Upload
dinhthuy
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS YURIDIS
TERHADAP PENERAPAN PRINSIP TATA KELOLA PERUSAHAAN
YANG BAIK DALAM PEMBENTUKAN HOLDINGISASI
BUMN DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
Arinda Diah Permata Sari
NIM : 11140480000063
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2018 M
i
ANALISIS YURIDIS
TERHADAP PENERAPAN PRINSIP TATA KELOLA PERUSAHAAN
YANG BAIK DALAM PEMBENTUKAN HOLDINGISASI
BUMN DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
Arinda Diah Permata Sari
NIM : 11140480000063
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2018 M
v
ABSTRAK
Arinda Diah Permata Sari. NIM 11140480000063. “Analisis Yuridis
terhadap Penerapan Prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik dalam
Pembentukan Holdingisasi BUMN di Indonesia. Program Studi Ilmu Hukum,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1439 H/2018 M. xi + 124 halaman.
Studi ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana isu Holdingisasi yang
sedang hangat dan di terapkan kedalam perusahaan BUMN terutama di sektor-
sektor penting. Serta bagaimana Holdingisasi BUMN tersebut apabila diterapkan
prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG) yang diyakini dapat
meningkatkan kinerja perusahaan dan laju perekonomian negara sesuai dengan
Undang-Undang yang berlaku.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode Penelitian
Hukum Normatif. Penelitian Hukum Normatif bersifat kepustakaan yakni
disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat
sekunder yang ada di perpustakaan. Bahan-bahan yang diperoleh berdasarkan
pada bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yaitu inventarisasi peraturan-
peraturan yang berkaitan dengan proses pembentukan holdingisasi BUMN dalam
dunia perekonomian di Indonesia. Penelitian ini pun merujuk pada Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Peraturan Pemerintah
No. 43 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penggabungan, Peleburan, dan
Pengambilalihan BUMN, Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor:
PER01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good
Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara, serta PP no. 72 Tahun
2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan
Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas yang digunakan sebagai dasar
pembentukan holding BUMN yang mana PP ini pula menyantumkan beberapa
Pasal yang dalam penerapannya masih menuai pro dan kontra.
Kata Kunci : Holdingisasi BUMN, holding company, Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik, BUMN
Pembimbing : Hidayatulloh., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1989 sampai Tahun 2018
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Alhamdulillahirabbil’alamin, Segala Puji dan Syukur, peneliti haturkan
kepada Allah SWT. Karena berkat Rahmat dan Karunia-Nya peneliti dapat
menyelesaikan Skripsi yang berjudul : ANALISIS YURIDIS TERHADAP
PENERAPAN PRINSIP TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK
DALAM PEMBENTUKAN HOLDINGISASI BUMN DI INDONESIA.
Shalawat serta salam peneliti sampaikan kepada baginda penutup dari segala Nabi
dan Rasul, Nabi Muhammad SAW, sebagai pembawa agama Islam, yang juga
telah memberi teladan atas berpikir, dan bertindak, sehingga membawa
pencerahan terhadap manusia dari zaman Jahiliyyah menuju zaman yang penuh
akan pencerahan.
Didalam proses awal hingga penyelesaian skripsi ini, peneliti juga
berterima kasih, kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, semangat,
motivasi, nasehat serta do’a, kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. dan Drs. Abu Thamrin, S.H.,
M.Hum. Ketua dan Sekertaris Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
memberikan bimbingan dan motivasi terhadap peneliti.
3. Hidayatulloh., M.H. Pembimbing skripsi, yang penuh dengan rasa sabar, yang
tidak hanya membimbing peneliti didalam skripsi namun juga diajang
kompetisi debat hukum, yang selalu memberi arahan, ilmu, serta do’a.
4. Kepada Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, serta kepada Perpustakaan Pusat Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas
vii
untuk mengadakan studi kepustakaan, dan memberi data guna menyelesaikan
skripsi ini.
Peneliti menyadari terdapat ketidaksempurnaan di dalam skripsi ini,
maka dari itu, kritik serta saran yang membangun dibutuhkan, dalam
penyempurnaan skripsi ini, dan semoga skripsi ini mampu memberi manfaat
dalam khazanah pengetahuan bagi para pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Jakarta, 01 Oktober 2018
Peneliti,
Arinda Diah Permata Sari
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ........................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ............ 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 7
D. Metode Penelitian .............................................................. 8
E. Pedoman Penulisan ............................................................ 11
F. Sistematika Penulisan ........................................................ 11
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual ........................................................... 13
1. Pengertian dan Ketentuan Hukum
Badan Usaha Milik Negara ........................................... 13
1.1. Pengertian Badan Usaha Milik Negara ............... 13
1.2. Sejarah Badan Usaha Milik Negara .................... 14
1.3. Tujuan Pendirian Badan Usaha Milik Negara..... 17
1.4. Bentuk Badan Usaha Milik Negara ..................... 18
a. Perusahaan Perseroan (Persero) ..................... 18
b. Perusahaan Umum (perum) ............................ 19
1.5. Restrukturisasi Badan Usaha Milik Negara ...... 20
a. Privatisasi ................................................... 22
b. Rightsizing ................................................. 23
2. Pengertian dan Konsep Holding Company ................... 26
2.1. Latar Belakang Pendirian Holding Company ........ 29
ix
2.2. Tujuan Pendirian Holding Company ..................... 32
2.3. Syarat Pendirian Holding Company ...................... 34
2.4. Hubungan Hukum Holding Company
dengan Anak Perusahaan ....................................... 35
2.5. Prosedur Pembentukan Holding Company ............ 42
3. Pengaturan Holding Company
dalam Hukum Perusahaan ............................................ 43
4. Proses Pembentukan Holding BUMN .......................... 45
B. Kerangka Teori .................................................................... 59
1. Teori Kepastian Hukum ................................................ 59
2. Teori Stufenbau (Teori Piramida Hukum) .................... 62
3. Teori Efektivitas Hukum .............................................. 63
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ................................... 67
BAB III TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK
PADA HOLDINGISASI BUMN
A. Profil BUMN
yang Tergabung dalam Sektor Tambang ........................... 68
B. Teori dan Prinsip
Tata Kelola Perusahaan yang Baik
Menurut Undang-Undang yang Berlaku ........................... 78
C. Tujuan dan Manfaat
Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik .................. 80
D. Sumber Hukum
Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik
(Good Corporate Governance) ......................................... 83
E. Tata Kelola Perusahaan yang Baik
dalam Perundang-undangan di Indonesia .......................... 85
1. Tata Kelola Perusahaan yang Baik
pada BUMN ............................................................... 85
2. Tata Kelola Perusahaan yang Baik
x
pada Perbankan .......................................................... 87
3. Tata Kelola Perusahaan yang Baik
pada Perseroan Terbatas ............................................. 88
4. Tata Kelola Perusahaan yang Baik
pada Pasar Modal ....................................................... 89
BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PENERAPAN
PRINSIP TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK
PADA HOLDINGISASI BUMN
A. Kewajiban Penerapan Prinsip Tata Kelola
Perusahaan yang Baik pada BUMN .................................... 92
B. Penerapan Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik
pada Holdingisasi BUMN ditinjau dari
Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara
Nomor: PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan
Tata Kelola Perusahaan yang Baik
(Good Corporate Governance)
pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).......................... 95
C. Kewenangan Pemerintah dalam Pengelolaan
dan Pengawasan holding BUMN ......................................... 109
D. Urgensi Holding BUMN Sektor Pertambangan
bagi Perekonomian Indonesia .............................................. 114
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 118
B. Rekomendasi ........................................................................ 121
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 122
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistem ekonomi merupakan salah satu alat guna mencapai tujuan
kehidupan bersama suatu bangsa atau negara.1 Perekonomian juga merupakan
hal yang sangat mendasar bagi suatu negara, karena perekonomian pun
dijadikan sebagai tolak ukur kesejahteraan rakyatnya dalam suatu negara.
Dalam hal mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui perekonomian, maka
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 amandemen keempat, menjadi hal yang
sangat penting dalam pengaturannya:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan;
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkadnung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Pasal 33 di atas mengemukakan pentingnya sebuah peranan negara dalam
pengaturan ekonomi nasional. Sehingga dibentuknya suatu badan usaha
dengan nama Badan Usaha Milik Negara.2
Badan Usaha Milik Negara dalam hal ini lebih sering disebut dengan
BUMN. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003
dijelaskan bahwa pengertian dari Badan Usaha Milik Negara, yang
selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian
besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang
berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, dan kegiatan utamanya adalah
1Prathama Rahardja dan Mandala Manurung, Pengantar Ilmu Ekonomi (mikroekonomi
dan makro ekonomi),(Jakarta:Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2017),
ed. III, h. 477
2Prathama Rahardja dan Mandala Manurung, Pengantar Ilmu Ekonomi (mikroekonomi
dan makro ekonomi), (Jakarta:Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2017),
ed. III,h. 483
2
untuk mengelola cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan
digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat.
BUMN berperan penting dalam penguasaan cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan orang banyak. Keberadaan BUMN diharapkan akan
mengimbangi keberadaan perusahaan-perusahaan swasta sehingga dapat
dihindari terjadinya monopoli atau penguasaan cabang-cabang produksi
tersebut oleh swasta. Namun nyatanya hingga pada saat ini BUMN masih
saja belum mencapai titik maksimal, dalam pengelolaannya masih menuai
kerugian yang cukup signifikan di beberapa bidang. Rini Soemarno, Menteri
BUMN mengatakan bahwa dalam semester I di tahun 2017 terdapat 24
BUMN yang merugi, sehingga ditargetkan sekitar 13 hingga 14 perusahaan
yang merugi di akhir tahun 2017 ini.
Menteri Rini memprediksi sampai akhir tahun masih terdapat BUMN yang
rugi seperti PT Garuda Indonesia, PT Krakatau Steel, PT Kertas Leces, PT
Dirgantara Indonesia dan PT Merpati Nusantara Airlines dengan tingkat
kerugian yang berbeda.3 Beliau memprediksi pula bahwa kerugian yang
terjadi pada tahun 2017 ini sekitar 4 triliun dengan kerugian terbesar terjadi
pada PT Garuda Indonesia dan PT Krakatau Steel. Khusus untuk Garuda,
kerugian dikarenakan perusahaan ini terjebak dalam perang tarif dan rute
penerbangan internasional yang tidak efisien, sedangkan Krakatau Steel
kerugiannya membengkak disebabkan antara lain adanya dumping baja dari
China.
Merujuk pada uraian di atas dapat terlihat bahwa kesejahteraan bagi
Rakyat yang seharusnya dapat diwujudkan oleh BUMN masih belum dapat
terpenuhi secara optimal dan tertinggal jauh dengan perkembangan yang di
hasilkan oleh Badan Umum Milik Swasta yang sekarang ini kesejahteraan
rakyat sudah mulai terpengaruh oleh kegiatan produksi swasta. Sehingga di
perlukan upaya restrukturisasi untuk menyehatkan BUMN sebagai salah satu
langkah strategis untuk memperbaiki kondisi internal perusahaan guna
3http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/17/12/22/p1bqo7354-rini-13-bumn-
masih-rugi-pada-2017
3
memperbaiki kinerja dan meningkatkan nilai perusahaan agar perusahaan
tersebut dapat beroperasi secara efisien, transparan, dan professional sesuai
dengan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara.
Adapun cara yang dominan dilakukan oleh Kementerian BUMN dalam
resrtukturisasi BUMN ialah Privatisasi dan Rightzing.4 Rightzing merupakan
cara yang lebih sering digunakan oleh kementrian BUMN, dalam
penerapannya Rightzing dibagi dengan beberapa metode lagi, yaitu
Merger/Konsolidasi, Stand Alone, Divestasi, Likuidasi, dan Holding, dalam
hal ini bentuk yang menarik untuk dikaji ialah bentuk holding. Karena
Holding company merupakan suatu bentuk usaha dimana terdapat satu induk
perusahaan yang mengendalikan anak-anak perusahaan yang memiliki jenis
bidang usaha yang sama.
Perusahaan holding sering disebut juga holding company atau controlling
company. Yang dimaksud dengan perusahaan holding adalah suatu
perusahaan yang bertujuan untuk memiliki saham dalam satu atau lebih
perusahaan lain dan/atau mengatur satu atau lebih perusahaan lain tersebut
biasanya (walaupun tidak selamanya) suatu perusahaan holding memiliki
banyak perusahaan yang bergerak dalam bidang-bidang bisnis yang sangat
berbeda beda.5
Melalui pengelompokkan BUMN kedalam holding dimungkinkan
terjadinya peningkatan penciptaan nilai pasar perusahaan (market value
creation) yakni usaha untuk melipat gandakan nilai perusahaan yang ada saat
ini. Disamping itu melalui holding diharapkan pula akan dapat meningkatkan
keunggulan kompetitif. Karena akan memberikan fokus dan skala usaha yang
4 Kementrian BUMN, Master Plan Kementrian BUMN 2004-2014, h. 80
5 Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2002), h. 83.
4
lebih ekonomis, mampu menciptakan corporate leverage6 sehingga dapat
meningkatkan keunggulan kompetitif.
Pada saat ini isu yang sangat santer dibicarakan ialah dibentuknya holding
BUMN dalam sektor tambang dimana PT Indonesia Asahan Aluminium
(Inalum) resmi ditunjuk jadi induk perusahaan (holding) BUMN industri
pertambangan. Sebagai anak usaha PT Aneka Tambang (Antam) Tbk, PT
Bukit Asam Tbk, dan PT Timah Tbk. Hal yang jadi perdebatan ialah
mengapa Inalum yang jadi induk dari perusahaan gabungan ini? Dimana
Inalum ini merupakan perusahaan yang bergerak di bidang alumunium dan
juga bagaimana status kepemilikan saham negara dalam perusahaan yang jadi
anggota holding atau anak perusahaan dari holding BUMN tersebut? Adapun
pengertian dari anak perusahaan BUMN diatur dalam Peraturan Menteri
Negara BUMN Nomor PER-03/MBU/2012 Tahun 2012 tentang Pedoman
Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak
Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (“Permeneg BUMN 3/2012”). Di
dalam Pasal 1 angka 2 Permeneg BUMN 3/2012 dijelaskan bahwa Anak
Perusahaan BUMN adalah perseroan terbatas yang sebagian besar sahamnya
dimiliki oleh BUMN atau perseroan terbatas yang dikendalikan oleh BUMN.
Kaitannya dengan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik (good
corporate governance) disini merupakan hal yang sangat diperlukan. Prinsip
Tata Kelola Perusahaan yang Baik diperlukan untuk mendorong terciptanya
pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan
perundangundangan. Tujuan utama dari Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang
Baik adalah untuk menciptakan sistem pengendalian dan keseimbangan
(check and balances) untuk mencegah penyalahgunaan dari sumber daya
perusahaan dan tetap mendorong terjadinya pertumbuhan perusahaan.
6 Corporate Leverage adalah penggunaan aset dan sumber dana (source of funds) oleh
perusahaan yang memiliki biaya tetap (beban tetap) dengan maksud agar meningkatkan
keuntungan potensial pemegang saham. Leverage adalah suatu tingkat kemampuan perusahaan
dalam menggunakan aktiva dan atau dana yang mempunyai beban tetap (hutang dan atau saham
istimewa) dalam rangka mewujudkan tujuan perusahaan untuk memaksimisasi kekayaan pemilik
perusahaan.
5
Tata Kelola Perusahaan adalah suatu subjek yang memiliki banyak aspek.
Salah satu topik utama dalam tata kelola perusahaan adalah menyangkut
masalah akuntabilitas dan tanggung jawab/ mandat, khususnya implementasi
pedoman dan mekanisme untuk memastikan perilaku yang baik dan
melindungi kepentingan pemegang saham. Fokus utama lain adalah efisiensi
ekonomi yang menyatakan bahwa sistem tata kelola perusahaan harus
ditujukan untuk mengoptimalisasi hasil ekonomi, dengan penekanan kuat
pada kesejahteraan para pemegang saham. Ada pula sisi lain yang merupakan
subjek dari tata kelola perusahaan, seperti sudut pandang pemangku
kepentingan, yang menunjuk perhatian dan akuntabilitas lebih terhadap
pihak-pihak lain selain pemegang saham, misalnya karyawan atau
lingkungan.7
Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-
01/MBU/20011 tentang Penerapan Tata Kelola Peusahaan Yang Baik (Good
Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara, dalam Pasal 2 Ayat
1 peraturan menteri ini memutuskan untuk mewajibkan BUMN di Indonesia
untuk menerapkan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik secara konsisten
dan atau menjadikan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik sebagai
landasan operasional.8 Secara teoritis praktik prinsip Tata Kelola Perusahaan
yang Baik pada holding BUMN dapat meningkatkan nilai (valuation)
perusahaan dengan meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan tersebut agar
dapat bermanfaat bagi pendapatan negara berupa deviden, pajak, penyerapan
tenaga kerja, dan produk serta layanan yang kompetitif kepada konsumen.
Dari berbagai uraian di atas maka peneliti tertarik untuk
menganalisis bagaimana isu Holdingisasi yang sedang hangat dan di terapkan
kedalam perusahaan BUMN terutama di sektor-sektor penting, serta
bagaimana Holdingisasi BUMN tersebut apabila diterapkan prinsip tata
kelola perusahaan yang baik (GCG), yang diyakini dapat meningkatkan
7Susana Iriyani, Penerapan Tata Kelola Perusahaan, www.elearning.comunity.blog.com,
2008
8Susana Iriyani, Penerapan Tata Kelola Perusahaan, www.elearning.comunity.blog.com,
2008
6
kinerja perusahaan dan laju perekonomian negara sesuai dengan Undang-
Undang yang berlaku. Berkaitan dengan hal tersebut, maka peneliti
mengangkat judul “Analisis Yuridis terhadap Penerapan Prinsip Tata
Kelola Perusahaan yang Baik dalam Pembentukan Holdingisasi BUMN
di Indonesia”
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan
sebelumnya, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Sistem hukum yang digunakan dalam pembentukan holding BUMN
b. Dampak pembentukan holding BUMN pada perusahaan-perusahaan
lainnya, baik swasta maupun BUMN itu sendiri
c. Posisi kepemilikan saham oleh negara apabila sebuah BUMN di
bentuk menjadi holding BUMN
d. Status hukum anak perusahaan (subsidiary) dalam holding BUMN
e. Kesesuaian pembentukan holding BUMN dalam sektor tambang
dengan regulasi hukum di Indonesia
f. Kesesuaian pembentukan holding BUMN dengan prinsip Tata
Kelola Perusahaan yang Baik (GCG).
2. Pembatasan Masalah
Agar masalah yang akan peneliti jabarkan tidak terlalu meluas
sehingga menciptakan ketidakjelasan, maka peneliti membuat
pembatasan masalah yakni, membahas mengenai sudah sesuai atau
belum penerapan holdingisasi BUMN dengan aspek hukum yang berlaku
serta bagaimana urgensi penerapan holdingisasi BUMN sehingga harus
diterapkan di Indonesia, serta sudahkah sesuai dengan prinsip Tata
Kelola Perusahaan yang Baik (GCG) dalam regulasi serta
pelaksanaannya.
7
3. Perumusan Masalah
Masalah utama yang jadi fokus pembahasan dalam penelitian ini
terkait dengan pembahasan pembentukan holdingisasi BUMN di Indonesia
khususnya dalam sektor pertambangan yang kemudian akan dikaji kembali
apakah pembentukan holdingisasi BUMN tersebut sudah sesusai atau
belum dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG) dalam
regulasi serta penerapannya.
Untuk mempertegas arah pembahasan dari masalah utama yang
telah diuraikan di atas, maka dibuat rincian perumusan masalah dalam
bentuk pertanyaan:
a. Bagaimana pembentukan holding company pada BUMN ditinjau dari
perspektif hukum?
b. Bagaimana penerapan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik
pada holdingisasi BUMN?
c. Bagaimana kewenangan pemerintah dalam pengelolaan dan
pengawasan holding BUMN, serta Urgensi Holding BUMN Sektor
Pertambangan bagi perekonomian Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok-pokok permasalahan yang telah disebutkan di
atas, maka tujuan yang hendak dicapai oleh peneliti dalam melakukan
penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui proses dan alur pembentukan holding pada
BUMN ditinjau dari perspektif hukum yang berlaku.
b. Untuk mengetahui selaras atau tidaknya sebuah holding BUMN
dengan regulasi yang ada apabila di terapkan prinsip Tata Kelola
Perusahaan yang Baik (GCG).
c. Untuk mengetahui apa saja kewenangan pemerintah dalam
pengelolaan dan pengawasan holding BUMN, serta Urgensi
8
Holding BUMN Sektor Pertambangan bagi perekonomian
Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian skripsi ini sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini dapat memperkaya ilmu
pengetahuan dalam hukum bisnis dalam bidang keperdataan
khususnya, utamanya segala sesuatu yang menyangkut tentang
pembentukan holding BUMN. Diharapkan penelitian ini juga dapat
memberikan kontribusinya dalam dunia perkembangan hukum bisnis
di Indonesia.
b. Manfaat Praktis
Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi kerangka
acuan dan landasan bagi peneliti lanjutan, serta diharapkan dapat
menjadi masukan bagi pembaca terutama bagi pembentuk hukum
khususnya yang diharapkan dapat melengkapi pengaturan mengenai
isu terhangat dalam dunia hukum bisnis khususnya dalam
pembentukan hoding BUMN pada sektor-sektor perusahaan BUMN
yang penting, dikarenakan memang diharuskan adanya
pengembangan dari Undang-Undang tersebut yang hingga saat ini
masih dipergunakan.
D. Metode Penelitian
Ada beberapa hal terkait metode yang digunakan dalam penulisan ini
antara lain :
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang
bertujuan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang
akan diteliti. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan
perundang-undangan yang meliputi penelitian terhadap hukum, sumber-
sumber hukum, atau peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis
9
dan dapat digunakan untuk menganalisa permasalahan yang akan di
bahas secara benar.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan perundang-
undangan (statue approach) yang mengacu kepada Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
2. Jenis Penelitian
Metode penelitian adalah suatu cara yang digunakan untuk
memecahkan permasalahan dan sebagai pedoman untuk memperoleh
hasil penelitian yang mencapai tingkat kecermatan dan ketelitian yang
dapat dipertanggung jawabkan.
Peter Mahmud Marzuki berpendapat, penelitian hukum adalah
proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini
sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum.9
Tipe penelitian yang digunakan adalah normatif. Penelitian jenis
ini di konsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-
undangan atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang
merupakan patokan berperilaku manusia yang di anggap pantas.
3. Data Penelitian dan Bahan Penelitian.
Data penelitian dan bahan penelitian yang digunakan dalam
penelitan ini, dikelompokan menjadi 3 (tiga) jenis bahan hukum,
diantaranya:
a. Bahan hukum primer
Bahan Hukum primer adalah bahan hukum utama dalam
penelitian hukum normatif yang berupa perturan perundang-
undangan. Bahan hukum primer yang digunakan ialah Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara,
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan BUMN, Peraturan
9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:Kencana, 2008), Cet 2, h. 35.
10
Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER01/MBU/2011
tentang Penerapan Tata Kelola Peusahaan Yang Baik (Good
Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara dan PP
Nomor 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan
Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan
Perseroan Terbatas.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang tidak mempunyai
kekuatan mengikat tetapi membahas atau menjelaskan topik terkait
dengan penelitian berupa buku-buku terkait, artikel dalam
majalah/media elektronik, laporan penelitian/jurnal hukum, makalah
yang disajikan dalam pertemuan kuliah dan catatan kuliah.
c. Bahan non- Hukum
Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau
penjelasan bermakna terhadap adanya bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder, seperti Kamus Hukum, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, dan lain-lain.
4. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang
diteliti, dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat yuridis
normatif, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (library research)
yakni upaya untuk memperoleh data atau upaya mencari dari penelusuran
literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, artikel dan jurnal
hukum yang relevan dengan penelitian agar dapat dipakai untuk
menjawab suatu pertanyaan atau untuk memecah suatu masalah.
5. Teknik Pengelolaan dan Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis
kualitatif adalah data yang diedit dan dipilih menurut kategori masing-
masing dan kemudian dihubungkan satu sama lain atau ditafsirkan dalam
usaha mencari jawaban atas masalah penelitian.
11
E. Pedoman Penulisan
Pedoman penulisan yang digunakan oleh peneliti dalam menyusun
skripsi ini berpacu dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif HidAyatullah Jakarta Tahun 2017”.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-
masing terdiri dari sub bab guna memperjelas cakupan permasalahan yang
menjadi objek penelitian. Urutan masing-masing bab dijabarkan sebagai
berikut:
BAB -I : Merupakan Pendahuluan pada bab ini akan diuraikan
mengenai: Latar Belakang Masalah, Identifikasi,
Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu, Kerangka
Teoritis dan Konsepsional, Metode Penelitian dan
Sistematika Penulisan.
BAB -II : Merupakan Kajian Pustaka yang dalam bab ini akan
diuraikan mengenai kajian teoritis yang terdiri dari
pemaparan kerangka konsep yakni pengertian dan tinjauan
mengenai badan usaha milik negara, pengertian dan konsep
holding company, pengaturan holding company dalam
hukum perusahaan dan pembentukan holding bumn dalam
perspektif hukum perusahaan dan review (tinjauan ulang)
sebagai pembeda.
BAB –III : Merupakan Bab yang menguraikan tentang data penelitian,
berupa deskripsi data berkenaan dengan objek terkait
dengan tata kelola perusahaan yang baik dalam perundang-
12
undangan di Indonesia khususnya dalam penerapan
holdingisasi BUMN sektor tambang.
BAB -IV : Merupakan Bab yang membahas tentang analisis terhadap
penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang baik pada
holdingisasi bumn yang terdiri dari kewajiban penerapan
Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang baik Pada BUMN,
proses pembentukan Holding BUMN dan penerapan
Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada
Holdingisasi BUMN di tinjau dari Peraturan Menteri Badan
Usaha Milik Negara Nomor: PER-01/MBU/2011 tentang
Penerapan Tata Kelola yang Baik (Good Corporate
Governance) pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Serta analisis mengenai urgensi holding BUMN terhadap
perekonomian Indonesia.
BAB -V : Merupakan Penutup Bab ini merupakan bagian akhir dari
seluruh kegiatan penulisan, yang berisi kesimpulan dan
rekomendasi yang didapatkan berdasarkan paparan dari
bab-bab sebelumnya.
