Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KONSEP PENDIDIKAN
MENURUT IBN KHALDŪN DAN JOHN LOCKE
Skripsi
Diajukan Ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi
Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Rahmi Febrina
NIM: 1110033100019
PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1437 H./2016 M.
i
Pedoman Transliterasi
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
ṭ ṭ ط a a ا
ẓ ẓ ظ b b ب
„ ‘ ع t t ت
gh gh غ ts th ث
f f ف j j ج
q q ق ḥ ḥ ح
k k ك kh kh خ
l l ل d d د
m m م dz dh ذ
n n ن r r ر
w w و z z ز
h h ه s s س
, , ء sy sh ش
y y ي ṣ ṣ ص
h h ة ḍ ḍ ض
Vokal Panjang
Arab Indonesia Inggris
ā ā أ
ī ī إى
ū ū أو
ii
ABSTRAK
Tulisan ini mengkaji tentang konsep pendidikan menurut Ibn Khaldūn dan John
Locke yang bertumpu pada analisis komparatif untuk memperoleh deskripsi
mengenai pemikiran pendidikan keduanya sekaligus implikasi bagi perkembangan
ilmu pengetahuan zaman sekarang. Untuk memperoleh jawaban yang rinci mengenai
pemikiran Ibn Khaldūn dan John Locke, dalam tulisan ini akan diungkapkan
persamaan dan perbedaan konsepsi pemikiran pendidikan menurut keduanya.
Menurut Ibn Khaldūn, manusia semenjak lahir telah membawa potensi
(kemampuan dasar) yang cenderung mengarah kepada kebaikan. Potensi tersebut
akan berkembang terus-menerus melalui pengalaman dan pendidikan (lingkungan
atau sesuatu yang berada di luar diri manusia tersebut). Oleh karena itu, fitrāh adalah
landasan manusia memperoleh pengetahuan yang berbasis pada ajaran Islam (al-
Qur‟ān dan Ḥadīts) sehingga menuntun manusia tersebut ke arah yang lebih baik dan
benar. Tentang pendidikan, Ibn Khaldūn menganut prinsip keseimbangan antara
kecerdasan intelektual dan spiritual.
Berbeda dengan Ibn Khaldūn, menurut John Locke manusia hanyalah selembar
kertas kosong yang masih bersih putih (tabularasa) tanpa adanya potensi. Sebelum
memperoleh pengalaman akal manusia belum berfungsi, dalam proses pendidikan
seorang pendidik berperan penting untuk anak didik. Pendidikan adalah salah satu
sarana untuk memperoleh pengalaman bagi anak didik, melalui pengalaman tersebut
akan membentuk tingkah laku, sikap serta watak anak didik sesuai dengan tujuan
pendidikan yang diharapkan.
Implikasi pendidikan menurut Ibn Khaldūn dan John Locke akan
mempengaruhi peradaban manusia, artinya semakin bagus dan baik kualitas
pendidikan maka akan bertambah maju perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan semakin sejahtera peradaban tersebut.
Kata kunci: Manusia, pendidikan, teori fitrāh dan teori tabularasa.
iii
ABSTRACT
This paper examines the concept of education according to Ibn Khaldun and
John Locke who rely on comparative analysis to obtain a description of the
educational thinking both at the same implications for the development of science
today. To obtain a detailed answer about Ibn Khaldūn and John Locke, in this paper
will be revealed similarities and differences in the conception of educational thought
by both.
According to Ibn Khaldūn, the human at birth has brought potential (basic
capabilities) that tend towards goodness. That potential will grow constantly through
experience and education (the environment or something that is outside the human
self). Therefore, nature is the cornerstone of human beings acquired the knowledge
that is based on the teachings of Islam (al- Qur'an and hadith) that leads men into a
better direction and correct. On education, Ibn Khaldūn adheres to the principle of
balance between the intellectual and the spiritual.
In contrast to Ibn Khaldūn, according to John Locke man is just a blank piece
of paper that is still clean white (tabula rasa) without any potential. Prior to gain
experience of the human mind does not work, an educator in the educational process
plays an important role for students. Education is one of the means to gain experience
for the students, through that experience will shape the behavior, attitude and
character of the students in accordance with the purpose of education is expected.
Implications of education according to Ibn Khaldūn and John Locke will affect
human civilization, meaning the great and the good quality of education it will look
up the development of science, technology, and increasingly prosperous civilizations.
Keywords: Man, education, nature theory and the theory of tabula rasa.
iv
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Segala puji dan rasa syukur kepada Allah Swt yang memelihara segenap
semesta. Berkat rahmat, taufik, dan hidayah-Nya akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar sarjana
Theologi Islam (S.Th.I) pada jurusan Aqidah Filsafat Falkutas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Salawat dan salam untuk Nabi Muḥammad Saw
yang telah membawa dan menuntun manusia dari kegelapan menuju cahaya terang
benderang.
Skripsi yang berjudul “KONSEP PENDIDIKAN MENURUT IBN
KHALDŪN DAN JOHN LOCKE’’ ini mampu penulis selesaikan dengan banyak
bantuan, dorongan, dan bimbingan dari segenap pihak. Kepada mereka lembar
sederhana ini di khususkan sebagai wujud terima kasih yang tak terhingga.
Karyaku ini dipersembahkan untuk keluarga tersayang dan tercinta almarhum
Ayahanda Muhammad Nasir, M dan Ibunda Kasima yang selalu mencurahkan do‟a,
kasih sayang, dan cinta mereka. Uda-uda dan abangku: Syofyan, M, Salman, M.Ag.
Faisal Adisa Putra, A.md. Ketiga kakak iparku: Zurmawati, Ermalinda, M. Hum,
Asmila Marwida, yang selalu memberi dukungan moral dan morilnya.
v
Keponakan-keponakanku: Zikra Hayatul Nufus, Hibatul Alya, Iqbal
Mahmudy, Asyraf Hayatul Nufus, Alifia Raudhatul Jannah, Alisha Raudhatul
Jannah, dan Ichsan Mahmudy sebagai penyemangat untuk belajar.
Selanjutnya untuk segenap civitas kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah banyak memberikan ilmu, motivasi, saran, dan berbagai kritikan positif:
Prof. Dr. Masri Mansoer, MA sebagai Dekan Ushuluddin. Dr. Syamsuri, M.Ag
sebagai ketua Jurusan, Dra.Tien Rohmatien, MA sebagai Sekjur. Agus Darmaji, M.
Fils sebagai Penasehat Akademik. Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Faqih, MA sebagai
Dosen Pembimbing.
Para Dosen Ushuluddin: Drs.Nanang Tahqiq, MA, Dr. Edwin Syarif, MA,
Prof. Drs. Aziz Dahlan, Drs. Fakhrudin, MA, Prof. Drs. Mulyadi Kartanegara, MA.
Dr. Fariz Pari, Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA. Dr. Sri Mulyati, dan lain-lainnya. Para
pegawai staf Ushuluddin dan pegawai staf bagian akademik pusat serta bagian
perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Teman-teman seperjuangan Aqidah Filsafat 2010 yang istimewa. Terima
kasih atas kebersamaan kita dalam berbagi cerita suka, duka, berdiskusi (rumah
peradaban), berbagi pengalaman dan ilmu bahkan berbagi makanan.
vi
Khususnya buat kalian yang sering mampir dan berkumpul di kosan Liliput:
Ruha, Nina, Kacung, Syakur, Diana, Diah, Ratu, Bindan, Kusuma, Amir, Sofi,
Fatimah, Misbah, Caryono. Kak Dhani sebagai senior terima kasih bimbingan
dan pencerahannya. Teman-teman KKN DESAIN: Brata dan Obie. Terakhir
kepada semua keluarga besar dari pihak Ayahanda dan Ibunda yang selalu
mendo‟akan dan memotivasi penulis.
Semoga Allah Swt melimpahkan karunia dan pahala yang setinggi-
tingginya atas semua bantuan dan keikhlasan mereka semua. Setiap ilmu yang
diperoleh berkah dunia dan akhirat, amin. Demikianlah semoga tulisan ini
memberi manfaat dan segala kekurangan semoga mendapat saran dan kritikan
yang konstruktif.
Ciputat, 07 Januari 2016
Rahmi Febrina
1110033100019
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ i
ABSTRAK ........................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iv
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................................. 11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 12
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan .................................................. 12
E. Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 13
F. Sistematika Penulisan ............................................................................... 14
BAB II: BIOGRAFI IBN KHALDŪN DAN JOHN LOCKE
A. Biografi Ibn Khaldūn
1. Riwayat Pendidikan .............................................................................. 16
2. Karya-karya ........................................................................................... 21
B. Biografi John Locke
1. Riwayat Pendidikan .............................................................................. 24
2. Karya-karya ........................................................................................... 26
BAB III: KONSEP PENDIDIKAN IBN KHALDŪN DAN JOHN LOCKE
A. Landasan Epistemologi Ibn Khaldūn dan John Locke .............................. 30
B. Konsep Pendidikan Menurut Ibn Khaldūn ................................................ 32
C. Konsep Pendidikan Menurut John Locke ................................................. 37
D. Teori Teori Fitrah Ibn Khaldūn dan Tabularasa John Locke .................. 42
BAB IV: STUDI ANALISIS PEMIKIRAN IBN KHALDŪN DAN JOHN
LOCKE
A. Analisis Konsep Pendidikan Menurut Ibn Khaldūn ................................. 49
B. Analisi Konsep Pendidikan Menurut John Locke ..................................... 59
C. Analisis Teori Fitrāh Ibn Khaldūn dan Tabularasa John Locke .............. 61
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 68
B. Saran-Saran ............................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 70
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbicara mengenai pendidikan tak terlepas dari kegiatan berpikir,
berkreasi, beraktifitas memperoleh pengalaman-pengalaman, serta tujuan-tujuan
hidup yang ingin dicapai dengan cara atau metode tertentu. Pendidikan adalah
segala usaha yang dilakukan orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak
untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohani mereka supaya berguna bagi
diri sendiri maupun masyarakat.1 Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara, yang
dikutip Azyumardi, pendidikan pada umumnya berarti daya upaya memajukan
budi pekerti, pikiran, dan jasmani anak selaras dengan alam dan masyarakatnya.2
Pendidikan sebagai tolok ukur untuk kemajuan suatu bangsa akan menjadi
cerminan kepribadian masyarakat yang mendiami wilayah tersebut.3 Artinya
pendidikan mempunyai peran dalam menentukan eksistensi dan perkembangan
masyarakat dalam sebuah peradaban manusia. Maka pendidikan tidak terlepas
dari kehidupan manusia baik kalangan primitif maupun modern. Tanpa
1 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Bandung: Remaja
Rosdakarya), 2006, h. 10. 2 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru
(Jakarta: PT Logos Kencana Ilmu, 2002), h. 4. 3 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1996), h. 27.
2
pendidikan manusia tidak lebih dari binatang yang tak mampu mengembangkan
sumber daya manusianya yang berkualitas maupun sumber daya alam yang
dimiliki.
Melalui pendidikan, anak didik akan diberi pengajaran dan pelatihan serta
bimbingan tentang berbagai ilmu pengetahuan agar mengetahui berbagai hal
untuk meningkatkan kedewasaannnya sehingga mampu memikul tanggung jawab
moral dari segala perbuatannya.4 Pendidikan bertujuan untuk menciptakan
keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia secara menyeluruh dengan cara
melatih jiwa, akal pikiran, perasaan, dan fisik manusia tersebut. Oleh karena itu,
pendidik seharusnya mempunyai kualitas sehingga mampu membimbing dan
mengarahkan anak didik ke arah yang lebih baik dan kreatif dalam berbagai
bidang.
Pendidikan dimulai dari keluarga dimana orang tua sangat berperan dalam
menjadikan anak menjadi dirinya sendiri melalu didikan dan limpahan kasih
sayang yang diberikan, selanjutnya melalui sekolah sebagai sarana untuk
memperkenalkan dasar-dasar ilmu pengetahuan yang akan membentuk pola
pemikiran anak, dan terakhir adalah lingkungan masyarakat yang akan
memantapkan jiwa anak untuk bersosialisasi dengan kehidupan sosial.
Mengenai pendidikan, banyak sekali pemikir yang membahasnya baik di
Barat maupun di Timur. Dalam karya akademik ini penulis akan membahas dan
menganalis pemikiran Ibn Khaldūn dan John Locke tentang pendidikan.
4 Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: IAIN Jakarta, 1984), h.118.
3
Abū Zaid Abdu al-Raḥman Ibn Muḥammad Ibn Khaldūn Waliu al-Din at
Tunisi atau yang lebih dikenal dengan nama Ibn Khaldūn, lahir di Tunisia pada
tanggal 1 Ramadhan 732 H bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M.5 Ia
dikenal sebagai filosof sejarah muslim yang jenius dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan.6 Beberapa ilmu pengetahuan yang pernah digeluti Ibn Khaldūn
adalah: bidang ekonomi, politik, sosiologi, sejarah, teologi, dan pendidikan.
Selain itu, Ibn Khaldūn termasuk sebagai pemikir yang menganut aliran
rasionalis,7sekaligus empiris
8 sehingga ia adalah tokoh modern pada masanya.
9
Ibn Khaldūn hidup pada abad XIV M (kedelapan Hijriyah). Abad ini
merupakan periode perubahan besar bagi dunia Barat dan Timur. Bagi dunia Barat
periode ini merupakan periode tumbuhnya cikal bakal zaman Renaisans. Namun
bagi dunia Islam periode ini merupakan periode kemunduran dan disintegrasi
(keadaan perpecahan atau konflik).10
Pada zaman itu di wilayah Islam terjadi
kemandegan pemikiran, kekacauan politik, banyak negara bagian yang
melepaskan diri dari pemerintahan pusat dan setiap orang berambisi untuk meraih
kekuasaan.11
Dengan demikian orang-orang hanya berfokus pada kehidupan
duniawi saja tanpa memperdulikan kehidupan ukhrowi.
5 Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, terj. Nasrudin dan
Ahmadie Thaha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989), h. 9. 6 Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedia Islam (Jakarta: PT Ichtiar Bara Van
Hoeve, 2002), h. 158. 7 Rasionalis adalah penganut paham atau aliran yang menyatakan bahwa kebenaran
(sumber pengetahuan) berasal dari akal. 8 Empiris adalah penganut paham atau aliran yang menyatakan bahwa kebenaran (sumber
pengetahuan) berasal dari pengalaman inderawi. 9 Andi Hakim Nasution, Pengantar Filsafat Sains (Jakarta: Lentera Antar Nusa, 1999), h.
55. 10
Zainab al Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun (Bandung: Pustaka, 1987), h. 16. 11
Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, h. 9.
4
Terlahir pada masa kekacauan dan ketidakstabilan terhadap berbagai hal
memberikan kontribusi besar terhadap pemikiran Ibn Khaldūn. Sebagai penerus
para ilmuan sebelumnya, ia memberikan respon terhadap dunia pendidikan
dengan menghadirkan model pendidikan baru sehingga lebih menarik dan
bermanfaat baik bagi kehidupan duniawi maupun ukhrowi.
Ibn Khaldūn mencoba membandingkan sistem pendidikan yang ada di
negara Islam Timur hanya berfokus pada pelajaran al-Qu‟ān saja. Al-Qur‟ān
merupakan sumber Islam dan semua ilmu pengetahuan. Sedangkan orang
Andalusia (Islam bagian Barat) tidak membatasi pengajaran anak-anak
untuk mempelajari al-Qur‟ān saja, akan tetapi memadukan antara al-Qur‟ān dan
ilmu pengetahuan umum. Sehingga pemikiran mereka jauh lebih maju
dibandingkan dengan yang hanya berfokus pada hafalan al-Qur‟ān saja.
Pemikiran Ibn Khaldūn tentang pendidikan menganut keseimbangan antara
kecerdasan intelektual (ilmu-ilmu pengetahuan umum) dan spiritual (ilmu-ilmu
syariat yang bersumber dari al-Qur‟ān dan Ḥadīts). Ibn Khaldūn mendefinisikan
bahwa pendidikan bukanlah suatu aktifitas semata-semata bersifat pemikiran dan
perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi
merupakan gejala konklusif kebudayaan yang lahir dari terbentuknya masyarakat
dan perkembangannya dalam peradaban.12
Pandangan Ibn Khaldūn ini di dorong oleh konsep pendidikan yang bersifat
filosofi-empiris. Sebagai salah satu tokoh empiris, Ibn Khaldūn berpendapat
12
Fathiyah Hasan Sulaiman, Pandangan Ibn Khaldun tentang Ilmu dan Pendidikan
(Bandung: Diponegoro, 1987), h. 31
5
bahwa setiap pengalaman empiris akan memperkaya pengetahuan manusia tak
terkecuali dalam dunia pendidikan.
Ibn Khaldūn mengistilahkan pengetahuan empiris itu dengan istilah
“zaman”, maka di dalam kitab Muqaddimahnya ia mengatakan:
Barang siapa yang tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh
zaman. Maksudnya barangsiapa tidak memperoleh tata krama yang
dibutuhkan sehubungan pergaulan bersama melalui orang tuanya yang
mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan tidak memelajari hal itu dari
mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan alam, dari peristiwa-
peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, dan zaman akan mengajarkannya.13
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa manusia secara sadar
menangkap, menyerap dan menghayati peristiwa-peristiwa alam maupun
peristiwa hidup sepanjang zaman dan selalu berkembang sesuai perkembangan
dan kemajuan peradaban manusia. Dengan demikian bagi Ibn Khaldūn bangsa
yang maju, damai dan tentram dipengaruhi oleh kualitas pendidikan yang ada di
dalamnya. Semakin bagus kualitas pendidikan suatu negara maka semakin baik
peradaban yang dibangunnya.
