karbon

Embed Size (px)

Citation preview

Estimasi Kandungan Karbon Tegakan Akasia (Acacia crassicarpa Cunn Ex. Benth) dalam Hutan Tanaman Industri di Lahan Gambut Bekas Terbakar (Studi Kasus di Areal IUPHHK-HT PT. SBA Wood Industries)

PUTERI RAMADHAN E44070067

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

Estimation of Carbon Sink Potential on Akasia (Acacia crassicarpa Cunn Ex. Benth) Stand in Industrial Forest on The Burnt Peat Land, A Case Study in IUPHHK-HT Area of PT. SBA Wood Industries By: Puteri Ramadhan dan Bambang Hero Saharjo

INTRODUCTION. Forest ecosystem helps to reduce C concentration within the atmosphere through photosynthesis. The CO2 within the air was assimilated by plants and then converted into carbohydrates. It was then sequestrated inside the plant organs such as stems, branches, twigs, leaves, flowers, and fruits. Therefore, by measuring the amounts of carbon stored inside the plant biomass within a certain area, the amounts of CO2 which can be assimilated by plants can also be assessed. The correct estimation of carbon content in forest areas, particularly the peat forests, is required in many forestry applications and in its relation to the global carbon cycle. MATERIALS AND METHOD. This research was conducted in the peat land area of IUPHHK-HT PT. SBA Wood Industries, from May to June 2011. The selected area is a forest of Acacia crassicarpa on the low stocking and high stocking plots. The materials used are 3-year-old Acacia crassicarpa forest in each of the research plots. The tools used in this research consists of compass, meter band, height measurement tools, label stickers, plastic ropes, plastic bags, chopping knife, scale, digital camera, writing tools, and tally sheets. On each plots, five areas of 20 m x 20 m are created for the stand measurements, with four 2 m x 2 m subplots created in every corner of each plots for the taking of below plants and litters. The data obtained was then processed through the biomass approach and then converted into units of carbon deposits in tons/ ha. ANOVA analysis and Least Significant Difference (LSD) tests was used to study the vegetation factors (stands, below plants, and litters) which affects the carbon deposits in each research plots. RESULTS AND DISCUSSION. The estimated carbon stock on the low stocking plot was 28,99 tons/ ha, while on the high stocking plot, the value was 131,84 tons/ ha. The stock differences was mainly caused by the different quality of the environments of each plots. The ANOVA showed the R-sq value of 84,37% on the low stocking plot and was 99,87% on the high stocking plot, at the significance level of 5%. It means that there was a different carbon potency on one of the vegetation variables, i.e. stands, which significantly effects the total carbon storage potency of a certain plot. CONCLUSION. The potency of the stands carbon sink on each plots contributes the largest carbon content capacity on a certain plot. Therefore a good planting management and the appropriate selection of planting locations is necessary, so that the quality of the planting environment doesnt effect the biomass growth of a stand which corresponds the carbon content value that can be assimilated. Key words: low stocking, high stocking, biomass, carbon sink

Estimasi Kandungan Karbon Tegakan Akasia (Acacia crassicarpa Cunn Ex. Benth) dalam Hutan Tanaman Industri di Lahan Gambut Bekas Terbakar, Studi Kasus di Areal IUPHHK-HT PT. SBA Wood Industries Oleh: Puteri Ramadhan dan Bambang Hero Saharjo PENDAHULUAN. Ekosistem hutan dapat membantu mengurangi konsentrasi C di atmosfir melalui proses fotosintesis. CO2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disekuestrasi dalam organ tumbuhan seperti batang, cabang, ranting, daun, bunga, dan buah. Sehingga dengan mengukur jumlah C yang disimpan dalam biomassa pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang mampu diserap tumbuhan. Estimasi kandungan karbon yang tepat pada areal hutan, khususnya hutan gambut, sangat dibutuhkan dalam berbagai aplikasi kehutanan dan hubungannya dengan siklus global karbon. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di areal lahan gambut IUPHHK-HT PT. SBA Wood Industries, selama bulan April hingga Mei 2011. Areal yang dipilih adalah hutan tanaman Acacia crassicarpa pada petak low stocking dan high stocking. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah hutan tanaman Acacia crassicarpa berumur 3 tahun pada masing-masing petak penelitian. Alat-alat yang digunakan adalah kompas, pita meter, alat pengukur tinggi, kertas label, tali rafia, kantong plastik, golok, timbangan, oven, alat dokumentasi, alat tulis, dan tally sheet. Pada masing-masing lokasi penelitian dibuat 5 petak seluas 20 m x 20 m untuk pengukuran tegakan, dengan 4 subpetak berukuran 2 m x 2 m di dalam setiap sudut petak untuk analisis dan pengambilan vegetasi tumbuhan bawah dan serasah. Data-data yang diperoleh diolah melalui pendekatan biomassa kemudian dikonversi menjadi simpanan karbon dalam ton/ha. Untuk mengetahui faktor vegetasi (tegakan, tumbuhan bawah, dan serasah) yang berpengaruh terhadap simpanan karbon pada masing-masing petak penelitian, digunakan analisis dengan menggunakan ANOVA dan uji lanjut Least Significant Difference (LSD). HASIL DAN PEMBAHASAN. Estimasi kandungan karbon pada petak low stocking adalah 28,99 ton/ha, sedangkan pada petak high stocking adalah sebesar 131,84 ton/ha. Perbedaan stok tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan kualitas tempat tumbuh pada masing-masing petak yang berlainan. Analisis statistik menggunakan ANOVA menunjukkan nilai R-sq = 84,37% pada petak low stocking dan R-sq = 99,87% pada petak high stocking dengan masing-masing taraf nyata 5% berarti terdapat perbedaan potensi karbon pada salah satu variabel vegetasi, yaitu tegakan, yang berpengaruh nyata terhadap potensi simpanan karbon total suatu petak tertentu. KESIMPULAN. Potensi kandungan karbon tegakan pada masing-masing petak menyumbangkan potensi kandungan karbon terbesar dalam suatu petak. Oleh karena itu manajemen penanaman yang baik serta pemilihan tempat tumbuh yang tepat diperlukan agar perbedaan kualitas tempat tumbuh tidak mempengaruhi pertumbuhan biomassa suatu tegakan yang berbanding lurus dengan kandungan karbon yang mampu diserapnya. Kata kunci: Low stocking, high stocking, biomassa, simpanan karbon.

Estimasi Kandungan Karbon Tegakan Akasia (Acacia crassicarpa Cunn Ex. Benth) dalam Hutan Tanaman Industri di Lahan Gambut Bekas Terbakar (Studi Kasus di Areal IUPHHK-HT PT. SBA Wood Industries)

Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

PUTERI RAMADHAN E44070067

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

Judul Penelitian

:

Estimasi Kandungan Karbon Tegakan Akasia (Acacia crassicarpa A. Cunn Ex. Benth) dalam Hutan Tanaman Industri di Lahan Gambut Bekas Terbakar. Studi Kasus di Areal

IUPHHK-HT PT. SBA Wood Industries Nama Mahasiswa NRP : : Puteri Ramadhan E44070067

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr NIP. 19641110 199002 1 001

Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan IPB

Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr NIP. 19641110 199002 1 001

Tanggal lulus : 18 Agustus 2011

PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Estimasi Kandungan Karbon Tegakan Akasia (Acacia crassicarpa Cunn Ex. Benth) dalam Hutan Tanaman Industri di Lahan Gambut Bekas Terbakar, Studi Kasus di Areal IUPHHK-HT PT. SBA Wood Industries adalah benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 24 Agustus 2011

Puteri Ramadhan NIM. E44070067

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan kasih sayangNya sehingga skripsi yang berjudul Estimasi Kandungan Karbon Tegakan Akasia (Acacia crassicarpa Cunn Ex. Benth) dalam Hutan Tanaman Industri di Lahan Gambut Bekas Terbakar, Studi Kasus di Areal IUPHHK-HT PT. SBA Wood Industries dapat diselesaikan. Mengingat pada keistimewaan hutan gambut dibandingkan tipe hutan lainnya yang mampu menyimpan lebih banyak bahan organik dan sebagai salah satu kawasan cadangan gambut terluas di pantai timur sumatera, maka diharapkan potensinya yang besar dalam menyerap dan mengurangi penyebaran Gas Rumah Kaca (GRK) di udara. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang membangun penulis harapkan demi perbaikan dan pengembangan lebih lanjut. Penulis berharap karya kecil ini tidak mengurangi hakikat kebenaran ilmiahnya dan bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Bogor, 24 Agustus 2011

Penulis

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada tanggal 2 Mei 1989 di Bukittinggi, Sumatera Barat, sebagai anak keempat dari enam bersaudara pasangan dr. Yusrizal, SpOG dan Darna Zubir. Pada tahun 2007 penulis lulus dari SMAN 1 Rangkasbitung, Banten, dan melanjutkan ke IPB melalui jalur SPMB dengan memilih mayor Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan sebagai pilihan pertama. Penulis memantapkan minat pada studi di bidang Kebakaran Hutan dan Lahan. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis tergabung dalam himpunan profesi mahasiswa Silvikultur yaitu Tree Grower Community (TGC). Di antara aktivitas studi, penulis juga menjadi asisten praktikum mata kuliah dendrologi dan silvikultur. Penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) jalur Sancang-Kamojang, melakukan kegiatan PPH di Hutan Pendidikan Gunung Walad serta melaksanakan Praktek Kerja Profesi (PKP) di PT. SBA Wood Industries. Untuk memperoleh gelar sarjana Kehutanan IPB, Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Estimasi Kandungan Karbon Tegakan Akasia (Acacia crassicarpa Cunn Ex. Benth) dalam Hutan Tanaman Industri di Lahan Gambut Bekas Terbakar, studi kasus di areal IUPHHK-HT PT. SBA Wood Industries di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr.

