Kuasa Kapital Dalam Meredam Konflik Komunal

Embed Size (px)

Citation preview

  • 1

    KUASA KAPITAL DALAM MEREDAM KONFLIK KOMUNAL

    (Studi Tentang Perayaan Cap go Meh di Kota Bandung Tahun 2011 -2013)1

    Oleh :

    1. Yusar ([email protected])2 2. Bintarsih Sekarningrum ([email protected]);

    Program Studi Sosiologi

    Fakultas lmu Sosial dan Ilmu Politik

    Universitas Padjadjaran

    ABSTRAK

    Makalah ini membahas kecerdasan pengelolaan dan penyelesaian

    konflik komunal. Konflik komunal yang diangkat adalah konflik antar

    etnis, yakni etnis Tionghoa dengan etnis tempatan melalui proses

    penelitian yang dilakukan sejak tahun 2011 hingga 2013 dengan

    memanfaatkan Perayaan Cap Go Meh di Kota Bandung. Paradigma

    yang dilakukan adalah kualitatif dengan sifat longitudinal mengadopsi

    pada metode action research. Hasil penelitian dituangkan dalam

    makalah yang mengetengahkan mengenai kuasa kapital etnis Tionghoa

    dalam meredam konflik melalui upaya-upaya teknis dan penciptaan

    ruang publik guna terwujudnya tindakan komunikatif antar warga.

    Melalui penciptaan ruang publik tersebut, konflik antara etnis Tionghoa

    dengan etnis tempatan dapat direduksi dan dibangun kesadaran atas

    sekat-sekat komunikasi yang terjadi selama ini. Bagian penutup

    dijelaskan bahwa kuasa kapital diperlukan sebagai stimulus penciptaan

    ruang publik guna terwujud tindakan komunikatif.

    kata kunci: kuasa kapital, konflik komunal, etnis Tionghoa, etnis tempatan

    I. PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    1 Disampaikan dalam Konferensi Nasional I Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia Program Studi Magister Sosiologi FISIP-Unsri, bertema Kecerdasan Sosial Dalam Mengelola Konflik, Palembang 23-25 April 2013 2 Staf pengajar di Program Studi Sosiologi FISIP-Unpad

  • 2

    Makalah ini diangkat dari penelusuran empiris mengenai perayaan ritual

    keagamaan Cap Go Meh atau hari ke-15 setelah Tahun Baru Imlek. Ritual ini

    dilaksanakan oleh kaum minoritas yakni etnis Tionghoa yang hidup pada suasana

    sosial yang mayoritas muslim. Dalam konteks konflik komunal, masyarakat

    multikultur seperti di Indonesia memiliki potensi konflik yang bersifat laten

    berlandaskan pada cara hidup dan identitas kelompok-kelompok kultur yang hidup

    berdampingan. Hal ini merupakan konsekuensi yang harus ditanggung oleh Indonesia

    negara yang berdimensi jamak.

    Kajian sosiologi mengenai konflik dapat ditelusuri pada tokoh-tokoh sosiologi

    abad 19 dan awal abad 20. Filsuf dan sosiolog terkemuka, yaitu Georg Simmel

    menyatakan bahwa konflik merupakan dasar dari interaksi sosial (1955 [1908]).

    Simmel berpendapat bahwa konflik tidak dapat terelakkan dan selalu ada dalam

    setiap masyarakat, terlepas dari besaran anggota kelompok masyarakat ataupun

    bentuk masyarakat, baik yang sederhana maupun kompleks (sic.). Mengacu pada

    pemikiran Simmel (1955 [1908]), konflik komunal pada masyarakat merupakan

    keniscayaan, tidak terkecuali pada masyakat berdimensi jamak seperti Indonesia.

    Konflik komunal yang terjadi di Indonesia telah sering terjadi dan berlatar

    belakang SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Konflik berlatar SARA di

    Indonesia pada tiga tahun terakhir tahun 2010 mencapai 93 kasus, tahun 2011

    mencapai 77 kasus, dan 2012 mencapai 89 kasus. Jika diurai lebih lanjut, konflik

    komunal yang yang terjadi lebih diakibatkan oleh kesadaran identitas, yakni

    agama/kepercayaan dan etnisitas. Kasus konflik bernuansa agama terjadi di Ambon

    (1999-2002), Poso (1998-2001), Bekasi (2011), Tasikmalaya (2011) dan di Sampang

    Madura (2012).

    Konflik komunal bernuansa agama dengan jumlah korban yang besar adalah

    kasus Ambon dan Poso. Konflik komunal berdasarkan etnis telah terjadi sebelum

    republik in berdiri, di antaranya, Kudus (1918), Bandung (1963), Pontianak (1967),

    Sampit (1996-1997), Makasar (1997), Jakarta dan Surakarta (1998), serta Lampung

    Selatan (2012). Merujuk pada topik makalah ini, dari konflik bernuansa etnis di atas,

  • 3

    terdapat lima kasus konflik komunal antara etnis tempatan dengan etnis Tionghoa,

    yakni 1) Kudus (1918); 2) Bandung (1963); 3) Pontianak (1967); 4) Makasar (1997);

    5) Jakarta dan Surakarta (1998). Dalam konflik tersebut, etnis Tionghoa menjadi

    sasaran kekerasan etnis tempatan. Sifat kekerasannya berupa perusakan dan/atau

    pembakaran aset, pemerkosaan, pengusiran, hingga penghilangan nyawa secara

    masif. Mengacu pada pendapat Wang (1981), Indonesia merupakan contoh sebuah

    negara yang mempunyai masalah Cina yang teramat kompleks. Masalah tersebut

    erat kaitannya dengan identitas kultural, ras-ketubuhan, dan strata ekonomi.

    Identitas kultural etnis Tionghoa berbeda dengan etnis-etnis tempatan di

    Indonesia. Dalam sistem kepercayaan, ajaran Tao atau Konfusius yang disandang

    etnis Tionghoa sangat kontras dengan sistem kepercayaan etnis-etnis tempatan yang

    umumnya Islam, termasuk dalam ritual-ritual yang mengiringinya. Demikian pula

    dengan etnis Tionghoa yang telah memeluk ajaran kristiani. Perbedaan identitas

    kultural juga ditunjukkan dalam produksi, distribusi, dan konsumsi. Etnis Tionghoa

    memiliki identitas kultural dalam kegiatan-kegiatan distribusi, sementara etnis-etnis

    tempatan memiliki identitas kultural dalam kegiatan-kegiatan produksi.

    Dari sisi ras-ketubuhan etnis Tionghoa, hal ini menunjukkan perbedaan yang

    nyata dari umumnya penduduk Indonesia. Umumnya penduduk yang bermukim di

    Indonesia atau yang mengklaim diri sebagai pribumi memiliki warna kulit yang

    kecoklatan atau diistilahkan dengan warna sawo matang. Berbeda dengan etnis

    Tionghoa yang memiliki warna kulit yang kekuning-kuningan. Perbedaan tersebut

    bersifat kasat mata dan menjadi penyebab renggangnya jarak sosial antara etnis

    Tionghoa dengan etnis-etnis tempatan.

