23
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelainan mata yang diakibatkan oleh infeksi virus herpes simpleks meliputi bleparitis, konjungtivitis, keratitis, uveitis, dan glaukoma sekunder. Keratitis herpes simpleks merupakan radang kornea yang disebabkan oleh infeksi virus Herpes simpleks tipe 1 maupun tipe 2. Di negara-negara barat 90% dari populasi orang dewasa dilaporkan memiliki antibodi terhadap herpes simpleks. Namun demikian, hanya kurang dari 1% yang menimbulkan kelainan pada mata. Sebagian besar bersifat sub-klinis dan tidak terdiagnosis. Frekuensi keratitis herpes simpleks di AmerikaSerikat sebesar 5% di antara seluruh kasus kelainan mata. Di Negara- negara berkembang insidensi keratitis herpes simpleks berkisar antara 5,9- 20,7 per 100.000 orang tiap tahunnya. Di Tanzania 35-60% ulkus kornea disebabkan oleh keratitis herpes simpleks. B. Tujuan Penulisan Penulisan referat ini ditujukan untuk mengetahui gejala, tanda, komplikasi, penatalaksanaan keratitis herpes simpleks

Keratitis Herpes Simpleks

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Keratitis Herpes Simpleks

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kelainan mata yang diakibatkan oleh infeksi virus herpes simpleks meliputi

bleparitis, konjungtivitis, keratitis, uveitis, dan glaukoma sekunder. Keratitis herpes

simpleks merupakan radang kornea yang disebabkan oleh infeksi virus Herpes

simpleks tipe 1 maupun tipe 2. Di negara-negara barat 90% dari populasi orang

dewasa dilaporkan memiliki antibodi terhadap herpes simpleks. Namun demikian,

hanya kurang dari 1% yang menimbulkan kelainan pada mata. Sebagian besar bersifat

sub-klinis dan tidak terdiagnosis. Frekuensi keratitis herpes simpleks di

AmerikaSerikat sebesar 5% di antara seluruh kasus kelainan mata. Di Negara- negara

berkembang insidensi keratitis herpes simpleks berkisar antara 5,9-20,7 per 100.000

orang tiap tahunnya. Di Tanzania 35-60% ulkus kornea disebabkan oleh keratitis

herpes simpleks.

B. Tujuan Penulisan

Penulisan referat ini ditujukan untuk mengetahui gejala, tanda, komplikasi,

penatalaksanaan keratitis herpes simpleks

Page 2: Keratitis Herpes Simpleks

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 KERATITIS HERPES SIMPLEKS

A. Definisi

Keratitis herpes simpleks merupakan peradangan pada kornea yang

disebabkan oleh infeksi virus herpes simpleks tipe I maupun tipe II. Herpes Simpleks

Virus (HSV) merupakan virus DNA rantai ganda yang termasuk ke dalam famili

herpesviridae. Mengandung 3 komponen pembentuk utama. Bagian inti yang

mengandung DNA virus, membran sel dan casid. Tegument terletak di antara kapsid

dan selubung serta berbagai protein yang dikirim ke dalam sel yang terinfeksi selama

fusi.

Gambar struktur HSV

B. Patologi

HSV adalah virus DNA yang umumnya menyerang manusia. Infeksi terjadi

oleh kontak langsung kulit atau membran mukosa dengan lesi virus-laden atau

sekresinya. HSV yang menyerang manusia terdiri dari dua tipe yaitu HSV tipe 1 dan

tipe 2. HSV tipe 1 (HSV-1) infeksinya terutama pada daerah orofasial dan ocular,

sementara HSV tipe 2 (HSV-2) umumnya ditularkan melalui hubungan seksual dan

menyebabkan penyakit genitalia. HSV-2 jarang namun dapat menginfeksi mata

melalui kontak orofasial dengan lesi genitalia dan secara tidak sengaja ditularkan

kepada neonatus ketika neonatus lahir secara normal pada ibu yang teinfeksi HSV-2.

Keratitis herpetika yang disebabkan oleh herpes simpleks dibagi dalam 2

bentuk yaitu epitelial dan stromal. Perbedaan ini perlu dipahami karena mekanisme

kerusakannya yang berbeda.

