Upload
lyduong
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Team project ©2017 Dony Pratidana S. Hum | Bima Agus Setyawan S. IIP
Hak cipta dan penggunaan kembali:
Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat yang serupa dengan ciptaan asli.
Copyright and reuse:
This license lets you remix, tweak, and build upon work non-commercially, as long as you credit the origin creator and license it on your new creations under the identical terms.
139
LAMPIRAN
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
140
TRANSKRIP WAWANCARA
Narasumber : Ibnu Ambara
Social Media and Digital Marketing AirAsia Indonesia
Tanggal : 23 Maret 2017
Tempat : AirAsia Indonesia Red House
Jl. Marsekal Suryadarma No. 1 (M1), Tangerang
Tipe : Wawancara langsung
P: Peneliti
N: Narasumber
P : Jadi ini langsung saja ya, Mas?
N : Boleh
P : Boleh dijelaskan singkat, gambaran umum dari AirAsia
Indonesia.
N : Jadi AirAsia adalah low-cost airlines yang mengutamakan
keselamatan dan kehematan. Penghematan bahan bakar, operasional,
dan harga tiketnya. Jadi dari operasional dan cost lainnya bisa
menghemat harga tiketnya juga. Itu dari sisi operasional. Kalau dari
sisi konsumer, low-cost itu hanya beli kursinya saja. Lalu kalau
misalkan kita butuh bagasi, kita harus beli bagasinya lagi. Kalau kita
perlu makanan, kita beli makanan. Butuh insurance, maka kita beli
insurance. Jadi kalau misalnya kita travelling hanya perlu kursi dan
kita hanya bawa tas kecil, berarti kita menghemat sekali, karena kita
tidak perlu beli bagasi, tidak perlu beli yang lain-lain. Jadi benar-
benar low-cost.
P : Lalu kalau SWOT perusahaan. Menurut Mas Ibnu, apa strength
dari perusahaan, atau dari brand AirAsia?
N : Kekuatannya dari harga. Harganya AirAsia yang terkenal karena kita
sering bikin promo kursi gratis. AirAsia terkenal sekali dengan kursi
gratisnya
P : Kalau kelemahannya? Weakness?
N : Kelemahannya mungkin banyak orang yang tidak tahu kalau kursi
gratisnya AirAsia itu harus beli bagasi, dan yang lain-lain. Jadi
banyak belum teredukasi, beli tiket yang murah ini sudah termasuk
semua. Padahal belum. Itu yang banyak orang protes.
P : Kalau faktor eksternal yang menguntungkan bagi AirAsia? Atau
opportunity?
N : Maksudnya?
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
141
P : Faktor eksternal. Mungkin publik Indonesia memang lebih suka
yang murah, atau bagaimana? Opportunity untuk AirAsia
N : Tergantung. Kita ada segmen-segmennya, targetnya. Ini masuk
kesini ya.
P : Iya
N : Kalau dia baru lulus kuliah, FIT kita sebutnya, misalkan baru lulus
kuliah dan ingin jalan-jalan sebelum masuk kerja, seperti itu target
kita biasanya.
P : Apa threat atau ancaman terbesar bagi AirAsia? Yang bisa
mengancam operasional atau brand AirAsia sendiri?
N : Mengancam? Apa yang mengancam? Tidak pernah ada yang
mengancam ke kita
P : Baik. Nanti masuk ke kompetitor saja kalau begitu. Target
utamanya kemana, Mas?
N : Dari usia 25 sampai 40.
P : 25 sampai 40, psikografinya?
N : Tidak ada, mass kalau kita. Kebanyakan orang ingin jalan-jalan,
travelling hemat, pasti AirAsia.
P : Berarti SES-nya bisa dikatakan B?
N : B+ sampai C+ bisa dikatakan. Kalau kita tidak sampai terlalu bawah
sekali.
P : Kalau dari brand AirAsia, apa brand image yang ingin dibentuk?
N : Brand image yang ingin dibentuk ingin dekat sama anak muda.
P : Dekat dengan anak muda
N : Jadi, bahkan yang anak SMA, mereka memang tidak punya buying
power, tetapi mereka bisa menghasut orangtuanya untuk membelikan
tiket AirAsia.
P : Jadi seperti menjadi influencer buat orangtuanya?
N : Iya. Jadi otomatis orangtuanya, ‘Ya sudahlah, beli saja’.
P : Apa aja strategi untuk dekat dengan anak muda?
N : Strateginya kita berbicara dengan gaya anak muda zaman sekarang.
Maksudnya, kita tidak terlalu baku, kita tidak terlalu kaku. Jadi
mereka akan merasa AirAsia sebagai temannya.
P : Mungkin dari pramugarinya, frontlinernya, itu juga dibentuk?
N : Iya. Kita mengedepankan fun dan smile. Jadi semua frontliner harus
fun, senyum terus, happy, sehingga terkesan penerbangan mereka
untuk mencapai suatu tempat happy terus. Tidak ada yang tidak
happy
P : Kalau unique selling point? Positioning yang jadi ciri khas
AirAsia?
N : Warna merah, pramugari.
P : Dan juga fun? Smile?
N : Yes.
P : Kalau kompetitor utama yang setara? Indonesia ya, Mas.
N : Garuda, Citilink sih.
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
142
P : Tapi kalau Garuda bukannya berbeda segmen?
N : Dia full service, tapi dia bisa jadi kompetitor utama kita di bidang
sales. Kalau Citilink masih di bawah kita. Tapi dia mengikuti kita
terus. Kalau Garuda kompetitor sekali, di harga dan kualitas. Kita
harus kualitasnya minimum sama atau lebih.
P : Apa saja saluran media komunikasi yang digunakan oleh
AirAsia Indonesia, khususnya untuk membangun brand
engagement dengan target audience, target market anak muda?
N : Kita biasanya radio, TVC, billboard. Kalau activation kita agak
jarang. Biasanya, travel fair.
P : Juga social media marketing?
N : Iya.
P : Apa saja media sosial yang digunakan?
N : Ada Twitter, Facebook, Instagram.
P : Oh tiga itu? Bukannya ada YouTube?
N : Oh iya sorry, ada YouTube.
P : Berapa kira-kira presentase penggunaan media sosial untuk
membangun brand engagement dibandingkan iklan dan lainnya?
Berapa banding berapa?
N : Kalau penggunaan social media lebih tinggi, sekitar 70 banding 30.
P : Mengapa memilih social media untuk saluran komunikasi
terutama untuk membangun brand engagement?
N : Paling cepat menyebar, cepat viral.
P : Murah?
N : Oh iya apalagi kita low-cost. Hampir tidak mengeluarkan biaya.
P : Lalu mengapa menggunakan Facebook, Twitter, dan Instagram?
Mengapa tiga platform tersebut?
N : Kalau Facebook biasanya kita untuk informasi, lalu mereka bisa
interaksi sama kita. Kalau Twitter biasanya kita lebih ke customer
care.
P : Jadi kalau ada yang protes?
N : Biasanya di Twitter, karena cepat. Kalau misalnya buka Twitter
tinggal mention, langsung AirAsiaID, langsung masukin comment
P : Itu di-reply?
N : Di-reply. Kita ada customer care.
P : Kalau untuk Instagram?
N : Untuk Instagram kita lebih ke foto-foto cantik, foto-foto destinasi
untuk menginspirasi orang.
P : Menginspirasi orang? Jadi dari ketiga ini tidak ada yang
dikhususkan untuk berjualan?
N : Dulu iya. Dulu kita lebih mementingkan jualan, porsinya 80 persen
hard-sell, 20 persennya soft-sell. Sekarang kita balik. 80 persen soft-
sell, 20 persen hard-sell. Jadi seluruh platform kita diperuntukkan
untuk menginspirasi orang, tapi ada ‘embel-embelnya’. Misalnya,
‘Ini Maldives, di Maldives bisa berenang, dan lainnya, dan jangan
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
143
lupa ya beli di AirAsia.com.’ Jadi kita tidak main harga ‘Ke
Maldives harga sekian. Kita balik.
P : Lalu dari penggunaan media sosial, apakah ada audit terlebih
dahulu? Research?
N : Ada. Pasti ada.
P : Pertanyaannya apa saja? Informasi apa saja yang dicari pada
langkah audit.
N : Mungkin kita tidak bertanya ke orang ya. Kita lebih ke mencari,
misalnya mencari di satu destinasi, Jogja. Kita mencari yang anti-
mainstream-nya. Bukan yang mainstream-nya. Apa yang bisa kita
jual di Jogja? Dulu ada AADC. Setelah itu ada hal lain lagi yang
orang tidak tahu. Itu yang bisa kita kembangkan, kita naikan
namanya agar orang bisa ke Jogja dengan hal-hal yang baru.
P : Jadi, cari topik yang relevan dengan target audience?
N : Iya.
P : Selain itu ada lagi? Mungkin audit pengguna Facebook?
Demografinya? Berapa banyak? Dimana?
N : Kalau Twitter kita tidak bisa terbaca.Tetapi kalau Facebook kita
terbaca. Darif usia, semuanya. Kita biasanya targeting, reseach,
kembali lagi ke umur. Kita ada dua jenis konten. Social media ada
yang organik dan paid. Biasanya yang kita targetkan, yang kita audit
itu yang paid. Misalnya dalam minggu ini kita beriklan tentang
destinasi yang anak muda sekali, seperti Bali. Berarti kita harus
mentargetkan orang-orang usia 25-35 yang umumnya interest ke Bali
atau pantai. Kita target ke mereka. Tapi itu hanya bisa dikhususkan
ke yang paid.
P : Apa objektif dari social media marketing secara keseluruhan?
N : Objektifnya kalau sekarang memberi tahu orang atau menginspirasi
orang untuk travelling ke destinasi-destinasi AirAsia yang orang
tidak tahu.
P : Kalau sekarang objektif spesifiknya lebih kemana? Membangun
awareness pasti sudah ya?
N : Sudah, kalau awareness sudah. Kita mengedukasi hal-hal baru yang
ada di AirAsia. Misalnya AirAsia tidak hanya penerbangan saja. Ada
AirAsia BIG, ada AirAsia Go. Walaupun mereka beda perusahaan,
tetapi masih anak perusahaan kita. Maksudnya kita harus
mengedukasi orang juga kalau kita punya AirAsia Go untuk channel
hotel, AirAsia BIG loyalty-nya kita. Itu yang harus kita edukasi
supaya orang mengerti.
P : Oh BIG itu yang point rewards ya?
N : Iya.
P : Kalau target audience per platform dibedakan tidak?
N : Pasti.
P : Kalau Facebook untuk apa?
N : Kalau Facebook biasanya untuk orang-orang yang sudah mature.
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
144
Biasanya sudah berusia 30 tahun ke atas.
P : Kalau Twitter?
N : Kalau Twitter mass sekali. Dari anak kecil sampai ke yang tua. Kalau
Instagram lebih ke anak muda. Dari SMP sepertinya ada. Dari SMP
sampai sudah bekerja masih main Instagram. Tapi kalau di atas 40
tahun sepertinya sudah agak berkurang pengguna Instagram untuk
follow AirAsia.
P : Kalau alokasi budget untuk social media marketing, umumnya
kemana saja?
N : Budget biasanya kalau kita mencari konten. Kalau ini untuk yang
organik ya. Biasanya untuk kita buat konten video atau foto.
Misalnya kemarin kita ke Siam Reap, Kamboja. Jadi kita budget-nya
untuk travelling mencari konten video atau foto.
P : Jadi setiap konten gambar atau video produksi sendiri? Bukan
dari AirAsia pusat?
N : Produksi sendiri. Bisa mengambil, tapi kita punya angle-angle yang
berbeda. Misalnya kesukaan orang Indonesia bukan ini karena yang
dibuat oleh Malaysia secara general. Jadi kita harus classify orang
Indonesia sukanya apa. Kita harus mengikuti. Misalkan ke Kamboja,
orang Indonesia ke Kamboja sukanya apa?
