Konsep Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)

  • Upload
    oef

  • View
    5.780

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

KONSEP PEMIKIRAN PEMBANGUNAN EKONOMI BERKELANJUTAN Oleh: Slamet Prayogi )

1. Tinjauan Ke Belakang Melihat kondisi perekonomian Indonesia diperlukan suatu pengertian yang cukup mendalam baik dari sisi mikro ekonomi dan terutama sisi makro ekonomi. Seperti diketahui bahwa kondisi perekonomian Indonesia diwarnai dengan berbagai kejutan (shock) sejak tahun 1960an sampai saat ini. Berbagai kejadian moneter dan non moneter menyebabkan fluktuasi yang senantiasa berulang sehingga memberikan tingkat ketidakpastian (uncertainty) dan country risk yang cukup tinggi. Meskipun agak riskan dan kasar, untuk memudahkan memperoleh gambaran sekilas serta kemungkinan tren ekonomi Indonesia di masa mendatang, maka tinjauan ini dibagi 2 (dua) periode perkembangan ekonomi Indonesia yaitu periode Pra - Krisis dan Paska Krisis. Pra - Krisis Ekonomi Adalah menjadi karakteristik perekonomian Indonesia sejak Pelita I dimulai, bahwa sektor swasta ternyata sangat bergantung pada sektor pemerintah. Oleh karena itu semua kebijakan di sektor pemerintah akan berdampak langsung terhadap sektor riel misalnya adanya tight money policy tahun 1986 yang langsung diikuti oleh lesunya hampir semua sektor perekonomian Indonesia. Pada tahun 1970an terjadi resesi dunia yang membawa dampak amat besar terhadap perekonomian Indonesia. Sektor pemerintah mengalami kontraksi cukup signifikan dan diikuti kontraksi yang lebih besar di sektor riel. Krisis tersebut berdimensi banyak bukan hanya berpengaruh pada kelesuan ekonomi dalam negeri tetapi juga telah merambah pada sektor luar negeri yang menghadapi krisis devisa dan kemacetan industrial. Semenjak digulirkannya deregulasi sektor perbankan tahun 1983, serentetan kebijakan dikeluarkan pemerintah termasuk di antaranya Inpres No. 4/1985, disusul dengan Paket 6 Mei 1986 (Pakem), dan devaluasi 19 Desember 1986 serta kebijakan 25 Oktober 1986. Kesemuanya dikeluarkan dengan alasan untuk meningkatkan devisa dari sektor non migas. Namun semua kebijakan tersebut tidak sepenuhnya berjalan mulus karena peningkatan sektor devisa adalah merupakan langkah jangka panjang dan sangat bergantung pada struktur industri dan tata niaga yang ada. Kelesuan atau resesi ekonomi yang terjadi sekitar tahun 1986an tidak saja melanda sektor industri barang mahal seperti otomotif tetapi juga melanda sektor lainnya seperti papan, sandang dan pangan dengan derajat kelesuan yang berbeda beda. Gejala yang sifatnya menyeluruh tersebut tentu saja tidak hanya disebabkan oleh masalah masalah mikro yang dihadapi oleh sektor riel secara individu, namun lebih condong pada masalah makro, yaitu turunnya pendapatan nasional perekonomian Indonesia dari keadaan sebelumnya. Pada lima tahun pertama dan kedua tahun 1970 an pertumbuhan pendapatan nasional Indonesia tercatat sebesar 7,1% dan 7,9%. Sedangkan pada periode 1983-1988 pertumbuhan ekonomi merosot hingga mencapai rata rata 5,1%. Menghadapi hal ini pemerintah mengeluarkan paket kebijakan pada tahun 1988 yang dikenal dengan Pakto 1988 yang intinya (terutama pada sektor moneter ) adalah: 1. Keharusan memenuhi persyaratan modal, sistem dan ijin bila hendak mendirikan bank dan lembaga keuangan lainnya di kota dan di daerah, atau bila akan melakukan merger dan menarik partisipasi modal asing. 2. 3. Keharusan memenuhi koefisien tentang sehat tidaknya lembaga keuangan. Cara menjalankan transaksi call money, Certificate of Deposits, SBI, SBPU,

devisa-swap, dan jenis kertas yang harus digunakan. 4. Tugas tugas yang harus dipenuhi oleh money changers.

5. Penurunan reserve ratio, yaitu alat kontrol Bank Indonesia terhadap likuiditas yang harus dipelihara bank komersial, dari 15% menjadi 2%. 6. Ketentuan bahwa BUMN diperbolehkan mentransfer 50% depositonya di bank pemerintah ke bank swasta. 7. Pengenaan pajak baru sebesar 15% terhadap pendapatan dari deposito berjangka, sertifikat deposito dan lain sebagainya. Dengan adanya Pakto 1988 tersebut, perokonomian nasional sontak bangkit dan bergairah yang ditandai dengan melonjaknya uang beredar, tingginya likuiditas perbankan yang bahkan over liquid, ekspansi kredit besar-besaran sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2 di bawah ini. Namun kondisi ini ternyata membawa dampak yang cukup besar pada total perekonomian Indonesia di belakang hari karena ternyata fundamental perekonomian Indonesia rapuh dan sektor finansial cenderung lepas kendali. Pakto 88 ternyata menjadi tonggak kebangkitan perekonomian secara umum dan khususnya sektor finansial / perbankan dalam menjawab era globalisasi. Bersama sama pasar modal yang berkembang cepat, kita melihat maraknya perkembangan sektor finansial ini. Tabel 1 Profil M1, M2, Kredit Swasta dan Sumber Dananya Tahun 1988 - 1991 Kenaikan dalam (%) Sumber Dana (Rp. Trilyun) Kredit Sumber Giro & R/K Valas Tahun M1 M2 Untuk Dana Deposit dan Pinja- PerbankSwasta Berjangka man LN an 1988 13 24 39 28 28.9 7.7 4.5 1989 40 40 57 51 43.0 1.3 7.9 1990 18 48 60 63 62.7 27.2 11.3 1991 11 17 21 10 69.4 32 10.2 Sumber : BI, Statistik Ekonomi Keuangan Tabel 2 Kondisi Likuiditas Perbankan Tahu 1988 - 1991 Modal