Bogor, 24 Agustus 2011

Penulis

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran

terselesaikannya penyusunan skripsi, terutama kepada: 1. Papi, Mami, yang telah menjadi sumber semangat bagi penulis, serta keluarga besar atas doanya. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr yang telah menjadi dosen pembimbing skripsi dan memberikan banyak masukan hingga tersusunnya skripsi ini dengan baik. 3. Bapak Prof. Dr. Ir Nurheni Wijayanto, MS yang telah menjadi dosen pembimbing akademik. 4. Bapak Pror. Dr. Ir. Surdiding Ruhendi, M.Sc selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan. 5. Komisi Pendidikan Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor yang telah membantu dalam pengurusan administrasi. 6. Bapak Sambusir, Bapak Iwan, Bapak Endang, Bapak Doddy Doris, Bapak Mara Ispama, beserta seluruh jajaran PT. SBA Wood Industries yang telah membantu kelancaran pelaksanaan penelitian. 7. Teman-teman Departemen Silvikultur 44 terutama sahabat terbaikku Eka, Satriavi, Laswi, Azizah, Wiwit, Lilik, Rhomi, Ardiansyah, Alex, Arifin, Gita dan Rahman FKH 44, Ramadhani dan Layah AGH 44, Rinda Bik 44, Dewi dan Ipul Stat 44. 8. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dan telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Bogor, 24 Agustus 2011

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR .................................................................................... i RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ ii UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................... iii DAFTAR ISI.................................................................................................... iv DAFTAR TABEL ..... ...................................................................................... v DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... viI. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang .......................................................................................................... 1 1.2. Tujuan Penelitian......................................................................................... 2 1.3. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 2 1.4. Kerangka Pemikiran ................................................................................... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA2.1. Kebakaran Hutan dan Lahan .................................................................................. 4 2.2. Kebakaran pada Hutan Gambut ............................................................................. 7 2.3. Karbon ...................................................................................................... 8 2.4. Biomassa ................................................................................................... 9 2.5. Pendugaan dan Pengukuran Biomassa ....................................................... 10 2.6. Model Pendugaan Biomassa dan Karbon .......................................................... 11 2.7. Hutan Tanaman Industri .......................................................................................... 11 2.8. Tinjauan Umum Akasia .......................................................................................... 13 2.9. Tegakan Low Stocking dan High Stocking .............................................................. 16 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................................. 17 3.2. Bahan dan Alat ........................................................................................... 17 3.3. Metode Pengambilan Data ......................................................................... 17 3.4. Prosedur Penelitian .................................................................................................. 17 3.5. Analisis Data ........................................................................................................... 19 3.6. Hipotesis .................................................................................................................. 22

IV. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 4.1. Identitas Perusahaan ................................................................................................ 23 4.2. Letak, Luas dan Batas Areal Kerja .......................................................................... 23 4.3. Iklim dan Hidrologi ................................................................................................. 24 4.4. Topografi, Geologi dan Tanah ................................................................................ 25 4.5. Keadaaan Hutan ...................................................................................................... 27 4.6. Aksesibilitas ............................................................................................................ 29 4.7. Sosial Ekonomi ....................................................................................................... 30 V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil ........................................................................................................................ 31 5.2. Pembahasan ............................................................................................................. 41 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan .............................................................................................................. 49 6.2. Saran ........................................................................................................................ 49

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 50 LAMPIRAN .................................................................................................... 53

DAFTAR TABEL

No.

Teks

Halaman 25 29 30

1. Jenis tanah pada areal kerja PT. SBA Wood Industries .................... 2. Jalan negara, sungai, angkutan udara dan komunikasi ...................... 3. Kondisi sosial ekonomi di sekitar areal IUPHHK ............................ 4. Potensi volume tegakan Akasia (Acacia crassicarpa) di areal petak low stocking dan high stocking, DTP PT. SBA WI .. 5. Hasil analisis vegetasi tingkat tumbuhan bawah pada petak high Stocking 6. Kandungan biomassa di atas permukaan lahan (tegakan, tumbuhan bawah, dan serasah) . 7. Potensi simpanan karbon di atas permukaan lahan (tegakan, tumbuhan bawah, dan serasah) 8. Tabel sidik ragam simpanan karbon petak low stocking . 9. Tabel sidik ragam simpanan karbon petak high stocking

31

33

34

36 39 40

DAFTAR GAMBAR

No.

Teks

Halaman

10. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Estimasi Kandungan Karbon pada Tegakan Akasia (Acacia crassicarpa).............................................. 11. Prinsip segitiga api ........................................................................... 12. Desain petak penelitian .................................................................... 13. Kondisi tegakan Akasia pata petak low stocking (A) dan petak high stocking (B) ...................................................................................... 31 3 4 18

14. Potensi volume tegakan Akasia pada tegakan high stocking dan low stock ig stocking 15. Potensi biomasa tegakan Akasia low stocking dan high stocking 32 34

16. Potensi biomassa tumbuhan bawah petak low stocking dan high stockin stocking .... 17. Potensi biomassa serasah petak low stocking dan high stocking 18. Potensi biomassa total petak low stocking dan high stocking.. 35 35 36

19. Potensi serapan karbon tegakan Akasia low stocking dan high stttocking stocking 20. Potensi 37

karbon tumbuhan bawah petak low stocking dan high sticking 38

stocking ...

21. Potensi simpanan karbon serasah petak low stocking dan high stiiking stocking 38

22. Potensi simpanan karbon total pada petak low stocking dan high stoiking stocking 39

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pemanasan global memiliki dampak besar pada hutan-hutan di dunia. Ekosistem hutan bisa menjadi sumber dan penyerap karbon (IPCC, 2000). Ekosistem hutan dapat membantu mengurangi konsentrasi C di atmosfir melalui proses fotosintesis. CO2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disekuestrasi dalam organ tumbuhan seperti batang, cabang, ranting, daun, bunga, dan buah. Sehingga dengan mengukur jumlah C yang disimpan dalam biomassa pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang mampu diserap tumbuhan. Menurut Kyrklund (1990), secara umum hutan dengan net growth (terutama dari pohon-pohon yang sedang berada pada fase pertumbuhan) mampu menyerap lebih banyak CO2, sedangkan hutan dewasa dengan pertumbuhan yang kecil hanya menyimpan stock karbon tetapi tidak menyerap CO2 berlebih. Selanjutnya Hairiah (2007) menjelaskan bahwa hutan alam yang telah tua dan mencapai klimaks dalam pertumbuhannya sangat sedikit menyerap CO2 karena telah mencapai keseimbangan dimana tingkat pembentukan dan pelapukan berimbang. Hutan gambut merupakan produk dari hutan masa lalu yang tersusun dari bahan organik hasil dekomposisi vegetasi secara anaerobik dan termasuk ke dalam ekosistem lahan basah. Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk mupun belum. Merujuk pada proses pembentukan yang didominasi oleh bahan organik, hutan gambut memiliki keistimewaan dibandingkan tipe hutan lainnya karena menyimpan lebih banyak bahan organik. Sumatera selatan merupakan salah satu kawasan cadangan gambut terluas di pantai timur sumatera. Pada ekosistem yang masih seimbang terdapat beberapa faktor penunjang pertumbuhan biomassa tanaman, di antaranya adalah adanya saluran (kanal) tersier yang mempermudah akar pohon menyerap unsur hara dari larutan tanah, jumlah mikroorganisme lebih banyak pada areal yang tidak pernah terbakar sehingga mempermudah dekomposisi dan penguraian unsur hara, dan sifat pohon

2

yang tumbuh baik jika tersedia hara secara kontinyu. Banyaknya unsur hara akibat kebakaran hutan di areal hutan gambut tidak mempengaruhi pertumbuhan pohon menjadi lebih baik. Ketersediaan unsur hara tidak lagi menjadi faktor penentu pertumbuhan pohon pada ekosistem yang telah rusak, karena meskipun kandungan haranya tinggi tetapi bersifat sementara (Eka, 2008) Estimasi kandungan karbon yang tepat pada areal hutan, khususnya hutan gambut, sangat dibutuhkan dalam berbagai aplikasi kehutanan dan hubungannya dengan siklus global karbon. Brown dan Gaton dalam Salim (2005) menyatakan bahwa stok karbon dapat diduga dari 45-50% biomassa tumbuhan.

1.2.

Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menduga kandungan karbon tegakan

Akasia (Acacia crassicarpa Cunn Ex. Benth) dalam hutan tanaman pada petak low stocking dan high stocking.

1.3.

Manfaat penelitian Melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan

informasi secara kuantitatif mengenai estimasi kandungan karbon tegakan Akasia (Acacia crassicarpa Cunn Ex. Benth) dalam hutan tanaman baik pada petak low stocking maupun high stocking, sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam pengelolaan hutan secara lestari.

3

1.4.

Kerangka Pemikiran Kerangka Pemikiran dari estimasi kandungan karbon tegakan Akasia

(Acacia crassicarpa Cunn Ex. Benth) dalam hutan tanaman dapat dilihat pada Gambar 1. Lahan gambut

Kebakaran hutan dan lahan Peningkatan gas rumah kaca Perubahan iklim global

Aktivitas manusia

Rehabilitasi

Pengelolaan tegakan Akasia

HTI

Pengikat karbon

Biomassa di atas permukaan tanah

Tegakan low stocking

Tegakan high stocking

Potensi tegakan, serasah dan tumbuhan bawah

Potensi tegakan, serasah dan tumbuhan bawah

Perbandingan biomassa total Analisis jumlah karbon terikat Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran potensi kandungan karbon pada tegaikan tegakan Akasia (Acacia crassicarpa).

4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan dan Lahan Brown dan Davis (1973) mendefinisikan kebakaran hutan sebagai suatu proses pembakaran yang menyebar secara bebas dengan mengkonsumsi bahan bakar alam yang terdapat dalam hutan misalnya serasah, rumput, ranting-ranting kayu mati, tiang, gulma, semak, dedaunan dan pohon-pohon segar lainnya. Selanjutnya Clar dan Chatten (1945) mengatakan bahwa kebakaran dapat terjadi bila terdapat tiga unsur sekaligus dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya yang sering disebut dengan segitiga api atau fire triangle yaitu bahan bakar, panas, dan oksigen yang digambarkan sebagai berikut:

Bahan bakar API Oksigen

Panas

Gambar 2. Prinsip segitiga api (Brown dan Davis 1973)

Kebakaran hutan dapat menjalar baik secara vertikal maupun horizontal ke semua arah (free burning) karena sifatnya yang tidak tertekan. Proses pembakaran merupakan kebalikan dari proses fotosintesis (Brown dan Davis, 1973) yang dapat dijelaskan secara reaksi kimia, sebagai berikut: Proses fotosintesis: 6CO2 + 6H2O + energi matahari Proses pembakaran: C6H12O6 + 6O2 + energi (api) (Debano et al., 1998), yaitu: a. Fase pra pemanasan (pre-ignition) Pada tahap ini bahan bakar mulai terpanaskan, kering dan mulai 6CO2 + 6H2O + panas (energi) C6H12O6 + 6O2

Selama proses kebakaran dapat diperlihatkan lima fase pembakaran

mengalami pyrolisasi, yaitu terjadi pelepasan uap air, CO2, dan gas-gas mudah terbakar termasuk metana, methanol dan hydrogen. Selulosa menunjukkan suhu

