Upload
tranhuong
View
260
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
KATA PENGANTAR
Segala puji Bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga saya dapat menyelesaikan
penulisan tesis ini. Shalawat serta salam tertuju pada Junjungan kami
baginda Nabi Besar Muhammad Sallallahu alaihi wasallam yang telah sangat
berjasa memberikan ajaran yaitu Islam sebagai agama kami serta kami
berharap Syafaat beliau di hari kiamat kelak.
Alhamdulillah, tugas akhir ini dapat saya rampungkan, segala proses
yang saya lakukan dari semenjak penyusunan proposal, pelaksanaan
penelitian dan akhirnya adalah proses penulisan saya telah melalui banyak
hal, dari yang mudah hingga yang sangat sulit. Mengumpulkan data-data
dan informasi yang menyangkut Tionghoa apalagi yang berkaitan dengan
Islam bukanlah hal yang mudah, ini membuat saya harus betul-betul fokus
dalam melaksanakannya.
Banyak kekurangan di sana-sisni memang saya rasakan, hal ini
mengingat sumber-sumber primer yaitu pelaku sejarah sudah tidak hidup
lagi, keturunannyapun tidak terlalu memperhatikan bagaimana sejarah
mereka berjalan, ditambah lagi dengan terbatasnya literatur mengenai
Tionghoa di UIN Syarif Hidayatullah. Semoga Penelitian ini dapat memicu
sehingga ada pihak lain yang melakukan penelitian tentang Tionghoa secara
lebih mendalam.
Pada kesempatan ini pula saya ingin menyampaikan terimakasih atas kepada
:
1. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Prof. Dr. Sukron Kamil M.Ag
yang selalu memberi semangat agar dapat menyelesaikan studi
dengan baik.
ii
2. Prof. DR. M. Dien Madjid, yang banyak sekali memberi dukungan
moral juga buku beliau Sejarah Kabupaten Tangerang yang sarat
dengan arsip-arsip colonial sehingga saya mendapatkan gambaran
beberapa peristiwa itu sebagai fakta atau sekedar fiksi, mengingat
peninggalan arkeologis berupa artefak sangat sulit didapat.
3. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA, selaku Dosen Pembimbing yang
dengan sabar membimbing saya dalam menyusun hasil penelitian ini
menjadi tesis.
4. Dr. Parlindungan Siregar, Dosen Pembimbing yang selalu memberi
support serta membimbing dalam proses penyusunan tesis ini.
5. Pengurus Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas
Adab, terutama kepada Dr. Abdullah M.Ag sebagai Direktur
Program, serta Dr. M. Adib Misbahul Islam M.Hum yang selalu
bersedia membantu saya agar dapat menyelesaikan kewajiban
akademik, serta jajaran dosen-dosen Program Magister SKI yang
telah memberi pencerahan, transfer ilmu dan pengetahuan.
6. Istri tercinta Endarisi Retno Astuti, S.Pd, Ananda Kaylasyifa ANH.
Serta Kefiyya Milladunka NB. Yang tak henti-hentinya
menyemangati dan mengingatkan saya.
7. Ibunda tercinta Marida, yang selalu memberi restu sehingga langkah
saya menjadi ringan dalam melaksanakan studi.
8. Sahabat Johan Wahyudi, M.Hum, yang tak bosan-bosan memberi
masukan dalam penulisan tesis ini.
9. Sahabat Violano Tenori Sitorus, yang memberi saya bantuan dan
keleluasaan waktu baik semasa studi maupun dalam penyusunan
tesis.
Di atas semuanya itu, tentunya saya berterima kasih kepada Allah SWT.
iii
Saran dan kritik juga saya harapkan dari semua pihak agar menjadi perhatian
saya dan dikemudian hari saya dapat menghasilkan karya tulis yang lebih
baik lagi
Harapan saya semoga tesis ini bisa memperluas khasanah kajian mengenai
Tionghoa serta menjadi pemicu terlaksananya penelitian tentang Tionghoa
yang lebih komprehensif.
Tangerang, 20 Mei 2017
Bambang Permadi, SE
iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Bambang Permadi, SE
NIM : 2112022100010
Tempat/tanggal lahir : Palembang, 14 Maret 1970
Jurusan : Sejarah Kebudayaan Islam
Fakultas : Adab dan Humaniora
Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis yang berjudul “Islam
dan Etnis Tionghoa, Studi Kasus Komunitas Cina Benteng di
Tangerang” (Tinjauan Historis) adalah benar asli karya saya, kecuali
kutipan – kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila terdapat temuan,
kesalahan dan kekeliruan didalamnya, menjadi tanggung jawab saya
sepenuhnya.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar – benarnya.
Jakarta, 20 Mei 2017
Yang membuat pernyataan,
Bambang Permadi, SE
NIM. 2112022100010
v
HALAMAN PENGESAHAN
Nama : Bambang Permadi
NIM : 2112022100010
Program Studi : Sejarah dan Kebudayaan Islam
Fakultas : Adab dan Humaniora
Judul Tesis : “Islam dan Etnis Tionghoa, Studi Kasus Komunitas
Cina Benteng di Tangerang” (Tinjauan Historis)
Telah berhasil dipertahankan pada sidang dan diterima sebagai persyaratan
yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum)
Program Studi Sejarah Kebudayaan Islam Konsentrasi Islam Nusantara pada
Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam Konsentrasi Islam Nusantara
Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Panitia Sidang
Ketua Sidang
Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag
NIP: 19690415 199703 1 004
Sekretaris Sidang
Dr. M. Adib Misbahul Islam, M.Hum
NIP: 19730224 200801 1 009
Penguji I
Prof. Dr. M. Dien Madjid, MA
NIP: 19490706 197109 1 001
Tanggal :..........................
Penguji II
Dr. Awalia Rahma, MA. NIP: 197106212001122001
Tanggal :....................................
Pembimbing I
Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA
NIP: 19590203 198903 1 003
Tanggal :....................................
Pembimbing II
Dr. Parlindungan Siregar, M.Ag.
NIP : 19590115 199403 1 002
Tanggal :....................................
vi
ABSTRAK
Cina Benteng, adalah sebutan yang lazim untuk masyarakat keturunan
entnis Tionghoa di Tangerang, Banten. Penyebutan kata Benteng mengacu
pada bangunan sebuah benteng yang didirikan oleh pemerintah colonial
Belanda di kota Tangerang, tepatnya sebelah Selatan sungai Cisadane.
Walaupun sekarang mereka sudah menyebar ke seantero tangerang namun
penyebutan kata Benteng terlanjur identik dengan Tangerang sehingga
untuk masyarakat Tionghoa yang tinggal di Tangerang disebut dengan Cina
Benteng.
Dari sisi identitas, masyarakat Cina Benteng berbeda dari komunitas
masyarakat Tionghoa lain di Indonesia. Cina Benteng lebih akomodatif
terhadap budaya pribumi bahkan dari beberapa kesenian dan tradisi
tergambar kolaborasi yang harmonis antara alat-alat musik dari Tionghoa
dengan alat musik tradisional Jawa dan Melayu seperti yang terlihat pada
kesenian Gambang Kromong. Dalam beberapa hal budaya Tiongkok juga
ikut mewarnai sendi-sendi kehidupan masyarakat pribumi.
Cina Benteng adalah bentuk sempurna dari akulturasi budaya
masyarakat keturunan Tionghoa dengan masyarakat pribumi. Peristiwa
kawin campur yang terjadi sejak ratusan tahun lalu menyebabkan
penampilan fisik orang Cina Benteng tak berbeda dengan warga pribumi
Tangerang. Ada sebutan yang agak merendahkan terhadap orang Cina
Benteng yang berkulit gelap, yaitu Hitaci, Singkatan dari kalimat Hitam Tapi
Cina. Hampir tak pernah ada konflik yang serius antara pribumi dan
keturunan Tionghoa.
vii
Penerimaan orang-orang Cina Benteng terhadap budaya pribumi yang
notabene Islam rupanya tidak berbanding lurus dengan penerimaan mereka
terhadap Islam sebagai dogma. Sangat sedikit orang Cina Benteng yang
memeluk agama Islam jika dibandingkan dengan mereka yang memeluk
Kristen atau Budha. Hal ini menjadi anomali manakala kita percaya pada
anggapan bahwa sebagian dari Walisongo, penyebar Islam di tanah Jawa
merupakan keturunan dari etnis Tionghoa.
Pendekatan historis dipilih penulis untuk mengungkap apa yang menjadi
penyebab Islam sebagai agama tidak menarik untuk diikuti oleh sebagian
besar warga Cina Benteng. Tentunya sejarah kedatangan para leluhur mereka
ke Nusantara dan lebih spesifik ke Tangerang menjadi hal yang menarik
untuk dikaji. Hal paling penting yang ingin diungkap penulis adalah
bagaimana relasi orang Cina Benteng dengan Islam sebagai agama dan
sebagai budaya orang pribumi.
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................
KATA PENGANTAR........................................................................
HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI...............................
LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………
ABSTRAK........................................................................................
DAFTAR ISI.....................................................................................
i
iv
v
vi
viii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………….
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah …………………….
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian…………………………
D. Penelitian Terdahulu………………………………………
E. Metode Penelitian………………………………………….
F. Landasan Teoritis………………………………………….
G. Sistematika Penulisan……………………………………..
TERMINOLOGI DAN KOSMOLOGI TIONGHOA
A. Terminologi Tionghoa........................ ……………………
1. Pengertia Orang Cina Dan Orang Tionghoa ....................
2. Penghapusan Terminologi “Tiongkok” dari Bahasa
Indonesia ………………………………………………..
3. Penggunaan Terminologi “China” Sebagai Kompromi…
4. Penggunaan Kembali Terminologi “Tiongkok” Di masa
Reformasi………………………………………….........
B. Kosmologi Orang Tionghoa……………………………
1
1
9
10
11
13
16
23
26
26
26
29
31
32
34
ix
BAB III
BAB IV
C. Mitologi Orang Tionghoa…………………………………
D. Agama Orang Tionghoa………………………………….
1. Konsep agama bagi orang Tionghoa………………….
2. Agama-agama orang Tionghoa ………………..……
a. Konfusianisme……………………………………….
b. Daoisme (Taoisme)…………………………………..
c. Budhisme…………………………………………….
d. Mohisme……………………………………………..
e. Islam………………………………………………….
KEDATANGAN, INTERAKSI DAN AKULTURASI
DENGAN PRIBUMI…………………………………………..
A. Kedatangan Orang Tionghoa ke Tangerang……………….
B. Pemukiman Awal Masyarakat Cina Benteng
di Tangerang……………………………………………….
C. Pembentukan identitas Masyarakat Cina Benteng……...
D. Relasi Orang Cina Benteng dengan Penduduk Setempat
E. Akulturasi Budaya………………………………………..
PENGARUH KOLONIAL PADA MASYARAKAT CINA
BENTENG…………………………………………………….
A. Awal Masuknya Kekuasaan Kolonial di Tangerang……
B. Tanah Partikelir di Tangerang……………………………
C. Catatan aksi kekerasan fisik terhadap warga Tionghoa…
1. Chinese Moord 1740…………………………………...
2. Jaman Gedoran……………………………………….
a. Gedoran 1942………………………………………..
b. Gedoran 1946………………………………………..
38
40
40
46
46
50
55
58
59
64
64
71
75
78
88
97
97
101
108
108
112
112
113
x
BAB V
BAB VI
ISLAM DAN MASYARAKAT CINA BENTENG ….………
A. Islam sebagai Ingatan Sejarah Orang Tionghoa………...
B. Islam sebagai pribumisasi orang Tionghoa……………..
C. Faktor Penghambat Berkembangnya Islam di kalangan
Cina Benteng …………………………………………….
D. Konfersi agama pada masyarakat Cina Benteng………….
PENUTUP…………………………………………………..…
A. Kesimpulan……………………………………………….
B. Saran…………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………….
118
118
125
135
144
148
148
153
155
xi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beragam etnis dan suku
bangsa. Di antara mereka, terdapat kilasan-kilasan historis yang
memberitakan bagaimana mereka bisa terus eksis dalam jajaran pergaulan
dengan orang di luar kelompoknya. Proses interaksi yang demikian intens
pada gilirannya mengakibatkan pertukaran budaya. Komunikasi dan ikatan
hidup sehari-hari menjadi dua magnet yang mempertemukan mereka dalam
wahana-wahana kehidupan, dan dengan perlahan-lahan ikut menyumbang
pendewasaan serta kearifan dalam tubuh suku bangsanya.
Salah satu suku bangsa yang paling banyak menyebar ke seantero jagad
adalah orang-orang yang berasal dari Tiongkok yang kemudian disebut
dengan Orang Tionghoa. Diantara berbagai wilayah yang banyak dijadikan
tujuan migrasi orang-orang Tionghoa adalah wilayah Selatan dataran
Tiongkok, yang mereka sebut Nanyang. Wilayah yang dimaksud Nanyang
juga seperti yang kita kenal dengan Asia Tenggara. Suku Tionghoa
merupakan salah satu etnis yang sejak lama mendiami kawasan-kawasan
Nusantara. Kedatangan mereka terjadi karena berbagai alasan, diantaranya
adalah karena aktifitas perdagangan. Sudah bukan rahasia umum lagi jika
bangsa Tionghoa merupakan salah satu bangsa dunia yang memiliki tradisi
berniaga yang kuat. Ekspansi bisnis mereka sejak lama sudah menjangkau
wilayah-wilayah di luar Tiongkok.
2
Ma Huan, sekretaris dan juru bahasa laksamana Cheng Ho, pada
muhibahnya yang keempat (tahun 1413-1415) ke Jawa Timur, sempat
merekam aktivitas orang Tionghoa dalam catatannya, mereka telah berdiam
di kawasan pesisir Jawa.1 Saat itu di Jawa Timur terdapat tiga kelompok
bangsa. Pertama, orang-orang Islam yang berasal dari kerajaan-kerajaan
sebelah barat yang datang ke Majapahit untuk berniaga. Pakaian yang
dikenakan mereka tampak layak dan bersih. Kedua, orang-orang Tionghoa
yang berasal dari zaman Dinasti Tang, yang datang dari provinsi Kuang-
tung, Chang-chou, Ch‟uan Chou dan wilayah-wilayah lainnya. Mereka
datang sebagai pelarian dari daerah asalnya. Banyak di antara mereka yang
memeluk Islam, melakukan shalat dan puasa. Ketiga, penduduk pribumi
yang rambutnya kusut, tidak memakai alas kaki, dan masih menyembah
hantu-hantu.2
Di masa sebelum kedatangan Belanda, aktivitas perdagangan Tionghoa
mendapatkan reputasi dan kepercayaan yang tinggi di kalangan raja-raja di
pesisir. Yogyakarta paska perjanjian Giyanti tahun 1755, misalnya, pernah
menempatkan orang Tionghoa sebagai pihak yang bisa membangun sektor
finansial kerajaan. Di Yogyakarta sendiri kala itu sudah terdapat pemukiman
orang Tionghoa dalam jumlah yang cukup besar, maka diangkatlah To In
sebagai Kapitan Cina pertama yang menjabat 1755-1764. To In dan
penerusnya menerima tugas sebagai penarik pajak gerbang tol. Setelah
berpulangnya Sultan Hamengku Buwono I pada Maret 1794, jumlah pajak
1 Catatan ini diterbitkan tahun 1416 dengan judul Yingya Shenglan “Catatan Umum
Pantai-Pantai Samudra” Ma Huan sendiri adalah seorang Muslim dan bisa berbahasa Arab.
Lihat W.P. Groeneveldt, Nusantara dalam Catatan Tionghoa (Depok: Komunitas Bambu,
2009) hlm. xix-xx. 2 Amen, Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia (Semarang: Penerbit
Tanjung Sari, 1979) hlm. 10.
3
yang dikumpulkan mencapai f 128.000, naik tiga kali lipat dari jumlah tahun
1755.3
Keberadaan orang Tionghoa, diyakini pihak istana Jawa, amat
dibutuhkan untuk menggerakkan ekonomi kerajaan. Mereka dianggap
sebagai pihak yang bisa memberikan pinjaman uang dan sebagai ahli
perdagangan. Mereka adalah para tenaga terampil di bidang finansial, suatu
profesi yang masih amat jarang dijumpai dari kalangan penduduk Jawa.
Sebaliknya, orang Tionghoa juga menganggap dirinya dengan istana harus
terjalin suatu ikatan yang erat. Ikatan inilah yang akan menjadi jaminan bagi
keberhasilan perniagaan mereka di wilayah pedalaman.4
Pada perkembangannya, para pendatang Tionghoa di Jawa juga
menjalin hubungan baik dengan masyarakat pribumi. Mereka yang datang
kebanyakan adalah laki-laki, dan di antara mereka ada yang mempersunting
wanita-wanita pribumi sebagai istri, baik yang berasal dari kalangan
bangsawan maupun dengan rakyat kebanyakan. Sebagai contoh, terdapat
cerita mengenai seorang Babah Cina yang menikahi seorang penari
Ronggeng di wilayah Sunda Kelapa. Situs makamnya terletak di dekat
Kelenteng Cina. Kelenteng ini diperkirakan oleh sebagian sejarawan dulunya
adalah masjid. Pernikahan lintas etnis ini kemudian membentuk sub etnis
baru yang kemudian dinamakan Tionghoa Peranakan atau Cina Peranakan
3 Didi, Kwartananda, “Perang Jawa (1825-1830) dan Implikasinya terhadap Hubungan
Tionghoa-Jawa” pengantar (edisi ke-2) dalam Peter Carey, Orang Cina, Bandar Tol, Candu
dan Perang Jawa; Perubahan Persepsi Tentang Cina 1755-1825, Terj. Wasmi Alhaziri
(Depok; Komunitas Bambu, 2015) hlm. vi. 4 Peter, Carey, Orang Cina ..., hlm. 6.
4
yang mengimbangi istilah Cina Totok atau orang Tionghoa yang
berorangtuakan dan berleluhur asli Tiongkok.5
Selanjutnya, di kalangan istana Jawa juga ditemukan pernikahan antara
orang Tionghoa dan Jawa. Wanita Tionghoa kerap diambil para penguasa
lokal sebagai istri kedua (selir atau Garwa Ampeyan). Bagi Orang Tionghoa,
pernikahan ini adalah suatu jalan untuk merawat hubungan yang baik dengan
pihak penguasa, di samping hubungan-hubungan baik lainnya. Pernikahan-
pernikahan Tionghoa-Jawa ini perlahan semakin meluas dan menjadi sarana
akulturasi orang Tionghoa ke dalam budaya Jawa. Mereka tidak lagi merasa
kesulitan untuk mempraktekkan tingkah laku dan bahasa orang Jawa. Hal ini
juga semakin menabalkan identitas mereka sebagai Tionghoa Peranakan.6
Di masa kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie)
bercokol di Nusantara, orang Tionghoa menjadi mitra dagang bagi mereka.
Ketika masa awal para pedagang VOC datang, sebagai orang asing mereka
merasa perlu menjalin hubungan dengan pedagang asing lainnya, yakni
orang Tionghoa. Mereka bekerjasama khususnya di bidang distribusi,
sedangkan perdagangan perantara sendiri kala itu sudah banyak dikuasai
oleh pedagang Tionghoa.
Perkenalannya dengan VOC dan tugasnya dalam membantu bagian
distribusi, membuat wilayah jelajah Tionghoa menjadi lebih luas. Dari
pekerjaannya ini mereka berkesempatan untuk mengirimkan barang-barang
dari kota ke penduduk desa, dan darinya mereka mendapatkan uang tembaga
dari penduduk desa. uang tembaga yang dimaksud adalah semacam uang
kecil yang menjadi alat tukar yang standar di pedesaan. Uang-uang ini
5 Sumanto, Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa; Bongkar Sejarah Atas Peranan
Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV dan XVI (Yogyakarta:
Inspeal Ahimsakarya Press, 2003) hlm. 93. 6 Peter, Carey, Orang Cina ..., hlm. 6-7.
5
kemudian dijual ke VOC. Dari hal-hal tersebut kian lama hubungan antara
pedagang Tionghoa dan VOC semakin akrab.7
Pemukiman kaum Tionghoa terdapat di hampir semua kota penting di
pantai utara Jawa, salah satunya adalah Tangerang. Kedatangan orang
Tionghoa ke kawasan ini, utamanya di Teluk Naga, didorong oleh faktor
perniagaan dan juga diplomasi yang dilakukan Orang Tiongkok. Di masa
Laksamana Cheng Ho melakukan muhibahnya sekitar tahun 1570. Dua tahun
kemudian yakni 1572 dua orang utusan Laksamaa Cheng Ho mendarat di
Teluk Naga, Tangerang. Salah seorang dari mereka bernama Chen Ci Lung.8
Angka tahun tersebut boleh dikatakan merupakan waktu pertama yang
dipercaya warga Cina Benteng sebagai awal kedatangan orang Tionghoa ke
Tangerang.
Diceritakan bahwa tatkala rombongan armada Cheng Ho sampai di
Teluk Naga diutuslah dua orang untuk meneliti keadaan sekitar pesisir itu.
Oleh sebab kapal-kapal armada Cheng Ho besar-besar maka armada itu tidak
semuanya sampai menyentuh garis daratan pantai, mengingat kala itu Teluk
Naga masih berupa pelabuhan kecil. Dua utusan tersebut datang
menggunakan perahu kecil atau semacam sekoci pada masa itu. Setibanya di
daratan, mereka meneliti daerah tersebut dan setelahnya mereka kembali dan
melaporkan temuannya kepada Ma Huan, juru tulis Cheng Ho. Sejak itu,
kian waktu semakin banyak orang Tiongkok terutama dari etnis Hokkian
yang datang dan bermukim di Teluk Naga.
Diperkirakan, komunitas Tionghoa awal di Teluk Naga adalah
beragama Islam. Kelompok Tionghoa di sana terbentuk karena inisiasi
7 Onghokham, Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina; Sejarah Etnis Cina di
Indonesia (Depok: Komunitas Bambu, 2008) hlm. 1-2. 8 Wawancara Dengan Oey Tjin Eng, (Tangerang, Pengurus Perkumpulan Bun Tek Bio
27 Agustus 2015)
6
Cheng Ho yang berkeinginan memperkuat kedudukan kulturalnya dengan
menitahkan beberapa pelautnya untuk membuat suatu pemukiman dan
masjid di sana. Namun, seiring berjalannya waktu, orang-orang Tionghoa di
sana tidak mampu mempertahankan keyakinannya, karena disinyalir setelah
Cheng Ho kembali ke Tiongkok, mereka kembali memeluk keyakinan
semula. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat banyak di antara pengikut Cheng
Ho adalah orang taklukan yang beragama Konghucu baik mereka yang
berkeyakinan Konfusian maupun Taoisme.
Menginjak tahun 1740, di Batavia terjadi geger pecinan yakni
pembunuhan besar-besaran etnis Tionghoa oleh pemerintah VOC.9 Kala itu
gubernur jenderal VOC, Adrian Vaalkenier merasa kedudukan Tionghoa di
bidang ekonomi sedemikian kuat, sampai-sampai bisa mengancam
kedudukan pemerintah Batavia. Perbedaan cara pandang ini menimbulkan
gesekan di antara orang Tionghoa dan pemerintah Belanda dan berakhir
dengan eksekusi mati orang-orang Tionghoa di sana. Kenyataannya, tidak
semua orang Tionghoa mati, banyak dari mereka yang berhasil melarikan
diri ke arah timur hingga mencapai Mataram. Banyak juga yang keluar dari
Batavia menuju kota terdekat, Tangerang.
Di Tangerang, pelarian Tionghoa Batavia ini bertemu dengan para
pemukim yang merupakan keturunan dari pengikut-pengikut Cheng Ho.
Pertemuan mereka tidak sampai menimbulkan friksi kultural, melainkan di
antara mereka saling tolong-menolong, mengingat akar budaya mereka sama.
Mereka menganggap orang Tionghoa berasal dari satu keturunan yaitu
keturunan Kaisar Kuning. Seiring berjalannya waktu, mereka sudah saling
melebur, lantas menjadi cikal bakal etnis Tionghoa yang di kemudian waktu
9 Susan, Blackburn, Jakarta Sejarah 400 Tahun,Terj. Gatot Triwira (Depok:
Komunitas Bambu, 2011) hlm. 37-39.
7
disebut dengan Cina Benteng atau Tionghoa Benteng. Sejak itu mayoritas
mereka adalah pemeluk Konghucu dan jumlah kelompok Muslimnya amat
minim sekali.
Keberadaan etnis Cina Benteng perlahan membentuk identitas
ketionghoaannya sendiri. Struktur budaya dan sosial mereka amat berlainan
dengan komunitas Tionghoa yang terdapat di Batavia dan di tempat-tempat
lain. Jika di Betawi diyakini Tionghoa turut andil dalam membentuk struktur
dan produk kebudayaannya.10
Yang terjadi di Tangerang justru sebaliknya,
kebudayaan lokal yang membentuk tradisi dan kebudayaan orang Tionghoa-
nya. Hal ini bisa dilihat ketika menyaksikan resepsi pernikahan Cina
Benteng yang selalu menampilkan seni Gambang Kromong dan Tarian
Cokek. Para penggiat seni tersebut mayoritas adalah warga lokal Tangerang
yang berasal dari etnis Sunda.
Perbedaan lain terlihat ketika memperhatikan bahasa yang mereka
gunakan. Biasanya orang Hokkian akan menggunakan bahasa Haka sebagai
alat komunikasi di antara mereka. Namun yang terlihat di komunitas Cina
Benteng, mereka justru menggunakan bahasa Sunda maupun Jawa. Bahkan
di antara mereka ada yang sudah tidak bisa berbahasa Haka lagi. Ini justru
berkebalikan dengan orang Hokkian lainnya yang menganggap bahasa Haka
merupakan salah satu tradisi yang harus terus dipertahankan, minimal di
antara sesama orang Tionghoa.
Fokus kajian peneliti adalah mengetahui bagaimana interaksi antara
maysyarakat Cina Benteng dan Islam. Dalam hal ini Islam bukan saja
sebagai ajaran agama, tetapi juga sebagai kebudayaan bahkan identitas dari
10
Sebagai contoh bisa dilihat dari busana adat pernikahan wanita Betawi yang tata
busananya banyak mengambil model pakaian orang Tionghoa. Bahkan tata riasnya
dinamakan dandanan care None Pengantin Cine. Lihat Abdul Chaer, Betawi Tempo Doeloe;
Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi (Depok: Komunitas Bambu, 2015) hlm. 105.
8
masyarakat pribumi. Perspektif pembahasan masalah tersebut menggunakan
tinjauan secara historis. Pola ini dimaksudkan untuk lebih memahami suatu
keadaan berdasarkan hal yang melatarbelakanginya.
Pengetahuan awal yang didapat oleh penulis adalah bahwa penyebar
agama Islam di Tanah Jawa sebagian tokohnya adalah orang keturunan
Tiong Hoa. Hal itu tak dapat disangkal jika kita mengamati bangunan Masjid
yang menjadi tempat ibadah dan pusat aktifitas pendidikan dan sosial Islam,
di sana banyak terdapat ornamen-ornamen khas Tiongkok. Arsitektur masjid
yang menggunakan atap tumpang adalah merupakan ciri arsitektur
Tiongkok.
Jika diperhatikan kondisi sekarang, komunitas Cina Benteng merupakan
minoritas dari struktur masyarakat yang ada di Tangerang dan Islam hanya
merupakan agama minoritas dalam komunitas masyarakat Cina Benteng itu
sendiri. Peneliti menganggap ini merupakan gejala yang bisa
diperbincangkan dalam sudut pandang teori kepercayaan atau agama. Tentu
akan banyak dijumpai faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Termasuk
dalam tujuan penelitian ini adalah bagaimana bangunan kebudayaan
masyarakat Cina Benteng serta interaksi mereka dengan penduduk lainnya.
Diharapkan dengan bahasan tersebut, dapat diketahui secara utuh bagaimana
relasi orang Cina Benteng terhadap Islam.
Peneliti menyadari, informasi oral yang nantinya didapatkan, bisa saja
berasal dari tokoh Cina Benteng yang non-Islam. Untuk itu, peneliti
mengenyampingkan keyakinan atau agama informan, namun yang ingin
diketahui adalah sejauh mana Islam berkembang dan mengisi masyarakat
Cina Benteng dari waktu ke waktu. Keterangan dari tokoh masyarakat atau
orang yang dianggap mengerti dari kalangan Cina Benteng tentu akan
9
bermanfaat dalam merekonstruksi pandangan orang Cina Benteng terhadap
Islam, agama yang pernah eksis dalam kehidupan para leluhurnya.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Penelitian ini adalah penelitian sejarah religio-antropologis, yakni
dengan menyorot pada masalah sejarah etnis Cina Benteng di Tangerang.
Fokus pembahasan pada interaksi komunitas Cina Benteng dengan Islam
yang konotatif dengan pribumi. Islam yang dikabarkan disebarluaskan di
Tanah Jawa oleh tokoh-tokoh Tionghoa atau keturunan Tionghoa yang
didukung oleh penguasa Demak dan Mataram kemudian diterima dengan
baik di Banten. Demikian pula di Tangerang yang sebelumnya merupakan
wilayah bagian dari kerajaan Pajajaran. Kepercayaan pribumi yang
kebanyakan adalah Sunda Wiwitan dan Hindu, secara massif beralih
memeluk Islam. Islam menjadi sebuah peradaban pribumi. Penelitian ini
dibatasi pada hal-hal yang menyangkut interaksi antara komunitas Cina
Benteng dengan Islam (pribumi). Dinamika yang terjadi di sekitar
persentuhan antara keduanya menjadi objek dari penelitian ini.
Orang Cina Benteng merupakan sekumpulan orang Tionghoa yang
awalnya mendiami pesisir pantai Tangerang (sekitar Teluk Naga) lalu
merambah di sepanjang bantaran Cisadane sampai ke pusat kota Tangerang
dan menyebar ke berbagai pelosok, ke Selatan (Karawaci, Legok, Cisauk
dan Serpong) dan Ke Utara (Pasar Baru, Kedaung, Sepatan hingga Mauk).
Mudahnya, sebutan Cina Benteng hanya berlaku untuk orang Tionghoa yang
bermukim sejak lebih dari tiga generasi di Tangerang.11
Mereka yang tinggal
bukan di Tangerang, maka bukan termasuk dalam sebutan Cina Benteng.
11
Wawancara dengan Oey Tjin Eng,
10
Hal lain yang dibatasi adalah mengenai pembicaraan tentang Islam itu
sendiri. Islam bagi orang Tionghoa pada umumnya merupakan agama yang
bukan berasal dari tradisi mereka. Untuk itu, bisa dimaklumi jika dalam
pengumpulan sumber nantinya, hal-hal yang mengenai Islam bukan sekedar
berkisar pada masalah doktrin dan amalan secara komprehensif, melainkan
Islam yang dilihat dalam perspektif orang di luarnya (liyan). Islam pada titik
ini bisa dimaknai sebagi produk peradaban di kalangan orang Cina Benteng.
Penelitian sejarah ini bersifat kronologis, yakni menjelaskan kehidupan
Cina Benteng dari waktu ke waktu dikarenakan peneliti ingin mendapatkan
gambaran yang utuh mengenai kehidupan Cina Benteng. Oleh sebab masalah
yang diangkat masih amat luas, maka dibutuhkan rumusan masalah yang
lebih konkret, yang dibentuk dalam beberapa pertanyaan sebagaimana di
bawah ini:
1. Bagaiamana kehidupan masyarakat Cina Benteng di masa awal ?
2. Bagaimana proses akulturasi budaya antara orang Cina Benteng
dengan orang pribumi ?
3. Bagaimana dinamika yang terjadi dalam interaksi Cina Benteng
dengan Islam, baik sebagai doktrin agama maupun sebagai budaya.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penulisan tesis ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui bagaimana kedatangan orang-orang Tionghoa di
Tangerang hingga terbentuknya sebuah tatanan sosial yang dikenal
dengan Cina Benteng .
2. Memahami bagaimana struktur kebudayaan dan kehidupan sosial
masyarakat Cina Benteng serta
11
3. Mengetahui bagaimana tanggapan mereka terhadap Islam, baik
sebagai doktrin maupun peradaban.
Sedangkan, kegunaan dari penulisan tesis ini adalah:
1. Memperkaya khazanah pengetahuan mengenai perkembangan
komunitas Tionghoa di Tangerang
2 Menjadi referensi awal untuk penelitian selanjutnya di Fakultas Adab
dan Humaniora dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta lembaga-
lembaga pendidikan tinggi lainnya
3. Menjadi bahan bacaan untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya
anggapan orang Tionghoa terhadap Islam, khususnya di kalangan
masyarakat Cina Benteng.
D. Penelitian Terdahulu
Tulisan mengenai Cina Benteng kaitannya dengan Islam memang masih
sangat jarang dijumpai. Jikapun ada sifatnya parsial, terserak di dalam tema-
tema penulisan lain yang lebih luas. Meskipun begitu, dalam skala yang
lebih umum, penulis menemukan beberapa buku, tulisan tematik serta
sumber tertulis lainnya yang membahas tentang sejarah muslim Tionghoa di
Nusantara.
Amen Budiman menulis mengenai sejarah keberadaan orang Tionghoa
di Nusantara berjudul Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia (terbit tahun
1979). Buku ini memaparkan tentang latar belakang kedatangan dan sejarah
orang Tionghoa muslim sampai pada masa kekinian, yakni saat buku itu
dibuat. Budiman berupaya merekonstruksi sejarah Muslim Tionghoa dalam
peta sejarah Nusantara. Beberapa uraiannya termasuk pendirian PITI
12
(Pembina Iman Tauhid Islam) berserta aktivitas dakwahnya. 12
Uraian buku
ini sangat berguna dalam menambah khazanah literatur penulis. Meskipun
demikian, informasi mengenai sejarah perkembangan Cina Benteng tidak
dijelaskan secara panjang lebar, dan berlainan dengan maksud penelitian ini.
Sumanto Al Qurtuby mengupas masalah sejarah pertalian Cina-Islam-
Jawa dalam bukunya Arus Cina-Islam-Jawa; Bongkar Sejarah atas Peranan
Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV dan XVI.
Buku ini menitikberatkan pada asal mula pembentukan identitas Cina-Islam-
Jawa. Sumanto banyak menyorot sejarah awal perkembangan Islam di Jawa
sebagai latar awal terbentuknya identitas religio-kultural tersebut. Dikatakan
bahwa sudah sejak abad 15, eksistensi Muslim Tionghoa sudah terlihat di
pesisir utara pantai Jawa. Keberadaan Muslim Tionghoa terekam dalam
catatan para pengembara asing, babad-babad dan sejarah lisan. Selain itu,
budaya Tionghoa juga telah berpadu dalam kebudayaan lokal yang terlihat
pada peninggalan kepurbakalaan seperti yang bisa dilihat di masjid kuno
Mantingan-Jepara, menara masjid Banten, bangunan gapura makam Sunan
Giri dan lain sebagainya.13
Di buku ini juga belum ditemukan bahasan
mengenai Cina Benteng yang berkaitan dengan tema yang penulis pilih.
Selanjutnya, Onghokham juga mengupas permasalahan sejarah Cina
Peranakan lewat bukunya Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina;
Sejarah Etnis Cina di Indonesia. Buku ini berisi kumpulan tulisan yang
terkait dengan sejarah Tionghoa di Nusantara. Onghokham banyak
mengkhususkan diri dalam sejarah Tionghoa pada masa kolonial. Dalam
salah satu tulisannya berjudul “Etnis Cina di Indonesia; Sebuah Catatan
Sejarah”, Ong menjelaskan bahwa orang Tionghoa memang sudah ada sejak
12
Amen,Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia (Semarang: Tanjung Sari,
1979) hlm. 42-43. 13
Sumanto, Al Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa …, hlm. 39-41.
13
masa prakolonial, hanya saja segala sesuatu yang terlihat sebagai identitas
orang Tionghoa masa kini, akar-akarnya bisa dilihat sejak masa kolonial,
tepatnya di zaman Hindia Belanda.14
Di buku tersebut, sempat disinggung mengenai komunitas Cina di
Tangerang. Pada 1945, dibentuk semacam milisi orang Cina di tengah
pertempuran antara orang Belanda melawan bangsa Indonesia. Mereka
terlibat di kancah perang itu, hingga terkepung dalam serangan anti-rasial.
Ong menegaskan bahwa kerusuhan-kerusuhan yang terjadi sekitar tahun
1945, jika ada di antara korbannya adalah orang Tionghoa, maka secara
umum sifatnya adalah insidental, kebetulan saja, atau mungkin mereka salah
sasaran. Namun, pengecualian terjadi di Tangerang.15
Dikarenakan buku
Ong ini berisi kumpulan tulisan, maka wacana mengenai Cina Benteng
hanya berupa sisipan, dan tidak ada bab khusus yang membahasnya.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian sejarah Cina Benteng khususnya
mengenai interaksi antara mereka dengan Islam. Islam di sini tentu saja
mencakup aspek yang luas, bisa dikatakan mencakup doktrin dan peradaban.
Uraian yang nantinya akan disampaikan akan diterangkan secara kronologis.
Untuk itu, diperlukan langkah-langkah penelitian yang perlu dijelaskan di
bawah ini.
Pertama, yakni masalah pengumpulan sumber atau heuristik. Sumber
yang dikumpulkan secara fisik terbagi dalam dua jenis yakni sumber tertulis
dan sumber lisan. Sumber tertulis terdiri atas buku, catatan-catatan pribadi
14
Onghokham, Anti Cina …, hlm. 1. 15
Onghokham, Anti Cina ..., hlm. 7.
14
seseorang yang mengalami suatu peristiwa sejarah, jurnal, dan lain
sebagainya. Sedangkan sumber lisan adalah hasil dari observasi dan
wawancara dengan beberapa orang atau tokoh yang dianggap menegrti.
Observasi dan wawancara dengan nara sumber harus juga mengakomodasi
unsur representasi dari bagian-bagian dalam masyarakat. Sumber lisan di sini
dikategorikan sebagai tradisi lisan, yakni penutur memberikan jawaban
sesuai dengan pertanyaan yang diajukan, namun kedudukannya bukanlah
sebagai pelaku sejarah. Meskipun begitu dalam tema-tema yang lebih
kontemporer, sebisa mungkin ditampilkan para aktor sejarah atau orang yang
mengalami suatu peristiwa di masa lampau. Kedudukannya adalah sebagai
orang yang memberikan sejarah lisan dan amat penting sebagai salah satu
rujukan utama.16
Selanjutnya dalam studi sejarah dikenal dua macam jenis sumber, yakni
sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber
penulisan sejarah yang diproduksi pada zaman-zaman yang bersamaan
ketika terjadinya suatu peristiwa sejarah. Termasuk dalam sumber primer
adalah catatan pribadi, buku tulisan pribadi, memoar, rekaman suara serta
hasil wawancara dari orang yang berpartisipasi dalam suatu even masa
lampau. Kemudian, sumber sekunder adalah sumber yang bukan diproduksi
dalam suatu masa terjadinya peristiwa terkait. Antara peristiwa dan
kehadiran sumber ini terpaut masa yang berbeda. Biasanya, sumber itu
dibuat setelah suatu even historis berlangsung.17
Termasuk dalam langkah-langkah mendapatkan sumber adalah dengan
pengamatan. Peneliti mendatangi beberapa tempat yang diketahui merupakan
16
M. Dien, Madjid dan Johan, Wahyudhi, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar (Jakarta:
Kencana, 2014) hlm. 122-123. 17
Louis,Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Pres,
2006) hlm. 73-74 dan 93-94.
15
peninggalan atau tempat yang diyakini pernah menjadi latar peristiwa masa
lalu yang berkaitan dengan objek kajian. Observasi lapangan ini berfungsi
untuk melacak sumber-sumber lainnya, yang berupa kunjungan ke klenteng,
museum Benteng Heritage serta ke pemukiman Cina Benteng awal di Teluk
Naga dan lain-lain. Hasil pengamatan ini akan digunakan sebagai tambahan
analisa peneliti. Peneliti telah melakukan penelusuran awal yang berguna
untuk membentuk jejaring pengetahuan awal perihal sejarah Cina Benteng.
Penelusuran ini bersifat pengamatan yang dikaitkan dengan sumber-sumber
yang didapat.
Kedua, setelah materi-materi penulisan sejarah berhasil dikumpulkan,
maka akan masuk dalam tahap kritik sumber. Kritik sumber berguna untuk
menentukan otentisitas dan keotoritatifan sumber sejarah. Dalam studi
sejarah dikenal dua macam kritik, yakni kritik eksternal dan kritik internal.
Kritik eksternal berkisar pada pengetahuan tentang keaslian fisik sumber
sejarah. Misalnya saja peneliti mendapatkan babad, maka sebelum ditelaah
kandungannya, penulis terlebih dahulu memeriksa keaslian kertas, tinta,
watermark, bentuk tulisan, stempel atau tanda tangan (jika ada), serta segala
aspek yang menyangkut kondisi bendawi dari babad tersebut. Selanjutnya,
kritik internal adalah mengetahui kebenaran isi informasi di dalam teks
tersebut.18
Ketiga, sumber yang telah melalui fase kritik, kemudian mencapai tahap
interpretasi. Perlu diketahui, beberapa sumber sejarah, mungkin saja telah
digunakan oleh peneliti lainnya, namun informasi tersebut tetaplah terbuka
untuk dianalisa, disesuaikan dengan tema atau judul yang dipilih. Dengan
begitu dapat dijumpai pembahasan yang berbeda menggunakan sumber yang
18
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 1995) hlm. 99-100;
lihat juga Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah ..., hlm. 98-99 dan 112.
