Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Jurnal Hukum & Pembangunan 49 No. 1 (2019): 1-43
ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online)
Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id
DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol49.no1.1908
KEKOSONGAN HUKUM ACARA DAN KRISIS ACCESS TO JUSTICE
DALAM KASUS-KASUS PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH/WAKIL
KEPALA DAERAH DI INDONESIA
Arasy Pradana A Azis *
* Mahasiswa Magister Hukum, Konsentrasi Hukum Kenegaraan, Program Pasca Sarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia
Korespondensi: [email protected]
Naskah dikirim: 14 Maret 2018
Naskah diterima untuk diterbitkan: 28 Juni 2018
Abstract
Law Number 23 Year 2014 on Regional Government (Law No. 23/2014) provides
that the Regional Head or Deputy Regional Head may be dismissed in the middle
of his term by certain reasons. The law also regulates a strict process, including
the involment of the Supreme Court (MA) in it. MA provides a judicial test of the
opinion of the Regional House of Representatives (DPRD) as the initiator of the
dismissal processl. The involvement of the Supreme Court is a consequence of the
strengthening of the legitimacy of the Head of Region/Deputy Head of Region,
which is now elected directly by the people. Therefore, dismissal of Head of
Region/Deputy Head of Region is designed difficult. However there is a problem
of access to justice in the judicial process in MA, mainly due to the blur of
procedural law. The concept of access to justice has been interpreted in a limited
way, solely as access to legal assistance for the poor and marginalized. Keywords: Dismissal of Head of Region/Deputy Head of Region, Procedural Law,
Procedural Justice, Access to Justice
Abstrak
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU No.
23/2014) mengatur bahwa Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dapat
diberhentikan di tengah masa jabatannya oleh sebab-sebab tertentu. Undang-
undang tersebut juga mengatur prosesnya secara baku, termasuk melibatkan
Mahkamah Agung (MA) di dalamnya. MA befungsi untuk memberikan menguji
secara yuridis pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai
insiator proses pemberhentian. Pelibatan MA merupakan konsekuensi dari
menguatnya legitimasi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang kini dipilih oleh
rakyat. Oleh karena itu, pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
dirancang sulit. Namun terdapat masalah access to justice dalam proses peradilan
di MA ini, terutama disebabkan oleh hukum acara yang kabur. Konsep access to
justice selama ini dimaknai secara terbatas semata-mata sebagai akses
pendampingan hukum bagi masyarakat miskin dan termarjinalkan. Kata Kunci: Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Hukum Acara,
Keadilan Prosedural, Access to Justice.
2 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
I. Pendahuluan
Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 23/2014), Kepala Daerah atau Wakil
Kepala Daerah dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya oleh sebab-sebab
tertentu. Undang-undang tersebut telah mengatur prosesnya secara baku, termasuk
melibatkan Mahkamah Agung (MA) di dalamnya. MA befungsi untuk
memberikan legitimasi yuridis terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) sebagai insiator proses pemberhentian. Namun terdapat masalah
access to justice dalam proses peradilan di MA ini, terutama disebabkan oleh
hukum acara yang kabur.
Sejak Undang-Undang 32 Tahun 2004 (UU No. 32/2014), dan dilanjutkan
oleh UU No. 23/2014 yang sama-sama mengatur perihal pemerintahan daerah,
Indonesia menggunakan sistem baru bagi upaya pemberhentian Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang kini
dipilih langsung oleh rakyat tak lagi dapat dengan mudah diberhentikan oleh
DPRD sebagaimana dianut dalam rezim hukum sebelumnya. Hal ini mengingat,
di masa lalu presumsi dasar bagi pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah sepenuhnya berada di tangan DPRD: DPRD menjadi satu-satunya pihak
yang berhak menilai dugaan pelanggaran Kepala Daerah dan memutuskan
pemberhentiannya, sementara kapasitas Presiden semata-mata mengesahkan
keputusan DPRD tersebut. 1 Sistem yang memberikan wewenang sangat besar
pada DPRD ini notabene merupakan konsekuensi dari otonomi luas bagi daerah
yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (UU No. 22/1999),2
yang mendapat basis teleologisnya dari tuntutan-tuntutan Reformasi. 3 Karena
Kepala Daerah masih dipilih oleh DPRD, maka DPRD relatif memegang
kekuasaan dan menjadi sumber legitimasi politik yang signifikan di daerah.
Namun situasi ini hanya berlangsung 5 tahun. UU No. 32/2004 diundangkan
dengan semangat mengurangi signifikansi kewenangan daerah yang dinilai negara
terlalu berlebihan. Pengurangan itu dikemas dalam bahasa:
penyelenggaraan otonomi daerah … harus menjamin keserasian hubungan
antara Daerah dengan Daerah lainnya, artinya mampu membangun
kerjasama antar Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan
mencegah ketimpangan antar Daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya
bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi
antar Daerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan
menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.4
1 Indonesia, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal
49. 2 Norpan Mufti, “Otonomi dan Kebijakan Pemerintah,” dalam Antonius Simanjuntak (Ed.),
Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, dan Masa Depan Indonesia: Berapa Persen Lagi Tanah dan
Air Nusantara Milik Rakyat, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hal. 119-120; Fatmawati,
Otonomi Daerah dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor
5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, “Jurnal Hukum dan Pembangunan,
No. 1, 2000, hal. 40 3 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik, (Jakarta: PSHTN FH UI,
2015), hal. 264-265. 4 Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Bagian Penjelasan Umum Sub Bagian Dasar Pemikiran huruf b.
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 3
DPRD pun semakin kehilangan kekuasan karena Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah kini tidak lagi dipilih oleh mereka, melainkan secara langsung oleh
rakyat. 5 Artinya, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memiliki sumber
legitimasi yang lebih kuat dan perlu mendapatkan perlindungan yang lebih kuat
dari upaya pemberhentian di tengah masa jabatan.
Sistem baru pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah kemudian
dirancang lebih rumit, dengan melibatkan lebih banyak pihak, untuk menegaskan
fungsi check and balances antara berbagai elemen kekuasaan yang
berkepentingan di daerah. Terobosan penting dan mencolok dalam sistem
pemberhentian kepala daerah yang baru ini diantaranya adalah keterlibatan
kekuasaan yudisial. Tak tanggung-tanggung, pembentuk undang-undang
memberikan wewenang intervensi ini kepada MA sebagai salah satu pemuncak
kekuasaan kehakiman di Indonesia. Keterlibatan Mahkamah Agung (MA) dalam
proses pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah ini termasuk bagian
yang tidak diubah ketika UU No. 23/2014 diundangkan sebagai pengganti UU
No. 32/2004.
Perlu dicatat bahwa UU No. 23/2014 sejatinya mengatur beberapa model
pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang disesuaikan dengan
alasan-alasan pemberhentiannya.6 MA terlibat hanya pada salah satu modelnya,
ketika pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah tersebut didasarkan
pada dugaan pelanggaran sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban,
melanggar larangan-larangan tertentu, dan melakukan perbuatan tercela.7 Dalam
model ini, DPRD mengadakan sidang paripurna untuk menyatakan pendapat
(yang umumnya didahului pelaksanaan angket8) mengenai adanya pelanggaran
sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban, melanggar larangan-
larangan tertentu, dan melakukan perbuatan tercela yang dilakukan Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah.9 Pendapat tersebut harus diputuskan dalam Rapat
Paripurna yang dihadiri sejumlah minimal 3/4 keseluruhan anggota DPRD dan
putusan diambil dengan persetujuan oleh paling sedikit 2/3 anggota DPRD yang
hadir dalam paripurna.10 Pendapat tersebut kemudian diajukan kepada MA untuk
diperiksa, diadili dan diputus dalam kurun waktu 30 hari. Apabila MA
5 Ibid., Pasal 56 ayat (1). 6 Semisal ketika Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah meninggal dunia, mengundurkan
diri, berakhir masa jabatannya, atau tak dapat melaksanakan tugas selama 6 bulan berturut-turut,
DPRD melaksanakan rapat paripurna dan menyampaikan usulan pemberhentian kepada Presiden
atau Menteri untuk mendapatkan penetapan pemberhentian. Proses ini tidak membutuhkan
legitimasi yudisial dari MA. Lihat Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, Pasal 79 ayat (1). Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah juga dapat
diberhentikan tanpa usulan DPRD apabila terbukti bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap. Lihat Ibid., Pasal 83 ayat (5). 7 Ibid., Pasal 80 ayat (1) huruf a. 8 Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, salah satu fungsi hak menyatakan pendapat adalah sebagai wahana
tindak lanjut dari hak angket. Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 322 ayat (4) (DPRD Provinsi) dan Pasal 371 ayat (4) (DPRD
Kabupaten/Kota). Hubungan antara angket dan pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah akan tampak pada analisis tentang putusan-putusan MA pada bagian selanjutnya. 9 Indonesia, UU No. 23/2014, Pasal 80 ayat (1) huruf a. 10 Ibid., Pasal 80 ayat (1) huruf b.
4 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
menyatakan bahwa Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah terbukti melakukan hal-
hal yang dituduhkan oleh DPRD, maka DPRD menyampaikan usul
pemberhentian kepada Menteri atau Presiden. Kedua pranata yang disebut
belakangan berkewajiban untuk memberhentikan Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah dalam waktu 30 hari sejak usulan DPRD diterima.11 Sepanjang tahun 2017, MA menerima 3 permohonan uji pendapat DPRD
tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah di berbagai daerah di
Indonesia. Jumlah ini relatif signifikan sejak UU No. 23/2014 diundangkan,
mengingat pada tahun 2015 dan 2016 MA tidak menerima satu pun permohonan
sejenis.12 Kasus pertama terjadi di ujung timur Indonesia, tepatnya di kabupaten
Mimika, Papua. Kasus ini sesungguhnya dimulai sejak tahun 2016, dimana DPRD
Mimika menerima aduan dari DPP Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Se-
Indonesia dan surat dukungan dari Lembaga Adat Musyawarah Adat Suku
Kamoro tentang sejumlah pelanggaran yang dilakukan Bupati Mimika.13 Bupati
Mimika dituding telah menggunakan ijazah palsu guna memenuhi syarat
pencalonannya pada pemilihan kepala daerah (pilkada) Mimika 2014, bepergian
ke luar negeri tanpa izin menteri, dan melanggar sumpah/janji jabatan sebagai
Kepala Daerah.14 Setelah melalui proses angket, seluruh anggota DPR Mimika
kemudian bersepakat bahwa yang bersangkutan terbukti melakukan pelanggaran-
pelanggaran yang dituduhkan. Pendapat tersebut dituangkan dalam Keputusan
DPRD Mimika Nomor 4 Tahun 2016, sebelum diajukan kepada MA untuk
memperoleh legitimasi yuridis.15
Kasus kedua terjadi di provinsi yang berbeda, tepatnya di Katingan,
Kalimantan Tengah. Pada awal Januari 2017, Bupati Katingan tertangkap tangan
tengah berduaan dengan wanita yang bukan istrinya di sebuah rumah kontrakan.16
Namun Bupati berdalih bahwa keduanya sejatinya telah melangsungkan
pernikahan siri di Jakarta.17 DPRD Katingan pun membentuk panitia angket, yang
menghasilkan keputusan bahwa yang bersangkutan melanggar sumpah/janji
jabatan, tidak melaksanakan kewajiban Kepala Daerah, melakukan perbuatan
tercela dan melanggar sejumlah undang-undang, terutama Undang-Undang
11 Ibid., Pasal 80 ayat (1) huruf e dan f. 12 Mahkamah Agung, “Direktori Putusan Tahun 2015”,
https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/mahkamah-agung/periode/putus/2015, diakses
pada 23 Februari 2017; Mahkamah Agung, “Direktori Putusan Tahun 2016,”
https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/mahkamahagung/periode/putus/2016/index.html
, diakses pada 23 Februari 2016. Namun statistik ini tidak dapat menjadi acuan cerminan umum
bahwa tidak ada sama sekali kasus pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Sebagai
contoh, KPK mencatat bahwa terjadi 60 kasus korupsi yang melibatkan Bupati, Walikota, Wakil
Bupati, atau Wakil Walikota, dan 17 kasus korupsi yang melibatkan Gubernur atau Wakil
Gubernur. Ant, “Statistik KPK: Pelaku Korupsi terbanyak dari Swasta, Disusul Pejabat dan
Anggota DPR,” https://news.okezone.com/read/2017/10/05/337/1789432/statistik -kpk-
pelaku-korupsi-terbanyak-dari-swasta-disusul-pejabat-dan-anggota-dpr, diakses pada 23
Februari 2018. Kasus-kasus ini dapat saja berujung pada pemberhentian langsung oleh
Presiden/Menteri tanpa persetujuan DPRD. 13 Mahkamah Agung, Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 P/KHS/2017, hal. 5. 14 Ibid., hal. 5-7. 15 Ibid., hal. 11. 16 Chaidir Anwar Tanjung, “Awal Terbongkarnya Selingkuh Bupati Katingan dengan Istri
Polisi” https://news.detik.com/berita/d-3388714/awal-terbongkarnya-selingkuh-bupati-katingan-
dengan-istri-polisi, diakses pada 24 Februari 2018. 17 Mahkamah Agung, Putusan Mahkamah Agung Nomor 02 P/KHS/2017, hal. 2.
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 5
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU No. 1/1974). 18 Upaya
pemberhentian ini berlangsung beriringan dengan aduan perzinahan yang
dilakukan suami sang wanita kepada polisi, yang belakangan dicabut.19
Kasus ketiga terjadi di Sulawesi, tepatnya di Kabupaten Gorontalo, dengan
Wakil Bupati Gorontalo sebagai obyeknya. Upaya pemberhentian Wakil Bupati
Gorontalo berawal dari laporan adanya pertemuan rahasia antara dirinya dengan
seseorang bernama Arfan Akurama sebagai perwakilan salah satu peserta lelang
proyek infrastruktur. 20 Tanpa sepengetahuan sang Wakil Bupati, percakapan
tersebut rupanya direkam, yang membeberkan adanya permintaan fee dengan
presentase tertentu apabila tamunya memenangkan lelang. Permintaan Wakil
Bupati ini ditolak Arfan, sehingga disinyalir menjadi alasan kekalahannya dalam
lelang tersebut.21 Bukti rekaman yang dimilikinya kemudian menjadi dasar bagi
laporannya kepada DPRD Kabupaten Gorontalo, dan ditindaklanjuti dengan
pembentukan panitia angket terhadap Wakil Bupati Gorontalo. Pada sidang
paripurna tanggal 22 September 2017, DPRD menyatakan Wakil Bupati terbukti
melanggar sumpah jabatan, tidak melaksanakan kewajibannya, dan melakukan
perbuatan tercela.22 Pendapat ini kemudian diteruskan ke MA untuk diperiksa,
diadili dan diputus.
Baik pada kasus pertama, kedua, atau ketiga, MA menghasilkan putusan
yang relatif sama, yaitu mengabulkan permohonan DPRD dan menyatakan
permohonannya berdasarkan hukum. 23 Karena bersifat final, maka putusan ini
dapat menjadi landasan untuk melanjutkan proses pemberhentian Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah. Dengan adanya putusan MA ini, pemberhentian
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah menjadi niscaya secara yuridis. Sesuai
undang-undang, DPRD seharusnya menyelenggarakan sidang paripurna untuk
merumuskan usulan pemberhentian kepada Menteri atau Presiden setelah putusan
MA diterima.24 Apabila setelah 14 hari pimpinan DPRD tidak menyampaikan
usulan tersebut, Presiden atau Menteri memiliki hak atributif untuk memutuskan
pemberhentian.25
Namun demikian, ada masalah yang tersamar dalam putusan-putusan ini,
yang apabila dipertimbangkan lebih lanjut akan membuat keabsahan dan
legitimasi putusan-putusan tersebut layak ditinjau kembali. Hal ini berkaitan
dengan hukum acara yang digunakan MA dalam memutus permohonan uji
pendapat DPRD tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah.
Didalam putusan-putusannya, MA semata-mata menautkan proses pemeriksaan
18 Ibid., hal. 6-8. 19 Nathania Riris Michicho, “Kenapa Suami FY Cabut Laporan Dugaan Perzinaan Bupati
Katingan?” https://news.detik.com/berita/d-3400482/kenapa-suami-fy-cabut-laporan-dugaan-
perzinaan -bupati-katingan, diakses pada 24 Februari 2017. 20 Dalam eksepsinya, Wakil Bupati Gorontalo menyebut Arfan Akurama sebagai calo
proyek. Mahkamah Agung, Putusan Mahkamah Agung Nomor 3 P/KHS 2017, hal. 17. 21 Arifuddin, “Wakil Bupati Gorontalo di Ujung Tanduk, Simak!”
http://hargo.co.id/berita/wakil-bupati-gorontalo-fadli-hasan-di-ujung-tanduk-simak.html, diakses
pada 24 Februari 2018. 22 Arifuddin, “Posisi Wakl Bupati Gorontalo Di Ujung Tanduk, DPRD Usulkan
Pemberhentian,” http://hargo.co.id/berita/posisi-wakil-bupati-gorontalo-diujung-tanduk-dprd-
usulkan-pemberhentian.html, diakses pada 24 Februari 2018. 23 MA, Putusan No. 01 P/KHS/2017, hal. 16; MA, Putusan No. 02 P/KHS/2017, hal. 19. 24 Indonesia, UU No. 23/2014, Pasal 80 ayat (1) huruf e dan f. 25 Ibid., Pasal 80 ayat (2) dan (3).
6 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
dan pengadilan terhadap jenis perkara ini pada UU No. 23/2014. 26 Sebagai
pengingat, undang-undang tersebut semata-mata mengatur wewenang MA dalam
memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan uji pendapat DPRD tentang
pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Satu-satunya aspek hukum
formal dalam UU No. 23/2014 yang bersinggungan dengan wewenang ini adalah
bahwa proses peradilan tersebut berlangsung selama 30 hari.27
Kekosongan hukum acara ini pun terkesan diabaikan. MA sendiri tidak
menindaklanjutinya dengan membentuk Peraturan MA (PERMA) yang mengatur
mekanisme dan proses tribunal bagi perkara-perkara uji pendapat DPRD tentang
pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. 28 Padahal sebagaimana
didalilkan Daniel S Lev, hukum acara merupakan pranata penting dalam sebuah
sistem yang menjadikan hukum sebagai panglima. Hukum acara berkaitan dengan
sarana-sarana pranata sosial dan pengelolaan perselisihan (conflict management).
