Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi http://url.unair.ac.id/cf758369 e-ISSN 2301-7090
ARTIKEL PENELITIAN
HUBUNGAN ORGANIZATIONAL JUSTICE DAN WORK ENGAGEMENT PADA KARYAWAN PT. DUA KELINCI FARAH ALMAS RIYANTHI & DEWI SYARIFAH* Departemen Psikologi Industri dan Organisasi, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara organizational justice dan work engagement pada karyawan PT Dua Kelinci. Greenbreg (1987 dalam Ledimo & Hlongwene, 2014) menjelaskan organizational justice merupakan persepsi karyawan pada perilaku organisasi, keputusan organisasi, dan tindakan organisasi, dan bagaimana hal itu mempengaruhi sikap dan perilaku karyawan dalam bekerja. Work engagement menurut Schaufeli, dkk. (2002) adalah kondisi individu dengan pikiran positif dan penuh serta memiliki vigor, dedikasi dan absorpsi pada pekerjaannya. Penelitian ini dilakukan pada 104 orang karyawan tetap non managerial bagian produksi, menggunakan Organizational Justice Scale milik Colquitt (2001) yang diadaptasi Fatmawati (2016) dan variabel work engagement menggunakan UWES-17 milik Schaufeli, dkk. (2002). Analisis data penelitian menggunakan teknik statistik korelasi Product Moment Pearson melalui progam IBM SPSS. Hasil penelitian memaparkan bahwa organizational justice dan work engagement pada karyawan PT. Dua Kelinci tidak memiliki hubungan yang signifikan (r=0,132; p=0,181; p>0,05). Organizational justice ditemukan berkorelasi positif secara signifikan dengan dimensi vigor dan dedikasi. Kata kunci: Organizational Justice, PT. Dua Kelinci, Work Engagement.
ABSTRACT The purpose of this study aims to determine the relationship between organizational justice and work engagement on employees of PT Dua Kelinci. Greenbreg (1987 in Ledimo, 2014) explains organizational justice is the employee's perception of organizational behavior, organizational decisions, and actions of it. Work involvement according to Schaufeli, et al. (2002) is the condition of the individual with a positive and full mind and having vigor, dedication and absorption on his work. This research was conducted on 104 people of permanent employees non managerial production, used Organizational Justice Scale developed by Colquitt (2001) which had been adapted by Fatmawati (2016) and work engagement using Schaufeli's UWES-17, et al. (2002). The analysis of data used technique of statistic correlation through IBM SPSS. The results show the organizational justice and work engagement on employees of PT. Dua Kelinci have no significant relationship (r=0.132; p=0.181). Organizational justice is positive correlate and significant with the dimensions of vigor and dedication. Key words: Organizational Justice, PT. Dua Kelinci, Work Engagement *Alamat korespondensi: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Kampus B Universitas Airlangga Jalan Airlangga 4-6 Surabaya 60286. Surel: [email protected]
Naskah ini merupakan naskah dengan akses terbuka dibawah ketentuan the Creative Common Attribution License (http://creativecommons.org/licenses/by/4.0), sehingga penggunaan, distribusi, reproduksi dalam media apapun atas artikel ini tidak dibatasi, selama sumber aslinya disitir dengan baik.
Hubungan Organizational Justice dan Work Engagement Pada Karyawan PT. Dua Kelinci 14
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Tahun 2017, Vol. 6, 13-25
P E N D A H U L U A N
Keadaan work engagement karyawan di dunia menjadi fokus bagi banyak perusahaan beberapa tahun terakhir. Organisasi sekarang ini sudah melihat karyawan sebagai modal guna mengembangkan, mendukung dan mencapai tujuan organisasi, tidak lagi sekedar menjadi sumber daya. Organisasi yang sadar pentingnya memiliki sumber daya manusia (karyawan) sebagai modal, mulai memberikan perlakuan positif ke karyawan agar karyawan memiliki keterikatan pada organisasinya (Ivanovic, Galicic, & Krstevska., 2010).
The Gallup Organization melakukan survei mengenai work engagement di Amerika selama 15 tahun terakhir, namun pada Januari 2016 Gallup mendapatkan data mengenai The Worldwide Employee Engagement Crisis sembari terus melakukan pendataan di Amerika sampai sekarang. Survei ini mendata hanya 13% pekerja di dunia yang engaged pada pekerjaannya. Melihat jumlah karyawan yang engaged sedikit, Mann dan Hater (2016) menyarankan bahwa issue mengenai work engagement digolongkan pada bahasan human capital strategy dan organisasi juga perlu menambah kacamatanya untuk memandang work engagement lebih fokus. Sebelumnya, The Gallup Organization, Ratanjee dan
Emond, (2013) melakukan survei di ASEAN di tahun 2013 untuk melihat tingkat engagement pekerja. Indonesia dijajarkan dengan empat negara lain seperti Filipina, Thailand, Malaysia dan Singapore. Didapatkan 77% karyawan di Indonesia not engaged, menempati posisi terakhir dibandingkan empat negara lainnya. Kebanyakan karyawan bekerja kemudian keluar dari perusahaannya kurang dari 5 tahun.
