119
KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI IBN ‘ARABÎ Skripsi Diajukan ke Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) Oleh: Arrazy Hasyim NIM: 104033101047 PROGRAM STUDI AKIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH 1430 H./2009 M.

KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI IBN ‘ARABÎ

Skripsi

Diajukan ke Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)

Oleh: Arrazy Hasyim

NIM: 104033101047

PROGRAM STUDI AKIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

1430 H./2009 M.

Page 2: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI IBN ‘ARABÎ

Skripsi Diajukan ke Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)

Oleh: Arrazy Hasyim

NIM: 104033101047

Pembimbing:

Drs. Nanang Tahqiq, MA.

PROGRAM STUDI AKIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

1430 H./2009 M.

Page 3: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP

TEOLOGI IBN ‘ARABÎ telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 Maret 2009.

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Filsafat

Islam (S.Fil.I.) pada Program Studi Aqidah Filsafat.

Jakarta, 6 Maret 2009

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. M. Amin Nurdin, M.A. Drs. Ramlan A., M.Ag.

NIP: 150232919 NIP: 150254185

Anggota,

Dr. Syamsuri, M.A. Drs. Agus Darmaji, M.Fils.

NIP: 150240089 NIP: 150262447

Drs. Nanang Tahqiq, M.A.

NIP: 150248753

Page 4: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan telah saya cantumkan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi sesuai yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 23 Februari 2009

Arrazy Hasyim

Page 5: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

TRANSLITERASI ARAB-LATIN

a : ا

b : ب

t : ت

ts : ث

j : ج

h : ح

kh : خ

d : د

dz : ذ

r : ر

z : ز

s : س

sy : ش

sh : ص

dh : ض

th : ط

zh : ظ

‘ : ع

gh : غ

f : ف

q : ق

k : ك

l : ل

m : م

n : ن

w : و

h : هـ

’ : ء

y : ي

â : ــ

û : ــ$î : ــ"

Page 6: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

ABSTRAK

Ibn ‘Arabî merupakan sosok yang multi dimensi. Selain seorang sufi, ia adalah seorang teolog ulung. Hal ini menjadikan perhatian menarik para ulama semasa dan setelahnya. Namun memang tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat ungkapan-ungkapan yang rumit dalam karangan Ibn ‘Arabi. Hal ini menjadi sumber permasalahan yang melahirkan kecaman dari sebagian ulama Sunnî. Kecaman tersebut berujung kepada penolakan status keislaman Ibn ‘Arabî. Ia dianggap telah melenceng dari ajaran Islam. Bahkan muncul wacana mengafirkan siapa saja yang skeptis terhadap status kekafiran

Ibn ‘Arabî. Tokoh terdepan dalam hal ini adalah Ibn Taymiyyah dan al-Baqâ‘î. Di samping itu, juga terdapat pembelaan dari ulama Sunnî yang lain terhadap

ajaran Ibn ‘Arabî. Ia diyakini sebagai tokoh sufi yang agung, wali yang mulia, imam yang akbar. Wacana pembelaan tersebut sangat kental pada al-Sya‘rânî dan ‘Abd al-

Ghanî al-Nabilûsî. Beberapa tema yang menjadi objek kritikan Ibn Taymiyyah adalah tuduhan

Para pengritik. ulûlhd dan âhitti, wujûd-dah alhwabahwa Ibn ‘Arabî berakidah cenderung menyamakan dan mengalamatkan tiga term ini kepada Ibn ‘Arabî sekaligus. Selain itu, Ibn ‘Arabi dituduh berkeyakinan meyakini keislaman Fir‘awn ketika tenggelam. Bahkan ia dituduh menegasikan keberadaan wali setelahnya dan derajat kewalian lebih tinggi daripada kenabian. Tetapi ungkapan-ungkapan Ibn ‘Arabî yang menjadi patokan para pengritik dalam mengafirkannya sering disebabkan karena misunderstanding yang berlebihan. Hal ini dikarenakan para pengritik, seperti Ibn Taymiyyah sering mengabaikan konteks pembicaraan Ibn ‘Arabî dalam menulis suatu ungkapan. Atau faktor lain, seperti ketidakpahaman terhadap terminologi yang

ketika Ibn ‘Arabî mengatakan bahwa Allah , Sebagai contoh. digunakan Ibn ‘ArabîIbn Taymiyyah mengabaikan konteks . qaqhsedangkan hamba juga , qaqHadalah

sehingga , ‘Arabî tersebut pada ungkapan Ibnayrahhatau maqâm " keheranan"melahirkan kecaman yang tidak layak bersumber dari seorang tokoh intelektual

Muslim terkenal itu. Selain membahas kritikan para ulama mengenainya, skripsi ini juga akan

terutama , aloversirtteks Ibn ‘Arabi yang dianggap kon-menampilkan beberapa teksteks Ibn ‘Arabi -teks, Di samping itu. dan keimanan Fir‘awndâhittimengenai

memang membuka celah untuk menjadi objek perdebatan. Hal ini dikarenakan ada beberapa ungkapan yang kontroversial dalam tema tertentu. Penulis juga akan mengemukakan kelemahan-kelemahan para pengritik dengan melakukan komparasi

teks-teks Ibn ‘Arabi.

Page 7: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN i LEMBAR PERNYATAAN ii LEMBAR PENGESAHAN iii

TRANSLITERASI ARAB-LATIN iv ABSTRAK v

KATA PENGANTAR vi DAFTAR ISI viii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar belakang penulisan 1

B. Rumusan dan batasan masalah 6

C. Manfaat penelitian 7

D. Kajian kepustakaan 8

E. Metode penelitian 11

F. Sistematika penulisan 12

BAB II BIOGRAFI IBN ‘ARABÎ SEBAGAI SEORANG TEOLOG 14

A. Perkembangan Intelektual 14

B. Karya Tulis Intelektual 28

BAB III TEOLOGI IBN ‘ARABÎ 32

A. Pengertian Teologi atau Ilmu Kalâm 32

B. Ruang Lingkup Ilmu Kalâm 33

C. Gagasan Hierarki Teologi 35

1. Akidah Awam 40

2. Akidah Ahl Al-Rusûm 46

3. Akidah Al-Ikhtishâsh 53

BAB IV STATUS TEOLOGI IBN ‘ARABÎ 62

A. Perdebatan mengenai Status Teologi Ibn ‘Arabî 62

B. Tuduhan Akidah Ittihâd dan Hulûl terhadap Ibn ‘Arabî 67

BAB V KRITIK TEOLOGIS TERHADAP IBN ‘ARABÎ 73

Page 8: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

A. Kritik Ibn Taymiyyah terhadap Status Keimanan Fir‘Awn dalam

Pandangan Ibn ‘Arabî 73

B. Kontroversi Teks Karya Ibn ‘Arabî mengenai Keimanan

Fir‘Awn 75

C. Kritik terhadap Pandangan Ibn ‘Arabî tentang Kenabian dan

Kewalian 84

1. Maqâm Nubuwwah antara Teologis dan Sufistik 86

2. Kritik Ibn Taymiyyah Sebagai Sebuah Kekeliruan 91

BAB V PENUTUP 97

Kesimpulan dan Saran 97

DAFTAR PUSTAKA 102

Page 9: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan

Setengah abad setelah Ibn ‘Arabî wafat, muncul Ibn Taymiyyah

memperdebatkan status teologi yang dianutnya. Namun ironis, tidak ditemui seorang

ulama pun yang melakukan hal serupa di masa hidup Ibn ‘Arabî. Ini dikarenakan

ûzî dan AbâR-Dîn al-seperti Fakhr al, tokoh besar semasa dengannya-banyak tokoh

.tidak pernah mengritisi Ibn ‘Arabî) lûMaqt-albukan (Suhrawardî -alafsh H

Akan tetapi, Ibn Taymiyyah memulai kritikan terhadap Ibn ‘Arabî dari

pelbagai aspek teologis. Dalam mengritisi Ibn ‘Arabî, Ibn Taymiyyah dengan tegas

kata lain yang -dan kata) ateis (dâhli, zindiq, mengategorikannya sebagai kafir

dialamatkan kepada para penyeleweng dari jalan kebenaran.

Aspek teologis yang menjadi sasaran kritikan Ibn Taymiyyah meliputi

masalah eksistensi Tuhan dan hamba, status keimanan Fir‘awn, kenabian, dan

kewalian. Kritikan tersebut banyak diungkapkan Ibn Taymiyyah dalam al-Majmû‘ al-

Fatâwâ dan risalah khusus yang berjudul Jâmi‘ al-Rasâ’il fî Radd ‘alâ Ibn ‘Arabî.

Dari kritikan tersebut, Ibn Taymiyyah melahirkan istilah baru dalam

pemikiran teologis Ibn ‘Arabî. Ia dengan tegas menyatakan bahwa Ibn ‘Arabî

walaupun istilah ini tidak 1,)kesatuan wujud (dûwuj-dah alhwamenganut paham

pernah ditemui sebelumnya dalam literatur Ibn ‘Arabî. Hal ini sebagaimana diakui

William C. Chittick bahwa Ibn ‘Arabî sendiri tidak pernah menggunakan kata

1 Ibn Taymiyyah, al-Majmû‘ al-Fatâwâ, (Riyâdh: Majma‘ al-Malik Fahd, 1995), v. 2, h. 64.

Page 10: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

tersebut.2 Namun, konklusi yang diperoleh oleh Ibn Taymiyyah mampu membakukan

istilah tersebut, sehingga menjadi populer pada generasi setelahnya sampai sekarang.

aymiyyah lebih cenderung menyamakan status Ibn T, Di samping itu

Ibn , Oleh karena itu. dâhttiidan ulul hIbn ‘Arabî dengan wujûd -dah alhwapemikiran

-ahl al(‘Arabî dan tokoh tasawuf falsafi lain dianggap sebagai penganut ateisme

Ia . Qayyim-ini juga diikuti oleh Ibn alwujûd -dah alhwaSikap penyamaan . )dâhil

merupakan kaum sufi yang berpaham dâhittmenegaskan bahwa kelompok penganut

paham ini berpandangan bahwa Tuhan , Qayyim- Menurut Ibn al3.dûwuj-dah alhwa

tidak berbeda dan tidak terpisah dari alam ini. Pandangan ini, ungkap Ibn al-Qayyim,

merupakan perkataan manusia yang paling kufur.4

Selain itu, Ibn Taymiyyah menuduh Ibn ‘Arabî berkeyakinan bahwa martabat

kewalian lebih tinggi daripada kenabian.5 Bahkan, ketika pengikut Ibn ‘Arabî

memberikan interpretasi bahwa ia hanya meyakini kewalian seorang nabi lebih utama

daripada martabat kenabiannya atau interpretasi lain yang senada, namun Ibn

Taymiyyah tetap saja menganggap hal tersebut sebagai kejahilan yang berlebihan.6

Sisi lain yang menjadi objek kritikan keras dari Ibn Taymiyyah terhadap Ibn

‘Arabî adalah mengenai status keimanan Fir‘awn. Dalam hal ini, Ibn Taymiyyah

menegaskan bahwa siapa saja yang tawaqquf (tidak berpendirian) terhadap status

kafir Fir‘awn, maka ia mesti diistitâbah (diadili agar bertobat), jika tidak bertobat

maka wajib dihukum mati. Apalagi terhadap Ibn ‘Arabî yang berkeyakinan bahwa

Fir‘awn mati dalam kadaan beriman.7

2 William C. Chittick, The Sufi Path of Sufi, (New York: State University of New York Press,

1989), h. 78. 3 Ibn al-Qayyim, al-Shawâ‘iq al-Muharriqah, (Riyâdh: Dâr al-‘Âshimah, 1998), v. 2 h. 791. 4 Ibn al-Qayyim, al-Shawâ‘iq, v. 1 h. 294. 5 Ibn Taymiyyah, Minhâj al-Sunnah, (Kairo: Muassasah Qurthûbah, 1406), v. 5 h. 335. 6 Ibn Taymiyyah, al-Majmû‘ al-Fatâwâ, v. 4 h. 171. 7 Ibn Taymiyyah, Jâmi‘ al-Rasâ`il fi Radd ‘alâ Ibn ‘Arabî, (Kairo: Maktabah al-Turâts al-

Islâmî, t.t.), h. 204.

Page 11: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Kritikan serupa juga bermunculan di kalangan teolog Asy‘ariyyah. Dalam hal

ini, al-Baqâ‘î tampil dengan karyanya yang berjudul Tanbîh al-Ghabî ilâ Takfîr Ibn

‘Arabî. Dengan memahami judulnya, dapat diketahui bahwa al-Baqâ‘î ikut serta

mengafirkan Ibn ‘Arabî. Kitab tersebut diterbitkan kembali di kalangan Wahhâbî

dengan judul Mashra‘ al-Tashawwuf. Ia mengklaim bahwa Ibn ‘Arabî meyakini

keimanan Fir‘awn ketika ditenggelamkan di Laut Merah.8 Bahkan, ia menuduh Ibn

‘Arabî berkeyakinan bahwa Fir‘awn merupakan ‘tuhan’ Musa dan junjungannya.9

Dengan demikian, al-Baqâ‘î berani menuduh Ibn ‘Arabî sebagai seorang yang telah

kafir, karena ungkapan-ungkapan tersebut tidak bisa diterima lagi.10

Selain kritikan, pembelaan terhadap Ibn ‘Arabî juga bermunculan di kalangan

ulama Asy‘ariyyah. Salah satu tokoh yang terkenal membela status teologi Ibn ‘Arabî

adalah al-Sya‘rânî. Sebenarnya, ia hanya melanjutkan pembelaan yang pernah

dilakukan oleh al-Suyûthî. Dalam hal ini, ia menilai bahwa banyak tuduhan yang

tidak benar dialamatkan kepada Ibn ‘Arabî. Oleh karena itu, al-Sya‘rânî

mengungkapkan kembali status teologi Ibn ‘Arabî dalam kitab al-Yawâqît al-Jawâhir

fî ‘Aqâ’id al-Kabâ’ir. Selain itu, ia juga menginformasikan ternyata al-Baqâ‘î menarik

kembali kritikannya terhadap Ibn ‘Arabî.11

Di samping itu, Mullâ ‘Alî al-Qârî seorang teolog Mâturidiyyah juga menulis

Ia mengungkapkan . dûwuj-dah alhwakarangan khusus yang hanya mengritisi paham

bahwa jika benar paham tersebut Wujûd -dah alhWan bi î’ilâQ-al âRadd ‘Al-aldalam

bersumber dari Ibn ‘Arabî, maka tidak ada perbedaannya dengan ajaran materialis

8 Al-Baqâ‘î, Tanbîh al-Ghabî ilâ Takfîr Ibn ‘Arabî ed. ‘Abd al-Rahmân al-Wakîl, (Riyâdh:

Ri’âsah Idârah, 1993), h. 118. 9 Al-Baqâ‘î, Tanbîh, h. 121. 10 Al-Baqâ‘î, Tanbîh, h. 123. 11 Al-Sya‘rânî, al-Yawâqît al-Jawâhir fi ‘Aqâ’id al-Kabâ’ir, (Beirut: Dâr al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, 1997), v. 1 h. 9.

Page 12: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

(Dahriyyah dan Thabî‘iyyah).12 Begitu juga mengenai kewalian, Mullâ ‘Alî tidak

menuduh langsung Ibn ‘Arabî berkeyakinan bahwa kewalian lebih utama daripada

kenabian. Tetapi, ia lebih cenderung mengungkapkan bahwa Ibn ‘Arabî hanya

beranggapan bahwa kewalian seorang rasul lebih utama daripada kenabiannya.

Permasalahan ini dikategorikan Mullâ ‘Alî sebagai masalah yang masih

diperselisihkan, sehingga orang yang mengatakannya tidaklah dikenai hukum kafir.13

Selain itu, walaupun pelbagai tuduhan terhadap Ibn ‘Arabî telah dijawab

sebelumnya oleh al-Sya‘rânî, namun al-Syawkânî kembali memberikan kritikan tajam

sebagaimana Ibn Taymiyyah. Berbeda dengan Mullâ ‘Alî, al-Syawkâni lebih

cenderung memastikan bahwa ajaran “sesat” tersebut berasal dari Ibn ‘Arabî. Ia

karya Ibn tâhûFut-alungkapan yang terdapat dalam -menegaskan bahwa ungkapan

‘Arabî merupakan khurafat yang dipenuhi dengan kekufuran.14 Bahkan, ketika

mengomentari ungkapan yang dinukil oleh Ibn ‘Arabî bahwa ‘menyebarkan rahasia

ketuhanan adalah kekufuran’, maka al-Syawkânî menekankan justeru Ibn ‘Arabî telah

mengafirkan dirinya sendiri. Ini dikarenakan Ibn ‘Arabî telah menyebarkan rahasia

ketuhanan.15

Belakangan ini, Ibrâhîm Hilâl juga mengungkapkan dalam al-Tashawwuf

bayna al-Dîn wa al-Falsafah bahwa penisbahan paham taswiyyah (penyamaan) antara

kepada Ibn ‘Arabî adalah suatu wujûd -dah alhwaAllah dengan alam atau

n yang menegaskaûdmhMaQâdir -al Hal ini berbeda dengan ‘Abd 16.keganjilan

12 Mullâ ‘Alî al-Qâri, al-Radd ‘Alâ Qâ’ilîn bi Wahdah a- Wujûd, (Damaskus: Dâr al-Ma’mûn

li al-Turâts, 1995), h. 21. 13 Mullâ ‘Alî, al-Radd, h. 21. 14 Al-Syawkânî, al-Shawârim al-Haddâd, (Shan‘ah: Dâr al-Hijrah, 1990), h. 41. 15 Al-Syawkânî, al-Shawârim, h. 45. 16 Ibrâhîm Hilâl, al-Tashawwuf bayn al-Dîn wa al-Falsafah, (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, 1971) h.

41.

Page 13: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

bahwa ajaran Ibn ‘Arabî termasuk kategori tasawuf salbî (negatif), sehingga ia

beranggapan bahwa tasawuf dalam kategori ini di luar nuansa Islami.17

editor ûdmhasan MaHn âRahm-‘Abd al, lâm HilîSebagaimana Ibrâh

kumpulan risalah Ibn ‘Arabî juga mengungkapkan bahwa Ibn ‘Arabî bukanlah

.dûwuj-dah alhwa dan ,dâhitti, lûulhpembawa ajaran

Lebih menarik lagi, ternyata para sufi dan teolog Nusantara tempo dulu tidak

menilai Ibn ‘Arabî sebagai seorang yang menyimpang. Bahkan, al-Rânirî yang

memfatwakan sesat Syams al-Dîn al-Sumaterânî, merupakan seorang yang tekun

mengikuti ajaran Ibn ‘Arabî.18

Begitu juga dengan Nafîs al-Banjarî, Yûsuf al-Makasarî, dan ‘Abd al-Shamad

al-Palembanî tidak pernah mengritisi paham Ibn ‘Arabî. Namun sebaliknya, ‘Abd al-

Shamad mampu menyelaraskan ajaran al-Ghazâlî dengan Ibn ‘Arabî dalam kitab

-alm û’ UlâyhMukhtashar I) beserta komentar( sebagai terjemahan nîlikâS-r alâSiy

Dîn.

Namun demikian, perdebatan mengenai status teologi Ibn ‘Arabî masih

berlanjut sampai saat sekarang. Masing-masing dari kelompok yang mengritisi dan

membela mempunyai argumen kuat dalam memberikan penilaian, sehingga tidak

mudah menjustifikasi bahwa salah satu dari mereka benar. Ini dikarenakan argumen

yang mereka ajukan disertai dengan penukilan data yang akurat. Ini terlepas dari

penilaian mereka yang bersifat subjektif atau objektif.

Dengan demikian, skripsi ini akan mengungkapkan kembali perdebatan para

teolog dalam memberikan penilaian terhadap Ibn ‘Arabî dengan mengangkat tema-

tema utama yang menjadi sorotan mereka. Kemudian, penilaian mereka akan

17 ‘Abd al-Qâdir Mahmûd, Muqaddimah al-Falsafah al-Shûfiyyah fî al-Islâm, (Kairo: Dâr al-

Fikr al-‘Arabî, 1966), h. 7. 18 Azyumardi Azra, Jaringan Islam Timur Tengah dan Nusantara, (Jakarta: Kencana, 2004),

h. 218.

Page 14: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

dikomparasikan dengan melakukan telaah terhadap ungkapan-ungkapan teologis Ibn

‘Arabî yang terdapat di dalam karya-karyanya.

B. Rumusan dan Pembatasan Masalah

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, tulisan ini akan meneliti kembali

mengenai, “Kritikan dan pembelaan terhadap konsep teologis Ibn ‘Arabî”. Dalam hal

ini, penulis akan mengemukakan perkembangan intelektual Ibn ‘Arabî sebagai

seorang ilmuwan Muslim, konsep hierarki teologis Ibn ‘Arabî. Selain itu,

dikemukakan beberapa tema lain yang menjadi sorotan para teolog terhadap karya-

karya Ibn ‘Arabî; terutama mengenai keimanan Fir‘awn, konsep kenabian dan

kewalian. Dalam memahami konsep teologis yang dikemukakan Ibn ‘Arabî mengenai

dua konsep tersebut, maka penulis tetap akan menyinggung aspek filosofis dan

esoteris jika diperlukan.

C. Manfaat Penelitian

Kajian ini akan mengungkapkan sisi-sisi teologis yang masih jarang diteliti

oleh para penulis belakangan ini. Ini dikarenakan Ibn ‘Arabî merupakan sosok yang

multi dimensi. Hal ini mengisyaratkan bahwa kajian mengenai Ibn ‘Arabî bisa dilihat

dari pelbagai sudut pandang yang berbeda, seperti sisi teologis, esoteris, filosofis,

adîts HQur’ân dan -n dengan interpretasi albahkan juga dalam keilmuan yang berkaita

. Zaydûmid AbâHsebagaimana dilakukan oleh Nashr

Walaupun telah ada yang mengungkapkan konsep teologi Ibn ‘Arabî, namun

m atau Padahal pembahasan ilmu kalâ. dûwuj-dah alhwamasih terbatas pada tema

Page 15: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

teologi lebih luas daripada tema tersebut. Pembahasan teologis mencakup tema-tema

ketuhanan, kenabian, eskatologi, dan tema lain.

Selain itu, dengan mengenal teologi yang dianut oleh Ibn ‘Arabî, maka akan

mampu memberikan jawaban terhadap wacana belakangan ini. Hal ini dikarenakan

banyak penulis yang beranggapan bahwa Ibn ‘Arabî mengambil dasar pemikirannya

dari ajaran di luar Islam, atau dengan menghubungkannya dengan ajaran selain Islam,

atau mengklaimnya sebagai seorang Syî‘ah, atau seorang kebatinan yang terselubung.

Oleh karena itu, kajian ini merupakan salah satu usaha untuk menguak misteri

mengenai status teologi yang sebenarnya dianut sang tokoh.

Dengan demikian, diharapkan kajian ini bisa mengungkap pandangan teologis

Ibn ‘Arabî secara ilmiah.

D. Kajian Kepustakaan

Sebenarnya telah banyak para peneliti yang menulis mengenai Ibn ‘Arabî.

Namun demikian, penulis hanya akan menyebutkan beberapa karya yang dianggap

penting. Di antaranya, karya populer Henry Corbin L‘Imagination Creatrice dans le

Soufisme d‘Ibn ‘Arabî yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul

Alone With The Alone (1998)19. Henry Corbin banyak membicarakan pemikiran Ibn

‘Arabî dari sisi yang ia sebut dengan theophani atau hikmah al-isyrâq. Oleh karena

itu, ia terkesan menyamakan pemikiran Ibn ‘Arabî dengan Suhrawardî al-Maqtûl,

walaupun mereka tidak pernah bertemu. Bahkan Ibn ‘Arabî juga tidak pernah

menyebut Suhrawardî al-Maqtûl dalam karangannya.

19 Diterbitkan di Princeton: Princeton University Press, 1998.

Page 16: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Karya Wiliam C. Chittick The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabî

Metaphysics of Imagination (1989)20 adalah studi sistematis tentang pelbagai aspek

pemikiran Ibn ‘Arabî. Pembahasan yang disajikan Chittick meliputi kajian teologi,

ontologi, epistemologi, hermeneutik, dam aspek lainnya.

Karya Claude Addas Quest for The Red Sulphur21, merupakan kajian biografi

Ibn ‘Arabî yang termasuk kategori terlengkap. Ia sangat berjasa mengemukakan

proses pencapaian intelektual Ibn ‘Arabî. Addas tidak keberatan untuk mengritisi

hipotesa para penulis sebelumnya yang dianggapnya keliru. Tetapi terkadang, ia

sendiri terjebak pada asumsi yang terkesan berlebihan mengenai Ibn ‘Arabî.

Karya Stephen Hirtenstein The Unlimited Mercifer: The Spiritual Life and

Thought of Ibn ‘Arabî yang diterjemahkan oleh Tri Bowo dengan judul Dari

Keragaman ke Kesatuan Wujud (2001). Buku ini sangat menarik karena

membicarakan perjalanan pemikiran Ibn ‘Arabî menurut alur historis secara lengkap.

Stephen bisa menampilkan alur pemikiran tersebut dengan mengaitkan tinjauan

geografis dan sosiologis.

Karya S.A.Q. Husaini The Pantheistic Monism of Ibn ‘Arabî (1945)22, sesuai

dengan judulnya karya ini mengklaim bahwa Ibn ‘Arabî membangun pemikiran

monisme panteistik. Oleh karena itu, Husaini mencoba mengupas pernyataan-

pernyataan Ibn ‘Arabî yang ia anggap sebagai monisme pantesitik.

Masih dengan tema yang sama mengenai pemikiran Ibn ‘Arabî adalah buku

Wahdah al-Wujûd Ibn ‘Arabî dan Panteisme (1993)23. Penelitian Prof. Dr. Kautsar

Azhari Noer, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, merupakan karya

khusus yang membicarakan paham wahdah al-wujûd Ibn ‘Arabî secara komprehensif.

20 Diterbitkan di Albany: State University of New York Press, 1989 21 Diterbitkan di Cambridge: The Islamic Text Society, 1993. 22 Diterbitkan di Lahore: SH. Muhammad Ashraf, 1945. 23 Diterbitkan oleh Paramadina dengan judul Ibn ‘Arabî Wahdah al-Wujûd dalam Perdebatan,

Jakarta: 1995.

Page 17: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Disertasi yang diterbitkan oleh Paramadina dengan judul Ibn al-‘Arabî: Wahdat al-

Wujûd dalam Perdebatan, secara jelas dan lugas mengurai hal-hal yang rumit

mengenai wahdah al-wujûd yang diklaim menjadi doktrin inti dan fundamen dari

keseluruhan pandangan teologis dan metafisis Ibn ‘Arabî. Paham wahdah al-wujûd

seringkali disalahpahami oleh sebagian ulama Sunnî, bahkan dicap sesat dan kufur.

Namun Kautsar, dengan amat meyakinkan baik secara materi maupun metodologi,

berhasil membuktikan bahwa paham ini benar-benar hendak meneguhkan keesaan

Allah dalam segala aspeknya dan sama sekali jauh dari unsur “penyimpangaan”

apalagi sesat dan kufur.

Selain itu, karya terbaru tentang Ibn ‘Arabî adalah Meraih Hakikat Melalui

Syari’at: Telaah Pemikiran Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabî (2006)24. Tesis Nurasiah

Faqihsutan di McGill University Kanada ini, khusus mengamati pemikiran-pemikiran

Ibn ‘Arabî dari sisi fiqh praktis. Menurut Nurasiah, kebanyakan wacana yang

berkembang di dunia Muslim adalah memandang sinis pemikiran Ibn ‘Arabî bahkan

dicurigai dan dijauhi. Ini dikarenakan Ibn ‘Arabî dianggap sebagai tokoh sufi yang

melenceng dari syari‘at atau tidak memperhatikan aturan syari’at. Padahal yang

terjadi hanyalah perbedaan dalam penekanan makna, aspek, dan fungsi syari‘at itu

sendiri.

Selain itu, juga terdapat beberapa buah skripsi yang membahas Ibn ‘Arabî. Di

antaranya, skripsi Konsep al-Insân al-Kâmil Ibn ‘Arabî yang ditulis oleh Fauzan

Fagudyama (2005). Sesuai judulnya, skripsi tersebut berkutat pada permasalahan

‘manusia sempurna’ dalam pandangan Ibn ‘Arabî. Di samping itu, terdapat skripsi

yang ditulis oleh Ivan M. F. Hanifa berjudul Kajian Hermeneutis Konsep Chun Tzu

Kung Fu Tze dan Insan Kamil Ibn ‘Arabî (2004). Kajian yang dikemukakan Ivan

24 Diterbitkan oleh Mizan, Bandung: 2006.

Page 18: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

berupa studi komparatif antara permikiran hermeneutik tokoh legendaris Chun Tzu Fu

Tze dan konsep al-insân al-kâmil Ibn ‘Arabî dengan menggunakan konsep

hermeneutik Dilthey sebagai landasan. Setelah itu, juga terdapat skripsi yang

mengupas tradisi tasawuf amali yang dibangun Ibn ‘Arabî. Skripsi tersebut berjudul

Tazkiyah al-Nafs Ibn ‘Arabî oleh M. Asari (2006).

Sebenarnya, masih banyak kajian yang ditulis mengenai Ibn ‘Arabî. Namun,

kebanyakan penulis hanya tertarik mengemukakan aspek filosofis dan esoteris,

terutama mengenai al-insân al-kâmil. Secara umum para penulis berkutat pada konsep

tasawuf falsafi. Kalaupun terdapat pembahasan mengenai teologi, itu hanya sebatas

persoalan wujud.

E. Metode Penelitian

Kajian ini dilakukan dengan metode kepustakan (library research) atau

kualitatif. Adapun sumber-sumber data yang digunakan selama penelitian ada dua

ketegori, yaitu primer dan sekunder. Data-data primer yang digunakan seperti karya

agung Ibn ‘Arabî al-Futûhât al-Makkiyyah, Fushûsh al-Hikam dan karya-karyanya

yang lain jika dibutuhkan.

Sedangkan sumber-sumber sekunder yang dimanfaatkan kebanyakan dari

literatur berbahasa Arab seperti Syarh Fushûsh al-Hikam karya Musthafâ bin

Sulaymân Bâlîzâdeh, al-Insân al-Kâmil karya ‘Abd al-Karîm al-Jîlî, al-Yawâqît al-

Jawâhîr karya ‘Abd al-Wahhâb al-Sya‘rânî, al-Majmû‘ al-Fatâwâ karya Ibn

Taymiyyah dan literatur lainnya. Adapun dari literatur berbahasa Inggris di antaranya,

karya Claude Addas Quest for the Red Sulphur dan beberapa karya lain sebagai

tambahan.

Page 19: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Dalam memaparkan hasil kajian ini, penulis menggunakan metode deskriptif

yang disertai dengan analisis teologis dengan mempertimbangkan aspek esoteris. Ini

dikarenakan ungkapan Ibn ‘Arabî dipenuhi dengan ungkapan metaforis. Namun,

pendekatan yang digunakan dalam analisis tersebut adalah pendekatan teologis.

Adapun metode penulisan merujuk kepada buku panduan penulisan karya ilmiah yang

dikeluarkan oleh Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tahun 2004 pada penulisan footnote dan Paramadina pada transliterasi.

F. Sistematika Penulisan

Adapun untuk menjaga sitematika penulisan sehingga terfokus pada kajian

yang dimaksudkan, maka penulisan ini disusun berdasarkan sistematika berikut ini.

Pada bab pertama, dikemukakan mengenai pendahuluan yang terdiri dari latar

belakang penulisan skripsi ini. Dalam hal ini, penulis mengemukakan kronologi

perdebatan para teolog mengenai status teologi Ibn ‘Arabî. Selain itu, dikemukakan

rumusan dan batasan permasalahan yang akan dikemukakan pada skripsi ini. Penulis

menjelaskan bahwa kajian ini merupakan kajian teologis. Namun dalam beberapa hal

tetap akan menyinggung permasalahan esoteris dan filosofis. Kemudian dijelaskan

mengenai kajian kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Pada bab kedua, akan dikemukakan biografi Ibn ‘Arabî yang meliputi

perjalanan historis yang dilalui, sehingga membentuk karakter intelektual yang khas.

Dalam hal ini, lebih ditekankan mengenai perkembangan Ibn ‘Arabî sebagai seorang

Page 20: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

teolog Muslim. Begitu juga, dikemukakan karya-karya utama Ibn ‘Arabî yang

berkaitan dengan kajian teologi.

Pada bab ketiga, diungkapkan gagasan Ibn ‘Arabî menerapkan hierarki teologi

dengan ungkapan teologis yang kental sesuai dengan tingkatan keimanan seseorang.

Oleh karena itu, akan diperoleh gambaran mengenai bagaimana sikapnya terhadap

akidah golongan awam, teolog, dan sufi.

Pada bab keempat, dikemukakan komentar para ulama mengenai status teologi

Ibn ‘Arabî. Pada tahapan ini dikaji perdebatan mereka mengenai apakah Ibn ‘Arabî

seorang yang cenderung kepada Sunnî atau Syî‘ah. Selain itu, dikemukakan kritikan

.ulûlh dan âdhittiIbn Taymiyyah terhadap pandangan Ibn ‘Arabî mengenai akidah

Pada bab kelima, akan dikemukakan kritikan Ibn Taymiyyah terhadap Ibn

‘Arabî mengenai tema keimanan Fir‘awn; salah satu tema teologi yang sensitif di

kalangan Sunnî. Setelah itu, disajikan komparasi pada karangan-karangan Ibn ‘Arabî

dan pembelaan al-Sya‘rânî. Dengan demikian, akan ditemukan beberapa keganjilan

dan kontradiksi dari teks-teks yang ditinggalkan oleh Ibn ‘Arabî. Selain itu,

dikemukakan pandangan Ibn ‘Arabî mengenai wacana kenabian dan kewalian. Begitu

juga, sorotan para teolog terhadap konsep nubuwwah dan walâyah Ibn ‘Arabî. Pada

bagian ini, akan diketahui kekeliruan sebagian teolog terhadap dua konsep ini dalam

pemikiran Ibn ‘Arabî, baik para teolog yang mengritisi maupun yang membela.

