dibebani dengan

hak tanggungan adalah: pertama, hak milik, kedua, hak guna usaha, ketiga, hak guna

bangunan. (2). Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Hak

Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan

menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani dengan hak

tanggungan. Menurut Pasal 4 ayat (4) UU Hak Tanggungan yang berbunyi : “Hak

tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman

dan hasil karya yang telah ada dan akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan

tanahnya, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya

dengan tegas dinyatakan didalam akta pemberian hak tanggungan yang

bersangkutan”. Pasal 1 sub 1 Undang-Undang Hak Tanggungan menyebutkan ciri-ciri

hak tanggungan diantaranya: pertama, hak jaminan, kedua, atas tanah berikut atau tidak

berikut benda-benda lain yang merupakan kesatuan dengan tanah yang bersangkutan,

ketiga untuk pelunasan suatu hutang, keempat, memberikan kedudukan yang

diutamakan. Disini nampak sifat accessoir dari suatu perikatan jaminan, karena ia

mengabdi pada suatu perikatan pokok tertentu yang dijamin, pada asasnya bisa berupa

kewajiban perikatan apa saja, tetapi pada umumnya berupa perjanjian hutang piutang

atau kredit. Perikatan pokoknya merupakan perikatan yang berdiri sendiri, tidak

bergantung dari perikatan jaminannya.

Sesuai dengan sifat accesoir suatu perikatan, maka adanya, berpindahnya dan

hapusnya perikatan jaminan, bergantung kepada perikatan pokoknya (Pasal 16 jo Pasal

18 Undang-Undang Hak Tanggungan). Kalau perikatan pokoknya beralih, maka

perikatan jaminannya turut berpindah, apabila perikatan pokoknya hapus, maka

perikatannya juga hapus. Perikatan jaminan baru lahir atau mempunyai daya kerja,

kalau perikatan pokoknya sudah lahir. Satrio (2002: 280) Pasal 6 Undang-Undang Hak

Tanggungan menyebutkan : “Apabila debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan

pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri

melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan

tersebut.” Hak parate eksekusi pemegang hak tanggungan didalam Pasal 6 Undang-

Undang Hak Tanggungan tidak didasarkan atas perjanjian pemberian kuasa, tetapi

At-Turost: Journal of Islamic Studies 126

Page 26: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

diberikan ex lege, sehingga semua permasalahan parate eksekusi yang timbul karena

sifat-sifat/ciri-ciri kuasa tidak akan muncul disini. Ada kewenangan yang bersyarat,

yaitu hak tersebut baru ada kalau debitur sudah wanprestasi. Satrio (2002: 286)

Kesimpulan

Murabahah bil wakalah merupakan salah satu bentuk dari akad murabahah.

Berdasarkan penelusuran penulis sampai saat ini belum ada fatwa yang mengatur secara

rinci terkait pelaksanaan akad murabahah bil wakalah sehingga pelaksanaan dari akad

murabahah bil wakalah masih menginduk pada fatwa DSN-MUI nomor DSN-MUI

Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah. Adanya perubahan fatwa terkait

pelaksanaan akad murabahah hanya menjelaskan sekilas terkait akad murabahah bil

wakalah. Pelaksanaan akad murabahah bil wakalah pada perkara perdata sengketa

ekonomi syariah Nomor 0001/Pdt.G.S/2020/PA.Pwt ditinjau dari fatwa DSN-MUI

secara akad pelaksanaannya sudah sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam fatwa

nomor fatwa DSN-MUI nomor DSN-MUI Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang

Murabahah. Namun, adanya bukti surat perjanjian untuk menjual yang dibuat secara

terpisah dari perjanjian yang sudah disepakati menjadikan akad tersebut kurang

sempurna dari segi akad dan kurang sesuai dengan ketentuan yang ada dalam fatwa

DSN-MUI yang membahas tentang murabahah.

Ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata dimana sebuah perjanjian harus memenuhi

syarat berupa sepakat, cakap, suatu hal tertentu dan sebab yang halal. Dilihat dalam

perkara tersebut, ada kesepakatan antara debitur dan kreditur untuk melakukan akad

murabahah serta dengan jaminan dari penjamin berupa tanah sebagai agunan untuk

menjamin debitur apabila wanprestasi. Melihat prosesnya ada perjanjian pokok berupa

akad murabahah disertai dengan perjanjian accesoir berupa perjanjian penjaminan

dimana jaminan baru bisa dilakukan tindakan pengalihan apabila debitur wanprestasi.