Menurut Ibn Khaldūn, manusia adalah makhluk yang fitrāh berlandaskan
pada sebuah Ḥadīts “setiap anak dilahirkan menurut fitrāhnya”.14
Secara fitrāh
berarti manusia baik dan suci, tetapi ia bisa menjadi jahat dan kotor jika
dipengaruhi faktor luar dan proses aktualisasi yang menyimpang dari arahnya.
Dengan demikian pendidikan yang baik akan menjadikan manusia tersebut baik
sebaliknya pendidikan yang buruk akan mengakibatkan buruk pula.
13
Ibn Khaldūn, Muqaddimah, terj Ahmadie Thaha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), h.
527. 14
Ibn Khaldūn, Muqaddimah, h. 123.
6
Pendidikan terhadap manusia dipengaruhi oleh faktor keluarga dan
juga lingkungan tempat manusia tersebut hidup dan bergaul. Sebelum
memperoleh pengetahuan manusia termasuk jenis binatang yang bisa melihat,
makan, minum namun yang membedakan ialah akal dan kesadarannya sebagai
subjek terhadap objek di luar diri. Melalui akal dan kemampuan berpikir yang
luar biasa tersebut manusia dapat melahirkan ilmu dan teknologi dan masyarakat
yang berkebudayaan. Oleh karena itu, manusia sebagai subjek sekaligus objek
pendidikan tidak akan berkembang tanpa adanya pendidikan.15
Pendidikan yang
baik akan menjadikan manusia baik, begitupun sebaliknya. Dengan demikian
pendidikan dan manusia adalah dua hal yang saling melengkapi, artinya
pendidikan tidak akan ada arti tanpa manusia di dalamnya.
Dalam dunia Barat John Locke juga dikenal sebagai salah satu tokoh
pendidikan yang beraliran empiris. John Locke lahir di Wrington dekat Bristol,
Inggris pada tahun1632 M dan wafat 1704 M. Ia mendalami berbagai ilmu
pengetahuan: hukum, filsafat, teologi, kedokteran dan penelitian kimia.16
Pendidikannya ditempuh di Universitas Oxford dan memperoleh gelar sarjana
muda pada tahun 1656, sedangkan gelar sarjana penuh diperoleh pada tahun
1658 dengan mempelajari agama Kristen.17
Latar belakang kehidupan John Locke tidak jauh berbeda dengan Ibn
Khaldūn. Di masa kecil, John Locke juga mengalami kehidupan yang ironis dan
sangat tragis karena pada saat itu terjadi peperangan dan perebutan kekuasaan
dimana-mana. Peristiwa-peristiwa tersebut mendorong John Locke untuk berpikir
15
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), h. 85. 16
Asmoro Ahmadi, Filsafat Umum (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 117. 17
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 175.
7
bahwa kebebasan dan ilmu pengetahuan sangat penting untuk kemajuan dan
perdamaian suatu bangsa. Maka selama hidupnya dicurahkan waktunya untuk
mendalami berbagai ilmu pengetahuan, termasuk dalam dunia pendidikan. Oleh
karena itu, tidak berlebihan menjadikan John Locke sebagai seorang revolusioner
besar pada era modern (abad ke-17).
Pemikiran John Locke tentang manusia, berbeda dengan Ibn Khaldūn yang
mengakui bahwa manusia semenjak lahir telah membawa potensi berupa fitrāh.
Menurut John Locke manusia adalah tabularasa. Menurut teori tabularasa ini
manusia seperti kertas putih yang masih kosong, kertas tersebut akan terisi oleh
ide-ide melalui pengalaman inderawi.18
Dalam dunia pendidikan, kertas putih
tersebut diibaratkan dengan anak didik, sebelumnya pikiran mereka belum
berfungsi seutuhnya. Maka melalui pendidikan dan lingkunganlah kertas tesebut
menjadi berwarna-warni, entah itu warna merah, hijau dan sebagainya.19
Seorang
pendidik bisa diibaratkan juga seperti pemahat patung kayu yang membuat patung
sekehendak dirinya.20
Oleh karena itu, peran pendidik dan lingkungan sangat
penting karena akan mempengaruhi pemikiran manusia yang kosong untuk
dididik apa saja, ke arah yang baik maupun yang buruk.21
Menurut John Locke, pengetahuan manusia tergantung pada penglihatan
aktual dan pengalaman indrawi mengenai objek-objek material yang berada di
18
Aceng Rahmat, dkk. Filsafat Umum Lanjutan (Jakarta: Kencana, 2011), h. 171. 19
Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003), h. 98. 20
Prasetya, Filsafat Pendidikan untuk UIN, STAIN, PTAIS (Bandung: Pustaka Setia,
1997), h. 188. 21
Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam sebuah Pendekatan Psikologis
(Jakarta: Darul Falah, 1999), h. 96.
8
luar dirinya.22
Akal manusia tidak akan bisa memberikan pengetahuan tentang
realitas tanpa adanya pengalaman inderawi. Dengan demikian sumber
pengetahuan manusia berasal dari setiap setiap pengalaman yang diperolehnya.23
Melalui perantara pancaindera (pengalaman inderawi) manusia memperoleh
kesan-kesan dari setiap realitas dan kesan-kesan tersebut berkumpul dalam
dirinya, kemudian melahirkan pengetahuan.24
Pancaindera manusia menangkap
setiap objek yang ada di luar dirinya, kemudian akal menganalisa pengalaman
tersebut dan direfleksikan menjadi sebuah pengetahuan. Dengan demikian
sumber pengetahuan manusia diperoleh melalui pengalaman inderawi sesuai
dengan apa yang dialaminya.25
Misalnya seseorang bisa mengetahui es membeku
adalah melalui perantara inderanya dengan melihat dan merasakannya. Dengan
demikian, manusia memperoleh pengetahuan dan pendidikan melalui pengalaman.
Proses manusia memperoleh pengetahuan berkembang melalui dua cara,
yaitu: pertama, pengalaman lahiriah (sense atau eksternal sensation). Kedua,
pengalaman batiniah (internal sense atau reflection). Pengalaman lahiriah adalah
pengalaman yang menangkap aktivitas indrawi yaitu segala aktivitas material
yang berhubungan dengan pancaindera manusia. Sedangkan pengalaman batiniah
ialah manusia memiliki kesadaran terhadap aktivitasnya sendiri dengan cara
mengingat, menghendaki, meyakini dan sebagainya. Kedua pengalaman
manusia inilah yang akan melahirkan dan membentuk ide. Ide tersebut akan
22
Harun Hadiwijoyono, Sari Filsafat Barat (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h. 36. 23
N. Tarcov, Locke’s Education for Liberty (Chicago: The Univercity of Chicago Press,
1969), h. 8 24
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Agama (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), h. 41. 25
Louis. O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1986), h. 137.
9
berkembang melalui dua tahap yaitu: pertama, ide yang sederhana (simple ideas)
berupa ide langsung yang diperoleh melalui indera seperti warna jingga, rasa
asam, bau harum, suara merdu, dan lain-lain. Kedua, ide yang kompleks
(complex ideas) yaitu ide hasil penggabungan dari dua atau lebih ide-ide
yang sederhana dan diolah oleh pikiran. Misalnya konsep kuda, kursi, binatang,
manusia, laki-laki, perempuan, dan lain-lain. Ide kompleks tidak harus selalu
nyata, misalnya kuda terbang yaitu gabungan antara kuda dan hewan lain yang
punya sayap (burung).26
Manusia sebagai kertas kosong tidak bisa menghasilkan pengetahuan dari
dirinya sendiri.27
Oleh karena itu, dibutuhkan pendidikan sebagai sarana
pengembangan pengetahuan manusia tersebut sehingga menjadi aktual melalui
setiap pengalamannya. Dalam proses belajar-mengajar John Locke tidak
menyetujui metode pangajaran yang menggunakan hukuman, karena hukuman
tidak baik untuk perkembangan psikis anak didik.28
Selain itu, John Locke juga
mengutamakan pendidikan yang dimulai dari keluarga agar anak didik tersebut
berkembang dengan kepribadian yang baik.
Mengenai pendidikan John Locke mengemukakan beberapa tujuan yang
hendak dicapai di antaranya:29
pertama, pendidikan bertujuan untuk mencapai
kesejahteraan dan kemakmuran setiap manusia (bangsa). Oleh sebab itu,
pendidikan hendaknya membantu menusia untuk memperoleh kebenaran,
26
Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), h.
118-9. 27
Harun Hadiwijoyono, Sari Filsafat Barat, h. 36. 28
J.W. Yolton, John Locke and The Way of Ideas (Oxford: The Oxford Univercity Press,
1968), h. 26. 29
John, Locke, The Encyclopedia of Philosophy, edited by Paul Edwards (New York:
Simon and Schuster and Prencite Hall Internsational, 1996), h. 501.
10
kemakmuran, dan kebijaksanaan hidup. Kedua, pendidikan bertujuan untuk
mencapai kecerdasan setiap individu dalam menguasai ilmu pengetahuan sesuai
dengan tingkatannya. Pendidikan ialah sebagai usaha untuk memberantas
kebodohan dalam hidup masyarakat. Setiap manusia diarahkan pada usaha untuk
mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Ketiga, pendidikan
membentuk karakter dasar manusia untuk menjadi pribadi yang dewasa dan
bertanggungjawab. Dalam arti ini, pendidikan sebagai sarana untuk membentuk
manusia menjadi pribadi yang bermoral sehingga berprilaku baik. Keempat,
pendidikan menjadi sarana dan usaha untuk memelihara dan memperbaharui
sistem pemerintahan yang ada.
Pandangan John Locke tentang proses manusia mendapat pengetahuan
memiliki dua makna yaitu: pertama, seluruh pengetahuan manusia berasal dari
pengalaman. Kedua, semua hal yang manusia ketahui melalui pengalaman,
bukanlah objek atau benda pada dirinya sendiri melainkan hanya kesan-kesan
indrawi yang diterima oleh pancaindera manusia tersebut. Sehingga pemikiran
John Locke tentang pengetahuan tersebut memiliki pengaruh besar terhadap
para filosof setelahnya, David Hume di Inggris dan Immanuel Kant di Jerman.
Berdasarkan uraian di atas Ibn Khaldūn sebagai pemikir Islam mempunyai
kejeniusan dalam berbagai ilmu pengetahuan: teologi, politik, sosiologi, sejarah,
dan pendidikan. Sehingga Ibn Khaldūn mempunyai andil sangat besar dalam
dunia pendidikan, ia dikenal dengan pembaharu (mujaddid fī al-tarbiyyah).
Tidak jauh berbeda dengan John Locke ia adalah tokoh Barat yang terkenal
dalam berbagai ilmu pengetahuan: ilmu alam, kedokteran, sastra, diplomat,
11
dan tak terkecuali dalam pendidikan. Konsep pendidikan yang dirancang Ibn
Khaldūn dan John Locke adalah mengembangkan potensi (kemampuan dasar)
manusia untuk menambah kecerdasan intelektual manusia, pertumbuhan moral
(perilaku) yang baik, dan pengetahuan teknologi sehingga akan mempengaruhi
dan mendorong perkembangan peradaban atau bangsa. Pendidikan dan manusia
adalah dua hal yang saling melengkapi, artinya pendidikan tidak akan ada
arti tanpa manusia di dalamnya.
Pada intinya menurut Ibn Khaldūn dan John Locke, manusia pada
hakikatnya dapat bertumbuh dan berkembang pengetahuannya melalui proses
pendidikan. Pemikiran kedua tokoh tersebut masih layak dan relevan dengan
pendidikan zaman sekarang, artinya metode yang mereka gunakan masih
diterapkan dalam proses pendidikan kekinian.
B. Batasan Dan Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, penulis melihat ada persamaan
pemikiran Ibn Khaldūn dan John Locke tentang pendidikan walaupun tidak
menutup kemungkinan ada perbedaan di sisi yang lainnya. Oleh karena itu penulis
tertarik untuk melakukan penelitian dan perbandingan terhadap pemikiran
kedua tokoh tersebut. Dalam karya akademik ini pembahasan penulis hanya
berfokus dalam pemikiran pendidikan sesuai dengan pemikiran Ibn Khaldūn dan
John Locke
Sedangkan rumusan masalah yang akan dibahas adalah: Bagaimana
pemikiran Ibn Khaldūn tentang pendidikan?. Bagaimana pemikiran John Locke
12
tentang pendidikan?. Apa persamaan dan perbedaan teori fitrāh Ibn Khaldūn
dan tabularasa John Locke dalam pendidikan?.
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Tujuan penulisan ini untuk menggambarkan dan membandingkan
pemikiran Ibn Khaldūn dan John Locke tentang konsep pendidikan. Manfaatnya
adalah untuk menambah wawasan dan menjadi sumbangan pemikiran akademik
tentang pendidikan sehingga bisa dijadikan sebagai bahan rujukan bagi peneliti
selanjutnya pada kajian yang sama dalam ruang lingkup yang lebih luas.
Sedangkan sebagai karya akademik adalah untuk memenuhi persyaratan
mencapai gelar sarjana dalam bidang akademik Aqidah Filsafat di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Metode Penelitian Dan Teknik Penulisan
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode studi pustaka (library
research) dengan menggunakan karya Ibn Khaldūn dan John Locke sebagai
sumber primer. Sedangkan sumber sekunder yang digunakan adalah karya-karya
penulis lain yang memiliki relevansi dengan tema penelitian ini. Metode
pembahasan adalah deskriptif-analitif yang bertujuan untuk menggambarkan dan
menganalisis pemikiran kedua tokoh tersebut tentang konsep pendidikan.
Teknik penulisan Proposal Skiripsi ini disesuaikan dengan Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi) yang diterbitkan Center for
Quality Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Adapun transliterasi Arab menggunakan jurnal Ilmu Ushuluddin terbitan HIPIUS
(Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin) tahun 2010.
13
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang “Konsep Pendidikan menurut Ibn Khaldūn dan John
Locke” yang dibahas secara spesifik sejauh ini penulis belum menemukan baik
dalam bentuk skripsi, tesis maupun disertasi. Namun yang berhubungan dengan
pendidikan menurut Ibn Khaldūn, penulis menemukan skripsi dan disertasi yang
membahasnya di antaranya ialah: Skripsi Kesnimia Nivianti “Studi perbandingan
pendidikan Islam menurut Ibn Khaldūn dan Miskawayh”. Dalam skripsi ini dia
menyatakan bahwa pendidikan Ibn Khaldūn lebih mengarahkan anak didik untuk
memahami al-Qur‟ān supaya manusia dapat meyakini Allah melalui ajaran-ajaran
syariat dan pengetahuan umum lainnya. Teori belajar yang digunakan Ibn
Khaldūn adalah penyampaian pelajaran secara berangsur-angsur dan berlanjut.
Khususnya pelajaran agama Islam agar anak didik mendapatkan pemahaman yang
mendalam tentang ilmu-ilmu pengetahuan agama disamping pengetahuan umum.
Sedangkan Ibn Miskawayh lebih menekankan pada etika dan moral, sehingga
dengan akhlak yang baik akan mendorong manusia untuk melakukan perbuatan
baik. Metode pembelajaran yang digunakan Ibn Miskawayh adalah menghafal dan
penelitian.30
Disertasi Azra‟ie Zakaria “Konsep Pendidikan Ibn Khaldūn: Relevansinya
dengan Pendidikan Modern”. Dalam disertasi ini ia menyatakan bahwa konsep
pendidikan Ibn Khaldūn masih relevan dengan pendidikan modern pada zaman
sekarang dengan metode yang digunakan Ibn Khaldūn pada zamannya, di adalah
30
Kesnamia Nivianti, Studi Perbandingan Pendidikan Islam menurut Ibn Khaldūn dan
Miskawayh (Jakarta: Jurusan Pendidikan Agama Islam Falkutas Tarbiyah UIN Syarif
Hidayatullah, 2012).
14
penggunaan alat peraga (contoh) sebagai perlengkapan agar mempermudah
anak menerima dan memahami apa yang disampaikan oleh pendidik sehingga
meningkatkan kualitas pendidikan.31
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas penulis hanya berfokus pada tulisan
tentang gambaran umum dan perbandingan konsep pendidikan Ibn Khaldūn dan
John Locke, sehingga berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya.
F. Sistematika Penulisan
Pembahasan tentang konsep pendidikan menurut Ibn Khaldūn dan John
Locke dalam penelitian ini dibagi ke dalam beberapa bab. Bab I merupakan bab
pendahuluan yang berisi persoalan mendasar yang mencakup latar belakang
masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian dan teknik penulisan, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.
Bab II menguraikan tentang biografi Ibn Khaldūn dan John Locke yang
mencakup silsilah dan kehidupan, situasi sosial, riwayat pendidikan dan karya
karya yang dihasilkan Ibn Khaldūn dan John Locke semasa hidup mereka.
Bab III membahas tentang pemikiran Ibn Khaldūn dan John Locke tentang
konsep manusia dan pendidikan, pembahasan tentang teori fitrāh Ibn khaldūn
dan tabularsa John Locke.
Bab IV analisis terhadap pemikiran Ibn Khaldūn dan John Locke tentang
konsep manusia dan pendidikan serta uraian-uraian penulis tentang pemikiran
kedua tokoh tersebut.
31
Azra‟ie Zakaria, Konsep Pendidikan Ibn Khaldūn: Relevansinya dengan Pendidikan Modern (Jakarta: Program Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2004).
15
Selanjutnya Bab V yang berisi kesimpulan tentang pemikiran Ibn
Khaldūn dan John Locke serta saran-saran yang mungkin diperlukan sebagai
bahan perbaikan dan pembahasan lebih lanjut berkaitan dengan tema penelitian
ini.
