149
IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT YANG DIDUGA MELAKUKAN TINDAK PIDANA (Menurut Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: AGUNG LAKSONO WIBOWO NIM: 11140480000096 P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1440 H/2019 M

IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

  • Upload
    votuyen

  • View
    219

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN

ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT YANG DIDUGA

MELAKUKAN TINDAK PIDANA

(Menurut Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

AGUNG LAKSONO WIBOWO

NIM: 11140480000096

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1440 H/2019 M

Page 2: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

i

IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN

ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT YANG DIDUGA

MELAKUKAN TINDAK PIDANA

(Menurut Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

AGUNG LAKSONO WIBOWO

NIM: 11140480000096

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1440 H/2019 M

Page 3: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

ii

IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN

ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT YANG DIDUGA

MELAKUKAN TINDAK PIDANA

(Menurut Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

AGUNG LAKSONO WIBOWO

NIM: 11140480000096

Pembimbing:

Abdul Qodir, S. H., M. Hum. Fahmi Muhammad Ahmadi, M. Si.

NIP. 19550614 197803 1 002 NIP. 19741213 200312 1 002

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1440 H/2019 M

Page 4: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN

ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT YANG DIDUGA

MELAKUKAN TINDAK PIDANA (Menurut Pasal 245 Ayat (1) Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018)” telah diajukan

dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 10 Januari 2019, Skripsi ini telah

diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.)

pada Program Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, 23 Januari 2019

Mengesahkan

Dekan,

Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A.

NIP. 19691216 199603 1 001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. (.....................)

NIP. 19691121 199403 1 001

2. Sekertaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M. Hum. (.....................)

NIP. 19650908 199503 1 001

3. Pembimbing I : Abdul Qodir, S.H., M. Hum. (.....................)

NIP. 19550614 197803 1 002

4. Pembimbing II : Fahmi Muhammad Ahmadi, M. Si. (.....................)

NIP. 19741213 200312 1 002

5. Penguji I : Fathudin, S.H.I., S.H., M.A.Hum., M.H. (.....................)

NIP. 19760213 200312 2 001

6. Penguji II : Dr. Sodikin, S.H., M.H. (.....................)

NIDN. 0310056801

Page 5: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 10 Januari 2019

AGUNG LAKSONO WIBOWO

NIM:11140480000096

Page 6: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

v

ABSTRAK

Agung Laksono Wibowo. NIM 11140480000096. IZIN PRESIDEN DALAM

TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

YANG DIDUGA MELAKUKAN TINDAK PIDANA (Menurut Pasal 245 Ayat

(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018). Skripsi

Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2019 M/1440 H, x + 138 Halaman.

Ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 (UU

MD3) Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018

menyatakan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan

terhadap Anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak

sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 224, harus

mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan untuk mengetahui

izin/persetujuan tertulis Presiden dalam tahap penyidikan anggota DPR yang

diduga melakukan tindak pidana ditinjau dari aspek kekuasaan Presiden dalam

konsep negara hukum dan memahami sinkronisasi dan harmonisasi Pasal 245

Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 dalam sistem peraturan perundang-

undangan di Indonesia.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan

menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan

pendekatan sejarah (history approach). Pendekatan perundang-undangan

mengacu kepada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018, sedangkan pendekatan sejarah

adalah pendekatan yang diperoleh dari teknik pengumpulan data library research

yang mengkaji berbagai dokumen terkait objek penelitian terkait latar belakang

pembentukan dan dinamika ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terkait izin Presiden

dalam tahap penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana

ditinjau dari aspek kekuasaan Presiden dalam konsep negara hukum tidak sesuai

dengan prinsip negara hukum karena bertentangan dengan asas equality before the

law dan independent judiciary, serta adanya disharmonisasi Pasal 245 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 terhadap Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat

(1) UUD 1945, dan Pasal 14 Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Hak-

Hak Sipil dan Politik.

Kata Kunci : Izin, Presiden, Penyidikan, Anggota DPR, Tindak Pidana.

Pembimbing : Abdul Qodir, S.H., M.Hum., dan

Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si.

Daftar Pustaka : Tahun 1969, sampai Tahun 2018

Page 7: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

vi

KATA PENGANTAR

بسم ميحرلا نمحرلا هللا

Puji dan rasa syukur mendalam, peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT,

karena berkat limpahan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya maka skripsi ini dapat

diselesaikan dengan baik. Sholawat dan salam semoga selalu senantiasa

tercurahkan kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW.

Selanjutnya, peneliti ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak

terhingga kepada semua pihak yang membantu kelancaran peneliti skripsi ini,

baik berupa dorongan moril maupun materil. Karena peneliti yakin tanpa bantuan

dan dukungan tersebut, sulit rasanya bagi peneliti untuk menyelesaikan penelitian

skripsi ini. Oleh karena itu peneliti secara khusus ingin menyampaikan terima

kasih kepada yang terhormat:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu Hukum

dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang senantiasa memberikan arahan dan

masukannya atas penyusunan skripsi.

3. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si. dan Abdul Qodir, S.H., M.Hum.,

Pembimbing Skripsi yang telah memberikan segenap waktu, tenaga dan

pikirannya untuk memberikan kritik konstruktif dan motivasinya terhadap

proses hingga penyelesaian dalam penyusunan skripsi.

4. Bapak Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, beserta civitas akademika

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah melayani dan membantu peneliti

selama menempuh studi S-1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

5. Ucapan terima kasih tak terhingga kepada kedua orang tua peneliti, Bapak

Djoko Suhandoko dan Ibu Rondiyah yang telah memberikan segala daya,

serta upayanya demi purnanya jenjang studi S-1 peneliti. Dan kepada kakak

Page 8: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

vii

tercinta, Renny Retnowati, S.H., M.H. dan adik tercinta, Anita Maffhilinda

yang senantiasa mengingatkan, dan memotivasi peneliti dalam proses

penyusunan hingga penyelesaian skripsi ini.

6. Teman hidup peneliti, Esti Monalis yang senantiasa memberikan semangat

dan dukungan moril, serta perhatian, cinta, dan kasih sayang dari kejauhan

sana dalam proses penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah senantiasa

memberkahi dan meridhai kebersamaan kita.

7. Seluruh teman-teman seperjuangan Program Studi Ilmu Hukum, khususnya

Adlan Kamil, Fikri Khoiri, Syanel, Wahid, Purba, Farhan, Acun, Eddy,Vira,

Naufal, Alfi, Prama, Riyadi, Haidar, Iqbal, Fajar, Fachri, kawan-kawan DPR

ataupun Ilmu Hukum 2014 lainnya yang tidak dapat saya sebutkan.

8. Pengurus Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Periode 2016,

Pengurus Senat Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Periode 2017,

khususnya Khaidir Musa, Muhyidin, Mentari, Jeje, Astika, Dian, Atik dan

lainnya, Pengurus Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia Wilayah

Jabodetabek Periode 2018, dan Himpunan Mahasiswa Islam, khususnya

Tebe,Vanya, Syahnaz, Najm, Eza dan lainnya, serta adinda-adinda Ikatan

Alumni Pondok Pesantren Asshiddiqiyah UIN Jakarta.

Demikian, peneliti haturkan terima kasih yang tak terhingga atas segala dukungan

semua pihak yang membantu dalam proses penelitian skripsi ini dan mohon maaf

atas segala kekurangan maupun kesalahan dalam skripsi ini. Semoga skripsi ini

dapat bermanfaat bagi semua pihak, terkhusus peneliti.

Wassalammualaikum

Jakarta, 10 Januari 2019

Peneliti

Agung Laksono Wibowo

Page 9: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii

SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN .............................................. iii

LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... iv

ABSTRAK .................................................................................................... v

KATA PENGANTAR .................................................................................. vi

DAFTAR ISI ................................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................ 11

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 14

D. Metode Penelitian .................................................................. 15

E. Sistematika Penulisan ............................................................ 19

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Konseptual ............................................................. 21

1. Izin ................................................................................... 21

2. Presiden ........................................................................... 23

3. Penyidikan ........................................................................ 26

4. Dewan Perwakilan Rakyat ............................................... 28

5. Tindak Pidana .................................................................. 31

B. Kerangka Teori....................................................................... 34

1. Teori Kekuasaan............................................................... 34

2. Teori Negara Hukum ....................................................... 37

3. Teori Kewenangan ........................................................... 40

4. Teori Perwakilan. ............................................................. 45

C. Studi (Review) Kajian Terdahulu ........................................... 46

Page 10: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

ix

BAB III PRESIDEN, DPR, DAN MKD DALAM SISTEM

PEMERINTAHAN RI

A. Sistem Pemerintahan .............................................................. 50

B. Presiden .................................................................................. 72

C. Dewan Perwakilan Rakyat ..................................................... 82

D. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 ... 87

BAB IV IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA

DPR YANG DIDUGA MELAKUKAN TINDAK PIDANA

MENURUT PASAL 245 AYAT (1) UNDANG-UNDANG

NOMOR 2 TAHUN 2018 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI NOMOR 16/PUU-XVI/2018

A. Izin Presiden Dalam Tahap Penyidikan Anggota DPR RI Yang

Diduga Melakukan Tindak Pidana Ditinjau Dari Aspek

Kekuasaan Presiden dalam Konsep Negara Hukum .............. 92

B. Sinkronisasi dan Harmonisasi Pasal 245 Ayat (1) Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2018 Pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 Dalam Sistem Peraturan

Perundang-Undangan di Indonesia ........................................ 116

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................ 128

B. Rekomendasi .......................................................................... 129

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 130

Page 11: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai sekarang telah terjadi

pasang surut dalam kekuasaan Presiden RI. Pada awal kemerdekaan, berdasarkan

ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD NRI Tahun 1945, Presiden memiliki

kekuasaan yang sangat besar karena memegang kekuasaan pemerintahan dalam

arti luas. Ketika itu dalam menjalankan kekuasaannya, Presiden hanya dibantu

oleh sebuah Komite Nasional.1 Kekuasaan yang diberikan oleh Pasal IV Aturan

Peralihan UUD NRI Tahun 1945, secara formal menyerupai kekuasaan seorang

penguasa dalam pemerintahan autokrasi. Susunan organisasi kekuasaan yang

menempatkan Komite Nasional di bawah Presiden, tidak layak diterapkan pada

negara demokrasi, seperti Indonesia.

Kekuasaan yang begitu besar tersebut berakhir dengan dikeluarkannya

Maklumat No. X oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta kala itu yang ditetapkan

pada 16 Oktober 1945. Inti dari maklumat tersebut, yakni Presiden bersama-sama

dengan Komite Nasional menjalankan kekuasaan legislatif dan berhak untuk ikut

serta menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara. Pada 2 September

1945, Presiden Soekarno membentuk kabinet pertama berdasarkan usulan Panitia

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Kabinet ini tercatat dalam sejarah

sebagai kabinet presidensial pertama. Dalam susunan kabinet presidensial,

Presiden memegang kekuasaan eksekutif. Namun, fungsi Presiden selaku

pemegang kekuasaan eksekutif tersebut menjadi goyah ketika ada usul Badan

1 Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia,

Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, (Surabaya:

Universitas Airlangga, 1990), h. 2

Page 12: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

2

Pekerja Komite Nasional Pusat (BP-KNIP) yang menghendaki perubahan sistem

pertanggungjawaban kepada parlemen.

Usul tersebut diterima oleh pemerintah dengan keluarnya Maklumat

Pemerintah pada 14 November 1945 yang berisikan perubahan sistem

presidensial menjadi parlementer. Dengan dikeluarkannya maklumat tersebut,

maka Presiden tidak lagi berkedudukan sebagai Kepala Pemerintahan

sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945, melainkan

hanya berfungsi sebagai Kepala Negara atau Presiden konstitusional. Untuk

kedua kalinya terjadi pengurangan atas kekuasaan Presiden.2

Kekuasaan Presiden menjadi besar kembali setelah mengambil alih

kekuasaan eksekutif. Pengambilalihan ini terjadi sehubungan dengan

dinyatakannya negara dalam bahaya oleh Menteri Pertanahan, Amir Syarifuddin

dan terjadinya penculikan terhadap Perdana Menteri Sutan Syahrir.3 Pada masa

berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949 dan UUDS 1950,

sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem parlementer sehingga

menempatkan Presiden hanya sebagai Kepala Negara, tidak lagi sebagai Kepala

Pemerintahan. Ini artinya, kekuasaan Presiden berkurang kembali.

Ketika UUD NRI Tahun 1945 berlaku kembali, Presiden sebagai Kepala

Negara dan Kepala Pemerintahan berfungsi kembali sehingga memberikan

peluang yang besar bagi Presiden untuk menjalankan kekuasaannya. Kekuasaan

Presiden RI menurut UUD NRI Tahun 1945 lebih besar dari kekuasaan Presiden

Amerika Serikat. Sebagai contoh, Presiden Amerika Serikat tidak mempunyai

kekuasaan membentuk Undang-Undang sebagaimana yang dimiliki oleh

2 Moh. Mahfud, MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia; Studi Tentang Interaksi Politik

dan Kehidupan Ketatanegaraan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 47

3 Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia,

Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan,… h. 4

Page 13: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

3

Presiden RI. Presiden Amerika hanya mempunyai kekuasaan memveto suatu

rancangan Undang-Undang.4

Pada perkembangan selanjutnya, UUD NRI 1945 mengalami perubahan

setelah lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998, akibat protes yang bertubi-tubi

dan terus-menerus dari rakyat pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya di

tengah merosotnya keadaan sosial dan ekonomi.5 Setelah Soeharto lengser dari

kursi kepresidenan atas desakan dari berbagai elemen masyarakat, MPR untuk

pertama kalinya dalam sejarah Republik ini, melakukan perubahan terhadap

UUD NRI 1945 yang dilakukan dalam empat tahapan.

Pada perubahan tahap pertama telah terjadi perubahan dalam 9 pasal di

UUD NRI tahun 1945. Hal-hal substantif yang mengalami perubahan adalah

sebagai berikut:

Pertama, terjadi pembatasan masa jabatan Presiden. Sebelum dilakukan

perubahan, ada peluang seorang Presiden dapat menjabat terus-menerus

sebagaimana yang dilakukan Soeharto dan Soekarno, karena bunyi pasal tentang

masa jabatan Presiden sangat terbuka untuk dilakukan interpretasi. Setelah

perubahan tahap pertama, seorang Presiden Indonesia paling lama menjabat

sebagai Presiden selama 10 tahun.6 Kedua, adanya pembatasan kekuasaan

Presiden dalam bidang legislasi. Dalam perubahan tahap pertama ditegaskan

bahwa kekuasaan legislasi ada di tangan DPR. Sekalipun demikian, Presiden

dapat mengajukan sebuah Rancangan Undang-Undang kepada DPR. Ketiga,

4 Jimly Asshiddiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan Hukum

Nasional, dalam Rofiqul Umam Ahmad, dkk., (ed.), Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia

Kontemporer: Pemikiran Prof. Jimly Asshiddiqie, SH, dan Pakar Hukum, (Jakarta: The Biography

Institute, 2007), h. 6

5 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Masa Transisi Politik di Indonesia, Cet. Ke-2,

(Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH-UI, 2005), h. 57-58

6 Afan Gaffar, “Amandemen UUD 1945 dan Implikasinya Terhadap Perubahan

Kelembagaan” dalam Buku Amandemen Konstitusi dan Strategi Penyelesaian Krisis Politik

Indonesia, (Jakarta: Asosiasi Ilmu Politik Indonesia bekerjasama dengan Partnership for Governance

Reform in Indonesia (PGRI), 2002), h. 435

Page 14: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

4

adanya usaha membangun mekanisme checks and balances antara lembaga

legislatif, eksekutif dan yudikatif.7

Semangat Perubahan UUD 1945 tidak berhenti sampai di situ. Pada tahun

2000, terjadi perubahan lagi yaitu tepatnya 18 Agustus 2000. Pada perubahan

tahap kedua ini terdapat 25 pasal yang mengalami perubahan dengan 6 materi

pokok, yaitu menyangkut pemerintahan daerah atau desentralisasi, wilayah

negara, kedudukan warga negara dan penduduk, hak asasi manusia, pertahanan

dan keamanan negara, dan menyangkut bendera, bahasa dan lambang negara,

serta lagu kebangsaan.

Dari sejumlah perubahan tersebut, ada dua hal yang paling mendasar

mengalami perubahan yaitu: menyangkut pemerintahan daerah yang terdapat

pada Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945. Dalam pasal tersebut, pertama terdapat

penegasan yang kuat melalui konstitusi, bahwa negara Indonesia menjamin

dilaksanakannya pemberian otonomi yang luas kepada daerah. Kedua, mengenai

hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945. Pasal ini

mengalami penambahan, jika dilihat dari jumlah pasalnya dan sekaligus juga

mengalami penegasan.

Proses perubahan terus berlanjut. Namun sebelum itu, MPR mengadakan

sidang yang sangat bersejarah, yaitu meng-impeachment Presiden Abdurrahman

Wahid pada Juni 2001. Setelah itu, pada November 2001, MPR melakukan

perubahan UUD 1945 tahap ketiga. Pada perubahan tahap ketiga ini, terjadi

perubahan sangat mendasar terhadap UUD 1945 terkait dengan kedaulatan,

perombakan parlemen, pemilihan Presiden secara langsung, membentuk lembaga

baru yang bernama Mahkamah Konstitusi dan mengatur prosedur perubahan

terhadap UUD 1945.

Pada Agustus 2002, MPR kembali melakukan perubahan tahap keempat.

Perubahan tersebut terfokuskan pada susunan MPR, cara pemilihan Presiden,

7 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia: Setelah Perubahan UUD

1945 Dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009).

Page 15: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

5

penyelesaian jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak bisa

melakukan kewajibannya, pemberian hak kepada Presiden untuk membentuk

suatu Dewan Pertimbangan Presiden, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung,

serta ketentuan mengenai independensi Bank Indonesia. Selain itu, pada

perubahan tersebut juga menetapkan batas minimal anggaran untuk biaya

pendidikan, yaitu sebanyak 20% dari APBN serta adanya ketentuan

mengharamkan perubahan pada bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.8

Hal ini menandakan, bahwa perubahan UUD 1945 pada interval kurun waktu

1999 hingga 2000 telah membawa perubahan besar dalam sistem ketatanegaraan

Indonesia, baik dalam pelembagaan kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun

yudisial (kekuasaan kehakiman).

DPR RI adalah salah satu lembaga tinggi negara dalam struktur

ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat dan

memiliki fungsi legislasi. Hal ini diatur dalam Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 yang

menyatakan, bahwa DPR memegang kekuasaan dalam membentuk Undang-

Undang.

Dengan demikian, maka kedudukan DPR sangat vital dalam struktur

ketatanegaraan Indonesia. Hasil Amandemen UUD NRI Tahun 1945 melahirkan

kontruksi kelembagaan negara yang satu sama lain dalam posisi setara dengan

saling melakukan kontrol (checks and balances), mewujudkan supremasi hukum

dan keadilan, serta menjamin dan melindungi Hak Asasi Manusia. Kesetaraan

atau ketersediaan mekanisme saling kontrol ini, merupakan prinsip dari sebuah

negara demokrasi atau negara hukum.9

Perubahan lain pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945 ialah mengenai

hak anggota DPR yang menyatakan bahwa setiap anggota DPR memiliki hak

8 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD

1945 dengan Delapan Negara Maju,… h. 3-4

9 B.N. Marbun, DPR-RI Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, (Jakarta: Pustaka Utama, 2000)

Page 16: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

6

untuk mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak

imunitas.10

Pada perkembangannya, pada tahun 2003 Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1999 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD diganti dengan Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD karena

dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan aspirasi rakyat dan perkembangan

ketatanegaraan di Indonesia. Dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2003, memuat susunan keanggotaan DPR mengalami perubahan, dikatakan

bahwa DPR terdiri atas anggota partai politik peserta Pemilu dipilih berdasarkan

hasil Pemilu.

Pada Pasal 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003, kedudukan DPR

merupakan perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai Lembaga Negara.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 kemudian diganti dengan Undang-

Undang Nomor 27 Tahun 2009, Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD untuk

meningkatkan peran dan tanggung jawab lembaga perwakilan rakyat.

Berselang 5 tahun kemudian, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009

kemudian diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang

MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan terakhir diganti dengan Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 2014 Tentang Perubahan Pertama Atas Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD hingga mengalami

perubahan kembali pada beberapa tempo lalu yang menghasilkan Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau yang lebih

populis disebut dengan UU MD3.

Dalam konteks proses penyidikan, kedudukan anggota DPR memiliki hak

istimewa dibandingkan dengan warga negara Indonesia lainnya. Terkait

pemanggilan dan permintaan keterangan anggota DPR yang diduga melakukan

10 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2006), h.

105-106

Page 17: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

7

tindak pidana telah diatur secara khusus mekanismenya dalam Pasal 245 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Hal ini

praktis menimbulkan polemik pada khalayak publik dan tentu hal ini dianggap

sebagai bentuk diskriminasi dalam penegakan hukum atau peneliti menyebut

poin pasal tersebut bertentangan dengan asas equality before the law dan

menciderai proses peradilan yang seharusnya bersifat independen sebagaimana

mestinya tidak mencerminkan konsep negara hukum yang telah tegas

diamanatkan konstitusi UUD 1945.

Jika dirunut pada kronologis perkembangan ketentuan Pasal 245 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 ini mengalami pelbagai perubahan,

dimulai pada 22 September 2015, Mahkamah Konstitusi melahirkan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 yang berasal dari Judicial

Review terhadap Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014

Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang diajukan oleh Supriyadi Eddyono

Widodo dan Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Hukum Pidana.

Menurut Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi terhadap putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut dianggap telah merekonstruksi mekanisme

pemeriksaan anggota DPR. Semula, berdasarkan Pasal 245 Ayat (1) Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, terkait

pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota

DPR yang diduga melakukan tindak pidana, harus mendapat persetujuan tertulis

dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Ketentuan ini kemudian dinyatakan oleh Majelis Hakim Mahkamah

Konstitusi terkait pasal a quo adalah inkonstitusional bersyarat sepanjang frasa

\"persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan\" tidak dimaknai

\"persetujuan tertulis dari Presiden\". Hal ini dilandasi atas Amar Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 yang tertuang pada poin 2.1

Frasa “Persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal

Page 18: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

8

245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD,

dan DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) bertentangan

dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Persetujuan tertulis

dari Presiden”. Artinya, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk

penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus

mendapat izin/persetujuan tertulis dari Presiden. Dalam konteks inilah

Mahkamah Konstitusi telah merekonstruksi mekanisme \"izin MKD\" menjadi

\"izin Presiden\".

Berdasarkan hal tersebut, peneliti merasa terusik oleh adanya kontradiksi

dengan putusan Mahkamah Konstitusi terbaru mengenai mekanisme penyidikan

Anggota DPR menurut ketentuan Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2014 pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 yang

bertolak belakang dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-

IX/2011 terhadap pengujian Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintahan Daerah terkait pembatalan izin/persetujuan tertulis

Presiden dalam proses penyelidikan dan penyidikan Kepala Daerah yang diduga

melakukan tindak pidana.

Pada Senin, 12 Februari 2018 beberapa waktu lalu, DPR melalui Rapat

Paripurna resmi mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014

Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI,

Fadli Zon. Adapun salah satu pasal yang termuat dalam hasil pengesahan yang

diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan

DPRD yang mengalami perubahan salah satunya, yakni pada Pasal 245 Ayat (1).

Adapun hasil revisi pada Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2018 berbunyi, “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada Anggota DPR

sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan

pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus

Page 19: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

9

mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat

pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan”.

Hal ini berimplikasi pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-

XII/2014 yang telah menegasikan pelibatan Mahkamah Kehormatan Dewan

terkait proses pemeriksaan anggota DPR RI yang diduga melakukan tindak

pidana dengan mengaktifkan kembali wewenang Mahkamah Kehormatan

Dewan.11

Adapun yang terkini, telah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 16/PUU-XVI/2018 yang diajukan oleh Forum Kajian Hukum dan

Konstitusi (FKHK), Dr. Husdi Herman, S.H., M.M., Yudhistira Rifky Darmawan

yang mengajukan Judicial Review terhadap sejumlah pasal yang menjadi sumber

kegelisahan rakyat Indonesia karena semakin super power-nya kekuasaan yang

dimiliki oleh DPR melalui penguatan imunitas DPR yang dituangkan dalam

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018. Namun, peneliti hanya terfokus pada

salah satu pasal yang diujikan mereka, yakni Pasal 245 Ayat (1) yang berhasil

dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan mengembalikan substansi putusan

Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 74/PUU-XII/2014 dimana tetap mempertahankan izin/persetujuan tertulis

Presiden dalam tahap penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak

pidana.

Ditandai dengan diundangkan dan berlakunya Pasal 245 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 16/PUU-XVI/2018 terkait pemanggilan dan permintaan keterangan untuk

penyidikan terhadap anggota DPR RI yang diduga melakukan tindak pidana yang

tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas harus mendapatkan izin/persetujuan

tertulis Presiden ini menambah carut-marut mekanisme penegakan hukum yang

11Revisi UU MD3 Disahkan Sore Ini, Ada Pasal Kontroversial, bersumber dari

www.detik.com, terbitan Senin, 12 Februari 2018 Pukul 16.34 WIB, diakses pada Selasa, 20 Februari

2018 Pukul 10.00 BBWI.

Page 20: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

10

telah ada dan praktis menimbulkan keresahan publik dan menjadi polemik di

Indonesia hari ini.

Selain sarat akan kepentingan politik, dengan timbulnya Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2018 pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-

XVI/2018 ini sebelumnya dinilai ahistoris dan mencederai kaidah pembentukan

peraturan perundang-undangan yang mana pada salah unsur materi muatan suatu

undang-undang yang merupakan tindak lanjut atas putusan Mahkamah

Konstitusi. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2018 ini secara subtantif berkontradiksi dengan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 yang mengaktifkan kembali

persetujuan tertulis Presiden dalam proses pemeriksaan anggota DPR dalam

tahap penyidikan yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan

dengan pelaksanaan tugas anggota DPR. Padahal di lain sisi, izin/persetujuan

tertulis Presiden telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam penyelidikan

dan penyidikan Kepala Daerah sebagaimana ketentuan Pasal 36 Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Sekaligus dalam hal ini, peneliti mencoba menganalisa ketentuan norma

yuridis dalam Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 terkait pemanggilan

dan permintaan keterangan dalam tahap penyidikan anggota DPR yang diduga

melakukan tindak pidana berdasarkan aspek kekuasaan Presiden dalam konsep

negara hukum, serta sinkronisasi dan harmonisasi Pasal 245 Ayat (1) Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2018 pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

16/PUU-XVI/2018 dalam sistem perundang-undangan di Indonesia.

Dalam konteks demokrasi dewasa ini, reformasi kelembagaan parlemen

merupakan bagian penting dalam proses konsolidasi demokrasi dimana institusi-

institusi kenegaraan ditata sedemikian rupa sehingga memenuhi indikator

demokrasi yang ideal. Pelembagaan nilai-nilai demokrasi dalam keseluruhan

mekanisme dan prosedur kerja parlemen. Peraturan perundang-undangan terkait

Page 21: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

11

dengan pengorganisasian dan tata tertib lembaga-lembaga perwakilan, serta

regulasi terkait dengan kehendak mewujudkan parlemen Indonesia sebagai

lembaga perwakilan rakyat yang kredibel, akuntabel, transparan, dan profesional.

