Upload
antoncharlian1825
View
74
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
KEPEMIMPINAN NASIONALBERBASIS KEARIFAN LOKAL
MENUJU MASYARAKATTATA TENTREM KERTARAHARJA
Makalah ini disampaikan pada Orasi Ilmiah Wisuda Sarjana
Perguruan Tinggi PuangrimaggalatungWajo Sulawesi Selatan
Oleh:Dr. H. Anton Charliyan, Drs. MPKN.
JAKARTA2013
KEPEMIMPINAN NASIONAL
0
BERBASIS KEARIFAN LOKAL MENUJU MASYARAKATTATA TENTREM KERTARAHARJA
ABSTRAK
Tulisan ini sekadar mengungkap sebagian kearifan lokal kepemimpinan yang dikenal dengan istilah “parigeuing” (mengingatkan/menyadarkan/eling), sebagaimana tertuang dalam naskah Sunda buhun abad 16 Masehi, yakni Naskah Sanghyang Hayu (SH), Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK), Fragment Carita Parahiyangan (FCP), dan Amanat Galunggung(AG), serta kepemimpinan Ala Gadjah Mada, khususnya yang menyangkut masalah tuntunan moral atau pedoman bagi seorang pemimpin dalam melaksanakan tugas dan kepemimpinannya, agar berhasil dan dicintai baik oleh rakyat maupun oleh komunitasnya. Berbicara istilah arti harafiah parigeuing yang berarti mengingatkan, menyadarkan/eling, selaras dengan salah satu filosofi masyarakat Bugis yaitu Sipaka Inga, Sipaka Tahu, Sipaka Lebi (saling memngingatkan, saling memberi tahu, dan saling menghargai).
Seorang pemimpin menurut naskah SSK, adalah bahwa seorang pemimpin harus menjiwai konsep ‘tiga rahasia’ sebagai peneguh alam buana agar berhasil mencapai kejayaan atau yang lebih dikenal sebagai konsep Tri Tangtu dibuana yaitu yang dikemas dalam konsep“trigeuing” (3 peringatan) yakni : sebagai Prabu, Hulun, Palanka(Pemimpin, Abdi, Negara) atau yang lebih spesifik yaitu; parigeuing, geuing, upageuing (Pemimpin, Sandang, Pangan). Adapun yang tertulis dalam naskah Sanghyang Hayu, ketiga rahasia tadi dibagi menjadi lima bagian, sehingga jumlahnya menjadi lima belas karakter yang harus mendarah daging dalam diri pemimpin, yaitu
1. Budi(bijak)-Guna (arif)-Pradana (saleh/utama/mulya)2. Kaya (sehat)-Wak(bersabda)-Cita (hati)3. Pratiwi(membumi)-Akasa (angkasa)-Antara (madya)4. Mata (penglihatan)-Tutuk (ucapan)-Talinga(pendengaran)5. Bayu(ucapan/angin)-Sabda(itikad/perbuatan)Hedap(kalbu/pikiran).
Disamping itu seorang pemimpin dalam naskah ini harus juga berpegang teguh kepada prinsip astaguna (delapan kearifan), yakni: Animan (lemah lembut, santun),Ahiman (tegas), Mahiman (cerdas, berwawasan luas), Lagiman (terampil & cekatan), Prapti (tepat sasaran), Prakamya (ulet & tekun), Isitwa (jujur, benar), dan Wasitwa (terbuka).
Salah satu prasyarat untuk menjadi pemimpin yang sempurna, sebelum seseorang menjadi pimpinan ia harus bisa menjadi seorang abdi yang setia dulu (Satya dikahulunan) yakni harus mempunyai sifat-sifat : tidak pernah mengeluh, tidak mudah kecewa, tidak sulit diperintah, tidak pernah iri
1
dengki, tidak pernah goyah kesetiaanya, tidak pernah melanggar pantangan, tidak mencelakakan sesama (Mulah luhya, Mulah kuciwa, Mulah ngontong dipiwarang, Mulah nyetnyot tineung urang, deungdeungeun sakahulunan). Disamping itu sebagai seorang abdi harus juga memiliki pribadi sebagai berikut yang lebih dikenal sebagai empat larangan (opat larangan) yakni : Tidak mudah tersinggung, tidak mudah merajuk, tidak mudah menggerutu, dan tidak mudah menyerah (mulah babarian, mulah pundungan, nulah kukulutus, mulah humandeur
Pemimpin yang legendaris atau yang namanya harum mewangi menurut SSK adalah pemimpin yang memiliki sifat Dasa prasanta, yaitu sepuluh cara memberi perintah yang baik yang mampu menenangkan hati, yakni: Guna (bermanfaat), Ramah (santun), Hook (kharismatik), Pésok (panutan & dapat dipercaya), Asih (berjiwa sosial), Karunya (berhati nurani), Mupreruk (melindungi), Ngulas (teliti & menerangkan dengan jelas), Nyecep (menyejukkan), Ngala angen (mengambil hati). Berdasar SSK, seorang pemimpin digelari sebagai tokoh, jika dalam pribadinya sudah melekat karakter kepemimpinan yang disebut pangimbuhning twah atau pelengkap untuk mempunyai tuah/kharisma/pamor, yakni Emét (Tidak serakah), Imeut (teliti), Rajeun (rajin), Leukeun (tekun), Paka Pradana (tulus jiwa sosial), Morogol-rogol (semangat), Purusa ning Sa (berani, jujur, tanggung jawab),Widagda (adil,bijak), Gapitan (yakin & rela berkorban), Karawaléya (berjiwa sosial),Cangcingan (cekatan),dan Langsitan(cerdas).
Seorang pemimpin yang baik disamping harus memiliki sikap positif, harus mampu pula berpantang/menjauhi kesalahan–kesalahan yang negatif agar kepemimpinannya berkharisma sehingga pada akhirnya akan mampu mewujudkan pemimpin sebagai “Master” yang melegenda maka dari itu harus menjauhi .Kemudian agara pemimpin sebagai ‘master’, harus menjauhi watak manusia yang membuat kerusakan di dunia,yang disebut Catur Buta, yaitu Burangkak, Mariris, Maréndé, Wirang (kasar, menjijikan, sadis, dan licik
Konsep kepemimpinan Sunda menurut SSK, FCP, SH, dan AG, setidaknya harus mampu berperan sebagai leader, manajer, entertainer, entrepreneur, commander, designer, father, servicer, dan teacher. Kesembilan kriteria tersebut selayaknya harus mampu diejawantahkan dan dicerminkan dalam diri dan sikap seorang pemimpin dan kepemimpinannya, menuju pemimpin ideal, sehingga apabila seseorang sudah mampu memiliki kesembilan kriteria tersebut maka ia akan menjelma sebagai Master Leadership atau sebagai “tokoh” yang legendaris, yang harum mewangi namanya, sebagaimana gelar raja-raja di Sunda-Galuh dan Pajajaran yang lebih dikenal sebagai “Prabu Siliwangi” yaitu seorang raja yang dicintai, dikagumi, dan disegani
2
masyarakatnya karena mengedepankan prinsip pakeun hebeul jaya dibuana pake gawe kreta bener, pake gawe kreta raharja, ulah botoh bisi kokoro, sebagaimana yang tertuang dalam prasasti kawali Astana gede Ciamis yang artinya kalau kita ingin jaya didunia pegang teguh kebenaran karena itulah yang akan membawa kepada kesejahteraan dan keadilan, bangun kekuatan dengan kedamaian, bangun kekuatan dengan kerendahan hati, saling mengasihi antar sesama, dan jangan serakah karena akan membuat diri jadi sengsara serta yang paling utama adalah mampu memberdayakan dan mensejahterakan orang banyak (Ngertakeun Jalma rea) dengan konsep Tata Tentrem Kerta Raharja.
3
I. Pendahuluan
Seandainya di era globalisasi dan canggih saat ini masih terbersit
hasrat untuk melirik sejarah dan kearifan lokal budaya masa lampau, hal itu
merupakan sikap yang cukup bijaksana, karena jika kita cermati secara
seksama, tanpa kita sadari banyak manfaat serta informasi budaya hasil
kreativitas dan warisan karuhun (warisan leluhur) terdahulu yang bisa kita
gali dan kita ungkapkan dimasa kini. Salah satu sumber informasi budaya
masa lampau yang sangat penting adalah naskah, yang dapat dipandang
sebagai dokumen budaya, karena berisi berbagai data dan informasi ide,
pikiran, perasaan, dan pengetahuan sejarah, serta budaya dari sebuah
bangsa atau kelompok-kelompok sosial budaya masyarakat
tertentu.Sebagai sumber informasi, dapat dipastikan bahwa naskah-naskah
buhun(kuno) termasuk salah satu unsur budaya yang erat kaitannya dengan
kehidupan sosial budaya masyarakat yang melahirkan dan mendukungnya,
yang ditulis pada kertas, daun lontar, kulit kayu, bilahan bambu, atau rotan,
dan lain-lain.
Naskah-naskah tersebut secara umum isinya mengungkapkan
peristiwa masa lampau yang menyiratkan aspek kehidupan masyarakat,
terutama tentang keadaan sosial dan budaya, yang meliputi: sistem
religi/keagamaan, teknologi dan benda materiil, mata pencaharian
hidup/ekonomi, kemasyarakatan, ilmu pengetahuan/pendidikan, bahasa,
dan seni (Koentjaraningrat, 1987; Suryani NS., 2010: 48)..
Memang benar pengaruh globalisasi tidak bisa kita hindari, namun
sebagai generasi muda kita dituntut agar pandai memilih dan memilah serta
mencerna budaya asing yang masuk, mana yang baik dan mana yang tidak
baik untuk diterima. Di era globalisasi saat ini ada kecenderungan bahwa
masyarakat lebih menghargai budaya asing dibandingkan budaya
“pituin”(asli)kita sendiri, meskipun ‘unsur luar’ itu berasal dari
peninggalan “karuhun” (leluhur) kita. Selayaknya kita mau bercermin
4
terhadap kebudayaan bangsa kita sendiri. Untuk itu, sungguh arif andaikan
kita mau mencerna kearifan lokal yang terpendam dalam khazanah budaya
peninggalan nenek moyang, khususnya yang tercermin dalam naskah,
yangberhubungan dengan masalah kepemimpinan.
Karya tulis ini mengacu kepada beberapa teori yang berkaitan
dengan masalah kepemimpinan, sebagaimana dikemukakan Glenn (1992)
Stogdill (1974) Locke (1997), Gardner (1986 & 1988), Ekadjati (2006),
Charliyan (2009 & 2012), (Suryalaga, 2009), Thoha (2009), dan Suryani
NS (2009 & 2012).
Tulisan ini sekadar mengungkap konsep kepemimpinan global
berbasis kearifan lokal, yang dikenal dengan istilah
“parigeuing”(mengingatkan, menyadarkan, eling), sebagaimana tertuang
dalam naskah Sunda buhun(kuno) abad 16 Masehi (1518 M), khususnya
yang menyangkut masalah tuntunan moral atau pedoman bagi seorang
pemimpin dalam melaksanakan tugas dan kepemimpinannya agar berhasil
dan dicintai, baik oleh rakyat maupun oleh bawahannya, yang di dalamnya
tentu saja berkaitan dengan segala aspek kehidupan antara pemimpin
dengan yang dipimpinnya serta aspek ‘real’ yang terjadi di masyarakat
masa kini.
Masalah kepemimpinan terungkap dalam naskah Sunda abad ke-16
Masehi inisebagaimana terungkap dalam naskah Sanghyang Siksakandang
Karesian (SSK), Fragment Carita Parahiyangan (FCP), Amanat
Galunggung (AG), dan Sanghyang Hayu (AG).Naskah-naskah tersebut
berupa daunlontar, beraksara serta berbahasa Sunda buhun (kuno), yang
mungkin saja sudah tidak dikenali dan dipahami lagi oleh sebagian
masyarakat dimasa kini.