Pada yang epitelial kerusakan terjadi akibat pembelahan virus di dalam sel

epitel, yang akan mengakibatkan kerusakan sel dan membentuk ulkus kornea

superfisial. Sedangkan pada yang stroma diakibatkan reaksi imunologik tubuh pasien

sendiri terhadap virus yang menyerang. Karena kornea merupakan bangunan yang

avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak bereaksi dengan cepat,

seperti jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Sehingga badan kornea,

Page 3: Keratitis Herpes Simpleks

wandering cells dan sel-sel lainnya yang terdapat di dalam stroma kornea akan segera

bekerja sebagai makrofag yang kemudian akan disusul dengan terjadinya dilatasi dari

pembuluh darah yang terdapat di limbus dan akan tampak sebagai injeksi perikornea.

Kemudian akan terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuklear, sel plasma dan sel

polimorfonuklear yang akan mengakibatkan timbulnya infiltrat yang selanjutnya

dapat berkembang dengan terjadinya kerusakan epitel dan timbulla ulkus (tukak)

kornea.

Pada peradangan yang dalam, penyembuhan berakhir dengan pembentukan

jaringan parut (sikatrik), yang dapat berupa nebula, makula, dan leukoma. Nebula bila

ulkus tidak terlalu dalam dan tampak sebagai bercak seperti awan, yang hanya dapat

dilihat di kamar gelap dengan cahaya buatan. Makula, terjadi bila ulkus lebih dalam

dan tampak sebagai bercak putih yang tampak di kamar biasa. Leukoma, didapat bila

ulkus lebih dalam lagi dan tampak sebagai bercak putih seperti porselen, yang sudah

tampak dari jarak jauh.

C. Manifestasi Klinis

Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan

kambuhan. lnfeksi primer ditandai oleh adanya de- mam, malaise, limfadenopati

preaurikuler, konjungtivitis folikutans, bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis

epitelial. Kira-kira 94-99% kasus bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau lebih

dapat terjadi bilateral khususnya pada pasien-pasien atopik. Infeksi primer dapat

terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya antara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25

tahun. Keratitis herpes simpleks didominir oleh kelompok laki-laki pada umur 40

tahun ke atas.

Gejala-gejala subyektif keratitis epitelial meliputi: nrocos, fotofobia, injeksi

perikornea, dan penglihatan kabur. Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak

sebanding dengan luasnya lesi epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas

kornea. Dalam hal ini harus diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai

hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster oftalmikus, keratitis akibat pemaparan

dan mata kering, pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik.

Gejala spesifik pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak adanya fotofobia.

Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi primer.Dengan

Page 4: Keratitis Herpes Simpleks

mekanisnie yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik atau

ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion n. trigeminus,

dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan virus. Namun akhir-akhir ini

dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan sebagai tempat berlindung virus

herpes simpleks.

Beberapa kondisi yang berperan terjadinya infeksi kambuhan antara lain:

demam, infeksi saluran nafas bagian atas, stres emosional, pemaparan sinar matahari

atau angin, haid, renjatan anafilaksis, dan kondisi imunosupresi. Keratitis herpes

simpleks kambuhan atau lazim disebut keratitis herpes simpleks dibedakan atas

bentuk superfisial, profunda, dan bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis.

Keratitis superfisial dapat berupa pungtata, dendritik, dan geo- grafik. Keratitis

dendritika merupakan proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang diakibatkan okh

perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulkañ kematian set serta membentuk

defek dengan gambaran bercabang. Keratitis dendritika dapat berkembang menjadi

keratitis geografika, hat ini terjadi akibat bentukan ulkus bercabang yang melebar dan

bentuknya menjadi ovoid. Dengan demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta

geografi dengan kaki cabang mengelilingi ulkus. Keratitis herpes simpleks bentuk

dendrit harus dibedakan dengan keratitis herpes zoster, pada herpes zoster bukan suatu

ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel yang dikelilingi mucus plaques; selain itu,

bentuk dendriform lebih kecil. Keratitis epitelial dapat berkembang menjadi ulkus

metaherpetik, dalam hat ini terjadi perobekan membrana basalis. Ulkus metaherpetik

bersifat steril, deepitelisasi meluas sampai stroma. Ulkus ini berbentuk bulat atau

lonjong dengan ukuran beberapa mm dan bersifat tunggal. Pada kasus ini dapat

dijumpai adanya edema stroma yang berat disertai lipatan membrana Descemet.