Ia menjadi landasan kultural sistem hukum dan membantu menentukan ruang
sistem (system space) yang diberikan kepada lembaga hukum, politik, agama atau
lembaga lainnya dalam sejarah masyarakat.29 Dengan kata lain, adanya hukum
acara merupakan representasi bagi ruang perdebatan antar-nilai. Ia memberikan
legitimasi bagi luaran dan produk tindakan-tindakan organ negara, khususnya
lembaga pengadilan. Dalil ini sebangun dengan prinsip due process of law yang
menjadi salah satu episentrum Negara Hukum dan konstitusionalisme, bahkan
sejak era Magna Charta.30
Ketika hukum acara tiada, maka aspek-aspek keadilan lainnya yang
notabene menjadi prasyarat tercapainya keadilan prosedural tidak dapat dipenuhi.
Salah satunya berkenaan dengan akses kepada keadilan (access to justice) yang
menjadi isyu utama dalam artikel ini. Konsep access to justice memang lebih
dikenal sebagai wahana yang menitik beratkan pada pemenuhan keadilan bagi
masyarakat miskin dan termarginalisasi. 31 Namun apabila diletakkan dalam
perspektif yang lebih luas, konsep ini juga dapat dimaknai sebagai wadah bagi
siapapun untuk mendapatkan bantuan hukum yang layak, demi membentuk proses
peradilan yang fair.
Untuk memberi ruang bagi pemenuhan access to justice, aturan main yang
baku dan terang harus ditetapkan terlebih dahulu. Aturan tersebut diantaranya
harus menjabarkan bagaimana gugatan diajukan, bagaimana termohon dapat
membela diri, atau bagaimana advokat dapat terlibat di dalamnya, baik di sisi
pemohon maupun termohon. Apabila aturan main tidak ada, maka siapa saja pihak
yang dapat berpartisipasi dan bagaimana mereka dapat berperan menjadi kabur.
26 MA, Putusan No. 01 P/KHS/2017, hal. 15; MA, Putusan No. 02 P/KHS/2017, hal. 16;
MA, Putusan No. 03 P/KHS/2017, hal. 23. 27 Indonesia, UU No. 23/2014, Pasal 80 ayat (1) huruf c. 28 Admin Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Mahkamah Agung, “Peraturan
MahkamahAgung,”https://jdih.mahkamahagung.go.id/index.php?option=com_remository&Itemid
=46&func=select&id=521, diakses pada 24 Februari 2018; Administrator Pusat Data
Hukumonline, “Peraturan Mahkamah Agung,”
http://www.hukumonline.com/pusatdata/view/nprt/648, diakses pada 24 Februari 2018. 29 Daniel S Lev, Politik dan Hukum di indonesia: Kesinambungan dan Perubahan,
(Jakarta: LP3ES, 2013), hal. 111-112. 30 Joao Marcos Prado Garcia, Due Process of Law, (Santa Catarina: Clube de Autores,
2006), hal. 7. 31 Andi Fariana, “Access to Justice,” https://dosen.perbanas.id/access-to-justice/, diakses
pada 1 Maret 2018.
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 7
Dalam kasus-kasus uji pendapat DPRD tentang pemberhentian Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah sepanjang tahun 2017, masalah ini tampak cukup
mencolok. Sebagai contoh, dari 3 kasus sejenis yang masuk ke MA, hanya pada
kasus DPRD Kabupaten Gorontalo vs Wakil Bupati Gorontalo sang termohon
didampingi pengacara secara formal dan tercatat di dalam putusan.32
Inkonsistensi pola pendampingan hukum dalam kasus-kasus uji pendapat
DPRD tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah hanyalah
salah satu isyu yang diangkat dalam artikel ini. Dalam kerangka yang lebih
menyeluruh, artikel ini akan membedah lebih lanjut bagaimana kekosongan
hukum acara dapat membawa krisis access to justice dalam kasus-kasus
pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah di Indonesia. Pembedahan
itu dilaksanakan melalui kritik atas putusan-putusan Mahkamah Agung terhadap
permohonan uji pendapat DPRD tentang Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah, sepanjang tahun 2017. Di dalamnya, indikasi-indisikasi
ketidakterpenuhan access to justice, tentu saja dalam pengertian yang lebih luas,
akan dibedah.
Secara garis besar, pembahasan dalam artikel ini akan dibagi dalam tiga
bagian. Pada bagian pertama, konsep access to justice perlu didadarkan terlebih
dahulu. Akan ditunjukkan bagaimana definisi aslinya, dan bagaimana dalam
situasi kontemporer definisi itu perlu diperluas, terutama dalam segi subyek-
subyek yang terlibat dalam pergumulan konsep ini. Dengan kata lain, analisis ini
memperluas konteks keberlakuan access to justice. Pada bagian kedua,
pembahasan akan berpusat pada aspek legal-historis dari kewenangan absolut MA
dalam menguji pendapat DPRD tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah. Penjabaran dimulai sejak UU No. 22/1999, UU No. 32/2004,
hingga UU No. 23/2014. Dengan membedahnya, akan ditemukan bagaimana ratio
legis dari pelibatan kekuasaan yuridis dalam pranata pemberhentian Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah. Sari pati dari dua pembahasan tersebut kemudian
menjadi landasan kritik atas putusan-putusan Mahkamah Agung terhadap
permohonan uji pendapat DPRD tentang Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah, sepanjang tahun 2017, sebagai pembahasan ketiga. Di dalamnya
dirumuskan indikasi-indikasi adanya krisis terhadap access to justice akibat
kekosongan hukum acara, sembari merumuskan solusi konstruktif demi
memenuhi nilai keadilan yang notabene merupakan mahkota badan peradilan.
II. Access to Justice dalam Hukum Acara: Garis Besar Teoritis dan
Perluasan Konseptualnya
Sejak semula, isyu yang akan diketengahkan dalam artikel ini adalah
mengenai kekosongan hukum acara dan krisis access to justice dalam kasus-kasus
pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah di Indonesia. Isyu ini
mengandaikan adanya masalah-masalah dalam proses penegakan keadilan dalam
perkara-perkara permohonan uji pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah di Mahkamah
Agung, khususnya yang berlangsung pada tahun 2017. Diasumsikan bahwa krisis
dimulai sejak di level akses kepada keadilan itu sendiri, yang sejatinya menjadi
salah satu elemen yang menjamin terpenuhinya keadilan prosedural, disebabkan
oleh hukum acara yang kabur. Oleh karena itu, sebelum lebih lanjut masuk ke
32 MA, Putusan No. 03 P/KHS/2017, hlm 1.
8 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
dalam pembahasan mengenai topik tersebut, maka konsep access to justice perlu
diperbincangkan terlebih dahulu.
Para sarjana hukum di Indonesia umumnya bersepakat bahwa terdapat tiga
tujuan utama dari adanya hukum, yaitu kepastian hukum, keadilan, dan
kemanfaatan.33 Masing-masing tujuan ini dirumuskan dengan dilatari diskursus
filosofis yang berbeda-beda. 34 Perihal keadilan sendiri, para yuris banyak
mengacu pada diversifikasi keadilan menurut Aristoteles, filsuf kesohor dari era
Yunani Kuna. Dalam Ethics, Aristoteles membagi keadilan dalam dua kategori.
Kategori pertama disebutnya sebagai keadilan distributif. Sesuatu dikatakan adil
secara distributif apabila terdapat proporsionalitas antara pekerjaan seseorang
dengan apa yang selayaknya ia dapatkan. Kategori keadilan yang kedua adalah
keadilan korektif, yang berusaha mengentaskan situasi ketidakadilan, dengan
menyamaratakan perolehan setiap orang tanpa membeda-bedakan status, jabatan
dan kedudukan sosial.35
Namun demikian, situasi dunia hari ini yang semakin kompleks menuntut
pula adanya pembaruan dalam konsep keadilan. Keadilan tak dapat lagi berdiri
sendiri sebagai sebuah tujuan hukum yang tunggal. Menurut Achmad Ali, ia perlu
ditegakkan bersamaan dengan kemanfaatan sebagai tujuan prioritas bagi adanya
hukum. Bagi Ali, perkawinan berfaedah antara keduanya tampak dalam teori
keadilan John Rawls. Ia berargumen bahwa:
(s)emua teori keadilan merupakan teori tentang cara untuk menyatukan
kepentingan yang berbeda dari semua anggota masyarakat. Seperti Anda
ketahui, menurut konsep keadilan utilitis, cara yang adil mempersatukan
kepentingan-kepentingan manusia yang berbeda ialah dengan selalu
mencoba memperbesar kebahagiaan. Menurut Rawls, bagaimanapun juga,
cara yang adil untuk mempersatukan berbagai kepentingan yang berbeda
adalah melalui keseimbangan kepentingan-kepentingan tersebut, tanpa
memberikan perhatian istimewa terhadap kepentingan itu sendiri.36
Dengan kata lain, keadilan tercapai apabila sebuah tatanan dapat menjembatani
kepentingan yang majemuk di dalam masyarakat.
Dibanding konsep keadilan aristotelian yang relatif abstrak, konsep keadilan
utilitarian tampak lebih aplikatif. Selangkah lebih maju, konsep-konsep ini
menawarkan prasyarat-prasyarat operasional bagi tercapainya keadilan, yaitu
adanya proses yang berusaha menjembatani kepentingan-kepentingan demi
kebahagiaan bersama. Dengan demikian, keadilan tak lagi sekadar gagasan
idealis, melainkan sesuatu yang dapat dicapai dengan mengikuti tahapan-tahapan
tertentu.
33 Bandingkan Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta: Kencana, 2015), hal. 87;
Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, (Jakarta:
Kencana, 2012), hal. 119; Sidharta, “Kajian Sosiologis tentang Pendekatan Ekonomi terhadap
Hukum,” dalam Antonius Cahyadi dan Donny Danardono (Eds.), Sosiologi Hukum dalam
Perubahan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas
Indonesia, 2009), hal. 249. 34 Achmad Ali berargumen bahwa akar dari keadilan sebagai tujuan hukum adalah filsafat
etis. Sementara di sisi lain, tujuan kemanfaatan terbentuk dalam ruang diskursus filsafat utilitarian,
dan tujuan kepastian dipengaruhi filsafat hukum normatif-dogmatik. Ali, Menguak, hal. 88. 35 Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hal. 109. 36 Ali, Menguak, hal. 94-95.
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 9
Titik berat pada proses ini juga diamini dalam konsep keadilan menurut
Jürgen Habermas. Menurut Habermas, perdebatan tentang keadilan pada dasarnya
merupakan diskusi yang bersifat politis dan sebangun dengan proses evaluasi atas
pernyataan empiris tertentu. 37 Karena bersifat politis, penelusuran keadilan
meniscayakan adanya subyek-subyek yang mejemuk. Keadilan menurut
Habermas hanya dapat ditemukan di dalam ruang sosial, melalui dialog antara dua
individu atau lebih, dan karenanya bersifat politis.
Selain itu, proses menemukan keadilan juga membutuhkan pengorbanan
diskursif. 38 Yang dimaksud sebagai “pengorbanan diskursif” adalah kerelaan
subyek untuk mendudukkan diri secara setara dengan subyek yang lain, sebagai
prasyarat agar proses diskursus dapat berjalan. Para subyek harus memosisikan
diri untuk siap mendengar argumen masing-masing, dan menerima kemungkinan
adanya kebenaran dalam setiap pendapat. Apabila salah satu pihak memosisikan
dirinya lebih superior, proses interaksi akan terjatuh pada tindakan strategis yang
berlandaskan pemaksaan kehendak sepihak. Dalam kerangka ini, nilai keadilan
tidak akan pernah tercapai.
Hal ini kemudian menunjukkan bahwa keadilan di dalam kerangka
Habermas memiliki dimensi validitas atau keabsahan. 39 Proses menemukan
keadilan mensyaratkan adanya partisipasi aktif dari seluruh subyek yang
berkepentingan terhadap keadilan itu sendiri, melalui proses dialog dan pertukaran
argumentasi. Adu argumentasi ini akan menjamin seluruh pihak mengambil
bagian secara sederajat dan bebas tekanan. Proses ini bertujuan untuk menguji
keabsahan norma-norma yang kontroversial, alih-alih menunjukkan secara
gamblang “keadilan” itu sendiri.40 Suatu klaim keadilan, pada akhirnya, hanya
tercapai berdasarkan persetujuan dari seluruh pihak yang berkepentingan, tanpa
terkecuali.
Konsepsi Habermas ini merupakan salah satu kunci dalam memahami apa
yang disebut sebagai keadilan prosedural (procedural justice). 41 Dengan
menisbatkan keadilan pada klaim keabsahan, maka terdapat prosedur yang harus
ditempuh untuk mencapainya, yaitu melalui diskursus. Keadilan yang prosedural
ini mensyaratkan adanya ketidakberpihakan, dilaksanakan secara jujur, dan
berdasarkan standar-standar tertentu. 42 Eksistensi mengatasi sekat-sekat antara
kategori-kategori subyektif status sosial.43 Dalam pandangan rawlasian, hal ini
37 Philip Pettit, Habermas on Truth and Justice, “Royal Institute of Philosophy
Supplement,” Vol. 14, 1982, hal. 217. 38 Ibid. 39 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas Dua
Teori Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 131. 40 Ibid., hlm 132. 41 Ibid., hal. 50. 42 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial
prudence): Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legis prudence), Volume 1: Pemahaman
Awal, (Jakarta: Kencana, 2017), hal. 185. 43 Di Indonesia sendiri terdapat kecenderungan memandang negatif keadilan prosedural,
khususnya ketika disandingkan dengan apa yang disebut sebagai “keadilan substantif”. Keduanya
bahkan cenderung dipertentangkan. Menurut Achmad Ali, “menjadi masalah besar, dan hal itu
telihat dalam realitas hukum di Indonesia saat ini, adalah ketika prosedur itu dijadikan tujuan.”
Ibid. Adapun Satjipto Rahardjo memandang “(d)i kalangan hukum masih sering prosedur
diunggulkan di atas substansi. Ini didalihkan sebagai bagian dari usaha melindungi hak asasi
manusia dan menjunjung supremasi hukum. Secara empirik kita saksikan, bahwa
ketidakberhasilan memberikan keadilan di negeri kita lebih terletak pada kekalahan prosedur, yaitu
10 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
tercermin dalam konsep keadilan prosedural murni. Keadilan hanya akan tercapai
apabila seluruh prosedur dilaksanakan dan dipatuhi secara fair. 44 Kondisi ini
hanya akan tercapai apabila dalam sistem yang adil telah terlebih dahulu eksis.
“(H)anya dengan latar-belakang struktur dasar yang adil, termasuk konstitusi
politik dan lembaga-lembaga ekonomi dan sosial yang terasa adil, orang dapat
berkata perangkat prosedur adil itu ada.”45 Kriteria dasar ini dapat ditambahkan
dengan konsistensi, kualitas keputusan, kemungkinan koreksi, pengawasan,
ketidakberpihakan dan penghormatan atas etika, sebagaimana diajukan Makkai
dan Braithwaite.46
Dari konsep keadilan prosedural inilah lahir konsep access to justice. Akan
segera tampak kesebangunan antara prasyarat keadilan prosedural dengan tujuan-
tujuan akses terhadap keadilan itu sendiri. Menurut Gary Blasi, sebagaimana
dikutip Vickrey, et.al., pengertian tradisional dari konsep “access to justice”
umumnya terbatas pada akses masyarakat terhadap bantuan hukum dalam
perkara-perkara di pengadilan.47 Konsep ini menjadi identik dengan pemenuhan
keadilan bagi masyarakat fakir, miskin, dan termarginalkan. Mereka dianggap
tidak memiliki modal yang cukup untuk beracara di pengadilan, sehingga perlu
diberikan kanal melalui pranata bantuan hukum yang umumnya gratis.48 Sejalan
dengan visi kesetaraan, orang-orang miskin dan termarginalkan perlu memperoleh
asistensi demi mewujudkan acara peradilan yang benar-benar fair.
Access to justice mengupayakan mekanisme itu agar efektif dan akuntabel,
serta memberikan perlindungan hak, kontrol atas pelampauan kekuasaan dan
kekalahan dalam perang yang sifatnya lebih prosedural daripada substansial.” Satjipto Rahardjo,
Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), hal. 28. 44 Rasuanto, Keadilan., hal. 51. 45 Ibid., hal. 52. 46 Penjelasan masing-masing adalah, “(c)onsistency … mean consistency across time, its
important meaning in the domain of business regulation is consistent treatment of different
businesses. This is the sense in which consistency is used in this article. While consistency equates
with the scientific conception of reliability, decision accu- racy or quality equates with validity. It
means doing what is necessary to get decision right ... Correctability means being able to
complain about fairness by a law enforcer to some "agency or organization" … Control was
partitioned … into process control and cision control, while Leventhal … combines them in his
notion of representation. Impartiality means absence of bias. The most important forms of
prevention of favouritism or external bias in Australian society are the elimination of bias the
basis of race, sex, age, nationality or other characteristics of persons. Ethicality is the most
vaguely defined of the procedural justice facets. … (D)efines as "the degree to which the decision-
making process accords with general standards of fairness and morality.” Toni Makkai dan John
Barithwaite, Procedural Justice and Regulatory Compliance “Law and Human Behavior,” Vol. 20,
No. 1, 1996, hal. 84. 47 William C Vickrey, Joseph L Dunn, dan J Clark Kelso, Access to Justice: A Broader
Perspective, “Loyola Los Angeles Law Review,” Vol. 42, No. 4, 2009, hal. 1153. 48 Contoh dari kecenderungan paradigmatik ini tampak dalam proyek Strengthening
Access to Justice (SAJI) gelaran United Nations Development Programme (UNDP), Menurut
UNDP, hanya sekitar 17 persen dari populasi masyarakat miskin di Indonesia yang memperoleh
kemewahan access to justice dalam perkara-perkara hukum. SAJI kemudian dirancang untuk
“improve the access and the delivery of justice especially to the poor, women and diffable
groups of the communities. … (T)he project focusing on the policy, legal and regulatory
reforms and strengthening the capacity of government and non-government service
providers to implement Indonesia’s National Strategy on Access to Justice (NSA2J)
throughout the National and Subnational levels.” Penekanan-penekanan ini menegaskan
subyek-subyek utama dalam konsep “access to justice” adalah masyarakat miskin.