5
2. Kepemimpinan
2.1 Definisi
Definisi kepemimpinan sangatlah beragam. Glenn (1992)
menyebutkan bahwa sedikitnya ada kurang lebih 350 definisi mengenai
kepemimpinan. Dari sekian banyak definisi dimaksud, Stogdill (dalam
Handbook of Leadership, 1974) menegaskan, bahwa hanya ada tiga
golongan kepemimpinan, yakni :
a. golongan pertama adalah kepemimpinan sebagai pusat proses gerakan
kelompok;
b. kedua kepemimpinan sebagai seni memengaruhi; dan
c. ketiga kepemimpinan sebagai pembedaan kekuasaan, deferensiasi
peranan, dan inisiasi struktur.
Tidak ada sebuah definisi kepemimpinan yang dapat dirumuskan
secara lengkap untuk mengabstraksikan perilaku sosial atau perilaku
interaktif manusia di dalam organisasi yang memiliki regulasi dan struktur
tertentu, serta misi yang menyeluruh.Meskipun demikian, ada satu definisi
yang mampu mewakili dan dapat dijadikan rujukan berkenaan dengan
kepemimpinan. Locke (1997) menjelaskan bahwa:“kepemimpinanadalah
merupakan suatu proses menggerakkan (inducing) orang lain menuju
sasaran bersama”.
Definisi sebagaimana dikemukan Locke dimaksud merupakansuatu
Relational conceptyakni:“Kepemimpinan itu hanya ada dalam proses
relasi dengan orang lain (para pengikut). Apabila tidak ada pengikut, maka
tidak ada yang disebut pemimpin”.Tersirat dalam definisi ini sebuah
premis, bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana
membangkitkan inspirasi dan berelasi dengan para pengikut mereka.
Kepemimpinan merupakan suatu proses. Agar mampu memimpin,
seorang pemimpin harus melakukan sesuatu.Gardner (1986 & 1988)
melalui observasinya menegaskan bahwa kepemimpinan tidak lebih
6
darisekedar menduduki suatu otoritas. Kendati posisi otoritas yang
diformalkan, yang mungkin akan sangat mendukung proses
kepemimpinan, namun jika hanya sekedar menduduki posisi tersebut itu
tidak otomatis menjadikan seseorang layak disebut sebagai seorang
pemimpin. Secara singkat bisa dirumuskan bahwa leader by action but
leader not by position yang artinya bahwa kepemimpinan itu tidak harus
terikat pada suatu posisi, jabatan atau kedudukan belaka tapi yang paling
penting sikap dan perbuatan mampu menunjukan bahwa ia seorang
pemimpin sesuai dengan profesi dan keahliannya masing-masing yang
mampu membawa anggota atau masyarakatnya untuk mencapai tujuan
bersama.
2.2 Definisi Menurut Naskah Sunda
Kemudian apabila kita gali dari SSK III bahwa pemimpin di
istilahkan sebagai parigeuing yang berarti mengingatkan, secara lebih jauh
mengandung pengertian bahwa seorang pemimpin itu harus selalu eling
mengingatkan para anggotanya untuk mencapai tujuan melalui jalan yang
benar. Hal ini sejalan dengan intisari surat : Wall asri : Marilah kita saling
mengingatkan tentang kebenaran dengan penuh kesabaran (Wattawwa
saubillhaq wattawwa saubilsobr). Kepemimpinan juga harus mengacu pada
konsep Tri Tangtu Dibuana (Tiga Ketentuan untuk Keseimbangan Dunia)
yakni sebagai Prabu yang melambangkan jagat keamanan, Rama sebagai
jagat kemakmuran, Resi sebagai jagat kesejahteraan dan keadilan. Konsep
selanjutnya adalah pemipin sebagai Hulun (abdi), Ratu (Pemimpin) dan
Palanka (Negarawan) yang artinya bahwa sifat utama sebagai pemimpin
itu harus mampu sebagai abdi dulu, sebagai pelayan dari masyarakatnya
jangan sekali-kali bermimpi menjadi pemimpin kalau belum mampu
menjadi seorang abdi/ pelayan dari masyarakatnya (satya Ha Prabu.)
setelah itu baru sesorang berhak sebagi pemimpin yang harus mempunyai
sifat utama yakni bawalaksana (konsekuen, konsisten, komitmen) sacidu
7
metu seucap nyata, satu pikiran, satu perkataan dan satu perbuatan dimana
kesemuanya itu semata-mata hanya untuk Palanka sebagai pemimpin yang
negarawan yang senantiasa mengutamakan kepentingan orang banyak
daripada kepentingan pribadinya serta yang mampu ngalambakeun jalma
rea (mensejahterakan masyarakat banyak) disertai dengan sifat yang rendah
hati dan tidak serakah sebagaimana yang tertuang dalam prasasti kawali
pakeun heubeul jaya dibuana pake gawe kreta bener pake gawe kreta
raharja, ulah botoh bisi kokoro. Dan yang terakhir dalam membawa
masyarakatnya untuk mencapai tujuan dilakukan dengan sangat halus
sehingga masyarakat tersebut tidak terasa dibawa ke arah tujuan tersebut
seperti air sungai yang mengalir (Ilmu wujud patan jala), bahkan siapapun
yang dititahkan mendapat tugas untuk mencapai tujuan tersebut merasa
senang dan bangga karena sebagai tugas bangsa dan negara.
Oleh sebab itu Kepemimpinan harus mampu mengajak atau
membujuk orang lain untuk mengambil tindakan. Pemimpin harus mampu
membujuk pengikutnya melalui berbagai cara, seperti menggunakan
otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model (menjadi teladan),
penetapan sasaran bersama, mampu memberi penghargaan (reward) dan
hukuman (punishment), restrukturisasi organisasi, dan mengkomunikasikan
visi.
Seseorang disebut pemimpin, jika sudah mampu memiliki dan
menyelaraskan konsep (idea, pemikiran), norma (aturan), dan mewujudkan
aktualisasi kepemimpinanya (perilaku) kepemimpinannya. Intisari
kepemimpinan adalah kualitas tingkah laku dan kemampuan individu
dalam berinteraksi sosial untuk mencapai suatu tujuan yang disepakati
bersama. Gaya kepemimpinan dapat berorientasi kepada hubungan yang
harus dibina dengan kelompoknya (concern for people) dan berorientasi
kepada hasil yang ingin dicapainya (concern for production). Semua ini
perlu dikaji secara menyeluruh, yang mencakup tataran IQ (Intelectual
8
Quotient), EQ (Emotional Quotient), SQ (Spiritual Quotient), dan AQ
(Actional Quotient) sebagai sinergi pragmatiknya (Suryalaga, 2009: 129-
130).
2.3 Gaya Kepemimpinan
Gaya atau style kepemimpinan sangat mempengaruhi keberhasilan
seorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku para pengikut atau
bawahannya. Istilahgaya secara mendasar sama dengan ‘cara’ yang
digunakan oleh seorang pemimpin dalam mempengaruhi para pengikut
atau bawahannya. Gaya kepemimpinan merupakan normaperilaku yang
digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi
perilaku orang lain seperti yang Ia lihat (Thoha, 2009: 49).
Ada sebuah pertanyaan yang secara refleks mungkin bisa dan tidak
bisa dijawab oleh hadirin di sini.Apa pentingnya sebuah ‘naskah kuno’ bagi
peradaban dan perkembangan budaya masa kini, dan mengapa naskah
sangat penting bagi kehidupan masyarakat masa kini? Naskah sebagai
dokumen budaya sudah tidak dikenal lagi. Meskipun sebenarnyamasih
sangat menarik kita gali, ungkap, bahkan dapat kita jadikan sekadar
tuntunan moral dalam kehidupan kita saat ini. Penggalian teks naskah-
naskah baik Sunda, Jawa, Bugis, Makasar, Batak dan lain-laintersebutdapat
membantu kita mengungkap kearifan lokal budaya Bangsa kitadimasa
silam yang berkaitan dengan masalah “konsep dan pola kepemimpinan”,
justru dengan mengacu pada kearifan bangsa kita sendiri pasti akan lebih
membumi, karena sudah jadi filosofi, tradisi, dan budaya yang mengakar
dan teruji ratusan bahkan ribuan tahun sesuai dengan geografis, situasi dan
karakter masyarakat itu sendiri.Yang mana saat ini kita terlalu sering
berorientasi pada konsep kepemimpinan model Eropa/Barat yang tentu saja
belum tentu sesuai dengan tradisi akar budaya ketimuran yang akhirnya
menjadikan kita sebagai : Tuan asing dirumah sendiri sehingga bisa jadi
9
“salah asuh” dari awal, karena terbius oleh konsep-konsep yang belum
tentu sesuai dengan budaya kita. Dalam hal ini bukanya Penulis anti
dengan konsep Barat, konsep-konsep Barat yang baik tetap akan kita
jadikan referensi, namun kita harus lebih mengutamakan dan menggali
konsep-konsep kearifan lokal kita yang sudah teruji, adapun konsep Barat
bisa berperan sebagai pendukung dari konsep kearifan lokal kita sendiri,
sehingga dengan demikian konsep-konsep, ilmu-ilmu, dan filosofi lokal,
bisa menjadiTuan dirumah kita sendiri.
2.3 Kepemimpinan Berbasis Kearifan Lokal
2.3.1 Naskah Sanghyang Hayu
Istilah “Parigeuing”atau kepemimpinan ala Sunda yang terungkap
dalam naskah SSK,yang ditulis pada abad ke-16 Masehi, merupakan
naskah kuno yang terbuat dari kulit nipah. Secara umum isinya
mengisahkan tuntunan atau tatacara dalam upaya mencapai kebaikan hidup.
Kemudian konsep kepemimpinan berdasarkan naskah Sanghyang Hayu
pun mendasari konsep tiga rahasia, atau yang lebih dikenaldengan
konseptri tangtu di buanadalam SSKK yang dikenal sebagai Tri geuing
yaitu : geuing (sandang), upa geuing (pangan), dan parigeuing
(memimpin), dimana dalam Naskah Sanghyang Hayu konsep Tri Tangtu
tersebut dibagi dalam 5 bagian yakni:
1. Budi (bijak) – guna (arif) – pradana (saleh)
2. Kaya (sehat/kuat) – wak (wadah/badan) – cita (punya tujuan)
3. Pratiwi (bumi) – akasa (angkasa) – antara (antara)
4. Mata (penglihatan) – tutuk (ucapan) – talinga (pendengaran)
5. Bayu (angin) – sabda (amanah) – hedap (tekad).
Konsep Tri Tangtu di buana ini merupakan sebuah konsep
Kesisteman dalam pola berperilaku suku bangsa Sunda/Nusantara pada
10
umumnya baik perilaku dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
yang mengisyaratkan tiga ketentuan sebagai satu kesatuan, berbeda-beda
tetapi tetap satu atau yang sekarang kita kenal sebagai Bhineka Tunggal
Ika.