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengangkat judul penelitian mengenai,

“Izin Presiden Dalam Penyidikan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI Yang

Diduga Melakukan Tindak Pidana (Menurut Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2018 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-

XVI/2018)”.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan penjabaran yang termaktub pada latar belakang,

maka terdapat identifikasi masalah pada studi ini diantaranya:

a. Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 yang

berpotensi tidak berjalan efektif pada pelaksanaan putusannya mengacu

pada Putusan Mahkamah Kontitusi terdahulu Nomor 76/PUU-XII/2014

terhadap ketentuan norma Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018.

b. Adanya Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018

Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang merupakan hasil dari

Pengesahan Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terkait izin Presiden dalam

tahap penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana

yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas anggota DPR tidak

sesuai dengan prinsip negara hukum, bertentangan asas persamaan di

Page 22: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

12

depan hukum (equality before the law), dan mencederai asas

independensi peradilan (independent judiciary).

c. Implikasi hukum terhadap ketentuan norma Pasal 245 Ayat (1) Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

yang merupakan hasil dari pengesahan Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

terkait izin Presiden dalam tahap penyidikan anggota DPR yang diduga

melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan

tugas anggota DPR berpotensi menghambat proses penyidikan tindak

pidana dalam hal ini bersinggungan dengan asas peradilan cepat,

sederhana, dan biaya ringan.

d. Distorsi pada ketentuan norma Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2018 pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

16/PUU-XVI/2018 dengan peraturan perundang-undangan lainnya, baik

dengan UUD 1945 maupun Undang-Undang terkait, serta ahistoris dan

kontradiksi dengan ketentuan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011.

2. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan identifikasi masalah di atas, maka

peneliti memberi pembatasan masalah yang hanya terfokus pada Pasal 245

Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 mengenai izin/persetujuan tertulis

Presiden dalam tahap penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan

tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas anggota

DPR ditinjau dari aspek kekuasaan Presiden menurut konsep negara hukum,

dan menelaah sinkronisasi dan harmonisasi Pasal 245 Ayat (1) Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2018 pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

Page 23: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

13

16/PUU-XVI/2018 ditinjau menurut sistem peraturan perundang-undangan

di Indonesia.

3. Perumusan Masalah

Adanya Revisi UU MD3 belakangan ini menimbulkan beberapa

polemik di khalayak publik Indonesia. Hal ini membuat peneliti menarik

untuk menyajikan penelitian pada Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD pasca

keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018

mengenai Izin Presiden Dalam Tahap Penyidikan Anggota DPR yang

diduga melakukan tindak pidana yang bertentangan dengan Pasal 27 Ayat

(1) dan Pasal 28 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, serta kontradiktif dengan

prinsip equality before the law, serta berpotensi mencederai independensi

peradilan dalam konsep negara hukum, dan dengan ini, peneliti merumuskan

rumusan masalah ialah sebagai berikut:

a. Bagaimana Izin Presiden dalam tahap penyidikan Anggota DPR RI

yang diduga melakukan tindak pidana menurut Pasal 245 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 ditinjau dari aspek kekuasaan

Presiden dalam konsep negara hukum?

b. Bagaimana sinkronisasi dan harmonisasi Pasal 245 Ayat (1) Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2018 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 16/PUU-XVI/2018 dalam sistem peraturan perundang-

undangan di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas, maka penelitian ini

bertujuan sebagai berikut;

Page 24: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

14

a. Untuk mengetahui izin Presiden dalam tahap penyidikan Anggota

DPR RI sebagaimana ketentuan norma Pasal 245 Ayat (1) Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2018 pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 16/PUU-XVI/2018 ditinjau menurut aspek kekuasaan Presiden

dalam konsep negara hukum menurut konstitusi UUD 1945.

b. Mampu mengupas secara komprehensif terhadap substansi, implikasi

hukum, dan sinkronisasi, serta harmonisasi ketentuan Pasal 245 Ayat

(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR,

DPD, dan DPRD pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

16/PUU-XVI/2018 dalam sistem peraturan perundang-undangan di

Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

a. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan disiplin

ilmu hukum, khususnya hukum tata negara, khususnya terkait dengan

penerapan teori-teori hukum berkenaan dengan “Izin Presiden Dalam

Penyidikan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Yang Diduga Melakukan Tindak Pidana Menurut Analisa Yuridis

Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014

tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018”.

b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan membawa manfaat

diharapkan dapat memberikan suatu masukan bagi para pegiat hukum

dan demokrasi, baik itu akademisi, praktisi, maupun pihak lain yang

terkait, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat RI dan Presiden. Dengan

demikian, maka diharapkan dapat memberikan solusi berupa pendapat

hukum mengenai diskursus ini secara nyata yang nantinya dapat

Page 25: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

15

dijadikan sumber referensi dalam kebutuhan akademis maupun praktis

bagi siapapun yang hendak mendalami kajian hukum tata negara.

D. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif yang tidak

membutuhkan populasi dan sampel, karena jenis penelitian ini menekankan

pada aspek pemahaman suatu norma hukum yang terdapat di dalam

perundang-undangan, serta norma-norma yang hidup dan berkembang di

masyarakat. Penelitian kualitatif menggunakan lingkungan yang menjadi

penelitiannya sebagai sumber data.12

Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang memiliki metode

yang berbeda dengan penelitian yang lainnya. Metode penelitian hukum

merupakan suatu cara yang sistematis dalam melakukan sebuah penelitian.13

Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum

sebagai sebuah bangunan sistem norma hukum.

Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma,

kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanijian,

serta doktrin (ajaran).14

Dalam penelitian hukum normatif mencakup

penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum,

penilitan terhadap sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan

penelitian perbandingan hukum.

12 Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2005),

h. 46

13 Abdulkadir Muhamad, Hukum Dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,

2004), h. 57

14 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:

Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 31

Page 26: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

16

Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian

doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis

hukum, baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the

book), maupun berupa putusan hakim melalui proses pengadilan (law it is

decided by the judge through judicial process).15

Penelitian hukum

normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan

pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.16

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan masalah dalam skripsi ini, dengan jenis penelitian yang

digunakan adalah yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah

pendekatan perundang-undangan (statutory approach)17

yang terdiri atas;

UUD NRI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang

MPR, DPR, DPD, dan DPRD, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Hukum Acara Pidana, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pendekatan

perundang-undangan (statutory approach) ini, diterapkan guna memahami

bagaimana sinkronisasi dan harmonisasi antara putusan Mahkamah

Konstitusi dengan suatu produk undang-undang dapat berkesinambungan

dan koheren dengan kaidah ilmu perundang-undangan.

3. Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data

sekunder. Data sekunder dalam penelitian hukum adalah data yang diperoleh

15 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana,

2006), h. 118

16 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2003), h. 3

17 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2005), h. 136

Page 27: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

17

dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai

literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi

penelitian yang sering disebut bahan hukum.18

Bahan hukum yang

digunakan dalam penelitian ini terdapat 3 jenis, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencakup

ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan

mempunyai kekuasaan hukum yang mengikat.19

Bahan hukum yang

digunakan penulis merupakan bahan hukum primer yang digunakan

dalam penelitian ini adalah:

1). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/1978

Tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Negara Lembaga

Tertinggi Negara Dengan/Atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi

Negara;

3). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011;

4). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014;

5). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018;

6). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan;

7). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR,

DPD, dan DPRD;

8). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara

Pidana;

18 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan

Empiris, (Jakarta: Pustaka Pelajar 2010), h. 156

19 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1981), h. 52

Page 28: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

18

9). Untuk buku-buku yang dijadikan bahan buku primer telah

terlampir dalam Daftar Pustaka.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh

dari penelusuran buku-buku dan artikel-artikel20

yang berkaitan

dengan penelitian ini guna memberikan penjelasan mendalam

mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang

digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah buku-buku, skripsi,

tesis dan disertasi, serta artikel ilmiah dan tulisan di internet untuk

memperkaya sumber data dalam penulisan penelitian ini.

c. Bahan Non-Hukum

Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan

bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder,21

seperti

Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ensiklopedia dan

lain-lain.

4. Teknik Analisis Bahan Hukum

Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, maupun bahan non-hukum yang diuraikan dan dihubungkan

sedemikian rupa sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih

tersistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.

Selanjutnya, setelah bahan hukum diolah, kemudian dilakukan analisis

terhadap bahan hukum tersebut, yang pada akhirnya akan diketahui

bagaimana izin Presiden dalam tahap penyidikan anggota DPR yang diduga

melakukan tindak pidana menurut Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2018 pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-

20 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,… h. 52

21 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,… h. 52

Page 29: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

19

XVI/2018 ditinjau menurut aspek kekuasaan Presiden dalam konsep negara

hukum, serta bagaimana sinkronisasi dan harmonisasi ketentuan norma Pasal

245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 dalam sistem peraturan

perundang-undangan di Indonesia.

5. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan penulis dalam skripsi

ini disesuaikan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku “Pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017”.

E. Sistematika Penelitian

Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi

dalam bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berkorelasi yang

menjadi objek masalah untuk diteliti. Adapun sistematika penulisan skripsi ini

ialah sebagai berikut:

BAB-I: Bab ini memuat pendahuluan yang menguraikan latar

belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan

dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, metode penelitian, dan sistematika

penelitian.

BAB-II: Bab ini menguraikan dua pokok pembahasan yang

mendukung penulisan skripsi ini, diantaranya meliputi

kerangka konseptual yang mengulas secara rinci

mengenai konsep yang menjadi acuan dalam penulisan

skripsi ini dan membahas kerangka teoritis terkait teori-

teori yang relevan dengan pembahasan yang tertuang

dalam penelitian ini, serta mengulas tinjauan (review)

Page 30: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

20

kajian terdahulu guna menghindari kesamaan terhadap

materi muatan dalam pembahasan dalam penelitian

skripsi ini dengan apa yang ditulis oleh peneliti/pihak

lain.

BAB-III: Bab ini akan menguraikan mengenai Sistem

Pemerintahan, tinjauan umum mengenai kedudukan,

wewenang, tugas dan fungsi Presiden, Dewan

Perwakilan Rakyat menurut konstitusi UUD 1945.

Kemudian diuraikan pula mengenai Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018.

BAB-IV: Bab ini menguraikan tentang analisis terhadap

konstitusionalitas izin Presiden dalam tahap penyidikan

anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana

menurut Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2018 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 16/PUU-XVI/2018 ditinjau dari aspek

kekuasaan Presiden dalam konsep negara hukum dan

analisa terhadap sinkronisasi dan harmonisasi Pasal 245

Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-

XVI/2018 dalam sistem peraturan perundang-undangan

di Indonesia.

BAB-V: Bab ini merupakan penutup yang memuat kesimpulan

dari penelitian ini untuk menjawab perumusan

masalah, serta memberikan rekomendasi yang dianggap

perlu.

Page 31: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

21

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual adalah penggambaran antara konsep-konsep khusus

yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan dengan istilah yang akan

diteliti dan/atau diuraikan dalam karya ilmiah.1 Berkenaan dengan uraian diatas,

maka untuk memudahkan peneliti memahami pelbagai istilah yang tertuang

dalam pembahasan penelitian ini telah peneliti susun beberapa kerangka

konseptual dalam penelitian ini yakni sebagai berikut.

1. Izin

Kata izin, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia2, Izin adalah

pernyataan mengabulkan (tiada melarang dsb.); persetujuan membolehkan.

Sedangkan menurut E. Utrecht berpendapat, bahwa bilamana pembuat

peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga

memperkenankannya asal saja diadakan dengan cara yang ditentukan untuk

masing-masing hal konkret, maka perbuatan administrasi negara yang

memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning). Izin

(vergunning) adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan Undang-

Undang atau Peraturan Pemerintah untuk dalam keadaan tertentu

menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundang-

undangan.3

1 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,… h. 132

2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Gramedia, 1989), h. 341

3 Adrian Sutedi, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, (Jakarta: Sinar Grafika,

2011), h. 167-168

Page 32: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

22

Izin merupakan salah satu instrumen yang paling banyak digunakan

dalam hukum administrasi. Pemerintahan menggunakan izin sebagai sarana

yuridis untuk mengemudikan tingkah laku para warga. Izin juga diartikan

sebagai suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau

peraturan pemerintah sekalipun dalam keadaan tertentu menyimpang dari

ketentuan-ketentuan larangan aturan perundang-undangan.

Dengan memberikan izin/persetujuan tertulis, penguasa

memperkenankan orang yang memohonkannya untuk melakukan tindakan-

tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang, maka hal ini menyangkut

perkenan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan

pengawasan khusus atasnya.4 Di samping itu, izin juga dapat diartikan,

apabila pembuat peraturan, secara umum tidak melarang sesuatu perbuatan,

asal saja dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Selanjutnya izin juga bermaksud, bilamana pembuat peraturan

melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya, asal saja

diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal yang konkret,

maka perbuatan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan

tersebut bersifat suatu izin.5 Pada umumnya sistem perizinan terdiri atas

larangan, persetujuan yang merupakan dasar pengecualian (izin) dan

ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan izin.

Dalam penelitian ini, izin yang dimaksud di sini merupakan izin atau

yang menurut frasa perundang-undangan yakni persetujuan tertulis

merupakan suatu legitimasi atas suatu aturan/ketentuan yang sejatinya

dilarang ataupun memang sebagai suatu prosedural dalam penetapan aturan

4 N.M.Spelt dan J.BJ.M.Ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan, (Surabaya: Yuridika, 1992),

h. 3

5 Rachman Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2001), h. 80

Page 33: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

23

tertentu, karena belum diatur sebelumnya secara mengikat oleh suatu aturan

konstitusi maupun produk hukum perundang-undangan.

2. Presiden

Lembaga eksekutif merupakan salah satu cabang kekuasaan dalam

negara yang dalam pandangan Montesquieu dalam bukunya L‟espirit des

Lois (1748) (oleh Immanuel Kant dipopulerkan dengan sebutan Trias

Politica) merupakan cabang kekuasaan yang memiliki fungsi melaksanakan

Undang-Undang Pemerintahan.6 Lembaga eksekutif yang lazim disebut

dengan pemerintah (government). Namun demikian, kita perlu berhati-hati

dalam menggunakan istilah pemerintah karena dalam tradisi Amerika

Serikat ternyata Pemerintah digunakan untuk memberikan gambaran

mengenai semua cabang pemerintahan yakni: eksekutif, legislatif, dan

yudikatif. Sementara dalam tradisi Inggris, Eropa pada umumnya dan di

negara Asia maupun Afrika, perkataan pemerintah diartikan sebagai kabinet

saja, yaitu para menteri dan departemen-departemen atau kantor

kementerian.

Perihal tugas eksekutif, Stephen Leacock mengemukakan bahwa

kekuasaan eksekutif itu adalah mengenai pelaksanaan Undang-Undang.

Eksekutif menyelenggarakan kemauan rakyat sebagai perwujudan dari

negara demokrasi. Kemauan negara dituangkan oleh pembentuk Undang-

Undang (Kekuasaan Legislatif) ke dalam Undang-Undang yang telah

ditetapkan oleh legislatif.7

W. Ansley Wynes menyebutkan tugas-tugas dari eksekutif adalah

melaksanakan Undang-Undang, menyelenggarakan urusan pemerintahan

6 Sirajuddin, Fatkhurohman, Zulkarnain, Legislative Drafting: Pelembagaan Metode

Partisipatif Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, (Malang: Setara Press, 2015), h.

123

7 Kotan Y. Stefanus, Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan Negara, (Yogyakarta: Univ.

Atmajaya, 1998), h. 38

Page 34: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

24

dan mempertahankan tata tertib dan keamanan baik di dalam negeri maupun

di luar negeri. Namun demikian, Jimly Asshiddiqie8 mencatat bahwa dalam

hampir semua sistem yang ada sekarang pihak eksekutif telah menjadi

cabang kekuasaan yang lebih dominan pengaruh dan perannya sebagai

sumber inisiatif pembentukan peraturan perundang-undangan. Padahal pada

saat yang sama, eksekutif juga memegang kendali utama dalam rangka

pelaksanaan peraturan. Anggota parlemen dimana-mana biasanya hanya

memodifikasi rancangan peraturan yang berasal dari Pemerintah, jarang

mengajukan inisiatif sendiri.

Berbicara eksekutif, maka kita lazim mengenalnya dalam konteks

ketatanegaraan di Indonesia yakni Presiden. Menurut tata bahasa, kata

“Presiden” adalah derivative dari to preside (verbum) yang artinya

memimpin atau tampil di depan. Jika dicermati dari bahasa latin, yaitu prae

yang berarti depan dan sedere yang berarti menduduki.9 Presiden adalah

suatu nama jabatan yang digunakan untuk pimpinan suatu organisasi,10

perusahaan,11

perguruan tinggi,12

atau negara. Pada awalnya, istilah ini

digunakan untuk seseorang yang memimpin suatu acara atau rapat (ketua);

kemudian secara umum berkembang menjadi istilah untuk seseorang yang

memiliki kekuasaan eksekutif. Lebih spesifiknya, istilah “Presiden” terutama

8 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Konstitusi

Press, 2005), h. 44

9 Harun Alrasid, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,

1999), h. 24

10 Semisal Shohibul Iman yang menjadi Presiden Partai Keadilan Sejahtera.

11 Sampai sekarang banyak perusahaan yang memberi nama jabatan tertingginya dengan

Presiden Direktur.

12 Pada awal kemerdekaan hampir semua pimpinan perguruan tinggi disebut dengan

Presiden.Namun sekarang sebutan tersebut diganti dengan Rektor.

Page 35: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

25

digunakan untuk Kepala Negara bagi negara yang berbentuk republik, baik

dipilih secara langsung, ataupun tidak langsung.13

Sejarah mencatat, untuk pertama kalinya di dunia, jabatan Presiden di

Eropa berasal dari negara Perancis yang dibentuk pada era Republik Kedua

Perancis (1848-1851). Ketika itu yang menjabat sebagai Presiden adalah

Louis-Napoleon Bonaparte. Namun, setahun kemudian diubah statusnya

menjadi Kaisar Napoleon III (1852) yang terus memerintah hingga Perancis

ditaklukkan oleh Jerman (1870). Jabatan Presiden baru kembali muncul pada

era Republik Ketiga Perancis (1875-1940).14

Namun, Presiden pertama yang diakui oleh masyarakat Internasional

adalah Presiden Amerika Serikat, sewaktu revolusi Amerika, yaitu George

Washington yang menjabat pada April 1789 sampai 3 Maret 1797. Di

Jerman, jabatan Presiden baru muncul setelah selesainya Perang Dunia I

(1918), yaitu dengan berlakunya konstitusi Weimar. Pada waktu Hitler

berkuasa (1934-1945), jabatan Presiden hilang.Jabatan Presiden kembali

muncul di Jerman setelah Perang Dunia II.15

Sementara di Asia, jabatan Presiden “ditularkan” oleh Amerika

Serikat ketika memberikan kemerdekaan yang terbatas kepada Filipina pada

1935. sedangkan di Afrika, Presiden Liberia yang hadir pada 1848 adalah

presiden pertama yang diakui dunia internasional.16

Menurut A. Hamid S.

Attamimi, kata “Presiden” di Indonesia adalah gelar bagi Kepala Negara.

13 “Presiden” www://www.presiden-wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa

Indonesia. Diakses tanggal 31 Agustus 2018 sekitar pukul 14.00 BBWI.

14 Harun Alrasid, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden,… h. 25

15 Harun Alrasid, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden,… h. 25

16 Denny Indrayana, “Mendesain Presidensial yang Efektif; Bukan “Presiden Sial‟ Atau

„Presiden Sialan’”, (Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari Memperkuat Sistem Pemerintahan

Presidensial, Jakarta, 13 Desember 2006), h. 4

Page 36: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

26

Selain itu, Presiden juga sebagai Kepala Pemerintahan.17

Posisi Presiden

sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan secara otomatis didapatkan

oleh seorang Presiden di negara yang menganut sistem pemerintahan

presidensial seperti Amerika Serikat dan Indonesia.18

Presiden merupakan pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dalam

sistem ketatanegaraan Indonesia. UUD 1945 sebelum perubahan

menempatkan seluruh elemen kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif)

pemerintahan berada dalam kendali Presiden. Pengaturan yang demikian

menjadikan kekuasaan Presiden eksekutif sangat kuat (executive heavy).

Namun, pasca amandemen UUD 1945 telah merubah struktur maupun

sistem ketatanegaraan RI yang lebih proporsional dengan menempatkan

lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif setara. Secara konstitutif, Presiden

RI sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan, namun secara

kewenangan, fungsi maupun kedudukan tidak sedominan dahulu ketika era

sebelum reformasi.

3. Penyidikan

Istilah “penyidikan” memiliki persamaan arti dengan “pengusutan”,

yang merupakan terjemahan dari istilah Belanda “opsporing” atau yang

dalam bahasa Inggrisnya “investigation”. Istilah penyidikan pertama-tama

digunakan sebagai istilah yuridis dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun

17 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam

Penyelenggaraan Negara, (Jakarta: Fakultas Hukum Pascasarjana UI, 1990), h. 139-140

18 Sistem Presidensial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut; pertama Presiden adalah kepala

negara. Kedua, Presiden tidak dipilih oleh Parlemen, tetapi langsung dipilih oleh rakyat (popular

elected). Ketiga, Presiden bukan bagian dari parlemen, dan tidak dapat diberhentikan oleh parlemen,

kecuali melalui proses pemakzulan (impeachment), dan keempat, Presiden tidak dapat membubarkan

parlemen. Denny Indrayana, “Mendesain Presidensial yang Efektif; Bukan “Presiden Sial‟ Atawa

„Presiden Sialan’”, (Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari Memperkuat Sistem Pemerintahan

Presidensial, Jakarta, 13 Desember 2006), h. 5

Page 37: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

27

1961 tentang Ketentuan Pokok Kepolisian Negara.19

Kini, dengan adanya

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah tercipta

persamaan persepsi diantara para Sarjana Hukum tentang pengertian

penyidikan.

Penyidikan dalam Pasal 1 Ayat (2) KUHAP adalah serangkaian

tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-

Undang ini untuk mencari, serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu

membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan

tersangkanya.

Berdasarkan rumusan Pasal 1 Butir 2 KUHAP, unsur-unsur yang

terkandung dalam pengertian penyidikan adalah:

1. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung

tindakan-tindakan yang antara satu dengan yang lain saling

berhubungan;

2. Penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik;

3. Penyidikan dilakukan dengan berdasarkan peraturan perundang-

undangan.

4. Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang

dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi, dan

menemukan tersangkanya.

Berdasarkan keempat unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa

sebelum dilakukan penyidikan, telah diketahui adanya tindak pidana tetapi

tindak pidana itu belum terang dan belum diketahui siapa yang

19 Djoko Prakoso, POLRI Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, Cet. 1, (Jakarta: Bina

Aksara, 1987), h. 5

Page 38: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

28

melakukannya.Adanya tindak pidana yang belum terang itu diketahui dari

penyelidikannya.20

Secara konkret penyidikan dapat didefinisikan secara rinci sebagai

tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mendapatkan keterangan

tentang:21

1. Tindak pidana yang telah dilakukan; 2. Kapan tindak pidana

itu dilakukan; 3. Dimana tindak pidana itu dilakukan; 4. Dengan apa

tindak pidana itu dilakukan; 5. Bagaimana tindak pidana itu dilakukan; 6.

Mengapa tindak pidana itu dilakukan; dan 7. Siapa pembuatnya atau yang

melakukan tindak pidana itu.

4. Dewan Perwakilan Rakyat

Berbicara tentang Dewan Perwakilan Rakyat, maka tidak luput

dari tiga istilah yang melekat padanya, yakni perwakilan rakyat, parlemen,

dan legislatif. Diawali pada pemikiran J.J. Rousseau yang berkeinginan

untuk tetap berlanjutnya demokrasi langsung (direct democracy)

sebagaimana pelaksanaan yang berlaku pada zaman Yunani Kuno.Namun

pada kenyataannya sulit untuk dapat dipertahankan lagi. Faktor-faktor

seperti luasnya wilayah suatu negara, populasi penduduk yang sangat

cepat, makin sulit, dan rumitnya penanganan terhadap masalah politik dan

kenegaraan adalah merupakan persoalan yang menjadi kendala untuk

melaksanakan demokrasi langsung kala itu. Demokrasi langsung yang

diinginkan Rousseau hanya dapat dipertahankan dalam bentuk khusus dan

terbatas seperti referendum, plebisit, dan sebagainya. Dalam negara

20 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, (Malang:

Bayumedia Publishing, April 2005), h. 380-381

21 Djoko Prakoso, POLRI Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum,… h. 7

Page 39: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

29

modern saat ini, rakyat menyelenggarakan kedaulatan yang dimilikinya

melalui wakil-wakil yang dipilihnya secara berkala.22

Sebagai alternatif dari gagasan dan Rousseau ini lahirlah

demokrasi tidak langsung (indirect democracy) yang disalurkan melalui

lembaga perwakilan yang dikenal sebagai parlemen. Perwakilan

(representation) yang dikenal saat ini ialah perwakilan yang bersifat

politik (political representation),23

yaitu perwakilan rakyat melalui partai

politik yang memiliki kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan

bertindak atas nama orang yang memiliki partai tersebut.

Sekalipun asas perwakilan politik telah menjadi umum, akan tetapi

ada beberapa kalangan yang merasa bahwa partai dan perwakilan yang

berdasarkan kesatuan-kesatuan politik semata-mata dengan mengabaikan

kepentingan-kepentingan dan kekuatan-kekuatan lain yang ada di dalam

masyarakat. Beberapa negara telah mencoba untuk mengatasi persoalan

ini dengan mengikutsertakan wakil dari golongan-golongan yang

dianggap memerlukan perlindungan khusus, biasanya perwakilan ini

digunakan untuk perwakilan wilayah, golongan fungsional dan minoritas

atau apapun tujuan dan namanya disesuaikan dengan kebutuhan dan

kondisi suatu negara untuk perwakilan ini. Dan biasanya perwakilan ini

dibentuk sebagai koreksi asas perwakilan politik.

Menurut Jellinek, timbulnya konstruksi perwakilan disebabkan

oleh tiga faktor yaitu sebagai berikut:

1. Pengaruh berkembangnya hukum perdata Romawi di abad menengah

yang menyebabkan timbulnya sistem perwakilan.

22 Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer Dan Demokrasi

Pancasila, (Jakarta: Gramedia Utama, 1994), h. 174

.

23 Makmur Amir, SH., MH., Reni Dwi Purnomowati, S.H., M.H., Lembaga Perwakilan

Rakyat, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), h. 10.

Page 40: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

30

2. Adanya sifat dualistis pada abad menengah yaitu adanya hak raja dan

hak rakyat. Hal ini mengakibatkan timbulnya perwakilan untuk

mencerminkan hak rakyat.

3. Pada abad menengah, meskipun tuan-tuan tanah itu merupakan pusat

kekuasaan, sebenarnya pusat kekuasaan itu tidak ada. Masalahnya

kekuasaan pada masa itu merupakan hal yang diperebutkan antar para

tuan tanah.24

Menurut Maurice Duverger, parlemen semakin penting karena

mau tidak mau demi meluluskan secara permanen pemungutan pajak oleh

pemerintah sehingga Raja terpaksa memanggilnya bersidang, apabila

setiap kali ada urusan dalam masalah keuangan, karenanya maka cerdik

parlemen dapat memperluas pengaruh dan jangkauan kekuasaannya

sebagai badan legislatif, yakni dengan merebut kekuasaan keuangan untuk

dijadikan kebiasaan untuk mengajukan kepada raja petisi-petisi (bill)

sebelum ia meluluskan suatu bantuan/subsidi. Dengan demikian House of

Commons (Parlemen Inggris) telah memiliki alat pemaksa dan penekan

yang tepat terhadap raja.

Dalam pemerintahan modern saat ini, parlemen sebagai lembaga

perwakilan memiliki fungsi legislatif telah berkembang seiring dengan

perkembangan demokrasi. Dengan adanya pemisahan atau pembagian

fungsi pemerintah dalam fungsi yaitu fungsi legislatif, fungsi eksekutif,

dan fungsi yudikatif, maka parlemen lah yang biasanya diberikan fungsi

legislatif, walaupun Rancangan Undang-Undang biasanya lebih banyak

datang dari pihak eksekutif.

Legislatur, parlemen, atau lembaga perwakilan rakyat merupakan

bagian dalam suatu pemerintahan yang bertugas membuat suatu peraturan

hukum yang sejauh ini hukum diterima sebagai pernyataan pelaksanaan.

