Upload
doancong
View
248
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI IBN ‘ARABÎ
Skripsi
Diajukan ke Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)
Oleh: Arrazy Hasyim
NIM: 104033101047
PROGRAM STUDI AKIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
1430 H./2009 M.
KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP TEOLOGI IBN ‘ARABÎ
Skripsi Diajukan ke Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)
Oleh: Arrazy Hasyim
NIM: 104033101047
Pembimbing:
Drs. Nanang Tahqiq, MA.
PROGRAM STUDI AKIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
1430 H./2009 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul KRITIK PARA ULAMA TERHADAP KONSEP
TEOLOGI IBN ‘ARABÎ telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 Maret 2009.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Filsafat
Islam (S.Fil.I.) pada Program Studi Aqidah Filsafat.
Jakarta, 6 Maret 2009
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. M. Amin Nurdin, M.A. Drs. Ramlan A., M.Ag.
NIP: 150232919 NIP: 150254185
Anggota,
Dr. Syamsuri, M.A. Drs. Agus Darmaji, M.Fils.
NIP: 150240089 NIP: 150262447
Drs. Nanang Tahqiq, M.A.
NIP: 150248753
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan telah saya cantumkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi sesuai yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 23 Februari 2009
Arrazy Hasyim
TRANSLITERASI ARAB-LATIN
a : ا
b : ب
t : ت
ts : ث
j : ج
h : ح
kh : خ
d : د
dz : ذ
r : ر
z : ز
s : س
sy : ش
sh : ص
dh : ض
th : ط
zh : ظ
‘ : ع
gh : غ
f : ف
q : ق
k : ك
l : ل
m : م
n : ن
w : و
h : هـ
’ : ء
y : ي
â : ــ
û : ــ$î : ــ"
ABSTRAK
Ibn ‘Arabî merupakan sosok yang multi dimensi. Selain seorang sufi, ia adalah seorang teolog ulung. Hal ini menjadikan perhatian menarik para ulama semasa dan setelahnya. Namun memang tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat ungkapan-ungkapan yang rumit dalam karangan Ibn ‘Arabi. Hal ini menjadi sumber permasalahan yang melahirkan kecaman dari sebagian ulama Sunnî. Kecaman tersebut berujung kepada penolakan status keislaman Ibn ‘Arabî. Ia dianggap telah melenceng dari ajaran Islam. Bahkan muncul wacana mengafirkan siapa saja yang skeptis terhadap status kekafiran
Ibn ‘Arabî. Tokoh terdepan dalam hal ini adalah Ibn Taymiyyah dan al-Baqâ‘î. Di samping itu, juga terdapat pembelaan dari ulama Sunnî yang lain terhadap
ajaran Ibn ‘Arabî. Ia diyakini sebagai tokoh sufi yang agung, wali yang mulia, imam yang akbar. Wacana pembelaan tersebut sangat kental pada al-Sya‘rânî dan ‘Abd al-
Ghanî al-Nabilûsî. Beberapa tema yang menjadi objek kritikan Ibn Taymiyyah adalah tuduhan
Para pengritik. ulûlhd dan âhitti, wujûd-dah alhwabahwa Ibn ‘Arabî berakidah cenderung menyamakan dan mengalamatkan tiga term ini kepada Ibn ‘Arabî sekaligus. Selain itu, Ibn ‘Arabi dituduh berkeyakinan meyakini keislaman Fir‘awn ketika tenggelam. Bahkan ia dituduh menegasikan keberadaan wali setelahnya dan derajat kewalian lebih tinggi daripada kenabian. Tetapi ungkapan-ungkapan Ibn ‘Arabî yang menjadi patokan para pengritik dalam mengafirkannya sering disebabkan karena misunderstanding yang berlebihan. Hal ini dikarenakan para pengritik, seperti Ibn Taymiyyah sering mengabaikan konteks pembicaraan Ibn ‘Arabî dalam menulis suatu ungkapan. Atau faktor lain, seperti ketidakpahaman terhadap terminologi yang
ketika Ibn ‘Arabî mengatakan bahwa Allah , Sebagai contoh. digunakan Ibn ‘ArabîIbn Taymiyyah mengabaikan konteks . qaqhsedangkan hamba juga , qaqHadalah
sehingga , ‘Arabî tersebut pada ungkapan Ibnayrahhatau maqâm " keheranan"melahirkan kecaman yang tidak layak bersumber dari seorang tokoh intelektual
Muslim terkenal itu. Selain membahas kritikan para ulama mengenainya, skripsi ini juga akan
terutama , aloversirtteks Ibn ‘Arabi yang dianggap kon-menampilkan beberapa teksteks Ibn ‘Arabi -teks, Di samping itu. dan keimanan Fir‘awndâhittimengenai
memang membuka celah untuk menjadi objek perdebatan. Hal ini dikarenakan ada beberapa ungkapan yang kontroversial dalam tema tertentu. Penulis juga akan mengemukakan kelemahan-kelemahan para pengritik dengan melakukan komparasi
teks-teks Ibn ‘Arabi.
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN i LEMBAR PERNYATAAN ii LEMBAR PENGESAHAN iii
TRANSLITERASI ARAB-LATIN iv ABSTRAK v
KATA PENGANTAR vi DAFTAR ISI viii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar belakang penulisan 1
B. Rumusan dan batasan masalah 6
C. Manfaat penelitian 7
D. Kajian kepustakaan 8
E. Metode penelitian 11
F. Sistematika penulisan 12
BAB II BIOGRAFI IBN ‘ARABÎ SEBAGAI SEORANG TEOLOG 14
A. Perkembangan Intelektual 14
B. Karya Tulis Intelektual 28
BAB III TEOLOGI IBN ‘ARABÎ 32
A. Pengertian Teologi atau Ilmu Kalâm 32
B. Ruang Lingkup Ilmu Kalâm 33
C. Gagasan Hierarki Teologi 35
1. Akidah Awam 40
2. Akidah Ahl Al-Rusûm 46
3. Akidah Al-Ikhtishâsh 53
BAB IV STATUS TEOLOGI IBN ‘ARABÎ 62
A. Perdebatan mengenai Status Teologi Ibn ‘Arabî 62
B. Tuduhan Akidah Ittihâd dan Hulûl terhadap Ibn ‘Arabî 67
BAB V KRITIK TEOLOGIS TERHADAP IBN ‘ARABÎ 73
A. Kritik Ibn Taymiyyah terhadap Status Keimanan Fir‘Awn dalam
Pandangan Ibn ‘Arabî 73
B. Kontroversi Teks Karya Ibn ‘Arabî mengenai Keimanan
Fir‘Awn 75
C. Kritik terhadap Pandangan Ibn ‘Arabî tentang Kenabian dan
Kewalian 84
1. Maqâm Nubuwwah antara Teologis dan Sufistik 86
2. Kritik Ibn Taymiyyah Sebagai Sebuah Kekeliruan 91
BAB V PENUTUP 97
Kesimpulan dan Saran 97
DAFTAR PUSTAKA 102
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan
Setengah abad setelah Ibn ‘Arabî wafat, muncul Ibn Taymiyyah
memperdebatkan status teologi yang dianutnya. Namun ironis, tidak ditemui seorang
ulama pun yang melakukan hal serupa di masa hidup Ibn ‘Arabî. Ini dikarenakan
ûzî dan AbâR-Dîn al-seperti Fakhr al, tokoh besar semasa dengannya-banyak tokoh
.tidak pernah mengritisi Ibn ‘Arabî) lûMaqt-albukan (Suhrawardî -alafsh H
Akan tetapi, Ibn Taymiyyah memulai kritikan terhadap Ibn ‘Arabî dari
pelbagai aspek teologis. Dalam mengritisi Ibn ‘Arabî, Ibn Taymiyyah dengan tegas
kata lain yang -dan kata) ateis (dâhli, zindiq, mengategorikannya sebagai kafir
dialamatkan kepada para penyeleweng dari jalan kebenaran.
Aspek teologis yang menjadi sasaran kritikan Ibn Taymiyyah meliputi
masalah eksistensi Tuhan dan hamba, status keimanan Fir‘awn, kenabian, dan
kewalian. Kritikan tersebut banyak diungkapkan Ibn Taymiyyah dalam al-Majmû‘ al-
Fatâwâ dan risalah khusus yang berjudul Jâmi‘ al-Rasâ’il fî Radd ‘alâ Ibn ‘Arabî.
Dari kritikan tersebut, Ibn Taymiyyah melahirkan istilah baru dalam
pemikiran teologis Ibn ‘Arabî. Ia dengan tegas menyatakan bahwa Ibn ‘Arabî
walaupun istilah ini tidak 1,)kesatuan wujud (dûwuj-dah alhwamenganut paham
pernah ditemui sebelumnya dalam literatur Ibn ‘Arabî. Hal ini sebagaimana diakui
William C. Chittick bahwa Ibn ‘Arabî sendiri tidak pernah menggunakan kata
1 Ibn Taymiyyah, al-Majmû‘ al-Fatâwâ, (Riyâdh: Majma‘ al-Malik Fahd, 1995), v. 2, h. 64.
tersebut.2 Namun, konklusi yang diperoleh oleh Ibn Taymiyyah mampu membakukan
istilah tersebut, sehingga menjadi populer pada generasi setelahnya sampai sekarang.
aymiyyah lebih cenderung menyamakan status Ibn T, Di samping itu
Ibn , Oleh karena itu. dâhttiidan ulul hIbn ‘Arabî dengan wujûd -dah alhwapemikiran
-ahl al(‘Arabî dan tokoh tasawuf falsafi lain dianggap sebagai penganut ateisme
Ia . Qayyim-ini juga diikuti oleh Ibn alwujûd -dah alhwaSikap penyamaan . )dâhil
merupakan kaum sufi yang berpaham dâhittmenegaskan bahwa kelompok penganut
paham ini berpandangan bahwa Tuhan , Qayyim- Menurut Ibn al3.dûwuj-dah alhwa
tidak berbeda dan tidak terpisah dari alam ini. Pandangan ini, ungkap Ibn al-Qayyim,
merupakan perkataan manusia yang paling kufur.4
Selain itu, Ibn Taymiyyah menuduh Ibn ‘Arabî berkeyakinan bahwa martabat
kewalian lebih tinggi daripada kenabian.5 Bahkan, ketika pengikut Ibn ‘Arabî
memberikan interpretasi bahwa ia hanya meyakini kewalian seorang nabi lebih utama
daripada martabat kenabiannya atau interpretasi lain yang senada, namun Ibn
Taymiyyah tetap saja menganggap hal tersebut sebagai kejahilan yang berlebihan.6
Sisi lain yang menjadi objek kritikan keras dari Ibn Taymiyyah terhadap Ibn
‘Arabî adalah mengenai status keimanan Fir‘awn. Dalam hal ini, Ibn Taymiyyah
menegaskan bahwa siapa saja yang tawaqquf (tidak berpendirian) terhadap status
kafir Fir‘awn, maka ia mesti diistitâbah (diadili agar bertobat), jika tidak bertobat
maka wajib dihukum mati. Apalagi terhadap Ibn ‘Arabî yang berkeyakinan bahwa
Fir‘awn mati dalam kadaan beriman.7
2 William C. Chittick, The Sufi Path of Sufi, (New York: State University of New York Press,
1989), h. 78. 3 Ibn al-Qayyim, al-Shawâ‘iq al-Muharriqah, (Riyâdh: Dâr al-‘Âshimah, 1998), v. 2 h. 791. 4 Ibn al-Qayyim, al-Shawâ‘iq, v. 1 h. 294. 5 Ibn Taymiyyah, Minhâj al-Sunnah, (Kairo: Muassasah Qurthûbah, 1406), v. 5 h. 335. 6 Ibn Taymiyyah, al-Majmû‘ al-Fatâwâ, v. 4 h. 171. 7 Ibn Taymiyyah, Jâmi‘ al-Rasâ`il fi Radd ‘alâ Ibn ‘Arabî, (Kairo: Maktabah al-Turâts al-
Islâmî, t.t.), h. 204.
Kritikan serupa juga bermunculan di kalangan teolog Asy‘ariyyah. Dalam hal
ini, al-Baqâ‘î tampil dengan karyanya yang berjudul Tanbîh al-Ghabî ilâ Takfîr Ibn
‘Arabî. Dengan memahami judulnya, dapat diketahui bahwa al-Baqâ‘î ikut serta
mengafirkan Ibn ‘Arabî. Kitab tersebut diterbitkan kembali di kalangan Wahhâbî
dengan judul Mashra‘ al-Tashawwuf. Ia mengklaim bahwa Ibn ‘Arabî meyakini
keimanan Fir‘awn ketika ditenggelamkan di Laut Merah.8 Bahkan, ia menuduh Ibn
‘Arabî berkeyakinan bahwa Fir‘awn merupakan ‘tuhan’ Musa dan junjungannya.9
Dengan demikian, al-Baqâ‘î berani menuduh Ibn ‘Arabî sebagai seorang yang telah
kafir, karena ungkapan-ungkapan tersebut tidak bisa diterima lagi.10
Selain kritikan, pembelaan terhadap Ibn ‘Arabî juga bermunculan di kalangan
ulama Asy‘ariyyah. Salah satu tokoh yang terkenal membela status teologi Ibn ‘Arabî
adalah al-Sya‘rânî. Sebenarnya, ia hanya melanjutkan pembelaan yang pernah
dilakukan oleh al-Suyûthî. Dalam hal ini, ia menilai bahwa banyak tuduhan yang
tidak benar dialamatkan kepada Ibn ‘Arabî. Oleh karena itu, al-Sya‘rânî
mengungkapkan kembali status teologi Ibn ‘Arabî dalam kitab al-Yawâqît al-Jawâhir
fî ‘Aqâ’id al-Kabâ’ir. Selain itu, ia juga menginformasikan ternyata al-Baqâ‘î menarik
kembali kritikannya terhadap Ibn ‘Arabî.11
Di samping itu, Mullâ ‘Alî al-Qârî seorang teolog Mâturidiyyah juga menulis
Ia mengungkapkan . dûwuj-dah alhwakarangan khusus yang hanya mengritisi paham
bahwa jika benar paham tersebut Wujûd -dah alhWan bi î’ilâQ-al âRadd ‘Al-aldalam
bersumber dari Ibn ‘Arabî, maka tidak ada perbedaannya dengan ajaran materialis
8 Al-Baqâ‘î, Tanbîh al-Ghabî ilâ Takfîr Ibn ‘Arabî ed. ‘Abd al-Rahmân al-Wakîl, (Riyâdh:
Ri’âsah Idârah, 1993), h. 118. 9 Al-Baqâ‘î, Tanbîh, h. 121. 10 Al-Baqâ‘î, Tanbîh, h. 123. 11 Al-Sya‘rânî, al-Yawâqît al-Jawâhir fi ‘Aqâ’id al-Kabâ’ir, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1997), v. 1 h. 9.
(Dahriyyah dan Thabî‘iyyah).12 Begitu juga mengenai kewalian, Mullâ ‘Alî tidak
menuduh langsung Ibn ‘Arabî berkeyakinan bahwa kewalian lebih utama daripada
kenabian. Tetapi, ia lebih cenderung mengungkapkan bahwa Ibn ‘Arabî hanya
beranggapan bahwa kewalian seorang rasul lebih utama daripada kenabiannya.
Permasalahan ini dikategorikan Mullâ ‘Alî sebagai masalah yang masih
diperselisihkan, sehingga orang yang mengatakannya tidaklah dikenai hukum kafir.13
Selain itu, walaupun pelbagai tuduhan terhadap Ibn ‘Arabî telah dijawab
sebelumnya oleh al-Sya‘rânî, namun al-Syawkânî kembali memberikan kritikan tajam
sebagaimana Ibn Taymiyyah. Berbeda dengan Mullâ ‘Alî, al-Syawkâni lebih
cenderung memastikan bahwa ajaran “sesat” tersebut berasal dari Ibn ‘Arabî. Ia
karya Ibn tâhûFut-alungkapan yang terdapat dalam -menegaskan bahwa ungkapan
‘Arabî merupakan khurafat yang dipenuhi dengan kekufuran.14 Bahkan, ketika
mengomentari ungkapan yang dinukil oleh Ibn ‘Arabî bahwa ‘menyebarkan rahasia
ketuhanan adalah kekufuran’, maka al-Syawkânî menekankan justeru Ibn ‘Arabî telah
mengafirkan dirinya sendiri. Ini dikarenakan Ibn ‘Arabî telah menyebarkan rahasia
ketuhanan.15
Belakangan ini, Ibrâhîm Hilâl juga mengungkapkan dalam al-Tashawwuf
bayna al-Dîn wa al-Falsafah bahwa penisbahan paham taswiyyah (penyamaan) antara
kepada Ibn ‘Arabî adalah suatu wujûd -dah alhwaAllah dengan alam atau
n yang menegaskaûdmhMaQâdir -al Hal ini berbeda dengan ‘Abd 16.keganjilan
12 Mullâ ‘Alî al-Qâri, al-Radd ‘Alâ Qâ’ilîn bi Wahdah a- Wujûd, (Damaskus: Dâr al-Ma’mûn
li al-Turâts, 1995), h. 21. 13 Mullâ ‘Alî, al-Radd, h. 21. 14 Al-Syawkânî, al-Shawârim al-Haddâd, (Shan‘ah: Dâr al-Hijrah, 1990), h. 41. 15 Al-Syawkânî, al-Shawârim, h. 45. 16 Ibrâhîm Hilâl, al-Tashawwuf bayn al-Dîn wa al-Falsafah, (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, 1971) h.
41.
bahwa ajaran Ibn ‘Arabî termasuk kategori tasawuf salbî (negatif), sehingga ia
beranggapan bahwa tasawuf dalam kategori ini di luar nuansa Islami.17
editor ûdmhasan MaHn âRahm-‘Abd al, lâm HilîSebagaimana Ibrâh
kumpulan risalah Ibn ‘Arabî juga mengungkapkan bahwa Ibn ‘Arabî bukanlah
.dûwuj-dah alhwa dan ,dâhitti, lûulhpembawa ajaran
Lebih menarik lagi, ternyata para sufi dan teolog Nusantara tempo dulu tidak
menilai Ibn ‘Arabî sebagai seorang yang menyimpang. Bahkan, al-Rânirî yang
memfatwakan sesat Syams al-Dîn al-Sumaterânî, merupakan seorang yang tekun
mengikuti ajaran Ibn ‘Arabî.18
Begitu juga dengan Nafîs al-Banjarî, Yûsuf al-Makasarî, dan ‘Abd al-Shamad
al-Palembanî tidak pernah mengritisi paham Ibn ‘Arabî. Namun sebaliknya, ‘Abd al-
Shamad mampu menyelaraskan ajaran al-Ghazâlî dengan Ibn ‘Arabî dalam kitab
-alm û’ UlâyhMukhtashar I) beserta komentar( sebagai terjemahan nîlikâS-r alâSiy
Dîn.
Namun demikian, perdebatan mengenai status teologi Ibn ‘Arabî masih
berlanjut sampai saat sekarang. Masing-masing dari kelompok yang mengritisi dan
membela mempunyai argumen kuat dalam memberikan penilaian, sehingga tidak
mudah menjustifikasi bahwa salah satu dari mereka benar. Ini dikarenakan argumen
yang mereka ajukan disertai dengan penukilan data yang akurat. Ini terlepas dari
penilaian mereka yang bersifat subjektif atau objektif.
Dengan demikian, skripsi ini akan mengungkapkan kembali perdebatan para
teolog dalam memberikan penilaian terhadap Ibn ‘Arabî dengan mengangkat tema-
tema utama yang menjadi sorotan mereka. Kemudian, penilaian mereka akan
17 ‘Abd al-Qâdir Mahmûd, Muqaddimah al-Falsafah al-Shûfiyyah fî al-Islâm, (Kairo: Dâr al-
Fikr al-‘Arabî, 1966), h. 7. 18 Azyumardi Azra, Jaringan Islam Timur Tengah dan Nusantara, (Jakarta: Kencana, 2004),
h. 218.
dikomparasikan dengan melakukan telaah terhadap ungkapan-ungkapan teologis Ibn
‘Arabî yang terdapat di dalam karya-karyanya.
B. Rumusan dan Pembatasan Masalah
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, tulisan ini akan meneliti kembali
mengenai, “Kritikan dan pembelaan terhadap konsep teologis Ibn ‘Arabî”. Dalam hal
ini, penulis akan mengemukakan perkembangan intelektual Ibn ‘Arabî sebagai
seorang ilmuwan Muslim, konsep hierarki teologis Ibn ‘Arabî. Selain itu,
dikemukakan beberapa tema lain yang menjadi sorotan para teolog terhadap karya-
karya Ibn ‘Arabî; terutama mengenai keimanan Fir‘awn, konsep kenabian dan
kewalian. Dalam memahami konsep teologis yang dikemukakan Ibn ‘Arabî mengenai
dua konsep tersebut, maka penulis tetap akan menyinggung aspek filosofis dan
esoteris jika diperlukan.
C. Manfaat Penelitian
Kajian ini akan mengungkapkan sisi-sisi teologis yang masih jarang diteliti
oleh para penulis belakangan ini. Ini dikarenakan Ibn ‘Arabî merupakan sosok yang
multi dimensi. Hal ini mengisyaratkan bahwa kajian mengenai Ibn ‘Arabî bisa dilihat
dari pelbagai sudut pandang yang berbeda, seperti sisi teologis, esoteris, filosofis,
adîts HQur’ân dan -n dengan interpretasi albahkan juga dalam keilmuan yang berkaita
. Zaydûmid AbâHsebagaimana dilakukan oleh Nashr
Walaupun telah ada yang mengungkapkan konsep teologi Ibn ‘Arabî, namun
m atau Padahal pembahasan ilmu kalâ. dûwuj-dah alhwamasih terbatas pada tema
teologi lebih luas daripada tema tersebut. Pembahasan teologis mencakup tema-tema
ketuhanan, kenabian, eskatologi, dan tema lain.
Selain itu, dengan mengenal teologi yang dianut oleh Ibn ‘Arabî, maka akan
mampu memberikan jawaban terhadap wacana belakangan ini. Hal ini dikarenakan
banyak penulis yang beranggapan bahwa Ibn ‘Arabî mengambil dasar pemikirannya
dari ajaran di luar Islam, atau dengan menghubungkannya dengan ajaran selain Islam,
atau mengklaimnya sebagai seorang Syî‘ah, atau seorang kebatinan yang terselubung.
Oleh karena itu, kajian ini merupakan salah satu usaha untuk menguak misteri
mengenai status teologi yang sebenarnya dianut sang tokoh.
Dengan demikian, diharapkan kajian ini bisa mengungkap pandangan teologis
Ibn ‘Arabî secara ilmiah.
D. Kajian Kepustakaan
Sebenarnya telah banyak para peneliti yang menulis mengenai Ibn ‘Arabî.
Namun demikian, penulis hanya akan menyebutkan beberapa karya yang dianggap
penting. Di antaranya, karya populer Henry Corbin L‘Imagination Creatrice dans le
Soufisme d‘Ibn ‘Arabî yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul
Alone With The Alone (1998)19. Henry Corbin banyak membicarakan pemikiran Ibn
‘Arabî dari sisi yang ia sebut dengan theophani atau hikmah al-isyrâq. Oleh karena
itu, ia terkesan menyamakan pemikiran Ibn ‘Arabî dengan Suhrawardî al-Maqtûl,
walaupun mereka tidak pernah bertemu. Bahkan Ibn ‘Arabî juga tidak pernah
menyebut Suhrawardî al-Maqtûl dalam karangannya.
19 Diterbitkan di Princeton: Princeton University Press, 1998.
Karya Wiliam C. Chittick The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabî
Metaphysics of Imagination (1989)20 adalah studi sistematis tentang pelbagai aspek
pemikiran Ibn ‘Arabî. Pembahasan yang disajikan Chittick meliputi kajian teologi,
ontologi, epistemologi, hermeneutik, dam aspek lainnya.
Karya Claude Addas Quest for The Red Sulphur21, merupakan kajian biografi
Ibn ‘Arabî yang termasuk kategori terlengkap. Ia sangat berjasa mengemukakan
proses pencapaian intelektual Ibn ‘Arabî. Addas tidak keberatan untuk mengritisi
hipotesa para penulis sebelumnya yang dianggapnya keliru. Tetapi terkadang, ia
sendiri terjebak pada asumsi yang terkesan berlebihan mengenai Ibn ‘Arabî.
Karya Stephen Hirtenstein The Unlimited Mercifer: The Spiritual Life and
Thought of Ibn ‘Arabî yang diterjemahkan oleh Tri Bowo dengan judul Dari
Keragaman ke Kesatuan Wujud (2001). Buku ini sangat menarik karena
membicarakan perjalanan pemikiran Ibn ‘Arabî menurut alur historis secara lengkap.
Stephen bisa menampilkan alur pemikiran tersebut dengan mengaitkan tinjauan
geografis dan sosiologis.
Karya S.A.Q. Husaini The Pantheistic Monism of Ibn ‘Arabî (1945)22, sesuai
dengan judulnya karya ini mengklaim bahwa Ibn ‘Arabî membangun pemikiran
monisme panteistik. Oleh karena itu, Husaini mencoba mengupas pernyataan-
pernyataan Ibn ‘Arabî yang ia anggap sebagai monisme pantesitik.
Masih dengan tema yang sama mengenai pemikiran Ibn ‘Arabî adalah buku
Wahdah al-Wujûd Ibn ‘Arabî dan Panteisme (1993)23. Penelitian Prof. Dr. Kautsar
Azhari Noer, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, merupakan karya
khusus yang membicarakan paham wahdah al-wujûd Ibn ‘Arabî secara komprehensif.
20 Diterbitkan di Albany: State University of New York Press, 1989 21 Diterbitkan di Cambridge: The Islamic Text Society, 1993. 22 Diterbitkan di Lahore: SH. Muhammad Ashraf, 1945. 23 Diterbitkan oleh Paramadina dengan judul Ibn ‘Arabî Wahdah al-Wujûd dalam Perdebatan,
Jakarta: 1995.
Disertasi yang diterbitkan oleh Paramadina dengan judul Ibn al-‘Arabî: Wahdat al-
Wujûd dalam Perdebatan, secara jelas dan lugas mengurai hal-hal yang rumit
mengenai wahdah al-wujûd yang diklaim menjadi doktrin inti dan fundamen dari
keseluruhan pandangan teologis dan metafisis Ibn ‘Arabî. Paham wahdah al-wujûd
seringkali disalahpahami oleh sebagian ulama Sunnî, bahkan dicap sesat dan kufur.
Namun Kautsar, dengan amat meyakinkan baik secara materi maupun metodologi,
berhasil membuktikan bahwa paham ini benar-benar hendak meneguhkan keesaan
Allah dalam segala aspeknya dan sama sekali jauh dari unsur “penyimpangaan”
apalagi sesat dan kufur.
Selain itu, karya terbaru tentang Ibn ‘Arabî adalah Meraih Hakikat Melalui
Syari’at: Telaah Pemikiran Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabî (2006)24. Tesis Nurasiah
Faqihsutan di McGill University Kanada ini, khusus mengamati pemikiran-pemikiran
Ibn ‘Arabî dari sisi fiqh praktis. Menurut Nurasiah, kebanyakan wacana yang
berkembang di dunia Muslim adalah memandang sinis pemikiran Ibn ‘Arabî bahkan
dicurigai dan dijauhi. Ini dikarenakan Ibn ‘Arabî dianggap sebagai tokoh sufi yang
melenceng dari syari‘at atau tidak memperhatikan aturan syari’at. Padahal yang
terjadi hanyalah perbedaan dalam penekanan makna, aspek, dan fungsi syari‘at itu
sendiri.
Selain itu, juga terdapat beberapa buah skripsi yang membahas Ibn ‘Arabî. Di
antaranya, skripsi Konsep al-Insân al-Kâmil Ibn ‘Arabî yang ditulis oleh Fauzan
Fagudyama (2005). Sesuai judulnya, skripsi tersebut berkutat pada permasalahan
‘manusia sempurna’ dalam pandangan Ibn ‘Arabî. Di samping itu, terdapat skripsi
yang ditulis oleh Ivan M. F. Hanifa berjudul Kajian Hermeneutis Konsep Chun Tzu
Kung Fu Tze dan Insan Kamil Ibn ‘Arabî (2004). Kajian yang dikemukakan Ivan
24 Diterbitkan oleh Mizan, Bandung: 2006.
berupa studi komparatif antara permikiran hermeneutik tokoh legendaris Chun Tzu Fu
Tze dan konsep al-insân al-kâmil Ibn ‘Arabî dengan menggunakan konsep
hermeneutik Dilthey sebagai landasan. Setelah itu, juga terdapat skripsi yang
mengupas tradisi tasawuf amali yang dibangun Ibn ‘Arabî. Skripsi tersebut berjudul
Tazkiyah al-Nafs Ibn ‘Arabî oleh M. Asari (2006).
Sebenarnya, masih banyak kajian yang ditulis mengenai Ibn ‘Arabî. Namun,
kebanyakan penulis hanya tertarik mengemukakan aspek filosofis dan esoteris,
terutama mengenai al-insân al-kâmil. Secara umum para penulis berkutat pada konsep
tasawuf falsafi. Kalaupun terdapat pembahasan mengenai teologi, itu hanya sebatas
persoalan wujud.
E. Metode Penelitian
Kajian ini dilakukan dengan metode kepustakan (library research) atau
kualitatif. Adapun sumber-sumber data yang digunakan selama penelitian ada dua
ketegori, yaitu primer dan sekunder. Data-data primer yang digunakan seperti karya
agung Ibn ‘Arabî al-Futûhât al-Makkiyyah, Fushûsh al-Hikam dan karya-karyanya
yang lain jika dibutuhkan.
Sedangkan sumber-sumber sekunder yang dimanfaatkan kebanyakan dari
literatur berbahasa Arab seperti Syarh Fushûsh al-Hikam karya Musthafâ bin
Sulaymân Bâlîzâdeh, al-Insân al-Kâmil karya ‘Abd al-Karîm al-Jîlî, al-Yawâqît al-
Jawâhîr karya ‘Abd al-Wahhâb al-Sya‘rânî, al-Majmû‘ al-Fatâwâ karya Ibn
Taymiyyah dan literatur lainnya. Adapun dari literatur berbahasa Inggris di antaranya,
karya Claude Addas Quest for the Red Sulphur dan beberapa karya lain sebagai
tambahan.
Dalam memaparkan hasil kajian ini, penulis menggunakan metode deskriptif
yang disertai dengan analisis teologis dengan mempertimbangkan aspek esoteris. Ini
dikarenakan ungkapan Ibn ‘Arabî dipenuhi dengan ungkapan metaforis. Namun,
pendekatan yang digunakan dalam analisis tersebut adalah pendekatan teologis.
Adapun metode penulisan merujuk kepada buku panduan penulisan karya ilmiah yang
dikeluarkan oleh Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2004 pada penulisan footnote dan Paramadina pada transliterasi.
F. Sistematika Penulisan
Adapun untuk menjaga sitematika penulisan sehingga terfokus pada kajian
yang dimaksudkan, maka penulisan ini disusun berdasarkan sistematika berikut ini.
Pada bab pertama, dikemukakan mengenai pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang penulisan skripsi ini. Dalam hal ini, penulis mengemukakan kronologi
perdebatan para teolog mengenai status teologi Ibn ‘Arabî. Selain itu, dikemukakan
rumusan dan batasan permasalahan yang akan dikemukakan pada skripsi ini. Penulis
menjelaskan bahwa kajian ini merupakan kajian teologis. Namun dalam beberapa hal
tetap akan menyinggung permasalahan esoteris dan filosofis. Kemudian dijelaskan
mengenai kajian kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Pada bab kedua, akan dikemukakan biografi Ibn ‘Arabî yang meliputi
perjalanan historis yang dilalui, sehingga membentuk karakter intelektual yang khas.
Dalam hal ini, lebih ditekankan mengenai perkembangan Ibn ‘Arabî sebagai seorang
teolog Muslim. Begitu juga, dikemukakan karya-karya utama Ibn ‘Arabî yang
berkaitan dengan kajian teologi.
Pada bab ketiga, diungkapkan gagasan Ibn ‘Arabî menerapkan hierarki teologi
dengan ungkapan teologis yang kental sesuai dengan tingkatan keimanan seseorang.
Oleh karena itu, akan diperoleh gambaran mengenai bagaimana sikapnya terhadap
akidah golongan awam, teolog, dan sufi.
Pada bab keempat, dikemukakan komentar para ulama mengenai status teologi
Ibn ‘Arabî. Pada tahapan ini dikaji perdebatan mereka mengenai apakah Ibn ‘Arabî
seorang yang cenderung kepada Sunnî atau Syî‘ah. Selain itu, dikemukakan kritikan
.ulûlh dan âdhittiIbn Taymiyyah terhadap pandangan Ibn ‘Arabî mengenai akidah
Pada bab kelima, akan dikemukakan kritikan Ibn Taymiyyah terhadap Ibn
‘Arabî mengenai tema keimanan Fir‘awn; salah satu tema teologi yang sensitif di
kalangan Sunnî. Setelah itu, disajikan komparasi pada karangan-karangan Ibn ‘Arabî
dan pembelaan al-Sya‘rânî. Dengan demikian, akan ditemukan beberapa keganjilan
dan kontradiksi dari teks-teks yang ditinggalkan oleh Ibn ‘Arabî. Selain itu,
dikemukakan pandangan Ibn ‘Arabî mengenai wacana kenabian dan kewalian. Begitu
juga, sorotan para teolog terhadap konsep nubuwwah dan walâyah Ibn ‘Arabî. Pada
bagian ini, akan diketahui kekeliruan sebagian teolog terhadap dua konsep ini dalam
pemikiran Ibn ‘Arabî, baik para teolog yang mengritisi maupun yang membela.