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual
1. Pengertian dan Ketentuan Hukum Badan Usaha Milik Negara
1.1. Pengertian Badan Usaha Milik Negara
Badan Usaha Milik Negara, yang kemudian disebut dengan
BUMN telah lama dikenal dari masa sebelum proklamasi
kemerdekaan, dimana pada saat itu ditandai salah satunya dengan
didirikannya perusahaan kereta api (Spoorwagen-SS) oleh
pemerintahan Belanda.1 Hingga setelah proklamasi kemerdekaan,
setelah Belanda meninggalkan Indonesia, pemerintah
mengembangkan BUMN kembali untuk mengisi kekosongan yang
Belanda tinggalkan yang kemudian mengalami berbagai
perubahan-perubahan serta perkembangan hingga saat ini.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa peranan BUMN sangatlah
penting dalam perekonomian dan pembangunan nasional (agent of
development).2 Menurut Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor
740/KMK 00/1989 yang dimaksud dengan BUMN ialah:
“Badan Usaha yang seluruh modalnya dimiliki negara, badan usaha
yang tidak seluruh sahamnya dimiliki negara tetapi statusnya
disamakan dengan BUMN yaitu, BUMN yang merupakan
patungan antara pemerintah dengan pemerintah, BUMN yang
merupakan patungan antara pemerintah dengan BUMN lainnya,
dan BUMN yang merupakan badan usaha patungan dengan swasta
nasional atau asing dimana negara memiliki saham mayoritas
minimal 51%.”
BUMN diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2003 tentang BUMN ini telah mencabut tiga peraturan
1Marwah M. Diah, Restrukturisasi BUMN di Indonesia (Privatisasi atau Korporatisasi),
(Jakarta:Literata Lintas Media, 2003), h. 182
2Mahmuddin Yasin, Membangun BUMN Berbudaya, (Jakarta:BOOKNESIA Kelompok
Rakyat Merdeka Online (RMOL),2012), h. xxxi
14
sebelumnya yaitu staatsblad 1827 Nomor 419, Perpu Nomor 19
Tahun 1960 dan mencabut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969.
Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang
BUMN, yang dimaksud dengan BUMN tertuang dalam Pasal 1
huruf 1, sebagai berikut:
“Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN,
adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang
berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”
1.2. Sejarah Badan Usaha Milik Negara
BUMN memiliki posisi strategis dalam perekonomian dan
pembangunan ekonomi di tanah air. Hal ini terlihat dari masa awal
kemerdekaan dimana perekonomian di Indonesia belum tertata
pasca perjuangan kemerdekaan, sehingga BUMN menjadi tumpuan
pemerintah untuk pembangunan perekonomian. Hingga pada masa
berikutnya pun BUMN masih signifikan dalam pengembangan
serta pembangunan dalam perekonomian nasional, terlihat dari
perannya yang mengambil alih pembangunan di sektor-sektor yang
belum berkembang serta belum tersentuh oleh pihak swasta dan
itulah awal dari terbentuknya pembinaan dan pengaturan mengenai
BUMN disertai dengan pro kontra yang ada.3
Pada masa orde lama,4 yang terjadi ialah proses
pembentukan perusahaan negara atau BUMN baik yang terkait
dengan proses nasionalisasi terhadap perusahaan Belanda maupun
proses pembentukan perangkat hukum dan kelembagaan BUMN.
Sehubungan dengan proses nasionalisasi terhadap
perusahaan Belanda, terbentuklah Undang-Undang Nomor 86
Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Belanda
3 Mahmuddin Yasin, Membangun BUMN Berbudaya, (Jakarta:BOOKNESIA Kelompok
Rakyat Merdeka Online (RMOL),2012), h. 61
4 Mahmuddin Yasin, Membangun BUMN Berbudaya…, h. 62
15
di Indonesia. Undang-Undang tersebut merupakan dasar hukum
mengenai proses nasionalisasi perusahaan ex-Belanda di
Indonesia.5
Penataan BUMN pada masa peralihan antara akhir
pemerintahan orde lama dengan awal pemerintahan orde baru
ditandai dengan adanya penerbitan Ketetapan (Tap) MPRS nomor
XXIII/MPRS/1996, dimana pembentukan Tap MPRS tersebut
dijadikan sebagai landasan hukum bagi sektor swasta dan BUMN
dalam perekonomian nasional, terkhusus pada zaman orde baru.6
Seiring dengan berjalannya waktu serta semakin
kompetitifnya perusahaan-perusahaan yang bersaing. Maka, di
terbitkannya Instruksi Presiden oleh Presiden Soeharto, Nomor 17
Tahun 1967 yang bertujuan untuk memisahkan lembaga hukum
BUMN dengan membaginya menjadi tiga bagian, yaitu Perusahaan
Negara Jawatan (Perjan), Perusahaan Negara Umum (Perum) dan
Perusahaan Negara Perdagangan (Persero).7 Yang kemudian
landasan hukumnya lebih diperkuat dengan penerbitan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 1969 yang mengatur mengenai bentuk-
bentuk usaha negara.
Dengan adanya perkembangan secara pesat di sektor
minyak pada zaman itu, maka pemerintah ikut mengambil andil
untuk lebih mendorong perekonomian nasional (yang tentu tak
lepas dari peran sektor swasta dan koperasi nasional). Langkah
yang pemerintah ambil yaitu dengan enerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan
5 Mahmuddin Yasin, Membangun BUMN Berbudaya, (Jakarta:BOOKNESIA Kelompok
Rakyat Merdeka Online (RMOL),2012),, h. 64
6 Mahmuddin Yasin, Membangun BUMN Berbudaya…, h. 72
7 Mahmuddin Yasin, Membangun BUMN Berbudaya…, h. 74
16
dan Pengawasan Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum
(Perum) dan Perusahaan Perseroan (persero).
Pemisahan BUMN menjadi tiga kategori dengan penjelasan
bahwa perusahaan yang murni melakukan bisnis untuk
mendapatkan keuntungan yaitu Persero, perusahaan yang semi
bisnis yang memiliki sifat untuk mendapatkan keuntungan namun
juga menjalankan penugasan pemerintah yaitu Perusahaan Umum
(Perum) dan yang terakhir perusahaan yang dibentuk untuk
menjalankan penugasan-penugasan pemerintah yaitu Perusahaan
Jawatan (Perjan).
Selanjutnya penerbitan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas, membuat pengelolaan BUMN
jenis persero akan tunduk dan taat dalam peraturan yang tertuang
di dalam Undang-Undang tersebut.
Penataan terhadap penerapan BUMN di Indonesia semakin
berkembang sehingga terciptalah sebuah misi penyelamatan
ekonomi nasional dengan mengadakan reformasi BUMN.8 Dimana
misi pertama yaitu melakukan pembenahan secara umum untk
meningkatkan profesionalitas pengelolaan BUMN dan peningkatan
kinerja usahanya yang akan dilaksanakan melalui tiga cara yaitu
Restrukturisasi BUMN9, Privatisasi BUMN
10 dan Profitisasi
BUMN.11
8 Mahmuddin Yasin, Membangun BUMN Berbudaya, (Jakarta:BOOKNESIA Kelompok
Rakyat Merdeka Online (RMOL),2012),, h. 87
9 Restrukturisasi BUMN atau peningkatan posisi kompetitif perusahaan melalui
penajaman fokus bisnis, perbaikan skala usaha dan penciptaan core competence (keunggulan yang
tidak dimiliki perusahaan lain)
10
Privatisasi BUMN (swastanisasi) atau usaha peningkatan penyebaran kepemilikan
kepada masyarakat umum dan swasta baik asing maupun domestic untuk mendapatkan akses
pendanaan, pasar, teknologi, serta kapabilitas untuk bersaing di tingkat dunia.
11 Profitisasi BUMN (kemampuan memperoleh laba) yaitu peningkatan secara agresif
efisiensi perusahaan sehigga mencapai profitabilitas dan perusahaan yang optimum.
17
Misi kedua yaitu memberdayakan BUMN secara struktural
dan mendasar dengan cara membentuk holding BUMN dengan
tujuan untuk menciptakan BUMN yang efisien sebelum
pelaksanaan program privatisasi dan juga untuk meningkatkan
pendapatan pemerintah secara memadai, signifikan dan
berkelanjutan.
1.3. Tujuan Pendirian Badan Usaha Milik Negara
Adapun tujuan didirikannya BUMN, sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha
Milik Negara yang termaktub dalam Pasal 2 Ayat (1), yaitu:
a. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian
nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada
khususnya;
b. Mengejar keuntungan;
c. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan
barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi
pemenuhan hajat hidup orang banyak;
d. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat
dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi;
e. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada
pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat.
Adapun tujuan pendirian BUMN menurut Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik negara ini
lebih lengkap apabila dibandingkan dengan yang diatur oleh
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor
19 Tahun 1960.
Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1960 Pasal 4 Ayat (2) menyebutkan bahwa
tujuan pendirian dari BUMN ialah untuk turut membangun
ekonomi nasional sesuai dengan mengutamakan kebutuhan rakyat
dan ketentraman serta kesenangan kerja dalam perusahaan, menuju
masyarakat yang adil dan makmur materiil dan spiritual.
Sedang dalam pasar 5 disebutkan bahwa dalam
melaksanakan tujuannya termaksud pada Pasal 4 Ayat (2)
18
perusahaan negara bekerja sama dengan perusahaan daerah
swatantra dan swasta.
Dari kedua peraturan tersebut dapat disimpulkan bahwa
tujuan didirikannya BUMN ini tidak semata-mata untuk
mendapatkan keuntungan serta memenuhi penyediaan barang
dan/atau jasa, tetapi juga bertujuan untuk menyokong
perekonomian dan pembangunan nasional.
1.4. Bentuk Badan Usaha Milik Negara
Berawal dari Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 1967
yang membagi BUMN kedalam tiga bentuk, yaitu Perusahaan
Negara Jawatan (Perjan), Perusahaan Negara Umum (Perum) dan
Perusahaan Negara Perdagangan (Persero) yang kemudian
Instruksi Presiden tersebut diperkuat dengan penerbitan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 1969 yang mengatur mengenai Bentuk-
bentuk Usaha Negara.12
Kemudian disebutkan di dalam Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2003 Tentang BUMN terdapat pada Pasal 9, bahwa BUMN
terdiri dari Persero dan Perum.
a. Perusahaan Perseroan (Persero)
Persero di bagi menjadi 2, yaitu Perusahaan Perseroan dan
Perusahaan Perseroan Terbuka. Sesuai dengan Pasal 1 Ayat (2)
yang dimaksud dengan Perusahaan Perseroan ialah:
“BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya
terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51%
(lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara
Republik Indonesia yang tujuannya untuk mengejar
keuntungan”.
Sedang yang dimaksud dengan Perusahaan Perseroan
Terbuka dijelaskan di dalam Ayat (3) yakni:
12
Mahmuddin Yasin, Membangun BUMN Berbudaya, (Jakarta:BOOKNESIA Kelompok
Rakyat Merdeka Online (RMOL),2012), h. 74
19
“Persero yang modal dan jumlah pemegang sahamnya
memenuhi kriteria tertentu atau persero yang melakukan
penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang-
undangan di bidang pasar modal”.
Perseroan diharapkan dapat membantu pemasukan
negara dengan menyediakan barang dan/atau jasa yang
bermutu tinggi dan berdaya saing kuat guna meningkatkan
nilai perusahaan. Perseroan pun memiliki organ-organ
didalamnya yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
selaku pemegang kekuasaan tertinggi di dalam Persero, direksi
dan dewan komisaris.
Mengingat bahwa Persero pada dasarnya merupakan
Perseroan Terbatas, maka semua ketentuan-ketentuan terhadap
Persero berlaku pula ketentuan dan prinsip-prinsip yang
berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas. Antara lain contoh Persero yakni, PT PLN (Persero),
PT Jasamarga (Persero) dan PT Telkom (Persero).13
b. Perusahaan Umum (Perum)
Pengertian Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut
Perum termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2003 Tentang BUMN Pasal 1 Ayat (4), yaitu:
“BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak
terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum
berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi
dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip
pengelolaan perusahaan”.
Perum merupakan hasil dari usulan Menteri pada Presiden
yang disertai pula oleh dasar pertimbangan setelah dikaji
bersama dengan Menteri Teknis dan Menteri Keuangan.
Begitu pula dengan status badan hukum Perum itu sendiri
13
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung:PT Citra Aditya
Bakti, 2010), h. 179.
20
diperoleh sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang
pendiriannya, sehingga ketentuan mengenai pendirian,
pembinaan, pengurusan serta pengawasan Perum diatur oleh
Perturan Pemerintah. Adapun maksud dan tujuan didirikannya
Perum termaktub dalam Pasal 36 Undang-Undang BUMN,
yaitu:
“(1) Maksud dan tujuan Perum adalah menyelenggarakan
usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa
penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas dengan
harga yang terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip
pengelolaan perusahaan yang sehat.
(2) Untuk mendukung kegiatan dalam rangka mencapai
maksud dan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1),
dengan persetujuan Menteri, Perum dapat melakukan
penyertaan modal dalam badan usaha lain”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Perum memiliki
keistimewaan dalam tujuan pendiriannya dibandingkan
Persero, perbedaannya terletak pada sifat usahanya yang lebih
menitikberatkan pada pelayanan demi kemanfaatan umum,
baik pelayanan maupun penyediaan barang dan jasa. Adapun
organ Perum terdiri dari Menteri, Direksi dan Dewan
Pengawas. Berikut contoh dari perum ialah Perum Pegadaian
dan Perum Perhutani.
1.5. Restrukturisasi Badan Usaha Milik Negara
Istilah Restrukturisasi menurut Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2003 Tentang BUMN Pasal 1 Ayat (11), ialah:
“upaya yang dilakukan dalam rangka penyehatan BUMN
yang merupakan salah satu langkah strategis untuk
memperbaiki kondisi internal perusahaan guna
memperbaiki kinerja dan meningkatkan nilai perusahaan”
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 Tentang Perseroan Terbatas di dalam penjelasan Pasal 43
huruf c, yang dimaksud dengan reorganisasi dan/atau
21
restrukturisasi antara lain penggabungan, peleburan,
pengambilalihan, kompensasi piutang atau pemisahan.
Menurut Djohanputro, restrukturisasi ialah upaya
menyusun ulang perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan
dengan lebih baik. Dengan melakukan restrukturisasi, perusahaan
diharapkan dapat melepaskan pendorong nilai kekayaan (value
drivers) yang selama ini tidak berfungsi dan dapat berperan dengan
baik untuk mendorong kinerja perusahaan yang pada gilirannya
meningkatkan kekayaan. Restrukturisasi dibagi menjadi tiga jenis.
Pertama, restrukturisasi portofolio atau restrukturisasi asset.
Kedua, restrukturisasi finansial atau restrukturisasi modal. Ketiga,
restrukturisasi manajemen atau organisasi.14
Namun pembagian restrukturisasi dalam pola pengelolaan
BUMN dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu restrukturisasi
sektoral, restrukturisasi korporasi dan restrukturisasi internal. Yang
dimaksud dengan restrukturisasi sektoral merupakan restrukturisasi
yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kebijakan sektor dan
peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan
restrukturisasi korporasi dapat berupa peningkatan intensitas
persaingan usaha, terutama pada sektor-sektor yang terdapat
monopoli, baik yang diregulasi maupun monopoli alamiah serta
penataan hubungan fungsional antara pemerintah selaku regulator
dan BUMN selaku badan usaha, termasuk di dalamnya penerapan
prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan menetapkan
arah dalam rangka pelaksanaan kewajiban pelayanan publik.
Sementara itu yang dimaksud dengan restrukturisasi internal
perusahaan mencakup keuangan, organisasi/manajemen,
operasional, sistem dan prosedur.15
14
Bramantyo Djohanputro, Manajemen Keuangan Korporasi, (Jakarta:PPM,2008), h. 402
15
Mahmuddin Yasin, Membangun BUMN Berbudaya, (Jakarta:BOOKNESIA Kelompok
Rakyat Merdeka Online (RMOL),2012), h. 48.
22
Maksud dan tujuan utama dari diberlakukannya
restrukturisasi merupakan upaya pemerintah untuk menyehatkan
serta meningkatkan kinerja dan efisiensi BUMN agar dapat
beroperasi secara efisien, transparan dan profesional. Adapun
tujuan restrukturisasi dituangkan di dalam UU BUMN Pasal 72
Ayat (2):
a. meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan;
b. memberikan manfaat berupa deviden dan pajak kepada negara;
c. menghasilkan produk dan layanan dengan harga yang
kompetitif kepada konsumen dan;
d. memudahkan pelaksanaan privatisasi.
Adapun cara yang dominan dilakukan oleh Kementerian
BUMN dalam resrtukturisasi BUMN ialah Privatisasi dan
Rightsizing.16
a. Privatisasi
Undang-Undang nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN
pada Pasal 1 Ayat (12) memberikan definisi mengenai
privatisasi. Bahwa yang dimaksud dengan privatisasi ialah:
“penjualan saham Persero, baik sebagian maupun
seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan
kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi
negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham
oleh masyarakat.”
Privatisasi merupakan upaya untuk meningkatkan peran
persero, sehingga diharapkan dapat terjadi peningkatan pada
kesejahteraan umum dengan memperluas kepemilikan rakyat
atas persero, serta untuk menunjang stabilitas perekonomian
nasional.
Menurut Nugroho dan Wrihatnolo, manfaat privatisasi
dapat dibagi menjadi dua yaitu manfaat skala makro ekonomi
dan manfaat skala mikro BUMN. Dari sisi makro ekonomi,
privatisasi bermanfaat untuk membantu pemerintah
16
Kementrian BUMN, Master Plan Kementrian BUMN, Periode 2004-2014, h. 80
23
mendapatkan dana pembangunan, sebagai pengganti kewajiban
setoran tambahan pemerintah, mendorong pasar modal dalam
negeri. Sedangkan dari sisi skala mikro BUMN bermanfaat
untuk restrtukturisasi modal, keterbukaan pengelolaan
perusahaan, peningkatan efisiensi dan produktivitas, perubahan
budaya perusahaan.17
b. Rightsizing
Rightsizing BUMN merupakan jumlah dan skala usaha
BUMN dalam komposisi yang tepat (right).18
Hal ini dilakukan
dalam rangka upaya pembinaan lebih lanjut untuk lebih
meningkatkan kinerja dan nilai BUMN.
Rightsizing merupakan cara yang lebih sering digunakan
oleh kementrian BUMN, dalam penerapannya Rightsizing
dibagi dengan beberapa metode lagi, yaitu Merger/Konsolidasi,
Stand Alone, Divestasi, Likuidasi, dan Holding.
a. Merger/Konsolidasi
Merger merupakan upaya penggabungan secara
hukum atas satu atau lebih perseroan, yang kemudian
diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas Pasal 1 Ayat (9), yakni:
“Penggabungan adalah perbuatan hukum yang
dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk
menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah
ada dan mengakibatkan aktiva dan pasiva dari
perseroan yang menggabungkan diri beralih karena
hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan
dan selanjutnya status badan hukum perseroan yang
menggabungkan diri berakhir karena hukum.”
17
Riant Nugroho dan Randy R. Wrihatnolo, Manajemen Privatisasi BUMN,
(Jakarta:ELex Media Kompetindo, 2008), h. 73-74
18Sekhar Chandra Pawana, Penerapan Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good
Corporate Governance) dalam kebijakan Rightsizing BUMN, Naskah Publikasi , Universitas Atma
Jaya Yogyakarta, h. 9
24
Dalam konteks bisnis, merger merupakan suatu
transaksi yang menggabungkan beberapa unit ekonomi
menjadi satu unit ekonomi yang baru, sedangkan dalam
konsolidasi, dua perusahaan atau lebih bergabung untuk
membentuk suatu perusahaan yang benar-benar baru.19
Dan secara garis besar, kriteria yang menjadi acuan
bagi BUMN yang akan melakukan merger atau
konsolidasi yaitu:20
a) Jenis usaha dan segmen pasar sama;
b) Kompetisi tinggi;
c) Mayoritas saham dimiliki pemerintah;
d) Going Concern diragukan, namun masih
memiliki potensi untuk digabung dengan
BUMN lain.
b. Stand Alone
Kebijakan stand alone (BUMN seperti sediakala)
atau membiarkan BUMN tidak dilakukan
penggabungan maupun kosolidasi. Hal tersebut
diterapkan untuk mempertahankan keberadaan BUMN-
BUMN tertentu utamanya yang memiliki salah satu
kriteria sebagai berikut:21
a) Market share cukup signifikan dan mengandung
unsur keamanan;
b) Single player atau masuk sebagai pemain utama;
c) Belum memiliki potensi untuk di-merger
ataupun holding;
19
Mahmuddin Yasin, Membangun BUMN Berbudaya, (Jakarta:BOOKNESIA Kelompok
Rakyat Merdeka Online (RMOL),2012), h. 11
20
Kementrian BUMN, Master Plan Kementrian BUMN, Periode 2010-2014,h. 53
21 Kementrian BUMN, Master Plan Kementrian BUMN, Periode 2010-2014,h. 52
25
d) Keberadaannya berdasarkan peraturan
perundangan yang berlaku dan umumnya
captive market.
c. Divestasi
Divestasi merupakan proses pengurangan asset baik
dalam bentuk finansial maupun barang, dapat juga
dikatakan sebagai penjualan dari bisnis yang dimiliki
oleh perusahaan (kebalikan dari investasi terhadap asset
yang baru). Dan kebijakan ini merupakan kebijakan
yang diutamakan bagi investor dalam negeri atau
melalui proses akuisisi dan/atau merger/konsolidasi
oleh BUMN lain dengan kriteria sebagai berikut:22
a) Berbentuk persero;
b) Berada pada sektor usaha atau industry yang
kompetitif atau unsur teknologinya cepat
berubah:
c) Bidang usahanya menurut Undang-Undang
tidak secara khusus harus dikelola oleh BUMN;
d) Tidak bergerak disektor pertahanan dan
keamanan.
e) Tidak mengelola sumber daya alam yang
menurut ketentuan peraturan perundangan tidak
boleh diprivatisasi;
f) Tidak bergerak disektor tertentu yang oleh
pemerintah diberikan tugas khusus untuk
melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan
dengan kepentingan masyarakat;
g) Memenuhi ketentuan/peraturan pasar modal
apabila privatisasi dilakukan melalui pasar
modal.
22 Kementrian BUMN, Master Plan Kementrian BUMN, Periode 2010-2014,h. 54
26
d. Likuidasi
Dalam masterplan BUMN 2010-2014 di jelaskan
bahwa Kebijakan likuidasi dilakukan untuk BUMN-
BUMN yang tidak memiliki kewajiban Public Service
Obligation (PSO), berada dalam sektor yang kompetitif,
skala usaha kecil, mengalami kerugian selama beberapa
tahun dan mempunyai ekuitas yang negatif.23
e. Holding Company
Pembentukan holding dilakukan terhadap BUMN
yang berada di dalam sektor yang sama, memiliki
tingkat kompetisi yang tinggi, memiliki prospek bisnis
yang bagus, serta kepemilikan yang dimiliki masih
dominan.
Pembentukan holding ini pun memiliki kriteria dimana
BUMN-BUMN yang akan di bentuk menjadi holding berada pada
sektor usaha yang sama, jenis usaha yang berbeda, segmen pasar
yang berbeda, kompetisi yang tinggi, memiliki prospek bisnis yang
baik, dan pemerintah merupakan pemilik mayoritas.24
2. Pengertian dan Konsep Holding Company
Perusahaan holding sering juga disebut dengan holding company,
parent company, atau controlling company. Holding Company
merupakan suatu bentuk dari perkembangan yang timbul di perseroan
terbatas di Indonesia. Akan tetapi hukum perusahaan di Indonesia belum
mengatur secara yuridis mengenai holding company. Oleh karenanya
belum ada pengertian resmi mengenai holding company. Adapun
beberapa pengertian holding company menurut para pakar:
23 Kementrian BUMN, Master Plan Kementrian BUMN, Periode 2010-2014,h. 54
24 Mahmuddin Yasin, Membangun BUMN Berbudaya, (Jakarta:BOOKNESIA Kelompok
Rakyat Merdeka Online (RMOL),2012), h. 196
27
Menurut Munir Fuady “holding company merupakan suatu perusahaan
yang bertujuan untuk memiliki saham dalam satu atau lebih
perusahaan lain dan/atau mengatur satu atau lebih perusahaan lain
tersebut.”25
Sementara itu, Komaruddin menyatakan bahwa “Holding
company adalah suatu badan usaha yang didirikan dengan tujuan
untuk menguasai sebagian besar saham dari badan usaha yang akan
dipengaruhinya.”26
Pengertian holding company yang berbeda terdapat pula pada
Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1960
mengenai Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan N.V. Semarangsche
Stoomboot En Prauwen Veer (S.S.P.V) dan N.V. Semarang Veer di
Semarang. Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun
1960 menyatakan bahwa S.S.P.V. dipecah-pecah menjadi beberapa
perusahaan berbentuk badan hukum yang berdiri sendiri untuk
memudahkan pengoperasiannya kepada perusahaan-perusahaan
nasional, sedangkan S.S.P.V. sebagai holding company memegang
seluruh saham N.V-N.V baru itu, yang terdiri dari N.V. Semarang
Veer dan N.V. Semarang Dock Works.27
Holding Company adalah suatu perusahaan yang mengendalikan
atau menentukan organ kepentingan dan memegang lebih dari
setengah dari total jumlah saham yang dikeluarkan oleh perusahaan
lain. Oleh karena itu holding company dapat diartikan sebagai induk
perusahaan (Parent Company) atau controlling company disebabkan
perusahaan tersebut memiliki kepentingan terhadap anak-anak
25
Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung:Citra
Aditya Bakti,1999), h.84
26
Komaruddin, Ekonomi Perusahaan dan Manajemen, (Alumni,1982), h. 161 27
Penjelasan Umum, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1960
Tentang Perusahaan N.V. Semarangsche Stoomboot En Prauwen Veer (S.S.P.V) dan N.V.
