Click here to load reader
Upload
ramadhani-pratama
View
4.026
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Citation preview
ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN FISKAL PEMERINTAH TERHADAP KINERJA INDUSTRI MIKRO DAN KECIL INDONESIA
Ir. Darwin, M.Sc dan Ramadhani Pratama Guna, S.T Jurusan Teknik Industri – ITB
ABSTRAK
Kondisi perekonomian Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi perindustrian Indonesia.
Sedangkan jumlah mayoritas industri Indonesia terdiri dari industri berskala mikro dan kecil. Begitu pula dengan tenaga kerja yang ada di skala industri tersebut. Tenaga kerja yang bekerja pada industri skala mikro dan kecil merupakan jumlah mayoritas di antara skala industri lainnya. Oleh sebab itu, industri mikro dan kecil merupakan industri yang cukup berpengaruh terhadap hidup masyarakat Indonesia. Berbagai kebijakan makro ekonomi terutama fiskal telah berdampak kepada industri mikro dan kecil. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain kenaikan dan penurunan harga BBM bersubsidi, harga Tarif Dasar Listrik (TDL), ataupun pengaturan tarif pajak yang dikenakan seperti Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Penelitian ini memfokuskan pembahasan kepada dampak yang dirasakan industri mikro dan kecil atas kebijakan fiskal yang diterapkan pemerintah dengan pendekatan sistem dinamis. Berdasarkan hasil 4 (empat) skenario kebijakan, pengurangan subsidi BBM menyebabkan pengaruh utamanya pada jumlah industri mikro dan kecil yang semakin menurun, serta tenaga kerja yang bekerja pada IMK yang juga semakin menurun. Sementara itu, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menyebabkan penurunan pada tingkat produktivitas IMK, namun masih berada dalam kondisi wajar. Adapun kenaikan alokasi APBN untuk Kementerian Perindustrian dapat menyebabkan penurunan produktivitas dan jumlah industri mikro dan kecil, namun meningkatkan aliran modal yang diberikan kepada IMK oleh lembaga keuangan dan pemodal lainnya Kata kunci: Perekonomian, industri mikro dan kecil, kebijakan fiskal, sistem dinamis, model industri mikro dan kecil. 1. PENDAHULUAN
Situasi dunia ke depan dihadapkan pada berbagai tantangan ekonomi. Semakin terbatasnya energi minyak bumi dan kemajuan teknologi menjadikan daya saing mutu produk tidak bisa bertahan lama. Ditambah lagi dengan liberalisasi perdagangan yang akan dihadapi, membuat bangsa ini harus mempunyai daya saing produknya agar bisa ekspansi dan mempunyai kekuatan untuk berkembang lebih jauh.
Sejak tahun 1967 hingga 2004 struktur perekonomian Indonesia mengalami perubahan yang signifikan. Departemen Perindustrian RI tahun 2009 melaporkan bahwa perlahan-lahan kontribusi sektor industri terhadap PDB semakin meningkat hingga dari 7.3% hingga 28.1%. Sebaliknya, sektor pertanian menurun dan pertambangan cenderung konstan. Indonesia mulai lepas landas dari negara agraris menjadi negara industri. Kini industri-industri berkembang di Indonesia, baik yang investasi asing, ataupun investasi dalam negeri. Beberapa
industri yang menjadi unggulan Indonesia saat itu adalah tekstil, garmen, alas kaki, rotan, dan lainnya.
Namun sejak 2004 hingga 2009, kontribusi sektor industri terhadap PDB semakin menunjukkan tren penurunan. Departemen Perindustrian RI melaporkan bahwa kontribusi sektor industri terhadap PDB menurun dari 28,1% menjadi 27,34%. Tidak hanya itu, sektor industri semakin menunjukkan pertumbuhan minus, dari 6,38% di tahun 2004, menjadi 4,60%; 4,59%; 4,67%; 3,66%; dan 2,31% pada tahun 2009. Melihat kenyataan ini, banyak pengamat ekonomi mengindikasikan terjadinya “deindustrialisasi”. Hal ini juga ditunjukkan dengan penurunan kapasitas terpasang industri dari 80% menjadi 60%, penurunan jumlah unit usaha industri skala sedang dan besar, dan penurunan signifikan dari indeks produksi industri sedang dan besar.
Deindustrialisasi yang terjadi semakin diperparah dengan sejumlah perdagangan bebas yang diikuti oleh Indonesia, seperti ASEAN – China Free Trade Agreement (ACFTA), Indonesia – Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA), dan lainnya. Industri kita ibarat menghadapi lawan berat semacam China dan Jepang yang perindustriannya sudah sangat mumpuni. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) melaporkan bahwa China menduduki posisi pertama dalam kinerja industri di Asia Timur dan Tenggara, sedangkan Indonesia pada urutan ke-38. Tidak hanya itu, pertumbuhan nilai ekspor dan impor Indonesia dalam lima tahun terakhir tercatat 11,50% berbanding 24,47%.
Memang tidak semua cabang industri mengalami deindustrialisasi. Namun, gejala umum menunjukkan bahwa walaupun tidak semua, industri yang mengalami deindustrialisasi jauh lebih banyak dibandingkan yang tidak mengalami deindustrialisasi. Data
dari Badan Pusat Statistik RI menunjukkan bahwa hanya industri barang kayu dan hasil hutan yang menunjukkan gejala pertumbuhan, yaitu terus menanjak dari -2,07% sampai 2,44%. Industri alat angkut, mesin, dan peralatan mengalami pertumbuhan konstan, yaitu sekitar 9,7% dalam beberapa tahun terakhir. Sisanya mengalami pertumbuhan minus.