Pada bab keenam, disajikan penutup yang berupa kesimpulan dari kajian
dalam tulisan ini. Dalam hal ini, penulis akan menyimpulkan mengapa terjadi
pengafiran terhadap Ibn ‘Arabî dan kecendrengan teologis yang dianutnya. Selain itu,
kesimpulan ini juga disertai dengan saran yang berhubungan dengan kajian ini.
BAB II
BIOGRAFI IBN ‘ARABÎ SEBAGAI SEORANG TEOLOG
A. Perkembangan Intelektual
ammad bin h bin Muîammad bin ‘Alh Mu‘Arabî adalahIbn lengkap ama N
AbûIa digelari dengan . îsûlaAnd- alâ’îTh- alîtimâH- al‘Arabî-h alâmad bin AbdullhA
alif dengan tambahan atau‘Arabî Ibn Dîn-yi alhMupopuler dengan nama Ia . Bakr
lam; Ibn al-‘Arabî.25 Ibn Katsîr seorang sejarawan Muslim abad ke-8 menyebutkan
tanpa alif lam pada kata ‘Arabî, dan gelarnya adalah Abû ‘Abdillâh.26 Hal ini
menunjukkan bahwa penamaan Ibn ‘Arabî atau Ibn al-‘Arabî digunakan oleh para
Syaykh -al lain itu ia juga dikenal sebutanSe. îammad bin ‘Alhsejarawan terhadap Mu
al-Akbar Ibn ‘Arabî al-Shûfî. Gelar kehormatan tersebut membedakannya dengan
madzhab fiqh dan tsîadH seorang ahli .)H543 (Ma‘afirî -‘Arabî al- Ibn alQâdhî
Mâlikî.
Selain itu, penisbahan nama Ibn ‘Arabî mengisyaratkan bukan kepada
ayahnya, tetapi kepada ‘Abdullâh al-‘Arabî empat generasi di atasnya. Ibn ‘Arabî
Bani Thayy (â’î Th-al timâHmengakui bahwa dirinya masih keturunan ‘Abdullah bin
dari Yaman) salah seorang sahabat Nabi Saw. Ini salah satu faktor yang menyebabkan
ia dan keluarganya mendapatkan strata sosial yang tinggi di Andalusia. Pengakuan ini
dinilai Claude Addas tidak berlebihan, karena bisa ditinjau dari sisi historis imigran
khalifah ) .H172 (mân I hRa-Proses imigrasi pernah terjadi pada masa ‘Abd al. Arab
Umayyah II di Andalusia. Addas menyebutkan bahwa para imigran berasal dari Syria
25 Ibn Hajr, Lisân al-Mîzân, (Beirut: Mu'assasah al-A‘lamî, 1986), v. 5 h. 311. 26 Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, (Kairo: Dâr Ibn al-Haytsam, 2006), v. 13 h. 90.
dan Yaman. Mereka membentuk kelompok-kelompok keluarga besar (buyûtât) di
semenanjung Iberian. Sebagian mereka ada yang menetap di kota Jaén, Baza dan
Tijola. Kota tersebut merupakan bagian selatan dari wilayah Murcia; kota kelahiran
Ibn ‘Arabî.27
Ibn ‘Arabî lahir pada malam Senin 17 Ramadhan tahun 560 H. (1160 M.) di
kota Murcia bagian selatan Spanyol. Ia dilahirkan dari seorang ayah yang ahli dalam
Ayahnya . dan tasawuf, tsîadH, fiqhseperti , pelbagai cabang ilmu keislaman
di Andalusia yang berteologi âdhîmad merupakan salah seorang qhammad bin AhMu
Selain sebagai . termasuk orang yang dihormati oleh pihak penguasaAyahnya. Sunnî
Ibn . mad juga merupakan guru pertama di keluarganyahammad bin AhMu, ayah
‘Arabî dididik dengan baik dan dipertemukan oleh ayahnya dengan banyak tokoh
intelektual pada masa tersebut.
Setelah itu, ia berpindah ke Sevilla pada tahun 568 H., lalu menetap selama 30
Sevilla dipimpin oleh Sulthân , Pada masa itu. H598 /587 sampai tahun ,tahun
memasuki ‘Arabîperiode pertama Ibn Masa ini merupakan. ammad bin Sa‘dhMu
dunia intelektual, walaupun ia masih berumur tujuh tahun.28
Ibn ‘Arabî mempunyai sangat banyak guru dalam pelbagai disiplin ilmu. Ia
- alhûRmenyebutkan sekitar limapuluh lima tokoh di antara guru spiritual di dalam
tokoh yang menjadi -ia hanya menyebutkan tokoh, hûR Di dalam kitab 29.Quds
gurunya pada periode pertama, yaitu ketika masih di Andalusia dan Maroko. Tetapi
Tetapi ia menulisnya ketika melakukan . ditulis pada masa tersebuthûRbukan berarti
haji yang pertama atau setelahnya. Hal ini dikarenakan ia menyebutkan beberapa
27 Claude Addas, Quest for The Red Sulphur, (Cambridge: The Islamic Texs Society, 1993), h.
45. 28 Ibn al-Maqarrî al-Tilmisânî, Nafh al-Thîb min Ghishn al-Andalûs al-Thayyib, (Beirut: Dâr
Shader, 1997), v. 2 h. 161. 29 Ibn ‘Arabî, Rûh al-Quds, (Damaskus: Mu'assasah al-‘Ilm, 1964), h. 84.
kejadian saat berkunjung dan mengajar di Makkah.30 Sedangkan haji yang pertama
dilakukannya pada periode kedua (pasca Andalusia dan Maroko) tahun 599 H.31,
sehingga mustahil ia menceritakan perihal Makkah ketika periode pertama.
Di samping itu, ia menyebutkan tokoh yang berbeda sekitar tujuhpuluh nama,
, ât'qiraDi antara mereka ada yang ahli . ketika mengijazahkan Sulthân Muzhaffar
Claude Addas memperkirakan 32.dan lainnya, sejarah, tsîadH, teologi, fiqh
pengijazahan tersebut dilakukan sekitar tahun 632 H. ketika telah menetap di
Damaskus. Tetapi, Addas mengingatkan bahwa jumlah (sekitar 70 tokoh) tersebut
bisa jadi belum mencakup semua guru Ibn ‘Arabî. Ini dikarenakan masa itu adalah
setelah ia berumur tujuhpuluh, sehingga mungkin terjadi kelupaan.33
Namun, penelitian Addas berhasil mengumpulkan jumlah guru Ibn ‘Arabî
berdasarkan dua bagian selama periode Andalusia. Lebih dari enampuluh tokoh yang
menjadi guru Ibn ‘Arabî pada periode 565 sampai 585 H. yang kebanyakan
berdomisili di Kordoba. Sedangkan pada periode 585 sampai 610 H. terdapat seratus
tokoh yang kebanyakan berdomisili di Sevilla. Addas menjelaskan bahwa semua
-dan al, fiqh, adîtsHjumlah itu mencakup pelbagai disiplin ilmu tradisional seperti
Qur’ân, bahkan juga termasuk disiplin ilmu sastra, bahasa, dan teologi.34
Dalam hal ini, sejarawan klasik Ibn al-Maqarrî pernah memberikan sebagian
perincian daftar nama guru Ibn ‘Arabî. Sebagaimana tokoh Muslim lainnya, Ibn
‘Arabî memulai dengan mempelajari dan mendalami al-Qur’ân. Di Sevilla, Ibn ‘Arabî
mendapatkan ijâzah (sertifikasi) dari banyak ulama dalam pelbagai cabang ilmu.35 Di
antara tokoh yang menjadi tempat Ibn ‘Arabî mendalami al-Qur’ân adalah Abû Bakr
30 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 9 dan 12. 31 Ibn al-Maqarrî, Nafh, v. 2 h. 263. 32 Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘ Karâmât al-Awliyâ’, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2005), v. 1 h. 202. 33 Claude Addas, Quest, h. 96. 34 Claude Addas, Quest, h. 94. 35 Ibn al-Maqarrî, Nafh, v. 2 h. 161.
Ra‘înî -ammad alhk dari Mu anahasan SyurayH-Abû al, sab‘ahâ’ahqirLakhmî ahli -al
penulis kitab al-Kâfî dalam ilmu qirâ’ah, dan Abû al-Qâsim al-Syarrâth. Selain kitab
Muqrî dan -ammad alh karangan Abû MurahîTabsh-alia mempelajari kitab , îfâK-al
kitab al-Taysîr karangan Abû ‘Amr bin Abû Sa‘îd al-Dânî.36 Ia mempelajari fiqh
37.hîfaqammad bin Qasûm seorang sufi dan hdengan madzhab Mâlikî kepada Mu
Bahkan Claude Addas menegaskan bahwa semua guru spiritual Ibn ‘Arabî di
Andalusia bermadzhab Mâlikî. Hal ini tidaklah mengherankan karena Mâlikî
merupakan madzhab mayoritas di Andalusia. Tetapi hal itu tidak menghalanginya
38.azm yang bercorak ZhâhirîHseperti fiqh Ibn , untuk mempelajari madzhab lain
Isybîlî ketika masih -aqq alH- dari ‘Abd altsîadHIbn ‘Arabî mempelajari
aqq mengijazahkan semua karangannya dalam cabang H-‘Abd al. bermukim di Sevilla
dari Yunûs bin îrâBukh- alhîhShaIa mempelajari . kepada Ibn ‘ArabîtsîadHilmu
Tetapi 39.arastanîH-Shamad al-Abd al dari ‘ MuslimhîhShaâsyimî dan H-yâ alhYa
- dari tokoh lain seperti Ibn Shâ‘id al MuslimhîhShaia juga mempelajari , tampaknya
‘Arâwî.40
Kekeringan spiritual Ibn ‘Arabî mulai tercerahkan nuansa spiritual karena
‘ArabîIbn . Sevilla di îbî‘Ar-mad alh Ja‘far Aû Abdenganpertemuannya
menyebutkan bahwa al-‘Arîbî merupakan guru pertama yang ia temui dalam dunia
spiritual. Dalam pandangan Ibn ‘Arabî, al-‘Arîbî merupakan sosok yang menarik. Hal
ini dikarenakan al-‘Arîbî seorang yang buta huruf. Tetapi penjelasannya mengenai
teologi sangat memuaskan, karena tidak kering dari nuansa spiritual. 41
36 Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘, v. 1 h. 202-203. 37 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 55. 38 Claude Addas, Quest, h. 45. 39 Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘, v. 1 h. 203. 40 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 2 h. 452. 41 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 46.
Di antara tokoh yang sangat berpengaruh pada diri Ibn ‘Arabî selama di
Andalusia adalah Abû Ya‘qûb bin Yakhlûf al-Kûmî sahabat Abû Madyan. Ia
mengenal kitab Risâlah al-Qusyayrî untuk pertama kali ketika melakukan perjalanan
-ammad alh Tetapi ia mendapatkan ijazah kitab ini dari Mu42.dengan Abû Ya‘qûb
Bakrî.43 Walaupun telah mendapatkan nuansa spiritual dari al-‘Arîbî, tetapi Ibn ‘Arabî
belum mengenal literatur tasawuf kecuali setelah bertemu dengan Abû Ya‘qûb.
أA(@ ر?( /< ا/=(>;:ي و95 8 ه067 015 ر4" ا3 012 و/. أآ+ *() ر .و* ل /" ا*:أ... 5 ذا HI2 JIK16وG F;:ه وF آ1@ أدري /DE< ا/BC$ف
Di antara hal menarik yang aku temukan dari Abû Ya‘qûb adalah ketika aku belum mengenal kitab Risâlah al-Qusyayrî dan literatur lainnya, bahkan belum mengenal terminologi tasawuf... Ia berkata kepadaku bacalah
(kitab ini).
Kitab Risâlah merupakan kitab tasawuf yang sangat populer di kalangan
ulama. Kitab tasawuf tersebut ditulis oleh al-Qusyayrî (465 H.) berdasarkan akidah
Sunnî Asy‘ariyyah yang diyakininya. Al-Qusyayrî menulis kaedah teologi pada
permulaan kitab Risâlah.44 Hal ini yang menyebabkan al-Qusyayrî pernah diusir oleh
kelompok Mujassimah (antropomorfisme) dengan menghasut penguasa Naisapur.
Walaupun demikian, Ibn ‘Arabî menilai bahwa sikap al-Qusyayrî mengemukakan
kaedah teologi di permulaan kitabnya bertujuan untuk menghindari asumsi negatif
kaum teolog kapadanya dan para tokoh sufi.45
Selain belajar dari tokoh lelaki, ia juga tidak merasa sungkan untuk belajar
kepada tokoh perempuan seperti Fâthimah bint Abû al-Mutsannâ. Fâthimah
merupakan tokoh sufi perempuan di Sevilla. Ibn ‘Arabî adalah murid yang paling
42 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 49. 43 Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘, v. 1 h. 204. 44 Al-Qusyayrî, al-Risâlah al-Qusyayriyyah ed. Hânî al-Hajj, (Kairo: al-Tawfîqiyyah, t.t.), h.
22. 45 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 8 h. 287.
disayanginya. Hal ini dikarenakan ia belajar dengan sepenuh hati kepada Fâthimah.46
Ia menuturkan,
1T((" إA(( ي، آ ن(@ 6=(($ل 1RSTAF(" أM)N :));G ")I2 OP7))A +)95 7))Qن 6 0X)Tك ب:)CA0 وX)TRب Fإ ")I2 OP7)A 7)Qأ .Z15 5 ل$=CN ل /] ب9 ذاك =;NHN أG:ا04 5(+ دار_ وأهI(0 إF 5^9(7 ب(+ ا/T:ب(" و/(7ي و*(:ة N ،")12(\ذا
0IZب OPد "I2 OPد. Dia (Fâthimah) berkata: "Tidak ada orang yang membuat aku kagum melainkan si fulan; maksudnya adalah saya". Ada yang bertanya mengapa ia kagum, Fâthimah menjawab: "Hal ini dikarenakan kalian datang untuk belajar kepadaku, sedangkan pemikiran kalian masih di rumah dan keluarga kalian, kecuali Ibn ‘Arabî anakku dan penyejuk hatiku. Apabila belajar kepadaku, ia
datang dengan sepenuh hati".47
Pada masa ini juga, ia melakukan kunjungan ke pelbagai kota dan negara luar,
walaupun belum menetap di sana. Kesempatan berkunjung tersebut ia gunakan untuk
belajar kepada para ulama, seperti Ibn Basykawâl seorang pakar sejarah di Kordoba.48
Setelah itu, pada tahun 590 H. ia berkunjung ke kota Fez salah satu kota di Maroko,
sehingga bertemu dengan Abdullâh dan Ismâ‘îl bin Sawdakîn yang bakal menjadi
murid setianya. Pada tahun itu juga, ia berkunjung ke Tunisia. Di sana ia bertemu
dengan ‘Abd al-‘Azîz al-Qurasyî. Namun pada tahun 595, Ibn ‘Arabî kembali ke
Sevilla. Tahun ini merupakan masa wafat Ibn Rusyd, salah seorang tokoh intelektual
yang ia disenangi, sehingga ia menyempatkan menghadiri pemakamannya.49
Pada tahun 598 ia berkunjung untuk kedua kalinya ke Maroko, tetapi kembali
lagi pada tahun yang sama. Tidak ditemukan keterangan bahwa Ibn ‘Arabî telah
menikah pada masa kunjungan. Tetapi Addas mempunyai asumsi bahwa Ibn ‘Arabî
melakukan nikah kontrak.50
46 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 85. 47 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 85. 48 Ibn al-Maqarrî, Nafh, v. 2 h. 162. 49 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 235. 50 Claude Addas, Quest, h. 40.
It is perfectly possible that Ibn ‘Arabî only contracted a merriage after his arrival in the East...
Hal itu sangat memungkinan Ibn ‘Arabî melakukan nikah kontrak saja setelah sampai di Timur...51
Asumsi ini terkesan sangat berlebihan dan keliru, karena keadaan sosiologis di
sana tidak memungkinkan Ibn ‘Arabî melakukan hal itu. Hal ini dengan
mempertimbangkan teologi Sunnî dan madzhab fiqh (Mâlikî dan Zhâhirî) yang
berkembang luas di Andalusia dan Maroko. Sedangkan teologi Sunnî dan dua
madzhab fiqh tersebut dengan tegas mengharamkan nikah kontrak.
Setelah periode ini, tahun 598 yaitu setelah ibunya meninggal dunia, ia
melanjutkan perjalanan ke Marakez salah satu kota di Andalusia.52 Pada tahun yang
sama, ia berkunjung dan menetap sementara di Maroko, lalu meneruskan ke arah
Timur. Ibn al-Abbâr menginformasikan bahwa setiap kali Ibn ‘Arabî berkunjung ke
suatu daerah, ia selalu belajar dari para ilmuwan setempat.53 Oleh karena itu, di sela-
, etempat dari para ulama sijâzah banyak memperoleh ‘ArabîIbn sela kunjungannya
Hal ini 54 .îJawz-fizh Ibn alâH-al, kirâfizh Ibn ‘AsâH-al, îSalaf-fizh alâH-seperti al
tsîadHtokoh yang mendalami ilmu termasuk ‘Arabîmenunjukkan bahwa Ibn
langsung kepada tokoh ternama pada masanya. Di samping itu, mereka juga teolog
î adalah tokoh Sunnî yang teguh dengan akidah ahli Salaf-lA. Sunnîyang beraliran
kir merupakan tokoh yang paling kuat membela dan membuktikan â Ibn ‘As.adîtsH
n î Taby secara historis dalam kitabnyaîAsy‘ar-asan alH- alûAbteologi kebenaran
Kadzb al-Muftarî. Sedangkan Ibn al-Jawzî merupakan tokoh yang sangat keras
menentang teologi Mujassimah (antropomorfisme) dalam kitabnya Daf‘ al-Syubah.
Latar belakang ini merupakan bekal bagi Ibn ‘Arabî dalam mendalami pemikiran
51 Claude Addas, Quest, h. 40. 52 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 117. 53 Ibn al-Maqarrî, Nafh, v. 2 h. 263. 54 Ibn al-Maqarrî, Nafh, v. 2 h. 162.
kitab - tidak hanya mengajarkan kitabpara ulama tersebutIni dikarenakan . teologi
.kitab yang bernuansa teologis-tetapi juga kitab, dan hukumtsîadH
Selain tiga tokoh di atas, Ibn ‘Arabî sempat melakukan perdebatan teologis di
Fez dengan Abû ‘Abdillâh al-Kannânî teolog Asy‘ariyyah kenamaan di Maroko.
Mereka berdiskusi mengenai sifat Allah; apakah sebagai nisbah atau afiliasi (ziyâdah)
pada zat-Nya. Tukar pikiran tersebut mengarah kepada perbedaan yang tidak bisa
dikompromikan. Al-Kannânî bertahan dengan konsep teologi tersebut, tetapi ia juga
menyalahkan konsep Ibn ‘Arabî.55
Selain bertemu dengan para teolog Asy‘ariyyah, persentuhan pemikiran Ibn
‘Arabî dengan Mu‘tazilah juga terlihat sangat menarik. Dalam salah satu
penuturannya, ia menyebutkan pertemuan dengan Abû ‘Abdillâh bin Junayd seorang
tokoh Mu‘tazilah dari Qabrfîq satu wilayah dari kota Randah. Sebagaimana dalam
doktrin Mu‘tazilah, Abû ‘Abdillâh meyakini bahwa makhluk menciptakan
perbuatannya sendiri. Sedangkan dalam pandangan Ibn ‘Arabî, doktrin tersebut sangat
keliru. Oleh karena itu, ia mengajak Abû ‘Abdillâh berdiskusi agar meninggalkan
kekeliruan teologi yang dianutnya. Ibn ‘Arabî mampu mempengaruhinya dengan
menjelaskan interpretasi ayat al-rijâl qawwâmûn ‘alâ al-nisâ'.56
9IN رجa إ/H ب7I_ 5>;@ إ/H زA رN 06" بN _7I:دد06 وجa;9 أص^ ب0 c/ذ HI2 3ا :Z<N ل TNdا JIP "N 0Rهe5 +2.
Maka setelah ia (Abû ‘Abdillâh) kembali ke negerinya (Randa), aku pergi berkunjung ke sana. Setelah sampai di sana, aku kembali berdiskusi dengannya dan para pengikutnya agar meninggalkan madzhab teologi (mu‘tazilah) mengenai konsep penciptaan perbuatan. Ia bersyukur kepada
Allah terhadap penjelasanku tersebut.57
Hal ini mengindikasikan bahwa Ibn ‘Arabî telah mempelajari perdebatan
teologis antara Asy‘ariyyah dan Mu‘tazilah sebelum bertemu dengan Abû ‘Abdillâh
55 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 7 h. 33. 56 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 2 h. 372. 57 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 2 h. 372.
bin Junayd, sehingga dengan mudah memahami kekeliruan rekannya. Bahkan hal di
atas menunjukkan penguasaan Ibn ‘Arabî dalam memahami tema-tema penting
teologi Islam.
Setelah pelbagai kunjungan dilakukan pada periode ini, Ibn ‘Arabî berniat
melanjutkan perjalanan ke ia 598 pada tahun , Oleh karena itu. untuk menunaikan haji
dan tidak . H601m pada tahun âSy, .)H598 terutama Makkah tahun (zâijH, Mesir
pernah kembali lagi ke Andalusia.58
Sebelum menuju Syâm, ia berkunjung ke Makkah (598-599 H.) untuk
melaksanakan haji, Ibn ‘Arabî menyempatkan belajar dari beberapa tokoh seperti Abû
-Sunan alIa mempelajari . aramH-Isfahânî seorang imam di Maqâm al-Syujâ‘ al
Tirmidzî dari Abû Syujâ‘. Adapun Sunan Abû Dâwud dipelajarinya dari al-Burhân
Masa ini sangat 59.anâbilahH- seorang imam Maqâm alhFutû-Nahsr bin Abû al
berpengaruh kepada Ibn ‘Arabi dalam kecenderungannya terhadap metode mayoritas
y'raadîts daripada Hteolog Sunnî yang lebih memprioritaskan kedudukan
(pemikiran). Ia mengatakan seandainya ra'y lebih utama, maka pemikiran Nabi Saw
tentu lebih utama. Tetapi hal itu akan menyebabkan Nabi Saw tidak ma‘shûm,
sehingga rentan terhadap kesalahan. Ia menukil sebuah anekdot dari Qâdhî Abd al-
Wahhâb -Qâdhî Abd al. adîtsHhuran Azdî yang menunjukkan kelu-Wahhâb al
menceritakan bahwa ia melihat dalam mimpinya ada kitab-kitab yang ditinggikan dan
direndahkan tempatnya, lalu ia bertemu dengan seorang yang saleh yang telah
meninggal. Ia menanyakan tentang kitab yang ditinggikan dan direndahkan tersebut.
Orang yang saleh tersebut menjawab bahwa kitab yang ditinggikan adalah kitab
60.y'rasedangkan yang direndahkan adalah kitab , adîtsH
58 Ibn al-Maqarrî, Nafh, v. 2 h. 263. 59 Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘, v. 1 h. 203. 60 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v 5 h. 101.
Setelah melaksanakan haji, ia kembali melakukan perjalanan pada tahun 600
H., dari Makkah menuju Mosil (salah satu kota di Syâm) tahun 601 H., Baghdâd,
Kairo pada tahun 603 H., lalu ia kembali melaksanakan haji untuk kedua kalinya pada
tahun 604 H. Ia juga melakukan haji lagi pada tahun 611, lalu berkunjung ke Konya
pada tahun 612 H. lalu pegi ke Damaskus untuk pertama kali pada tahun 620. Setelah
itu menetap di Aleppo tahun 628. Namun kemudian, ia kembali ke Damaskus pada
tahun 629. Di kota ini ia menyebarkan ajarannya secara utuh sampai akhir hayatnya
Zakî yang -Dîn Ibn al-yi alhAktivitas Ibn ‘Arabî disokong oleh Qâdhî Mu. 638
bermadzhab al-Syâfi‘î dan berteologi Asy‘ariyyah. Ia wafat di rumah Qâdhî pada
malam Jum‘at 28 Rabî‘ al-Akhîr, dan dimakamkan di pemakaman Banî Zakî.61
Adapun mengenai kecerdasannya, potensi Ibn ‘Arabî telah terlihat ketika masa
kecilnya. Hal ini diakui oleh Ibn Rusyd filosof Muslim Peripatetik. Ia sendiri juga
Saat itu Ibn Rusyd . tâhûFut-almenceritakan pertemuannya dengan Ibn Rusyd dalam
merupakan Qâdhî di kota Kordoba. Ia menuturkan bahwa Ibn Rusyd terlihat senang
dengan pertemuan tersebut, terutama ketika mendengarkan penjelasan menarik yang
menunjukkan ketajaman paham yang dianugerahkan Allah kepada Ibn ‘Arabî. Pada
saat itu Ibn Rusyd sedang bersama para sahabatnya, sedangkan Ibn ‘Arabî masih
belum dewasa. Pada kesempatan lain, terkadang Ibn Rusyd meminta bertemu Ibn
‘Arabî dan ayahnya, dan terkadang sebaliknya. Ia juga menuturkan bahwa Ibn Rusyd
sangat bersyukur bisa bertemu dengannya, karena merasa mendapatkan pencerahan
spiritual. Tetapi ia sendiri memuji Ibn Rusyd dengan menyebutkannya sebagai
golongan arbâb al-fikr wa al-nazhr al-‘aqlî (tokoh pemikir logis) sebuah sanjungan
61 Muhammad bin Syâkir al-Katbî, Fawât al-Wafâyât, (Beirut: Dâr Shâder, t.t.), v. 3 h. 345.
bagi seorang ilmuwan. Ibn Rusyd wafat saat Ibn ‘Arabî telah dewasa, yaitu tahun 595
M. ketika kembali dari Maroko.62
Pertemuannya dengan Ibn Rusyd, sangat berarti bagi Ibn ‘Arabî dalam
memahami pemikiran filsafat dan teologi. Namun tidak ditemukan pengaruh Ibn
Justeru . ‘Arabî pada karangan Ibn îlâGhaz-mid alâH Abû mengritisiRusyd dalam
sebaliknya, Ibn ‘Arabî termasuk orang yang melakukan pembelaan terhadap al-
‘ArabîIbn . âbunâhhas atau kasyf-ib alhâshsehingga menyebutnya sebagai , Ghazâlî
sebagai tokoh yang âthFutû-alkali dalam kitabnya 18 lebih dari Ghazâlî-almenyebut
Adapun sanggahannya terhadap .ia bela dan terima konsep pemikirannyacenderung
Hal ini karena . r Ahlihiy Ghaân ‘alûMadhnditujukan pada isi kitab , mâIsl-ujjah alH
al-Ghazâlî mencoba memahami Allah melalui pendekatan logika.63 Besar
kemungkinan kitab tersebut dikarang al-Ghazâlî sebelum menjadi sufi. Sedangkan, di
Ghazâlî - ia merasa keberatan dengan pandangan teologi alikamH- alhsûFushdalam
yang berpendapat bahwa Allah bisa dikenal tanpa memikirkan alam semesta.64 Dua
kritikan ini terkesan kontradiktif, tetapi hal tersebut merupakan bukti bahwa Ibn
‘Arabî sangat tertarik pada permasalahan teologi.
Namun demikian, ketokohan al-Ghazâlî terlihat berpengaruh pada pemikiran
teologis Ibn ‘Arabî. Hal menarik dari sikap Ibn ‘Arabî dalam hal ini adalah ketika
memandang al-Ghazâlî bukan sebagai seorang tokoh Asy‘ariyyah, tetapi sebagai
pembangun teologi sufi. Ide-ide al-Ghazâlî sangat berpengaruh pada ‘Arabî dalam
beberapa tema teologi, di antaranya mengenai konsep tajsîm dan tanzîh, kritikan
terhadap kelompok kebatinan, dan kenabian. Dalam tema-tema kesufian, Ibn ‘Arabî
sering mengutip dan mengembangkan pandangan al-Ghazâlî, seperti pembahasan
Adapun . asipenciptaan Âdam dan kontempl, zuhud, ayrahhmengenai maqâm
62 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 235. 63 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 6 h. 248. 64 Ibn ‘Arabî, Fushûsh al-Hikam, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 2003) h. 67.
pernah dilakukannya ketika ) 'yâhIseperti (Ghazâlî -pembacaannya terhadap karya al
65.Tilmisânî-Shadafî al-ammad bin Khâlid alhdi Makkah melalui bimbingan Mu
Selain al-Ghazâlî, karya-karya al-Juwaynî dan al-Isfaraynî yang berteologi
Asy‘ariyyah tampak mempengaruhi Ibn ‘Arabî. Pembacaan terhadap karya-karya
tersebut bisa dipastikan pernah dilakukan Ibn ‘Arabî, karena teologi Asy‘ariyyah
merupakan aliran yang paling populer di Andalusia pada saat itu dan karya-karya
mereka merupakan rujukan utama dalam teologi Asy‘ariyyah.66 Hal ini terbukti
dengan penukilan pemikiran mereka yang sering menghiasi kajian teologis Ibn ‘Arabî
. merekamengritisiya untuk hal ini tidak menghalangin, Namun. âthFutû-aldalam
Selain tokoh klasik, Ibn ‘Arabî pernah menulis Risâlah yang berisi nasehat
untuk tokoh semasa, yaitu Fakhr al-Râzî (w. 606) seorang teolog Asy‘ariyyah ulung
dan interpretator terkenal pada masa tersebut. Di dalam Risâlah ia menyatakan telah
membaca banyak karangan Fakhr al-Râzî, terutama dalam masalah teologis.67 Selain
, banyak menulis karya yang bernuansa teologisRâzî-al, Ghayb- alhîtâMaftafsir
seperti Asâs al-Taqdîs. Kitab tersebut merupakan kritikan teologis al-Râzî terhadap
Mujassimah yang mengabaikan aspek tanzîh pada sifat Allah. Selain itu, al-Râzî
sangat aktif mengritisi teologi Râfidhah (kolompok Syî‘ah yang menghina khalifah
sebelum ‘Alî bin Abî Thâlib). Pembacaan terhadap karangan al-Râzî, mendorong Ibn
. Khathîb- dengan sebutan Ibn alâthFutû-al‘Arabî untuk menukil pemikirannya dalam
Penyebutan tersebut sering ditemui ketika ia membicarakan konsep ilmu; salah satu
tema teologis yang menjadi objek kritikan Ibn ‘Arabî terhadap para teolog dan
filosof.68
65 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 8 h. 386. 66 Claude Addas, Quest, h. 103. 67 Ibn ‘Arabî, Risâlah al-Syaykh al-Akbar ilâ Fakhr al-Râzî ed. Abd al-Rahmân Hasan
Mahmûd, (Kairo: ‘Âlam al-Fikr, t.t.), h. 10. 68 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 247, 383, v 4 h. 480.
Dalam menanggapi hal ini, Claude Addas lebih cenderung menilai bahwa
tidak ada alasan untuk menyangkal hubungan antara al-Râzî dan Ibn ‘Arabî. Hal ini
dikarenakan isi Risâlah yang ditulis Ibn ‘Arabî memang diperuntukkan bagi al-Râzî.
Namun Addas belum berani memastikan seratus persen.69 Apabila diperhatikan masa
hidup mereka, maka sangat mungkin terjadi interaksi, walaupun tidak ada keterangan
mereka bertemu. Dalam hal ini, penulis menemukan dua petunjuk mengenai interaksi
Risâlah Ibn ‘Arabî memang mengakui bahwa, Pertama. âthûFut-almereka dalam
tersebut diperuntukkan untuk al-Râzi. Tetapi ia menyebutnya dengan Risâlah al-
h âRisal menyebutnya âyhn Yaâ Sedangkan Addas dengan mengutip ‘Utsm70.qâAkhl
fi Wujûh al-Qalb.71 Ia tentu menulisnya ketika al-Râzi masih hidup, karena tidak
mungkin seseorang menyurati yang telah mati. Ia menuturkan sebagaimana berikut.
ا?N _ 1;N$C" ر? /< اMPdق ا/C" آ1RC ب] /fEI: 5^9(7 ب(+ 92(: ب(+ .g;KP ا/:ي ر09Q ا3
Kami menyempurnakan (pembahasan tentang etika) di dalam Risâlah
ammad bin ‘Umar bin Khathîb hFakhr Mu- yang kami tulis untuk alAkhlâq-al
dari kota Rayy (Persia).72
Kedua, ia pernah bertemu dengan al-Rasyîd al-Farghânî murid al-Râzi.73
Besar kemungkinan Ibn ‘Arabî menulis Risâlah tersebut setelah haji yang pertama
(599 H.), karena ia sebelumnya tidak pernah ke daratan Syâm kecuali setelah masa
itu. Sedangkan interaksinya dengan al-Râzi, hanya mungkin terjadi setelah
kunjungannya ke Syâm (601), yaitu lima tahun sebelum al-Râzi wafat. Interaksi
tersebut tentu memberi pengaruh yang besar pada pandangan teologi Ibn ‘Arabî.
Terlepas dari hal di atas, perjalanan ilmiah Ibn ‘Arabî tersebut menunjukkan
, baik yang berkaitan dengan teologi, bahwa ia sangat akrab dengan dunia intelektual
69 Claude Addas, Quest, h. 104. 70 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 365. 71 Claude Addas, Quest, h. 104. 72 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 365. 73 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 191, fashl fî shalâh al-Istisqâ'.
Hal ini terlihat dari sekian banyak tokoh yang . sastra dan tasawuf, adîtsH, hukum
menjadi guru dan sahabat Ibn ‘Arabî. Mayoritas mereka adalah berteologi Sunnî. Hal
ini terlihat dari kitab-kitab yang mereka ajarkan dan ijazahkan. Ini tentu
mempengaruhi konsep teologis yang diterapkan Ibn ‘Arabî dalam pelbagai
karangannya.
