76
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN KROONGETUIGE DAN NILAI PEMBUKTIAN BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : Irvan Adi Sasmito NIM.E0007268 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

  • Upload
    lydat

  • View
    226

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN

KROONGETUIGE DAN NILAI PEMBUKTIAN BERDASARKAN UNDANG-

UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna

Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

Irvan Adi Sasmito

NIM.E0007268

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2012

Page 2: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN

KROONGETUIGE DAN NILAI PEMBUKTIAN BERDASARKAN UNDANG-

UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA

Oleh

Irvan Adi Sasmito

NIM.E0007268

Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum

(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, Mei 2012

Pembimbing I Pembimbing II

EDY HERDYANTO , S.H,M.Hum. M. RUSTAMAJI,S.H.,M.H.

NIP. 195706291985031002 NIP. 198210082005011001

Page 3: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN

KROONGETUIGE DAN NILAI PEMBUKTIAN BERDASARKAN UNDANG-

UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA

Irvan Adi Sasmito

NIM.E0007268

Telah diterima dan dipertahankan di hadapan

Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada :

Hari :

Tanggal :

DEWAN PENGUJI

1. : .............................................................

NIP.

Ketua

2. : .............................................................

NIP.

Sekretaris

3. : .............................................................

NIP.

Anggota

Mengetahui

Dekan,

Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H, M.Hum

NIP. 195702031985032001

Page 4: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : Irvan Adi Sasmito

NIM : E0007268

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul

KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN

KROONGETUIGE DAN NILAI PEMBUKTIAN BERDASARKAN UNDANG-

UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA

adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan

hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila

di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima

sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya

peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, 20 Mei 2012

yang membuat pernyataan

Irvan Adi Sasmito

NIM.E0007268

Page 5: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v

ABSTRAK

Irvan Adi Sasmito, E.0007268. 2011. KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR

HUKUM PENGHADIRAN KROONGETUIGE DAN NILAI PEMBUKTIAN

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG

HUKUM ACARA PIDANA.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perihal dualisme dasar hukum

penghadiran kroongetuige serta mengetahui kekuatan pembuktian kroongetuige

menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum doktrinal yang bersifat preskriptif,

mengkaji mengenai dualisme dasar hukum penghadiran kroongetuige serta nilai

pembuktiannya berdasar KUHAP. Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan

perundang-undangan. Jenis data yang digunakan meliputi data primer dan data

sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu studi kepustakaan. Teknik

analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dualisme dasar hukum penghadiran

kroongetuige terdapat pada Yurisprudensi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung.

Yurisprudensi Mahkamah Agung yang dimaksud tersebut adalah Putusan Mahkamah

Agung Nomor 1986/K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990 yang menjelaskan bahwa

Mahkamah Agung tidak melarang apabila Penuntut Umum mengajukan saksi

mahkota di persidangan dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai

terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan

kesaksian. Sebaliknya Mahkamah Agung juga mengeluarkan Putusan Mahkamah

Agung Nomor 1174/K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Putusan Mahkamah Agung

Nomor 1590/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor

1592/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 yang menjelaskan bahwa pemecahan terdakwa

sebagai saksi mahkota terhadap terdakwa lainnya secara yuridis adalah bertentangan

dengan Hukum Acara Pidana yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip Hak Asasi

Manusia. Saksi mahkota juga merupakan seorang saksi, dimana kepadanya melekat

syarat-syarat sebagai saksi. Yang pertama, saksi adalah orang yang melihat,

mendengar, dan mengalami sendiri peristiwa tersebut. Yang kedua adalah bahwa

saksi tersebut telah disumpah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.

Yang ketiga, bahwa saksi tidak memiliki hubungan sedarah, semenda, maupun

pekerjaan dengan terdakwa. Kalau syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, maka saksi

dan keterangannya dianggap sah dihadapan hukum. Oleh karena itu, saksi mahkota

memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sama dengan keterangan saksi.

Kata Kunci : Dualisme, Saksi Mahkota, Pembuktian.

Page 6: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

ABSTRACT

Irvan Adi Sasmito, E.0007268. 2011. A THEORETICAL STUDY ON LEGAL

FOUNDATION DUALISM OF KROONGETUIGE PRESENCE AND THE

AUTHENTICATION VALUE BASED ON THE ACT NUMBER 8 OF 1981

ABOUT THE CRIMINAL PROCEDURE.

The objective of research to find out the problem of legal foundation dualism

of Kroongetuige presence and the authentication value based on the Act Number 8 of

1981 about the Criminal Procedure.

This study belongs to a doctrinal law research that is prescriptive in nature, to

study the legal foundation dualism of Kroongetuige presence and its authentication

value based on the Code of Criminal Procedure. This research employed a statute

approach. The type of data used consisted of primary and secondary data. Technique

of collecting data used was library study. Technique of analyzing data used in this

research was a qualitative analysis.

The result of research shows that the legal foundation dualism of

Kroongetuige presence lies in the Jurisprudence issued by the Supreme Court. The

intended Supreme Court’s jurisprudence is the Supreme Court’s Decree Number

1986/K/Pid/1989 on March 21, 1990 explaining that the Supreme Court does not

prohibit the Public Prosecutor from presenting the crown witness in the trial with the

condition that this witness in his/her position as the defendant is not included in a

case document with the defendant he/she gives testimony. On the contrary, the

Supreme Court also issued the Supreme Court’s Decree Number 1174/K/Pid/1994 on

May 3 1995, Decree Number 1590/K/Pid/1995 on May 3 1995, and Decree Number

1592/K/Pid/1995 on May 3 1995, explaining that the designation of defendant as the

main witness against the other defendant in juridical way is in contradiction with the

Criminal Procedure upholding the principles of basic human rights. The crown

witness is also a witness, to whom the conditions as the witness are attached. Firstly,

the witness is the one who sees, hears, and experiences by him/herself the event.

Secondly, that the witness has been taken for his/her oath consistent with his/her own

religion and belief. Thirdly, that the witness does not have either blood, kinship, or

work relationship with the defendant. When these conditions have been met, the

witness and his/her information are considered as valid before the law. Therefore, the

crown witness has the authentication power value equal to the witness’ information.

Keywords: Dualism, Crown Witness, Authentications

Page 7: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

MOTTO

“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih

berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah.

Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepadaNya lah aku kembali”

(Q.S. Hud:88)

“Hadapilah problem hidup diri kamu dan akuilah keberadaanya, tetapi jangan biarkan

diri kamu dikuasainya. Biarkanlah diri kamu menyadari adanya pendidikan situasi

berupa kesabaran, kebahagiaan dan pemahaman makna”

(Hellen Keller)

Page 8: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Penulisan hukum ini penulis persembahkan untuk:

Allah SWT

Thank you for every blessed that You’ve given to me

Orang tua tercinta

Thank you for never ending love, care and pray

Kedua pembimbing skripsiku

Anita Budi S

If better is possible good is not enough

Sahabat serta teman-teman seperjuanganku

Thank you for every moment in my life

Page 9: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayahNya

sehingga Penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Penulisan Hukum yang

berjudul “KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM

PENGHADIRAN KROONGETUIGE DAN NILAI PEMBUKTIAN

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 ENTANG

HUKUM ACARA PIDANA” dengan baik dan tepat pada waktunya. Shalawat dan

salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.

Penulisan hukum ini mengkaji megenai dualism dasar hukum penghadiran

kroongetuige dan nilai pembuktian berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pembahasan mengenai kroongetuige ini penting

dilakukan untuk memperjelas sah atau tidaknya penggunaan kroongetuige dalam

proses beracara di pegadilan.

Penulis menyadari bahwa dalam setiap proses penyelesaian penulisan hukum

(skripsi) ini tidak akan terlaksana dengan lancar tanpa bantuan dan dukungan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Edy Hardyanto, S.H, M.Hum., selaku Pembimbing I Penulisan Hukum

yang telah bersedia memberikan bimbingan, saran, kritik, dan motivasi bagi

penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini.

3. Bapak M. Rustamaji, S.H, M.H., selaku Pembimbing II Penulisan Hukum

yang telah dengan sabar menyediakan waktu dan pikiran untuk berbagi ilmu

dengan penulis, memberikan motivasi, saran, dan kritik sehingga penulis

dapat menyelesaikan penulisan hukum ini tepat waktu.

Page 10: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

x

4. Bapak Bambang Santoso, S.H, M.Hum., selaku pembimbing akademis, atas

nasehat dan motivasinya yang sangat berguna selama Penulis menempuh

pendidikan di Fakultas Hukum UNS.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu

pengetahuan kepada Penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan

hukum ini.

6. Ketua Bagian PPH Bapak Lego Karjoko S.H., M.Hum., dan Mas Wawan

anggota PPH yang banyak membantu dalam penulisan hukum ini.

7. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Hukum UNS, yang telah membantu

menyediakan bahan referensi yang berkaitan dengan topik penulisan hukum.

8. Bapak, Ibu dan saudara-saudaraku, atas cinta dan kasih sayang, doa,

dukungan, semangat dan segala yang telah diberikan yang tidak ternilai

harganya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini.

9. Especially for Anita Budi Sulistyarini atas dukungan, waktu dan ide-idenya,

atas kesabarannya dalam mendampingi penulis dan menemani penulis

mengumpulkan bahan serta menyelesaikan setiap detail penulisan hukum ini.

10. Teman-teman seperjuanganku, Wisnu, Hamed, Syaifudin, Andang, atas

waktu, motivasi, dan diskusinya, semua teman-teman yang telah membantu

penulis dalam penulisan hukum ini.

11. Semua pihak yang ikut dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat

disebutkan satu persatu.

Demikian semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat kepada

semua pihak, baik untuk akademisi, praktisi maupun masyarakat umum.

Surakarta, Mei 2012

Penulis

Page 11: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii

HALAMAN PERNYATAAN..................................................................... iv

ABSTRAK .................................................................................................. v

ABSTRACT ................................................................................................ vi

HALAMAN MOTTO.................................................................................. vii

HALAMAN PERSEMBAHAN.................................................................. viii

KATA PENGANTAR ............................................................................. ... ix

DAFTAR ISI ............................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR.................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1

B. Rumusan Masalah.................................................................. 4

C. Tujuan Penelitian ................................................................... 4

D. Manfaat Penelitian ................................................................. 5

E. Metode Penelitian .................................................................. 6

F. Sistematika Penulisan Hukum ............................................... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1.Tinjauan Umum mengenai Kroongetuige atau Saksi Mahkota

atau Crown Witness

a. Pengertian Saksi ......................................................... 11

b. Pengertian Kroongetuige atau Saksi Mahkota atau

Crown Witness ........................................................... 12

c. Pengaturan Mengenai Saksi Mahkota ........................ 14

Page 12: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xii

2.Tinjauan Umum mengenai Pembuktian

a. Pengertian Pembuktian............................................... 16

b. Sistem Pembuktian ..................................................... 17

c. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktiannya .................. 19

3.Tinjauan Umum mengenai Penelitian Sejenis

a. Penggunaan Saksi Mahkota (Kroongetuige) Dalam

Pembuktian Tindak Pidana Di Persidangan (Studi

Kasus Pencurian Dengan Kekerasan di Pengadilan

Negeri Purwokerto) .................................................... 25

b. Kedudukan Saksi Mahkota Dalam Sistem

Pembuktian Hukum Pidana ........................................ 27

B. Kerangka Pemikiran ............................................................... 29

BAB III PEMBAHASAN

A. Analisis Dualisme Dasar Hukum Kroongetuige Dalam

Pengaturan Hukum Acara Pidana Indonesia

1. Pendapat Yang Pro Terhadap Pemanfaatan Saksi

Mahkota

a. Pasal 1 angka 26 dan Pasal 1 angka 27 KUHAP

Dibandingkan dengan Tujuan Hukum Acara Pidana ...... 32

b. Putusan Mahkamah Agung ........................................ 33

c. Pemisahan Berkas Perkara (Splitsing) ........................ 35

2. Pandangan Kontra Terhadap Pemanfaatan Saksi

Mahkota

a. Asas Praduga Tidak Bersalah ................................... 36

b. Hak Ingkar ................................................................. 36

c. Putusan Mahkamah Agung ....................................... 37

d. Beban Pembuktian………………………………… 38

Page 13: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiii

B. Analisis Nilai Kekuatan Pembuktian Dari Kroongetuige

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana……………………….. ....................... 39

1. Keterangan Saksi Yang Diberikan Tanpa Sumpah........... 42

2. Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Yang

Disumpah ........................................................................ 45

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan ................................................................................ 47

B. Saran ....................................................................................... 48

DAFTAR PUSTAKA

Page 14: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Pemikiran ................................................................ 29

Gambar 2. Skematik Analisis Penelitian ................................................... 31

Page 15: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Mencermati beberapa kasus besar seperti upaya pengungkapan korupsi

maupun penggelapan pajak oleh Gayus Halomoan Tambunan, dapat kita

cermati ada beberapa hal yang menarik dalam proses persidangannya. Salah

satu hal yang menarik tersebut adalah digunakanya keterangan saksi yang

merupakan terdakwa terhadap terdakwa lain dalam pemberkasan yang

berbeda, fenomena seperti ini sering disebut sebagai fenomena pemanfaatan

kroongetuige atau saksi mahkota.