Alat Likuid Persentase Simp. Wajib Kelebihan Perbankan Likuiditas Perbankan Likuiditas (Rp. Trilyun) ( % ) (Rp. Trilyun) (Rp. trilyun) 1988 1.8 6 0.6 1.2 1989 2.6 6 0.8 1.8 1990 2.7 4 1.2 1.5 1991 2.8 4 1.5 1.3 Sumber : BI, Statistik Ekonomi Keuangan Sebagaimana diketahui bahwa dengan Pakto 1988, rasio cadangan perbankan (reserve requirement) diturunkan dari 15% menjadi sangat rendah yakni 2%. Demikian rendahnya sehingga perbankan menjadi sangat leluasa memperluas kredit dan uang beredar (M1), yang seolah olah tanpa kendali dari Bank Indonesia seperti terlihat pada Tabel 3. Sebagaimana diketahui, Rasio Cadangan, sesuai ketentuan BI, adalah perbandingan antara cadangan perbankan (R) dengan uang giro dan deposito berjangka.

Tabel 3 Kondisi Cadangan, Uang Kas dan GWM Perbankan Dalam Trilyun Rupiah Uang Tahun Kas A 1987 0.7 1988 0.7 1989 1.0 1990 1.2 1991 1.5 Sumber: BI,

1987 -1991 Kenaikan dalam %

Giro Wajib Cadangan / Kredit Kenaikan Minimum Reserve u/ Swasta dalam % B C D c d 2.1 2.8 28.0 1.1 1.8 38.9 -36 39 1.6 2.6 60.9 44 57 1.6 2.8 97.3 8 60 1.4 2.9 117.5 4 21 Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia

Dari Tabel 3 tersebut di atas dapat diinterpretasikan bahwa sejak diberlakukannya Pakto 1988, cadangan perbankan turun 36% dari Rp. 2,8 trilyun pada 1987 menjadi hanya Rp. 1,8 trilyun pada 1988. Hal ini karena perbankan menarik cadangannya di BI sebanyak Rp. 1 trilyun untuk menambah sumber pendanaan kreditnya. Oleh karena itu kredit perbankan untuk swasta naik tajam sebesar 39% dari Rp. 28,0 trilyun pada 1987 menjadi Rp. 38,9 trilyun pada 1988. Selama 19881991, cadangan mengalami peningkatan rata-rata 5% per tahun, yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan kredit untuk swasta yang mencapai kenaikan rata-rata 45% per tahun. Kenaikan kredit untuk swasta tersebut terus meningkat pesat terutama pada 1988-1990 yaitu sebesar 39% per tahun menjadi pada 1988 menjadi 60% per tahun pada tahun 1990. Tetapi setelah adanya beberapa kasus yang dimulai dengan kasus runtuhnya Bank Summa, kemudian kasus Bank Pacific dan Bank Arta Prima, mulai terlihat deregulasi (dan liberalisasi) di sektor perbankan ternyata mengundang ekses yang tidak diinginkan. Meski demikian, Paket Pebruari pada Kabinet Pembangunan V yang lalu, sedikit banyak dapat mencegah ekses-ekses negatif ekspansi perbankan tersebut. Hanya saja, walaupun sudah ada UU Perbankan yang baru, serta UU Pasar Modal, tetap saja terlihat perkembangan siklus sektor finansial mulai terasa ekspansif dengan kecepatan dan volatility yang cukup mencemaskan. Ini berkaitan dengan sektor property yang banyak berhubungan dengan kredit perbankan, baik kepada calon pemilik rumah maupun kepada pengembang (developer). Begitu juga perkembangan yang cepat di sektor jasa, seperti leasing dan produk produk derivatif perbankan yang menambah maraknya kehidupan sektor finansial, dan sekaligus menambah tingginya risiko bisnis yang bergerak di sektor keuangan. Kondisi tersebut terus berlangsung hingga pertengahan tahun 1997 dan puncaknya terjadi ketika otoritas moneter memperlebar intervention band BI dan bahkan melepaskannya sama sekali sehingga nilai rupiah dibiarkan bebas mengambang (free floating) terhadap dollar Amerika. Akibatnya nilai rupiah, selain juga dipengaruhi oleh faktor-faktor non ekonomi misalnya politik dll, merosot drastis, suku bunga pinjaman membubung tinggi dan indeks harga saham gabungan maupun nilai kapitalisasi pasarnya anjlok tak terbendung seperti terlihat pada Tabel 4. Hal ini membawa konsekuensi yang sangat tidak diinginkan baik oleh sektor pemerintah, sektor finansial sendiri maupun sektor riel. Dari sektor pemerintah terjadi gejolak dan terjadi krisis politik. Dari sektor finansial terjadi penghentian operasional puluhan bank sehingga sempat terjadi krisis kepercayaan terhadap dunia perbankan. Sektor riel juga merasakan penderitaan yang amat dahsyat, karena tidak ada lagi kredit yang terkucur baik untuk keperluan modal kerja (apalagi investasi) di dalam negeri maupun untuk menunjang ekspor. Hal ini karena L/C dari perbankan di Indonesia banyak ditolak di luar negeri. Padahal sebagian besar industri kita, termasuk industri otomotif, sebagian besar komponennya masih harus diimpor dari luar negeri. Yang pasti merasakan dampaknya secara luas adalah masyarakat. Dengan terpuruknya

