Karakteristik Ilmu Kedokteran

Embed Size (px)

Citation preview

1. Karakteristik Ilmu KedokteranIlmu kedokteran adalah ilmu empiris dan bukan ilmu eksakta, dalam arti bahwa dalam membuat suatu kesimpulan deduktif ataupun induktif, ilmu kedokteran membutuhkan pengalaman-pengalaman yang disusun dengan menggunakan metode pengumpulan dan pengolahan data secara ilmiah (evidence based). Metode ini mengakibatkan pengambilan suatu kesimpulan selalu memiliki peluang terjadinya bias dan peluang adanya fakta yang belum diketahui karena belum adanya pengalaman.[footnoteRef:1] Konsekuensi logisnya adalah bahwa tingkat kepastian dalam ilmu kedokteran disusun dalam bentuk probabilitas bukan kepastian sebagaimana di dalam ilmu matematis. Kalangan hukum menganggap adanya reasonable medical certainty yang diartikan sebagai kepastian yang cukup meyakinkan, sebagaimana juga di bidang hukum dikenal sebagai beyond reasonable doubt. [1: Sebagai akibat dari metode induksi berdasarkan kurva normal dengan bias pada kedua ekornya. Demikian pula daftar efek samping obat harus dibaca sebagai known side effects karena masih dimungkinkan adanya efek samping yang belum diketahui.]

Layanan kedokteran adalah suatu sistem yang kompleks dengan sifat hubungan antar komponen yang ketat (complex and tightly coupled) [footnoteRef:2], khususnya di ruang gawat darurat, ruang bedah dan ruang rawat intensif. Sistem yang kompleks umumnya ditandai dengan spesialisasi dan interdependensi. Dalam suatu sistem yang kompleks, satu komponen dapat berinteraksi dengan banyak komponen lain, kadang dengan cara yang tak terduga atau tak terlihat. Semakin kompleks dan ketat suatu sistem akan semakin mudah terjadi kecelakaan (prone to accident), oleh karena itu praktik kedokteran haruslah dilakukan dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi. [2: Kohn LT, Corrigan JM and Donaldson MS. To err is human, building a safer health system. Washington DC: National Academy Press, 2000, p58-60.]