Istilah saksi mahkota tidak terdapat dalam KUHAP. Walaupun dalam

KUHAP tidak ada definisi otentik mengenai saksi mahkota (kroongetuige),

namun dalam praktik dan berdasarkan perspektif empirik saksi mahkota itu

ada. Di sini yang dimaksud dengan saksi mahkota adalah saksi yang berasal

dan/atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa lainnya

yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana dan dalam hal mana kepada

saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada

saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan

penuntutan terhadap perkaranya atau diberikan suatu tuntutan yang sangat

ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas

kesalahan yang pernah dilakukan saksi tersebut. Dan saksi mahkota ini hanya

ada dalam perkara pidana yang merupakan delik penyertaan

(http://sofyanlubis.blogspot.com/2008/07/saksimahkota. html). Muncul dan

digunakannya saksi mahkota dalam perkara pidana didasarkan pada alasan

karena kurangnya alat bukti yang ada.

Page 16: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

Pada perkembangannya, muncul berbagai pendapat mengenai penggunaan

saksi mahkota sebagai alat bukti dalam pemeriksaan perkara pidana.

Sebagian pihak berpendapat bahwa penggunaan saksi mahkota dibolehkan

karena bertujuan untuk tercapainya rasa keadilan publik. Namun sebagian

yang lain berpendapat, bahwa penggunaan saksi mahkota tidak dibolehkan

karena bertentangan dengan Hak Asasi Manusia dan rasa keadilan terdakwa.

Bahkan perbedaan persepsi tentang penggunaan saksi mahkota ini juga

muncul dalam berbagai yurisprudensi putusan Mahkamah Agung Republik

Indonesia.

Yurisprudensi Mahkamah Agung yang dimaksud tersebut adalah Putusan

Mahkamah Agung Nomor 1986/K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990 yang

menjelaskan bahwa Mahkamah Agung tidak melarang apabila Penuntut

Umum mengajukan saksi mahkota di persidangan dengan syarat bahwa saksi

ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas

perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian. Akan tetapi tarik ulur dan

pergulatan antara undang-undang versus yurisprudensi mengenai

permasalahan saksi mahkota ini semakin rumit dengan munculnya Putusan

Mahkamah Agung Nomor : 1174/K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Putusan

Mahkamah Agung Nomor : 1590/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995, dan

Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1592/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995

yang menjelaskan bahwa pemecahan terdakwa sebagai saksi mahkota

terhadap terdakwa lainnya secara yuridis adalah bertentangan dengan Hukum

Acara Pidana yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia

(HAM). Kondisi saksi mahkota yang berperan ganda sebagai saksi di satu sisi

dan sebagai terdakwa di sisi yang lain, berkonsekuensi yuridis terhadap hak

dan kewajibannya akan sumpah, dan beban pembuktian (Muhammad

Rustamaji dan Dewi Gunawati, 2011: 94).

Page 17: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

Sebagaimana diketahui salah satu wujud dari implementasi asas praduga

tidak bersalah (presumption of innocence) diatur dalam Pasal 66 KUHAP,

yang berbunyi bahwa “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban

pembuktian”. Dalam hal ini yang memiliki beban untuk membuktikan adalah

Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dengan demikian secara normatif penggunaan

saksi mahkota merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip

peradilan yang adil dan tidak memihak (fair and imparsial trial) dan juga

merupakan pelanggaran kaidah Hak Asasi Manusia secara universal

sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, khususnya hak ingkar yang dimiliki

terdakwa dan hak terdakwa untuk tidak dibebankan kewajiban pembuktian

(vide pasal 66 KUHAP). Di samping itu sementara pihak berpandangan

bahwa penggunaan saksi mahkota oleh Penuntut Umum selama ini jelas

melanggar instrumen hak asasi manusia secara internasional (International

Covenant on Civil and Political Right) (http://sofyanlubis.blogspot.com/

2008/07/saksi-mahkota.html).

Bertolak dari pemaparan di atas, penulis tertarik untuk menyusun dan

mengkaji lebih mendalam mengenai dualisme dasar hukum penghadiran

kroongetuige dan nilai pembuktiannya melalui penelitian hukum yang

berjudul: “Kajian Teoritik Dualisme Dasar Hukum Penghadiran

Kroongetuige dan Nilai Pembuktian Berdasarkan Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana”.

Page 18: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

A. Rumusan Masalah

Untuk memperjelas agar permasalahan yang ada nanti dapat dibahas

dengan lebih terarah dan sesuai dengan sasaran yang diharapkan, maka

penulis telah merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana dualisme landasan hukum kroongetuige dalam pengaturan

hukum acara pidana?

2. Bagaimana nilai kekuatan pembuktian dari kroongetuige berdasarkan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana?

B. Tujuan Penelitian

Tujuan yang dikenal dalam suatu penelitian ada dua macam, yaitu:

tujuan obyektif dan tujuan subyektif, dimana tujuan obyektif merupakan

tujuan yang berasal dari tujuan penelitian itu sendiri, sedangkan tujuan

subyektif berasal dari peneliti. Tujuan obyektif dan subyektif dalam penelitian

ini adalah:

1. Tujuan Obyektif

Tujuan Obyektif yaitu tujuan penulisan dilihat dari tujuan umum yang

mendasari penulis dalam melakukan penelitian. Tujuan obyektif dari

penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui perihal dualisme dasar hukum penghadiran

kroongetuige.

b. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian kroongetuige menurut

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Page 19: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

2. Tujuan Subyektif

Tujuan Subyektif adalah tujuan penulisan dilihat dari tujuan pribadi

penulis yang mendasari penulis dalam melakukan penulisan. Tujuan

subyektif penulis adalah:

a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis di bidang

ilmu hukum khususnya dalam lingkup hukum acara pidana.

b. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar sarjana di

bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

c. Untuk mengasah dan menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang

telah penulis peroleh agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri

serta menberikan kontribusi positif bagi perkembangan ilmu

pengetahuan di bidang hukum.

C. Manfaat Penelitian

Suatu penelitian yang berhasil adalah penelitian yang dapat memberi

manfaat atau faedah, baik secara teoritis maupun praktis, yang meliputi:

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis yaitu manfaat dari penulisan hukum ini yang berkaitan

dengan pengembangan ilmu hukum. Manfaat teoritis dari penulisan ini

adalah sebagai berikut:

a. Penulisan hukum ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan

ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya serta Hukum

Acara Pidana pada khususnya.

b. Hasil penelitian dan penulisan ini diharapkan dapat memperkaya

referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan mengenai dualisme

dasar hukum penghadiran kroongetuige dan kekuatan pembuktiannya

Page 20: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana, serta dapat digunakan sebagai acuan terhadap

penelitian-penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis yaitu manfaat dari penulisan hukum ini yang berkaitan

dengan pemecahan masalah. Manfaat praktis dari penulisan ini sebagai

berikut:

a. Menjadi wahana bagi penulisan untuk mengembangkan penalaran

dan pola pikir ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan

penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

b. Hasil penelitian dan penulisan ini diharapkan dapat membantu

memberi masukan kepada semua pihak yang membutuhkan

pengetahuan terkait dengan permasalahan yang diteliti dan dapat

dipakai sebagai sarana yang efektif dan memadai dalam upaya

mempelajari dan memahami ilmu hukum khususnya Hukum Acara

Pidana.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan dipergunakan penulis dalam penelitian

hukum ini adalah:

1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan

hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna

menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 35).

Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis

penelitian doktrinal. Menurut Hutchinson, doctrinal research: research

which provides a systematic exposition of the rules governing a particular

Page 21: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

legal category, analyses the relationship between rules, explain areas of

difficulty and, perhaps, predicts future development (Peter Mahmud

Marzuki, 2008: 32).

2. Sifat Penelitian

Sifat dari penelitian yang akan dilakukan ini adalah bersifat

preskriptif. Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang

bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai

keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-

norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 22).

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang akan digunakan penulis adalah pendekatan

perundang-undangan (statute approach). Pendekatan perundang-

undangan dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi

yang terpaut dengan isu hukum yang sedang ditangani (Peter Mahmud

Marzuki, 2008: 93).

4. Jenis dan Sumber Penelitian

Untuk memecahkan isu hukum diperlukan sumber-sumber penelitian.

Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan

bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya memiliki otoritas, misalnya

perundang-undangan. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa

publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen

resmi. Publikasi tentang hukum ini meliputi buku-buku, teks, kamus-

kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, komentar-komentar atas putusan

pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 141).

a. Bahan hukum primer yang akan dipergunakan penulis, yaitu:

1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana

2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 42/PUU-VIII/2010

Page 22: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

3) Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1986 K/Pid/1989

4) Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1174/K/Pid/1994

5) Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1590/K/Pid/1995

6) Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1592/K/Pid/1995

7) Putusan Mahkamah Agung Nomor : 2475 K/Pid/2007

b. Bahan hukum sekunder yang akan dipergunakan penulis adalah

buku-buku, kamus, jurnal, dan teks mengenai Hukum Acara,

khususnya terkait dengan Hukum Acara Pidana, yaitu megenai

saksi mahkota atau kroongetuige.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Begitu isu hukum ditetapkan, peneliti melakkan penelusuran untuk

mancari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu yang dihadapi.

Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian

ini adalah menggunakan teknik studi pustaka. Dalam penelitian ini,

penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute

approach), yang harus dilakukan adalah mencari peraturan perundang-

undangan mengenai atau yang berkaitan dengan isu tersebut. Perundang-

undangan dalam hal ini meliputi baik yang berupa legislation maupun

regulation bahkan juga delegated legislation dan delegated regulation

(Peter Mahmud Marzuki, 2008: 194).

6. Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis dalam penelitian hukum ini adalah teknik kualitatif,

yaitu penelitian ini dilakukan untuk memahami suatu peristiwa yang

kemudian dikaitkan dengan bahan hukum yang diperoleh selama

penelitian, yaitu bahan-bahan hukum yang relevan dan menjadi acuan

penelitian. Teknik analisis ini menggunakan metode penalaran deduktif,

yaitu cara berpikir yang berpangkal pada prinsip-prinsip dasar, kemudian

peneliti menghadirkan objek yang akan diteliti yang digunakan untuk

menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus. Cara

Page 23: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik

kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap

permasalahan konkret yang dihadapi (Johny Ibrahim, 2006: 393).

E. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi,

penulisan hukum ini dibagi menjadi empat bab, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan pendahuluan yang terdiri dari latar

balakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini memaparkan bahan hukum yang penulis kumpulkan

sebagai dasar untuk menganalisis permasalahan yang penulis

kemukakan. Bab ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu: kerangka teori

dan kerangka pemikiran. Kerangka teori berisi antara lain, tinjauan

umum mengenai kroongetuige atau saksi mahkota atau crown witness,

tinjauan umum mengenai pembuktian, tinjauan umum mengenai

penelitian sejenis.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini diuraikan hasil dari penelitian yang diperoleh dari

hasil penelitian yang penulis lakukan. Berdasarkan rumusan masalah

ada dua pokok bahasan yaitu mengenai dualisme dasar hukum

penghadiran kroongetuige dalam pengaturan hukum acara pidana, serta

mengenai kekuatan pembuktian dari kroongetuige berdasarkan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Page 24: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

BAB IV PENUTUP

Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian dan penulis

menguraikan kesimpulan-kesimpulan yang didapat dan diambil dari

penelitian dan saran-saran sebagai tindak lanjut dari kesimpulan.

DAFTAR PUSTAKA

Berisi berbagai sumber pustaka yang dikutip dalam penulisan

hukum ini.

LAMPIRAN

Page 25: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Mengenai Kroongetuige atau Saksi Mahkota atau

Crown Witness

a. Pengertian Saksi

Saksi memiliki arti a) orang yang melihat atau mengetahui

sendiri suatu peristiwa (kejadian): siapa -- nya bahwa saya berbuat

begitu; langit dan bumi yg menjadi --; b) orang yang dimintai hadir

pada suatu peristiwa yang dianggap mengetahui kejadian tersebut

agar pada suatu ketika, apabila diperlukan, dapat memberikan

keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-

sungguh terjadi: dua orang itu ikut menandatangani kontrak sbg --;

c) orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk

kepentingan pendakwa atau terdakwa: -- yang kedua itu oleh

hakim dianggap tidak sah; d) keterangan (bukti pernyataan) yang

diberikan oleh orang yang melihat atau mengetahui; e) bukti

kebenaran: ia berani memberi -- dengan sumpah; f) orang yang

dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan

penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang

didengarnya, dilihatnya, atau dialaminya sendiri; (Hasan Alwi,

2007: 981).