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 11
penyelesaian konflik.49 Lebih lanjut menurut Bedner, sebagaimana dikutip World
Bank, access to justice juga mencakup kemampuan setiap orang untuk mencari
dan mempertahankan diri dari sistem formal atau informal yang tidak adil, dan
kemampuan untuk memengaruhi proses dan institusi pembentuk dan
pengimplementasi hukum. Dengan membentuk pranata khusus untuk mengatasi
masalah-masalah ini, potensi tercapainya keadilan bagi orang-orang terpinggirkan
ini diharapkan dapat dimaksimalkan, sehingga kesetaraan di hadapan hukum
(equality before the law) dapat tercapai. 50 Di dalamnya, adanya jaminan
pendampingan dari advokat atau pengacara menjadi prasyarat utama.51
Pada titik inilah, posisi keadilan prosedural sebagai ibu dari konsep akses
terhadap keadilan semakin tegas. Apabila bercermin pada teori Rawls atau
Habermas tentang keadilan, prasyarat-prasyarat dasar yang menjadi bagian dari
diktum keduanya juga menjadi tujuan yang hendak dicapai pranata access to
justice, yaitu menyetarakan semua pihak, khususnya mereka yang termarjinalkan,
di hadapan hukum. Secara konseptual, kunci bagi tercapainya keadilan prosedural
murni, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, adalah subyek-subyek yang
terlibat di dalamnya harus duduk dalam posisi yang setara. Rawls mengajukan
tesis tentang posisi asali (original position) dan selubung ketidaktahuan (veil of
ignorance). Dalam posisi asali, orang-orang dibayangkan dapat bertindak secara
bebas dengan menerima adanya kesamaan (equality) antara satu dengan yang
lain.52 Sebagai prasyarat bagi kondisi ini adalah adanya selubung ketidaktahuan
(veil of ignorance), dengan membunuh sementara “konflik kepentingan …
sehingga membuat pemilihan secara aklamasi konsepsi keadilan tertentu menjadi
mungkin.”53 Adapun proyek penyetaraan Habermas dilaksanakan melalui proses
pengorbanan diskursif.
Manariknya, konsep access to justice sesungguhnya masih memiliki
dimensi yang luas dan dapat terus digali. Bagi Vickrey, et.al., access to justice
sekurang-kurangnya mencakup:
(a) available access to competent and impartial judges and court personnel
who promote trust and confidence in the judiciary; (b) safe court facilities
sufficient in capacity to handle caseloads; (c) basic dispute resolution
services from the courts (such as case management services to keep cases
moving or an adequate number of jurors for cases that go to trial); (d) court
interpreters to assist … diverse population in overcoming language
barriers; (e) legal provisions allowing fees to be waived for indigent
persons who cannot otherwise afford access to court; and (f) technologies
now commonly used by counsel and parties in presenting cases.54
(Terjemahan bebas: (a) tersedianya akses kepada hakim-hakim dan personel
pengadilan yang kompeten dan tidak memihak, yang mempromosikan
49 World Bank, “A Framework for Strengthening Access to Justice in Indonesia,”
http://site resources.worldbank.org/INTJUSFORPOOR/Resources/A2JFrameworkEnglish.pdf,
diunduh pada 28 Februari 2018. 50 Mustika Prabaningrum Kusumawati, Peranan dan Kedudukan Lembaga Bantuan
Hukum sebagai Access to Justice bagi Orang Miskin, “Arena Hukum,” Vol. 9 No. 2, 2016, hal.
194. 51 Fariana, Access. 52 Rasuanto, Keadilan, hal. 53. 53 Ibid., hal. 56-57. 54 Vickrey, Dunn, dan Kelso, Access, hal. 1154.
12 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
kepercayaan dan kepercayaan diri di pengadilan; (b) fasilitas pengadilan
yang aman dan memadai untuk menangani beban perkara; (c) layanan
penyelesaian sengketa yang mendasar (seperti layanan manajemen perkara
untuk menjaga kasus tetap berjalan dan jumlah juri yang sebangun bagi
kasus-kasus yang disidangkan); (d) penerjemah untuk menangani kendala
bahasa dalam masyarakat yang majemuk; (e) ketentuan hukum yang
memungkinkan pembebasan biaya bagi orang miskin yang tidak dapat
mengakses pengadilan; dan (f) teknologi yang sekarang umum digunakan
oleh pengacara dan pihak dalam mempresentasikan kasus.)
Proposal perluasan makna access to justice tidak hanya diajukan oleh
Vickrey, et.al. Bagi Tom Cornford, access to justice memiliki dua dimensi yang
berkelindan, yaitu deskriptif dan normatif. Yang telah dikemukakan sebelumnya
lebih memenuhi kriteria deskriptif access to justice. Access to justice
memungkinkan “citizens are able to gain access to the legal services necessary to
protect and vindicate their legal rights.”55 Definisi ini sejalan dengan pemahaman
jamak yang telah dikemukan sebelumnya, yaitu bagaimana memberikan akses
keadilan kepada kaum miskin dan termarginalkan. Namun Cornford segera
menambahkan kategori normatif akses terhadap keadilan, yaitu kondisi dimana
setiap anggota masyarakat dapat mempertahankan hak-hak legalnya secara
setara.56 Cornford berargumen, perluasan makna ini berupaya mengatasi bias-bias
makna keadilan dalam konsep access to justice yang deskriptif.
Bagi Cornford, terdapat dua modalitas dasar yang dapat mengondisikan
kesetaraan yang dicita-citakan pranata access to justice itu. Pertama, yaitu doktrin
negara hukum (rule of law). Konsep negara hukum memberikan prasyarat agar
hukum diterapkan dalam segala hal sesuai dengan ketentuan yang diatur di
dalamnya.57 Garis besar ini sejalan dengan salah satu prinsip terpenting dalam
negara hukum, yaitu prinsip due process of law. Prinsip due process of law
dibentuk dengan tujuan memberikan platform yang ketat bagi pelaksanaan tata
pemerintahan.58 Seluruh tindakan pemerintahan haruslah berdasarkan hukum dan
proses yang terukur. Sedangkan modalitas kedua, yang sejatinya masih sejalan
dengan konsep negara hukum, adalah konsep kewargaan. Di bawah negara
hukum, setiap individu memiliki kedudukan hukum dan marwah yang setara.59
Sementara itu menurut Andi Fariana, mengutip Ro’fah Setyowati, terdapat
setidaknya enam syarat yang dapat memperluas akses terhadap keadilan: 1) aparat
penegak hukum yang profesional; 2) sistem informasi terpadu yang mudah
diakses; 3) institusi penegak hukum terpercaya; 4) layanan hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan; 5) kesadaran professional bagi penegak hukum sebagai
officium nobile; 6) jaminan perlindungan hukum bagi penegak hukum. 60
55 Terjemahan bebas: warga dapat memperoleh layanan hukum yang pantas untuk
melindungi dan mempertahankan hak-hak mereka. Tom Cornford, “The Meaning of Access to
Justice,” dalam Ellie Palmer, et.al. (Eds.), Access to Justice: Beyond the Policies and Politics of
Austerity, (Oxford dan Portland: Hart Publishing, 2016), hal. 28. 56 Ibid. 57 Ibid. 58 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konpress,
2009), hal. 135. 59 Cornford, The Meaning, hal. 29. 60 Fariana, Access.
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 13
Dibanding sebelumnya, kriteria ini tampak lebih menitiberatkan prasyarat access
to justice pada institusi penegak hukum.
Dengan demikian, bertentangan dengan pemahaman umum, konsep access
to justice perlu dimaknai dalam pengertian yang lebih luas. Ia tak lagi semata-
mata menjadi wahana bagi penyediaan akses bantuan hukum kepada masyarakat
miskin dan termarjinalkan. Access to justice harus dipahami secara sistemik,
menyeluruh dan komprehensif, dengan melibatkan seluruh komponen sistem
hukum, baik kultur, struktur, dan substansi hukum.61 Dengan menimbang prinsip
keadilan prosedural yang melatarbelakanginya, maka komponen-komponen
access to justice setidaknya terdiri atas:
1. Prosedur penegakan hukum (hukum acara) yang jelas, terbuka, fair,
konsisten, dan terukur;
2. Prosedur tersebut memungkinkan adanya ruang diskursus dan
perdebatan antara para pihak berkepentingan secara setara;
3. Terdapat kanal bagi bantuan hukum bagi siapapun yang
membutuhkannya, untuk menjamin proses penegakan hukum yang fair;
4. Aparat penegak hukum yang profesional, kompeten dan
bertanggungjawab; dan
5. Akses untuk memengaruhi proses pembentukan hukum di seluruh
cabang kekuasaan;
Kelima kriteria inilah yang akan digunakan untuk menilai proses penanganan
kasus-kasus pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah di Indonesia,
melalui putusan-putusan MA terhadap permohonan uji pendapat DPRD tentang
pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, sepanjang tahun 2017.
Sebagaimana akan terlihat nantinya, akses terhadap keadilan dalam penanganan
jenis perkara ini relatif minim, bahkan dapat dikategorikan dalam keadaan kritis.
III. Perspektif Legal-Historis Peran Mahkamah Agung dalam Proses
Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
Sejak di level norma tertinggi, yaitu konstitusi, sistem hukum Indonesia
telah mengadopsi nilai keadilan dan menjadikannya sebagai salah satu tujuan
bernegara. Di dalamnya didalilkan bahwa tujuan pembentukan negara Indonesia
adalah guna “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
61 Tiga komponen sistem hukum ini dikemukakan oleh Lawrence M Friedman, dan
banyak dianut oleh sarjana Indonesia. Struktur berkenaan dengan “institutional body of the
system”, atau pranata-pranata yang menaungi sebuah sistem. Adapun kultur adalah sikap manusia
terhadap hukum. Sementara substansi adalah materi muatan hukum itu sendiri. Lihat Achmad Ali,
Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom & Artikel Pilihan dalam Bidang Hukum, (Jakarta:
Kencana, 2008), hal. 9-10. Pemahaman ini cenderung diadopsi oleh banyak sarjana Indonesia
dengan berbagai latar belakang kepakaran hukum. Bandingkan A Patra M Zen dan Daniel
Hutagalung (Ed.), Panduan Bantuan Hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan
Menyelesaikan Masalah Hukum, (Jakarta: YLBHI, 2007), hal. 5; Sulistyowati Irianto, “Isu
Kekerasan dalam Rumah Tangga dari Perspektif Pluralisme Hukum,” dalam Sulistyowati Irianto
(Ed), Perempuan dalam Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hal. 318; Rianto Adi, Sosiologi Hukum: Kajian Hukum
Secara Sosiologis, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2012), hal. 65.
14 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
perdamaian abadi dan keadilan sosial.”62 Karena kedudukannya yang termaktub di
dalam pembukaan konstitusi, konsep keadilan serta merta harus dijadikan sebagai
salah satu asas mendasar dalam penyusunan sistem ketatanegaraan Indonesia.63
Hal ini sejalan dengan kedudukan pembukaan konstitusi an sich sebagai sebuah a
priori hukum. Yudi Latif menilai bahwa dalam kedudukan ini, aturan hukum yang
tidak sejalan dengan materi muatannya tidak dapat dikategorikan sebagai
hukum.64 Dengan kata lain, perundang-undangan yang bertentangan itu niscaya
menjadi batal demi hukum.
Dengan pencantumannya di dalam konstitusi, khususnya pada bagian
pembukaan, maka keadilan secara otomatis menjadi salah satu nilai fundamental
(fundamental value) bernegara. Susunan sistem ketatanegaraan Indonesia haruslah
dijiwai oleh nilai ini. Di dalam konstitusi, pranata yang secara langsung terpapar
nilai keadilan, bahkan dibentuk sebagai wahana penegakannya secara independen,
adalah kekuasaan kehakiman. 65 Kekuasaan itu terdiri atas Mahkamah Agung
beserta institusi-institusi peradilan di bawahnya dan Mahkamah Konstitusi.66
UUD NRI 1945 mengatur setidaknya tiga wewenang MA, yaitu mengadili
pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang
diberikan oleh undang-undang. 67 Pada tingkat kasasi, MA berwenang untuk
melakukan evaluasi terhadap penerapan hukum dalam perkara-perkara yang
diujikan pada badan-badan peradilan di bawahnya, baik di tingkat pertama atau
kedua. 68 Adapun koridor pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang selaras dengan prasyarat dari negara
hukum, yaitu adanya pranata judicial review. 69 Pranata judicial review, atau
peninjauan yudisial, adalah bentuk check and balances antar lembaga negara,
dimana pranata pengadilan melakukan pengawasan terhadap peraturan perundang-
undangan sebagai produk dengan kekuasaan eksekutif maupun legislatif. 70
Wewenang ini juga melengkapi pranata pengujian undang-undang terhadap
konstitusi yang menjadi wewenang MK.71 Apabila pengujian a la MK meninjau
konstitusionalitas sebuah undang-undang, maka pengujian oleh MA meninjau
legalitas peraturan di bawah undang-undang, sebagaimana didalilkan Jimly
Asshiddiqie.72
62 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bagian
Pembukaan. 63 Hal ini mengingat sifat konstitusi sebagai pegangan dalam penyelenggaraan suatu
negara. Asshiddiqie, Konstitusi, hal. 29. 64 Yudi Latif, Pembukaan Undang-Undang Dasar sebagai Cita Negara dan Cita Hukum,
Jurnal Ketatanegaraan, Vol. 001, 2016, hal. 141. 65 Indonesia, UUD NRI 1945, Pasal 24 ayat (1). 66 Ibid., Pasal 24 ayat (2). 67 Ibid., Pasal 24A ayat (1). 68 Hery Shietra, “Permohonan Kasasi, Alasan di Balik Kasasi, Pertimbangan Hukum
Hakim Agung, Penafsiran dan Kontradiksinya,” http://www.hukum-
hukum.com/2015/01/permohonan-kasasi-alasan-dibalik-kasasi.html, diakses pada 1 Maret 2018. 69 Bachtiar, Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi pada Pengujian
UU terhadap UUD, (Jakarta: Penebar Swadaya Grup, 2015), hal. 129. 70 Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 8. 71 Indonesia, UUD NRI 1945, Pasal 24C ayat (1). 72 Asshiddiqie, Konstitusi, hal. 128.
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 15
Para perumus konstitusi agaknya merasa perlu untuk memberikan
kemungkinan kewenangan-kewenangan baru bagi MA di masa depan atau
mempertahankan praktik yang sudah mapan diatur di dalam undang-undang,
selain mengadili perkara kasasi dan judicial review. 73 Celah itu kemudian
diberikan dengan membentuk norma yang bersifat open legal policy. Artinya,
klausul jenis ini memberikan ruang bagi pembentuk undang-undang untuk
menafsirkan dan mengisi kekosongan pengaturan berdasarkan amanat konstitusi.74
Kebijakan ini berwujud dalam klausul “mempunyai wewenang lainnya yang
diberikan oleh undang-undang.”75
Salah satu bentuk wewenang nonkonstitusional yang dimiliki MA adalah
memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada
lembaga negara dan lembaga pemerintahan, 76 baik diminta maupun tidak. 77
Wewenang ini relatif telah lama disandang oleh MA, sekalipun dinilai tidak
memiliki kekuatan hukum yang mengikat.78 Wewenang lain yang bersifat atributif
dari undang-undang adalah mengurus organisasi, administrasi, dan finansial MA
dan badan peradilan yang berada di bawahnya.79 Dalam Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985, MA juga dianugerahi wewenang tambahan, semisal untuk
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan di bawahnya, 80
mengentaskan sengketa kewenangan mengadili antar lingkungan peradilan
(absolut) maupun antara pengadilan dalam satu lingkungan dengan wilayah
hukum berbeda (relatif),81 menyelesaikan sengketa perampasan kapal asing oleh
73 Simak pendapat Agun Gunanjar dalam pembahasan perubahan ketiga UUD 1945
berikut sebagai contoh. Ia menilai bahwa MA sejatinya dapat mengambil 5 peran dalam jalannya
negara demokrasi modern, yaitu peran ideologis, peran politis, peran yudikatif, peran sosiologis,
dan peran administratif. Pernyataan ini adalah respon Agun atas usulan tim perumus bentukan
PAH I BP MPR 2000 terkait norma yang mengatur wewenang Mahkamah Agung. Tim Penyusun,
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku VI: Kekuasaan
Kehakiman, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hal.
394. Adapun indikasi mempertahankan praktik yang sudah mapan semisal tampak dalam pendapat
Patrialis Akbar, yang menyatakan “kekuasaan Mahkamah Agung kami usulkan sesuai dengan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 antara lain, pertama adalah Peradilan Kasasi; yang kedua,
sengketa tentang kewenangan mengadili; yang ketiga permohonan peninjauan kembali.Yang
keempat, memberikan pertimbangan hukum untuk memberikan grasi dan rehabilitasi, karena ini
sudah ada dalam amendemen kita. Yang kelima, adalah Fungsi Pengawasan, ini perlu kita
cantumkan di sini yaitu fungsi pengawasan dalam hal teknis peradilan, pelanggaran-pelanggaran
peradilan serta tingkah laku hakim, sehingga ke depan tidak ada lagi fungsi pengawasan terhadap
teknis peradilan.” Ibid., hal. 396. 74 Mardian Wibowo, Menakar Konstitusionalitas Sebuah Kebijakan Hukum Terbuka
dalam Pengujian Undang-Undang, “Jurnal Konstitusi,” Vol. 12 No. 2, 2015, hal. 212. 75 Indonesia, UUD NRI 1945, Pasal 24A ayat (1). 76 Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Pasal 22 ayat (1). 77 Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Pasal
37. Patut diingat bahwa UU MA ini masih berlaku sekalipun telah terjadi amandemen konstitusi.
UU MA sendiri telah sekali diubah melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. 78 Agus Sahbani, “Menelusuri Jejak dan Daya Ikat Fatwa MA”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58a2d918b273a/menelusuri-jejak-dan-daya-ikat-fatwa-
ma, diakses pada 1 Maret 2018; Tri Jata Ayu Pramesti, “Sifat Fatwa Mahkamah Agung”,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1586/sifat-fatwa-mahkamah-agung-, diakses pada 1
Maret 2018. 79 Indonesia, UU No. 48/2009, Pasal 21 ayat (1). 80 Indonesia, UU No. 14/1985, Pasal 32 ayat (1). 81 Ibid., Pasal 33 ayat (1).
