Upload
ngoduong
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN AKHIRPENELITIAN TA 2011
KAJIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PUPUK ORGANIK
Oleh :Benny Rachman
Delima Hasri AzahariHenny Mayrowani
Arief IswariyadiValeriana Darwis
Ahmad M. Ar-Rozi
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIANBADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN2011
xii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pendahuluan
1. Pupuk merupakan salah satu unsur penting dan strategis dalam peningkatan produksi dan
produktivitas serta menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem usahatani. Demikian
penting dan strategisnya peranan pupuk dalam meningkatkan produksi dan produktivitas
tanaman, pemerintah terus mendorong penggunaan pupuk secara efisien melalui kebijakan
harga pupuk, pengadaan dan distribusinya. Seiring dengan perkembangannya, produksi
pupuk, khususnya pupuk an-organik terus menurun, sehingga di beberapa wilayah terjadi
kelangkaan. Adanya opsi kebijakan pengembangan pupuk organik bukan semata-mata
diarahkan untuk mensubstitusi pupuk an-organik, akan tetapi untuk mendukung
penggunaan pupuk secara berimbang dan peningkatan efisiensi penggunaan pupuk.
Kondisi ini membuka peluang produksi berbagai jenis pupuk organik untuk melengkapi
kekurangan pasokan pupuk.
2. Untuk memproduksi pupuk organik dapat dilakukan oleh pabrikan/ industri pupuk dan/atau
oleh petani/ kelompok tani dengan menggunakan bahan baku yang tersedia dilokasi
setempat (in situ). Adanya peluang usaha baru (pupuk organik) cenderung menjadi
perhatian berbagai pihak untuk ikut partisipasi dalam usaha tersebut, yang terkadang keluar
dari etika dan norma. Mengantisipasi semakin banyaknya peredaran pupuk organik dalam
berbagai jenis, bentuk dan kualitas yang belum terjamin dan teruji kebenarannya
dikhawatirkan akan mengganggu kesehatan dan lingkungan, sehingga dibutuhkan
pengawasan dan monitoring yang ketat terhadap kualitas pupuk organik. Sehubungan
dengan itu, perlu dibangun suatu kesepahaman tentang arah pengembangan pupuk
organik, etika komersialisasi, pentingnya baku mutu dan payung hukum, serta sosialisasi
pemanfaatannya.
3. Kajian ini bertujuan : (a) mengidentifikasi potensi, peluang dan kendala pengembangan
pupuk organik, (b) menganalisis kelembagaan/ regulasi pengembangan pupuk organik, (c)
menganalisis pengaruh penggunaan pupuk (organik dan an-organik) terhadap produksi dan
pendapatan usahatani padi, dan (e) merumuskan alternatif kebijakan pengembangan pupuk
organik. Untuk menjawab tujuan pertama digunakan teknik eksplorasi data dan informasi
yang antara lain mencakup : (a) luas areal yang harus dipupuk; (b) potensi bahan baku
pupuk organik (hijauan, kotoran hewan, sisa tanaman/jerami, dan kompos); dan (c)
xiii
teknologi pembuatan pupuk organik insitu. Untuk menjawab tujuan kedua, digunakan
analisis kelembagaan yang difokuskan pada aspek kelembagaan (regulasi/ peraturan
perundangan). Untuk menjawab tujuan ketiga digunakan pendekatan analisis finansial atau
benefit cost ratio (B/C) dan fungsi produksi linier Cobb-Douglas. Untuk menjawab tujuan
keempat dilakukan sintesis dari hasil tujuan pertama sampai dengan tujuan ketiga.
4. Lokasi kajian dilakukan di Jawa barat dan jawa Tengah. Basis informasi dalam kajian ini
adalah data primer yang dikumpulkan secara berlapis mulai dari tingkat desa, kabupaten
dan provinsi contoh. Disamping itu, digunakan data sekunder dari berbagai lembaga dan
instutusi terkait yang relevan dengan kajian ini. Pengumpulan data primer dilakukan dengan
menggunakan daftar isian yang diwawancarakan kepada responden.
Pengembangan Rumah Kompos/ UPPO
1. Dalam upaya meningkatkan kesuburan lahan, mulai tahun 2007 Kementerian Pertanian
melakukan kegiatan penyediaan alat pengolah pupuk organik (APPO), rumah kompos/
Rumah Percontohan Pembuatan Pupuk Organik (RP3O) dan UPPO (Unit Pengolah Pupuk
Organik). Prasarana tersebut khususnya diarahkan pada kawasan produksi padi yang
disalurkan kepada Kelompok Tani/ Gapoktan dalam rangka pengembangan pupuk organik
di tingkat kelompok tani (insitu). Saat ini, total jumlah prasarana tersebut adalah : APPO
(1.086 unit); rumah kompos/ RP3O/ UPPO (2.578 unit) dan ternak sapi (47.695 ekor).