Pada bab keenam, disajikan penutup yang berupa kesimpulan dari kajian

dalam tulisan ini. Dalam hal ini, penulis akan menyimpulkan mengapa terjadi

pengafiran terhadap Ibn ‘Arabî dan kecendrengan teologis yang dianutnya. Selain itu,

kesimpulan ini juga disertai dengan saran yang berhubungan dengan kajian ini.

Page 21: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

BAB II

BIOGRAFI IBN ‘ARABÎ SEBAGAI SEORANG TEOLOG

A. Perkembangan Intelektual

ammad bin h bin Muîammad bin ‘Alh Mu‘Arabî adalahIbn lengkap ama N

AbûIa digelari dengan . îsûlaAnd- alâ’îTh- alîtimâH- al‘Arabî-h alâmad bin AbdullhA

alif dengan tambahan atau‘Arabî Ibn Dîn-yi alhMupopuler dengan nama Ia . Bakr

lam; Ibn al-‘Arabî.25 Ibn Katsîr seorang sejarawan Muslim abad ke-8 menyebutkan

tanpa alif lam pada kata ‘Arabî, dan gelarnya adalah Abû ‘Abdillâh.26 Hal ini

menunjukkan bahwa penamaan Ibn ‘Arabî atau Ibn al-‘Arabî digunakan oleh para

Syaykh -al lain itu ia juga dikenal sebutanSe. îammad bin ‘Alhsejarawan terhadap Mu

al-Akbar Ibn ‘Arabî al-Shûfî. Gelar kehormatan tersebut membedakannya dengan

madzhab fiqh dan tsîadH seorang ahli .)H543 (Ma‘afirî -‘Arabî al- Ibn alQâdhî

Mâlikî.

Selain itu, penisbahan nama Ibn ‘Arabî mengisyaratkan bukan kepada

ayahnya, tetapi kepada ‘Abdullâh al-‘Arabî empat generasi di atasnya. Ibn ‘Arabî

Bani Thayy (â’î Th-al timâHmengakui bahwa dirinya masih keturunan ‘Abdullah bin

dari Yaman) salah seorang sahabat Nabi Saw. Ini salah satu faktor yang menyebabkan

ia dan keluarganya mendapatkan strata sosial yang tinggi di Andalusia. Pengakuan ini

dinilai Claude Addas tidak berlebihan, karena bisa ditinjau dari sisi historis imigran

khalifah ) .H172 (mân I hRa-Proses imigrasi pernah terjadi pada masa ‘Abd al. Arab

Umayyah II di Andalusia. Addas menyebutkan bahwa para imigran berasal dari Syria

25 Ibn Hajr, Lisân al-Mîzân, (Beirut: Mu'assasah al-A‘lamî, 1986), v. 5 h. 311. 26 Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, (Kairo: Dâr Ibn al-Haytsam, 2006), v. 13 h. 90.

Page 22: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

dan Yaman. Mereka membentuk kelompok-kelompok keluarga besar (buyûtât) di

semenanjung Iberian. Sebagian mereka ada yang menetap di kota Jaén, Baza dan

Tijola. Kota tersebut merupakan bagian selatan dari wilayah Murcia; kota kelahiran

Ibn ‘Arabî.27

Ibn ‘Arabî lahir pada malam Senin 17 Ramadhan tahun 560 H. (1160 M.) di

kota Murcia bagian selatan Spanyol. Ia dilahirkan dari seorang ayah yang ahli dalam

Ayahnya . dan tasawuf, tsîadH, fiqhseperti , pelbagai cabang ilmu keislaman

di Andalusia yang berteologi âdhîmad merupakan salah seorang qhammad bin AhMu

Selain sebagai . termasuk orang yang dihormati oleh pihak penguasaAyahnya. Sunnî

Ibn . mad juga merupakan guru pertama di keluarganyahammad bin AhMu, ayah

‘Arabî dididik dengan baik dan dipertemukan oleh ayahnya dengan banyak tokoh

intelektual pada masa tersebut.

Setelah itu, ia berpindah ke Sevilla pada tahun 568 H., lalu menetap selama 30

Sevilla dipimpin oleh Sulthân , Pada masa itu. H598 /587 sampai tahun ,tahun

memasuki ‘Arabîperiode pertama Ibn Masa ini merupakan. ammad bin Sa‘dhMu

dunia intelektual, walaupun ia masih berumur tujuh tahun.28

Ibn ‘Arabî mempunyai sangat banyak guru dalam pelbagai disiplin ilmu. Ia

- alhûRmenyebutkan sekitar limapuluh lima tokoh di antara guru spiritual di dalam

tokoh yang menjadi -ia hanya menyebutkan tokoh, hûR Di dalam kitab 29.Quds

gurunya pada periode pertama, yaitu ketika masih di Andalusia dan Maroko. Tetapi

Tetapi ia menulisnya ketika melakukan . ditulis pada masa tersebuthûRbukan berarti

haji yang pertama atau setelahnya. Hal ini dikarenakan ia menyebutkan beberapa

27 Claude Addas, Quest for The Red Sulphur, (Cambridge: The Islamic Texs Society, 1993), h.

45. 28 Ibn al-Maqarrî al-Tilmisânî, Nafh al-Thîb min Ghishn al-Andalûs al-Thayyib, (Beirut: Dâr

Shader, 1997), v. 2 h. 161. 29 Ibn ‘Arabî, Rûh al-Quds, (Damaskus: Mu'assasah al-‘Ilm, 1964), h. 84.

Page 23: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

kejadian saat berkunjung dan mengajar di Makkah.30 Sedangkan haji yang pertama

dilakukannya pada periode kedua (pasca Andalusia dan Maroko) tahun 599 H.31,

sehingga mustahil ia menceritakan perihal Makkah ketika periode pertama.

Di samping itu, ia menyebutkan tokoh yang berbeda sekitar tujuhpuluh nama,

, ât'qiraDi antara mereka ada yang ahli . ketika mengijazahkan Sulthân Muzhaffar

Claude Addas memperkirakan 32.dan lainnya, sejarah, tsîadH, teologi, fiqh

pengijazahan tersebut dilakukan sekitar tahun 632 H. ketika telah menetap di

Damaskus. Tetapi, Addas mengingatkan bahwa jumlah (sekitar 70 tokoh) tersebut

bisa jadi belum mencakup semua guru Ibn ‘Arabî. Ini dikarenakan masa itu adalah

setelah ia berumur tujuhpuluh, sehingga mungkin terjadi kelupaan.33

Namun, penelitian Addas berhasil mengumpulkan jumlah guru Ibn ‘Arabî

berdasarkan dua bagian selama periode Andalusia. Lebih dari enampuluh tokoh yang

menjadi guru Ibn ‘Arabî pada periode 565 sampai 585 H. yang kebanyakan

berdomisili di Kordoba. Sedangkan pada periode 585 sampai 610 H. terdapat seratus

tokoh yang kebanyakan berdomisili di Sevilla. Addas menjelaskan bahwa semua

-dan al, fiqh, adîtsHjumlah itu mencakup pelbagai disiplin ilmu tradisional seperti

Qur’ân, bahkan juga termasuk disiplin ilmu sastra, bahasa, dan teologi.34

Dalam hal ini, sejarawan klasik Ibn al-Maqarrî pernah memberikan sebagian

perincian daftar nama guru Ibn ‘Arabî. Sebagaimana tokoh Muslim lainnya, Ibn

‘Arabî memulai dengan mempelajari dan mendalami al-Qur’ân. Di Sevilla, Ibn ‘Arabî

mendapatkan ijâzah (sertifikasi) dari banyak ulama dalam pelbagai cabang ilmu.35 Di

antara tokoh yang menjadi tempat Ibn ‘Arabî mendalami al-Qur’ân adalah Abû Bakr

30 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 9 dan 12. 31 Ibn al-Maqarrî, Nafh, v. 2 h. 263. 32 Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘ Karâmât al-Awliyâ’, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2005), v. 1 h. 202. 33 Claude Addas, Quest, h. 96. 34 Claude Addas, Quest, h. 94. 35 Ibn al-Maqarrî, Nafh, v. 2 h. 161.

Page 24: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Ra‘înî -ammad alhk dari Mu anahasan SyurayH-Abû al, sab‘ahâ’ahqirLakhmî ahli -al

penulis kitab al-Kâfî dalam ilmu qirâ’ah, dan Abû al-Qâsim al-Syarrâth. Selain kitab

Muqrî dan -ammad alh karangan Abû MurahîTabsh-alia mempelajari kitab , îfâK-al

kitab al-Taysîr karangan Abû ‘Amr bin Abû Sa‘îd al-Dânî.36 Ia mempelajari fiqh

37.hîfaqammad bin Qasûm seorang sufi dan hdengan madzhab Mâlikî kepada Mu

Bahkan Claude Addas menegaskan bahwa semua guru spiritual Ibn ‘Arabî di

Andalusia bermadzhab Mâlikî. Hal ini tidaklah mengherankan karena Mâlikî

merupakan madzhab mayoritas di Andalusia. Tetapi hal itu tidak menghalanginya

38.azm yang bercorak ZhâhirîHseperti fiqh Ibn , untuk mempelajari madzhab lain

Isybîlî ketika masih -aqq alH- dari ‘Abd altsîadHIbn ‘Arabî mempelajari

aqq mengijazahkan semua karangannya dalam cabang H-‘Abd al. bermukim di Sevilla

dari Yunûs bin îrâBukh- alhîhShaIa mempelajari . kepada Ibn ‘ArabîtsîadHilmu

Tetapi 39.arastanîH-Shamad al-Abd al dari ‘ MuslimhîhShaâsyimî dan H-yâ alhYa

- dari tokoh lain seperti Ibn Shâ‘id al MuslimhîhShaia juga mempelajari , tampaknya

‘Arâwî.40

Kekeringan spiritual Ibn ‘Arabî mulai tercerahkan nuansa spiritual karena

‘ArabîIbn . Sevilla di îbî‘Ar-mad alh Ja‘far Aû Abdenganpertemuannya

menyebutkan bahwa al-‘Arîbî merupakan guru pertama yang ia temui dalam dunia

spiritual. Dalam pandangan Ibn ‘Arabî, al-‘Arîbî merupakan sosok yang menarik. Hal

ini dikarenakan al-‘Arîbî seorang yang buta huruf. Tetapi penjelasannya mengenai

teologi sangat memuaskan, karena tidak kering dari nuansa spiritual. 41

36 Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘, v. 1 h. 202-203. 37 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 55. 38 Claude Addas, Quest, h. 45. 39 Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘, v. 1 h. 203. 40 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 2 h. 452. 41 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 46.

Page 25: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Di antara tokoh yang sangat berpengaruh pada diri Ibn ‘Arabî selama di

Andalusia adalah Abû Ya‘qûb bin Yakhlûf al-Kûmî sahabat Abû Madyan. Ia

mengenal kitab Risâlah al-Qusyayrî untuk pertama kali ketika melakukan perjalanan

-ammad alh Tetapi ia mendapatkan ijazah kitab ini dari Mu42.dengan Abû Ya‘qûb

Bakrî.43 Walaupun telah mendapatkan nuansa spiritual dari al-‘Arîbî, tetapi Ibn ‘Arabî

belum mengenal literatur tasawuf kecuali setelah bertemu dengan Abû Ya‘qûb.

أA(@ ر?( /< ا/=(>;:ي و95 8 ه067 015 ر4" ا3 012 و/. أآ+ *() ر .و* ل /" ا*:أ... 5 ذا HI2 JIK16وG F;:ه وF آ1@ أدري /DE< ا/BC$ف

Di antara hal menarik yang aku temukan dari Abû Ya‘qûb adalah ketika aku belum mengenal kitab Risâlah al-Qusyayrî dan literatur lainnya, bahkan belum mengenal terminologi tasawuf... Ia berkata kepadaku bacalah

(kitab ini).

Kitab Risâlah merupakan kitab tasawuf yang sangat populer di kalangan

ulama. Kitab tasawuf tersebut ditulis oleh al-Qusyayrî (465 H.) berdasarkan akidah

Sunnî Asy‘ariyyah yang diyakininya. Al-Qusyayrî menulis kaedah teologi pada

permulaan kitab Risâlah.44 Hal ini yang menyebabkan al-Qusyayrî pernah diusir oleh

kelompok Mujassimah (antropomorfisme) dengan menghasut penguasa Naisapur.

Walaupun demikian, Ibn ‘Arabî menilai bahwa sikap al-Qusyayrî mengemukakan

kaedah teologi di permulaan kitabnya bertujuan untuk menghindari asumsi negatif

kaum teolog kapadanya dan para tokoh sufi.45

Selain belajar dari tokoh lelaki, ia juga tidak merasa sungkan untuk belajar

kepada tokoh perempuan seperti Fâthimah bint Abû al-Mutsannâ. Fâthimah

merupakan tokoh sufi perempuan di Sevilla. Ibn ‘Arabî adalah murid yang paling

42 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 49. 43 Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘, v. 1 h. 204. 44 Al-Qusyayrî, al-Risâlah al-Qusyayriyyah ed. Hânî al-Hajj, (Kairo: al-Tawfîqiyyah, t.t.), h.

22. 45 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 8 h. 287.

Page 26: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

disayanginya. Hal ini dikarenakan ia belajar dengan sepenuh hati kepada Fâthimah.46

Ia menuturkan,

1T((" إA(( ي، آ ن(@ 6=(($ل 1RSTAF(" أM)N :));G ")I2 OP7))A +)95 7))Qن 6 0X)Tك ب:)CA0 وX)TRب Fإ ")I2 OP7)A 7)Qأ .Z15 5 ل$=CN ل /] ب9 ذاك =;NHN أG:ا04 5(+ دار_ وأهI(0 إF 5^9(7 ب(+ ا/T:ب(" و/(7ي و*(:ة N ،")12(\ذا

0IZب OPد "I2 OPد. Dia (Fâthimah) berkata: "Tidak ada orang yang membuat aku kagum melainkan si fulan; maksudnya adalah saya". Ada yang bertanya mengapa ia kagum, Fâthimah menjawab: "Hal ini dikarenakan kalian datang untuk belajar kepadaku, sedangkan pemikiran kalian masih di rumah dan keluarga kalian, kecuali Ibn ‘Arabî anakku dan penyejuk hatiku. Apabila belajar kepadaku, ia

datang dengan sepenuh hati".47

Pada masa ini juga, ia melakukan kunjungan ke pelbagai kota dan negara luar,

walaupun belum menetap di sana. Kesempatan berkunjung tersebut ia gunakan untuk

belajar kepada para ulama, seperti Ibn Basykawâl seorang pakar sejarah di Kordoba.48

Setelah itu, pada tahun 590 H. ia berkunjung ke kota Fez salah satu kota di Maroko,

sehingga bertemu dengan Abdullâh dan Ismâ‘îl bin Sawdakîn yang bakal menjadi

murid setianya. Pada tahun itu juga, ia berkunjung ke Tunisia. Di sana ia bertemu

dengan ‘Abd al-‘Azîz al-Qurasyî. Namun pada tahun 595, Ibn ‘Arabî kembali ke

Sevilla. Tahun ini merupakan masa wafat Ibn Rusyd, salah seorang tokoh intelektual

yang ia disenangi, sehingga ia menyempatkan menghadiri pemakamannya.49

Pada tahun 598 ia berkunjung untuk kedua kalinya ke Maroko, tetapi kembali

lagi pada tahun yang sama. Tidak ditemukan keterangan bahwa Ibn ‘Arabî telah

menikah pada masa kunjungan. Tetapi Addas mempunyai asumsi bahwa Ibn ‘Arabî

melakukan nikah kontrak.50

46 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 85. 47 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 85. 48 Ibn al-Maqarrî, Nafh, v. 2 h. 162. 49 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 235. 50 Claude Addas, Quest, h. 40.

Page 27: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

It is perfectly possible that Ibn ‘Arabî only contracted a merriage after his arrival in the East...

Hal itu sangat memungkinan Ibn ‘Arabî melakukan nikah kontrak saja setelah sampai di Timur...51

Asumsi ini terkesan sangat berlebihan dan keliru, karena keadaan sosiologis di

sana tidak memungkinkan Ibn ‘Arabî melakukan hal itu. Hal ini dengan

mempertimbangkan teologi Sunnî dan madzhab fiqh (Mâlikî dan Zhâhirî) yang

berkembang luas di Andalusia dan Maroko. Sedangkan teologi Sunnî dan dua

madzhab fiqh tersebut dengan tegas mengharamkan nikah kontrak.

Setelah periode ini, tahun 598 yaitu setelah ibunya meninggal dunia, ia

melanjutkan perjalanan ke Marakez salah satu kota di Andalusia.52 Pada tahun yang

sama, ia berkunjung dan menetap sementara di Maroko, lalu meneruskan ke arah

Timur. Ibn al-Abbâr menginformasikan bahwa setiap kali Ibn ‘Arabî berkunjung ke

suatu daerah, ia selalu belajar dari para ilmuwan setempat.53 Oleh karena itu, di sela-

, etempat dari para ulama sijâzah banyak memperoleh ‘ArabîIbn sela kunjungannya

Hal ini 54 .îJawz-fizh Ibn alâH-al, kirâfizh Ibn ‘AsâH-al, îSalaf-fizh alâH-seperti al

tsîadHtokoh yang mendalami ilmu termasuk ‘Arabîmenunjukkan bahwa Ibn

langsung kepada tokoh ternama pada masanya. Di samping itu, mereka juga teolog

î adalah tokoh Sunnî yang teguh dengan akidah ahli Salaf-lA. Sunnîyang beraliran

kir merupakan tokoh yang paling kuat membela dan membuktikan â Ibn ‘As.adîtsH

n î Taby secara historis dalam kitabnyaîAsy‘ar-asan alH- alûAbteologi kebenaran

Kadzb al-Muftarî. Sedangkan Ibn al-Jawzî merupakan tokoh yang sangat keras

menentang teologi Mujassimah (antropomorfisme) dalam kitabnya Daf‘ al-Syubah.

Latar belakang ini merupakan bekal bagi Ibn ‘Arabî dalam mendalami pemikiran

51 Claude Addas, Quest, h. 40. 52 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 117. 53 Ibn al-Maqarrî, Nafh, v. 2 h. 263. 54 Ibn al-Maqarrî, Nafh, v. 2 h. 162.

Page 28: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

kitab - tidak hanya mengajarkan kitabpara ulama tersebutIni dikarenakan . teologi

.kitab yang bernuansa teologis-tetapi juga kitab, dan hukumtsîadH

Selain tiga tokoh di atas, Ibn ‘Arabî sempat melakukan perdebatan teologis di

Fez dengan Abû ‘Abdillâh al-Kannânî teolog Asy‘ariyyah kenamaan di Maroko.

Mereka berdiskusi mengenai sifat Allah; apakah sebagai nisbah atau afiliasi (ziyâdah)

pada zat-Nya. Tukar pikiran tersebut mengarah kepada perbedaan yang tidak bisa

dikompromikan. Al-Kannânî bertahan dengan konsep teologi tersebut, tetapi ia juga

menyalahkan konsep Ibn ‘Arabî.55

Selain bertemu dengan para teolog Asy‘ariyyah, persentuhan pemikiran Ibn

‘Arabî dengan Mu‘tazilah juga terlihat sangat menarik. Dalam salah satu

penuturannya, ia menyebutkan pertemuan dengan Abû ‘Abdillâh bin Junayd seorang

tokoh Mu‘tazilah dari Qabrfîq satu wilayah dari kota Randah. Sebagaimana dalam

doktrin Mu‘tazilah, Abû ‘Abdillâh meyakini bahwa makhluk menciptakan

perbuatannya sendiri. Sedangkan dalam pandangan Ibn ‘Arabî, doktrin tersebut sangat

keliru. Oleh karena itu, ia mengajak Abû ‘Abdillâh berdiskusi agar meninggalkan

kekeliruan teologi yang dianutnya. Ibn ‘Arabî mampu mempengaruhinya dengan

menjelaskan interpretasi ayat al-rijâl qawwâmûn ‘alâ al-nisâ'.56

9IN رجa إ/H ب7I_ 5>;@ إ/H زA رN 06" بN _7I:دد06 وجa;9 أص^ ب0 c/ذ HI2 3ا :Z<N ل TNdا JIP "N 0Rهe5 +2.

Maka setelah ia (Abû ‘Abdillâh) kembali ke negerinya (Randa), aku pergi berkunjung ke sana. Setelah sampai di sana, aku kembali berdiskusi dengannya dan para pengikutnya agar meninggalkan madzhab teologi (mu‘tazilah) mengenai konsep penciptaan perbuatan. Ia bersyukur kepada

Allah terhadap penjelasanku tersebut.57

Hal ini mengindikasikan bahwa Ibn ‘Arabî telah mempelajari perdebatan

teologis antara Asy‘ariyyah dan Mu‘tazilah sebelum bertemu dengan Abû ‘Abdillâh

55 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 7 h. 33. 56 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 2 h. 372. 57 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 2 h. 372.

Page 29: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

bin Junayd, sehingga dengan mudah memahami kekeliruan rekannya. Bahkan hal di

atas menunjukkan penguasaan Ibn ‘Arabî dalam memahami tema-tema penting

teologi Islam.

Setelah pelbagai kunjungan dilakukan pada periode ini, Ibn ‘Arabî berniat

melanjutkan perjalanan ke ia 598 pada tahun , Oleh karena itu. untuk menunaikan haji

dan tidak . H601m pada tahun âSy, .)H598 terutama Makkah tahun (zâijH, Mesir

pernah kembali lagi ke Andalusia.58

Sebelum menuju Syâm, ia berkunjung ke Makkah (598-599 H.) untuk

melaksanakan haji, Ibn ‘Arabî menyempatkan belajar dari beberapa tokoh seperti Abû

-Sunan alIa mempelajari . aramH-Isfahânî seorang imam di Maqâm al-Syujâ‘ al

Tirmidzî dari Abû Syujâ‘. Adapun Sunan Abû Dâwud dipelajarinya dari al-Burhân

Masa ini sangat 59.anâbilahH- seorang imam Maqâm alhFutû-Nahsr bin Abû al

berpengaruh kepada Ibn ‘Arabi dalam kecenderungannya terhadap metode mayoritas

y'raadîts daripada Hteolog Sunnî yang lebih memprioritaskan kedudukan

(pemikiran). Ia mengatakan seandainya ra'y lebih utama, maka pemikiran Nabi Saw

tentu lebih utama. Tetapi hal itu akan menyebabkan Nabi Saw tidak ma‘shûm,

sehingga rentan terhadap kesalahan. Ia menukil sebuah anekdot dari Qâdhî Abd al-

Wahhâb -Qâdhî Abd al. adîtsHhuran Azdî yang menunjukkan kelu-Wahhâb al

menceritakan bahwa ia melihat dalam mimpinya ada kitab-kitab yang ditinggikan dan

direndahkan tempatnya, lalu ia bertemu dengan seorang yang saleh yang telah

meninggal. Ia menanyakan tentang kitab yang ditinggikan dan direndahkan tersebut.

Orang yang saleh tersebut menjawab bahwa kitab yang ditinggikan adalah kitab

60.y'rasedangkan yang direndahkan adalah kitab , adîtsH

58 Ibn al-Maqarrî, Nafh, v. 2 h. 263. 59 Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘, v. 1 h. 203. 60 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v 5 h. 101.

Page 30: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Setelah melaksanakan haji, ia kembali melakukan perjalanan pada tahun 600

H., dari Makkah menuju Mosil (salah satu kota di Syâm) tahun 601 H., Baghdâd,

Kairo pada tahun 603 H., lalu ia kembali melaksanakan haji untuk kedua kalinya pada

tahun 604 H. Ia juga melakukan haji lagi pada tahun 611, lalu berkunjung ke Konya

pada tahun 612 H. lalu pegi ke Damaskus untuk pertama kali pada tahun 620. Setelah

itu menetap di Aleppo tahun 628. Namun kemudian, ia kembali ke Damaskus pada

tahun 629. Di kota ini ia menyebarkan ajarannya secara utuh sampai akhir hayatnya

Zakî yang -Dîn Ibn al-yi alhAktivitas Ibn ‘Arabî disokong oleh Qâdhî Mu. 638

bermadzhab al-Syâfi‘î dan berteologi Asy‘ariyyah. Ia wafat di rumah Qâdhî pada

malam Jum‘at 28 Rabî‘ al-Akhîr, dan dimakamkan di pemakaman Banî Zakî.61

Adapun mengenai kecerdasannya, potensi Ibn ‘Arabî telah terlihat ketika masa

kecilnya. Hal ini diakui oleh Ibn Rusyd filosof Muslim Peripatetik. Ia sendiri juga

Saat itu Ibn Rusyd . tâhûFut-almenceritakan pertemuannya dengan Ibn Rusyd dalam

merupakan Qâdhî di kota Kordoba. Ia menuturkan bahwa Ibn Rusyd terlihat senang

dengan pertemuan tersebut, terutama ketika mendengarkan penjelasan menarik yang

menunjukkan ketajaman paham yang dianugerahkan Allah kepada Ibn ‘Arabî. Pada

saat itu Ibn Rusyd sedang bersama para sahabatnya, sedangkan Ibn ‘Arabî masih

belum dewasa. Pada kesempatan lain, terkadang Ibn Rusyd meminta bertemu Ibn

‘Arabî dan ayahnya, dan terkadang sebaliknya. Ia juga menuturkan bahwa Ibn Rusyd

sangat bersyukur bisa bertemu dengannya, karena merasa mendapatkan pencerahan

spiritual. Tetapi ia sendiri memuji Ibn Rusyd dengan menyebutkannya sebagai

golongan arbâb al-fikr wa al-nazhr al-‘aqlî (tokoh pemikir logis) sebuah sanjungan

61 Muhammad bin Syâkir al-Katbî, Fawât al-Wafâyât, (Beirut: Dâr Shâder, t.t.), v. 3 h. 345.

Page 31: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

bagi seorang ilmuwan. Ibn Rusyd wafat saat Ibn ‘Arabî telah dewasa, yaitu tahun 595

M. ketika kembali dari Maroko.62

Pertemuannya dengan Ibn Rusyd, sangat berarti bagi Ibn ‘Arabî dalam

memahami pemikiran filsafat dan teologi. Namun tidak ditemukan pengaruh Ibn

Justeru . ‘Arabî pada karangan Ibn îlâGhaz-mid alâH Abû mengritisiRusyd dalam

sebaliknya, Ibn ‘Arabî termasuk orang yang melakukan pembelaan terhadap al-

‘ArabîIbn . âbunâhhas atau kasyf-ib alhâshsehingga menyebutnya sebagai , Ghazâlî

sebagai tokoh yang âthFutû-alkali dalam kitabnya 18 lebih dari Ghazâlî-almenyebut

Adapun sanggahannya terhadap .ia bela dan terima konsep pemikirannyacenderung

Hal ini karena . r Ahlihiy Ghaân ‘alûMadhnditujukan pada isi kitab , mâIsl-ujjah alH

al-Ghazâlî mencoba memahami Allah melalui pendekatan logika.63 Besar

kemungkinan kitab tersebut dikarang al-Ghazâlî sebelum menjadi sufi. Sedangkan, di

Ghazâlî - ia merasa keberatan dengan pandangan teologi alikamH- alhsûFushdalam

yang berpendapat bahwa Allah bisa dikenal tanpa memikirkan alam semesta.64 Dua

kritikan ini terkesan kontradiktif, tetapi hal tersebut merupakan bukti bahwa Ibn

‘Arabî sangat tertarik pada permasalahan teologi.

Namun demikian, ketokohan al-Ghazâlî terlihat berpengaruh pada pemikiran

teologis Ibn ‘Arabî. Hal menarik dari sikap Ibn ‘Arabî dalam hal ini adalah ketika

memandang al-Ghazâlî bukan sebagai seorang tokoh Asy‘ariyyah, tetapi sebagai

pembangun teologi sufi. Ide-ide al-Ghazâlî sangat berpengaruh pada ‘Arabî dalam

beberapa tema teologi, di antaranya mengenai konsep tajsîm dan tanzîh, kritikan

terhadap kelompok kebatinan, dan kenabian. Dalam tema-tema kesufian, Ibn ‘Arabî

sering mengutip dan mengembangkan pandangan al-Ghazâlî, seperti pembahasan

Adapun . asipenciptaan Âdam dan kontempl, zuhud, ayrahhmengenai maqâm

62 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 235. 63 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 6 h. 248. 64 Ibn ‘Arabî, Fushûsh al-Hikam, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 2003) h. 67.

Page 32: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

pernah dilakukannya ketika ) 'yâhIseperti (Ghazâlî -pembacaannya terhadap karya al

65.Tilmisânî-Shadafî al-ammad bin Khâlid alhdi Makkah melalui bimbingan Mu

Selain al-Ghazâlî, karya-karya al-Juwaynî dan al-Isfaraynî yang berteologi

Asy‘ariyyah tampak mempengaruhi Ibn ‘Arabî. Pembacaan terhadap karya-karya

tersebut bisa dipastikan pernah dilakukan Ibn ‘Arabî, karena teologi Asy‘ariyyah

merupakan aliran yang paling populer di Andalusia pada saat itu dan karya-karya

mereka merupakan rujukan utama dalam teologi Asy‘ariyyah.66 Hal ini terbukti

dengan penukilan pemikiran mereka yang sering menghiasi kajian teologis Ibn ‘Arabî

. merekamengritisiya untuk hal ini tidak menghalangin, Namun. âthFutû-aldalam

Selain tokoh klasik, Ibn ‘Arabî pernah menulis Risâlah yang berisi nasehat

untuk tokoh semasa, yaitu Fakhr al-Râzî (w. 606) seorang teolog Asy‘ariyyah ulung

dan interpretator terkenal pada masa tersebut. Di dalam Risâlah ia menyatakan telah

membaca banyak karangan Fakhr al-Râzî, terutama dalam masalah teologis.67 Selain

, banyak menulis karya yang bernuansa teologisRâzî-al, Ghayb- alhîtâMaftafsir

seperti Asâs al-Taqdîs. Kitab tersebut merupakan kritikan teologis al-Râzî terhadap

Mujassimah yang mengabaikan aspek tanzîh pada sifat Allah. Selain itu, al-Râzî

sangat aktif mengritisi teologi Râfidhah (kolompok Syî‘ah yang menghina khalifah

sebelum ‘Alî bin Abî Thâlib). Pembacaan terhadap karangan al-Râzî, mendorong Ibn

. Khathîb- dengan sebutan Ibn alâthFutû-al‘Arabî untuk menukil pemikirannya dalam

Penyebutan tersebut sering ditemui ketika ia membicarakan konsep ilmu; salah satu

tema teologis yang menjadi objek kritikan Ibn ‘Arabî terhadap para teolog dan

filosof.68

65 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 8 h. 386. 66 Claude Addas, Quest, h. 103. 67 Ibn ‘Arabî, Risâlah al-Syaykh al-Akbar ilâ Fakhr al-Râzî ed. Abd al-Rahmân Hasan

Mahmûd, (Kairo: ‘Âlam al-Fikr, t.t.), h. 10. 68 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 247, 383, v 4 h. 480.

Page 33: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Dalam menanggapi hal ini, Claude Addas lebih cenderung menilai bahwa

tidak ada alasan untuk menyangkal hubungan antara al-Râzî dan Ibn ‘Arabî. Hal ini

dikarenakan isi Risâlah yang ditulis Ibn ‘Arabî memang diperuntukkan bagi al-Râzî.

Namun Addas belum berani memastikan seratus persen.69 Apabila diperhatikan masa

hidup mereka, maka sangat mungkin terjadi interaksi, walaupun tidak ada keterangan

mereka bertemu. Dalam hal ini, penulis menemukan dua petunjuk mengenai interaksi

Risâlah Ibn ‘Arabî memang mengakui bahwa, Pertama. âthûFut-almereka dalam

tersebut diperuntukkan untuk al-Râzi. Tetapi ia menyebutnya dengan Risâlah al-

h âRisal menyebutnya âyhn Yaâ Sedangkan Addas dengan mengutip ‘Utsm70.qâAkhl

fi Wujûh al-Qalb.71 Ia tentu menulisnya ketika al-Râzi masih hidup, karena tidak

mungkin seseorang menyurati yang telah mati. Ia menuturkan sebagaimana berikut.

ا?N _ 1;N$C" ر? /< اMPdق ا/C" آ1RC ب] /fEI: 5^9(7 ب(+ 92(: ب(+ .g;KP ا/:ي ر09Q ا3

Kami menyempurnakan (pembahasan tentang etika) di dalam Risâlah

ammad bin ‘Umar bin Khathîb hFakhr Mu- yang kami tulis untuk alAkhlâq-al

dari kota Rayy (Persia).72

Kedua, ia pernah bertemu dengan al-Rasyîd al-Farghânî murid al-Râzi.73

Besar kemungkinan Ibn ‘Arabî menulis Risâlah tersebut setelah haji yang pertama

(599 H.), karena ia sebelumnya tidak pernah ke daratan Syâm kecuali setelah masa

itu. Sedangkan interaksinya dengan al-Râzi, hanya mungkin terjadi setelah

kunjungannya ke Syâm (601), yaitu lima tahun sebelum al-Râzi wafat. Interaksi

tersebut tentu memberi pengaruh yang besar pada pandangan teologi Ibn ‘Arabî.

Terlepas dari hal di atas, perjalanan ilmiah Ibn ‘Arabî tersebut menunjukkan

, baik yang berkaitan dengan teologi, bahwa ia sangat akrab dengan dunia intelektual

69 Claude Addas, Quest, h. 104. 70 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 365. 71 Claude Addas, Quest, h. 104. 72 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 365. 73 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 191, fashl fî shalâh al-Istisqâ'.

Page 34: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Hal ini terlihat dari sekian banyak tokoh yang . sastra dan tasawuf, adîtsH, hukum

menjadi guru dan sahabat Ibn ‘Arabî. Mayoritas mereka adalah berteologi Sunnî. Hal

ini terlihat dari kitab-kitab yang mereka ajarkan dan ijazahkan. Ini tentu

mempengaruhi konsep teologis yang diterapkan Ibn ‘Arabî dalam pelbagai

karangannya.

