Upload
adi-sucandra
View
124
Download
3
Tags:
Embed Size (px)
DESCRIPTION
journalism gabungan
Citation preview
artpaper SN
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
1
PENGGUNAAN KULIT KAYU PINUS DAN GEL DAUN LIDAH
BUAYA SEBAGAI BIOREGULATOR DAN BIOFUNGISIDA
PADA PEMBIBITAN PANILI
Oleh
I MADE SUKERTA DAN I KETUT SUMANTRA
Jurs. Agroekoteknologi, Fak. Pertanian Univ. Mahasaraswati Denpasar
ABSTRACT
The research with aimed to know the effect of pine bark, aloe vera leaf gel and their
interactions on seedling growth of vanilla and attack intensity of Fusarium sp have
been done from June to October 2010, used a randomized block design with Factorial
pattern, with 3 replications.
The results showed that no significant interaction between the provision of pine bark
and aloe vera gel on seedling growth of vanilla and attack intensisty of Fusarium sp.
The giving of pine bark alone is not able to increase seedling growth of cuttings of
vanilla and lower intensity of Fusarium sp. Aloe vera gel could increased the seedling
growth of vanilla, but no significant different on attack intensity of Fusarium sp. Aloe
vera gel 50% could increased the root length, root dry weight and shoot dry weight
respectively 72.6%, 57.9% and 65.7% compared to without aloe vera gel.
Keywords : pinus, lidah buaya, bibit panili
PENDAHULUAN
Pengembangan panili (Vanilla planifolia Andrews) di daerah-daerah yang
berpotensi sering mengalami hambatan karena kurang tersedianya bibit bermutu dalam
jumlah dan kualitas yang memadai. Perbanyakan tanaman panili yang umum dilakukan
oleh petani adalah dengan stek dengan ukuran minimal lima ruas. (Hartmann dan
Kester, 1978; Purseglove, 1988 dan Ashley, 1980). Cara ini reletif kurang efisien
mengingat perkembangan areal dan kebutuhan bibit semakin meningkat, oleh karena
itu perlu dipikirkan penggunaan stek pendek. Namun demikian penggunaan stek
pendek umumnya dihadapkan pada permasalahan kurangnya keberhasilan tumbuh dan
kurangnya ketegaran tanaman yang dihasilkan (Rosita dkk., 1991). Hal ini sangat
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
2
dipengaruhi oleh keseimbangan antara kandungan hormon auksin, karbohidrat dan
nitrogen (Andriance dan Brison, 1967).
Hartman dan Kester (1983) mengatakan auksin berpengaruh sangat nyata
terhadap pembentukan akar stek. Pertumbuhan dan jumlah akar meningkat jika kadar
auksin lebih tinggi dari sitokinin endogen (Tomkins dan Hall, 1991). Yang et al.
(1993) menyatakan bahwa auksin eksogen berpengaruh kuat dalam pemanjangan
batang, meskipun pengaruhnya sangat pendek yaitu 3 sampai 5 jam.
Zat pengatur tumbuh dari kelompok auksin yang banyak dipergunakan untuk
merangsang pertumbuhan akar diantaranya Indole Butyric Acid (IBA), Indole Acetic
Acid (IAA), dan Napthalene Acetic Acid (NAA) (Kusumo, 1984; Sunaryo dan
Sudarsono, 1977). Zat pengatur tumbuh tersebut harganya relatif mahal dan sulit
diperoleh di pasaran bebas. Oleh karena itu perlu dicari alternatif zat pengatur tumbuh
yang dapat terjangkau oleh petani. Penggunaan kulit kayu pinus dan gel daun lidah
buaya sebagai zat pengatur tumbuh (bioregulator ) merupakan alternatif yang perlu
dicoba dan dipertimbangkan, karena bahan-bahan tersebut sangat mudah diperoleh
dengan harga yang murah. Biasanya kulit kayu adalah limbah industri kayu yang
ditumpuk begitu saja, dan bila tumpukannya sudah menggunung lalu dibakar.
Demikian pula untuk memperoleh gel daun lidah buaya, karena hampir sebagian
besar penduduk menanamnya di halaman rumah.
Deroes (1990) menemukan bahwa semua stek persik yang ditanam di media
kulit kayu pinus menunjukkan persentase berakar dan indeks perakaran sangat nyata
lebih tinggi daripada stek-stek yang ditanam pada media vermikulit, tanpa ada
perbedaan yang nyata antara konsentrasi IBA yang digunakan. Hess (1959, dalam
Deroes, 1990) menyebutkan bahwa kulit kayu pinus dapat sebagai auksin ko-faktor,
dan menemukan faktor itu adalah senyawa fenol. Senyawa fenol dari kelompok
catechol dan pyrogalol mempercepat pembentukan akar pada stek kacang buncis. Jika
senyawa-senyawa tersebut diberikan ke stek bersama-sama auksin, pembentukan akar
lebih cepat dan lebih baik (Hess, 1962, dalam, Daroes, 1990).
Penggunaan gel daun lidah buaya sebagai bioregulator telah dicoba pada
beberapa jenis tanaman. Sundahri (1994) menyatakan bahwa pemberian gel lidah buaya
(Aloe vera, L.) secara linier cenderung meningkatkan pertumbuhan akar stek kumis
kucing pada konsentrasi 0 – 12 % dengan perendaman 10 jam.Hal ini diduga karena
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
3
gel lidah buaya mengandung zat pengatur tumbuh terutama auksin, asam amino,
vitamin dan mineral yang mampu mendorong pertumbuhan stek (Sundahri, 1994).
Sedangkan pada stek panili dengan konsentrasi 50 % dapat meningkatkan pertumbuhan
jumlah daun, berat kering tunas, dan panjang akar. Namun bila konsentrasinya
ditingkatkan lebih dari 50 %, variabel – variabel pertumbuhan tanaman panili tersebut
menurun (Sumantra, 2002).
Masalah yang dihadapi untuk mendapatkan konsentrasi gel lidah buaya 50 %
diperlukan bahan baku cukup banyak, sehingga perlu dicoba dikombinasikan dengan
penggunaan kulit kayu pinus sebagai bahan baku bioregulator. Namun demikian
kombinasi dari kedua bahan tersebut belum diketahui pengaruhnya terhadap
pertumbuhan bibit stek panili di pembibitan.
Tanaman panili selalu mengalami gangguan baik di lapangan maupun di
pembibitan yang disebabkan oleh jamur fusarium oxysporum (Arya, 1996 dan Santoso,
1988). Kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit ini telah
mengakibatkan menurunnya nilai eksport dan pendapatan petani. Patogen ini dapat
menular dan menyebar melalui bibit / stek (Tombe et al., 1985). Penyebaran penyakit
busuk batang melalui tanah mempunyai arti yang lebih penting karena sering dijumpai
stek yang ditanam pada bekas tanaman yang terserang tidak lama kemudian juga akan
mati karena pangkal batangnya membusuk (Semangun, 1988). Penggunaan fungisida
seperti Menzate dan Dithane M-45 pada bibit sangat dianjurkan untuk mencegah
serangan penyakit busuk batang panili di pembibitan. Penggunaan fungisida sintetis di
atas sangat membahayakan pemakai dan keseimbangan lingkungan karena berpengaruh
buruk terhadap kesehatan dan kelestarian lingkungan. Di samping adanya kenyataan
bahwa harga dari fungisida tersebut relatif mahal dan sulit dijangkau oleh petani.
Senyawa fenolik alami pada kulit kayu beberapa tanaman merupakan senyawa
yang efektif untuk mencegah meluasnya infeksi akibat serangan jamur (Margaret dan
Brian, 1981). Sundahri dkk. (1996) menyatakan bahwa gel lidah buaya (Aloe vera)
ternyata mampu mencegah gangguan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Lebih
lanjut Hok (1988) menyatakan bahwa gel lidah buaya dapat mengendalikan infeksi
bakteri secara efektif dengan biaya yang sangat murah. Disisi lain, penelitian
mengenai penggunaan kulit kayu pinus dan gel lidah buaya sebagai bioregulator
madasupun sebagai biofungisida pada pembibitan panili belum banyak dilaporkan.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
4
Berdasarkan uraian di atas permasalahan dapat dirumuskan adalah apakah
pemberian kulit kayu pinus, pemberian gel lidah buaya dan kombinasinya dapat
meningkatkan pertumbuhan bibit panili dan dapat menekan intensitas serangan
fusarium oxysporum pada pembibitan panili. Penelitian ini dilaksanakan dengan
tujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kulit kayu pinus, pemberian gel daun
lidah buaya serta interaksinya terhadap pertumbuhan bibit panili dan intensitas
serangan fusarium oxysporum.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di desa Ayunan, Abiansemal-Badung dengan
ketinggian tempat + 350 m di atas permukaan laut, mulai dari bulan Juni 2010 sampai
dengan bulan Nopember 2010.
Bahan penelitian yang dipergunakan meliputi : stek panili, kulit kayu pinus,
daun lidah buaya, tanah bekas tanaman panili yang terserang Fusarium oxysporum,
aquades, plastik bening, blabat, , tanah, pasir dan pupuk kandang.. Alat penelitian
yang dipergunakan meliputi : pisau stek, blender, meteran, neraca, petridis, tabung
reaksi, dan lain-lain.
Percobaan ini mempergunakan rancangan Acak Kelompok dengan pola
faktorial yang diulang sebanyak tiga kali. Perlakuan terdiridari dua faktor yaitu
pemberian kulit kayu pinus dan konsentrasi gel lidah buaya. Faktor kulit kayu pinus
terdiri dari dua taraf yaitu tanpa kulit kayu pinus dan diberi kulit kayu pinus.
Sedangkan konsentrasi gel lidah buaya terdiri dari : 0 % ( tanpa gel lidah buaya), 25
%, 50 %, 75 % dan 100 %.
Adapun model matematik dari percobaan ini adalah :
Yijk = U + Bi + Kj + Tk + KjTk + Eijk
dimana :
Yijk = Parameter yang diamati.
U = rata-rata umum
Bi = pengaruh dari blok ke-i
Kj = pengaruh perlakuan ke-j dari faktor kulit kayu pinus
Tk = pengaruh perlakuan ke – k konsentrasi gel lidah buaya
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
5
KjTk = pengaruh interaksi antara kulit kayu pinus dengan konsentrasi gel lidah
buaya
Eijk = galat percobaan.
Media pembibitan terdiri atas tanah pasir dan pupuk kandang dengan
perbandingan 3 : 2 : 1 yang sebelumnya diseterilkan terlebih dahulu, selanjutnya
dimasukkan ke dalam polybag berukuran 15 x 25 cm. Perlakuan kulit kayu pinus
sebagai bioregulator dan sebagai biofungisida diambil dari bagian batangnya, yang
sebelumnya dirajang dan dihaluskan , kemudian diaduk dalam media tanah, pasir dan
pupuk kandang. Setiap kantong yang diperlakukan diisi 500 g. kulit kayu. Sebelum stek
panili ditanam dalam polybag terlebih dahulu direndam dalam larutan gel lidah buaya.
Larutan tersebut diperoleh dengan mengupas kulit daun dan dagingnya diblender, untuk
selanjutnya dikonsentrasikan pada level yang diperlakukan yaitu 0%, 25 %, 50 %, 75 %
dan 100%. Dengan cara menambah aquades. Pada perlakuan 0 % tidak terdapat ekstrak
gel daun lidah buaya, sedangkan konsentrasi 100 % tanpa pengenceran dengan
aquades. Kemudian stek direndam selama 10 jam. Setiap unit perlakuan terdiridari 10
(sepuluh) stek. Pemeliharaan tanaman dititikberatkan pada upaya mempertahankan
temperatur dan kelembaban media pembibitan dengan mengatur melalui penyiraman.
Peubah tanaman yang diamati meliputi persentase stek tumbuh, panjang tunas,
jumlah tunas per stek, jumlah dan panjang akar, berat akar, berat tunas dan ratio tunas
akar. Aspek perlindungan tanaman yang diamati meliputi intensitas penyakit busuk
batang dan persentase tanaman terserang.
Data hasil penelitian diolah dengan analisis ragam. Apabila dari hasil analisis
menunjukkan pengaruh nyata sampai sangat nyata maka dilanjutkan dengan uji Beda
Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5 %.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara pemberian kulit
kayu pinus dengan gel daun lidah buaya menunjukkan pengaruh yang tidak nyata
terhadap persentase setek tumbuh, jumlah daun per tunas, jumlah tunas, panjang tunas,
panjang akar, berat kering akar, berat kering tunas, ratio tunas akar, persentase
tanaman sakit dan intensitas serangan Fusarium. Hal ini menunjukkan bahwa
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
6
pemberian gel lidah buaya dan pemberian kulit kayu pinus berpengaruh secara
terpisah. Hal ini diduga bahwa bahan aktif yang terdapat dalam kulit kayu pinus
belum menunjukan aktivitas kimiawinya dalam memacu maupun menghambat
intensitas serangan Fusarium, karena memerlukan waktu untuk melakukan proses
mineralisasi untuk melepas bahan-bahan aktif yang terkandung dalam kulit pinus.
Pemberian kulit kayu pinus sebagai bioregulator tidak menunjukkan
pengaruh yang nyata terhadap persentase setek tumbuh, jumlah tunas, jumlah daun per
tunas, panjang tunas, panjang akar, berat kering akar, berat kering tunas, dan ratio
tunas akar. Demikian juga pemberian kulit kayu pinus berpengaruh tidak nyata
terhadap persentase tanaman sakit dan intensitas serangan Fusarium. Terdapat
kecenderungan bahwa pemberian 500 g kulit kayu pinus menyebabkan penurunan
terhadap persentase tanaman sakit dan intensitas serangan berturut-turut 8,1 % dan
6,04 % dibandingkan dengan tanpa pemberian (Tabel 1).
Terdapat kecenderungan bahwa peran kulit kayu pinus sebagai bioregultaor
dapat meningkatkan persentase setek tumbuh, jumlah tunas, jumlah daun, panjang
tunas, dan panjang akar masing-masing 0,34 %, 1,16 %, 1,16, 0,22 %, 1,71 % dan
1,71 % dibandingkan dengan tanpa pemberiaan ( Tabel 1 ). Terhadap berat kering
akar dan berat kering tunas, pemberiaan kulit kayu pinus cenderung meningkatkan
variable-variabel tersebut berturut-turut 2,5 %, dan 2,38 % dibandingkan dengan
tanpa pemberiaan (Tabel 1)
Tabel 1. Pengaruh tunggal dari pemberian kulit kayu pinus dan gel daun lidah buaya
terhadap pertumbuhan bibit dan intensitas serangan Fusarium
Perlakuan % tase
stek
tumbuh
Jumlah
tunas
(buah)
Jumlah
daun
(helai)
Panjang
tunas
(cm)
Panjang
akar
(cm)
Berat
kering
akar
(g)
Berat
kering
tunas
(g)
Ratio
tunas/
akar
Inten sitas
serangan
(skor)
A0 95,80a 1,96a 8,58a 30,86a 23,44a 0,75a 1,48a 1,946a 2,62a
A1 96,13a 2,33a 8,68a 30,93a 23,84a 0,77a 1,50a 1,943a 2,57a
BNT 5% tn tn tn tn tn tn tn tn tn
B0 91,83b 1,75c 7,51b 27,83c 16,73d 0,57d 1.08d 1,876c 2,71a
B1 98,83a 2,33b 9,75a 34,50a 26,83b 0,88b 1,63b 1,840c 2,58a
B2 98,66a 2,83a 9,90a 34,75a 28,88a 0,90a 1,79a 1,978b 2,63a
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
7
B3 97,00a 2,33b 8,26b 29,58b 26,21b 0.83b 1,58b 1,885c 2,63a
B4 93,5b 1,50d 7,71b 27,83c 19,53c 0,62c 1,35c 2,146a 2,45a
BNT 5% 3,05 tn 0,87 1,49 1,67 0,016 0,06 0,08 tn
Analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian gel lidah buaya berpengaruh
nyata sampai sangat nyata terhadap pertumbuhan bibit. Pemberiaan gel lidah buaya 50
% mampu meningkatkan pertumbuhan yang meliputi jumlah tunas, jumlah daun,
panjang tunas, panjang akar, berat kering akar dan berat kering tunas berturut-turut
masing-masing 11,04%, 61,71%, 31,82%, 24,86%, 72,6%, 57,89% dan 65,74%
dibandingkan dengan kontrol. Pengaruh ini diduga disebabkan oleh kuatnya kompetisi
antara calon akar dengan calon tunas dalam memperebutkan cadangan makanan
maupun hormone tumbuh terutama auksin. Fenomena ini menyebabkan calon akar
mampu memobilisasi faktor tumbuh tersebut ke pangkal stek atau pada ruas-ruas stek
yang terbenam di dalam tanah. Kondisi ini memungkinkan bagian-bagian stek yang
berada di dalam tanah menjadi lebih muda kembali (dedifrentiation) sehingga sel-sel
parenchyma lebih terpacu untuk memperpanjang akar. Hal ini terlihat pada Tabel 1
bahwa pemberian gel lidah buaya 50 % dapat meningkatkan secara nyata panjang akar,
berat kering akar dan berat kering tunas masing-masing 72,6 %, 57,9% dan 65,7 %
dibandingkan dengan tanpa gel lidah buaya.
Terbentuknya akar merupakan kunci keberhasilan pembiakan vegetatif dengan
stek. Hartman dan Kester (1978) menyatakan bahwa ada beberapa tahapan yang dilalui
selama perkembangan terbentuknya akar yaitu adanya diferensiasi sel yang diikuti oleh
migrasi dari meristem sel, kemudian terjadi diferensiasi sel untuk membentuk
primordial akar yang terakhir adalah pertumbuhan akar baru. Meningkatnya
pertumbuhan akar berarti akan makin aktif menyerap air dan unsur hara untuk
menunjang proses fisiologi dalam tanaman. Hal ini terlihat bahwa dengan konsentrasi
gel lidah buaya 50 % jumlah daun dan berat kering tunas meningkat masing-masing
31,82 % dan 65,74 % dibandingkan dengan tanpa pemberiaan gel lidah buaya (Tabel
1). Keadaan ini menunjukkan bahwa senyawa-senyawa yang terkandung di dalam gel
lidah buaya mampu sebagai bioregulator pada stek panili. Senyawa-senyawa tersebut
adalah polisakarida terutama glukomanan, asam-asam amino, enzim, asam krisofan,
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
8
vitamin, mineral, hormone tumbuh terutama auksin yang dapat memacu pertumbuhan
stek (Afzal et al., 1991).
KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan :
1. Interaksi antara pemberiaan kulit kayu pinus dengan pemberian gel lidah buaya
tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan bibit stek panili dan
intensitas serangan dari Fusarium sp.
2. Pemberiaan kulit kayu pinus secara tunggal tidak mampu meningkatkan
pertumbuhan bibit stek panili dan menurunkan intensitas serangan Fusarium sp.
3. Pemberian gel lidah buaya meningkatkan pertumbuhan bibit stek panili, namun
tidak berpengaruh nyata terhadap intensitas serangan Fusarium sp. Pemberian gel
lidah buaya 50% meningkatkan pertumbuhan panjang akar, berat kering akar dan
berat kering tunas berturut-turut 72,6%, 57,9% dan 65,7% dibandingkan dengan
tanpa gel lidah buaya.
4. Untuk meningkatkan pertumbuhan stek panili dan efisiensi bahan dapat dilakukan
pemberiaan gel lidah buaya 50 %. Namun demikian untuk memantapkan penelitian
ini perlu dikaji tentang tingkat kedewasaan daun gel lidah buaya apa bila
dipergunakan sebagai bioregulator dan biofungisida sebab diduga komposisi
senyawa yang dikandungnya berbeda. Jumlah bahan kulit kayu sebagai
bioregulator dan biofungsida perlu dikaji lebih lanjut terutama waktu aktifitas
mineralisasi dan jumlah yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Arya, N. 1996. Pengendalian Terpadu Busuk Batang Panili di Daerah Bali. Fak.
Pertanian Unud., Denpasar.
Ashley, J. 1980. The Culture of Vanilla in Uganda. World Crops 32(5):
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
9
p. 121 – 129.
Deroes, K.M. 1990. Auksin Ko-faktor pada Kulit Kayu Pinus Sebagai Perangsang
Pembentukan Akar Stek Peach. Prosiding Simposium Hortikultura 13 – 14
Nop. 1990. Fak’ Pertanian UNBRAW. 274 – 281.
Grainge, M. and Ahmed, S. 1987. Hand Book of Plants With Pest – Control
Properties. John Wiley & Sons. 469 p.
Hartman, H.T. and D.E. Kester, 1983. Plant Propagation Principles and Practices.
Prentice Hall, New Jersey, 727 p.
Hok, Y. 1988. Pengaruh Ekstrak Residu Daun Lidah Buaya terhadap Biakan
Bakteri Staphylococcus aureus secara in Vitro. Laporan Penelitian.
FMIPA Unair, Surabaya.
Isbandi, Djoko, 1983. Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Fakultas
Pertanian Universitas Gajahmada, Yogyakarta. 259 h.
Kumar, H.D; H.N. Singh. 1975. Plant Metabolism. The Macmillan Press Ltd,
London and Basingstoke. P. 256 – 274.
Leopold, A.C. and P.E. Kriedemann. 1988. Plant Growth and Development. Tata
Mc. Grow Hill, New Delhi, 545 p.
Margaret L. Vickey and Bria Vicky. 1981. Secondary Plant Metabolism. Univ.Park
Press, Ballimore. p 157 – 181.
Purseglove, J.W.; E.G. Brown;C.L. Green; and Robbins. 1988. Sepcies Vol 2. Jhon
Wiley and Sons, New Work. 813 p.
Rosita, S. Solahuddin, dan Q Mutaqim. 1991. Pengaruh Air Kelapa dan Triakontanol
terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Stek Panili. Pemberitaan
LITTRI XVI (3) : h 123 – 127.
Rosman, R., 2005. Status dan Strategi Pengembangan Panili di Indonesia.
Persvektif 4 (2): h. 43 – 54.
Santoso, H.B. 1989. Panili, Budidaya dan Analisa Ekonomi. Sinar Baru,
Bandung. 72 h.
Sumantra, K. 2002. Pengaruh Gel Aloe Vera Terhadap Pertumbuhan Stek Panili.
Mahawidya Saraswati (56): 17 -19 .
Sundahri. 1994. Efektivitas Gel Lidah Buaya Terhadap Perakaran Stek Kumis
Kucing. Laporan Penelitian, FAPERTA UNEJ. 11 h.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
10
Sundahri, H.B. Setyawan, dan S.Kardi. 1996. Efektivitas Gel Lidah Buaya
sebagai Zat Perangsang pada Distribusi Sifat Pertumbuhan Stek Pendek
Panili. Laporan Hasil Penelitian PPSLPT – ADB. 28 h.
Suprapta, D.N. 2001. Pengembangan Pestisida Nabati Untuk Mendukung
Pertanian Organik. Makalah Seminar Pertanian Organik dan Prospek
Pengembangannya di Bali. Fakultas Pertanian Universitas Udayana,
Denpasar. 8 h.
Tombe, Mesak; D. Sitepu, H. Sastraatmadja dan S. Sastrasuwignyo. 1985.
Kemungkinan Pengendalian Penyakit Busuk Batang Panili Secara Biologi.
Risalah Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Jakarta 29 – 31
Oktober 1985.
Tomkins, J.P. and Hall. 1991. Stimulation of Alfalfa Bud and Shoot
Development With Cytokinin. Agronomi Journal 83 (3) : 577 – 581 pp.
Yang, T.D.M. Law and P.J. Davies. 1993. Magnitude and Kinetics of Stem
Elongation Induced by Exogenous Indole – 3 – Acetic Acid in Intact Light
Grown Pea Seedling. Plant Physiology 102 (3) : 717 – 724 pp.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
11
PELESTARIAN TANAMAN BAMBU SEBAGAI UPAYA
REHABILITASI LAHAN DAN KONSERVASI TANAH DI
DAERAH SEKITAR MATA AIR PADA LAHAN
MARGINAL DI BALI TIMUR
Oleh :
I DEWA NYOMAN RAKA, I G.N. ALIT WISWASTA,
I MADE BUDIASA
ABSTRAK
Dewasa ini pemerintah telah menggalakkan upaya rehabilitasi lahan dan
konservasi tanah seperti penghijauan dan reboisasi. Kegiatan itu dimaksudkan untuk
mempertahankan kesuburan tanah, memulihkan lahan kritis, serta memperbaiki tata air.
Upaya perbaikan lahan yang telah rusak tersebut dapat dilakukan dengan melestarikan
tanaman bambu sebagai tanaman reboisasi dan rehabilitasi. Dengan melestarikan
bambu, lahan yang telah rusak akan kembali memberikan fungsinya dengan baik dalam
waktu yang cukup cepat, sehingga sumberdaya alam hutan, tanah dan air dapat berdaya
guna dan berhasil guna bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang.
Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui partisipasi masyarakat dalam
pelestarian tanaman bambu untuk menanggulangi lahan marginal/kritis di Bali Timur,
(2) membuat bahan kampanye ke masyarakat berupa Leaflet terkait tanaman bambu
dalam upaya menanggulangi lahan kritis, (3) membuat bahan ajar yang terkait
konservasi untuk kalangan mahasiswa.
Penelitian ini adalah penelitian, field experiment dan survei, sampel ditentukan
secara purposive sampling di 30 desa yang memiliki kawasan lahan marginal/kritis di
Bali Timur. Hasil Penelitian menemukan partisipasi masyarakat dalam pelestarian
tanaman bambu untuk menanggulangi lahan marginal/kritis 76,00% kuat, dan melalui
demplot tanaman bambu diketahui terjadi peningkatan debit air sebesar 10%.
Disarankan kepada pemerintah desa untuk turut berperan aktif melalui pembuatan
awig-awig desa dalam pelestarian tanaman bambu untuk menanggulangi lahan
marginal/ kritis.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
12
Kata kunci : Lahan Marginal, Tanaman Bambu, Partisipasi Masyarakat
PENDAHULUAN
Lahan kritis adalah lahan yang tidak dapat dimanfaatkan secara optimal karena
mengalami proses kerusakan fisik, kimia, maupun biologi yang pada akhirnya
membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produksi pertanian, pemu-kiman dan
kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Lahan kritis juga disebut sebagai lahan
marginal yaitu lahan yang memiliki beberapa faktor pembatas, sehingga hanya sedikit
tanaman yang mampu tumbuh. Faktor pembatas yang dimaksud adalah faktor
lingkungan yang dapat mendukung pertumbuhan tanaman, seperti unsur hara, air, suhu,
kelembaban dan sebagainya. Jika terdapat salah satu saja faktor pembatas pertumbuhan
tanaman tersebut yang kurang tersedia, maka tumbuhan juga akan sulit untuk hidup
(dalam keadaan tercekam).
Petani yang tidak dapat bercocok tanam karena lahannya marginal atau kritis,
selain penghasilannya berkurang, pengeluarannya bertambah banyak untuk
merehabilitasi lahannya yang tidak produktif tersebut. Oleh karenanya, fungsi
sumberdaya alam seperti lahan dan mata air perlu dilestarikan agar dapat memberikan
manfaat yang optimal. Perlu adanya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah secara
intensif terutama pada lahan di sekitar mata air dengan berbagai jenis tanaman seperti
tanaman bambu dan rumput akar wangi.