2. Apabila seluruh prasarana pembuat pupuk organik tersebut dapat beroperasi secara
optimal, maka jumlah pupuk organik yang dapat dihasilkan oleh petani sebanyak 5,496 juta
ton/tahun (asumsi 1 unit mesin APPO/RP3O/rumah kompos mampu mengolah bahan
organik sebanyak 5 ton/hari/unit dan dalam setahun bekerja 300 hari). Mengingat pupuk
organik saat ini belum tersosialisasi dengan baik di lapangan/ petani, maka potensi
prasarana pembuatan pupuk organik yang telah tersedia tersebut belum dapat
menghasilkan jumlah produksi pupuk organik sesuai dengan kapasitas yang tersedia, atau
50 persen dari kapasitasnya.
Potensi, Kendala dan Peluang Pengembangan Pupuk Organik
3. Data luas panen lahan sawah tahun 2010 di Jawa Barat dan Jawa tengah tercatat 1,894
juta hektar dan 1,779 juta hektar dengan produksi mencapai 10,99 juta ton dan 10,08 juta
ton. Apabila produksi jerami segar sekitar 5 ton/ha, maka potensi jerami untuk pembuatan
xiv
pupuk organik masing-masing 5,49 juta ton dan 5,04 juta ton. Sedangkan agregat nasional
luas panen lahan sawah 12,87 juta hektar dengan produksi 65,15 juta ton, sehingga potensi
jerami untuk pembuatan pupuk organik adalah 32,57 juta ton. Apabila diasumsikan semua
jerami segar yang dapat digunakan untuk memupuk lahan sawah, dengan dosis 5 ton/ha,
maka lahan sawah yang dapat dipupuk jerami segar dengan dosis 5 ton/ha mencapai 12,87
juta hektar. Sedangkan apabila menggunakan jerami dikomposkan luas lahan sawah yang
dapat dipupuk sekitar 6,4 juta hektar.
4. Ternak sapi dewasa, kuda, dan kerbau dapat memproduksi kotoran rata-rata 9 kg/ekor/hari,
sedangkan kambing dan domba rata-rata 1 kg/ekor/hari. Atas dasar asumsi tersebut, maka
dalam waktu satu tahun akan diproduksi kotoran ternak sapi, kuda, kerbau, kambing dan
domba sebanyak 8,401 juta ton (di Jawa barat), 6,308 juta ton (di Jawa Tengah), dan
agregat nasional 51,526 juta ton. Bila lahan pertanian memerlukan pupuk kandang 5-10
ton/ha, maka kotoran ternak tersebut dapat digunakan untuk memupuk seluas 0,84 – 1,6
juta ha (Jawa Barat), 0,63 – 1,2 juta ha (Jawa Tengah), dan 5,1 – 10,0 juta ha (Indonesia).
5. Pengembangan pupuk organik juga dihadapkan pada berbagai kendala teknis dan non
teknis. Pertama, pupuk organik diperlukan dalam jumlah besar sehingga menimbulkan
kesulitan dalam pengangkutan dan penggunaannya. Kedua, komposisi hara dalam pupuk
organik relatif rendah dan sangat bervariasi sehingga manfaatnya bagi tanaman tidak
langsung dan dalam jangka panjang. Ketiga, masih adanya pemahaman bahwa usahatani
yang menggunakan pupuk organik diartikan sebagai usahatani pertanian organik. Keempat,
sumber bahan untuk pupuk organik sangat bervariasi, sehingga kualitas pupuk organik yang
dihasilkan juga bervariasi mutunya.
6. Pemanfaatan pupuk organik semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pemahaman
petani akan pentingnya pupuk organik dalam kelangsungan usahataninya. Kondisi ini
membuka peluang produksi berbagai jenis pupuk hayati dan pupuk organik untuk
melengkapi kekurangan pasokan pupuk. Pupuk organik bisa dibuat dan diproduksi secara
komersial dan non komersial oleh berbagai kalangan termasuk petani/kelompok tani dan
pengusaha kecil-menengah (UKM). Pupuk organik bukan sebagai pengganti pupuk an-
organik, tetapi sebagai komplementer.