Salah satu industri makanan besar di Indonesia adalah PT. Dua Kelinci. Penelitian ini berfokus pada PT. Dua Kelinci dengan adanya gejala isu work engagement. Didapatkan data absen kerja karyawan yang tinggi. Hal tersebut sesuai dengan Nink (2016) yang menjelaskan karyawan disengaged menyebabkan hilangnya produktivitas dengan ditandai absenteeism, hal ini ditemukan dalam survey yang dilakukan di Jerman. Absen kerja di PT. Dua Kelinci dikategorikan menjadi tiga alasan absen, yaitu sakit, ijin satu hari(pribadi) dan cuti. Dari data yang didapatkan, dapat dilihat karyawan lebih banyak absen untuk urusan pribadi dari pada karena sakit. Menurut Senior Manager PT. Dua Kelinci, Tofan Rudiyanto, alasan ijin satu hari ini beragam, mulai dari mangkir setengah hari kerja, hujan deras saat berangkat kerja, hajatan dan lain sebagainya. Pihak manajemen juga sering menemukan banyak check lock yang telat setelah jam istirahat. Setiap bulannya absen kerja hampir mencapai 10% di tahun 2015 dan 2016.
Gejala lain terjadinya disengaged juga ditandai dengan adanya penurunan produktivitas karyawan. Pada tahun 2015 menuju 2016 produktivitas karyawan yang ada mengalami penurunan -8%. Penurunan produktivitas pada karyawan produksi PT. Dua Kelinci berdampak pada kurangnya tenaga kerja untuk mengelola bahan baku dan memenuhi permintaan pasar. Penyebab penurunan produktivitas adalah tingginya absen karyawan, kerusakan mesin produksi, tersedianya bahan baku dan permintaan pasar. Menurut pemaparan SM HRD, Tofan Rudiyanto, faktor paling utama yang mempengaruhi adalah absen kerja, kemudian diikuti kerusakan mesin.
Faktor yang mempengaruhi work engagement diantaranya, kepuasan kerja, job demands, job resources, organizational justice dan lain sebagainya (Schaufeli, Bakker & Rhenen, 2009; Gosh, Rai, & Sinha, 2014). Organizational justice pada organisasi dapat memprediksi engagement pada karyawan, semakin baik persepsi tentang keadilan organisasi yang terbentuk, maka semakin engaged pula karyawan (Gosh, Rai, & Sinha., 2014). Hasil preminary study dengan wawancara pada salah satu karyawan bagian produksi menjelaskan tentang adanya kecemburuan dan kesenjangan akibat perbedaan perlakuan antar karyawan. Kebijakan bina lingkungan membuat karyawan range satu menjadi prioritas dalam perekrutan karyawan dan perlakuan manajemen, seperti yang dipaparkan dalam latar belakang di atas. Kebijakan PT. Dua Kelinci tentang bina lingkungan mengatur tentang jangkauan wilayah prioritas sebagai karyawan. Terdapat tiga range, yaitu 1) Desa Bumi Rejo, 2) Desa
Hubungan Organizational Justice dan Work Engagement Pada Karyawan PT. Dua Kelinci 15
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Tahun 2017, Vol. 6, 13-25
Sokokulon, 3) Desa Jimbaran. Penentuan didasarkan pada kepedulian perusahaan pada letak desa sekitar pabrik. Desa terdekat dengan lokasi pabrik merupakan range satu, begitu selanjutnya sampai range tiga merupakan yang terjauh dari pabrik. Kebijakan bina lingkungan ini menjadikan range wilayah satu mendapatkan perlakuan khusus. Tujuan dari perlakuan khusus ini merupakan bentuk tindakan menghargai yang diberikan perusahaan pada masyarakat terdekat sekitar pabrik. Senge (1990 dalam Albercht, 2010) mengatakan individu akan lebih cenderung engaged ketika terlihat dengan jelas hubungan dari upaya dan hasil yang mereka kerjakan. Individu juga akan merasa dihargai dari usaha-usahanya melalui sistem yang lebih jelas pada organisasi (kebijakan), termasuk di dalamnya adalah organizational justice.
Work Engagement
Banyak hal yang dapat mempengaruhi individu untuk engagement atau disengagement saat bekerja. Hal ini dibangun oleh kondisi psikologi individu akan tempat kerjanya secara sadar maupun tidak sadar. Diekspresikan secara sadar maupun tidak sadar oleh individu mengenai pengalaman personal, kondisi sosial dan konteks dari pekerjaannya itu sendiri (Kahn, 1990). Kahn (1990) mengenalkan work engagement dengan sebutan personal engagement. Definisi dari personal engagement adalah individu akan memasuki peran kerjanya dengan penuh mulai dari fisiknya, kognitif, sampai emosionalnya.
Schaufeli, dkk. (2002) menjelaskan engagement adalah suatu kondisi pikiran individu yang positif dan penuh yang berhubungan dengan pekerjaannya, serta memiliki vigor, dedikasi dan absorpsi. Schaufeli dan Bekker (2006) melihat engagement merujuk pada keadaan menetap dan meresap secara afektif-kognitif pada individu, serta berfokus pada suatu objek, kejadian, individu atau perilaku tertentu. Maslach, dkk. (2001 dalam Schaufeli, dkk., 2002) menekankan bahwa konstruk engagement merupakan hubungan psikologis antara karyawan dengan kinerjanya pada sebuah pekerjaan, bukan hanya sikap/respon terhadap kondisi tertentu pada pekerjaannya.