16
BAB II
BIOGRAFI IBN KHALDŪN DAN JOHN LOCKE
A. Biografi Ibn Khaldūn
1. Riwayat Pendidikan
Ibn Khaldūn adalah tokoh pemikir muslim pada Abad Pertengahan, nama
lengkapnya Abu Zaid Abd al-Raḥman Ibn Muḥammad Ibn Khaldūn Walīu al-Dīn
at-Tunisi, lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H atau tanggal 27 Mei
1332 M.32
Namun dalam tulisan lain nama Ibn Khaldūn disebutkan, Walī ad-Dīn
Abu Zaid „abd al-Raḥman bin Muḥammad „Ibn Khaldūn al-Hadramī al-Ishbili.33
Gelar walī Dīn diperoleh Ibn Khaldūn ketika menjadi hakim di Mesir, sedangkan
gelar Abu Zaid diambil dari nama anak tertuanya. Nama al-Hadramī karena ia
berasal dari daerah Hadramaut, Yaman. Selain itu, Ibn khaldūn juga mempunyai
gelar al-Malikī karena ia adalah seorang penganut mazhab Malikī. Ibn Khaldūn
wafat di Mesir usia 74 tahun pada tanggal 26 Ramdhan tahun 808 H atau tanggal
16 Maret 1406 M.34
Ibn Khaldūn adalah filosof muslim yang jenius dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan.35
Ini disebabkan karena Ibn Khaldūn berasal
dari keturunan bangsawan dan ilmuan.
32
Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, terj. Nasrudin dan Ahmadie Thaha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989), h. 9.
33 Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Ibn Khaldun dalam Pandangan Penulia Barat dan Timur
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 11. 34
Ali Abdul wahid Wafi, Ibn Khaldun riwayat dan karyanya, terj. Ahmadie Thaha
(Jakarta: PT Grafitifers, 1985), h. 77. 35
Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedia Islam (Jakarta: PT Ichtiar Bara Van Hoeve, 2002), h. 158.
17
Silsilah keluarga Ibn Khaldūn berasal dari sahabat Rasulullah yaitu Wail bin
Ḥujr yang terkenal meriwayatkan kurang lebih dari 70 Ḥadits.36
Daerah asal
keluarga Ibn Khaldūn adalah Hadramaut (Yaman), yang kemudian pergi merantau
ke daerah Andalusia. Nenek moyang Ibn Khaldūn, Khalid bin Utsman masuk ke
Andalusia (Spanyol) bersama para penakluk berkebangsaan Arab sekitar abad ke
VII M. Mereka menetap di Carmona, suatu kota kecil yang terletak di tengah-
tengah antara tiga kota yaitu Cordova, Granada dan Seville, yang kemudian
menjadi pusat kebudayaan Islam di Andalusia.37
Di Andalusia keluarga Khaldūn memainkan peranan yang cukup menonjol
baik dari segi ilmu pengetahuan, pemerintahan maupun politik.38
Akan tetapi,
ayah Ibn Khaldūn, Ᾱbu „Abdullāh Muḥammad lebih tertarik bidang ilmu
pengetahuan dan tasawuf, selain itu ia juga ahli di bidang bahasa Arab.
Nama Ibn Khaldūn sendiri diambil dari garis keturunan kakeknya yang
kesembilan, yaitu Khalid bin Utsman. Orang Andalusia dan Maghrib terbiasa
menambahkan huruf waw (و) dan nun (ن) di belakang nama orang-orang
terkemuka sebagai penghormatan dan takzim, maka Khalid menjadi Khaldūn.
Tradisi intelektual dan politikus yang diwarisi keluarganya menyatu dalam
diri Ibn Khaldūn sehingga menjadikan ia ahli dalam berbagai bidang serta
mempunyai kecerdasan yang luar biasa untuk perkembangan pemikirannya.39
36
Ali Abdul Wahid Wafi, Ibn Khaldun Riwayat dan Karyanya, h. 4. 37
Osman Raliby, Ibn Khaldun tentang Masyarakat dan Negara (Jakarta: Bulan
Bintang1978), h. 13. 38
Ali Abdul Wahid Wafi, Ibn Khaldun Riwayat dan Karyanya, h. 5. 39
Toto Suharto, Epistemologi Sejarah Kritis Ibn Khaldun (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), h. 34.
18
Guru pertama Ibn Khaldūn adalah ayahnya sendiri.40
Semenjak kecil, Ibn
Khaldūn telah bisa menghafal al-Qur‟ān dan mempelajari tajwidnya. Ia juga
mempelajari beberapa ilmu pengetahuan lainnya seperti: tafsir, Ḥadīts, ushul,
tawḥid, fiqh, matematika, fisika, naḥu, balagḥah, logika dan filsafat. Selain dari
ayahnya, Ibn Khaldūn juga diajari oleh ulama terkenal di Tunisia pada
zamannya.41
Guru-guru Ibn Khaldūn di antaranya adalah: Bidang bahasa adalah
Abu Abdillah Muḥammad Ibn Al-„Arabī al-Ḥasāyyrī, Abu al-„Abbas Aḥmad Ibn
al-Qassar, Abu „Abdillah Ibn Baḥar. Bidang keilmuan ḥadīts, Syamsuḍin Abu
„Abdillah al-Wadiyasi. Bidang fiqh, ia belajar pada sejumlah guru, di antaranya
Abu „Abdillah Muḥammad al-Jiyani dan Abu Qahirī. Selain ilmu-ilmu keislaman,
Ibn Khaldūn juga belajar ilmu-ilmu rasional (filosofis) yaitu teologi, logika, ilmu
alam, matematika dan astronomi, kepada Abu „Abdillah Muḥammad Ibn Al-Abilī.
Semasa hidup Ibn Khaldūn, dinasti-dinasti Islam mengalami jatuh-bangun
dalam dunia intelektual terutama dinasti Umayyah dan Abbasiyah.42
Sedangkan
bagi dunia Barat adalah masa kebangkitan dan kemajuan dalam berbagai ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pada usia 18 tahun, di sebagian besar wilayah dunia
bagian Timur dan Barat meliputi Negara-negara Islam dari Samarkand hingga
Magribi, Italia, sebagian besar Negara Eropa, Andalusia, dan Tunisia terjangkit
penyakit Pes. Hal ini menyebabkan Ibn Khaldūn terhenti belajar sementara waktu
karena ia banyak kehilangan para guru termasuk kedua orang tuanya tepatnya
40
Mukti Ali, Ibn Khaldun dan Asal-usul Sosiologinya (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1970), h. 16.
41 Muhammad Abdullah Enan, Biografi Ibn Khaldun, terj. (Jakarta; Mizan, 2003),
h. 21. 42
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta. 2005),
221.
19
pada tahun 1349 M/ 749 H. Sebelum penyakit Pes mewabah, kota Tunisia
adalah pusat segala ilmu pengetahuan terutama sastra.
Awal karir Ibn Khaldūn dimulai pada umur 20 tahun, ia terjun ke dunia
politik sebagai sekretaris Sultan Fez di Maroko.43
Namun disebabkan pemikiran
Ibn Khaldūn yang ekstrim membuatnya sering dijebloskan ke dalam penjara.
Secara garis besar masa kehidupan Ibn Khaldūn bisa digolongkan menjadi empat
tahap: pertama, kelahiran dan masa studi yang dimulai dari tahun 732 H sampai
751 H di Tunisia. Periode ini ia belajar berbagai ilmu pengetahuan. Selama
periode ini Ibn Khaldūn memperoleh hasil yang sangat memuaskan dari para
gurunya. Kedua, bekerja di bidang pemerintahan dan dunia politik tahun 751
sampai 776 H. Sebagai politisi, Ibn Khaldūn banyak berpindah dari satu tempat ke
tempat lain. Mulai dari Tunisia, Andalusia, Granada, kemudian Fez dan Maroko.
Semasa terjun dalam bidang politik Ibn Khaldūn sempat menduduki jabatan
penting dalam kenegaraan, salah satunya adalah sebagai hakim tertinggi (qadhī
al-qhūdat). Namun akibat fitnah dari lawan-lawannya Ibn Khaldūn sempat
dijebloskan ke dalam penjara.
Ketiga, masa mengarang yang dimulai tahun 776 H sampai 784 H. Karena
karir politiknya seringkali terganggu sehingga Ibn Khaldūn mengalami kejenuhan,
sehingga ia meninggalkan dunia politik dan menekuni dunia keilmuan. Periode ini
Ibn Khaldūn melengkapi dan merevisi catatan-catatan yang pernah dibuat
sebelumnya. Tulisan-tulisan Ibn Khaldūn tersebut menjadi karya-karya orisinal
yang termasyhur sepeninggal hayatnya baik di dunia Islam maupun Barat.
43
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 171.
20
Keempat, memberi kuliah dan memimpin pengadilan tinggi pada tahun 784
H hingga akhir hayatnya di Mesir.44
Selama di Mesir Ibn Khaldūn mengajar di
universitas al-Azhar, mengadakan seminar-seminar berbagai macam keilmuan.
Selain itu, Ibn Khaldūn juga pernah diangkat menjadi guru besar fiqh Malikyyah
di perguruan al-Zahiriah al-Barquqiah, pada tahun 788 H dan tahun 791 H ia
kembali menjadi guru besar Ḥadist di perguruan Sharghatmusy.45
Ibn Khaldūn
menghabiskan waktu selama 23 tahun di Mesir. Salah satu peristiwa besar yang
terjadi selama Ibn Khaldūn berada di Mesir adalah pertemuannya dengan Timur
Lank,46
penakluk negara Khawarazmi, Kasygar, Persia dan Mesir. Pertemuan Ibn
Khaldūn dengan Timur Lank adalah salah satu upaya untuk perdamaian dan Ibn
Khaldūn berhasil mencapai perdamaian dengan Timur Lenk. Di Mesir, Ibn
Khaldūn menjadi guru yang dikagumi banyak orang karena kemampuan
mengajarnya yang luar biasa. Selain itu ia juga memangku jabatan qadī (mazhab
Malikī) yang bertindak dengan seadil-adilnya dalam kegiatan kenegaraan.47
Perjalanan hidup Ibn Khaldūn yang sarat dengan berbagai pengalaman, baik
dalam bidang keilmuan, kemasyarakatan, kebudayaan, perpolitikan serta
persinggahan di berbagai daerah dengan kondisi geografis yang berbeda-beda
memberi banyak kontribusi dalam pemikirannya untuk menghasilkan karya-karya
yang komprehensif. Dengan demikian corak pemikiran Ibn Khaldūn tergolong
44
Ali Abdul Wahid Wafi, Ibn Khaldun: Riwayat dan Karyanya, h. 4. 45
Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, terj. Ahmad Rofi‟ Ustmani
(Bandung: Pustaka, 1987), h. 18. 46
Raja Moghul yang mempunyai kaki pincang, lahir di Kusy dekat Samarkand (Turkistan). Ia adalah raja yang yang menghalalkan segala cara dalam tahta kerajaannya dan menjelajah setiap daerah untuk ditaklukkan dalam rangka memperluas kekuasaanya. Mesir salah satu negara yang sempat dijajahnya. Hidup periode 1336 M-1405 M.
47 Ahmad Syafii Ma‟arif, Ibn Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur, h.
17.
21
maju pada zamannya, karena ia adalah petualang ilmu yang memiliki hubungan
istimewa dan erat dengan para pembesar-pembesar negara dan tokoh-tokoh
agama, para ilmuan kalangan muslim maupun non-muslim. Hal ini menandakan
Ibn Khaldūn adalah orang yang giat belajar dan tak pernah berhenti untuk
memperoleh ilmu pengetahuan.48
Sehingga tak heran menjadikan ia ilmuan yang
handal dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Pola pemikiran Ibn Khaldūn juga tidak terlepas dari pengaruh filsafat Islam
dan filsafat Yunani. Misalnya tentang kemasyarakatan (al-Umrān) dipengaruhi
oleh pemikir Islam seperti: al-Farabī, Ibn Sīnā, Ibn Rusyd, dan Aristoteles.
Dengan demikian, Ibn Khaldūn digolongkan sebagai salah seorang pemikir
muslim dengan metode pemikiran yang bercorak rasional dan empiris. Salah
satunya adalah dalam kitab al-Muqadimmah yang dihasilkan dari pemikiran
kritisnya terhadap fenomena sejarah yang dikaji secara rasional dan empiris
terhadap ayat al-Qur‟ān dan Ḥadīts.
2. Karya-karya
Ibn Khaldūn adalah tokoh yang paling berjaya dari dunia Islam dan bangsa
Arab di mata para pemikir Barat dan Timur. Oleh sebab itu banyak yang tertarik
untuk mengkaji pemikiran Ibn Khaldūn dan diterjemahkan kedalam berbagai
bahasa seperti: bahasa Arab, Eropa maupun Perancis.49
Dalam dunia Islam Ibn Khaldūn juga dikenal sebagai peletak dasar ilmu
sosial dan politik Islam. Selain itu, ia juga sebagai sejarahwan, ahli hukum, ahli
48
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: Grafindo
Persada, 2004), h. 357. 49
Yusri Abdul Ghani Abdullah, Historiografi Islam dari Klasik hingga Modern (Jakarta:
PT Raja Grafindo, 2004), h. 66.
22
filsafat dan sastrawan. Tidak heran jika ia menghasilkan berbagai karya dari hasil
pemikirannya yang luar biasa. Meskipun Ibn Khaldūn hidup pada masa peradaban
Islam mulai mengalami anti klimaks perkembangan (kehancuran). Namun Ibn
Khaldūn muncul sebagai pemikir muslim yang kreatif dengan melahirkan
pemikiran-pemikiran besar yang dituangkan dalam beberapa karyanya yang
hampir semuanya adalah orisinal.50
Karya-karya Ibn Khaldūn: pertama, Lubab al-Muhaṣal fi Uṣul-al Dīn ini
adalah berupa ikhtisar yang ditulis tangan oleh Ibn Khaldūn ketika masih berusia
19 tahun dan masih tinggal di Tunisia. Kedua, Burḍah al-Buṣairī tentang logika
dan aritmatika dan beberapa resume ilmu fīqh. Ketiga, kitab Syifā ‘al syail lī
Tahdzib al-Masat ditulis Ibn Khaldūn ketika berada di Fez yang berisi
pembahasan teologi dan mistisisme.51
Keempat, Kitāb al-I’bar wa Diwān al-Mubtada’ wa al-khabar fī Ayyami al-
‘Arāb wa al-Ajam wa al-Barbar wa man ‘Asaruhun min Dzami as-Sulṭan al-
Akbar. Terdiri dari tiga buku dan beberapa jilid. Buku pertama, adalah sebagai
kitab Muqaddimah, jilid pertama berisi tentang: Masyarakat dan ciri-cirinya
(pemerintahan, kekuasaan, pencaharian, penghidupan, keahlian-keahlian dan ilmu
pengetahuan dengan segala sebab dan alasan-alasannya). Buku kedua terdiri dari
empat jilid, yaitu jilid kedua, ketiga, keempat, dan kelima (menguraikan tentang
sejarah bangsa Arab, generasi-generasi mereka serta dinasti-dinasti mereka. Di
samping itu juga mengandung ulasan tentang bangsa-bangsa terkenal dan negara
50
Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1997), h.
152. 51
Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2003), h. 20.
23
yang sezaman dengan mereka, seperti bangsa Syiria, Persia, Yahudi , Yunani,
Romawi, Turki dan Franka). Terakhir buku ketiga terdiri dari dua jilid yaitu jilid
keenam dan ketujuh (berisi tentang sejarah bangsa Barbar dan Zanata yang
merupakan bagian dari mereka, khususnya kerajaan dan negara-negara Maghribi).
Kitab ini dikenal dengan al-I’bār atau Tarikh Ibn Khaldūn.52
Kelima, Muqadimmah terdiri tujuh jilid menyangkut masalah-masalah
sosial, dan orang-orang cenderung menganggap kitab ini sebagai ensiklopedia
tentang Ibn Khaldūn.53
Muqadimmah sebagai pengantar dari kitab al-I’bār sangat
terkenal dalam sejarah intelektualisme, kitab ini diselesaikan pada Abad
Pertengahan sekitar tahun 799 H selama 5 bulan.54
Keenam, Al-Ta’arīf bī Ibn Khaldūn wa Riḥlatuhu Gharbam wa Syarqam
berisi autografi (Merupakan bagian terakhir dari kitab al-‘Ibār yang berisi tentang
beberapa bab mengenai kehidupan Ibn Khaldūn).55
Melihat karya-karya di atas dapat disimpulkan bahwa Ibn Khaldūn adalah
ilmuan yang kritis, objektif, rasional, dan juga agamawan yang taat. Dari
pemikirannya tersebut tersebut terlihat bahwa Ibn Khaldūn adalah filosof yang
seimbang antara kehidupan duniawi dan ukhrawi. Selain itu, dalam penulisan dan
pembahasan karya-karyanya Ibn Khaldūn juga berdasarkan pada setiap peristiwa
sosial, politik, ekonomi dan pengalaman-pengalaman hidup yang dialami pada
zamannya.
52
Ahmad Syafi‟I Ma‟arif, Ibn Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur, h.
12. 53
Toto Suharto, Epistemologi Sejarah Kritis Ibn Khaldun,, h. 65. 54
Warul Waliudin, Konseltlasi Pemikiran Pedagogik Ibn Khaldun Perspektif Pendidikan
Modern (Banda Aceh: Suluh Press Yogyakarta, 2005), h. 28-9. 55
Zainab al Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, h.29.
24
B. Biografi John Locke
1. Riwayat Pendidikan
John Locke adalah seorang revolusioner, ia menandai lahirnya era Modern
(pencerahan) dan juga era pasca-Descartes (post-Cartesian), karena pendekatan
Descartes tidak lagi menjadi satu-satunya pendekatan yang dominan di dalam
pendekatan filsafat pada zamannya. John Locke lahir 1632 M di Wrington,
Inggris. Ayahnya adalah seorang pengacara yang bekerja sebagai juru tulis hakim
di Somersetshire dan menjadi kapten angkatan bersenjata di Long Parliament,
pemerintahan Raja Charles I. John Locke menempuh pendidikan di sekolah klasik
Westminster (salah satu sekolah yang terkenal pada masa itu di Inggris) selama 6
tahun. Selain mempelajari pelajaran-pelajaran umum di sana John Locke juga
belajar bahasa Latin dan Yunani. Pada tahun 1652 M John Locke melanjutkan ke
Christ Chruch College, Oxford Univercity, ia meraih gelar sarjana muda pada
tahun 1656 M dan sarjana penuh pada tahun 1658 M.56
Selama di Oxford di John
Locke mempelajari retorika bahasa, filsafat moral, ilmu ukur, fisika, dan lain-lain.