B. Karya Tulis Ibn ‘Arabî

-Ibn ‘Arabî merupakan tokoh intelektual yang sangat aktif menulis gagasan-

gagasan menarik yang diperolehnya. Hal ini terlihat dari karangan Ibn ‘Arabî yang

yâ dari Aleppo menyimpulkan bahwa ada sekitar hUtsmân Ya. Prof. luar biasa banyak

846 karya Ibn ‘Arabî.74 Di antara karyanya ada yang berbentuk kitab, risâlah, sya‘ir,

dan wasiat.

- alâthFutû-alyang sangat luar biasa adalah , Di antara karya tersebut

) penyingkapan spiritual (hfutuKarya tersebut ditulis saat ia mendapatkan . Makkiyyah

ketika ia berkunjung di Makkah. Oleh karena itu, ia memberi judul dengan

.Makkiyyah- alâthFutû-alatau " Penyingkapan Spiritual Periode Makkah"

. tidak hanya mengemukakan permasalahan kesufian âthFutû-alkitab , Namun

Justeru Ibn ‘Arabî memulai kitab tersebut dengan kajian teologis sebagai dasar

pijakan ajaran spiritual. Hal ini terlihat dengan cara Ibn ‘Arabî mengemukakan empat

hierarki teologis umat Islam. Ia menyebutkan akidah orang awam sebagai akidah

dasar umat Islam. Setelah itu, ia mengemukakan akidah ahli kalâm yang ia sebut

dengan teologi al-Syâdiyyah. Akidah awam dan al-Syâdiyyah merupakan

implementasi dari pemahaman Ibn ‘Arabî terhadap teologi Sunnî Asy‘ariyyah.

Namun ketika ia berbicara pada hierarki ketiga dan keempat, Ibn ‘Arabî membedakan

74 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 118.

Page 35: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

tokoh madzhab -tokoh (âbunâhash dianut kalangan sufi dengan sebutan teologi yang

kami) sebagai perbedaan identitas dengan Mu‘tazilah dan Asy‘ariyyah.75

Di samping itu, al-Sya‘rânî menilai kitab tersebut merupakan literatur yang

paling komprehensif mengenai tasawuf. Bahkan, kitab tersebut mencakup pelbagai

rahasia mengenai syariat Islam dan penjelasan mengenai dinamika pemikiran para

intelektual Muslim. Al-Sya‘rânî menambahkan bahwa jika kitab itu dibaca seorang

ahli hukum maka ilmunya akan bertambah. Begitu juga jika seorang ahli interpretator,

maka wawasannya akan , dan ahli ilmu lainnya membaca kitab itu, tsîadHahli , teolog

bertambah luas.76

Kitab ini . ikamH- alFushûshyaitu , ia mempunyai karya utama, Selain itu

sejak Nabi Âdam sampai , merupakan kajian Ibn ‘Arabî terhadap maqâm kenabian

Hal ini dikarenakan ia . ammad Saw dengan jumlah duapuluh tujuh nabihNabi Mu

menambahkan Nabi Uzayr dan Khâlid bin Sinân. Pembahasan yang dikemukakannya

mencakup aspek teologis dan kesufian. Karangan ini dianggap sebagian orang sebagai

kesimpulan utama ajaran Ibn ‘Arabî.

Adapun mengenai perjalanan ilmiah sebelum ia ke daerah Timur Tengah, Ibn

nama tokoh -ia menyebutkan daftar nama, Di dalamnya. Quds- alhRû‘Arabî menulis

yang pernah menjadi sumber inspirasi intelektual dan spiritual. Ia juga menulis kitab

Nabhânî-Yûsuf al. idhTaw- alîdah fî‘Aqenai teologi Islam dengan judul khusus meng

menyebut kitab ini dengan judul ‘Aqâ'id ‘Ilm al-Kalâm. Sedangkan Ibn Syâkir al-

Katbî menyebutnya dengan judul ‘Aqîdah Ahl al-Sunnah. Permasalahan yang

ip dengan akidah awam yang dikemukakan dikemukakan di dalamnya sangat mir

Hal ini menguatkan asumsi bahwa Ibn ‘Arabî menguasai teologi .âthFutû-aldalam

75 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 5 h. 312. 76 Al-Sya‘rânî, al-Kibrît al-Ahmar, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), h. 7.

Page 36: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Islam. Kitab lain yang menjadi sorotan utama adalah al-Tanazzulât al-Laylah. Kitab

ini berisi tema-tema penting dalam permasalahan teologis dan tasawuf falsafi.

Yûsuf al-Nabhânî menyebutkan karangan lainnya seperti al-Risâlah wa al-

Nubuwwah wa al-Ma‘rifah wa al-Wilâyah mengenai konsep kenabian dan kewalian

dari sisi teologis dan kesufian.77

77 Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘, v. 1 h. 208.

Page 37: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

BAB II

BIOGRAFI IBN ‘ARABÎ SEBAGAI SEORANG TEOLOG

A. Perkembangan Intelektual

ammad bin h bin Muîammad bin ‘Alh Mu‘Arabî adalahIbn lengkap ama N

AbûIa digelari dengan . îsûlaAnd- alâ’îTh- alîtimâH- al‘Arabî-h alâmad bin AbdullhA

alif dengan tambahan atau‘Arabî Ibn Dîn-yi alhMupopuler dengan nama Ia . Bakr

lam; Ibn al-‘Arabî.78 Ibn Katsîr seorang sejarawan Muslim abad ke-8 menyebutkan

tanpa alif lam pada kata ‘Arabî, dan gelarnya adalah Abû ‘Abdillâh.79 Hal ini

menunjukkan bahwa penamaan Ibn ‘Arabî atau Ibn al-‘Arabî digunakan oleh para

Syaykh -al Selain itu ia juga dikenal sebutan. îammad bin ‘Alhsejarawan terhadap Mu

al-Akbar Ibn ‘Arabî al-Shûfî. Gelar kehormatan tersebut membedakannya dengan

madzhab fiqh dan tsîadH seorang ahli .)H543 (Ma‘afirî -‘Arabî al-al Ibn Qâdhî

Mâlikî.

Selain itu, penisbahan nama Ibn ‘Arabî mengisyaratkan bukan kepada

ayahnya, tetapi kepada ‘Abdullâh al-‘Arabî empat generasi di atasnya. Ibn ‘Arabî

Bani Thayy (â’î Th-al timâHmengakui bahwa dirinya masih keturunan ‘Abdullah bin

dari Yaman) salah seorang sahabat Nabi Saw. Ini salah satu faktor yang menyebabkan

ia dan keluarganya mendapatkan strata sosial yang tinggi di Andalusia. Pengakuan ini

dinilai Claude Addas tidak berlebihan, karena bisa ditinjau dari sisi historis imigran

khalifah .) H172 (mân I hRa-Proses imigrasi pernah terjadi pada masa ‘Abd al. Arab

Umayyah II di Andalusia. Addas menyebutkan bahwa para imigran berasal dari Syria

dan Yaman. Mereka membentuk kelompok-kelompok keluarga besar (buyûtât) di

semenanjung Iberian. Sebagian mereka ada yang menetap di kota Jaén, Baza dan

78 Ibn Hajr, Lisân al-Mîzân, (Beirut: Mu'assasah al-A‘lamî, 1986), v. 5 h. 311. 79 Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, (Kairo: Dâr Ibn al-Haytsam, 2006), v. 13 h. 90.

Page 38: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Tijola. Kota tersebut merupakan bagian selatan dari wilayah Murcia; kota kelahiran

Ibn ‘Arabî.80

Ibn ‘Arabî lahir pada malam Senin 17 Ramadhan tahun 560 H. (1160 M.) di

kota Murcia bagian selatan Spanyol. Ia dilahirkan dari seorang ayah yang ahli dalam

Ayahnya . dan tasawuf, tsîadH, fiqhseperti , pelbagai cabang ilmu keislaman

di Andalusia yang berteologi âdhîmad merupakan salah seorang qhammad bin AhMu

Selain sebagai . penguasaAyahnya termasuk orang yang dihormati oleh pihak. Sunnî

Ibn . mad juga merupakan guru pertama di keluarganyahammad bin AhMu, ayah

‘Arabî dididik dengan baik dan dipertemukan oleh ayahnya dengan banyak tokoh

intelektual pada masa tersebut.

Setelah itu, ia berpindah ke Sevilla pada tahun 568 H., lalu menetap selama 30

Sevilla dipimpin oleh Sulthân , Pada masa itu. H598 /587 sampai tahun ,tahun

memasuki ‘Arabîperiode pertama Ibn Masa ini merupakan. ammad bin Sa‘dhMu

dunia intelektual, walaupun ia masih berumur tujuh tahun.81

Ibn ‘Arabî mempunyai sangat banyak guru dalam pelbagai disiplin ilmu. Ia

- alhûRmenyebutkan sekitar limapuluh lima tokoh di antara guru spiritual di dalam

tokoh yang menjadi -ia hanya menyebutkan tokoh, hûR Di dalam kitab 82.Quds

gurunya pada periode pertama, yaitu ketika masih di Andalusia dan Maroko. Tetapi

Tetapi ia menulisnya ketika melakukan . ditulis pada masa tersebuthûRbukan berarti

haji yang pertama atau setelahnya. Hal ini dikarenakan ia menyebutkan beberapa

kejadian saat berkunjung dan mengajar di Makkah.83 Sedangkan haji yang pertama

80 Claude Addas, Quest for The Red Sulphur, (Cambridge: The Islamic Texs Society, 1993), h.

45. 81 Ibn al-Maqarrî al-Tilmisânî, Nafh al-Thîb min Ghishn al-Andalûs al-Thayyib, (Beirut: Dâr

Shader, 1997), v. 2 h. 161. 82 Ibn ‘Arabî, Rûh al-Quds, (Damaskus: Mu'assasah al-‘Ilm, 1964), h. 84. 83 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 9 dan 12.

Page 39: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

dilakukannya pada periode kedua (pasca Andalusia dan Maroko) tahun 599 H.84,

sehingga mustahil ia menceritakan perihal Makkah ketika periode pertama.

Di samping itu, ia menyebutkan tokoh yang berbeda sekitar tujuhpuluh nama,

, ât'qiraDi antara mereka ada yang ahli . ketika mengijazahkan Sulthân Muzhaffar

Claude Addas memperkirakan 85.dan lainnya, sejarah, tsîadH, teologi, fiqh

pengijazahan tersebut dilakukan sekitar tahun 632 H. ketika telah menetap di

Damaskus. Tetapi, Addas mengingatkan bahwa jumlah (sekitar 70 tokoh) tersebut

bisa jadi belum mencakup semua guru Ibn ‘Arabî. Ini dikarenakan masa itu adalah

setelah ia berumur tujuhpuluh, sehingga mungkin terjadi kelupaan.86

Namun, penelitian Addas berhasil mengumpulkan jumlah guru Ibn ‘Arabî

berdasarkan dua bagian selama periode Andalusia. Lebih dari enampuluh tokoh yang

menjadi guru Ibn ‘Arabî pada periode 565 sampai 585 H. yang kebanyakan

berdomisili di Kordoba. Sedangkan pada periode 585 sampai 610 H. terdapat seratus

tokoh yang kebanyakan berdomisili di Sevilla. Addas menjelaskan bahwa semua

-dan al, fiqh, adîtsHi disiplin ilmu tradisional seperti jumlah itu mencakup pelbaga

Qur’ân, bahkan juga termasuk disiplin ilmu sastra, bahasa, dan teologi.87

Dalam hal ini, sejarawan klasik Ibn al-Maqarrî pernah memberikan sebagian

perincian daftar nama guru Ibn ‘Arabî. Sebagaimana tokoh Muslim lainnya, Ibn

‘Arabî memulai dengan mempelajari dan mendalami al-Qur’ân. Di Sevilla, Ibn ‘Arabî

mendapatkan ijâzah (sertifikasi) dari banyak ulama dalam pelbagai cabang ilmu.88 Di

antara tokoh yang menjadi tempat Ibn ‘Arabî mendalami al-Qur’ân adalah Abû Bakr

Ra‘înî -ammad alh anak dari Muhasan SyurayH-Abû al, sab‘ahâ’ahqirLakhmî ahli -al

penulis kitab al-Kâfî dalam ilmu qirâ’ah, dan Abû al-Qâsim al-Syarrâth. Selain kitab

84 Ibn al-Maqarrî, Nafh, v. 2 h. 263. 85 Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘ Karâmât al-Awliyâ’, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2005), v. 1 h. 202. 86 Claude Addas, Quest, h. 96. 87 Claude Addas, Quest, h. 94. 88 Ibn al-Maqarrî, Nafh, v. 2 h. 161.

Page 40: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Muqrî dan -ammad alh karangan Abû MurahîTabsh-alia mempelajari kitab , îfâK-al

kitab al-Taysîr karangan Abû ‘Amr bin Abû Sa‘îd al-Dânî.89 Ia mempelajari fiqh

90.hîfaqammad bin Qasûm seorang sufi dan hhab Mâlikî kepada Mudengan madz

Bahkan Claude Addas menegaskan bahwa semua guru spiritual Ibn ‘Arabî di

Andalusia bermadzhab Mâlikî. Hal ini tidaklah mengherankan karena Mâlikî

merupakan madzhab mayoritas di Andalusia. Tetapi hal itu tidak menghalanginya

91.azm yang bercorak ZhâhirîHseperti fiqh Ibn , untuk mempelajari madzhab lain

ketika masih Isybîlî-aqq alH- dari ‘Abd altsîadHIbn ‘Arabî mempelajari

aqq mengijazahkan semua karangannya dalam cabang H-‘Abd al. bermukim di Sevilla

dari Yunûs bin îrâBukh- alhîhShaIa mempelajari . kepada Ibn ‘ArabîtsîadHilmu

Tetapi 92.arastanîH-Shamad al- dari ‘Abd al MuslimhîhShaâsyimî dan H-yâ alhYa

- dari tokoh lain seperti Ibn Shâ‘id al MuslimhîhShaia juga mempelajari , tampaknya

‘Arâwî.93

Kekeringan spiritual Ibn ‘Arabî mulai tercerahkan nuansa spiritual karena

‘ArabîIbn . Sevilla di îbî‘Ar-mad alh Ja‘far Aû Abdenganpertemuannya

menyebutkan bahwa al-‘Arîbî merupakan guru pertama yang ia temui dalam dunia

spiritual. Dalam pandangan Ibn ‘Arabî, al-‘Arîbî merupakan sosok yang menarik. Hal

ini dikarenakan al-‘Arîbî seorang yang buta huruf. Tetapi penjelasannya mengenai

teologi sangat memuaskan, karena tidak kering dari nuansa spiritual. 94

Di antara tokoh yang sangat berpengaruh pada diri Ibn ‘Arabî selama di

Andalusia adalah Abû Ya‘qûb bin Yakhlûf al-Kûmî sahabat Abû Madyan. Ia

mengenal kitab Risâlah al-Qusyayrî untuk pertama kali ketika melakukan perjalanan

89 Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘, v. 1 h. 202-203. 90 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 55. 91 Claude Addas, Quest, h. 45. 92 Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘, v. 1 h. 203. 93 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 2 h. 452. 94 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 46.

Page 41: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

-ammad alh Tetapi ia mendapatkan ijazah kitab ini dari Mu95.dengan Abû Ya‘qûb

Bakrî.96 Walaupun telah mendapatkan nuansa spiritual dari al-‘Arîbî, tetapi Ibn ‘Arabî

belum mengenal literatur tasawuf kecuali setelah bertemu dengan Abû Ya‘qûb.

و95 8 ه067 015 ر4" ا3 012 و/. أآ+ *() رأA(@ ر?( /< ا/=(>;:ي .و* ل /" ا*:أ... 5 ذا HI2 JIK16وG F;:ه وF آ1@ أدري /DE< ا/BC$ف

Di antara hal menarik yang aku temukan dari Abû Ya‘qûb adalah ketika aku belum mengenal kitab Risâlah al-Qusyayrî dan literatur lainnya, bahkan belum mengenal terminologi tasawuf... Ia berkata kepadaku bacalah

(kitab ini).

Kitab Risâlah merupakan kitab tasawuf yang sangat populer di kalangan

ulama. Kitab tasawuf tersebut ditulis oleh al-Qusyayrî (465 H.) berdasarkan akidah

Sunnî Asy‘ariyyah yang diyakininya. Al-Qusyayrî menulis kaedah teologi pada

permulaan kitab Risâlah.97 Hal ini yang menyebabkan al-Qusyayrî pernah diusir oleh

kelompok Mujassimah (antropomorfisme) dengan menghasut penguasa Naisapur.

Walaupun demikian, Ibn ‘Arabî menilai bahwa sikap al-Qusyayrî mengemukakan

kaedah teologi di permulaan kitabnya bertujuan untuk menghindari asumsi negatif

kaum teolog kapadanya dan para tokoh sufi.98

Selain belajar dari tokoh lelaki, ia juga tidak merasa sungkan untuk belajar

kepada tokoh perempuan seperti Fâthimah bint Abû al-Mutsannâ. Fâthimah

merupakan tokoh sufi perempuan di Sevilla. Ibn ‘Arabî adalah murid yang paling

disayanginya. Hal ini dikarenakan ia belajar dengan sepenuh hati kepada Fâthimah.99

Ia menuturkan,

آ ن(@ 6=(($ل 1RSTAF(" أM)N :));G ")I2 OP7))A +)95 7))Qن 1T6((" إA(( ي، 0X)Tك ب:)CA0 وX)TRب Fإ ")I2 OP7)A 7)Qأ .Z15 5 ل$=CN ل /] ب9 ذاك =;N

95 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 49. 96 Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘, v. 1 h. 204. 97 Al-Qusyayrî, al-Risâlah al-Qusyayriyyah ed. Hânî al-Hajj, (Kairo: al-Tawfîqiyyah, t.t.), h.

22. 98 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 8 h. 287. 99 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 85.

Page 42: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

HN أG:ا04 5(+ دار_ وأهI(0 إF 5^9(7 ب(+ ا/T:ب(" و/(7ي و*(:ة N ،")12(\ذا 2 OP0دIZب OPد "I.

Dia (Fâthimah) berkata: "Tidak ada orang yang membuat aku kagum melainkan si fulan; maksudnya adalah saya". Ada yang bertanya mengapa ia kagum, Fâthimah menjawab: "Hal ini dikarenakan kalian datang untuk belajar kepadaku, sedangkan pemikiran kalian masih di rumah dan keluarga kalian, kecuali Ibn ‘Arabî anakku dan penyejuk hatiku. Apabila belajar kepadaku, ia

datang dengan sepenuh hati".100

Pada masa ini juga, ia melakukan kunjungan ke pelbagai kota dan negara luar,

walaupun belum menetap di sana. Kesempatan berkunjung tersebut ia gunakan untuk

belajar kepada para ulama, seperti Ibn Basykawâl seorang pakar sejarah di

Kordoba.101 Setelah itu, pada tahun 590 H. ia berkunjung ke kota Fez salah satu kota

di Maroko, sehingga bertemu dengan Abdullâh dan Ismâ‘îl bin Sawdakîn yang bakal

menjadi murid setianya. Pada tahun itu juga, ia berkunjung ke Tunisia. Di sana ia

bertemu dengan ‘Abd al-‘Azîz al-Qurasyî. Namun pada tahun 595, Ibn ‘Arabî

kembali ke Sevilla. Tahun ini merupakan masa wafat Ibn Rusyd, salah seorang tokoh

intelektual yang ia disenangi, sehingga ia menyempatkan menghadiri

pemakamannya.102

Pada tahun 598 ia berkunjung untuk kedua kalinya ke Maroko, tetapi kembali

lagi pada tahun yang sama. Tidak ditemukan keterangan bahwa Ibn ‘Arabî telah

menikah pada masa kunjungan. Tetapi Addas mempunyai asumsi bahwa Ibn ‘Arabî

melakukan nikah kontrak.103

It is perfectly possible that Ibn ‘Arabî only contracted a merriage after his arrival in the East...

Hal itu sangat memungkinan Ibn ‘Arabî melakukan nikah kontrak saja setelah sampai di Timur...104

100 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 85. 101 Ibn al-Maqarrî, Nafh, v. 2 h. 162. 102 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 235. 103 Claude Addas, Quest, h. 40. 104 Claude Addas, Quest, h. 40.

Page 43: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Asumsi ini terkesan sangat berlebihan dan keliru, karena keadaan sosiologis di

sana tidak memungkinkan Ibn ‘Arabî melakukan hal itu. Hal ini dengan

mempertimbangkan teologi Sunnî dan madzhab fiqh (Mâlikî dan Zhâhirî) yang

berkembang luas di Andalusia dan Maroko. Sedangkan teologi Sunnî dan dua

madzhab fiqh tersebut dengan tegas mengharamkan nikah kontrak.

Setelah periode ini, tahun 598 yaitu setelah ibunya meninggal dunia, ia

melanjutkan perjalanan ke Marakez salah satu kota di Andalusia.105 Pada tahun yang

sama, ia berkunjung dan menetap sementara di Maroko, lalu meneruskan ke arah

Timur. Ibn al-Abbâr menginformasikan bahwa setiap kali Ibn ‘Arabî berkunjung ke

suatu daerah, ia selalu belajar dari para ilmuwan setempat.106 Oleh karena itu, di sela-

, dari para ulama setempatijâzah banyak memperoleh ‘ArabîIbn sela kunjungannya

l ini Ha107 .îJawz-fizh Ibn alâH-al, kirâfizh Ibn ‘AsâH-al, îSalaf-fizh alâH-seperti al

tsîadHtokoh yang mendalami ilmu termasuk ‘Arabîmenunjukkan bahwa Ibn

langsung kepada tokoh ternama pada masanya. Di samping itu, mereka juga teolog

î adalah tokoh Sunnî yang teguh dengan akidah ahli Salaf-lA. Sunnîyang beraliran

kir merupakan tokoh yang paling kuat membela dan membuktikan â Ibn ‘As.adîtsH

n î Taby secara historis dalam kitabnyaîAsy‘ar-asan alH- alûAbteologi kebenaran

Kadzb al-Muftarî. Sedangkan Ibn al-Jawzî merupakan tokoh yang sangat keras

menentang teologi Mujassimah (antropomorfisme) dalam kitabnya Daf‘ al-Syubah.

Latar belakang ini merupakan bekal bagi Ibn ‘Arabî dalam mendalami pemikiran

kitab - tidak hanya mengajarkan kitabpara ulama tersebutIni dikarenakan . teologi

.logiskitab yang bernuansa teo-tetapi juga kitab, dan hukumtsîadH

Selain tiga tokoh di atas, Ibn ‘Arabî sempat melakukan perdebatan teologis di

Fez dengan Abû ‘Abdillâh al-Kannânî teolog Asy‘ariyyah kenamaan di Maroko.

105 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 117. 106 Ibn al-Maqarrî, Nafh, v. 2 h. 263. 107 Ibn al-Maqarrî, Nafh, v. 2 h. 162.

Page 44: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Mereka berdiskusi mengenai sifat Allah; apakah sebagai nisbah atau afiliasi (ziyâdah)

pada zat-Nya. Tukar pikiran tersebut mengarah kepada perbedaan yang tidak bisa

dikompromikan. Al-Kannânî bertahan dengan konsep teologi tersebut, tetapi ia juga

menyalahkan konsep Ibn ‘Arabî.108

Selain bertemu dengan para teolog Asy‘ariyyah, persentuhan pemikiran Ibn

‘Arabî dengan Mu‘tazilah juga terlihat sangat menarik. Dalam salah satu

penuturannya, ia menyebutkan pertemuan dengan Abû ‘Abdillâh bin Junayd seorang

tokoh Mu‘tazilah dari Qabrfîq satu wilayah dari kota Randah. Sebagaimana dalam

doktrin Mu‘tazilah, Abû ‘Abdillâh meyakini bahwa makhluk menciptakan

perbuatannya sendiri. Sedangkan dalam pandangan Ibn ‘Arabî, doktrin tersebut sangat

keliru. Oleh karena itu, ia mengajak Abû ‘Abdillâh berdiskusi agar meninggalkan

kekeliruan teologi yang dianutnya. Ibn ‘Arabî mampu mempengaruhinya dengan

menjelaskan interpretasi ayat al-rijâl qawwâmûn ‘alâ al-nisâ'.109

a;9دد06 وج:N _7Iب "N 06ر Aز H/7_ 5>;@ إIب H/إ a9 رجIN 0أص^ ب c/ذ HI2 3ا :Z<N ل TNdا JIP "N 0Rهe5 +2.

Maka setelah ia (Abû ‘Abdillâh) kembali ke negerinya (Randa), aku pergi berkunjung ke sana. Setelah sampai di sana, aku kembali berdiskusi dengannya dan para pengikutnya agar meninggalkan madzhab teologi (mu‘tazilah) mengenai konsep penciptaan perbuatan. Ia bersyukur kepada

Allah terhadap penjelasanku tersebut.110

Hal ini mengindikasikan bahwa Ibn ‘Arabî telah mempelajari perdebatan

teologis antara Asy‘ariyyah dan Mu‘tazilah sebelum bertemu dengan Abû ‘Abdillâh

bin Junayd, sehingga dengan mudah memahami kekeliruan rekannya. Bahkan hal di

atas menunjukkan penguasaan Ibn ‘Arabî dalam memahami tema-tema penting

teologi Islam.

108 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 7 h. 33. 109 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 2 h. 372. 110 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 2 h. 372.

Page 45: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Setelah pelbagai kunjungan dilakukan pada periode ini, Ibn ‘Arabî berniat

melanjutkan perjalanan ke ia 598 pada tahun , Oleh karena itu. untuk menunaikan haji

dan tidak . H601m pada tahun âSy, .)H598 terutama Makkah tahun (zâijH, Mesir

pernah kembali lagi ke Andalusia.111

Sebelum menuju Syâm, ia berkunjung ke Makkah (598-599 H.) untuk

melaksanakan haji, Ibn ‘Arabî menyempatkan belajar dari beberapa tokoh seperti Abû

-Sunan alIa mempelajari . aramH-Isfahânî seorang imam di Maqâm al-Syujâ‘ al

Tirmidzî dari Abû Syujâ‘. Adapun Sunan Abû Dâwud dipelajarinya dari al-Burhân

Masa ini sangat 112.anâbilahH- seorang imam Maqâm alhFutû-Nahsr bin Abû al

berpengaruh kepada Ibn ‘Arabi dalam kecenderungannya terhadap metode mayoritas

y'raadîts daripada Hnî yang lebih memprioritaskan kedudukan teolog Sun

(pemikiran). Ia mengatakan seandainya ra'y lebih utama, maka pemikiran Nabi Saw

tentu lebih utama. Tetapi hal itu akan menyebabkan Nabi Saw tidak ma‘shûm,

sehingga rentan terhadap kesalahan. Ia menukil sebuah anekdot dari Qâdhî Abd al-

Wahhâb -Qâdhî Abd al. adîtsHAzdî yang menunjukkan keluhuran -Wahhâb al

menceritakan bahwa ia melihat dalam mimpinya ada kitab-kitab yang ditinggikan dan

direndahkan tempatnya, lalu ia bertemu dengan seorang yang saleh yang telah

meninggal. Ia menanyakan tentang kitab yang ditinggikan dan direndahkan tersebut.

Orang yang saleh tersebut menjawab bahwa kitab yang ditinggikan adalah kitab

113.y'rasedangkan yang direndahkan adalah kitab , adîtsH

Setelah melaksanakan haji, ia kembali melakukan perjalanan pada tahun 600

H., dari Makkah menuju Mosil (salah satu kota di Syâm) tahun 601 H., Baghdâd,

Kairo pada tahun 603 H., lalu ia kembali melaksanakan haji untuk kedua kalinya pada

tahun 604 H. Ia juga melakukan haji lagi pada tahun 611, lalu berkunjung ke Konya

111 Ibn al-Maqarrî, Nafh, v. 2 h. 263. 112 Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘, v. 1 h. 203. 113 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v 5 h. 101.

Page 46: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

pada tahun 612 H. lalu pegi ke Damaskus untuk pertama kali pada tahun 620. Setelah

itu menetap di Aleppo tahun 628. Namun kemudian, ia kembali ke Damaskus pada

tahun 629. Di kota ini ia menyebarkan ajarannya secara utuh sampai akhir hayatnya

Zakî yang -Dîn Ibn al-yi alhAktivitas Ibn ‘Arabî disokong oleh Qâdhî Mu. 638

bermadzhab al-Syâfi‘î dan berteologi Asy‘ariyyah. Ia wafat di rumah Qâdhî pada

malam Jum‘at 28 Rabî‘ al-Akhîr, dan dimakamkan di pemakaman Banî Zakî.114

Adapun mengenai kecerdasannya, potensi Ibn ‘Arabî telah terlihat ketika masa

kecilnya. Hal ini diakui oleh Ibn Rusyd filosof Muslim Peripatetik. Ia sendiri juga

Saat itu Ibn Rusyd . tâhûFut-almenceritakan pertemuannya dengan Ibn Rusyd dalam

merupakan Qâdhî di kota Kordoba. Ia menuturkan bahwa Ibn Rusyd terlihat senang

dengan pertemuan tersebut, terutama ketika mendengarkan penjelasan menarik yang

menunjukkan ketajaman paham yang dianugerahkan Allah kepada Ibn ‘Arabî. Pada

saat itu Ibn Rusyd sedang bersama para sahabatnya, sedangkan Ibn ‘Arabî masih

belum dewasa. Pada kesempatan lain, terkadang Ibn Rusyd meminta bertemu Ibn

‘Arabî dan ayahnya, dan terkadang sebaliknya. Ia juga menuturkan bahwa Ibn Rusyd

sangat bersyukur bisa bertemu dengannya, karena merasa mendapatkan pencerahan

spiritual. Tetapi ia sendiri memuji Ibn Rusyd dengan menyebutkannya sebagai

golongan arbâb al-fikr wa al-nazhr al-‘aqlî (tokoh pemikir logis) sebuah sanjungan

bagi seorang ilmuwan. Ibn Rusyd wafat saat Ibn ‘Arabî telah dewasa, yaitu tahun 595

M. ketika kembali dari Maroko.115

Pertemuannya dengan Ibn Rusyd, sangat berarti bagi Ibn ‘Arabî dalam

memahami pemikiran filsafat dan teologi. Namun tidak ditemukan pengaruh Ibn

Justeru . ‘Arabî pada karangan Ibn îlâGhaz-mid alâH Abû mengritisiRusyd dalam

sebaliknya, Ibn ‘Arabî termasuk orang yang melakukan pembelaan terhadap al-

114 Muhammad bin Syâkir al-Katbî, Fawât al-Wafâyât, (Beirut: Dâr Shâder, t.t.), v. 3 h. 345. 115 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 235.

Page 47: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

‘ArabîIbn . âbunâhhas atau kasyf-ib alhâshsehingga menyebutnya sebagai , Ghazâlî

sebagai tokoh yang âthFutû-alkali dalam kitabnya 18 lebih dari Ghazâlî-almenyebut

Adapun sanggahannya terhadap .ia bela dan terima konsep pemikirannyacenderung

Hal ini karena . r Ahlihiy Ghaân ‘alûMadhnditujukan pada isi kitab , mâIsl-ujjah alH

al-Ghazâlî mencoba memahami Allah melalui pendekatan logika.116 Besar

kemungkinan kitab tersebut dikarang al-Ghazâlî sebelum menjadi sufi. Sedangkan, di

Ghazâlî - ia merasa keberatan dengan pandangan teologi alikamH- alhsûFushdalam

yang berpendapat bahwa Allah bisa dikenal tanpa memikirkan alam semesta.117 Dua

kritikan ini terkesan kontradiktif, tetapi hal tersebut merupakan bukti bahwa Ibn

‘Arabî sangat tertarik pada permasalahan teologi.

Namun demikian, ketokohan al-Ghazâlî terlihat berpengaruh pada pemikiran

teologis Ibn ‘Arabî. Hal menarik dari sikap Ibn ‘Arabî dalam hal ini adalah ketika

memandang al-Ghazâlî bukan sebagai seorang tokoh Asy‘ariyyah, tetapi sebagai

pembangun teologi sufi. Ide-ide al-Ghazâlî sangat berpengaruh pada ‘Arabî dalam

beberapa tema teologi, di antaranya mengenai konsep tajsîm dan tanzîh, kritikan

terhadap kelompok kebatinan, dan kenabian. Dalam tema-tema kesufian, Ibn ‘Arabî

sering mengutip dan mengembangkan pandangan al-Ghazâlî, seperti pembahasan

Adapun . penciptaan Âdam dan kontemplasi, zuhud, ayrahhqâm mengenai ma

pernah dilakukannya ketika ) 'yâhIseperti (Ghazâlî -pembacaannya terhadap karya al

118.Tilmisânî-Shadafî al-ammad bin Khâlid alhdi Makkah melalui bimbingan Mu

Selain al-Ghazâlî, karya-karya al-Juwaynî dan al-Isfaraynî yang berteologi

Asy‘ariyyah tampak mempengaruhi Ibn ‘Arabî. Pembacaan terhadap karya-karya

tersebut bisa dipastikan pernah dilakukan Ibn ‘Arabî, karena teologi Asy‘ariyyah

merupakan aliran yang paling populer di Andalusia pada saat itu dan karya-karya

116 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 6 h. 248. 117 Ibn ‘Arabî, Fushûsh al-Hikam, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 2003) h. 67. 118 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 8 h. 386.