Schaufeli, dkk. (2002) membagi work engagement menjadi 3 aspek, yaitu vigor, dedikasi, dan absorpsi. Schaufeli, dkk. (2002) menjelaskan bahwa aspek pertama adalah vigor, ditandai dengan energi tinggi dan ketahanan mental saat bekerja, kemauan untuk mengerahkan usaha pada sebuah pekerjaan dan adanya ketekunan sekalipun dalam keadaan sulit pada pekerjaannya. Aspek kedua adalah dedikasi, ditandai dengan rasa kebermaknaan, antusiasme, inspirasi, kebanggaan, dan tantangan. Bila dilihat dari sisi kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif lebih mengarah pada keterlibatan yang sangat kuat dibandingkan pengidentifikasian biasa. Kualitatif melihat dedikasi secara luas, tidak hanya merujuk pada keadaan kognitif dan keyakinan saja namun juga termasuk aspek afektif (Schaufeli, dkk., 2002). Ketiga yaitu, Absorpsi, merupakan aspek dari engagement yang ditandai dengan penuh konsentrasi dan rasa hati senang asyik pada sebuah pekerjaan, seketika waktu akan terasa cepat berlalu, dan biasanya mengalami kesulitan memisahkan diri dengan pekerjaannya (Schaufeli, dkk., 2002).
Organizational Justice
Keadilan diidentifikasi para peneliti sosial sebagai hal penting dalam memberikan dampak efektif pada organisasi dan pekerjanya (Moore, 1978; Okun, 1975, dalam Greenbreg, 1990). Cropanzanno (1993 dalam Yadav & Yadav, 2016) mengartikan keadilan berupa perlakuan yang etis dan adil dari organisasi pada anggotanya sebagai organizational justice.
Organizational justice dijelaskan oleh Greenbreg (1987 dalam Ledimo, 2014) sebagai persepsi karyawan pada perilaku organisasi, keputusan dan tindakan, dan bagaimana hal itu mempengaruhi sikap dan perilaku karyawan dalam bekerja. Sedangkan Greenbreg dan Cropanzanno (1997 dalam Yadav & Yadav, 2016) menjabarkan bahwa organizational justice mengarah pada dua isu, yaitu
Hubungan Organizational Justice dan Work Engagement Pada Karyawan PT. Dua Kelinci 16
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Tahun 2017, Vol. 6, 13-25
persepsi karyawan tentang perlakuan organisasi yang mereka dapatkan (outcomes) dan proses dari terbentuknya persepsi mereka (prosedur). Corpanzanno dan Folger (1998) menjelaskan organizational justice akan mengarahkan karyawan percaya untuk diperlakukan adil atau tidak adil.
Colquitt (2001) membagi organizational justice menjadi beberapa dimensi. Pertama, distributive justice. Procedural justice berkaitan dengan alokasi dan hasil dari kerja karyawan, apa yang mereka dapatkan dan tidak dapatkan. Hal ini membuktikan bahwa realitas karyawan tidak semua diperlakukan sama, hasil yang diberikan organisasi dibedakan (Cropanzano, Bowen, & Gilliland., 2007). Kedua, Procedural justice mengacu pada bagaimana keadilan dirasakan oleh karyawan melalui proses pengambilan keputusannya. Prosedur harus adil ketika digunakan untuk mendorong sebuah hasil (outcomes) yang adil. Ketika nantinya terjadi perbedaan kesesuaian hasil yang diharapkan dan diinginkan individu, prosedur yang adil akan menghapuskan efek dari ketidaksesuaian (Yadav & Yadav, 2016). Ketiga adalah interactional justice. Individu juga akan menilai keadilan melalui perlakuan interpersonal yang mereka dapatkan dari prosedur keadilan (Bies dan Moag, 1986 dalam Fortin, 2010). Colquitt (2001 dalam Fortin, 2010) mengkategorikan interactional justice menjadi dua aspek yaitu: interpersonal justice dan informational justice. Interpersonal justice merupakan kualitas perlakuan personal, rasa menghargai dan sensitivitas individu (Greenberg, 2010 dalam Fortin 2010). informational justice adalah jumlah dan kualitas informasi yang diberikan dalam prosedur dan hasil (outcomes) keadilan.
Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, maka hipotesis penelitian ini:
Ho: Tidak terdapat hubungan signifikan antara organizational justice dan work engagement pada karyawan PT. Dua Kelinci.
Ha: Terdapat hubungan signifikan antara organizational justice dan work engagement pada karyawan PT. Dua Kelinci.
M E T O D E
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif. Pada penelitian ini, populasi adalah karyawan tetap non-manajerial bagian produksi PT. Dua Kelinci. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah dispropotional stratified random sampling, yaitu teknik sampling. Jumlah sample sebanyak 104 karyawan dari bagian produksi KA, KG, Tictac, dan Bijian.
