80

Jurnal kebangkitan 3

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

Page 1: Jurnal kebangkitan 3
Page 2: Jurnal kebangkitan 3

1

Kami bukanlah pejabat kampus,

kami juga bukanlah para jenius,

bukan pula agamawan dengan iman yang lurus,

apalagi mahasiswa yang hanya berorientasi lulus,

kami hanya kumpulan manusia yang ingin hidup dengan militansi yang tak pernah pupus.

“Even if you are a minority of one, the truth is the truth”

_ Mahatma Gandhi _

Page 3: Jurnal kebangkitan 3

2

Terima kasih kepada

Tuhan bagi yang percaya,

Diri pribadi masing-masing,

Lingkar Sastra ITB,

Perkumpulan Studi Ilmu Kemsayarakatan ITB,

Institut Sosial Humaniora – Tiang Bendera,

Majalah Ganesha – Kelompok Studi Sosial Ekonomi Politik,

Senartogok,

Semua anggota Aliansi Kebangkitan,

Unit-unit di ITB yang lain,

dan semua yang akan membaca!

Page 4: Jurnal kebangkitan 3

3

Pengantar

Hanya dari Sebuah Diskusi

Memang tak butuh macam-macam untuk mencipta sesuatu, apalagi

sebuah jurnal sederhana yang berisi kumpulan tulisan. Tidak banyak

memang, tapi militansi menulis sederhana seperti inilah yang bisa

menajamkan pena setajam peluru timah para prajurit.

Pembahasan mengenai makhluk bernama pos-modern bukanlah suatu

hal yang baru. Wacana itu sudah mulai muncul sejak awal abad 20, ketika

kepercayaan manusia modern terhadap rasionalitas mulai luntur. Namun

mengingat fenomena pos-modern terus semakin terlihat dan terangkat,

wacana ini tidak pernah menjadi makanan basi, yang terbuang masuk tong

sampah atau dimakan kucing, tapi akan terus disantap dengan nafsu dari

kegelisahan akan makna yang semakin runtuh pada subjektivitas.

Ya mungkin karena itu pula lah bung Haris dan kawan-kawan

memunculkan kembali wacana ini dalam sebuah diskusi di penghujung

semester, kala ujian berada di ujung tanduk dan aroma liburan semakin

menggoda. Pos-modern bukanlah topik yang mudah dibahas bersama, karena

apa yang ia tawarkan adalah subjektivitas. Maka apakah perlu pemahaman

bersama? Walaupun memang pembahasan lari kesana-kemari, dari

bagaimana keadaan manusia kelak hingga tentang perjodohan. Salah satu

yang menarik bagiku adalah, dengan semua subjektivitas yang semakin

terlihat, bukan tidak mungkin kelak, puncak peradaban manusia adalah

anarki sejati. Ya apapun bahasannya kala itu, pada akhinya diskusi hanyalah

sesi berbagi. Apapun konklusi dan interpretasi, silakan ambil sendiri.

Page 5: Jurnal kebangkitan 3

4

Fenomena pos-modern memang merupakan suatu fenomena yang

menarik. Well, tentu saja, karena itu yang kita rasakan dan akan kita rasakan.

Rasionalitas sudah mulai runtuh secara sistematis ketika Einstein

merumuskan relativitasnya, diikuti dengan pengembangan mekanika

kuantum. Bersamaan dengan itu, sisi bahasa, sosial, seni, dan sekotr-sektor

lainnya juga secara perlahan mengalami dekonstruksi terhadap makna-

makna yang terkandung di dalamnya. Melihat kemana manusia bergerak,

mungkin lama-lama pusat keyakinan akan terus mengecil, berawal dari

kemutlakan sejati pada pra-modern, lalu mengerucut pada kemutlakan

objektif pada era modern, dan sekarang bergerak menuju kebenaran subjektif.

Kemutlakan semakin sulit untuk diyakini ketika semua orang pasti memiliki

perspektif yang selalu berbeda.

Ah, apapun itu, aku juga mungkin tidak bisa berkata banyak. Kebenaran

toh milik masing-masing individu. Yang terpenting, usaha-usaha untuk

mengabadikan semua perjalanan pencarian kebenaran itu lah yang perlu

dijaga dalam konsistensi, termasuk dengan pengarsipan dalam jurnal ini.

Walau mungkin tulisan lama juga ikut nyangkut, tak ada yang namanya

kadaluarsa, toh kami tidak memakai pengawet. Makna tetap akan selalu ada

dalam kata-kata yang terbaca, maka nikmatilah, selagi kebenaran masih bisa

dirayakan bersama-sama.

PHX

8 Januari 2016

Komando Pembebasan Harian Wilayah III sektor Himpunan

Page 6: Jurnal kebangkitan 3

5

Prolog

"Kuliah Publik: Mengintip Horizon Postmodernisme"

Cafe Tiben #13 / Kajian Awal Tahun

Page 7: Jurnal kebangkitan 3

6

Di Halaman Depan Kampus ISH Tiben

Jumat, 18 Desember 2015

Pukul 18.41 s/d 23.00

(disambung di warung pak Rocky kalau masih kurang)

Pembicara:

• Abdul Haris Wirabrata

• Georg Wilhelm Friedrich Hegel

• Choirul Muttaqin

• Martin Heidegger

• Husein Abdulsalam

• Karl Marx

• Okie Fauzi Rachman

• Jaques Lacan

Moderator/Provokator: Senartogok!

Sebenarnya ini semacam UAS, atau lebih tepatnya pemaparan terakhir hasil

belajar selama setahun lebih. Secara pribadi, aku mengucapkan selamat telah

berkutat dan hampir tewas dengan materi-materi yang man teman dalami

dalam setahun ini, Husein dengan Marx kesayangannya, Haris dengan Hegel

paporitnya, Choi dengan Heidegger pujaannya, atau Okie dengan Lacan

kebanggaannya. Nanti sore adalah waktu yang tepat untuk menjabarkan dan

membagikan untuk kami hasil perjuangan dan jungkir baliknya selama ini.

Kami tentu tak sabar dengan diskusi santai barengan ini, sekalian menyambut

Page 8: Jurnal kebangkitan 3

7

liburan nantinya. Kita tentu tak mau kalah dengan militer, sebab diskusi

gabungan juga harus dilakukan. Mari berkumpul sambil menyusun materi

mengenaskan di tahun berikutnya. Oh iya, acara ini disponsori toko buku Cak

Sam, dan kabarnya beliau membawa yang 'ena ena' untuk kita minum

Page 9: Jurnal kebangkitan 3

8

Daftar Konten

Catatan Kuliah: Absolut Gain Dan Trauma (10)

Heidegger Dan Pijar-Pijar Posmodern (19)

Bring me, horizon of postmodernism! (27)

Postmodernisme a la Derrida, Mekanika Kuantum, dan Jodoh Objektif :

Sebuah Cocoklogi Ekstrem (33)

Antara Postmodernisme dan Postradisionalisme (43)

Gerakan Sosial-Politik Mahasiswa di Era Postmodernisme (47)

2014: Pemilu, Pencitraan, dan Post-Modernisme (60)

Kesempurnaan adalah Utopia (73)

Page 10: Jurnal kebangkitan 3

9

Page 11: Jurnal kebangkitan 3

10

Catatan Kuliah: Absolut Gain Dan Trauma

Abdul Haris Wirabrata

Ditulis sebagai cemilan setelah kuliah publik : Mengintip Horizon

Posmodernisme di “Tiang Bendera” Institut Sosial Humaniora, jumat 18

Desember 2015.

“In his Conflict of Faculties written in the mid 1790s, Immanuel Kant addresses a

simple but difficult question: is there a true progress in history? (He meant ethical

progress in freedom, not just material development.) Kant conceded that actual

history is confused and allows for no clear proof: think how the 20th century brought

unprecedented democracy and welfare, but also holocaust and gulag…” [1]

Kutipan diatas sekiranya dapat menjadi gambaran awal keadaan yang

dibawa Choirul Mutaqqien dalam Fenomenologi Heidegger dan Pijar-pijar

Postmodernisme [1.5], dimana kita menyoalkan narasi besar yang dalam

perjalanannya menemukan kontradiksi dan penolakan yang tak terjelaskan.

Kontradiksi dan penolakan (negativitas — negativity) [2] lewat fakta historis

yang telah dialami ini sejak dulu merupakan masalah yang dihadapi manusia

terkhusus dalam ranah filsafat. Formulasi sebuah meta-narasi atau gagasan

universal, untuk mencerap keberagaman bentuk yang kita lihat, setidaknya

tetap menemui kebuntuannya sendiri. Sejak manusia melihat impotensi

dalam mengikutkan pengalaman dan peristiwa yang material dan mewaktu

pada kapal gagasan universal yang abadi (dipandang dapat membawa umat

Page 12: Jurnal kebangkitan 3

11

manusia ke pulau yang lebih baik), kita melemparkan pandangan curiga pada

setiap upaya penyatuan menyeluruh dunia yang begitu kaya akan perbedaan.

Sejak plato, metafisika mempersoalkan kemungkinan dan

ketidakmungkinan manusia mencerap pengetahuan tentang yang partikular

ke dalam sebuah gagasan menyeluruh.

[…] as if Ideas form another, even more substantial and stable order of “true”

reality.

Plato sampai sebelum kant berpendapat bahwa penampakan

(appearance) dipahami sebagai ilusi atau cara pandang yang cacat tentang

yang berada di luar alam pikiran kita sehingga tugas filsafat ialah

menyediakan jalan untuk melampaui yang cacat tersebut hingga

mendapatkan the way things really are.Dengan kata lain ide tentang realitas

objektif berada ada diluar sana, diluar pikir dan cara kita untuk sadar.

Kant kemudian me-radikal-kan pembedaan dalam schein (appearance as

illusion) dan erscheinung (appearance as phenomena). Dalam Kant, Alam tidaklah

hal yang berada diluar kita sejak ia menunjukkan bahwa susunan gagsan,

sistem, dan gambaran tentang dunia bergantung pada kategori-kategori.

Proyek utama filsafat Kant yaitu menunjukkan bagaimana metafisik atau

pengetahuan filsafat mungkin. Sistem filsafatnya tidak mendekati langsung

tatanan ontologis tentang realitas melainkan melihat pengetahuan sebagai

jaringan kompleks pengetahuan kategoris. Seperti yang diutarakan Choirul,

Inti dari subjektivitas modern ialah bahwa manusia membedakan antara ciri-

ciri benda dan makna yang kita berikan padanya. Motif utama filsafat Kant

kemudian ialah yang metafisis, bukan thing-in-itself, yaitu untuk kritik

seluruh kemungkinan kategoris metafisis itu sendiri. Menurut Kant, filsafat

yang sukses bukanlah lagi mengenai penjelasan yang mengandung kebenaran

tentang keseluruhan dari yang ada (being), melainkan filsafat yang

Page 13: Jurnal kebangkitan 3

12

mengikutkan ilusi-ilusi (mengapa ia perlu, tak terhindarkan, dan bukanlah

kebetulan. [3]

Peninjauan kritis dan teliti memiliki peran penting dalam mengikut

sertakan ilusi yang diperlukan tadi. Namun sistem tersebut masih dapat

melahirkan kesimpulan kontradiktif, paradox. Dimana gagasan yang

menuntut konsistensi dan sistem yang koheren mengikutsertakan

kontradiksi-kontradiksi di dalamnya. Menurut hegel, sistem tersebut tetap

saja mengantarkan kita pada penerimaan dan penolakan suatu gagasan

filsafat. Digambarkan bahwa pengetahuan filsafati bergerak seperti

pertumbuhan kuncup -bunga-buah. Dimana saat bunga hadir di dunia,

kuncup yang berupa perwujudan awal hilang ditolak. Seperti dikatakan di

awal, penolakan tersebut merupakan kontradiksi atau negativitas. Hegel

melihat cara pandang tersebut tidak dapat membawa kita dalam mencerap

isu sebenarnya. Pengetahuan filsafat, tidak seperti pengetahuan lain seperti

ilmu alam yang memiliki kemapanan dalam mengelola kontradiksi, dimana

error menunjukkan kebenaran bahwa pengetahuan tersebut salah. Bila filsafat

terus menolak dan menerima gagasan-gagasan yang muncul — karena bahkan

landasan filsafat masih perlu dipertanyakan — ia tak akan pernah menjadi

pengetahuan yang meng-aktual dan efektif dipinjam sebagai cara kita melihat

dunia.

Dalam phenomenology, hegel berupaya membangun keterkaitan antara

yang pengetahuan awal yang dicari dan negativitasnya. Baik adanya bila kita

mengintip sedikit tentang bagaimana gagasan berperan dalam menunjukkan

jurang besar tak tertambal antara yang universal dan partikular. Roh (spirit)

dilihat sebagai hubungan subjek dengan dirinya sendiri. Hegel membagi

tahapan manusia sebagai pertumbuhan anak-remaja-dewasa.[4] Remaja

dilihat sebagai fase dimana ia menemukan kontradiksi antara gagasan-

tentang-dirinya dan kontradiksi yang ia lihat pada dirinya-dalam-kehidupan.

Page 14: Jurnal kebangkitan 3

13

Seperti saat ia dikatakan sebagai seorang yang baik, namun merasa masih

pernah melakukan kejahatan sekaligus juga sedikit-banyak membagikan cinta

pada manusia dan makhluk yang partikular. Ada yang kurang dalam atribut

religius tersebut, ia tidak benar-benar baik namun tidak pula pantas disebut

jahat. Hegel melihat ini sebagai sebuah keterbelahan diri (subjek) dengan

yang universal. Pernah sebelum menyadari kontradiksi tersebut, saat fase

anak-anak, ia tidak menyoalkan kategori tersebut. Keterbelahan melempar

remaja ini pada betapa terpisahnya dunia ini dengan berbagai kekayaannya

yang majemuk kemudian membimbing remaja ini untuk meraih dirinya yang

utuh juga sekaligus menolaknya terus menerus. Keterbelahan dipandang

sebagai proses aufhebung, pembatalan yang melahirkan negativitas.

Sistem Kant mengatakan, proses dalam metafisik berada dalam luas

lingkaran pengetahuan kita yang tidak lagi melirik pada ‘realitas noumenal’

sebab ia tetap external. Hegel disini berbeda dengan Kant, dimana hegel

menjamah kembali the-thing-in-itself yang dihindari Kant. Hegel

mengikutsertakan fasepre-reflexive ground, dari anak-anak ke remaja, momen

keterbelahan antara yang universal dan partikular, atau sebelum metafisik

dan upaya menjelaskan diri dan dunia ini muncul. Selain itu, Hegel

memandang keterbatasan kita menjelaskan realita — dengan kontradiksi di

dalamnya — adalah yang dapat menunjukkan ketidakmampuan the-thing-in-

itself menjelaskan keutuhannya. Itu cukup menunjukkan pada kita betapa

realita di luar diri kita memang terpecah dan terbelah dalam dirinya sendiri.

Ingat bagaimana proyek manusia dalam merumuskan masa depan tidaklah

mungkin tanpa mengikutsertakan trauma masa lalu. Sehingga pencarian yang

absolut bukanlah usaha untuk mendapatkan realitas yang lebih objektif.

Penjelasan objektif oleh berbagai domain pengetahuan ada di luar sana,

namun perlu kita ikutkan ilusi subjektif sebagai kondisi yang diperlukan

untuk kita memiliki pengetahuan objektif tersebut. Mengutip Zizek,

Page 15: Jurnal kebangkitan 3

14

Hegel’s famous critique of Kantian skepticism — we can only get to know

the Absolute if the Absolute already in advance wants to be bei uns (with

us) — through his interpretation of parousia as the epochal disclosure of being:

parousia names the mode by which the Absolute (Hegel’s name for the Truth

of Being) is already disclosed to us prior to any active effort on our part, i.e.

the way this disclosure of the Absolute grounds and directs our very effort to

grasp it — or, as mystics and theologians put it, you wouldn’t have been

searching for me if you had not already found me. [5]

Keterbelahan tersebut menunjukkan negativitas, yang mana ia bukan

merupakan yang muncul dari ketiadaan. Negativitas, kontradiksi, trauma,

dan luka dipandang sebagai hal yang memungkinkan terbukanya positivitas

yang baru. Namun negativitas tidak boleh dilepas dari aspek subjektif

pengetahuan awalnya yang berdiri sebagai appearance as phenomena sebelum ia

dipandang sebagai ilusi, mengutip heidegger,

Hegel’s notion of negativity lacks a phenomenal dimension (i.e., Hegel fails to

describe the experience in which negativity would appear as such). Hegel never

systematically exemplifies or makes appear the differences between the terms rejection,

negation, nothing, is not, and so forth.[6]

Heidegger awas terhadap hegel tentang negativitas tersebut. Negativitas

sendiri selalu berada dibawah kerja yang menghasilkan negativitas tersebut

yaitu subjektivitas. Setiap penyangkalan dan kontradiksi terhadap tesis awal

selalu kalah saat posisi subjektif lebih strategis (dalam artian foucauldian).