Sehingga apabila pada waktu yang bersamaan ada perjanjian pokok berupa akad

murabahah dan kuasa menjual jaminan maka disini ada penyelundupan hukum yang

dilarang oleh undang-undang dan menjadikan akad tersebut tidak jelas.

Padahal penjaminan bersifat accessoir dimana timbulnya penjaminan

tergantung pada adanya piutang yang dijaminkan pelunasannya. Penjaminan akan

At-Turost: Journal of Islamic Studies 127

Page 27: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

menjadi hapus apabila hutangnya berakhir namun hapusnya penjaminan tidak

menyebabkan hapusnya hutang yang dijamin. Sebagaimana tersebut dalam hukum

kebendaan bahwa semula jaminan berupa tanah diikat dengan hipotik namun dengan

adanya Undang-Undang Hak Tanggungan maka jaminan berupa tanah diikat dengan

hak tanggungan. Hak tanggungan hanya dibebani dengan tanah dan dapat atau tidak

diikutsertakan benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah. Ikut atau

tidaknya benda-benda lainnya itu dinyatakan dengan tegas dalam Akta Pemberian Hak

Tanggungan. Sehingga menjadi jelas apabila terjadi wanprestasi pada debitur, sejauh

mana pengikatan terhadap jaminan tersebut.

Daftar Pustaka

Abu Abd Allah Muhammad Ibn Yazid al-Qazwini w. 273 H, Sunan Ibnu Majah,

(Bairut: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, tt) II: 737, Nomor Hadis : 2185.

Abrori, F. (2019). Implementasi Kesejahteraan Perspektif BKKBN Dalam Kajian

Maqᾱṣid al-Syarῑ’ah. At-Turost: Journal of Islamic Studies, 6(2), 233-243.

al-Khaslani, Sa’ad bin Turki (2012). Fikih al-Mu’amalat al-maliyyah al-Mu’asirah,

Riyad: asami’I lil syara wa al tauzi’.

al-Misri, Rafiq Yunus (2009). Buhut fi fiqh al-Mu’amalat al-Maliyyah, Suriah: Darul

Maktabi.

Arikunto, S. (1998). Prosedur Penelitian; suatu pendekatan Praktis, Jakarta: Rineka

Cipta.

Ascarya. (2011). Akad Dan Produk Bank Syariah, Jakarta: Rajawali Pres.

Dahlan, A. (2012). Bank Syariah Teori, Praktik, dan kritik, Yogyakarta: Teras.

Djamil, F. (2012). Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi di Lembaga

Keuangan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.

Djazuli. (2007). Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam

Menyelesaikan Masalah, Jakarta: Kencana, Cet.II.

Hammad, N. (2007). Fi Fiqh al-Mu’amalat al-Maliyyah Wa al-Masrafiyyah al-

Mu’asirah, Damaskus: Darul al-Qalam.

Harahap, M, Y. (2006). Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika.

Ismail. (2011). Perbankan Syariah, Jakarta: Kencana.

At-Turost: Journal of Islamic Studies 128

Page 28: Kuasa Menjual Jaminan Pada Pembiayaan Akad Murabahah Bil

At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08, No.01, Februari 2021 P-ISSN: 2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN: 2581-1622

Muhammad. (2009). Model-Model Akad Pembiayaan Di Bank Syariah: Panduan

Teknis Pembuatan Akad Atau Perjanjian Pembiayaan Pada Bank Syariah,

Yogakarta: UII Press.

Satrio, J. (2002). Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: PT Citra Aditya

Bakti.

Tim Penyusun. (2000). Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Jakarta: Kementerian Agama.

Tim Penyusun. (2014). Himpunan Fatwa Keuangan Syariah Dewan Syariah Nasional

MUI, Jakarta : Erlangga.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta

Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah

Usman, R. (1999). Pasal-Pasal tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Jakarta:

Djambatan.

Widyaningsih. (2005). Bank dan Asuransi di Indonesia, Jakarta: Kencana.

At-Turost: Journal of Islamic Studies 129