Pelaksanaan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) di Bali sampai
lima tahun terakhir telah berhasil dilaksanakan dalam bentuk reboisasi seluas 825 ha,
dan yang berhasil kurang dari separuhnya yaitu hanya 350 ha. Rendahnya tingkat
keberhasilan usaha rehabilitasi dan konservasi tanah yang telah dilakukan tersebut
disebabkan dalam pelaksanaan rehabilitasi mengalami kendala seperti : (1) anggaran
yang tersedia sangat terbatas, (2) waktu pelaksanaan terlalu pendek, (3) dalam memilih
lokasi kegiatan tidak memperhatikan potensi yang ada, dan (4) pemilihan tanaman tidak
sesuai dengan kesesuaian tempat tumbuh dari tanaman yang akan dikembangkan.
Daerah-daerah yang memiliki lahan kering di Bali secara administratif meliputi
Kabupaten Buleleng (kecamatan Kubutambahan, Sawan, Buleleng, Sukasada, Banjar,
Seririt, Busungbiu); Kabupaten Tabanan (kecamatan Pupuan); Kabupaten Bangli
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
13
(kecamatan Kintamani); dan Kabupaten Karangasem (keca-matan Kubu, Abang, dan
Karangasem) dengan total luas wilayah 70.424 ha mempunyai lahan kritis 240 ha dan
potensi kritis mencapai 10.615 ha (Departemen Kehutanan, 2005).
Lahan kering di Kabupaten Bangli dan Karangasem ada dua macam yaitu lahan
kering produktif yang luasnya sekitar 40 % dari luas lahan kering yang ada, yang dari
segi agroekoklimat dapat diusahakan sebagai lahan pertanian/ perkebunan terutama
tanaman jeruk, kopi dan tanaman keras lainnya untuk Kabupaten Bangli dan tanaman
salak, kelapa dan tanaman keras lainnya untuk Kabupaten Karangasem. Sebagian lagi
sekitar lebih kurang 60 % dari luas lahan kering yang ada merupakan lahan marginal
atau lahan kritis yang dapat diusahakan oleh petani jika ada air atau hanya pada musim
hujan saja.
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Bambu
Bambu merupakan tanaman yang secara botanis dapat digolongkan pada famili
Gramineae (rumput). Bambu mudah menyesuaikan diri dengan kondisi tanah dan cuaca
yang ada, serta dapat tumbuh pada ketinggian sampai dengan 3800 m di atas
permukaan laut. Bambu tumbuh berumpun dan memiliki akar rimpang, yaitu semacam
buhul yang bukan akar maupun tandang. Bambu memiliki ruas dan buku. Pada setiap
ruas tumbuh cabang-cabang yang berukuran lebih kecil dibandingkan dengan buluhnya
sendiri. Pada ruas-ruas ini, tumbuh akar-akar yang memungkingkan untuk
memperbanyak tanaman dari potongan-potongan setiap ruasnya, disamping tunas-tunas
rimpangnya. Bambu merupakan tanaman yang memiliki banyak kegunaan mulai dari
benda kerajinan, bahan makanan, bahan industri, sampai kepada bahan konstruksi.
Diantara pemanfaatan bambu antara lain digunakan sebagai topi, kursi, meja, lemari,
alat musik angklung, sayur (rebung), kertas, dan bahan bangunan. Kegunaan ini t idak
hanya dikenal dibeberapa negara saja melainkan hampir di seluruh dunia sejak dahulu
kala. Setidaknya ada tiga kelebihan bambu jika dibandingkan dengan tanaman kayu-
kayuan antara lain:
1) Tumbuh dengan Cepat
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
14
Bambu merupakan tanaman yang dapat tumbuh dalam waktu yang singkat
dibandingkan dengan tanaman kayu-kayuan. Dalam sehari bambu dapat bertambah
panjang 30-90 cm. Rata-rata pertumbuhan bambu untuk mencapai usia dewasa
dibutuhkan waktu 3-6 tahun. Pada umur ini, bambu memiliki mutu dan kekuatan
yang paling tinggi. Bambu yang telah dipanen akan segera tergantikan oleh batang
bambu yang baru. Hal ini berlangsung secara terus menerus secara cepat sehingga
tidak perlu dikhawatirkan bambu ini akan mengalami kepunahan karena dipanen.
Berbeda dengan kayu, setelah ditebang akan memerlukan waktu yang cukup lama
untuk menggantinya dengan pohon yang baru.
2) Tebang Pilih
Bambu yang telah dewasa yakni umur 3-6 tahun dapat dipanen untuk digunakan
dalam berbagai keperluan. Dalam pemanenan dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu dengan metode tebang habis dan tebang pilih. Tebang habis yaitu menebang
semua batang bambu dalam satu rumpun baik batang yang tua maupun yang muda.
Metode ini kurang menguntungkan karena akan didapatkan kualitas bambu yang
berbeda-beda dan tidak sesuai dengan yang diinginkan, selain itu akan memutuskan
regenarasi bambu itu sendiri. Metode tebang pilih adalah metode penebangan
berdasarkan umur bambu. Metode ini sangat efektif karena akan didapatkan mutu
bambu sesuai dengan yang diinginkan dan kelansungan pertumbuhan bambu akan
tetap berjalan.
3) Meningkatkan Volume Air Bawah Tanah
Tanaman bambu memiliki akar rimpang yang sangat kuat. Struktur akar ini
menjadikan bambu dapat mengikat tanah dan air dengan baik. Dibandingkan
dengan pepohonan yang hanya menyerap air hujan 35-40% air hujan, bambu dapat
menyerap air hujan hingga 90 %.
Berkaitan dengan upaya penghijauan, maka tanaman hijau yang sebaiknya
ditanam adalah tanaman bambu, bukan tanaman kayu-kayuan ataupun buah-buahan.
Alasan ini berdasarkan pada prediksi seorang ahli iklim NASA bernama dr. H. J.
Zwally yang mengatakan bahwa hampir semua es di kutub utara akan lenyap pada
akhir musim panas 2012 akibat pemanasan global. Tanaman bambu dapat tumbuh
dengan cepat yang hanya membutuhkan waktu sekitar tiga tahun saja, dibandingkan
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
15
dengan tanaman kayu-kayuan dan buah-buahan yang memerlukan waktu yang cukup
lama untuk mencapai usia dewasa. Selain itu, dalam hal penyerapan Karbon Dioksida,
bambu lebih banyak menyerap Karbon Dioksida dari pada tanaman kayu-kayuan
ataupun buah-buahan. Studi menunjuk-kan bahwa satu hektar tanaman bambu dapat
menyerap lebih dari 12 ton karbon dioksida di udara. Ini merupakan jumlah yang cukup
besar. Dengan melestarikan hutan bambu, berarti kita telah memiliki mesin penyedot
karbon dioksida dalam kapasitas yang besar
Lahan Marginal
Menurut Suprapto dkk. (2000), lahan marginal pada umumnya merupakan lahan
kurus akan unsur hara, ketersediaan air terbatas hanya tergantung dari curah hujan yang
ada. Petani pada lahan ini pada umumnya petani kecil dengan perekonomian rendah
dan pendapatan rendah sehingga sangat berpengaruh dalam berusahatani yang masih
tradisional dan subsisten. Lebih lanjut dinyatakan bahwa petani pada lahan marginal
pada umumnya hanya mengandalkan hujan sebagai sumber air untuk berusahatani
sehingga saat musim kemarau hampir sebagian besar lahan diberakan. Keadaan seperti
ini menyebabkan tingkat produktivitas lahan dan pendapatan petani menjadi rendah.
Seiring dengan meningkatnya teknologi dibidang pertanian, maka telah diperkenalkan
beberapa teknik penyediaan air seperti pompanisasi, penampungan air hujan dengan
cubang, dan teknik pemanenan air hujan dengan embung yang dapat dipergunakan
untuk kebutuhan rumah tangga dan berusahatani.
Munculnya lahan-lahan marginal ini akibat dari penanganan konservasi tanah
dan air yang masih sangat minim, bahkan tidak ada sama sekali. Selain dari
perladangan berpindah yang dilakukan masyarakat pedalaman, maraknya penebangan
hutan secara liar telah mengakibatkan semakin luasnya lahan-lahan marginal.
Konservasi Tanah dan Air
Menurut Sitanala Arsyad (1989), Konservasi Tanah adalah penempatan setiap
bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan
memperlakukkannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi
kerusakan tanah. Sedangkan konservasi Air menurut Deptan (2006) adalah upaya
penyimpanan air secara maksimal pada musim penghujan dan pemanfaatannya secara
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
16
efisien pada musim kemarau. Konservasi tanah dan konservasi air selalu berjalan
beriringan dimana saat melakukan tindakan konservasi tanah juga di lakukan tindakan
konservasi air.
Konservasi tanah dan air merupakan cara konvensional yang cukup mampu
menanggulangi masalah erosi, kekurangan air dan kahat unsur hara. Dengan
menerapkan sistem konservasi tanah dan air diharapkan bisa menanggulangi erosi,
menyediakan air dan meningkatkan kandungan hara dalam tanah serta menjadikan
lahan tidak kritis lagi. Ada 3 (tiga) metode dalam melakukan konservasi tanah dan air
yaitu metode fisik dengan pegolahan tanahnya, metode vegetatif dengan memanfaatkan
vegetasi dan tanaman untuk mengurangi erosi dan penyediaan air serta metode kimia
yaitu memanfaatkan bahan-bahan kimia untuk mengawetkan tanah.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan sebagai penelitian field experiment, dan survei,
dilakukan deskripsi fakta terhadap partisipasi masyarakat dalam pelestarian tanaman
bambu untuk menanggulangi lahan marginal/kritis di Bali Timur, serta pembuatan
experiment berupa demonstrasi plot budidaya tanaman bambu.
HASIL DAN PEMBAHASA
Keberadaan Mata Air di Lokasi Penelitian
Berdasarkan survai lapangan yang telah dilakukan mengenai keberadaan mata
air di tempat lokasi penelitian ternyata jumlah mata air yang ada adalah sebagai berikut
: di Kabupaten Karangasem meliputi Kecamatan Kubu sebanyak 6 mata air, 2 mata air
telah ada pendistribusian/perpipaan, 3 mata air ternyata airnya surut atau tidak berair
pada musim kemarau, Kecamatan Abang ada 4 mata air, 1 mata air telah ada
perpipaan/pendistribusian dan 2 mata air ternyata airnya surut atau tidak berair pada
musim kemarau; di Kabupaten Bangli, Kecamatan Kintamani ada 4 mata air, 1 mata air
telah ada perpipaan/ pendistribusian, dan 2 mata air dalam keadaan tidak berair pada
musim kemarau. Kebanyakan mata air dengan debit air yang cukup besar berada dekat
daerah hutan dan bahkan di dalam hutan.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
17
Kendala yang dihadapi masyarakat untuk memperoleh air disebabkan
ketersediaan air yang sangat terbatas, ketersediaan air hanya bergantung dari curah
hujan yang ada. Keadaan curah hujan pada daerah tersebut di atas berkisar antara 1.200
– 1.400 mm per tahun dengan musim penghujan yang pendek antra 4 – 5 bulan dan
bervariasi mulai dari bulan Nopember – Desember dan berakhir bulan Maret – April.
Demplot Tanaman Bambu di Sekitar Mata Air di Lokasi Penelitian
Melalui demplot tanaman bambu dengan berbagai jenis tanaman bambu yang
memiliki nilai khususnya bagi masyarakat Hindu Bali, nampak bahwa setelah sepuluh
bulan sejak penanaman terjadi peningkatan debit air pada sumber mata air didekat
demplot, namun belum menunjukkan kondisi yang signifikan. Peningkatan terjadi
kurang dari 10% hal ini disebabkan curah hujan yang masih rendah, disamping akar
tanaman bambu belum cukup banyak/signifikan untuk menyerap/menahan air hujan.
Jenis tanaman bambu yang ditanam pada demplot meliputi : (1) bambu jajang
aya (Gigantochloa aya), merupakan jenis bambu ukuran besar dan memiliki ketinggian
sampai dengan 15 meter dan diameter 12 sentimeter, (2) bambu jajang taluh
(Gigantochloa taluh), merupakan jenis bambu yang memiliki warna batang hijau
keputih-putihan, dan (3) bambu kedampal (Sahizostachyum cestaneum), merupakan
jenis bambu yang memiliki batang pendek dan buluh tipis, warna batang hijau
Berdasarkan pengamatan dilapangan, nampak bahwa pelestarian tanaman
bambu merupan langkah yang sangat tepat dalam upaya penanggulangan sumber mata
air pada lahan marginal di Bali Timur, karena dalam pelestariannya tidak dibutuhkan
waktu yang cukup lama karena bambu dapat mencapai usia dewasa pada umur 3-6
tahun. Selain itu, penanaman bambu tidak memerlukan biaya yang cukup besar seperti
kayu-kayuan karena tanaman bambu merupakan tanaman rakyat yang mudah dan
murah didapatkan dibandingkan dengan kayu-kayuan. Disamping hal tersebut tanaman
bambu memiliki akar rimpang yang sangat kuat. Struktur akar ini menjadikan bambu
dapat mengikat tanah dan air dengan baik. Dibandingkan dengan pepohonan yang
hanya menyerap 35-40% air hujan, bambu dapat menyerap air hujan hingga 90 %.
Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Tanaman Bambu
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
18
Analisis deskriptif tentang partisipasi masyarakat dalam pelestarian tanaman
bambu meliputi (1) partisipasi dalam perencanaan, (2) partisipasi dalam pelaksanaan,
dan (3) partisipasi dalam pemanfaatan.
Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pelestarian tanaman bambu
Perencanaan memegang peranan yang sangat penting dalam suatu kegiatan
karena keberhasilan suatu kegiatan tergantung dari perencanaan yang disusun
sebelumnya. Dimensi partisipasi di dalam perencanaan kegiatan pelestarian tanaman
bambu meliputi (1) pencurahan atau sumbangan pikiran yaitu pemberian gagasan-
gagasan yang berhubungan dengan perencanaan kegiatan, yang mana gagasan tersebut
bisa diterima sebagai masukan (input) bagi keberhasilan suatu perencanaan, (2)
pencurahan atau sumbangan materiil yaitu besarnya materiil atau dana yang
disumbangkan pada perencanaan, dan (3) pencurahan atau sumbangan tenaga yaitu
besarnya atau banyaknya tenaga yang dicurahkan (ikut bekerja) pada perencanaan
kegiatan tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian, nampak bahwa sebagian besar (69,70%)
partisipasi masyarakat dalam perencanaan kegiatan pelestarian tanaman bambu
termasuk dalam kategori tinggi, masyarakat hampir semuanya tahu kenapa kegiatan
pelestarian tanaman bambu perlu dilaksanakan, dan masyarakat secara aktif telah
membuat perencanaan kegiatan pelestarian tanaman bambu khususnya di lahan
marginal di Bali Timur. Hal ini disebabkan masyarakat mengetahui bahwa tanaman
bambu mampu menyerap air hujan, disamping itu masyarakat memahami bahwa
tanaman bambu merupakan salah satu jenis tanaman yang paling banyak digunakan
masyarakat Bali dalam kehidupan sehari-hari. Hampir di setiap upacara keagamaan,
bambu pasti digunakan, baik daun maupun batangnya.
Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pelestarian tanaman bambu
Sama halnya dengan perencanaan, dimensi partisipasi di dalam pelaksanaan
kegiatan pelestarian tanaman bambu mencakup : (1) pencurahan atau sumbangan
pikiran, (2) pencurahan atau sumbangan materiil, (3) pencurahan atau sumbangan
tenaga pada pelaksanaan kegiatan tersebut.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
19
Berdasarkan hasil penelitian, nampak bahwa lebih dari dua pertiga responden
(70,20 %) partisipasi masyarakat dikategorikan cukup tinggi dalam pelaksanaan
kegiatan pelestarian tanaman bambu. Masyarakat telah mengetahui manfaat yang
diperoleh dari kegiatan pelestarian tanaman bambu, masyarakat juga telah mengetahui
bahwa kegiatan pelestarian tanaman bambu bermanfaat bagi pendidikan generasi muda
di masa mendatang, karena tanaman bambu dapat meningkatkan debit air pada sumber
mata air di sekitar lahan marginal, sehingga tanah dapat lebih produktif. Namun,
pemerintah diharapkan dapat memberikan sosialisasi atau penyuluhan yang lebih
intensif lagi mengingat lahan marginal di Bali Timur yang cukup luas.
Partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan pelestarian tanaman bambu
Pada umumnya besarnya partisipasi seseorang atau sekelompok orang dalam
suatu kegiatan sangat tergantung pada sejauh mana maksud dan tujuan dari kegiatan
tersebut dan sejauh mana pula dapat memberikan manfaat bagi kepentingannya. Dalam
hal ini manfaat penerapan kegiatan pelestarian tanaman bambu apakah memberikan
kontribusi yang besar secara finansial bagi masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian, nampak bahwa hanya 9,09% partisipasi
masyarakat dalam pemanfaatan kegiatan pelestarian tanaman bambu berada dalam
kategori rendah, dengan kata lain 90,01% dalam katagori tinggi. Hal ini disebabkan
motivasi masyarakat cukup kuat untuk memanfaatkan kegiatan pelestarian tanaman
bambu sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan ketersediaan air pada lahan
marginal di Bali Timur.
Partisipasi masyarakat secara kumulatif dalam kegiatan pelestarian tanaman
bambu
Partisipasi masyarakat terhadap kegiatan pelestarian tanaman bambu secara
komulatif dapat diukur berdasarkan hasil akumulasi dari (1) partisipasi dalam
perencanaan kegiatan, (2) partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan, dan (3) partisipasi
dalam pemanfaatan kegiatan.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan masih ada masyarakat (12,12%) yang
memiliki katagori rendah dalam kegiatan pelestarian tanaman bambu. Oleh karena itu
partisipasi masyarakat terhadap kegiatan pelestarian tanaman bambu harus terus
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
20
ditingkatkan, guna mencapai tujuan yang dinginkan yaitu ketersediaan air pada lahan-
lahan marginal di daerah Bali Timur, sehingga lahan-lahan marginal dapat lebih
produktif dalam peningkatan produksi nasional.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan beberapa hal,
yaitu :
1) Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pelestarian tanaman bambu dalam katagori
tinggi
2) Demplot tanaman bambu pada umur 10 bulan dari penanaman telah mampu
meningkatkan debit air, meskipun belum cukup siginifikan.
Saran – Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan dan pembahasan dapat disarankan hal-hal
sebagai berikut :
1) Pembinaan dan penyuluhan perlu dilaksanakan lebih intensif guna lebih
meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pelestarian tanaman bambu
2) Untuk keberhasilan tindakan kegiatan pelestarian tanaman bambu di Daerah Bali
Timur, maka dalam pemilihan jenis tanaman bambu agar dipilih jenis tanaman
bambu yang diperkirakan paling banyak dan telah biasa dikembang-kan oleh
penduduk setempa.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, I W Sandi., 2006. Study of Monitoring Land Use Cahanges and Erosion in
the Highland of Bali. Ph..D. Thesis Graduate School of Science and Technoloy,
CHIBA University, Japan
Arsyad, S., 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB Press, Bogor
Asdak, C., 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Penerbit Gajah
Mada University Press, Yogyakarta
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
21
Bank Dunia, 1993, Rumput Vetiver. Pagar Hidup Penahan Erosi. Terjemahan Yayasan
Ekoturin – East Proverty Project Bali – Indonesia.
Cusack, V., 1999, Bamboo World. The Growing and Use of Clumping Bamboos.
Kangaroo Press NSW – Australia.
Darmadi, 1995. Dasar-dasar Pengelolaan DAS. Balai Teknologi Pengelolaan DAS,
Badan Litbang Kehutanan, Bahan Alih Teknologi Stasiun Pengamat Arus
Sungai II, Surakarta.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999. Informasi Teknik Rehabilitasi dan
Konservasi Tanah. Pusat Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta.
Departemen Kehutanan, 1994. Pedoman Penyusunan Pola Rahabilitasi Lahan dan
Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Direktorat Jenderal Reboisasi dan
Rahabilitasi Lahan, Jakarta.
Departemen Kehutanan, 1998. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan
Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Direktorat
Jenderal Reboisasi dan Rahabilitasi Lahan, Jakarta.
Departemen Kehutanan, 2006. Peta Lahan Kritis Wilayah Propinsi Bali. Balai
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Unda Anyar, Denpasar.
Dinas Kehutanan, 2002. Statistik Dinas Kehutanan Propinsi Bali Tahun 2002.
Denpasar.
Dradjad, M., 2004. Rehabilitasi Lahan. Makalah disampaikan pada Lokakarya
Nasional Pengembangan Kompetensi Pendidikan Tinggi dan Penelitian Ilmu
Tanah di Indonesia, Yogyakarta, 4-6 Agustus 2004.
Gunamanta, Pande Gede, 2002. Identifikasi Karakteristik Lahan Kering Sebagai Acuan
Perencanaan Konservasi Tanah dan Air di DAS Unda Anyar Bali. Agritrop
Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian, Vol. 21, No 1 Maret 2002. Fakultas Pertanian Unud
Denpasar.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global. Pemanasan Global. 13 Oktober
2008.
http://library.usu.ac.id/download//fp/hutan-ridwanti4/pdf. Pemanfaatan Bambu di
Indonesia. 22 Juli 2008.
http://www.pemanasanglobal.net/. Global Warming Mengancam Keselamatan
Planet Bumi. 13 Oktober 2008.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
22
EFFECTIVENESS OF ALOE VERA GEL AND COCONUT
WATER AS A BIOREGULATOR ON SEED GERMINATION OF
DENDROBIUM ORCHID
I KETUT SUMANTRA AND I KETUT WIDNYANA
Agroecotechnology Departement, Facultay of Agriculture, Mahasaraswati University
ABSTRACT
The study aimed to determine the effect of concentration of coconut water and
aloe vera gel on seed germination of Dendrobium orchid was done in Tissue Culture
Laboratory Unmas Denpasar, from the month of April to August 2010. The research
method using nested completely randomized design with 3 replications. Treatment
additions bioregulator on VW medium consisting of coconut water with a concentration
of 0 ml/l, 150 ml/l, 200 ml/ l, 250 ml/l and 300 ml/l, and aloe vera gel with a
concentration of 0 g/l, 5 g/l, 10 g/l, 15 g/l and 20g/l.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
23
The results showed that there were no initial differences in germination and
percentage germination between VW medium given coconut water and given aloe vera
gel. VW medium fed coconut water 150 ml/l and 200 ml/l gave the early germination
and highest germination percentage. While the VW medium given aloe vera gel 5 g/l
and 10 g/l gives the fastest initial germination and the highest germination percentage.
To speed up germination and increase the percentage of seed germination of
Dendrobium in the culture medium in-vitro with VW, may be the addition of coconut
water 150 -200 ml/l or with leaves of aloe vera gel with a concentration of 5-10 g /l.
INTRODUCTION
The island of Bali as one of the major tourist destination in Indonesia, to be able
to provide a variety of tourism facilities, either in relation to the provision of tourism
facilities, services and provision for tourists such as orchids. Effendi (1994) mentions
that the demand for ornamental plants and cut flowers in each year has increased no
less than 10 percent. Consumer tastes towards ornamental plants and orchids are
determined by the manufacturer and trends overseas. At this time the dominant
preference orchid is Dendrobium species (34%), followed by Oncidium Golden Shower
(26%), Cattleya (20%) and Vanda (17%) and other orchids (3%) while many orchid
flower color selection influenced by the purpose of its use (Widiastoety, 2004 ).
Dendrobium orchid preferred by many konsunmen because it has high
economic value in addition suitable developed at warm area and fresh live of the
flowers bloom up to 30 days. For consumers, all of the Dendrobium characteristics is
not easily replaced by other plants, and the price is not too exspensive.
In the development of orchid plants, the important thing to note is the provision
of seedlings. The propagation of orchid plants could done by vegetative and generative.
Propagation through vegetative considered less effective, because the number of
puppies produced is very limited. On multiplication by genaratif, main problem faced
is the time for seed germination long enough . This is because the size of orchid seeds
are very small and has no food reserves in the endosperm as early seed germination.
Besides, the germination of orchid seeds in conditions in vivo showed low germination
at less than 1% (Gunawan, 2002). One way that can be done is to germination of orchid
seeds in vitro using growth media. The growth medium used for germination of orchids
is a medium Vacint and Went (VW). In VW's media, the culturis often add growth
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
24
hormones to speed up seed germination and also to determine the direction of plant
growth and development.
In everyday life, synthetic growth regulators are still difficult to find and the
price is relatively expensive, so need to look for other alternatives. One of the natural
plant growth regulator (bioregulator) are easy and cheap to obtain is the leaf of aloe
vera gel. In the implementation of tissue culture, the addition of coconut water is
commonly used. While granting leaves of aloe vera gel in vitro culture has not been
widely reported.The use of Aloe vera leaf gel as a bioregulator were tested on several
types of plants. Sundahri (1994) stated that aloe vera gel (Aloe vera, L.) concentration
of 0-12% in a linear increase root growth in cuttings of cat whiskers. This is
presumably because the aloe vera gel contains plant growth regulators, especially
auxin, amino acids, vitamins and minerals that could encourage the growth of cuttings
(Sundahri, 1994). While on vanilla cuttings with a concentration of 50% can increase
the amount of leaf growth, shoot dry weight and root length. However, if the
concentration is increased more than 50%, the growth of vanilla variables are
decreased (Sumantra, 2002). Based on the above description, the problem are: (1) Is the
provision of coconut water and aloe vera gel could increased seed germination of
Dendrobium orchid. (2) What is the ideal concentration of each bioregulator. (3) Which
of these two kinds bioregulator (coconut water and aloe vera gel) is effective in
promoting seed germination of dendrobium orchids
This study aims to: (1) To determine the influence of the concentration of
coconut water and aloe vera leaf gel on seed germination of Dendrobium orchid. (2) To
know one of the two bioregulator, which can provide a better germination.
RESEARCH METHOD
This research was conducted at Tissue Culture Laboratory of the University
Mahasaraswati Denpasar, starting in April-August 2010. The research was conducted
with experimental methods. The design used was a completely randomized design
with nested patterns (Nested Experiment) or RAL nested with three replicatio. Two
types of bioregulator who tried the coconut water and aloe vera leaf gel. Coconut
water treatment consisted of 4 levels which are: coconut water 0 ml / l (A0 = control),
coconut water 150 ml / l (A1), coconut water 200 ml / l (A2), coconut water 250 ml / l
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
25
(A3 ) and coconut water 300 ml / l (A4). While the leaves of aloe vera gel bioregulator
consisted of: Aloe vera gel 0 g / l (B0), leaves of aloe vera gel 5 g / l (B1), aloe vera
leaf gel of 10 g / l (B2), leaves of aloe vera gel 15g / l (B3), and the leaves of aloe vera
gel 20 g / l (B4).