    Selain perbedaan identitas kultural dan fisik ketubuhan, strata ekonomi etnis

    Tionghoa berada di atas etnis-etnis lainnya di Indonesia. Umumnya etnis Tionghoa

    bergerak di sektor perniagaan dan memiliki tempat yang strategis, yaitu berada di

    pusat-pusat kota. Dengan letak demikian, etnis Tionghoa dapat dipandang sebagai

    penggerak ekonomi kota sekaligus merupakan kekuatan kapitalisme lokal yang

  • 4

    memiliki otonomi dan menguasai sumber-sumber daya yang dibutuhkan oleh

    masyarakat luas.

    .Perbedaan-perbedaan yang disebutkan di atas, yaitu identitas kultural, ras

    ketubuhan, dan strata ekonomi pada gilirannya menghasilkan prasangka dan

    diskriminasi baik dari etnis Tionghoa terhadap etnis tempatan serta sebaliknya.

    Prasangka dan diskriminasi tersebut menjadi pemicu terjadinya konflik antara etnis

    Tionghoa dengan etnis tempatan di berbagai wilayah di Indonesia. Konflik tersebut

    dapat meledak jika sekat-sekat antara etnis Tionghoa dengan etnis tempatan tidak

    dibuka.

    Upaya nyata untuk membuka sekat-sekat antara etnis Tionghoa dengan etnis-

    etnis tempatan salah satunya adalah perayaan ritual cap go meh3. Cap go meh adalah

    penanda hari ke-lima belas dari Tahun Baru Imlek. Umumnya di beberapa tempat di

    Indonesia, ritual ini dilakukan secara kolosal dan melibatkan banyak orang, baik dari

    etnis Tionghoa maupun etnis-etnis tempatan. Dalam tradisi ritual cap go meh

    tersebut, dilakukan arak-arakan ta pe kong dengan menggunakan tandu khusus (joli)

    berkeliling di jalan-jalan utama. Hal ini menjadi suguhan hiburan bagi penduduk di

    sekitar pelaksanaan ritual cap go meh dan di sisi lain, dapat berpotensi mengeratkan

    kohesi antar etnis pada masyarakat di lokasi perayaan cap go meh.

    Di dalam perayaan ritual cap go meh, mengacu pada Habermas (1984) secara

    implisit terjadi bangunan ruang publik yang mencakup kontradiksi antar kepentingan

    etnis Tionghoa dan kepentingan etnis-etnis tempatan di lain pihak. Ruang publik ini

    memiliki tujuan untuk mengatasi perbedaan-perbedaan dalam berbagai kepentingan

    dan pendapat pribadi antar etnis guna menemukan kepentingan umum serta mencapai

    konsensus bersama (Hardiman, 2008).

    Etnis Tionghoa dapat dianggap sebagai pelopor penciptaan ruang publik.

    Kelenteng sebagai ruang publik fisik merupakan tempat terjadinya kebebasan 3 Khusus di Kota Bandung, pasca tumbangnya orde baru, perayaan cap go meh telah dilaksanakan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut, yakni tahun 2011, 2012, dan 2013. Penyelenggaraannya, dilakukan secara tetap oleh Kelenteng Dharma Ramsi yang beralamat di Gang Ibu Aisah No. 18/9A Kelurahan Cibadak, kecamatan Astana Anyar, Kota Bandung.

  • 5

    berbicara dan berkumpul guna menemukan konsensus antara etnis Tionghoa dengan

    etnis-etnis tempatan. Konsensus tersebut meliputi juga pada pengaturan-pengaturan

    yang bersifat teknis toleransi, sebagai contoh, menghentikan kegiataan ritual untuk

    sesaat demi mendengarkan kumandang azan dari mesjid-mesjid terdekat. Hal ini

    memiliki makna, telah tercipta asas kepublikan yang terjadi pada ruang publik yang

    diciptakan. Asas kepublikan tersebut secara otomatis memancing daya kritis terhadap

    proses-proses pengambilan putusan yang tidak bersifat publik.

    Sungguhpun demikian, berkaitan dengan rendahnya modal sosial yang

    dimiliki oleh bangsa Indonesia, diperlukan suatu cara konservatif untuk

    menembusnya. Dengan tingginya strata ekonomi etnis Tionghoa, teknis-teknis

    kapitalisme menjadi terminologi yang penting untuk mengatasi konflik komunal

    antara etnis Tionghoa dengan etnis-etnis tempatan. Kapital dalam arti uang, pada

    tataran tertentu dapat menjadi stimulus bagi upaya merduksi konflik komunal.

    1.2. Rumusan Masalah

    Upaya membuka sekat-sekat antara etnis Tionghoa dengan etnis tempatan

    dapat dilakukan dengan memanfaatkan modal sosial yang ada dalam masyarakat. Di

    sisi lain, masyarakat Indonesia saat ditengarai memiliki modal sosial yang relatif

    rendah, ikatan antar unsur masyarakatnya longgar, dan cenderung tidak empatif.

    Untuk mengatasi hal tersebut, mengacu pada pendapat Habermas (1984) ruang-ruang

    publik menjadi sangat penting untuk dijadikan arena peningkatan modal sosial.

    Lantas pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana membentuk ruang publik jika

    modal sosial dan ikatan antar unsur masyarakat rendah? Celah yang dapat

    digunakan adalah kuasa kapital yang dimiliki oleh etnis Tionghoa untuk dapat

    meredam konflik. Kuasa kapital tersebut didistribusikan sebagai stimulus terciptanya

    ruang publik sebagai fasilitas tindakan komunikatif antara etnis Tionghoa dengan

    etnis-etnis tempatan.

    1.3. Metode Penelitian

  • 6

    Penelitian ini berparadigma kualitatif dengan sifat longitudinal yang

    mengadopsi metode action research. Mengacu pada Lippit (1945; dalam Tripp, 2005)

    action research bukanlah menindaklanjuti hasil penelitian dalam bentuk aksi untuk

    mengatasi masalah melainkan menindaklanjuti hasil penelitian dengan penelitian baru

    untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam. Hal tersebut sejalan dengan

    tanggapan Habermas (1971: 167; dalam Whyte, 1989) terhadap Skjervheim, yakni

    menerjemahkan pratice sebagai interpretasi hermeneutik dan juga membatasi peneliti

    pada tataran diskursus, tidak terlibat lebih jauh hingga mengintervensi masyarakat

    yang diteliti. Metode tersebut dipandang relevan dengan topik yang diangkat, yakni

    kuasa kapital etnis Tionghoa dalam perayaan ritual cap go meh.

    Prosedur penelitian ini bermula dari refleksi atas fenomena yang terjadi di

    sekitar peneliti yakni perayaan cap go meh tahun 2011, untuk kemudian penulis

    merencanakan aksi berupa penelitian yakni mengobservasi perayaan cap go meh

    dalam kajian sosiologi agama, dan mendapatkan hasil penelitian bahwa perayaan cap

    go meh tidak semata ritual semata, tetapi merupakan upaya mereduksi konflik antar

    etnis kendati prasangka etnis masih cukup kental, terutama dari etnis-etnis tempatan.

    Hasil penelitian tersebut direfleksikan pada kenyataan mengenai potensi konflik

    antara etnis Tionghoa dengan etnis-etnis tempatan.

    Pada perayaan cap go meh tahun 2012, berbekal refleksi mengenai potensi

    konflik, dilakukan penelitian dengan mengobservasi upaya peredaman konflik antar

    etnis melalui perayaan cap go meh. Hasilnya menunjukkan bahwa peredaman konflik

    antar etnis dipicu oleh kuasa kapital etnis Tionghoa yang didistribusikan kepada

    masyarakat. Pada tahun 2012 tersebut terindikasi perilaku membangun ruang publik

    yang dialogis antar etnis Tionghoa dengan etnis tempatan. Hasil penelitian di tahun

    2012 direfleksikan untuk dijadikan penelitian berikutnya mengenai kuasa kapitalisme

    sebagai pendorong terciptanya ruang publik dan tindakan komunikatif sebagai upaya

    peredaman konflik komunal antara etnis Tionghoa dengan etnis-etnis tempatan.