Page 48: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

mereka merupakan rujukan utama dalam teologi Asy‘ariyyah.119 Hal ini terbukti

dengan penukilan pemikiran mereka yang sering menghiasi kajian teologis Ibn ‘Arabî

. merekamengritisihal ini tidak menghalanginya untuk , Namun. âthutûF-aldalam

Selain tokoh klasik, Ibn ‘Arabî pernah menulis Risâlah yang berisi nasehat

untuk tokoh semasa, yaitu Fakhr al-Râzî (w. 606) seorang teolog Asy‘ariyyah ulung

dan interpretator terkenal pada masa tersebut. Di dalam Risâlah ia menyatakan telah

membaca banyak karangan Fakhr al-Râzî, terutama dalam masalah teologis.120 Selain

, Râzî banyak menulis karya yang bernuansa teologis-al, Ghayb- alhîtâMaftafsir

seperti Asâs al-Taqdîs. Kitab tersebut merupakan kritikan teologis al-Râzî terhadap

Mujassimah yang mengabaikan aspek tanzîh pada sifat Allah. Selain itu, al-Râzî

sangat aktif mengritisi teologi Râfidhah (kolompok Syî‘ah yang menghina khalifah

sebelum ‘Alî bin Abî Thâlib). Pembacaan terhadap karangan al-Râzî, mendorong Ibn

. Khathîb-an sebutan Ibn al dengâthFutû-al‘Arabî untuk menukil pemikirannya dalam

Penyebutan tersebut sering ditemui ketika ia membicarakan konsep ilmu; salah satu

tema teologis yang menjadi objek kritikan Ibn ‘Arabî terhadap para teolog dan

filosof.121

Dalam menanggapi hal ini, Claude Addas lebih cenderung menilai bahwa

tidak ada alasan untuk menyangkal hubungan antara al-Râzî dan Ibn ‘Arabî. Hal ini

dikarenakan isi Risâlah yang ditulis Ibn ‘Arabî memang diperuntukkan bagi al-Râzî.

Namun Addas belum berani memastikan seratus persen.122 Apabila diperhatikan masa

hidup mereka, maka sangat mungkin terjadi interaksi, walaupun tidak ada keterangan

mereka bertemu. Dalam hal ini, penulis menemukan dua petunjuk mengenai interaksi

Risâlaha Ibn ‘Arabî memang mengakui bahw, Pertama. âthûFut-almereka dalam

119 Claude Addas, Quest, h. 103. 120 Ibn ‘Arabî, Risâlah al-Syaykh al-Akbar ilâ Fakhr al-Râzî ed. Abd al-Rahmân Hasan

Mahmûd, (Kairo: ‘Âlam al-Fikr, t.t.), h. 10. 121 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 247, 383, v 4 h. 480. 122 Claude Addas, Quest, h. 104.

Page 49: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

tersebut diperuntukkan untuk al-Râzi. Tetapi ia menyebutnya dengan Risâlah al-

h âRisal menyebutnya âyhn Yaâ Sedangkan Addas dengan mengutip ‘Utsm123.qâAkhl

fi Wujûh al-Qalb.124 Ia tentu menulisnya ketika al-Râzi masih hidup, karena tidak

mungkin seseorang menyurati yang telah mati. Ia menuturkan sebagaimana berikut.

ا?N _ 1;N$C" ر? /< اMPdق ا/C" آ1RC ب] /fEI: 5^9(7 ب(+ 92(: ب(+ .g;KP ا/:ي ر09Q ا3

Kami menyempurnakan (pembahasan tentang etika) di dalam Risâlah

ammad bin ‘Umar bin Khathîb hFakhr Mu- yang kami tulis untuk alAkhlâq-al

dari kota Rayy (Persia).125

Kedua, ia pernah bertemu dengan al-Rasyîd al-Farghânî murid al-Râzi.126

Besar kemungkinan Ibn ‘Arabî menulis Risâlah tersebut setelah haji yang pertama

(599 H.), karena ia sebelumnya tidak pernah ke daratan Syâm kecuali setelah masa

itu. Sedangkan interaksinya dengan al-Râzi, hanya mungkin terjadi setelah

kunjungannya ke Syâm (601), yaitu lima tahun sebelum al-Râzi wafat. Interaksi

tersebut tentu memberi pengaruh yang besar pada pandangan teologi Ibn ‘Arabî.

Terlepas dari hal di atas, perjalanan ilmiah Ibn ‘Arabî tersebut menunjukkan

, baik yang berkaitan dengan teologi, bahwa ia sangat akrab dengan dunia intelektual

Hal ini terlihat dari sekian banyak tokoh yang . sastra dan tasawuf, adîtsH, hukum

menjadi guru dan sahabat Ibn ‘Arabî. Mayoritas mereka adalah berteologi Sunnî. Hal

ini terlihat dari kitab-kitab yang mereka ajarkan dan ijazahkan. Ini tentu

mempengaruhi konsep teologis yang diterapkan Ibn ‘Arabî dalam pelbagai

karangannya.

B. Karya Tulis Ibn ‘Arabî

123 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 365. 124 Claude Addas, Quest, h. 104. 125 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 365. 126 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 191, fashl fî shalâh al-Istisqâ'.

Page 50: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

-Ibn ‘Arabî merupakan tokoh intelektual yang sangat aktif menulis gagasan-

gagasan menarik yang diperolehnya. Hal ini terlihat dari karangan Ibn ‘Arabî yang

yâ dari Aleppo menyimpulkan bahwa ada sekitar hUtsmân Ya. Prof. luar biasa banyak

846 karya Ibn ‘Arabî.127 Di antara karyanya ada yang berbentuk kitab, risâlah, sya‘ir,

dan wasiat.

- alâthFutû-alyang sangat luar biasa adalah , Di antara karya tersebut

) penyingkapan spiritual (hfutuKarya tersebut ditulis saat ia mendapatkan . Makkiyyah

ketika ia berkunjung di Makkah. Oleh karena itu, ia memberi judul dengan

.Makkiyyah- alâthFutû-alatau " Penyingkapan Spiritual Periode Makkah"

. tidak hanya mengemukakan permasalahan kesufian âthFutû-alkitab , Namun

Justeru Ibn ‘Arabî memulai kitab tersebut dengan kajian teologis sebagai dasar

pijakan ajaran spiritual. Hal ini terlihat dengan cara Ibn ‘Arabî mengemukakan empat

hierarki teologis umat Islam. Ia menyebutkan akidah orang awam sebagai akidah

dasar umat Islam. Setelah itu, ia mengemukakan akidah ahli kalâm yang ia sebut

dengan teologi al-Syâdiyyah. Akidah awam dan al-Syâdiyyah merupakan

implementasi dari pemahaman Ibn ‘Arabî terhadap teologi Sunnî Asy‘ariyyah.

Namun ketika ia berbicara pada hierarki ketiga dan keempat, Ibn ‘Arabî membedakan

tokoh madzhab -tokoh (âbunâhashteologi yang dianut kalangan sufi dengan sebutan

kami) sebagai perbedaan identitas dengan Mu‘tazilah dan Asy‘ariyyah.128

Di samping itu, al-Sya‘rânî menilai kitab tersebut merupakan literatur yang

paling komprehensif mengenai tasawuf. Bahkan, kitab tersebut mencakup pelbagai

rahasia mengenai syariat Islam dan penjelasan mengenai dinamika pemikiran para

intelektual Muslim. Al-Sya‘rânî menambahkan bahwa jika kitab itu dibaca seorang

ahli hukum maka ilmunya akan bertambah. Begitu juga jika seorang ahli interpretator,

127 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 118. 128 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 5 h. 312.

Page 51: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

maka wawasannya akan , dan ahli ilmu lainnya membaca kitab itu, tsîadHahli , teolog

bertambah luas.129

Kitab ini . ikamH- alFushûshyaitu , ia mempunyai karya utama, Selain itu

sejak Nabi Âdam sampai , merupakan kajian Ibn ‘Arabî terhadap maqâm kenabian

akan ia Hal ini dikaren. ammad Saw dengan jumlah duapuluh tujuh nabihNabi Mu

menambahkan Nabi Uzayr dan Khâlid bin Sinân. Pembahasan yang dikemukakannya

mencakup aspek teologis dan kesufian. Karangan ini dianggap sebagian orang sebagai

kesimpulan utama ajaran Ibn ‘Arabî.

Adapun mengenai perjalanan ilmiah sebelum ia ke daerah Timur Tengah, Ibn

nama tokoh -ia menyebutkan daftar nama, Di dalamnya. Quds- alhRû‘Arabî menulis

yang pernah menjadi sumber inspirasi intelektual dan spiritual. Ia juga menulis kitab

Nabhânî-alYûsuf . idhTaw- alîdah fî‘Aqkhusus mengenai teologi Islam dengan judul

menyebut kitab ini dengan judul ‘Aqâ'id ‘Ilm al-Kalâm. Sedangkan Ibn Syâkir al-

Katbî menyebutnya dengan judul ‘Aqîdah Ahl al-Sunnah. Permasalahan yang

dikemukakan di dalamnya sangat mirip dengan akidah awam yang dikemukakan

Hal ini menguatkan asumsi bahwa Ibn ‘Arabî menguasai teologi .âthFutû-aldalam

Islam. Kitab lain yang menjadi sorotan utama adalah al-Tanazzulât al-Laylah. Kitab

ini berisi tema-tema penting dalam permasalahan teologis dan tasawuf falsafi.

Yûsuf al-Nabhânî menyebutkan karangan lainnya seperti al-Risâlah wa al-

Nubuwwah wa al-Ma‘rifah wa al-Wilâyah mengenai konsep kenabian dan kewalian

dari sisi teologis dan kesufian.130

129 Al-Sya‘rânî, al-Kibrît al-Ahmar, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), h. 7. 130 Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘, v. 1 h. 208.

Page 52: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

BAB III

TEOLOGI IBN ‘ARABI

A. Pengertian Ruang Lingkup Teologi atau Ilmu Kalâm

Term teologi di dalam bahasa Inggris disebut theology, dalam bahasa Prancis

disebut théologie. Namun akar kata tersebut berasal dari bahasa Yunani θεολογία,

berarti theos atauθεός dari, theologiaTuhan, berari katalogos atauλόγος sedangkan ,

pengetahuan, kesadaran. Secara literal kata ini bisa diartikan dengan diskursus

mengenai ketuhanan atau kepercayaan.131 Namun pengertian ini masih belum

mewakili ruang lingkup pembahasan teologi di dalam Islam secara keseluruhan. Hal

ini dikarenakan padanan kata teologi dalam bahasa Arab disebut dengan ‘ilm al-kalâm

(ilmu kalâm). Ilmu kalâm tidak hanya mengenai ketuhanan, tetapi mencakup banyak

aspek permasalahan keimanan.

Ibn Khaldûn mendefinisikan bahwa ilmu kalâm merupakan disiplin ilmu yang

mencakup argumentasi ‘aqâ’id îmâniyyah, argumentasi rasional (adillah ‘aqliyyah),

dan pembelaan terhadap akidah salaf dan ahl al-sunnah dari ahli bid‘ah yang merusak

akidah.132 ‘Abdullah al-Hararî seorang teolog kontemporer dari Beirut mendefinisikan

ilmu kalâm secara lebih komprehensif. Ia menyebutkan bahwa ilmu kalâm merupakan

suatu disiplin ilmu yang membicarakan nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-

Nya, para malaikat, para nabi, wali, para imâm, dan akhirat sesuai dengan kaidah

Islam, bukan kaidah filsafat. Al-Hararî membedakan ilmu kalâm dari filsafat dilihat

dari metode epistemologi yang digunakan. Filsafat berbicara mengenai konsep

dari 2009Februari 20 ini diakses pada tanggal ensiklopedia, "Theology" 131

Theology/wiki/org.wikipedia.en://http. 132 Ibn Khaldûn, Muqaddimah Ibn Khaldûn, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), h. 363.

Page 53: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

ketuhanan hanya dengan pendekatan rasio, sedangkan ilmu kalâm dengan

mengombinasikan aspek rasio dan wahyu.133

Îjî seorang teolog Sunnî dari Syîrâz Persia -mân alhRa-Qâdhî ‘Abd al

mendefinisikan ilmu kalâm dengan ungkapan lebih sederhana, yaitu ilmu yang

bertujuan memperteguh akidah keagamaan (‘aqâ'id dîniyyah) dan menolak kerancuan

dengan mengemukakan argumentasi diskursif. Ia menambahkan bahwa akidah

keagamaan dalam konteks ini adalah pada tataran pemikiran bukan amalan praktis.134

Dalam hal ini, Ibn ‘Arabî tidak memberikan definisi ilmu kalâm secara

eksplisit. Tetapi ia menjelaskan langsung metode ahli kalâm yang membedakannya

dari awam. Ia menyebutkan bahwa ahli kalâm merupakan golongan yang menempuh

metode interpretasi (terhadap teks yang berkaitan dengan ketuhanan).135 Penjelasan

ini menunjukkan bahwa ilmu kalâm menurut Ibn ‘Arabî merupakan disiplin ilmu

yang menggunakan pendekatan rasio dalam memahami wahyu. Hal ini dikarenakan

interpretasi merupakan penalaran rasio.

B. Ruang Lingkup Teologi atau Ilmu Kalâm

Adapun ruang lingkup teologi Islam atau ilmu kalâm tidak hanya berkaitan

mengenai Allah semata sebagaimana dikemukakan sebelumnya. Secara umum tema-

tema yang dibahas dalam filsafat dan tasawuf juga dibahas dalam ilmu kalâm. Namun

pembahasan tersebut dilakukan dengan pendekatan yang berbeda. Ketika para filosof

membicarakan tema wujûd (eksistensi) dari sisi pemikiran saja, maka para teolog

Muslim juga membahas hal serupa dari dua sisi, pemikiran dan wahyu. Atau ketika

maka , abbahhma sebagai ungkapan maqam dâhittipara sufi membicarakan konsep

. pada tataran teologisdâhittiak terjerumus pada para teolog mengkajinya agar tid

133 ‘Abdullâh al-Hararî, Izhâr al-‘Aqîdah al-Sunnîyyah, (Beirut: Dâr al-Masyâri‘, 1997), h. 19. 134 ‘Abd al-Rahmân al-Îjî, al-Mawâqif fi ‘Ilm al-Kalâm, (Beirut: ‘Âlam al-Kutub, 1992), h. 8. 135 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 59.

Page 54: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Filsafat murni pada aspek pemikiran dan tasawuf menekankan aspek intuitif,

sedangkan ilmu kalâm merupakan pemikiran yang berdasarkan interpretasi terhadap

teks Kitab Suci.

Hal ini terlihat pada karya teologis yang ditulis oleh para ulama. Sebagai

contoh adalah kitab al-Syâmil karya teologis al-Juwaynî. Ia membicarakan tema-tema

, jawhar, lamâ‘-ts alûudh, penting yang dibahas dalam filsafat seperti epistemologi

‘iradh, jism, tasybîh dan tanzîh, karakteristik eksitensi, kausalitas. Selain itu, ia juga

yang dâhitti, interpretasi teologis teks Kitab Suci, mengemukakan kaidah tauhid

mencakup konsep lâhût dan nâsût.136 Namun pembahasan tersebut dikemukakan

dengan pendekatan teologis. Hal itu bertujuan untuk mengritisi filsafat, Mu‘tazilah,

dan non-Muslim.

Al-Îjî juga membicarakan tema yang sama sebagaimana al-Juwaynî. Kitab al-

Mawâqif fî ‘Ilm al-Kalâm yang populer di kalangan teolog Sunnî merupakan

karangan teologis al-Îjî yang sangat berpengaruh, sehingga banyak ditemukan

ia membicarakan ,qifâMaw-alDi dalam . syiyahâh dan hsyarkomentar dalam bentuk

permasalahan teologis yang terkesan sama dengan tema-tema filsafat. Sebagai contoh,

ia mengemukakan konsep substansi (mâhiyyah) dengan istilah yang sama dalam

filsafat. Begitu pun, al-Îjî dan para teolog lain tidak keberatan menggunakan term

wâjib al-wujûd dan mumkin al-wujûd ketika membicarakan eksitensi,137 walaupun

term tersebut digunakan oleh al-Fârâbî dan Ibn Sînâ filosof Peripatetik klasik.

Selain menyebutkan tema-tema yang pernah dikemukakan al-Juwaynî, ia juga

mengemukakan tentang kaidah ‘ishmah (kesucian dari dosa), kenabian, kewalian,

akhirat138, keimanan dan kekafiran139, dan imâmah140.

136 Abû al-Ma‘âlî al-Juwaynî, al-Syâmil ed. Dr. M. Sâmî Nasyâr, (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif,

1969), h. 11. 137 Al-Îjî, al-Mawâqif, h. 59. 138 Al-Îjî, al-Mawâqif, h. 337.

Page 55: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

ilmî menyimpulkan bahwa HMushthâfâ . Dr, Berdasarkan pertimbangan di atas

ada delapan tema penting dalam ilmu kalâm. Pertama, penolakan terhadap kelompok

materialis yang menetapkan keqadîman alam. Kedua, penetapan bahwa Allah bersifat

dengan sifat-sifat ma‘ânî yang qadîm. Ketiga, tanzîh sebagai penolakan terhadap

. ajaran Majûsîqadîmdan dualisme , ajaran Nashrânîdâhitti, ajaran Yahûdîhîtasyb

Keempat, penetapan ru'yah kepada Allah di akhirat dan kalâm Allah yang qadîm.

Kelima, permasalahan af‘âl al-‘ibâd yang berkaitan dengan takdir. Keenam,

perdebatan tentang seorang mukmin yang mati dalam keadaan berdosa besar.

Ketujuh, argumentasi mengenai penetapan kenabian. Kedelapan, pembicaraan

mengenai imâmah.141

C. Gagasan Hierarki Teologi Ibn ‘Arabî

Walaupun Ibn ‘Arabî dikenal banyak orang sebagai tokoh sufi falsafi, tetapi

itu tidak cukup untuk menyebutkan sosok utuh tentang Ibn ‘Arabî. Hal ini seperti

diakui oleh Stephen Hirstenstein, bahwa realisasi tauhid menjadi inti dari pribadi dan

ajaran Ibn ‘Arabî.142 Oleh karena itu, pembicaraan mengenai Ibn ‘Arabî tidak bisa

terlepas dari aspek teologis.

Ini terbukti dengan metode yang ia gunakan ketika menjelaskan pelbagai

memulai dengan Ibn ‘Arabî. kiyyahkMa- alâthFutû-alaspek kesufian dalam

menjelaskan aspek teologis yang ia anut. Oleh karena itu, ketika berbicara maqâm

kesufian, Ibn ‘Arabî tidak keluar dari konsep teologis yang ia gariskan.

139 Al-Îjî, al-Mawâqif, h. 384. 140 Al-Îjî, al-Mawâqif, h. 395. 141 Musthafâ Hilmî, Manhaj ‘Ulamâ al-Hadîts wa al-Sunnah fî Ushûl al-Dîn, (Kairo: Dâr al-

Da‘wah, 1992), h. 75-76. 142 Stephen Hirteinstein, The Unlimited Mercifier terj. Tri Wibowo dengan Judul Dari

Keragaman ke Kesatuan Wujud, (Jakarta: Rajagrafindo, 2001), h. 7.

Page 56: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Ibn ‘Arabî menawarkan suatu konsep teologis yang berdasarkan tingkatan

wawasan dan spiritual seseorang, sehingga bisa disebut dengan gagasan hierarki

teologis. Ia memulai dengan menyebutkan akidah awam (‘awwâm) sebagai tingkatan

pertama. Setelah itu, dikuti dengan akidah ahl al-rusûm, akidah ahl al-ikhtishâsh, dan

akidah khullâshah. Namun, Ibn ‘Arabî tidak menyebutkan secara sistematis hierarki

Tetapi ia mengungkapkannya hampir di setiap bab pada kitab . teologis yang keempat

Hal ini dikarenakan ia mengakui sendiri bahwa penjelasan mengenai ini . âthFutû-al

sangat rumit, sehingga hanya orang yang dianugerahi pemahaman istimewa yang

mengetahuinya.143 Secara umum tiga hierarki pertama telah mewakili akidah umat

Islam. Kenyataan tersebut menguatkan asumsi bahwa Ibn ‘Arabî tidak memisahkan

aspek tasawuf dan teologi.

Metode Ibn ‘Arabî yang hanya menyistematiskan tiga hierarki teologis,

untuk memahami teologi yang âthFutû-almembantu setiap orang yang membaca

menjadi pijakan pemikirannya. Oleh karena itu, pembahasan kali ini berkaitan dengan

tiga hierarki teologi tersebut. Di sini akan terlihat metode Ibn ‘Arabî dalam

menerapkan teologi yang toleran terhadap awam (‘awwâm), argumentatif

sebagaimana para teolog lain (ahl al-rusûm), dan sebagai sufi yang kritis terhadap

kekeliruan tasawuf (ahl al-ikhtishâsh).

Apabila memperhatikan sikap Ibn ‘Arabî terhadap status akidah orang awam,

maka ia terkesan cenderung kepada sikap moderat yang ditempuh al-Ghazâlî dalam

kitab al-Iqtishâd fî al-I‘tiqâd. Ibn ‘Arabî menilai akidah awam bukanlah akidah yang

sia-sia atau tercela sebagaimana diungkapkan sebagian ahli kalâm yang ekslusif.

Tetapi, akidah awam dari aspek syariat serta akal sehat adalah salîmah (selamat). Hal

ini tercapai walaupun mereka tidak mempelajari literatur ilmu kalâm. Namun akidah

143 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 65.

Page 57: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

mereka diteguhkan oleh Allah sesuai dengan fithrah yang dititipkan-Nya. Menurut

Ibn ‘Arabî, fithrah yang dititipkan-Nya adalah pengetahuan di dalam setiap diri

manusia mengenai pengakuan terhadap eksitensi Allah, baik melalui lisan orang tua

maupun para pembimbing mereka. Oleh karena itu, ia menilai bahwa mereka berada

di jalan yang benar.144

0;N .وهCA ./ 5 ص^< وص$اب HI2 3ب^79 اOAوh6 H/7 15]. إQق أ:K. Dan mereka (dengan pujian bagi Allah) berada pada jalan kebenaran,

selama tidak melangkah kepada metode interpertatif.145

Namun demikian, Ibn ‘Arabî mengingatkan, ketika manusia yang awam

mencoba menempuh langkah penakwilan dalam mengenal Tuhan, maka pada saat itu

mereka berganti status dari golongan awam menjadi golongan ahl al-nazhr wa al-

ta’wîl. Namun Ibn ‘Arabî tidak memuji dan menjamin kebenaran ahl al-nazhr, karena

mereka akan menemui Tuhan sesuai dengan metode penakwilan yang ditempuh.

Adakalanya mereka benar, dan adakalanya keliru dalam menginterpretasikan teks

Kitab Suci. Sebaliknya, Ibn ‘Arabî menilai akidah awam sangat terjaga, karena

mereka menerima keterangan teks Kitab Suci dengan keyakinan yang kuat (qath‘î).146

Keyakinan tersebut juga pernah diungkapkan al-Ghazâlî sebelumnya dengan

keimanan yang berdasarkan pembenaran yang total dan kesucian hati dari

skeptisme.147

Hal ini dikuatkan Ibn ‘Arabî dengan menyebutkan kisah kaum Yahudi yang

meminta keterangan kepada Nabi Saw, “Jelaskanlah sifat-sifat Tuhanmu kepada

kami!” (insib lanâ rabbak). Lalu Allah menurunkan surat al-Ikhlâsh yang berisi

penegasan bahwa Allah Maha Esa. Surat ini diturunkan sebagai penetapan terhadap

eksistensi-Nya dan penegasian terhadap tuhan yang berbilang. Ia memahami bahwa

144 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 59. 145 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 59. 146 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 59. 147 Al-Ghazâlî, al-Iqtishâd fî al-I‘tiqâd, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), h. 17.

Page 58: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Sifat Allah al-Shamad merupakan penegasian terhadap jism dari zat-Nya. Selain itu,

juga dinegasikan segala bentuk ketidaksempurnaan eksistensi. Dalam mengomentari

hal tersebut, Ibn ‘Arabî mengatakan bahwa mereka tidak membutuhkan argumentasi

teologis untuk menguatkan keimanan sebagaimana dirumuskan ahli kalâm.148 Atas

dasar ini, Ibn ‘Arabî tidak setuju dengan pandangan para teolog ekslusif yang

berkeyakinan bahwa individu yang tidak beriman melalui metode argumentasi

teologis adalah kafir.149 Ia menuturkan sebagaimana berikut.

?($ء ا/D1(: إ/(H ا/f(:وج T1N +)2$ذ ب 3 5+ هeا ا/e)9هi);Q g أدا_ .ا9Aj ن

Kami berlindung kepada Allah dari pemikiran tersebut; yang menjerumuskan kepada persepsi negatif (bahwa orang yang tidak

mempelajari ilmu kalâm) keluar dari prinsip keimanan.150

Di samping itu, Ibn ‘Arabî juga menjelaskan bahwa para ulama ahli kalâm

sebenarnya tidak membangun kaedah ilmu kalâm untuk menguatkan iman di dalam

diri mereka. Namun mereka hanya membangun kaedah tersebut untuk menghadapi

musuh-musuh Islam yang mengingkari eksistensi Allah, sifat, atau sebagian sifat-Nya,

jasad manusia akan kembali , ‘âlam-ûdûts alhpemikiran , ammadhrisalah Nabi Mu

seperti semula setelah kematian, tentang kebenaran Hari Kiamat. Oleh karena itu,

lanjut Ibn ‘Arabî, sikap para ulama kalâm merasa terpanggil untuk menjelaskan

argumentasi yang mereka yakini bisa mematahkan argumentasi musuh Islam adalah

berutujuan agar akidah orang awam tidak ternodai.151

CRk;/ 0;N _$E1وص _$T4ر4" ا3 12]. 5 و .IT/ا اe9 ء هI2و H)N ا$ .أنlE]. ا/IT. ب 3، وإن9 وT4$_ أرداBfI/ 2$م

Ulama ilmu ini (kalâm) radhiyyallâh ‘anhum tidak menulis karangan teologis agar ilmu mereka bertambah kokoh mengenai Allah, tetapi hanya

sebagai penolakan terhadap musuh Islam.152

148 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 59. 149 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 60. 150 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 60. 151 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 60. 152 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 60.

Page 59: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Pada tataran ini, Ibn ‘Arabî memuji orang yang berteologi Asy‘arî atau para

ahli ilmu (nazhr-b ‘ilm alâhasIa menyebut mereka dengan . teolog secara umum

pemikiran). Hal ini karena mereka tidak menggunakan kekerasan untuk mendakwahi

seseorang kembali ke jalan iman. Tetapi mereka menempuh metode diskursif. Metode

ini, lanjut Ibn ‘Arabî, pada diri mereka bagaikan mukjizat bagi Nabi Saw, terutama

pada orang yang mengerti hal tersebut. Ibn ‘Arabî juga memuji mereka karena

hîhshaberprinsip bahwa seseorang yang kembali dengan metode diskursif lebih

keislamannya daripada orang yang kembali dengan motode kekerasan. Ini

dikarenakan keislaman yang disebabkan oleh ketakutan terhadap kekerasan

mempunyai kemungkinan terjerumus kepada kemunafikan. Oleh karena itu, Ibn

‘Arabî memberikan apresiasi terhadap jasa mereka dengan ungkapan radhiyallâh

‘anhum; sebuah pujian dan doa yang sangat luhur. Tetapi ia mengingatkan bahwa

cukup satu orang ahli kalâm di suatu wilayah.153 Gagasan ini menunjukkan

kesamaannya dengan konsep al-Ghazâlî yang menegaskan bahwa mendalami ilmu

kalâm hanya bersifat fardhu kifâyah,154 sehingga di setiap negeri harus ada yang

mendalaminya walaupun hanya satu orang.

menjelaskan kecenderungannya Ibn ‘Arabî, âthFutû-alDalam pendahuluan

kepada akidah umum umat Islam yang ia sebut dengan akidah awam. Akidah tersebut

tiada lain adalah akidah diyakini mayoritas umat Islam Sunnî. Ia menyebutkan

persaksian pada akhir sub pembahasan, bahwa dirinya menganut akidah awam. Oleh

karenanya, ia mewasiatkan jika ada orang bertanya mengenai akidahnya, hendaklah

menyebutkan akidah awam tersebut. Ibn ‘Arabî menyebut akidah awam tersebut

sebagai akidah ahl al-Islâm, ahl al-taqlîd wa ahl al-nazhr.155

153 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 60. 154 Al-Ghazâlî, al-Iqtishâd, h. 17. 155 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 65.

Page 60: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

:D1/ا O7 وأه;I=C/ا Oم أهM?jا Oام 5+ أه$T/2=;7ة ا _e[N. Maka inilah akidah awam ahl al-Islâm, ahl al-taqlîd wa ahl al-nazhr.156

1. Gagasan Ibn ‘Arabî Mengenai Akidah Awam

Akidah awam merupakan keyakinan dasar yang dianut Ibn ‘Arabî, sehingga ia

memberikan persaksian seperti disebutkan sebelumnya. Persaksian tersebut dilakukan

Ibn ‘Arabî karena terinspirasi oleh apa yang dilakukan oleh Nabi Hûd kepada

kaumnya yang tidak beriman kepada Allah dan tidak meninggalkan tuhan-tuhan

selain-Nya. Di dalam al-Qur'ân, Nabi Hûd berkata,

.* ل إنp" أ8]7 ا/0nI وا8]7وا أنp" ب:يء n95 6>:آ$ن“Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu

sekutukan”.157

Nabi Hûd memberikan persaksian mengenai eksistensi Allah, walaupun beliau

mengetahui bahwa mereka mendustakan ajarannya. Persaksian tersebut bertujuan

dan , jika mereka beriman) mengemukakan argumentasi (ujjahh-mah alâiquntuk

penegasan jika mereka tidak beriman agar setiap yang menyaksikannya

menyampaikan persaksian tersebut pada yang lain. Hal ini, ungkap Ibn ‘Arabî juga

terjadi pada para mu’adzdzin; mereka disaksikan oleh semua makhluk yang

mendengar seruan azan. Bahkan syetan pun berpaling ketika mendengarkan azan.

Dalam hal ini, Ibn ‘Arabî menerapkan analogi prioritas (qiyâs awlâ). Ia

mengatakan bahwa jika musuh (seperti syetan dan orang kafir) mesti tahu persaksian

seorang mukmin terhadap keyakinan yang dianutnya, maka tentu para wali dan orang-

orang yang dicintainya lebih utama menyaksikan hal tersebut. Begitu juga terhadap

orang lain yang seagama dengannya.158

156 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 65. 157 Surat Hûd: 54. 158 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 62.

Page 61: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Ibn ‘Arabî menegaskan persaksiannya dengan mengatakan,

r )RQ6" وأ$)Pإ ;N ،.Z1)2 3ر4(" ا " +;Zl)5 s;T)4 7)R2 .أ8(]7آ Oآ "N H/ T6 3ا H/إ :;=N>N:tو >D^/...

Wahai saudaraku semoga Allah meridaimu, aku hamba yang lemah, yang bergantung kepada Allah di setiap saat dan kedipan memberikan

persaksian terhadapmu.159

Persaksian yang disebutkan Ibn ‘Arabî terbagi dua. Pertama, persaksian

keimanan kepada Allah dan malaikat-Nya. Pada bagian ini, ia menjelaskan bagaimana

keimanannya terhadap eksistensi Allah dan sifat-sifat-Nya, tetapi ia tidak menjelaskan

keimanan kepada malaikat. Adapun persaksian kedua, setelah menjelaskan tentang

mengenai ajaran datâsyahIbn ‘Arabî menyatakan , sifat Allah-eksistensi dan sifat

Ia menegaskan keimanannya terhadap risalah yang bersumber . ammad SawhNabi Mu

dari Nabi Saw, baik yang diketahui ataupun yang tidak diketahui. Ia mengimani

perihal ghaib setelah kematian seperti pertanyaan Munkar dan Nakîr, azab kubur,

kebangkitan dan semua perihal ghaib.160 Ia mengemukakan panjang lebar mengenai

persaksian pertama, tetapi hanya menyebutkan pernyataan ringkas pada persaksian

kedua.

Ketika menjelaskan keyakinannya mengenai eksistensi Allah, Ibn ‘Arabî

terkesan sangat mirip dengan akidah Sunnî (Asya‘riyyah dan Mâturidiyyah). Hal ini

terbukti dengan ungkapannya bahwa Allah Maha Esa, Maha Suci dari semua syirik. Ia

menegaskan bahwa Allah adalah Pencipta sekaligus Pengatur yang tidak disertai

selain-Nya.161

Ibn ‘Arabî tidak keberatan menggunakan konsep wujûd yang pernah

dikemukakan al-Fârâbî dan juga mempunyai kesamaan dengan ulama Sunnî. Konsep

tersebut mengemukakan bahwa eksistensi terbagi dua, wâjib al-wujûd dan mumkin al-

wujûd. Wâjib al-wujûd adalah Allah, sedangkan mumkin al-wujûd adalah alam

159 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 62. 160 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 63. 161 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 62.

Page 62: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

semesta. Ekistensi Allah berdiri sendiri dengan zat-Nya, sedangkan alam menjadi

terwujud karena bergantung kepada eksitensi Allah.162 Ibn ‘Arabî menyebutkan

bahwa Allah mawjûd bi dzâtihi (ada dengan zat-Nya sendiri) tanpa membutuhkan zat

lain yang membuat-Nya ada. Oleh karena itu, hanya Allah yang berhak disifati

dengan wujûd li nafsihi.163

Adapun mengenai sifat qadîm dan baqâ’, Ibn ‘Arabî mengungkapkan bahwa

tidak ada awal dan akhir terhadap eksistensi Allah. Oleh karena itu, ia menegaskan,

Allah adalah wujûd muthlaq (eksistensi yang universal) tidak terkait oleh sesuatu pun

(seperti waktu dan tempat). Dengan argumentasi tersebut, Ibn ‘Arabî menetapkan sifat

Allah qâ’im bi nafsihi (berdiri sendiri) sebagai ungkapan lain dari qiyâmuhu bi

nafsihi; terminologi yang biasa digunakan mayoritas di kalangan Sunnî.164

berbeda dari alam (ditsâawh- li almukhâlafatuhuDalam menjelaskan

semesta), Ibn ‘Arabî menggunakan juga terminologi yang biasa diterapkan dalam

karena ,ayyizh mutajawharIa menyebutkan bahwa Allah bukanlah . ilmu kalâm

jawhar (substansi) membutuhkan tempat. Dia bukan ‘iradh (accident), karena ‘iradh

tidak kekal. Dia bukan jism (benda) karena jism membutuhkan arah (jihhah) dan

hadapan (tilqâ’).165 Ibn ‘Arabî menegaskan untuk kedua kalinya bahwa Allah Maha

Suci dari segala arah dan penjuru. Namun Allah bisa dilihat dengan hati dan

pandangan mata (di akhirat). Dia melakukan istiwâ' sebagaimana terdapat dalam al-

Qur'ân sesuai dengan makna yang diinginkan-Nya. Hal ini berarti bahwa istiwâ' Allah

Dia Maha Suci dari . ‘Arsy atau ditempati ‘Arsy) menempati (lûulhMaha Suci dari

ungkapan "setelah alam" atau "sebelum alam".166

162 ‘Alî Abû Rayyân, , al-Falsafah al-Islâmiyyah, (Kairo: Dâr al-Qawmiyyah al-Islâmiyyah,

1967), h. 373. 163 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 62. 164 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 62. 165 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 62. 166 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 62.