16 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
kapal perang Indonesia,82 serta mengadili peninjauan kembali putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap.83
Yang baru ditambahkan belakangan adalah wewenang MA untuk mengadili
permohonan uji pendapat DPRD tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah, yang notabene merupakan episentrum pembahasan artikel ini.
Dibanding wewenang-wewenang yang lahir dari rezim open legal policy yang
telah disebutkan sebelumnya, wewenang ini merupakan wewenang yang relatif
baru. Pranata ini lahir seiring dengan pelembagaan sistem pemilihan kepala
daerah secara langsung oleh rakyat, alih-alih oleh DPRD yang sempat
dipertahankan pada era pasca reformasi.
Pada masa UU No. 22/1999, pemberhentian kepala daerah merupakan
keputusan yang murni bersifat politis. Seorang kepala daerah dapat berhenti atau
diberhentikan sewaktu-waktu apabila meninggal dunia, mengajukan berhenti atas
permintaan sendiri, berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru,
tidak lagi memenuhi syarat seorang kepala daerah, melanggar sumpah/janji
jabatan, melanggar ketentuan larangan bagi kepala daerah, dan mengalami krisis
kepercayaan publik yang luas akibat kasus yang melibatkan tanggung jawabnya,
dan keterangannya atas kasus itu ditolak oleh DPRD. 84 Pemberhentian ini
ditetapkan melalui Keputusan DPRD dan disahkan oleh Presiden.85 Keputusan
DPRD hanya dapat diambil di dalam forum yang dihadiri oleh sekurang-
kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan
persetujuan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota yang hadir.86
Selain itu, Presiden dapat memberhentikan Kepala Daerah tanpa persetujuan
DPRD apabila yang bersangkutan melakukan tindak pidana kejahatan yang
diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih, atau diancam dengan hukuman
mati sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, 87
serta melakukan makar.88
MA baru dilibatkan dalam proses pemberhentian Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah 5 tahun setelahnya, melalui pengundangan UU No. 32/2004. Di
dalam undang-undang ini juga, pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah secara langsung oleh rakyat sebagai satu pasangan diatur untuk pertama
kalinya. 89 Peralihan model pemilihan ini dinilai sebagai bentuk demokratisasi
dalam pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.90 Konsekuensinya,
penilaian kinerja dan pertanggungjawaban Kepala Daerah pun turut berada di
tangan rakyat secara langsung. Karena Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
memiliki basis legitimasi yang lebih kuat, maka pranata pemberhentiannya
dirancang lebih rumit.
82 Ibid., Pasal 33 ayat (2). 83 Ibid., Pasal 34. 84 Indonesia, UU No. 22/1999, Pasal 49. 85 Ibid., Pasal 50 ayat (1). 86 Ibid., Pasal 50 ayat (2). 87 Ibid., Pasal 51. 88 Ibid., Pasal 52. 89 Indonesia, UU No. 32/2004, Pasal 56 ayat (1). 90 Bungasan Hutapea, Dinamika Hukum Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia, “Jurnal
Rechtsvinding,” Vol. 4, No. 1, hal. 2015, hal. 17; Wahyu Widodo, Pelaksanaan Pilkada
Berdasarkan Asas Demokrasi dan Nilai-Nilai Pancasila, “Jurnal Ilmiah Civis,” Vol. 5 No. 1, 2015,
hal. 682-683.
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 17
Perubahan yang cukup mencolok adalah dengan adanya pelibatan kekuasaan
yudisial dalam sistem ini. Pelibatan lengan kekuasaan yudisial sejatinya telah
dianut dalam sistem pemberhentian Presiden di dalam konstitusi. Sebagaimana
dalam sistem pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, pelibatan ini
adalah buah dari penguatannya legitimasi Presiden pasca reformasi, melalui
pemilihan langsung.91 Hal ini sangat berbeda dibanding era sebelum reformasi,
dimana Presiden dipilih dan diberhentikan oleh MPR. Hal ini mengingat MPR
berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara sekaligus penjelmaan kedaulatan
rakyat, sementara Presiden berperan semata-mata sebagai mandataris MPR.92
Dalam proses pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden, intervensi
yudisial itu berada di tangan MK. Apabila Presiden diduga melanggar sejumlah
larangan yang diatur di dalam konstitusi atau tak dapat lagi melaksanakan
tugasnya,93 maka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat meminta kepada MK
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.94
MK kemudian diwajibkan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dengan
seadil-adilnya pendapat DPR tersebut paling lama 90 setelah permintaan DPR
diterima.95 Apabila MK memutus bahwa Presiden atau Wakil Presiden terbukti
melakukan pelanggaran atau tidak dapat lagi melaksanakan jabatannya, maka
usulan pemberhentian oleh DPR dapat diteruskan kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR).96
Model yang hampir serupa kemudian diadopsi dalam mekanisme
pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sejak UU No. 32/2004.
Di dalam undang-undang ini, Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dapat
berhenti apabila meninggal dunia, permintaan sendiri,97 atau diberhentikan karena
91 Semisal, Suwoto dalam proses pembahasan amandemen konstitusi yang berpendapat
bahwa “kalau seorang Presiden itu dipilih dengan suara atau hasil dari proses suara mayoritas
maka untuk mengajukan impeachment saya kira pertimbangannya adalah cukup berat, begitu ya.
Kesalahan kecil saja bisa diajukan suatu impeachment. Kemudian keputusan final, ini yang saya
katakan tadi, ini yang penyimpangan yang dilakukan oleh MPR, saya kira, tidak bisa kita
mendasarkan suatu pemberhentian berdasarkan putusan peradilan, berdasarkan peradilan. Karena
apa? Karena pembuktian menurut logika politik, itu mempunyai suatu dalil-dalil yang memang
berbeda dengan proses pembuktian di pengadilan. Seseorang yang dinyatakan salah secara politik,
dan kemudian tepat untuk bisa diberi hukuman pemberhentian, itu memang belum tentu nanti
salah, kalau dibuktikan melalui suatu proses peradilan, setelah berhenti dari jabatannya. Dan
kalaupun itu terjadi, putusan politik itu masih tetap sah.” Tim Penyusun, Naskah Komprehensif
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang,
Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku IV Kekuasaan Pemerintah Negara Jilid I , hal.
328. 92 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Bagian Penjelasan Sistem Pemerintahan
Negara. 93 Larangan tersebut terdiri atas melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun
apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Indonesia,
UUD NRI 1945, Pasal 7A. 94 Ibid., Pasal 7B ayat (1). 95 Ibid., Pasal 7B ayat (4). 96 Ibid., Pasal 7B ayat (5). 97 Indonesia, UU No. 32/2004, Pasal 29 ayat (1) huruf a dan b.
18 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
alasan-alasan berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru, tidak
dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara
berturut-turut selama 6 (enam) bulan, tidak lagi memenuhi syarat sebagai Kepala
Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah; dinyatakan melanggar sumpah/janji
jabatan, tidak melaksanakan kewajiban, serta melanggar larangan bagi Kepala
Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah.98
Lebih lanjut undang-undang mengatur bahwa tidak semua kategori
larangan-larangan yang dapat berakibat pemberhentian itu membutuhkan
pertimbangan hukum MA. Yurisdiksi MA terbatas pada usulan pemberhentian
berdasarkan pendapat DPRD bahwa Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala
Daerah dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan dan atau tidak melaksanakan
kewajiban Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 99 Setelah menerima
permintaan DPRD untuk mengadili pendapatnya, MA berkewajiban untuk
memeriksa, mengadili dan memutus dalam 30 hari, dengan putusan yang bersifat
final. 100 Apabila putusan MA menyatakan Kepala Daerah terbukti melanggar
sumpah/janji jabatan atau tidak melaksanakan kewajibannya, maka DPRD
menyelenggarakan rapat paripurna untuk memutuskan usul pemberhentian kepada
Presiden.101
Pada saat ini, UU No. 32/2004 tak lagi berlaku. Kedudukannya sebagai
hukum positif pemerintahan daerah telah digantikan oleh undang-undang yang
lebih baru, yaitu UU No. 23/2014. Sekalipun melakukan perombakan terhadap
banyak aspek pemerintahan daerah, 102 namun undang-undang ini
mempertahankan wewenang MA dalam memberikan intervensi yuridis terhadap
upaya pemberhentian Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah. 103 Namun,
terdapat sedikit perbedaan kali ini. Undang-undang yang baru telah memperluas
yurisdiksi MA terhadap bentuk pelanggaran apa saja yang dapat menjadi alasan
gugatan DPRD ke pranata ini.
Kini MA tidak hanya berwenang mengadili pendapat DPRD terhadap
pelanggaran sumpah/janji jabatan dan/atau ketiadaan pelaksanaan kewajiban oleh
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, melainkan juga dapat mengadili dugaan
pelanggaran larangan bagi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan adanya
perbuatan tercela.104 Larangan-larangan tersebut mencakup:
membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan pribadi,
keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;105 … membuat kebijakan yang
merugikan kepentingan umum dan meresahkan sekelompok masyarakat atau
mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 106 …
menyalahgunakan wewenang yang menguntungkan diri sendiri dan/atau
98 Ibid., Pasal 29 ayat (2). 99 Ibid., Pasal 29 ayat (4) huruf a. 100 Ibid., Pasal 29 ayat (4) huruf c. 101 Ibid., Pasal 29 ayat (4) huruf d. 102 Agus Kusnadi, Re-Evaluasi Hubungan Pengawasan Pusat dan Daerah Setelah
Berlakunya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, “Arena Hukum,” Vol. 10, No.
1, 2017, hal. 62. 103 Indonesia, UU No.23/2014, Pasal 80. 104 Ibid., Pasal 80 ayat (1) huruf a. 105 Ibid., Pasal 76 ayat (1) huruf a. 106 Ibid., Pasal 76 ayat (1) huruf b.
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 19
merugikan Daerah yang dipimpin, melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta
menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi
keputusan atau tindakan yang akan dilakukan;107 … menyalahgunakan wewenang
dan melanggar sumpah/janji jabatannya;108 ... merangkap jabatan sebagai pejabat
negara lainnya sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan.109
Kepala Daerah juga dapat diberhentikan apabila menjadi advokat atau kuasa
hukum dalam suatu perkara di pengadilan, kecuali dalam rangka mewakili
daerahnya.110 Sementara yang dimaksud undang-undang sebagai perbuatan tercela
mencakup perjudian, meminum minuman keras, menggunakan atau mengedarkan
narkoba, dan bentuk-bentuk pelanggaran kesusilaan lain.111 Klausul-klausul dalam
UU No. 23/2014 inilah yang menjadi landasan hukum positif wewenang absolut
MA untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan uji pendapat DPRD
tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah.
IV. Kekosongan Hukum Acara sebagai Indikasi Krisis Access to Justice
dalam Putusan-Putusan Mahkamah Agung terhadap Permohonan Uji
Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Pemberhentian
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Tahun 2017
Sekalipun telah dirancang dan diidealkan sebagai sistem yang paripurna,
namun sistem pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang dianut
UU No. 23/2014 masih menyisakan masalah, khususnya berkaitan dengan peran
MA dalam sistem itu. Dalam kerangka access to justice, masalah-masalah tersebut
akan dianalisis berdasarkan indikator-indikator berikut:
1. Prosedur penegakan hukum (hukum acara) yang jelas, terbuka, fair,
konsisten, dan terukur;
2. Prosedur tersebut memungkinkan adanya ruang diskursus dan
perdebatan antara para pihak berkepentingan secara setara;
3. Terdapat kanal bagi bantuan hukum bagi siapapun yang
membutuhkannya, untuk menjamin proses penegakan hukum yang fair;
4. Aparat penegak hukum yang profesional, kompeten dan
bertanggungjawab; dan
107 Ibid., Pasal 76 ayat (1) huruf d. 108 Ibid., Pasal 76 ayat (1) huruf g. 109 Ibid., Pasal 76 ayat (1) huruf h. Diluar kesemuanya, undang-undang mengatur beberapa
jenis larangan lain bagi kepala daearh, namun secara eksplisit mengecualikannya sebagai alasan
bagi pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Larangan tersebut mencakup menjadi
pengurus suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara/daerah atau pengurus yayasan
bidang apa pun, melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa izin dari Menteri, dan meninggalkan
tugas dan wilayah kerja lebih dari 7 (tujuh) hari berturut-turut atau tidak berturut-turut dalam
waktu 1 (satu) bulan tanpa izin menteri untuk gubernur dan wakil gubernur serta tanpa izin
gubernur untuk bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota, sebagai alasan
pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah. Lihat Ibid., Pasal 78 ayat (2) huruf e. 110 Ibid., Pasal 76 ayat (1) huruf f. Klausul ini sejatinya berbunyi “menjadi advokat atau
kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat
(1) huruf e.” Pasal 65 ayat (1) huruf e sendiri membolehkan Kepala Daerah “mewakili Daerahnya
di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Penulis memilih menuliskan kedua klausul ini
secara sekaligus demi kesinambungan dan keseluruhan narasi. 111 Ibid., Penjelasan Pasal 78 ayat (1) huruf f.
20 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
5. Akses untuk memengaruhi proses pembentukan hukum di seluruh
cabang kekuasaan.
4.1. Ketiadaan Hukum Acara yang Jelas, Terbuka, Fair, Konsisten, dan
Terukur
Akar utama dari seluruh krisis access to justice dalam kasus-kasus
pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah di Indonesia sejatinya adalah
kekosongan hukum acara yang mengatur mekanisme baku peradilan pengujian
pendapat DPRD tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah.
Dengan kata lain, tidak ada prosedur penegakan hukum (hukum acara) yang jelas,
terbuka, fair, konsisten, dan terukur. Ketentuan ini sama sekali tidak diatur di
dalam UU No. 23/2014.
Di dalam UU No. 23/2014, satu-satunya aspek formal yang diatur adalah
tenggat waktu pelaksanaan peradilan, yaitu selama 30 hari. Dalam kurun waktu
tersebut, MA harus memeriksa, mengadili, dan memutus usulan DPRD. 112 MA
sendiri tidak berinisiatif untuk mengisi kekosongan hukum tersebut. MA tidak
membentuk PERMA untuk mengatur peradilan pengujian pendapat DPRD
tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Padahal Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 (UU No. 12/2011) memungkinkan hal tersebut
dilakukan oleh MA karena kewenangannya.113 Satu-satunya acuan hukum formal
dalam jenis perkara ini adalah dengan memberikan kesempatan kepada termohon
untuk memberikan jawaban secara tertulis.114
Apabila terus-menerus diabaikan, hal ini dapat membuat legitimasi putusan-
putusan MA dipertanyakan. Pengaturan mengenai hukum acara penting di dalam
sebuah Negara Hukum. Ia berkaitan dengan sarana-sarana pranata sosial dan
pengelolaan perselisihan (conflict management). Ia menjadi landasan kultural
sistem hukum dan membantu menentukan ruang sistem (system space) yang
diberikan kepada lembaga hukum, politik, agama atau lembaga lainnya dalam
sejarah masyarakat.115 Ini sejalan dengan fungsi penting hukum acara menurut
para sarjana dari berbagai cabang ilmu hukum, baik pidana, perdata, ataupun
administrasi negara, yaitu sebagai instrumen yang harus ada bagi penegakan
hukum material, dalam upaya menemukan kebenaran yang substantif.116 Adanya
hukum acara akan menjamin adanya ketertiban dalam proses itu dan keputusan-
keputusan yang dihasilkan berdasarkan keadilan.
Dalam hal ini, MA perlu belajar kepada MK. Sebelum MA menyandang
wewenang yudisial untuk mengintervensi proses pemberhentian Kepala
112 Indonesia, UU No. 23/2014, Pasal 80 ayat (1) huruf c. 113 Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Pasal 7 ayat (2). 114 MA, Putusan No. 01 P/KHS/2017, hal. 15; MA, Putusan No. 02 P/KHS/2017, hal. 8;
MA, Putusan No. 03 P/KHS/2017, hal. 3. 115 Lev, Politik, hal. 111-112. 116 R Atang Ranoemihardja, Hukum Acara Pidana, (bandung: Tarsito, 1980), hal. 14; Lilik
Mulyadi, Hukum Acara Pidana: Suatu Tinjauan Khusus terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan
Putusan Pengadilan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), Bambang Poernomo, Pola Dasar
Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty,
1993), hal. 10; hal. 29; I Rubini, Pengantar Hukum Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 1974), hal.
9; Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, (Jakarta: Pustaka
Kartini, 1988), hal. 6; Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata
dalam Teori dan Praktik, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hal. 1; Rozali Abdullah, Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1992), hal. 2.
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 21
Daerah/Wakil Kepala Daerah, MK telah dibebani tanggung jawab serupa terlebih
dahulu. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan konstitusi mengenai proses
pemberhentian Presiden/Wakil Presiden. Konstitusi memberikan MK kewajiban
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.117
Hukum acara bagi jenis gugatan tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut di
dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.118
Namun demikian, pengaturan hukum acara tentang tidak berhenti di level
konstitusi maupun undang-undang semata. MK kemudian mengambil inisiatif
untuk membentuk Peraturan MK untuk mengatur acara pengujian pendapat DPR
terhadap dugaan pelanggaran oleh Presiden/Wakil Presiden. Ketentuan tersebut
dituangkan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009. Di
dalamnya dengan tegas MK menyatakan bahwa “ketentuan hukum acara untuk
melaksanakan kewajiban … belum lengkap” dan “perlu mengatur hal-hal yang
diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan wewenangnya.”119 Pun apabila terdapat
hal yang terlewatkan untuk diatur, MK menegaskan bahwa asas-asas hukum acara
yang terkait berlaku secara mutatis mutandis.120 Penegasan-penegasan ini penting
untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum. MK tetap mengatur mengenai
hal tersebut, sekalipun hingga saat ini belum ada satupun upaya pemberhentian
yang diajukan kepadanya.
