Click here to load reader
Upload
hoanganh
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
CARA PENYELESAIAN KONFLIK TANAH
ANTARA PERHUTANI DENGAN MASYARAKAT
DI KECAMATAN KAMPAK KABUPATEN TRENGGALEK
FARIDA FAJAR LUTHVIE
Makna tanah dalam kehidupan manusia sangat strategis. Hubungan antara keduanya sangat erat, emosional, magis-religius dan tak terpisahkan. Tanah melambangkan kehormatan dan simbol status sosial pemiliknya. Kepemilikan tanah bersifat abadi dan turun temurun. Dengan semakin banyaknya manfaat tanah bagi kehidupan manusia akan menimbulkan sebuah konflik yang berkepanjangan. Demikian halnya dengan konflik tanah antara Perhutani dengan Masyarakat di Kecamatan Kampak Kabupaten Trenggalek.
Tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) latar belakang terjadinya konflik tanah; (2) dampak dari adanya konflik tanah bagi masyarakat Desa Timahan; (3) strategi para pihak yang berkonflik untuk mencapai tujuannya; (4) cara Penyelesaian konflik tanah; (5) hambatan yang dialami dalam penyelesaian konflik tanah; (6) upaya pemecahan masalah dari hambatan yang dialami dalam penyelesaian konflik tanah.
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dan jenis penelitiannya adalah penelitian kualitatif. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampling purposive. Kegiatan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Sedangkan analisa data menggunakan model reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan atau verifikasi data. Untuk menjamin keabsahan data yang ditemukan, peneliti melakukan pengecekan data sebagai berikut: ketekunan pengamatan, perpanjangan keikutsertaan, kecukupan referensi, diskusi dengan teman dan dosen serta triangulasi.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa: (1) latar belakang terjadinya konflik tanah antara Perhutani dengan Masyrakat ini adalah berawal dari sejarah penguasaan tanah pada jaman Belanda dulu, warga yang sekarang beranggapan bahwa tanah Kemloko merupakan warisan dari nenek moyang mereka; (2) dampak dari adanya konflik berpengaruh terhadap kondisi kekeluargaan dan kebersamaan warga Desa Timahan; (3) strategi yang dilakukan oleh pihak yang berkonflik adalah mengangkat perwakilan, melakukan penebangan dan melakukan pendudukan; (4) cara penyelesaian konflik ini melalui cara pendekatan, dan sosialisai; (5) hambatan yang dihadapi dalam penyelesaian konflik ini lebih banyak datang dari warga yang selalu melakukan perlawanan terhadap Perhutani; (6) upaya pemecahan masalah dari hambatan yang dialami dalam penyelesaian konflik tanah adalah melui jalur hukum.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut disarankan : (1) bagi Perum Perhutani lebih sering mengadakan sosialisasi mengenai batas-batas kawasan hutan; (2) bagi warga seharusnya benar-benar memahami mengenai status tanah yang ada di daerahnya agar tidak terjadi kesalah pahaman; (3) bagi Pemerintah Desa Timahan seharusnya lebih sering memberikan pemahaman terhadap
warganya agar tidak mudah terhasut oleh para oknum yang tidak bertanggungjawab.
Kata kunci: Penyelesaian, Konflik Tanah, Perhutani
Makna tanah dalam kehidupan manusia sangat strategis. Hubungan antara
keduanya sangat erat, emosional, magis-religius dan tak terpisahkan. Tanah
melambangkan kehormatan dan simbol status sosial pemiliknya. Kepemilikan
tanah bersifat abadi dan turun-temurun.
Tanah juga merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar.
Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat
manusia selalu berhubungan dengan tanah dan hampir semua kegiatan hidup
manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah.
Pada saat manusia meninggal duniapun masih memerlukan tanah untuk
penguburannya. Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap
orang akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya. Pada umumnya pemilik
tanah rela berkorban apa saja untuk mempertahankan harga diri pada sejengkal
tanah yang dimiliki.