P : Lalu selain untuk produksi konten, alokasinya untuk kemana
lagi?
N : Hadiah biasanya. Tetapi jarang juga konten kuis.
P : Yang #Daretoshare bukan?
N : Iya. Tapi #Daretoshare kita biasanya juga dengan partner. Selalu ada
partner. Hadiahnya jadi dari partner.
P : Lalu kalau strategi social media marketing per platform? Secara
garis besar, Facebook strateginya apa?
N : Sama. Kita tidak per platform. Kita tiga platform penerapannya sama
secara garis besarnya. Tapi mungkin gaya bahasa dan bentuk
kontennya yang berbeda. Misalnya kita sedang ingin mendorong
campaign awareness bagasi handbag tidak boleh lebih dari tujuh
kilo. Mungkin kita berbeda channel, berbeda gaya bahasa, dan
postingan saja. Tapi pada intinya sama. Strateginya akan sama.
P : Apa platform yang paling banyak engage audience? Dari ketiga
tersebut.
N : Sekarang Facebook. Tapi tergantung, depends on kontennya.
Misalnya, kalau kontennya memang bagus dan engagement-nya
tinggi biasanya di Facebook dan Instagram.
P : Apakah Key message dari per platform dibedakan?
N : Key message-nya sama, pasti akan sama. Tapi mungkin gaya
bahasanya dan gaya kontennya yang berbeda.
P : Kalau Facebook gaya bahasanya seperti apa?
N : Kalau Facebook lebih agak kaku. Tapi kita tidak terlalu kaku. Kalau
Twitter standar, tidak kaku sekali. Kalau Instagram lebih ke anak
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
145
muda sekali. Jauh lebih ke anak muda.
P : Bagaimana rincian dari pelaksanaan social media marketing?
Apakah kuis atau kontennya diatur?
N : Kontennya diatur. Tergantung kebutuhan AirAsia. Misalkan AirAsia
punya rute baru ke Jepang. Jadi kita harus mendorong tentang itu.
P : Apa saja jenis kontennya? Karena saya sering lihat AirAsia
men-share konten makanan ya?
N : Iya. Misalnya minggu ini harus mem-push Jepang. Kita cari konten-
konten yang unik di Jepang. Misalnya, Harajuku, baju-baju aneh.
Lalu kalau misalnya destinasi tersebut terkenal dengan makanan, kita
pilihnya makanan. Misalkan, Penang yang makanannya enak-enak.
Kita buat video tentang makanan di Penang.
P : Lalu faktor apa saja yang menentukan hal yang harus di-push?
N : Kita ada tim business development. Tim business development akan
membaca tiga minggu ke depan destinasi yang perlu di-push. Kita
ada target seat sold-nya, lakunya kursi pesawat kita berapa. Misalnya
ke destinasi tertentu, kita lihat selama tiga minggu ke depan
kelihatannya belum ada peningkatan. Kita harus mem-push. Mem-
push dengan cara di marketingnya. Dengan channel-nya social media
dan yang lain.
P : Nanti berujung untuk meningkatkan profit juga?
N : Oh iya pasti.
P : Lalu apakah AirAsia juga menggunakan influencer ?
N : Pakai
P : Siapa?
N : Terakhir kita dengan Ayudia, Ucha, ibunya Sekala. Ayudia dan Ditto
Percussion yang di Sarah Sechan.
P : Kenapa memilih mereka?
N : Karena targetnya AirAsia dengan karakter fanbase-nya mereka
hampir mirip.
P : Lalu konten atau taktik apa saja agar target audience engage ikut
serta aktif dalam aktivitas media sosial AirAsia?
N : Kita biasanya kuis, ‘Tebak Kata’. Misalnya kemarin kita buat sebuah
kata ke Tokyo. Tapi kita buat gambar ketuk pintu dan orang lagi
yoga.
P : Oh iya saya juga pernah lihat
N : Iya seperti itu engagement-nya tinggi sekali. Yang comment hampir
300 lebih. Sudah tidak mungkin dilihat lagi. Padahal kita tidak kasih
hadiah sama sekali. Seperti itu contoh kalau mau engage. Kalau
destinasi mungkin dalam bentuk video. Video lebih banyak viralnya.
P : Lalu apakah ada aturan unggahan konten setiap berapa lama
sekali?
N : Sehari minimum sekali. Kalau Facebook maksimum tiga kali. Kalau
Instagram sehari sekali. Kalau Twitter bisa lima sampai enam kali di
luar customer care. Kalau digabung customer care akan banyak
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
146
sekali.
P : Apakah menggunakan social media content calendar?
N : Ada
P : Kalau Twitter untuk customer care. Tetapi kalau misalnya ada
yang comment di Facebook dan Instagram?
N : Ada juga, bisa dibalas juga. Twitter sebenarnya untuk konten juga
tetapi lebih banyak orang yang bertanya dan complain di situ.
P : Apakah ada SOP untuk social media?
N : Tidak ada
P : Misalkan kalau sedang crisis?
N : Jadi misalkan amit-amit terjadi crisis lagi, social media marketing
akan pindah ke PR.
P : Oh jadi PR yang menangani?
N : Iya. Orangnya tetap saya, hanya saya akan pindah ke PR. Gaya
bahasanya akan ke PR. Kita sudah pernah. Langsung pindah.
Langsung yang handle bukan marketing lagi.
P : Jadi yang seperti kemarin berubah menjadi hitam semua itu
juga ke PR?
N : Iya sudah ke PR. Pindah ke PR.
P : Lalu apakah penggunaan social media ada tujuan untuk
mengoptimalisasi website?
N : Pasti. Makanya seperti yang tadi saya bilang, caption-nya pasti
‘Belinya di AirAsia.com ya’. AirAsia.com itu link. Kita berharap
mereka akan men-klik.
P : Apakah hashtag termasuk sebagai taktik?
N : Ada campaign kita yang harus pakai hashtag. Jadi memang hashtag
juga sebuah strategi.
P : Kalau dari penggunaan social media sendiri, apa strategi
monitoring yang digunakan?
N : Kita menggunakan vendor. Ada monitoring dengan vendor. Jadi
setiap minggu kita akan dikirimkan report selama seminggu ke
belakang. Bagaimana orang-orang menanggapi social media selama
seminggu kemarin? Apa obrolan orang di social media selama ini?
P : Tone positif - negatif?
N : Ada juga. Ada semua.
P : Apakah termasuk perihal kompetitor? Misalkan orang yang
membicarakan Citilink?
N : Oh iya. Kita juga men-capture kompetitor juga.
P : Khusus social media sendiri ada vendor monitoring-nya ya?
N : Iya
P : Lalu kalau measurement?
N : Ada. Kita mengukurnya traffic website.
P : Traffic website? Bukan traffic social media -nya?
N : Traffic social media sudah pasti kelihatan dari engagement-nya saja.
Kalau di Twitter total retweet berapa? Total favorite berapa? Kalau
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
147
di Instagram total like. Kita berharap setelah orang terinspirasi dari
social media, mereka langsung klik website AirAsia. Kita
measurement di berapa orang yang masuk ke website AirAsia.com
dari URL yang kita berikan di social media. Itu yang kita track.
P : Kalau selama ini evaluasi social media AirAsia Indonesia apakah
sudah berhasil?
N : Selama ini berhasil. Beberapa tahun belakangan sudah berhasil untuk
membuat orang terbang. Karena kita menggunakan hashtag
#FlywithAirAsia, kita blast ke orang-orang, ‘Gunakan hashtag ini
kalau Anda terbang ke destinasi-destinasinya AirAsia’. Dan ternyata
banyak sekali. Kita intinya mengukur dari situ.
P : Jadi mengukur dari yang orang unggah ke Instagram juga?
N : Iya. Kita beberapa kali ada caption, misalnya foto Iran, ‘Ini Iran, dan
kalau kamu sudah pernah pergi ke sini, gunakan hashtag
#FlywithAirAsia, upload foto kamu’. Dan ternyata banyak. Mereka
ke Iran juga. Sedangkan yang terbang ke Iran hanya dua atau tiga
maskapai saja. Yang lainnya full-service. Ya kita beranggapan
mereka naik AirAsia.
P : Berarti engagement-nya juga sudah terbentuk?
N : Iya
P : Lalu masuk ke brand engagement. Jadi brand engagement adalah
keterkaitan emosional dari target market, pelanggan, ke AirAsia.
Sudah terbentuk atau belum di AirAsia?
N : Sudah. Sudah terbentuk. Tetapi masih tersegmen. Kita sudah meng-
engage traveler yang backpacker. Itu kita sudah meng-engage sekali.
Karena saya ada di grupnya mereka, saya baca kalau ada promo,
mereka pasti orang pertama yang dapat tiket. Bahkan mereka bisa
tahu duluan dibanding orang-orang yang lain. Makanya kita sekarang
mau lariin. Kita mau meng-engage orang-orang dari segmen lain,
orang party. Beberapa kali kita pernah jadi sponsor party, terus acara
lari. Kita mau meng-engage orang-orang yang suka lari. Karena
orang yang suka lari seperti Tokyo Marathon, Maybank, kita
berharap orang yang mau pergi ke Tokyo, marathon atau yang di luar
negeri bisa pakai AirAsia.
P : Berapa persen peran penggunaan social media marketing untuk
membangun brand engagement?
N : Cukup besar. Bahkan persennya lebih tinggi social media. Karena di
social media kita dapat mengulang-ulang tanpa bayar. Misalkan
seminggu sekali kita bisa posting tentang event lari Maybank. Kalau
di TV mungkin tidak bisa.
P : Apakah ada komunitas?
N : Banyak
P : Apa saja?
N : Pertama ada AirAsia Bloggers Community. Terus ada komunitas
aviasi yang suka foto-foto pesawat.
P : Spotter?
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
148
N : Iya spotter
P : Spotter-nya ada yang khusus AirAsia?
N : Ada. Ada juga yang mereka buat AirAsia saja. Komunitas
backpacker sudah pasti ada. Kemarin ada di Malang, ibu-ibu arisan,
tetapi mereka selalu perginya naik AirAsia. Terus mereka selalu foto
kalau pergi jalan-jalan.
P : Kalau yang sesuai dengan karakter target market? Anak muda?
N : Backpacker dan AirAsia Bloggers. AirAsia Bloggers tidak harus
travel blogger, tapi dia juga bisa blogger apapun yang sudah jadi
membernya AirAsia Bloggers Community.
P : Apakah mereka meng-influence orang juga?
N : Iya meng-influence orang juga.
P : Advokasi tidak?
N : Lumayan. Jadi mereka based-nya beda-beda. Jadi kita bisa meng-
engage fans-fansnya di berbagai segmen juga kan. Misalnya kemarin
ada yang make-up. Sebenarnya tidak ada hubungannya make-up
dengan AirAsia. Jadi mereka bisa make-up di atas pesawat.
P : Tetapi mereka bisa defence?
N : Bisa. Mereka juga jadi channel kedua kita. Mereka adalah blogger
atau influencer kan. Misalkan ada yang komen, ‘Iya kok naik
AirAsia kayak gini sih?’. Lalu mereka kasih tahu, ‘Oh seharusnya
kalian kayak gini’.
P : Jadi mereka membela ya?
N : Membela. Kadang kalau mereka sampai tidak tahu jawabannya,
nanya ke saya pasti.
P : Oh sampai nanya?
N : Nanya. ‘Mas Ibnu ini gimana yah kalau kayak gini jawabnya?’. ‘Oh
ya uda jawab aja gini.’
P : Oh jadi mereka seperti karyawan AirAsia tapi mereka tidak
dibayar?
N : Iya karena mereka loyal.
P : Willingness-nya mereka sendiri?
