19
TINJAUAN PUSTAKA TETANUS A. DEFINISI Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandain dengan meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuromuskular (neuromuscular junction) dan saraf otonom. B. ETIOLOGI Tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani. Kuman yang menghasilkan toksin berbentuk batang dengan sifat : 1. Basil Gram-positif dengan spora pada ujungnya sehingga berbentuk seperti pemukul genderang 2. Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagela 3. Menghasilkan eksotoksin yang kuat 10

KASUS I - Tipus Tetanus

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KASUS I - Tipus Tetanus

TINJAUAN PUSTAKA

TETANUS

A. DEFINISI

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandain dengan

meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin,

suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.

Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai

dampak eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps

ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuromuskular

(neuromuscular junction) dan saraf otonom.

B. ETIOLOGI

Tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani. Kuman yang menghasilkan

toksin berbentuk batang dengan sifat :

1. Basil Gram-positif dengan spora pada ujungnya sehingga berbentuk

seperti pemukul genderang

2. Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan

anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagela

3. Menghasilkan eksotoksin yang kuat

4. Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam

suhu tinggi, kekeringan dan desinfektan. Spora yang dihasilkan tidak

berwarna, berbentuk ovale, menyerupai raket tenes atau paha ayam.

Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran

manusia dan hewan peliharaan serta di daerah pertanian. Bakteri ini peka

terhadap panas dan tidak dapat bertahan dalam lingkungan yang terdapat

oksigen. Sebaliknya, dalam bentuk spora sangat resisten terhadap panas dan

antiseptik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan

selama bertahun-tahun dalam lingkungan yang anaerob. Spora dapat bertahan

dalam autoklaf pada suhu 249,8 °F (121°C) selama 10-15 menit. Spora juga

10

Page 2: KASUS I - Tipus Tetanus

relatif resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya. Spora dapat menyebar

kemana-mana, mencemari lingkungan secara fisik dan biologik.

C. EPIDEMIOLOGI

Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di

seluruh dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta

kasus dengan tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%.

Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir menimpa individu non imun,

individu dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang

kemudian gagal mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi

ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi, tetanus masih

merupakan penyakit yang membebani di seluruh dunia terutama di negara

beriklim tropis dan negara berkembang. Penyakit ini umum terjadi di daerah

pertanian, beriklim hangat dan selama musim panas. Penyakit ini dapat terjadi

pada semua kelompok umur dengan case fatality rate yang tinggi (10-80%).

Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada populasi usia tua.

D. PATOFISIOLOGI

Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Adanya

luka mungkin dapat tidak disadari, dan seringkali tidak dilakukan pengobatan.

Tetanus juga dapat terjadi akibat beberapa komplikasi kronik seperti ulkus

dekubitus, abses dan gangren. Dapat juga terjadi akibat frost bite, infeksi

telinga tengah,pembedahan, persalinan, dan pemakaian obat-obatan intravena

atau subkutan. Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang

dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya

benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan

kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau

jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada

pembedahan.

Sering terjadi komplikasi luka oleh spora Clostridium tetani. Clostridium

tetani sendiri tidak menyebabkan inflamasi dan port d’entrae tampak tenang

tanpa tanda inflamasi, kecuali apabila ada infeksi oleh mikroorganisme yang

11

Page 3: KASUS I - Tipus Tetanus

lain (Imanoe G, 2006). Spora yang masuk ke dalam tubuh tidak berbahaya

sampai dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi anaerob), sehingga berubah

menjadi bentuk vegetatif dan berbiak dengan cepat tetapi hal ini tidak

mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala klinis sepenuhnya disebabkan oleh

toksin yang dihasilkan oleh sel vegetatif yang sedang tumbuh (Depkes, 2008).

Clostridium tetani menghasilkan dua eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan

tetanolisin. Tetanolisin menyebabkan hemolisis tetapi tidak berperan dalam

penyakit ini (Depkes, 2008). Tetanolisin mampu secara lokal merusak

jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan

mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri.