Menurut Black’s Law Dictionary,” witness is in general,

one who, being present, personally sees or perceives a thing; a

beholder, spectator, or eyewitness. One who festifies to what he

Page 26: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

has seen, heard, or otherwise observed” (Henry Campbell Black,

1979: 1438).

Dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP, saksi ialah orang yang

dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,

penuntutan dan peradilan tentang perkar pidana yang ia dengar

sendiri, ia lihat sediri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan

dari pengetahuannya itu. Sedangkan keterangan saksi ialah salah

satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi

mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat

sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari

pengetahuannya (Pasal 1 angka 27 KUHAP) (Adami Chazawi,

2008: 37-38).

b. Pengertian Kroongetuige atau Saksi Mahkota atau Crown

Witness

Asal kata kroon’ atinya a) mahkota; tanda kedudukan;

raja/ratu; b) nama mata uang; c) karangan bunga dan daun-daunan

sebagai tanda penghormatan; (S. Wojowasito, 1995: 353). Getuige

artinya saksi (S. Wojowasito, 1995: 226). Jadi kroongetuige dapat

diartikan sebagai saksi utama (S. Wojowasito, 1995: 353).

Saksi mahkota adalah saksi yang berasal dan atau diambil

dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa lainnya

yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana. Untuk istilah

"mahkota" yang diberikan kepada saksi yang berstatus

terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakannya

penuntutan terhadap perkaranya atau diberikan suatu tuntutan

yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke

pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang dilakukan saksi

tersebut (www.Kompas.com).

Menurut Prof. DR. Loebby Loqman, SH, MH, dijelaskan

bahwa yang dimaksud dengan saksi mahkota adalah kesaksian

sesama terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa

Page 27: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

penyertaan (http://mmsconsulting.wordpress.com/2008/07/31/

eksistensi-saksi-mahkota-sebagai-alat-bukti-dalam-perkara

pidana/).

Sedangkan menurut Andi Hamzah, saksi mahkota atau

kroongetuige atau crown witness adalah terdakwa yang dijadikan

saksi karena bersedia membongkar peran temannya (Andi

Hamzah, 2008: 38).

Dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1986

K/Pid/1989, disebutkan bahwa saksi mahkota adalah teman

terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama, diajukan

sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum, yang

perkara diantaranya dipisah karena kurangnya alat bukti.

Pada asasnya saksi mahkota itu mempunyai dimensi

sebagai berikut:

1) Bahwa saksi mahkota adalah juga seorang saksi

Dalam konteks ini berarti saksi mahkota orang yang dapat

memberi keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan,

dan perdilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar

sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri (Pasal 1 angka 26

KUHAP);

2) Bahwa saksi mahkota diambil dari salah seorang tersangka

terdakwa

Dengan demikian, seorang yang karena perbuatan ata

keadaannya, berdasarkan bukti permulaan yang cukup patut

diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 14

KUHAP) atau terdakwa yaitu tersangka yang dituntut,

diperiksa dan diadili di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 15

KUHAP). Hal ini mengandung pengertian bahwa saksi

mahkota hanya ada pada satu tindak pidana yang

Page 28: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

pelakunya/tersangkanya atau terdakwanya lebih dari seorang

dan saksi itu adalah salah seorang diantara tersangka/terdakwa

yang peranannya paling kecil artinya bukan pelaku utama;

3) Bahwa saksi tersebut kemudian diberikan mahkota

Dalam konteks ini berarti bahwa saksi diberikan

kehormatan berupa perlakuan istimewa yaitu tidak dituntut atas

tindak pidana yang ia sebenarnya merupakan salah satu

pelakunya atau ia dimaafkan atas kesalahannya (Lilik Muyadi,

2007: 179-180).

Dalam praktik peradilan, secara substansial dikenal ada 2

macam gradasi saksi mahkota, yaitu: pertama, saksi mahkota

adalah seorang petugas yang sengaja menjalankan perintah

atasannya untuk melakukan tindak pidana; dan kedua, saksi

mahkota adalah orang yang betul-betul sebagai pelaku tindak

pidana. Apabila saksi mahkota adalah seorang petugas yang

sengaja, dasar pemberian mahkotanya merujuk pada ketentuan

Pasal 51 ayat (1) KUHP sebaai alasan pemaaf karena petugas

tersebut melakukan perintah jabatan, sedangkan untuk saksi

mahkota pelaku tindak pidana, pemberian mahkotanya berupa

pembebasan dari tuntutan berdasarkan asas oportunitas sehingga

secara fundamental seharusnya penyidik dan penuntut umum

tidaklah mudah untuk mengajukan saksi mahkota ke depan

persidangan karena harus seizin Jaksa Agung untuk mendeponir

perkaranya (Lilik Mulyadi, 2007: 180-181).

c. Pengaturan Mengenai Saksi Mahkota

Saksi mahkota disalah artikan di Indonesia. Seakan-akan

para terdakwa dalam hal ikut serta (medeplegen) perkaranya

dipisah dan kemudian bergantian menjadi saksi, disebut saksi

mahkota. Ini merupakan kekeliruan besar. Terdakwa bergantian

Page 29: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

menjadi saksi atas perkara yang dia sendiri ikut serta didalamnya.

Sebenarnya bertentangan dengan larangan selfincrimination

(mendakwa diri sendiri), karena dia sebagai saksi akan disumpah

dan dia sendiri juga menjadi terdakwa atas perkara itu. Terdakwa

tidak disumpah, berarti jika dia berbohong tidak melakukan delik

sumpah palsu. Jika saksi berbohong dapat dikenai sumpah palsu.

Jadi, bergantian menjadi saksi dari terdakwa berarti mereka

didorong untuk bersumpah palsu, karena pasti akan meringankan

temannya, karena dia sendiri juga ikut melakukan delik itu, atau

cuci tangan dan memberatkan terdakwa.

Pengaturan mengenai saksi mahkota ini pada awalnya

diatur di dalam Pasal 168 KUHAP, yang prinsipnya menjelaskan

bahwa pihak yang bersama-sama sebagai terdakwa tidak dapat

didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai

saksi. Kemudian dalam perkembangannya, maka tinjauan

pemahaman tentang saksi mahkota sebagai alat bukti dalam

perkara pidana diatur dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI

Nomor: 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990.

Dalam Yurisprudensi tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah

Agung RI tidak melarang apabila Jaksa Penuntut Umum

mengajukan saksi dengan syarat bahwa saksi ini dalam

kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas

perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian.

Jadi disini penggunaan saksi mahkota dibenarkan

didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yaitu:

1) dalam perkara delik penyertaan;

2) terdapat kekurangan alat bukti; dan

3) diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing).

Page 30: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

Adapun dalam perkembangannya Mahkamah Agung RI

memperbaiki kekeliruannya dengan mengeluarkan pendapat

terbaru tentang penggunaan saksi mahkota dalam suatu perkara

pidana, dalam hal mana Mahkamah Agung RI kembali

menjelaskan bahwa penggunaan saksi mahkota adalah

bertentangan dengan KUHAP yang menjunjung tinggi Hak Asasi

Manusia. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung

Nomor: 1174/K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Putusan Mahkamah

Agung Nomor: 1590/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995, dan Putusan

Mahkamah Agung Nomor: 1592/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995

(http://sofyanlubis .blogspot.com/2008/07/saksi-mahkota.html).

2. Tinjauan Umum mengenai Pembuktian

a. Pengertian Pembuktian

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi

penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan

undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada

terdakwa. Pembukian juga merupakan ketentuan yang mengatur

alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh

dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan

(Yahya Harahap, 2010: 273).

Ada perbedaan antara pembuktian dalam proses sebelum

penuntutan dan dalam proses penuntutan/pemeriksaan di sidang

pengadilan. Pembuktian dalam proses sebelum penuntutan in casu

penyidikan terfokus pada kegiatan mengumpulkan bukti in casu

dari alat-alat bukti, yang pada dasarnya adalah kegiatan

mencari/mengumpulkan bukti, dan kemudian mengurai,

menganalisis, menilai dan menyimpulkannya, dalam suatu surat

yang disebut dengan Resume. Bukti yang sah, dalam arti bukti

yang dapat dinilai dan dipertimbangkan hakim dalam rangka

Page 31: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

membenuk keyakinannya untuk tujuan satu-satunya membuat

putusan perkara pidana, adalah bukti yang didapat dari alat bukti

yang diajukan dan diperiksa dalam persidangan, dan bukan bukti

yang didapat dari hasil penyidikan. Kegiatan pembuktian dalam

sidang pengadilan, tidak terfokus lagi pada pencarian alat-alat

bukti dan mengurai bukti-bukti, akan tetapi memeriksa alat-alat

bukti yang sudah terlebih dahulu disiapkan oleh penyidik,dan

diajukan JPU dalam sidang untuk diperiksa bersama tiga pihak tadi

(Adami Chazawi, 2008: 15-16).

b. Sistem Pembuktian

Sistem pembuktian dapat diberi batasan sebagai suatu

kebulatan atau keseluruhan dari berbagai ketentuan perihal

kegiatan pembuktian yang saling kait mengait dan

berhubungan satu dengan yang lain yang tidak terpisahkan dan

menjadi suatu kesatuan yang utuh. Adapun isinya sistem

pembuktian terutama tentang alat-alat buki apa yang boleh

digunakan untuk membuktikan, cara bagaimana alat bukti itu

boleh dipergunakan, dan nilai kekuatan dari alat-aat bukti

tersebut serta standar/kriteria yang menjadi ukuran dalam

mengambil kesimpulan tentang terbuktinya sesuatu (objek)

yang dibuktikan (Adami Chazawi, 2008: 24).

Beberapa teori sistem pembuktian antara lain:

1) Conviction-in Time

Sistem pembuktian Convictio-in Time menentukan

salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh

penilaian keyakinan hakim. Keyakinan boleh diambil dan

disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya

dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat

buki itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan

dari keterangan atau pengakuan terdakwa.

Sistem ini mengandung kelemahan yang besar.

Sebagaimana manusia biasa, hakim bisa salah keyakinan yang

Page 32: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

telah dibentuknya, berhubung tidak ada kriteria, alat-alat bukti

tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara

hakim dalam membentuk keyakinannya itu. Disamping itu,

pada sistem ini terbuka peluang yang besar untuk terjadi

praktik penegakan hukum yang sewenang-wenang, dengan

bertumpu pada alasan hakim telah yakin (Adami Chazawi,

2008: 25).

2) Conviction-Raisonee

Pada sistem ini keyakinan hakim harus didukung

dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan

dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari

keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya keyakinan

hakim dalam sistem Conviction-Raisonee, harus dilandasi

reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus

reasonable yakni berdasar alasan yang dapat diterima.

3) Pembuktian menurut Undang-Undang secara Positif

Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian

dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk

membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata

digantungkan pada alat-lat bukti yang sah.

Sistem pembuktian demikian pada saat ini sudah tidak

ada penganut lagi, karena bertentangan dengan hak-hak asasi

manusia, yang pada zaman sekarang sangat diperhatikan

dalam hal pemeriksaan tersangka atau terdakwa oleh negara.

Juga karena sistem ini sama sekali mengabaikan perasaan

nurani hakim. Hakim bekerja menyidangkan terdakwa seperi

robot yang tingkat lakunya sudah diprogram melalui undang-

undang (Adami Chazawi, 2008: 28).

Page 33: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

4) Pembuktian menurut Undang-Undang secara Negatif (Negatief

Wettelijk Stelsel)

Sistem pembuktian undang-undang secara negatif

merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-

undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut

keyakinan atau conviction-in time. Untuk menentukan salah

atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian

undang-undang secara negatif terdapat dua komponen:

a) Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-

alat bukti yang sah menurut undang-undang; dan

b) Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan

dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Untuk mengetahui sistem pembuktian yang dianut oleh

KUHAP, maka kita harus mencermati bunyi Pasal 183 KUHAP,

yaitu “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang

kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang

sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-

benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya”. Dari bunyi pasal tersebut dapat diketahui bahwa

KUHAP mengatur sistem pembuktian menurut undang-undang

secara negatif (Yahya Harahap, 2010: 277-280).

c. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktiannya

Menurut Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti ialah:

1) Keterangan saksi

Saksi ialah orang yang dapat memberikan keterangan guna

kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang

suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan

ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya

itu (Pasal 1 angka 26 KUHAP). Sedangkan keterangan saksi

Page 34: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa

keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia

dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan

menyebut alasan dari pengetahuannya (Pasal 1 angka 27

KUHAP) (Adami Chazawi, 2008: 37-38).

Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang

paling utama dalam perkara pidana. Agar keterangan seorang

saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai

kekuatan pembuktian, harus memenuhi syarat sah sebagai

berikut:

a) Harus mengucapkan sumpah atau janji.

b) Keterangan yang diberikan saksi dilihat, didengar, dan

dialami sendiri serta menyebut alasan dari pengetahuannya

itu. Keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil

pendengaran dari orang lain (testimonium de auditu), tidak

mempunyai nilai sebagai alat bukti (Syaiful Bakhri,

2009:48).

c) Keterangan saksi harus diberkan di sidang pengadilan.

d) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup.

e) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri (Yahya

Harahap, 2010: 286-289).