Perjalanan karir John Locke dimulai pada tahun 1661 M, ia menjadi dosen
di gereja Kritus mengajar bahasa Yunani dan Latin dan pada tahun 1664 M
diangkat sebagai seorang penyensor buku-buku filsafat moral di Oxford. Pada
tahun 1665 M John Locke pernah menjadi sekretaris diplomatik kerajaan Inggris.
John Locke adalah ilmuan yang menyukai berbagai bidang ilmu
pengetahuan, termasuk ilmu medis yang berhubungan dengan kesehatan dan
pengobatan. Maka pada tahun 1666 M John Locke melanjutkan pendidikannya di
56
Donald C. Abel, Fifty Readings in Philosophy (Amerik, New York Press, 2004), h.
124.
25
falkutas kedokteran Universitas Oxford. John Locke memperoleh gelar dokter
1674 M dan memperoleh izin untuk membuka praktik.57
Selain menjadi dokter John Locke juga terjun ke dalam dunia politik
menjadi orang kepercayaan penasehat Raja Shaftesbury, salah satu pemimpin
politik di London, Inggris. Karena profesi diplomatnya ini John Locke
mengunjungi banyak Negara. Selama bergelut dalam bidang politik bersama Raja
Shaftesbury, John Locke juga berkesempatan menjadi dokter pribadi raja tersebut.
Namun pada tahun 1683 M kekuasaan Raja Shaftesbury terancam, akhirnya John
Locke mengungsi ke Belanda. Setelah revolusi dan kemenangan politik tahun
1688 M, John Locke kembali ke Inggris bersama Raja Willem III. Namun setelah
tahun 1690 M kesehatan John Locke mulai menurun, sehingga ia akhirnya
mengundurkan diri dari pemerintahan dan perpolitikan. John Locke kemudian
meninggalkan London dan hidup dan menetap di Oates sampai meninggal di sana
pada 28 Oktober 1704 M.58
John Locke menghabiskan waktu hidupnya selama 30 tahun di kota Oxford.
Selama di sana ia mempelajari logika dan metafisika Aristoteles secara berangsur-
angsur serta mengembangkan eksprimen tentang sains yang dipengaruhi oleh
pemikiran Robert Boyle.59
John Locke menulis beberapa karangan yaitu: The
Reasonableness of Christianity, An Essay Concerning Teleration and
57
Samuel Enoch Stumf dan James Fieser, Philosophy History and Problems, (New York/SIAE: Artist Rights Society, 2002), h. 251.
58 Ag.Soejono, Aliran Baru dalam Pendidikan (Bandung: C.V. ILMU, 1978), h. 18.
59 Samuel Enoch Stumf dan James Fieser, Philosophy History and Problems, h.
251.
26
Concequences of the Lowering of Interest and Raising the Value of Money, yang
menandakan bahwa ia aktif berpartisipasi dalam dunia publik selama hidupnya.
Ketika berumur 57 tahun tepatnya pada tahun 1690 M, John Locke
mempublikasikan dua buah buku yang menjadikan ia terkenal sebagai seorang
filosof dan politikus, yaitu: An Essay Concerning Human Understanding dan Two
Treaties on Civil Government.60
Tidak jauh berbeda dengan Ibn Khaldūn masa kecil John Locke di Inggris
adalah masa tragis dan ironis. Peperangan ada dimana-mana seperti yang terjadi di
negara Eropa Abad ke-17, antara kaum Protestan dan Katolisisme. Ketika John
Locke berumur 10 tahun terjadi perang saudara dan perang agama antara kaum
Puritan dan Raja Charles I. Ayah John Locke berpihak pada kaum puritan.
Melihat situasi dan kondisi yang sulit tersebut John Locke mulai berpikir betapa
pentingnya kebebasan, demokrasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi untuk
kemajuan dan kedamaian suatu bangsa. Maka John Locke mencurahkan waktunya
untuk mendalami berbagai ilmu pengetahuan selama hidupnya.
2. Karya-karya
Sebagai seorang filosof, politikus, dokter medis dan pendidik John Locke
menghasilkan berbagai macam tulisan dari hasil pemikirannya. Karya-karya John
Locke diantaranya: pertama, A Letter Concerning Toleration (masalah yang
berkaitan dengan toleransi) terbit tahun 1689 M, berisi tentang kebebasan warga
negara untuk menjalankan ibadah menurut kepercayaan agama masing-masing
60
Samuel Enoch Stumf dan James Fieser, Philosophy History and Problems, h. 252.
27
tanpa campur tangan pemerintahan negara.61
Hak negara hanyalah untuk
menindas teori-teori dan ajaran-ajaran yang akan membahayakan keberadaan
negara tersebut.62
Pandangan Locke yang mengenai agama bersifat Deistis. Bagi
John Locke agama Kristen adalah agama yang hakiki dibandingkan dengan
agama-agama yang lain, karena dapat dibuktikan melalui keberadaan manusia
sebagai makhluk yang mempunyai “akal” diciptakan oleh Sang Pencipta yang
mutlak dan maha kuasa. Akal tersebut ialah sebagai pembeda manusia dengan
makhluk lain.63
Kedua, Two Treatises of Government (karangan tentang pemerintahan)
terbit tahun 1689 M menekankan arti penting konstitusi demokrasi liberal. Tugas
utama pemerintah adalah melindungi penduduk dan hak milik warga negara.
pemerintah baru dapat menjalankan kekuasaannya atas persetujuan yang
diperintah. Buku Two Treatises of Government sering disebut sebagai Bibel
Liberalisme modern. Buku ini ditulis untuk mempertahankan penyelesaian
revolusioner tentang pemerintahan sebagaimana ketika Raja William dipilih
melalui persetujuan rakyat.64
Dengan demikian negara wajib menjamin hak-hak
warganya dan bertindak hanyalah dalam batas-batas yang telah disepakati
bersama antara pemerintahan dan rakyat.
Ketiga, An Essay Concerning Human Understanding (esai tentang
pengertian manusiawi) yang ditulis pada saat berada di Belanda ketika John
Locke melarikan diri dari Inggris. Buku ini terbit pada tahun 1690 M berisi asal-
61 Donald C. Abel, Fifty Readings in Philosophy, h. 124.
62 Simon Petruss Tjahjadi, Petualangan Intelektual (Yogyakarta: Kanisius, 2004), h. 38.
63 Simon Petruss Tjahjadi, Petualangan Intelektual, h. 39.
64 Hendry, J. Schmadt, Filsafat Politik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 336.
28
usul, hakikat, dan keterbatasan pengetahuan manusia. Dalam buku ini dinyatakan
bahwa pengetahuan manusia berasal dari pengalaman, sebagaimana yang dikutip
Ahmad Tafsir dalam bukunya yang berjudul “filsafat umum”, John Locke
mengatakan bahwa jiwa manusia laksana kertas kosong, tidak berisi apa-apa juga
tidak ada idea di dalamnya. Jiwa tersebut akan terisi melalui pengalaman. Oleh
karena itu pengalaman adalah dasar semua pengetahuan.65
Keempat, Some
Thoughts Concerning Education tahun 1693. Kelima, The Reasonableness of
Christianity tahun 1695 M.66
Pemikiran John Locke banyak berpengaruh kepada tokoh-tokoh setelahnya
melalui karya-karya yang dihasilkannya baik bidang politik, pendidikan,
epistemologi, maupun psikologi. Para tokoh tersebut diantaranya adalah:
Immanuel Kant, David Hume, Voltaire, Montesquieu. Sedangkan dalam bidang
pendidikan pada Abad ke-18 pengaruh John Locke masih terlihat di Inggris, yakni
public school (sekolah untuk anak-anak bangsawan).
Sebagai salah satu tokoh pendidikan John Locke adalah salah seorang
penganut aliran empiris, yang menganggap pengalaman inderawi sebagai sumber
pengetahuan.67
Akal manusia hanyalah bersifat pasif yang menerima pengetahuan
dari setiap pengalaman nyata dan faktual melalui pancaindera. Teori empirisme
John Locke berasal dari konsep epistemologinya yaitu tabularasa yang
mengatakan bahwa semua pengetahuan manusia berasal dari setiap pengalaman.
Manusia digambarkan seperti kertas kosong tanpa terisi ide apa-apa (persepsi atau
65
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), h. 173. 66
Donald C. Abel, Fifty Readings in Philosophy, h. 124. 67
Susanto, Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan
Aksiologis (Jakarta: Bumi Aksara, 21011), h. 37.
29
pemikiran tentang suatu objek dan sifatnya atau kualitas dari objek tersebut).
Dengan demikian, bagi John Locke manusia tidak mempunyai innate idea ketika
ia dilahirkan.68
Beberapa alasan John locke menolak innate idea diantranya
adalah: pertama, pengetahuan manusia diperoleh dari setiap kesan-kesan alamiah
tanpa bantuan ide-ide bawaan. Kedua, tidak ada persetujuan umum yang
mengatakan bahwa innate idea ada, sehingga menjadikan John Locke menepis
keberadaannya. Ketiga, tidak dicapkan pada setiap jiwa sebab pada anak idiot
innate idea tidak ada padahal anak normal dan idiot sama-sam berpikir.69
Oleh
karena itu, kebenaran adalah segala sesuatu yang bersumber dari setiap
pengalaman yang diperoleh manusia.
68
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 794. 69
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Soebani, Filsafat Umum: dari Metologi sampai
Teofilosofi (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 272-3.
30
BAB III
KONSEP PENDIDIKAN IBN KHALDŪN DAN JOHN LOCKE
A. Landasan Epistemologi Ibn Khaldūn dan John Locke
Epistemologi merupakan cabang ilmu filsafat yang dijadikan sebagai
landasan untuk memperoleh pengetahuan, sumber, dan keabsahan pengetahuan
tersebut. Ada beberapa sumber manusia memperoleh pengetahuan di antaranya
adalah melalui proses berpikir yang disebut dengan rasionalisme dan melalui
pengalaman inderawi dikenal dengan empirisme. Rasionalisme berpendapat
bahwa sumber kebenaran (pengetahuan) berasal dari akal, sedangkan empirisme
berpendapat bahwa sumber kebenaran berasal dari pengalaman pancaindera.
Ibn Khaldūn dan John Locke adalah dua tokoh modern penganut aliran
empiris. Di dunia Timur (Islam) jauh sebelum Ibn Khaldūn, Ibn Taimiyyah adalah
pembaharu dalam bidang empirisme. Ibn Taimiyyah dilahirkan pada 661 H./1263
M. di Harran dalam situasi zaman yang amat kritis dan tidak kondusif melanda
kaum Muslim. Sementara itu, John Locke adalah tokoh Barat yang pertama kali
John Locke merupakan tokoh yang pertama kali menerapkan metode empiris
tentang persoalan-persoalan pengenalan atau pengetahuan.1 John Locke menolak
aliran rasionalisme yang dianut oleh para ilmuan mulai dari tokoh Plato sampai
Descartes. Menurut John Locke akal manusia hanyalah lembaran kertas kosong
1 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h. 36.
31
(tabularasa), seluruh isinya berasal dari pengalaman (induksi). Dengan demikian
John Locke menolak metode penalaran (deduktif) Descartes, oleh karena itu bagi
John Locke penting melakukan eksprimen-eksprimen dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan.
Dalam membahas sumber pengetahuan, baik Ibn Khaldūn maupun John
Locke menggaris bawahi akan pentingnya hasil pengalaman indrawi sebagai
sumber pengetahuan. Hanya saja yang membedakan empirisme Ibn Khaldūn dan
John Locke adalah selain melalui pengalaman inderawi manusia juga bisa
memperoleh pengetahuan melalui alam spiritual (mistik dan wahyu).2
Ibn Khaldūn membangun konsep epistemologisnya dengan fitrāh (ide
bawaan atau innate ideas), sedangkan John Locke mendasarkan pandangannya
dengan penolakannya terhadap fitrāh tersebut. Bagi John Locke manusia ialah
kertas kosong tanpa ide bawaan (tabularasa). Konsep epistemologis Ibn Khaldūn
memberikan pengakuan terhadap dimensi fenomenal sekaligus dimensi metafisis
dari realitas, artinya meskipun secara esensial manusia merujuk pada dimensi
spiritual tetapi sama sekali tidak mengingkari realita fisiknya. Sementara John
Locke hanya mengakui pengalaman empiris sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan. John Locke dengan konsepsi epistemologis empirisme berusaha
membebaskan diri dari bentuk-bentuk spekulasi spiritual yang menandai tradisi
metafisika tradisional. Sehingga John Locke memisahkan filsafat dari teologi.3
2 Ibn Khaldūn, Muqaddimah, terj. Ahmadi Thaha (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1986), h.
531. 3 Paul Edward, The Encyclopedia of Philosopy (New York: Macmillan Publishing, 1972),
h. 502.
32
Pemikiran John Locke dalam hal keagamaan menolak segala pengetahuan yang
diperoleh melalui kitab suci atau wahyu. Pandangan inilah yang kemudian
melahirkan paham agama deistis (agama yang dogma-dogma hakikinya dapat
dibuktikan oleh akal). Dengan demikian empirisme Ibn Khaldūn yang memuat
spiritualitas dan moralitas dan empirisme John Locke bertumpu pada realitas-
objektif.
B. Konsep Pendidikan Menurut Ibn Khaldūn
Menguraikan tentang manusia dan pendidikan, Ibn Khaldūn berpendapat
bahwa manusia dan pendidikan adalah dua hal sangat yang diperlukan dalam
peradaban. Berkembang dan maju sebuah peradaban dipengaruhi oleh pendidikan
yang ada di dalamnya. Bagi Ibn Khaldūn manusia merupakan produk sejarah,
lingkungan sosial, lingkungan alam, dan adat istiadat. Hal ini memberikan
arti bahwa lingkungan dan pendidik menempati posisi sentral dalam membentuk
manusia yang ideal.4
Manusia adalah baik sesuai dengan firāhnya namun tergantung kepada
kebiasaan, jika jiwanya terbiasa dengan kebaikan maka dia akan menjauhkan diri
dari segala macam keburukan. Tetapi sebaliknya jika keburukan merasuki jiwanya
maka ia akan melakukan segala macam tindakan keburukan.5 Maka pendidikan
dibutuhkan sebagai sarana pengembangan kemampuan dasar manusia tersebut
untuk memperoleh ilmu pengetahuan agar manusia tetap di jalan yang benar dan
mengarah kepada kebaikan.
4 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
Ciputat Press, Jakarta, 2002, h. 93. 5 Ibn Khaldūn, Muqaddimah, h. 145.
33
Sebagaimana diterangkan Ibn Khaldūn bahwa potensi manusia pada
awalnya belum berkembang seutuhnya. Potensi manusia tersebut akan optimal
melalui proses belajar, pengalaman (pancaindera), dan berpikir sehingga
memperoleh pengetahuan. Pengetahuan akan diperoleh melalui pendidikan, dalam
pendidikan manusia adalah subjek sekaligus objek yang terdiri dari dua unsur
yaitu: unsur jasmani (materi) dan rohani (immateri atau spritual). Unsur jasmani,
sifat manusia mengarah kepada binatang dan jiwanya berhubungan dengan raga
(dunia fisik atau realitas). Sedangkan unsur rohani, sifat manusia lebih mengarah
kepada dunia spiritual. Dengan kata kata lain disebut sebagai dunia malaikat
(transendental) yang biasanya di alami oleh para Nabi atau Rasul.6
Berangkat dari penjelasan tentang pengertian manusia tersebut, Ibn Khaldūn
mengklasifikasikan bahwa manusia dalam memperoleh ilmu pengetahuan melalui
dua macam cara yaitu: pertama, adalah ilmu ‘aqlī yang diperoleh manusia
melalui kemampuan berpikir dan alat untuk memperolehnya adalah indera dan
akal, yang termasuk ke dalam ilmu ini adalah matematika, fisika, logika dan
filsafat. Kedua, ilmu naqlī dikenal juga dengan ilmu tradisonal yang diperoleh
dari wahyu dan bersumber dari al-Qu’ān dan Ḥadīts. Yang termasuk ke dalam
ilmu ini adalah tafsīr, Ḥadīts, ushul, tauḥid, fiqh, naḥu, balagḥah. Ilmu-ilmu
tersebut sepenuhnya disandarkan pada autoritas syariat, akal hanya sebagai
penghubung terhadap persoalan-persoalan yang mendasar.7
6 Ibn Khaldūn, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thaha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h.
530. 7 Ibn Khaldūn, Muqaddimah, h. 543-4.
34
Manusia sebagai makhluk yang berpikir, dengan kemampuannya dapat
menangkap dan memahami hal-hal yang berada di luar dirinya. Kemampuan atau
potensinya akan menjadi aktual dan berkembang melalui pendidikan (al-ta’līm).8
Pendidikan adalah salah satu media manusia untuk bersosialisasi dengan
lingkungan sekitarnya. Lingkungan mempunyai pengaruh yang besar terhadap
sifat dan karakter manusia. Artinya manusia dipengaruhi oleh faktor geografis
baik bentuk bumi, letak, cuaca, kesuburan, maupun jenis hasil makanan yang
dihasilkannya. Karena ini semua akan membentuk bentuk fisik maupun akhlak
manusia tersebut. Manusia yang mendiami daerah subur dengan cuaca yang baik
(pedesaan) akan lebih bagus rupa dan akhlaknya dibandingkan dengan orang yang
tinggal di daerah yang kering dan keadaan iklim panas (perkotaan). Maka melalui
pendidikan, manusia akan terus berkembang sehingga tercipta berbagai ilmu
pengetahuan dan keahlian-keahlian yang akan mengatur kehidupan sosialnya.