B. Karya Tulis Ibn ‘Arabî
-Ibn ‘Arabî merupakan tokoh intelektual yang sangat aktif menulis gagasan-
gagasan menarik yang diperolehnya. Hal ini terlihat dari karangan Ibn ‘Arabî yang
yâ dari Aleppo menyimpulkan bahwa ada sekitar hUtsmân Ya. Prof. luar biasa banyak
846 karya Ibn ‘Arabî.74 Di antara karyanya ada yang berbentuk kitab, risâlah, sya‘ir,
dan wasiat.
- alâthFutû-alyang sangat luar biasa adalah , Di antara karya tersebut
) penyingkapan spiritual (hfutuKarya tersebut ditulis saat ia mendapatkan . Makkiyyah
ketika ia berkunjung di Makkah. Oleh karena itu, ia memberi judul dengan
.Makkiyyah- alâthFutû-alatau " Penyingkapan Spiritual Periode Makkah"
. tidak hanya mengemukakan permasalahan kesufian âthFutû-alkitab , Namun
Justeru Ibn ‘Arabî memulai kitab tersebut dengan kajian teologis sebagai dasar
pijakan ajaran spiritual. Hal ini terlihat dengan cara Ibn ‘Arabî mengemukakan empat
hierarki teologis umat Islam. Ia menyebutkan akidah orang awam sebagai akidah
dasar umat Islam. Setelah itu, ia mengemukakan akidah ahli kalâm yang ia sebut
dengan teologi al-Syâdiyyah. Akidah awam dan al-Syâdiyyah merupakan
implementasi dari pemahaman Ibn ‘Arabî terhadap teologi Sunnî Asy‘ariyyah.
Namun ketika ia berbicara pada hierarki ketiga dan keempat, Ibn ‘Arabî membedakan
74 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 118.
tokoh madzhab -tokoh (âbunâhash dianut kalangan sufi dengan sebutan teologi yang
kami) sebagai perbedaan identitas dengan Mu‘tazilah dan Asy‘ariyyah.75
Di samping itu, al-Sya‘rânî menilai kitab tersebut merupakan literatur yang
paling komprehensif mengenai tasawuf. Bahkan, kitab tersebut mencakup pelbagai
rahasia mengenai syariat Islam dan penjelasan mengenai dinamika pemikiran para
intelektual Muslim. Al-Sya‘rânî menambahkan bahwa jika kitab itu dibaca seorang
ahli hukum maka ilmunya akan bertambah. Begitu juga jika seorang ahli interpretator,
maka wawasannya akan , dan ahli ilmu lainnya membaca kitab itu, tsîadHahli , teolog
bertambah luas.76
Kitab ini . ikamH- alFushûshyaitu , ia mempunyai karya utama, Selain itu
sejak Nabi Âdam sampai , merupakan kajian Ibn ‘Arabî terhadap maqâm kenabian
Hal ini dikarenakan ia . ammad Saw dengan jumlah duapuluh tujuh nabihNabi Mu
menambahkan Nabi Uzayr dan Khâlid bin Sinân. Pembahasan yang dikemukakannya
mencakup aspek teologis dan kesufian. Karangan ini dianggap sebagian orang sebagai
kesimpulan utama ajaran Ibn ‘Arabî.
Adapun mengenai perjalanan ilmiah sebelum ia ke daerah Timur Tengah, Ibn
nama tokoh -ia menyebutkan daftar nama, Di dalamnya. Quds- alhRû‘Arabî menulis
yang pernah menjadi sumber inspirasi intelektual dan spiritual. Ia juga menulis kitab
Nabhânî-Yûsuf al. idhTaw- alîdah fî‘Aqenai teologi Islam dengan judul khusus meng
menyebut kitab ini dengan judul ‘Aqâ'id ‘Ilm al-Kalâm. Sedangkan Ibn Syâkir al-
Katbî menyebutnya dengan judul ‘Aqîdah Ahl al-Sunnah. Permasalahan yang
ip dengan akidah awam yang dikemukakan dikemukakan di dalamnya sangat mir
Hal ini menguatkan asumsi bahwa Ibn ‘Arabî menguasai teologi .âthFutû-aldalam
75 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 5 h. 312. 76 Al-Sya‘rânî, al-Kibrît al-Ahmar, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), h. 7.
Islam. Kitab lain yang menjadi sorotan utama adalah al-Tanazzulât al-Laylah. Kitab
ini berisi tema-tema penting dalam permasalahan teologis dan tasawuf falsafi.
Yûsuf al-Nabhânî menyebutkan karangan lainnya seperti al-Risâlah wa al-
Nubuwwah wa al-Ma‘rifah wa al-Wilâyah mengenai konsep kenabian dan kewalian
dari sisi teologis dan kesufian.77
77 Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘, v. 1 h. 208.
BAB II
BIOGRAFI IBN ‘ARABÎ SEBAGAI SEORANG TEOLOG
A. Perkembangan Intelektual
ammad bin h bin Muîammad bin ‘Alh Mu‘Arabî adalahIbn lengkap ama N
AbûIa digelari dengan . îsûlaAnd- alâ’îTh- alîtimâH- al‘Arabî-h alâmad bin AbdullhA
alif dengan tambahan atau‘Arabî Ibn Dîn-yi alhMupopuler dengan nama Ia . Bakr
lam; Ibn al-‘Arabî.78 Ibn Katsîr seorang sejarawan Muslim abad ke-8 menyebutkan
tanpa alif lam pada kata ‘Arabî, dan gelarnya adalah Abû ‘Abdillâh.79 Hal ini
menunjukkan bahwa penamaan Ibn ‘Arabî atau Ibn al-‘Arabî digunakan oleh para
Syaykh -al Selain itu ia juga dikenal sebutan. îammad bin ‘Alhsejarawan terhadap Mu
al-Akbar Ibn ‘Arabî al-Shûfî. Gelar kehormatan tersebut membedakannya dengan
madzhab fiqh dan tsîadH seorang ahli .)H543 (Ma‘afirî -‘Arabî al-al Ibn Qâdhî
Mâlikî.
Selain itu, penisbahan nama Ibn ‘Arabî mengisyaratkan bukan kepada
ayahnya, tetapi kepada ‘Abdullâh al-‘Arabî empat generasi di atasnya. Ibn ‘Arabî
Bani Thayy (â’î Th-al timâHmengakui bahwa dirinya masih keturunan ‘Abdullah bin
dari Yaman) salah seorang sahabat Nabi Saw. Ini salah satu faktor yang menyebabkan
ia dan keluarganya mendapatkan strata sosial yang tinggi di Andalusia. Pengakuan ini
dinilai Claude Addas tidak berlebihan, karena bisa ditinjau dari sisi historis imigran
khalifah .) H172 (mân I hRa-Proses imigrasi pernah terjadi pada masa ‘Abd al. Arab
Umayyah II di Andalusia. Addas menyebutkan bahwa para imigran berasal dari Syria
dan Yaman. Mereka membentuk kelompok-kelompok keluarga besar (buyûtât) di
semenanjung Iberian. Sebagian mereka ada yang menetap di kota Jaén, Baza dan
78 Ibn Hajr, Lisân al-Mîzân, (Beirut: Mu'assasah al-A‘lamî, 1986), v. 5 h. 311. 79 Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, (Kairo: Dâr Ibn al-Haytsam, 2006), v. 13 h. 90.
Tijola. Kota tersebut merupakan bagian selatan dari wilayah Murcia; kota kelahiran
Ibn ‘Arabî.80
Ibn ‘Arabî lahir pada malam Senin 17 Ramadhan tahun 560 H. (1160 M.) di
kota Murcia bagian selatan Spanyol. Ia dilahirkan dari seorang ayah yang ahli dalam
Ayahnya . dan tasawuf, tsîadH, fiqhseperti , pelbagai cabang ilmu keislaman
di Andalusia yang berteologi âdhîmad merupakan salah seorang qhammad bin AhMu
Selain sebagai . penguasaAyahnya termasuk orang yang dihormati oleh pihak. Sunnî
Ibn . mad juga merupakan guru pertama di keluarganyahammad bin AhMu, ayah
‘Arabî dididik dengan baik dan dipertemukan oleh ayahnya dengan banyak tokoh
intelektual pada masa tersebut.
Setelah itu, ia berpindah ke Sevilla pada tahun 568 H., lalu menetap selama 30
Sevilla dipimpin oleh Sulthân , Pada masa itu. H598 /587 sampai tahun ,tahun
memasuki ‘Arabîperiode pertama Ibn Masa ini merupakan. ammad bin Sa‘dhMu
dunia intelektual, walaupun ia masih berumur tujuh tahun.81
Ibn ‘Arabî mempunyai sangat banyak guru dalam pelbagai disiplin ilmu. Ia
- alhûRmenyebutkan sekitar limapuluh lima tokoh di antara guru spiritual di dalam
tokoh yang menjadi -ia hanya menyebutkan tokoh, hûR Di dalam kitab 82.Quds
gurunya pada periode pertama, yaitu ketika masih di Andalusia dan Maroko. Tetapi
Tetapi ia menulisnya ketika melakukan . ditulis pada masa tersebuthûRbukan berarti
haji yang pertama atau setelahnya. Hal ini dikarenakan ia menyebutkan beberapa
kejadian saat berkunjung dan mengajar di Makkah.83 Sedangkan haji yang pertama
80 Claude Addas, Quest for The Red Sulphur, (Cambridge: The Islamic Texs Society, 1993), h.
45. 81 Ibn al-Maqarrî al-Tilmisânî, Nafh al-Thîb min Ghishn al-Andalûs al-Thayyib, (Beirut: Dâr
Shader, 1997), v. 2 h. 161. 82 Ibn ‘Arabî, Rûh al-Quds, (Damaskus: Mu'assasah al-‘Ilm, 1964), h. 84. 83 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 9 dan 12.
dilakukannya pada periode kedua (pasca Andalusia dan Maroko) tahun 599 H.84,
sehingga mustahil ia menceritakan perihal Makkah ketika periode pertama.
Di samping itu, ia menyebutkan tokoh yang berbeda sekitar tujuhpuluh nama,
, ât'qiraDi antara mereka ada yang ahli . ketika mengijazahkan Sulthân Muzhaffar
Claude Addas memperkirakan 85.dan lainnya, sejarah, tsîadH, teologi, fiqh
pengijazahan tersebut dilakukan sekitar tahun 632 H. ketika telah menetap di
Damaskus. Tetapi, Addas mengingatkan bahwa jumlah (sekitar 70 tokoh) tersebut
bisa jadi belum mencakup semua guru Ibn ‘Arabî. Ini dikarenakan masa itu adalah
setelah ia berumur tujuhpuluh, sehingga mungkin terjadi kelupaan.86
Namun, penelitian Addas berhasil mengumpulkan jumlah guru Ibn ‘Arabî
berdasarkan dua bagian selama periode Andalusia. Lebih dari enampuluh tokoh yang
menjadi guru Ibn ‘Arabî pada periode 565 sampai 585 H. yang kebanyakan
berdomisili di Kordoba. Sedangkan pada periode 585 sampai 610 H. terdapat seratus
tokoh yang kebanyakan berdomisili di Sevilla. Addas menjelaskan bahwa semua
-dan al, fiqh, adîtsHi disiplin ilmu tradisional seperti jumlah itu mencakup pelbaga
Qur’ân, bahkan juga termasuk disiplin ilmu sastra, bahasa, dan teologi.87
Dalam hal ini, sejarawan klasik Ibn al-Maqarrî pernah memberikan sebagian
perincian daftar nama guru Ibn ‘Arabî. Sebagaimana tokoh Muslim lainnya, Ibn
‘Arabî memulai dengan mempelajari dan mendalami al-Qur’ân. Di Sevilla, Ibn ‘Arabî
mendapatkan ijâzah (sertifikasi) dari banyak ulama dalam pelbagai cabang ilmu.88 Di
antara tokoh yang menjadi tempat Ibn ‘Arabî mendalami al-Qur’ân adalah Abû Bakr
Ra‘înî -ammad alh anak dari Muhasan SyurayH-Abû al, sab‘ahâ’ahqirLakhmî ahli -al
penulis kitab al-Kâfî dalam ilmu qirâ’ah, dan Abû al-Qâsim al-Syarrâth. Selain kitab
84 Ibn al-Maqarrî, Nafh, v. 2 h. 263. 85 Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘ Karâmât al-Awliyâ’, (Beirut: Dâr al-Fikr, 2005), v. 1 h. 202. 86 Claude Addas, Quest, h. 96. 87 Claude Addas, Quest, h. 94. 88 Ibn al-Maqarrî, Nafh, v. 2 h. 161.
Muqrî dan -ammad alh karangan Abû MurahîTabsh-alia mempelajari kitab , îfâK-al
kitab al-Taysîr karangan Abû ‘Amr bin Abû Sa‘îd al-Dânî.89 Ia mempelajari fiqh
90.hîfaqammad bin Qasûm seorang sufi dan hhab Mâlikî kepada Mudengan madz
Bahkan Claude Addas menegaskan bahwa semua guru spiritual Ibn ‘Arabî di
Andalusia bermadzhab Mâlikî. Hal ini tidaklah mengherankan karena Mâlikî
merupakan madzhab mayoritas di Andalusia. Tetapi hal itu tidak menghalanginya
91.azm yang bercorak ZhâhirîHseperti fiqh Ibn , untuk mempelajari madzhab lain
ketika masih Isybîlî-aqq alH- dari ‘Abd altsîadHIbn ‘Arabî mempelajari
aqq mengijazahkan semua karangannya dalam cabang H-‘Abd al. bermukim di Sevilla
dari Yunûs bin îrâBukh- alhîhShaIa mempelajari . kepada Ibn ‘ArabîtsîadHilmu
Tetapi 92.arastanîH-Shamad al- dari ‘Abd al MuslimhîhShaâsyimî dan H-yâ alhYa
- dari tokoh lain seperti Ibn Shâ‘id al MuslimhîhShaia juga mempelajari , tampaknya
‘Arâwî.93
Kekeringan spiritual Ibn ‘Arabî mulai tercerahkan nuansa spiritual karena
‘ArabîIbn . Sevilla di îbî‘Ar-mad alh Ja‘far Aû Abdenganpertemuannya
menyebutkan bahwa al-‘Arîbî merupakan guru pertama yang ia temui dalam dunia
spiritual. Dalam pandangan Ibn ‘Arabî, al-‘Arîbî merupakan sosok yang menarik. Hal
ini dikarenakan al-‘Arîbî seorang yang buta huruf. Tetapi penjelasannya mengenai
teologi sangat memuaskan, karena tidak kering dari nuansa spiritual. 94
Di antara tokoh yang sangat berpengaruh pada diri Ibn ‘Arabî selama di
Andalusia adalah Abû Ya‘qûb bin Yakhlûf al-Kûmî sahabat Abû Madyan. Ia
mengenal kitab Risâlah al-Qusyayrî untuk pertama kali ketika melakukan perjalanan
89 Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘, v. 1 h. 202-203. 90 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 55. 91 Claude Addas, Quest, h. 45. 92 Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘, v. 1 h. 203. 93 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 2 h. 452. 94 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 46.
-ammad alh Tetapi ia mendapatkan ijazah kitab ini dari Mu95.dengan Abû Ya‘qûb
Bakrî.96 Walaupun telah mendapatkan nuansa spiritual dari al-‘Arîbî, tetapi Ibn ‘Arabî
belum mengenal literatur tasawuf kecuali setelah bertemu dengan Abû Ya‘qûb.
و95 8 ه067 015 ر4" ا3 012 و/. أآ+ *() رأA(@ ر?( /< ا/=(>;:ي .و* ل /" ا*:أ... 5 ذا HI2 JIK16وG F;:ه وF آ1@ أدري /DE< ا/BC$ف
Di antara hal menarik yang aku temukan dari Abû Ya‘qûb adalah ketika aku belum mengenal kitab Risâlah al-Qusyayrî dan literatur lainnya, bahkan belum mengenal terminologi tasawuf... Ia berkata kepadaku bacalah
(kitab ini).
Kitab Risâlah merupakan kitab tasawuf yang sangat populer di kalangan
ulama. Kitab tasawuf tersebut ditulis oleh al-Qusyayrî (465 H.) berdasarkan akidah
Sunnî Asy‘ariyyah yang diyakininya. Al-Qusyayrî menulis kaedah teologi pada
permulaan kitab Risâlah.97 Hal ini yang menyebabkan al-Qusyayrî pernah diusir oleh
kelompok Mujassimah (antropomorfisme) dengan menghasut penguasa Naisapur.
Walaupun demikian, Ibn ‘Arabî menilai bahwa sikap al-Qusyayrî mengemukakan
kaedah teologi di permulaan kitabnya bertujuan untuk menghindari asumsi negatif
kaum teolog kapadanya dan para tokoh sufi.98
Selain belajar dari tokoh lelaki, ia juga tidak merasa sungkan untuk belajar
kepada tokoh perempuan seperti Fâthimah bint Abû al-Mutsannâ. Fâthimah
merupakan tokoh sufi perempuan di Sevilla. Ibn ‘Arabî adalah murid yang paling
disayanginya. Hal ini dikarenakan ia belajar dengan sepenuh hati kepada Fâthimah.99
Ia menuturkan,
آ ن(@ 6=(($ل 1RSTAF(" أM)N :));G ")I2 OP7))A +)95 7))Qن 1T6((" إA(( ي، 0X)Tك ب:)CA0 وX)TRب Fإ ")I2 OP7)A 7)Qأ .Z15 5 ل$=CN ل /] ب9 ذاك =;N
95 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 49. 96 Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘, v. 1 h. 204. 97 Al-Qusyayrî, al-Risâlah al-Qusyayriyyah ed. Hânî al-Hajj, (Kairo: al-Tawfîqiyyah, t.t.), h.
22. 98 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 8 h. 287. 99 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 85.
HN أG:ا04 5(+ دار_ وأهI(0 إF 5^9(7 ب(+ ا/T:ب(" و/(7ي و*(:ة N ،")12(\ذا 2 OP0دIZب OPد "I.
Dia (Fâthimah) berkata: "Tidak ada orang yang membuat aku kagum melainkan si fulan; maksudnya adalah saya". Ada yang bertanya mengapa ia kagum, Fâthimah menjawab: "Hal ini dikarenakan kalian datang untuk belajar kepadaku, sedangkan pemikiran kalian masih di rumah dan keluarga kalian, kecuali Ibn ‘Arabî anakku dan penyejuk hatiku. Apabila belajar kepadaku, ia
datang dengan sepenuh hati".100
Pada masa ini juga, ia melakukan kunjungan ke pelbagai kota dan negara luar,
walaupun belum menetap di sana. Kesempatan berkunjung tersebut ia gunakan untuk
belajar kepada para ulama, seperti Ibn Basykawâl seorang pakar sejarah di
Kordoba.101 Setelah itu, pada tahun 590 H. ia berkunjung ke kota Fez salah satu kota
di Maroko, sehingga bertemu dengan Abdullâh dan Ismâ‘îl bin Sawdakîn yang bakal
menjadi murid setianya. Pada tahun itu juga, ia berkunjung ke Tunisia. Di sana ia
bertemu dengan ‘Abd al-‘Azîz al-Qurasyî. Namun pada tahun 595, Ibn ‘Arabî
kembali ke Sevilla. Tahun ini merupakan masa wafat Ibn Rusyd, salah seorang tokoh
intelektual yang ia disenangi, sehingga ia menyempatkan menghadiri
pemakamannya.102
Pada tahun 598 ia berkunjung untuk kedua kalinya ke Maroko, tetapi kembali
lagi pada tahun yang sama. Tidak ditemukan keterangan bahwa Ibn ‘Arabî telah
menikah pada masa kunjungan. Tetapi Addas mempunyai asumsi bahwa Ibn ‘Arabî
melakukan nikah kontrak.103
It is perfectly possible that Ibn ‘Arabî only contracted a merriage after his arrival in the East...
Hal itu sangat memungkinan Ibn ‘Arabî melakukan nikah kontrak saja setelah sampai di Timur...104
100 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 85. 101 Ibn al-Maqarrî, Nafh, v. 2 h. 162. 102 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 235. 103 Claude Addas, Quest, h. 40. 104 Claude Addas, Quest, h. 40.
Asumsi ini terkesan sangat berlebihan dan keliru, karena keadaan sosiologis di
sana tidak memungkinkan Ibn ‘Arabî melakukan hal itu. Hal ini dengan
mempertimbangkan teologi Sunnî dan madzhab fiqh (Mâlikî dan Zhâhirî) yang
berkembang luas di Andalusia dan Maroko. Sedangkan teologi Sunnî dan dua
madzhab fiqh tersebut dengan tegas mengharamkan nikah kontrak.
Setelah periode ini, tahun 598 yaitu setelah ibunya meninggal dunia, ia
melanjutkan perjalanan ke Marakez salah satu kota di Andalusia.105 Pada tahun yang
sama, ia berkunjung dan menetap sementara di Maroko, lalu meneruskan ke arah
Timur. Ibn al-Abbâr menginformasikan bahwa setiap kali Ibn ‘Arabî berkunjung ke
suatu daerah, ia selalu belajar dari para ilmuwan setempat.106 Oleh karena itu, di sela-
, dari para ulama setempatijâzah banyak memperoleh ‘ArabîIbn sela kunjungannya
l ini Ha107 .îJawz-fizh Ibn alâH-al, kirâfizh Ibn ‘AsâH-al, îSalaf-fizh alâH-seperti al
tsîadHtokoh yang mendalami ilmu termasuk ‘Arabîmenunjukkan bahwa Ibn
langsung kepada tokoh ternama pada masanya. Di samping itu, mereka juga teolog
î adalah tokoh Sunnî yang teguh dengan akidah ahli Salaf-lA. Sunnîyang beraliran
kir merupakan tokoh yang paling kuat membela dan membuktikan â Ibn ‘As.adîtsH
n î Taby secara historis dalam kitabnyaîAsy‘ar-asan alH- alûAbteologi kebenaran
Kadzb al-Muftarî. Sedangkan Ibn al-Jawzî merupakan tokoh yang sangat keras
menentang teologi Mujassimah (antropomorfisme) dalam kitabnya Daf‘ al-Syubah.
Latar belakang ini merupakan bekal bagi Ibn ‘Arabî dalam mendalami pemikiran
kitab - tidak hanya mengajarkan kitabpara ulama tersebutIni dikarenakan . teologi
.logiskitab yang bernuansa teo-tetapi juga kitab, dan hukumtsîadH
Selain tiga tokoh di atas, Ibn ‘Arabî sempat melakukan perdebatan teologis di
Fez dengan Abû ‘Abdillâh al-Kannânî teolog Asy‘ariyyah kenamaan di Maroko.
105 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 117. 106 Ibn al-Maqarrî, Nafh, v. 2 h. 263. 107 Ibn al-Maqarrî, Nafh, v. 2 h. 162.
Mereka berdiskusi mengenai sifat Allah; apakah sebagai nisbah atau afiliasi (ziyâdah)
pada zat-Nya. Tukar pikiran tersebut mengarah kepada perbedaan yang tidak bisa
dikompromikan. Al-Kannânî bertahan dengan konsep teologi tersebut, tetapi ia juga
menyalahkan konsep Ibn ‘Arabî.108
Selain bertemu dengan para teolog Asy‘ariyyah, persentuhan pemikiran Ibn
‘Arabî dengan Mu‘tazilah juga terlihat sangat menarik. Dalam salah satu
penuturannya, ia menyebutkan pertemuan dengan Abû ‘Abdillâh bin Junayd seorang
tokoh Mu‘tazilah dari Qabrfîq satu wilayah dari kota Randah. Sebagaimana dalam
doktrin Mu‘tazilah, Abû ‘Abdillâh meyakini bahwa makhluk menciptakan
perbuatannya sendiri. Sedangkan dalam pandangan Ibn ‘Arabî, doktrin tersebut sangat
keliru. Oleh karena itu, ia mengajak Abû ‘Abdillâh berdiskusi agar meninggalkan
kekeliruan teologi yang dianutnya. Ibn ‘Arabî mampu mempengaruhinya dengan
menjelaskan interpretasi ayat al-rijâl qawwâmûn ‘alâ al-nisâ'.109
a;9دد06 وج:N _7Iب "N 06ر Aز H/7_ 5>;@ إIب H/إ a9 رجIN 0أص^ ب c/ذ HI2 3ا :Z<N ل TNdا JIP "N 0Rهe5 +2.
Maka setelah ia (Abû ‘Abdillâh) kembali ke negerinya (Randa), aku pergi berkunjung ke sana. Setelah sampai di sana, aku kembali berdiskusi dengannya dan para pengikutnya agar meninggalkan madzhab teologi (mu‘tazilah) mengenai konsep penciptaan perbuatan. Ia bersyukur kepada
Allah terhadap penjelasanku tersebut.110
Hal ini mengindikasikan bahwa Ibn ‘Arabî telah mempelajari perdebatan
teologis antara Asy‘ariyyah dan Mu‘tazilah sebelum bertemu dengan Abû ‘Abdillâh
bin Junayd, sehingga dengan mudah memahami kekeliruan rekannya. Bahkan hal di
atas menunjukkan penguasaan Ibn ‘Arabî dalam memahami tema-tema penting
teologi Islam.
108 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 7 h. 33. 109 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 2 h. 372. 110 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 2 h. 372.
Setelah pelbagai kunjungan dilakukan pada periode ini, Ibn ‘Arabî berniat
melanjutkan perjalanan ke ia 598 pada tahun , Oleh karena itu. untuk menunaikan haji
dan tidak . H601m pada tahun âSy, .)H598 terutama Makkah tahun (zâijH, Mesir
pernah kembali lagi ke Andalusia.111
Sebelum menuju Syâm, ia berkunjung ke Makkah (598-599 H.) untuk
melaksanakan haji, Ibn ‘Arabî menyempatkan belajar dari beberapa tokoh seperti Abû
-Sunan alIa mempelajari . aramH-Isfahânî seorang imam di Maqâm al-Syujâ‘ al
Tirmidzî dari Abû Syujâ‘. Adapun Sunan Abû Dâwud dipelajarinya dari al-Burhân
Masa ini sangat 112.anâbilahH- seorang imam Maqâm alhFutû-Nahsr bin Abû al
berpengaruh kepada Ibn ‘Arabi dalam kecenderungannya terhadap metode mayoritas
y'raadîts daripada Hnî yang lebih memprioritaskan kedudukan teolog Sun
(pemikiran). Ia mengatakan seandainya ra'y lebih utama, maka pemikiran Nabi Saw
tentu lebih utama. Tetapi hal itu akan menyebabkan Nabi Saw tidak ma‘shûm,
sehingga rentan terhadap kesalahan. Ia menukil sebuah anekdot dari Qâdhî Abd al-
Wahhâb -Qâdhî Abd al. adîtsHAzdî yang menunjukkan keluhuran -Wahhâb al
menceritakan bahwa ia melihat dalam mimpinya ada kitab-kitab yang ditinggikan dan
direndahkan tempatnya, lalu ia bertemu dengan seorang yang saleh yang telah
meninggal. Ia menanyakan tentang kitab yang ditinggikan dan direndahkan tersebut.
Orang yang saleh tersebut menjawab bahwa kitab yang ditinggikan adalah kitab
113.y'rasedangkan yang direndahkan adalah kitab , adîtsH
Setelah melaksanakan haji, ia kembali melakukan perjalanan pada tahun 600
H., dari Makkah menuju Mosil (salah satu kota di Syâm) tahun 601 H., Baghdâd,
Kairo pada tahun 603 H., lalu ia kembali melaksanakan haji untuk kedua kalinya pada
tahun 604 H. Ia juga melakukan haji lagi pada tahun 611, lalu berkunjung ke Konya
111 Ibn al-Maqarrî, Nafh, v. 2 h. 263. 112 Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘, v. 1 h. 203. 113 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v 5 h. 101.
pada tahun 612 H. lalu pegi ke Damaskus untuk pertama kali pada tahun 620. Setelah
itu menetap di Aleppo tahun 628. Namun kemudian, ia kembali ke Damaskus pada
tahun 629. Di kota ini ia menyebarkan ajarannya secara utuh sampai akhir hayatnya
Zakî yang -Dîn Ibn al-yi alhAktivitas Ibn ‘Arabî disokong oleh Qâdhî Mu. 638
bermadzhab al-Syâfi‘î dan berteologi Asy‘ariyyah. Ia wafat di rumah Qâdhî pada
malam Jum‘at 28 Rabî‘ al-Akhîr, dan dimakamkan di pemakaman Banî Zakî.114
Adapun mengenai kecerdasannya, potensi Ibn ‘Arabî telah terlihat ketika masa
kecilnya. Hal ini diakui oleh Ibn Rusyd filosof Muslim Peripatetik. Ia sendiri juga
Saat itu Ibn Rusyd . tâhûFut-almenceritakan pertemuannya dengan Ibn Rusyd dalam
merupakan Qâdhî di kota Kordoba. Ia menuturkan bahwa Ibn Rusyd terlihat senang
dengan pertemuan tersebut, terutama ketika mendengarkan penjelasan menarik yang
menunjukkan ketajaman paham yang dianugerahkan Allah kepada Ibn ‘Arabî. Pada
saat itu Ibn Rusyd sedang bersama para sahabatnya, sedangkan Ibn ‘Arabî masih
belum dewasa. Pada kesempatan lain, terkadang Ibn Rusyd meminta bertemu Ibn
‘Arabî dan ayahnya, dan terkadang sebaliknya. Ia juga menuturkan bahwa Ibn Rusyd
sangat bersyukur bisa bertemu dengannya, karena merasa mendapatkan pencerahan
spiritual. Tetapi ia sendiri memuji Ibn Rusyd dengan menyebutkannya sebagai
golongan arbâb al-fikr wa al-nazhr al-‘aqlî (tokoh pemikir logis) sebuah sanjungan
bagi seorang ilmuwan. Ibn Rusyd wafat saat Ibn ‘Arabî telah dewasa, yaitu tahun 595
M. ketika kembali dari Maroko.115
Pertemuannya dengan Ibn Rusyd, sangat berarti bagi Ibn ‘Arabî dalam
memahami pemikiran filsafat dan teologi. Namun tidak ditemukan pengaruh Ibn
Justeru . ‘Arabî pada karangan Ibn îlâGhaz-mid alâH Abû mengritisiRusyd dalam
sebaliknya, Ibn ‘Arabî termasuk orang yang melakukan pembelaan terhadap al-
114 Muhammad bin Syâkir al-Katbî, Fawât al-Wafâyât, (Beirut: Dâr Shâder, t.t.), v. 3 h. 345. 115 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 235.
‘ArabîIbn . âbunâhhas atau kasyf-ib alhâshsehingga menyebutnya sebagai , Ghazâlî
sebagai tokoh yang âthFutû-alkali dalam kitabnya 18 lebih dari Ghazâlî-almenyebut
Adapun sanggahannya terhadap .ia bela dan terima konsep pemikirannyacenderung
Hal ini karena . r Ahlihiy Ghaân ‘alûMadhnditujukan pada isi kitab , mâIsl-ujjah alH
al-Ghazâlî mencoba memahami Allah melalui pendekatan logika.116 Besar
kemungkinan kitab tersebut dikarang al-Ghazâlî sebelum menjadi sufi. Sedangkan, di
Ghazâlî - ia merasa keberatan dengan pandangan teologi alikamH- alhsûFushdalam
yang berpendapat bahwa Allah bisa dikenal tanpa memikirkan alam semesta.117 Dua
kritikan ini terkesan kontradiktif, tetapi hal tersebut merupakan bukti bahwa Ibn
‘Arabî sangat tertarik pada permasalahan teologi.
Namun demikian, ketokohan al-Ghazâlî terlihat berpengaruh pada pemikiran
teologis Ibn ‘Arabî. Hal menarik dari sikap Ibn ‘Arabî dalam hal ini adalah ketika
memandang al-Ghazâlî bukan sebagai seorang tokoh Asy‘ariyyah, tetapi sebagai
pembangun teologi sufi. Ide-ide al-Ghazâlî sangat berpengaruh pada ‘Arabî dalam
beberapa tema teologi, di antaranya mengenai konsep tajsîm dan tanzîh, kritikan
terhadap kelompok kebatinan, dan kenabian. Dalam tema-tema kesufian, Ibn ‘Arabî
sering mengutip dan mengembangkan pandangan al-Ghazâlî, seperti pembahasan
Adapun . penciptaan Âdam dan kontemplasi, zuhud, ayrahhqâm mengenai ma
pernah dilakukannya ketika ) 'yâhIseperti (Ghazâlî -pembacaannya terhadap karya al
118.Tilmisânî-Shadafî al-ammad bin Khâlid alhdi Makkah melalui bimbingan Mu
Selain al-Ghazâlî, karya-karya al-Juwaynî dan al-Isfaraynî yang berteologi
Asy‘ariyyah tampak mempengaruhi Ibn ‘Arabî. Pembacaan terhadap karya-karya
tersebut bisa dipastikan pernah dilakukan Ibn ‘Arabî, karena teologi Asy‘ariyyah
merupakan aliran yang paling populer di Andalusia pada saat itu dan karya-karya
116 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 6 h. 248. 117 Ibn ‘Arabî, Fushûsh al-Hikam, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 2003) h. 67. 118 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 8 h. 386.
mereka merupakan rujukan utama dalam teologi Asy‘ariyyah.119 Hal ini terbukti
dengan penukilan pemikiran mereka yang sering menghiasi kajian teologis Ibn ‘Arabî
. merekamengritisihal ini tidak menghalanginya untuk , Namun. âthutûF-aldalam
Selain tokoh klasik, Ibn ‘Arabî pernah menulis Risâlah yang berisi nasehat
untuk tokoh semasa, yaitu Fakhr al-Râzî (w. 606) seorang teolog Asy‘ariyyah ulung
dan interpretator terkenal pada masa tersebut. Di dalam Risâlah ia menyatakan telah
membaca banyak karangan Fakhr al-Râzî, terutama dalam masalah teologis.120 Selain
, Râzî banyak menulis karya yang bernuansa teologis-al, Ghayb- alhîtâMaftafsir
seperti Asâs al-Taqdîs. Kitab tersebut merupakan kritikan teologis al-Râzî terhadap
Mujassimah yang mengabaikan aspek tanzîh pada sifat Allah. Selain itu, al-Râzî
sangat aktif mengritisi teologi Râfidhah (kolompok Syî‘ah yang menghina khalifah
sebelum ‘Alî bin Abî Thâlib). Pembacaan terhadap karangan al-Râzî, mendorong Ibn
. Khathîb-an sebutan Ibn al dengâthFutû-al‘Arabî untuk menukil pemikirannya dalam
Penyebutan tersebut sering ditemui ketika ia membicarakan konsep ilmu; salah satu
tema teologis yang menjadi objek kritikan Ibn ‘Arabî terhadap para teolog dan
filosof.121
Dalam menanggapi hal ini, Claude Addas lebih cenderung menilai bahwa
tidak ada alasan untuk menyangkal hubungan antara al-Râzî dan Ibn ‘Arabî. Hal ini
dikarenakan isi Risâlah yang ditulis Ibn ‘Arabî memang diperuntukkan bagi al-Râzî.