Kelima belas karakter seperti tersurat dalam naskah Sanghyang Hayu
harus mendarah daging dalam diri seorang pemimpin, dan untuk bisa
menjadifigur seorang pemimpin ideal harus berpegang teguh kepada prinsip
astaguna ‘delapan kearifan’, sehingga kepemimpinannya berjalan selaras,
baik, dan harmonis. Kedelapan kearifan tersebut sebagaimana dikemukakan
Darsa (1998) adalah sebagai berikut:
a. Animan (lemah lembut), seorang pemimpin harus memiliki sifat
yang lemah lembut, dalam arti tidak berperilaku kasar, agar orang
yang dipimpinnya merasa diperhatikan.
b. Ahiman (tegas), seorang pemimpin harus bersikap tegas, dalam
pengertian tidak plin plan (panceg hate)
c. Mahiman (berwawasan luas), seorang pemimpin tentu saja harus
memiliki berbagai macam pengetahuan dan berwawasan tinggi agar
tidak kalah dari bawahannya.
d. Lagiman (gesit/cekatan/trampil), seorang pemimpin pun dituntut
agar Dia trampil dan gesit serta cekatan dalam bertindak atau
melakukan suatu pekerjaan
e. Prapti (tepat sasaran), seorang pemimpin harus memiliki ketajaman
berpikir serta tepat sasaran, karena jika keliru atau berspekulasi hal
itu akan menghambat suatu pekerjaan.
f. Prakamya (ulet/tekun), seorang pemimpin juga tentu saja harus
memiliki keuletan dan ketekunan yang sangat tinggi. Pemimpin tidak
boleh putus asa agar semua pekerjaan bisa diselesaikan dengan baik
dan berhasil guna.
11
g. Isitwa (jujur), seorang pemimpin dituntut memiliki kejujuran, baik
dalam perkataan, pemikiran, maupun perbuatan agar dipercaya oleh
orang lain (rekan kerja/bisnis/perusahaan/negara lain) maupun
bawahannya, sehingga terjalin kesepahaman yang harmonis.
h. Wasitwa (terbuka untuk dikritik), seorang pemimpin harus memiliki
sikap ‘legowo’ dan bijaksana sehingga mau menerima saran dan
terbuka untuk dikritik jika pemimpin itu berbuat salah atau
menyimpang dari aturan yang ditetapkan.
Kepemimpinan Astaguna ini sejalan dengan teori “kepemimpinan
berdasarkan sifat” sebagaimana dikemukakan LL. Barnard (1426),
Kilbourne (1927) page (1935) dan Locke & Patrick (1991) yang menitik
beratkan bahwa sebagai seorang pimpinan harus memiliki sifat – sifat yang
unggul sebagai sebuah ciri khas yang membedakan ia sebagai pemimpin
dengan manusia-manusia lainya, atau sejalan dengan teori “Role
Leadership" dari Homan (1950), Kahn (1970), Hunt (1976), Mintzberg
(1978) yang menitik beratkan pada karakter pemimpin yang harus punya
peran khusus dalam kelompoknya yang sesuai dengan situasi dan kondisi
yang diperlukan pada saat tersebut.
2.3.2 Sanghyang Siksakandang Karesian
Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK) mengulas dan
mengungkap “parigeuing” yang meliputi sepuluh pedoman atau tuntutan
yang harus dimiliki serta dilaksanakan oleh seorang pemimpin dalam
rangka membina serta memimpin bawahannya, yang dikenal dengan
sebutan Dasa Prasanta. Sepuluh pedoman cara kepemimpinan yang
mampu menenangkan hati sebagai berikut:
12
a. Guna ‘bijaksana/ kebajikan, perintah yang diberikan oleh seorang
pemimpin dipahami manfaat dan kegunaannya oleh bawahannya,
sehingga tidak terjadi kesalahpahaman.
b. Ramah ‘bertindak seperti orang tua yang bijak dan ramah/bestari’,
keramahan seorang pemimpin akan menumbuhkan rasa nyaman
dalam bekerja dan beraktifitas. Iklim yang kondusif dan
mengesankan adanya keramah tamahan akan menjadi ‘habitat’ yang
sangat baik dan menyenangkan.
c. Hook‘sayang atau kagum’, perintah seorang pemimpin dianggap
sebagai representasi kekaguman atas prestasi dari orang yang
diperintahnya.
d. Pésok‘memikat hati atau reueus/bangga’,seorang pemimpin harus
mampu memikat hati bawahannya serta merupakan ‘kareueus’
kebanggaan juga bagi bawahannya. Perintah yang disampaikan oleh
seorang pemimpin disampaikan dengan cara yang menimbulkan
kebanggaan bagi yang diperintah. Hal demikian akan mampu
mendorong kepercayaan bawahan yang diperintah.
e. Asih ‘kasih, sayang, cinta kasih, iba’, perintah pemimpin harus
dilandasi dengan perasaan kemanusiaan yang penuh getaran kasih.
f. Karunya‘ iba/sayang/belas kasih’, sebenarnya hampir sama dengan
asih, namun dalam karunya perintah pemimpin harus terasa sebagai
suatu kepercayaan dari pemimpin kepada yang dipimpinnya
g. Mupreruk‘membujuk dan menentramkan hati’, seorang pemimpin
seyogyanya mampu membujuk dan menentramkan hati yang
dipimpinnya dengan cara menumbuhkan semangat kerjanya.
h. Ngulas‘memuji di samping mengulas, mengoreksi’. Seorang
pemimpin tidak ada salahnya memuji pekerjaan atau keberhasilan
yang dipimpinnya sebagai penghargaan dan pendorong ke arah yang
lebih baik.
13
i. Nyecep‘membesarkan hati dan memberikan kata-kata pendingin
yang menyejukkan hati’, bisa juga diartikan memberi perhatian baik
berupa moril maupun materiil, walau hanya berupa ucapa terima
kasih atau pemberian ala kadarnya sebagai penyejuk hati. Demikian
juga dikala bawahanya mendapat musibah atau tidak berhasil dalam
suatu pekerjaan. Jangan dicela atau dijatuhkan tapi tetap diberi
dorongan moril agar lebih semangat lagi.
j. Ngala angen‘mengambil hati’, mampu menarik hati dan simpati
bawahannya atau yang dipimpinnya, sehingga tersambung ikatan
silaturahim yang kental dan harmonis.
Dasa Prasanta tersebut, apabila kita cermati secara saksama,
kaidahnya berpijak kepada kuantitas dan kualitas hubungan antarmanusia,
tetapi tidak dalam kondisi yang kaku dan otoriter. Dalam proses
komunikasinya tetap menggunakan asas silih asih, silih asah, dan silih
asuh
Karena Dasa Prasanta, kaidahnya berpijak kepada kuantitas dan
kualitas hubungan antar manusia (human relationship) namun tidak dalam
kondisi hubungan majikan-buruh yang kaku dan otoriter. Dimana dalam
proses komunikasinya menggunakan silih asih, silih asah, dan silih asuh.
Berdasarkan SSK seseorang dapat dikatakan memiliki keahlian Dasa
Prasanta apabila kualitas dirinya telah “mumpuni”. Dalam arti, seorang
pemimpin harus “kharismatik”, mempunyai “pamor” atau “tuah”yang
terbersit dari kualitas batiniahnya, sehingga akan tampak dalam ciri
kepemimpinannya. Konsep dasa prasanta merupakan intisari dari‘ilmu
human relation dalam manajemen’, meskipun secara tersirat dikatakan
bahwa seseorang baru bisa menjadi pemimpin apabila dalam pribadinya
melekat karakter kepemimpinan yang disebut pangimbuhning twah atau
pelengkap untuk mempunyai tuah/kharisma/pamor).
14
Dasa Prasanta ini bila kita analisis berdasarkan konsep-konsep
kepemimpinan yang ada termasuk dalam kategori teori “Kepemimpinan
Humanistik” sebagaimana yang dikemukakan Mc. Gregor (1966), Blake &
Mourton (1964), atau Likert (1967) yang menitik beratkan pada
“pengembangan motivasi”, atau juga bisa sejalan dengan teori
“Kepemimpinan Managerial Strategis” sebagaimana dikemukakan
Buckingham & Coffmant (1999), Drucker (1999), atau Kotter (1998) yang
juga menitik beratkan pada penyelarasan visi, memberikan inspirasi serta
memotivasi dan memberi semangat para pengikutnya. Dasa prasanta inipun
juga sejalan dengan teori “Transformasional nilai” sebagaimana
dikemukakan Bass Bennis (1993), Burns (1978) atau De Pree (1995) yang
menitik beratkan pada penyelarasan, penciptaan, dan pemberdayaan
sehingga pemimpin dan para pengikut saling menghargai, saling
mengangkat satu sama lain ke tingkat moralitas & motivasi yang lebih
tinggi.
Ada dua belas unsure pangimbuhning twah yang harus menjadi ciri-
ciri karakter seorang pemimpin. Kedua belas pelengkap ini menitik
beratkan kepada aspek-aspek karakter yang harus dimiliki seorang
pemimpin berupa karakter positif yang harus dipertahankan dan
dikembangkan sebagaimana tertuang dalam naskah SSK (bandingkan
Suryalaga 2009:141), yang meliputi :
a. Emét artinya ‘tidak konsumtif’. Seorang pemimpin yang terbiasa
untuk tidak konsumtif, akan mampu mengendalikan keserakahannya.
Pemimpin demikian akan terhindar dari perilaku korup yang tentu
saja harus dihindari oleh seorang pemimpin.
b. Imeut‘teliti, cermat’. Jika seorang pemimpin ceroboh dan kurang
teliti terhadap pekerjaannya, maka banyak waktu yang terbuang
untuk memperbaiki kekeliruannya karena ketidakcermatan yang
telah diperbuatnya.
15
c. Rajeun‘rajin’. Selama hidupnya tetap berkarya, pemimpin yang
demikian mampu memanfaatkan durasi usianya dengan pekerjaan
yang ditekuninya, bagi pemimpin seperti ini tidak ada hari yang
terbuang secara percuma.
d. Leukeun‘tekun’.Ketekunan dalam mencapai tujuan yang dicita-
citakan. Ketekunan selalu berkaitan erat dengan kesabaran.
e. Paka Pradana ‘berani tampil/berbusana sopan, beretika’. Seorang
pemimpin yang tanpa berbekal etika dalam pergaulan, perasaan
simpati dan empati pun akan menghilang secara perlahan.
f. Morogol-rogol‘bersemangat, beretos kerja tinggi’. Keinginannya
untuk berkarya dengan kualitas unggul dan terbaik, akan mendorong
kemampuan ruhaniah yang memompa talenta positif seorang
pemimpin untuk diwujudkan dalam kehidupan nyata.
g. Purusa ning sa‘ berjiwa pahlawan, jujur, berani’. Kreasi dan inovasi
serta pembaharuan yang berkualitas prima hanya terlahir dari
pemimpin yang berjiwa pahlawan. Para pembaharu yang berani
menantang kemandegan pemikiran manusia. Kejujuran diibaratkan
jarum kompas penunjuk arah yang benar.
h. Widagda‘bijaksana, rasional dan memiliki keseimbangan rasa’.
Kesombongan rasio yang kadang-kadang sangat mendominasi
pemikiran manusia perlu diimbangi dengan rasa sejati kemanusiaan.
i. Gapitan‘berani berkorban untuk keyakinan dirinya’. Keyakinan
merupakan satu-satunya cara untuk mencapai visi hidup seorang
pemimpin.
j. Karawaléya‘dermawan’.Hidup adalah kebersamaan dengan orang
lain. Kepedulian sosial sangat diperlukan dari seorang pemimpin.
k. Cangcingan‘terampil, cekatan’. Hanya pemimpin yang cekatan yang
mampu memanfaatkan kesempatan yang ada karena kesempatan
tidak datang dua kali.
16
l. Langsitan‘rapekan’, segala bisa, multi talenta dan pro aktif.
Pemimpin yang pro aktif lah yang berkesempatan meraih sukses.