    Tahun 2013, penelitian diadakan dengan landasan hasil penelitian tahun 2012.

    Dengan mengobservasi kuasa kapital, ruang publik yang tercipta, serta tindakan-

  • 7

    tindakan komunikatif yang dilakukan oleh anggota kelompok baik dari etnis

    Tionghoa maupun etnis-etnis tempatan, diperoleh temuan bahwa terbangun kesadaran

    atas terjadinya sekat-sekat komunikasi antara etnis Tionghoa dengan etnis-etnis

    tempatan, prasangka etnis tereduksi secara signifikan meski demikian kesadaran

    tersebut belum mengarah pada dekatnya jaraknya sosial antara etnis Tionghoa dengan

    etnis-etnis tempatan. Dari penelitian ini terbangun pegentahuan mengenai peredaman

    konflik komunal yang berlipat (multiple) yang dilakukan oleh etnis Tionghoa dengan

    kekuatan kapitalnya. Untuk memperjelas prosesnya, dapat dilihat pada gambar 1.1.

    mengenai proses penelitian mengenai perayaan Cap Go Meh Tahun 2011 hingga

    2013 yang dilakukan oleh peneliti.

    Gambar 1.1.

    Proses Penelitian Perayaan Cap Go Meh Tahun 2011 hingga 2013

    2011 2012 2013

    REFLEKSI: Fenomena Cap Go Meh

    HASIL: 1. Ritual 2. Gerakan sosial oleh

    kelompok kapitalis 3. Reduksi potensi

    konflik 4. Prasangka etnik

    tinggi

    PENELITIAN: Perayaan Cap Go Meh

    HASIL: 1. Kuasa Kapital 2. Ruang Publik 3. Tindakan

    komunikatif 4. Prasangka etnik

    menurun 5. Jarak sosial longgar

    HASIL: 1. Kesadaran adanya sekat

    komunikasi 2. Prasangka etnik

    menurun 3. Jarak sosial tetap

    PENELITIAN: 1. Peredaman Konflik

    melalui Kuasa kapital 2. Prasangka etnik

    REFLEKSI: 1. Reduksi potensi

    konflik 2. Prasangka etnik 3. Kuasa Kapital

    PENELITIAN: 1. Kuasa kapital dalam

    penciptaan ruang publik dan tindakan komunikatif.

    2. Tingkat prasangka etnik

    REFLEKSI: 1. Kuasa Kapital 2. Ruang Publik 3. Tindakan komunikatif 4. Jarak sosial

  • 8

    Sumber: proses penelitian 2011-2013.

    II. KUASA KAPITAL DALAM MEREDAM KONFLIK KOMUNAL

    MELALUI PERAYAAN CAP GO MEH DI KOTA BANDUNG

    2.1. Kondisi Obyektif Etnis Cina Dalam Skala Nasional dan Lokal

    Tingginya strata ekonomi tersebut dipandang sebagai respon terhadap

    berbagai diskriminasi politik yang dilakuan oleh negara. Mengacu Suryadinata (2002)

    menyatakan bahwa dalam perjalanan Republik Indonesia, pada tataran tertentu, etnis

    Tionghoa mengalami diskriminasi, utamanya dalam hal politik. Pada masa orde

    lama, Soekarno saat itu mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1959 yang

    melarang etnis Tionghoa melakukan perniagaan di pedesaan alih-alih melindungi

    pedagang dan petani bumiputera. Pada masa Soeharto, diskriminasi meluas hingga

    ranah budaya. Rezim Orde Baru melarang segala sesuatu yang berbau Tionghoa

    termasuk kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat melalui Instruksi

    Presiden No.14 tahun 1967. Di samping itu, etnis Tionghoa diharuskan mengubah

    namanya menjadi bernuansa Indonesia melalui Surat Edaran No.06/Preskab/6/67.

    Pelarangan bahasa Tionghoa di atur oleh Keputusan Menteri Perdagangan dan

    Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978. Tata peribadatan Tionghoa diatur dan ditata

    dalam kategori budhisme melalui Instruksi Menteri Dalam Negara No. 455.2-

    360/1968 tentang penataan Kelenteng-kelenteng di Indonesia. Dan pada tahun 1988

    terbit Surat Edaran Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika No. 02/SE/Ditjen/PP6/K/1988

    yang melarang penerbitan dan pencetakan tulisan/ iklan beraksen dan berbahasa

    Tionghoa. Pada masa reformasi, melalui Keppres No. 6/2000, Presiden

    Abdurrahman Wahid mencabut Inpres 14/1967 dan menerbitkan Keppres No.

    19/2001 yang mengakui Kong Hu Chu sebagai agama ke enam, selain Islam,

    Kristen, Katholik, Hindu, dna Budha, serta menetapkan Imlek sebagai hari libur

    fakultatif. Katup budaya Tionghoa kembali terbuka setelah sekian lama tersumbat

    secara politik.

  • 9

    Di sisi lain, perlakuan diskriminatif tersebut pada gilirannya membawa

    kemajuan dalam hal taraf hidup atau derajat ekonomi etnis Tionghoa. PP No. 10

    Tahun 1959 yang melarang etnis Tionghoa melakukan perdagangan di pedesaan

    menyebabkan terjadinya aglomerasi bisnis Tionghoa di perkotaan. Hal ini sangat

    menguntungkan bagi etnis Tionghoa, sejalan dengan perkembangan kota-kota di

    Indonesia yang menjelma menjadi pusat aktivitas bisnis. Proses kapitalisasi berjalan

    dan semakin menguat karena sikap adaptif etnis Tionghoa terhadap putusan-putusan

    politis orde baru. Sikap adaptif tersebut, yakni ditunjukkan untuk mengikuti arah

    haluan rezim yang berkuasa. Disebabkan hak berpolitik etnis Tionghoa menyempit,

    maka satu-satunya katup adalah bergerak di sektor perniagaan dan jasa yang pada

    gilirannya menjadikan etnis Tionghoa sebagai penguasa ekonomi di Indonesia

    Etnis Tionghoa yang bermukim di Kota Bandung terdiri dari berbagai sub-sub

    etnis, yakni Hakka (Khek), Hokkian, dan Kongfu. Dari aspek kesejarahannya,

    kedatangan etnis Tionghoa di Kota Bandung terdorong karena kemajuan Batavia dan

    dibukanya Priangan bagi etnis tersebut. Umumnya etnis Tionghoa yang datang ke

    Bandung berasal dari subetnis Hakka. Mereka menjadi kuli untuk pemasangan rel

    kereta api dari Bogor menuju Bandung (Skober, 2004:4). Mengacu pada Lubis dkk

    (2000:126) jalur kereta api telah beroperasi di Bandung sejak tahun 1884.

    Umumnya tempat asal etnis Tionghoa di Kota Bandung berasal dari daratan

    China sebelah selatan, yaitu di sekitar daerah Guang Zhouw, Hunan, dan Fujian4.