Lewat Heidegger, jelaslah bahwa di hadapan pertumbuhan pengetahuan

manusia, ada manusia lain yang diperbudak. Dasein pengemuka negativitas

tercerabut dari landasan ‘natural’ keberadaannya yang unik dan kayaan pada

keterkaitan dirinya dan dunia.

Page 16: Jurnal kebangkitan 3

15

Logika yang diperbudak tersebut mau tidak mau mesti patuh pada

logika positif yang sedang berkuasa. Ilustrasi (rendering) logika tuan positif

tersebut berlanjut terus — menerus sampai mencapai absolute knowledge, yang

pada hakikatnya merupakan penindasan tanpa akhir. Sejak itu, logika positif

dan narasi besar yang menjanjikan kebaikan bagi umat manusia — yang

menjadi landasan tiap tindakan revolusioner, bersifat techne, dan usaha

perwujudan visi zaman — ditolak mentah-mentah. Alih-alih memberikan

peluang emansipasi, ia tetap berada dalam payung totalitarianisme. Lahirlah

pandangan yang kita sebut postmodernisme, dekonstruksi tiada akhir,

pertarungan kekuatan antar diskursus, memberi peluang hidup bagi logika

yang diperbudak, dan merayakan perbedaan dan demokrasi. Hanya dua jalan

keluar yang ditawarkan (tanpa kekerasan), yaitu membiarkan mereka yang

unik pada dirinya sendiri. Kedua, bila terjadi persinggungan, rekonsiliasi

mungkin diambil.

Tidakkah menarik bila kita sadar bahwa luka, derita, sakit yang dialami

manusia merupakan negativitas yang menampakkan dirinya untuk

membelah kembali ilusi yang dibuat oleh logika positif, ia menyadarkan

anak-anak tadi bahwa ia tidak benar-benar baik dan bukan benar-benar untuk

mengabdi pada gagasan kemanusiaan yang tidak mampu menampung

negativitas dalam dirinya sendiri. Ketidakcukupan gagasan negativitas yang

dilihat oleh heidegger dapat kita cerap sebagai upaya narasi besar

emansipatoris yang melahirkan kontradiksi dan penolakan yang dialami oleh

manusia. Mari kita lihat beberapa tragedi kemanusiaan yang mana dalam

ilustrasi gagasan pada relalitas yang dihidupi menemukan dirinya ditolak

oleh pengalaman pahit. Pengalaman yang menyakitkan dalam domain

kemanusiaan dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu sebagai kejadian

temporal yang dialami dan sebagai text masa lalu (diluar kepentingan

teleologis, dalam artian contingent materialist process) yang dapat dibaca.

Page 17: Jurnal kebangkitan 3

16

Proses pembacaan kejadian lampau yang traumatik mestilah menyebutkan

perbudakan narasi materialis pada pengalaman subjektif yang diemban

pelaku pada kejadian tersebut. [7]

Sejak subjektivitas berperan penting dalam proses dialektik, kita perlu

melihat gagasan Lacan yang akan lebih baik dijelaskan oleh Fauzi Rahman.

Sekilas saja, individu manusia memiliki masalah dalam menjelaskan

identitasnya. Seperti kasus si anak baik, penggambaran selalu kurang atau

terlalu berlebihan dalam menjelaskan identitas subjek. Oleh sebab itu

perlumirror stage yang bergerak dalam tatanan realitas simbolik (bahasa ibu,

figur, tokoh panutan, bahkan fiksi yang dianggap keren). Cermin yang

disediakan realitas simbolik memiliki master signifier dimana kita sebagai

subjek mengapropiasi tiap detail sang tuan lewat penanda yang self-

reproducing.Bayangan di hadapan kita saat berada di depan cermin bukanlah

kita namun nampak seperti kita. Suatu waktu ia akan nampak

sebagai appearance as phenomena namun dalam prosesnya kita temukan diri

kita tercerabut kembali, bahwa kita bukan bayangan tersebut, bukan sekali-

kali figur tersebut. Tetapi perlu diikutkan juga bahwa perubahan

penampakan dari fenomena ke ilusi ditandai dengan betapa miripnya kita

dengan gambar tersebut. Subjek melihat bahwa ‘identik yang penuh’

memiliki banyak kontradiksi tak terjelaskan — yang subjek unik dan selalu

tidak cukup ini — hilang. Lantas itu menjadi sebuah trauma, yang mana

negativitas menjadi penolakan yang begitu kuat. Tidakkah ini kita lihat dalam

perubahan subjek diri sebagai individu, bahkan sebagai bangsa dimana

sebuah tragedi memaksa kita keluar dari cermin tersebut.

Keluar dari tatanan simbolik berarti menolak setiap inci karakter dan

bentuk yang dimilikinya. Subjek mengapropriasi sebuah gagasan ideal lain

yang lebih baik dari sumber lain. Namun Lacan tidak melihat demikian,

penolakan tersebut dapat dibaca sebagai aufhebung yang melahirkan

Page 18: Jurnal kebangkitan 3

17

negativitas dan proses ini terikat pada tatanan simbolik awal yang

diapropriasi. Negativitas sebagai ideal baru pun mereproduksi kembali

dirinya sendiri dan pada suatu saat meruntuhkan dirinya sendiri. Pada

akhirnya, dalam artian sempit, terjadi pengembalian subjek dalam tatanan

simbolik. Lebih dari itu, pengembalian subjek pada tatanan simboliknya tidak

dilihat sebagai hal yang sama. Proses ini disebut sebagai dialectical

reversaldimana tatanan simbolik kepayahan menjaga dirinya di tatanan real

subjek. Dengan memberikan lapangan paling luas untuk suatu identitas

mengeluarkan potensinya yang paling besar, subjek dapat menelanjangi

tatanan simbolik yang penuh kontradiksi dan penolakan diri. [8]

Proses ini dapat kita lihat pada film trilogi feminis oleh Lars Von Trier,

Dogville (2003), dimana heroineyang keluar dari tatanan simbolik ayahnya

tentang temporalitas kejahatan dan kebaikan malah menemukan kontradiksi

dalam ideal barunya di sebuah desa Dogville. Setelah mengalami berbagai

kekerasan, perbudakan dan pelecehan di desa tersebut, Grace ditawari sang

ayah untuk memberi pelajaran dengan menggantung mayat seekor anjing

desa tersebut di tower balai desa. Grace menolak dengan memutuskan untuk

menghilangkan desa beserta manusia di dalamnya. Dalam pembacaan film

tersebut dengan cara pandang lacanian act, Grace tidak kembali pada tatanan

simbolik melainkan menemukan tatanan baru yang meskipun terkait,

berbeda dari yang awal dan bagian negativinya. [9]

Mungkin cukup brutal bila membuat hubungan paralel berbagai tragedi

yang pernah terjadi dalam kehidupan individu maupun kolektif kita, namun

pembacaan tersebut setidaknya perolehan terbaik yang didapat dari sebuah

tragedi, dimana kita dapat memandang peristiwa 65 terjadi agar berbagai

buku dapat ditulis. Jelas cara pandang seperti ini memiliki masalah besar

terkait penghilangan manusia sebagai upaya pemusnahan suatu ideologi atau

identitas. Tetapi, tidakkah lewat reformasi, ’65, revolusi terpimpin, konflik

Page 19: Jurnal kebangkitan 3

18

horizontal, dan vertikal, kita menemukan berbagai sisi baik dimana suatu cara

dan gagasan menemukan impotensinya dalam mengawal sekaligus masalah

dan kontradiksi pada gagasan awal kita tentang hidup berbangsa dan

bernegara. Perolehan absolut kita adalah perluasan horizon kegagalan yang

pernah diusahakan bangsa ini dan bagaimana ia membuka peluang-peluang

emansipatoris lain. Namun tetap saja, kita tetaplah asing dengan masa depan.

Referensi

[1] Zizek, The Three Events of Philosophy, Zizekian Studies Volume Seven

Number One

[1.5] Choirul Mutaqqien, Fenomenologi Heidegger dan Pijar-pijar

Postmodernisme

[2] Hegel, Phenomenology of Spirit (translasi Miller), Oxford University Press

[3] Zizek, Less than Nothing, Introduction, Verso

[4] Malabou, The Future of Hegel, Chapter Hegel on Man, Routledge

[5] Zizek, Heidegger versus Hegel, e-flux journal no 32

[6] Ibid.

[7] Zizek, lecture on German Idealism and Psychoanalysis with Slavoj Zizek,

Alenka Zupancic, Mladen Dolar, Deutsches Haus, Youtube

[8] Zizek,Cunning of reason : Lacanian reading of hegel,

[9] Denny, david, Signifying Grace: a reading of Lars Von Trier’s Dogville,

Žižek and Cinema — IJŽS Vol 1.3

Page 20: Jurnal kebangkitan 3

19

Heidegger Dan Pijar-Pijar Posmodern

Choirul Muttaqien

Istilah “Postmodern” telah digunakan dalam banyak bidang dengan

meriah dan hiruk pikuk. Kemeriahan ini menyebabkan setiap referensi

kepadanya mengandung resiko dicap sebagai ikut mengabadikan mode

intelektual yang dangkal dan kosong. Awalan “post” pada istilah postmodern

seringkali menimbulkan banyak perdebatan. Apakah “post” itu berarti

pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemodernan? Atau

sekedar koreksi atas aspek-aspek tertentu saja dari kemodernan? Apakah

segala hal yang modern itu sedemikian ideologis? Jangan-jangan

postmodernisme itu justru bentuk radikal dari kemodernan itu sendiri, yaitu

kemodernan yang akhirnya bunuh diri. Atau justru wajah arif kemodernan

yang telah sadar diri atau sekedar tahap dari proyek modernism yang

memang belum selesai?

Dalam bidang filsafat sendiri istilah “postmodern” diperkenalkan oleh

Jean Francois Lyotard dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on

Knowledge, dan sejak saat itu menjadi locus classicusuntuk diskusi-diskusi

tentang postmodernisme dibidang filsafat kini. Pemikiran Lyotard berkisar

tentang posisi pengetahuan di abad ilmiah kita, khsusunya tentang cara ilmu

dilegitimasikan melalui yang disebutnya, “narasi besar” seperti Kebebasan,

Kemajuan, Emansipasi kaum proletar, dll. Dengan kata lain, dalam abad

ilmiah ini narasi-narasi besar menjadi tidak mungkin, khususnya narasi

tentang peranan dan kesahihan ilmu itu sendiri. Maka nihilisme, anarkisme,

dan pluralisme “permainan-bahasa”pun merajalela. Ini baginya tidak jadi

soal, sebab disisi lain ini menunjukkan juga kepekaan baru terhadap

Page 21: Jurnal kebangkitan 3

20

perbedaan-perbedaan dan keberanian melawan segala bentuk totaliterisme,

yang memang perlu. Sehingga postmodernisme dirumuskan sebagai suatu

periode dimana segala sesuatu itu dilegitimasikan dan akhirnya

postmodernisme adalah initifikasi dinamisme, upaya tak henti-hentinya

untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi kehidupan terus-

menerus.

Posmodernisme dalam ranah filsafat

Bila kita bicara dari sudut filsafat, maka karakter yang khas dalam

modernisme adalah bahwa ia selalu berusaha mencari dasar segala

pengetahuan (epstemé, Wissenschaft) tentang “apa”nya realitas, dengan cara

kembali ke subjek yang mengetahui itu sendiri (dipahami secara psikologis

maupun transendental). Di sana diharap ditemukan kepastian mendasar bagi

pengetahuan kita tentang realitas itu, realitas yang biasanya dibayangkan

sebagai “realitas luar”. Kepastian itu persisnya terdapat dalam hukum logika.

Jadi, kalau saja kita bisa mengorganisasikan gagasan-gagasan secara logis

tepat, maka langsung pula kita dapatkan “representasi” yang benar atau

keserupaan “objektif” dengan enyataan. Demikian fondasionalisme dan

representasionalisme telah menjadi sebutan bagi paham yang berkembang

sejak Descartes hingga filsafat analitik abad keduapuluh.

Dalam peristilahan Heidegger, karakteristik kemodernan yang menonjol

adalah bahwa dunia menjadi semacam gambar atau representasi, sekaligus

manusia menjadi subjek di antara lautan objek. Atau dalam peristilahan

Merleau-Ponty, manusia menjadi kosmotheoros, alias penonton murni, dan

pada saat yang sama dunia menjadi le Grand Objet.

Page 22: Jurnal kebangkitan 3

21

Dalam modernisme, filsafat memang berpusat pada epistemologi, yang

bersandar pada gagasan tentang subjektivitas dan objektivitas murni, yang

satu sama lain terpisah tak saling berkaitan. Tugas pokok filsafat adalah

mencari fondasi segala pengetahuan, dan tugas pokok subjek adalah

mempresentasikan kenyataan objektif. Demikian maka klaim-klaim dari

kaum posmodernis tentang “berakhirnya modernisme” biasanya

dimaksudkan untuk menunjukkan berakhirnya anggapan modern tentang

“subjek” dan “dunia objektif” tadi, dunia yang seolah sepenuhnya mandiri

menanti subjek yang akan membuat representasi mental tentangnya saja. Lalu

posmodernisme dimengerti sebagai upaya-upaya untuk mengungkapkan

segala konsekuensi dari berakhirnya modernisme itu beserta metafisika

tentang fondasioanlisme dan representasionismenya. Awal yang

menyakinkan dari tumbangnya modernisme kiranya adalah justru pada saat

fenomenologi dari Edmund Husserl tampil dan naik daun. Sejarah tentang

posmodernisme betatapun juga tak bisa melewati tahap ini, tentu dengan

menyiangi unsur-unsur mana pada Husserl yang betul-betul baru dan yang

termasuk kuno. Teks kunci dalam hal ini terutama adalah The Idea of

Phenomenology.

Menurut Lyotard, istilah posmodern merupakan suatu pemutusan

hubungan total (diskontinuitas) dengan kultur modern dan bukan sekedar

koreksi atas berbagai pemikiran dan kultur modern. Posmodernisme

diartikan sebagai ketidakpercayaan pada berbagai bentuk meta-narasi (anti-

fondasionalisme), ketidakpercayaan pada klaim kebenaran ilmu pengetahuan

objektif–universal. Ketidakpercayaan pada klaim kebenaran objektif–

universal itu didasarkan atas kesadaran akan adanya keterbatasan dan

ketidakmampuan dalam melihat realitas dari perspektif dan paradigma

tertentu. Penolakan terhadap meta-narasi berarti berakhirnya penjelasan yang

bersifat universal tentang tingkah laku dalam rasionalitas instrumental.

Page 23: Jurnal kebangkitan 3

22

Postmodernisme menolak ide bahwa realitas objektif dan cerita rasional

tunggal bisa dicapai. Hal ini menerima eksistensi suatu realitas, tapi tidak

pernah bisa secara akurat diketahui.