16
sama. Misalnya saja ada peneliti yang menulis tentang perjalanan orang
Tionghoa ke Nusantara maka akan mengutip sumber semacam Yingya
Shenglan, namun dalam kesempatan lain peneliti bisa pula mengakses karya
itu sebagai sumber sejarah. Pada titik ini, yang membedakan di antara
keduanya adalah interpertasi atau pembacaan ulang disertai komentar atau
catatan kritis mengenainya. Tidak bisa dipungkiri, luasnya tema kajian
berikut interpertasi mengenainya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
dinamika penulisan sejarah.19
Keempat atau terakhir, setelah proses di atas sudah dilalui, baru
kemudian dilakukan penulisan sejarah (historiografi). Susunan pembahasan
mengenai judul yang diangkat, akan dibahas secara kronologis, yakni dengan
mengedepankan aspek runutan kurun waktu yang melingkupi eksistensi
warga Cina Benteng. Pembahasan akan terfokus pada masalah yang
diangkat, ketika sampai pada bab terakhir sebelum kesimpulan.20
F. Landasan Teoritis
Penelitan ini berusaha mengungkap perubahan sosial yang terjadi di
tengah masyarakat Cina Benteng berkaitan dengan pergumulan mereka
dengan Islam baik Islam sebagai dokma maupun Islam sebagai kultur yang
hidup disekitar mereka. Masyarakat Cina Benteng bagaimanapun leluhur
mereka berasal dari daratan Tiongkok dengan tradisi budaya yang kuat
tentunya masih dalam pengaruh kosmologi dan agama-agama Konfusius,
Taoisme dan Budhisme serta filsafat-filsafat Tiongkok yang nanti akan
dibahas dalam bab berikut. Pengaruh Kosmologi dan agama-agama tersebut
19
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu ..., hlm. 100. 20
Dudung, Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Tangerang: Logos Wacana
Ilmu, 1999) hlm. 91-93.
17
tercermin dalam ritual-ritual yang kerap diadakan oleh komunitas Cina
Benteng. Eksistensi mereka sebagai komunitas masyarakat yang tinggal di
Tangerang hingga kini masih diakui dan bahkan diapresiasi oleh masyarakat
dari komunitas lain.
Meskipun hari ini sebagian besar masyarakat Cina Benteng tidak
beragama Islam, namun peneliti ingin mendapatkan kelengkapan informasi
yang ditunjang dengan analisa pribadi mengenai bagaimana mereka
memandang Islam, hidup berdampingan dengan tradisi Islam, baik sebagai
agama maupun kebudayaan. Yang dimaksud dengan Islam sebagai agama
adalah mengenai doktrin-doktrin maupun ritual keagamaan. Sedangkan yang
dimaksud Islam sebagai budaya adalah mengenai nilai-nilai Islam yang yang
berkembang dalam sebuah masyarakat. Dengan kata lain Islam sebagai
fungsi sosialnya.
Ketika melihat Tionghoa sebagai satu kesatuan tradisi maka secara tidak
langsung akan berkaitan pula dengan kepecayaannya kepada ketuhanan.
Taoisme, Konfusianisme dan Budhisme, bagi orang Tionghoa sudah menjadi
keyakinan yang membentuk kebudayaan mereka. Proses itu sudah
berlangsung sejak lama, bahkan sebelum para leluhur mereka sampai di
Nusantara. Kepercayaan mereka diwariskan secara turun temurun dan terus
sambung-menyambung, dan akarnyapun bisa ditelisik sejak leluhur mereka
di Tiongkok. Kepercayaan mereka bersambung dengan tradisi ketionghoaan
yang awalnya dibawa oleh para pendahulu mereka dan diwariskan secara
turun temurun. Atau dengan kata lain beragama sesuai dengan agama
orangtuanya. Agama menurut Durkheim bukanlah hal tentang kepercayaan
kepada kekuatan-kekuatan supernatural, seperti tuhan dan dewa-dewa. Tidak
semua agama percaya kepada tuhan walaupun mereka meyakini akan
kekuatan supernatural. Dalam pengamatannya, Durkheim menemukan
18
karakteristik paling mendasar dari setiap kepercayaan agama yang bukan
terletak pada elemen-elemen supernatural melainkan pada konsep tentang
“yang sakral”. Dalam masyarakat beragama manapun, dunia dibagi menjadi
dua bagian terpisah yaitu “dunia yang sakral” dan “dunia yang profan”,
bukan seperti yang selama ini dikenal, yaitu naturan dan supernatural. Hal-
hal yang sakral selalu diartikan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa,
dalam keadaan normal dia tidak tersentuh dan selalu dihormati. Sementara
hal yang profan adalah yang merupakan kebiasaan sehari-hari dan bersifat
biasa-biasa saja. Konsentrasi utama agama terletak pada yang sakral.
Menurut Emile Durkheim, agama adalah manifestasi natural dari
aktivitas manusia. Semua agama, apapun jenisnya, bersifat instruktif. Segala
bentuk tata laku ritualnya, membantu pemeluknya untuk memahami aspek-
aspek keagamaan. Merupakan bagian dari studi agama, yaitu mengetahui
bagaimana mereka hidup di tengah peradaban manusia. Definisi mengenai
agama, tidaklah bisa diketahui, jika belum melihat di mana tempat agama itu
berasal. Dari tempat awal perkembangannya itulah bisa diketahui
karakteristik-karakteristik yang membentuk agama tersebut.21
Agama dalam definisi Durkheim dikatakan bahwa agama adalah satu
sistem kepercayaan dengan perilaku-perilaku yang utuh dan selalu dikaitkan
dengan yang sakral, yaitu sesuatu yang terpisah dan terlarang. Apakah tujuan
yang sakral ini ? maka jawabannya akan ditemukan dalam definisi kedua
yang diberikan Durkheim. Perilaku-perilaku tersebut disatukan dalam
komunitas moral, tempat masyarakat memberikan kesetiaannya.22
Yang
menjadi kata kunci adalah komunitas. Yang sakral tersebut memiliki
pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan kepentingan anggota
21
Emile,Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, Terjemahan dari
Bahasa Prancis oleh Joseph Ward Swain (New York: Dover Publication, Inc, 2008) hlm. 24. 22
Durkheim, Elementary Forms…, hlm. 47
19
masyarakat. Pada pihak lain yang profan tidak memiliki pengaruh yang
begitu besar, melainkan hanya merefleksikan keseharian individu-individu,
baik menyangkut aktifitas pribadi maupun kebiasaan yang dilakukan setiap
individu dan keluarga. Durkheim selanjutnya memperingatkan agar jangan
salah artikan konsep ini sebagai pembagian moral, bahwa yang sakral
sebagai kebaikan sedangkan yang profan sebagai keburukan. Di dalam yang
sakral bisa jadi terdapat kebaikan juga keburukan, tetapi yang sakral tidak
akan berubah menjadi yang profan. Demikian pula sebaliknya, dalam yang
profan bisa juga terdapat kabaikan sekaligus keburukan tetapi yang profan
tidak akan berubah menjadi yang sakral.
Sebagaiman yang disebut oleh pemikir Yunani, Archimides dengan pou
sto, yang berarti dimana ia berdiri. Durkheim dengan jelas memperlihatkan
posisi itu yang ia tunjukkan dari mana ia memulai argumentasinya. Jika
diperhatikan definisi agama yang ia tulis di bagian awal buku The
Elementary, agama menurutnya didasarkan pada pembedaan yang dibuat
oleh setiap masyarakat antara yang sakral dan yang profan. Perhatian utama
agama ditujukan kepada yang sakral, yang harus selalu dijaga agar tidak
tercampur atau tertukar dengan yang profan. Yang sakral selalu terikat
dengan peristiws-peristiwa besar dalam sebuah klan. Begitu juga sebaliknya,
yang profan merupakan bagian dari kehidupan pribadi. Konsep ini menjadi
dasar bagi seluruh bangunan teori Durkheim.
Nilai lebih dari studi yang dilakukan Durkheim terletak pada tekadnya
untuk melakukan studi hanya pada satu tipe budaya. Dalam hal ini Durkheim
mengambil objek studinya pada budaya masyarakat Aborigin Australia dan
menjelaskan agama dalam konteks budaya masyarakat tersebut. Dalam
pelaksanaannya dia sangat mengandalkan laporan etnografi dari Spencer dan
Gilen serta para peneliti lainnya. Kemudian menyandarkan teorinya kepada
20
bukti-bukti yang didapat oleh ilmuwan-ilmuwan itu. Nilai ilmiah dari
pendekatan Durkheim sudah jelas dan tidak dapat ditolak., akan tetapi masih
memiliki kelemahan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada laporan-
laporan ilmuwan tadi atau otentisitas bacaan Durkheim atas karya karya
mereka diantaranya adalah apa yang tersisa dari teori Durkheim sendiri.
Inilah yang menjadi titik yang dianggap lemah dari teori Durkheim dan
mendapat kritik dari beberapa kalangan. Seorang sosiolog yang sebelumnya
bekerja bersama Durkheim bernama Gaston Richard menyatakan dengan
cermat, dia kembali meneliti masyarakat Australia dan memperlihatkan yang
justru berlawanan dengan kesimpulan Durkheim. Richard juga menyatakan
bahwa kebanyakan teori Durkheim dibangun bahkan sebelum dia menelaah
laporan-laporan mengenai Australia itu sendiri.23
Fungsionalisme sosiologis adalah kata kunci dalam metode eksplanasi
Durkheim. Dalam hal-hal tertentu, pendekatan yang dilakukan Durkheim tak
perlu dipertanyakan lagi. Adalah kenyataan bahwa kepercayaan dan ritual-
ritual keagamaan sering kali tercampur dengan tujuan-tujuan sosial,
meskipun seringkali umat beragama tidak menyadarinya. Agama dan
masyarakat memiliki hubungan yang sangat erat, bahkan keduanya tak dapat
dipisahkan satu sama lain. Meski demikian tetap harus dipertanyakan
bagaimana cara kerja sebenarnya dari hubungan itu. Durkheim selalu
menyatakan bahwa agama akan selalu bergantung pada masyarakat.
Masyarakat mengontrol sedangkan agama yang merefleksikannya.
Setiap kali penjelasan fungsionalisme terhadap agama kelihatan sangat
alami dan cocok sehingga tak ada orang yang menyangkalnya. Contoh yang
diajukan, masyarakatlah yang melahirkan keyakinan serta ritual keagamaan
23
Danie, L., Pals, Seven Theories Of Religion, Terj. Inyiak, Ridwan, Munzir, & M.
Syukri, (Jokjakarta : IRCiSoD, 2011) hlm. 171
21
sedangkan agama dianggap tidak bisa melakukan hal yang sebaliknya
kepada masyarakat. 24
Kritik terhadap Durkheim.
Durkheim selalu mengingatkan bahwa struktur sosial adalah realita dan
seolah-olah hanya satu-satunya realita sedangkan agama hanya dianggap
sebagai suatu penampakan. Perlu digaris bawahi bahwa di samping klaim-
klaim Durkheim tentang tujuan agama, agama juga mempunyai fungsi sosial,
tetapi seolah-olah Durkheim mereduksi makna dan nilai agama hanya
terletak pada fungsi sosialnya saja. Bahwa yang menyangkut individu dari
pemeluk agama dianggap sesuatu yang profan dan yang menyangkut tentang
sosial kemasyarakatan dianggap sebagai suatu yang sakral. Durkheim
memang melakukan penelitian untuk mendasari teorinya pada agama primitif
seperti totemisme pada masyarakat aborigin di Australia. Teori Durkheim
masih relefan menyangkut agama-agama seperti Konfusianisme, Taoisme
dan Budhisme. Agama-agama tersebut tidak memiliki konsep tentang hukum
yaitu pahala dan dosa yang keduanya menjadi tanggung jawab individu bagi
pemeluk agama dan akan dimintakan pertanggungjawaban itu di kehidupan
berikutnya.
Apa yang ditawarkan Durkheim yang menjelaskan agama hanya sebagai
bentuk luarnya saja yang dalam istilahnya disebut effervescence25
yang
dibentuk oleh realitas sosial yang lebih mendalam. Durkheim masih
menganggap bahwa agama bagi sebagian masyarakat masih memiliki arti
penting bagi kesejahteraan sosial, berbeda dari Sigmund Freud yang
menganggap agama sebagai satu jenis penyakit akibat trauma psikologis.
Dalam masalah agama, Durkheim dan Freud sama-sama dapat digolongkan
24
Pals, Seven Theories Of Religion, hlm. 25
Pals, Seven Theories…..,Hlm.172
22
sebagai aliran fungsionalis reduksionis agresif, tujuannya adalah mereduksi
agama hanya pada fungsi sosialnya saja.
Islam, memerintahkan umatnya untuk melakukan shalat lima waktu
setiap hari. Keutamaan ritual shalat memang lebih pada pelaksanaan yang
berjamaah, dalam arti dilakukan bersama-sama namun shalat adalah perintah
kepada setiap orang yang mengimani Islam. Shalat yang dilakukan secara
sendiri-sendiri untuk melaksanakan perintah dan menggugurkan kewajiban
tetap saja merupakan suatu yang sakral. Sebagaimana kita ketahui bahwa
Durkheim menganggap suatu yang dilakukan individu adalah bukan suatu
yang sakral melainkan yang profan.
Kebanyakan umat beragama menganggap teori-teori Durkheim tidak
dapat diterima. Dalam pandangan iman agama, pendekatan-pendekatan
reduksionis ini telah gagal memahami apa yang ada dalam agama tersebut
terutama agama-agama monoteis. Dalam kontek Konfusianisme, Taoisme
dan Budhisme, teori-teori Durkheim masih dapat diterima mengingat agama-
agama tersebut sebenarnya bukan agama monoteistik. Mereka menyembah
banyak dewa, bahkan seseorang yang dianggap banyak berjasa pada
manusia, setelah kematiannya bisa saja dipuja sebagai dewa. Cheng Ho
adalah salah satu sebab kemunculan pemukiman Tionghoa awal di
Tangerang. Kedudukannya begitu dihormati bahkan oleh sebagian orang
Tionghoa, Cheng Ho dipuja sebagai dewa.26
Kendatipun mereka mengetahui
bahwa Cheng Ho sebenarnya beragama Islam.
Sejak kedatangan orang-orang Tionghoa dari Batavia akibat peristiwa
pembantaian 1740, Keberagamaan dan kebudayaan Tinghoa seperti
menemukan kembali penguatan tradisinya dengan banyak digelarnya ritual-
26
Onghokham, Anti Cina ..., hlm. 118.
23
ritual serta upacara-upacara pemujaan terhadap dewa-dewa dan arwah para
leluhur. Inilah yang dimaksud Durkheim dengan pentingnya ritual-ritual
tersebut sebagai penguat ikatan sosial bagi penganutnya hingga hal demikian
itu menjadi identitas masyarakat Cina Benteng hingga sekarang. Agama
sekali lagi bukan hanya berfokus pada fungsi sosialnya saja dalam sebuah
masyarakat, individu-individupun harus menjadi fokus agama.
Bagaimanapun, masyarakat terdiri dari individu-individu kesakralan
beragama juga dapat terakomodasi dari nilai-nilai yang bersifat individu.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan disajikan secara kronologis, dan terdiri atas 6 bab.
Bab pertama berisi tentang hal-hal yang menyangkut landasan berpikir, baik
secara teoritis maupun langkah penelitian yang akan ditempuh. Bab ini
tersususun dari beberapa sub bab, antara lain, latar belakang, pembatasan dan
perumusan masalah, kegunaan dan manfaat penelitian, penelitian terdahulu,
metode penelitian, landasan teoritis dan sistematika penulisan.
Bab kedua mengetengahkan tentang pengertian yang menyangkut
identitas orang Tionghoa. Seperti diketahui, terminologi mengenai Tionghoa,
Tiongkok, Cina, dan China masihlah belum terjelaskan secara komprehensif.
Penulis juga menganggap penting untuk kita memahami rasa kebatinan
orang-orang Tionghoa terhadap sebuah kekuatan diluar dirinya. Untuk itu
selain terminologi, penulis juga menjelaskan tentang kosmologi dan mitologi
orang-orang Tionghoa dalam bab ini.
Penulis menganggap penjelasan ini menjadi penting untuk memahami
bagaimana orang Tionghoa memaknai kehidupan dan alam ini. Pemahaman
orang Tionghoa yang menganggap ada kekuatan lain di alam ini selain
24
manusia yaitu Tuhan (Tian) dan dewa-dewa perlu dijelaskan agar pembaca
mempunyai pemahaman dalam hal melihat orang Tionghoa memahami
agama.
Onghokham menjelaskan bahwa saat membicarakan agama orang Cina
maka jangan samakan dengan agama monoteistik semacam Kristen, Yahudi
ataupun Islam. konsep agama orang Cina lebih dekat dengan model
beragama orang Yunani dan Romawi, yakni pemujaan terhadap dewa-dewa.
Tidak ada ketetapan resmi, dewa-dewa apa yang dipuja di kalangan orang
Cina, karena pemujaan ini sudah menyatu dalam konsep tradisi orang Cina.
Bisa saja ditemukan di satu kampung Tionghoa hanya satu dewa saja yang
dipuja, dan di kampung lainnya memuja dewa yang berlainan. Kepercayaan
yang diyakininya ini adalah warisan dari para leluhur (ancestral cult).
Bab ketiga, pembahasan difokuskan pada bahasan historis orang Cina
Benteng di Tangerang. Sejarah kedatangan orang-orang Tionghoa ke
Tangerang, Pembentukan masyarakat awal Cina Benteng dan Aklturasi di
masa kolonial Belanda, Tionghoa kerap dijadikan sebagai teman atau kawan.
Kerusuhan 1740 di Batavia yang menyebabkan perpindahan sebagian orang
Tionghoa dari Batavia ke Tangerang, menjadi realitas yang menguatkan
pendapat bahwa tidak sepenuhnya orang Belanda memberi perlakuan
khusus kepada Tionghoa atau masyarakat Timur Asing pada umumnya.
Bab empat mengetengahkan pengaruh kolonial terhadap kehidupan
masyarakat Tionghoa di Tangerang. Panjangnya rentang waktu penjajahan
terutama oleh Belanda tentu meninggalkan kebiasaan yang membekas dalam
sendi-sendi kehidupan termasuk bagi masyarakat Tionghoa terutama di
Tangerang. Kebijakan politik kolonial tentunya berpengaruh besar. Tentang
pengelolaan tanah-tanah partikelir dan beberapa peristiwa kekerasan yang
menimpa etnis Tionghoa di Tangerang turut juga dibahas dalam bab ini.
25
Letak geografis Tangerang yang bersebelahan dengan pusat kekuasaan yaitu
Batavia, mau tidak mau menjadikan Tangerang sebagai wilayah yang tak
pernah lepas dari perhatian kolonial. Pembahasan dalam bab ini diharapkan
dapat memberikan gambaran kepada pembaca mengenai seberapa besar
pengaruh kebijakan politik kolonial terhadap kehidupan masyarakat Cina
Benteng.
Kemudian di bab selanjutnya, akan dipaparkan penjelasan mengenai
bagaimana pandangan orang Cina Benteng terhadap Islam. Islam pada titik
ini mencakup doktrin dan peradaban. Diharapkan pada bagian ini akan
didapatkan keterangan lebih bagaimana Orang Cina Benteng menilai dan
memposisikan Islam, yang notabene pernah ikut membangun sejarah para
leluhurnya di Tangerang. Turut dijelaskan pula mengenai perkembangan
kontemporer mengenai Islam di kalangan orang Cina Benteng. Bab terakhir
berisi kesimpulan dan saran.
26
BAB II
TERMINOLOGI DAN KOSMOLOGI TIONGHOA
A. Terminologi Tionghoa
1. Pengertian Orang Cina dan Orang Tionghoa
Sebelum masuk dalam pembahasan mengenai Cina Benteng lebih
lanjut, peneliti menganggap perlu memberikan penjelasan awal mengenai
terminologi atau istilah-istilah yang tertulis dalam judul tesis ini yaitu Cina,
China, Tiongkok dan Tinghoa. Hemat peneliti, hal ini merupakan elemen
dasar dalam membincangkan persoalan-persoalan lain yang akan
dibicarakan.
Dalam bahasa Inggris, secara konsisten digunakan istilah “People‟s
Republic of China”27
, yang merupakan nama resmi negara asal tempat orang
Cina. Dalam penyebutan masa lampau wilayah Tiongkok sekarang, bahkan
sejak sebelum era Konfusius, yakni sejak pemerintahan raja-raja Shang
(sekitar 1400 SM) disebut Cina.28
Penyebutan ini sudah tercatat di dalam
keanggotaan PBB. Tetapi dalam Bahasa Indonesia, masih sering terjadi
kerancuan dalam penyebutan negara itu, apakah terjemahannya menjadi
“Republik Rakyat Tiongkok” atau “Republik Rakyat Cina” atau “Republik
Rakyat China”?
Penggunaan kata Cina (China dalam bahasa Inggris, Chine dalam
bahasa Prancis dam bunyi mirip itu dalam bahasa-bahasa Eropa lainnya).
27
Diunduh dari https://www.cia.gov/library/publications/resourcesthe-world-
factbook/geos/ch.html. Pada Pukul 14.36 WIB, Rabu 22 Juni 2016. 28
H. G. Creel, Alam Pikiran Cina; Sejak Confucius Sampai Mao Zedong (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 1990) hlm. 11.
27
Kata China berasal dari Qin (dibaca „Cin‟). Qin adalah dinasti asal
Manchuria yang mempersatukan dan menguasai sebagian besar daratan
Tiongkok dan berkuasa dari tahun 221 sampai dengan 206 SM. Meski hanya
berkuasa 15 tahun, bangsa Qin memiliki pengaruh besar dan bahkan bisa
mengalahkan supremasi bangsa Han (mayoritas) yang memiliki jumlah
rakyat yang jauh lebih banyak, dan dengan demikian istilah Zhung Guo -
penyebutan wilayah orang Cina sebelum China - di dunia luar lebih tergeser
oleh istilah Cin yang kemudian menjadi China di Inggris, misalnya.
Kata Tiongkok berasal dari dari kata Zhong Guo (中国)yang dibaca
sebagai „cung kuo‟. Kata ini mengacu pada wilayah Manchuria, Mongolia
Dalam, Xinjiang, Tibet dan Taiwan. Kata Tionghoa berasal dari Zhong Hua
digunakan sebagai penanda sifat (modifier) bagi hal-hal yang berkenaan
dengan Tiongkok. Bila dianalogikan dengan penyebutan internasional untuk
kawasan ini, maka Tiongkok sepadan dengan China, dan Tionghoa sepadan
dengan Chinese.
Sebutan Tiongkok berasal dari zaman Dinasti Shang ketika daratan
Tiongkok terpecah jadi banyak kerajaan kecil. Ketika Dinasti Shang
menguasai wilayah di bagian tengah wilayah yang sekarang menjadi
People’s Republic of China, kerajaan ini disebut “Zhong Guo”, yang berarti
“Negara Tengah”.29
Secara kebahasaan, istilah “Tiongkok” dan “Tionghoa” hanya
ditemukan di Indonesia karena lahir dari pelafalan “Zhong Guo” dalam
Bahasa Indonesia dan dialek Hokien (yang digunakan di Provinsi Fujian,
dari mana banyak etnis Tionghoa di Indonesia berasal). Oleh karena itu,
kedua istilah tersebut tidak didapatkan di negara-negara tetangga yang
29
Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia (Jakarta: LP3ES,
2002) hlm. 101.
28
bahasanya juga mempunyai akar bahasa Melayu seperti Malaysia dan
Brunei. Namun demikian, di Asia, variasi dari istilah “Tiongkok” digunakan
di Jepang (“Chugoku”), Korea (“Jungguk”), dan Vietnam (“Trung Quoc”).30
Pada 1900, nasionalisme orang Tionghoa di Hindia Belanda mulai
muncul, ditandai dengan berdirinya Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yaitu
perkumpulan Orang Tionghoa di Jakarta.31
Masyarakat Tionghoa di
Indonesia membangun organisasi-organisasi dan sekolah-sekolah sebagai
upaya untuk pengenalan lebih mendalam terhadap tanah leluhur. Dalam
proses tersebut, penyebutan “Cina” (pada saat itu ditulis “Tjina”) dikurangi
karena dianggap merendahkan. Sebagai gantinya, istilah “Tiongkok”
digunakan untuk penyebutan negara, dan “Tionghoa” untuk sebutan orang
Tiongkok.
Pada tahun 1910, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan undang-
undang kewarganegaraan dan menyebut masyarakat Tionghoa dengan
terminologi Cina.32
Dari perspektif masyarakat Tionghoa di Indonesia,
penggunaan istilah Cina merupakan bentuk penghinaan, terutama karena
status kelas masyarakat Tionghoa di Indonesia diletakkan lebih rendah dari
orang Barat dan Jepang. Pada tahun 1928, Gubernur Jenderal Belanda saat
itu mengganti penggunaan istilah menjadi Tiongkok dan Tionghoa. Sejak
saat itu pula, tokoh-tokoh nasional Indonesia seperti Ki Hajar Dewantoro,
H.O.S. Tjokroaminoto, Sutomo dan Sukarno menggunakan istilah Tiongkok
dan Tionghoa.
Pada saat pembukaan hubungan diplomatik RI dan RRT di tahun 1950,
dokumen resmi yang ditandatangi kedua belah pihak menggunakan Republik
30
Diunduh dari http://www.tionghoa.info/sejarah-migrasi-dan-populasi-kelompok-
etnis-tionghoa/ pada pukul 9.21 WIB, Selasa 19 April 2016. 31
Leo Suryadinata, Tokoh-tokoh Tionghoa & Identitas Indonesia (Depok: Komunitas
Bambu, 2010) hlm. 2. 32
Diunduh dari : ejournal.lipi.go.id/index.php/jmi/article/download/630/422
29
Rakyat Tiongkok untuk sebutan Zhong Hua Ren Min Gong He Guo, yang
selanjutnya digunakan dalam segala persuratan resmi di antara kedua negara.
Di bawah ini akan dipaparkan beberapa penjelasan mengenai
terminologi Cina dan Tiongkok, secara lebih spesifik:
2. Penghapusan Terminologi “Tiongkok” dari Bahasa Indonesia
Tren penggunaan istilah “Tiongkok” dan “Tionghoa” berubah setelah
meletusnya peristiwa G30S-PKI dan semakin maraknya arus anti-Cina di
tanah air. Dalam iklim politis yang kurang kondusif demikian, pada tahun
1966, Seminar Angkatan Darat ke-2 di Bandung dalam laporannya
mengambil kesimpulan sebagai berikut:
“Demi memulihkan dan keseragaman penggunaan istilah dan bahasa yang
dipakai secara umum di luar dan dalam negeri terhadap sebutan negara
dan warganya, dan terutama menghilangkan rasa rendah-diri rakyat
negeri kita, sekaligus juga untuk menghilangkan segolongan warga negeri
kita yang superior untuk memulihkan penggunaan istilah „Republik
Rakyat Tjina‟ dan „warganegara Tjina‟ sebagai ganti sebutan „Republik
Rakyat Tiongkok‟ dan warga-nya.”33
Pada 25 Juli 1967, Presidium Kabinet Ampera mengesahkan keputusan
Seminar tersebut dengan pertimbangan bahwa istilah tersebut adalah yang
disenangi rakyat Indonesia. Kebijakan ini diresmikan dengan penerbitan
Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. 6 Tentang Masalah Cina, yang
isinya secara spesifik melarang penggunaan istilah “Tiongkok” dan
“Tionghoa” karena nilai-nilai psikologis yang dianggap merugikan rakyat
Indonesia.34
Dalam tanggapannya, Pemerintah RRT melalui surat kabar Renmin
Ribao pada tanggal 27 Oktober 1967 menyampaikan bahwa “perubahan
sepihak Pemerintah Indonesia atas sebutan nama negara Tiongkok, adalah
penghinaan besar dan rakyat Tiongkok menyatakan „sangat marah‟ atas
33
elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/12/DIKSRIMINASI-WARGA-TIONGHOA.pdf 34
http://jdih.ristekdikti.go.id/?q=system/files/perundangan/12158490547.pdf
30
sikap Pemerintah Indonesia yang tidak bersahabat tersebut.” Protes tersebut
disampaikan berkali-kali sampai akhirnya hubungan diplomatik kedua
negara dibekukan.
Pada tanggal 6 Desember 1967, ditetapkan Inpres No. 14 Tentang
Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, yang tujuannya untuk semakin
menekan kebebasan berekspresi masyarakat Tionghoa di Indonesia,
termasuk penggunaan istilah Tiongkok dan Tionghoa.
Semenjak itu, praktis tidak pernah lagi terdengar penggunaan istilah
Tiongkok dan Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia. Yang
ada hanya istilah Cina, yang walaupun secara tata bahasa dinilai netral,
namun kerap digunakan dengan tendensi merendahkan.
Parsudi Suparlan menambahkan bahwa keengganan orang Tionghoa
menggunakan istilah orang Cina karena menurut mereka Cina adalah sama
dengan ejekan. Mereka merasa tidak nyaman apabila diejek “Cina, lu”.
Sedangkan sebutan Tionghoa, bagi mereka adalah suatu sebutan yang
membesarkan perasaan mereka, karena menurut mereka sebutan itu
pengakuan bahwa mereka adalah orang dari Kerajaan Tengah yang
merupakan pusat pemerintahan negeri Cina. Mereka seperti ingin
diperlakukan layaknya tamu kerajaan yang datang ke Nusantara. Mereka
adalah bangsa asing yang ingin dihargai karena keasingannya, bukan karena
mereka adalah bagian dari penduduk lokal. Peneguhan akan keasingan
mereka semakin diperkuat dengan begitu bangganya jika mereka dipanggil
chinese, sebutan yang dialamatkan kepada mereka di luar Indonesia.35
35
Parsudi Suparlan, “Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dalam Masyarakat
Majemuk Indonesia” dalam Antropologi Indonesia, vol. 71, 2003, hlm. 32.
31
3. Penggunaan Terminologi “China” Sebagai Kompromi
Pada saat normalisasi hubungan diplomatik Indonesia dan RRC di tahun
1990, penyebutan People’s Republic of China dalam bahasa Indonesia
menjadi salah satu faktor perselisihan antara kedua pihak yang berunding.
Secara prosedural, Surat Presidium Kabinet Tahun 1967 masih melarang
penggunaan istilah Tiongkok, sedangkan pihak Pemerintah RRT menilai
penggunaan istilah Cina tidak merefleksikan itikad baik dari proses
normalisasi hubungan diplomatik. Mengingat kepentingan untuk normalisasi
hubungan diplomatik, kedua belah pihak akhirnya mencapai kesepakatan
resmi untuk memformulasikan penggunaan “Republik Rakyat China”, atau
menggunakan ejaan “Cina” dalam bahasa Inggris. Dengan penulisan seperti
ini, maka dalam pelafalannya, baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa
Indonesia, Tiongkok disebut dengan “cai.na”.
Dapat dimengerti alasan dari proses kompromi ini. Namun demikian,
yang menjadi permasalahan adalah status istilah “China” dalam bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) edisi ke-empat tahun 2008 versi daring, istilah “Cina” tetap dieja
tanpa hufu “h” dan dibaca “Ci.na”, bukan “Cai.na”. Selain itu, penjelasan
mengenai Cina adalah “1. sebuah negeri di Asia; Tiongkok; 2. Bangsa yg
tinggal di Tiongkok; Tionghoa”.36
Oleh karena itu, penggunaan istilah “China” (baik dalam penulisan
maupun pelafalannya) dapat dilihat sebagai pemaksaan istilah bahasa Inggris
“China” ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini mungkin bisa saja diterima oleh
masyarakat Indonesia.
36
. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/cina
32
4. Penggunaan Kembali Terminologi “Tiongkok” di masa Reformasi
Memasuki masa awal Reformasi di Indonesia, Presiden Abdurrahman
Wahid mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 yang dianggap diskriminatif dan
tidak sesuai dengan norma dan cita-cita reformasi. Meskipun demikian, Surat
Presidium Kabinet Ampera No. 6 Tahun 1967 (mengenai pelarangan
penggunaan istilah-istilah “Tiongkok” dan “Tionghoa”) tidak ikut dicabut.37
Presiden Wahid adalah salah seorang tokoh Reformasi yang memutuskan
kembali penggunaan istilah Tiongkok dan Tionghoa. Di dalam laporan kerja
Pemerintah bulan Agustus 2000, Presiden Wahid secara tegas menggunakan
sebutan Republik Rakyat Tiongkok dan tidak lagi menyebut Republik
Rakyat Cina.
Presiden Megawati Soekarnoputri juga melakukan hal yang sama pada
masa kepemimpinannya. Bahkan pada tahun 1998, sewaktu Presiden
Megawati ketika dirinya menjabat sebagai Wakil Presiden, beliau
mengatakan di hadapan suatu forum di Jawa Timur bahwa “sejak dahulu
sampai sekarang, saya tetap menggunakan sebutan Tiongkok dan Tionghoa,
keyakinan saya ini tidak berubah untuk selama-lamanya”.38
Pada masa pemerintahan setelahnya, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mengeluarkan Keputusan Presiden No 12 tahun 2014 tentang
Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-
06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967. Keppres yang ditandatangani
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 14 Maret 2014 ini,
maksudnya adalah menghapus sebutan/istilah China atau Cina dan
menggantinya menjadi Tiongkok. Nama negara Republik Rakyat Cina
diganti menjadi Republik Rakyat Tiongkok.
37
Lihat juga Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967, diunduh
dari http://www.hukumonline.com/ pada pukul 10.06 WIB, hari Jumat tanggal 2 Mei 2016. 38
33
Dengan berlakunya keputusan tertanggal 14 Maret 2014 itu, maka
dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah
orang atau komunitas Tjina/China/Cina diubah menjadi orang atau
komunitas Tionghoa. Sedangkan negara Republik Rakyat Cina kini disebut
Republik Rakyat Tiongkok.
Meskipun sebagian pihak menilai keputusan presiden ini merupakan
bagian dari manuver politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk
menggalang dukungan etnis Tionghoa menjelang pemilu, Asvi Warman
Adam berpendapat, secara umum keputusan ini berdampak positif. "Lebih
baik menyebut suatu kaum sebagaimana mereka ingin disebut," ujarnya.39
Demikian penjelasan penulis mengenai istilah atau terminologi Cina,
China, Tiongkok dan Tionghoa. Jadi dalam penulisan tesis ini peneliti
mengacu pada Keppres No. 12 tahun 2014. Namun demikian dalam hal
penyebutan Cina Benteng, penulis masih menggunakan terminologi “Cina”
hal itu dikarenakan istilah Cina Benteng sudah menjadi makna tersendiri dan
sejauh ini baik di dalam masyarakat maupun media masih menggunakan
istilah Cina Benteng bukan Tionghoa Benteng. Orang-orang Cina Benteng
sendiri tidak merasa direndahkan dalam penyebutan istilah itu walaupun
beberapa pihak menganggap penggunaan istialah Cina pada kalimat Cina
Benteng terkesan seperti merendahkan.
Edi Purwanto menyebutkan bahwa di masa kini, istilah Cina Benteng
kerap dialamatkan pada sesuatu yang merendahkan martabat orang
Tionghoa. Cina Benteng sama halnya dengan sebutan untuk Tionghoa udik
(kampungan), miskin dan kurang pendidikan. Anggapan demikian kerap
disematkan kepada mereka oleh orang Tionghoa yang tinggal di Jakarta.
39
Diunduh dari https://m.tempo.co/read/news/2014/03/19/078563591/sebut-cina-atau-
tionghoa, pada pukul 22.31 WIB, Rabu 22 Juni 2016.
34
Kondisi yang dialami masyarakat Cina Benteng amat bertentangan dengan
fakta bahwa banyak orang Tionghoa yang kaya, bahkan etnis Tionghoa telah
sedemikian identik dengan kemakmuran berlandaskan pada harta yang
banyak serta jaringan bisnis yang luas.40
B. Kosmologi Orang Tionghoa
Filsafat dan keyakinan agama Tionghoa kuno muncul dari keyakinan
primitif animisme yang memandang alam adalah kekuatan tertinggi. Karena
itu pada jaman neolitik orang-orang Tionghoa menyembah matahari, bulan,
bintang, petir, gunung, batu karang, air, api, bumi, langit, hujan dan lain
sebagainya. Muncul dari rasa takut terhadap alam semesta, pikiran orang
Tionghoa tertuju pada hubungan manusia dengan langit.
Mereka meyakini bahwa semua peristiwa termasuk nasib mereka
ditentukan oleh Tianyi (Titah atau mandat dari langit).41
Para penguasa dan
rakyat tidak punya kendali atas nasib dan terhadap bencana-bencana alam
dan sosial seperti kekeringan, banjir, gempa bumi, kebakaran, kemiskinan,
kelaparan dan lain sebagainya. Mereka takut akan mahluk-mahluk gaib
seperti hantu, dewa dan menjaga jarak dengan hal-hal tersebut. Mereka
menghormati mahluk-mahluk gaib itu dengan melayaninya, memberikan
sesaji, mengutamakan dewa-dewa dalam setiap upacara. Mereka percaya
akan dewa-dewa atau “Di” atau “Shangdi” (Tuhan Yang Maha Kuasa). Dia
adalah penguasa tertinggi kosmos dan memiliki control mutlak terhadap
segala sesuatu di dunia fisik. Dia mengirimkan berkah dan bencana, memberi
40
Edi Purwanto, “Kompeksitas Kemiskinan Tionghoa Benteng”, Disertasi (belum
diterbitkan), Universitas Kristen Satyawacana, 2002, hlm. 1 dan 11. 41
. Tan Ta Sen, Cheng Ho Penyebar Islam dari China ke Nusantara (Jakarta : Kompas
Media Nusantara, 2010) hlm. 32
35
perlindungan dalam setiap pertempuran, menjatuhkan sangsi serta
memutuskan takdir dan nasib manusia termasuk penunjukan dan pencopotan
terhadap pejabat. Dia juga memberi kepercayaan kepada raja-raja dengan
mandate untuk memerintah. Karena itu raja harus meminta persetujuananya
sebelum melakukan sesuatu.
Kehendak Yang Maha Kuasa dapat diketahui dengan membaca guratan-
guratan yang tertulis pada tulang belulang yang memuat ramalan-ramalan.
Dari guratan itu dapat diketahui peristiwa-peristiwa yang akan terjadi pada
masa mendatang begitu juga keadaan cuaca atau musim. Guratan-guratan
yang tampak di tulang-belulang lalu ditafsirkan sebagai respon dari
pertanyaan pertanyaan yang diajukan. Jelaslah ketergantungan mereka akan
dunia materi pada keinginan yang gaib.
Konsep tentang langit mengacu pada kekuatan moral kosmos yang suci
dan hak dinasti untuk memerintah didasarkan justifikasi etika, kekuasaan
bedasarkan kebajikan. Jika raja melalaikan tugas sucinya dan menjadi
seorang tiran, Langit akan memperlihatkan ketidaksenangannya dengan
menurunkan bencana-bencana. Jika raja lalai memperhatikan peringatan-
peringatan itu, Langit aka menarik kembali mandatnya . Akhirnya Langit
akan memilih penggantinya yang lebih bijak42
. Raja bertindak sebagai
penengah antara langit dan alam manusia. Kebijakan raja menjamin harmoni
yang sebenarnya dari keduanya.
Pada perkembangannya peramalan menggunakan guratan-guratan
tulang belulang mengalami perubahan dengan mulai ditulisnya kitab-kitab
peramalan. Pembacaan guratan pada tulang belulang dianggap kurang dapat
memenuhi harapan karena hanya dapat dibaca oleh seorang tabib atau dukun.
42
Yao Xinzhong, An Introduction to Confucianism (Cambridge: Cambridge Univesity
Press, 2000) hlm. 147
36
Dengan demikian unsur subjektifitas menjadi terlalu kuat. Keterbatasan
pengetahuan sang tabib sering kali menjadikan jawaban-jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan meleset.
Peramalan melalui pembacaan guratan tulang-belulang bergeser pada
pembacaan kitab-kitab peramalan yang ditulis oleh seseorang yang dianggap
kompeten. Ia mengamati setiap kejadian dan perubahan-perubahan yang
dikonotasikan sebagai sebuah tanda-tanda akan terjadinya sebuah situasi atau
peristiwa di masa datang. Peramalan dianggap begitu penting karena dengan
memperoleh informasi mengenai yal yang akan dihadapi, orang Tionghoa
menjadi lebih siap.
1. Aliran Yijing (Buku tentang perubahan tentang), Yin - Yang dan
Wuxing (Lima Unsur/agen perubahan)
Kitab Yijing kemungkinan besar merupakan kitab peramalan tertua yang
ditulis sekitar abad 11 SM. Kitab tersebut oleh Dinasti Han dijadikan
pedoman bagi apa saja dan salah satu kitab paling berpengaruh tentang
kebiasaan orang Tionghoa mulai dari ramalan nasib hingga strategi
kemiliteran.43
Kitab Yijing merefleksikan pandangan dunia kosmos orang Tionghoa
tentang perubahan. Alam semesta tidak bersifat statis tetapi alam adalah
sebuah kegiatan yang bergerak terus-menerus yang merupakan realitas dari
pertentangan, perjuangan, dan keanekaragaman serta perbedaan. Perubahan
adalah intisari dari eksistensi. Yijing adalah kitab yang menjelaskan hasrat
untuk bertindak sesuai dengan jalan atau aliran alam semesta yang dapat
menjamin keberhasilan perubahan dalam kerangka kehidupan yang
43
Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 37
37
senantiasa berubah.44
Yijing merrupakan kitab yang merujuk pada pencarian
keseimbangan dan keteraturan dalam dunia yang kacau-balau.