Oleh karena itu, pendidikan adalah salah satu faktor yang membentuk manusia
menjadi ideal.9
Ibn Khaldūn bukan hanya sekedar pengembang teori namun dia ikut serta
terjun ke dalam dunia pendidikan sebagai seorang pendidik. Pendidikan bagi Ibn
Khaldūn bukanlah suatu aktifitas semata-semata bersifat pemikiran dan
perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi
8 Al- Ta’līm adalah kata yang lebih sering digunakan Ibn Khaldūn dibandingkan dengan
kata at-Tarbiyyah. Meskipun berbeda makna namun menurut Ibn Khaldūn al-Ta’līm mempunyai
arti pendidikan. Ada beberapa tokoh yang sependapat dengan Ibn Khaldūn dalam mempergunakan
istilah kata tersebut diantaranya: Ibn Miskwayyh, Ibn Sahnūn, al- Qabisī dan al- Ẓarnuji. 9 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, h. 93.
35
merupakan gejala konklusif kebudayaan lahir dari terbentuknya masyarakat
dan perkembangannya dalam peradaban.10
Ibn Khaldūn merumuskan pemikiran tentang pendidikan sesuai dengan
pengalaman yang pernah ia lalui pada masa hidupnya. Sebagai makhluk sosial,
manusia tidak mampu mengatur kehidupannya dengan sempurna secara sendiri
untuk itu manusia tersebut butuh bantuan dan bersosialisasi dengan manusia yang
lainnya untuk memenuhi kebutuhannya sepanjang hayat.11
Dengan demikian
perkembangan manusia tidak selalu ditentukan oleh faktor keluarga namun juga
bisa melalui pergaulan serta pengalaman yang dialami sepanjang hidupnya.
Dalam pendidikan sedikit banyak sosiologi Ibn Khaldūn ikut mewarnai
pemikirannya, hal ini terbukti mengenai pendapatnya tentang pendidikan yang
bercorak realistis dan praktis. Beberapa tujuan pendidikan secara paraktis adalah:
pertama, pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill) dalam berbagai
bidang. Orang awam bisa memiliki pemahaman yang sama tentang suatu
persoalan dengan ilmuan namun belum tentu memiliki kemahiran yang sama
kecuali jika benar-benar memahami. Untuk itu perlu sistem pendidikan yang
sistematis dan mendalam. Kedua, penguasaan keterampilan professional sesuai
dengan tuntutan zaman (link and match). Dalam hal ini pendidikan bertujuan
untuk memperoleh ketrampilan yang tinggi pada profesi tertentu, sehingga ini
dapat diartikan sebagai upaya mempertahankan dan memajukan peradaban secara
keseluruhan. Ketiga, pembinaan pemikiran yang baik yakni memperhatikan
10 Fathiyah Hasan Sulaiman, Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Ilmu dan Pendidikan
(Bandung: Diponegoro, 1987), h. 31 11
Ibn Khaldūn, Muqaddimah, h.526.
36
pertumbuhan dan perkembangan potensi-potensi psikologis peserta didik sehingga
bisa menciptakan hubungan kerja sama sosial dan menjalankan praktek ibadah
dengan benar yang baik dalam kehidupannya.12
Dengan kata lain pendidikan
bertujuan untuk pemikiran yang aktif dan bekerja karena melalui ilmu
pengetahuan yang diperoleh dalam dunia pendidikan akan membantu manusia
ntuk memperoleh lapangan pekerjaan sehingga mempermudah mendapatkan
rezeki.
Sebagai ilmuan dari kalangan muslim Ibn Khaldūn menganut prinsip
keseimbangan dalam pendidikan yakni, antara kehidupan duniawi dan ukhrowi.
Oleh karena itu, pendidikan bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan dan
keahlian di duniawi saja namun juga dalam urusan ukhrowi (mendalami ilmu-
ilmu agama). Sehingga Ibn Khaldūn menganjurkan untuk menerapkan pelajaran
bahasa Arab pada anak-anak sebelum adanya ilmu-ilmu lainnya, karena bahasa
merupakan kunci untuk menyingkap semua ilmu pengetahuan.
Dalam teori pendidikan, Ibn Khaldūn mengemukakan beberapa hal yang
harus diterapkan oleh pendidik di antaranya: pertama, anak didik diberikan
pengetahuan tentang prinsip-prinsip permasalahan secara universal (umum).
Kedua, anak didik diberikan perincian masalah-masalah dan perbedaan yang
ada di dalamnya dan berbagai hal yang masih tertutup atau belum dimengerti
oleh anak didik.13
Pendidik harus memperhatikan kemampuan atau potensi anak
didiknya supaya bisa memahami pelajaran yang disampaikan. Dengan demikian
12
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, h. 94. 13
Anwar Jundi, Pancaran Pemikiran Islam, terj. Alif Muhammad (Bandung: Pustaka,
1985), h. 124-25.
37
inti pendidikan yang dirancang Ibn Khaldūn ialah menyampaikan persoalan
bersifat universal kemudian membahasnya secara mendetail sehingga anak didik
bisa mengerti dan memahami makna dari ilmu yang disampaikan.
Melalui pendidikan, manusia yang awalnya bodoh akan menjadi paham
karena potensinya terus dikembangkan. Konsep pendidikan Ibn Khaldūn
mengajarkan manusia untuk bersosialisasi dengan realitas yang ada di sekitarnya
baik material maupun immaterial memberikan pemahaman yang mendalam
kepada anak didik. Dengan demikian konsep Ibn khaldūn layak untuk diterapkan
dalam perkembangan pengetahuan dan peradaban zaman sekarang yang sudah
semakin materialis.
C. Konsep Pendidikan Menurut John Locke
Tidak jauh berbeda dengan Ibn khaldūn, John Locke juga seorang tokoh
empiris. Baginya proses manusia memperoleh pengetahuan ialah bersumber
dari pengalaman.14
Pada mulanya pikiran atau rasio manusia yang berupa
selembar kertas kosong belum berfungsi. Melalui pendidikanlah kertas tersebut
akan terisi.15
Hakikat manusia saat dilahirkan ialah putih bersih tanpa terisi sifat
maupun idea, manusia tersebut akan memperoleh pengetahuan berdasarkan
pengalaman melalui sensasi berupa pengalaman lahiriah dan refleksi pemikiran.
Pengalaman lahiriah atau inderawi berhubungan dengan objek yang berada di
luar diri manusia.
14
N. Tarcov, Locke’s Education for Liberty (Chicago: The Univercity of Chicago Press,
1969), h. 83. 15
Hasan Bakti Nasution, Filsafat umum (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 171.
38
Pemikiran John Locke tentang cara memperoleh ilmu pengetahuan hampir
sama dengan Ibn Khaldūn, bahwa seluruh pengetahuan manusia diperoleh
melalui proses belajar melalui percobaan (experiment) dan pengalaman
(exprience) yang mencakup dua kegiatan sensasi (perasaan) yakni pengalaman
inderawi dan refleksi (berpikir).16
Namun yang membedakan dengan Ibn
Khaldūn ialah manusia bagi John Locke adalah state blank, tanpa pembawaan
apapun semenjak ia lahir.
Sebagai makhluk tabularasa manusia tidak dapat menghasilkan
pengetahuannya dari dirinya sendiri. Semua pengetahuan manusia tergantung
pada penglihatan dan pengalaman indrawinya mengenai objek-objek material.
Dalam kontak tersebut, pancaindera menangkap objek-objek kemudian dengan
bantuan akal budinya objek-objek tersebut dianalisa dan direfleksikan menjadi
pengetahuan.17
Menurut John Locke pengalaman manusia berlandaskan pada pengamatan
(observasi) internal (subjektif) yaitu kesadaran manusia terhadap realitas
inderawi dan eksternal (objektif) yaitu observasi terhadap aktivitas pikirannya.
Dengan demikian menurutnya tak ada realitas lain yang lebih tinggi dari pada
dunia empiris. Pengetahuan manusia diperoleh pengalaman lahiriah (sense atau
eksternal sensation) dan pengalaman batiniah (internal sense atau reflection).
Pengalaman lahiriah adalah menangkap segala aktivitas indrawi yang
berhubungan dengan pancaindera manusia. Akal manusia dalam proses
16
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta: Kanisius,1985), h. 179. 17
Harun Hadiwijoyono, Sari Filsafat Barat (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h. 36.
39
pengamatan hanya bersifat pasif yang menerima rangsangan dari dunia luar apa
adanya. Sedangkan pengalaman batiniah ialah manusia memiliki kesadaran
terhadap aktivitasnya sendiri dengan cara mengingat, menghendaki, meyakini,
menggabungkan, membandingkan, mengevaluasi, dan sebagainya. Isi pikiran
terdiri atas dua ide yaitu; pertama, simple ideas (gagasan sederhana) berasal dari
pengalaman langsung. Kedua, complex ideas (gagasan kompleks) merupakan
hubungan dari ide-ide tunggal atau simpe ideas tersebut, misalnya: sebab, relasi,
dan syarat. Kedua bentuk bentuk pengalaman (lahiriah dan batiniah) inilah yang
akan membentuk pengetahuan manusia.18
Dalam memperoleh pengetahuan terdapat hubungan antara ide dan objek.
Hal ini dikarenakan objek memiliki kualitas-kualitas (primer dan sekunder) yang
menghasilkan ide-ide dalam pikiran. Kualitas primer adalah benar-benar ada
dalam objek itu sendiri. Sedangkan kualitas sekunder berada dalam pikiran.
Misalnya kualitas primer berhubungan dengan objek (buah apel: beratnya,
kerasnya, volumenya) sedangkan kualitas sekunder adalah warnanya. Dengan
demikian ide hanya merupakan gambaran atau pengertian yang ditarik dari setiap
pengalaman. Maksudnya yang kita tangkap melalui sensasi adalah ide bukan
bendanya. Sensasi berarti persepsi melalui indera dan refleksi muncul mengikuti
sensasi tersebut.19
Bagi John Locke, pendidikan dimulai dari keluarga, orang tua sangat
berperan dalam menjadikan anak menjadi dirinya sendiri melalui kasih sayang
18
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu: Kalsik hingga Kontemporer (Jakarta: Rajawali
Pers, 2015), h. 120. 19
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu: Kalsik hingga Kontemporer , h. 121
40
yang diberikan. Selanjutnya sekolah sebagai sarana untuk memperkenalkan
dasar-dasar ilmu pengetahuan untukk membentuk pola pemikiran anak. Dan
terakhir adalah lingkungan masyarakat yang akan memantapkan jiwa anak untuk
bersosialisasi dengan kehidupan sosial. Selain itu, dalam dunia pendidikan tidak
dibenarkan hukuman ataupun hadiah, karena akan membuat anak didik
mempunyai perbuatan yang semu, artinya berpu-pura dalam menyukai
pelajaran.20
Dengan demikian menurut John Locke, pendidikan harus bersifat
praktis, berguna, dan menyenangkan bagi anak didik. Orang tua dan pendidik
harus menjadi contoh dan memperlihatkan kepribadian yang baik. Jika anak
didik melakukan kebaikan dia terus di bimbing. Namun jika melakukan
keburukan ditegur dan dikritik agar memperbaiki sikapnya.
Menurut John Locke sekolah dalam dunia pendidikan mempunyai tujuan
sebagai sarana pendidikan anak sesuai dengan kepentingan anak didik
tersebut.21
Artinya sekolah menyajikan ilmu yang sesuai dengan kebutuhan
anak tersebut berdasarkan tingkat pemahamannya. Karena sekolah ada sebagai
sarana pembinaan dan pendidikan anak-anak untuk mengembangkan segala bakat
dan potensi yang dimilikinya.
Perihal pendidikan John Locke menekankan tentang pengajaran dengan
mengutamakan pengalaman, pengamatan, dan budi pekerti. Metode pengajaran
menurut John Locke ialah melalui praktik dan aktifitas-aktifitas lainnya yang
20
Ag.Soejono, Aliran Baru dalam Pendidikan (Bandung: C.V.ILMU, 1978), h. 20 21
Suparlan, Aliran-aliran Baru dalam Pendidikan (Yogyakarta: Andi Offset, 1984), h.
48.
41
menarik tanpa ada paksaan terhadap anak didik.22
karena pendidikan merupakan
serangkaian proses manusia dalam membentuk dan mengembangkan sikap,
bentuk-bentuk tingkah laku yang bernilai dan berguna bagi diri sendiri bagi anak
didik maupun kehidupan sosial. Dalam proses pendidikan manusia dipengaruhi
oleh lingkungannya sehingga memperoleh ilmu pengetahuan dan berbagai
keahlian agar berkembang dengan optimal untuk kehidupan sosial.23
Dalam dunia pendidikan ada 4 point pemikiran John Locke, yaitu:
pertama, tentang kebaikan yaitu pendidikan bertujuan untuk mengarahkan
diri manusia kepada hal yang lebih baik dari sebelumnya sehingga bisa
mengendalikan nafsu (kejahatan). Ini lebih ditekankan kepada individual.
Kedua, kealiman atau kearifan yakni menjadikan manusia yang bijaksana dalam
menjalani kehidupan baik pribadi maupun sosial. Ketiga, menjadikan manusia
mampu memimpin diri sendiri untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial.
Artinya manusia bisa menempatkan dirinya sebagaimana semestinya. Keempat,
pengetahuan yakni manusia memperoleh kebenaran tentang segala sesuatunya,
Tuhan, alam maupun manusia.24
Perbedaan pemikiran Ibn Khaldūn dan John Locke tentang pendidikan ialah
bagi Ibn Khaldūn manusia semenjak lahir telah mempunyai “potensi” yang
dikembangkan dan diaktualisasikan melalui pendidikan. Namun bagi John Locke,
potensi manusia akan tumbuh dan berkembang melalui setiap pengalaman dan
22
Ag.Soejono, Aliran Baru dalam Pendidikan, h. 21. 23
Alisuf Sabari, Pengantar Ilmu Pendidikan (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005), h. 6. 24
William Boyd, Sejarah Pendidikan Barat dari Plato sampai Kant (Bandung: Jemmars,
1978), h. 126
42
pendiidkan yang dipeolehnya, sebab sewaktu lahir manusia belum mempunyai
apa-apa. Oleh karen itu, perkembangan anak manusia menjadi dewasa ditentukan
oleh pendidikan. Selain itu Ibn, Khaldūn mengakui bahwa sumber pengetahuan
di samping indera dan akal juga dari intuisi (wahyu). Hal ini membuktikan bahwa
epistemologi Ibn Khaldūn tidaklah sama sekali menolak terhadap pengetahuan
rasional. Hal inilah yang membedakan empirisme pendidikan Ibn Khaldūn
dengan John Locke yang menekankan bahwa segala pengetahuan berasal dari
pengalaman semata-mata.25
D. Teori Fitrāh Ibn Khaldūn dan Tabularasa John Locke
Sebagai ciptaan Tuhan, manusia semenjak lahir sudah membawa fitrāh
(potensi). Potensi ini yang dikenal dengan ḥidayah al-dīniyyat.berupa dorongan
untuk mengabdi kepada Sang Pencipta. Dalam Islam, potensi (fitrāh) di sini
menggambarkan bahwa manusia adalah makhluk yang beragama.26
Artinya fitrāh
keimanan telah menetap dalam diri manusia semenjak lahir untuk menuju jalan
yang lurus. Oleh karena itu, melalui didikan orang tualah seorang anak manusia
tersebut akan menjadi baik.
Dalam konteks bahasa Arab, kata fitrāh berasal dari fathāra yang berarti
membuka, atau membelah. Dalam al-Qur’ān kata ini berkaitan dengan ciptaan
25
Menurut John Locke akal tidak akan melahirkan pengetahuan dari diri sendiri karena
akal hanyalah secarik kertas tanpa tulisan. Kertas tersebut akan terisi melalui segala sesuatu yang
datang dari pengalaman manusia. lihat Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat barat 2
(Yogyakarta: Kanisius, 1996), h. 36-9. 26
Jalaluddin, Psikologi Agama Edisi Revisi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h,
67.
43
Allah baik berupa alam semesta maupun manusia.27
Dalam kamus Arab-
Indonesia, fitrāh mempunyai banyak arti di antaranya adalah ciptaan, agama,
sunnah, dan sifat pembawaan sejak lahir.28
Sedangkan menurut Muthahari, fitrāh
ialah permulaan sesuatu dan tidak ada sesuatu itu sebelumnya.29
Secara umum oleh para pemikir muslim kata fitrāh cenderung dikaitkan
dengan merujuk firman Allah:
ولكه أكثر ديه حنيفا فطرت الله التي فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الديه القيم فأقم وجهك لل
الناس لا يعلمىن.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui. (Q.S. Ar Rum:30).
Dalam hal ini, para ahli memaknai fitrāh sebagai potensi manusia untuk
beragama Islam (tauhid) sebagai agama yang lurus. Dengan kata lain fitrāh
sebagai iman bawaan yang telah diberikan Allah S.wt sejak manusia masih dalam
kandungan (rahim ibunya).30
Hasan Langgulung dalam manusia dan pendidikan
sebagaimana yang dikutip oleh Samsul Nisar dalam bukunya yang berjudul
“Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam” menyebutkan bahwa fitrāh
27
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
konsep Kunci (Jakarta: Paramadina,2002), h. 39-40. 28
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2002), h.1063. 29
Murtadha Muthahari, Fitrah Menyingkap Hakikat Potensi dan Jati Diri Manusia
(Jakarta:Lentera, 2008), h. 19. 30
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya
Gramedia Pratama, 2001, h. 73.