Namun Addas belum berani memastikan seratus persen.122 Apabila diperhatikan masa
hidup mereka, maka sangat mungkin terjadi interaksi, walaupun tidak ada keterangan
mereka bertemu. Dalam hal ini, penulis menemukan dua petunjuk mengenai interaksi
Risâlaha Ibn ‘Arabî memang mengakui bahw, Pertama. âthûFut-almereka dalam
119 Claude Addas, Quest, h. 103. 120 Ibn ‘Arabî, Risâlah al-Syaykh al-Akbar ilâ Fakhr al-Râzî ed. Abd al-Rahmân Hasan
Mahmûd, (Kairo: ‘Âlam al-Fikr, t.t.), h. 10. 121 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 247, 383, v 4 h. 480. 122 Claude Addas, Quest, h. 104.
tersebut diperuntukkan untuk al-Râzi. Tetapi ia menyebutnya dengan Risâlah al-
h âRisal menyebutnya âyhn Yaâ Sedangkan Addas dengan mengutip ‘Utsm123.qâAkhl
fi Wujûh al-Qalb.124 Ia tentu menulisnya ketika al-Râzi masih hidup, karena tidak
mungkin seseorang menyurati yang telah mati. Ia menuturkan sebagaimana berikut.
ا?N _ 1;N$C" ر? /< اMPdق ا/C" آ1RC ب] /fEI: 5^9(7 ب(+ 92(: ب(+ .g;KP ا/:ي ر09Q ا3
Kami menyempurnakan (pembahasan tentang etika) di dalam Risâlah
ammad bin ‘Umar bin Khathîb hFakhr Mu- yang kami tulis untuk alAkhlâq-al
dari kota Rayy (Persia).125
Kedua, ia pernah bertemu dengan al-Rasyîd al-Farghânî murid al-Râzi.126
Besar kemungkinan Ibn ‘Arabî menulis Risâlah tersebut setelah haji yang pertama
(599 H.), karena ia sebelumnya tidak pernah ke daratan Syâm kecuali setelah masa
itu. Sedangkan interaksinya dengan al-Râzi, hanya mungkin terjadi setelah
kunjungannya ke Syâm (601), yaitu lima tahun sebelum al-Râzi wafat. Interaksi
tersebut tentu memberi pengaruh yang besar pada pandangan teologi Ibn ‘Arabî.
Terlepas dari hal di atas, perjalanan ilmiah Ibn ‘Arabî tersebut menunjukkan
, baik yang berkaitan dengan teologi, bahwa ia sangat akrab dengan dunia intelektual
Hal ini terlihat dari sekian banyak tokoh yang . sastra dan tasawuf, adîtsH, hukum
menjadi guru dan sahabat Ibn ‘Arabî. Mayoritas mereka adalah berteologi Sunnî. Hal
ini terlihat dari kitab-kitab yang mereka ajarkan dan ijazahkan. Ini tentu
mempengaruhi konsep teologis yang diterapkan Ibn ‘Arabî dalam pelbagai
karangannya.
B. Karya Tulis Ibn ‘Arabî
123 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 365. 124 Claude Addas, Quest, h. 104. 125 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 365. 126 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 191, fashl fî shalâh al-Istisqâ'.
-Ibn ‘Arabî merupakan tokoh intelektual yang sangat aktif menulis gagasan-
gagasan menarik yang diperolehnya. Hal ini terlihat dari karangan Ibn ‘Arabî yang
yâ dari Aleppo menyimpulkan bahwa ada sekitar hUtsmân Ya. Prof. luar biasa banyak
846 karya Ibn ‘Arabî.127 Di antara karyanya ada yang berbentuk kitab, risâlah, sya‘ir,
dan wasiat.
- alâthFutû-alyang sangat luar biasa adalah , Di antara karya tersebut
) penyingkapan spiritual (hfutuKarya tersebut ditulis saat ia mendapatkan . Makkiyyah
ketika ia berkunjung di Makkah. Oleh karena itu, ia memberi judul dengan
.Makkiyyah- alâthFutû-alatau " Penyingkapan Spiritual Periode Makkah"
. tidak hanya mengemukakan permasalahan kesufian âthFutû-alkitab , Namun
Justeru Ibn ‘Arabî memulai kitab tersebut dengan kajian teologis sebagai dasar
pijakan ajaran spiritual. Hal ini terlihat dengan cara Ibn ‘Arabî mengemukakan empat
hierarki teologis umat Islam. Ia menyebutkan akidah orang awam sebagai akidah
dasar umat Islam. Setelah itu, ia mengemukakan akidah ahli kalâm yang ia sebut
dengan teologi al-Syâdiyyah. Akidah awam dan al-Syâdiyyah merupakan
implementasi dari pemahaman Ibn ‘Arabî terhadap teologi Sunnî Asy‘ariyyah.
Namun ketika ia berbicara pada hierarki ketiga dan keempat, Ibn ‘Arabî membedakan
tokoh madzhab -tokoh (âbunâhashteologi yang dianut kalangan sufi dengan sebutan
kami) sebagai perbedaan identitas dengan Mu‘tazilah dan Asy‘ariyyah.128
Di samping itu, al-Sya‘rânî menilai kitab tersebut merupakan literatur yang
paling komprehensif mengenai tasawuf. Bahkan, kitab tersebut mencakup pelbagai
rahasia mengenai syariat Islam dan penjelasan mengenai dinamika pemikiran para
intelektual Muslim. Al-Sya‘rânî menambahkan bahwa jika kitab itu dibaca seorang
ahli hukum maka ilmunya akan bertambah. Begitu juga jika seorang ahli interpretator,
127 Ibn ‘Arabî, Rûh, h. 118. 128 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 5 h. 312.
maka wawasannya akan , dan ahli ilmu lainnya membaca kitab itu, tsîadHahli , teolog
bertambah luas.129
Kitab ini . ikamH- alFushûshyaitu , ia mempunyai karya utama, Selain itu
sejak Nabi Âdam sampai , merupakan kajian Ibn ‘Arabî terhadap maqâm kenabian
akan ia Hal ini dikaren. ammad Saw dengan jumlah duapuluh tujuh nabihNabi Mu
menambahkan Nabi Uzayr dan Khâlid bin Sinân. Pembahasan yang dikemukakannya
mencakup aspek teologis dan kesufian. Karangan ini dianggap sebagian orang sebagai
kesimpulan utama ajaran Ibn ‘Arabî.
Adapun mengenai perjalanan ilmiah sebelum ia ke daerah Timur Tengah, Ibn
nama tokoh -ia menyebutkan daftar nama, Di dalamnya. Quds- alhRû‘Arabî menulis
yang pernah menjadi sumber inspirasi intelektual dan spiritual. Ia juga menulis kitab
Nabhânî-alYûsuf . idhTaw- alîdah fî‘Aqkhusus mengenai teologi Islam dengan judul
menyebut kitab ini dengan judul ‘Aqâ'id ‘Ilm al-Kalâm. Sedangkan Ibn Syâkir al-
Katbî menyebutnya dengan judul ‘Aqîdah Ahl al-Sunnah. Permasalahan yang
dikemukakan di dalamnya sangat mirip dengan akidah awam yang dikemukakan
Hal ini menguatkan asumsi bahwa Ibn ‘Arabî menguasai teologi .âthFutû-aldalam
Islam. Kitab lain yang menjadi sorotan utama adalah al-Tanazzulât al-Laylah. Kitab
ini berisi tema-tema penting dalam permasalahan teologis dan tasawuf falsafi.
Yûsuf al-Nabhânî menyebutkan karangan lainnya seperti al-Risâlah wa al-
Nubuwwah wa al-Ma‘rifah wa al-Wilâyah mengenai konsep kenabian dan kewalian
dari sisi teologis dan kesufian.130
129 Al-Sya‘rânî, al-Kibrît al-Ahmar, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), h. 7. 130 Yûsuf al-Nabhânî, Jâmi‘, v. 1 h. 208.
BAB III
TEOLOGI IBN ‘ARABI
A. Pengertian Ruang Lingkup Teologi atau Ilmu Kalâm
Term teologi di dalam bahasa Inggris disebut theology, dalam bahasa Prancis
disebut théologie. Namun akar kata tersebut berasal dari bahasa Yunani θεολογία,
berarti theos atauθεός dari, theologiaTuhan, berari katalogos atauλόγος sedangkan ,
pengetahuan, kesadaran. Secara literal kata ini bisa diartikan dengan diskursus
mengenai ketuhanan atau kepercayaan.131 Namun pengertian ini masih belum
mewakili ruang lingkup pembahasan teologi di dalam Islam secara keseluruhan. Hal
ini dikarenakan padanan kata teologi dalam bahasa Arab disebut dengan ‘ilm al-kalâm
(ilmu kalâm). Ilmu kalâm tidak hanya mengenai ketuhanan, tetapi mencakup banyak
aspek permasalahan keimanan.
Ibn Khaldûn mendefinisikan bahwa ilmu kalâm merupakan disiplin ilmu yang
mencakup argumentasi ‘aqâ’id îmâniyyah, argumentasi rasional (adillah ‘aqliyyah),
dan pembelaan terhadap akidah salaf dan ahl al-sunnah dari ahli bid‘ah yang merusak
akidah.132 ‘Abdullah al-Hararî seorang teolog kontemporer dari Beirut mendefinisikan
ilmu kalâm secara lebih komprehensif. Ia menyebutkan bahwa ilmu kalâm merupakan
suatu disiplin ilmu yang membicarakan nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-
Nya, para malaikat, para nabi, wali, para imâm, dan akhirat sesuai dengan kaidah
Islam, bukan kaidah filsafat. Al-Hararî membedakan ilmu kalâm dari filsafat dilihat
dari metode epistemologi yang digunakan. Filsafat berbicara mengenai konsep
dari 2009Februari 20 ini diakses pada tanggal ensiklopedia, "Theology" 131
Theology/wiki/org.wikipedia.en://http. 132 Ibn Khaldûn, Muqaddimah Ibn Khaldûn, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), h. 363.
ketuhanan hanya dengan pendekatan rasio, sedangkan ilmu kalâm dengan
mengombinasikan aspek rasio dan wahyu.133
Îjî seorang teolog Sunnî dari Syîrâz Persia -mân alhRa-Qâdhî ‘Abd al
mendefinisikan ilmu kalâm dengan ungkapan lebih sederhana, yaitu ilmu yang
bertujuan memperteguh akidah keagamaan (‘aqâ'id dîniyyah) dan menolak kerancuan
dengan mengemukakan argumentasi diskursif. Ia menambahkan bahwa akidah
keagamaan dalam konteks ini adalah pada tataran pemikiran bukan amalan praktis.134
Dalam hal ini, Ibn ‘Arabî tidak memberikan definisi ilmu kalâm secara
eksplisit. Tetapi ia menjelaskan langsung metode ahli kalâm yang membedakannya
dari awam. Ia menyebutkan bahwa ahli kalâm merupakan golongan yang menempuh
metode interpretasi (terhadap teks yang berkaitan dengan ketuhanan).135 Penjelasan
ini menunjukkan bahwa ilmu kalâm menurut Ibn ‘Arabî merupakan disiplin ilmu
yang menggunakan pendekatan rasio dalam memahami wahyu. Hal ini dikarenakan
interpretasi merupakan penalaran rasio.
B. Ruang Lingkup Teologi atau Ilmu Kalâm
Adapun ruang lingkup teologi Islam atau ilmu kalâm tidak hanya berkaitan
mengenai Allah semata sebagaimana dikemukakan sebelumnya. Secara umum tema-
tema yang dibahas dalam filsafat dan tasawuf juga dibahas dalam ilmu kalâm. Namun
pembahasan tersebut dilakukan dengan pendekatan yang berbeda. Ketika para filosof
membicarakan tema wujûd (eksistensi) dari sisi pemikiran saja, maka para teolog
Muslim juga membahas hal serupa dari dua sisi, pemikiran dan wahyu. Atau ketika
maka , abbahhma sebagai ungkapan maqam dâhittipara sufi membicarakan konsep
. pada tataran teologisdâhittiak terjerumus pada para teolog mengkajinya agar tid
133 ‘Abdullâh al-Hararî, Izhâr al-‘Aqîdah al-Sunnîyyah, (Beirut: Dâr al-Masyâri‘, 1997), h. 19. 134 ‘Abd al-Rahmân al-Îjî, al-Mawâqif fi ‘Ilm al-Kalâm, (Beirut: ‘Âlam al-Kutub, 1992), h. 8. 135 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 59.
Filsafat murni pada aspek pemikiran dan tasawuf menekankan aspek intuitif,
sedangkan ilmu kalâm merupakan pemikiran yang berdasarkan interpretasi terhadap
teks Kitab Suci.
Hal ini terlihat pada karya teologis yang ditulis oleh para ulama. Sebagai
contoh adalah kitab al-Syâmil karya teologis al-Juwaynî. Ia membicarakan tema-tema
, jawhar, lamâ‘-ts alûudh, penting yang dibahas dalam filsafat seperti epistemologi
‘iradh, jism, tasybîh dan tanzîh, karakteristik eksitensi, kausalitas. Selain itu, ia juga
yang dâhitti, interpretasi teologis teks Kitab Suci, mengemukakan kaidah tauhid
mencakup konsep lâhût dan nâsût.136 Namun pembahasan tersebut dikemukakan
dengan pendekatan teologis. Hal itu bertujuan untuk mengritisi filsafat, Mu‘tazilah,
dan non-Muslim.
Al-Îjî juga membicarakan tema yang sama sebagaimana al-Juwaynî. Kitab al-
Mawâqif fî ‘Ilm al-Kalâm yang populer di kalangan teolog Sunnî merupakan
karangan teologis al-Îjî yang sangat berpengaruh, sehingga banyak ditemukan
ia membicarakan ,qifâMaw-alDi dalam . syiyahâh dan hsyarkomentar dalam bentuk
permasalahan teologis yang terkesan sama dengan tema-tema filsafat. Sebagai contoh,
ia mengemukakan konsep substansi (mâhiyyah) dengan istilah yang sama dalam
filsafat. Begitu pun, al-Îjî dan para teolog lain tidak keberatan menggunakan term
wâjib al-wujûd dan mumkin al-wujûd ketika membicarakan eksitensi,137 walaupun
term tersebut digunakan oleh al-Fârâbî dan Ibn Sînâ filosof Peripatetik klasik.
Selain menyebutkan tema-tema yang pernah dikemukakan al-Juwaynî, ia juga
mengemukakan tentang kaidah ‘ishmah (kesucian dari dosa), kenabian, kewalian,
akhirat138, keimanan dan kekafiran139, dan imâmah140.
136 Abû al-Ma‘âlî al-Juwaynî, al-Syâmil ed. Dr. M. Sâmî Nasyâr, (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif,
1969), h. 11. 137 Al-Îjî, al-Mawâqif, h. 59. 138 Al-Îjî, al-Mawâqif, h. 337.
ilmî menyimpulkan bahwa HMushthâfâ . Dr, Berdasarkan pertimbangan di atas
ada delapan tema penting dalam ilmu kalâm. Pertama, penolakan terhadap kelompok
materialis yang menetapkan keqadîman alam. Kedua, penetapan bahwa Allah bersifat
dengan sifat-sifat ma‘ânî yang qadîm. Ketiga, tanzîh sebagai penolakan terhadap
. ajaran Majûsîqadîmdan dualisme , ajaran Nashrânîdâhitti, ajaran Yahûdîhîtasyb
Keempat, penetapan ru'yah kepada Allah di akhirat dan kalâm Allah yang qadîm.
Kelima, permasalahan af‘âl al-‘ibâd yang berkaitan dengan takdir. Keenam,
perdebatan tentang seorang mukmin yang mati dalam keadaan berdosa besar.
Ketujuh, argumentasi mengenai penetapan kenabian. Kedelapan, pembicaraan
mengenai imâmah.141
C. Gagasan Hierarki Teologi Ibn ‘Arabî
Walaupun Ibn ‘Arabî dikenal banyak orang sebagai tokoh sufi falsafi, tetapi
itu tidak cukup untuk menyebutkan sosok utuh tentang Ibn ‘Arabî. Hal ini seperti
diakui oleh Stephen Hirstenstein, bahwa realisasi tauhid menjadi inti dari pribadi dan
ajaran Ibn ‘Arabî.142 Oleh karena itu, pembicaraan mengenai Ibn ‘Arabî tidak bisa
terlepas dari aspek teologis.
Ini terbukti dengan metode yang ia gunakan ketika menjelaskan pelbagai
memulai dengan Ibn ‘Arabî. kiyyahkMa- alâthFutû-alaspek kesufian dalam
menjelaskan aspek teologis yang ia anut. Oleh karena itu, ketika berbicara maqâm
kesufian, Ibn ‘Arabî tidak keluar dari konsep teologis yang ia gariskan.
139 Al-Îjî, al-Mawâqif, h. 384. 140 Al-Îjî, al-Mawâqif, h. 395. 141 Musthafâ Hilmî, Manhaj ‘Ulamâ al-Hadîts wa al-Sunnah fî Ushûl al-Dîn, (Kairo: Dâr al-
Da‘wah, 1992), h. 75-76. 142 Stephen Hirteinstein, The Unlimited Mercifier terj. Tri Wibowo dengan Judul Dari
Keragaman ke Kesatuan Wujud, (Jakarta: Rajagrafindo, 2001), h. 7.
Ibn ‘Arabî menawarkan suatu konsep teologis yang berdasarkan tingkatan
wawasan dan spiritual seseorang, sehingga bisa disebut dengan gagasan hierarki
teologis. Ia memulai dengan menyebutkan akidah awam (‘awwâm) sebagai tingkatan
pertama. Setelah itu, dikuti dengan akidah ahl al-rusûm, akidah ahl al-ikhtishâsh, dan
akidah khullâshah. Namun, Ibn ‘Arabî tidak menyebutkan secara sistematis hierarki
Tetapi ia mengungkapkannya hampir di setiap bab pada kitab . teologis yang keempat
Hal ini dikarenakan ia mengakui sendiri bahwa penjelasan mengenai ini . âthFutû-al
sangat rumit, sehingga hanya orang yang dianugerahi pemahaman istimewa yang
mengetahuinya.143 Secara umum tiga hierarki pertama telah mewakili akidah umat
Islam. Kenyataan tersebut menguatkan asumsi bahwa Ibn ‘Arabî tidak memisahkan
aspek tasawuf dan teologi.
Metode Ibn ‘Arabî yang hanya menyistematiskan tiga hierarki teologis,
untuk memahami teologi yang âthFutû-almembantu setiap orang yang membaca
menjadi pijakan pemikirannya. Oleh karena itu, pembahasan kali ini berkaitan dengan
tiga hierarki teologi tersebut. Di sini akan terlihat metode Ibn ‘Arabî dalam
menerapkan teologi yang toleran terhadap awam (‘awwâm), argumentatif
sebagaimana para teolog lain (ahl al-rusûm), dan sebagai sufi yang kritis terhadap
kekeliruan tasawuf (ahl al-ikhtishâsh).
Apabila memperhatikan sikap Ibn ‘Arabî terhadap status akidah orang awam,
maka ia terkesan cenderung kepada sikap moderat yang ditempuh al-Ghazâlî dalam
kitab al-Iqtishâd fî al-I‘tiqâd. Ibn ‘Arabî menilai akidah awam bukanlah akidah yang
sia-sia atau tercela sebagaimana diungkapkan sebagian ahli kalâm yang ekslusif.
Tetapi, akidah awam dari aspek syariat serta akal sehat adalah salîmah (selamat). Hal
ini tercapai walaupun mereka tidak mempelajari literatur ilmu kalâm. Namun akidah
143 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 65.
mereka diteguhkan oleh Allah sesuai dengan fithrah yang dititipkan-Nya. Menurut
Ibn ‘Arabî, fithrah yang dititipkan-Nya adalah pengetahuan di dalam setiap diri
manusia mengenai pengakuan terhadap eksitensi Allah, baik melalui lisan orang tua
maupun para pembimbing mereka. Oleh karena itu, ia menilai bahwa mereka berada
di jalan yang benar.144
0;N .وهCA ./ 5 ص^< وص$اب HI2 3ب^79 اOAوh6 H/7 15]. إQق أ:K. Dan mereka (dengan pujian bagi Allah) berada pada jalan kebenaran,
selama tidak melangkah kepada metode interpertatif.145
Namun demikian, Ibn ‘Arabî mengingatkan, ketika manusia yang awam
mencoba menempuh langkah penakwilan dalam mengenal Tuhan, maka pada saat itu
mereka berganti status dari golongan awam menjadi golongan ahl al-nazhr wa al-
ta’wîl. Namun Ibn ‘Arabî tidak memuji dan menjamin kebenaran ahl al-nazhr, karena
mereka akan menemui Tuhan sesuai dengan metode penakwilan yang ditempuh.
Adakalanya mereka benar, dan adakalanya keliru dalam menginterpretasikan teks
Kitab Suci. Sebaliknya, Ibn ‘Arabî menilai akidah awam sangat terjaga, karena
mereka menerima keterangan teks Kitab Suci dengan keyakinan yang kuat (qath‘î).146
Keyakinan tersebut juga pernah diungkapkan al-Ghazâlî sebelumnya dengan
keimanan yang berdasarkan pembenaran yang total dan kesucian hati dari
skeptisme.147
Hal ini dikuatkan Ibn ‘Arabî dengan menyebutkan kisah kaum Yahudi yang
meminta keterangan kepada Nabi Saw, “Jelaskanlah sifat-sifat Tuhanmu kepada
kami!” (insib lanâ rabbak). Lalu Allah menurunkan surat al-Ikhlâsh yang berisi
penegasan bahwa Allah Maha Esa. Surat ini diturunkan sebagai penetapan terhadap
eksistensi-Nya dan penegasian terhadap tuhan yang berbilang. Ia memahami bahwa
144 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 59. 145 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 59. 146 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 59. 147 Al-Ghazâlî, al-Iqtishâd fî al-I‘tiqâd, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), h. 17.
Sifat Allah al-Shamad merupakan penegasian terhadap jism dari zat-Nya. Selain itu,
juga dinegasikan segala bentuk ketidaksempurnaan eksistensi. Dalam mengomentari
hal tersebut, Ibn ‘Arabî mengatakan bahwa mereka tidak membutuhkan argumentasi
teologis untuk menguatkan keimanan sebagaimana dirumuskan ahli kalâm.148 Atas
dasar ini, Ibn ‘Arabî tidak setuju dengan pandangan para teolog ekslusif yang
berkeyakinan bahwa individu yang tidak beriman melalui metode argumentasi
teologis adalah kafir.149 Ia menuturkan sebagaimana berikut.
?($ء ا/D1(: إ/(H ا/f(:وج T1N +)2$ذ ب 3 5+ هeا ا/e)9هi);Q g أدا_ .ا9Aj ن
Kami berlindung kepada Allah dari pemikiran tersebut; yang menjerumuskan kepada persepsi negatif (bahwa orang yang tidak
mempelajari ilmu kalâm) keluar dari prinsip keimanan.150
Di samping itu, Ibn ‘Arabî juga menjelaskan bahwa para ulama ahli kalâm
sebenarnya tidak membangun kaedah ilmu kalâm untuk menguatkan iman di dalam
diri mereka. Namun mereka hanya membangun kaedah tersebut untuk menghadapi
musuh-musuh Islam yang mengingkari eksistensi Allah, sifat, atau sebagian sifat-Nya,
jasad manusia akan kembali , ‘âlam-ûdûts alhpemikiran , ammadhrisalah Nabi Mu
seperti semula setelah kematian, tentang kebenaran Hari Kiamat. Oleh karena itu,
lanjut Ibn ‘Arabî, sikap para ulama kalâm merasa terpanggil untuk menjelaskan
argumentasi yang mereka yakini bisa mematahkan argumentasi musuh Islam adalah
berutujuan agar akidah orang awam tidak ternodai.151
CRk;/ 0;N _$E1وص _$T4ر4" ا3 12]. 5 و .IT/ا اe9 ء هI2و H)N ا$ .أنlE]. ا/IT. ب 3، وإن9 وT4$_ أرداBfI/ 2$م
Ulama ilmu ini (kalâm) radhiyyallâh ‘anhum tidak menulis karangan teologis agar ilmu mereka bertambah kokoh mengenai Allah, tetapi hanya
sebagai penolakan terhadap musuh Islam.152
148 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 59. 149 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 60. 150 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 60. 151 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 60. 152 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 60.
Pada tataran ini, Ibn ‘Arabî memuji orang yang berteologi Asy‘arî atau para
ahli ilmu (nazhr-b ‘ilm alâhasIa menyebut mereka dengan . teolog secara umum
pemikiran). Hal ini karena mereka tidak menggunakan kekerasan untuk mendakwahi
seseorang kembali ke jalan iman. Tetapi mereka menempuh metode diskursif. Metode
ini, lanjut Ibn ‘Arabî, pada diri mereka bagaikan mukjizat bagi Nabi Saw, terutama
pada orang yang mengerti hal tersebut. Ibn ‘Arabî juga memuji mereka karena
hîhshaberprinsip bahwa seseorang yang kembali dengan metode diskursif lebih
keislamannya daripada orang yang kembali dengan motode kekerasan. Ini
dikarenakan keislaman yang disebabkan oleh ketakutan terhadap kekerasan
mempunyai kemungkinan terjerumus kepada kemunafikan. Oleh karena itu, Ibn
‘Arabî memberikan apresiasi terhadap jasa mereka dengan ungkapan radhiyallâh
‘anhum; sebuah pujian dan doa yang sangat luhur. Tetapi ia mengingatkan bahwa
cukup satu orang ahli kalâm di suatu wilayah.153 Gagasan ini menunjukkan
kesamaannya dengan konsep al-Ghazâlî yang menegaskan bahwa mendalami ilmu
kalâm hanya bersifat fardhu kifâyah,154 sehingga di setiap negeri harus ada yang
mendalaminya walaupun hanya satu orang.
menjelaskan kecenderungannya Ibn ‘Arabî, âthFutû-alDalam pendahuluan
kepada akidah umum umat Islam yang ia sebut dengan akidah awam. Akidah tersebut
tiada lain adalah akidah diyakini mayoritas umat Islam Sunnî. Ia menyebutkan
persaksian pada akhir sub pembahasan, bahwa dirinya menganut akidah awam. Oleh
karenanya, ia mewasiatkan jika ada orang bertanya mengenai akidahnya, hendaklah
menyebutkan akidah awam tersebut. Ibn ‘Arabî menyebut akidah awam tersebut
sebagai akidah ahl al-Islâm, ahl al-taqlîd wa ahl al-nazhr.155
153 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 60. 154 Al-Ghazâlî, al-Iqtishâd, h. 17. 155 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 65.
:D1/ا O7 وأه;I=C/ا Oم أهM?jا Oام 5+ أه$T/2=;7ة ا _e[N. Maka inilah akidah awam ahl al-Islâm, ahl al-taqlîd wa ahl al-nazhr.156
1. Gagasan Ibn ‘Arabî Mengenai Akidah Awam
Akidah awam merupakan keyakinan dasar yang dianut Ibn ‘Arabî, sehingga ia
memberikan persaksian seperti disebutkan sebelumnya. Persaksian tersebut dilakukan
Ibn ‘Arabî karena terinspirasi oleh apa yang dilakukan oleh Nabi Hûd kepada
kaumnya yang tidak beriman kepada Allah dan tidak meninggalkan tuhan-tuhan
selain-Nya. Di dalam al-Qur'ân, Nabi Hûd berkata,
.* ل إنp" أ8]7 ا/0nI وا8]7وا أنp" ب:يء n95 6>:آ$ن“Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu
sekutukan”.157
Nabi Hûd memberikan persaksian mengenai eksistensi Allah, walaupun beliau
mengetahui bahwa mereka mendustakan ajarannya. Persaksian tersebut bertujuan
dan , jika mereka beriman) mengemukakan argumentasi (ujjahh-mah alâiquntuk
penegasan jika mereka tidak beriman agar setiap yang menyaksikannya
menyampaikan persaksian tersebut pada yang lain. Hal ini, ungkap Ibn ‘Arabî juga
terjadi pada para mu’adzdzin; mereka disaksikan oleh semua makhluk yang
mendengar seruan azan. Bahkan syetan pun berpaling ketika mendengarkan azan.
Dalam hal ini, Ibn ‘Arabî menerapkan analogi prioritas (qiyâs awlâ). Ia
mengatakan bahwa jika musuh (seperti syetan dan orang kafir) mesti tahu persaksian
seorang mukmin terhadap keyakinan yang dianutnya, maka tentu para wali dan orang-
orang yang dicintainya lebih utama menyaksikan hal tersebut. Begitu juga terhadap
orang lain yang seagama dengannya.158
156 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 65. 157 Surat Hûd: 54. 158 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 62.
Ibn ‘Arabî menegaskan persaksiannya dengan mengatakan,
r )RQ6" وأ$)Pإ ;N ،.Z1)2 3ر4(" ا " +;Zl)5 s;T)4 7)R2 .أ8(]7آ Oآ "N H/ T6 3ا H/إ :;=N>N:tو >D^/...
Wahai saudaraku semoga Allah meridaimu, aku hamba yang lemah, yang bergantung kepada Allah di setiap saat dan kedipan memberikan
persaksian terhadapmu.159
Persaksian yang disebutkan Ibn ‘Arabî terbagi dua. Pertama, persaksian
keimanan kepada Allah dan malaikat-Nya. Pada bagian ini, ia menjelaskan bagaimana
keimanannya terhadap eksistensi Allah dan sifat-sifat-Nya, tetapi ia tidak menjelaskan
keimanan kepada malaikat. Adapun persaksian kedua, setelah menjelaskan tentang
mengenai ajaran datâsyahIbn ‘Arabî menyatakan , sifat Allah-eksistensi dan sifat
Ia menegaskan keimanannya terhadap risalah yang bersumber . ammad SawhNabi Mu
dari Nabi Saw, baik yang diketahui ataupun yang tidak diketahui. Ia mengimani
perihal ghaib setelah kematian seperti pertanyaan Munkar dan Nakîr, azab kubur,
kebangkitan dan semua perihal ghaib.160 Ia mengemukakan panjang lebar mengenai
persaksian pertama, tetapi hanya menyebutkan pernyataan ringkas pada persaksian
kedua.
Ketika menjelaskan keyakinannya mengenai eksistensi Allah, Ibn ‘Arabî
terkesan sangat mirip dengan akidah Sunnî (Asya‘riyyah dan Mâturidiyyah). Hal ini
terbukti dengan ungkapannya bahwa Allah Maha Esa, Maha Suci dari semua syirik. Ia
menegaskan bahwa Allah adalah Pencipta sekaligus Pengatur yang tidak disertai
selain-Nya.161
Ibn ‘Arabî tidak keberatan menggunakan konsep wujûd yang pernah
dikemukakan al-Fârâbî dan juga mempunyai kesamaan dengan ulama Sunnî. Konsep
tersebut mengemukakan bahwa eksistensi terbagi dua, wâjib al-wujûd dan mumkin al-
wujûd. Wâjib al-wujûd adalah Allah, sedangkan mumkin al-wujûd adalah alam
159 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 62. 160 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 63. 161 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 62.
semesta. Ekistensi Allah berdiri sendiri dengan zat-Nya, sedangkan alam menjadi
terwujud karena bergantung kepada eksitensi Allah.162 Ibn ‘Arabî menyebutkan
bahwa Allah mawjûd bi dzâtihi (ada dengan zat-Nya sendiri) tanpa membutuhkan zat
lain yang membuat-Nya ada. Oleh karena itu, hanya Allah yang berhak disifati
dengan wujûd li nafsihi.163
Adapun mengenai sifat qadîm dan baqâ’, Ibn ‘Arabî mengungkapkan bahwa
tidak ada awal dan akhir terhadap eksistensi Allah. Oleh karena itu, ia menegaskan,
Allah adalah wujûd muthlaq (eksistensi yang universal) tidak terkait oleh sesuatu pun
(seperti waktu dan tempat). Dengan argumentasi tersebut, Ibn ‘Arabî menetapkan sifat
Allah qâ’im bi nafsihi (berdiri sendiri) sebagai ungkapan lain dari qiyâmuhu bi
nafsihi; terminologi yang biasa digunakan mayoritas di kalangan Sunnî.164
berbeda dari alam (ditsâawh- li almukhâlafatuhuDalam menjelaskan
semesta), Ibn ‘Arabî menggunakan juga terminologi yang biasa diterapkan dalam
karena ,ayyizh mutajawharIa menyebutkan bahwa Allah bukanlah . ilmu kalâm
jawhar (substansi) membutuhkan tempat. Dia bukan ‘iradh (accident), karena ‘iradh
tidak kekal. Dia bukan jism (benda) karena jism membutuhkan arah (jihhah) dan
hadapan (tilqâ’).165 Ibn ‘Arabî menegaskan untuk kedua kalinya bahwa Allah Maha
Suci dari segala arah dan penjuru. Namun Allah bisa dilihat dengan hati dan
pandangan mata (di akhirat). Dia melakukan istiwâ' sebagaimana terdapat dalam al-
Qur'ân sesuai dengan makna yang diinginkan-Nya. Hal ini berarti bahwa istiwâ' Allah
Dia Maha Suci dari . ‘Arsy atau ditempati ‘Arsy) menempati (lûulhMaha Suci dari
ungkapan "setelah alam" atau "sebelum alam".166
162 ‘Alî Abû Rayyân, , al-Falsafah al-Islâmiyyah, (Kairo: Dâr al-Qawmiyyah al-Islâmiyyah,
1967), h. 373. 163 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 62. 164 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 62. 165 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 62. 166 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 62.