Melalui peraturan tersebut, MK memberikan pembatasan-pembatasan
terhadap hal-hal yang masih kabur dan belum terjelaskan, baik di dalam konstitusi
maupun UU No. 24/2003. Semisal, tindak pidana berat yang didefiniskan sebagai
“tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.”121
Adapun perbuatan tercela berkaitan dengan “perbuatan yang dapat merendahkan
martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.”122 MA juga menegaskan kembali
subyek-subyek yang berkepentingan dalam jenis kasus ini: DPR sebagai
pemohon, dan Presiden/Wakil Presiden sebagai termohon. Kedua pihak berhak
untuk didampingi oleh kuasa hukum.123
Setiap permohonan pengujian pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran
oleh Presiden/Wakil Presiden harus menguraikan dengan jelas alasan permohonan
itu, baik terkait adanya pelanggaran hukum atau Presiden/Wakil Presiden yang
tidak lagi memenuhi syarat untuk menjabat. 124 Apabila permohonan tersebut
didasarkan pada dugaan pelanggaran hukum, pemohon harus menguraikan dengan
rinci jenis, waktu dan tempat terjadinya pelanggaran. 125 Sementara terhadap
117 Indonesia, UUD NRI 1945, Pasal 7B ayat (1). 118 Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal
28-49, Pasal 80-85. 119 Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang
Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan
Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, Bagian Menimbang huruf b dan c. 120 Ibid., Pasal 21. 121 Ibid., Pasal 1 angka 10. 122 Ibid., Pasal 1 angka 11. 123 Ibid., Pasal 2 ayat (1). 124 Ibid., Pasal 3 ayat (3). 125 Ibid., Pasal 4 ayat (1).
22 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
permohonan dengan dalil ketidakmampuan melaksanakan kewajiban, uraian harus
merinci syarat-syarat yang tak lagi dapat dipenuhi Presiden/Wakil Presiden.126
Setiap permohonan dilengkapi oleh alat bukti tertentu.127
Lebih lanjut MK mengatur agar proses persidangan memutus pendapat DPR
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden/Wakil Presiden dibagi enam tahap.
Persidangan dimulai dengan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan, tanggapan oleh
termohon, pembuktian oleh pemohon, pembuktian oleh termohon, kesimpulan
dari kedua pihak, dan pengucapan putusan.128 Setelah semua tahapan terlampaui,
MK kemudian mengucapkan putusan dalam tiga jenis amar, yaitu permohonan
tidak dapat diterima, permohonan ditolak, atau membenarkan pendapat DPR.129
Putusan MK bersifat final secara yuridis dan mengikat bagi DPR.130
Dengan adanya hukum acara yang ketat, MK menegaskan marwah dan
kekuasaannya dalam memberikan intervensi yuridis terhadap proses
pemberhentian Presiden/Wakil Presiden. Kedudukan MK menjadi kontekstual dan
sejalan dengan semangat untuk semakin menguatkan kedudukan Presiden dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia. Dengan demikian, kuatnya unsur politis dalam
proses pemberhentian Presiden dapat ditekan dan diminimalisasi. 131 Dengan
hukum acara yang ketat itu, MK bahkan tampak menihilkan sama sekali hasil-
hasil yang telah dicapai dalam paripurna DPR. Indikatornya, baik pemohon atau
termohon tetap berkewajiban untuk melaksanakan proses pembuktian di hadapan
pengadilan, dalam suatu sidang yang terbuka. Pemohon maupun termohon pun
memiliki akses untuk memeriksa bukti-bukti satu sama lain.132
Inisiatif-inisiatif MK inilah yang perlu diadopsi oleh MA dalam penanganan
pengujian pendapat DPRD tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah. Secara yuridis dalam konteks pengujian ini, MA memiliki kedudukan
yang kongkruen dan sebangun dengan peran MK dalam pengujian pendapat DPR
terhadap dugaan pelanggaran Presiden/Wakil Presiden. Keduanya berfungsi
sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir, dengan keputusan yang final
secara yuridis dan mengikat bagi pemohonnya (DPR atau DPRD). Karena
berfungsi sebagai pengadilan tingkat pertama, MA perlu menggeser atau
menegaskan perannya dari sekadar judex iure menjadi judex factie. Dengan kata
lain, MA harus menilai kualitas formal dan material pemohon dan termohon
(sejak pengajuan permohonan, jawaban termohon, pembuktian, hingga
simpulan),133 dan tidak memercayai hasil pemeriksaan angket DPRD dengan serta
merta. Karena menilai pembuktian, maka pemohon dan termohon perlu diberikan
kesempatan untuk mengakses alat bukti secara terbuka, demi membangun
126 Ibid., Pasal 4 ayat (2). 127 Alat bukti tersebut terdiri atas risalah pengambilan keputusan yang membuktikan bahwa
pendapat DPR didukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR dalam sidang
paripurna yang dihadiri oleh 2/3 anggota DPR, dokumen pelaksanaan fungsi pengawasan yang
berkenaan dengan permohonan, risalah rapat, dan alat bukti lain yang relevan. Ibid., Pasal 5. 128 Ibid., Pasal 9 ayat (3). Perincian dari masing-masing tahap dijabarkan dalam Pasal 10-
19. 129 Ibid., Pasal 19 ayat (3). 130 Ibid., Pasal 19 ayat (5). 131 Muhammad Fauzan, Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Proses Impeachment
Presiden Menurut Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, “Jurnal Dinamika Hukum,” Vol. 11
No. 1, 2011, hal. 78. 132 MK, PMK No. 21/2009, Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 15 ayat (4). 133 Shietra, “Permohonan.”
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 23
argumentasi hukum yang berbobot, alih-alih sekadar memberikan jawaban tertulis
berdasarkan fakta-fakta yang kabur dari pihak lawannya.
Satu-satunya cara mengondisikan ini adalah dengan membentuk PERMA
tersendiri tentang acara pengujian pendapat DPRD tentang pemberhentian Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah. Pembentukan PERMA adalah alternatif paling
realistis, mengingat mengubah undang-undang membutuhkan komitmen politik
dan proses yang panjang.134 Saat ini, sebagian besar hukum acara MA tercantum
di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
yang telah sekali diubah melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Undang-
undang lain yang juga relevan dalam jenis kasus ini adalah UU No. 23/2014 itu
sendiri. Adanya PERMA setidaknya dapat mengodifikasi hukum acara yang
tersebar dalam beragam peraturan itu, mengisi kekosongan hukum yang masih
tersisa, dan menegaskan asas-asas apa yang dapat digunakan sebagai landasan
beracara.
Hukum acara yang lebih ketat juga akan semakin menguatkan posisi tawar
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dihadapan pranata pemberhentian. Kondisi
ini sebangun dengan besarnya legitimasi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah di
dalam rezim pemerintahan daerah saat ini, mengingat keduanya dipilih secara
langsung oleh rakyat. Sebagaimana DPRD, keduanya adalah representasi dari
daulat rakyat daerah itu sendiri. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan itu pun dapat
memperoleh parameter yang lebih kongkrit dalam mengevaluasi jalannya proses
yudisial pemberhentian pemimpin-pemimpin mereka.
4.2. Akses Pendampingan Hukum oleh Advokat
Pendampingan oleh pengacara adalah salah satu elemen penting dalam
setiap hukum acara. Karena profesinya, advokat dapat menjamin
“terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum
bagi pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak
asasi manusia.”135 Negara mengakui kedudukannya sebagai salah satu elemen
penting negara hukum yang bertiti berat pada supremasi hukum, bersisian dengan
aparat penegak hukum lain. Dalam kerangka itu, advokat menyediakan layanan
bagi para pencari keadilan, memberdayakan masyarakat, dan mengadvokasi
pemenuhan hak-hak fundamental mereka di hadapan hukum.136 Konsep access to
justice dalam arti sempit pun sejatinya dirancang agar masyarakat miskin dan
termarginalkan dapat memperoleh akses terhadap layanan ini.
Dalam kasus-kasus pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah,
peran advokat dalam hukum acara yang terang semakin mendesak. Harus diingat
bahwa proses ajudikasi di MA merupakan tahap kedua dalam sistem
pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah secara keseluruhan. Sebelum
itu, sang Kepala Dearah/Wakil Kepala Daerah harus menghadapi proses
134 Sesuai ketentuan di dalam konstitusi, undang-undang di Indonesia dibentuk oleh DPR
dengan persetujuan Presiden. Artinya, kedua lengan kekuasaan negara tersebut perlu memiliki
persepsi subyektif yang sama agar sebuah undang-undang dapat dibentuk. RE Elson, The Idea of
Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan [The Idea of Indonesia: A History], diterjemahkan
oleh Zia Anshor, (Jakarta: Serambi, 2009), hal. 441. 135 Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Bagian
Menimbang huruf b. 136 Ibid., Bagian Penjelasan Sub Bagian Umum.
24 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
pemeriksaan di DPRD yang kental dengan nuansa politis.137 Dalam tahap ini,
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah harus membela dirinya sendiri di hadapan
aturan main politik yang didasari pada negosiasi dan konsensus.
Intervensi yudisial dalam sistem ini harusnya dapat menetralisasi segi
negatif dari proses politik tersebut. Pelibatan advokat merupakan elemen penting
agar peradilan dapat berlangsung adil dan berimbang. Hal ini butuh ditegaskan di
dalam hukum acara yang kongkrit, agar advokat dapat menjalankan perannya
secara maksimal. Hukum acara tersebut perlu mengatur kedudukan, hak dan
kewajiban advokat. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, akan terjadi potensi
inkonsistensi dalam pola pendampingan hukum: bisa jadi pada suatu kasus
terdapat pendampingan, namun pada kasus yang lain tidak ada pendampingan
sama sekali. Ketika termohon tidak mendapatkan pendampingan yang layak dan
tepat, hak-hak fundamentalnya rentan diabaikan dan tercederai. Ujungnya, timbul
keraguan terhadap nilai keadilan dari putusan yang dihasilkan proses tersebut.
Masalah inkonsistensi inilah yang mengemuka dalam putusan-putusan MA
dalam pengujian pendapat DPRD tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah sepanjang tahun 2014. Dalam tiga putusan, terdapat tiga model
pendampingan hukum yang berbeda pula, baik dari sisi pemohon maupun
termohon. Pada kasus DPRD Kabupaten Mimika vs Bupati Mimika, DPRD
selaku pihak pemohon diwakili oleh 4 orang kuasa hukum dari Kantor Hukum A.
Dwi Harsana Saputra, S.H., & Associates.138 Adapun Bupati Mimika sama sekali
tidak didampingi kuasa hukum. Ia bahkan tidak mengajukan jawaban terhadap
permohonan pihak DPRD.139 Dengan kata lain, yang bersangkutan tidak membela
diri di hadapan pengadilan atas tuduhan-tuduhan yang menimpanya. Pada kasus
DPRD Kabupaten Katingan vs Bupati Katingan, baik pihak DPRD sebagai
pemohon maupun Bupati sebagai termohon tidak didampingi kuasa hukum.140
Sementara pada kasus DPRD Kabupaten Gorontalo vs Wakil Bupati Gorontalo,
DPRD sebagai pemohon tidak didampingi kuasa hukum, sementara Wakil Bupati
Gorontalo didampingi oleh 4 kuasa hukum dari Bahtin R Tomayahu & Rekan
Law Offices.141 Pada titik ini, para pihak, terutama termohon yang harus membela
diri, telah berada pada posisi yang tidak setara dan asimetris.
4.3. Minimalitas Ruang Diskursus: Muatan Permohonan, Pembelaan dan
Pembuktian
Keadilan yang bersifat prosedural, sebagaimana didalilkan oleh Habermas,
hanya dapat tercapai melalui proses diskursus yang juga adil. Para pihak yang
terlibat dalam suatu proses harus diberikan kesempatan untuk mempertahankan
argumennya dengan dalil-dalil yang kuat. Untuk itu, mereka harus didudukkan
dalam posisi yang setara, melalui pengorbanan diskursif untuk mendengarkan
argumen satu sama lain. Aturan main inilah yang idealnya diadopsi di dalam suatu
sistem peradilan manapun, khususnya dalam konteks peradilan uji pendapat
137 Problem politisasi ini sebangun dengan masalah yang ditimbulkan akibat pola
pemberhentian Presiden yang dianut pada masa sebelum amandemen UUD 1945, dimana
pemberhentian tersebut menjadi hak prerogative MPR sepenuhnya. Fauzan, “Kewenangan,” hal.
77. 138 MA, Putusan No. 01 P/KHS/2017, hal. 1. 139 Ibid., hal. 15. 140 MA, Putusan No. 02 P/KHS/2017, hal. 1. 141 MA, Putusan No. 03 P/KHS/2017, hal. 1.
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 25
DPRD terhadap pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Namun
demikian, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Ketiadaan aturan hukum acara
yang baku menimbulkan implikasi-implikasi lebih lanjut terhadap posisi para
pihak yang menjadi asimetris. Karena asimetris, argumentasi-argumentasi hukum
yang dikemukakan para pihak menjadi tidak berimbang di hadapan hakim.
Akibatnya, nilai keadilan suatu putusan justru menjadi meragukan.
Rantai masalah diskursif ini setidaknya tampak pada materi permohonan,
pembelaan dan pembuktian para pihak. Dari permohonan dan pembelaan, refleksi
atas proses diskursus itu sendiri dapat tercermin. Permohonan dan pembelaan
dapat menunjukkan kualitas argumentasi dan posisi asal dari para pihak yang
terlibat. Apakah keduanya mendapatkan akses yang setara atau timpang sebelah.
Adapun alat bukti akan memvalidasi proses diskursus itu. Ketika alat bukti
memiliki indikator yang jelas, maka kesempatan para pihak membangun argumen
yang kuat juga semakin besar. Namun, terdapat inkonsistensi ketiga elemen ini di
dalam tiga kasus pengujian pendapat DPRD terhadap pemberhentian Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah. Inkonsistensi dalam permohonan dan pembelaan
berkaitan dengan hal-hal apa saja yang perlu diuraikan oleh kedua belah pihak.
Sementara inkonsitensi dalam pembuktian berkaitan dengan alat bukti apa saja
yang diajukan para pihak.
4.3.1. Muatan Permohonan
Dalam kasus DPRD Kabupaten Mimika vs Bupati Mimika, permohonan
yang diajukan DPRD Mimika kepada MA guna menguji pendapat tentang
pemberhentian Bupati Mimika secara umum dibagi ke dalam 6 bagian, yaitu
penjabaran terhadap obyek permohonan, wewenang MA, kedudukan hukum
pemohon, kedudukan hukum termohon, posita permohonan, dan petitum.
DPRD mengajukan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Mimika Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pembentukan Panitia Khusus
Hak Angket DPRD Mimika, Laporan Panitia Khusus DPRD Kabupaten Mimika
tanggal 24 November 2016, dan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Mimika Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pendapat DPRD Kabupaten
Mimika terhadap Dugaan Penggunaan Ijazah Palsu pada waktu mencalonkan diri
sebagai Bupati Mimika, Pelanggaran Sumpah dan Janji Jabatan, dan Pelanggaran
Perundang-undangan. 142 Hal ini menarik karena berarti DPRD tidak hanya
mengajukan pengujian pendapat tentang pemberhentian Bupati Mimika,
melainkan juga keputusan pembentukan panitia angket itu sendiri. Apabila bagian
ini dipertimbangkan secara serius, MA artinya diminta mengadili keseluruhan
proses pemberhentian sejak tahap pertama hingga terakhir. Namun di dalam
putusannya, MA membatasi proses pemeriksaan persidangan hanya terhadap
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Mimika Nomor 4 Tahun
2016.143
Permohonan ini semakin menarik, karena DPRD secara sadar mendasarkan
argumen tentang wewenang MA tidak hanya kepada UU No. 23/2014, melainkan
juga pada PERMA Nomor 5 Tanun 2015 tentang Pedoman Beracara untuk
Memperoleh Putusan atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan
Keputusan Dan/Atau Tindakan Badan Atau Pejabat Pemerintahan. 144 Padahal
142 MA, Putusan No. 01 P/KHS/2017, hal. 2. 143 Ibid., hal. 15. 144 Ibid., hal. 2
26 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
pembentukan PERMA ini ditujukan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 53
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.145
Dalam PERMA ini, obyek gugatan adalah badan atau pejabat negara yang tidak
menetapkan keputusan atau tindakan tertentu. 146 Isinya sama sekali tidak
berhubungan dengan ketentuan dalam Pasal 80 UU No. 23/2014. Keganjilan ini
semakin menegaskan pentingnya pengaturan hukum acara tersendiri bagi
pengujian pendapat DPRD dalam pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah.
Di dalam posita, DPRD selaku pihak pemohon kemudian menguraikan
alasan-alasan di balik permohonan pengujian pendapat kepada MA. Terdapat
sejumlah poin penting yang layak digaris bawahi. Pertama, bahwa upaya
pemberhentian tersebut didasarkan oleh laporan masyarakat terkait dugaan
penggunaan ijazah palsu, bepergian ke luar negeri tanpa izin, dan pelanggaran
sumpah/janji jabatan. 147 DPRD Kabupaten Mimika kemudian menindaklanjuti
laporan tersebut dengan membentuk Panitia Khusus Hak Angket (Pansus) yang
terdiri atas seluruh fraksi di DPRD.148
Pansus tersebut kemudian mulai melakukan penyelidikan terhadap dugaan
penggunaan ijazah palsu dan perjalanan ke luar negeri tanpa izin menteri. Dugaan
penggunaan ijazah palsu ditelusuri dengan memeriksa mantan Ketua KPU
Kabupaten Mimika periode 2008-2014, mantan Ketua dan satu Anggota KPU
Kabupaten Mimika periode 2014-2019. Panitia Angket juga mengungi Kepala
Dinas Pendidikan Provinsi Papua, Kepala Tata Usaha SMAN 1 Sentani dan
Kepala SMP Yapend 45 Jayapura. Adapun Bupati Mimika dan mantan Sekretaris
KPU Kabupaten Mimika yang sekarang menjabati Kepala Dinas Perindustrian
Kabupaten Mimika tak pernah hadir ketika diundang.149 Pansus berkesimpulan
bahwa Bupati terbukti dengan meyakinkan telah menggunakan ijazah palsu, dan
karenanya harus dikenai sanksi pemberhentian tetap.150 Adapun terhadap dugaan
bepergian ke luar negeri tanpa izin, Pansus bersurat dengan Direktur Jenderal
Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, yang menyatakan tidak pernah
memberikan izin bepergian ke luar negeri kepada Bupati.151 Sementara terhadap
bentuk kongkrit pelanggaran sumpah/janji jabatan, DPRD tidak menjabarkan
lebih lanjut di dalam permohonannya dan semata menisbatkan pada kedua dugaan
pelanggaran lain yang telah diselidiki.