Dengan semakin banyaknya manfaat tanah bagi kehidupan manusia akan
menimbulkan sebuah konflik yang berkepanjangan. Inti dari konflik tanah adalah
adanya masalah-masalah tanah yang kian marak terjadi di masyarakat. Sebab
tanah merupakan pusat kekuasaan yang menjadi dasar kemenangan dan
keunggulan seseorang. Makin luas tanah yang dimiliki, makin besar pula
kekuasaan dan pengaruhnya di masyarakat.
Konflik tanah terjadi bukan semata karena kelangkaan sumber daya tanah,
akan tetapi juga karena adanya fragmentasi tanah pertanian yang sifatnya ekstrim
telah terjadi di Indonesia. Hal ini disebabkan selain oleh laju pertambahan
penduduk yang sangat cepat, perkembangan industrialisasi dan dibarengi dengan
proses konsentrasi pemilikan tanah pada sejumlah kecil petani kaya atau pemilik
modal ( investor ). Konsentrasi pemilikan lahan ini menurut Jay, merupakan
akibat dari proses meningkatnya kemiskinan di pedesaan (dalam Astawa dkk,
2004). Fragmentasi tanah dan konsentrasi penguasaan tanah pada petani kaya dan
pemilik modal telah mengakibatkan terbentuknya kapitalisme agraria yang
ditandai oleh beralih dan terkonsentrasinya penguasaan tanah, munculnya
monopoli, dan hilangnya hak-hak tradisional masyarakat petani pedesaan.
Sedangkan menurut Bremen (1986:9) mengungkapkan bahwa penguasaan
tanah yang sifatnya merupakan warisan dari kolonial. Di Indonesia ada beberapa
konflik tanah yang sifatnya merupakan warisan dari kolonial, konflik tanah yang
di dalamnya masih ada unsur penguasaan tanah secara tradisional, dan konflik
tanah yang muncul pada masa Orde Baru yang disebabkan pihak pengolah tanah
dirugikan oleh pemilik tanah, setelah itu konflik berlanjut ke era reformasi.
Permasalahan konflik tanah pada Masa Orde baru yang berlanjut pada
masa Reformasi yang memunculkan kasus baru, salah satunya yaitu konflik tanah
di desa Timahan Kecamatan Kampak Kabupaten Trenggalek yang merupakan
salah satu konflik tanah antara Perhutani dengan masyarakat terkait dengan
kepemilikan status tanah Kemloko.
Awal mula terjadi kasus konflik tanah di desa Timahan Kecamatan
Kampak Kabupaten Trenggalek antara Perhutani dengan masyarakat desa
Timahan, terkait tanah Kemloko seluas 65,1 ha yang dikelola oleh masyarakat
desa Timahan tersebut diklaim oleh masyarakat menjadi miliknya. Tanah
Kemloko ini pernah disengketakan sekitar tahun 1989 sampai ketingkat MA,
melalui putusan MA RI No.480/Pdt/1991 menyatakan bahwa lahan Kemloko
merupakan daerah kawasan hutan. Akan tetapi konflik ini muncul kembali sekitar
tahun 2001 sampai sekarang.
Fenomena di atas sangat menarik untuk diteliti dengan maksud agar
diperoleh suatu deskripsi utuh tentang judul skripsi kami mengenai Cara
Penyelesaian Konflik Tanah antara Perhutani dengan Masyarakat yang terjadi
dalam kasus perselisihan tanah Kemloko di desa Timahan Kecamatan Kampak
kabupaten Trenggalek
METODE
Penulis dalam penelitian ini cenderung menggunakan pendekatan
kualitatif. Alasan penulis menggunakan pendekatan pendekatan kualitatif
dikarenakan jenis penelitiannya adalah dalam bentuk deskriptif. Selain itu dalam
penelitian ini penulis tidak menggunakan eksperimen. Pendekatan kualitatif yang
dipilih oleh penulis juga didasarkan pada beberapa pendapat.
Menurut Bogdan dan Taylor, penelitian kualitatif adalah prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan
ini diarahkan pada latar dan individu secara holistik (dalam Moleong, 2008:4).
Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong,2008:157), data yang
digunakan untuk menganalisa persoalan bersumber dari kata-kata dan tindakan
manusia yang diwawancarai atau diamati, sumber tertulisnya berupa naskah yang
berupa buku, sumber dari arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi.
Dalam pengumpulan data peneliti menggunakan teknik sampling
purposive, yaitu teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan
tertentu. Misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang
akan kita harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan
memudahkan peneliti menjelajahi objek/situasi sosial yang diteliti (Sugiyono,
2008:53).
HASIL
Awal mulanya tanah Kemloko yang terletak di Dusun Genuk, Desa
Timahan memang berupa pemukiman penduduk (tidak ada dokumen mengenai
bukti pemilikan tanah pada saat itu), pada tahun 1939 pada zaman Belanda,
melihat bahwa perkampungan masyarakat terletak di tengah hutan jadi untuk
memudahkan pengelolaan hutan dan biar letak masyarakat tidak terpencil, tanah
tersebut dibeli oleh jawatan kehutanan untuk dijadikan hutan kembali (ada bukti
pembelian dalam lampiran). Dalam proses pembelian, masyarakat diberi ganti
rugi berupa uang dan ada juga pernyataan dari Kepala Desa, Carik, Modin dan
Kamituwo yang menyatakan bahwa tanah Kemloko sudah dibeli oleh Bienst
Bosehwazen (jawatan Belanda) untuk dijadikan kawasan hutan. Dengan adanya
pernyataan tersebut dapat digunakan untuk menerbitkan Berita Acara Tata Batas
pada tanggal 19 Agustus 1940 yang menyatakan bahwa tanah Kemloko tersebut
merupakan tanah kawasan hutan.
Pada tahun 1989 masyarakat yang merasa menjadi anak cucu dari warga
yang pernah bermukim di tanah Kemloko melakukan gugatan secara perdata,
akan tetapi melalui putusan Mahkamah Agung gugatan dari warga tersebut ditolak
dan tanah Kemloko tetap menjadi kawasan hutan, sehingga tanah Kemloko
ditanami pohon pinus oleh pihak Perhutani, warga yang melakukan gugatanpun
tidak diperbolehkan mengolah tanah Kemloko.
Pada tahun 2001 warga yang merupakan generasi penerus (bukan
penggugat pada tahun 1989) melakukan penjarahan dan melakukan penebangan
pada tanaman pinus, setelah itu tanahnyapun dikuasai oleh warga.
Penyebab dari konflik tanah tersebut adalah masalah kepemilikan tanah,
warga yang lapar tanah kemudian menguasai tanah Kemloko dengan cara
melakukan penebangan terhadap tanaman yang telah ditanam pihak Perhutani.
Warga ingin menjadi pemilik yang sah dari lahan Kemloko padahal menurut
Keputusan MA No 480/Pdt/1991 dan Proses Verbal (BATB) menyatakan bahwa
tanah Kemloko telah menjadi kawasan hutan kembali sejak tahun 1940,
sedangkan pendapat dari pihak Badan Pertanahan Kabupaten Trenggalek
penyebab dari adanya konflik tersebut adalah tidak jelasnya tata ruang wilayah
Kabupaten Trenggalek.
Kronologi dari konflik tanah berawal dari tahun 1939 pada masa
pemerintahan Belanda, yang pada waktu itu tanah Kemloko masih berupa
pemukiman penduduk dan untuk mempermudah pengelolaan hutan akhirnya
tanah Kemloko dibeli oleh pihak Jawatan Belanda (Bienst Bosehwazen ) dan
masyarakat diberikan ganti rugi berupa uang. Setelah adanya pembelian oleh
Jawatan Belanda, akhirnya diterbitkan Berita Acara Tata Batas yang menyatakan
bahwa tanah Kemloko telah menjadi kawasan hutan. Pada masa kemerdekaan
tahun 1972 semua kawasan yang telah menjadi hutan negara masuk ke Perum
Perhutani, akan tetapi warga yang merasa menjadi ahli waris dari pemilik tanah
terdahulu merasa tidak terima dan akhirnya membawa kasus ini ke Pengadilan
dan diselesaikan secara perdata dan akhirnya melalui keputusan Mahkamah
Agung No.480/Pdt/1991 dinyatakan bahwa tanah Kemloko memang masuk
kawasan hutan. Setelah adanya keputusan ini kemudian tanah Kemloko oleh
pihak Perhutani ditanami pinus akan tetapi mulai tahn 2001 muncul kembali
konflik yang dimulai dengan penguasaan tanah Kemloko oleh warga. Pada
awalnya Perhutani belum bisa mengatasi sikap dari warga akan tetapi setelah
ditempuh berbagai upaya akhirnya warga mau mengakui kalau tanah Kemloko
merupakan tanah kawasan hutan sampai sekarang.