The materials used include medium Vacint and Went (VW), coconut water,
aloe vera leaf gel, sugar, 0.1 N NaOH, 0.1 N HCL, alcohol 70%, aquades sterile,
chlorox, betadine, spritus, activated charcoal, fish emulsion, paper label, aluminum foil,
paper indicator, dendrobium orchid seeds, paper towels, rubber, plastics isolatif.
The tools used include laminar air flow cabinets (LAF), analytic scales, culture
bottles, bottle stock, measuring cups, pipettes, stirring rods, autoclaf, blander, spray
bottles, Bunsen lamp, glass chemistry, petri dish, scapel, tweezers, sowerspoon, funnel,
erlenmayer, stationery, timer. Implementation of activities consists of several stages:
Making Media consists of several activities:
a) Make a stock solution of VW and enter each stock solution into the flask peck.
b) Each flask is then added to the treatment material that is bioregulator coconut
water and aloe vera leaf gel separately.
c) Dilute solution at point b with aquades sterile until the specified limits.
d) Adjust the pH of the media in order to reach pH 5.5, raise low pH by adding
NaOH 0.1 N and high pH lower by 0.1 N HCL.
e) While stirring pour the gelatin that has been weighed, the volume of solution to
be added 1000 ml.
f) Continue stirring, heat the solution on the stove or hot plate until the agar
dissolves.
g) Solvent is then inserted into the culture bottles with medium thickness
approximately 1.5 cm.
h) Close the bottle culture with heat-resistant rubber lid or with aluminum foil.
i) Sterilize the above media in the autoclave at a temperature of 121 o C with a
pressure of 17.5 psi for 20 minutes.Sowing seeds of orchids.
j) Rinse the seeds of orchids with cotton wool soaked in alcohol 95%, cut the
base of the fruit so clean from dirt.
k) Dip fruit orchids in 95% alcohol for 1 minute.
l) Using tweezers, baked on spritus lights until a few moments so sterile.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
26
m) In petridish sterile, using a sterile scalpel blade, the fruit is opened to facilitate
taking the seeds.
n) With using long tweezers, grab the orchid seeds and carefully, and culture the
seeds on media that has been prepared in advance.
o) Inkubasikan culture results in a culture room at a temperature of 25 o C, light
intensity from 1500 to 2000 lux with radiation 12 hours /24.
Observations were germination time and germination percentage. Obtained data
were processed by analysis of manner. If the results of the analysis showed
significantly then continued with Least Significant Difference test (LSD) at 5%
level.
RESULTS AND DISCUSSION
The results showed that there is no difference between the addition of coconut
water with the addition of aloe vera leaf gel on the germination time and percentage of
germination of Dendrobium orchid seeds. The addition of coconut water and aloe vera
gel on VW medium, orchid seeds germinate 7.2 weeks after sowing, seeds germination
with an average of 94% The results showed that the addition of aloe vera leaf gel and
coconut water separately on VW medium can increase the percentage of germination
and time of seed germination of Dendrobium than without the provision.
VW medium plus coconut water 150 ml/l, 200 ml/l, 250 ml/l and 300 ml/l initial
seed germination to 7 weeks after sowing (WAS), while without giving coconut water
early germination occurred at 8 weeks after sowing. VW medium supplemented 150 ml
/ l and 200 ml / l, the percentage of germination reached 100%. Medium is added to
250 ml of coconut water / l and 300 ml / l, germination percentage of 98% and 95%
respectively, whereas without the addition of coconut water lowest germination
percentage is 80% (Figure 1 and Figure 3).
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
27
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 ml/l 150 ml/l 200 ml/l 250 ml/l 300 ml/l
Time Germ
Percen Germ
Figure 1. Germination time (WAS) and percentage germination (%)
of Dendrobium orchid seeds on different concentrations
of coconut water
This shows that with the provision of coconut water to speed up the
germination of seeds. Coconut water contains many complex organic materials that are
often needed for plant growth and development, it contains the hormone cytokinin 5.8
mg / l, auxin 0.07 mg / l and giberilin very little and other compounds that can
stimulate the germination and growth (Morel , 1974).
VW medium supplemented with aloe vera gel produce different
germination time and germination percentage differently. VW medium without aloe
vera gel takes longer than 1 week with Aloe vera gel initial germination 7 MST.
Granting leaves of aloe vera gel on VW medium give different values of germination
percentage. VW medium supplemented aloe vera gel 5 g / l and 10 g / l produced the
highest germination percentage ie 100% respectively. Addition of 15 g / l and 20 g / l,
germination percentage of 98% and 90% respectively, whereas without Aloe vera leaf
gel the lowest greminatiom percentage of 80% (Figure 2 and Figure 4).
a b
a
a
a a a a a
a b
a
a b
a a b
a
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
28
0
20
40
60
80
100
0 g/l 5 g/l 10 g/l 15 g/l 20 g/l
Time Germ
Percen Germ
Figure 2. Germination time (WAS) percentage germination (%) Dendrobium orchid
seeds at a difference concentration of aloe vera leaf gel.
This is thought that aloe vera gel contains a natural regulator of auxin as well as
other compounds. Both natural and synthetic auxin can be used to stimulate and
accelerate the formation of roots and to improve the quality and quantity of roots
(Hartman and Kester, 1983).
Leopold and Kriedemenn (1988) states that auxin functions in cell
differentiation among the leaves and stems and roots at the base of cuttings. Auxin at
high concentrations promote the synthesis of ethylene, whereas ethylene inhibits cell
elongation at concentrations higher than the optimum concentration. Aloe vera pulp
containing pulp alonin and sap. Gum pulp composed of polysaccharides
(glucomannan), krisofan acid, protease enzyme, a number of vitamins, minerals and
amino acids. Amino acids make up proteins function to help substitute the damaged
cells. Vitamins and minerals into the driving circuit triggers biochemical processes
necessary in the healing process. Acid krisofan promote healing of damaged cells,
while glucomannan in cooperation with the bacterial enzyme can break the intruder
pretease (Sundahri et al., 1996; Afzal et al., 1991).
a
a b
a a a
a b
a
a b
a
a b
a
a a a a
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
29
Figure 3. Performance of Dendrobium growth on VW medium with the addition of
coconut water with different concentrations.
Figure 4. . Performance of Dendrobium growth on VW medium with the addition of
aloe vera gel with different concentrations.
CONCLUSIONS AND SUGGESTIONS
The results can be concluded as follows:
1. There were no initial differences in germination and percentage germination
between VW medium given coconut water and given aloe vera leaf gel.
2. VW medium fed coconut water 150 ml / l and 200 ml / l gave the early
germination of the fastest and highest germination percentage.
3. VW medium given aloe vera gel 5 g / l and 10 g / l gives early germination of
the fastest and highest germination percentage.
To speed up germination and increase the percentage of seed germination of
Dendrobium in the medium culture in-vitro with VW, could used coconut water
150 -200 ml / l or with leaves of aloe vera gel with a concentration of 5-10 g / l.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
30
REFERENCES
Bey,Y., W Syafii, dan N. Ngatifah.2005. Pengaruh Pemberian Giberilin pada Media
Vacin dan Went terhadap Perkecambahan Biji Anggrek Bulan
(Phalaenopsis amabilis BL) secara invitro. Jurnal Biogenesis.Vol 1(2):57-
61
Dinas Pertanian Provinsi Bali. 2005. Laporan Statistik Pertanian Tanaman Pangan
Tahun 2005. h. 230.
George, Edwin F. and Paul D. Sherrington, 1984. Plant Propagation by Tissue Culture.
Eversley, Basingstoke Hants. England.
Gunadi, T. 1985. Anggrek Untuk Pemula, Angkasa, Bandung.
Gunawan, L. Winata. 1987. Teknik Kultur Jaringan . Laboratorium Kultur Jaringan
PAU Bioteknologi IPB, Bogor.
Gunawan, 1989. Budidaya Anggrek. Penebar Swadaya, Jakarta.
Hartman, H.T. and D.E. Kester, 1983. Plant Propagation Principles and Practices.
Prentice Hall, New Jersey, 727 p.
Hok, Y. 1988. Pengaruh Ekstrak Residu Daun Lidah Buaya terhadap Biakan Bakteri
Staphylococcus aureus secara in Vitro. Laporan Penelitian. FMIPA Unair,
Surabaya.
Leopold, A.C. and P.E. Kriedemann. 1988. Plant Growth and Development. Tata Mc.
Grow Hill, New Delhi, 545 p.
Rosita, S. Solahuddin, dan Q Mutaqim. 1991. Pengaruh Air Kelapa dan Triakontanol
terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Stek Panili. Pemberitaan LITTRI
XVI (3) : h 123 – 127.
Sumantra, K. 2002. Pengaruh Gel Aloe Vera Terhadap Pertumbuhan Stek Panili.
Mahawidya Saraswati (56): 17 -19 .
Sundahri. 1994. Efektivitas Gel Lidah Buaya Terhadap Perakaran Stek Kumis Kucing.
Laporan Penelitian, FAPERTA UNEJ. 11 h.
Sundahri, H.B. Setyawan, dan S.Kardi. 1996. Efektivitas Gel Lidah Buaya sebagai Zat
Perangsang pada Distribusi Sifat Pertumbuhan Stek Pendek Panili.
Laporan Hasil Penelitian PPSLPT – ADB. 28 h.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
31
Widiastoety Darmono. 2004. Bertanam Anggrek. Penebar Swadaya, Jakarta. 75 h.
MODEL FOR DEVELOPING HOME INDUSTRY
TIGER GROUPER HATCHERY FIRMS (HSRT) IN BALI:
An Overview on Economic and Maricultural Perspective
By
CENING KARDI, AND PUTU SUJANA
ABSTRACT
The high demand to grouper seeds in domestic and international market had
pushed the mass grouper seeds production in Gerokgak District, Bali. At the first
research, there were gaps between the average actual hatchery productivity of Tiger
grouper (Epinephelus fuscoguttatus) hatchery firms with the potentially achievable
productivity. This research then aimed for improving the productivity by determination
of economic efficiency and optimum inputs combination. The research utilized data
which were collected with survey to 41 samples of hatchery firms in Gerokgak District.
The result in dry season: the average technical efficiency was 0.88903; the price
efficiency was 1,554; and the economic efficiency was 1,381. In wet season the
average technical efficiency was 0,72055; the price efficiency was 6,469, and the
economic efficiency 4,661. The optimum inputs combination in dry season was grouper
eggs 750 thousands pieces; pellet 6,0 kg; artemia 40 cans; mysid shrimp 660 sacks;
rotifer 61 sacks; and workers 5 men. In wet season was grouper eggs 500 thousands
pieces; pellet 6,0 kg; artemia 21 cans; mysid shrimp 210 sacks; rotifer 46 sacks; and
workers 3 men. These optimum inputs could make meaningful contributions toward
rising productivity and profitability of the Tiger grouper hatchery firms. Besides that,
close attention should be given to improving managerial ability of the farmers and to
preparing adroit hatchery workers through education and training.
Keywords: coastal communities, grouper, hatchery, technical efficiency, economic
efficiency
INTRODUCTION
Coastal and sea resources could be trade on national economic improvements.
Various potential resources continuously explorated and developed, included in coastal
cultivation, with potential product, groupers. Groupers cultivation should be developed
due to its excellent economic value, and besides that it could lessen coral reef
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
32
destructions (Hanafi et al., 2002). Groupers cultivation in Indonesia included hatchery
(producing seeds/juveniles), and raising fishes in basket net in sea (producing groupers
for consumtion). Each of the two producing stages could be a stand alone business.
The high demand to fresh Tiger groupers (Epinephelus fuscoguttatus) in
international market (Hongkong, Singapore, Japan and China) had pushed dramatically
the development of the home industry Tiger grouper hatchery firms in Bali, where its
centre for productions located all along the coastal area in Gerokgak District, Buleleng
Regency (about 1.200 grouper hatchery firms had been operating in this area). The
successfulness of mass seeds/juveniles production here had extended positive impacts
of increasing: non fuel export, labors absorption, incomes for coastal communities, and
prevention to criminal action of environment damages in coastal area. In the Year 2007
the total product of Tiger grouper juveniles in Bali was 9.387.200 pieces (6.954.500
pieces were sold in domestic trading, and 2.432.700 pieces were exported). The total
value of these juveniles trading was 11.264,64 millions rupiahs (The Fishes Quarantine
Office-Ngurah Rai Denpasar, 2008).
The research of Kardi (2007) clarified that the average juveniles production of
31 samples home industry Tiger grouper hatchery firms in dry season was 33.780
pieces per cyclus production (the time period from disseminating grouper eggs till
juveniles harvest was ±50 days), with average grouper eggs dissemination of 420
thousands pieces or the sintasan level was 9,86% and coefficient of variance was
48,6% (high variously). Its average profit was Rp 6.150.000,- per cyclus production.
According to the research of Giri et al. (2006) at fishery experiment station in
Gerokgak, the average sintasan of Tiger grouper juveniles in dry season was 15,50%,
and in wet season was 12,25% with average profit Rp 9.350.000,- per cyclus. The
productivity of the home industry Tiger grouper hatchery firms in Gerokgak District
were very variously and enough lower than the productivity at experiment station, as
well as their profitability. This yield gap could be caused by some factors. According
to Widodo (1989) higher production level is dependently on: behaviour and ability of
farmers, inputs level applicated, socioeconomic factors (managerial ability, education,
and farmer’s off-hatchery job) and climate (dry or wet season). Identification the role
of these factors was expected to give some advantages in the efforts to enhance
technical efficiency, price efficiency and economic efficiency of Tiger grouper
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
33
hatchery firms and to develope the firms. Therefore, this research was conducted with
aims: (1) to analyze the technical efficiency among the Tiger grouper hatchery farmers;
(2) to analyze the economic efficiency of the Tiger grouper hatchery firms; (3) to
analyze cost and return (R/C) of the Tiger grouper hatchery firms; (4) to analyze
socioeconomic factors influence the juveniles production of the hatchery firms; and (5)
to obtain the optimum inputs combination for Tiger grouper hatchery firms. Each
analysis was done for production in dry and wet season.
RESEARCH METHODS
Theoretical framework of input efficiency
The comprehension of efficiency in producing is that efficiency is ratio output
per input refers to achieve maximum output within a set of inputs, that the higher
output ratio means the higher efficiency. Efficiency is the best usage inputs in
producing product (Shone, Rinald in Susantun, 2000). Farrel (1957) distinguished
efficiency into three, those: (1) technical efficiency, (2) alocative or Price efficiency,
and (3) economic efficiency. Technical efficiency deals with input-output relationship.
It is output per unit of input where inputs are aggregated in some manner. According
to: Richmont (1974), Aigner et al. (1977) Battese and Corra (1977) and Collie (1955) in
Zen et al. (2002), Frontier production function represents usage of technology
extensively by companies in an industri. Model of frontier production function is
proposed for measurement of technical efficiency in a company. The model can be
written as:
Y = f (Xi, ) exp i (1)
Where is a set of estimated parameter. Xi is input, and i = vi + ui. The error is
supposed negative and increasing due to intersection of normal distribution with
average nol dan positive variance u2. This describe technical efficiency of a company.
On the other word error vi assumed has normal distribution with average nol dan
variance positive u2, that describing error of measurement interrelated with
uncontrolled factors in relation with production.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
34
Technical efficiency can be measured using parameter of ratio that given by
as follow (Battese and Corra (1997) in Zen et al. (2002)):
= (u2) /(
2) (2)
Where 2 = u
2 + v
2 and 0 1 (3)
Jondrow et al. (1982) in Zen et al. (2002) and Squires et al. (2003) noted
condition of average ui and i as:
E (uii) = (u v / ).{[f(i -1
) / (1 – F(i -1
))] - (i -1
)} (4)
Where i is a sum of vi and ui, = (u2 + v
2)
1/2 , is a ratio u/v , each f and
F is standard normal density and distribution function that evaluated at i -1
. The
measurement of technical efficiency for each companies can be calculated with TEi =
exp [E(uii)] , and so 0 TEi 1.
According to Nicholson (1995) price efficiency is achieved when the ratio
marginal value productivity per input price (NPMXi/PXi) or ki = 1. This condition
requires NPMX equal with price of production factor X or it can be written as
bYPy / X = PX (5)
or bYPy / X PX = 1, (6)
where PX = price of production factor X.
Economic efficiency (EE) denotes a product of technical efficiency (TE) and
price efficiency (PE) (Susantun, 2000). Hence economic efficiency can be achieved
when both efficiencies are achieved, so it can be written as
EE = TE.PE (7)
Data and analytical methods
This study utilized data from the intensive study conducted in 7 villages of
grouper seeds/juveniles producing area in Gerokgak District, Bali. The main data
collection were conducted with survey to 41 samples of hatchery firms in the 7 villages.
On each of 41 Tiger grouper hatchery firms was measured: quantities of fixed inputs
and variable inputs and production; inputs and production price; and socioeconomic
factors (farmer’s managerial ability, education, and farmer’s off-hatchery job).
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
35
Cobb-Douglas production function was choosed as functional relationship
between Tiger grouper juveniles production and its variable inputs. The log normal
form of its production function was as
Ln Y = α + 1LnX1 + 2LnX2 + 3LnX3 + 4LnX4 + 5LnX5 + 6LnX6 (8)
Estimation of this production function used Maximum Likelihood Estimation (MLE)
method in Software Frontier 4.1.
Concerning socioeconomic factors (farmer’s managerial ability, education, and
farmer’s off-hatchery job), the effect of these factors on juveniles production of Tiger
grouper hatchery firms was analyzed with model Cobb-Douglas production function as:
Ln Y = α + 1Ln X1 + 2Ln X2 + 3Ln X3 + 4Ln X4 + 5Ln X5 + 6Ln X6
+ 7Ln X7 + 8Ln X8 + 9Ln eX9
(9)
Estimation of this function used Ordinary Least Square (OLS) method in Software
SPSS 15
Table 1. Definition of operational variables for juveniles production function
Variable Code Definition Measurement scale
Production
Grouper egg
Pellet feed
Artemia
Mysid shrimp
Rotifer
Worker
Education
Managerial ability
Farmer’s off-hatchery job
LnY
Ln X1
Ln X2
Ln X3
Ln X4
Ln X5
Ln X6
Ln X7
Ln X8
X9
Logarithm of juveniles production per cyclus
Logarithm of Grouper eggs per cyclus
Logarithm of pellet feed per cyclus
Logarithm of artemia per cyclus
Logarithm of mysid shrimp per cyclus
Logarithm of rotifer per cyclus
Logarithm of workers per cyclus
Logarithm of formal education
Logarithm of technical efficiency
Farmer with or without off-hatcery job
pieces
Thousand pieces
kg
can
sack
sack
men
ordinal
-
Nominal
(With =1;
Without = 0)
RESULTS AND DISCUSSION
The technical efficiency of grouper juveniles production
The average grouper juveniles production of 41 samples Tiger grouper hatchery
firms in dry season was 59.791 pieces/cyclus production. They disseminated grouper
eggs with average 571951 pieces, so these grouper hatchery firms only could produce
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
36
juveniles with average survival rate or sintasan 10,74% (lower than average sintasan at
experiment station 15,5%). The result of frontier production function analysis on the
grouper juveniles production in dry season (Table 2) indicated that factors pellet feed
(X2), mysid shrimp (X4), rotifer (X5), and workers (X6) were significant. Among these
factors, rotifer (X5) with negative regression coefficient indicated negative effect on
juveniles production do to excessively utilization. Too more supply of rotifers impeded
Nannochloropsis oculatas reproduction. Nannochloropsis oculatas were significant
fitoplanktons as initial natural feed for well growing of grouper larvas . Therefore, the
stunted Nannochloropsis oculata reproduction by excessively utilization of rotifers
decreased the juveniles production. Here the hatchery farmers should controle the
utilization of rotifers. On the contrary the factors pellet feed (X2), mysid shrimp (X4),
and workers (X6) with positive regression coefficients indicated that utilization of these
factors could be increased to make more viable larvas to be juveniles (increasing
sintasan).
Table 2. The result of estimating frontier production function on the Tiger
grouper juveniles production in dry season
Variable Coeficient t-ratio Significance
Constant
LnX1 (Grouper egg)
LnX2 (Pellet feed)
LnX3 (Artemia)
LnX4 (Mysid shrimp)
LnX5 (Rotifer)
LnX6 (Workers)
Log likelihood
Average technical efficiency (TE)
Average technical inefficiency (1-TE)
Return to scale (RTS)
8,31638
0,25216
0,20063
0,03609
0,18473
-0,62503
0,37674
33,65936
0.88903
0.11097
0,42532
4.7887
1.4201
2.5464
0.2790
2.0166
-3.1258
3.5169
0,00003*
0,16442ns
0,01544*
0,78189ns
0,05000*
0,00355*
0,00123*
Informations: * = significant;
ns = non significant
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
37
The description for technical efficiency and technical inefficiency of 41
samples Tiger grouper hatchery firms in dry season (Figure 1) depicted that the
managerial ability among the hatchery farmers in acclimating technology to produce
grouper juveniles was enough variously. The average technical efficiency (TE) of the
grouper hatchery firms was 0,88903 (Table 2), with average actual production (QY)
59.791 pieces/farmer, but its average potential production (QQ) was 67.174
pieces/farmer. This case indicated that the actual juveniles production was lower than
potential juveniles production, so it was very required some efforts to increase juveniles
production.
The average technical efficiency = 0,88903 was lower than 1 (one) yet,
indicated that the technical efficiency among the Tiger hatchery farmers in dry season
was not efficient, so it was possible to add the quantity of some inputs which allocated
to increase juveniles production. The average technical inefficiency (1-TE) = 0,11097
indicated some failures to use hatchery equipments and to allocate some variable inputs
in achieving maximum juveniles production.
Figure 1. The technical efficiency and technical inefficiency of 41 samples
Tiger grouper hatchery firms in dry season
The average juveniles production of the grouper hatchery firms in wet season
was 56.558 pieces/cyclus production. They disseminated grouper eggs with average
560.975 pieces, so these they only could produce grouper juveniles with average
0
0..
2
0..
4
0..
6
0..
8
1
1.
2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1
1 1
2 1
3 1
4 1
5 1
6 1
7 1
8 1
9 2
0 2
1 2
2 2
3 2
4 2
5 2
6 2
7 2
8 2
9 3
0 3
1 3
2 3
3 3
4 3
5 3
6 3
7 3
8 3
9 4
0 4
1 Hatchery farmer
Tech
nic
al e
ffic
iency/I
ne
ffic
iency
Tech efficiency
Tech
inefficiency
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
38
sintasan 10,42% (lower than average sintasan at experiment station 12,25%). The
result of frontier production function analysis on the grouper juveniles production in
wet season (Table 3) indicated that factors artemia (X3), mysid shrimp (X4), rotifer
(X5), and workers (X6) were significant. Among these factors, mysid shrimp (X4) with
negative regression coefficient indicated negative effect on the juveniles production do
to excessively utilization. Too more feed of mysid shrimps made defected digestion in
grouper seeds. It was caused by complication in digesting shell of mysid shrimps,
accumulation of these shells in digestion increased the mortality of the seeds. Here the
hatchery farmers should controle the utilization of mysid shrimps. On the contrary, the
factors artemia (X3), rotifer (X5) and workers (X6) with positive regression coefficients
indicated that utilization of these factors could be increased to make increasing
sintasan.
The description for technical efficiency and technical inefficiency of 41 samples
Tiger grouper hatchery firms in wet season (Figure 2) depicted that the managerial
ability among the grouper hatchery farmers in acclimating technology to produce
grouper juveniles in wet season was very variously and more variously than the
managerial ability in dry season. The average technical efficiency (TE) of these 41
Tiger grouper hatchery firms was 0,72055, with average actual production (QY)
56.558 pieces/farmer, but its average potential production (QQ) was 78.390
pieces/farmer. This case indicated that the actual juveniles production was lower than
potential juveniles production, so it was very required some efforts to increase juveniles
production.
Table 3. The result of estimating frontier production function for the Tiger
grouper juveniles production in wet season
Variable Coeficient t-ratio Significance
Constant
LnX1 (Grouper egg)
LnX2 (Pellet feed)
LnX3 (Artemia)
LnX4 (Mysid shrimp)
9.08944
0.15507
0.16365
0.31655
-0.65045
10,2262
1,3768
0,3556
1,7654
-2,2068
0,00000*
0,17732ns
0,72427ns
0,08622*
0,03398*
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
39
LnX5 (Rotifer)
LnX6 (Workers)
Log likelihood
Average technical efficiency (TE)
Average technical inefficiency (1-TE)
Return to scale (RTS)
0.51251
0.57042
4,36202
0,72055
0,27945
1,06775
2,3534
6,1489
0,02435*
0,00000*
Informations: * = significant;
ns = non significant
The average technical efficiency (TE) = 0,72055 indicated that the technical
efficiency of the Tiger hatchery firms in wet season was inefficient, so it was possible
to add the quantity of some inputs which allocated to increase juveniles production. The
average technical inefficiency (1-TE) = 0,27945 indicated some failures to use hatchery
equipments and to allocate some variable inputs in achieving maximum juveniles
production. This inefficiency was more seriously than inefficiency of production in dry
season.
Figure 2. The technical efficiency and technical inefficiency of 41 sample
Tiger grouper hatchery firms in wet season
Price/allocative efficiency and economic efficiency
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
Hatchery farmer
Tech
nic
al e
ffic
iency/in
effic
iency
effic
iency/in
eff
icie
ncy
Tech efficiency
Tech inefficiency
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
40
The result of allocative efficiency analysis for the grouper juveniles production
in dry season (Table 4) indicated that the ratio marginal value productivity per input
price for several inputs: grouper egg, pellet feed, mysid shrimp, and workers were lack
of efficient (> 1), but inputs: artemia, and rotifer were not efficient (< 1). The average
allocative efficiency of these 6 inputs (PE) was 1,554, and so the economic efficiency
(EE = TE x PE) was 1,381 (not efficient). Therefore, to improve the total efficiency or
to achieve economic efficient (production and profit closely to maximum level) for the
home industry Tiger grouper hatchery firms in dry season, the allocation of the inputs:
grouper egg, pellet feed, mysid shrimp, and workers should be increased, but allocation
of the inputs: artemia, and rotifer should be decreased.
Table 4. The price/allocative efficiency and economic efficiency of the Tiger
grouper hatchery firms in dry season
Variabel Regression Coeficient Ratio NPMx /Px Efficiency
LnX1 (Grouper egg)
LnX2 (Pellet feed)
LnX3 (Artemia)
LnX4 (Mysid shrimp)
LnX5 (Rotifer)
LnX6 (Workers)
0,25216
0,20063
0,03609
0,18473
-0,62503
0,37674
19,58213
11,62090
0,33313
3,57054
-28,85790
3,07536
PE
TE
EE
=
=
=
1,554
0,889
1,381
The result of allocative efficiency analysis for grouper juveniles production in
wet season (Table 5) indicated that the ratio marginal value productivity per input price
for several inputs: grouper egg, pellet feed, artemia, rotifer and workers were lack of
efficient (> 1), but input mysid shrimp was not efficient (< 1). The average allocative
efficiency of these 6 inputs (PE) was 6,469, and so the economic efficiency (EE = TE
x PE) was 4,661 (not efficient). Therefore, to improve the total efficiency or to
achieve economic efficient in wet season, the allocation: grouper egg, pellet feed,
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
41
rotifer and workers should be increased, but the allocation of the input mysid shrimp
should be decreased.