Page 63: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

.إذا 8 ء ا?C$ى HI2 08:2 آ9 * /0، وHI2 ا/H1T9 ا/eي أراد_Apabila Dia berkehendak (istiwâ'), niscaya ia istiwâ' atas ‘Arsy sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'ân, sesuai dengan makna yang

diinginkan-Nya.167

Ibn ‘Arabî sangat menekankan sifat mukhâlafah (ketidaksamaan), sehingga ia

menegaskan bahwa tidak ada deskripsi yang mampu dicapai akal mengenai zat Allah.

Dia tidak dibatasi oleh zaman, tidak diliputi oleh tempat. Bahkan ia mengungkapkan

kaidah yang disepakati ulama Sunnî sebagaimana berikut.

Z5 F0 آ نآ ن و;I2 5 HI2 $ن، وه . Dia ada sedangkan tempat (dan zaman) belum ada, dan Dia senantiasa

ada dengan keesaan-Nya.168

Mengenai ilmu Allah, Ibn ‘Arabî menegaskan bahwa Allah senantiasa Maha

Tahu terhadap segala sesuatu. Ilmu-Nya tidak berubah ketika terjadi perubahan objek

yang diketahui. Ia juga menambahkan bahwa ilmu Allah mencakup kulliyyât

(universal) dan juz'iyyât (partikular) sebagaimana konsensus (ijmâ‘) ahl al-nazhr yang

benar.169 Ahl al-nazhr dalam konteks ini tentunya adalah ahli kalâm Sunnî. Penegasan

ini membuat Ibn ‘Arabî terhindar dari kritikan al-Ghazâlî terhadap para filosof

Peripatetik yang beranggapan bahwa ilmu Allah bersifat partikular.170 Selain itu, hal

ini menunjukkan bahwa sanggahan Ibn Rusyd tidak berpengaruh pada Ibn ‘Arabî,

walaupan mereka pernah bertemu.

Adapun mengenai irâdah atau masyî'ah, Ibn ‘Arabî menyebutkan sebuah

kaidah yang telah disepakati ulama Sunnî, "Mâ syâ'a kâna, wa mâ lam yasya’ an

yakûna lam yakun" (apa pun yang Dia kehendaki niscaya terwujûd, dan sedangkan

apa pun yang tidak dikehendaki-Nya niscaya tidak terwujud).171

167 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 62. 168 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 62. 169 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 63. 170 Al-Ghazâlî, Tahâfut al-al-Falâsifah ed. Dr. Sulayman Dunyâ, (Mesir: Dâr al-Ma‘ârif,

1972), h. 306. 171 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 63.

Page 64: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Dalam memahami kekufuran, keimanan, ketaatan, dan kemaksiatan, Ibn

‘Arabî menegaskan bahwa semua dinamika tersebut terwujud sesuai dengan kehendak

Allah yang azali. Azali berarti masa ketika alam belum pernah ada. Dia menciptakan

alam tanpa membutuhkan tafakkur dan tadabbur, karena dua hal itu mengindikasikan

ketidaktahuan sebelum Dia menjadi Maha Tahu. Ibn ‘Arabî juga menegaskan bahwa

pada hakikatnya tidak ada yang berkehendak di alam semesta selain Allah.172

Adapun mengenai samâ‘ dan bashar, ia menyebutkan bahwa sifat samâ‘ Allah

tidak dihijab oleh kejauhan jarak, karena Dia Maha Dekat. Sebaliknya, walaupun

bersifat Maha Ghaib, sifat bashar Allah tidak terhalang oleh benda.173

Konsep Ibn ‘Arabî mengenai sifat kalâm sangat menarik, karena ia

menyebutkan bahwa kalâm Allah bersifat qadîm azali sebagaimana sifat-Nya yang

lain. Dia berbicara kepada Nabi Mûsâ dengan kalâm qadîm tersebut. Kalâm-Nya

disebut dengan Tanzîl (al-Qur'ân), Zabûr, Taurat, dan Injîl tanpa menggunakan huruf,

suara, nagham (lantunan), dan bahasa. Hal ini dikarenakan Dialah pencipta huruf,

suara, nagham, dan bahasa.174

وF نx(. وx/ F( ت، ب(O ف وF أص($ات وR? .IZ6 ( :)Q :;G +5^ ن0 ( ...ه$ J/ P اdص$ات

Dia berbicara tanpa menggunakan huruf, suara, lantunan, dan bahasa. Tetapi Dialah Pencipta suara...175

Hal ini menunjukkan bahwa Ibn ‘Arabî tidak sepakat dengan kaum

mujassimah yang beranggapan bahwa kalâm Allah adalah dengan huruf, suara,

nagham, dan bahasa yang qadîm.

Persaksian pertama di atas memperkuat asumsi bahwa Ibn ‘Arabî sepakat

dengan ulama Sunnî dalam menetapkan sifat nafsiyyah, salbiyyah, ma‘ânî pada Allah

172 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 63. 173 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 63. 174 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 63. 175 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 63.

Page 65: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Hal ini menyebabkan muncul komentar sebagian . ammad Sawhdan risalah Nabi Mu

sejarawan Muslim bahwa akidah awam yang dijelaskan Ibn ‘Arabî merupakan akidah

Sunnî; Asy‘ariyyah dan Mâturidiyyah. Apabila dibandingkan dengan kategorisasi al-

a akidah yang dijelaskan pada poin ini mak, alhNi-Milal wa alSyahrastânî dalam

termasuk Sifâtiyyah; yakni golongan yang mengakui sifat-sifat Allah.176

2. Gagasan Ibn ‘Arabî Mengenai Akidah Ahl al-rusûm

Tingkatan akidah ini juga disebut dengan akidah al-Nâsyiyyah al-Syâdiyyah.

Ibn ‘Arabî menjelaskan kaidah-kaidah teologi dengan ungkapan yang pendek, padat,

tetapi rumit pada bagian secara naratif. Akidah ini dinamai dengan Risâlah al-Ma‘lûm

min ‘Aqâ'id Ahl al-Rusûm.177 Walaupun argumentasi teologis yang dikemukakan di

sini lebih banyak mirip dengan akidah Asy‘ariyyah, namun bukan berarti Ibn ‘Arabî

secara otomatis disebut sebagai teolog Asy‘ariyyah yang utuh. Hal ini dikarenakan ia

mengritisi setiap golongan yang memahami konsep ketuhanan melalui analisis rasio

pada tingkatan akidah yang ketiga. Sedangkan Asy‘ariyyah termasuk golongan yang

dinilainya memahami konsep ketuhanan melalui analisis rasio. Oleh karena itu selain

Asy‘ariyyah, ia menilai bahwa kaum filosof, Mu‘tazilah lebih banyak keliru

ketimbang memperoleh kebenaran dalam membangun argumentasi mengenai

ketuhanan.

Dalam mengungkapkan akidah ahl al-rusûm atau al-Syâdiyyah, sebenarnya

Ibn ‘Arabî menisbahkan kepada seseorang ulama yang bernama al-Syâdî. Namun ia

tidak menjelaskan secara terperinci sosok al-Syâdî. Ia menuturkan mengenai al-Syâdî

yang menyebutkan bahwa suatu kali empat orang ulama berkumpul di kubah Aryân

tepat di bawah garis khatulistiwa. Mereka adalah ulama Maroko, Masyriq, Syam, dan

176 Al-Syahrastânî, Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), h. 73. 177 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 65.

Page 66: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Yaman. Mereka berdiskusi mengenai pelbagai ilmu dan perbedaan mengenai asmâ'

(nama) dan rusûm (simbol). Masing-masing ulama tersebut mengatakan bahwa tidak

ada sisi positif suatu ilmu jika tidak memberikan kebahagiaan yang abadi kepada yang

mendalaminya. Setelah itu, ia mengajak untuk mediskusikan ilmu yang paling mulia,

yaitu akidah. Masing-masing mereka mengklaim mempunyai wawasan mengenai

ilmu tersebut.178

Setelah itu, ulama dari Maroko atau Imam al-Maghribî mendapatkan giliran

pertama untuk menjelaskan kerangka pemikirannya mengenai eksistensi (wujûd). Ia

menjelaskan bahwa sesuatu yang sebelumnya tidak ada, lalu menjadi ada serta

berlaku padanya hukum waktu, mengindikasikan ada zat yang membuatnya

(mukawwin).179

Imam al-Maghribî juga memberikan kaedah-kaedah lain mengenai prinsip

eksistensi. Ia menambahkan bahwa eksistensi sesuatu yang bergantung dengan

kefanaan sesuatu yang lain, mengindikasikan bahwa eksistensinya tidak akan

terwujud kecuali setelah yang lain binasa. Ia mengungkapkan bahwa sesuatu yang

mempunyai kemungkinan tarkîb (sistem) dan ta’lîf (susunan) pada eksistensi zatnya,

niscaya akan binasa. Sesuatu yang terjadi pada dirinya keserupaan dengan yang selain

dirinya niscaya hilang keutamaannya. Ungkapan yang paling menarik adalah ketika ia

menjelaskan bahwa jika terdapat sesuatu yang lain pada substansinya, niscaya bisa

dilihat. Ia menegaskan bahwa argumentasi rasional inilah yang dikemukakan

mayoritas teolog Asy‘ariyyah ketika menjelaskan keniscayaan ru’yah (penyaksian).180

Adapun argumen rasional yang dimaksud adalah sebagaimana diinformasikan

ullu K", Syahrastânî bahwa para teolog Asy‘ariyyah menetapkan kaedah-oleh al

Ungkapan ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang ".â an yuruhh yashimawjûd

178 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 66. 179 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 66. 180 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 66-67.

Page 67: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

ada niscaya bisa dilihat. Dalam hal ini faktor yang membuatnya bisa dilihat adalah

aspek "ada". Dalam konteks ini, Allah adalah Zat Yang Maha Ada, sehingga sangat

memungkinkan untuk bisa dilihat.181

Setelah itu, giliran ulama dari Masyriq atau Imam al-Masyriqî menyampaikan

penjelasan mengenai wawasan yang dikuasainya. Ia menyebutkan bahwa zat yang

tidak terhalang kemampuannya karena ada wujud manusia, maka kemampuan

manusia senantiasa tunduk padanya. Mengenai sifat qidam dan baqâ', ia menjelaskan

bahwa zat yang menerima kemungkinan masa permulaan dan akhir, maka zat tersebut

tentu mempunyai mukhashshish (penentu). Kata ini mengisyaratkan makna subjek

yang memberikan sifat khusus tersebut. Dalam ungkapan lain, ulama al-Masyriqî

menyebutkan bahwa zat mukhashshish merupakan sumber dari irâdah (kehendak)

dalam hukum akal dan alam. Mengenai irâdah, ia menjelaskan bahwa seandainya

Allah Yang Maha Berkehendak (murîd) menginginkan sesuatu yang belum pernah

ada, maka tentulah sesuatu yang tidak ada tersebut menjadi objek yang dikehendaki

(murâd) karena ketiadaannya semula.182

Imam al-Masyriqî juga menambahkan mengenai kesempurnaan sifat qadîm. Ia

menjelaskan bahwa zat yang qadîm tidak menerima kemungkinan permulaan.

Seandainya terjadi pada zatnya sesuatu di luar sifat ini, maka tentulah zat tersebut

menjadi tidak sempurna karena ketiadaan sifat tersebut. Zat yang diakui

kesempurnaannya oleh hukum akal dan nash ada yang tidak disifati oleh

kekurangan.183

Selain itu, Imam al-Masyriqî menjelaskan mengenai sifat-sifat yang lain. Ia

mengungkapkan bahwa seandainya Allah tidak melihat dan mendengar hamba-Nya,

tentulah Dia lebih jahil daripada hamba-Nya. Sedangkan penisbahan sifat jahil

181 Al-Syahrastani, al-Milal, h. 80. 182 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 67. 183 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 67.

Page 68: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

kepada-Nya merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Ia juga menambahkan

penegasan mengenai keesaan Allah. Dalam hal ini, ia menyebutkan bahwa

pembahasan mengenai kuantitas tidaklah mampu menyangkal hakikat sifat Allah

Yang Maha Esa.

Pada giliran berikut, Imam al-Syâmî menyampaikan pemikiran teologis yang

mengarah kepada kritikan terhadap Mu‘tazilah. Di antara gagasan yang diajukan

adalah penjelasan mengenai konsep kekuasaan Allah. Ia menegaskan bahwa semua

argumen yang cenderung kepada penolakan aspek ketuhanan adalah sia-sia.

Anggapan bahwa pada alam semesta terdapat sesuatu yang terjadi di luar kehendak

Allah adalah asumsi yang keliru. Ia menilai bahwa orang yang berasumsi seperti itu

tidak memahami substansi tauhid.184

Imam al-Syâmî menolak sikap sebagian aliran kalâm seperti Mu‘tazilah yang

mewajibkan sesuatu aktivitas atau sifat pada Allah, seperti memasukkan orang kafir

ke neraka dan orang beriman ke sorga. Hal ini dikarenakan sikap tersebut akan

berujung pada konklusi bahwa Allah terbatas dengan objek sifat yang diwajibkan. Hal

tersebut, dinilai al-Syâmî, mustahil terdapat pada Allah.185

Ia juga menjelaskan mengenai konsep taklîf (pembebanan hukum).

Sebagaimana diyakini kalangan Sunnî, taklîf dengan sesuatu yang melebihi

kesanggupan mukallaf adalah boleh secara rasio. Ia menilai hal tersebut terbukti

secara rasio dan nash. Selain itu, ia mengaitkan dengan pembicaraan mengenai

keadilan Allah. Ia menegaskan bahwa Allah meliputi segala sesuatu dengan

kekuasaan-Nya. Oleh karena itu, atribut kezaliman dan ketidakadilan tidak layak

184 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 67. 185 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 67.

Page 69: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

dinisbahkan kepada-Nya, karena ada pemberlakuan suatu hukum dalam kekuasaan-

Nya.186

Selain itu, Imam al-Syâmî menjelaskan mengenai konsep penilaian keburukan

yang menjadi perdebatan antara Asy‘ariyyah dan )nîshta( dan kebaikan )hîtaqb(

Mu‘tazilah. Ia lebih cenderung kepada konsep Asy‘ariyyah bahwa kedua hal itu mesti

berdasarkan syari'at dan urgensi kemaslahatan. Ia menolak konsep Mu‘tazilah yang

beranggapan bahwa kebaikan dan keburukan dikarenakan substansi suatu objek itu

sendiri. Oleh karenanya, ia menilai bahwa asumsi mengenai kebaikan dan keburukan

dikarenakan substansi pada objek itu sendiri, sebagai pemikiran yang bodoh.187

Ia juga menjelaskan mengenai kemampuan akal dalam mencapai pengetahuan.

Terkadang akal mampu mencapai pengetahuan dengan sendirinya, dan terkadang

tidak mampu sendiri kecuali dengan bantuan sarana lain. Keadaan ini

mengindikasikan keberadaan zat Allah yang menciptakan sarana agar akal sampai

pada pengetahuan.

Imam al-Syâmî juga menjelaskan mengenai posibilitas pengutusan para rasul.

Posibiltas pengutusan mereka tidak mustahil secara rasio. Para rasul adalah makhluk

yang paling mengenal urgensi dan jalan kebaikan. Mengenai perbedaan nabi palsu

dan nabi yang asli (shâdiq), ia memberikan argumentasi teologis dengan menjelaskan

pelbagai posibilitas lain. Seandainya seorang nabi palsu bisa membawa ajaran yang

mirip dengan nabi yang asli, maka akan terjadi perubahan substansi kebenaran. Hal

ini berarti qudrah (kekuasaan) Allah berubah menjadi kelemahan. Bahkan,

kebohongan menjadi mungkin diatributkan kepada Allah. Semua posibilitas ini dinilai

oleh al-Syâmî sebagai sesuatu yang sangat mustahil.188

186 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 67. 187 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 67. 188 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 68.

Page 70: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Pada giliran terakhir Imam al-Yamânî menyampaikan argumen teologis. Ia

terlebih dahulu menjelaskan argumen kebangkitan manusia di akhirat. Sesuatu yang

menjadi binasa setelah diciptakan, sangat memungkinkan dikembalikan sebagaimana

semula. Mengenai kejadian luar biasa seperti mukjizat dan keramat, ia menjelaskan

bahwa zat yang sanggup menerbangkan burung di udara, tentulah sanggup

menerbangkan semua benda.189 Ungkapan ini merupakan premis untuk menyatakan

bahwa Allah berkuasa menggerakkan semua benda di alam semesta.

Imam al-Yamânî juga menjelaskan mengenai konsep kepemimpinan dalam

argumentasi teologis. Ia menegaskan bahwa mempertahankan keharmonisan agama

Islam mesti dilakukan. Namun hal itu tidak mungkin tewujud kecuali dengan kondisi

negeri yang damai. Oleh karena itu, pengangkatan seorang pemimpin merupakan

sebuah keniscayaan pada setiap zaman.190

Menarik, ia juga menyebutkan kriteria seorang pemimpin, sehingga

pengangkatannya menjadi sah. Kriteria tersebut secara umum adalah laki-laki, baligh,

berakal sehat, berilmu, bukan budak, warâ‘, punya keberanian dan kecukupan,

keturunan Quraysy, serta sehat indera pendengaran dan penglihatan.191 Konsep ini

niyyahâSulth-m alâkhA-alMawardî pengarang -jika dibandingkan dengan gagasan al

terlihat sama. Bahkan al-Yamânî menyebutkan kriteria pemimpin harus seorang laki-

laki, sedangkan al-Mawardî tidak menyebutkan sebelumnya.192

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, semua argumentasi teologis yang

disampaikan oleh empat ulama di atas merupakan akidah ahl al-rusûm atau al-

Syâdiyyah. Sebenarnya, argumentasi yang dikemukakan Ibn ‘Arabî berdasarkan

narasi dari al-Syâdî mempunyai konklusi yang sama dengan akidah awam. Hanya saja

189 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 68. 190 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 68. 191 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 68. 192 Al-Mawardî, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2006), h. 19.

Page 71: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

akidah al-Syâdiyyah dibangun dengan argumentasi teologis yang bersifat induktif dan

menggunakan metode ilmu manthiq (logika). Sedangkan akidah awam lebih

cenderung bersifat deduktif.

3. Gagasan Ibn ‘Arabî Mengenai Akidah Ahl al-Ikhtishâsh

Ibn ‘Arabî menyebutkan bahwa akidah ahl al-ikhtishâsh min ahl Allâh

merupakan argumetasi yang dibangun dengan menggabungkan antara konsep

pemikiran teologis dan intuitif. Penalaran teologis yang diuraikan Ibn ‘Arabî sangat

berbeda dari penalaran akidah awam dan ahl al-rusûm. Hal ini dikarenakan metode

yang digunakan dalam mencapai suatu ma‘rifah telah menyentuh dunia intuitif yang

lumayan rumit.

Kerumitan tersebut mulai diperlihatkan Ibn ‘Arabî ketika memberikan kalimat

pembuka.

s<))وآ :))Dا3 ب((;+ ن O))ص 5((+ أه B))CPFا O))د أه ))=C2ا "))N O))وص .ا/^79 3 5^;: ا/T=$ل N" نyr C ا/]9.

Dilanjutkan dengan akidah ahl al-ikhtishâsh antara pendekatan pemikiran dan penyingkapan spiritual. Segala puji milik Allah yang membuat

193. untuk menghasilkan pelbagai perspektif)ayyirhmu(akal bingung

Di dalam menjelaskan akidah ahl al-ikhtishâsh, ia memberikan penjelasan

berdasarkan poin-poin pemikiran. Permasalahan pertama yang dikemukakan Ibn

‘Arabî adalah mengenai limit kemampuan akal. Ia memberikan penekanan bahwa

limit tersebut ditinjau dari aspek akal sebagai subjek yang berfikir (mufakkirah).

Ketika ada suatu objek pemikiran yang mustahil terjadi dalam jangkauan akal, maka

bukan berarti mustahil jika dinisbahkan kepada Allah. Sebaliknya, suatu hal yang

193 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 68.

Page 72: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

dianggap mungkin secara akal, terkadang mustahil jika dikaitkan dengan

ketuhanan.194

Ketika menjelaskan permasalahan wâjib al-wujûd dan mumkin al-wujûd, Ibn

‘Arabî memberikan poin penting mengenai keutuhan eksistensi. Ia menegaskan

dalam satu kesatuan dari sisi ) Allah (qqaH-albahwa persatuan antara makhluk dan

eksistensi zat merupakan asumsi yang keliru. Adapun persatuan dari aspek sifat yang

diatributkan pada zat, maka hal tersebut merupakan permasalahan lain yang mampu

dimengerti oleh akal.195 Ibn ‘Arabî mengantisipasi sedini mungkin usaha sebagian

orang yang mencoba menjadikan zat Allah sebagai objek pemikiran. Tetapi, ia tidak

menolak kemampuan akal untuk mengetahui zat melalui sifat-Nya, bukan dari zat itu

sendiri.

Konsep ini ia kuatkan dengan memberikan kritikan terhadap sebagian ulama

kalâm yang ia sebut dengan ulama nuzhzhâr (ahli pemikiran). Ia menyatakan bahwa

asumsi mereka bahwa zat Tuhan bisa dicapai dengan akal adalah keliru. Ini

dikarenakan pemikiran manusia bersifat skeptis dan ambigu (mutaraddid) antara

penegasian (salb) dan penetapan (itsbât). Seorang ahli kalâm hanya mengemukakan

konsep tentang sifat Tuhan berdasarkan perspektif yang digunakannya, sehingga

ditetapkan bahwa Allah bersifat ‘âlim, qâdir, dan murîd serta seluruh nama-nama-

Nya. Sedangkan penegasian terhadap atribut berujung kepada ketiadaan zat. Padahal,

tegas Ibn ‘Arabî, ketiadaan bukanlah sifat zat. Hal ini dikarenakan sifat zat merupakan

sebuah ketetapan. Atas dasar ini, ia menilai bahwa sebagaian besar ahli kalâm tidak

mampu mencapai satu ilmu pun mengenai zat Allah karena konsep mereka dibangun

dengan pemikiran skeptis dan ambigu.196

194 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 68. 195 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 69. 196 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 69.

Page 73: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Selain itu, ia memberikan komentar terhadap ketetapan ahli kalâm mengenai

keesaan Allah, "Sesungguhnya Allah ada, sedangkan tidak ada sesuatu pun bersama-

Nya" (kâna Allâh wa lam yakun syay' ma‘ahu), maka Ibn ‘Arabî mengingatkan bahwa

Dia ada " ,Adapun ungkapan tambahan. Nabi SawadîtsHungkapan itu berasal dari

sekarang sebagaimana sebelumnya" (wa huwa al-ân kamâ ‘alayhi kâna) merupakan

tambahan (mudraj) dari ahli kalâm. Ungkapan pertama menurut Ibn ‘Arabî

berdasarkan kasyf i‘tishâmî (penyingkapan yang dijadikan pegangan).197

Ibn ‘Arabî juga membicarakan mengenai kasb (usaha) pada makhluk. Kasb

merupakan korelasi kehendak makhluk terhadap semua objek perbuatan. Adapun

ketetapan (takdir) Allah terdapat pada saat korelasi kehendak tersebut terjadi,

sehingga dinamakan kasab bagi makhluk.198 Hal ini menunjukkan bahwa Ibn ‘Arabî

menolak pemikiran Jabariyyah yang serba takdir.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa konsep jabr (totalitas) tidak benar dalam

pandangan ahli hakikat. Hal ini, ungkap Ibn ‘Arabî, karena konsep tersebut

menegasikan peran atau aktivitas makhluk. Bahkan ia menegaskan bahwa jummâd

(benda-benda yang diam) pun tidak terikat dengan totalitas, karena benda-benda

tersebut tidak mungkin menimbulkan sebuah aktivitas. Padahal benda diam tidak

mempunyai akal yang dimiliki oleh manusia.199

Ibn ‘Arabî tidak sepakat dengan diskursus Mu‘tazilah mengenai objek

ketetapan Allah. Mu‘tazilah berpandangan bahwa Allah hanya menghendaki

kebaikan, sehingga terkesan Allah tidak pernah menetapkan keburukan. Dalam hal

ini, Ibn ‘Arabî menegaskan bahwa Dia menetapkan terjadi keburukan atau balâ'

(sebagai ungkapan lain syarr) dan kebaikan ‘âfiyah (sebagai ungkapan lain khayr).

Permasalan ini bisa dipahami dari nama-nama Allah yang terkesan bertentangan

197 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 69. 198 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 70. 199 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 70.

Page 74: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

kontradiktif secara lahiriah, yaitu Muntaqim (Maha Pemurka) dan Ghâfir (Maha

Pengampun). Sifat pemurka yang dipahami dari nama-Nya Muntaqim sama-sama

berlaku pada alam semesta secara bergendengan dengan sifat pengampun yang

dipahami dari nama-Nya Ghâfir. Salah satu dari nama tersebut tidak mungkin

dihilangkan karena ada nama yang lain. Seandainya ada nama Allah yang tidak

mempunyai urgensi, maka akan terjadi ta‘thîl (penegasian sifat). Sedangkan ta‘thîl

merupakan sesuatu yang mustahil pada aspek ketuhanan.200 Ungkapan ini

menunjukkan bahwa Allah dalam pandangan Ibn ‘Arabî menetapkan semua hal,

termasuk kebaikan dan keburukan pada alam semesta. Sikap ini bertujuan agar

terhindar dari penegasian nama-nama Allah.

Namun di dalam pemaparan lain, Ibn ‘Arabî memberikan penjelasan dalam

membedakan kehendak (irâdah) dan ketetapan (qadhâ' atau qadr) Allah. Sifat irâdah

Allah tidak menginginkan keburukan atau kekejian, sebagaimana Dia tidak

memerintah dengan kekejian.201 Ungkapan ini berbeda dengan konsep Asy‘ariyyah

bahwa Allah menghendaki kebaikan dan keburukan/kekejian sekaligus dengan irâdah

yang qadîm. Tetapi Ibn ‘Arabî sepakat dengan Asy‘ariyyah bahwa keburukan

termasuk ketetapan Allah. Ia menambahkan bahwa hal tersebut dikarenakan

keburukan merupakan kawn (kondisi keberadaan) bukan ‘ayn (substansi).202 Pada

konteks lain, ia mengingatkan bahwa tidak menjadi keniscayaan bahwa ketetapan

Allah terhadap sesuatu menunjukkan keridaan terhadap objek yang ditetapkan (dalam

hal ini adalah keburukan/kekejian). Hal ini dikarenakan ketetapan merupakan hukum

Allah. Sedangkan manusia hanya diperintahkan rida dengan hukum bukan terhadap

objek yang dihukumi.203

200 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 70. 201 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 73. 202 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 73. 203 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 76.

Page 75: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Sisi lain yang menarik adalah sikap moderat menghadapi perdebatan

Mu‘tazilah dan Asy‘riyyah mengenai aksiologis. Ibn ‘Arabî mengungkapkan bahwa

bersifat substansial pada objek )hîqab(dan keburukan ) asanh(objek kebaikan

tersebut. Ungkapan ini berarti bahwa suatu objek dikatakan baik karena substansinya

baik. Sebaliknya suatu objek dikatakan buruk karena substansinya buruk. Di antara

dua objek ini ada yang mampu diketahui oleh akal, dan ada yang tidak mampu

diketahui oleh akal kecuali dengan petunjuk syari‘at. Namun, berpegang dengan

konsep sebelumnya, Ibn ‘Arabî mengatakan bahwa suatu objek yang dikatakan baik

atau buruk oleh syari‘at hanya bersifat informasi (khabr), bukan penetapan. Ini

dikarenakan informasi tersebut berkaitan dengan konteks yang ada, baik zaman,

kondisi, maupun personal. Ia mencontohkan "pembunuhan", berbeda implikasi

hukumnya jika dilakukan secara sepihak (disengaja), atau perintah membunuh dalam

peperangan, atau sanksi.204

Di samping itu, Ibn ‘Arabî konsisten mengatakan bahwa keburukan tidak akan

pernah berubah menjadi kebaikan secara substansial selamanya. Sebaliknya kebaikan

tidak akan pernah berubah menjadi keburukan secara substansial selamanya. Tetapi ia

tidak memungkiri, terkadang keburukan malah memiliki implikasi yang positif.

Sebaliknya terkadang kebaikan malah berimplikasi negatif. Ia mencontohkan

kejujuran, terkadang justeru membawa keburukan (baca: kesialan). Atau kebohongan

terkadang justru berakibat kebaikan (baca: kedamaian).205

Dalam membicarakan konsep ilmu, secara umum Ibn ‘Arabî menegaskan

bahwa pengetahuan bukanlah deskripsi mengenai objek (ma‘lûm). Pengetahuan juga

bukan makna yang dideskripsikan seseorang terhadap objek. Adapun alasannya,

ungkap Ibn ‘Arabî, karena tidak semua objek pengetahuan mampu dideskripsikan,

204 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 75. 205 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 76.

Page 76: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

dan tidak semua personal yang ‘âlim mampu memberikan deskripsi terhadap suatu

objek. Deskripsi tersebut pada personal yang ‘âlim hanya dari aspek dia mampu

berimajinasi, sehingga gambaran dari deskripsi terhadap objek tersebut dibatasi oleh

kemampuan imajinasi. Oleh karena itu, Ibn ‘Arabî memberikan pernyataan bahwa ada

objek pengetahuan yang tidak mampu dideskripsikan oleh imajinasi seseorang,

sehingga imajinasinya beranggapan bahwa objek tersebut tidak ada gambarannya.206

menambahkan Ibn ‘Arabî, tâhûFut-alDi halaman yang berbeda pada kitab

bahwa ilmu Allah tidak berubah dengan perubahan objek yang diketahui. Adapun

yang terjadi hanya perubahan pada ta‘alluq (korelasi). Sedangkan ta‘alluq merupakan

penisbahan terhadap objek.207

Selain itu, Ibn ‘Arabî juga mengemukakan bahwa sifat-sifat Allah seperti

Maha Mengetahui, Maha Hidup, Maha Berkuasa dan lainnya merupakan penisbahan

kepada zat-Nya. Sifat-sifat tersebut bukan substansi-substansi yang berafiliasi atau

bertambah pada zat Allah, karena akan mengindikasikan ketidaksempurnaan zat.

Padahal, ungkap Ibn ‘Arabî, sesuatu yang sempurna karena afiliasi yang lain berarti

tidak sempurna dengan keberadaan zatnya sendiri. Sedangkan Allah Maha Sempurna

dengan zat-Nya sendiri. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa afiliasi suatu zat

dengan zat yang lain adalah mustahil terjadi. Namun tidak menutup kemungkinan

terjadi penisbahan suatu atribut kepadanya.208 Ia tidak setuju dengan ungkapan

Asy‘ariyyah bahwa sifat sebagai zâ'id (tambahan) pada zat Allah. Ia lebih cenderung

menggunakan ungkapan sifat sebagai nisbah (penisbahan). Perbedaan dua ungkapan

ini sebenarnya hanya pada tataran term yang digunakan.

Namun pada kesempatan lain, Ibn ‘Arabî mengomentari ungkapan

Asy‘ariyyah mengenai korelasi sifat dan zat.

206 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 70. 207 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 72. 208 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 70.

Page 77: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

_:;G "ه Fه" ه$، و F. Sifat itu bukan zat, namun sifat juga tidak lain dari zat.209

Ungkapan ini mengindikasikan bahwa mereka menetapkan sifat sebagai

tambahan terhadap zat. Padahal, menurut Ibn ‘Arabî, kenyataannya tidak seperti itu.

Tetapi, ia menilai bahwa Asy‘ariyyah juga mengingkari afiliasi sifat pada zat dengan

menegaskan, "Namun sifat juga tidak lain dari zat".210

Ibn ‘Arabî berbeda dari Wâshil bin ‘Athâ' tokoh pendiri Mu‘tazilah yang

menolak penetapan sifat-sifat zat. Secara tidak langsung Ibn ‘Arabî menilai Wâshil

menetapkan substansi pada sifat qadîm, sehingga berujung mengakui keberadaan dua

"tuhan".211 Hal ini dikarenakan penalaran Wâshil cenderung memahami bahwa sifat

adalah zat, sebagai penolakan terhadap pendapat kelompok Shifâtiyyah; yang akan

menjadi cikal bakal aliran Asy‘ariyyah. Penalaran Wâshil tersebut menilai penetapan

sifat terhadap zat mengindikasikan zat yang lebih dari satu. Sebagai kritikan terhadap

Mu‘tazilah dalam masalah sifat, Ibn ‘Arabî menegaskan walaupun sifat pada zat

tersebut tidak hanya satu, namun bukan berarti yang disifati lebih dari satu.212

Selain Mu‘tazilah, Ibn ‘Arabî juga mengritisi dua golongan aliran teologi;

Asy‘ariyyah dan Mujassimah mengenai antropomorfisme (tasybîh) sifat-sifat Allah.

Ia menilai bahwa kedua golongan tersebut sama-sama terjebak pada tasybîh. Secara

umum sejarawan Muslim hanya menjelaskan bahwa yang terjebak dalam tasybîh

adalah Mujassimah. Namun ternyata dalam pandangan Ibn ‘Arabî, sebagian golongan

Asy‘ariyyah juga terjebak dalam hal ini. Ia mengemukakan bahwa ketika Asy‘ariyyah

melakukan interpretasi terhadap sifat Allah yang mutasyâbihât seperti yadd, ‘ayn,

209 Namun dalam teks al-Futûhât dinukil redaksi yang sedikit berbeda: 0/ ر ;Gه" أ Fه" ه$، و F. 210 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 70. 211 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 71. 212 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 71.