Dampak dari adanya konflik ini tidak hanya dirasakan oleh warga yang
terlibat konflik akan tetapi juga dirasakan oleh warga yang tidak terlibat konflik.
Warga yang terlibat konflik ada yang merasa tidak tenang jika mengolah lahan
Kemloko karena bukan pemilik syah, warga merasa was-was jika sewaktu-waktu
tanah Kemloko tidak boleh diolah lagi oleh warga, warga juga merasa takut
karena ada slah seorang dari mereka yang ditangkappihak Kepolisian. Sedangkan
dampak yang dirasakan oleh warga yang tidak terlibat konflik adalah mereka
tidak disenangi oleh warga yang terlibat konflik, karena merasa dianggap tidak
mau mempertahankan tanah Kemloko.
Strategi yang dilakukan oleh warga yaitu awalnya membentuk seorang
perwakilan, dasar yang digunakan warga dalam menentukan seorang perwakilan
adalah dapat dipercaya, mempunyai komitmen dan dan keberanian dalam
memperjuangkan tanah Kemloko, setelah membetuk seorang perwakilan
kemudian warga secara bertahap mengadakan penebangan terhadap pohon pinus
pada malam hari. Stragegi selanjutnya warga mengadakan pendudukan terhadap
tanah Kemloko dan perwakilan yang telah dibentuk mengadakan pemungutan
terhadap warga yang menginginkan tanah Kemloko, sebesar Rp 500.000 per KK
juga melakukan penarikan foto kopi KK dan KTP sebagai syarat kelengkapan
permohonan hak atas tanah Kemloko, selain itu juga mencari dukungan terhadap
anggota legislatif (DPRD Trenggalek). Realitasnya penguasaan tanah Kemloko
oleh para warga dilakukan dengan cara pendudukan atau aksi sepihak, yang secara
yuridis normative termasuk kategori kriminal, karena mereka menguasai tanah
secara melawan hukum.
Sedangkan strategi yang dilakukan oleh Perhutani sebagai berikut,
Awalnya Perhutani membiarkan saja aksi yang dilakukan oleh warga dalam
melakukan pembabatan dan pendudukan di lahan kemloko. Pada tahun 2007
Perhutani mulai mengadakan pendekatan-pendekatan terhadap warga. Meminta
bantuan pihak ketiga yakni Pemerintah Desa Timahan sebagai penengah.
Mengadakan sosialisai mengenai status tanah kawasan hutan khususnya blok
Kemloko.
Konflik ini diselesaian dengan cara musyawarah dan meminta bantuan
pihak ketiga sebagai penengah. Pada awalnya masyarakat menggunakan cara
pemberontakan kepada pihak Perhutani akan tetapi setelah cara tersebut malah
berakibat tidak baik, mereka kemudian menggunakan cara non-litigasi dan
menghindari cara litigasi hal ini dikarenakan jika masyarakat menggunakan cara
litigasi sudah jelas masyarakat akan kalah seperti konflik di tahun 1989 dulu,
karena di sini masyarakat tidak memiliki bukti yuridis kepemilikan hak atas tanah,
akibatnya masyarakat bisa diusir dari tanah yang telah didudukinya. Dengan cara
no-litigasi masyarakat bisa mengajukan permohonan hak atas tanah, jika
permohonan mereka tidak dihiraukan paling tidak mereka masih bisa menguasai
tanah meskipun hanya sebagai pengolah saja.