Table 5. Price/allocative efficiency and economic efficiency of Tiger grouper
hatchery firms in wet season
Variabel Regression
Coeficient
Ratio NPMx /Px Efficiency
LnX1 (Grouper egg)
LnX2 (Pellet feed)
LnX3 (Artemia)
LnX4 (Mysid shrimp)
LnX5 (Rotifer)
LnX6 (Workers)
0,15507
0,16365
0,31655
-0,65045
0,51251
0,57042
11,61410
8,53220
2,84428
-12,24290
23,66714
4,40462
EH
ET
EE
=
=
=
6,469
0,720
4,661
The cost and return of the Tiger grouper hatchery firms
The average return of 41 samples Tiger grouper hatchery firms in dry season
was Rp 77.728.585,-. Its average cost was Rp 42.011.476,-, so the average profit of the
firms was Rp 35.717.110,-/cyclus production, with standard deviation Rp 12.273.513,-
/cyclus production or the coefficient of variance was 34,36% (not so much variously).
The whole process of Tiger grouper hatchery firm for one cyclus production (from
preparation for hatchery means and equipments till crop and packaging) needed time 4
(four) months, so the average profit per month was Rp 8.929.000,-.
The average return in wet season was Rp 73.525.780,-. Its average cost was Rp
41.230.784,-, so the average profit of the firms was Rp 32.294.996,-/cyclus production,
with standard deviation Rp 17.804.839,-/cyclus production or the coefficient of
variance was 55,13% (enough variously), so the average profit per month was Rp
8.073.750,-.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
42
The effect of socioeconomic factors on the grouper juveniles production
The effect of the factor managerial ability of the hatchery farmers was very
significant on the grouper juveniles production in dry season, but the factors formal
education and farmer’s off-hatchery job were not significant. Eventhough some
hatchery farmers had low education (SD or SMP) and they had off-hatchery jobs, but
these two cases not caused the juveniles production in low quantity due to not bad their
managerial ability. The managerial ability was very dominant to determine the
successfulness to produce juveniles in high productivity, which was indicated by its
coefficient elasticity 1,265 (>1). Management for hatchery firm denoted as the ability
of a farmer to determine, to organize and to coordinate inputs application as efficient as
possible. The measurement for the success of this firm management was productivity
per input or productivity of the firm. The gist of this matter, a hatchery farmer was not
only as a worker but also as manager to order organization of producing juveniles in
totality manner.
The effect of factors managerial ability and formal eduction were very
significant on the grouper juveniles production in wet season, but the factor farmer’s
off-hatchery job were not significant. The running of hatchery firm in wet season was
rather more intricated than the running in dry season, due to the declining quality of the
coastal watter (purity, plankton riches, sterility from pathogen) during the wet season.
So the capability to analyze of the farmers with higher formal education influenced the
higher juveniles production.
Optimum inputs combination for Tiger grouper hatchery firm
From all appearances the grouper hatchery practices were different only among
farmers not among hatchery locations or hatchery techniques. Therefore, the point of
optimum inputs combination here was projected from the graph of the sum technical
efficiency plus profit hatchery firm (per Rp 100.000.000,-) possessed by each of 41
hatchery farmers. The result were presented in the Appendices.
The highest sum of technical efficiency plus profit hatchery firm for the
juveniles production in dry season was 1,596 which achieved by the hatchery farmer
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
43
number 15. The empirical data of the farmer number 15 that he applicated inputs
combination of XD = (X1; X2; X3; X4; X5; X6) = (750.000; 6; 40; 660; 61; 5),
and so the optimum inputs combination for the Tiger grouper hatchery firm in dry
season were: grouper eggs = 750 thousands pieces; pellet feed = 6 kg; artemia = 40
cans; mysid shrimp = 660 sacks; rotifer = 61 sacks; and workers = 5 men.
In the same manner the highest value in wet season was 1,714 which achieved
by the farmer number 13. This farmer applicated inputs combination of XW = (X1;
X2; X3; X4; X5; X6) = (500.000; 6; 21; 210; 46; 3), and so the optimum inputs
combination in wet season were: grouper eggs = 500 thousands pieces; pellet feed = 6
kg; artemia = 21 cans; mysid shrimp = 210 sacks; rotifer = 46 sacks; and workers = 3
men.
Implication
The analysis of marinecultural production especially for grouper hatchery
production had become an important step in the formulation of marinecultural policy.
It was an internal part of the development policy making because of the strategic
position of grouper hatcheries to push the development of raising groupers companies
and to alleviate the poor of the coastal communities. The policy objective was often to
identify the possibilities for increasing output, while conserving some resource uses,
particularly under development policy which emphasizes sustainable marine resources
and cultivation with secure fishes product.
Concerning the developing home industry Tiger grouper hatchery firms, the
excessively allocation of inputs artemia and rotifer in the Tiger grouper hatchery firms
in dry season should be changed to increase the allocation of the inputs pellet feed,
mysid shrimp, and workers, while for the excessively allocation of the input mysid
shrimp in wet season should be changed to increase the allocation of the inputs pellet
feed, artemia, and workers. The hatchery farmers whose production capacity of
disseminating Tiger grouper eggs about 750 thousands pieces in dry season should
allocate pellet feed = 6,0 kg, artemia = 40 cans, mysid shrimp = 660 sacks, rotifer = 61
sacks, and worker = 5 men. The hatchery farmers who had production capacity of
disseminating Tiger grouper eggs about 500 thousands pieces in wet season should
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
44
allocate pellet feed = 6,0 kg, artemia = 21 cans, mysid shrimp = 210 sacks, rotifer = 46
sacks, and workers = 3 men. The local governments in cooperating with finance
institutions or banks should prepare soft loan to new hatchery doers whose human
capital to run hatchery firm was sufficient. As well as to prepare adroit back-yard
hatchery workers through education and training to the local human resources in
coastal communities in Bali.
References
The Fishes Quarantine Office-Ngurah Rai Denpasar, 2008. Statistik Produksi Benih
Ikan Kerapu di Bali yang Diperdagangkan Antar Pulau dan Diekspor Tahun
2004-2007. Denpasar: The Fishes Quarantine Office-Ngurah Rai.
Farrel, M.J., 1957. “The Measurement of Productive Efficiency”. Journal of The Royal
Statistical Society, Series A, Part 3, 120: 253-581.
Giri, N.A., K. Suwirya, dan M. Marzuqi, 2006. Pembenihan Ikan Kerapu Macan
Gerokgak: Balai Besar Riset Perikanan dan Budidaya Laut Gondol.
Hanafi, A., Awal Subandar, dan Kris Sunarto, 2002. Urgensi Kajian Lingkungandan
Tata Ruang Kawasan Pesisir dalam Mendukung Pengembangan Budidaya
Kerapu Berkelanjutan. Jakarta: Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Budidaya Pertanian, BPPT.
Kardi, C., 2007. Strategi Memaksimumkan Profit Usaha Pembenihan Ikan Kerapu
Macan melalui Pengendalian Input dan Produksi di Kecamatan Gerokgak.
Gerokgak: BBRPBL Gondol
Nicholson, W., 1995. Teori Mikro Ekonomi. Prinsip Dasar dan Perluasan. Edisi
Kelima. Terjemahan: Daniel Wirajya. Jakarta: Binarupa Aksara.
Panayotou, T., 1985. Production Technology and Economic Efficiency.
A Conceptual Framework. (ed. T. Panayotou) Small-scale fisheries in Asia. Ottawa,
Canada: IDRC.
Pappas, J.L. and Mark Hirschey, 1993. Managerial Economics.
Orlando-Florida: Harcourt Brace College Publishers.
Squires, D.; I.H. Omar; Yongli Jeon; K. Kuperan; and Indah Susilowati, 2003. “Exces
Capacity and Sustainable Development in Java Sea Fisheries”. Environment
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
45
and Development Economics 8: 105-127. Cambridge University Press: United
Kingdom.
Susantun, I., 2000. “Fungsi Keuntungan Cobb-Douglas dalam Pendugaan Efisiensi
Ekonomi Relatif”. Jurnal Ekonomi Pembangunan. 21(2), 149-161.
Sutanto, H.A. dan Indah Susilowati, 2006. “Analisis Efisiensi Alat Tangkap Gillnet di
Kabupaten Pemalang Jawa Tengah”. Jurnal Ekobis. 7(1), 1-16.
Viswanathan; I.H. Omar; Yongli Jeon; K. Kuperan; James Kirkley; Dale Squires; and
Indah Susilowati, 2001. “Fishing Skill in Developing Country Fisheries:
The Kedah Malaysia Trawl Fishery”. Marine Resource Ekonomics. 16 (4).
Widodo, S. 1989. Production Efficiency of Rice Farmers in Java Indonesia.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Zen et al., 2002. “Technical Efficiency of The Drifnet and Payang Seine (Lampara)
Fisheries in West Sumatra, Indonesia”. Journal of Asian Fisheries Science.
15, 97-106.
Appendices
The Graphs for technical efficiency; profit ; and sum of technical
efficiency plus profit of the juveniles production in dry season
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
46
The Graphs for technical efficiency; profit ; and sum of technical
efficiency plus profit of the juveniles production in wet season
KONTRIBUSI KEARIFAN LOKAL TERHADAP
KONSERVASI LAHAN KRITIS
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41
Hatchery farmer
Pro
fit/
TE/P
rofi
t+T
E
E Profit+TE TE Profit
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41
Hatchery farmer
Pro
fit/
TE/P
rofi
t +T
E
Profit + TE TE Profit
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
47
Oleh
I MADE TAMBA
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) mengetahui penerapan kearifan lokal dalam
konservasi lahan kritis di Desa Batur Tengah; dan 2) mengetahui kontribusi kearifan
lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa Batur Tengah. Populasi penelitian ini
adalah seluruh petani yang ada diwilayah Desa Batur Tengah. Pengambilan sampel
dilakukan dengan metode quota sampling, yaitu sebanyak 30 orang petani yang
tergabung dalam kelompok tani dan 30 orang petani yang tidak tergabung dalam
kelompok tani
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. 1)
Penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa Batur Tengah berada
dalam kategori baik. 2) Kontribusi penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan
kritis di Desa Batur Tengah berada dalam kategori cukup tinggi. 3) Faktor pendukung
penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa Batur Tengah adalah
faktor dukungan masyarakat, pemerintah, pengamalan warga terhadap falsafah Tri Hita
Karana dan landasan operasional “paras paros selulung subayantaka sarpanaya”. 4)
Faktor penghambat penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa
Batur Tengah adalah hambatan ekonomi, teknologi, kelembagaan dan hambatan fisik.
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat disarankan sebagai berikut. Kepada warga
masyarakat agar meningkatkan kualitas penerapan kearifan lokal dalam konservasi
lahan kritis sehingga kontribusi penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis
menjadi lebih tinggi Kepada Bendesa adat agar melaksanakan kearifan local secara
lebih bijaksana. Kepada Pemerintah Daerah melalui Camat Kintamani agar lebih
intensif memantau penerapan kearifan local dalam konservasi lahan kritis.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumber daya hutan dan lahan sebagai sumber kekayaan alam yang penting
untuk suatu kehidupan, perlu dikelola dengan baik agar bermanfaat bagi masyarakat
dengan tetap menjaga kelangsungan fungsi dan kemampuannya. Pendayagunaan
dilakukan secara rasional disertai upaya pelestarian sebagai perwujudan dari
pembangunan berwawasan lingkungan dengan mengikutsertakan masyarakat secara
luas. Sehubungan dengan hal itu, pengelolaan dan pengembangannya diarahkan untuk
mempertahankan keberadaan dan keseimbangan yang dinamis melalui berbagai usaha
perlindungan, rehabilitasi dan pemeliharaan. Hal itu dimaksudkan agar pemanfaatan
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
48
sumber daya alam, utamanya hutan dan lahan tidak menimbulkan gangguan terhadap
ekosistem, yang antara lain mengakibatkan terjadinya lahan kritis.
Lahan kritis adalah lahan yang tidak produktif lagi untuk mendatangkan hasil
atau dapat dikatakan lahan itu kurang sekali manfaatnya bagi lingkungan hidup,
sehingga kerugian yang diakibatkan oleh lahan kritis dapat bersifat individual maupun
massal. Petani yang tidak dapat bercocok tanam karena lahannya gersang, selain
penghasilannya berkurang, pengeluarannya bertambah banyak untuk merehabilitasikan
lahannya yang tidak produktif. Lahan kritis dapat terjadi baik di luar kawasan hutan
maupun di dalam kawasan hutan. Oleh karenanya, fungsi sumberdaya alam seperti
lahan perlu dilestarikan agar dapat memberikan manfaat yang optimal.
Propinsi Bali terdiri dari 8 (delapan) kabupaten dan 1 (satu) kota mempunyai
luas wilayah keseluruhan 5.632,86 Km2 dengan lahan kritis seluas 307.035 Ha dan dari
luasan lahan kritis tersebut 127.706 ha berada didalam kawasan hutan. Pelaksanaan
Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) pada Daerah Aliran Sungai (DAS)
di Bali sampai lima tahun terakhir telah berhasil dilaksanakan dalam bentuk reboisasi
seluas 825 ha. Pembuatan hutan rakyat seluas 2.334,4 ha dan rehabilitasi teras 2.390 ha
(Departemen Kehutanan, 2006). Namun kenyataannya kerusakan lahan (lahan kritis)
khususnya di daerah DAS ada kecendrungan semakin meningkat (0,089% per tahun).
Pada tahun 2002 lahan kritis mencapai luasan 286.938 ha yaitu 107.422 ha dalam
kawasan hutan dan 179.496 ha di luar kawasan hutan. Pada tahun 2005 meningkat
1.275 ha menjadi 287.213 ha yaitu di dalam kawasan hutan 107.442 ha dan 179.771 ha
di luar kawasan hutan.
Rendahnya tingkat keberhasilan usaha rehabilatiasi dan konservasi tanah yang
telah dilakukan tersebut (hanya 350 ha dari 825 ha lahan yang direhabilitasi)
disebabkan dalam pelaksanaan rehabilitasi mengalami kendala seperti :(1) anggaran
yang tersedia untuk pelaksanaan kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah
sangat terbatas, sehinga kegiatan yang dilakukan hanya berupa bantuan bibit kepada
masyarakat dan tanpa pembuatan teras sesuai kaidah konservasi, tetapi hanya
memanfaatkan teras yang telah dimiliki masyarakat, serta waktu penanaman yang
kurang memperhatikan curah hujan sehingga persentase tumbuh tanaman konservasi
rendah (< 50%), (2) pelaksanaan kegiatan waktunya terlalu pendek sehingga dalam
tahapan pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dengan jadwal, (3) dalam memilih lokasi
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
49
kegiatan tidak memperhatikan spesifik lokal, karakteristik dari wilayah seperti biofisik,
sosial ekonomi masyarakat dan potensi yang ada, dan (4) pemilihan tanaman untuk
kegiatan tidak sesuai dengan kesesuaian tempat tumbuh dari tanaman yang akan
dikembangkan sehingga sangat mempengaruhi persentase tumbuh tanaman.
Upaya penanganan lahan kritis di Propinsi Bali sudah dilakukan melalui
kegiatan Reboisasi dan Penghijauan, namun hasilnya belum sesuai dengan yang
diharapkan, dan bahkan akhir-akhir ini pertambahan lahan kritis cenderung meningkat.
Salah satu indikatornya yaitu fluktuasi aliran sungai yang kontras, distribusi air yang
tidak merata sepanjang tahun dan tingginya kandungan sidementasi
Jika dicermati, masyarakat Bali sesungguhnya telah memiliki kearifan lokal
untuk menjaga keberadaan lingkungan. Ada penghormatan terhadap lingkungan yang
dibuktikan dengan adanya konsep Tri Hita Karana, Tri Angga (Kepala, badan dan
kaki), Tri Mandala (utama, madya, nista), Tat Twam Asi, Tumpek Bubuh, Tumpek
Uduh, dan Tumpek Kandang.
Namun sayangnya dalam kehidupan kini, kearipan lokal bali tersebut sepertinya
dipertanyakan kontribusinya terhadap pelestarian lingkungan termasuk konservasi
lahan kritis. Tingkat kerusakan hutan tinggi akibat illegal logging dapat menjadi salah
satu contohnya. Begitu juga halnya banyak lahan-lahan kritis yang muncul akibat dari
eksploitasi atau pemanfaatan oleh manusia yang berlebihan tanpa memperhatikan etika
lingkungan sehingga terjadi degradasi lahan yang cukup serius.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa
Batur Tengah ?
2. Bagaimana kontribusi kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa Batur
Tengah ?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di
Desa Batur Tengah.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
50
2. Untuk mengetahui kontribusi kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di
Desa Batur Tengah.
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Desa Batur Tengah. Lokasi penelitian ini
dipilih secara purposive dengan dasar pertimbangan bahwa (1) Desa Batur Tengah
merupakan salah satu lokasi dari beberapa lokasi diadakannya kegiatan Rehabilitasi
Lahan dan Konservasi Tanah di Kabupaten Bangli. (2) Dalam konservasi lahan kritis
masyarakat Desa Batur Tengah berpedoman pada aspek-aspek kearifan lokal.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh petani yang ada diwilayah Desa Batur
Tengah. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode quota sampling, yaitu sebanyak
30 orang petani yang tergabung dalam kelompok tani dan 30 orang petani yang tidak
tergabung dalam kelompok tani.
Metode Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dalam penelitian ini ada 2 (dua), yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang diproleh dengan cara survey atau
wawancara langsung dengan petani responden yang berpedoman pada daftar
pertanyaan (kuisioner) yang telah disusun sebelumnya sebanyak 25 pertanyaan. Data
sekunder merupakan data yang diperoleh dari instansi atau lembaga terkait yang
berhubungan dengan topik penelitian.
Analisis Data
Penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis dianalisis secara
deskriptif kualitatif. Sedangkan kontribusi penerapan kearifan lokal dalam konservasi
lahan kritis dianalisis secara deskriptif kuantitatif dengan menggunakan skala 3 (tiga).
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
51
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penerapan Kearipan Lokal Dalam Konservasi Lahan Kritis
Konsepsi Tri Hita Karana telah mengajarkan masyarakat Bali untuk memelihara
dan berpegang pada nilai keseimbangan, keberlanjutan, keteladanan dan toleransi,
sehingga kehidupan di alam dapat terjaga. Upaya untuk menjaga adanya keseimbangan
harus terus digelorakan menuju kualitas kehidupan yang lebih baik. Keseimbangan
dalam konteks kearifan local yang merujuk pada Budaya Bali harus dipahami dari
konsep skala-niskala . Dalam melaksanakan konservasi lahan kritis masyarakat Desa
Batur Tengah tidak hanya memperhatikan aspek skala namun juga memiliki keyakinan
yang kuat terhadap aspek niskala. Responden melakukan penanaman pohon tidak
semata ingin mendapatkan imbalan secara skala tetapi juga secara niskala.
Penerapan kearifan local dalam konservasi lahan kritis dapat diidentifikasi
sebagai berikut :
1) Penancapan ranting pohon pada pangkal pohon yang ditebang pada setiap
penebangan pohon mengandung makna bahwa setiap penebangan pohon harus
disertai upaya penanaman kembali untuk mengganti pohon yang ditebang.
Disini nilai keberlanjutan sangat kasat mata untuk memelihara keseimbangan
alam. Satu tindakan yang arif dan bijaksana mengandung nilai yang berganda
baik bagi keberlanjutan maupun keseimbangan alam. Bagi masyarakat Desa
Batur Tengah tindakan ini sepenuhnya dilakukan dalam aktivitas kesehariannya.
Hal ini terlihat jelas, karena anggota kelompok wira usaha secara
berkesinambungan melakukan usaha pembibitan tanaman hutan. Tidak sulit
bagi masyarakat untuk mendapatkan bibit tanaman hutan yang digunakan
sebagai pengganti tanaman yang telah ada, karena bibit tanaman hutan tersedia
sepanjang tahun. Hal ini terjadi karena Kelompok Tani Wira Usaha telah
menjadikan usaha pembibitan tanaman hutan sebagai salah satu income
generating bagi kelompoknya. Penanaman pohon hari ini dapat
diinterpretasikan sebagai tabungan bagi generasi mendatang. Karena pohon
yang baru ditanam akan memberikan manfaat besar beberapa tahun yang akan
datang dan dapat dinikmati oleh generasi penerus. Budaya menanam kembali
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
52
pada setiap penebangan pohon telah terinternalisasikan dalam masyarakat Desa
Batur Tengah. Menurut penuturan responden, tidak ada masyarakat yang secara
terpaksa atau dipaksa untuk menanam pohon. Kesadaran menanam pohon
terlahir dari relung hati masyarakat yang secara kebetulan mereka berada pada
daerah yang memiliki lahan kritis.
2) Penebangan pohon yang didasarkan atas hari baik. Hal ini mengandung makna
bahwa penebangan pohon harus dilakukan secara beraturan atau tidak boleh
dilakukan secara sembarangan. Hari-hari menebang pohon tidak boleh secara
acak. Dalam kehidupan masyarakat Desa Batur Tengah terdapat suatu
pandangan kosmis dimana manusia merasakan dirinya hanya sebagai unsure
kecil saja yang ikut terbawa oleh proses peredaran alam semesta yang maha
besar. Pandangan kosmos mendasari hubungan harmonis antara makrokosmos
dengan mikrokosmos guna mewujudkan ketentraman bathin dalam kehidupan.
Sesuai dengan sifat kehidupan sosioreligius masyarakat Hindu maka penduduk
Desa Batur Tengah selalu merujuk pada penggunaan “dewasa” dalam
kehidupannya. Kata “dewasa” adalah bahasa Sansekerta yang artinya sorga,
langit, hari. Jadi dewasa artinya hari pilihan atau hari baik. Dalam
perkembangan selanjutnya diinterpretasikan bahwa “dewasa” adalah pemilihan
hari baik untuk menuju jalan yang mulia berdasarkan peredaran benda benda
langit di ruang angkasa. Memilih hari baik, tidak akan sempurna adanya, namun
ada saja kekurangannya. Masyarakat Desa Batur Tengah percaya bahwa jika
dalam perhitungan sudah didapat lebih banyak nilai baik, berarti sudah bisa
dijadikan dewasa. Untuk menyempurnakan dan mentralisir hal-hal yang buruk,
maka masyarakat setempat melakukan upacara “pamarisudan halaning dewasa”.
Kenyataan ini memberi makna bahwa masyarakat Desa Batur Tengah sangat
mengapresiasi hari baik untuk melakukan aktivitas menebang pohon. Dengan
demikian penebangan pohon tidak dilakukan secara semena-mena yang berarti
bahwa tindakan tersebut mengandung muatan konservasi. Karena sesungguhnya
tindakan konservasi lahan kritis tidak diartikan sebagai tindakan yang sama
sekali nihil terhadap tindakan penebangan pohon. Sumber daya hutan boleh saja
ditebang namun harus dilakukan secara bijaksana dengan memperhatikan
unsure waktu dan disertai upaya nyata penanaman kembali sebagai pengganti
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
53
pohon yang ditebang. Disini nampak unsure kearifan local penduduk Desa
Batur Tengah, yang berupaya menjadikan dusun dan daerah sekitarnya sebagai
kawasan yang tidak lagi terperangkap dalam label daerah lahan kritis. Khusus
untuk menebang bambu masyarakat setempat tidak berkenan melakukannya
pada hari Minggu. Para Tetua Masyarakat Desa Batur Tengah memiliki
pengalaman panjang berkenaan dengan keberadaan tanaman bambu, sehingga
mereka sampai pada kesimpulan praktis yang mengandung muatan konservasi
lahan, yaitu pohon bambu tidak boleh ditebang pada hari Minggu. Suatu
kenyataan yang kasat mata akan terjadi bila pohon bambu ditebang pada hari
Minggu, yakni beberapa bulan kemudian pohon bambu yang masih tertinggal
pada rumpun tersebut akan mengeluarkan bunga. Keluarnya bunga pada pohon
bambu menandakan bahwa rumpun bambu tersebut akan segera mati. Oleh
karena itu, maka masyarakat Desa Batur Tengah telah mengapresiasi fakta
tersebut dengan tidak melakukan penebangan bambu pada hari Minggu. Dengan
demikian muatan konservasi lahan kritis telah melekat pada perilaku
masyarakat Desa Batur Tengah.
3) Penanaman pohon dilakukan berdasarkan hari baik. Bagi masyarakat Desa
Batur Tengah, menanam pohon dilakukan pada hari baik mengandung makna
bahwa penanaman pohon disamping memilih hari baik juga memperhatikan
musim hujan. Walaupun ada hari baik untuk menanam pohon, tetapi tidak
bersamaan dengan musim hujan, maka penanaman pohon tidak dilakukan. Jadi
penanaman pohon hanya dilakukan pada hari baik yang jatuh pada musim
hujan. Penanaman pohonpun dilakukan dengan memperhatikan kemiringan
lahan. Jika lahannya miring maka dilakukan terasering. Dengan demikian
masyarakat Desa Batur Tengah telah mengapresiasi aspek teknis dan non teknis
dalam melakukan konservasi lahan kritis.
4) Pelaksanaan upacara Tumpek Bubuh secara khidmat. Lingkungan hidup sebagai
sumber kesejahteraan hidup manusia menjadi kewajiban manusia untuk
memeliharanya. Untuk itu hendaknya diupayakan adanya perilaku untuk
mensejahterakan alam dan isinya. Usaha untuk melestarikan alam dan isinya
telah menjadi kewajiban manusia sebagaimana diisyaratkan di dalam rgveda
VI.48.17 dan Yayurveda VI.22 : “Janganlah menebang pohon-pohon itu, karena
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
54
mereka menyingkirkan pencemaran. Janganlah mencemari air dan janganlah
menyakiti atau menebang pohon-pohon itu”. Perilaku masyarakat Bubung
Kelambu untuk memelihara dan melestarikan alam lingkungan dengan
menyelamatkan semua yang hidup di sekitar lingkungannya diwujud nyatakan
dengan melestarikan hutan lindung, menebang pohon secara bijaksana,
menanam pohon pelindung dan pohon yang bermanfaat bagi kehidupannya,
baik untuk kepentingan pembangunan fisik maupun untuk kepentingan upacara
adapt dan keagamaan. Pemeliharaan terhadap kelestarian lingkungan dimaknai
sebagai satu tatanan perilaku dalam mewujudkan “Moksartam jagadhita”.
Idealisme yang ditunjukkan dalam berbagai sastra suci Weda dan sebagaimana
diungkapkan di dalam Lontar Purana Bali (dalam Wiana, 2002) bahwa di dalam
memelihara dan melestarikan kehidupan alam, agar berpegang pada Sad Kerta
diantaranya Samudra Kerti, Wana Kerti, dan Danu Kerti yang bermakna upaya
untuk memelihara kelestarian hutan, samudra dan danau sebagai sumber air
telah diupayakan untuk diwujud nyatakan oleh masyarakat Bubung Kelambu.
Masyarakat Desa Batur Tengah di dalam memelihara pelestarian alam disertai
dengan upacara ritual keagamaan seperti pelaksanaan Rerahinan Tumpek
Bubuh (atau juga disebut Tumpek Penguduh, Tumpek Wuduh,, Tumpek
Wariga-Pengatag) secara khidmat.