5

yang berkenaan dengan panas dicapai pada suhu 2500C (6200F). Pada suhu tersebut partikel-partikel dengan cepat mengembangkan jumlahnya menjadi lebih besar dan mudah terbakar. Dalam proses pirolisis ini reaksi berubah dari exotermic (memerlukan panas) menjadi endothermic (melepaskan panas). b. Fase penyalaan (flaming combustion) Pirolisi melaju dan mempercepat oksidasi dari gas-gas yang dapat terbakar. Sebagaimana temperature dari bahan bakar terus meningkat, gas-gas mudah menyala lebih cepat dihasilkan dan reaksi kimia benar-benar menjadi proses eksotermik dan mencapai puncak pada suhu 3200C. Meskipun gas-gas lebih mudah terbakar yang dihasilkan pada temperatur di atas 2000C, namun gasgas tersebut tidak akan menyala bahkan ketika bercampur dengan udara pada suhu 425-4800C. Suhu maksimum yang dapat dihasilkan dengan terbakarnya gas-gas pada bahan bakar berkisar 19000C dan 22000C dengan status campuran udara dan gas-gas ideal. c. Fase pembakaran (smoldering) Terdapat dua zona yang merupakan karakteristik dari fase ini, yaitu 1) zona pirolisis dengan berkembangnya hasil-hasil pembakaran dan 2) zona arang dengan pelepasan hasil pembakaran yang tidak terlihat. Laju pembakaran api mulai menurun sekitar 3 cm/jam karena bahan bakar tidak dapat mensuplai gasgas yang dapat terbakar dalam konsentrasinya dan pada laju yang dibutuhkan untuk pembakaran yang dasyat. Kemudian panas yang dilepaskan menurun dan suhunya pun menurun menyebabkan gas-gas lebih banyak berkondensasi ke dalam asap. Proses ini bisa menaikkan temperatur tanah mineral di atas 3000C dan pada suhu sekitar 6000C menyebabkan dekomposisi bahan organik dan kematian organisme tanah. d. Fase penjalaran (glowing) Fase ini merupakan fase terakhir dari proses smoldering. Pada fase ini temperatur puncak dari pembakaran berkisar antara 3000C 6000C dan sedikit atau tidak sama sekali menghasilkan asap. Bila suatu kebakaran mencapai fase glowing, sebagian besar dari gas-gas yang mudah menguap akan hilang dan oksigen mengadakan kontak langsung dengan permukaan dari bahan bakar yang mengarang. Hasil dari fase ini adalah CO, CO2, dan abu sisa pembakaran.

6

e.

Fase pemadaman (extinction) Status kebakaran akhirnya berhenti bila semua bahan bakar yang tersedia

telah dikonsumsi atau bila panas yang dihasilkan melalui oksidasi baik melalui fase smoldering maupun glowing tidak cukup untuk menguapkan air yang dibutuhkan berasal dari bahan bakar yang basah (kadar air tinggi). Lebih lanjut Brown dan Davis (1973) mengelompokkan tipe-tipe kebakaran hutan dan lahan menjadi tiga tipe kebakaran menurut sebaran vertikal, yaitu: 1. Kebakaran bawah (ground fire) Kebakaran bawah membakar bahan bakar yang ada di bawah permukaan dimana api membakar bahan-bahan organik yang menjadi lapisan tanah dan menjalar dengan perlahan-lahan. Kebakaran ini tidak dipengaruhi oleh angin karena lapisan bahan-bahan organik ini bersifat padat, tekstur halus dan tidak dipengaruhi oleh oksigen. Penjalaran api dalam kebakaran bawah ini berjalan lambat tetapi kontimu dan dapat bertahan dengan panas yang kuat dan tidak menimbulkan api, sehingga sulit untuk dideteksi. Arah dari kebakaran ke segala arah, sehingga kebakaran bawah mempunyai bentuk penjalaran yang melingkar dan menimbulkan kerusakan beragam karena penjalaran tersebut. Tanda awal dari terjadinya kebakaran bawah di dalam suatu kawasan adalah adanya asap (smoke) putih yang keluar dari permukaan tanah, mengakibatkan akar-akar pohon hangus terbakar dan mati. Kebakaran ini biasanya berkombinasi dengan kebakaran permukaan. 2. Kebakaran permukaan (surface fire) Kebakaran yang terjadi di permukaan atau lantai hutan ini hanya membakar bahan bakar seperti bahan bakar seperti serasah, rumput, log, dan anakan (seedling) beserta komponen jaringan tanaman yang terdapat di lantai hutan. Kebakaran ini paling sering terjadi karena kebakaran hutan terjadi dimulai dari kebakaran permukaan. Kebakaran ini dapat menjalar pada vegetasi yang lebih tinggi dan penjalarannya dimulai dari permukaan lantai hutan. Kebakaran ini dihasilkan oleh adanya pengaruh angin dimana permukaan mendapat suplai oksigen yang banyak untuk proses pembakaran. Bentuk dari penjalaran api lonjong atau elips karena mendapat pengaruh angin. Bila api yang searah dengan

7

angin maka akan menjalar dengan cepat sedangkan bila berlawanan dengan arah angin penjalaran cenderung lambat. Kebakaran permukaan yang menjalar ke tanaman pemanjat dapat menghubungkan sampai ke tajuk pohon dan mengakibatkan kebakaran tajuk. 3. Kebakaran tajuk (crown fire) Kebakaran ini diawali dengan adanya kebakaran permukaan yang terus menjalar menjadi kebakaran tajuk dimana api mengkonsumsi/membakar tajuktajuk pohon, cadangan biji, ranting, dedaunan atau dari semak-semak dan umumnya terjadi pada tegakan conifer. Kebakaran tajuk sangat dipengaruhi oleh arah angin sehingga kebakaran ini sangat sulit ditanggulangi karena menjalarnya api sangat cepat. Kebakaran tajuk biasanya terjadi dikarenakan adanya api loncat (spot fire) menjalar dari pohon yang bertajuk lebih rendah, tajuk tumbuhan bawah, tumbuhan epifit/liana atau semak belukar yang ditunjang dengan faktor angin.

2.2.

Kebakaran pada Hutan Gambut Peristiwa kebakaran hutan dan lahan gambut mempunyai sumbangan

yang sangat besar terhadap terjadinya perubahan iklim global. Gas-gas yang dihasilkan menimbulkan efek rumah kaca. Gas rumah kaca adalah gas-gas yang memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang dipancarkan kembali ke atmosfer oleh permukaan bumi. Gas yang mampu menyerap radiasi tersebut antara lain CO2, CH4, N2O, CFC dan gas lainnya di atmosfer. Panas yang ditimbulkan oleh radiasi tersebut menyebabkan pemanasan atmosfer (global warming). Kebakaran gambut berdampak buruk bagi lingkungan baik lokal, regional maupun global seperti lingkungan fisik-kimia, biologi dan sosial ekonomi serta kesehatan masyarakat. Kebakaran dalam skala besar mempunyai konsekuensi yang besar bagi lingkungan baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini karena asap bisa bergerak bebas melampaui batas-batas negara. Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi gambut nomor 4 terbesar di dunia setelah Rusia, Kanada dan Amerika Serikat dengan luasan sekitar 26 juta hektar dan di Indonesia terbanyak ditemukan di Pulau Sumatera.

8

Dalam membuka hutan gambut harus hati-hati karena sifat hutan gambut yang sangat fragile (rapuh) dimana sekali dibuka akan merubah ekosistem dan untuk mengembalikan ke ekosistem semula memakan waktu yang sangat lama, karena ekosistem hutan gambut merupakan ekosistem yang telah stabil sebagai hasil dari interaksi ribuan tahun antara komponen biotik dan lingkungannya. Kestabilan ini menghasilkan tata air yang seimbang dan mempertahankan keberadaan flora dan faunanya. Dengan demikian pembukaan hutan gambut tidak boleh sewenang-wenang. Pembukaan vegetasi penutup lahan gambut akan mengakibatkan dipercepatnya proses dekomposisi, terjadinya subsidensi

(amblesan) dan akan mengubah ciri dari ekosistem hutan gambut. Beberapa sifat fisik tanah dapat dan memang mengalami perubahan karena gangguan seperti penggarapan tanah dan kebakaran lahan. Sifat fisik tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu batuan induk, iklim, vegetasi, topografi dan waktu (Hardjowigeno, 2003). Kondisi fisik tanah menentukan penetrasi akar di dalam tanah, retensi air, drainase, aerasi dan nutrisi tanaman. Sifat fisik tanah sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman. Setelah beberapa tahun tanah gambut bisa mengalami perubahan kelas karena pematangan tanah lebih lanjut dan penurunan muka tanah atau subsidence.

2.3.

Karbon Karbon adalah bahan penyusun dasar semua senyawa organik.

Pergerakannya dalam suatu ekosistem bersamaan dengan pergerakan energi melalui zat kimia lain. Karbohidrat dihasilkan selama fotosintesis dan CO2 dibebaskan bersama energi selama respirasi. Dalam siklus karbon, proses timbal balik fotosintesis dan respirasi seluler menyediakan suatu hubungan antara lingkungan atmosfer dan lingkungan terestrial. Tumbuhan mendapatkan karbon dalam bentuk CO2 dari atmosfer melalui stomata daun dan menggabungkannya ke dalam bahan organik biomassanya sendiri melalui proses fotosintesis. Umumnya karbon menyusun 45-50% dari biomassa tumbuhan sehingga karbon dapat diduga dari setengah jumlah biomassa (Brown dan Gaton dalam Salim, 2005). Sejak kandungan karbon di atmosfer meningkat pesat, berbagai ekolog tertarik untuk menghitung jumlah karbon yang tersimpan dalam hutan.

9

Hutan mengandung biomassa dalam jumlah yang sangat besar, sehingga hutan merupakan tempat cadangan karbon yang cukup penting. Selain itu karbon juga tersimpan dalam material yang sudah mati sebagai serasah, batang pohon yang jatuh ke permukaan tanah, dan sebagai material sukar lapuk di dalam tanah (Whitmore, 1985 dalam Hadi, 2007).

2.4.

Biomassa Biomassa didefinisikan sebagai jumlah bahan total bahan organik hidup di

atas tanah pada pohon termasuk daun, ranting, cabang, batang utama dan kulit yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area (Brown, 1997). Menurut Kusmana (1993), biomassa dapat dibedakan ke dalam dua kategori yaitu, biomassa tumbuhan di atas permukaan tanah (above ground biomass) dan biomassa di bawah permukaan tanah (below ground biomass). Lebih jauh dikatakan biomassa di atas permukaan tanah adalah berat bahan unsur organik per unit luas pada waktu tertentu yang dihubungkan ke suatu fungsi sistem produksi, umur tegakan hutan dan distribusi organik. Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan menyerap CO2 dari udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Laju pengikatan biomassa disebut produktivitas primer bruto. Hal ini tergantung pada luas daun yang terkena sinar matahari, intensitas penyinaran, suhu, dan ciri-ciri jenis tumbuhan masing-masing. Sisa dari hasil respirasi yang dilakukan tumbuhan disebut produktivitas primer bersih. Biomassa hutan menyediakan penaksiran gudang karbon dalam tumbuhan hutan karena sekitar 50 % nya adalah karbon. Karena itu, biomassa menunjukkan jumlah potensial karbon yang dapat dilepas ke atmosfer sebagai karbon dioksida ketika hutan ditebang dan atau dibakar. Sebaliknya, melalui penaksiran biomassa dapat dilakukan perhitungan jumlah karbondioksida yang dapat dipindahkan dari atmosfer dengan cara melakukan reboisasi atau dengan penanaman (Brown, 1997).