Perkembangan Impor nasional selama tiga tahun terakhir juga mengalami peningkatan yang tinggi. Total impor Indonesia pada tahun 2007 sebesar US$ 74.473,43 juta atau meningkat 21,96% dari tahun 2006 dan pada tahun 2008 pertumbuhan impor meningkat sebesar 73,48% dengan nilai sebesar US$ 129.197,31 juta. Kondisi ini menunjukkan terjadi peningkatan impor sebesar 3,32 kali. Pada 2010 defisit perdagangan Indonesia dengan China sudah mencapai US$5,3 miliar. Data itu menunjukkan begitu derasnya arus barang dan jasa dari China yang masuk ke Indonesia, mulai dari yang kecil seperti peniti hingga barang yang sesungguhnya sudah banyak di negeri ini. Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), selama Februari 2011 perdagangan Indonesia dengan China juga mencatat defisit US$ 324,5 juta. Defisit neraca perdagangan nonmigas dengan China pada periode Januari-Oktober 2010 mencapai US$ 5,3 miliar. Angka itu mengalami peningkatan sebesar US$ 1,4 miliar dibandingkan periode yang sama tahun 2009 senilai US$ 3,9 miliar.
Sektor industri adalah sektor yang sangat penting bagi perekonomian. Ibarat sebuah kendaraan, sektor industri adalah motornya. Untuk menciptakan daya saing bangsa dan kemerataan kesejahteraan, perindustrian yang mumpuni menjadi syarat mutlak. Terlebih lagi untuk industri mikro dan kecil yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian rakyat banyak. Hal ini dikarenakan industri besar banyak yang merupakan investasi asing
sehingga tidak murni dari masyarakat Indonesia sendiri. 2. MODEL
Berdasarkan analisis terhadap kondisi eksisting industri mikro dan kecil dan untuk memudahkan penelitian ini, dilakukanlah pembagian subsistem. Sistem industri mikro dan kecil serta hubungannya dengan sistem perekonomian makro nasional dibagi menjadi delapan subsistem, yaitu: 1. Subsistem Produksi Bahan Baku dan Barang
Modal. 2. Subsistem Produksi Barang Industri. 3. Subsistem Distribusi Barang Industri.
4. Subsistem Konsumsi Barang Industri. 5. Subsistem Tenaga Kerja. 6. Subsistem Lembaga Keuangan. 7. Subsistem Kementerian Keuangan
(Kemenkeu). 8. Subsistem Kementerian Perindustrian
(Kemenperin). Untuk mempermudah analisis sistem,
dilakukan pembuatan tabel interaksi antar subsistem. Tabel ini menggambarkan interaksi antar subsistem, yang meliputi interaksi material, perintah (order), uang, tenaga kerja, kapital, dan informasi. Berikut tabel interaksi antar subsistem.
Tabel 1 Interaksi Antar Subsistem
Dari\Ke
Prod. Bahan
Baku dan Barang Modal
Produksi Barang Industri
Distribusi Barang Industri
Konsumsi Barang Industri
Tenaga Kerja
Lembaga Keuangan
Kemenkeu Kemenperin
Prod. Bahan Baku dan
Barang Modal
Material Perintah
Kapital
Produksi Barang Industri
Uang Material
Perintah
Perintah Uang Perintah
Perintah Uang
Distribusi Barang Industri
Perintah Material
Perintah Uang
Uang Uang
Konsumsi Barang Industri
Perintah
Tenaga Kerja
Perintah Uang
Uang Uang
Tenaga Kerja Produksi Perintah
Lembaga Keuangan
Uang Uang Uang Uang
Kementerian Keuangan
Informasi Uang
Kementerian Perindustrian
Perintah Perintah
Perintah Perintah
Perintah Informasi Informasi
Uang Uang
Setelah dilakukan analisis berdasarkan
kondisi nyata dan dengan bantuan Tabel 1 Interaksi Antar Subsistem, penggambaran
diagram subsistem industri mikro dan kecil adalah sebagai berikut:
Gambar 1 Diagram Subsistem Industri Mikro dan Kecil
Sistem industri mikro dan kecil ini terdiri dari delapan subsistem yang saling berinteraksi. Interaksi ini kemudian menjadikannya sebuah sistem keseluruhan yang salin berkaitan. Bentuk interaksinya pun bermacam-macam, seperti interaksi material (barang), order (perintah, pesanan), uang, tenaga kerja, kapital, dan informasi. Hal ini menjadi langkah awal untuk membantu penelitian ke tahap berikutnya.
Subsistem Produksi Bahan Baku dan Barang Modal
Sebagai industri sekunder, industri-industri yang tercakup dalam industri mikro dan kecil tentu memiliki rantai produksi yang jelas. Hal ini diawali dari kebutuhan akan bahan baku sebagai bahan dasar sebuah barang produksi. Bahan baku ini didapatkan dari dalam ataupun luar negeri (impor). Pengiriman bahan baku dari
dalam ataupun luar negeri sama-sama membutuhkan waktu. Sehingga, tantangan bagi industri mikro dan kecil, yang manajerialnya tidak semapan industri menengah dan besar, adalah menentukan waktu pemesanan yang tepat agar tidak mengganggu siklus produksi. Dalam penelitian ini, diasumsikan bahwa delay rata-rata dalam pengiriman bahan baku ke produsen adalah 0,25 tahun (3 bulan). Hal ini dikarenakan pemasok bahan baku industri mikro dan kecil adalah industri mikro dan kecil juga. Sehingga manajerial yang kurang mapan berpengaruh pula pada tingkat pengiriman bahan baku.