Page 78: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

istawâ, maka mereka beranggapan telah keluar dari konsep tasybîh. Padahal mereka

hanya berpindah dari tasybîh yang bersifat fisik kepada tasybîh maknawi (tasybîh al-

Ungkapan ini berarti penyerupaan sifat Allah secara maknawi . )datsahhmu- alniâma‘

dengan makhluk. Dalam pandangan Ibn ‘Arabî, seseorang tidak perlu melakukan

interpretasi terhadap sifat mutasyâbihât, karena hal tersebut merupakan kekeliruan.

Adapun mengenai Mujassimah, Ibn ‘Arabî keberatan dengan sikap mereka yang

berlebihan dalam memahami sifat-sifat mutasyâbîhat secara tekstual. Walaupun

mereka masih berpegang kepada ayat laysa kamitslihi syay' (tidak ada yang

menyerupai-Nya sesuatu pun), tetapi mereka kaku dalam memahami teks-teks

mengenai sifat.213

Kritikan Ibn ‘Arabî terhadap kedua golongan tersebut menunjukkan bahwa ia

tidak mengikuti salah satu dari mereka. Ibn ‘Arabî membangun konsep tauhidnya

dengan tidak taklid dan fanatis kepada aliran-aliran teologi yang ada. Tetapi kritikan

Ibn ‘Arabî terhadap Asy‘ariyyah tidak bisa dipahami secara general, karena tidak

semua mereka seperti itu. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh al-Syahrastânî

seorang teolog Asy‘ariyyah bahwa Allah tidak menyerupai dan diserupai oleh sesuatu

pun dari semua sisi penyerupaan dan penyamaan.214 Penegasan ini menunjukkan

bahwa tidak semua golongan Asy‘ariyyah terjebak pada tasybîh maknawi.

213 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 71. Ayat tersebut surat al-Syûrâ: 11. 214 Al-Syahrastânî, Nihâyah al-Iqdâm fî ‘Ilm al-Kalâm ed. Alfred Geum, (t.th.), h. 103.

Page 79: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

BAB IV

STATUS TEOLOGI IBN ‘ARABÎ

A. Perdebatan mengenai Status Teologi Ibn ‘Arabî

Secara umum, komentar para ulama tentang Ibn ‘Arabî telah dikemukakan

pada pembahasan sebelumnya. Adapun pada bagian ini akan diungkapkan tanggapan

lain yang berkaitan dengan Ibn ‘Arabî.

Ibn ‘Arabî dinilai dengan pelbagai perspektif oleh para ulama. Perbedaan

tersebut justeru terjadi di kalangan Sunnî yang konon mayoritas. Di antara mereka

ada yang menilai Ibn ‘Arabî sebagai seorang wali yang agung, Sunnî yang zuhud, dan

tokoh intelektual Muslim yang luar biasa. Namun juga ditemukan di antara mereka

yang mengritisi dan mengecam Ibn ‘Arabî. Menarik, ada di antara mereka yang

menyerahkan permasalahan ini kepada Allah; sebuah sikap skeptis. Perbedaan

tersebut bersumber dari sejauh mana perkenalan mereka terhadap pemikiran Ibn

‘Arabî. Ketika mereka memahami ungkapan-ungkapan Ibn ‘Arabi secara tekstual,

maka akan lahir kritikan dan kecaman. Sedangkan bagi para ulama yang merasa tidak

mengerti terminologi yang digunakan Ibn ‘Arabî dan sufi lainnya, maka mereka lebih

memilih diam dan menyerahkannya kepada Allah.

’illâh pengarang Adapun kelompok pertama di antaranya adalah Ibn ‘Athâ

-‘Abd al, îzanâTaft-al, înâSya‘r- al,Suyûthî- al,îfi‘âY-h alâAbdull, ikamH-alkitab

Ghanî al-Nabûlisî, dan lainnya. Khatîb al-Syarbînî seorang Sunnî dari kalangan

Syâfi‘iyyah juga menegaskan bahwa Ibn ‘Arabî termasuk golongan sufi yang mulia.

yang tâhasyathIa juga menyatakan bahwa ketika seorang yang bukan sufi memahami

berasal dari Ibn ‘Arabî, maka harus dipahami secara majâzî. Sedangkan pada seorang

inologi yang berlaku di bermakna hakiki sesuai dengan termtâhasyathsufi sendiri

Page 80: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

dalam tasawuf. Berdasarkan ini, Khathîb keberatan pada pendapat yang mengecam

Ibn ‘Arabî, karena mereka hanya memahami secara tekstual.215 Oleh karena itu pula,

al-Malîbarî mufti madzhab Syâfi‘î mengharamkan membaca karangan Ibn ‘Arabî bagi

yang tidak memahami terminologi ilmu tasawuf.216

Adapun kelompok kedua di antaranya adalah Ibn Taymiyyah sebagai tokoh

terdepan. Sedangkan yang lainnya seperti Ibn al-Qayyim, Ibn al-Muqri' al- Syâfi‘î, al-

Baqâ‘î, al-Syawkânî terkesan hanya mengikuti kritikan Ibn Taymiyyah. Mereka

menolak pemahaman majâzî terhadap ungkapan-ungkapan Ibn ‘Arabî yang dianggap

kufur secara tekstual. Oleh karena itu, al-Baqâ‘i yang juga bermadzhab al-Syâfi‘î

cenderung kepada pendapat Ibn al-Muqri'; bahwa siapa yang skeptis terhadap

kekufuran Ibn ‘Arabî adalah kafir.217

Adapun kelompok ketiga adalah seperti Ibn Katsîr pengarang tafsir dan

sejarawan Muslim. Ia termasuk orang yang sangat setia mengikuti liku-liku hidup Ibn

Taymiyyah dan Ibn al-Qayyim. Tetapi dalam hal ini, ia tidak secara jelas mengikuti

Ibn Taymiyyah. Ia cuma mengatakan bahwa di dalam karangan Ibn ‘Arabî terdapat

ungkapan bisa dicerna dan yang tidak bisa dicerna oleh pikiran.218

Selain itu, banyak ilmuwan mempertanyakan teologi apakah yang dianut oleh

Ibn ‘Arabî. Dalam hal ini, ada yang menanggapi bahwa Ibn ‘Arabî adalah seorang

Syî‘ah. Pendapat ini didasari karena diskursus mengenai konsep tasawuf Ibn ‘Arabî

sangat maju di kalangan Syî‘ah. Mereka menyebut kajian tersebut dengan konsep

di utama nâ‘irf kitab liyyahâMuta‘-ikmah alH-al pengarang â ShadrâMull. nâ‘irf

kalangan Syî‘ah, terbukti banyak meminjam istilah dan mengembangkan pemikiran

Ibn ‘Arabî.

215 Khathîb al-Syarbînî, Mughnî al-Muhtâj, (Kairo: al-Tawfîqiyyah, t.th) v. 3 h. 55. 216 Al-Malîbarî, Qurrah al-‘Ayn, (Surabaya: Dâr Ihya' al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th.) h.. 134. 217 Al-Baqa’i, Tanbîh al-Ghabî, h. 225. 218 Ibn Katsîr, al-Bidâyah, v. 13 h. 90.

Page 81: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Tetapi tidak sedikit yang keberatan dengan klaim ini, seperti al-Sayyid Ja‘far

Murtadhâ al-‘Âmilî tokoh Syî‘ah kontemporer. Al-‘Âmilî menulis penolakannya

dalam kitab Ibn ‘Arabî Laysa bi al-Syî‘î. Judul tersebut dengan jelas menunjukkan

bahwa Ibn ‘Arabî bukanlah seorang Syî‘ah.

Al-‘Âmilî memperkuat penolakannya dengan menyebutkan dua kriteria

seseorang disebut dengan Syî‘ah (tasyayyu‘). Ketika salah satu dari dua kriteria

tersebut hilang maka, tidak ada alasan seseorang disebut sebagai Syî‘ah. Dua kriteria

tersebut antara lain, pertama menjadi pengikut Imam ‘Alî dalam hal walâ'

(kepemimpinan), serta berkeyakinan mengenai kekhalifahannya langsung setelah

wafat Nabi Saw. Kriteria kedua, adalah menafikan kepemimpinan orang-orang yang

menjadi khalifah sebelum Imam ‘Alî. Ia menegaskan bahwa kriteria kedua sangat

penting, karena kepemimpinan tidak diakui kecuali untuknya. Hal inilah yang

membedakan seorang Syî‘ah atau non-Syî‘ah. Oleh karena itu, al-‘Âmilî

mempertanyakan status tasyayyu‘ Ibn ‘Arabî.219

Di lain pihak, ditemukan di dalam karangan Ibn ‘Arabî mengenai

penghormatannya terhadap ahl al-bayt dan keturunan mereka. Namun hal ini tidaklah

,33: bâzhA-mengherankan karena penghormatan tersebut berdasarkan surat al

.K];:اإن7A:A 9n ا/e;/ 0nIهZ12 g. ا/:pجz أهO ا/R;@ وp[KA:آ. 6"Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu, hai

ahl al-bayt dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya".

Ibn ‘Arabî menegaskan bahwa para ahl al-bayt akan diampuni oleh Allah di

akhirat kelak. Namun di dunia tidak ada perbedaan dalam menghukumi mereka

sebagaimana umat Islam yang lain. Tetapi, Ibn ‘Arabî mengingatkan, walaupun

mereka bersalah secara zhahir di dunia, namun tetap tidak boleh mencela mereka. Hal

ini dikarenakan dosa mereka hanya dalam bentuk zhahir saja bukan substansi yang

219 Al-Sayyid Murtadhâ al-‘Âmilî, Ibn ‘Arabî Laysa bi al-Syî‘î, buku ini diakses pada tanggal

16 Desember 2008 http://www.aqaed.com/shialib/books/04/ibn-arabi/index.html

Page 82: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

sebenarnya. Sedangkan dosa-dosa mereka akan diampuni oleh Allah Swt

220.33b ayat hâzhA-dalam surat alfirman Allah sebagaimana

Penjelasan di atas bukan berarti Ibn ‘Arabî merupakan seorang Syî‘ah. Hal ini

dikarenakan ia menegaskan di paragraf yang lain bahwa tidak disebut mencintai ahl

al-bayt melainkan orang yang menilai baik tentang mereka.221 Ungkapan ini

menunjukkan bahwa siapa saja yang berpikiran buruk atau mencaci keluarga dan

keturunan Nabi Saw maka mereka bukanlah pencinta ahl al-bayt.

Menarik, sebenarnya Ibn ‘Arabî pernah mengkritisi dengan keras dan eksplisit

siapa yang ia anggap mencaci sebagian ahl al-bayt Nabi Saw dan para sahabatnya.

Ketika berbicara mengenai khawâthir syaythâniyyah (lintasan atau bisikan syetan), ia

dengan terang-terangan menyebutkan bahwa hal tersebut sering bermunculan di

kalangan Syî‘ah; termasuk di dalamnya Imâmiyyah. Sikap mereka, ungkap Ibn

‘Arabî, yang berlebihan mencintai ahl al-bayt dan mencaci para sahabat Nabi Saw

merupakan hasil dari bisikan syayâthîn al-jinn (syetan-syetan dari kalangan jin). Oleh

karena itu, Ibn ‘Arabî berpandangan bahwa sikap aliran Syî‘ah dalam hal ini adalah

keliru, sehingga menyebabkan mereka sesat dan menyesatkan.222

Di samping itu, di kalangan Syî‘ah ditetapkan bahwa kemuliaan ‘Alî dan

kepemimpinannya langsung setelah Nabi Saw. Dalam hal ini, walaupun Ibn ‘Arabî

mengakui kemulian dan kepemimpinan ‘Alî, tetapi tidak langsung setelah Nabi Saw.

Hal ini dikarenakan ia mengakui ketinggian maqâm kewalian Abû Bakr al-Shiddîq. Ia

menyebutnya dengan maqâm al-niyyâtiyyûn; keinginan mereka sesuai dengan

kehendak Allah. Ibn ‘Arabî menegaskan bahwa maqâm ini sangat sulit dicapai,

Tokoh . )im'âr dûudhh(menerus -karena menghendaki kesadaran hati yang terus

220 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 298. 221 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 301. 222 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 424.

Page 83: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

tertinggi, ungkap Ibn ‘Arabî, yang mencapai tingkatan ini adalah Abû Bakr al-

Shiddîq.223

Berdasarkan penjelasan di atas, klaim bahwa Ibn ‘Arabî seorang Syî‘ah yang

didasari karena diskursus mengenai pemikirannya berkembang pesat di kalangan

Syî‘ah tidak cukup untuk menjadikannya sebagai seorang Syî‘ah. Hal ini dikarenakan

di kalangan Sunnî pun diskursus mengenai Ibn Arabi tidak kalah maju; baik dari sisi

penerimaan maupun penolakan. Namun sayang, tidak banyak yang mengeskpos

kenyataan di kalangan Sunnî tersebut, kecuali berupa sisi penolakan. Tokoh terdepan

dalam menolak konsep Ibn ‘Arabî adalah Ibn Taymiyyah, al-Baqâ‘î, dan al-Syawkânî.

Sedangkan setelah wafat Ibn ‘Arabî, tampil anaknya Sa‘ad al-Dîn dalam

mengembangkan konsep sang ayah, dan pembela-pembelanya seperti al-Qûnawî, al-

Yâfi‘î, al-Suyûthî, al-Sya‘rânî, dan ‘Abd al-Ghanî al-Nâblûsî.

Ibn ‘Arabî terhadap ululH dan adhIttikidah Tuduhan a. B

Dalam hal ini, Ibn Taymiyyah memberikan kritikan tajam pada Ibn ‘Arabî

kelompok yang beranggapan bahwa ; yyahulûliHiyyah âdhIttidengan sebutan Imam

Allah bersatu dengan hamba dan memasuki jiwa hamba.224 Ibn Taymiyyah beralasan

Tetapi jika .âthFutû-aldi awal akidah tersebut kan ungkap meng‘Arabîkarena Ibn

diperhatikan dengan jeli, maka ditemui bahwa Ibn ‘Arabî mengatakan itu pada

Namun Ibn Taymiyyah mengabaikan .ayrahhatau maqâm " keheranan"konteks

konteks pembicaraan tersebut. Adapun teksnya adalah sebagaimana berikut.

JQ 7RT/وا JQ ا/:ب ...sIZ9/ي 5+ ا:T8 @;/ A أو *I@ رب أنsIZA H... إن *eN 7R2 @Iاك 5;@

.qaqhsedangkan hamba juga , qqaHTuhan itu Duhai, siapakah yang disebut mukallaf?

223 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 322. 224 Ibn Taymiyyah, Minhâj al-Sunnah, v. 5 h. 426.

Page 84: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Jika engkau mengatakan hamba, maka pada hakikatnya ia mati. Jika engkau mengatakan Tuhan, maka mana mungkin ia dibebani?225

Ibn Taymiyyah menilai bahwa Ibn ‘Arabî meyakini hanya ada satu eksistensi.

Wâjib al-wujûd dalam hal ini adalah Tuhan, merupakan substansi (‘ayn) mumkin al-

wujûd yaitu alam. Ibn Taymiyyah bahkan mengeneralisir bahwa dalam pandangan Ibn

‘Arabî eksistensi alam semesta merupakan substansi Tuhan.226 Berdasarkan

pemahaman ini, Ibn Taymiyyah menegaskan bahwa eksitensi hamba bagi Ibn ‘Arabî

bukan berwujud sebagai ciptaan, tetapi sebagai wâjib al-wujûd yang qadîm. Dalam

ungkapan lain bisa disebutkan bahwa hamba atau alam semesta adalah substansi

Ia . wujûd-aldah hwaIni merupakan inti dari pemikiran . mîqadTuhan yang bersifat

Bahkan tidak 227.dâhittidan l ûulh akidah dengan‘Arabîmenyetarakan pemikiran Ibn

dengan‘Arabî Ibn wujûd-aldah hwa menyamakan konsep Taymiyyahjarang Ibn

diyyah wa âhItti-alsehingga ia menyebutnya sebagai Imam , dâhittidan l ûulh akidah

Tiga terminologi ini sering dialamatkan Ibn Taymiyyah kepada Ibn 228.iyyahulûlH-al

‘Arabi. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Kautsar Azhari Noer, dalam

diskurus kontemporer pemikiran Barat ditemukan istilah panteisme dan monisme atau

Kautsar . Prof229.dûwuj-dah alhwagabungan keduanya untuk mengganti istilah

keberatan menggunakan kedua istilah baru tersebut dialamatkan kepada Ibn ‘Arabi.

Hal ini dikarenakan interpretasi mengenai panteisme dan monisme sangat beragam,

225 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1, h. 15. Ibn Taymiyyah menukilkan sesuai dengan teks dalam

al-Futûhât. Ibn Taymiyyah, Majmû‘ al-Fatâwâ, v. 2 h. 111. 226 Ibn Taymiyyah, Majmû‘, v. 2 h. 112. 227 Ibn Taymiyyah, Majmû‘, v. 2 h. 115. 228 Di dalam diskursus kontemporer dibedakan terminologi wahdah al-wujûd, ittihâd, dan

hulûl. Wahdah al-wujûd menunjukkan paham bahwa eksistensi hanya satu, ittihâd berarti ada dua eksistensi yang menjadi satu, dan hulûl berarti ada dua eksistensi namun salah satu dari keduanya menempati atau memasuki yang lain.

229 Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabî: Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 34.

Page 85: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

sehingga dikhawatirkan menimbulkan kesalahpahaman.230 Namun kajian ini bukanlah

bertujuan untuk membahas mengenai dinamika interpretasi panteisme.

yang menolak konsep ‘Arabîdi lain pihak ditemukan dalam teks Ibn , Tetapi

, menegaskan‘ArabîIbn . ulûlhdan âdhitti

.و5 * ل ب 6F^ د إF أهO اj/^ د-ahl almelainkan ia , âdhittian berkeyakin) seseorang(Tidaklah "

231."dâhil

jauh , âdhitti terhadap konsep ‘ArabîIni merupakan penolakan keras Ibn

Hal ini dikarenakan ia . iyyahâdhitti menuduhnya berakidah Taymiyyahsebelum Ibn

yang ; )ateis (dâhil-ahl almenyebut orang yang berakidah seperti itu sebagai

mengindikasikan terjadi persatuan Tuhan dan alam. Paham ini akan berujung kepada

penafian eksistensi Tuhan. Bahkan Ibn ‘Arabî dalam menjawab pertanyaan yang ia

menyebutkan bahwa orang yang berakidah îhâkasyf ilyakini jawabannya berasal dari

Ibn ‘Arabî , Pada bab lain232.)nûidhhmuwa ( bukanlah tergolong ahli tauhidulûlh

ân dengan 'Qur-ng memahami beberapa ayat di dalam almenyebut orang ya

sebagai orang , )pembatasan (dîdhtadan ulûlhyaitu , )terlarang (rûzhhmapemahaman

yang jahil.233

Ia juga menegaskan dalam teks lain,

F دواء /7ا0r وg;Rt F و5+ * ل ب /^I$ل IT5 $[N$ل وه$ 5:ض0r E8 "N HTlA.

maka dia orang yang sakit , ulûlhSiapa yang berkeyakinan "(agamanya). Penyakit yang tidak ada obatnya, dan dokter juga tidak akan

berusaha mencarikan penawarnya"234

230 Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabî, h. 226. 231 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 7 h. 129, bab 559. 232 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 3 h. 125. 233 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 2 h. 45. 234 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 7 h. 129, bab 559.

Page 86: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

mencela sebagian ia menjelaskan alasannya Quds- alhûRdi dalam , Selain itu

Ini menunjukkan bahwa Ibn ‘Arabî mengakui ada kaum sufi yang terjebak . kaum sufi

.ulûlh dan âdhittikepada

, ulûliyyahHCelaanku terhadap kaum sufi adalah karena kelompok " dan sejenisnya dari mereka mengungkapkan pelbagai klaim dan iyyahhâIb

pura-pura dalam menampilkan (ungkapan-ungkapan aneh)."235

Walaupun demikian, Ibn ‘Arabî masih bersikap toleran dengan memberikan

klasifikasi teologis ketika seorang sufi mengungkapkan kata-kata yang pada

terdapat perkataan sufi hakiki Ketika . ulûlhdan âdhittinya terkesan ada unsur zhahir

dengan indikasi tersebut, maka hal itu bukan seperti yang dipahami para teolog

, abbahhmaHal ini dikarenakan seorang sufi terkadang mencapai tingkatan . umumnya

sehingga tidak ada kecuali hanya satu cinta. Kesatuan cinta tersebut diungkapkan

dengan kata-kata yang sangat puitis. Ibn ‘Arabî mencontohkan,

0Q0روQرو "Qورو ،"Q8|@ وإن 8|@ . رو h<A إنh<A. Jiwanya adalah jiwaku, begitu juga jiwaku adalah jiwanya.

Jika ia berhasrat maka aku berhasrat, dan jika aku berhasrat maka dia juga berhasrat yang sama.236

Ungkapan di atas, Ibn ‘Arabî menjelaskan, menunjukkan bahwa terjadi

kesatuan hasrat antara pencinta, namun personalnya tidak seorang. Namun mereka

mempunyai satu perasaan. Permasalahan ini bisa dipahami oleh Ibn ‘Arabî ketika

berkunjung kepada beberapa guru spiritual di kota Fez negeri Maroko.237 Hal ini

hanya pada lûulh dan dâhittiberarti bahwa penolakan Ibn ‘Arabi terhadap akidah

tataran teologis. Sedangkan sikap toleransinya karena berdasarkan pendekatan

. dalam terminologi teologidâhitti sufi bukanlah dâhitti, Oleh karena itu. sufistik

235 Ibn ‘Arabî, Ruh al-Quds, h. 67. 236 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 7 h. 129, bab 559. 237 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 7 h. 129, bab 559.

Page 87: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Sikap toleran tersebut pernah dikemukakan oleh al-Ghazâlî sebelumnya dalam

Misykât al-Anwâr. Ia mengemukakan bahwa ungkapan esoteris seperti, "Tidak ada

dalam jubahku melainkan Allah" dan ungkapan lain yang serupa hanya berupa

ekspresi kerinduan (‘isyq). Oleh karena itu, al-Ghazâlî mengingatkan bahwa

ingga terjerumus dalam seh, ungkapan tersebut tidak boleh dipahami secara hakiki

238. teologisdâhitti

Selain itu, maksud Ibn ‘Arabî menyatakan bahwa Allah merupakan ‘ayn

segala sesuatu bukan seperti yang dipahami Ibn Taymiyyah. Hal ini dikarenakan Ibn

Taymiyyah memahami bahwa eksitensi hamba bagi Ibn ‘Arabî bukan berwujud

sebagai ciptaan, tetapi sebagai wâjib al-wujûd yang qadîm. Sedangkan Ibn ‘Arabî

tidak bermaksud demikian. Ibn ‘Arabî hanya mengatakan bahwa seorang sufi yang ia

sebut al-faqîr al-ilâhî memandang Allah sebagai ‘ayn alam semesta. Tetapi perlu

diingat bahwa kata ‘ayn biasa diterjemahkan dengan substansi, tetapi pada konteks

berarti sumber hâayh-‘ayn alan Seperti ungkap. tertentu berarti mata atau sumber

kehidupan. Ungkapan ‘ayn alam semesta bisa dipahami dengan "sumber alam

semesta" jika keberatan dengan "substansi alam semesta".

Dalam hal ini, Ibn ‘Arabî menjelaskan bahwa segala sesuatu bergantung

kepada Allah. Bahkan tidak ada sesuatu eksistensi pun melainkan bergantung kepada-

Nya. Sedangkan Allah tidak membutuhkan sesuatu pun. Ungkapan ini merupakan

interpretasi terhadap surat al-Fâthir ayat 15, "Wahai manusia, kamu adalah fakir

kepada Allah, sedangkan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". Penjelasan ini sangat

jelas mengisyaratkan bahwa maksud Ibn ‘Arabî mengatakan bahwa Allah merupakan

‘ayn segala sesuatu bukan seperti yang dipahami Ibn Taymiyyah. Tetapi hal ini mirip

dengan argumentasi teologis para ahli kalâm bahwa eksistensi Allah adalah berdiri

238 Al-Ghazâlî, Misykât al-Anwar, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), h. 12.

Page 88: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

sendiri (qiyâmuhu bi nafsihi). Sedangkan segala sesuatu selain Allah bergantung

kepada eksitensi Allah atau disebut qiyâmuhu bi ghayr nafsihi. Oleh karenanya, Allah

disebut sebagai wâjib al-wujûd yang bersifat qadîm. Sedangkan segala sesuatu selain

Allah disebut sebagai mumkin al-wujûd yang bersifat baru (hâdits).239 Sejauh ini tidak

ditemukan dalam teks-teks Ibn ‘Arabî ungkapan bahwa alam atau segala sesuatu

selain Allah itu bersifat qadîm sebagaimana tuduhan Ibn Taymiyyah. Namun yang

justeru mengatakan bahwa alam semesta adalah ‘ArabîIbn , ditemukan sebaliknya

dan y‘ariyyahtetapi argumentasi yang digunakan berbeda dengan As, ditsâh

Mu‘tazilah.

Di samping itu, Ibn ‘Arabî menyebutkan keberatannya terhadap sikap para

ahli kalâm yang sering kontradiktif satu sama lain dalam masalah pokok ketuhanan. Ia

mencontohkan bahwa kebenaran pendapat teolog Asy‘ariyyah adalah benar, tetapi

belum tentu benar menurut Mu‘tazilah. Argumen yang dikemukakan Mu‘tazilah juga

belum tentu benar menurut Asy‘ariyyah. Bahkan, Ibn ‘Arabî mengungkapkan bahwa

para ulama Asy‘ariyyah pun masih berbeda argumen ketika membahas suatu masalah;

q pun juga berbeda â IshAbû. Isfarayaynî- alqâh IsAbû ari berbeda dîuwaynJ-seperti al

dari Qâdhî ‘Iyyâdh. Tetapi mereka tetap mengaku sebagai kelompok Asy‘ariyyah. Hal

yang sama juga terjadi pada Mu‘tazilah dan para filosof. Padahal, menurut Ibn ‘Arabî,

ammad tidak pernah berbeda dalam hdam sampai Nabi MuÂpara nabi sejak Nabi

masalah pokok ketuhanan, tetapi mereka malah saling membenarkan satu sama

lain.240

239 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 2 h. 273, bab 70 pasal "man tajibu lahum al-shadaqah". 240 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 5 h. 120.

Page 89: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

BAB V

KRITIK TEOLOGIS TERHADAP IBN ‘ARABÎ

A. Kritik Ibn Taymiyyah terhadap Status Keimanan Fir‘Awn dalam

Pandangan Ibn ‘Arabî

Salah satu tema penting yang membuat sebagian ulama Sunnî keberatan

dengan status teologi yang dianut Ibn ‘Arabî adalah mengenai keimanan Fir‘awn. Di

dalam Jâmi‘ al-Rasâ’il fî Radd ‘alâ Ibn ‘Arabî, Ibn Taymiyyah mengritisi Ibn ‘Arabî

dengan sangat tajam dan berujung kepada pengafiran.

Kecaman tersebut diakibatkan karena pernyataan-pernyataan kontroversial

yang dinisbahkan kepada Ibn ‘Arabî. Ini dikarenakan para ulama telah sepakat

mengenai kekufuran Fir‘awn berdasarkan ayat-ayat yang jelas dan Hadîts-hadîts

shahih. Oleh karenanya, Ibn Taymiyyah mengatakan bahwa Fir‘awn adalah seorang

yang kafir dan mati dalam kekafirannya. Ia juga menegaskan bahwa tidak hanya

Islam yang menegaskan kekafirannya, bahkan agama Yahudi dan Nashrani juga

sepakat mengenai kekafirannya.241

Lebih lanjut, Ibn Taymiyyah menegaskan bahwa siapa yang mengatakan

bahwa Fir‘awn mati dalam keimanan, maka orang tersebut wajib diistitâbah (dimintai

pertobatannya) jika ia mau bertobat, dan jika tidak maka ia wajib dibunuh sebagai

orang kafir dan murtad. Bahkan ia menegaskan bahwa skeptis terhadap kekafiran

Fir‘awn merupakan kekufuran yang besar.242

Kritikan yang sama juga dikemukakan al-Baqâ‘î di dalam kitabnya Tanbîh al-

Ghabî disebutkan bahwa Ibn `Arabî meyakini keimanan Fir‘awn ketika

241 Ibn Taymiyyah, Jamî‘ al-Rasâ’il Risâlah fi Radd ‘alâ Ibn ‘Arabî, (Mishr: t.p., t.t.) h. 203. 242 Ibn Taymiyyah, Jamî‘, h. 204.

Page 90: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

ditenggalamkan di Laut Merah.243 Namun kutipan yang dikemukakan al-Baqâ‘î tidak

begitu sempurna, sehingga ada kemungkinan menimbulkan pemahaman yang keliru

terhadap teks Ibn ‘Arabî. Ibn ‘Arabî mengemukakan keimanan Fir‘awn ketika

tenggelam sebagaimana berikut.

و* /@ ا5:أة N:2$ن *:ة 2;+ /" و/0RN c *(:ت 2;1]( ب /9Z( ل ا/(eي [/ OXQ 7)12 3ا _ )K2ي أe)/9( ن اAj 2($ن ب:E/ +;)2 1( وآ( ن *(:ةI* )9آ

t 0XR=N( ه:ا K5](:ا /(;N z;(0 8("ء 5(+ ا/d i)Rfن(0X)R* 0 12(7 . ا/x:قواM?jم 0IR* 5 gSA، وجHI2 >A� 0IT . إ9A نOR* 0 أن glCZA 8;| 5+ ا~ث م

إن(z|);A F 0 5(+ روح (R? 0CA 12^ ن0 /9+ 8 ء z|;A F HCQ 5+ ر9Q< ا3 .IN$ آ ن N:2$ن h;A +95س 5 ب در إ/H ا9Aj ن) ا3 إF ا/=$م ا/N Z:ون

(Isteri Fir‘awn) berkata mengenai bayi Mûsâ kepada Fir‘awn, "(Bayi

Mûsâ) adalah penyejuk mata bagiku dan bagimu (Fir‘awn)" (Q. S. Al-Qashash: 9). (Ibn ‘Arabî berkata:) dengan keberadaan Mûsâ maka isteri Fir‘awn menjadi terhibur, karena kesempurnaan yang ditimbulkannya sebagaimana kami (Ibn ‘Arabî) sebutkan sebelumya. Adapun kesejukan mata (qurrah ‘ayn) bagi Fir‘awn adalah dengan keimanan yang diberikan Allah kepadanya ketika tenggelam. Kematiannya merupakan kematian yang suci tanpa terdapat padanya kekejian. Ini dikarenakan Allah mecabut nyawanya ketika ia beriman sebelum ia berusaha melakukan satu dosa pun. Dan keislaman menghilangkan dosa sebelumnya. Kemudian menjadikan kematian Fir‘awn sebagai tanda (ayat) pertolongan-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki, sehingga tidak ada seorang pun berputus asa dari rahmat Allah, "Sesungguhnya tidaklah berputus asa dari rahmat Allah melainkan orang-

orang kafir." (Q. S. Yûsuf: 86). Seandainya Fir‘awn termasuk orang yang berputus asa tentu ia tidak akan segera beriman (ketika ditenggelamkan).244

Kutipan di atas tidaklah cukup untuk menilai Ibn ‘Arabî sebagai seorang kafir

sebagaimana klaim Ibn Taymiyyah dan al-Baqâ‘î. Namun krtitikan tajam yang

dilontarkan oleh kedua tokoh ini, besar kemungkinan karena mereka mendapatkan

naskah yang telah diberi sisipan (madsûs) atau tidak melakukan komparasi terhadap

literatur Ibn ‘Arabî. Hal ini dikarenakan banyak faktor, di antaranya masa antara Ibn

Taymiyyah dan al-Baqâ‘î yang berbeda. Ibn Taymiyyah baru lahir setelah 30 tahun

kematian Ibn ‘Arabî, dan al-Baqâ‘î baru lahir setelah hampir satu abad, karena Ibn

243 Al-Baqâ‘î, Tanbîh al-Ghabî, h. 118. 244 Ibn ‘Arabî, Fushûsh al-Hikam, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), h. 187,

bandingkan al-Baqâ`i, h. 118

Page 91: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

‘Arabî wafat pada tahun 638 H., sedangkan Ibn Taymiyyah baru lahir tahun 666 H.,

dan al-Baqâ‘î lahir pada tahun 805 H. Di samping itu, al-Dzahabî seorang sejarawan

Muslim yang cenderung kepada pendapat Ibn Taymiyyah, mengungkapkan bahwa

kitab-kitab Ibn ‘Arabî baru dikenal setelah kematiannya.

Oleh karena itu, penulis mencoba membandingkan pernyataan kontroversial

yang dinisbahkan kepada Ibn ‘Arabî tersebut dengan dua karyanya; al-Futûhât al-

Makkiyyah dan Fusûsh al-Hikam.

B. Kontoversi Teks Karya Ibn ‘Arabî mengenai Keimanan Fir‘awn

Setelah melakukan pengamatan, penulis menemukan pernyataan Ibn ‘Arabî

yang variatif dan kontrakdiktif pada kitab al-Futûhât. Ia membicarakan tentang

keimanan dan kekufuran Fir‘awn pada kitab ini lebih kurang pada enam pernyataan

dalam empat bab yang berbeda. Untuk lebih lengkap akan diuraikan sebagaimana

berikut.

Pertama, pada bab ke-62 disebutkan,

وه�Fء ا/S9:5$ن أربt a$اsr آN [I" ا/1 ر fA F:ج$ن 15] وه. 2(+ ا/RZC9:ون HI2 ا3 آE:2$ن وأk5 /0 95+ ادH2 ا/:ب$ب;< /0l)E1 ونE ه(

.ا3 Dan orang-orang yang berdosa ada empat golongan semuanya berada

di dalam neraka dan tidak akan pernah keluar darinya. Pertama adalah golongan mutakabbirûn (orang-orang yang sombong) terhadap Allah, seperti Fir‘awn dan orang-orang yang serupa dengannya yakni orang yang menyatakan aspek rubûbiyyah (ketuhanan) pada dirinya dan menafikannya dari Allah.245

Kedua, ia menyebutkan pada bab ke-167,

" "N +A7lE9/وآ1@ 5+ ا OR* @;B2 7*وc2 R6و5 * ل /(0 وأن(@ " أ 1Nأ?((:ا a))5 0))C9Q1(( ب](( /1:ج(($ رN:2 0))/ 9((< ب((>:ىIآ "))[N +A7l))E9/5((+ ا

245 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 455.