N : Iya. Padahal kita jarang memberikan reward ke mereka. Paling kalau
misalkan mereka terbang dengan AirAsia beli tiket sendiri kita hanya
beri kursi atau bagasi.
P : Tidak pernah adakan gathering?
N : Ada gathering. Kita setiap enam bulan sekali ada gathering. Kita
setiap buka puasa selalu ada gathering.
P : Berarti mereka sudah dapat dikatakan emotionally attached ke
AirAsia Indonesia?
N : Iya. Kita ada 30 member aktif untuk AirAsia sendiri dan mereka aktif
tentang AirAsia.
P : Based-nya di Jakarta?
N : Based-nya di Jakarta. Mungkin ada yang Bandung, tetapi Jakarta
yang paling banyak.
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
149
P : Namanya AirAsia Bloggers Community ya?
N : Iyah. AirAsia Bloggers Community
P : Paling itu saja. Mungkin nanti saya minta profile-nya Mas Ibnu.
N : Profile apa?
P : Untuk kredibilitas penelitian
N : Oh begitu
P : Kalau dari Linked-in boleh, Mas?
N : Boleh
P : Dari Linked-in saja kalau begitu ya
N : Iya
P : Jadi kalau di tim, Mas Ibnu title-nya apa? Manager?
N : Bukan. Executive. Jadi di atas saya langsung Head of Marketing. Jadi
kita yang menangani social media hanya satu, tapi saya bisa dibantu
tim kreatif untuk bikin foto, bikin video, dan lain-lain. Jadi kita
punya tim kreatif ada lima orang, lalu salah satunya ada yang
memang untuk membantu social media. Terus ada tim customer care
yang menangani social media. Jadi ada timnya lagi. Part of social
media yang untuk customer care, kita berikan ke bagian customer
care.
P : Mas, mengukur social media AirAsia Indonesia lebih bagus
daripada yang lain dari mana? Followers?
N : Followers dan engagement, dan konten. Jadi kita ada vendornya itu.
P : Oh dia yang mengukur juga?
N : Dia yang mengukur juga. Mereka mengukur yang kita ingin, yang
kita pantau siapa aja.
P : Pengukurannya secara kuantitatif?
N : Iya. Secara angka. Jadi dia akan membaca post engagement tertinggi
yang mana, post yang terendah yang mana.
P : Lalu kalau rata-rata engagement AirAsia berapa persen
sebulan?
N : Wah kalau sebulan tidak tahu. Kalau per minggu total posting
misalnya berapa ratus posting, total engagement-nya bisa 2,000. Bisa
dikali berapa ratus persennya. Selalu. Kita juga pantau Lion. Lion
total post misalnya 50, total engagement-nya hanya 20.
P : Oh begitu?
N : Iya begitu.
P : Iya saya juga sudah bandingkan dengan yang lain.
N : Kalau Garuda jauh lebih tinggi. Karena yang pertama mereka
memang pride of Indonesia, jadi orang walaupun tidak pernah
terbang naik Garuda tetapi mereka pasti senang dengan apapun yang
Garuda keluarkan. Itu yang kita berat untuk lawan. Secara total
engagement, setelah Garuda, kita AirAsia. Setelah itu Citilink dan
Batik Air lomba-lomba untuk di posisi yang ketiga. Batik Air juga
sudah lumayan, social media-nya lumayan sekali.
P : Tapi yang punya ciri khas anak muda hanya AirAsia?
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
150
N : Iya. Setelah itu Citilink dan Batik. Batik sudah mulai bergeliat kalau
dilihat
P : Tetapi dia premium?
N : Secara harga tidak. Harganya bisa bersaing dengan AirAsia. Bahkan
lebih murah terkadang.
P : Kalau corporate advertising dari sini juga atau bagaimana?
N : Itu ada. Jadi kita technical campaign dan branding campaign.
Technical campaign itu yang pakai harga. Branding campaign tidak
ada harga. Jadi kalau technical seperti promo kursi gratis kemarin
kita masuk TV, lalu yang branding itu seperti iklan yang menjual
pesawatnya bagus, pilot pramugarinya.
P : Kalau social media ini tidak ada maksud untuk engage internal?
Pilot? Pramugari?
N : Kita punya channel-nya sendiri untuk yang internal. Nanti dari sini
membantu saya. Misalkan saya butuh posting sesuatu, saya butuh
dari internal juga. Suara internal lumayan. Maksudnya dari sisi
pramugari, pilot.
P : Oh begitu. Baik, sepertinya sudah cukup, Mas.
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
151
Cuplikan hasil wawancara tambahan via e-mail
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
152
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
153
Foto Peneliti dengan Ibnu Ambara pada Sesi Wawancara
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
154
TRANSKRIP WAWANCARA
Narasumber : Kania Kismadi
Head of Social & Content RED Communication
Tanggal : 28 Maret 2017
Tempat : McDonald Kelapa Gading, Jakarta Utara
Tipe : Wawancara langsung
P: Peneliti
N: Narasumber
P : Boleh kakak jelaskan definisi atau gambaran umum singkat
mengenai social media marketing?
N : Social media marketing sebenarnya bagaimana brand melakukan
interaksi dengan konsumennya secara langsung di media sosial
dengan tujuan marketing. Intinya, social media adalah satu-satunya
medium dimana brand bisa berinteraksi dengan user-nya secara dua
arah, tapi bisa juga langsung secara masal. Melalui channel yang
mampu berinteraksi dua arah tersebut, kemudian brand melakukan
segala macam effort marketing.
P : Tetapi kalau sekarang ini, social media marketing intention-nya
tidak hanya untuk penjualan?
N : Iya
P : Selain itu apa lagi?
N : Brand image yang pasti. Yang kedua engagement. Seperti tadi saya
katakan, bedanya social media dengan media lainnya adalah di
bagian engagement. Hanya di social media, brand bisa melakukan
direct engagement dengan user-nya, dengan cara mudah dan cepat.
Jualan nomor sekian sebenarnya. Jualan bukan objektif pertama.
Objektif pertamanya adalah engagement, yang kedua build brand
image, yang ketiga baru jualan.
P : Di banyak perusahaan, SMM berada di bawah marketing
communications. Bagaimana dia bisa terintegrasi dengan peran
dari PR?
N : Di banyak perusahaan iya. Tapi ada juga SMM diletakan di bawah
PR. Bagaiman dia bisa terintegrasi dengan yang lain, pada
praktiknya, ketika kita ada meeting apapun, ketika ada campaign
marketing apapun, orang marcomm dan PR, dan brand team, mereka
kumpul jadi satu. Jadi mereka diskusikan semua sama-sama, agar
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
155
semuanya in-line. Karena terkadang ada juga yang dari event, lalu
yang pasang ATL BTL. Jadi semuanya kumpul jadi satu supaya
terintegrasi. Hanya biasanya yang jadi jangkarnya memang
marcomm. Ketika itu lebih spesifik ke PR, PR yang kasih arahan.
Jadi tergantung saat itu fokusnya mau kemana.
P : Secara garis besar, step-step apa saja yang dilakukan oleh
perusahaan dalam mengimplementasikan SMM?
N : Dalam mengimplementasikan social media marketing?
P : Iya
N : Yang pasti pertama harus set goals-nya dulu, objektifnya. Social
media bisa digunakan oleh siapapun termasuk brand, sehingga pada
akhirnya, kesannya social media jadi ‘Ya udah, semua brand punya,
saya ikutan punya’. Tidak bisa seperti itu. Pertama yang harus
mereka lakukan adalah men-define sebenarnya social media channels
mereka ini dibentuk tujuannya apa. Itu yang paling clear. Nanti dari
sana baru bisa turunin jadi strategi. Setelah mereka tau objektifnya,
mereka buat strateginya, lalu kita buat biasanya campaign di social
media. Misalnya, kalau dulu yang namanya campaign adalah sesuatu
yang berhubungan dengan kuis atau giveaway. Jadi mereka
mengadakan kompetisi berhadiah. Sekarang yang seperti itu sudah
tidak works lagi. Sekarang campaign di social media, campaign
marketing di digital lebih ke video. Mereka buat yang namanya
manifestor video. Jadi seperti video yang menunjukan statement
bahwa ‘Brand saya stands for days’. Setelah itu mereka buat
activation dari sana. Lebih ke movement. Lebih ke gerakan
mengajak orang. Sekarang pergerakannya ke arah emosional. Karena
user kita, di satu sisi mereka butuh yang functional as in promo,
tetapi di sisi lain mereka mulai membangun yang namanya
kedekatan. Tapi masih on-going process.
P : Belum jadi?
N : Belum jadi. Setelah buat campaign, ada juga yang namanya daily
maintainance. Jadi selain kita buat campaign besar, ada harian-harian
lain, istilahnya yang harus dipromosiin. Contoh, AirAsia sekarang
lagi buat campaign ‘Buat Jadi Nyata’. Tetapi selain ‘Buat Jadi
Nyata’, dia punya produk-produk lain yang harus dia promosikan.
Tidak hanya sekadar campaign, tapi dia harus jualan. Istilah kata
add-on kursinya, add-on bagasinya, dan segala macam informasi
lainnya yang dia harus sampaikan ke user-nya. Hal-hal regular
lainnya diturunkan ke dalam sebuah konten. Kita sebutnya editorial
calendar. Jadi itu kalender bulanan, dimana kita plotting konten apa
yang harus tayang di tanggal ini, konten mana yang harus tayang di
tanggal ini, jam berapa, tema bulanannya apa, dan lain-lain
sebagainya. Jadi setelah kamu sudah tahu objektif, kamu buat
strateginya, misalnya kamu turunin jadi campaign, atau kamu
maintenance, setelah itu lakukan engagement. Jadi konten yang
sudah naik, kita harus engage dengan user kita, setelah itu baru
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
156
monitoring. Lihat apakah objektif kita tadi berhasil tercapai atau
tidak.
P : Itu secara garis besarnya. Sekarang saya mulai jabarin ya, kak.
N : Iya
P : Kalau di strategy wheel-nya Breakenridge, pertama ada langkah
audit, research. Apa kakak juga menerapkannya dalam praktik
kerja? Sebelum aktivasi media sosial, audit terlebih dahulu?
N : Audit. Itu audit masuk fase monitoring sebenarnya karena kita
sifatnya on-going. Kecuali kita menangani brand baru.
P : Jadi seperti berkelanjutan?
N : Berkelanjutan. Jadi kalau kita menangani brand baru, itu yang kita
akan lakukan. Kita lakukan audit performance sebelumnya. Kalau
misalnya dia bagus lebih mudah. Kalau dia jelek, kita harus cari tahu
sebenarnya apa yang buat jelek. Setelah kita audit, lalu kita lakukan
proses-proses rantainya. Tapi menurut saya kalau kamu tanya praktik
brand di social media tetap harus ada goals-nya. Kita ‘working to
works what’?
P : Audit ini termasuk untuk meneliti karakter target audience?
Segmentasi? Informasi yang relevan?
N : Iya. Jadi kita mencari tahu, target audience kita, market kita di social
media sebenarnya seperti apa? Mereka consume konten kita yang
seperti apa? Mereka sukanya membicarakan apa? Mereka sukanya
apa?. Basically seperti itu. Target audience yang pasti menjadi core
dalam setiap audit kita, karena kita buat apapun untuk user kita.
P : Bagaimana langkah untuk menentukan target audience?
N : Biasanya itu akan di-define oleh brand. Tiap brand punya segmen
audiens yang beda-beda. Citilink dan AirAsia bisa punya target
market yang beda-beda. Padahal mereka sama-sama low cost. Jadi itu
benar-benar point of differentiation dari setiap brand. Istilah kata
‘Produk saya sama tapi saya mau jual ke market yang berbeda, jadi
saya harus appeal ke market yang berbeda’.
P : Lalu kalau untuk alokasi budget yang efisien biasanya seperti
apa kak? Alokasinya kemana saja?