.إذا 8 ء ا?C$ى HI2 08:2 آ9 * /0، وHI2 ا/H1T9 ا/eي أراد_Apabila Dia berkehendak (istiwâ'), niscaya ia istiwâ' atas ‘Arsy sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'ân, sesuai dengan makna yang
diinginkan-Nya.167
Ibn ‘Arabî sangat menekankan sifat mukhâlafah (ketidaksamaan), sehingga ia
menegaskan bahwa tidak ada deskripsi yang mampu dicapai akal mengenai zat Allah.
Dia tidak dibatasi oleh zaman, tidak diliputi oleh tempat. Bahkan ia mengungkapkan
kaidah yang disepakati ulama Sunnî sebagaimana berikut.
Z5 F0 آ نآ ن و;I2 5 HI2 $ن، وه . Dia ada sedangkan tempat (dan zaman) belum ada, dan Dia senantiasa
ada dengan keesaan-Nya.168
Mengenai ilmu Allah, Ibn ‘Arabî menegaskan bahwa Allah senantiasa Maha
Tahu terhadap segala sesuatu. Ilmu-Nya tidak berubah ketika terjadi perubahan objek
yang diketahui. Ia juga menambahkan bahwa ilmu Allah mencakup kulliyyât
(universal) dan juz'iyyât (partikular) sebagaimana konsensus (ijmâ‘) ahl al-nazhr yang
benar.169 Ahl al-nazhr dalam konteks ini tentunya adalah ahli kalâm Sunnî. Penegasan
ini membuat Ibn ‘Arabî terhindar dari kritikan al-Ghazâlî terhadap para filosof
Peripatetik yang beranggapan bahwa ilmu Allah bersifat partikular.170 Selain itu, hal
ini menunjukkan bahwa sanggahan Ibn Rusyd tidak berpengaruh pada Ibn ‘Arabî,
walaupan mereka pernah bertemu.
Adapun mengenai irâdah atau masyî'ah, Ibn ‘Arabî menyebutkan sebuah
kaidah yang telah disepakati ulama Sunnî, "Mâ syâ'a kâna, wa mâ lam yasya’ an
yakûna lam yakun" (apa pun yang Dia kehendaki niscaya terwujûd, dan sedangkan
apa pun yang tidak dikehendaki-Nya niscaya tidak terwujud).171
167 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 62. 168 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 62. 169 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 63. 170 Al-Ghazâlî, Tahâfut al-al-Falâsifah ed. Dr. Sulayman Dunyâ, (Mesir: Dâr al-Ma‘ârif,
1972), h. 306. 171 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 63.
Dalam memahami kekufuran, keimanan, ketaatan, dan kemaksiatan, Ibn
‘Arabî menegaskan bahwa semua dinamika tersebut terwujud sesuai dengan kehendak
Allah yang azali. Azali berarti masa ketika alam belum pernah ada. Dia menciptakan
alam tanpa membutuhkan tafakkur dan tadabbur, karena dua hal itu mengindikasikan
ketidaktahuan sebelum Dia menjadi Maha Tahu. Ibn ‘Arabî juga menegaskan bahwa
pada hakikatnya tidak ada yang berkehendak di alam semesta selain Allah.172
Adapun mengenai samâ‘ dan bashar, ia menyebutkan bahwa sifat samâ‘ Allah
tidak dihijab oleh kejauhan jarak, karena Dia Maha Dekat. Sebaliknya, walaupun
bersifat Maha Ghaib, sifat bashar Allah tidak terhalang oleh benda.173
Konsep Ibn ‘Arabî mengenai sifat kalâm sangat menarik, karena ia
menyebutkan bahwa kalâm Allah bersifat qadîm azali sebagaimana sifat-Nya yang
lain. Dia berbicara kepada Nabi Mûsâ dengan kalâm qadîm tersebut. Kalâm-Nya
disebut dengan Tanzîl (al-Qur'ân), Zabûr, Taurat, dan Injîl tanpa menggunakan huruf,
suara, nagham (lantunan), dan bahasa. Hal ini dikarenakan Dialah pencipta huruf,
suara, nagham, dan bahasa.174
وF نx(. وx/ F( ت، ب(O ف وF أص($ات وR? .IZ6 ( :)Q :;G +5^ ن0 ( ...ه$ J/ P اdص$ات
Dia berbicara tanpa menggunakan huruf, suara, lantunan, dan bahasa. Tetapi Dialah Pencipta suara...175
Hal ini menunjukkan bahwa Ibn ‘Arabî tidak sepakat dengan kaum
mujassimah yang beranggapan bahwa kalâm Allah adalah dengan huruf, suara,
nagham, dan bahasa yang qadîm.
Persaksian pertama di atas memperkuat asumsi bahwa Ibn ‘Arabî sepakat
dengan ulama Sunnî dalam menetapkan sifat nafsiyyah, salbiyyah, ma‘ânî pada Allah
172 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 63. 173 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 63. 174 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 63. 175 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 63.
Hal ini menyebabkan muncul komentar sebagian . ammad Sawhdan risalah Nabi Mu
sejarawan Muslim bahwa akidah awam yang dijelaskan Ibn ‘Arabî merupakan akidah
Sunnî; Asy‘ariyyah dan Mâturidiyyah. Apabila dibandingkan dengan kategorisasi al-
a akidah yang dijelaskan pada poin ini mak, alhNi-Milal wa alSyahrastânî dalam
termasuk Sifâtiyyah; yakni golongan yang mengakui sifat-sifat Allah.176
2. Gagasan Ibn ‘Arabî Mengenai Akidah Ahl al-rusûm
Tingkatan akidah ini juga disebut dengan akidah al-Nâsyiyyah al-Syâdiyyah.
Ibn ‘Arabî menjelaskan kaidah-kaidah teologi dengan ungkapan yang pendek, padat,
tetapi rumit pada bagian secara naratif. Akidah ini dinamai dengan Risâlah al-Ma‘lûm
min ‘Aqâ'id Ahl al-Rusûm.177 Walaupun argumentasi teologis yang dikemukakan di
sini lebih banyak mirip dengan akidah Asy‘ariyyah, namun bukan berarti Ibn ‘Arabî
secara otomatis disebut sebagai teolog Asy‘ariyyah yang utuh. Hal ini dikarenakan ia
mengritisi setiap golongan yang memahami konsep ketuhanan melalui analisis rasio
pada tingkatan akidah yang ketiga. Sedangkan Asy‘ariyyah termasuk golongan yang
dinilainya memahami konsep ketuhanan melalui analisis rasio. Oleh karena itu selain
Asy‘ariyyah, ia menilai bahwa kaum filosof, Mu‘tazilah lebih banyak keliru
ketimbang memperoleh kebenaran dalam membangun argumentasi mengenai
ketuhanan.
Dalam mengungkapkan akidah ahl al-rusûm atau al-Syâdiyyah, sebenarnya
Ibn ‘Arabî menisbahkan kepada seseorang ulama yang bernama al-Syâdî. Namun ia
tidak menjelaskan secara terperinci sosok al-Syâdî. Ia menuturkan mengenai al-Syâdî
yang menyebutkan bahwa suatu kali empat orang ulama berkumpul di kubah Aryân
tepat di bawah garis khatulistiwa. Mereka adalah ulama Maroko, Masyriq, Syam, dan
176 Al-Syahrastânî, Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), h. 73. 177 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 65.
Yaman. Mereka berdiskusi mengenai pelbagai ilmu dan perbedaan mengenai asmâ'
(nama) dan rusûm (simbol). Masing-masing ulama tersebut mengatakan bahwa tidak
ada sisi positif suatu ilmu jika tidak memberikan kebahagiaan yang abadi kepada yang
mendalaminya. Setelah itu, ia mengajak untuk mediskusikan ilmu yang paling mulia,
yaitu akidah. Masing-masing mereka mengklaim mempunyai wawasan mengenai
ilmu tersebut.178
Setelah itu, ulama dari Maroko atau Imam al-Maghribî mendapatkan giliran
pertama untuk menjelaskan kerangka pemikirannya mengenai eksistensi (wujûd). Ia
menjelaskan bahwa sesuatu yang sebelumnya tidak ada, lalu menjadi ada serta
berlaku padanya hukum waktu, mengindikasikan ada zat yang membuatnya
(mukawwin).179
Imam al-Maghribî juga memberikan kaedah-kaedah lain mengenai prinsip
eksistensi. Ia menambahkan bahwa eksistensi sesuatu yang bergantung dengan
kefanaan sesuatu yang lain, mengindikasikan bahwa eksistensinya tidak akan
terwujud kecuali setelah yang lain binasa. Ia mengungkapkan bahwa sesuatu yang
mempunyai kemungkinan tarkîb (sistem) dan ta’lîf (susunan) pada eksistensi zatnya,
niscaya akan binasa. Sesuatu yang terjadi pada dirinya keserupaan dengan yang selain
dirinya niscaya hilang keutamaannya. Ungkapan yang paling menarik adalah ketika ia
menjelaskan bahwa jika terdapat sesuatu yang lain pada substansinya, niscaya bisa
dilihat. Ia menegaskan bahwa argumentasi rasional inilah yang dikemukakan
mayoritas teolog Asy‘ariyyah ketika menjelaskan keniscayaan ru’yah (penyaksian).180
Adapun argumen rasional yang dimaksud adalah sebagaimana diinformasikan
ullu K", Syahrastânî bahwa para teolog Asy‘ariyyah menetapkan kaedah-oleh al
Ungkapan ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang ".â an yuruhh yashimawjûd
178 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 66. 179 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 66. 180 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 66-67.
ada niscaya bisa dilihat. Dalam hal ini faktor yang membuatnya bisa dilihat adalah
aspek "ada". Dalam konteks ini, Allah adalah Zat Yang Maha Ada, sehingga sangat
memungkinkan untuk bisa dilihat.181
Setelah itu, giliran ulama dari Masyriq atau Imam al-Masyriqî menyampaikan
penjelasan mengenai wawasan yang dikuasainya. Ia menyebutkan bahwa zat yang
tidak terhalang kemampuannya karena ada wujud manusia, maka kemampuan
manusia senantiasa tunduk padanya. Mengenai sifat qidam dan baqâ', ia menjelaskan
bahwa zat yang menerima kemungkinan masa permulaan dan akhir, maka zat tersebut
tentu mempunyai mukhashshish (penentu). Kata ini mengisyaratkan makna subjek
yang memberikan sifat khusus tersebut. Dalam ungkapan lain, ulama al-Masyriqî
menyebutkan bahwa zat mukhashshish merupakan sumber dari irâdah (kehendak)
dalam hukum akal dan alam. Mengenai irâdah, ia menjelaskan bahwa seandainya
Allah Yang Maha Berkehendak (murîd) menginginkan sesuatu yang belum pernah
ada, maka tentulah sesuatu yang tidak ada tersebut menjadi objek yang dikehendaki
(murâd) karena ketiadaannya semula.182
Imam al-Masyriqî juga menambahkan mengenai kesempurnaan sifat qadîm. Ia
menjelaskan bahwa zat yang qadîm tidak menerima kemungkinan permulaan.
Seandainya terjadi pada zatnya sesuatu di luar sifat ini, maka tentulah zat tersebut
menjadi tidak sempurna karena ketiadaan sifat tersebut. Zat yang diakui
kesempurnaannya oleh hukum akal dan nash ada yang tidak disifati oleh
kekurangan.183
Selain itu, Imam al-Masyriqî menjelaskan mengenai sifat-sifat yang lain. Ia
mengungkapkan bahwa seandainya Allah tidak melihat dan mendengar hamba-Nya,
tentulah Dia lebih jahil daripada hamba-Nya. Sedangkan penisbahan sifat jahil
181 Al-Syahrastani, al-Milal, h. 80. 182 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 67. 183 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 67.
kepada-Nya merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Ia juga menambahkan
penegasan mengenai keesaan Allah. Dalam hal ini, ia menyebutkan bahwa
pembahasan mengenai kuantitas tidaklah mampu menyangkal hakikat sifat Allah
Yang Maha Esa.
Pada giliran berikut, Imam al-Syâmî menyampaikan pemikiran teologis yang
mengarah kepada kritikan terhadap Mu‘tazilah. Di antara gagasan yang diajukan
adalah penjelasan mengenai konsep kekuasaan Allah. Ia menegaskan bahwa semua
argumen yang cenderung kepada penolakan aspek ketuhanan adalah sia-sia.
Anggapan bahwa pada alam semesta terdapat sesuatu yang terjadi di luar kehendak
Allah adalah asumsi yang keliru. Ia menilai bahwa orang yang berasumsi seperti itu
tidak memahami substansi tauhid.184
Imam al-Syâmî menolak sikap sebagian aliran kalâm seperti Mu‘tazilah yang
mewajibkan sesuatu aktivitas atau sifat pada Allah, seperti memasukkan orang kafir
ke neraka dan orang beriman ke sorga. Hal ini dikarenakan sikap tersebut akan
berujung pada konklusi bahwa Allah terbatas dengan objek sifat yang diwajibkan. Hal
tersebut, dinilai al-Syâmî, mustahil terdapat pada Allah.185
Ia juga menjelaskan mengenai konsep taklîf (pembebanan hukum).
Sebagaimana diyakini kalangan Sunnî, taklîf dengan sesuatu yang melebihi
kesanggupan mukallaf adalah boleh secara rasio. Ia menilai hal tersebut terbukti
secara rasio dan nash. Selain itu, ia mengaitkan dengan pembicaraan mengenai
keadilan Allah. Ia menegaskan bahwa Allah meliputi segala sesuatu dengan
kekuasaan-Nya. Oleh karena itu, atribut kezaliman dan ketidakadilan tidak layak
184 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 67. 185 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 67.
dinisbahkan kepada-Nya, karena ada pemberlakuan suatu hukum dalam kekuasaan-
Nya.186
Selain itu, Imam al-Syâmî menjelaskan mengenai konsep penilaian keburukan
yang menjadi perdebatan antara Asy‘ariyyah dan )nîshta( dan kebaikan )hîtaqb(
Mu‘tazilah. Ia lebih cenderung kepada konsep Asy‘ariyyah bahwa kedua hal itu mesti
berdasarkan syari'at dan urgensi kemaslahatan. Ia menolak konsep Mu‘tazilah yang
beranggapan bahwa kebaikan dan keburukan dikarenakan substansi suatu objek itu
sendiri. Oleh karenanya, ia menilai bahwa asumsi mengenai kebaikan dan keburukan
dikarenakan substansi pada objek itu sendiri, sebagai pemikiran yang bodoh.187
Ia juga menjelaskan mengenai kemampuan akal dalam mencapai pengetahuan.
Terkadang akal mampu mencapai pengetahuan dengan sendirinya, dan terkadang
tidak mampu sendiri kecuali dengan bantuan sarana lain. Keadaan ini
mengindikasikan keberadaan zat Allah yang menciptakan sarana agar akal sampai
pada pengetahuan.
Imam al-Syâmî juga menjelaskan mengenai posibilitas pengutusan para rasul.
Posibiltas pengutusan mereka tidak mustahil secara rasio. Para rasul adalah makhluk
yang paling mengenal urgensi dan jalan kebaikan. Mengenai perbedaan nabi palsu
dan nabi yang asli (shâdiq), ia memberikan argumentasi teologis dengan menjelaskan
pelbagai posibilitas lain. Seandainya seorang nabi palsu bisa membawa ajaran yang
mirip dengan nabi yang asli, maka akan terjadi perubahan substansi kebenaran. Hal
ini berarti qudrah (kekuasaan) Allah berubah menjadi kelemahan. Bahkan,
kebohongan menjadi mungkin diatributkan kepada Allah. Semua posibilitas ini dinilai
oleh al-Syâmî sebagai sesuatu yang sangat mustahil.188
186 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 67. 187 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 67. 188 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 68.
Pada giliran terakhir Imam al-Yamânî menyampaikan argumen teologis. Ia
terlebih dahulu menjelaskan argumen kebangkitan manusia di akhirat. Sesuatu yang
menjadi binasa setelah diciptakan, sangat memungkinkan dikembalikan sebagaimana
semula. Mengenai kejadian luar biasa seperti mukjizat dan keramat, ia menjelaskan
bahwa zat yang sanggup menerbangkan burung di udara, tentulah sanggup
menerbangkan semua benda.189 Ungkapan ini merupakan premis untuk menyatakan
bahwa Allah berkuasa menggerakkan semua benda di alam semesta.
Imam al-Yamânî juga menjelaskan mengenai konsep kepemimpinan dalam
argumentasi teologis. Ia menegaskan bahwa mempertahankan keharmonisan agama
Islam mesti dilakukan. Namun hal itu tidak mungkin tewujud kecuali dengan kondisi
negeri yang damai. Oleh karena itu, pengangkatan seorang pemimpin merupakan
sebuah keniscayaan pada setiap zaman.190
Menarik, ia juga menyebutkan kriteria seorang pemimpin, sehingga
pengangkatannya menjadi sah. Kriteria tersebut secara umum adalah laki-laki, baligh,
berakal sehat, berilmu, bukan budak, warâ‘, punya keberanian dan kecukupan,
keturunan Quraysy, serta sehat indera pendengaran dan penglihatan.191 Konsep ini
niyyahâSulth-m alâkhA-alMawardî pengarang -jika dibandingkan dengan gagasan al
terlihat sama. Bahkan al-Yamânî menyebutkan kriteria pemimpin harus seorang laki-
laki, sedangkan al-Mawardî tidak menyebutkan sebelumnya.192
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, semua argumentasi teologis yang
disampaikan oleh empat ulama di atas merupakan akidah ahl al-rusûm atau al-
Syâdiyyah. Sebenarnya, argumentasi yang dikemukakan Ibn ‘Arabî berdasarkan
narasi dari al-Syâdî mempunyai konklusi yang sama dengan akidah awam. Hanya saja
189 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 68. 190 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 68. 191 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 68. 192 Al-Mawardî, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2006), h. 19.
akidah al-Syâdiyyah dibangun dengan argumentasi teologis yang bersifat induktif dan
menggunakan metode ilmu manthiq (logika). Sedangkan akidah awam lebih
cenderung bersifat deduktif.
3. Gagasan Ibn ‘Arabî Mengenai Akidah Ahl al-Ikhtishâsh
Ibn ‘Arabî menyebutkan bahwa akidah ahl al-ikhtishâsh min ahl Allâh
merupakan argumetasi yang dibangun dengan menggabungkan antara konsep
pemikiran teologis dan intuitif. Penalaran teologis yang diuraikan Ibn ‘Arabî sangat
berbeda dari penalaran akidah awam dan ahl al-rusûm. Hal ini dikarenakan metode
yang digunakan dalam mencapai suatu ma‘rifah telah menyentuh dunia intuitif yang
lumayan rumit.
Kerumitan tersebut mulai diperlihatkan Ibn ‘Arabî ketika memberikan kalimat
pembuka.
s<))وآ :))Dا3 ب((;+ ن O))ص 5((+ أه B))CPFا O))د أه ))=C2ا "))N O))وص .ا/^79 3 5^;: ا/T=$ل N" نyr C ا/]9.
Dilanjutkan dengan akidah ahl al-ikhtishâsh antara pendekatan pemikiran dan penyingkapan spiritual. Segala puji milik Allah yang membuat
193. untuk menghasilkan pelbagai perspektif)ayyirhmu(akal bingung
Di dalam menjelaskan akidah ahl al-ikhtishâsh, ia memberikan penjelasan
berdasarkan poin-poin pemikiran. Permasalahan pertama yang dikemukakan Ibn
‘Arabî adalah mengenai limit kemampuan akal. Ia memberikan penekanan bahwa
limit tersebut ditinjau dari aspek akal sebagai subjek yang berfikir (mufakkirah).
Ketika ada suatu objek pemikiran yang mustahil terjadi dalam jangkauan akal, maka
bukan berarti mustahil jika dinisbahkan kepada Allah. Sebaliknya, suatu hal yang
193 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 68.
dianggap mungkin secara akal, terkadang mustahil jika dikaitkan dengan
ketuhanan.194
Ketika menjelaskan permasalahan wâjib al-wujûd dan mumkin al-wujûd, Ibn
‘Arabî memberikan poin penting mengenai keutuhan eksistensi. Ia menegaskan
dalam satu kesatuan dari sisi ) Allah (qqaH-albahwa persatuan antara makhluk dan
eksistensi zat merupakan asumsi yang keliru. Adapun persatuan dari aspek sifat yang
diatributkan pada zat, maka hal tersebut merupakan permasalahan lain yang mampu
dimengerti oleh akal.195 Ibn ‘Arabî mengantisipasi sedini mungkin usaha sebagian
orang yang mencoba menjadikan zat Allah sebagai objek pemikiran. Tetapi, ia tidak
menolak kemampuan akal untuk mengetahui zat melalui sifat-Nya, bukan dari zat itu
sendiri.
Konsep ini ia kuatkan dengan memberikan kritikan terhadap sebagian ulama
kalâm yang ia sebut dengan ulama nuzhzhâr (ahli pemikiran). Ia menyatakan bahwa
asumsi mereka bahwa zat Tuhan bisa dicapai dengan akal adalah keliru. Ini
dikarenakan pemikiran manusia bersifat skeptis dan ambigu (mutaraddid) antara
penegasian (salb) dan penetapan (itsbât). Seorang ahli kalâm hanya mengemukakan
konsep tentang sifat Tuhan berdasarkan perspektif yang digunakannya, sehingga
ditetapkan bahwa Allah bersifat ‘âlim, qâdir, dan murîd serta seluruh nama-nama-
Nya. Sedangkan penegasian terhadap atribut berujung kepada ketiadaan zat. Padahal,
tegas Ibn ‘Arabî, ketiadaan bukanlah sifat zat. Hal ini dikarenakan sifat zat merupakan
sebuah ketetapan. Atas dasar ini, ia menilai bahwa sebagaian besar ahli kalâm tidak
mampu mencapai satu ilmu pun mengenai zat Allah karena konsep mereka dibangun
dengan pemikiran skeptis dan ambigu.196
194 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 68. 195 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 69. 196 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 69.
Selain itu, ia memberikan komentar terhadap ketetapan ahli kalâm mengenai
keesaan Allah, "Sesungguhnya Allah ada, sedangkan tidak ada sesuatu pun bersama-
Nya" (kâna Allâh wa lam yakun syay' ma‘ahu), maka Ibn ‘Arabî mengingatkan bahwa
Dia ada " ,Adapun ungkapan tambahan. Nabi SawadîtsHungkapan itu berasal dari
sekarang sebagaimana sebelumnya" (wa huwa al-ân kamâ ‘alayhi kâna) merupakan
tambahan (mudraj) dari ahli kalâm. Ungkapan pertama menurut Ibn ‘Arabî
berdasarkan kasyf i‘tishâmî (penyingkapan yang dijadikan pegangan).197
Ibn ‘Arabî juga membicarakan mengenai kasb (usaha) pada makhluk. Kasb
merupakan korelasi kehendak makhluk terhadap semua objek perbuatan. Adapun
ketetapan (takdir) Allah terdapat pada saat korelasi kehendak tersebut terjadi,
sehingga dinamakan kasab bagi makhluk.198 Hal ini menunjukkan bahwa Ibn ‘Arabî
menolak pemikiran Jabariyyah yang serba takdir.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa konsep jabr (totalitas) tidak benar dalam
pandangan ahli hakikat. Hal ini, ungkap Ibn ‘Arabî, karena konsep tersebut
menegasikan peran atau aktivitas makhluk. Bahkan ia menegaskan bahwa jummâd
(benda-benda yang diam) pun tidak terikat dengan totalitas, karena benda-benda
tersebut tidak mungkin menimbulkan sebuah aktivitas. Padahal benda diam tidak
mempunyai akal yang dimiliki oleh manusia.199
Ibn ‘Arabî tidak sepakat dengan diskursus Mu‘tazilah mengenai objek
ketetapan Allah. Mu‘tazilah berpandangan bahwa Allah hanya menghendaki
kebaikan, sehingga terkesan Allah tidak pernah menetapkan keburukan. Dalam hal
ini, Ibn ‘Arabî menegaskan bahwa Dia menetapkan terjadi keburukan atau balâ'
(sebagai ungkapan lain syarr) dan kebaikan ‘âfiyah (sebagai ungkapan lain khayr).
Permasalan ini bisa dipahami dari nama-nama Allah yang terkesan bertentangan
197 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 69. 198 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 70. 199 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 70.
kontradiktif secara lahiriah, yaitu Muntaqim (Maha Pemurka) dan Ghâfir (Maha
Pengampun). Sifat pemurka yang dipahami dari nama-Nya Muntaqim sama-sama
berlaku pada alam semesta secara bergendengan dengan sifat pengampun yang
dipahami dari nama-Nya Ghâfir. Salah satu dari nama tersebut tidak mungkin
dihilangkan karena ada nama yang lain. Seandainya ada nama Allah yang tidak
mempunyai urgensi, maka akan terjadi ta‘thîl (penegasian sifat). Sedangkan ta‘thîl
merupakan sesuatu yang mustahil pada aspek ketuhanan.200 Ungkapan ini
menunjukkan bahwa Allah dalam pandangan Ibn ‘Arabî menetapkan semua hal,
termasuk kebaikan dan keburukan pada alam semesta. Sikap ini bertujuan agar
terhindar dari penegasian nama-nama Allah.
Namun di dalam pemaparan lain, Ibn ‘Arabî memberikan penjelasan dalam
membedakan kehendak (irâdah) dan ketetapan (qadhâ' atau qadr) Allah. Sifat irâdah
Allah tidak menginginkan keburukan atau kekejian, sebagaimana Dia tidak
memerintah dengan kekejian.201 Ungkapan ini berbeda dengan konsep Asy‘ariyyah
bahwa Allah menghendaki kebaikan dan keburukan/kekejian sekaligus dengan irâdah
yang qadîm. Tetapi Ibn ‘Arabî sepakat dengan Asy‘ariyyah bahwa keburukan
termasuk ketetapan Allah. Ia menambahkan bahwa hal tersebut dikarenakan
keburukan merupakan kawn (kondisi keberadaan) bukan ‘ayn (substansi).202 Pada
konteks lain, ia mengingatkan bahwa tidak menjadi keniscayaan bahwa ketetapan
Allah terhadap sesuatu menunjukkan keridaan terhadap objek yang ditetapkan (dalam
hal ini adalah keburukan/kekejian). Hal ini dikarenakan ketetapan merupakan hukum
Allah. Sedangkan manusia hanya diperintahkan rida dengan hukum bukan terhadap
objek yang dihukumi.203
200 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 70. 201 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 73. 202 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 73. 203 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 76.
Sisi lain yang menarik adalah sikap moderat menghadapi perdebatan
Mu‘tazilah dan Asy‘riyyah mengenai aksiologis. Ibn ‘Arabî mengungkapkan bahwa
bersifat substansial pada objek )hîqab(dan keburukan ) asanh(objek kebaikan
tersebut. Ungkapan ini berarti bahwa suatu objek dikatakan baik karena substansinya
baik. Sebaliknya suatu objek dikatakan buruk karena substansinya buruk. Di antara
dua objek ini ada yang mampu diketahui oleh akal, dan ada yang tidak mampu
diketahui oleh akal kecuali dengan petunjuk syari‘at. Namun, berpegang dengan
konsep sebelumnya, Ibn ‘Arabî mengatakan bahwa suatu objek yang dikatakan baik
atau buruk oleh syari‘at hanya bersifat informasi (khabr), bukan penetapan. Ini
dikarenakan informasi tersebut berkaitan dengan konteks yang ada, baik zaman,
kondisi, maupun personal. Ia mencontohkan "pembunuhan", berbeda implikasi
hukumnya jika dilakukan secara sepihak (disengaja), atau perintah membunuh dalam
peperangan, atau sanksi.204
Di samping itu, Ibn ‘Arabî konsisten mengatakan bahwa keburukan tidak akan
pernah berubah menjadi kebaikan secara substansial selamanya. Sebaliknya kebaikan
tidak akan pernah berubah menjadi keburukan secara substansial selamanya. Tetapi ia
tidak memungkiri, terkadang keburukan malah memiliki implikasi yang positif.
Sebaliknya terkadang kebaikan malah berimplikasi negatif. Ia mencontohkan
kejujuran, terkadang justeru membawa keburukan (baca: kesialan). Atau kebohongan
terkadang justru berakibat kebaikan (baca: kedamaian).205
Dalam membicarakan konsep ilmu, secara umum Ibn ‘Arabî menegaskan
bahwa pengetahuan bukanlah deskripsi mengenai objek (ma‘lûm). Pengetahuan juga
bukan makna yang dideskripsikan seseorang terhadap objek. Adapun alasannya,
ungkap Ibn ‘Arabî, karena tidak semua objek pengetahuan mampu dideskripsikan,
204 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 75. 205 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 76.
dan tidak semua personal yang ‘âlim mampu memberikan deskripsi terhadap suatu
objek. Deskripsi tersebut pada personal yang ‘âlim hanya dari aspek dia mampu
berimajinasi, sehingga gambaran dari deskripsi terhadap objek tersebut dibatasi oleh
kemampuan imajinasi. Oleh karena itu, Ibn ‘Arabî memberikan pernyataan bahwa ada
objek pengetahuan yang tidak mampu dideskripsikan oleh imajinasi seseorang,
sehingga imajinasinya beranggapan bahwa objek tersebut tidak ada gambarannya.206
menambahkan Ibn ‘Arabî, tâhûFut-alDi halaman yang berbeda pada kitab
bahwa ilmu Allah tidak berubah dengan perubahan objek yang diketahui. Adapun
yang terjadi hanya perubahan pada ta‘alluq (korelasi). Sedangkan ta‘alluq merupakan
penisbahan terhadap objek.207
Selain itu, Ibn ‘Arabî juga mengemukakan bahwa sifat-sifat Allah seperti
Maha Mengetahui, Maha Hidup, Maha Berkuasa dan lainnya merupakan penisbahan
kepada zat-Nya. Sifat-sifat tersebut bukan substansi-substansi yang berafiliasi atau
bertambah pada zat Allah, karena akan mengindikasikan ketidaksempurnaan zat.
Padahal, ungkap Ibn ‘Arabî, sesuatu yang sempurna karena afiliasi yang lain berarti
tidak sempurna dengan keberadaan zatnya sendiri. Sedangkan Allah Maha Sempurna
dengan zat-Nya sendiri. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa afiliasi suatu zat
dengan zat yang lain adalah mustahil terjadi. Namun tidak menutup kemungkinan
terjadi penisbahan suatu atribut kepadanya.208 Ia tidak setuju dengan ungkapan
Asy‘ariyyah bahwa sifat sebagai zâ'id (tambahan) pada zat Allah. Ia lebih cenderung
menggunakan ungkapan sifat sebagai nisbah (penisbahan). Perbedaan dua ungkapan
ini sebenarnya hanya pada tataran term yang digunakan.
Namun pada kesempatan lain, Ibn ‘Arabî mengomentari ungkapan
Asy‘ariyyah mengenai korelasi sifat dan zat.
206 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 70. 207 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 72. 208 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 70.
_:;G "ه Fه" ه$، و F. Sifat itu bukan zat, namun sifat juga tidak lain dari zat.209
Ungkapan ini mengindikasikan bahwa mereka menetapkan sifat sebagai
tambahan terhadap zat. Padahal, menurut Ibn ‘Arabî, kenyataannya tidak seperti itu.
Tetapi, ia menilai bahwa Asy‘ariyyah juga mengingkari afiliasi sifat pada zat dengan
menegaskan, "Namun sifat juga tidak lain dari zat".210
Ibn ‘Arabî berbeda dari Wâshil bin ‘Athâ' tokoh pendiri Mu‘tazilah yang
menolak penetapan sifat-sifat zat. Secara tidak langsung Ibn ‘Arabî menilai Wâshil
menetapkan substansi pada sifat qadîm, sehingga berujung mengakui keberadaan dua
"tuhan".211 Hal ini dikarenakan penalaran Wâshil cenderung memahami bahwa sifat
adalah zat, sebagai penolakan terhadap pendapat kelompok Shifâtiyyah; yang akan
menjadi cikal bakal aliran Asy‘ariyyah. Penalaran Wâshil tersebut menilai penetapan
sifat terhadap zat mengindikasikan zat yang lebih dari satu. Sebagai kritikan terhadap
Mu‘tazilah dalam masalah sifat, Ibn ‘Arabî menegaskan walaupun sifat pada zat
tersebut tidak hanya satu, namun bukan berarti yang disifati lebih dari satu.212
Selain Mu‘tazilah, Ibn ‘Arabî juga mengritisi dua golongan aliran teologi;
Asy‘ariyyah dan Mujassimah mengenai antropomorfisme (tasybîh) sifat-sifat Allah.