Konsep, pola, figur, dan gaya kepemimpinan berdasarkan naskah
Sanghyang Siksa Kandang Karesian sesuai tugasnya, bahwa seorang
Prabu sebagai pemimpin roda pemerintahan (eksekutif) harus ngagurat
batu 'berwatak teguh' serta harus mampu ngretakeun bumi lamba, dalam
arti bahwa seorang prabu atau pemimpin harus mampu menyejahterakan
dan memberdayakan semesta dunia kehidupan. Kita paham benar bahwa
dunia kehidupan tersebut meliputi semesta alam dan mencakup
kesejahteraan lahir batin. Dengan demikian, tugas pemimpin adalah
mewujudkan lingkungan hidup dan kehidupan yang sejahtera, bermatabat
dan penuh dengan rahmat dan ridha Sang Pencipta, Allah SWT yang Maha
Pengasih serta Maha Penyayang. Itulah yang dimaksud dengan tujuan akhir
berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan masyarakat yang Tata
Tentrem Kertaraharja membangun kekuatan dalam damai untuk
mewujudkan kesejahteraan bangsa.
Pangimbuhan Twah inipun bila kita kaji sejalan dengan teori
“Kepemimpinan Kharismatik” sebagaimana dikemukakan Maxwell
(1999), Arthur (1993), atau Weber yang meneliti sejak tahun 1947 yang
menitik beratkan pada kekuatan pengaruh, tradisi atau kualitas unggul yang
dimiliki seseorang, atau juga sejalan dengan teori “kepemimpinan yang
Aspiratif & Visioner” sebagaimana dikemukakan Burn, Kouzes & Posner
(1998), Peter Walkman (1990), atau Richard Engle (1986), yang menitik
beratkan pada segi untuk menggerakkan sehingga pimpinan berperan
sebagai kompas, pemandu, sehingga orang lain bersedia berjuang untuk
tujuan bersama, kemudian pangimbuhan Twah inipun juga sejalan dengan
teori “Kepemimpinan Spiritual” model Green Lest (1996), Spears & Frick
(1992), Fairhom (1993) atau Maxwell (1993) yang menitik beratkan pada
17
besarnya pengaruh dari seorang pimpinan yang punya komitmen terhadap
spiritual , adat, budaya, nilai, dan tradisi masyarakat/lingkungan/tradisi
organisasi.
2.3.3 Fragment Carita Parahiyangan (FCP)
Masalah kepemimpinan juga terungkap dalam naskah Fragmént
Carita Parahiyangan (FCP). Pola kepemimpinan yang tersirat dalam FCP,
adalah bahwa Tarusbawa sebagai prebu (pemimpin roda pemerintahan
pusat) membawahi beberapa penguasa wilayah yang diangkat atas
kesepakatan bersama dengan pihak rama 'tokoh masyarakat wakil rakyat'
dan pihak’ resi 'penentu kebijakan hukum'. Sistem pembagian kekuasaan
seperti itu dikenal dengan sebutan Tri Tangtu di buana 'tiga unsur
penentu kehidupan di dunia', terdiri atas prebu, rama dan resi. sebagai:
a. Prebu adalah pemimpin roda pemerintahan (eksekutif yang saat
ini dipegang oleh pemerintah) yang harus ngagurat batu
'berwatak teguh'.
b. Rama adalah golongan yang dituakan sebagai wakil rakyat
(legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat) yang harus ngagurat
lemah “berwatak menentukan hal yang mesti dipijak”.
c. Resi adalah golongan yang bertugas memberdayakan hukum
agama dan darigama ”negara” (yudikatif atau saat ini dipegang
oleh Mahkamah Agung) yang harus ngagurat cai 'berwatak
menyejukkan serperti air, sesuai takaranya dan selalu mengalir
kebawah membela yang lemah dan teraniaya dalam peradilan'.
Andai kita simak lebih saksama, sistem politik Sunda masa silam
sebagaimana terungkap dalam naskah Fragment Carita Parahiyangan yang
dikenal dengan tri tangtu di buana, selama ini dikenal seolah-olah berasal
dari “trias politica”nya Montesque yang mulai membumi pada abad XVIII
Masehi. Bagi orang yang tidak terlalu mengenal naskah Sunda buhun,
18
mungkin hal itu dianggapnya benar, namun bagi filolog yang menguasai
naskah, akan merasa aneh. Justru pembagian sistem pemerintahan dan
politik tersebut sebenarnya sudah diejawantahkan dalam pemerintah Sunda
sejak abad ke-VIII M).hal ini membuktikan bahwa leluhur kita masa
lampau itu merupakan orang-orang yang bijak dan cerdas yang ternyata
sudah mampu melaksanakan teori trias politica dari Perancis. Sepuluh
abad sebelum teori itu sendiri lahir, sehingga disini peran Prabu sebagai
raja tidak bisa berkuasa mutlak/otoriter dengan kekuasaan tanpa batas. Tapi
ada penyeimbang kekuasaan yaitu Rama dan Resi. bahkan seorang raja
tidak akan bisa bertahta sebagai raja tanpa adanya restu dari Rama dan
Resi, sehingga ada sebuah filosofi yang dikenal dengan : Galunggung
ngadeg tumenggung, sukapura ngadaun ngora yang artinya seorang
tumenggung atau raja baru bisa dikatakan resmi sebagai raja bila sudah ada
restu dari Galunggung sebagai pusat Rama dan Resi. hal ini dibuktikan dari
beberapa kejadian literatur sejarah kerajaan Sunda, Galuh dan Pajajaran
antara lain : naiknya Prabu Permana Dikusuma sebagai raja Galuh (abad ke
VIII) atau di angkatnya Jaya Dewata/Sri Baduga Maharaja sebagai raja di
Pajajaran (abad XV) sebagai akibat dileburnya dua kerajaan Sunda dan
Galuh.
2.3.4 Pantangan-Pantangan dalam Kepemimpinan
Naskah Amanat Galunggung (AG) menjelaskan ada empat larangan
bagi seorang pemimpin dalam cara memerintash, yakni :
a. mulah kwanta (jangan berteriak)
b. mulah majar laksana (jangan menyindir)
c. mulah madahkeun pada janma;(jangan menjelekkan orang lain)
d. mulah sabda ngapus (jangan berbohong).
19
AG Verso VI mengungkap pantangan-pantangan sebagai pimpinan
dalam ilmu wujud air “patanjala”, bahwa seorang pemimpin:
a. jangan mudah terpengaruh
b. jangan peduli terhadap godaan
c. jangan dengarkan ucapan yang buruk
d. Pemimpin harus visioner berpusat kepada tujuan dan cita-cita,
sebagaimana dikemukakan Seth Kahan (2002).
Kepemimpinan ini bisa dikategorikan sebagai pemimpin yang
visioner sejalan dengan teori “Kepemimpinan model jalur dan tujuan”
sebagaimana dikemukakan M.G Evans (1970) House dan Dessler (1974)
yang menitik beratkan pada perbuatan kinerja anggota yang harus sesuai
dengan norma, aturan, atau protap dan standar kerja. Kemudian juga
sejalan dengan model “kepemimpinan berdasarkan output”
sebagaimana dikemukakan Clitton dan Ulrich (2001) bahwa titik berat
kepemimpinan adalah keberhasilan dalam mencapai tujuan dengan
melalui proses yang benar pula.
2.3.5 Pemimpin Sebagai Abdi
SSK VI mengungkap “sikap pemimpin sebagai abdi”, yakni
memberikan sebuah pesan bahwa prasyarat sebelum jadi pimpinan harus
mampu dulu bersikap sebagai abdi artinya jangan bermimpi bisa menjadi
pemimpin yang baik sebelum mampu lulus dan berperan sebagai abdi,
sehingga konsep kepemimpinan tersebut terbagi dalam 3 konsepsi yakni :
a. sebagai Hulun (abdi)
b. sebagai Palanka (wadah/pemerintah)
c. sebagai Prebu (pimpinan)
karena pada hakekatnya seorang pemimpin itu hanyalah seorang abdi
utama, sebagai pelayan; bahkan dalam “8 habbits” dikatakan pemimpin
tertinggi tk. 5 (lima) adalah;“seorang pemimpin yang mampu
mengabdikan dirinya tanpa batas/melayani tanpa batas dengan
20
disertai sikap kerendahan hati serta konsisten untuk tetap
mengingatkan tentang kebenaran tak terhingga”. Adapun sifat-sifat
pemimpin sebagai abdi antara lain:
a. Mulah luhya (‘jangan mengeluh’)
b. Mulah kuciwa (‘jangan kecewa’)
c. Mulah ngontong dipiwarang (‘jangan sulit diperintah)
d. Mulah hiri ‘jangan iri’, dan mulah dengki (‘jangan dengki’).
e. Mulah Nyey Nyot Tineung urang (tidak pernah goyah)
f. Mulah Kukulutus (tidak pernah menggerutu)
g. Haywa Pamali (tidak pernah melanggar pantangan)
h. Deung deungan sakahulunan (tidak mencelakakan sesama)
Hal inipun sejalan dengan teori “Kepemimpinan sebagai Pelayan”
dari Farhom (1994), Benge (1950), atau Schein (1992) menyiratkan bahwa
pada hakekatnya pemimpin itu adalah melayani orang lain, melayani
masyarakat dan melayani kepentingan organisasi sehingga seorang
pimpinan harus bersikap empati, tanggung jawab, persuasif, pendengar
yang baik, komitmen, konsisten dan konsekuen.
Sikap-sikap pemimpin sebagai abdi yang lain yang tercatat dalam
naskah SSK adalah sebagai 4 pantangan yang harus dihindari antara lain:
a. Mulah Babarian (jangan mudah tersinggung)
b. Mulah pundungan (jangan mudah merajuk)
c. Mulah humandeuar (jangan mudah berkeluh kesah)
d. Mulah kukulutus (jangan menggerutu).
Adapun sikap seorang pemimpin sebagai abdi yang terakhir sesuai
dengan SSK-IV bahwa, pengabdian itu pada hakekatnya adalah
ibadah, bekerja menanam budi (ini karma ning hulun, saka jalan
urang hulun, karmo ma) maka sebagai seorang pimpinan
a. Hendaknya takut (maka takut)
21
b. Hendaknya segan (malah jarot)
c. Hendaknya hormati (maka atong)
d. Hendaknya sungguh-sungguh (maka teuing).
Berkaitan dengan larangan, SSK mengungkap bahwa pemimpin
harus mampu menjaga dasa kreta sebagai perwujudan dasa indra, yakni
harus menjaga mata, telinga, kulit, lidah, hidung, mulut, tangan, kaki,
badan, dan aurat sejalan dengan dengan QS Al Araaf 179.
Naskah SSK selain mengupas sifat baik dan buruk seorang
pemimpin, juga tertuang watak manusia yang membuat kerusakan di dunia
yang disebut Catur Buta, yaitu empat watak manusia yang berkarakter
raksara perusak kehidupan, yakni:
a. Burangkak (mengerikan), dikenal sebagai mahluk maha gila yang
sangat mengerikan, tidak ramah, sering membentak. Burangkak
berkelakuan kasar, berhati panas, tidak tahu tatakrama dan sering
melanggar aturan. Merasa derajatnya lebih tinggi dari orang lain.
b. Mariris (tega/menjijikan), orang yang menjijikan lebih dari bangkai
binatang yang membusuk; manusia yang suka mengambil hak orang
lain, korup, menipu, berdusta.
c. Maréndé (menakutkan), dalamSSK adalah sebangsa raksasa bermuka
api. Pada awalnya rakyat menduga bahwa pemimpin tersebut
berwatak dingin menyejukkan, mampu membawa masyarakat hidup
damai dan tentram, namun setelah menjadi pemimpin ternyata malah
membawa panas dan menimbulkan bencana di masyarakat.
d. Wirang (memalukan, licik), dalam SSK ditampilkan sebagai binatang
yang menakutkan, yaitu orang yang tidak mau jujur, tidak mau
mengakui kesalahan dirinya, tidak mau berterus terang, `serta selalu
menyalahkan orang lain.