    Dari sekian banyak etnis Tionghoa, afiliasi agama yang dianut terbagi atas 2 bagian

    besar, yakni pemeluk protestan dan katholik. Pemeluk Taoisme dan/atau Kong Hu

    Chu hanyalah sebagian kecil dari etnis Tionghoa yang berada di Kota Bandung dan

    sebagian kecil lainnya memeluk agama Islam.

    Etnis Tionghoa memiliki daya adaptasi yang sangat tinggi namun

    mempertahankan nilai-nilai kulturalnya. Sebagai contoh, setelah penjajah Belanda

    meninggalkan Kota Bandung tahun 1950, etnis Tionghoa dengan cepat mengambil

    4 Keterangan dari suhu Vihara Dharma Ramsi

  • 10

    alih perniagaan yang berada di pusat Kota Bandung dan menjalankan bisnisnya

    dengan etos kerja ala konfusian (Skober 2004). Dipicu oleh Peraturan Pemerintah

    No. 10 Tahun 1959, aturan tersebut pada gilirannya semakin mengukuhkan

    keberadaan etnis Tionghoa di pusat perkotaan Kota Bandung dan sekaligus menjadi

    aktor utama kapitalisme perniagaan kota. Dalam menjalankan perniagaannya, etnis

    Tionghoa melakukan hubungan yang intensif dengan konsumen pribumi dan

    membuatnya menjadi lebih paham kebutuhan dan selera konsumen pribumi (Tan,

    1979: 39; dalam Skober, 2004: 8).

    Dari aspek kesejarahan juga, pada masa lalu, banyak etnis Tionghoa yang

    melakukan perdagangan keliling disertai dengan peminjaman kredit dan dikenal

    sebagai Cina Mindring. Sebagai akibat dari hubungan kredit ini, etnis Tionghoa

    mulai mendapatkan prasangka etnis karena bunga kredit yang tinggi. Namun bagi

    etnis Tionghoa, peminjaman uang berbunga adalah hal yang wajar. Cina Mindring ini

    mendapatkan modal dari hasil meminjam kepada etnis Tionghoa lain yang lebih kaya.

    (Tan, 1979: 50; dalam Skober, 2004: 8).

    Seiring perjalanan waktu, kemajuan ekonomi etnis Tionghoa menjadikan

    mereka sebagai sasaran pencurian. Untuk mengatasinya, mereka membangun pagar

    yang tinggi dengan alasan keamanan dari pencurian. Di sini muncul prasangka etnis

    dari etnis Tionghoa kepada etnis tempatan, karena pelaku pencurian umumnya adalah

    anggota etnis tempatan. Sikap etnis Tionghoa yang membangun pagar tinggi pun

    tidak luput menimbulkan prasangka etnis dari etnis tempatan. Prasangka tersebut

    memiliki makna bahwa etnis Tionghoa memiliki sifat sombong dan tidak mau

    bergaul/terlibat dalam urusan umum.5 Prasangka etnis tersebut tidak berlaku bagi

    seluruh etnis Tionghoa namun kemudian menjadi totem pro parte, berlaku umum

    bagi seluruh etnis Tionghoa.

    Prasangka etnis antara etnis Tionghoa dengan etnis tempatan meluas pada

    ranah perbedaan yang terdapat di antara mereka. Seperti yang telah diulas pada bab

    5 Keterangan dari suhu Vihara Dharma Ramsi

  • 11

    sebelumnya, perbedaan tersebut meliputi identitas kultural, ras-ketubuhan, dan strata

    ekonomi. Hal ini menjadi pemicu konflik komunal yang melibatkan kedua belah

    pihak. Meskipun antara etnis Tionghoa dengan etnis tempatan hidup berdampingan,

    pada tataran tertentu kehidupannya bagaikan air dengan minyak, tidak bercampur

    antara satu dengan yang lain.

    2.2. Etnik Tionghoa Di Lokasi Penelitian

    Berbicara etnik Tionghoa di lokasi penelitian tidak dapat dilepaskan dari

    kelenteng Dharma Ramsi, salah satu dari sekian banyak kelenteng yang berada di

    Kota Bandung, terletak di Gang ibu Aisah Kelurahan Cibadak. Kelenteng ini

    didirikan tahun 1953, dan berada di lingkungan permukiman yang saat itu didominasi

    oleh etnis Sunda yang beragama islam. Selain kelenteng Dharma Ramsi, di lokasi

    tersebut, terdapat 6 kelenteng lain. Pada masa tersebut, hubungan antar etnis, yakni

    etnis Tionghoa dengan etnis tempatan relatif erat dengan jarak sosial yang dekat.6 Di

    antara mereka saling mengenal terutama di karenakan para etnis Tionghoa

    menumpang hidup di tanah-tanah yang dimiliki oleh etnis tempatan, sebelum mereka

    mampu membeli dan mendirikan rumah sendiri.

    Hingga tahun 1980an, hubungan antara etnis Tionghoa dengan etnis tempatan

    sangat baik. Hal ini dapat digambarkan melalui refleksi masa kecil peneliti yang

    memiliki banyak teman sepermainan yang berasal dari etnis Tionghoa dan mengenal

    dengan baik anggota keluarganya. Kehidupan pertetanggaan antara etnis Tionghoa

    dengan etnis Sunda dan Jawa menunjukkan kohesi yang kuat, yakni kesamaan

    sebagai penduduk Gang Ibu Aisah. Kohesi ini juga ditunjukkan dalam perilaku

    negatif penduduk setempat, seperti berjudi atau minum minuman keras. Dapat

    dikatakan, etnis Tionghoa dan etnis tempatan tidak memiliki sekat-sekat sosial dan

    terhubung dengan baik dalam aktivitas kesehariannya.

    6 Keterangan dari sesepuh di lokasi penelitian

  • 12

    Seiring perkembangan waktu, di lokasi penelitian terjadi pertumbuhan

    populasi etnis Tionghoa dan kedatangan warga baru beretnis Tionghoa, Batak, dan

    Minang, wilayah Gang Ibu Aisah (dan Gang Luna yang terletak bersebelahan

    dengannya) menjadi daerah yang heterogen karena banyaknya penduduk baru.

    Populasi etnis Tionghoa diperkirakan sebanding dengan populasi etnis pribumi,

    yang terdiri dari Sunda dan Jawa. Artinya, jika dilakukan perbandingan antara etnis

    Tionghoa dengan etnis Sunda, maka jumlah etnis Tionghoa melebihi jumlah etnis

    Sunda yang bermukim di daerah tersebut.

    Jarak sosial di dalam lingkungan etnis Tionghoa tidak terlalu erat. Hal ini

    dimungkinkan karena etnis Tionghoa di wilayah permukiman Gang Ibu Aisah terbagi

    atas berbagai pemeluk agama, mayoritas menganut ajaran Kristiani dan Katholik.

    Sementara itu, etnis Tionghoa yang memeluk agama Kong Hu Chu hanya 3 umpi dan

    seluruhnya bermarga Yong.

    Jarak sosial antara etnis Tionghoa dengan etnis-etnis tempatan relatif longgar,

    terkecuali pada etnis Tionghoa yang sudah lama bermukim dan berstrata rendah

    dengan etnis-etnis tempatan, jarak sosialnya relatif tinggi. Rendahnya jarak sosial,

    diduga karena banyaknya pendatang etnis Tionghoa yang bermukim di lokasi

    penelitian dengan aktivitas kesehariannya yang tidak bersentuhan dengan etnis

    tempatan.