Setiap perubahan berkaitan dengan dua kekuatan yaitu Yin, sebagai
unsur yang bersifat pasif, feminis. Unsur Yang adalah bersifat aktif dan
maskulin. Yin dan Yang adalah dua elemen yang saling melengkapi.
Interaksi antar dua unsur tersebut akan mengarah pada perkembangan
moralitas dan peradaban masyarakat. Interaksi dua kekuatan kosmos tersebut
menghasilkan evolusi budaya, ide, dan system.
Doktrin Yin dan Yang dihubungkan dengan teori Lima Unsur atau Lima
Agen, yaitu Logam, Kayu, Air, Api dan Tanah. Semua materi kehidupan
mengandung lima unsur itu. Doktrin memasukkan konsep penting tentang
rotasi yang menggambarkan keterhubngan antara penciptaan dan
pemusnahan yang bergantung pada siklus pergerakan Lima Unsur.
Hubungan antara perjuangan, keselarasan, persaingan dan pertentangan
adalah han yang mendasar bagi doktrin Yin dan Yang serta Lima Unsur.
Konsep Yin dan Yang serta Lima Unsur juga melengkapi kerangka
intelektual orang Tionghoa di bidang pengobatan dan biologi. Seluruh bagian
tubuh dipandang saling berkaitan dan munculnya penyakit diakibatkan
gangguan terhadap keseimbangan Yin dan Yang atau Lima Unsur. Karena
itu diagnosis mengenai ketidakseimbangan tersebut menjadi penting untuk
menentukan terapi yang harus dijalankan maupun obat yang akan diberikan.
Ketepatan membaca keseimbangan tersebut sangat menentukan keberhasilan
sebuah pengobatan.
Kosmologi berdasarkan teori perubahan Yin dan Yang serta Lima Unsur
menandai kemajuan luar biasa dalam memikiran filsafat Tionghoa. Jika
44
. Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 37
38
sebelumnya alam semesta dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan spiritual
dengan hasrat dan keinginan yang disampaikan kepada manusia melalui
peramalan, berikutnya manusia dapat menentukan dan memprediksi operasi
kekuatan-kekuatan alam secara objektif melalui metode analisa. Aliran
tersebut juga menghasilkan Feng shui, tongshu (almanac Cina).
C. Mitologi Orang Tionghoa
Menurut mitologi Orang Tionghoa, disebutkan bahwa nenek moyang
mereka adalah Kaisar Kuning Huang Ti, salah seorang pahlawan
kebudayaan Tiongkok. Kedudukannya lebih bersifat mitologis dan hanya
didasarkan pada legenda, ketimbang sosok nyata yang pernah hidup.
Kuburannya terdapat di Huang Ling, sebuah kota kecil di tepi Sungai
Kuning. Nama lengkapnya Shen Yeng Huang, kaisar ketiga menurut mitologi
Tiongkok dan pendiri Taoisme. Gelarnya merefleksikan bahwa ia dilahirkan
pada hari unsur tanah (kuning adalah warna tanah) pada 2704 SM.45
Kaisar Kuning memperkenalkan perhitungan secara matematis dan
kalender dengan siklus 60 tahunan yang sampai sekarang masih dipakai. Ia
juga dikenal sebagai penemu mata uang, blok-blok bangunan dan jarum
kompas. Ia juga mengajarkan kepercayaan dengan memberikan korban
kepada langit (surga) yang diletakkan di atas meja/altar (meja
sembahyang/samkai). Dialah yang pertama membangun istana kekaisaran,
mendatangkan bambu ke Tiongkok, membuat peralatan musik dan
mendesain perlengkapan dapur dari kayu, tanah dan logam. Kaisar ini juga
dipercaya sebagai pembuat kapal, alat pengangkut, kereta yang ditarik lembu
dan mempelajari pengobatan untuk memperpanjang usia. Orang-orang
45
Benny G Setiono. Tionghoa Dalam Pusaran Politik (Jakarta: Tansmedia, 2008) hlm.
38
39
Tionghoa yang mengikuti ajarannya berusaha hidup dengan saleh dan
kebijaksanaan yang sempurna.
Di samping Huang Ti, orang Tionghoa secara turun-temurun mengakui
Yen Ti atau Kaisar Yen sebagai nenek moyang mereka. Yen Ti juga dikenal
sebagai Shen Nung atau suami teladan. Ia adalah orang yang selalu disebut-
sebut saat orang membicarakan ilmu pengobatan Tiongkok. Hal tersebut
dikarenakan menurut tradisi dirinya telah mempelajari dedaunan sebagai
obat dan membuat dunia farmasi Tionghoa menjadi kenyataan. Daftar 365
jenis tanaman obat yang dibuatnya kemudian menjadi dasar dari obat-obatan
Tionghoa. Menurut mitologi Tiongkok, Shen Nung adalah kaisar kedua yang
dilahirkan pada abad 28 SM dengan kepala seperti banteng dan berbadan
manusia. Dalam legenda Tionghoa, Shen Nung pernah menjinakkan lembu
dan kuda untuk menarik gerobak dan bajak. Ia mengajari rakyat cara
mengolah tanah dengan bantuan binatang dan karenanya ia dikenal sebagai
orang yang membangun pertanian.
Berdasarkan legenda, Kaisar Kuning mempunyai 25 orang anak dan 14
orang di antaranya diberi nama keluarga yang berbeda oleh ayahnya. Kuat
dugaan bahwa seluruh nama Tionghoa berkembang dari 14 nama tersebut.
Hal ini juga yang menjadi latar belakang pengumuman yang dilakukan
Kaisar Dinasti Ming, bahwa semua orang Tionghoa, tidak peduli di manapun
mereka berada, menetap dan beranak-pinak, mereka tetap dianggap sebagai
warga atau kawula Tiongkok.46
Gambaran di atas setidaknya menjelaskan dua hal. Pertama,
Kebudayaan Tiongkok sudah terbilang maju, jauh mendahului negeri-negeri
lain termasuk Eropa. Dengan demikian orang Tionghoa dapat dikatakan
sudah lebih mampu menjalani kehidupan dengan baik dibading dengan
46
Benny G Setiono. Tionghoa dalam …, hlm. 38-39.
40
bangsa-bangsa lainnya. Teknologi dan peralatan-peralatan sudah banyak
digunakan. Berkaca pada penjelasan tersebut, seharusnya bangsa Tionghoa
hidup lebih sejahtera. Pertanyaan besar kemudian muncul, mengapa terjadi
arus kepergian bangsa Tionghoa ke luar Tiongkok? Apakah kebudayan
mereka tidak dapat menjawab tuntutan alam di Tiongkok, atau ada faktor
lain yang melatarbelakanginya ?
Kedua, hubungan emosional yang dibangun oleh orang-orang Tionghoa
memang sudah dilakukan sejak awal yaitu dengan menciptakan mitos bahwa
mereka berasal dari satu keturunan, yaitu keturunan Kaisar Kuning. Ini
cukup memberikan alasan , mengapa budaya nenek moyang di kalangan
orang-orang Tionghoa begitu mengakar kuat. Bangsa Tionghoa percaya pada
suatu dogma bahwa supremasi Tiongkok terhadap negara-negara lain begitu
tertanam dalam benak bangsa Tionghoa. Kaisar mereka ditunjuk oleh langit
untuk menjadi pemimpin seluruh dunia.47
Dalam beberapa naskah ditemukan
bahwa mereka menyebut bangsa-bangsa lain dengan sebutan bangsa barbar.
D. Agama Orang Tionghoa
1. Konsep agama bagi orang Tionghoa
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Onghokham, tidaklah cocok jika
dipandang sebagai agama monoteistik. Agama monoteistik adalah agama
yang bertumpu pada pemujaan Tuhan yang Esa, seperti Islam, Kristen dan
Yahudi. Agama orang Tionghoa lebih cocok dibincangkan melalui sudut
pandang agamanya orang Yunani atau Romawi, yakni pemujaan terhadap
banyak dewa dan dewi dan demon (iblis).48
Struktur keagamaan orang
47
W.P. Groeneveldt. Nusantara Dalam Catatan Tionghoa (Depok: Komunitas Bambu,
2009) hlm. 6. 48
Onghokham, Anti Cina ..., hlm. 118.
41
Tionghoa telah tersistematisasi ke dalam kultur orang Tionghoa itu sendiri.
Dengan kata lain, antara agama dan kebudayaan sudah menjadi satu kesatuan
yang tidak terpisahkan. Orang Tionghoa secara tradisi sudah memiliki
keyakinan akan kepercayaan tertentu sejak lahir. Ini tentu berbeda dengan
agama monoteistik, yang merupakan produk kebudayaan baru dalam
kehidupan suatu komunitas manusia, yang tidak ada sangkut paut historis
dengan proses awal turunnya wahyu atau pendirian agama itu sendiri.
Misalnya saja Islam di Arab tentu tidak serta merta langsung cocok dengan
keyakinan orang Jawa yang sebelumnya masih Hindu-Budha.
Tidak ada kesepakatan yang jelas, dewa mana yang disembah oleh
orang Tionghoa. Bisa terjadi, antara satu kampung di Tionghoa dengan
kampung lainnya, menyembah dewa yang berbeda. Dewa bukan hanya
berasal dari tokoh mitologis, orang yang dianggap berjasa besar di masa lalu
bisa pula dijadikan sebagai dewa, seperti Laksamana Cheng Ho. Bahkan,
orang Tionghoa di Tiongkok dengan Tionghoa peranakan bisa menyembah
dewa yang berbeda. Merupakan kesulitan tersendiri untuk mengidentifikasi
dewa-dewa lokal baik di Tiongkok maupun di perantauan.49
Konghucu merupakan kepercayaan yang populer di kalangan orang
Tionghoa. kepercayaan ini merujuk pada pengamalan ajaran-ajaran seorang
tokoh agung Tiongkok bernama Kong Fu Tse atau Konfusius (551-449 SM).
Konghucu seyogyanya bukanlah agama, karena ajaran ini tidak mengandung
pengetahuan tentang hidup setelah mati, doa sebagai komunikasi antara
orang yang hidup dan mati serta bagaimana seseorang mempertahankan
pertalian antara orang yang hidup dengan yang sudah mati. Konghucu tidak
membicarakan semua ajaran itu. Penganut Konghucu menyembah roh-roh
dan Tian (Tuhan). Meskipun begitu, konsepnya tentang Tuhan, tidaklah
49
Onghokham, Anti Cina ..., hlm. 118.
42
sama dengan Kristen. Konghucu mendudukkan posisi Tuhan sebagai nasib,
alam dan proses alamiah.
Munculnya ajaran Konghucu merupakan respon atas kehancuran tatanan
orang Cina akibat pertempuran yang tidak kunjung usai. Pertikaian politik
yang berkepanjangan di antara penguasa menyebabkan kehidupan
masyarakat semakin jauh dari kebaikan dan banyak tumbuh kebiasaan
asusila di antara mereka. Awalnya, Konfusius ingin mendapatkan posisi
penting di tataran politik, agar lebih mudah menerapkan aturan yang
dianggapnya benar, namun hal tersebut tidak kunjung didapatkan. Ia juga
rajin melakukan penyadaran melalui ajaran-ajarannya, namun tidak
mendapat hasil yang diharapkan. Kejadian itu berlangsung sampai ia
meninggal. Lima belas tahun setelah kematiannya, ajarannya mulai
mendapat simpati di kalangan orang Tiongkok dan dipraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari.50
Selain pemujaan dewa dan para leluhur, serta Konfusianisme, agama
atau kepercayaan yang dipeluk oleh orang Tionghoa lainnya yang menjadi
identitas dari kebudayaan mereka adalah Budha dan Taoisme. Budha
merupakan kepercayaan yang menitikberatkan pada pemujaan terhadap
Budha yang tercerahkan (Bodisatva). Di dalam Budha sendiri terdapat
beberapa aliran. Selain itu, orang Tionghoa juga ada yang percaya akan
ajaran Taoisme. Taoisme atau Daoisme adalah serangkaian ajaran mengenai
kehidupan yang diperkenalkan oleh Yang Chu (hidup sekitar 279-289 SM
yang lebih dikenal dengan nama Lao-tzu (Lao Tse) yang bermakna “Empu
Tua”. Lao Tsu sendiri hidup sezaman dengan Konfusius. Kitab umat
Daoisme adalah Tao-Te-Ching yang bermakna kitab klasik mengenai jalan
50
Leo Suryadinata, Negara dan Etnis ..., hlm. 167.
43
dayanya. Sepeninggal Lao Tzu, tokoh daois yang terkenal adalah Chuan Tzu
(hidup sekitar 286 SM).51
Dalam sebagian sejarah eksistensi Tionghoa di Nusantara, terselip juga
sejarah tentang Muslim Tionghoa. Sejak zaman Dinasti Ming (1368-1645),
agama Islam mazhab Hanafi telah berkembang di Tiongkok. Orang-orang
Tiongkok yang Muslim kebanyakan berasal dari Yunnan. Sekitar tahun
1407, armada Tiongkok berhasil merebut Kukang (Palembang) yang
beberapa waktu sebelumnya dijadikan sarang perompak Tionghoa non-
Muslim. Kepala perampoknya bernama Tjen Tsu Ji. Sang pimpinan
perompak ditawan dan dihukum mati di Peking. Di Kukang kemudian
dibangunlah suatu pemukiman Muslim Tionghoa Hanafi yang pertama di
Nusantara. Tidak lama berselang pemukiman serupa juga dibangun di
Sambas, Kalimantan. Dalam rentang waktu 1411-1416, pemukiman
Tionghoa Muslim juga dibentuk di Semenanjung Malaya, Jawa dan di
Filipina. Di pesisir pulau Jawa didirikan beberapa masjid seperti di Ancol
(Jakarta), Sembung (Cirebon), Lasem, Tuban, Tse Tsun (Gresik), Djiaotung
Djorotan (Jiaotung Jorotan), Tjangki (Cangki) Mojokerto dan lain-lain.52
Amen Budiman menjelaskan bahwa keberadaan orang Tionghoa
Muslim di Nusantara adalah sejak abad ke 9. Saat itu Tiongkok sedang
berada pada akhir kekuasaan Dinasti Tang tepatnya pada 874. Menginjak
tahun 880, umat Islam saat itu berada pada tahun-tahun kesedihan. Di
Canton, tempat-tempat pemukiman orang Islam mengalami kerusakan yang
serius. Abu Zaid, seorang pengelana Arab yang pada tahun 878 mengunjungi
Tiongkok, melaporkan bahwa di Kota Hang-chow-fu terjadi kemelut yang
51
Bagus Takwin, Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran Timur
(Depok: Jalasutra, 2009) hal. 93. 52
Mangaradja Onggang Parlindungan, Tuanku Rao (Yogyakarta: LKiS, 2007) hlm.
652-653.
44
menewaskan sekitar 120.000 orang di antara mereka adalah orang Muslim,
Yahudi, Kristen dan Persia. Akibat dari kerusuhan itu, kemungkinan banyak
di antara Muslim Tionghoa yang mencari tempat aman yakni dengan
mengunjungi daerah-daerah baru, seperti di Pulau Jawa. Jika demikian, maka
besar kemungkinan para keturunan mereka inilah yang disaksikan Ma Huan
sekitar abad 15, sudah bermukim di pantai Jawa Timur.53
Keberadaan kelompok Tionghoa Muslim berpengaruh di pesisir utara
Pantai Jawa dibuktikan oleh banyaknya tokoh penyebar Islam awal di Jawa
(Wali Songo) yang merupakan keturunan Tionghoa. sekitar tahun 1445,
Bong Swi Hoo (diyakini sebagai Raden Rahmad, Sunan Ampel) dipercaya
oleh Swan Liong (seorang pembesar di Jawa Timur), untuk menghadap Haji
Gan Eng Tju di Tuban untuk ditempatkan sebagai Kapten Cina Islam di
suatu tempat. Haji Gan Eng Tju sendiri memiliki nama asli dari Ario Tejo
yang mendapat gelar “A Lu Ya” dari Radja Su King Ta (Ratu Suhita) yang
bekruasa pada 1427-1447. Di Tuban Bong Swi Hoo menikah Nyi Ageng
Manila. Bong Swi Hoo sendiri adalah Raden Rahmat atau Sunan Ampel.54
Gang En Tju mempunyai anak bernama Gan Si Cang yang mempunyai
nama lain Sunan Kalijaga. Suatu ketika Sunan Kalijaga meminta kepada Kin
San (Raden Kusen) untuk membantu mendirikan masjid di Demak.
Permintaan ini dikabulkan dan di sanalah ia kemudian berdakwah. Di masjid
itu terdapat saka tatal yang dibuat Gan Si Cang dengan meniru model tiang
utama kapal-kapal Cina. Di pesisir Jawa Barat terdapat seorang Tionghoa
Muslim yang juga mempunyai peran besar dalam pengembangan Islam di
53
Amen Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia (Semarang: Penerbit
Tanjung Sari, 1979) hlm. 13. 54
Mangaradja Onggang, Tuanku Rao ..., hlm. 654-655.
45
sana. Ia bernama Toh A Bo yang disebut sebagai Sunan Gunung Jati.
Diceritakan bahwa ia adalah putra dari Sultan Trenggana.55
Melihat pada pemaparan historis di atas, bisa dipahami bahwa
kontribusi Muslim Tionghoa di Nusantara juga tidak bisa dianggap kecil.
Namun, amat disayangkan, jumlah pemeluk Islam pada saat ini (sampai
tahun 2016) di kalangan orang Tionghoa masihlah minim. Ingatan bahwa
umat Islam Tioghoa ikut pula membangun dakwah Islam di Nusantara
sepertinya tidak membekas dalam hal kuantitas, yang berarti banyaknya
umat Muslim di kalangan orang Tionghoa saat ini. Peneliti melihat
keengganan orang Tionghoa memeluk Islam adalah karena ajaran Islam
melarang beberapa tradisi Tionghoa yang sudah berurat akar. Dalam Islam
tidak diperkenankan makan daging babi, berjudi dan minum arak. Padahal
hal tersebut merupkan kebiasaan orang Tionghoa yang sudah membudaya.
Sebenarnya, wacana masuk Islam sudah didengungkan oleh umat
Muslim Tionghoa yang lebih dahulu masuk Islam. Junus Jahja, salah satu
tokoh Muslim Tionghoa mengatakan bahwa masuknya orang Tionghoa ke
agama Islam, menunjukkan bahwa dirinya telah mempunyai identitas orang
Indonesia. Bagi Junus, Islam adalah pemecahan dari segenap permasalahan
yang menyangkut kedudukan orang Tionghoa dalam masyarakat Indonesia.
Ia meyakini, karena Islam-lah umat yang berbeda suku bangsa bisa berada
dalam satu kesamaan tanpa mempersoalkan kembali identitas kesukuan.
Islam dapat ditonjolkan sebagai bukti bahwa orang Tionghoa adalah bagian
dari mayoritas penduduk negeri ini, dengan tidak mengabaikan faktor
genetika mereka yang memang keturunan Tionghoa.56
55
Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara
Islam di Nusantara (Yogyakarta: LKiS, 2009) hlm. 99 dan 103. 56
Leo Suryadinata, Negara dan Etnis ..., hlm. 53.
46
Sekitar tahun 1950-an, pernah diperkenalkan suatu kategorisasi baru
mengenai kepercayaan orang Tionghoa, yakni Tri Darma atau Sam Kao.
Ajaran Tri Darma mengandung unsur Budha, Konfusius dan Tao. Tujuan
dari ajaran ini adalah menghidupkan Klenteng sebagai rumah ibadah orang
Tionghoa. meksipun begitu ajaran ini pernah sempat dihapus, namun kini
sepertinya masih tetap eksis. Sebenarnya, memisahkan dunia spiritual orang
Tionghoa dengan klenteng, amatlah sulit dilakukan. Hal ini mengingat
Klenteng adalah bagian dari instrumen kelengkapan peribadatan orang
Tionghoa, seperti juga kuatnya pengaruh Islam dalam keraton Yogyakarta.57
Seiring berjalannya waktu banyak pula keturunan Tionghoa atau
Tionghoa asli Tiongkok yang memeluk agama-agama lainnya, seperti
Katolik, Protestan dan lain-lain. Cikal bakal tertariknya orang Tionghoa
masuk Kristen adalah keinginan mereka untuk berintegrasi dengan
masyarakat Eropa di abad 19. Saat itu diberlakukan tiga stratifikasi sosial
bagi penduduk Hindia Belanda, di mana orang Tionghoa dan kelompok
Timur Asing lainnya dikelompokkan sebagai warga negara kelas dua.
Beberapa orang Tionghoa menganggap berpendidikan Barat adalah salah
satu jalan untuk mencapai kedudukan yang sama dengan orang Eropa,
karena itu mereka ada yang beralih kepercayaan, karena banyak pula di
antara mereka yang sekolah di sekolah misi Kristen Belanda.58
2. Agama-agama orang Tionghoa
a. Konfusianisme
Konfusius atau Konghucu (15 – 479 SM) lahir si sebuah negeri kecil
Lu. Beliau berkelana bersama murid-muridnya ke banyak negeri mencari
57
Onghokham, Anti Cina ..., 122. 58
Parsudi Suparlan, “Kesukubangsaan ...”, hlm. 29.
47
penguasa yang mau mendengarkan ajarannya dan menjalankan pemerintahan
yang berahlak. Dia pernah mengabdi sebagai pejabat pada pemerintahan Lu
dan pemerintahan Wei, namun terlalu muda untuk mendesakkan pengaruh
pada pemerintahan. Beliau kecewa dan memutuskan mundurdari jabatan
pemerintahan dan memusatkan perhatian pada bidang pengajaran.59
Konfusius berulang kali bicara mengenai jaman ideal dengan
mengungkapkan sebuah visi tentang masyarakat yang lebih sempurna
dimana penguasa dan rakyat, bangsawan dan orang kebanyakan, orang tua
dan anak-anak, suami dan istri, kakak dan adik, serta sesame kawan semua
akan menerima spenuh hati peran yang diberikan pada mereka, mengabdikan
diri sebagai bentuk tanggung jawab mereka kepada orang lain. Beliau juaga
menghomati tradisi dan mengajarkan seni tradisional sembari tetap
memberlakukan standar moral yang tinggi.
Ajaran Konfusius diwariskan melalui ujaran-ujarannya yang dicatat
murid-muridnya dalam kitab Lunyu (The analects). Tema utama ajaran-
ajarannya adalah :
1). Li (Ritual)
Dalam bahasa Tinghoa Li bermakna upacara, ritual, etika moral serta
aturan tatakrama. Konfusius sangat percaya pada pentingnya ritual dan
upacara serta nilai penting budi pekerti dan kesopanan. Konfusius dan
murid-muridnya mentransformasikan praktik-praktik keagamaan Dinasti
Shang dan Dinasti Zhou menjadi doktrin sistematis yang digunakan sebagai
pedoman bagi praktik-praktik resmi pemerintahan dan juga rakyat biasa.60
Hal itu membantu menegakkan system administrasi kerajaan dan memberi
59
Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 39 60
Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 39
48
otoritas untuk menafsirkan keyakinan dan praktik-praktik agama. Jika setiap
orang ber prilaku sesuai Li, maka dunia akan tertib, tentram dan damai.
Kinerja ritual yang ketat dan tegas merupakan bagian esensial dari
pemerintahan suatu Negara, karena ini akan menjamin harmoni,
kebahagiaan, dan kemakmuran untuk negara. Bagi Konfusius dan murid-
muridnya, ritual adalah sebuah wahana kearifan dan makna hidup yang
diwujudkan.
2). Ren (kebajikan), Zhong (kepedulian dan kesetiaan), Shu (Tenggang
Rasa)
Bagi Konfusius pendidikan dan olah diri sangatlah penting untuk
membentuk karakter pribadi yang memiliki de (kearifan). Kearifan yang
diajarkan Konfusius adalah ren, yang berarti kebajikan, kemanusiaan,
kebaikan, cinta kasih, dan sebagainya. Dalam spek keseimbangan dan
harmoni individu dan masyarakat, ren dinyatakan dengan istilah Zhong
(peduli pada orang lain), Shu (tenggang rasa) dan yi (kebajikan). Manusia
yang ingin mengukuhkan diri harus terlebih dahulu mengukuhkan orang lain.
Jika ingin menonjol dan terkenal harus menolong orang lain agar dikenal.
Sebaliknya hal yang kamu tidak suka pada dirimu jangan kamu lakukan pada
orang lain. Demikianlah shu, yang merupakan aspek negative dari ren. Pesan
yang mendasari prilaku semacam itu merupakan sifat zhong dan shu yang
mengutamakan kepentingan orang banyak daripada kepentingan individu.
Zhong dan shu mengarah pada pengamalan dan tanggung jawab dan tugas
seseorang dalam masyarakat yang mengandung kualitas yi (kesalehan).61
3). Tianming (jalan langit) dan Zhiguo (memerintah)
61
Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 42
49
Pada masa tiga dinasti kuno, kekuatan spiritual disebut Di, atau (shandi
(Tuhan Yang Maha Esa) namun Konfusius tidak pernah menyebut Di tetapi
sering kali bicara tentang Tian (Langit) dan Tianming (mandat dari langit).
Namun langit tidak lagi sebagai kekuatan tertinggi yang menguasai dunia
melalui para penguasa. Langit hanya memerintah dengan meninggalkan
hukum dan moral untuk bekerja sendiri. Itu adalah jalan dimana peradaban
harus dibangun dan manusia harus berprilaku sesuai moral dan hukum.
Konfusius sangat memercayai humanisme dan menekankan pentingnya
kehidupan sekarang dan manusia ketimbang kehidupan setelah kematian dan
kekuatan-kekuatan spiritual. Dia percaya bahwa manusia adapat membuat
Dao (jalan) hebat dan bukan jalan yang membuat manusia menjadi hebat.
Dia mendukung pemerintahan yang baik, yang memerintah dengan arif dan
memberi teladan moral ketimbang mengutamakan pemberian hukuman.
Dalam Analect, Konfusius mengatakan ;
“Apabila anda memimpin rakyat dengan bantuan peraturan dan
memelihara ketertiban dengan bantuan hukuman, mereka akan kehilangan
hati nurani dalam usaha untuk menghindari aturan dan hukuman tersebut.
Apabila anda memimpin mereka dengan menggunakan kebajikan dan
mempertahankan ketertiban di antara mereka dengan upacara keagamaan,
mereka akan mempunyai suara hati dan akan memperbaiki diri.”62
4). Tertib sosial (Sangang dan Wuchang)
Penganut ajaran Konfusius memiliki visi tentang tatanan masyarakat
ideal dimana terdapat lima relasi menusia yang utama, yakni penguasa dan
yang dikuasai, ayah dan anak, suami dan istri, kakak dan adik serta sesame
teman. Setiap individu dalam masyarakat akan menerima peran terhormat
mereka dan mencurahkan tanggung jawab mereka untuk orang lain. Syarat-
syarat moral dan politik Konfusianisme kemudia diejawantahkan sebagai
62
Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 43
50
“Tiga Prinsip Membimbing” (sangang) dan “Lima Peraturan Tetap”
(wuchang). Tiga Prinsip Membimbing yaitu rakyat kepada penguasa, anak
pada ayah, istri pada suami. Sementara Lima Peraturan Tetap mengacu pada
kearifan Konfusian ; Ren (cinta kasih), Yi (kebenaran/keadilan/
kebaikan/kewajiban), Li (ritual/tatakrama/kesusilaan), Zhi (bijaksana) dan
Xin (Kejujuran). Prinsip-prinsip dan aturan itu diterima sebagai etika
Konfusian yang mengatur prilaku sosial. Prinsip itu membekali negara
dengan sebuah format ideologis dan melengkapi pemerintahan dengan
standar-standar perilaku dan pemikiran.63
b. Daoisme (Taoisme)
Taoisme juga dikenal dengan Daoisme, diprakarsai oleh Laozi sejak
akhir Zaman Chunqiu yang hidup pada 604-517 SM atau abad ke-6 sebelum
Masehi. Taoisme merupakan ajaran Laozi yang berdasarkan Dao De Jing .
Awalnya Dao De Jing disebut Laozi Wuqianyan atau Tulisan Laozi Lima
Ribu Kata. Selanjutnya Dia meninggalkan ibu kota dan tidak pernah
terdengar lagi kabar beritanya. Belakangan, semasa Dinasti Han (202 – 221
SM) kitab itu mulai disebut Daodejing, karena membahas mengenai Dao (
Jalan ) dan De (Kebajikan) yang diajarkan Laozi.64
Kitab singkat yang berjudul Dao De Jing itu, untuk selanjutnya menjadi
kitab pegangan utama bagi para penganut Daoisme. Pengikut Laozi yang
terkenal adalah Zhuangzou yang merupakan tokoh penulis kitab yang
berjudul Zhuangzi. Selain itu ada Lie Zi, Huainan zi juga termasuk filsuf
Taoisme. Lie Zi, Huainan Zi juga membuat kitab yang berjudul Lie Zi dan
Huainan Zi.
63
Yao Xinzhong, An Introduction…, hlm. 34 64
Diunduh dari http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/188-riwayat-lao-zi
51
Taoisme adalah sebuah aliran filsafat yang berasal dari Cina. Taoisme
sudah berumur ribuan tahun, dan akar-akar pemikirannya telah ada sebelum
masa Konfusiusme. Hal ini dapat disebut sebagai tahap awal dari Taoisme.
Bentuk Taoisme yang lebih sistematis dan berupa aliran filsafat muncul kira-
kira 3 abad SM. Selain aliran filsafat, Taoisme juga muncul dalam bentuk
agama rakyat, yang mulai berkembang 2 abad setelah perkembangan filsafat
Taoisme.
Naskah Dao De Jing yang ditulis Laozi yang lahir abad 7 sebelum
masehi dan naskah Chuang Tzu (Zuangzhi) yang ditulis Zuangzhou (369 –
286) SM adalah dua naskah klasik Daois. Ketidak setujuan terhadap segala
yang tidak alami dan artifisial merupakan konsep pokok Daoise. Daoisme
mengkritik keras Konfusianisme yang memakai pandangan dunia
intervensionis dan pejabat kerajaan yang menekankan sebuah tertib social
dan kehidupan aktif. Pandangan sebaliknya dunia Daois adalah wuwei (non
aktif) dan zuochan (meditative) sera berpusat pada kehidupan dan
keheningan individual.
Laozi mengatakan, “Segala sesuatu di dunia terjadi dari Yu (Ada) dan
Ada menjadi ada dari Wu (Tiada)”. Artinya, jika kita menganalisis
keberadaan berbagai hal, yang kita lihat kali pertama seharusnya Ada
sebelum yang lain. Dao tidak bernama, Dao adalah Tiada (non-being) dan
berdasarkan Tiada maka semua hal mewujud. “Karena itu sebelum Ada
mewujud, harus ada Tiada, dari mana Ada mewujud.
Gagasan-gagasan penuntun Laozi adalah Taiyi (Yang Maha) dan Ada
serta Tiada yang tidak berubah. “Yang Ada” adalah Dao yang alami, abadi,
spontan dan tak bernama. Bila Dao dimiliki oleh sesuatu yang individual, dia
menjadi karakter atau kebajikannya (de). Dia menjadi azas penuntun bagi
52
kehidupan ideal seorang individu, keteraturan ideal bagi masyarakat, dan tipe
pemerintahan yang ideal. 65
Dalam kehidupan sehari-hari, Laozi menyarankan agar memahami
hukum-hukum alam dan melakukan tindakan yang selaras dengan hukum-
hukum alam. Ketika sesuatu mencapai titik ekstrim, ia akan kembali pada
titik keseimbangan, bisa jadi, titik keseimbangan baru. Secara sederhana saat
berkurangnya sesuatu, dia akan bertambah. Ketika sesuatu bertambah, dia
akan berkurang.
Kaidah Daois lainnya adalah, jika ingin menjadi kuat, maka harus
memulainya dengan merasa lemah. Tidak menonjolkan diri karena sebuah
keberhasilan. Itu juga strategi Daois dalam membimbing orang agar hidup
tentram di dunia dan dapat menggapai tujuan-tujuannya. Demikian pula
ajaran Daois lainnya yaitu Wuwei (Tidak bertindak) yang bukan dalam
keadaan tidak aktif, melainkan tidak melakukan tindakan yang bertentangan
dengan alam. Dengan kata lain, membiarkan alam bertindak sekehendaknya
tanpa kepalsuan dank e sewenang-wenangan. Filosofi dasar dari wuwei
adalah jika kita mengikuti arus alam dan menjadi bagian dari jalan Dao, kita
akan dikabulkan dan dipuaskan. Jika yang dilakukan adalah sebaliknya, kita
akan menciptakan masalah bagi diri sendiri. Laozi menulis dalam Dao De
Jing,
“Jalan yang dapat dibahas adalah bukan jalan sejati.
Nama yang dapat dinamakan adalah bukan nama yang tidak berbeda.
Nama yang tidak dikenal adalah sumber langit dan bumi.
Namanya adalah ibu dari semua ciptaan.
Sejak tanpa hasrat, seseorang dapat mengamati rahasianya.
Sejak memiliki hasrat, manusia dapat mengamati perwujudannya.
Dua kebenaran itu adalah sama, tetapi tampil dengan nama yang
berbeda.
65
Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 52
53
Identitas mereka dapat disebut sebagai sebuah misteri”.66
Walaupun Daoisme mengedepankan kelemahan, tak bernama, dan
kehampaan ideal, namun bukan berarti ini adalah eskapisme, atau
negatifisme atau penarikan diri. Sesungguhnya filosofi itu mengajarkan kiat-
kiat praktis untuk bertindak sebagaimana dia mengajarkan kepatuhan dan
menentang pemerintahan yang menindas. Kebijakan terbaik penguasa yang
arif adalah tidak campur tangan dan cara hidup terbaik manusia adalah
mengikuti alam sebagaimana digambarkan Dao De Jing tentang negara dan
masyarakat yang ideal ;
“Pada jaman purba, mereka yang menonjol dalam jalan. Tidak
memanfaatkannya untuk membuat rakyat cerdas tapi menjaga mereka agar
tetap bodoh.
Bila rakyat sulit diatur, ini karena mereka terlalu banyak tahu.
Jadi, mereka yang menggunakan pengetahuan untuk memerintah negara.
Adalah bencana bagi negeri.
Mereka yang tidak menggunakan pengetahuan untuk memeriintah negara.
Adalah berkah bagi negeri.
Pahami kedua hal itu, keduanya adalah ukuran.
Pengakuan tetap terhadap ukuran disebut kabajikan yang misterius.
Kebajikan misterius yang mendalam dan luas;
Kembali bersama berbagai hal sepanjang jalan menuju keselarasan
sempurna”.67
Laozi merasa bahwa Negara ideal seharusnya kecil dengan sedikit
rakyat yang berhenti mengunakan peralatan mereka dan kembali
menggunakan anyaman tali (sebagai ganti kegiatan tulis-menulis). Maka
rakyat akan hidup damai. “Rakyat dari Negara tetangga yang berdekatan
dapat saling melihat dan mendengan suara-suara anjing dan ayam-ayam
mereka yang beranjak tua tanpa pernah mengunjungi satu sama lain”.
66
Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 53
54
Sedangkan bagi Zhuangzi, alam bukan hanya spontanitas tetapi juga
tetap mengalir secara alamiah dan berubah tiada henti sebagai proses
semesta yang mengikat segala sesuatu menjadi satu, Menyamakan segala hal
dan semua pandangan. Dia berharap meraih emansipasi dan perdamaian
(pencerahan) absolut dengan mengetahui kemampuan dan keterbatasan sifat
dasar seseorang, memelihara dan menyesuaikannya pada proses transformasi
semesta.
Zhuangzi memberi sejumlah tambahan penting kepada Daoisme. Dao
dalam teks Laozi bersifat duniawi, tetapi dalam teks Zhuangzi menjadi
Transendental. Dia tidak berbicara tentang pembaruan seperti Laozi dan
lebih suka berkelana melampaui dunia yang fana.
“Sendiri ditemani Langit dan Bumi dan ruh, tanpa melepaskan atau
memandang rendah sesuatu yang bersifat duniawi. Dia tidak bertengkar
mengenai benar atau salah, dan bergaul dengan masyarakat biasa.
Di atas dia mengembara bersama Sang Pencipta, dan di bawah dia
bersahabat dengan mereka yang lebih mementingkan kehidupan dan
kematian serta melampaui permulaan dan akhir. Berkaitan dengan yang
hakiki dia berpandangan luas, komprehensif, amat mendalam, dan terikat.
Berkaitan dengan hal yang fundamental, dia mampu menyelaraskan segala
sesuatu dan menembus tingkat tertinggi”.68
Seperti Laozi ia juga menyokong pemerintahan melalui non-pemerintah.
Dia menggunakan air tenang sebagai metefora untuk wuwei. “Langit dan
Bumi terpantul di dalamnya, cermin semua kehidupan. Kosong, tak beriak,
tenang, datar, hening, senyap, non-aktif, itulah keterpusatan Langit dan Bumi
serta Dao dan kebajikan”.
68
Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 54
55
c. Budhisme
Sakyamuni, atau Gautama Sidaharta, dia adalah pendiri Budhisme yang
juga dikenal sebagai Budha (orang yang telah mencapai Pencerahan
Sempurna). Dia adalah putra raja ksatrya dari Suku Sakya, salah satu suku
yang berdiam di kaki Himalaya. Dilahirkan pada tahun 566 SM sedikit lebih
awal dari Konfusius 551 SM. Dia menjalani kehidupan sebagai pangeran
muda di dalam istana yang megah dan indah. Dia adalah seorang yang
terpelajar dan mempelajari semua seni. Ketidakpuasan dan kegelisahan
dalam menjalani kehidupan membuat ia memutuskan meninggalkan keluarga
dan kehidupannya yang serba ada untuk menjalani takdirnya sebagai pertapa.
Setelah enam bulan berlalu, ia menyadari bahwa bertapa bukanlah jalan yang
tepat sehingga ia mengalihkan ke meditasi sebagai media penyelamatan
spiritual untuk mencari kadamaian batin.
Pada hari ke empat puluh Sembilan ia menerima pencerahan hingga
memahami penyebab penderitaan di dunia. Tujuh minggu berikutnya, ia
melanjutkan meditasinya di bawah pohon Bodhi. Budha menyampaikan
khotbah pertamanya di Taman Rusa dihadapan lima orang murid pertamanya
yang sebelumnya juga seorang pertapa.
Khotbah pertama disebut Memutar Roda Hukum yang merupakan inti
dari ajaran Budhis. Ia menggabungkan;
* Empat Kebenaran Mulia – dipenuhi dengan penderitaan, penderitaan
disebabkan oleh hasrat manusia, penyangkalan hasrat adalah jalan menuju
penyelamatan, penyelamatan dimungkinkan melalui Delapan Ruas Jalan
Kemuliaan.
* Delapan Ruas Jalan Kemuliaan – terdiri dari delapan prinsip tindakan
yang mengarah pada kehidupan sederhana dan seimbang, yaitu : pandangan
56
tepat, ketetapan hati, cara berbicara, perilaku, mata pencaharian, upaya,
ingatan dan meditasi. Itulah yang dianggap sebagai kombinasi yang
digambarkan sebagai Jalan Tengah.69
Pada awal abad kedua, Budhisme terpecah menjadi dua cabang, yaitu
Hinayana atau Budhisme Theravada yang ortodoks dan Mahayana yang
cenderung revormis. Hinayana popular di Sri Lanka, Myanmar dan Asia
Tenggara, Sementara Mahayana menjadi aliran mainstream di India, Asia
Tengah, Tibet, Tiongkok dan Jepang. Aliran Hinayana dianggap lebih dekat
dengan ajaran Budha yang orisinal. Ajaran kunci Hinayana adalah bahwa
alam semesta ini menyedihkan, bersifat sementara serta tidak berjiwa karea
itu adalah sebuah agama tanpa jiwa dan tanpa dewa. Bagi Hinayana dalam
transformasi roh setelah kematian tak satupu yang melewati satu kehidupan
menuju kehidupan lain kecuali bahwa suatu kehidupan yang baru, muncul
sebagai bagian dari rantai peristiwa yang mencakup kehidupan lama.
Penganut Budha Mahayana menyembah Budha sebagai dewa dan ada
banyak Budaha-budha yang lain. Selain itu juga ada banyak Bohisatwa di
alam semesta. Mereka bekerja dengan kearifan dan kasih sayang melalui
banyak kehidupan sehingga dapat menjadi Budha. Penganut Budha
Mahayana meyakini doktrin reinkarnasi dan alih kebajikan dari kehidupan
satu ke kehidupan lainnya. Kematian bukanlah akhir kehidupan, tapi
merupakan awal kehidupan yang baru. Dia yang mati akan lahir kembali.
Kehidupan sebelumnya melahirkan kehidupan sekalang dan kehidupan
mendatang akan melahirkan kehidupan berikutnya. Hakikat individu adalah
hasil dari apa yang dia perbuat dalam kehidupan sekarang dan akan
menentukan kehidupan berikutnya yang diinginkan.
69
Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 78
57
Kedatangan Budhisme Di Tiongkok dari India sejak abad ke 1
menghasilkan perubahan-perubahan besar dalam budaya dan kehidupan
orang Tionghoa. Pengaruh tersebut mencapai puncaknya pada masa Dinasti
Shui dan Dinasti Thang. Budhisme menuntaskan proses sinisisasi secara
utuh.
Budhisme sebagai agama asing yang muncul di Kerajaan Tengah pada
abad ke 1 SM. Tiongkok tidak memusuhi hal-hal dari luar. Orang Tionghoa
tidak mengembangkan agama negara yang berwatak eksklusif terhadap
masuknya budaya,filsafat maupun agama-agama dari luar Tiongkok.
Konfusianisme, intinya adalah filsafat, sedangkan Daoisme menekankan
pada non-tindakan, akibatnya penyebaran Budhisme ke Tiongkok tidak
menemui kendala berarti.