22
Salah satu prasyarat utama sebagai seorang abdi adalah: kesetiaan
(Satya dikahulunan) yang diwujudkan dalam bentuk bakti, kemudian
kepada siapa saja wujud bakti dan kesetiaan itu harus diberikan, yakni:
a. Bakti dan kesetiaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
b. Bakti dan kesetiaan kepada Orang tua
c. Bakti dan kesetiaan kepada Negara
d. Bakti dan kesetiaan kepada Tujuan mulia
e. Bakti dan kesetiaan kepada masyarakat
f. Bakti dan kesetiaan kepadaPemimpin
g. Bakti dan kesetiaan kepada Diri sendiri
Adapunmenurut naskah SSK-Idikenal dengan istilah Dasa perbakti
yakni:
a. Anak berbakti kepada Orang tua : (Anak bakti dibapak)
b. Istri berbakti kepada Suami :(Ewe dibakti dilaki)
c. Hamba berbakti kepada majikan : (Hulun bakti dipacandaan)
d. Siswa berbakti kepada guru : (Siswa bakti diguru)
e. Petani berbakti kepada Mandor : (Wang tani bakti diwado)
f. Mandor berbakti kepada Mantri : (Wado bakti dimantri)
g. Mantri berbakti kepada Mangkubumi :(Mantribakti dimangkubumi)
h. Mangkubumi berbakti kepada Raja :(Mangkubumi bakti diRatu)
i. Raja berbakti kepada Dewa :(Ratu bakti diDewata)
j. Dewa berbakti kepada Tuhan : (Dewata bakti diHyang)
Jika kita lihat konsep bakti dalam naskah SSK ini berawal dari:
a. Konsep bakti dilingkungan keluarga (anak, bapak, suami, istri)
b. Konsep bakti dilingkungan pendidikan (siswa dan guru)
c. Konsep bakti dilingkungan masyarakat (hamba, majikan, petani,
mandor)
23
d. Konsep bakti dilingkungan pemerintahan (mantri, mangkubumi,
raja)
e. Konsep bakti dilingkungan moral spiritual ketuhanan (dewa dan
hyang)
Konsep kesetiaan sebagai abdi inipun tersurat dalam Filosofi dan
pengertian dari huruf Jawa kuno yaitu : Hanacaraka, Datasawala,
padajayanya, Magabatanga yang artinya ada prajurit sebagai duta/utusan
yang membawa berita namun karena kesetiaanya terhadap perintah raja
akhirnya membawa kesetiaanya sampai mati. Dalam hal ini tersurat bahwa
kesetiaan itu harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan.
Kemudian apabila kita tinjau konsep pengabdian ini dari sisi agama
sebagaimana tersirat dalam Al Quran (Al Dzariat 51:56) dikatakan : “tidak
aku jadikan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepadaku” dan lebih
jauh dikatakan dalam surat Al Fatihah yang berbunyi : “ iyyaa kana’
budu wa’iyaa kanas ta’in” (hanya kepadamu kami mengabdi dan
hanya kepadamu kami memohon pertolongan) jadi artinya tugas manusia
didunia ini sesungguhnya hanya semata-mata untuk mengabdidan
diingatkan kepada manusia jangan meminta pertolongan dulu sebelum bisa
mengabdi dengan sempurna, karena kebiasaan yang terjadi manusia selalu
meminta pertolongan tapi tidak ingat bahkan tidak pernah mengabdi baik
kepada sesama apalagi kepada yang maha kuasa.
2.3.6 Kepemimpinan Sebagai Negarawan (Prabu ing Palanka)
Sebuah bangsa bisa banyak melahirkan para pemimpin yang
qualified, tetapi belum tentu mampu melahirkan sosok-sosok Negarawan
yang unggul. Karena seorang pemimpin baru bisa dikatakan sebagai
pemimpin yang hebat, mumpuni, bila ia sudah mampu bersikap sebagai
seorang Negarawan dalam arti kata, seorang Negarawan pasti seorang
24
pemimpin, tetapi seorang pemimpin belum tentu mampu bersikap sebagai
seorang Negarawan. Adapun sikap-sikap yang harus dipunyai oleh seorang
Negarawan seperti yang tersurat dalam Amanat Galuggung Rekto 1:
a. Jangan bentrok : Mulah Pabuang
b. Jangan berselisih paham : Mulah Pasalahan paksa
c. Jangan saling bersikeras : Mulah Pakeudeu-keudeu
d. Jangan mempertentangkan : Mungku urang miprangkeun
Tentang kebenaran dibener
e. Jangan saling curiga : Mulah nenget sama hulun
f. Jangan berebut kedudukan : Haywa pa ala-ala palungguhan
g. Jangan berebut pekerjaan : Haywa pa ala-ala pamonang
h. Jangan berebut jasa : Haywa pa ala-ala demakan
i. Jangan merampas milik orang: Mulah ngarampas tanpa dwasa
lain
j. Jangan menyakiti orang lain : Mulah midukaan tanpa dwasa
k. Hendaknya hidup rukun : Masing Rampes
l. Jangan sampai tanah leluhur : Jaga dapetna pretapa, dapetna
Dikuasai orang lain pegengeun sakti Beunangna
(Cinta tanah air) ku asing
Itulah sikap-sikap yang harus dimiliki oleh seorang pimpinan sebagai
Negarawan, bahkan ada amanat khusus yang menitik beratkan pada arti
penting Cinta tanah air, arti penting agar para ksatria para generasi muda
kader-kader penerus bangsa mampu mempertahankan tanah leluhurnya
(kabuyutan), mampu mempertahankan tanah airnya jangan sampai
terkuasai oleh orang asing atau oleh para kapitalis. Bahkan karena dianggap
sangat penting sikap untuk mempertahankan tanah air ini sampai-sampai
ada sumpah atau amanat khusus dari seorang raja Galuh Prabu Darma
Siksa (abad XII) bagi para penerusnya bila tidak mampu
25
mempertahankanya. Maka ia diakatakan lebih hina dari sampah yang
paling busuk yang ada di jarian yakni:
- Jaga direbutnya /dikuasainya tanah laluhur oleh orang lain(Jaga
beunangna kabuyutan ku sakalih).
- Akan banyak para pedagang yang ingin merebut tanah leluhur
(Banyaga nu dek ngarebut kabuyutan).
- Yakni orang-orang Asing yang ingin memrebut tanah leluhur
(Asing iya nu meunangkeun kabuyutan).
- Lebih berharga kulit musang ditempat sampah daripada
Rajaputra tidak mampu mempertahankan tanah leluhur yang
direbut orang lain (Mulyana kulit lasun di jaryan, modalna
rajaputra antukna beunang ku sakalih).
Kemudian lebih lanjut dijelaskan dalam SSK-Rekto III sikap
pemimpin sebagai Negarawan “hendaknya berbuat kemulyaan yang
menitik beratkan pada satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan” (maka
pada mulya, ku ambeg, ku sabda, ku hidep) atau sikap
“Bawalaksana”(Komitmen, konsisten, konsekuen, dan bertanggung jawab)
sebagaimana diungkapkan dalam buku Sabda Pandhita Ratu, sebagai
sikap utama yang harus dimiliki oleh seorang pimpinan. Sehingga
pimpinan sebagai Negarawan (Pandhita Ratu). Berbuat tidak untuk
mengejar kedudukan (kalungguhan), tidak mengejar jabatan /pekerjaan
(pamonangan) atau mengejar jasa dan rejeki (demakan), mengajar sebuah
posisi (position) atau status. Tapi lebih menitik beratkan pada role
(peranan) atau perbuatan (action). Yakni sebagai : “Leader by action is
not leader by position” atau “leadership by role but not leadership by
status”. Untuk mengejar kemulyaan Bangsa dan Negara yang dilaksanakan
dengan sikap “Bawalaksana” tadi, dengan sepenuh tanggung jawab
berikut segala resikonya. Hal ini sejalan pula dengan hadist dan Al-Quran
“tidak aku jadikan engkau khalifah dimuka bumi melainkan nanti akan aku
26
minta pertanggung jawabanya”, sehingga sebagai seorang pemimpin harus
mampu bertanggung jawab baik lahir maupun bathin, baik dunia maupun
akhirat. Makanya golongan pertama manusia yang akan masuk Surga
adalah : “seorang pemimpin yang adil”.
2.3.7 Delapan Karakter Kepemimpinan Sunda
Kita sering mendengar istilah cageur (sehat), bageur (baik
perilakunya), bener (benar), pinter (berwawasan luas), tur singer
(terampil), yang dianggap sebagai sifat dan karakter yang harus dimiliki
orang Sunda. Kelima istilah tersebut sebenarnya berkaitan erat dengan
karakter ‘pemimpin’ sebagaimana diungkapkan naskah Sanghyang
Siksakandang Karesian (SKK), Fragment Carita Parahiyangan (FCP),
Amanat Galunggung (AG), dan Sanghyang Hayu (SH).
Naskah Sunda mengisyaratkan delapan sikep ‘karakter’ yang harus
dimiliki oleh seorang pemimpin. Di samping cageur (sehat), bageur (baik
perilakunya), bener (benar), pinter (berwawasan luas), singer (terampil),
dikenal pula istilah teger (ulet), tajeur (tangguh), dan wanter (berani),
yang bisa dibandingkan dengan 6 (enam) Prinsip Leadership Modern
Model FBI 2012, tanpa tajeur dan wanter.
Beragam kamus bahasa Sunda yang disusun R. Satjadibrata, R. A.
Danadibrata, atau LBSS hanya menjelaskan arti secara leksikal.
a. Cageur diartikan tidak sedang terkena penyakit, sehat atau sudah/baru
sembuh. Pemimpin Sunda harus memiliki badan kaya (sehat/kuat)–wak
(bersabda/enerjik)–cita (senantiasa memelihara hati). Seorang
pemimpin harus sehat, kuat, enerjik, dan senantiasa bertindak dengan
hati, yang berkaitan dengan AQdan PQ (Phisical Ability).
b. Bageur adalahorang yang suka memberi, baik perilakunya, dan tidak
nakal. Seorang pemimpin harus memiliki sikap animan (lemah
lembut), dalam arti tidak berperilaku kasar. Bageur lebih mengarah
27
kepada perilaku budi (bijak)–guna (arif)–pradana (saleh), dan ramah
(bestari). Pemimpin harus berperilaku arif bijaksana dan saleh, di
samping bijak dalam memandang segala hal serta ramah,
karawaléya‘dermawan’. Kesalehan sosial sangat diperlukan dari
seorang pemimpin, berhubungan dengan Emotionaility Ability/EQ.
c. Bener‘benar’, tidak salah, sungguh-sungguh. Seorang pemimpin harus
lurus dan menjunjung tinggi kebenaran, memiliki sifat jujur atau isitwa,
baik dalam perkataan, pemikiran, maupun perbuatan agar dipercaya
oleh orang lain, sehingga terjalin kesepahaman yang harmonis. Adanya
kesepahaman antara pikiran, perasaan, dan tindakan (saciduh metu
saucap nyata). Dalam Sanghyang Hayu dikatakan adanya keselarasan
antara mata (penglihatan) – tutuk (ucapan) – talinga (pendengaran),
apa yang dilihat, dan didengar harus sesuai dengan apa yang diucapkan,
selaras dengan Moral Ability atau SQ.
d. Pinter‘pintar’/pandai, berpengetahuan, mampu bekerja, mudah
mengerti. Pemimpin harus mahiman (berwawasan luas dan cerdas),
memiliki berbagai macam pengetahuan dan berwawasan tinggi.