Teknik pengambilan data menggunakan survei melalui kuenioner berisi skala likert. Kuesioner dalam penelitian ini menggunakan Organizational Justice Scale (Colquittt, 2001) yang diadaptasi oleh Rahmawati (2016) dan Utrecht Work Engagement Scale (UWES-17) milik Schaufelli, dkk. (2002). Kuesioner Organizational Justice Scale (Colquittt, 2001) terdiri dari 20 aitem yang mengukur dimensi: procedural justice, distributive justice, interpersonal justice, dan interactional justice. Sedangkan kuesioner UWES-17 terdiri dari 17 aitem yang mengukur dimensi vigor, dedikasi dan absorpsi. Reabilitas kedua alat ukur ini didapatkan dari metode uji coba terpakai, berikut hasilnya:
Tabel 1 Hasil Uji Reabilitas Alat Ukur
Alat Ukur Reabiilitas Aitem
UWES-17 0,782 17 Organizational Justice Survey 0,775 20
Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji statistik korelasi product moment pearson dengan bantuan progam IBM SPSS. Teknik korelasi ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel.
Hubungan Organizational Justice dan Work Engagement Pada Karyawan PT. Dua Kelinci 17
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Tahun 2017, Vol. 6, 13-25
H A S I L P E N E L I T I A N
Dalam penelitian, akan dideskripsikan karakteristik subjek melalui analisis deskriptif (Pallant,
2011). Berikut hasil analisis deskriptif data penelitian:
Tabel 2 Analisis Deskriptif
Organizational Justice Work Engagement
N 104 104 Minimum 62 40 Maximum 87 99 Mean 73, 74 71, 35 Std. Deviation 6, 193 12, 943 Skewness -0,004 -0,116 Kurtosis -,0913 -0,519
Dari tabel 2 dapat diketahui pengukuran organizational justice dan work engagement yang
valid pada 104 subjek penelitian. Organizational justice memiliki mean skor 73,74 dari
keseluruhan subjek penelitian (N=104), dengan nilai minimum 62 dan nilai maximum 87,
hingga range pada variabel organizational justice sebesar 25. Pada instrumen alat ukur
organizational justice memiliki aitem sebanyak 20 butir, maka rata-rata nilai subjek per-item
adalah 3,69 dari 5 poin skala (1-5). Nilai rata-rata subjek per-aitem dapat terlihat bahwa
subjek kebanyakan merespon aitem pada sedang mendekati tinggi. Dapat dilihat pula pada
variabel work engagement memiliki skor mean 71,35 (N=104) dengan nilai minimum 40 dan
nilai maximum 92, hingga didapatkan range sebesar 132. Dengan total 17 aitem pada
instrumen work engagement yang terdiri dari 7 poin skala (0-6) didapatkan rata-rata subjek
per-aitem bernilai 4,19, sehingga dapat dikatakan merespon tinggi pada aitem-aitemnya.
Pada tabel 2 juga dapat dilihat adanya nilai skewness dan kurtosis kedua variabel. Nilai
skewness berguna untuk memberikan informasi terkait distribusi data penelitian simetris atau
tidak, sedangkan nilai kurtosis memberikan informasi terkait keruncingan distribusi data
(Pallant, 2010). Distribusi data normal dapat dilihat ketika nilai skewness dan kurtosis adalah
0, namun hal ini jarang terjadi pada penelitian sosial (Pallant, 2010). Penelitian diketahui nilai
skewness organizational justice adalah -0,004 yang berarti data condong ke arah kiri dan nilai
skewness work engagement adalah -0,116 yang berarti data juga condong ke arah kiri. Nilai
Hubungan Organizational Justice dan Work Engagement Pada Karyawan PT. Dua Kelinci 18
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Tahun 2017, Vol. 6, 13-25
kurtosis organizational justice adalah -,0913 dan work engagement adalah -0,519, kedua
variabel menunjukkan kurtosis negatif yang berarti keruncingan kurva cenderung datar.
Uji asumsi dilakukan sebelum uji korelasi untuk melihat jenis data statistik dan metode
korelasi apa yang akan digunakan. Hasil uji normalitas pada organizational justice dan work
engagement dapat dilihat data berdistribusi normal. Taraf signifikansi kolmogorov-smirnov
pada variabel organizational justice adalah 0,058 dan variabel work engagement adalah 0,200,
semuanya lebih dari 0,05. Dimensi work engagement yaitu, dimensi vigor bernilai p=0,018
(p<0,05) maka data dimensi vigor berdistribusi tidak normal, begitu juga dimensi dedikasi
berdistribusi tidak normal (p=,000; p<0,05). Namun untuk data dimensi absorpsi yang
bernilai p=0,145 (p>005) yang berarti berdistribusi normal. Hasil uji linieritas organizational
justice dan work engagement memiliki nilai signifikansi deviation from linierity 0,217 > 0,05,
sehingga dapat dikatakan bahwa data dalam penelitian ini linier.
Tabel 3 Hasil Uji Korelasi Variabel
No.