10

2.5.

Pendugaan dan Pengukuran Biomassa Menurut Brown (1997) secara umum terdapat dua metode yang dapat

digunakan dalam pendugaan biomassa pohon, yaitu: 1. Penggunaan faktor konversi biomassa, atau yang dikenal sebagai biomass expansion factor (BEF). Dalam metode ini biomassa pohon diperoleh dari hasil konversi volume pohon ke dalam beratnya dengan menggunakan nilai kerapatan kayu dan mengalikannya dengan nilai BEF. 2. Penerapan persamaan allometrik yang memungkinkan biomassa pohon diduga secara langsung dari dimensi pohon yang mudah diukur, seperti diameter batang dan tinggi pohon. Pendugaan biomassa pada pendekatan pertama dengan menggunakan persamaan : Biomassa di atas tanah (ton/ha) = VOB x WD x BEF (Brown, 1989) Volume Over Bark (VOB) menyatakan volume batang bebas cabang dengan kulit (m3/ha). Wood Density (WD) adalah kerapatan kayu (biomassa kering oven (ton) dibagi volume biomassa inventarisasi (m3) dan Biomass Expansion Factor (BEF) adalah perbandingan total biomassa pohon kering oven di atas tanah dengan biomasssa kering oven hasil inventarisasi hutan. Nilai dari BEF dirumuskan sebagai berikut (Brown, 1997): BEF = Wt : V dimana: BEF Wt V = Biomass Expansion Factor (mg/m3) = total biomassa tegakan (mg/ha) = volume tegakan (m3/ha)

Secara sederhana BEF didefinisikan sebagai rasio antara Biomassa keseluruhan pohon dengan biomassa batang. BEF merupakan suatu nilai yang tergantung pada ukuran dan umur pohon/tegakan. Untuk itu penggunaan BEF untuk estimasi biomassa sebaiknya menggunakan BEF memperhatikan umur tegakan dalam penyusunnya. Penggunaan BEF yang berupa nilai konstan pada sembarang umur tegakan menghasilkan nilai yang bias.

11

Pendugaan biomassa dengan pendekatan kedua menggunakan persamaan regresi biomassa berdasarkan diameter batang pohon dengan persamaan : Biomassa diatas tanah (Y) = aDb (Brown, 1989) Dimana : Y = biomassa pohon (kg) D = diameter setinggi dada (130 cm), a dan b merupakan konstanta Dasar dari persamaan regresi biomassa adalah hanya mendekati biomassa rata-rata per pohon menurut sebaran diameter, dengan menggabungkan sejumlah pohon pada setiap kelas diameter dan menjumlahkan (total) seluruh pohon untuk kelas diameter.

2.6.

Model Pendugaan Biomassa dan Karbon Model biomassa menyimulasikan penyerapan karbon melalui proses

fotosintesis dan kehilangan karbon melalui respirasi. Penyerapan karbon bersih akan disimpan dalam organ tumbuhan dalam bentuk biomassa. Fungsi dan model biomassa dipresentasikan melalui persamaan dengan tinggi dan diameter pohon. Beberapa persamaan umum model penduga biomassa pohon yang telah dipakai oleh beberapa peneliti antara lain: W = aDb..............................(Brown, 1997) W = a + bD + cD2..............(Brown, 1997) W = a(D2H)b......................(Ogawa, 1965) W = a + bD2H....................(Brown, 1997) 2.7. Hutan Tanaman Industri Di dalam menentukan sistem silvikultur pembangunan hutan tanaman industri harus mempertimbangkan berbagai hal, yaitu: Peraturan ditetapkan oleh pemerintah. Tujuan pembangunan hutan tanaman yaitu untuk menghasilkan kayu sebagai bahan baku yang memenuhi persyaratan industri pulp Jenis tanaman yang dipilih, pada saat ini, yang ditetapkan perusahaan adalah Acacia mangium dan Acacia crassicarpa.

12

Kondisi lahan hutan tanaman, terutama yang menyangkut poteni/daya dukung lahan serta tingkat kesesuaiannya terhadap penerapan uatu sistem silvikultur hutan tanaman. Dalam hal ini yang diperhatikan anatara lain tipe kelas lahan, tinkat kesuburan, kondisi fisiogeografi, hidrologi dan jenis tanah. Ketersediaan sumber daya manusia, sarana, dan teknologi pendukung. Berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan No. 88/Kpts-II/1996, sistem silvikultur yang dilaksanakan adalah tebang habis dengan permudaan buatan (THPB), disesuaikan dengan tujuan perusahaan, jenis tanaman pokok dan, rotasi tebangan, potensi (standing stock) dan pertumbuhan volume riap (volume growth increment). Adapun kondisi lahan dan ketersediaan sarana/teknologi merupakan faktor-faktor yang berpengaruh yang dapat menghambat/memperlancar

pelaksanaan sistem silvikulturnya. Kondisi edafis areal kerja sebagian besar adalah hutan rawa gambut (peat). Sehingga sistem silvikultur THPB juga harus disesuaikan dengan kondisi tersebut. Pada daerah peat tantangan utama yang dihadapi adalah menciptakan suatu sistem untuk mengatur keseimbangan tinggi muka air tanah (water level) agar tanaman dapat tumbuh dengan baik dan memiliki sistem perakaran yang maksimal. Teknik tersebut dikenal dengan Water Management System melalui pembuatan zona-zona air melalui kanalisasi. Tantangan lain adalah kondisi tanah yang cenderung masam dan memiliki tingkat kesuburan rendah. Tujuan utama pembangunan hutan tanaman adalah untuk menghasilkan kayu sebagai bahan baku industri pulp. Kayu yang sesuai sebagai bahan baku pulp mempunyai persyaratan sebagai berikut: a. Pertumbuhan cepat, kulminasi riap pada umur muda, batang relatif lurus, dapat ditanam dengan mudah dan murah. b. Mempunyai kadar selulosa tinggi, berserat panjang, mempunyai kadar lignin rendah, warna cerah dan zat ekstraktif rendah. Berdasarkan hal tersebut maka jenis tanaman disesuaikan dengan daya saing, nilai jual dan daya tumbuh serta peningkatan kesejahteraan masyarakat

13

maka ditetapkan kebijakan pemilihan jenis tanaman sebagai berikut: a. Tanaman pokok adalah Acacia crassicarpa dan Acacia mangium. Pemilihan ini berdasarkan hasil percobaan dan pengalaman, penanaman kedua jenis tersebut memperlihatkan pertumbuhan yang memuaskan dan cukup resisten terhadap lahan yang tingkat keasamannya tinggi. Jarak tanam yang ditentukan adalah 3m x 2m. b. Tanaman unggulan adalah Meranti (Shorea sp.) dan Bintangur (Calophyllum sp.) dengan jarak tanaman 4m x 4m. Meranti merupakan pohon yang kayunya dapat digunakan sebagai baahan baku industri pulp, sedangkan bintangur merupakan tumbuhan bergetah yang bijinya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biofuel. Menurut Dr.Soebagus (Fakultas Farmasi UGM) terdapat tiga jenis bintangur yang mempunyai khasiat, yaitu Calophyllum lanigerum (berkhasiat sebagai anti virus HIV) serta Calophyllum cannum dan Calophyllum dioscorii (keduanya berkhasiat untuk anti kanker). c. Tanaman kehidupan adalah Acacia crassicarpa dan Acacia mangium ditanam dengan jarak tanam 4m x 4m. Jenis ini ditanam untuk tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri No.41 tanaman kehidupan dapat berupa tanaman pokok yang menghasilkan hasil hutan kayu.

2.8.

Tinjauan Umum Akasia (Acacia crassicarpa Cunn Ex. Benth) Akasia adalah genus dari semak-semak dan pohon yang termasuk dalam

subfamili Mimosoideae dari famili Fabaceae, pertama kali diidentifikasi di Afrika oleh ahli botani Swedia Carl Linnaeus tahun 1773. Banyak spesies Akasia nonAustralia yang cenderung berduri sedangkan mayoritas Akasia Australia tidak. Akasia adalah tumbuhan polong dengan getah dan daun yang biasanya mempunyai bantalan tanin dalam jumlah besar. Nama akasia berasal dari akakia, nama yang diberikan oleh dokter ahli botani Yunani awal Pedanius Dioscorides (sekitar 40-90 Masehi) untuk pohon obat Akakia nilotica dalam bukunya Materia Medica. Nama ini berasal dari kata bahasa Yunani karena karakteristik tanaman

14

Akasia yang berduri (akis berarti duri). Nama spesies nilotica diberikan oleh Linnaeus dari jajaran pohon Akasia yang paling terkenal di sepanjang sungai Nil (Clement, 1998). Akasia juga dikenal sebagai pohon duri, dalam bahasa Inggris disebut whistling thorns (duri bersiul) atau wattles atau yellow-fever acacia (akasia demam kuning) dan umbrella acacias (akasia payung). Sampai dengan tahun 2005, diperkirakan ada sekitar 1.300 spesies akasia di seluruh dunia. Sekitar 960 di antaranya adalah flora asli Australia, sedangkan sisanya tersebar di daerah tropis ke daerah hangat hingga beriklim sedang dari kedua belahan bumi, termasuk Eropa, Afrika, Asia selatan, dan Amerika . Genus ini kemudian dibagi menjadi lima dengan nama Acacia hanya digunakan untuk spesies Australia dan sebagian besar spesies di luar Australia dibagi menjadi Vachellia dan Senegalia (Clement, 1998). Klasifikasi ilmiah AkasiaKerajaan Divisi Kelas Ordo Famili Subfamili Bangsa Genus : Plantae : Magnoliophyta : Magnoliopsida : Fabales : Fabaceae : Mimosoideae : Acacieae

: Acacia : Sekitar 1.300 spesies

Spesies

Jenis-jenis spesies akasia yang khas sebarannya di dunia di antaranya adalah Acacia aneura, Acacia catechu, Acacia baileyana, Acacia berlandieri, Acacia confusa di Hawaii, AS, Acacia constricta di Las Vegas & Nevada, AS, Acacia covenyi, Acacia crassicarpa, Acacia dealbata, Acacia denticulosa, Acacia drummodii, Acacia erioloba di Sossusvlei, Namibia, Acacia fimbriata di Kebun Raya Nasional Australia, Canberra, Acacia heterophylla, Acacia koa, Acacia longifolia, Acacia melanoxylon di Nazar, Portugal, Acacia saligna di Side, Turki,