Reaksi iritasi konjungtiva bersifat ringan akibat adanya hipestesia. Reflek lakrimasi

berkurang, sehingga produksi tear film menjadi relatiftidak cukup. Ulkus

metaherpetik dapat menetap dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan. Untuk

penyembuhannya memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 minggu.

Terdapat dua bentuk keratitis stroma, yaitu keratitis disciform dan keratitis

interstitial. Keratitis disciform dihipotesiskan sebagai reaksi hipersensitivitas tipe

lambat, sedang keratitis interstitialis terjadi akibat reaksi hipersensitivitas imun

komp1ek. Karakteristik keratitis disciform berupa edema stroma berbentuk lonjong

atau gambaran meilingkar seperti cakram dengan ukuran diameter 57 mm, biasanya

Page 5: Keratitis Herpes Simpleks

disertai infiltrat ringan. Edema dapat terbatas pada bagian depan stroma, tetapi dapat

juga meluas ke seluruh tebal stroma. Keratic precipitates biasanya dijumpai

menempel di endotel kornea belakang daerah edema. Keluhan penderita antara lain:

penglihatan kabur, nrocos, rasa tidak enak, dan fotofobia terjadi bila disertai ada- nya

iritis. Pada kasus yang ringan, tanpa disertai nekrosis dan neovaskularisasi

penyembuhan dapat terjadi dalam beberapa bulan tanpa meninggalkan sikatriks. Pada

kasus yang berat, penyembuhan memerlukan waktu sampai 1 tahun atau lebih, bahkan

sering terjadi penyullt berupa penipisan kornea maupun perforasi. Keratitis disciform

dapat pula terjadi akibat infeksi herpes zoster, varisela, campak, keratitis karena bahan

kimia, dan trauma tumpul yang mengenai kornea. Pada keratitis disciform dapat

diisolir virus herpes simpleks dan cairan akuos.

Keratitis instertitialis memiliki bentuk bervariasi, lesi dapat tunggal maupun

beberapa tempat. Gambaran klinisnya bahkan dapat mirip keratitis bakteri maupun

jamur. Infiltrat tampak mengelilingi daerah stroma yang edema, dan dijumpai adanya

neovaskularisasi. Kadang-kadang dijumpai adanya infiltrat marginal atau lebih

dikenal sebagai Wessely ring, diduga sebagai infiltrat polimorfonuklear disertai reaksi

antigen antibodi virus herpes simpleks. Beberapapenyulit keratitis stroma antara lain:

kornea luluh, descemetocele, penipisan kornea, superinfeksi, dan perforasi. Terjadinya

kornea luluh disebabkan oleh mekanisme aktif enzim kolagenase, nekrosis, replikasi

virus, dan efek steroid. Enzim ko-lagenase dilepaskan oleh sd epitel rusak, sel

polimorfonuklear, dan fibroblas selama reaksi radang.

D. Klasifikasi

Hogan dkk. (1964) membuat kiasifikasi diagnosis keratitis herpes simpleks

sebagai berikut:

1. Superfisial, dibedakan atas bentuk dendritika, dendritika dan stroma, geografika.

2. Profunda, dibedakan atas stroma dan disciform, stroma dan penyembuhan, stroma

dan ulserasi.

3. Uveitis, dibedakan atas kerato uveitis dan uveitis; dalam hal keratouveitisdibedakan

atas bentukulserasi dan non ulserasi.

Klasifikasi tersebut ternyata kurang sempurna, karena bentuk keratitis

pungtata yang merupakan awal keratitis dendnitik tidak dimasukkan. Selain itu, pada

Page 6: Keratitis Herpes Simpleks

beberapa kasus yang berat ternyata dijumpai glaukoma sekunder yang diakibatkan

oleh radang jaringan trabekulum. Untuk membuat diagnosis, seka- rang ini dianut

kiasifikasi yang dibuat oleh Pavan-Langston (1983) sebagai berikut :

1. Ulserasi epitelial, dibedakan atas bentuk pungtata, dendritika, dendrogeografika,

geografika.