2. Hubungan Dokter-PasienMengingat sifat keilmuan tersebut di atas maka muncullah doktrin hubungan dokter-pasien yang bersifat kontrak berdasar upaya (inspanningsverbintennis) dan bukannya kontrak berdasar hasil. Keberhasilan suatu tindakan medik tidak hanya bergantung kepada kompetensi dokter dan stafnya, melainkan juga bergantung kepada ketersediaan peralatan dan waktu, keadaan penyakitnya, faktor-faktor lingkungan, kepatuhan pasien, serta faktor konstitutif pasien itu sendiri. Perlu diingat bahwa tidak semua faktor tersebut dapat dikendalikan oleh dokter dan stafnya.Pada awalnya hubungan dokter-pasien adalah hubungan yang bersifat paternalistik, dengan prinsip moral utama adalah beneficence. Sifat hubungan paternalistik ini kemudian dinilai telah mengabaikan nilai otonomi pasien, dan dianggap tidak sesuai dengan perkembangan moral (orang Barat) saat ini, sehingga berkembanglah teori hubungan kontraktual (sekitar tahun 1972-1975). Konsep ini muncul dengan merujuk kepada teori social contract di bidang politik. Veatch5 mengatakan bahwa dokter dan pasien adalah pihak-pihak yang bebas, yang meskipun memiliki perbedaan kapasitas dalam membuat keputusan, tetapi saling menghargai. Dokter akan mengemban tanggung jawab atas segala keputusan teknis, sedangkan pasien tetap memegang kendali keputusan penting, terutama yang terkait dengan nilai moral dan gaya hidup pasien. Hubungan kontrak mengharuskan terjadinya pertukaran informasi dan negosiasi sebelum terjadinya kesepakatan, namun juga memberikan peluang kepada pasien untuk menyerahkan pengambilan keputusan kepada dokter. Walaupun hubungan dokter-pasien ini bersifat kontraktual, namun mengingat sifat praktik kedokteran yang berdasarkan ilmu empiris, maka prestasi kontrak tersebut bukanlah hasil yang akan dicapai (resultaatsverbintennis) melainkan upaya yang sungguh-sungguh (inspanningsverbintennis). Profesi dokter yang menggeluti bidang kosmetik seringkali terjebak untuk memperjanjikan hasil seperti pada resultaat verbintennis. Hal itu berbahaya oleh karena hasil dari tindakan dokter umumnya tidak dapat dipastikan 100%, oleh karena hasil tersebut dipengaruhi berbagai faktor, tidak hanya bergantung kepada tindakan dokter. Hubungan kontrak semacam itu harus dijaga dengan peraturan perundang-undangan dan mengacu kepada suatu standar atau benchmark tertentu. Dengan menganggap bahwa teori kontrak telah terlalu menyederhanakan nilai hubungan dokter dengan pasien, maka Smith dan Newton (1984)1 lebih memilih hubungan yang berdasar atas virtue sebagai hubungan yang paling cocok bagi hubungan dokter-pasien, dengan tanpa mengabaikan bentuk hubungan kontraktual. Hubungan kontrak mereduksi hubungan dokter-pasien menjadi peraturan dan kewajiban saja, sehingga seseorang dokter dianggap baik bila ia telah melakukan kewajiban dan peraturan (followed the rules) sehingga biasa disebut sebagai bottom line ethics. Hubungan kontrak tidak lagi mengindahkan empathy, compassion, perhatian, keramahan, kemanusiaan, sikap saling mempercayai, itikad baik, dll yang merupakan bagian dari virtue-based ethics (etika berdasar nilai kebajikan/ keutamaan). Pada hubungan dokter-pasien yang virtue-based dirumuskan bahwa hubungan itu bertumbuh dan berkembang sedemikian rupa sehingga tidak ada satu ketentuan pun yang ditentukan pada permulaan yang berlaku untuk seterusnya. Baik dokter maupun pasien harus tetap berdialog untuk menjaga berjalannya komunikasi dalam rangka mencapai tujuan bersama, yaitu kesejahteraan pasien. 3. Akuntabilitas ProfesiSecara teoritis-konseptual, antara masyarakat profesi dengan masyarakat umum terjadi suatu kontrak (mengacu kepada doktrin social-contract), yang memberi masyarakat profesi hak untuk melakukan self-regulating dengan kewajiban memberikan jaminan bahwa profesional yang berpraktik hanyalah profesional yang kompeten dan yang melaksanakan praktik profesinya sesuai dengan standar.Suatu profesi dianggap sebagai profesi yang akuntabel apabila profesionalisme profesi tersebut benar-benar tercermin dalam praktik sehari-harinya. Sikap profesionalisme adalah sikap yang bertanggung jawab, dalam arti sikap dan perilaku yang akuntabel kepada masyarakat, baik masyarakat profesi maupun masyarakat luas termasuk klien. Beberapa ciri profesionalisme tersebut merupakan ciri profesi itu sendiri, seperti kompetensi dan kewenangan yang selalu sesuai dengan tempat dan waktu, sikap yang etis sesuai dengan etika profesinya, bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh profesinya, dan khusus untuk profesi kesehatan ditambah dengan sikap altruis (rela berkorban). Uraian dari ciri-ciri tersebutlah yang kiranya harus dapat dihayati dan diamalkan agar profesionalisme tersebut dapat terwujud.4. Hak PasienBerdasarkan hubungan kontrak di atas muncullah hak-hak pasien yang pada dasarnya terdiri dari dua hak, yaitu : (1) the Rights to health care dan (2) the Rights to self determination.Secara tegas the World Medical Association telah mengeluarkan Declaration of Lisbon on the Rights of the Patient (1991), yaitu hak memilih dokter secara bebas; hak dirawat oleh dokter yang bebas dalam membuat keputusan klinis dan etis; hak untuk menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi yang adekuat; hak untuk dihormati kerahasiaan dirinya; hak untuk mati secara bermartabat; dan hak untuk menerima atau menolak dukungan spiritual atau moral.UU Kesehatan menyebutkan beberapa hak pasien, seperti hak atas informasi, hak atas second opinion, hak untuk memberikan persetujuan atau menolak suatu tindakan medis, hak atas kerahasiaan, hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, dan hak untuk memperoleh ganti rugi apabila terdapat kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan. Ditjen Yanmed Depkes RI mengeluarkan Surat Edaran No YM.02.04.3.5.2504 tahun 1997 yang berisikan Pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit. UU Praktik Kedokteran tahun 2004 menguatkan kembali hak-hak pasien, yaitu hak mendapatkan penjelasan secara lengkap, memperoleh pendapat kedua, mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, menolak tindakan medis, dan mendapatkan isi rekam medis.5. Kewajiban Dokter dan Standar ProfesiDasar timbulnya kewajiban dokter adalah adanya hubungan kontraktual-profesional antara tenaga medis dengan pasiennya, yang menimbulkan kewajiban umum sebagai akibat dari hubungan tersebut dan kewajiban profesional bagi tenaga medis tersebut. Kewajiban profesional diuraikan di dalam sumpah profesi, etik profesi, standar profesi (kompetensi, perilaku, pelayanan) dan berbagai prosedur operasional. Kewajiban-kewajiban tersebut dilihat dari segi hukum merupakan rambu-rambu yang harus diikuti untuk mencapai perlindungan, baik bagi pemberi layanan maupun bagi penerima layanan; atau dengan demikian untuk mencapai safety yang optimum.Sikap dan tindakan yang wajib dilaksanakan oleh dokter diatur dalam berbagai standar, yaitu standar kompetensi, standar perilaku dan standar pelayanan. Standar kompetensi mengatur tentang kompetensi minimal yang harus dimiliki seorang dokter atau dokter spesialis tertentu dan kaitannya dengan kewenangan mediknya. Seorang dokter hanya boleh melakukan suatu tindakan medik yang berada dalam wilayah kompetensi dan kewenangannya, yang dapat dilihat dalam sertifikat kompetensinya. Dalam hal terdapat kompetensi tambahan yang mengakibatkannya wewenang melakukan tindakan yang khusus, maka kompetensi ini juga harus dikukuhkan dengan sertifikasi dan diakui oleh masyarakat profesinya.Standar perilaku diuraikan dalam sumpah dokter, etik kedokteran dan kode/pedoman etik spesialis tertentu. Etik profesi mengatur tentang bagaimana sebaiknya dokter bersikap, dan umumnya diuraikan dalam bentuk kewajiban-kewajiban dalam kode etik. Namun, mengingat sifat etik yang tidak memiliki sanksi yang dapat dipaksakan, maka alangkah baiknya apabila di masa mendatang Konsil Kedokteran menyusun standar perilaku yang lebih operasional dan sanksinya dapat dipaksakan.Standar pelayanan medis adalah uraian tentang apa yang harus dikerjakan oleh seorang dokter dalam menghadapi suatu kasus atau suatu situasi medis tertentu. Suatu standar umumnya berbicara tentang pelayanan pada situasi dan keadaan yang normal (clean case), sehingga harus dikoreksi/disesuaikan terlebih dahulu untuk dapat diterapkan pada situasi dan kondisi yang tertentu. Banyak hal harus diperhitungkan disini, seperti keadaan umum pasien dan faktor-faktor lain (hardware, software, liveware dan environment) yang memberatkannya; adakah situasi kedaruratan tertentu, adakah keterbatasan sarana dan/atau kompetensi institusi, adakah keterbatasan waktu, dan lain-lain. Oleh karena itu ada kecenderungan untuk mengatur hal-hal yang umum dalam bentuk standar dan mengatur hal-hal yang khusus dan rinci dalam bentuk pedoman. Di tingkat sarana kesehatan, pedoman tersebut disesuaikan dengan ketersediaan sumber daya, dan dibuatkan standar prosedur operasional. Termasuk di dalamnya adalah kewajiban membuat rekam medis yang adekuat, kewajiban memperoleh consent setelah memberikan informasi, kewajiban merujuk apabila tidak mampu, dll.Dengan melihat uraian tentang kewajiban di atas, maka mudah buat kita untuk memahami apakah arti penyimpangan kewajiban. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya Golden Rule yang menyatakan What is right (or wrong) for one person in a given situation is similarly right (or wrong) for any other in an identical situation. Oleh karena itu penilaian benar salahnya suatu rangkaian tindakan yang dilakukan oleh tenaga medis oleh peer-groupnya sangat penting dalam mencapai keputusan yang obyektif dan akurat. Penilaian harus dimulai dengan mereview jalannya peristiwa dari awal hingga akhir dan menganalisis proses pemikiran, alasan dan rencana setiap tindakan. Dengan memperhatikan pemahaman tentang medical error di atas, bandingkan apa yang telah dilakukan (harus didasarkan kepada dokumen medik) dengan standar atau pedoman yang berlaku atau common practice apabila standar atau pedoman belum ada atau membutuhkan penyesuaian. Apabila terdapat penyimpangan standar/pedoman harus dicari alasannya, apakah cukup beralasan atau dapat diterima dari segi state-of-the-art iptekdok. Penyimpangan yang tidak dapat diterima (unreasonable atau unacceptable) dikategorikan ke dalam pelanggaran kewajiban.Perlu diingat bahwa seluruh simpulan dan prosedur yang terdapat di dalam standar atau pedoman sebaiknya berasal dari bukti empirik yang pernah diperoleh dan tercatat melalui metode penelitian yang akurat (evidence based). Common practice yang pada umumnya dapat digunakan sebagai pembanding dalam hal standar tidak ada, namun common practice yang menyimpang jauh dari prinsip-prinsip pembentuk standar harus ditolak sebagai pembanding yang benar.6. Praktik Kedokteran Untuk dapat memperoleh kualifikasi sebagai dokter, setiap orang harus memiliki suatu kompetensi tertentu di bidang medik dengan tingkat yang tertentu pula, sesuai dengan kompetensi yang harus dicapainya selama menjalani pendidikan kedokterannya. Tingkat kompetensi tersebut bukanlah tingkat terendah dan bukan pula tingkat tertinggi dalam kualifikasi tenaga medis yang sama, melainkan kompetensi yang rata-rata (reasonable competence) dalam populasi dokter.Selanjutnya untuk dapat melakukan praktik medis, dokter tersebut harus memiliki kewenangan medis yang diperoleh dari pe-nguasa di bidang kesehatan dalam bentuk ijin praktik. Kewenangan formil diperoleh dengan menerima surat penugasan (atau dalam UU Praktik Kedokteran disebut sebagai Surat Tanda Registrasi), sedangkan kewenangan materiel diperoleh dengan memperoleh ijin praktik.Dokter yang berpraktik wajib memasang papan praktik, atau apabila di rumah sakit wajib disebutkan dalam daftar dokter. Apabila berhalangan hadir wajib memberitahukan atau mencari pengganti yang berkualifikasi sama dan memiliki SIP. Dokter wajib membuat rekam medis, memperoleh informed consent sebelum melakukan tindakan medis, memegang rahasia kedokteran, bekerja sesuai dengan standar pelayanan, serta mengendalikan mutu dan biaya pelayanan. Bagi pelanggar ketentuan tersebut dapat dikenai hukuman pidana.Dalam rangka menjaga akuntabilitas profesi dokter, UU Praktik Kedokteran menunjuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia untuk dapat memantau, memeriksa dan memberikan sanksi disiplin kepada para pelanggar disiplin profesi kedokteran.7. Rekam Medis dan Rahasia KedokteranMenurut Permenkes RI No. 269/MENKES/ PER/III/2008 pengertian rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan pada pasien. Rekam medis memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis sebagaimana disebut di dalam Permenkes RI No. 269/MENKES/ PER/III/2008, yaitu sebagai dasar pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien, bahan pembuktian dalam perkara hukum, bahan untuk keperluan penelitian dan pendidikan, dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan, dan sebagai bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan. Berdasarkn fungsinya rekam medis dibedakan menjadi: Rekam Medis untuk pasien rawat jalan Rekam Medis untuk pasien rawat inap Rekam Medis untuk pasien gawat darurat Rekam Medis untuk pasien dalam kejadian bencanaIsi dari rekam medik sendiri pada dasarnya terdiri dari identitas pasien, diagnosis masuk dan indikasi pasien dirawat, ringkasan hasil pemeriksaan fisik dan penunjang, diagnosis akhir, pengobaan dan tindak lanjut, serta nama dan tanda tangan dokter atau dokter gigi yang memberikan pelayanan kesehatan. Isi lainnya disesuaikan dengan jenis rekam medis pasien.Baik doktrin yang dikemukakan oleh para ahli diberbagai kepustakaan maupun UU Kesehatan, UU Praktik Kedokteran dan Permenkes RI No. 269/MENKES/PER/III/2008 tentang rekam medis menyatakan bahwa kepemilikan Rekam Medis mengandung dua aspek, yaitu bahwa isi rekam medis adalah milik pasien yang bersangkutan sedangkan fisik rekam medisnya sendiri adalah milik dari sarana kesehatan tersebut.Berkaitan dengan hak pasien untuk mengakses rekam medis beberapa hal harus diingat dan dipertimbangkan. Pertimbangan pertama adalah bahwa apabila informasi yang terdapat di dalam rekam medis dapat mengakibatkan memburuknya keadaan pasien, maka akses langsung menjadi tidak diperkenankan. Pertimbangan lain adalah bahwa informasi yang diberikan oleh pasien adalah absolut milik pasien, sedangkan informasi yang diperoleh dokter dengan cara deduksi atau inferensi ilmiah adalah milik dokter dan tidak absolut dapat diketahui oleh pasien. Amerika Serikat yang dikenal sangat liberal dan mengakui hak-hak individu, ternyata produk hukum di bidang ini belumlah sama di semua negara bagian. Hanya 28 negara bagian yang memberikan hak kepada pasien untuk mengakses rekam medisnya, itupun dengan tata cara yang bervariasi. Bahkan untuk rekam medis tertentu, seperti rekam medis psikiatris, diperlakukan sangat khusus tidak dapat diakses oleh pasien. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa meskipun pasien berhak mengetahui keadaan kesehatan/penyakit dirinya, namun hal ini tidak mengakibatkan bahwa ia berhak secara absolut mengakses rekam medis-nya. Dalam hal dokter berpendapat bahwa pasien dapat melihat rekam medisnya, maka sebaiknya pasien didampingi oleh dokter atau perawat yang mengetahui agar dapat menjelaskan hal-hal yang sukar dipahami oleh pasien. Dalam beberapan kondisi dokter diperbolehkan membuka rahasia medik. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1966 yang mengatur tentang wajib simpan rahasia kedokteran mewajibkan seluruh tenaga kesehatan untuk menyimpan segala sesuatu yang diketahuinya selama melakukan pekerjaan di bidang kedokteran sebagai rahasia. Namun PP tersebut memberikan pengecualian sebagaimana terdapat dalam pasal 2, yaitu apabila terdapat peraturan perundang-undangan yang sederajat (PP) atau yang lebih tinggi (UU) yang mengaturnya lain. Ketentuan ini juga ditunjang oleh pasal 50 KUHP yang menyatakan bahwa seseorang tidak akan dipidana oleh karena melakukan suatu perbuatan untuk menjalankan undang-undang. Hal ini mengakibatkan bebasnya para dokter dan tenaga administrasi kesehatan dalam membuat visum et repertum (kewajiban dalam KUHAP), dan dalam menyampaikan pelaporan tentang statistik kesehatan, penyakit wabah dan karantina.Rahasia kedokteran adalah segala sesuatu yang harus dirahasiakan mengenai apa yang diketahui dan didapatkan selama menjalani praktek lapangan kedokteran, baik yang menyangkut masa sekarang maupun yang sudah lampau, baik pasien yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Rahasia kedokteran sendiri terbagi menjadi rahasia pekerjaan yaitu segala sesuatu yang diketahui dan harus dirahasiakan berdasarkan lafal sumpah yang diucapkan pada waktu menerima gelar seorang dokter, dan rahasia jabatan yaitu segala sesuatu yg diketahui dan harus dirahasiakan berdasarkan lafal sumpah yang diucapkan pada waktu diangkat sebagai pegawai negeri.Yang diwajibkan menyimpan rahasia kedokteran menurut PP RI No. 32 tahun 1996 pasal 2 antara lain: Tenaga medis: dokter dan dokter gigi Tenaga keperawatan: perawat dan bidan. Tenaga kefarmasian: Apoteker, Analis farmasi dan As. apoteker. Tenaga kesehatan masyarakat: Epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian. Tenaga gizi: nutrisionis dan dietisien Tenaga keterapian fisik: fisioterapis, okupasiterapis, dan terapis wicara. Tenaga keteknisian medis: radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi, dan perekam medis.Alasan lain yang diperbolehkan untuk membuka rahasia kedokteran adalah adanya ijin pasiennya sendiri, perintah jabatan (pasal 51 KUHP), daya paksa (pasal 48 KUHP), dan dalam rangka membela diri (pasal 49 KUHP). Selain itu etika kedokteran umumnya membenarkan pembukaan rahasia kedokteran secara terbatas untuk kepentingan konsultasi profesional, pendidikan dan penelitian. Permenkes No. 269/MENKES/ PER/III/2008 juga memberi peluang bagi penggunaan rekam medis untuk pendidikan dan penelitian. Dalam KUHP terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang membuka Rahasia Kedokteran: KUHP pasal 48Tidak boleh dihukum barangsiapa melakukan perbuatan karena terdorong oleh daya paksa KUHP Pasal 50Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan kepentingan undang-undang, tidak dipidana KUHP Pasal 51Tidak boleh dihukum barangsiapa melakukan perbuatan atau menjalankan perintah jabatan yang diberikan pembesar yang berhakUU Praktik Kedokteran merumuskan pembukaan rahasia kedokteran hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Membuka rahasia kedokteran tanpa syarat-syarat seperti yang disebutkan diatas, sanksinya diatur sebagai berikut:1. Sanksi pidana KUHP Pasal 112 Barangsiapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau keteranganketerangan yang diketahuinya bahwa harus dirahasiakan untuk kepentingan negara atau dengan sengaja memberitahukan atau memberikannya kepada negara asing, kepada seorang seorang raja atau suku bangsa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. KUHP Pasal 322 (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka suatu rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pekerjaannya yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.(2) Jika kejahatan dilakukan pada seorang tertentu maka perbuatannya itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang tersebut.2. Sanksi perdata KUH Perdata Pasal 1365Setiap perbuatan yang melanggar hukum yang berakibat kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya mengakibatkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. KUH Perdata Pasal 1366 Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya KUH Perdata Pasal 1367 Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orangorang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan karena perbuatan orang-orang yang berada dibawah pengawasannya3. Sanksi Administratif undang-undang No.6 tahun 1963 pasal 114. Sanksi Sosial8. Informed ConsentInformed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.Informed consent memiliki beberapa elemen, yaitu :1. Threshold elements. Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten. Kompeten di sini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan (medis). Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suatu kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang reasonable). Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) adalah apabila telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak berada di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah (UU Kesehatan, atau 18 tahun menurut UU Perlindungan Anak). Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila ia mempunyai penyakit mental sedemikian rupa atau perkembangan mentalnya terbelakang sedemikian rupa, sehingga kemampuan membuat keputusannya terganggu.[footnoteRef:3] [3: KUH Perdata dan UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.]