N : Budget paling besar pasti di placement. Tapi lagi-lagi tergantung
brand. Tapi so far sampai sekarang, budget social media atau apapun
di Indonesia 90 persen masih untuk placement. Dia mau buat social
ads, YouTube ads, segala macam, itu bentuknya ad placement.
Karena prinsipnya adalah sama, ketika kita beriklan, kita ingin
menjangkau as many people as possible gitu. Karena kalau kita
menjangkau hanya sedikit, yang engaged semakin dikit. Dan tujuan
kita adalah buat orang yang engaged juga sebanyak itu. Maka
sebelumnya kita harus menjangkau orang sebanyak mungkin. Jadi
budget paling besar harus di placement.
P : Apa strategi SMM yang tepat untuk brand engagement?
N : Strateginya harus balik lagi ke objektif. Jadi tidak bisa ‘saklek’,
‘Strategi terbaik untuk engage adalah…’. Karena itu semua proses
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
157
yang berkelanjutan. Pertama dimulai dengan inform. Setelah kita
inform, kita harus entertain. Social media harus berhasil meng-
inform, berhasil mengentertain. Jadi supaya orang engaged. Coba
kembali ke kamu. Kamu menikmati konten-konten social media.
Ketika kamu melihat konten di social media, apa sih sebenarnya
konten-konten yang bisa buat kamu engaged? Yang buat kamu mau
like, share, comment, love?
P : Yang inform, entertain.
N : Iya. Kalau itu tidak menyentuh kamu secara emosional, kamu tidak
akan melakukan apapun. Kalau itu hanya sekadar lewat, ya sudah
begitu saja. Jadi,prinsipnya itu berkelanjutan. Ketika orang merasa
ter-inform, lama-lama dia semacam merasa seperti ketergantungan,
‘Saya kalau mau cari info ini, saya akan kesini’. Seperti AirAsia
sekarang. Istilah kata tempat tahu promo terbaik AirAsia hanya
website-nya, hanya social media-nya. Dia berhasil meng-inform
orang, menguatkan positioning bahwa ‘Saya adalah sumber
informasi paling terpercaya tentang airline saya, maka apapun yang
kamu butuh tentang saya, kamu datang ke saya’. Hasilnya dari
informasi itu, orang jadi engaged.
P : Jadi boleh tidak kak, kalau aku tarik kesimpulan kalau
strateginya harus informative, entertaining, untuk emotional
attached si reader atau target audiencenya?
N : Iya. Supaya mereka engaged.
P : Semuanya itu bersumber agar mereka akses website utama?
N : Tidak hanya akses. Tetapi mereka engaged. Segala macam bentuk
engagement. Termasuk mereka meng-share, meng-comment, meng-
klik, beli. Tergantung objektif. Ada juga yang objektifnya bawa
orang untuk nonton video. Jadi tidak harus meng-klik. Ada
objektifnya dia harus sign up. Itu fase berikutnya sebenarnya, kita
sebutnya conversion. Tetapi apapun yang kita lakukan menuju ke
conversion itu, kita harus buat engagement.
P : Sekarang ke taktik lebih rincinya. Kalau sekarang, apa platform
media sosial yang menurut kakak paling bagus untuk SMM di
Indonesia?
N : Facebook.
P : Facebook masih menang?
N : Masih.
P : Kalau Facebook demografinya bagaimana, kak?
N : Demografinya antara dia ABG usia 13 sampai 17 tahun, atau ibu-ibu
usia 25-35 tahun. Itu yang paling banyak. Kelas yang hidup di kota-
kota kedua, jadi bukan Jakarta, Bandung, Medan. Tapi dia bisa jadi
tinggalnya di Karawang, di Bekasi, di Depok.
P : Itu ada alasannya ?
N : Begini. Facebook sempat booming sekali. Kamu main Facebook
dulu, sekarang kamu masih main Facebook?
P : Tidak.
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
158
N : Kamu shifting kan. Istilah kata, orang-orang keren menemukan
platform baru, dia shifting. Orang-orang yang ketinggalan keren, dia
akan mulai dulu dari yang pertama, Facebook. Lama-lama dia bosan
dengan Facebook, dia akan masuk ke fase berikutnya. Nanti ketika
orang lapis kedua sudah mulai meninggalkan Facebook, orang lapis
ketiga akan menghidupi Facebook. Kenyataannya adalah bahwa
orang-orang yang tinggal di lapis kedua, lapis ketiga, lapis keempat,
dan seterusnya, itu lebih banyak daripada yang tinggal di lapis
pertama. Orang-orang yang di lapis pertama tidak terlalu main di
social media, atau seandaipun mereka main social media, mereka
tidak akan engaged dengan brand apapun. Mereka mencari brand
hanya ketika mereka butuh. Hanya orang-orang lapis kedua, ketiga,
dan seterusnya, mereka butuh hiburan. Jadi mereka butuh informasi
baru. Hanya, di Facebook pada khususnya tidak hanya lapis kedua,
lapis pertama ada. Mama kamu masih main social media?
P : Dulu Facebook, sekarang tidak.
N : Ada beberapa mama-mama, dia lagi suka sekali main Facebook. Jadi
fasenya itu benar-benar bergerak. Mama saya dan teman-temannya
dia semua lagi suka sekali main Facebook.
P : Berarti yang sudah berumur?
N : Iya. Seperti tadi aku bilang, chance paling besar itu di 13-17, dan di
25-35. Di 13-17 itu bisa male/female, dan 25-35 itu moms, orang-
orang tua yang 35 ke atas, yang butuh lihat update.Istilah kata
silahturahmi dengan teman-teman zaman SMA.
P : Kalau untuk jenis konten di Facebook bisa secara general atau
tergantung objektif juga?
N : Seperti misalnya AirAsia, dia di Facebook kelihatan sekali sifatnya
hanya informing. Dulu zaman saya tangani Mandala, mereka sering
sekali buat konten yang hanya bertanya ‘Kamu pernah kesini?’.
Orang-orang dengan sukarela men-share foto mereka disana. Jadi
somehow orang Facebook suka sharing. Tapi ini balik lagi kalau
kamu tanya jenis kontennya, itu benar-benar tergantung target
market. Kalau misalnya target market-nya suka engagement, di
Facebook kita bisa kasih konten engagement. Tapi yang paling
‘saklek’ praktiknya, Facebook sifatnya informing, Instagram seperti
‘You tell a story, you engage people’, di Twitter customer service.
Itu praktik paling standard.
P : Pada umumnya?
N : Pada umumnya. Tapi lagi-lagi kalau brand kamu market-nya besar di
Facebook, maka kamu harus engagement di Facebook.
P : Tadi demografi Facebook. Kalau demografi Instagram?
N : Instagram lebih broad , lebih variatif. Dan Instagram belum pernah
mengeluarkan data user mereka sebenarnya paling besar di wilayah
mana, umur berapa. Kamu follow LambeTurah?
P : Iya
N : Itu dia. LambeTurah adalah salah satu kasus yang membuktikan
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
159
bahwa user Instagram begitu beragam. Dari muda sampai tua, dari
kelas A sampai kelas D.
P : Geografinya juga kita tidak kebaca ya?
N : Iya. Jadi Instagram sekarang masih benar-benar belum kebaca user
mereka besar dimana. Karena kalau misalnya kita bilang Instagram
buat yang high profile, tidak juga. Kamu lihat LambeTurah, online
shop bergeraknya di Instagram. Jadi Instagram user-nya masih
sangat variatif dan belum terbaca.
P : Kalau Twitter bagaimana kak demografinya?
N : Twitter ada di tengah-tengah antara Facebook dan Instagram. Jadi
kebanyakan pemuda-pemudi, usianya mungkin 17-an, SMA, kuliah
awal, tapi ada juga yang kerja. Tapi menurut saya, so far, biasanya
sebatas di usia 30, 32, 35, sekitar usia 30 pertengahan. Yang ‘alay;
tetap masih ada dan mereka yang suka berbicara juga ada. Makanya
ada kelompok celeb tweet yang hingga sekarang masih hidup. Kalau
menurut teman-teman saya, saya perhatikan juga, sempat ada fase
dimana Twitter lagi turun sekali, sepi. Tapi beberapa kasus terakhir,
seperti di kantor, membuktikan bahwa sebenarnya Twitter masih
hidup, tapi tujuannya berbeda. Selain customer care, yang bisa kita
buat untuk membesarkan Twitter adalah issue. Kalau kita punya
issue yang bisa kita buat besar, kita masukin ke Twitter. Contoh,
kamu ikutin berita perkembangan tarif taksi online yang mau
berubah?
P : Iya
N : Itu sekarang lagi dibuat besar di Twitter. Karena Twitter adalah salah
satu medium utama dimana suara orang bisa didengar dan dilihat,
dibanding Facebook. Jadi beragam suara orang, dikumpulin satu, jadi
trending topic. Trending topic itu attract siapapun. Tapi, target
market-nya lagi-lagi beragam. Tidak bisa di-define.
P : Apa jenis konten yang paling bisa untuk men-engaged audiens?
N : Beda-beda. Balik lagi seperti pertanyaan sebelumnya yang kamu
tanya strategi apa yang works. Jadi kalau di Facebook biasanya
video, lalu image-image. Tapi kalau kamu tanya konten secara garis
besar, Indonesia suka konten yang sifatnya komedi, atau yang
menjelek-jelekan orang, atau yang sifatnya memberi bantuan ke
orang lain. Kalau kamu liat LambeTurah lagi, dia sering sekali meng-
share cerita sedih dan menggalang orang untuk membantu. Tipe-tipe
konten seperti itu yang paling works di Indonesia.
P : Kalau tips interaksi dengan audience, kak? Mungkin setiap
pertanyaan harus dijawab? Atau tidak setiap pertanyaan harus
dijawab?
N : Tidak semua pertanyaan harus dijawab. Jadi biasanya kita
mengklasifikasikan. Misalnya ada bentuk inquiry atau engagement
apa saja. Kalau bentuknya pertanyaan, pertanyaannya terkait apa?
Terkait brand atau pertanyaan yang sembarangan? Itu harus kita
apakan. Jadi ada orang yang tanya, kita jawab. Tapi kalau misalnya
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
160
ada orang yang complain, jangan dihapus. Kalau kita mau engage,
basic-nya harus datang dari kita sebagai brand yang harus meng-
encourage orang untuk mau engaged. Tapi kalau tips engagement
standar saja, brand tuh harus bisa memposisikan diri sebagai
pengguna, pengguna maunya bagaimana. Sebenarnya itu tips paling
utama.
P : Kalau selain konten foto, video, dan yang lain-lain, apa stimulasi
yang bagus agar audiens mau berpartisipasi di media sosial
brand?
N : Kedekatan cerita. Jadi foto dan video hanya bentuk. Tapi yang dapat
membuat orang tergerak, lagi-lagi adalah cerita. Ada relevansi antara
konten apapun yang dia lihat, dengan diri dia sendiri. Kamu pernah
share sesuatu dari social media?
P : Iya
N : Kenapa kamu share?
P : Karena saya suka ceritanya, juga menyentuh terkadang.
N : Iya kan? Maksudnya harus ada faktor yang menyentuh ke hati.
Makanya seperti tadi saya katakan, harus ada relevansi antara story
apapun yang kita angkat di sana dengan story actual human. Jadi
harus ada insight manusianya ketika kita buat konten. Itu yang bisa
men-trigger orang untuk melakukan engagement. Jadi k kamu harus
buat konten yang menyentuh hati orang agar mereka engaged.
Intinya itu.
P : Jarak waktu unggahan yang bagus berapa lama sekali?
N : Sehari biasanya beda-beda. Kalau Facebook dari hasil studi lembaga
survei di luar sana, semakin kita jarang post, hasilnya semakin bagus.