24 Padmo Wahjono, S.H., Kuliah-Kuliah Ilmu Negara, (Jakarta: Ind-Hill. Co,1996), h. 186

Page 41: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

31

Di Indonesia parlemen bernama Dewan Perwakilan Rakyat yang memiliki

tiga fungsi pokok sebagaimana yang diamanatkan konstitusi UUD NRI

1945, yakni pengawasan, legislasi, dan anggaran.

Pengawasan yang bebas dan merdeka pada zaman modern

dianggap jauh lebih penting dibandingkan dengan fungsi legislasi.

Pergeseran fungsi parlemen demikian sejalan dengan pendapat Harold J.

Laski25

yang menyatakan: “the function of parliamentary is not to

legislate; it is native to expect that 615 man and woman can hope to

arrive at a coherent policy”. Menurut pendapatnya fungsi parlemen yang

penting adalah justru untuk menyalurkan keluhan kebutuhan dan

kepentingan masyarakat, dan membahas prinsip-prinsip yang perlu

dijadikan pegangan bagi pemerintah dalam melaksanakan tugas. Parlemen

tidak didirikan untuk mengatur, juga tidak untuk menyusun dan

merumuskan suatu kebijakan, tetapi untuk mengawasi pelaksanaan aturan

dan kebijakan itulah yang lebih penting.

5. Tindak Pidana

Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana dikenal dengan istilah strafbaar feit dan dalam kepustakaan

tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan

pembuat Undang-Undang merumuskan suatu Undang-Undang

mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak

pidana.

Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu

pengertian dasar dalam ilmu hukum sebagai istilah yang dibentuk dengan

kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana.

Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-

25 Pendapat Laski dikutip dari Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar

Demokrasi,… h. 54

Page 42: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

32

peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana sehingga tindak

pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan

jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari

dalam kehidupan masyarakat.26

Menurut Pompe, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang

Poernomo, pengertian strafbaar feit dibedakan menjadi:27

a. Definisi

menurut teori memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu

pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si

pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum

dan menyelamatkan kesejahteraan umum; b. Definisi menurut hukum

positif, merumuskan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kejadiaan

(feit) yang oleh peraturan perundangundangan dirumuskan sebagai

perbuatan yang dapat dihukum. Tindak pidana menurut Prof. Moeljatno

yaitu “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana

disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa

melanggar larangan tersebut.28

Menurut E.Utrecht,29

pengertian tindak pidana dengan istilah

peristiwa pidana yang sering juga disebut delik, karena peristiwa itu suatu

perbuatan (handelen atau doen positif) atau suatu melalaikan

(natalennegatif), maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena

perbuatan atau melalaikan itu). Tindak pidana merupakan suatu pengertian

dasar dalam hukum pidana, tindak pidana adalah pengertian yuridis, lain

26 Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, h. 62

27 http://gsihaloho.blogspot.co.id, diakses pada tanggal 30 Agustus 2018 pukul 17.35 BBWI,

h. 43

28http://www.hukumsumberhukum.com/2014/06/apa-itu-pengertian-tindak-pidana.html,

diakses tanggal 1 September 2018 pukul 16.25 BBWI.

29 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Jakarta,

1997, h. 193

Page 43: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

33

halnya dengan istilah perbuatan atau kejahatan yang diartikan secara

yuridis atau secara kriminologis.

Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran

dan kejahatan terhadap kepentingan umum. Pelanggaran dan kejahatan

tersebut diancam dengan hukuman yang merupakan penderitaan atau

siksaan bagi yang bersangkutan. Pelanggaran sendiri mempunyai artian

sebagai suatu perbuatan pidana yang ringan dan ancaman hukumannya

berupa denda atau kurungan, sedangkan kejahatan adalah perbuatan

pidana yang berat. Ancaman hukumannya berupa hukuman denda,

hukuman penjara, hukuman mati, dan kadangkala masih ditambah dengan

hukuman penyitaan barang-barang tertentu, pencabutan hak tertentu, serta

pengumuman keputusan hakim.30

Perbuatan pidana dibedakan menjadi

beberapa macam, yaitu sebagai berikut:31

1. Perbuatan pidana (delik) formil, adalah suatu perbuatan pidana

yang sudah dilakukan dan perbuatan itu benar-benar melanggar

ketentuan yang dirumuskan dalam pasal undang-undang yang

bersangkutan. Contoh: Pencurian adalah perbuatan yang sesuai

dengan rumusan Pasal 362 KUHP, yaitu mengambil barang milik

orang lain dengan maksud hendak memiliki barang itu dengan

melawan hukum.

2. Perbuatan pidana (delik) materiil, adalah suatu perbuatan pidana

yang dilarang, yaitu akibat yang timbul dari perbuatan itu. Contoh:

pembunuhan. Dalam kasus pembunuhan yang dianggap sebagai

delik adalah matinya seseorang yang merupakan akibat dari

perbuatan seseorang.

30 Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika),

2004, h. 60

31 Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia,… h. 63

Page 44: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

34

3. Perbuatan pidana (delik) dolus, adalah suatu perbuatan pidana

yang dilakukan dengan sengaja. Contoh: pembunuhan berencana

(Pasal 338 KUHP) .

4. Perbuatan pidana (delik) culpa, adalah suatu perbuatan pidana

yang tidak sengaja, karena kealpaannya mengakibatkan luka atau

matinya seseorang. Contoh: Pasal 359 KUHP tentang kelalaian

atau kealpaan.

5. Delik aduan, adalah suatu perbuatan pidana yang memerlukan

pengaduan orang lain. Jadi, sebelum ada pengaduan belum

merupakan delik. Contoh: Pasal 284 mengenai perzinaan atau

Pasal 310 mengenai Penghinaan.

6. Delik politik, adalah delik atau perbuatan pidana yang ditujukan

kepada keamanan negara, baik secara langsung maupun tidak

langsung. Contoh: Pasal 107 mengenai pemberontakan akan

penggulingan pemerintahan yang sah.

B. Kerangka Teori

Secara terminologi, teori diartikan sebagai suatu skema gagasan yang

dianggap sebagai penjelasan atau keterangan dari kelompok fakta maupun

fenomena yang tersusun secara sistematis dan ilmiah untuk dapat memetakan

suatu pengetahuan mengenai sebuah objek kajian. Guna memudahkan pembaca

dalam menelaah atau mengkaji judul penelitian ini, maka peneliti mencoba

menyajikan beberapa kerangka teori yang relevan dengan judul penelitian yang

diangkat oleh peneliti, yakni antara lain:

1. Teori Kekuasaan

Alat atau sarana yang dipergunakan oleh pemerintah dalam

melaksanakan tugas administrasinya disebut dengan instrumen

Page 45: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

35

pemerintahan.32

Instrumen pemerintahan merupakan bagian dari instrumen

penyelenggaraan negara secara umum (pemerintahan dalam arti luas). Pada

dasarnya, pelaksanaan tugas penyelenggaraan negara di Indonesia paling

tidak dilakukan oleh tiga elemen organ lembaga negara, yaitu eksekutif,

legislatif, dan yudikatif.

Banyak teori yang mencoba menjelaskan darimana kekuasaan

berasal. Menurut teori teokrasi, asal atau sumber kekuasaan adalah

bersumber dari Tuhan. Teori ini berkembang pada zaman abad pertengahan

yaitu dari sejak abad V sampai pada abad XV. Penganut teori ini adalah

Agustinus, Aquinas dan Marsilius.

Sementara itu, menurut teori hukum alam bahwa kekuasaan itu

berasal dari rakyat. Pendapat seperti itu dimulai dari aliran monarkomaken

yang dipelopori oleh Johannes Althusius yang mengatakan kekuasaan itu

berasal dari rakyat dan asal kekuasaan yang ada pada rakyat tersebut tidak

lagi dianggap dari Tuhan, melainkan dari alam kodrat. Kemudian

kekuasaan yang ada pada rakyat ini diserahkan kepada seseorang yang

disebut raja untuk menyelenggarakan kepentingan masyarakat.

Berkaitan dengan penyerahan tersebut, dalam teori hukum alam

ada perbedaan pendapat, menurut J.J. Rousseau yang mengatakan bahwa

kekuasaan tersebut ada pada masyarakat, kemudian melalui perjanjian

kekuasaan tersebut diserahkan kepada raja. Mekanisme penyerahan

kekuasaan tersebut dimulai dari penyerahan masing-masing orang kepada

masyarakat sebagai suatu kesatuan. Lalu melalui perjanjian antar

masyarakat, kekuasaan tersebut diserahkan kepada raja, penyerahan

32 Negara merupakan suatu organisasi, dimana organisasi pemerintah termasuk di dalamnya

yang sangat besar dan sangat pelik susunannya menurut hukum publik (hukum tata negara), yang

terdiri dari berbagai lembaga hukum publik dan nama-nama lainnya yang dijumpai seperti badan,

instansi, jabatan, daerah dan lain sebagainya. Lembaga hukum publik yang besar di antaranya adalah

negara, lembaga negara, departemen/lembaga negara non departemen, provinsi, kabupaten/kota, lihat

Indroharto, Peradilan Tata Usaha Negara Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha

Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004), h. 65

Page 46: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

36

kekuasaan disini sifatnya bertingkat. Sedangkan menurut Thomas Hobbes,

penyerahan kekuasaan tersebut dilakukan langsung dari masing-masing

orang kemudian diserahkan secara langsung kepada raja melalui perjanjian

yang dilakukan bersama masyarakat.

Menurut Montesquieu (1688-1755), kekuasaan negara terdiri atas

3 cabang kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif (kekuasaan untuk membuat

Undang-Undang), cabang kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk

melaksanakan undang-undang), dan cabang kekuasaan yudikatif

(kekuasaan untuk mengadili pelanggaran Undang-Undang). Kekuasaan itu

meliputi fungsi, yaitu serangkaian kegiatan yang harus dilakukan dan organ

atau badan yang melaksanakan kegiatan tersebut. Dalam teorinya tersebut,

Montesquieu menyatakan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan

(abuse of power), ketiga cabang kekuasaan itu tidak boleh bertumpu pada

satu tangan, tetapi harus dipisahkan satu dengan yang lainnya (separation

of power), dengan kata lain setiap fungsi kekuasaan harus dijalankan oleh

organ yang berbeda.33

Dalam teori klasiknya mengenai fungsi kekuasaan ini,

Montesquieu mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan negara itu

dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara yang mana satu

organ hanya boleh menjalankan satu fungsi (functie), dan tidak boleh

mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Jika tidak

demikian, maka kebebasan akan terancam.

Konsepsi yang kemudian disebut dengan Trias Politica tersebut

tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi

mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara

eksekutif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut.

Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang

33 Achmad Roestandi, Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 105

Page 47: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

37

kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan dan bahkan

ketiganya setara dalam kedudukan dan saling mengontrol satu sama lain

sesuai dengan prinsip checks and balances.34

Masing-masing cabang kekuasaan tersebut dalam menjalankan

fungsinya pasti mengeluarkan suatu kebijakan (policy) dalam suatu bentuk

tatanan hukum. Kebijakan tersebut, tentunya sangat tergantung dari

perkembangan dan perubahan sosial yang menghendaki hadirnya suatu

tatanan hukum yang mampu mewujudkan tujuan-tujuan yang dikehendaki

masyarakat. Oleh karena itu, agar fungsi cita hukum dapat mengakomodasi

semua aspirasi rakyat, maka dalam penyusunan peraturan perundang-

undangan yang bersifat demokratis harus merepresentasikan peran hukum

sebagai alat untuk mendinamisasikan masyarakat. Dengan demikian, cita

hukum yang berisi patokan nilai harus mewarnai setiap produk peraturan

perundang-undangan sehingga terwujud tatanan hukum yang demokratis.

2. Teori Negara Hukum

Pemikiran negara hukum dimulai sejak Plato dengan konsepnya,

bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada

pengaturan (hukum) yang baik disebut dengan istilah nomoi. Kemudian ide

tentang negara hukum populer pada abad ke-17 sebagai akibat dari situasi

politik di Eropa yang didominasi oleh absolutisme.35

Konsep negara hukum tersebut, selanjutnya berkembang dalam dua

sistem hukum, yaitu sistem European Continental dengan istilah

Rechtsstaat dan sistem Anglo-Saxon, seperti Amerika Serikat. Konsep

34 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,

(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 9-11

35 Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, Dan Asas-Asas Umum

Pemerintahan Yang Baik, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), h. 10

Page 48: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

38

negara hukum European ContinentalRechtsstaat dipelopori oleh Immanuel

Kant dan Frederich Julius Stahl. Menurut Stahl, konsep ini ditandai oleh

empat unsur pokok: 1) pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi

manusia; 2) negara didasarkan pada teori trias politica; 3) pemerintahan

diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bertuur); dan 4)

ada peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus

perbuatan melanggar hukum oleh Pemerintah (onrechtmatige

overheidsdaad).36

Adapun konsep negara hukum Anglo-Saxon, Rule of Law dipelopori

oleh A.V. Dicey (Inggris). Menurut A.V. Dicey, konsep rule of law ini

menekankan pada tiga tolak ukur: 1) supremasi hukum (supremacy of law);

2) persamaan di hadapan hukum (equality before the law) ; 3) konstitusi

yang didasarkan atas hak-hak perseorangan (the constitution based on

individual rights). Berdasarkan pandangan para pakar tersebut, maka

negara hukum hakikatnya adalah negara yang menolak melepaskan

kekuasaan tanpa kendali. Negara yang pola kehidupannya berdasarkan

hukum yang adil dan demokratis. Kekuasaan negara di dalamnya harus

tunduk pada aturan main.

Menyoal konsep negara hukum di Indonesia menurut pendapat

Gary F. Bell dalam bukunya “The New Indonesian Laws Relating to

Regional Autonomy Good Intentions, Confusing Laws” seperti dikutip

Denny Indrayana: sebagai terminologi negara hukum (a nation of law)

dalam konteks hukum Indonesia lebih mendekati konsep hukum negara

kontinental (rechtstaat) dibandingkan konsep rule of law di negara-negara

36 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat

Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta:

Bulan Bintang, 1992), h. 66

Page 49: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

39

Anglo-Saxon.37

Berbeda dengan Bell, R.M. Ananda B. Kusuma melihat

bahwa Republik Indonesia menganut asas Rechtsstaat Continental dan asas

rule of law.

Indonesia secara formal sudah sejak tahun 1945 (UUD 1945 pra-

amandemen) mendeklarasikan diri sebagai negara hukum terbukti dalam

penjelasan UUD 1945 pernah tegas dinyatakan, “Indonesia adalah negara

yang berdasarkan hukum dan bukan negara yang berdasarkan “kekuasaan

belaka”. Konsep negara hukum Indonesia dipertegas UUD 1945 hasil

amandemen dalam Pasal 1 ayat (3) yang menetapkan: “Negara Indonesia

adalah Negara Hukum.”

Memerhatikan konsep negara hukum, Ismail Suny mencatat empat

syarat negara hukum secara formal yang menjadi kewajiban kita untuk

melaksanakannya dalam Republik Indonesia: 1) HAM; 2) Pembagian

kekuasaan; 3) Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang; dan 4)

Peradilan administrasi.38

Berdasarkan uraian konsep tentang negara hukum

tersebut terdapat dua substansi mendasar, yaitu: 1) adanya paham

konstitusi dan 2) sistem demokrasi atau kedaulatan rakyat.

UUD 1945 pasca amandemen mempertegas deklarasi negara

hukum dari yang semula hanya ada dalam penjelasan, menjadi bagian dari

batang tubuh UUD 1945. Berkaitan dengan eksistensi prinsip negara

hukum tersebut, Pasal 1 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan, bahwa Negara Kesatuan

Republik Indonesia adalah negara hukum.

37 Denny Indrayana, Negara Hukum Pasca-Soeharto: Transisi Menuju Demokrasi vs Korupsi,

Jurnal Konstitusi, Mahkamah Konstitusi RI Vol. 1 No. 1, Juli 2004, h. 101

38 Ismail Suny, Kedudukan MPR, DPR, dan DPD Pasca-Amandemen UUD 1945, Makalah

dipresentasikan pada seminar tentang Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945

diselenggarakan oleh Badan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI bekerjasama

dengan FH-Unair dan Kanwil Departemen Kehakiman dan HAM RI Prov. Jatim di Surabaya, tanggal

9-10 Juni 2004, h. 5-6

Page 50: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

40

Dengan mempertegas prinsip negara hukum, maka prinsip

negara hukum Indonesia yang tertuang dalam Amandemen UUD 1945

meliputi: pertama, adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi

manusia dan warga negara. Hal ini dapat kita lihat dengan

dimasukkannya ketentuan-ketentuan tentang HAM dalam bab tersendiri

(Bab XA Pasal 28A hingga Pasal 28J). Kedua, adanya kekuasaan

kehakiman yang merdeka (Pasal 24 Ayat 1 UUD 1945). Ketiga, adanya

peradilan tata usaha/administrasi negara (Pasal 24 Ayat 2 UUD 1945).

3. Teori Kewenangan

Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu

hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan

wewenang. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan

kewenangan, dan kekuasaan sering dipahami dengan istilah

kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering

disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk

hubungan dalam arti, bahwa ada satu pihak yang memerintah dan pihak

lain yang diperintah (the rule and the ruled).39

Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat terjadi kekuasaan

yang tidak berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan

dengan hukum oleh Henc van Maarseven disebut sebagai “blote

match”40

, sedangkan kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh

Max Weber disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni

wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami sebagai

39 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), h.

35-36

40 Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia,

Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan,… h. 30

Page 51: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

41

suatu kaidah-kaidah yang telah diakui dan serta dipatuhi oleh

masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh Negara.41

Dalam hukum publik, kewenangan berkaitan dengan

kekuasaan.42

Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan wewenang

karena kekuasaan yang dimiliki oleh eksekutif, legislatif, dan yudikatif

adalah kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur esensial dari

suatu negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di samping

unsur-unsur lainnya, yaitu: a) hukum; b) kewenangan (wewenang); c)

keadilan; d) kejujuran; e) kebijakbestarian; dan f) kebajikan.43

Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan negara agar

negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga negara

itu dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja

melayani warganya. Oleh karena itu, negara harus diberi kekuasaan.

Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo, ialah kemampuan seseorang

atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku

seseorang atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi

tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga

tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau

negara.44

Untuk dapat menjalankan kekuasaan maka dibutuhkan

instrumen di dalamnya, yakni penguasa atau organ sehingga negara itu

dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan (een ambten complex)

41 A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat

Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 52.

42 Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya, tanpa

tahun, h. 1.

43 Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia,

1998), h. 37-38.

44 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,… h. 35.

Page 52: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

42

dimana jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung

hak dan kewajiban tertentu berdasarkan konstitusi subyek kewajiban.45

Dengan demikian, kekuasaan mempunyai dua aspek, yaitu

aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan hanya beraspek

hukum semata. Artinya, kekuasaan itu dapat bersumber dari konstitusi,

juga dapat bersumber dari luar konstitusi (inkonstitusional), misalnya

melalui kudeta atau perang, sedangkan kewenangan jelas bersumber

dari konstitusi.

Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang.

Istilah kewenangan digunakan dalam bentuk kata benda dan sering

disejajarkan dengan istilah “bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda.

Menurut Philipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan

antara istilah kewenangan dengan istilah “bevoegheid”. Perbedaan

tersebut terletak pada karakter hukumnnya.Istilah “bevoegheid”

digunakan dalam konsep hukum publik, maupun dalam hukum

privat.Dalam konsep hukum kita, istilah kewenangan atau wewenang

seharusnya digunakan dalam konsep hukum publik.46

Ateng Syafrudin, berpendapat bahwa terdapat perbedaan antara

pengertian kewenangan dan wewenang.47

Kita harus membedakan

antara kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence,

bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal,

yakni kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh

undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu

“onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam

45 Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan,… h. 39.

46 Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah,… h. 20.

47 Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Yang Bersih dan

Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, (Bandung, Universitas Parahyangan, 2000), h. 22.

Page 53: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

43

kewenangan, terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden).

Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup

wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat

keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam

rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi

wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang

diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan

akibat-akibat hukum.48

Dari berbagai pengertian kewenangan

sebagaimana tersebut di atas, peneliti berkesimpulan bahwa

kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan

wewenang (competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal

yang berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu

spesifikasi dari kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang

diberikan kewenangan oleh Undang-Undang, maka ia berwenang untuk

melakukan sesuatu tersebut dalam kewenangan itu.

Kewenangan yang dimiliki oleh organ/institusi pemerintahan

dalam melakukan perbuatan riil/nyata, mengadakan pengaturan atau

mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang

diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun mandat.

Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar

konstitusi (UUD 1945). Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan

suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain.

Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian

wewenang, akan tetapi yang diberi mandat yang bertindak atas nama

pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat

48 Indroharto, Asas-Asas Hukum Pemerintahan Yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung,

Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1994),

h. 65.

Page 54: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

44

menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandator (pemberi

mandat).

J.G. Brouwer berpendapat, bahwa atribusi merupakan

kewenangan yang diberikan kepada suatu organ/institusi pemerintahan

atau lembaga negara oleh suatu badan legislatif yang independen.

Kewenangan ini adalah asli yang tidak diambil dari kewenangan yang

ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri

dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada

organ yang berkompeten.

Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan

atribusi dari suatu organ/institusi pemerintahan kepada organ lainnya

sehingga delegator (organ yang telah memberi kewenangan) dapat

menguji kewenangan tersebut atas namanya, sedangkan pada mandat,

tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat

(mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris)

untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas

namanya.

Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan

kewenangan delegasi. Pada atribusi, kewenangan yang ada siap

dilimpahkan, tetapi tidak demikian pada delegasi. Berkaitan dengan

asas legalitas, kewenangan tidak dapat didelegasikan secara besar-

besaran, tetapi hanya mungkin di bawah kondisi bahwa peraturan

hukum menentukan mengenai kemungkinan delegasi tersebut. Delegasi

harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:49

a. Delegasi harus definitif, artinya penerima kewenangan tidak dapat

lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;

49 Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 2005).

Page 55: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

45

b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan, artinya

delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan yang

memungkinkan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan;

c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hierarki

kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;

d. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegasi

berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan

wewenang tersebut; dan

e. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegasi memberikan

intruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.

4. Teori Perwakilan

Perwakilan diartikan sebagai hubungan di antara dua pihak, yaitu

wakil dengan terwakil, dimana wakil memegang kewenangan untuk

melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang

dibuatnya dengan terwakil.50

Perwakilan dalam konteks teori modern

merupakan mekanisme hubungan antara penguasa dan rakyat. Maka

hubungan antara penguasa dan rakyat harus harmonis, serta harus memiliki

tanggung jawab penuh kepada seluruh masyarakat dalam menjalankan roda

pemerintahan, guna terciptanya keseimbangan dalam menjalankan roda

pemerintahannya.51

Pada dasarnya, teori perwakilan amat erat kaitannya dengan prinsip

kedaulatan rakyat dan demokrasi. Dalam zaman modern, kekuasaan rakyat

tidak lagi dilaksanakan secara langsung, tetapi disalurkan melalui lembaga

perwakilan. Sebagai realisasi, sistem demokrasi tidak langsung. Ada tiga

hal yang perlu diperhatikan ketika pengkajian difokuskan pada masalah

50 A.M. Fatwa, Melanjutkan Reformasi Membangun Demokrasi : Jejak Langkah Parlemen

Indonesia Periode 1999-2004, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004), h. 77.

51 Arbi Sanit, Perwakilan Politik Indonesia, (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), h. 1.

Page 56: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

46

perwakilan ini, pertama menyangkut pihak yang diwakili, kedua berkenaan

dengan pihak yang mewakili, dan ketiga berkaitan dengan bagaimana

hubungan serta kedudukannya.52

Tata pemerintahan perwakilan demokratis meniscayakan hubungan

fungsional yang harus terjalin antara anggota DPR dengan Pemerintah

terpilih, yakni dewan menyuarakan aspirasi dan kepentingan rakyat dengan

Pemerintah memenuhi kepentingan dan kebutuhan rakyat yang

terpantulkan dari aspirasi dan kepentingan yang disuarakan perwakilan

politik, kemudian Pemerintah terpilih mengakomodasi hasil pengawasan

dan koreksi dewan untuk menyempurnakan kebijakan pemenuhan

kebutuhan masyarakat.53

Secara singkat dalam teori perwakilan ini, rakyat bertindak selaku

pihak terwakil memberikan aspirasi, serta kepercayaan mereka akan

kebutuhan dalam hidup bernegara dan berbangsa kepada para anggota

dewan melalui lembaga perwakilan rakyat sebagai wakil yang dipilih oleh

rakyat secara demokratis. Perjanjian yang terjadi antara kedua belah pihak

didasarkan atas kepentingan masyarakat secara menyeluruh bukan untuk

kepentingan sepihak, baik untuk si terwakil maupun si wakil. Melalui teori

ini, diharapkan terjadi keseimbangan dan keselarasan antara rakyat dan

lembaga perwakilan dalam menjalankan roda pemerintahan.

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Dalam menjaga keaslian judul, maka peneliti ajukan dalam bentuk skripsi

ini kemudian perlu kiranya peneliti melampirkan juga beberapa rujukan yang

menjadi bahan pertimbangan, antara lain:

52 Eddy Purnama, Lembaga Perwakilan Rakyat, (Medan: Syah Kuala University Press, 2008),

h. 41.

53 Sebastian Salang, dkk, Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan, (Jakarta:

Forum Sahabat, 2009), h. 195.

Page 57: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

47

1. Skripsi Muhammad Iqbal Hidayatullah, Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2015 yang

berjudul “Problematika Pemberian Izin Penyidikan Oleh Mahkamah

Kehormatan Dewan Terhadap Anggota DPR Yang Diduga Melakukan

Tindak Pidana”, menyimpulkan bahwa Kewenangan Mahkamah

Kehormatan Dewan yang termaktub pada Pasal 245 Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 2014 Tentang Perubahan Pertama Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang

menyatakan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk

penyidikan Anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus

mendapat izin/persetujuan tertulis dari MKD yang tidak sesuai dengan

asas independensi peradilan. Karena MKD merupakan lembaga etik

DPR dan memiliki kedudukan yang sama dengan anggota DPR lainnya

yang fungsinya bukan sebagai lembaga peradilan. Adapun perbedaan

penelitian peneliti dengan tinjauan (review) kajian terdahulu pada

skripsi Muhammad Iqbal Hidayatullah, yaitu terletak pada objek

penelitian peneliti yang berbeda secara substantif, karena batu uji atau

analisa yuridis normatif penulis yang mengacu pada UU MD3 terbaru

yang telah direvisi dan diundangkan kembali dalam Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta

analisa terhadap ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2018 pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-

XVI/2018 mengenai izin Presiden dalam tahap penyidikan anggota

DPR yang diduga melakukan tindak pidana ditinjau menurut aspek

kekuasaan Presiden dalam konsep negara hukum dan mengulas

sinkronisasi dan harmonisasi ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2018 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Page 58: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

48

Nomor 16/PUU-XVI/2018 dalam sistem peraturan perundang-

undangan di Indonesia.

2. Buku berjudul “Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia” yang

ditulis oleh Prof. Jimly Asshiddiqie. Dalam buku ini membahas sejarah

awal konstitusi di Indonesia mengenai demokrasi dan nomokrasi,

prinsip kekuasaan dan bagaimana penerapan ideal sebuah konstitusi,

buku ini lebih komprehensif dalam memahami konstitusi dan

konstitusionalisme.