2. Ulserasi trophik atau meta herpetika.

3. Stroma, dibedakan atas bentuk keratitis disciform, keratitis interstitialis.

4. Uveitis anterior dan trabekulitis.

Klasifikasi menurut Pavan-Langston inipun belum sempurna, mengingat sangatjarang

ditemukan kasus uveitis anterior maupun trabekulitis yang berdiri sendini tanpa

melibatkan adanya keratitis.

E. Diagnosis

Pemeriksaan pada Kornea

1. Uji Fluoresein

Uji untuk melihat adanya defek pada epitel kornea. Caranya kertas fluoresein

dibasahi terlebih dahulu dengan garam fisiologis kemudian diletakkan pada saccus

konjungtiva inferior setelah terlebih dahulu penderita diberi anestesi lokal.

Penderita diminta menutup matanya selama 20 detik, kemudian kertas diangkat.

Defek kornea akan terlihat berwarna hijau sebagai uji fluoresein positif.

2. Uji Fistel

Uji untuk mengetahui letak dan adanya kebocoran kornea. Pada konjungtiva

inferior ditaruh kertas fluoresein. Bila terdapat fistel kornea akan terlihat

pengaliran cairan mata berwarna hijau.

3. Uji Placido

Untuk melihat kelengkungan kornea. Caranya dengan memakai papan plasido

yaitu papan dengan gambaran lingkaran konsentris putih hitam yang menghadap

pada sumber cahaya, sedang pasien berdiri membelakangi sumber cahaya. Melalui

lubang di tengah dilihat gambaran bayangan plasido pada kornea. Normal

bayangan plasido pada kornea berupa lingkaran konsentris.

Page 7: Keratitis Herpes Simpleks

4. Uji Sensibilitas Kornea

Uji untuk menilai fungsi saraf trigeminus kornea. Caranya dengan meminta

penderita melihat jauh ke depan, kemudian dirangsang dengan kapas basah dari

bagian lateral kornea. Bila terdapat refleks mengedip, rasa sakit atau mata berair

berarti fungsi saraf trigeminus dan fasial baik.

Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis keratitis herpes simpleks kadang-kadang sulit dibedakan dengan

kelainan kornea yang lain. Dalam hal ini pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan

untuk membedakan dengan keratitis lain, misalnya keratitis bakteri, jamur, dan trauma

kimia. Virus herpes dapat ditemukan pada vesikel dan dapat dibiakkan. Pada keadaan

tidak terdapat lesi dapat diperiksa antibodi HSV. Pemeriksaan penunjang yang

dilakukan pada pusat-pusat penelitian adalah :

1. Mikroskop cahaya : sampel berasal dari sel-sel di dasar lesi, atau apusan pada

permukaan mukosa, atau dari biopsi, mungkin ditemukan intranuklear inklusi

(Lipshutz inclusion bodies). Sel-sel yang terinfeksi dapat menunjukkan sel yang

membesar menyerupai balon (balloning) dan ditemukan fusi.

2. Kultur virus dari cairan vesikel pada lesi (+) untuk HSV adalah cara yang paling

baik karena paling sensitif dan spesifik dibanding dengan cara-cara lain. HSV

dapat berkembang dalam 2-3 hari. Jika tes ini (+), hampir 100% akurat, khususnya

jika cairan virus dalam sel ditunjukkan dengan terjadinya granulasi sitoplasmik,

degenerasi balon dan sel raksasa berinti banyak. Sejak virus sulit untuk

berkembang, hasil tesnya sering (-). Namun cara ini memiliki kekurangan karena

waktu pemeriksaan yang lama dan biaya yang mahal.

3. Mikroskop elektron : mikroskop elektron tidak sensitif mendeteksi HSV, kecuali

pada kasus dengan cairan pada vesikel mengandung 108 atau lebih partikel per

millimeter.

4. Pemeriksaan antigen langsung : sel-sel dari spesimen dimasukkan dalam aseton

yang dibekukan. Tapi yang lebih sensitif adalah dengan menggunakan cahay

elektron (90% sensitif, 90% spesifik) tetapi tidak dapat dicocokkan dengan kultur

virus.