Keberhasilan penyebaran Budhisme di Cina tak lepas dari sistem
patronase politik dan interaksi yang intens antara sarjana-sarjana Konfusian
juga Daois dengan biksu-biksu Budhis. Kondisi sosial di Tiongkok yang
sedan kacau balau membuat konsep-konsep Budhis mendapat perhatian
khusus dari orang-orang Tiongkok awam. Budhisme yang menyokong
kesetaraan social, belas kasih, kemurahan hati, perdamaian, harmoni tanpa
kekerasan rupanya memang merupakan nilai-nilai yang sejalan dengan
budaya Tiongkok. Pengolahan diri dan pencerahan sangat bersesuaian
dengan ajaran Konfisian tentang pendidikan diri, konsep reinkarnasi Budhis
juga dianggap memperkuat keyakinan orang Tionghoa yang menyembah
arwah leluhur dan roh-roh. Budhisme menyediakan jalan menuju
keselamatan dan mencari kedamaian batin, terutama selama masa-masa
gejolak social dan politik di Tiongkok.
Sinkretisme Budhisme dengan Konfusianisme dan Daoisme adalah pola
transformasi agama dan budaya yang menjalin kontak dengan agama
58
dan budaya setempat. Budhisme melakukan adaptasi tersebut setelah
menyebar ke Tiongkok pada masa Dinasti Han. Hal itu adalah realita yang
telah diperhitungkan oleh penyebar Budhisme dari Asia Barat agar dapat
memperoleh tempat berpijak di tanah Tiongkok.
Proses akulturasi Budhisme dari agama asing asal India menjadi
Budhisme Tiongkok yang tersinisisasi sepenuhnya menciptakan sebuah
model yang bagus bagi agama-agama asing yang datang berikutnya agar
dapat menyebar dengan baik di dataran Tiongkok, demikian juga dengan
masuknya Islam ke Tiongkok.
d. Mohisme
Pendiri Mohisme adalah Mozi (479 – 438 SM). Mozi bersikap kritis
pada ajaran konfusius. Mozi menentang upacara-upacara pemakaman yang
rumit, masa berkabung yang terlalu lama, tata upacara formal, musik dan
kepercayaan kepada takdir yang dikedepankan Konfusius. Dia mengajarkan
kasih saying universal, mengutuk peperangan dan mengedepankan kehendak
Langit. Akan tetapi kaum Mohis juga mengaitkan doktrin-doktrin tersebut
dengan keuntungan yang dapat mereka hasilkan. Karenanya kaum Mohis
juga disebut penganut utilitarianisme.70
Kasih saying yang bersifat universal adalah doktrin Mohisme yang
paling penting. Seperti Konfusius, Mozi juga menekankan arti penting ren
(kemanusiaan, kedermawanan) dan Yi (kebajikan), namun kemanusiaan dan
kebajikan Mozi berarti cinta kasih kepada semua. SEtiap orang di dunia ini
seharusnya mencintai orang lain dengan adil tanpa diskriminasi. Konfusius
juga mengajarkan cinta kasih kepada semua tetapi diskriminatif karena
70
Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 55
59
mengutamakan cinta kepada orang tua masing-masing. Bagi kaum Mohis,
mencintai dan menyayangi orangtua orang lain seperti orang tua sendiri.
Mozi mengajarkan bahwa setiap orang harus menghormati Negara lain
seperti menghargai negaranya sendiri, kota lain seperti kotanya dan rumah
lain seperti rumahnya sendiri, dengan demikaian pasti tidak akan terjadi
peperangan, penyerbuan terhadap bangsa lain, juga penindasan suatu bangsa
terhadap bangsa yang lain.
Untuk mempengaruhi rakyat agar mengamalkan kasih saying universal,
Mozi memperkenalkan konsep kehendak dari Langit. Mozi menyajikan dua
bab ( Kehendak Langit dan Bukti Kebenarah Roh) dalam bukunya yang
berjudul Mozi. Kaum Mohis mengakui adanya Dewa (Langit) dan pelbagai
Roh dengan tingkat yang lebih rendah. Dewa menyukai kebajikan dan
membenci kejahatan. Dia mencintai umat manusia dan kehendakNya adalah
bahwa semua manusia harus saling mencintai. Dia tak pernah berhenti
mengawasi kegiatan-kegiatan manusia, terutama penguasa. Dewa akan
mengganjar mereka yang mematuhi kehendakNya dengan keberuntungan
berlimpah, namun menghukum mereka yang tidak mematuhi kehendakNya
dengan malapetaka dan musibah. Demikian pula dengan roh-roh yang
tingkatannya lebih rendah, yang juga akan mengganjar mereka yang
mengamalkan kasih saying universal dan menghukum yang tidak
mengamalkan kasih saying universal.
e. Islam
Kontak antara Tiongkok dengan dunia Islam terjadi sejak abad ke 7
Masehi, tak lama setelah Nabi Muhammad memproklamirkan Islam di
Tanah Arab. Berbeda dengan kedatangan Budhisme yang disebarkan dengan
proaktif, Kedtangn Islam merupakan produk sampingan dari hubungan
60
perdagangan dan hubungan diplomatic anrata Tiongkok dengan Bangsa Arab
semasa inasti Tang dan Dinasti Song.
Islam adalah agama asing baru yang dperkenalkan ke Tiongkok bukan
oelh pera juru da‟wah melainkan orang-orang awam seperti para serdadu dan
saudagar. Mereka membangun kantong-kantong pemukiman di pusat-pusat
perdagangan. Sikap dan perhatian dari pemerintahan Tang dan Song
terhadap Islam dan minoritas muslim ternyata cukup mendukung sehingga
mereka dapat bertahan di bawah aturan-aturan non Islami.
Ideologi politik di sepanjang Dinasti Tang didominasi oleh
Konfusianisme dan sebagian kecil Daoisme dan Budhisme. Penganut
Konfusianisme mengendalikan pemerintahan dan administrasi, sementara
Budhisme dan Daoisme popular dikalangan masyarakat awam di sekitar
istana. Penganut Konfusianisme memperbesar pengaruh melalui sistem
pendidikan serta ujian-ujian masuk kepegawaian. Mereka juga berupaya
memperkuat ajaran Konfusianisme tentang tata cara pemerntahan yang
manusiawi dan pengolahan diri yang menekankan pentingnya aturan-aturan
keluarga dan tanggung jawab social.
Kelompok-kelompok minoritas Muslim di Chang-an dan di kota-kota
pelabuhan utama sepanjang jalur perdagangan Guangzhou, Yangzhou,
Quanzhou, Mingzhou, dan Hangzhou. Mereka memosisikan diri sebagai
bukan ancaman bagi Konfusianisme, Budhisme dan Daoisme. Demikian pula
penguasa-penguasa Tang dan Song juga bersikap lunak dan toleran terhadam
Islam dan kaum Muslim. Pada periode itu kaum muslimin terdiri dari
pedagang-pedagang kaya dari Arab dan Persia. Mereka sangat adalah
pedagang rempah-rempah, batu permata dan pengobatan yang sangat
menguntungkan. Mereka adalah kelompok yang sangat dihormati dan
disegani oleh otoritas setempat.
61
Meskipun dianggap tidak mengancam, namun tetap saja dianggap perlu
langkah-langkah antisipasi agar Islam tidak sampai masuk ke Istana dan
berpotensi menggusur dominasi Kunfusian di kalangan istana. Pemerintahan
Dinasti Tang sempat mengeluarkan larangan bagi Kaum Muslim menikahi
perempuan Tionghoa walaupun larangan itu akhirnya dicabut pada
pemerintahan Dinasti Song. Mereka tidak diijinkan memiliki property sendiri
dan hidup dalam sebuah lokalisasi yang disebut Fanfang dengan alasan
untuk menjamin keamanan mereka.71
Pada Abad ke 13 Bangsa Mongol yang merupakan suku-suku nomaden,
di bawah kepemimpinan Temujin mencoba menaklukkan dunia. Temujin
menyatukan suku-suku nomaden dan membentuk kekuatan militer yang luar
biasa kuat. Temujin menyandang gelar Jengis Khan, penguasa alam semesta
dari Padang Steppa pada sekitar tahun 1206. Ia memprokalamirkan diri
sebagai utusan Langit dan setiap yang menghalanginya dianggap menentang
kehendak Langit.
Kendati Jengis Khan mengklaim sebagai sebagai orang yang memegang
mandal langit namun keberhasilan penaklukan bangsa Mongol atas Tiongkok
lebih disebabkan oleh keunggulan militer, bukan karena De (kebajikan).
Jengis Khan Menyatukan suku-suku Mongol dan membentuk mereka
menjadi mesin perang yang maha dahsyat. Penguasa-penguasa yang
menentang Jengis Khan akan dilumat dan menyaksikan rakyat mereka
dibantai dan kota-kota mereka luluh-lantak.
Bangsa Mongol mendirikan Dinasti Yuan (1271 – 1368) di bawah
pinmpinan cucu Jengis Khan, Kubilai Khan. Bangsa Mongol harus
menghadapi kompleksitas permasalahan Negara seperti beragamnya ras dan
71
Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 116
62
agama penduduk wilayah yang ditaklukannya. Meskipun memiliki
keunggulan militer namun budaya mereka masih tertinggal dengan negeri-
negeri taklukan bahkan luas negeri taklukan mereka ribuan kali lebih luas
dari wilayah mereka sendiri.
Konfusian mulai kehilangan dominasinya di kalangan istana karena
tidak lagi menjadi ideologi resmi Negara. Semasa Dinasti Yuan sistem ujian
untuk merekrut pejabat negara tidak lagi berdasarkan sarjana-sarjana
Konfusian namun diperlebar oleh Kubilai Khan menjadi terbuka untuk
semua golongan, bangsa Han, Mongol dan juga Kaum Semu ( Muslim)72
Bangsa Mongol memerlukan dukungan pihak lain untuk emnghapus
dominasi Bangsa Han di Tiongkok. Orang-orang Muslim (semu) diberi
kesempatan untuk duduk sebagai pejabat Negara. Kesempatan itu tidak
terlepas dari rekam jejak kaum semu dalam keikutsertaan mereka dalam
perang Kubilai Khan melawan Dinasti Song Selatan juga peran besar mereka
dalam dinamika perdagangan Timur – Barat.
Dalam aksi militer Mongol ke Barat untuk menundukkan kawasan
Muslim Arab, banyak orang Arab, Persia dan Asia Tengah yang ditangkap
dan diwajibkan mengikuti wajib militer dan membentuk tentara Hui Hui
yang berperang bersama bala tentara Mongol untuk merebut kerajaan-
kerajaan Jin, Xi Liao, serta kekaisaran Song Selatan. Seusai perang mereka
diharuskan menetap. Banyak dari mereka yang di tempatkan di Tingkok
Barat Laut juga ke selatan Sungai Yangtze. Mereka kemudian menikahi
perempuan-perempuan setempat. Bangsa Mongol juga menangkap sejumlah
72
Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 124
63
pengrajin dan pekerja dari Bukhara, Samarkand dan daerah Asia tengah
lainnya untuk dikirim dan dipekerjakan di Tingkok. 73
Berkat terciptanya keamanan jalur perniagaan, Perdagangan
internasional dan anter benua meningkat dengan tajam. Semakin banyak
pedagang-pedagang asal Arab dan Persia yang dating membuka pangkalan
dagang di Tiongkok. Meningkatnya arus perdagangan juga diikuti oleh arus
migrasi para ahli mesin, astronom, sarjana, ahli fisika serta bidanglain
termasuk para juru dakwah berbondong-bondong memasuki Tiongkok.
Penduduk Muslim di Tiongkok pada akhirnya meningkattajam.
Kondisi ini menjadi gambaran penting untuk mengkonfirmasi peran
orang-orang Muslim dalam pemerintahan di Tiongkok khususnya pada masa
Dinasti Yuan dan awal kekuasaan Dinasti Ming. Hal ini juga menjawab
pertanyaan beberapa kalangan yang masih meragukan peran seorang utusan
yang melakukan muhibah ke negara-negara selatan dengan membawa
armada yang luar biasa besar, Laksamana Cheng Ho.
Penerimaan orang Tiongkok atas ajaran Islam didasarkan pada asas
kesetaraan, kesederhanaan dan nilai-nilai kemanusiaan lain sebegaimana
yang diajarkan Konfusianisme, Daoisme serta Budhisme namun ada hal yang
sangat sulit diterima oleh orang-rang yang sebelumnya menganut tiga aliran
kepercayaan itu. Hal itu adalah kosep tentang Tuhan Yang Maha Esa. Tradisi
menyembah dewa-dewa dan pemujaan terhadap arwah leluhur membuat
konsep Tuhan Yang Maha Esa tak sejalan dengan tradisi mereka. Selain itu,
hukum tentang halal-haram. Islam yang mengharamkan makan Daging Babi,
minum arak serta berjudi, sangat tidak dapat diterima karena hal itu sudah
menjadi tradisi dan budaya yang mengakar kuat di kalangan orang Tionghoa.
73
Tan Ta Sen, Cheng Ho…, hlm. 123
64
BAB III
KEDATANGAN, INTERAKSI DAN AKULTURASI DENGAN
PRIBUMI
A. Kedatangan Orang Tionghoa ke Tangerang
Keberadaan orang Cina Benteng di Tangerang tidak terlepas dari sejarah
panjang hadirnya orang Tionghoa ke Nusantara. Kedatangan mereka dari
daratan Tingkok di kepulauan Nusantara terekam dalam catatan pendeta
Budha Tionghoa, Fa Xien (Fa Hien). Saat itu ia mengunjungi pulau Jawa
dalam perjalannya menuju India yang berlangsung antara tahun 399 sampai
414 M. Perjalanan itu diuraikan dalam bukunya Fahueki.74
WP. Groeneveldt,
dalam buku terjemahan yang berjudul “Nusantara Dalam Catatan Tionghoa”
juga menyebut; “ Fo Guo Ji, “Catatan Negara-negara Budhis”, ditulis oleh
seorang biksu bernama Faxian. Pada 400 Masehi dia melakukan perjalanan
darat dari Tiongkok menuju India untuk mencari buku-buku agama Budha.
Dia kembali ke Tiongkok melalui lautan dan singgah di Sri Lanka dan Jawa.
Buku ini ditulis dari narasinya dan diterbitkan tidak lama setelah dia
meninggal”.75
Catatan perjalanan yang populer tentang perjalanan pendeta Budha
lainnya adalah yang dibuat pendeta I-Tsing yang berangkat dari Kanton ke
Nalanda (India) melalui Sriwijaya tahun 671. Sebelum abad ke-8
perjalanan-perjalanan bangsa Tionghoa ke Nan Yang (negara-negara Selatan)
74
Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu dan Timbulnya Negara-negara Islam
Di Nusantara (Yogyakarta: LKiS, 2005) hlm.. 81. 75
W.P. Groneveldt, Nusantara dalam CatatanTionghoa (Depok: Komunitas Bambu,
2009) hlm. xxi.
65
terbatas pada perjalanan keagamaan melalui jalur laut karena ganasnya alam
jika menempuh perjalanan darat.
Setelah abad ke 8 barulah perjalanan dagang banyak dilakukan ke Nan
Yang, mengingat banyaknya komoditi yang dihasilkan dari daratan
Tiongkok. Perdangangan tidak hanya memperjualbelikan komoditi barang
dan hasil bumi, melainkan juga manusia sebagai komoditas dagang. Sejak
arus perdagangan ke Selatan mulai ramai, Migrasi bangsa Tionghoa akhirnya
juga memasuki wilayah kepulauan Nusantara. Sangat mungkin orang-orang
yang datang dari daratan Tiongkok lebih banyak sebagai tenaga kerja
dibanding dengan pedagang. Penguasaan teknologi pertanian dan
pertukangan bahkan pertambangan membuat tenaga-tenaga kerja dari
Tiongkok banyak dibutuhkan dalam pembangunan di wilayah Nan Yang.
Leonard Blusse menerangkan bahwa: “Jung-jung dan wangkang dari Amoy,
Kanton, Chenhai dan Ningpo setiap musim semi datang memasok Batavia
dengan aneka macam barang dagangan dari Cina, mulai dari barang-barang
besar sampai pada barang-barang mewah. Satu-satunya “barang muatan”
yang paling istimewa : beribu-ribu orang Cina setiap tahun dikapalkan
menuju ke pantai Jawa”. 76
Pada masa ketika banyak orang Tionghoa berdatangan itu, di Nusantara
sedang memasuki zaman kerajaan Hindu-Budha. Uka Tjandrasasmita
mengatakan bahwa kerajaan-kerajaan Hindu-Budha Nusantara telah
mempunyai jaringan perdagangan internasional. Biasanya kerajaan-kerajaan
itu mempunyai bandar-bandar besar dan ibukota yang berbentuk negara-kota
(city-state). Tata kota seperti demikian dibangun dengan menimbang
posisinya sebagai pusat perniagaan, selain sebagai legitimasi berpusatnya
76
Leonard Blusse, Persekutuan Aneh; Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda
di Batavia VOC, Terj. Abdur Rozaki (Yogyakarta: LKiS, 2004) hlm. 180.
66
kekuasaan raja serta sentral pengawasan atas tanah-tanah bawahan.
Sriwijaya, Majapahit dan Pajajaran – dengan Pakuan Pajajaran sebagai
ibukotanya – merupakan perwujudan dari negara-kota.77
Sama dengan Uka, Abdul Chair juga meyakini bahwa Tangerang
merupakan salah satu pelabuhan Pajajaran. Penduduk di daerah pelabuhan,
baik di Tangerang, Pontang, Banten maupun Kalapa, umumnya bermata
pencaharian sebagai pedagang. Di wilayah pedalaman, masyarakat Sunda
masih berkeyakinan Hindu-Budha. Masuknya pengaruh Hindu-Budha
disinyalir terjadi saat penduduk Sunda sudah berinteraksi dengan para
pedagang dari India sejak abad ke satu Masehi. Di antara mereka juga ada
yang berkeyakinan Animisme dan Dinamisme, atau yang lebih dikenal
dengan istilah Sunda Wiwitan. Selain beternak dan bertani mereka mengisi
hari-hari mereka dengan berkesenian seperti tukang ngamen, tukang banyol
(pelawak), gamelan, wayang dan penyanyi.78
Perjalanan legendaris bangsa Tionghoa ke Nusantara terekam dalam
catatan Ma Huan yang mendampingi sang duta terkenal Zeng He atau kita
lebih mengenalnya dengan Laksamana Cheng Ho yang diterbitkan tahun
1416, Yingya Shenglan (Catatan Umum Pantai-pantai Samudra). Dalam
kata pengantarnya, Ma Huan menyatakan bahwa ia dikirim bersama Zeng He
ke negeri-negeri asing pada 1413.79
Terbentuknya ingatan historis mengenai kehadiran komunitas Muslim
Tionghoa di Tangerang tidak bisa dilepaskan dari perjalanan muhibah
Laksamana Cheng Ho ke Nusantara. Laksamana Cheng Ho (1371-1433)
77
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2009) hlm. 38. 78
Abdul Chaer, Betawi Tempo Doeloe; Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi
(Depok: Komunitas Bambu, 2015) hlm. 31 dan 35. 79
Groeneveldt, Nusantara ..., hlm. xx.
67
adalah seorang pelaut Tiongkok yang mengabdikan waktu hidupnya selama
28 tahun (1405-1433) memimpin armada besar Tiongkok mengunjungi 30
negara yang terletak di Asia Tenggara, Samudera Hindia, Laut Merah,
Afrika Timur dan lain-lain. Cheng Ho melakukan pelayaran selama tujuh
kali selama 28 tahun, dan waktu pelayarannya ini tidak bisa disamakan
dengan para pelaut Eropa pada masa yang sama, misalnya saja Christopher
Colombus berlayar sekitar tahun 1451-1506, Vasco da Gama sekitar 1460
sampai 1524 dan Ferdinand Magellan sekitar 1480-1521.80
Diceritakan bahwa Laksamana Cheng Ho membawa armada yang besar
dengan manusia yang banyak pada setiap pelayarannya. Pada pelayarannya
yang pertama, ia disertai dengan 62 kapal besar dengan jumlah awak kapal
lebih dari 27.800 orang. Pada pelayarannya yang ketiga, Cheng Ho
membawa 48 kapal besar berjenis Junk dengan awak kapal berjumlah lebih
dari 27.000 orang. Pada pelayaran ketujuh, kapal besar yang ikut sekitar 61
buah yang ditumpangi oleh lebih dari 27.550 awak kapal.
Dalam setiap pelayarannya, rata-rata Cheng Ho mengajak serta sekitar
60 buah kapal besar ditambah kapal sedang dan kecil yang jumlah
kesemuanya bisa mencapai 200 buah. Kapal terbesar dalam armada Cheng
Ho disebut Kapal Pusaka yang mempunyai panjang 44,4 zhang (138 m) dan
lebanya 18 zhang (56 m2). Kapal seperti itu termasuk kapal yang terbesar di
dunia. Kapal Pusaka ini adalah kapal induk. Di samping itu ada pula kapal
kuda yang mengangkut barang-barang dan kuda, kapal tempur, kapal
pembawa bahan makanan serta kapal duduk yang merupakan kapal
80
Hembing Wijayakusuma, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah
di Nusantara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007) hlm. 3.
68
komando. Kapal-kapal dengan kegunaan lain juga terdapat dalam armada ini,
disesuaikan dengan kebutuhan.81
Keberadaan armada Cheng Ho di pantai-pantai Nusantara, sejatinya
merupakan respon atas perniagaan yang digalang Tiongkok dengan negara-
negara sekutunya di Nan Yang. Perdagangan rempah-rempah dan keramik
adalah wahana yang memantik kesadaran Dinasti Ming untuk mengirim
suatu ekspedisi guna merawat hubungan yang baik dengan pasar-pasar di
pesisir Asia Tenggara. Selain itu, pelayaran Cheng Ho juga menandai babak
baru penyebaran Islam di kawasan kepulauan itu.82
Ekspedisi pelayaran Cheng Ho berhasil menemukan beberapa
pemukiman orang Tiongkok sepanjang pantai Jawa dan Sumatra. Para
pemukim Tiongkok ini mempunyai beberapa ciri, yakni; 1) mereka adalah
minoritas; 2) kedatangan mereka ke Nusantara adalah didorong oleh
pertikaian politik di daerah asalnya, banyak dari mereka yang berasal dari
Guangdong dan Quanzhou, Fujian serta Zhangzou; 3) sebagian besar dari
mereka berprofesi sebagai saudagar kaya yang dimuliakan oleh penguasa
lokal; 4) dalam beberapa hal, mereka memiliki otoritas tersendiri dalam
mengatur kebutuhannya, utamanya mengenai komunitas mereka.83
Di samping itu, pemukim Tionghoa di pantai Jawa sebagian adalah
keturunan pasukan Mongol-Tiongkok yang menyerang Jawa sekitar 1297.
Pendapat itu disampaikan oleh Wang Dayuan, yang pernah mengunjungi
beberapa tempat di Asia Tenggara antara 1337 sampai 1339 dalam
catatannya Daoyi Zhilue.84
Di dalam tubuh pasukan Mongol itu terdapat
81
Hembing, Muslim Tionghoa ..., hlm. 3-4. 82
Tan Ta Sen, Cheng Ho Penyebar Islam dari China ke Nusantara, Terj. Abdul Kadir
(Jakarta: Kompas, 2010) hlm. 215-216. 83
Tan Ta Sen, Cheng Ho ..., hlm. 255. 84
Tan Ta Sen, Cheng Ho ..., hlm. 265.
69
orang Hui-Hui yang beragama Muslim. Dengan kata lain, orang Tiongkok
Muslim yang dijumpai Cheng Ho di pesisir Jawa adalah keturunan orang
Hui-Hui tersebut.85
Ike Mese yang berkunjung ke Jawa sebelum 1292, dan
sempat mencatat kekalahan pasukan Tiongkok-Mongol dalam Sejarah
Dinasti Yuan, menyebut bahwa sebagian pasukan itu ada yang hidup dan
memutuskan untuk kembali ke kapalnya dan tidak lagi memulai pertempuran
baru.86
Ma Huan dalam Yingya Shenglan atau “Catatan Umum Perjalanan di
Lautan” (diterbitkan pada 1436) menyebutkan bahwa di Pantai Majapahit
ditemukan orang Tiongkok yang beragama Islam. Mereka berasal dari
Guangdong, Zhangzou dan Quanzhou (kedua lokasi terakhir terdapat di
Fujian, tidak jauh dari Xiamen). Mereka melarikan diri dari tanah asalnya
dan menetap di Majapahit (Moa-cia-pah-i, menurut lafal orang Tionghoa
Fujian (Hokkian) selatan.87
Dari dua catatan Tiongkok di atas, diketahui bahwa pemukiman orang
Tiongkok sudah ada sejak sebelum muhibah Laksamana Cheng Ho. Besar
kemungkinan, mereka sudah sedemikian rupa membangun hubungan yang
baik dengan masyarakat dari benua lain, serta penduduk lokal. Di masa
Majapahit sendiri, pelabuhan pesisir Jawa Timur sudah menjadi tempat
perkumpulan saudagar dari regional Asia Tenggara maupun dari
mancanegara. Mereka dipersatukan oleh tujuan yang sama, yakni mendulang
untung sebesar-besarnya dari perniagaan setempat. Didi Kwartanada
85
Tan Ta Sen, Cheng Ho ..., hlm. 265. 86
Groeneveldt, Nusantara ..., hlm. 48. 87
Groeneveldt, Nusantara ..., hlm. 67 dan 69.
70
menambahkan bahwa sejak masa prakolonial, orang Tiongkok banyak yang
dipercaya men jadi syahbandar.88
Menurut wawancara dengan Oey Tjin Eng, Sejarawan Cina Benteng
yang juga pengurus perkumpulan sosial Bun Tek Bio, menyatakan ketika
Cheng Ho melakukan muhibah ke Pantai Utara Jawa sekitar tahun 1570, ia
mengutus dua orang yang mengendarai kapal kecil untuk meneliti keadaan
sekitar pesisir setempat (Teluk Naga, Tangerang). Setelah itu, para utusan
kembali ke Kapal Induk dan melaporkan penglihatannya kepada sekretaris
kapal, Ma Huan. Saat itu, kapal-kapal besar Cheng Ho tidak bisa menepi ke
pelabuhan, mengingat saat itu Teluk Naga masih berupa pelabuhan kecil.
Sejak itu secara berangsur-angsur banyak orang dari Tiongkok yang datang
dan memutuskan bermukim di Taluk Naga. Mereka dipercaya adalah leluhur
kaum Cina Benteng masa awal. Banyak dari mereka adalah beragama Islam.
Oey menambahkan bahwa salah satu dari utusan Cheng Ho tersebut bernama
Chen Ci Lung.89
Uka Tjandrasasmita menyebutkan bahwa amat mungkin ditemukan
pada abad 15 pemukiman orang Tiongkok di beberapa pelabuhan di pesisir
Jawa. Pemukiman mereka membentang dari timur hingga barat pantai utara
Jawa. Di wilayah Tatar Sunda, mereka mendirikan rumah-rumah di Cirebon,
Kalapa (Jayakarta) dan Banten.90
Ketika pasukan Banten bertempur melawan
VOC di sekitar Tangerang, maka di wilayah pesisir sudah berdiri
pemukiman orang Tiongkok. Biasanya, mereka membentuk pemukiman sub-
88
Didi Kwartanada, “Perang Jawa (1852-1830) dan Implikasinya terhadap Hubungan
Tionghoa-Jawa” pengantar dalam Peter Carey, Orang Cina, bandar Tol, Candu, dan Perang
Jawa; Perubahan Persepsi tentang Cina 1755-1825 (Depok: Komunitas Bambu, 2015) hlm.
vi. 89
Wawancara dengan Oey Tjin Eng Humas Klenteng Bun Tek Bio, pada 27 Agustus
2015 di Kantor Klenteng Bun Tek Bio Tangerang. 90
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Nusantara ..., hlm. 92.
71
urban di kota-kota pelabuhan, dan pemukiman mereka lebih dikenal dengan
nama pecinan.91
Pernyataan Uka Tjandrasasmita dan Oey Tjin Eng bersesuaian dengan
kenyataan di lapangan tentang pemukiman pecinan dan kedatangan utusan
laksamana Cheng Ho ke Tangerang. Peneliti menemukan bahwa pemukiman
Orang Tionghoa di Tangerang tersebar dari Pantai Tanjung Burung di Teluk
Naga lalu merangsek ke tengah kota menyusuri bantaran Sungai Cisadane.
B. Pemukiman Awal Masyarakat Cina Benteng di Tangerang.
Jauh sebelum kedatangan utusan Laksamana Cheng Ho ke Tangerang, orang
Tionghoa sudah lebih dahulu sampai dan menetap disana. Mereka adalah
para pedagang dalam kelompok-kelompok kecil yang hidup dari aktifitas
perdagangan di Tangerang. Mereka belum mempunyai keterikatan satu sama
lain dan belum mempunyai kesadaran untuk hidup bersama dan membangun
kebudayaan untuk mencapai kesejahteraan hidup.
Yang penulis maksud dengan masyarakat Cina Benteng adalah sebuah
masyarakat yaitu sekumpulan individu-individu yang hidup bersama, bekerja
sama untuk memperoleh kepentingan bersama yang telah memiliki tatanan
kehidupan, norma-norma, dan adat istiadat yang ditaati dalam
lingkungannya.
Pengertian masyarakat terbagi atas dua yaitu pengertian masyarakat dalam
arti luas dan pengertian masyarakat dalam arti sempit. Pengertian masyarakat
dalam arti luas adalah keseluruhan hubungan hidup bersama tanpa dibatasi
lingkungan, bangsa dan sebagainya. Sedangkan pengertian masyarakat
91
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Nusantara ..., hlm. 92.
72
dalam arti sempit adalah sekelompok individu yang dibatasi oleh golongan,
bangsa, teritorial, dan lain sebagainya. Pengertian masyarakat juga dapat
didefinisikan sebagai kelompok orang yang terorganisasi karena memiliki
tujuan yang sama. Pengertian Masyarakat secara Sederhana adalah
sekumpulan manusia yang saling berinteraksi atau bergaul dengan
kepentingan yang sama. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang relatif
mandiri, yang hidup bersama-sama yang cukup lama, yang mendiami suatu
wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama dan melakukan sebagian
besar kegiatan dalam kelompok itu.
Dalam buku pengantarnya, Museum Benteng Hetitage mengutip catatan
sejarah Sunda “Tina Layang Parahyangan” yang menyatakan bahwa pad
tahun 1407 rombongan orang Tionghoa yang dipimpin oleh Chen Cie Lung
(Ha Lung) mendarat di pantai Utara Tangerang yang dikenal dengan Teluk
Naga. Mereka kemudian bermukim dan membuka lahan pertanian di
sepanjang sungai Cisadane. Rombongan ini diyakini merupakan pengikut
Laksamana Cheng Ho (Zheng He), Seorang Muslim Tionghoa yang diutus
oleh Kaisar Yongle (Zhu Di) dari Dinsti Ming, Tiongkok.
Terbentuknya masyarakat karena manusia menggunakan perasaan, pikiran
dan keinginannya memberikan reaksi dalam lingkungannya. Kesadaran
bersama akan upaya pencapaian kesejahteraan adalah cita-cita bersama yang
menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat. Penjabaran arti dari
masyarakat di atas dimaksudkan penulis untuk menjelaskan masyarakat Cina
Benteng yang dimaksud adalah orang-orang Tionghoa di Tangerang yang
dengan kesadaran membentuk sebuah masyarakat dengn identitas tertentu.
Mereka itu bukanlah orang-orang Tionghoa di yang hanya melakukan
kegiatan perdagangan di Tangerang.
73
Teluk Naga dianggap wilayah yang tepat untuk membuat suatu
pemukiman. Faktor Sungai Cisadane merupakan faktor utama mengapa
wilayah ini dipilih sebagai basis pemukiman mereka. Sungai selain
menjamin ketersediaan air untuk kehidupan sehari-hari juga memberikan
pasokan air yang penting bagi kegiatan bercocok tanam. Sungai Cisadane
juga sebagai sarana transportasi yang merupakan tulang punggung
perdaganagan, yaitu jalur distribusi hasil bumi dari wilayah hulu ke wilayah
hilir sungai, bahkan hingga ke muara hingga pelabuhan Teluk Naga. Dari
pelabuhan Tangerang, komoditas-komoditas perniagaan bisa didistribusikan
lagi ke Kalapa, sebagai bandar dagang yang utama bagi Kerajaan Pajajaran
untuk diteruskan sebagai perdagangan antar pulau maupun antar negeri,
begitu pula sebaliknya. Pelabuhan-pelabuhan Sunda menggantungkan
eksistensinya pada aliran sungai-sungai yang bermuara tidak jauh dari
lokasinya.
Barang-barang dagang yang menjadi produk ekspor kala itu adalah lada,
beras, asam, sayur-mayur, daging dan ternak seperti sapi, kambing, babi,
domba dan buah-buahan. Hasil bumi itu sebagian ada yang diteruskan
sampai ke Malaka, Maladewa dan negeri-negeri lainnya. Relasi perniagaan
juga dilakukan kepada kerajaan-kerajaan Nusantara lainnya. Komoditas
tersebut umumnya didapatkan dari para petani dan peternak yang hidup di
pedalaman. Gambaran lebih lanjut mengenai komoditas dan perdagangan
pesisir-pedalaman Sunda ini bisa dilihat di naskah Sunda bernama
Sanghyang Sisikandang Karesian (ditulis sekitar tahun 1518).
Bandar Kalapa sendiri merupakan bandar yang menerima komoditas
impor dari negeri-negeri asing. Komoditas itu antara lain adalah belacu,
yakni pakaian dari Cambay dan Keling, serta keramik dan lain-lain. Di
pelabuhan Kalapa sendiri telah ramai dikunjungi orang-orang mancanegara,
74
seperti dari India, Tiongkok dan Melayu, serta dari belahan Nusantara
lainnya. Di samping mata uang lokal yang disebut tumdaya, mata uang asing,
seperti mata uang cash, yang berasal dari Tiongkok, beredar di pasar-pasar
pelabuhan Kalapa. Mata uang ini berbentuk kecil-kecil dan memiliki lubang.
Biasanya orang membawa mata uang ini dengan menyusunnya dalam ikatan
benang, seperti mata uang ceiti.92
Melihat pada aktifitas perniagaan yang begitu massif menghubungkan
pedalaman dan pesisir Jawa Barat tersebut, maka tidak menutup
kemungkinan leluhur Cina Benteng ikut andil di dalamnya. Pelabuhan
Tangerang memang tidak sebesar Pelabuhan Kalapa, namun kedudukannya
tidak bisa dikesampingkan sebagai penyuplai kebutuhan dari pedalaman,
terlebih yang lokasinya berdekatan dengan jalur sungai besar, Sungai
Cisadane. Dari perniagaan ini, mereka merasa betah dan lebih dekat dengan
penduduk lokal, karena terlibat dalam kegiatan yang saling menguntungkan.
Sungai Cisadane merupakan sebuah ecofact atau fakta ekologi dimana
masyarakat Cina Benteng awal mulai beraktifitas. Kondisi sekarang yang
ditemukan oleh peneliti, sepanjang sungai Cisadanae dari Tanjung Burung
hingga pusat Kota Tangerang adalah merupakan pemukiman Cina Benteng
yang tidak terputus.
Di bantaran Sungai baik sisi bagian Barat maupun Timur banyak
dijumpai kegiatan usaha perbaikan kapal. Hal ini menunjukkan bahwa
bantaran sungai Cisadane wilayah hilir adalah wilayah yang cocok bagi
usaha-usaha sarana transportasi yang berbasis air. Dari perahu perahu kecil
hingga ke kapal-kapal yang ukurannya lebih besar yang memungkinkan
memasuki daerah aliran sungai Cisadane tersebut.
92
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam ..., hlm. 138-139.
75
Aktifitas masyarakat Cina Benteng awal adalah berdagang dan bercocok
tanam serta pembuatan/perbaikan kapal (Perlu penelitian lebih jauh). Selain
Pedagang, orang Cina Benteng adalah petani, Hingga hari ini masih banyak
orang Cina benteng yang mencari nafkah dengan bercocok tanam atau
bertani, baik sebagai pemilik lahan maupun hanya sebagai buruh tani.
Teknologi pertanian yang dibawa oleh orang-orang dari Tiongkok membuat
hasil usaha dari bidang ini meningkat tajam. Teknologi pembalikan lapisan
tanah dengan menggunakan cang-kul ditengarai dibawa oleh meraka. Hal ini
dikonfirmasi sebuah artefak cangkul yang terbuat dari kayu yang pada mata
cangkulnya dilapisi logam yang sekarang merupakan salah satu koleksi dari
Museum Benteng Heritage. Alat dengan fungsi serupa untuk membalikkan
lapisan tanah yang ditarik oleh binatang yaitu lu-ku juga diperkirakan adalah
teknologi yang dibawa dari daratan Tiongkok.
Pemukiman masyarakat Cina Benteng terus merangsek ke arah hulu
hingga tengah kota menyusuri daerah aliran Sungai Cisadanae. Daerah yang
sekarang dikenal dengan Pasar Lama adalah sebagai pusat aktifitas
masyarakat Cina Benteng yang berprofesi sebagai pedagang. Hingga
sekarang daerah pasar lama adalah situs peradaban masyarakat Cina
Benteng dimana terdapat klenteng tertua di Tangerang yaitu Klenteng Boen
Tek Bio.
C. Pembentukan identitas Masyarakat Cina Benteng.
Sekelompok orang yang dengan kesadaran memilih hidup bersama
dalam suatu teritori yang kemudian disebut masyarakat itu tentunya
memerlukan pengakuan akan eksistensi mereka dari kelompok masyarakat
lainnya. Untuk mendapatkan pengakuan tersebut sekelompok masyarakat
76
membutuhkan identitas. Kebutuhan tersebut memicu mereka menciptakan
ikatan-ikatan social tertentu sebagai syarat bagi lahirnya sebuah kelompok
social. Selanjutnya mereka akan menemukan kesamaan-kesamaan maupun
perbedaan-perbedaan baik terhadap hal-hal yang terkait dengan kepentingan-
kepentingan maupun unsur-unsur yang membentuk konsep diri mereka.
Kelompok social inilah yang kemudian mampu berperan sebagai sumber
pembentukan identitas dan pemberi rasa aman bagi anggota-anggotanya.
Kajian terhadap proses interaksi antar kelompok sosial tersebut yang
kemudian dikenal dengan sebutan teori identitas sosial. Khasanah kajian
teori identitas sosial adalah pembahasan tentang prilaku individu-individu
dalam konteks hubungan antar kelompok yang mencerminkan keberadaan
unit-unit lebih besar dimana individu-individu dapat bernaung di dalamnya.
Identitas sosial terbentuk dari keterlibatan, rasa peduli dan rasa bangga
individu sebagai bagian dari kelompok sosial yang dinaunginya. Hal tersebut
merupakan bagian dari konsep diri individu yang bersumber dari
pengetahuannya selama berada dalam suatu kelompok sosial tertentu.
Selanjutnya individu itu dengan sengaja menginternalisasi nilai-nilai, turut
berpartisipasi serta mengembangkan kepedulian dan kebanggaan terhadap
kelompoknya.
Paparan di atas menjelaskan bahwa komunitas Cina benteng dengan
kesadaran membangun suatu simtem sosial diantara individu-individu di
dalamnya dengan menetapkan nilai-nilai serta norma-norma yang pada
gilirannya membentuk sebuah budaya. Eksistensi komunitas Cina Benteng
harus dapat menunjukkan rasa peduli, serta menumbuhkan kebanggaan
sebagai bagian dari sebuah kelompoknya dihadapan kelompok masyarakat
lainnya baik kelompok pribumi maupun kelompok pedagang timur asing
lainnya.
77
Bentuk identitas sosial terus mengalami penyesuaian seiring perjalanan
waktu yang dipengaruhi persentuhan mereka dengan lingkungan social
seperti situasi politik, kebijakan penguasa menjadikannya sebuah realita
social yang turut memberi andil besar dalam perubahan atau penyesuaian
identitas social. Turner, JC. Dalam self-categorization theory menjelaskan
bahwa realitas social merupakan tempat berkembangnya nilai-nilai yang
menjadi acuan bagi identitas kelompok, dan dalam perkembangannya
kemudian melahirkan batas-batas kelompok. Identitas social yang mewujud
dalam interaksi social dengan demikian merupakan penjelmaan dari kegiatan
memilih, menyerap sekaligus mempertahankan nilai-nilai tersebut. Pada
dasarnya setiap kelompok akan membawa dan memperjuangka kepentingan
mereka dalam interaksi social. Kecenderungan sebuah kelompok social
untuk menyerap nilai-nilai tertentu dibanding kelompok lainnya merupakan
cara kelompok tersebut dalam membuat batas pembeda dengan kelompok-
kelompok lainnya. Proses yang mewakilinya itu disebut kategorisasi diri.93
Bagi individu yang menjadi bagian dari kelompok social tersebut selanjutnya
akan menempatkan nilai-nilai yang berkembang dalam kelompoknya itu
sebagai rujukan dalam berperilaku dan menjadi bagian dari identitas
sosialnya., sementara disaat yang sama ia akan bersikap sebaliknya yang
cenderung menganggap rendah nilai-nilai yang berkembang yang dianut
kelompok lain.
Demikian juga yang dilakukan komunitas Cina Benteng pada masa
awal, mereka menyerap nilai-nilai budaya dari luar kelompoknya yaitu
kelompok masyarakat pribumi dan pedagang asing yang ada di Tangerang,
memila-milah nilai-nilai mana yang menguntungkan dan dapat diterapkan
dalam kelompoknya, dalam waktu yang bersamaan ia memperkenalkan nilai-
93
Afthonul Afif, , Identitas Tionghoa Muslim Indonesia, (Depok, Kepik, 2012) hlm. 33.