3. Jurnal hukum berjudul, “Kewenangan Penyidik Dalam Memanggil

dan Memeriksa Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Yang Diduga

Melakukan Tindak Pidana”, ditulis oleh Tri Sarmedi Saragih dari

Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Dalam jurnal ini membahas

mengenai Pasal 245 UU MD3 terdahulu, yakni Undang-Undang Nomor

17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Adapun

substansi yang dibahas dalam jurnal ini yaitu mengenai urgensitas

Presiden dalam mekanisme pemeriksaan Anggota DPR RI yang

bersinggungan dengan asas Equality Before The Law, dan dianggap

menghambat proses Penyidik dalam mempercepat proses penyidikan

terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana. Lain hal

penelitian ini dari jurnal tersebut, peneliti mengangkat tema mengenai

Pasal 245 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 mengenai

pemanggilan dan permintaan keterangan oleh penyidik kepada anggota

DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang harus melalui

persetujuan tertulis Presiden. Adapun perbedaan penelitian peneliti

dengan tinjauan (review) terdahulu pada jurnal hukum yang ditulis oleh

Tri Sarmedi Saragih yaitu pada fokus objek penelitian peneliti yang

membahas izin/persetujuan tertulis Presiden dalam tahap penyidikan

anggota DPR RI yang diduga melakukan tindak pidana menurut objek

Page 59: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

49

batu uji konstitusional yang terkini yakni Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor

17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 yang ditinjau

menurut sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia yang diatur

pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan. Sedangkan, pada jurnal hukum karya

Tri Sarmedi Saragih ini membahas urgensitas izin Presiden dalam

pemeriksaan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana

ditinjau menurut UU MD3 yang lama, yakni Undang-Undang Nomor

42 Tahun 2014 Tentang Perubahan Pertama Atas Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Page 60: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

50

BAB III

PRESIDEN DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM SISTEM

PEMERINTAHAN RI

A. Sistem Pemerintahan

1. Pengertian Sistem Pemerintahan

Istilah sistem pemerintahan berasal dari gabungan dua kata, yakni

sistem dan pemerintahan. Kata sistem merupakan terjemahan dari kata

“system” (Bahasa Inggris) yang berarti susunan, tatanan, jaringan, atau cara.

Sedangkan pemerintahan berasal dari kata “pemerintah”, dan yang berasal

dari kata “perintah”.1

Menurut Titik Triwulan Tutik, sistem adalah suatu keseluruhan yang

terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik

antara bagian-bagian maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhannya

sehingga hubungan itu menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian-

bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan

mempengaruhi keseluruhannya itu.2

Adapun pemerintahan dalam arti luas adalah segala urusan yang

dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan

kepentingan negara sendiri. Karena itu apabila berbicara tentang sistem

pemerintahan pada dasarnya adalah membicarakan bagaimana pembagian

kekuasaan, serta hubungan antara lembaga-lembaga negara menjalankan

kekuasaan negara itu dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat.

Sedangkan pemerintahan dalam arti sempit adalah perbuatan memerintah

1 Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Yogyakarta: Rineka Cipta, 2011), h.

38

2 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD

1945, (Jakarta: Kencana, 2010).

Page 61: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

51

yang dilakukan oleh badan eksekutif dan jajarannya dalam rangka mencapai

tujuan Negara.3

Sistem pemerintahan negara adalah sistem hubungan dan tata kerja

antara lembaga-lembaga negara, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Sistem pemerintahan berkaitan dengan mekanisme yang dilakukan

pemerintah dalam menjalankan tugasnya.4 Sistem Pemerintahan, menurut

Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dapat dibagi menurut pembagian

kekuasaannya ke dalam garis yang bersifat horizontal dan vertikal. Secara

horizontal, bagan organisasi itu dapat dibagi ke dalam fungsi-fungsi yang

didasarkan atas perbedaan sifat pekerjaan atau tugasnya sehingga

menjadikan bentuk organisasi yang berbeda-beda. Sedangkan, pembagian

organisasi secara vertikal melahirkan garis hubungan antara pusat dan daerah

ataupun negara bagian yang menggunakan asas desentralisasi dan

dekonsentrasi.5 Menurut Mahfud MD, sistem pemerintahan dapat dipahami

sebagai suatu sistem hubungan tata kerja antar lembaga negara.6

Jimly Asshiddiqie memberikan batasan rincian tentang sistem

pemerintahan dengan menyatakan istilah sistem pemerintahan biasanya

dibicarakan dalam hubungannya dengan bentuk dan struktur organisasi

negara dengan penekanan pembahasan mengenai fungsi-fungsi badan

eksekutif dalam hubungannya dengan badan legislatif.7 Secara lebih tegas,

3 Dasril Radjab, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994), h. 57

4 Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara dalam Perspektif

Fikih Siyasah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 120

5 Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta:

Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1978), h. 171

6 Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta,

2000).

7 Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: telaah

Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, (Jakarta: UI Press, 1996), h. 59

Page 62: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

52

Asshiddiqie menyebutkan bahwa sistem pemerintahan berkaitan dengan

pengertian regeringsdaad, yaitu penyelenggaraan pemerintahan oleh

eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif.8

2. Bentuk dan Ciri-Ciri Sistem Pemerintahan

Menurut Jimly Asshiddiqie, pada umumnya dalam berbagai

konstitusi berbagai negara dirumuskan mengenai bentuk dan struktur badan

eksekutif dan hubungannya dengan legislatif, khususnya yang bersifat

nasional. Perumusan mengenai sistem pemerintahan pada tingkat nasional

itu biasanya dilakukan berdasarkan salah satu dari dua model utama

ditambah satu model campuran, yakni (1) Sistem Kabinet (Parlementer);

Sistem Presidensial; dan (2) Sistem Campuran atau disebut “Kuasi

Parlementer” atau “Kuasi Presidensial”.9 Menurut Mahfud MD, sistem

pemerintahan terbagi menjadi tiga, yaitu Parlementer, Presidensial dan

Referendum.10

a. Sistem Pemerintahan Parlementer

Sistem Parlementer merupakan sistem pemerintahan yang paling

luas diterapkan diseluruh dunia. Sistem ini, pertama kali dijalankan di

Kerajaan Inggris sebagai suatu pengganti sistem pemerintahan kerajaan

yang absolut.11

Sistem pemerintahan parlementer terbentuk karena

pergeseran sejarah hegemoni kerajaan. Pergeseran tersebut seringkali

dijelaskan kedalam tiga fase peralihan, meskipun perubahan dari fase ke

8 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta:

Buana Ilmu, 2007), h. 311

9 Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah

Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara,… h. 59

10 Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi Tentang Interaksi Politik dan

Kehidupan Ketatanegaraan,… h. 74

11 Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap

Pidato Nawaksara, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 21

Page 63: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

53

fase yang lain tidak selalu tampak jelas. Pertama, pada mulanya

pemerintahan dipimpin oleh seorang raja yang bertanggung jawab atas

seluruh sistem politik atau sistem ketatanegaraan. Kedua, Kemudian

muncul sebuah majelis dengan anggota yang menentang hegemoni Raja.

Ketiga, majelis mengambil ahli tanggung jawab atas pemerintahan yang

bertindak sebagai parlemen, maka Raja kehilangan sebagian besar

kekuasaan tradisionalnya.12

Menurut Djokosoetono, sistem parlementer merupakan

sistem yang ministeriele verantwoordelijk-heid (menteri bertanggung

jawab kepada parlemen) ditambah dengan overwicht (kekuasaan lebih

kepada parlemen).13

Sistem parlementer memang didasarkan landasan

bahwa parlemen adalah pemegang kekuasaan tertinggi, A.V. Dicey

menyebutnya parliamentary sovereignity.14

Miriam Budiardjo menyatakan bahwa dalam sistem

pemerintahan parlementer badan eksekutif dan badan legislatif

bergantung satu sama lain. Kabinet sebagai bagian dari badan eksekutif

yang “bertanggung jawab” diharap mencerminkan kekuatan-kekuatan

politik dalam badan legislatif yang mendukungnya dan mati-hidupnya

kabinet bergantung kepada dukungan dalam badan legislatif (asas-asas

tanggung jawab menteri).15

Dalam praktiknya, Miriam Budiardjo

menambahkan, sifat serta bobot “ketergantungan” tersebut berbeda dari

satu negara dengan negara lain, akan tetapi pada umumnya dicoba untuk

12 Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, (Jakarta: PT. Grafindo

Persada, 1995), h. 36

13 R. M. Ananda B. Kusuma, Sistem Pemerintahan Indonesia dalam Jurnal Konstitusi,

Volume 1 Nomor 1, Juli 2004, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2004), h. 156

14 A.V. Dicey, Intoduction to Study of The Law of The Constitution, (Indianapolis: Liberty

Fund, 1982), h. 3-4

15 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,… h. 210

Page 64: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

54

mencapai semacam keseimbangan antara badan eksekutif dan badan

legislatif.

Menurut Jimly Asshiddiqie, terdapat 6 ciri umum yang dapat

dikembangkan dalam sistem parlementer, antara lain:16

1. Kabinet dibentuk dan bertanggung jawab kepada parlemen;

2. Kabinet dibentuk sebagai suatu kesatuan dengan tanggung jawab

kolektif di bawah Perdana Menteri;

3. Kabinet mempunyai hak konstitusional untuk membubarkan

parlemen sebelum periode kerjanya berakhir;

4. Setiap anggota kabinet adalah anggota parlemen terpilih;

5. Kepala Pemerintahan (Perdana Menteri) tidak dipilih langsung oleh

rakyat, melainkan hanya dipilih menjadi salah seorang anggota

parlemen;

6. Adanya pemisahan yang tegas antara Kepala Negara dengan Kepala

Pemerintahan.

Adapun penjelasan mengenai ciri-ciri sistem pemerintahan

parlementer yang disebutkan oleh Jimly Asshidiqie adalah sebagai

berikut:

a. Kabinet Dibentuk dan Bertanggung Jawab Kepada Parlemen

Ciri pertama dalam setiap sistem kabinet adalah bahwa

kabinet atau dewan menteri dibentuk oleh lembaga legislatif dan

secara politik bertanggung jawab kepada lembaga legislatif yang

membentuknya itu. Sistem pertanggung jawaban ini diterapkan,

baik dalam sistem liberal maupun dalam sistem sosialis. Bahkan,

bentuk pertanggungjawaban ini nyata dalam sistem sosialis-

komunis yang diterapkan di Bulgaria. Misalnya, ditentukan bahwa

16 Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah

Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara,… h. 67

Page 65: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

55

Dewan Menteri sebagai dewan eksekutif dan administratif tertinggi

(kabinet) bertanggung jawab untuk semua kegiatannya kepada

Majelis Nasional dan diharuskan membuat laporan tahunan kepada

Majelis Nasional tersebut. Dalam sistem pertanggung jawaban ini,

tidak ditentukan berapa lama masa atau periode jabatan kabinet

bekerja. Pun tidak ada pembatasan mengenai berapa kali seseorang

diperbolehkan menjabat sebagai Kepala Pemerintahan. Yang

terpenting adalah bahwa kepala pemerintahan diharuskan

mempertanggungjawabkan tugasnya kepada badan yang mewakili

rakyat.

b. Kabinet Dibentuk dengan Tanggung Jawab Kolektif di Bawah

Perdana Menteri

Ciri kedua dari sistem kabinet adalah adanya unsur

tanggung jawab kolektif di bawah Perdana Menteri (Kepala

Kabinet). Begitu susunan kabinet diumumkan oleh Perdana

Menteri, maka sejak saat itu kabinet dengan dipimpin oleh Perdana

Menteri sebagai kepala kabinet merupakan satu kesatuan kolektif.

Mereka naik dan turun, diangkat dan diberhentikan sebagai satu

kesatuan.

Hal ini berbeda dengan sistem presidensial dimana kabinet

pada dasarnya merupakan sekelompok penasehat atau pembantu

Presiden, dan karena itu diangkat secara sendiri-sendiri oleh

Presiden. Memang dapat saja terjadi bahwa seorang Menteri dipecat

oleh Perdana Menteri karena melakukan tindak pidana korupsi.

Akan tetapi, dihadapan parlemen, kabinet itu harus tampil sebagai

satu kesatuan yang dipimpin oleh Perdana Menteri yang menduduki

jabatan tertinggi dalam pemerintahan sebagai akibat dari

Page 66: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

56

kepemimpinannya dalam partai yang memerintah ataupun karena

hasil koalisi antar partai yang berkuasa.17

c. Kabinet Mempunyai Hak Konstitusional untuk Membubarkan

Parlemen Sebelum Kerjanya Berakhir

Dalam sistem parlementer, pemerintah berwenang pula

membubarkan parlemen jika dianggap tidak sejalan dengan

kepentingan pemerintah yang berkuasa. Pembubaran parlemen itu

dapat dilakukan meskipun masa jabatan parlemen hasil pemilihan

umum tersebut belum berakhir secara resmi. Dalam sistem

demikian ini, masa jabatan parlemen itu sendiri menjadi kurang

relevan, mengingat sewaktu-waktu ia dapat saja dibubarkan. Inilah

yang menyebabkan naik turunnya suatu pemerintahan mewarnai

instabilitas pemerintahan yang pada umumnya terjadi dalam sistem

parlementer. Pengalaman seperti itu dapat dengan mudah

ditemukan di Negara-negara yang menganut sistem ini, seperti di

Thailand, di Indonesia pada masa Demokrasi Liberal, ataupun di

negara-negara maju, seperti Perancis, Jepang, dan sebagainya.

Karena itu, di banyak negara sering dibuat aturan yang

membatasi frekuensi pembubaran tersebut dan mengatur jadwal

waktu pembubaran itu agar tidak terlalu sering dilakukan. Misalnya,

pembubaran parlemen dibatasi tidak boleh lebih dari dua kali dalam

setahun, dan tidak boleh dilakukan dalam bulan-bulan pertama

pembentukan parlemen tersebut ataupun tidak boleh dilakukan pada

bulan-bulan terakhir sebelum masa jabatan anggota parlemen

berakhir.

d. Setiap Anggota Kabinet adalah Anggota Parlemen yang Terpilih

17 Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah

Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara,… h. 71

Page 67: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

57

Sejalan dengan ketiga ciri di atas, maka setiap anggota

kabinet haruslah direkrut dari anggota parlemen yang terpilih.

Seperti yang dilakukan di Inggris dan beberapa negara lain,

termasuk dalam sistem komunisme, pertama-tama dipilih anggota

parlemen. Partai yang berhasil memenangkan mayoritas suara, maka

diberi wewenang untuk membentuk kabinet dengan cara merekrut

beberapa anggota partainya yang terpilih atau merekrut anggota

partai lain yang berkoalisi untuk menduduki jabatan eksekutif dalam

kabinet.

Dalam Konstitusi Jepang juga dinyatakan, bahwa Perdana

Menteri dan mayoritas anggota kabinet haruslah dipilih dari antara

Diet (Parlemen Jepang). Bahkan, dalam Konstitusi India 1949 dan

Konstitusi Australia 1960, secara tegas dicantumkan pula secara

mutlak dukungan rakyat bagi anggota parlemen yang diangkat

menjadi anggota kabinet tersebut.18

e. Perdana Menteri Tidak Dipilih Menjadi Kepala Pemerintahan,

Melainkan Menjadi Salah Seorang Anggota Parlemen

Sehubungan dengan ciri keempat diatas, maka selalu terjadi

bahwa seseorang menduduki jabatan Kepala Pemerintahan (Perdana

Menteri) bukanlah karena ia dipilih secara langsung, melainkan

karena ia berhasil terpilih menjadi anggota parlemen dimana partai

yang dipimpinnya kebetulan memenangkan mayoritas suara di

parlemen tersebut.

f. Adanya Pemisahan antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan

Ciri penting keenam dari sistem kabinet ini adalah

pemisahan yang tegas antara Kepala Negara dan Kepala

18 Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah

Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara,… h. 73-74

Page 68: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

58

Pemerintahan. Di Negara yang berbetuk kerajaan, Kepala Negara itu

biasa disebut Raja seperti di Thailand, Ratu seperti di Inggris,

ataupun Sultan seperti di Malaysia. Di Negara yang berbentuk

Republik, Kepala Negara itu biasanya disebut Presiden ataupun

Ketua seperti di Cina. Sebagai Kepala Negara, Presiden, Raja,

Sultan, atau Ketua itu memiliki kedudukan simbolik sebagai

pemimpin yang mewakili segenap bangsa dan Negara. Hal ini

berbeda dengan jabatan Perdana Menteri yang memegang

kedudukan sebagai Kepala Pemerintahan dengan kekuasaan politik

yang besar dengan perangkat kelembagaan yang mendukungnya

untuk menjalankan roda pemerintahan itu.19

Terlepas dari hal tersebut, sistem parlementer mempunyai

kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya adalah:

a) Dalam sistem parlementer apabila ada ancaman kemandegan

hubungan antara eksekutif dan legislatif selalu menemukan

jalan keluar karena parlemen dapat membuat mosi terhadap

eksekutif.

b) Sistem parlementer dipandang lebih fleksibel karena tidak

ada pembatasan masa jabatan yang pasti. Sepanjang

parlemen masih memberikan dukungan terhadap eksekutif,

maka eksekutif dapat terus bekerja, namun sebaliknya

apabila parlemen tidak memberikan dukungannya, maka

kabinet akan jatuh. Sistem ini memberikan fleksibilitas

untuk mengubah atau mengganti pemerintahan dengan cepat

ketika keadaan atau kegagalan eksekutif yang menuntut

kepemimpinan baru.

19 Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah

Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara,… h. 76

Page 69: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

59

c) Sistem parlementer lebik demokratis karena kabinet yang

dibentuk adalah koalisi dari berbagai partai yang ada di

parlemen.

Sistem Parlementer disamping mempunyai kelebihan juga mempunyai

kelemahan. Kelemahannya adalah:

1) Dalam sistem pemerintahan parlementer identik dengan

instabilitas eksekutif. Karena adanya ketergantungan kabinet

pada mosi tidak percaya legislatif.

2) Pemilihan kepala eksekutif tidak dilakukan secara langsung

oleh rakyat, tetapi oleh partai politik, serta tidak adanya

pemisahan kekuasaan yang tegas antara legislatif dan

eksekutif. Hal ini dapat membahayakan kebebasan individu.

b. Sistem Pemerintahan Presidensial

Sistem Pemerintahan Presidensial merupakan sistem yang

memisahkan kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan legislatif

sehingga sistem ini dikenal pula dengan nama sistem pemisahan

kekuasaan (separation of power).20

Para ahli merumuskan lebih jauh

ciri-ciri yang terdapat dalam sistem pemerintahan presidensial.

Menurut Mahfud MD ciri-ciri dari sistem presidensial yaitu: 1).

Kepala negara menjadi kepala pemerintahan; 2). Pemerintah tidak

bertanggung jawab kepada Parlemen (DPR); 3). Menteri-menteri

diangkat dan bertanggung jawab kepada presiden; dan 4). Eksekutif

dan legislatif sama-sama kuat.

Tidak jauh berbeda dengan Mahfud MD, Ramlan Surbakti

mengemukakan ciri-ciri sistem presidensial antara lain: Pertama,

kepemimpinan dalam melaksanakan kebijakan (administrasi) lebih

jelas pada sistem presidensial, yakni di tangan presiden, daripada

20 Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap

Pidato Nawaksara, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 21

Page 70: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

60

dalam kabinet parlementer, tetapi siapa yang bertanggungjawab dalam

pembuatan kebijakan lebih jelas pada kabinet parlementer

dibandingkan dengan kabinet presidensial. Kedua, kebijakan yang

bersifat komprehensif jarang dapat dibuat karena legislatif dan

eksekutif mempunyai kedudukan yang terpisah (seseorang tidak dapat

mempunyai fungsi ganda), ikatan partai yang longgar dan

kemungkinan kedua badan ini didominasikan oleh partai yang

berbeda.Ketiga, jabatan kepala pemerintahan dan kepala negara berada

pada satu tangan. Keempat, legislatif bukan tempat kaderisasi bagi

jabatan-jabatan eksekutif, yang dapat diisi dari berbagai sumber

termasuk legislatif.21

Menurut Jimly Asshiddiqie, ciri-ciri utama yang disebutkan

dalam sistem parlementer, tidak terdapat dalam sistem presidensial. Jika

ditelusuri lebih jauh, perbedaan utama di antara kedua sistem kabinet

dan sistem presidensial ini pada pokoknya menyangkut empat hal,

yaitu:22

1. Terpisah tidaknya kekuasaan seremonial dan politik (fusion of

ceremonial and politics power);

2. Terpisah tidaknya personalia legislatif dan eksekutif (separation

of legislative and executive personnels);

3. Tinggi rendahnya corak kolektif dalam sistem

pertanggungjawabannya (lack of collective responsibility); dan

4. Pasti tidaknya masa jabatan Kepala Negara dan Kepala

Pemerintahan (fixed term of office).

21 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: PT Grasindo, 2010), h. 219

22 Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah

Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara,… h. 81-82

Page 71: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

61

Adapun penjelasan mengenai ciri-ciri sistem pemerintahan

presidensial yang disebutkan oleh Jimly Asshidiqie adalah sebagai berikut:

1). Kekuasaan Seremonial, Politik, dan Administratif

Dalam sistem presidensial, fungsi-fungsi seremonial

terkombinasikan dalam kekuasaan politik dan administratif serta

tanggung jawab Presiden yang bersifat menyeluruh. Karena itu,

Presiden mempunyai fungsi ganda, sebagai Kepala Negara dan

Kepala Pemerintahan. Bagi penganut dan penganjur sistem

parlementer, penggabungan itu dianggap terlalu memusatkan

kekuasaan pada satu tangan. Semua kekuasaan dan fungsi-fungsi

simbolis disatukan sehingga memberikan kepada presiden suatu

kharisma kelembagaan yang luar biasa pengaruh dan

kewibawaannya. Penghormatan rakyat banyak terhadap

pemimpinnya yang merupakan simbol kekuasaan dan simbol dari

seluruh bangsa tidak dapat lagi dipisahkan dari perasaan kesal,

marah, ataupun antipati yang kadang-kadang timbul dikalangan

rakyat terhadap kepala eksekutif pemerintahan.

Dengan perkataan lain, rakyat tidak mungkin “mencintai raja

dan membenci perdana menteri”. Keduanya menjadi satu dalam diri

presiden. Padahal, peranan yang harus dilakukan oleh Presiden

dalam melakukan fungsi seremonial dan tanggung jawab politik dan

administratif itu cukup banyak menyita waktu dan energi. Karena

itu, para penganjur sistem parlementer berpendapat, bahwa sistem

presidensial ini kurang memenuhi harapan. Sebaliknya, dalam

sistem parlementer, kedua fungsi di atas terpisah dan demikian pula

personalianya.

2). Personalia yang Melakukan Tugas Legislatif dan Eksekutif

Page 72: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

62

Dalam sistem presidensial, Presiden dan Wakil Presiden

dipilih oleh rakyat secara langsung ataupun melalui lembaga

legislatif untuk masa jabatan tertentu. Karena itu, secara langsung

ataupun tidak langsung mereka bertanggung jawab kepada rakyat.

Dalam sistem ini, lembaga legislatif dan eksekutif dipimpin oleh

personalia yang berbeda.Keanggotaan dalam kabinet juga tidak

dapat dirangkap oleh anggota parlemen.

Karena terpisahnya personalia kedua lembaga ini, maka

suara mayoritas Partai A menguasai dan memimpin lembaga

parlemen, sedangkan jabatan Presiden dipegang langsung oleh

suara mayoritas dari Partai B. Lalu, karena masa jabatan pimpinan

eksekutif dan legislatif kadang-kadang bersamaan, maka dalam

sistem ini dapat saja terjadi deadlock dalam persidangan dan

pelaksanaan tugas-tugas ketatanegaraan sehingga menimbulkan

ketegangan dalam hubungan antara parlemen dan pihak eksekutif

itu. Hal ini berbeda dengan sistem kabinet dimana mayoritas suara

di parlemen dengan sendirinya akan tercermin dalam personalia

kepemimpinan eksekutif. Karena pemimpin mayoritas suara di

parlemen itu akan menjadi Perdana Menteri yang memimpin

kabinet.

Namun meskipun perangkapan personil itu tidak

dimungkinkan, tetapi dalam hal pembagian fungsinya dalam

kekuasaan legislatif dan eksekutif, sistem parlementer dapat

dikatakan lebih tegas pengaturannya dibandingkan sistem

presidensil. Dalam sistem presidensil, personilnya terpisah, tetapi

fungsi legislatif dan eksekutif seringkali terbagikan secara jumbuh.

Pada prinsipnya Presiden melakukan fungsi eksekutif, tetapi juga

Page 73: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

63

dilengkapi dengan hak-hak konstitusional yang bersifat legislatif

seperti mengajukan Rancangan Undang-Undang.

3). Sifat Pertanggungjawaban Kabinet

Dalam sistem presidensial, kabinet tidak memiliki tanggung

jawab kolektif seperti dalam sistem parlementer. Tiap-tiap menteri

anggota kabinet presidensial itu secara sendiri-sendiri bertanggung

jawab kepada Presiden yang mengangkatnya.23

4). Masa Jabatan yang Pasti

Dalam sistem presidensil, masa jabatan Kepala

Pemerintahan secara konstitusional selalu ditentukan dengan tegas.

Biasanya lama masa jabatan itu bervariasi dari 4 sampai dengan 7

tahun. Beberapa konstitusi malah menentukan dengan tegas berapa

kali masa jabatan itu dapat dipegang oleh orang yang sama.

Namun, meskipun masa jabatannya tertentu, Presiden dalam

sistem ini tetap dapat saja dijatuhkan dari kedudukannya selama

masa jabatan. Secara konstitusional, presiden dapat dijatuhkan

apabila ia melakukan tindakan kriminal ataupun kesalahan prinsipil

dalam melaksanakan tugasnya menurut Undang-Undang Dasar.

Di samping itu, konstitusi berbagai negara biasanya juga

mengatur penggantian Presiden karena yang bersangkutan

mengundurkan diri (meletakan jabatan) secara sukarela, karena

meninggal dunia ataupun karena tidak mampu lagi melaksanakan

tugasnya. Dalam hal ini, biasanya ditentukan bahwa kedudukannya

itu:

a). Digantikan oleh Wakil Presiden yang ditetapkan menjadi Presiden;

23 Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah

Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara,… h. 84-85

Page 74: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

64

b). Diadakan pemilihan umum baru ataupun pemilihan khusus untuk

menentukan pejabat pengganti Presiden itu;

c). Ditunjuk seorang pejabat Presiden (ad interim) sampai masa

jabatan Presiden tersebut berakhir;

d). Dalam hal Wakil Presiden juga berhalangan tetap ataupun

memang tidak ada Wakil Presiden, maka di berbagai negara

ditentukan pula bahwa sampai masa jabatan Presiden

berakhirataupun sampai terpilih Presiden yang baru, tugas-tugas

Kepresidenan tersebut dipegang sementara oleh suatu tim yang

terdiri atas menteri-menteri tertentu, misalnya di Indonesia

Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri

Pertahanan dan Keamanan, ataupun di Irlandia oleh suatu komisi

(collegial Vice President) yang terdiri dari Ketua Mahkamah

Agung, Ketua Dail Eireann, dan Ketua Seanad Eireann.24

Secara umum sistem presidensial mempunyai tiga

kelebihan dan tiga kekurangan. Kelebihannya adalah:

a). Stabilitas eksekutif yang didasarkan pada masa jabatan presiden.

b). Pemilihan kepala pemerintahan oleh rakyat dapat dipandang lebih

demokratis dari pada pemilihan tidak langsung.

c). Pemisahan kekuasaan berarti pemerintahan yang dibatasi

(perlindungan kebebasan individu atas tirani pemerintah).