Tapi, lagi-lagi itu praktiknya berbeda antar brand dan market. Jadi
misalnya AirAsia di Indonesia dengan AirAsia Malaysia bisa
berbeda jumlah postingan dan lainnya. Tapi pada praktiknya
kebanyakan brand rerkadang seminggu empat kali, seminggu tiga
kali, atau seminggu tujuh kali. Tapi berbeda dengan Instagram. Kalau
Instagram kamu harus konstan. Prinsipnya Instagram adalah ketika
kamu komit untuk sehari untuk mengeluarkan tiga konten, maka
kamu tiap hari harus mengeluarkan tiga konten. Karena Instagram
sekarang dengan algoritmanya yang baru, semakin sering kamu
interaksi dengan satu akun, dia akan muncul paling atas. Kalau kita
buat kontennya jarang-jarang, kesempatan kita untuk naik ke atas
jadi sulit. Jadi kita harus konsisten. Kuncinya adalah itu. Kalau
Facebook memfaktorkan kalay kamu keseringan justru buat orang
bosan. Dan misalnya seminggu ada tujuh, lima dari tujuh konten itu
performance-nya jelek, yang bagus hanya dua, maka berikut-
berikutnya kesempatan kamu untuk dapat kesempatan tayang di news
feed fans itu berkurang. Kalau Twitter, tidak ada aturan pastinya.
Tapi kalau ditanya waktu, berapa lama sekali, itu namanya frekuensi
atau posting time. Posting time biasanya pagi menjelang orang-orang
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
161
berangkat kerja atau siang menjelang sore ketika orang lagi break.
Itu biasanya lagi jenuh-jenuhnya, mereka buka media sosial. Atau
malam sebelum orang tidur.
P : Kalau masuk ke monitoring kak, apa Monitoring system dan tools
yang digunakan?
N : Banyak sekali tools-tools itu sekarang. Saya tidak tahu bedanya
antara satu tools dengan tools lainnya selain harga.
P : Seperti Google Analytics?
N : Kita tidak bisa pakai Google Analytics kalau social media. Tapi yang
paling standar, pakai Facebook Insight, Twitter Analytics, dan
Instagram Analytics. Itu yang native-nya langsung dari platformnya.
YouTube juga ada insight-nya. Tapi di luar itu, biasanya yang paling
terkenal Social Bakers. Dia bisa kasih lihat data antara brand kita
dengan kompetitor bagaimana performance-nya. Itu bantu tracking
sekali. Tapi selain yang monitoring untuk hasil, performance, kita
juga punya yang namanya untuk social listening. Social listening itu
kita set keywords-keywords yang related dengan brand kita untuk
tahu apa yang dibicarakan orang terkait brand kita dan keyword-
keyword-nya.
P : Kompetitor juga?
N : Kompetitor juga. Jadi kita pakai tools. Contoh social listening tools
banyak sekali. Salah satu yang paling populer Radiant Six. Tapi
mahal sekali. Tidak semua brand menyanggupi Radiant Six. Selain
itu ada yang namanya Pool Sar, atau Tweet Rage, Union Matrix,
Simply Measured. Tapi biasanya pembeda antara satu tools dengan
tools lainnya sedikit sekali.
P : Kalau jarak waktu ideal untuk monitoring berapa lama sekali?
N : Kalau monitoring engagement, kita maunya maksimal dibalas satu
jam.Tapi kalau monitoring keywords harus dilakukan secara konstan.
Jadi at least sehari sekali. Tapi kalau kita lagi sibuk tidak sehari
sekali, jadi sebulan sekali. Kalau idealnya sehari sekali. Tiap hari.
Jadi ada orang yang khusus memantau itu semua. Beberapa brand
punya digital comment center. Airlines, telco pasti punya. Dia punya
banyak layar yang memonitor obrolan orang.
P : Itu sama seperti vendor?
N : Vendor gimana?
P : Jadi kalau AirAsia punya vendor monitoring
N : Iya. Seperti itu. Itu biasanya agency. Seperti agency kita Red Comm
melakukan itu, tapi kita belum punya layar sebanyak itu karena tidak
semua brand kita punya kebutuhan ke arah sana.
P : Measurement. Apakah media sosial ada indikator measurement-
nya?
N : Ada.
P : ROI?
N : Ada. Tapi balik lagi kalau ROI yang bisa kita kalkulasikan kalau kita
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
162
put media spending.
P : Paid?
N : Iya. Kemarin sebenarnya ada cara. Tapi itu tidak tepat. Kamu di
Praxis mengerti PR value?
P : Iya
N : Kurang lebih cara kerjanya kalau kita tidak ada media spending
seperti PR value. PR value kan kita sebar berita di media, kita hanya
asumsi media ini di-read berapa, harganya berapa. Kurang lebih
sama seperti itu. Jadi kalau kita tidak punya placement, kita
kalkulasikan video views berapa, engagement-nya seperti like,
comment berapa, kita jumlahkan, bagi kira-kira harga per satu view-
nya berapa, harga per satu engagement-nya berapa dari praktik brand
lain. Jadi kita konversikan sendiri. Itu kamu bisa hitung ROI-nya.
Tapi kalau misalkan kamu pakai placement, kita pasang ads misalnya
budget lima juta sehari. Dengan lima juta sehari kita dapat berapa
banyak engagement? Itu bisa dihitung Return On Engagement-nya.
Return On Investment-nya juga bisa kelihatan. Jadi kita tahu cost per
engagemet-nya berapa? Cost per click-nya berapa? Cost per view-nya
berapa?. Itu kelihatan sekali.
P : Lalu kalau sistem evaluasi, apakah sama dengan audit ?
N : Sistem evaluasi seperti tadi saya bilang. Audit kita melakukan
sebelum, tapi tiap bulan kita lakukan monitoring, atau evaluasi.
Sebenarnya monitoring dan evaluasi sama saja. Kita melihat
performance selama sebulan, kita lihat biasanya naik atau turun.
Kalau naik bisa tiba-tiba, biasanya kita kenaikan standar 1,000 fans
per bulan, tiba-tiba bulan ini kita bisa dapat 5,000 padahal kita tidak
pasang ads, apa yang terjadi? Kita lihat apa yang ada di hari itu yang
membuat lompatan terbesar? Kita cari konten mana yang disukai,
konten mana dengan engagement tertinggi, konten mana yang
engagement-nya paling kecil. Kita buat kategori, itu yang jadi hasil
evaluasi kita. Lalu kita buat action plan dari hasil report,
kesimpulannya bagaimana.
P : Kalau influencer itu masih efektif, kak?
N : Influencer dari tahun lalu lagi rising sekali sampai tahun ini.
Sebenarnya influencer sudah mulai naik dari 2011. Tapi 2011 sampai
2015 influencer masih dipergunakan hanya sekadar ‘kamu promosiin
aja deh’. Tapi per 2016, 2017, influencer ingin diajak ‘a part of the
campaign’. Mereka jadi content creator kita sebutnya. Mereka create
content untuk mempromosikan brand, tapi di sisi lain membantu
personal branding mereka juga. Masih efektif dalam tujuan
awareness dan engagement. Mostly di sana. Kalau sampai ada
influencer yang men-trigger orang untuk beli, itu belum ada
studinya.
P : Oke itu saja kak.
N : Sudah?
P : Sudah sampai nomor 15. Thank you ya kak.
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
163
N : Iya sama-sama. Ada yang kurang jelas?
P : Jelas semua. Mungkin nanti kalau misalnya ada yang kurang,
aku e-mail kakak. Boleh?
N : Boleh-boleh.
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
164
Foto Peneliti dengan Kania Kismadi pada Sesi Wawancara
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
165
TRANSKRIP WAWANCARA
Narasumber : Elki Hendria
Strategic Planning Director Phibious Indonesia
Tanggal : 22 Mei 2017
Tempat : Kantor Phibious Group
MD Place, Tower 1, 2nd
Floor
Jl. Setiabudi Selatan No 7, Jakarta Selatan
Tipe : Wawancara langsung
P: Peneliti
N: Narasumber
P : Mas, boleh singkat saja jelaskan lingkup kerjanya bagaimana?
N : Oke. Saya Elki Hendria. Saya adalah planning director-nya untuk
Phibious Indonesia dan sudah setahun disini. Saya sudah di
advertising sekitar hampir sembilan tahun, sudah pindah beberapa
agency. Mulai dari Leo Burnett, freelance juga di beberapa agency,
di Filipin juga ada, Semiotica, terus juga di Irish waktu itu sempat
freelance. Ya sampai sini akhirnya dari berbagai company. Terakhir
saya di Phibious.
P : Kalau lingkup kerjanya Mas? Apa saja yang Mas tangani?
N : Jadi planning director itu bertanggung jawab terhadap segala bentuk
brand strategy, terutama strategi komunikasi untuk client-client yang
kita handle disini karena kita ada beberapa client, mulai dari FMCG,
beauty, tobacco. Jadi setiap agency itu punya beberapa brand yang
mereka handle, departemen strategy and planning itu bertanggung
jawab untuk memberikan input dari sebuah brief. Misalkan client ada
problem di marketing, tim strategy memberikan strategi marketing
apa yang cocok, baru kita buatin plan, dan kita present ke client.
P : Kalau disini 360 ya, Mas?
N : Kalau disini kita integrated. Tapi mostly bisnis yang berkembang
sekarang 80 persen digital.
P : Digital?
N : Digital. Social media dan segala macamnya. Digital dan hal semua
yang berhubungan dengan digital.
P : Kalau client airlines sudah pernah Mas?
N : Client airlines mungkin di grup ya. Itu kita pernah handle Vietnam
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
166
Airlines. Tapi kalau di Indonesia kita belum ada.
P : Oke. Terus kita masuk ke brand engagement-nya ya, Mas.
N : Oh saya pribadi dulu pernah AirAsia. Dulu waktu saya di Art Leo
Burnett. Saya agency-nya yang bikin travel fair pertama kali. Jadi
dulu itu ada bosnya Pak Widijastoro. Itu 2011, 2012. Saya yang
mempionirkan pertama kali AirAsia travel fair.
P : Oh Leo Burnett bukan advertising only yah? Tapi juga ada
activation?
N : Ada activation dulu. Zaman dulu 2011. Jadi Leo Burnett itu punya
activation agency namanya Art Alpha.
P : Oh anak perusahaannya?
N : Iya anak perusahaannya. Jadi dia ada PR dan lain-lain. Art Alpha itu
dulu meng-handle AirAsia untuk berbagai macem activation-nya.
P : Kalau pemahaman Mas mengenai brand engagement itu apa?
N : Brand engagement itu adalah sesuatu yang dimiliki brand, pengaruh
yang dimiliki brand untuk bisa menggerakan audiensnya.
Engagement is something that consumer will do for a brand, even
though they don’t have their brand. Maksudnya belum menjadi
kustomer brand tersebut tapi dia bisa membuat pengaruh terhadap
brand itu sendiri. Jadi saling memberikan pengaruh. Konsumen kasih
pengaruh, brand kasih pengaruh. That’s how the engagement works.
P : Kalau dari sisi pelanggan terhadap brand. Brand engagement ini
dalam bentuk apa? Mungkinkah dia emotional attached atau dia
tunjukkan melalui participation?
N : Engagement itu bisa banyak. Engagement itu bisa dari feedback
P : Which is kalau misalkan dia di social media dia bicara?
N : Dia bicara, dia marah, dia complain, it’s basically they are caring
about the brand. Mereka peduli karena mereka mau menggunakan
service brand tersebut, tapi ternyata service tersebut tidak berjalan
dengan baik. Kritik itu adalah engagement tertinggi sebenarnya.
Kritik itu adalah it’s about how you really care about the brand.
Kamu ingin itu diperbaiki. Kamu pengen brand itu lebih baik. ‘Mas
customer service-nya kok gak bisa ditelfon sih?’. Jadi konsumen
memberi kontribusi kepada brand-nya untuk menjadi lebih baik.