Sedangkan pada barang modal (kapital), sebagian besar sudah tersedia di Indonesia. Hal ini dikarenakan industri mikro dan kecil belum memerlukan teknologi yang sangat tinggi dalam mengolah bahan bakunya. Sehingga mesin-mesin sederhana cenderung mudah didapatkan di Indonesia. Penelitian ini mengasumsikan
bahwa kecepatan rata-rata industri mikro dan kecil dalam mengakuisisi kapital adalah 1 tahun (12 bulan). Subsistem Produksi Barang Industri
Bahan baku yang telah diolah, barang kapital yang telah diakuisisi, ditambah dengan produktivitas tenaga kerja, serta pemanfaatan sumber daya lainnya akan menghasilkan produk dengan tingkat efektivitas dan efisiensi tertenu. Waktu proses pengolahan ini bervariasi antara satu industri dengan industri lainnya. Namun, diasumsikan bahwa waktu rata-rata yang diperlukan industri mikro dan kecil untuk mengolah menjadi barang jadi adalah 0.019 tahun (1 pekan). Sehingga pada model nanti, kecepatan ini tidak akan berpengaruh signifikan, jika dibandingkan dengan periode analisis yang diukur dengan satuan tahun.
Subsistem produksi ini menggambarkan keterhubungan variabel-variabel yang berpegaruh dalam proses produksi. Keberpengaruhan ini dilihat terutama berdasarkan waktu dan biaya (cost). Subsistem ini menghubungkan antara Subsistem Bahan Baku dan Barang Modal dengan Subsistem Distribusi Barang Industri. Sehingga nantinya variabel yang mempengaruhi permintaan (demand) dan penawaran (supply) adalah permintaan dari distributor dan tingkat produksi agregat dari industri mikro dan kecil ini. Subsistem Distribusi Barang Industri
Saat permintaan barang diajukan oleh distributor, saat itu pula Subsistem Distribusi Barang Industri bekerja. Variabel-variabel yang mempengaruhi permintaan (demand) dan penawaran (supply) dalam Subsistem Distribusi tentunya adalah permintaan konsumen dari Subsistem Konsumsi Barang Industri. Seperti halnya Subsistem Produksi, subsistem ini juga mempunyai kapasitas penyaluran barang.
Kekurangan kapasitas akan menyebabkan terbentuknya usaha-usaha dagang baru, baik itu skala mikro, kecil, menengah, ataupun koperasi.Sedangkan menurunnya permintaan konsumen ataupun supply dari Subsistem Produksi akan menyebabkan berkurangnya unit usaha dagang.
Selain itu, perlu diperhatikan kapasitas modal dari subsistem ini. Hal ini untuk menunjang peningkatan kapasitas distribusi susbsistem. Oleh karena itulah, aliran modal pada sektor ini juga penting untuk dipelajari. Subsistem KonsumsiBarang Industri
Subsistem ini mempelajari variabel-variabel yang mempengaruhi tingkat permintaan konsumen terhadap barang industri. Beberapa variabel yang dipelajari adalah tingkat upah rata-rata agregat, tingkat inflasi, jumlah penduduk produktif, dan tingkat permodalan dari lembaga keuangan untuk membiayai konsumsi masyarakat. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa seiring jumlah penduduk yang selalu meningkat dari waktu ke waktu, kebutuhan akan barang semakin besar. Inilah yang menjadi faktor penarik utama bagi permintaan (demand) pada Subsistem Distribusi, yang pada akhirnya berpengaruh juga pada Subsistem Produksi.
Subsistem ini juga menjadi sumber tenaga kerja. Hal ini dikarenakan konsumsi yang berasal dari subsistem ini adalah konsumsi rumah tangga, baik itu rumah tangga keluarga, perusahaan, atau bahkan pemerintah sendiri. Untuk dapat terus memenuhi kebutuhannya akan barang industri, manusia ini kemudian bekerja untuk memperoleh sumber daya yang bisa ia manfaatkan untuk memperoleh barang yang dibutuhkannya. Subsistem Tenaga Kerja
Subsistem ini mempelajari variabel-variabel yang mempengaruhi tingkat kebutuhan
tenaga kerja untuk industri mikro dan kecil. Subsistem ini juga mempelajari pengaruh variabel-variabel yang berkaitan di dalamnya, terhadap tingkat upah rata-rata agregat tenaga kerja yang bekerja di industri mikro dan kecil. Tingkat upah inilah yang akan memberikan pengaruh pada kebutuhan barang industri pada Subsistem Konsumsi.
Pada Subsistem Tenaga Kerja inipun terjadi permintaan (demand) dan penawaran (suppy) tenaga kerja. Permintaan tenaga kerja timbul seiring dengan meningkatnya jumlah industri mikro dan kecil, ataupun meningkatnya kapasitas industri mikro dan kecil. Sedangkan sisi penawaran (supply) dipengaruhi oleh perpindahan tenaga kerja dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya, pengangguran yang terakumulasi dari tahun-tahun berikutnya, dan kelulusan calon tenaga kerja dari lembaga-lembaga pendidikan. Subsistem Lembaga Keuangan
Subsistem Lembaga Keuangan mempelajari variabel-variabel yang berpengaruh kepada pembentukan modal untuk subsistem lainnya. Subsistem-subsistem yang dipengaruhi ini adalah Subsistem Produksi, Subsistem Distribusi, dan Subsistem Konsumsi. Semakin tinggi aliran modal kepada industri mikro dan kecil, hal ini akan semakin menambah kapasitas produksi industri kecil dan mikro, serta kapasitas distribusi Subsistem Distribusi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat atas barang industri. Aliran modal ini dipengaruhi oleh berbagai variabel. Variabel yang mempengaruhi antara lain prospek pendapatan, dan pengajuan akan modal itu sendiri. Subsistem Kementerian Keuangan
Subsistem ini menjadi subsistem kunci bagi penelitian ini. Hal ini dikarenakan kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah
bermula dari sini. Sehingga, posisi penelitian ini ada pada Subsistem Kementerian Keuangan, yang melihat seluruh subsistem lainnya dengan kacamata fiskal. Subsistem ini mempelajari variabel-variabel yang dapat mempengaruhi kebijakan fiskal yang diterapkan, terutama yang berkaitan pada industri mikro dan kecil. Adapun contoh kebijakan-kebijakan tersebut adalah kebijakan tarif pajak, kebijakan subsidi, dan kebijakan alokasi APBN untuk kementerian lain. Dalam hal ini, yang juga dipelajari adalah kebijakan alokasi APBN untuk Kementerian Perindustrian.