Variabel Mean SD Korelasi
1 2 3 4 5 6 7
1 Organizational justice
73,74 6,193 1
2 Work Engagement
71,35 12,93
4 0,132 1
3 Vigor 24,87 5,152 0,218
* 0,862** 1
4 Dedication 23,85 4,655 0,222
* 0,824** 0,647** 1
5 Absorption 22,63 5,603 -
0,014 0,823** 0,541** 0,485** 1
6 Masa Kerja 14,34 5,877 -
0,024 0,16 0,200* 0,109 0,092 1
7 Usia 35,76 5,561 0,014 -0,017 0,068 -0,161 0,044 0,571** 1
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Hasil uji korelasi pada penelitian ini menunjukkan bahwa antara variabel
organizational justice dan work engagement memiliki nilai korelasi sebesar 0,132 dengan taraf
signifikansi 0,181. Berdasarkan pengambilan keputusan maka dinyatakan tidak adanya
Hubungan Organizational Justice dan Work Engagement Pada Karyawan PT. Dua Kelinci 19
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Tahun 2017, Vol. 6, 13-25
hubungan antara organizational justice dan work engagement, karena nilai signifikansi > 0,05
yaitu 0,181. Sedangkan kekuatan hubungannya lemah karena koefisien korelasi berada pada
range 0,10 - 0,299 namun bernilai positif. Cohen (1988 dalam Pallant. 2010) mengatakan
berdasarkan kekuatan hubungan yang lemah, dengan begitu dapat dikatakan tidak adanya
hubungan antara variabelnya, yaitu organizational justice dan work engagement.
Setelah melakukan uji normalitas didapatkan informasi terkait dimensi work
engagement yang berdistribusi normal yaitu absorpsi yang berarti data bersifat parametrik.
Sedangkan dimensi vigor dan dedikasi berdistribusi tidak normal yang artinya data bersifat
non-parametrik. Hal ini akan membuat teknik pengujian korelasi pun akan berbeda. Teknik
korelasi Spearman’an Rho akan digunakan untuk data non-parametrik yaitu dimensi dedikasi,
dan untuk data parametrik menggunakan teknik korelasi Pearson. Dari tabel 4.11 di atas
terlihat bahwa hubungan antara varabel organizational justice dengan dimensi dedikasi
memiliki hubungan yang signifikan (ρ=0,222; p=0,023; p<0,05), kekuatan hubungannya
lemah dan bernilai positif, hal ini juga terjadi pada dimensi vigor yang memiliki hubungan
secara signifikan yang positif dengan organizational justice (ρ=0,218; p=0,026; p<0.05). Untuk
dimensi absorpsi (p=-0,24; p>0,05) tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan
organizational justice.
Uji korelasi antara organizational justice dan variabel demografi menghasilkan
organizational justice dan work engagement tidak memiliki hubungan yang signifikan
(p>0,05) dengan variabel semua demografis yaitu masa kerja dan usia pada karyawan PT Dua
Kelinci. Dari tabel 4.11 uji korelasi menunjukkan hasil korelasi non-parametric yang signifikan
antara vigor dan masa kerja dengan nilai korelasi 0,200 (p=0,042; p<0,05). Kekuatan
hubungan pada korelasi vigor dan masa kerja dalam rentang lemah.
D I S K U S I
Hasil analisis statistik pada penelitian ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian Ha
ditolak, dan Ho diterima, berarti tidak terdapat hubungan signifikan antara organizational
justice dan work engagement pada karyawan PT. Dua Kelinci (r=0,132; p=0,181; p>0,05).
Kekuatan korelasi antara kedua variabel tersebut lemah (r=0,132; 0,1≤r≤ 0,29). Maka dengan
Hubungan Organizational Justice dan Work Engagement Pada Karyawan PT. Dua Kelinci 20
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Tahun 2017, Vol. 6, 13-25
begitu dapat dikatakan terjadinya perubahan tingkatan persepsi karyawan pada
organizational justice tidak berkaitan dengan menurun atau meningkatnya work engagement.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya seperti Gosh, Rai, dan
Sinha (2014) serta penelitian Strom, Sears, dan Kelly (2013) yang menemukan adanya
hubungan signifikan antara organizational justice dan work engagement. Kedua penelitian
tersebut menjelaskan bahwa organizational justice dapat memprediksikan work engagement
secara positif.
Di sisi lain, hasil penelitian ini didukung pernyataan Gupta dan Kumar (2013) dalam
jurnal penelitiannya, bahwa hanya sedikit peneliti yang menguji hubungan antara
organizational justice dan engagement, dan beberapa penelitian terkait variabel ini secara
berkala tidak menggunakan alat ukur yang sama. Sehingga Gupta dan Kumar (2013)
mengatakan sulitnya mencapai sebuah kesimpulan apapun terkait hubungan organizational
justice dan engagement.
Peneliti juga melakukan analisis statistik tambahan yang melihat apakah
organizational justice memiliki hubungan dengan masing-masing dimensi work engagement,
yaitu vigor, dedikasi dan absorpsi. Ditemukan hubungan yang signifikan antara organizational
justice dengan vigor (ρ=0,218; p<0,05) dan dedikasi (ρ=0,222; p<0,05) serta keduanya
bernilai positif dengan kekuatan hubungan yang lemah. Maka dengan begitu semakin tinggi
nilai persepsi karyawan tentang organizational justice, semakin tinggi pula tingkat vigor dan
dedikasi karyawan pada pekerjaannya. Adanya hubungan antara organizational justice
dengan vigor dan dedikasi, didasari nilai korelasi variabel organizational justice dan work
engagement berada pada rentang kekuatan hubungan variabel yang lemah (r=0,132; 0,10≤r≤
0,29). Gupta dan Kumar (2012, dalam Gosh, Rai, Sinha., 2014) menemukan karyawan yang
menerima keadilan terkait alokasi hasil kerja dengan adil akan memunculkan vigor dan
dedikasi yang tinggi, semangat dalam pekerjaannya dan memiliki nilai afektif pada
pekerjaanya.