Which is itu hal yang baik sebenarnya. Tapi kalau kritik terlalu
banyak jadi tidak baik. Kritik yang berulang-ulang. Tapi it’s part of
the engagement. Yang kedua adalah engagement, dimana orang yang
berhasil, orang yang puas akan layanan suatu brand, dia akan merasa
‘this brand works for me and it accomplishes anything for me’.
Disitu terbentuk suatu engagement antara brand dengan konsumen.
For example, I love iPhone. So I engaged with all of the Apple’s
products. Saya sudah tahu how it works, how it solves problem.
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
167
P : Kalau mengenai yang kedua. Itu terbentuk hanya karena kita
love as functional, utility-nya dia, atau karena kita bisa ‘saya
sangat into dengan brand tersebut, karena brand tersebut
mencerminkan diri saya’?
N : Ya bisa jadi salah satu. Jadi begini. Kalau di dalam bisnis itu ada
namanya Return Of Investment. ROI. Bagaimana brand itu
mengeluarkan uang, dari segi marketing dia berhasil dan investment-
nya kembali. Kalau di engagement, dia namanya Return Of
Involvement. ROI juga tapi involvement. Bagaimana marketing yang
dia lakukan bisa meningkatkan keterlibatan konsumen untuk
mengembangkan produknya dia. Involved. So I participate, I
involved on everything Apple related. Brand yang kamu suka
misalnya apa. Taruhlah kue. Misalkan Pablo. Karena saking
kerennya kue itu, saking enaknya, semua orang rela ikut ngantri,
posting-posting, marketing terjadi dengan sendirinya. People will
involve volunteer to promote that brand. Jadi ada valuasi namanya
return of involvement di dalam engagement, seberapa besar
konsumen bisa involved untuk defending the brand.
P : Defend?
N : Defend ataupun membela ataupun praising the brand, mereka
memuji. ‘Wah ini BMW emang paling keren!’, Saya tidak terima
kalau BMW dikata-katain oleh teman ‘Wah BMW mah mobilnya
jelek’. No, for me BMW is the best car. I use it for five years, so
secara tidak langsung I defend the brand, I involved on protecting the
brand. Ya kan? Secara tidak langsung karena saya sudah lama
menggunakan BMW. Ketika temen saya bilang BMW jelek, padahal
saya bukan orang BMW. You got the point right?
P : Ya ya.
N : So I defend the brand. ‘Oh no! BMW is the best car. I use it for five
years’. Saya tidak terima kalau ada yang bilang BMW jelek. So,
people will involve on creating engagement to other people. Meng-
influence other people. Karena brand itu sebenarnya tidak meng-
influence people. People meng-influence people.
P : Jadi seperti word-of-mouth?
N : Ya. Sekarang seperti itu. Kamu jadi beli segala sesuatu karena ada
orang lain yang meng-influence kamu. Orang beli Pablo semua ikut
beli Pablo.
P : Tapi tadi Mas bilang brand engagement bisa juga terbentuk pada
yang belum jadi pelanggan, belum jadi konsumen.
N : Ya bisa.
P : Itu dalam bentuk hal yang sama? Dengan yang tadi advocating
atau bagaimana?
N : Ada produk yang ingin kamu coba? Misalnya Mie Mewah. ‘Kayak
apa sih rasanya Mie Mewah?’ Saya sudah mulai bertanya-tanya, saya
googling, karena saya belum coba, orang-orang sudah coba. Secara
tidak langsung I’m engaged with the brand.
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
168
P : Itu engaged tahap satu?
N : Iya engaged. Jadi orang mulai mencari tahu how to communicate
with the brand. I want to know more about Mie Mewah. I never eat
Mie Mewah. Everybody is eating it. I want to know about Mie
Mewah. So I’m communicating with things related to the brand. So I
want to be engaged with the brand. Even though I’m never using it. I
want to using it. Begitu kan? Ada Samsung S8. Handphone-nya
belum keluar tapi orang sudah ‘I feel like engaged. Wah it’s the best
technology they have’. Ya kan? Orang membicarakan, orang
googling. So they want to engage. Mereka bertanya-tanya di LINE,
di Twitter. Mereka mau engage dengan brand-nya. Walaupun
mungkin mereka baru belinya tiga bulan lagi, belum punya uangnya.
Mungkin tahun depan. But engagement already happened. Even
though you are not using the brand.
P : Kalau dari segi brand, mengapa brand engagement ini penting
untuk dibentuk?
N : Perlu. Karena yang saya bilang tadi. This is also investment. Return
Of Investment itu dan kelangsungan sebuah brand untuk hidup
adalah seberapa tingginya engagement the consumer with the brand.
Jadi kalau brand sudah tidak ada yang membicarakan lagi, itu sudah
big question.
P : Dilupakan?
N : Iya dilupakan. Didiamkan. ‘Kok gak keliatan ya ini? Makanan ini
kemana sih?’. So, people don’t talk about it anymore, engagement-
nya kecil, ya sudah cuek saja begitu. Dan investment akhirnya
terbuang sia-sia, involvement orang tidak ada participate. Jadi,
sekecil apapun komunikasi brand, budget, tapi brand itu harus ber-
communicate secara frequent, karena agar brand tetap hidup harus
tetap berkomunikasi.
P : Berkomunikasi which is itu?
N : Misalkan ada brand kecil, fashion, tapi dia tidak punya uang. At least
you post Facebook, you post Instagram. Sekecil apapun komunikasi
harus tetap dilakukan.
P : Two-way communication?
N : Mau two-way ataupun one-way it’s ok, yang penting that brand is
communicating. You are talking. You are not silent. Diam saja tiga
bulan Facebook tidak di-update.
P : Tadi brand engagement bisa ke advocating. Kalau loyalitas?
N : Loyalitas sama. Prosesnya adalah begitu satu orang menggunakan
produk, sekali. I use BMW car and then I feel satisfy with BMW. So
the next time I buy a car, I’m using BMW. Dari situ I’m becoming
loyal to BMW. I don’t want to buy another car except BMW. And I
talk to another people to use BMW also. Jadi loyalitas yang
terbangun dari satu konsumen, bisa menularkan loyalitas kepada
orang lain. Or push loyalty. Ya misalnya karena satu keluarga jadi
istri saya, saya belikan BMW juga. I’m pushing the loyalty, itu juga
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
169
bisa. Tapi loyalty is contagious actually. Apalagi kalau dikasih
seperti, if the brand gives loyalty reward.
P : CRM?
N : CRM jatuhnya. Itu bisa dikaitkan dengan yang lain-lain.
P : Kalau menurut Mas apa langkah strategis untuk membangun
brand engagement?
N : Brand engagement langkah strategisnya adalah kalau di digital,
sering-sering komunikasi, build more conversation. Jadi jangan
bicara sendiri. Sering-sering tanya dengan customer, seperti‘Hi guys,
kalian hari ini udah makan apa?’.
P : Memancing?
N : Iya. Build conversation not monolog. Harus lebih dialog. Jadi kalau
kita tanya ke mereka, jangan kita bicara sendiri berasa hebat. Tapi
kalau sering ditanya tentang bagaimana kabar customer kita, itu
secara tidak langsung kita perhatian ke mereka dan itu bisa
meningkatkan engagement juga. So, two-way communication is
important, dan juga build conversation itu yang paling penting. Build
conversation itu bukan hanya asal bicara ya. Build conversation itu
adalah being aware on anything what’s happened. Jadi harus relevan
juga bicaranya.
P : Relevan dengan target audience kita?
N : Yes. Target audience-nya pengguna mobil mewah masa bicarainnya
beras? Tidak mungkin kan. So, if you using iPhone bicarainnya
teknologi. Conversation itu seperti kamu cari bahan percakapan yang
tepat. Seperti kamu ketemu orang yang suka golf, so you will talk
about golf, right? You are starting conversation about golf.
P : Biar menyambung ya.
N : Biar menyambung, sama dengan brand. You want to build brand
engagement, kamu bicaranya harus menyambung dengan customer.
Kalau tiba-tiba kamu bicara politik, ‘Who are you?’. Tidak relevan
kan.
P : Kalau media sosial untuk membangun brand engagement sudah
pasti ya, Mas?
N : Iya sudah pasti.
P : Kalau di media sosial sendiri, tadi kata Mas kan dialog yang
relevan poinnya. Terus saya mau mencocokan saja dengan yang
sudah dilakukan AirAsia. Misalkan dia selain mencari info yang
relevan dengan target audience, dia juga menyetarakan seperti
gaya bahasanya, gaya kontennya?
N : Ya dia mengikuti anak-anak muda bicaranya begitu kan, ‘Hai sobat’
P : Santai.
N : Ya. Jangan kaku.
P : Kalau penerapan di media sosial sendiri Mas, benar tidak kita
lebih soft-selling? Harus seperti itu?
N : Yes. Soft-selling penting. Tapi harus diketahui bahwa orang
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
170
Indonesia itu very literal. Kita harus dikasih unjuk seperti apa itu
bentuk marketing. That’s why iklan-iklan di Indonesia itu semuanya
menunjukan barangnya. ‘Belilah harga segini!’
P : Karena masih culture-nya begitu? Taste?
N : Ya. Jadi engagement itu dipengaruhi juga sama kultur penerimaan
message. Di Indonesia itu everything is very literal. Jadi kadang-
kadang soft-selling itu agak-agak. Penting soft-selling harus, tapi
mungkin sedikit harus dijelaskan, ‘Jadi sebenarnya kamu mau apa sih
bicara gini? Oh kamu mau jualan tiket?’ Ujung-ujungnya begitu. ‘Ya
bilang dong dari tadi gak usah ngelantur kemana-mana’. Mereka
akan bilangnya kita ‘ngelantur’ kalau soft-selling. Tapi kalau hard-
selling ‘Ah gila jualan banget’. Jadi harus menemukan formulasi
yang tepat untuk membangun conversation antara soft-selling dan
hard-selling.
P : Kalau masuk ke penerapan digitalnya Mas, Facebook,
Instagram, dan Twitter. In general masing-masing platform
tersebut dibedakan tidak tujuan pemakaiannya apa?
N : Pasti. Pasti beda.
P : Kalau Facebook lebih kemana?
N : Facebook itu lebih rich yah, lebih kaya. Jadi kalau kita mau kasih
konten seperti video, announcement, consumer promo, itu Facebook
sangat tepat karena dia bisa semua media. Video, foto, GIF, animasi,
you name it, dia semua bisa ditaruh. Jadi kalau informasi yang bobot
kontennya banyak, ataupun keren, itu bisa di situ. Tapi kalau Twitter
itu dia lebih ke fast response. Lebih ke single message.
P : Customer care?
N : Customer care, CRM bisa di situ. Jadi untuk melayani keluhan
Facebook tidak akan cocok karena semua orang bisa baca langsung
di situ dan terlalu besar platformnya. Tapi kalau Twitter, bisa
langsung bales, bisa DM.
P : Karena cepatnya?
N : Iya. Tapi Twitter juga menarik untuk polling karena dia ada Twitter
polling kan. Jadi kalau kita mau tanya apa kesukaan customer kita,
kita bisa lempar di situ. ‘Kalian lebih suka pake bagasi apa enggak
sih?’, bisa lempar kalau di AirAsia kan.
P : Kalau Instagram?
N : Instagram itu very imagery. Imagery itu adalah sangat visual minded.
Jadi jangan berharap main kata-kata yang panjang di situ.
P : Karena orang lihat visualnya?
N : Kasih gambar yang keren, kasih video yang keren, ataupun benar-
benar copy yang keren, message di situ. Kalau Instagram itu tempat
untuk visual learning sebenarnya.
P : Kalau target audience masing-masing platform bisa dibedakan
tidak Mas sekarang? Demografi maksudnya. Antara ketiga itu
sudah bisa dibedakan belum?