44
merupakan potensi-potensi atau kemampuan yang dimiliki manusia untuk
mengetahui segala sesuatunya.31
Manusia sebagai makhluk yang fitrāh berkembang karena dipengaruhi oleh
pembawaannnya (potensi) dan lingkungan, ini adalah salah satu hakikat wujud
manusia tersebut.32
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, potensi mempunyai
arti kemampuan, kekuatan, kesanggupan atau daya yang dapat dikembangkan.33
Sedangkan Sutan Rajasa mengartikan potensi sebagai kekuasaan dan daya
kefungsian manusia.34
Dalam mengembangkan seluruh potensi manusia, baik potensi jasmani
maupun rohani secara efektif dapat dilakukan melalui pendidikan. Walaupun
secara fitrāh manusia ialah baik, interaktif dan berakidah tauhidn, namun tak luput
diiringi sifat buruk. Oleh karena itu, setiap kebiasaan yang dilakukan akan
membawa kepada potensi keduanya. Jika manusia terbiasa melakukan kebaikan
maka ia akan menjadi baik begitu pula sebaliknya.35
Dalam Muqadimmah, Ibn
Khaldūn menyatakan bahwa:
Fitrāh (potensi) manusia berasal dari dua unsur yakni: pertama, indera
dalam (internal sense atau batiniah) yang berhubungan dengan dunia
maujud. Oleh karena itu, pemahaman tentang ini diperoleh melalui akal,
misalnyanya ruh manusia tidak dapat dilihat tetapi bisa diamati melalui
tubuh. Tubuh manusia diibaratkan bagaikan mesin yang digerakkan oleh ruh
dan kekuatannya. Dimana kekuatan tersebut terbagi dua yaitu: gerak (al-
fa’liyyah) contohnya ialah berjalan kaki, berbicara dan lain-lain dan
pemahaman (al-mukhīrah) ialah kemampuan untuk memahami. Kedua,
31
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, h.75. 32
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Pendidikan Islam (Bandung:
Rosdakarya, 2007), h. 27. 33
Depdikbud, Kamus Besar Bahsa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h, 697. 34
Sutan Rajasa, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Karya Utama, 2009), h, 490. 35
Ibn Khaldūn, Muqaddimah, h. 145.
45
indera luar (external sense) adalah yang dialami manusia dunia ujud berupa
penglihatan, pendengaran, peraba, pembau.36
Ibn Khaldūn memaknai fitrāh manusia adalah sebagai potensi-potensi dasar
yang bertransformasi menjadi aktual setelah mendapat rangsangan dari dunia luar
terutama pendidikan. Artinya manusia akan berkembang jika potensi tersebut
terus ditumbuh-kembangkan. Sebagai makhluk yang fitrāh manusia siap
menerima kebaikan sekaligus kejahatan, dan ia bebas untuk menentukan dirinya
melalui kebiasaan yang dilakukan sehari-hari dalam membentuk dan menentukan
karakternya tersebut (baik atau buruk). Manusia yang hidup di daerah pedesaan
(Badui) lebih cenderung mengarah kepada kebaikan karena jiwanya masih bersih
dengan kehidupan dan rutinitas yang sederhana sehingga lebih banyak waktu
untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Berbeda dengan kehidupan
perkotaan (Metropolitan) yang lebih mengarah kepada kejahatan atau hawa nafsu.
Hal ini disebabkan manusia yang hidup di perkotaan umumnya lebih terpedaya
dengan kemewahan maupun kesenangan duniawi sehingga jauh dari kehidupan
ukhrowi.
Konsep fitrāh dalam dunia pendidikan menuntut para pendidik untuk
menanamkan tingkah laku yang baik, sehingga sifat dasar manusia yang
sebelumnya adalah baik akan menjadi lebih baik dan sempurna sebagai khalifah
bagi makhluk lainnya di muka bumi. Melalui pendidikan, fitrāh manusia tersebut
akan menjadikannya lebih dekat dan mengenal Tuhan sehingga mentaati perintah
dan menjauhi segala larangan-Nya.
36
Ibn Khaldūn, Muqaddimah, h. 115-16.
46
Dalam mengembangkan seluruh potensi manusia, baik potensi jasmani
maupun rohani secara efektif dapat di lakukan melalui pendidikan. Melalui
pendidikan manusia mampu membentuk kepribadiannya, mentransfer kebudayaan
dari satu komunitas kepada komunitas lainnya, mengetahui nilai baik dan buruk,
dan lain sebaginya.37
Teori fitrāh Ibn Khaldūn sejalan dengan Ibn Thufaīl,38
yang mengatakan
bahwa manusia semenjak lahir telah memiliki potensi, yakni potensi keimanan
yang mana manusia dapat mengenal Tuhan melalui perantaraan akal. Manusia
mengenal Tuhannya mellaui objek-objek inderawi (material) tentang wujud
adanya Tuhan sebagai pencipta tanpa harus diberitahukan atau diberi petunjuk
oleh orang lain. Potensi yang sudah dimiliki oleh manusia manurut Ibn Thufaīl
harus dikemabangkan dengan pemikiran yang bersih dan jernih.
Berbeda dengan Ibn Khaldūn, menurut John Locke akal (pikiran) manusia
tidak lebih dari sehelai kertas yang masih putih yang akan terisi melalui
pengalaman.39
Kebenaran dan keabsahan pengetahuan berasal dari setiap
pengalaman yang bersumber dari pancaindera.
Teori tabularasa John Locke mengatakan bahwa anak yang baru lahir
diibaratkan dengan kertas putih yang bersih dan belum ditulis. Manusia
semenjak lahir tidak mempunyai bakat atau pembawaan apa-apa, oleh karena itu
37
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, h.132. 38
Nama lengkapnya Abū Bakar Muḥammad Abd’ al-Malik Ibn Muḥammad Ibn
Thufaīl al-Qaisī. Ia berasal dari daerah al-Qaisī, di daerah Barat dikenal dengan nama Abu Bacher.
Lahir di Wadiash, Maroko provinsi Granada pada tahun 506H/1110 M dan meninggal 1185 M
(masa Dinasti Muwahidin). 39
Hasan Bakti Nasution, Filsafat Umum, h. 171.
47
ia dapat dibentuk sekehendak pendidiknya. Di sini pendidik mempunyai peran
yang sangat penting dalam membentuk karakter anak didik. Dengan kata lain,
pendidik dan lingkungan berkuasa atas pembinaan anak didik.
Pendapat John Locke seperti di atas dapat disebut juga dengan empirisme,
yaitu suatu aliran atau paham yang berpendapat bahwa segal kecakapan dan
pengetahuan manusia timbul dari pengalaman yang masuk melalui alat indera.
Kaum behaviorisme juga berpendapat senada dengan teori tabularasa yang
dikemukakan oleh John Locke tersebut. Behaviorisme tidak mengakui adanya
pembawaan atau sifat turun-temurun. Pendidikan menurut kaum behaviorisme
adalah pembentukan kebiasaan, yaitu menurut kebiasaan-kebiasaan yang berlaku
dalam lingkungan seorang anak.40
John Locke berpendapat bahwa pada permulaanya jiwa anak manusia
adalah bersih dan kosong yang kemudian sedikit demi sedikit terisi melalui
pengalaman (empiris). Perkembangan jiwa anak untuk memperoleh pengetahuan
ialah melalui pengalaman yang dialaminya. Dengan demikian pendidikan dan
lingkungan sangat mempengaruhi karena jiwa manusia yang kosong tersebut
dapat dididik apa saja, ke arah yang baik maupun yang buruk.41
Manusia yang dilahirkan seperti kertas putih (tabularasa) tidak mempunyai
potensi, ia akan berkembang dengan pengaruh alam sekitar termasuk orang tua,
guru, institusi pendidikan dan lain-lainnya. Dengan demikian alam sekitar
40
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Bandung: Rosdakarya Offset,
1995), h. 15-6. 41
Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam Sebuah Pendekatan Psikologis (Jakarta:
Darul Falah, 1999), h. 96.
48
berkuasa untuk membentuk manusia sekehendaknya.42
Artinya melalui
pendidikan manusia mengetahui nilai-nilai kebenaran, etika, cara bersosialisasi,
sehingga pendidikan akan membentuk disiplin hidup dan pertumbuhan serta
perkembangan kehidupan masyarakatnya.
42
Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam: Suatu Analisa Sosio-psikologi
(Jakarta: Pustaka al Husna, 1985), h. 213.
49
BAB IV
STUDI ANALISIS PEMIKIRAN IBN KHALDŪN DAN JOHN LOCKE
Dalam dunia pendidikan manusia disebut dengan animal educandum
sekaligus animal educandus yaitu sebagai makhluk yang di didik (objek) dan
mendidik (subjek). Dengan kata lain, manusia ikut terlibat dan melibatkan diri
dalam proses pendidikan, baik yang dilakukan terhadap diri sendiri maupun
orang lain.1 Manusia sebagai subjek pendidikan ialah karena ia mengembangkan
dan mengaktualisasikan potensinya sendiri, pendidik hanya memberi motivasi
terhadap proses tersebut. Sedangkan manusia sebagai objek pendidikan ialah
karena ia menjadi sasaran dan transformasi ilmu pengetahuan yang diajarkan.
Manusia disebut juga sebagai sebagai hayawān al-nathīq telah menjadikan dirinya
sebagai subjek berpikir sekaligus objek yang dipikirkan.
Pendidikan merupakan usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan
anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohani mereka melalui
pengajaran dan pelatihan agar berguna bagi diri sendiri (anak-anak tersebut)
maupun masyarakat.2
A. Studi Analis Konsep Pendidikan Menurut Ibn Khaldūn
Manusia adalah makhluk hidup yang terdiri dari jasad dan jiwa (roh), bisa
bergerak dan merasakan sesuatu melalui pancainderanya. Kebutuhan jasad
1 M. Sukardjo dan Ukim Komaruddin, Landasan Pendidikan: Konsep dan Aplikasinya
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 1. 2 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 20060, h. 10.
50
manusia adalah makan, minum dan tuntutan materi yang dapat dirasakan
badannya. Sedangkan kebutuhan jiwa adalah iman kepada Sang pencipta,
melaksanakan perintah dan meninggalkan-Nya, dan berbudi pekerti baik yang
dapat diwujudkan melalui pendidikan.
Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia untuk
menentukan perjalanan suatu bangsa oleh generasi muda penerus. Sebab tujuan
pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan
pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan
pendidikan tersebut.3 Melalui pendidikan akal manusia akan terus berkembang
menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menopang kehidupannya
menjadi lebih maju
Dalam konteks Islam kata pendidikan mengacu kepada term al-tarbiyāh, al-
ta’dīb, dan al-ta’līm. Namun kata al-tarbiyāh lebih sering digunakan yang
berasal rabbayāni yang bermakna memelihara, mendidik, dan mengurus. Dalam
surat al-Isrā ayat 24: “sebagaimana mereka mendidikku sewaktu kecil. Sedangkan
M. Quraish Sihab memaknai kata al-tarbiyāh mengacu kepada pengembangan,
peningkatan, ketinggian, kelebihan, dan perbaikan terhadap manusia”.4
Dalam Undang-undang RI nomor 20, bab 1 pasal 1, tahun 2003 tentang
sistem pendidikan Nasional dinyatakan bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual,
3 Umar Tirtarahardja,S.L. La Sulo, Pengantar Pendidikan Edisi Revisi (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2005), h. 37. 4 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’ân al-Karīm: Tafsir atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 19.
51
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.5
Dari uraian di atas pendidikan bukan hanya sekedar menangkap atau
memperoleh ilmu pengetahuan dari sesuatu yang diucapkan pendidiknya, akan
tetapi keseluruhan kepribadian yang tergambar pada tingkah dan prilaku pendidik
tersebut. Oleh sebab karena itu, pendidik harus mencerminkan kepribadian yang
baik dalam berinteraksi dengan anak didiknya.6
Sebagai makhluk istimewa, pada diri manusia terdapat potensial yang
bersifat baik sekaligus jahat oleh karena itu ia perlu mengenal dan memahami
hakikatnya melalui pendidikan.7 Pendidikan yang baik akan mewujudkan
eksistensi manusia tersebut ke arah kebaikan begitupun sebaliknya.
Pendidikan adalah upaya transformasi mengoptimalkan potensialitas
manusia untuk pertumbuhan dan perkembangan peradaban. Dalam pendidikan
terdapat usaha dan proses yang ingin dicapai, yakni untuk mengarahkan anak
didik kepada titik optimal kemampuannya dan bertujuan untuk pembentukan
kepribadiaan yang utuh sebagai manusia individual, makhluk sosial, serta
hamba yang mengabdi kepada Sang Penciptanya.8
Menurut Ibn Khaldūn, manusia terdiri atas dua unsur yaitu: jasmani dan
rohani. Unsur jasmani mengarah kepada binatang, jiwa manusia berhubungan
dengan raga (dunia fisik). Sedangkan unsur rohani lebih mengarah kepada dunia
spiritual. Dunia spiritual dalam bahasa lain disebut dunia malikyyah yakni
5 Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Bandung: Media Pratama, 2009), h. 2. 6 Hadhari Nawawi, Pendidikan dalam Islam (Surabaya: al-Ikhlas, 1993), h. 216.
7 Murtadha Muthahari, Perspektif al-Qu’an tentang manusia dan Agama (Bandung:
Mizan, 1998), h. 123. 8 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h, 12.
52
persepsi yang dihasilkan murni melalui akal absolut (menghasilkan pengalaman
transendental, ini biasanya dialami para Nabi atau Rasul).9
Konsep malaikyyah ini dialami oleh para Nabi dan para Rasul didasarkan
pada kesaksaksian Nabi sebagaimana yang tertuang dalam Muqadimmah Ibn
Khaldūn:
Bahwasanya, aku (Nabi) hanyalah seorang manusia seperti kamu
(umatnya), diwahyukan kepadaku bahwasa Tuhan kamu adalah Tuhan
yang maha Esa. Maka tetaplah pada jalan lurus menuju kepada-Nya dan
mohon ampunlah kepada-Nya.10
Dari uraian di atas kesempurnaan manusia menurut Ibn Khaldūn terletak
pada optimalisasi dirinya dalam proses mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Manusia yang pada mulanya hanyalah insān biasa namun akan menjadi
sempurna (al-insān kamīl) melalui pendidikan yang seimbang antara kehidupan
duniawi maupun ukhrowi.
Dilatarbelakangi dengan pendidikan Ibn Khaldūn semasa kecilnya yang
bercorak tradisional, yakni hanya belajar membaca al-Qur‟ān, Ḥadīts, fīqh,
sastra, naḥu, dan sharaf pada ulama-ulama pada zaman itu dengan cara
mendengarkan pidato atau cermah yang mereka sampaikan. Maka Ibn Khaldūn
hadir sebagai salah satu murabbī (pendidik) yang mempunyai pandangan tentang
keseimbangan antara pendidikan duniawi dan ukhrowi. Sehingga Ibn tak lupa
untuk menganjurkan pembelajaran al-Qur‟ān terlebih dahulu kepada anak di
usia dini. Karena dengan mempelajari al-Qur‟ān akan menyingkap semua ilmu
pengetahuan. Dengan demikian, pemikiran pendidikan Ibn Khaldūn bukan hanya
sebagai kecerdasan intelektual, personal, sosial yang dibangun dengan landasan
9 Ibn Khaldūn, Muqaddimah, h. 528.
10 Ibn Khaldūn, Muqaddimah, h. 532.
53
rasio saja akan tetapi inspirasi, kreativitas, moral, intuisi (emosi) dan spiritual
sehingga menjadikan manusia tersebut lebih baik dari sebelumnya.
Sebagaimana yang dikutip Abuddin Nata, sebagai seorang sosiolog yang
sering berpindak-pindah tempat semasa hidupnya Ibn Khaldūn memiliki perhatian
yang besar terhadap dunia pendidikan.11
Dengan demikian pemikiran Ibn
Khaldūn tentang pendidikan ialah hasil dari berbagai pengalaman hidupnya, ia
menghubungkan konsep dengan realita yang ada atau yang dikenal dengan konsep
pendidikan filosofis-empiris.
Dalam Muqadimmah Ibn Khaldūn menyatakan bahwa:
Proses manusia memperoleh pengetahuan terbagi atas tingkatan kemampuan
berpikir yaitu: pertama, akal pembeda (al-„Aql at-Tamyizī) menjelaskan
perbedaan manusia dengan binatang yakni mempunyai akal. Kedua, akal
eksprimental (al-„Aql at-Tagribī) adalah kemampuan manusia memperoleh
pengetahuan melalui pengalaman. Ketiga, akal spekulatif (al-„Aql an-
Nadharī) adalah kemampuan manusia memperoleh sesuatu yang nyata
maupun gaib.12
Sesuai dengan tradisi zaman, manusia adalah makhluk yang berkembang
dan terus-menerus dan mengalami perubahan baik dari pertumbuhan fisik
maupun pola pikir. Perubahan itu terjadi karena pengaruh kebiasaan-kebiasaan
dan pendidikan yang ada dalam lingkungannya. Pengetahuan manusia akan
diperoleh sedikit demi sedikit dan berangsur-angsur melalui pengalaman atau
persepsi alat indera terhadap dunia luar dirinya. Bagi Ibn Khaldūn, kesempurnaan
manusia dalam pendidikan akan di peroleh ketika ia telah mencapai tahap
11
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 91. 12
Ibn Khaldūn, Muqadimmah terj. Ahmadie Thaha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), h.
532.
54
tamyīz (memahami), yakni manusia mempunyai pemahaman intelektual terhadap
segala sesuatu yang ada di dalam maupun luar dirinya.13
Berdasarkan uraian di atas metode belajar yang digunakan Ibn Khaldūn
adalah: pertama, Malakah, suatu kegiatan belajar yang sungguh-sungguh dan
sistematis yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga mampu mengusai
materi keilmuan tersebut. Kedua, tadrij yaitu belajar secara sedikit demi sedikit
atau bertahap dan dilakukan terus-menerus. Hal ini disebabkan kemampuan
manusia terbatas untuk mendalami atau mengetahui hakikat segala sesuatunya.