Sistem presidensial disamping mempunyai kelebihan juga

mempunyai kelemahan. Kelemahannya adalah:

a). Kemandegan atau konflik eksekutif-legislatif bisa berubah menjadi

jalan buntu, adalah akibat dari konsistensi dari dua badan

24 Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah

Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara,… h. 85-87

Page 75: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

65

independen yang diciptakan oleh pemerintahan presidensial yang

mungkin bertentangan.

b). Masa jabatan presiden yang pasti menguraikan periode-periode

yang dibatasi secara kaku dan tidak berkelanjutan, sehingga tidak

memberikan kesempatan untuk melakukan berbagai penyesuaian

yang dikehendaki oleh keadaan.

c). Sistem ini berjalan atas dasar aturan “pemenang menguasai semua”

yang cenderung membuat politik demokrasi sebagai sebuah

permainan dengan semua potensi konfliknya.

c. Sistem Pemerintahan Campuran (Kuasi)

Dalam sistem pemerintahan campuran berupaya mencarikan

titik temu antara sistem pemerintahan presidensial dan sistem

pemerintahan parlementer. Fungsi ganda Presiden sebagaimana dalam

sistem pemerintahan presidensial tetap dipertahankan. Namun sebagai

Kepala Pemerintahan, Presiden berbagi kekuasaan dengan Perdana

Menteri yang menimbulkan dual executive system.25

Menurut Jimly, dalam sistem semi presidensial, fungsi Kepala

Negara yang dipegang oleh Presiden, tetapi fungsi Kepala

Pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri yang bertanggung jawab

kepada parlemen.26

Menurut Maurice Duverger, sebuah rezim politik

dianggap sebagai quasi presidensial, jika UUD yang menetapkannya

menyatakan tiga unsur antara lain, yaitu:

1). Presiden Republik dipilih melalui hak pilih universal/umum;

2). Presiden memiliki kekuasaan yang cukup besar;

3). Presiden memiliki lawan politik, namun seorang Perdana Menteri

25 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislatif: Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam

Sistem Presidensial Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 48

26 Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah

Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara,… h. 64

Page 76: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

66

atau para menteri yang memegang kekuasaan eksekutif dan

pemerintahan dapat tetap memegang jabatan seandainya parlemen

tidak menunjukan oposisi kepada mereka.

Robert Elgie, seorang yang cukup banyak menulis soal

semi presidensialisme, mengamati berbagai definisi yang diajukan

oleh para ahli terdahulu, menganjurkan sebuah pengertian dengan

mengecualikan soal kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden atau

Perdana menteri, seperti yang dilakukan oleh para ahli

sebelumnya. Elgie berpendapat, semi presidensial dapat dilihat

dari cara memilih dua pemimpin eksekutif di negara tersebut.

Menurut Elgie, semi presidensial dapat di definisikan sebagai

berikut:27

“Semi-presidentialisme is where a popularly elected fixed-term

president exists alongside a prime minister and cabinet who are

responsible to the legislature”

d. Sistem Pemerintahan Referendum

Sistem referendum merupakan bentuk variasi dari sistem quasi

(quasi presidensial) dan sistem presidensial murni. Tugas pembuat

Undang-Undang berada di bawah pengawasan rakyat yang

mempunyai hak pilih. Pengawasan itu dilakukan dalam bentuk

referendum. Dalam sistem ini pertentangan antara eksekutif

(bundersrat) dan legislatif (keputusan dari pada rakyat) jarang terjadi.

Anggota-anggota dari eksekutif ini dipilih oleh bundersversammlung

untuk tiga tahun lamanya dan bisa dipilih kembali.

Berkenaan dengan pengawasan rakyat dalam bentuk

referendum, maka dikenal dua sistem referendum yaitu:

27 Robert Elgie and Sophia Moestrup, Semi-Presidentialism Outside Europe: A Comparative

Study (New York: Routledge, 2007), h. 2

Page 77: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

67

1). Referendum Obligator, yaitu jika persetujuan dari rakyat mutlak

harus diberikan dalam pembuatan suatu peraturan undang-undang

yang mengikat rakyat seluruhnya, karena sangat penting. Contoh,

persetujuan yang diberikan oleh rakyat terhadap pembuatan

Undang-Undang Dasar.

2). Referendum Fakultatif, yaitu jika persetujuan dari rakyat dilakukan

terhadap undang-undang biasa, karena kurang pentingnya, setelah

undang-undang itu diumumkan dalam jangka waktu yang

ditentukan.

Keuntungan dari sistem pemerintahan referendum adalah

bahwa setiap masalah negara, rakyat langsung ikut serta

menanggulanginya dan kedudukan pemerintah stabil yang membawa

akibat pemerintahan akan memperoleh pengalaman yang baik dalam

menyelenggarakan kepentingan rakyatnya.

Adapun kelemahannya, tidak setiap masalah rakyat mampu

menyelesaikannya karena untuk mengatasinya perlu pengetahuan yang

cukup bagi rakyat dan sistem ini tidak dapat dilaksanakan jika banyak

terdapat perbedaan pemahaman antara rakyat dan eksekutif yang

menyangkut kebijaksanaan politik. Contoh sistem pemerintahan

referendum adalah Swiss. Adapun ciri-ciri dari sistem referendum

sebagai berikut:

1) Tugas pembuat undang-undang (legislatif) berada dibawah

pengawasan rakyat yang mempunyai hak pilih.

2) Legislatif adalah representasi dari rakyat.

3) Eksekutif dipilih oleh legislatif untuk waktu tiga tahun lamanya

dan dapat dipilih kembali.

Page 78: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

68

4) Kestabilan dari sistem ini dipengaruhi oleh adanya kesepahaman

antara eksekutif selaku pemegang kebijakan politik dengan

rakyat.

e. Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945

Menurut Jimly Asshidiqie, dapat dikemukakan adanya

sembilan prinsip pokok yang mendasari penyusunan sistem

penyelenggaraan Negara Indonesia dalam rumusan Undang-Undang di

masa depan. Kesembilan prinsip pokok itu dapat ditemukan jikalau

kita menelaah secara mendalam berbagai pergumulan pemikiran yang

berkembang di kalangan para ahli, dan di kalangan para perumus dan

perancang naskah Undang-Undang Dasar maupun naskah Perubahan

Undang-Undang Dasar 1945 sejak tahun 1945 sampai sekarang.

Kesepuluh prinsip itu adalah: (i) Ketuhanan Yang Maha Esa, (ii) Cita

Negara Hukum atau Nomokrasi, (iii) Paham Kedaulatan Rakyat atau

Demokrasi, (iv) Demokrasi Langsung dan Demokrasi perwakilan, (v)

Pemisahan Kekuasaan dan Prinsip „Checks and Balances’, (vi) Sistem

Pemerintahan Presidensiil, (vii) Prinsip Persatuan dan Keragaman

dalam Negara Kesatuan, (viii) Demokrasi Ekonomi dan Ekonomi

Pasar Sosial, dan (ix) Cita Masyarakat Madani.28

Berdasarkan uraian Jimly Asshiddiqie tersebut, maka baik

dalam Undang-Undang Dasar sebelum Perubahan maupun Undang-

Undang Dasar sesudah Perubahan, sistem pemerintahan Indonesia

adalah Sistem Pemerintahan Presidensil. Dalam Pasal 4 Ayat (1) UUD

1945 (sebelum amandemen) mengatakan dianutnya sistem

pemerintahan presidensial, tetapi sistem yang diterapkan tetap

mengandung ciri parlementernya, yaitu dengan adanya MPR yang

28 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,

2011), h. 53-54

Page 79: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

69

berstatus sebagai lembaga tertinggi negara, tempat kemana Presiden

harus tunduk dan bertanggung jawab.29

Dengan kata lain, sistem

presidensial Indonesia tidak begitu tegas karena Presiden tidak dipilih

langsung oleh rakyat. Namun, sejak konstitusi diamandemen, tepatnya

amandemen ketiga presidensialisme di Indonesia sudah lebih murni.

Dikatakan lebih murni, karena Presiden menurut UUD NRI

Tahun 1945 sebelum amandemen harus tunduk dan bertanggungjawab

kepada MPR yang berwenang mengangkat dan memberhentikannya

menurut UUD NRI 1945. Presiden menurut UUD NRI 1945 sebelum

reformasi, adalah mandataris MPR yang sewaktu-waktu dapat ditarik

kembali oleh MPR sebagaimana mestinya. Sifat pertanggungjawaban

kepada MPR ini justru memperlihatkan adanya unsur parlementer

dalam sistem pemerintahan presidensial yang dianut. Namun setelah

diamandemen Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan tidak

bertanggungjawab lagi kepada MPR sebagai mandataris MPR.

Perubahan Ketiga UUD 1945 di tahun 2001 memberikan arti

tersendiri bagi keberadaan Lembaga Kepresidenan sebagai pemangku

kekuasaan eksekutif. Dipilihnya Presiden dan Wakil Presiden secara

langsung oleh rakyat, menyebabkan hilangnya pertanggungjawaban

politik Presiden kepada MPR. Hal ini diperkuat dengan dihapuskannya

Penjelasana UUD 1945 secara implisit sehingga peran Presiden

sebagai mandataris MPR juga tidak berlaku. Beberapa aspek dari

sistem presidensial yang dianut lebih murni dibandingkan dengan

sebelum Perubahan UUD 1945.30

Hal-hal yang mencerminkan

29 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislatif: Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam

Sistem Presidensial Indonesia,… h. 48

30 Sri Soemantri, Sistem-Sistem Pemerintahan Negara-Negara ASEAN, (Bandung, Penerbit

Tarsito, 1976), h. 56

Page 80: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

70

reafirmasi terhadap sistem presidensial atau dikenal dengan prinsip

penguatan sistem presidensial.

Adanya pengaturan Pasal 7A Perubahan Ketiga UUD 1945,

mengenai pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden dalam masa

jabatannya, mencerminkan pertanggungjawaban Lembaga

Kepresidenan tidak lagi bersifat politis, melainkan bersifat hukum.

Namun, demikian karena akhir pertanggungjawaban yang bersifat

hukum tersebut ada pada Sidang Umum MPR, dan sifat

pertanggungjawaban tersebut tidak lagi bersifat hukum, melainkan

pertanggungjawaban politis. Terlepas dari persoalan

pertanggungjawaban hukum yang berakhir pada Keputusan MPR

sebagai lembaga politik. Artinya, pertanggungjawaban Presiden dan

Wakil Presiden tidak lagi didasarkan pada alasan-alasan yang sifatnya

kebijakan (policy). Kebijakan Lembaga Kepresidenan, sekalipun itu

bertentangan dengan konstitusi UUD 1945, maka tidak dapat dijadikan

alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 tidak dikenal lagi

pertanggungjawaban atas dasar kebijakan, akan tetapi secara teoritis

Presiden dan Wakil Presiden (Pemerintah) bertanggung jawab kepada

konstituennya.31

Pada proses Perubahan UUD 1945, sistem

pemerintahan parlementer tidak menjadi pertimbangan untuk dianut

kembali. Hal ini terlihat dari kesepakatan Panitia Ad-Hoc (PAH) III

Badan Pekerja MPR dalam proses Perubahan UUD 1945 yang salah

satunya adalah mempertegas sistem pemerintahan presidensial.32

31 Herbert J. Spiro, Responsibility in Government: Theory and Practice, (New York: Van

Nostrand Reinhold Company, 1969), h. 4

32 Setjen MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Setjen MPR RI, 2006), h. 13

Page 81: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

71

Hasilnya, Perubahan Ketiga UUD 1945 mempertegas keberadaan

sistem pemerintahan presidensial, walaupun dalam hal pembentukan

Undang-Undang masih mencerminkan aspek parlementer.

Dalam Pasal 17 Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “menteri-

menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”, mengindikasikan

bahwa kabinet tidak bertanggung jawab pada parlemen, melainkan

pada Presiden. Hal ini menggambarkan ciri dari sistem pemerintahan

presidensial.

Terkait masa jabatan Presiden, sebelum diadakannya

perubahan terhadap UUD 1945, seseorang yang sedang atau pernah

menjabat sebagai Presiden dapat dipilih kembali untuk beberapa kali

tanpa ada pembatasan. Namun, setelah diadakannya perubahan,

pembatasan dilakukan. Presiden dan Wakil Presiden yang pernah

menjabat, sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama,

hanya untuk satu kali masa jabatan.

Belum ada contoh yang menunjukan, bahwa seorang anggota

DPR RI dapat merangkap pula menjadi Menteri. Biasanya, seseorang

yang terpilih sebagai anggota DPR kemudian diangkat menjadi

Menteri, biasanya anggota DPR tersebut mengundurkan diri dari

jabatan anggota legislatif tersebut. Hal ini bisa dilihat dari misalkan

Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin. Dimana ia mundur dari

keanggotaannya sebagai anggota DPR Periode 2014-2019.33

Selain hal-hal diatas, setelah perubahan UUD telah mengurangi

kekuasaan Presiden dimana masa sebelum UUD 1945 diubah,

Presiden memegang hak-hak prerogatif secara penuh namun sesudah

perubahan UUD 1945, ditukar atau dikurangi dengan hak-hak lembaga

33 Moch. Harun Syah, “Ini Alasan Lukman Hakim Pilih Jadi Menteri Ketimbang Anggota

DPR”, di akses dari https://www.google.co.id/amp/s/m.liputan6.com/amp/2101045/ini-alasan-lukman-

hakim-pilih-jadi-menteri-ketimbang-anggota-dpr pukul 14.00 WIB, tanggal 14 Agustus 2018.

Page 82: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

72

lain. Sebagai contoh, terkait pembentukan Undang-Undang, sebelum

Perubahan UUD 1945 sebagaimana Pasal 5 Ayat (1) Presiden

memegang Kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan

Persetujuan DPR. Namun sesudah Amandemen UUD 1945,

sebagaimana Pasal 5 Ayat (1) jo. Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945

sesudah Perubahan, Kekuasaan membentuk Undang-Undang ada di

tangan DPR, Presiden hanya berhak mengajukan rancangan Undang-

Undang.

Kemudian sebelum Perubahan UUD 1945, perihal mengangkat

duta dan konsul serta menerima duta Negara lain adalah hak

prerogratif Presiden. Namun sesudah Perubahan UUD 1945

sebagaimana Pasal 13 Ayat (2) dan Ayat (3), terkait mengangkat duta

dan menerima duta Negara lain, presiden diminta untung

memperhatikan pertimbangan DPR. Begitu juga dengan memberi

Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi, sesudah Amandemen UUD

1945, Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR dan

Mahkamah Agung.

B. PRESIDEN

Pemerintahan (government) pada dasarnya memiliki dua pengertian:

pertama, pemerintahan dalam arti luas (government in broader sense) yaitu

meliputi keseluruhan fungsi yang ada dalam negara. Dilihat dari teori trias

politika, pemerintahan dalam arti luas meliputi kekuasaan membentuk

Undang-Undang (legislatif), kekuasaan melaksanakan Undang-Undang

(eksekutif), dan kekuasaan mengadili (yudikatif).

Dengan demikian, kekuasaan dalam arti luas meliputi kekuasaan

membentuk Undang-Undang yang terbatas, kekuasaan eksekutif, dan

kekuasaan kehakiman yang terbatas. Kedua, pemerintahan dalam arti sempit

Page 83: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

73

(government in narrower sense), yaitu pemerintahan yang hanya berkenaan

dengan fungsi eksekutif saja.34

Menurut Stephen Leacock,35

kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan

yang mengenai pelaksanaan Undang-Undang. Dengan kata lain, bahwa

eksekutif menyelenggarakan kemauan negara. Dalam suatu negara demokrasi,

kemauan negara itu dinyatakan melalui badan pembentuk Undang-Undang.

Tugas utama dari eksekutif, tidak mempertimbangkan, tetapi melaksanakan

Undang-Undang yang ditetapkan oleh badan legislatif. Tetapi dalam negara

modern, urusan eksekutif adalah tidak semudah sebagai adanya pada masa-

masa Yunani. Oleh karena beranekaragamnya tugas-tugas negara, dirasa perlu

menyerahkan urusan pemerintahan dalam arti luas kepada tangan eksekutif

dan tak dapat lagi dikatakan, bahwa kekuasaan eksekutif hanya terdiri dari

pelaksanaan undang-undang.

Kekuasaan eksekutif menurut W. Ansley Wynes:36

sebagai kekuasaan

dalam negara yang melaksanakan undang-undang, menyelenggarakan urusan

pemerintahan dan mempertahankan tata tertib dan keamanan, baik di dalam

maupun di luar negeri. Kekuasaan-kekuasaan umum dari eksekutif adalah

berasal dari Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang yang meliputi:

1. Kekuasaan Administratif (Administrative Power), yaitu pelaksanaan

Undang-Undang dan politik administratif;

2. Kekuasaan Legislatif (Legislative Power), yaitu memajukan rencana

Undang-Undang dan mengesahkan Undang-Undang;

34 Sri Soemantri, “Kekuasaan dan Sistem Pertanggungjawaban Presiden Pasca Perubahan

UUD 1945”, Makalah Seminar Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, yang

diselenggarakan oleh Depkumham bekerjasama dengan FH Unair dan Kanwil Depkumham Provinsi

Jawa Timur di Surabaya pada tanggal 9-10 Juni 2004, h. 8

35 Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, (Jakarta: Aksara Baru, 1986), h. 43

36 Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif,… h. 44

Page 84: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

74

3. Kekuasaan Yudikatif (Judicial Power), yaitu kekuasaan untuk

memberikan grasi dan amnesti;

4. Kekuasaan Militeris (Military Power), yaitu kekuasaan mengenai

angkatan perang dan urusan pertahanan; dan

5. Kekuasaan Diplomatif (Diplomatic Power), yaitu kekuasaan yang

mengenai hubungan luar negeri.

Menurut Ismail Suny, apa yang disebutkan itu adalah segala sesuatu

yang berhubungan dengan kekuasaan Presiden di waktu normal. Pada waktu-

waktu krisis yang memuncak apabila oleh satu dan lain sebab kabinet tak

dapat dengan efektif menyelenggarakan tugasnya, kekuasaan darurat

dilaksanakan oleh Presiden.

UUD 1945 menentukan bahwa kekuasaan eksekutif dilakukan oleh

Presiden. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 UUD 1945:

Ayat (1): “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan

menurut Undang-Undang Dasar.”

Ayat (2): “Dalam melaksanakan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu

orang Wakil Presiden.”

Selain itu, dalam menjalankan kewajiban pemerintahan, khususnya

dalam menentukan politik negara, Presiden dibantu oleh menteri-menteri

negara sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Ayat (1) UUD 1945. Berikut

meliputi ruang lingkup Presiden menurut konstitusi yakni sebagai berikut.

1. Pengisian Jabatan Presiden

UUD 1945 pra-amandemen meletakkan kedaulatan berada di

tangan MPR. Sehingga pengaturan masalah pengisian jabatan Presiden

dan Wakil Presiden dilakukan oleh MPR. Sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh

MPR dengan suara terbanyak.” Tuntutan reformasi menghendaki

pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara

Page 85: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

75

demokratis, transparansi dan beradab, serta partisipasi rakyat seluas-

luasnya. Berdasarkan itui, Pasal 6A UUD 1945 pasca-amandemen

menyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan

calon secara langsung oleh rakyat dalam suatu pemilihan umum”.

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (selanjutnya disebut UU

Pilpres) menyatakan, “Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah

Pasangan Calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik

atau gabungan partai politik.”

Berkaitan dengan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yang

diusulkan oleh partai menurut Pasal 6 UU Pilpres, seseorang hanya dapat

dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden, apabila memenuhi dua

persyaratan pokok yaitu: Pertama, persyaratan personal; Kedua, syarat

administratif. Syarat personal di antaranya; (1) bertakwa kepada Tuhan

Yang Maha Esa; (2) mampu secara rohani dan jasmani; (3) setia kepada

Pancasila dan UUD 1945, serta cita-cita proklamasi. Adapun syarat

administrasi, meliputi; (1) WNI sejak kelahiran dan tidak pernah

menerima kewarganegaraan lain; (2) tidak pernah berkhianat terhadap

negara; (3) bertempat tinggal di wilayah NKRI; (4) telah melaporkan dan

diaudit kekayaan pribadinya; (5) tidak sedang memiliki tanggungan utang;

(6) tidak sedang pailit; (7) tidak sedang dicabut hak pilihnya; (8) tidak

melakukan perbuatan tercela; (9) terdaftar sebagai pemilih (10) memiliki

nomor pokok wajib pajak (NPWP); (11) memiliki daftar riwayat hidup;

(12) belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama

dua kali masa jabatan; (13) tidak pernah dihukum penjara karena makar;

(14) berusia sekurang-kurangnya 30 tahun; (15) berpendidikan minimal

SMA/sederajat; dan (16) bukan bekas anggota Partai Komunis Indonesia

(PKI) atau sejenisnya; dan (17) tidak pernah dijatuhi hukuman pidana

Page 86: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

76

penjara berdasarkan putusan pengadilan yang diancam dengan pidana

penjara lima tahun atau lebih.

Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima

tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama

hanya untuk satu kali masa jabatan. Namun demikian, ia dapat

diberhentikan dari masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, apabila

terbukti melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan perundang-

undangan setelah ada Keputusan dari Mahkamah Konstitusi yang

menyatakan bahwa Presiden dan/Wakil Presiden terbukti melakukan

pelanggaran hukum, perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi

syarat.

2. Kedudukan

Kedudukan utama dari Presiden dinyatakan secara tegas dalam

UUD 1945, yaitu kekuasaan pemerintahan negara (executive power).

Meskipun demikian, menurut Ismail Suny, Presiden Indonesia tidak

menjadi kepala eksekutif dan pemimpin yang sebenarnya dari eksekutif

seperti halnya di Amerika Serikat.37

Ada dua alasan pokok berkaitan

dengan pendapat Ismail Suny tersebut; Pertama, dalam melaksanakan

kekuasaan itu telah ditentukan oleh UUD; Kedua, dalam melaksanakan

tugasnya, Presiden dibantu oleh para menteri dan para menteri inilah

dalam konteks politik yang melaksanankan tugas-tugas pemerintahan.

3. Kekuasaan, Wewenang, dan Tugas Presiden

Berbicara mengenai wewenang dan kekuasaan Presiden

memerlukan penjelasan yang lebih jauh. Menurut Inu Kencana Syafiie,

wewenang dan kekuasaan Presiden dapat dibagi menjadi dua macam yaitu

selaku Kepala Negara dan selaku Kepala Pemerintahan. Tugas dan

37 Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif,… h. 42

Page 87: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

77

tanggung jawab sebagai Kepala Negara, meliputi hal-hal yang seremonial

dan protokoler kenegaraan. Jadi, mirip dengan kewenangan para kaisar

atau raja/ratu, tetapi tidak berkenaan dengan kewenangan

penyelenggaraan pemerintahan.38

Wewenang dan kekuasaan Presiden

sebagai kepala pemerintahan, adalah fungsinya sebagai penyelenggara

tugas legislatif. Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan; “Presiden RI

memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.

Makna yang terkandung dari ketentuan tersebut bahwa Presiden adalah

kepala kekuasaan eksekutif dalam negara.

Berkaitan dengan kekuasaan Presiden tersebut menurut Abubakar

Busra dan Abu Daud Busroh:39

“Kenyataannya UUD 1945 hanya

menyebutkan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan atau eksekutif saja,

sedangkan Presiden sebagai Kepala Negara tidak ditegaskan oleh pasal-

pasal di dalam UUD 1945.”

Hal terpenting yang perlu dikaji, bahwa dalam sistem

pemerintahan kabinet parlementer umumnya, Presiden berfungsi hanya

sebagai kepala negara, sedangkan dalam sistem kabinet presidensial.

Maka, Presiden di samping berfungsi sebagai Kepala Negara juga

berfungsi sebagai Kepala Eksekutif.

Dari pasal-pasal UUD 1945 dan penjelasannya dapat ditarik

kesimpulan bahwa sistem pemerintahan yang dianut UUD 1945 ialah

sistem presidensial. Dengan demikian, Presiden berfungsi sebagai Kepala

Negara dan Kepala Pemerintahan. Kenyataan fungsi Presiden sebagai

Kepala Negara dapat dilihat dari penjelasan Pasal 10 sampai 15 yang

38 Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta,

1994), h. 53

39 Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Asas-Asas Hukum Tata Negara,

(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1991), h. 80

Page 88: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

78

menyatakan: “Kekuasaan-kekuasaan Presiden dalam pasal-pasal ini, ialah

konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara.”

Kekuasaan Presiden berdasarkan UUD 1945, dapat

dikelompokkan dalam 3 jenis, yaitu: a. Kekuasaan Presiden dalam bidang

eksekutif; b. Kekuasaan Presiden dalam bidang legislatif; c. Kekuasaan

Presiden sebagai Kepala Negara dan d. Kekuasaan Presiden dalam bidang

yudikatif.40

Kekuasaan Presiden menurut konstitusi UUD 1945 peneliti

paparkan sebagai berikut.

a. Kekuasaan Presiden dalam Bidang Eksekutif

Kekuasaan Presiden dalam bidang eksekutif termaktub di

dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945.

Pasal 4 ayat (1): “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan

pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.”

Pasal 5 ayat (2): “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk

menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.”

Menurut Ismail Suny, meskipun Undang-Undang Dasar 1945

menyatakan: Kekuasaan pemerintahan negara (executive power)

dipegang oleh Presiden, seperti dinyatakan pula dalam Undang-

Undang Dasar Amerika Serikat, Presiden Indonesia tidak menjadi

kepala eksekutif ataui pimpinan yang sebenarnya dari eksekutif,

karena dalam melaksanakan kekuasaannya yang ditentukan baginya

oleh Undang-Undang Dasar menurut Undang-Undang Dasar.

Sedangkan menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,41

karena UUD 1945 mengatur hal-hal yang pokok, maka sebenarnya

40 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara

Indonesia,… h. 197

41 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara

Indonesia,… h. 80

Page 89: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

79

ketentuan Pasal 4 Ayat 1 tersebut memberi wewenang kepada

Presiden yang luas dan tidak terperinci, sehingga segala pelaksanaan

pemerintahannya itu sedikit banyak tergantung kepada Presiden.

Namun demikian, tidak berarti, bahwa Presiden dapat berbuat

sekehendak hatinya, karena UUD 1945 membatasinya.

Sebaliknya, Inu Kencana Syafiie mengutip pendapat

Muhammad Ridhwan Indra,42

menyatakan bahwa akan halnya

besarnya kekuasaan Presiden dalam UUD 1945 itu terlihat karena:

Pertama, Presiden di samping memimpin eksekutif tertinggi, juga

mempunyai kekuasaan legislatif, Kedua, Presiden di samping

memimpin eksekutif tertinggi, juga mempunyai kekuasaan yudikatif;

Ketiga, Presiden mempunyai kekuasaan untuk membentuk peraturan

pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang (pouvoir

reglementair); dan Keempat, Undang-Undang yang mengatur seluruh

lembaga tinggi negara lainnya dapat dibuat Presiden.

b. Kekuasaan Presiden dalam Bidang Legislatif

Kekuasaan Presiden di bidang legislatif, meliputi;

Pasal 5 Ayat (1): “Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-

Undang kepada DPR”;

Pasal 21 Ayat (2): “Jika usul Rancangan Undang-Undang (oleh

anggota DPR), meskipun disetujui DPR tidak disahkan oleh Presiden,

maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan

DPR masa itu.”

Pasal 22 Ayat (1): “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,

Presiden berhak menetapka peraturan pemerintah sebagai pengganti

Undang-Undang.”

42 Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia,… h. 56-57

Page 90: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

80

Pasal 23 Ayat (1): “Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama-

sama DPR dengan memerhatikan pertimbangan DPD.”

Pasal 23 Ayat (2): “Apabila DPR tidak menyetujui Rancangan

Undang-Undang Anggaran Pendapatan Negara diusulkan oleh

Presiden, Pemerintah menjalankan APBN tahun lalu.”

c. Kekuasaan Presiden Sebagai Kepala Negara

Sebagai Kepala Negara, Presiden mempunyai tugas-tugas

pokok yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, yakni Pasal 10

sampai 16 UUD 1945:

Pasal 10: “Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi dan angkatan

darat, angkatan laut, dan angkatan udara.”;

Pasal 11 Ayat (1): “Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan

perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”;

Pasal 12: “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan

akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-Undang”;

Pasal 13 Ayat (2): “Presiden mengangkat duta dan konsul (Pasal 13

Ayat (1)). Dalam hal mengangkat duta, Presiden memerhatikan

pertimbangan DPR”;

Pasal 13 Ayat (3): “Presiden menerima duta penempatan duta negara

lain dengan memerhatikan pertimbangan DPR”;

Pasal 14 Ayat (1): “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan

memperhatikan pertimbangan MA”;

Pasal 14 Ayat (2): “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan

memerhatikan pertimbangan DPR”;

Pasal 15: “Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda

kehormatan yang diatur dengan Undang-Undang”;

Page 91: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

81

Pasal 16: “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang

bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang

selanjutnya diatur dalam UU”;

Pasal 17 Ayat (2): “Presiden mengangkat dan memberhentikan

menteri-menteri”.

