Upload
karafay
View
13
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Tugas UAS kelompok 1 mata kuliah Timur Tengah
Citation preview
5/27/2018 Kebangkitan Kelompok Marjinal di Timur Tengah
1/6
Perjuangan Kelompok-Kelompok Marjinal
dalam Merebut Kekuasaan di Timur Tengah
1. Latar BelakangKawasan Timur Tengah merupakan kawasan yang paling potensial bagi antar kelompok
masyarakat untuk berkonflik satu dengan lainnya. Konflik ini menyebabkan stabilitas keamanan
di kawasan ini masih menjadi sesuatu yang jauh dari harapan. Selesai satu konflik, muncul
konflik lain seolah tiada putus-putusnya. Konflik-konflik ini dapat berupa serangan asing ke
salah satu negara di Timur Tengah, proses demokratisasi yang berlangsung pada kudeta dan
revolusi, perbedaan aliran kepercayaan yang berujung pada serangan bom bunuh diri dan perang
sipil, hingga munculnya kelompok feminis yang seolah-olah mengancam kekuasaan yang selama
ini dipegang oleh kaum pria.
Melihat konflik-konflik yang terjadi di Timur Tengah, tidak bisa lepas dari melihat mana
kelompok yang selama ini berkuasa, dan mana yang selama ini termarjinalkan. Kelompok
marjinal pertama yang diangkat dalam tulisan ini adalah kaum Syiah di Irak pada masa
pemerintahan Saddam Hussein. Saddam Hussein merepresentasikan kaum nasionalis Arab yang
dihimpun dalam semangat Partai Baath yang membuat etnis Kurdi tidak beruntung, dan
merepresentasikan kaum Sunni yang memosisikan dirinya sebagai pembela agama Islam dari
aliran-aliran yang mereka anggap sesat, salah satunya Syiah. Maka, dua kelompok yang semasa
pemerintahan Saddam termarjinalkan, yaitu Syiah dan Kurdi segera menyambut kedatangan
Amerika Serikat untuk menjatuhkan Saddam Hussein.1Nasionalis Arab dan Sunni dalam hal ini
1Mari Luomi,2008,Sectarian Identities or Geopolitics? The Regional Shia-Sunni Divide in the Middle East.The
Finnish Institute of International Affairs. Hal 4-14
5/27/2018 Kebangkitan Kelompok Marjinal di Timur Tengah
2/6
dilihat sebagai kelas berkuasa sementara Etnis Kurdi dan Syiah dianggap sebagai kelompok
marjinal.
Perjuangan kaum Syiah di Irak ini sebetulnya merupakan bentuk counter-hegemony
terhadap rulling classyang lewat negara telah menjadikan mereka sebagai kelompok marjinal.
Oleh karena itu pendekatan Gramscian dalam menggambarkan perjuangan kelas-kelas marjinal
dalam melawan kelas yang berkuasa dirasa cocok.
Berbeda dengan kaum Syiah yang tengah melakukan kontra hegemoni di Irak,
permasalahan Kurdi sebetulnya adalah permasalahan pembentukan kebangsaan. Tulisan ini
kemudian mengangkat permasalahan kurdi sebagai kelompok kedua yang selama ini
termarjinalkan di Timur Tengah. Etnis Kurdi yang termarjinalkan ini tidak hanya dieksklusikan
di Irak, tetapi juga di sejumlah negara tempat mereka hidup seperti di Iran, Suriah, dan Turki.
Kurdi merupakan sebuah bangsa yang memiliki wilayah, tetapi tidak memiliki negara, hidup
dalam teritorial-teritorial beberapa negara yang terpisah, atau lebih tepatnya dipaksakan
bergabung dengan negara-negara yang lahir pasca kolonial.2 Oleh karena itu persoalan Kurdi
akan dilihat sebagai upaya kaum termarjinal ini dalam proses nation-building mereka untuk
membentuk sebuah bangsa yang benar-benar bersatu dan pada akhirnya mengharapkan sebuah
teritorial tersendiri.