Tidak hanya itu, subsistem ini juga mempelajari kebijakan fiskal lainnya, terutama mengenai belanja modal, belanja barang, belanja pegawai, ataupun pembayaran bunga hutang. Dampak-dampak yang dipelajari adalah pada fleksibiltas APBN, defisit atau surplus kas negara, dan lainnya. Subsistem Kementerian Perindustrian
Subsistem Kementerian Perindustrian mempelajari pengaruh variabel-variabel yang berhubungan terhadap kebijakan alokasi anggaran pada program. Program-program ini dilaksanakan oleh Kementerian Perindustrian. Program-program ini ada yang bersifat umum untuk industri secara keseluruhan baik itu mikro, kecil, menengah, dan besar. Namun, ada juga program yang dikhususkan untuk industri mikro dan kecil. Meskipun program ini ada yang bersifat umum untuk industri secara keseluruhan, namun keberpengaruhan program ini terhadap industri mikro dan kecil harus tetap dipelajari. 3. PERILAKU MODEL
Setelah perancangan model selesai, hal yang harus dilakukan adalah mempelajari perilaku model. Variabel yang perlu dipelajari
adalah variabel yang menjadi ukuran performansi model secara keseluruhan.
Setelah dilakukan simulasi pada model dasar, disimpulkan bahwa ada kenaikan jumlah industri mikro dan kecil pada rentang 2009 – 2011. Hal ini didukung dengan situasi ekonomi dan politik yang stabil di Indonesia ketika era tersebut. Pada tahun 2009 terjadi tiga kali penurunan harga BBM bersubsidi, sehingga hal ini membawa kemudahan pada IMK untuk berkembang. Hal ini juga menunjukkan bahwa keberadaan industri mikro dan kecil tidak terlalu terpengaruh oleh kondisi krisis ekonomi global yang terjadi pada rentang 2008 – 2010. Begitu pula dengan kondisi politik yang cukup stabil pada rentang 2009 – 2011 meskipun ada pemilu legislatif dan pemilu presiden. Namun pada kenyataannya kedua pemilu ini berjalan dengan normal.
Jika kebijakan fiskal tetap dipertahankan seperti kondisi sekarang ini dan tidak mengalami perubahan signifikan, model menunjukkan bahwa tahun 2013 merupakan tahun awal lonjakan signifikan bagi IMK hingga tahun 2018. Pada titik tertinggi ini, jumlah IMK mencapai 3.233.104 unit. Namun, jumlah IMK akan kembali mengalami penurunan yang tidak terlalu signifikan pada rentang 2018 – 2020. Peneliti belum bisa memperkirakan apa penyebab tren mature pada 2015 – 2018 dan penurunan IMK pada tahun 2018 – 2020. Hal yang sudah direncanakan oleh pemerintah adalah mengurangi subsidi BBM secara bertahap hingga 2014 harga BBM bersubsidi sudah bisa dilepas kepada harga pasar. Dengan kata lain, subsidi untuk BBM dicabut secara penuh tahun 2014.
Seperti halnya tren pada jumlah IMK, jumlah tenaga kerja mulai meningkat lagi dalam rentang 2009 – 2011 setelah mengalami tren penurunan pada 2008 – 2009. Meskipun keberadaan IMK tidak terlalu dipengaruhi oleh
kondisi global, melihat tren simulasi ini, ada kemungkinan jumlah tenaga kerja yang terpengaruh oleh krisis global. Kenaikan harga minyak dunia yang sangat tinggi pada 2008 menyebabkan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Hal ini menyebabkan pertumbuhan tidak signifikan pada IMK, dan diiringi dengan pengetatan kapasitas produksi. Harga produksi yang dipengaruhi oleh pengeluaran untuk upah tenaga kerja harus dihemat dengan mengurangi tenaga kerja itu sendiri.
Seiring dengan penurunan IMK pada rentang 2011 – 2013, jumlah tenaga kerja IMK juga mengalami penurunan yang cukup drastis. Jumlah ini mencapai titik terbawah pada 2013 dengan jumlah pekerja IMK 5.458.777 orang. Menjelang 2014, jumlah tenaga kerja ini akan meningkat. Penulis memperkirakan hal ini terjadi seiring dengan tumbuhnya ekspektasi masyarakat atas kepemimpinan yang baru, sehingga membawa optimisme. Namun hal ini hanya bersifat sementara karena terjadi penurunan jumlah tenaga kerja kembali pada rentang 2015 – 2016. Barulah dalam rentang 2016 hingga 2020, jumlah pekerja pada IMK mengalami tren peningkatan.
Krisis global dan kenaikan harga minyak dunia pada sekitar 2008 – 2009 membuat pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Hal ini membawa dampak pada menurunnya produktivitas IMK dibanding pada titik puncak tahun 2006. Namun tingkat produktivitas ini semakin meningkat seiring dengan situasi politik dan ekonomi yang terjadi pada 2009. Harga BBM bersubsidi yang diturunkan tiga kali oleh pemerintah membawa kemudahan tersendiri pada IMK untuk meningkatkan produktivitasnya.
Meskipun jumlah IMK menurun pada rentang 2011 – 2013, hal ini tidak berlaku pada produktivitas IMK. Tingkat produktivitas ini
menunjukkan tren meningkat secara terus menerus hingga 2020. Hal yang dapat diperkirakan adalah bahwa IMK yang masih bertahan pada rentang 2011 – 2013 mengetatkan tingkat produktivitasnya pada titik yang tinggi. Sehingga nilai produksi tetap terjaga untuk tetap naik seiring berjalannya waktu.