5) Konservasi lahan kritis dituangkan dalam Peraturan Banjar. Bagi masyarakat
Desa Batur Tengah peraturan banjar merupakan wahana untuk mewujudkan
keharmonisan hubungan antar anggota banjar. Untuk mewujudkan
kemarmonisan hubungan, maka harus ada ketaatan dari anggotanya untuk
mematuhi aturan tersebut. Namun bagi anggota masyarakat Bubung Kelambu,
aturan tersebut tidak menjadi penghalang untuk melakukan aktivitas, karena
mereka terbiasa melakukan aktivitas secara normative. Oleh karena itu
peraturan tidak dirasakan sebagai sesuatu yang membatasui aktivitasnya, karena
aktivitas yang dilakukan berada pada ranah normative. Masyarakat beranggapan
bahwa ada atau tanpa peraturan yang berkaitan dengan konservasi lahan kritis,
perilakunya tetap seperti demikian.
6) Kegiatan konservasi lahan kritis dianggap sebagai yadnya. Menjadi kewajiban
bagi masyarakat Desa Batur Tengah untuk melaksanakan aktivitas konservasi
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
55
lahan kritis disertai dengan kegiatan yadnya. Yadnya sebagai pusat terciptanya
dan terpeliharanya alam semesta dan segala isinya. Tuhan menciptakan yadnya
sebagai dasar kehidupan semua mahluk ciptaanNya. Oleh karena itu untuk
melakukan harmonisasi hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya
dilakukan aktivitas yadnya. Kesejahteraan sesungguhnya merupakan hak hakiki
semua mahluk, dan kesejahteraan tersebut akan dapat diwujudkan jika ajaran
agama dilaksanakan dengan baik. Yadnya yang dilakukan memberikan vibrasi
terpadu yang efek multipliernya sangat besar terutama pada aspek kesejahteraan
masyarakat.
7) Kegiatan konservasi lahan kritis menciptakan hubungan antar warga yang lebih
harmonis. Harmonisasi hubungan antar warga menjadi sangat penting ditengah
gejolak pergaulan antar dan antara banjar yang acapkali memanas. Toleransi
antar sesama sangat penting untuk diresapi agar tidak menimbulkan perpecahan
yang terkadang disebabkan oleh masalah sepele. Melalui ketentraman suasana
lingkungan sebagai pencerminan dari pelaksanaan konservasi lahan kritis akan
terlahir harmonisasi hubungan antar sesama warga dan bahkan pada tataran
yang lebih luas. Keberhasilan konservasi lahan kritis memberikan vibrasi yang
besar terhadap pencitraan suasana hati para warga masyarakat. Rasa kedamaian
yang menghiasi kehidupan hari-hari warga masyarakat, maka yang
bersangkutan akan mampu mengelola suasana hatinya secara bijaksana. Orang
bijak mengatakan bahwa kebijakan harus teruji pada situasi kritis. Kalau dalam
situasi yang bersifat kritis (dalam konteks lahan kritis) orang mampu mengelola
suasana hatinya secara bijaksana, maka orang tersebut telah layak dikatakan
bijaksana. Tindakannya tidak terperangkap pada perbuatan yang bersifat
kontraproduktif (misalnya merusak hutan). Harmonisasi hubungan antar warga
menjadi prioritas bagi warga Desa Batur Tengah, sehingga kegiatan konservasi
lahan kritis tidak terkendala oleh perilaku keseharian warga dusun.
8) Pemeliharaan kelestarian hutan merupakan jembatan menuju sorga. Sorga bagi
masyarakat Bubung Kelambu dimaknai sebagai suatu keadaan yang tentram,
damai, dan sejahtera. Jika hutan lestari berarti sumber air akan terpelihara,
kesuburan lahan akan terjaga, yang berdampak positif terhadap eksistensi usaha
tani maupun ternak dan akhirnya bermuara pada meningkatnya kesejahteraan
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
56
masyarakat. Upaya masyarakat Desa Batur Tengah untuk memelihara
kelestarian hutan telah dilakukan secara berkesinambungan. Menurut
responden, tidak pernah dijumpai adanya kasus warga Desa Batur Tengah yang
melakukan illegal logging. Jangankan menebang pohon yang berada pada
kawasan konservasi lahan kritis, menebang pohon yang berada di lahan
miliknya sendiri selalu melakukan koordinasi dengan keluarga dengan memilih
hari baik. Oleh karena itu, pemeliharaan kelestarian hutan telah dijadikan
aktivitas keseharian warga Desa Batur Tengah, yang mana hal ini terbukti dari
keberadaan vegetasi di daerah ini yang kerapatannya semakin meningkat.
Hasil analisis terhadap jawaban responden dalam penerapan kearifan lokal untuk
konservasi lahan kritis menunjukkan bahwa sebagian besar (63,33%) responden
berada dalam kategori penerapan kearifan lokal yang tinggi. Tidak ada responden
yang penerapan kearifan lokalnya berada dalam kategori rendah. Hanya sebesar
36,67% responden yang berada dalam kategori cukup tinggi dalam hal penerapan
kearifan lokal. Hal ini member makna bahwa penerapan kearifan lokal telah
dijadikan pengawal perilaku responden di Desa Batur Tengah. Dalam kehidupan
sehari-hari responden berpegang pada perilaku normatif yang telah membudaya
pada masyarakat Desa Batur Tengah. Menurut pengakuan responden, ada perasaan
berdosa apabila mereka melakukan perbuatan yang bertentangan atau bersebrangan
dengan perilaku normatif. Dengan demikian perilaku normatif pada masyarakat
Desa Batur Tengah telah melembaga secara permanen dan menjadi rujukan semua
warganya. Pantang bagi warga masyarakat untuk berperilaku menyimpang.
Kelembagaan masyarakat Desa Batur Tengah telah diyakini mampu memberikan
insentif ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan warganya. Kelembagaan yang ada
telah memiliki roh yang kuat yang tercermin dari tingkat keberdayaan masyarakat
menghadapi tantangan perkembangan global.
Kontribusi Kearifan Lokal terhadap Konservasi Lahan Kritis
Penerapan kearifan local dinilai oleh warga Desa Batur Tengah memberikan
dampak positif terhadap upaya konservasi lahan kritis. Tradisi-tradisi yang melandasi
perilaku masyarakat untuk memperbaiki kualitas lingkungan tetap dipelihara. Terlebih
lagi tradisi-tradisi tersebut tidak memerlukan penafsiran kembali untuk penerapannya.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
57
Tidak ada tradisi yang bersifat menalar yang sakral. Tidak ada satupun responden yang
memberikan jawaban bahwa penerapan kearifan local tidak efektif. Sebagian besar
responden menyatakan bahwa penerapan kearifan local cukup efektif dalam melakukan
konservasi lahan kritis. Secara visual dapat diamati bahwa kondisi lingkungan di Desa
Batur Tengah menampakkan panorama yang semakin membaik. Luas areal lahan kritis
semakin berkurang, kondisi lahan semakin hijau dengan kepadatan vegetasi semakin
meningkat.
Sebagian besar responden menyatakan bahwa penanaman pohon pada hari baik
memperlihatkan hasil yang lebih baik. Tradisi memilih hari baik untuk melakukan
penanaman pohon telah menjadi pegangan hidup masyarakat Desa Batur Tengah.
Secara nyata perbuatan ini telah teruji di lapangan. Pohon yang ditanam pada hari baik
biasanya terhindar dari gangguan ternak, hama dan penyakit bahkan tindakan warga
masyarakat yang berperilaku menyimpang. Seolah tanaman tersebut terlindung dari
bencana yang kerap terjadi secara sporadic. Ada kekuatan yang tidak nampak atau ada
semacam invisible hand yang melindungi tanaman tersebut. Pertumbuhan pohonpun
menampakkan laju yang lebih baik. Fenomena ini telah dikenali oleh masyarakat secara
komprehensif dan telah dikomunikasikan kepada generasi penerusnya untuk selalu
diamalkan dalam kehidupan dimasa mendatang. Para tetua yang mahir wariga dengan
penuh kesabaran hati mentransmisikan pengetahuannya kepada anak cucunya. Bahkan
ada sejumlah generasi muda Desa Batur Tengah yang mencoba mendokumentasikan
metode pemilihan hari baik berdasarkan perhitungan wariga yang berbasis teknologi
informasi.
Penebangan pohon pada hari baik dipersepsikan oleh respoden menampakan
hasil yang lebih baik. Sebagian besar responden menyatakan bahwa penebangan pohon
pada hari baik memperlihatkan hasil yang lebih baik. Menurut responden kayu yang
ditebang pada hari baik yang kemudian digunakan untuk bahan bangunan tidak cepat
rusak. Ada responden yang menyatakan berdasarkan pada pengalamannya bahwa kayu
yang ditebang pada hari baik terhindar dari gangguan rayap, walaupun kayu tersebut
tidak diberikan perlakuan khusus agar tahan terhadap serangan rayap. Walaupun hal ini
masih memerlukan kajian lebih lanjut, namun responden merasakan manfaat yang
sangat signifikan ketika mereka menggunakan hari baik untuk menebang pohon
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
58
terutama yang akan dijadikan bahan bangunan, baik rumah tempat tinggal maupun
bangunan tempat suci.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi penerapan kearifan lokal dalam
konservasi lahan kritis berada dalam kategori cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari
persentase pencapaian skor terhadap skor maksimal yang mencapai 68,73 %. Secara
kuantitatif sebagian besar responden berada dalam kaegori cukup tinggi dalam hal
kontribusi penerapan konservasi lahan kritis. Pada tataran persepsi responden,
kontribusi penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis cukup baik. Derajat
ketepatan penerapan kearifan lokal disinyalir berdampak pada besaran kontribusinya,
sehingga pada tingkat penerapan yang relatif terarah mengakibatkan kontribusi yang
relative lebih baik terhadap konservasi lahan kritis.
Keyakinan responden bahwa kehidupan memiliki dimensi waktu (Tri Semaya
Kala) melahirkan pikiran yang menganggap konservasi lahan kritis sebagai kewajiban.
Aktivitas konservasi yang dilakukan pada masa lalu akan berdampak pada masa kini
dan masa yang akan datang. Demikian juga tindakan konservasi yang dilakukan pada
masa kini akan memberikan dampak yang besar pada kualitas kehidupan yang akan
datang. Kesadaran yang tinggi dari responden bahwa hidup bukan hanya hari ini,
namun juga pada masa yang tidak terkira didepan, menambah semarak aktivitas
pelestarian lingkungan terutama yang berkaitan dengan konservasi lahan kritis.
Faktor Pendukung Penerapan Kearifan Lokal Dalam Konservasi Lahan Kritis
Keberhasilan penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis tidak
terlepas dari keberadaan faktor pendukung. Adapun sejumlah faktor pendukung
penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis teridentifikasi sebagai berikut :
1) Faktor tingginya dukungan warga masyarakat Desa Batur Tengah melaksanakan
konservasi lahan kritis yang berlandaskan ajaran dharma.
2) Visi kelompok tani Wira Usaha yang secara lugas mencantumkan Tri Hita
Karana sebagai dasar merujudkan pertanian maju, meningkatkan fungsi hutan
dan kesejahteraan petani. Warga masyarakat Bubung Kelambu percaya bahwa
kesuburan adalah merupakan karunia dari Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa, sehingga warga berusaha memelihara hubungan yang
harmonis dengan Sang Pencipta dalam manifestasinya sebagai Dewi Kesuburan
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
59
melalui persembahan upacara-upacara yang dilaksanakan pada Pura-Pura
setempat. Warga juga percaya bahwa kesuburan yang ingin dicapai tidak dapat
diusahakan secara sendiri-sendiri atau memerlukan kerjasama, sehingga warga
berusaha menjalin hubungan yang harmonis antar warga yang diwujudkan
melalui sangkepan/rapat-rapat warga. Warga Desa Batur Tengah juga percaya
bahwa segala kemakmuran itu adalah datangnya dari bantuan alam lingkungan
sekitarnya sehingga kelompok tani dan warga dusun berusaha menjalin
hubungan yang harmonis dengan alam lingkungannya.
3) Tingginya pengamalan warga masyarakat terhadap landasan operasional dusun
yaitu “Paras paros selunglung sabayantaka sarpanaya” yang berarti segala baik
buruk, berat ringan dipikul bersama. Betapa tingginya rasa toleransi warga
untuk mensukseskan pelaksanaan suatu aktivitas termasuk upaya penerapan
kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis.
4) Faktor dukungan pemerintah daerah dari tingkat kabupaten, kecamatan, dan
bahkan desa. Dukungan tersebut diwujudkan dalam bentuk bantuan dana,
material, maupun dukungan moril.
Faktor Penghambat Penerapan Kearifan Lokal Dalam Konservasi Lahan Kritis
Teridentifikasi sejumlah faktor penghambat merintangi penerapan kearifan lokal
dalam konservasi lahan kritis, yaitu :
1) Hambatan ekonomi, yaitu kurangnya pendanaan yang dapat dimanfaatkan untuk
penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis. Kegiatan konservasi
lahan kritis melalui penerapan kearifan lokal tidak lepas dari masalah
pendanaan, karena kegiatan tersebut membutuhkan dana yang memadai.
Aksesibilitas warga terhadap sumber-sumber pendanaan yang dapat
dimanfaatkan untuk konservasi lahan kritis masih terbatas. Kepedulian investor
terhadap pelestarian lingkungan masih sangat rendah, terbukti tidak adanya
investor yang mau berkolaborasi dengan warga dalam melaksanakan konservasi
lahan kritis.
2) Hambatan teknologi. Masyarakat menganggap bahwa teknologi yang mereka
gunakan untuk menerapkan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis masih
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
60
sangat sederhana, karena mereka melakukannya secara manual. Belum ada
upaya enginering dalam penerapan kearifan lokal.
3) Hambatan kelembagaan. Lembaga adalah organisasi atau norma yang mengatur
kehidupan warga masyarakat. Di Desa Batur Tengah tidak semua warganya
tergabung dalam kelompok tani, sehingga terjadi disparitas antara warga yang
tergabung dalam kelompok dengan warga yang tidak tergabung dalam
kelompok. Warga yang tergabung dalam kelompok memiliki visi dan misi yang
jelas dalam melaksanakan konservasi lahan kritis termasuk melalui konsep
kearifan lokal. Sementara warga yang tidak tergabung dalam kelompok tani
kurang terarah dalam melangkah untuk menerapkan kearifan lokal.
4) Hambatan fisik, yakni curamnya medan yang menjadi lokasi konservasi lahan
kritis, sehingga menghambat warga dalam menerapkan kearifan lokal. Untuk
menuju lokasi konservasi lahan kritis yang relatif sulit, warga seringkali
semangatnya terpatahkan oleh kesulitan medan, meskipun sesungguhnya
mereka telah siap dengan konsep kearifan lokal.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1) Penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa Batur Tengah
berada dalam kategori baik.
2) Kontribusi penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa Batur
Tengah berada dalam kategori cukup tinggi.
3) Faktor pendukung penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa
Batur Tengah adalah faktor dukungan masyarakat, pemerintah, pengamalan warga
terhadap falsafah Tri Hita Karana dan landasan operasional “paras paros selulung
subayantaka sarpanaya”
4) Faktor penghambat penerapan kearifan lokal dalam konservasi lahan kritis di Desa
Batur Tengah adalah hambatan ekonomi, teknologi, kelembagaan dan hambatan
fisik.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
61
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat disarankan sebagai berikut :
- Kepada warga masyarakat agar meningkatkan kualitas penerapan kearifan lokal
dalam konservasi lahan kritis sehingga kontribusi penerapan kearifan lokal
dalam konservasi lahan kritis menjadi lebih tinggi.
- Kepada Bendesa adat agar melaksanakan kearifan local secara lebih bijaksana.
- Kepada Pemerintah Daerah melalui Camat Kintamani agar lebih intensif
memantau penerapan kearifan local dalam konservasi lahan kritis.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan, 2005. Rencana Teknik Lapangan Rahabilitasi Lahan dan
Konservasi Tanah (RTL RLKT) DAS Saba Daya. Balai Pengelolaan DAS Unda
Anyar, Denpasar.
Departemen Kehutanan, 2006. Peta Lahan Kritis Wilayah Propinsi Bali. Balai
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Unda Anyar, Denpasar.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
62
AFFECTIVITY OF APPLICATION TIME OF FUNGI
TRICHODERMA SPP IN CONTROLLING WITHERED DISEASE
OF FUSARIUM OXYSPORUM TO RED CHILI PLANT IN A
LARGE AREA.
Oleh
FARIDA HANUM DAN NI PUTU PANDAWANI
Faculty of Agriculture, Mahasaraswati University Denpasar
ABSTRACT
Research that untitled “Affectivity of application time of fungi Trichoderma
SPP in controlling withered disease of Fusarium Oxysporum to red chili plant in a large
area“ The result of the research shows that treatment of fungi Trichoderma SPP
application to chili plant when breeding produce height of plant and highest amount of
leaf that are 103,25 cm and 209,00 sheets which actually higher 26,45% and 21,89%
are compared with control (without application), and also actually higher in a row
11,14%; 14,15%; 10,80%; and 6,49%; 11,98%; 13,11% if compared with time of
application fungi Trichoderma SPP in 1, 2, and 3 weeks before planting.
The biggest safety of cultivation fruit weight per plot and percentages of
cultivation result is held in treatment of fungi Trichoderma SPP application when
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
63
breeding that reaches 8,080kg and 45,69% but treatment of fungi Trichoderma SPP
application in 1, 2, and 3 weeks before planting reaches 5,971 kg; 7,240kg; 6,073 kg
and 7,66%; 30,54%, and 9,51%. Fungi Trichoderma SPP application when breeding
produces the higher affectivity in controlling withered disease of Fusarium Oxysporum
to red chili plant with lowest attack intensity that is 10,71% but fungi Trichoderma SPP
application in 1, 2, and 3 weeks before planting produces attack intensity in a row
25,00%; 14,28%; and 27,38%.
Key word: Efectiveness, Metarhizium anisopliae, Oryctes rhinoceros. L.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit utama yang menyerang tanaman cabai merah adalah penyakit
layu Fusarium yang disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum var.
vasinfectum. Serangan permulaan penyakit layu Fusarium terjadi pada leher
batang bagian bawah yang bersinggungan dengan tanah. Bagian tersebut akan
membusuk dan berwarna coklat. Infeksi menjalar ke keperakaran yang
menyebabkan akar busuk basah. Gejala penyakit pada bagian tanaman di atas
tanah adalah terjadinya kelayuan daun-daun mulai dari bagian bawah dan
serangan layu Fusarium umum terjadi di pembibitan ( Sumarni, 1996 ).
Pengendalian penyakit layu Fusarium dengan menggunakan fungisida
merupakan cara yang paling imum dilakukan oleh petani. Cara ini telah
dilakukan selama bertahun-tahun, namun belum memberikan hasil yang
mantap, disamping itu penggunaan fungisida yang tidak bijaksana dapat
mengakibatkan pencemaran lingkungan, gangguan terhadap kesehatan manusia,
hewan dan mikroorganisme yang menguntungkan. Di samping itu pengendalian
dengan menanam varietas tahan belum mampu memberikan hasil panen yang
tinggi ( Suryaningsih, 1994 ).
Sejalan dengan perkembangan iptek yang telah maju, maka perlu
diupayakan alternatip pengendalian lain seperti pengendalian hayati dengan
memanfaatkan agen antagonis seperti salah satunya adalah cendawan
Trichoderma spp. Cendawan Trichoderma spp. merupakan cendawan yang bersifat
antagonis terhadap cendawan yang bersifat patogen pada tanaman. Cendawan
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
64
Trichoderma spp. memiliki tiga sifat antagonistk yaitu kompetisi, antibiosis dan
mikroparasitisme. Kompetisi terjadi ketika dua atau lebih mikroorganisme saling
berkompetisi dalam memperebutkan kebutuhan hidup yang sama. Sifat kompetisi
antara agens antagonis dengan patogen penyakit memegang peranan penting dalam
pengendalian penyakit (Meity,1995).
Berdasarkan hal diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “
Efektivitas Waktu Aplikasi Cendawan Trichoderma spp. dalam Pengendalian Penyakit
Layu Fusarium oxysporum Tanaman Cabai Merah di Lapang“ yang dilaksanakan di
Laboratorium Fakultas Pertanian Unmas Denpasar untuk kegiatan persiapan bahan
penelitian yaitu pembiakan cendawan dan di kebun cabai di Dusun Uma Desa, Desa
Peguyangan Kaja, Kecamatan Denpasar Timur untuk kegiatan penelitian lapang.
Perumusan Masalah
Berdasarkan pernyataan diatas dan diketahui juga bahwa ada beberapa kendala
dalam pengendalian hayati menggunakan agensia hayati yaitu tidak diperhatikannya
situasi ekologi yang sangat kompleks dari suatu agensia dimana proliferasi atau
pertumbuhan agensia di lapang sangat menentukan efektifitas pengendalian. Sejalan
dengan hal tersebut, maka masalah yang akan dicarikan jawabannya dalam penelitian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1). Apakah perbedaan dari waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp.yaitu saat
pembibitan dan saat setelah tanam aka berpengaruh terhadap pertumbuhan
tanaman cabai merah di lapang
2). Apakah perbedaan dari waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp.akan
berpengaruh terhadap Intensitas serangan penyakit layu F. Oxysporum pada
tanamaN cabai merah di lapang
3). Apakah perbedaan dari waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp. akan
berpengaruh terhadap produksi tanaman cabai merah di lapang
4). Saat aplikasi yang efektip dari cendawan Trichoderma spp. ke lapang
untuk pengendalain penyakit layu Fusarium oxysporum pada tanaman
cabai merah dilapang.
Tujuan Penelitian
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
65
1) Mengetahui waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp.yang tepat apakah saat
pembibitan atau saat setelah tanam akan memberikan pertumbuhan terbaik dari
tanaman cabai merah di lapang
2) Mengetahui waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp.yang tepat apakah saat
pembibitan atau saat setelah tanam akan memberikan produksi tertinggi dari
tanaman cabai merah di lapang
3) Mengetahui waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp.yang tepat apakah saat
pembibitan atau saat setelah tanam dalam pengendalian penyakit layu Fusarium
sehingga dihasilkan intensitas serangan penyakit terendah dari tanaman cabai
merah di lapang
METODE
Rancangan Penelitian
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5
perlakuan termasuk kontrol dan 6 ulangan sehingga jumlah plot / satuan
percobaan sebanyak 5 x 6 = 30 petak. Denah penelitian dan denah contoh plot
penelitian tertera pada Gambar 1dan Gambar 2.
Perlakuan yang dimaksud adalah :
TB = Aplikasi cendawan Trichoderma spp. saat pembibitan
T3 = Aplikasi cendawan Trichoderma spp. 3 minggu sebelum tanam
T2 = Aplikasi cendawan Trichoderma spp. 2 minggu sebelum tanam
T1 = Aplikasi cendawan Trichoderma spp. 1 minggu sebelum tanam
T0 = Kontrol ( Tanpa aplikasi cendawan Trichoderma spp.)
Pelaksanaan Penelitian di Laboratorium
Pembiakan Cendawan dari isolat murni pada PDA ke Media Beras
Beras dicuci dan dikukus selama ± 45 menit. Beras yang telah dimasak
dituang di atas nampan, selanjutnya dibiarkan sampai dingin, Setelah dingin media
beras dimasukkan ke dalam kantong plastik, kira-kira seperempat bagian dari panjang
kantong. Media disterilkan/dikukus dalam panci selama 1 jam (dihitung setelah air
mendidih), Setelah dingin media siap diinokulasikan dengan biakan Trichoderma Sp
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
66
dan dilakukan dalam incase (kotak inokulasi), Setelah diinokulasi, mulut kantong
streples untuk memberi ruangan udara. Media lalu disimpan pada kondisi ruangan yang
tidak terkena cahaya matahari langsung. Miselium cendawan akan memenuhi media
dalam waktu 7-10 hari dan siap untuk dipindahkan pada media sekam. Pembiakan ini
diatur disesuaikan dengan kebutuhan perlakuan waktu aplikasi.
Pembiakan cendawan dari media beras ke media sekam
Starter cendawan Trichoderma spp pada media padat beras yang telah tumbuh
langsung diblender bersama media beras hingga menyerupai tepung.
Sementara itu sekam dikukus ± 1 jam dan didinginkan. Tepung Trichoderma
dilarutkan ke dalam 500 ml air dan dicampurkan pada 1 kg sekam yang sudah steril,
dan diaduk sampai rata. lalu kita masukan ke dalam kantong plastik dan kita rekatkan
pada kedua ujungnya, selanjutnya disimpan pada rak penyimpanan. Inkubasi selama 3-
5 hari, sampai miselium menutupi media sekam secara merata selanjutnya siap
diaplikasikan ke lapang. Agar umur cendawan pada media sekam yang digunakan sama
untuk semua perlakuan waktu aplikasi yaitu 5 hari, maka saat pembiakan cendawan ke
media sekam diatur disesuaikan dengan perlakuan waktu aplikasi.
Pelaksanaan Penelitian di Lapang
Pembibitan
Benih cabai setelah direndam dalam air selama ± 24 jam langsung ditanam pada
polybag kecil ukuran 8 cm x 10 cm yang telah diisi media campuran dari 10 kg tanah,
5 kg pupuk kandang dan 80 gr pupuk NPK dengan satu bibit per polybag. (Rukmana,
1994).Untuk perlakuan aplikasi Trichoderma spp. pada pembibitan, disiapkan 6 x 14 =
84 buah polybag yang masing-masing telah diisi media campuran di atas ditambah
0,5 kg media sekam biakan cendawan Trichoderma spp.per polybag (BPTPH Bali,
2001). Jumlah seluruh bibit yang diperlukan adalah 6 x 5 x 14 = 420 buah Setelah
tumbuh umur 23 hari bibit siap dipindahkan ke lapangan.
Persiapan Lahan dan Aplikasi Trichoderma spp.
Lahan pertanaman cabai yang akan dipergunakan untuk percobaan dibersihkan
dari gulma, digemburkan dan dibuatkan 6 petak besar sebagai ulangan / kelompok
dengan ukuran masing-masing 7 m x 15 m. Setiap petak besar dibagi menjadi 5 plot
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
67
sebagai perlakuan dengan ukuran masing-masing 1,5 m x 5 m dan jarak antar plot 1m.
Penempatan perlakuan pada setiap ulangan dilakukan secara acak dengan memasang
kode perlakuan dan ulangan. Pemupukan dasar dilakukan 1 minggu sebelum tanam
dan sebelum mulsa plastik dipasaang dengan dosis pertanaman Urea 20 gr, TSP 30 gr,
KCl 30 gr dan ZA 50 gr (Rukmana, 2001)
Waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp. dilakukan sesuai dengan perlakuan
yaitu TB, T3, T2, T1, dengan dosis 0,5 kg pertanaman. Jumlah tanaman per plot
(perlakuan = 14) , sehingga aplikasi perplot sebanyak 14 x 0,5 kg = 7 kg.
Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman
Penanaman di lapangan dilakukan setelah bibit umur 23 hari dengan satu bibit
perlubang dan jarak tanan 60 cm x 70 cm (Rukmana, 2001)
Pemeliharaan tanaman meliputi kegiatan pengairan, penyiangan, pemasangan
ajir dan pemupukan. Pengairan dilakukan dengan penggenangan sehari sampai setinggi
plot setiap minggu atau sesuai keadaan. Pemupukan ke dua dilakukan saat tanaman
umur 50 (hari setelah tanam) yaitu dengan cara disiram dengan larutan pupuk NPK 5
kg/200 liter air dan dosis ± 500 ml per tanaman. Pemupukan ini dilakukan setiap 2 mg
sampai panen.
Pengamatan dan Analisis Data
Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman (cm), jumlah daun pertanaman
(helai), Intensitas serangan penyakit layu F. oxysporum (%) dan berat panen buah per
plot (Kg).
Pengamatan dilakukan setiap minggu hingga panen. Untuk parameter tinggi
tanaman dan jumlah daun diukur dari rerata 5 sampel tanaman per plot, pengambilan
sampel dengan cara diacak Berat panen buah diukur dari hasil panen per plot ( per 7,5
m² ). Panen dilakukan bertahap 3-4 kali selang 2-3 hari mulai umur 105 hst.
Intensitas serangan penyakit ditentukan dari rerata seluruh tanaman yaitu 14
tanaman per plot. Intensitas serangan penyakit dihitung dengan rumus sbb:
(Anonimus, 2000).
A
I = ____________ X 100 %
A + B
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
68
Keterangan : I = Intensitas serangan (%)
A = Jumlah tanaman terserang
B = Jumlah tanaman yang diamati
Data hasil pengamatan perminggu dari masing-masing parameter
disusun dalam bentuk tabel dan dianalisis sesuai dengan Rancangan penelitian
yang digunakan yaitu RAK dan uji lanjutan beda nilai rerata dengan BNT pada
taraf uji 5% ( Hanafiah, 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tinggi Tanaman Cabai
Pengamatan umur 4 mst. tinggi tanaman tertinggi terjadi pada perlakuan TB
yaitu 31,66 cm dan terendah terjadi pada perlakuan T1 yaitu 29,01 cm yang tinggi
berturut-turut pada pengamatan 4, 6 dan 8 mst. setinggi 43.87 cm; nyata lebih tinggi
dari kontrol (T 0) yaitu 27,.76 cm. Pengamatan umur 6, 8 dan 10 minggu setelah tanam,
tinggi tanaman tertinggi juga terjadi pada perlakuan TB yaitu berturut-turut mencapai
51,00 cm; 83,88 cm dan 103,25 cm sedangkan terendah juga terjadi pada perlakuan T1
yaitu berturut-turut 44,77 cm; 65,20 cm dan 93,18 cm, tetapi selalu lebih tinggi dari
kontrol (T 0) yang hanya mencapai 43,87 cm; 63,98 cm dan 81,65 cm (Tabel 2).
Tabel 2. Pengaruh Perlakuan Waktu Aplikasi Cendawan Trichoderma spp.
terhadap Tinggi Tanaman Cabai (cm)
No
. Perlakuan
Umur Tanaman (mst)
4 6 8 10
1. T B 31.66 a 51.00 a 83.88 a 103.25 a
2. T 3 29.86 b 47.60 b 74.12 b 92.90 b
3 T 2 29.46 c 45.70 c 67.45 c 90.45 b
4 T 1 29.01 d 44.77 d 65.20 d 93.18 b
24
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
69
5 T 0 27.76 e 43.87 e 63.98 d 81.65 c
BNT 5% 0.18 0.38 1.53 3.85
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh hurup yang sama pada kolom yang sama
menujukan berbeda tidak nyata pada tarap uji BNT 5% .
Jumlah Daun Tanaman Cabai
Pengamatan umur 4 mst. jumlah daun tertnggi terjadi pada perlakuan T2
yaitu 33,13 helai dan terendah terjadi pada perlakuan T1 yaitu 32,23 helai yang tidak
nyata lebih tinggi dari kontrol (T 0) yaitu 30,73 helai.. Pengamatan umur 6, 8 dan 10
minggu setelah tanam, jumlah daun tertinggi terjadi pada perlakuan TB yaitu berturut-
turut mencapai 78,50 helai; 157,60 helai dan 209,00 helai sedangkan jumlah terendah
juga terjadi pada perlakuan T1 yaitu berturut-turut 66,23 helai; 123,66 helai dan 184,70
helai, tetapi selalu lebih tinggi dari kontrol (T 0) yang hanya mencapai jumlah
berturut-turut pada pengamatan 4, 6 dan 8 mst. sebanyak 66,23 helai; 114,86 helai dan
171,46 helai. (Tabel 3).
Tabel 3. Pengaruh Perlakuan Waktu Aplikasi Cendawan Trichoderma spp.
terhadap Jumlah Daun Tanaman Cabai ( helai/tanaman )
No
. Perlakuan
Umur Tanaman (mst)
4 6 8 10
1. T B 32.90 a 78.50 a 157.60 a 209.00 a
2. T 3 33.13 a 73.53 b 144.66 b 196.26 b
3 T 2 33.43 a 73.93 ab 136.23 c 186.63 c
4 T 1 32.23 ab 66.23 c 123 66 d 184.76 c
5 T 0 30.73 b 67.26 c 114.86 e 171.46 d
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
70
BNT 5% 1.63 4.66 4.81 6.69
Keterangan : Nilai yang diikuti oleh hurup yang sama pada kolom yang sama
menujukan berbeda tidak nyata pada tarap uji BNT 5%
Gambar 3. Pengaruh perlakuan waktu aplikasi
cendawan terhadap tinggi tanaman
0
20
40
60
80
100
120
4 MST 6 MST 8 MST 10 MST
Umur Tanaman (mst)
Tin
ggi T
anam
an (c
m)
TB
T3
T2
T1
T0
Gambar 4. Pengaruh perlakuan waktu aplikasi
cendawan terhadap jumlah daun
0
50
100
150
200
250
4 MST 6 MST 8 MST 10 MST
Umur Tanaman (mst)
Jum
lah d
aun (h
ela
i/tanam
an)
TB
T3
T2
T1
T0
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
71
Intensitas Serangan Penyakit Layu F. oxysporum
Perlakuan waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp pada tanaman cabai
memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P < 0,01) terhadap parameter
intensitas serangan penyakit yaitu pada pengamatan umur 4, 6, 8 dan 10 minggu setelah
tanam.
Pada pengamatan umur 10 mst, perlakuan TB memberikan intensitas serangan
penyakit terendah yaitu 10,71 % yang berbeda nyata dengan semua perlakuan lain.
Sedangkan intensitas serangan tertinggi terjadi pada perlakuan T0 yaitu 27,38 % yang
tidak berbeda nyata dengan perlakuan T1 dan T3 yaitu masing-masing 25,00 %,
tetapi berbeda nyata dengan perlakuan T2 dan TB yaitu 14,28 % dan 10,71 %
(Table 5).
Tabel 5. Pengaruh Perlakuan Waktu Aplikasi Cendawan Trichoderma spp.
terhadap Intensitas Serangan Penyakit Layu F. oxysporum pada
Tanaman Cabai (%)
No
. Perlakuan
Umur Tanaman (mst)
4 6 8 10
1. T B 0.00 b 3.57 c 9.52 d 10.71 c
2. T 3 10.71 a 20.23 a 23.81 b 25.00 a
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
72
3 T 2 1.19 b 10.71 b 14.28 c 14.28 b
4 T 1 8.33 a 16.66 ab 23.81 b 25.00 a
5 T 0 8.33 a 22.61 a 27.38 a 27.38 a
BNT 5% 8.51 7.02 3.14 3.36
Keterangan : Nilai yang diikuti oleh hurup yang sama pada kolom yang sama
menujukan berbeda tidak nyata pada tarap uji BNT 5% .
Berat Panen Buah per Plot
Perlakuan waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp pada tanaman cabai
memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P < 0,01) terhadap parameter berat
panen buah per plot buah. Panen dilakukan bertahap pada buah cabai yang telah merah
mulai umur 85 - 95 hari setelah tanam .
Gambar 5. Pengaruh perlakuan waktu aplikasi
cendawan terhadap intensitas serangan
0
5
10
15
20
25
30
4 MST 6 MST 8 MST 10 MST
Umur Tanaman (mst)
Inte
nsita
s s
era
ng
an
(%
)
TB
T3
T2
T1
T0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Bera
t panen (
Kg/7
,50 m
2)
TB T3 T2 T1 T0
Perlakuan
Gambar 6. Pengaruh perlakuan waktu aplikasi
cendawan terhadap berat panen buah
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
73
Persentase Berat Panen Terselamatkan
Persentase berat panen terselamatkan adalah persentase peningkatan hasil
panen pada perlakuan dibandingkan dengan hasil panen pada kontrol ( tanpa aplikasi
Trichoderma spp.).
Perlakuan aplikasi cendawan Trichoderma spp pada saat pembibitan dapat
menyelamatkan hasil terbesar karena serangan penyakit layu yaitu mencapai sebesar
45,69 %. Pada perlakuan aplikasi T3 hasil panen yang terselamatkan paling kecil yaitu
7,66 % yang kemudian meningkat pada perlakuan T1; T2 dan tertinggi pada perlakuan
TB yaitu berturut-turut sebesar 9,51 %; 30,54 % dan 45,69 %.(Tabel 6).
Tabel 6. Pengaruh Perlakuan Waktu Aplikasi Cendawan Trichoderma spp.
terhadap Berat panen buah dan Persentase hasil panen terselamatkan
No Perlakuan
Parameter
Berat panen buah
(Kg/ 7,5 m²)
Persentase panen buah
terselamatkan (%)
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
74
Keterangan : Nilai yang diikuti oleh hurup yang sama pada kolom yang sama
menujukan berbeda tidak nyata pada tarap uji BNT 5% .
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaruh waktu aplikasi cendawan
Trichoderma spp. terhadap parameter yang diamati memberikan pengaruh yang
berbeda nyata (p < 0,05) sampai berbeda sangat nyata (P < 0,01) pada semua
parameter. Ditinjau dari parameter tinggi tanaman pada umur 4; 6; 8 dan 10 minggu
setelah tanam, perlakuan waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp. pada tanaman
cabai dalam pengendalian penyakit layu , perlakuan waktu aplikasi saat pembibitan
selalu menyebabkan tanaman tertinggi yaitu berurutan 31,66 cm ; 51,00 cm; 83,88 cm
dan 103,25 cm dan tanaman terendah selalu terjadi pada tanpa pemberian cendawan
Trichoderma spp. yaitu berurutan 27,76 cm; 43,87 cm; 63,98 cm dan 81,65 cm . Bila
dibandingkan dengan ketiga perlakuan waktu aplikasi yaitu 3 mst; 2 mst dan 1 mst,
ternyata tampak bahwa perlakuan aplikasi saat pembibitan juga selalu menyebabkan
tanaman yang tertinggi pada setiap umur pengamatan dan tanaman terendah selalu
terjadi pada perlakuan aplikasi 1 mst.
Ditinjau dari parameter intensitas serangan penyakit layu Fusarium oxysporum
pada semua perlakuan di pengamatan perminggu, jumlah tanaman terserang penyakit
layu adalah 0 (tanaman belum ada terserang penyakit) pada umur tanaman 2 mst,
selanjutnya serangan penyakit mulai terjadi pada umur 3 mst yaitu pada perlakuan
1. T B 8,080 a 45,69
2. T 3 5,971 c 7,66
3 T 2 7,240 b 30,54
4 T 1 6,073 c 9,51
5 T 0 5,546 c 0
BNT 5% 0,543 -
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
75
tanpa aplikasi cendawan Trichoderma spp. (T0), aplikasi cendawan Trichoderma spp
satu minggu sebelun tanam (T1) dan aplikasi cendawan Trichoderma spp tiga minggu
sebelum tanam (T3), sedangkan pada perlakuan aplikasi cendawan Trichoderma spp.
dua minggu sebelum tanam (T2) serangan penyakit layu baru terjadi pada umur 4 mst
dan pada perlakuan aplikasi cendawan Trichoderma spp saat pembibitan (TB) serangan
penyakit layu baru terjadi pada umur 5 mst. Dari hasil pengamatan tersebut tampak
bahwa perlakuan aplikasi saat pembibitan memberikan ketahanan terhadap penyakit
layu paling tinggi pada awal pertumbuhan tanaman yang terlihat dari munculnya
serangan penyakit mulai umur 5 mst sedangkan pada perlakuan lain serangan penyakit
telah muncul mulai umur 3 mst.
Pada setiap waktu pengamatan perlakuan aplikasi cendawan Trichoderma spp
saat pembibitan (TB) selalu memberikan intensitas serangan penyakit paling rendah
yaitu nyata lebih rendah dari perlakuan tanpa aplikasi (T0), aplikasi 1 (T1) dan 3
minggu sebelum tanam (T3), tetapi tidak nyata lebih rendah dari perlakuan aplikasi 2
minggu sebelum tanam (T2). Intensitas serangan penyakit pada akhir pengamatan yaitu
umur 10 minggu terendah terjadi pada perlakuan saat pembibitan yaitu 10,71 % nyata
lebih rendah dibandingkan dengan semua perlakuan lain yaitu 14,28 % pada perlakuan
aplikasi 2 minggu sebelum tanam, 25,00% pada perlakuan aplikasi 1 dan 3 minggu
sebelum tanam dan 27,38 % pada perlakuan tanpa aplikasi cendawan Trichoderma
spp.
Serangan penyakit layu terus berlanjut terjadi sampai umur tanaman 9 mst dan
pada pengamatan terakhir umur 10 mst pada semua perlakuan sudah tidak ada lagi
perkembangan jumlah tanaman terserang penyakit. Hal ini terjadi mungkin ketahanan
tanaman terhadap penyakit layu sudah semakin tinggi sebagai akibat dari pengaruh
aktivitas cendawan Trichoderma spp yang telah diaplikasikan, dan ini berhubungan
dengan pendapat Meity,1995 yang menyatakan bahwa cendawan Trichoderma spp.
memiliki tiga sifat antagonistic yaitu kompetisi, antibiosis dan mikroparasitisme.
Kompetisi terjadi ketika dua atau lebih mikroorganisme saling berkompetisi dalam
memperebutkan kebutuhan hidup yang sama. Sifat kompetisi antara agens antagonis
dengan patogen penyakit memegang peranan penting dalam pengendalian
penyakit..Antibiosis terjadi ketika Trichoderma spp. melepaskan zat toxik yang bersifat
antibiosis terhadap organisme lain yang berintegrasi langsung. Organisme antagonis
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
76
hidup dan tumbuh pada isi sel inang yang telah mati. Cendawan Trichoderma spp
menghasilkan antibiotik, lisis dan enzim hidrolitik yang dapat menghambat
pertumbuhan dan perkembangan organisme lain yang beritegrasi dengannya .
Selanjutnya tampak bahwa dari hasil penelitian parameter tinggi tanaman,
jumlah daun dan intensitas serangan penyakit memberikan pengaruh yang sejalan
degan berat buah panen per plot, dimana jumlah buah panen tertinggi dicapai pada
perlakuan aplikasi cendawan Trichoderma spp saat pembibitan yaitu 8,080 kg yang
nyata lebih tinggi dari semua perlakuan T2; T1; T3 dan T0 dengan hasil panen masing-
masing 7,240 kg; 6,073 kg; 5,971 kg dan 5,546 kg. Demikian pula perlakuan
aplikasi cendawan Trichoderma spp pada saat pembibitan dapat menyelamatkan hasil
buah cabai terbesar karena serangan penyakit layu Fusarium oxysporum yaitu mencapai
nilai 45,69 %.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Perlakuan aplikasi cendawan Trichoderma spp pada tanaman cabai saat
pembibitan menghasilkan tinggi tanaman dan jumlah daun tertinggi yaitu 103,25
cm dan 209,00 helai, yang secara nyata lebih tinggi 26,45 % dan 21,89 %
dibandingkan dengan kontrol (tanpa aplikasi), dan juga nyata lebih tinggi
berturut-turut 11,14%; 14,15%; 10,80% dan 6,49%;11,98%;13,11%
dibandingan dengan waktu aplikasi cendawan Trichoderma spp 1, 2, dan 3
minggu sebelum tanam.
2. Berat buah panen per plot dan persentase hasil panen terselamatkan terbesar
terjadi pada perlakuan aplikasi cendawan Trichoderma spp. saat pembibitan
yaitu mencapai 8,080 kg dan 45,69 % sedangkan perlakuan aplikasi cendawan
Trichoderma spp 1, 2, dan 3 minggu sebelum tanam mencapai 5,971 kg; 7,240
kg; 6,073 kg dan 7,66 %; 30,54 % dan 9.51 %.
3. Aplikasi cendawan Trichoderma spp. saat pembibitan paling menghasilkan
efektivitas tertinggi dalam pengendalian penyakit layu Fusarium oxysporum pada
tanaman cabai dengan intensitas serangan terendah yaitu 10,71 %, sedangkan
aplikasi cendawan Trichoderma spp 1, 2, dan 3 minggu sebelum tanam
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
77
menghasilkan intensitas serangan berturut-turut mencapai 25,00 %; 14,28 % dan
27,38 % .
Saran
Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa dalam usaha pengendalian
penyakit layu Fusarium oxysporum dengan agent hayati cendawan Trichoderma spp.
pada tanaman cabai di lapangan sebaiknya aplikasi cendawan dilakukan saat
pembibitan agar diperoleh efektivitas pengendalian yang optimum, disamping itu juga
perlu dilakukan penelitian serupa pada lokasi perkebunan dengan iklim dan musim
yang sangat berbeda dengan lokasi penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adiyoga. W. 1996. Produksi dan Konsumsi Cabai Merah Dalam Teknologi
Produksi Cabai Merah. Balitsa. Lembang : 4 – 13.
Anon, 2001. Petunjuk Teknis Pengembangan dan Penerapan Pestisida Nabati
dan Agen hayati. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Bali dan
BPTPH VII. Bali.
Anon, 2004. Data Statistik Pertanian. Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Propinsi. Bali.
Cahyono, 1996. Usaha Tani Cabai Merah yang Berhasil. CV. Aneka. Solo
Duriat. A. S. 1990. Efikasii Beberapa Fungisida terhadap Penyakit Fusarium
pada Tanaman Cabai Merah ( Capsicum annuum L. ). Bul. Panel. Hort.
Vol.XIX No. 2 : 112 – 119.
Hanafiah, K A, 1995, Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Fakultas Pertanian
Universitas Sriwijaya, Palembang.
Mety, S. Sinaga, 1995, Pengendalian Hayati Patogen Tumbuhan. Direktorat
Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura. Jakarta.
Pracaya, 1994. Budidaya Tanaman Cabai Merah dan Segala Permasalahannya.
Penebar Swadaya. Bandung.
Rukmana, 1994. Budidaya Cabai Hibrida Sistem Mulsa Plastik. Kanisius.
Jakarta.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
78
Semangun, Haryono. 1989. Penyakit -penyakit Tanaman Hortikultura di
Indonesia. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.
Semangun. 1989. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.
Gajahmada University Press.
Sujatmika. 1990. Hama dan Penyakit. Dua Musuh Utama Petani Cabai. Trubus
No. 27 Tahun III.
Sumarni. 1996. Budidaya Tanaman Cabai Merah dalam Teknologi Produksi
Cabai Merah. Balitsa, Lembang : 31 – 34.
Suryaningsih. E, Sutarya. R dan Duriat. A. S. 1996. Penyakit Tanaman Cabai
Merah dalam Teknologi Produksi Cabai Merah. Balitsa, Lembang : 64 –
83.
Tjahyadi, 1990. Bertanam Cabai. Kanisius. Jakarta
DUKUNGAN MASYARAKAT DAN DAYA DUKUNG BIOFISIK
TERHADAP KEBERHASILAN PELAKSANAAN REHABILITASI
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
79
LAHAN DAN KONSERVASI TANAH DI DAERAH SEKITAR
MATA AIR PADA LAHAN MARGINAL DI BALI TIMUR
Oleh
I MADE BUDIASA, I G.N. ALIT WISWASTA,
I DEWA NYOMAN RAKA
ABSTRAK
Dewasa ini pemerintah telah menggalakkan upaya rehabilitasi lahan dan
konservasi tanah seperti penghijauan dan reboisasi. Kegiatan itu dimaksudkan untuk
mempertahankan kesuburan tanah, memulihkan lahan kritis, memperbaiki tata air dan
membina perilaku masyarakat, sehingga sumberdaya alam hutan, tanah dan air dapat
berdaya guna dan berhasil guna bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang.
Akan tetapi fakta menunjukan luas lahan kritis ada kecendrungan semakin meningkat.
Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mem-peroleh Model Rehabilitasi Lahan dan
Konservasi Tanah (RLKT) yang efektif dan efisien untuk menanggulangi lahan
marginal/kritis di Bali Timur, (2) membuat bahan kampanye ke masyarakat berupa
Leaflet dalam upaya menang-gulangi lahan kritis, (3) membuat bahan ajar yang terkait
konservasi untuk kalangan mahasiswa.
Penelitian ini adalah penelitian, field experiment, laboratorium dan survei,
sampel ditentukan secara purposive sampling di 30 desa yang memiliki kawasan lahan
marginal/kritis di Bali Timur. Hasil Penelitian menemukan dukungan masyarakat
ditinjau dari aspek sosial ekonomi terhadap keberhasilan tindakan RLKT 56,00% kuat.
Daya dukung biofisik menemukan bahwa rerata curah hujan di wilayah Kubu mencapai
1.233 mm per tahun, di wi1ayah Abang curah hujan 1.481 mm per tahun, dan di
wilayah Kintamani rerata curah hujan 1.796 mm per tahun. Kepekaan erosi tanah
daerah penelitian berkisar agak tinggi sampai tinggi. Penggunaan lahan didominasi oleh
penggunaan tegalan dan kebun campuran, dan di bagian/daerah berlereng curam
didominasi oleh semak belukar, dan berdasarkan hasil matching/mencocokkan antara
kualitas lahan dengan persyaratan tumhuh tanaman yang dievaluasi, kesesuaian lahan
aktualnya ter-golong tidak sesuai sampai sesuai bersyarat, sedangkan secara potensial
dari cukup sesuai, sesuai bersyarat sampai tidak sesuai.
Kata kunci : Lahan Marginal, Dukungan Masyarakat, Daya Dukung Biofisik.
PENDAHULUAN
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
80
Lahan marginal atau lahan kritis adalah lahan yang kurang/tidak produktif lagi
untuk mendatangkan hasil atau dapat dikatakan lahan itu kurang sekali manfaatnya bagi
lingkungan hidup, sehingga kerugian yang diakibatkan oleh lahan kritis dapat bersifat
individual maupun massal. Petani yang tidak dapat bercocok tanam karena lahannya
marginal atau kritis, selain penghasilannya berkurang, pengeluarannya bertambah
banyak untuk merehabilitasi lahannya yang tidak produktif tersebut. Oleh karenanya,
fungsi sumberdaya alam seperti lahan dan mata air perlu dilestarikan agar dapat
memberikan manfaat yang optimal. Perlu adanya rehabilitasi lahan dan konservasi
tanah secara intensif terutama pada lahan di sekitar mata air dengan berbagai jenis
tanaman seperti tanaman bambu dan rumput akar wangi.
Pelaksanaan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) di Bali sampai
lima tahun terakhir telah berhasil dilaksanakan dalam bentuk reboisasi seluas 825 ha,
dan yang berhasil kurang dari separuhnya yaitu hanya 350 ha. Rendahnya tingkat
keberhasilan usaha rehabilitasi dan konservasi tanah yang telah dilakukan tersebut
disebabkan dalam pelaksanaan rehabilitasi mengalami kendala seperti : (1) anggaran
yang tersedia untuk pelaksanaan kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah
sangat terbatas, (2) pelaksanaan kegiatan waktunya terlalu pendek sehingga dalam
tahapan pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dengan jadwal, (3) dalam memilih lokasi
kegiatan tidak memperhatikan spesifik lokal, karakteristik dari wilayah seperti biofisik,
sosial ekonomi masyarakat dan potensi yang ada, dan (4) pemilihan tanaman untuk
kegiatan tidak sesuai dengan kesesuaian tempat tumbuh dari tanaman yang akan
dikembangkan sehingga sangat mempengaruhi persentase tumbuh tanaman
(Departemen Kehutanan, 2004).
Daerah-daerah yang memiliki lahan kering di Bali secara administratif meliputi
Kabupaten Buleleng (kecamatan Kubutambahan, Sawan, Buleleng, Sukasada, Banjar,
Seririt, Busungbiu); Kabupaten Tabanan (kecamatan Pupuan); Kabupaten Bangli
(kecamatan Kintamani); dan Kabupaten Karangasem (kecamatan Kubu, Abang, dan
Karangasem) dengan total luas wilayah 70.424 ha mempunyai lahan kritis 240 ha dan
potensi kritis mencapai 10.615 ha (Departemen Kehutanan, 2005).
Lahan kering di Kabupaten Bangli dan Karangasem ada dua macam yaitu lahan
kering produktif yang luasnya sekitar 40 % dari luas lahan kering yang ada, yang dari
segi agroekoklimat dapat diusahakan sebagai lahan pertanian/ perkebunan terutama
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
81
tanaman jeruk, kopi dan tanaman keras lainnya untuk Kabupaten Bangli dan tanaman
salak, kelapa dan tanaman keras lainnya untuk Kabupaten Karang-asem. Sebagian lagi
sekitar lebih kurang 60 % dari luas lahan kering yang ada merupakan lahan marginal
atau lahan kritis yang dapat diusahakan oleh petani jika ada air atau hanya pada musim
hujan saja.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Daerah Lahan Kering
Tantangan terbesar bagi pengelolaan sumberdaya alam adalah menciptakan
untuk selanjutnya memperhatikan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan hidup
manusia dan keberlanjutan pemanfaatan dan keberadaan sumber daya alam.
Pengelolaan daerah lahan kering diharapkan dapat memberikan kerangka kerja ke arah
tercapainya pembangunan yang berkelanjutan.
Sumberdaya alam berupa hutan, tanah, air merupakan kekayaan alam yang harus
tetap lestari, sehingga pengelolaan terhadap sumberdaya alam dengan satuan unit
pengelolaan berupa daerah lahan kering untuk diberdayakan harus dilaksanakan secara
hati-hati dan bijaksana, sehingga dapat mendukung tercapainya kesejahteraan
masyarakat yang lestari (Departemen Kehutanan, 1999).
Tekanan terhadap sumberdaya alam disebabkan oleh pertambahan jumlah
penduduk dengan segala aktivitasnya seperti pada pengelolaan sumberdaya lahan
kering. Masih sering dijumpai dalam pengelolaan sumberdaya lahan kering yang belum
mempertimbangkan kelas kemampuan lahannya dan penerapan teknik konservasi tanah
yang baik dan benar. Akhirnya sering timbul kondisi lahan yang mengalami degradasi
dan berubah menjadi lahan kritis yang mengancam kesejahteraan rakyat banyak.