Sementara itu dari pihak perhutani selain menggunakan cara musyawarah
dan bantuan pihak ketiga netral yakni pemerintah Desa Timahan sebagai
penengah dan juga sempat meminta bantuan pihak kepolisian, meskipun
sebenarnya ini hanya merupakan strategi dari pihak Perhutani saja, agar
masyarakat sedikit jera. Akhirnya masyarakat mau diajak bermusyawarah dan
mengolah lahan Kemloko dalam bentuk PHBM (Pengolahan hutan Bersama
Masyarakat ) dengan sistem tumpangsari jeni pinus dan warga bisa bertanam
polowijo disela-selanya, warga bisa menerima hal ini karena jika tidak, tanah
Kemloko akan ditutup oleh Perum Perhutani.
Masyarakat yang mengolah lahan Kemloko tersebut sangat sulit jika diajak
bersosialisasi mengenai batas-batas tanah yang ada di desanya atau bisa
dikatakan mengalami kesulitan dalam berkoordinasi dan kesulitan dalam
berkomunikasi akan tetapi dari pihak Perum Perhutani tidak mudah menyerah
dan berusaha terus mendekati warga.
Pada waktu diadakan pendekatan oleh Perum Perhutani, warga itu
mengadakan perlawanan dalam bentuk pengusiran pada pihak Perum Perhutani.
Setelah diadakan pemanggilan terhadap warga yang disinyalir sebagai provokasi
oleh Penyidik Polres Trenggalek orang-orang tersebut hanya bisa pasrah dan
mengakui bahwa lahan Kemloko merupakan kawasan hutan dan siap bekerjasama
dengan pihak Perhutani dan pengolah lahan blok Kemloko minta Kepala Desa
untuk diadakan sosialisasi atau musyawarah tentang kawasan hutan oleh Perum
Perhutani.
PEMBAHASAN
Konflik tanah Kemloko di Desa Timahan dilatarbelakangi oleh dua hal
yaitu, yang pertama warga merasa kalau tanah tersebut adalah warisan dari nenek
moyang mereka dan yang kedua warga telah membeli dari pengolah terdahulu,
sedangkan menurut pendapat dari pihak Badan Pertanahan Kabupaten
Trenggalek penyebab dari adanya konflik tersebut adalah tidak jelasnya tata
ruang wilayah kabupaten Trenggalek.
Temuan penelitian tentang penyebab konflik dalam tanah Kemloko
tersebut sesuai dengan pendapat Anoraga (dalam Saputro, 2003:32), yang
menyebutkan bahwa suatu konflik dapat terjadi karena hal-hal sebagai berikut : 1.
Perbedaan pendapat. 2. Salah paham. 3. Ada pihak yang dirugikan. 4. Perasaan
yang terlalu sensitif.
Kronologi konflik tanah Kemloko berawal dari masyarakat yang sekarang
mempertanyakan kembali status tanah Kemloko yang pernah menjadi sengketa
sekitar tahun 1989. Pada jaman Belanda dulu tanah Kemloko merupakan
kawasan pemuliman penduduk, untuk mempermudah pengelolaan kawasan hutan
akhirnya tanah Kemloko dibelioleh jawatan Belanda dan masyarakat pada waktu
itu diberi ganti rugi berupa uang .
Setelah Kemerdekaan semua kawasan hutan masuk Perum Perhutani. Pada
tahun 1989 warga menggugat lewat Perdata melalui Perum Perhutani ke PN
Trenggalek, mereka merupakan ahli waris dari warga yang tanahnya pernah dibeli
olah jawatan Belanda. Sampai akhirnya melalui putusan Mahkamah Agung
memenangkan pihak Perhutani kemudian pada tahun 1991 tanah Kemloko
ditanami pohon pinus. Pada tahun 2001-2002 muncul lagi konflik dari warga yang
menginginkan tanah Kemloko, warga mengadakan penjarahan dan pendudukan di
tanah Kemloko sampai pada tahun 2007.