15

Acacia schinoides di Kebun Raya Nasional Australia, Acacia tetragonophylla di Geelong Botanic Gardens, Victoria, Australia, Acacia pennata, Acacia pennata di hutan Talakona, India, Acacia pycnantha, Acacia rigidula, Acacia tortuosa (Clement, 1998). Acacia crassicarpa Cunn Ex. Benth merupakan salah satu tanaman dari famili Leguminaceae, subfamili Mimosoideae. Jenis ini umumnya dikenal dengan nama Northern Wattle (Australia) atau Red Wattle Papua New Guinea). Acacia crassicarpa tumbuh di sepanjang pesisir utara dan daerah pedalaman Queensland. Menyebar luas di bagian baret Papua New Guinea dan di perbatasan Irian Jaya (Turnbull, 1986) Acacia crassicarpa dapat tumbuh pada jenis tanah yang bervariasi, mengandung kadar garam tidak subur, mempunyai drainase tidak sempurna yang tergenang pada saat musim hujan dan kering pada musim kemarau serta merupakan tanaman yang cukup mudah beradaptasi dengan lingkungan. Banyak dijumpai di daerah beriklim humid dan subhumid yang mempunyai suhu maksimum rata-rata pada musim panas sebesar 32-34C, suhu minimum rata-rata pada musim dingin sebesar 12-21C dan suhu harian maksimum mencapai 32C (Turnbull, 1986). Acacia crassicarpa termasuk jenis dengan daya adaptasi dan toleransi tinggi tehadap kondisi lingkungan yang buruk. Jenis ini dapat tumbuh pada tanah dengan drainase buruk atau tergenang, tanah berlumpur, tanah terdegradasi, tanah berpasir, toleran terhadap kandungan garam yang agak tinggi dalam tanah (Turnbull, 1986). Kemampuan tumbuh yang baik pada berbagai termpat tumbuh, tipe dan kondisi tanah yang buruk menyebabkan jenis ini banyak dipilih untuk rehabilitasi lahan kritis dan konservasi tanah. Acacia crassicarpa termasuk jenis yang tahan terhadap kekeringan, oleh karena itu jenis ini memiliki nilai penting di daerah semi arid dan arid. Acacia crassicarpa mempunyai tinggi berkisar 10-20 m, dan kadang-kadang dapat mencapai 30 m pada kondisi yang cocok. Batang tanaman ini mempunyai kulit berwarna coklat gelap keabuan keras dan mempunyai alur-alur vertikal yang tajam. Bagian dalam kulit berserat dan berwarna merah dengan diameter batang yang jarang lebih dari 50 mm. Daunnya bertekstur halus berwarna hijau keabuan

16

dan mempunyai 3-7 tulang daun yang menonjol berwarna kekuning-kuningan. Berbunga majemuk yang terdiri dari sumbu sentral dengan bunga-bunga duduk. Berwarna kuning terang, panjang 4-7 cm, tangkai yang menopang anak daun yang tebal, berkelamin ganda, panjang benang sari 2-3 mm, dengan ovari pendek (Turnbull, 1986). Acacia crassicarpa dapat digunakan sebagai pelindung tanah dalam mencegah erosi. Kayunya dapat digunakan untuk kayu energi, baik kayu bakar maupun pembuatan arang dan untuk konstruksi berat , meubel, bahan baku pembuatan kapal, lantai, veneer, dan pulp. Selain itu dapat digunakan untuk mengontrol pertumbuhan gulma dan sebagai spesies yang efektif untuk rehabilitasi lahan yang banyak ditumbuh oleh Imperata cylindrica (Turnbull, 1986).

2.9.

Tegakan Low stocking dan high stocking Berdasarkan personal communication dengan pihak Planning

Management Departement (PMD) PT. SBA Wood Industries, belum dilakukan penetapan nilai pasti dari suatu petak yang termasuk klasifikasi low stocking maupun high stocking. Namun demikian berdasarkan dokumentasi laporan hasil panen diketahui rata-rata volume setiap tegakan adalah sebesar 130m3/ha. Oleh karena itu diasumsikan bahwa tegakan yang termasuk low stocking adalah tegakan dengan volume per hektar kurang dari setengah volume rata-rata hasil panen (65m3/ha).

17

BAB III METODE PENELITIAN

3.1.

Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal lahan gambut IUPHHK-HT PT. SBA

Wood Industries. Areal yang dipilih adalah hutan tanaman Acacia crassicarpa pada petak low stocking dan high stocking. Penelitian ini dilakukan pada bulan April hingga Mei 2011.

3.2.

Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hutan tanaman

Acacia crassicarpa berumur 3 tahun masing-masing pada petak low stocking dan high stocking. Alat-alat yang digunakan adalah kompas, pita meter, patok, alat pengukur tinggi (haga), pita meter, kertas label, tali rafia, kantong plastik, golok, timbangan, oven, kamera, alat tulis, koran dan tally sheet.

3.3.

Metode Pengambilan Data Jenis-jenis data yang digunakan untuk kegiatan penelitian dibagi 2, yaitu: 1. Data Primer : Tinggi total pohon, diameter pohon 1,3 m dari atas tanah, berat basah dan berat kering tumbuhan bawah serta serasah pada setiap areal penelitian, serta kedalaman lapisan gambut. 2. Data Sekunder: Kondisi umum wilayah, data iklim (curah hujan, suhu, kelembaban), jenis tanah, vegetasi, peta lahan atau penyebaran petak, peta luasan tanaman PT. SBA Wood Industries.

3.4. a.

Prosedur Penelitian Penentuan petak penelitian Petak pengamatan yang digunakan dalam penelitian adalah areal hutan

tanaman Acacia crassicarpa berumur 3 tahun masing-masing pada petak low

18

stocking dan high stocking. Penempatan petak contoh di lapangan dilakukan secara Random Sampling. Pada masing-masing umur tegakan dibuat 5 petak contoh berukuran 20 m x 20 m. Di dalam petak contoh tersebut dibangun 4 subplot berukuran 2 m x 2 m pada setiap sudut untuk analisis vegetasi tumbuhan bawah dan serasah. Desain petak penelitian dapat dilihat pada gambar di bawah ini: 20m

a

a

n 20 m 20 m 2a a

2m

2m keterangan: n = petak contoh pengukuran d & t pohon a = subplot pengambilan tumbuhan bawah & serasah

Gambar 3. Desain petak penelitian untuk analisis vegetasi berupa pohon (20m x 20 m) dan serasah/tumbuhan bawah (2mx 2m)

b.

Pengukuran tinggi total dan diameter pohon Setiap pohon pada masing-masing tegakan Acacia crassicarpa di petak

low stocking dan high stocking diukur tinggi total dan diameternya pada 1,3 m di atas permukaan tanah.

c.

Pengambilan contoh serasah dan tumbuhan bawah Semua serasah dan tumbuhan bawah di atas permukaan tanah yang

terletak di dalam petak contoh ukuran 2 m x 2 m diambil secara destruktif dan ditimbang berat basahnya. Tumbuhan bawah meliputi semak belukar yang berdiameter batang < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau gulma.

19

Estimasi biomassa tumbuhan bawah dilakukan dengan mengambil bagian tanaman (Hairiah dan Rahayu, 2007). Sebelum penimbangan berat basah di lapangan, terlebih dahulu dilakukan pemisahan bagian tumbuhan bawah.

3.5.

Analisis Data Setelah pengambilan data di lapangan kemudian dilakukan analisis data

hasil pengukuran untuk mengetahui : 1. Karbon dan Biomassa a. Pendugaan Kadar Air Data primer tumbuhan bawah dan serasah yang diperoleh dihitung berat basahnya kemudian dikeringtanurkan untuk mengetahui berat keringnya. Untuk itu dilakukan pengovenan pada suhu 105 C selama 48 jam. Menurut Haygreen dan Bower (1989) kadar air dihitung dengan menggunakan rumus : % KA = BBc BKc x 100% BKc Keterangan : % KA = persen kadar air BKc BBc = berat kering contoh = berat basah contoh

b. Menghitung Berat Kering Penentuan berat kering tumbuhan bawah dan serasah diketahui setelah pengovenan. Menurut Haygreen dan Bowyer (1989) apabila berat basah diketahui dan kandungan air telah diperoleh dari contoh uji kecil maka berat kering dari masing-masing sampel dapat dihitung dengan rumus : BKT = BB x 100%

1+ % KA 100 Keterangan : BKT BB = berat kering tanur = berat basah

% KA = persen kadar air

20

Berat kering yang dihasilkan setelah pengovenan dinyatakan dalam satuan gram yang kemudian dikonversi ke kilogram per hektar untuk mengetahui biomassa tumbuhan bawah dan serasah yang terdapat pada masing-masing areal.

c. Pendugaan Biomassa Tegakan Akasia Menurut Brown (1997) ada dua pendekatan untuk menduga biomassa dari pohon yaitu pertama berdasarkan pendugaan volume kulit sampai batang bebas cabang yang kemudian diubah menjadi jumlah biomassa (ton/ha), sedangkan yang kedua secara langsung dengan menggunakan persamaan regresi biomassa. Dalam prakteknya metode kedua lebih sering digunakan dibanding metode pertama karena dapat memberikan nilai dugaan biomassa dari komponenkomponen pohon (misalnya batang, cabang, ranting, tajuk dan daun) secara langsung berdasarkan data diameter dan/atau tinggi pohon. Selain itu pendugaan biomassa dengan cara ini dapat memberikan hasil dugaan yang akurasinya dapat diuji dan dipertanggungjawabkan. Bersarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Palembang, pendugaan volume pohon berdiri pada tegakan Acacia crassicarpa dengan kulit dapat diperoleh dengan dua pendekatan antara lain: 1. Persamaan regresi model penduga volume pohon dengan kulit Persamaan regresi yang terbentuk dalam menyusun model penduga volume pohon dengan kulit sebagai berikut: Vdk = 0.0000741D1,96H0,780 Keterangan: Vdk D H : volume pohon dengan kulit (m3) : diameter setinggi dada/Dbh (cm) : tinggi total (m)

21

2.