Page 8: Keratitis Herpes Simpleks

5. Serologi : dengan Enzyme-Linked Immunosorbent Assays (ELISAs) dan HSV-II

serologic assay, immunofluoresensi, immunoperoksidasi dapat mendeteksi

antibodi yang melawan virus. Tes ini dilakukan secara imunologik memakai

antibodi poliklonal atau monoklonal. Deteksi antigen secara langsung dari

spesimen sangat potensial, cepat dan dapat merupakan deteksi paling awal pada

infeksi HSV. Pemeriksaan imunoperoksidase tak langsung dan imunofluoresensi

langsung memakai antibodi poliklonal memberikan kemungkinan hasil positif

palsu dan negatif palsu. Dengan memakai antibodi monoklonal pada pemeriksaan

imunofluoresensi, dapat ditentukan tipe virus. Pemeriksaan antibodi monoklonal

dengan cara mikroskopik imunofluoresein tidak langsung dai kerokan lesi,

sensitifitasnya 78% - 88%. Pemeriksaan dengan cara ELISA adalah pemeriksaan

untuk menemukan antigen HSV. Pemeriksaan ini sensitifitasnya 95% dan sangat

spesifik, tapi dapat berkurang jika spesimen tidak segera diperiksa. Tes ini

memerlukan waktu 4,5 jam. Tes ini juga dapat dipakai untuk mendeteksi antibodi

terhadap HSV dalam serum penderita. Tes ELISA ini merupakan tes alternatif

yang terbaik di samping kultur karena mempunyai beberapa keuntungan seperti

hasilnya cepat dibaca, dan tidak memerlukan tenaga ahli.

6. Deteksi DNA HSV dengan PCR dari cairan vesikel. Cairan vesikel mengandung

sel manusia dan partikel virus. PCR adalah teknik yang mendeteksi jumlah kecil

dari DNA dan dapat menginformasikan bahwa virus herpes terdapat pada vesikel.

7. Kultur Virus : pada percobaabn Tzank dengan pewarnaan Giemsa atau Wright,

dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear. Tes

Tzank dari lesi kulit dapat menunjukkan hasil yang konsisten dengan infeksi

herpes virus.

Page 9: Keratitis Herpes Simpleks

II.2 PENATALAKSANAAN

Hal-hal yang perlu dinilai dalam mengevaluasi keadaan klinis keratitis meliputi: rasa sakit,

fotofobia, lakrimasi, rasa mengganjal, ukuran ulkus dan luasnya infiltrat. Pengobatan keratitis

epitelial meliputi pemberian antiviral topikal mata ditutup, dan pemberian antibiotik topikal

untuk mencegah infeksi sekunder. Sebagian besar para pakar menganjurkan melakukan

debridement sebelumnya. Debridement epitel kornea selain berperan untuk pengambilan

spesimen diagnostik, juga untuk menghilangkan sawar epitelial sehingga antiviral lebih

mudah menembus. Dalam hal ini juga untuk mengurangi subepithelial “ghost” opacity yang

sering mengikuti keratitis dendritik. Diharapkan debridement juga mampu mengurangi

kandungan virus epitelial, konsekuensinya reaksi radang akan cepat berkurang. Di antara 8

kelompok penelitian yang dilakukan antara tahun 1976–1987 tentang peranan debridement

ternyata 5 kelompok peneliti menyimpulkan bahwa tindakan debridement mempercepat

penyembuhan. Apabila tidak ada perbaikan dalam 21 hari, perlu diganti dengan antiviral yang

lain.

Pada keratitis mata herpetik terjadi kerusakan membrana basalis, untuk itu perlu dicegah

kerusakan lebih lanjut dengan verban dan lensa kontak lunak. Pengobatan yang diberikan

meliputi pemberian antiviral, air mata buatan, sikloplegik, dan asetil sistein 10–20% tetes

mata tiap 2 jam bila ada tanda-tanda penipisan dan Luluhnya stroma. Selain itu, perlu

ditambahkan lem cyanoacrylate untuk menghentikan luluhnya stroma. Bila tindakan tersebut

gagal, harus dilakukan flap konjungtiva; bahkan bila perlu dilakukan keratoplasti. Flap

konjungtiva hanya dianjurkan bila masih ada sisa stroma kornea, bila sudah erjadi

descemetocele flap konjungtiva tidak perlu; tetapi dianjurkan dengan keratoplastik lamelar.