Dalam konteks Inu Kencana Syafiie, memberi grasi, abolisi,

amnesti dan rehabilitasi merupakan kekuasaan presiden di bidang

yudikatif yang masuk dalam kekuasaan Presiden di bidang

pemerintahan (Kepala Pemerintahan).43

d. Kekuasaan Presiden Bidang Yudikatif

Menurut ketentuan Pasal 14 UUD NRI 1945 sebelum

perubahan, Presiden memiliki kewenangan untuk memberi grasi,

amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Namun, setelah terjadi perubahan

UUD 1945, ketentuan tersebut sedikit mengalami perubahan yaitu

dalam hal memberi grasi dan rehabilitasi Presiden memperhatikan

pertimbangan Mahkamah Agung (MA) dan dalam hal memberikan

abolisi dan amnesti Presiden dengan memperhatikan pertimbangan

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dalam hal perlunya memperoleh pertimbangan dari MA untuk

memberikan grasi dan rehabilitasi, serta pertimbangan DPR dalam hal

memberikan amnesti dan abolisi sebagaimana yang tercantum dalam

Pasal 14 UUD 1945 setelah perubahan, menurut Bagir Manan untuk

grasi pertimbangan MA diperlukan karena grasi menyangkut putusan

hakim, tetapi kalau rehabilitasi tidak selalu terkait dengan putusan

hakim.

43 Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia,… h. 54

Page 92: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

82

Sementara mengenai amnesti dan abolisi yang memerlukan

pertimbangan DPR, menurut Bagir Manan dalam pandangan yang

lazim berlaku grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi dipandang

sebagai kekuasaan konstitusional Presiden di bidang yudisial. Oleh

karena itu, senantiasa dikaitkan dengan MA, kalau dikaitkan dengan

DPR menunjukkan adanya unsur politik dalam pemberian amnesti dan

abolisi, tentu saja hal itu kurang sesuai dengan sifat kekuasaan

Presiden yaitu kekuasaan Presiden di bidang yudisial.

Selain itu, pemberian amnesti dan abolisi tidak selalu terkait

dengan pidana politik sehingga kalaupun diperlukan pertimbangan

cukup dari MA. Hal ini dikarenakan DPR adalah badan politik

sedangkan yang diperlukan adalah pertimbangan hukum.44

C. Dewan Perwakilan Rakyat

Sebelum perubahan UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia

mengenal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga negara

tertinggi. Di bawahnya, terdapat 5 lembaga negara yang berkedudukan

sebagai lembaga tinggi termasuk DPR. Dalam kedudukannya sebagai

lembaga tertinggi negara pada sebelum perubahan UUD 1945, MPR

pemegang kekuasaan negara tertinggi (die gezamte staatgewald liege allein

bei der Majelis), karena lembaga ini merupakan penjelmaan seluruh rakyat

Indonesia (vertretungsorgaan des willens des staatsvolkes).

Sementara itu, DPR yang merupakan lembaga perwakilan rakyat,

kemudian dinyatakan DPR adalah kuat dan senantiasa dapat mengawasi

tindakan-tindakan Presiden. Bahkan, jika DPR menganggap bahwa Presiden

sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD 1945 atau

44 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, (Yogyakarta: UII Press, 2006).

Page 93: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

83

oleh MPR, maka DPR dapat mengundang MPR untuk menyelenggarakan

sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban Presiden.

Setelah amandemen UUD 1945, DPR mengalami perubahan, fungsi

legislasi yang sebelumnya berada di tangan Presiden, maka setelah

amandemen UUD 1945 fungsi legislasi berpindah ke DPR. Pergeseran

pendulum itu dapat dibaca dengan adanya perubahan secara substansial Pasal

5 Ayat (1) UUD 1945 dari “Presiden memegang kekuasaan membentuk

Undang-Undang dengan persetujuan DPR, menjadi Presiden berhak

mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR”.

Akibat dari pergeseran itu, hilangnya dominasi Presiden dalam proses

pembentukan undang-undang. Perubahan itu penting, artinya karena undang-

undang adalah produk hukum yang paling dominan untuk menerjemahkan

rumusan-rumusan normatif yang terdapat dalam UUD 1945. Adapun ruang

lingkup Dewan Perwakilan Rakyat menurut konstitusi ialah sebagai berikut.

1. Susunan, Kedudukan, dan Fungsi DPR

Menurut Ismail Suny,45

mengatakan bahwa dalam masa demokrasi

Pancasila, DPR peranannya kurang memadai, karena ternyata sejak tahun

1971-1998 tidak lebih dari hanya menyetujui dan tidak mengajukan usul

inisiatif. Selain itu, tidak diperlakukannya sifat kebersamaan dalam sifat-

sifat pemilu Indonesia yang hanya luber, belum memenuhi sifat-sifat

pemilu yang demokratis mengenai sifat kelima yaitu sifat kebersamaan.

Ketiadaan sifat kebersamaan ini, melanggar aturan umum yang dijamin

oleh Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yaitu diakuinya persamaan warga

negara di hadapan hukum dan pemerintahan, dalam hal ini dalam ikut

serta memilih dan dipilih dalam pemilu. Terdapatnya anggota ABRI dan

45 Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif,… h. 9

Page 94: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

84

non-ABRI yang tidak dipilih dalam DPR, merupakan tindakan

inkonstitusional.

Pada masa reformasi (awal) berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,

DPRD dimana pengisian anggota DPR dilakukan berdasarkan hasil

pemilu dan pengangkatan. DPR terdiri atas: (1) anggota partai politik hasil

Pemilihan Umum; dan (2) anggota ABRI yang diangkat. Jumlah anggota

DPR adalah 500 orang dengan perincian: (1) anggota partai politik hasil

pemilu sebanyak 462 orang; dan (2) anggota ABRI yang diangkat

sebanyak 38 orang.

Pada masa pra-amandemen dalam ketentuan Pasal 20 Ayat (1)

UUD 1945, ditetapkan bahwa DPR dapat: (1) memberi persetujuan

undang-undang, (2) berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang

sebagaimana diatur Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 pra-amandemen, dan (3)

berhak memberi persetujuan Perpu sebagaimana diatur dalam Pasal 22

Ayat (2) UUD 1945 pra-amandemen. Untuk benar-benar melaksanakan

demokrasi pasca-amandemen UUD 1945 mereformasi keanggotaan DPR,

yaitu anggota DPR terdiri dari anggota-anggota golongan politik (partai)

yang dipilih melalui pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UUD

pasca-amandemen.

Berdasarkan Pasal 20A Ayat 1 menyatakan, bahwa DPR

merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai

lembaga negara yang memiliki fungsi antara lain: (1) fungsi legislasi yaitu

fungsi untuk membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden

untuk mendapat persetujuan bersama; (2) fungsi anggaran, yaitu fungsi

untuk menyusun dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN) bersama Presiden dengan memerhatikan pertimbangan

DPD; dan (3) fungsi pengawasan, yaitu fungsi melakukan pengawasan

Page 95: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

85

terhadap pelaksanaan UUD NRI Tahun 1945, Undang-Undang, dan

peraturan pelaksanaannya. Berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang Nomor

22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan

DPRD menetapkan: “DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang

berkedudukan sebagai lembaga negara.”

2. Tugas dan Wewenang DPR

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa amandemen UUD

1945 telah menempatkan DPR sebagai lembaga legislasi yang sebelumnya

berada di tangan Presiden. Dengan demikian, DPR memiliki fungsi politik

yang sangat strategis, yaitu sebagai lembaga penentu arah kebijakan

kenegaraan.

Dalam tugas dan kewenangan keberadaan DPR yang sangat

dominan, karena kompleksitas dalam tugas dan wewenangnya tersebut,

yaitu: (1) DPR mempunyai kekuasaan membentuk Undang-Undang; (2)

setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan

bersama; (3) jika RUU itu tidak mendapat persetujuan bersama, RUU itu

tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu; (4) Presiden

mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi UU, dan

(5) dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan

oleh Presiden dalam waktu 30 hari sejak RUU itu disetujui, RUU tersebut

sah menjadi UU dan wajib diundangkan sebagaimana ketentuan Pasal 20

UUD 1945 pasca-amandemen.

Selain berkaitan dengan proses legislasi, dalam kewenangannya

DPR sebagai penentu kata “putus” dalam bentuk memberi persetujuan

terhadap agenda kenegaraan yang meliputi: (1) menyatakan perang,

membuat perdamaian, perjanjian dengan negara lain (Pasal 11 Ayat (1)

UUD 1945); (2) membuat perjanjian internasional lainnya yang

menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang

Page 96: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

86

terkait dengan beban keuangan negara (Pasal 11 Ayat (2) UUD 1945); (3)

menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi

Undang-Undang (Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945); (4) pengangkatan Hakim

Agung (Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 ); (5) pengangkatan dan

pemberhentian anggota Komisi Yudisial (Pasal 24B Ayat (3) UUD 1945);

Agenda kenegaraan lain yang memerlukan “pertimbangan” DPR yaitu: (1)

pengangkatan Duta (Pasal 13 Ayat (2) UUD 1945); (2) menerima

penempatan duta negara lain (Pasal 13 Ayat (3) UUD 1945); (3)

pemberian amnesti dan abolisi (Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945).

Kekuasaan DPR semakin komplit dengan adanya kewenangan

untuk mengisi beberapa jabatan strategis kenegaraan, seperti: (1) memilih

anggota Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal 23F ayat (1) UUD 1945); (2)

menentukan tiga dari sembilan orang hakim konstitusi (Pasal 24C Ayat (3)

UUD 1945); (3) menjadi institusi yang paling menentukan dalam proses

pengisian lembaga non-state lainnya (auxiliary bodies), seperti Komisi

Nasional HAM, Komisi Pemilihan Umum. Selain juga adanya keharusan

untuk meminta pertimbangan DPR dalam pengisian jabatan Panglima

TNI, Kepolisian Negara RI (Kapolri).46

3. Hak dan Kewajiban DPR

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berdasarkan Pasal

20A Ayat (2) UUD 1945 jo. Pasal 27 Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD

menyatakan sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPR memiliki hak,

antara lain; (1) hak interpelasi, yaitu hak DPR untuk meminta keterangan

kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan

strategis, serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan

bernegara; (2) hak angket, yaitu hak DPR untuk melakukan penyelidikan

46 Bima Arya Sugiarto, seperti dikutip dalam Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislatif:

Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia,… h. 122.

Page 97: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

87

terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis, serta

berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang

diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; dan (3) hak

menyatakan pendapat, yaitu hak DPR untuk menyatakan pendapat

terhadap kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang

terjadi di tanah air, disertai dengan solusi tindak lanjut dari hak interpelasi

dan hak angket.

Sementara di luar hak institusi, anggota DPR juga memiliki hak,

diantaranya: (1) mengajukan RUU; (2) mengajukan pertanyaan; (3)

menyampaikan usul dan pendapat, dan; (4) imunitas. Dan dalam

menggunakan hak angket, DPR dapat melakukan pemanggilan paksa. Kalau

panggilan paksa itu tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, DPR dapat

melakukan penyelamatan.

D. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018

Pemohon terkait putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas

Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) selaku Pemohon I, Dr. Husdi

Herman, S.H., M.M. selaku Pemohon II, Yudhistira Rifky Darmawan selaku

Pemohon III.

Adapun objek yang dimohonkan yakni terkait pengujian

konstitusionalitas Pasal 73 Ayat (3) s/d Ayat (6), Pasal 122 Huruf I dan Pasal

245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR,

DPD, dan DPRD terhadap UUD NRI Tahun 1945.

Namun secara khusus, peneliti terfokus pada objek penelitian yang

tertuang dalam Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018

Page 98: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

88

Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Bahwa Pasal 245 Ayat (1) Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terhadap

kata “tidak” dan frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah

Kehormatan Dewan” telah merugikan hak konstitusional para Pemohon untuk

mendapatkan persamaan kedudukannya di dalam hukum sebagaimana diatur

Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945. Terhadap Pemohon II dan Pemohon III yang

merupakan warga negara pemilih dalam Pemilu, tidak pernah memberikan

hak imunitas absolut kepada anggota DPR. Kemudian khusus untuk Pemohon

I, berdasarkan Pasal 8 Huruf e AD/ART, Pemohon I mempunyai tugas

melakukan upaya hukum apapun yang sah secara hukum dalam upaya

perlindungan-perlindungan nilai-nilai konstitusionalisme dimana dalam nilai-

nilai konstitusionalisme terkandung prinsip persamaan kedudukan di hadapan

hukum.

Oleh karena terdapat kata “tidak” dalam Pasal 245 Ayat (1) Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dapat

ditafsirkan semua tindak pidana dapat dimaknai menjadi bagian hak imunitas

sehingga seluruh tindak pidana tidak bisa menjangkau anggota DPR.

Kemudian, terhadap frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah

Kehormatan Dewan” dapat berpotensi menghambat atau bahkan

menghentikan mekanisme persetujuan Presiden terkait pemanggilan dan

permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya

tindak pidana sehingga dapat ditafsirkan persetujuan Presiden tidak dapat

keluar apabila belum mendapatkan pertimbangan Mahkamah Kehormatan

Dewan (MKD). Oleh karenanya, pemanggilan dan permintaan keterangan

tidak bisa dilakukan sehingga menimbulkan ketidaksamaan kedudukan di

dalam hukum dan merugikan hak atas kepastian hukum yang adil bagi para

Pemohon.

Page 99: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

89

Dengan demikian, apabila Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terhadap kata “tidak”

dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan terhadap frasa “setelah

mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dinyatakan

bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Apabila dalam

waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima,

Mahkamah Kehormatan Dewan tidak memberikan pertimbangan, maka

Mahkamah Kehormatan Dewan dianggap telah mengeluarkan pertimbangan

yang menyatakan bahwa tindak pidana yang dijadikan dasar pemanggilan

dan permintaan keterangan kepada anggota DPR tidak berhubungan dengan

pelaksanaan tugas dan karenanya tidak perlu persetujuan tertulis Presiden”,

maka kerugian konstitusional para Pemohon tidak akan terjadi.

Adapun alasan para Pemohon mengajukan uji materi terhadap Pasal

245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR,

DPD, dan DPRD ialah sebagai berikut;

Sebagaimana yang tertuang pada pasal a quo, yang menyatakan:

“Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan

dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan

tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224, harus mendapat persetujuan

tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan Mahkamah

Kehormatan Dewan”.

Sebagaimana yang patut dicermati mengenai ketentuan Pasal 224

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan

DPRD, yakni sebagai berikut;

1). Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan,

Page 100: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

90

pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan

maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan

dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.

2). Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap,

tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang

semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau

anggota DPR.

3). Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan,

pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat

DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang

dan tugas DPR.

4). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak berlaku dalam hal

anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati

dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai

rahasia negara menurut ketentuan peraturan perundang-undangan

Para Pemohon mendalilkan, kata “tidak” dan frasa “setelah mendapat

pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD bertentangan

dengan prinsip negara hukum berdasarkan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, yang

menjamin persamaan di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27

Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, serta bertentangan dengan hak imunitas yang

termaktub dalam Pasal 20A Ayat (3) UUD 1945 sehingga menurut Para

Pemohon memohonkan kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi:

1. Kata “tidak” dalam Pasal 245 Ayat (1) UU MD3 bertentangan dengan

UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;

2. Frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan

Dewan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Apabila dalam waktu paling lama

30 hari sejak permohonan diterima, Mahkamah Kehormatan Dewan tidak

memberikan pertimbangan, maka Mahkamah Kehormatan Dewan dianggap

telah mengeluarkan pertimbangan yang menyatakan, bahwa tindak pidana

Page 101: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

91

yang dijadikan dasar pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota

DPR tidak berhubungan dengan pelaksanaan tugas dan karenanya tidak perlu

persetujuan tertulis Presiden”

Berdasarkan uraian tersebut, Para Pemohon pada intinya

mempersoalkan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018

Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang

MPR, DPR, DPD, dan DPRD bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1

Ayat (3), Pasal 19 Ayat (1), Pasal 20A Ayat (1), Pasal 20A Ayat (3), Pasal 27

Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Page 102: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

92

BAB IV

IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA DPR

YANG DIDUGA MELAKUKAN TINDAK PIDANA MENURUT

PASAL 245 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2018

PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 16/PUU-

XVI/2018

A. Izin Presiden Dalam Tahap Penyidikan Anggota DPR RI Yang Diduga

Melakukan Tindak Pidana Ditinjau Dari Aspek Kekuasaan Presiden

Dalam Konsep Negara Hukum

Dalam sejarah ketatanegaraan suatu negara, umumnya konstitusi

digunakan untuk mengatur dan sekaligus membatasi kekuasaan negara

termasuk di dalamnya adalah penyelenggaraan kekuasaan Presiden.

Kekuasaan Presiden dalam suatu negara sangat penting sehingga kekuasaan

Presiden harus diatur secara jelas di dalam kontitusi dan peraturan perundang-

undangan di bawahnya. Besar tidaknya kekuasaan Presiden bergantung pada

kedudukan, tugas dan wewenang yang diberikan konstitusi kepadanya.

Pasal 4 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 telah menggariskan bahwa

“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut

UUD”. Artinya, kekuasaan dan tanggung jawab pemerintahan berada di

tangan satu orang yaitu dipegang oleh Presiden. Presiden yang memegang

kekuasaan pemerintahan dalam pasal ini menunjuk kepada pengertian

Presiden menurut Sistem Pemerintahan Presidensial.1 Dengan dianutnya

Sistem Presidensial, maka sistem pemerintahan terpusat pada jabatan Presiden

sebagai Kepala Pemerintahan (head of government) sekaligus sebagai Kepala

Negara (Head of State).

1 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,

(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 127

Page 103: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

93

Menurut Jimly Asshiddiqie, kedua jabatan sebagai Kepala Negara dan

Kepala Pemerintahan itu pada hakikatnya sama-sama merupakan cabang

kekuasaan eksekutif.2 Oleh karena itu, dalam jabatan Presiden itu tercakup

dua kualitas kepemimpinan sekaligus, yaitu Kepala Negara dan Kepala

Pemerintahan, maka pemegang jabatan Presiden (ambtsdrager) menjadi

sangat kuat kedudukannya. Karena itu pula, Indonesia dalam bingkai sistem

republik yang demokratis, maka kedudukan Presiden selalu harus dibatasi

oleh konstitusi.

Diakui bahwa pelaksanaan kekuasaan pemerintahan oleh Presiden

berdasarkan tafsir UUD 1945 pra-amandemen, Presiden dibekali hak

konstitusional atau yang lebih populis dikenal hak prerogatif. Misalnya, dalam

hal menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12); mengangkat duta dan konsul

(Pasal 13); memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan

pertimbangan MA (Pasal 14 Ayat (1)); amnesti dan abolisi dengan

memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 14 Ayat (2)); membentuk Dewan

Pertimbangan Presiden (Pasal 16); mengangkat dan memberhentikan Menteri

(Bab V Pasal 17 Ayat (2)). Sebenarnya UUD 1945 tidak menyebutkan secara

eksplisit bahkan menjadi argumentasi utama dalam membenarkan penggunaan

hak-hak prerogatif tertentu oleh Presiden secara mandiri (tanpa adanya

mekanisme pengawasan dari lembaga lainnya).

Dalam pelaksanaannya, ternyata hak-hak prerogatif sebagai bentuk

kekuasaan Presiden telah banyak menimbulkan banyak permasalahan yang

hingga kini masih diwarnai pro-kontra seputar implementasinya dalam

konteks hukum tata negara maupun ranah disiplin lain yang terkait. Hal ini

dapat disebabkan oleh tiga hal ialah sebagai berikut.

Pertama, besarnya kekuasaan Presiden tersebut tidak diikuti dengan

mekanisme dan bentuk pertanggungjawaban yang jelas. Padahal hak-hak

2 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,… h. 311

Page 104: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

94

tersebut sifatnya substansial bagi kehidupan bangsa sehingga memerlukan

adanya kontrol, misalnya pemilihan duta dan konsul, penentuan susunan

kabinet, wewenang untuk menyatakan perang dan lain-lain.

Kedua, fenomena ketidakpercayaan publik/masyarakat terhadap

kinerja Pemerintah telah sedemikian besarnya sehingga menimbulkan

skeptisme (keraguan/ketidakpercayaan) dalam tubuh masyarakat terhadap

tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah, khususnya Presiden.

Ketiga, berkaitan erat dengan hal yang kedua, skeptisme ini juga

didorong oleh tumbuhnya kesadaran masyarakat dengan sangat cepat yang

dipicu oleh atmosfir reformasi yang tengah berjalan hingga saat ini yang

belum memenuhi ekspektasi masyarakat terhadap perubahan negara kea rah

yang lebih baik.

Dalam praktik ketatanegaraan negara-negara modern saat ini,

berkenaan dengan hak prerogatif Presiden yang sudah tidak lagi bersifat

mutlak dan mandiri, kecuali dalam hal pengambilan kebijakan-kebijakan

dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Hak khusus/istimewa ini

bahkan dapat dikatakan sudah mengalami penyempitan, karena ia hanya

diberikan dalam hal-hal yang terbatas dan kepada kekuasaan tertentu saja,

yakni seperti raja dalam sistem negara monarki.

Sistem pemerintahan negara-negara modern kini kebanyakan berusaha

menempatkan segala model kekuasaan negara dalam kerangka

pertanggungjawaban publik secara akuntabel dan transparan sehingga suatu

kekuasaan yang tidak dapat dikontrol, digugat dan dipertanggungjawabkan,

sulit untuk mendapat tempat dalam praktik ketatanegaraan yang baik demi

kesejahteraan umum setiap warga negaranya. Sebagai contoh, pengangkatan

Kepala Departemen (Menteri) di Amerika Serikat yang menganut sistem

presidensial murni saja, tetap harus mendapatkan persetujuan dari Senat

Amerika. Padahal dengan jelas kekuasaan tersebut adalah kekuasaan eksekutif

Page 105: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

95

yang dalam sistem presidensial yang ditegaskan bahwa Menteri-Menteri

diangkat oleh Presiden Amerika, tetapi memerlukan persetujuan Senat dalam

proses pengangkatan Menteri di Amerika Serikat.

Lain halnya dengan di Indonesia, mengenai hak prerogatif Presiden

telah termanifestasi dalam konstitusi, salah satunya Pasal 14 Ayat (1) UUD

1945 pasca amandemen dimana Presiden diberikan hak prerogatif untuk

memberikan grasi dan rehabilitasi kepada seseorang terpidana dengan

memperhatikan pertimbangan MA. Dengan adanya kata “memperhatikan

pertimbangan MA” ini sejatinya bukan lagi dikatakan sebagai hak prerogatif

Presiden karena hak prerogatif diartikan sebagai hak mutlak seorang Presiden

tanpa adanya campur tangan dari pihak lain sehingga pemaknaan hak

prerogatif Presiden telah mengalami penyimpangan dari makna

sesungguhnya. Artinya pemberian grasi dan rehabilitasi sebagai wujud

pelaksanaan kekuasaan Presiden tidak dapat lagi dikatakan sebagai hak

prerogatif Presiden, melainkan hak konstitusional Presiden sebagaimana hasil

amandemen konstitusi UUD NRI Tahun 1945 yang salah satunya

menghindari kekuasaan Presiden yang berlebih yang berpotensi otoriter.

Berbicara hak konstitusional Presiden yang menjadi suatu kewenangan

khusus yang dimiliki Presiden, maka amat relevan dengan pembahasan

penelitian ini. Menyoal izin/persetujuan tertulis Presiden dalam hal

pemanggilan dan permintaan keterangan anggota DPR yang diduga

melakukan tindak pidana merupakan manifestasi dari hak konstitusional

dalam cabang kekuasaan yudikatif yang dimiliki oleh Presiden sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018

Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014

Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

No. 16/PUU-XVI/2018.

Page 106: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

96

Pada Pasal 1 Butir 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) dijelaskan bahwa penyidikan adalah

serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan

bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna

menemukan tersangkanya. Pengertian tersangka menurut Pasal 1 Butir 14

KUHAP adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya

berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Perlu

diketahui bahwa secara umum, sebagaimana Pasal 7 Butir 1, penyidik

berwenang untuk:

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya

tindak pidana;

b. Melakukan tindak pidana pertama pada saat di tempat kejadian;

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda

pengenal diri tersangka;

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan

penyitaan;

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka

atau saksi;

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara;

i. Mengadakan penghentian penyidikan;

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab.

Jadi, pemanggilan anggota DPR yang diduga sebagai pelaku tindak

pidana untuk diperiksa keterangannya merupakan salah satu wewenang

Page 107: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

97

penyidik dalam proses penyidikan. Diperlukannya pertimbangan dari MKD

dalam mendapatkan persetujuan tertulis Presiden untuk melakukan

pemanggilan dan permintaan keterangan anggota DPR yang diduga

melakukan tindak pidana, maka dalam ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

sebagaimana telah diubah terakhir kali oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014

Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Adapun bunyi pasal tersebut

selengkapnya adalah sebagai berikut;

“Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan

dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan

tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan

tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah

Kehormatan Dewan.”

Berdasarkan bunyi Pasal di atas, bahwa yang dimaksud dengan tindak

pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas anggota DPR

menurut Pasal 224 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 UU MD3 adalah

pertama, Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena

pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakan baik secara

lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang

berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR. Kedua, Anggota

DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan,

kegiatan, di dalam rapat DPR atau di luar rapat DPR yang semata-mata karena

hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR. Ketiga,

Anggota DPR tidak dapat diganti antar waktu karena pernyataan, pertanyaan,

dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di

luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.

Page 108: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

98

Sebagaimana yang patut dicermati dalam Pasal 245 Ayat (2) UU MD3

Tahun 2018 bahwa persetujuan tertulis dari Presiden tersebut tidak berlaku

terhadap anggota DPR yang (1)Tertangkap tangan melakukan tindak pidana;

(2) Disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana

mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap

kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup;

dan (3) Disangka melakukan tindak pidana khusus.

Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 telah menyatakan bahwa

ketentuan Pasal 245 Ayat (1) UU MD3 Tahun 2018 terdapat frasa

“Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan

dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan

tugas” yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD

1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak

dimaknai dalam konteks semata-mata pemanggilan dan permintaan

keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana.

Sementara itu, frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah

Kehormatan Dewan” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga setelah terbit Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018, maka frasa Pasal 245 Ayat

(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 selengkapnya berbunyi:

“Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga

melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas

sebagaimana dimaksud Pasal 224, harus mendapatkan persetujuan tertulis

dari Presiden.”

Pertimbangan dicabutnya frasa tersebut adalah karena frasa pada Pasal

245 Ayat (1) UU MD3 Tahun 2018 dinilai kontradiktif dengan filosofi dan

hakikat pemberian hak imunitas anggota DPR yang secara kontekstual

Page 109: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

99

seharusnya menjadi dasar pemikiran atau latar belakang pembentukan MKD.

