24
1. MATERI DAN METODE 1.1. Alat dan Bahan Alat – alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, hot plate, timbangan analitik, kain saring, kertas pH, dan peralatan gelas seperti pengaduk, beaker glass, gelas ukur, termometer. Bahan – bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, HCl 0,75 N; 1 N; dan 1,25 N, NaOH 40%, 50%, dan 60%. 1.2. Metode Demineralisasi HCl ditambahkan ke dalam 10gr limbah udang dengan perbandingan 10:1. Kelompok A1 dan A2 menggunakan HCl Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air panas 2 kali, dan Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.

kitin kitosan_ReginaTania_13.70.0071_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kitin kitosan dari limbah udang

Citation preview

Page 1: kitin kitosan_ReginaTania_13.70.0071_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1. MATERI DAN METODE

1.1. Alat dan Bahan

Alat – alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, hot plate,

timbangan analitik, kain saring, kertas pH, dan peralatan gelas seperti pengaduk, beaker

glass, gelas ukur, termometer. Bahan – bahan yang digunakan dalam praktikum ini

adalah limbah udang, HCl 0,75 N; 1 N; dan 1,25 N, NaOH 40%, 50%, dan 60%.

1.2. Metode

Demineralisasi

HCl ditambahkan ke dalam 10gr limbah udang dengan perbandingan 10:1. Kelompok A1 dan A2 menggunakan HCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N.

Dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam dan secara kontinu dilakukan pengadukan.

Dicuci sampai pH netral dan ditimbang.

Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.

Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.

Page 2: kitin kitosan_ReginaTania_13.70.0071_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Deproteinasi

Dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam.

Hasil demineralisasi ditimbang dan dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1.

Dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

Kemudian disaring dan didinginkan

Lalu dicuci sampai pH netral.

Page 3: kitin kitosan_ReginaTania_13.70.0071_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Deasetilasi

Ditimbang dan kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Chitin yang didapat ditimbang kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2, NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan NaOH 60% untuk kelompok A5.

Dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam

Dicuci sampai pH netral dan ditimbang.

Dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam dan ditimbang.

Page 4: kitin kitosan_ReginaTania_13.70.0071_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kitin dan Kitosan

Kelompok PerlakuanRendemen

Kitin I (%)

Rendemen

Kitin II (%)

Rendemen

Kitosan (%)

C1HCl 0,75N + NaOH 40% +

NaOH 3,5%23,45 30,00 27,43

C2HCl 0,75N + NaOH 40% +

NaOH 3,5%37,82 44,00 27,38

C3HCl 1N + NaOH 50% +

NaOH 3,5%41,67 54,55 32,16

C4HCl 1N + NaOH 50% +

NaOH 3,5%40,00 58,30 24,30

C5HCl 1,25N + NaOH 60% +

NaOH 3,5%21,19 40,32 11,25

Berdasarkan Tabel 1 hasil pengamatan Chitin dan Chitosan di atas, dapat diketahui

bahwa hasil dari rendemen kitin I paling banyak didapatkan oleh kelompok C3 dengan

perlakuan HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 50% yaitu sebanyak 41,67% dan yang

paling sedikit didapatkan oleh kelompok C5 dengan perlakuan HCl 1,25 N + NaOH

3,5% + NaOH 60% yaitu sebanyak 21,19%. Sedangkan hasil rendemen kitin II paling

banyak didapatkan oleh kelompok C4 dengan perlakuan HCl 1 N +NaOH 3,5% +

NaOH 50% yaitu sebanyak 58,3% dan paling sedikit didapatkan oleh kelompok C1

dengan perlakuan HCl 0,75% + NaOH 3,5% + NaOH 40% yaitu sebanyak 30%.

Rendemen kitosan terbanyak dihasilkan oleh kelompok C2 dengan perlakuan HCl 0,75

N + NaOH 3,5% + NaOH 40% yaitu sebanyak 37,38% dan tersedikit dihasilkan oleh

kelompok C5 dengan perlakuan HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 60% yaitu

sebanyak 11,25%.