Angka bentuk batang pada pohon dengan kulit Analisis data pohon sampel/pohon model dengan kulit sebanyak 83 pohon

menghasilkan angka bentuk sebesar 0,45. Angka bentuk batang ini sebagai faktor pengali volume pohon silinder dengan kulit pohon berdiri. Model hubungan antara biomassa pohon dengan variabel bebasnya (D & H) dilakukan dengan menggunakan Minitab for Windows Release 14, SAS 9.1.3 dan Microsoft Office Excel. Dasar dari persamaan regresi biomassa adalah biomassa dan kandungan karbon beberapa bagian pohon (batang, cabang, ranting dan daun), diameter dan tinggi pohon. Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, bahwa untuk menduga kandungan biomassa dan karbon bisa digunakan persamaan linier dan nonlinear. Model persamaan yang digunakan adalah model yang terdiri dari satu peubah bebas W = aDb atau W = a + bD + cD2 dan model yang terdiri dari dua peubah bebas W = a(D2H)b atau W = a + bD2H. Dimana W adalah biomassa, D adalah diameter, H adalah tinggi total pohon, dan a, b adalah konstanta. Keempat model tersebut digunakan untuk menduga hubungan antara biomassa dan karbon dengan diameter dan tinggi total pohon pada masing-masing tegakan. Biomassa tegakan per hektar didapat dari modifikasi mengenai pendugaan dan pengukuran biomassa, yaitu dicari dari volume rata-rata per hektar dan kerapatan kayunya (Irawan, 2009). Yn = volume rata-rata per ha x berat jenis Besarnya taraf nyata yang ditetapkan dalam pengujian adalah 5 %.

d. Pendugaan Potensi Simpanan Karbon Tegakan Akasia Biomassa hutan dapat memberikan dugaan sumber karbon pada vegetasi hutan, oleh karena 50% dari biomassa adalah karbon (Brown & Gaston, 1996). Potensi karbon yang tersimpan (Brown, 1997) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : Keterangan : C C Yn 0,5 = Yn x 0,5

= potensi karbon (ton/ha) = biomassa tegakan per hektar (ton/ha) = faktor konversi SI untuk pendugaan karbon

22

3.6........Hipotesis Terdapat hubungan signifikan yang berbanding lurus antara biomassa tegakan Acacia crassicarpa dengan potensi karbon yang terkandung di

dalamnya, sehingga perlu dilakukan estimasi kandungan karbon yang tepat pada petak low stocking dan high stocking dengan kemampuan tumbuhnya yang berbeda. Hipotesis yang diuji adalah pengaruh faktor vegetasi pada hutan, yaitu: H1: j(i) 0 (ada atau terdapat vegetasi pada hutan yang berpengaruh) H0: j(i) = 0, i, j (vegetasi pada hutan tertentu tidak berpengaruh)

23

BAB VI KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1.

Identitas Perusahaan PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries (PT SBA WI) merupakan

perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan, bagian dari group perusahaan Sinar Mas Forestry yang berada di region Palembang. Region perusahaan sejenis Sinar Mas Forestry Group lainnya berada di Jambi, Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Produk atau komoditas yang dikembangkan adalah Hutan Tanaman Industri untuk kebutuhan industri pulp and paper. Jenis tanaman yang banyak dikembangkan adalah Acacia crassicarpa, Acacia mangium dan Eucalyptus pellita. Beberapa tanaman unggulan maupun tanaman kehidupan juga tersedia dan diperuntukkan bagi masyarakat sekitar hutan. Head quarter yang merupakan pusat semua distrik terletak di Sungai Baung dan masuk kawasan west area. Sedangkan semua distrik di PT. SBAWI (Distrik Teluk Pulai, Distrik Teluk Daun, Distrik Lebong Hitam, Distrik Sungai Riding, Distrik Sungai Lumpur) terletak di wilayah east area.

4.2.

Letak, Luas dan Batas Areal Kerja Berdasarkan SK Menteri Kehutanan nomor: 125/Kpts-II/1998 (izin

definitif) PT. SBA Wood Industries memperoleh IUPHHK-HT untuk areal seluas 40.000 Ha di dalam kawasan HPH PT SBA WI. Selanjutnya PT SBA WI mendapatkan izin perluasan areal sebesar 102.335 ha. Sehingga menurut Revisi Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri untuk Jangka Waktu 10 (sepuluh) Tahun Periode Tahun 2009 s/d 2018 keputusan IUPHHK HTI Nomor: SK.347/Menhut-II/2004 tanggal 10 September 2004, luas PT SBA WI adalah 142.355 Ha. Terbagi dalam 5 distrik dengan luas masingmasing yaitu, Distrik Teluk Pulai 25.248,88 Ha, Distrik Teluk Daun 17.512,26 ha, Distrik Lebong Hitam 38.283,34 ha, Distrik Sungai Riding 32.442,16 ha dan Distrik Kuala Lumpur 28.868,36 ha

24

Batas astronomis

105034-105056 BT dan 2048-3021 LS. Secara

administrasi pemerintahan perusahaan terletak pada Kec. Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Propinsi Sumatera Selatan, sedangkan secara admnistrasi pemangkuan termasuk pada Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Selatan, CDK/KPH Ogan Komering illir BKPH Tulung Selapan, RPH Sungai Lumpur. Adapun batas areal kerja perusahaan PT. SBA Wood Industries: Sebelah Utara : PT. Bumi Andalas Permai (BAP) dan 2 km dari arah laut (Selat Bangka) Sebelah Selatan Sebelah Timur Sebelah Barat : Sungai Lebong Hitam : PT. Bumi Andalas Permai : Sungai Lebong Hitam dan Desa Lubuk Tapa, berbatasan dengan PT. Bumi Mekar Hijau dan PT. Bumi Andalas Permai.

4.3.

Iklim dan Hidrologi Menurut sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson, kondisi iklim yang

dimiliki kawasan ini bertipe B dengan Q=14,3-33,3, sedangkan menurut sistem klasifikasi iklim Koppen termasuk tipe Af/Cf. Rataan curah hujan bulanan

mencapai 2380 mm dengan jumlah hari hujan 144 hari dengan pola curah hujan monsoonal. Curah hujan tertinggi pada bulan desember sekitar 343 mm, sedangkan terendah pada bulan Juli sekitar 116 mm dan memiliki ciri bulan kering yang jelas. Suhu rata-rata harian 260-270C dengan suhu udara rata-rata maksimum berkisar 320C- 330C dan suhu udara minimum berkisar 220C - 230C. Kelembaban nisbi udara rata-rata tergolong besar, yaitu mencapai 86 - 91%. Suhu udara yang cukup tinggi ini disebabkan oleh intensifnya radiasi matahari dan kondisi lahan yang tidak berhutan lagi dengan penutupan lahan sebagian besar berupa semak belukar akibat terjadinya kebakaran tahun 1997 1998. Areal konsesi yang dikelola mempunyai dua tipologi hidrologis, yaitu tipe rawa lebak yang air genangannya berasal dari air hujan dan limpasan air dari beberapa anak sungai serta tidak dipengaruhi pasang surut air laut serta tipe rawa pasang-surut yang airnya bersumber dari air hujan dan limpasan air sungai yang terkena pengaruh pasang surut atau bermuara di laut. Jarak pengaruh gerakan air

25

laut ini mencapai kawasan sejauh 2 sampai 10 km dari laut, seperti daerah aliran Sungai Sugihan, Sungai Batang, Sungai Pedada dan Sungai Riding atau Kuala Dua Belas, yang terletak di bagian utara sampai selatan areal konsesi. Namun areal kerja PT. SBA WI sebenarnya terletak dalam 7 DAS, yaitu DAS Batang, DAS Koyan, DAS Lumpur, DAS Pulau Dalem, DAS Riding, DAS Teluk Daun, DAS Teluk Pulai.

4.4.

Topografi, Geologi dan Tanah Kondisi alami areal pengelolaan PT SBA WI merupakan kawasan pasang

surut yang memiliki topografi datar (kelerengan 0-8 %), sebagian areal yang berhubungan dengan bibir pantai berupa lahan basah dan sebagian lagi berupa tanah kering. Terletak pada ketinggian antara 018 m dpl yang secara keseluruhan merupakan areal rawa gambut dengan kemiringan lereng 0-3 %. Tanah mineral di areal PT.SBA WI mempunyai bahan induk pasir halus dan lempung setempat yang membentuk tiga group formasi geologi yaitu marin, endapan rawa (swamp deposit), dan aluvial. Di atas formasi ini terbentuk tanah gambut dengan berbagai ketebalan. Berdasarkan revisi RK UPHHK HTI Jangka Waktu 10 Tahun (periode 2009-2018) PT. SBA WI, jenis tanah hasil pengamatan di lapangan terdiri dari jenis organosol, gleysol, alluvial, podsolik, dengan pH tanah (4-6). Terdiri dari grup kubah gambut 47,02%, grup aluvial 27,26%, grup marin 24,15%, grup dataran 1,57%. Tabel 1. Jenis tanah pada areal kerja PT. SBA Wood Industries No. 1. Jenis Tanah Gleisol Hidrik (Hydraquents) Gleisol Distrik (Tropaquepts) 2. 3. Aluvial Distrik (Fluvaquents) Organosol Saprik (Tropasaprist) Organosol Hemik (Tropohemist) Organosol Hemik (Sulfihemist) 4. Podsolik Merah Kuning (Kanhapludults) Luas (ha) 41,637.4 25,618.3 5,022.3 48,627.3 10,813.2 6,539.3 2,058.9 % 29.67 18.26 3.58 34.66 7.71 4.66 1.47

Sumber: Revisi RK UPHHK-HTI Periode 2009-2018

26

Berdasarkan revisi RK UPHHK HTI Jangka Waktu 10 Tahun (periode 2009-2018) PT. SBA WI, pengukuran yang dilakukan oleh tim analisis kesuburan tanah UNSRI, menunjukkan bahwa kedalaman air tanah bervariasi antara 15-150 cm. Bahan gambut mempunyai warna antara cokelat kekuningan gelap (10YR3/6), kelabu sangat gelap (10YR3/1) yang berarti bahwa bahan ini sebagian besar mempunyai taraf dekomposisi hemik, sedikit saprik, dan sedikit fibrik. Tanah mineral umumnya mempunyai warna gley yaitu antara kelabu (N/G)kelabu kehijauan (5G5/1) tanpa warna karatan yang berarti bahwa tanah ini selalu jenuh air dan berdrainase/aerasi buruk. Berdasarkan revisi RK UPHHK HTI Jangka Waktu 10 Tahun (periode 2009-2018) PT. SBA WI, pengamatan yang dilakukan oleh tim analisis kesuburan tanah UNSRI, tanah di areal ini selalu jenuh air tergenang sepanjang tahun, penurunan kedalaman air tanah hanya terjadi dimusin kemarau, yaitu antara awal bulan juni-akhir bulan Juli (2 bulan). Pada musim hujan kenaikan air tanah bervariasi antara 0,5-1,0 m tergantung tinggi muka permukaan laut. Kondisi ini umumnya kembali seperti semula setelah kurang dari 10 jam. Ini berarti areal ini mempunyai sistem drainase yang buruk agak buruk dengan permeabilitas lambat dan agak lambat. Dilihat dari sifat fisik air, suhu air di sungai berkisar 23,0-31,5 0C. Nilai padatan tersuspensi berkisar 2-77 mg/l dan warna air pada semua sungai berwarna cokelat dan tidak berbau. Sedangkan sifat kimia air nilai pH berkisar 4,37,0 (tergolong tanah masam sampai normal), kandungan O2 terlarut di dalam air berada dalam kisaran 3,283,84 mg/l dan kandungan CO2 bebas di air di wilayah studi berkisar 10,99 32,92 mg/l. Faktor lingkungan tanaman adalah seluruh faktor di luar tanaman yang diusahakan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Di antaranya faktor lingkungan tanaman adalah faktor tanah dan air. Tanah memiliki sifat fisika seperti struktur, permeabilitas, poroisitas dan ketebalan gambut. Sifat kimia tanah bersifat dinamis yang mudah dipengaruhi oleh faktor pengelolaan tanah sehingga dapat dijadikan indikator pemantauan lingkungan (Hillel, 1982; Evangelou, 1998).