Pada rentang 2005 – 2007, penyaluran modal kepada IMK merupakan titik terendah. Sedangkan pada rentang waktu 2007 – 2009 modal yang disalurkan kepada IMK bertambah
secara drastis, dan jumlah ini terus meningkat hingga 2020. Hal ini diakibatkan banyaknya permintaan penambahan modal untuk menjaga nilai produkivitas IMK karena kenaikan harga BBM bersubsidi yang cukup tinggi. Hal ini wajar karena salah satu variabel yang mempengaruhi kebijakan mengalirkan modal kepada IMK adalah tingkat permintaan modal itu sendiri. Adapun nilai detail dari kriteria performansi yang dijelaskan tersebut disajikan dalam tabel 2 berikut.
Tabel 2 Hasil Simulasi Dasar Semua Kriteria Performansi
Tahun
Jumlah Industri
Mikro dan Kecil (unit)
Jumlah Tenaga Kerja
(orang)
Tingkat Produktivitas (juta rupiah)
Aliran Modal ke IMK (juta rupiah)
2005 2,661,434 7,434,662 136,655,250 29,545,683
2006 2,662,168 7,142,974 217,611,826 26,668,734
2007 2,661,272 7,135,247 176,342,217 28,706,662
2008 2,660,261 7,305,010 180,093,461 38,111,427
2009 2,660,661 6,586,975 183,440,376 39,930,279
2010 2,664,472 7,265,475 184,881,455 44,436,532
2011 2,668,239 7,467,230 188,014,233 55,460,469
2012 2,662,289 7,155,583 190,654,381 65,775,525
2013 2,643,978 5,458,778 194,111,635 74,175,059
2014 2,888,661 5,567,100 197,024,887 81,115,463
2015 3,195,213 7,264,151 201,010,912 88,832,382
2016 3,208,118 6,391,656 203,782,695 95,023,195
2017 3,220,650 6,575,971 208,276,442 100,196,625
2018 3,233,104 6,432,618 210,797,921 104,754,767
2019 3,219,792 6,402,067 214,394,386 109,339,969
2020 3,182,019 7,313,158 214,437,881 112,097,046
Dalam tabel 2, variabel yang
menunjukkan jumlah uang mempunyai satuan juta rupiah seperti tingkat produktivitas dan aliran modal untuk IMK. Sedangkan jumlah IMK bersatuan unit. Adapun untuk Jumlah tenaga kerja bersatuan orang.
Tingkat produksi IMK semakin bertambah seiring dengan berjalannya waktu dan
juga bertambahnya jumlah IMK. Adapun hal utama yang mempengaruhi hal ini adalah kenaikan jumlah penduduk Indonesia tiap tahunnya, yang berdampak pada semakin meningkatnya permintaan akan barang dan jasa. 4. PERENCANAAN KEBIJAKAN
Pada bagian ini akan ditetapkan mengenai kebijakan yang akan dilakukan dan dampaknya terhadap industri mikro dan kecil, terutama terkait dengan kriteria performansi. Kebijakan yang akan dirancang terlebih dahulu melihat arah pengembangan sektor industri yang telah ditetapkan oleh Kementerian Perindustrian RI.
Penelitian ini sejak awal dirancang agar rentang kebijakan yang dilakukan luas, sehingga banyak skenario kebijakan yang akan tercipta. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan bisa berasal dari Kementerian Keuangan dan juga Kementerian Perindustrian. Namun, karena keterbatasan sumber daya yang ada pada peneliti (seperti waktu, tenaga, uang), penelitian ini hanya akan menyiapkan 4 (empat) skenario kebijakan.
Telah dibahas bahwa pasca krisis, pemerintah mengharapkan kondisi perindustrian agar bangkit kembali. Sehingga hal kunci yang menjadi indikator adalah produktivitas industri itu sendiri, terutama industri mikro dan kecil. Jika produktivitas industri meningkat, kebutuhan akan kapasitas produksi semakin lama semakin besar. Dampak yang akan terjadi yaitu dua hal: bertambahnya jumlah IMK untuk menyiasati kebutuhan kapasitas produksi, atau peningkatan kapasitas produksi tiap industri kecil dan mikro tersebut. Namun, apapun yang terjadi di antara dua hal ini, tetap akan berpengaruh pada pertumbuhan penyerapan tenaga kerja. Hal ini dikarenakan tenaga kerja merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas. Adapun hal-hal yang mempengaruhi produktivitas industri selain tenaga kerja adalah penguasaan kapital, harga bahan baku, dan harga energi.
Berdasarkan analisis ini, peneliti menetapkan 4 (empat) alternatif kebijakan. Adapun empat alternatif ini adalah:
1. Pengurangan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 5%. Sebagai kompensasi dari berkurangnya potensi penerimaan APBN, skenario ini diiringi dengan penurunan subsidi energi dari kondisi sekarang 18% APBN menjadi 10% APBN.
2. Pengurangan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 28% menjadi 10%. Sebagai kompensasi dari berkurangnya potensi penerimaan APBN, skenario ini diiringi dengan penurunan subsidi energi dari kondisi sekarang 18% APBN menjadi 10% APBN.
3. Penambahan subsidi energi dari kondisi sekarang 18% APBN menjadi 20% APBN. Sebagai kompensasi dari bertambahnya beban APBN, alokasi anggaran untuk Kementerian Perindustrian dikurangi dari 0.15%APBN (sekarang) menjadi 0.1% APBN, dan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dinaikkan dari 10% (sekarang) menjadi 15%.
4. Alokasi anggaran untuk Kementerian Perindustrian ditambah dari 0.15% menjadi 0.35% APBN. Sebagai kompensasi bertambahnya beban APBN, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ditingkatkan dari 10% (sekarang) menjadi 12%.