nilai rupiah tersebut praktis daya beli masyarakat turun drastis sementara tingkat inflasi membubung tinggi sampai dengan 20 %. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto turun secara signifikan dari 7,54 % pada tahun 1994 menjadi 4,65 % pada tahun 1997. Hal ini semakin diperparah dengan lemahnya fundamental ekonomi Indonesia yang tercermin dari Neraca Pembayaran yang terus menerus mengalami defisit. Parahnya lagi defisit tersebut terus ditutup dengan utang yang baru dengan notasi US dollar. Menurut divisi riset JP Morgan, di tahun 1997 total utang luar negeri Indonesia telah mencapai 128 miliar dollar yang mana sekitar 65 miliar dollar merupakan utang sektor swasta. Akibatnya dengan terpuruknya nilai rupiah, beban utang (baik pemerintah maupun swasta) semakin berat, karena nilainya meroket sementara nilai kapitalisasi asset perusahaan-perusahaan dalam negeri justru merosot. Paska Krisis Ekonomi Sejak pertengahan 1997, perekonomian Indonesia mulai terkena imbas krisis ekonomi yang menimpa negara-negara di kawasan Asia. Dimulai dengan krisis nilai tukar rupiah, yang kemudian menerpa sektor perbankan dan sektor riel. Nilai tukar rupiah yang terus melemah secara berkelanjutan menyebabkan masyarakat tidak percaya pada mata uangnya sendiri. Sementara itu sebagian besar bank mulai mengalami kelangkaan likuiditas. Kondisi ini membawa efek pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap perbankan. Karena bank tidak memiliki kemampuan untuk menyediakan dana setiap saat. Untuk mengatasinya, pemerintah segera turun tangan memberikan bantuan melalui apa yang dikenal sebagai bantuan Likuiditas bank Indonesia (BLBI) yang belakangan ini justru menambah masalah baru. Sebaliknya kemacetan yang melanda sektor riel akhirnya menyebabkan sektor ini tidak dapat mengembalikan pinjamannya ke bank. Mimpi buruk akibat ditutupnya 16 bank swasta nasional pada bulan November 1997 semakin bertambah dengan adanya kondisi perbankan nasional yang modalnya mulai tergerogoti oleh kewajiban membayar bunga kepada deposan. Ketidakpercayaan masyarakat semakin tinggi sehingga bank-bank pun kian goyah. Untuk meredam ketidakpercayaan masyarakat atas keamanan dananya, pemerintah kemudian mengeluarkan keputusan yang berkaitan dengan masalah penjaminan dana-dana masyarakat di bank. Memperhatikan kondisi perekonomian khususnya sektor keuangan dan perbankan yang sudah sangat parah, pemerintah juga mulai ancang-ancang membentuk lembaga khusus yang kemudian dinamakan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Pada mulanya BPPN dibentuk melalui Keppres Nomor 27 tahun 1998, bertugas untuk menjalankan fungsi penjaminan pemerintah di sektor perbankan. Kemudian mengingat bahwa krisis perbankan sudah begitu sistemik sehingga membawa dampak pada sektor ekonomi secara keseluruhan, maka tugas BPPN diperluas dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999. Tabel 4 Kurs Rupiah, Tingkat Bunga, IHSG dan Kapitalisasi Pasar Saham Juli 1997 - Juli 1998 TGL Rp./US $ 01/07/97 2.432 31 2.599 11.5 01/08 2.609 11.5 29 3.035 30.0 01/09 2.955 30.0 30 3.275 21.0 01/10 3.355 21.0 31 3.670 20.0 03/11 3.380 20.0 27 3.648 20.0 SBI 10.5 17.18 17.43 52.52 43.75 23.48 23.95 20.60 20.88 21.85 JIBOR IHSG Rp Juta $ Juta 13.07 731,619 262.943.921 108.118 721,270 268.126.623 101.724 721,772 264.563.671 101.404 493,962 181.681.448 59.862 485,969 178.741.458 60.488 546,686 203.695.786 62.197 536,986 200.083.532 59.637 500,418 188.287.756 51.305 501,714 189.023.990 55.924 401,708 154.828.346 42.442

01/12 3.688 20.0 21.73 398,616 153.639.805 41.659 30 5.097 20.0 28.52 401,712 159.929.860 31.377 02/01/98 5.650 20.0 28.71 401,011 165.219.187 29.242 29 10.375 22.0 36.55 485,938 199.858.801 19.263 02/02 9.550 22.0 36.23 554,107 227.895.935 23.863 27 8.800 22.0 37.69 482,378 198.400.571 22.546 02/03 8.750 22.0 37.32 496,729 204.303.385 23.349 30 8.325 45.0 47.00 541,425 223.309.108 26.824 01/04 8.325 45.0 46.32 523,948 216.100.908 25.958 30 7.970 50.0 49.41 460,135 191.852.259 24.072 01/05 7.925 50.0 49.36 448,525 187.011.423 23.598 29 10.637 58.0 60.05 420,465 175.319.177 16.482 01/06 11.150 58.0 60.00 414,680 172.657.689 15.485 30 14.900 58.0 55.14 445,920 188.146.371 12.627 01/07 14.000 n.a n.a 456,541 192.627.528 13.759 31 13.000 n.a n.a 481,717 203.331.671 15.641 Sumber: BI, Business News & Bloomberg, Bursa Efek Jakarta - data diolah IHSG = Indeks Harga Saham Gabungan Sampai saat ini perekonomian Indonesia masih belum dapat dikatakan pulih meskipun di sana-sini sudah terlihat indikator yang mengarah pada perbaikan di antaranya adalah IHSG yang mencapai level 1004,43 yang berarti mencatat kenaikan 44,93% tahun 2004. Tingkat bunga SBI meskipun hari-hari terakhir ini mulai merangkak naik lagi, sudah mengalami penurunan sehingga per Juni 2001 tercatat sebesar sekitar 9%-12%. Demikian pula tingkat suku bunga bank, meskipun kredit masih seret sudah mulai moderat sekitar 15%-20% per tahun. Namun hal ini belum menandai adanya pemulihan perekonomian seperti yang diharapkan. Secara makro diprakirakan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2004 mencapai 4,9% dan taun 2005 sebesar 5,5%, namun pertumbuhan tersebut diukur dari level sebelum krisis dan belum sustainable. Surplus Neraca Perdagangan memang ada karena didorong oleh pertumbuhan Ekspor dan melemahnya Impor namun tampaknya hal ini banyak dipengaruhi oleh faktor ekstern seperti harga BBM yang tinggi di pasaran dunia serta kondisi ekonomi negara maju seperti AS dan Jepang yang sedang memanas. Keadaan seperti ini jelas tidak mungkin berlangsung terus menerus atau dengan kata lain faktor tersebut bersifat tentative / sementara saja. Dari sisi inflasi, beberapa pengamat mengatakan untuk sementara ini inflasi masih dapat ditekan karena pertama, jumlah uang inti (base money) dan uang beredar (M2) dikontrol dengan ketat dan kedua, masih rendahnya daya beli konsumen. Namun kekhawatiran terhadap inflasi ini pada tahun 2005 tampaknya kembali terasa karena pemerintah berencana kembali menaikkan harga BBM sebesar 30%-40 % sebelum April 2005, kenaikan tarif listrik, tarif telepon, rencana kenaikan harga dasar gabah, cukai rokok, kenaikan tarif transportasi, bahan makanan dan lain lain. Selain itu mulai diberlakukannya otonomi daerah tahun 2001 juga tampaknya dapat menjadi pagkal yang memacu laju inflasi terutama jika daerah berlomba-lomba meningkatkan pungutan, retribusi dan pajak daerah dalam upaya eningkatkan PAD. Kondisi Sektor Finansial Kondisi sektor finansial banyak memberikan pengaruh kepada sektor-sektor lainnya. Tabel 5 menunjukkan sebagian dari indikator finansial tersebut khususnya perbankan. Pada saat itu kondisi suku bunga perbankan masih dalam keadaan volatile. Jika hal ini terus berlanjut, maka dikhawatirkan akan menganggu performance para bank pendana tersebut. Hal ini sebagian terlihat dari kinerja beberapa bank rekapitalisasi, yakni BII, Lippo, Bank Universal, Bank Patriot, Bank Arthamedia, Bank Prima Express, Bank Bukopin, Bank Niaga, Bank Bali, Bank danamon dan Bank Central Asia (BCA). Pada saat awal dilakukan rekapitalisasi pada tahun 1999, CAR bank-bank tersebut sedikitnya menjadi 4 %. Pada saat ini umumnya CAR bank-bank tersebut mencapai angka diatas 8 %, namun ada beberapa bank yang CARnya dibawah 8