78
nilai yang dianggap luhur yang dibawa dari tanah leluhur mereka untuk
diperkenalkan kepada kelompok lain sehingga menimbulkan apresiasi
terhadap kelompok mereka. Nilai-nilai kesetiaan terhadap penguasa yang
ditunjukkan oleh kelompok pribumi merupakan suatu nilai yang baik yang
dapat diserap dan diterapkan dalam kelompok masyarakat Cina Benteng.
Hingga masa itu, belum pernah ditemukan informasi mengenai gerakan
makar maupun separatis dari orang pribumi Tangerang terhadap Pajajaran
maupun Kesultanan Banten. Di lain pihak kita banyak mendengar gerakan-
gerakan melawan penguasa yang dilakukan oleh orang-orang Tiongkok
dengan dalih apapun.
Kebudayaan dan tradisi dan budaya Tiongkok yang disokong oleh
ideologi Konfusianisme, Daoisme dan Budhisme membentuk nilai-nilai
menjadikan budaya Tiongkok begitu kuat mempengaruhi sendi-sendi
kehidupan sosial di wilayah Tangerang. Penggabungan antara nilai-nilai
lokal yang diserap dengan eksistensi nilai-nilai Tiongkok menjadikan
masyarakat Cina Benteng suatu identitas masyarakat baru sebagai realitas
sosial masyarakat di wilayah Tangerang. Dengan kata lain setiap perubahan
jaman selalu menuntut penyesuaian, begitupun dalam hal identitas sosial.
Dalam perkembangannya, ada beberapa peristiwa yang menandai
sebuah kurun waktu tertentu yang sangat berpengruh terhadap perubahan
sosial yang terjadi dalam masyarakat Cina Benteng.
D. Relasi Orang Cina Benteng dengan Penduduk Setempat
Jika mengikuti pendapat Oey Tjin Eng, bahwa masyarakat Cina Benteng
masa awal adalah berasal dari utusan atau anak buah dari Laksamana Cheng
Ho yang Mendarat di Teluk Naga. Seorang sejarawan yang juga pemilik dari
79
Museum Benteng Heritage yaitu Udaya Halim alias Liem Tjin Peng juga
sepakat bahwa masyarakat awal Cina Benteng awal adalah mereka yang
mendarat di Teluk Naga. Hanya saja Udaya Halim menjelaskan
kemungkinan mereka adalah kelompok yang tercecer dari rombongan besar
yang ikut dalam misi muhibah Cheng Ho ke Nusantara. Mereka menempati
pemukinan di tepi sungai Cisadane. 94
Sungai Cisadane menjadi jalan air yang berguna untuk penghidupan
orang Tionghoa. Secara berkala, mereka menggunakannya sebagai jalur
perdagangan untuk mendapatkan komoditas alam dari daerah hulu sungai
hingga pedalaman dengan junk-junk mereka.95
Profesi mereka sebagai
pedagang perantara ini, semakin memperkuat posisinya dalam keseharian
masyarakat Nusantara. Mereka membawa porselin-porselin Tiongkok yang
kemudian ditukar dengan rempah-rempah. Beberapa dari mereka juga ada
yang bekerja di pelabuhan Kalapa sebagai ahli-ahli servis kapal. Selain itu
ada pula yang berprofesi sebagai pembuat arak dan penyedia air bersih bagi
kapal-kapal yang bertambat di Kalapa.96
Orang pedalaman yang dimaksud di atas terhitung sampai abad 16,
adalah orang Sunda yang beragama Hindu-Budha atau sunda wiwitan. Iklim
politik di pedalaman relatif stabil, hal ini berbeda dengan di kawasan pesisir
yang mulai terjadi pergesekan antara Pajajaran, Islam (Banten) dan Portugis.
Belakangan, Pajajaran menjalin hubungan dengan Portugis untuk
membendung pengaruh Islam. Salah satu bukti perjanjian Pajajaran dan
Portugis bisa dilihat di prasasti Padrao yang berangka tahun 1521 M. Isi
94
Wawancara dengan Udaya Halim als. Liem Tjin Peng, 64 Th, di Museum Benteng
Heritage, Pasar Lama, Tangerang, tgl. 7 Maret 2017. 95
Susan Blackburn, Jakarta Sejarah 400 Tahun, Terj. Gatot Triwira (Depok:
Komunitas Bambu, 2012) hlm. 22-23. 96
Susan Blackburn, Jakarta Sejarah ..., hlm. 8-9.
80
prasasti itu antara lain Portugis diperkenankan mendirikan markas dagang di
Kalapa dan Portugis wajib memberikan imbalan kepada Raja Pajajaran.97
Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal atau Padrão Sunda Kelapa adalah
sebuah prasasti berbentuk tugu batu (padrão) yang ditemukan pada tahun
1918 di Batavia, Hindia-Belanda. Prasasti ini menandai perjanjian Kerajaan
Sunda–Kerajaan Portugal yang dibuat oleh utusan dagang Portugis dari
Malaka yang dipimpin Enrique Leme dan membawa barang-barang untuk
"Raja Samian" (maksudnya Sanghyang, yaitu Sang Hyang Surawisesa,
pangeran yang menjadi pemimpin utusan raja Sunda). Padrão ini didirikan di
atas tanah yang ditunjuk sebagai tempat untuk membangun benteng dan
gudang bagi orang Portugis.
Prasasti ini ditemukan kembali ketika dilakukan penggalian untuk
membangun fondasi gudang di sudut Prinsenstraat (sekarang Jalan Cengkeh)
dan Groenestraat (Jalan Kali Besar Timur I), sekarang termasuk wilayah
Jakarta Barat. Padrao tersebut sekarang disimpan di Museum Nasional
Republik Indonesia, sementara sebuah replikanya dipamerkan di Museum
Sejarah Jakarta. 98
Perjumpaan orang Tiongkok dan penduduk Sunda bukan sesuatu yang
terjadi dalam waktu yang sebentar. Di salah satu kawasan tua yang bernama
Banten Girang, ditemukan banyak pecahan kramik dari Tiongkok, Siam dan
Annam. Keramik-keramik ini diidentifikasi berasal dari masa Dinasti Tang,
Song (Sung) dan Yuan. Ditemukan juga uang-uang Kepeng yang juga
berasal dari Tiongkok dan Indocina. Penemuan ini memperkuat anggapan
sudah terjadi kontak perdagangan antara orang Sunda dengan dunia
97
Abdul Chaer, Jakarta ..., hlm. 33-36. 98
www.wikipedia.com
81
internasional yang jika ditelisik terjadi di masa yang lebih awal, yakni sekitar
abad 12 – 13. Banten Girang, yang berada di bawah kekuasaan Pajajaran,
sudah dijadikan semacam wilayah istimewa oleh pemerintah pusat.99
Komposisi penduduk lokal yang semula Hindu-Budha secara berangsur-
angsur menjadi Islam. Hal ini tidak terlepas dari pergerakan pasukan Demak,
Cirebon sampai Mataram dari arah Timur dan Banten dari arah Barat yang
rajin menanamkan pengaruh di wilayah pedalaman Sunda yang tujuan
utamanya adalah mengancam kedudukan Portugis-Pajajaran di pedalaman
Sunda sampai wilayah pesisir. Masa-masa perpindahan agama ini terjadi
antara abad 16 dan di abad-abad berikutnya. Terhitung sejak 1527, sudah
terjadi perubahan kondisi sosio-politik di Jawa sejak masuknya Islam ke
kantung-kantung kekuasaan. Salah satu momentumnya, adalah dikuasainya
Cirebon oleh kelompok Islam yang kemudian menjadi sekutu Demak, juga
Banten yang kemudian menjadi kerajaan Islam.100
Di wilayah Tangerang, etnis Sunda tinggal di daerah Tangerang Selatan
dan Tangerang Tengah yang tersebar di kecamatan Tangerang, Cikupa,
Serpong, Curug, Tigaraksa dan Legok. Dalam Kronik Sejarah Banten
terdapat uraian yang menjelaskan tentang kedatangan orang Sunda ke
wilayah Tangerang, yakni mengenai keberadaan pasukan dari Priangan yang
membantu pasukan Mataram menyerbu Batavia. Setelah perang usai,
beberapa orang Priangan tidak ikut pulang dan meminta izin untuk menetap
di Tangerang.
99
Lukman Nurhakim, “Banten Girang, Pakuan Pajajaran dan Banten Lama Pendekatan
Arkeologi Sejarah Masa Transformasi Hindu-Islam: dalam Hasan Muarif Ambarai,ed,
Masyarakat dan Budaya Banten; Kumpulan Karangan dalam Ruang Lingkup Arkeologi,
Sejarah, Sosial dan Budaya (Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1996) hlm. 33. 100
Abdul Chaer, Jakarta ..., hlm. 35.
82
Mereka yang dinamakan orang Sunda, hingga kini, mudah untuk
menngidentifikasinya. Orang Sunda hampir pasti menggunakan bahasa
Sunda dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, mereka menamai
kampungnya dengan nama layaknya di wilayah Sunda lainnya, seperti
Kampung Priangan, Kampung Lengkong Sumedang dan lain-lain. pada
umumnya, mereka menggantungkan hidup sebagai petani dan membuat
barang-barang kerajinan. Mereka dikenal sebagai Muslim yang taat.
Selain orang Sunda, penduduk lokal lainnya adalah orang Betawi.
Pemukiman mereka banyak tersebar di wilayah perbatasan Batavia, yakni
Teluk Naga, Batu Ceper, Ciledug dan Ciputat. Selain berprofesi sebagai
petani, sebagian yang lain adalah pedagang. Para petani Betawi menanam
sayur-mayur dan buah-buahan di kebunnya. Pilihan hidup sebagai petani
dirasa lebih menguntungkan, karena barang dagangan mereka bisa segera
dijajakan di Batavia. Hal ini mengingat tempat tinggal mereka yang tidak
jauh dari kota itu. Mereka juga dikenal sebagai penganut Islam yang taat.
Secara berkala mereka melakukan ibadah hariannya di masjid dan langgar
yang didirikan tidak jauh dari rumah-rumah mereka.
Orang Jawa juga sejak lama dikenal sebagai penduduk Tangerang masa
awal. Mereka menempati wilayah Tangerang sebelah barat laut dan utara
yakni tempat-tempat yang dekat dengan pantai. Kampung-kampung mereka
berdiri di Mauk, Kronjo, Kresek dan Rajeg. Secara historis, mereka adalah
keturunan dari para prajurit Mataram yang ditugaskan menyerang Batavia
bersama Sultan Agung. Sehari-harinya mereka menghabiskan waktu di
sawah dan ladang, atau melaut ke lepas pantai.101
101
M. Dien Madjid dkk, Sejarah Kabupaten Tangerang (Tangerang: Pemerintah
daerah Tingkat II Tangerang bekerjasama dengan Lembaga Penetlitian dan Pengabdian
Masyarakat (LPPM) UNIS Tangerang, 1992) hlm. 22-23.
83
Baik sebagian orang Tionghoa peranakan dengan orang Sunda, Betawi
dan Jawa mereka sama-sama menjadi penduduk Tangerang dan hidup damai,
belum ditemukan persengketaan maupun pertikaian di antara mereka,
terutama yang mengakibatkan suatu goncangan tatanan sosial. Mereka hidup
dalam harmoni, yakni berjalan bersamaan dengan peran ekonomi dan sosial
yang telah tersemat dalam kehidupannya sehari-hari. Perniagaan benar-benar
menjadi kesibukan yang membangun kerukunan di antara warga Tangerang
saat itu. Gejolak politik yang terjadi di pesisir Tangerang tidak lantas
menggugurkan pertalian mereka, yakni penduduk pedalaman dan pesisir.
Lodewycks menuturkan bahwa di pusat kerajaan Banten, sekitar tahun
1596, sudah ada pemukiman Muslim Tionghoa. Mereka tinggal di sana
dalam waktu yang sudah cukup lama. Bukti laporan Lodewycks ini diperkuat
dengan keberadaan reruntuhan masjid pecinan di Banten, dekat makam-
makan orang Tiongkok. Reruntuhan itu masih menyisakan suatu bekas
menara. Pada 1902, Stutterheim, seorang sarjana Eropa, menerangkan bahwa
di sekitar tempat itu terdapat menara masjid yang bergaya Eropa, namun
memiliki corak hiasan ala Tiongkok. Jika dilihat sekilas, mirip dengan yang
ditemukan di Masjid Kasunyatan di Banten Selatan.102
Di Banten, orang Tionghoa sudah sedemikian dekat dengan kehidupan
masyarakat lokal. Mereka sudah berhasil meleburkan dirinya dari penduduk
“luar negeri” sampai kepada “dalam negeri”. Kedudukan mereka berubah
semenjak beberapa dari mereka dipercaya sebagai syahbandar maupun
sebagai pejabat bupati atau jabatan eksekutif lainnya. Reputasi mereka
bertumpu pada penguasaan jejaring perdagangan perantara serta pedagang
lada. Aktivitas demikian adalah bagian dari upaya perbaikan ekonomi
penduduk Banten. Kelihaian berdagang inilah yang disebut Blusse sebagai
102
Amen Budiman, Masyarakat Islam ..., hlm. 32.
84
“Kuda Troya”-nya orang Tionghoa untuk memperoleh keuntungan-
keuntungan lainnya.103
Keterangan mengenai keberadaan komplek pemukiman dan masjid
pecinan menandaskan bahwa orang Tionghoa memiliki persamaan hidup
layaknya orang dari suku bangsa lainnya. Belum ada ditemukan kerusuhan di
Banten dilatarbelakangi perbedaan etnisitas, apalagi dengan menonjolkan
status pribumi atau non-pribumi. Semua yang tinggal di pelabuhan adalah
duta atau saudagar yang harus dihormati pihak kerajaan beserta
masyarakatnya, karena hal itu menjadi dasar bagi keberlangsungan hubungan
internasional suatu kerajaan. Tidak terkecuali bagi orang Tionghoa yang
tinggal sejak lama di wilayah yang lebih jauh dari pusat kota, maka mereka
pun dipandang sebagai rekan yang menguntungkan dan membawa kebaikan
bagi bersama.
Sangat sedikit orang Tionghoa yang ada di Banten, Kalapa, Tangerang,
serta di pesisir utara Jawa bagian Barat menganut Islam terhitung sampai
pertengahan abad 18. Sejauh yang peneliti dapatkan pemukiman Tionghoa di
Tangerang pertama adalah saat pertama Laksamana Cheng Ho menempatkan
beberapa anak buah kapalnya yang beragama Islam. Namun besar
kemungkinan, sepeninggal Cheng Ho anak buahnya yang berasal dari orang-
orang taklukan terutama mereka para mantan bajak laut yang pernah
ditaklukan di Palembang, Bintan dan Bangka, mereka adalah orang-orang
Hokian yang dahulu menganut tradisi leluhur yaitu Konghucu dan Taoisme
kembali kepada kepercayaan lamanya.
Oey Tjin Eng beranggapan bahwa orang-orang perompak yang pernah
ditaklukan di Palembang, Bangka, dan Bintan kemudian banyak dari mereka
103
Leonard Blusse, Persekutuan Aneh; Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan
Belanda di Batavia VOC (Yogyakarta: LKiS, 2004) hlm. 73-74.
85
yang mengabdi pada Cheng Ho dan tak sedikit dari mereka yang kemudian
masuk Islam. Rombongan Orang Tionghoa yang tiba di Teluk Naga
pimpinan Chen Tjie Lung ditengarai juga banyak yang beragama Islam.
Setelah kepergian Cheng Ho, mereka banyak yang kembali pada keyakinan
semula yaitu Konfusianisme, Daoisme dan Budhisme. Sejauh penelusuran
peneliti di sepanjang Tanjung Burung, Teluk Naga, menyusuri Bantaran
Sungai Cisadane hingga Pasar Lama, belum menemukan artefak berupa
tempat ibadah (Masjid atau Mushalla) yang dibangun oleh orang-orang Cina
Benteng untuk komunitas mereka. Boleh jadi karena sifat masyarakat Cina
Benteng yang inklusif, berbaur dengan masyarakat setempat hingga tak ada
ciri-ciri khusus pada masjid-masjid pada masa itu.
Peneliti menemukan beberapa legenda yang mengarah pada perubahan
fungsi masjid ke klenteng, diantaranya, Klenteng Tjo Soe Kong, di Tanjung
Kait. Konon pertama kali bangunan itu ditemukan di tengah belukar,
bentuknya menyerupai Masjid karena memiliki mihrab (paimaman). Karena
Lahan tempat bangunan itu ditemukan adalah milik orang Cina, maka
bangunan yang dianggap ajaib itu dikeramatkan dan dibangun sebagai
klenteng. Mengenai alih fungsi bangunan masjid menjadi kelenteng ini sudah
banyak terjadi di banyak tempat di Pantai Utara Jawa seperti Cirebon dan
Ancol.
Banyaknya larangan dalam Islam termasuk tradisi yang sudah mendarah
daging seperti minum arak dan berjudi dirasa sangat memberatkan. Belum
lagi perintah untuk menjalankan ritual shalat yang harus lima kali dalam
sehari. Bandingkan dengan ritual pemujaan leluhur mereka yang hanya satu
kali, itupun tak ada sanksi dosa jika tidak melaksanakannya. Hal di atas
ditambah dengan ancaman kehidupan setelah mati yang menakutkan dimana
86
ada siksa kubur dan siksa neraka. Sangat wajar jika pada akhirnya mereka
memilih meninggalkan Islam dan kembali pada agama leluhur.
Dalam kenyataannya banyak juga orang-orang Cina Benteng yang
memutuskan masuk Islam, namun hal itu kebanyakan disebabkan oleh
perkawinan silang dengan perempuan pribumi. Biasanya keluarga-keluarga
pribumi yang putrinya akan dipersunting oleh laki-laki Tionghoa, mereka
mengajukan satu syarat bahwa harus masuk Islam sebelum ijab-kabul
pernikahan dilangsungkan. Biasanya mereka yang masuk Islam lantaran
ingin mengawini perempuan pribumi yang notabene Islam, mereka tidak
menjadi Muslim yang taat. Anak-anak hasil perkawinan itu yang kemudian
banyak menjadi Muslim yang taat karena menjalani pendidikan dalam
keluarga Muslim (Ibunya).
Perkawninan campur lebih banyak dilakukan oleh laki-laki Cina
Benteng dengan perempuan pribumi. Perempuan-perempuan Cina Benteng
jarang yang mau melakukan kawin campur dengan laki-laki pribumi karena
hal itu akan mengakibatkan terputusnya garis keturunan mereka. Anak-anak
yang akan dilahirkan dari perkawina semacam itu dipastikan akan
kehilangan marga keluarga. Faktor ketidak inginan kehilangan marga
keluarga lebih dominan jika dibandingkan dengan persoalan agama yang
ditimbulkan. Misalnya jika sang lelaki beragama Islam dan perempuannya
beragama Konghucu maka si perempuan mengikuti agama laki-laki yaitu
Islam. Demikian juga jika agama Laki-laki Konghucu, ia harus mengikuti
agama si perempuan yaitu Islam.
Dikalangan keluarga Cina Benteng yang sudah befikiran lebih moderat,
perkawinan campur antara perempuan Cina Benteng dengan laki-laki
pribumi bukan lagi dianggap sebagai masalah. Menurut mereka kebahagiaan
adalah kehidupan yang akan dijalani bersama pasangan hidup yang
87
mempunyai visi yang sama dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Garis
keturunan, marga keluarga bukan lagi menjadi faktor penentu bagi
berlangsungnya sebuah perkawinan.
Dalam penelusurannya, penulis menemui Maesaroh alias Siti Kholishoh
alias Oey Hong Nio 55 th di desa Sangiang, kecamatan Sepatan Timur.
Sebelum menikah, ia sudah masuk Islam. Ia mengalami perjalanan spiritual
yang unik dimana ia bermimpi, dalam mimpinya ia diarahkan untuk masuk
Islam. Mimpi itu berlanjut beberapa kali, setiap ia ceritakan mimpi itu pada
keluarganya, keluarganya menanggapinya dengan pertanyaan-pertanyaan.
Pertanyaan-pertanyaan itu kemudian mendapat jawaban pada mimpi-
mimpinya berikutnya. Hal itu terjadi beberapa kali hingga akhirnya seluruh
keluarga Ibu Maesaroh yang saat itu tinggal di Tanjung kait, masuk Islam.104
Lain halnya yang terjadi pada Nia Naenia alias Yo Song Ni, 35 tahun di
desa Kali Baru, Kecamatan Pakuhaji. Ia dipersunting oleh Abdul Gani,
teman semasa sekolahnya. Keluarga Nia adalah keluarga Cina Benteng yang
moderat, bahkan ayah dan ibunya penganut Kristiani. Nia pernah
menanyakan pada Kakeknya tentang agama yang paling benar menurutnya.
Sang kakek menjelaskan bahwa sebenarnya agama yang paling benar dan
baik menurut kakeknya adalah Islam. Kedekatan Nia dengan keluarga Abdul
Gani disebabkan upaya Nia untuk memperoleh penjelasan mengenai Islam.
Kebetulan sang ayah dari Abdul Gani adalah seorang tokoh agama yang
cukup dikenal di kalangan masyarakat Kali Baru. Walaupun agama dalam
104
Wawancara dengan Maesaroh, alias Siti Kholishoh alias Oey Hong Nio 55 th, di
Desa Sangiang, kecamatan Sepatan Timur, Tangerang
88
keluarga besarnya berbeda-beda namun hubungan kekeluargaan diantara
mereka tetap erat. 105
Jaringan perdagangan yang luas dengan orang-orang Tionghoa lain,
membuat usaha Kaum Tionghoa di Tangerang mengungguli saudagar dari
kalangan lain. Penguasaan aspek pemasaran juga menjadi faktor yang sangat
mendukung usaha dibidang pertanian. Teknologi pertanian yang dibawa dari
tanah Tiongkok tergolong lebih maju dari teknologi yang sebelumnya
digunakan oleh petani-petani pribumi. Petani Tionghoa tidak mengalami
kesulitan ketika harus menjual komoditi hasil pertanian mereka karena
jaringan distribusi hasil bumi didominasi oleh kalangan orang-orang
Tionghoa. Meski demikian, banyak orang-orang Cina benteng yang
berprofesi sebagai buruh rendah, baik di bidang perdagangan maupun
sebagai buruh tani.
E. Akulturasi Budaya
Geger Pecinan di Batavia tahun 1740 memaksa terjadinya migrasi
secara massif orang-orang Tionghoa keluar dari Batavia. Daerah terdekat dan
aman bagi mereka adalah Tangerang jika dibandingkan dengan daerah
sekitar Batavia lainnya seperti Bekasi dan Bogor. Tangerang menjadi lebih
aman karena di Tangerang telah lebih dulu didiami oleh banyak warga
keturunan Tionghoa yang kemudian kita sebut dengan Cina Benteng.
Warga Cina Benteng dapat menerima mereka sebagai saudara satu
leluhur yaitu Kaisar Kuning. Mereka berbaur kemudian menjadi lebih kuat.
Untuk menghindari represi dari penguasa colonial mereka memilih untuk
105
Wawancara dengan Nia Naenia alias Yo Song Ni, 35 tahun di Desa Kali Baru,
Kecamatan Pakuhaji, Tangerang
89
meleburkan diri dengan penduduk pribumi, mereka bahkan mengadopsi
tradisi budaya pribumi setempat dan kemudian dijadikan sebagai salah satu
Identitas komunitas mereka. Contoh paling sempurna dalam bahasan ini
adalah musik Gambang Kromong. Gambang Kromong adalah salah satu
musik harmoni yang terdiri dari banyak instrument musik diantaranya,
gambang yang terbuat dari bilah-bilah kayu yang disusun dan terdiri dari
banyak nada. Kromong adalah alat musik terbuat dari logam berbentuk
seperti Botol-botol gemuk atau dalam bahasa jawa dikenal sebagai bonang.
Selain itu ada tehyan, alat musik gesek khas Tiongkok, gong, kendang,
kecrek dan sebagainya.
Jika diamati, Komposisi gambang kromong terdiri dari berbagai alat
musik yang bersal dari beberapa daerah, Orkes gambang kromong
merupakan perpaduan yang serasi antara unsur-unsur pribumi dengan unsur
Tionghoa. Secara fisik unsur Tionghoa tampak pada alat-alat musik gesek
yaitu sukong, tehyan, dan kongahyan. Perpaduan kedua unsur kebudayaan
tersebut tampak pula pada perbendaharaan lagu-lagunya. Di samping lagu-
lagu yang menunjukkan sifat pribumi, seperti lagu-lagu Dalem (Klasik)
berjudul: Centeh Manis Berdiri, Mas Nona, Gula Ganting, Semar Gunem,
Tanjung Burung, Kula Nun Salah, dan Mawar Tumpah dan sebagainya, dan
lagu-lagu Sayur (Pop) berjudul: Jali-jali, Stambul, Centeh Manis, Surilang,
Persi, Balo-balo, Akang Haji, Renggong Buyut, Jepret Payung, Kramat
Karem, Onde-onde, Gelatik Ngunguk, Lenggang Kangkung, Sirih Kuning
dan sebagainya, terdapat pula lagu-lagu yang jelas bercorak Tionghoa, baik
nama lagu, alur melodi maupun liriknya, seperti Kong Ji Liok, Sip Pat Mo,
Poa Si Li Tan, Peh Pan Tau, Cit No Sha, Ma Cun Tay, Cu Te Pan, Cay Cu
90
Teng, Cay Cu Siu, Lo Fuk Cen, dan sebagainya.106
Dalam gambang kromong
terlihat terjadinya tawar-menawar budaya antara budaya Tiongkok dengan
budaya pribumi. Harmoni dalam berkesenian tentu merupakan gambaran
harmoni dalam keseharian.
Pillihan untuk melakukan akulturasi budaya dilakukan untuk
membentuk suatu identitas komunitas baru Tionghoa agar lebih dapat
diterima oleh masyarakat pribumi. Di sisi lain pembentukan komunitas
masyarakat baru Tionghoa yang bukan sekedar dimaksudkan agar dapat
menghindari kewajiban-kewajiban pajak dan kewajiban lain yang ditetapkan
oleh pemerintah Hindia Belanda kepada warga Tionghoa.
Pembauran Tionghoa dan pribumi menemukan bentuk yang paling
sempurna di Tangerang. Hampir tak pernah ada friksi antara keduanya. Dari
sisi budaya kedua belah pihak dapat menerima dan sekaligus memberi nilai-
nilai tradisi mereka. Jika dalam paparan di atas komunitas Cina Benteng mau
menerima budaya pribumi sebagai suatu identitas, demikian juga sebaliknya,
budaya Tionghoa juga sangat kental mewarnai kehidupan masyarakat. Di
bidang pertanian, alat-alat pertanian dari cangkul, luku, hingga topi lebar
untuk melindungi diri dari sengatan matahari langsung, banyak diadaptasi
dari peralatan pertanian Tiongkok. Belum lagi makanan, mie, pao, kecap,
baso dan sebagainya, semua itu beasal dari Tiongkok. Di Tangerang hingga
kini ada dua pabrik kecap legendaris yang masih berproduksi, letaknya tidak
jauh dari Pasar Lama. Dahulu, sebutan Kecap Benteng (kecap dari
Tangerang) merupakan jaminan rasa yang enak bagi salah satu penyedap
rasa berbahan dasar kedelai itu.
106
Wawancara Dengan Go Yong, Seniman dan pembuat tehyan, di rumahnya di
Neglasari, Tangerang, 20 Desember 2017.
91
Di kampung Tanjung Kait, sekarang Desa Tanjung Anom terdapat
sebuah klenteng Tionghoa yaitu Klenteng Tjo Soe Kong, selain tempat ritual
pemujaan terhadap leluhur, Klenteng Tjo Soe Kong juga merupakan pusat
kebudayaan warga Tionghoa dan pribumi, bukan saja dari sekitar klenteng,
melainkan juga banyak didatangi oleh warga Tionghoa dari luar daerah
seperti Bogor, Bandung, Semarang bahkan Surabaya. Setiap tahun di
Klenteng Tjo Soe Kong diselenggarakan taradisi budaya bertajuk “Wayang
Tanjung” biasanya berlangsung sekitar 7 hari. Selama 7 hari tersebut
dipentaskan beberapa jenis kesenian dari mulai Tarian Barongsai, Liong,
Wayang Potehi, Wayang Golek, Topeng, Lenong dan sebagainya. Kesenian
yang berasal dari Tiongkok dipentaskan terkadang berkolaborasi dengan
kesenian pribumi. Perayaan Wayang Tanjung bukan sekedar pesta dan
pentas kesenian, lebih dari itu Wayang Tanjung dipercaya sebagai penanda
dimulainya musim tanam padi bagi petani di seantero Tangerang. Dalam hal
ini menjadi jelas bagaimana budaya Tionghoa sebagai budaya pendatang
mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat pribumi.
Dalam hal toleransi, penulis menemukan contoh sempurna di kampung
Kebon Baru, Desa Marga Mulya, Kecamatan Mauk terdapat Komplek
Makam Keramat Emak Dato, Makam Emak Dato adalah makam keramat
yang sering didatangi orang Tionghoa. Konon Emak Dato adalah sosok
wanita yang sangat dihormati semasa hidupnya. Emak Dato terdampar di
pantai Tanjung Kait tak jauh dari komplek tersebut setelah menempuh
perjalanan dagang dari Bali. Di kampung Kebon Baru ia membeli sebidang
tanah dan akhirnya menetap di sana.
Profesi Emak Dato sendiri selain pedagang juga sebagai tabib yang
sering kali memberikan pertolongan bukan sekedar masalah-masalah
kesehatan tapi juga urusan lain seperti usaha, peramalan dan sebagainya.
92
Singkatnya keberadaan Emak Dato menjadi bermanfaat bagi penduduk
sekitar. Dalam aktifitasnya menolong orang, Emak menggunakan kendaraan
sado atau delman. Mang Compreng adalah partner setia sebagai kusir yang
mengantar Emak kemanapun di perintah. Tak jelas berasal dari suku mana
Emak Dato tapi Mang Compreng adalah seorang Muslim yang taat.
Setelah Emak Dato Wafat dimakamkan di komplek tersebut, tak lama
kemudian Mang Compreng menyusul dan dimakamkan hanya beberapa
meter di sebelah makam Emak Dato. Komplek Pemakaman tersebut
dianggap keramat karena terdapat makam seorang yang dianggap mampu
menebarkan berkah bagi manusia lainnya sehingga layak mendapatkan
pemujaan. Makam tersebut dianggap keramat juga karena pada saat
meletusnya gunung Krakatau tahun 1883, seluruh pantai di utara pulau Jawa
mengalami tsunami yang dahsyat, Akibat tsunami tersebut pantai-pantai di
utara jawa kebanjiran. Anehnya komplek makam Emak Datok tidak
kebanjiran sehingga warga sekitar menjadikannya sebagai tempat
pengungsian. Itulah sebabnya komplek makam tersebut dianggap keramat
dan layak mendapatkan pemujaan dari orang-orang Tionghoa sekitar.
Makam Emak Dato dibangun layaknya makam-makam Tionghoa
sedangkan makam Sang Kusir, Mang Compreng juga dibangun, disediakan
ruang berdo‟a lengkap dengan berbagai buku-buku dan kitab yang bertema
Islam dan dihiasi ornament kaligrafi yang mengagungkan Allah dan
memulyakan Nabi Muhammad SAW.
Setiap Tahun Pengelola situs Emak Dato mengadakan pesta yang
bertajuk “Ulang Tahun Emak Dato” Selama 7 hari digelar berbagai pentas
kesenian baik kesenian pribumi maupun yang berasal dari Tiongkok. Dalam
perayaan tersebut juga digelar pesta makanan dimana semua orang baik
Tionghoa maupun pribumi bebas makan di tempat itu. Uniknya dalam pesta
93
itu tidak boleh ada makanan dan minuman yang haram menurut Islam seperti
Babi dan arak. Hal itu dimaksudkan untuk menghargai Mang Compreng dan
juga maysarakat pribumi.
Kehidupan orang Tionghoa di Nusantara memang sudah terbiasa dengan
pola spiritualitas yang akulturatif. Mereka dikenal sebagai sosok yang tidak
selalu fanatik dengan keyakinannya. Masuk dalam Islam tidak selalu
didorong oleh hidayah, melainkan karena melihat peluang dan keuntungan
yang lebih menjanjikan ketika mereka menjadi Muslim. Salah satu alasan
utama orang Tionghoa menjadi Muslim di Tangerang adalah karena
perkawinan dengan wanita penduduk setempat. Mereka tidak segan untuk
berganti agama menjadi Islam, karena biasanya masyarakat lokal begitu
teguh memegang keyakinannya, laki-laki Tionghoa memilih mengalah dan
menjadi Muslim.107
Dalam hal kebudayaan dan tradisi orang pribumi, masyarakat Cina
Benteng dapat menerimanya bahkan menjadikannya sebagai sebuah identitas
bagi komunitas mereka. Penerimaan masyarakat Cina benteng terhadap
budaya pribumi tidak berbanding lurus dengan penerimaan mereka terhadap
ajaran agama Islam. Dalam hal pemilihan agama mereka lebih memilih
Kristen, hal ini disebabkan Islam mengharamkan tradisi judi, minum arak
dan makan daging babi. Kristen, baik protestan maupun katolik masih
mentolerir hal tersebut. Untuk kalangan elit Tionghoa, Islam dianggap tak
berpendidikan, kampungan dan sebagainya, sedangkan Kristen terkesan
lebih modern. Keadaan demikian memang diciptakan oleh pemerintah
kolonial dimana masyarakat digolongkan dam tiga bagian atau strata. Strata
teringgi adalah warga dan keturunan orang Eropa. Tentu saja penggolongan
107
Wawancara dengan Marsudi (Yo Bun Siong) di rumahnya di Desa Kohod pada 11
Juni 2016. Anak Marsudi bernama Nia Naenia (Yo Song Ni) menikah dengan seorang
Muslim bernama Abdul Gani.
94
orang Eropa ditujukan kepada orang-orang Belanda mengingat sangat sedikit
orang Eropa dari Negara selain Nederland. Penyebutan Eropa juga
dimaksudkan untuk mendapat dukungan moral dari orang-orang Eropa lain
pelaku Imperialisme. Golongan kedua adalah masyarakat yang berasal dari
Asia Timur Asing (Tionghoa) dan Timur Tengah (Arab). Penggolongan
mereka pada kasta kedua ini dimaksudkan agar mereka mau bekerjasama
dengan pemerintah mengingat posisi mereka yang begitu kuat dalam jajaran
perdagangan, jaringan distribusi dan pedagang perantara. Kasta ketiga adalah
masyarakat dari kalangan pribumi yang diposisikan begitu rendah.
Penggolongan mereka kepada kasta terendah tentunya dimaksudkan untuk
meruntuhkan mental mereka, menghancurkan rasa percaya diri dan akhirnya
terkubur dalam jurang keputusasaan.
Tentu saja, orang-orang Tionghoa yang sudah merasa berada pada strata
kedua, tidak menginginkan untuk masuk ke dalam strata masyarakat
terendah. Mereka yang mempunyai ambisi besar pasti ingin dipersamakan
dengan golongan orang-orang Eropa. Banyak dari mereka yang mencukur
kuncirnya bukan lantaran menjadi Muslim tetapi karena ingin dipersamakan
dengan orang Eropa. Cara berpakaian mulai menggunakan jas ala Eropa.
Gaya hidup mereka juga mengikuti orang eropa dengan mengikuti pesta-
pesta bahkan membuat acara pesta-pesta dansa dengan mengundang orang-
orang Eropa. Mereka ini pada akhirnya menyempurnakan dengan berpindah
agama menjadi Kristen atau Katolik layaknya agama orang-orang Eropa.
Setelah kerusuhan di Batavia, rupanya tidak menghentikan kedatangan
imigran Tionghoa lainnya. Para pendatang yang disebut Sing keh (tamu baru)
atau Cina Totok ini banyak juga yang memilih Tangerang sebagai lokasi
95
menyambung hidupnya. Mereka juga menggantungkan diri dengan bertani
dan berladang.108
Identitas Tionghoa Tangerang yang hari ini dikenal sebagai Cina
Benteng menemui penguatan historisnya pada periode ini. Cina Benteng,
awalnya merujuk pada orang Tionghoa yang tinggal di sekitar benteng VOC
yang beberapa tahun sebelumnya didirikan sebagai basis perlawanan
terhadap serangan pasukan Banten. Bangunan ini berdiri di tepi sungai
Cisadane. Benteng ini merupakan benteng terdepan yang mebatasi wilayah
pengaruh VOC dan Kesultanan Banten. Keberadaan benteng ini, ikut pula
mengundang beberapa Tionghoa sekitar untuk ikut berinteraksi dengan para
pejabat VOC yang bertugas di benteng tersebut.109
Pendapat lain mengatakan bahwa istilah Cina Benteng memang tercipta
paska tragedi 1740. Banyak orang Tionghoa yang memilih tinggal di sekitar
bekas benteng VOC yang terletak di tepi sungai Cisadane. Keturunan mereka
itulah yang menyandang sebutan Cina Benteng. Mereka hidup membaur
dengan masyarakat non-Tionghoa setempat. Bahkan, beberapa dari mereka
ada yang masuk Islam dan menolak memakan babi.
Terdapat beberapa keterangan mengenai dorongan mereka memeluk
Islam, yakni menghindari diri dari pajak yang dialamatkan khusus kepada
etnis Tionghoa, karena dengan masuk Islam kedudukan mereka dianggap
sama dengan pribumi. Kedua, fenomena ini terjadi akibat pergaulan yang
kian dekat dengan orang-orang Muslim. amalgamasi, yakni menikah dengan
108
M. Dien Madjid dkk, Sejarah Kabupaten Tangerang (Tangerang: Pemerintah
Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang dan Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat
(LPPM) UNIS Tangerang, 1992) hlm. 24-25. 109
Muhamad Arif, “Model Kerukunan Sosial Pada Masyarakat Multikultural Cina
Benteng (Kajian Historis dan Sosiologis)” dalam Sosio Didaktika, Vol. I, No. 1 Mei 2014,
hlm. 58.
96
wanita setempat menjadi wahana yang memperteguh proses pribumisasi
mereka dengan penduduk lokal Tangerang.110
Pillihan untuk melakukan akulturasi budaya dilakukan untuk
membentuk suatu identitas komunitas baru Tionghoa agar lebih dapat
diterima oleh masyarakat pribumi. Jika terjadi krisis politik yng kemudian
berkembang menjadi krisis sosial, orang Cina Benteng bisa berlindung pada
orang-orang pribumi. Peristiwa 1740 di Batavia benar-benar taraumatik
sehingga sebisa mungkin dihindari.
110
Muhamad Arif, “Model Kerukunan ...”, hlm. 58.
97
BAB IV
PENGARUH KOLONIAL PADA MASYARAKAT CINA BENTENG
A. Awal Masuknya Kekuasaan Kolonial di Tangerang (Banten)
Direbutnya Bandar Jayakarta oleh VOC pada 1619111
, semakin
memantapkan posisi VOC di mata dunia. Di bawah pengelolaan VOC,
Batavia menjadi kota pelabuhan yang semakin ramai dikunjungi banyak
saudagar dan pelaut mancanegara. Jejaring perdagangan VOC yang perlahan
semakin melebar, membentuk jejaring kuasa-dagang yang bertumpu pada
monopoli yang dijadikan senjata mereka merebut kantong-kantong ekonomi
masyarakat lokal. Batavia menjadi kota kosmopolitan yang kedudukannya
sepadan dengan kota-kota Eropa, terutama karena kedudukannya sebagai
pusat komando VOC di Nusantara
Semakin meningginya posisi Batavia dalam rantai niaga di Nusantara,
membawa serta pada daerah-daerah sekitarnya. Tangerang kian waktu kian
dipadati oleh pendatang baik dari penduduk pedalaman maupun bangsa
asing, seperti Tiongkok. Posisi mereka secara sosial kian kuat, bahkan
menjadi golongan menengah yang berpengaruh. Hal ini dicapainya berkat
memaksimalkan bakat berdagangnya dan jaringan distribusi yang dikuasai
kelompok ini.
111
Onghokham, Anti Cina ..., hlm. 57.
98
Iklim politik yang berubah secara drastis, di mana kekuatan Banten serta
kekuatan lokal lainnya perlahan surut dari pantai utara Jawa, sama sakali
tidak mengganggu aktivitas orang Tionghoa secara signifikan.
VOC menilai orang Tionghoa merupakan sekutu yang sepadan. Mereka
hadir di kepulauan Nusantara didorong oleh semangat perbaikan hidup,
begitu pula Belanda. Mereka berdua sama-sama yakin, hanya dengan
perniagaan-lah kemakmuran bisa diraih. Ketika Batavia diperintah oleh Jan
Pieterzoon Coen (memerintah pada 1619-1623), ia menganggap orang
Tionghoa adalah aset ekonomi yang penting. Bahkan, ia sampai membujuk
orang Tionghoa yang tinggal di Banten untuk pindah ke Batavia. Di Batavia,
mereka banyak bergerak sebagai tukang, pedagang, kontraktor hingga kuli.
Di kota ini jumlah orang Tionghoa cukup besar, bahkan sempat menjadi
penduduk mayoritas di Batavia.112
Orang Tionghoa di kemudian waktu diajak oleh VOC untuk bersama
melakukan kerja-kerja sosial. Misalnya, pada tahun 1655, pemerintah VOC
tergabung dalam suatu Dewan Perwalian (boedelmeesters) bersama dengan
orang Tionghoa yang mengurusi masalah harta peninggalan orang Tionghoa
yang kaya yang sebelum meninggal tidak mempunyai wasiat dan tidak
mempunyai anak. Harta-harta tersebut kemudian disalurkan untuk
membangun rumah sakit, rumah yatim piatu dan fasilitas umum lainnya.