Rentang waktu dilakukannya simulasi adalah tahun 2012 – 2020. Pada rentang waktu itu, diasumsikan tidak ada gejolak perekonomian dan politik yang mempengaruhi relevansi model ini secara signifikan. Juga kepemimpinan pemerintah ke depan dapat terus melanjutkan skenario kebijakan ini. Adapun skenario tersebut jika dirangkum dalam tabel adalah sebagai berikut:
Tabel 3 Skenario Kebijakan yang Akan Disimulasikan
Instrumen
Kebijakan
Subsidi
Energi
Terhadap
APBN
Tarif
PPh
Badan
Tarif
PPN
Alokasi
Untuk
Kemenperin
Terhadap
APBN
Eksisting 18% 28% 10% 0.15%
Skenario 1 10% 28% 5% 0.15%
Skenario 2 10% 10% 10% 0.15%
Skenario 3 20% 28% 15% 0.10%
Skenario 4 18% 28% 12% 0.35%
5. HASIL DAN ANALISIS PERANCANGAN KEBIJAKAN
Berdasarkan skenario kebijakan yang telah dirancang, simulasi dilakukan dengan mengukur kriteria performansi ketika diterapkan kebijakan dalam skenario-skenario yang ada. Adapun skenario pertama adalah menurunkan subsidi energi dan menurunkan tarif PPN. Skenario kedua adalah menurunkan subsidi energi dan menurunkan tarif PPh Badan. Skenario ketiga adalah menaikkan subsidi BBM, menaikkan tarif PPN, dan menurunkan alokasi anggaran untuk Kementerian Perindustrian. Skenario keempat adalah menaikkan tarif PPN dan menaikkan alokasi anggaran untuk Kementerian Perindustrian menjadi 0.35%.
Berdasarkan pada simulasi yang dilakukan dari mulai simulasi model dasar, Skenario 1, Skenario 2, Skenario 3, dan Skenario 4, instrumen kebijakan yang sangat berpengaruh pada hasil simulasi adalah besar subsidi energi, alokasi APBN untuk Kementerian Perindustrian, dan besar tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sedangkan set instrumen kebijakan PPh Badan tidak terlalu berpengaruh pada hasil simulasi. Adapun penggabungan secara total dari simulasi ini adalah sebagai berikut.
Gambar 2 Jumlah IMK Untuk Semua Skenario
Gambar 3 Tingkat Produktivitas IMK Untuk
Semua Skenario
Gambar 4 Tingkat Aliran Modal Kepada
IMK Untuk Semua Skenario
Gambar 5 Jumlah Tenaga Kerja IMK Untuk Semua Skenario
Adapun hasil dari semua skenario kebijakan yang dilakukan, disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Tabel 4 Perbandingan Hasil Simulasi (sesuai satuan)
Instrumen
Kebijakan
Subsidi
Energi
Thd
APBN
Tarif
PPh
Badan
Tarif
PPN
Alokasi
Untuk
Kemenpe
rin
Terhadap
APBN
Rata-rata
Jumlah
IMK
(Unit)
Rata-rata
Tingkat
Produktivitas
(Juta Rupiah)
Rata-rata
Aliran Modal
(Juta Rupiah)
Rata-rata
Tenaga Kerja
(Orang)
Eksisting 18% 28% 10% 0.15% 2.880.770 193.845.622,38 68.385.613,54 6.806.165,38
Skenario 1 10% 28% 5% 0.15% 2.880.372 193.680.483,94 68.734.715,43 6.948.242,81
Skenario 2 10% 10% 10% 0.15% 2.884.659 191.438.078,38 68.098.096,46 2.879.945,31
Skenario 3 20% 28% 15% 0.10% 2.881.397 194.302.496,69 68.269.366,10 6.623.393,63
Skenario 4 18% 28% 12% 0.35% 2.871.897 191.240.496,06 68.681.665,06 5.063.482,75
Tabel 4 di atas menggambarkan bahwa rata-rata jumlah IMK tertinggi dicapai dengan skenario 2. Adapun untuk rata-rata tingkat produktivitas tertinggi dicapai dengan menerapkan skenario 3. Untuk rata-rata aliran modal kepada IMK tertinggi dicapai dengan
skenario 1. Begitu juga dengan rata-rata jumlah tenaga kerja pada IMK, jumlah tertinggi dicapai pada skenario 1. Untuk lebih mempertajam analisis, berikut perbandingan hasil simulasi, yang disajikan dalam persentase kenaikan ataupun penurunan kriteria performansi.
Tabel 5 Perbandingan Hasil Simulasi (dalam persen)
Instrumen
Kebijakan
Subsidi
Energi
Terhadap
APBN
Tarif
PPh
Badan
Tarif
PPN
Alokasi
Untuk
Kemenperin
Terhadap
APBN
Rata-
rata
Jumlah
IMK
Rata-rata
Tingkat
Produktivitas
Rata-rata
Aliran Modal
Rata-rata
Tenaga Kerja
Eksisting 18% 28% 10% 0.15% Acuan Acuan Acuan Acuan
Skenario 1 10% 28% 5% 0.15% -0.01% -0.09% 0.51% 2%
Skenario 2 10% 10% 10% 0.15% 0.13% -1.24% -0.42% -58%
Skenario 3 20% 28% 15% 0.10% 0.02% 0.24% -0.17% -3%
Skenario 4 18% 28% 12% 0.35% -0.31% -1.34% 0.43% -26%
Berdasarkan penggambaran dan analisis yang telah dilakukan dari skenario yang telah disimulasikan, dapat disimpulkan bahwa ada dua skenario yang menghasilkan dampak rata-rata optimal, yaitu Skenario 1 dan Skenario 3. Hal ini didasarkan pada dua hal, yaitu banyaknya kriteria performansi yang mengalami peningkatan; dan tingkat siginifikansi dari kenaikan ataupun penurunan kriteria performansi.