Pengobatan pada keratitis disciform meliputi pemberian steroid topikal, antiviral salep, bila

terjadi iritis perlu diberikan steroid oral 20-30mg selama 7-10 hari. Antibiotik topikal perlu

diberikan, jika steroid topikal diberikan secara masif. Bila terjadi ulserasi, steroid topikal agar

dikurangi pembeniannya dan bila perlu distop. Apabila terjadi penyulit misalnya luluh

kornea, descemetocele, atau perforasi, kemudian dikelola seperti pengelolaan ulkus

metaherpetik yang mengalami penyulit.

PEMILIHAN ANTIVIRAL

Page 10: Keratitis Herpes Simpleks

Antiviral yang efektif dan aman adalah jika mampu menghentikan replikasi virus, tanpa

merusak sel-sel sehat. Obat-obat lama sepenti idoksuridina dan vidarabina memiliki toksisitas

semacam dan khasiat sepadan guna menghentikan replikasi virus. Efek samping pemberian

idoksuridina antara lain: keratitis pungtata, dermatitis kontakta, konjungtivitis folikularis, dan

oklusi pungtum lakrimalis. Efektivitas kedua obat tersebut untuk pengobatan kenatitis

dendritik sebesar 80%, sedang trifluridina mempunyal efektivitas 97% dengan waktu

penyembuhan 2 minggu. Tingkat kepatuhan pasien pengguna trifluridma lebih baik

dibanding kedua obat antivinal tendahulu, karena lebih mudah larut dalam air. Pada 3-5%

kasus ternyata dalam 1 minggu tidak ada perbaikan dengan trifluridin, dalam hal ini

diperlukan debridement. Resistensi terhadap trifluridin sangat jarang, dan bila dijumpai

ternyata tidak dijumpai resistensi silang tenhadap idoksunidina maupun vidarabina.

Hasil penelitian tentang daya guna asikiovir dengan idoksuridina pertama kali dilaponkan

oleh Collum dkk. (1980), didapatkan hasil berupa lama penyembuhan keratitis dendritik rata

rata 4,4 hari dan secara bermakna lebih pendek dibandingkan kelompok idoksuridina. Untuk

kasus-kasus keratitis geografik memerlukan waktu penyembuhan rata-rata 5,6 hari.

Keratitis stroma memiliki hasil kurang baik bila diobati dengan idoksuridina maupun

asiklovir. Penggunaan kombinasi antara asikiovin dengan steroid topikal dapat meningkatkan

waktu penyembuhan. Steroid topikal dapat membantu menekan reaksi radang, dan

menghambat vaskuIarisasi Pornier dkk. (1982) membuktikan bahwa asikiovin topikal

menghasilkan daya penetrasi terbaik dibandingkan vidarabina maupun triflu-ridina. Pada

pasien-pasien keratitis stroma yang mendapat pengobatan kombinasi asiklovir salep mata dan

betametason 0,01% ternyata sembuh komplit memerlukan waktu rata-rata 19,4 hari.

Porter dkk. (1990) membandingkan pengobatan asiklovir secara topikal dan oral pada kasus-

kasus keratitis disciform. Masing-masing kelompok menggunakan tambahan prednisolon

0,05% tetes mata 5 kali sehari. Hasil penelitian rnenunjukkan hilangnya lakrimasi dan

perbaikan visus lebih cepat pada kelompok pemberian oral, sedang waktu penyembuhan tidak

berbeda dan memerlukan waktu rata-rata 25,6 hari. Selain itu tidak dijumpai perbedaan angka

kekambuhan pada pengamatan sampai 3 tahun pasca penyembuhan.