Ketiga, pengenalan secara umum (generalistik). Keempat, kontinuitas (berlanjut).
Kelima, memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik. Keenam,
menghindari kekerasan dalam mengajar.14
Pendidikan mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia.
Dengan pendidikan yang baik manusia sebagai khalīfah di muka bumi akan
mampu menjalankan tugasnya dengan baik pula untuk diri sendiri maupun
lingkungannya. Manusia adalah sebagai landasan dalam mengembangkan teori
dan praktik pendidikan. Dengan demikian, masalah pendidikan tidak dapat
dipisahkan dari persoalan hidup dan kehidupan manusia.
Dalam proses pendidikan Ibn Khaldūn menekankan bahwa seorang
pendidik harus mengetahui perkembangan akal dan kepribadian anak didiknya.
Metode pembelajaran hendaknya dengan sistem bertahap dan sesuai dengan
tingkat kemampuan anak didik. Agar anak didik tersebut dapat memahami ilmu
yang disampaikan. Selain itu, seorang pendidik sebaiknya mempergunakan
13
Ibn Khaldūn, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thaha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), h.
533. 14
Ibn Khaldūn, Muqaddimah, h. 400.
55
contoh-contoh yang lebih konkret dan mudah diterima oleh indera anak didik.
Hukuman atau kekerasan tidak dibenarkan karena akan membuat anak didik
menjadi malas belajar, sehingga akan menjadikannya berdusta dan berpura-pura
untuk menyukai pelajaran. Selain itu, metode diskusi juga bagus untuk diterapkan
supaya anak didik lebih kreatif dan aktif baik dalam berbicara maupun bertindak.
Ibn Khaldūn memandang bahwa ilmu dan pendidikan sudah merupakan
tabiat di dalam diri manusia. Ia juga menganggap bahwa ilmu dan pendidikan
sebagai suatu gejala konklusif kebudayaan yang lahir dari terbentuknya
masyarakat dan perkembangannya di dalam tahapan peradaban. Ilmu dan
pendidikan merupakan salah satu industri, sedangkan industri lahir di dalam
masyarakat karena urgensinya yang begitu penting bagi kehidupan individu,
yang merupakan salah satu jalan untuk mendapatkan rezeki.15
Manusia dapat menata kehidupannya dan peradaban melalui pendidikan
yang baik.16
Artinya melalui pendidikan manusia mengetahui nilai-nilai
kebenaran, etika, cara bersosialisasi, sehingga pendidikan akan membentuk
disiplin hidup dalam pertumbuhan dan perkembangan kehidupan
masyarakatnya. Dengan demikian, pendidikan terus dikembangkan melalui setiap
generasi.
Menurut Ahmad Tafsir, untuk merealisasikan tujuan pendidikan seorang
pendidik dapat menyusun sistem pendidikan dengan menggunakan metode atau
15
Fathiyyah Hasan Sulaiman, Pandangan Ibn Khaldun tentang Ilmu dan Pendidikan, terj. Herry Noer Ali (Bandung: Diponegoro. 1987), h. 35.
16 Samsul Nizar, Memperbincangakan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka
tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008), h, 132.
56
strategi sebagai pedoman atau acuan.17
Sebagaimana halnya dengan Ibn
Khaldūn yang menggunakan berbagai metode dalam proses kegiatan belajar-
mengajarnya. Pendidikan dalam pandangan Ibn Khaldūn bukan hanya sekedar
proses untuk mencapai materi pendidikan, tapi diharapkan menjadikan perilaku
yang baik sehingga melahirkan masyarakat yang berbudaya positif.
Pemikiran Ibn Khaldūn tentang tujuan manusia dididik adalah untuk
memiliki kekuatan moral spritual, mengembangkan potensi dan bakatnya (fitrāh)
untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan hidup yang dilakukan secara prose
yang bertahap dan terus berkelanjutan sehingga manusia mampu menyimbangkan
kebutuhan duniawi dan ukhrowi.
Melalui pendidikan, manusia yang awalnya bodoh akan menjadi paham
karena potensinya terus dikembangkan. Oleh karena itu, peran pendidik penting
untuk anak didik agar potentsi intelektualnya berkembang secara sempurna.
Ibn Khaldūn menempatkan pendidikan sebagai kekuatan yag utama dalam
sebuah peradaban. Karena ketika masyarakat berada pada posisi kebodohan maka
ia akan sulit keluar darin kemiskinan dan menjadi apatis. Sedangakan jika
masyarakatnya cerdas ia akan menjadi mandiri dalam berbagai bidang seperti:
ilmu pengetahuan, politik, dan ekonomi sehingga akan menjadikan negara
tersebut tentram, sejahtera, dan maju.
Tujuan manusia dididik adalah untuk memiliki kekuatan moral spritual,
mengembangkan potensi, dan bakatnya agar dapat mencapai kebaikan serta
kesempurnaan hidup. Melalui proses pendidikan yang bertahap dan terus
17
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1992), h. 142.
57
berkelanjutan serta membekali anak didik dengan ilmu-ilmu syar’i, akan
menjadikan anak didik menguasai berbagai keterampilan untuk menunjang
hidupnya mencapai kesuksesan duniawi maupun kebahagiaan kehidupan ukhrowi
nantinya. Maka, sesuai dengan ajaran Islam pendidikan Ibn Khaldūn bertujuan
untuk menanamkan dan menumbuh-kembangkan ajaran serta nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Pendidikan yang tidak hanya mengutamakan ilmu-ilmu
pengetahuan umum tetapi juga berlandaskan pada al-Qur‟ān dan Ḥadīst akan
mampu sebagai penyelamat kehidupan manusia.
Klasifikasi ilmu dalam dunia pendidikan menurut Ibn Khaldūn terbagi dua
yaitu: pertama, ilmu naqlī (tekstual) yang diperoleh melalui al-Qu‟ān dan Ḥadīts
(tradisi) misalnya tafsir al-Qur‟ān, hukum Islam, dan teologi. Kedua, ilmu ‘aqlī
(rasional) berupa pengetahuan yang membutuhkan akal untuk memahaminya,
misalnya pengetahuan fisika dan filsafat. Selain itu terdapat ilmu lain sebagi
penopang ilmu pengetahuan-pengetahuan tersebut, misalnya logika sebagai
pendukung filsafat.18
Sedangkan Abduddin Nata, membagi tiga macam klasifikasi
ilmu pendidikan yang dikemukakan oleh Ibn Khaldūn yaitu: pertama, ilmu lisan
(bahasa) adalah ilmu tentang bahasa sasta yang tersusun dalam syair. Kedua, ilmu
naqlī yaitu berasal dari kitab suci al-Qur‟ān dan sunnah Nabi. Ketiga, ilmu ‘aqlī
yaitu bersumber dari daya pikir manusia.19
Dengan demikian konsep pendidikan Ibn Khaldūn ialah membantu dan
menjadikan peserta didik untuk dapat mengembangkan potensinya ke arah
tingkah laku yang lebih baik berlandaskan pada kecerdasan intelektual (ilmu-ilmu
18
Ziauddin Alvi, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengahan
(Bandung: Angkasa, 2003), h. 71. 19
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, h. 175-6.
58
umum) dan spiritual (sesuai dengan ajaran agama yang belandaskan al-Qur‟ān dan
Ḥadīts). Maka dari itu Ibn Khaldūn juga menganjurkan untuk menerapkan
pelajaran bahasa Arab pada anak-anak karena merupakan kunci untuk
menyingkap semua ilmu pengetahuan.20
Artinya selain memperoleh ilmu
pengetahuan umum, teknologi, manusia juga di tuntut untuk meningkatkan
keimanan, pemahaman, penghayatannya kepada Allah SWT tanpa meninggalkan
nila-nilai dan norma yang ada dalam lingkungan.
Menurut Ibn Khaldūn dalam proses pendidikan tidak harus terpaku dengan
menggunakan satu metode, tetapi sebaiknya menggunakan metode yang
bervariasi agar tidak membosankan sehingga menarik perhatian anak didik.
Seorang pendidik dianjurkan untuk mempergunakan alat sebagai contoh untuk
merangsang pengetahuan anak. Selain itu, menggunakan metode diskusi juga
penting untuk memberi kebebasan berpikir dan meningkatkan kepercayaan diri
anak dalam mengembangkan potensinya serta memeroleh pemahaman yang
benar dan mendalam.21
Oleh karena itu, Ibn khaldūn menolak memaksakan anak
didik untuk mengusai materi pelajaran dan juga kekerasan terhadap anak
didik karena itu akan membuat mereka menjadi malas dan menjadi tidak baik.
Samsul Nizar mengemukakan ada 6 (enam) prinsip utama yang di
kemukakan Ibn Khaldūn dan perlu diperhatikan oleh pendidik, di antaranya:
prinsip pembiasaan, prinsip tadrij (berangsur-angsur), prinsip pengenalan umum
20
Al- Allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Mukadimmah, Terj, Masturi
Irham, dkk., (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 2011). 21
Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengahan
(Bandung: Angkasa Bandung, 2003), h. 102.
59
(generalistik), prinsip kontinuitas, memperhatikan bakat dan kemampuan
peserta didik serta menghindari kekerasan dalam mengajar.22
B. Studi Analisis Konsep Pendidikan Menurut John Locke
Menurut John Locke manusia sebelum memperoleh pengalaman akal
manusia belum berfungsi, menolak adannya potensi dalam diri manusia atau
dikenal dengan teori Inneatisme.23
Secara kodrati manusia adalah baik dan
alamiah karena ia terlahir bersih seperti kertas putih tanpa ada coretan. Secara
alamiah manusia tersebut bebas untuk menentukan eksistensinya tanpa tergantung
pada kehendak orang lain. Walaupun demikian manusia tidak bisa menghasilkan
pengetahuan dari dirinya sendiri.24
Manusia tersebut membutuhkan pendidikan untuk memperoleh
pengetahuan. Karakter manusia akan dibentuk oleh lingkungan sekitarnya, pola
kehidupan masyarakat yang baik akan menjadikan manusia sebagai insan yang
sempurna, begitupun sebaliknya.
Dalam sistem pendidikan John Locke, pendidik mempunyai peran yang
penting untuk membentuk karakter anak didik. Pendidik sebagai fasilitor bagi
anak didik untuk menerima pendidikan sebagai pengalamannya. Melalui
pengalaman tersebut akal akan mengolah menjadi pengetahuan. Sehingga akan
membentuk tingkah laku, sikap, dan watak anak sesuai dengan tujuan
pendidikan yang diharapkan.
22
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, h. 95. 23
Inneatisme adalah paham yang mengakui bahwa adanya ide-ide bawaan diri manusia
sejak lahir. 24
Harun Hadiwijoyono, Sari Filsafat Barat (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h. 36.
60
Bagi John Locke, pendidikan manusia tergantung kepada setiap
penglihatan dan pengalaman aktualnya, melalui inilah akal manusia akan
menganalisa dan merefleksikan setiap objek yang ada di luar dirinya
sehingga memperoleh ilmu dan pengetahuan.
John Locke menekankan sistem pendidikan dengan budi pekerti yang baik
sehingga jiwa manusia yang awalnya kosong menjadi optimal dan menjadi
manusia yang sempurna. John Locke menolak kekerasan atau hukuman
dalam metode pendidikannya dan juga tidak menyukai pujian. Karena hal yang
demikian akan menjadikan anak didik berkelakuan tidak baik. Dalam arti lain
kekerasan akan membuat anak didik membentuk karakter yang jelek dan ini akan
terus berlanjut sehingga menimbulkan rasa malas, dendam, dan tidak semangat
dalam diri anak didik. Sementara pujian akan menjadikan anak didik sombong
dan angkuh.
Pemikiran John Locke menolak kekerasan dan hukuman dalam pendidikan
senada dengan Ibn Khaldūn sangat bersesuaian dengan ajaran al Qur‟ān. Diantara
ayat yang berbicara tentang ini adalah:
ل عن ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والمىعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن إن ربك هى أعم بمن
.سبيه وهى أعم بالمهتدين
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. An
Nahl: 125)
61
Dengan demikian pendidikan bagi Ibn Khaldūn dan John Locke sesuatu
yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan zaman. Melalui
pendidikan manusia akan memperoleh pengetahuan, keahlian, dan berbagai
keterampilan sehingga mereka memperoleh pekerjaan untuk kelangsungan
kehidupannya. Dengan demikian semua pengetahuan menurut John Locke
adalah disimpulkan dari pengalaman (data inderawi) kecuali logika dan
matematika.
Dengan demikian pendidikan adalah tanggungjawab semua pihak, yang di
mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, kemudian masyarakat. Pendidikan
seharusnya melahirkan masyarakat yang berbudaya, punya etos kerja yang tinggi,
akhlak yang baik, mempunyai skill dan keterampilan, toleran dan sebagainya.
Lingkungan dan pendidikan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan untuk membentuk manusia menjadi mahkluk yang rasional dan
bermoral.25
Selain itu, menurut kondisi alamiahnya manusia bebas untuk
menentukan dirinya dan menggunakan hak miliknya tanpa tergantung pada
kehendak orang lain.26
C. Studi Analisis Teori Fitrāh Ibn Khaldūn dan Tabularasa John Locke
Pemikiran Ibn Khaldūn tentang manusia sesuai dengan ajaran Islam yakni:
pertama, manusia sebagai khalifah di muka bumi. Kedua, manusia adalah fitrāh
(suci dan beriman). Ketiga, manusia mempunyai rūh disamping adanya raga,
25
J. W. Yolton, John Locke and the Way of Ideas (Oxford: The Oxford University Press,
1968), h. 27. 26
J.Ohoitimur, Aliran-aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer (Traktat Kuliah
STF, Seminare Pineleng, 2003), h. 77.
62
yang mana posisi ruh lebih tinggi daripada akal yang sudah ada sebelum manusia
dilahirkan dan akan tetap ada setelah manusia meninggal.27
Manusia dikatakan baik dan mulia apabila rūh mendominasi jasadnya,
sebaliknya manusia akan jahat dan hina apabila jasad mendominasi rūhnya.
Oleh sebab itu, kehidupan manusia dimuka bumi ini segala macam kegiatannya
terangkum dalam amal perbuatannya baik berupa dosa maupun pahala. Menurut
Ibn Khaldūn semenjak lahir hakikat manusia ialah fitrāh, yakni telah membawa
potensi baik dan akan berkembang sesuai dengan kemajuan zaman. Lingkungan
adalah faktor pendukung yang akan membentuk kepribadian menjadi aktual dan
optimal, terutama lingkungan pendidikan.
Manusia secara fitrāh cenderung mempunyai potensi ke arah kebaikan
namun perkembangannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan kehidupan
masyarakat dan pendidikan. Oleh karena itu, orang tua adalah guru pertama bagi
anak untuk membentuk kepribadian yang baik. Fitrāh adalah keadaan yang masih
asli atau suci dan keadaan asal.28
Salah satu bukti manusia dilahirkan fitrāh atau suci semenjak lahir
adalah melalui tanda-tanda yang dibawa oleh para Rasul dan Nabi serta kaum
sufi. Mereka selalu berusaha untuk mensucikan diri dengan sifat dan perangai
yang mulia. Mereka selalu mengajak manusia untuk mengikuti ajaran Tuhan
sebagaimana yang mereka tunjukkan. Dengan demikian manusia yang awalnya
fitrāh selalu berupaya untuk melakukan penyucian diri.
27
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi
Islami (Yogyakarta: Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar, 1995), h. 92. 28
Amran Y.S Chaniago, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia: Dilengakapi dengan
singkatan-singkatan umum (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 192.
63
Hasan Langgulung menyatakan bahwa manusia terdiri dari fitrāh (potensi),
rūh, kemauan bebas, dan akal.29
Ia mengartikan potensi adalah sesuatu yang
berkaitan dengan kemampuan akal, hati, ruhiyah yang dikembangkan sesuai
dengan petunjuk Tuhan atau ajaran syariat menurut Islam. Potensi-potensi
tersebut akan berkembang melalui dunia pendidikan.30
Menurut Ibn Khaldūn bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan
fitrāh, oleh karena itu orang tua mempunyai kewajiban untuk memulai dan
menerapkan kebiasaan baik, pengajaran, dan pendidikan serta menumbuhkan dan
mengajak anak ke dalam tauhid yang murni dan akhlak yang mulia. Fitrāh
tersebut hanya bisa dikembangkan melalui pendidikan baik keluarga, sekolah,
maupun lingkungannya.
Dalam pandangan Islam, fitrāh adalah sesuatu yang melekat pada diri
manusia dan terbawa semenjak lahirnya.31
Artinya fitrāh adalah kejadian
(bawaan) semenjak semula lahir. Teori fitrāh ini lebih mengarah kepada aliran
nativisme yang menitikberatkan bahwa peranan sifat bawaan, keturunan, sebagai
penentu perkembangan tingkah laku manusia. Semuanya tergantung kepada
faktor-faktor alamiah atau pembawaan dari lahir.32
Dengan kata lain,
perkembangan manusia semata-mata tergantung faktor dasar atau pembawaan.33
29
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisis Psikologi, Filsafat, dan
Pendidikan (Jakarta: PT Pustaka al-Husna, 2004), h. 49. 30
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Abad ke-21 (Jakarta:PT Pustaka al-Husna, 2003),
h. 73. 31
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qura’an Tafsir Maudhu’i atas berbagai persoalan
umat (Bandung: PT Mizan Pustaka. 2005), h.375. 32
Abdul Mujib Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008), h.115. 33
M. Alisuf Sabri, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1993), h. 173.
64
Sedangkan pendidikan, pengalaman dan lingkungan adalah faktor penunjang
kemajuannya.