Kunci keunggulan yang harus diperhatikan adalah bahwa Skenario 1 unggul dalam aliran modal dan rata-rata jumlah tenaga kerja dibanding Skenario 3. Namun, Skenario 3 unggul dalam menyebabkan peningkatan jumlah IMK dan produktivitasnya dibandingkan Skenario 1. Sehingga, penulis menyarankan untuk kedepannya bagi pemerintah terutama Menteri Keuangan untuk menaikkan subsidi sebesar 2% atau mempertahankannya. Sebagai kompensasi atas beban APBN, Menteri Keuangan dapat menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai pada level kenaikan sekitar 1% - 5%. Jika masih perlu menghemat pengeluaran, bisa disiasati dengan menurunkan proporsi anggaran Kementerian Perindustrian atau anggaran untuk sektor ekonomi menjadi sebesar 0.10% APBN. 6. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pambahasan terutama pada Bab IV, V, dan VI didapatkan kesimpulan mengenai sistem industri mikro dan kecil nasional: 1. Faktor-faktor yang berpengaruh kepada
industri mikro dan kecil adalah permintaan konsumen (baik dalam maupun luar negeri), jumlah industri mikro dan kecil, jumlah tenaga kerja industri mikro dan kecil, rata-rata upah tenaga kerja industri mikro dan kecil, pembentukan modal ke industri kecil dan mikro, ketersediaan barang kapital, harga bahan baku dan ketersediaannya, harga barang secara agregat, besar pajak dan insentif dari pemerintah, besar subsidi energi (listrik dan BBM) dari pemerintah, dan besar alokasi anggaran untuk program-program dalam bidang ekonomi dan perindustrian.
2. Model simulasi dinamis industri mikro dan kecil terdiri dari Model Pembentukan Barang Modal (Kapital), Model Ketersediaan Bahan Baku, Model Pembentukan Harga Agregat, Model Pembentukan Jumlah dan Produktivitas IMK, Model Pembentukan Permintaan Konsumen, Model Upah Agregat Tenaga Kerja IMK, Model Pembentukan Jumlah Tenaga Kerja IMK, Model Pembentukan Modal ke IMK, Model Besaran Pajak dan
Insentif, Model Perhitungan Subsidi BBM, dan Model Perhitungan Kebijakan Program.
3. Kebijakan pemerintah yang cukup berpengaruh pada model yang dibahas dalam penelitian ini adalah besar subsidi energi (listrik dan BBM), besar Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan besar alokasi APBN untuk Kementerian Perindustrian.
4. Performansi sistem pengelolaan perindustrian nasional khususnya industri mikro dan kecil sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi dalam negeri. Adapun kondisi global tidak berpengaruh kepada industri mikro dan kecil, kecuali kondisi global tersebut memberikan pengaruh pada kebijakan pemerintah. Sehingga kebijakan pemerintahlah yang mempengaruhi performansi industri mikro dan kecil ini. Seperti yang terjadi pada 2008 dan 2009 mengenai pengaturan subsidi BBM.
5. Performansi sistem industri mikro dan kecil paling dipengaruhi oleh kebijakan subsidi
energi pemerintah, kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan besar alokasi APBN untuk Kementerian Perindustrian. Berdasarkan hasil 4 (empat) skenario kebijakan, pengurangan subsidi BBM menyebabkan pengaruh utamanya pada jumlah industri mikro dan kecil yang semakin menurun, serta produktivitas IMK yang juga semakin menurun. Sementara itu, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menyebabkan penurunan pada rata-rata aliran modal dan jumlah tenaga kerja pada IMK. Adapun kenaikan alokasi APBN untuk Kementerian Perindustrian dapat menyebabkan penurunan produktivitas, jumlah tenaga kerja, dan jumlah industri mikro dan kecil, namun meningkatkan aliran modal yang diberikan kepada IMK oleh lembaga keuangan dan pemodal lainnya. Adapun hasil secara lengkap, disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 6 Hasil Simulasi Skenario Kebijakan
Instrumen
Kebijakan
Subsidi
Energi
Terhadap
APBN
Tarif
PPh
Badan
Tarif
PPN
Alokasi
Untuk
Kemenperin
Terhadap
APBN
Rata-
rata
Jumlah
IMK
Rata-rata
Tingkat
Produktivitas
Rata-rata
Aliran Modal
Rata-rata
Tenaga Kerja
Eksisting 18% 28% 10% 0.15% Acuan Acuan Acuan Acuan
Skenario 1 10% 28% 5% 0.15% -0.01% -0.09% 0.51% 2%
Skenario 2 10% 10% 10% 0.15% 0.13% -1.24% -0.42% -58%
Skenario 3 20% 28% 15% 0.10% 0.02% 0.24% -0.17% -3%
Skenario 4 18% 28% 12% 0.35% -0.31% -1.34% 0.43% -26%
Setelah mempelajari berbagai fenomena dan dampak yang terjadi pada penelitian ini, serta untuk mengembangkan penelitian lebih lanjut, peneliti menyarankan: 1. Penelitian lebih lanjut mengenai kebijakan
industri mikro dan kecil nasional difokuskan pada penemuan skenario kebijakan yang
selain menghasilkan kondisi IMK yang paling optimal, namun juga sehat untuk APBN.
2. Penelitian lebih lanjut juga difokuskan pada dampak-dampak lebih rinci yang disebabkan oleh program kerja Kementerian Perindustrian dan kementerian yang terkait
seperti Program Peningkatan Produktivitas Tenaga Kerja, Program Pengembangan Iklim Usaha, Program Perlindungan Tenaga Kerja, dan lain sebagainya.
3. Penelitian lebih lanjut juga difokuskan pada persebaran jumlah dan produktivitas IMK, agar pemerataan pertumbuhan ekonomi bisa lebih diperluas.