Page 11: Keratitis Herpes Simpleks

Mengenai resistensi klinik antiviral, pernah dilaporkan untuk idoksuridina sebesar 37%, dan

vidarabina sebesar 11 %. Berdasarkan hasil uji laboratorik sensitivitas, beberapa antiviral

terhadap virus herpes simpleks mengalami penurunan, tetapi untuk asiklovir maupun

gansiklovir tidak sampai 10%; sedang untuk foscarnet, vidarabina, dan icloksuridina

didapatkan penurunan sensitivitas jauh lebih banyak.

Gansiklovir dan karbosiklik oksetanosin G merupakan calon obat antiviral yang potensial,

karena terbukti lebih baik dibandingkan asiklovir pada percobaan binatang. Interferon tetes

mata sebagai terapi tunggal pada keratitis dendritik kurang bermanfaat, tetapi akan lebih

efektif bila dikombinasi dengan antiviral selain vidarabina. Mekanisme dasar interferon

sebagai terapi adalah membuat sel-sel sehat menjadi resisten terhadap virus, dan memblok

penyebaran virus. Pada keratitis stroma pemberian kombinasi steroid dan interferon

memberikan hasil yang baik pada percobaan binatang. Kombinasi antiviral dan interferon

diharapkan dapat mengatasi resistensi virus herpes simpleks di masa mendatang.

Keratitis herpes simpleks biasanya sembuh sendiri dalam jangka waktu sekitar 3 minggu,

meskipun demikian terapi yang diberikan bertujuan untuk menghentikan replikasi virus di

dalam kornea, sambil memperkecil timbulnya kerusakan pada stromaa dan meminimalkan

timbulnya sikatrik pada kornea.

1. Debridement

Debridement epitel merupakan salah satu cara efektif mengobati keratitis herpes

simpleks karena berlokasi di dalam epitel. Debridement juga dapat mengurangi

infeksi virus dan beban antigenik virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat

pada kornea namun epitel terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan

dengan aplikator berujung kapas khusus. Yodium atau eter topikal tidak banyak

bermanfaat dan dapat menimbulkaan keratitis kimiawi. Obat siklopegik seperti atropi

1% atau homatropin 5% diteteskan ke dalam sakus konjungtiva, dan ditutup dengan

sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya samapi

defek kornea sembuh umumnya dalam 72 jam. Pengobatan tambahan dengan

Page 12: Keratitis Herpes Simpleks

antivirus topikal mempercepat pemulihan epitel. Terapi obat topikal tanpa

debridement epitel epitel pada keratitis epitel memberi keuntungan karena tidak perlu

ditutup, namun ada kemungkinan pasien mengalami keracunan obat.

2. Terapi Obat

A. Antivirus

Pengobatan menggunakan agen antivirus baik oral maupun topikal efektif

untuk mengobati infeksi keratitis herpes simpleks. Agen antivirus yang

dipakai pada keratitis herpes antara lain :

a. Idoxuridine

Sering digunakan untuk infeksi pada epitel kornea. Infeksi yang ditandai

dengan timbulnya gambaran dendritik lebih memberikan respon yang baik

dengan menggunakan obat ini daripada infeksi pada stroma. Idoxuridine

merupakan analog dari thymidine. Obat ini menghambat sintesis DNA virus

dan manusia, sehingga toksik untuk epitel normal dan tidak boleh digunakan

lebih dari 2 minggu. Terdapat dalam larutan1% dan diberikan setiap jam.

Salep 0,5% diberikan setiap 4 jam. Resistensi terhadap obat ini dilaporkan

terdapat pada 1,5 – 4% kasus. Obat ini sering menimbulkan efek samping

antara lain keratitis pungtata, dermatitis kontakta, konjungtivitis folikularis,

dan oklusi pungtum lakrimalis.

b. Vidarabine

Suatu turunan dari adenin yang cara kerjanya dengan menghambat sintesis

DNA virus pada tahap awal. Hanya terdapat dalam bentuk salep 3% yang

diberikan lima kali sehari. Apabila tidak ada tanda perbaikan setelah 7 hari

pemakaian atau dalam 21 hari proses reepitelisasi tidak sempurna maka

pertimbangkan untuk memakai obat lain.

c. Trifluridine

Page 13: Keratitis Herpes Simpleks

Merupakan analog dari thymidine, menghambat DNA polymerase virus.