Nilai kekuatan pembuktian dari keterangan saksi antara

lain:

(1) Keterangan yang diberikan tanpa sumpah: dinilai bukan

merupakan alat bukti yang sah, tidak mempunyai nilai

kekuatan pembuktian, akan tetapi dapat dipergunakan

sebagai tambahan alat bukti yang sah (menguatkan

keyakinan hakim dan sebagai petunjuk).

Page 35: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

(2) Keterangan yang diberikan dengan sumpah: bersifat bebas,

tidak sempurna, dan tidak mengikat. Nilai kekuatan

pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim.

(3) Keterangan saksi yang berdiri sendiri-sendiri: sebagai alat

bukti yang sah jika keterangan tersebut ada hubungan satu

sama lain yang membenarkan suatu kejadian.

Dalam menilai keterangan saksi, disamping harus

memperhatikan tentang syarat sah dan berharganya keterangan

saksi sebagaimana yang telah dibicarakan di atas, juga harus

memperhatikan standar penilaian keterangan saksi. Hal-hal

yang harus diperhatikan sebagaimana yang ditentukan Pasal

185 ayat (6), ialah:

(a) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi

lainnya;

Dalam doktrin dikenal dengan istilah unus testis

nullus testis yang artinya satu saksi bukanlah saksi. Oleh

karena itu, agar keterangan seorang saksi dapat berharga

haruslah bersesuaian dengan keterangan saksi yang lain

atau alat bukti yang lain. Bisa jadi ada banyak saksi yang

dihadapkan dan diperiksa di sidang pengadilan. Ada satu

saja saksi yang menerangkan tentang suatu kejadian atau

peristiwa yang tidak bersesuaian atau berlainan dengan

beberapa saksi yang lain atau alat bukti lain, maka

keterangan satu saksi ini harus diabaikan (Adami

Chazawi, 2008: 55-56).

(b) Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain;

(c) Alasan saksi memberikan keterangan tertentu;

Maksudnya adalah berupa alasan yang terselubung

yang tidak perlu diucapkan secara tegas di muka sidang,

tetapi merupakan hasil dari pemkiran atau analisis atas

fakta-fakta yang terungkap dalam sidang, hal ini tertuang

Page 36: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

dalam Pasal 185 ayat (6) huruf c (Adami Chazawi, 2008:

57).

(d) Cara hidup dan kesusilaan saksi;

Dari rumusan Pasal 185 ayat (6) huruf d dapat

disimpulkan bahwa ada 3 (tiga) keadaan yang dapat

mempengaruhi tentang kebenaran keterangan saksi, yaitu:

i. Cara hidup saksi;

ii. Kehidupan kesusilaan saksi;

iii. Segala sesuatu yang pada umumnya dapat

mempengaruhi kebenaran keterangan saksi (Adami

Chazawi, 2008: 58).

Disamping keempat hal tersebut, ada hal lain yang juga

perlu diperhatikan dalam menilai keterangan saksi, ialah:

(a) Tanggapan terdakwa terhadap keterangan saksi;

Pasal 164 ayat (1) merumuskan bahwa: “setiap kali

seorang saksi selesai memberikan keterangan, hakim ketua

sidang menanyakan kepada terdakwa bagaimana

pendapatnya tentang keterangan tersebut” (Adami

Chazawi, 2008: 59-60).

(b) Persesuaian keterangan saksi di persidangan dengan

keterangannya di tingkat penyidikan (Pasal 163);

Pasal 163 memerintahkan kepada hakim untuk

mengingatkan saksi jika keterangannya di sidang berbeda

dengan keterangannya di tingkat penyidikan. Maksudnya

tiada lain agar hakm dalam menilai keterangan saksi perlu

memperhatikan bagaimana keterangan saksi di tingkat

penyidikan. Tentulah dalam memperhatikan dan

menimbang tentang perbedaan itu, hakim perlu

memperhatikan ketentuan Pasal 185 ayat (1), artinya lebih

Page 37: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

condong pada keterangan di sidang pengadilan dengan

mengabaikan keterangan saksi di tingkat penyidikan

(Adami Chazawi, 2008: 60-61).

Kita semua tahu bahwa stres dapat berpengaruh kepada

cara pandang saksi dalam mematuhi instruksi polisi dan

mengingat suatu kejadian atau peristiwa. Sebagai contoh,

ketika saksi ditunjukkan gambar oleh polisi, mereka akan

bekerja keras untuk mengidentifiksi seseorang dalam gambar

tersebut hanya untuk menyenangkan polisi. Ketika saksi tidak

melihat seorangpun yang sesuai dengan ingatannya, ereka

biasanya mengandalkan dugaan terbaikknya, ini biasa disebut

penghakiman relatif (Krista D. Forrest, 2002: 29).

2) Keterangan ahli

Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh

seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang

dperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna

kepentingan pemeriksaan. Dua bentuk keterangan ahli, yaitu:

a) Alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau

visum et repertum.

b) Alat bukti keterangan ahli yang berbentuk keterangan

langsung secara lisan di sidang pengadilan yang dituangkan

dalam catatan berita acara persidangan.

Adapun jenis-jenis ahli antara lain:

(1) Ahli (deskundige).

(2) Saksi ahli (getnige deskundige).

(3) Zaakkundige.

Pada prinsipnya alat bukti keterangan ahli tidak

mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan

menentukan. Seorang saksi ahli dapat menerangkan sesuatu

Page 38: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

yang berat sebelah. Ini dapat dilihat dari hubungan personal

maupun sosial dengan pengacara yang ditunjuk. Pernyataan

yang berat sebelah dapat diselidiki dengan melihat berapa

banyak kasus dimana ahli bersaksi untuk pengacara tertentu,

sepanjang apakah ahli tersebut hanya membela atau menuntut

saja (Donald A. Eisner, 2010: 48). Dengan demikian nilai

kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya dengan nilai

kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan

saksi.

3) Surat

Surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah

menurut undang-undang adalah:

a) Surat yang dibuat atas sumpah jabatan.

b) Atau surat yang dikuatkan dengan sumpah.

Nilai kekuatan pembuktian pembuktian surat ialah:

(1) Dalam hukum acara perdata: surat otentik merupakan alat

bukti yang sempurna, sepanjang tidak dilumpuhkan oleh

alat bukti lawan.

(2) Dalam hukum acara pidana:

(a) Dilihat dari segi formil merupakan alat bukti yang

sempurna, artinya sudah benar kecuali dapat

dilumpuhkan dengan alat bukti lain, semua pihak tidak

dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan

pembuatannya.

(b) Dilihat dari segi materiil mempunyai kekuatan

mengikat dan bersifat bebas. Hal ini didasarkan pada

beberapa asas, yaitu asas tujuan hukum acara pidana,

asas keyakinan hukum, asas batas minimum

pembuktian (Yahya Harahap, 2010: 309-310).

Page 39: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

4) Petunjuk

Petunjuk menurut Pasal 188 ayat (1) KUHAP adalah

“perbuatan, kejadian atau keadaan karena persesuaiannya baik

antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak

pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi tindak

pidana dan siapa pelakunya”.

Nilai kekuatan pembuktiannya adalah bersifat bebas,

hakim tidak terikat oleh petunjuk tersebut, hakim bebas

menilai dan mempergunakannya.

5) Keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan

terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau

ketahui atau alami sendiri. Keterangan terdakwa saja tidak

cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah, harus disertai

alat bukti yang lain.

Jika dibandingkan dengan alat bukti yang terdapat HIR,

maka ada penmbahan alat bukti baru, yaitu keterangan ahli.

Selain daripada itu ada perubahan nama alat bukti yang dengan

sendirinya maknanya menjadi lain, yaitu pengakuan terdakwa

menjadi keterangan terdakwa (Andi Hamzah, 2009: 259).

3. Tinjauan Umum mengenai Penelitian Sejenis

a. Penggunaan Saksi Mahkota (Kroon Getuige) Dalam Pembuktian

Tindak Pidana Di Persidangan (Studi Kasus Pencurian Dengan

Kekerasan Di Pengadilan Negeri Purwokerto)

Penelitian ini berupa penulisan hukum (skripsi) yang ditulis oleh

Feri Irina Rachmani, mahasiswi Fakultas Hukum UNS angkatan 2004.

Rumusan masalah dari penulisan hukum ini adalah:

Page 40: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

1) Bagaimana penggunaan saksi mahkota (kroon getuige) dalam

proses pembuktian tindak pidana pencurian dengan kekerasan di

pengadilan negeri Purwkerto?

2) Bagaimana kekuatan saksi mahkota (kroon getuige) sebagai alat

bukti dalam pembuktian perkara pencurian dengan kekerasan di

persidangan?

Dalam penelitian ini, dibahas mengenai dihadirkannya saksi

mahkota yang juga merupakan terdakwa dalam tindak pidana

pencurian dengan kekerasan. Di sini dibahas mengenai sisi positif dan

negatif dari dihadirkannya saksi mahkota. Sisi positifnya adalah JPU

dapat dengan mudah melakukan pembuktian dalam memaparkan

kronologis kejadian tindak pidanan pencurian dengan kekerasan ini.

Sedangkan sisi negatifnya adalah ada kekhawatiran bahwa saksi

mahkota dan terdakwa yang notabene saling kenal telah berkompromi

untuk saling menutupi kesalahan masing-masing. Sedangkan untuk

kekuatan pembuktian saksi mahkota tersebut harus dilihat dari

terpenuhi tidaknya syarat sah sebagai saksi. Dalam penelitian ini,

kesaksian dari saksi mahkota dianggap telah memenuhi syarat sah

sebagai saksi sehingga saksi mahkota ini mempunyai kekuatan

pembuktian yang sah.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh

penulis dapat dilihat dari judul maupun rumusan masalahnya. Dalam

penelitian ini, yang dibahas adalah mengenai penggunaan saksi

mahkota dalam persidangan tindak pidana pencurian disertai dengan

kekerasan. Sehingga penelitian ini memiliki cakupan yang lebih

sempit, yaitu hanya penggunaan saksi mahkota dalam persidangan

tindak pidana pencurian dengan kekerasan saja. Sedangkan penelitian

yang dibuat oleh penulis, memiliki cakupan yang lebih luas, yaitu

tidak terbatas pada kasus tertentu saja.

Page 41: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

Selain itu, penulis membahas pula mengenai dualisme dasar

hukum penghadiran kroongetuige. Dimana penulis ingin membahas

lebih jauh mengenai putusan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah

Agung yang saling bertentangan antara yang satu dengan yang lain.

b. Kedudukan Saksi Mahkota dalam Sistem Pembuktian Hukum

Pidana

Penelitian lain yang hampir serupa dengan penelitian yang dibuat

oleh penulis adalah tesis yang dibuat oleh seorang mahasiswa Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. Tesis ini dibuat pada

tahun 2005 oleh Zulfan (NIM. 037005029). Adapun rumusan masalah

dari tesis ini adalah sebagai berikut:

1) Bagaimanakah urgensi dan akibat hukum saksi mahkota dalam

pembuktian perkara pidana?

2) Bagaimanakah kedudukan dan kriteria keterangan saksi mahkota

sebagai alat bukti menurut KUHAP?

3) Bagaimanakah keberadaan hak-hak asasi manusia apabila

ditempatkan sebagai saksi mahkota dalam pembuktian perkara

pidana?

Hasil penelitian tesis ini menunjukkan peran saksi mahkota

dibutuhkan terhadap kasus-kasus yang tidak mungkin mendapatkan

saksi karena kuatnya pelaku menjaga kerahasiaannya. Konsekuensi

penolakan kewajiban menjadi saksi tanpa alasan yang sah, diancam

pidana Pasal 224 KUHP, kesaksian palsu diancam pidana Pasal 242

KUHP. Hasil penelitian dari rumusan masalah kedua adalah bahwa

keterangan saksi mahkota yang diberikan di bawah sumpah bernilai

alat bukti. Sedangkan kalau tidak disumpah, tidak merupakan alat

bukti, namun apabila keterangannya sesuai dengan keterangan saksi

lain yang disumpah, maka dapat digunakan sebagai tambahan dua alat

bukti yang sah.

Page 42: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

Keberadaan saksi mahkota dalam pembuktian pidana

bertentangan dengan KUHAP yang menjunjung tinggi hak asasi

manusia. Terdakwa yang diminta menjadi saksi mahkota membebani

dirinya dalam upaya membela diri pada posisi terdakwa. Membebani

seorang saksi untuk membuktikan kesalahannya sendiri merupakan

tindakan yang melanggar hak asasi manusia.