Seorang pemimpin selain pinter‘cerdas’ juga harus memiliki
keseimbangan rasa dalam bertindak, selaras dengan Intelectual Ability
(IQ).
e. Singer ‘trampil, gesit, cekatan’, yang disebut dengan lagiman atau
cangcingan. Langsitan ‘rapekan’ , segala bisa, multi talenta dan pro
aktif Rajeun ‘rajin’. Selama hidupnya tetap berkarya. Morogol-rogol
‘bersemangat, beretos kerja tinggi’. Keinginannya untuk berkarya
dengan kualitas unggul dan terbaik, berkenaan dengan Personal
Abality (PQ).
f. Wanter “berani tampil dalam kondisi apapun namun luwes”. Wanter
harus purusa ning sa “berjiwa pahlawan, jujur, berani”. Kreatif dan
inovatif. Para pembaharu yang berani menantang kemandegan
28
pemikiran manusia. Widagda “bijaksana, rasional dan memiliki
keseimbangan rasa”. Paka Pradana ‘berani tampil sopan, beretika’.
Gapitan “berani berkorban untuk keyakinan dirinya”, ini selaras
dengan Sosoial Ability (SCQ)
g. Teger ‘tidak takut dan tidak khawatir sedikit pun’. Panceg hatḗ ‘tidak
plin plan’, kalem dan berpendirian. Seorang pemimpin harus ahiman
‘tegas’, prakamya dan leukeun ‘ulet/tekun’. Ketekunan dalam
mencapai tujuan yang dicita-citakan dengan penuh kesabaran.
Pemimpin tidak boleh putus asa dalam menghadapi segala
kondisi.Teger berkaitan dengan wasitwa ‘terbuka untuk dikritik’,
‘legowo’ dan bijaksana serta terbuka untuk dikritik, selaras dengan
Reliciance Ability (RQ).
h. Tajeur/tanjeur ‘mampu berdiri kokoh di atas kaki sendiri’. Pemimpin
harus prapti ‘tepat sasaran’; memiliki ketajaman berpikir, karena jika
keliru atau berspekulasi hal itu akan menghambat suatu pekerjaan,
selaras dengan Exelent Ability (ExQ).
Kedelapan karakter orang Sunda dimaksud melekat pada seorang
pimpinan maka akan melahirkan manusia unggul (maung) yang ulet
dan tangguh, sehingga melahirkan konsepsi ketahanan
pribadi/nasional. 8 (delapan) kemampuan sebagai pemimpin ini sejalan
dengan New Leadership dari FBI USA tahun 2012, sebagaimana
disampaikan Prof. Dr. Hermawan Kertajaya pada saat rapim TNI dan
Polri tahun 2013 di Auditorium PTIK Jakarta.
Dalam amanat Galunggung (AG) Verso III dirumuskan sosok
pemimpin yang ‘mulya’, yang antara lain harus mempunyai sifat-sifat:
a. siniti‘bijak’
b. sinityagata‘benar’
c. siaum‘adil dan takwa
d. sihooh ‘serius’
29
e. sikarungrungan ‘simpatik’
f. semuguyu ‘ramah’
g. téjah ambek ‘rendah hati/sabar
h. guru basa ‘mantap bicara’.
Hal ini sejalan dengan Filder (1997), yakni kepemimpinan pada
dasarnya merupakan pola hubungan antarindividu yang menggunakan
wewenang dan pengaruh terhadap kelompok agar bekerja sama untuk
mencapai tujuan.
Pemimpin yang berkarakter menurut AG adalah adanya keberhasilan
kaderisasi sebagaimana tersurat sebagai berikut:hana nguni hana mangké
tanhana nguni tanhana mangké(tidak ada dahulu kalau tidak ada
sekarang, dan tidak ada diri kita hari ini jika tidak ada para leluhur kita
terdahulu) sehingga dengan demikian yang lebih tua harus menjadi guru
dan tauladan bagi yang lebih muda, sebaliknya yang muda wajib
menghormati dan mau belajar dari yang lebih tua. Dengan demikian terjadi
siklus pengkaderan secara sistimatik dari para pendahulu kepada generasi
penerusnyamaka dari itu, leadership Sunda harus diaktualisasikan secara
komitmen, konsisten, konsekuen, conection(adanya pola hubungan yang
berkelanjutan), dan adanya komunikasi yang selaras serta harmonis antara
pemimpin dengan yang dipimpin antara para pendahulu dan penerusnya.
Karena salah satu kriteria seorang pemimpin yang baik adalah yang
mampu menyiapkan kader-kader penggantinya.
Konsep atau pola kepemimpinan yang tersirat dalam naskah
Sanghyang Siksakandang Karesian, Fragmen Carita Parahiyangan, Carita
Parahiyangan, juga Sanghyang Hayu, maupun naskah lainnya seperti
Amanat Galunggung, dan Carita Ratu Pakuan bila ditarik benang
merahnya setidaknya harus mampu berperan sebagai :
30
a. Leader (adanya kesepahaman dalam satu pikiran, satu perkataan, dan
satu perbuatan dengan benar, menhgajarkan tentang kebenaran dengan
pola ketauladanan)
b. Manajer (memiliki kemampuan dalam hal manajerialdan yang
mengajarkan tentang sesuatu yang baik, misal aturan yang baik,
perencanaan yang baik, dan lain-lain).
c. Entertainer (ada kaitannya dengan masalah human relations. Seorang
pemimpin harus dapat membina hubungan baik dengan sesama
manusia secara horizontal dengan pimpinan manapun, di samping dapat
membina hubungan baik dengan bawahannya serta dengan lingkungan
sekitarnya)
d. Entrepreneur (memiliki jiwa kewirausahaan. Seorang pemimpin
memerlukan jiwa marketing, kejuangan yang tinggi serta keuletan yang
tahan banting agar kepemimpinannya bisa berjalan dengan baik tak
tersisihkan)
e. Commander (mampu memberi perintah sekaligus menjadi pendorong
(maker) atau pemberi motivasi bagi bawahannya, mampu memutuskan
masalah dengan cepat dan tepat, mampu menegur dan sebagai
penanggung jawab utama dalam organisasi).
f. Designer (mampu berperan sebagai perancang di berbagai bidang bagi
kemajuan yang dipimpinnya)
g. Father (bertindak kebapakan, layaknya seorang ayah terhadap anak-
anaknya dengan penuh kasih)
h. Servicer (harus mampu menjadi pelayan yang baik, karena pada
dasarnya seorang pemimpin adalah seorang ‘pelayan’ yang
bertanggung jawab kepada masyarakatnya)
i. Teacher (mampu menjadi guru, pendidik, dan pengajar yang baik serta
menjadi ‘tauladan’ bagi masyarakat/bawahannya).
31
Sehingga apabila ke-9 (sembilan) karakter tersebut sudah melekat
sebagai sikap pada diri seorang pemimpin, ia akan menjadi seorang
“Tokoh”atau “Master” yang dicintai, dikagumi, disegani dan melegenda,
harum mewangi namanyadimata masyarakat, serta mampu
mensejahterakan masyarakatnya. Maka pemimpin/raja yang demikianlah
yang berhak mendapat gelar sebagai Master Leadership(bandingkan,
Charliyan, 2009). Pada zaman bihari(dahulu) sebagaimana terungkap
dalam naskah-naskah buhunlewat fakta filologis, fakta arkeologis, fakta
sosial, maupunfakta mental dan fakta sastra, seorang figur pemimpin
idealyang namanyatetap melegenda dihati masyarakat maka digelari
sebagai Prabu Silihwangi(raja yang harum namanya). Sebagai Master
yang telah mumpuni, makanya raja-raja besar diwaktu itu dibelakang
namanya sering digelari :Maharaja, Raja Resi, Ratu haji dan lain-lain.
2.3.8 Konsepsi Tata Tentrem Kerta Raharja
Arti harafiah dari konsep Tata Tentrem Kerta Raharja ini adalah
sebuah konsep untuk membangun bangsa dan negara yang diawali dengan :
a. Menata dulu aturan-aturan, tujuan, visi, misi yang jelas, situasi dan
kondisi suatu wilayah termasuk sumber dayanya (tata = mengatur).
b. Bila sudah tertata sesuai dengan aturan yang disepakati bersama dan
dijiwai dengan semangat kebersamaan, maka akan tercipta situasi
dan kondisi yang aman (tentram = aman tertib).
c. Kemudian bila sudah tercipta suasana yang tata tentrem maka
suasana dan gairah kerjapun akan terbangun dengan sendirinya
(kerta=kerja).
d. Pada akhirnya apabila gairah kerja sudah terbangun dengan
maksimal, maka secara otomatis kesejahteraan pun akan segera
terwujud dengan pasti.
32
Konsepsi Tata Tentrem Kerta Raharja ini bila kita telusuri lebih jauh
berawal dari konsep Prabu Wastu Kencanasebagai raja sunda-Galuh
(1382) atau juga dikenal sebagai Prabu Siliwangi ke-2, dalam prasastinya
yang ditemukan di Astana Gede kawali Ciamis-Jabar yang intinya berisi:
“bila ingin jaya dalam bernegara, harus mampu membangun
kekuatan dalam kedamaian, membangun kekuatan dengan
kerendahan hati dan siapapun yang tinggal diwilayah ini jangan
serakah karena hanya akan mengakibatkan celaka” (pakeun heubeul
jaya dibuana, pake gawe kreta bener, pake gawe kreta raharja, nutinggal
dibumi atis ulah botoh bisi koboro)
Pengertian secara umum dari prasati Kawali tersebut menyiratkan
bahwa prasyarat untuk mencapai kejayaan itu, yang pertama-tama adalah
harus mampu menciptakan kondisi yang damai, karena dalam kedamaian
itu akan tumbuh sebuah kekuatan, baik kekuatan lahir maupun bathin.
Makanya para orang tua kita dulu yang ingin menyempurnakan hidupnya
mencari tempat yang sepi, hening, dan damai untuk bertapa. Para Nabi pun
ketika mendapatkan wahyu sebagai Firman Tuhan didapat didalam suasana
yang hening dan damai, dan dalam situasi damailah kita akan mampu
membangun suasana kerja yang benar, membangun kebenaran yang
sebenar-benarnya(kreta bener), maka selanjutnya akan menjadi jembatan
emas kearah terwujudnya masyarakat yang adil makmur kerta raharja
(kreta raharja),dimana didalam fragmen carita parahyangan kerta raharja
ini lebih dikenal dengan istilah: Ngertakeun jalmarea(kesejahteraan sosial
bagi seluruh rakyat) atau Ngertakeunbumi lamba(tanah air yang subur
makmur) yang selanjutnya lebih dikenal dengan konsep “Tata Tentrem
Kerta Raharja”. Sebuah konsepsi ideal sesuai Pancasila Sila ke-5 yaitu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia atau juga dalam konsep Islam
dikenal sebagai Negara yang Baldathun Thoyibatun Warabun Ghaffur.
33
Kemudian apabila kita telaah arti dari membangun kekuatan
dengan kerendahan hati menyiratkan bahwa sebagai seorang pemimpin
yang mumpuni dalam menggerakkan masyarakatnya harus bersifat rendah
hati tidak mengedepankan arogansi, kesombongan, dan kekuasaanya,
karena seseorang dipercaya sebagai pemimpin pada hakekatnya merupakan
sebuah amanah yang diberikan oleh masyarakat/bawahan kepada kita
sehingga apabila kita lupa diri dan bersifat sombong dengan kekuasaan
yang kita miliki maka akan hilang dan musnah (ulah batengah bisi
kateker) sebagaimana filosofi kampung Naga atau juga sebagaimana
tersurat dalam naskah Amanat Galunggung yang dikenal sebagai ilmu Pare
(ilmu padi) yang selengkapnya adalah sebagai berikut: Diri kita akan
sempurna bila sudah mengamalkan “Ilmu Padi” dimana pada saat
bertunas sebesar jarum, keluar tiga daun, saat disiangi, kemudian
tumbuh dewasa, keluar kuncup seperti bulu hidung mekar berbuah
dan menunjuk kelangit “Kasep Nangwa” gagah menengadah namanya,
setelah tiba saatnya berisi mulai merunduk, makin masak menguning
ya makin merunduk karena merasa diri telah berisi. Bila diri kita
telah berbuat demikian, maka diharapkan kehidupan semua orang
bisa seperti perilaku padi, karena bila saatnya berisi tetap tengadah,
saat menguning tetap tengadah, saat masak pun tetap tengadah, itu
adalah tandanya “padi yang hapa”, padi yang kosong dan hampa
namanya.(Elmu Pare (AG Rekto V)) :
( Na twah rampes dina urang agamaning pare, mangsana jumarum, telu
daun, mangsana di oywas, gede pare, mangsana bulu irung, beukah, tak
karah nunjuk kalangit, tanggah tak karah kasep nangwa tu iya
ngaranya, umeusi tak karah lagu tungkul, harayhay asak, tak karah can
dukur, ngarasah maneh ka eusi, aya si nu hayang, daek tu make hurip
nu urang reya, agamaning pare pun, lamun umeusi tanggah, harayhay
tanggah, pare hapa ngarana).