Melalui persepsi dan bahasa, dunia/realitas secara sosial dikonstruksi

oleh komunitas. Perspektif tentang ilmu pengetahuan yang berasal dari

Nietzsche digunakan Lyotard untuk menolak pandangan ilmu pengetahuan

yang universal dan total. Baginya, teori merupakan konstruksi. Tidak ada

perspektif tunggal tentang realitas objektif yang universal. Manusia tidak

memiliki akses untuk mengobservasi dunia sebagaimana nyatanya, anggapan

dan keinginan untuk mencapai itu adalah sia-sia dan sesat. Kebutuhan dan

keinginan untuk menemukan kebenaran ilmu pengetahuan sesungguhnya

hanyalah sekedar istilah yang mengacu pada wacana yang berhasil dan

bermanfaat. Ini berlaku bagi semua pengetahuan dan logika yang selalu

bersifat provisional dan perspektivis. Prinsip dasar posmodernisme bukan

benar-salah, namun apa yang oleh Lyotard disebut paralogy membiarkan

segala sesuatunya terbuka, untuk kemudian sensitif terhadap perbedaan-

perbedaan. Postmodernisme cenderung melihat kebenaran dikaitkan dengan

asas kegunaannya (pragmatis) di semua bidang, baik sosial-budaya, politik,

seni, pendidikan dan lain-lain. Hal ini berlaku pada semua bidang, baik

social-budaya, politik, seni, pendidikan dan lain-lain.

Heidegger dan Postmodernisme

Di samping Kierkegaard, Nietszche, dan Husserl, Martin Heidegger

(1889-1976) juga dipandang sebagai perintis posmodernisme. Heidegger

sangat kritis terhadap filsafat modern tentang manusia. Manusia bukanlah

segumpal substansi berpikir yang sadar diri, atau makhluk yang kerjanya

memikirkan dan merumuskan hal ihwal; tetapi manusia adalah dasein, ia “ada

Page 24: Jurnal kebangkitan 3

23

dalam dunia”. Hubungan manusia dengan kenyataan tidak semata-mata

hubungan intelektual, subjek memahami objek.

Kondisi modernisme, adalah sebuah kondisi relasi keterpisahan

ontologik. Manusia dikonsepkan sebagai subjek yang terpisah dari alam objek

(metafisika subtansi). Manusia berdiri dan memiliki jarak, bahkan secara

sadar mengambil jarak atas objek. Sebuah titik archimedes untuk menemukan

objektivikasi metode. Segala ukuran kebenaran bertumpu pada manusia.

Pada Descartes legitimasi objektif selain berdasarkan pada rasio cogito melalui

eksperimen matematik yang jernih dan terpilah-pilah, juga berdasar atas

eksistensi tuhan.

Argumentasi Cartesian yang menjadikan manusia sebagai titik sentral

dalam pemecahan masalah dunia. Sebenarnya penuh dengan kekaburan dan

pertentangan dalam argumen-argumenya. Di satu pihak ada penyanjungan

akal budi manusia, yang menjadikan manusia sebagai subjek yang merdeka.

Hal tersebut merupakan titik awal keterputusan manusia dari tuhan, akan

tetapi dilain pihak konsep rasionalitascogito justru dijadikan Descartes sebagai

perangkat pembuktian eksistensi tuhan. Implikasi dari cara berfikir ini adalah

metafisika substansi, usaha memahami ada dengan menyingkirkan aksiden-

aksiden, sebuah kehendak untuk menguasai relaitas dengan reduksi.

Kondisi modernisme yang dijiwai semangat konsep cogito dari Descartes

dengan metafisika substansialistik pada babagan selanjutnya mendapatkan

banyak kritikan. Kritik terhadap modernisme dilontarkan dari dua arah

pertama kritik diri yang menghendaki proyek modernisme dilanjutkan. Pada

posisi ini kita bisa menyebut barisan pemikir dari sekolah frangkfrut

Habermas, Adorno, Hokhaimer dan lain-lain. Pada arah kedua adalah yang

menghendaki modernisme ditinggalkan. Pada titik kedua ini diawali oleh

Page 25: Jurnal kebangkitan 3

24

kerja Heidegger dan Nietzsche, yang selanjutnya diteruskan oleh para

pemikir pos-strukturalis.

Pandangan dualitas Cartesian yang menghidupi gaya berfikir

modernisme mendapatkan kritik dari Heidegger. Kritik Heidegger inilah

nantinya yang akan memulai titik awal masuk gerbang postmodernisme.

Melalui fenomenologi eksistensial Heidegger mengawali pemikiranya dengan

menganalisis posisi aku subjek dengan dunia yang tidak

terpisahkan. Dasein adalah konsep yang dilahirkan Heidegger untuk

memahami posisi aku sebagai ada dalam dunia. Dasein adalah konsep yang

yang mengantikan subjek, aku, kesadaran yang popular dalam modernisme.

Melalui Dasein Heidegger mengidealkan hubungan manusia dan dunia

bukanlah hubungan yang epistemologis antara subjek yang mengetahui

dengan objek yang diketahui, akan tetapi hubungan ontologis.

Manusia tidak difahami secara substansialitik, yang menunjukkan

keterpecahan antara substansi dan aksidensi. Sebuah hubungan oposisi biner.

Dengan pemahaman atas realitas sebagai sebuah keseluruhan hubungan yang

saling kait mengkait, dan menolak manusia sebagai titik sentral. Bahwa

adanya manusia selalu hanya bisa difahami jika dikaitkan dengan ada-ada

sebelum keberadaanya, dalam suatu interaksi yang saling kait secara linear

tidak hierarkis oposisi biner.

Bagi Heidegger kondisi postmodernitas adalah kondisi pengumpulan

ada dengan segala diemnsinya yang telah dipecah-pecah oleh tradisi

metafisiks substansi. Kembali pada ada adalah terlepasnya manusia dari

faham humanisme rasional modernisme. Bagi Heidegger manusia tidak dapat

lagi dianggap sebagai satu-satunya ukuran kebenaran, yang tanpa toleransi

sama sekali terhadap perbedaan.

Page 26: Jurnal kebangkitan 3

25

Pemikiran Heidegger tersebut kemudian mempengaruhi para pos-

strukturalis dengan gagasan mereka masing-masing. Pemahaman atas

keseluruhan faktisistas kehidupan secara tidak langsung menolak gaya narasi

besar subtansialistik dalam metafisika kehadiran. Dalam ranah metafisika

gagasan Heidegger disambut oleh seruan untuk kembali pada narasi-narasi

kecil dari J.F Lyotard. Dalam epistemologi dan nilai melalui titik awal

penolakan posisi manusia sebagai ukuran mutlak kebenaran, lahir anything

goes, Paul Fayerabend. Fayerabend bersama dengan Thomas Khun menolak

objektivikasi universal. Puncaknya pada Derrida dengan semangatnya untuk

merusak segala bangunan pemikiran yang telah mapan, melalui penyelidikan

hermeneutik dekontruksi yang lagi-lagi menolak universalitas kebenaran

pada diri manusia.

Penutup

Gerakan posmodernisme merupakan gerakan transformasi kultural yang

muncul untuk merespon kegagalan kaum modernis untuk memenuhi

janjinya. Dalam banyak bidang, termasuk ilmu sosial, diskursus modernis

telah didekonstruksi oleh posmodernis. Sehingga, asumsi yang secara historis

terkondisi dan titik buta yang dibawa oleh Grand Narrative kaum modernis

mengenai objektivitas-scientific yang bebas nilai dan perkembangan

komulatif telah diidentifikasi.

Banyak hal menarik dan bisa diterima dari apa yang ditawarkan oleh

pasca modernisme. Lepas dari sah atau tidaknya keberadaan pasca

modernisme kenyataanya dia ada dan keberadaanya harus diakui.

Postmodernisme ingin menghilangkan pendasaran umum dan lebih melihat

cerita-cerita kecil. Tanpa ada kerangka atau dasar pijakan tersebut kita tidak

bisa bicara apa-apa. Disini akan mudah terjadi kesewenang-wenangan dan

Page 27: Jurnal kebangkitan 3

26

yang menjadi korban sudah tentu masyarakat bawah atau kecil.

Postmodernisme menjadi kurang cerdas jika menganggap semua cerita besar

perlu didekonstruksi. Namun, pasca modernisme tidak mampu melakukan

itu. Dekonstruksi yang sebenarnya, kata Franz Magnis Suseno adalah

menganalis dengan teliti.

Postmodernisme tetap dapat dikembangkan dan dipercaya asal ia tidak

memutlakkan prinsip dia sendiri dengan menghilangkan prinsip pihak lain.

Segala sesuatu perlu dikritisi, dipertanyakan, apakah ia benar berjuang demi

menegakkan martabat dan kebahagiaan manusia yang lebih besar, serta sifat

saling menghargai manusia sebagai individu-individu dengan segala

keunikan dan keberagamannya. Pasca modernisme memberikan hak untuk

menyuarakan pendapat dan terus menjalankan sifat emansipatoris.

Referensi

[1] Jean-Francois Lyotard. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge

[2] J. F. Lyotard. The Postmodern Condition: A Report of Knowledge,

(Manchester:University of Manchester, 1982) hlm. Xi

[3] St. Watson. Kant and Foucault: on the ends Man

[4] Vincent Descombes, Foucault: A Critical Reader

[5] Suyoto, dkk, Postmodernisme Dan Masa Depan Peradaban, Yogyakarta:

Aditya media, 1994.

[6] Ernest Gellner, Menolak Postmodernisme (Bandung: Mizan, 1994).

[7] The Re-enchanment of Science: Postmodern Proposal (Albany: State University

of New York, 1988).

Page 28: Jurnal kebangkitan 3

27

Bring me, horizon of postmodernism!

Okie Fauzi Rachman

Sesungguhnya, manusia merupakan salah satu makhluk hidup yang

tidak pernah selesai didefinisikan. Manusia dengan keistimewaannya bukan

saja binatang yang berfikir, tapi juga merasa. Dia bukan saja makhluk yang

dapat mengurai argumen dengan logis, melainkan juga dapat mencintai

keindahan. Dia bukan saja membutuhkan hal-hal materil seperti sandang dan

pangan, melainkan juga membutuhkan hal-hal abstrak seperti nilai dan cinta.

Kompleksitas akan pengertian manusia ini pada akhirnya mewarnai

sejarah peradaban manusia yang tidak pernah selesai. Manusia mulai

mengorganisir diri, mulai dalam bentuk keluarga, kelompok berburu, sampai

menjadi sebuah negara, semua hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia

yang kompleks tersebut.

Itu juga yang membuat pada zaman dahulu kala setiap orang terbiasa

untuk hidup holistik. Holistik dalam bentuk diri seseorang yang mesti punya

beragam keterampilan, mulai dari sains, seni, filsafat, hingga agama.

Contohnya dapat kita lihat dalam diri Leonardo Da Vinci yang sangat jenius.

Seorang dokter, seniman, saintis, arsitek dan lain sebagainya. Hal ini

mensyaratkan satu hal, bahwa sebenarnya manusia memerlukan semua aspek

dalam hidup. Tidak hanya berpikir, tetapi juga merasa. Tidak hanya

mengetahui melalui panca indra, tetapi juga memerlukan penalaran.

Namun seiring berkembangnya waktu, semua bidang-bidang itu

akhirnya semakin otonom karena setiap bidang mulai terspesialisasi dalam

medan jelajah yang lebih dalam. Maka, mungkin, akhirnya kita dapat

Page 29: Jurnal kebangkitan 3

28

menemukan apa yang disebut dengan profesi, seperti seniman, filsuf,

ilmuwan, dan teknisi yang berfungsi untuk melengkapi kebutuhan manusia

lainnya yang lepas karena dia harus menghabiskan waktunya dalam satu

bidang saja. Sehingga fungsi seorang filsuf dalam masyarakat adalah

memenuhi kebutuhan akan kontemplasi dari anggota masyarakat lainnya dan

fungsi seorang agamawan adalah memenuhi kebutuhan akan nutrisi batin

untuk manusia lainnya. Dapat kita lihat bahwa sebuah masyarakat

merupakan perwujudan dari manusia itu sendiri, sehingga organ-organ di

dalam masyarakat merupakan organ-organ dari manusia itu sendiri.

Akhirnya dapat kita katakan bahwa sejarah dunia ternyata merupakan

sejarah akan kebutuhan manusia itu sendiri. Ketika kebutuhan yang satu

mendominasi kebutuhan lainnya, maka seorang manusia tidaklah menjadi

utuh, atau dalam konteks masyarakat akan terjadi ketidakseimbangan yang

menghasilkan kekacauan. Hal ini dapat kita terawang dari sejarah dunia yang

telah terjadi. Ketika kebutuhan akan hubungan dengan Tuhan menghegemoni

kebutuhan lainnya, maka yang muncul adalah masa kegelapan atau The Dark

Ages. Dalam masa kegelapan, kebutuhan manusia akan berpikir secara

rasional dan ilmiah diberantas, maka kebutuhan tersebut akhirnya mengebu-

gebu untuk memberontak dan membalas dendam dengan cara

mengaklamasikan diri sebagai sebagai penentu kebenaran di era selanjutnya.

Lahirlah masa reinassance atau era Modern.

Era Modern ditandai dengan pemutarbalikan akan dasar kebenaran dari

agama menuju rasionalitas dan science. Salah satu penanda zaman ini adalah

revolusi industri di abad ke 18 yang menggagas bahwa dengan menggunakan

instrumen rasionalitas, umat manusia dapat mencapai kemajuan yang akan

berakhir pada kesejahteraan manusia. Oleh karena rasionalitas adalah sama

bagi semua manusia, maka wacana-wacana berbau universal sangatlah

disukai di zaman ini. Berbagai teori dilahirkan dengan keyakinan bahwa teori

Page 30: Jurnal kebangkitan 3

29

tersebut dapat diterapkan bagi seluruh wilayah tempat umat manusia hidup.

Salah satu instrumen teori yang paling handal bagi umat manusia dilahirkan

di abad ini, yaitu kapitalisme. Kapitalisme yakin bahwa jika kita membiarkan

setiap manusia dengan bebas mengejar kebutuhannya sendiri, maka suatu

tatanan masyarakat yang ideal akan terbentuk.

Horizon Postmodern : Merayakan Kemerdekaan Perbedaan

Namun seperti yang terjadi pada zaman kegelapan, kepercayaan

manusia terhadap akal pikirannya ternyata telah menutup kebutuhan

lainnya. Dan setelah rasionalitas memberontak, kini giliran kebutuhan akan

kebenaran yang lain yang mengkudeta rasionalitas. Kebenaran lain ini

mengukuhkan dirinya sebagai paradigma umum masyarakat yang

termanifestasi dalam proyek zaman baru kita : era Postmodern. Era

Postmodern adalah era yang ditandai dengan proyek-proyek yang tidak

homogen : dari kritik terhadap modernitas sampai kepada proyek

melanjutkan modernitas itu sendiri. Tidak seperti sains atau agama yang

memberontak dengan cara mengeser koordinat definisi kebenaran,

postmodern mendistribusikan kebenaran kedalam kebenaran-kebenaran

partikular kecil.

Tema-tema yang diemban dalam era modern berangkat dari paradigma

sains, bahwa kebenaran itu dapat dijelaskan dalam fenomena yang tidak

hitam putih, sehingga berlaku universal. Namun disisi lain hal ini sudah tidak

mumpuni lagi di zaman kita. Utopia-utopia besar seperti kapitalisme ternyata

hanya meghasilkan kesenjangan sosial dan kerusakan alam. Realitas ternyata

lebih kompleks dari sekedar rumus-rumus ekonomi dan tidak dapat begitu

saja diformulasikan oleh matematika.

Page 31: Jurnal kebangkitan 3

30

Era modern yang merayakan logika dan rasionalitas ternyata

menyeragamkan umat manusia dalam satu tipe dan memberangus kebutuhan

lainnya, yaitu kebutuhan untuk diakui secara partikular dan personal, yang

termanifestasikan akan kebutuhan akan seni, sehingga akhirnya kali ini

senilah yang mengukuhkan diri sebagai paradigma utama masyarakat.