27

4.5.

Keadaaan Hutan Areal Hutan Tanaman PT. SBA Wood Industries pada awalnya merupakan

areal HPH PT. INWIHCO yang masa pengelolaannya berakhir pada tahun 1991 dan tidak diperpanjang lagi oleh pemerintah. Sehubungan SK HPH PT. INWIHCO dicabut pada tahun 1991, selanjutnya sejak 1992 pengelolaan areal dipercayakan kepada PT. SBA Wood Industries berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 253/Kpts-II/1998 tanggal 15 Juli 1992 dengan luas 134.200 Ha. Areal tersebut mengalami dua kali bencana kebakaran yaitu pada tahun 1992/1992 dan pada tahun 1997/1998 sehingga menyebabkan kondisi hutan rusak dan tidak produktif. Mempertimbangkan kondisi areal yang demikian maka pemerintah mengambil kebijakan untuk mengelola hutan dengan sistem hutan tanaman. Berdasarkan revisi RK UPHHK HTI Jangka Waktu 10 Tahun (periode 20092018) PT. SBA WI, keadaan hutan di wilayah ini terbagi menjadi sebagai berikut: a. Tumbuhan yang dipertahankan sebagai hutan alam Struktur/tegakan hutan terdiri dari jenis-jenis tumbuhan seperti ramin,

terentang, katio, simpur, milas, dan lain-lain. Jenis dominan juga terdiri dari jenis ramin, terentang, katio simpur dan milas. Tumbuhan jenis malam-malam memiliki INP terbesar dari jenis lainnya untuk setiap tingkat pertumbuhan. Nilai indeks keragaman jenis (H) untuk berbagai jenis tingkat semai (2,04), pancang (1,44), tiang (1,5) dan pohon (2,55). Jenis yang dilindungi di areal ini adalah jelutung (Dyera lowii). Adapun jenis-jenis pohon yang memiliki nilai ekologis yaitu

nyatoh (Palaquium sp), asam kandis(Tamarindus indica), jambu (Eugenia), dan manggis (Garcinia sp). b. Pada areal efektif untuk unit produksi yang belum dibuka Struktur/potensi tegakan terbagi menjadi jenis komersial dan non komersial. Jenis pohon yang dilindungi adalah jelutung (Dyera lowii). Jenis pohon yang memiliki nilai ekonomis yaitu asam kandis (Tamarindus indica), jambu (Eugenia), dan manggis (Garcinia sp). c. Tegakan HPHTI 1. Hasil Hutan Nir Kayu Beberapa jenis yang berhasil diidentifikasi sebagai penghasil hutan nir kayu adalah palm merah (tanaman hias).

28

2. Satwa liar Kekayaan jenis satwa liar yang berjumlah 29 jenis dari kelas reptilia, mamalia, dan aves dengan total jumlah 130 individu. Dari jumlah tersebut jumlah satwa yang dilindungi meliputi 45 individu (12 spesies) dan yang tidak dilindungi 85 individu (17 spesies). Jenis satwa liar dari kelas reptilia yang dilindungi hanya jenis biawak (Varanus Sp.) dengan jumlah hanya 2 individu. Reptilia yang ditemui ada 5 spesies dengan jumlah individu terdiri dari 16 individu. Jenis satwa liar kelas mamalia yang dilindungi ada 9 spesies, yakni gajah (Elepahas maximus), rusa (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus munjtak), beruang madu (Helarctos malayanus), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), kancil (Tragulus javanicus), napu (Tragulus napu), landak (Hystrix brachyura), trenggiling (Manis javanica), dengan jumlah 34 individu di mana mamalia yang teramati seluruhnya berjumlah 57 individu yang terdiri dari 13 spesies. Jenis satwa liar kelas aves yang dilindungi ada 2 spesies yakni rangkong dan burung hantu dengan jumlah 9 individu. Jumlah keseluruhan satwa liar kelas aves yang ditemui ada 57 individu yang terdiri dari 11 spesies. 3. Biota Air Plankton, benthos, dan nektos merupakan organisme bagian dari biota perairan. Parameter yang digunakan dalam mengkaji plankton dan benthos adalah keragaman dan kelimpahannya. Sedangkan untuk ikan/nektos adalah

keberadaan/hilangnya jenis tertentu akibat lingkungan yang berubah.

29

4.6.

Aksesibilitas Kondisi aksesibilitas areal IUPHHK-HTI PT.SBA Wood Industries

disajikan pada tabel berikut: Tabel 2. Jalan negara, sungai, angkutan udara dan komunikasiNo. 1 Aksesibilitas Keberadaan jalan Negara (yang berperan dalam proses produksi dan pemasaran): Di dalam areal IUPHHK dalam hutan tanaman Di luar areal IUPHHK-HTI dalam hutan Tanaman (jarak dari areal IUPHHK) Sungai-sungai (yang berperan dalam proses produksi dan pemasaran): Di dalam areal UPHH Jumlah /Panjang/Luas/Jenis Keterangan Sampai saat ini kegiatan produksi dan pemasaran menggunakan sungai dan kanal

2.

S.Riding: 17 km S.Lebong Hitam: 40,3 km S.Lumpur:30,1 km S.Riding: 20,9 km S.Lebong Hitam: 25 km S.Lumpur:34 km 1 helikopter -

Tdp 4 DAS yang berperan: DAS batang, DAS Ridding, DAS Lebong Hitam, DAS lumpur

Di luar areal UPHH

3.

4

5

Sarana dan Prasarana Udara: Tersedianya landasan Jenis pesawat yang dapat dimanfaatkan landasan tersebut Sarana dan Prasarana Laut: Tersedianya landasan Jenis kapal yang dapat dimanfaatkan landasan tersebut Sarana Komunikasi yg tersedia: Radio SBB Telpon/Fax

-

2 set 1 set

Sumber: Revisi RK UPHHK-HTI Periode 2009-2018

30

4.7.

Sosial Ekonomi Data kondisi ekonomi di sekitar areal IUPHHK-HTI PT. SBA Wood

Industries disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Kondisi sosial ekonomi di sekitar areal IUPHHKNo. 1 Uraian Jumlah Penduduk: Total anak-anak 17 tahun: Laki-laki Perempuan angkatan kerja 17 tahun: Laki-laki Perempuan angkatan tidak produktif 55 tahun: Laki-laki Perempuan Agama dan Aliran Kepercayaan Islam Katolik/protestan Lain-lain Mata Pencaharian: Bertani Nelayan Berdagang Lain-lain Fasilitas Pendidikan: SD/MI SLTP/MTs SLTA Perguruan Tinggi Lain-lain Tempat Ibadah Masjid Gereja Lain-lain Satuan Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang % % % % % % % Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit 44.643 22.492 22.151 4.228 2.054 2.174 93,70 32,83 2,25 2,80 62,12 29/2 4/3 2 28 Jumlah 49.743 872 Ket Kec. Tulung Selapan Tidak didata Tidak didata

2.

3.

4.

5.

Sumber: Kabupaten Ogan Komering Ilir dalam Angka 2007, Kecamatan Tulung Selapan Selapan dalam Angka 2007

31

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Pada masing-masing petak penelitian dapat dibandingkan keadaan fisik tegakan Akasia, serasah, serta tumbuhan bawahnya.

A

B

Gambar 4. Kondisi tegakan Akasia pada petak low stocking (A) dan high ockiniig stocking (B).

5.1.1. Potensi Volume Tegakan Hasil pengukuran di lapangan berupa diameter pohon (d) dan tinggi (h) kemudian dikonversi menggunakan Tabel Volume Lokal (TVL) Acacia crassicarpa PT. SBA Wood Industries sehingga memberikan informasi mengenai potensi volume tegakan Akasia baik pada petak low stocking dan high stocking. Hasil perhitungan potensi volume tegakan Akasia dapat dilihat pada Tabel 4 berikut: Tabel 4. Potensi volume tegakan Akasia (Acacia crassicarpa) di areal petak area low stocking dan high stocking, DTP PT. SBA WIDiameter rata-rata (cm) 10.55 15.12 Volume per ha (m3/ha) 14.86 76.54 Volume per pohon (m3) 0.02 0.08

Umur (tahun) 3 3

Jenis Tegakan Low stocking High stocking

Jarak Tanam 3x2 3x2

Luas Petak 0.2 0.2

Jumlah Pohon 121 190

Kerapatan (N/ha) 605 950

Potensi volume yang dimiliki tegakan Akasia low stocking pada petak TPJ3030 berbeda dengan potensi volume tegakan Akasia high stocking pada petak

32

TPJ2070. Potensi volume Akasia pada tegakan low stocking adalah 14.86 m3/ha, sedangkan potensi volume Akasia pada tegakan high stocking adalah 76.54 m3/ha. Berdasarkan Tabel 3, diketahui jumlah pohon pada tegakan low stocking lebih sedikit daripada jumlah pohon pada tegakan high stocking dengan jumlah pohon masing-masing adalah 121 pohon untuk tegakan low stocking dan 190 pohon untuk tegakan high stocking. Hal ini dapat disebabkan hal-hal yang berkaitan dengan keadaan tempat tumbuh. Meskipun masing-masing tegakan berada pada estate yang sama dan terletak pada lokasi berdekatan, tetapi kualitas tempat tumbuh bisa berbeda satu sama lain. Pertumbuhan tanaman selain dipengaruhi oleh perlakuan silvikultur yang tepat juga ditentukan dari kesesuaian lokasi tempat tumbuh dengan syarat tumbuh suatu tanaman. Namun tidak menutup kemungkinan adanya gangguan hutan berupa pencurian kayu serta adanya kematian pada pohon akibat serangan hama maupun penyakit yang dapat menurunkan potensi volume tegakan. Selain itu, sumber benihnya yang berasal dari sembarang tegakan yang sedang masak panen akan menghasilkan tanamantanaman yang tumbuh dengan kualitas genetik berbeda satu sama lain. Kerapatan pohon pada tegakan low stocking lebih kecil yaitu 605 pohon/ha, sedangkan pada tegakan high stocking kerapatannya 950 pohon/ha. Untuk hasil perhitungan volume per pohon dan diameter rata-rata, pada tegakan low stocking memiliki nilai lebih kecil, yaitu berturut-turut 0.02 m3 dan 10.55 cm, sedangkan volume per pohon dan diameter rata-rata pada tegakan high stocking berturut-turut adalah 0.08 m3 dan 15.12 cm.Potensi volume tegakan Akasia (m3/ha)

Volume total petak low stocking (m3/ha)

Volume total petak high stocking (m3/ha)

Gambar 5. Potensi volume tegakan Akasia pada tegakan high stocking dan low stock ig stocking