2. Information elementsElemen ini terdiri dari dua bagian, yaitu disclosure (pengungkapan) dan understanding (pemahaman).Pengertian berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa agar pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat. Banyak ahli yang mengatakan bahwa apabila elemen ini tidak dilakukan maka dokter dianggap telah lalai melaksanakan tugasnya memberi informasi yang adekuat.Sub-elemen pemahaman (understanding) pasien dipengaruhi oleh berbagai keadaan, diantaranya tingkat sakitnya, irrasionalitas dan imaturitas. Tidak semua negara mengikuti sepenuhnya sub-elemen ini oleh karena sulitnya mencapai pemahaman sehingga dapat mengganggu pelayanan itu sendiri.UU Praktik Kedokteran mengatur bahwa informasi yang harus disampaikan kepada pasien/pembuat consent setidaknya meliputi: diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan.3. Consent elementsElemen ini juga terdiri dari dua bagian, yaitu voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan authorization (persetujuan).Kesukarelaan mengharuskan tidak adanya tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari tekanan yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan dibiarkan apabila tidak menyetujui tawarannya. Consent dapat diberikan dalam bentuk:a. Dinyatakan (expressed): dinyatakan secara lisan. dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang berisiko mempengaruhi kesehatan pasien secara bermakna. Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus memperoleh persetujuan tertulis.b. Tidak dinyatakan (implied).Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya.Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang paling banyak dilakukan dalam praktik sehari-hari. Misalnya adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan lengannya ketika akan diambil darahnya. Informed consent memiliki lingkup terbatas pada hal-hal yang telah dinyatakan sebelumnya, tidak dapat dianggap sebagai persetujuan atas semua tindakan yang akan dilakukan. Dokter dapat bertindak melebihi yang telah disepakati hanya apabila gawat darurat dan keadaan tersebut membutuhkan waktu yang singkat untuk mengatasinya.Proxy-consent adalah consent yang diberikan oleh orang yang bukan si pasien itu sendiri, dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi, dan consent tersebut harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien apabila ia mampu memberikannya (baik buat pasien, bukan baik buat orang banyak). Umumnya urutan orang yang dapat memberikan proxy-consent adalah suami/isteri, anak, orang tua, saudara kandung, dan lain-lain.[footnoteRef:4] Proxy-consent hanya boleh dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan ketat. Satu kasus di Jakarta telah membuka mata orang Indonesia betapa riskannya proxy-consent ini, yaitu ketika seorang laki-laki menuntut dokter yang telah mengoperasinya hanya berdasarkan persetujuan anaknya, padahal ia tidak pernah dalam keadaan tidak sadar atau tidak kompeten. [4: Bianco EA and Hirsh HL in Sanbar SS et al. Legal Medicine. 4th ed. St Louis: Mosby, 1998; 257-279.]