Semarang Veer
28
perusahaan.28
Sedangkan definisi anak perusahaan dapat dilihat dalam
Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-117/M-MBU/2002 tentang
Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha
Milik Negara Pasal 1 huruf e anak perusahaan diartikan sebagai:29
“Anak Perusahaan adalah Perseroan Terbatas yang dikendalikan oleh
BUMN secara langsung atau tidak langsung melalui anak perusahaan
dengan memiliki lebih dari 50% (lima puluh persen) saham dengan
hak suara, atau memiliki 50% (lima puluh persen) saham dengan hak
suara atau kurang dari 50% (lima puluh persen) saham dengan hak
suara memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Memiliki lebih dari 50% (lima puluh persen) hak suara
berdasarkan perjanjian dengan pemegang saham pemilik modal
lain;
2. Memiliki hak untuk menentukan kebijakan dibidang keuangan
dan operasional perusahaan berdasarkan Anggaran Dasar atau
perjanjian;
3. Mempunyai kemampuan untuk mengangkat atau
memberhentikan mayoritas anggota Direksi dan
Komisaris/Dewan Pengawas, dan atau;
4. Mempunyai kemampuan untuk mengendalikan mayoritas suara
dalam rapat Direksi dan Komisaris/Dewan Pengawas
perusahaan.”
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa
keberadaan Holding Company akan selalu disertai dengan keberadaan
satu atau lebih perusahaan lain dibawah kendalinya yang disebut
sebagai anak perusahaan (subsidary company).
Ditinjau dari kegiatan perusahaan induk, holding company dapat
dibagi menjadi dua jenis yaitu:30
a. Investment Holding Company
28
Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung:Citra
Aditya Bakti,1999), h. 83.
29
Keputusan Menteri BUMN No. KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan
Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara Pasal 1 huruf e
30
Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:
Erlangga, 2013), h. 25
29
Pada investment holding company induk perusahaan hanya
melakukan penyertaan saham pada anak perusahaan, tanpa
melakukan kegiatan pendukung ataupun kegiatan operasional.
Induk perusahaan memperoleh pendapatan hanya dari deviden
yang diberikan oleh anak perusahaan.
b. Operating Holding Company
Pada operating holding company, induk perusahaan
menjalankan kegiatan usaha dan mengendalikan anak perusahaan.
Kegiatan usaha induk perusahaan bisaanya akan menentukan jenis
izin usaha yang harus dipenuhi oleh induk perusahaan tersebut.
2.1. Latar Belakang Pendirian Holding Company
Ketika suatu perusahaan telah berkembang serta menjadi
perusahaan yang besar sehinga perusahaan tersebut perlu
dipecah-pecah menjadi sebuah perusahaan yang mandiri sesuai
dengan golongan bisnisnya. Perusahaan-perusahaan tersebut
akan menjadi sebuah perseroan terbatas yang masih dalam
kepemilikan yang sama dengan pengontrolan yang
tersentralisasi dalam batas-batas tertentu yag di komandoi oleh
suatu Perseroan Terbatas pula. Perusahaan atau Perseroan
Terbatas yang mengomandoi ini yang disebut dengan holding
atau Induk Perusahaan.31 Adapun bentuk Holding Company di
Indonesia atau yang dikenal juga dengan perusahaan grup, yaitu:
Sinar Mas Group, Salim Group, Bakrie Group, Lippo Group,
dan lain sebagainya.
Pada dunia bisnis perusahaan grup menjadi bentuk usaha
yang banyak dipilih oleh pelaku usaha di Indonesia.
Pembentukan atau pertumbuhan perusahaan grup ini tidak dapat
dilepaskan dari realitas bisnis yang terjadi, ketika pengelolaan
31 Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung:Citra
Aditya Bakti,1999), h. 83.
30
usaha melalui perusahaan grup dianggap lebih memberikan
manfaat ekonomi dibandingkan dengan perusahaan tunggal.
Perubahan dari perusahaan tunggal menjadi perusahaan grup
merupakan implikasi dari perubahan strategi dan struktur suatu
perusahaan.32
Berikut adalah dua alasan utama pembentukan atau
pengembangan perusahaan grup:33
a. Upaya mengakomodasi peraturan perundangan-
perundangan.
Peraturan perundang-undangan, yang berimplikasi
kepada terbentuknya perusahaan grup biasanya melibatkan
kepentingan ekonomi pengelolaan kekayaan negara/daerah
dari badan usaha milik negara atau daerah. Peraturan
perundang-undangan yang berimplikasi kepada
terbentuknya perusahaan grup antara lain:
1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1960 tentang
Nasionalisme Semarangsche Stoomboot En Prauwen
Veer (S.S.P.V) dan Semarang Veer yang berimplikasi
kepada terbentuknya perusahaan grup melalui pemisahan
usaha S.S.P.V sebagai Holding Company yang
memegang seluruh sahamsaham dari N.V. Semarang
Veer dam N.V Semarang Dock Works. Pembentukan
Holding Company S.S.P.V dicapai melalui pemisahan
usaha.
2) Surat Menteri Keuangan No/ 5-326/MK.016/1995
mengenai konsolidasi tiga pabrik semen milik
pemerintah yaitu PT. Semen Tonasa, PT. Semen Padang,
32
Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:
Erlangga, 2013), h. 2-3.
33
Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:
Erlangga, 2013), h. 64-65
31
dan PT. Semen Gresik. Konsolidasi terhadap ketiga
pabrik semen milik pemerintah berimplikasi kepada
terbentuknya Grup Semen Gresik yang terdiri dari PT
Semen Gresik sebagai induk perusahaan, sedangkan PT
Semen Tonasa dan PT Semen Padang sebagai anak
perusahaan.
3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1997 mengenai
pengalihan kepemilikan seluruh saham Pemerintah pada
industri pupuk PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kalimantan
Timur Tbk., PT Petrokimia Gresik yang dialihkan
kepemilikannya kepada PT Pupup Sriwidjaja (Persero).
b. Strategi perusahaan untuk memperoleh manfaat ekonomi
konstruksi perusahaan grup.
Alasan kedua yang mendorong pembentukan atau
pengembangan perusahaan grup adalah bagian strategi
perusahaan untuk memperoleh manfaat ekonomi atas
pembentukan atau pengembangan perusahaan grup.
Pembentukan atau pengembangan konstruksi perusahaan grup
merupakan artikulasi strategi perusahaan melalui ekspansi
usaha bagi tercapainya penguasaan ekonomi dalam skala yang
lebih besar atau menjamin ketersediaan penyediaan bahan
yang dapat berkelanjutan.34
Selain itu, alasan ekonomi pembentukan perusahaan grup
atau holding comopany antara lain meliputi upaya mendorong
proses penciptaan nilai, mensubtitusi definisi manajemen di
anak-anak perusahaan, mengoordinasikan langkah untuk
menembus akses ke pasar internasonal, mencari sumber
pendapatan yang lebih murah, mengalokasikan modal dan
34
Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:
Erlangga, 2013), h. 69.
32
melakukan investasi yang strategis, dan mengembangkan
kemampuan manajemen puncak.
Apapun yang menajdi alasan pembentukan holding
company/perusahaan grup diatas, tidak menghilangkan tujuan
pembentukan perusahaan grup untuk memperoleh manfaat
ekonomi atau tergabungnya induk dan anak-anak perusahaan.
2.2. Tujuan Pendirian Holding Company
Tujuan pendirian Holding Company pada umumnya yaitu
untuk menciptakan suatu kelompok usaha yang kuat, stabil, dan
dapat memupuk keuntungan bagi perusahaan dengan satu induk
pemilik saham mayoritas sehingga dapat mengontrol dan
mengarahkan kegiatan anak perusahaan. Munir Fuady dalam
bukunya yang berjudul Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum
Bisnis mengungkapkan keuntungan dari keberadaan suatu holding
company, yaitu:35
a. Kemandirian risiko
Karena masing-masing anak perusahaan merupakan badan
hukum yang berdiri sendiri yang kemudian secara legal terpisah
satu sama lain, maka pada prinsipnya setiap kewajiban, risiko
dan klaim dari pihak ketiga terhadap suatu anak perusahaan
tidak dapat dibebankan kepada anak perusahaan yang lain,
walaupun masing-masing anak perusahaan tersebut masih dalam
suatu grup usaha, atau dimiliki oleh pihak yang sama. Namun
demikian, prinsip kemandirian anak perusahaan ini dalam
beberapa hal dapat diterobos.
b. Hak pengawasan yang lebih besar
Perusahaan holding dapat melakukan kontrol yang lebih
besar terhadap anak perusahaan, sungguhpun misalnya memiliki
35 Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung:Citra
Aditya Bakti,1999), h. 92-93
33
saham di anak perusahaan kurang dari 50%. Hal seperti ini dapat
terjadi antara lain dalam hal-hal sebagai berikut:
1) Eksistensi perusahaan holding dalam anak perusahaan
sangat diharapkan oleh anak perusahaan. Bisa jadi
disebabkan karena perusahaan holding dan/atau
pemiliknya sudah sangat terkenal.
2) Jika pemegang saham lain selain perusahaan holding
tersebut banyak dan terpisah-pisah.
3) Jika perusahaan holding diberi hak veto.
c. Pengontrolan yang lebih mudah dan efektif
Perusahaan holding dapat mengontrol seluruh anak
perusahaan dalam suatu grup usaha, sehingga kaitannya lebih
mudah diawasi.
d. Operasional lebih efisien
Dapat terjadi bahwa atas prakarsa dari perusahaan holding,
masing-masing anak perusahaan dapat saling bekerja sama,
saling membantu satu sama lain, saling meminjam sumber daya
manusia dan sebaginya. Disamping itu, kegiatan masing-masing
anak perusahaan tidak overlapping, sehingga dapat
meningkatkan efisiensi perusahaan.
e. Kemudahan sumber modal
Karena masing-masing anak perusahaan lebih besar dan
lebih bonafit dalam suatu kesatuan dibandingkan jika masing-
masing lepas satu sama lain, maka kemungkinan mendapatkan
dana oleh anak perusahaan dari pihak ketiga relatif lebih besar.
Disamping itu, perusahaan holding maupun anak perusahaan
lainnya dalam grup yang bersangkutan dapat memberikan
berbagai jaminan hutang terhadap hutangnya anak perusahaan
yang lain dalam grup yang bersangkutan.
f. Keakuratan keputusan yang diambil
34
Karena keputusan diambil secara sentral oleh perusahaan
holding, maka tingkat akurasi keputusan yang diambil dapat
lebih terjamin dan lebih prospektif. Hal ini disebabkan,
disamping karena staf manajemen perusahaan holding
mempunyai kesempatan untuk mengetahui persoalan bisnis
lebih banyak, karena dapat memperbandingkan dengan anak
perusahaan lain dalam grup yang sama, bahkan mungkin belajar
dari pengalaman anak perusahaan lain tersebut, walaupun
begitu, manfaat seperti ini tidak dipunyai perusahaan dalam grup
konglomerat investasi.
2.3. Syarat Pendirian Holding Company
Pendirian Holding Company di Indonesia pada dasarnya belum
memiliki aturan yang pasti, karena belum ada ditetapkan mengenai
Undang-Undang tentang holding company di Indonesia sampai saat
ini. Karena bentuk holding company di Indonesia pada umumnya
berbentuk Perseroan Terbatas maka syarat dan ketentuan pendirian
holding company tunduk kepada aturan dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam
mendirikan Perseroan Terbatas harus lebih dahulu dipenuhi
persyaratan yang terdapat di dalam Pasal 7 Undang-Undang
Perseroan Terbatas, yaitu:
1) Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta
notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
2) Setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada
saat Perseroan didirikan.
3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2), tidak berlaku
dalam rangka Peleburan.
4) Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal
diterbitkannya keputusan menteri mengenai pengesahan badan
hukum Perseroan.
5) Setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan
pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, dalam
jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak
keadaan tersebut pemegang saham yang bersangkutan wajib
mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain atau
Perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain.
35
6) Dalam hal jangka waktu segaimana dimaksud pada Ayat 5 telah
dilampaui, pemegang saham tetap kurang dari dua (dua) orang,
pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala
perikatan dan kerugian Perseroan, dan atas permohonan pihak
yang berkepentingan pengadilan negeri dapat membubarkan
Perseroan Tersebut.
7) Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua)
orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), dan
ketentuan oada Ayat (5) serta Ayat (6) tidak berlaku bagi:
a. Persero yang seluruh sahamnya dimiliki negara atau;
b. Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kriling,
dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian
dan lembaga sebagimana diatur dalam undang- undang
tentang Pasar Modal.
Berdasarkan isi Pasal diatas dapat disimpulkan bahwa untuk
mendirikan suatu holding company yang berbentuk perseroan terbatas
harus memiliki dua atau lebih pemegang saham, kecuali perusahaan
holding dimiliki oleh negara atau lembaga-lembaga sebagimana yang
diatur dalam Undang-Undang Pasar Modal. Perusahaan yang didirikan
harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak
bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan, ketertiban
umum, dan/atau kesusilaan sebagaimana yang diatur dalam Undang-
Undang Perseroan Terbatas.
Dari bunyi Pasal 2 Undang-Undang Perseroan Terbatas dapat
disimpulkn bahwa keberadaan bentuk investment holding company
adalah bentuk holding company yang tidak diperbolehkan di Indonesia
karena investmen holding company karena perusahaan induk tidak
menjalankan kegiatan usaha. Maka dari itu bentuk holding yang
diperbolehkan di Indonesia adalah Operating Holding Company.
2.4. Hubungan Hukum Holding Company dengan Anak Perusahaan
Perusahaan induk dan perusahaan anak merupakan dua entitas
hukum yang berbeda dan terpisah namun memiliki keterkaitan dalam
segi ekonomi. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas maka
hubungan antara induk dengan anak perusahaan akan dibahas oleh
sub-bab dibawah ini:
36
a. Keterkaitan antara Holding Company dengan anak
perusahaannya
Kepemilikan suatu perseroan atas saham pada
perseroan lain melahirkan keterkaitan induk perusahaan dan
anak perusahaan sehingga induk perusahaan dapat
menggunakan hak suara dalam RUPS anak perusahaan,
mengangkat anggota direksi dan/atau dewan komisaris anak
perusahaa, ataupun melakukan mengalihkan pengendalian
terhadap anak perusahaan kepada perseroan lain melalui kotrak
pengendalian. Keterkaitan antara induk terhadap anak
perusahaan dalam konstruksi perusahaan kelompok disebabkan
oleh adanya hal-hal berikut ini:36
1) Kepemilikan induk perusahaan atas saham anak
perusahaan
Kepemilikan induk atas saham anak perusahaan
dalam jumlah signifikan memberikan kewenangan kepada
induk perusahaan untuk bertindak sebagai pemimpin
sentral yang mengendalikan anak-anak perusahaan sebagai
kesatuan manajemen. Salah satu fungsi kepemilikan
saham induk perusahaan pada anak perusahaan adalah
zeggenschapsfunctie. Zeggenshapsfunctie kepemilikan
saham pada anak perusahaan memberikan hak suara
kepada induk perusahaan untuk mengendalikan anak
perusahaan melalui berbagai mekanisme pengendalian
yang ada seperti rapat umum pemegang saham untuk
mendukung beleggingsfunctie dari konstruksi perusahaan
kelompok sebagai kesatuan ekonomi.
2) Rapat Umum Pemegang Saham
36
Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:
Erlangga, 2013), h.. 96-97.
37
Induk perusahaan memiliki kewenangan untuk
mengendalikan anak peusahaan melalui mekanisme RUPS
anak perusahaan. Dalam RUPS anak perusahaan, induk
perusahaan dapat menetapkan hal-hal stratejik yang dapat
mendukung pencapaian tujuan perusahaan kelompok
sebagai kesatuan ekonomi, antara lain melalui penetapan
sasaran jangka panjang perusahaan dalam bentuk business
plan selama lima tahun yang dikenal dengan rencana
stratejik. Dalam rencana stratejik ini, direksi induk
perusahaan menetapkan kebijakan dasar perusahaan yang
terdiri dari visi, misi, budaya serta sasaran strategi
perusahaa. Kebijakan dasar induk perusahaan ini diikuti
oleh semua anak perusahaan dalam menyusun
perencanaan jangka masing-masing.
3) Penempatan anggota direksi dan/atau dewan komisaris
anak perusahaan
Melalui kepemilikan hak atas saham anak
perusahaan, induk perusahaan memiliki kewenangan
untuk menempatkan anggota direksi dan/atau dewan
komisaris induk perusahaan untuk merangkap menjadi
direksi dan/atau dewan komisaris induk perusahaan untuk
merangkap menjadi direksi atau dewan komisaris anak
perusahaan. Penempatan orang-orang induk perusahaan
pada anak-anak perusahaan merupakan bentuk
pengendalian secara tidak langsung terhadap kegiatan
operasional anak perusahaan. Dengan fungsi pengendalian
tersebut, induk perusahaan dapat memgetahui
perkembangan kegiatan usaha masing-masing anak
perusahaan.
38
4) Keterkaitan melalui Perjanjian Hak Bersama
Keterkaitan induk dan anak perusahaan juga dapat
terjadi karena perjanjian hak bersuara yang dilakukan
antara pemegang saham pendiri, yang menyepakati bahwa
penunjukan direksi dan dewan komsaris ditentukan oleh
salah satu pemegang saham pendiri. Perjanjian semacam
ini terjadi pada perusahaan kelompok yang merupakan
badan usaha milik negara, yang sering disebut dengan
saham merah putih dan disebut dengan Saham seri A.
5) Keterkaitan melalui kontrak
Perseroan dapat menyerahkan kendali atas
manajemen kepada perseroan melalui Perjanjian
Pengelolaan Perusahaan. Keterkaitan induk dan anak
perusahaan dalam konstruksi perusahaan tidak
menghapuskan pengakuan yuridis terhadap status badan
hukum induk dan anak perusahaan sebagai subjek hukum
mandiri. Keterkaitan induk dan anak perusahaan memberi
kewenangan kepada induk perusahaan untuk bertindak
sebagai pemimpin sentral yang megendalikan anak
perusahaan dalam mendukung tujuan perusahaan sebagai
suatu kesatuan ekonomi.
b. Kemandirian Badan Hukum Induk dan Anak Perusahaan
Perusahaan holding yang merupakan suatu badan hukum
(legal entity) yang mandiri dan terpisah dengan badan hukum
lainnya, maka anak perusahaan juga pada umumnya juga
berbentuk Perseroan Terbatas, yang tentu juga mempunyai
kedudukan yang mandiri. Sebagai badan hukum, maka anak
perusahaan merupakan penyandang hak dan kewajiban sendiri
39
dan juga mempunyai kekayaan sendiri, yang terpisah secara
yuridis dengan harta pemegang sahamnya.37
Terhadap induk dan anak perusahaan yang berbadan hukum
mandiri, berlaku prinsip hukum yang menjadi pondasi dasar
perseroan terbatas yang meliputi pengesahan badan hukum,
status badan hukum perseroan sebagai subjek hukum mandiri
atau separate legal entity dan limited liability. Kemandirian
yuridis anak perusahaan tidaklah menghalangi kewenangan
induk perusahaan untuk mengendalikan anak perusahaan.
Sebaliknya, pengendalian induk perusahaan tidak
menghapuskan kemandirian yuridis status badan hukum anak
perusahaan. Berdasarkan prinsip kemandirian badan hukum
tersebut, maka pada prinsipnya secara hukum, maka
perusahaan holding dalam kedudukannya sebagai induk
perusahaan tidak punya kewenangan hukum untuk mencapuri
manajemen dan policy anak perusahaan.38
Menurut teori ilmu hukum, maka keterlibatan perusahaan
holding terhadap anak perusahaan yang hanya dimungkinkan
dalam hal-hal sebagai berikut:39
1) Melalui direktur dan komisaris yang diangkat oleh
perusahaan holding sebagai pemegang saham, sejauh
tidak bertentangan dengan anggaran dasar perusahaan.
2) Melalui hubungan yang kontraktual. Juga sejauh tidak
bertentangan dengan anggaran dasar perusahaan.
37 Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung:Citra
Aditya Bakti,1999), h. 133.
38
Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:
Erlangga, 2013), h. 98
39 Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung:Citra
Aditya Bakti,1999), h. 133.
40
c. Tanggung jawab hukum holding company dan anak perusahaan
dalam perusahaan grup
Konstruksi hukum antara Perusahaan induk dengan Anak
Perusahaan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas yang
menggunakan prinsip hukum mengenai kemandirian badan hukum
induk dan anak perusahaan untuk bertindak sebagai subyek hukum
mandiri dan berhak melakukan perbuatan hukum sendiri.
Berdasarkan prinsip hukum tersebut maka berimplikasi:
1) Induk perusahaan tidak bertanggung jawab atas perbuatan
hukum yang dilakukan oleh anak perusahaan.
2) Berlakunya prinsip limited liability (prinsip keterbatasan
tanggung jawab) yang melindungi perusahaan induk sebagai
pemegang saham anak perusahaan untuk tidak
bertanggungjawab melebihi nilai investasi atas
ketidakmampuan anak perusahaan menyelesaikan tanggung
jawab hukum dengan pihak ketiga.
Prinsip limited liability (prinsip keterbatasan tanggung
jawab) kepada induk perusahaan sebagai pemegang saham anak
perusahaan sesuai mengacu pada ketentuan Pasal 3 Ayat 1
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas dimana dinyatakan bahwa pemegang saham perseroan
tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham
yang dimilikinya.
Namun Induk perusahaan akan bertanggungjawab terhadap
permasalahan hukum anak perusahaan dalam hal-hal :40
1) Induk Perusahaan turut menandatangani perjanjian yang
dilakukan anak perusahaan dengan pihak ketiga anak perusahaan
2) Induk Perusahaan bertindak sebagai corporate guarantee atas
perjanjian anak perusahaan dengan kreditor
40M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Ed. 1, Cet. Ke-3 (Jakarta: Sinar
Grafka,201), h. 74
41
3) Induk perusahaan melakukan perbuatan melawan hukum yang
mengakibatkan kerugian bagi pihak ketiga dari anak perusahaan.
Pada prinsipnya induk perusahaan dapat dikenakan
tanggung jawab hukum sebagai akibat dominasi induk
perusahaan terhadap pengurusan anak perusahaan yang
menjalankan instruksi induk perusahaan, namun hukum
perseroan kita masih mempertahankan pengakuan yuridis
terhadap status badan hukum induk dan anak perusahaan sebagai
subjek hukum mandiri. Hukum perseroan memberikan
perlindungan kepada induk perusahaan sebagai pemegang saham
anak perusahaan dengan berlakunya prinsip limited liability atas
ketidakmampuan anak perusahaan menyelesaikan seluruh
tanggung jawab hukum pada pihak ketiga.
Keterkaitan induk perusahaan dan anak perusahaan dalam
konstruksi perusahaan grup menyebabkan induk perusahaan
memiliki peran ganda sebagai pemegang saham anak perusahaan
sekaligus pimpinan sentral perusahaan grup. Kedudukan induk
perusahaan sebagai pemegang saham anak perusahaan
menyebabkan induk perusahaan tidak hanya bertanggungjawab
sebesar nilai saham mengingat peran ganda perusahaan induk.
Tanggung jawab ini diarahkan kepada perluasan tanggung jawab
hukum induk perusahaan sebagai pemegang saham sekaligus
sebagai pimpinan sentral perusahaan grup dengan menerapkan
prinsip Piercing the corporate veil dan prinsip keseimbangan
yang berkeadilan antara hak dan kewajiban induk perusahaan
sehingga induk perusahaan memiliki kewajiban untuk
bertanggungjawab atas segala akibat hukum yang muncul dari
hubungan tersebut.41
41 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Ed. 1, Cet. Ke-3 (Jakarta: Sinar
Grafka,201), h. 74
42
2.5. Prosedur Pembentukan Holding Company
Setidak-tidaknya proses pembentukan perusahaan holding dapat
dilakukan dengan 3 (tiga) prosedur, yaitu: prosedur residu, prosedur
penuh, prosedur terprogram.42
a. Prosedur residu
Dalam hal ini, perusahaan asal dipecah-pecah sesuai dengan
masing-masing sektor usaha. Perusahaan yang dipecah-pecah tersebut
telah menjadi perusahaan yang mandiri, sementara sisanya (residu)
dari perusahaan asal dikonversi menjadi perusahaan holding, yang
juga memegang saham pada perusahaan pecahan tersebut dan
perusahaan-perusahaan lainny jika ada.
b. Prosedur penuh
Prosedur penuh ini sebaiknya dilakukan jika sebelumnya tidak
terlalu banyak terjadi pemecahan/pemandirian perusahaan, tetapi
masing-masing perusahaan dengan kepemilikan yang
sama/berhubungan saling terpencar-pencar, tanpa terkonsentrasi
dalam suatu perusahaan holding. Dalam hal ini, yang menjadi
perusahaan holding bukan sisa dari perusahaan asal seperti pada
proses residu, tetapi perusahaan penuh dan mandiri. Perusahaan
mandiri calon perusahaan holding ini dapat berupa:
1) Dibentuk perusahaan baru, ataupun
2) Diambil alih dari suatu perusahaan yang sudah ada tetapi masih
dalam kepemilikan yang sama atau berhubungan, ataupun
3) Diakuisisi perusahaan lain yangg sudah terlebih dahulu ada,
tetapi dengan kepemilikan yang berlainan dan tidak mempunyai
keterkaitan satu sama lain.
c. Prosedur terprogram
Menyadari akan pentingnya perusahaan holding
menyebabkan para pebinis sejak awal memulai bisnisnya sudah
42 Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung:Citra
Aditya Bakti,1999), h. 84-88.
43
terpikir untuk membentuk suatu perusahaan holding. Karenanya,
perusahaan yang pertama sekali didirikan dalam grup nya adalah
perusahaan holding. Kemudian untuk setiap bisnis yang dilakukan,
akan dibentuk atau diakuisisi perusahaan lain, dimana perusahaan
holding sebagai pemegang saham bisaanya bersama-sama dengan
pihak lain sebagai partner bisnis. Demikian, maka jumlah
perusahaan baru sebagai anak perusahaan dapat terus berkembang
jumlahnya seirama dengan perkembangan bisnis dari grup usaha
yang bersangkutan.43
3. Pengaturan Holding Company dalam Hukum Perusahaan
Dalam peraturan perundang-perundangan di Indonesia, tidak ada
yang mengatur secara spesifik mengenai holding company atau parent
company atau perusahaan induk.