Kronologi konflik yang terjadi dalam cara penyelesaian konflik tanah
Kemloko tersebut sesuai dengan teori konflik menurut Philip Moris (2003),
bahwa konflik meliputi : konflik panggung pertama (timbulnya masalah), konflik
panggung kedua (perluasan konflik), konflik panggung ketiga (pertentangan
frontal).
Aktor utama atau pihak-pihak yang terlibat konflik tanah Kemloko di Desa
Timahan Kecamatan Kampak, adalah pihak Perhutani dan masyarakat. Dalam
realitasnya, konflik tanah Kemloko mendapat dukungan dari pihak-pihak yang
tidak bertanggungjawabdan mengaku sebagai anggota Komisi II DPR RI, mereka
memberikan dukungan dengan cara memberikan janji akan membantu masyarakat
mendapatkan sertifikat tanah yang sah.
Dengan melihat keadaan tersebut di atas, maka pelaku konflik dalam
konflik tanah Kemlokodapat dikatakan sesuai pendapat Dean G Pruit (2004) yang
menyatakan bahwa pelaku konflik ada tiga, yakni pihak pertama, pihak kedua dan
pihak ketiga.
Dampak dari adanya konflik ini tidak hanya dirasakan oleh warga pelaku
konflik akan tetapi juga dirasakan oleh warga yang tidak terlibat dalam konflik,
banyak sekali perubahan yang terjadi pada mereka. Warga yang terlibat konflik
ada yang merasa tidak tenang jika mengolah lahan Kemlokokarena bukan pemilik
yang syah, warga merasa was-was jika tanah Kemloko sewaktu-waktu tidak boleh
diolah lagi oleh warga. Sedangkan dampak yang dirasakan yang tidak terlibat
dalam konflik adalah merasa dikucilkan karena dianggap tidak mau
mempertahankan tanah Kemloko.
Dampak dari adanya konflik tersebut selaras dengan teori dari Dan Mark
(Dean G Pruit:2004) bahwa konflik mendorong timbulnya konflik lebih lanjut,
bahwa perubahan tidak dapat dihindari dan perubahan ini hampir akan selalu
mengarah pada peningkatan mutu kondisi manusia.
Strategi awal yang dilakukan pleh warga adalah mengangkat seorang
perwakilan kemudian mengadakan penjarahan dan melakukan pendudukan.
Sedangkan strategi dari Perhutani, awalnya membiarkan dahulu aksi dari
warga, kemudian pada tahun 2007 Perhutani mulai mengadakan pendekatan
terhadap warga, meminta bantuan pihak ketiga sebagai penengah dan mengadakan
sosialisasi.
Menurut Scoot 1994:219 (dalam Ketut dkk : 2005 : 88) bahwa aksi para
petani digerakkan secara langsung oleh anggapan bahwa orang-orang kaya dan
orang-orang yang memegang kekuasaan mempunyai kewajiban untuk membagi
kekayaan mereka dengan kaum miskin di waktu kekurangan jika tidak, maka
orang-orang miskin berhak mengambil apa yang mereka butuhkan dengan
kekerasan. Karena itu, menurut Scoot, dari segi norma-norma moral dan etika
substensi, tidaklah dapat dikatakan bahwa kaum tani telah main hakim sendiri.
Dalam kaitannya dengan cara penyelesaian konflik tanah antara Perhutani
dengan Masyarakat di Desa Timahan Kecamatan Kampak Kabupaten Trenggalek
ini melalui cara non-litigasi yaitu melalui cara Negosiasi, Mediasi, dan Konsiliasi.
Pada awalnya masyarakat menggunakan cara pemberontakan kepada akan tetapi
setelah cara tersebut malah berakibat tidak baik, kemudian mereka menggunakan
cara non-litigasi dan menghindari cara litigasi dikarenakan jika masyarakat
menggunakan cara litigasi sudah jelas masyarakat akan mengalami kekalahan
seperti konflik di tahun 1989 dulu.