% padahal sasaran rekapitaliasi sedikitnya ada dua sisi yaitu CAR sebesar 8 % serta NPL (Non Performing Loan) kurang dari 5 % di akhir 2001. Beberapa faktor menyebabkan turunnya CAR beberapa bank tersebut antara lain: Naiknya suku bunga simpanan Provisi (penjaminan) asset Bank Penyaluran kredit cukup aktif (karena costnya lebih sensitif daripada incomenya) Pada saat ini sisi aktiva neraca semua bank peserta rekapitalisasi didominasi (sekitar 2/3) oleh obligasi pemerintah dengan tingkat bunga tetap (fixed rate) sebesar 12,5% yang merupakan sebagian (besar) income bank. Padahal saat itu tingkat bunga mulai merambah naik seperti ditunjukkan oleh terus merangkaknya bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yakni tercatat pada April 2000 sebesr 10,8% maka Desember 2000 menjadi 14,5 % dan per bulan Juni 2001 mencapai 16,3%. Hal ini terasa aneh padahal bank sentral terkemuka di dunia seperti The Fed (bank sentral AS), Bank of England (Inggris), Bundes Bank (Jerman) sama sama menurunkan tingkat suku bunganya. Jika tingkat bunga simpanan mencapai lebih dari 12,5% maka dipastikan akan terjadi pendarahan (bleeding) pada bank-bank tersebut karena menderita negative spread. Jika hal ini tidak segera ditanggulangi bukan tidak mungkin akan terjadi krisis perbankan babak ke dua. Karena obligasi tersebut adalah milik pemerintah, maka berarti beban bunga obligasi adalah beban negara yang dalam hal ini dapat ditutupi dengan, salah satunya, penjualan aset BPPN. Jika linkage ini terputus salah satu saja dapat mengakibatkan perlambatan pemulihan ekonomi karena bank jelas tidak akan mampu menyalurkan kreditnya kepada sektor riel untuk mendorong bergulirnya roda perekonomian. Di sisi lain dengan NPL yang pada saat ini mencapai sekitar 20%-30% akan lebih memperparah keadaan. Sebagai indikasi bahwa pada kuartal ketiga 2000 NPL dari bank-bank rekapitalisasi mencapai 34%. Padahal dengan NPL sebesar 15% saja bank harus mencadangkan provisi sebesar 7,5% yang berarti pasti akan menggerogoti modal bank tersebut.

Tabel 5 STRUKTUR NERACA Desember 2000

PERBANKAN

NASIONAL NPL (3-5)/ Loan TPL Surat Ber-

Kategori Bank Aset (TA) Total Obligasi LDR CAR (milyar Rp) Pinjaman Pemerintah (%) Gross SBI (%) (milyar Rp) (milyar Rp) (%) A. Bank Rekap & BTO Bank BCA 96,585,682 5,994,990 59,611,090 6.8 45.9 Bank Danamon 60,542,699 5,686,024 47,537,968 1,842,993 41.3 Bank BII 35,571,059 17,100,722 8,714,000 60.8 6.8 Bank Lippo 21,831,400 4,271,714 6,031,477 23.5 19.7 Bank Bali* 5,414,984 1,195,677 15.3 49.5 Bank Niaga 17,382,044 5,480,880 9,400,000 40.3 18.0 Bank Universal 11,320,347 5,367,508 4,244,174

(milyar Rp) harga i/c

(milyar Rp) 5.5 19.7 24.1 36.1 87,764,974 19.1 20,294,251

28,833,704 7,734,813 6,355,958

28,119,174 18,173,421

7,799,475 2,030,648 -240.9 61.2 13,597,256 1,788,154 53.6 21.0 10,009,162

162,616 4.8 Bank Bulopin 8,222,971 5,455,608 370,409 1,764,053 16.2 B. Bank Swasta Lainnya Bank Panin 15,147,730 4,405,896 45.7 41.7 Bank NISP 4,748,185 2,586,520 74.1 5.9 Bank Buana 10,416,589 1,556,457 16.6 4.5 Bank Mega 5,792,252 1,960,919 42.2 0.9 C. Bank Pemerintah Bank Mandiri 232,035,886 41,901,569 181,188,534 7,893,063 25.8 Bank BNI 113,067,957 30,296,339 61,812,375 37.4 13.1 Bank BRI** 53,472,309 25,249,583 20,404,300 51.7 -25.6 TOTAL 691,552,094 158,510,406 399,314,327 39.8 25.1