Keduanya juga kerap memikirkan perbaikan sanitasi di Batavia. Di dalam
dunia perbankan, keduanya juga menjalin kerja sama, khususnya di bidang
debitor-kreditor yang menyangkut dua bangsa itu.
Di lain pihak, orang Tionghoa begitu menikmati fasilitas Hukum
Dagang Belanda di Batavia. Mereka merasa VOC bisa melindungi harta
112
Onghokham, Anti Cina ..., hlm. 55.
99
benda mereka. Dilihat secara fisik, Batavia merupakan kota yang sudah
dibangun sedemikian rupa dengan sistem keamanan yang tarpadu di
zamannya. Dari sini mereka bisa menjalin jejaring bisnis dengan pelaku-
pelaku ekonomi lainnya, yang di antaranya adalah orang Tionghoa yang
tinggal di luar Batavia, termasuk dengan Tangerang, di mana salah satu
profesi orang Tionghoa adalah sebagai pedagang perantara.113
Pada 17 April 1684, VOC menandatangani suatu perjanjian dengan
Banten. Secara umum perjanjian ini dapat diartikan sebagai kemenangan
VOC atas Banten, dan berarti pula Kompeni berhak melebarkan
kepentingannya di wilayah yang semula diduduki Banten. Perjanjian ini pula
yang menjadi pintu gerbang dikuasainya wilayah Tangerang oleh VOC.
Untuk memperkuat posisinya atas wilayah itu, Kompeni mendirikan
Kabupaten Tangerang dan yang menjadi pemimpinnya adalah seorang
bergelar bupati. Kabupaten Tangerang ini berdiri sejak 1682 hingga 1890,
sampai ketika Tangerang dipecah kembali menjadi tanah-tanah partikelir.
“Dan harus diketahui dengan pasti sejauhmana batas-batas daerah kekuasaan
yang sejak masa lalu telah dimaklumi maka akan tetap akan ditentukan yaitu
daerah yang dibatasi oleh sungai Untung Jawa atau Tangerang dari pantai
Laut Jawa hingga pegunungan-pegunungan sejauh aliran sungai tersebut
dengan kelokan-kelokannya dan kemudian menurut garis lurus dari selatan
hingga utara hingga sampai di Laut Selatan. Bahwa semua tanah di
sepanjang Untung Jawa atau Tangerang akan jadi milik atau ditempati
Kompeni.”114
Demikian isi salah satu pasal perjanjian antara Kompeni dengan Banten yang
ditandatangani oleh Sultan Haji pada 17 April 1684 menyusul tertangkapnya
Sultan Ageng Tirtayasa. Perjanjian itu menandai berakhirnya perlawanan
masyarakat Banten terhadap Kompeni dengan kata lain dapat diartikan
sebagai kemenangan Kompeni. Sejak itu seluruh Tangerang menjadi milik
113
Onghokham, Anti Cina ..., hlm. 55-57. 114
M. Dien, Madjid, Sejarah…, hlm.51
100
Kompeni. Untuk mengurus wilayah yang baru diperolehnya itu Belanda
menjadikan Tangerang sebagai daerah administrasi berupa kabupaten yang
dipimpim oleh seorang bupati.
Pada tahun 1800 VOC sebagai kongsi dagang Belanda yang menguasai
monopoli perdagangan hampir di seluruh Nusantara, bahkan mencapai
Afrika Selatan, Malabar, Sailan dan Formosa mengalami kebangkrutan
akibat korupsi yang merajalela di kalangan pimpinan kongsi dagang itu.
Sejak itu semua kegiatan serta hak milik termasuk tanah jajahan diambil alih
oleh Kerajaan Belanda. Pemerintah Belanda melanjutkan politik yang
dijalankan oleh VOC di tanah jajahan dengan tujuan memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya bagi kerajaan Belanda.
Untuk mengurusi tanah daerah-daerah jajahan terutama Hindia Belanda,
pada tahun 1802 dibentuk sebuah komisi. Tugas komisi ini adalah untuk
menjamin jalannya pemerintahan agar dapat memberikan keuntungan
sebesar-besarnya sebagai penerimaan keuangan bagi Kerajan Belanda.
Penerimaan keuangan benar-benar diperlukan oleh kerajaan pada saat itu
mengikan kondisi kas negara benar-benar kosong akibat konflik dengan
Inggris dan Prancis.
Sebagai pimpinan pemerintahan tanah jajahan dipercayakan pada
Herman William Daendels dengan jabatan Gubernur Jenderal Hindia
Belanda padatahun 1808. Untuk mendapatkan dana segar dalam waktu cepat
Pemerintah Hindia Belanda menjual dan menyewakan tanah-tanah yang
ditinggalkan pemiliknya maupun hasil rampasan kasus-kasus criminal
maupun pajak. Tanah-tanah ini yang disewakan dan dijual kepada para
pemilik modal atau tuan-tuan tanah. Di Batavia, para tuan tanah didominasi
oleh orang-orang Belanda namun di Tangerang, tuan-tuan tanah didominasi
oleh kalangan Tionghoa selain Arab dan pribumi kaya.
101
B. Tanah Partikelir di Tangerang.
Didorong oleh hasrat investasi yang tinggi, banyak pejabat-pejabat
senior VOC yang membeli tanah di pinggiran Batavia. Tanah-tanah itu
kemudian disewakan kepada orang Tionghoa untuk digarap. Di tanah
garapan itu, terjalin hubungan yang erat antara petani lokal dengan orang
Tionghoa yang dampaknya bisa dirasakan bagi keuntungan Batavia.
Kemajuan ekonomi ini nyatanya tidak dimaksudkan untuk pembangunan
Batavia yang berkelanjutan. Banyak dari para pejabat yang menyimpan hasil
keuntungan itu untuk memperkaya diri dan berfoya-foya di Belanda.
Sebenarnya, orang Belanda tidak begitu memperdulikan kegiatan apa yang
dilakukan oleh orang yang hidup dari tanah pertanian sekitar kota.115
Penduduk di daerah Batavia dan sekitarnya yang tanahnya dijual kepada
tuan tanah harus menyerahkan sebagian dari hasil buminya kepada tuan
tanahnya. Mereka juga harus menjalani kerja wajib untuk tuan tanah mereka.
Cenderung terjadi tindakan penghisapan yang dilakukan tuan tanah terhadap
penduduk pekerja mereka. Kesewenangan kerap terjadi, yang mengakibatkan
kurang harmonisnya hubungan diantara mereka. Penduduk yang hidup di
tanah partikelir mendapatkan tekanan hidup yang berat, mereka juga harus
membayar berbagai pajak (cuke).116
Sampai tahun 1930, banyak orang Tionghoa yang tinggal di kawasan
pedesaan. Jika dibandingkan dengan populasi Tionghoa yang hidup di kota,
maka jumlahnya lebih besar di kawasan pedesaan. Masyarakat Cina Benteng
awal yang tersebar dari Teluk Naga menyusuru Bantaran sungai Cisadane
menuju kota kemudian berbaur dengan orang-orang Tionghoa dari Batavia
115
Jean Gelman Taylor, Kehidupan Sosial di Batavia, Terj. Tim Komunitas Bambu
(Depok: Komunitas Bambu, 2009) hlm. 13. 116
M. Dien, Madjid, Sejarah…, hlm.76
102
lalu mulai menyebar ke Karawaci, Legok, lalu ke Selatan menuju Cisauk dan
Serpong. Sedangkan kearah Utara menuju Pasar Baru, Sangiang, Kedaung,
Sepatan, Mauk hingga Tanjung Kait. Di bagian Utara seperti Sepatan dan
Mauk, Orang-orang Tionghoa mengupayakan pertanian pangan karena di
daerah seperti Sepatan dan Mauk area persawahan terbentang luas,
Sedangkan di bagian selatan mereka mengupayakan perkebunan, utamanya
Karet dan buah-buahan seperti rambutan, durian dan buah lainnya.
Di Tangerang tanaman kopi tidak dapat tumbuh dengan baik karena
memang letak geografis Tangerang berada di dataran rendah sedangkan kopi
hanya dapat tumbuh dengan baik di dataran tinggi dengan suhu udara yang
lebih rendah. Tanaman yang dapat tumbuh denga baik di tangerang adalah
padi, palawija, kelapa dan tebu. Tanah-tanah partikelir di daerah tangerang
hapir seluruhnya dikuasai oleh orang-orang Tionghoa karena tuan tanah
orang belanda biasanya mengelola perkebunan yang hasil buminya untuk
keperluan ekspor ke Eropa seperti Kopi, Tembakau dan Lada. Kebetulan
tanaman-tanaman itu tidak tumbuh dengan baik di Tangerang. Tuan-tuan
tanah Tionghoa di Tangerang pada umumnya adalah pekerja keras, mereka
mempekerjakan orang-orang pribumi dan juga orang Tionghoa lainnya.
Buruh-buruh ini menggarap tanah milik tuan tanah yang ditanami padi.
Mereka mengolah mulai persiapan, pembibitan, hingga panen. Pembagian
hasil panen dilakukan dengan bagi hasil. Ada kuli tetap, ada juga kuli-kuli
lepas. Hanya pada saat-saat dibutuhkan tenaga yang banyak saja mereka
dipekerjakan, misalnya penanaman dan pemanenan karena pekerjaai itu
harus dilakukan secara serempak dalam waktu yang bersamaan.
Cara lain dalam mengelola tanah partikelir adalah dengan menyerahkan
pengelolaannya kepeda penduduk untuk diolah dengan syarat tuan tanah
menerima sebagian hasil dari pengelolaan tanah tersebut dengan cara
103
perpuluh atau 1/10 bagian merupakan hak tuan tanah. Selain membagi hasil
panen, penduduk masih harus membayar pajak-pajak yang lain.
Cina Benteng ada yang berstatus sebagai tuan tanah namun banyak juga
diantara mereka yang merupakan buruh buruh tani saja. Sebagai tuan tanah
mereka dituntut untuk memperbaiki fasilitas-fasilitas umum di daerah
mereka yang pada saat itu kondisinya buruk seperti jalan dan jembatan,
disamping tentu saja melakukan pengawasan atas pajak yang diterima
pemerintah. Pemerintah kolonial turun tangan dalam hal menjaga keamanan
di tanah-tanah partikelir terutama di Batavia dan sekitarnya.
Lahan pertanian yang diolah oleh orang Tionghoa ini banyak juga yang
merupakan tanah orang Belanda. Baik pejabat senior VOC maupun
pengusaha Belanda swasta sudah banyak yang mempunyai tanah yang
terletak di sekitar Batavia. Mereka menyewakan tanah-tanah itu untuk
kemudian dikelola oleh orang-orang Tionghoa. Bahkan, dalam
perkembangannya, tanah-tanah itu banyak yang dimiliki oleh orang
Tionghoa. Merujuk pada “Straat der Partikuliere Landerijen in 1879” yang
dimuat dalam Regering Almanak 1891, di wilayah sebelah barat Batavia
hingga Tangerang, tanah-tanah partikelirnya banyak yang dimiliki oleh
orang Tionghoa.
Tidak seluruh orang Tionghoa menggarap tanahnya sendiri, beberapa
dari mereka juga menggunakan tenaga orang pribumi. Bagi sebagian orang
pribumi tinggal di tanah yang dikelola orang Tionghoa lebih nyaman
ketimbang tinggal di tanah orang Belanda yang langsung dikelola oleh
mereka. Alasan utama yang melatarbelakangi anggapan tersebut, adalah
karena orang Tionghoa lebih memilih tanaman konsumsi lokal seperti
jagung, padi, kacang, singkong dan tanaman palawija lainnya, sedangkan
104
tanah-tanah orang Eropa banyak ditanami tanaman komoditas ekspor, seperti
kopi, teh dan karet. 117
Yang dimaksud sebagai tanah pertanian, tanah sewa atau tanah partikelir
bukanlah tanah kosong tidak bertuan. Tanah-tanah itu sudah ditinggali oleh
penduduk pribumi yang sudah mendiami lahan itu secara turun-temurun.
Mereka adalah kelompok rakyat biasa yang menggantungkan hidup dari
kebun dan sawahnya yang di atasnya terdapat tanaman kelapa, padi dan
rumput. Setelah tanah-tanah itu secara formal dimiliki oleh para tuan tanah,
penduduk di situ dipekerjakan sebagai buruh dengan upah yang murah atau
mereka dikenakan pajak atau sewa tanah dengan harga yang cukup tinggi.
Terkadang penarik pajak memperlakukan para penduduk yang tidak bisa
membayar pajak dengan semena-mena. Suatu tindakan yang dikemudian
waktu menyulut perlawanan warga dan kerap diselesaikan dengan aksi
militer pasukan kolonial.118
Ketimpangan sosial yang terjadi di tanah-tanah partikelir antara tuan
tanah dan buruh sering kali menimbulkan perasaan tertindas dari kaum buruh
tani hingga batas-batas tertentu perasaan itu taktertahankan lagi dan akhirnya
meletus menjadi sebuah tindakan perlawanan baik yang terang-terangan
maupun yang sembunyi-sembunyi. Bagi yang tidak tahan terhadap
penindasan tuan tanah dan pemerintah, meraka yang punya keberanian lebih
banyak yang memilih hidup sebagai bandit dan rampok. Untuk melindungi
keamanan para tuan tanah, pemerintah memperbolehkan para mador untuk
117
Abdul Chaer, Betawi Tempo Doeloe; Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi
(Depok: Komunitas Bambu, 2015) hlm. 52. 118
Abdul Chaer, Betawi Tempo ..., hlm. 54.
105
memegang senjata api, tentunya dengan seijin dan terdaftar pada komisaris
urusan bumiputera.119
Untuk kepentingan jangka panjang, para tuan tanah Tionghoa biasanya
menjalin hubungan yang baik dengan warganya. Mereka membangun
hubungan yang akrab dengan para buruhnya. Mereka kerap mengakomodir
kebutuhan warga mereka, mulai dari kebutuhan harian sampai peminjaman
uang. Dalam bergaul, tuan Tionghoa dengan warganya kerap terlibat dalam
suasana yang luwes, menggunakan bahasa Melayu yang sama-sama
dimengerti kedua belah pihak. Suasana sedemikian tentu tidak umum tercipta
manakala warga pribumi bertemu dengan tuan tanahnya yang berbangsa
Eropa.120
Di pertengahan abad 19, terjadi perubahan model ekonomi dengan
maraknya pembukaan perkebunan-perkebunan di pelbagai wilayah
Nusantara. Pada tahun 1870, digulirkan undang-undang bahwa para penyewa
tanah hanya boleh menyewa selama lima tahun. Tujuannya adalah agar tidak
terjadi perampasan tanah warga secara semena-mena. Kekhawatiran ini
muncul karena banyak para pemodal swasta yang berinvestasi di Tangerang.
Tanah-tanah di Tangerang sudah banyak yang ditanami tanaman produksi
seperti karet. Muncul tren baru di kalangan para pemilik tanah yang banyak
di antaranya adalah orang Cina dan Arab yakni mereka semakin leluasa
mengeksploitasi wilayahnya dan di sisi lain mereka juga mendapat
perlindungan hukum dari pemerintah.
Kian kemari, semakin banyak orang Tionghoa, baik yang asli Cina
Benteng maupun yang Singkeh, yang memiliki tanah partikelir. Dalam Tabel
Tanah Partikelir Tangerang Tahun 1900-1910 misalnya tercatat nama orang
119
M. Dien, Madjid, Sejarah…, hlm.78 120
Abdul Chaer, Betawi Tempo ..., hlm. 53.
106
Tionghoa seperti Ong Jam San yang menyewa Pondok Djagoeng dengan
luas tanah 723 bahu (1 bahu = 500m2)
dengan jumlah penduduk di dalamnya
sebanyak 1446 jiwa, Oei Giok Koen menggarap tanah Poris seluas 1556
bahu dengan jumlah pemukim 7891 jiwa, Tjiong Goan Ho dkk menyewa
tanah Sepatan dengan luas 3259 bahu dengan penduduk sebanyak 6768
orang dan lain sebagainya.121
Para petani keturunan Tionghoa di Tangerang terbagi dalam tiga golongan. Kesatu,
golongan “petani besar”. Ialah mereka jang memiliki tanah-tanah atau sawah-sawah jang
terkadang luasnja sampai beberapa ratus HA. Tanah-tanah atau sawah-sawah itu mereka
peserah dalam pengusahaan para petani jang tidak mempunjai tanah sendiri. Hasil panen
dibagi antara pemilik dan pengusaha menurut kebiasaan jang lazim berlaku. Mengenai ini
sebentar akan didjelaskan lebih djauh.
Kedua adalah petani-petani ketjilan jang mempunjai sedikit tanah atau sawah
(beberapa HA). Mereka mengusahakan sendiri atau kalau dapat membijajainja
menggunakan tenaga beberapa pembantu. Ada pula jang berikan tanah atau sawahnja dalam
pengusahaan kepada orang lain.122
Menurut data yang dilansir dari Publicaties van de Afdeeling Handel
Jaar 1919, No. 1 (Publikasi Bagian Perdagangan Tahun 1919, No. 1) sawah
padi di Tangerang adalah salah satu yang terluas di Jawa, selain Krawang,
Brebes dan Temanggung. Namun begitu luasnya sawah tidak menjamin
kemakmuran penduduknya. Terbukti Banyuwangi dan Jember yang luas
sawahnya tidak sebanding dengan daerah-daerah tersebut, mempunyai
tingkat kemakmuran yang lebih tinggi.123
Semakin menguatnya posisi tuan tanah Tionghoa, membuka celah baru
dalam perhubungan dengan warga lokal. Perlahan mulai terdengar kabar-
kabar yang tidak sedap mengenai arogansi tuan tanah atas para warganya.
Kekecewaan yang dihadapi para buruh seidkit demi sedikit terakumulasi
121
M. Dien Madjid, Sejarah Tangerang ..., hlm. 68-70. 122
. Star Weekly, Koran Mingguan, No. 372, 14 Peb. 1953 123
C. De Savorvir Lohman, “Verhouding de Sawahpadi-Productie; Tot de Dichtheid
Der Bevolking Op Java En Madoera In En Ult o, 1917” dalam Publicaties van De Afdeeling
Handel, 1919, No. 1 (Batavia: Drukkerij G. Kolff & Co., 1919) hlm. 3.
107
menjadi kebencian etnisitas. Perasaan bahwa tanah yang mereka garap
sejatinya adalah tanah leluhurnya, dan keberadaan mereka serta pemerintah
Belanda adalah orang luar perlahan meluas. Ledakkan kemarahan warga
buruh terlihat salah satunya dalam peristiwa pemberontakan mesianistik
yang dipimpin oleh Kain Bapa Kayah pada 1924.
Kain Bapa Kayah merupakan sosok panutan di masyarakatnya, yakni di
Pangkalan. Awalnya Kain adalah seorang buruh tani yang mempunyai
tempat tinggal di atas tanah milik saudara perempuannya. Karirnya sebagai
petani kian membaik. Ia sempat mencicipi profesi kalangan menengah pada
masa itu, seperti mandor, pembantu polisi, pembantu dalang sampai menjadi
dalang. Kehidupannya semakin membaik setelah ia menikah dengan wanita
Tionghoa yang banyak memberi dampak pada sikap dan perbuatannya
menjadi lebih terpandang di lingkungannya. Kain dikenal sebagai sosok yang
memiliki ilmu kanuragan atau kesaktian seperti mampu mendatangkan
mendung, banjir, bisa menghilang dan berganti wajah.
Salah satu penyebab pemberontakan Kain ini adalah represi para tuan
tanah Tionghoa kepada para buruhnya. Orang Tionghoa yang bergerak di
bidang pertanian, yang dalam penggarapannya mengandalkan buruh
setempat, disebut teko. Di Pangkalan, daerah Kain, orang Tionghoa lebih
banyak mempunyai tanah dibanding pribumi, yakni satu banding tiga.
Gerakan ini tidak bisa dimaknai sebagai kerusuhan etnis, mengingat di dalam
keluarga Kain sendiri terdapat unsur Tionghoa. Istri Kain, Tan Tjeng Nio
atau dikenal sebagai Nyonya Banten, kebetulan adalah orang Tionghoa dan
kemungkinan besar adalah berasal dari kelompok Cina Benteng. Salah
108
seorang guru pedalangan Kain yang berasal dari Mauk, adalah juga seorang
Tionghoa.124
C. Catatan aksi kekerasan fisik terhadap warga Tionghoa
1. Chinese Moord 1740
Penaklukan Jayakarta tahun 1619 oleh jan Pieterzon Coen menandai
kekuasaan Belanda di Jayakarta yang kemudian diubah namanya menjadi
Batavia, suatu kota yang telah lama diidam-idamkan Kompeni.
“Pondasi dari suatu titik temu yang lama kita dambakan, pada hari ini telah
diletakkan, mulai saat ini tanah yang subur serta laut yang makmur di
kelilingnya adalah milik tuan.” 125
Demikian nukilan surat Coen kepada pimpinan VOC di Negeri Belanda.
Sejak itu Batavia dibangun sedemikian rupa hingga nyaman untuk didiami.
Daerah sekitar yang merupakan wilayah yang subur oleh imigran Tionghoa
dan Eropa dikembangkan sebagai daerah pertanian dan industri.
Tahun 1740 perekonomian Batavia mengalami kemunduran. Pembangunan
kota dihentikan, buruh-buruh kesulitan mendapatkan pekerjaan, akibatnya
angka pengangguran meningkat tajam. Membanjirnya imigran asal Tiongkok
semakin menambah kompleksitas permasalahan sosial di Batavia. Keadaan
tersebut disebabkan setidaknya oleh dua hal yaitu, masalah lingkungan hidup
dimana hutan-hutan sekitar Batavia yang selama ini memasok bahan bakar
bagi pabrik-pabrik gula sudah habis ditebangi. Hal ini menyebabkan
124
M. Dien, Madjid, Sejarah…, hlm.87 125
Van Helsdingen-Hoogenberk, Mission Interupted, The Dutch in the East Indies and
Their Work in the XXth Century, Elsevier, Amsterdams-Brussel-London-New York 1945,
p.25
109
meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan industry untuk mendapatkan
bahan bakar. Di sisi yang lain, pertumbuhan industry gula di luar Jawa
seperti Malaka, Filipina, Benggala dan Hindia Barat membuat persaingan
harga gula di pasaran dunia menjadi sangat tajam. Berdagang gula bagi
Kompeni tidak lagi menguntungkan, mereka menurunkan harga pembelian
dari pabrik. Tentusaja produsen gula , orang-orang Tionghoa tentu saja
menjadi pihak pertama yang harus menanggung kerugian.126
Jumlah pengangguran yang besar tentunya berakibat pada angka kriminalitas
yang tinggi, namun keadaan itu tidak menyurutkan keinginan orang-orang
Tionghoa masuk ke Batavia. Tahun 1739 angka penduduk Batavia tercatat
10.574 jiwa, dari sebelumnya tahun 1719 sekitar 7.55 jiwa.127
Angka-angka
tersebut adalah angka resmi, tentunya jumlah sebenarnya jauh lebih besar,
mengingat banyaknya pendatang Tionghoa secara illegal.
Pesatnya perkembangan angka penduduk Tionghoa di Batavia tentunya
mengundang kekhawatiran dari pihak Kompeni. Untuk membendung laju
peningkatan jumlah penduduk Tionghoa di Batavia, Kompeni
memberlakukan aturan berupa pengetatan perijinan hingga kewajiban
membayar dengan sejumlah uang. Ancaman deportasi hingga pembuangan
ke Seilong Sri Lanka membuat orang-orang Tionghoa ketakutan dan menjadi
bulan-bulanan pejabat Kompeni. Mereka ditangkap dan dilepas kembali
setelah membayar sejumlah uang, namun tak lama kemudian ia ditangkap
kembali. Aturan bermotif ekonomi itu disinyalir karena VCO mulai
mengalami kemerosotan keuangan yang luar biasa. Hal itu disebabkan
126
Leonard, Blusse, Persekutuan Aneh Pemukiman Tionghoa-Wanita Peranakan dan
Belanda di Batavia VOC (Yogyakarta : LKiS, Pelangi Aksara, 2004) hlm. 51 127
Hembing, Wijayakusuma, Pembantaian Massal 1740, (Jakarta : Pustaka Populer
Obor, 2005) hlm. 80.
110
jatuhnya pasaran harga rempah di Eropa dan VOC mulai kalah bersaing
dengan Kongsi Dagang Inggris, EIC (East Indie Company).128
Suasana Batavia semakin mencekam ketika orang-orang Tionghoa
merayakan Imlek, Kompeni mulai melakukan penangkapan besar-besaran
terhadap orang Tionghoa yang dicurigai tak memiliki ijin tinggal. Kekacauan
mulai timbul saat orang-orang Tionghoa mulai bergerombol membentuk
kumpulan untuk mempertahankan diri. Jika pada awalnya mereka bertindak
defensive, namun kemudian mereka mulai agresif. Menurut lapuran kepala
personalia VOC De Roy kepada Gubarnur Jenderal Vackenier, 4 Februari
1740, orang Tionghoa mulai menyerang penjara untuk membebaskan rekan-
rekan mereka yang ditahan.129
Gubernur Jenderal Valckenier lalu meminta pendapat Dewan Hindia
atas situasi tersebut. 25 Juli 1740, Dewan Hindia membuat keputusan bahwa
warga Tionghoa, baik yang memeliki ijin tinggal maupun tidak, apabila
dicurigai melakukan perbuatan yang tidak baik akan ditangkap. Mereka yang
terbukti belum mempunyai pekerjaan akan dibuang ke Sri Lanka.130
Akhir September 1740 segerombolan orang Tionghoa yang berjumlah sekitar
1.000 orang terlihat berkumpul di pabrik gula di Gandaria (sekarang wilayah
Jakarta Selatan) di bawah komando seorang Tionghoa yang biasa dipanggil
Kompeni dengan nama Khe Panjang. Tokoh yang kelak menempati posisi
sentral dalam Perang Tionghoa-Jawa melawan Kompeni tahun 1743.
Bermula dari Gandaria gerombolan Tionghoa mulai menyerang pos-pos
Kompeni yang berda di pinggir kota seperti Tangerang, Meester Cornelis
(Jatinegara) dan De Qual. Serangan terhadap De Qual terjadi pada pagi hari
128
Daradjadi, Geger Pecinan…, hlm. 30 129
Hembing, Wijayakusuma, Pembantaian Massal …, hlm. 82 130
Hembing, Wijayakusuma, Pembantaian Mas sal…, hlm. 82
111
tanggal 7 Oktober 1740 saat pasukan Kompeni dalam perjalanan ke
Tangerang diserang di Kaduwang (Kedaung). Sore harinya segerombol
pasukan Tionghoa sudah berjaga di sekitar gerbang Batavia.
Mengantisipasi situasi tersebut, Kompeni mengeluarkan maklumat.
Pertama : Semua orang dilarang masuk kota untuk membawa keluar
perempuan Tionghoa. Ketentuantersebut dipicu sehari sebelumnya banyak
perempuan-perempuan Tionghoa tela diungsikan ke luar kota. Kedua : Orang
Tionghoa yang menolak menyerahkan senjata atau menyerang pejabat
hukum atau pasukan Kompeni akan ditembak mati. Ketiga: Mulai pukul
18.30 semua orang Tionghoa harus berdiam di rumah masing-masing dan
tidak menyalakan lampu. Maklumat tersebut diumumkan tanggal 8 Oktober
1740 pagi.131
Keesokan harinya, pemberontak Tionghoa yang semula berkumpul di
gerbang kota berhasil dibubarkan. Dalam operasi itu banyak yang ditangkap
dan diperintahkan untuk dibuang ke Ceylon. Hal tersebut menimbulkan
desas-desus bahwa mereka akan dibuang ke tengah laut. Berita itu
menimbulkan kepanikan di kalangan orang Tionghoa baik yang
memberontak maupun yang tidak. Mereka berusaha melarikan diri keluar
dari Batavia untuk mencari perlindungan, termasuk pada para pemberontak.
Kompeni berusaha menghalangi mereka dengan melepaskan tembakan. Tak
pelak korban bergelimpangan tersebar di seluruh kota.
Gubernur Jenderal Valckenier segera mengerahkan seluruh kekuatan untuk
membentai orang Tionghoa tanpa pandang bulu. Selain itu Kompeni
membujuk penduduk Batavia untuk ikut menumpas pemberontakan orang
Tionghoa. Orang Tionghoa menjadi buruan Kompeni, Pribumi, dan orang
131
Hembing, Wijayakusuma, Pembantaian Massal …, hlm. 97.
112
asing lainnya termasuk orang Moor. Adapun orang Eropa dan golongan
budak merupakan kelompok yang paling banyak membantai.132
Mereka yang
berhasil keluar dari Batavia banyak yang menuju Tangerang dan sekitarnya.
2. Jaman Gedoran
a. Gedoran 1942
Jaman Gedoran adalah sebuah sebutan yang merujuk pada suatu
kejadian kekerasan terhadap warga Tionghoa di Tangerang. Istilah gedoran
sendiri mengacu pada caracaa kekerasan itu dilakukan, yaitu dengan
menggedor pintu dan melempar keluar rumah harta-harta berharga milik
warga Tionghoa dan kemudian rakyat pribumi menjarah harta-harta tersebut.
Peristiwa ini dilakukan oleh serdadu-serdadu Jepang kepada warga
Tionghoa sebagai aksi balas dendam para serdadu Jepang akibat terjadinya
perang antara Tiongkok dengan Jepang sehingga menimbulkan rasa tidak
suka serdadu-serdadu Jepang kepada orang-orang Tionghoa. Sebagaimana
diketahui bahwa Jepang mengobarkan Perang Dunia ke II dengan melakukan
penaklukan-penaklukan kepada Negara-negara Asia dan sekitarnya.
Penguasaan wilayah asia juga dimaksudkan untuk membangun kekuatan
militer mereka dalm rangka menghadapi pasukan sekutu. Dalam pelaksanaan
imperialime Jepang tentunya mendapat perlawanan dari bangsa-bangsa yang
tak mau dijajah dan dijadikan martir untuk melawan sekutu. Perlawanan
sengit dilakukan oleh bangsa Korea dan Tiongkok. Ini yang mengakibatkan
timbulnya dendam para tentara Jepang kepada orang-orang Tionghoa.
Aksi ini juga dimaksudkan agar terjadi antipati penduduk pribumi terhadap
warga Tionghoa, demikian juga sebaliknya. Traumatik yang mendalam
132
MC. Ricleft, Sejarah Indonesia Modern (, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2005)
hlm. 209-210
113
membekas pada sebagian warga Tionghoa. Mereka menyampaikan kepada
generasi penerusnya agar jangan percaya kepada pribumi. Mereka tak
berpendidikan sehingga tak tahu berterima kasih. Banyak pribumi yang
kesehariannya bekerja pada orang Tinghoa tetapi ternyata malah ikut-ikutan
menjarah harta-harta orang Tionghoa.133
Salah satu korban aksi ini adalah Oey Kim Tiang, seorang sastrawan
dan budayawan Tionghoa yang sangat nasionalis yang juga menulis cerita
silat dengan nama samaran OKT. Dalam buku catatan laporan ke kepolisian,
ia menuliskan pada covernya “Lelakon Djeman Gedoran”.134
Maret 1942, sekelompok pasukan Jepang menggedor rumah-rumah
orang Tionghoa di Tangerang, terlebih mereka yang berpendidikan dan
mempunyai harta yang relative banyak. Barang-barang yang ada di dalamnya
seluruhnya dilemparkan keluar rumah. Pasukan Jepang juga sudah
menyiapkan orang-orang pribumi untuk menjarah barang-barang yang
dilemparkan keluar rumah tersebut. Harta benda, perabot rumah tangga,
pakaian, pusaka keluarga, sapu lidi, kipas bamboo, lukisan, meja altar, semua
ludes tak tersisa, hingga daun-daun jendela juga diangkut oleh para
begundal. Peristiwa ini dengan cepat meluas tak terkendali.
b. Gedoran 1946
Tahun 1946 adalah masa transisi pemerintahan. Republik belum kuat,
Jepang belum sepenuhnya pergi, Belanda ingin berkuasa lagi. Taka da yang
merasa sepenuhnya aman, terlebih masyarakat Tionghoa yang pernah
mengalami tindak kekerasan oleh Belanda tahun 1740, belum sembuh luka
133
Wawancara dengan Maesaroh 134
Wawancara dengan Udaya Halim
114
akibat kekerasan oleh serdadu Jepang dan begundal pribumi. Mereka
terpecah. Ada yang pro kepada Republik, ada pula yang pro kepada Belanda.
Pembentukan organisasi massa menjadi salah satu fenomena baru di
kalangan orang Indonesia. sebelumnya, mereka belum pernah terlibat secara
serius, dengan jumlah yang besar dan tidak dibatasi oleh penguasa dalam hal
pembelajaran berorganisasi. Organisasi massa yang paling menonjol di masa
ini adalah yang berhaluan politik dan militer. Para angkatan muda berlomba-
lomba memasuki organisasi ini. Kejadian yang sama juga terlihat di
Tangerang di mana kaum lelakinya banyak tergabung dalam beberapa
kelompok yang bergerak di bidang politik dan militer seperti Barisan
Banteng, Kelompok Banteng Merah, Kelompok Hoo Koo Kay (HKK),
Kelompok Curug dan lain-lain.
Orang Cina Benteng tidak tinggal diam. Phoa Chin Houw, seorang
Tionghoa, bergerak mengumpulkan simpatisan dari kalangan pemuda
Tionghoa untuk berkumpul di markasnya di Babakan, Sukasari, Tangerang
membentuk kelompok. Organisasi ini bernama Poa An Tui. Para pemuda
yang dikumpulkan berasal dari kampung-kampung sekitar. Alasan
terbentuknya kelompok ini adalah masih membekasnya rasa kekhawatiran
bahwa mereka akan menjadi korban dari gesekan politik yang terjadi
berikutnya. Di masa itu, kelompok Tionghoa dituduh memberi informasi
pada Kempetai (Polisi Jepang) dalam menangkap para pejuang. Rakyat yang
marah menjadikan mereka sebagai sasaran kebencian. Mereka pun hidup
dalam suasana yang tidak tenang.
Pada awalnya, kegiatan Poa An Tui hanya sekedar berjaga-jaga di
sekitar kampung-kampung Tionghoa. Oleh sebab siatuasi yang semakin
tidak memihak, mereka mulai beralih memusuhi pasukan revolusi. Tidak
semua orang Tionghoa di Tangerang mendukung kegiatan organisasi ini.
115
Banyak di antara orang Tionghoa di kota lebih memilih netral.135
Poa An Tui
dikatakan sebagai sepasukan Tionghoa yang dipersenjatai Belanda yang
dianggap kontra-revolusioner. Keberadaan mereka juga dikecam oleh
kelompok Tionghoa pro-republik.136
Masyarakat Cina Benteng sempat bersitegang dengan penduduk non-
Tionghoa pasca Proklamasi Kemerdekaan. Kerusuhan anti-Tionghoa meletus
kembali pada tahun 1946 di Tangerang. Di beberapa tempat terjadi
pertikaian antara orang Tionghoa lokal dengan orang Indonesia dan semakin
mengerucut pada konflik yang berdarah-darah. Akar dari masalah ini adalah
sikap netral yang ditujukan orang Tionghoa yang tidak berpihak pada
Belanda dan tidak pula tertarik menggabungkan diri dalam barisan tentara
Indonesia. Pemerintah Jakarta bahkan sampai menekan orang-orang
Tionghoa untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap kemerdekaan
Indonesia. Sikap netral ini ditujukan karena kelompok Tionghoa merasa
tidak ada kejelasan masa depan mereka jika negara ini merdeka, terlebih saat
itu sistem politik dan ekonomi belum menjamin adanya distribusi keadilan
dan kemakmuran yang merata.137
Tokoh Tionghoa pro-republik seperti
Siauw Giok Tjhan dan Dan Dokter Tjoa Sik Ien dengan tegas menyalahkan
bahwa kerusuhan Tangerang didalangi oleh Belanda.138
Sumber lain mengatakan bahwa meledaknya kerusuhan antaretnis
tersebut dilatarbelakangi oleh adanya seorang tentara NICA beretnis
Tionghoa yang menurunkan bendera Merah Putih dan menggantinya dengan
bendera Belanda. Tentara Republik yang mengetahui hal itu segera
bergabung dengan barisan lascar rakyat mengepung dan menyerang rumah-
135
M. Dien Madjid, Sejarah Tangerang ..., hlm. 109. 136
Leo Suryadinata, Tokoh Tionghoa dan Identitas Indonesia; Dari Tjoe Bou San
sampai Yap Thiam Hien (Depok: Komunitas Bambu, 2010)hlm. 85. 137
Leo Suryadinata, Tokoh Tionghoa ..., hlm. 120-121. 138
LeoSuryadinata, Tokoh Tionghoa ..., hlm. 86.
116
rumah orang Cina Benteng. Rosihan Anwah dalam harian Merdeka tanggal
13 Juni 1946, menyebut bahwa saat itu hubungan Cina Benteng dengan
warga pribumi berada pada kemunduran paling ekstrem. Poh Antui bergerak
mengungsikan orang Cina Benteng ke Batavia. Pasukan Belanda dibantu Poh
Antui kemudian menggempur lawannya, dan berakhir dengan mundurnya
pasukan Republik dari medan laga.
Ketika pemukiman-pemukiman Cina Benteng diketahui kosong,
masyarakat pribumi berbondong-bondong melakukan penjarahan di sana.
Sekembalinya dari pengungsian orang-orang Cina Benteng mendapati harta
bendanya tidak lagi berada dalam kondisi semula. Rumah-rumah mereka
mengalami kerusakan yang parah. Tanah-tanah mereka diambil alih oleh
orang-orang pribumi. Saat itu bisa dikatakan sebagi titik balik kehidupan
para tuan tanah Cina Benteng, dari yang semula kaya raya, kini menjadi
kalangan tidak berpunya.139
Penderitaan warga Tionghoa di Tangerang, penulis mengutip berita dari
Star Weekly, Sebuah korang minguan yang terbit pada masa itu ;
“Noraka bagi pendoedoek Tionghoa”
Sasoedah tentara Blanda masoek di Tangerang, lantes moelai
penderitaan bangsa kita jang amat heibat.
Pada malem tanggal 28 Mei (besoknya tentara Blanda masoek) lascar
rahayat soedah sediaken banjak minjak, maksoednya terang sekali aken
bakar abis kota Tangerang. Aken tetapi setjara jang tida didoega di itu hari
sorenja boleh toeroen oedjan begitoe besar dan begitoe deres, dengan
disertaken djoega goentoer, hingga maksoed marika itu tida kesampean.
Besoknja tentara Blanda telah masoek di kota Tangerang, dan ini bearti
pendoedoek Tionghoa di itoe kota terhindar dari bahaja maoet. Tapi
139
Mohammad Arif, “Model Kerukunan ...”, hlm. 59.
117
sebaliknja pendoedoek jang ada di loear kota joestroe telah mesti menampak
nasib jang menjedihken sekali.
Orang-orang Indonesiers, jang mengakoeh ada djadi anggota Laskar
Rakjat seperti kerangsokan setan telah pada masoek di roemah-roemah orang
Tionghoa, dengen bawa sendjata tadjem, senapan biasa, pistol atawa karabijn
dan pedang Djepang. Marika lakoeken perampasan dan perampokan dan
djoega memboenoeh setjara boeta-toeli. Lebih Djau roemah-roemah laloe
dibakar dan korban-korbannjya jang telah dianiajah, tapi belon binasa djadi
ketamboes idoep-idoep.
Djoega anak ketjil, ia malahan anak baji jang belon ngarti soeatoe apa,
poen tiada loepoet dari kekedjamannja itoe binatang-binatang alas.
Anak-anak jang lagi didoedoeng oleh iboenja, telah dirampas dan di
depan mata sang iboe djuga dilempar ka dalem api jang sedeng berkobar-
kobar. Bagaimana rasanja orang jangdjadi iboe, itoelah pembatja bisa
bajangin sendiri.
Toean-toean Ang Soen Kim, Ang Ke Ang, dan Tjie A joeng telah binasa
terboenoeh, kemudian maitnja ditjemplungken ka dalem Soemoer. Satoe
prampoean toea, oemoer 80 taon, jalah mamanja toean Oey Boen Seng pun
dapet seroepa nasib.
Di kampoeng panggang, bilangan Tjilongok, 3 orang Tionghoa dibakar
idoep-idoep. Banjak sekari rapportan jang kita trima tentang kedjadian-
kedjadian seroepa itoe djoega, jang satoe lebih kdjem dari pada djang laen.
Dan kaloe semoea itoe moesti ditoelis di sini, rasanja halaman kita tiada aken
tjoekoep tempatnja.140
Demikian gambaran Star Weekly tentang peristiwa yang menimpa
masyarakat Tionghoa di Tangerang pada tahun 1946. Masyarakat sering
menyebut peristiwa itu juga dengan Jaman Gedoran.
Ada beberapa peristiwa lagi setelah itu yang juga menjadikan warga
Tionghoa sebagai korban kekerasan, seperti peristiwa 1965 dan peristiwa
Mei 1998 namun peristiwa tersebut sudah banyak diungkapkan di banyak
media dan forum.
140
Star Weekly, No. 23 Tahon ke 1, 9 Juni 1946.