Cara penyelesaian konflik tanah Kemloko sesuai dengan teori Mark E.
Roszkowski (dalam Abu Rohmad 2008:133), negosiasi adalah suatu proses
penyelesaian sengketa di mana dua belah pihak yang memiliki tuntutan berbeda
membuat suatu kesepakatan melalui kompromi dan konsensi. Menurut Ahmad
Santosa dan Anton L.P. Hutapea (dalam Abu Rohmad 2008:134) Mediasi adalah
negosiasi yang dihadiri oleh pihak ketiga yang netral yang tidak mempunyai
kewenangan untuk memutuskan. Sedangkan menurut Adi Sulistiyono (dalam Abu
Rohmad 2008:137) konsiliasi adalah upaya penyelesaian sengketa melalui
perundingan dengan melibatkan pihak ketiga netral untuk membantu para pihak
menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat disepakati bersama.
Hambatan yang terjadi dalam penyelesaian konflik tanah sebenarnya lebih
banyak datang dari masyarakat. Masyarakat sangat sulit untuk diajak
bersosialisasi, masyarakat terpengaruh oleh kata-kata para oknum yang tidak
bertanggung jawab yang akan membantu mereka untuk mendapatkan sertifikat
tanah yang sah. Setiap pihak Perhutani mengadakan pendekatan, warga selalu
menjauh bahkan ada yang pergi untuk memanggil warga lain dan datang kembali
sambil membawa peralatan berupa benda-benda tumpul untuk mengusir
Perhutani.
Menurut Scoot 1994:219 (dalam Ketut dkk : 2005 : 88) bahwa aksi para
petani digerakkan secara langsung oleh anggapan bahwa orang-orang kaya dan
orang-orang yang memegang kekuasaan mempunyai kewajiban untuk membagi
kekayaan mereka dengan kaum miskin di waktu kekurangan jika tidak, maka
orang-orang miskin berhak mengambil apa yang mereka butuhkan dengan
kekerasan. Karena itu, menurut Scoot, dari segi norma-norma moral dan etika
substensi, tidaklah dapat dikatakan bahwa kaum tani telah main hakim sendiri
Upaya pemecahan masalah yang dilakukan dari pihak Perhutani pada saat
itu mengadakan kerjasama dengan aparat pemerintah desa dan pihak kepolisian.
Pihak Perhutani meminta bantuan kepolisian untuk memanggil beberapa oknum
warga Timahan yang disinyalir terlibat dalam provokasi terhadap penggarap
kawasan hutan blok Kemloko.
Menurut bahasa Austin T.Turk (dalam Abu Rohmad, 2008:98), hukum
pada dasarnya bercirikan sebagai alat untuk untuk memecahkan atau menghindari
perselisihan dengan (a) menegaskan ide keadilan sebagai persyaratan bagi
terpeliharanya interaksi dan organisasi sosial dan (b) mengendalikan mereka yang
tindakannya tidak cocok dengan persyaratan demikian.
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
1. Latar belakang terjadinya konflik tanah Kemloko ini berawal dari zaman
Belanda tepatnya pada tahun 1939, saat itu tanah Kemloko merupakan
kawasan pemukiman penduduk yang terletak di tengah hutan dan sangat
terpencil dan untuk memudahkan pengelolaan kawasan hutan maka oleh
jawatan Belanda tanah kemudian dibeli dan warga diberi ganti rugi berupa
uang dan pada tahun 1940 tanah Kemloko menjadi kawasan hutan. Akan
tetapi pada tahun 1989 warga yang merupakan keturunan dari warga
terdahulu menggugat pihak perhutani dan menginginkan tanah Kemloko akan
tetapi melalui putusan Mahkamah Agung menyatakan bahwa gugatan warga
ditolak dan Tanah Kemloko adalah tanah kawasan hutan. Kemudian pada
tahun 2001 konflik timbul kembali warga lain yang bukan merupakan
keturunan dari warga yang pernah bermukim di tanah Kemloko melakukan
penjarahan terhadap tanaman pinus yang ditanam pihak Perhutani kemudian
warga melakukan pendudukan pada lahan Kemloko. Dalam Konflik ini tidak
hanya warga dan pihak Perhutani saja yang terlibat di dalamnya, akan tetapi
juga ada beberapa tokoh yang terlibat.