Susunan permohonan yang berbeda akan ditemukan dalam kasus DPRD
Kabupaten Katingan vs Bupati Katingan. Berbeda dengan kasus sebelumnya,
DPRD selaku pemohon langsung masuk kepada uraian pokok permohonan dan
tidak menjabarkan obyek sengketa, ataupun kedudukan hukum pemohon.
Permohonan ini didasarkan pada persitiwa tangkap tangan Bupati Katingan yang
melakukan hubungan di luar nikah dengan wanita yang bukan istri sahnya. Karena
peristiwa ini, sang Bupati dinilai melakukan perbuatan tercela, tidak menjaga
145 Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tanun 2015 tentang
Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan Permohonan Guna
Mendapatkan Keputusan Dan/Atau Tindakan Badan Atau Pejabat Pemerintahan, Bagian
Menimbang huruf a. 146 Ibid., Pasal 1 angka 1. 147 MA, Putusan No. 01 P/KHS/2017, hal. 5-6. 148 Ibid., hal. 7. 149 Ibid. 150 Ibid., hal. 10. 151 Ibid.
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 27
etika dan norma dalam menjalankan pemerintahan, dan menyalahgunakan
wewenang serta janji jabatan.152 Pembelaan Bupati yang menyakatan bahwa dia
dan sang wanita telah menikah di bawah tangan pun dianggap sebagai bentuk
pelanggaran terhadap sejumlah ketentuan dalam UU No. 1/1974.153 Pada kasus
DPRD Kabupaten Gorontalo vs Wakil Bupati Gorontalo, permohonan DPRD
bahkan lebih ringkas. DPRD sebagai pemohon hanya menguraikan bahwa telah
dilaksanakan angket dan Wakil Bupati terbukti melakukan hal-hal yang
dituduhkan kepadanya.154
Perbedaan-perbedaan dalam cara menguraikan ini disebabkan ketiadaan
acuan mengenai muatan permohonan. Bandingkan dengan pengaturan MK terkait
topik serupa, dimana permohonan harus memuat dan menguraikan dengan jelas
alasan permohonan itu, baik terkait adanya pelanggaran hukum atau
Presiden/Wakil Presiden yang tidak lagi memenuhi syarat untuk menjabat. 155
Apabila permohonan tersebut didasarkan pada dugaan pelanggaran hukum,
pemohon harus menguraikan dengan rinci jenis, waktu dan tempat terjadinya
pelanggaran.156 Sementara terhadap permohonan dengan dalil ketidakmampuan
melaksanakan kewajiban, uraian harus merinci syarat-syarat yang tak lagi dapat
dipenuhi Presiden/Wakil Presiden.157
4.3.2. Muatan Pembelaan
Sebagaimana permohonan, materi dan format pembelaan dalam kasus-kasus
pengujian pendapat DPRD tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah pun berbeda-beda. Masalah ini pun berakar dari problem yang sama, yaitu
ketiadaan peraturan hukum acara yang padu yang mengatur muatan dan format
nota pembelaan dalam kasus-kasus ini.
Dalam kasus DPRD Kabupaten Mimika vs Bupati Mimika, sang Bupati
sama sekali tidak mengajukan jawaban ataupun membela diri dari tuduhan-
tuduhan yang dilayangkan kepadanya. 158 Dalam kasus DPRD Kabupaten
Katingan vs Bupati Katingan, sang Bupati menyampaikan jawaban yang terdiri
atas 5 bagian: uraian kronologis peristiwa, komentar atas landasan hukum yang
digunakan DPRD dalam memeriksa dugaan perbuatan tercela, komentar terhadap
pelanggaran hukum yang dianggap terbukti dilakukan oleh Bupati, dan
kesimpulan. Sang Bupati menegaskan bahwa ia dan wanita yang bersamanya telah
menikah di bawah tangan secara Islam di Jakarta.159
Terhadap dalil-dalil hukum yang menjadi dasar bagi pembentukan panitia
khusus guna pengusutan perbuatan tercela yang dilakukannya, Bupati Katingan
menyanggahnya. Ia menilai, perbuatan zina yang dilakukannya merupakan delik
aduan absolut, sehingga hanya dapat diproses hukum apabila terdapat pihak yang
berkepentingan membuat laporan. 160 Ia kemudian menegaskan agar DPRD
152 MA, Putusan No. 02 P/KHS/2017, hal. 2-3. 153 Ibid., hal. 3-4. 154 MA, Putusan No. 03 P/KHS/2017, hal. 1-2. 155 MK, PMK No. 21/2009, Pasal 3 ayat (3). 156 Ibid., Pasal 4 ayat (1). 157 Ibid., Pasal 4 ayat (2). 158 MA, Putusan No. 01 P/KHS/2017, hal. 15. 159 MA, Putusan No. 02 P/KHS/2017, hal. 9. 160 Ibid., hal. 11.
28 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
seharusnya menghormati proses hukum pidana yang dilakukan suami sang wanita,
dan menghormati pencabutan laporan yang dilakukannya kemudian.161
Bupati Katingan juga turut mengomentari pelanggaran yang dianggap
terbukti dan menjadi dasar usulan pemberhentian. Terkait perbuatan tercela, ia
menilai substansinya saling tumpang tindih dengan proses pidana berdasarkan
aduan suami wanita yang bersamanya. Pengaduan tersebut juga telah dicabut,
sehingga “secara yuridis proses hukum kasus dugaan tindak pidana perzinaan
(perbuatan tercela) dimaksud telah berakhir dan tidak dapat dibuktikan secara
sah.” 162 Hasil pemeriksaan panitia khusus DPRD pun dinilainya gagal
membuktikan aspek perbuatan tercela ini.163 Sementara terkait pelanggaran etika,
menurutnya merupakan “alasan yang dibuat-buat, sangat tidak jelas bentuk
perbuatannya serta sama sekali tidak pernah dibuktikan secara sah.”164 Masalah
ini dinilainya merupakan urusan privat yang tidak berhubungan dengan
jabatannya sebagai Bupati Katingan. Alasan sebangun digunakan untuk
membantah tudingan melanggar sumpah/janji jabatan. Ia menilai pelanggaran
tersebut haruslah berkaitan secara langsung dengan tugas dan wewenang Bupati,
dan harus dibuktikan melalui putusan pengadilan yang inkracht.165
Dalam kasus ketiga (DPRD Kabupaten Gorontalo vs Wakil Bupati
Gorontalo), dimana Wakil Bupati Gorontalo sebagai termohon didampingi kuasa
hukum secara formal, pembelaan termohon tampak lebih lengkap dan berusaha
menjangkau lebih banyak aspek. Sorotan pertama ditujukan kepada permohonan
DPRD Kabupaten Gorontalo sebagai pemohon yang dinilai telah daluwarsa.
Dalam Pasal 23 ayat (1) Peraturan DPRD Kabupaten Gorontalo Nomor 1 Tahun
2014 tentang Tata Tetib DPRD Kabupaten Gorontalo (Tatib DPRD) disebutkan
bahwa DPRD harus menidaklanjuti keputusan yang dibuatnya dalam kurun 3 hari,
termasuk mengajukan uji pendapat kepada MA terkait pendapat pemberhentian
Wakil Bupati Gorontalo.166 Namun pengajuan uji pendapat melampaui tenggat
waktu tersebut.167 DPRD Kabupaten Gorontalo juga dinilai melanggar tatibnya
sendiri, karena penanganan terhadap pengaduan dugaan pelanggaran Wakil Bupati
Gorontalo tidak melewati sejumlah tahap.168
Terhadap substansi permohonan, termohon juga menilai bahwa tuduhan
korupsi seharusnya diselesaikan melalui proses peradilan pidana. Apabila telah
terdapat putusan inkracht yang menyatakan termohon terbukti secara hukum
melakukan pidana korupsi, barulah yang bersangkutan dapat diberhentikan.169
Selain itu, termohon mengklaim tidak dapat mempengaruhi hasil tender karena
hal tersebut diluar wewenang administratif dan tanggungjawabnya.170 Termohon
juga menuding bahwa ia dijebak, dimana pelapor telah berniat dan merencanakan
perekaman percakapannya dengan Wakil Bupati, yang menjadi landasan
pelaporannya.171 Pemohon juga dinilai tidak mematuhi urut-urutan pelaksanaan
161 Ibid. 162 Ibid., hal. 12. 163 Ibid., hlm 12-13. 164 Ibid., hal. 13. 165 Ibid., hal. 14. 166 MA, Putusan No. 01 P/KHS/2017, hal. 3. 167 Ibid., hal. 5. 168 Ibid., hal. 6. 169 Ibid., hal. 7. 170 Ibid., hal. 8-9. 171 Ibid., hal. 12.
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 29
hak menyatakan pendapat. Menurut termohon, hak tersebut seharusnya
dilaksanakan secara kumulatif, dimulai dengan pelaksanaan hak interpelasi
kemudian hak angket. Dalam hal ini, “pemohon … setelah menerima aduan dari
masyarakat sama sekali tidak menggunakan Hak Interpelasi namun langsung
menggunakan Hak Angket.”172
4.3.3. Pembuktian
Ketiadaan ketentuan mengenai hukum acara juga berimbas pada bukti-bukti
yang diajukan para pihak dalam perkara uji pendapat DPRD tentang
pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Terdapat perbedaan antara
satu kasus dengan kasus yang lain. Pada kasus DPRD Kabupaten Mimika vs
Bupati Mimika, DPRD Kabupaten Mimika selaku pemohon mengajukan 29 alat
bukti, yang terdiri atas:173
1. Fotokopi KTP atas nama Elminus B. Mom;
2. Fotokopi Keputusan Gubernur Papua Nomor 155.2/385/Tahun 2015
tentang Peresmian Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Mimika Periode Tahun 2014-2019;
3. Fotokopi Keputusan Gubernur Papua Nomor 155/37/Tahun 2016,
tentang Peresmian Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Mimika Periode Tahun 2014-2019;
4. Fotokopi Surat Kementrian Dalam Negeri Nomor 903/047/OTDA,
tanggal 5 Januari 2017 kepada Gubernur Papua mengenai Penetapan
Perda tentang Pembetukan dan Susunan Perangkat Daerah dan Perda
tentang APBD Tahun 2017 Kabupaten Mimika;
5. Fotokopi Surat Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Mahasiswa
Pegunungan tengah Papua se-Indonesia Nomor 38/B/A1/J-1/2016,
tanggal 4 Oktober 2016 mengenai Permohonan Tindak Lanjut Dugaan
Penggunaan Ijazah Palsu Bupati Timika;
6. Fotokopi Surat Rekomendasi Lembaga Musyawarah Adat Suku
Kamoro (Lemasko) Nomor 2037/DPA-Lemasko/D.I-II/X/2016, tanggal
3 Oktober 2016, mengenai Dukungan Kepada Tim Hak Angket DPRD
Kabupaten Mimika;
7. Fotokopi Surat Tanda Tamat Belajar Sekolah Menengah Umum
Tingkat Pertama atas nama Eltinus Omaleng tanggal 30 Mei 1991;
8. Fotokopi Surat Tanda Tamat Belajar Sekolah Menengah Umum
Tingkat Atas atas nama Eltinus Omaleng tanggal 23 Mei 1995;
9. Fotokopi Surat Komisi Pemilihan Umum mengenai Data Calon Bupati
Kabupaten Mimika Nomor Urut 9 atas Nama Eltinus Omaleng, S.E.;
10. Fotokopi Surat Pernyataan Komisioner Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten Mimika atas nama Michael Beanal, tanggal 24 Oktober
2016;
11. Fotokopi Surat Pernyataan Komisioner Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten Mimika atas nama Yohanes Kemong, S.IP., M.Si, tanggal
25 Oktober 2016;
12. Fotokopi Surat Kementrian Hukum dan HAM RI, Kantor Wilayah
Papua Nomor W30-FE.GR.04.02-532, tanggal 21 September 2016,
172 Ibid., hal. 10. 173 Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 P/KHS/2017, hal. 12-14.
30 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
tentang Permintaan Nama PNS Kabupaten Mimika yang Keluar Negeri
dengan lampiran Daftar Nama PNS Kabupaten Mimika yang Keluar
Negeri;
13. Fotokopi Surat Rapat Pleno Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Mimika, tanggal 27 September 2016, tentang Hak Angket
Tahun 2016;
14. Fotokopi Daftar Hadir Rapat Pleno Hak Angket Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Mimika, tanggal 27 September Tahun 2016;
15. Fotokopi Surat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Mimika
Nomor 002/PA/DPRD-MMK/IX/2016 tanggal 29 September 2016
kepada Kepala Sekolah Yayasan Pendidikan 45 Jayapura, mengenai
Permohonan Penjelasan Ijazah Nomor 180-OA ob 0074657 a.n. Eltinus
Omaleng;
16. Fotokopi Surat Keterangan Yayasan Pendidikan 45 Jayapura tanggal 1
Oktober 2016, menanggapi Surat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Mimika Nomor 002/PA/DPRD-MMK/IX/2016, tanggal 29
September 2016;
17. Fotokopi Surat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Mimika
Nomor 003/PA/DPRD-MMK/IX/2016 tanggal 29 September 2016
kepada Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Sentani Jayapura, mengenai
Permohonan Penjelasan Ijazah Nomor 18 OB oc 0806410 a.n. Eltinus
Omaleng;
18. Fotokopi Surat Keterangan SMA Negeri 1 Sentani tanpa tanggal bulan
Juni 2016, menanggapi Surat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Mimika Nomor 003/PA/DPRD-MMK/IX/2016, tanggal 29
September 2016;
19. Fotokopi Surat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Mimika
Nomor 004/PA/DPRD-MMK/IX/2016, tanggal 29 September 2016
kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua,
mengenai Permohonan Penjelasan Ijazah SLTP Nomor 180-OA ob
0074657 dan SLTA Nomor 18 OB oc 0806410 a.n. Eltinus Omaleng;
20. Fotokopi Surat Keterangan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi
Papua Nomor 420/1323, tanggal 3 Oktober 2016, menanggapi Surat
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Mimika Nomor
004/PA/DPRDMMK/IX/2016, tanggal 29 September 2016;
21. Fotokopi Surat Panggilan Kepolisian Negara RI Daerah Papua Nomor
S.Pgl/141/III/2016/Dit Reskrimum, tanggal 7 Maret 2016 kepada
Eltinus Omaleng;
22. Fotokopi Surat Kementerian Dalam Negeri RI Nomor 356/9513/OTDA,
tanggal 28 November 2016 kepada Gubernur Papua;
23. Fotokopi Laporan Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Mimika dalam Rangka Pembahasan serta Tindak Lanjut
Aspirasi Masyarakat atas Dugaan Penggunaan Ijazah Palsu dan
Pelanggaran yang terhadap Sumpah dan Janji yang Dilakukan oleh
Bupati Kabupaten Mimika, tanggal 24 November 2016;
24. Fotokopi Pengantar Rapat Paripurna Khusus Terbatas DPRD
Kabupaten Mimika Masa Sidang Tahun Sidang 2016 dalam Laporan
Panitia Khusus Hak Angket sebagai Tindak Lanjut Aspirasi Masyarakat
atas Dugaan Pelanggaran Ijazah Palsu Bupati Eltinus Omaleng dan
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 31
Pelanggaran Peraturan Perundang-undangan yang dilakukan oleh
Bupati Kabupaten Mimika, tanggal 24 November 2016;
25. Fotokopi Keputusan DPRD Kabupaten Mimika Nomor 4 Tahun 2016,
tanggal 24 November 2016 tentang Pendapat DPRD Kabupaten
Mimika Terhadap Dugaan Ijazah Palsu, Pelanggaran Sumpah/Janji
Jabatan dan Peraturan Perundang-undangan yang Dilakukan oleh
Saudara Eltimus Omaleng, S.E., sebagai Bupati Mimika;
26. Fotokopi Surat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Mimika
Nomor 029/PANS/DPRD-MMK/X/2016, tanggal 25 Oktober 2016
kepada Menteri Dalam Negeri RI, mengenai Klarifikasi Tamuan Pansus
DPRD Kabupaten Mimika;
27. Fotokopi Surat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Mimika
Nomor 030/PANS/DPRD-MMK/X/2016, tanggal 25 Oktober 2016
kepada Kepala Kepolisian Polda Papua;
28. Fotokopi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura Nomor
34/G/2015/PTUN.JPR, tanggal 6 Juni 2016; dan
29. Fotokopi Surat Bukti Tanda Terima Surat Keluar Panitia Hak Angket
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Mimika Tahun 2016.