Hak menolak terapi lebih sukar diterima oleh profesi kedokteran daripada hak menyetujui terapi. Banyak ahli yang mengatakan bahwa hak menolak terapi bersifat tidak absolut, artinya masih dapat ditolak atau tidak diterima oleh dokter. Hal ini oleh karena dokter akan mengalami konflik moral dengan kewajiban menghormati kehidupan, kewajiban untuk mencegah perbuatan yang bersifat bunuh diri atau self inflicted, kewajiban melindungi pihak ketiga, dan integritas etis profesi dokter.Informed consent membebaskan tanggung jawab hukum dokter atas risiko medis yang akseptabel (volenti non fit injuria), tetapi tidak membebaskan dokter dari tanggung jawab akibat kelalaian medis.9. Surat Keterangan MedisDalam melaksanakan praktik kedokterannya sehari-hari, dokter tidak hanya melakukan pemeriksaan seseorang pasien untuk tujuan diagnostik dalam rangka pengobatan saja, akan tetapi juga pemeriksaan untuk tujuan penyimpulan status kesehatan seseorang tanpa berkaitan dengan pengobatan terhadapnya. Penyimpulan status kesehatan tersebut dituangkan dalam bentuk Surat Keterangan Medis. Surat keterangan medis adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter untuk tujuan tertentu tentang kesehatan atau penyakit pasien atas permintaan pasien atau atas permintaan pihak ketiga dengan persetujuan pasien. Surat keterangan medis harus dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan dokter yang secara teknis dokter relevan, memadai dan benar; serta diinterpretasikan dengan menggunakan ilmu pengetahuan kedokteran yang telah diterima pada saat itu (state-of-the-art). Dalam kaitannya dengan keterangan yang dibuat dokter, Kode Etik Kedokteran Indonesia mengaturnya sebagai berikut :Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannyaDengan demikian dokter pembuat surat keterangan medis tersebut harus dapat membuktikan kebenaran keterangannya apabila diminta, atau berarti bahwa ia harus yakin bahwa pernyataannya adalah benar sesuai dengan pengetahuan kedokteran yang lazim. Dengan kalimat memeriksa sendiri kebenarannya di atas diartikan bahwa dokter tersebut menginterpretasikan hasil-hasil pemeriksaan dokter yang telah diyakini kebenarannya, baik yang dilakukannya sendiri maupun yang dilakukan oleh sejawatnya atau hasil konsultasinya. Dokter yang membuat surat keterangan medis palsu diancam dengan pidana penjara oleh pasal 267 KUHP.Pasal 267 KUHP(1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.(2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang ke dalam rumah sakit jiwa atau untuk menahannya di situ, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan.(3) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran.Ketentuan pidana di atas telah terpenuhi sejak surat keterangan medis palsu tersebut dibuat, tidak perlu terpenuhinya penggunaan surat keterangan palsu tersebut.Persetujuan pasien sangat diutamakan mengingat adanya hak pasien atas rahasia kedokteran dan hak atas privacy pasien, serta kewajiban dokter untuk menyimpan rahasia kedokteran. Surat keterangan yang dapat diterbitkan oleh dokter antara lain surat keterangan lahir, surat keterangan meninggal, surat keterangan sehat, surat keterangan sakit, surat keterangan cacat, surat keterangan pelayanan medis untuk penggantian biaya dari asuransi kesehatan, surat keterangan cuti hamil, surat keterangan ibu hamil untuk bepergian dengan pesawat udara, visum et repertum, laporan penyakit menular, kuitansi.Surat Keterangan Sehat. Adalah hal yang tidak mungkin bagi seorang dokter untuk dapat menyatakan seseorang sehat sebagaimana definisi sehat dari WHO, yaitu sehat jasmani, rohani dan sosial. Dokter dengan keterbatasan ilmunya serta keterbatasan waktu pemeriksaan hanya dapat membuat keterangan sehat yang dikaitkan dengan keperluan-keperluan tertentu, dengan standar sehat yang tertentu pula. Standar sehat bagi seseorang untuk dapat melanjutkan sekolah di Perguruan Tinggi pada umumnya berbeda dengan standar sehat bagi calon taruna Akabri, atau sehat untuk memperoleh Surat Ijin Mengemudi (SIM), sehat untuk melakukan pekerjaan tertentu dll. Dengan demikian surat Keterangan Sehat yang dikeluarkan oleh dokter selalu harus menyebutkan untuk keperluan apa surat keterangan tersebut dibuat. Selain itu, pada umumnya Surat Keterangan Sehat yang dibuat dokter tidak memasukkan pengertian sehat kejiwaan dan sehat sosial, kecuali apabila dinyatakan demikian oleh dokter yang berwenang untuk itu (psikiater).Surat Keterangan Sakit. Surat Keterangan Sakit yang dibuat dokter disertai dengan pemberian istirahat dari kegiatan sehari-hari atau pembebasan kegiatan tertentu untuk waktu yang tertentu adalah bertujuan untuk memberikan istirahat dalam rangka penyembuhan pasien tersebut. Surat Keterangan Sakit tersebut tidak menjelaskan jenis dan keparahan penyakitnya oleh karena adanya kewajiban simpan rahasia kedokteran. Rahasia kedokteran ini dapat dibuka atas izin pasien, baik yang diberikan secara langsung kepada dokter, maupun melalui pihak ketiga seperti pada pasien peserta asuransi kesehatan/ asuransi kecelakaan. Diagnosis penyakit pasien harus dituliskan apabila surat keterangan sakit tersebut memberikan istirahat lebih dari 2 minggu. Perlu diingat bahwa istirahat yang diberikan oleh dokter adalah semata-mata atas pertimbangan dokter dalam rangka penyembuhan penyakit pasien, bukan atas permintaan pasien. Demikian pula tentang lamanya istirahat.Surat Keterangan Kelahiran dibuat pada setiap kelahiran hidup manusia. Sedangkan terhadap bayi yang lahir mati tidak diterbitkan Surat Keterangan Kelahiran, melainkan Keterangan Lahir Mati. Surat Keterangan Kelahiran memuat nama bayi, jenis kelamin, nama ibu yang melahirkannya berikut pekerjaan dan alamatnya, serta tempat, tanggal dan jam kelahiran bayi tersebut. Nama ayah tidak dicantumkan dalam Surat Keterangan Dokter tersebut sebagai ayah si bayi, melainkan sebagai suami si ibu yang melahirkan. Nama ayah disebut sebagai ayah hanya dilakukan di dalam Akte Kelahiran. Surat Keterangan Kematian dibuat bagi setiap manusia yang mati. Surat Kematian pada dasarnya menyatakan tentang telah meninggalnya seseorang dengan identitas tertentu, tanpa menyebutkan sebab kematiannya. Keterangan ini dibuat sekurang-kurangnya berdasarkan atas pemeriksaan luar jenasah. Dalam hal kematiannya berkaitan dengan tindak pidana tertentu, pembedahan jenasah mungkin dibutuhkan untuk memperoleh sebab kematian yang pasti. Surat Keterangan Kematian tidak boleh dibuat pada orang yang mati diduga akibat peristiwa pidana tanpa pemeriksaan kedokteran forensik terlebih dahulu. Pembuatan Surat Keterangan Kematian harus dilakukan dengan hati-hati mengingat aspek hukumnya yang luas, mulai dari urusan pensiun, administrasi sipil, warisan, santunan asuransi, hingga adanya kemungkinan pidana sebagai penyebab kematian.Surat Keterangan Cacat Sangat erat hubungannya dengan besarnya tunjangan atau pensiun yang akan diterima oleh pekerja, yang tergantung kepada keterangan dokter. tentang sifat cacatnya. Surat Keterangan Cuti Hamil Hak cuti hamil seorang ibu adalah 3 bulan, yaitu sekitar 1 bulan sebelum dan 2 bulan setelah persalinan. Tujuan : agar si ibu cukup istirahat dan mempersiapkan dirinya dalam menghadapi proses persalinan, dan mulai kerja kembali setelah masa nifas. Visum Et Repertum Visum et repertum (VeR) adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh dokter untuk penyidik dan pengadilan. VeR mempunyai daya bukti dan alat bukti yang sah dalam perkara pidana.Surat Keterangan Ibu Hamil untuk berkendara degan pesawat Sesuai dengan ketentuan internasional Aviation, Ibu hamil tidak dibenarkan bepergian dengan pesawat udara, jika mengalami :1. hiperemesis atau emesis gravidarum2. hamil dengan komplikasi ( perdarahan,preeklamsi dsb )3. hamil >36 minggu4. hamil dengan penyakit-penyakit lain yangberesiko.10. Dokter di Rumah SakitDokter di rumah sakit dapat berstatus sebagai pegawai rumah sakit, mitra profesional yang terikat dengan perjanjian, atau dapat pula sebagai dokter tamu. Baik sebagai pegawai maupun sebagai mitra profesional, dokter wajib mengikuti seluruh ketentuan pelayanan medis yang dibuat oleh rumah sakit, oleh karena pasien menganggap dokter-dokter ini sebagai orangnya rumah sakit atau ostensible agent. Mereka memiliki waktu dan tempat praktik di rumah sakit, dapat menggunakan alat dan ruang tanpa minta ijin, dapat memerintah perawat dan karyawan lain sehingga pantas untuk disebut sebagai orang dalam. Mereka merawat pasien rumah sakit maupun pasien pribadinya.Dokter tamu berbeda dengan dokter mitra. Dokter tamu adalah dokter yang tidak bekerja/berpraktik di rumah sakit tersebut, namun ia dapat merawat inap kan pasiennya sendiri di rumah sakit, oleh karenanya mereka termasuk independent contractor.Dengan demikian, dokter yang bekerja di rumah sakit, baik sebagai pegawai maupun sebagai mitra profesional berdasarkan perjanjian, tidak dapat mengatakan bahwa ia adalah profesional yang bebas dalam melakukan pelayanan atau dalam menentukan tarif, melainkan harus mengikuti ketentuan rumah sakit. Sebaliknya rumah sakit tidak dapat mengatakan bahwa rumah sakit tidak bertanggung jawab atas perilaku para dokter, karena RS wajib memastikan bahwa dokter yang bekerja di RSnya adalah para profesional yang kompeten dan berwenang, serta mengawasi agar pelayanan dilakukan sesuai dengan standar dan SOP RS. 11. Risiko Medis dan KomplikasiHubungan hukum antara dokter dan pasien, hampir semuanya terbentuk perikatan ikhtiar, dimana prestasi yang diberikan oleh dokter adalah upaya semaksimal mungkin sehingga tidak dapat diukur. Pelaksanaan transaksi terapeutik antara dokter dan pasien, adalah dokter tidak menjanjikan kesembuhan dari pasien tetapi dokter berupaya semaksimal mungkin untuk menyembuhkan pasien. Setiap tindakan medik, sekecil apapun tindakan medik itu selalu menimbulkan risiko, yang kadang-kadang tidak dapat diprediksi sedikitpun. Sehubungan dengan tidak dapat diukurnya prestasi yang harus diberikan oleh dokter, maka tanggung jawab hukum medik dari tindakan medik yang dilakukan dokter terhadap pasiennya timbul dalam hal dokter berbuat kesalahan, kelalaian atau kurang hati-hati.Resiko medis berdasarkan pengertian resiko secara umum, ajaran hukum, dan beberapa aturan yang menyebutkan mengenai resiko medis secara sederhana dapat diartikan sebagai kewajiban menanggung kerugian oleh pasien atas tindakan di luar kesalahan dokter dalam transaksi terapeutik. Resiko demikian mempunyai sifat kekhususan karena resiko yang muncul adalah dalam tindakan medis yang dilakukan pada saat para pihak terlibat transaksi terapeutik. Pengertian risiko medis menurut pernyataan Pasal 2 ayat (3), pasal 3 ayat (1), dan pasal 7 ayat (2), peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia nomor: 585/Men.Kes/Per/IX/1989, tentang Persetujuan Tindakan Medis, menyebutkan istilah resiko secara eksplisit dan tersirat, antara lain :a. Pasal 2 ayat (3) : Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medic yang bersangkutan serta resiko yang dapat ditimbulkannya.b. Pasal 3 ayat (1) : Setiap tindakan medic yang mengandung resiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang hendak memberikan persetujuan.c.Pasal 7 ayat (2) : Perluasan operasi yang tidak dapat diduga sebelumnya dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien.Kualifikasi resiko medis dapat diambil dari pengertian resiko medis1. Pasien wajib menanggungSubyek yang berkewajiban menangung ditegaskan yaitu pasien. Karena dia yang menerima upaya penyembuhan dari dokter2. KerugianKerugian berupa fisik maupun psikis3. Atas tindakan dokterTimbulnya kerugian merupakan akibat adanya tindakan medis, bukan karena di luar tindakan medis4. Ada hubungan kausalitas antara kerugian dengan tindakan dokterAdanya kerugian merupakan akibat dari tindakan yang dilakukan dokter5. Kerugian tersebut di luar kesalahan dokterKerugian tersebut di luar kesalahan tindakan medis yang dilakukan oleh dokter. Dokter sudah berupaya melakukan penyembuhan dengan mendasarkan pada standar profesi medis.Setiap tindakan medis mengandung risiko buruk, sehingga harus dilakukan tindakan pencegahan ataupun tindakan mereduksi risiko. Namun demikian sebagian besar diantaranya tetap dapat dilakukan oleh karena risiko tersebut dapat diterima (acceptable) sesuai dengan state-of-the-art ilmu dan teknologi kedokteran. Risiko yang dapat diterima adalah risiko-risiko sebagai berikut:1. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya cukup kecil, dapat diantisipasi, diperhitungkan atau dapat dikendalikan, misalnya efek samping obat, perdarahan dan infeksi pada pembedahan, dan lain-lain. 2. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya besar pada keadaan tertentu, yaitu apabila tindakan medis yang berisiko tersebut harus dilakukan karena merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh (the only way), terutama dalam keadaan gawat daruratSelain risiko tindakan, pasien juga dihadapkan kepada kemungkinan memperoleh komplikasi, yaitu akibat buruk yang terjadi lebih disebabkan oleh penyakitnya sendiri dan/atau faktor konstitusi dalam tubuh pasien sendiri, dan bukan akibat dari kesalahan tindakan medis.Untuk mencegah terjadinya resiko yang tidak diharapkan, seorang profesional harus berpikir cermat, teliti, hati-hati dalam bertindak agar dapat mengantisipasi resiko yang mungkin akan terjadi. Agar tidak terjadi salah pengertian tentang timbulnya resiko yang merugikan pasien, diperlukan adanya informasi yang jelas dan lengkap oleh dokter dengan bahasa yang muda dimengerti oleh pasien dan dengan mengingat dimana komunikasi tersebut dilakukan. Di sinilah pentingnya wawancara kesehatan, sehingga pada akhirnya pasien bersedia memberikan persetujuan atas tindakan medis yang akan dilakukan dokter dalam usaha menyembuhkan penyakitnya pada transaksi terapeutik. Dalam studi di Colorado dan Utah (1992) serta studi di New York (1984) ditemukan bahwa adverse events terjadi sebanyak 2,9% dan 3,7% dari seluruh pasien yang dirawat inap. Di Colorado dan Utah adverse events yang mengakibatkan kematian terjadi sebanyak 6,6%, sedangkan di New York sebanyak 13,6%. Pada tahun 1993, medication error bertanggung jawab atas 7000 kematian penduduk Amerika, atau berarti 1/131 pasien rawat jalan dan 1/854 pasien rawat inap. Bahkan penelitian terakhir di 2 rumah sakit pendidikan terkenal di Amerika menemukan preventable adverse event pada 2% dari pasien rawat inap.[footnoteRef:5] [5: Kohn LT, Corrigan JM and Donaldson MS. To err is human, building a safer health system. Washington DC: National Academy Press, 2000, pp 26-43.]