33

5.1.2. Hasil Analisis Vegetasi Tingkat Tumbuhan Bawah Pada petak low stocking ditemukan 8 jenis tumbuhan bawah. Pada petak ini jenis Ilalang (Scleria sumatrensis) merupakan tumbuhan bawah yang paling banyak ditemukan dengan jumlah tertinggi. Hal tersebut ditunjukan dengan nilai K sebanyak 80625 ind/ha (55.80% dari total) dan nilai F tertinggi yaitu 0.95 (30.16% dari total) sehingga menghasilkan INP sebesar 85.95%. Tabel 5. Hasil analisis vegetasi tingkat tumbuhan bawah pada petak low iiiiiiiiiiiiii stockingNo. 1 2 3 4 5 6 7 8 Jenis Mikania Tekitekian Rumput pancingan Terongterongan Pakispakisan Ilalang Putihan Jumlah Nama Ilmiah Mikania micrantha Paspalum canjugatum Clidemia horta Cyclorosus aridus Scleria sumatrensis Borreria allata K (ind/ha) 48375 6125 875 125 7750 80625 375 250 144500 KR (%) 33.48 4.24 0.61 0.09 5.36 55.80 0.26 0.17 100.00 F 0.9 0.4 0.25 0.05 0.45 0.95 0.1 0.05 3.15 FR (%) 28.57 12.70 7.94 1.59 14.29 30.16 3.17 1.59 100.00 INP (%) 62.05 16.94 8.54 1.67 19.65 85.95 3.43 1.76 200.00

Berbeda dengan kondisi petak low stocking, pada petak high stocking ditemukan 7 jenis tumbuhan bawah. Pada petak ini jenis Ilalang (Scleria sumatrensis) masih merupakan tumbuhan bawah yang paling banyak ditemukan. Hal tersebut ditunjukan dengan nilai K sebanyak 39500 ind/ha (45.86% dari total) dan nilai F tertinggi yaitu 1 (21.28% dari total) sehingga menghasilkan INP sebesar 67.14% (Tabel 6). Tabel 5. Hasil analisis vegetasi tingkat tumbuhan bawah pada petak high stwiockig stockingNo. 1 2 3 Jenis Mikania Tekitekian Terongterongan Nama Ilmiah Mikania micrantha Paspalum canjugatum K (ind/ha) 26000 8000 1750 KR (%) 30.19 9.29 2.03 F 0.95 0.95 0.55 FR (%) 20.21 20.21 11.70 INP (%) 50.40 29.50 13.73

34

4 5 6 7

Pakispakisan Ilalang Putihan Jumlah

Cyclorosus aridus Scleria sumatrensis Borreria allata -

9250 39500 875 750 86125

10.74 45.86 1.02 0.87 100.00

0.75 1 0.3 0.2 4.7

15.96 21.28 6.38 4.26 100.00

26.70 67.14 7.40 5.13 200.00

5.1.3. Potensi Biomassa Tegakan Pada penelitian ini biomassa yang dihitung adalah biomassa yang terdapat di atas permukaan lahan yaitu tumbuhan bawah, serasah, dan tegakan Akasia. Kandungan biomassa di atas permukaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Kandungan biomassa di atas permukaan lahan (tegakan, tumbuhan bawiiah, bawah, dan serasah)Potensi biomassa (ton/ha) Jenis tegakan Tegakan Low stocking Tegakan High stocking Tegakan 49.77 256.41 Tumbuhan bawah 7.71 5.45 Serasah 0.50 1.80 Total 57.98 263.67

Pada petak low stocking potensi tegakan Akasia memiliki biomassa yang lebih rendah daripada potensi biomassa tegakan Akasia pada tegakan high stocking. Adapun potensi biomassa tegakan pada petak low stocking adalah 49.77 ton/ha, sedangkan pada petak high stocking biomassa tegakannya adalah 256.41 ton/ha.Potensi biomassa tegakan (ton/ha)

Total biomassa tegakan low stocking (ton/ha)

Total biomassa tegakan high stocking (ton/ha)

Gambar 6. Potensi biomasa tegakan Akasia low stocking dan high stocking

35

5.1.4.

Potensi Biomassa Tumbuhan Bawah Berbeda dengan potensi biomassa pada tegakan, untuk potensi

biomassa tumbuhan bawah menunjukkan hasil yang berkebalikan. Potensi biomasa tumbuhan bawah pada petak low stocking lebih besar dibandingkan potensi biomassa tumbuhan bawah pada petak high stocking. Potensi biomassa tumbuhan bawah pada petak low stocking adalah 7.71 ton/ha, sedangkan potensi biomassa pada petak high stocking adalah 5.45 ton/ha.Potensi biomassa tumbuhan bawah (ton/ha)

Total biomassa tumbuhan bawah low stocking (ton/ha)

Total biomassa tumbuhan bawah high stocking (ton/ha)

Gambar 7. Potensi biomassa tumbuhan bawah petak low stocking dan high stockin stocking

5.1.5.

Potensi Biomassa Serasah Potensi biomassa serasah pada petak low stocking lebih kecil

dibandingkan potensi biomassa serasah pada petak high stocking.Potensi biomassa serasah (ton/ha)

Total biomassa serasah low stocking (ton/ha)

Total biomassa serasah high stocking (ton/ha)

Gambar 8. Potensi biomassa serasah petak low stocking dan high stocking stockin

36

Potensi biomasa serasah pada petak low stocking adalah 0.50 ton/ha, sedangkan potensi biomassa pada petak high stocking adalah 1.80 ton/ha.

5.1.6. Potensi Biomassa Total di Atas Permukaan Hasil penjumlahan biomassa yang terdapat di atas permukaan lahan yang terdiri dari tumbuhan bawah, serasah, dan tegakan menunjukkan bahwa potensi biomassa total pada petak low stocking lebih kecil dibandingkan potensi biomassa total pada petak high stocking. Potensi biomasa total pada petak low stocking adalah 57.98 ton/ha, sedangkan potensi biomassa total pada petak high stocking adalah 263.67 ton/ha.Potensi biomassa total (ton/ha)

Total biomassa petak low stocking (ton/ha)

Total biomassa petak high stocking (ton/ha)

Gambar 9. Potensi biomassa total petak low stocking dan high stocking

5.1.7. Potensi Simpanan Karbon Tegakan Akasia Pada penelitian ini potensi simpanan karbon yang dihitung adalah yang terdapat di atas permukaan yaitu tumbuhan bawah, serasah, dan tegakan Akasia. Potensi simpanan karbon di atas permukaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Potensi simpanan karbon di atas permukaan lahan (tegakan, tumbuhaiitumbuhan bawah, dan serasah)Potensi karbon (ton/ha) Jenis tegakan Tegakan Low stocking Tegakan High stocking Tegakan 24.89 128.21 Tumbuhan bawah 3.85 2.73 Serasah 0.25 0.90 Total 28.99 131.84

37

Hasil perhitungan di lapangan menggunakan studi tentang biomassa, yaitu dengan mengkonversi setengah dari jumlah biomassa, dimana hampir 50% dari biomassa pada vegetasi hutan tersusun atas unsur karbon (Brown, 1997). Tegakan Akasia petak low stocking memiliki potensi karbon 24.89 ton/ha. Berbeda dengan potensi karbon tegakan Akasia pada tegakan high stocking adalah 128.21 ton/ha. Nilai ini berbanding lurus dengan volume tegakan pada petak low stocking yang lebih kecil dibandingkan volume petak high stocking.Potensi simpanan karbon tegakan (ton/ha)

Total karbon tegakan low Total karbon tegakan stocking (ton/ha) high stocking (ton/ha)

Gambar 10. Potensi serapan karbon tegakan Akasia low stocking dan high stttocking stocking

5.1.8.

Potensi Simpanan Karbon Tumbuhan Bawah Berdasarkan hasil perhitungan terhadap biomassa tumbuhan bawah,

potensi biomassa tumbuhan bawah pada petak low stocking lebih besar daripada petak high stocking. Hal ini memberikan pengaruh yang berbanding lurus dengan potensi simpanan karbon tumbuhan bawah pada petak low stocking yang lebih besar dibandingkan potensi karbon tumbuhan bawah pada petak high stocking. Potensi karbon tumbuhan bawah pada petak low stocking adalah 3.85275 ton/ha, sedangkan potensi karbon pada petak high stocking adalah 2.7272 ton/ha.

38

Potensi volume tumbuhan bawah (ton/ha)

Total karbon tumbuhan bawah low stocking (ton/ha)

Total karbon tumbuhan bawah high stocking (ton/ha)

Gambar 11. Potensi karbon tumbuhan bawah petak low stocking dan high storicking stocking

5.1.9.

Potensi Simpanan Karbon Serasah Potensi karbon serasah pada petak low stocking lebih kecil

dibandingkan potensi karbon serasah pada petak high stocking. Potensi simpanan karbon serasah pada petak low stocking adalah 0.25 ton/ha, sedangkan potensi simpanan karbon pada petak high stocking adalah 0.90 ton/ha.Potensi simpanan karbon serasahan (ton/ha)

Total karbon serasah low stocking (ton/ha)

Total karbon serasah high stocking (ton/ha)

Gambar 12. Potensi simpanan karbon serasah petak low stocking dan high stiiocking stocking

5.1.10. Potensi Simpanan Karbon Total di Atas Permukaan Hasil penjumlahan keseluruhan potensi karbon di atas permukaan lahan yang terdiri dari tumbuhan bawah, serasah, dan tegakan merupakan pendugaan terhadap potensi simpanan karbon di atas pemukaan (above

39

ground). Berdasarkan hasil perhitungan menunjukkan bahwa potensi simpanan karbon total pada petak low stocking lebih kecil dibandingkan potensi simpanan karbon total pada petak high stocking. Potensi simpanan karbon total pada petak low stocking adalah 28.99 ton/ha, sedangkan pada petak high stocking adalah 131.84 ton/ha. Simpanan karbon terbesar pada masing-masing petak berasal dari potensi simpanan karbon tegakan Akasia.

Potensi serapan karbon di atas permukaan (ton/ha)

Total karbon petak low stocking (ton/ha)

Total karbon petak high stocking (ton/ha)

Gambar 13. Potensi simpanan karbon total pada petak low stocking dan high stoicking stocking

5.1.11. Hasil Analisis Data Simpanan Karbon Hasil simpanan karbon yang telah diperoleh diuji secara statistik dengan rancangan acak lengkap. Pengolahan data simpanan karbon pada petak low stocking dan high stocking dengan masing-masing pengaruh vegetasi (tegakan, tumbuhan bawah, dan serasah) menunjukkan hasil ANOVA pada Tabel 8 beikut: Tabel 8. Tabel sidik ragam simpanan karbon petak low stocking Sumber DF Model 2 Kesalahan 12 Total Koreksi 14 R-Square = 0.8437 Jumlah Kuadrat Mean Kuadrat F Value Pr>F 70.85 35.43 32.39 F 2130.59 1065.30 4787.13