Gejala klinis tetanus disebabkan oleh tetanospasmin. Tetanospasmin

melepaskan pengaruhnya di keempat sistem saraf:

1. Motor end plate di otot rangka

2. Medula spinalis

3. Otak

4. Pada beberapa kasus, pada sistem saraf simpatis

Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat

motor end plate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang

belakang dan menyebar ke susunan saraf pusat lebih banyak dianut daripada

lewat pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini melewati saraf

motorik, terutama serabut motorik. Reseptor khusus pada ganglion

menyebabkan fragmen C toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui

proses perlekatan dan internalisasi, toksin diangkut ke arah sel secara ektra

aksional dan menimbulkan perubahan potensial membran dan gangguan

enzim yang menyebabkan kolin-esterase tidak aktif, sehingga kadar

asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps yang terkena. Toksin

menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan impuls pada tonus

otot, sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan kekakuan. Bila tonus

makin meningkat akan menimbulkan spasme terutama pada otot yang besar.

Dampak toksin antara lain :

1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan karena

eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan

12

Page 4: KASUS I - Tipus Tetanus

dan koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi

kaku.

2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada

gangliosida serebri diduga menyebabkan kekakuan dan spasme yang

khas pada tetanus.

3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan

menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi,

hipertensi, aritmia, heart block, atau takikardia.

Terikatnya toksin pada neuron bersifat irreversible. Pemulihan

membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa

tetanus berdurasi lama.

E. MANIFESTASI KLINIS

Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma. Kontaminasi luka dengan

tanah, kotoran binatang atau logam berkarat dapat menimbulkan tetanus

(Imanoe, 2006). Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih

pendek (1 hari atau hingga beberapa bulan). Hal ini secara langsung

berhubungan dengan jarak dari tempat masuknya kuman C. tetani (tempat

luka) ke Susunan Saraf Pusat (SSP); secara umum semakin besar jarak antara

tempat luka dengan SSP, masa inkubasi akan semakin lama. Semakin pendek

masa inkubasi, akan semakin tinggi kemungkinan terjadinya kematian

(Sumarmo et al, 2008). Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis,

yakni :

1. Tetanus Generalisata/Tetanus Umum

Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat

luka bervariasi, mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma

yang terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar

tergantung dari jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya memiliki

pola yang desendens. Tanda pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti

dengan kekakuan pada leher, kesulitan menelan, dan spasme pada otot

abdomen. Gejala utama berupa trismus terjadi sekitar 75% kasus,

seringkali. Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah,

13

Page 5: KASUS I - Tipus Tetanus

hiperhidrosis dan disfagia dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme

otot punggung. Manifestasi dini ini merefleksikan otot bulbar dan

paraspinal, mungkin karena dipersarafi oleh akson pendek. Spasme dapat

terjadi berulang kali dan berlangsung hingga beberapa menit. Spasme

dapat berlangsung hingga 3-4 minggu. Pemulihan sempurna memerlukan

waktu hingga beberapa bulan.

2. Localized Tetanus/Tetanus Lokal

Tetanus lokal merupakan bentuk tetanus yang jarang dimana

manifestasi klinisnya terbatas hanya pada otot-otot di sekitar luka.

Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran toksin pada tempat hubungan

neuromuskuler. Gejalanya bersifat ringan dan dapat bertaham sampai

berbulan-bulan. Progresi ke tetanus generalisata dapat terjadi. Namun

demikian secara umum prognosisnya baik. Hanya sekitar 1% kasus yang

menyebabkan kematian.

3. Tetanus Sefalik

Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal.

Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi

setelah infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis

motorik (seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal

hingga tetanus umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2

hari. Prognosis biasanya buruk.

4. Tetanus Neonatorum

Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Biasanya terjadi dalam

bentuk generalisata. Tetanus neonatorum terjadi pada negara yang belum

berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian neonatus.

Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang terkontaminasi

untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi. Masa

inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum

ASI, mulut mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi

70%.