Ia menilai bahwa kedua golongan tersebut sama-sama terjebak pada tasybîh. Secara
umum sejarawan Muslim hanya menjelaskan bahwa yang terjebak dalam tasybîh
adalah Mujassimah. Namun ternyata dalam pandangan Ibn ‘Arabî, sebagian golongan
Asy‘ariyyah juga terjebak dalam hal ini. Ia mengemukakan bahwa ketika Asy‘ariyyah
melakukan interpretasi terhadap sifat Allah yang mutasyâbihât seperti yadd, ‘ayn,
209 Namun dalam teks al-Futûhât dinukil redaksi yang sedikit berbeda: 0/ ر ;Gه" أ Fه" ه$، و F. 210 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 70. 211 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 71. 212 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 71.
istawâ, maka mereka beranggapan telah keluar dari konsep tasybîh. Padahal mereka
hanya berpindah dari tasybîh yang bersifat fisik kepada tasybîh maknawi (tasybîh al-
Ungkapan ini berarti penyerupaan sifat Allah secara maknawi . )datsahhmu- alniâma‘
dengan makhluk. Dalam pandangan Ibn ‘Arabî, seseorang tidak perlu melakukan
interpretasi terhadap sifat mutasyâbihât, karena hal tersebut merupakan kekeliruan.
Adapun mengenai Mujassimah, Ibn ‘Arabî keberatan dengan sikap mereka yang
berlebihan dalam memahami sifat-sifat mutasyâbîhat secara tekstual. Walaupun
mereka masih berpegang kepada ayat laysa kamitslihi syay' (tidak ada yang
menyerupai-Nya sesuatu pun), tetapi mereka kaku dalam memahami teks-teks
mengenai sifat.213
Kritikan Ibn ‘Arabî terhadap kedua golongan tersebut menunjukkan bahwa ia
tidak mengikuti salah satu dari mereka. Ibn ‘Arabî membangun konsep tauhidnya
dengan tidak taklid dan fanatis kepada aliran-aliran teologi yang ada. Tetapi kritikan
Ibn ‘Arabî terhadap Asy‘ariyyah tidak bisa dipahami secara general, karena tidak
semua mereka seperti itu. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh al-Syahrastânî
seorang teolog Asy‘ariyyah bahwa Allah tidak menyerupai dan diserupai oleh sesuatu
pun dari semua sisi penyerupaan dan penyamaan.214 Penegasan ini menunjukkan
bahwa tidak semua golongan Asy‘ariyyah terjebak pada tasybîh maknawi.
213 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 71. Ayat tersebut surat al-Syûrâ: 11. 214 Al-Syahrastânî, Nihâyah al-Iqdâm fî ‘Ilm al-Kalâm ed. Alfred Geum, (t.th.), h. 103.
BAB IV
STATUS TEOLOGI IBN ‘ARABÎ
A. Perdebatan mengenai Status Teologi Ibn ‘Arabî
Secara umum, komentar para ulama tentang Ibn ‘Arabî telah dikemukakan
pada pembahasan sebelumnya. Adapun pada bagian ini akan diungkapkan tanggapan
lain yang berkaitan dengan Ibn ‘Arabî.
Ibn ‘Arabî dinilai dengan pelbagai perspektif oleh para ulama. Perbedaan
tersebut justeru terjadi di kalangan Sunnî yang konon mayoritas. Di antara mereka
ada yang menilai Ibn ‘Arabî sebagai seorang wali yang agung, Sunnî yang zuhud, dan
tokoh intelektual Muslim yang luar biasa. Namun juga ditemukan di antara mereka
yang mengritisi dan mengecam Ibn ‘Arabî. Menarik, ada di antara mereka yang
menyerahkan permasalahan ini kepada Allah; sebuah sikap skeptis. Perbedaan
tersebut bersumber dari sejauh mana perkenalan mereka terhadap pemikiran Ibn
‘Arabî. Ketika mereka memahami ungkapan-ungkapan Ibn ‘Arabi secara tekstual,
maka akan lahir kritikan dan kecaman. Sedangkan bagi para ulama yang merasa tidak
mengerti terminologi yang digunakan Ibn ‘Arabî dan sufi lainnya, maka mereka lebih
memilih diam dan menyerahkannya kepada Allah.
’illâh pengarang Adapun kelompok pertama di antaranya adalah Ibn ‘Athâ
-‘Abd al, îzanâTaft-al, înâSya‘r- al,Suyûthî- al,îfi‘âY-h alâAbdull, ikamH-alkitab
Ghanî al-Nabûlisî, dan lainnya. Khatîb al-Syarbînî seorang Sunnî dari kalangan
Syâfi‘iyyah juga menegaskan bahwa Ibn ‘Arabî termasuk golongan sufi yang mulia.
yang tâhasyathIa juga menyatakan bahwa ketika seorang yang bukan sufi memahami
berasal dari Ibn ‘Arabî, maka harus dipahami secara majâzî. Sedangkan pada seorang
inologi yang berlaku di bermakna hakiki sesuai dengan termtâhasyathsufi sendiri
dalam tasawuf. Berdasarkan ini, Khathîb keberatan pada pendapat yang mengecam
Ibn ‘Arabî, karena mereka hanya memahami secara tekstual.215 Oleh karena itu pula,
al-Malîbarî mufti madzhab Syâfi‘î mengharamkan membaca karangan Ibn ‘Arabî bagi
yang tidak memahami terminologi ilmu tasawuf.216
Adapun kelompok kedua di antaranya adalah Ibn Taymiyyah sebagai tokoh
terdepan. Sedangkan yang lainnya seperti Ibn al-Qayyim, Ibn al-Muqri' al- Syâfi‘î, al-
Baqâ‘î, al-Syawkânî terkesan hanya mengikuti kritikan Ibn Taymiyyah. Mereka
menolak pemahaman majâzî terhadap ungkapan-ungkapan Ibn ‘Arabî yang dianggap
kufur secara tekstual. Oleh karena itu, al-Baqâ‘i yang juga bermadzhab al-Syâfi‘î
cenderung kepada pendapat Ibn al-Muqri'; bahwa siapa yang skeptis terhadap
kekufuran Ibn ‘Arabî adalah kafir.217
Adapun kelompok ketiga adalah seperti Ibn Katsîr pengarang tafsir dan
sejarawan Muslim. Ia termasuk orang yang sangat setia mengikuti liku-liku hidup Ibn
Taymiyyah dan Ibn al-Qayyim. Tetapi dalam hal ini, ia tidak secara jelas mengikuti
Ibn Taymiyyah. Ia cuma mengatakan bahwa di dalam karangan Ibn ‘Arabî terdapat
ungkapan bisa dicerna dan yang tidak bisa dicerna oleh pikiran.218
Selain itu, banyak ilmuwan mempertanyakan teologi apakah yang dianut oleh
Ibn ‘Arabî. Dalam hal ini, ada yang menanggapi bahwa Ibn ‘Arabî adalah seorang
Syî‘ah. Pendapat ini didasari karena diskursus mengenai konsep tasawuf Ibn ‘Arabî
sangat maju di kalangan Syî‘ah. Mereka menyebut kajian tersebut dengan konsep
di utama nâ‘irf kitab liyyahâMuta‘-ikmah alH-al pengarang â ShadrâMull. nâ‘irf
kalangan Syî‘ah, terbukti banyak meminjam istilah dan mengembangkan pemikiran
Ibn ‘Arabî.
215 Khathîb al-Syarbînî, Mughnî al-Muhtâj, (Kairo: al-Tawfîqiyyah, t.th) v. 3 h. 55. 216 Al-Malîbarî, Qurrah al-‘Ayn, (Surabaya: Dâr Ihya' al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th.) h.. 134. 217 Al-Baqa’i, Tanbîh al-Ghabî, h. 225. 218 Ibn Katsîr, al-Bidâyah, v. 13 h. 90.
Tetapi tidak sedikit yang keberatan dengan klaim ini, seperti al-Sayyid Ja‘far
Murtadhâ al-‘Âmilî tokoh Syî‘ah kontemporer. Al-‘Âmilî menulis penolakannya
dalam kitab Ibn ‘Arabî Laysa bi al-Syî‘î. Judul tersebut dengan jelas menunjukkan
bahwa Ibn ‘Arabî bukanlah seorang Syî‘ah.
Al-‘Âmilî memperkuat penolakannya dengan menyebutkan dua kriteria
seseorang disebut dengan Syî‘ah (tasyayyu‘). Ketika salah satu dari dua kriteria
tersebut hilang maka, tidak ada alasan seseorang disebut sebagai Syî‘ah. Dua kriteria
tersebut antara lain, pertama menjadi pengikut Imam ‘Alî dalam hal walâ'
(kepemimpinan), serta berkeyakinan mengenai kekhalifahannya langsung setelah
wafat Nabi Saw. Kriteria kedua, adalah menafikan kepemimpinan orang-orang yang
menjadi khalifah sebelum Imam ‘Alî. Ia menegaskan bahwa kriteria kedua sangat
penting, karena kepemimpinan tidak diakui kecuali untuknya. Hal inilah yang
membedakan seorang Syî‘ah atau non-Syî‘ah. Oleh karena itu, al-‘Âmilî
mempertanyakan status tasyayyu‘ Ibn ‘Arabî.219
Di lain pihak, ditemukan di dalam karangan Ibn ‘Arabî mengenai
penghormatannya terhadap ahl al-bayt dan keturunan mereka. Namun hal ini tidaklah
,33: bâzhA-mengherankan karena penghormatan tersebut berdasarkan surat al
.K];:اإن7A:A 9n ا/e;/ 0nIهZ12 g. ا/:pجz أهO ا/R;@ وp[KA:آ. 6"Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu, hai
ahl al-bayt dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya".
Ibn ‘Arabî menegaskan bahwa para ahl al-bayt akan diampuni oleh Allah di
akhirat kelak. Namun di dunia tidak ada perbedaan dalam menghukumi mereka
sebagaimana umat Islam yang lain. Tetapi, Ibn ‘Arabî mengingatkan, walaupun
mereka bersalah secara zhahir di dunia, namun tetap tidak boleh mencela mereka. Hal
ini dikarenakan dosa mereka hanya dalam bentuk zhahir saja bukan substansi yang
219 Al-Sayyid Murtadhâ al-‘Âmilî, Ibn ‘Arabî Laysa bi al-Syî‘î, buku ini diakses pada tanggal
16 Desember 2008 http://www.aqaed.com/shialib/books/04/ibn-arabi/index.html
sebenarnya. Sedangkan dosa-dosa mereka akan diampuni oleh Allah Swt
220.33b ayat hâzhA-dalam surat alfirman Allah sebagaimana
Penjelasan di atas bukan berarti Ibn ‘Arabî merupakan seorang Syî‘ah. Hal ini
dikarenakan ia menegaskan di paragraf yang lain bahwa tidak disebut mencintai ahl
al-bayt melainkan orang yang menilai baik tentang mereka.221 Ungkapan ini
menunjukkan bahwa siapa saja yang berpikiran buruk atau mencaci keluarga dan
keturunan Nabi Saw maka mereka bukanlah pencinta ahl al-bayt.
Menarik, sebenarnya Ibn ‘Arabî pernah mengkritisi dengan keras dan eksplisit
siapa yang ia anggap mencaci sebagian ahl al-bayt Nabi Saw dan para sahabatnya.
Ketika berbicara mengenai khawâthir syaythâniyyah (lintasan atau bisikan syetan), ia
dengan terang-terangan menyebutkan bahwa hal tersebut sering bermunculan di
kalangan Syî‘ah; termasuk di dalamnya Imâmiyyah. Sikap mereka, ungkap Ibn
‘Arabî, yang berlebihan mencintai ahl al-bayt dan mencaci para sahabat Nabi Saw
merupakan hasil dari bisikan syayâthîn al-jinn (syetan-syetan dari kalangan jin). Oleh
karena itu, Ibn ‘Arabî berpandangan bahwa sikap aliran Syî‘ah dalam hal ini adalah
keliru, sehingga menyebabkan mereka sesat dan menyesatkan.222
Di samping itu, di kalangan Syî‘ah ditetapkan bahwa kemuliaan ‘Alî dan
kepemimpinannya langsung setelah Nabi Saw. Dalam hal ini, walaupun Ibn ‘Arabî
mengakui kemulian dan kepemimpinan ‘Alî, tetapi tidak langsung setelah Nabi Saw.
Hal ini dikarenakan ia mengakui ketinggian maqâm kewalian Abû Bakr al-Shiddîq. Ia
menyebutnya dengan maqâm al-niyyâtiyyûn; keinginan mereka sesuai dengan
kehendak Allah. Ibn ‘Arabî menegaskan bahwa maqâm ini sangat sulit dicapai,
Tokoh . )im'âr dûudhh(menerus -karena menghendaki kesadaran hati yang terus
220 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 298. 221 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 301. 222 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 424.
tertinggi, ungkap Ibn ‘Arabî, yang mencapai tingkatan ini adalah Abû Bakr al-
Shiddîq.223
Berdasarkan penjelasan di atas, klaim bahwa Ibn ‘Arabî seorang Syî‘ah yang
didasari karena diskursus mengenai pemikirannya berkembang pesat di kalangan
Syî‘ah tidak cukup untuk menjadikannya sebagai seorang Syî‘ah. Hal ini dikarenakan
di kalangan Sunnî pun diskursus mengenai Ibn Arabi tidak kalah maju; baik dari sisi
penerimaan maupun penolakan. Namun sayang, tidak banyak yang mengeskpos
kenyataan di kalangan Sunnî tersebut, kecuali berupa sisi penolakan. Tokoh terdepan
dalam menolak konsep Ibn ‘Arabî adalah Ibn Taymiyyah, al-Baqâ‘î, dan al-Syawkânî.
Sedangkan setelah wafat Ibn ‘Arabî, tampil anaknya Sa‘ad al-Dîn dalam
mengembangkan konsep sang ayah, dan pembela-pembelanya seperti al-Qûnawî, al-
Yâfi‘î, al-Suyûthî, al-Sya‘rânî, dan ‘Abd al-Ghanî al-Nâblûsî.
Ibn ‘Arabî terhadap ululH dan adhIttikidah Tuduhan a. B
Dalam hal ini, Ibn Taymiyyah memberikan kritikan tajam pada Ibn ‘Arabî
kelompok yang beranggapan bahwa ; yyahulûliHiyyah âdhIttidengan sebutan Imam
Allah bersatu dengan hamba dan memasuki jiwa hamba.224 Ibn Taymiyyah beralasan
Tetapi jika .âthFutû-aldi awal akidah tersebut kan ungkap meng‘Arabîkarena Ibn
diperhatikan dengan jeli, maka ditemui bahwa Ibn ‘Arabî mengatakan itu pada
Namun Ibn Taymiyyah mengabaikan .ayrahhatau maqâm " keheranan"konteks
konteks pembicaraan tersebut. Adapun teksnya adalah sebagaimana berikut.
JQ 7RT/وا JQ ا/:ب ...sIZ9/ي 5+ ا:T8 @;/ A أو *I@ رب أنsIZA H... إن *eN 7R2 @Iاك 5;@
.qaqhsedangkan hamba juga , qqaHTuhan itu Duhai, siapakah yang disebut mukallaf?
223 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 322. 224 Ibn Taymiyyah, Minhâj al-Sunnah, v. 5 h. 426.
Jika engkau mengatakan hamba, maka pada hakikatnya ia mati. Jika engkau mengatakan Tuhan, maka mana mungkin ia dibebani?225
Ibn Taymiyyah menilai bahwa Ibn ‘Arabî meyakini hanya ada satu eksistensi.
Wâjib al-wujûd dalam hal ini adalah Tuhan, merupakan substansi (‘ayn) mumkin al-
wujûd yaitu alam. Ibn Taymiyyah bahkan mengeneralisir bahwa dalam pandangan Ibn
‘Arabî eksistensi alam semesta merupakan substansi Tuhan.226 Berdasarkan
pemahaman ini, Ibn Taymiyyah menegaskan bahwa eksitensi hamba bagi Ibn ‘Arabî
bukan berwujud sebagai ciptaan, tetapi sebagai wâjib al-wujûd yang qadîm. Dalam
ungkapan lain bisa disebutkan bahwa hamba atau alam semesta adalah substansi
Ia . wujûd-aldah hwaIni merupakan inti dari pemikiran . mîqadTuhan yang bersifat
Bahkan tidak 227.dâhittidan l ûulh akidah dengan‘Arabîmenyetarakan pemikiran Ibn
dengan‘Arabî Ibn wujûd-aldah hwa menyamakan konsep Taymiyyahjarang Ibn
diyyah wa âhItti-alsehingga ia menyebutnya sebagai Imam , dâhittidan l ûulh akidah
Tiga terminologi ini sering dialamatkan Ibn Taymiyyah kepada Ibn 228.iyyahulûlH-al
‘Arabi. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Kautsar Azhari Noer, dalam
diskurus kontemporer pemikiran Barat ditemukan istilah panteisme dan monisme atau
Kautsar . Prof229.dûwuj-dah alhwagabungan keduanya untuk mengganti istilah
keberatan menggunakan kedua istilah baru tersebut dialamatkan kepada Ibn ‘Arabi.
Hal ini dikarenakan interpretasi mengenai panteisme dan monisme sangat beragam,
225 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1, h. 15. Ibn Taymiyyah menukilkan sesuai dengan teks dalam
al-Futûhât. Ibn Taymiyyah, Majmû‘ al-Fatâwâ, v. 2 h. 111. 226 Ibn Taymiyyah, Majmû‘, v. 2 h. 112. 227 Ibn Taymiyyah, Majmû‘, v. 2 h. 115. 228 Di dalam diskursus kontemporer dibedakan terminologi wahdah al-wujûd, ittihâd, dan
hulûl. Wahdah al-wujûd menunjukkan paham bahwa eksistensi hanya satu, ittihâd berarti ada dua eksistensi yang menjadi satu, dan hulûl berarti ada dua eksistensi namun salah satu dari keduanya menempati atau memasuki yang lain.
229 Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabî: Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 34.
sehingga dikhawatirkan menimbulkan kesalahpahaman.230 Namun kajian ini bukanlah
bertujuan untuk membahas mengenai dinamika interpretasi panteisme.
yang menolak konsep ‘Arabîdi lain pihak ditemukan dalam teks Ibn , Tetapi
, menegaskan‘ArabîIbn . ulûlhdan âdhitti
.و5 * ل ب 6F^ د إF أهO اj/^ د-ahl almelainkan ia , âdhittian berkeyakin) seseorang(Tidaklah "
231."dâhil
jauh , âdhitti terhadap konsep ‘ArabîIni merupakan penolakan keras Ibn
Hal ini dikarenakan ia . iyyahâdhitti menuduhnya berakidah Taymiyyahsebelum Ibn
yang ; )ateis (dâhil-ahl almenyebut orang yang berakidah seperti itu sebagai
mengindikasikan terjadi persatuan Tuhan dan alam. Paham ini akan berujung kepada
penafian eksistensi Tuhan. Bahkan Ibn ‘Arabî dalam menjawab pertanyaan yang ia
menyebutkan bahwa orang yang berakidah îhâkasyf ilyakini jawabannya berasal dari
Ibn ‘Arabî , Pada bab lain232.)nûidhhmuwa ( bukanlah tergolong ahli tauhidulûlh
ân dengan 'Qur-ng memahami beberapa ayat di dalam almenyebut orang ya
sebagai orang , )pembatasan (dîdhtadan ulûlhyaitu , )terlarang (rûzhhmapemahaman
yang jahil.233
Ia juga menegaskan dalam teks lain,
F دواء /7ا0r وg;Rt F و5+ * ل ب /^I$ل IT5 $[N$ل وه$ 5:ض0r E8 "N HTlA.
maka dia orang yang sakit , ulûlhSiapa yang berkeyakinan "(agamanya). Penyakit yang tidak ada obatnya, dan dokter juga tidak akan
berusaha mencarikan penawarnya"234
230 Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabî, h. 226. 231 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 7 h. 129, bab 559. 232 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 3 h. 125. 233 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 2 h. 45. 234 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 7 h. 129, bab 559.
mencela sebagian ia menjelaskan alasannya Quds- alhûRdi dalam , Selain itu
Ini menunjukkan bahwa Ibn ‘Arabî mengakui ada kaum sufi yang terjebak . kaum sufi
.ulûlh dan âdhittikepada
, ulûliyyahHCelaanku terhadap kaum sufi adalah karena kelompok " dan sejenisnya dari mereka mengungkapkan pelbagai klaim dan iyyahhâIb
pura-pura dalam menampilkan (ungkapan-ungkapan aneh)."235
Walaupun demikian, Ibn ‘Arabî masih bersikap toleran dengan memberikan
klasifikasi teologis ketika seorang sufi mengungkapkan kata-kata yang pada
terdapat perkataan sufi hakiki Ketika . ulûlhdan âdhittinya terkesan ada unsur zhahir
dengan indikasi tersebut, maka hal itu bukan seperti yang dipahami para teolog
, abbahhmaHal ini dikarenakan seorang sufi terkadang mencapai tingkatan . umumnya
sehingga tidak ada kecuali hanya satu cinta. Kesatuan cinta tersebut diungkapkan
dengan kata-kata yang sangat puitis. Ibn ‘Arabî mencontohkan,
0Q0روQرو "Qورو ،"Q8|@ وإن 8|@ . رو h<A إنh<A. Jiwanya adalah jiwaku, begitu juga jiwaku adalah jiwanya.
Jika ia berhasrat maka aku berhasrat, dan jika aku berhasrat maka dia juga berhasrat yang sama.236
Ungkapan di atas, Ibn ‘Arabî menjelaskan, menunjukkan bahwa terjadi
kesatuan hasrat antara pencinta, namun personalnya tidak seorang. Namun mereka
mempunyai satu perasaan. Permasalahan ini bisa dipahami oleh Ibn ‘Arabî ketika
berkunjung kepada beberapa guru spiritual di kota Fez negeri Maroko.237 Hal ini
hanya pada lûulh dan dâhittiberarti bahwa penolakan Ibn ‘Arabi terhadap akidah
tataran teologis. Sedangkan sikap toleransinya karena berdasarkan pendekatan
. dalam terminologi teologidâhitti sufi bukanlah dâhitti, Oleh karena itu. sufistik
235 Ibn ‘Arabî, Ruh al-Quds, h. 67. 236 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 7 h. 129, bab 559. 237 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 7 h. 129, bab 559.
Sikap toleran tersebut pernah dikemukakan oleh al-Ghazâlî sebelumnya dalam
Misykât al-Anwâr. Ia mengemukakan bahwa ungkapan esoteris seperti, "Tidak ada
dalam jubahku melainkan Allah" dan ungkapan lain yang serupa hanya berupa
ekspresi kerinduan (‘isyq). Oleh karena itu, al-Ghazâlî mengingatkan bahwa
ingga terjerumus dalam seh, ungkapan tersebut tidak boleh dipahami secara hakiki
238. teologisdâhitti
Selain itu, maksud Ibn ‘Arabî menyatakan bahwa Allah merupakan ‘ayn
segala sesuatu bukan seperti yang dipahami Ibn Taymiyyah. Hal ini dikarenakan Ibn
Taymiyyah memahami bahwa eksitensi hamba bagi Ibn ‘Arabî bukan berwujud
sebagai ciptaan, tetapi sebagai wâjib al-wujûd yang qadîm. Sedangkan Ibn ‘Arabî
tidak bermaksud demikian. Ibn ‘Arabî hanya mengatakan bahwa seorang sufi yang ia
sebut al-faqîr al-ilâhî memandang Allah sebagai ‘ayn alam semesta. Tetapi perlu
diingat bahwa kata ‘ayn biasa diterjemahkan dengan substansi, tetapi pada konteks
berarti sumber hâayh-‘ayn alan Seperti ungkap. tertentu berarti mata atau sumber
kehidupan. Ungkapan ‘ayn alam semesta bisa dipahami dengan "sumber alam
semesta" jika keberatan dengan "substansi alam semesta".
Dalam hal ini, Ibn ‘Arabî menjelaskan bahwa segala sesuatu bergantung
kepada Allah. Bahkan tidak ada sesuatu eksistensi pun melainkan bergantung kepada-
Nya. Sedangkan Allah tidak membutuhkan sesuatu pun. Ungkapan ini merupakan
interpretasi terhadap surat al-Fâthir ayat 15, "Wahai manusia, kamu adalah fakir
kepada Allah, sedangkan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". Penjelasan ini sangat
jelas mengisyaratkan bahwa maksud Ibn ‘Arabî mengatakan bahwa Allah merupakan
‘ayn segala sesuatu bukan seperti yang dipahami Ibn Taymiyyah. Tetapi hal ini mirip
dengan argumentasi teologis para ahli kalâm bahwa eksistensi Allah adalah berdiri
238 Al-Ghazâlî, Misykât al-Anwar, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), h. 12.
sendiri (qiyâmuhu bi nafsihi). Sedangkan segala sesuatu selain Allah bergantung
kepada eksitensi Allah atau disebut qiyâmuhu bi ghayr nafsihi. Oleh karenanya, Allah
disebut sebagai wâjib al-wujûd yang bersifat qadîm. Sedangkan segala sesuatu selain
Allah disebut sebagai mumkin al-wujûd yang bersifat baru (hâdits).239 Sejauh ini tidak
ditemukan dalam teks-teks Ibn ‘Arabî ungkapan bahwa alam atau segala sesuatu
selain Allah itu bersifat qadîm sebagaimana tuduhan Ibn Taymiyyah. Namun yang
justeru mengatakan bahwa alam semesta adalah ‘ArabîIbn , ditemukan sebaliknya
dan y‘ariyyahtetapi argumentasi yang digunakan berbeda dengan As, ditsâh
Mu‘tazilah.
Di samping itu, Ibn ‘Arabî menyebutkan keberatannya terhadap sikap para
ahli kalâm yang sering kontradiktif satu sama lain dalam masalah pokok ketuhanan. Ia
mencontohkan bahwa kebenaran pendapat teolog Asy‘ariyyah adalah benar, tetapi
belum tentu benar menurut Mu‘tazilah. Argumen yang dikemukakan Mu‘tazilah juga
belum tentu benar menurut Asy‘ariyyah. Bahkan, Ibn ‘Arabî mengungkapkan bahwa
para ulama Asy‘ariyyah pun masih berbeda argumen ketika membahas suatu masalah;
q pun juga berbeda â IshAbû. Isfarayaynî- alqâh IsAbû ari berbeda dîuwaynJ-seperti al
dari Qâdhî ‘Iyyâdh. Tetapi mereka tetap mengaku sebagai kelompok Asy‘ariyyah. Hal
yang sama juga terjadi pada Mu‘tazilah dan para filosof. Padahal, menurut Ibn ‘Arabî,
ammad tidak pernah berbeda dalam hdam sampai Nabi MuÂpara nabi sejak Nabi
masalah pokok ketuhanan, tetapi mereka malah saling membenarkan satu sama
lain.240
239 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 2 h. 273, bab 70 pasal "man tajibu lahum al-shadaqah". 240 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 5 h. 120.
BAB V
KRITIK TEOLOGIS TERHADAP IBN ‘ARABÎ
A. Kritik Ibn Taymiyyah terhadap Status Keimanan Fir‘Awn dalam
Pandangan Ibn ‘Arabî
Salah satu tema penting yang membuat sebagian ulama Sunnî keberatan
dengan status teologi yang dianut Ibn ‘Arabî adalah mengenai keimanan Fir‘awn. Di
dalam Jâmi‘ al-Rasâ’il fî Radd ‘alâ Ibn ‘Arabî, Ibn Taymiyyah mengritisi Ibn ‘Arabî
dengan sangat tajam dan berujung kepada pengafiran.
Kecaman tersebut diakibatkan karena pernyataan-pernyataan kontroversial
yang dinisbahkan kepada Ibn ‘Arabî. Ini dikarenakan para ulama telah sepakat
mengenai kekufuran Fir‘awn berdasarkan ayat-ayat yang jelas dan Hadîts-hadîts
shahih. Oleh karenanya, Ibn Taymiyyah mengatakan bahwa Fir‘awn adalah seorang
yang kafir dan mati dalam kekafirannya. Ia juga menegaskan bahwa tidak hanya
Islam yang menegaskan kekafirannya, bahkan agama Yahudi dan Nashrani juga
sepakat mengenai kekafirannya.241
Lebih lanjut, Ibn Taymiyyah menegaskan bahwa siapa yang mengatakan
bahwa Fir‘awn mati dalam keimanan, maka orang tersebut wajib diistitâbah (dimintai
pertobatannya) jika ia mau bertobat, dan jika tidak maka ia wajib dibunuh sebagai
orang kafir dan murtad. Bahkan ia menegaskan bahwa skeptis terhadap kekafiran
Fir‘awn merupakan kekufuran yang besar.242
Kritikan yang sama juga dikemukakan al-Baqâ‘î di dalam kitabnya Tanbîh al-
Ghabî disebutkan bahwa Ibn `Arabî meyakini keimanan Fir‘awn ketika
241 Ibn Taymiyyah, Jamî‘ al-Rasâ’il Risâlah fi Radd ‘alâ Ibn ‘Arabî, (Mishr: t.p., t.t.) h. 203. 242 Ibn Taymiyyah, Jamî‘, h. 204.
ditenggalamkan di Laut Merah.243 Namun kutipan yang dikemukakan al-Baqâ‘î tidak
begitu sempurna, sehingga ada kemungkinan menimbulkan pemahaman yang keliru
terhadap teks Ibn ‘Arabî. Ibn ‘Arabî mengemukakan keimanan Fir‘awn ketika
tenggelam sebagaimana berikut.
و* /@ ا5:أة N:2$ن *:ة 2;+ /" و/0RN c *(:ت 2;1]( ب /9Z( ل ا/(eي [/ OXQ 7)12 3ا _ )K2ي أe)/9( ن اAj 2($ن ب:E/ +;)2 1( وآ( ن *(:ةI* )9آ
t 0XR=N( ه:ا K5](:ا /(;N z;(0 8("ء 5(+ ا/d i)Rfن(0X)R* 0 12(7 . ا/x:قواM?jم 0IR* 5 gSA، وجHI2 >A� 0IT . إ9A نOR* 0 أن glCZA 8;| 5+ ا~ث م
إن(z|);A F 0 5(+ روح (R? 0CA 12^ ن0 /9+ 8 ء z|;A F HCQ 5+ ر9Q< ا3 .IN$ آ ن N:2$ن h;A +95س 5 ب در إ/H ا9Aj ن) ا3 إF ا/=$م ا/N Z:ون
(Isteri Fir‘awn) berkata mengenai bayi Mûsâ kepada Fir‘awn, "(Bayi
Mûsâ) adalah penyejuk mata bagiku dan bagimu (Fir‘awn)" (Q. S. Al-Qashash: 9). (Ibn ‘Arabî berkata:) dengan keberadaan Mûsâ maka isteri Fir‘awn menjadi terhibur, karena kesempurnaan yang ditimbulkannya sebagaimana kami (Ibn ‘Arabî) sebutkan sebelumya. Adapun kesejukan mata (qurrah ‘ayn) bagi Fir‘awn adalah dengan keimanan yang diberikan Allah kepadanya ketika tenggelam. Kematiannya merupakan kematian yang suci tanpa terdapat padanya kekejian. Ini dikarenakan Allah mecabut nyawanya ketika ia beriman sebelum ia berusaha melakukan satu dosa pun. Dan keislaman menghilangkan dosa sebelumnya. Kemudian menjadikan kematian Fir‘awn sebagai tanda (ayat) pertolongan-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki, sehingga tidak ada seorang pun berputus asa dari rahmat Allah, "Sesungguhnya tidaklah berputus asa dari rahmat Allah melainkan orang-
orang kafir." (Q. S. Yûsuf: 86). Seandainya Fir‘awn termasuk orang yang berputus asa tentu ia tidak akan segera beriman (ketika ditenggelamkan).244
Kutipan di atas tidaklah cukup untuk menilai Ibn ‘Arabî sebagai seorang kafir
sebagaimana klaim Ibn Taymiyyah dan al-Baqâ‘î. Namun krtitikan tajam yang
dilontarkan oleh kedua tokoh ini, besar kemungkinan karena mereka mendapatkan
naskah yang telah diberi sisipan (madsûs) atau tidak melakukan komparasi terhadap
literatur Ibn ‘Arabî. Hal ini dikarenakan banyak faktor, di antaranya masa antara Ibn
Taymiyyah dan al-Baqâ‘î yang berbeda. Ibn Taymiyyah baru lahir setelah 30 tahun
kematian Ibn ‘Arabî, dan al-Baqâ‘î baru lahir setelah hampir satu abad, karena Ibn
243 Al-Baqâ‘î, Tanbîh al-Ghabî, h. 118. 244 Ibn ‘Arabî, Fushûsh al-Hikam, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), h. 187,
bandingkan al-Baqâ`i, h. 118
‘Arabî wafat pada tahun 638 H., sedangkan Ibn Taymiyyah baru lahir tahun 666 H.,
dan al-Baqâ‘î lahir pada tahun 805 H. Di samping itu, al-Dzahabî seorang sejarawan
Muslim yang cenderung kepada pendapat Ibn Taymiyyah, mengungkapkan bahwa
kitab-kitab Ibn ‘Arabî baru dikenal setelah kematiannya.
Oleh karena itu, penulis mencoba membandingkan pernyataan kontroversial
yang dinisbahkan kepada Ibn ‘Arabî tersebut dengan dua karyanya; al-Futûhât al-
Makkiyyah dan Fusûsh al-Hikam.
B. Kontoversi Teks Karya Ibn ‘Arabî mengenai Keimanan Fir‘awn
Setelah melakukan pengamatan, penulis menemukan pernyataan Ibn ‘Arabî
yang variatif dan kontrakdiktif pada kitab al-Futûhât. Ia membicarakan tentang
keimanan dan kekufuran Fir‘awn pada kitab ini lebih kurang pada enam pernyataan
dalam empat bab yang berbeda. Untuk lebih lengkap akan diuraikan sebagaimana
berikut.