118
BAB V
ISLAM DAN MASYARAKAT CINA BENTENG
A. Islam sebagai Ingatan Sejarah Orang Tionghoa
Islam merupakan agama yang ikut membangun peradaban orang Cina
Benteng. Hal ini bisa dilihat dari pembangunan awal pemukiman Tionghoa
Muslim saat masa pelayaran ketiga Cheng Ho. Namun, kenyataan historis ini
tidak mampu menjadi pondasi yang kuat lahirnya masyarakat Islam yang
bertahan dari generasi ke generasi hingga saat ini. Yang terjadi justru
semakin banyak jumlah orang Cina Benteng yang beragama non-Muslim.
Apa yang terjadi dalam tubuh masyarakat Cina Benteng ini dapat
dikatakan sebagai anomali sejarah. Bagaimana mungkin jumlah penganut
Islam mengalami penurunan, sedangkan di sebagian besar wilayah yang
semula belum Islam lantas menjadi Islam, perkembangan jumlah
penganutnya cenderung beranjak naik. Salah satu contohnya adalah wilayah
Jawa Timur yang semula dikuasai kerajaan-kerajaan beragama Hindu-Budha
sejak sebelum abad 15. Penduduknya semakin banyak yang menganut Islam
terhitung sejak naiknya pamor Demak hingga saat ini, penduduk Jawa
mayoritas adalah beragama Islam.141
Kawasan Tangerang, ditinjau secara geografis, memang bukanlah pusat
pemerintahan yang besar di masa lalu. Sejak zaman Pajajaran hingga
penjajahan Belanda, wilayah ini dibayangi oleh kebesaran Kerajaan Banten
dan Batavia yang terletak sejajar dengannya di wilayah pesisir utara Jawa
141
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terj. Dharmono Hardjowidjono
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995) hlm. 55-56.
119
Barat. Jumlah pemukim kawasan ini tentu saja tidak sebesar di Batavia atau
di Banten. Melihat pada sejarah panjang masyarakat Tionghoa di sana,
terdapat satu hal yang mencuat, yakni masalah pembauran antara pendatang
dan pribumi. Dalam beberapa segi dikatakan bahwa orang Tionghoa di
Tangerang adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sebutan “Masyarakat
pribumi”, suatu sebutan yang sempat dipermasalahkan, ketika membicarakan
kedudukan orang Tionghoa dalam negeri ini.142
Riwayat Cina Benteng memang tidak bisa disamakan dengan riwayat
orang Tionghoa di tempat lain seperti Palembang, Semarang atau Surabaya.
Di ketiga tempat itu historisitas orang Tionghoa banyak dicatat dalam
laporan-laporan pada masa itu dan kajian-kajian mengenainya juga tidak
sulit untuk didapatkan.143
Keberadaan masyarakat Cina Benteng secara
historis masih menjadi suatu yang sumbernya masih tercecer di tinggalan
geografis, cerita lisan, maupun catatan kolonial. Bisa dikatakan, sumbernya
masih terserak dan masih sedikit menemukan ulasan atau penjelasan tertulis
mengenainya.
Ketika membicarakan Islam dalam hal peradaban, agaknya akan berbeda
ketika mendudukannya dalam pembicaraan dari segi keimanan. Islam di
kalangan Cina Benteng dalam sejarahnya sudah sedemikian menjelma
menjadi daur keseharian mereka, khususnya mereka yang memilih untuk
meninggalkan kebudayaan Tionghoanya, lantas berpindah mengikuti
kebudayaan kelompok masyarakat pribumi seperti Sunda. Ini menimbulkan
kesulitan tersendiri dalam mengidentifikasi mana yang telah termobilisasi ke
dalam kebudayaan lokal dan mana yang justru mendirikan suatu komunitas
142
Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia; Sebuah Bunga
Rampai 1965-2008 (Jakarta: Kompas, 2010) hlm. 184. 143
Salah satu sumber yang bisa dilihat mengenai sejarah orang Tionghoa di beberapa
tempat di Jawa adalah H. J. De Graaf dkk, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI antara
Historisitas dan Mitos (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998).
120
Muslim yang menjadi wahana berkumpul mereka yang beragama Islam
namun tetap mempertahankan tradisi ketionghoannya.
Asimilasi memang sejak lama dijadikan metode mendekatkan diri orang
Tionghoa dengan masyarakat. Saat mereka berpindah keyakinan menjadi
Muslim, maka pada tahap itu mereka sudah melakukan sebagian dari proses
asimilasi. Belakangan, istilah asimilasi diartikan secara luas sebagai
pembauran. Islam terbukti efektif meredam perbedaan status pribumi atau
non-pribumi, keadaan yang sempat menjadi kenyataan kelam bagi orang-
orang Tionghoa di negeri ini. Jika sudah menjadi Muslim, maka
persaudaraan dengan Muslim lainnya dengan sendirinya terbentuk. Seorang
Muslim adalah saudara bagi muslim lainnya (al-muslim akhul muslim),
demikian dikatakan dalam suatu riwayat.144
Dalam bentangan sejarah Islam di Tiongkok Daratan, agama Islam
hanya mempengaruhi sebagian kecil jalannya sejarah pemerintahan
Tiongkok. Jikapun ada tokoh-tokoh Tionghoa Muslim, seperti Cheng Ho di
sana, perannya dalam pengembangan Islam sampai kini belum banyak
diketahui. Yang didapat dari mereka adalah kontribusinya memajukan
kekaisaran Tiongkok, sebagaimana yang dilakukan Cheng Ho tatkala
berkunjung ke Nusantara atas nama Kaisar Tiongkok dan bukan didorong
oleh maksud menyebarkan Islam.
Di beberapa kawasan Tiongkok, sebagai kekuatan politik, Islam
berkembang dengan lambat. Seperti di Xinjiang, umat Islam di sana kerap
terlibat dalam konflik, yang satu di antaranya adalah diakibatkan karena
kebijakan pemerintah Beijing. Xinjiang adalah wilayah yang terletak di Tibet
bagian Utara. Pada tahun 1884, Dinasti Ching (berkuasa 1644-1911)
144
Abdul Baqir Zein, Etnis Cina dalam Potret Pembauran di Indonesia (Jakarta:
Prestasi Insan Indonesia, 2000) hlm. 94.
121
menamai daerah ini sebagai Xinjiang, menggantikan nama sebelumnya yakni
Turkistan Timur. Masyarakat Xinjiang terdiri dari berbagai macam etnis
seperti Uyghur, Hui, Kazakh, Kyrgiz, Tajik, Uzbek dan Tatar. Identitas
mereka lama kelamaan melebur menjadi sebuah bangsa yang diikat dengan
kesamaan agama, yakni Islam.
Dinasti Ching banyak melakukan kebijakan adu domba dalam memecah
belah persatuan Muslim. Etnis beragama Islam kerap terlibat pertikaian
dengan orang Mongol, Han, dan Tibet yang kesemuanya dilakukan untuk
mencapai superioritas bangsa satu atas yang lainnya. Pada prakteknya,
permusuhan ini membuat mereka berada dalam keadaan yang semakin
lemah. Saat Dinasti ini memimpin, terdapat beberapa pemberontakan yang
diinisiasi oleh etnis muslim kepada pemerintah pusat, di antaranya adalah
Perang Lanchu, Chekamo, Sinkiang (Xinjiang/Turkistan Timur), Yunan dan
Shansi.145
Di Indonesia kaum Tionghoa juga mengalami tekanan. Akar-akar
represi terhadap orang Tionghoa terjadi pada masa kolonial. Penggolongan
bangsa Tionghoa sebagai warga koloni kelas dua, menyebabkan mereka
harus puas duduk sebagai warga yang mendapatkan pelayanan di bawah
orang Eropa. Lahan-lahan bisnis yang terbuka lebar nyatanya tidak mampu
mengalihkan perhatian mereka untuk menjadi warga setingkat orang Eropa.
Kekerasan tahun 1740, begitu membekas di hati mereka sebagai salah satu
bentuk diskriminasi ras yang dilakukan pemerintah Belanda saat itu. Alasan
tersebut mendorong mereka berlomba-lomba menjadi warga koloni kelas
satu, sesuatu yang sebenarnya tidak diinginkan Belanda. Alih-alih mendapat
status itu, mereka justru semakin dikurung dalam “ketionghoaan” mereka.
Maksudnya, adalah mereka diharuskan menggunakan atribut Tiongkok,
145
Dhurorudin Mashad, Muslim di Cina (Jakarta: Pensil 324, 2006) hlm. 5-6.
122
seperti baju twikkif dan memelihara kuncir. Mereka yang menginginkan
status layaknya orang Eropa biasanya didorong oleh naluri gengsi atau
keinginan untuk mengadopsi kebudayaan Eropa dalam keluarga mereka
secara radikal.146
Terdapat semacam reaksi berseberangan ketika orang Belanda
memandang agama orang Tionghoa. Jika dalam bidang perniagaan mereka
begitu menganggap tinggi kedudukan mereka, maka hal sebaliknya terjadi
saat mereka melihat kepercayaan orang Tionghoa. Seorang rohaniawan
Belanda, K. Gutzlaff, yang sempat berdiam di Nusantara pada tahun 1850-
an, menyebut bahwa banyak orang Tionghoa yang sejak lama menetap di
Hindia Belanda, hidup jauh dari pendidikan, tidak beradab dan penuh dengan
dosa.147
Pernyataan ini sedikitnya mengindikasikan betapa orang Tionghoa
bukan sekedar mengalami represi di bidang politik, namun juga di bidang
pendidikan dan agama.
Dalam keadaan itu, bagi sebagian kelompok yang memang terbiasa
menjalankan tradisi Tionghoa Daratan bukanlah masalah yang berat. Kecuali
pada pajak konde yang menuntut mereka membayar lebih karena disinyalir
Batavia sempat menjadi tempat pelarian dari orang Tiongkok saat Dinasti
Manchu berkuasa. Ditekan secara status kenegaraan, nyatanya tidak
membuat mereka membuat aksi perlawanan, sebagian dari mereka merasa
nyaman dengan budaya dan tradisi Tionghoa yang kental, sehingga membuat
dakwah Islam di lingkungan mereka sulit berkembang. Ini adalah salah satu
poin penting yang menjadi alasan mengapa perkembangan jumlah Muslim
146
Onghokham, Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina; Sejarah Etnis Cina di
Indonesia (Depok: Komunitas Bambu, 2008) hlm. 57-58. 147
K. Gutzlaff, Aan mijne mede-christenen in Nederland (Amterdam: Loman Jr, 1850)
hlm. 2.
123
semakin menurun di kalangan masyarakat Tionghoa, seperti yang terlihat
pada masyarakat Cina Benteng.
Warga Cina Benteng yang masih bertahan dalam tradisi
ketionghoannya, termasuk dalam aspek keagamaannya, adalah mereka yang
bernenek moyang kelompok di atas. Mereka senantiasa menjaga bentuk-
bentuk tradisi leluhur, termasuk memulyakan para dewa serta roh para
pendahulu mereka. Antara tradisi, warisan serta agama sudah sedemikian
menyatu dan menjadi sesuatu yang estabilished dalam daur hidup mereka.
Dalam keadaan ini, ajakan dakwah Islam belum mampu merubah hal
tersebut secara masif. Jikapun ada, maka karena faktor hidayah, atau karena
kerelaan orang per orang Cina Benteng memeluk Islam, melanjutkan agama
orang tua (ibu) atau karena faktor pernikahan. Bisa dikatakan, Islam belum
mampu berbicara banyak dalam mendorong perpindahan agama secara
massal di tubuh masyarakat Cina Benteng, terutama mereka yang masih
menjalankan tradisi dan budaya nenek moyang. Ritual-ritual yang dilakukan
suatu agama dapat mempererat ikatan sosial diantara mereka. Agama adalah
suatu system kepercayaan dengan perilaku-perilaku yang utuh dan selalu
dikaitkan dengan yang sakral, yaitu sesuatu yang terpisah dan terlarang.
Yang sakral inilah yang kemudian meyatukan umatnya dalam satu
komunitas moral tempat mereka memberikan kesetiaannya.148
Dalam hal ritual-ritual keagamaan orang Tionghoa dan demikian juga
yang terjadi pada agama pribumi yang diwakili Islam. Penulis menganggap
kondisi pribumi di Tangerang sejak masa Kolonial hingga Geertz melakukan
penelitian di Mojokuto (Pare) Jawa Timur hampir sama dengan masyarakat
Islam di Tangerang.
148
Daniel L. Pals, Seven Theories…, hlm. 145
124
Islam yang menurut Geertz terbagi dalam tiga lapisan masyarakat yaitu
Abangan, Santri dan Priyai, mempunyai persamaan dengan agama Tionghoa
terutama pada aktifitas ritual-ritual. Slametan adalah akifitas yang lazim
dilakukan baik dalam lingkup yang besar hingga lingkup keluarga dan
tetangga. Pada ritual-ritual baik yang dilakukan oleh orang pribumi (Islam)
seringkali juga melibatkan atau mengundang orang Tionghoa, demikian juga
sebaliknya seperti yang terjadi pada ritual Ulang Tahun Emak Dato di
kampung Kebon Baru, Desa Margamulya, Kecamatan Mauk.
Orang Tionghoa, sejak ketika masih di Tiongkok Daratan, adalah etnis
yang amat dekat dengan kebudayaan leluhur. Peran pemerintah dalam
kehidupan mereka tidak banyak berpengaruh. Rakyat Tiongkok menganggap
keberadaan pemerintah, baik ketika masa kekaisaran serta memasuki fase
negara modern tidak lebih adalah penengah dari pihak-pihak yang bertikai.
Negara tidak hadir di setiap momen kehidupan rakyat. Negara dianggap
sebagai sesuatu yang amat jauh dari kehidupan orang Tionghoa
kebanyakan.149
Anggapan semacam ini sedikit banyak juga dibawa, bahkan
ditularkannya kepada generasi-generasi yang berdiam di perantauan. Dengan
adanya kebijakan rasis kolonial, perasaan ini terasa semakin mengkristal.
Menginjak pasca kemerdekaan, orang Tionghoa di Jakarta dan
sekitarnya justru disibukkan oleh perbedaan sikap berpolitik. Sebagian dari
mereka mendukung lahirnya Republik dan menjalani apa yang kemudian
ditetapkan pemerintah yang berkuasa. Yang lain terjebak dalam perbedaan
politik tanah nenek moyang, antara mendukung Kuomintang atau gerakan
Komunis Mao. Kelompok yang lain merasa di Jakarta atau di Indonesia pada
umumnya, mereka hanya ingin menjalankan bisnis dan tidak berkeinginan
149
H.G. Creel, Alam Pikiran Cina; Sejak Confusius sampai Mao Zedong, Terj. Soejono
Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990) hlm. 253.
125
untuk terlibat dalam haru biru politik.150
Perpecahan sudut pandang ini
sedikit banyak membawa pengaruh pada semakin asingnya wacana
keislaman dalam kehidupan mereka.
Ekonomi, benar-benar dimaknai sebagai pelarian yang menguntungkan
bagi orang Tionghoa. Catatan episode panjang penderitaan mereka, seakan
hilang terhapus seiring dengan semakin maju usaha-usaha yang dilakukan
mereka. Arti agama tidak lebih hanya sematan, yang urgensinya tidaklah
terlalu signifikan dalam kehidupan mereka. Namun, tentu tidak seluruh
orang Tionghoa dapat sukses dalam usaha bisnisnya, banyak pula di antara
mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan seperti yang dialami orang
Cina Benteng.
B. Islam sebagai pribumisasi orang Tionghoa
PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) merupakan salah satu
organisasi Muslim Tionghoa yang aktif menggiatkan dakwah di kalangan
Tionghoa dan masyarakat umum. Beragam kegiatan positif mereka lakukan,
tidak terkecuali PITI Tangerang Selatan. Pada hari Senin tanggal 2
November 2015, PITI Tangerang Selatan diwakili oleh Ustadz Sholihin Sani
melakukan kunjungan ke Kantor al-Haram Media. Kunjungan ini adalah
bagian dari safari dakwah yang dilakukan PITI di 14 provinsi di Indonesia.
Dalam pertemuan ini terlihat pegawai al-Haram menyimak pengalaman-
pengalaman dakwah Ustadz Sholihin. Salah satu yang dibicarakannya adalah
pengalamannya berdakwah di Bangka-Belitung. Saat itu ia memutuskan
untuk berdakwah sendiri tanpa ada sponsor. Dari informasi ini diketahui
bahwa Muslim Tionghoa di Tangerang Selatan sudah mempunyai kepedulian
150
Susan, Blackburn, Jakarta Sejarah 400 Tahun, Terj. Gatot Triwira (Depok:
Komunitas Bambu, 2012) hlm. 218.
126
yang tinggi untuk mensyiarkan Islam ke wilayah lain. Diskusi semacam ini
adalah upaya sederhana orang Tionghoa Muslim di Tangerang Selatan untuk
mendekatkan diri dengan elemen masyarakat lainnya, termasuk dengan awak
media.151
Pada tanggal 25 Mei 2016, peneliti berkesempatan menelusuri jejak-
jejak masa lalu Cina Benteng di kawasan muara Tanjung Burung,
Tangerang. Di bantaran sungai sebelah kanan dan kiri,masih banyak
dijumpai pemukiman orang Cina Benteng. Sebagian besar dari mereka masih
menganut kepercayaan Tionghoa, sedangkan muslim berada dalam jumlah
yang lebih kecil. Pertanian dan perikanan masih menjadi mata pencaharian
kebanyakan dari mereka. Sungai Cisadane yang membelah pemukiman ini
masih dimanfaatkan sebagai jalur transportasi air, kendati kapal-kapal yang
melintas tidak terlalu besar.
Di masa lalu, sekitar kawasan ini dikenal sebagai kawasan produksi dan
perbaikan kapal. Lokasinya yang dekat dengan kawasan pesisir, mampu
diterjemahkan penduduknya sebagai kesempatan menciptakan lapangan
kerja yang bersinggungan dengan lokus geografis yang mereka tempati. Di
daerah itulah, disinyalir, ABK Cheng Ho yang mendarat di pantai Tangerang
bermukim. Hal ini mengingat daerah tersebut adalah pemukiman Cina
Benteng yang tertua di Tangerang, selain juga melihat posisi pemukiman ini
yang berada di kawasan pantai, wilayah yang memang di masa lalu kerap
ditinggali para pendatang asing.152
151
http://amanah.alharamnews.com/post/481/safari-dakwah-pengurus-piti-tangerang-
selatan-silaturahmi-di-kantor-alharam-media diunduh pada hari Senin, 16 Mei 2016, pukul
9. 23 WIB. 152
Wawancara dengan Oey Tjin Eng
127
Prosentase jumlah pemukim keturunan dan pribumi sekitar 60 – 40153
.
Beberapa Tinghoa keturunan bahkan menyandang jabatan sebagai ketua
Rukun Tetangga (RT) maupun ketua Rukun Warga (RW). Sepintas, atribut-
atribut ketionghoaan sudah sangat jarang dijumpai dalam keseharian mereka.
Bahasa yang digunakan pun adalah Sunda dan bukan bahasa Hakka.
Memang, tidak ada citra dominan yang muncul bahwa daerah itu didiami
mayoritas orang peranakan. Hal berbeda jika kita benar-benar mengamati
dan bertanya kepada beberapa penduduk setempat mengenai masa lalu
tempat ini.154
Muslim Tionghoa, oleh sebagian kalangan, dinilai telah menjadi orang
Indonesia seutuhnya. Junus Jahja menyebutkan bahwa dengan masuknya
orang Tionghoa ke Islam, maka dengan sendirinya ia mendapatkan Identitas
keindonesiaannya. Ia meyakini bahwa Islam merupakan faktor pemersatu
umat, terlepas dari etnis mana ia berasal. Seorang Tionghoa yang telah
muslim, tidak harus tidak mengakui ketionghoaannya. Mereka harus tegas
menjawab, jika ditanya siapa mereka, maka jawablah, dirinya adalah seorang
warga negara Indonesia, keturunan Tionghoa dan beragama Islam.
Junus berkeyakinan bahwa Islam menjadi solusi tepat untuk
memecahkan masalah identitas Tionghoa. Lewat yayasan yang pernah
didirikannya pada 1981 bernama Yayasan Ukhuwah Islamiyah, ia
mendakwahkan pesan positif ajaran Islam. Ia meyakini, sebenarnya tidaklah
ada persinggungan antara agama, etnis dengan identitas kebangsaan.
Masalah yang dihadapi Tionghoa yakni berupa peminggiran politik dan
sosial,agaknya bisa sedikit demi sedikit tertanggulangi, apabila mereka
153
Wawancara dengan Tan Wan Chang, Penjaga Vihara Atta Naga Vimutti, Desa
Tanjung Burung, Kec. Teluk Naga 154
Wawancara dengan Marsudi (Yo Bun Siong) di rumahnya di Desa Kohod pada 11
Juni 2016.
128
masuk Islam. Setidaknya dengan memeluk Islam, mereka sudah menjadi
bagian umat Islam indonesia.155
Salah satu sebab yang ditinggalkan tatkala orang Tionghoa sudah beralih
menjadi Muslim adalah penghilangan identitas ketionghoaannya.156
Anggapan ini meskipun menggembirakan, namun juga menyisakan
kekhawatiran, khususnya mengenai kelangsungan Tionghoa sebagai suatu
sistem budaya. Memang, kepercayaan tradisional berkaitan erat dengan
pernak-pernik keseharian orang Tionghoa. Bisa dilihat di toko-toko milik
orang Tionghoa, yang memasang altar kecil persembahan bagi leluhur atau
dewa yang disembahnya. Melepaskan diri dari agama Tonghoa, sama halnya
dengan meninggalkan kepecayaan yang diwariskan oleh leluhur. Sedangkan
belum ada semacam produk-produk kebudayaan yang konsisten
mengawinkan wawasan ketionghoaan-keindonesiaan-keislaman. Jikapun ada
maka belumlah menjadi suatu identitas yang baku dan mengakar.
Sebagian orang Cina Benteng meyakini bahwa Islam hanyalah tradisi
masyarakat pribumi. Semua agama pada hakekatnya mengajarkan kebaikan.
Berbeda agama bukan berarti halangan untuk bermasyarakat. Kedudukan
Islam sama dengan ajaran Tao yang diajarkan oleh leluhur. Islam telah
menjadi tradisi orang Tangerang pribumi (non-Tionghoa).157
Memudarnya pengaruh ketionghoaan dalam tubuh Orang Cina Benteng
juga sedikit banyak terlihat. Penggunaan perangkat budaya setempat yang
dipengaruhi kebudayaan Sunda, Jawa dan Betawi juga semakin menjauhkan
mereka dari ketersambungan dengan tradisi nenek moyang mereka. Untuk
155
Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus indonesia (Jakarta: LP3ES,
2002) hlm. 53. 156
Leo Suryadinata, Negara dan Etnis ..., hlm. 54. 157
Wawancara dengan Salim (Lim Han Liong) di Klenteng Lun Shan Bio, Kedaung,
Tangerang pada 11 Juni 2016.
129
memikirkan ini mereka tentu tidak memiliki waktu yang banyak, bahkan
mungkin saja mereka tidak menyadari akan fenomena demikian. Hal ini
dikarenakan banyak dari mereka yang hidup di bawah batas berkecukupan.
Mereka hanya menjalankan apa yang sudah didapat dari orang tuanya.
S.H. Alatas menggambarkan para imigran Tiongkok menjadi
penyumbang terbesar ketidakberdayaan orang Melayu di Malaysia mengatasi
masalah hidupnya. Hampir semua yang dikerjakan oleh orang Melayu, bisa
ditiru oleh orang Tionghoa bahkan mereka bisa mengerjakannya lebih baik
dan mau diupah lebih murah. Ketekunan orang Tionghoa perlahan
menggeser posisi orang Melayu dalam bidang perdagangan kecil dan
pertukangan. Setelah posisi ekonominya mantap, Orang Tionghoa
melakukan apa yang dilakukan generasi pendahulunya di Tiongkok Daratan,
yakni memantapkan koneksi orang Tionghoa yang berprofesi sebagai
petugas atau pegawai dengan kelompok pedagang. Suap menyuap menjadi
pelicinnya. Pada titik ini orang Tionghoa di Malaysia perlahan menegakkan
supremasi ekonominya.158
Keadaan semacam itu agaknya tidak terlihat di Tangerang. Meskipun
dalam sejarahnya Orang Tionghoa pernah menjadi penguasa kecil masalah
perkebunan dan pajak di sana.159
Reputasinya ini perlahan menurun saat
Indonesia telah merdeka. Ditambah dengan keberadaan orang Cina Benteng
yang lebih kerasan mengikuti pola hidup orang pribumi, semakin mencerai-
beraikan perspektif persatuan Tionghoa mereka. Mereka memilih
menyibukkan diri dalam kontestasi mencari penghidupan dalam
158
S. H. Alatas, Mitos Pribumi Malas; Citra Orang Jawa, Melayu dan Filipina dalam
Kapitalisme Kolonial, Terj. Akhmad Rofi‟ie (Jakarta: LP3ES, 1988) hlm. 218. 159
Ilyas, “Gerakan Millenarian Kaiin Bapa Kayah: Protes Sosial Petani Tangerang
1942” Tesis belum diterbitkan (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016) hlm. 59.
130
kesehariannya. Sudah bukan rahasia lagi, jika kemiskinan menjadi momok
orang Cina Benteng hingga saat ini.160
Sebenarnya, integrasi Orang Cina Benteng ke dalam masyarakat
pribumi, bukanlah merupakan masalah yang perlu diperdebatkan. Berbeda
dengan orang Tionghoa pada umumnya, mereka sejak lama sudah menjadi
bagian dari masyarakat Tangerang dan bergaya hidup layaknya suku bangsa
lainnya yang sudah menyandang status sebagai Orang Tangerang. Hampir
tidak ada perbedaan yang mencolok di antara mereka. Dalam keseharian
mereka kerap disebut Hitaci yang merupakan kependekan dari “Hitam tapi
Cina”. Hitam merujuk pada warna kulit mereka yang sama dengan warga
pribumi lainnya. Selain karena faktor keturunan karena menikahi perempuan
pribumi yang sudah berlangsung lebih dari sepuluh generasi, kulit hitam juga
dialamatkan pada profesi Orang Cina Benteng yang banyak menjadi petani,
nelayan atau pedagang kecil yang memaksa kulit mereka terpapar sinar
matahari langsung yang menyebabkannya menjadi gelap.
Keyakinan atau kepercayaan orang Tionghoa yang menyelipkan
kepercayaan dunia adi kodrati dengan tradisi asal, mempertegas pandangan
bahwa kepercayaan tidak bisa dilepaskan dari asal muasal agama itu lahir
dan berkembang. Agama memiliki karakteristik yang berasal dari tempat
kelahirannya. Tata cara ritual agama bersifat natural dan dekat dengan
kondisi latar kehidupan para penganutnya.161
160
Leo Suryadinata mengatakan bahwa kesuksesan ekonomi Tionghoa dalam kasus
Indonesia, umumnya ditemukan pada orang Tionghoa yang “belum membaur” dengan
budaya Indonesia. Mereka bisa berbahasa Tionghoa dan menggunakan klik-klik bisnis
mereka yang bersifat eksklusif, dan tidak semua orang Tionghoa bisa mengaksesnya.
Prosentase jumlah orang Tionghoa yang miskin lebih banyak dari yang kaya. Lihat Leo
Suryadinata, Etnis Tionghoa..., 184. 161
Emile Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, Terj. Joseph Ward
Swain (New York: Dover Publication, Inc, 2008) hlm. 24.
131
Agama adalah sesuatu yang sangat sosial. Kendatipun sebagai individu
yang memiliki pilihan-pilihan dalam hidup ini, namun pilihan-pilihan itu
tetap dalam kerangka sosial. Faktanya manusia adalah mahluk sosial. Sejak
kelahirannya manusia lahir dalam sebuah kelompok. Berbicara bukan
dengan bahasa yang kita buat sendiri, menggunakan perkakas bukan yang
dibuatnya sendiri, ilmu pengetahuan yang dimiliki bukan dari hasil
penggalian sendiri. Dalam setiap kebudayaan, agama adalah bagian yang
paling berharga dari seluruh kehidupan sosial. Agama melayanai anggota
masyarakat dengan menyediakan ide, ritual-ritual dan perasaan-perasaan
yang akan menuntun seseorang dalam hidup bermasyarakat.
Jika diperhatikan, masyarakat Cina Benteng adalah buah dari proses
dialogis kehadiran mereka di Tangerang sejak masa yang lama. Kepercayaan
pada leluhur yang mendarah daging serta ritual keagamaan yang bersifat
warisan yang harus terus dilakukan merupakan bukti kesinambungan masa
lalu dengan masa kini serta masa depan. Denyut kepercayaan Tionghoa akan
tetap semarak manakala anggota etnisnya tetap melestarikan peninggalan
leluhur. Sama seperti suku-suku lain yang masih mempraktekkan adat
istiadat lokal, begitu pula orang Tionghoa yang memiliki adat istiadat
tersendiri. Meskipun ritual kepercayaan yang mereka lakukan tidaklah selalu
sama dengan yang ditemui di Republik Rakyat Tiongkok masa kini, paling
tidak mereka masih merasa mengerjakan apa yang menjadi wasiat nenek
moyang.
Ritual-ritual keagamaan, lebih utama dan lebih fundamental sehingga
melahirkan keyakinan. Jika memang ada sesuatu yang paling abadi dalam
agama, maka kebutuhan masyarakat akan ritual-ritual itulah yang paling
abadi, yang berupa upacara-upacara peneguhan kembali dedikasi setiap
anggota masyarakat. Dengan ritual-ritual tersebut seluruh anggota
132
masyarakat diingatkan kembali bahwa kepentingan bersama lebih utama
dibandingkan kepentingan pribadi. Sebaliknya, keyakinan bukanlah hal yang
paling abadi karena fungsi-fungsi sosial dari ritual keagamaan akan selalu
konstan, sebaliknya muatan intelektual agama akan selalu mengalami
perubahan. Perbedaan ide-ide dalam agama yang ada di dunia akan selalu
dijumpai bahkan ide-ide dalam satu agama juga kadang-kadang berbeda
namun kebutuhan akan ritual-ritual akan selalu ada. Ritual dan upacara
merupakan sumber dari kesatuan sosial, pengikat utama seluruh anggota
masyarakat. Ritual-ritual itu akhirnya akan dapat mengungkap arti agama
sesungguhnya.
Agama sangat dekat dengan aspek supernatural162
, begitu pula yang
ditemui dalam kepercayaan Tionghoa. Hal ini bisa dilihat dari kepercayaan
mereka tentang memulyakan orang tua. Meskipun para leluhur sudah
meninggal, mereka tetap bersembahyang atas namanya. Orang Cina Benteng
masih melestarikan tradisi ini. Di pemukiman Orang Cina Benteng di
bantaran Kali Cisadane terdapat beberapa klenteng dan rumah warga yang di
dalamnya menyimpan persembahan untuk para leluhur mereka. Bisa
dikatakan ini merupakan wujud ritual agama orang Tionghoa yang asli dan
telah menjadi identitas dari sistem kepercayaan mereka.
Biasanya, pemujaan terhadap leluhur juga dibuktikan dengan
menyimpan abu dalam rumah, dan ayah sebagai kepala keluarga yang
memimpin upacara. Kewajiban ini diturunkan kepada anak lelaki sulung dan
begitu selanjutnya. Anak perempuan yang telah menikah akan ikut dengan
suaminya, dan ia akan memuja leluhur pihak suaminya. Ada semacam
pemahaman bahwa anak lelaki adalah penting keberadaannya, karena ia akan
melanjutkan tradisi hao (bakti) leluhurnya. Kebutuhan anak laki-laki bukan
162
Emile Durkheim, The Elementary Forms ..., hlm. 24.
133
hanya sekedar pelanjut she-nya (nama keluarga), namun juga untuk
menggantikan tugas ayahnya sebagai perawat abu leluhurnya.163
Dalam ajaran Kong Fu Tse, dikatakan bahwa merupakan suatu
ketidakbaktian (put hao), jika melakukan tiga hal, yang salah satunya adalah
tidak mempunyai anak.164
Berbakti kepada orang tua memang merupakan
suatu ajaran yang umum ditemui oleh suku dan bangsa apapun. Tetapi, orang
tua dalam perspektif orang Tionghoa menempati sesuatu yang sangat
penting, menyangkut kehidupan duniawi dan ukhrawi. Orang Tionghoa
memposisikan orang tua dan leluhur bukan sekedar sosok yang
“melahirkan”namun juga “mengadakan” mereka. Istilah itu memang
terkesan sama, namun kata “mengadakan” mencakup semua hal yang
dialami oleh manusia, lebih daripada kelahiran dari perspektif biologis.
Sosok yang melahirkan adalah sebuah subjek yang punya andil besar
dalam keberadaan mahluk. Melahirkan adalah sebuah proses kehidupan yang
menandai dimulainya sebuah kehidupan di alam dunia. Sebelumnya
didahului oleh fase kehidupan di alam rahim. Orang tua menjadi berarti
ketikan mempunyai andil dalam melaksanakan fase-fase kehidupan. Zat
yang mengadakan adalah kekuatan yang mempunyai kehendak akan
hadirnya sebuah kehidupan bagi mahluk melalui jalan yang dikehendakinya
juga. Yang mengadakan adalah yang menciptakan dari tidak ada menjadi
ada. Dalam hal ini ruh-ruh leluhur dianggap dapat mempengaruhi jalannya
kehidupan. Ruh-ruh leluhur dianggap dapat memberikan pertolongan kepada
manusia yang masih hidup untuk mengatasi permasalahan-permasalahan dan
juga bisa memberikan bantuan untuk melimpahkan berkat kepada orang-
orang yang memujanya.
163
Lebba Kadorre Pongsibanne, Islam dan Budaya Lokal (Ciputat: Mazhab Ciputat,
2013) hlm. 210. 164
Lebba Kadorre, Islam dan Budaya ..., hlm. 210.
134
Orang Tionghoa menganggap bahwa keberadaan mahluk mustahil
terjadi tanpa melalui peran orang tua yaitu melaui proses evolusi biologis.
Berbeda dengan Islam yang percaya bahwa zat Yang Maha Pencipta dapat
melakukan apa saja termasuk penciptaan manusia melalui proses yang
dikehendakiNya, melalui peran orang tua ataupun tidak. Tuhan dipercaya
pernah menciptakan Isa tanpa peran seorang ayah. Tuhan juga digambarkan
telah menciptaka Adam tanpa peran orang tua sama sekali baik ayah ataupun
ibu.
Arti penting ritual keagamaan pada gilirannya akan membawa kita pada
inti dari teori Durkheim, yaitu penjelasan fungsional tentang agama. Dalam
pendekatan intelektualis, keyakinan dan ide-ide yang disebut Durkheim
sebagai sisi spekulatif agama adalah kata kunci untuk menjelaskan
kebudayaan. Sebagai contoh, bagaimana memahamisimbol-simbol dalam
upacara-upacara kematian orang Tionghoa. Ada replica dari benda-benda
kesayangan milik “si mati” semasa hidupnya yang dibakar. Begitu juga
dengan uang-uang kertas yang dibakar. Walaupun banyak kalangan mereka
sendiri menganggap hal seperti itu adalah absurd, bahkan mereka sendiri
menyebutnya sebagai Hell‟s Money, atau uang neraka. Jika hal-hal tersebut
dianggap absurd, lalu mengapa ritual-ritual itu tetap dipertahankan dalam
rentang waktu yang demikian panjang ?
Jawaban dari pertanyaan itu hanya bisa ditemukan pada satu titik, yaitu
pada fungsi sosialnya, bukan pada muatan-muatan keimanan atau apa yang
mereka yakini. Arti penting agama justru terletak pada ritual-ritual yang
dapat memberikan semangat kepada individu-individu kelompok mereka.
Ritual dan upacara juga berfungsi sebagai pengikat yang dapat mempererat
hubungan antar individu tersebut. Pada akhirnya ritual dan upacara tersebut
kemudian menciptakan kebutuhan akan adanya satu simbol yang
135
menggambarkan ide-ide dan keyakinan tentang roh-roh leluhur dan dewa-
dewa.
Walaupun ide-ide agama dianggap absurd dan salah oleh beberapa
kalangan namun perilaku keagamaan akan tetap selalu ada dalam setiap
masyarakat, karena perilaku keagamaan berupa ritual maupun upacara
dianggap memberikan kekuatan pada masyarakat. Ide-ide dan keyakinan bisa
diperdebatkan, tapi ritual-ritual atau bentuk-bentuk lainnya yang sama
fungsinya akan tetap dipertahankan. Masyarakat tidak akan eksis tanpa
adanya upacara-upacara karena dengan begitu agama akan tetap selalu ada.
Islam merupakan alat asimilasi yang pernah didengungkan sebagai cara
alternatif mengatasi problem ketionghoaan. Namun, ketika melihat kasus
Cina Benteng, Islam tidak bisa dikatakan hanya alat tunggal dalam hal
tersebut. Lingkungan budaya serta bahasa yang justru menjadi alat asimilasi
yang lebih dominan. Mereka masih tetap menjalankan beberapa ritual dan
kepercayaan leluhur, meskipun bentuknya berlainan dengan yang ditemukan
di Tiongkok Daratan.Sebagai contoh, mereka tetap memulyakan leluhur
dengan cara memujanya. Ini seperti kompromi dari upaya resistensi mereka
akan tradisi leluhur di tengah lingkungan yang berbeda, yang perlahan
membentuk kepribadian berbudaya yang sama dengan suku bangsa lainnya.
C. Faktor Penghambat Berkembangnya Islam di kalangan Cina Benteng
Merupakan pandangan yang bisa dimaklumi,jika disebutkan Islam
merupakan agama minoritas bagi masyarakat Cina Benteng. Apalagi di
antara Tionghoa Keturunan, dalam sejarahnya banyak yang memilih menjadi
warga pribumi dengan meninggalkan adat istiadat serta budaya yang menjadi
identitas Tionghoa. Akan muncul dua sudut pandang antara Cina Benteng
136
yang Muslim yang masih melakukan tradisi ketionghoaan dan Cina Benteng
Muslim yang berasimilasi dengan penduduk pribumi, sehingga mereka
hampir tidak bisa lagi dikatakan sebagai Tionghoa Keturunan. Terlepas dari
itu, setidaknya kini masih dapat dijumpai orang Cina Benteng yang Muslim
meskipun jumlahnya masih terbatas.
Maksud dari penulisan tesis ini sejatinya tidaklah ingin menghubungkan
wacana kesejarahan dengan sesuatu yang bersifat kuantitas. Memang, bisa
dikatakan besarnya peradaban Islam akan berdampak signifikan bagi jumlah
umat Islam yang jumlahnya banyak. Terlebih wacana Islam sudah menjadi
doktrin dalam keluarga, budaya dan lingkungan sosial. Dalam kasus Cina
Benteng, anggapan mengenai sejarah dan kuantitas semacam itu sudah
selaiknya dipinggirkan. Karena, peneliti hanya ingin mengangkat sejarah
Islam dalam tubuh Cina Benteng hanya sebagai suatu ingatan historis atau
bahan telaah bahwa sejatinya Islam pernah pula beredar di kalangan leluhur
mereka, meskipun relevansi kontinyuitasnya pada masa kini belum terlalu
kelihatan. Apalagi jika dihubungkan pada masalah islamisasi Cina Benteng,
maka masih amat sedikit informasi yang didapat.
Keinginan orang memeluk Islam seyogyanya tidak berhenti pada
masalah hidayah. Petunjuk dari Tuhan merupakan lahan lain, yang sifatnya
transendental, tidak bisa diungkap secara ilmiah. Jikapun bisa maka sifatnya
terlalu subjektif. Ketertarikan orang akan suatu agama, juga bisa dilihat dari
kondisi sosial, yakni menyangkut pergaulannya dengan orang di sekitarnya.
begitu pula sebaliknya, ada faktor sosial lainnya yang menyebabkan
seseorang justru enggan masuk dalam suatu agama. Alasan terkuat salah
satunya adalah menyangkut latar belakang budaya yang dimilikinya.
137
Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi mengapa
perkembangan Islam terhambat dalam tubuh masyarakat Cina Benteng,
antara lain sebagai berikut:
Pertama, budaya judi dan makan daging babi yang telah mendarah
daging di tengah kehidupan orang Tionghoa. Judi merupakan salah satu
kebiasaan orang Tionghoa yang sudah mengakar, termasuk juga makan
daging babi. Bagi mereka keduanya lebih dari pada sekedar aktivitas harian,
melainkan sudah menjadi tradisi yang perlahan menyokong identitas
ketionghoaan mereka. Dua hal ini merupakan larangan dalam ajaran Islam.
Jika sudah menjadi Muslim, maka tidak diperkenankan untuk melakukan dua
kegiatan itu. Bagi orang Tionghoa, meninggalkan keduanya adalah berat,
sama halnya dengan memutuskan diri dari jalinan budaya nenek moyang.
Di Museum Benteng Heritage yang terletak di Kota Tangerang, terdapat
meja judi orang Cina Benteng tempo dulu yang bentuknya unik. Meja ini
dibentuk sedemikian rupa, untuk memenuhi aktifitas berjudi. Meja itu
dilengkapi dengan laci tempat uang serta tempat makan bagi masing-masing
pelakunya. Penyediaan fasilitas tempat makanan menggambarkan bahwa
aktifitas judi bagi orang Tionghoa bisa berlangsung dalam tempo yang
panjang sehingga dianggap perlu untuk menyediakan tempat makanan agar
pelakunya tak perlu harus meninggalkan arena hanya karena rasa lapar.
Peninggalan ini sekaligus menjadi penguat bahwa budaya judi begitu lekat
dengan orang Cina Benteng. Berjudi merupakan wahana yang tepat dalam
memupuk semangat kolektivitas. Terkadang jumlah yang dipertaruhkan
tidaklah menjadi soal, asalkan mereka bisa berkumpul dengan teman
sebangsanya. Jika mengalami kekalahan dalam berjudi, mereka
menganggapnya sebagai buang sial.