82.1

2.4

6,644,506 9,696,715 1,519,300 7,936,696 3,286,248 154,646,854 14,307,271 3,769,619 54.4 10.9 38.1 21.2

9,634,359 3,490,870 9,396,234 4,643,440 27.1 39.3 15.2 50.7

81,009,011 48,836,732

512,599,172 90,382,398

LDR = Loan to Deposit ratio (perbandingan antara pinjaman dan dana pihak ketiga) NPL = Non Performing Loan (Kredit Kurang Lancar) TPL = Total Performing Loan (Total kredit lancar) * CAR Bank Bali per 31 Oktober 25,47% dg obligasi rekapitalisasi sebesar Rp. 5,314 trilyun ** CAR BRI per 31 Oktober 4,00%, Total obligasi rekapitalisasi Rp. 29,149 trilyun Catatan: 15 bank tersebut diatas menguasai sekitar 75 % dana masyarakat Sumber: Berdasarkan Neraca Publikasi per 30 September 2000 Sumber: Stephen J Satyahadi, Harian Kompas 10 Januari 2001 Jika pada neraca bank terdapat dana masyarakat sebesar Rp. 100, maka pada sisi lainnya bank hanya memiliki kredit, yang merupakan sumber utama pendapatan bank, sebesar Rp. 31. Bank harus membayarkan biaya bunga atas Rp. 100, dan menerima pendapatan bunga atas Rp. 21 (kredit sebesar Rp. 31 dikurangi pinjaman bermasalah yang tidak memberikan pendapatan bunga bagi bank, yakni sebesar 32 % x Rp. 31). Dengan struktur neraca seperti itu, perbankan nasional sangat rentan terhadap kenaikan suku bunga, karena setiap kenaikan suku bunga 1 persen, maka jumlah biaya bunga yang harus dibayarkan bank kepada deposan akan naik sebesar 1 persen kali Rp. 100. Untuk menutupi kenaikan biaya bunga, bank harus menaikkan suku bunga kredit sebesar 5 persen (21:100). Selain kendala-kendala tersebut di atas, Indonesia masih dihadapkan pada berbagai agenda ekonomi - politik yang membingungkan dan dalam hal tertentu mampu memicu konflik di tingkat horisontal. Di antara agenda tersebut, yang akan memberikan dampak yang besar pada kondisi perekonian di masa medatang adalah: Revisi APBN dalam rangka menanggulangi defisit neraca pembayaran yang telah mencapai lebih dari 3% dari Produk Domestik Bruto Restrukturisasi lanjutan sektor finansial dan perbankan ex: Bank Asiatic, Bank Dagang Bali, Bank Global, dll. Merger beberapa bank pemerintah dan swasta Proses Pilkada secara langsung Kenaikan harga BBM 30-40% sebelum April 2005. Restrukturisasi dan Pembangunan kembali wilayah bekas bencana dan sebagainya. 2. Ketidakmerataan dan Pertumbuhan

Sebelum Indonesia terjerumus ke dalam krisis ekonomi pada tahun 1997, Indonesia merupakan salah satu dari negara-negara di Asia yang dianggap mengalami keajaiban, di mana pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada saat itu mencapai rata-rata sekitar 7% per tahun dan tetap dapat menekan ketidakmerataan penghasilan (Tabel 6). Namun pencapaian tersebut menutupi kejanggalan yang terjadi dalam hal pemerataan, yaitu antara konsentrasi asset dan pemerataan penghasilan. Pengukuran tradisional atas ketidakmerataan menunjukkan bahwa penghasilan di Indonesia terdistribusi kurang lebih merata dan stabil sejak tahun 1960an. Tetapi ukuran ketidakmerataan penghasilan yang rendah bertolak belakang dengan ketidakmerataan asset. Pada situasi normal, konsentrasi asset akan berdampak pada konsentrasi penghasilan. Namun di Indonesia data menunjukkan konsentrasi asset yang tinggi dengan ketidakmerataan penghasilan yang rendah. Paradoks ini membuat argumen keajaiban Asia Timur tidak masuk akal. Konsentrasi aset akan menyebabkan konsentrasi penghasilan, kecuali ada mekanisme distributif melalui reinvestasi swasta maupun sistem perpajakan. Karena mekanisme distributif hampir tidak ada di Indonesia, distribusii penghasilan akan terkonsentrasi pada kelompok-kelompok tertentu. Namun kurangnya mekanisme distributif ini tidak tercerminkan pada ukuran ketidkmerataan penghasilan. Tabel 6 Prkembangan Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Sebelum Krisis TAHUN INFLASI Ec.Growth 1991 9.52 6.91 1992 4.94 6.50 1993 9.77 6.50 1994 9.24 7.48 1995 8.64 8.27 1996 6.47 7.82 1997 11..... .....krisis 1998 20..... ..... Sumber: Diambil dari berbagai sumber, 2000 Keidakmerataan penghasilan di Indonesia diukur dengan menggunakan data pengeluaran atau konsumsi keluarga dari Susenas. Tetapi yang mungkin tidak terdata dari survey tersebut adalah diversifikasi pengeluaan yang berasal dari konsentrasi penghasilan. Kelompok yang mendapatkan pertambahan penghasilan yang disebabkan oleh konsentrasi asset akan memperdalam dan memperlebar pola konsumsi mereka. Bukan saja mereka akan membeli barang mewah, tetapi mereka juga akan membeli barang primer dengan kualitas yang lebih baik. Diversifikasi inilah yang tidak ditangkap oleh suvey pengeluaran keluarga dan berkibat pada rendahnya tafsiran akan polarisasi penghasilan di Indonesia. Tingkat ketidakmerataan yang sebenarnya lebih tinggi akan mempertanyakan pentingnya pertumbuhan ekonomi. Bagaimanakah pertumbuhan masa lalu terkerangka sehingga hanya segelintir orang saja yang dapat menikmati pertumbuhan tersebut?. Benarkah pertumbuhan ekonomi setinggi yang dipublikasikan?. Tingkat permulaan pertumbuhan ekonomi yang rendah (kemiskinan, keadaan makroekonomi yang kacau pada tahun 1960an), revolusi hijau, oil boom, dan akumulasi faktor produksi dari pada perbaikan produktivitas, menyebabkan kerangka petumbuhan ekonomi Indonesia menjadi tidak berkelanjutan (sustainable) di masa depan dan tidak merata di masa lampau. Pada akhirnya, mengapa pemerataan dan pertumbuhan menjadi sangat penting? Pertama, hal tersebut mempertanyakan kembali efektifitas pertumbuhan ekonomi dalam mengurangi kemiskinan. Dalam situasi dimana ketidakmerataan mencapai tingkat yang tinggi, pertumbuhan ekonomi akan menjadi kurang efektif dalam mengurangi kemiskinan karena tambahan penghasilan yang disebabkan oleh pertumbuhan akan terkonsentrasi pada beberapa kelompok yang mempunyai asset produktif. Kedua, tingkat pertumbuhan yang lebih rendah dan tingkat ketidakmerataan yang lebih tinggi menutupi perbedaan-perbedaan sosial yang disebabkan oleh kecemburuan