    Di lain sisi, jarak sosial etnis tempatan relatif erat. Umumnya etnis-etnis

    pribumi mengenal dengan baik satu sama lain dan sering terhimpun dalam aktivitas

    kemasyarakatan, seperti pengajian, program kebersihan lingkungan, atau program-

    program yang dilakukan pemerintah. Kedekatan ini, menyebabkan informasi yang

    masuk dapat dengan cepat menyebar di antara etnis-etnis pribumi. Demikian pula

    dengan prasangka etnis, jarak sosial yang relatif erat membuat prasangka etnis

    menyebar dengan cepat dan diserap oleh etnis-etnis pribumi.

    Prasangka etnis di lokasi penelitian relatif kental. Meski tidak ditunjukkan

    secara langsung, dalam berbagai aktivitas waktu senggang atau pun dalam obrolan,

    prasangka etnis dapat muncul dalam suatu kelompok. Umumnya, etnis-etnis

  • 13

    pribumi memandang etnis Tionghoa sebagai kelompok yang sombong, arogan,

    tidak mau mengenal warga, dan terutama merebut lahan hidup mereka karena

    jumlahnya yang semakin bertambah. Prasangka tersebut hampir selalu dapat didengar

    ataupun dilihat, termasuk di dalam pengajian warga masyarakat setempat. Prasangka

    etnis tidak hanya berupa ucapan verbal, seperti istilah cina, chun kuo, babah,

    ataupun akew. Gestur pun menunjukkan prasangka etnis, seperti gerakan tangan

    untuk menyipitkan mata (etnis Tionghoa memiliki ciri mata yang sipit). Prasangka-

    prasangka tersebut memiliki makna kebencian terhadap etnis Tionghoa. Di sisi lain,

    anggota dari etnis Tionghoa pun memiliki prasangka etnis terhadap etnis-etnis

    pribumi. Prasangka tersebut, meliputi sikap malas, tidak bisa dipercaya, anak-

    anaknya nakal, dan jorok. Prasangka etnis tersebut membuat hubungan antara etnis

    Tionghoa dengan etnis-etnis tempatan bagaikan minyak dalam air.

    2.3. Perayaan Cap Go Meh Tahun 2011-2013

    Pada bagian ini diketengahkan hasil penelitian mengenai perayaan Cap Go

    Meh yang telah dilakukan dari tahun 2011 hingga 2013. Penelitian ini bersifat

    longitudinal karena perayaan tersebut dilaksanakan setiap satu tahun sekali,

    beriringan dengan perayaan Tahun Baru Imlek.

    2.3.1. Perayaan Cap Go Meh Tahun 2011

    Tahun 2011 merupakan pertama kali arak-arakan ta pe kong dalam perayaan

    Cap Go Meh dilaksanakan di Bandung setelah masa orde baru. Tahun-tahun

    sebelumnya, perayaan Cap Go Meh hanya sebatas festival lampion dan barongsai

    yang diadakan oleh mall-mall yang berada di Kota Bandung dan cenderung

    merupakan bagian dari hiburan yang bersifat profan semata, nilai-nilai sakralnya

    terkandung relatif rendah.

    Diakuinya ajaran Kong Hu Chu sebagai agama resmi di Indonesia

    menyebabkan penganut agama Kong Hu Chu jemaat kelenteng Dharma Ramsi

    melakukan gerakan sosial merevitalisasi perayaan Cap Go Meh. Pemeluk agama

  • 14

    Kong Hu Chu mengedepankan nilai-nilai sakral ajaran Kon Hu Chu dalam perayaan

    Cap Go Meh yang selama ini tersumbat karena aturan negara. Berkaca dari penelitian

    Van Bruinessen (1978) mengenai gerakan sosial keagamaan etnis Kurdi di Turki

    yang menemukan bahwa gerakan sosial dipicu karena himpitan dan kesulitan

    ekonomi dan digerakkan oleh kelompok berstrata ekonomi rendah, gerakan sosial

    gerakan sosial pemeluk agama Kong Hu Chu di Bandung dipelopori oleh kaum

    kapitalis etnis Tionghoa dengan strata ekonomi tinggi.

    Tahun 2011 saat gerakan sosial etnis Tionghoa tersebut dimulai, muncul

    reaksi warga yang merasa terusik karena ritual keagamaan Kong Hu Chu.

    Keterusikan warga disebabkan karena suara-suara dari instrumen (tambur dan

    tamborin) dalam ritual agama Kong Hu Chu dianggap bising dan menjadi polusi

    suara. Reaksi tersebut tidak hanya muncul dari etnis-etnis tempatan, sebagian besar

    etnis Tionghoa yang tidak memeluk agama Kong Hu Chu pun turut bereaksi

    menentang kebisingan yang diakibatkan oleh pihak kelenteng. Keterusikan warga

    tersebut dikarenakan mereka adalah penduduk baru yang bermukim di lokasi

    penelitian. Pada masa sebelumnya, tidak pernah ada keterusikan warga akibat

    lantunan suara dan musik yang mengiringi ritual etnis Tionghoa. Untuk mengatasi

    keterusikan warga tersebut, jemaah kelenteng berkoordinasi dengan pihak Dewan

    Kemakmuran Mesjid (DKM), tokoh gereja, dan tokoh masyarakat untuk memberi

    pemahaman mengenai kekhasan ritual agama Kong Hu Chu. Warga diberikan

    kesempatan untuk masuk dan melihat isi dan suasana kelenteng Dharma Ramsi.

    Menjelang Tahun Baru Imlek tahun 2011, kuasa kapitalis mulai bergerak.

    Untuk memperlancar perayaan Cap Go Meh, jemaah kelenteng berswadana

    melebarkan Gang Ibu Aisah dan melakukan pelapisan beton pada permukaan jalan.

    Upaya pelebaran jalan tersebut adalah dengan menutup sungai/kali yang terletak di

    depan kelenteng. Kualitas beton dikontrol dengan sangat ketat dengan maksud agar

    beton tahan lama dan tidak mudah rusak. Lalu lintas di depan kelenteng menjadi lebih

    leluasa, demikian pula bau polutan dari sungai/kali dapat diminimalisir karena

    tertutup oleh beton. Anak-anak warga setempat menjadi dapat bermain di jalan

  • 15

    tersebut tanpa mengganggu lalu-lintas. Warga yang memiliki kendaraan roda empat

    dapat memarkir kendaraannya di tempat tersebut dan keamanannya diawasi oleh

    pihak kelenteng serta petugas keamanan RW setempat.

    Pada perayaan Cap Go Meh tahun 2011, terdapat untuk mereduksi konflik.

    Perayaan Cap Go Meh dibuka oleh Gubernur Jawa Barat yang notabene berasal dari

    partai berplatform Islam. Pembukaan perayaan oleh gubernur dipandang sebagai

    langkah strategis, yakni untuk meredam penentangan dari golongan Islam. Bagi

    warga di sekitar lokasi penyelenggaraan, kehadiran gubernur merupakan sebuah

    kebanggaan. Pihak penyelenggara, pada H-2 membentangkan spanduk yang di

    dalamnya terdapat nama Gubernur Jawa Barat lengkap dengan gelar keagamaan dan

    gelar akademik sebagai bentuk informasi kepada warga dan juga upaya meredam

    konflik. Nama depan dari Gubernur Jawa Barat mencerminkan nuansa islami,

    sehingga konflik agama berhasil diminimalisir.