2. Dampak dari adanya konflik tanah Kemloko ini tidak hanya dirasakan oleh
warga pelaku konflik akan tetapi juga warga yang tidak terlibat di dalam
konflik. Dengan adanya konflik ini banyak perubahan yang terjadi pada
warga. Warga pelaku konflik selalu diliputi ketakutan sedangkan warga yang
tidak terlibat dalam konflik merasa dibenci oleh warga pelaku konflik, karena
dianggap tidak mau mempertahankan tanah Kemloko.
3. Strategi para pihak yang berkonflik untuk mencapai tujuannya adalah dari
pihak warga membentuk seorang perwakilan yang bisa dipercaya oleh warga
yang lain, melakukan penjarahan terhadap tanaman di lahan Kemloko,
melakukan pendudukan terhadap tanah Kemloko dan melakukan penarikan
dana bagi warga yang menginginkan tanah Kemloko. Strategi dari pihak
Perhutani awalnya membiarkan saja aksi warga, melakukan pendekatan, dan
meminta bantuan piahak ketiga sebagai penengah.
4. Cara penyelesaian konflik tanah antara Perhutani dengan Masyarakat adalah
melalui jalur non-litigasi dan menghindari cara litigasi hal ini dikarenakan
jika masyarakat menggunakan jalur litigasi sudah jelas warga akan
mengalami kekalahan karena disini warga tidak memiliki bukti yuridis
kepemilikan hak atas tanah Sementara dari pihak perhutani selain
menggunakan cara negosiasi juga meminta bantuan pihak ketiga netral yakni
pemerintah Desa Timahan sebagai penengah hingga akhirnya terjadi
kesepakatan antara Penhutani dengan Warga.
5. Hambatan yang dihadapi dalam penyelesaian konflik tanah kemloko adalah
berasal dari warga yang sangat sulit untuk diajak bernegosiasi dan
bersosialisai tentang status tanah Kemloko, waraga selalu mengadakan
perlawanan terhadap pihak Perhutani dengan memalukan pengusiran.
6. Upaya pemecahan masalah dari hambatan yang dialami dalam penyelesaian
tanah Kemloko adalah upaya dari pihak Perhutani yang meminta bantuan dari
pihak Kepolisian untuk menangkap para warga yang disinyalir sebagai
provokator pengolah tanah Kemloko.
SARAN
1. Bagi Perum Perhutani lebih sering mengadakan sosialisasi mengenai batas-
batas kawasan hutan dan jika terjadi konflik seperti ini bisa bersikap lebih
bijak dan menyelesaikannya dengan cara yang saling menguntungkan, yakni
tanaman pinus diganti dengan tanaman lain yang tidak mengalahkan tanaman
warga.
2. Bagi warga seharusnya benar-benar memahami mengenai status tanah yang
ada di daerahnya agar tidak terjadi kesalah pahaman dan jangan terlalu
percaya dengan janji atau hasutan dari oknum yang tidak bertanggung jawab.
3. Bagi warga sebaiknya mengganti tanah milik Perhutani dengan luas yang
sama tetapi dengan harga yang lebih murah.
4. Bagi Pemerintah Desa Timahan seharusnya lebih sering memberikan
pemahaman terhadap warganya agar tidak mudah terhasut oleh para oknum
yang tidak bertanggungjawab.
DAFTAR RUJUKAN
Astawa, D. Dkk. 2004. Manajemen Konflik Dalam Kasus Tanah Perkebunan Di Wilayah Malang. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan, Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang.
Breman, J. 1986. Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja: Jawa di Masa Kolonial. Jakarta: LP3ES
Moleong, L.J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya
Pruitt G. D dan Rubin Z. J. 2004. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR
Rohmad, A. 2008. Paradigma Resolusi Konflik Agraria. Semarang: Walisongo Press