Sementara itu di Suriah, yang sama halnya dengan Irak dikuasai oleh rezim sekuler Partai
Baath, tetapi memunculkan fenomena yang berkebalikan. Kelompok Sunni justru
termarjinalkan pada masa pemerintahan Hafez al-Assad dan Bashar al-Assad yang tidak hanya
merepresentasikan kekuasaan Partai Baath yang mengusung nasionalis Arab dan sosialisme,
tetapi juga mewakili kekuasaan kelompok Syiah Alawi. Tak ubahnya dengan Irak, Suriah
2Laura S. Etheredge,2011,Iraq: Middle East Region in Transition.New York: Britannica Education Publishing &
Rosen Educational Service.Hal 15-17
5/27/2018 Kebangkitan Kelompok Marjinal di Timur Tengah
3/6
kemudian karena pertentangan antara kelompok berkuasa dengan marjinal ini, akhirnya jatuh ke
dalam perang saudara. Namun konflik Suriah ini tidak semata-mata antara Sunni dan Syiah,
melainkan juga antara kaum agamis yang diwakili oleh perjuangan Ikhwanul Muslimin, Jabhah
al-Nusrah, dan Hizbut Tahrir melawan rezim sekuler yang tidak lain adalah Partai Baath lewat
kepemimpinan Hafez dan Bashar al-Assad.3
Sekulerisme sebetulnya merupakan warisan kolonial yang kemudian diadopsi oleh Dunia
Islam setelah mereka memerdekakan dirinya dari penjajahan. Sebelumnya, setidaknya sampai
pada masa Turki Ottoman, tidak pernah ada yang namanya pemisahan antara agama dan politik
di dalam Islam. Maka dapat dikatakan kolonialisme telah membentuk oposisi biner antara
sekulerisme dengan non-sekulerisme. Dewasa ini, Suriah menjadi salah satu medan perang yang
jelas dimana kelompok non-sekuler melakukan resistensi terhadap rezim sekuler. Pendekatan
poskolonialis akan membongkar esensi perjuangan dari Ikhwanul Muslimin, Jabhah al-Nusrah,
dan Hizbut Tahrir yang merepresentasikan perjuangan kelompok yang melawan arus sekulerisme
ini melawan rezim Partai Baath yang sekuler.
Kelompok berkuasa lainnya di Timur Tengah adalah para diktator-diktator yang biasanya
vokal dalam menentang Barat tetapi tidak membiarkan masyarakat mereka menjadi warga
negara yang vokal. Diktator ini biasanya menguasai militer atau berasal dari militer, yang
kemudian diruntuhkan sendiri oleh rakyat. Tunisia, Libya, dan Mesir melalui Arab Spring.
Namun, Mesir punya cerita tersendiri dalam hal ini. Negara yang sudah sejak lama diperintah
oleh diktator-militer ini, memiliki oposisi yang semakin lama makin kuat, yaitu Ikhwanul
Muslimin yang mengusung Islam moderat dan pro demokrasi. Pasca Arab Spring, Ikhwanul
Muslimin tampil sebagai kelompok yang populis dan memenangkan pemilu, tetapi kemudian
3Dina Y. Sulaeman,2013,Prahara Suriah: Membongkar Persekongkolan Multinasional.Bandung: Pustaka Iman. Hal
15-21
5/27/2018 Kebangkitan Kelompok Marjinal di Timur Tengah
4/6
digulingkan kembali oleh militer. Namun, menariknya adalah Ikhwanul Muslimin meskipun
selama berkuasanya rezim militer mereka bergerak di bawah tanah, tetapi kemudian menjadi
kelompok berpengaruh dalam masyarakat Mesir sehingga memiliki daya tawar tersendiri untuk
memasuki tataran pemerintahan.
Terakhir, kelompok yang dikarenakan kultural Arab yang patriaki menjadi termarjinalkan
adalah kaum perempuan. Kaum perempuan selama ini dianggap sebagai warga negara kelas dua.
Budaya patriaki yang dipraktekan oleh masyarakat Timur Tengah kemudian menjadikan ajaran
Islam sebagai landasan untuk membuat kaum perempuan semakin termarjinalkan dari politik.