Page 92: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

ب7RنZC/ c$ن /�R* OR* _:<RN" +)9 روN " 0Q /;$م نc;S1"وأج:ا15 ث. * ل >A� cEIP ">5M2 >A� 7كT6" بhA +9/ ة S1/ن ا$ZC/ "1TA.

Allah berfirman: "Sungguh engkau telah berbuat durhaka sebelumnya,

dan kamu telah menjadi246

orang yang berbuat kerusakan." (Q. S. Yûnus: 91) yakni berbuat kerusakan terhadap pengikutmu, Allah tidak berfirman: "Engkau adalah di antara orang-orang yang berbuat kerusakan" karena firman-Nya di atas merupakan kabar gembira bagi Fir‘awn, kita mengetahuinya agar kita mengharapkan rahmat-Nya, walaupun terdapat kesalahan dan dosa kita.

Kemudian Dia berfirman: "Maka pada hari (engkau ditenggelamkan)

Kami membebaskan engkau..." (Q. S. Yûnus: 92) maka Allah memberikan kabar gembira kepada Fir‘awn sebelum pencabutan nyawanya. (Ayat selanjutnya:) "...dengan jasadmu agar menjadi tanda (âyah) bagi orang

setelahmu." (Q. S. Yûnus: 92) yaitu agar kebebasan tersebut menjadi tanda bagi orang setelahmu.247

Ia melanjutkan,

. OR=A وإنN 9(" وN 5" ا~A< أن بhس ا~P:ة aE6:A F وF أن إ9A ن0 / ا~A< أن بhس ا/7ن; aE6:A F 92(+ ن(�ل ب(0 إذا �Q ")N +)5( ل رؤCA(0 إF *($م

0/$=N zن$A " c7ن)Rب c);S1م ن$;/ )N " 7)*ه:ك و )Dب Fإ J)ITCA F ابe)T/إذ ا 0);N ر ا/9($ت B)N ابe)2 ق:)x/7اء ا)Cن أب )ZN ابeT/06 5+ ا Sن JIf/ا @Aأر

N >;B))T5 ))[IIfC6 .))/ >))|A:ب >B))/ P وه(($ 8((] دة O))92 OX))Nأ H))I2 @X))R=� ب 9AF ن آO ذ/A F HCQ c=1) أ7Q 5(+ ر9Q(< ا3 وا92d( ل ب( /f$ا6. EIC/ا01t ب "N ل$SA 3 9 ن بAFل ا�A .IN.

Pada ayat tersebut tidak disebutkan bahwa adzab akhirat tidak

dihilangkan dan tidak pula disebutkan bahwa iman Fir‘awn tidak diterima. Ayat di atas "Maka pada hari (engkau ditenggelamkan), Kami

membebaskanmu..." menunjukkan adzab tidaklah berhubungan melainkan dengan zhahiriahmu (Fir‘awn). Jasadnya telah diperlihatkan kepada makhluk setelahnya dengan kebebasan dari adzab.

Penenggelamannya merupakan adzab, sehingga kematian menjadi saksi murni yang melepaskannya dari kedurhakaan. Maka nyawanya dicabut dalam keadaan amal yang paling utama, yaitu pernyataan iman. Semua itu menunjukkan agar tidak ada seorang pun yang berputus asa dari rahmat Allah, karena amalan dinilai ketika di akhir usia. Iman kepada Allah masih senantiasa bertempat di dalam jiwanya.248

Ketiga, pada bab ke-198 disebutkan,

246 Dengan fi‘l al-mâdhî (kata kerja yang telah berlalu) yaitu kata "��آ". 247 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 3 h. 416. 248 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 3 h. 416.

Page 93: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

.[;N _ 205 ب:ج$02 92 آ ن أد$* .IT;/ 2$ن:N c/eب .I2hN 05+ أن c/ذ Ok5 aEس و5 نhR/ا >Aن0 �5+ 712 رؤ\N 3ا H/5:_ إhN HI2dرب]. ا

zن$A م$* Fاب ا/7ن; إe2 012 aN:N 9 نAFا. Maka Fir‘awn menyatakan (keimanan) agar kaumnya mengetahui

pertobatannya dari apa yang ia nyatakan kepada mereka bahwa dirinya sebagai tuhan yang maha tinggi. Maka perihal Fir‘awn tersebut kembali kepada Allah, karena ia beriman ketika telah melihat adzab. Namun iman pada saat itu tidaklah bermanfaat. Oleh karena itu, adzab dunia dihilangkan darinya kecuali kaum Yûnus.249

Keempat, masih pada bab yang sama disebutkan pernyataan yang berbeda,

ا3 " إ/H اH/ T6 3 و/9 * ل وه. آE ر 5hN:_وF ه$ 5+ ا/9A +Ae$6$ن c7نRب c;S1م ن$;/ N 0/"..

Dan Fir‘awn bukanlah termasuk orang yang mati dalam keadaan kafir, namun urusannya kembali kepada Allah. Ini dikarenakan ada ayat, "Maka

pada hari ini (ditenggelamkan) Kami bebaskan engkau" (Q. S. Yûnus: 92).250

Kelima, pada bab yang sama ia mengatakan,

اQd 7[<);/ 3(7 ب /(7Bق N ")N=7 8]7 اE/ 3:2$ن ب 9Aj ن و5( آ( ن Q$6;7_ أF وSA ز0A ب0 وب7T إ9A نIR=N HB2 9N 0(0 ا3 أن آ( ن *t 0)IR( ه:ا

. آ N:ا إذا أ?I. وجI2 g;0 أن ZN OlCxA ن K6 0/MlG 0*:G];:اوأ >A� cEIP +9/ +A$ZC/ c7نRب c;S1م ن$;/ N " اe)[N zن$)A آ9( آ( ن *($م

.إ9A ن 5$ص$ل

Sungguh Allah telah menyaksikan keimanan Fir‘awn. Dan Allah tidaklah menyakasikan kebenaran seseorang dalam tauhidnya, melainkan Dia membalasnya dengan keimanan tersebut dan setelahnya. Maka Fir‘awn tidaklah mendurhakai Tuhannya, sehingga Tuhan menerima jika hatinya benar-benar suci. Dan Seorang yang kafir jika masuk Islam maka ia mesti mandi, maka penenggelaman Fir‘awn merupakan "mandi" dan "penyucian" baginya, sebagaimana firman-Nya "Maka Allah mengambilnya" pada saat ditenggelamkan...

...Allah berfirman: "Maka pada hari ini (ditenggelamkan) Kami

bebaskan engkau dengan jasadmu..." Sama halnya dengan kaum Yûnus. (Jika seandainya sama) maka ini adalah iman yang sampai (mawshûl)."251

Keenam, pada bab ke-341 disebutkan,

249 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 4 h. 59. 250 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 4 h. 59. 251 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 4 h. 59.

Page 94: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

�A< ونN S:2$ن ب7Rن0 دون *$5(0 12(7 �]($ر إ9A ن(xN >)A� 0:ق *05$ 9N+ ر9Q< ا3 بRT( د_ أن *( ل N( /;$م نc);S1 بR(7ن1TA c(" دون *ZC/ c)5$($ن /A� cEIP +9< أي 5M2< /9(+ �5(+ ب( 3 أن S1A;(0 ا3 ب7Rن(0 أي بD( ه:_ N(\ن aأ*$ى ا/9$ان .IT/ن اd ة 5+ ا/>:ك S1/ ب �$E^5 ل�A ./ 01t ب.

Allah menenggelamkan kaumnya, tetapi Dia membebaskan Fir‘awn dengan jasadnya ketika ia menampakkan keimanannya sebagai tanda. (Demikian itu) merupakan di antara rahmat Allah kepada hamba-Nya sebagaimana firman-Nya, "Maka pada hari ini (ditenggelamkan) Kami

bebaskan engkau dengan jasadmu..." yaitu selain kaummu, "...agar menjadi

tanda (ayah) bagi orang setelahmu." (Q. S. Yûnus: 92) artinya bahwa demikian adalah tanda bagi orang yang beriman kepada Allah yang membebaskan Fir‘awn dengan jasadnya atau dengan zhahiriahnya. Adapun batinnya senantiasa dipelihara dengan kebebasan dari syirik, karena pengetahuan (dalam batin) lebih kuat dari larangan zhahir..."252

Pada pernyataan yang pertama disebutkan bahwa Fir‘awn merupakan

golongan mutakabbirûn yang berada di dalam neraka dan tidak akan pernah keluar

darinya. Ini menunjukkan kesepakatan Ibn ‘Arabî dengan konsensus ulama Sunnî,

bahwa Fir‘awn merupakan "penghuni tetap" neraka selama-lamanya.

Namun demikian, kita akan menemukan pernyataan lain yang bertentangan

dengan yang pertama di atas. Pada pernyataan ke-2 disebutkan dalam menjelaskan

surat Yûnus: 91, bahwa ayat tersebut merupakan kabar gembira bagi Fir‘awn. Juga

disebutkan bahwa ayat di atas tidak menyebutkan bahwa adzab akhirat dihilangkan

dari Fir‘awn dan tidak juga disebutkan bahwa imannya tidak diterima. Kemudian di

akhir penukilan ke-2 di atas disebutkan bahwa nyawa Fir‘awn dicabut dalam keadaan

amal yang paling mulia, yaitu pernyataan iman.

Pernyataan yang ke-2 di atas terlihat beberapa kerancuan alur berpikir yang

menurut penulis tidak mungkin terjadi pada seorang Syaykh Akbar sekaliber Ibn

‘Arabî. Pada kutipan ke-3 dan ke-4 lebih terlihat lagi kerancuan alur pemikiran

tersebut. Pada bab yang sama yaitu bab ke-198 disebutkan, "Perihal Fir‘awn tersebut

kembali kepada Allah, karena ia beriman ketika telah melihat adzab. Namun iman

252 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 5 h. 243.

Page 95: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

pada saat itu tidaklah bermanfaat".253 Kalimat ini merupakan penolakan terhadap

pernyataan iman Fir‘awn, karena ia baru menyatakannya setelah melihat adzab.

Kemudian pada paragraf yang sama juga disebutkan, "...Dan Fir‘awn bukanlah

termasuk orang yang mati dalam keadaan kafir, namun urusannya kembali kepada

Allah. Ini dikarenakan ada ayat, "Maka pada hari ini (ditenggelamkan) Kami

bebaskan engkau..." (Q. S. Yûnus: 92)."254 Kalimat ini mengindikasikan sikap skeptis

dengan metode tawaqquf; menyerahkan perkara Fir‘awn kepada Allah. Sebuah sikap

yang berasal dari interpretasi terhadap ayat yang memang membuka celah untuk

dipahami seperti itu.

Adapun pada pernyataan ke-5 tetapi masih pada bab ke-198 tidak hanya sikap

tawaqquf, namun dengan terang-terangan disebutkan bahwa Fir‘awn bukanlah

durhaka kepada Allah, dan imannya diterima atau sampai (mawshûl). Bahkan

terdapat tafsir yang ganjil dengan menyebutkan bahwa penenggelaman Fir‘awn

merupakan "mandi" secara maknawi baginya, karena seorang kafir yang masuk Islam

mesti mandi.255 Pernyataan ke-6 tidak jauh berbeda, karena menguatkan sisi keimanan

Fir‘awn.

Apabila diperhatikan secara teliti, maka jelas sekali terdapat kerancuan. Ini

dikarenakan pada satu halaman terdapat tiga sikap yang berbeda, pertama sikap

penolakan terhadap iman Fir‘awn dengan mengatakan bahwa imannya tidak

bermanfaat, karena ia beriman pada saat melihat adzab. Kedua, sikap tawaqquf

dengan menyerahkan urusan Fir‘awn kepada Allah. Ketiga, sikap terang-terangan

dengan menyatakan bahwa iman Fir‘awn diterima (mawshûl).

Dengan demikian, penisbahan satu pendapat dan sikap saja kepada Ibn ‘Arabî

merupakan tidaklah cukup, mengingat terdapat kontradiksi pada teks-teks yang

253 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 4 h. 59. 254 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 4 h. 59. 255 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 4 h. 59.

Page 96: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

disandarkan kepadanya. Ini dikarenakan seandainya semua pernyataan tersebut

mengandung tiga sikap bersumber dari Ibn ‘Arabî sekaligus, maka hal itu

menunjukkan sikap inkonsisten yang tidak bisa dimaklumi. Bahkan tergolong kepada

fallacy pemikiran yang biasa disebut dengan sufastha'iyyah; sebuah istilah negatif

untuk orang yang tidak berpendirian. Sikap pertama yang menolak keimanan Fir‘awn

dan menetapkannya kekal dalam adzab neraka Jahanam mengisyaratkan bahwa Ibn

‘Arabî memiliki konsensus yang sama dengan Sunnî lainnya. Hal ini karena ulama

Sunnî telah menyepakati bahwa Fir‘awn kekal dalam neraka.

Namun ketika memperhatikan sikap kedua maka terkesan Ibn ‘Arabî adalah

orang yang skeptis. Jika dinilai dengan sikap ketiga maka terkesan Ibn ‘Arabî adalah

seorang penganut aliran kebatinan, karena ia menerima iman Fir‘awn dari sisi

batinnya saja, sehingga menginterpretasikan ungkapan "penenggelaman" pada ayat di

atas dengan "mandi" maknawi bagi seorang kafir yang masuk Islam.

Namun demikian, penisbahan tiga pendapat yang berbeda, tetapi bertentangan

dalam waktu yang sama kepada satu orang merupakan suatu keganjilan yang tidak

diterima oleh akal sehat. Kenyataan ini menguatkan asumsi bahwa terjadi penyisipan

pada literatur Ibn ‘Arabî. Oleh karena itu, penulis mencoba mencari komparasi dari

tokoh-tokoh sufi lain yang menjadi pengikut dan pembela Ibn ‘Arabî, seperti Imam

al-Sya‘rânî dalam kitab al-Yawâqît wa al-Jawâhir. Ia menjelaskan petualangan

keilmuannya menyelami kitab al-Futûhât dan karangan Ibn ‘Arabî yang lain. Al-

Sya‘rânî menceritakan:

Dan semua perkataan yang menyalahi zhahiriah syariat dan mayoritas ulama yang dinisbahkan kepadanya merupakan sisipan (madsûs) terhadapnya, sebagaimana dikabarkan oleh pembimbing spiritualku: Abû al-Thâhir al-Maghribî yang tinggal di Makkah. Ia memperlihatkan kepadaku naskah asli al-Futûhât yang telah ia terima (dari gurunya) sesuai dengan naskah yang ditulis oleh Syaykh Ibn ‘Arabî di kota Konya. Aku tidak melihat dalam naskah

Page 97: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

tersebut sesuatu yang telah membuatku tawaqquf dan menghapusnya (dari naskah yang kuperoleh sebelumnya) saat dahulu meringkas kitab tersebut.256

Kemudian al-Sya‘rânî menjelaskan pada tempat yang lain bahwa di antara

penisbahan yang tidak benar kepada Ibn ‘Arabî adalah pernyataannya mengenai

penerimaan iman Fir‘awn. Al-Sya‘rânî menegaskan bahwa hal itu hanyalah mengada-

ada dan dusta.257 Ini dikarenakan al-Sya‘rânî juga menemukan data yang sama dengan

teks telah kami nukilkan di atas.

Ketika membicarakan mengenai neraka, al-Sya‘rânî kembali menegaskan

bahwa pernyataan mengenai penerimaan iman Fir‘awn merupakan pendustaan

terhadap Ibn‘Arabî. Ini dikarenakan ia telah menegaskan sendiri (pada al-Futûhât bab

ke-62) bahwa Fir‘awn adalah ahli neraka yang kekal di dalam neraka. Al-Sya‘rânî

beralasan sebagaimana sebelumnya bahwa demikian itu adalah sisipan terhadap

kitabnya. Atau sebab lain, lanjut al-Sya‘rânî, seandainya benar penisbahan tersebut

tentu ia hanya mengikuti pendapat Abû Bakr al-Baqillânî murid al-'Asy‘arî. Namun

al-Sya‘rânî menegaskan kembali di akhir pembahasannya, bahwa para ulama telah

sepakat bahwa iman Fir‘awn tidak diterima. Lalu ia berkata: "Maka janganlah engkau

menukilkan bahwa Syaykh Muhyi al-Dîn (Ibn ‘Arabî) menyatakan bahwa iman

Fir‘awn diterima, sehingga menyalahi ijma‘..."258

Berdasarkan hal tersebut, penulis memberikan pertimbangan dalam

menjelaskan pendapat Ibn ‘Arabî yang sebenarnya. Pertimbangan pertama, sangat

tidak layak tokoh agung sekaliber Ibn ‘Arabî memiliki pendapat rancu yang ia tulis

pada satu kitab, bahkan pada satu halaman. Seandainya pendapat-pendapat yang

berbeda tersebut ditulis pada dua kitab yang berbeda, maka ada kemungkinan terdapat

pendapat lama (qadîm) dan baru (jadîd) sebagaimana yang terjadi pada Imam al-

256 Al-Sya‘rânî, al-Yawâqît, v. 1 h. 9. 257 Al-Sya‘rânî, al-Yawâqît, v. 1 h. 17. 258 Al-Sya‘rânî, al-Yawâqît, v. 2 h. 465.

Page 98: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Syâfi‘î. Dalam konteks Fir‘awn, kontradiksi pendapat pada persoalan ini terjadi pada

satu kitab, dan diikuti satu kitab yang lain; yaitu Fushûsh. Di dalam Fushûsh ia juga

menyerahkan hakikat permasalahan ini kepada Allah. Bahkan ia menyebutkan bahwa

sebenarnya para ulama tidak mempunyai sandaran argumentasi yang pasti mengenai

ini.259 Sedangkan di dalam literatur lain seperti Rûh al-Quds, Ibn ‘Arabî menyebutkan

bahwa Fir‘awn akan mendapatkan siksaan yang luarbiasa di neraka berbanding

terbalik dengan tingkat kenikmatan yang diperoleh nabi yang diingkarinya.260

Pertimbangan kedua, tidak ada ulama sezaman dengan Ibn ‘Arabî yang

menuduh atau sekedar mengritisinya mengenai Fir‘awn. Bahkan Imam Fakhr al-Dîn

al-Râzî pengarang tafsir besar Mafâtîh al-Ghayb tidak pernah mengritisi Ibn ‘Arabî.

Seandainya ada tentu ia dan ulama lainnya akan melancarkan kritikan, karena tradisi

kriktik telah membudaya di kalangan mereka. Namun sebaliknya, justeru Fakhr al-

Dîn diberi nasehat oleh Ibn ‘Arabî sebagaimana terdapat dalam Majmû‘ al-Rasâ'il Ibn

‘Arabî.261 Berbeda halnya dengan Ibn Taymiyyah, ketika ia menyampaikan

pendapatnya yang menyalahi konsensus ulama atau mayoritas seperti pernyataannya

bahwa neraka akan binasa, maka para ulama pada zamannya langsung memberikan

kritikan. Seperti kritikan yang dilancarkan oleh Taqî al-Dîn al-Subkî, Tâj al-Dîn al-

Subkî, Badr al-Dîn bin Jamâ‘ah, dan Taqî al-Dîn al-Hushnî.

Pertimbangan ketiga, penemuan al-Sya‘rânî terhadap naskah asli al-Futûhât

yang diberikan oleh Abû Thâhir al-Maghribî.262 Berdasarkan penuturannya, tidak

ditemui di dalam naskah tersebut pernyataan yang membuatnya ragu sebelumnya

yaitu ungkapan-ungkapan nyeleneh, termasuk mengenai keimanan Fir‘awn.

259 Ibn ‘Arabî, Fushûsh al-Hikam, h. 197. 260 Ibn ‘Arabî, Ruh al-Quds, h. 105. 261 Ibn ‘Arabî, Risâlah, h. 10. 262 Al-Sya‘rânî, al-Yawâqît, v. 1 h. 7.

Page 99: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Pertimbangan keempat, penarikan dan pembatalan al-Baqâ‘î terhadap kritikan

yang ia kemukakan pada kitab Tanbîh al-Ghabî di akhir hayatnya. Informasi ini

dikutip oleh al-Sya‘rânî. Sekaligus pembelaan al-Suyûthî terhadap Ibn ‘Arabî dalam

kitabnya Tanbîh al-Ghabî fî Tabarru'ah Ibn ‘Arabî sebagai antitesis terhadap kitab al-

Baqâ‘î yang telah menyebar di Mesir.263

C. Kritik terhadap Pandangan Ibn ‘Arabî mengenai Kenabian dan Kewalian

Tema lain yang menjadi objek kritikan terhadap Ibn ‘Arabî adalah mengenai

konsep kenabian dan kewalian. Tema kewalian merupakan permasalahan yang juga

sering ditemui pada sufi baik yang berteologi Sunnî maupun Syî‘ah. Sebagaimana di

kalangan sufi, kelompok Syî‘ah juga menggunakan istilah kewalian (wilâyah). Hal ini

dikarenakan seorang imam dalam ajaran Syî‘ah adalah wali Allah. Kesamaan

penggunaan istilah ini melahirkan pelbagai asumsi para sejarawan dan peneliti

mengenai sumber konsep kewalian di kalangan sufi. Sebagai contoh, J. Spencer

Trimingham mengklaim bahwa konsep kewalian dalam sufi diambil dari konsep

kewalian Syî‘ah. Bahkan pada waktu yang sama, ungkap Spencer, konsep sufi

mengenai ketetapan kewalian yang berasal sejak masa azali sebelum penciptaan alam

(pre-creation) diambil dari pemikiran mistik Timur.264 Walaupun ia mengakui bahwa

konsep Timur mengenai hal ini, namun belum tentu bisa disamakan dengan konsep

Sufi.265 Namun, di samping itu ia juga mengakui bahwa pengertian wali di kalangan

Sufi berbeda dengan Syî‘ah. Wali di kalangan Sufi diartikan sebagai orang yang

dilindungi Tuhan (protege of God). Sedangkan di kalangan Syî‘ah, wali diartikan

263 Al-Sya‘rani, al-Yawâqît, v. 1 h. 15. 264 Besar kemungkinan konsep mistik Timur yang dimaksudkan adalah mistik India. 265 J. Spencer Timingham, The Sufi Orders in Islam, (London: Oxford University Press, 1973),

h. 134.

Page 100: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

sebagai ayat Tuhan (word of God) yang senantiasa menjadi pembimbing jalan

(spiritual).266

Dua konsep di atas tentu akan melahirkan konsekuensi yang berbeda pula. Hal

itu dikarenakan ungkapan "dilindungi Tuhan" atau mahfûzh bukanlah menunjukkan

kesucian mutlak. Sedangkan ungkapan "ayat Tuhan" menunjukkan asumsi ‘ishmah

terhadap para wali, karena para imam atau wali adalah ma‘shûm di kalangan Syî‘ah.

Adapun Ibn ‘Arabî lebih cenderung sepakat dengan konsep Sunnî yang menetapkan

bahwa para wali hanya mahfûzh. Ia menegaskan bahwa seorang wali dilindungi oleh

Allah dari sesuatu yang diinginkan syetan ketika memberikan bisikan ke dalam

hatinya. Setiap kali terjadi bisikan pada seorang wali maka Allah memalingkan

dirinya kepada hal yang diridhai, sehingga mencapai kemulian di sisi Allah.

Sedangkan para nabi telah ma‘shûm dari bisikan yang berasal dari syetan. Inilah,

tegas Ibn ‘Arabî, perbedaan antara seorang nabi dan wali.267 Kecenderungan ini

menambah kuat asumsi yang menyatakan bahwa Ibn ‘Arabî adalah seorang Sunnî

yang teguh.

Selain itu, personal yang dianggap wali di kalangan Sunnî belum tentu berlaku

di kalangan Syî‘ah. Sebaliknya personal yang dianggap imam di kalangan Syî‘ah

belum tentu berlaku di kalangan Sunnî. Justeru pada kenyataannya kalangan Syî‘ah

sering mengalamatkan kecaman terhadap wali yang diyakini di kalangan Sunnî. Hal

ini seperti kecaman mereka terhadap Abû Bakr, ‘Umar dan ‘Utsmân; para wali yang

sangat luhur di kalangan Sunnî. Tetapi, tokoh-tokoh utama yang dianggap sebagai

wali di kalangan Syî‘ah masih tetap dianggap mulia di kalangan Sunnî. Hal ini

sebagaimana akidah Sunnî yang menekankan kecintaan kepada ahl al-bayt dan

266 J. Spencer, h. 135. 267 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 2 h. 204.

Page 101: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

keturunan mereka. Walaupun diakui kecintaan mereka tidak seperti kecintaan yang

didoktrin di kalangan Syî‘ah.

Terlepas dari hal tersebut, Ibn ‘Arabî sebagaimana dikemukakan sebelumnya

bukanlah seorang Syî‘ah. Namun ia adalah seorang sufi yang berakidah Sunnî. Al-

Suyûthî, al-Sya‘rânî, al-Nâblûsî dan tokoh lainnya sangat keras mempertahankan sisi

ortodoksi Ibn ‘Arabî, terlepas terdapat tokoh lain yang menentangnya.

1. Maqâm Nubuwwah antara Pandangan Teologis dan Sufistik

Walaupun kalangan Sunnî dan Syî‘ah berbeda dalam beberapa hal mengenai

prinsip teologi, tetapi mereka sepakat bahwa kenabian sesudah Nabi Muhammad Saw

telah tertutup kecuali Syî‘ah yang ghulât (kelompok yang sangat menyimpang). Hal

ini berdasarkan keterangan yang diberikan sendiri langsung oleh Nabi Saw dalam

Hadîts, baik yang ditransmisikan melalui jalur ulama Sunnî maupun Syî‘ah.

Dalam hal ini, Ibn ‘Arabî juga menukilkan sebuah Hadîts mengenai kenabian

dan kerasulan telah berakhir,

"Rن F7ي وTر?$ل ب MN @TK=ة *7 ان$R1/إن ا/:? /< وا. "Sesungguhnya risalah dan kenabian telah terputus. Oleh karena itu,

tidak ada lagi nabi dan rasul setelahku."268

Ibn ‘Arabî menjelaskan maksud Hadîts ini dengan ungkapan yang sedikit

berbeda dengan kebanyakan ulama Sunnî. Sabda Nabi Saw bahwa "tidak ada lagi

nabi dan rasul setelahku" bukan berarti tidak ada nabi atau rasul secara mutlak.

Tetapi Hadîts tersebut, ungkap Ibn ‘Arabî, bermakna bahwa tidak ada nabi setelah

Nabi Muhammad dengan syariat yang berbeda dengan syariatnya. Jika ada, lanjut Ibn

‘Arabî, maka nabi tersebut mesti tunduk dalam syariat Nabi Muhammad Saw. Maqâm

268 HR. Al-Tirmîdzî, Sunan al-Tirmîdzî, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, t.th.) no. 2272.

Page 102: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

inilah yang dipahami Ibn ‘Arabî telah tertutup; yaitu maqâm risâlah tasyri‘,

sedangkan maqâm nubuwwah secara umum tidak tertutup.269

Dalam redaksi lain, Ibn ‘Arabî menjelaskan bahwa maqâm nubuwwah yang

tidak tertutup tersebut adalah wilâyah (kewalian). Hal ini dikarenakan nubuwwah

secara khusus berarti anugerah keistemawan dari Allah yang diberikan kepada siapa

saja yang dikehendaki-Nya. Anugerah ini, tegas Ibn ‘Arabî telah tertutup, sedangkan

wilâyah mampu diperoleh dengan usaha sampai Hari Kiamat.270 Oleh karena itu,

terkadang dalam pelbagai konteks Ibn ‘Arabî menggunakan kata nubuwwah dengan

artian kewalian, dan terkadang ia membedakannya secara eksplisit.

Pemahaman ini dikemukakan Ibn ‘Arabî bukan tanpa argumen yang kuat,

tetapi ia mengemukakan alasan yang sebenarnya telah dipahami oleh kebanyakan

umat Islam. Semua umat Islam sepakat bahwa ‘Isâ bin Maryam adalah seorang nabi

dan rasul. Selain itu, mereka juga sepakat bahwa Nabi ‘Îsâ akan 'turun' kembali ke

dunia di akhir zaman. Nabi ‘Îsâ 'turun' dengan membawa keadilan dan berhukum

dengan syariat Nabi Muhammad Saw. Ibn ‘Arabî memberikan penekanan bahwa Nabi

‘Îsâ tidak berhukum dengan selain syariat Nabi Muhammad. Atau dalam ungkapan

lain Nabi ‘Îsâ berhukum dengan syariatnya ketika diutus kepada Bani Israil.

Berdasarkan ini ia menegaskan bahwa ternyata masih ada Nabi ‘Îsâ setelah kenabian

Nabi Muhammad, karena bahwa Hadîts Nabi Saw di atas hanya bermaksud mengenai

tasyrî‘. Oleh karena itu, ia mengingatkan Nabi Saw tetap tidak berbohong

menyampaikan Hadîtsnya, karena masih ada Nabi ‘Îsâ yang 'turun' setelahnya.271

Selain itu memang tidak ditemukan dalam literatur Ibn ‘Arabî penjelasan bahwa ada

nabi sesudah Nabi Muhammad kecuali Nabi ‘Îsâ, Nabi Ilyâs atau Nabi Khidhr.

Mereka diyakini Ibn ‘Arabî masih hidup sampai waktu ditentukan Allah.

269 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 3 h. 6. 270 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 5 h. 20. 271 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 3 h. 6.

Page 103: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Sebenarnya, konsep ini telah dikemukakan oleh al-Ghazâlî (505 H.) di dalam

banyak karangannya yang berhubungan dengan tasawuf. Hal ini pula yang

menyebabkan al-Ghazâlî dikritik oleh para teolog semasanya dan masa setelahnya.

Kritikan tersebut muncul ketika al-Ghazâlî mengemukakan bahwa maqâm tersebut

tidak hanya dikhususkan untuk para nabi dan wali. Namun setiap manusia yang

terlahir di dunia memang mempunyai potensi untuk itu. Oleh karena itu, al-Ghazâlî

menganalogikan hati manusia bagaikan besi yang mengilat, sehingga hati tersebut

mampu menjadi cermin yang memantulkan bayangan alam semesta.272

Pandangan tersebut menyebabkan para pengritik menuduh al-Ghazâlî telah

keliru dan terjebak ke dalam aliran kebatinan. Namun, sebenarnya al-Ghazâlî tidak

serta-merta mengemukakan pendapat ini tanpa argumen yang kuat, sebagaimana

dikembangkan pada masa berikutnya oleh Ibn ‘Arabî. Al-Ghazâlî menggagas konsep

ini dengan berangkat dari sebuah Hadîts Nabi Saw, “Setiap bayi yang dilahirkan

berada dalam keadaan fithrah”.273

Tuduhan yang dialamatkan ke al-Ghazâlî adalah ungkapannya bahwa maqâm

kenabian dan kewalian bisa diperoleh dengan latihan-latihan spiritual. Ungkapan ini

biasa dipahami dengan istilah iktisâb al-nubuwwah (usaha perolehan maqâm

kenabian). Sedangkan menurut teolog Sunnî, secara umum tidak ada usaha yang

mampu mencapai nubuwwah. Dalam ungkapan teologis dikenal dengan istilah al-

nubuwwah ghayr muktasabah.

Dalam hal ini, Ibn ‘Arabî tampil membela dan menjelaskan pandangan al-

Ghazâlî, serta meluruskan pemahaman para pengritik. Terlebih dahulu Ibn ‘Arabî

menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-nubuwwah ghayr muktasabah adalah

272 Al-Ghazâlî, Kîmiyâ’ al-Sa‘âdah, (Beirut: al-Maktabah al-Sya‘biyyah, t.t.) h. 128. 273 Di dalam Kîmiyâ’ al-Sa‘âdah al-Ghazâlî menukilkan dengan redaksi Hadîts yang sedikit

berbeda yaitu, /$5 OمآM?jة ا:KN HI2 7/$A د$ adapun dalam riwayat al-Bukhârî tanpa penambahan kata al-

islâm di akhir matan Hadis. Al-Bukhârî, al-Jâmi‘ al-Shahîh, (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1987), juz 1 h. 456. al-Ghazâlî, Kîmiyâ’ al-Sa‘âdah, h. 129.

Page 104: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

beranjak dari Hadîts Nabi Saw, "Sesungguhnya kerasualan dan kenabian telah

terputus. Oleh karena itu, tidak ada lagi nabi dan rasul setelahku."274

Konsep Ibn ‘Arabî mengenai hal ini sering disalahartikan oleh sebagian aliran

yang dianggap oleh mayoritas ulama 'bukan' Islam lagi; yaitu Ahmadiah Qadiyani.

Kalangan Ahmadiah Qadiyani meyakini kenabian Mirza Ghulam Ahmad dengan

mengungkapkan argumen yang dikemukakan oleh Ibn ‘Arabî.275 Padahal Ibn ‘Arabî

sendiri tidak pernah mengaku sebagai seorang nabi atau rasul. Justeru sebaliknya, ia

menegaskan bahwa, "Aku bukan seorang nabi atau rasul".276 Ibn ‘Arabî hanya

menilai dirinya sebagai pewaris maqâm kenabian. Ungkapan ini dikarenakan para

ulama adalah pewaris para nabi. Bahkan para pembaca dan penghafal al-Qur'ân

disebutkan Nabi Muhammad Saw sebagai orang yang dititisi kenabian di antara dua

bahunya.277

Dalam konteks ini, pewaris maqâm kenabian bukanlah seorang nabi ataupun

rasul. Status nabi merupakan anugerah mutlak dari Allah, sedangkan pewaris maqâm

kenabian bisa diperoleh dengan usaha (muktasab). Usaha yang dimaksudkan adalah

riyâdhah (latihan) dan mujâhadah (usaha) untuk meningkatkan kualitas spiritual.