Paradigma yang dipakai oleh seni dapat kita tinjau dari fungsi seni itu

sendiri. Bambang Sugiharto, seorang fisuf dari Universitas Katolik

Parahyangan, pernah menjelaskan bahwa fungsi seni adalah sama dengan

sains, yaitu memperlihatkan atau menunjukan realitas. Namun perbedaanya

adalah yang diperlihatkan oleh seni adalah sisi lain dari realitas itu sendiri,

yaitu kompleksitas dan misterinya. Seni bermain dalam tataran qualia atau

reaksi-reaksi yang sangat personal dalam hidup. Maka jika sains bermain

dalam ranah logika konseptual yang disistematisasi, seni bermain dalam

ranah imaji dan logika, yang akhirnya menyentuh rasa setiap orang, sesuatu

yang diabaikan oleh modernitas. Dengan kata lain seni berfungsi untuk

menciptakan persepsi baru atas realitas, yang akhirnya menjadi paradigma

utama dalam tema-tema postmodern.

Hal ini dapat kita lihat dari salah satu filsuf yang disebut-sebut sebagai

inspirator dari gerakan postmodern : Friedrich Nietzche. Berbeda dengan

filsuf lain yang memaparkan hasil pemikirannya dalam deskripsi-deskripsi

esai dengan logika yang rigid, Nietzche malah membuat tulisan yang

dipenuhi dengan kata-kata puitis yang cukup sulit untuk ditangkap

maksudnya, yang menurut Romo Setyo Wibowo sebenarnya menceritakan

kisah hidupnya yang pelik.

Lebih jauh lagi menurut Romo Setyo, Nietzche adalah salah seorang

filsuf yang sebenarnya dengan sengaja menutup-nutupi maksud dari tulisan-

tulisannya sendiri, karena jika hal itu dapat dimengerti, berarti sang penafsir

Page 32: Jurnal kebangkitan 3

31

memiliki masa lalu yang sama kelamnya dengan Nietzche. Nietzche ternyata

telah mengajarkan sesuatu yang penting kepada kita, bahwa hidup adalah

lebih kompleks dari rumus-rumus yang kita bayangkan, dan idée fixe-idée fixe

yang telah menempel di dalam otak kita tidak kuasa untuk menjelaskannya.

Namun hal tersebut dapat kita pahami melalui perasaan.

Atau kita dapat kita lihat dari fenomena-fenomena politik kontemporer,

dimana pemimpin politik dengan ide-ide utopis nan besar kini sudah tidak

lagi populer. Pemimpin-pemimpin sederhana, yang walaupun tidak bervisi

besar, namun dapat menyentuh hati masyarakatnya dengan menghembuskan

harapan akan hidup yang lebih baiklah yang memperoleh popularitas yang

tinggi di masyarakat. Dan tentu saja kita semua tahu siapa yang tengah saya

bicarakan.

Seni dan postmodern kini telah menjadi logika publik yang baru, yang

mengukuhkan kemenangannya atas paradigma lama. Namun setelah melihat

sejarah secara lebar, yang menjadi pertanyaan menarik adalah apakah akan

ada lagi zaman dan paradigma yang mendobrak postmodern? Karena pada

saat zaman modern pun August Comte yakin bahwa paradigma saintifik

adalah paradigam puncak bagi umat manusia dan Francis Fukuyama yakin

bahwa demokrasi liberal tempat kapitalisme bernaung adalah akhir dari

sejarah.

Referensi

[1] Kuliah “Pengantar ke Pemikiran Nietzche” oleh A. Setyo Wibowo dalam

Studia Humanika :Nietzche, Pemikir Yang Sering Disalahpahami, BPP Salman

ITB, 2013.

Page 33: Jurnal kebangkitan 3

32

[2] Kuliah “Seni dan Dunia Manusia” oleh Bambang Sugiharto dalam

Extension Course Filsafat dan Budaya : Filsafat Seni : Perspektif Kontemporer,

Fakultas Filsafat Unpar, 2014.

[3] Kuliah “Seni Sebagai Bahasa Peradaban” oleh Acep Iwan Saidi dalam

Extension Course : Bahasa dan Peradaban, Forum Studi Kebudayaan ITB, 2013.

Page 34: Jurnal kebangkitan 3

33

Postmodernisme a la Derrida, Mekanika Kuantum, dan

Jodoh Objektif : Sebuah Cocoklogi Ekstrem

Asra Wijaya

Page 35: Jurnal kebangkitan 3

34

Postmodernisme a la Derrida, Mekanika Kuantum, dan Jodoh Objektif :

Sebuah Cocoklogi Ekstrem

“ Ada banyak macam mata. Bahkan Sphinx juga memiliki mata; dan oleh sebab itu

ada banyak macam kebenaran, dan oleh sebab itu tidak ada kebenaran.”

-Nietzsche-

Apa itu postmodernisme?

Sebuah anekdot lucu berpendapat. Postmodernisme adalah ketika kau

bermain bola di lapangan dan terserah mau membuat gol ke gawang

siapa(sebab modernisme hanya menginginkan kau untuk membuat gol

sebanyak-banyaknya ke gawang lawan).

Jangan dikacaukan dengan : Bermain bola di lapangan tapi terserah ingin

memainkan apa. Entah itu menulis puisi, bermain skak atau sholat dhuha.

Sekilas begitulah postmodernisme.

Barangkali ada lagi anekdot menarik. Jika modernisme mengartikan

postmodernisme, maka modernisme akan berkata : dia (postmodernisme)

terdiri atas 2 akar kata post, modern (isme tidak dimasukkan). Post berarti

setelah dan modern berarti modern. Postmodernisme berarti isme setelah

modern. Sementara postmodernisme sendiri dapat memperkenalkan diri :

“Saya adalah kata yang tersusun atas huruf-huruf p,o,s,t,m,d,e,r,n,i,. Atau, Saya

adalah apapun yang kau pikirkan tentang Saya, sekaligus apa yang tidak kau pikirkan

tentang Saya.”

Sudah jelas bukan?

Page 36: Jurnal kebangkitan 3

35

Biar sedikit bingung. Agar supaya tidak terlalu bercanda, mari kita

menyimak beberapa pandangan dari berbagai sumber berikut, dibawah ini :

Lyotard dan Geldner : Postmodernisme merupakan lawan dari

modernismeyang dianggap tidak berhasil mengangkat martabat manusia

modern. Postmodern adalah pemutusan secara total dari modernisme.

Derrida, Foucault dan Baudrillard : Postmodern adalah bentuk radikal dari

kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan teori-

teori.

David Graffin : Postmodernisme adalah koreksi beberapa aspek dari

moderinisme.

Giddens : Postmodern adalah bentuk modernisme yang sudah sadar diri

dan menjadi bijak.

Habermas : Postmodernisme merupakan satu tahap dari modernisme

yang belum selesai.

Jacques Derrida

Beliau dapat disebut seorang filsuf Prancis keturunan Yahudi. Derrida

konon dianggap sebagai pendiri ilmu dekonstruktivisme—sebuah ajaran

yang menyatakan bahwa semuanya di-konstruksi oleh manusia, juga

bahasa—Semua kata-kata dalam sebuah bahasa merujuk kepada kata-kata

lain dalam bahasa yang sama dan bukan di dunia di luar bahasa. Derrida juga

dikabarkan sebagai salah satu filsuf terpenting abad ke-20 dan ke-21.

Beberapa kata kunci filsafatnya yang terpenting adalah dekonstruksi dan

differance.

Page 37: Jurnal kebangkitan 3

36

Dekonstruksi

Istilah dekontruksi untuk pertama kalinya muncul dalam tulisan-tulisan

Derrrida pada saat ia mengadakan pembacaan atas narasi-narasi metafisika

Barat. Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk

melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari

konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida

sebut sebagai logosentrisme. Metode dekonstruksi merupakan proyek filsafat

yang berskala raksasa karena Derrida sendiri menunjukkanbahwa filsafat

barat seluruhnya bersifat logosentris. Dengan demikian, dekonstruksi

mengkritik seluruh proyek filsafat barat.

Differance

Dalam karyanya, Of Grammatology, Derrida berusaha menunjukkan

bahwa struktur penulisan dan gramatologi lebih penting dan bahkan “lebih

tua” ketimbang yang dianggap sebagai struktur murni kehadiran diri

(presence-to- self)—yang dicirikan sebagai kekhasan atau keunggulan lisan

atau ujaran. Derrida menyatakan bahwa signifikasi selalu merujuk ke tanda-

tanda lain dan kita tidak akan pernah sampai ke suatu tanda yang hanya

merujuk ke dirinya sendiri. Maka, tulisan bukanlah tanda dari sebuah tanda,

namun lebih benar jika dikatakan bahwa tulisan adalah tanda dari semua

tanda-tanda. Dan proses perujukan yang tidak terhingga (infinite) dan tidak

habis-habisnya ini tidak akan pernah sampai ke makna itu sendiri. Inilah

pengertian“tulisan” yang ingin ditekankan Derrida. Derrida menggunakan

istilah arche-writing, yakni tulisan yang merombak total keseluruhan logika

tentang tanda.

Jadi, tulisan yang dimaksud Derrida bukanlah tulisan (atau tanda)

sederhana, yang dengan mudah dianggap mewakili makna tertentu. Dilihat

dengan cara lain, tulisan merupakan prakondisi dari bahasa, dan bahkan

Page 38: Jurnal kebangkitan 3

37

telah ada sebelum ucapan oral. Maka tulisan malah lebih “istimewa”

daripada ujaran.Tulisan adalah bentuk permainan bebas dari unsur-unsur

bahasa dan komunikasi. Tulisan merupakan proses perubahan makna terus-

menerus dan perubahan ini menempatkan dirinya di luar jangkauan

kebenaran mutlak (logos). Jadi, tulisan bisa dilihat sebagai jejak, bekas-bekas

tapak kaki, yang harus kita telusuri terus-menerus, jika ingin tahu siapa si

empunya kaki (yang kita anggap sebagaimakna yang mau dicari). Proses

berpikir, menulis dan berkarya berdasarkan prinsip jejak inilah yang disebut

Derrida sebagai differance. Differance adalah kata Perancis yang jika diucapkan

pelafalannya persis sama dengan kata difference. Kata-kata ini berasal dari kata

differer-differance-difference, tidak hanya dengan mendengar ujaran (karena

pelafalannya sama), tetapi harus melihat tulisannya. Di sinilah letak

keistimewaan kata ini, hal inilah yang diyakini Derrida membuktikan bahwa

tulisan lebih unggul ketimbang ujaran.

Proses differance ini menolak adanya petanda absolut atau “makna

absolute,” makna transendental, dan makna universal, yang diklaim ada oleh

De Saussure dan oleh pemikiran modern pada umumnya. Menurut Derrida,

penolakan ini harus dilakukan karena adanya penjarakan (spacing), dimana

apa yang dianggap sebagai petanda absolut sebenarnya hanyalah selalu

berupa jejak dibelakang jejak. Selalu ada celah atau kesenjangan antara

penanda dan petanda, antara teks dan maknanya. Celah ini membuat

pencarian makna absolut mustahil dilakukan. Setelah “kebenaran”

ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak “kebenaran” lain di depannya, dan

begitu seterusnya. Jadi, apa yang dicari manusia modern selama ini, yaitu

kepastian tunggal yang “ada di depan,” tidaklah ada dan tidak ada satu pun

yang bisa dijadikan pegangan. Karena, satu-satunya yang bisa dikatakan

pasti, ternyata adalah ketidakpastian, atau permainan. Semuanya harus

ditunda atau ditangguhkan (deferred) sembari kita terus bermain

Page 39: Jurnal kebangkitan 3

38

bebasdengan perbedaan (to differ). Inilah yang ditawarkan Derrida, dan

posmodernitas adalah permainan dengan ketidakpastian.

Postmodern dan Positivisme

Nietzsche adalah tokoh postmodern yang temasuk pengkritik

pandangan positivisme August Comte. Menurut Comte, subyek (manusia-

red) mampu menangkap fakta kebenaran, sejauh hal itu faktual, dapat

diindra, positif dan eksak. Akan tetapi menurut Nietzsche, manusia tidak

tidak dapat menangkap fakta. Apa yang dilakukan manusia untuk

menangkap objek itu hanyalah sekedar interpretasi. (ST. Sunardi,1999:67-68).

Banyak pernyataan bahwa Nietzsche tidak percaya bahwa kita bisa

mengetahui. Fakta kebenaran itu tidak ada, yang ada hanyalah interpretasi

dan dan perspektif. Maka dengan dengan sendirinya tidak ada kebenaran

universal yang tunggal. Penafsiran itu tidak itu tidak menghasilkan makna

final, yang ada hanyalah pluralitas. (ST.Sunardi,1999:180) sehingga bagi

Nietzsche, kebenaran adalah suatu kekeliruan yang berguna untuk

mempertahankan arus hidup.Tanggapan Terhadap Postmodern Konsepsi

epistemologis post-modern yang belum jelas merupakan persoalan yang

cukup mendasar. Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam interpretasi, setiap

orangmempunyai sudut pandang dan perspektif sendiri-sendiri (berbeda-

beda). Dalam perpektif,subjek-subjek tertentu bisa dianggap benar, namun

bisa jadi keliru bagi perspektif subjek yang lain. Jika pada masa Modern,

manusia mengingkari agama oleh karena pengaruh rasionalitas, namun pada

masa Postmodern ini manusia mengingkari agama dengan irrasionalitas.

Pada postmodern ini bermunculan agama-agama baru buatan manusia (–

isme) yang merupakan hasil sinkretisme dan pluralisme. Tidak ada kebenaran

absolut dalam agama apapun atau mungkin bahkan dalam kitab suci apapun,

yang ada adalah kebenaran relatif, kebenaran menurut masing-masing yang

memandangnya, sehingga manusia di sini sebagai hakim penentu kebenaran,

Page 40: Jurnal kebangkitan 3

39

dan bukan Tuhan yang menjadi penentu kebenaran melalui Kitab Suci yang

diwahyukannya.

Derrida, melalui teori Dekonstruksi-nya, telah mengantarkan kita pada

sebuah model semiotika ketidakberaturan atau semiotics of chaos. Dekonstruksi

menolak kemapanan, menolak obyektivitas tunggal dan kestabilan makna.

Karena itu, Dekonstruksi membuka ruang ‘kreatif’ seluas-luasnya dalam

proses pemaknaan dan penafsiran. Itulah Dekonstruksi, yang membuat setiap

orang bebas memberi makna dan mentafsirkan suatu obyek tanpa batas.

Ruang makna terbuka luas. Penghancuran terhadap suatu makna oleh makna

baru melahirkan makna-makna lain. Demikian seterusnya. Sehingga,

demikian bebas dan banyaknya makna dan tafsiran, membuat era

dekontruktivisme dianggap era matinya makna. Makna menjadi tidak berarti

lagi. Fenomena postmodernisme ini memunculkan berbagai macam persoalan

tentang peran iman dan agama. Ketika manusia tidak lagi percaya akan

rasionalitas yang dianggap telah gagal melanjutkan proyek pencerahannya,

maka dunia tidak lagi diatur oleh kebenarantunggal dan sistem mekanis.

Segala bentuk kebenaran tunggal ditolak dan direlativkan, demikian juga

agama, teologi dan ajaran iman. Pada saat itulah manusia berada dalam

kotak-kotak individualisme yang berdiri sendiri. Ada yang kemudian jatuh

kepada ekstrim.

Mekanika Kuantum

Mekanika kuantum lahir atas keisengan-keisengan. Segelintir manusia

mengamati fenomena atom dan sub-atom sehingga muncullah spekulasi

seperti : mengukur berarti mengganggu. Mengukur berarti menciptakan

benda dll.

Mekanika Newton diruntuhkan Einstein lalu determinasi Laplace

diruntuhkan Born-Heisenberg lewat Interpretasi Copenhagen.

Page 41: Jurnal kebangkitan 3

40

Ada yang menarik apabila mekanika kita klasifikasikan. Dia seolah akan

menjadi tiga dalam satu : Mekanika Newtonian, Mekanika Relativistik, dan

Mekanika Kuantum.

Mekanika Newtonian berpangku pada beberapa hukum Newton.

Hukum Newton tentang gerak dan gravitasi. Mekanika Relativistik

bergantung pada kerangka relativitas umum dan khusus. Sedangkan

Mekanika Kuantum berspekulasi pada kemungkinan dan fungsi gelombang

Schrodinger.

Beberapa diktum dari mekanika kuantum :

1. Tidak ada realitas selama ‘ia’ belum diukur.

2. Tidak ada pengukuran yang dapat menghasilkan nilai yang pasti.(Asas

ketidakpastian Heisenberg).