Selain itu, tidak relevan dan tidak tepat apabila MKD dilibatkan untuk

memberi pertimbangan terkait persetujuan tertulis Presiden dalam hal seorang

anggota DPR dipanggil dan dimintai keterangan dalam rangka penyidikan

karena dugaan melakukan tindak pidana karena MKD adalah lembaga etik

yang keanggotaannya berasal dari dan oleh anggota DPR sehingga berpotensi

besar menimbulkan konflik kepentingan.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka, Penyidik tidak perlu

mendapatkan izin/persetujuan tertulis dari MKD untuk menyidik, namun

wajib mendapatkan persetujuan tertulis Presiden dalam melakukan

pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap anggota DPR yang diduga

melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas

sebagaimana dimaksud Pasal 224 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018

Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014

Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang

Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR,

DPR, DPD, dan DPRD terkait izin Presiden dalam pemanggilan dan

permintaan keterangan dalam tahap penyidikan terhadap anggota DPR yang

diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan

tugas anggota DPR bertentangan dengan UUD 1945 yakni:

Pasal 24 Ayat (1): “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan”;

Pasal 27 Ayat (1): “setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam

hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu

dengan tidak ada kecualinya”;

Page 110: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

100

Pasal 28D Ayat (1): “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di

hadapan hukum”; dan

Pasal 28I Ayat (2): “setiap orang berhak dari perlakuan yang bersifat

diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan

terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

Berkenaan dengan jaminan-jaminan yang diberikan oleh UUD 1945, maka

ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang

Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR,

DPR, DPD, dan DPRD telah menegasikan/menderogasikan jaminan-jaminan

tersebut dengan alasan-alasan sebagai berikut:

Bahwa berdasarkan ketentuan pasal tersebut, penyidik hanya dapat

melakukan pemanggilan dan permintaan keterangan dalam tahap penyidikan

terhadap anggota DPR, jika ada persetujuan atau izin tertulis Presiden.

Meskipun dalam Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018

Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dalam hal persetujuan sebagaimana

dimaksud pada Ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling

lambat 30 hari terhitung sejak diterimanya permohonan proses penyidikan

dapat dilakukan (namun kata „dapat‟ seharusnya bermakna voluntary dalam

praktiknya bermakna imperative/wajib)

Negara Indonesia adalah negara hukum dengan jelas ditegaskan oleh

konstitusi UUD NRI Tahun 1945 Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Dalam negara

hukum yang demokratis yang mensyaratkan adanya penerapan hukum yang

berprinsip persamaan di depam hukum (equality before the law), serta

penghormatan dan penegakan hukum sesuai dengan prinsip independent

judiciary (peradilan yang bersifat independen).

Bahwa kendati secara tertulis Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945

menunjukkan kekuasaan kehakiman, namun hal tersebut dapat ditafsirkan luas

yakni meliputi hal-hal terkait dengan penegakan hukum dan keadilan. Hal ini

Page 111: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

101

sesuai dengan pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VII/20120 halaman 240 yang

menyebutkan: “Bahwa hal-hal yang berkaitan dengan penegakan hukum dan

keadilan menurut ketentuan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 bahwa kekuasaan

kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakan hukum dan keadilan”.

Ketentuan mengenai izin Presiden dalam proses penyidikan anggota

DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan

pelaksanaan tugas sebagaimana yang diatur dalam Pasal 245 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

diartikan bahwa persetujuan tertulis Presiden hanya berlaku, jika terjadi tindak

pidana yang dilakukan anggota DPR yang tidak berhubungan dengan tugas

dari anggota DPR.

Padahal, seharusnya persetujuan tertulis Presiden itu diberikan terkait

dengan tugas dari anggota DPR, maka secara tidak langsung hal ini

merupakan penguatan imunitas yang dibangun oleh DPR sebagai lembaga

pembentuk undang-undang bersama Pemerintah yang sejatinya hak imunitas

itu sendiri telah diatur dalam ketentuan Pasal 224 Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Menurut peneliti, ketentuan pasal tersebut dapat diklasifikasikan

sebagai bentuk restrictions (pembatasan-pembatasan) yang dilakukan oleh

Presiden sebagaimana pengaturan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 tersebut dan

berpotensi menimbulkan pengaruh yang buruk atau tidak tepat (improper

influences) dan gangguan secara langsung maupun tidak langsung terhadap

kemerdekaan aparat penegak hukum (independent judiciary) dalam upaya

menegakan hukum secara adil dan tanpa pandang bulu (equality before the

law).

Page 112: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

102

Sehubungan dengan hal di atas, apabila dikomparasikan dengan hak

konstitusional Presiden lainnya, yaitu dalam pemberian grasi, rehabilitasi,

amnesti, dan abolisi dengan izin Presiden dalam tahap penyidikan anggota

DPR yang diduga melakukan tindak pidana ialah berbeda. Perbedaannya

yakni pada hak konstitusional Presiden dalam pemberian grasi, rehabilitasi,

amnesti dan abolisi diatur dalam UUD NRI 1945 dan dibatasi oleh

pertimbangan MA (grasi dan rehabilitasi) dan DPR (amnesti dan abolisi),

sedangkan pemberian izin/persetujuan tertulis Presiden dalam tahap

penyidikan anggota DPR diatur oleh UU yang merupakan aturan di bawah

UUD dan dilaksanakan tanpa adanya pertimbangan dari pihak lain, meskipun

sebelumnya terdapat pertimbangan dari MKD yang merupakan alat

kelengkapan yang dimiliki DPR, namun pertimbangan tersebut dibatalkan

oleh Mahkamah Konstitusi yang tertuang dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 terhadap Pengujian Pasal 245 ayat (1)

Undang-Undang No. 2 Tahun 2018.

Terkait izin atau persetujuan tertulis Presiden dalam tahap penyidikan

anggota DPR ini merupakan hak konstitusional Presiden yang diatur dalam

Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR,

DPR, DPD, dan DPRD, sejatinya telah mengalami beberapa perubahan baik

direvisi oleh DPR maupun di-Judicial Review di MK. Hal ini berimplikasi

pada respon publik yang menyorotinya secara kritis, karena substansi yang

dimiliki oleh pasal tersebut banyak memunculkan kontroversi dan praktis

menimbulkan keresahan pada masyarakat umum.

Publik menganggap Pasal 245 Ayat (1) UU MD3 bertentangan dengan

asas persamaan di depan hukum (equality before the law)3 sebagaimana

3 Equality berasal dari bahasa Inggris dengan dasar kata equal. Kata equal, menurut Concise

Oxford Dictionary-Tenth Edition, Oxford University Press diartikan sebagai “being the same in

quantity, size, degree, value, or status”, yang diterjemahkan “sama dalam jumlah, ukuran, derajat,

nilai, status (kedudukan)”. Istilah “equality before the law” ini merupakan istilah yang lazim

digunakan dalam bahasa hukum, utamanya hampir di setiap negara hukum tidak luput menyertakan

Page 113: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

103

dijamin dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yang mengatakan “setiap warga

negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan

wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”

dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 dimana “setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama di hadapan hukum”, serta peradilan yang menjunjung

tinggi independensi peradilan (independent judiciary) sebagaimana dijamin

dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, bahwa “Negara Indonesia adalah negara

hukum”, dan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945, dikatakan bahwa “kekuasaan

kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”, serta penegakkan hukum

yang berprinsip non diskriminasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I Ayat

(2) UUD 1945, yang menyatakan, bahwa “setiap orang berhak dari perlakuan

yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan

perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Di samping itu, berkenaan dengan adanya izin Presiden dalam tahap

penyidikan yang dilakukan oleh anggota DPR yang diduga melakukan tindak

pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas anggota DPR ini,

menurut hemat peneliti merupakan sesuatu yang tidak tepat. Karena secara

struktur ketatanegaraan pasca reformasi dan amandemen UUD 1945 ketiga

cabang kekuasaan baik itu Eksekutif (Presiden), Legislatif (MPR, DPR,

DPD), danYudikatif (MA dan MK) secara kedudukan hierarki ialah setara

dimana antara cabang kekuasaan antara satu dengan lainnya saling melakukan

mekanisme checks and balances. Terlebih dalam proses penegakan hukum

haruslah dilaksanakan oleh lembaga yudikatif yang memiliki domain

kekuasaannya sehingga Presiden tidak perlu turut serta dalam penyidikan

istilah equality before the law ini dalam konstitusinya, karena istilah “equality before the law” ini

merupakan simbol populis yang timbul sebagai norma hukum yang melindungi hak-hak asasi setiap

warga negara.

Page 114: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

104

anggota DPR yang berpotensi besar menghambat proses hukum yang

berjalan.

Menilik Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 yang

menghapuskan izin/persetujuan tertulis Presiden dalam proses penyelidikan

dan penyidikan terhadap Kepala Daerah sebagaimana dalam pengujian Pasal

36 Ayat 1,2,3,4 dan 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah. Hal ini dilandaskan pada alasan pertimbangan MK

dalam putusan tersebut,bahwa dengan adanya syarat persetujuan tertulis dari

Presiden untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan sebagai bentuk

diskriminasi hukum yang bertentangan dengan amanat konstitusi UUD 1945

yang tentunya akan menghambat proses peradilan dan secara tidak langsung

mengintervensi sistem penegakan hukum yang dijalankan oleh penyidik.

Hal tersebut diamini oleh Kejaksaan Agung RI dalam keterangannya

dalam agenda sidang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011

terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, bahwa berdasarkan

laporan yang diterima dari KPK bahwasannya KPK mendapat banyak laporan

tentang kendala penanganan perkara lantaran izin Presiden banyak yang

belum turun.4

Dengan ini, ketentuan yang ada dalam Pasal 245 Ayat (1) Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2018 pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

16/PUU-XVI/2018, dimana menegasikan pertimbangan Mahkamah

Kehormatan Dewan, namun tetap mempertahankan “persetujuan tertulis

Presiden dalam tahap penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak

pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas anggota DPR”,

maka dapat dikatakan inkonsisten dan ahistoris dengan Pasal 36 Ayat 1,2,3,4

dan 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011.

4 Website https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5063148b69686/mk-pangkas-izin-

pemeriksaan-kepala-daerah, Diakses pada hari Rabu Tanggal 19 Desember 2018 Pukul 17.00 BBWI.

Page 115: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

105

Apabila ditelaah secara hukum administrasi negara, mengacu pada

ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 yang ahistoris dan

kontradiktif terhadap ketentuan Pasal 36 Ayat 1,2,3,4 dan 5 Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011, bahwa Presiden dan Anggota

DPR keduanya merupakan pejabat negara. Sama halnya dengan Presiden dan

Anggota DPR, Kepala Daerah merupakan termasuk pejabat negara

sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang

Aparatur Sipil Negara.

Terlebih secara garis struktur ketatanegaraan maupun sistem

pemerintahan, DPR yang secara kedudukan bukan berada di bawah garis

kordinasi dengan Presiden (setara secara kedudukan), tetapi tetap memerlukan

izin Presiden terkait proses penyidikan terhadapnya sebagaimana ketentuan

Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018, sedangkan Kepala Daerah

yang telah jelas kedudukannya sebagai eksekutif yang berada di bawah garis

kordinasi Presiden telah dihapuskan izin/persetujuan tertulis Presiden dalam

proses penyelidikan maupun penyidikan terhadapnya sebagaimana ketentuan

Pasal 36 Ayat 1,2,3,4 dan 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-

IX/2011.

Terlepas dari hal itu, peneliti berpendapat bahwa hak prerogatif

Presiden sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa pakar hukum,

meskipun tiada satu pun pasal dalam konstitusi yang menyebut secara

eksplisit sebagai hak prerogatif. Peneliti menyebutnya sebagai hak

konstitusional Presiden adalah hak yang tidak lagi diartikan sebagai hak yang

mandiri, mutlak, dan tidak dapat mengikutsertakan lembaga-lembaga negara

Page 116: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

106

lain dalam pelaksanaannya sebagaimana yang telah diatur oleh konstitusi

UUD 1945.

Lalu, pertanyaan yang timbul ialah apakah penggunaan hak

konstitusional Presiden di bidang yudikatif dalam hal pemberian izin dalam

tahap penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang

tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas anggota DPR sebagai bentuk

pelaksanaan kekuasaan Presiden yang berpotensi besar mereduksi, bahkan

menegasikan kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan tidak dapat

dipertanggungjawabkan secara hukum yang berkeadilan. Hal ini dilandaskan

pada rasionalisasi, bahwasannya dalam proses pemilihan Presiden dan Wakil

Presiden berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008

Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dimana Presiden dan Wakil

Presiden diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik yang

berbentuk koalisi dimana harus memenuhi ketentuan ambang batas Presiden

sejumlah 20% kursi di parlemen.

Secara nyata, kaitannya hal ini terhadap ketentuan Pasal 245 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 terkait pemberian izin Presiden dalam

tahap penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak

pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas berpotensi

menimbulkan penyimpangan/penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)

yang dilakukan oleh Presiden jika anggota DPR yang terlibat kasus hukum

berasal dari fraksi partai politik yang sama atau termasuk dari bagian koalisi

partai politik yang mengusungnya hingga menjadi Presiden sehingga besar

kemungkinan praktik intervensi dalam proses peradilan yang dijalankan oleh

penyidik niscaya terjadi. Mengingat, hasil kompromi antara anggota DPR

yang terduga melakukan tindak pidana dengan Presiden yang berasal dari

fraksi partai politik yang sama telah menjadi rahasia umum yang telah

beberapa kali peneliti peroleh sumbernya dari beberapa keterangan aparat

Page 117: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

107

penegak hukum terkait dalam hal ini pihak kepolisian maupun berita-berita

yang dilansir di media cetak maupun online.

Menyoal ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ini dapat peneliti

simpulkan terhadap hasil penelitian di atas, yakni terdapat bentuk-bentuk

pengaruh gangguan dan hambatan dalam proses penegakan hukum menurut

peneliti mengenai izin Presiden dalam tahap penyidikan Anggota DPR yang

diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan

tugas anggota DPR terhadap proses penegakan hukum, yakni antara lain:

Pertama, proses penyidikan menjadi terhambat karena mengganggu

keluarnya izin pemeriksaan. Bahkan, seringkali izin yang diminta tidak pernah

ada jawaban apakah disetujui atau ditolak sehingga penanganan perkaranya

menjadi tidak jelas dan terkatung-katung penyelesaiannya.

Kedua, terhambatnya proses pemeriksaan terhadap pejabat negara,

mempengaruhi proses penyidikan terhadap tersangka lainnya dalam perkara

yang melibatkan pejabat negara sehingga penyidikannya menjadi lamban dan

terkesan macet.

Ketiga, Dengan adanya rentang waktu yang cukup lama sampai

keluarnya izin pemeriksaan, tersangka masih bebas menghirup udara segar

sehingga dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan atau merusak barang

bukti, mengganti atau merubah alat bukti surat, dapat mengulangi tindak

pidana, dapat mempengaruhi para saksi, dan lain sebagainya yang menjadi

potensi penghambatan proses penegakan hukum yang berkeadilan, dan

menjunjung tinggi integritas dan independensi peradilan.

Berdasarkan tiga poin di atas yang berhasil dihimpun oleh peneliti

merupakan tindakan-tindakan yang berpotensi menyebabkan terhambatnya

proses penegakan hukum sebagaimana mestinya, dikarenakan prosedur izin

Page 118: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

108

secara tidak langsung dapat dijadikan media intervensi penguasa (Presiden)

terhadap penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh penegak hukum.

Adapun bentuk praktik intervensi ini bisa dilakukan dengan cara

menunda atau tidak mengeluarkan izin/persetujuan tertulis, apabila pihak yang

tersangkut masalah hukum berasal dari kelompoknya dan sebaliknya dapat

mempercepat keluarnya izin pemeriksaan apabila pihak yang tersangkut

masalah hukum berasal dari lawan politiknya dalam hal ini dikenal dengan

istilah kriminalisasi hukum.

Pada tataran inilah eksistensi vital sebuah konstitusi bagi suatu negara

tidak hanya dimaksudkan untuk membatasi wewenang penguasa, menjamin

hak rakyat dan mengatur pemerintahan, tetapi konstitusi juga menjadi alat

rakyat mengkonsolidasikan kedudukan politik dan hukum dengan mengatur

kehidupan bersama untuk mencapai cita-cita. Itulah sebabnya, pada saat ini

konstitusi tidak hanya memuat aturan hukum, tetapi juga merumuskan atau

menyimpulkan prinsip-prinsip hukum, garis haluan negara dan patokan

kebijaksanaan (policy) yang semuanya mengikat penguasa.

Dengan demikian, jelaslah bahwa kekuasaan negara pada dasarnya

harus ditentukan secara tegas dan dibatasi oleh sifatnya masing-masing.

Konstitusi telah memberikan pedoman dan batasan sekaligus tentang cara

bagaimana kekuasaan negara dijalankan. Oleh karena, konstitusi mengikat

segenap lembaga negara dan seluruh warga negara, maka yang menjadi

pelaksana konstitusi adalah semua lembaga negara dan segenap warga negara

sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing sebagaimana yang telah

diamanahkan dalam konstitusi itu sendiri.

Konstitusi memiliki fungsi/kewenangan yang khusus dan merupakan

perwujudan atau manifestasi dari hukum tertinggi yang mengikat dan harus

ditaati oleh semua warga negara dan lembaga negara tanpa kecuali. Dengan

pemaknaan demikian, maka dapat dikatakan bahwa konstitusi merupakan

Page 119: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

109

landasan yang terpenting dalam sebuah bangsa (state). Politik hukum dalam

konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian, karena pada

intinya kekuasaan itu sendiri memang perlu diatur dan dibatasi secara tegas

sesuai dengan teori pembagian dan pemisahan kekuasaan. Pengawasan atau

pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan merupakan persoalan yang

penting dalam setiap konstitusi.

Sebagai negara yang menganut sistem presidensial, sesungguhnya

tidak ada dikotomi antara Presiden sebagai Kepala Negara dan Presiden

sebagai Kepala Pemerintahan, justru kedua fungsi tersebut melekat pada diri

seorang Presiden. Dalam kedudukan sebagai pemegang kekuasaan

pemerintahan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945

itu terkandung pula makna Presiden sebagai Kepala Negara sehingga

kedudukan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan merupakan kekuasaan

eksekutif menyatu secara utuh yang tak terpisahkan dalam jabatan Presiden.

Pembedaan dan pemisahan antara kedua fungsi tersebut, sejatinya

hanya relevan dalam sistem pemerintahan parlementer yang memang

mempunyai dua jabatan secara terpisah yaitu sebagai Kepala Negara maupun

sebagai Kepala Pemerintahan. Adapun dalam sistem pemerintahan

presidensial, cukup memiliki Presiden dan Wakil Presiden saja tanpa

memahami kapan ia berfungsi sebagai Kepala Negara dan kapan sebagai

Kepala Pemerintahan.

Meskipun tidak adanya pasal yang menunjukkan siapa Kepala Negara

dalam UUD 1945, tidak berarti bahwa di Indonesia tidak dikenal adanya

Kepala Negara. Walaupun hal ini tidak ditegaskan dalam UUD 1945 dengan

sendirinya, Presiden ialah Kepala Negara karena Presiden baik dalam sistem

pemerintahan apapun adalah sebagai suatu simbol suatu bangsa yang berstatus

merdeka. Bahkan dalam hubungannya dengan bangsa-bangsa lain, Presiden

mencerminkan representasi kedaulatan bangsa tersebut.

Page 120: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

110

Kekuasaan sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan bersifat

inheren artinya menyatu dalam jabatan Presiden. Bahkan dalam pandangan

Jimly,5 dalam konteks pengertian negara hukum berdasarkan prinsip rule of

law dapat dikatakan, bahwa secara simbolik yang dinamakan Kepala Negara

dalam sistem pemerintahan presidensial itu adalah konstitusi. Dengan kata

lain, Kepala Negara dari negara konstitusional Indonesia adalah UUD,

sedangkan Presiden dan Wakil Presiden beserta semua lembaga negara atau

subjek hukum tata negara lain seharusnya tunduk kepada konstitusi sebagai

the symbolic head of state.

Dengan demikian kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara dalam

sistem pemerintahan negara sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 Ayat (1)

UUD 1945 yang diwujudkan dalam bentuk penggunaan hak-hak

konstitusional hendaknya hanya digunakan dalam kapasitas sebagai

kekuasaan administratif, simbolis dan limitatif yang merupakan suatu

kekuasaan di samping kekuasaan utamanya sebagai Kepala Pemerintahan.

Penggunaan hak konstitusional Presiden selaku Kepala Negara selayaknya

diartikan sebagai kekuasaan yang tidak lepas dari kontrol lembaga lain, karena

sesungguhnya pasca amandemen UUD 1945 telah menganut sistem checks

and balances sebagai konsekuensi dianutnya sistem pemerintahan

presidensial yang dengan jelas memisahkan cabang-cabang kekuasaan sebagai

alat-alat kelengkapan negara.

Selain itu, sistem pemerintahan negara-negara hukum modern saat ini

berusaha menempatkan segala model kekuasaan dalam kerangka

pertanggungjawaban publik. Dengan demikian, kekuasaan yang tidak dapat

dikontrol, digugat dan dipertanggungjawabkan dalam praktiknya sulit

mendapat tempat sehingga dalam praktek ketatanegaraan negara-negara

modern. Hak konstitusional Presiden ini tidak lagi bersifat mutlak dan

5 Jimly Asshiddiqie, Kontitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,… h. 167

Page 121: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

111

mandiri, kecuali dalam hal pengambilan kebijakan dalam penyelenggaraan

pemerintahan.

Kaitannya dengan eksistensi hak konstitusional Presiden dalam sistem

pemerintahan presidensial setelah amandemen UUD 1945 telah mengalami

pergeseran yang cukup banyak. Di dalam UUD 1945, eksistensi hak

prerogatif Presiden sudah semakin berkurang dengan ditandainya penggunaan

hak prerogatif tersebut oleh Presiden secara tidak mutlak lagi. Ini dikarenakan

implikasi dari menguatnya prinsip checks and balances dan sharing of power

antar lembaga negara, serta penerapan dari konsep pemisahan kekuasaan dari

lembaga-lembaga negara yang ada.

Oleh karena itu, istilah hak prerogatif Presiden tidak dikenal dalam

kontruksi UUD 1945, maka istilah yang paling tepat berdasarkan perspektif

yuridis ialah hak konstitusional Presiden. Karena memang kekuasaan Presiden

bersumber sepenuhnya dari konstitusi yang telah secara jelas diatur di

dalamnya bahwasannya Indonesia adalah negara berlandaskan hukum.

Dimana konstitusi telah secara jelas menegaskan apa-apa yang menjadi

kekuasaan Presiden.

Penerapan hak konstitusional Presiden di bidang yudikatif memiliki

relevansi dengan eksistensi kekuasaan kehakiman yang merdeka. Paling tidak

relevansi itu dapat terlihat dari dua perspektif. Pertama, perspektif tentang

pemberian grasi dan rehabilitasi oleh Presiden sebagai manifestasi

pelaksanaan hak kontitusional Presiden. Kedua, perspektif campur tangan

Presiden dalam proses pengisian jabatan anggota KY, penetapan Hakim

Agung dan pengajuan serta penetapan Hakim MK. Ketiga, berkenaan dengan

pemberian izin/persetujuan tertulis Presiden terhadap anggota DPR yang

diduga melakukan tindak pidana maka merupakan sesuatu akibat konsekuensi

logis terhadap upaya mereduksi bahkan berpotensi besar mencederai

kekuasaan kehakiman yang pada prinsipnya menjunjung tinggi independensi

Page 122: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

112

dan non diskriminasi yang bersifat merdeka tanpa intervensi dari pihak

manapun termasuk Presiden yang merupakan penguasa (kepala negara dan

kepala pemerintahan). Hal ini merupakan suatu hal yang tidak dapat

terhindarkan mengingat Negara ini menganut sistem presidensial oleh

beberapa ahli dikatakan yang mana memposisikan Presiden sebagai kepala

pemerintahan sekaligus kepala negara dan dengan adanya relasi kuasa dalam

hubungan ketatanegaraan yang mencerminkan checks and balances antar

lembaga tinggi negara dalam kerangka sistem separation of power

(pemisahan kekuasaan).

Terlepas dari hal itu, peneliti menyoroti dalam optik telaah konsep

kekuasaan Presiden dalam pemberian izin penyidikan terhadap anggota DPR

yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan

pelaksanaan tugas anggota DPR sebagaimana ketentuan Pasal 245 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD,

jika ditelaah dalam perspektif negara hukum, bahwa terkait penerapan hak

konstitusional Presiden ini ialah sebagai kekuasaan yang melekat pada

Presiden sebagaimana yang telah diatur konstitusi yang harus tetap

dipertanggungjawabkan secara konstitusi adalah suatu keharusan

konstitusional.

Adapun bentuk pertanggungjawaban Presiden dalam penggunaan hak

konstitusional ini, yakni terkait pemberian izin dalam penyidikan anggota

DPR tidak hanya meliputi bentuk pertanggungjawaban secara politis, namun

jauh yang lebih vital ialah pertanggungjawaban secara hukum. Secara politis,

Presiden harus mempertanggungjawabkan penggunaan hak-hak konstitusional

yang dilekatkan negara kepadanya secara politik kepada rakyat yang

memilihnya yang wujudnya bisa saja pada pemilu selanjutnya dia tidak

terpilih lagi. Secara hukum, penggunaan kekuasaan Presiden itu dapat

Page 123: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

113

dimintai pertanggungjawaban melalui mekanisme pemakzulan

(impeachment).

Sehubungan dengan sistem presidensiil yang dianut oleh bangsa

Indonesia, maka sudah menjadi konsekuensi logis bahwa Presiden memiliki

hak konstitusional dalam kekuasaan pemerintahan, khususnya kekuasaan

yudikatif yang salah satunya, terkait pemberian izin penyidikan terhadap

anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan

pelaksanaan tugas anggota DPR, jika ditelaah secara normatif yuridis yang

dimuat dalam konstitusi Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 dapat dikatakan

konstitusional.

Namun, apabila ditinjau menurut sistem hukum yang berlaku di

Indonesia mengingat adanya asas legalitas dimana pelaksanaan suatu norma

hukum harus berdasarkan ketentuan Undang-Undang. Dikatakan bahwa

ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 sebelum

terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 tetaplah

konstitusional selama belum adanya pencabutan, penghapusan, atau revisi

yang diejawantahkan dalam suatu undang-undang yang merupakan tindak

lanjut terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut oleh DPR bersama

Pemerintah dalam political will-nya terhadap pembentukan suatu perundang-

undangan di Indonesia sebagaimana ketentuan konstitusi yang menjaminnya.

Hal ini didasarkan pada dasarnya sifat putusan MK yang final and binding,

namun dalam implementasinya putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah

Konstitusi kebanyakan pada praktiknya unexecutable, artinya tidak dapat

dieksekusi dikarenakan tidak dikuatkan atau ditegaskan kembali dalam

pengaturan Undang-Undang a quo.

Sejatinya dalam kerangka negara hukum, putusan pengadilan yang

dalam penelitian ini yakni putusan Mahkamah Konstitusi merupakan sumber

hukum bukanlah menjadi dasar hukum. Secara jelas, dalam Pasal 10 Undang-

Page 124: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

114

Undang Nomor 12 Tahun 2011 dikatakan mengenai materi muatan dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan ialah tindak lanjut dari Putusan

Mahkamah Konstitusi. Maka, berdasarkan hal tersebut telah jelas bahwa

Putusan Mahkamah Konstitusi bukanlah bagian dari hierarki perundang-

undangan yang dijadikan sebagai dasar bernegara sebagaimana ketentuan

Undang-Undang, melainkan sebagai sumber kehidupan bernegara.

Adapun hal yang terpenting harus kita ketahui bersama, bahwasannya

kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat sebagaimana Pasal 1 Ayat (2)

UUD 1945 yang sudah seyogyanya Presiden sebagai daulat rakyat harus

menjalankan amanah rakyat dengan baik. Wewenang khusus yang dimiliki

Presiden ini yang dijalankan oleh fungsi administrasi/prosedur berdasarkan

perintah yang dilegitimasi oleh konstitusi, semata-mata bertujuan untuk

mengadakan pengawasan dalam perlindungan hukum bagi rakyat terlepas dari

latar belakang apapun.

Dengan ini, maka harus diupayakan agar jangan sampai pihak yang

seharusnya dikontrol justru mengontrol pihak yang seharusnya

mengontrolnya. Apabila ini terjadi, maka kepastian hukum serta tertib

administrasi akan menjadi kehilangan makna. Maka, demi

menghindari/mencegah kekuasaan yang tidak disalahgunakan maka harus

ditetapkan batasan-batasannya sebagaimana mestinya dengan cara membagi

kekuasaan tersebut kepada tiga cabang kekuasaan secara berimbang,

proporsional dan akuntabel demi terwujudnya cita negara hukum yang

berkeadilan yang berasaskan prinsip negara hukum.