Dengan adverse events diartikan sebagai setiap cedera yang lebih disebabkan karena manajemen kedokteran daripada akibat pe-nyakitnya, sedangkan adverse event yang disebabkan suatu error adalah bagian dari preventable adverse events. Error sendiri diartikan sebagai kegagalan melaksanakan suatu rencana tindakan (error of execution; lapses dan slips) atau penggunaan rencana tindakan yang salah dalam mencapai tujuan tertentu (error of planning; mistakes). Di dalam kedokteran, semua error dianggap serius karena dapat membahayakan pasien.Seperti disebutkan di atas, hanya preventable adverse event yang dianggap sebagai akibat medical error. Selanjutnya, hanya sebagian dari mereka yang merupakan akibat dari kelalaian (negligent adverse events), yaitu apabila secara hukum memenuhi unsur-unsur kelalaian (adanya kewajiban, pelanggaran atas kewajiban tersebut, terjadi kerugian/cedera, dan terdapat hubungan kausal antara pelanggaran dengan kerugian/cedera tersebut). Sebagai ilustrasi adalah hasil penelitian di Colorado dan Utah tersebut di atas, yaitu dari seluruh adverse events ternyata 53% adalah preventable dan 29,2% disebabkan kelalaian. Suatu kegagalan medis (hasil yang tidak diharapkan) di bidang medik sebenarnya dapat diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu (lihat bagan 1):1. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan tindakan medis yang dilakukan dokter. Keadaan ini biasa disebut sebagai hasil dari komplikasi penyakitnya.2. Hasil dari suatu risiko yang akseptabel dan tak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat diketahui sebelumnya (unforesee-able) dan risiko yang akseptabel, yang meskipun telah diketahui sebelumnya (foreseeable) tetapi tidak dapat/tidak mungkin dihindari (unavoidable). Risiko tersebut harus diinformasikan terlebih dahulu dan telah disetujui (volenti non fit injuria). 3. Hasil dari suatu kelalaian medik.4. Hasil dari suatu kesengajaan.Guna menilai bagaimana kontribusi manusia dalam suatu error dan dampaknya, perlu dipahami perbedaan antara active errors dan latent errors. Active errors terjadi pada tingkat operator garis depan dan dampaknya segera dirasakan, sedangkan latent errors cenderung berada di luar kendali operator garis depan, seperti desain buruk, instalasi yang tidak tepat, pemeliharaan yang buruk, kesalahan keputusan manajemen, dan struktur organisasi yang buruk (lihat bagan 2).Latent error merupakan ancaman besar bagi keselamatan (safety) dalam suatu sistem yang kompleks, oleh karena sering tidak terdeteksi dan dapat mengakibatkan berbagai jenis active errors. Sebagai contoh adalah sistem pendidikan dokter spesialis yang mahal, pembolehan dokter bekerja pada banyak rumah sakit, tidak adanya sistem yang menjaga akuntabilitas profesi (lihat pula bagan di bawah) adalah latent errors yang tidak terasa sebagai error, namun sebenarnya merupakan akar dari kesalahan manajemen yang telah banyak menimbulkan unsafe conditions dalam praktik kedokteran di lapangan. Bila satu saat unsafe conditions ini bertemu dengan suatu unsafe act (active error), maka terjadilah accident. Dalam hal ini perlu kita pahami bahwa penyebab suatu accident bukanlah single factor melainkan multiple factors. Umumnya kita merespons suatu error dengan berfokus pada active errornya dengan memberikan hukuman kepada individu pelakunya, retraining dan lain-lain yang bertujuan untuk mencegah berulangnya active errors. Meskipun hukuman seringkali bermanfaat pada kasus tertentu (pada mistakes yang timbul karena kesengajaan), namun sebenarnya tidak cukup efektif. Memfokuskan perhatian kepada active errors akan membiarkan latent errors tetap ada di dalam sistem, atau bahkan mungkin akan terakumulasi, sehingga sistem tersebut semakin mungkin mengalami kegagalan di kemudian hari.Pendapat yang mengatakan bahwa kecelakaan dapat dicegah dengan desain organisasi dan manajemen yang baik akhir-akhir ini sangat dipercaya kebenarannya. Konsep safety (dalam hal ini patient safety) yang pada mulanya diberlakukan di dalam dunia penerbangan akhir-akhir ini diterapkan oleh Institute of Medicine di Amerika (dan institusi serupa di negara-negara lain). Keselamatan pasien diartikan sebagai penghindaran, pencegahan dan perbaikan terjadinya adverse events atau freedom from accidental injury. Keselamatan tidak terdapat pada diri individu, peralatan ataupun bagian (departemen, unit), melainkan muncul dari interaksi komponen-komponen dalam sistem. Tanggung jawab hukum medik dari transaksi terapeutik yang dilakukan dokter terhadap pasien telah sesuai dengan asas kepastian hukum. Tanggung jawab hukum perdata (ganti rugi) telah diatur dalam suatu perundang-undangan Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang adanya kesalahan, kelalaian atau kurang hati-hati yang menyebabkan dokter harus mengganti kerugian yang timbul pada pasien seperti diatur pada Pasal 1365, Pasal 1366 dan Pasal 1367. Namun tentang risiko medik yang timbul adalah peristiwa yang tidak tidak dapat diduga sebelumnya, apabila dokter sudah melakukan tindakan medik sesuai dengan standar profesi medik yang umum terjadi juga resiko medik, maka dokter seharusnya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban hukumnya.Untuk dapat menghindari risiko medis maka sebaiknya tindakan yang dilakukan sesuai dengan Standar Profesi Medis (SPM) yang terdiri dari beberapa unsur utama meliputi :1. Bekerja dengan teliti, hati-hati dan seksama;2. Sesuai dengan ukuran medis;3. Sesuai dengan kemampuan rata-rata/sebanding dengan dokter dengan kategori keahlian medis yang sama;4. Dalam keadaaan yang sebanding5. Dengan sarana dan upaya yang sebanding wajar dengan tujuan konkrit tindak medis tersebut.

Bagan 1.KONSTRUKSI MEDIS DAN HUKUM

UNDERLYINGDISEASE

ADVERSEEVENTS

NOERROR

ACCEPTABLERISKS

UNFORESEEABLERISKS

PREVENTABLEADVERSE EVENTS

ACTIVE ERRORS

(Error of planning &Error of execution) LATENTERRORS

NEGLIGENTADVERSE EVENTS(KELALAIAN MEDIS)

+ DAMAGE+ CAUSALDUTY + BREACH OF DUTY

Bagan 2. DefensesInadequate

ACCIDENTInteractions with local events

Productive activitiesUnsafe acts

Limited window of accident opportunityPreconditionsprecursors of unsafe acts

Active and latent failuresLine ManagementDeficiencies

Decision makersFallible decisions

Latent failuresActive failures

(James Reason, 1990)12. Manajemen RisikoManajemen risiko medik merupakan suatu perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya, sistim, fasilitas dan sebagainya untuk mencapai pelayanan medik yang baik dan diberikan secara efektif dan efesien dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya risiko dan melakukan tindakan segera apabila risiko itu terjadi. Pemahaman manajemen risiko sangat bergantung kepada dari sudut pandang mana seseorang melihatnya. Dari segi bisnis dan industri asuransi, manajemen risiko cenderung untuk diartikan sepihak, yaitu untuk tujuan meningkatkan keuntungan bisnis dan pemegang sahamnya. Dalam bidang kesehatan dan keselamatan lebih diartikan sebagai pengendalian risiko salah satu pihak (pasien atau masyarakat) oleh pihak yang lain (pemberi layanan). Sementara di dalam suatu komunitas pemberi layanan kesehatan itu sendiri, yaitu pengelola rumah sakit dan para dokternya, harus diartikan sebagai suatu upaya kerjasama berbagai pihak untuk mengendalikan risiko bersama.The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO) memberikan pengertian manajemen risiko sebagai aktivitas klinik dan administratif yang dilakukan oleh rumah sakit (HCO) untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan pengurangan risiko terjadinya cedera atau kerugian pada pasien, personil, pengunjung dan rumah sakit itu sendiri. Kegiatan tersebut meliputi identifikasi risiko hukum (legal risk), memprioritaskan risiko yang teridentifikasi, menentukan respons rumah sakit terhadap risiko, mengelola suatu kasus risiko dengan tujuan meminimalkan kerugian (risk control), membangun upaya pencegahan risiko yang efektif, dan mengelola pembiayaan risiko yang adekuat (risk financing). Manajemen risiko adalah upaya yang cenderung proaktif, meskipun sebagian besarnya merupakan hasil belajar dari pengalaman dan menerapkannya kembali untuk mengurangi atau mencegah masalah yang serupa di kemudian hari. Pada dasarnya manajemen risiko merupakan suatu proses siklik yang terus menerus, yang terdiri dari empat tahap, yaitu: 1. Risk Awareness. Pada tahap ini diharapkan seluruh pihak yang terlibat dalam sistem layanan kedokteran memahami situasi yang berisiko tinggi di bidangnya masing-masing dan aktivitas yang harus dilakukan dalam upaya mengidentifikasi risiko. Risiko tersebut tidak hanya yang bersifat medis, melainkan juga yang non medis, sehingga upaya ini melibatkan manajemen, dokter, perawat, pelaksana pendukung, dan lain-lain. Self-assessment, sistem pelaporan kejadian yang berpotensi menimbulkan risiko (incident report) dan audit klinis dalam budaya non-blaming merupakan sebagian metode yang dapat digunakan untuk mengenali risiko.2. Risk control (and or Risk Prevention). Manajemen merencanakan langkah-langkah praktis dalam menghindari dan atau meminimal-kan risiko dan melaksanakannya dengan tepat. Langkah-langkah tersebut ditujukan kepada seluruh komponen sistem, baik perangkat keras, perangkat lunak maupun sumber daya manusianya. Langkah dimulai dengan penilaian risiko (risk assessment) tentang derajat dan probabilitas kejadiannya, dilanjutkan dengan upaya mencari jalan untuk menghilangkan risiko (engineering solution), atau bila tidak mungkin maka dicari upaya menguranginya (control solution) baik terhadap probabilitasnya maupun terhadap derajat keparahannya, atau apabila hal itu juga tidak mungkin maka dicari jalan untuk mengurangi dampaknya. Tindakan dapat berupa pengadaan, perbaikan dan pemeliharaan bangunan dan instrumen yang sesuai dengan persyaratan; pengadaan bahan habis pakai sesuai dengan prosedur dan persyaratan; pembuatan dan pembaruan prosedur, standar dan check-list; pelatihan penyegaran bagi personil, seminar, pembahasan kasus, poster, stiker, dan lain-lain. 3. Risk containment. Dalam hal telah terjadi suatu insiden, baik akibat suatu tindakan atau kelalaian ataupun akibat dari suatu kecelakaan yang tidak terprediksikan sebelumnya, maka sikap yang terpenting adalah mengurangi besarnya risiko dengan melakukan langkah-langkah yang tepat dalam mengelola pasien dan insidennya. Unsur utamanya biasanya adalah respons yang cepat dan tepat terhadap setiap kepentingan pasien, dengan didasari oleh komunikasi yang efektif.4. Risk transfer. Akhirnya apabila risiko itu akhirnya terjadi juga dan menimbulkan kerugian, maka diperlukan pengalihan penanganan risiko tersebut kepada pihak yang sesuai, misalnya menyerahkannya kepada sistem asuransi. Manajemen risiko yang komprehensif meliputi seluruh aktivitas rumah sakit, baik operasional maupun klinikal, oleh karena risiko dapat muncul dari kedua bidang tersebut. Bahkan akhir-akhir ini meliputi pula risiko yang berkaitan dengan managed care dan risiko kapitasi, merger dan akuisisi, risiko kompensasi ketenagakerjaan, corporate compliance dan etik organisasi. Filosofi dari risk management melalui intervensi organisasi dilakukan melalui 5 pendekatan, yaitu: 1) Recognition of Organizational Disease; 2) Commitment to Produce Results; 3) Managing Risk by Objectives; 4) Organizational Acceptance; dan 5) Staff management. Untuk itu perlu dilakukan aktivitas sebagai berikut: 1) Credentialing of medical; 2) Incident monitoring and tracking; 3) Complaints monitoring and tracking; 4) Infection control; dan 5) Documentation in the medical record.Dari sisi sumber daya manusia, manajemen risiko dimulai dari pembuatan standar (set standards), patuhi standar tersebut (comply with them), kenali bahaya (identify hazards), dan cari pemecahannya (resolve them). Manajemen Resiko dalam Pelayanan Kesehatan merupakan upaya untuk mereduksi kejadian tidak diharapkan (KTD) yang dalam pelayanan kesehatan apabila hal ini terjadi akan merupakan beban tersendiri, terlepas dari KTD tersebut karena resiko yang melekat ataupun memang setelah dianalisis karena adanya error atau negligence dalam pelayanan. Apabila KTD sudah terjadi,beban pelayanan tidak hanya pada sisi finansial semata, namun beban psikologis dan sosial kadang-kadang terasa lebih berat.13. Malpraktik KedokteranBlacks Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai professional misconduct or unreasonable lack of skill atau failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them.Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktik dapat terjadi karena suatu tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurangmahiran/ketidakkompetenan yang tidak beralasan. Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud, penahanan pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi, keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji/diterima, berpraktik tanpa SIP, berpraktik di luar kompetensinya, dan lain-lain. Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah improper). Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips and lapses) yang telah diuraikan sebelumnya, namun pada kelalaian harus memenuhi keempat unsur kelalaian dalam hukum khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent error yang tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk (lihat pula bagan 1).Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktik medis menurut World Medical Association (1992), yaitu: medical malpractice involves the physicians failure to conform to the standard of care for treatment of the patients condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient. WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat malpraktik medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktik atau kelalaian medik. An injury occurring in the course of medical treat-ment which could not be foreseen and was not the result of the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which the physician should not bear any liability. Dengan demikian suatu akibat buruk yang unforeseeable dipandang dari iptekdok saat itu dalam situasi dan fasilitas yang tersedia tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter.Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur di bawah ini, yaitu :1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu. 2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut. 3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan/kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan.