Saks (2006) mengatakan jika karyawan memiliki persepsi keadilan organisasi yang
baik, dan mereka merasa diperlakukan dengan adil, mereka cenderung mengalami hal yang
timbal balik dengan meningkatkan tingkat keterlibatan mereka. Berdasarkan teori social
Hubungan Organizational Justice dan Work Engagement Pada Karyawan PT. Dua Kelinci 21
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Tahun 2017, Vol. 6, 13-25
exchange (timbal balik) yang mendasari teori keadilan organisasi, keadilan yang ada pada
organisasi akan dibalas dengan harga yang menguntungkan sumbernya. Macey dan Schneider
(2008 dalam Gupta dan Kumar, 2013) menjabarkan karyawan percaya mengorbankan
waktu, energi, atau hal lain yang mereka miliki akan dihargai (secara ekstrinsik atau intrinsik)
oleh atasan atau manajemen. Tingkat energi tinggi dan ketahanan mental ketika karyawan
bekerja, bahkan dalam keadaan sulit dalam pekerjaan merupakan bentuk vigor pada
karyawan. Persepsi keadilan organisasi yang lebih besar menjadikan karyawan bekerja secara
efektif dan berkontribusi terhadap organisasi (Gupta dan Kumar, 2013). Selain itu persepsi
keadilan organisasi karyawan yang berhubungan positif dengan dedikasi akan membuat
karyawan memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi dalam pekerjaan mereka dan mereka
cenderung mengalami tingkat signifikansi, antusiasme, inspirasi, harga diri dan tantangan
yang tinggi dalam peran mereka pada pekerjaan (Halbesleben, 2011; Schaufelli et al, 2008
dalam Ledimo dan Hlongwene, 2014).
Pada penelitian dilakukan analisis tambahan yaitu menguji hubungan antara dimensi
work engagement dan beberapa variabel demografis. Dari hasil pengujian, ditemukan
hubungan yang signifikan antara vigor dan masa kerja (ρ=0,200; p<0,05), dimana masa kerja
merupakan salah satu variabel demografis dalam penelitian ini.
Alwi (2001, dalam Kurniawati, 2014) menjelaskan masa kerja adalah jangka waktu
bekerja dalam sebuah perusahaan. Hal ini sejalan dengan penelitian Chen dan Chen (2013)
yang mendapatkan adanya hubungan yang berdampak positif antara masa kerja dan work
engagement dalam meningkatkan performa kerja karyawan. Didasarkan pada data yang
didapatkan pada penelitian ini, masa kerja subjek rata-rata 14,5 tahun dan paling pendek
jangka waktu kerjanya adalah 2 tahun. Di PT. Dua Kelinci, karyawan dengan masa kerja
selama 14,5 tahun tergolong karyawan lama, karena masa kerjanya mencapai setengah dari
usia perusahaan dan sudah mengalami perubahan kemajuan perusahaan yang sudah berdiri
menjadi PT. Dua Kelinci selama 32 tahun.
Karyawan dengan masa kerja yang lama pada sebuah organisasi cenderung memiliki
keterikatan pada pekerjaannya, karena sudah beradaptasi dengan lingkungan pekerjaannya,
dan nyaman dengan pekerjaannya, serta adanya kebijakan organisasi yang menjamin
Hubungan Organizational Justice dan Work Engagement Pada Karyawan PT. Dua Kelinci 22
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Tahun 2017, Vol. 6, 13-25
kehidupannya di masa tua (Kreitner dan Kinicki, 2004 dalam Kurniawati, 2014). Adaptasi
pada masa kerja tergambar pada vigor yang didefinisikan sebagai energi tinggi dan ketahanan
mental. Ketika karyawan menghadapi keadaan sulit dalam pekerjaannya, karyawan dapat
memproses informasi yang diberikan oleh situasi tersebut, mempelajarinya dan
mengendalikan sistem biologis, hingga meminimalisir dampak negatif pada diri karyawan
(Davidson, 2000 dalam Shirom, 2004).
Hal lain yang dapat mempengaruhi hasil uji korelasi antara work engagement dan
organizational justice adalah adanya persebaran karakteristik subjek yang tidak merata,
seperti usia dan masa. Melihat hasil uji kruskal wallis, bahwa mean work engagement dan
organizational justice tidak berbeda karena tidak proposionalnya jumlah subjek pada tiap
kategori kelompok usia dan masa kerja. Mean pada kelompok masa kerja dapat dilihat
semakin lama masa kerjanya, mean work engagment-nya semakin tinggi. Penelitian
Kurniawati (2014) juga menemukan hubungan dengan arah positif pada masa kerja dan work
engaegement namun, hanya sebanyak 42,6% sumbangan kontribusi efektif yang diberikan
masa kerja, sisanya sebanyak 57,4% masih ada variabel lain.