M. Yahya Harahap, S.H. menjelaskan, bahwa di Amerika, ada juga
yang mengatur dan mendefiinisikan Parent Company atau Holding
Company, Subsidiary dan Affiliate. Menurut Yahya, Parent atau Holding
Company merupakan penciptaan Perseroan yang khusus disiapkan
memegang saham Perseroan lain untuk tujuan investasi baik tanpa
maupun dengan “kontrol” yang nyata (without or with actual control).44
Lebih lanjut, M. Yahya Harahap menjelaskan apa yang dikemukakan di
Amerika, hampir sama dengan pengertian yang dikemukakan pada
Penjelasan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas (“Undang-Undang Perseroan Terbatas Tahun 1995”).
Penjelasan ini mengatakan, yang dimaksud dengan “Perusahaan Anak”
43 Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung: Citra
Aditya Bakti,1999), h. 88.
44
Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung: Citra
Aditya Bakti,1999), h. 51
44
(subsidiary) adalah Perseroan yang mempunyai hubungan khusus dengan
Perseroan lainya yang dapat terjadi karena:45
a. lebih dari 50% (lima puluh persen) sahamnya dimiliki oleh
induk perusahaannya;
b. lebih dari 50% (lima puluh persen) suara dalam RUPS dikuasai
oleh induk perusahaannya; dan atau
c. kontrol atas jalannya perseroan, pengangkatan, dan
pemberhentian Direksi dan Komisaris sangat dipengaruhi oleh
induk perusahaannya.
Dengan demikian, apa yang dikemukakan pada Penjelasan
Pasal 29 Undang-Undang Perseroan Terbatas Tahun 1995 masih
dianggap relevan sebagai landasan memahami dan menerapkan
Perseroan Induk (Parent atau Holding Company) dan Perseroan Anak
(Subsidiary). Berbeda dengan Undang- Undang Perseroan Terbatas
Nomor 1 Tahun 1995 yang memuat sedikitnya lima Pasal yang
mengatur mengenai relasi antara induk dan anak perusahaan, yaitu
diantaranya Pasal 30 yang berbunyi:
“Perseroan dapat membeli kembali saham yang telah dikeluarkan
dengan ketentuan:
a. Dibayar dari laba bersih sepanjang tidak menyebabkan
kayaan bersih perseroan menjadi lebih kecil dari jumlah
modal yang ditempatkan ditambah cadangan yang diwajibkan
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Jumlah nilai nominal seluruh saham yang dimiliki perseroan
bersama dengan yang dimiliki oleh anak perusahaan dan gadai saham
yang dipegang, tidak melebihi 10% (sepuluh persen) dari jumlah modal
yang ditempatkan.”
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, tidak ada yang
mengatur secara spesifik mengenai holding company atau parent company
atau perusahaan induk. pada Penjelasan Pasal 29 Undang-Undang
Perseroan Terbatas Tahun 1995 masih dianggap relevan sebagai landasan
45 Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung: Citra
Aditya Bakti,1999), h. 52
45
memahami dan menerapkan Perseroan Induk (Parent atau Holding
Company) dan Perseroan Anak (Subsidiary). Berbeda dengan Undang-
Undang Perseroan Terbatas Nomor 1 Tahun 1995 yang memuat
sedikitnya lima Pasal yang mengatur mengenai relasi antara induk dan
anak perusahaan, yaitu diantaranya Pasal 30 yang berbunyi:
“Perseroan dapat membeli kembali saham yang telah dikeluarkan
dengan ketentuan:
a. Dibayar dari laba bersih sepanjang tidak menyebabkan kayaan bersih
perseroan menjadi lebih kecil dari jumlah modal yang ditempatkan
ditambah cadangan yang diwajibkan sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang ini.
b. Jumlah nilai nominal seluruh saham yang dimiliki perseroan
bersama dengan yang dimiliki oleh anak perusahaan dan gadai
saham yang dipegang, tidak melebihi 10% (sepuluh persen) dari
jumlah modal yang ditempatkan.”
4. Proses Pembentukan Holdong BUMN
Pembentukan Holding company pada BUMN dilakukan untuk
meningkatan daya saing melalui restrukturisasi, peningkatan efisiensi dan
ekspansi bisnis. Pengelompokan unit-unit usaha BUMN dilakukan
dengan berdasarkan sektor dan karakteristik usaha murni bisnis atau
pelayanan publik. Pembentukan holding terfokus (focused holding)
adalah untuk menciptakan sinergi yang maksimum dari BUMN yang
mempunyai bisnis yang sama. Pembentukan holding yang merupakan
penyesuaian strategi (strategy aligment) dan pembentukan sinergi
(sinergy creation) menjadi pilihan yang rasional untuk BUMN yang
berada dalam sektor yang sama tetapi memiliki produk maupun sasaran
pasar yang berbeda, tingkat kompetisi yang tinggi, prospek bisnis yang
cerah dan kepemilikan pemerintah yang masih dominan.46
46 Dr. Andriani Nurdin, Kepailitan BUMN Persero Berdasarkan Asas Kepastian Hukum
(Bandung: PT. Alumni, 2012), h. 116-117.
46
Undang-Undang BUMN mengenal adanya tiga kepemilikan saham
yang dapat mengakibatkan adanya Holding Company yaitu
penggabungan, peleburan dan pengambilalihan dan pemisahan. Pasal 65
Undang-Undang BUMN menyatakan bahwa ketentuan mengenai
penggabungan, peleburan atau pengambilalihan diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Peraturan pemerintah tersebut yaitu Peraturan Pemenerintah
Nomor 43 Tahun 2005 tentang Penggabungan, Peleburan,
Pengambilalihan dan Pembubaran BUMN.
Pembentukan holding BUMN dengan cara penggabungan, peleburan,
pengambilalihan dan pemisahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah sebagai berikut:
1. Penggabungan
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas Pasal 1 Ayat (9) dijelaskan bahwa penggabungan
merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan
atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang
telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari perseroan yang
menggabungkan diri beralih karena hukum kepada perseroan yang
menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum
kepada perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya
status badan hukum perseroan yang menggabungkan diri berakhir
karena hukum. 47
Berikut adalah tahap-tahap yang wajib dilaksanakan perseroan
apabila ingin melakukan penggabungan:
a. Rancangan Penggabungan
Direksi Perseroan yang akan menggabungkan diri harus
menyusun rancangan penggabungan sesuai dengan Pasal 123
Ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas. Dimana
47 Rudhi Prasetya, Perseroan Terbatas Teori dan Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika,
2011), h. 141.
47
ketentuan mengenai rancangan Penggabungan diri perseroan
telah dijelaskan pada Pasal tersebut yang memuat ketentuan
sebagai berikut:
a) Nama dan Tempat kedudukan dari setiap perseroan
yang akan melakukan penggabungan dan persyaratan
penggabungan.
b) Alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan
melakukan penggabungan dan persyaratan
penggabungan.
c) Tata cara penilaian dan konversi saham Perseroan yang
menggabungkan diri terhadap saham perseroan yang
menerima penggabungan
d) Rancangan perubahan anggaran dasar perseroan yang
menerima penggabungan apabila ada
e) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
66 Ayat (2) huruf a yang meliputi 3 (tiga) tahun buku
terakhir dari setiap perseroan yang akan melakukan
penggabungan
f) Rencana kelanjutan atau pengakhiran kegiatan usaha
dari perseroan yang akan melakukan penggabungan
g) Neraca performa perseroan yang menerima
penggabungan sesuai dengan prinsip akuntansi yang
berlaku umum di Indonesia
h) Cara Penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota
Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan perseroan
yang akan melakukan penggabungan diri
i) Cara penyelesaian hak dan kewajiban perseroan yang
akan mengabungkan diri terhadap pihak ketiga
j) Cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak
setuju terhadap penggabungan perseroan
48
k) Nama anggota Direksi dan Dewan Komisaris perseroan,
meliputi gaji, honorarium dan tunjangan bagi anggota
Direksi dan Dewan Komisaris perseroan yang
menerima penggabungan
l) Perkiraan jangka waktu pelaksanaan penggabungan
m) Laporan mengenai keadaan perkembangan dan hasil
yang dicapai dari setiap perseroan yang akan
melakukan penggabungan
n) Kegiatan utama setiap perseroan yang melakukan
penggabungan dan perubahan yang terjadi selama tahun
buku yang sedang berjalan dan;
o) Rincian masalah yang timbul selama satu tahun buku
yang sedang berjalan yang dapat mempengaruhi
kegiatan perseroan yang akan melakukan
penggabungan.
b. Persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Rancangan penggabungan tersebut setelah mendapatkan
persetujuan Dewan Komisaris dari setiap perseroan diajukan
kepada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) masing-
masing untuk mendapat persetujuan. Keputusan RUPS
mengenai penggabungan akan dinyatakan sah apabila diambil
sesuai ketentuan dalam Pasal 87 Ayat (1) dan Pasal 89
Undang-Undang Perseroan Terbatas yaitu berdasarkan
musyawarah untuk mufakat dan disetujui paling sedikit ¾
(tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan,
kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran
dan/atau ketentuan RUPS yang lebih besar. Bagi perseroan
tertentu yang akan melakukan penggabungan selain berlaku
ketentuan dalam Undang-Undang Perseroan terbatas, perlu
mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari instansi terkait
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
49
Setiap perbuatan hukum penggabungan wajib
memperhatikan kepentingan perseroan, pemegang saham
minoritas, karyawan Perseroan, kreditor dan mitra usaha
lainnya dari perseroan serta masyarakat dan persaingan sehat
dalam melakukan usaha. Berdasarkan Pasal 126 Ayat (2)
Undang-Undang Perseroan Terbatas, apabila pemegang
saham tidak setuju terhadap keputusan RUPS mengenai
penggabungan, maka hanya boleh menggunakan haknya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 Undang-Undang
Perseroan Terbatas, dimana pemegang yang tidak menyetujui
penggabungan berhak meminta kepada Perseroan agar
sahamnya dibeli sesuai harga wajar saham dari perseroan
sebagaiman telah dijelaskan dalam Pasal 123 Ayat (2) huruf C
dan Pasal 125 Ayat (6) huruf D Undang-Undang Perseroan
Terbatas. Adapun pelaksanaan hak tersebut tidak
menghentikan proses pelaksanaan penggabungan.
c. Pengumuman Ringkasan Rancangan
Selanjutnya Pasal 127 Ayat (2) Undang-Undang Perseroan
Terbatas mengatur bahwa, Direksi wajib mengumumkan
ringkasan rancangan paling sedikit dalam 1 (satu) Surat Kabar
dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari
Perseroan yang akan melakukan penggabungan dalam jangka
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum
pemanggilan RUPS. Pengumuman sebagaimana dimaksud
tersebut memuat juga pemberitahuan bahwa pihak yang
berkepentingan dapat memperoleh rancangan penggabungan
tersebut di kantor Perseroan terhitung sejak tanggal
pengumuman sampai tanggal RUPS diselenggarakan. Pasal
33 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998
tentang Penggabungan, Penggabungan dan Pengambilalihan
Perseroan Terbatas mengatur juga bahwa, Dewan Direksi
50
yang akan melakukan penggabungan wajib untuk
menyampaikan rancangan penggabungan kepada seluruh
kreditor dengan surat tercatat paling lambat 30 (tiga puluh)
hari sebelum pemanggilan RUPS.
d. Pengajuan Keberatan Kreditor
Kreditor dapat mengajukan keberatan kepada Perseroan
dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari
setelah pengumuman mengenai penggabungan sesuai dengan
rancangan tersebut (Pasal 127 Ayat (4) Undang-Undang
Perseroan Terbatas). Apabila dalam jangka waktu tersebut
kreditor tidak mengajukan keberatan, kreditor dianggap
menyetujui penggabungan tersebut. Jika, keberatan kreditor
sampai dengan tanggal diselenggarakan RUPS tidak dapat
diselesaikan oleh Direksi, keberatan tersebut harus
disampaikan dalam RUPS guna mendapat penyelesaian.
Selama masa penyelesaian belum tercapai, penggabungan
tidak dapat dilaksanakan.
e. Pembuatan Akta Penggabungan Di Hadapan Notaris
Menurut Pasal 128 Ayat (1) menyatakan, Rancangan
Penggabungan yang telah disetujui RUPS dituangkan ke
dalam akta penggabungan yang dibuat dihadapan notaris
dalam Bahasa Indonesia. Akta penggabungan tersebut
menjadi dasar pembuatan akta pendirian Perseroan hasil
penggabungan.
f. Permohonan Kepada Menteri
Salinan akta penggabungan dilampirkan pada pengajuan
permohonan untuk mendapatkan pada pengajuan permohonan
untuk mendapatkan keputusan Menteri mengenai pengesahan
badan hokum perseroan hasil penggabungan.
g. Pengumuman Hasil Penggabungan
51
Menurut Pasal 133 Ayat (1) Undang-Undang Perseroan
Terbatas, DIreksi perseroan yang menerima perseroan hasil
penggabungan wajib mengumumkan hasil penggabungan
dalam 1 (satu) Surat Kabar atau lebih dalam jangka waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
berlakunya penggabungan.
2. Peleburan
Penjelasan mengenai peleburan ini termaktub di dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas pada Pasal 1 Ayat (10) dimana yang dimaksud dengan
peleburan merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua
perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara
mendirikan satu perseroan baru yang kemudian perseroan baru
tersebut karena hukum akan memperoleh aktiva dan pasiva dari
perseroan yangmeleburkan diri dari status badan hukumnya dan
perseroan yang meleburkan diri tersebut akan berakhir statusnya
karena hukum.
Sedangkan penjelasan mengenai tata cara peleburan terhadap
persero termaktub dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas pada Pasal 124 yang menyatakan
bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 mutatis
mutandis berlaku bagi perseroan yang akan meleburkan diri.
Maka dari itu ketentuan dalam Pasal 123 pun ikut berlaku pula
berikut dengan perubahan-perubahan yang diperlukan untuk tata
cara peleburan persero.
3. Pengambilalihan
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas pada Pasal 1 Ayat (11) disebutkan bahwa
pengambilalihan merupakan perbuatan hukum yang dilakukan
oleh Badan Hukum atau perseorangan untuk mengambilalih
52
saham perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian
atas perseroan tersebut.
Sedangkan dijelaskan dalam Pasal 125 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas,
pengambilalihan dapat pula dilakukan dengan cara
pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan dan/atau akan
dikeluarkan oleh perseroan melalui direksi perseroan atau
langsung dari pemegang saham. Dan yang dapat melakukan
pengambilalihan tersebut ialah badan hukum atau perseorangan.
Pengambilalihan yang dimaksud dalam Pasal 125 Ayat (1)
ialah pengambilalihan yang mengakibatkan beralihnya
pengendalian terhadap perseroan, seperti yang dimaksud dalam
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas. Maka berikut adalah proses
pengambilalihan melalui direksi perseroan menurut Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas:
a. Keputusan anggota Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS)
Pengambilalihan melalui badan hukum berbentuk
perseroan diatur didalam Pasal 125 Ayat (4) Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas. Dimana direksi sebelum melakukan
pengambilalihan harus berdasarkan RUPS yang telah
memenuhi kuorum kehadiran dan ketentuan tentang
persyaratan pengambil keputusan oleh RUPS seperti yang
telah dimaksudkan di dalam Pasal 89.
b. Pemberitahuan kepada direksi perseroan
Dalam proses pengambilalihan oleh direksi, maka
pihak yang mengambilalih harus memberitahukan
maksudnya pada direksi perseroan yang akan diambil alih.
53
(Pasal 125 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 Tentang Perseroan Terbatas)
c. Penyusunan rancangan pengambilalihan
Menurut Pasal 125 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas direksi perseroan
yang akan diambilalih dengan peretujuan komisaris,
masing-masing perseroannya harus menyusun rancangan
pengambilalihan yang memuat sekurang-kurangnya hal-
hal sebagai berikut:
a) Nama dan tempat kedudukan dari perseroan yang akan
diambilalih dan perseroan yang akan mengambilalih
b) Alasan serta penjelasan direksi perseroan yang akan
mengambilalih dan direksi perseroan yang akan
diambilalih
c) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
66 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas untuk tahun buku terakhir
dari perseroan yang akan mengambilalih dan
perseroan yang akan diambilalih
d) Tata cara penilaian dan konversi saham dari perseroan
yang akan diambilalih terhadap saham penukarnya
apabila pembayaran pengambilalihan dengan saham
e) Jumlah saham yang akan diambilalih
f) Kesiapan pendanaan
g) Neraca konsolidasi performa Perseroan yang akan
mengambilalih setelah pengambilalihan yang disusun
sesuai dengan prinsip akuntasi yang berlaku umum di
Indonesia.
h) Cara penyelesaian hak Pemegang Saham yang tidak
setuju terhadap pengambilalihan
54
i) Cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota
Direksi, Komisaris dan Karyawan Perseoran yang
diambilalih
j) Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pengambilalihan,
termasuk jangka waktu pemberian kuasa pengalihan
saham dari Pemegang Saham kepada Direksi
Perseroan
k) Rancangan perubahan Anggaran Dasar Perseroan hasil
pengambilalihan jika ada
d. Pengumuman Ringkasan Rancangan
Direksi Perseroan wajib mengumumkan ringkasan
rancangan paling sedikit dalam 1 surat kabar dan
mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari
Perseroan yang akan melakukan Pengambilalihan dalam
jangka waktu paling lambat 30 hari sebelum pemanggilan
RUPS (Pasal 127 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas). Pengumuman
sebagaimana dimaksud tersebut memuat juga
pemberitahuan bahwa pihak yang berkepentingan dapat
memperoleh rancangan pengambilalihan di kantor
perseroan terhitung sejak tanggal pengumuman sampai
tanggal RUPS diselenggarakan.
e. Pengajuan keberatan kreditor
Pengajuan keberatan oleh kreditor ini terdapat
dalam Pasal 127 Ayat (4) sampai dengan Ayat (6)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas bahwa kreditor dapat mengajukan
keberatan kepada Perseroan dalam jangka waktu paling
lambat 14 hari setelah pengumuman mengenai
Pengambilalihan sesuai dengan rancangan tersebut.
Apabila dalam jangka waktu tersebut kreditor tidak
55
mengajukan keberatan, kreditor dianggap menyetujui
Pengambilalihan tersebut. Dalam hal keberatan kreditor
sampai dengan tanggal diselenggarakan RUPS tidak dapat
diselesaikan oleh Direksi, keberatan tersebut harus
disampaikan dalam RUPS guna mendapat penyelesaian.
Selama masa penyelesaian belum tercapai,
Pengambilalihan tidak dapat dilaksanakan.
f. Pembuatan akta pengambilalihan dihadapan notaris
Menurut Pasal 128 Ayat (1) menyatakan,
Rancangan Pengambilalihan yang telah disetujui RUPS
dituangkan ke dalam akta Pengambilalihan yang dibuat
dihadapan notaris dalam bahasa Indonesia.
g. Pemberitahuan kepada Menteri
Salinan akta Pengambilalihan Perseroan wajib
dilampirkan pada penyampaian pemberitahuan kepada
Menteri tentang perubahan anggaran dasar sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 21 Ayat (3) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
dan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas mengenai Daftar Perseroan
dan Pengumuman berlaku juga bagi Pengambilalihan,
serta ketentuan lebih lanjut mengenai Pengambilalihan
Perseroan diatur dengan peraturan Pemerintah.
h. Pengumuman hasil pengambilalihan
Menurut Pasal 133 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas,
Direksi Perseroan yang sahamnya diambilalih wajib
mengumumkan hasil Pengambilalihan tersebut dalam 1
surat kabar atau lebih dalam jangka waktu paling lambat
56
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berlakunya
Penggambilalihan tersebut.
Selain Pengambilalihan saham perusahaan melalui
Direksi Perseroan, proses Pengambilan saham secara
langsung dari Pemegang Saham dimana prosedurnya
dilakukan lebih sederhana, dalam Pasal 125 Ayat (7)
menjelaskan bahwa pihak yang akan mengambilalih
saham tidak perlu menyampaikan maksudnya untuk
melakukan pengambilalihan saham kepada Direksi
Perseroan yang akan diambil alih. Selain itu pihak yang
akan mengambil alih saham secara langsung dari
Pemegang saham tidak perlu menyusun rancangan
pengambilalihan.
4. Pemisahan
Pemisahaan (spin off) juga merupakan juga merupakan
salah satu cara pembentukan holding company. Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 1 Ayat
(12) dijelaskan bahwa Pemisahan adalah sebagai perbuatan
hukum yang dilakukan oleh Perseroan untuk memisahkan usaha
yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih
karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan atau lebih atau sebagian
aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu)
Perseroan atau lebih. Dari definisi diatas dapat ditarik elemen
pokok pemisahan yaitu:48
1) Pemisahan merupakan persetujuan perseroan yang
memisahkan dengan yang menerima pemisahan
2) Yang dipisahkan adalah objek usaha perseroan. Objek
perbuatan hukum pemisahan adalah “usaha”
perseroan yang melakukan pemisahan
48 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Ed. 1, Cet. Ke-3 (Jakarta: Sinar
Grafka,201), h. 520-521.
57
3) Akibat hukum pemisahan adalah beralihnya aktiva
dan pasiva perseroan yang melakukan pemisahan.
Undang-Undang Perseroan Terbatas membedakan
Pemisahan kedalam 2 (dua) jenis pemisahan yaitu Pemisahan
murni dan Pemisahan tidak murni. Pemisahan murni adalah
Pemisahan yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva
Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan lain
atau lebih yang menerima peralihan dan Perseroan yang
melakukan Pemisahan tersebut berakhir karena hukum.
Sedangkan pada Pemisahan tidak murni atau spin off adalah
Pemisahan yang mengakibatkan sebagian aktiva dan pasiva
Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan lain
atau lebih yang menerima peralihan dan Perseroan yang
melakukan Pemisahan tetap ada. Pembentukan Holding BUMN
ini pun memiliki hambatan berupa hukum yang tidak sesuai.
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003
tentang Badan Usaha Milik Negara, yang berarti hanya
perusahaan induk saja atau Holding yang masuk sebagai kategori
BUMN. Jika pemerintah akan memasukkan anak perusahaan
dalam kategori BUMN, maka akan ada potensi hukum yang akan
muncul seperti “Penyertaan modal secara langsung yang berasal
dari kekayaan negara yang dipisahkan” memberikan konsekuensi
terhadap anak usaha dari induk perusahaan menjadi tidak
termasuk kategori BUMN. Langkah yang harus ditempuh adalah
revisi BUMN dalam Undang-Undang nomor 19 Tahun 2003
sehingga dapat memperjelas status hukum anak usaha BUMN
terkait dengan penyertaan modal dari negara kepada BUMN dan
anak usahanya.
Holding BUMN merupakan hasil dari penggabungan
beberapa BUMN yang diubah menjadi satu grup perusahaan
58
dengan kesamaan sektor usaha dan satu perusahaan BUMN yang
ditunjuk sebagai induk perusahaan.
Dalam proses pembentukan holding BUMN tidak perlu izin
dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam pembentukan
holding akan diikuti perpindahan asset pemerintah berupa saham
BUMN ke BUMN lain yang menjadi induk perusahaan. Proses
perpindahan inilah yang tidak memerlukan persetujuan DPR.49
Mengenai hal tersebut pemerintah telah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2016 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 yang
mempertegas bahwa proses pembentukan holding BUMN tidak
memerlukan izin dari DPR. Hal tersebut terdapat pada Pasal 2A
Ayat (1) yang menyatakan:
Pernyataan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara
berupa saham milik negara pada BUMN atau Perseroan
Terbatas sebgaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2) huruf
d kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain, dilakuan oleh
Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
Lebih lanjut terdapat dalam penjelasan Pasal 2A Ayat (1)
dikatakan bahwa saham milik negara pada BUMN pada
hakikatnya merupakan kekayaan negara yang sudah dipisahkan
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sehingga
pengalihan saham dimaksud untuk dijadikan penyertaan pada
BUMN tidak dilakukan melalui mekanisme Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara. Peraturan tersebut merupakan penegasan
terkait pemindahan asset antar BUMN tidak memerlukan izin
DPR karena saham negara pada BUMN merupakan kekayaan
negara yang sudah dipisahkan dari APBN.
49
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3306961/bikin-holding-bumn-tak-
perlu-persetujua-dpr
59
B. Kerangka Teori
1. Teori Kepastian Hukum
Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum,
terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan
kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman
perilaku bagi setiap orang.
Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum.
Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum,
karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Keteraturan
menyebabkan orang dapat hidup secara berkepastian sehingga dapat
melakukan kegiatankegiatan yang diperlukan dalam kehidupan
bermasyarakat.
Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti. Hukum secara
hakikat harus pasti dan adil. Kepastian hukum merupakan pertanyaan
yang hanya bisa dijawab secara normatif bukan sosiologis. Kepastian
hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan
diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis.50 Jelas
dalam arti tidak menimbulkan keraguraguan (multi-tafsir) dan logis
dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga
tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.
Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat
membentuk konsestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Jadi
kepastian hukum ialah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan
terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Karena frasa
kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian perilaku
terhadap hukum secara benar-benar.
Sehingga kepastian hukum menunjukan kepada pemberlakuan
hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaanya
50
Cst Kansil,at al, Kamus Istilah Hukum. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2009),
h. 385.
60
tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang bersifat subyektif.
Kepastian dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan
secara faktual mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan
tidak mau adil bukan sekedar hukum yang buruk, melainkan bukan
hukum sama sekali. Kedua sifat itu termasuk paham hukum itu sendiri
(den begriff des Rechts).51 Hukum adalah keseluruhan peraturan-
peraturan atau kaidah-kaidah serta semua asas yang mengatur pergaulan
hidup dalam masyarakat dan bertujuan untuk memelihara ketertiban serta
meliputi berbagai lembaga dan proses guna mewujudkan berlakunya
kaidah sebagai suatu kenyataan dalam masyarakat. Dimana proses
pelaksanaanya dipaksakan guna mendapatkan keadilan dengan
pemberian sanksi apabila ada yang melanggar hukum tersebut. Kepastian
hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum terutama
untuk norma hukum tertulis.
Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak
lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang, Ubi jus
incertum, ibi jus nullum (dimana tiada kepastian hukum, di situ tidak ada
hukum). Bahwa dalam hal penegakan hukum setiap orang selalu
berharap dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya sesuatu
peristiwa konkrit. Jadi dengan kata lain bahwa suatu peristiwa tersebut
tidak boleh menyimpang dan harus tetap sesuai dengan hukum yang
berlaku sehingga kepastian hukum dapat diwujudkan.