3. Segalanya adalah fungsi probabilitas. Seseorang boleh menyatakan

sebuah objek sebagai apa saja tetapi harus bertanggung jawab terhadap

tingkat kemungkinan objek tersebut (Fungsi gelombang Schrodinger).

Dunia tidak lagi seperti yang dipikirkan oleh Newton, yaitu dunia yang

mekanis dan dapat diramalkan. Teori Kuantum berpendapat bahwa kita tidak

bisa memprediksi gerakan ataupun relasi partikel-partikel atom ataupun sub-

atom yang kita amati. Paling-paling, kita hanya dapat memprediksinya

sampai tahap probabilitas.

Dunia ternyata lebih indah. Apa yang kita lihat bukanlah dunia yang

sebenarnya, apa yang kita rasa adalah bukan yang sebenarnya, sebab dalam

yang sebenarnya selalu terkandung komponen imajiner yang mengandung

tidak sebenarnya.

Page 42: Jurnal kebangkitan 3

41

Jodoh Objektif

Tentang jodoh yang tidak bisa dijelaskan secara sains dan objektif. Jika

pun hanya bisa dibuat analisis-analisis yang singkat yang mencoba meraba

apa yang terjadi sebenarnya. Jangan-jangan istilah jodohnya itu adalah tidak

berjodoh merupakan sebuah penjelasan juga.

Ada kalimat bertuliskan, Al-Haqqu Minallah. Lalu apa kaitannya dengan

jodoh? Saya akan mencoba mencocoklogikan secara radikal melalui tulisan

ini. Kebenaran itu datangnya dari Allah. Saya berkeyakinan bahwa kebenaran

ilahi, kebenaran objektif itu : tiada akses, tiada jalan menuju ke sana. Tiada

kesempatan untuk mengkonfirmasi kebenaran ilahi. Akan tetapi, ada

semacam alternatif : kebenaran subjektif. Mengutip sang melankoli garis abadi

Soren Aabye Kierkegaard, hakikat kebenaran objektif itu tidaklah menjadi hal

yang utama. Yang utama adalah relasi dengan kebenaran subjektif sendiri.

Seberapa kuat ia digenggam dan dipeluk. Nah dengan jodoh, adakah jodoh

objektif, jodoh yang memang ditakdirkan dari surga, diutus untuk dirimu

wahai pembaca yang khusyuk ? tidak ada akses, tidak ada jalan dan semacam

alat konfirmasi tentang itu. Pada ujungnya, ya, jodoh subjektif-lah yang ada

dan seberapa intim dan seberapa kuat kau mempertahankannya.

Lebih Lanjut tentang Filsafat Jodoh:

http://www.asrawijaya.com/2015/10/filsfafat-jodoh-bagian-pertama.html

http://www.asrawijaya.com/2015/10/filsafat-jodoh-bagian-kedua-

mendegar.html

http://www.asrawijaya.com/2015/10/filsafat-jodoh-bagian-ketiga.html

Page 43: Jurnal kebangkitan 3

42

2 Puisi Untuk Suplemen

Giliran

Ada yang datang ada yang pergi

Ada yang hilang ada yang mengganti

Narasi menjadi metanarasi

Sementara Tuhan masih tetap sendiri

Bandung, 2015

puisi mekanika kuantum erwin schrodinger

Aku kini kucing dalam kardus

Dan kau adalah materi radioaktif meluruh di sekitarku

Pilihanku cuma menunggu

Sesiapa Tuhan siap membuka

Aku ada atau tiada

Bandung, 2015

Diolah dari berbagai sumber, mohon maaf bagi yang merasa tulisannya saya

copas, sila dicopas lagi kalau tidak setuju.

Page 44: Jurnal kebangkitan 3

43

Antara Postmodernisme dan Postradisionalisme

Fauzan Anwar

Mungkin sebagian dari kita masih merasa asing dengan gagasan

postmodernisme atau postradisionalisme. Pada dasarnya kedua gagasan

tersebut lahir sebagai respon atas kegelisahan dan kegamanganya terhadap

paham modernisme. Postmo dan postra memeliki kesamaan namun juga

memiliki perbedaan yang khas. Postmodern pertama kali muncul di Prancis

sekitar tahun 1970-an. Pada awalnya postmodern lahir terhadap kritik

arsitektur, memang harus kita akui kata postmodern itu sendiri sebenarnya

muncul sebagai bagian dari modernitas. Namun peluasan makna dan

pemahamanya menjadikan postmo liyan bagi paham modernisme. Charles

Page 45: Jurnal kebangkitan 3

44

Jencks dengan bukunya “The Language of Postmodern”. Architecture (1975)

menyebut postmodern sebagai upaya untuk mencari pluralisme gaya

arsitektur setelah ratusan tahun terkurung satu gaya. Ada kejadian unik di

bulan juli tahun 1972, sebuah bangunan yang melambangkan

kemodernisasian di ledakkan dengan dinamit. Peristiwa peledakan ini oleh

sebahagian pemikir dianggap sebagai kematian modern dan menandakan

kelahiran postmodern.

Bertitik tolak dari hal tersebut postmodern mulai memasuki ranah

umum. Pemikiran dan gagasan postmodern ini mulai mempengaruhi

berbagai bidang kehidupan termasuk filsafat. Kata ‘post’ sebenarnya tidak

dimaksudkan sebagai sebuah periode akan tetapi lebih merupakan sebuah

konsep yang hendak melampaui segala hal yang berbau modern atau beyond

modernity. Postmodern ini lahir sebagai kritik atas realitas modern yang

dianggap telah gagal dalam melanjutkan proyek pencerahan. Ajaran utama

dari gagasan posmodern adalah penolakanya atas narasi-narasi besar yang

muncul pada dunia modern. lalu memberikan tempat bagi narasi kecil yang

tersebar dan beraneka ragam untuk menampakkan eksistensinya. Dari sini

dapat diambil kesimpulan bahwa hal-hal dibanggakan oleh pikiran modern

itu untuk diragukan dan apa yang dulu dianggap rendah justru dihargai dan

dilakukan pemekaran terhadapnya.

Pendekatan postmodernisme sangat didasarkan pada subjektivitas. Salah

satu pemikiran postmo yang paling kentara akan gagasan subjektivitas ini

adalah Jaques Derida. Dalam pemikiranya Derrida memperkenalkan istilah

Dekontruksi. Dekontruksi adalah sebuah metode hermeneutika yang

menjelaskan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang

dianggap absolut. Padahal teks adalah benda yang mati sehingga dapat

dibangun kembali pondasinya. Jacques Derrida mengatakan bahwa kita

selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Sehingga banyak

Page 46: Jurnal kebangkitan 3

45

kebenaran yang diangap final. Hal Inilah yang Derrida sebut sebagai

logosentrisme. Yaitu,kecenderungan untuk mengacu kepada suatu metafisika

tertentu.

Postmodernisme juga berusaha menciptakan bias makna serta

mempertanyakan kembali gagasan-gagasan besar yang telah menghegemoni

umat manusia dewasa ini. Michael Foucault berpendapat bahwa melalui

gagasan postmodernisme, realitas akan menampakan fenomena sejati

hubungan antara ilmu dan kekuasaan. Paham postmo ini sangatlah pelik.

Berbagai macam ‘tren’ pemikiran lahir dari pondasi berfikir postmodernisme.

Salah satu tren yang lahir akibat efek dari postmodernisme ini adalah gagasan

postradisionalisme.

Paham Post-tradisionalisme “postra” adalah sebuah konstruk intelektual

yang berpijak dari kebudayaan dari dalam bukan tekanan dari luar. Gagasan

postra ini sejatinya adalah sub bagian dari gagasan postmodernisme. Gagasan

Post-tradisionalisme bertitik tolak dari transformasi sebuah tradisi dalam

upaya pembentukan tradisi baru yang berakar pada keberadaan kebudayaan

sendiri yang masih bias. Sepengetahuan penulis gagasan Post-tradisionalisme

mulai mencuat ke permukaan oleh para intelektual muda Nahdatul ulama

(NU) yang dipengaruhi oleh para pemikir islam modernis seperti Fazlur

Rahman ,Abed al jabiri, Mohamed Arkoun ,Nasr hamid abu zayd dll. NU

yang bernafaskan islam mengagas pemikiran post-tradisionalisme Islam ini

dengan pondasi kebudayaan lokal. Sehingga dalam tahap perkembanganya

‘tren’ bahwa Islam itu identik dengan arab mulai dikritisi dari akar-akarnya.

Tujuanya adalah untuk menampakan Islam secara hakikat yang tidak

terbentur dalam suatu kontruks kebudayaan tertentu.

Gerakan Post-Tradisionalisme ini adalah semacam “lompatan tradisi”.

Yang berangkat dari suatu tradisi yang secara terus-menerus berusaha

Page 47: Jurnal kebangkitan 3

46

memperbaharui dirinya sendiri dengan cara mendialogkan dengan

modernitas. Mohammed Arkoun menjelaskan bahwa kemunculan post

tradisionalisme Islam dipicu oleh kejumudan berpikir dalam konteks

pemikiran islam dengan indikator: tunduk pada wahyu dan ortodoksinya,

penghormatan pada otoritas dan keagungannya (imam mazhab dalam

konteks fiqih, teologi dan tasawwuf) dan lain sebagainya. Post-

tradisionalisme sangat kental dengan nuansa kultural,teologis antroposentrik,

dan filosofis-sosiologis. Berbeda dengan paham postmo yang bersifat lebih

universal.

Persamaan antara postmo dan postra terletak pada kritiknya terhadap

paham modern. Namun berbeda dalam upaya pengembanganya. Gagasan

Postra lebih terkukung dengan sebuah kontruks teologis dan budaya tertentu.

Penulis menyimpulkan bahwa gagasan postra sejatinya adalah sub bagian

dari paham postmodernisme yang lebih cantik. Karena jika kebudayaan yang

ada di setiap negara dikembangkan oleh gagasan postra,penulis yakin akan

terjadi dinamika sejarah yang bersifat harmonis.

Dewasa ini jika kita berfikir berdasarkan paham postmodernisme dan

postradisionalisme maka sejarah ilmu pengetahuan dapat dilacak

pergerankanya sehingga terhindar dari keterpengaruhan paradigma-

paradigma yang bersifat eksploitasi positivistik.

Semoga Bermanfaat.

Page 48: Jurnal kebangkitan 3

47

Gerakan Sosial-Politik Mahasiswa di Era Postmodernisme

Uruqul Nadhif Dzakiy

Abstrak

Mahasiswa merupakan entitas masyarakat yang memiliki andil dalam

perubahan sosial-politik yang ada di Indonesia. Dalam catatan sejarah,

mahasiswa memiliki kontribusi yang besar dalam konflik perpolitikan

nasional seperti ikut serta menurunkan rezim Orde Lama dan Orde Baru.

Gerakan mahasiswa diidentikkan dengan gerakan sosial-politik elitis yang

sasarannya adalah para pejabat tinggi negara. Reformasi 98 membawa arus

gelombang baru dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai

akibat dari arus informasi yang terbuka luas. Gelombang ini berkembang dan

mencapai klimaksnya di dekade awal 2000-an dimana arus postmodernisme

mempengaruhi kondisi gerakan mahasiswa di berbagai sisi. Arus inilah yang

membuat wajah baru gerakan mahasiswa yang tak lagi sebagai gerakan

utopis, elitis, dan ideologis melainkan sebagai gerakan rasional, populis, dan

anti-ideologi. Pada makalah ini akan dibahas terkait bagaimana gerakan

politik mahasiswa menyikapi arus besar postmodernisme ini.

Kata kunci : postmodernisme, gerakan sosial-politik mahasiswa

Page 49: Jurnal kebangkitan 3

48

Pendahuluan

Mahasiswa merupakan entitas pemuda yang bermukim di lembaga

pendidikan tinggi seperti universitas, institut, sekolah tinggi, dan sebagainya.

Mahasiswa selain memiliki kegiatan harian sebagai penuntut ilmu (hard skill),

mereka juga mengasah softskill-nya selama belajar di kampus. Berorganisasi

adalah salah satu bentuk softskill yang digeluti oleh mahasiswa. Melalui

organisasi, mahasiswa belajar bagaimana berinteraksi dengan orang lain dan

juga belajar tentang masalah sosial dan politik.

Melalui wadah organisasi, mahasiswa seringkali membahas terkait

berbagai permasalahan mulai dari masalah internal organisasi sampai dengan

masalah bangsa. Dari sini, mahasiswa seringkali diasosiasikan dengan agent of

social change atau agen perubahan sosial. Pada masa awal republik ini berdiri,

mahasiswa seringkali menjadi aktor politik nasional yang diperhitungkan

oleh penguasa. Mulai dari aksi penggulingan Soekarno sampai aksi

penggulingan Soeharto pada Mei 1998 silam. Mahasiswa menjadi entitas yang

dielu-elukan kehadirannya oleh masyarakat. Pada masa tersebut, mahasiswa

dan politik ibarat satu ikatan tali yang sukar untuk dilepaskan.

Masa reformasi menjadikan arus semakin terbuka di republik ini

terutama arus untuk bersuara yang semula dibungkam pada masa orde Baru.

Sejak masa ini, keran informasi seolah dibuka secara total dan tak terbendung.

Puluhan partai politik dengan aneka ide dan gagasan mengikuti perhalatan

akbar Pemilihan Umum (Pemilu). Media-media yang semula ditekan oleh

penguasa berlomba-lomba memberikan informasi secara gamblang atas

kinerja pemerintah dan juga berbagai kondisi kebangsaan lainnya. Media-

media massa baru juga bermunculan. Mahasiswa bersorak-sorai karena kini

mereka dapat menyuarakan berbagai aspirasinya secara langsung ke

Page 50: Jurnal kebangkitan 3

49

pemerintah tanpa harus melewati serangkaian tembakan bayonet, gas air

mata, dan sebagainya seperti pada detik-detik reformasi 98 silam.

Gelombang arus reformasi menyebar ke berbagai ranah kehidupan

masyarakat. Gelombang arus informasi sebagai dampak dari reformasi

menjadi semakin tak terbendung sejak internet masuk ke tanah air yang

mencapai momentumnya pada tahun 2000-an awal. Ditambah lagi dengan

kemudahan akangadget terutama smartphone yang memfasilitasi berbagai

jejaring sosial yang mulai booming di dekade kedua abad ke 21, membuat arus

informasi tak hanya hadir dari satu arah (media massa). Kini setiap orang

bebas untuk menyampaikan gagasan di media sosial. Tak hanya itu, kualitas

liputan jurnalistik yang menurun akibat mengejar rating dan kecepatan dan

juga dikuasai oleh segelitir orang yang bermain di dunia perpolitikan

nasional, membuat kesahihan liputan informasi menjadi semakin bias.

Sumber informasi yang semakin bias dengan sebaran opini pribadi yang

semakin meluas secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi

dinamikan gerakan mahasiswa. Kini gerakan mahasiswa tak lagi berbicara

politik. Gerakan politik mahasiswa hanya tersektor pada tingkat Badan

Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau Kabinet Keluarga Mahasiswa (KM) yang

menjadikannya semakin eksklusif. Gerakan mahasiswa pun menjadi semakin

beragam jenisnya mulai dari kesenian, pengabdian masyarakat, dan

sebagainya yang lebih memiliki dampak langsung ke masyarakat. Gerakan

yang lebih konkret dan jelas hasilnya mendapat respon yang positif di

kalangan mahasiswa, sementara gerakan politik yang konseptual ideologis

diasosiakan sebagai gerakan wacana yang peminatnya semakin meredup.

Gerakan yang dilakukan mahasiswa kini sekedar pragmatis dan tidak

memiliki akar pemikiran yang kuat namun itu yang justru digandrungi dan

memiliki massa yang banyak. Gelombang informasi seperti yang dijelaskan

Page 51: Jurnal kebangkitan 3

50

dimuka tak lain adalah tanda dari arus postmodernisme. Arus inilah yang

mempengaruhi wajah gerakan sosial-politik mahasiswa saat ini.