    Pihak penyelenggara menyusun penyelenggaraan Cap Go Meh yang

    memfasilitasi kebutuhan dan selera warga. Salah satu kebutuhan warga yang

    mendesak saat itu adalah WC umum. Dengan kuasa kapital, jemaah kelenteng

    membangunkan WC umum bagi warga dengan ketersediaan air yang memadai.

    Warga dapat memanfaatkan air tersebut jika mereka mengalami kekurangan air,

    terutama saat musim kemarau. Penyelenggara juga melihat warga menyuaki hiburan

    bernuansa budaya lokal. Karenanya dibuatkan panggung khusus bagi warga yang

    ingin menikmati hiburan musik dan lawak bernuansa Sunda, juga menampilkan

    kesenian wayang golek. Tempat penyelenggaran hiburan tersebut terpisah hanya

    sekitar 30 meter dari kelenteng dan bertempat di sebuah lahan kosong di Gang Luna.

    Warga sangat dibolehkan untuk berada dekat kelenteng guna menyaksikan

    kedatangan peserta arak-arakan yang berasal dari berbagai daerah, baik dari dalam

    Kota Bandung maupun dari luar Bandung.

    Selain dari WC umum dan panggung hiburan, pihak penyelenggara juga

    membuka aktivitas ekonomi warga setempat melalui bazaar. Bazaar dilaksanakan di

    Jalan Cibadak sepanjang lebih kurang 500 meter. Warga menyewa stand bazaar

  • 16

    dengan harga yang relatif murah dan mereka dapat berjualan berbagai barang

    konsumsi, terutama makanan. Bagi warga, hal tersebut merupakan usaha untuk

    menambah penghasilan walaupun hanya untuk 2 hari penyelenggaraan saja. Sambuan

    warga terhadap bazaar ini sangat tinggi. Karena minat yang besar, terdapat warga

    yang tidak tertampung dalam stand dan ikut berjualan di dalam stand yang telah

    disewa oleh warga lainnya.

    Kedatangan peserta arak-arakan disambut oleh musik tradisional Tionghoa

    khas Semarang atau musik Noa Tek Hui. Pengiring musik ini didatangkan langsung

    dari sebuah kelenteng di Semarang. Iringan musik yang asing bagi warga ini ternyata

    menjadi salah satu favorit etnis-etnis tempatan. Banyak warga etnis tempatan

    menyempatkan diri untuk melihat dan mendengar musik tersebut seraya melihat

    kedatangan peserta arak-arakat yang membawa ta pe kong kelentengnya masing-

    masing.

    Kemeriahan Cap Go Meh tahun 2011 ternyata dianggap mengabaikan

    keberadaan pemeluk agama lain dan bertentangan dengan ajaran Islam yang melarang

    berbagai berhala dalam bentuk apapun, termasuk dalam bentuk patung. Kasus ini

    terjadi saat atraksi barongsai bertepatan dengan suara azan dari mesjid-mesjid yang

    berada di sekitar lokasi penelitian dan penyelenggaraannya dilakukan di hari Minggu,

    saat umat kristiani beribadah. Prasangka etnis-keagamaan muncul dari etnis tempatan

    yang beragama Islam karena arak-arakan tersebut merupakan bentuk penyembahan

    terhadap berhala dan dianggap musyrik. Demikian pula dengan umat Kristiani,

    meskipun kebanyakan umat kristiani berasal dari etnis Tionghoa, umumnya mereka

    menentang ajaran Kong Hu Chu. Kedua prasangka etnis-keagamaan tersebut bersifat

    laten, tidak ditujukan langsung baik secara verbal maupun gestur kepada pemeluk

    agama Kong Hu Chu.

    Secara ringkas simpulan dari perayaan Cap Go Meh tahun 2011 adalah

    terjadinya peralihan dari perayaan yang bersifat profan menjadi sakral. Peralihan ini

    dikarenakan adanya gerakan sosial kaum kapitalis etnis Tionghoa yang hendak

    mengembalikan ajaran Kong Hu Chu. Dengan kuasa kapitalnya, potensi konflik

  • 17

    komunal dapat diredam dengan memfasilitasi kebutuhan dan selera etnis-etnis

    tempatan. Meski demikian, prasangka etnik terhadap etnis Tionghoa masih sangat

    tinggi, karena perayaan tersebut bersifat tahunan, dan sikap abai terhadap pemeluk

    agama lain.

    2.3.2. Perayaan Cap Go Meh Tahun 2012

    Perayaan Cap Go Meh tahun 2012 memiliki format yang sama dengan

    perayaan Cap Go Meh Tahun 2011. Terdiri dari 3 (tiga) tempat yakni kelenteng,

    panggung hiburan, dan bazaar. Pada tahun 2012 perayaan dibuka oleh Menteri

    Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Pembukaan perayaan Cap Go Meh tersebut secara

    nyata dilakukan denghan memanfaatkan hubungan kerabat (marga) dari jemaah

    kelenteng Dharma Ramsi. Seperti tahun sebelumnya, pihak penyelenggara juga

    membentangkan spanduk selamat datang kepada menteri tersebut. Bagi warga,

    kedatangan seorang anggota kabinet ke tempat mereka merupakan sebuah

    kebanggaan yang luar biasa dan menjadi pembicaraan positif, berkaitan dengan

    kehebatan daerah yang mampu mendatangkan seorang menteri.

    Penelitian dilakukan berdasarkan refleksi hasil penelitian tahun 2011. Fokus

    penelitian pada tahun 2012 adalah pada upaya peredaman konflik melalui kuasa

    kapital dan prasangka etnik. Adapun temuan mengenai gerakan sosial diabaikan

    karena peneliti menangkap bahwa gerakan sosial tersebut dimungkinkan oleh kuasa

    kapital dari etnik Tionghoa.

    Peredaman konflik melalui kuasa kapital etnis Tionghoa semakin mengkristal.

    Meski dapat dikatakan sebagai hal yang konservatif, kuasa kapitalisme etnis

    Tionghoa secara teknis mampu membuka sekat-sekat pada warga setempat. Jemaah

    kelenteng mengeluarkan dana bagi penyediaaan alat musik bonang dan tambur.

    Penyediaan alat-alat musik ini dikarenakan banyak anak-anak dari etnis tempatan

    yang tertarik menyalurkan kesenangannya untuk memainkan musik tradisional

    Tionghoa ala Tegal. Selain dihimpun dalam kegiatan musik tradisional, anak-anak

    etnis tempatan diberikan kesempatan untuk memainkan barongsai di dalam

  • 18

    kelenteng. Di antara mereka yang telihat berbakat kemudian dilatih dan dijadikan

    penggiat barongsai. Ada penghargaan berupa uang saku dan uang yang didapat hasil

    pentas seni barongsai. Penghargaan tersebut menjadi motivasi bagi anak-anak untuk

    mengikuti seni barongsai sebagai ekstrakurikuler di luar sekolah. Terjadi kompetisi

    antar anak untuk dapat menjadi pemain barongsai dan hal tersebut didukung juga oleh

    orang tuanya. Dukungan orang tua didorong oleh adanya kesempatan mendapatkan

    uang tambahan. Jika anaknya menjadi pemain barongsai, dia telah membantu

    meringkankan beban ekonomi keluarga, khususnya untuk uang jajan/uang saku.7

    Keterlibatan anak-anak etnis tempatan dalam memainkan musik tradisional

    Tionghoa dan barongsai ini mampu mencairkan suasana dan menjadi kebanggaan

    orang tuanya. Peredaman konflik dilakukan melalui media kesenian tradisional, selain

    diberi imbangan penghargaan jika mereka mampu berprestasi.