Pentingnya kepastian hukum sesuai dengan yang terdapat di dalam
isi Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagai berikut:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum”
Menurut Apeldoorn, kepastian hukum mempunyai dua segi.
Pertama, mengenai soal dapat dibentuknya (bepaalbaarheid) hukum
51
Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, (Bandung: PT
Revika Aditama, 2006), h. 79-80.
61
dalam hal uang konkrit. Artinya pihak-pihak yang mencari keadilan
ingin mengetahui hukum dalam hal yang khusus sebelum memulai
perkara. Kedua, kepastian hukum berarti keamanan hukum. Artinya
perlindungan bagi para pihak terhadap kewewenangan hakim.52
Kepastian hukum harus selalu dijunjung tinggi apapun akibatnya dan
tidak ada alasan untuk tidak menjujung hal tersebut karena dalam
paradigmanya hukum positif adalah satu-satunya hukum. Kepastian
hukum berarti bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum
dilaksanakan dan tuntutan itu harus dipenuhi.
Menurut Jan Michiel Otto, kepastian hukum yang sesungguhnya
memang lebih berdimensi yuridis. Namun Otto memberikan batasan
kepastian hukum yang lebih jauh dalam mendefinisikan kepastian
hukum sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu yaitu:
a) Tersedia aturan-aturan yang jelas (jernih), konsisten dan mudah
diperoleh (accessible).
b) Instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan-aturan
hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat
kepadanya.
c) Warga secara prinsipil menyesuaikan prilaku mereka terhadap
aturanaturan tersebut; dan
d) Hakim-hakim peradilan yang mandiri dan tidak berpihak
menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu
mereka menyelesaikan sengketa hukum.
Kepastian hukum menjadi hal yang mendasari penelitian ini
dikarenakan penelitian ini bermaksud untuk memastikan agar kebijakan
pemerintah selalu memiliki dasar yang kuat sehingga kelak dapat
dipertanggungjawabkan terutama dalam permasalahan hukum yang
mendasari pembentukan sebuah kebijakan umum yang berkaitan
langsung dampaknya bagi masyarakat.
52
L.J.Van Apeldoorn dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran
Kerangka Berfikir, (Bandung: PT Revika Aditama, 2006), h. 82-83.
62
2. Teori stufenbau (Teori Piramida Hukum)
Menurut Kelsen, tata kaedah hukum dari suatu negara,
merupakan suatu sistem kaedah kaedah hukum yang hierarkhis yang
dalam bentuknya yang sangat sederhana.53
Sedangkan menurut Adolf
Merkl, suatu norma hukum itu posisinya di atas, menjadi sumber bagi
norma hukum di bawahnya yang memiliki masa berlaku (rechtskracht)
yang relative oleh karena itu masa berlaku suatu norma hukum itu
tergantung pada norma hukum yang berada diatasnya. Dan apabila
norma hukum yang di atasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma
hukum yang berada di bawahnya pun ikut tercabut dan terhapus pula.54
Dalam teori jenjang norma hukum (stufentheory) Hans Kelsen
berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang dan berlapis dalam
suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah
berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi.
Sedangkan norma yang lebih tinggi akan bersumber dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu
norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan
fiktif. Sehingga kaidah dasar diatas sering disebut dengan norma
dasar.55
Menurut Kelsen, norma dasar pada umumnya adalah meta
juridisch (etika), bukan produk bahan pembuat undang-undang, bukan
bagian dari peraturan perundang-undangan, namun merupakan sumber
dari semua sumber dari tatanan peraturan perundang-undangan yang
berada di bawahnya.56
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
53
Purnandi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, (Bandung:Opset Alumni, 1979), h. 41
54
Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya,
(Yogyakarta:Kanikus, 2006), h. 25-26
55
Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, (Jakarta:Rajawali Press,
2008), h. 54.
56
Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang…, h. 54
63
1) Suatu tata kaidah hukum merupakan sistem kaidah-kaidah hukum
secara hierarki
2) Susunan kaidah hukum yang sangat disederhanakan dari tingkat
terbawah ke atas
3) Sahnya kaidah-kaidah hukum dari golongan tingkat yang lebih
rendah tergantung atau di tentukan oleh kaidah-kaidah yang
termasuk golongan yang tingkatnya lebih tinggi.57
Teori ini digunakan sebagai alat ukur untuk mengetahui posisi
suatu hukum yang digunakan sebagai dasar suatu kebijakan yang
dikemukakan oleh pemerintah, terlebih berkaitan dengan kebijakan
pembentukan holding BUM ini terjadi beberapa tumpang tindih antara
Undang-Undang BUMN dan PP nomor 27 Tahun 2006 dalam
pengaturan mengenai penyertaan modal khususnya.
3. Teori Efektivitas Hukum
Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang
berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik.
Kamus ilmiah populer mendefinisikan efetivitas sebagai ketepatan
penggunaan, hasil guna atau menunjang tujuan. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, efektif adalah sesuatu yang ada efeknya (akibatnya,
pengaruhnya, kesannya) sejak dimulai berlakunya suatu Undang-
Undang atau peraturan.58
Sedangkan efektivitas itu sendiri adalah keadaan dimana dia
diperankan untuk memantau.59
Jika dilihat dari sudut hukum, yang
dimaksud dengan “dia” disini adalah pihak yang berwenang yaitu
polisi. Kata efektifitas sendiri berasal dari kata efektif, yang berarti
terjadi efek atau akibat yang dikehendaki dalam suatu perbuatan.
Setiap pekerjaan yang efisien berarti efektif karena dilihat dari segi
57
Purnandi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, (Bandung:Opset Alumni, 1979), h. 42
58
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 2002)…, h. 284
59
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 2002)…, h. 284
64
hasil tujuan yang hendak dicapai atau dikehendaki dari perbuatan itu.
Pada dasarnya efektivitas merupakan tingkat keberhasilan dalam
pencapaian tujuan. Efektivitas adalah pengukuran dalam arti
tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Efektivitas hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya
hukum berlaku efektif. Soerjono Soekanto menggunakan tolak ukur
efektivitas dalam penegakan hukum pada lima hal, yakni:
a. Faktor Hukum
Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan.
Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya
terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan.
Kepastian Hukum sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan
keadilan bersifat abstrak sehingga ketika seseorang hakim
memutuskan suatu perkara secara penerapan undang-undang saja
maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai. Maka ketika
melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya keadilan
menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-mata
dilihat dari sudut hukum tertulis saja.60
b. Faktor Penegakan Hukum
Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian
petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau
peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada
masalah. Selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan
masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau
penegak hukum, artinya hukum diidentikkan dengan tingkah laku
nyata petugas atau penegak hukum. Sayangnya dalam
melaksanakan wewenangnya sering timbul persoalan karena
sikap atau perlakuan yang dipandang melampaui wewenang atau
perbuatan lainnya yang dianggap melunturkan citra dan wibawa
60
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:PT
Raja Grafindo Persada, 2007), h. 5
65
penegak hukum. Hal ini disebabkan oleh kualitas yang rendah
dari aparat penegak hukum tersebut.61
c. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup
perangkat lunak dan perangkat keras, Menurut Soerjono Soekanto
bahwa para penegak hukum tidak dapat bekerja dengan baik,
apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat
komunikasi yang proporsional. Oleh karena itu, sarana atau
fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam
penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut,
tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang
seharusnya dengan peranan yang aktual.62
Sehingga, teori ini menjadi dasar apakah hadirnya suatu
kebijakan baik dalam bentuk suatu perundang-undangan atau
bentuk lainnya sudah sesuai dan bejalan secara efektif
pelaksanaannya dalam masyarakat.
C. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Sebagai pertimbangan dalam penelitian ini, peneliti akan
menyertakan beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan
kajian materi yang akan di bahas sebagai berikut:
1. Nama : Wahyu Ardila (Nim 109081000099)
Institusi : Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Islam Negeri Syarif HidAyatullah
Jakarta
Tahun : 2013
Judul Skripsi : Pengaruh Penerapan Prinsip-prinsip GCG (Good
Corporate Governance) dan Budaya Organisasi
61
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:PT
Raja Grafindo Persada, 2007), h. 8
62
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:PT
Raja Grafindo Persada, 2007), h. 21
66
terhadap Kinerja SDM di BUMN (Studi Kasus PT
Pegadaian Kramat Raya 162 Jakarta)
Skripsi ini menjelaskan mengenai bagaimana penerapan prinsip
GCG (Good Corporate Governance) serta bagaimana kaitannya dengan
budaya organisasi yang kemudian di implementasikan terhadap kinerja
SDM di BUMN pada kasus yang terjadi pada PT. Pegadaian Kramat Raya
162 Jakarta. Skripsi ini hanya menjelaskan mengenai sejauh apa prinsip-
prinsip GCG ini diterapkan oleh PT. Pegadaian Kramat Raya yang
kemudian dikaitkan dengan budaya organisasi. Perbedaan antara skripsi ini
dengan penelitian yang diteliti oleh peneliti terletak pada penjelasan serta
kaitannya dengan isu terbaru yaitu holdingisasi BUMN di Indonesia.
2. Nama : Prof. Dr. Hj. Sedarmayanti, M.Pd., APU
Tahun : 2007
Judul buku : Good Governance (kepemerintahan yang baik) dan
Good Corporate Governance (tata kelola
perusahaan yang baik)
Dalam buku ini menjelaskan tentang peraturan maupun teori-teori
yang berkaitan dengan Good Governance (kepemerintahan yang baik) dan
Good Corporate Governance (tata kelola perusahaan yang baik) yang
merupakan dasar dari pembahasan yang peneliti teliti sehingga ada
beberapa teori yang diangkat dari buku ini. Buku ini pun mengkritisi
bagaimana keadaan perusahaan baik swasta maupun BUMN di Indonesia.
Perbedaannya dengan skripsi peneliti yaitu tidak adanya pembahasan
mengenai holdingisasi BUMN yang sekarang sedang marak di
perbincangkan dan dijadikan fokus dalam bidang bisnis di Indonesia.
3. Nama Jurnal : Jurnal Transparency Volume 1
Penyusun : Jhon F. Sipayung, Bismar Nasution dan Mahmul
Siregar
Tahun : 2008
Judul Jurnal : Tinjauan Yuridis Holdingisasi BUMN dalam
67
Rangka Peningkatan Kinerja Menurut Perspektif
Hukum Perusahaan
Pembahasan yang diangkat dalam jurnal ini ialah tinjauan yuridis
Holdingisasi BUMN menurut perspektif hukum perusahaan.
Penjelasannya fokus terhadap cara-cara yang pemerintah ambil dalam
meningkatkan kinerja BUMN yang ditelaah sesuai dengan hukum yang
diterapkan untuk perusahaan, yang menjadi pembeda antara pembahasan
dalam jurnal ini dengan pembahasan yang akan peneliti angkat, terletak
pada kaitannya dengan penerepan prinsip GCG yang diharapkan dari
hasil penelitian ini dapat menjawab kekhawatiran masyarakat, sehingga
memberi penilaian bahwa langkah yang pemerintah ambil untuk
membenahi BUMN di Indonesia sudah sesuai dengan prinsip-prinsip
GCG.
68
BAB III
TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK
PADA HOLDINGISASI BUMN
A. Profil BUMN yang Tergabung dalam Sektor Tambang
Tujuan dibentuknya holding BUMN di sektor pertambangan antara lain
yaitu adanya keinginan untuk hilirisasi sektor industri tambang,
mengakumulasi modal BUMN guna membeli divestasi saham PT Freeport.
Rini yakin dengan holding BUMN akan mampu membeli saham Freeport,
serta untuk menciptakan efisiensi, terlebih dalam hal pengadaan dan klaim
alat berat. Dengan demikian, berikut perusahaan yang tergabung dalam grup
holding BUMN sektor tambang:
1. PT. Indonesia Asahan Alumunium (Inalum)1
Setelah upaya memanfaatkan potensi sungai Asahan yang mengalir
dari Danau Toba di Provinsi Sumatera Utara untuk menghasilkan tenaga
listrik mengalami kegagalan pada masa pemerintahan Hindia Belanda,
pemerintah Republik Indonesia bertekad mewujudkan pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di sungai tersebut.
Tekad ini semakin kuat ketika tahun 1972 pemerintah menerima
laporan dari Nippon Koei, sebuah perusahaan konsultan Jepang tentang
studi kelaikan Proyek PLTA dan Aluminium Asahan. Laporan tersebut
menyatakan bahwa PLTA layak untuk dibangun dengan sebuah
peleburan aluminium sebagai pemakai utama dari listrik yang
dihasilkannya.
Pada tanggal 7 Juli 1975 di Tokyo, setelah melalui perundingan-
perundingan yang panjang dan dengan bantuan ekonomi dari pemerintah
jepang untuk proyek ini, pemerintah Republik Indonesia dan 12
Perusahaan Penanam Modal Jepang menandatangani Perjanjian Induk
untuk PLTA dan Pabrik Peleburan Aluminium Asahan yang kemudian
1 Website Resmi PT. Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) Persero, sejarah singkat,
http://www.inalum.id/article/sejarah-singkat.html
69
dikenal dengan sebutan Proyek Asahan. Kedua belas Perusahaan
Penanam Modal Jepang tersebut adalah Sumitomo Chemical Company
Ltd., Sumitomo Shoji Kaisha Ltd., Nippon Light Metal Company Ltd., C
Itoh & Co., Ltd., Nissho Iwai Co., Ltd., Nichimen Co., Ltd., Showa
Denko K.K., Marubeni Corporation, Mitsubishi Chemical Industries Ltd.,
Mitsubishi Corporation, Mitsui Aluminium Co., Ltd., Mitsui & Co., Ltd.
Selanjutnya, untuk penyertaan modal pada perusahaan yang akan
didirikan di Jakarta kedua belas Perusahaan Penanam Modal Tersebut
bersama Pemerintah Jepang membentuk sebuah nama Nippon Asahan
aluminium Co, Ltd (NAA) yang berkedudukan di Tokyo pada tanggal 25
Nopember 1975.
Pada tanggal 6 Januari 1976, PT Indonesia Asahan Aluminium
(Inalum), sebuah perusahaan patungan antara pemerintah Indonesia dan
didirikan di Jakarta. Inalum adalah perusahaan yang membangun dan
mengoperasikan Proyek Asahan, sesuai dengan perjanjian induk.
Perbandingan saham antara pemerintah Indonesia dengan Nippon Asahan
Aluminium Co., Ltd, pada saat perusahaan didirikan adalah 10% dengan
90%. Pada bulan Oktober 1978 perbandingan tersebut menjadi 25%
dengan 75% dan sejak Juni 1987 menjadi 41,13% dengan 58,87%. Dan
sejak 10 Februari 1998 menjadi 41,12% dengan 58,88%.
Untuk melaksanakan ketentuan dalam perjanjian induk, Pemerintah
Indonesia kemudian mengeluarkan SK Presiden Nomor5/1976 yang
melandasi terbentuknya Otorita Pengembangan Proyek Asahan sebagai
wakil Pemerintahan yang bertanggung jawab atas lancarnya
pembangunan dan pengembangan Proyek Asahan. Inalum dapat dicatat
sebagai pelopor dan perusahaan pertama di Indonesia yang bergerak
dalam bidang Industri peleburan aluminium dengan investasi sebesar 411
milyar Yen.
Secara de facto, perubahan status Inalum dari PMA menjadi BUMN
terjadi pada 1 November 2013 sesuai dengan kesepakatan yang tertuang
dalam Perjanjian Induk. Pemutusan kontrak antara Pemerintah Indonesia
70
dengan Konsorsium Perusahaan asal Jepang berlangsung pada 9
Desember 2013, dan secara de jure Inalum resmi menjadi BUMN pada
19 Desember 2013 setelah Pemerintah Indonesia mengambil alih saham
yang dimiliki pihak konsorsium. PT INALUM (Persero) resmi menjadi
BUMN ke-141 pada tanggal 21 April 2014 sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 26 Tahun 2014.
Berikut struktur organisasi PT INALUM (Persero):2
2. PT. Aneka Tambang (Antam) Tbk.3
Kegiatan usaha Perseroan telah dimulai sejak tahun 1968 ketika
Perseroan didirikan sebagai Badan Usaha Milik Negara melalui merjer
dari beberapa Perusahaan tambang dan proyek tambang milik
2 Website Resmi PT. Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) Persero, struktur organisasi,
http://www.inalum.id/article/struktur-organisasi.html.
3Website Resmi PT. Antam Tbk., Riwayat Singkat Antam,
http://www.antam.com/index.php?option=com_content&task=view&id=529&Itemid=244.
71
pemerintah, yaitu Badan Pimpinan Umum Perusahaan-perusahaan
Tambang Umum Negara, Perusahaan Negara Tambang Bauksit
Indonesia, Perusahaan Negara Tambang Emas Tjikotok, Perusahaan
Negara Logam Mulia, PT Nickel Indonesia, Proyek Intan dan Proyek-
proyek Bapetamb. Perseroan didirikan dengan nama "Perusahaan Negara
(PN) Aneka Tambang" di Republik Indonesia pada tanggal 5 Juli 1968
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 1968. Pendirian
tersebut diumumkan dalam Tambahan Nomor 36, BNRI Nomor 56,
tanggal 5 Juli 1968. Pada tanggal 14 September 1974, berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1974, status Perusahaan diubah
dari Perusahaan Negara menjadi Perusahaan Negara Perseroan Terbatas
("Perusahaan Perseroan") dan sejak itu dikenal sebagai "Perusahaan
Perseroan (Persero) Aneka Tambang".
Pada tanggal 30 Desember 1974, ANTAM berubah nama menjadi
Perseroan Terbatas dengan Akta Pendirian Perseroan Nomor 320 tanggal
30 Desember 1974 dibuat di hadapan Warda Sungkar Alurmei, S.H.,
pada waktu itu sebagai pengganti dari Abdul Latief, dahulu notaris di
Jakarta jo. Akta Perubahan Nomor 55 tanggal 14 Maret 1975 dibuat di
hadapan Abdul Latief, dahulu notaris di Jakarta mengenai perubahan
status Perseroan dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 1969 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 1969
(Lembaran Negara tahun 1969 Nomor 16. Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2890) tentang bentuk-bentuk Usaha Negara menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1969 Nomor 40),
Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 1969 tentang Perusahaan
Perseroan (Persero). Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1969
Nomor 21 dan Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1974 tentang
Pengalihan Bentuk Perusahaan Negara Aneka Tambang menjadi
Perusahaan Perseroan (Persero), Lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 1974 nomor 33 jo.Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik
72
Indonesia Nomor Kep. 1768/MK/IV/12/1974, tentang Penetapan Modal
Perusahaan Perseroan (Persero) PT Aneka Tambang menjadi Perseroan
Terbatas dengan nama PT Aneka Tambang, yang telah memperoleh
pengesahan dari Menkumham dalam Surat Keputusannya Nomor Y.A.
5/170/4 tanggal 21 Mei 1975 dan kedua Akta tersebut di atas telah
didaftarkan dalam buku register yang berada di Kantor Pengadilan
Negeri Jakarta berturut-turut di bawah Nomor 1736 dan Nomor 1737
tanggal 27 Mei 1975 serta telah diumumkan dalam Tambahan Nomor
312 BNRI Nomor 52 tanggal 1 Juli 1975. Untuk mendukung pendanaan
proyek ekspansi feronikel, pada tahun 1997 Perseroan menawarkan 35%
sahamnya ke publik dan mencatatkannya di Bursa Efek Indonesia. Pada
tahun 1999, Perseroan mencatatkan sahamnya di Australia dengan status
foreign exempt entity dan pada tahun 2002 status ini ditingkatkan
menjadi ASX Listing yang memiliki ketentuan lebih ketat.
Berikut struktur organisasi PT. ANTAM Tbk:4
4Website Resmi PT. Antam Tbk., struktur,
http://www.antam.com/index.php?option=com_content&task=view&id=7&Itemid=15
73
Pemegang saham utama yang dimiliki ANTAM adalah sebagai berikut:5
5Website Resmi PT. Antam Tbk., struktur,
http://www.antam.com/index.php?option=com_content&task=view&id=32&Itemid=38,
74
3. PT BUKIT ASAM Tbk6
PT Bukit Asam Tbk memiliki sejarah panjang dalam industri
pertambangan batubara nasional.
6Website Resmi PT. Bukit Asam Tbk., Sejarah PTBA,
http://www.ptba.co.id/id/tentang/profil#history.
75
Operasi Perusahaan dimulai ketika Air Laya Mine mulai beroperasi
di Tanjung Enim pada tahun 1919 dengan Pemerintah Kolonial Belanda
sebagai operator. Pada saat itu, kegiatan penambangan dilakukan dengan
metode penambangan terbuka.
Antara 1923 dan 1940, Air Laya Mine dimulai dengan metode
penambangan bawah tanah. Selama periode ini, Perusahaan mulai
berproduksi untuk tujuan komersial pada tahun 1938.
Setelah Kolonial Belanda berakhir di Indonesia, karyawan
Indonesia menuntut perubahan status menjadi tambang nasional. Pada
tahun 1950, Pemerintah Indonesia meresmikan yayasan Perusahaan
Negara Tambang Arang Bukit Asam (PN TABA).
Pada tanggal 1 Maret 1981, PN TABA mengubah statusnya
menjadi Perusahaan Terbatas dengan nama PT Bukit Asam (Persero),
yang kemudian disebut PTBA. Dalam rangka pengembangan industri
batubara nasional, pada tahun 1990 Pemerintah menggabungkan Perum
Tambang Batubara dan PTBA menjadi satu kesatuan.
Sesuai dengan program pengembangan ketahanan energi nasional,
pada tahun 1993 Pemerintah menugaskan PTBA untuk mengembangkan
bisnis briket batubara. Pada tanggal 23 Desember 2002, PTBA
mendaftarkan diri sebagai perusahaan publik di Bursa Efek Indonesia
dengan “PTBA” sebagai simbol ticker.
Pada tanggal 29 November 2017 menjadi catatan sejarah bagi
PTBA ketika menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar
Biasa. Agenda utama PTBA mencakup tiga poin. Persetujuan atas
perubahan anggaran dasar perusahaan terkait perubahan status
perusahaan dari “persero” menjadi “non-persero” sehubungan dengan
peraturan pemerintah Nomor 47/2015 terkait peningkatan partisipasi
ekuitas Republik Indonesia ke dalam PT INALUM (Persero),
nominal stock split saham, dan mengubah dewan direksi perusahaan.
76
Dengan perubahan kepemilikan Republik Indonesia menjadi PT
INALUM (Persero), PTBA resmi menjadi holding anggota Badan Usaha
Milik Negara (BUMN), dengan INALUM sebagai pimpinannya.
PTBA telah menyelesaikan stock split selama perdagangan awal di
Bursa Efek Indonesia pada 14 Desember 2017. Rasio stock split 1: 5
sesuai dengan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa
yang dilaksanakan pada tanggal 29 November 2017. Aksi korporasi ini
diambil untuk meningkatkan likuiditas perdagangan saham di BEI dan
untuk memperluas distribusi kepemilikan saham dengan menjangkau
berbagai lapisan investor. Komitmen kuat dari PTBA untuk
meningkatkan kinerja merupakan faktor fundamental dari aksi korporasi.
Berikut struktur organisasi PT. Bukit Asam Tbk:7
7 Website Resmi PT. Bukit Asam Tbk., Struktur Organisasi,
http://www.ptba.co.id/id/tentang/organisasi#organization-structure.
77
4. PT TIMAH Tbk8
PT TIMAH Tbk. sebagai Perusahaan Perseroan didirikan tanggal 2
Agustus 1976, dan merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
bergerak di bidang pertambangan timah dan telah terdaftar di Bursa Efek
Indonesia sejak tahun 1995.
PT TIMAH merupakan produsen dan eksportir logam timah, dan
memiliki segmen usaha penambangan timah terintegrasi mulai dari
kegiatan eksplorasi, penambangan, pengolahan hingga pemasaran. Ruang
lingkup kegiatan Perusahaan meliputi juga bidang pertambangan,
perindustrian, perdagangan, pengangkutan dan jasa. Kegiatan utama
perusahaan adalah sebagai perusahaan induk yang melakukan kegiatan
operasi penambangan timah dan melakukan jasa pemasaran kepada
kelompok usaha mereka. Perusahaan memiliki beberapa anak perusahaan
yang bergerak dibidang perbengkelan dan galangan kapal, jasa rekayasa
teknik, penambangan timah, jasa konsultasi dan penelitian pertambangan
serta penambangan non timah.
Perusahaan berdomisili di Pangkalpinang, Provinsi Bangka
Belitung dan memiliki wilayah operasi di Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung, Provinsi Riau, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara serta
Cilegon, Banten.
Berikut struktur organisasi PT. Timah Tbk:9
8Website Resmi PT. Timah Tbk., Tentang Kami, Sekilas PT Timah,
http://www.timah.com/v3/ina/tentang-kami-sekilas-pt-timah/
9Website Resmi PT. Timah Tbk., Tentang Kami, Manajemen,
http://www.timah.com/v3/ina/manajemen-struktur-organisasi/.
78
B. Teori dan Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik menurut Undang-
Undang yang Berlaku
Semenjak terjadinya krisis ekonomi dan kepercayaan pada tahun 1998,
Indonesia telah memulai inisiatif yang telah dirancang untuk mempromosikan
Good Governance, akuntabilitas dan partisipasi yang lebih luas.
Krisis ekonomi dan kepercayaan pada masanya tersebut berdampak pada
sektor penyelenggaraan negara dan pemerintah menjadi tidak kondusif,
sehingga tidak tercapainya check and balances antara eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Sehingga menyebabkan tidak berjalannya kontrol sosial dan
institusi pengawasan lainnya, sehingga praktek korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) semakin marak terjadi.
Di dalam sektor ekonomi baik milik negara maupun swasta mulai
menunjukan kinerja yang rendah. Para pelaku ekonomi swasta menunjukan
kinerjanya lemah terutama di dalam pengelolaan manajemennya, sehingga
tidak memiliki keunggulan serta daya saing yang kuat di pasar Internasional.