Selain itu subjek penelitian ini teridiri dari karyawan tetap non manajerial, yang mana
merupakan karyawan tetap namun tidak masuk ke dalam struktur manajemen perusahaan
dan hanya menjalankan tugas dari atasannya. Penjelasan dari pihak manajemen PT. Dua
Kelinci sendiri bahwa gejala isu work engagement kebanyakan terjadi pada subjek yang
menjadi lebih malas dan suka meninggalkan pekerjaannya setelah adanya pengangkatan
status menjadi karyawan tetap. Selajan dengan survey JPNN (2012) menemukan bahwa
karyawan yang sudah berstatus tetap cenderung malas dalam bekerja dan seenaknya. Hal ini
terkait dengan fasilitas yang dia dapatkan ketika menjadi karyawan tetap yang dilindungi
undang-undang ketenagakerjaan pemerintah Indonesia. Mulai dari jelasnya hubungan antara
perusahaan dan karyawan yang diatur dalam kontrak legal, membuat karyawan merasa
berada dalam zona nyaman dan aman. Ketika ia melakukan sebuah pelanggaran, perusahaan
tidak semudah itu mengeluarkannya dari perusaahaan, karena proses dan prosedur yang
panjang harus dilakukan sesuai undang-undang yang berlaku (Portalhr, 2007).
Hubungan Organizational Justice dan Work Engagement Pada Karyawan PT. Dua Kelinci 23
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Tahun 2017, Vol. 6, 13-25
Masa kerja yang berhubungan secara signifikan dengan dimensi work engagement,
yaitu vigor, juga dapat menjelaskan tidak adanya hubungan antara organizational justice dan
work engagement. Semakin lama individu bekerja di organisasi, maka semakin tinggi vigor
individu (Kurniawati, 2014). Vigor pada karyawan dapat dilihat dari energi tinggi yang
dimilikinya, motivasi untuk mengorbankan apa yang dimiliki individu demi pekerjaan, dan
ketahanan mental pada saat menghadapi keadaan sulit dipekerjaannya (Maslach, dkk., 2001
dalam Shirom, 2004). Tingginya ketahanan mental karyawan dalam bekerja membuat
karyawan beradaptasi, merasa nyaman, dan terbiasa menghadapi lingkungan pekerjaannya
yang sulit sekalipun, termasuk kebijakan yang ada di perusahaan (Kurniawati, 2014; Shirom,
2004). Seperti kebijakan PT. Dua Kelinci terkait bina lingkungan. Perlakuan berbeda
diberikan pada karyawan yang berada pada range 1, karyawan akan mendapat keringanan
tertentu dalam pelanggaran yang lakukan. Berdasarkan yang terjadi di lapangan, beberapa
karyawan lain diluar range 1 bina lingkungan merasa diperlakukan tidak adil, bahkan pihak
manajemen pun mengakui hal ini. Dengan begitu persepsi keadilan organisasi terkait
kebijakan tidak mempengaruhi work engagement karyawan.
S I M P U L A N
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara organizational
justice dan work engagement pada karyawan PT. Dua Kelinci. Hasilnya adalah hipotesis
penelitian (Ha) ditolak dan (Ho) diterima, yakni tidak terdapat hubungan antara
organizational justice dan work engagement pada karyawan PT. Dua Kelinci. Walaupun tidak
berhubungan secara signifikan, ketika dilakukan uji statistik tambahan variabel
organizational justice dengan masing-masing dimensi work engagement yaitu vigor, dedikasi
dan absorpsi, diketahui terdapat hubungan pada dimensi vigor dan dedikasi, serta adanya
hubungan yang signifikan antara dimensi work engagement, yaitu vigor dan masa kerja,
meskipun hasil yang diperoleh adanya kuat hubungan antar variabel yang lemah.
Saran bagi peneliti selanjutnya diharapkan bisa memberikan kajian tentang work
engagement dengan variabel lain, baik di tempat penelitian yang sama yaitu food industry
maupun industri lainnya. Karena hasil penelitian ini masih belum menemukan hubungan
antara work engagement dan organizational justice. Untuk menggali faktor lain yang bisa jadi
Hubungan Organizational Justice dan Work Engagement Pada Karyawan PT. Dua Kelinci 24
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Tahun 2017, Vol. 6, 13-25
memiliki hubungan dengan work engagement. Mengingat tingkat engagement pada karyawan
PT Dua Kelinci masih cukup banyak yang rendah (25%). Hal ini juga berguna untuk
menambah referensi terkait penelitian psikologi berkonteks food industry di Indonesia. Selain
itu diharapkan melakukan kajian lanjutan tentang work engagement dan organizational
justice. Seperti yang dikatakan Gupta dan Kumar (2013) bahwa masih sulitnya menentukan
hubungan antara organizational justice dan work engagement karena sedikitnya penelitian
yang fokus pada hal ini dan secara tidak konsisten menggunakan alat ukur yang sama.
P U S T A K A A C U A N
Albrecht, S. L. (2010). HandBook of Employee Engagement: Prespective, Issues, Research and Practice. UK: Edward ELgar Publising Limited.
Chen, C.-F., & Chen, Y.-L. (2013). The role of work engagement and job tenure as moderators of the burnout-perfomance reletionship among flight attendants. Proceeding of world conference on transport reseacrh, 1-17.