    Upaya peredaman konflik dilakukan juga oleh jemaah kelenteng Dharma

    Ramsi dengan menyediakan ruang-ruang publik untuk berbicara. Pada tahun 2012,

    pihak penyelenggara, yakni jemaah kelenteng melakukan evaluasi atas kekurangan

    yang terjadi dalam penyelenggaraan Cap Go Meh tahun 2011 dengan melibatkan

    seluruh unsur masyarakat.

    Ruang publik disediakan di depan kelenteng dan bernuansa informal. Di

    tempat ini setiap orang dapat saling berdialog dan memberi masukan kepada pihak

    penyelenggara mengenai hal-hal yang perlu diperbaiki. Dialog pada ruang publik

    tersebut dilakukan sebelum Tahun Baru Imlek. Pihak kelenteng menyediakan bangku

    dan meja sederhana di lengkapi dengan hidangan lokal, seperti kopi, bajigur, cakue,

    dan kacang yang mereka beli dari warga sekitar. Pihak penyelenggara, yakni jemaah

    kelenteng duduk bersama warga untuk berdialog atas kondisi yang dihadapi.

    Siapapun disilahkan duduk dan berbicara di tempat tersebut. Dari pihak DKM dan

    gereja pun turut serta berdialog, tidak sekedar membicarakan teknis penyelenggaraan

    perayaan Cap Go Meh tetapi meluas pada permasalahan warga masyarakat sekitar.

    7 Keterangan dari warga masyarakat beretnis Sunda di Gang Ibu Aisah

  • 19

    Seperti keamanan lingkungan, memudarnya rasa memiliki daerah, dan juga

    solidaritas antar etnik. Ruang publik ini diselenggarakan pada waktu tertentu saja,

    yakni disaat cuaca tidak hujan dan berlangsung antara pukul 20 hingga 22.30.

    Dalam ruangan publik yang tersedia ini terjadi tindakan-tindakan

    komunikatif. Mengacu pada Habermas (1984:360) ruang publik yang disedikan oleh

    jemaah kelenteng membentuk suatu jaringan yang mengkomunikasikan informasi dan

    berbagai cara pandang dari warga masyarakat. Arus-arus informasi yang mucul dalam

    komunikasi warga yang tertampil kemudian disaring dan dipadatkan. Informasi-

    informasi tersebut menjadi simpul-simpul opini publik yang spesifik bergantung pada

    konteks yang sedang dibicarakan. Ruang publik yang tersedia, berdasarkan pemikiran

    Habermas, memiliki tujuan untuk membentuk opini dan kehendak yang mewakili

    kepentingan umum.

    Individu-individu yang terlibat dalam ruang publik ini didominasi oleh laki-

    laki dewasa atau kepala keluarga. Warga yang relatif baru bermukim di sekitar Gang

    Ibu Aisah atau Gang Luna memanfaatkan ruang tersebut untuk mengenalkan diri

    mereka kepada warga yang telah lama bermukim. Keseganan untuk memasuki

    ruangan kelenteng terkikis karena warga dibolehkan untuk masuk dan melihat

    suasana kelenteng. Ruang publik yang tersedia ini dimanfaatkan juga oleh warga dari

    daerah lain untuk melepas rasa ingin tahu mereka atas situasi ruangan kelenteng.

    Berkaitan dengan prasangkan etnik, terjadi penurunan prasangka etnik,

    khususnya dari etnis tempatan kepada etnis Tionghoa. Dalam pertemuan-pertemuan

    internal warga muslim misalnya, sikap kebencian terhadap etnis Tionghoa menurun,

    tidak sesering pada masa sebelumnya. Meski prasangka telah menurun, hal tersebut

    tidak mengubah jarak sosial antara

    Secara ringkas simpulan yang didapat dari hasil penelitian mengenai perayaan

    Cap Go Meh di tahun 2012 adalah kuasa kapital yang dimiliki oleh etnis Tionghoa

    mampu menciptakan ruang-ruang publik yang mengarahkan warganya melakukan

    tindakan komunikatif. Prasangka etnik menurun karena adanya ruang publik yang

    terbangun secara informal, namun jarak sosial antara etnis Tionghoa dengan etnis-

  • 20

    etnis tempatan masih renggang. Hasil penelitian tahun 2012 direfleksikan untuk

    menjadi aksi penelitian di tahun 2013.

    2.3.3. Perayaan Cap Go Meh Tahun 2013

    Beranjak dari refleksi hasil penelitian di tahun 2012, pada tahun 2013,

    penelitian dikerucutkan pada kuasa kapital dalam penciptaan ruang publik dan

    tindakan komunikatif antara etnis Tionghoa dengan etnis-etnis tempatan. Secara

    teknis perayaan Cap Go Meh memiliki format yang sama dengan tahun-tahun

    sebelumnya, dengan penambahan waktu ruang publik bagi setiap warga yang ingin

    memanfaatkan ruang tersebut. Pada tahun 2013, perayaan Cap Go Meh, dibuka oleh

    Ibu Siti Nuriyah Wahid sebagai bentuk penghormatan kepada almarhum

    Abdurrahman Wahid yang telah mengembalikan hak-hak etnis Tionghoa, khususnya

    yang beragama Kong Hu Chu.

    Tahun 2013 perayaan Cap Go Meh berjalan dengan penerimaan penuh dari

    etnis-etnis tempatan. Penerimaan ini tidak lain dikarenakan tersedianya ruang publik

    yang memungkinkan warga melakukan tindakan-tindakan komunikatif dan dapat

    menyalurkan gagasan-gagasan mereka untuk dijadikan konsensus. Seperti halnya

    yang terjadi pada tahun 2012, ruang publik yang tercipta merupakan hasil dari kuasa

    kapitalis etnis Tionghoa. Etnis tempatan menggunakan ruang publik yang disediakan

    untuk memberikan gagasan mengenai apa yang harus dilakukan oleh pihak jemaah

    kelenteng yang tidak bertentangan dengan kepentingan mereka. Di sisi lain, etnis

    tempatan juga menjadi terbuka pengetahuan mereka tentang etnisitas dan budaya

    Tionghoa (terutama etnis tempatan yang merupakan warga baru).

    Kuasa kapital berhasil meredam konflik dan membangun ruang-ruang publik

    sehingga terbentuk tindakan komunikatif dari etnis Tionghoa maupun etnis-etnis

    tempatan. Hal ini dapat dinyatakan sebagai hasil maupun proses. Dinyatakan hasil,

    karena dianggap dapat meredam konflik komunal sekaligus dapat membuka ruang-

    ruang publik guna terbentuknya tindakan komunikatif warga. Dinyatakan sebagai

    proses, karena kuasa kapitalisme tidak berhenti sampai di situ, lebih jauh kuasa

  • 21

    kapitalisme berhasil menciptakan pola-pola hubungan yang baru dalam masyarakat,

    yakni membuka sumbat saluran komunikasi warga dan menurunnya prasangka etnis,

    terutama dari etnis-etnis tempatan, masih membuka kemungkinan-kemungkinan lain

    yang menuju kearah integrasi atau sebaliknya.

    Kuasa kapital etnis Tionghoa pada tataran tertentu merupakan tindakan yang

    terbilang konservatif, yakni menggelontorkan dana untuk menyenangkan masyarakat.