Terhadap kondisi tersebut di atas diperlukan upaya-upaya untuk memulihkan dan
mempertahankan fungsi lahan kembali, yang biasa dikenal dengan upaya rehabilitasi
lahan dan konservasi tanah (RLKT)
Konsep Pengelolaan Lahan
Selama ini, pengalaman yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa
kegiatan pengelolaan lahan seringkali dibatasi oleh batas-batas yang bersifat politis/
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
82
administratif (negara, provinsi, kabupaten), dan oleh karenanya, batas-batas ekosistem
alamiah kurang banyak dimanfaatkan. Padahal kita sadar bahwa kekuatan alam seperti
banjir dan tanah longsor tidak mengenal batas-batas politis.
Sebaliknya bahwa aliran air (banjir), tanah longsor, erosi, migrasi ikan dan organisme
akuatis lainnya serta pencemaran air berlangsung menurut batas-batas daerah aliran
sungai (ekologis). Beberapa aktivitas pengelolaan lahan yang diselenggarakan di
daerah hulu seperti kegiatan pengelolaan lahan yang mendorong terjadinya erosi, pada
gilirannya dapat menimbulkan dampak di daerah hilir (dalam bentuk pendangkalan
sungai atau saluran irigasi karena pengendapan sedimen yang berasal dari erosi di
daerah hulu).
Konsep pengelolaan lahan yang baik perlu didukung oleh kebijakan yang
dirumuskan dengan baik pula. Dalam hal ini kebijakan yang berkaitan dengan
pengelolaan lahan seharusnya mendorong dilaksanakannya praktek-praktek
pengelolaan lahan yang kondusif terhadap pencegahan degradasi tanah dan air. Harus
selalu disadari bahwa biaya yang dikeluarkan untuk rehabilitasi lahan jauh lebih mahal
daripada biaya yang dikeluarkan untuk usaha-usaha pencegahan dan perlindungan
lahan (Departemen Kehutanan, 2004).
Lahan Marginal
Menurut Suprapto dkk. (2000), lahan marginal pada umumnya merupakan lahan
kurus akan unsur hara, ketersediaan air terbatas hanya tergantung dari curah hujan yang
ada. Petani pada lahan ini pada umumnya petani kecil dengan perekonomian rendah
dan pendapatan rendah sehingga sangat berpengaruh dalam berusahatani yang masih
tradisional dan subsisten. Lebih lanjut dinyatakan bahwa petani pada lahan marginal
pada umumnya hanya mengandalkan hujan sebagai sumber air untuk berusahatani
sehingga saat musim kemarau hampir sebagian besar lahan diberakan. Keadaan seperti
ini menyebabkan tingkat produktivitas lahan dan pendapatan petani menjadi rendah.
Seiring dengan meningkatnya teknologi dibidang pertanian, maka telah diperkenalkan
beberapa teknik penyediaan air seperti pompanisasi, penampungan air hujan dengan
cubang, dan teknik pemanenan air hujan dengan embung yang dapat dipergunakan
untuk kebutuhan rumah tangga dan berusahatani.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
83
Konservasi Tanah dan Air
Konservasi adalah usaha penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan
yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan mem-perlakukannya sesuai dengan
syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan. Sedangkan pengertian
konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air seefisien mungkin dan
pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir yang merusak pada musim hujan
dan terdapat cukup air pada musim kemarau (Merit, 2006). Konservasi tanah dan air
merupakan dua hal yang saling berhubungan erat sekali.
Dukungan Masyarakat dalam Pengelolaan Lahan
Mengingat keberhasilan pengelolaan lahan yang pada akhirnya ditentukan oleh
manusianya, maka aspek sosial, ekonomi dan budaya masyarakat mempunyai peranan
penting untuk dijadikan prioritas utama dalam pengelolaan lahan.
Prinsip sosial ekonomi dalam melaksanakan RLKT (Departemen Kehu-tanan,
Perkebunan, 1998) meliputi :
1) Tindakan RLKT harus cocok untuk keadaan sosial ekonomi setempat.
2) Petani/masyarakat kemungkinan perlu biaya kredit untuk melakukan RLKT untuk
kegiatan yang manfaatnya tidak dapat langsung dinikmati oleh masyarakat.
3) Untuk petani miskin harus diintroduksikan tindakan RLKT yang murah dan mudah
dilaksanakan.
4) Petani yang sudah memahami dampak dari erosi terhadap lahannya akan lebih
tertarik untuk melakukan tindakan RLKT dari pada petani yang belum tahu atau
tidak merasakan pengaruh dari erosi.
5) Kegiatan RLKT yang akan diterapkan seharusnya dipilih oleh petani bersama-sama
dengan penyuluh.
Dari uraian-uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa keberhasilan RLKT
sangat dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi masyarakat, yaitu : Tingkat
ketergantungan penduduk terhadap lahan, yang terdiri dari luas pemilikan lahan, status
pemilikan lahan, diversifikasi mata pencaharian, distribusi alokasi waktu kerja dan
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
84
tradisi/ kebiasaan khusus. Tingkat adopsi petani terhadap teknologi konservasi serta
keberadaan dan aktivitas kelembagaan yang ada (Departemen Kehutanan, 1998).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan sebagai penelitian field experiment, labora-torium
dan survei, dilakukan deskipsi fakta, dari aspek sosial yaitu dukungan masyarakat
terhadap pelaksanaan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan faktor-faktor
karakteristik masyarakat yang berhubungan dengan dukungan masyarakat terhadap
keberhasilan pelaksanaan RLKT pada lahan marginal di Bali Timur. Sedangkan dari
aspek teknis yaitu kondisi biofisik seperti; iklim yaitu curah hujan dan intensitas hujan,
topografi yaitu panjang dan kemiringan lereng (slope), sifat tanah yaitu, kemantapan
agregat tanah, jenis struktur dan tekstur tanah serta kedalaman tanah, jenis dan
keberadaan vegetasi, selanjutnya untuk memperoleh model rehabilitasi lahan dan
konservasi tanah yang efektif dan efisien untuk menganggulangi lahan marginal dibuat
experiment berupa demons-trasi plot.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dukungan Masyarakat terhadap Keberhasilan Tindakan RLKT di Daerah
Sekitar Mata Air Pada Lahan Marginal di Bali Timur
Hasil penelitian menemukan peringkat dukungan masyarakat yang ditinjau dari
aspek sosial ekonomi terhadap tindakan RLKT di daerah sekitar mata air pada lahan
marginal di Bali Timur menunjukkan 17,83% termasuk dalam kategori sangat kuat,
56,00 % dalam katagori kuat, 16,33% sedang dan 7,00 % dalam kategori kurang dan
hanya 2,84% dalam kategori sangat kurang. Hal ini menun-jukkan bahwa jika
dukungan dari aspek sosial ekonomi masyarakat ter-hadap keberhasilan tindakan
RLKT akan berhasil dilakukan dan permasalahan-nya sekarang sangat tergantung dari
cara mensosialisasikannya dan dari aspek bio-fisiknya yang harus disesuaikan dengan
keadaan daerah yang bersangkutan. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap lahan
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
85
cukup tinggi. Ini dapat dibuktikan dari rata-rata luas pemilikan lahan mencapai 0,92 ha
yang sebagian besar dengan status sebagai hak milik, bermata pencaharian sebagai
petani pemilik penggarap dengan waktu alokasi kerja sebagian besar adalah bertani
penuh. Sehingga tindakan RLKT merupakan tindakan yang sangat penting bagi mereka
karena menyangkut masalah kontinyuitas atau berkesinambungannya sumber mata
pencaharian mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup beserta keluarganya. Rusaknya
lahan mereka berarti hilang pula sumber mata pencaharian mereka.
Faktor-faktor Karakteristik Masyarakat yang berhubungan dengan Keberhasilan
Tindakan RLKT di Daerah Sekitar Mata Air Pada Lahan Marginal di Bali
Timur.
Faktor-faktor karakteristik yang dianalisis hubungannya dengan keber-hasilan
tindakan RLKT adalah umur responden, tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga
dan luas penguasaan lahan. Umur petani mempunyai hubungan sangat nyata dengan
keberhasilan tindakan RLKT karena X2-hitung 141,3527 lebih besar dari X
2-tabel
31,9999 pada taraf nyata 1%, dengan derajat hubungan lemah (=0,1057). Hal ini
menunjukkan adanya kecendrungan semakin tua usia petani semakin kuat dukungannya
terhadap keberhasilan RLKT di daerah sekitar mata air pada lahan marginal di Bali
Timur. Petani sangat menyadari bahwa lahan harus dikelola dengan bijak-sana secara
berkesinambungan agar produktivitas lahan optimal. Disamping itu, hampir sebagian
besar petani dalam usia produktif (15 th s/d 65 th) dan hanya sebagian kecil saja
tergolong dalam usia kurang produktif (>65 th).
Jumlah anggota keluarga mempunyai hubungan sangat nyata dengan
keberhasilan tindakan RLKT di daerah sekitar mata air pada lahan marginal di Bali
Timur, karena X2-hitung 152,9403 lebih besar dari X
2-tabel 31,9999 pada taraf nyata
1%, dengan derajat hubungan lemah (=0,1292).
Pendidikan responden menunjukkan hubungan yang sangat nyata dengan
dukungan masyarakat terhadap keberhasilan tindakan RLKT, karena X2-hitung
141,0685 lebih besar dari X2-tabel 31,9999 pada taraf nyata 1%, dengan derajat
hubungan lemah (=0,1714). Ini berarti pendidikan mempunyai perbedaan dukungan
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
86
terhadap keberhasilan tindakan RLKT. Semakin tinggi pendidikan petani berarti
semakin kuat dukungannya terhadap keberhasilan RLKT. Walaupun pendidikan petani
relatif rendah namun sudah cukup beragam bahkan ada sudah tamat perguruan tinggi
Hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang semakin besar
perhatiannya terhadap pelestarian sumberdaya utamanya sumberdaya pertanian
(lahan).
Luas penguasaan lahan menunjukkan hubungan yang nyata dengan dukungan
masyarakat terhadap keberhasilan tindakan RLKT di daerah sekitar mata air pada lahan
marginal di Bali Timur, karena X2-hitung 133,3116 lebih besar X
2-tabel 31,9999 pada
taraf nyata 1%, dengan derajat hubungan lemah -0,0363. Ini berarti ada kecenderungan
semakin luas lahan yang dimiliki semakin kuat dukungan masyarakat terhadap
keberhasilan tindakan RLKT. Ini dapat dilihat dari koefisien derajat hubungan yang
positif.
Daya Dukung Biofisik
Hasil penelitian menemukan bahwa Wilayah Kecamatan Kubu suhu rerata
tahunannya 26,25°C, wilayah Kecamatan Abang 25,80°C, dan wilayah Kecamatan
Kintamani suhu rata-rata 26,40°C. Secara umum kualitas lahan regim temperatur di
semua wilayah penelitian tergolong sangat sesuai sampai cukup sesuai untuk semua
jenis tanaman yang dievaluasi.
Rerata curah hujan untuk wilayah Kubu mencapai 1.233 mm per tahun dengan
jumlah rerata bulan kering 6 bulan; wi1ayah Abang rerata bulan kering 5-6 bulan dan
curah hujan 1.481 mm per/tahun dan wilayah Kintamani rerata bulan kering 6 bulan
dengan rerata curah hujan 1.796 mm per tahun. Lamanya bulan kering di ketiga
wilayah yang bersangkutan, menyebabkan kualitas lahan ketersediaan air tergolong
cukup sesuai sampai sesuai bersyarat untuk komoditas/ tanaman jati, nangka, mangga
dan pasture, sedangkan untuk komoditas lainnya tergolong sesuai - cukup sesuai.
Kualitas lahan retensi hara ditentukan oleh karakteristik KTK tanah, pH tanah,
C-organik. Kapasitas Tukar Kation (KTK) secara umum tergolong rendah sampai
sedang, pH tanah tergolong agak masam sampai netral, dan C-organik tergolong rendah
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
87
sampai sangat rendah. Kualitas lahan retensi hara di daerah penelitian secara
keseluruhan tergolong cukup sesuai untuk pengembangan komoditas yang dievaluasi.
Hasil penelitian juga menemukan kepekaan erosi tanah daerah penelitian
berkisar agak tinggi sampai tinggi. Tingginya kepekaan erosi tanah di daerah penelitian
berkaitan dengan rendahnya kandungan bahan organik serta tingginya kandungan pasir
halus dan debu. Tingkat bahaya erosi yang tergolong berat sampai sangat berat
merupakan faktor pembatas dalam kesesuaian lahan untuk berbagai penggunaan. Hasil
matching/mencocokkan antara kualitas lahan dengan persyaratan tumhuh tanaman yang
dievaluasi, kesesuaian lahan aktualnya tergolong tidak sesuai sampai sesuai bersyarat.
Sedangkan secara potensial dari cukup sesuai, sesuai bersyarat sampai tidak sesuai.
Sebagai faktor pembatas yang cukup berat untuk beberapa komoditas pertanian antara
lain : lereng, tingkat bahaya erosi, kedalaman efektif tanah dan adanya singkapan
batuan yang cukup tinggi di beberapa satuan lahan. Tekstur tanah yang agak kasar
sampai kasar di wilayah Kecamatan Kubu, Abang, dan Kintamani serta lamanya bulan
kering bersifat sebagai faktor pembatas untuk beberapa komoditas yang dievaluasi
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan beberapa hal,
yaitu :
1) Dukungan sosial ekonomi masyarakat terhadap tindakan RLKT diperoleh 17,83
% termasuk dalam kategori sangat kuat, 56,00% kuat, 16,33 % sedang dan 7,00%
dalam kategori kurang dan hanya 2,84% dalam kategori sangat kurang.
2) Faktor karakteristik masyarakat yang mempunyai hubungan nyata dengan
tindakan RLKT adalah umur, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan dan
luas pemilikan lahan.
3) Rerata suhu tahunan di Kecamatan Kubu 26,25°C, wilayah Kecamatan Abang
25,80°C, dan wilayah Kecamatan Kintamani suhu rata-rata 26,40°C.
4) Rerata curah hujan di wilayah Kubu mencapai 1.233 mm per tahun dengan rerata
bulan kering mencapai 6 bulan, di wi1ayah Abang curah hujan 1.481 mm per
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
88
tahun dengan rerata bulan kering 5-6 bulan, dan di wilayah Kintamani rerata
curah hujan 1.796 mm per tahun dengan rerata bulan kering 6 bulan.
5) Kepekaan erosi tanah daerah penelitian berkisar agak tinggi sampai tinggi.
6) Penggunaan lahan didominasi oleh penggunaan tegalan dan kebun campuran, dan
di bagian/daerah berlereng curam didominasi oleh semak belukar
7) Berdasarkan hasil matching/mencocokkan antara kualitas lahan dengan
persyaratan tumhuh tanaman yang dievaluasi, kesesuaian lahan aktualnya
tergolong tidak sesuai sampai sesuai bersyarat. Sedangkan secara potensial dari
cukup sesuai, sesuai bersyarat sampai tidak sesuai
Saran – Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan dan pembahasan dapat disarankan hal-hal
sebagai berikut :
1) Pembinaan dan penyuluhan lebih dintensifkan guna lebih meningkatkan peran serta
masyarakat dalam melaksanakan upaya-upaya RLKT.
2) Untuk keberhasilan tindakan RLKT di lahan kering di Daerah Bali Timur, maka
dalam pemilihan jenis komoditas yang dipilih adalah jenis tanaman yang
diperkirakan paling mendekati kesesuaian secara agroekologi, serta paling banyak
dan telah biasa dikembangkan oleh penduduk setempat serta mempunyai nilai
ekonomi cukup tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, I W Sandi., 2006. Study of Monitoring Land Use Cahanges and Erosion in
the Highland of Bali. Ph..D. Thesis Graduate School of Science and Technoloy,
CHIBA University, Japan
Arsyad, S., 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB Press, Bogor
Asdak, C., 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Penerbit Gajah
Mada University Press, Yogyakarta
Bank Dunia, 1993, Rumput Vetiver. Pagar Hidup Penahan Erosi. Terjemahan Yayasan
Ekoturin – East Proverty Project Bali – Indonesia.
Cusack, V., 1999, Bamboo World. The Growing and Use of Clumping Bamboos.
Kangaroo Press NSW – Australia.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
89
Darmadi, 1995. Dasar-dasar Pengelolaan DAS. Balai Teknologi Pengelolaan DAS,
Badan Litbang Kehutanan, Bahan Alih Teknologi Stasiun Pengamat Arus
Sungai II, Surakarta.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1998. Konservasi Tanah dan Air. Sekretariat
Tim Pengendali Pusat Bantuan Penghijauan dan Reboisasi Jakarta.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999. Informasi Teknik Rehabilitasi dan
Konservasi Tanah. Pusat Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta.
Departemen Kehutanan, 1994. Pedoman Penyusunan Pola Rahabilitasi Lahan dan
Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Direktorat Jenderal Reboisasi dan
Rahabilitasi Lahan, Jakarta.
Departemen Kehutanan, 1998. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan
Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Direktorat
Jenderal Reboisasi dan Rahabilitasi Lahan, Jakarta.
Departemen Kehutanan, 2003. Laporan Tahunan. Balai Pengelolaan DAS Unda Anyar,
Denpasar.
Departemen Kehutanan, 2004. Laporan Hasil Monitoring dan Evaluasi Rehabilitasi
Hutan dan Lahan Tahun 2004. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Unda Anyar,
Denpasar
Departemen Kehutanan, 2005. Rencana Teknik Lapangan Rahabilitasi Lahan dan
Konservasi Tanah (RTL RLKT) DAS Saba Daya. Balai Pengelolaan DAS Unda
Anyar, Denpasar.
Departemen Kehutanan, 2006. Peta Lahan Kritis Wilayah Propinsi Bali. Balai
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Unda Anyar, Denpasar.
Dinas Kehutanan, 2002. Statistik Dinas Kehutanan Propinsi Bali Tahun 2002.
Denpasar.
Donie, S., 1997. Peran Pola Pengelolaan Hutan Rakyat terhadap Konservasi Tanah
dan Sosial Ekonomi Masyarakat di DAS Solo. Buletin Teknologi Pengelolaan
DAS, Ujung Pandang.
Dradjad, M., 2004. Rehabilitasi Lahan. Makalah disampaikan pada Lokakarya
Nasional Pengembangan Kompetensi Pendidikan Tinggi dan Penelitian Ilmu
Tanah di Indonesia, Yogyakarta, 4-6 Agustus 2004.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
90
Gunamanta, Pande Gede, 2002. Identifikasi Karakteristik Lahan Kering Sebagai Acuan
Perencanaan Konservasi Tanah dan Air di DAS Unda Anyar Bali. Agritrop
Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian, Vol. 21, No 1 Maret 2002. Fakultas Pertanian Unud
Denpasar.
Lembaga Penelitian Unpad, 1994. Aspek Sosial Ekonomi Dalam Pengelolaan DAS
Terpadu. Ddalam Lokarya Pencaran Pengelolaan DAS Terpadu Ditjen RRL
Departemen Kehutanan, Cisarua 24-25 Maret 1994.
Merit, I Nyoman., 2006. Konservasi Tanah dan Air Dalam Pengembangan Pertanian
Lahan Kering. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan
Pertanian Lahan Kering Menuju Petani Sejahtera yang dilaksanakan oleh
Program Pascasarjana Unud di Denapasar, tanggal 22 Juli 2006
Setyarso, A., 1999. Analisis Kebijaksanaan Pemanfaatan Sumber Daya Alam. Makalah
pada Lokakarya Nasional Kebijaksanan Pengelolaan DAS, Bogor.
Soekanto S., 1997. Sosiologi Suatu Pengantar. Yayasan Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta.
Sudjana, 1975. Metode Statistika, Penerbit Tarsito, Bandung.
Sulistiawati, Ni Putu Anom., 2003. Prediksi Erosi, Perencanaan Konserasi Tanah dan
Air di Daerah Hulu DAS Buleleng. Tesis Program Pascasarjana Unud,Denpasar
Sumarna, Anang., 1987. Bamboo. Penerbit Angkasa. Bandung.
Suprapto, Maha putra, Mery Alam Tina Sinaga, Sudaratmaja, dan Sumartini, 2000.
Pengkajian Sistem Usahatani Tanaman Pangan Di Lahan Marginal. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Suratman, 2002. Prediksi Erosi dan Pengendaliannya di Daerah Aliran Sungai Tukad
Sumaga dan Tukad Grokgak Buleleng. Tesis Program Pascasarjana Unud,
Denpasar
Wibowo, S., 2003. Kebijakan Pengelolaan DAS Bersama Masyarakat. Surili, Bandung.
Wibowo, S., 2004. Masalah Degradasi Lahan dan Upaya Rehabilitasi Hutan dan
Lahan. Prosiding Kongres Nasional V Masyarakat Konservasi Tanah dan Air
Indonesia dan Seminar Degradasi Hutan dan Lahan. Yogyakarta, 10 – 11
Desember 2004
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
91
Widarto, B., 2004. Prediksi Tingkat Bahaya Erosi dan Upaya Konservasi Tanah di
Daerah Aliran Sungai Tukad Ngis Karangasem. Tesis Program Pascasarjana
Unud, Denpasar
Zaeni, W.A., 1987. Konsep-konsep Dasar Sosiologi Dalam Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai, Kali Konto Project ATA 206 Phase III.
KAJIAN TENTANG PELESTARIAN SUBAK
DITINJAU DARI AKTIVITASNYA YANG BERLANDASKAN
KONSEP TRI HITA KARANA
Oleh
I KETU ARNAWA
Abstrak
Pada hakekatnya subak merupakan suatu sistem dan himpunan petani sawah
yang bertujuan mengatur tata pengairan sebaik-baiknya berdasarkan asas gotong
royong yang murni, tanpa membedakan asal, kedudukan, dan golongan para
anggotanya. Subak sebagai aset keunikan budaya Bali yang telah dikenal di manca
negara perlu dijaga kelestariannya. Penelitian ini menggunakan analisis deskriftif dan
analisis logistik. Hasil penelitian menemukan aktivitas subak masih cukup lestari,
subak yang tidak mengalami alih fungsi lahan lebih lestari jika dibandingkan dengan
subak yang mengalami alih fungsi lahan. Unsur-unsur Tri Hita Karana, yaitu
parhyangan, pawongan dan palemahan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
kelestarian subak, penyelesaian konflik dapat diselesaikan dengan konsep parasparos
selunglung sebayantaka sarpanaya artinya segala baik buruk, berat ringan dipikul
bersama
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
92
Kata Kunci : Pelestarian, Subak,
PENDAHULUAN
Arus modernisasi dan teknologi telah menimbulkan konflik pada sistem subak
di Bali, yaitu proyek-proyek jaringan tersier yang dilaksanakan departemen Pekerjaan
Umum (PU) sejak akhir tahun 1970-an dengan merubah sistem bangunan-bagi
(tembuku) dari sistem numbak menjadi sistem ngerirun, perubahan itu tidak serasi
dengan sosio-kultural masyarakat setempat. Subak tidak memiliki kewenangan untuk
merombak bangunan-bagi milik proyek (pemerintah) tersebut, karena dapat dikenakan
sanksi tindak pidana. Untuk tetap menjaga harmoni, subak mengatasi kendala tersebut
dengan cara tidak memanfaatkan bangunan-bagi yang dibangun proyek, dan tetap
memanfaatkan bangunan- bagi yang lama (Sutawan, dkk 1984)
Demikian pula halnya dengan diperkenalkannya padi varietas unggul yang
berumur pendek, tetapi banyak menggunakan pupuk kimia, pestisida dan herbisida
telah mengamcam kelestarian subak. Penggunaan pupuk dan obat-obatan pertanian
secara berlebihan telah menimbulkan pencemaran lingkungan, terancamnya
keanekaragaman hayati (biodiversity) pada lahan sawah, memburuknya kesehatan para
petani akibat dari keracunan dari penggunaan pestisida (Drysdale and Zimmerman,
1995 dalam Sutawan, 2005)
Di Kabupaten Bangli alih fungsi lahan produktif cenderung semakin meningkat,
sehingga areal sawah semakin berkurang. Jika hal ini terus berlangsung dikhawatirkan
akan mengancam keberadaan subak itu sendiri. Kajian empirik yang dikemukakan di
atas, mengimplikasikan bahwa kajian terhadap kelestarian subak di Bangli menjadi
masalah sangat penting karena di satu pihak Subak sebagai lembaga yang bersifat
Sosio-Agraris-Religius di Bali menghadapi beberapa permasalahan seperti semakin
menyempitnya areal sawah (subak), semakin menurunnya kuantitas dan kualitas air
irigasi, Serta arus modernisasi dan perubahan teknologi cukup tinggi melanda aspek
kehidupan masyarakat, padahal kelestarian subak merupakan faktor utama keberadaan
sektor pertanian. Oleh karenanya, diperlukan kajian imperik terhadap kelerstarian
subak di Bali. Dengan demikian dapat diketahui apakah subak itu masih lestari jika
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
93
dilihat dari aktivitasnya yang berlandaskan Tri Hita Karana yang teridiri dari unsur
parhyangan, pawongan, palemahan dan keadaan fisik jaringan irigasinya serta sistem
pengelolaan air irigasinya.
Beberapa jawaban yang diharapkan dalam paper ini. Pertama yaitu kelestarian
subak dilihat dari aktivitasnya yang berlandaskan Tri Hita Karana, kedua bagaimana
unsur-unsur Tri Hita Karana mempengaruhi kelestarian subak, ketiga aktivitas apa
yang dilakukan subak untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi
dewasa ini.
METODE
Model Analisis
Penelitian ini menggunakan 2 metode analisis data, yaitu analisis deskriptif dan
analisis regresi logistik. Analisis deskriptif digunakan untuk memberi gambaran
mengenai responden dan kelestarian subak. Analisis regresi logistik (logit) digunakan
untuk menganalisis pengaruh variabel-variabel parhyangan (X1), pawongan(X2),
palemahan (X3), kondisi fisik jaringan irigasi (X4) dan sistem pengelolaan air irigasi
(X5) terhadap kelestarian subak.
Analisis deskriftif
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik responden meliputi usia,
jenis kelamin, pendidikan, jumlah anggota keluarga, penguasahaan luas lahan.
Kelestarian subak dideskripsikan aktivitasnya dengan unsur-unsur Tri Hita Karananya,
kondisi jaringan irigasinya, sistem pengelolaan airnya. Interpretasi dalam analisis ini
didasarkan pada ouput analisis yang berupa tabel frekuensi jawaban responden terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan karakteristik responden dan aktivitas
subak yang berlandaskan falsafah Tri Hita Karana.
Analisis Regresi Logistik
Model logit adalah model regresi yang dirancang secara khusus untuk
menganalisis regresi dengan variabel dependen berupa variabel probabilitas, yaitu
variabel yang nilainya berkisar antara 0 hingga 1. Model logit memungkinkan estimasi
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
94
persamaan regresi yang dapat menjaga agar hasil prediksi variabel dependennya tetap
berada di rentang nilai 0 hingga 1.
Penelitian ini menggunakan analisis regresi model logit yang diperlukan untuk
menjawab apakah responden menjawab faktor-faktor yang mempengaruhi pelestarian
subak, yaitu aktivitas subak yang berhubungan unsur parhyangan, unsur pawongan,
unsusr palemahan, kondisi jaringan irigasi dan sistem pengelolaan air irigasi
mempunyai pengaruh terhadap kelestarian subak.