34
hal inipun sejalan dengan konsepsi agama Islam yang mengajarkan
agar setiap manusia bersikap “Tawadhu”sebagaimana dikatakan dalam
Hadist dan Al Quran “Dan rendah hatilah engkau terhadap orang-orang
yang mengikutimu....” (Al Syu’ara 26:215), “wahai manusia jangan lah
engkau sekali-kali berjalan dimuka bumi ini dengan sombong (Al Lukman
31:18/Al Israj 17:37), maka siapapun yang berjalan dimuka bumi dengan
sombong akan terputus dari Rahmatku, dan barang siapa yang didalam
hatinya terbesit rasa sombong walau sebesar debu, maka dia tidak akan
mencium bau surga”(HR. Buchari Muslim ).Disamping itu jangan pula
sekali-kali bersifat serakahyang hanya mementingkan kepentingan
duniawi baik dalam mencari kedudukan maupun dalam mencari rejeki
karena barang siapa yang serakah maka dia akan celaka (ulah botoh bisi
kokoro), sebagaimana dikatakan juga dalam surat Ali Imron 3:185
“Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan”.Sebagai penutup kita akan kita kutip prasasti Tembaga
dari Bekasi (417 M) yang cukup berkaitan dengan pembahasan di atas yaitu
:
- Orang nista itu ialah orang yang serakah (wong papa ma nu
bobotoh)
- Orang yang berdosa ialah orang yang tidak beriman (Wong kalesa
ma na dosa)
- Bersama-sama wajib bekerja keras (Simanareng ma calagra)
- Berbagi jangan sampai ada yang kurang (Simanareka ma na ka
urang) sehingga semua sejahtera.
2.4 Kepemimpinan Berbasis Kearifan Lokal Budaya Jawa
Kepemimpinan berbasis kearifan budaya Jawa mungkin dapat diwakili
oleh panglima perang ternama Gajah Mada, sebagaimana diungkapkan
Purwadi (2007: 205), yang meliputi:
35
Abikamika: pemimpin harus tampil simpatik, berorientasi kebawah dan
mengutamakan kepentingan rakyat banyak daripada kepentingan
pribadi atau golongan.
Prajna : pemimpin harus bersikap arif dan bijaksana serta menguasai ilmu
pengetahuan teknologi, agama, juga dapat dijadikan panutan bagi
rakyatnya.
Usaha : Pemimpin harus proaktif, berinisiatif, kreatif dan inovatif (pelopor
pembaharuan) serta rela mengabdi tanpa pamrih untuk
kesejahteraan rakyat.
Atma Sampad : pemimpin mempunyai kepribadian: berintegritas tinggi,
moral yang luhur serta objektif dan memiliki wawasan yang jauh
ke masa depan demi kemajuan bangsanya.
Sakya Samanta :pemimpin sebagai fungsi kontrol mampu mengawasi
bawahan (efektif, efisien, dan ekonomis) serta berani menindak
secara adil bagi yang bersalah tanpa pilih kasih dan tegas.
Aksudra Pari Sakta :Pemimpin harus akomodatif, mampu memadukan
perbedaan dengan permusyawaratan serta pandai berdiplomasi,
menyerap aspirasi bawahan serta rakyatnya.
Agar lebih luas pandangan kita berkaitan dengan soal
kepemimpinan, dalam tulisan ini pun disertakan prinsip catur darmaning
nerpati yang merupakan empat sifat utama bagi seorang pemimpin
sebagaimana dikemukakan Gajah Mada sebagai panglima militer (Purwadi,
2007: 206), yakni:
a. Jana Wisesa Suda, yakni seorang panglima/pemimpin hendaknya
menguasai segala macam ilmu pengetahuan, baik teknologi,
kemiliteran maupun ilmu pengetahuan agama spiritual secara teori
maupun praktek.
36
b. Kaprahitaning Praja, seorang panglima/pemimpin harus mempunyai
perasaan belas kasihan kepada bawahan dan berusaha mengadakan
perbaikan kondisi.
c. Kawiryan,seorang panglima/pemimpin harus memiliki keberanian
untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dengan prinsip berani
karena benar dan takut karena salah.
d. Kawibawaan, seorang panglima/pemimpin harus memiliki
kewibawaan terhadap bawahan/rakyat, sehingga setiap perintahnya
dapat dilaksanakan dan program yang direncanakan dapat terealisasi
dengan baik.
Gajah Mada yang dikenal dengan “Sumpah Palapanya” sebagai
tekad pribadi yang sangat kuat dari seorang panglima militer Majapahit.
Bila kita lihat dari Teori “Kepemimpinan Transaksional” sebagaimana
dikatakan oleh Downtown (1973) yang menitik beratkan pada kekuatan
cita-cita pribadi pemimpin (Sumpah Palapa) yang kemudian mampu
memotivasi para pengikutnya untuk bersama-sama mewujudkan cita-
citanya. Hal ini tercermin dari konsep kepemimpinan tersebut antara lain:
a. Usaha : Sebagai sikap kerja keras yang proaktif dan tak
kenal lelah.
b. Satya Sumanta : Sebagai sikap kontrol pengawasan yang ketat dan
tegas
c. Sawirian : Sebagai sikap tekad dan keberanian yang kuat.
d. Kawibawaan : Harus punya pengaruh yang kuat/Kharismatik
Kemudian karena keyakinan akan cita-citanya yang kuat dan benar
tersebut akhirnya para pengikutnya pun menjadi sadar dan termotivasi
bahwa cita-cita Gajah Mada sesungguhnya merupakan cita-cita mulia
37
yang harus menjadi cita-cita bersama sebagaimana dikatakan dalam teori
kepemimpinan “Transformasional” oleh Burns (1978) yang justru menitik
beratkan pada tingginya motivasi para pengikut organisasi atas dasar
kesadaran sendiri yang ingin segera mewujudkan cita-cita
organisasi/negara yang berawal dari cita-cita pribadi pemimpinya, sehingga
kepemimpinan Gajah Mada dikategorikan sebagai kepemimpinan
“Transformasional Transaksional”.
(Buku Visi Baru Manajemen Sekolah, Prof. Dr. Sudarmandanin, 223-
2006)
2.5 Karakteristik kepemimpinan Nasional
Kepemimpinan Nasional adalah elit suatu bangsa yang secara
struktural menduduki segenap strata kehidupan nasional, bidang,
sektor/profesi, pimpinan formal dan pimpinan informal yang memiliki
kemampuan dan kewenangan untuk menggerakkan bangsa dalam rangka
pencapaian tujuan nasional.
Esensi kepemimpinan bagi pemimpin tinkat nasional adalah adanya
suatu komitmen yang kuat dalam rangka mencapai tujuan nasional
sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yakni adalah
adanya kemampuan dan kemauan untuk menyelaraskan perilaku dan
kepentingan pribadi dengan kebutuhan prioritas yang mampu
mengedepankan kepentingan negara daripada kepentingan pribadi atau
golongan, komitmen yang kuat tidak hanya sekedar sebagai pemimpin
yang biasa, tapi dibutuhkan seorang pemimpin Negarawan yang
mempunyai sifat-sifat khusus yang merupakan a great man antara lain
sebagai berikut: a) bijak, b) rela berkorban, c) Jujur, d) Ulet, e) pantang
menyerah, f) mempunyai integritas dan lain-lain.
Kepemimpinan yang berkualitas menjadi harapan setiap organisasi,
tidak hanya kualitas yang bersifat fisik atau intelektual semata, tetapi juga
kualitas moral (rohani), emosi, spirit, sosial, personal, keuletan dan
38
keunggulan karena akumulasi dari kedelapan aspek tersebut akan
memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap kualitas kepemimpinan
sebagaimana halnya di Indonesia, kualitas kepemimpinan tersebut harus
sesuai dengan Indonesian National Leadership Index (INLI), yaitu a)
moralitas dan akuntabiitas yang besifat individual, b) Moralitas dan
akuntabilitas yang bersifat kemasyaraktan, c) moralitas dan akuntabilitas
yang bersifat institusional, d) moralitas dan akuntabilitas yang bersifat
global. Kemudian untuk mencari model karakteristik model kepemimpinan
Indonesia yang bagaimanakah yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia yang mampu menjawab tantangan jaman dari masa ke masa?.......
jika demikian maka kepemimpinan nasional yang paling cocok adalah yang
berdasarkan 4 konsensus dasar nilai-nilai luhur bangsa yaitu Pancasila,
UUD 45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Yang sudah disaripatikan
menjadi nilai-nilai:
1) Nilai ketaqwaan kepada Tuhan YME
2) Nilai Kemanusiaan
3) Nilai Keadilan
4) Nilai Persatuan
5) Nilai Sosial
6) Nilai Demokratis
7) Nilai Multikultural
8) Nilai Patriotisme
Sehingga nilai-nilai inilah yang harus menjadi dasar dan pedoman
dalam kepemimpinan nasional Indonesia diseluruh tingkatan dari pusat
sampai ke daerah baik formal, non formal maupun informal. Maka dari itu
nilai-nilai kearifan lokal yang ada dan yang bisa dilaksanakan dalam
rangka membangun karakteristik kepemimpinan nasional harus sesuai
dengan 8 (delapan) nilai inti dari 4 (empat) konsensus dasar nasional.
Dimana sikap dan karakter seorang pemimpin dalam situasi dan kondisi
39
yang sangat kompleks, dituntut untuk tetap tenang dan bijak tidak sekedar
hanya reaktif tapi juga antisipatif dan proaktif.
2.6 Reaktualisaisi kepemimpinan berbasis kearifan lokal
Apabila kita kaji lebih jauh sampai saat ini bangsa Indonesia belum
mempunyai konsep yang jelas dan tegas yang mampu dijadikan acuan
dalam melaksanakan nilai-nilai kearifan lokal oleh seluruh masyarakat dan
bangsa, apalagi bangsa Indonesia dengan sifat kemajemukanya yang terdiri
lebih dari..... suku bangsa sehingga akan sangat rentan bila tidak punya
pedoman tentang karakter kepemimpinan nasional. Sehingga dengan
demikian harus segera dirumuskan konsep kepemimpinan nasional yang
berbasis kearifan lokal mulai dari : definisi, azas, filosofi, jenis, sistem,
tipe, karakter nilai, kompetensi, syarat-syarat sampai dengan pantangan-
pantangan yang harus dijauhi. Untuk itu dibawah ini kami sajikan
konsepsi-konspesi tersebut:
Pengertian kepemmpinan : Parigeuing (mengingatkan) atau eling, jadi
seorang pemimpin harus senantiasa eling mengingatkan bawahanya kearah
jalan yang benar (Wattawa saubilhaq wattawa saubil sobr) dengan
mengedepankan keteladanan sehingga yang dipimpin tidak sadar dibawa
kearah tujuan bersama.