4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan proximate cause.14. Penyelesaian Pelanggaran Etik dan DisiplinDalam hal seseorang dokter diduga telah melakukan pelanggaran etik kedokteran, maka ia akan diadukan ke lembaga MKEK IDI. MKEK IDI memperoleh pengukuhan kewenangannya dalam menegakkan etika dan standar profesi melalui pasal 18 UU IPTEK. Sedangkan apabila norma yang dilanggarnya adalah disiplin profesi kedokteran, maka ia akan diadukan ke MDTK yang dibentuk berdasarkan UU Kesehatan atau kelak ke MKDKI yang dibentuk berdasarkan UU Praktik Kedokteran. Di dalam praktik memang sulit memisahkan etika profesi dari disiplin profesi, karena nilai dan normanya memang saling tumpang tindih. Oleh karena itu pekerjaan majelis-majelis tersebut mungkin akan saling berkaitan dan di kemudian hari tidak mustahil akan bekerja bersama.Majelis di atas bukanlah badan peradilan, maka pemeriksaan di majelis tidak mengikuti hukum acara yang berlaku di pengadilan, melainkan lebih ke arah sidang peer-group, namun dengan tata-cara pembuktian dan dokumentasi yang lebih baik. Putusan Majelis akan dituangkan ke dalam surat keputusan dengan mencantumkan fakta yang diperoleh dari dokumen dan saksi, findings hasil dari analisis fakta dibanding dengan standar, common practice dan kepustakaan, serta kesimpulan. Sanksi disiplin profesi dapat dikenakan langsung ataupun melalui pejabat kesehatan kota/kabupaten setempat. 15. Penyelesaian Hukum Malpraktik KedokteranTuntutan pidana yang ditujukan kepada dokter dapat merupakan tindak pidana pelanggaran/kejahatan yang diatur dalam KUHP maupun di dalam ketentuan pidana UU lainnya. Sebagian diantaranya adalah pidana-pidana yang dicakup di dalam pengertian malpraktik medis di atas, baik berupa tindak kesengajaan (professional misconducts) ataupun akibat kelalaian. Jenis pidana yang paling sering dituntutkan kepada dokter adalah pidana kelalaian yang mengakibatkan luka sedang atau luka berat (pasal 360 KUHP), atau mengakibatkan mati (pasal 359 KUHP), yang dikualifikasikan dengan pemberatan ancaman pidananya bila dilakukan dalam rangka melakukan pekerjaannya (pasal 361 KUHP). Sedangkan pidana lain yang bukan kelalaian yang mungkin dituntutkan adalah pembuatan keterangan palsu (pasal 267-268 KUHP), aborsi ilegal (pasal 349 KUHP jo pasal 347 dan 348 KUHP), penipuan dan misrepresentasi (pasal 382 bis), pidana perpajakan (pasal 209 atau 372 KUHP), pencemaran lingkungan hidup (pasal 42 dan 43 UU Pengelolaan Lingkungan Hidup), euthanasia (pasal 344 KUHP), penyerangan seksual (pasal 284-294 KUHP), dan lain-lain.Gugatan perdata dalam bentuk ganti rugi dapat diajukan dengan mendasarkan kepada salah satu dari 3 teori di bawah ini, yaitu:1. Kelalaian sebagaimana pengertian di atas.2. Perbuatan melanggar hukum, yaitu misalnya melakukan tindakan medis tanpa memperoleh persetujuan, membuka rahasia kedokteran tentang orang tertentu, penyerangan privacy seseorang, dan lain-lain.3. Wanprestasi, yaitu pelanggaran atas janji atau jaminan. Gugatan ini sukar dilakukan karena umumnya dokter tidak menjanjikan hasil dan perjanjian tersebut, seandainya ada, umumnya sukar dibuktikan karena tidak tertulis.Tuntutan pidana akan diselesaikan melalui peradilan pidana, yaitu dengan melaporkannya ke polisi penyidik. Penyidik akan melakukan pemeriksaan saksi, dokumen, saksi ahli dan tersangka, sehingga dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang kasusnya. Apabila dianggap memiliki bukti yang cukup, maka berkas akan dilimpahkan ke Jaksa penuntut umum, dan kemudian diajukan ke pengadilan. Dokter dapat ditahan apabila melakukan tindak pidana yang ancaman hukumannya mencapai 5 tahun atau lebih.Gugatan perdata umumnya didahului dengan peringatan (somasi) atau upaya damai lainnya. Penyelesaian cara damai umumnya lebih dipilih daripada penyelesaian di pengadilan.

DAFTAR PUSTAKA1. Abelson R and Friquegnon ML. Ethics for Modern Life. 4rd ed. New York: St. Martin Press, 1991.2. Austin State Hospital. Code of Ethics, 2001 (website docs).3. Huffman EK. Medical Record Management. Illinois : Physicians Record Company, 1981.4. Leenen H, Gevers S, Pinet G, The Rights of Patients in Europe. Deventer : Kluwer Law and Taxation Publ, 1993.5. Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.6. Republik Indonesia. Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.7. Republik Indonesia. Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.8. Republik Indonesia. Undang-Undang No. 08 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.