Namun, fenomena yang muncul belakangan, kaum perempuan mulai bersuara dan berparlemen
seperti yang muncul di Iran. Hal tersebut dipicu oleh berbagai macam faktor, seperti kemunculan
kaum intelektual wanita di Iran yang mulai merasa dan menyadari bahwa para kaum perempuan
di Iran memang sengaja dikonstruksi menjadi bodoh, sehingga kaum perempuan dianggap
kaum yang tidak tau apa-apa. Namun, kondisi tersebut perlahan mulai berubah sejak terjadinya
Revolusi Islam yang menjatuhkan rezim yang berkuasa, dan membuka dinamika politik Iran ke
arah yang lebih demokratis dengan membuka peluang bagi kaum wanita untuk bersuara.4
2. Rumusan MasalahSejalan dengan judul yang dipaparkan, tulisan ini akan mengkaji lebih dalam bagaimana
kelompok-kelompok yang selama ini termarjinalkan mulai melawan dan bermaksud
membalikkan hegemoni dan kekuasaan kaum yang selama ini berkuasa. Untuk menganalisis hal
tersebut, maka tulisan ini akan difokuskan pada kelompok marjinal dengan melihat kepada
beberapa perbedaan yang mencolok yang membuat mereka berbeda dengan kaum yang sedang
4Hamideh Sedghi,2007,Woman and Politics in Iran: Veiling, Unveiling, and Reveiling.New York: Cambridge
University Press. Hal 1-21
5/27/2018 Kebangkitan Kelompok Marjinal di Timur Tengah
5/6
berkuasa, yaitu: 1) sekte, yaitu sekte Syiah yang termarjinalkan semasa pemerintahan Saddam
Hussein di Irak; 2) integrasi/separasi agama dalam politik, yaitu dengan melihat perjuangan
Ikhwanul Muslimin, Jabhah al-Nusrah, dan Hizbut Tahrir dalam melawan kekuasaan rezim
sekuler Partai Baath; 3) etnis, yaitu etnis Kurdi yang termarjinalkan di negara tempat mereka
hidup seperti di Irak, Iran, Suriah, dan Turki; 4) pandangan politik, yaitu melihat pada Ikhwanul
Muslimin yang mengasosiasikan Islam dengan demokrasi dan bertentangan selama ini dengan
rezim militer yang otoriter di Mesir; dan 5) Gender, melihat pada kaum perempuan di Iran yang
mencoba memperjuangkan hak-hak kaum perempuan lewat parlemen.
3. Pertanyaan Penelitian1) Seberapa besar efektifitas perlawanan yang dilakukan kelompok Syiah di Iraq untuk
mencapai posisi dominan dalam ranah sosial dan politik Iraq?
2) Bagaimana proses nation-building Bangsa Kurdi di Kawasan Timur Tengah serta kendalaapa yang sejauh ini mereka dapatkan dan apa tantangan ke depannya?
3) Sejauh mana dimensi politik Islam mempengaruhi resistensi yang dilakukan olehkelompok oposisi Ahlus Sunnah di Suriah terhadap rezim sekuler Partai Baath ditinjau
dari konsep oposisi biner poskolonialisme?
4) Bagaimana posisi pengaruh Ikhwanul Muslimin di tataran masyarakat Mesir akhir-akhirini serta apa yang menjadi daya tawar Ikhwanul Muslimin untuk bisa memasuki tataran
pemerintahan Mesir?
5) Sejauh mana peran wanita dalam dinamika perpolitikan di Iran sebagai bentukperlawanan terhadap rezim yang berkuasa sebelum Revolusi Iran dalam rangka
memperjuangkan hak dan peran wanita ?
5/27/2018 Kebangkitan Kelompok Marjinal di Timur Tengah
6/6
4. Daftar Pustaka Etheredge, Laura S.Iraq: Middle East Region in Transition.New York : Britannica
Education Publishing & Rosen Educational Service.2011
Luomi, Mari.Sectarian Identities of Geopolitics? The Regional Shia-Sunni Divide inthe Middle East.The Finnish Institute of International Affairs.2008
Sedghi, Hamideh.Woman and Politics in Iran: Veiling, Unveiling, and Reveiling.NewYork: Cambridge University Press.2007
Sulaeman, Dina Y.Prahara Suriah: Membongkar PersekongkolanMultinasional.Bandung: Pustaka Iman,2013