Pertanyaan Riset

Makalah ini akan menjawab dua pertanyaan mendasar terkait dengan

gerakan sosial-politik mahasiswa di era postmodernisme ;

1. Bagaimana sebaiknya gerakan mahasiswa di era postmodernisme ?

2. Bagaimana mempertahankan idealisme visi-misi gerakan sosial-politik

mahasiswa di tengah arus postmodernisme ?

Metodologi

Makalah ini menyajikan pembahasan terkait dengan bentuk gerakan

mahasiswa yang ada saat ini berdasarkan pengalamatan penulis yang telah

berkecimpung di dunia kemahasiswaan selama lebih dari lima tahun sejak

2009 dengan dibenturkan dengan berbagai literatur yang ada terkait dengan

konsep postmodernisme. Penulis memakai buku karangan Bambang

Sugiharto berjudul Postmodernisme ; Tantangan terhadap Filsafat terbitan PT.

Kanisius sebagai referensi utama, ditambah dengan literatur lain yang

relevan.

Pembahasan Literatur

Istilah "postmodern" muncul pertama kalinya di wilayah seni. Menurut

Hassan dan Jencks, istilah itu pertama-tama dipakai oleh Fredico de Onis

Page 52: Jurnal kebangkitan 3

51

pada tahun 1930-an dalam karyanya, Antologia de la Poesia Espanola a

Hispanoamericana, untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari dalam

modernisme. Kemudian di bidang histeriografi oleh Toynbee dalam A Study

of History (1947). Sebenarnya benih penggunaan positif awalan "post" telah

terdapat pada tulisan Leslie Fiedler tahun 1965 ketika ia menggunakannya

dalam istilah-istilah macam "post-humanist, post-male, post-white" dsb.

Pertengahan tahun 70-an Ilhab Hassan kemudian muncul memproklamirkan

diri sebagai pembicara utama postmodernisme dan ia menerapkan label ini

pada eksperimentalisme seni dan kecenderungan ultra-teknologi dalam

arsitektur. Istilah itu kemudian menjadi lebih populer manakala digunakan

oleh para seniman, penulis, dan kritikus macam Rauschenberg dan Cage,

Burroughs dan Sontag untuk menunjukkan sebuah gerakan yang menolak

modernisme yang mandek dalam birokrasi museum dan akademi. Kemudian

Charles Jencks sebagai pembicara utamanya. Lalu juga dalam seni visual, seni

pertunjukan, dan musik di tahun 1980-an.[1]

Postmodernisme katanya adalah logika kultural yang membawa

transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya. Ia mengaitkan tahapan-

tahapan modernisme dengan kapitalisme monopoli, sedang postmodernisme

dengan kapitalisme pasca Perang Dunia Kedua. Masyarakat postmodernisme

ditandai oleh implosi (ledakan ke dalam) alias peleburan segala batas,

wilayah dan pembedaan antara budaya tinggi dan budaya rendah,

penampilan dan kenyataan, dan segala oposisi biner lainnya yang selama ini

dipelihara terus oleh teori sosial maupun filsafat tradisional. Mengambil Ide

Lyotard, postmodernisme itu sepertinya adalah intensifikasi dinamisme,

upaya tak henti-hentinya untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan

revolusi kehidupan terus-menerus. Lebih lanjut, postmodernisme diartikan

sebagai ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi besar ; penolakan

Page 53: Jurnal kebangkitan 3

52

filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala bentuk pemikiran yang

mentotalisasi-seperti Hegelianisme, Liberalisme, Marxisme, atau apa pun.[2]

Postmodernisme secara bahasa berasal dari kata "post" yang berarti

pasca, setelah, sesudah, dan "modernisme" yang berarti segala hal yang serba

saklek, mekanis, dan saintifik. Dari terminologi tersebut, postmodernisme

tidak lagi berpijak pada kebenaran mutlak yang menjadi ciri khas pada masa

modernisme. Kaum postmodernis menyangkal bahwa modernisme tak lagi

relevan dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di kehidupan ini.

Mereka pun meninggalkan doktrin modernisme yang serba pasti, sentral, dan

prosedural menjadi hal yang sifatnya relatif. Dari sinilah muncul konsep

kombinasi berbagai aliran gabungan antara modern dan pra-modern. Sebagai

contoh ideologi. Warga negara tak lagi menerima kebenaran tunggal yang

menjadi ciri khas politik totalitarian yang memakai ideologi tertentu dalam

menjalani roda pemerintahan (politik) suatu negara. Orang cenderung

antipati pada ideologi-ideologi besar yang menjadi ciri khas zaman modern

seperti kapitalisme dan komunisme. Mereka memandang bahwa ideologi-

ideologi tersebut sudah tidak cocok diterapkan suatu negara. Kini orang

cenderung pragmatis dan acuh terhadap gerakan politik ideologis. Bagi

mereka tidak penting ideologi apa yang dibawa, melainkan stabilitas ekonomi

negara yang lebih penting.

Selain di bidang ideologi politik, dunia arsitektur pun tak luput dari arus

besar postmodernisme. Para arsitek sudah mulai mendesain bangunan klasik

modernis yang desainnya diadopsi pada aliran arsitektur pra-modern dan

modern. Banyak kita jumpai bangunan-bangunan dengan gaya arsitek kuno

dan klasik namun memiliki fasilitas serba modern. Arus postmodernisme juga

merambah ke dunia industri. Dunia industri kini tak sekedar mengejar

untung-rugi semata melainkan memberikan perhatian lebih pada lingkungan.

Seringkali kita mendengar istilah "green economy", "sustainability", dan

Page 54: Jurnal kebangkitan 3

53

konsep-konsep lain sebagai ciri dari gelombang postmodernisme. Dengan

kata lain, postmodernisme menjadi gelombang baru di berbagai sendi

kehidupan termasuk juga gerakan sosial-politik mahasiswa.

Diskusi dan Analisis

Gerakan mahasiswa di awal kemerdekaan hingga akhir 90-an dikenal

sebagai gerakan sosial politik yang didalamnya seringkali mengkritisi

kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada rakyat. Gerakan

dalam artian tersebut berupa aksi turun ke jalan dengan berbagai tuntutan

yang ditujukan untuk penguasa republik. Pada masa ini mahasiswa

dicitrakan sebagai entitas yang mewakili suara rakyat Indonesia. Seperti pada

gelombang demontrasi besar-besaran untuk menumbangkan rezim Orde

Baru, banyak elemen masyarakat mendukung aksi mahasiswa dengan

memberikan bantuan logistik dan dukungan moral lainnya.

Setelah gelombang reformasi 98, lambat laun gerakan mahasiswa

bermetamorfosa menjadi berbagai macam gerakan. Gerakan politik masih

ada, namun tak lagi sekuat pra-reformasi. Kalaupun ada gerakan politik,

gerakan hanya tersektor dalam lingkaran Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)

yang tak sedikit elemen mahasiswa lain acuh terhadap gerakan ini. Metode

gerakan turun ke jalan menjadi satu hal yang semakin tidak populer.

Ketidakpopuleran tersebut membuat model gerakan lebih kepada cara-cara

pop (kependekan dari populer) yang aman dengan harapan mendapat

simpati dari mahasiswa lain secara lebih luas. Kini, seringkali kita dapati

gerakan paraf petisi di situs change.org, infografis di berbagai jejaring sosial,

#save di twitter, dan berbagaimedium lain yang memiliki tujuan sama

dengan metode gerakan klasik seperti demonstasi turun ke jalan yakni turut

serta menginginkan perubahan yang lebih baik.

Page 55: Jurnal kebangkitan 3

54

Gerakan Konvensional Gerakan Postmoderninme

Utopis Rasional

Narasi Besar Narasi kecil

Elite Populis

Ideologis Anti-Ideologis

Konflik Anti-konflik

Kaku Fleksibel

Tabel 1 Perbedaan Gerakan Konvensial dan Gerakan Postmodernisme

Mahasiswa

Gerakan politik yang tidak lagi menjadi sentral menjadikan BEM atau

Kabinet Keluarga Mahasiswa tidak lagi menjadi mercusuar gerakan.

Mahasiswa bebas untuk membuat dan menentukan jenis dan bentuk gerakan.

Bahkan banyak mahasiswa yang menciptakan gerakan kultural yang sama

sekali tidak berada di payung universitas seperti halnya himpunan dan unit.

Sebagai contoh Rakapare. Organisasi ini ini beranggotakan sekelompok

mahasiswa lintas universitas yang memiliki kepedulian untuk menyelesaikan

konflik/masalah sosial yang muncul di permukaan. Organisasi yang berdiri

di Bandung dengan dikomandoi oleh mahasiswa ITB ini mencoba untuk

selesaikan masalah sosial di masyarakat tanpa melalui birokarasi dan

audiensi berkelanjutan dengan pemerintah atau bahkan demonstrasi turun ke

jalan. Sebagai contoh salah satu programnya yaitu ikut serta bersama petani

Karawang untuk memperjuangkan hak atas tanah yang beralih

kepemilikannya kepada salah satu perusahaan swasta. Para anggota

organisasi ini membantu masyarakat dalam merancang strategi agar status

kepemilikan tanah tetap ada di pihak petani. Transfer pengetahuan ke petani

dan juga perlatihan-perlatihan ke petani dilakukan guna agar petani memiliki

bekal yang cukup untuk menyuarakan aspirasinya. Tak hanya itu, mereka

Page 56: Jurnal kebangkitan 3

55

Gerakan Mahasiswa

Konvensional

Gerakan mahasiswa

postmodern

menyusun gambaran masalah secara umum kemudian ditarik benang merah

yang menjadi akar masalah. Melalui akar masalah ini, solusi digali secara

cermat. Biarpun gerakan ini sama sekali tidak berada dibawah atap kampus,

gerakan ini berjalan sukses dan mendapat respon positif dari kalangan

mahasiswa, terbukti dengan sirkulasi penambahan anggota yang cukup

besar.

Selaian berwujud gerakan sosial kemasyarakatan, gerakan mahasiswa

lain mewujud dalam gerakan diskusi dan keilmuan dengan kemasan yang

berbeda. Sebagai contoh, kolaborasi antarunit pendidikan di ITB yakni

Majalah Ganesha-Kelompok Studi Sejarah Ekonomi dan Politik (MG-KSSEP),

Institut Sosial Humaniora Tiang Bendera (ISH Tiben), Pusat Studi Ilmu

Kemasyarakatan (PSIK), dan Lingkar Sastra (LS). Unit-unit tersebut

menyusun kajian pekanan yang terjadwal dengan tema-tema khusus.

Kolaborasi tersebut membuat stigma diskusi dan kajian tidak tersektor pada

Arus postmodernisme

Gambar 1 : Skema perkembangan gerakan sosial-politik mahasiswa

Gerakan mahasiswa postmodern berbasiskan nilai

Page 57: Jurnal kebangkitan 3

56

unit tertentu dan jumlah anggota yang ikut-serta meningkat. Acara-acara

masing-masing unit kini tak lagi hanya disokong oleh kekuatan internal unit

sendiri, melainkan ada dorongan dan bantuan dari unit-unit lain. Hasil

diskusi/kajian pun disebarkan ke khalayak kampus melalui penyajian yang

apik seperti halnya infografis, selain berwujud tulisan. Tak hanya itu, karya

konkret seperti buku coba ditampilkan dan kemudian disebarkan kepada

massa kampus. Mereka tak lagi hanya sekedar kajian/diskusi melainkan

fokus pada produk.

Contoh lainnya unit Lingkar Sastra (LS). Sebagai unit budaya, LS

memainkan peran ganda disamping ikut serta dengan tiga unit lain untuk

selenggarakan diskusi yang bertemakan sastra, juga mengadakan

pertunjukan-pertunjukan yang dikemas kekinian. Sebagai contoh salah satu

kegiatannya adalah "Metamorfosa" yakni sebuah pertujukan puisi yang

dilakukan di hari Valentine. Acaranya tak lagi esklusif di tempat tertutup,

melainkan coba dihadirkan dilingkungan terbuka. Saat itu diadakan di teras

CC Barat ITB tepat di didepan jalan tangga kawasan padat lalu lintas

mahasiswa keluar-masuk kampus ITB. Acara ini juga sebagai saingan acara

nonton bareng film spesial Valentine yang diputar oleh Liga Film Mahasiswa

(LFM) ITB yang diadakan di lapangan cinta depan CC Timur ITB. Dari sini

terlihat bahwa pola gerakan yang dilakukan oleh unit LS ini tak hanya fokus

pada mereka para penikmat sastra khususnya puisi, melainkan difokuskan

pada khalayak umum yang awam pada puisi. Pola gerakan semacam ini

merupakan gejala postmodernisme.

Di era postmodernisme ini, gerakan politik mahasiswa konvensional

perlahan-lahan akan dijauhi. Mereka yang dipandang sebagai aktivis

mahasiswa tak lagi sekedar mereka yang gemar demonstrasi, aktif diskusi

membahas karya-karya Marx, dan nongkrong di kampus sampai larut malam

dengan ditemani kopi dan rokok, namun mereka yang memiliki aliran

Page 58: Jurnal kebangkitan 3

57

gerakan lain yang cenderung lebih santai, fleksibel, dan bersifat lokal dapat

dimaknai sebagai aktivis. Gerakan-gerakan yang digandrungi merupakan

gerakan non-ideologis dan mampu memberikan inspirasi. Dua hal inilah yang

menjadi ciri dari postmodernisme. Oleh karenanya gerakan politik yang

masih berorientasi dengan romantika masa lalu seperti halnya reformasi 98

akan ditinggalkan para pengikutnya. Gerakan politik harus mampu

menyadari arus besar postmodernisme ini.

Gerakan politik harus menyesuaikan dengan arus besar postmodernisme

dengan membumikan gerakannya ke grass-root dengan memakai metode-

metode yang biasa dilakukan oleh gerakan mahasiswa postmodernisme

seperti halnya terbuka terhadap semua aliran pemikiran (inklusif), mengemas

penyampaian ke publik dengan menggunakan media yang

sedang hits dikalangan anak muda seperti halnya jejaring sosial, infografis,

dan sebagainya, dan meramu strategi gerakan yang lebih dapat berdampak

langsung kepada masyarakat. Memang seringkali terjadi distorsi dikarenakan

gerakan politik memiliki misi tertentu yang sifatnya perubahan sosial, namun

dengan mengabaikan arus postmodernisme dan mempertahan gerakan

politik konvensional akan membuat perubahan yang diinginkan menjadi

seolah sia-sia. Mengikuti arus postmoderisme tidak berarti pragmatis dengan

melupakan idealisme visi-misi semula yang dibawa, melainkan bagaimana

mengejahwantahkan visi-misi menjadi tindakan yang diterima oleh

masyarakat luas dan berdampak secara langsung.

Arus postmodernisme merupakan tanda zaman sebagai respon dari arus

modernisme yang telah berkembang sejak sekian lama. Mempertahankan

arus modernisme dalam gerakan politik seolah mempertahankan status quo

dimana ini menyalahi prinsip perubahan yang sedang gendang ditiupkan.

Kini tinggal bagaimana caranya meramu arus postmodernisme yang serba

fleksibel, tidak jelas arah, dan terkadang dangkal secara konten/nilai menjadi

Page 59: Jurnal kebangkitan 3

58

arus postmodernisme berbasiskan nilai. Mungkin dengan ini akan

memunculkan aliran baru yakni postmodernisme berbasis nilai. Gerakan

politik mahasiswa memiliki kans besar untuk melakukan hal tersebut.

Kesimpulan

Arus besar gelombang postmodernisme mempengaruhi dinamika

gerakan politik mahasiswa. Gerakan mahasiswa di masa awal kemerdekaan

hingga akhir orde baru ditandai dengan gerakan yang berbasis politik yang

kaku, ideologis, dan eksklusif. Reformasi 98 membuka wajah baru gerakan

mahasiswa dan menemui puncaknya di dekade awal 2000-an dimana

gelombang postmodernisme mulai mempengaruhi arah gerak mahasiswa.