Variabel terikat (variabel dependent)
Y = 1, jika aktivitas subak yang berlandaskan falsafah Tri Hita Karana, kondisi
fisik jaringan irigasi dan sistem pengelolaan air irigasi yang dilakukan oleh
subak tetap lestari
Y = 0, jika aktivitas subak yang berlandaskan falsafah Tri Hita Karana, kondisi
fisik jaringan irigasi dan sistem pengelolaan air irigasi yang dilakukan oleh
subak tidak lestari
Variabel bebas (variabel independent)
Variabel bebas dalam model ini berfungsi untuk menjelaskan kelestarian subak
yang dilihat dari aktivitasnya yang berlandaskan falsafah Tri Hita Karana, variabel
tersebut terdiri atas 5, yaitu :
1. X1 = Unsur Parhyangan (aktivitas subak yang berhubungan dengan Tuhan-
Nya)
2. X2 = Unsur Pawongan (aktivitas subak yang berhungan dengan sesama
kerama subak)
3. X3 = Unsur Palemahan (aktiviatas subak yang berhubungan dengan areal
usahataninya/alam dan lingkungannya)
4. X4 = Kondisi fisik jaringan irigasi
5. X5 = Sistem pengelolaan air irigasi
Kelima variabel tersebut diukur berdasarkan nilai total skor dari pengukuran
masing-masing indikator yang dimiliki :
Dengan demikian ,
Prob (Y = 1 x ) = P
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
95
Prob (Y = 0 x ) = 1 - P ………………………………………………(1)
Karena E [ y | x ] = P, maka model regresinya adalah :
y = E [ y | x ] + (y - E [ y | x ] ) = P + ε …………………………………….(2)
Karena probabilitas (P) harus terletak antara 0 dan 1, maka terdapat pembatasan
:
0 ≤ E [ y | x ] ≤ 1 …………………………………………………………….(3)
Interpretasi pada model logit menunjukan besarnya probabilitas kelestarian subak
ditunjukan oleh persamaan :
Prob (Y = 1 | x ) = P e 1 z
ez
……………………………………………..(4)
Dengan Z = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5
Jika P adalah probabilitas untuk melestarikan subak, maka probabilitas
diskontinuitas pelestarian subak adalah :
Prob (Y = 0 | x ) = 1- P
e 1 z
1
…………………………………………(5)
Dengan demikian, maka
L P
P
1 e
zz
ez
e 1
1
………………………………………………(6)
P
P
1 merupakan odds ratio, yaitu perbandingan antara probalilitas untuk
tidak melestarikan subak.
Sehingga, model logit dalam penelitian ini yang merupakan logaritma natural dari
persamaan 6 adalah ;
Li = Ln
P
P
1 = y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5
Dimana :
Β1 – β5 = Koefisien regresi
P = Probabilitas petani (krama subak) untuk melestarikan subak
P – 1 = Probabilitas petani (krama subak) untuk tidak melestarikan subak
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
96
Data dan Kalibrasi
Data yang digunakan bersumber dari 50 orang petani sampel subak di Bangli,
25 sampel berasal dari subak yang tidak mengalami alih fungsi lahan, dan 25 sampel
dari subak yang mengalami alih fungsi lahan (penyempitan lahan, penurunan kualitas
dan kuantitas air irigasi, perpindahan tenaga kerja ke sektor lain). Subak yang
mengalami alih fungsi lahan, Subak Aya kecamatan Bangli. Sedangkan subak yang
tidak mengalami alih fungsi lahan, Subak Sala Kecamatan Susut Bangli
Pengumpulan data menggunakan koesioner yang disusun berdasarkan kisi-kisi
teoritis dalam bentuk skala likert. Penggunaan skala likert dimaksudkan untuk
mengetahui aktivitas subak yang berlandaskan Tri Hita Karana, kondisi fisik jaringan
irigasi dan sistem pengelolaan air irigasi yang dilakukan oleh subak, yaitu skor 5 =
sangat baik, skor 4 = baik; skor 3 = cukup baik; skor 2 = kurang baik dan skor 1 =
buruk
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kelestarian Subak Ditinjau Dari Aktivitasnya Yang Berlandaskan Tri Hita
Karana
Pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Dewi Sri) oleh krama subak
atau petani masih tetap dilaksanakan hanya, di areal persawahan dan pura-pura subak
saja dan sudah jarang dilakukan di rumah tangga masing-masing. Hal ini disebabkan
petani sangat jarang memiliki lumbung terutama petani di subak Aya sehingga
pemujaan terhadap Dewi Sri di rumah praktis tidak dapat dilakukan, biasanya
pemujaan dilakukan pada saat menaikan dan penurunan padi dari lumbung, dan petani
sudah jarang menyimpan hasil panennya di lumbung karena padi sudah dijual pada saat
di sawah dengan sistem tebasan. Sehingga sangat ironis ketika harga beras naik pada
musim paceklik petani tidak dapat menikmati justru pedagang yang meraup keuntungan
dari keadaan tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan pembinaan yang lebih intensif
terutama menyangkut masalah pentingnya lumbung keluarga
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
97
Pemasangan sunari, pindekan, ketuklak kepuakan dan petakut aktivitasnya
dapat dikategorikan kurang baik, padahal tujuan pemasangan perlengkapan tradisional
ini secara spritual diyakini untuk, meningkatkan produksi pertaman, hal ini disebabkan
petani kurang memahami lagi makna dari pemasangan perlengkapan tersebut dan
dianggap sebagai sarana mengusir hama khususnya burung, sehingga petani
menggunakan sarana lainnya seperti dengan membentangkan pita isi kaset bekas,
robekan plastik atau kain sebagai sarananya, sehingga nampak tidak asri dan bahkan
terkesan kumuh.
Peran teruna teruni kurang terorganisasi dan tidak aktif, hal ini karena anggota
subak tidak berasal dari satu banjar yang sama sehingga agak kesulitan dalam
melakukan koordinasi, disamping itu teruna teruni anggota subak, lebih mengutamakan
aktifitasnya di banjarnya masing-masing. Demikim juga mengenai pemahaman cerita
rakyat (mitologi) petani banyak tidak mengetahui, ini perlu dibina dan perlu
disosialisasikan kepada teruna-teruni (generasi muda) dan anak-anak sehingga
kelestarian subak tetap dapat dipertahankan.
Aktivitas subak yang terkait dengan unsur parhyangan secara umum masih
tetap dapat dilakukan, namun ada beberapa petani di subak Aya aktivitasnya
dikategorikan buruk/tidak baik seperti: penentuan pedewasaan mulai hercocok tanam
sudah tidak berpedoman pada sastra agama dan tatenger tajeging bintang tenggala
serta bintang kartika sampai condong ke barat. Hal ini disebabkan petani hanya berfikir
begitu habis panen, secepatnya untuk bisa melakukan penanaman berikutnya, mungkin
hal ini adalah salah satu dampak dari diperkenalkannya padi varietas unggul yang dapat
ditanam 3 kali dalam setahun.
Demikian pula dengan upacara pada awal proses tanam padi seperti upacara
mendak toya, ngendag (mulai bekerja) amuluku (mulai membajak) ngurit dan upacara
nandur padi ada beberapa petani aktivitasnya dapat dikategorikan tidak baik. Upacara
yang dilaksanakan selama masa pemeliharaan padi di sawah seperti upacara ngerainin
padi, ngiseh, mabiya kukung dan ngerasakin masih tetap berjalan dengan baik,
demikian juga upacara yang dilaksanakan pada waktu panen diawali dengan caru
manyi lalu Dewi Nini (Nyangket)
Kelengkapan Bale Subak mulai berkurang misalnya sudah tidak ditemukannya
alat pengukur waktu (janggi), papan nama subak sudah kurang lengkap seperti tidak
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
98
ada papan data statistik areal produksi dan data subak. Kegotong-royongan untuk
kepentingan subak yang dilaksanakan yaitu hanya 1-2 kali dalam satu musim tanam
(MT), hal ini dapat dimengerti karena kebanyakan fasilitas subak seperti saluran air
irigasi, tembuku pembagi air dibuat permanen.
Demikian pula kegiatan gotong royong untuk kepentingan umum juga sangat
jarang dilakukan yaitu hanya satu kali dalam enam bulan. Hal ini perlu mendapatkan
perhatian baik dari subak itu sendiri maupun dari pemerintah karena dengan semakin
menurunnya aktivitas gotong royong ini berarti pula rasa kebersamaan, rasa saling
memiliki diantara anggota subak akan semakin menurun hal ini dapat mengancam
keberadaan subak di masa-masa yang akan datang.
Anggota subak kurang aktif mencari informasi pertanian, perkebunan,
peternakan, kemasyarakatan sosial budaya baik lewat radio maupun televisi atau koran,
selanjutnya sudah tidak ditemukan lagi anggota subak menjadi anggota klompencapir.
Aktivitas subak yang terkait dengan unsur pawongan yang masih tetap berjalan
dengan baik adalah perangkat organisasi subak masih lengkap yaitu ada krama, awig-
awig tertulis, struktur organisasi. Subak masih tetap melaksanakan sangkedan (rapat)
ada suara kentongan/kulkul, menyahcah/absen, memakai bahasa Bali balus/lumrah.
Banyak anggota subak di Subak Sala menjadi anggota Koperasi Unit Desa (KUD) dan
untuk subak Aya hampir semua anggotanya tidak ada yang menjadi anggota KUD.
Realisasi pembayaran PBB cukup baik yaitu mencapai 76 – 100% dari target
Pelaksanaan pola tanam ditemukan tidak tertib yaitu tanam padi tidak serempak
atau tolak sumur dan ini harus segera ditertibkan karena akan berdampak terhadap
serangan hama dan penyakit tanaman yang sulit dikendalikan.
Pemasaran basil dilakukan sendiri-sendiri dan belum dilakukan bersama dengan
memanfaatkan jasa KUD. Subak sudah jarang memanfaatkan sawah sebagai tempat
pemeliharaan ikan (minapadi) hal ini disebabkan karena semakin menurunnya kuantitas
air dan umur padi yang relatif pendek yang tidak sesuai dengan masa panen ikan. Padi
siap dipanen tetapi ikan belum siap panen sehingga petani mengalami kesulitan dalam
mengelolanya.
Petani di Subak Aya sudah jarang memanfaatkan potensi peternakannya
misalnya pemanfaatan pematang sawah sebagai sumber hijauan makanan ternak,
pemanfaatan limbah pertanian untuk makanan ternak, (sapi, itik). Pemanfaatan kotoran
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
99
ternak untuk pupuk dan demikian pula pemanfaatan potensi perkebunannya
petani/krama subak sudah jarang memanfaatkannya hal itu mungkin dianggap tidak
ekonomis untuk dikelola karena rata-rata luasan lahan dikuasai relatif sempit sehingga
petani lebih banyak memanfaatkan waktu luangnya untuk mencari pekerjaan
sampingan sebagai tukang atau buruh bangunan, namun sebaliknya dengan petani
subak Sala potensi tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik, karena di subak Sala
merupakan salah sentra produksi ternak sapi di kabupaten Bangli
Variabel-Variabel yang Berpengaruh Terhadap Kelestarian Subak
Subak sebagai organisasi sosio, agraris religius yang berlandaskan Tri Hita
Karana, dimana setiap langkah kegiatannya tidak terlepas dari 3 unsur penyebab
keseimbangan dan keharmonisannya yaitu unsur parhyangan, pawongan dan
palemahan.
Tabel 1 Variabel-Variabel Yang Berpengaruh Terhadap Kelestarian
Subak Aya dan Subak Sala Tahun 2009
No
Variabel
Subak Total
Rata-
rata
(Skor)
Kategori Aya
(skor)
Sala
(Skor)
1
2
3
4
5
Parhyangan (X1)
Pawongan (X2)
Palemahan (X3)
Kondisi Jaringan Irigasi (X4)
Sistem Pengelolaan Air (X5)
49,54
89,68
58,54
6,00
14,50
77,47
161,19
139,19
14,50
33,15
62,47
124,01
123,17
10,25
23,83
Cukup lestari
Cukup lestari
Cukup lestari
Cukup lestari
Cukup lestari
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
100
Subak Sala lebih lestari jika dibandingkan dengan Subak Aya. Berdasarkan
Tabel 14 dapat juga disimpulkan, bahwa petani telah memahami bahwa subak
merupakan kesatuan masyarakat adat yang bersifat sosio-agraris-ekonomis dan religius
yang dilandasi falsafah Tri Hita Karana harus dilestarikan dan memelihara nilai-nilai,
norma, etika, moral dan adat istiadat yang terkandung didalamnya agar tetap terjaga
dan berlanjut sampai anak cucu mereka di masa yang akan datang.
Tabel 2. Hasil Analisis Logit Variabel-Variabel Yang Mempengaruhi
Kelestarian Subak
Variabel β (Koefisien) Signifikansi
Parhyangan (X1)
Pawongan (X2)
Palemahan (X3)
Kondisi Jaringan Irigasi (X4)
Sistem Pengelolaan Air (X5)
Konstanta
0,213*
0,163*
0,973*
0,138*
0,142*
-139,311
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000
Sumber : Analisis data primer, 2009
Keterangan : *) signifikan pada α = 5%
Berdasarkan Tabel 2, maka dihasilkan persamaan logit sebagai berikut :
Li =Ln = P
P
1
Dari persamaan tersebut dapat diketahui probabilitas atau kemungkinan petani
melakukan pelestarian subak, pada saat semua variabel bebas bernilai 0, maka
probabilitas petani untuk melakukan pelestarian subak 0 persen. Nilai signifikansi pada
Tabel 2, dapat diketahui semua variabel signifikan pada tingkat kepercayaan 5%.
Unsur Parhyangan memiliki pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap
kelestarian subak dengan koefisien regresi 0,213 signifikan pada taraf nyata α = 0,05.
Unsur Parhyangan adalah pernyataan rasa sujud bakti petani anggota subak ,
kehadapan Tuhan Yang Mahaesa dalam segala manifestasinya, dilakukan dengan
= -139,311+0,213X1+0,163X2+0,973X3+0,138X4+0,142X5
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
101
berbagai jenis upacara keagamaan atau kegiatan ritual. Berbagai upacara keagamaan
yang berkaitan dengan subak ada yang dilakukan secara kolektif atau bersama (tempek
atau munduk, subak dan kabupaten/kota) dan ada pula yang dilakukan oleh masing-
masing anggota subak secara perorangan. Berbagai jenis upacara keagamaan tersebut
dilaksanakan di tempat suci atau tempat pemujaan yang disebut pura, baik pura milik
bersama atau milik subak maupun pura milik petani perorangan yang menjadi anggota
subak.
Unsur Pawongan memiliki pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap
kelestarian subak dengan koefisien regresi 0,163 signifikan pada taraf nyata α = 0,05.
Unsur pawongan adalah hubungan antara manusia dengan manusia sebagai salah satu
komponen Tri Hita Karana, diantaranya mencakup anggota atau krama subak,
pengurus subak , awig-awig subak, sangkep atau rapat subak, dana subak, gotong-
royong tolong menolong dan konflik. Anggota suatu subak adalah petani
pemilik/penggarap sawah-sawah yang digarap itu berlokasi di wilayah subak yang
bersangkutan. Anggota suatu subak dapat berasal dari beberapa desa, dan petani
pemilik penggarap sawah dapat menjadi anggota pada lebih dari satu subak.
Unsur Palemahan memiliki pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap
kelestarian subak dengan koefisien regresi 0,973 signifikan pada taraf nyata α = 0,05.
Unsur palemahan konsep ini memberikan arahan bagaimana subak dan anggotanya
mengolah dan memanfaatkan sumberdaya alam yang terbatas yang terdiri atas tanah
atau lahan pertanian, air irigasi, tanaman dan hewan agar dapat memberikan hasil
pertanian secara optimal, menjaga kelestarian alam dapat memberikan kesejahteraan
bagi seluruh anggota subak beserta keluarga mereka masing-masing
Konsdisi jaringan irigasi memiliki pengaruh yang signifikan secara statistik
terhadap kelestarian subak dengan koefisien regresi 0, 138 signifikan pada taraf nyata
α = 0,05. Berbagai macam saluran irigasi subak seperti saluran utama (saluran
pembawa primer) kalau tertutup (terowongan) dinamakan aungan dan kalau terbuka
disebut telabah-gede/telabah aya. Telabah pemaron gede (saluran skunder), telabah
pemaron cenik (saluran tersier), telabah pengalapan (saluran kuarter), talikunda
(saluran cacing) adalah saluran yang mendistribusikan air secara adil untuk setiap sikut
sawah.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
102
Sistem pengelolaan air irigasi memiliki pengaruh yang signifikan secara statistik
terhadap kelestarian subak dengan koefisien regresi 0,142 signifikan pada taraf nyata α
= 0,05. Subak sebagai sistem irigasi sekaligus sebagai organisasi para petani dalam
bidang irigasi, mempunyai tujuan untuk memberikan kesejahteraan lahir batin (moksa
artham jagathita) bagi para anggotanya melalui usaha produksi pangan khususnya
beras. Untuk itu diperlukan berbagai kegiatan yaitu, salah satunya manajemen atau
pengelolaan air irigasi dalam arti mengatur, membagi, serta mengalirkan air agar dapat
dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para petani anggota subak pada sawahnya masing-
masing.
PENUTUP
1) Kelestarian subak jika ditinjau dari aktivitasnya yang berdasarkan konsep Tri Hita
Karana adalah cukup lestari, subak yang tidak mengalami alih fungsi lahan lebih
lestari jika dibandingkan dengan subak yang mengalami alih fungsi lahan.
2) Variabel-variabel unsur-unsur Tri Hita Karana seperti parhyangan, pawongan dan
palemahan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kelestarian subak,
demikian juga variabel kondisi jaringan irigasi dan sistem pengelolaan irigasi
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kelestarian subak.
3) Pembinaan dan penyuluhan perlu terus dilakukan, terutama kepada subak yang
mengalami alih fungsi lahan, karena banyak aktivitasnya yang kurang baik dan
buruk, seperti kegotong-gotong royongan, sistem pengelolaan air irigasi yang
merupakan azas esensial dari subak tersebut. Sehingga diharapkan subak dapat
berkembang sepanjang jaman dan tetap lestari.
Daftar Pustaka
Argawal, H.S., 1998. Modern Micro Economics. 6th resived and anlarged edition.
Kornak Publisher PUTLTD
Biro Pusat Statistika, 2007. Bali Dalam Angka Bali in Figure. BPS Propinsi Bali,
Denpasar
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
103
Dixon, J.A., and Hufschmidt, M., 1986. Economic Valuation Techniques For The
Environmental: A case Study Workbook, The John Hopkins University Press,
Copyright by The East-West Centre, East-West Environment and Policy
Institute, All Rights Reserved. Diterjemahkan oleh Sukanto Reksohadiprodjo,
Gadjah Mada University Press.
Dinas Kebudayaan Bali, 2009. Statistik Kebudayaan Bali. Denpasar
Cater, E. 1997. Ecotourism: dimensions of sustainability, paper yang dipresentasikan
dalam International Seminar of Ecouturism for Forest Conservation and
Community Development, 28-31 January 1997, Chiang Mai, Thailand.
Fauzi, Ahmad, 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi.
PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Gittinger, J.P., 1982. Economic Analysis of Agricultureal Projects, Baltimore, Johns
Hopkins University Press
Goodland, R. 1996. Environmental sustainability: universal and negotiable. Ecological
application, 64:1002-1017.
Groendfeldt, David, 2003. Multi-functional roles of irrigation with special reference to
paddy cultivation, World Water Council 3rd World Water Forum, Kyoto, Japan.
Grumbine, R.E. 1994. What is ecosystem manajemen? Conservation Biology, 8:27-38.
Hufschmidt, Maynard M. and David, 1992. Environmental, Natural System, and
Development: An Economic Valuation Guide, The John Hopkins University
Press, Copyright by The East-West Centre, East-West Environment and Policy
Institute, All Rights Reserved. Diterjemahkan oleh Sukanto Reksohadiprodjo,
Editor Sugeng Martopo, Cetakan Kedua, Gadjah Mada University Press.
Husein, Harun M., 1993. Lingkungan Hidup, Masalah Pengelolaan dan Penegakan
Hukumnya, PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Harahab, Nuddin, 2008. Analisis Ekonomi-Ekologi Perencanaan Wilayah Hutan
Mangrove. Disertasi Program Pascasarjana Unibraw. Malang.
Kwun, Soon-kuk, 2002. Multi-functional roles in paddy fields and on –farm
irrigation, World WaterCouncil 3rd World Water Forum, Otsu, Shiga, Japan.
Lansing, J.S. 1995. The Balinese. Harcourt Brace College Publisher, Tokyo.
Lansing, J.S., J.N. Kremer, V. Gerhart, P. Kremer, A. Arthawiguna, S.P.K. Surata,
Suprapto, I.B. Suryawan, I.G. Arsana, V.L. Scarborough, J. Schoenfelder & K.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
104
Mika. 2001. Analysis volcanic fertilization of Balinese rice paddies. Ecological
Economic, 38:383-900.
Lansing, J.S. 1995. The Goddess. Prentice Hall, New Jersey (in press).
Munasinghe, M., and E. Lutz, 1993. Environmental Economics and Valuation in
Development Decision Making. Environmental Economics and Natural
Resources Management in Developing Countries, Edited by Mohan
Munasinghe, Compiled by Adelaide Schwab, Committee of International
Development Institution on The Environment (CIDIE), Distributed for CIDIE by
The World Bank Washington, DC.
Mizutani, Masakazu, 2002. Multi-functional roles of paddy field irrigation in the Asia
monsoon region,World Water Council 3rd World Water Forum , Otsu ,Shiga,
Japan.
Minitab, Inc. 1996. Minitab Release 11.12. www.minitab.com
Nasendi dan Anwar Afeffendi, 1985. Program Linear dan Variasinya. Penerbit PT.
Gramedia Jakarta
Odum, W.E., and E.J.Heald, 1975. The Response of Mangrove to man-in-duced
environmental stress, pp: 52-62, In Ferguson Wood, E.J., and R.E. Johannes
(eds.) Tropical marine pollution, Elsevier Scientific Publishing Company,
Amsterdam.
Pearce David, W. and Turner R. Kerry, 1990. Economic of Natural Resources and
Environment, Harvester Weatsheaf New York London, Toronto Sydney Tokyo.
Reksohadiprodjo Sukanto dan Andreas Budi P.B., 1997. Ekonomi. Lingkungan, Suatu
Pengantar, Edisi Pertama, Cetakan kelima, BPFE, Yogyakarta
Sedana, Gede, 1999. Pengembangan Fungsi Subak Dalam Menghadapi Tantangan di
Masa Depan. Makalah disampaikan pada Diskusi Terbatas (SITAS) II
Kerjasama FP. Undwi dengan Jaringan Komunikasi Irigasi (JKI) di Unmas
Denpasar
Sudita, Made dan Made Antara, 2006. Nilai Sosial-Ekonomi Air di Kawasan Pura Tirta
Empul Desa Manukaya, Kabupaten Gianyar, Bali: Suatu Pendekatan Ekonomi
Lingkungan. (dalam Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian dan Agribisnis “SOCA”,
Vol 6 No.2:109-216, Juli 2006), diterbitkan oleh Fakultas Pertanian Universitas
Udayana.
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
105
Supardi, I., 1985. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya, Penerbit Alumni, (Cetakan
Kedua), Bandung.
Suradisastra, K, Sejati, WK, Supriatna, Y, Hidayat, D. 2002. Institutional description of
the Balinese subak. Jurnal Litbang Pertanian, 21 (1):7-16.
Sutawan, N; M Swara; W Windia; N Sutjipta. 1984. Studi Perbandingan Subak dalam
Sistem Irigasi non-PU dan Subak dalam Sistem Irigasi PU (Kasus Subak
Timbul Baru dan Subak Celuk, Kab. Gianyar) UNUD Denpasar
Sutawan, N, W.Windia, M Swara, G.Sedana, IGM. Putra Marjaya, 1991. Penelitian
Aksi Pembentukan Wadah Koordinasi antar Sistem Irigasi (Subak Agung) di
wilayah Kabupaten Tabanan dan Buleleng. UNUD Denpasar
Sutawan, N., 1996. Struktur dan Fungsi Subak. Makalah Peranan Berbagai Program
Pembangunan Dalam Melestarikan Subak di Bali. UNUD Denpasar.
Sutawan, N., 2005. Revitalisasi Subak Dalam Memasuki Era Globalisasi. Penerbit
Andi Offset. Yogyakarta
Sutawan, N., 2007. Organisasi dan Manajemen Subak di Bali. Penerbit Pustaka Bali
Post. Denpasar
Sutjipta, N dan W. Windia, 1996. Pengaruh Program Pemerintah Terhadap
Ketradisionalan Dinamika Kelompok dab Mutu Hidup Anggota Subak. Makalah
Peranan Berbagai Program Pembangunan Dalam Melestarikan Subak di Bali,
UNUD, Denpasar
Surata, S.P.K, I.W.A.A. Wiguna , I.G.M.O. Suprapta & J.S. Lansing. 2004. Respon
Biologi Tanaman Padi di Bali terhadap Pengurangan Penggunaan Pupuk Fosfat
dan Nitrogen Anorganik. Makalah pada seminar nasional tentang”Optimalisasi
Pemanfaatan Sumberdaya Lokal untuk Mendukung Pembangunan Pertanian”
yang diselenggarakan atas kerjasama Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian
Departemen Pertanian RI dan BPTP Bali, di Kuta Bali, 6 Oktober 2004.
Surata, S.P.K. 2003. Budaya padi dalam subak sebagai model pendidikan lingkungan.
Hal. 81-97. Di dalam Kasryno, F., E. Pasandaran & A.M. Fagi (Penyunting).
Subak dan Kerta Masa. Kearifan Lokal Pendukung Pertanian Berkelanjutan.
Yayasan Padi Indonesia, Jakarta.
Surata, S.P.K., & I.W.A.A. Wiguna. 2003. Persepsi wisatawan terhadap fungsi ganda
subak. Prosiding Seminar Nasional tentang Revitalisasi Teknologi Kreatif
Agrimeta, JURNAL PERTANIAN BERBASIS KESEIMBANGAN EKOSISTEM
106
dalam Mendukung Agribisnis dan Otonomi Daerah. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian, Teknologi Pertanian. Denpasar, 7 Oktober
2003
Suhendang, Endang, 1996. Ekologi., Ekologisme, dan Pengendalian Sumberdaya
Hutan: Ekologi vs Ekonomi. Gagasan, Pemikiran, dan Karya Ishemat
Soerianegara. Dirterbitkan oleh : Jurusan Manajemen Hutan Fakultas
Kehutanan IPB. ISBN:979-95044-2-X
Windia I Wayan., 2002. Transformasi Sistem Irigasi Subak yang Berlandaskan Konsep
Tri Hita Karana. Disertasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Windia I Wayan., 2006. Transformasi Sistem Irigasi Subak yang Berlandaskan Konsep
Tri Hita Karana. Penerbit Pustaka Bali Post, Denpasar.