Pemerintah agar menghindari pengurangan subsidi energi (listrik dan BBM). Lebih baik agar dipertahankan atau semakin ditingkatkan. Hal ini dikarenakan pertumbuhan kebutuhan kepada energi meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Adapun untuk menyiasati beban APBN, pemerintah dapat menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ataupun mengurangi alokasi atas pengeluaran-pengeluaran yang menurut UUD 1945 tidak lebih diprioritaskan ketimbang pemenuhan energi bagi masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Daellenbach, H.G., 1995. Systems and Decision
Making: a Management Science Approach.New Jersey: John Wiley&Sons, Inc.
Departemen Perindustrian, 2009. Laporan Pengembangan Sektor Industri Departemen Perindustrian Tahun 2004 – 2009 [online]. Jakarta: Departemen Perindustrian. Didapat dari: http://www.kemenperin.go.id/ind/publikasi/laporan_sektor_industri/2004-2009.pdf [Akses 4 Juli 2011].
Eriyatno, 1999. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen (Jilid 1). Bogor: IPB Press.
Forrester, J.W., 1961. Industrial Dynamics. Massachusetts: The MIT Press.
Forrester, J.W., 1968. Principles of Systems. Cambridge: Wright Allen Press, Inc.
Forrester, J.W., 1969. Urban Dynamics. Massachusetts: The MIT Press.
Giyanti, I., 2004. Kajian Kebijakan Makroekonomi Untuk Mendukung Pertumbuhan Industri Dengan Pendekatan Model Sistem Dinamis (Studi Kasus Industri Pada KBLI 251). Tugas Akhir. Institut Teknologi Bandung.
Haryani, E., 2000. Evaluasi Produktivitas Tenaga Kerja dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Studi Kasus di PT. Multy Garmenjaya). Tesis. Institut Teknologi Bandung.
Law, A.M., and Kelton, W.D., 2000. Simulation Modeling and Analysis. New York: McGraw-Hill, Inc.
Manetsch, T.J., and Park, G.L., 1977. Systems Analysis and Simulations with Application to Economic and Social Systems (Part I and II). Michigan: Michigan State University.
Masri, M., 2010. Analisis Pengaruh Kebijakan Fiskal Regional Terhadap Inflasi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (Periode 2001 – 2008). Tesis. Universitas Diponegoro.
Mursiti, 2008. Pengembangan Model Kebijakan Industri Komponen Otomotif. Tesis. Institut Teknologi Bandung.
Partowidagdo, W., 2010. Mengenal Pembangunan dan Analisis Kebijakan. Bandung: Program Pascasarjana Studi Pembangunan ITB.
Parinussa, J. R., 1999. Pengaruh Investasi Pemerintah, Investasi Asing (FDI), dan Sumber Daya Manusia Terhadap Peningkatan Produktivitas Industri Pengolahan di Indonesia. Tesis. Institut Teknologi Bandung.
Rahmaputro, S., 2008. Kebijakan Sistem Logistik Beras Nasional. Tugas Akhir. Institut Teknologi Bandung.
Richardson, G.P., and Pugh, A.L., 1981. Introduction to System Dynamics Modeling with DYNAMO. Massachusetts: The MIT Press.
Rumekso, S., 2010. SBY: Target Pertumbuhan Ekonomi 7-7,7% di 2014 [online]. Surabaya. Didapat dari: http://www.surya.co.id/2010/08/16/sby-target-pertumbuhan-ekonomi-7-77-di-2014.html [Akses 4 Oktober 2010].
Samuelson, P.A., and Nordbaus, W. D., 1992. Macroeconomics. 14th ed. New York: McGraw-Hill, Inc.
Sekaran, U., and Bougie, R., 2010. Research Methods for Business: a Skill-Building Aprroach. 5th ed. United Kingdom: John Wiley & Sons Ltd.
Suha, F.R., 2001. Analisis Pengaruh Kebijakan Ekonomi Makro Terhadap Pertumbuhan Sektor Manufaktur di Indonesia. Tugas Akhir. Institut Teknologi Bandung.
Sumantri, J., 2011. Ekspor Naik, Defisit dengan China Tetap Tinggi [online]. Jakarta. Didapat dari: http://www.mediaindonesia.com/read/2011/01/05/193241/4/2/Ekspor-Naik-Defisit-dengan-China-Tetap-Tinggi [Akses 11 Juli 2011].
Sushil, 1993. Systems Dynamics: a Practical Approach to Managerial Problems. New Delhi: Willey Eastern Limited.
Sutarto, 2008. Pengembangan Model Kebijakan Sektor Industri Komponen Elektronika (KBLI 321) dengan Pendekatan Dinamika Sistem. Tesis. Institut Teknologi Bandung.
Taroepratjeka, H., dan Widiarto., 1984. Penggunaan Fungsi Produksi Cobb-Douglass pada Analisis Sistem Produksi
Citronella Di Jawa Barat. 17 (2). 11 – 32.
Warfield, J.N., 1990. A Science of Generic Design: Managing Complexity Through Systems Design (Vol. I & II). USA: Intersystems Publication.
__________, 2010. Soal Penolakan Kenaikan TDL Awal 2011. Rakyat Merdeka, 1 Oktober, h.15.
__________, Data Pokok APBN 2006 – 2012. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Jakarta: 2012.
__________, Data Pokok APBN 2005 – 2011. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Jakarta: 2011.
__________, Data Strategis BPS 2011. Badan Pusat Statistik. Jakarta: 2011.
__________, Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2011. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Jakarta: 2010.
__________, Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2012. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Jakarta: 2011.
__________, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta: 2010.
__________, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta: 2011.
__________, Perkembangan Sektor Minyak dan Gas Bumi Nasional Periode November – Desember 2010. ReforMiner Institute. Jakarta: 2011.
__________, Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Tahun 2010 Menurut Program, Kegiatan dan Jenis Belanja. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Jakarta: 2010.
_________, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Bank Indonesia. Jakarta: 2012.
__________, Statistik Minyak Bumi. Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM. Jakarta: 2012.
_________, Statistik Perbankan Indonesia. Bank Indonesia. Jakarta: 2012.