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
171
N : Demografi bisa dibedakan. Tapi umumnya akan sama yang main
Facebook, main Instagram, itu kurang lebih akan bersinggungan
hampir sama. Hanya mereka memfungsikan masing-masing beda
saja. Instagram saya buat lihat gambar-gambar keren misalnya. Tapi
kalau Facebook saya buat melihat video-video lucu yang di-share
orang. Konten-konten viral lebih di Facebook. Instagram jarang
konten viral.
P : Terus kalau misalkan Mas mau membangun brand engagement
di media sosial, konten jenis apa saja yang harus dimasukan?
N : Konten? Konten jenis apa? Pertama adalah konten yang relevan,
tidak banyak basa-basi. Yang kedua adalah konten yang membantu
audiens. Makanya konten-konten infografik sebenarnya bagus. Yang
mengedukasi customer, tidak semua customer tahu tentang airlines.
Misalnya kalau AirAsia itu harus dikasih tahu ketinggian berapa,
bagaimana proses take-off, proses landing, proses bagasi, itu mereka
perlu tahu. Jadi setiap mereka mau travelling mereka lebih siap. Jadi
konten-konten yang menarik di dunianya, tergantung dunia masing-
masing industri. Kalau airlines berarti kasih fakta-fakta tentang
airlines yang selama ini orang tidak tahu. Misalkan, urusan paspor,
urusan bagasi, banyak hal yang bisa diambil. Jadi dibuat konten
menarik tentang dunianya dan industrinya. Yang terakhir adalah
konten yang medianya tidak monoton. Jadi tidak cuman foto saja.
Bisa dikasih video singkat panduan pesan tiket, tukar boarding pass.
P : Kalau kuis masih masuk tidak mas?
N : Kuis masuk. Jadi gini, yang terakhir saya mau bilang adalah konten
yang mengajak audiensnya.
P : Participation?
N : Participation. Jadi ada yang namanya UGC kalau kamu tahu itu
adalah User Generated Content. Jadi bagaimana kita buat konten
yang bisa di-generate dari partisipasi masing-masing audiens. For
example, kita buat kuis misalnya, ‘Gimana sih travelling tips
menurut kamu?’. Mereka akan foto masing-masing barang yang
mereka packing, yang terbaik bisa dipilih. Jadi kita ajak mereka
untuk ikut serta dalam memberi tips untuk orang. Partisipasi pasti.
User generated content menurut saya paling penting.
P : Tadi Mas ada bahas Return Of Involvement. Bagaimana cara
mengukurnya kalau di media sosial?
N : Cara mengukurnya jadi di setiap media sosial itu ada engagement
rate. Itu bisa diambil dari masing-masing fitur social media
engagement rate-nya, di Facebook, Instagram, ataupun Twitter. Bisa
juga kita pakai software lagi, seperti Social Bakers, Fanpage Karma,
banyak itu social tools. Itu bisa dilihat dari situ.
P : Social listening tools juga yah?
N : Social listening tools itu penting. Jadi itu bisa terukur sampai mana
orang mau involved, sama satu lagi kalau UGC, itu kamu bisa cek
submission-nya berapa banyak. For example, AirAsia buat kuis
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
172
meminta submit foto tips travel misalnya. Ternyata orang yang
upload fotonya ada 500 foto yang mention, berarti involvement-nya
orang cukup tinggi. Orang cukup effort. Jadi involvement ini bisa
tinggi karena satu temanya menarik, kedua effort-nya tidak terlalu
banyak, yang ketiga hadiahnya. Pasti. Kalau kamu kasih iPhone 7 itu
orang akan effort dan itu involvement-nya akan sangat tinggi. Tapi
kalau kamu hadiah tiket Dufan, involvement rate-nya akan low.
Brand itu harus tahu kenapa orang mau involved?. Oke satu hadiah
besar, iPhone. Kedua effort-nya tidak susah, prosesnya hanya upload
mention, share. Ketiga temanya menarik. Itu harus dipikirkan. Kalau
tidak involvement akan kecil. Karena return of involvement itu
melibatkan budget yang akan keluar dari brand kalau mau bikin
campaign kan. Ada budget hadiah yang dikeluarkan. ‘Saya keluar
iPhone nih segini banyak. Tapi entar orang mau ikutan gak? Kalau
orang gak ada yang ikutan, sia-sia saya beli iPhone’. Jadi return of
investment dan involvement-nya kecil. ‘Entar brand saya mention-
nya dikit. Yah sia-sia aja saya keluar duit buat hadiah’.
P : Tapi biasanya per satu like, per satu share, itu ada kalkulasi?
N : Ya itu engagement rate itu ada kalkulasinya. Kalau kamu cek di
Social Bakers itu bisa. Tapi yang paling penting adalah seberapa
besar orang akan membuat konten dari brand kamu.
P : Yang tadi UGC?
N : User generated content. Kalau ternyata ‘Yah ini kok sepi amat nih
yang upload cuman sedikit’. Berarti something wrong with your
communication.
P : Kalau peran media sosial di industri travel and airline sekarang
ini, dan di masa depan, itu bagaimana mas?
N : Itu adalah kunci komunikasi travel online karena nanti tidak ada lagi
tiket offline. Tidak ada lagi booking tiket mengantri. Jadi semuanya
bisa dipesan di social media. Bahkan nanti semua sudah terintegrasi
dengan notification on screen. Jadi menurut saya, nanti bisnis dan
social media airline harus jadi satu. Brand business and
communication business, social media, harus jadi satu.
P : Kalau dibandingkan dengan industri lain seperti FMCG,
pengaruh media sosialnya lebih besar di airline atau di industri
lain?
N : Kalau di FMCG, orang journey-nya harus ke fisik. Saya lihat
posting-an sampo, oke saya harus beli sampo di supermarket. So I
have the journey which is in the store. Tapi kalau airlines, I see the
travel destination, I just book with the application and then done.
Jadi influence-nya sebenarnya lebih cepat, lebih pengaruh. Tinggal
lihat saya punya uang atau tidak. Jadi social media itu berpengaruh
dalam pembelian saya. Langsung. I see Bali pictures, saya langsung
beli tiket. Saya tidak perlu ke toko kan? Jadi kalau FMCG, journey-
nya lebih panjang sebenarnya. Tapi harga lebih kecil, investment-nya
lebih kecil. Tapi kalau airline, journey lebih singkat, harga lebih
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
173
tinggi. Barangnya kan ada goods value.Kalau FMCG seperti sampo
atau sabun kan goods value-nya sangat kecil, lima ribu, sepuluh ribu.
Tapi kalau airlines sejuta, dua juta, lima juta, tapi journey-nya lebih
pendek. You just see the destination, pick the date, and then you go.
Kamu tinggal pesan. Setelah saya lihat dari Instagram, ‘Keren banget
sih Lombok, gua jadi mau beli tiket’, kelar, dapet tiket. I don’t have
to go to the store, right? So journey-nya pendek. Effort-nya sangat
kecil. Kalau social media bisa mem-persuade itu, bisa bikin orang
untuk beli tiket, makanya peran social media itu penting sekali
menurut saya. Kalau kontennya bagus, orang jadi mau liburan. Dan
liburan itu buat mereka gampang. Saya tinggal buka Traveloka, buka
Tiket.com, and that’s it. You buying the ticket. You just buy your
product. Right there. Lima menit. Abis saya lihat foto Bali, lima
menit saya langsung beli tiket. Kalau saya lihat coklat di social
media, it takes me half an hour. Saya liat coklat, ‘Waduh gua ke
Alfamart deh’, jalan. So the path to purchase is very long. Tapi
goods value-nya kecil, effort-nya tinggi. Tapi kalo airlines, nantinya
akan bisa balance. Jadi goods-nya makin tidak terlalu mahal,
terutama budget airlines, low-cost airlines itu nanti akan mengecil
cost-nya, path-nya makin pendek, kemungkinan orang beli tiket
makin gampang. Kamu paham kan?
P : Iya.Terus kalau aku conclude, kalau di AirAsia ini kan dia
sangat anak muda di media sosialnya. Berbicara dengan gaya
anak muda, juga menonjolkan destinasi-destinasinya yang
bagus. Itu working Mas untuk membangun brand engagement?
N : Working. That’s why fotografi, foto postingannya itu harus benar-
benar yang mengundang orang untuk travel. ‘Ini bagus banget
tempatnya. Dimana. Oh di Lombok.’
P : Terus dengan kesamaan nilai yang dikomunikasikan AirAsia,
misalkan dia bicara dengan anak muda, juga dengan dia
menonjolkan budget tiket yang murah, itu juga sama?
N : Iya. Itu juga sama. Jadi variabel itu berpengaruh. Yang satu yang
dijual adalah destinasi. Itu paling penting. Bagaimana caranya brand
itu harus menjual destinasinya semenarik mungkin agar orang mau
berangkat. Yang kedua adalah offer, tawaran, harga tiket. ‘Wah gila
ke Lombok PP cuman 1 juta gitu. Wah bisa ke pantai ini nih, Pulau
Komodo. Tadi gua liat fotonya keren banget di Instagram’. Akhirnya
semuanya kan check list. Tujuan sudah ada, duit sudah ada, tinggal
click on the button, and then you go. Social media itu bisa
meningkatkan conversion. Kalau di final itu kan awareness
consideration. Dengan adanya social media itu orang jadi tidak perlu
berpikir lagi. ‘Wah gua uda tau nih gua mesti kemana bulan depan
nih’.Walaupun dia gak sekarang, tapi dia uda tau dia mau kemana.
‘Gua harus ke Singapur nih dua bulan lagi. Gua liat ada tempat keren
banget. Tiketnya murah’. Tapi kita sudah tahu dia akan engaged tiga
bulan lagi.
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
174
P : Terus kalau so far Mas melihat Instagram, Facebook, sama
Twitter-nya AirAsia bagaimana Mas? Yang Indonesia, Mas.
N : Saya belum lihat banyak. Tapi menurut saya sih dia sudah
melakukan apa yang perlu dilakukan. Tapi Return Of Involvement-
nya bisa ditingkatkan lagi. Jadi mengajak orang untuk involved, kasih
saja tiket-tiket gratis unutk memancing. It’s their product kan.
Daripada dia beli sesuatu. Kompetisi hadiah tiket Bali what ever, jadi
involvement-nya harus lebih tinggi.
P : Oh oke deh. Itu aja Mas.
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
175
Foto Peneliti dengan Elki Hendria pada Sesi Wawancara
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
176
TRANSKRIP WAWANCARA
Narasumber : Nurul Aslamiati
Travel blogger dan anggota AirAsia Bloggers Community
(AABC) Indonesia
Tanggal : 28 Maret 2017
Tempat : Food Court Summarecon Digital Center Mall.Tangerang
Tipe : Wawancara langsung
P: Peneliti
N: Narasumber
P : Langsung aja ya mbak?
N : Iya
P : Jadi untuk pertama, boleh gak mbak ceritain dulu tentang,
nama mbak siapa dan mbak sekarang aktifnya ngapain sih?
N : Kalau nama saya sih, aslinya kan Nurul Aslamiati. Cuman kalo di
sosmed kan aku lebih dikenal NurulNoe. Terus, kebetulan aku
blogger juga di www. Nurulnoe.com, mungkin udah liat yah?
P : Iya udah pernah.
N : Iya, gitu. Aktifnya sehari-hari aku kerja dari hari Senin sampai
Jumat.
P : Oh gitu. Terus mbak kan ini blogger, travel blogger. Memang
apa sih yang khas dari blog mbak ini? Ciri khasnya apa?
N : Kalau aku kan sering ngajak anak-anak traveling gitu, jadi
kebanyakan cerita tentang jalan-jalan sama anak sih.
P : Sama anak yah.
N : He eh.
P : Terus aku liat kayaknya mbak juga backpacker, jadi
backpacker sama anak-anak?
N : Iya. Iya.
P : Terus kalau di sosmed mbak juga aktif?