Bahkan kondisi internal perusahaan pun dianggap tidak sehat. Sedangkan
dalam sektor pelaku ekonomi milik negara (BUMN) sudah menjadi rahasia
umum bahwa kinerjanya sangat rendah dan belum mecapai apa yang
79
diharapkan oleh masyarakat. Sehingga dapat disimpulkan inti
permasalahannya terletak pada daya saing yang rendah serta kinerja yang
tidak memadai yang kemudian memicu terjadinya krisis keuangan. Dan hal
ini pula sebagai akibat dari tidak efektifnya penyelenggaraan negara atau
pemerintahan dan juga pembangunan secara nasional.
Dengan demikian salah satu strategi yang dapat di gunakan ialah
menerapkan korporasi baik bagi perusahaan milik pemerintah maupun swasta
melalui implementasi Good Corporate Governance.
Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara
Nomor: Per-01/MBU/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang
Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara, yang
dimaksud dengan Tata Kelola Perusahaan yang baik (Good Corporate
Governance), yang selanjutnya di sebut GCG adalah prinsip-prinsip yang
mendasari suatu proses dan mekanisme pengelolaan perusahaan berlandaskan
peraturan perundang-undangan dan etika berusaha.10
Sedangkan menurut The Organisation for Economic Coperation and
Development (OECD) dalam buku Penerapan Good Corporate Governance
Mengesampingkan Hak-hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha,
mendefinisikan corporate governance sebagai sekumpulan hubungan antara
pihak manajemen perusahaan, board, pemegang saham, dan pihak lain yang
mempunyai kepentingan dengan perusahaan. Corporate governance juga
mensyaratkan adanya struktur perangkat untuk mencapai tujuan dan
pengawasan atas kinerja. Corporate governance yang baik dapat memberikan
rangsangan bagi board dan manajemen untuk mencapai tujuan yang
merupakan kepentingan perusahaan dan pemegang saham harus memfasilitasi
10
Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: Per-01/MBU/2011
Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan
Usaha Milik Negara, Pasal 1, angka 1.
80
pengawasan yang efektif sehingga mendorong perusahaan menggunakan
sumber daya dengan lebih efisien.11
Sedangkan Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG)
mendefinisikan Good Corporate Governance sebagai salah satu pilar dari
ekonomi pasar. Coporate governance berkaitan erat dengan kepercayaan baik
terhadap perusahaan yang yang melaksanakannya maupun iklim usaha
disuatu negara. Penerapan GCG ini mendorong terciptanya iklim usaha yang
kondusif.12
Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan good
corporate governance adalah suatu sistem, proses, dan seperangkat peraturan
yang mengatur mengenai hubungan antara berbagai pihak yang
berkepentingan (stakeholder) atau dalam arti sempit hubungan antara
pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi demi tercapainya
tujuan organisasi. Corporate governance dimaksudkan untuk mengatur
hubungan-hubungan ini dan mencegah terjadinya kesalahan - kesalahan
signifikan dalam strategi korporasi dan untuk memastikan bahwa kesalahan-
kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki dengan segera.
C. Tujuan dan Manfaat Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik
Dalam prosesnya, sistem good corporate governance memiliki tujuan dan
manfaat tersendiri bagi sebuah perusahaan tersebut dengan demikian, berikut
tuan dan manfaat dari penerapan good corporate governance.
Penerapan Prinsip Tata kelola Perusahaan yang Baik (GCG) dalam dunia
usaha saat ini merupakan suatu tuntutan agar perusahaan-perusahaan tersebut
dapat tetap eksis dalam persaingan global. Peraturan Menteri Badan Usaha
11
Indra Surya dan Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance
Mengesampingkan Hak-hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha (Jakarta: Kencana, 2008),
h.2425.
12
http://muc-advisory.com/tag/komite-nasional-kebijakan-governance-knkg/,
81
Milik Negara Nomor: PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola
Perusahaan yang Baik pada Badan Usaha Milik Negara bertujuan untuk:13
a. Mengoptimalkan nilai perusahaan agar perusahaan memliki daya saing
yang kuat, baik secara nasional maupun internasional, sehingga mampu
mempertahankan keberadaannya dan hidup berkelanjutan untuk
mencapai maksud dan tujuan perusahaan.
b. Mendorong pengelolaan perusahaan secara profesional, efisien dan
efektif, serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian
organ perusahaan.
c. Mendorong agar organ perusahaan dalam membuat keputusan dan
menjalankan tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan serta kesadaran akan adanya
tanggung jawab sosial perusahaan terhadap pemangku kepentingan
maupun kelestarian lingkungan di sekitar perusahaan.
d. Meningkatkan kontribusi perusahaan dalam perekonomian nasional.
Adapun tujuan penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang baik
menurut Siswanto Sutojo dan E. John Aldrige mempunyai lima tujuan
yaitu:14
a. Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham;
b. Melindungi hak dan kepentingan para anggota stakeholders non
pemegang saham.
c. Meningkatkan nilai perusahaan dan para pemegang saham
d. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja dewan pengurus atau
Board of Directors dan manajemen perusahaan
e. Meningkatkan mutu hubungan Board of Directors dengan
manajemen senior perusahaan
13
Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-01/MBU/2011 tentang
Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Badan Usaha Milik Negara
14
Siswanto Sutojo dan E. John Aldrige, Good Corporate Governance Tata Kelola
Perusahaan yang Sehat, (Jakarta: 2005, Damar Mulia Pustaka), h. 5.
82
Sedangkan Manfaat Penerapan Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang
Baik (GCG) yakni;
Dengan melaksanakan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good
Corporate Governance), menurut Forum of Corporate Governance in
Indonesia FCGI ada beberapa manfaat yang diperoleh, antara lain:15
a. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses
pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi
operasional perusahaan, serta lebih meningkatkan pelayanan pada
stakeholder.
b. Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah dan
tidak rigid (karena faktor kepercayaan) yang pada akhirnya
meningkatkan corporate value.
c. Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya
di Indonesia.
d. Pemegang saham akan puas dengan kinerja perusahaan karena
sekaligus akan meningkatkan shareholder value dan deviden.
Ada 5 (lima manfaat) yang diperoleh perusahaan yang menerapkan
Good Corporate Governance yaitu:16
a. GCG secara tidak langsung akan dapat mendorong pemanfaatan
sumber daya perusahaan ke arah yang lebih efektif dan efisien,
yang pada gilirannya akan turut membantu terciptanya
pertumbuhan atau perkembangan ekonomi nasional.
b. GCG dapat membantu perusahaan dan perekonomian nasional,
dalam hal menarik modal investor dengan biaya yang lebih rendah
dengan perbaikan kepercayaan investor dan kreditur domestik
maupun internasional.
15
http://muc-advisory.com/tag/forum-for-corporate-governance-in-indonesia-fcgi/
16
Siswanto Sutojo dan E. John Aldrige, Good Corporate Governance Tata Kelola
Perusahaan yang Sehat, (Jakarta: 2005, Damar Mulia Pustaka), h. 10.
83
c. Membantu pengelolaan perusahaan dalam memastikan atau
menjamin bahwa perusahaan telah taat pada ketentuan, hukum dan
peraturan.
d. Membangun manajemen dan corporate board dalam pemantauan
penggunaan aset perusahaan.
e. Mengurangi potensi terjadinya kecurangan dan melindungi
kepentingan pemegang saham dan pihak-pihak terkait.
Berawal dari tujuan dan manfaat diatas maka dapat disimpulkan
bahwa perusahaan yang menerapkan GCG akan selalu melindungi
kepentingan pemegang saham dan pihak-pihak yang terkait dalam
pengelolaan perusahaan dan selalu melaksanakan kegiatan perusahaan
secara efektif dan efisien untuk meningkatkan perekonomian perusahaan
dan pada akhirnya akan meningkatkan kepercayaan publik kepada
perusahaan tersebut.
D. Sumber Hukum Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good
Corporate Governance)
Di Indonesia, prinsip good corporate governance mulai ramai dikenal
pada tahun 1997, saat krisis ekonomi menerpa Indonesia. Terdapat banyak
akibat buruk dari krisis tersebut, salah satunya ialah banyaknya perusahaan
yang berjatuhan karena tidak mampu bertahan. Corporate Governance yang
buruk disinyalir sebagai salah satu sebab terjadinya krisis ekonomi politik
Indonesia yang dimulai tahun 1997.
Menyadari kondisi dan situasi demikian, pemerintah melalui
Kementrian Negara BUMN mulai memperkenalkan prinsip Good Corporate
Governance ini dilingkungan BUMN. Melalui Surat Keputusan Menteri
BUMN Nomor Kep- 117/M-MBU/2002 tanggal 1 Agustus 2002 tentang
Penerapan Praktik Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik
Negara, kemudian Keputusan Menteri tersebut diperbaharui dan pada tanggal
01 Agustus 2011 ditetapkan Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara
Nomor: PER/01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang
84
Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara yang
menekankan kewajiban bagi BUMN untuk menerapkan Tata Kelola
Perusahaan yang Baik secara konsisten dan atau menjadikan prinsip Tata
Kelola Perusahaan yang Baik sebagai landasan operasionalnya, yang pada
dasarnya bertujuan untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas
perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang
dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya, dan
berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika. 17
Pemerintah memberikan dorongan yang sangat kuat terhadap
implementasi GCG di Indonesia. Bukti dari kepedulian pemerintah dapat
dilihat dari dibuatnya berbagai regulasi yang mengatur tentang GCG. Berawal
dari Dibentuknya Komite Nasional tentang Kebijakan Corporate Governance
(KNKCG) melalui Keputusan Menko Ekuin Nomor:
KEP/31/M.EKUIN/08/1999 tentang pembentukan KNKCG.
Menerbitkan Pedoman GCG Indonesia. Kemudian dilanjutkan dengan
dibentuknya Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) sebagai
pengganti KNKCG melalui Surat Keputusan Menko Bidang Perekonomian
Nomor: KEP/49/M.EKON/11/2004. Terdiri dari Sub-Komite Publik dan Sub-
Komite Korporasi. Kemudian juga dikeluarkan SE Ketua Bapepam Nomor
Se-03/PM/2000 tentang Komite Audit yang berisi himbauan perlunya Komite
Audit dimiliki oleh setiap Emiten, dan Peraturan Bank Indonesia (PBI)
Nomor 8/4/PBI/2006 tentang GCG yang dirubah dengan PBI Nomor
8/14/GCG/2006.
Komitmen GCG juga diberlakukan pada sektor swasta non-BUMN.
Pada tahun 2000, Bursa Efek Jakarta (sekarang Bursa Efek Indonesia)
memberlakukan Keputusan Direksi PT Bursa Efek Jakarta Nomor Kep-
315/BEJ/062000 tentang Peraturan Pencatatan Efek Nomor I-A yang antara
lain mengatur tentang kewajiban mempunyai Komisaris Independen, Komite
Audit, memberikan peran aktif Sekretaris Perusahaan di dalam memenuhi
17
https://alamsyahprasetio.wordpress.com/2010/10/28/pelaksanaangoodcorporategoverna
nce-di-indonesia/,
85
kewajiban keterbukaan informasi serta mewajibkan perusahaan tercatat untuk
menyampaikan informasi yang material dan relevan. Selain itu juga
dibentuknya berbagai organisasi dan perkumpulan yang mendukung
pelaksanaan dari GCG itu sendiri seperti. Lahirnya Forum for Corporate
Governance in Indonesia (FCGI), Indonesian Institute for Corporate
Governance (IICG), Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD),
Indonesia Corporate Secretary Association (ICSA), Ikatan Komite Audit
Indonesia (IKAI), Asosiasi Auditor Internal (AAI), Klinik GCG Kadin, dan
lahirnya Lembaga Komisaris dan Direksi Indonesia (LKDI) yang kegiatannya
antara lain mengadakan Forum LKDI untuk membahas berbagai hal seperti
tanggung jawab hukum bagi Komisaris dan Direksi, Undang-Undang
pencucian uang dan sebagainya.
Disektor perbankan penerapan tata kelola perusahaan yang baik juga
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 juncto Nomor
8/14/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corrporate Governance di Bank
Umum dan juga terdapat pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yaitu
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55/POJK.03/2016 tentang
Penerapan Tata Kelola pada Bank Umum.
E. Tata Kelola Perusahaan yang Baik dalam Perundang-undangan di
Indonesia
Peraturan mengenai Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG) terdapat di
beberapa hukum perusahaan yaitu:
1. Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG) pada BUMN
Untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masalah jatuh-bangun
sistem korporasinya dipandang bukan karena salah urus, tetapi
semata-mata hanya soal political will dari pemerintah. Sebab, dalam
praktik pengelolaan BUMN sarat dengan korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Ada begitu banyak kepentingan yang melingkupi BUMN.
Aparat pemerintah dapat mengeksploitasi posisinya dari dalam
maupun dari luar perusahaan untuk memperkaya diri sendiri atau
86
kroninya. Menyadari kontribusi badan-badan usaha Negara terhadap
keterpurukan keuangan dan moneter Negara sangat signifikan.18
Untuk mengatasi hal tersebut pada tahun 1999 Menteri Badan Usaha
Milik negara mengeluarkan Keputusan Menteri Negara
Pendayagunaan BUMN Nomor Kep-133/M-PBUMN/1999 tentang
Pembentukan Komite Audit bagi BUMN dimana Komite Audit
bertugas untuk membantu Dewan Komisaris untuk memenuhi
tanggung jawab pengawasannya. Kemudian pada tahun 2000 Menteri
BUMN kembali mengeluarkan Surat Edaran Menteri PM-PBUMN
Nomor S-106/M PM PBUMN/2000 tanggal 17 April 2000 perihal
Kebijakan Penerapan Corporate Governance yang baik di semua
BUMN.
Pada tanggal 4 Juni 2002 tentang pembentukan Komite Audit bagi
Badan Usaha Milik Negara, peraturan Komite Audit ini ditindak
lanjuti dengan memberlakukan Keputusan Mentri BUMN nomor Kep-
117/M-MBU/2002 tanggal 1 Agustus 2002. Dalam peraturan ini
corporate governance diatur lebih komperehensif dibandingkan
dengan institusi lain. Setiap BUMN diwajibkan untuk menerapkan
corporate governance secara baik, konsisten, dan atau menjadikannya
sebagai landasan operasionalnya.
Pada tahun 2011 Keputusan Menteri BUMN mengenai penerapan
GCG kembali disempurnakan dan diperbaharui dengan
dikeluarkannya Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor:
PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahan yang
Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara.
Pada Peraturan Menteri ini menjelaskan secara komperhensif
bagaimana peran setiap jenjang organ BUMN yaitu Pemegang saham,
Dewan Komisaris, Direksi, Komite Audit, Sekretaris Perusahaan
dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip GCG.
18
Akbar Faizal Tanri Abeng Menjawab: Profesional Versus Politik, (Jakarta: Alexindo
Media Komputindo, 2002), h. 4
87
2. Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG) pada Hukum Perbankan.
Dalam pedoman Good Corporate Governance Perbankan
Indonesia dinyatakan, untuk terciptanya kondisi yang mendukung
implementasi Good Corporate Governance yang efektif, salah satu
tugas yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan otoritas terkait
adalah penerbitan peraturan perundang -undangan yang
memungkinkan dilaksankannya Good Corporate Governance secara
efektif.
Selain itu pemerintah dan otoritas terkait harus mampu menjamin
dan membuktikan bahwa penegakan hukum (law enforcement)
dilakukan secara serius. Disisi lain, sebagai subjek Good Corporate
Governance bank perlu menerapkan standar akuntansi dan standar
audit yang sama dengan standar yang berlaku umum serta melibatkan
auditor eksternal dalam proses audit. Tujuannya supaya diperoleh
ukuran yang sama dengan ukuran ditempat lain. Dengan demikian,
stakeholder dapat berharap akan interpretasi yang sama atas
fenomena-fenomena yang sejenis. Sebab pada dasarnya persoalan
Good Corporate Governance adalah persoalan tanggung jawab
perusahaan terhadap stakeholder. Pada bidang perbankan, misalnya
antara lain adalah Peraturan Bank Indonesia nomor2/27/PBI/2000
tentang Bank Umum, dalam peraturan tersebut diatur kriteria yang
wajib dipenuhi calon anggota Direksi dan Komisaris bank umum,
serta batasan transaksi yang diperbolehkan atau dilarang dilakukan
pengurus bank. Melalui penerapan peraturan itu diharapkan dapat
dieliminasi penyimpangan operasi bank yang dilakukan oleh Direksi
dan Komisaris, maupun yang bukan interest perseroan (Bank).
Dengan semakin kompleksnya risiko yang dihadapi bank, melindungi
kepentingan stakeholders, meningkatkan kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan nilai-nilai etika yang
berlaku umum pada industri perbankan serta peningkatan kualitas
pelaksanaan good corporate governance untuk memperkuat kondisi
88
internal perbankan nasional sesuai dengan Arsitektur Perbankan
Indonesia (API) maka diberlakukanlah Peraturan Bank Indonesia
Nomor 8/4/PBI/2006 juncto Nomor 8/14/PBI/2006 tentang
Pelaksanaan Good Corrporate Governance di Bank Umum.Selain
Peraturan Bank Indonesia.
Penerapan GCG pada perbankan juga diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 55/POJK.03/2016 tentang Penerapan Tata Kelola pada Bank
Umum. Pada peraturan OJK ini pada Pasal 2 Ayat (1) menegaskan
bahwa setiap Bank wajib menerapkan prinsip-prinsip tata kelola
perusahaan yang baik pada seluruh tingakatan atau jenjang organisasi.
Kemudian didalam Pasal 2 Ayat (2) mengatur bahwa penerapan
prinsip tata kelola perusahaan yang baik paling sedikit diwujudkan
dalam:
a. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan
Komisaris Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite dan
satuan kerja yang menjalankan fungsi pengendalian intern.
b. Penerapan fungsi kepatuhan, audit intern, dan audit ekstern.
c. Penerapan manajemen risikoPenyediaan dana kepada pihak
terkait dan penyediaan dana besar
d. Rencana strategis, dan Transparansi kondisi keuangan dan non
keuangan
3. Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Perseroan Terbatas
Dalam Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa Undang-Undang
Perseroan Terbatas nomor 4 tahun 2007 menganut model yang
membedakan tugas dan kewenangan direksi dengan komisaris. Untuk
menyesuaikan implementasi GCG, Peraturan tentang Perseroan
Terbatas memiliki ruang lingkup kedudukan dan tanggung jawab
komisaris, direksi, dan para pemegang saham. Mengingat bahwa
dalam prinsip pengelolaan usaha yang baik pengaturan tanggung
jawab dari setiap organ yang ada dalam PT akan mempengaruhi
89
desain kewenangan dan tanggung jawab yang ditetapkan didalam
Anggaran Dasar. Tanpa adanya direksi dan komisaris suatu PT tidak
dapat menjalankan fungsinya sebagai sebuah institusi/badan yang
melakukan aktivitas usaha untuk mencari keuntungan ekonomis. Agar
direksi dalam melaksanakan tugasnya tidak melampaui wewenangnya
maka dilakukan pengawasan oleh dewan komisaris dan dibatasi oleh
RUPS sebagai pemilik perseroan melalui ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam UUPT.
4. Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG) pada Pasar Modal
Dalam strategi pengembangan umum pasar modal Indonesia oleh
Badan Pengawas Pasar Modal disadari bahwa salah satu penyebab
rentannya perusahaanperusahaan di Indonesia terhadap gejolak
perekonomian adalah lemahnya penerapan Good Corporate
Governance dalam perusahaan. Kondisi tersebut ditandai dengan
standar laporan yang minimal tentang kinerja keuangan perusahaan,
khususnya tentang kewajiban utang piutang, tidak ada direktur
Independen dan diragukannya independensi auditor. Disamping itu
mekanisme yang mendorong perusahaan untuk mentaati peraturan dan
penegakan hukum masih kurang. Sanksi yang diberikan kepada
mereka yang melanggar peraturan tidak memadai terutama pada
situasi ekonomi yang tidak menguntungkan. Agar pelaksanaan Good
Corporate Governance dapat dimengerti maka perlu dicermati
keempat aspek tersebut yaitu aspek kewajaran, transparansi,
akuntabilitas dan tanggung jawab. Untuk menunjang pemulihan
bidang pasar modal yang turut porak poranda dihantam badai krisis
tahun 1997 juga diterbitkan serangkaian peraturan yang bersangkutan
dengan corporate governance. Lembaga komisaris independen mapun
komite audit mendapat respon yang paling apresiatif dari otoritas
pasar modal.
Adanya keharusan dalam perusahaan publik untuk memiliki
komisaris independen dan komite audit diatur dalam Surat Edaran
90
Ketua Bapepam nomor SE-03/PM/2000 tanggal 5 Mei 2000.
Ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut dalam Surat Edaran BEJ nomor
SE-005/BEJ/09-2001 juncto Surat Direksi BEJ nomor Kep
339/BEJ/07-2001 tanggal 20 Juli 2001, Peraturan I-A. Dalam kedua
peraturan ini diatur tata cara pemilihan, syarat- syarat yang wajib
dipenuhi oleh calon komisaris independen, tugas dan tanggung
jawabnya dalam perusahaan publik.
Penerapan Good Corporate Governance di Indonesia telah
diperkuat dengan kapastian hukum, dengan lahirnya peraturan
perundangan antara lain:
1. Keputusan Menteri Negara/Kepala Badan Penanaman Modal
dan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara Nomor Kep-23/
PBUMN/2000 tanggal 31 Mei 2000 Tentang Pengembangan
Praktek Good Corporate Governance (GCG) dalam Perusahaan
Perseroan.
2. Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor KEP-117/M-
MBU/2002 tanggal 1 Agustus 2002 Tentang Penerapan Praktek
Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara.
3. Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-
01/MBU/20011 tentang Penerapan Tata Kelola Peusahaan yang
Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik
Negara
4. Surat Edaran Menteri PM-PBUMN Nomor S-106/M
PM.PBUMN/2000 tanggal 17 April 2000 perihal Kebijakan
Penerapan Corporate Governance yang baik di semua BUMN.
5. Surat Komisaris PT Pos Indonesia (Persero) Nomor. 518/S-
KU/2000 tanggal 2 Oktober 2000 perihal Pelaksanaan GCG dan
Instruksi Untuk Pembentukan Tim Perumus Panduan Penerapan
GCG.
6. Surat Komisaris PT Pos Indonesia (Persero) Nomor. 520/S-
KU/2000 tanggal 2 Oktober 2000 perihal Pembentukan Komite
91
Audit. 9. Keputusan Direksi PT Pos Indonesia (Persero)
Nomor81/Dirut/1201 tanggal 27 Desember 2001 Tentang
Gerakan Moral Pos Indonesia. BTP (Bersih, Transparan dan
Profesional
7. Peraturan Bank Indonesia nomor 8/4/PBI/2006 juncto nomor
8/14/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corrporate
Governance di Bank Umum.
8. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yaitu Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55/POJK.03/2016 tentang
Penerapan Tata Kelola pada Bank Umum.
92
BAB IV
ANALISIS HUKUM TERHADAP PENERAPAN PRINSIP TATA KELOLA
PERUSAHAAN YANG BAIK PADA HOLDINGISASI BUMN
A. Kewajiban Penerapan Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang baik Pada
BUMN
Prinsip Good Corporate Governance atau GCG diharapkan dapat
menyehatkan BUMN baik dari segi pengelolaannya maupun dari segi
pengamanan asetnya. Prinsip GCG seperti yang telah di paparkan
sebelumnya, GCG merupakan suatu sistem, proses, maupun seperangkat
peraturan yang mengatur mengenai hubungan antara berbagai pihak yang
memiliki kepentingan di dalam suatu perseroan (stakeholder), sehingga
adanya GCG ini sangat diperlukan dalam rangka menciptakan BUMN yang
sehat.
GCG adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan
agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan
dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholders
khususnya, dan stakeholders pada umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan
pengaturan kewenangan Direktur, manajer, pemegang saham, dan pihak lain
yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan tertentu.1
Reformasi pengelolaan perusahan melalui penerapan prinsip-prinsip tata
kelola perusahaan yang baik (GCG) di BUMN ditegaskan dengan
dikeluarkannya Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep-103/MBU/2002
tentang pembentukan komite audit bagi Badan Usaha Milik Negara pada
tanggal 4 Juni 2002. Komite audit ini bertugas untuk membantu dan
bertanggung jawab langsung kepada komisaris atau dewan pengawas. Komite
Audit bertanggungjawab untuk memastikan bahwa perusahaan telah
dijalankan sesuai Undang-Undang dan peraturan yang berlaku dan etika,
1Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance: Pada Badan Usaha
Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 1
93
melaksanakan pengawasan secara efektif terhadap benturan kepentingan dan
kecurangan yang dilakukan oleh karyawan perusahaan. Peraturan tentang
komite audit tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan memberlakukan
Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep-117/MMBU/ 2002 tanggal 1 Agustus
2002 tentang Penerapan Praktik Good Corporate Governance pada BUMN
yang mencabut Keputusan Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan
BUMN Nomor Kep-23/M-PM.PBUMN/2002 tanggal 31 Mei 2000 tentang
Pengembangan Praktek Good Corporate Governance (GCG) dalam
Perusahaan Perseroan. Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep-117/M-
MBU/2002 tentang Penerapan Praktik Good Corporate Governance pada
BUMN mewajibkan BUMN untuk menerapkan good governance secara
konsisten dan/atau menjadikan prinsip tata kelola perusahaan yang baik
(GCG) sebagai landasan operasionalnya, kemudian pada tahun 2003,
pemerintah telah meratifikasi Undang-Undang BUMN, yang didalamnya
telah terkandung prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG).
Kemudian Keputusan Menteri tersebut disempurnakan kembali dengan
dikeluarkannya Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-01/MB /2011
tanggal 01 Agustus 2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang
Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara harus
senantiasa berlandaskan pada lima prinsip dasar yaitu transparansi
(transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban
(responsibility), kemandirian (independency), kewajaran (fairness). BUMN
wajib menerapkan prinsip-prinsip GCG tersebut secara konsisten dan
berkelanjutan dalam setiap kegiatan usaha dan seluruh jenjang organisasi,
mulai dari RUPS, Dewan Komisaris dan Direksi sampai dengan pegawai
pelaksana.