7. Prospek pengembangan pupuk organik semakin jelas bila dikaitkan dengan pelaksanaan
program Sekolah Lapang-Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Untuk tahun 2011 luas
SL-PTT di Jawa Barat dan jawa Tengah tercatat 201,5 ribu ha dan 220,0 ribu ha, dan total
xv
nasional mencapai 2,78 Juta ha. Dalam pendekatan PTT dianjurkan untuk menggunakan
pupuk organik minimal 2 (dua) ton per ha. Mengingat program SL-PTT akan terus
dikembangkan dan diperluas, maka ketersediaan pupuk organik dalam rangka mendukung
peningkatan produksi pangan nasional menjadi sangat penting, baik secara produksi
pabrikan (komersial) maupun produksi kelompok tani insitu (non komersial).
Kelembagaan Pengelolaan Usaha Pupuk Organik Insitu
8. Produk pupuk organik yang dihasilkan oleh kelompok tani bersifat non komersial (insitu)
atau hanya diperuntukkan bagi kebutuhan kelompok tani dan/atau masayarakat petani
yang berada di desa UPPO. Kewenangan kelompok tani dalam mengelola UPPO adalah :
(a) Membentuk struktur organisasi pengelola mulai dari manager, sekretaris,
bendahara, tenaga operator; sehingga pengelolaan dapat berjalan baik dan
profsional; (b) Menetapkan biaya operasional dan pemeliharaan UPPO, termasuk
biaya manajemen; dan (c) Kelompok tani/ gapoktan pemula hanya memproduksi
pupuk organik untuk kebutuhan kelompok dan masyarakat petani di wilayah UPPO.
Namun bagi kelompok tani yang telah maju dan bermaksud memproduksi pupuk
organik secara komersial, dapat mengajukan permoihonan ijin ke Dinas Pertanian
Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
9. Unit pengolah pupuk organik (UPPO) yang dibangun beserta segala perlengkapan
penunjangnya (termasuk ternak sapi 35 ekor) menjadi asset milik kelompok tani. Sesuai
program UPPO jumlah ternak sapi yang dipelihara berjumlah 35 ekor yang meliputi 32 ekor
ternak betina dan 3 ekor ternak jantan.Ternak tersebut dipelihara pada kandang ternak
komunal oleh anggota kelompok tani yang aktif dengan rata-rata beranggotakan 8-10 orang.
10. Secara umum bentuk pengelolaan ternak di setiap UPPO relatif sama. Sebagai ilustrasi,
pengelolaan ternak dilakukan dengan sistem gaduh, dimana keuntungan atas hasil usaha
dibagi menurut kesepakatan : (a) Untuk sapi betina, dalam satu paket terdiri dari 4 ekor sapi
betina apabila sudah beranak maka anak induk sapi yang pertama diserahkan kepada
kelompok tani sebagai asset kelompok, dan anakan kedua , ketiga, dan keempat menjadi
milik pengelola / penggaduh dengan kurun waktu 1,5 tahun, (b) Untuk sapi jantan dikelola
dengan sistem bagi hasil dengan perhitungan 50% penggaduh dan 50% kelompok, dan (c)
sistem bagi hasil berlaku untuk satu periode.
xvi
11. Aturan representasi dalam pengembangan UPPO dapat ditelaah dari berbagai tingkatan,
yaitu institusi pusat (Kementan dan Ditjen terkait), institusi Dinas Pertanian Tanaman
Pangan / Peternakan, kelompok tani serta kelompok pengelola UPPO. Pola aturan
representasi pada pelaksanaan UPPO dirancang secara homogen untuk semua lokasi
penerima UPPO. Pada tingkat kelompok tani, berbagai aturan main dibuat dalam
pemeliharaan ternak. pengelola kandang ternak komunal. Dalam hal ini terdapat perjanjian
tertulis antara pengelola ternak sapi/penggaduh dengan kelompok tani. Kelompok tani
sesuai program UPPO menyediakan kandang komunal beserta fasilitas-fasilitasnya dan
menyerahkan sapi (35 ekor) kepada pihak pengelola. Pihak pengelola memiliki kewajiban :
(a) Merawat dan dan memelihara kandang beserta semua fasilitasnya; (b) Mengelola ternak
sapi dengan sistem bagi hasil dalam kesepakatan bersama.