Pertama, pada bab ke-62 disebutkan,
وه�Fء ا/S9:5$ن أربt a$اsr آN [I" ا/1 ر fA F:ج$ن 15] وه. 2(+ ا/RZC9:ون HI2 ا3 آE:2$ن وأk5 /0 95+ ادH2 ا/:ب$ب;< /0l)E1 ونE ه(
.ا3 Dan orang-orang yang berdosa ada empat golongan semuanya berada
di dalam neraka dan tidak akan pernah keluar darinya. Pertama adalah golongan mutakabbirûn (orang-orang yang sombong) terhadap Allah, seperti Fir‘awn dan orang-orang yang serupa dengannya yakni orang yang menyatakan aspek rubûbiyyah (ketuhanan) pada dirinya dan menafikannya dari Allah.245
Kedua, ia menyebutkan pada bab ke-167,
" "N +A7lE9/وآ1@ 5+ ا OR* @;B2 7*وc2 R6و5 * ل /(0 وأن(@ " أ 1Nأ?((:ا a))5 0))C9Q1(( ب](( /1:ج(($ رN:2 0))/ 9((< ب((>:ىIآ "))[N +A7l))E9/5((+ ا
245 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 455.
ب7RنZC/ c$ن /�R* OR* _:<RN" +)9 روN " 0Q /;$م نc;S1"وأج:ا15 ث. * ل >A� cEIP ">5M2 >A� 7كT6" بhA +9/ ة S1/ن ا$ZC/ "1TA.
Allah berfirman: "Sungguh engkau telah berbuat durhaka sebelumnya,
dan kamu telah menjadi246
orang yang berbuat kerusakan." (Q. S. Yûnus: 91) yakni berbuat kerusakan terhadap pengikutmu, Allah tidak berfirman: "Engkau adalah di antara orang-orang yang berbuat kerusakan" karena firman-Nya di atas merupakan kabar gembira bagi Fir‘awn, kita mengetahuinya agar kita mengharapkan rahmat-Nya, walaupun terdapat kesalahan dan dosa kita.
Kemudian Dia berfirman: "Maka pada hari (engkau ditenggelamkan)
Kami membebaskan engkau..." (Q. S. Yûnus: 92) maka Allah memberikan kabar gembira kepada Fir‘awn sebelum pencabutan nyawanya. (Ayat selanjutnya:) "...dengan jasadmu agar menjadi tanda (âyah) bagi orang
setelahmu." (Q. S. Yûnus: 92) yaitu agar kebebasan tersebut menjadi tanda bagi orang setelahmu.247
Ia melanjutkan,
. OR=A وإنN 9(" وN 5" ا~A< أن بhس ا~P:ة aE6:A F وF أن إ9A ن0 / ا~A< أن بhس ا/7ن; aE6:A F 92(+ ن(�ل ب(0 إذا �Q ")N +)5( ل رؤCA(0 إF *($م
0/$=N zن$A " c7ن)Rب c);S1م ن$;/ )N " 7)*ه:ك و )Dب Fإ J)ITCA F ابe)T/إذ ا 0);N ر ا/9($ت B)N ابe)2 ق:)x/7اء ا)Cن أب )ZN ابeT/06 5+ ا Sن JIf/ا @Aأر
N >;B))T5 ))[IIfC6 .))/ >))|A:ب >B))/ P وه(($ 8((] دة O))92 OX))Nأ H))I2 @X))R=� ب 9AF ن آO ذ/A F HCQ c=1) أ7Q 5(+ ر9Q(< ا3 وا92d( ل ب( /f$ا6. EIC/ا01t ب "N ل$SA 3 9 ن بAFل ا�A .IN.
Pada ayat tersebut tidak disebutkan bahwa adzab akhirat tidak
dihilangkan dan tidak pula disebutkan bahwa iman Fir‘awn tidak diterima. Ayat di atas "Maka pada hari (engkau ditenggelamkan), Kami
membebaskanmu..." menunjukkan adzab tidaklah berhubungan melainkan dengan zhahiriahmu (Fir‘awn). Jasadnya telah diperlihatkan kepada makhluk setelahnya dengan kebebasan dari adzab.
Penenggelamannya merupakan adzab, sehingga kematian menjadi saksi murni yang melepaskannya dari kedurhakaan. Maka nyawanya dicabut dalam keadaan amal yang paling utama, yaitu pernyataan iman. Semua itu menunjukkan agar tidak ada seorang pun yang berputus asa dari rahmat Allah, karena amalan dinilai ketika di akhir usia. Iman kepada Allah masih senantiasa bertempat di dalam jiwanya.248
Ketiga, pada bab ke-198 disebutkan,
246 Dengan fi‘l al-mâdhî (kata kerja yang telah berlalu) yaitu kata "��آ". 247 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 3 h. 416. 248 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 3 h. 416.
.[;N _ 205 ب:ج$02 92 آ ن أد$* .IT;/ 2$ن:N c/eب .I2hN 05+ أن c/ذ Ok5 aEس و5 نhR/ا >Aن0 �5+ 712 رؤ\N 3ا H/5:_ إhN HI2dرب]. ا
zن$A م$* Fاب ا/7ن; إe2 012 aN:N 9 نAFا. Maka Fir‘awn menyatakan (keimanan) agar kaumnya mengetahui
pertobatannya dari apa yang ia nyatakan kepada mereka bahwa dirinya sebagai tuhan yang maha tinggi. Maka perihal Fir‘awn tersebut kembali kepada Allah, karena ia beriman ketika telah melihat adzab. Namun iman pada saat itu tidaklah bermanfaat. Oleh karena itu, adzab dunia dihilangkan darinya kecuali kaum Yûnus.249
Keempat, masih pada bab yang sama disebutkan pernyataan yang berbeda,
ا3 " إ/H اH/ T6 3 و/9 * ل وه. آE ر 5hN:_وF ه$ 5+ ا/9A +Ae$6$ن c7نRب c;S1م ن$;/ N 0/"..
Dan Fir‘awn bukanlah termasuk orang yang mati dalam keadaan kafir, namun urusannya kembali kepada Allah. Ini dikarenakan ada ayat, "Maka
pada hari ini (ditenggelamkan) Kami bebaskan engkau" (Q. S. Yûnus: 92).250
Kelima, pada bab yang sama ia mengatakan,
اQd 7[<);/ 3(7 ب /(7Bق N ")N=7 8]7 اE/ 3:2$ن ب 9Aj ن و5( آ( ن Q$6;7_ أF وSA ز0A ب0 وب7T إ9A نIR=N HB2 9N 0(0 ا3 أن آ( ن *t 0)IR( ه:ا
. آ N:ا إذا أ?I. وجI2 g;0 أن ZN OlCxA ن K6 0/MlG 0*:G];:اوأ >A� cEIP +9/ +A$ZC/ c7نRب c;S1م ن$;/ N " اe)[N zن$)A آ9( آ( ن *($م
.إ9A ن 5$ص$ل
Sungguh Allah telah menyaksikan keimanan Fir‘awn. Dan Allah tidaklah menyakasikan kebenaran seseorang dalam tauhidnya, melainkan Dia membalasnya dengan keimanan tersebut dan setelahnya. Maka Fir‘awn tidaklah mendurhakai Tuhannya, sehingga Tuhan menerima jika hatinya benar-benar suci. Dan Seorang yang kafir jika masuk Islam maka ia mesti mandi, maka penenggelaman Fir‘awn merupakan "mandi" dan "penyucian" baginya, sebagaimana firman-Nya "Maka Allah mengambilnya" pada saat ditenggelamkan...
...Allah berfirman: "Maka pada hari ini (ditenggelamkan) Kami
bebaskan engkau dengan jasadmu..." Sama halnya dengan kaum Yûnus. (Jika seandainya sama) maka ini adalah iman yang sampai (mawshûl)."251
Keenam, pada bab ke-341 disebutkan,
249 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 4 h. 59. 250 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 4 h. 59. 251 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 4 h. 59.
�A< ونN S:2$ن ب7Rن0 دون *$5(0 12(7 �]($ر إ9A ن(xN >)A� 0:ق *05$ 9N+ ر9Q< ا3 بRT( د_ أن *( ل N( /;$م نc);S1 بR(7ن1TA c(" دون *ZC/ c)5$($ن /A� cEIP +9< أي 5M2< /9(+ �5(+ ب( 3 أن S1A;(0 ا3 ب7Rن(0 أي بD( ه:_ N(\ن aأ*$ى ا/9$ان .IT/ن اd ة 5+ ا/>:ك S1/ ب �$E^5 ل�A ./ 01t ب.
Allah menenggelamkan kaumnya, tetapi Dia membebaskan Fir‘awn dengan jasadnya ketika ia menampakkan keimanannya sebagai tanda. (Demikian itu) merupakan di antara rahmat Allah kepada hamba-Nya sebagaimana firman-Nya, "Maka pada hari ini (ditenggelamkan) Kami
bebaskan engkau dengan jasadmu..." yaitu selain kaummu, "...agar menjadi
tanda (ayah) bagi orang setelahmu." (Q. S. Yûnus: 92) artinya bahwa demikian adalah tanda bagi orang yang beriman kepada Allah yang membebaskan Fir‘awn dengan jasadnya atau dengan zhahiriahnya. Adapun batinnya senantiasa dipelihara dengan kebebasan dari syirik, karena pengetahuan (dalam batin) lebih kuat dari larangan zhahir..."252
Pada pernyataan yang pertama disebutkan bahwa Fir‘awn merupakan
golongan mutakabbirûn yang berada di dalam neraka dan tidak akan pernah keluar
darinya. Ini menunjukkan kesepakatan Ibn ‘Arabî dengan konsensus ulama Sunnî,
bahwa Fir‘awn merupakan "penghuni tetap" neraka selama-lamanya.
Namun demikian, kita akan menemukan pernyataan lain yang bertentangan
dengan yang pertama di atas. Pada pernyataan ke-2 disebutkan dalam menjelaskan
surat Yûnus: 91, bahwa ayat tersebut merupakan kabar gembira bagi Fir‘awn. Juga
disebutkan bahwa ayat di atas tidak menyebutkan bahwa adzab akhirat dihilangkan
dari Fir‘awn dan tidak juga disebutkan bahwa imannya tidak diterima. Kemudian di
akhir penukilan ke-2 di atas disebutkan bahwa nyawa Fir‘awn dicabut dalam keadaan
amal yang paling mulia, yaitu pernyataan iman.
Pernyataan yang ke-2 di atas terlihat beberapa kerancuan alur berpikir yang
menurut penulis tidak mungkin terjadi pada seorang Syaykh Akbar sekaliber Ibn
‘Arabî. Pada kutipan ke-3 dan ke-4 lebih terlihat lagi kerancuan alur pemikiran
tersebut. Pada bab yang sama yaitu bab ke-198 disebutkan, "Perihal Fir‘awn tersebut
kembali kepada Allah, karena ia beriman ketika telah melihat adzab. Namun iman
252 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 5 h. 243.
pada saat itu tidaklah bermanfaat".253 Kalimat ini merupakan penolakan terhadap
pernyataan iman Fir‘awn, karena ia baru menyatakannya setelah melihat adzab.
Kemudian pada paragraf yang sama juga disebutkan, "...Dan Fir‘awn bukanlah
termasuk orang yang mati dalam keadaan kafir, namun urusannya kembali kepada
Allah. Ini dikarenakan ada ayat, "Maka pada hari ini (ditenggelamkan) Kami
bebaskan engkau..." (Q. S. Yûnus: 92)."254 Kalimat ini mengindikasikan sikap skeptis
dengan metode tawaqquf; menyerahkan perkara Fir‘awn kepada Allah. Sebuah sikap
yang berasal dari interpretasi terhadap ayat yang memang membuka celah untuk
dipahami seperti itu.
Adapun pada pernyataan ke-5 tetapi masih pada bab ke-198 tidak hanya sikap
tawaqquf, namun dengan terang-terangan disebutkan bahwa Fir‘awn bukanlah
durhaka kepada Allah, dan imannya diterima atau sampai (mawshûl). Bahkan
terdapat tafsir yang ganjil dengan menyebutkan bahwa penenggelaman Fir‘awn
merupakan "mandi" secara maknawi baginya, karena seorang kafir yang masuk Islam
mesti mandi.255 Pernyataan ke-6 tidak jauh berbeda, karena menguatkan sisi keimanan
Fir‘awn.
Apabila diperhatikan secara teliti, maka jelas sekali terdapat kerancuan. Ini
dikarenakan pada satu halaman terdapat tiga sikap yang berbeda, pertama sikap
penolakan terhadap iman Fir‘awn dengan mengatakan bahwa imannya tidak
bermanfaat, karena ia beriman pada saat melihat adzab. Kedua, sikap tawaqquf
dengan menyerahkan urusan Fir‘awn kepada Allah. Ketiga, sikap terang-terangan
dengan menyatakan bahwa iman Fir‘awn diterima (mawshûl).
Dengan demikian, penisbahan satu pendapat dan sikap saja kepada Ibn ‘Arabî
merupakan tidaklah cukup, mengingat terdapat kontradiksi pada teks-teks yang
253 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 4 h. 59. 254 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 4 h. 59. 255 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 4 h. 59.
disandarkan kepadanya. Ini dikarenakan seandainya semua pernyataan tersebut
mengandung tiga sikap bersumber dari Ibn ‘Arabî sekaligus, maka hal itu
menunjukkan sikap inkonsisten yang tidak bisa dimaklumi. Bahkan tergolong kepada
fallacy pemikiran yang biasa disebut dengan sufastha'iyyah; sebuah istilah negatif
untuk orang yang tidak berpendirian. Sikap pertama yang menolak keimanan Fir‘awn
dan menetapkannya kekal dalam adzab neraka Jahanam mengisyaratkan bahwa Ibn
‘Arabî memiliki konsensus yang sama dengan Sunnî lainnya. Hal ini karena ulama
Sunnî telah menyepakati bahwa Fir‘awn kekal dalam neraka.
Namun ketika memperhatikan sikap kedua maka terkesan Ibn ‘Arabî adalah
orang yang skeptis. Jika dinilai dengan sikap ketiga maka terkesan Ibn ‘Arabî adalah
seorang penganut aliran kebatinan, karena ia menerima iman Fir‘awn dari sisi
batinnya saja, sehingga menginterpretasikan ungkapan "penenggelaman" pada ayat di
atas dengan "mandi" maknawi bagi seorang kafir yang masuk Islam.
Namun demikian, penisbahan tiga pendapat yang berbeda, tetapi bertentangan
dalam waktu yang sama kepada satu orang merupakan suatu keganjilan yang tidak
diterima oleh akal sehat. Kenyataan ini menguatkan asumsi bahwa terjadi penyisipan
pada literatur Ibn ‘Arabî. Oleh karena itu, penulis mencoba mencari komparasi dari
tokoh-tokoh sufi lain yang menjadi pengikut dan pembela Ibn ‘Arabî, seperti Imam
al-Sya‘rânî dalam kitab al-Yawâqît wa al-Jawâhir. Ia menjelaskan petualangan
keilmuannya menyelami kitab al-Futûhât dan karangan Ibn ‘Arabî yang lain. Al-
Sya‘rânî menceritakan:
Dan semua perkataan yang menyalahi zhahiriah syariat dan mayoritas ulama yang dinisbahkan kepadanya merupakan sisipan (madsûs) terhadapnya, sebagaimana dikabarkan oleh pembimbing spiritualku: Abû al-Thâhir al-Maghribî yang tinggal di Makkah. Ia memperlihatkan kepadaku naskah asli al-Futûhât yang telah ia terima (dari gurunya) sesuai dengan naskah yang ditulis oleh Syaykh Ibn ‘Arabî di kota Konya. Aku tidak melihat dalam naskah
tersebut sesuatu yang telah membuatku tawaqquf dan menghapusnya (dari naskah yang kuperoleh sebelumnya) saat dahulu meringkas kitab tersebut.256
Kemudian al-Sya‘rânî menjelaskan pada tempat yang lain bahwa di antara
penisbahan yang tidak benar kepada Ibn ‘Arabî adalah pernyataannya mengenai
penerimaan iman Fir‘awn. Al-Sya‘rânî menegaskan bahwa hal itu hanyalah mengada-
ada dan dusta.257 Ini dikarenakan al-Sya‘rânî juga menemukan data yang sama dengan
teks telah kami nukilkan di atas.
Ketika membicarakan mengenai neraka, al-Sya‘rânî kembali menegaskan
bahwa pernyataan mengenai penerimaan iman Fir‘awn merupakan pendustaan
terhadap Ibn‘Arabî. Ini dikarenakan ia telah menegaskan sendiri (pada al-Futûhât bab
ke-62) bahwa Fir‘awn adalah ahli neraka yang kekal di dalam neraka. Al-Sya‘rânî
beralasan sebagaimana sebelumnya bahwa demikian itu adalah sisipan terhadap
kitabnya. Atau sebab lain, lanjut al-Sya‘rânî, seandainya benar penisbahan tersebut
tentu ia hanya mengikuti pendapat Abû Bakr al-Baqillânî murid al-'Asy‘arî. Namun
al-Sya‘rânî menegaskan kembali di akhir pembahasannya, bahwa para ulama telah
sepakat bahwa iman Fir‘awn tidak diterima. Lalu ia berkata: "Maka janganlah engkau
menukilkan bahwa Syaykh Muhyi al-Dîn (Ibn ‘Arabî) menyatakan bahwa iman
Fir‘awn diterima, sehingga menyalahi ijma‘..."258
Berdasarkan hal tersebut, penulis memberikan pertimbangan dalam
menjelaskan pendapat Ibn ‘Arabî yang sebenarnya. Pertimbangan pertama, sangat
tidak layak tokoh agung sekaliber Ibn ‘Arabî memiliki pendapat rancu yang ia tulis
pada satu kitab, bahkan pada satu halaman. Seandainya pendapat-pendapat yang
berbeda tersebut ditulis pada dua kitab yang berbeda, maka ada kemungkinan terdapat
pendapat lama (qadîm) dan baru (jadîd) sebagaimana yang terjadi pada Imam al-
256 Al-Sya‘rânî, al-Yawâqît, v. 1 h. 9. 257 Al-Sya‘rânî, al-Yawâqît, v. 1 h. 17. 258 Al-Sya‘rânî, al-Yawâqît, v. 2 h. 465.
Syâfi‘î. Dalam konteks Fir‘awn, kontradiksi pendapat pada persoalan ini terjadi pada
satu kitab, dan diikuti satu kitab yang lain; yaitu Fushûsh. Di dalam Fushûsh ia juga
menyerahkan hakikat permasalahan ini kepada Allah. Bahkan ia menyebutkan bahwa
sebenarnya para ulama tidak mempunyai sandaran argumentasi yang pasti mengenai
ini.259 Sedangkan di dalam literatur lain seperti Rûh al-Quds, Ibn ‘Arabî menyebutkan
bahwa Fir‘awn akan mendapatkan siksaan yang luarbiasa di neraka berbanding
terbalik dengan tingkat kenikmatan yang diperoleh nabi yang diingkarinya.260
Pertimbangan kedua, tidak ada ulama sezaman dengan Ibn ‘Arabî yang
menuduh atau sekedar mengritisinya mengenai Fir‘awn. Bahkan Imam Fakhr al-Dîn
al-Râzî pengarang tafsir besar Mafâtîh al-Ghayb tidak pernah mengritisi Ibn ‘Arabî.
Seandainya ada tentu ia dan ulama lainnya akan melancarkan kritikan, karena tradisi
kriktik telah membudaya di kalangan mereka. Namun sebaliknya, justeru Fakhr al-
Dîn diberi nasehat oleh Ibn ‘Arabî sebagaimana terdapat dalam Majmû‘ al-Rasâ'il Ibn
‘Arabî.261 Berbeda halnya dengan Ibn Taymiyyah, ketika ia menyampaikan
pendapatnya yang menyalahi konsensus ulama atau mayoritas seperti pernyataannya
bahwa neraka akan binasa, maka para ulama pada zamannya langsung memberikan
kritikan. Seperti kritikan yang dilancarkan oleh Taqî al-Dîn al-Subkî, Tâj al-Dîn al-
Subkî, Badr al-Dîn bin Jamâ‘ah, dan Taqî al-Dîn al-Hushnî.
Pertimbangan ketiga, penemuan al-Sya‘rânî terhadap naskah asli al-Futûhât
yang diberikan oleh Abû Thâhir al-Maghribî.262 Berdasarkan penuturannya, tidak
ditemui di dalam naskah tersebut pernyataan yang membuatnya ragu sebelumnya
yaitu ungkapan-ungkapan nyeleneh, termasuk mengenai keimanan Fir‘awn.
259 Ibn ‘Arabî, Fushûsh al-Hikam, h. 197. 260 Ibn ‘Arabî, Ruh al-Quds, h. 105. 261 Ibn ‘Arabî, Risâlah, h. 10. 262 Al-Sya‘rânî, al-Yawâqît, v. 1 h. 7.
Pertimbangan keempat, penarikan dan pembatalan al-Baqâ‘î terhadap kritikan
yang ia kemukakan pada kitab Tanbîh al-Ghabî di akhir hayatnya. Informasi ini
dikutip oleh al-Sya‘rânî. Sekaligus pembelaan al-Suyûthî terhadap Ibn ‘Arabî dalam
kitabnya Tanbîh al-Ghabî fî Tabarru'ah Ibn ‘Arabî sebagai antitesis terhadap kitab al-
Baqâ‘î yang telah menyebar di Mesir.263
C. Kritik terhadap Pandangan Ibn ‘Arabî mengenai Kenabian dan Kewalian
Tema lain yang menjadi objek kritikan terhadap Ibn ‘Arabî adalah mengenai
konsep kenabian dan kewalian. Tema kewalian merupakan permasalahan yang juga
sering ditemui pada sufi baik yang berteologi Sunnî maupun Syî‘ah. Sebagaimana di
kalangan sufi, kelompok Syî‘ah juga menggunakan istilah kewalian (wilâyah). Hal ini
dikarenakan seorang imam dalam ajaran Syî‘ah adalah wali Allah. Kesamaan
penggunaan istilah ini melahirkan pelbagai asumsi para sejarawan dan peneliti
mengenai sumber konsep kewalian di kalangan sufi. Sebagai contoh, J. Spencer
Trimingham mengklaim bahwa konsep kewalian dalam sufi diambil dari konsep
kewalian Syî‘ah. Bahkan pada waktu yang sama, ungkap Spencer, konsep sufi
mengenai ketetapan kewalian yang berasal sejak masa azali sebelum penciptaan alam
(pre-creation) diambil dari pemikiran mistik Timur.264 Walaupun ia mengakui bahwa
konsep Timur mengenai hal ini, namun belum tentu bisa disamakan dengan konsep
Sufi.265 Namun, di samping itu ia juga mengakui bahwa pengertian wali di kalangan
Sufi berbeda dengan Syî‘ah. Wali di kalangan Sufi diartikan sebagai orang yang
dilindungi Tuhan (protege of God). Sedangkan di kalangan Syî‘ah, wali diartikan
263 Al-Sya‘rani, al-Yawâqît, v. 1 h. 15. 264 Besar kemungkinan konsep mistik Timur yang dimaksudkan adalah mistik India. 265 J. Spencer Timingham, The Sufi Orders in Islam, (London: Oxford University Press, 1973),
h. 134.
sebagai ayat Tuhan (word of God) yang senantiasa menjadi pembimbing jalan
(spiritual).266
Dua konsep di atas tentu akan melahirkan konsekuensi yang berbeda pula. Hal
itu dikarenakan ungkapan "dilindungi Tuhan" atau mahfûzh bukanlah menunjukkan
kesucian mutlak. Sedangkan ungkapan "ayat Tuhan" menunjukkan asumsi ‘ishmah
terhadap para wali, karena para imam atau wali adalah ma‘shûm di kalangan Syî‘ah.
Adapun Ibn ‘Arabî lebih cenderung sepakat dengan konsep Sunnî yang menetapkan
bahwa para wali hanya mahfûzh. Ia menegaskan bahwa seorang wali dilindungi oleh
Allah dari sesuatu yang diinginkan syetan ketika memberikan bisikan ke dalam
hatinya. Setiap kali terjadi bisikan pada seorang wali maka Allah memalingkan
dirinya kepada hal yang diridhai, sehingga mencapai kemulian di sisi Allah.
Sedangkan para nabi telah ma‘shûm dari bisikan yang berasal dari syetan. Inilah,
tegas Ibn ‘Arabî, perbedaan antara seorang nabi dan wali.267 Kecenderungan ini
menambah kuat asumsi yang menyatakan bahwa Ibn ‘Arabî adalah seorang Sunnî
yang teguh.
Selain itu, personal yang dianggap wali di kalangan Sunnî belum tentu berlaku
di kalangan Syî‘ah. Sebaliknya personal yang dianggap imam di kalangan Syî‘ah
belum tentu berlaku di kalangan Sunnî. Justeru pada kenyataannya kalangan Syî‘ah
sering mengalamatkan kecaman terhadap wali yang diyakini di kalangan Sunnî. Hal
ini seperti kecaman mereka terhadap Abû Bakr, ‘Umar dan ‘Utsmân; para wali yang
sangat luhur di kalangan Sunnî. Tetapi, tokoh-tokoh utama yang dianggap sebagai
wali di kalangan Syî‘ah masih tetap dianggap mulia di kalangan Sunnî. Hal ini
sebagaimana akidah Sunnî yang menekankan kecintaan kepada ahl al-bayt dan
266 J. Spencer, h. 135. 267 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 2 h. 204.
keturunan mereka. Walaupun diakui kecintaan mereka tidak seperti kecintaan yang
didoktrin di kalangan Syî‘ah.
Terlepas dari hal tersebut, Ibn ‘Arabî sebagaimana dikemukakan sebelumnya
bukanlah seorang Syî‘ah. Namun ia adalah seorang sufi yang berakidah Sunnî. Al-
Suyûthî, al-Sya‘rânî, al-Nâblûsî dan tokoh lainnya sangat keras mempertahankan sisi
ortodoksi Ibn ‘Arabî, terlepas terdapat tokoh lain yang menentangnya.
1. Maqâm Nubuwwah antara Pandangan Teologis dan Sufistik
Walaupun kalangan Sunnî dan Syî‘ah berbeda dalam beberapa hal mengenai
prinsip teologi, tetapi mereka sepakat bahwa kenabian sesudah Nabi Muhammad Saw
telah tertutup kecuali Syî‘ah yang ghulât (kelompok yang sangat menyimpang). Hal
ini berdasarkan keterangan yang diberikan sendiri langsung oleh Nabi Saw dalam
Hadîts, baik yang ditransmisikan melalui jalur ulama Sunnî maupun Syî‘ah.
Dalam hal ini, Ibn ‘Arabî juga menukilkan sebuah Hadîts mengenai kenabian
dan kerasulan telah berakhir,
"Rن F7ي وTر?$ل ب MN @TK=ة *7 ان$R1/إن ا/:? /< وا. "Sesungguhnya risalah dan kenabian telah terputus. Oleh karena itu,
tidak ada lagi nabi dan rasul setelahku."268
Ibn ‘Arabî menjelaskan maksud Hadîts ini dengan ungkapan yang sedikit
berbeda dengan kebanyakan ulama Sunnî. Sabda Nabi Saw bahwa "tidak ada lagi
nabi dan rasul setelahku" bukan berarti tidak ada nabi atau rasul secara mutlak.
Tetapi Hadîts tersebut, ungkap Ibn ‘Arabî, bermakna bahwa tidak ada nabi setelah
Nabi Muhammad dengan syariat yang berbeda dengan syariatnya. Jika ada, lanjut Ibn
‘Arabî, maka nabi tersebut mesti tunduk dalam syariat Nabi Muhammad Saw. Maqâm
268 HR. Al-Tirmîdzî, Sunan al-Tirmîdzî, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, t.th.) no. 2272.
inilah yang dipahami Ibn ‘Arabî telah tertutup; yaitu maqâm risâlah tasyri‘,
sedangkan maqâm nubuwwah secara umum tidak tertutup.269
Dalam redaksi lain, Ibn ‘Arabî menjelaskan bahwa maqâm nubuwwah yang
tidak tertutup tersebut adalah wilâyah (kewalian). Hal ini dikarenakan nubuwwah
secara khusus berarti anugerah keistemawan dari Allah yang diberikan kepada siapa
saja yang dikehendaki-Nya. Anugerah ini, tegas Ibn ‘Arabî telah tertutup, sedangkan
wilâyah mampu diperoleh dengan usaha sampai Hari Kiamat.270 Oleh karena itu,
terkadang dalam pelbagai konteks Ibn ‘Arabî menggunakan kata nubuwwah dengan
artian kewalian, dan terkadang ia membedakannya secara eksplisit.
Pemahaman ini dikemukakan Ibn ‘Arabî bukan tanpa argumen yang kuat,
tetapi ia mengemukakan alasan yang sebenarnya telah dipahami oleh kebanyakan
umat Islam. Semua umat Islam sepakat bahwa ‘Isâ bin Maryam adalah seorang nabi
dan rasul. Selain itu, mereka juga sepakat bahwa Nabi ‘Îsâ akan 'turun' kembali ke
dunia di akhir zaman. Nabi ‘Îsâ 'turun' dengan membawa keadilan dan berhukum
dengan syariat Nabi Muhammad Saw. Ibn ‘Arabî memberikan penekanan bahwa Nabi
‘Îsâ tidak berhukum dengan selain syariat Nabi Muhammad. Atau dalam ungkapan
lain Nabi ‘Îsâ berhukum dengan syariatnya ketika diutus kepada Bani Israil.
Berdasarkan ini ia menegaskan bahwa ternyata masih ada Nabi ‘Îsâ setelah kenabian
Nabi Muhammad, karena bahwa Hadîts Nabi Saw di atas hanya bermaksud mengenai
tasyrî‘. Oleh karena itu, ia mengingatkan Nabi Saw tetap tidak berbohong
menyampaikan Hadîtsnya, karena masih ada Nabi ‘Îsâ yang 'turun' setelahnya.271
Selain itu memang tidak ditemukan dalam literatur Ibn ‘Arabî penjelasan bahwa ada
nabi sesudah Nabi Muhammad kecuali Nabi ‘Îsâ, Nabi Ilyâs atau Nabi Khidhr.
Mereka diyakini Ibn ‘Arabî masih hidup sampai waktu ditentukan Allah.
269 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 3 h. 6. 270 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 5 h. 20. 271 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 3 h. 6.
Sebenarnya, konsep ini telah dikemukakan oleh al-Ghazâlî (505 H.) di dalam
banyak karangannya yang berhubungan dengan tasawuf. Hal ini pula yang
menyebabkan al-Ghazâlî dikritik oleh para teolog semasanya dan masa setelahnya.
Kritikan tersebut muncul ketika al-Ghazâlî mengemukakan bahwa maqâm tersebut
tidak hanya dikhususkan untuk para nabi dan wali. Namun setiap manusia yang
terlahir di dunia memang mempunyai potensi untuk itu. Oleh karena itu, al-Ghazâlî
menganalogikan hati manusia bagaikan besi yang mengilat, sehingga hati tersebut
mampu menjadi cermin yang memantulkan bayangan alam semesta.272
Pandangan tersebut menyebabkan para pengritik menuduh al-Ghazâlî telah
keliru dan terjebak ke dalam aliran kebatinan. Namun, sebenarnya al-Ghazâlî tidak
serta-merta mengemukakan pendapat ini tanpa argumen yang kuat, sebagaimana
dikembangkan pada masa berikutnya oleh Ibn ‘Arabî. Al-Ghazâlî menggagas konsep
ini dengan berangkat dari sebuah Hadîts Nabi Saw, “Setiap bayi yang dilahirkan
berada dalam keadaan fithrah”.273
Tuduhan yang dialamatkan ke al-Ghazâlî adalah ungkapannya bahwa maqâm
kenabian dan kewalian bisa diperoleh dengan latihan-latihan spiritual. Ungkapan ini
biasa dipahami dengan istilah iktisâb al-nubuwwah (usaha perolehan maqâm
kenabian). Sedangkan menurut teolog Sunnî, secara umum tidak ada usaha yang
mampu mencapai nubuwwah. Dalam ungkapan teologis dikenal dengan istilah al-
nubuwwah ghayr muktasabah.
Dalam hal ini, Ibn ‘Arabî tampil membela dan menjelaskan pandangan al-
Ghazâlî, serta meluruskan pemahaman para pengritik. Terlebih dahulu Ibn ‘Arabî
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-nubuwwah ghayr muktasabah adalah
272 Al-Ghazâlî, Kîmiyâ’ al-Sa‘âdah, (Beirut: al-Maktabah al-Sya‘biyyah, t.t.) h. 128. 273 Di dalam Kîmiyâ’ al-Sa‘âdah al-Ghazâlî menukilkan dengan redaksi Hadîts yang sedikit
berbeda yaitu, /$5 OمآM?jة ا:KN HI2 7/$A د$ adapun dalam riwayat al-Bukhârî tanpa penambahan kata al-
islâm di akhir matan Hadis. Al-Bukhârî, al-Jâmi‘ al-Shahîh, (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1987), juz 1 h. 456. al-Ghazâlî, Kîmiyâ’ al-Sa‘âdah, h. 129.
beranjak dari Hadîts Nabi Saw, "Sesungguhnya kerasualan dan kenabian telah
terputus. Oleh karena itu, tidak ada lagi nabi dan rasul setelahku."274
Konsep Ibn ‘Arabî mengenai hal ini sering disalahartikan oleh sebagian aliran
yang dianggap oleh mayoritas ulama 'bukan' Islam lagi; yaitu Ahmadiah Qadiyani.
Kalangan Ahmadiah Qadiyani meyakini kenabian Mirza Ghulam Ahmad dengan
mengungkapkan argumen yang dikemukakan oleh Ibn ‘Arabî.275 Padahal Ibn ‘Arabî
sendiri tidak pernah mengaku sebagai seorang nabi atau rasul. Justeru sebaliknya, ia
menegaskan bahwa, "Aku bukan seorang nabi atau rasul".276 Ibn ‘Arabî hanya
menilai dirinya sebagai pewaris maqâm kenabian. Ungkapan ini dikarenakan para
ulama adalah pewaris para nabi. Bahkan para pembaca dan penghafal al-Qur'ân
disebutkan Nabi Muhammad Saw sebagai orang yang dititisi kenabian di antara dua
bahunya.277
Dalam konteks ini, pewaris maqâm kenabian bukanlah seorang nabi ataupun
rasul. Status nabi merupakan anugerah mutlak dari Allah, sedangkan pewaris maqâm
kenabian bisa diperoleh dengan usaha (muktasab). Usaha yang dimaksudkan adalah
riyâdhah (latihan) dan mujâhadah (usaha) untuk meningkatkan kualitas spiritual.