Musthafâ bin Sulaymân Bâlîzâdeh seorang komentator Fushûsh al-Hikam

menjelaskan bahwa maksud Ibn ‘Arabî dengan "pewaris" adalah penegasan mengenai

ilmu kewalian yang bersifat muktasab. Tetapi muktasab bukan dalam artian usaha

melalui metode pemikiran. Namun suatu warisan tidak akan diberikan kecuali kepada

orang terdekat (qarâbah). Kedekatan tersebut pada seorang wali yang mewarisi

274 HR. Al-Tirmîdzî, Sunan al-Tirmîdzî, no. 2272. 275 Ahmad, Nadzîr, Al-Qawl al-Sharîh, (London: The Ahmadiyah Muslim Mission, 1405), h.

119. 276 Ibn ‘Arabî, Fushûsh, h. 5. 277 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 3 h. 382. HR. Al-Hâkim, al-Mustadrak, ed. Musthafâ ‘Abd al-

Qâdir ‘Athâ, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), no. 2028.

Page 105: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

maqâm kenabian hanya diperoleh dengan mengamalkan syariat dan membuang sifat-

sifat yang negatif.278

Namun demikian, Dr. Ibrâhîm Hilâl seorang penulis kontemporer keberatan

menyebut konsep tersebut dengan warisan (warâtsah). Pada kenyataannya, ungkap

Hilâl, adalah taraqqî atau ‘urûj (kenaikan) spiritual kepada Akal Aktif (‘Aql Fa‘‘âl).

Hal ini beradasarkan kutipan Ibn ‘Arabî terhadap perkataan Abû Yazîd, "Kalian (ahli

fiqh dan Hadîts) mengambil ilmu dari orang mati, sedangkan kami (kaum sufi)

mengambil dari Yang Maha Hidup". Hilâl menyamakan konsep yang digunakan Ibn

‘Arabî dengan Syî‘ah ketika mereka berbicara tentang maqâm imam. Bahkan Hilâl,

cenderung menilai bahwa kaum sufi; dalam konteks ini Ibn ‘Arabî, dan Syî‘ah

terpengaruh oleh konsep emanasi Plato.279

Namun penulis keberatan dengan penyamaan ini, karena Ibn ‘Arabî sendiri

mengritisi para filosof, walaupun ia pernah menyebutkan bahwa kemungkinan ada

kebenaran diperoleh oleh para filosof. Tetapi Ibn ‘Arabî mengritisi para filosof,

bahkan mencela mereka karena hanya menggunakan pemikiran. Mereka tercela,

ungkap Ibn ‘Arabî, terutama ketika mereka ingin memahami konsep kenabian dengan

cara berpikir yang keliru sehingga hanya menghasilkan kerancuan. Seandainya para

filosof, lanjut Ibn ‘Arabî, mencari ilmu hikmah dari Allah bukan melalui metode

pemikiran, tentulah mereka memperoleh kebenaran dalam segala aspek.280

2. Kritik Ibn Taymiyyah sebagai Sebuah Kekeliruan

Sebagaimana disebutkan pada pembahasan sebelumnya, Ibn Taymiyyah

merupakan tokoh yang paling keras mengritisi pemikiran Ibn ‘Arabî. Selain konsep

ketuhanan, Ibn Taymiyyah juga menganggap bahwa Ibn ‘Arabî termasuk tokoh yang

278 Musthafâ Bâlîzâdeh, Syarh Fushûsh, h. 15. 279 Ibrâhîm Hilâl, al-Tashawwuf al-Islâmî, h. 201. 280 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, bab 226

Page 106: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

berkeyakinan keliru mengenai kenabian. Ibn ‘Arabî berkeyakinan, ungkap Ibn

Taymiyyah, bahwa kewalian lebih utama daripada kenabian. Bahkan kewalian lebih

sempurna daripada kerasulan. Ibn Taymiyyah menolak interpretasi bahwa Ibn ‘Arabî

hanya bermaksud kewalian seorang nabi lebih utama daripada kenabiannya dan

kerasulannya. Hal ini dikarenakan dalam pandangan Ibn Taymiyyah permasalahan

tersebut hanya interpretasi para pengikut Ibn ‘Arabî.281

Alasan lain klaim sesat yang dialamatkan oleh Ibn Taymiyyah kepada Ibn

‘Arabî adalah dari sisi komparatif epistemologi ilmu seorang wali dengan seorang

nabi. Ibn Taymiyyah menyebutkan bahwa Ibn ‘Arabî beranggapan tingkatan ilmu

kewalian lebih utama daripada ilmu kenabian. Ini dikarenakan ilmu kewalian

diperoleh dari Allah tanpa perantara (wasîlah), sedangkan ilmu kenabian dengan

perantara.282 Di samping itu juga, Ibn Taymiyyah mengecam Ibn ‘Arabî karena

mengaku sebagai khâtam al-awliyâ’.

Hilâl juga mengamini kritikan Ibn Taymiyyah dengan menilai bahwa Ibn

‘Arabî menyamakan tingkat nubuwwah Nabi Muhammad Saw dan kewalian para

wali. Bahkan, Hilâl menyebutkan bahwa Ibn ‘Arabî meyakini sisi kenabian para wali

adalah dari aspek batin, sehingga terkesan bahwa wali adalah nabi.283

Sebenarnya, kritikan di atas tidak begitu layak bersumber dari seorang tokoh

intelektual seperti Ibn Taymiyyah. Tetapi juga tidak mustahil, karena memang Ibn

Taymiyyah bukan manusia sempurna yang bisa mengerti semua literatur; termasuk

karya Ibn ‘Arabî. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibn Katsîr, Ibn Taymiyyah

merupakan orang yang banyak membaca secara otodidak. Metode otodidak

mempunyai banyak kelemahan, di samping ada kelebihan lainnya. Kelemahan fatal

281 Ibn Taymiyyah, Majmû‘ al-Fatâwâ, v. 4 h. 171. 282 Ibn Taymiyyah, Majmû‘, v. 4 h. 172. 283 Ibrâhîm Hilâl, al-Tashawwuf al-Islâmî, h. 201.

Page 107: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

adalah tidak memahami secara total terminologi yang digunakan para pengarang buku

yang dibaca.

Kritikan Ibn Taymiyyah terhadap Ibn ‘Arabî mengenai permasalahan ini

merupakan sebuah tuduhan yang bersumber dari kekeliruan dalam memahami teks

Ibn ‘Arabî. Hal ini dikarenakan Ibn ‘Arabî tidak bermaksud sebagaimana Ibn

Taymiyyah pahami. Ibn ‘Arabî menjelaskan dalam banyak karangannya, antara lain:

5+ أهO اA 3=$ل أو O=1A إ/;c 12(0 أن(0 *( ل ا/$AF(< وإذا ?T9@ أ7Qا c/7 ذA:A z;IN ة$R1/5+ ا HI25 ذآ:ن _أ Fإ Or =/ق . ا$)N "/$)/ل إن ا$=A أو

i;Q +5 7 وه$ أن ا/:?$لQوا �f8 HN c/eب H1TA 0ن\N ،وا/:?$ل "R1/ا ،0)15 H)I20 أ)/ aأن ا/($/" 6( ب F ور?($ل ")Rأن0 ن i;Q +5 015 .6أن0 و/" أ +)ZA .)/ 0)0، إذ /($ أدرآ);N 0)/ a9 ه($ 6( ب;N ع أب7ا$RC9/7رك اA F aب C/ن ا\N0/ T6 ب.

Apabila engkau mendengar ada kaum sufi (ahl Allâh) mengatakan bahwa kewalian lebih utama daripada kenabian, maka bukanlah ia bermaksud kecuali sebagaimana kami sebutkan sebelumnya. Atau dia berkata bahwa wali lebih tinggi daripada nabi dan rasul. Ungkapan tersebut bermaksud mengenai kualitas personal seorang rasul dari sisi kewaliannya lebih sempurna daripada sisi kenabian dan kerasulan dirinya. Hal ini bukan berarti bahwa seorang wali yang menjadi pengikutnya lebih tinggi daripada dirinya (nabi tersebut). Seorang pengikut tidak akan pernah bisa mencapai kesamaan dengan orang yang diikutinya; terutama terhadap sesuatu yang ia ikuti.284

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa sebenarnya konsep ini bukan semata-

mata berasal dari Ibn ‘Arabî. Ia menyebut ahl Allâh mengindikasikan ada sufi lain

yang pernah mengungkapkan hal serupa kepada Ibn ‘Arabî. Sedangkan Ibn ‘Arabî

mengembangkan konsep tersebut lebih jauh dan sistematis. Di samping itu, sisi

penting dari sikap Ibn ‘Arabî adalah menolak anggapan sebagian orang bahwa

kewalian lebih tinggi daripada kenabian dan kerasulan. Hal ini dikarenakan maksud

ungkapan kaum sufi yang ia namakan dengan ahl Allâh adalah pada personal seorang

nabi dan rasul. Kewalian seorang nabi dan rasul lebih utama pada konteks dirinya

284 Ibn ‘Arabî, Fushûsh, h. 121-122. Ia membicarakan ini pada pembahasan Kalimah

‘Uzayriyyah.

Page 108: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

daripada aspek kenabian dan kerasulannya. Bahkan Ibn ‘Arabî menegaskan bahwa

seorang wali pengikut nabi tersebut tidak akan bisa "mencapai" apalagi "melampaui"

maqâm kenabian dan kerasulan seorang nabi dan rasul.

Di samping itu, dari penukilan di atas ditemukan bahwa pemikiran tersebut

bukanlah interpretasi para pengikut Ibn ‘Arabî. Justeru penjelasan tersebut adalah

keterangan Ibn ‘Arabî sendiri. Hal ini tentu menepis tuduhan Ibn Taymiyyah dan para

pengikutnya.

Di tempat lain, Ibn ‘Arabî menyebutkan dengan redaksi yang berbeda ketika

membicarakan tanda kenabian bahwa maqâm kenabian secara keseluruhan tidak akan

diperoleh kecuali oleh seorang nabi. Adapun seorang wali tidak akan memperoleh

secara keseluruhan.285

Hal ini dikuatkan oleh Mullâ ‘Alî al-Qârî seorang teolog Mâturidiyyah yang

juga menulis karangan khusus mengritisi Ibn ‘Arabî. Tetapi dalam konteks ini, ia

tidak setuju dengan tuduhan Ibn Taymiyyah. Hal ini dikarenakan Mullâ memahami

ungkapan Ibn ‘Arabî secara lebih teliti. Ia mengatakan bahwa ungkapan Ibn ‘Arabî

bahwa kewalian seorang rasul lebih utama daripada kenabiannya tidaklah dihukumi

kufur, fasik, dan bid‘ah. Ia beralasan karena para Sufi juga berbeda perspektif

mengenai masalah ini.286 Penjelasan Mullâ tersebut menunjukkan bahwa ia tidak

memahami masalah ini sebagaimana Ibn Taymiyyah. Permasalahan sebenarnya

adalah kewalian seorang rasul lebih utama daripada kewaliannya, bukan kewalian

seorang wali lebih utama daripada seorang nabi. Adapun keyakinan bahwa seorang

wali lebih utama daripada nabi disepakati kekafirannya oleh Mullâ sebagaimana

konsensus ulama Sunnî.287

285 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 5 h. 20. 286 Mullâ ‘Alî al-Qâri, al-Radd ‘Alâ al-Qâ’ilîn, h. 119. 287 Mullâ ‘Alî, al-Radd, h. 120.

Page 109: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Di samping itu, kritikan bahwa Ibn ‘Arabî mengaku sebagai khâtam al-awliyâ

yang dipahami oleh kaum Sufi bukan sebagaimana tuduhan Ibn Taymiyyah dan para

pengikutnya. Ibn Taymiyyah memahami bahwa Ibn ‘Arabî mengklaim tidak ada lagi

wali setelah dirinya. Pemahaman ini jika dikomparasikan dengan keterangan Ibn

‘Arabî dalam karangannya, maka ditemui banyak ketimpangan. Hal ini dikarenakan

Ibn ‘Arabî justeru mengatakan bahwa terminologi khâtam al-awliyâ bisa dipahami

dalam dua pengertian; partikular (khâsh) dan universal (muthlaq). Ia menjelaskan

bahwa khâtam al-awliyâ partikular berada di bawah maqâm Nabi ‘Îsâ. Ini

dikarenakan ia menetapkan bahwa penutup para wali secara universal adalah Nabi

‘Îsâ. Ia menegaskan hal itu karena kewalian umat muhammadiyyah harus diakhiri oleh

seorang wali yang sekaligus nabi dan rasul. Karakter ini hanya dimiliki oleh Nabi

‘Îsâ.288

Apabila Ibn ‘Arabî mengaku sebagai khâtam al-awliyâ, maka ungkapan itu

harus dipahami dengan pengertian partikular. Ini dikarenakan khâtam dalam

pemahaman partikular adalah tidak ada kewalian lagi setelahnya kecuali merujuk

kepada maqâm kewaliannya. Hal ini dikarenakan ia juga mengakui derajat kewalian

seseorang yang sezaman dengannya. Ia mengatakan, "Aku melihat ada orang pada

zaman ini (yang menjadi khâtam al-awliyâ), dan aku sempat berkumpul

bersamanya".289 Penjelasan ini menunjukkan bahwa ungkapan khâtam al-awliyâ yang

ditemukan dalam karangan Ibn ‘Arabî harus dipahami sesuai dengan konteks

pembicaraan yang ia maksud. Dengan ungkapan lain, ungkapan khâtam al-awliyâ

bukan berarti penafian terhadap keberadaan para wali setelahnya.

Dalam interpretasi lain, al-Jîlî menambahkan bahwa maksud khâtam al-awliyâ

adalah pencapaian maqâm qurbah (kedekatan kepada Allah). Setiap orang yang

288 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 229 dan 281. 289 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 281.

Page 110: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

mencapai maqâm qurbah adalah khâtam al-awliyâ dan perwaris kenabian pada

maqâm al-khitâm. Alasan al-Jîlî mengemukakan statemen tersebut dikarenakan

maqâm qurbah merupakan derajat spiritual yang terpuji (mahmûd). Maqâm tersebut

menjadi sarana (wasîlah) seorang wali sampai kepada tingkatan luhur yang tidak

pernah dilalui sebelumnya oleh para wali yang lain. Pengalaman yang dicapai pada

pengalaman spiritual keilahian tersebut yang tidak dirasakan oleh yang lain, sehingga

hanya ia yang merasakannya. Namun al-Jîlî mengingatkan bahwa wasîlah tersebut

adalah Nabi Muhammad Saw, karena itu merupakan derajat spiritual tertinggi di

sorga. Ia optimis berharap, "Semoga aku termasuk wali tersebut".290

Interprertasi al-Jîlî di atas sebenarnya bisa diterima. Hal ini dikarenakan

pengalaman spiritual setiap orang memang berbeda-beda, walaupun nama maqâmnya

sama. Setiap wali merupakan khâtam pada maqâm kewaliannya. Oleh karena itu,

wajar ia mengatakan bahwa setiap orang yang sampai kepada maqâm qurbah berarti

telah menjadi khâtam al-awliyâ. Interpretasi ini merupakan sisi lain yang bisa

dipahami dari ungkapan Ibn ‘Arabî. Dengan demikian, kekeliruan Ibn Taymiyyah

menjadi terbukti berasal dari ketidakpahaman terhadap terminologi ilmu tasawwuf.

290 ‘Abd al-Karîm al-Jîlî, al-Insân al-Kâmil, (Kairo: Dâr al-Fikr, t.th), v. 2 h. 148.

Page 111: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

BAB VI

PENUTUP

Kesimpulan dan Saran

Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari kajian sebelumnya. Ibn

‘Arabî sebagai tokoh yang multi dimensi, juga bisa dilihat dari perspektif teologi.

Sebagaimana sufi lainnya, ia merupakan tokoh yang sangat kuat menerapkan konsep

teologis dalam ajaran kesufiannya.

Namun, di dalam kenyataannya ditemui bahwa Ibn ‘Arabî sering menjadi

objek kecaman dari sebagian ulama Sunnî. Kecaman tersebut berujung kepada

penolakan status keislaman Ibn ‘Arabî. Ia dianggap telah melenceng dari ajaran Islam.

Bahkan muncul wacana mengafirkan siapa saja yang skeptis terhadap status kekafiran

Ibn ‘Arabî. Tokoh terdepan dalam hal ini adalah Ibn Taymiyyah dan al-Baqâ‘î.

Di samping itu, juga terdapat pembelaan dari ulama Sunnî yang lain terhadap

ajaran Ibn ‘Arabî. Ia diyakini sebagai tokoh sufi yang agung, wali yang mulia, imam

yang akbar. Wacana pembelaan tersebut sangat kental pada al-Sya‘rânî dan ‘Abd al-

Ghanî al-Nabilûsî.

Beberapa tema yang menjadi objek kritikan Ibn Taymiyyah adalah tuduhan

Ibn Taymiyyah . ulûlhad dan hitti, wujûd-dah alhwabahwa Ibn ‘Arabî berakidah

cenderung menyamakan dan mengalamatkan tiga term ini kepada Ibn ‘Arabî

sekaligus. Tetapi ungkapan-ungkapan Ibn ‘Arabî yang menjadi patokan Ibn

Taymiyyah dalam mengafirkannya sering disebabkan karena misunderstanding yang

berlebihan. Hal ini dikarenakan Ibn Taymiyyah sering mengabaikan konteks

pembicaraan Ibn ‘Arabî dalam menulis suatu ungkapan. Atau faktor lain, seperti

ketidakpahaman terhadap terminologi yang digunakan Ibn ‘Arabî. Sebagai contoh,

Page 112: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

sedangkan hamba juga , qaqHketika Ibn ‘Arabî mengatakan bahwa Allah adalah

pada hayrahatau maqâm " keheranan"yyah mengabaikan konteks Ibn Taymi. qaqh

ungkapan Ibn ‘Arabî tersebut, sehingga melahirkan kecaman yang tidak layak

bersumber dari seorang tokoh intelektual Muslim terkenal itu. Padahal Ibn ‘Arabî juga

Bahkan ia banyak . ulûlhâd dan hittiri menolak kekufuran yang bersumber da

memberikan kritkan terhadap dua konsep akidah tersebut, sehingga menyebut orang

-dah alhwaSedangkan term ). ahli tauhid (idhhmuwayang berkeyakinan serupa bukan

wujûd tidak ditemukan dalam karyanya. Pembakuan term ini untuk Ibn ‘Arabî

merupakan sebuah keberhasilan dari kritikan Ibn Taymiyyah mempengaruhi wacana

keislaman setelahnya. Tetapi perlu diingat bahwa Ibn Taymiyyah terkadang

. âdhittimenyetarakan term ini dengan

Selain itu, tema lain yang menjadi objek kritikan adalah masalah teologi yang

dianut Ibn ‘Arabî. Apabila keislamannya diakui, maka apa teologi yang dianut Ibn

‘Arabî? Dalam hal ini, muncul anggapan bahwa Ibn ‘Arabî adalah seorang Syî‘ah.

Tetapi juga banyak yang keberatan dengan anggapan ini.

Setelah menelusuri beberapa karya Ibn ‘Arabî, tidak ditemukan indikasi

bahwa ia seorang Syî‘ah. Walaupun diskursus mengenai pemikiran Ibn ‘Arabî

terbilang maju di kalangan Syî‘ah; khususnya Imâmiyyah. Ia memang mengusung

ajaran cinta kepada ahl al-bayt, tetapi ia juga mengecam siapa yang menghujat para

sahabat. Bahkan sikap Imâmiyyah yang menurutnya berlebihan mencintai ahl al-bayt

dan menghujat sebagian sahabat Nabi merupakan hasil dari bisikan syetan. Ia

menyebutnya dengan khawâthir syaythâniyyah. Penilaian negatif tersebut menguatkan

asumsi bahwa Ibn ‘Arabî bukanlah seorang Syî‘ah. Sebaliknya menguatkan asumsi

bahwa ia lebih cenderung kepada teologi Sunnî.

Page 113: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Hal ini juga diamini oleh al-Sayyîd Murtadhâ al-‘Âmilî seorang tokoh Syî‘ah

kontemporer terkemuka. Ia tidak menerima sama sekali anggapan bahwa Ibn ‘Arabî

sebagai bagian dari Syî‘ah.

Di samping itu, Ibn ‘Arabî menggagas tingkatan atau hieraki teologi menjadi

empat tingkatan. Hierarki pertama adalah akidah awam. Ia yang mewasiatkan kepada

pembaca karangannya, agar menyampaikan akidah awam kepada orang yang bertanya

mengenai akidah yang dianutnya. Hierarki kedua adalah akidah ahli kalâm yang ia

sebut dengan ahl al-rusûm. Hierarki ketiga merupakan akidah kaum sufi yang ia sebut

dengan ahl al-ikhtishâsh. Ketika ia membicarakan dua tingkatan pertama, lahir

anggapan banyak sejarawan Muslim bahwa ia adalah seorang Sunnî dengan teologi

Asy‘ariyyah Mâturidiyyah. Tetapi ketika ia berpindah menjelaskan tingkatan ketiga,

maka muncul keberatan sebagian sejarawan dalam menilainya sebagai Sunnî. Suatu

hal yang menarik adalah ketika ahli kalâm Sunnî mempunyai suatu konklusi untuk

suatu masalah. Ibn ‘Arabî sering sama dalam memberikan kesimpulan, tetapi ia

berbeda dalam kerangka argumen. Bahkan ia terkadang mengritik argumentasi

Asy‘ariyyah, walaupun sama dalam konklusi.

Tema lain yang membuat para pengritik Ibn ‘Arabî geram adalah masalah

keimanan Fir‘awn ketika ditenggelamkan. Ibn Taymiyyah berkesimpulan bahwa siapa

saja yang skeptis terhadap kekafiran Fir‘awn adalah kafir. Tetapi, tuduhan Ibn

Taymiyyah memiliki kelemahan. Hal ini dikarenakan teks-teks Ibn ‘Arabî sangat

variatif dan kontradiktif ketika membicarakan keimanan Fir‘awn. Dalam suatu teks

ditemukan bahwa ia meyakini kekafirannya, sedangkan dalam teks lain ia bersikap

skeptis. Bahkan juga ditemukan ungkapan bahwa Fir‘awn tenggelam dalam

keimanan.

Page 114: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

Dalam menghadapi kontradiksi di atas, al-Sya‘rânî tampil mengajukan

hipotesanya bahwa terjadi penyisipan (dass) orang yang hasad dan tidak bertanggung

jawab terhadap beberapa manuskrip karya-karya Ibn ‘Arabî. Penyisipan memang

sangat mungkin terjadi pada masa tersebut, karena manuskrip merupakan tulisan

tangan tanpa ada undang-undang hak cipta sebagaimana pada masa sekarang. Bahkan

al-Sya‘rânî termasuk korban dari penyisipan tersebut pada masa hidupnya. Oleh

karena itu, penyisipan teks setelah meninggal Ibn ‘Arabî sangat mungkin terjadi.

Al-Sya‘rânî juga menemukan manuskrip karya Ibn ‘Arabî yang disisipi, tetapi

ia mencoba membersihkannya dengan bentuk ringkasan, sampai pada akhirnya

menemukan manuskrip yang diklaim Abû Thâhir benar. Berdasarkan ini, ia

menegaskan bahwa tuduhan bahwa Ibn ‘Arabî mengakui keimanan Fir‘awn adalah

keliru.

Di samping itu, penulis memang menemukan kejanggalan dalam beberapa

teks Ibn ‘Arabî mengenai masalah ini. Kejanggalan tersebut malah terjadi pada satu

ini terbukti ketika siKontradik. bahkan pada satu halaman, athFutû-alyaitu ; kitab

dilakukan komparasi antara satu bab dengan bab yang lain, bahkan komparasi antar

kalimat pada satu halaman. Di satu bab ia menetapkan kekafiran Fir‘awn dan pada

bab yang lain ia terkesan skeptis, dan terkadang terkesan menolak. Begitu juga di

halaman yang sama terdapat kalimat yang bertentangan. Kenyataan tersebut

menguatkan asumsi bahwa terjadi penyisipan terhadap teks Ibn ‘Arabî.

Tema lain yang menjadi objek pengafiran Ibn ‘Arabî adalah masalah kenabian

dan kewalian. Ibn Taymiyyah menuduh Ibn ‘Arabî berkeyakinan bahwa kewalian

lebih utama daripada kenabian. Ia menolak interpretasi bahwa Ibn ‘Arabî bermaksud

lain, bahwa kewalian seorang rasul atau nabi lebih utama daripada kenabiannya.

Penolakan Ibn Taymiyyah merupakan bukti bahwa Ibn Taymiyyah tidak memahami

Page 115: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

literatur Ibn ‘Arabî secara komprehensif dan komparatif. Hal ini dikarenakan wacana

tersebut ternyata bukan bersumber dari Ibn ‘Arabî. Tetapi merupakan ungkapan

sebagian ahli Sufi yang ia sebut dengan ahl Allâh. Di dalam Fushûsh, justeru Ibn

‘Arabî berperan sebagai interpretator; orang yang memberikan penafsiran. Ia tidak

meyakini hal tersebut sebagaimana klaim Ibn Taymiyyah. Tetapi ia malah

menjelaskan bahwa maksud ungkapan tersebut adalah sisi kewalian seorang rasul atau

nabi lebih utama daripada kenabiannya.

Kekeliruan Ibn Taymiyyah bertambah dengan tuduhannya bahwa Ibn ‘Arabî

berkeyakinan menjadi penutup para wali (khâtam al-awliyâ’). Tetapi ketika diteliti,

ternyata Ibn ‘Arabî menjelaskan bahwa konsep khâtam al-awliyâ’ terbagi dua, khâsh

(partikular) dan muthlaq (universal). Ketika ia membicarakan tentang kewalian

dirinya dan kewalian para ulama, maka itu dipahami sebagai khâtam khâsh yang tidak

menutup kemunculan wali setelahnya. Menarik, Ibn ‘Arabî menegaskan bahwa

khâtam al-awliyâ’ yang universal adalah Nabi ‘Isâ, sehingga tidak ada lagi wali

setelah turunnya di akhir zaman kelak. Permasalahan ini juga kembali dijelaskan al-

Jîlî, bahwa maksud khâtam al-awliyâ’ merupakan pencapaian maqâm qurbah

(kedekatan kepada Allah). Oleh karena itu, di zaman kapan pun, setiap orang yang

mencapai maqâm tersebut disebut dengan khâtam al-awliyâ’. Hal ini dikarenakan

pengalaman spiritual seorang wali akan berbeda dengan wali yang lain. Seorang wali

adalah khâtam al-awliyâ’ pada maqâm yang dilaluinya.

Berdasarkan kajian tersebut, penulis lebih cenderung menilai bahwa Ibn

‘Arabî adalah sebagai seorang Sunnî, walaupun bukan sebagai seorang Asy‘ariyyah

yang utuh. Ketokohannya sebagai seorang sufi falsafi tidaklah menghalanginya

mendapatkan status teologi ini. Adapun kritikan berupa pengafiran terhadap teologi

Ibn ‘Arabî merupakan suatu hal yang wajar. Tetapi kewajaran tersebut menjadi aib

Page 116: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

jika terjadi pada seorang tokoh intelektual yang tersohor. Hal ini biasanya

dikarenakan tidak menguasai terminologi ilmu tasawuf dan sembarangan mengutip

pendapat Ibn ‘Arabî. Dua hal ini akan menyebabkan kesalahpahaman terhadap

ungkapan Ibn ‘Arabî yang berbicara dalam konteks tertentu.

Namun demikian, tulisan ini belumlah cukup untuk mengungkapkan

sepenuhnya kekeliruan para pengritik Ibn ‘Arabî dan sisi kesunniannya. Bahkan

tulisan ini tentu memiliki ketidaksempurnaan. Oleh karena itu, diharapkan saran dan

kritik yang sehat agar lebih bermanfaat. Semoga tulisan ini menjadi penyambung

lidah positif para pengkaji Ibn ‘Arabî.

Page 117: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

DAFTAR PUSTAKA

Addas, Claude. Quest for The Red Sulphur. Cambridge: The Islamic Texs Society, 1993.

al-‘Âmilî, al-Sayyîd Murtadhâ, Ibn ‘Arabî Laysa bi al-Syî‘î, buku diakses pada tanggal 16 Desember dari http://www.aqaed.com/shialib/books/04/ibn-arabi/index.html

Azra, Azyumardi. Jaringan Islam Timur Tengah dan Nusantara. Jakarta: Kencana, 2004.

al-Baqâ‘î. Tanbîh al-Ghabî ilâ Takfîr Ibn ‘Arabî ed. ‘Abd al-Rahmân al-Wakîl. Riyâdh: Ri`âsah Idârah, 1993.

al-Bukhârî. al-Jâmi‘ al-Shahîh. Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1987. Chittick, William C. The Sufi Path of Sufi. New York: State University of New York

Press, 1989. al-Ghazâlî. al-Iqtishâd fî al-I‘tiqâd. Beirut: Dâr al-Fikr, 1997. _________. Kîmiyâ’ al-Sa‘âdah. Beirut: al-Maktabah al-Sya‘biyyah, t.t. _________. Tahâfut al-al-Falâsifah, tahqiq oleh Dr. Sulayman Dunyâ. Mesir: Dâr al-

Ma‘ârif, 1972. al-Hâkim, al-Mustadrâk tahqiq: M. Abd al-Qâdir ‘Athâ. Beirut: Dâr al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, 1990. al-Hararî. ‘Abdullâh. Izhâr al-‘Aqîdah al-Sunniyyah. Beirut: Dâr al-Masyâri‘, 1997. Hilmî, Musthafâ, Manhaj ‘Ulamâ al-Hadîts wa al-Sunnah fî Ushûl al-Dîn. Kairo: Dâr

al-Da‘wah, 1992. Ibn ‘Arabî. al-Futûhât al-Makkiyyah. Beirut: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 2006. 9

jilid. ________. Fushûsh al-Hikam. Beirut: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 2003. ________. Risâlah al-Syaykh Ilâ Fakhr al-Râzî dari Majmû‘ al-Rasâ'il ed. ‘Abd al-

Rahmân Hasan Mahmûd. Kairo: ‘Âlam al-Fikr, 1986. ________. Rûh al-Quds. Damaskus: Mu`assasah al-‘Ilm, 1964. Ibn al-Qayyim. al-Shawâ‘iq al-Muharriqah. Riyâdh: Dâr al-‘Âshimah, 1998. Ibn Hajr. Lisân al-Mîzân. Beirut: Mu’assasah al-A’lamî, 1986. Ibn Katsîr. al-Bidâyah wa al-Nihâyah. Kairo: Dâr Ibn al-Haytsam, 2006. Ibn Khaldûn. Muqaddimah Ibn Khaldûn. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006. Ibn Taymiyyah. Minhâj al-Sunnah. Kairo: Mu’assasah Qurthûbah, 1406. ___________. al-Majmû‘ al-Fatâwâ. Riyâdh: Majma‘ al-Malik Fahd, 1995. ___________. Jâmi‘ al-Rasâ’il fî Radd ‘alâ Ibn ‘Arabî. Kairo: Maktabah al-Turâts al-

Islamî, t.t. al-Îjî, ‘Abd al-Rahmân. al-Mawâqif fi ‘Ilm al-Kalâm. Beirut: ‘Âlam al-Kutub, 1992. al-Jîlî, ‘Abd al-Karîm. al-Insân al-Kâmil. Kairo: Dâr al-Fikr, t.t. al-Juwaynî, Abû al-Ma‘âlî. al-Syâmil ed. Dr. M. Sâmî Nasyâr. Kairo: Dâr al-Ma‘ârif,

1969. Mahmûd, ‘Abd al-Qâdir. al-Falsafah al-Shûfiyyah fî al-Islâm. Kairo: Dâr al-Fikr al-

‘Arabî, 1966. al-Malîbarî. Qurrah al-‘Ayn. Surabaya: Dar Ihya' al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th. al-Mawardî. al-Ahkâm al-Sulthâniyyah. Kairo: Dar al-Hadits, 2006. Nadzîr, Ahmad. al-Qawl al-Sharîh. London: The Ahmadiyah Muslim Mission, 1405. Noer, Kautsar Azhari. Ibn al-’Arabî: Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan. Jakarta:

Paramadina, 1995.

Page 118: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C

al-Qâri, Mullâ ‘Alî. al-Radd ‘Alâ Qâ’ilîn bi Wahdah al-Wujûd. Damaskus: Dâr al-Ma’mûn li al-Turâts, 1995.

Rayyân, Alî Abû. al-Falsafah al-Islâmiyyah. Kairo: Dâr al-Qawmiyyah al-Islâmiyyah, 1967.

Stephen Hirteinstein, The Unlimited Mercifier diterjemahkan oleh Tri Wibowo dengan Judul Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, Jakarta: Rajagrafindo, 2001.

al-Sya‘rânî. al-Yawâqît al-Jawâhir fi ‘Aqâ’id al-Kabâ’ir. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1997.

_________. al-Kibrît al-Ahmar. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005. al-Syahrastânî. al-Milal wa al-Nihal. Beirut: Dâr al-Fikr, 1997. al-Syahrastânî, Nihâyah al-Iqdâm fî ‘Ilm al-Kalâm ed. Alfred Geum. T.th. al-Syarbînî, Khathîb. Mughnî al-Muhtâj. Kairo: Maktabah al-Tawfîqiyyah, t.th. al-Syawkânî. al-Shawârim al-Haddâd. Shan‘a: Dâr al-Hijrah, 1990. al-Tilmisâni, Ibn al-Muqri'. Nafh al-Thayyib min Ghishn al-Andalûs al-Thayyib.

Beirut: Dâr Shadr, 1997. Trimingham, J. Spencer. The Sufi Orders in Islam. London: Oxford University Press,

1973. al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî. Beirut: Dâr Ihyâ' al-Turâts al-‘Arabî, t.th.

Page 119: KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7146/1/ARRAZY... · 33 Ruang Lingkup Ilmu Kalâm B. 35 Gagasan Hierarki Teologi C