Sementara pihak Bupati Mimika selaku termohon tidak mengajukan satupun alat
bukti.174
Dalam kasus DPRD Kabupaten Katingan vs Bupati Katingan, pihak
pemohon hanya mengajukan alat bukti berupa:175
1. Fotokopi Surat Keputusan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Katingan Nomor: 172/42/DPRD-KAT/II/2017, tanggal 14
Februari 2017, Perihal Penyampaian Keputusan DPRD Kabupaten
Katingan Nomor 7 Tahun 2017;
2. Fotokopi Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Katingan Nomor 7 Tahun 2017, tanggal 13 Februari 2017, tentang
Pendapat DPRD Kabupaten Katingan atas Dugaan Perbuatan Tercela,
Melanggar Etika dan Melanggar Peraturan Perundang-undangan yang
Dilakukan oleh Bupati Katingan;
3. Fotokopi Hasil Kerja Panitia Khusus DPRD Kabupaten Katingan,
Membahas dan Tindak Lanjut Dugaan Perbuatan Tercela, Melanggar
Etika dan Melanggar Peraturan Perundang-undangan yang Dilakukan
oleh Bupati Katingan, tanggal 08 Februari 2017, beserta lampiran-
lampirannya yang terdiri dari Lampiran 1 sampai dengan Lampiran 21,
dan Lampiran Tambahan); dan
4. Fotokopi Risalah Rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Katingan Masa Persidangan II Tahun Sidang 2017 Bulan Januari
Sampai Dengan Februari 2017 tentang Dugaan Perbuatan Tercela,
Melanggar Etika dan Melanggar Peraturan Perundang-undangan yang
Dilakukan oleh Bupati Katingan.
Sementara dari pihak Bupati Katingan selaku termohon membalasnya dengan
mengajukan alat bukti berupa:176
174 Ibid., hal. 15. 175 MA, Putusan No. 02 P/KHS/2017, hal. 8. 176 Ibid., hal. 15-16.
32 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
1. Fotokopi Surat Kesepakatan Bersama yang dibuat Sulis Heri Suyanto
dengan Farida Yeni, A.Md.Gizi, tanpa tanggal, bulan, dan tahun;
2. Fotokopi Surat H. Ikhsan Fauzi tanggal 13 Januari 2017 yang ditujukan
kepada saudari Farida Yeni beserta lampirannya;
3. Fotokopi Surat Pernyataan H. Ikhsan Fauzi tanggal 09 Januari 2017
beserta lampirannya;
4. Fotokopi Berita Sampit Online Kamis, 19 Januari 2017 beserta
lampirannya;
5. Fotokopi Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Katingan Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pembentukan Panitia Khusus
(Pansus) Dugaan Perbuatan Tercela Bupati Katingan;
6. Fotokopi Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Katingan Nomor 6 Tahun 2017 tentang Perubahan Keputusan DPRD
Kabupaten Katingan Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pembentukan
Panitia Khusus (Pansus) Dugaan Perbuatan Tercela Bupati Katingan;
7. Fotokopi Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Katingan Nomor 7 Tahun 2017, tanggal 13 Februari 2017, tentang
Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Katingan atas
Dugaan Perbuatan Tercela, Melanggar Etika dan Melanggar Peraturan
Perundang-undangan yang Dilakukan oleh Bupati Katingan;
8. Fotokopi Surat Koordinator Gerakan Aksi Damai 162, tanggal 16
Februari 2017, yang ditujukan kepada Pimpinan dan Anggota DPRD
Kabupaten Katingan beserta lampirannya; dan
9. Fotokopi surat Ahmad Yantenglie, S.E., tanggal 27 Februari 2017,
perihal Nota Pembelaan/Pledoi.
Dalam kasus DPRD Kabupaten Gorontalo vs Bupati Gorontalo, pihak
DPRD Kabupaten Gorontalo sebagai pemohon mengajukan alat bukti sebagai
berikut:177
1. Fotokopi Surat Keputusan DPRD Kabupaten Gorontalo Nomor
29/KEP/DPRD/IX/2017, tanggal 22 September 2017, tentang
Pernyataan Pendapat;
2. Fotokopi Surat Keputusan DPRD Kabupaten Gorontalo Nomor
28/KEP/DPRD/IX/2017, tanggal 22 September 2017, tentang
Penetapan Hasil Penyelidikan oleh Panitia Angket;
3. Fotokopi Risalah Rapat Paripurna ke-24 DPRD Kabupaten Gorontalo,
tanggal 22 September 2017;
4. Fotokopi Risalah Rapat Paripurna ke-23 DPRD Kabupaten Gorontalo,
tanggal 22 September 2017;
5. Fotokopi Daftar Hadir Paripurna DPRD Kabupaten Gorontalo, tanggal
22 September 2017;
6. Fotokopi Risalah Rapat Paripurna ke-20 DPRD Kabupaten Gorontalo,
tanggal 16 Agustus 2017;
7. Fotokopi Hasil Penyelidikan Panitia Angket DPRD Kabupaten
Gorontalo;
177 MA, Putusan No. 03 P/KHS/2017, hal. 2-3.
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 33
8. Fotokopi Surat Keputusan DPRD Kabupaten Gorontalo Nomor
23/KEP/DPRD/VIII/2017, tanggal 16 Agustus 2017, tentang
Pembentukan Panitia Angket; dan
9. Fotokopi Pendapat Hukum (legal opinion) dari Prof. Dr. Moh. Mahfud
MD.
Sementara Wakil Bupati Gorontalo sebagai termohon mengajukan alat bukti
berupa:178
1. Fotokopi Surat Resi Pos;
2. Fotokopi Pemberitahuan & Penyerahan Surat Permohonan Uji Pendapat;
3. Fotokopi Surat Permohona Uji Pendapat;
4. Fotokopi Surat Penerimaan dan Registrasi berkas permohonan Hak Uji
Pendapat;
5. Fotokopi Tata Tertib DPRD Kabupaten Gorontalo Nomor 1 Tahun
2004;
6. Fotokopi Keputusan DPRD Nomor 29 tentang Hak Menyatakan
Pendapat;
7. Fotokopi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah;
8. Fotokopi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3;
9. Fotokopi Surat Penetapan Pemenang;
10. Fotokopi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 juncto Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
11. Fotokopi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Negara;
12. Fotokopi Surat Panggilan Pertama;
13. Fotokopi Surat Perintah Perjalana Dinas (SPPD);
14. Fotokopi Surat Panggilan Kedua;
15. Fotokopi Surat Keberatan;
16. Fotokopi Tanda Terima Surat;
17. Fotokopi Surat Keputusan DPRD Kabupaten Gorontalo Nomor
23/KEP/DPRD/VIII/2017;
18. Fotokopi Surat Panggilan Ketiga;
19. Fotokopi Undang-Undang Dasar 1945;
20. Fotokopi Putusan MK Nomor 006/2003;
21. Fotokopi Putusan MK Nomor 005/2010;
22. Fotokopi Putusan MK Nomor 20/2010;
23. Fotokopi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 juncto Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi Teknoloni Elektronik;
24. Fotokopi Surat Pernyataan Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN)
DPRD Kabupaten Gorontalo;
25. Fotokopi SK Pengangkatan Wakil Bupati Kabupaten Gorontalo;
26. Fotokopi Surat Pernyataan Unit Layanan Pengadaan;
27. Fotokopi Surat Pernyataan Budiyanto Biya;
28. Fotokopi Laporan Polisi;
29. Fotokopi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas;
178 Ibid., hal. 23.
34 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
30. Fotokopi Akta Pendirian PT Asana Citra Yasa;
31. Fotokopi Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK);
32. Fotokopi Perma Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara
dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang;
33. Fotokopi Fatwa Lembaga Adat Kab. Gorontalo;
34. Fotokopi Keterangan Ahli Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H.;
35. Fotokopi Hasil Uji LBH PAHAM; dan
36. Fotokopi Kliping Koran.
Uraian-uraian di atas menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan terhadap
alat-alat bukti yang diajukan para pihak dalam pengujian pendapat DPRD
terhadap pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Pada kasus DPRD
Kabupaten Mimika vs Bupati Mimika, DPRD Kabupaten Mimika sebagai
pemohon mengajukan secara lengkap, termasuk alat-alat bukti yang diperiksa di
dalam proses angket di internal DPRD sendiri. Sementara pada dua kasus lain,
yaitu DPRD Kabupaten Katingan vs Bupati Katingan dan DPRD Kabupaten
Gorontalo vs Wakil Bupati Gorontalo, para pemohon semata-mata mengajukan
produk-produk dan luaran yang dihasilkan dari proses angket, baik berbentuk
laporan maupun keputusan-keputusan. Sekalipun juga menyertakan lampiran-
lampiran, muatan dari lampiran-lampiran tersebut tidak benar-benar diuraikan.
Bahkan dalam kasus DPRD Kabupaten Gorontalo vs Wakil Bupati Gorontalo,
rekaman yang menunjukkan adanya pelanggaran hukum oleh Wakil Bupati
Gorontalo tampak tidak disertakan. Nantinya hal ini pun rupanya tidak menjadi
pertimbangan bagi hakim dalam memutus perkara ini. Perbedaan-perbedaan
serupa juga terdapat dalam bukti yang diajukan termohon untuk membela diri.
Perbedaan-perbedaan ini tidak sekadar menjadikan proses diskursus menjadi
minimal dan sulit diterima keabsahannya. Perbedaan-perbedaan juga menjadikan
posisi MA dalam kasus ini menjadi kabur: apakah ia berperan sebagai judex facti
yang memeriksa bukti-bukti dan fakta-fakta yang berkenaan dengan kasus,179 atau
sekadar sebagai judex iure. Dengan alat bukti yang diajukan pemohon dalam
kasus DPRD Kabupaten Mimika vs Bupati Mimika, MA dpat berperan sebagai
judex facti. Sementara dalam dua kasus lainnya, dimana alat bukti yang diajukan
hanyalah luaran proses angket, peran MA menjadi terbatas sebagai judex iure.
Dengan kata lain, MA hanya memeriksa penerapan hukum dalam proses angket
yang berujung usulan pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah itu
sendiri. Padahal dalam kasus seperti ini, dengan mempertimbangkan aspek
historis-teleologis sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, MA harusnya
mengambil peran judex facti dan tidak begitu saja memercayai hasil angket
DPRD. 180 Pilihan sebaliknya justru kontraproduktif dengan semangat
pengintegrasian kekuasaan kehakiman dalam proses pemberhentian Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah. Kekaburan kedudukan MA akan semakin kontras
dalam ulasan mengenai pertimbangan hakim MA berikut.
4.4. Cermin Kualitas Aparat Penegak Hukum dalam Pertimbangan-
Pertimbangan Hukum Hakim
179 Henri Gunarto, The Impact of US Law Propositions on Indonesian Commercial Law,
“Loyola of Los Angeles Law Review,” Vol. 29, 1996, hal. 1050. 180 Lihat kembali pembahasan dalam Bab IV Sub Bab 4.1. artikel ini.
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 35
Puncak dari segala penelusuran mengenai kegalatan access to justice dalam
kasus-kasus pengujian pendapat DPRD tentang pemberhentian Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah terletak pada bagian pertimbangan hukum hakim
(ratio decidendi) dan putusan yang dihasilkannya. Sebagaimana didalilkan Umar
Haris Sanjaya, “(p)ertimbangan hakim yang baik adalah pertimbangan yang disitu
terdapat tata hukum dan memperhatikan nilai keadilan.”181 Rekonstruksi hakim
terhadap jalannya persidangan dengan mempertimbangkan argumen-argumen
pemohon maupun termohonlah yang menjadi landasan bagi perumusan putusan.
Hakim harus jeli mengidentifikasi acuan hukum dalam “belantara” perundang-
undangan Indonesia, dan bagaimana aturan tersebut relevan terhadap suatu kasus.
Di masa depan, suatu pertimbangan hukum kerap kali menjadi
yurisprudensi dan sumber hukum yang berkelanjutan. Penggunaan ratio decidendi
sebagai sumber hukum utama terutama dianut di negara-negara yang menganut
sistem hukum Anglo-Saxon. Di negara-negara ini berlaku asas the binding force
of precedent, dimana hakim terikat pada putusan-putusan di masa lalu dalam
perkara serupa yang dihadapinya. 182 Namun demikian, diskursus ilmu hukum
Indonesia pun umumnya menerima yurispirudensi sebagai sumber hukum.183 Di
Indonesia, yurispirudensi diterima dengan daya ikat yang bersifat persuasif.184
Oleh karena itu, pertimbangan tesebut harus bersifat komprehensif, menyeluruh,
bijaksana, dan adil. Dari sini, kualitas dan kapasitas individual seorang hakim
dapat dinilai.
Sekalipun menghasilkan putusan yang serupa, masing-masing kasus
pengujian pendapat DPRD tentang pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah pada tahun 2017 memiliki pertimbangan-pertimbangan yang endemik. Hal
ini terlepas dari alasan permohonan yang memang berbeda-beda. Keunikan
tersebut tampak argumentasi hukum yang dibangun oleh hakim dalam membuat
putusan. Beberapa argumentasi pada satu kasus tampak cukup progresif, namun
pada kasus lain juga menimbulkan pertanyaan mengenai kompetensi hakim.
Pada kasus pertama (DPRD Kabupaten Mimika vs Bupati Mimika), hakim
membuat pernyataan penting dengan mempertimbangkan hal yang justru tidak
diuraikan dan menjadi bagian dari permohonan pemohon. Dalam
pertimbangannya hakim menyatakan bahwa
(t)ermohon telah membiarkan lembaga legislatif daerah kosong selama
kurang lebih satu tahun, setidak-tidaknya sejak November 2014 sampai
dengan Desember 2015, sehingga pelaksanaan pemerintahan daerah berjalan
tanpa kontrol dari lembaga legislatif. Semua pengambilan keputusan dan
kebijakan penting di daerah terpusat pada Termohon.185
Bagi hakim, inilah yang menjadi bentuk pelanggaran Bupati Mimika terhadap
sumpah/janji jabatannya untuk menjalankan peraturan perundang-undangan
dengan lurus. Padahal dalam permohonan pemohon, hal ini tidak disinggung
181 Umar Haris Sanjaya, Keadilan Hukum dalam Pertimbangan Hakim dalam Memutus
Hak Asuh Anak, “Yuridika,” Vol. 30 No. 2, 2015, hal. 356. 182 Ali, Menguak, hal. 143. 183 Muhammad Sadi Is, Pengantar Ilmu Hukum, Edisi Pertama, (Jakarta: Kencana, 2017),
hal. 112; Soedikno Mertokoesoemo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,
2008), hal. 111-112. 184 Ibid., hal. 115. 185 MA, Putusan No. 01 P/KHS/2017, hal. 15.
36 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
sebagai alasan pemberhentian Bupati Mimika. Pemohon hanya menguraikan
bahwa termohon telah melanggar sumpah/janji jabatan, tanpa menguraikan bentuk
pelanggaran yang kongkrit.186 Kekosongan DPRD Mimika sendiri memang benar-
benar terjadi, akibat perbedaan pembatalan keputusan pengangkatan anggota
DPRD Kabupaten Mimika oleh Bupati Mimika secara sepihak.187
Hal menarik lain adalah hakim juga tidak membuat argumentasi lebih lanjut
mengenai kewenangan mengadili berdasarkan landasan permohonan DPRD.188
Sejak semula, permohonan DPRD diajukan berdasarkan tuduhan bahwa Bupati
Mimika telah menggunakan ijazah palsu dan kerap bepergian ke luar negeri tanpa
izin.189 Sesuai dengan UU No. 23/2014, kedua hal tersebut memang dapat menjadi
alasan pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Namun masing-
masing memiliki mekanisme pemberhentian tersendiri yang tidak melibatkan MA.
Apabila seorang Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah terbukti menggunakan
dokumen palsu melalui proses angket, DPRD dapat secara langsung mengajukan
usulan pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah kepada Menteri atau
Presiden.190 Sementara apabila Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah bepergian ke
luar negeri tanpa izin, yang bersangkutan dapat diberhentikan sementara selama 3
bulan.191
Dengan kata lain, pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
berdasarkan alasan penggunaan ijazah palsu atau bepergian ke luar negeri tanpa
izin berada diluar yurisdiksi dan kompetensi absolut MA. Pemberhentian Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah berdasarkan kedua alasan itu dapat diproses tanpa
intervensi yuridis MA. Namun demikian, MA berkilah bahwa:
(s)ebagai seorang Pejabat Publik, Termohon telah ternyata bertindak tidak
jujur, dan Termohon tidak pernah melakukan klarifikasi terhadap masalah
ini, sehingga akan melekat sampai masa jabatan berakhir. Seharusnya
integritas Pejabat Publik menjadi jaminan atas jabatannya tersebut dan suri
tauladan bagi masyarakatnya.192
Masalah kompetensi dan wewenang mengadili juga sejatinya mengemuka
dalam kasus DPRD Kabupaten Gorontalo vs Bupati Gorontalo. Dalam
pertimbangan hukumnya, majelis hakim mengomentari argumen termohon yang
menilai bahwa permohonan DPRD telah daluwarsa karena diajukan lebih dari tiga
hari setelah diputuskan.193 Argumen termohon didasari pada Tata tertib DPRD
yang mengatur mengenai mekanisme tindak lanjut pernyataan pendapat DPRD.
Namun majelis berpendapat bahwa:
ketentuan tersebut tidak mengatur akibat hukum dari berlakunya suatu
keputusan apabila tenggang waktu itu terlampaui. Artinya dengan
terlampauinya tenggang waktu tersebut tidak secara serta merta
mengakibatkan dugaan pelanggaran termohon itu gugur. Maka tidak adil
186 Ibid., hal. 6. 187 Anonim, “35 Anggota Tak Kunjung Dilantik, DPRD Kab Mimika Kosong,” http://
korankota.co.id/index.php/web/berita/NUSANTARA/13429/35-anggota-tak-kunjung-dilantik-
dprd-kab-mimika-kosong, diakses pada 9 Maret 2018. 188 MA, Putusan No. 01 P/KHS/2017, hal. 15. 189 Ibid., hal. 3-4. 190 Indonesia, UU No. 23/2014, Pasal 82 ayat (2). 191 Ibid., Pasal 77 ayat (2). 192 MA, Putusan No. 01 P/KHS/2017, hal. 16. 193 MA, Putusan No. 03 P/KHS/2017, hal. 24.
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 37
apabila kesalahan formal Pemohon dalam pengajuan permohonan yang
melampaui tenggang waktu 3 (tiga) hari kerja itu menyebabkan Termohon
terbebas dari kesalahan dan pertanggungjawaban hukum atas dugaan
pelanggaran sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban Wakil
Kepala Daerah, larangan bagi Wakil Kepala Daerah, melakukan perbuatan
tercela.194
Adapun terhadap pokok permohonan, majelis hanya memberikan persetujuan
penuh terhadap argumen pemohon tanpa memberikan pertimbangan hukum yang
memadai. 195 Hakim tidak menguraikan secara rinci bagaimana pelanggaran-
pelanggaran yang dilakukan sang Wakil Bupati adalah bentuk pelanggaran
sumpah/janji jabatan dan perbuatan tercela, ataupun peraturan perundang-
undangan apa saja yang telah dicederai pelaksanaannya secara lurus.
Padahal, terdapat hal-hal yang perlu diluruskan dalam kasus tersebut,
berkaitan dengan kompetensi individual majelis hakim maupun kompetensi
absolut MA dalam menangani aduan DPRD. Di level individual, para hakim
harusnya perlu membuktikan bahwa mereka memiliki kualifikasi untuk
memeriksa permohonan pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
karena dugaan korupsi. Di satu sisi, hal ini bersinggungan dengan masalah hukum
pidana. Di dalam putusannya pun majelis mengakui bahwa latar belakang
pemberhentian Wakil Bupati Gorontalo adalah dugaan tindak pidana korupsi.196
Dengan kata lain, kasus sejenis harusnya diperiksa oleh hakim-hakim yang
memiliki kualifikasi dan keahlian hukum pidana.
Namun pada kenyataannya, perkara ini justru ditangani oleh hakim-hakim di
bidang Tata Usaha Negara (TUN). Ketua majelis dijabat oleh Dr. H. Supandi,
S.H., M.Hum., yang menjabat sebagai Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.197 Sementara dua hakim anggota, yaitu
Dr. Yosran, S.H., M.Hum. dan Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S. pun
memiliki latar belakang karier dalam bidang TUN. 198 Perkara-perkara
pemberhentian pun selalu diregistrasi ke dalam kamar TUN, yang berarti
dianggap sebagai masalah administrasi negara semata.199 Padahal, kasus DPRD
Kabupaten Gorontalo vs Bupati Gorontalo justru menjadi contoh yang
berkebalikan dari praanggapan itu. Kasus ini menegaskan bahwa pemberhentian
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah tidak melulu menjadi masalah administrasi
negara semata, dana dapat bersinggungan dengan elemen hukum pidana. Oleh
194 Ibid. 195 Ibid., hal. 24-25. 196 Ibid., hal. 25. 197 Ibid. 198 Admin, “Ada Tambahan 6 Orang, Kini Hakim Agung Berjumlah 53,” http://www.pn-
denpasar.go.id/?content=detail&mode=f7efa4c06093a9cd054b2496973b2f1a, diakses pada 13
Maret 2018. 199 Sistem kamar diterapkan di MA sejak tahun 2011. Dalam sistem ini, para hakim MA
dibagi ke dalam 5 kamar, yaitu pidana, perdata, agama, tata usaha negara, dan militer. Masing-
masing hanya mengadili perkara sesuai dengan bidangnya dan kamar tempat ia bernaung. Para
hakim pun dituntut untuk menjadi ahli dan spesialis dalam bidang tersebut. Takdir Rahmadi,
“Sistem Kamar dalam Mahkamah Agung: Upaya Membangun Kesatuan Hukum,”
https://www.mahkamahagung.go.id/id/artikel/2141/sistem-kamar-dalam-mahkamah-agung-upaya-
membangun-kesatuan-hukum-profdrtakdir-rahmadi-sh-llm, diakses pada 13 Maret 2018.
38 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
karena itu, penanganannya pun harusnya diintervensi oleh hakim yang juga ahli di
bidang pidana.
Masalah laten di dalam internal MA ini sejatinya telah memiliki antisipasi di
dalam UU No. 23/2014 itu sendiri. Undang-undang tersebut mengatur mekanisme
pemberhentian tersendiri yang disebabkan karena Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah berurusan dengan dugaan tindak pidana. UU No. 23/2014 mengatur
bahwa Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara tanpa
melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang
diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana
korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara,
dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.200
Apabila Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah kemudian terbukti melakukan
tindak pidana berdasarkan putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap, maka ia
pun diberhentikan secara tetap dari jabatannya. Mekanisme ini tidak
membutuhkan usulan dari DPRD.201 Fungsi ajudikasi dan sifat intervensi yudisial
MA dalam sistem sebelumnya pun digantikan oleh proses peradilan pidana.
Pemberhentian-pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
berdasarkan tuduhan yang bersifat pidana harusnya secara konsisten diselesaikan
melalui mekanisme dalam Pasal 83 UU No. 23/2014 tersebut, alih-alih melalui
proses politik di DPRD dan intervensi MA yang terreduksi di dalam kamar TUN.
Keunggulannya, dugaan dan tuduhan-tuduhan tindak pidana yang diduga
dilakukan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dapat dibuktikan oleh hakim-
hakim yang memang berkapasitas pada bidang pidana sendiri. Pemeriksaan unsur-
unsur obyektif dan subyektif tindakan tersebut secara pidana meminimalisasi
kemungkinan kelalaian hakim dalam menerapkan hukum, yang kontraproduktif
dengan semangat dasar kelembagaan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah pasca
reformasi. Dengan demikian, keadilan yang benar-benar sejati diharapkan dapat
tercapai.
V. Penutup
Krisis access to justice dalam kasus-kasus pemberhentian Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah di Indonesia, dapat disimpulkan, tercermin dalam
empat bentuk. Akar utamanya adalah ketiadaan hukum acara yang jelas, terbuka,
fair, konsisten, dan terukur, yang kemudian menurunkan masalah-masalah lain:
minimnya akses pendampingan hukum oleh advokat, tidak maksimalnya proses
diskursus, dan kualitas dan kompetensi hakim yang problematis. Indikasi-indikasi
itu tampak dalam putusan-putusan pengujian pendapat DPRD tentang
pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah di tiga daerah di Indonesia.
Akibatnya, nilai keadilan yang diharapkan muncul dalam putusan ini patut
diragukan.
Pengentasan masalah tersebut harus dimulai dari akar masalah itu sendiri.
MA selaku penyandang wewenang intervensi yudisial dalam sistem
pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah perlu segera merumuskan
hukum acara yang mengatur wewenang tersebut. Pengaturannya dapat dituangkan
200 Indonesia, UU No. 23/2014, Pasal 83 ayat (1). 201 Ibid., Pasal 83 ayat (4).
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 39
dalam bentuk PERMA, sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan
yang diakui dalam sistem hukum Indonesia.
Pengaturan ini bersifat mendesak, demi mengembalikan kembali sistem
pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah kepada semangat dasarnya,
yang notabene dirancang rumit sebagai apresiasi atas sumber legitimasi mereka
yang semakin kuat pasca reformasi. Pembentukan hukum acara akan
meminimalisasi nilai politis dari proses-proses pemberhentian Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah. Apabila kekosongan hukum ini dibiarkan, bukan
tidak mungkin hal ini justru dijadikan senjata untuk melengserkan Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah yang berkualitas, namun memiliki dukungan politik
yang minim di DPRD. Sekali lagi, sudah menjadi tugas MA untuk mencegah hal
tersebut terjadi dan menegakkan marwah hukum sebagai panglima dalam
kehidupan bernegara di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Abdullah, Rozali. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1992).
Adi, Rianto. Sosiologi Hukum: Kajian Hukum Secara Sosiologis. (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2012).
Ali, Achmad. Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom & Artikel Pilihan dalam
Bidang Hukum. (Jakarta: Kencana, 2008).
___________. Menguak Tabir Hukum. (Jakarta: Kencana, 2015).
___________. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence): Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence), Volume 1: Pemahaman Awal. (Jakarta: Kencana, 2017).
Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik. (Jakarta: PSHTN FH
UI, 2015).
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. (Jakarta:
Konpress, 2009).
Bachtiar. Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi pada
Pengujian UU terhadap UUD. (Jakarta: Penebar Swadaya Grup, 2015).
Cornford, Tom. “The Meaning of Access to Justice.” Dalam Ellie Palmer, et.al.
(Eds.). Access to Justice: Beyond the Policies and Politics of Austerity.
(Oxford dan Portland: Hart Publishing, 2016).
Elson, RE. The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan [The Idea of
Indonesia: A History]. Diterjemahkan oleh Zia Anshor. (Jakarta: Serambi,
2009).
Fuady, Munir. Dinamika Teori Hukum. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010).
Garcia, Joao Marcos Prado. Due Process of Law. (Santa Catarina: Clube de
Autores, 2006).
Irianto, Sulistyowati. “Isu Kekerasan dalam Rumah Tangga dari Perspektif
Pluralisme Hukum.” Dalam Sulistyowati Irianto (Ed). Perempuan dalam
Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan.
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006).
Is, Muhammad Sadi. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta: Kencana, 2017).
40 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
Lev, Daniel S. Politik dan Hukum di indonesia: Kesinambungan dan Perubahan.
(Jakarta: LP3ES, 2013).
Mertokoesoemo, Soedikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. (Yogyakarta:
Liberty, 2008).
Mufti, Norpan. “Otonomi dan Kebijakan Pemerintah.” Dalam Antonius
Simanjuntak (Ed.). Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, dan Masa Depan
Indonesia: Berapa Persen Lagi Tanah dan Air Nusantara Milik Rakyat.
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010). Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Pidana: Suatu Tinjauan Khusus terhadap Surat
Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Pengadilan. (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1996).
Pettit, Philip. Habermas on Truth and Justice. “Royal Institute of Philosophy
Supplement.” Vol. 14. 1982: 217.
Poernomo, Bambang. Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana dan
Penegakan Hukum Pidana. (Yogyakarta: Liberty, 1993).
Rahardjo, Satjipto. Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia. (Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2003).
Ranoemihardja, R Atang. Hukum Acara Pidana. (Bandung: Tarsito, 1980).
Rasuanto, Bur. Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas
Dua Teori Filsafat Modern. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005).
Rubini, I. Pengantar Hukum Acara Perdata. (Bandung: Alumni, 1974).
Sidharta. “Kajian Sosiologis tentang Pendekatan Ekonomi terhadap Hukum.”
Dalam Antonius Cahyadi dan Donny Danardono (Eds.). Sosiologi Hukum
dalam Perubahan. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Pusat Kajian
Wanita dan Jender Universitas Indonesia, 2009).
Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata
dalam Teori dan Praktik. (Bandung: Mandar Maju, 2005).
Syahrani, Riduan. Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum.
(Jakarta: Pustaka Kartini, 1988).
Syamsudin. Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif.
(Jakarta: Kencana, 2012).
Thalib, Abdul Rasyid. Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2006).
Tim Penyusun. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil
Pembahasan 1999-2002, Buku VI: Kekuasaan Kehakiman. (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010).
____________. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil
Pembahasan 1999-2002, Buku IV Kekuasaan Pemerintah Negara Jilid I.
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,
2010)
Zen, A Patra M dan Daniel Hutagalung (Ed.). Panduan Bantuan Hukum di
Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum.
(Jakarta: YLBHI, 2007).
Artikel Ilmiah
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 41
Fatmawati. Otonomi Daerah dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah. “Jurnal Hukum dan Pembangunan.” No. 1. 2000:
40.
Fauzan, Muhammad. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Proses
Impeachment Presiden Menurut Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.
“Jurnal Dinamika Hukum.” Vol. 11. No. 1. 2011: 78.
Gunarto, Henri. The Impact of US Law Propositions on Indonesian Commercial
Law. “Loyola of Los Angeles Law Review.” Vol. 29. 1996: 1050.
Hutapea, Bungasan. Dinamika Hukum Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia.
“Jurnal Rechtsvinding.” Vol. 4. No. 1. 2015: 17.
Kusnadi, Agus. Re-Evaluasi Hubungan Pengawasan Pusat dan Daerah Setelah
Berlakunya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. “Arena
Hukum.” Vol. 10. No. 1. 2017: 62.
Kusumawati, Mustika Prabaningrum. Peranan dan Kedudukan Lembaga Bantuan
Hukum sebagai Access to Justice bagi Orang Miskin. “Arena Hukum.” Vol.
9. No. 2. 2016: 194.
Latif, Yudi. Pembukaan Undang-Undang Dasar sebagai Cita Negara dan Cita
Hukum. Jurnal Ketatanegaraan. Vol. 001. 2016: 141.
Makkai, Toni dan John Barithwaite. Procedural Justice and Regulatory
Compliance. “Law and Human Behavior.” Vol. 20. No. 1. 1996: 84.
Sanjaya, Umar Haris. Keadilan Hukum dalam Pertimbangan Hakim dalam
Memutus Hak Asuh Anak. “Yuridika.” Vol. 30. No. 2. 2015: 356.
Vickrey, William C, Joseph L Dunn, dan J Clark Kelso. Access to Justice: A
Broader Perspective. “Loyola Los Angeles Law Review.” Vol. 42. No. 4.
2009: 1153.
Wibowo, Mardian. Menakar Konstitusionalitas Sebuah Kebijakan Hukum
Terbuka dalam Pengujian Undang-Undang. “Jurnal Konstitusi.” Vol. 12.
No. 2. 2015: 212.
Widodo, Wahyu. Pelaksanaan Pilkada Berdasarkan Asas Demokrasi dan Nilai-
Nilai Pancasila. “Jurnal Ilmiah Civis.” Vol. 5. No. 1. 2015: 682-683.
Peraturan Perundang-Undangan Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.,
Indonesia. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
42 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.1 Januari-Maret 2019
Indonesia. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Mahkamah Konstitusi. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009
tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tanun 2015 tentang
Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan
Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan Dan/Atau Tindakan Badan
Atau Pejabat Pemerintahan.
Putusan Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 P/KHS/2017.
Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung Nomor 02 P/KHS/2017.
Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung Nomor 03 P/KHS 2017.
Internet Admin Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Mahkamah Agung.
“Peraturan Mahkamah Agung.”
https://jdih.mahkamahagung.go.id/index.php?option=com_remository&Item
id =46&func=select&id=521. Diakses pada 24 Februari 2018.
Admin Mahkamah Agung. “Direktori Putusan Tahun 2015.”
https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/mahkamah-
agung/periode/putus/2015. Diakses pada 23 Februari 2017.
Admin Mahkamah Agung. “Direktori Putusan Tahun 2016.”
https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/mahkamah-
agung/periode/putus/2016/index.html, diakses pada 23 Februari 2016.
Admin. “Ada Tambahan 6 Orang, Kini Hakim Agung Berjumlah 53.”
http://www.pndenpasar.go.id/?content=detail&mode=f7efa4c06093a9cd054
b2496973b2f1a. Diakses pada 13 Maret 2018.
Administrator Pusat Data Hukumonline. “Peraturan Mahkamah Agung.”
http://www.hukumonline.com/pusatdata/view/nprt/648. Diakses pada 24
Februari 2018.
Agus Sahbani. “Menelusuri Jejak dan Daya Ikat Fatwa MA.”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58a2d918b273a/menelusuri-
jejak-dan-daya-ikat-fatwa-ma. Diakses pada 1 Maret 2018.
Andi Fariana. “Access to Justice.” https://dosen.perbanas.id/access-to-justice/.
Diakses pada 1 Maret 2018.
Anonim. “35 Anggota Tak Kunjung Dilantik, DPRD Kab Mimika Kosong.”
http://korankota.co.id/index.php/web/berita/NUSANTARA/13429/35-
anggota-tak-kunjung-dilantik-dprd-kab-mimika-kosong. Diakses pada 9
Maret 2018.
Ant. “Statistik KPK: Pelaku Korupsi Terbanyak dari Swasta, Disusul Pejabat dan
Anggota DPR.”
https://news.okezone.com/read/2017/10/05/337/1789432/statistik-kpk-
pelaku-korupsi-terbanyak-dari-swasta-disusul-pejabat-dan-anggota-dpr.
Diakses pada 23 Februari 2018.
Kekosongan Hukum Acara dan Krisis Access to Justice, Arasy Pradana A Azis 43
Arifuddin. “Posisi Wakl Bupati Gorontalo Di Ujung Tanduk, DPRD Usulkan
Pemberhentian.” http://hargo.co.id/berita/posisi-wakil-bupati-gorontalo-
diujung-tanduk-dprd-usulkan-pemberhentian.html. Diakses pada 24
Februari 2018.
Arifuddin. “Wakil Bupati Gorontalo di Ujung Tanduk, Simak!”
http://hargo.co.id/berita/wakil-bupati-gorontalo-fadli-hasan-di-ujung-
tanduk-simak.html. Diakses pada 24 Februari 2018.
Chaidir Anwar Tanjung. “Awal Terbongkarnya Selingkuh Bupati Katingan
dengan Istri Polisi.” https://news.detik.com/berita/d-3388714/awal-
terbongkarnya-selingkuh-bupati-katingan-dengan-istri-polisi., Diakses pada
24 Februari 2018.
Hery Shietra. “Permohonan Kasasi, Alasan di Balik Kasasi, Pertimbangan Hukum
Hakim Agung, Penafsiran dan Kontradiksinya.” http://www.hukum-
hukum.com/2015/01/permohonan-kasasi-alasan-dibalik-kasasi.html.
Diakses pada 1 Maret 2018.
Nathania Riris Michicho. “Kenapa Suami FY Cabut Laporan Dugaan Perzinaan
Bupati Katingan?” https://news.detik.com/berita/d-3400482/kenapa-suami-
fy-cabut-laporan-dugaan-perzinaan-bupati-katingan. Diakses pada 24
Februari 2017.
Takdir Rahmadi. “Sistem Kamar dalam Mahkamah Agung: Upaya Membangun
Kesatuan Hukum.” https://www.mahkamahagung.go.id/
id/artikel/2141/sistem-kamar-dalam-mahkamah-agung-upaya-membangun-
kesatuan-hukum-profdrtakdir-rahmadi-sh-llm. Diakses pada 13 Maret 2018.
Tri Jata Ayu Pramesti. “Sifat Fatwa Mahkamah Agung.”
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1586/sifat-fatwa-mahkamah-
agung-. Diakses pada 1 Maret 2018.
World Bank. “A Framework for Strengthening Access to Justice in Indonesia.”
http://siteresources.worldbank.org/INTJUSFORPOOR/Resources/A2JFrame
workEnglish.pdf. Diunduh pada 28 Februari 2018.