Colquitt, J. A. (2001). On the Dimensionality of Organizational Justice:On the Dimensionality of Organizational Justice: A Construct Validation of a Measure. Journal of Applied Psychology, Vol. 86, No. 3, 386-400.
Cropanzano, R., & Folger, R. (1998). Organizational Justice and Human Resource Management. London: SAGE Publication, Inc.
Cropanzano, R., Bowen, D., & Gilliland, S. (2007). The Management of Organizational Justice. Academy of Management Perspectives, 34-48.
Fatmawati, Adis. (2016). Hubungan antara keadilan organisasi dengan pemenuhan kontrak psikologis pada guru honorer smk swasta di wilayah kabupaten sioarjo. Skripsi. Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga
Fortin, M. (2008). Perspectives on Organisational Justice: Concept clarification, social context integration, time and links with morality. International Journal of Management Reviews, 93-126.
Gupta, V. and Kumar, S. (2012). Impact of performance appraisal justice on employee engagement: a study of Indian professionals, Employee Relations, Vol. 35 No. 1, pp. 61-78.
Gosh, P., Rai, A., & Sinha, A. (2014). Organizational Justice and Employee Enggagement: Exploring The Linage in Public Sector Bank in India. Personal Review Vol. 43, 628-652.
Greenbreg, J. (1990). Organizational Justice: Yesterday, Today, Tomorrow. Journal of Management, Vol. 16, No. 2, 399-432.
Ivanovic, S., Galicic, K., dan Krstevska., (2010). Event Plannung as a Function in The Hospitality Industry. Jourrnal Tourism & Hospitality management, 925-930.
JPNN. (2013). Saat Outsourcing Rajin, Jadi Karyawan Tetap Justru Pemalas. Diakses pada tanggal 11 Juni 2017 dari JPNN: http://www.jpnn.com/news/saat-outsourcing-rajin-jadi-karyawan-tetap-justru-pemalas.
Hubungan Organizational Justice dan Work Engagement Pada Karyawan PT. Dua Kelinci 25
Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi Tahun 2017, Vol. 6, 13-25
Kahn, W. A. (1990). Psychological Condition of Personal Engagement and Disengagement at Work. Acedemy of Management Journal, Vol. 33 No.4, 692-724.
Kurniawati, I. D. (2014). Masa kerja dengan job engagement pada karyawan. Jurnal psikologi terapan, (2), 2301-8267.
Ledimo, O., & Hlongwane, V. (2014). The role of organisational justice on employee engagement within a public service organisation in South Africa. La Pensee Multidisciplinary Journal, Volume 76, Issue 11, p 1-13.
Mann, A., & Harter, J. (2016, Januari 7). The Worldwide Employee Engagement Crisis. Retrieved Desember 17, 2016, from Gallup: http://www.gallup.com/businessjournal/188033/worldwide-employee-engagement-crisis.aspx?g_source=engagement&g_medium=search&g_campaign=tiles
Nink, M. (2016). The negative impact of disengaged employees on Germany. Diakses pada tanggal 1 Februari 2016, dari Gallup: http://www.gallup.com/businessjournal/190445/negative-impact-disengaged-employees-germany.aspx.
Pallant, Julie. (2010). SPSS Survival Manual. New York: Allen & Unwin Book Publishers. Portalhr. (2007). Beda karyawan tetap dan karyawan kontrak. Diakses pada tanggal 11 Juni
2017, dari PortalHR: http://portalhr.com/ konsultasi/beda-karyawan-tetap-dengan-karyawan-kontrak/
Ratanjee, V., & Emond, L. (2013). Why indonesia must engage younger workers. Diakses pada tanggal 1 Januari 2016, dari Gallup: http://www.gallup.com/businessjournal/166280/why-indonesia-engage-younger-workers.aspx?g_source=indonesia&g_medium=search&g_campaign=tile.
Saks, A. M. (2006). Antecedents and Consequences of Employee Engagement. Journal of Managerial Psychology Vol.21 No.7, 600-619.
Schaufeli, W. B., Salanova, M., Gonzalez-roma, V., & Bakker, A. B. (2002). The Measurement of Engagement and Burnout: A Two Sample Confirmatory Factors Analtyc Approach. Journal of Happiness Studies 3, 71-92.
Schaufeli, W., & Bakker, A. (2006). The Measurement of Work Engagement With a Short Questionnaire. Educational and Psychological Measurement, 66, 701-716.
Schaufeli, W. B., Bakker, A. B., & Van Rhenen, W. (2009). How changes in job demands and resources predict burnout, work engagement, and sickness absenteeism. Journal of Organizational Behavior, 30, 893-917.
Shirom, A. (2003). Feeling vigorous at work? The construct of vigor and the study of positive affect in organizations. Emotional and Physiological Processes and Positive Intervention Strategies Research in Occupational Stress and Well Being, Volume 3, 135–164.
Strom, D., Sears , K., & Kelly, K. (2014). Work Engagement: The Roles of Organizational Justice and Leadership Style in Predicting Engagement Among Employees. Journal of Leadership & Organizational Studies, Vol. 21(1) 71–82.
Yadav, L., & Yadav, N. (2016). Organizational Justice: An Analysis of Approaches, Dimensions and Outcomes. NMIMS Management Review, 14-40.