ekonomi dan yang dapat mengambil bentuk prasangka-prasanka etnis dan agama. Ketika krisis ekonomi terjadi, perbedaan-perbedaan ini muncul ke permukaan dan memperburuk keadaan ekonomi dan politik, serta meperlambat pemulihan ekonomi. Di masa yang akan datang dampak kebijakan dari kedua hal tersebut adalah pada cara pandang kita terhadap pertumbuhan dan ketidakmertaan dan hubungan mereka dengan pengentasan kemiskinan dan perbedaan sosial. Bagaimana dan bukan berapa besar, pertumbuhan ekonomi dapat dihasilkan dan didistribusikan akan mengambil peranan penting dalam mengurangi kemiskinan dan menjaga keselarasan sosial. Pada akhirnya hal ini berarti merumuskan kembali kebijakan dimana kualitas pertumbuhan ekonomi akan lebih penting daripada tingkat perumbuhan itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi bukanlah tujuan utama tetapi hanya jalan untuk memperbaiki standar dan kualitas hidup penduduk Indonesia. 3. Konsep Fundamental Secara umum, pembangunan merupakan usaha untuk memperbaiki kualitas manusia. Konsep dasar pembangunan bidang ekonomi disusun sesuai dengan diagram di halaman berikut. Di sisi lain, Pembangunan bidang ekonomi adalah suatu proses dimana pemerintah dan masyarakat mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah dengan sektor swasta dan masyarakat pada umumnya untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) yang berkelanjutan (sustainable) dan berwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan dan mengikutsertakan potensi-potensi yang dimiliki.

Gambar 1. Kerangka dasar pembanunan yang berkelanjutan Oleh karena itu, masalah pokok dalam pembangunan ekonomi terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan yang dimiliki (endogenous development) dengan meggunakan potensi sumber daya manusia termasuk di dalamnya keragaman sosial, kelembagaan, dan sumber daya fisik.. Orientasi ini mengarahkan pada pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari wilayah itu sendiri dalam proses pembangunan untuk membangun masyarakat secara utuh, menciptakan kesempatan kerja baru dan merangsang peningkatan kegiatan ekonomi dan sosial.

Pembagunan bidang ekonomi adalah suatu proses, yang mencakup pembentukan institusi-institusi baru, penyiapan pranata sosial masyarakat yang berakar dari budaya lokal, pembangunan industri-industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengembangan usahausaha baru. Setiap upaya pembangunan ekonomi semestinya mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik lahir maupun batin, serta meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat. Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah dan masyarakat harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan. Oleh karena itu pemerintah beserta partisipasi masyarakat dan dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang ada harus mampu menaksir potensi sumberdaya-sumberdaya yang diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian. Hal ini terutama sangat penting pada saat ini dimana era otonomi daerah telah bergulir menjadi kenyataan yang tidak dapat dihindari lagi. Berkaitan dengan tujuan pembangunan ekonomi, pada hakekatnya, pembangunan adalah serangkaian usaha dan kebijaksanaan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lahir dan batin melalui peningkatan peranserta masyarakat, peningkatan taraf hidup masyarakat, memperluas lapangan kerja, meratakan pembagian pendapatan masyarakat, meningkatkan hubungan ekonomi regional, mengusahakan pergeseran kegiatan ekonomi dari sektor primer ke sektor sekunder dan tersier. Dengan perkataan lain arah pembangunan ekonomi adalah mengusahakan agar pendapatan masyarakat naik secara mantap, dengan tingkat pemerataan yang sebaik mungkin. Dari berbagai dampak globalisasi perekonomian dunia dan liberalisasi perdagangan seperti yang terjadi pada saat sekarang dan di masa yang akan datang dapat diketahui implikasi ekonomi dan sosial budaya baik yang positif maupun negatif yang ditimbulkannya. Oleh karena itu pemerintah Republik Indonesia perlu menyadari perlunya disusun suatu pola pembangunan nasional yang terdiri dari visi dan arahan-arahan kebijakan yang jelas mengenai sistem perekonomian maupun tatanan sosial budaya nasional sehingga mampu mewujudkan suatu negara sejahtera. Pola pembangunan nasional tersebut nantinya menjadi pedoman dasar bagi tata pembangunan oleh pemerintah. 4. Pemikiran dan Penemuan Kembali Pemerintahan Melihat praktik manajemen dan administrasi publik di Indonesia sampai dengan saat ini masih belum dapat dikatakan baik. Pelayanan pubik seringkali dikritik sebagai tidak memadai, ekonomi yang birokratis, kebocoran anggaran, membudayanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merupakan sebagaian bukti kacaunya manajemen keuangan publik. Buruknya manajemen keuangan publik tersebut juga dialami oleh perusahaanperusahaan milik pemerintah (BUMN dan BUMD). Di sisi lain, sebenarnya Indonesia memiliki kekayaan alam, sosial budaya, serta sumber daya manusia yang sangat potensial, namun tidak dikelola dengan baik sehingga belum dapat menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat. Pemerintah perlu berpikir ulang untuk menentukan konsep pembangunan yang demokratis dan memberi ruang bagi partisipasi publik. Hal ini merupakan upaya pemerintah untuk berpikir strategik, bervisi strategik, dan memiliiki manajemen yang strategik. Hal ini sangat penting untuk dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menciptakan landasan pembangunan di masa sekarang dan yang akan datang. 5. Tata Pemerintahan yang Baik Tata pemerintahan yang baik dapat diartikan sebagai cara mengelola urusan-urusan publik, yakni cara bagaimana kekuasaan pemerintahan digunakan untuk mengelola sumberdaya ekonomi dan sosial untuk membangun masyarakat atau penggunaan kewenangan politis, ekonomis dan administratif untuk mengelola segala urusan masyarakat di semua tingkatan. Hal ini mengimplikasikan pada terwujudnya suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana

investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan kerangka legal dan politis bagi tumbuhnya aktivitas usaha. Karakteristik dari tata pemerintahan yang baik dikemukakan oleh UNDP, antara lain: adanya partisipasi / keterlibatan masyarakat, aturan main / kerangka hukum yang adil, transparansi, orientasi konsensus / kepentingan masyarakat, kesempatan yang sama, efisiensi dan efektifitas, akuntabilitas, dan visi strategis. Struktur pemerintahan yang baik menyatukan semua yang telah dilakukan untuk mendorong pertumbuhan. Berfungsinya secara efektif birokrasi, kerangka kerja regulatif, kebebasan sipil, dan institusi yang transparan dan bertanggungjawab untuk mebnjamin tegaknya hukum dan partisipasi merupakan hal yang sangat penting bagi pertumbuhan dan pembangunan. Penguasaan kebijakan publik, hukum, dan sumberdaya oleh kepentingan elit seringkali memelencengkan insentif serta pembelanjaan publik ke arah aset yang secara sosial kurang produktif dan dengan manafikan manfaat yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakt, megurangi dampak terhadap kesejahteraan. Masyarakat seharusnya di set up untuk dapat menikmati hasil pembangunan dalam bentuk pendapatan yang lebih tinggi atau hasil sosial yang lebih baik, dalam berpindah dari tataran hukum yang rendah atau tingkat korupsi yang tinggi ke arah tataran yang lebih baik secara bertahap. Suatu tatanan masyarakat madani adalah sangat penting untuk mendukung terwujudanya tata pemerintahan yang baik, dimana kebebasan sipil tidak sekedar terkait secara positif dengan fungsi pemerintahan yang baik, berkurangnya korupsi, dan meningkatnya produktivitas investasi publik, melainkan secara langsung juga memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan. Perhatian harus diberikan tidak hanya kepada sisi pemerinthan dan persamaan hak, tetapi juga kepada penguatan hakhak sipil dan memberikan kesempatan lebih besar kepada berbagai kelompok, mempromosikan usaha yang kompetitif, dan melengkapi reformasi kebijakan pemerintah dari atas ke bawah dengan formulasi dari bawah ke atas dan mengimplementasikan strategi pembangunan. 7. Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkaitan dengan perbaikan kualitas hidup masyarakat, memperluas kemampuan mereka untuk membentuk masa depan mereka sendiri. Secara umum, pembengunan menuntut pendapatan per kapita yang lebih tinggi, meskipun sebenarnya sasaran pembangunan mencakup lebih banyak dari sekedar itu. Pembagunan mencakup pendidikan dan kesempatan kerja yang lebih setara, kesetaraan jender yang lebih besar, kesehatan dan nutrisi yang lebih baik, lingkungan alam yang lebih bersih dan lestari, sistem hukum dan pengadilan yang lebih adil, kebebasan politik dan sipil yang lebih luas, kehidupan sosio kultural yang lebih kaya. Dengan kata lain pertumbuhan yang dihasilkan dari suatu proses pembangunan tidak dapat hanya diartikan secara kuantitatif, namun lebih memperhatikan segi kualitatif yang mencakup tingkat kesejahteraan misalnya kesamaan dalam memperoleh peluang, keamanan, pemberdayaan, dan proteksi lingkungan, sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati. Selama ini pertumbuhan ekonomi secara positif diasosiasikan sebagai pengurangan kemiskinan, namun kenyataan di lapangan tidak selalu dapat diartikan demikian. Pengurangan kemiskinan yang berhubungan dengan pertumbuhan sangat variatif, seperti halnya yang terjadi pada kemajuan sosial dan perbaikan kesejahteraan, baik dalam pendidikan, kesehatan, suara atau partisipasi. Di mana pertumbuhan mengalami kemandekan atau penurunan, maka dimensi sosial dan kesejahteraan juga mengalami penurunan. Oleh karena itu untuk mewujudkan dimensi sosial dan kesejahteraan yang mengalami perbaikan secara berkelanjutan, maka selayaknyalah diperhatikan bagaimana cara pertumbuhan itu dihasilkan karena kualitas proses pertumbuhan, dan bukan kecepatannya semata-mata, terbukti mempengaruhi hasil pembangunan. Di samping kecepatan dalam pertumbuhan, kualitas pertumbuhan menunjuk pada aspekaspek kunci yang membentuk prose pertumbuhan itu sendiri seperti distribusi peluang, kelestarian lingkungan, pengelolaan risiko makro, dan pemerintahan.