N : Aktif sih.
P : Aktif juga. mbak juga pernah bikin buku?
N : Iya
P : Backpacking Makassar?
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
177
N : He eh. Kalau Backpacking Makassar itu panduan. Panduan jalan-
jalan ala backpacker di Makassar dan sekitarnya sih, sampe ke
Tanjung Bira, juga ke Toraja. Gitu.
P : Memang seberapa sering sih mbak jalan-jalan?
N : Dulu sih sering banget yah. Sekarang sih semenjak hamil terus
punya bayi sih udah agak berkurang sih, udah gak pernah lagi. Tapi
tetep masih jalan-jalan, cuman gak sesering dulu. Gitu.
P : Oh iya, iya. Oke. Sekarang kita masuk ke AirAsia Blogger
Community-nya yah. Mbak tau gak komunitas AirAsia Blogger
ini kapan dibentuknya?
N : Kalau dibentuknya sih, mulai aku masuk itu di bulan Mei 2015 kalo
gak salah. Nah waktu itu kebetulan mau ada anniversary kan.
AirAsia blogger anniversary yang kedua. Dulu yang pertama itu
diselenggarainnya di Malaysia, cuman waktu itu aku gak ikut. Nah,
kayaknya kalau bener-bener mulai dibentuk komunitasnya blogger
AirAsia di Indonesia sendiri sih, kayaknya per-2015 itu, bulan Mei.
Pas mau ada anniversary kedua di Thailand, di Bangkok. Nah, jadi
waktu itu, di Bangkok itu yang berangkat dari Indonesia sendiri ada
sepuluh. Sepuluh blogger, termasuk ada dua YouTuber. Si Guntur
dan Pao-Pao itu.
P : Oh Pao-Pao?
N : He eh. Pao-Pao. Terus semenjak itu sama AirAsia di-maintain gitu
yah, blogger-blogger dan YouTuber yang diajak ke Bangkok itu.
Supaya tetep solid lah jadi komunitas. Nah, kemudian beberapa
bulan kemudian, AirAsia Indonesia mulai buka pendaftaran untuk
blogger-blogger lain lah untuk mendaftar. Meskipun kayaknya
cuman terkumpul sebagai database di mereka aja sih yah, blogger-
blogger. Kalau yang bener-bener aktif, sering komunikasi, ada
grupnya WhatsApp, terus ketemuan kayak gini sih, yang bener-
bener pernah ngikut anniversary-nya di Bangkok. Kemudian, di
2016 kemarin kan anniversary yang ketiga kebetulan Indonesia jadi
tuan rumah kan. Terus itu nambah lagi tuh, ada blogger-blogger
baru lagi yang diajak untuk masuk ikut di party-nya. Nah, itu sih.
Jadi sekarang yang ada di grup WhatsApp sih memang blogger-
blogger yang pernah diajak untuk AirAsia Blogger Community
Party.
P : Kira-kira berapa orang, mbak?
N : Kira-kiranya ada 20 kali yah
P : Itu dari Indonesia semua, mbak?
N : Iya kalau yang di grup WhatsApp
P : Oh perwakilan Indonesia yah.
N : Iya
P : Kenapa mbak pertama kali tertarik untuk bergabung ke
AABC ini? Itu kenapa?
N : Aku sih sebetulnya gak tau yah ada AABC gitu yah. Kebetulan
dulu 2014 deh kalo gak salah. Sebelum mau ulang tahun AirAsia
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
178
yang ke-10, AirAsia kan bikin lomba blog tuh. Nah, kebetulan aku
menang. Pemenangnya kan ada tiga, namanya Mita, aku, terus satu
lagi Eben. Nah, karena kita sebagai pemenang lomba blog, kita
diajak masuk ke AABC. Nah, selain aku yang tiga itu, kayaknya
mereka memang dipilih karena mungkin blog-nya bagus,
engagement-nya bagus, gitu yah. Ya ‘celeb blog’ lah kalau kita
biasa sebut.
P : Tapi sebelumnya mbak juga pernah menggunakan AirAsia?
N : Iya
P : Intensif gak, mbak?
N : Iya. Hampir semua perjalananku pake AirAsia sih. Kecuali ke kota
yang memang AirAsia gak ada rute kesana
P : Karena mbak mengusung backpacker-nya itu?
N : Iyah.
P : Ekonomis ya, mbak.
N : Iya, karena ekonomisnya itu sih
P : Terus selain AirAsia, mbak ada ikut komunitas lain gak?
Maksudnya, maskapai lain
N : Enggak ada
P : Oh cuman AirAsia doang. Oke. Terus mbak sebagai blogger
AirAsia, apa kontribusi yang telah mbak berikan ke AirAsia?
Misalkan, mbak posting di blog nih tentang AirAsia.
N : Iya. Nah, kalau dulu itu kan, maksudnya nge-blog dulu sama
sekarang itu beda banget yah. Kebanyakan blogger sekarang,
memang gak bisa dipungkiri sih orientasinya ke uang. Dan
kayaknya mereka gak akan mau nyinggung-nyinggung suatu brand
kecuali dibayar. Beda dengan dulu, karena kan motivasinya berbagi
gitu yah. Kayak misalnya karena aku sering pake AirAsia. Terus,
misalnya ada kendala apa, gak jadi berangkat tanggal sekian, butuh
reschedule, atau apa gitu . Nah, dari pengalaman-pengalaman itu
aku tulis di blog. Dengan judul misalnya, ‘Cara Reschedule Tiket
AirAsia’ atau ‘Cara Refund Tax AirAsia’ kalau misalnya kita batal
pergi pakai tiketnya. Nah, itu semua nulisnya sukarela. Aku sih
anggepnya gini. Sekarang aku masuk ke komunitasnya blogger
AirAsia dengan banyak benefit yang ditawarkan lah. Salah satunya
jalan-jalan gratis ke Bangkok ikut AirAsia Bloggers Community
itu.
P : Membernya dapet itu benefitnya?
N : Iya kalau misalnya ada event kayak gitu kan. Terus biasanya ada
pembukaan rute baru dari Bali kemana misalkan. Itu suka ada aja
sih blogger yang diajak. Cuman aku sih selama ini belom pernah
yah ikut family trip AirAsia. Karena kebanyakan yang diajak pasti
dia punya nilai lebih. Misalnya, dia masih single, atau akun
YouTube-nya aktif, punya followers banyak. Nah, kalau aku sih
kebetulan untuk yang acara-acara itu aja sih. Kayak misalnya
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
179
AABC party di Bangkok. AABC party di Jakarta.
P : Jadi walau mbak tidak sering dapat benefit dari AirAsia, tetep
nulis?
N : Tetep sih. Iya tetep.
P : Di sosmed juga posting gak, Mbak?
N : Biasanya kan suka ada info-info baru tentang AirAsia yah. Kayak
misalnya, final call AirAsia BIG, atau misalnya ada kursi gratis
AirAsia yang dibagi. Nah, itu sih. Aku paling reshare. Atau kalau
meskipun gak di sosmed, biasanya aku kasih tau ke temen-temen di
grup-grup yang suka jalan-jalan gitu.
P : Terus Mbak ngerasa gak, pokoknya kalo denger AirAsia itu
‘gua banget’ gitu?
N : Iya sih. Iya. Dan memang kayak udah jadi branding sih. Kayak
misalnya, temen-temen yang butuh tiket AirAsia, yang punya
masalah apa, pasti larinya langsung ‘Oh ke Nurul aja’, gitu. Atau
malah banyak yang suka gini. Karena dia searching kan di Google,
tentang masalah-masalahnya dia, beli tiket atau apa. Nanti mereka
nemuin blog aku. Terus di blog itu kan ada aku taro kontak ya kalau
misalnya ada apa-apa, bisa kontak atau ke e-mail. Nah, itu banyak
e-mail yang masuk. Misalnya, dia nanya, ‘Mbak aku ada masalah
gini-gini nih sama AirAsia, kira-kira tau gak kenapanya?’, gitu. Jadi
kadang aku ngerasa tuh, aku kayak customer service aja gitu.
P : Terus mbak bales gak e-mailnya?
N : Bales sih kalau misalnya kebetulan aku lagi buka e-mailnya, pasti
aku bales sih.
P : Oh gitu? Mau negatif positif, mbak tetep usaha untuk jawab?
N : Iya sih. Kadang kan aku kesulitan kan. Misalnya aku ga tau nih
jawabannya apa, biasanya aku langsung ke Mas Ibnu sih. ‘Mas bisa
bantuin jawab gak ini?’, gitu.
P : Oh sampe segitunya?
N : Iya. Hahaha
P : Jadi mbak kayak merasa uda ada ikatan emosional dengan
AirAsia Indonesia?
N : Iyalah. Pasti.
P : Terus mbak follow semua akun sosmed AirAsia Indonesia? FB,
Twitter, IG?
N : Iya
P : Yang paling mbak demen yang mana?
N : Facebook sih kayaknya yah.
P : Kenapa mbak?
N : Karena kalau di Facebook tuh kayaknya sering nongol aja gitu
kayaknya. Sering-sering nongol AirAsia. Kalau di Instagram, suka
tenggelam sama posting-an lain sih, kalau di Home-nya. Kecuali
kalau misalnya emang niat, mau cari promo apa, langsung buka ke
akunnya.
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
180
P : Terus mbak merasa gak, dari mbak melihat konten-kontennya,
kuis-kuis yang diadakan di sosmed AirAsia, itu mempengaruhi
emosional mbak untuk semakin engage dengan brand AirAsia
ini?
N : Iya. Biasanya sih kalau ada kuis, aku langsung share dan tag
temen-temen sih suruh ikutan. ‘Ikutan nih! Siapa tau menang’.
P : Influence gitu ya mbak jadinya?
N : Iya
P : Memang jenis konten apa sih yang paling mbak suka? Dari
postingan-postingan AirAsia itu.
N : Video dan foto sih.
P : Terus memang kalau ngomong AirAsia gitu mbak. Apa sih
nilai dari AirAsia yang sama dengan personality-nya mbak?
Apa dari AirAsia yang menggambarkan diri mbak banget?
N : Sisi budget sih kayaknya yah. Jadi kayak misalnya gini, sekarang
itu kan traveling udah jadi semacam tren, bahkan kebutuhan kan.
Cuman, sayangnya gak semua orang bisa jalan-jalan. Apalagi
dengan cara yang mewah. Nah, sementara orang kepengen juga.
Kepengen pergi yang jauh sesekali keluar dari rutinitasnya gitu kan.
Nah, AirAsia sih jadi solusi banget buat yang tetep pengen jalan-
jalan tapi dengan budget yang hemat gitu sih.
P : Mbak suka liat sosmed maskapai yang lain gak? Misalnya,
Citilink?
N : Enggak.
P : Enggak yah. Oke. Ciri khas dari sosmed AirAsia apa mbak?
N : Merah
P : Merahnya yah?
N : He eh.
P : Terus fun?
N : Iya, merah, casual.
P : Apa sih yang mbak harapkan untuk ke depannya dari sosmed
AirAsia? Lebih apa nih harusnya sosmed AirAsia?
N : Apa yah? Kalau sekarang sih aku liat uda bagus yah. Jadi enggak
terlalu ada ide, masukan.
P : Oh iya, jadi mbak itu kalau misalkan di blog, di sosmed, mbak
tuh suka promosiin tiket AirAsia kalo lagi ada potongan? Rute
baru? Gitu-gitu mbak?
N : Iya.
P : Tapi dari sosmed juga, mbak jadi makin seneng, makin engage
dengan AirAsia yah?
N : Iya.
P : Paling itu aja sih mbak
N : Oke.
P : Terima kasih ya mbak.
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
181
Foto Peneliti dengan Nurul Aslamiati pada Sesi Wawancara
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017
Strategi Membangun Brand..., Nathania, FIKOM UMN, 2017