    Berkaitan dengan kondisi modal sosial warga setempat yang secara umum relatif

    rendah, tindakan tersebut dipandang perlu sebagai alternatif yang dapat ditempuh

    sesuai dengan karakteristik masyarakat terkait. Kuasa kapital menjadi stimulus

    menciptakan ruang publik. Dalam masyarakat yang berdimensi multi dan kenyataan

    bahwa masyarakat Gang Ibu Aisah memiliki modal sosial yang rendah, kapitalisme

    diperlukan sebagai katalis untuk memperbaiki hubungan interaksi antar etnis sebagai

    dasar terbentuknya modal sosial dalam masyarakat.

    Aliran kapital yang terjadi dalam pembentukan ruang publik mengacu pada

    Habermas (1984) secara historis dimulai dari ruang publik yang disediakan oleh

    kaum borjuis (kapitalis etnis Tionghoa). Kuasa kapital etnis Tionghoa merespon

    perubahan struktural dalam masyarakat hasil kapitalisme lainnya yakni industri yang

    terinternalisasi dalam budaya warga. Semakin menguatnya posisi organisasi ekonomi

    dan kelompok bisnis etnis Tionghoa memungkinkan mereka untuk mempengaruhi

    kehidupan publik termasuk menciptakan saluran-saluran opini dan gagasan publik

    guna tercapainya konsensus.

    Masyarakat setempat mendapatkan kebermanfaatan dari kuasa kapitalisme

    yang dioperasionalkan oleh etnis Tionghoa melalui ruang publik. Kebermanfaatan ini

    bersifat immaterial yakni munculnya kesadaran atas sekat-sekat yang terjadi antara

    etnis Tionghoa dengan etnis tempatan. Dari kesadaran atas sekat-sekat tersebut, telah

    terjadi penurunan prasangka etnis pasca perayaan Cap Go Meh 2013. Penurunan ini

    dikonfirmasi oleh peneliti yang semakin jarang mendengar atau melihat berbagai

    bentuk prasangka etnis yang pernah terjadi di masa-masa sebelumnya.

  • 22

    Menurunnya prasangka etnis ini diiringi juga dengan menurunnya prasangka

    berdasar agama, khususnya dari pemeluk Islam terhadap pemeluk Kong Hu Chu.

    Para pemeluk Islam mendapatkan pendewasaan melalui ruang publik dan dialog-

    dialog komunikatif. Dalam satu dialog di ruang publik, seorang etnik Tionghoa

    muslim memberikan pencerahan kepada etnis tempatan beragama islam mengenai

    riwayat Wali Sembilan (wali songo). Dari dialog tersebut, dikemukakan bahwa

    sebagian dari para wali tersebut adalah etnis Tionghoa. Selain wali sembilan,

    dikemukakan pula sejarah penyebaran agama Islam di Nusantara yang dilakukan oleh

    para etnis Tionghoa.

    Kuasa kapitalisme etnis Tionghoa, untuk sementara, dipandang positif dalam

    upaya integrasi antar etnik. Peneliti berasumsi bahwa kuasa kapitalisme ini dapat

    dijadikan model kecerdasan dalam pengelolaan dan penyelesaian konflik terutama

    pada masyarakat yang memiliki modal sosial yang rendah seperti pada masyarakat di

    Gang Ibu Aisah ataupun di tempat-tempat lainnya.

    Kebermanfaatan kuasa kapital etnis Tionghoa, pada tataran tertentu belum

    mengubah jarak sosial antara etnis Tionghoa dengan etnis tempatan. Meski kesadaran

    atas sekat-sekat telah tercipta dan prasangka etnis telah menurun, hubungan sosial

    antara etnis Tionghoa dengan etnis tempatan belum menunjukkan perubahan yang

    signifikan. Jarak sosial yang erat hanya terjadi pada lingkungan internal etnis

    tempatan, seperti yang telah terjadi sejak masa sebelumnya. Jarak sosial di

    lingkungan etnis Tionghoa, yakni antara pemeluk agama Kong Hu Chu dengan

    pemeluk Kristiani menunjukkan kerenggangan, meskipun menyandang identitas

    sebagai etnis Tionghoa, perbedaan agama diasumsikan sebagai penyebab

    renggangnya jarak sosial di antara mereka.

    Ringkasnya, hasil penelitian pada tahun 2013 memberikan 3 (tiga) buah

    gambaran. Ketiga gambaran tersebut adalah, 1) terciptanya kesadaran sekat

    komunikasi antara etnis Tionghoa dengan etnis tempatan; 2) terjadinya penurunan

    prasangka etnis yang signifikan disertai penurunan prasangka berdasar agama; 3)

    belum berubahnya jarak sosial yang renggang antara etnis Tionghoa dengan etnis

  • 23

    tempatan. Dari penelusuran selama tahun 2011 hingga 2013, hal yang dapat ditarik

    adalah kuasa kapitalisme dalam meredam konflik komunal melalui penciptaan ruang-

    ruang publik sebagai fasilitas terbentuknya tindakan-tindakan komunikatif.

    III. PENUTUP

    Pemikiran Habermas (1984) mengenai ruang publik dan tindakan komunikatif

    dapat dikonstruksikan untuk mengelola dan menyelesaikan konflik komunal. Dalam

    konteks pengelolaan dan penyelesaian konflik komunal yang diangkat dalam makalah

    ini kuasa kapital dipandang perlu sebagai stimulus menciptakan ruang publik. Pada

    masyarakat yang berdimensi multi dan kenyataan bahwa masyarakat Indonesia

    ditenggarai memiliki modal sosial yang rendah, kapitalisme diperlukan sebagai

    katalis untuk memperbaiki hubungan interaksi antar etnis sebagai dasar terbentuknya

    modal sosial dalam masyarakat.

    Sungguhpun demikian, makalah ini bukanlah makalah yang berakhir.

    Karenanya kesimpulan di atas merupakan hipotesis yang harus dipertajam untuk

    mendapatkan pemahaman yang lebih utuh dan luas. Dalam mengkaji kecerdasan

    pengelolaan dan penyelesaian konflik, masih dibutuhkan penelitian lanjutan yang

    mengacu pada metode yang telah dijalankan, merefleksikan temuan-temuan untuk

    dijadikan penelitian berikutnya.

    IV. REFERENSI

    Habermas, J., 1984. Theory of Communicattive Action. Beacon, Boston.

    Hardiman, F.B. 2008. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik

    dan Postmodernisme Menurut Juergen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.

    Lubis, Nina H. Dkk. 2000. Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat. Bandung:

    Alqaprint.

    Simmel,G. 1950. The Sociology of Georg Simmel. Transl., editor. and introduction

    oleh K. H.Wolff. New York: Free Press.

  • 24

    Suryadinata, L. 2002. Negara dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia. Jakarta: LP3ES

    Makalah:

    Skober, T.R. 2004. Orang Cina Di Bandung, 1930-1960: Merajut Geliat Siasat

    Minoritas Cina. Disampaikan dalam Konferensi Nasional Sejarah VIII,

    Jakarta: 14-17 November 2006

    Tripp, D. 2005. Action Research: a methodological introduction. Melbourne:

    University of Murdoch.

    Jurnal:

    Whyte, W.F. 1989. Advancing Scientific Knowledge Through Participatory Action

    Research Sociological Forum, Vol. 4, No. 3. (Sep., 1989), pp. 367-385.