Tesis ini sebenarnya memiliki beberapa persamaan dengan

penelitian yang dibuat oleh penulis. Persamaan ini dapat dilihat pada

rumusan masalah kedua tesis ini dimana yang dibahas adalah

mengenai kedudukan dan kriteria keterangan saksi mahkota sebagai

alat bukti menurut KUHAP dengan rumusan masalah kedua penulis

yang membahas mengenai nilai kekuatan pembuktian saksi mahkota

berdasarkan KUHAP. Di sini sama-sama dibahas mengenai nilai dari

keterangan yang diberikan oleh saksi mahkota jika dilihat dari

kacamata KUHAP.

Meskipun ada beberpa kesamaan, tetapi ada juga perbedaan

antara kedua penelitian ini. Perbedaan tersebut antara lain, penulis juga

menitikberatkan pembahasannya pada adanya dualisme dasar hukum

penghadiran saksi mahkota, dimana di sni terdapat pro dan kontra.

Sedangkan dalam tesis tidak dibahas mengenai hal tersebut. Perbedaan

lain adalah dalam rumusan masalah ketiga tesis ini dibahas mengenai

keberadaan hak asasi manusia apabila seseorang ditempatkan sebagai

saksi mahkota dalam pembuktian suatu perkara pidana. Dalam

penelitian yang dibuat oleh penulis, hak-hak asasi manusia seseorang

sebagai saksi mahkota tidak dibahas secara mendalam dalam rumusan

masalah yang berbeda. Meskipun demikian, penulis akan tetap

membahas mengenai hak-hak asasi manusia bagi saksi mahkota.

Page 43: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

B. Kerangka Pemikiran

C.

D.

E.

F.

Gambar 1: Kerangka Pemikiran

Kroongetuige

Putusan MA KUHAP

Pro Penggunaan

Saksi Mahkota

PMA Nomor:

1986 K/Pid/1989

Kontra

Digunakannya

Saksi Mahkota

1.PMA Nomor:

1174/K/Pid/1994

2.PMA Nomor:

1590/K/Pid/1995

3.PMA Nomor:

1592/K/Pid/1995

Kekuatan

pembuktian?

Pengaturan saksi

mahkota Saksi

Page 44: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

Keterangan:

Dari gambar kerangka pemikiran di atas, penulis mencoba untuk

menjelaskan mengenai kroongetuige dilihat dari sudut pandang KUHAP dan

Putusan Mahkamah Agung. Dalam hal ini kroongetuige tidak diatur secara

tegas dalam KUHAP, akan tetapi dalam Putusan Mahkamah Agung terjadi

dualisme dasar hukum penghadiran kroongetuige atau saksi mahkota. Dapat

dilihat bahwa ada putusan yang memperbolehkan penghadiran kroongetuige

dalam suatu persidangan, yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1986

K/Pid/1989. Dan ada pula putusan yang menolak penghadiran kroongetuige

dalam proses persidangan, yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor:

1174/K/Pid/1994, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1590/K/Pid/1995, dan

Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1592/K/Pid/1995.

Dua putusan yang saling bertolak belakang ini menimbulkan

kontroversi, karena belum ada pengaturan yang jelas terkait boleh atau

tidaknya menggunakan kroongetuige sebagai saksi di persidangan. Tetapi

pada kenyataannya masih banyak persidangan yang menggunakan

kroongetuige, misalnya saja pada persidangan kasus pembunuhan Nasrudin

Zulkarnaen maupun kasus Gayus Halomoan Tambunan yang menjadi saksi

mahkota bagi terdakwa Susno Duadji.

Selain itu, penulis juga ingin meneliti terkait dengan kekuatan

pembuktian dari kroongetuige berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dari hal-hal yang sudah disebutkan

tersebut, akan diambil sebuah kesimpulan mengenai pengaturan dari

kroongetuige, apakah diperbolehkan ataukah tidak sesuai dengan

yurisprudensi yang ada serta pengaturan mengenai kekuatan pembuktiannya.

Page 45: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

BAB III

PEMBAHASAN

A. Analisis Dualisme Dasar Hukum Kroongetuige dalam Pengaturan

Hukum Acara Pidana Indonesia

Pada sub bab pembahasan yang pertama ini peneliti akan mengkaji

mengenai dualisme pandangan terhadap pemanfaatan kroongetuige atau saksi

mahkota dalam perspektif hukum acara pidana. Kedua pandangan ini ternyata

memberikan arah yang berlawanan disatu sisi memperbolehkan disisi yang

lain melarang keras. Secara skematik dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2. Skematik Analisis Penelitian

Kroongetuige Pro Kontra

KUHAP:

1. Pasal 1 angka 26: tentang

pengertian saksi

2. Pasal 1 angka 27: tentang

pengeertian keterangan saksi

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG:

PMA Nomor: 1986 K/Pid/1989

tentang suatu delik pembunuhan

berencana. Dimana putusan tersebut

mengakui keberadaan saksi

mahkota.

KUHAP:

1. Pasal 52: tentang hak terdakwa untuk

memberikan keterangan secara bebas.

2. Butir 3 huruf c Penjelasan Umum

KUHAP: tentang asas praduga tidak

bersalah. Yang diwujudkan dalam

Pasal 66 KUHAP tentang beban

pmbuktian.

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG:

a. PMA Nomor: 1174/K/Pid/1994

b. PMA Nomor: 1590/K/Pid/1995

c. PMA Nomor: 1592/K/Pid/1995

Tentang penggunaan saksi mahkota

yang melanggar Hak Asasi Manusia.

.

Page 46: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

Berdasarkan skematik di atas dapat dilihat ada dua pandangan yang saling

bertentangan tentang saksi mahkota. Adapun untuk lebih jelasnya dapat

diuraikan sebagai berikut:

1. Pendapat yang Pro Terhadap Pemanfaatan Saksi Mahkota

a. Pasal 1 angka 26 dan Pasal 1 angka 27 KUHAP dibandingkan dengan

tujuan hukum acara pidana.

1) Pasal 1 angka 26:

“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna

kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu

perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

sendiri”.

2) Pasal 1 angka 27:

“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara

pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa

pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri

dengan menyabut alasan dari pengetahuanya itu”.

Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah mencari dan

mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil,

ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana

dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan

tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat

didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya

meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan

apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah

orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan (Lilik Mulyadi, 2007: 10-

Page 47: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

12). Untuk mencapai tujuan hukum acara pidana tersebut maka

diperlukan pembuktian dalam perkara pidana. Salah satu bentuk

pembuktian adalah berupa keterangan saksi yang dalam Pasal 1 angka

27 KUHAP disebutkan bahwa “keterangan saksi adalah salah satu alat

bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi

mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat

sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari

pengetahuannya itu”.

Dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1986 K/Pid/1989,

disebutkan bahwa saksi mahkota adalah teman terdakwa yang

melakukan tindak pidana bersama-sama, diajukan sebagai saksi untuk

membuktikan dakwaan penuntut umum, yang perkara diantaranya

dipisah karena kurangnya alat bukti. Dengan demikian dapat kita

katakana bahwa saksi mahkota juga merupakan saksi dimana saksi

menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP adalah “orang yang dapat

memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan,

dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia

lihat sendiri, dan ia alami sendiri”. Dengan demikian melihat bahwa

saksi mahkota memiliki unsur-unsur yang sama dengan saksi, yaitu ia

mendengar sendiri, melihat sendiri dan juga mengalami sendiri, maka

dapat dikatakan bahwa saksi mahkota juga merupakan saksi yang

secara sah dapat memberikan keterangannya di muka persidangan.

b. Putusan Mahkamah Agung

1) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1986/K/Pid/1986 tentang suatu

delik pembunuhan berencana.

Putusan Mahkamah Agung yang pro terhadah saksi mahkota

adalah PMA Nomor: 1986 K/Pid/1989. Dalam Putusan Mahkamah

Page 48: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

Agung ini dijelaskan bahwa Mahkamah Agung tidak melarang

apabila jaksa penuntut umum mengajukan saksi mahkota di

persidangan dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya

sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan

terdakwa yang diberikan kesaksian. Selain itu dalam yurisprudensi

tersebut juga telah diberikan suatu definisi tentang saksi mahkota

yaitu teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-

sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan

penuntut umum, yang perkara diantaranya dipisah karena

kurangnya alat bukti.

Berdasarkan hal tersebut, maka pengajuan saksi mahkota

sebagai alat bukti dalam perkara pidana didasarkan pada kondisi-

kondisi tertentu, yaitu dalam hal adanya perbuatan pidana dalam

bentuk penyertaan dan terhadap perbuatan pidana bentuk

penyertaan tersebut diperiksa dengan mekanisme pemisahan, serta

apabila dalam perkara pidana bentuk penyertaan tersebut masih

terdapat kekurangan alat bukti, khususnya keterangan saksi. Hal

ini tentunya bertujuan agar terdakwa tidak terbebas dari

pertanggungjawabannya sebagai pelaku perbuatan pidana

(Setiyono, 2007: 33).

Dari sini dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya ada

ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi ketika jaksa penuntut

umum akan menghadirkan saksi mahkota, antara lain adanya

pemisahan berkas perkara, adanya kurangya alat bukti, perbuatan

pidananya dalam bentuk penyertaan. Saksi mahkota dihadirkan

untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, dimana jika suatu

perkara pidana terdapat kekurangan alat bukti maka bisa saja para

terdakwanya akan dibebaskan, tetapi ketika terdakwa dapat

Page 49: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

dihadirkan juga sebagai saksi mahkota untk persidangan terdakwa

lain, maka mereka tetap dapat diminta untuk

mempertanggungjawabkan perbuatannya.

c. Pemisahan Bekas Perkara (Splitsing)

Pemecahan berkas perkara diatur dalam Pasal 142 KUHAP yang

berbunyi “dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara

yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa

orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141,

penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masng

terdakwa secara terpisah”. Splitsing dilakukan karena kurangya saksi

yang menguatkan dakwaan penuntut umum, sehingga diperlukan

penambahan pemeriksaan saksi dari tersangka yang lain (Syaiful

Bakhri, 2009: 215).

Pada prinsipnya, menurut hukum acara pidana splitsing merupakan

hak jaksa. Pemisahan itu dapat dilakukan jika jaksa menerima satu

berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana. Kejahatan itu

juga melibatkan beberapa orang tersangka. Meskipun berkas dipisah,

kalau perbuatannya dilakukan bersama-sama dengan orang lain, jaksa

di pengadilan tetap menjerat para pelaku dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1

tentang penyertaan. Splitsing atau pemecahan berkas perkara

diperlukan untuk memisahkan berkas perkara antara terdakwa dalam

perkaranya sendiri dengan terdakwa ketika menjadi saksi mahkota

untuk perkara terdakwa lainnya.

Page 50: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

2. Pandangan Kontra Terhadap Pemanfaatan Saksi Mahkota

a. Asas Praduga Tidak Bersalah

Asas praduga tidak bersalah diatur dalam Butir 3 huruf c

Penjelasan Umum KUHAP, yaitu setiap orang yang disangka,

ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang

pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan

pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan

hukum tetap. Perwujudan dari asas ini adalah Pasal 66 KUHAP yang

berbunyi, “tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban

pembuktian”.

Pemanfaatan saksi mahkota dalam proses pembuktian perkara

pidana di persidangan menurut penulis telah melanggar asas praduga

tidak bersalah. Karena dalam hal ini terdakwa dibebani kewajiban

untuk melakukan pembuktian, dimana seharusnya pembuktian

menjadi beban jaksa penuntut umum. Selain itu ketika terdakwa

menjadi saksi mahkota hal itu bertentangan juga dengan asas non self

incrimination atau larangan untuk mendakwa dirinya sendiri. Seorang

terdakwa yag menjadi saksi mahkota secara tidak langsung akan

menceritakan keterlibatannya dalam perkara pidana yang juga

didakwakan kepadanya.

b. Hak Ingkar

Hak ingkar yaitu hak untuk membantah dakwaan, menyanggah

keterangan para saksi dan bukti-bukti yang diajukan di depan

persidangan. Hak ingkar diatur dalam Pasal 52 KUHAP yang

berbunyi, “dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan

Page 51: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak untuk memberikan

keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim”. Penggunaan

saksi mahkota dianggap melanggar hak ingkar bagi terdakwa yang

juga dihadapkan sebagai saksi dimana ia harus memberikan

keterangan dengan sebenar-benarnya karena terikat sumpah. Ia terikat

sumpah karena tidak memiliki hubungan darah, keluarga ataupun

pekerjaan dengan terdakwa, sedangkan jika ia memiliki hubungan

tersebut maka ia berhak menolak untuk diambil sumpahnya. Ini sesuai

dengan isi dari Pasal 168 KUHAP. Jika seorang saksi diketahui telah

telah mengatakan sesuatu yang tidak benar dan melanggar sumpah

maka dapat diancam dengan pidana sumpah palsu dan keterangan

palsu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 242 ayat (2) KUHP.