Page 5: kitin kitosan_ReginaTania_13.70.0071_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3. PEMBAHASAN

Limbah udang merupakan bagian yang terbuang dari limbah industri pengolahan udang

beku (Manjang, 1993). Kitin dan kitosan mempunyai manfaat sebagai bahan dasar

dalam berbagai pertanian, obat-obatan, kosmetik, tekstil,mikrobiologi dan biokimia.

(Moeljanto, 1992). Kitin mempunyai sifat mudah mengalami degradasi secara biologis,

tidak beracun, tidak larut pada pH netral seperti air dan asam anorganik encer dan asam-

asam organik, larut dalam larutan dimetil asetamida dan litium klorida (Ornum, 1992).

Kitin memiliki panas spesifik yaitu sebesar 0,373 kal/g/°C, mempunyai warna putih,

serta dapat terurai melalui proses biologis (biodegradable) oleh mikroba penghasil

enzim lisozim dan kitinase (Peter, 1995).

Sedangkan kitosan memiliki sifat tidak beracun, tidak larut air (dapat larut air dengan

substitusi, dapat didegradasi, bioaktif, hidrofilik, biokompatibel, pengkelat, antibakteri

dan memiliki nilai afinitas yang besar terhadap enzim (Dunn et al., 1997). Kofuji et al.,

(2005) berpendapat bahwa kitosan adalah produk awal dari proses deasetilasi kitin yang

mempunyai sifat unik sehingga dapat digunakan dalam berbagai keperluan. Kitosan

mudah larut dalam asam organik seperti asam formiat, asam asetat, dan asam sitrat.

Kitosan tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan HNO 3, dan

H3PO4, dan tidak larut dalam H2SO4. Kelarutan berhubungan erat dengan derajat

deasetilasi. Deasetilasi akan memotong gugus asetil pada kitin, yang akan menyisakan

gugus amina. Adanya H pada amina ini akan memudahkan interaksi dengan air melalui

ikatan hidrogen (Dunn et al., 1997).

Pada praktikum kloter C ini, pembuatan Chitin dan Chitosan dilakukan dalam 3 tahap

yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Pertama-tama yaitu tahap

demineralisasi, limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci

dengan air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali. Demineralisasi merupakan suatu

proses atau tahap untuk menghilangkan garam-garam inorganik atau kandungan mineral

pada kitin, terutama kalsium karbonat (CaCO3). Hal ini dilakukan karena pada kulit

udang terdapat kandungan kitin, protein dan mineral dalam jumlah yang cukup tinggi

(Suhartono, 1989). Setelah itu, limbah udang dihancurkan hingga menjadi serbuk dan

Page 6: kitin kitosan_ReginaTania_13.70.0071_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

diayak dengan ayakan 40-60 mesh. Kemudian, diambil sebanyak 10 gr dan

ditambahkan HCl dengan perbandingan 10:1. Kelompok A1 dan A2 menggunakan HCl

0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N. Dengan perlakuan penambahan HCl,

kandungan mineral yang ada pada limbah kulit udang dapat dikurangi. Hal ini

disebabkan komponen mineral yang ada menjadi larut (Bastaman, 1989).

Selanjutnya, dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan

secara kontinyu. Lalu, dicuci sampai pH netral dan dicek dengan kertas pH. Kemudian,

ditimbang dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam. dilakukan untuk

mempercepat proses perusakan mineral seperti kalsium karbonat dan kalsium fosfat

yang terdapat dalam cangkang kulit udang (Puspawati & Simpen, 2010). Pemanasan

pada suhu tinggi akan mengakibatkan mineral semakin mudah terpisah. Sedangkan

tujuan pengadukan selama pemanasan adalah untuk meratakan pemanasan dan

menghindarkan terjadinya peluapan gelembung-gelembung udara yang dihasilkan dari

pemisahan mineral. Gelembung udara tersebut merupakan gas CO2 (Laila & Hendri,

2008).