138
Kedua, sisi kehidupan meterialistik yang ditunjukkan saat upacara
kematian. Perayaan kematian merupakan salah satu episode kehidupan
paling penting bagi orang Tionghoa. Kematian tidak selesai jika hanya
didoakan lantas dikremasi begitu saja. Mereka yang berasal dari kelompok
berpunya, akan menjadikan kematian ini sebagai perayaan serta unjuk
kekayaan yang disokong oleh megahnya pesta kematian serta jumlah massa
yang datang berduyun-duyun. Upacara kematian orang Tionghoa kerap
diselenggarakan hampir menyerupai suatu parade budaya yang sekaligus
menampilkan kebesaran orang yang mati serta keluarga yang menyertainya.
Dalam prosesi penguburan jenazah, biasanya ikut dikuburkan pula
barang-barang kesayangan si mati di masa-masa yang lalu. Barang
kesayangan ini disertakan dalam liang pekuburan. Misalnya ia mencintai
perhiasan serta uangnya, maka barang-barang itu akan dikuburkan di sisinya.
Kepercayaan ini dilakukan agar si jenazah dapat tenang di alam kemudian.
Benda-benda kesayangannya akan digunakan sebagai modal di sana. Orang
Tionghoa percaya uang, perhiasan atau emas itu akan digunakan oleh roh
orang yang mati sebagai bekal hidup di alam kelanggengan, sama seperti
bekal kubur pada masyarakat pra sejarah.
Lambat laun, penggunaan barang-barang asli sebagai bekal kubur mulai
ditinggalkan. Sebagai gantinya, mereka membuat miniatur replika barang-
barang tersebut, misalnya replika pesawat, mobil, emas-emasan, bahkan
uang pun yang nantinya menjadi bekal adalah uang palsu atau dalam istilah
mereka disebut “uang neraka”. Tidak jelas memang mengapa uang itu
dinamakan demikian, namun yang jelas terjadi semacam perubahan persepsi
mengenai barang-barang demikian, yang disandarkan pada pemikiran
pragmatis. Jika barang-barang palsu tersebut diyakini bisa menjadi bekal,
maka mengapa harus menyertakan barang yang asli ? Yang masih
139
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan dapat dipergunakan oleh
keluarganya yang masih hidup, demikian hemat mereka.
Onghokham menyebutkan bahwa label Orang Tionghoa yang dikatakan
sebagai “manusia ekonomi”, sesungguhnya adalah bentukan zaman. Sejak
masa kolonial hingga Orde Baru, orang Tionghoa mengalami peminggiran
hak-hak bernegara, berbudaya dan berpolitik dan satu-satunya peluang yang
dimiliki mereka adalah bergerak di sektor ekonomi. Sejak masa kolonial,
orang Tionghoa yang kaya sudah terbiasa menyelenggarakan upacara
pemakaman yang monumental, seperti pemakaman Mayor Tan Tjien Kie,
Mayor Cina Cirebon, Opsir Cina yang terkaya sepanjang abad 19. Biaya
pemakamannya menyentuh angka 100.000 gulden. Mereka yang sudah
meninggal disemayamkan di musoleum yang indah dan megah sebagaimana
bisa dijumpai di pemakaman Karet Jakarta. Belum lagi yang hidup
diharuskan membangun meja sembahyang untuk pemujaan nenek moyang
yang menelan biaya yang tidak sedikit.165
Sekarang, Komplek pemakaman yang mewah juga disediakan bagi
orang-orang yang kaya seperti di San Diego Hills, Karawang Jawa Barat.
Sebagian besar yang dikebumikan disana tak lain adalah orang-orang dari
etnis Tionghoa.
Sepertinya, kemegahan penguburan orang Tionghoa telah menjadi
tradisi yang akarnya bisa ditemukan sejak masa prasejarah. Tonkin, disebut-
sebut merupakan tempat asal migrasi produk-produk kebudayaan ke kawasan
Nusantara. Daerah tersebut adalah pusat kebudayaan perunggu di Asia
Tenggara. Di Dongson, juga ditemukan kepingan uang zaman Dinasti Han
165
Onghokham, Anti Cina ..., hlm. 44.
140
(Sekitar 100 tahun SM) dan nekara kecil sebagai bekal orang mati.166
Sejak
masa yang lama kebudayaan orang Tiongkok telah sampai ke Indonesia. Hal
ini bisa dijadikan alasan mengapa hingga kini orang Tionghoa masih
menyertakan benda-benda yang dianggap mewakili kekayaan semasa hidup
sebagai bekal kubur. Semakin kaya seseorang semasa hidupnya, semakin
banyak nilai bekal kubur yang disertakannya.
Dalam Islam dikenal kesamaan tindakan dalam memperlakukan orang
mati. Baik miskin ataupun kaya, berpangkat atau tidak, maka tetap saja
mereka akan disucikan, dikafani, dishalati lantas dimakamkan.167
Secara
umum hampir tidak ada perbedaan yang mencolok dari prosesi kematian
semua orang Muslim di Indonesia. Jika diperhatikan ajaran Islam lebih
menempatkan prosesi kubur sebagai bentuk bersahaja dari pengamalan
ketentuan Islam. Simbol-simbol yang terlihat berupa penggunaan kain putih
sebagai pembungkus mayat, penguburan di tanah merah dan setiap prosesi
diiringi dengan salawat kepada Nabi SAW dan doa adalah rangkaian
kegiatan yang jauh dari sifat materialistis. Amat berbeda dengan ajaran
Orang Tionghoa.
Dalam kehidupan Muslim, kematian dianggap sebagai suatu fenomena
yang pasti akan dialami setiap manusia. Tidur, dalam ajaran Islam sudah
dianggap sebagai keadaan tubuh “mati sementara” yang tercermin dalam doa
bangun tidur: “Segala puji bagi-Mu ya Allah, yang telah menghidupkan
kembali diriku setelah kematianku, dan hanya kepada-Mu nantinya kami
semua akan berpulang kepada-Mu. Oleh orang Jawa, hidup diartikan sebagai
“hanya mampir minum”, yang mengindikasikan bahwa dunia kematian
166
Sidi Ibrahim Boechari, Prasejarah Indonesia (Jakarta: Gunung Tiga, 1985) hlm. 81-
82. 167
Lebih lanjut mengenai tata cara memperlakukan mayat menurut hukum Islam lihat
Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fathul Mu’in Jilid 1, Terj. Aliy As‟ad
(Kudus: Menara Kudus, 1980) hlm. 354-366.
141
adalah justru kehidupan yang sebenarnya. Setiap warna kehidupan sudah
seharusnya diterima secara lapang dada dan disyukuri. Pada titik ini ada
korelasi antara pandangan hidup orang Jawa dan ajaran Islam yang bermuara
pada kepasrahan dan kebersahajaan.168
Bagi orang Tionghoa yang masih memegang teguh adat nenek moyang
serta kebesaran nama keluarga, penguburan model Islam tentu menjadi hal
yang tidak terpikirkan. Mengantar orang yang mati dengan kebesaran adalah
suatu tugas mulia, sebagai bentuk penghormatan terakhir baginya. Model
penguburan orang Islam yang penuh kesahajaan dianggap bukan meruapakan
bukti penghormatan yang seharusnya dan bukan merupakan ajaran Tionghoa
yang otentik. Untuk itu alasan ini kiranya juga menjadi latarbelakang
mengapa orang Tionghoa, terutama yang kaya, enggan memeluk Islam.
Ketiga, orang Tionghoa akan mempertimbangkan agama Budhha
ketimbang Islam. Secara kultural, ajaran Buddha lebih dekat dengan tradisi
Tionghoa. Sama seperti Islam, ajaran ini juga mengedepankan kepasrahan
dan kebersahajaan bagi penganutnya. Bahkan dalam beberapa segi, ajaran
Buddha lebih radikal dalam mendudukkan makna kesederhanaan. Sama
seperti Konghuchu, Budha merupakan kepercayaan yang banyak dipeluk
orang Tionghoa. Bahkan pada satu fase, kepercayaan ini sempat mengalami
fusi ke dalam aliran Tri Dharma, bersama pengikut ajaran Tao dan
Konfusius.
Jika dilihat arsitektur vihara pengikut Tri Dharma bentuknya unik.
Bangunannya begitu didominasi oleh unsur-unsur budaya Tionghoa, seperti
cat berwarna merah, patung naga liong dan lain sebagainya. Namun yang
menjadi fokus keunikan, adalah ketika memasuki ruang sembahyang utama,
168
Abdul Karim, “Makna Kematian dalam Perspektif Tasawuf” dalam Esoterik, Vol. I,
No. 1, Juni 2015, hlm. 23-26.
142
di meja altar terdapat tiga patung persembahan yang diletakkan sejajar.
Ketiga patung itu adalah Buddha Gautama, Lao Tse dan Konfusius. Vihara
ini menjadi titik berkumpul penganut tiga aliran ini.169
Sisi positif yang bisa
dilihat dari keberadaan Tri Dharma adala menciptakan persatuan Tionghoa
berbasiskan tradisi dan ajaran nenek moyang.
Meskipun tata cara peribadatan Buddha lebih sederhana, namun ajaran
ini termasuk banyak dianut oleh orang Tionghoa. Kebersahajaan yang
ditampilkan mampu memikat orang-orang yang mendambakan
kesederhanaan dan berusaha positif dalam kehidupan. Di tambah lagi, aliran
Budha termasuk kepercayaan yang sudah berkembang pesat di Tiongkok
Daratan.170
Tionghoa penganut Buddha tentu merasa mereka masihlah
berada dalam koridor tradisi nenek moyang, dan tidak tercerabut jauh dari
para kerabatnya yang menganut kepercayaan penyembahan dewa-dewa yang
amat banyak itu.
Bikkhu Sujato menjelaskan bahwa dalam perspektif Budhis, kehidupan
manusia layaknya api. Di dalam kehidupan berisi segala bentuk problematika
hidup. Seseorang yang ingin mencapai nirwana,maka harus “keluar dari
nyala api”. Proses berada di alam api adalah sebagian dari proses spiritual
yang harus dilalui dan masanya adalah panjang tidak bisa hanya seketika
(sebentar). Kalimat “keluar dari api” terjadi secara alami,yakni setelah
169
Salah satu Vihara Tri Dharma yang pernah dikunjungi adalah Vihara Tri Dharma
Cariya di Marga Mulya, Mauk, Tangerang. 170
Ajaran Buddha datang dari India ke Tiongkok sekitar 2000 tahun yang lalu. Ajaran
Buddha di sini dikasifikasikan ke dalam tiga komunitas berdasarkan tiga bahasa yang
digunakan, yakni Mandarin, Tibet dan Bali. Kelompok Buddha Mandarin berasal dari suku
Han Tiongkok, aliran Buddha Tibet (disebut juga Lamaist) adalah orang-orang dari bangsa
Tibet, Mongolia, Uyghur, Lhoba, Moinba dan Tujia. Sedangkan ajaran Buddha berbahasa
Bali dianut oleh etnis Dai dan Bulang yang mendiami Provinsi Yunan. Lihat “Mengenal
Agama dan Kepercayaan di Tiongkok” diunduh dari http://yinhuadaily.com/mengenal-
agama-dan-kepercayaan-di-tiongkok/ pada hari Jumat, tanggal 17 Juni 2016, pukul 09.40
WIB.
143
manusia merasakan api itu sendiri. dengan kata lain “keluar dari api” adalah
hasil dari pencapain spiritual yang hampir selesai.171
Keempat, Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas pribumi,
Islam adalah representasi dari pribumi yang identik dengan kurang
berpendidikan, miskin, primitif dan barbar. Kristen menjadi pilihan pertama
bagi orang Cina benteng yang ingin melakukan konversi agama. Pada masa
colonial, masuk ke dalam Kristen dapat menyejajarkan diri dengan orang-
orang Eropa. Sebagaimana kita ketahui bahwa pada masa kolonial,
masyarakat dibagi menjadi tiga golongan, yang paling atas adalah golongan
Eropa, yang kedua adalah golongan Asia (Jepang dan Tiongkok) dan Timur
asing (Arab). Yang paling bawah adalah Pribumi, bangsa terjajah.
Dengan memeluk Kristen, mereka dapat beribadah bersama orang-orang
eropa, dapat mengenakan busana eropa, mengikuti pesta dansa yang sering
kali diadakan orang-orang eropa, Menggunakan nama-nama eropa di depan
nama keluarga mereka, dan pada gilirannya dapat menjalin hubungan bisnis
dengan orang-orang eropa yang biasanya mereka terdiri dari aparat penguasa
kolonial dan pengusaha besar yang biasanya menguasai perkebunan besar
yang tentu saja mereka membutuhkan sarana distribusi bagi hasil perkebunan
mereka.
Keempat faktor di atas merupakan sebagian dari alasan mengapa Orang
Tionghoa tidak mau menjadi Muslim. Meskipun ketiga faktor ini bisa jadi
berbeda dengan apa yang dilihat orang lain, setidaknya peneliti telah
menemukan beberapa alasan di balik sedikitnya jumlah orang Tionghoa
Muslim. Islam bagi masyarakat Cina Benteng memang menjadi suatu
171
Bikkhu Sujato, Kelahiran Kembali dan Keadaan Antara dalam Buddhisme Awal,
Terj. Ariyakumara (t. Tp: Dhammacitta Press, 2008) hlm. 20-21; artikel ini bisa diunduh di
http://dhammacitta.org pada hari Selasa, tanggal 14 Juni 2016, pukul 08. 30 WIB.
144
ingatan historis keberadaan mereka. Mereka tidak menampik bahwa leluhur
mereka ada yang berasal dari kalangan Tionghoa Muslim. Bagi Tionghoa
peranakan, Ibu mereka juga orang pribumi yang dapat dipastikan Muslim.
Namun, pada perkembangannya Islam tidak menjadi agama mayoritas yang
dipeluk oleh Tionghoa. Ini merupakan suatu kasus unik dalam kajian sejarah
Indonesia, di mana Islam justru surut dalam perkembangannya.
D. Konversi agama pada masyarakat Cina Benteng.
Konversi agama pada Masyarakat Cina Benteng terjadi dalam beberapa
fase dari Masa awal terbentuknya masyarakat Cina Benteng, Masa Kolonial,
masa orde baru hingga sekarang. Konversi agama yang dimaksudkan penulis
adalah konversi agama yang bersifat massif.
Pertama, yaitu pada masa awal. Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa
masyararakat awal Cina Benteng adalah mereka yang mendarat di Teluk
Naga. Sebagai pengikut Laksamana Cheng Ho, tentu banyak dari mereka
yang menganut Islam karena Laksamana Cheng Ho sendiri adalah seorang
Muslim dengan nama aslinya yaitu Ma He. Ma adalah singkatan bagi
Muhammad, jadi nama aslinya adalah Muhammad He.172
Ternyata banyak dari pengikut Cheng Ho adalah orang-orang taklukan.
Mereka adalah para perompak yang dikalahkan Cheng Ho di Malaka, Bintan
dan Palembang.173
Sebagai orang-orang taklukan mereka mengikuti Cheng
Ho dan akhirnya menganut Islam sebagaimana agama yang dianut
Laksamana Cheng Ho. Setelah mereka menetap di Tangerang dan misi
muhibah Laksamana Cheng Ho kembali ke Tiongkok, Orang-orang taklukan
ini mulai banyak yang kembali kepada agama leluhur. Seperti yang terjadi di
172
Wawancara dengan Udaya Halim 173
Parlindungan,MO, Tuank Rao……, Hlm.652
145
Semarang, Masjid yang dibangun berubah menjadi kelenteng Sam Po
Kong.174
Kedua, pasca peristiwa 1740 di Batavia, Banyak orang-orang Tionghoa yang
mengungsi ke wilayah Tangerang dan menemukan saudara satu leluhur
mereka. Para pendatang dari Batavia itu sering kali melakukan ritual-ritual
upacara yang menghidupkan kembali budaya dan tradisi Tionghoa. Orang-
orang Cina Benteng yang banyak memeluk Islam karena menikah dengan
perempuan pribumi (Islam) kembali kepada agama leluhur mereka yaitu
Konfusianisme, Taoisme dan Budhisme.
Ketiga, Pada masa kolonial banyak orang-orang Tionghoa yang
mengubah keyakinan agamanya kepada Kristen. Hal tersebut terjadi lebih
disebabkan factor sosial dan ekonomi. Seperti telah dijelaskan di muka
bahwa pada masa colonial, Belanda menggolongkan masyarakat menjadi
tiga strata, yang teratas adalah golongan Eropa. Bagian ini diisi oleh orang-
orang Belanda baik sebagai aparat pemerintahan colonial maupun para
pengusaha. Selain orang Belanda ada juga pengusaha dari Inggris.
Sebagaimana diketahui bahwa Inggris juga sempat menguasai atau menjajah
di Nusantara. Demikian pula dengan orang-orang dari Perancis. Golongan
dibawahnya adalah golongan Asia dan Timur Asing, yaitu orang-orang
Tionghoa, Jepang, India dan Timur Tengah. Biasanya mereka adalah para
saudagar. Pada strata masyarakat yang paling rendah didisi oleh pribumi
yang mempunyai konotasi tak berpendidikan dan miskin. Tentunya banyak
orang Tionghoa yang ingin naik kelas, stidaknya bisa dekat dan akrab
dengan orang-orang Eropa yang berkonotasi lebih berpendidikan dan
174
Muljana Slamet, Runtuhnya Kerajaan Hindu………….., Hlm. 193
146
seabagai penguasa kolonial. Jika mereka masuk ke dalam Kristen mereka
dapat beribadah bersama-sama dengan orang Eropa, bergaul dengan mereka
dan berpenampilan seperti orang Eropa serta berpeluang mendapatkan
fasilitas untuk digunakan mengambil keuntungan ekonomi.
Seperti yang diungkapkan Karl Marx, bahwa agama sama saja dengan
negara, seni, tatanan moral,dan hasil karya intelektual lain. Semua itu
merupakan superstruktur masyarakat yang sangat tergantung pada pondasi
ekonomi. Maka, seandainya terjadi perubahan ekonomi, agamapun akan ikut
berubah. 175
Keempat adalah pada masa Orde Baru. Pemerintahan orde Baru hanya
mengakui empat agama yaitu Islam, Kristen dimana Protestan dan Katolik
ada di dalamnya, Hindu dan Budha. Pada masa pemerintahan Orde Baru,
Orang orang Tionghoa mengalami diskriminasi dimana agama mereka, yaitu
Konghucu dan Taoisme tidak diakui oleh negara. Agar mendapat pengakuan
secara administratif dari negara, kebanyakan dari mereka mengubah
keyakinan mereka menjadi Budha. Budha adalah ajaran agama yang paling
dekat dengan kosmologi orang Cina Benteng. Banyak juga dari mereka
menganut Budha sejak nenek moyang mereka. Kelenteng-kelenteng mereka
diubah namanya menjadi vihara agar dari luar mereka dianggap Budha
walaupun setelah masuk ke dalam kelenteng, mereka beribadat menurut
ajaran Konfusius. Di Desa Tanjung burung peneliti menemukan sebuah
vihara yaitu Vihara Atta Naga Vimutti. Dari namanya, terkesan bahwa vihara
ini adalah tempat ibadah bagi umat Budha. Pada kenyataannya didalam
Vihara ini memang terdapat altar Budha tetapi di sebelahnya juga terdapat
altar pemujaan Dewi Kwan Im yaitu Dewi Welas Asih yang banyak dipuja
oleh umat Konghucu.
175
. Palls, Seven Theories…, hlm 213
147
Budha adalah agama yang merupakan paling banyak dipilih oleh
kalangan masyarakat Cina Benteng. Pilihan terhadap Budha tentuna di
latarbelakangi oleh sejarah agama Budha di Tiongkok yang juga
mendapatkan sambutan yang luas. Pada urutan berikutnya adalah masuk
Kristen, baik Protestan maupun Katolik. Pilihan ini juga didasarkan pada
alasan-alasan sosial ekonomi, sama seperti yang terjadi pada masa kolonial.
Pilihan masuk Islam adalah urutan berikutnya. Biasanya motivasinya adalah
kedekatan hubungan personal dengan guru-guru spiritual. Motivasi yang
terbanyak adalah perkawinan dengan perempuan pribumi.
148
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kumunitas Cina Benteng atau masyarakat tionghoa yang tinggal di
Tangerang dengan identitas yang melekat sehingga berbeda dengan
komunitas Tionghoa lain di seluruh nusantara tentunya tidak terjadi dengan
sendirinya. Perjalanan panjang sejarah hingga terbentuklah suatu kelompok
masyarakat dengan identitas yang khas inilah yang coba diulas oleh penulis
serta interaksi dengan masyarakat pribumi secara sosiologis. Tentu saja
terjadi sebuah tawar-menawar antara keduanya. Orang Tionghoa dengan
latar belakang budaya yang kuat dengan budaya pribumi dengan akar budaya
yang juga kuat. Pandangan mereka tentang kosmos dan ajaran kebaikan atau
agama dari keduanya juga merupakan sesuatu yang menarik untuk
dibicarakan.
Pertama, kehidupan masyarakat Cina Benteng masa awal. Dari beberapa
catatan perjalanan baik dari para pendeta Budha I-Tsing maupun berita dari
Tome Pires serta kronik lainnya, bisa jadi pada masa itu sudah terdapat orang
dari daratan Tiongkok yang datang ke Tangerang. Yang dimaksud dengan
masyarakat Cina Benteng adalah masyarakat yang mendiami sebuah
pemukiman hingga membentuk suatu identitas masyarakat itu sendiri,
biasanya dikaitkan dengan lokasi dimana pemukiman itu didirikan bisa juga
identitas tersebut dikaitkan dengan tradisi atau budaya dari masyarakat
tersebut. Dalam hal ini identitas itu terkait dengan tempat atau lokasi dimana
masyarakat itu tinggal yaitu Benteng, sebutan sebuah kota dimana terdapat
149
Benteng Belanda. Yang dimaksud dengan daerah Benteng tak lain adalah
Tangerang.
Pemukiman awal masyarakat Cina Benteng ditengarai adalah wilayah
Tanjung Burung, Teluk Naga dimana di sana mendarat utusan dari armada
kapal Laksamana Ceng Ho yang dipimpin Tjen Tji Lung. Di Teluk Naga
mereka membangun sebuah pemukiman. Aktifitas mereka beragam, dari
bercocok tanam, penangkap ikan, hingga berdagang. Pemukiman mereka
berkembang ke arah pusat kota Tangerang menyusuri bantaran sungai
Cisadane. Setelah mereka mencapai kota, mereka seolah tak terbendung
kemudian menyebar ke seantero Tangerang.
Tragedi 1740 di Batavia seolah menambah kekuatan mereka,
gelombang pengungsi orang Tionghoa dari Batavia seperti mendapatkan
sambutan hangat dari saudara satu leluhur mereka. Pengalaman bersentuhan
dengan pribumi dari pendatang Tionghoa dari Teluk Naga dengan cara
berbaur dengan mereka membuahkan hasil yang gemilang, di sisi lain
pengalaman pahit orang Tionghoa pengungsi dari Batavia menimbulkan
traumatik tersendiri membuat mereka mengikuti langkah pendahulunya
untuk berbaur dengan masyarakat pribumi.
Bermula dari Teluk Naga, ke hulu menyusuri bantaran sungai Cisadane
hingga ke tengah kota Tangerang. Setelah menguasai jalur distribusi mereka
menyebar ke selatan, ke Karawaci, Legok, Serpong dan Cisauk, ke utara
melalui Kedaung, Sepatan, Pakuhaji, Mauk hingga Kronjo. Cina Benteng
seolah tak berjarak dengan pribumi. Menguasai jalur distribusi membuat
orang Tionghoa di Tangerang menguasai sendi-sendi perdagangan. Tidak
hanya bidang perdagangan, pertanianpun menjadi bidang yang dikuasai oleh
orang Tionghoa. Teknologi pertanian dari Tiongkok turut berpengaruh dalam
peningkatan produksi pertanian.
150
Melebur dengan pribumi, bukan sekedar menikahi perempuan pribumi
tapi juga meleburkan diri dengan budaya pribumi. Tawar menawar budaya
terjadi, akulturasi sempurna antara orang Tionghoa dengan orang pribumi di
segala sendi kehidupan pada akhirnya melahirkan identitas baru bagi
masyarakat Tionghoa yang tinggal di Tangerang yang dikemudian hari
dikenal dengan Cina Benteng.
Kedua, terjadi konversi agama di kalangan Cina Benteng. Orde Baru
mengakui empat agama di Indonesia yaitu Islam, Kristen, Hindu dan Budha.
Sebagai warga negara harus menganut salah satu agama yang diakui Negara,
jika tidak resikonya akan terlalu berat. Bakal dicap sebagai ateis atau
komunis, sebuah paham yang diharamkan keberadaannya di bumi pertiwi
terutama pada masa orde baru. Menganut sebuah agama akan tercatat dalam
kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk, hal ini memaksa warga Cina
Benteng untuk memilih salah satu agama yang diakui, seperti kita ketahui
pada masa itu Konghucu belum diakui menjadi salah satu agama di
Indonesia.
Warga muslim Cina Benteng pada waktu itu lebih banyak merupakan
muslim keturunan dari ibu mereka yang pribumi dan ayah yang baru masuk
Islam. Mereka bukanlah muslim yang taat, banyak dari mereka yang masih
menjalankan tradisi-tradisi leluhur seperti judi dan minum arak. Saudara
dari ayah mereka masih merupakan orang Tionghoa yang memuja para
Dewa. Ketika diharuskan oleh pemerintah untuk mencantumkan agama
sebagai identitas pribadi, maka mereka akan memilih satu dari empat agama
tersebut sesuai kepentingan mereka.
Budha, adalah agama yang paling banyak dipilih oleh mereka lantaran
sejak masih di tanah Tiongkok mereka sudah mengenal Budhisme dengan
baik. Untuk mengelabui pemerintah ada upaya mengkolaborasikan agama
151
nenek moyang dengan Budha. Istilah Tridharma adalah penyatuan antara
Konfisianisme, Taoisme dan Budhisme. Pada masa orde baru klenteng-
klenteng diubah sebutannya menjadi vihara seolah-olah itu adalah tempat
ibadah agama Budha. Ada beberapa klenteng yang juga menyediakan altar
Budha tetapi ada juga yang tidak.
Kristen, baik Katolik maupun Protestan adalah terbanyak ke dua yang
dipilih sebagai agama orang Cina Benteng pada masa itu. Alasannya Kristen
tidak mewajibkan ritual menyembah Tuhan setiap hari hingga beberapa kali,
Kristen juga tidak melarang dengan keras kebiasaan berjudi, minum arak dan
makan daging babi. Disamping hal-hal diatas, Kristen juga membawa nuansa
modern, kebarat-baratan hingga terkesan lebih berpendidikan dan lebih
terpandang.
Islam berada pada urutan ke tiga sebagai agama yang dipilih oleh orang-
orang Cina Benteng. Pilihan terhadap Islam biasanya disebabkan oleh
keinginan untuk mempersunting wanita pribumi dan pihak wanita pribumi
mempersyaratkan harus masuk Islam terlebih dahulu. Keengganan memilih
Islam juga disebabkan oleh ancaman yang menakutkan akan siksa di alam
kubur, belum lagi siksa neraka. Sangat sedikit orang Cina Benteng beralih ke
Islam karena kesadaran berketuhanan atau hidayah. Hindu dapat dikatakan
hampir tidak ada kecuali orang Tionghoa keturunan dari Bali yang tinggal di
Tangerang.
Konversi agama yang massive pada masa itu terjadi dari Taoisme dan
Konfusianisme ke Budha dan Kristen, sayangnya konversi ke Islam hanya
sedikit sekali terjadi, mungkin benar karena tidak ada paksaan dalam
memeluk Islam. Sebelumnya konversi agama juga terjadi dari orang
Tionghoa muslim yang tidak taat kembali ke agama leluhur mereka yaitu
ketika gelombang pengungsi Tionghoa dari Batavia tahun 1740 masuk ke
152
Tangerang. Hal tersebut dengan sendirinya menambah semarak khasanah
tradisi dan budaya Tiongkok. Itu menyebabkan orang-orang Tionghoa yang
sudah memeluk Islam karena menikah dengan pribumi yang Islam ataupun
keturunan dari hasil kawin campur tersebut, kembali pada keyakinan awal
mereka yaitu memuja dewa-dewa dan arwah leluhur mereka. Sayangnya
penulis tidak menemukan data pasti perubahan komposisi angka yang
mencerminkan hal itu. Keterangan itu penulis dapatkan dari beberapa
wawancara dengan nara sumber.
Ketiga, Pandangan Masyarakat Cina Benteng Terhadap Islam. Sebagai
sebuah budaya, Islam dapat diterima dengan baik oleh seluruh masyarakat,
tak terkecuali masyarakat Cina Benteng. Nilai-nilai rahmatan lil alamin
ternyata dapat dengan jelas dirasakan oleh mereka. Tradisi dan kebudayaan
pribumi yang notabene Islam juga dapat diterima dan diakomodir dalam
keseharian mereka. Menggunakan sarung dan peci bukanlah hal yang aneh
bagi orang Cina Benteng. Dalam hal berkesenian, kolaborasi antara
permainan alat-alat musik khas Tiongkok dengan permainan alat musik lokal
menjadi simbol dapat diterimanya budaya dan tradisi Islam oleh masyarakat
Cina Benteng.
Penerimaan Budaya dan tradisi Islam oleh kalangan orang Cina Benteng
tidak berbanding lurus dengan Islam sebagai agama dan doktrin. Kewajiban
menjalankan rukun Islam bagi setiap pribadi muslim ini dirasa sangat
memberatkan mereka. Larangan terhadap aktifitas judi, makan babi dan
minum arak juga dianggap terlalu berat karena kegiatan itu sudah mendarah
daging menjadi tradisi turun temurun. Doktrin tentang dosa, siksa kubur dan
siksa neraka dirasa sangat menakutkan. Kesan tidak modern juga terlanjur
melekat pada masyarakat pribumi yang kebetulan muslim. Terlalu banyak
hal yang harus dirubah jika seorang Tionghoa mau masuk ke dalam Islam.
153
Orang Cina Benteng bisa menerima Islam sebagai budaya dan tradisi
tapi sebagai agama yang mengajarkan doktrin mereka tidak mau mengikuti,
sebagai ajaran agama mereka lebih memilih agama lain yang membolehkan
tradisi leluhur mereka dan mereka berdalih bahwa semua agama sama-sama
mengajarkan kebaikan.
B. Saran
Dalam melakukan penelitian tentang topik ini penulis merasa kesulitan
dalam hal referensi serta literatur mengenai Tionghoa lebih khusus lagi
mengenai komunitas masyarakat Tionghoa Tangerang atau yang lazim
disebut Cina Benteng.
Penulis menyarankan agar UIN Syarifhidayatullah melakukan kajian
mendalam terhadap tema-tema yang berkaitan dengan Tionghoa mengingat
besarnya pengaruh orang-orang atau masyarakat keturunan Tionghoa dalam
arus sejarah nusantara dari masa ke masa.
Issue Tionghoa selalu menjadi seksi jika dikaitkan dengan Islam,
mengingat kontroversi pendapat mengenai penyebar Islam keturunan
Tionghoa. Maka penting kiraya UIN Syarifhidayatullah melakukan
penelitian khusus mengenai tema ini. Hasil penelitian tersebut nanti
diharapkan dapat memberikan perspektif baru atau membenarkan salah satu
pendapat mengenai peran orang-orang Tionghoa sebagai penyebar Islam.
Perpustakaan UIN sudah seharusnya menjalin kerjasama dengan
berbagai pihak terkait untuk mendapatkan beberapa catatan perjalanan dari
orang-orang dari daratan Tiongkok yang pernah memasuki kawasan
nusantara.
154
Semoga penelitian ini berguna dan memperkaya khazanah sejarah
orang-orang Tionghoa di Indonesia. Penulis berharap semoga tulisan ini
memicu penulis lain melakukan penelitian yang lebih sempurna terhadap
masalah-masalah Tionghoa lebih khusus lagi tentang masyarakat Cina
Benteng yang memiliki karakteristik berbeda dengan komunitas Tionghoa
lain di Indonesia.
155
Daftar Pustaka
A. Buku
Abdurrahman Dudung, Metode Penelitian Sejarah (Tangerang: Logos
Wacana Ilmu, 1999)
Al Qurtuby Sumanto, Arus Cina-Islam-Jawa; Bongkar Sejarah Atas
Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara
Abad XV dan XVI (Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press, 2003)
Alatas S. H., Mitos Pribumi Malas; Citra Orang Jawa, Melayu dan Filipina
dalam Kapitalisme Kolonial, Terj. Akhmad Rofi‟ie (Jakarta: LP3ES,
1988)
Arif Muhamad, “Model Kerukunan Sosial Pada Masyarakat Multikultural
Cina Benteng (Kajian Historis dan Sosiologis)” dalam Sosio
Didaktika, Vol. I, No. 1 Mei 2014
Azra Azyumardi, (Ed), Perspektif Islam di Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia)
Blackburn Susan, Jakarta Sejarah 400 Tahun, Terj. Gatot Triwira (Depok:
Komunitas Bambu, 2012)
Blusse Leonard, Persekutuan Aneh; Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan
Belanda di Batavia VOC, Terj. Abdur Rozaki (Yogyakarta: LKiS,
2004)
Boechari Sidi Ibrahim, Prasejarah Indonesia (Jakarta: Gunung Tiga, 1985)
156
Budiman Amen, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia (Semarang:
Penerbit Tanjung Sari, 1979)
Carey Peter, Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa; Perubahan
Persepsi Tentang Cina 1755-1825, Terj. Wasmi Alhaziri (Depok;
Komunitas Bambu, 2015)
Chaer Abdul, Betawi Tempo Doeloe; Menelusuri Sejarah Kebudayaan
Betawi (Depok: Komunitas Bambu, 2015)
Creel H.G., Alam Pikiran Cina; Sejak Confusius sampai Mao Zedong, Terj.
Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990)
De Graaf H. J. dkk, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI antara
Historisitas dan Mitos (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998).
Durkheim Emile, The Elementary Forms of The Religious Life, Terjemahan
dari Bahasa Prancis oleh Joseph Ward Swain (New York: Dover
Publication, Inc, 2008)
Elvian Akhmad, Perang Bangka Tahun 1812-1851 Masehi (Pangkalpinang:
Disbudparpora Kota Pangkalpinang, 2012)
Fairservis Walter A., Asal-Usul Peradaban Orang-Orang Jawa dan
Tionghoa, Terj. Anwar (Surabaya: Surabaya Selasar Publishing, 2009
Gottschalk Louis, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI
Pres, 2006)
Groeneveldt W.P.. Nusantara Dalam Catatan Tionghoa (Depok: Komunitas
Bambu, 2009)
157
Gutzlaff K., Aan mijne mede-christenen in Nederland (Amsterdam: Loman
Jr, 1850)
Jahja Junus, Peranakan Idealis; Dari Lie Eng Hok dampai Teguh Karya
(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003)
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 1995)
Lohman C. De Savorvir, “Verhouding de Sawahpadi-Productie; Tot de
Dichtheid Der Bevolking Op Java En Madoera In En Ult o, 1917”
dalam Publicaties van De Afdeeling Handel, 1919, No. 1 (Batavia:
Drukkerij G. Kolff & Co., 1919)
Madjid M. Dien dan Wahyudhi Johan, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar
(Jakarta: Kencana, 2014)
Madjid M. Dien dkk, Sejarah Kabupaten Tangerang (Tangerang:
Pemerintah daerah Tingkat II Tangerang bekerjasama dengan
Lembaga Penetlitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UNIS
Tangerang, 1992)
Mulyana Slamet, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-
Negara Islam di Nusantara (Yogyakarta: LKiS, 2009)
Onghokham, Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina; Sejarah Etnis
Cina di Indonesia (Depok: Komunitas Bambu, 2008)
Oostwouder Alexander J., “ Passenger Pasar; Chinese Junk Trade and
Passenger Transport Batavia 1825-1875”, Disertasi (belum
diterbitkan), Universitas Leiden, 2012
Pals, Daniel, L., Seven Theories of Religion,
158
Parlindungan, Mangaradja, Onggang, Tuanku Rao, (Yogyakarta : LKiS,
2007)
Pongsibanne Lebba Kadorre, Islam dan Budaya Lokal (Ciputat: Mazhab
Ciputat, 2013)
Purwanto Edi, “Kompeksitas Kemiskinan Tionghoa Benteng”, Disertasi
(belum diterbitkan), Universitas Kristen Satyawacana, 2002
Reid Anthony, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680: Tanah di
Bawah Angin, Terj. Mochtar Pabotinggi (Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor, 2011)
Reid Anthony, Perjuangan Rakyat; Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di
Sumatera, Terj. Tim PSH (Jakarta: Sinar Harapan, 1987)
Ricklefs M.C., Sejarah Indonesia Modern, Terj. Dharmono Hardjowidjono
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995)
Sen Tan Ta, Cheng Ho Penyebar Islam dari China ke Nusantara, Terj.
Abdul Kadir (Jakarta: Kompas, 2010)
Setiono Benny G., Tionghoa Dalam Pusaran Politik (Jakarta: Tansmedia,
2008)
Suparlan Parsudi, “Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dalam
Masyarakat Majemuk Indonesia” dalam Antropologi Indonesia, vol.
71, 2003
Suryadinata Leo, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia; Sebuah
Bunga Rampai 1965-2008 (Jakarta: Kompas, 2010)
159
Suryadinata Leo, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia (Jakarta:
LP3ES, 2002)
Suryadinata Leo, Tokoh Tionghoa dan Identitas Indonesia; Dari Tjoe Bou
San sampai Yap Thiam Hien (Depok: Komunitas Bambu, 2010)
Takwin Bagus, Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran
Timur (Depok: Jalasutra, 2009)
Taylor Jean Gelman, Kehidupan Sosial di Batavia, Terj. Tim Komunitas
Bambu (Depok: Komunitas Bambu, 2009)
Tjandrasasmita Uka, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2009)
Wijayakusuma Hembing, peny, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri
Perjalanan Muhibah di Nusantara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2007)
Yong Liu, The Dutch East-India Company’s Tea Trade with China 1757-
1781 (Leiden: Brill, 2007)
Zein Abdul Baqir, Etnis Cina dalam Potret Pembauran di Indonesia
(Jakarta: Prestasi Insan Indonesia, 2000)
B. Jurnal Ilmiah
Alexander J. Oostwouder, “ Passenger Pasar; Chinese Junk Trade and
Passenger Transport Batavia 1825-1875”, Disertasi (belum
diterbitkan), Universitas Leiden
160
Arif Muhamad, “Model Kerukunan Sosial Pada Masyarakat Multikultural
Cina Benteng (Kajian Historis dan Sosiologis)” dalam Sosio
Didaktika, Vol. I, No. 1 Mei 2014
Ilyas, “Gerakan Millenarian Kaiin Bapa Kayah: Protes Sosial Petani
Tangerang 1942” Tesis belum diterbitkan (Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2016)
Lukman Nurhakim, “Banten Girang, Pakuan Pajajaran dan Banten Lama
Pendekatan Arkeologi Sejarah Masa Transformasi Hindu-Islam:
dalam Hasan Muarif Ambarai,ed, Masyarakat dan Budaya Banten;
Kumpulan Karangan dalam Ruang Lingkup Arkeologi, Sejarah,
Sosial dan Budaya (Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional,
1996)
C. Media online
“Mengorek Asal-Usul Bahasa Indonesia” diunduh dari
http://www.antaranews.com/print/121004/mengorek-asal-usul-
bahasa-indonesia.
Ardian C. dkk, “Membahas Teori “ouf of Yunnan” artikel dalam
http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/3710-membahas-
teori-out-of-yunnan diunduh pada pukul 10.59
Arif Ahmad, “Jejak Pembauran Melanesia dan Austronesia” artikel diunduh
dari
http://sains.kompas.com/read/2015/11/23/15030471/Jejak.Pembauran
.dan.Austronesia.
161
Darmosumarto Santo, “”Tiongkok”, “Cina” dan “China” dalam Diplomasi
Indonesia”, artikel diunduh dari http://diplomatic-
knots.blogspot.com/2011/08/tiongkok-cina-dan-china-dalam-
diplomasi.html?m=1
Darmosumarto Santo, “Istilah “Tiongkok”, “Cina” dan “China”, artikel
diunduh dari http://kompasiana.com/sdarmosumarto/istilah-tiongkok-
cina-dan-china_550e2b62813311c22cbc61a6
http://amanah.alharamnews.com/post/481/safari-dakwah-pengurus-piti-
tangerang-selatan-silaturahmi-di-kantor-alharam-media
http://www.tionghoa.info/sejarah-migrasi-dan-populasi-kelompok-etnis-
tionghoa/
http://yinhuadaily.com/mengenal-agama-dan-kepercayaan-di-tiongkok/
https://www.cia.gov/library/publications/resourcesthe-world-
factbook/geos/ch.html
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967, diunduh dari
http://www.hukumonline.com/
Marpaung Rooslynda, “Meraih Eksistensi Kaum Tionghoa Indonesia” artikel
diunduh dari http://www.kompasiana.com/rooslyndam/meraih-
eksistensi-kaum-tionghoa-indonesia_54f3488d745513972b6c6f25
Setiono Budi, “Hikayat Ali-Baba”, artikel diunduh dari
http://historia.id/modern/hikayat-alibaba
162
Wu Thng Liang dan Hian Liao King, “Sekilas Sejarah Tiongkok (bagian
pertama” artikel diunduh dari http://web.budaya-
tionghoa.net/index.php/item/3788-sekilas-sejarah-tiongkok-bagian-
pertama