1. Azas kepemimpinan :
a. Asih, asah, asuh,
b.Ing madya mangun karso, ing ngarso sung tulodo, Tutwuri Handayani
c. Sipaka Inga, sipaka tau, sipaka lebih
2. Filosofi Kepemimpinan :
a. Pakeun heubeul jaya dibuana pake gawe kerta bener, pake gawe
kerta rahayu
b. Tata tentrem kerta raharja
c. Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke
d. Elmu pare
3. Prinsip-prinsip Kepemimpinan :
a. Ulah botoh bisi kokoro
40
b. Ulah batengah bisi kateker
c. Wayah wilayah lampah
d. Galih, galeuh, galuh
e. Leader by action but not leader by position
f. ..................
4. Syarat-syarat Kepemimpinan :
a. Cageur : Phisical ability AQ
b. Bageur : Emotional ability EQ
c. Bener : Spritual ability SQ
d. Pinter : Intelectual Ability IQ
e. Wanter : Sosial ability ScQ
f. Singer : Personal Ability PQ
g. Teger : Resiliance ability RQ
h. Nanjeur : Exelent ability ExQ
5. Sifat-sifat Kepemimpinan :
a. Seabgai leader
b. Sebagai manajer
c. Sebagai komander
d. Sebagai teacher
e. Sebagai father
f. Sebagai entertainer
g. Sebagai enterpreuter
h. Seabagi desaigner
i. Sebgai servicer
6. Tipe Kepemimpinan :
a. Nasional
b. Visioner
c. Negarawan
d. Sebagai abdi
e. Sebagai prabu
f. Sebagai palangka
7. Jenis Kepempinan :
a. Dasa prasanta (10 Penenang Hati)
b. Catur Gya (empat hal terpuji)
41
c. Pangimbuhan Twah (Pemimpin yang kharismatik
d. Asta guna (8 kerarifan)
e. Dasa kreta (10 Pantangan)
f. Pada Mulya (Pemimipn yang mulya)
8. Sistem Kepemimpinan
a. Tri tangtu dibuana ; Prabu, Rama, Resi
9. Standar pengukuran kepemimpinan
a. Standar moral d. Standar Intelektual
b. Standar mental e. Standar ......
c. Standar fisik
A. Nilai-nilai Karakter Kepemimpinan berdasarkan Pancasila:
1. Taqwa 14. Suka berbagi
2. Setia 15. Gotong royong
3. Rendah hati 16. Tidak individualis
4. Manusiawi / menjunjung HAM 17. Amanah
5. Adil 18. Bermusyawarah
6. Etis, santun dan beradab 19. Amanah
7. Menghargai perbedaan 20. Demokratis
8. Mengutamakan kebersamaan 21. peduli
9. Memperjuangkan hak orang banyak 22. Jujur
10. Menerima pendapat orang lain 23. Terbuka/transparan
11. Bijak 24. Tanggung jawab
12. Bekerjasama 25. Melayani
13. Welas asih
Nilai-nilai kebangsaan berdasarkan 4 konsensus dasar Nasional :
1) Nilai ketaqwaan kepada Tuhan YME
2) Nilai Kemanusiaan
3) Nilai Keadilan
4) Nilai Persatuan
5) Nilai Sosial
6) Nilai Demokratis
7) Nilai Multikultural
42
8) Nilai Patriotisme
B. Kompetensi
1. Cekatan = Cangcingan
2. Terampil = Langsitan
3. Tulus hati = Paka
4. Rajin = Rajeun
5. Tekun/ulet = Leukeun
6. Sabar Tawaqal = Mwa Surahan
7. Tangkas = Prenya
8. Semangat/Pantang menyerah = Merogol-rogol
9. Tanggung jawab, berani, satria = Purusa
10. Cermat = Emet
11. Teliti = Imeut
12. Penuh keutamaan/profesional, = Parakadana
Proporsional, perfeksionis
C. Pantangan-pantangan dalam Kepemimpinan
1. Obat Paharaman
a) Mudah Tersinggung = Mulah Babarian
b) Mudah Merajuk = Mulah pundungan
c) Berkeluh Kesah = Mulah Humandeuar
d) Menggerutu = Mulah Kukulutus
2. Sikap Pimpinan Sebagai Abdi (SSK VI)
a) Jangan Mengeluh = Mulah Luhya
b) Jangan Kecewa = Mulah Kuciwa
c) Jangan Sulit Diperintah = Mulah Ngontong Dipiwarang
d) Jangan iri = Mulah Hiri
e) Jangan Dengki = Mulah Dengki
3. Ilmu Wujud Air Sungai (Patanjala) - AG Verso VI
a) Jangan Mudah Terpengaruh
b) Jangan Peduli terhadap Godaan
c) Jangan Dengarkan Ucapan yang Buruk
d) Pusatkan pada cita-cita/ Tujuan
43
4. Empat larangan Dalam Cara Berbicara (AG Verso III)
a) Jangan Berteriak = Mulah Kwanta
b) Jangan Menyindir = Mulah Majar Laksana
c) Jangan Menjelekkan = Mulah Mudahkeun Pada Janma
d) Jangan Berbohong = Mulah Sabda Ngapus
3. Kesimpulan
Nilai-nilai Kearifan lokal yang dilaksanakan dalam rangka
membangun kepemimpinan nasional harus sesuai dengan 4 (empat)
konsensus dasar nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yakni Nilai ketaqwaan
kepada Tuhan YME, Nilai Kemanusiaan, Nilai Keadilan, Nilai Persatuan,
Nilai Sosial, Nilai Demokratis, Nilai multikulturalis, Nilai Patriotisme
Masalah kepemimpinan, berkaitan erat dengan unsur silih asih, silih
asah, dan silih asuh, yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan yang
universal. Silih asih, silih asah, dan silih asuh, selayaknya dijawantahkan
oleh seorang pemimpin sebagai master dalam kepemimpinannya
sebagaimana yang dilakukan oleh raja Sunda yang bergelar “Prabu
Siliwangi”, raja yang legendaris, dicintai serta dicintai masyarakatnya,
karena mereka telah berhasil memerdayakan serta mensejahterakan
rakyatnya.
Sikap dan perilaku orang Sunda yang tentu saja harus dimiliki oleh
seorang pemimpin sebagaimana terungkap dalam naskah Sunda buhun,
adalah cageur, bageur, pinter, bener, singer, teger, wanter, dan tajeur.
Pola kepemimpinanyang terungkap dalam Naskah Sunda Buhun
abad XVI Masehi, berkelindan erat dengan ‘Pemimpin sebagai master’,
yakni pemimpin yang sudah ngarajaresi/legendaris’yang mampu berperan
sebagaileader, manajer, entertainer, entrepreneur, commander, designer,
servicer, teacher, serta father, yang menurut SSKK adalah pemimpin yang
44
dalam kepemimpinannya memiliki sifat Dasa prasanta,yaitu sepuluh
penenang atau cara memberi perintah yang baik agar yang diperintah atau
bawahan merasa senang serta pemimpin yang dalam pribadinya sudah
melekat karakter kepemimpinan yang disebut pangimbuhning twah atau
pelengkap untuk mempunyai tuah/kharisma/pamor.
Di samping itu, pemimpin sebagai tokoh/masteryang melegenda,
adalah pemimpin yang menjauhi empat karakter yang negatif agar
kepemimpinannya berkharisma, yang dikenal dengan sebutan“opat
paharaman” atau empat hal yang diharamkan. Pemimpin sebagai ‘master’
pun, harus menjauhi watak manusia yang membuat kerusakan di dunia
yang disebut Catur Buta.
Berdasar naskah Sanghyang Hayu, seorang pemimpin legendaris,
adalah pemimpin yang menjiwai ‘tiga rahasia’ yang terdiri dari lima
bagian, yakni lima belas karakter yang harus mendarah daging dalam diri
seorang pemimpin. Figur seorang pemimpin legendaris harus berpegang
teguh kepada prinsip astaguna ‘delapan kearifan’, sehingga
kepemimpinannya berjalan selaras, baik, dan harmonis.
Perlu dirumuskannya konsep dasar tentang kepemimpinan nasional
berbasis kearifan lokal mulai dari definisi, azas, filosofi, jenis, sistem, tipe,
karakter nilai, kompetensi, syarat-syarat sampai dengan pantangan-
pantangan yang harus dijauhi.
45
DAFTAR PUSTAKA
Atja & Saleh Danasasmita. 1981. Sanghyang Siksakanda ng Karesian (Naskah Sunda Kuno. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseumam Jawa Barat.
Charliyan, Anton& Elis Suryani NS.2009. Parigeuing Kepemimpinan Ala Sunda. Garut: Polwil Priangan.
Charliyan, Anton. 2012. Master Leadership. Jakarta: Solusi Publishing.Danasasmita, Saleh, dkk. 1987. Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian,
Amanat Galunggung. Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Sundanologi
Darsa, Undang A. 1998.Sanghyang Hayu. Naskah Jawa Kuno di Sunda. Bandung: Program Pascasarjana Unpad (Tesis)
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-raja Jawa. Sejarah Kehidupan Kraton dan Perkembangannya di Jawa. Yogyakarta: Media Abadi.
Sujamto. 2000. Sabda Pandhita Ratu. Semarang: Dahara Prize.Suryalaga, Hidayat RH. 2009. Kasundaan Rawayan Jati. Bandung: Yayasan Nur
HidayatSuryani NS, Elis. 2008. Merumat Warisan Karuhun Orang Sunda yang Terpendam
dalam Naskah dan Prasasti. Tasikmalaya: Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya.
Suryani NS, Elis & Anton Charliyan.. 2010. Menguak Tabir Kampung Naga. Bandung: CV Dananjaya.
Suryani NS, Elis. 2010. Kearifan Budaya Sunda. Tasikmalaya: Dinas Pariwisata Budaya Kota Tasikmalaya & Kabupaten Ciamis
Suryani NS, Elis. 2011. Ragam Pesona Budaya Sunda. Bogor: Ghalia Indonesia.Suryani NS, Elis. 2012.Filologi.Bogor: Ghalia Indonesia.Suryani NS, Elis. 2012. “Saciduh Metu Saucap Nyata”. Opini Pikiran Rakyat. Rabu, 28
November 2012.Suryani NS, Elis.2012. Konsep Pemimpin dan Kepemimpinan yang terungkap dalam
Naskah Buhun.Yogyakarta: Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara.
Suryani NS, Elis. 2012. Kamus Seni Budaya Sunda Buhun. Garut: Pasulukan Loka Gandasasmita.
Suryani NS, Elis. 2012. Mantra dalam Tradisi Naskah Lama: Antara Konvensi dan Inovasi. (Disertasi). Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Suryani, NS., Elis. 2013. “Delapan Karakter Pemimpinan Sunda”. Bandung: Artikel Pikiran Rakyat, 28 Pebruari 2013.
Suryani NS, Elis. 2013. “Kujang dalam Perspektif Filologis”. Bandung: Tim Ahli Pengusung Kujang untuk Unesco. Dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi Jawa Barat.
Suryani NS, Elis. 2013. “Menggali Kesejarahan yang Terkuak dalam Naskah Kuno”. (Makalah) Bandung: Dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi Jawa Barat, Hotel Savoy Homann, 26-27 Maret 2013.
Suryani NS, Elis. 2013. “Parigeuing Ala Sunda”. (Makalah). Bandung: Forum Peduli Budaya Sunda Tasikmalaya, 30 Maret 2013, Pendopo Tasikmalaya.
Thoha, Miftah. 2009. Kepemimpinan Dalam Manajemen.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.R. Covey. “8 Habbits”. Jakarta, Gramedia, 2010Renald KH. “Recode cing DNA”, Jakarta, Gramedia, 2006
46