Kemudian masuk ke tahap deproteinasi dimana hasil demineralisasi ditimbang dan

dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1. Menurut Suharto (1984),

penambahan NaOH efektif digunakan dalam proses deproteinasi dan penambahan

NaOH akan memperbesar volume partikel substrat. Lalu, dipanaskan dan diaduk pada

suhu 90oC selama 1 jam dan disaring serta didinginkan. Pemanasan dan pengadukan

bertujuan untuk mengkonsentrasikan NaOH sehingga akan didapatkan hasil yang lebih

optimal (Ramadhan et al., 2010). Selain itu, pemanasan dilakukan untuk

mendenaturasikan protein agar protein lebih mudah dipisahkan. Tujuan pengadukan

selama pemanasan yaitu untuk meratakan pemanasan dan menghindarkan terjadinya

peluapan gelembung-gelembung udara yang dihasilkan dari pemisahan mineral.

Gelembung udara tersebut adalah gas CO2 (Laila & Hendri, 2008). Setelah itu, dicuci

sampai pH netral dan dicek dengan kertas pH. Kemudian ditimbang dan dikeringkan

pada suhu 80oC selama 24 jam.

Page 7: kitin kitosan_ReginaTania_13.70.0071_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Tahap selanjutnya adalah deasetilasi dimana chitin yang didapat ditimbang kemudian

ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2, NaOH 50% untuk kelompok A3

dan A4, dan NaOH 60% untuk kelompok A5. Menurut teori Ramadhan et al (2010),

larutan alkali dengan konsentrasi tinggi mampu memutuskan ikatan antara gugus

karboksil dengan atom nitrogen. Penggunaan konsentrasi NaOH yang berbeda-beda

bertujuan untuk melihat perlakuan mana yang lebih baik yang menghasilkan rendemen

kitosan yang tinggi. Angka dan Suhartono (2000) menyatakan bahwa penggunaan

konsentrasi NaOH lebih besar daripada 40% mempunyai kemampuan untuk dapat

memutuskan ikatan antara gugus karboksil dengan atom nitrogen dari kitin yang

mempunyai struktur kristal tebal dan panjang. Semakin tinggi konsentrasi yang

diberikan maka proses deasetilasi dapat berjalan sempurna karena gugus fungsional

amino (-NH3+) mensubstitusi gugus asetil kitin di dalam sistem larutan.

Setelah itu, dipanaskan dan diaduk pada suhu 90oC selama 1 jam dan dicuci sampai pH

netral serta dicek dengan menggunakan kertas pH. Pengadukan dilakukan untuk

meratakan pemanasan dari derajat deasetilasi kitosan karena derajat deasetilasi semakin

meningkat pada suhu tinggi yang menyebabkan larutan menjadi bersifat basa (Reece et

al., 2003). Lalu, ditimbang dan dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam. Kemudian

ditimbang berat keringnya dan didapat chitosan. Tujuan pengeringan adalah untuk

menguapkan air sehingga menghasilkan produk kitosan kering (Rogers, 1986).

Berdasarkan hasil pengamatan Chitin dan Chitosan, dapat diketahui bahwa hasil dari

rendemen kitin I paling banyak didapatkan oleh kelompok C3 dengan perlakuan HCl 1

N + NaOH 3,5% + NaOH 50% yaitu sebanyak 41,67% dan yang paling sedikit

didapatkan oleh kelompok C5 dengan perlakuan HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH

60% yaitu sebanyak 21,19%. Hal ini sesuai dengan teori Hargono et al. (2008) yaitu

dalam cangkang udang terdapat kandungan senyawa kitin sekitar 20-30%. Menurut

Laila & Hendri (2008), apabila konsentrasi HCl yang ditambahkan semakin besar maka

rendemen kitin yang dihasilkan semakin besar. Pada kelompok C5 hal ini tidak sesuai,

disebabkan karena adanya senyawa-senyawa mineral dalam serbuk udang yang semakin

mudah dilepaskan karena kitin terdegradasi akibat konsentrasi asam yang terlalu tinggi

Page 8: kitin kitosan_ReginaTania_13.70.0071_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

dan waktu perendaman yang lama (Knorr, 1984). Selain itu, menurut Ramadhan et al.

(2010), pelarut yang baik digunakan untuk proses demineralisasi adalah HCl 1N.

Sedangkan hasil rendemen kitin II paling banyak didapatkan oleh kelompok C4 dengan

perlakuan HCl 1 N +NaOH 3,5% + NaOH 50% yaitu sebanyak 58,3% dan paling

sedikit didapatkan oleh kelompok C1 dengan perlakuan HCl 0,75% + NaOH 3,5% +

NaOH 40% yaitu sebanyak 30%. Menurut Fennema (1985), kelarutan protein dan

mineral pada suasana basa (NaOH) lebih besar dibandingkan ketika berada pada

suasana asam karena NaOH mempunyai aksi hidrolisis yang lebih tinggi. Maka dengan

penambahan NaOH dengan konsentrasi yang semakin tinggi akan diperoleh rendemen

kitin yang semakin rendah. Rendemen kitosan terbanyak dihasilkan oleh kelompok C2

dengan perlakuan HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40% yaitu sebanyak 37,38% dan

tersedikit dihasilkan oleh kelompok C5 dengan perlakuan HCl 1,25 N + NaOH 3,5% +

NaOH 60% yaitu sebanyak 11,25%. Hal ini sesuai dengan teori Hong et al. (1989)

yaitu dimana penggunaan NaOH yang semakin tinggi akan menghasilkan rendemen

kitosan dengan nilai yang semakin rendah.

Menurut Krishnaveni et al (2015), kitin dan kitosan memiliki aktivitas yang beragam,

baik biologi, kimia, dan juga medis. Kitin dan kitosan dapat diperoleh dari F. solani

yang memiliki banyak fungsi, salah satunya antibakterial alami. Dalam jurnal ini, sesuai

dengan teori dari Franco et al (2004), ekstraksi dari kitin dan kitosan dilakukan dengan

menggunakan alkali untuk memisahkan, diikuti dengan metode sentrifugasi. Kemudian,

pengendapan kitosan yang memiliki pH 9 diatur menggunakan larutan NaOH. Setelah

itu, kitin dan kitosan dicuci menggunakan air distilasi, etanol dan aseton. Dalam

praktikum kurang lebih sudah melakukan prinsip yang dikatakan dalam teori di atas.

Menurut M. S. Hossain dan A. Iqbal, kualitas dari kitosan bergantung dari proses

ekstraksi kimia yang dilakukan. Dalam percobaannya, kondisi yang paling optimum

adalah HCl 3% dan NaOH 4%, dengan suhu ruang 28°C ± 2°C. Hossain & Iqbal

(2015), mendapatkan hasil kitosan sebesar 45% dari limbah udang, di mana hasil yang

mereka dapat masih dalam rentang 45%-55% (Lertsutthiwong et al, 2002). Dalam

penelitian dari M. Khorrami et al (2012), dalam membuat kitosan dapat menggunakan

Page 9: kitin kitosan_ReginaTania_13.70.0071_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Lactobacillus plantarum yang berfungsi sebagai mikroba yang melakukan deproteinasi

dan demineralisasi. Kemudian, dalam penelitian dari Islem Younes dan Marguerite

Rinaudo (2015), dikatakan bahwa struktur dari kitin serta kitosan berbeda-beda,

tergantung dari cara memprosesnya. Perbedaan dari struktur tersebut dapat diketahui

menggunakan infrared. Kemudian, menurut Bartnicki-Garcia (1988), kejernihan dari

kitin dan kitosan bergantung pada ikatan hidrogen antara gugus hidroksil dan N-asetil.

Page 10: kitin kitosan_ReginaTania_13.70.0071_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4. KESIMPULAN

Limbah udang merupakan bagian yang terbuang dari limbah industri pengolahan

udang beku.

Kitin dan kitosan mempunyai manfaat sebagai bahan dasar dalam berbagai

pertanian, obat-obatan, kosmetik, tekstil,mikrobiologi dan biokimia.

Kitosan adalah produk awal dari proses deasetilasi kitin.

Pembuatan Chitin dan Chitosan dilakukan dalam 3 tahap yaitu demineralisasi,

deproteinasi, dan deasetilasi.

Demineralisasi merupakan suatu proses atau tahap untuk menghilangkan garam-

garam inorganik atau kandungan mineral pada kitin, terutama kalsium karbonat

(CaCO3).

Dengan perlakuan penambahan HCl, kandungan mineral yang ada pada limbah

kulit udang dapat dikurangi karenakomponen mineral yang ada menjadi larut.

Penambahan NaOH efektif digunakan dalam proses deproteinasi dan penambahan

NaOH akan memperbesar volume partikel substrat.

Semakin tinggi konsentrasi yang diberikan maka proses deasetilasi dapat berjalan

sempurna karena gugus fungsional amino (-NH3+) mensubstitusi gugus asetil kitin

di dalam sistem larutan.

Dalam cangkang udang terdapat kandungan senyawa kitin sekitar 20-30%.

Apabila konsentrasi HCl yang ditambahkan semakin besar maka rendemen kitin

yang dihasilkan semakin besar.

Pelarut yang baik digunakan untuk proses demineralisasi adalah HCl 1N.

Kelarutan protein dan mineral pada suasana basa (NaOH) lebih besar dibandingkan

ketika berada pada suasana asam karena NaOH mempunyai aksi hidrolisis yang

lebih tinggi.

Penggunaan NaOH yang semakin tinggi akan menghasilkan rendemen kitosan

dengan nilai yang semakin rendah.

Page 11: kitin kitosan_ReginaTania_13.70.0071_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Semarang, 22 Oktober 2015 Asisten Dosen

Praktikan,

Regina Tania T.H. Tjan, Ivana Chandra

13.70.0071

C5

Page 12: kitin kitosan_ReginaTania_13.70.0071_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5. DAFTAR PUSTAKA

Angka, S.L. dan Suhartono, M. T. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. PKSPL-IPB. AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.

Bartnicki-Garcia, S., 1988. The Biochemical Cytology of Chitin and Chitosan Synthesis in Fungi. In: Skjå-Bræk, G., T. Amthonsen and P. Sandford (Eds.), Chitin and Chitosan. Elsevier Science, London, pp: 23-35.

Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan From Prawn shell (Nephropsnorregicus). Thesis. The Departement of Mechanical,Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen’s University.Belfast. 143 p.

Dunn, ET., EW. Grandmaison dan MFA. Goosen. (1997). Applications and properties of chitosan. Di dalam MFA. Goosen (ed). Applications of Chitin and Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.

Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry. Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New York.

Franco, Luciana de Oliveira., Maia, Rita de Cássia Gomes., Porto., Ana Lúcia F., Messias, Arminda Sacconi., Fukushima, Kazutaka., Campos Takaki, Galba Maria. Heavy metal biosorption by chitin and chitosan isolated from Cunninghamella elegans (IFM 46109). Brazilian Journal of Microbiology. 2004. 35, 243-247.

Hargono; Abdullah & Indro Sumantri. (2008). Pembuatan Kitosan Dari Limbah Cangkang Udang Serta Aplikasinya Dalam Mereduksi Kolesterol Lemak Kambing. Reaktor, Vol. 12 No. 1, Juni 2008, Hal. 53-57. Fakultas Teknik UNDIP. Semarang.

Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.

Knorr, D. (1984). Use ofChitinous Polymer in Food. Food Technology 39 (1) : 85

Kofuji K, Qian CJ, Murata Y, Kawashima S. (2005). Preparation of chitosan microparticles by water-in-vegetable oil emulsion coalescence technique. Journal of Reactive and Functional Polymers 65: 77-83.

Krishnaveni, B and R. Ragunathan. 2015. Extraction and Characterization of Chitin and Chitosan from F.solani CBNR BKRR, Synthesis of their Bionanocomposites and Study of their Productive Application. Journal of Pharmaceutical Sciences and Research.

Laila, A & Hendri, J. (2008). Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase

Page 13: kitin kitosan_ReginaTania_13.70.0071_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Lertsutthiwong, P., How, N.C., Chandrkrachang, S. and Stevens, W.F. 2002. Effect of Chemical Treatment on the Characteristics of Shrimp Chitosan. Journal of Metals, Materials and Minerals. 12(1):11-18

M. Khorrami et al. 2012. Production of Chitin and Chitosan from Shrimp Shell in Batch Culture in Lactobacillus plantarum, Chem. Biochem. Eng. Q. 26 (3) 217–223 (2012)

M. S. Hossain and A. Iqbal. 2015. Production and characterization of chitosan from shrimp waste. Department of Food Technology & Rural Industries, Bangladesh Agricultural University, Mymensingh-2202,Bangladesh

Manjang, Y. (1993). Analisa Ekstrak Berbagai Jenis Kulit Udang Terhadap Mutu Kitosan, Jurnal Penelitian Andalas. 12 (V) : 138 –143.

Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Ornum JV. (1992). Shrimp waste must it be wasted? Infofish (6)92.

Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan. Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.

Puspawati, N. M dan I N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Khitosan melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Volume 4. Halaman 70 – 90. 

Ramadhan, L. O. A. N.; C. L. Radiman; D. Wahyuningrum; V. Suendo; L. O. Ahmad; dan S.Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa Molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia Vol. 5 (1), 2010, 4. 17-21.

Reece, C., dan Mitchell. (2003). Biologi, Edisi kelima-jilid 2. Penerbit Erlangga. Jakarta

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company.

Suharto, B. (1984). Pengaruh Perlakuan 1,5 % NaOH dan Pengukusan Terhadap Nilai Gizi Bahan Pakan Berserat Kasar Tinggi. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Suhartono MT. (1989). Enzim dan bioteknologi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi.IPB.

Younes & Rinaudo. 2015. Chitin and Chitosan Preparation from Marine Sources. Structure, Properties and Applications. Journal of Marine Drugs.

Page 14: kitin kitosan_ReginaTania_13.70.0071_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus :

Rendemen Chitin I = beratkeringberatbasahI

×100 %

Rendemen Chitin II = berat kitin

berat basah II×100 %

Rendemen Chitosan = berat kitosan

berat basah III×100 %

Kelompok C1

Rendemen Chitin I = 3,5

14,5×100 %

= 23,45 %

Rendemen Chitin II = 1,55,0

×100 %

= 30,00 %

Rendemen Chitosan = 0,963,5

× 100 %

= 27,43 %

Kelompok C2

Rendemen Chitin I = 4,5

11,9× 100 %

= 37,82 %

Rendemen Chitin II = 2,25

×100 %

= 44 %

Rendemen Chitosan = 1,574,2

× 100 %

= 27,38 %

Kelompok C3

Page 15: kitin kitosan_ReginaTania_13.70.0071_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Rendemen Chitin I = 4,5

10,8×100 %

= 41,67 %

Rendemen Chitin II = 3

5,5×100 %

= 54,55 %

Rendemen Chitosan = 1,193,7

×100 %

= 32,16 %

Kelompok C4

Rendemen Chitin I = 4

10×100 %

=40,00 %

Rendemen Chitin II = 3,56

×100 %

= 58,3 %

Rendemen Chitosan = 1,415,8

×100 %

= 24,30 %

Kelompok C5

Rendemen Chitin I = 2,511,8

× 100 %

= 21,19 %

Rendemen Chitin II = 2,56,2

×100 %

= 40,32 %

Rendemen Chitosan = 0,181,6

× 100 %

= 11,25 %

Page 16: kitin kitosan_ReginaTania_13.70.0071_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6.2. Laporan Sementara

Page 17: kitin kitosan_ReginaTania_13.70.0071_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6.3. Diagram Alir

Page 18: kitin kitosan_ReginaTania_13.70.0071_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6.4. Abstrak Jurnal