Musthafâ bin Sulaymân Bâlîzâdeh seorang komentator Fushûsh al-Hikam
menjelaskan bahwa maksud Ibn ‘Arabî dengan "pewaris" adalah penegasan mengenai
ilmu kewalian yang bersifat muktasab. Tetapi muktasab bukan dalam artian usaha
melalui metode pemikiran. Namun suatu warisan tidak akan diberikan kecuali kepada
orang terdekat (qarâbah). Kedekatan tersebut pada seorang wali yang mewarisi
274 HR. Al-Tirmîdzî, Sunan al-Tirmîdzî, no. 2272. 275 Ahmad, Nadzîr, Al-Qawl al-Sharîh, (London: The Ahmadiyah Muslim Mission, 1405), h.
119. 276 Ibn ‘Arabî, Fushûsh, h. 5. 277 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 3 h. 382. HR. Al-Hâkim, al-Mustadrak, ed. Musthafâ ‘Abd al-
Qâdir ‘Athâ, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), no. 2028.
maqâm kenabian hanya diperoleh dengan mengamalkan syariat dan membuang sifat-
sifat yang negatif.278
Namun demikian, Dr. Ibrâhîm Hilâl seorang penulis kontemporer keberatan
menyebut konsep tersebut dengan warisan (warâtsah). Pada kenyataannya, ungkap
Hilâl, adalah taraqqî atau ‘urûj (kenaikan) spiritual kepada Akal Aktif (‘Aql Fa‘‘âl).
Hal ini beradasarkan kutipan Ibn ‘Arabî terhadap perkataan Abû Yazîd, "Kalian (ahli
fiqh dan Hadîts) mengambil ilmu dari orang mati, sedangkan kami (kaum sufi)
mengambil dari Yang Maha Hidup". Hilâl menyamakan konsep yang digunakan Ibn
‘Arabî dengan Syî‘ah ketika mereka berbicara tentang maqâm imam. Bahkan Hilâl,
cenderung menilai bahwa kaum sufi; dalam konteks ini Ibn ‘Arabî, dan Syî‘ah
terpengaruh oleh konsep emanasi Plato.279
Namun penulis keberatan dengan penyamaan ini, karena Ibn ‘Arabî sendiri
mengritisi para filosof, walaupun ia pernah menyebutkan bahwa kemungkinan ada
kebenaran diperoleh oleh para filosof. Tetapi Ibn ‘Arabî mengritisi para filosof,
bahkan mencela mereka karena hanya menggunakan pemikiran. Mereka tercela,
ungkap Ibn ‘Arabî, terutama ketika mereka ingin memahami konsep kenabian dengan
cara berpikir yang keliru sehingga hanya menghasilkan kerancuan. Seandainya para
filosof, lanjut Ibn ‘Arabî, mencari ilmu hikmah dari Allah bukan melalui metode
pemikiran, tentulah mereka memperoleh kebenaran dalam segala aspek.280
2. Kritik Ibn Taymiyyah sebagai Sebuah Kekeliruan
Sebagaimana disebutkan pada pembahasan sebelumnya, Ibn Taymiyyah
merupakan tokoh yang paling keras mengritisi pemikiran Ibn ‘Arabî. Selain konsep
ketuhanan, Ibn Taymiyyah juga menganggap bahwa Ibn ‘Arabî termasuk tokoh yang
278 Musthafâ Bâlîzâdeh, Syarh Fushûsh, h. 15. 279 Ibrâhîm Hilâl, al-Tashawwuf al-Islâmî, h. 201. 280 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, bab 226
berkeyakinan keliru mengenai kenabian. Ibn ‘Arabî berkeyakinan, ungkap Ibn
Taymiyyah, bahwa kewalian lebih utama daripada kenabian. Bahkan kewalian lebih
sempurna daripada kerasulan. Ibn Taymiyyah menolak interpretasi bahwa Ibn ‘Arabî
hanya bermaksud kewalian seorang nabi lebih utama daripada kenabiannya dan
kerasulannya. Hal ini dikarenakan dalam pandangan Ibn Taymiyyah permasalahan
tersebut hanya interpretasi para pengikut Ibn ‘Arabî.281
Alasan lain klaim sesat yang dialamatkan oleh Ibn Taymiyyah kepada Ibn
‘Arabî adalah dari sisi komparatif epistemologi ilmu seorang wali dengan seorang
nabi. Ibn Taymiyyah menyebutkan bahwa Ibn ‘Arabî beranggapan tingkatan ilmu
kewalian lebih utama daripada ilmu kenabian. Ini dikarenakan ilmu kewalian
diperoleh dari Allah tanpa perantara (wasîlah), sedangkan ilmu kenabian dengan
perantara.282 Di samping itu juga, Ibn Taymiyyah mengecam Ibn ‘Arabî karena
mengaku sebagai khâtam al-awliyâ’.
Hilâl juga mengamini kritikan Ibn Taymiyyah dengan menilai bahwa Ibn
‘Arabî menyamakan tingkat nubuwwah Nabi Muhammad Saw dan kewalian para
wali. Bahkan, Hilâl menyebutkan bahwa Ibn ‘Arabî meyakini sisi kenabian para wali
adalah dari aspek batin, sehingga terkesan bahwa wali adalah nabi.283
Sebenarnya, kritikan di atas tidak begitu layak bersumber dari seorang tokoh
intelektual seperti Ibn Taymiyyah. Tetapi juga tidak mustahil, karena memang Ibn
Taymiyyah bukan manusia sempurna yang bisa mengerti semua literatur; termasuk
karya Ibn ‘Arabî. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibn Katsîr, Ibn Taymiyyah
merupakan orang yang banyak membaca secara otodidak. Metode otodidak
mempunyai banyak kelemahan, di samping ada kelebihan lainnya. Kelemahan fatal
281 Ibn Taymiyyah, Majmû‘ al-Fatâwâ, v. 4 h. 171. 282 Ibn Taymiyyah, Majmû‘, v. 4 h. 172. 283 Ibrâhîm Hilâl, al-Tashawwuf al-Islâmî, h. 201.
adalah tidak memahami secara total terminologi yang digunakan para pengarang buku
yang dibaca.
Kritikan Ibn Taymiyyah terhadap Ibn ‘Arabî mengenai permasalahan ini
merupakan sebuah tuduhan yang bersumber dari kekeliruan dalam memahami teks
Ibn ‘Arabî. Hal ini dikarenakan Ibn ‘Arabî tidak bermaksud sebagaimana Ibn
Taymiyyah pahami. Ibn ‘Arabî menjelaskan dalam banyak karangannya, antara lain:
5+ أهO اA 3=$ل أو O=1A إ/;c 12(0 أن(0 *( ل ا/$AF(< وإذا ?T9@ أ7Qا c/7 ذA:A z;IN ة$R1/5+ ا HI25 ذآ:ن _أ Fإ Or =/ق . ا$)N "/$)/ل إن ا$=A أو
i;Q +5 7 وه$ أن ا/:?$لQوا �f8 HN c/eب H1TA 0ن\N ،وا/:?$ل "R1/ا ،0)15 H)I20 أ)/ aأن ا/($/" 6( ب F ور?($ل ")Rأن0 ن i;Q +5 015 .6أن0 و/" أ +)ZA .)/ 0)0، إذ /($ أدرآ);N 0)/ a9 ه($ 6( ب;N ع أب7ا$RC9/7رك اA F aب C/ن ا\N0/ T6 ب.
Apabila engkau mendengar ada kaum sufi (ahl Allâh) mengatakan bahwa kewalian lebih utama daripada kenabian, maka bukanlah ia bermaksud kecuali sebagaimana kami sebutkan sebelumnya. Atau dia berkata bahwa wali lebih tinggi daripada nabi dan rasul. Ungkapan tersebut bermaksud mengenai kualitas personal seorang rasul dari sisi kewaliannya lebih sempurna daripada sisi kenabian dan kerasulan dirinya. Hal ini bukan berarti bahwa seorang wali yang menjadi pengikutnya lebih tinggi daripada dirinya (nabi tersebut). Seorang pengikut tidak akan pernah bisa mencapai kesamaan dengan orang yang diikutinya; terutama terhadap sesuatu yang ia ikuti.284
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa sebenarnya konsep ini bukan semata-
mata berasal dari Ibn ‘Arabî. Ia menyebut ahl Allâh mengindikasikan ada sufi lain
yang pernah mengungkapkan hal serupa kepada Ibn ‘Arabî. Sedangkan Ibn ‘Arabî
mengembangkan konsep tersebut lebih jauh dan sistematis. Di samping itu, sisi
penting dari sikap Ibn ‘Arabî adalah menolak anggapan sebagian orang bahwa
kewalian lebih tinggi daripada kenabian dan kerasulan. Hal ini dikarenakan maksud
ungkapan kaum sufi yang ia namakan dengan ahl Allâh adalah pada personal seorang
nabi dan rasul. Kewalian seorang nabi dan rasul lebih utama pada konteks dirinya
284 Ibn ‘Arabî, Fushûsh, h. 121-122. Ia membicarakan ini pada pembahasan Kalimah
‘Uzayriyyah.
daripada aspek kenabian dan kerasulannya. Bahkan Ibn ‘Arabî menegaskan bahwa
seorang wali pengikut nabi tersebut tidak akan bisa "mencapai" apalagi "melampaui"
maqâm kenabian dan kerasulan seorang nabi dan rasul.
Di samping itu, dari penukilan di atas ditemukan bahwa pemikiran tersebut
bukanlah interpretasi para pengikut Ibn ‘Arabî. Justeru penjelasan tersebut adalah
keterangan Ibn ‘Arabî sendiri. Hal ini tentu menepis tuduhan Ibn Taymiyyah dan para
pengikutnya.
Di tempat lain, Ibn ‘Arabî menyebutkan dengan redaksi yang berbeda ketika
membicarakan tanda kenabian bahwa maqâm kenabian secara keseluruhan tidak akan
diperoleh kecuali oleh seorang nabi. Adapun seorang wali tidak akan memperoleh
secara keseluruhan.285
Hal ini dikuatkan oleh Mullâ ‘Alî al-Qârî seorang teolog Mâturidiyyah yang
juga menulis karangan khusus mengritisi Ibn ‘Arabî. Tetapi dalam konteks ini, ia
tidak setuju dengan tuduhan Ibn Taymiyyah. Hal ini dikarenakan Mullâ memahami
ungkapan Ibn ‘Arabî secara lebih teliti. Ia mengatakan bahwa ungkapan Ibn ‘Arabî
bahwa kewalian seorang rasul lebih utama daripada kenabiannya tidaklah dihukumi
kufur, fasik, dan bid‘ah. Ia beralasan karena para Sufi juga berbeda perspektif
mengenai masalah ini.286 Penjelasan Mullâ tersebut menunjukkan bahwa ia tidak
memahami masalah ini sebagaimana Ibn Taymiyyah. Permasalahan sebenarnya
adalah kewalian seorang rasul lebih utama daripada kewaliannya, bukan kewalian
seorang wali lebih utama daripada seorang nabi. Adapun keyakinan bahwa seorang
wali lebih utama daripada nabi disepakati kekafirannya oleh Mullâ sebagaimana
konsensus ulama Sunnî.287
285 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 5 h. 20. 286 Mullâ ‘Alî al-Qâri, al-Radd ‘Alâ al-Qâ’ilîn, h. 119. 287 Mullâ ‘Alî, al-Radd, h. 120.
Di samping itu, kritikan bahwa Ibn ‘Arabî mengaku sebagai khâtam al-awliyâ
yang dipahami oleh kaum Sufi bukan sebagaimana tuduhan Ibn Taymiyyah dan para
pengikutnya. Ibn Taymiyyah memahami bahwa Ibn ‘Arabî mengklaim tidak ada lagi
wali setelah dirinya. Pemahaman ini jika dikomparasikan dengan keterangan Ibn
‘Arabî dalam karangannya, maka ditemui banyak ketimpangan. Hal ini dikarenakan
Ibn ‘Arabî justeru mengatakan bahwa terminologi khâtam al-awliyâ bisa dipahami
dalam dua pengertian; partikular (khâsh) dan universal (muthlaq). Ia menjelaskan
bahwa khâtam al-awliyâ partikular berada di bawah maqâm Nabi ‘Îsâ. Ini
dikarenakan ia menetapkan bahwa penutup para wali secara universal adalah Nabi
‘Îsâ. Ia menegaskan hal itu karena kewalian umat muhammadiyyah harus diakhiri oleh
seorang wali yang sekaligus nabi dan rasul. Karakter ini hanya dimiliki oleh Nabi
‘Îsâ.288
Apabila Ibn ‘Arabî mengaku sebagai khâtam al-awliyâ, maka ungkapan itu
harus dipahami dengan pengertian partikular. Ini dikarenakan khâtam dalam
pemahaman partikular adalah tidak ada kewalian lagi setelahnya kecuali merujuk
kepada maqâm kewaliannya. Hal ini dikarenakan ia juga mengakui derajat kewalian
seseorang yang sezaman dengannya. Ia mengatakan, "Aku melihat ada orang pada
zaman ini (yang menjadi khâtam al-awliyâ), dan aku sempat berkumpul
bersamanya".289 Penjelasan ini menunjukkan bahwa ungkapan khâtam al-awliyâ yang
ditemukan dalam karangan Ibn ‘Arabî harus dipahami sesuai dengan konteks
pembicaraan yang ia maksud. Dengan ungkapan lain, ungkapan khâtam al-awliyâ
bukan berarti penafian terhadap keberadaan para wali setelahnya.
Dalam interpretasi lain, al-Jîlî menambahkan bahwa maksud khâtam al-awliyâ
adalah pencapaian maqâm qurbah (kedekatan kepada Allah). Setiap orang yang
288 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 229 dan 281. 289 Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, v. 1 h. 281.
mencapai maqâm qurbah adalah khâtam al-awliyâ dan perwaris kenabian pada
maqâm al-khitâm. Alasan al-Jîlî mengemukakan statemen tersebut dikarenakan
maqâm qurbah merupakan derajat spiritual yang terpuji (mahmûd). Maqâm tersebut
menjadi sarana (wasîlah) seorang wali sampai kepada tingkatan luhur yang tidak
pernah dilalui sebelumnya oleh para wali yang lain. Pengalaman yang dicapai pada
pengalaman spiritual keilahian tersebut yang tidak dirasakan oleh yang lain, sehingga
hanya ia yang merasakannya. Namun al-Jîlî mengingatkan bahwa wasîlah tersebut
adalah Nabi Muhammad Saw, karena itu merupakan derajat spiritual tertinggi di
sorga. Ia optimis berharap, "Semoga aku termasuk wali tersebut".290
Interprertasi al-Jîlî di atas sebenarnya bisa diterima. Hal ini dikarenakan
pengalaman spiritual setiap orang memang berbeda-beda, walaupun nama maqâmnya
sama. Setiap wali merupakan khâtam pada maqâm kewaliannya. Oleh karena itu,
wajar ia mengatakan bahwa setiap orang yang sampai kepada maqâm qurbah berarti
telah menjadi khâtam al-awliyâ. Interpretasi ini merupakan sisi lain yang bisa
dipahami dari ungkapan Ibn ‘Arabî. Dengan demikian, kekeliruan Ibn Taymiyyah
menjadi terbukti berasal dari ketidakpahaman terhadap terminologi ilmu tasawwuf.
290 ‘Abd al-Karîm al-Jîlî, al-Insân al-Kâmil, (Kairo: Dâr al-Fikr, t.th), v. 2 h. 148.
BAB VI
PENUTUP
Kesimpulan dan Saran
Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari kajian sebelumnya. Ibn
‘Arabî sebagai tokoh yang multi dimensi, juga bisa dilihat dari perspektif teologi.
Sebagaimana sufi lainnya, ia merupakan tokoh yang sangat kuat menerapkan konsep
teologis dalam ajaran kesufiannya.
Namun, di dalam kenyataannya ditemui bahwa Ibn ‘Arabî sering menjadi
objek kecaman dari sebagian ulama Sunnî. Kecaman tersebut berujung kepada
penolakan status keislaman Ibn ‘Arabî. Ia dianggap telah melenceng dari ajaran Islam.
Bahkan muncul wacana mengafirkan siapa saja yang skeptis terhadap status kekafiran
Ibn ‘Arabî. Tokoh terdepan dalam hal ini adalah Ibn Taymiyyah dan al-Baqâ‘î.
Di samping itu, juga terdapat pembelaan dari ulama Sunnî yang lain terhadap
ajaran Ibn ‘Arabî. Ia diyakini sebagai tokoh sufi yang agung, wali yang mulia, imam
yang akbar. Wacana pembelaan tersebut sangat kental pada al-Sya‘rânî dan ‘Abd al-
Ghanî al-Nabilûsî.
Beberapa tema yang menjadi objek kritikan Ibn Taymiyyah adalah tuduhan
Ibn Taymiyyah . ulûlhad dan hitti, wujûd-dah alhwabahwa Ibn ‘Arabî berakidah
cenderung menyamakan dan mengalamatkan tiga term ini kepada Ibn ‘Arabî
sekaligus. Tetapi ungkapan-ungkapan Ibn ‘Arabî yang menjadi patokan Ibn
Taymiyyah dalam mengafirkannya sering disebabkan karena misunderstanding yang
berlebihan. Hal ini dikarenakan Ibn Taymiyyah sering mengabaikan konteks
pembicaraan Ibn ‘Arabî dalam menulis suatu ungkapan. Atau faktor lain, seperti
ketidakpahaman terhadap terminologi yang digunakan Ibn ‘Arabî. Sebagai contoh,
sedangkan hamba juga , qaqHketika Ibn ‘Arabî mengatakan bahwa Allah adalah
pada hayrahatau maqâm " keheranan"yyah mengabaikan konteks Ibn Taymi. qaqh
ungkapan Ibn ‘Arabî tersebut, sehingga melahirkan kecaman yang tidak layak
bersumber dari seorang tokoh intelektual Muslim terkenal itu. Padahal Ibn ‘Arabî juga
Bahkan ia banyak . ulûlhâd dan hittiri menolak kekufuran yang bersumber da
memberikan kritkan terhadap dua konsep akidah tersebut, sehingga menyebut orang
-dah alhwaSedangkan term ). ahli tauhid (idhhmuwayang berkeyakinan serupa bukan
wujûd tidak ditemukan dalam karyanya. Pembakuan term ini untuk Ibn ‘Arabî
merupakan sebuah keberhasilan dari kritikan Ibn Taymiyyah mempengaruhi wacana
keislaman setelahnya. Tetapi perlu diingat bahwa Ibn Taymiyyah terkadang
. âdhittimenyetarakan term ini dengan
Selain itu, tema lain yang menjadi objek kritikan adalah masalah teologi yang
dianut Ibn ‘Arabî. Apabila keislamannya diakui, maka apa teologi yang dianut Ibn
‘Arabî? Dalam hal ini, muncul anggapan bahwa Ibn ‘Arabî adalah seorang Syî‘ah.
Tetapi juga banyak yang keberatan dengan anggapan ini.
Setelah menelusuri beberapa karya Ibn ‘Arabî, tidak ditemukan indikasi
bahwa ia seorang Syî‘ah. Walaupun diskursus mengenai pemikiran Ibn ‘Arabî
terbilang maju di kalangan Syî‘ah; khususnya Imâmiyyah. Ia memang mengusung
ajaran cinta kepada ahl al-bayt, tetapi ia juga mengecam siapa yang menghujat para
sahabat. Bahkan sikap Imâmiyyah yang menurutnya berlebihan mencintai ahl al-bayt
dan menghujat sebagian sahabat Nabi merupakan hasil dari bisikan syetan. Ia
menyebutnya dengan khawâthir syaythâniyyah. Penilaian negatif tersebut menguatkan
asumsi bahwa Ibn ‘Arabî bukanlah seorang Syî‘ah. Sebaliknya menguatkan asumsi
bahwa ia lebih cenderung kepada teologi Sunnî.
Hal ini juga diamini oleh al-Sayyîd Murtadhâ al-‘Âmilî seorang tokoh Syî‘ah
kontemporer terkemuka. Ia tidak menerima sama sekali anggapan bahwa Ibn ‘Arabî
sebagai bagian dari Syî‘ah.
Di samping itu, Ibn ‘Arabî menggagas tingkatan atau hieraki teologi menjadi
empat tingkatan. Hierarki pertama adalah akidah awam. Ia yang mewasiatkan kepada
pembaca karangannya, agar menyampaikan akidah awam kepada orang yang bertanya
mengenai akidah yang dianutnya. Hierarki kedua adalah akidah ahli kalâm yang ia
sebut dengan ahl al-rusûm. Hierarki ketiga merupakan akidah kaum sufi yang ia sebut
dengan ahl al-ikhtishâsh. Ketika ia membicarakan dua tingkatan pertama, lahir
anggapan banyak sejarawan Muslim bahwa ia adalah seorang Sunnî dengan teologi
Asy‘ariyyah Mâturidiyyah. Tetapi ketika ia berpindah menjelaskan tingkatan ketiga,
maka muncul keberatan sebagian sejarawan dalam menilainya sebagai Sunnî. Suatu
hal yang menarik adalah ketika ahli kalâm Sunnî mempunyai suatu konklusi untuk
suatu masalah. Ibn ‘Arabî sering sama dalam memberikan kesimpulan, tetapi ia
berbeda dalam kerangka argumen. Bahkan ia terkadang mengritik argumentasi
Asy‘ariyyah, walaupun sama dalam konklusi.
Tema lain yang membuat para pengritik Ibn ‘Arabî geram adalah masalah
keimanan Fir‘awn ketika ditenggelamkan. Ibn Taymiyyah berkesimpulan bahwa siapa
saja yang skeptis terhadap kekafiran Fir‘awn adalah kafir. Tetapi, tuduhan Ibn
Taymiyyah memiliki kelemahan. Hal ini dikarenakan teks-teks Ibn ‘Arabî sangat
variatif dan kontradiktif ketika membicarakan keimanan Fir‘awn. Dalam suatu teks
ditemukan bahwa ia meyakini kekafirannya, sedangkan dalam teks lain ia bersikap
skeptis. Bahkan juga ditemukan ungkapan bahwa Fir‘awn tenggelam dalam
keimanan.
Dalam menghadapi kontradiksi di atas, al-Sya‘rânî tampil mengajukan
hipotesanya bahwa terjadi penyisipan (dass) orang yang hasad dan tidak bertanggung
jawab terhadap beberapa manuskrip karya-karya Ibn ‘Arabî. Penyisipan memang
sangat mungkin terjadi pada masa tersebut, karena manuskrip merupakan tulisan
tangan tanpa ada undang-undang hak cipta sebagaimana pada masa sekarang. Bahkan
al-Sya‘rânî termasuk korban dari penyisipan tersebut pada masa hidupnya. Oleh
karena itu, penyisipan teks setelah meninggal Ibn ‘Arabî sangat mungkin terjadi.
Al-Sya‘rânî juga menemukan manuskrip karya Ibn ‘Arabî yang disisipi, tetapi
ia mencoba membersihkannya dengan bentuk ringkasan, sampai pada akhirnya
menemukan manuskrip yang diklaim Abû Thâhir benar. Berdasarkan ini, ia
menegaskan bahwa tuduhan bahwa Ibn ‘Arabî mengakui keimanan Fir‘awn adalah
keliru.
Di samping itu, penulis memang menemukan kejanggalan dalam beberapa
teks Ibn ‘Arabî mengenai masalah ini. Kejanggalan tersebut malah terjadi pada satu
ini terbukti ketika siKontradik. bahkan pada satu halaman, athFutû-alyaitu ; kitab
dilakukan komparasi antara satu bab dengan bab yang lain, bahkan komparasi antar
kalimat pada satu halaman. Di satu bab ia menetapkan kekafiran Fir‘awn dan pada
bab yang lain ia terkesan skeptis, dan terkadang terkesan menolak. Begitu juga di
halaman yang sama terdapat kalimat yang bertentangan. Kenyataan tersebut
menguatkan asumsi bahwa terjadi penyisipan terhadap teks Ibn ‘Arabî.
Tema lain yang menjadi objek pengafiran Ibn ‘Arabî adalah masalah kenabian
dan kewalian. Ibn Taymiyyah menuduh Ibn ‘Arabî berkeyakinan bahwa kewalian
lebih utama daripada kenabian. Ia menolak interpretasi bahwa Ibn ‘Arabî bermaksud
lain, bahwa kewalian seorang rasul atau nabi lebih utama daripada kenabiannya.
Penolakan Ibn Taymiyyah merupakan bukti bahwa Ibn Taymiyyah tidak memahami
literatur Ibn ‘Arabî secara komprehensif dan komparatif. Hal ini dikarenakan wacana
tersebut ternyata bukan bersumber dari Ibn ‘Arabî. Tetapi merupakan ungkapan
sebagian ahli Sufi yang ia sebut dengan ahl Allâh. Di dalam Fushûsh, justeru Ibn
‘Arabî berperan sebagai interpretator; orang yang memberikan penafsiran. Ia tidak
meyakini hal tersebut sebagaimana klaim Ibn Taymiyyah. Tetapi ia malah
menjelaskan bahwa maksud ungkapan tersebut adalah sisi kewalian seorang rasul atau
nabi lebih utama daripada kenabiannya.
Kekeliruan Ibn Taymiyyah bertambah dengan tuduhannya bahwa Ibn ‘Arabî
berkeyakinan menjadi penutup para wali (khâtam al-awliyâ’). Tetapi ketika diteliti,
ternyata Ibn ‘Arabî menjelaskan bahwa konsep khâtam al-awliyâ’ terbagi dua, khâsh
(partikular) dan muthlaq (universal). Ketika ia membicarakan tentang kewalian
dirinya dan kewalian para ulama, maka itu dipahami sebagai khâtam khâsh yang tidak
menutup kemunculan wali setelahnya. Menarik, Ibn ‘Arabî menegaskan bahwa
khâtam al-awliyâ’ yang universal adalah Nabi ‘Isâ, sehingga tidak ada lagi wali
setelah turunnya di akhir zaman kelak. Permasalahan ini juga kembali dijelaskan al-
Jîlî, bahwa maksud khâtam al-awliyâ’ merupakan pencapaian maqâm qurbah
(kedekatan kepada Allah). Oleh karena itu, di zaman kapan pun, setiap orang yang
mencapai maqâm tersebut disebut dengan khâtam al-awliyâ’. Hal ini dikarenakan
pengalaman spiritual seorang wali akan berbeda dengan wali yang lain. Seorang wali
adalah khâtam al-awliyâ’ pada maqâm yang dilaluinya.
Berdasarkan kajian tersebut, penulis lebih cenderung menilai bahwa Ibn
‘Arabî adalah sebagai seorang Sunnî, walaupun bukan sebagai seorang Asy‘ariyyah
yang utuh. Ketokohannya sebagai seorang sufi falsafi tidaklah menghalanginya
mendapatkan status teologi ini. Adapun kritikan berupa pengafiran terhadap teologi
Ibn ‘Arabî merupakan suatu hal yang wajar. Tetapi kewajaran tersebut menjadi aib
jika terjadi pada seorang tokoh intelektual yang tersohor. Hal ini biasanya
dikarenakan tidak menguasai terminologi ilmu tasawuf dan sembarangan mengutip
pendapat Ibn ‘Arabî. Dua hal ini akan menyebabkan kesalahpahaman terhadap
ungkapan Ibn ‘Arabî yang berbicara dalam konteks tertentu.
Namun demikian, tulisan ini belumlah cukup untuk mengungkapkan
sepenuhnya kekeliruan para pengritik Ibn ‘Arabî dan sisi kesunniannya. Bahkan
tulisan ini tentu memiliki ketidaksempurnaan. Oleh karena itu, diharapkan saran dan
kritik yang sehat agar lebih bermanfaat. Semoga tulisan ini menjadi penyambung
lidah positif para pengkaji Ibn ‘Arabî.
DAFTAR PUSTAKA
Addas, Claude. Quest for The Red Sulphur. Cambridge: The Islamic Texs Society, 1993.
al-‘Âmilî, al-Sayyîd Murtadhâ, Ibn ‘Arabî Laysa bi al-Syî‘î, buku diakses pada tanggal 16 Desember dari http://www.aqaed.com/shialib/books/04/ibn-arabi/index.html
Azra, Azyumardi. Jaringan Islam Timur Tengah dan Nusantara. Jakarta: Kencana, 2004.
al-Baqâ‘î. Tanbîh al-Ghabî ilâ Takfîr Ibn ‘Arabî ed. ‘Abd al-Rahmân al-Wakîl. Riyâdh: Ri`âsah Idârah, 1993.
al-Bukhârî. al-Jâmi‘ al-Shahîh. Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1987. Chittick, William C. The Sufi Path of Sufi. New York: State University of New York
Press, 1989. al-Ghazâlî. al-Iqtishâd fî al-I‘tiqâd. Beirut: Dâr al-Fikr, 1997. _________. Kîmiyâ’ al-Sa‘âdah. Beirut: al-Maktabah al-Sya‘biyyah, t.t. _________. Tahâfut al-al-Falâsifah, tahqiq oleh Dr. Sulayman Dunyâ. Mesir: Dâr al-
Ma‘ârif, 1972. al-Hâkim, al-Mustadrâk tahqiq: M. Abd al-Qâdir ‘Athâ. Beirut: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1990. al-Hararî. ‘Abdullâh. Izhâr al-‘Aqîdah al-Sunniyyah. Beirut: Dâr al-Masyâri‘, 1997. Hilmî, Musthafâ, Manhaj ‘Ulamâ al-Hadîts wa al-Sunnah fî Ushûl al-Dîn. Kairo: Dâr
al-Da‘wah, 1992. Ibn ‘Arabî. al-Futûhât al-Makkiyyah. Beirut: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 2006. 9
jilid. ________. Fushûsh al-Hikam. Beirut: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 2003. ________. Risâlah al-Syaykh Ilâ Fakhr al-Râzî dari Majmû‘ al-Rasâ'il ed. ‘Abd al-
Rahmân Hasan Mahmûd. Kairo: ‘Âlam al-Fikr, 1986. ________. Rûh al-Quds. Damaskus: Mu`assasah al-‘Ilm, 1964. Ibn al-Qayyim. al-Shawâ‘iq al-Muharriqah. Riyâdh: Dâr al-‘Âshimah, 1998. Ibn Hajr. Lisân al-Mîzân. Beirut: Mu’assasah al-A’lamî, 1986. Ibn Katsîr. al-Bidâyah wa al-Nihâyah. Kairo: Dâr Ibn al-Haytsam, 2006. Ibn Khaldûn. Muqaddimah Ibn Khaldûn. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006. Ibn Taymiyyah. Minhâj al-Sunnah. Kairo: Mu’assasah Qurthûbah, 1406. ___________. al-Majmû‘ al-Fatâwâ. Riyâdh: Majma‘ al-Malik Fahd, 1995. ___________. Jâmi‘ al-Rasâ’il fî Radd ‘alâ Ibn ‘Arabî. Kairo: Maktabah al-Turâts al-
Islamî, t.t. al-Îjî, ‘Abd al-Rahmân. al-Mawâqif fi ‘Ilm al-Kalâm. Beirut: ‘Âlam al-Kutub, 1992. al-Jîlî, ‘Abd al-Karîm. al-Insân al-Kâmil. Kairo: Dâr al-Fikr, t.t. al-Juwaynî, Abû al-Ma‘âlî. al-Syâmil ed. Dr. M. Sâmî Nasyâr. Kairo: Dâr al-Ma‘ârif,
1969. Mahmûd, ‘Abd al-Qâdir. al-Falsafah al-Shûfiyyah fî al-Islâm. Kairo: Dâr al-Fikr al-
‘Arabî, 1966. al-Malîbarî. Qurrah al-‘Ayn. Surabaya: Dar Ihya' al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.th. al-Mawardî. al-Ahkâm al-Sulthâniyyah. Kairo: Dar al-Hadits, 2006. Nadzîr, Ahmad. al-Qawl al-Sharîh. London: The Ahmadiyah Muslim Mission, 1405. Noer, Kautsar Azhari. Ibn al-’Arabî: Wahdat al-Wujûd dalam Perdebatan. Jakarta:
Paramadina, 1995.
al-Qâri, Mullâ ‘Alî. al-Radd ‘Alâ Qâ’ilîn bi Wahdah al-Wujûd. Damaskus: Dâr al-Ma’mûn li al-Turâts, 1995.
Rayyân, Alî Abû. al-Falsafah al-Islâmiyyah. Kairo: Dâr al-Qawmiyyah al-Islâmiyyah, 1967.
Stephen Hirteinstein, The Unlimited Mercifier diterjemahkan oleh Tri Wibowo dengan Judul Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, Jakarta: Rajagrafindo, 2001.
al-Sya‘rânî. al-Yawâqît al-Jawâhir fi ‘Aqâ’id al-Kabâ’ir. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1997.
_________. al-Kibrît al-Ahmar. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005. al-Syahrastânî. al-Milal wa al-Nihal. Beirut: Dâr al-Fikr, 1997. al-Syahrastânî, Nihâyah al-Iqdâm fî ‘Ilm al-Kalâm ed. Alfred Geum. T.th. al-Syarbînî, Khathîb. Mughnî al-Muhtâj. Kairo: Maktabah al-Tawfîqiyyah, t.th. al-Syawkânî. al-Shawârim al-Haddâd. Shan‘a: Dâr al-Hijrah, 1990. al-Tilmisâni, Ibn al-Muqri'. Nafh al-Thayyib min Ghishn al-Andalûs al-Thayyib.
Beirut: Dâr Shadr, 1997. Trimingham, J. Spencer. The Sufi Orders in Islam. London: Oxford University Press,
1973. al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî. Beirut: Dâr Ihyâ' al-Turâts al-‘Arabî, t.th.