Akibatnya gerakan mahasiswa tak sekedar turun ke jalan menuntut banyak

hal ke pemerintah, melainkan muncul gerakan-gerakan baru yang inklusif

dengan marketisasi yang dikemas secara apik. Itulah gerakan

postmodernisme dan dari situ seorang aktivis tak lagi sekedar mereka yang

sibuk berdiskusi permasalahan politik bangsa hingga larut malam serta

gemar demonstrasi turun ke jalan.

Gerakan politik mahasiswa harus menyadari betul arus besar

postmodernisme dengan tak lagi beromantika dengan gerakan politik pada

pendahulu seperti gerakan politik menurunkan rezim Soeharto pada tahun 98

silam. Di masa postmodernisme ini tak ada lagi musuh tunggal. Gerakan ini

lebih bersifat lokal dan jelas arah/capaiannya (rasionalis, tidak utopis). Sangat

mustahil untuk membuat arus tandingan, maka gerakan politik mahasiswa

harus menyesuaikan. Nilai yang diperjuangkan gerakan politik mahasiswa

harus terus dipertahankan namun dalam mengaplikasikan gerakan harus

luwes dengan mengikuti arus postmodernisme. Gerakan politik mahasiswa

harus inklusif dan mengarah ke grass-root, mahasiswa dan masyarakat secara

Page 60: Jurnal kebangkitan 3

59

luas. Dengan mengadopsi aliran postmodernisme dan mempertahankan nilai

visi-misi yang dibawa, gerakan sosial-politik mahasiswa menjadi gerakan

postmodernisme yang berbasiskan nilai. Dengan demikian diharapkan nilai-

nilai yang diperjuangkan dapat diterima oleh khalayak yang lebih luas.

Daftar Pustaka

Sugiharto, I. Bambang, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat, Pustaka Filsafat

Penerbit PT. Kanisius, cetakan ke-9, 2014

[1] Sugiharto, I. Bambang, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat, Pustaka

Filsafat Penerbit PT. Kanisius, cetakan ke-9, 2014

[2] Sugiharto, I. Bambang, ibid

Page 61: Jurnal kebangkitan 3

60

2014: Pemilu, Pencitraan, dan Post-Modernisme

Anton Kurniawan

(Tulisan ini ditulis pada 4 Januari 2014. Walaupun sudah lama, isinya tetap

bermakna)

Memasuki tahun 2014, persiapan pertandingan politik lewat Pemilihan

Umum (Pemilu) di Indonesia semakin gencar dilakukan. Berbagai pihak,

entah itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pihak yang mempunyai

hajat hingga partai politik termasuk di dalamnya calon legislatif melakukan

jurus-jurus untuk meraih simpati publik. Bagi mereka, seolah tidak ada

kesempatan kedua, sekarang waktunya, tidak ada kesempatan lain. Buat

kontestan yang memiliki kantong tebal, pemasangan iklan jelas bukan

masalah besar. Hanya saja, menjadi problema bagi kontestan berdana pas-

pasan. Jangankan iklan, pemasangan baliho atau spanduk saja sudah

membuat dompet kian menipis. Namun, semua tetap dilakukan. Mutlaklah

pepatah: “Tak kenal maka tak sayang”. Berbagai cara dilakukan untuk

meningkatkan elektabilitas diri maupun partai. Bakti sosial lebih sering

ditemui, perbaikan jalan kampung, kerja bakti pembenahan saluran drainase,

Page 62: Jurnal kebangkitan 3

61

hingga yang paling primitif, panggung kesenian diselingi dengan kocokan

hadiah juga mewarnai langkah-langkah jelang 9 April 2014.

Semua itu wajar, pengorbanan maksimal biasanya selaras dengan hasil

optimal. Hanya perlu diingat, masyarakat Indonesia semakin cerdas akhir-

akhir ini. Pengalaman “ditipu” pada 1999, 2004, dan 2009, membuat mereka

semakin hati-hati dalam memilih. Lebih lanjut, sebagian yang merasa ditipu

maksimal cenderung pasif, ogah memilih lagi karena merasa hidup tetap

akan sama, siapapun yang mewakili aspirasi mereka. Terjadilah pergulatan

sengit untuk memenangkan hati rakyat seperti ini. Kontestan berlomba

dengan gaya masing-masing agar jangan sampai suara potensial hanya

menjadi kertas kosong tanpa coblosan.

Masyarakat Indonesia memang masih dikenal sebagai masyarakat yang

sangat terpengaruh dengan pemberitaan media, baik media massa berupa

cetak maupun elektronik ataupun media sosial yang menjadi candu zaman

ini. Masyarakat seolah dapat melupakan dosa-dosa manusia di masa lalu

dengan citra yang baik di media. Sebaliknya, masyarakat bisa mengutuk

habis-habisan seseorang yang menjadi si jahat di media tanpa mengetahui

duduk perkara sebenarnya.

Pencitraan, Solusi Jitu Masyarakat Telenovela

Telenovela, drama yang pernah meledak di Indonesia era 2000-an

merupakan representasi masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia

menggemari tayangan ini bukan tanpa alasan. Masyarakat yang waktu itu

menonton, merasa punya keterkaitan dengan bintang telenovela. Masalah

kompleks, entah percintaan beda kasta, ekonomi, dan konflik dengan orang

tua seolah mengajak penonton ikut hidup di dalamnya. Pemirsa diundang

Page 63: Jurnal kebangkitan 3

62

untuk berjuang bersama tokoh, menonton dari perspektif berbeda perjuangan

hidup masing-masing yang kala itu masih dibayangi krisis moneter 1998.

Faktor wajah menawan dari bintang kian menarik mata yang dahulu jenuh

dengan percaturan politik di Senayan dan Istana Negara untuk menikmati

telenovela.

Tahun 2014 yang dikenal juga sebagai tahun kuda kayu dalam hitung-

hitungan fengshui China ternyata menunjukkan fenomena masyarakat

telenovela kembali. Berbagai survei yang digelar oleh lembaga independen

menampilkan hasil mengejutkan. Tokoh-tokoh lama dalam perpolitikan

Indonesia digeser oleh satu sosok yang seperti datang dari langit, Joko

Widodo ‘Jokowi’. Gubernur DKI Jakarta yang sebenarnya tidak memilii

perawakan pemimpin, entah bagaimana mampu meraih simpati masyarakat.

Masyarakat ibukota yang sudah gerah dengan tiga masalah krusial namun

abadi, yakni banjir, kemacetan, dan tata kota seolah mempunyai harapan

baru. Tokoh-tokoh lama, seperti Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto, Jusuf

Kalla, hingga empunya partai Jokowi, Megawati Soekarnoputri dilangkahi

oleh pria asal Solo ini. Pemberitaan luar biasa dari media semakin menambah

kesan baik dalam diri eks Walikota Solo tersebut. Bayangkan saja, apabila kita

yang merasakan kekecewaan saat banjir lalu melihat pemimpin kita ikut jalan

kaki, melepas atribut mewah dan protokoler sambil mencoba menghibur kita

di dinginnya genangan air. Walaupun tidak memberi dampak apa-apa waktu

itu, seolah ada harapan tumbuh. Pemimpin gue banget tampak dalam diri

Jokowi. Masyarakat akar rumput yang telah muak dengan birokrasi berbelit

seperti memiliki napas kedua untuk percaya dengan pemerintah. Apabila

Jokowi maju dalam pemilihan presiden sebagai calon presiden, tampaknya

kemenangan mutlak akan diraih. Namun, diamnya Megawati Soekarnoputri

sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) patut

ditunggu. Beranikah ia membiarkan sekaligus merelakan seseorang yang

Page 64: Jurnal kebangkitan 3

63

tidak bertrah Soekarno untuk menasbihkan diri sebagai presiden di negeri

yang dimerdekakan oleh ayahnya?

Lantas, kemana saja tokoh-tokoh lama bangsa? Aburizal Bakrie yang

telah dibaptiskan menjadi calon presiden Partai Golongan Karya seperti

terhambat dengan citranya sebagai pengusaha yang turut bertanggungjawab

dengan kasus lumpur Lapindo Brantas. Ada anekdot dimana sampai lumpur

terus mengalir, maka ARB, inisial baru Aburizal Bakrie, tetap akan tenggelam

dalam lumpur kekalahan. Prabowo Subianto, masih dikejar masyarakat soal

kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Timor-Timur (Timor Leste

saat ini). Untung saja, partai Gerindra yang ia arsiteki memberi gambaran

jelas mengenai visi ke depan: Indonesia Macan Asia. Masyarakat yang rindu

kemandirian ekonomi dan kebanggaan berbangsa cenderung memilih

Prabowo apabila Jokowi tidak maju menjadi calon presiden pada April

mendatang. Jusuf Kalla, sosok yang pernah menjadi wakil presiden Republik

Indonesia seperti sudah kehilangan momentum. Dalam survei, namanya

selalu muncul ke permukaan, namun, peran guru bangsa seperti sudah

melekat kepadanya. Akan tetapi, dalam politik, yang pasti adalah

ketidakpastian. Kita tunggu saja, bukan tidak mungkin Partai Demokrat yang

sudah berdarah-darah akibat dikerjai kadernya sendiri dalam kasus korupsi

menjadi kendaraan Jusuf Kalla.

Masyarakat telenovela sebenarnya tidak ingin macam-macam. Harga

pangan terjangkau, biaya kesehatan dan pendidikan yang masuk akal, dan

ketersediaan sumber daya macam Bahan Bakar Minyak (BBM), listrik, dan air

secara konsisten sudah menyenangkan. Masyarakat telenovela tidak peduli

angka pertumbuhan ekonomi Indonesia. Yang mereka peduli, lebih soal

negara tidak menambah repot kehidupan mereka yang sudah dipusingkan

dengan konflik di dalam rumah tangga, maupun masalah klasik seperti

telenovela.

Page 65: Jurnal kebangkitan 3

64

Memasuki tahun 2014, pembangunan citra akan menjadi hal yang

digembor-gemborkan tiap kontestan. Masyarakat Indonesia harus benar-

benar hati-hati dengan yang satu ini. Memperhatikan dengan seksama,

apakah calon atau pemimpin benar-benar tulus untuk bekerja buat rakyat

atau dirinya sendiri menjadi obat penangkal pencitraan semu. Jangan sampai,

kita tertipu lagi seperti yang sudah-sudah. Apakah baik benar-benar baik atau

justru menutup borok-borok masa lalu? Apakah sungguh tulus ataukah

hanya ingin mengembalikan fulus ke kantong mereka? Media juga, jangan

dilupakan, berada di pihak mana mereka saat ini? Siapa pemiliknya dan apa

kepentingannya? Masyarakat telenovela biasanya sudah tahu jawabannya

hanya belum mau menjawabnya. Nanti saja, di surat suara tanggal 9 April

2014!

Selamat Datang Post-modernisme!

Post-modernisme tampaknya sudah merasuki bangsa Indonesia di 2014.

Post-modernisme sendiri merupakan tahap dinamika kehidupan setelah era

modernisme. Modernisme ditandai dengan penggunaan teknologi informasi

menggeser tradisionalisme yang selama ini melekat. Post-modernisme adalah

sebuah antitesis dari kegerahan modernisme. Post-modernisme dapat

diklasifikasi menjadi tiga ciri, yaitu dekonstruksi, simulasi, dan hiper-realitas.

Pertama, dekonstruksi dimaknai sebagai pembangunan kembali makna dari

sesuatu. Sebagai contoh, latar belakang seperti suku, agama, ras, dan

antargolongan (SARA) seperti tidak terlalu penting saat ini. Semakin banyak

di Indonesia pernikahan antaragama, antarsuku, hingga antarbangsa. Batas-

batas kedaerahan semakin pudar, bahkan hilang di kota-kota metropolitan.

Faktor seperti itu dianggap tidak terlalu penting. Mulai timbul kenyamanan

melihat manusia sebagai manusia tanpa vonis alami dari Tuhan seperti warna

Page 66: Jurnal kebangkitan 3

65

kulit dan suku. Kalaupun ada gesekan horizontal akibat agama, itu lebih

banyak dihasilkan dari pertikaian individu yang kebetulan beda agama lalu

merambat seolah ada pertentangan antaragama.

Dewasa ini, Indonesia juga semakin akrab dengan hal-hal yang dahulu

tabu, seperti seks dan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Film

yang ada di bioskop dan pasaran semakin vulgar, kasus pelecehan kian

menjadi-jadi, dan mulai ada suara untuk mengesahkan pernikahan homogen

alias sesama jenis. Dalam hal ini, agama menjadi benteng terakhir. Secara

manusia, memang tidak ada yang salah dengan percintaan sesama laki-laki

atau perempuan. Namun, secara agama, Indonesia masih cukup kolot dengan

belum melegalkan pernikahan sesama jenis. Kasus transgender yang dulu

selalu mengundang perhatian pun kini biasa saja terjadi. Memang, masih ada

sentimen miring terhadap pelaku, namun permisifnya masyarakat telenovela

memungkinkan hal itu. Kontestan dalam Pemilu 2014 ini harus hati-hati

benar dalam menghadapi hal ini.

Kedua, simulasi semakin gencar terjadi di Indonesia. Masyarakat ingin

mudah, praktis, dan tidak repot-repot. Fenomena teknologi informasi menjadi

idola saat ini. Media sosial memakan sebagian waktu kita yang biasa

digunakan untuk perbincangan tatap muka. Lebih muda memakai Global

Positioning System (GPS) saat ini dibandingkan bertanya dengan mulut untuk

mencari alamat. Fenomena permainan di dalam komputer dan tablet juga

menggandrungi anak-anak. Permainan yang mengandalkan fisik semakin

dipinggirkan terutama bagi anak-anak di kota besar. Seolah ada kebanggaan

apabila berjaya di dunia simulasi walaupun dalam kehidupan nyata

melempem.

Page 67: Jurnal kebangkitan 3

66

Dikaitkan dengan politik 2014, calon pemimpin potensial seperti Anies

Baswedan, Dahlan Iskan, dan Gita Wirjawan masuk dalam bagian ini. Anies

Baswedan, sosok intelektual yang merupakan rektor Universitas Paramadina

tampil meraih simpati masyarakat lewat tajuk klasik “Melunasi Janji

Kemerdekaan”. Jawaban-jawaban cerdas dalam setiap forum, termasuk

mengapa mau ikut konvensi Partai Demokrat memukau banyak pihak. Salah

satu rekam jejak paling baik yang ia torehkan adalah program “Indonesia

Mengajar”, program untuk mengirimkan mahasiswa ke pelosok daerah untuk

berbagi kecerdasan dengan anak-anak yang masih tertinggal. Selain itu, aksi

#turuntangan cukup meraih simpati publik di media sosial. Sebuah ungkapan

menarik pernah ia lontarkan, “Bila yang baik berdiam diri saja, maka sama

saja membiarkan yang jahat duduk di kursi kekuasaan”.

Dahlan Iskan, sosok menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini

meraih simpati publik lewat aksi yang cenderung nekat. Ia mengganti direksi

BUMN yang dianggap kurang kompeten, mendukung program mobil

nasional, sekaligus tampil dengan tampilan sederhana, yakni kemeja putih

dan sepatu kets. Beberapa mungkin masih ingat, saat ia menggeser portal di

gerbang tol di Jakarta. Kala itu, semua gempar. Maklum saja, masyarakat

telenovela biasanya alergi dengan hal semacam itu. Namun, dengan aksi

sederhana itu, terlihat perbedaan. Mulai ada perbaikan di sistem pembayaran

jalan tol. Citra positifnya ditambah dengan iklan obat masuk angin yang ia

bintangi. Ia cenderung kandidat calon presiden alternatif yang biaya

kampanyenya dibantu oleh produk, salah satu efek post-modernisme.

Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Gita Wirjawan juga bermain

di lapangan yang sama dengan Anies Baswedan dan Dahlan Iskan. Sosok

muda, tampan, dan intelektual menjadi idola masyarakat. Jawaban cerdas

serta kemampuannya dalam bermain musik menambah baik penilaiannya.

Dalam konvensi Demokrat, ia menjadi sosok yang diunggulkan. Maklum saja,

Page 68: Jurnal kebangkitan 3

67

Susilo Bambang Yudhoyono, presiden RI sekaligus Ketua Umum Partai

Demokrat saat ini, sudah tidak dapat maju dan memilih jalan paling aman

untuk mengerek kembali popularitas Partai Demokrat yang telah tiarap.