Biaya Produksi Pupuk Organik Non Komersial
12. Untuk pembuatan pupuk organik padat, setiap bahan baku kotoran ternak 1 ton dapat
menghasilkan pupuk organik sebanyak 650 Kg. Proses pembuatan pupuk organik dalam
satu siklus pembuatan dilakukan selama 5-6 minggu. Jenis dan bahan-bahan yang
dibutuhkan pada kedua lokasi relatif sama : (1) Satu ton kotoran hewan (dari usaha ternak
kelompok), (2) Arang sekam 100 kg, (3) Jerami padi sebanyak 50 kg dilembutkan, (4) Kalsit
20 kg, (5) Stardeck (pengurai) sebanyak 2 kg,dan (6) tenaga kerja sebanyak 8 orang. Total
biaya pembuatan pupuk organik padat adalah Rp 271.000 (di Jawa Barat), dan Rp 268.000
(di Jawa Tengah) dengan rata-rata biaya produksi Rp 400/Kg, harga tersebut tanpa adanya
subsidi dari pemerintah. Harga jual di tingkat distributor (sesuai pesanan) berkisar Rp 500 –
Rp 525 per Kg, sehingga pendapatan bersih berkisar Rp 52.000 – Rp 124.000,- (per 650 kg
pupuk organik) atau Rp 83 - Rp 112,-/kg.
13. Untuk pembuatan pupuk alam cair (PAC) pada setiap bahan baku urine ternak 120 liter
dapat menghasilkan PAC sebanyak 100 liter. Proses pembuatan pupuk organik cair dalam
satu siklus pembuatan dilakukan selama 6 minggu. Total biaya yang dibutuhkan Rp 351.000
(Jawa Barat), dan Rp 346.500 (Jawa Tengah). Harga jual PAC berkisar Rp 6.000 hingga Rp
7.000 per liter, sehingga pendapatan bersih per 100 liter mencapai Rp 349.000 (Jabar) dan
Rp 253.500 (Jateng), atau Rp 3.490 dan Rp 2.535 per liter.
Kemitraan Usaha Pupuk Organik Insitu
xvii
14. Mengingat batas kewenangan kelompok tani UPPO untuk memproduksi dan memasarkan
POG hanya untuk kebutuhan kelompok (insitu ), maka untuk memperluas pemasaran
menuntut adanya jalinan Kemitraan antara kelompok tani/ produsen POG insitu dengan
produsen pupuk organik pabrikan (swasta) yang telah memiliki sertifikasi mutu produksi
POG untuk dikomersialisasikan. Saat kajian dilakukan, telah terbentuk jalinan kemitraan
dengan produsen POG pabrikan dan pedagang/kios pupuk di desa lain dalam rangka
memperluas pemasaran pupuk organiknya. Kemitraan pemasaran hasil POG di kabupaten
Bandung, Jawa Barat sudah terjalin dengan produsen POG komersial (pabrikan), seperti
PT. Petroganik dan PT. Agrimas. Pasokan POG dari kelompok tani ke PT. Petroganik,
selanjutnya diproses menjadi POG (bentuk granul), pemasarannya disalurkan melalui kios-
kios binaan PT. Petroganik. Sedangkan kemitraan dengan PT. Agrimas diarahkan untuk
memasok POG (bentuk curah) ke PTP.VIII dan lainnya. Harga jual POG padat ke mitra
usaha (swasta) berkisar Rp 500 – Rp 525 per kg, dan harga jual swasta ke pedagang/kios
pengecer sebesar Rp 600 – Rp 650 per kg..
15. Sementara itu, gambaran kemitraan dalam pemasaran produk POG (bentuk curah) di
kabupaten Wonosobo dilakukan dengan perusahaan swasta, yaitu PT Alam Global
Nusantara (PT. AGN). PT. AGN saat ini telah melakukan pengolahan sampah untuk dibuat
pupuk organik. Produksi riil pupuk organik yang diperoleh baru sekitar 3-4 ton per hari
dengan bentuk curah. Pemasaran masih terbatas pada permintaan langsung dari
distributor, karena untuk pemasaran luas masih harus menunggu ijin edar dari Kementerian
Pertanian. Uji kandungan dan penelitian pun terus dilakukan dengan mengundang para ahli
dari Universitas Gadjah Mada.
Dukungan Kebijakan Pengembangan Pupuk Organik
16. Pengembangan pupuk organik, baik pada skala kecil (kelompok tani) maupun skala
komersial dengan manajemen mutu dan standar kualitas terjamin akan mendorong
penggunaan pupuk organik secara massal dengan tingkat harga yang terjangkau. Hal ini
dapat terwujud melalui dukungan kebijakan berupa regulasi mengenai etika komersialisasi,
baku mutu dan payung hukum, serta sosialisasi pemanfaatannya. Dengan demikian, produk
pupuk organik yang dihasilkan dapat bermanfaat bagi petani, dan mengurangi dampak
negatif bagi kesehatan dan pencemaran lingkungan. Secara spesifik, regulasi yang
diperlukan adalah: (1) kebijakan investasi dan pelayanan, (2) kebijakan diseminasi dan
xviii
pendampingan, (3) kebijakan standardisasi dan mutu produk pupuk organik, (4) kebijakan
subsidi pupuk organik, dan (5) kebijakan dalam mendorong peran swasta.