Dengan status tersebut, seorang terdakwa yang diminta menjadi saksi

mahkota akan mengalami tekanan atau setidak-tidaknya tekanan

secara psikis sehingga keterangannya dapat diragukan sehingga bisa

saja hakim tidak memperoleh kebenaran seperti apa yang diinginkan.

c. Putusan Mahkamah Agung

Beberapa putusan Mahkamah Agung yang kontra terhadap

pemanfaatan saksi mahkota dalam proses pembuktian di muka

persidangan antara lain:

1) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1174/K/Pid/1994 tanggal 3 Mei

1995;

2) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1590/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei

1995; dan

3) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1592/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei

1995.

Page 52: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

Ketiga putusan ini menjelaskan bahwa pemanfaatan terdakwa

sebagai saksi mahkota terhadap terdakwa lainnya secara yuridis adalah

bertentangan dengan Hukum Acara Pidana yang menjunjung tinggi

prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Kondisi saksi mahkota yang

berperan ganda sebagai saksi di satu sisi dan sebagai terdakwa di sisi

yang lain, memiliki konsekuensi yuridis terhadap hak dan

kewajibannya akan sumpah, dan beban pembuktian.

Sebagaimana kita ketahui bahwa terdakwa tidak dibebani

kewajiban dalam pembuktian dan juga tidak diambil sumpahnya

ketika akan dimintai keterangan. Hal ini telah secara jelas diatur dalam

KUHAP. Oleh karena itu ketika seorang terdakwa dimanfaatkan

sebagai saksi mahkota dalam perkara pidana maka hal tersebut jelas

telah melanggar hak asasi terdakwa yang bersangkutan. Dimana

terdakwa tersebut dibebani kewajiban untuk disumpah yang

menyebabkan terdakwa tersebut kehilangan hak ingkarnya dan juga

terdakwa tersebut dibebani kewajiban pembuktian yang seharusnya

menjadi kewajiban jaksa penuntut umum. Selain itu, pemanfaatan

terdakwa sebagai saksi mahkota juga bertentangan dengan beberapa

asas dalam hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP, misalnya

asas non self incrimination dan asas praduga tidak bersalah.

d. Beban Pembuktian

Seperti yang diatur dalam Pasal 66 KUHAP yang berbunyi

“tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”,

maka seorang terdakwa yang dimanfaatkan sebagai saksi mahkota

dalam proses pembuktian di persidangan telah melanggar pasal ini.

Hal ini dikarenakan terdakwa tersebut diminta untuk membeberkan

Page 53: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

dan menceritakan semua hal yang dia ketahui terkait perkara pidana

yang melibatkan dirinya dan juga temanya yang juga seorang

terdakwa. Hal ini jelas merugikan terdakwa, karena secara tidak

langsung dia telah mengakui perbuatan dan keterlibatannya dalam

perkara pidana tersebut.

Seharusnya pembuktian menjadi kewajiban bagi jaksa penuntut

umum. Dimana diperbolehkannya seorang terdakwa menjadi saksi

mahkota dapat disalahgunakan oleh jaksa penuntut umum yang ingin

segera menyelesaikan perkaranya dengan cara yang mudah. Hal ini

berarti telah melanggar hak asasi dari terdakwa yang bersangkutan.

B. Analisis Nilai Kekuatan Pembuktian Dari Kroongetuige Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan di atas, bahwa

peggunaan saksi mahkota dalam proses pembuktian di persidangan tidak

diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (KUHAP), sehingga dapat dipastikan bahwa nilai kekuatan

pembuktian dari saksi mahkota atau kroongetuige juga tidak diatur dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP). Meskipun demikian, penulis telah menguraikan beberapa

persamaan antara saksi mahkota dengan keteragan saksi yang telah diatur

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP).

Keterangan saksi menurut Pasal 1 angka 27 adalah “salah satu alat

bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai

suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Sedangkan saksi

Page 54: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

mahkota menurut Putusan Mahkamah Agung Nomor 1986 K/Pid/1989,

disebutkan bahwa saksi mahkota adalah teman terdakwa yang melakukan

tindak pidana bersama-sama, diajukan sebagai saksi untuk membuktikan

dakwaan penuntut umum, yang perkara diantaranya dipisah karena

kurangnya alat bukti.

Dari uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa saksi adalah orang yang

harus mendengar sendiri, melihat sendiri dan mengalami sendiri perkara

pidana tersebut. Seorang saksi mahkota yang notabene adalah juga seorang

terdakwa sudah pasti berada di tempat kejadian ketika suatu perkara pidana

sedang berlangsung, sehingga saksi mahkota tersebut merupakan orang

yang pasti mendengar, melihat dan mengalami sendiri. Oleh karena itu

saksi mahkota memenuhi salah satu unsur saksi, sehingga dapat dikatakan

bahwa saksi mahkota dianggap sah sebagai saksi. Meskipun demikian,

saksi mahkota merupakan saksi yang mendapat perlakuan istimewa atau

saksi yang diberi mahkota. Mahkota tersebut berupa perlakuan istimewa

yaitu tidak dituntut atas tindak pidana yang ia sebenarnya merupakan salah

satu pelakunya atau dengan kata lain ia dimaafkan atas kesalahannya.

Selain itu dikenal juga adanya asas unus testis nullus testis, maksudnya

adalah bahwa harus dihindari adanya keterangan seorang saksi saja, karena

aspek ini tidaklah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah

karena perbuatan yang didakwakan kepadanya. Ini sesuai dengan Pasal 185

ayat (2) yang berbunyi, “keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk

membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang

didakwakan kepadanya”. Harus ada lebih dari satu saksi yang memberikan

keterangannya di muka persidangan, hal ini penting dilakukan untuk

menilai kebenaran dari keterangan seorang saksi, apakah keterangan saksi

tersebut sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh saksi lainnya. Ini

sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pasal 185 ayat (6), yaitu “dalam

Page 55: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-

sungguh memperhatikan:

1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;

2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;

3. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi

keterangan yang tertentu;

4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada

umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu

dipercaya”.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jika saksi mahkota adalah

merupakan satu-satunya saksi yang dihadirkan di muka persidangan, maka

keterangan yang diberikan oleh saksi mahkota tersebut dianggap tidak sah.

Tetapi jika ada saksi lain yang dihadirkan, maka keterangan yang diberikan

oleh saksi mahkota dapat dianggap sah meskipun tetap harus

memperhatikan persesuaian keterangan saksi mahkota itu dengan saksi lain

yang dihadirkan.

Syarat lain yang harus dipenuhi untuk melihat sah atau tidaknya

keterangan yang diberikan oleh saksi adalah bahwa saksi tersebut telah

disumpah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing dan ketika

memberikan sumpah saksi tersebut tidak berada di bawah tekanan, dalam

arti saksi tersebut dalam keadaan bebas dan sadar. Ini sesuai dengan bunyi

Pasal 160 ayat (3) KUHAP, yaitu “sebelum memberi keterangan, saksi

wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-

masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak

lain dari pada yang sebenarnya”. Keterangan seorang saksi yang diberikan

tanpa sumpah meskipun sesuai dengan keterangan saksi-saksi lain

bukanlah merupakan suatu alat bukti, hal ini telah jelas diatur dalam Pasal

185 ayat (7) KUHAP. Oleh karena itu jika saksi mahkota yang dihadirkan

Page 56: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

di muka persidangan memberikan kesaksiannya dibawah sumpah maka

keterangan yang ia berikan dianggap sah dan dapat digunakan sebagai

bahan pertimbangan oleh hakim untuk menyusun putusan.

Dari penjabaran di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa saksi

mahkota juga merupakan seorang saksi yang keterangannya dianggap sah

di muka persidangan sepanjang saksi mahkota tersebut memenuhi syarat

sah bagi seorang saksi, baik memenuhi syarat formal maupun syarat

materialnya. Adapun nilai kekuatan pembuktian dari keterangan saksi

dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah.

Mengenai keterangan saksi yang tidak disumpah bisa terjadi:

a. Karena saksi menolak disumpah,

Mengenai saksi yang menolak untuk disumpah telah diatur

dalam Pasal 161. Keterangan yang diberikan tanpa disumpah karena

saksi menolak untuk mengucap sumpah atau janji, bukan

merupakan alat bukti. Namun, Pasal 161 ayat (2) menilai kekuatan

pembuktian keterangan tersebut dapat menguatkan keyakinan

hakim apabila pembuktian yang telah ada telah memenuhi batas

minimum pembuktian.

b. Keterangan yang diberikan tanpa sumpah,

Hal ini bisa terjadi seperti yang diatur dalam Pasal 161 KUHAP,

Saksi yang telah memberikan keterangan dala pemeriksaan

penyidikan dengan tidak disumpah, ternyata “tidak dapat hadir”

dalam pemriksaan di sidang pengadilan. Namun demikian, kalau

bertitik tolak dari ketentuan Pasal 161 ayat (2) dihubungkan

dengan Pasal 185 ayat (7), nilai kekuatan pembuktian yang melekat

pada keterangan saksi yang dibacakan di sidang pengadilan,

sekurang-kurangnya dapat dipersamakan dengan keterangan saksi

Page 57: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

yang diberikan di persidangan tanpa sumpah. Jadi, sifatnya tetap

tidak merupakan alat bukti tetapi nilai pembuktiannya yang melekat

padanya:

1) Dapat dipergunakan “menguatkan” keyakinan hakim.

2) Atau dapat bernilai dan dipergunakan sebagai “tambahan alat

bukti” yang sah lainya, sepanjang keterangan saksi yang

dibacakan mempunyai “saling persesuaian” dengan alat bukti

yang sah tersebut dan alat bukti yang telah ada telah memenuhi

batas minimum pembuktian.

c. Karena hubungan kekeluargaan,

Seorang saksi yang mempunyai pertalian keluarga tertentu

dengan terdakwa tidak dapat memberi keterangan dengan sumpah.

Kecuali mereka menghendakinya, dan kehendakya itu disetujui

secara tegas oleh penuntut umum dan terdakwa. Akan tetapi

undang-undang tidak menyebut secara tegas nilai kekuatan

pembuktian yang melekat pada keterangan seperti ini. Untuk

mengetahui nilai keterangan mereka yang tergolong pada Pasal 168

KUHAP, harus kembali menoleh pada Pasal 161 ayat (2) KUHAP

dan Pasal 185 ayat (7) KUHAP:

1) Keterangan mereka tidak dapat dinilai sebagai alat bukti,

2) Tetapi dapat dipergunakan menguatkan keyakinan hakim,

3) Atau dapat bernilai dan dipergunakan sebagai tambahan

menguatkan alat bukti yang sah lainya sepanjang keterangan

tersebut mempunyai persesuaian dengan alat bukti yang sah

lainya, dan alat bukti yang sah itu telah memenuhi batas

minimum pembuktian.

d. Saksi termasuk golongan yang disebut Pasal 171 KUHAP,

Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum

pernah kawin atau orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun

Page 58: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

kadang-kadang baik kembali, boleh diperiksa memberi keterangan

tanpa sumpah di sidang pengadilan. Nilai keterangan merekan

dinilai bukan merupaka alat bukti yang sah akan tetapi penjelasan

Pasal 171 KUHAP telah menentukan nilai pembuktian yang

melekat pada keterangan itu dapat dipakai sebagai petunjuk. Titik

tolak untuk mengambil kesimpulan umum dalam hal ini ialah Pasal

185 ayat (7) KUHAP tanpa mengurai ketentuan lain yang diatur

dalam Pasal 161 ayat(2) KUHAP maupun Pasal 169 ayat (2)

KUHAP dan penjelasan Pasal 171 KUHAP. Bertitik tolak dari

ketentuan-ketentuan tersebut, secara umum dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1) Semua keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah dinilai

bukan merupakan alat bukti yang sah. Walaupun keterangan

yang diberikan tanpa sumpah iu saling bersesuaian dengan

yang lain, sifatnya tetap bukan merupakan alat bukti.

2) Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian, karena sifatnya

saja bukan merupakan alat bukti yang sah maka dengan

sendirinya tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian.

3) Akan tetapi dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti

yang sah. Sekalipun keterangan tanpa sumpah bukan

merupakan alat bukti yang sah, dan juga tidak memiliki

kekuatan pembuktian, pada umumnya keterangan itu dapat

dipergunakan sebagai tambahan untuk menyempurnakan

kekuatan pembuktian alat bukti yang sah, yaitu data

menguatkan keyakinan hakim seperti yang disebut pada Pasal

161 ayat (2) KUHAP dan juga dapat dipakai sebagai petunjuk

seperti yang disebut dalam penjelasan pasal 171 KUHAP.

Page 59: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

Untuk mempergunakan keterangan tanpa sumpah baik sebagai

tambahan alat bukti yang sah maupun untuk menguatkan keyakinan

hakim atau sebagai petunjuk harus dibarengi dengan syarat:

a) Harus lebih dulu telah ada alat bukti yang sah.

b) Alat bukti yang sah itu telah memenuhi batas minimum

pembuktian yakni telah ada sekurang-kurangnya dua alat bukti

yang sah.

c) Kemudian antara keterangan tanpa sumpah itu dengan alat

bukti yang sah dapat saling bersesuaian.

2. Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi yang disumpah.

Bukan hanya unsur sumpah yang harus melekat pada keterangan

saksi agar keterangan itu bersifat sebagai alat bukti yang sah, tetapi

harus memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan undang-undang

yakni:

a. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji bahwa ia akan

menerangkan yang sebenarnya dan tiada lain daripada yang

sebenarnya.

b. Keterangan yang diberikan harus mengenai peristiwa pidana yang

saksi dengar sendiri, lihat sendiri atau alami sendiri dengan

menyebut secara jelas sumber pengetahuanya.

c. Keterangan saksi harus dinyatakan di sidang pengadilan.

d. Keterangan saksi saja bukan merupakan alat bukti yang sah, karena

itu harus dipenuhi batas minimum pembuktian yang diatur dalam

Pasal 183 KUHAP.

Kekuatan pembuktian keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah

antara lain:

1) Mempunyai kekuatan pembukian bebas, tidak melekat sifat

pembuktian yang sempurna dan juga tidak melekat di dalamnya

sifat kekuatan pembuktianyang mengikat dan menentukan.

Page 60: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

2) Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim,

alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak

mempunyai nilai kekuatan oembuktian yang sempurna dan tidak

menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk

menilai kesempurnaan dan kebenaranya.

Untuk mengakhiri uraian kekuatan pembuktan keterangan saksi

sebagai alat bukti yang sah, dapat disimpulkan:

a) Tidak mempunya nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan

mengikat, hakim mempunyai kebebasan untuk menilainya,

b) Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang mempunyai nlai

kekuatan pembuktian yang bebas, dapat dilumpuhkan terdakwa

dengan alat bukti yang lain berupa saksi a decharge maupun

dengan keterangan ahli atau alibi.

Page 61: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

BAB III

PEMBAHASAN

A. Analisis Dualisme Dasar Hukum Kroongetuige dalam Pengaturan

Hukum Acara Pidana Indonesia

Pada sub bab pembahasan yang pertama ini peneliti akan mengkaji

mengenai dualisme pandangan terhadap pemanfaatan kroongetuige atau saksi

mahkota dalam perspektif hukum acara pidana. Kedua pandangan ini ternyata

memberikan arah yang berlawanan disatu sisi memperbolehkan disisi yang

lain melarang keras. Secara skematik dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2. Skematik Analisis Penelitian

Kroongetuige Pro Kontra

KUHAP:

1. Pasal 1 angka 26: tentang

pengertian saksi

2. Pasal 1 angka 27: tentang

pengeertian keterangan saksi

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG:

PMA Nomor: 1986

K/Pid/1989 tentang suatu delik

pembunuhan berencana. Putusan

tersebut mengakui keberadaan saksi

mahkota.

KUHAP:

1. Pasal 52: tentang hak terdakwa untuk

memberikan keterangan secara bebas.

2. Butir 3 huruf c Penjelasan Umum

KUHAP: tentang asas praduga tidak

bersalah. Yang diwujudkan dalam

Pasal 66 KUHAP tentang beban

pmbuktian.

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG:

a. PMA Nomor: 1174/K/Pid/1994

b. PMA Nomor: 1590/K/Pid/1995

c. PMA Nomor: 1592/K/Pid/1995

Tentang penggunaan saksi mahkota

yang melanggar Hak Asasi Manusia.

.

Page 62: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

Berdasarkan skematik di atas dapat dilihat ada dua pandangan yang saling

bertentangan tentang saksi mahkota. Adapun untuk lebih jelasnya dapat

diuraikan sebagai berikut:

1. Pendapat yang Pro Terhadap Pemanfaatan Saksi Mahkota

a. Pasal 1 angka 26 dan Pasal 1 angka 27 KUHAP dibandingkan dengan

tujuan hukum acara pidana.

1) Pasal 1 angka 26:

“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna

kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu

perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

sendiri”.

2) Pasal 1 angka 27:

“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara

pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa

pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri

dengan menyabut alasan dari pengetahuanya itu”.

Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah mencari dan

mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil,

ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana

dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan

tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat

didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya

meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan

apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah

orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan (Lilik Mulyadi, 2007: 10-

Page 63: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

12). Untuk mencapai tujuan hukum acara pidana tersebut maka

diperlukan pembuktian dalam perkara pidana. Salah satu bentuk

pembuktian adalah berupa keterangan saksi yang dalam Pasal 1 angka

27 KUHAP disebutkan bahwa “keterangan saksi adalah salah satu alat

bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi

mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat

sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari

pengetahuannya itu”.

Dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1986 K/Pid/1989,

disebutkan bahwa saksi mahkota adalah teman terdakwa yang

melakukan tindak pidana bersama-sama, diajukan sebagai saksi untuk

membuktikan dakwaan penuntut umum, yang perkara diantaranya

dipisah karena kurangnya alat bukti. Dengan demikian dapat kita

katakana bahwa saksi mahkota juga merupakan saksi dimana saksi

menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP adalah “orang yang dapat

memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan,

dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia

lihat sendiri, dan ia alami sendiri”. Dengan demikian melihat bahwa

saksi mahkota memiliki unsur-unsur yang sama dengan saksi, yaitu ia

mendengar sendiri, melihat sendiri dan juga mengalami sendiri, maka

dapat dikatakan bahwa saksi mahkota juga merupakan saksi yang

secara sah dapat memberikan keterangannya di muka persidangan.

b. Putusan Mahkamah Agung

1) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1986/K/Pid/1986 tentang suatu

delik pembunuhan berencana.

Putusan Mahkamah Agung yang pro terhadah saksi mahkota

adalah PMA Nomor: 1986 K/Pid/1989. Dalam Putusan Mahkamah

Page 64: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

Agung ini dijelaskan bahwa Mahkamah Agung tidak melarang

apabila jaksa penuntut umum mengajukan saksi mahkota di

persidangan dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya

sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan

terdakwa yang diberikan kesaksian. Selain itu dalam yurisprudensi

tersebut juga telah diberikan suatu definisi tentang saksi mahkota

yaitu teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-

sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan

penuntut umum, yang perkara diantaranya dipisah karena

kurangnya alat bukti.

Berdasarkan hal tersebut, maka pengajuan saksi mahkota

sebagai alat bukti dalam perkara pidana didasarkan pada kondisi-

kondisi tertentu, yaitu dalam hal adanya perbuatan pidana dalam

bentuk penyertaan dan terhadap perbuatan pidana bentuk

penyertaan tersebut diperiksa dengan mekanisme pemisahan, serta

apabila dalam perkara pidana bentuk penyertaan tersebut masih

terdapat kekurangan alat bukti, khususnya keterangan saksi. Hal

ini tentunya bertujuan agar terdakwa tidak terbebas dari

pertanggungjawabannya sebagai pelaku perbuatan pidana

(Setiyono, 2007: 33).

Dari sini dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya ada

ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi ketika jaksa penuntut

umum akan menghadirkan saksi mahkota, antara lain adanya

pemisahan berkas perkara, adanya kurangya alat bukti, perbuatan

pidananya dalam bentuk penyertaan. Saksi mahkota dihadirkan

untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, dimana jika suatu

perkara pidana terdapat kekurangan alat bukti maka bisa saja para

terdakwanya akan dibebaskan, tetapi ketika terdakwa dapat

Page 65: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

dihadirkan juga sebagai saksi mahkota untk persidangan terdakwa

lain, maka mereka tetap dapat diminta untuk

mempertanggungjawabkan perbuatannya.

c. Pemisahan Bekas Perkara (Splitsing)

Pemecahan berkas perkara diatur dalam Pasal 142 KUHAP yang

berbunyi “dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara

yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa

orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141,

penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masng

terdakwa secara terpisah”. Splitsing dilakukan karena kurangya saksi

yang menguatkan dakwaan penuntut umum, sehingga diperlukan

penambahan pemeriksaan saksi dari tersangka yang lain (Syaiful

Bakhri, 2009: 215).

Pada prinsipnya, menurut hukum acara pidana splitsing merupakan

hak jaksa. Pemisahan itu dapat dilakukan jika jaksa menerima satu

berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana. Kejahatan itu

juga melibatkan beberapa orang tersangka. Meskipun berkas dipisah,

kalau perbuatannya dilakukan bersama-sama dengan orang lain, jaksa

di pengadilan tetap menjerat para pelaku dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1

tentang penyertaan. Splitsing atau pemecahan berkas perkara

diperlukan untuk memisahkan berkas perkara antara terdakwa dalam

perkaranya sendiri dengan terdakwa ketika menjadi saksi mahkota

untuk perkara terdakwa lainnya.

Page 66: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

2. Pandangan Kontra Terhadap Pemanfaatan Saksi Mahkota

a. Asas Praduga Tidak Bersalah

Asas praduga tidak bersalah diatur dalam Butir 3 huruf c

Penjelasan Umum KUHAP, yaitu setiap orang yang disangka,

ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang

pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan

pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan

hukum tetap. Perwujudan dari asas ini adalah Pasal 66 KUHAP yang

berbunyi, “tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban

pembuktian”.

Pemanfaatan saksi mahkota dalam proses pembuktian perkara

pidana di persidangan menurut penulis telah melanggar asas praduga

tidak bersalah. Karena dalam hal ini terdakwa dibebani kewajiban

untuk melakukan pembuktian, dimana seharusnya pembuktian

menjadi beban jaksa penuntut umum. Selain itu ketika terdakwa

menjadi saksi mahkota hal itu bertentangan juga dengan asas non self

incrimination atau larangan untuk mendakwa dirinya sendiri. Seorang

terdakwa yag menjadi saksi mahkota secara tidak langsung akan

menceritakan keterlibatannya dalam perkara pidana yang juga

didakwakan kepadanya.

b. Hak Ingkar

Hak ingkar yaitu hak untuk membantah dakwaan, menyanggah

keterangan para saksi dan bukti-bukti yang diajukan di depan

persidangan. Hak ingkar diatur dalam Pasal 52 KUHAP yang

berbunyi, “dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan

Page 67: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak untuk memberikan

keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim”. Penggunaan

saksi mahkota dianggap melanggar hak ingkar bagi terdakwa yang

juga dihadapkan sebagai saksi dimana ia harus memberikan

keterangan dengan sebenar-benarnya karena terikat sumpah. Ia terikat

sumpah karena tidak memiliki hubungan darah, keluarga ataupun

pekerjaan dengan terdakwa, sedangkan jika ia memiliki hubungan

tersebut maka ia berhak menolak untuk diambil sumpahnya. Ini sesuai

dengan isi dari Pasal 168 KUHAP. Jika seorang saksi diketahui telah

telah mengatakan sesuatu yang tidak benar dan melanggar sumpah

maka dapat diancam dengan pidana sumpah palsu dan keterangan

palsu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 242 ayat (2) KUHP.

Dengan status tersebut, seorang terdakwa yang diminta menjadi saksi

mahkota akan mengalami tekanan atau setidak-tidaknya tekanan

secara psikis sehingga keterangannya dapat diragukan sehingga bisa

saja hakim tidak memperoleh kebenaran seperti apa yang diinginkan.

c. Putusan Mahkamah Agung

Beberapa putusan Mahkamah Agung yang kontra terhadap

pemanfaatan saksi mahkota dalam proses pembuktian di muka

persidangan antara lain:

1) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1174/K/Pid/1994 tanggal 3 Mei

1995;

2) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1590/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei

1995; dan

3) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1592/K/Pid/1995 tanggal 3 Mei

1995.

Page 68: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

Ketiga putusan ini menjelaskan bahwa pemanfaatan terdakwa

sebagai saksi mahkota terhadap terdakwa lainnya secara yuridis adalah

bertentangan dengan Hukum Acara Pidana yang menjunjung tinggi

prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Kondisi saksi mahkota yang

berperan ganda sebagai saksi di satu sisi dan sebagai terdakwa di sisi

yang lain, memiliki konsekuensi yuridis terhadap hak dan

kewajibannya akan sumpah, dan beban pembuktian.

Sebagaimana kita ketahui bahwa terdakwa tidak dibebani

kewajiban dalam pembuktian dan juga tidak diambil sumpahnya

ketika akan dimintai keterangan. Hal ini telah secara jelas diatur dalam

KUHAP. Oleh karena itu ketika seorang terdakwa dimanfaatkan

sebagai saksi mahkota dalam perkara pidana maka hal tersebut jelas

telah melanggar hak asasi terdakwa yang bersangkutan. Dimana

terdakwa tersebut dibebani kewajiban untuk disumpah yang

menyebabkan terdakwa tersebut kehilangan hak ingkarnya dan juga

terdakwa tersebut dibebani kewajiban pembuktian yang seharusnya

menjadi kewajiban jaksa penuntut umum. Selain itu, pemanfaatan

terdakwa sebagai saksi mahkota juga bertentangan dengan beberapa

asas dalam hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP, misalnya

asas non self incrimination dan asas praduga tidak bersalah.

d. Beban Pembuktian

Seperti yang diatur dalam Pasal 66 KUHAP yang berbunyi

“tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”,

maka seorang terdakwa yang dimanfaatkan sebagai saksi mahkota

dalam proses pembuktian di persidangan telah melanggar pasal ini.