Kemungkinan besar, ia memilih Gita Wirjawan, sosok muda untuk maju

menjadi citra Partai Demokrat bagi masyarakat. Wibawa yang ia miliki kira-

kira hampir sama dengan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004. Ketiga

nama yang disebut memang berlomba dalam konvensi calon presiden Partai

Demokrat. Bukan masalah apabila mereka gagal, namun ada sebuah

fenomena baik dimana pemimpin sungguh datang dari masyarakat. Yang

menjadi pertanyaan, apakah itu cukup untuk menutup kebobrokan Partai

Demokrat akibat dibunuh kadernya sendiri? Apakah pemenang konvensi

Demokrat ini cukup tangguh menghadapi Jokowi dan Prabowo Subianto, dua

sosok paling populer saat ini? Waktu akan menjawab.

Hiper-realitas menjadi ciri terakhir post-modernisme di Indonesia. Ada

pelebih-lebihan dalam berbagai peristiwa akhir-akhir ini. Media jelas menjadi

motor terbesar. Masyarakat disuguhkan oleh berita-berita keras seperti

korupsi, terorisme, dan narkotika. Ketika ada berita baik, masyarakat heboh,

gempar dan senang, walaupun berlebihan. Fenomena ini tampak saat Tim

Nasional Sepakbola U-19 berhasil juara Piala AFF di Jawa Timur pada 2013

kemarin. Kehebohan dimana-mana terjadi. Selain karena kerinduan juara,

memang ada harapan baru di tengah kemerosotan prestasi Indonesia di

dunia. Tanggapan sensasional terjadi lagi saat Evan Dimas dkk. sukses

menekuk Korea Selatan. Indonesia seperti sudah juara dunia waktu itu.

Padahal jalan masih panjang. Belum ada gangguan dunia hiburan dan pesan

politik yang sudah-sudah, semoga juga tidak.

Hal-hal mendasar seperti ideologi tidak terlalu penting saat ini. Yang

dinilai sungguh hanya individu. Ada fenomena melebih-lebihkan dari

masyarakat yang sudah terlanjur rindu kemajuan. Partai sesungguhnya

Page 69: Jurnal kebangkitan 3

68

menjadi nasionalis murni, hanya figur yang membedakan. Kalaupun ada

pemilih setia, itu dapat disebabkan latar belakang dan lingkungan yang

mendukung. Maka dari itu, gagasan Soekarno dapat muncul kembali ke

permukaan dalam perpolitikan Indonesia di masa mendatang. Indonesia

niscaya akan maju apabila memiliki satu partai saja, partai nasional. Orang-

orang terbaik dari berbagai golongan, faksi, dan ideologi bergabung dalam

satu partai, tidak terpisah seperti saat ini. Meskipun gagasan ini dianggap

kuno, dengan kondisi hiper-realitas saat ini justru dapat terjadi. Tidak akan

ada persaingan kekuasaan untuk tokoh-tokoh potensial melainkan saling

mendukung untuk negara ini. Tidak ada lawan politik, yang ada hanya

kawan politik. Gagasan ini sangat mungkin terjadi apabila Pemilihan Umum

2014 gagal melahirkan pemimpin yang merepresentasikan kebutuhan rakyat.

Ide ini dapat pula terjadi saat pencitraan semakin menjengkelkan, semua

memakai topeng dan tidak tampil apa adanya.

Masyarakat Indonesia benar-benar dalam kegentingan politik pada 2014.

Barangsiapa dapat menunjukkan citra positif dan tanggap dalam fenomena

post-modernisme akan memenangkan hati rakyat. “Sajak Sebatang Lisong”

karya almarhum W.S. Rendra yang dibacakan di Institut Teknologi Bandung

pada 19 Agustus 1977 akan menutup tulisan ini.

---------------------------------------

Sajak Sebatang Lisong

Menghisap sebatang lisong

melihat Indonesia Raya,

mendengar 130 juta rakyat,

Page 70: Jurnal kebangkitan 3

69

dan di langit

dua tiga cukong mengangkang,

berak di atas kepala mereka

Matahari terbit.

Fajar tiba.

Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak

tanpa pendidikan.

Aku bertanya,

tetapi pertanyaan-pertanyaanku

membentur meja kekuasaan yang macet,

dan papantulis-papantulis para pendidik

yang terlepas dari persoalan kehidupan.

Delapan juta kanak-kanak

menghadapi satu jalan panjang,

tanpa pilihan,

tanpa pepohonan,

tanpa dangau persinggahan,

Page 71: Jurnal kebangkitan 3

70

tanpa ada bayangan ujungnya.

…………………

Menghisap udara

yang disemprot deodorant,

aku melihat sarjana-sarjana menganggur

berpeluh di jalan raya;

aku melihat wanita bunting

antri uang pensiun.

Dan di langit;

para tekhnokrat berkata :

bahwa bangsa kita adalah malas,

bahwa bangsa mesti dibangun;

mesti di-up-grade

disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

Gunung-gunung menjulang.

Langit pesta warna di dalam senjakala

Page 72: Jurnal kebangkitan 3

71

Dan aku melihat

protes-protes yang terpendam,

terhimpit di bawah tilam.

Aku bertanya,

tetapi pertanyaanku

membentur jidat penyair-penyair salon,

yang bersajak tentang anggur dan rembulan,

sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya

dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan

termangu-mangu di kaki dewi kesenian.

Bunga-bunga bangsa tahun depan

berkunang-kunang pandang matanya,

di bawah iklan berlampu neon,

Berjuta-juta harapan ibu dan bapak

menjadi gemalau suara yang kacau,

menjadi karang di bawah muka samodra.

………………

Page 73: Jurnal kebangkitan 3

72

Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.

Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,

tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.

Kita mesti keluar ke jalan raya,

keluar ke desa-desa,

mencatat sendiri semua gejala,

dan menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku

Pamplet masa darurat.

Apakah artinya kesenian,

bila terpisah dari derita lingkungan.

Apakah artinya berpikir,

bila terpisah dari masalah kehidupan.

19 Agustus 1977

ITB Bandung

Potret Pembangunan dalam Puisi

Page 74: Jurnal kebangkitan 3

73

Kesempurnaan adalah Utopia

Kurnia Sandi Girsang

Dalam keilmuan teknik industri, efisien berkaitan erat dengan variabel

input pada suatu sistem. Misal, suatu sistem produksi massal mobil memiliki

variabel input raw material berupa besi. Sistem tersebut dapat dikatakan

efisien jika jumlah besi yang digunakan optimum, atau biasanya dengan

parameter minimasi jumlah besi. Selain keefisienan, suatu sistem juga

memiliki aspek lain yang dikenal dengan keefektifan.

Konsep keefisienan selalu berkaitan dengan konsep keefektifan, kedua

hal tersebut sulit untuk dipisahkan satu dengan lainnya. Jika keefisienan

membicarakan tentang variabel input, keefektifan membahas tentang variabel

output dari suatu sistem. Analoginya seperti ini, masih menggunakan contoh

dalam sistem manufaktur mobil. Misal, suatu sistem produksi massal mobil

memiliki variabel output berupa jumlah mobil yang dapat dihasilkan pada

suatu kurun waktu tertentu. Sistem tersebut dapat dikatakan efektif jika

dengan berbagai variabel produksi yang ada, nilai output dari produksi mobil

dapat meningkat.

Kedua konsep tersebut bagai dua mata koin yang tidak dipisahkan, atau

dalam bahasa ekonominya konsep ini dikenal melalui prinsip: dengan usaha

yang sekecil-kecilnya untuk untung yang sebesar-besarnya. ‘Usaha yang

sekecil-kecilnya’ di sini adalah tentang keefisienan sebab hal tersebut

merupakan variabel input, sedang ‘untung yang sebesar-besarnya’ tentang

variabel output yang identik dengan keefektifan.

. . .

Page 75: Jurnal kebangkitan 3

74

Menurut saya, kesempurnaan adalah hal yang sangat relatif sebab sangat

bergantung dari cara pandang seseorang terhadap sesuatu. Saya membagi

kesempurnaan menjadi dua aspek berdasarkan pada asal dan tujuannya:

Kesempurnaan dari Tuhan dan Kesempurnaan dari Manusia.

Saya membagi menjadi dua aspek sebab seringkali dalam perilaku di

kehidupan sehari-hari orang mencampuradukkan antara dua perspektif yang

berbeda tersebut. Misal, saya berbicara kepada si A tentang kesempurnaan.

Tentu sejak awal kami berdua harus menyamakan persepsi tentang

kesempurnaan apa yang kita maksud. Jika itu kesempurnaan dari manusia,

berarti yang kita bicarakan adalah tentang suatu utopia yang terus

diperjuangkan untuk dicapai yang berimplikasi pada pemakluman-

pemakluman pada hal-hal yang diluar dari control kita.

Kesempurnaan dari manusia di dunia sains dikenal dengan istilah

‘pendekatan’ atau ‘faktor koreksi’. Semua persamaan saintifik di dunia ini

adalah pendekatan yang dibuat oleh para ahli, tidak ada satupun yang benar-

benar sempurna. Untuk itulah dalam beberapa persamaan digunakan faktor

koreksi. Nah, jika pandangan ini tidak menjadi dasar pikiran memandang

suatu kesempurnaan, tentu akan banyak sekali variabel ‘tidak penting’ yang

dimasukkan untuk mencapai definisi kesempurnaan tersebut.

Contohnya begini, kita awali dari pertanyaan kenapa suatu rumah tidak

bisa bertahan dari gempa? Rumah tersebut tidak bisa bertahan dari gempa

sebab fondasinya tidak kokoh dan bahan baku semen yang digunakan

bermutu jelek, hal itu karena orang tersebut memiliki kondisi finansial yang

buruk, hal itu karena cara bersikap ia di dunia kerjanya tidak bagus, hal itu

karena istrinya yang sedang hamil terlalu banyak menuntut, hal itu karena

kantor tidak memberikan tunjangan kehamilan untuk keluarga, hal itu karena

keuangan perusahaan tersebut tidak dalam kondisi baik, hal itu karena

Page 76: Jurnal kebangkitan 3

75

negara mempunyai kebijakan pajak tinggi, hal itu karena….. dan seterusnya.

Jika tidak dihentikan, alasan-alasan terhadap penyebab ‘rumah yang tidak

tahan gempa’ akan tidak berhingga, begini ilustrasi dalam gambar:

Gambar: Kesempurnaan dari Tuhan

Kepala dari bagan di gambar tersebut adalah suatu kejadian, sedangkan

lingkaran yang mengikuti di belakangnya adalah penyebab dari berbagai

variabel atau disiplin ilmu tertentu. Pencampuradukan antara dua sudut

pandang kesempurnaan ini menurut saya dalam filsafat dikenal dengan

fenomena gejala postmodernis dan poststrukturalis. Gejala tersebut dapat

dilihat dari manusia sekarang yang memandang suatu kebijakan dari luar

batasan sistem yang dapat dikontrol oleh manusia lainnya (ia menggunakan

sudut pandang kesempurnaan Tuhan). Menyikapi fenomena tersebut

seharusnya orang lain paham bahwa tidak mungkin suatu hal dapat

sempurna tepat seratus persen.

Contoh, Bu Risma walikota Surabaya menutup komplek lokalisasi Gang

Dolly tentu dengan batasan sistem kesempurnaan tertentu yang dalam hal

adalah aspek moralitas warga Surabaya. Di sisi lain ada pihak-pihak tertentu

Page 77: Jurnal kebangkitan 3

76

yang menggunakan retorika dari sudut pandang kesempurnaan lain yang

menuntut bahwa kebijakan walikota Surabaya tersebut dapat mengakibatkan

masalah perekonomian.

Inilah fenomena kesempurnaan manusia di jaman pasca rasionalitas saat

ini, ini adalah bahasa lain dari gejala postmodernisme dan poststrukturalis.

Ini merupakan konsep yang sangat absurd, jika suatu koloni masyarakat telah

menggunakan pandangan postmodernisme, menurut saya hal tersebut akan

berbahaya pada tatanan kebenaran/kebaikan dari masyarakat tersebut.

Akhirnya akan timbul istilah ‘terserah melakukan apa asal jangan

mengganggu ketenangan orang lain’. Hal ini jelas bebas nilai. Hasilnya bisa

dilihat dari kebijakan Mahkamah Agung AS yang melegalkan LGBT.

Fenomena kesempurnaan Tuhan yang dilihat dari kacamata

kesempurnaan manusia ini, atau menurut saya bahasa lainnya adalah

postmodernisme, sangat di tentang dalam kehidupan ilmiah di kota

Manchester, Inggris. Menurut saya hal tersebut bagus, artinya mereka masih

memiliki nilai yang diperjuangkan sebagai seorang ilmuwan. Salah satu tokoh

terkenal yang membenci konsep ‘bebas nilai’ ini adalah Noam Chomsky.

Untuk contoh kasus kebijakan penutupan lokalisasi Gang Dolly,

sungguh sangat berbahaya jika prinsip ‘kebebasan nilai’ dijunjung. Artinya

tidak ada satu sudut pandang kesempurnaan apapun yang dapat melukai

sudut pandang kesempurnaan lainnya. Tidak ada urgensi dari suatu hal

dibanding dengan hal-hal lainnya. Dalam kasus tersebut urgensi yang

diperjuangkan Bu Risma adalah moralitas, bukan urgensi lain semisal

perekonomian yang menjadi diksi pihak lain untuk menolak. Jika bebas nilai,

Gang Dolly akan terus jalan, perekonomian jalan, moralitas juga jalan tetapi di

tempat lain. Lalu, sebuah pertanyaan pun timbul, dimanakah letak

kepedulian jika sudah sampai ke hal tersebut?

Page 78: Jurnal kebangkitan 3

77

Pencampuradukkan antara kesempurnaan dari Tuhan dan dari manusia

akan berimplikasi pada kebebasan nilai. Atau mungkin agar tidak tercampur

aduk, bisa digunakan definisi absolut: kesempurnaan hanya ada pada Tuhan.

Oleh karena itu, menurut saya kesempurnaan adalah utopia yang terus

diperjuangkan oleh manusia. Definisi kesempurnaan tersebut akan membawa

kita pada pemakluman untuk menyisihkan variabel lain yang tidak sesuai

dengan nilai apa yang sedang diperjuangkan. Proses pemilahan atau

eliminasi dan verifikasi variabel-variabel yang dikira lebih diprioritaskan

dalam bahasa lain dikenal dengan keefisienan (dan pasti akan berdampak

pada keefektifan sebab output biasanya adalah tujuan dari melakukan

perubahan).

. . .

Kesempurnaan seperti apa yang akan diperjuangkan untuk diraih?

Jawaban dari pertanyaan ini berbeda-beda tergantung dari konteks situasi

dan urgensi saat itu. Tentu berbeda antara tujuan kesempurnaan dari si A dan

si B. Kesempurnaan menurut si A adalah IPK tinggi, sedangkan

kesempurnaan menurut si B adalah pengalaman organisasi.

Setelah didapatkan maksud dari kesempurnaan apa yang akan

diperjuangkan, tahap selanjutnya adalah proses menuju hal tersebut yang

kaitannya dengan keefektifan dan keefisienan. Dalam memilih variabel efektif

tak bisa dipungkiri seseorang akan mengeliminasi hal-hal lain yang tidak

sesuai untuk diperjuangkan. Misal, si A pingin IPK tinggi. Variabel input

adalah banyak belajar. Bukan malah PDKT sebab ini adalah variabel input

untuk jodoh.

Page 79: Jurnal kebangkitan 3

78

Referensi

Hasil wawancara dengan Muhammad Elvandi, mahasiswa jurusan Filsafat di

University of Manchester

Bahagia, Senator Nur. Pengantar Teknik Industri. Penerbit ITB

Chomsky, Noam. How The World Works. Penerbit Bentang

Sarup, Madan. Pengantar Postmodernisme dan Postrukturalis. Penerbit

Kanisius

Page 80: Jurnal kebangkitan 3

79

Semoga konsistensi ini tak pernah terhenti!

Karena hanya mati yang dapat menghentikan kami

Salam Pembebasan