Ibn Khaldūn memandang manusia dalam segi fitrāhnya, lahir membawa
bakat (potensi dasar). Secara fitrāh manusia ialah baik, interaktif, dan berakidah
tauhid. Walaupun demikian kebaikan tersebut juga diiringi keburukan, oleh
karena itu setiap kebiasaan yang dilakukan akan membawa kepada potensi
keduanya. Jika manusia terbiasa melakukan kebaikan maka ia akan menjadi baik
begitu pula sebaliknya.34
Aliran empirisme, nama aslinya adalah the School of British Empiricism
yang dipelopori John Locke sejatinya berasal dari Inggris akan tetapi aliran ini
lebih berpengaruh terhadap pemikir Amerika Serikat. Kemudian melahirkan
aliran filsafat yang bernama environmentalisme (aliran lingkungan) dan psikologi
yang bernama environmental psychology.35
Aliran empirisme ini mendasari
bahwa manusia lahir dalam keadaan netral tidak memiliki pembawaan apapun. Ia
bagaikan kertas putih (tabularasa) yang dapat ditulisi apa saja yang dikehendaki.
Perwujudan tingkah laku ditentukan oleh luar diri yang disebut dengan
lingkungan.36
Menurut aliran ini perkembangan manusia sepenuhnya ditentukan
oleh faktor lingkungan atau pendidikan sedangkan faktor dasar atau pembawaan
tidak berpengaruh sama sekali.
John Locke berpendapat bahwa pada permulaanya jiwa anak manusia
adalah bersih dan kosong yang kemudian sedikit demi sedikit terisi melalui
34
Ibn Khaldūn, Muqaddimah, h. 145. 35
Muhibbinsyah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Offset, 2010), h. 43. 36
Abdul Mujib Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008), h.118.
65
pengalaman (empiris). Perkembangan jiwa anak untuk memperoleh pengetahuan
ialah melalui pengalaman yang di alaminya. Dengan demikian pendidikan dan
lingkungan sangat mempengaruhi karena jiwa manusia yang kosong tersebut
dapat dididik apa saja, ke arah yang baik maupun yang buruk.37
Dalam proses belajar-mengajar pendidik mempunyai peran yang sangat
penting untuk membantu anak didik memperoleh pengalaman dan pengetahuan
sesuai dengan tujuan pendidikan yang ada. Sesuai dengan teori tabularasa John
Locke bahwa jiwa manusia ibarat kertas putih, kertas ini kemudian akan
mendapat tulisan dari luar yaitu berupa pendidikan. Maka baik buruknya perilaku
manusia tersebut tergantung pada pendidikan yang diperolehnya.38
Menurut John Locke, pengetahuan objek pada diri manusia secara
tidak langsung dikenal dalam bentuk data inderawi yang dinamakan
ideas. Ideas merupakan representasi objek pada diri manusia atau dalam
kata lain adanya kesesuain ide dengan kenyataan. Analoginya sinar matahari
pada siang hari, melalui silau sinar tersebut manusia tidak bisa menolak tentang
ide-ide matahari. Dengan kata lain dari pengalaman tersebut manusia
memperoleh pengetahuan.39
Namun data inderawi (pengalaman) tersebut tidak
selalu akurat, oleh karena itu John Locke membedakan kualitasnya menjadi dua
yaitu: pertama, kualitas primer ialah kulitas yang melekat pada benda itu sendiri
dan terlepas dari persepsi-persepsi. Misalnya bentuk, luas, posisi dan gerak.
37
Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam sebuah Pendekatan Psikologis (Jakarta:
Darul Falah, 1999), h. 96. 38
Sudirman, Interaksi dan Motivasi Belajar-mengajar (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003), h. 79. 39
Donny Gabral Adian, Menyoal Objoktivisme Ilmu Pengetahuan dari david Hume
sampai Thomas Kuhn (Jakarta: TERAJU, 2002), h. 120.
66
Kedua, kualitas sekunder yaitu kualitas yang bergantung kepada kondisi
subjeknya. Misalnya warna, bau, panas dan dingin. Ini mendasarkan pemahman
Jon Locke tentang pengetahuan bersifat material yakni adanya substansi material
mendasari objek terlepas dari persepsi-persepsi.
Menurut pendapat penulis teori tabularasa yang hanya mementingkan
pengalaman sebagai sumber pengetahuan memiliki kelemahan, sebab walaupun
lingkungan dapat menghasilkan perkembangan anak menjadi optimal tanpa
adanya bakat dalam diri anak tersebut tidak akan berjalan sesuai yang diinginkan.
Sebaliknya, anak yang sudah memiliki potensi semenjak lahir tanpa adanya faktor
lingkungan yang mendukung tidak akan berkembang dengan baik. Oleh karena
itu dalam ajaran Islam, teori tabularasa ini tidak sepenuhnya bisa diterima karena
potensi dan lingkungan (pendidikan) memiliki pengaruh dan peran yang
sama dalam pembentukan pribadi anak.
Sejatinya manusia tidak terlepas dari kehidupan bermasyarakat untuk
mempertahankan kelangsungan dan kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu,
pendidikan perlu baginya untuk proses interaksi antara sesama. Manusia adalah
makhluk yang berpikir, yang memiliki sikap hidup bermasyarakat saling tolong-
menolong yang kemudian akan membentuk suatu peradaban.40
Dari peradaban
tersebut lahirlah berbagai ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui media
pendidikan. Pertumbuhan ilmu pengetahuan dan pendidikan dipengaruhi oleh
peradaban. Dengan demikian, adanya hubungan timbal-balik antara pendidikan
dan peradaban.
40
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 174.
67
Setiap hasil kreasi pemikiran manusia mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Demikian pula halnya dengan pemikiran Ibn Khaldūn dan John
Locke tentang manusia dan konsep pendidikan. Walaupun mereka mempunyai
persamaan pemikiran tentang kedua hal tersebut, namun dalam hal tertentu juga
mempunyai perbedaan.
No Pandangan Ibn Khaldūn John Locke
1 Manusia Fitrāh (manusia adalah
baik, bersih dan suci)
dan telah memperoleh
innate (sifat bawaan se-
jak lahir atau potensi
dasar).
Tabularasa (manusia ada-
lah lembaran kertas putih
yang masih kosong) dan
tidak memperoleh innate
sejak lahir.
2 Epistemologi Empirisme (induktif yai-
tu pengetahuan manusia
diperoleh melalui penga-
laman dan pengamatan).
Namun di sisi lain Ibn
Khaldūn tidak menolak
pengetahuan manusia bi-
sa diperoleh melalui in-
tuisi (wahyu).
Empirisme (setiap penge-
tahuan manusia diperoleh
melalui pengalaman inde-
rawi karena sesungguhnya
manusia pada awalnya ha-
nyalah lembaran kertas ko-
song yang belum terisi
apa-apa). Dimana manusia
memperoleh pengetahuan
melalui rangsangan dari
objek terhadap pancaindera
yang kemudian ditersukan
ke otak dan dianalisa men-
jadi sebuah pengetahuan.
3 Metode Mendi-
dik
Berangsur-angsur, meto-
de diskusi dan tidak me-
nggunakan sistem pe-
ngajaran dengan paksa-
an atau hukuman.
Bertahap dan tidak meng-
gunakan sistim kekerasan
maupun pujian.
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut Ibn Khaldūn, manusia adalah makhluk yang suci (fitrāh) yang
semenjak lahir telah membawa potensi baik sebagai pemberian dari Tuhan.
Namun potensi tersebut masih belum optimal seutuhnya, melalui pendidikan
potensi tersebut akan berkembang. Walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa
disamping kebaikan manusia juga membawa potensi yang jahat. Jika pendidikan
yang diterima manusia adalah baik maka akan menuntun manusia tersebut menuju
kebaikan dan menjadi manusia sempurna (insān kamil), sehingga sulit membawa ia
ke arah kejahatan. Oleh karena itu konsep pendidikan Ibn Khaldūn menganut prinsip
keseimbangan antara kecerdesan intelektual dan kecerdasan spiritual.
Sedangkan menurut John Locke, manusia semenjak lahir adalah putih bersih
seperti kertas (tabularasa) yang tidak membawa potensi apa-apa. Manusia tidak
bisa di katakan baik atau jahat. Pengalaman inderawi yang diterimanya akan
menjadikan akalnya semakin aktif untuk memperluas dan memperkaya
wawasannya sehingga memperoleh pengetahuan. John Locke menyatakan bahwa
pengaruh lingkungan dan pengalaman inderawi seutuhnya dalam dunia
pendidikan akan menjadikan manusia baik.
Pertumbuhan dan perkembangan pendidikan bagi kedua tokoh tersebut akan
mempengaruhi sebuah peradaban. Semakin bagus kualitas pendidikannya maka
akan semakin maju dan baik peradabannya.
69
B. Saran-saran
Berdasarkan uraian diatas, menurut pendapat penulis sistem pendidikan Ibn
Khaldūn yang mengandung keseimbangan duniawi dan ukhrowi tersebut cocok di
terapkan sesuai dengan kehidupan zaman sekarang, terutama kalangan umat
Islam. Selain berlandaskan pada ajaran agama pendidikannya juga tidak
meninggalkan ilmu pengetahuan umum.
70
DAFTAR PUSTAKA
Abel, Donald C, Fifty Readings in Philosophy. Amerika: New York
Press, 2004.
Abidin, Zainal, Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2012.
Abdullah, Yusri Abdul Ghani, Historiografi Islam dari Klasik hingga Modern.
Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004.
Adian, Donny Gabral, Menyoal Objoktivisme Ilmu Pengetahuan dari David
Hume sampai Thomas Kuhn. Jakarta: Teraju, 2002.
Ahmadi, Asmoro, Filsafat Umum. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Ali, Mukti, Ibn Khaldun dan Asal-usul Sosiologinya. Yogyakarta: Yayasan Nida,
1970.
Alvi, Ziauddin, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan
Pertengahan Bandung: Angkasa, 2003.
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru. Jakarta: PT Logos Kencana Ilmu, 2002.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan
Agama. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Bastaman,H anna Djumhana, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju
Psikologi Islam. Yogyakarta: Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar,
1995.
Boyd, William, Sejarah Pendidikan Barat (The History of Western
Education) dari Plato sampai Kant. Bandung: Jemmars, 1978.
Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedia Islam. Jakarta: PT Ichtiar Bara
Van Hoeve, 2002.
Enan, Muhammad Abdullah, Biografi Ibnu Khaldun, terj. Jakarta: Mizan, 2003.
Fieser, James dan Samuel Enoch Stumf, Philosophy History and Problems. New
York/SIAE: Artist Rights Society, 2002.
Garvey, James, Dua Puluh Karya Filsafat Terbesar, terj. Mulyatno. Yogyakarta:
KANISIUS, 2010.
Hadiwijoyono, Harun, Sari Filsafat Barat. Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Hakim, Atang Abdul dan Beni Ahmad Soebani, Filsafat Umum: dari Metologi
sampai Teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1996.
Ibn Khaldūn, Muqaddimah, terj. Ahmadi Thoha. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
-------, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thaha. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
-------, Muqadimmah, jilid III Taẖqiq ‘Ali Abd al Waẖid. Kairo
Nahdiah Mishr, t.t.
Jalaluddin, Psikologi Agama Edisi Revisi. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2009.
J.Ohoitimur, Aliran-aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer. Traktat
Kuliah STF, Seminare Pineleng, 2003.
71
Jundi, Anwar, Pancaran Pemikiran Islam. terj. Alif Muhammad. Bandung:
Pustaka, 1985.
Karim, Adiwarman Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta:
Grafindo Persada, 2004.
Kattsoff, Louis. O, Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986.
al-Khudairi, Zainab, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, terj. Ahmad Rofi’
Ustmani. Bandung: Pustaka, 1987.
Langgulung, Hasan, Pendidikan dan Peradaban Islam: Suatu Analisa
Sosio-psikologi. Jakarta: Pustaka al Husna, 1985.
-------,Manusia dan Pendidikan Suatu Analisis Psikologi Filsafat dan
Pendidikan. Jakarta: PT Pustaka al-Husna, 2004.
-------, Pendidikan Islam Abad ke-21. Jakarta:PT Pustaka al-Husna, 2003.
Lubis, Akhyar Yusuf, Filsafat Ilmu: Kalsik hingga Kontemporer. Jakarta:
Rajawali Pers, 2015.
Locke, John The Encyclopedia of Philosophy. Edited by Paul Edwards, jilid III
and IV. New York: Simon and Schuster and Prencite Hall
International,1996.
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Aksara, 1987.
-------, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Maarif, Ahmad Syafii. Ibn Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan
Timur. Jakarta: Gema Insan Press, 1996.
Madjid, Nurcholis Kaki Langit Peradaban. Jakarta: Yayasan Paramadina, 1997.
Mudzakir, Abdul Mujib Jusuf, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana,2008.
-------, Fitrah dan kepribadian Islam sebuah Pendekatan Psikologis. Jakarta:
Darul Falah, 1999.
Muhibbinsyah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya Offset, 2010.
Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia.
Surabaya: Pustaka Progressif, 2002.
Muthahari, Murtadha, Perspektif al-Qu’an tentang manusia dan Agama.
Bandung: Mizan, 1998.
-------, Fitrah Menyingkap Hakikat Potensi dan Jati Diri Manusia. Jakarta:
Lentera, 2008.
Nasution, Andi Halim, Pengantar ke Filsafat Sains. Jakarta: Lentera Antar Nusa,
1999.
Nasution, Hasan Bakti, Filsafat umum. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
Nata, Abudin, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. Jakarta: Rajawali Pers,
2012.
------, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengahan.
Bandung: Angkasa Bandung, 2003.
-------, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2005.
-------, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
-------, Memperbincangakan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka
tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2008.
72
Nawawi, Hadhari, Pendidikan dalam Islam. Surabaya: al Ikhlas, 1993.
Nivianti, Kesnamia, Studi Perbandingan Pendidikan Islam menurut Ibn Khaldūn
dan Miskawayh. Jurusan Pendidikan Agama Islam Falkutas Tarbiyah UIN
Syarif Hidayatullah. 2012.
Nizar, Samsul, Pengantar Dasar-dasar Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2001.
-------, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis.
Ciputat Press, Jakarta, 2002.
N. Tarcov, Locke’s Education for Liberty. Chicago: The Univercity of Chicago
Press, 1969. Prasetya, Filsafat Pendidikan untuk UIN, STAIN, PTAIS.
Bandung: Pustaka Setia, 1997.
Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2006.
Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedia al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan
Konsep-konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 2002.
Rahmat, Aceng, dkk. Filsafat Umum Lanjutan. Jakarta: Kencana, 2011.
Raliby, Osman, Ibn Khaldun tentang Masyarakat dan Negara. Jakarta: Bulan
Bintang, 1978.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2011.
Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Filsasat. Yogyakarta: Anggota IKAPI, 1996.
Rohman, Arif, Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan. Yogyakarta:
Laskbang Mediatma, 2009.
Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Sabari, M. Alisuf, Pengantar Ilmu Pendidikan. Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005.
-------, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan. Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1993.
Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003.
Soejono, Ag, Aliran Baru dalam Pendidikan. Bandung: C.V. ILMU, 1978.
Sudirman, Interaksi dan Motivasi Belajar Menagajar. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003.
Suharto, Toto, Epistemologi Sejarah Kritis Ibn Khaldun. Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru, 2003.
Sulaiman, Fathiyah Hasan, Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Ilmu dan
Pendidikan. Bandung: Diponegoro, 1987.
Suparlan, Aliran-aliran Baru dalam Pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset, 1984.
Susanto, Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,
Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
al-Syaybānī, Muḥammad al-Tawmī, Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan
Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
Schmadt. J, Hendry, Filsafat Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qura’an Tafsir Maudhu’i atas Berbagai
Persoalan Umat. Bandung: PT Mizan Pustaka. 2005.
73
Syaith’i, Aisyah Abdurrahman Bintu, Manusia dalam Perspektif al-Qur’an.
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
-------, Manusia Sensitivitas Hermeneutika al-Qur’an. Yogyakarta: LKPSM
Tompeyan, 1997.
Tarcov, N, Locke’s Education for Liberty. Chicago: The Univercity of Chicago
Press, 1969. Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2004.
-------, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Pendidikan Islam. Bandung:
Rosdakarya, 2007.
-------, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya,
1992.
Tjahjadi, Simon Petruss, Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Ukim Komaruddin dan M. Sukardjo, Landasan Pendidikan: Konsep dan
Aplikasinya. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.
Wafi, Ali Abdul wahid, Ibn Khaldun riwayat dan karyanya, terj. Ahmadie
Thaha. Jakarta: PT Grafitifers, 1985.
Waliudin, Warul, Konseltasi Pemikiran Pedagogik Ibn Khaldun Perspektif
Pendidikan Modern. Nanggro Aceh Darussalam: Yayasan Nadya, 2003.
Wardi Ali dan Fuad Baali, Ibn Khaldun dan Pola Pemikiran Islam.
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
1991.
Yolton, J.W, John Locke and The Way of Ideas. Oxford: The Oxford Univercity
Press, 1968.
Zakaria, Azra’ie, Konsep Pendidikan Ibn Khaldūn: Relevansinya dengan
Pendidikan Modern. Jakarta: Program Pasca Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah, 2004.
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: IAIN Jakarta, 1984.
BIODATA PENULIS
Nama : Rahmi Febrina
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat, tanggal lahir : Padang, 17 Februari 1992
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Alamat lengkap : Alahan Panjang, Solok-SUMBAR
Telepon, HP : 087895885069
E-mail : [email protected]
PENDIDIKAN FORMAL
1998 – 2004 : SDN 06 HILGUM Tartel
2004 – 2007 : MTs Negeri 01 LEGUM Alahan Panjang
2007 – 2010 : SMAN 01 LEGUM Alahan Panjang
2010 – 2016 : Jurusan Aqidah Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta