Upload
nanieidris
View
149
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kelainan mata yang diakibatkan oleh infeksi virus herpes simpleks meliputi
bleparitis, konjungtivitis, keratitis, uveitis, dan glaukoma sekunder. Keratitis herpes
simpleks merupakan radang kornea yang disebabkan oleh infeksi virus Herpes
simpleks tipe 1 maupun tipe 2. Di negara-negara barat 90% dari populasi orang
dewasa dilaporkan memiliki antibodi terhadap herpes simpleks. Namun demikian,
hanya kurang dari 1% yang menimbulkan kelainan pada mata. Sebagian besar bersifat
sub-klinis dan tidak terdiagnosis. Frekuensi keratitis herpes simpleks di
AmerikaSerikat sebesar 5% di antara seluruh kasus kelainan mata. Di Negara- negara
berkembang insidensi keratitis herpes simpleks berkisar antara 5,9-20,7 per 100.000
orang tiap tahunnya. Di Tanzania 35-60% ulkus kornea disebabkan oleh keratitis
herpes simpleks.
B. Tujuan Penulisan
Penulisan referat ini ditujukan untuk mengetahui gejala, tanda, komplikasi,
penatalaksanaan keratitis herpes simpleks
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1 KERATITIS HERPES SIMPLEKS
A. Definisi
Keratitis herpes simpleks merupakan peradangan pada kornea yang
disebabkan oleh infeksi virus herpes simpleks tipe I maupun tipe II. Herpes Simpleks
Virus (HSV) merupakan virus DNA rantai ganda yang termasuk ke dalam famili
herpesviridae. Mengandung 3 komponen pembentuk utama. Bagian inti yang
mengandung DNA virus, membran sel dan casid. Tegument terletak di antara kapsid
dan selubung serta berbagai protein yang dikirim ke dalam sel yang terinfeksi selama
fusi.
Gambar struktur HSV
B. Patologi
HSV adalah virus DNA yang umumnya menyerang manusia. Infeksi terjadi
oleh kontak langsung kulit atau membran mukosa dengan lesi virus-laden atau
sekresinya. HSV yang menyerang manusia terdiri dari dua tipe yaitu HSV tipe 1 dan
tipe 2. HSV tipe 1 (HSV-1) infeksinya terutama pada daerah orofasial dan ocular,
sementara HSV tipe 2 (HSV-2) umumnya ditularkan melalui hubungan seksual dan
menyebabkan penyakit genitalia. HSV-2 jarang namun dapat menginfeksi mata
melalui kontak orofasial dengan lesi genitalia dan secara tidak sengaja ditularkan
kepada neonatus ketika neonatus lahir secara normal pada ibu yang teinfeksi HSV-2.
Keratitis herpetika yang disebabkan oleh herpes simpleks dibagi dalam 2
bentuk yaitu epitelial dan stromal. Perbedaan ini perlu dipahami karena mekanisme
kerusakannya yang berbeda.
Pada yang epitelial kerusakan terjadi akibat pembelahan virus di dalam sel
epitel, yang akan mengakibatkan kerusakan sel dan membentuk ulkus kornea
superfisial. Sedangkan pada yang stroma diakibatkan reaksi imunologik tubuh pasien
sendiri terhadap virus yang menyerang. Karena kornea merupakan bangunan yang
avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak bereaksi dengan cepat,
seperti jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Sehingga badan kornea,
wandering cells dan sel-sel lainnya yang terdapat di dalam stroma kornea akan segera
bekerja sebagai makrofag yang kemudian akan disusul dengan terjadinya dilatasi dari
pembuluh darah yang terdapat di limbus dan akan tampak sebagai injeksi perikornea.
Kemudian akan terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuklear, sel plasma dan sel
polimorfonuklear yang akan mengakibatkan timbulnya infiltrat yang selanjutnya
dapat berkembang dengan terjadinya kerusakan epitel dan timbulla ulkus (tukak)
kornea.
Pada peradangan yang dalam, penyembuhan berakhir dengan pembentukan
jaringan parut (sikatrik), yang dapat berupa nebula, makula, dan leukoma. Nebula bila
ulkus tidak terlalu dalam dan tampak sebagai bercak seperti awan, yang hanya dapat
dilihat di kamar gelap dengan cahaya buatan. Makula, terjadi bila ulkus lebih dalam
dan tampak sebagai bercak putih yang tampak di kamar biasa. Leukoma, didapat bila
ulkus lebih dalam lagi dan tampak sebagai bercak putih seperti porselen, yang sudah
tampak dari jarak jauh.
C. Manifestasi Klinis
Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan
kambuhan. lnfeksi primer ditandai oleh adanya de- mam, malaise, limfadenopati
preaurikuler, konjungtivitis folikutans, bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis
epitelial. Kira-kira 94-99% kasus bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau lebih
dapat terjadi bilateral khususnya pada pasien-pasien atopik. Infeksi primer dapat
terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya antara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25
tahun. Keratitis herpes simpleks didominir oleh kelompok laki-laki pada umur 40
tahun ke atas.
Gejala-gejala subyektif keratitis epitelial meliputi: nrocos, fotofobia, injeksi
perikornea, dan penglihatan kabur. Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak
sebanding dengan luasnya lesi epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas
kornea. Dalam hal ini harus diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai
hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster oftalmikus, keratitis akibat pemaparan
dan mata kering, pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik.
Gejala spesifik pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak adanya fotofobia.
Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi primer.Dengan
mekanisnie yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik atau
ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion n. trigeminus,
dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan virus. Namun akhir-akhir ini
dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan sebagai tempat berlindung virus
herpes simpleks.
Beberapa kondisi yang berperan terjadinya infeksi kambuhan antara lain:
demam, infeksi saluran nafas bagian atas, stres emosional, pemaparan sinar matahari
atau angin, haid, renjatan anafilaksis, dan kondisi imunosupresi. Keratitis herpes
simpleks kambuhan atau lazim disebut keratitis herpes simpleks dibedakan atas
bentuk superfisial, profunda, dan bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis.
Keratitis superfisial dapat berupa pungtata, dendritik, dan geo- grafik. Keratitis
dendritika merupakan proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang diakibatkan okh
perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulkañ kematian set serta membentuk
defek dengan gambaran bercabang. Keratitis dendritika dapat berkembang menjadi
keratitis geografika, hat ini terjadi akibat bentukan ulkus bercabang yang melebar dan
bentuknya menjadi ovoid. Dengan demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta
geografi dengan kaki cabang mengelilingi ulkus. Keratitis herpes simpleks bentuk
dendrit harus dibedakan dengan keratitis herpes zoster, pada herpes zoster bukan suatu
ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel yang dikelilingi mucus plaques; selain itu,
bentuk dendriform lebih kecil. Keratitis epitelial dapat berkembang menjadi ulkus
metaherpetik, dalam hat ini terjadi perobekan membrana basalis. Ulkus metaherpetik
bersifat steril, deepitelisasi meluas sampai stroma. Ulkus ini berbentuk bulat atau
lonjong dengan ukuran beberapa mm dan bersifat tunggal. Pada kasus ini dapat
dijumpai adanya edema stroma yang berat disertai lipatan membrana Descemet.
Reaksi iritasi konjungtiva bersifat ringan akibat adanya hipestesia. Reflek lakrimasi
berkurang, sehingga produksi tear film menjadi relatiftidak cukup. Ulkus
metaherpetik dapat menetap dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan. Untuk
penyembuhannya memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 minggu.
Terdapat dua bentuk keratitis stroma, yaitu keratitis disciform dan keratitis
interstitial. Keratitis disciform dihipotesiskan sebagai reaksi hipersensitivitas tipe
lambat, sedang keratitis interstitialis terjadi akibat reaksi hipersensitivitas imun
komp1ek. Karakteristik keratitis disciform berupa edema stroma berbentuk lonjong
atau gambaran meilingkar seperti cakram dengan ukuran diameter 57 mm, biasanya
disertai infiltrat ringan. Edema dapat terbatas pada bagian depan stroma, tetapi dapat
juga meluas ke seluruh tebal stroma. Keratic precipitates biasanya dijumpai
menempel di endotel kornea belakang daerah edema. Keluhan penderita antara lain:
penglihatan kabur, nrocos, rasa tidak enak, dan fotofobia terjadi bila disertai ada- nya
iritis. Pada kasus yang ringan, tanpa disertai nekrosis dan neovaskularisasi
penyembuhan dapat terjadi dalam beberapa bulan tanpa meninggalkan sikatriks. Pada
kasus yang berat, penyembuhan memerlukan waktu sampai 1 tahun atau lebih, bahkan
sering terjadi penyullt berupa penipisan kornea maupun perforasi. Keratitis disciform
dapat pula terjadi akibat infeksi herpes zoster, varisela, campak, keratitis karena bahan
kimia, dan trauma tumpul yang mengenai kornea. Pada keratitis disciform dapat
diisolir virus herpes simpleks dan cairan akuos.
Keratitis instertitialis memiliki bentuk bervariasi, lesi dapat tunggal maupun
beberapa tempat. Gambaran klinisnya bahkan dapat mirip keratitis bakteri maupun
jamur. Infiltrat tampak mengelilingi daerah stroma yang edema, dan dijumpai adanya
neovaskularisasi. Kadang-kadang dijumpai adanya infiltrat marginal atau lebih
dikenal sebagai Wessely ring, diduga sebagai infiltrat polimorfonuklear disertai reaksi
antigen antibodi virus herpes simpleks. Beberapapenyulit keratitis stroma antara lain:
kornea luluh, descemetocele, penipisan kornea, superinfeksi, dan perforasi. Terjadinya
kornea luluh disebabkan oleh mekanisme aktif enzim kolagenase, nekrosis, replikasi
virus, dan efek steroid. Enzim ko-lagenase dilepaskan oleh sd epitel rusak, sel
polimorfonuklear, dan fibroblas selama reaksi radang.
D. Klasifikasi
Hogan dkk. (1964) membuat kiasifikasi diagnosis keratitis herpes simpleks
sebagai berikut:
1. Superfisial, dibedakan atas bentuk dendritika, dendritika dan stroma, geografika.
2. Profunda, dibedakan atas stroma dan disciform, stroma dan penyembuhan, stroma
dan ulserasi.
3. Uveitis, dibedakan atas kerato uveitis dan uveitis; dalam hal keratouveitisdibedakan
atas bentukulserasi dan non ulserasi.
Klasifikasi tersebut ternyata kurang sempurna, karena bentuk keratitis
pungtata yang merupakan awal keratitis dendnitik tidak dimasukkan. Selain itu, pada
beberapa kasus yang berat ternyata dijumpai glaukoma sekunder yang diakibatkan
oleh radang jaringan trabekulum. Untuk membuat diagnosis, seka- rang ini dianut
kiasifikasi yang dibuat oleh Pavan-Langston (1983) sebagai berikut :
1. Ulserasi epitelial, dibedakan atas bentuk pungtata, dendritika, dendrogeografika,
geografika.
2. Ulserasi trophik atau meta herpetika.
3. Stroma, dibedakan atas bentuk keratitis disciform, keratitis interstitialis.
4. Uveitis anterior dan trabekulitis.
Klasifikasi menurut Pavan-Langston inipun belum sempurna, mengingat sangatjarang
ditemukan kasus uveitis anterior maupun trabekulitis yang berdiri sendini tanpa
melibatkan adanya keratitis.
E. Diagnosis
Pemeriksaan pada Kornea
1. Uji Fluoresein
Uji untuk melihat adanya defek pada epitel kornea. Caranya kertas fluoresein
dibasahi terlebih dahulu dengan garam fisiologis kemudian diletakkan pada saccus
konjungtiva inferior setelah terlebih dahulu penderita diberi anestesi lokal.
Penderita diminta menutup matanya selama 20 detik, kemudian kertas diangkat.
Defek kornea akan terlihat berwarna hijau sebagai uji fluoresein positif.
2. Uji Fistel
Uji untuk mengetahui letak dan adanya kebocoran kornea. Pada konjungtiva
inferior ditaruh kertas fluoresein. Bila terdapat fistel kornea akan terlihat
pengaliran cairan mata berwarna hijau.
3. Uji Placido
Untuk melihat kelengkungan kornea. Caranya dengan memakai papan plasido
yaitu papan dengan gambaran lingkaran konsentris putih hitam yang menghadap
pada sumber cahaya, sedang pasien berdiri membelakangi sumber cahaya. Melalui
lubang di tengah dilihat gambaran bayangan plasido pada kornea. Normal
bayangan plasido pada kornea berupa lingkaran konsentris.
4. Uji Sensibilitas Kornea
Uji untuk menilai fungsi saraf trigeminus kornea. Caranya dengan meminta
penderita melihat jauh ke depan, kemudian dirangsang dengan kapas basah dari
bagian lateral kornea. Bila terdapat refleks mengedip, rasa sakit atau mata berair
berarti fungsi saraf trigeminus dan fasial baik.
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis keratitis herpes simpleks kadang-kadang sulit dibedakan dengan
kelainan kornea yang lain. Dalam hal ini pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan
untuk membedakan dengan keratitis lain, misalnya keratitis bakteri, jamur, dan trauma
kimia. Virus herpes dapat ditemukan pada vesikel dan dapat dibiakkan. Pada keadaan
tidak terdapat lesi dapat diperiksa antibodi HSV. Pemeriksaan penunjang yang
dilakukan pada pusat-pusat penelitian adalah :
1. Mikroskop cahaya : sampel berasal dari sel-sel di dasar lesi, atau apusan pada
permukaan mukosa, atau dari biopsi, mungkin ditemukan intranuklear inklusi
(Lipshutz inclusion bodies). Sel-sel yang terinfeksi dapat menunjukkan sel yang
membesar menyerupai balon (balloning) dan ditemukan fusi.
2. Kultur virus dari cairan vesikel pada lesi (+) untuk HSV adalah cara yang paling
baik karena paling sensitif dan spesifik dibanding dengan cara-cara lain. HSV
dapat berkembang dalam 2-3 hari. Jika tes ini (+), hampir 100% akurat, khususnya
jika cairan virus dalam sel ditunjukkan dengan terjadinya granulasi sitoplasmik,
degenerasi balon dan sel raksasa berinti banyak. Sejak virus sulit untuk
berkembang, hasil tesnya sering (-). Namun cara ini memiliki kekurangan karena
waktu pemeriksaan yang lama dan biaya yang mahal.
3. Mikroskop elektron : mikroskop elektron tidak sensitif mendeteksi HSV, kecuali
pada kasus dengan cairan pada vesikel mengandung 108 atau lebih partikel per
millimeter.
4. Pemeriksaan antigen langsung : sel-sel dari spesimen dimasukkan dalam aseton
yang dibekukan. Tapi yang lebih sensitif adalah dengan menggunakan cahay
elektron (90% sensitif, 90% spesifik) tetapi tidak dapat dicocokkan dengan kultur
virus.
5. Serologi : dengan Enzyme-Linked Immunosorbent Assays (ELISAs) dan HSV-II
serologic assay, immunofluoresensi, immunoperoksidasi dapat mendeteksi
antibodi yang melawan virus. Tes ini dilakukan secara imunologik memakai
antibodi poliklonal atau monoklonal. Deteksi antigen secara langsung dari
spesimen sangat potensial, cepat dan dapat merupakan deteksi paling awal pada
infeksi HSV. Pemeriksaan imunoperoksidase tak langsung dan imunofluoresensi
langsung memakai antibodi poliklonal memberikan kemungkinan hasil positif
palsu dan negatif palsu. Dengan memakai antibodi monoklonal pada pemeriksaan
imunofluoresensi, dapat ditentukan tipe virus. Pemeriksaan antibodi monoklonal
dengan cara mikroskopik imunofluoresein tidak langsung dai kerokan lesi,
sensitifitasnya 78% - 88%. Pemeriksaan dengan cara ELISA adalah pemeriksaan
untuk menemukan antigen HSV. Pemeriksaan ini sensitifitasnya 95% dan sangat
spesifik, tapi dapat berkurang jika spesimen tidak segera diperiksa. Tes ini
memerlukan waktu 4,5 jam. Tes ini juga dapat dipakai untuk mendeteksi antibodi
terhadap HSV dalam serum penderita. Tes ELISA ini merupakan tes alternatif
yang terbaik di samping kultur karena mempunyai beberapa keuntungan seperti
hasilnya cepat dibaca, dan tidak memerlukan tenaga ahli.
6. Deteksi DNA HSV dengan PCR dari cairan vesikel. Cairan vesikel mengandung
sel manusia dan partikel virus. PCR adalah teknik yang mendeteksi jumlah kecil
dari DNA dan dapat menginformasikan bahwa virus herpes terdapat pada vesikel.
7. Kultur Virus : pada percobaabn Tzank dengan pewarnaan Giemsa atau Wright,
dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear. Tes
Tzank dari lesi kulit dapat menunjukkan hasil yang konsisten dengan infeksi
herpes virus.
II.2 PENATALAKSANAAN
Hal-hal yang perlu dinilai dalam mengevaluasi keadaan klinis keratitis meliputi: rasa sakit,
fotofobia, lakrimasi, rasa mengganjal, ukuran ulkus dan luasnya infiltrat. Pengobatan keratitis
epitelial meliputi pemberian antiviral topikal mata ditutup, dan pemberian antibiotik topikal
untuk mencegah infeksi sekunder. Sebagian besar para pakar menganjurkan melakukan
debridement sebelumnya. Debridement epitel kornea selain berperan untuk pengambilan
spesimen diagnostik, juga untuk menghilangkan sawar epitelial sehingga antiviral lebih
mudah menembus. Dalam hal ini juga untuk mengurangi subepithelial “ghost” opacity yang
sering mengikuti keratitis dendritik. Diharapkan debridement juga mampu mengurangi
kandungan virus epitelial, konsekuensinya reaksi radang akan cepat berkurang. Di antara 8
kelompok penelitian yang dilakukan antara tahun 1976–1987 tentang peranan debridement
ternyata 5 kelompok peneliti menyimpulkan bahwa tindakan debridement mempercepat
penyembuhan. Apabila tidak ada perbaikan dalam 21 hari, perlu diganti dengan antiviral yang
lain.
Pada keratitis mata herpetik terjadi kerusakan membrana basalis, untuk itu perlu dicegah
kerusakan lebih lanjut dengan verban dan lensa kontak lunak. Pengobatan yang diberikan
meliputi pemberian antiviral, air mata buatan, sikloplegik, dan asetil sistein 10–20% tetes
mata tiap 2 jam bila ada tanda-tanda penipisan dan Luluhnya stroma. Selain itu, perlu
ditambahkan lem cyanoacrylate untuk menghentikan luluhnya stroma. Bila tindakan tersebut
gagal, harus dilakukan flap konjungtiva; bahkan bila perlu dilakukan keratoplasti. Flap
konjungtiva hanya dianjurkan bila masih ada sisa stroma kornea, bila sudah erjadi
descemetocele flap konjungtiva tidak perlu; tetapi dianjurkan dengan keratoplastik lamelar.
Pengobatan pada keratitis disciform meliputi pemberian steroid topikal, antiviral salep, bila
terjadi iritis perlu diberikan steroid oral 20-30mg selama 7-10 hari. Antibiotik topikal perlu
diberikan, jika steroid topikal diberikan secara masif. Bila terjadi ulserasi, steroid topikal agar
dikurangi pembeniannya dan bila perlu distop. Apabila terjadi penyulit misalnya luluh
kornea, descemetocele, atau perforasi, kemudian dikelola seperti pengelolaan ulkus
metaherpetik yang mengalami penyulit.
PEMILIHAN ANTIVIRAL
Antiviral yang efektif dan aman adalah jika mampu menghentikan replikasi virus, tanpa
merusak sel-sel sehat. Obat-obat lama sepenti idoksuridina dan vidarabina memiliki toksisitas
semacam dan khasiat sepadan guna menghentikan replikasi virus. Efek samping pemberian
idoksuridina antara lain: keratitis pungtata, dermatitis kontakta, konjungtivitis folikularis, dan
oklusi pungtum lakrimalis. Efektivitas kedua obat tersebut untuk pengobatan kenatitis
dendritik sebesar 80%, sedang trifluridina mempunyal efektivitas 97% dengan waktu
penyembuhan 2 minggu. Tingkat kepatuhan pasien pengguna trifluridma lebih baik
dibanding kedua obat antivinal tendahulu, karena lebih mudah larut dalam air. Pada 3-5%
kasus ternyata dalam 1 minggu tidak ada perbaikan dengan trifluridin, dalam hal ini
diperlukan debridement. Resistensi terhadap trifluridin sangat jarang, dan bila dijumpai
ternyata tidak dijumpai resistensi silang tenhadap idoksunidina maupun vidarabina.
Hasil penelitian tentang daya guna asikiovir dengan idoksuridina pertama kali dilaponkan
oleh Collum dkk. (1980), didapatkan hasil berupa lama penyembuhan keratitis dendritik rata
rata 4,4 hari dan secara bermakna lebih pendek dibandingkan kelompok idoksuridina. Untuk
kasus-kasus keratitis geografik memerlukan waktu penyembuhan rata-rata 5,6 hari.
Keratitis stroma memiliki hasil kurang baik bila diobati dengan idoksuridina maupun
asiklovir. Penggunaan kombinasi antara asikiovin dengan steroid topikal dapat meningkatkan
waktu penyembuhan. Steroid topikal dapat membantu menekan reaksi radang, dan
menghambat vaskuIarisasi Pornier dkk. (1982) membuktikan bahwa asikiovin topikal
menghasilkan daya penetrasi terbaik dibandingkan vidarabina maupun triflu-ridina. Pada
pasien-pasien keratitis stroma yang mendapat pengobatan kombinasi asiklovir salep mata dan
betametason 0,01% ternyata sembuh komplit memerlukan waktu rata-rata 19,4 hari.
Porter dkk. (1990) membandingkan pengobatan asiklovir secara topikal dan oral pada kasus-
kasus keratitis disciform. Masing-masing kelompok menggunakan tambahan prednisolon
0,05% tetes mata 5 kali sehari. Hasil penelitian rnenunjukkan hilangnya lakrimasi dan
perbaikan visus lebih cepat pada kelompok pemberian oral, sedang waktu penyembuhan tidak
berbeda dan memerlukan waktu rata-rata 25,6 hari. Selain itu tidak dijumpai perbedaan angka
kekambuhan pada pengamatan sampai 3 tahun pasca penyembuhan.
Mengenai resistensi klinik antiviral, pernah dilaporkan untuk idoksuridina sebesar 37%, dan
vidarabina sebesar 11 %. Berdasarkan hasil uji laboratorik sensitivitas, beberapa antiviral
terhadap virus herpes simpleks mengalami penurunan, tetapi untuk asiklovir maupun
gansiklovir tidak sampai 10%; sedang untuk foscarnet, vidarabina, dan icloksuridina
didapatkan penurunan sensitivitas jauh lebih banyak.
Gansiklovir dan karbosiklik oksetanosin G merupakan calon obat antiviral yang potensial,
karena terbukti lebih baik dibandingkan asiklovir pada percobaan binatang. Interferon tetes
mata sebagai terapi tunggal pada keratitis dendritik kurang bermanfaat, tetapi akan lebih
efektif bila dikombinasi dengan antiviral selain vidarabina. Mekanisme dasar interferon
sebagai terapi adalah membuat sel-sel sehat menjadi resisten terhadap virus, dan memblok
penyebaran virus. Pada keratitis stroma pemberian kombinasi steroid dan interferon
memberikan hasil yang baik pada percobaan binatang. Kombinasi antiviral dan interferon
diharapkan dapat mengatasi resistensi virus herpes simpleks di masa mendatang.
Keratitis herpes simpleks biasanya sembuh sendiri dalam jangka waktu sekitar 3 minggu,
meskipun demikian terapi yang diberikan bertujuan untuk menghentikan replikasi virus di
dalam kornea, sambil memperkecil timbulnya kerusakan pada stromaa dan meminimalkan
timbulnya sikatrik pada kornea.
1. Debridement
Debridement epitel merupakan salah satu cara efektif mengobati keratitis herpes
simpleks karena berlokasi di dalam epitel. Debridement juga dapat mengurangi
infeksi virus dan beban antigenik virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat
pada kornea namun epitel terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan
dengan aplikator berujung kapas khusus. Yodium atau eter topikal tidak banyak
bermanfaat dan dapat menimbulkaan keratitis kimiawi. Obat siklopegik seperti atropi
1% atau homatropin 5% diteteskan ke dalam sakus konjungtiva, dan ditutup dengan
sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya samapi
defek kornea sembuh umumnya dalam 72 jam. Pengobatan tambahan dengan
antivirus topikal mempercepat pemulihan epitel. Terapi obat topikal tanpa
debridement epitel epitel pada keratitis epitel memberi keuntungan karena tidak perlu
ditutup, namun ada kemungkinan pasien mengalami keracunan obat.
2. Terapi Obat
A. Antivirus
Pengobatan menggunakan agen antivirus baik oral maupun topikal efektif
untuk mengobati infeksi keratitis herpes simpleks. Agen antivirus yang
dipakai pada keratitis herpes antara lain :
a. Idoxuridine
Sering digunakan untuk infeksi pada epitel kornea. Infeksi yang ditandai
dengan timbulnya gambaran dendritik lebih memberikan respon yang baik
dengan menggunakan obat ini daripada infeksi pada stroma. Idoxuridine
merupakan analog dari thymidine. Obat ini menghambat sintesis DNA virus
dan manusia, sehingga toksik untuk epitel normal dan tidak boleh digunakan
lebih dari 2 minggu. Terdapat dalam larutan1% dan diberikan setiap jam.
Salep 0,5% diberikan setiap 4 jam. Resistensi terhadap obat ini dilaporkan
terdapat pada 1,5 – 4% kasus. Obat ini sering menimbulkan efek samping
antara lain keratitis pungtata, dermatitis kontakta, konjungtivitis folikularis,
dan oklusi pungtum lakrimalis.
b. Vidarabine
Suatu turunan dari adenin yang cara kerjanya dengan menghambat sintesis
DNA virus pada tahap awal. Hanya terdapat dalam bentuk salep 3% yang
diberikan lima kali sehari. Apabila tidak ada tanda perbaikan setelah 7 hari
pemakaian atau dalam 21 hari proses reepitelisasi tidak sempurna maka
pertimbangkan untuk memakai obat lain.
c. Trifluridine
Merupakan analog dari thymidine, menghambat DNA polymerase virus.
Trifluridine dapat berpenetrasi dengan baik melalui kornea dan lebih manjur
( tingkat kesembuhan 95% dibandingkan dengan obat topikal yang lain. Obat
ini jauh lebih efektif untuk penyakit stroma daripada yang lain. Terdapat
dalam larutan 1% diberikan setiap 4 jam. Apabila tidak ada respon setelah 7 –
14 hari pemakaian obat ini maka dapat dipertimbangkan untuk menggunakan
obat lain. Seperti Idoxuridine, obat ini sering menimbulkan reaksi toksik.
d. Acyclovir
Obat ini merupakan derivat guanin. Di dalam sel yang terinfeksi virus herpes,
acyclovir mengalami fosforilasi menjadi bentuk aktif acyclovir – trifosfat, 30
– 100 kali lebih cepat dari pada di dalam sel yang tidak terinfeksi. Acyclovir
trifosfat bekerja sebagai penghambat dan sebagai substrat dari herpes secified
DNA polymerase sehigga mencegah sintesis DNA dari virus lebih lanjut tapa
mempengaruhi proses sel yang normal.
Acyclovir oral ada manfaatnya utuk pengobatan penyakit herpes mata berat,
khususnya pada orang atopik yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan
kulit agresif ( aczema herpeticum ). Terdapat dalam betuk tablet 400mg
5x/hari per oral, dan topikal dalam bentuk salep 3 % yang diberikan tiap 4jam.
Sama efektifnya dengan antivirus lain akan tetapi dengan efek samping yang
minimal.
B. Kortikosteroid
Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada
epitel kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal.
Dalam hal ini penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpotesi
sangat merusak, sayangnya klinikus kadang – kadang menekan kekebalan
pasien dengan kortikosteroid untuk mengurangi peradangan akan mengurangi
penyakitnya. Sekalipun respon peradangan itu diduga timbul semata-mata
karena proses immunologik, seperti pada keratitis disciformis, jika
kemungkinan besar akan sembuh sendiri. Sekali dipakai kortikosteroid topikal,
umumnya pasien terpaksa harus memakai obat itu untuk megendalikan
episode keratitis berikutnya, dengan kemungkinan terjadi replikasi virus yang
tidak terkendali dan efek samping lain berhubungan dengan steroid, seperti
superinfeksi bakteri dan fungi, glaukoma dan katarak. Kortikosteroid topikal
dapat pula mempermudah perlunakan kornea, yang meningkatkan resiko
perforasi kornea. Jika memang perlu menggunakan kortikosteroid topikal
karena hebatnya respo peradangan, penting sekali ditambahkan obat antivirus
secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus.
3. Terapi Bedah
Kertoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk rehabilitasi penglihatan pasien
yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan
setelah penyakit herpes non-aktif. Pasca-bedah, infeksi herpes rekurens dapat tumbul
karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang diperlukan untuk mencegah
penolakan transplantasi kornea. Juga sulit dibedakan penolakan transplantasi kornea
dari penyakit stromaa rekurens.
Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau super infeksi bakteri atau fungi
mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Perlekatan jaringan sianokrilat
dapat dipakai secara efektif untuk meutupi perforasi kecil, dan graft “petak” lamemar
berhasil baik pada kasus tertentu. Keratoplasti lamelar memiliki keuntungan
dibanding keratoplasti penetrans karena lebih kecil terjadi reaksi penolakan transplant.
Lensa kontak lunak untuk terapi mungkin diperlukan untuk memulihkan defek epitel
yang terjadi padaa keratitis herpes simpleks.
4. Pengendalian infeksi keratitis herpes simpleks berulang
Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai, kira – kira sepertiga kasus dalam 2
tahun setelah serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme pemicunya,
setelah dengan anamnesis yang teliti terhadap pasien. Begitu ditemukan, pemicu itu
dapat dihindarkan. Aspirin dapat dipakai ukntuk mencegah demam, pajanan
berlebihan terhadap sinar matahari atau ultraviolet dapat dihindari, keadaan – keadaan
yang dapat menimbulkan stress psikis dapat dikurangi, dan aspirin dapat diminum
sebelum menstruasi.