Dalam rangka menerapkan kelima prinsip dasar tersebut diatas, BUMN
harus berpedoman pada Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-
01/MBU/2011 tanggal 01 Agustus 2011 tentang Penerapan Tata Kelola
Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha
Milik Negara ini dengan tetap memperhatikan ketentuan, dan norma yang
94
berlaku serta anggaran dasar BUMN. Penerapan GCG harus dilengkapi
dengan penyusunan GCG Code yang diantaranya dapat memuat board
manual, manajemen risiko manual, sistem pengendalian intern, sistem
pengawasan intern, mekanisme pelaporan atas dugaan penyimpangan pada
BUMN yang bersangkutan, tata kelola teknologi informasi, dan pedoman
perilaku etika (code of conduct).2
Untuk memastikan penerapan GCG diperlukan keberadaan seorang
anggota Direksi yang ditunjuk oleh Rapat Direksi sebagai penanggung jawab
dalam penerapan dan pemantauan GCG di BUMN yang bersangkutan.3
Dipihak lain, peran pengawasan Dewan Komisaris harus ditingkatkan dalam
memantau dan memastikan bahwa GCG telah diterapkan secara efektif dan
berkelanjutan, baik pada lingkup Manajemen dan Direksi maupun Dewan
Komisaris dan Pemegang Saham (RUPS).4 Dalam upaya perbaikan dan
peningkatan kualitas penerapan GCG, BUMN wajib melakukan pengukuran
terhadap penerapan GCG.5
Implementasi GCG di BUMN dapat dilihat dengan adanya peraturan-
peraturan yang mendukungnya seperti:
1. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN Nomor Kep-
133/M-PBUMN/1999 tentang Pembentukam Komite Audit bagi
BUMN.
2. Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 tentang
Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa BUMN.
2 Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance: Pada Badan Usaha
Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 1
3 Lihat Pasal 19 ayat (2) Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-01/MBU/2011
tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik (good corporate governance) pada Badan
Usaha Milik Negara.
4 Lihat Pasal 12 ayat (7) Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-01/MBU/2011
tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik (good corporate governance) pada Badan
Usaha Milik Negara.
5 Lihat Pasal 44 Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 tentang
Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik (good corporate governance) pada Badan Usaha
Milik Negara.
95
3. Keputusan Menteri BUMN Nomor 09A/MBU/2005 tentang Proses
Penilaian Fit & Proper Test Calon Anggota Direksi BUMN.
4. SE Menteri BUMN Nomor 106 Tahun 2000 dan Keputusan Menteri
BUMN Nomor 23 Tahun 2000 mengatur dan merumuskan
pengembangan praktik Good Corporate Governance dalam
perusahaan perseroan.
5. Peraturan Mentari Negara BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 tanggal
01 Agustus 2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik
(Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara.
6. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Good
Corporate Governance yang dirubah dengan PBI Nomor
8/14/GCG/2006.
7. Keputusan Bersama Dewan Komisaris dan Direksi Nomor:
KEP.448/UM.004/X/APII2007 461 tentang Pedoman Pelaksanaan
Good Corporate Governance (GCG) dan pedoman Perilaku (Code of
Conduct) di Lingkungan PT Angkasa Putra II (Persero)
8. Keputusan Bersama Dewan Komisaris dan Direksi PT Pos Indonesia
(Persero) Nomor: 288/Dekom/0714 dan Nomor: KD.44/DIRUT/0714
tanggal 01 Juli 2014 tentang Panduan Penerapan Good Corporate
Governance di PT Pos Indonesia (Persero), khususnya yang tercantum
dalam Bab VIII, yaitu Kebijakan Perusahaan tentang Pedoman Etika
Bisnis dan Tata Perilaku (Code of Conduct).
B. Penerapan Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Holdingisasi
BUMN di tinjau dari Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara
Nomor: PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan
yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik
Negara (BUMN)
Tergabungnya anak perusahaan dalam konstruksi perusahaan grup atau
holding company tidaklah menghapuskan pengakuan yuridis terhadap status
96
badan hukum anak perusahaan sebagai subjek hukum mandiri.6 Hukum
perseroan mempertahankan pengakuan yuridis terhadap status badan hukum
anak perusahaan sebagai subjek hukum yang mandiri, sedangkan pada saat
bersamaan anak perusahaan tunduk dibawah kendali induk perusahaan dalam
suatu kesatuan ekonomi. Bagaimanapun konstruksi perusahaan grup (holding
company) tidak mungkin ada apabila peraturan perundang-undangan tidak
memberikan legitimasi terhadap adanya kepemilikan induk perusahaan atas
saham anak perusahaan yang menjadi alasan keberadaan lahirnya keterkaitan
induk dan anak perusahaan dari realitas bisnis perusahaan grup (holding
company).7
Keterkaitan antara induk dan anak perusahaan dalam konstruksi
perusahaan grup (holding company) merupakan hubungan antara induk dan
anak perusahaan yang berbadan hukum mandiri. Keterkaitan ini terjadi ketika
pimpinan kegiatan ekonomi dari dua atau lebih perusahaan dikoordinasikan
sedemikian rupa sehingga di antara anggota perusahaan grup terdapat susunan
yang erat dalam aspek ekonomi, keuangan, dan organisasi. Dalam
menjalankan peran sebagai pimpinan sentral perusahaan grup, induk
perusahaan megendalikan dan mengoordinasikan anak-anak perusahaan
dalam suatu kesatuan ekonomi agar tercapainya tujuan kolektif perusahaan
grup.8
Pada perusahaan grup BUMN (Holding company BUMN) dari perspektif
yuridis, setiap anak perusahaan merupakan badan hukum yang mandiri dan
otonom, yang dilengkapi dengan organ-organ perusahaan seperti Direksi
yang bertanggung jawab dalam menjalankan operasional perusahaan.
Sehingga dalam menjalankan operasional perusahaannya, induk perusahaan
6 Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:
Erlangga, 2013), h. 135
7 Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:
Erlangga, 2013), h. 136
8 Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia, h. 136
97
maupun anak perusahaan BUMN menjalankan prinsip tata kelola perusahaan
yang baik sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Badan Usaha Milik
Negara Nomor: PER01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola
Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha
Milik Negara Pasal 45 Ayat (2) yang berbunyi:
“Ketentuan dalam Peraturan Menteri ini, dapat pula diberlakukan terhadap
perseroan terbatas yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Negara, dan anak
perusahaan BUMN, sepanjang hal tersebut disetujui oleh RUPS perseroan
terbatas atau anak perusahaan BUMN dimaksud.”
Dalam konstruksi holding company induk perusahaan mengangkat
anggota direksi dan/atau dewan komisaris anak perusahaan melalui organ
RUPS anak perusahaan. Holding company menggunakan kebijakan bahwa
anggota dreksi dan/atau dewan komisaris induk perusahaan dapat merangkap
jabatan pada direksi dan/atau komisaris anak perusahaan. Melalui rangkap
jabatan ini, induk perusahaan dapat mengendalikan kegiatan operasional anak
perusahaan sehari-hari sehingga kebijakan anak perusahaan tetap sejalan
dengan kepentingan holding company.9 Organ BUMN yang terdiri dari Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS), Dewan Komisaris, dan Direksi,
mempunyai peran penting dalam pelaksanaan GCG secara efektif. Organ
perusahaan harus menjalankan fungsinya sesuai dengan ketentuan yang
berlaku atas dasar prinsip bahwa masing-masing organ mempunyai
independensi dalam melaksanakan tugas, fungsi dan tanggung jawab semata-
mata untuk kepentingan perusahaan.10
1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
9 Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:
Erlangga, 2013), h. 136
10
Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance: Pada Badan Usaha
Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 93
98
Pasal 6 Ayat (1) Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor:
PER01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik
(Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara
menyatakan bahwa setiap pemegang saham berhak memperoleh
penjelasan lengkap dan informasi akurat berkenaan dengan
penyelenggaraan RUPS, di antaranya:11
a) panggilan untuk RUPS, yang mencakup informasi mengenai setiap
mata acara dalam agenda RUPS, termasuk usul yang direncanakan
oleh Direksi untuk diajukandalam RUPS, dengan ketentuan apabila
informasi tersebut belum tersedia saat dilakukannya panggilan untuk
RUPS, maka informasi daniatau usul-usul itu harus disediakan di
kantor Perseroan sebelum RUPS diselenggarakan;
b) metode perhitungan dan penentuan gaji/honorarium, fasilitas dan atau
tunjangan lain bagi setiap anggota Dewan Komisaris dan Direksi, serta
rincian mengenai gaji/honorarium, fasilitas, daniatau tunjangan lain
yang diterima oleh anggota Dewan Komisaris dan Direksi yang sedang
menjabat, khusus dalam RUPS mengenai Laporan Tahunan;
c) informasi mengenai rincian rencana kerja dan anggaran perusahaan
dan hal-hal lain yang direncanakan untuk dilaksanakan oleh Persero,
khusus untuk RUPS Rencana Jangka Panjang (RJP) dan Rencana
Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP);
d) informasi keuangan maupun hal-hal lainnya yang menyangkut Persero
yang dimuat dalam Laporan Tahunan dan Laporan Keuangan;
e) penjelasan lengkap dan informasi yang akurat mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan agenda RUPS yang diberikan sebelum dan/atau pada
saat RUPS berlangsung.
Pasal 6 Peraturan Menteri BUMN tentang Penerapan Prinsip Tata
Kelola Perusahaan yang Baik ini adalah implementasi daripada asas GCG
yaitu transparansi dimana dalam menjalankan bisnis perusahaan harus
11
Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-01/MBU/2011 tentang
Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Badan Usaha Milik Negara, Pasal 6.
99
menyediakan informasi yang material dan relevan kepada pemangku
kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisatif untuk mengungkapkan
apabila ada masalah dalam perusahaan dan juga hal yang penting untuk
pengambilan keputusan oleh pemegang saham.
RUPS sebagai organ perusahaan merupakan wadah para pemegang
saham untuk mengambil keputusan penting yang berkaitan dengan modal
yang ditanam dalam perusahaan, dengam memperhatikan ketentuan
anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan.
Keputusan yang diambil dalam RUPS harus didasarkan pada
kepentingan usaha perusahaan dalam jangka panjang. RUPS dan atau
pemegang saham tidak dapat melakukan intervensi terhadap tugas, fungsi
dan wewenang Dewan Komisaris dan Direksi dengan tidak mengurangi
wewenang RUPS untuk menjalankan haknya sesuai dengan anggaran
dasar dan peraturan perundang-undangan, termasuk untuk melakukan
penggantian atau pemberhentian anggota Dewan Komisaris dan atau
Direksi.12
Selain itu pemegang saham berhak atas perlakuan sama termasuk
pemegang saham minoritas maupun pemegang saham asing. Perlakuan
sama kepada pemegang saham merupakan perwujudan dari asas GCG
yaitu kesetaraan dan kewajaran, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10
Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-01/MBU/2011
tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate
Governance) pada Badan Usaha Milik Negara bahwa Pemegang saham
yang memiliki saham dengan klasifikasi yang sama harus diperlakukan
setara (equal treatment).
2. Dewan Komisaris
Pasal 12 Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-
01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik
(Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara mengatur
12
Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance: Pada Badan Usaha
Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 93
100
tentang fungsi dewan komisaris sebagai dewan pengawas yang
bertanggung jawab dan berwenang melakukan pengawasan atas kebijakan
pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai BUMN
maupun usaha BUMN dan memberikan nasihat pada direksi.
Dewan komisaris dalam fungsinya sebagai pengawas, menyampaikan
laporan pertanggungjawaban pengawasan atas pengelolaan perusahaan
oleh direksi. Laporan pengawasan dewan komisaris merupakan bagian
dari laporan tahunan yang disampaikan kepada RUPS untuk memperoleh
persetujuan. Dengan diberikannya persetujuan atas laporan tahunan dan
pengesahan atas laporan keuangan, berarti RUPS telah memberikan
pembebasan dan pelunasan tanggung jawab kepada masing-masing
anggota Dewan Komisaris sejauh hal-hal tersebut tercermin dari laporan
tahunan, dengan tidak mengurangi tanggungjawab masingmasing anggota
Dewan Komisaris dalam hal terjadi tindak pidana atau kesalahan atau
kelalaian yang menimbulkan kerugian bagi pihak ketiga yang tidak dapat
dipenuhi dengan aset perusahaan.13
Pertanggungjawaban dewan komisaris kepada RUPS merupakan
perwujudan akuntabilitas pengawasan atas pengelolaan perusahaan dalam
rangka pelaksanaan asas GCG.
Pada dewan komsaris juga dibentuk Komite Kebijakan Corporate
Governance yang bertugas untuk membantu dewan komisaris dalam
mengkaji kebijakan GCG secara menyeluruh yang disusun oleh direksi
serta menilai konsistensi penerapannya, termasuk yang bertalian dengan
etika bisnis dan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social
responsibility). Anggota Komite Kebijakan Corporate Governance terdiri
dari anggota Dewan Komisaris, namun bilamana perlu dapat juga
menunjuk pelaku profesi luar perusahaan.14
13
Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance : Pada Badan Usaha
Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 100.
14
Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance : Pada Badan Usaha
Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 100
101
3. Direksi
Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-
01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik
(Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara mengatur
5 (lima) tugas utama Direksi yaitu kepengurusan, manajemen resiko,
pengendalian internal, komunikasi dan tanggung jawab sosial.15
a. Kepengurusan.
Direksi harus menyusun visi, misi, dan nlai-nilai serta program
jangka panjang dan jangka pendek perusahaan untuk dibicarakan dan
disetujui oleh dewan komisaris atau RUPS sesuai dengan ketentuan
anggaran dasar. Direksi harus dapat mengendalikan sumber daya yang
dimiliki oleh perusahaan secara efektif dan efisien serta
memperhatikan kepentingan yang wajar dari pemangku kepentingan.16
b. Manajemen Risiko
Direksi harus menyusun dan melaksanakan sistem
manajemen risiko perusahaan yang mencakup seluruh aspek
kegiatan perusahaan. Untuk setiap pemgambilan keputusan
strategis, termasuk penciptaan produk atau jasa baru, harus
diperhitungkan dengan seksama dampak risikonya, dalam arti
adanya keseimbangan antara hasil dan beban risiko.17 Untuk
memastikan dilaksanakannya manajemen risiko dengan baik,
perusahaan perlu memiliki unit kerja atau penanggungjawab
terhadap pengendalian risiko. Direksi wajib menyampaikan
15
Lihat Pasal 19-26 Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-
01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Badan Usaha Milik
Negara.
16
Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance : Pada Badan Usaha
Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 102
17
Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance : Pada Badan Usaha
Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, h. 102
102
laporan profil manajemen risiko dan penanganannya bersamaan
dengan laporan berkala perusahaan.18
c. Pengendalian Internal
Direksi harus menyusun dan melaksanakan sistem
pengendalian internal perusahaan yang handal dalam rangka
menjaga kekayaan dan kinerja perusahaan.19 Pasal 26 Peraturan
Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-01/MBU/2011
tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good
Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara
menjelaskan bahwa sistem pengendalian intern yang efektif untuk
mengamankan investasi dan aset perusahaan mencakup hal-hal
berikut:20
1) Lingkungan pengendalian intern dalam perusahaan yang
dilaksanakan dengan disiplin dan terstruktur, yang terdiri dari:
a) Integritas, nilai etika dan kompetensi karyawan;
b) filosofi dan gaya manajemen;
c) Cara yang ditempuh manajemen dalam melaksanakan
kewenangan dan tanggung jawabnya;
d) Pengorganisasian dan pengembangan sumber daya
manusia; dan
e) Perhatian dan arahan yang dilakukan oleh Direksi.
2) Pengkajian terhadap pengelolaan risiko usaha (risk
assessment), yaitu suatu proses untuk mengidentifikasi,
menganalisis, menilai pengelolaan risiko yang relevan.
18
Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER 01/MBU/2011 tentang
Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Badan Usaha Milik Negara, Pasal 25 Ayat (4).
19
Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance : Pada Badan Usaha
Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 103
20
Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER 01/MBU/2011 tentang
Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Badan Usaha Milik Negara, Pasal 26.
103
3) Aktivitas pengendalian, yaitu tindakan-tindakan yang
dilakukan dalam suatu proses pengendalian terhadap kegiatan
perusahaan pada setiap tingkat dan unit dalam struktur
organisasi BUMN, antara lain mengenai kewenangan,
otorisasi, verifikasi, rekonsiliasi, penilaian atas prestasi kerja,
pembagian tugas, dan keamanan terhadap aset perusahaan.
4) Sistem informasi dan komunikasi, yaitu suatu proses penyajian
laporan mengenai kegiatan operasional, finansial, serta
ketaatan dan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan oleh BUMN.
5) Monitoring, yaitu proses penilaian terhadap kualitas sistem
pengendalian intern, termasuk fungsi internal audit pada setiap
tingkat dan unit dalam struktur organisasi BUMN, sehingga
dapat dilaksanakan secara optimal.
Selain 5 (lima) poin penjelasan diatas direksi juga harus
melakukan evaluasi kepatuhan perusahaan terhadap peraturan
perusahaan, pelaksanaan GCG dan perundang-undangan.
d. Komunikasi.
Direksi harus memastikan kelancaran komunikasi antara
perusahaan dengan pemangku kepentingan dengan
memberdayakan fungsi sekretaris perusahaan dan sekretaris
perusahaan bertanggung jawab pada direksi. Laporan pelaksanaan
tugas sekretaris perusahaan disampaikan pula kepada dewan
komisaris.
e. Tanggung jawab sosial
Dalam rangka mempertahankan kesinambungan usaha
perusahaan direksi harus dapat memastikan dipenuhinya tanggung
jawab sosial perusahaan. Direksi harus mempunyai perencanaan
104
tertulis yang jelas dan fokus dalam melaksanakan tanggung jawab
sosial perusahaan.21
Dalam hal pertanggungjawaban direksi harus menyusun
pertanggungjawaban pengelolaan perusahaan dalam bentuk
laporan tahunan yang memuat antara lain laporan keuangan,
laporan kegiatan perusahaan, dan laporan pelaksanaan GCG.
Laporan tahunan harus memperoleh persetujuan RUPS, dan
khusus untuk laporan keuangan harus memperoleh pengesahan
RUPS. Laporan tahunan harus telah tersedia sebelum RUPS
diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk
memungkinkan pemegang saham melakukan penilaian.22
Dengan diberikannya persetujuan atas laporan tahunan dan
pengesahan atas laporan keuangan, berarti RUPS telah
memberikan pembebasan dan pelunasan tanggung jawab kepada
masing-masing anggota direksi sejauh hal-hal tersebut tercermin
dari laporan tahunan, dengan tidak mengurangi tanggung jawab
masing-masing anggota direksi dalam hal terjadi tindak pidana
atau kesalahan dan atau kelalaian yang menimbulkan kerugian
bagi pihak ketiga yang tidak dapat dipenuhi dengan aset
perusahaan.23
Pertanggungjawaban Direksi kepada RUPS merupakan
perwujudan akuntabilitas pengelolaan perusahaan dalam rangka
pelaksanaan asas GCG. Dimana direksi harus dapat
mempertanggungjawabkan kinerjanya secara trasnparan. Maka
dari itu dalam melaksanakan tugasnya direksi harus tetap
21
Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance : Pada Badan Usaha
Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 104
22
Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance : Pada Badan Usaha
Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 103
23
Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance : Pada Badan Usaha
Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, h. 103
105
memperhitungkan kepentingan para pemangku kepentingan dan
juga pemegang saham. Terwujudnya prinsip akuntabilitas akan
mencapai kinerja yang berkesinambungan.
Selain RUPS, Dewan Komsaris, dan Direksi, organ BUMN
yang juga memiliki peran penting dalam penerapan GCG adalah
Komite Audit dan Sekretaris Perusahaan.
1. Komite Audit
Komte audit adalah organ tambahan yang diperlukan dalam
pelaksanaan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG).
Komite audit dibentuk oleh Dewan Komisaris untuk
melakukan pemeriksaan atau penelitian yang dianggap perlu
terhadap pelaksanaan fungsi direksi dalam melaksanakan
pengelolaan perusahaan serta melaksanakan tugas penting
berkaitan dengan sistem pelaporan keuangan. Anggota komite
audit diharuskan memiliki keahlian yang memadai. Komite
audit memiliki kewenangan untuk mengakses data
perusahaan.24
Komite audit harus ada didalam BUMN, karena
berdasarkan Pasal 71 Undang-Undang BUMN dewan
komisaris wajib membentuk komite tersebut yang bekerja
secara kolektif dan berfungsi untuk membantu dewan
komisaris dalam melaksanakan tugasnya mengawasi pekerjaan
direksi. Komite audit biasanya beranggotakan 3 (tiga) atau 5
(lima) orang yang salah satunya adalah anggota dewan
komisaris sebagai seorang ketua yang bertanggung jawab
kepada dewan komisaris.25
24
Indra Surya, dan Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance:
Mengesampingkan Hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha, (Jakarta:Kencana,2006), h. 145.
25
Gatot Supramono, BUMN Ditinjau Dari Segi Hukum Perdata, (Jakarta:Rineka Cipta,
2016), h. 156.
106
Ketentuan mengenai komite audit terdapat pada Keputusan
Menteri Negara Pendayagunaan Badan Usaha Milik Negara
Nomor Kep-133/M-BUMN/1999 tentang Pembentukan
Komite Audit bagi Badan Usaha Milik Negara. Ketentuan ini
menyebutkan bahwa komite audit bersifat mandiri baik dalam
pelaksanaan tugasnya maupun dalam pelaporan dan
bertanggung jawab langsung pada Dewan Komisaris.26
Dalam kaitannya dengan penerapan GCG, membangun
peran komite audit yang efektif tidak dapat terlepas dari
kacamata penerapan prinsip GCG secara keseluruhan dimana
Independensi, Transparansi, Akuntabilitas, dan tanggung
jawab serta sikap adil menjadi prinsip dan landasan.27
Dengan demikian Komite audit sebagai perwujudan dari
implementasi Tata Kelola Perusahaan yang Baik (GCG)
berkaitan dengan peran Corporate Governance tugasnya:28
a. Mengawasi proses penyusunan Corporate Governance;
b. Memastikan bahwa manajemen senior aktif secara aktif
mensosialisasikan budaya Corporate Governance;
c. Memonitor bahwa Code of Conduct telah dilaksanakan
secara konsekuen;
d. Memantau bahwa perusahaan mematuhi Undang-Undang
dan peraturan yang berlaku; dan
e. Mewajibkan auditor internal melaporkan secara tertulis
hasil evaluasi pelaksanaan Corporate Governance dan
temuan lainnya.
26
Indra Surya, dan Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance:
Mengesampingkan Hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha, (Jakarta:Kencana,2006), h. 146.
27
Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance : Pada Badan Usaha
Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, h. 20
28
Moh. Wahyudin Zakarsyi, Good Corporate Governance : Pada Badan Usaha
Manufaktur, perbankan dan jasa keuangan lainya, h. 22
107
2. Sekretaris Perusahaan
Keberadaan sekretaris perusahaan ini dinilai sangat penting,
karena segala data maupun laporan yang sifatnya material ada
pada sekretaris perusahaan. Penyediaan informasi berkaitan
dengan kepentingan pemegang saham dan pihak lain. Kewajiban
perusahaan untuk menyediakan informasi yang berkualitas, untuk
itu diperlukan sekretaris perusahaan.
Adapun fungsi sekretaris perusahaan dapat dilihat pada Pasal
29 Ayat (4) Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara
Nomor: PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola
Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan
Usaha Milik Negara adalah:29
a) Memastikan bahwa BUMN mematuhi peraturan tentang
persyaratan keterbukaan sejalan dengan penerapan
prinsip-prinsip GCG;
b) Memberikan informasi yang dibutuhkan oleh direksi dan
dewan Komisaris/dewan pengawas secara berkala
dan/atau sewaktu-waktu apabila diminta;
c) Sebagai penghubung (liaison officer); dan
d) Menatausahakan serta menyimpan dokumen perusahaan,
termasuk tetapi tidak terbatas pada Daftar Pemegang
Saham, Daftar Khusus dan risalah rapat Direksi, rapat
Dewan Komisaris dan RUPS.
Sekretaris perusahaan memiliki peranan penting dalam
menciptakan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate
Gocernance). Peranan sekretaris perusahaan ini sebenarnya tidak
terlepas dari tugas yang diembannya, yaitu memastikan
perusahaan mematuhi peraturan tentang persyaratan keterbukaan
29
Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER 01/MBU/2011 tentang
Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Badan Usaha Milik Negara, Pasal 29 Ayat (4).
108
yang berlaku dengan memberikan masukan kepada Direksi.
Sehubungan dengan hal tersebut sekretaris perusahaan harus
mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.30
Terkait dengan penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang
baik pada perusahaan grup BUMN, maka setiap tindakan direksi
anak perusahaan seharusnya lebih mengutamakan kepentingan
anak perusahaan itu sendiri dibandingkan dengan kepentingan
pihak ketiga ataupun perusahaan grup. Implikasinya, dengan
penerapan prinsip corporate governance, seharusnya tidak ada
alasan bagi anak perusahaan melakukan perbuatan hukum untuk
memenuhi kepentingan ekonomi anak perusahaan yang
bersangkutan dibandingkan dengan kepentingan pihak ketiga.31
Dalam penggunaan hak suara dalam RUPS, induk perusahaan
BUMN menentukan kebijakan bidang keuangan dan operasional
anak perusahaan yang disampaikan dalam forum RUPS.
Sebaliknya, induk perusahaan BUMN tidak dapat mencampuri
kegiatan operasional anak perusahaan menjadi tanggung jawab
direksi anak perusahaan sebagai wujud operasionaliasasi
kebijakan bidang keuangan dan operasional anak perusahaan
yang ditetapkan oleh induk perusahaan BUMN.32
Hal ini merupakan perwujudan asas GCG yaitu independensi,
dimana masing-masing organ perusahaan menghindari terjadinya
dominasi dari pihak manapun, sehingga pengambilan keputusan
dapat dilakukan secara obyektif. Masing-masing organ
30
Indra Surya, dan Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance:
Mengesampingkan Hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha, (Jakarta:Kencana,2006), h. 154
31
Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:
Erlangga, 2013), h. 144
32
Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:
Erlangga, 2013), h. 147
109
perusahaan harus melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai
dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan.