Trifluridine dapat berpenetrasi dengan baik melalui kornea dan lebih manjur

( tingkat kesembuhan 95% dibandingkan dengan obat topikal yang lain. Obat

ini jauh lebih efektif untuk penyakit stroma daripada yang lain. Terdapat

dalam larutan 1% diberikan setiap 4 jam. Apabila tidak ada respon setelah 7 –

14 hari pemakaian obat ini maka dapat dipertimbangkan untuk menggunakan

obat lain. Seperti Idoxuridine, obat ini sering menimbulkan reaksi toksik.

d. Acyclovir

Obat ini merupakan derivat guanin. Di dalam sel yang terinfeksi virus herpes,

acyclovir mengalami fosforilasi menjadi bentuk aktif acyclovir – trifosfat, 30

– 100 kali lebih cepat dari pada di dalam sel yang tidak terinfeksi. Acyclovir

trifosfat bekerja sebagai penghambat dan sebagai substrat dari herpes secified

DNA polymerase sehigga mencegah sintesis DNA dari virus lebih lanjut tapa

mempengaruhi proses sel yang normal.

Acyclovir oral ada manfaatnya utuk pengobatan penyakit herpes mata berat,

khususnya pada orang atopik yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan

kulit agresif ( aczema herpeticum ). Terdapat dalam betuk tablet 400mg

5x/hari per oral, dan topikal dalam bentuk salep 3 % yang diberikan tiap 4jam.

Sama efektifnya dengan antivirus lain akan tetapi dengan efek samping yang

minimal.

B. Kortikosteroid

Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada

epitel kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal.

Dalam hal ini penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpotesi

sangat merusak, sayangnya klinikus kadang – kadang menekan kekebalan

pasien dengan kortikosteroid untuk mengurangi peradangan akan mengurangi

penyakitnya. Sekalipun respon peradangan itu diduga timbul semata-mata

karena proses immunologik, seperti pada keratitis disciformis, jika

kemungkinan besar akan sembuh sendiri. Sekali dipakai kortikosteroid topikal,

umumnya pasien terpaksa harus memakai obat itu untuk megendalikan

Page 14: Keratitis Herpes Simpleks

episode keratitis berikutnya, dengan kemungkinan terjadi replikasi virus yang

tidak terkendali dan efek samping lain berhubungan dengan steroid, seperti

superinfeksi bakteri dan fungi, glaukoma dan katarak. Kortikosteroid topikal

dapat pula mempermudah perlunakan kornea, yang meningkatkan resiko

perforasi kornea. Jika memang perlu menggunakan kortikosteroid topikal

karena hebatnya respo peradangan, penting sekali ditambahkan obat antivirus

secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus.

3. Terapi Bedah

Kertoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk rehabilitasi penglihatan pasien

yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan

setelah penyakit herpes non-aktif. Pasca-bedah, infeksi herpes rekurens dapat tumbul

karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang diperlukan untuk mencegah

penolakan transplantasi kornea. Juga sulit dibedakan penolakan transplantasi kornea

dari penyakit stromaa rekurens.

Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau super infeksi bakteri atau fungi

mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Perlekatan jaringan sianokrilat

dapat dipakai secara efektif untuk meutupi perforasi kecil, dan graft “petak” lamemar

berhasil baik pada kasus tertentu. Keratoplasti lamelar memiliki keuntungan

dibanding keratoplasti penetrans karena lebih kecil terjadi reaksi penolakan transplant.

Lensa kontak lunak untuk terapi mungkin diperlukan untuk memulihkan defek epitel

yang terjadi padaa keratitis herpes simpleks.

4. Pengendalian infeksi keratitis herpes simpleks berulang

Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai, kira – kira sepertiga kasus dalam 2

tahun setelah serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme pemicunya,

setelah dengan anamnesis yang teliti terhadap pasien. Begitu ditemukan, pemicu itu

dapat dihindarkan. Aspirin dapat dipakai ukntuk mencegah demam, pajanan

berlebihan terhadap sinar matahari atau ultraviolet dapat dihindari, keadaan – keadaan

yang dapat menimbulkan stress psikis dapat dikurangi, dan aspirin dapat diminum

sebelum menstruasi.

Page 15: Keratitis Herpes Simpleks