Hal ini dikarenakan terdakwa tersebut diminta untuk membeberkan

Page 69: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

dan menceritakan semua hal yang dia ketahui terkait perkara pidana

yang melibatkan dirinya dan juga temanya yang juga seorang

terdakwa. Hal ini jelas merugikan terdakwa, karena secara tidak

langsung dia telah mengakui perbuatan dan keterlibatannya dalam

perkara pidana tersebut.

Seharusnya pembuktian menjadi kewajiban bagi jaksa penuntut

umum. Dimana diperbolehkannya seorang terdakwa menjadi saksi

mahkota dapat disalahgunakan oleh jaksa penuntut umum yang ingin

segera menyelesaikan perkaranya dengan cara yang mudah. Hal ini

berarti telah melanggar hak asasi dari terdakwa yang bersangkutan.

B. Analisis Nilai Kekuatan Pembuktian Dari Kroongetuige Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan di atas, bahwa

peggunaan saksi mahkota dalam proses pembuktian di persidangan tidak

diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (KUHAP), sehingga dapat dipastikan bahwa nilai kekuatan

pembuktian dari saksi mahkota atau kroongetuige juga tidak diatur dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP). Meskipun demikian, penulis telah menguraikan beberapa

persamaan antara saksi mahkota dengan keteragan saksi yang telah diatur

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP).

Keterangan saksi menurut Pasal 1 angka 27 adalah “salah satu alat

bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai

suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Sedangkan saksi

Page 70: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

mahkota menurut Putusan Mahkamah Agung Nomor 1986 K/Pid/1989,

disebutkan bahwa saksi mahkota adalah teman terdakwa yang melakukan

tindak pidana bersama-sama, diajukan sebagai saksi untuk membuktikan

dakwaan penuntut umum, yang perkara diantaranya dipisah karena

kurangnya alat bukti.

Dari uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa saksi adalah orang yang

harus mendengar sendiri, melihat sendiri dan mengalami sendiri perkara

pidana tersebut. Seorang saksi mahkota yang notabene adalah juga seorang

terdakwa sudah pasti berada di tempat kejadian ketika suatu perkara pidana

sedang berlangsung, sehingga saksi mahkota tersebut merupakan orang

yang pasti mendengar, melihat dan mengalami sendiri. Oleh karena itu

saksi mahkota memenuhi salah satu unsur saksi, sehingga dapat dikatakan

bahwa saksi mahkota dianggap sah sebagai saksi. Meskipun demikian,

saksi mahkota merupakan saksi yang mendapat perlakuan istimewa atau

saksi yang diberi mahkota. Mahkota tersebut berupa perlakuan istimewa

yaitu tidak dituntut atas tindak pidana yang ia sebenarnya merupakan salah

satu pelakunya atau dengan kata lain ia dimaafkan atas kesalahannya.

Selain itu dikenal juga adanya asas unus testis nullus testis, maksudnya

adalah bahwa harus dihindari adanya keterangan seorang saksi saja, karena

aspek ini tidaklah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah

karena perbuatan yang didakwakan kepadanya. Ini sesuai dengan Pasal 185

ayat (2) yang berbunyi, “keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk

membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang

didakwakan kepadanya”. Harus ada lebih dari satu saksi yang memberikan

keterangannya di muka persidangan, hal ini penting dilakukan untuk

menilai kebenaran dari keterangan seorang saksi, apakah keterangan saksi

tersebut sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh saksi lainnya. Ini

sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pasal 185 ayat (6), yaitu “dalam

Page 71: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-

sungguh memperhatikan:

1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;

2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;

3. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi

keterangan yang tertentu;

4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada

umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu

dipercaya”.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jika saksi mahkota adalah

merupakan satu-satunya saksi yang dihadirkan di muka persidangan, maka

keterangan yang diberikan oleh saksi mahkota tersebut dianggap tidak sah.

Tetapi jika ada saksi lain yang dihadirkan, maka keterangan yang diberikan

oleh saksi mahkota dapat dianggap sah meskipun tetap harus

memperhatikan persesuaian keterangan saksi mahkota itu dengan saksi lain

yang dihadirkan.

Syarat lain yang harus dipenuhi untuk melihat sah atau tidaknya

keterangan yang diberikan oleh saksi adalah bahwa saksi tersebut telah

disumpah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing dan ketika

memberikan sumpah saksi tersebut tidak berada di bawah tekanan, dalam

arti saksi tersebut dalam keadaan bebas dan sadar. Ini sesuai dengan bunyi

Pasal 160 ayat (3) KUHAP, yaitu “sebelum memberi keterangan, saksi

wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-

masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak

lain dari pada yang sebenarnya”. Keterangan seorang saksi yang diberikan

tanpa sumpah meskipun sesuai dengan keterangan saksi-saksi lain

bukanlah merupakan suatu alat bukti, hal ini telah jelas diatur dalam Pasal

185 ayat (7) KUHAP. Oleh karena itu jika saksi mahkota yang dihadirkan

Page 72: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

di muka persidangan memberikan kesaksiannya dibawah sumpah maka

keterangan yang ia berikan dianggap sah dan dapat digunakan sebagai

bahan pertimbangan oleh hakim untuk menyusun putusan.

Dari penjabaran di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa saksi

mahkota juga merupakan seorang saksi yang keterangannya dianggap sah

di muka persidangan sepanjang saksi mahkota tersebut memenuhi syarat

sah bagi seorang saksi, baik memenuhi syarat formal maupun syarat

materialnya. Adapun nilai kekuatan pembuktian dari keterangan saksi

dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah.

Mengenai keterangan saksi yang tidak disumpah bisa terjadi:

a. Karena saksi menolak disumpah,

Mengenai saksi yang menolak untuk disumpah telah diatur

dalam Pasal 161. Keterangan yang diberikan tanpa disumpah karena

saksi menolak untuk mengucap sumpah atau janji, bukan

merupakan alat bukti. Namun, Pasal 161 ayat (2) menilai kekuatan

pembuktian keterangan tersebut dapat menguatkan keyakinan

hakim apabila pembuktian yang telah ada telah memenuhi batas

minimum pembuktian.

b. Keterangan yang diberikan tanpa sumpah,

Hal ini bisa terjadi seperti yang diatur dalam Pasal 161 KUHAP,

Saksi yang telah memberikan keterangan dala pemeriksaan

penyidikan dengan tidak disumpah, ternyata “tidak dapat hadir”

dalam pemriksaan di sidang pengadilan. Namun demikian, kalau

bertitik tolak dari ketentuan Pasal 161 ayat (2) dihubungkan

dengan Pasal 185 ayat (7), nilai kekuatan pembuktian yang melekat

pada keterangan saksi yang dibacakan di sidang pengadilan,

sekurang-kurangnya dapat dipersamakan dengan keterangan saksi

Page 73: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

yang diberikan di persidangan tanpa sumpah. Jadi, sifatnya tetap

tidak merupakan alat bukti tetapi nilai pembuktiannya yang melekat

padanya:

1) Dapat dipergunakan “menguatkan” keyakinan hakim.

2) Atau dapat bernilai dan dipergunakan sebagai “tambahan alat

bukti” yang sah lainya, sepanjang keterangan saksi yang

dibacakan mempunyai “saling persesuaian” dengan alat bukti

yang sah tersebut dan alat bukti yang telah ada telah memenuhi

batas minimum pembuktian.

c. Karena hubungan kekeluargaan,

Seorang saksi yang mempunyai pertalian keluarga tertentu

dengan terdakwa tidak dapat memberi keterangan dengan sumpah.

Kecuali mereka menghendakinya, dan kehendakya itu disetujui

secara tegas oleh penuntut umum dan terdakwa. Akan tetapi

undang-undang tidak menyebut secara tegas nilai kekuatan

pembuktian yang melekat pada keterangan seperti ini. Untuk

mengetahui nilai keterangan mereka yang tergolong pada Pasal 168

KUHAP, harus kembali menoleh pada Pasal 161 ayat (2) KUHAP

dan Pasal 185 ayat (7) KUHAP:

1) Keterangan mereka tidak dapat dinilai sebagai alat bukti,

2) Tetapi dapat dipergunakan menguatkan keyakinan hakim,

3) Atau dapat bernilai dan dipergunakan sebagai tambahan

menguatkan alat bukti yang sah lainya sepanjang keterangan

tersebut mempunyai persesuaian dengan alat bukti yang sah

lainya, dan alat bukti yang sah itu telah memenuhi batas

minimum pembuktian.

d. Saksi termasuk golongan yang disebut Pasal 171 KUHAP,

Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum

pernah kawin atau orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun

Page 74: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

kadang-kadang baik kembali, boleh diperiksa memberi keterangan

tanpa sumpah di sidang pengadilan. Nilai keterangan merekan

dinilai bukan merupaka alat bukti yang sah akan tetapi penjelasan

Pasal 171 KUHAP telah menentukan nilai pembuktian yang

melekat pada keterangan itu dapat dipakai sebagai petunjuk. Titik

tolak untuk mengambil kesimpulan umum dalam hal ini ialah Pasal

185 ayat (7) KUHAP tanpa mengurai ketentuan lain yang diatur

dalam Pasal 161 ayat(2) KUHAP maupun Pasal 169 ayat (2)

KUHAP dan penjelasan Pasal 171 KUHAP. Bertitik tolak dari

ketentuan-ketentuan tersebut, secara umum dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1) Semua keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah dinilai

bukan merupakan alat bukti yang sah. Walaupun keterangan

yang diberikan tanpa sumpah iu saling bersesuaian dengan

yang lain, sifatnya tetap bukan merupakan alat bukti.

2) Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian, karena sifatnya

saja bukan merupakan alat bukti yang sah maka dengan

sendirinya tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian.

3) Akan tetapi dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti

yang sah. Sekalipun keterangan tanpa sumpah bukan

merupakan alat bukti yang sah, dan juga tidak memiliki

kekuatan pembuktian, pada umumnya keterangan itu dapat

dipergunakan sebagai tambahan untuk menyempurnakan

kekuatan pembuktian alat bukti yang sah, yaitu data

menguatkan keyakinan hakim seperti yang disebut pada Pasal

161 ayat (2) KUHAP dan juga dapat dipakai sebagai petunjuk

seperti yang disebut dalam penjelasan pasal 171 KUHAP.

Page 75: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

Untuk mempergunakan keterangan tanpa sumpah baik sebagai

tambahan alat bukti yang sah maupun untuk menguatkan keyakinan

hakim atau sebagai petunjuk harus dibarengi dengan syarat:

a) Harus lebih dulu telah ada alat bukti yang sah.

b) Alat bukti yang sah itu telah memenuhi batas minimum

pembuktian yakni telah ada sekurang-kurangnya dua alat bukti

yang sah.

c) Kemudian antara keterangan tanpa sumpah itu dengan alat

bukti yang sah dapat saling bersesuaian.

2. Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi yang disumpah.

Bukan hanya unsur sumpah yang harus melekat pada keterangan

saksi agar keterangan itu bersifat sebagai alat bukti yang sah, tetapi

harus memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan undang-undang

yakni:

a. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji bahwa ia akan

menerangkan yang sebenarnya dan tiada lain daripada yang

sebenarnya.

b. Keterangan yang diberikan harus mengenai peristiwa pidana yang

saksi dengar sendiri, lihat sendiri atau alami sendiri dengan

menyebut secara jelas sumber pengetahuanya.

c. Keterangan saksi harus dinyatakan di sidang pengadilan.

d. Keterangan saksi saja bukan merupakan alat bukti yang sah, karena

itu harus dipenuhi batas minimum pembuktian yang diatur dalam

Pasal 183 KUHAP.

Kekuatan pembuktian keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah

antara lain:

1) Mempunyai kekuatan pembukian bebas, tidak melekat sifat

pembuktian yang sempurna dan juga tidak melekat di dalamnya

sifat kekuatan pembuktianyang mengikat dan menentukan.

Page 76: KAJIAN TEORITIK DUALISME DASAR HUKUM PENGHADIRAN/Kajian-Teoritik-Dualisme... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Oleh : Irvan Adi Sasmito commit to user KAJIAN TEORITIK DUALISME

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

2) Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim,

alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak

mempunyai nilai kekuatan oembuktian yang sempurna dan tidak

menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk

menilai kesempurnaan dan kebenaranya.

Untuk mengakhiri uraian kekuatan pembuktan keterangan saksi

sebagai alat bukti yang sah, dapat disimpulkan:

a) Tidak mempunya nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan

mengikat, hakim mempunyai kebebasan untuk menilainya,

b) Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang mempunyai nlai

kekuatan pembuktian yang bebas, dapat dilumpuhkan terdakwa

dengan alat bukti yang lain berupa saksi a decharge maupun

dengan keterangan ahli atau alibi.