C. Kewenangan Pemerintah dalam Pengelolaan dan Pengawasan Holding
BUMN
Diawali atas putusan Mahkamah Agung yang menolak gugatan uji
materil terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata
Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan
Perseroan Terbatas. Uji material tersebut diajukan oleh Majelis Nasional
Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), Yayasan Re-IDE
Indonesia, Ahmad Redi dan Suparji, pemohon mengajukan beberapa
argumen hukum. Pertama, pemohon melihat berdasarkan Undang-Undang
Keuangan Negara dan Putusan Mahkamah Konstitusi No 47/PUU-
XI/2013 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No 62/PUU-XI/2013,
disebutkan pelaksanaan penyertaan modal negara/pemerintah pada BUMN
harus melalui persetujuan DPR yang alokasinya tercantum dalam Undang-
Undang APBN, dimana hal tersebut sesuai dengan konsep yuridis bahwa
kekayaan BUMN merupakan keuangan negara sehingga segala bentuk
pengalihan kekayaan negara di BUMN kepada pihak lain, termasuk
kepada BUMN, harus mendapatkan persetujuan DPR dan dituangkan
dalam UU APBN.
Namun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 pada
Pasal 2A Ayat (1) di sebutkan bahwa:
Penyertaan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara berupa
saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2) huruf d kepada BUMN atau Perseroan
Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Argumen kedua terletak pada Pasal 2A Ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016, yaitu:
110
Dalam hal kekayaan negara berupa saham milik negara pada
BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2) huruf d dijadikan
penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga sebagian besar saham
dimiliki oleh BUMN lain maka BUMN tersebut menjadi anak perusahaan
BUMN dengan ketentuan negara wajib memiliki saham dengan hak
istimewa yang diatur dalam anggaran dasar.
Dari Pasal 2A Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun
2016 tersebut mengarah pada adanya ketidakseimbangan antara Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 yang mendasari pembentukan Holding
BUMN dengan konsep keuangan negara yang menganut check and
balances system sesuai dengan budgeting DPR yang sesuai dengan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945.33
Keputusan penolakan uji materil atas Peraturan Pemerintah Nomor
72 Tahun 2016 oleh Mahkamah Konstitusi didasari dengan beberapa
pertimbangan dimana Hakim Mahkamah Agung, Supandi menyebutkan
bahwa Penyertaan Modal Negara (PMN) saham badan usaha milik negara
(BUMN) ke BUMN lainnya yang menjadikan status BUMN tersebut
sebagai anak perusahaan dari BUMN induk (holding) dimungkinkan,
karena tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa BUMN yang menjadi
anak perusahaan dari BUMN induk tersebut berubah menjadi Perseroan
Terbatas.
Pertimbangan selanjutnya yaitu, bahwa holdingisasi berbeda
dengan privatisasi, karena privatisasi sendiri memiliki tujuan yang salah
satunya ialah memperluas kepemilikan masyarakat, Undang-Undang
nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN pada Pasal 1 Ayat (12)
menyebutkan bahwa:
“penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada
pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan,
memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas
pemilikan saham oleh masyarakat.”
33
https://news.detik.com/berita/d-3554314/ma-dinilai-tak-cermat-adili-perkara-regulasi-holdingisasi
111
Sehingga yang dimaksud dengan Privatisasi merupakan upaya
untuk meningkatkan peran persero, sehingga diharapkan dapat terjadi
peningkatan pada kesejahteraan umum dengan memperluas kepemilikan
rakyat atas persero, serta untuk menunjang stabilitas perekonomian
nasional.
Berbeda dengan holdingisasi sebagaimana dimaksud dalam
Penjelasan Pasal 2A Ayat (3) yaitu,
Setelah dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN atau Perseroan
Terbatas, maka kekayaan negara tersebut bertransformasi menjadi
saham/modal BUMN atau Perseroan Terbatas yang bersangkutan yang
dimiliki oleh negara, sehingga status kekayaan negara berubah dari
kekayaan negara tidak dipisahkan menjadi modal/saham yang merupakan
kekayaan negara dipisahkan. Dengan demikian, walaupun kekayaan
negara tersebut berubah menjadi kekayaan BUMN atau Perseroan Terbatas
akibat transformasi tersebut, namun masih memiliki hubungan dengan
negara karena status negara sebagai pemegang saham/pemilik modal.
Dengan demikian, hal tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Kemudian pertimbangan lainnya, PMN saham negara di BUMN kepada
BUMN atau Perseroan Terbatas lain tidak bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi dan bentuk BUMN yang menjadi
anak usaha BUMN tidak berubah menjadi Perseroan Terbatas biasa,
namun tetap menjadi BUMN maka ketentuan Pasal 2A Ayat (6) dan Ayat
(7) objek HUM a quo tidak bertentangan dengan Undang-Undang.34
Namun, dari pertimbangan Hakim Mahkamah Agung tersebut yang
menyatakan bahwa Penyertaan Modal Negara atau saham suatu BUMN ke
BUMN lainnya yang menjadikan status BUMN tersebut sebagai anak
perusahaan dari BUMN induk (holding) dimungkinkan, karena tidak ada
ketentuan yang menyatakan bahwa BUMN yang menjadi anak perusahaan
dari BUMN induk tersebut berubah menjadi Perseroan Terbatas tidak
34
http://kabar24.bisnis.com/read/20170711/15/670290/putusan-ma-mudahkan-jalan-pembentukan-holding-bumn.
112
memiliki kekuatan hukum mengikat. Dikarenakan kemungkinan
sebaliknya akan terjadi dikarenakan dalam Pasal 2A Ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 menyatakan sebagai berikut:
“………maka BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN dengan
ketentuan negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa yang diatur
dalam anggaran dasar”
Penjelasan Pasal tersebut menjelaskan yang dimaksud dengan “hak
istimewa yang diatur dalam anggaran dasar” salah satunya ialah hak untuk
menyetujui perubahan struktur kepemilikan saham. Sehingga diperlukan
aturan hukum yang jelas mengikat bahwa kepemilikan saham mayoritas
bagi anak perusahaan BUMN dari BUMN induk lingkupnya tidak akan
keluar dari Pemerintah, sehingga BUMN tersebut minim resiko keluar dari
lingkup negara dan beralih pada pihak swata maupun asing.
Dalam hal ini, salah satu BUMN yang dijadikan holding ialah
BUMN sektor Tambang yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 47 Tahun 2017 dengan mengalihkan saham pemerintah dari PT
Aneka Tambang Tbk sebesar 65 persen, PT Bukit Asam Tbk sebesar 65,02
persen dan PT Timah Tbk sebesar 65 persen kepada induk holding yakni
PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero).
Setelah pembahasan mengenai ketidakikutsertaan DPR, hak
istimewa dan juga pengalihan saham pemerintah dari anggota holding
kepada induk holding, maka sejauh mana kewenangan pemerintah dalam
holding BUMN sektor tambang tersebut?
Meskipun pemerintah mengalihkan sekitar 65 persen saham dari
masing-masing anggota holding pada induk holding namun negara tetap
memiliki kontrol penuh terhadap anggota holding tersebut dikarenakan
pemerintah memiliki saham seri A dwi warna, dimana dari kepemilikan
saham tersebut pemerintah memegang kendali dalam 4 (empat) hal,
yakni:35
35
https://tirto.id/pemerintah-pegang-4-jenis-kewenangan-besar-di-holding-bumn-tambang-cAB7
113
1. Penunjukan komisaris maupun direksi tetap kewenangan pemerintah,
bukan kewenangan induk holding;
2. Struktur permodalan tetap pada pemerintah;
3. Perubahan anggaran dasar pun akan langsung dikendalikan
pemerintah; dan
4. Mengenai divestasi pun kewenangan pemerintah.
Sehingga, minim akan terjadinya pengendalian oleh induk holding
dalam beberapa hal. Namun, dari hal tersebut perlu diketahui bahwa
pembentukan holding tersebut dilakukan karena salah satu tujuan
dibentuknya holding BUMN ialah agar BUMN dapat bersaing secara
global dan meperoleh input maksimal.36
Maka sekelumit peraturan ini menyebabkan holding BUMN tidak
dapat dikonsolidasikan oleh induk holding atau jatuh ketangan swasta
maupun asing karena berdasarkan standar akuntasi keuangan 65 (PSAK65)
menyebutkan bahwa suatu aset bias dikonsolidasikan apabila suatu
perusahaan (induk perusahaan) memiliki kewenangan penuh terhadap anak
perusahaan holding.
Oleh karena itu proses konsolidasi dalam holding BUMN ini
terganjal oleh saham dwi warna yang ada pada anak perusahaan holding
yang menyebabkan induk perusahaan holding tidak memiliki otoritas
penuh terhadap anak perusahaan. Hal ini yang menjadi ganjalan. Pada
bagian lain, jika pemerintah mencabut saham dwi warna pada anak
perusahaan holding, maka pemerintah terkena delik privatisasi BUMN.
Namun, ketika suatu perusahaan tersebut tidak dapat dikonsolidasikan
akan sulit untuk mendapatkan besaran target aset yang tinggi. Sedangkan,
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mengatakan
tujuan dibentuknya holding BUMN sektor tambang ini bertujuan untuk
mengembangkan produk akhir hasil tambang, untuk mengakumulasi
modal BUMN guna membeli divestasi saham PT Freeport dan efisiensi
36
Mahmuddin Yasin, Membangun BUMN Berbudaya, (Jakarta: Booknesia kelompok
rakyat merdeka online (RMOL, 2012), h. 87.
114
dalam hal pengadaan kebutuhan alat berat industri pertambangan dan lain
sebagainya.37
Lalu berkaitan dengan pembentukan holding BUMN tersebut maka
timbul pertanyaan yang menyatakan bagaimana realisasi nilai aset hasil
konsolidasi dari tiga emiten tambang pun dipertanyakan, sedangkan proses
konsolidasi sendiri terganjal dengan adanya saham dwi warna tersebut.
Dalam artikel hukumonline.com,38
Harry Sampurno mengatakan bahwa
mengenai pengawasan oleh DPR akan tetap mengawasi tiap-tiap holding
BUMN, dikarenakan pemerintah memiliki saham dwi warna yang berarti
pemerintah memiliki hak penuh dalam mengendalikan holding BUMN
tersebut sehingga dalam rangka penjualan saham maupun langkah
privatisasi akan selalu melewati persetujuan DPR, lalu mengapa harus di
sebutkan dalam Peraturan Pemerintah tersebut bahwa negara dapat
melepas kepemilikannya disebuah perusahaan tanpa melalui persetujuan
DPR?
Hal-hal janggal tersebut yang membawa peneliti pada kesimpulan
agar pemerintah terlebih dahulu menyatukan visi dan misi serta tujuan
dalam pembentukan holding BUMN tersebut, agar tidak terjadi
ketidakseimbangan yang menimbulkan asumsi yang ambigu. Serta revisi
wajib dilakukan terhadap peraturan yang mendasari pembentukan holding
BUMN ini agar tercapainya kemaslahatan bersama serta holding BUMN
memiliki kekuatan hukum yang pasti dari setiap sudut pendiriannya.
D. Urgensi Holding BUMN sektor Pertambangan bagi Perekonomian
Indonesia
Tujuan dibentuknya holding BUMN di sektor pertambangan antara
lain yaitu adanya keinginan untuk hilirisasi sektor industri tambang,
37
https://bisnis.tempo.co/read/1037962/menteri-rini-blak-blakan-jelaskan-tujuan-bentuk-holding-bumn
38
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a17ed280f936/pp-holding-bumn-tambang-terbit--pemerintah-kendalikan-4-hal
115
mengakumulasi modal BUMN guna membeli divestasi saham PT
Freeport. Rini yakin dengan holding BUMN akan mampu membeli
saham Freeport, serta untuk menciptakan efisiensi, terlebih dalam hal
pengadaan dan klaim alat berat39
Pembentukan holding BUMN dalam industri pertambangan
memiliki tujuan, dimana pembentukan ini sesuai dengan Nawacita Butir 6
dan 7 BUMN sebagai agen pembangunan berperan penting dalam
meningkatkan priduktivitas rakyat dan daya saing Indonesia di Pasar
Internasional, sekaligus mewijudkan kemandirian ekonomi dengan
menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
Adapun tujuan utama pembentukan holding dalam sekotor
tambang untuk membentuk Perusahaan tambang yang besar, kuat dan
lincah sehingga memiliki daya saing yang kuat dalam berhadapan dengan
dominasi swata nasional dan asing. Holding BUMN Tambang dibentuk
berdasarkan PP 47/2017 yang menunjuk PT Asahan Inalum (Pesero)
sebagai perusahaan induk BUMN Tambang dengan anggota terdiri dari:
PT Aneka Tambang Tbk, PT Bukit Asam Tbk, dan PT Timah Tbk. Salah
satu tujuan pembentukan Holding Tambang adalah untuk memperkuat
struktur keuangan, mencapai efisiensi dan integrasi usaha, serta
menciptakan value creation, sehingga BUMN Tambang sehingga dapat
bersaing di pasar global dan memenuhi Pasal 33 UUD 1945 Pembentukan
Holding Tambang menjadi semakin mendesak lantaran dipersiapkan untuk
menguasai 51% saham Freeport Indonesia.40
Sesuai dengan Roadmap BUMN 2015-2019, pembentukan holding
BUMN dalam sektor tambang menjadi kebijakan pemerintah agar BUMN
sektor tambang mampu menguasai cadangan dan sumber daya mineral dan
batu bara di Indonesia, menjalankan program hilirisasi dan kandungan
39
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/17/12/22/p1bqo7354-rini-13-bumn-masih-rugi-pada-2017
40
https://industri.kontan.co.id/news/urgensi-pembentukan-holding-bumn-tambang
116
lokal, serta menjadi perusahaan kelas dunia yang masuk dalam fortune
Global 500.41
Manfaat yang didapatkan oleh masyarakat dari pembentukan ini
ialah antara lain:42
a. Menumbuhkan industri pendukung dan ikutannya secara luas
Dengan terbukanya kesempatan mengembangkan industri
pendukung dan ikutannya secara luas, keberadaan BUMN sektor
tambang akan menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat dan
menciptakan multiplier effect dengan peningkatan kualitas kehidupan
masyarakat sekitar daerah operasi holding BUMN sektor tambang
tersebut.
b. Meningkatkan kegiatan program kemitraan dan bina lingkungan
(PNIKL) dan corporate Social Responsibility (CSR).
Pertumbuhhan yang dicapai oleh holding BUMN dalam sektor
tambang secara finansial akan berdampak pada peningkatan kegiatan
PKBL dan CSR bagi masyarakat.
c. Terciptanya Lapangan usaha dari ekspansi holding
Pengembangan usaha dari holding dan peningkatan nilai tambah
dari produk yang dihasilkan dapat mendorong masyarakat untuk
menciptakan industri-industri baru yang berkaitan dengan komoditas
mineral dan tambang.
d. Mendorong efisiensi harga dari bahan tambang
Dengan adanya peningkatan nilai tambah produk yang dihasilkan,
diharapkan barang yang tadinya harus diimpor dapat diperoleh dari
produsen lokal dengan harga bahan baku dan biaya yang lebih efisien
serta memunculkan persaingan harga yang kompetitif.
41
Kementrian BUMN, Rencana Strategis Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik,
Kawasan dan Pariwisata 2015-2019, h. 23
42
Kementrian BUMN, Rencana Strategis Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik,
Kawasan dan Pariwisata 2015-2019, h. 34
117
Sedangkan manfaat holding BUMN sektor tambang bagi pemerintah
sendiri antara lain:43
a. Peningkatan pemasukan negara dari pajak, royalti, dan deviden
Skala usaha yang besar dan kuat ditunjukan dengan besarnya asset dan
perolehan holding. Pajak dan royalty yang dibayarkan kepada
pemerintah juga semakin besar seiring dengan peningkatan aktivitas
pertumbuhan yang dicapai holding.
b. Membngun idustri tambang dari hulu ke hilir
Sektor pertambangan merupakan sektor yang sangat strategis bagi
perekonomian pusat maupun daerah. Sektor ini merupakan penggerak
utama pembangunan yang memberikan multiplier effect yang
signifikan. Program hilirisasi dimaksudkan untuk meningkatkan nilai
tambah produk yang dihasilkan BUMN sektor tambang sehingga
dapat meningkatkan kontribusi sektor pertambangan terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB).
c. Pengurangan impor bahan baku industri
Kemampuan holding BUMN sektor pertambangan memproduksi
beragam mineral olahan yang diperlukan di dalam negeri akan
menurunkan kebutuhan impor perusahaan-perusahaan sektor
pertambangan di dalam negeri dengan demikian arus devisa keluar
pun akan berkurang.
d. Meningkatkan nilai tambah
Sebagai agen pembaharuan, holding BUMN sektor tambang
mengantisipasi harapan pemerintah dengan melaksanakan berbagai
proyek hilirisasi.
43
Kementrian BUMN, Rencana Strategis Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik,
Kawasan dan Pariwisata 2015-2019, h. 40
118
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Proses pembentukan Holding company pada BUMN dilakukan untuk
meningkatan daya saing melalui restrukturisasi, peningkatan efisiensi
dan ekspansi bisnis. Pengelompokan unit-unit usaha BUMN dilakukan
dengan berdasarkan sektor dan karakteristik usaha murni bisnis atau
pelayanan publik. Dalam perspektif hukum, undang-undang BUMN
mengenal adanya tiga kepemilikan saham yang dapat mengakibatkan
adanya Holding Company yaitu penggabungan, peleburan dan
pengambilalihan dan pemisahan. Pasal 65 Undang-undang BUMN
menyatakan bahwa ketentuan mengenai penggabungan, peleburan
atau pengambilalihan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan
pemerintah tersebut yaitu Peraturan Pemenerintah Nomor 43 Tahun
2005 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan dan
Pembubaran BUMN. Tidak hanya itu Undang-undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pun menjelaskan mengenai
proses yang dapat mengakibatkan adanya holding company.
2. Dalam mengawasi jalannya sebuah holding diperlukan adanya
penerapan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada
holdingisasi BUMN tersebut ditinjau dari Peraturan Menteri Badan
Usaha Milik Negara Nomor: PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan
Tata Kelola yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) maka pada perusahaan grup BUMN
(Holding company BUMN) dari perspektif yuridis, setiap anak
perusahaan merupakan badan hukum yang mandiri dan otonom, yang
dilengkapi dengan organ-organ perusahaan seperti Direksi yang
bertanggung jawab dalam menjalankan operasional perusahaan.
Sehingga dalam menjalankan operasional perusahaannya, induk
perusahaan maupun anak perusahaan BUMN menjalankan prinsip tata
119
kelola perusahaan yang baik sesuai dengan ketentuan Peraturan
Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER01/MBU/2011
tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good
Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara Pasal 45
Ayat (2) yang berbunyi:
“Ketentuan dalam Peraturan Menteri ini, dapat pula diberlakukan
terhadap perseroan terbatas yang sebagian sahamnya dimiliki oleh
Negara, dan anak perusahaan BUMN, sepanjang hal tersebut
disetujui oleh RUPS perseroan terbatas atau anak perusahaan BUMN
dimaksud.”
Setiap organ perusahaan harus menjalankan fungsinya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku atas dasar prinsip bahwa masing-masing organ
mempunyai independensi dalam melaksanakan tugas, fungsi dan
tanggung jawab semata-mata untuk kepentingan perusahaan.
3. Lalu bagaimana dengan kewenangan pemerintah dalam pengelolaan
dan pengawasan holding BUMN, serta Urgensi Holding BUMN
Sektor Pertambangan bagi perekonomian Indonesia? Kewenangan
penuh tetap dimiliki pemerintah dikarenakan pemerintah masih
memegang saham dwi warna atau saham seri A yang mana setiap
pengendalian terhadap holding BUMN di pegang penuh oleh
Pemerintah, berikut merupakan 4 (empat) hal yang jadi kewenangan
pemerintah antara lain, Penunjukan komisaris maupun direksi tetap
kewenangan pemerintah, bukan kewenangan induk holding; Struktur
permodalan tetap pada pemerintah; Perubahan anggaran dasar pun
akan langsung dikendalikan pemerintah; dan Mengenai divestasi pun
kewenangan pemerintah.
Dengan kepemilikan saham dwi warna tersebut menyebabkan holding
BUMN tidak dapat dikonsolidasikan oleh induk holding atau jatuh
ketangan swasta maupun asing karena berdasarkan standar akuntasi
keuangan 65 (PSAK65) menyebutkan bahwa suatu aset bisa
120
dikonsolidasikan apabila suatu perusahaan (induk perusahaan)
memiliki kewenangan penuh terhadap anak perusahaan holding.
Oleh karena itu proses konsolidasi dalam holding BUMN ini terganjal
oleh saham dwi warna yang ada pada anak perusahaan holding yang
menyebabkan induk perusahaan holding tidak memiliki otoritas penuh
terhadap anak perusahaan. Hal ini yang menjadi ganjalan. Pada bagian
lain, jika pemerintah mencabut saham dwi warna pada anak
perusahaan holding, maka pemerintah terkena delik privatisasi
BUMN. Namun, ketika suatu perusahaan tersebut tidak dapat
dikonsolidasikan akan sulit untuk mendapatkan besaran target aset
yang tinggi. Sedangkan, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Rini Soemarno mengatakan tujuan dibentuknya holding BUMN sektor
tambang ini bertujuan untuk mengembangkan produk akhir hasil
tambang, untuk mengakumulasi modal BUMN guna membeli
divestasi saham PT Freeport dan efisiensi dalam hal pengadaan
kebutuhan alat berat industri pertambangan dan lain sebagainya.1
Lalu berkaitan dengan pembentukan holding BUMN tersebut maka
timbul pertanyaan yang menyatakan bagaimana realisasi nilai aset
hasil konsolidasi dari tiga emiten tambang pun dipertanyakan,
sedangkan proses konsolidasi sendiri terganjal dengan adanya saham
dwi warna tersebut. Dalam artikel hukumonline.com,2 Harry
Sampurno mengatakan bahwa mengenai pengawasan oleh DPR akan
tetap mengawasi tiap-tiap holding BUMN, dikarenakan pemerintah
memiliki saham dwi warna yang berarti pemerintah memiliki hak
penuh dalam mengendalikan holding BUMN tersebut sehingga dalam
rangka penjualan saham maupun langkah privatisasi akan selalu
melewati persetujuan DPR, lalu mengapa harus di sebutkan dalam
1 https://bisnis.tempo.co/read/1037962/menteri-rini-blak-blakan-jelaskan-tujuan-bentuk-
holding-bumn
2 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a17ed280f936/pp-holding-bumn-tambang-
terbit--pemerintah-kendalikan-4-hal
121
Peraturan Pemerintah tersebut bahwa negara dapat melepas
kepemilikannya disebuah perusahaan tanpa melalui persetujuan DPR?
A. REKOMENDASI
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis menyarankan bagi seluruh
elemen masyarakat untuk selalu mengawal setiap proses pengambilan
hingga proses pengesahan sebuah kebijakan agar tidak terjadi sebuah
masalah baru atas kebijakan tersebut dikemudian hari, dan dari hal-hal
janggal tersebut yang kemudian membawa peneliti pada kesimpulan agar
pemerintah terlebih dahulu menyatukan visi dan misi serta tujuan dalam
pembentukan holding BUMN tersebut, agar tidak terjadi
ketidakseimbangan yang menimbulkan asumsi yang ambigu. Serta revisi
wajib dilakukan terhadap peraturan yang mendasari pembentukan holding
BUMN ini agar tercapainya kemaslahatan bersama serta holding BUMN
memiliki kekuatan hukum yang pasti dari setiap sudut pendiriannya.
122
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Diah, Marwah M., Restrukturisasi BUMN di Indonesia (Privatisasi atau
Korporatisasi), (Jakarta:Literata Lintas Media, 2003)
Djohanputro, Bramantyo Manajemen Keuangan Korporasi,(Jakarta:PPM,2008)
Faizal, Akbar Tanri Abeng Menjawab: Profesional Versus Politik (Jakarta:
Alexindo Media Komputindo, 2002)
Fuady, Munir, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung:
Citra Aditya Bakti,1999)
Harahap, M. Yahya, Hukum Perseroan Terbatas, Ed. 1, Cet. Ke-3 (Jakarta: Sinar
Grafka,201)
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung:PT Citra
Aditya Bakti, 2010)
Nugroho, Rian dan Randy R. Wrihatnolo, Manajemen Privatisasi BUMN,
(Jakarta:ELex Media Kompetindo, 2008)
Pawana, Sekhar Chandra, Penerapan Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik
(Good Corporate Governance) dalam kebijakan Rightsizing BUMN,
Naskah Publikasi , Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Prathama Rahardja dan Mandala Manurung, Pengantar Ilmu Ekonomi
(mikroekonomi dan makro ekonomi), (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia,2017), ed. III
Sarosa, Samiaji, Penelitian Kualitatif Dasar-dasar, Cet ke-1, (Jakarta: Permata
Putri Media, 2012)
Sulistiowati, Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia,
(Jakarta: Erlangga, 2013), h. 2-3. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011)
Surya, Indra dan Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance
Mengesampingkan Hak-hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha (Jakarta:
Kencana, 2008)
Yasin, Mahmuddin Membangun BUMN Berbudaya, (Jakarta: BOOKNESIA
Kelompok Rakyat Merdeka Online (RMOL),2012)
123
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara, Pasal 1 Ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4297), Pasal 1 huruf 1.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4297), Pasal 1 huruf 1.
MEDIA INTERNET
Hermawan, Bayu, Rini: 13 BUMN masih rugi pada 2017, jumat 22
Desember2017,http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/17/12/22/
p1bqo7354-rini-13-bumn-masih-rugi-pada-2017 diakses pada tanggal 27
Desember 2017 pada pukul 17.54
Susana, Iriyani, Penerapan Tata Kelola Perusahaan,www.elearning
.comunity.blog.com, 2008 diaskses pada tanggal 27 Desember 2017 pada
pukul 19.20
Website Resmi PT. Antam Tbk., struktur,
http://www.antam.com/index.php?option=com_content&task=view&id=32
&Itemid=38, diakses pada 08 Juni 2018 pukul 09.22.
Website Resmi PT. Bukit Asam Tbk., Sejarah PTBA,
http://www.ptba.co.id/id/tentang/profil#history, diakses pada 08 Juni 2018
pukul 09.22
Website Resmi PT. Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) Persero, sejarah
singkat, http://www.inalum.id/article/sejarah-singkat.html, diakses pada 08
Juni 2018 pukul 09.22.