Aspek-aspek ini memberikan kontribusi langsung terhadap hasil-hasil pembangunan, sekaligus menambah dampak yang diberikan pertumbuhan terhadap hasil-hasil pembangunan, menangani konflik-konflik sebagai akibat pertumbuhan terhadap lingkungan alam dan sosial. Jadi, kualitas pertumbuhan merupakan campuran dari kjebijakan dan institusi yang mebentuk proses pertumbuhan. Seperti diungkapkan pada gambar 1 di atas dan penjelasan-penjelasan sesudahnya, konsepsi pembangunan yang berkelnjutan bisa ditandai dengan meningkatnya investasi baik fisik maupun manusia, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, pembangunan sosial yang setara, terjaganya sumberdaya alam, dan adanya perlindungan terhadap lingkungan dalam jangka panjang. Indikator dari kegiatan-kgiatan di atas adalah terwujudnya tingkat pertumbuhan ekonomi yang memadai, tingkat kemakmuran (secara sosial dan ekonomis) yang lebih terdistribusi secara baik, terkendalinya tingkat inflasi yang menggerogoti pertumbuhan ekonomi, terwajudnya struktur perekonomian yang maju ditandai dengan semakin terberdayanya masyarakat, bagusnya angka / indeks pembangunan manusia (IPM), dan terwujudnya suatu tata pemerintahan yang baik yang bersih dari KKN. 8. Sasaran Pembangunan Ekonomi Sebagaimana dikemukakan bahwa pembangunan ekonomi dan sosial budaya adalah suatu proses dimana pemerintah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah dengan sektor swasta dan masyarakat pada umumnya untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) yang berkelanjutan (sustainable) dan berwawasan lingkungan dalam wilayah tersebut dengan mempertimbangkan dan mengikutsertakan potensi-potensi sosial budaya yang dimiliki . Dari ulasan tersebut jelas bahwa sasaran utama pembangunan ekonomi dan sosial budaya yang berkelanjutan terutama adalah untuk meningktnya taraf hidup masyarakat dalam arti tingkat kesejahteraannya baik secara sosial maupun ekonomis. Meluasnya lapangan kerja dan kesempatan memperoleh peluang yang sama diantara para anggota masyarakat ditandai dengan semakin meratanya distribusi pendapatan yang tercermin dari semakin menurunnya tingkat kemiskinan, meningkatnya hubungan ekonomi regional yang saling membawa sinergisme dan keuntungan berbagai pihak dalam skala regional yang membawa damapak angka pengganda yang positif sehingga mampu menciptakan dan / atau mendorong terjadinya pergeseran positif struktur ekonomi dari yang tradisional-primer ke arah yang lebih tinggi yakni sekunder dan tersier yang lebih mengutamakan supremasi dan kehandalan pengelolaan oleh manusia tanpa mengabaikan kelestarian lingkungan hidup dalam jangka panjang. Kesemua ini dilakukan dalam rangka mewujudkan meningkatnya kesejahteraan sosial yang bisa dirasakan oleh masyarakat dari segala lapisan. Oleh karena itu sasaran pertumbuhan yang akan dicapai didasarkan atas pandangan sisi kuantitatif maupun kualitatif proses pertumbuhan itu sendiri secara serentak dengan mempertimbangkan tiga prinsip kunci, yakni: Berfokus pada keseluruhan aset yang dimiliki, yang meliputi aset fisik, manusia, dan alam termasuk kemajuan teknologis yang menyertai dan / atau mempengaruhi penggunaannya. Aset-aset manusia (sosial budaya) dan alam sangat penting bagi golongan menengah ke bawah, dan akumulasi aset-aset tersebut, kemajuan teknologis terhadapnya, serta produktivitasnya, bersama-sama dengan aset fisik, menentukan dampak jangka panjang terhadap kemiskinan dan karena itu tingkat kesejahteraan masyarakat. Menyelesaikan aspek-aspek distributif sepanjang waktu, dalam arti bahwa suatu distribusi yang lebih setara dalam hal modal manusia, lahan dan aset produktif lainnya mengimplikasikan suatu distribusi peluang memperoleh pendapatan yang lebih merata, memperbesar kapasitas masyarakat untuk memanfaatkan teknologi, dan meningkatkan pendapatan. Menekankan kerangka kerja kelembagaan bagi pemerintahan yang baik, karena struktur kelembagaan yang baik akan dapat menyatukan semua yang telah dilakukan untuk mendorong adanya pertumbuhan yang lebih berkualitas. Berfungsinya secara

efektif birokrasi, kerangka kerja regulatif, kebebasan sipil, dan institusi yang trasparan dan bertanggungjawab untuk menjamin tegaknya hukum dan partisipasi merupakan hal yang sangat penting bagi pertumuhan dan pembangunan Kesemua langkah-langkah tersebut dapat terlaksana jika dimulai dengan adanya political will Yang baik dan kuat yang memulai dengan penemuan jati diri lembaga keperintahan maupun legislatif. Inisiatif harus dimulai dari itu sendiri, dengan menyusun dan menetapkan kebijakan yang efektif dan membangun serta dan membina kemitraan swasta & publik untuk menyertakan dengan semaksimal mungkin partisipasi masyarakat dan menyiasati tekanan-tekanan anggaran di era otonomi.

Daftar Referensi Arsyad, L. (1999). Ekonomi Daerah. Edisi Pertama. BPFE. Yogjakarta. Naisbitt, J. (1995). Megatrends Asia, The Eight Asian Megatrends that are Changing the World. First Publishing. Nicholas Brealy Publishing Ltd. London. Habir, A.D.; Sudjana, B.G. (2003). Keajaiban yang Tak Pernah Terjadi: Menjajagi Kembali Ketidakmerataan dan Pertumbuhan di Indonesia. Makalah Kongres ISEI XV. Tidak Dipublikaskan. Malang. Opposunggu, HMT. (1998). Sumber Krisis Moneter Indonesia. Cetakan Kedua. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta. Sjahrir. (1999). Krisis Ekonomi Menuju Reformasi Total. Edisi Kedua. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. World Bank. (2002). The Quality of Growth. Universitas Indonesia. Jakarta. Prayogi, S. (2000). Laporan Penelitian Manajemen. Tidak dipublikasikan. Malang.