14

Page 6: KASUS I - Tipus Tetanus

F. DERAJAT KEPARAHAN

Terdapat beberapa system pembagian derajat keparahan yang dilaporkan.

Sistem yang dilaporkan oleh Ablett merupakan system yang paling sering

dipakai.

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Keparahan oleh Ablett

G. PENEGAKAN DIAGNOSIS

Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena

pemeriksaan laboratorium tidak spesifik. Jadi, penegakan diagnosis

sepenuhnya didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jangan

menyingkirkan diagnosis tetanus meskipun orang tersebut telah diimunisasi

secara lengkap. Diperkirakan terdapat 4-100 juta kasus tetanus pada orang

yang telah divaksinasi (imunokompeten).

1. Anamnesis

Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain :

a. Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka,

luka dengan nanah atau gigitan binatang?

b. Apakah pernah keluar nanah dari telinga?

c. Apakah pernah menderita gigi berlubang?

d. Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan

imunisasi yang terakhir?

15

Page 7: KASUS I - Tipus Tetanus

e. Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau

spasme lokal) dengan spasme yang pertama (period of onset)?

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaaan fisik dapat ditemukan :

a. Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga

sukar untuk membuka mulut.

b. Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik

sehingga tampak dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut

mulut tertarik keluar dan kebawah.

c. Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti:

otot punggung, otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan

yang sangat berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti

busur.

d. Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan.

e. Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang

awalnya hanya terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit,

digerakkan secara kasar, atau terkena sinar yang kuat.

f. Pada tetanus neonatorum awalnya bayi tampak sulit untuk

menghisap dan cenderung terus menangis. Setelah itu, rahang

menjadi kaku sehingga bayi tidak bisa menghisap dan sulit menelan.

Beberapa saat sesudahnya, badan menjadi kaku serta terdapat

spasme intermiten.

g. Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai

akibat spasme yang terus-menerus atau oleh karena kekakuan otot

laring yang dapat menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh

toksin pada saraf otonom menyebabkan gangguan sirkulasi

(gangguan irama jantung atau kelainan pembuluh darah), dapat pula

menyebabkan suhu badan yang tinggi atau berkeringat banyak;

kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi retentio

alvi atau retentio urinae atau spasme laring; patah tulang panjang dan

kompresi tulang belakang.

16

Page 8: KASUS I - Tipus Tetanus

3. Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.

a. Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka

tetanus. Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka

orang yang tidak mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat

dikultur pada pasien tetanus. Biakan kuman memerlukan prosedur

khusus untuk kuman anaerobik. Selain mahal, hasil biakan yang

positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti. Hanya sekitar 30%

kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat diisolasi dari

pasien yang tidak mengalami tetanus.

b. Nilai hitung leukosit dapat tinggi.

c. Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang

normal.

d. Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap

sebagai imunisasi dan bukan tetanus.

e. Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat

meningkat.

f. EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus-

menerus dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang

normal yang diamati setelah potensial aksi.

g. Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG

H. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit.

Diagnosis bandingnya adalah sebagai berikut :

1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut

tidak dijumpai trismus, risus sardonikus. Namun dijumpai gangguan

kesadaran dan terdapat kelainan likuor serebrospinal.

2. Tetani disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis dijumpai adanya

spasme karpopedal.

3. Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan

pada anamnesis terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi.

17

Page 9: KASUS I - Tipus Tetanus

4. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, otitis

media supuratif kronis (OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya

asimetris.

I. KOMPLIKASI

J. PENATALAKSANAAN

1. Penatalaksanaan Umum

a. Pasien hendaknya ditempatkan di ruangan yang tenang di ICU,

dimana observasi dan pemantauan kardiopulmober dapat dilakukan

secara terus-menerus, sedangkan stimulasi diminimalisasi

b. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi

Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus

pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat

dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi secara

parenteral. Setelah spasme mereda dapat dipasang sonde lambung

untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada

kemungkinan terjadinya aspirasi.

c. Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu

intubasi atau trakeostomi.

d. Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker).

e. Mengurangi spasme dan mengatasi spasme.

Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa

menekan pusat kortikal. Diazepam digunakan sebagai terapi spasme

tetanik dan kejang tetanik. Mendepresi semua tingkatan system saraf

pusat, termasuk bentukan limbic dan reticular. Mungkin dengan

meningkatkan aktifitas GABA.

1) Dosis Dewasa

Spasme Ringan : 5-10 mg oral tiap 4-6 jam apabila perlu

Spasme Sedang : 5-10 mg iv apabila perlu

Spasme berat : 50-100 mg dalam 500 ml D5%, diinfuskan

40 mg per jam

18

Page 10: KASUS I - Tipus Tetanus

2) Dosis Anak

Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3

mg/kgBB/kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau

dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah

8mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam.

Spasme harus segera dihentikan dengan pemberian diazepam 5

mg per rektal untuk BB<10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak

dengan BB ≥10 kg, atau dosis diazepam intravena untuk anak

0,3 mg/kgBB/kali.

Setelah spasme berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan

dengan dosis rumatan sesuai dengan keadaan klinis pasien.

Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis

awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut,

diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari

dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat

diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40

mg/kgBB/hari.

Obat lain yang dapat digunakan untuk menangani spasme otot

diantaranya baclofen, dantrolen, barbirutat dan chlorpromazine.

f. Eksplorasi luka, dibersihkan secara hati-hati dan dilakukan

debridement secara menyeluruh

2. Penatalaksanaan Khusus

a. Netralisasi dari toksin yang bebas

Penatalaksanaan khusus tetanus terdiri dari pemberian serum

anti tetanus/HTIG dan antibiotika. Tujuan pemberian ATS dan HTIG

adalah untuk menetralisasi toksin yang beredar di dalam darah dan

dapat juga diberikan sebagai profilaksis. Antitoksin menurunkan

menetralisasi toksi yang beredar di sirkulasi dan toksin pada luka

yang belum terikat, walaupun toksin yang telah melekat pada

jaringan saraf tidak terpengaruh. Immunoglobulin tetanus manusia

(TIG/HTIG) merupakan pilihan utama dan hendaknya diberikan

segera dengan dosis 3000-6000 IU intramuscular. Paling baik

19

Page 11: KASUS I - Tipus Tetanus

memberikan antitoksin sebelum memanipulasi luka. Berikut ini

adalah tabel perbandingan antara ATS dan HTIG

Tabel 2. Perbandingan ATS dan HTIG

b. Menyingkirkan sumber infeksi

Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah

menjadi terapi pilihan yang digunakan di beberapa pelayanan

kesehatan. Metronidazol diberikan secara iv dengan dosis 500 mg

tiap 6 jam atau 1 gram tiap 12 jam. Metronidazol efektif untuk

mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini

kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-100.000

U/kgBB/hari selama 7-10 hari. Penisilin membunuh bentuk vegetatif

C.tetani. Sampai saat ini, pemberian penisilin G secara parenteral

dengan dosis 100.000 U/kgBB/hari secara iv, setiap 6 jam selama 10

hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus.

Sebuah penelitian menyatakan bahwa penisilin mungkin

berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan

menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).

K. Prognosis

Penerapan metode untuk monitoring dan oksigenasi suportif telah secara

nyata memperbaiki prognosis tetanus. Rata-rata angka kematian akibat

20

Page 12: KASUS I - Tipus Tetanus

tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka mortalitas dapat diturunkan

hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan yang modern. Banyak

faktor yang berperan penting dalam prognosis tetanus. Diantaranya adalah

masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan status imunitas pasien.

Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk.

Semakin pendek masa awitan, semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka dan

luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam menentukan prognosis.

Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus

sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis

buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian

antitoksin profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup,

meskipun terjadi tetanus.

Berikut ini adalah skala/derajat keparahan yang menentukan prognosis

tetanus menurut sistem skoring Bleck:

Tabel 3. Sistem Skoring Bleck

21