Kesimpulan
17. Secara agregat nasional potensi jerami untuk pembuatan pupuk organik sekitar 32,57 juta
ton, sehingga lahan sawah yang dapat dipupuk jerami segar dengan dosis 5 ton/ha
mencapai 12,87 juta hektar, dan apabila menggunakan jerami dikomposkan luas lahan
sawah yang dapat dipupuk sekitar 6,4 juta hektar.
18. Sejalan dengan upaya peningkatan produksi padi, program SL-PTT akan terus
dikembangkan dan diperluas, maka ketersediaan pupuk organik dalam rangka mendukung
peningkatan produksi pangan nasional menjadi sangat strategis untuk dikembangkan, baik
secara produksi pabrikan (komersial) maupun produksi kelompok tani insitu (non
komersial).
19. Secara umum teknologi pembuatan pupuk organik non komersial (insitu ) masih tergolong
sederhana, yaitu teknologi sederhana fermentasi. Untuk pembuatan pupuk organik padat,
setiap bahan baku kotoran ternak 1 ton dapat menghasilkan pupuk organik sebanyak 650
Kg. Proses pembuatan pupuk organik dalam satu siklus dilakukan selama 5-6 minggu.
Harga jual pupuk organik berkisar Rp 500 – Rp 525,- dengan keuntungan berkisar Rp 83 -
Rp 112,- per kg.
20. Produk pupuk organik yang dihasilkan oleh kelompok tani bersifat non komersial (insitu)
atau hanya diperuntukkan bagi kebutuhan kelompok tani dan/atau masayarakat petani yang
berada di desa UPPO. Bagi kelompok tani/ gapoktan yang telah maju dan bermaksud
memproduksi pupuk organik yang akan dijual secara komersial, harus memiliki sertifikat
stadarisasi mutu produk.
21. Batas kewenangan kelompok tani UPPO untuk memproduksi dan memasarkan pupuk
organik hanya untuk kebutuhan kelompok (insitu), untuk memperluas pemasaran diperlukan
kemitraan antara kelompok tani/ produsen insitu dengan produsen pupuk organik pabrikan
(swasta) yang telah memiliki sertifikasi mutu produksipupuk organik untuk
dikomersialisasikan.
xix
22. Usahatani padi semi organik di lokasi kajian baru berlangsung dua musim, sehingga kondisi
tanahnya belum stabil. Namun dari segi produktivitas, usahatani padi semi organik relatif
sama dengan usahatani padi an organik. Hal ini masih membuka peluang adanya
peningkatan produksi dan produktivitas bilamana kondisi tanah mendekati stabil (setelah 4
musim).
Implikasi Kebijakan
23. Pengembangan aspek produksi, distribusi, dan pemanfaatan pupuk organik perlu
dukungan sosialisasi terhadap pemahaman pupuk organik yang intensif yang difokuskan
kearah keberimbangan penggunaan pupuk an-organik dan organik serta pembenahan
tanah, disertai dengan Sekolah lapang (SL) - Pupuk Organik minimal selama empat musim.
24. Manajemen mutu dan standar kualitas yang baik akan mendorong penggunaan pupuk
organik secara massal, sekaligus mengurangi dampak negatif bagi kesehatan dan
pencemaran lingkungan. Secara spesifik, bentuk kebijakan untuk mendukung
pengembangan pupuk organik adalah : (a) kebijakan investasi dan pelayanan, (b) kebijakan
diseminasi dan pendampingan, (c) kebijakan standardisasi dan mutu produk pupuk organik,
(4) kebijakan subsidi pupuk organik, dan (d) kebijakan dalam mendorong peran swasta.
25. Untuk meningkatkan pemasaran pupuk organik perlu fasilitasi dan dukungan : (a) uji
kandungan pupuk, (b) pembuatan label usaha pengolahan pupuk organik yang diproduksi
kelompok tani, (c) pemerintah seyogyanya tidak menurunkan harga pupuk organik pabrikan
yang disubsidi, mengingat pupuk organik dari kelompok tani adalah biaya swadaya yang
tidak memperoleh subsidi dari pemerintah, dan (d) meningkatkan pembinaan terhadap
produsen pupuk organik (kelompok tani).
26. Pengembagan produksi pupuk organik oleh kelompok tani perlu terus dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan anggotanya. Dalam rangka peningkatan pendapatan petani
organik,pemerintah daerah perlu memfasilitasi temu usaha/bisnis. Disamping itu, perlu
adanya dukungan jaminan harga dan pasar pupuk organik melalui kemitraan.