Sejatinya, amandemen UUD 1945 memiliki semangat untuk

mengurangi kekuasaan Presiden yang dianggap terlalu besar berdasarkan

UUD 1945 sebelum perubahan. Namun, UUD 1945 pasca amandemen masih

menghendaki Indonesia menjalankan sistem pemerintahan presidensil

Page 125: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

115

sehingga walaupun kekuasaan Presiden dikurangi tetap saja tidak

menghilangkan sistem presidensil yang dimaksud.

Dalam hal ini peneliti berpendapat, bahwa sistem presidensil yang kita

anut saat ini, belum cukup mengakomodasi berbagai permasalahan bangsa

yang begitu besar dan kompleks dengan wilayah negara yang begitu luas.

Oleh karena itu, kekuasaan dan tanggungjawab politik mustahil

dikonsentrasikan hanya pada satu orang. Dikatakan, apalagi kekuasaan

Presiden saat ini, setelah empat kali amandemen UUD 1945 telah mengalami

beberapa pembatasan guna berjalannya sistem presidensial yang efektif dan

efisien serta akuntabel.

Adapun pokok penting dalam penelitian ini, peneliti melihat

penggunaan hak-hak konstitusional Presiden termasuk dalam hal pemberian

izin dalam penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana

yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas anggota DPR sebagai

wujud pelaksanaan kekuasaan Presiden selama ini masih belum diatur secara

jelas dan rinci, bahkan dapat dikatakan multitafsir yang menyebabkan para

penegak hukum mengartikulasikannya dengan interpretasi yang berbeda

antara satu sama lain dan bahkan tidak jarang menimbulkan ambiguitas dalam

memahami konteks tersebut sehingga membuat proses penegakan hukum

menjadi stagnan dan acapkali kasus yang dihadapi anggota DPR bak hilang

dari peredaran karena aturan yang dibuat merupakan pasal karet karena tidak

berjalan efektif akibat ketidakmampuan penyidik dalam memahami makna

ketentuan Pasal 245 Ayat (1) UU MD3 ini.

Untuk itu, kebutuhan di masa mendatang menuntut suatu peraturan

perundang-undangan yang jelas dan rinci mengenai hak konstitusional

Presiden RI dalam ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Pasca Putusan Mahkamah

Page 126: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

116

Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 terkait pemberian izin terhadap anggota

DPR yang diduga melakukan tindak pidana meliputi ketentuan pengaturan

yang jelas mengenai batasan-batasan penggunaan, mekanisme pelaksanaan,

dan mekanisme pertanggungjawabannya yang mengacu pada (1) tujuan

bangsa Indonesia dalam bernegara sebagaimana diatur pada Alinea Keempat

Preambule UUD 1945, (2) Pancasila sebagai sumber segala hukum negara dan

(3) Norma Konstitusi yang bersifat HAM dan bukan HAM dalam batang

tubuh UUD 1945.

Apabila kebijakan yang diambil tidak sesuai dengan parameter

tersebut dalam hal ini terkait Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, maka dapat dibatalkan

kembali oleh Mahkamah Konstitusi yang diberi kewenangan oleh UUD 1945

untuk menguji suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 karena dianggap

tidak selaras dengan norma hukum yang berlaku di Indonesia. Sesungguhnya

pembentuk Undang-Undang diberikan keleluasaan dalam membentuk

Undang-Undang yang merupakan pilihan kebijakan pembuat Undang-Undang

sepanjang norma tersebut tidak bertentangan secara nyata dengan UUD 1945,

tidak melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang dan tidak

menyalahgunakan kewenangan.

B. Sinkronisasi Dan Harmonisasi Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang No. 2

Tahun 2018 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-

XVI/2018 Dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia

Dalam pendekatan teori hukum konstitusi yang mengemukakan bahwa

dalam sistem presidensial sebagaimana yang dianut bangsa Indonesia tidak

mengenal adanya pembedaan antara Presiden selaku kepala negara dan kepala

pemerintahan, maka penggunaan istilah hak konstitusional Presiden menjadi

Page 127: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

117

relevan untuk menunjukkan eksistensi Presiden selaku kepala pemerintahan

negara dimana di dalamnya terdapat dua fungsi yang menyatu pada diri

seorang Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus sebagai Kepala

Pemerintahan. Lazimnya jabatan kepala negara lebih bersifat simbolis

daripada substansial, tetapi dalam praktik justru bersifat substansial.Hal ini

disebabkan DPR sebagai mitra Presiden senyatanya tidak dapat menjalankan

fungsi legislasinya dengan baik sebagai akibat konfigurasi kepentingan dari

partai politik yang ada di dalamnya.

Terlepas dari pelbagai hal tersebut, agar tidak terjadi kesewenang-

wenangan Presiden dalam menggunakan kekuasaannya, maka penggunaan

kekuasaan Presiden tersebut harus dibatasi karena kekuasaan yang terlalu

besar akan membuka peluang bagi penyalahgunaannya secara lebih besar lagi.

Hal ini pernah didalilkan oleh Lord Acton bahwa “Kekuasaan itu cenderung

korup.” Karena itu, kekuasaan yang demikian harus dibatasi dan konstitusilah

merupakan media yang tepat dalam membatasi kekuasaan dalam suatu negara.

Konstitusi berfungsi untuk mengorganisir kekuasaan agar tidak dapat

digunakan secara paksa dan sewenang-wenang.

Dalam suatu negara hukum yang demokratis, seperti Indonesia,

konstitusi harus berfungsi menjadi leading constitution agar tidak hanya

dijadikan simbol ketatanegaraan yang tidak bergigi sama sekali akibat

banyaknya Undang-Undang yang tidak sejalan dengan substansi konstitusi

atau ditafsirkan berdasarkan kepentingan sesaat untuk mempertahankan

kekuasaan. Untuk itu, setiap Undang-Undang yang dibuat dalam rangka

memberikan pengaturan hukum bagi masyarakat tidak boleh bertentangan

dengan konstitusi sebagai norma hukum tertinggi negara. Termasuk juga

penyelenggaraan negara yang didelegasikan kepada organ negara harus

berjalan sesuai dengan koridor hukum yang ditentukan oleh konstitusi.

Page 128: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

118

Terlepas dari hal tersebut, dalam sistem hukum di Indonesia terdapat

jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yaitu konstitusi UUD NRI

Tahun 1945 ialah sebagai konstitusi tertinggi.Selain konstitusi, berturut-turut

secara hierarki perundang-undangan adalah Undang-Undang atau Perppu, PP,

Perpres dan Perda. Peraturan perundang-undangan tersebut tersusun secara

bertingkat dimana peraturan yang lebih tinggi lebih kuat dibandingkan dengan

peraturan yang lebih rendah. Menurut asas perundang-undangan yang baik,

peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang

lebih tinggi.

Peraturan yang lebih tinggi merupakan acuan dari peraturan yang lebih

rendah kedudukannya. Apabila terjadi pertentangan antara peraturan yang

lebih rendah dengan yang lebih tinggi, maka peraturan yang lebih rendah

tidak dapat berlaku lagi. Prinsip ini dimaksudkan agar tidak terjadi

pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga tercapai

harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan secara vertikal,

maupun horizontal.

Secara vertikal dapat diartikan peraturan perundang-undangan yang

berbeda tingkat dan kedudukannya, sedangkan secara horizontal merupakan

peraturan perundang-undangan yang berada pada tingkat yang setara.

Harmonisasi dan sinkronisasi ini sangat vital agar tidak terjadi tumpang tindih

dalam pengaturan dan kekosongan hukum yang berdampak pada efektifitas

pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan. Terkait peraturan

perundang-undangan dalam penelitian ini, yakni Pasal 245 Ayat (1) Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

seyogyanya mengacu dalam beberapa peraturan perundang-undangan meliputi

konstitusi UUD NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005

Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.

Page 129: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

119

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Perkembangan suatu lembaga negara tidak dapat terlepaskan dari

sejarah dinamika ketatanegaraan itu sendiri. Demikian halnya

perkembangan suatu lembaga politik terkait. Selaras dengan tuntutan

reformasi 1998 bahwa dengan dilakukannya amandemen terhadap UUD

NRI Tahun 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara

lain disebabkan masa orde baru dimana kekuasaan tertinggi berada di

tangan MPR, bukan di tangan rakyat.

Adapun tujuan amandemen UUD 1945 kala itu ialah

penyempurnaan aturan fundamental tatanan negara, kedaulatan rakyat,

perlindungan HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara dengan

perkembangan aspirasi dan kebutuhan dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara.

Dalam UUD 1945, terdapat unsur persamaan di depan hukum atau

yang lebih lazim dikenal equality before the law sebagaimana dijamin

dalam Pasal 27 Ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap warga negara

sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib

menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada

kecualinya.

Unsur-unsur yang dimuat dalam UUD NRI 1945, bukan karena

banyak negara yang memuat juga dalam konstitusi di negaranya. Tetapi

bagi bangsa Indonesia, hal ini memiliki sejarah kelam di bawah rezim

kolonial Belanda selama 3,5 abad kala itu. Bangsa Indonesia tempo lalu

disebut sebagai inlander adalah warga negara kelas tiga, karena

kedudukan hukumnya tidak sama dengan golongan Eropa dan Timur

Asing.

Sejarah dan pengalaman pahit tersebut menjadi pemicu dan pelecut

bagi bangsa Indonesia sebagai motivasi utama dalam menjunjung tinggi

Page 130: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

120

harkat dan martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, termaktub dalam

rumusan Pasal 27 Ayat (1) di samping kedudukan yang sama di depan

hukum juga kedudukan yang sama dalam pemerintahan. Dengan

demikian, telah secara tegas UUD NRI Tahun 1945 menjamin kedudukan

setiap warga negara di depan hukum tanpa adanya diskriminasi etnis, ras,

golongan, suku, strata sosial, maupun agama.

Kaitannya dengan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2018, bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk

pemeriksaan dalam tahap penyidikan anggota DPR yang diduga

melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan

tugas anggota DPR harus mendapat persetujuan tertulis Presiden ialah

bersifat imperatif (wajib). Dengan adanya dikotomi/pengistimewaan

terhadap anggota DPR dalam proses peradilan pidana ini maka amat

mencederai prinsip equality before the law sebagaimana yang

diamanahkan konstitusi Pasal 27 Ayat (1) UUD NRI.

Secara substantif di dalam UUD 1945 tidak mengenal dikotomi

atau pengistimewaan kedudukan dalam hukum setiap warga negara,

melainkan hak imunitas yang dimiliki DPR yang sejatinya telah jelas

diatur dalam Pasal 224 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang

MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dengan demikian, dalam Pasal 245 Ayat

(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018, bukan merupakan hak

imunitas yang menurut peneliti para pembentuk Undang-Undang a quo

memiliki motif untuk mengkontruksi hak imunitas dalam muatan

substansi pasal ini.

Indonesia sebagai negara hukum dengan corak demokratisnya

mensyaratkan adanya penghormatan terhadap penegakan prinsip

independent judiciary (independensi peradilan). Sebagaimana yang

Page 131: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

121

tertuang dalam Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa

kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Hal ini didukung dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-

13-2/PUU-VII/2012 bahwa tafsir kekuasaan kehakiman meliputi hal-hal

yang berkaitan dengan penegakan hukum dan keadilan dalam

menyelenggarakan sistem peradilan pidana sehingga sifat independensi

dalam peradilan pidana yang mencakup proses sistem peradilan pidana

yang dimulai sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, proses

persidangan hingga penjatuhan vonis putusan dan pelaksanaan putusan.

Dalam hal proses penyelidikan dan penyidikan merupakan bagian

dari rangkaian pemeriksaan tersangka yang tidak dapat dipisahkan dari

kekuasaan kehakiman dalam konteks penegakan hukum. Oleh karenanya,

peradilan yang bersifat independen mensyaratkan kondisi dimana aparat

penegak hukum dalam menjalankan tugasnya tidak boleh ada

kecenderungan/memihak, bekerja sesuai fakta-fakta kronologis kejadian

perkara, dan tentunya sesuai dengan koridor hukum yang berlaku, tanpa

adanya pembatasan kemerdekaan bertindak sebagaimana yang dijamin

konstitusi dalam hal ini bentuk intervensi maupun dikte, gangguan atau

ancaman secara langsung maupun tidak langsung dari pihak manapun

dengan alasan apapun.

Berdasarkan ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2018 pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-

XVI/2018, bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk

penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana

yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas anggota DPR harus

mendapat persetujuan tertulis Presiden. Tidak ada pengaturan batasan

waktu dalam pemberian izin Presiden untuk penyidikan Anggota DPR,

Page 132: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

122

sebagaimana diatur pada Pasal 245 Ayat (2) UU MD3 terdahulu, yakni

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 Tentang Perubahan Pertama

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan

DPRD yang menyatakan bahwa dalam persetujuan tertulis tidak diberikan

oleh Presiden dalam waktu 30 hari sejak diterimanya permohonan,

pemanggilan dan permintaan untuk penyidikan baru dapat dilakukan.

Ketentuan tersebut sesungguhnya dapat diklasifikasikan sebagai bentuk

restrictions (pembatasan-pembatasan) yang dilakukan oleh DPR dan

berpotensi besar menimbulkan pengaruh buruk serta gangguan secara

langsung maupun tidak langsung terhadap kemerdekaan aparat penegak

hukum dalam upaya menegakkan hukum secara adil dan tanpa pandang

bulu.

Pada proses penyelidikan dan penyidikan berupa pemanggilan dan

permintaan keterangan dari tersangka merupakan satu kesatuan rangkaian

pemeriksaan dalam proses peradilan pidana yang tak dapat dipisahkan dari

kekuasaan kehakiman yang dijamin konstitusi UUD 1945. Dengan adanya

ketentuan dalam Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2018 tersebut berimplikasi pada keberlangsungan proses penyidikan

menjadi terhambat karena menunggu terbitnya izin pemeriksaan dari

Presiden. Boleh jadi dimungkinkan izin dari Presiden tidak pernah ada

jawaban apakah disetujui atau ditolak sehingga membuat penanganan

perkara menjadi stagnan bahkan terkatung-katung dalam proses

penyelesaiannya.

Tidak adanya ketentuan batas waktu terkait izin penyidikan oleh

Presiden, dikhawatirkan tersangka dengan mudahnya melakukan hal-hal

yang dapat menghindarinya dari proses hukum yang dijalaninya berupa

melarikan diri, menghilangkan dan merusak barang bukti, atau dapat

mengulangi tindak pidana bahkan berkompromi dengan aparat penegak

Page 133: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

123

hukum baik dalam bentuk pemufakatan jahat supaya kasusnya tidak diusut

atau pemberian gratifikasi kepada aparat penegak hukum untuk

menghentian proses hukum yang telah berjalan.

Sudah menjadi suatu keharusan yang bersifat imperatif

(kewajiban) dalam ketentuan Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terkait pemanggilan

dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang

diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan

pelaksanaan tugas anggota DPR harus mendapatkan persetujuan tertulis

dari Presiden merupakan faktor yang menjadi pemicu memperlambat dan

menghambat proses penegakan hukum.

Hemat peneliti, hakikat negara hukum bahwa dalam sistem

hukumnya tersusun sistematis dalam kerangka norma hukum secara

hierarkis dan tidak boleh saling bertentangan di antara norma-norma

hukumnya. Sehingga jika terjadi disharmonisasi yang menimbulkan

konflik antara norma-norma hukum, maka akan tunduk pada norma-norma

logisnya yakni norma-norma dasar yang termuat dalam konstitusi.

Menurut asas peraturan perundang-undangan menyebutkan bahwa lex

superiori derogate legi inferiori dimana hukum yang lebih tinggi

mengeyampingkan hukum yang lebih rendah.

UUD NRI Tahun 1945 merupakan lex superiori dan Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2018 (UU MD3) sebagai legi inferiori. Oleh

karenanya, ketentuan dalam Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2018 tidak sinkron dengan Pasal 24 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (1)

UUD NRI Tahun 1945. Dengan begitu, seharusnya dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan yang baik harus memperhatikan asas-asas

yang terkandung dalam pembentukan perundang-undangan sebagaimana

Page 134: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

124

yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sehingga peraturan yang

dibuat tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya,

utamanya berimbas merugikan masyarakat melihat dari disparitas yang

ada.

Terlebih yang patut digarisbawahi bahwasannya dengan merujuk

putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian Pasal a quo ini terbukti

tidak efektif mengingat putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian

terhadap Pasal 245 ayat (1) UU MD3 ini yang tertuang pada Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XII/2014 yang terbukti belum

dijalankan sebagaimana kita ketahui bahwasannya putusan MK bersifat

final and binding.

Hal ini tentu, harus dijadikan sebagai evaluasi besar bagi DPR

sebagai lembaga negara pembentuk UU bersama Pemerintah dalam

perumusan kebijakan terkhusus mengenai Pasal 245 Ayat (1) UU MD3

demi perbaikan kontruksi kebijakan hukum di masa mendatang. Hal ini

dimaksudkan bahwa ketentuan Pasal 245 Ayat (1) UU MD3 bukan

merupakan aturan istimewa untuk melindungi imunitas anggota DPR yang

sesungguhnya telah diatur dalam Pasal 224 UU MD3 terkait pelaksanaan

tugas anggota DPR. Akan tetapi, ketentuan Pasal 245 Ayat (1) UU MD3

bukan menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan

harus menjamin kepentingan umum demi terwujudnya keadilan bagi

semua warga negara.

2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Hak-Hak Sipil &

Politik

Sebagai negara hukum yang telah menetapkan Pancasila sebagai

falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara dan UUD NRI Tahun 1945

sebagai dasar negara, maka semua aturan yang berlaku di Negara

Page 135: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

125

Kesatuan Republik Indonesia harus berpedoman pada Pancasila dan UUD

1945. Supremasi hukum menjadi instrumen penting dalam rangka

pengimplementasian negara hukum termasuk memelihara dan melindungi

hak-hak warga negara.

Indonesia menjamin perlindungan terhadap hak-hak oleh

konstitusi Republik Indonesia yaitu Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2005 yang menyatakan semua orang mempunyai kedudukan yang

sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan. dalam menentukan

tuduhan pidana terhadapnya atau dalam menentukan segala hak dan

kewajiban dalam suatu gugatan, bahwa setiap orang berhak atas

pemeriksaan yang adil, menjunjung tinggi prinsip persamaan di depan

hukum (equality before the law), dan yang paling penting menjaga

marwah independensi peradilan (independent judiciary).

Sifat independensi peradilan meliputi keseluruhan proses

Integrated Justice System yang dimulai pada tahap penyelidikan,

penyidikan, penuntutan, proses persidangan sampai penjatuhan vonis

(putusan) oleh hakim dan pelaksanaan hukuman. Selain itu berdasarkan

Pasal 14 Ayat (1) ICCPR (International Covenant on Civil and Political

Rights) yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui Pasal 14

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi

Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik menyebutkan:

“All persons shall be equal before the courts and tribunals. In the

determination of any criminal charge against him, or of his rights and

obligations in a suit at law, everyone shall be entitled to a fair and public

hearing by a competent, independent and impartial tribunal established by

law…” (“Semua orang harus sama di depan hukum dan peradilan. Dalam

penentuan tuntutan pidana apa pun terhadap dirinya, atau hak-hak dan

kewajibannya dalam gugatan hukum, setiap orang berhak atas

Page 136: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

126

pemeriksaan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang kompeten,

independen dan tidak memihak yang didirikan oleh hukum.)”

Bahwa pengertian Independent Judiciary (Independensi Peradilan)

menurut Prinsip-Prinsip Dasar tentang Kemerdekaan Peradilan,

diantaranya meliputi sebagai berikut:6

1). Independensi peradilan harus dijamin oleh Negara dan diabadikan

dalam Konstitusi atau hukum negara. Adalah tugas semua lembaga

pemerintah dan lainnya untuk menghormati independensi peradilan;

2). Pengadilan akan memutuskan hal-hal sebelum mereka tidak memihak,

atas dasar fakta dan sesuai dengan hukum, tanpa batasan, pengaruh

yang tidak benar, bujukan, tekanan, ancaman atau gangguan, langsung

atau tidak langsung, dari setiap kuartal atau karena alasan apa pun.

Dengan demikian, peradilan yang independen mensyaratkan

kondisi-kondisi dimana aparat penegak hukum dalam melaksanakan

tugasnya tidak boleh memihak, bekerja sesuai fakta-fakta dan hukum

tanpa pembatasan, pengaruh atau intervensi pihak lain, bujukan, tekanan,

ancaman atau gangguan baik langsung maupun tidak langsung dari pihak

manapun atau untuk alasan apapun.

Dalam ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2015

tersebut, menghendaki bahwa semua orang memiliki kedudukan yang

sama di hadapan hukum. Artinya, tidak seorang pun yang diberikan

keistimewaan ketika berhadapan dengan hukum. Sementara itu,

berdasarkan ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2018, menyatakan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan

6 Diadopsi oleh Kongres Ketujuh Bangsa-Bangsa tentang Pencegahan Kejahatan dan

Perlakuan terhadap Pelanggar yang diadakan di Milan dari 26 Agustus hingga 6 September 1985 dan

disahkan oleh Resolusi Majelis Umum 40/32 pada 29 November 1985 dan 40/146 dari 13 Desember

1985.

Page 137: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

127

untuk penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana

harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden.

Dalam ketentuan Pasal 245 Ayat (1) UU MD3 ini, telah

memberikan keistimewaan terhadap anggota DPR ketika akan dilakukan

pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan anggota DPR

yang diduga melakukan tindak pidana. Mengingat Pasal 14 Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2005 menegaskan dari pada Pasal 27 Ayat (1)

UUD NRI 1945 yakni setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di

hadapan hukum tanpa membeda-bedakan status dan kedudukan.

Berdasarkan kondisi di atas, maka diperlukan sistem perundang-

undangan yang harmonis, terintegrasi, dan konsisten semata-mata untuk

kemashlahatan rakyat yang selaras dengan keberlakuan hukum dan

konstitusi di Indonesia juga menjiwai nilai-nilai yang terkandung dalam

Pancasila. Dalam optik telaah peneliti, maka perlu dicermati bahwa dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal dengan adagium lex

specialis derogate lex generalis yang artinya hukum yang bersifat khusus

mengenyampingkan hukum yang bersifat umum. Dalam penelitian ini,

Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 merupakan lex

specialis dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 sebagai

lex generalis.

Namun, meskipun berlaku khusus, tetap harus memperhatikan

asas-asas hukum yang umum dan tidak boleh melanggar hak-hak dasar

seseorang secara berlebihan. Sehingga, tidak ada disharmonisasi dan

tumpang tindih antara norma hukum dalam suatu peraturan perundang-

undangan yang menyebabkan kerancuan/ambiguitas hukum dalam

implementasi sistem hukum perundang-undangan di Indonesia.

Page 138: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

128

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri

pembahasan dalam penelitian skripsi ini, penulis memberikan kesimpulan

sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018

Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014

Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 terkait izin/persetujuan tertulis

Presiden dalam hal pemanggilan dan permintaan keterangan untuk

penyidikan Anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang

tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas anggota DPR sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 224 adalah konstitusional menurut ketentuan Pasal

4 Ayat (1) Konstitusi UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden

Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut UUD dan

secara tidak langsung menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara

yang menganut sistem Presidensil dimana Presiden sebagai episentrum

kekuasaan negara termasuk di dalamnya mengomandoi tiga cabang

kekuasaan, termasuk kekuasaan yudikatif yang tentunya dibatasi oleh

konstitusi UUD NRI Tahun 1945. Namun, apabila ditinjau berdasarkan

aspek kekuasaan Presiden dalam konsep negara hukum bahwa ketentuan

izin Presiden dalam tahap penyidikan anggota DPR yang diduga

melakukan tindak pidana sebagaimana ketentuan Pasal 245 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 menurut konsep negara hukum

ialah bertentangan dengan prinsip equality before the law dan independent

Page 139: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

129

judiciary sebagaimana yang telah dijamin Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 24

Ayat (1) UUD 1945.

2. UUD 1945 merupakan norma hukum yang tertinggi (lex superior) dalam

sistem peraturan perundang-undangan berdasarkan hierarki peraturan

perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Kaitannya dengan ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2018 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-

XVI/2018 sebagai norma hukum yang lebih rendah (lex inferior)

bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 24 Ayat (1)

UUD 1945 sebagai panglima hukum tertinggi, maka hal ini dapat

dikatakan ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 tidak sinkron dan harmonis dengan

ketentuan aturan yang berada di atasnya dalam hal ini UUD 1945 dimana

seharusnya aturan perundang-undangan yang baik harus memenuhi unsur

asas-asas pembentukan perundang-undangan yang baik. Dan bertentangan

pula dengan ketentuan norma hukum yang setingkat dengannya yang lebih

dulu, yakni Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2015 Tentang

Hak-hak Sipil dan Hak Politik hasil ratifikasi ICCPR (International

Covenant on Civil and Political Rights).

A. Rekomendasi

1. Untuk kebutuhan di masa mendatang menuntut suatu peraturan

perundang-undangan yang jelas dan rinci mengenai hak konstitusional

Presiden RI dalam ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD terkait pemberian

izin/persetujuan tertulis terhadap anggota DPR yang diduga melakukan

Page 140: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

130

tindak pidana, meliputi ketentuan pengaturan yang jelas mengenai

batasan-batasan penggunaan, mekanisme pelaksanaan, dan mekanisme

pertanggungjawabannya yang mengacu pada (1) tujuan bangsa Indonesia

dalam bernegara sebagaimana diatur pada Alinea Keempat Preambule

UUD 1945, (2) Pancasila sebagai sumber segala hukum negara dan (3)

Norma Konstitusi yang bersifat HAM dan bukan HAM dalam batang

tubuh UUD 1945. Apabila kebijakan yang diambil tidak sesuai dengan

parameter tersebut dalam hal ini terkait Pasal 245 ayat (1) UU MD3 ini,

maka dapat dibatalkan kembali oleh Mahkmah Konstitusi yang diberi

kewenangan oleh UUD 1945 untuk menguji Undang-Undang terhadap

UUD 1945 karena dianggap tidak selaras dengan norma hukum yang

berlaku di Indonesia. Sesungguhnya pembentuk Undang-Undang

diberikan keleluasaan dalam membentuk Undang-Undang yang

merupakan pilihan kebijakan pembuat Undang-Undang sepanjang norma

tersebut tidak bertentangan secara nyata dengan UUD 1945, tidak

melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang dan tidak

menyalahgunakan kewenangan.

2. DPR bersama Pemerintah, perlu untuk mengatur tentang menindaklanjuti

terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018

terhadap ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang diatur secara jelas dan

tidak multitafsir dengan memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan

perundang-undangan mengacu ketentuan Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini

dimaksudkan, agar tidak ada norma hukum yang bertentangan dan

tumpang tindih dalam sistem perundang-undangan yang berlaku. Serta,

demi terciptanya rasa keadilan dalam penegakan hukum.

Page 141: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

130

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Aripin, Jaenal, Metode Penelitian Hukum,

Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Alrasid, Harun, Masalah Pengisian Jabatan Presiden, Jakarta: Pustaka Utama

Grafiti, 1999.

Amiruddin dan Asikin, Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:

Kencana, 2006.

Amir, Makmur, SH., MH., Purnomowati, Reni Dwi, S.H., M.H., Lembaga

Perwakilan Rakyat, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH-UI,

2005.

Arinanto, Satya, Hak Asasi Manusia Dalam Masa Transisi Politik Di Indonesia,

Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH-UI, 2005.

Asshiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta:

Konstitusi Press, 2005.

_______________, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sinar

Grafika, 2011.Asshiddiqie,

Jimly, Pergumulan Peran Pemerintah Dan Parlemen Dalam Sejarah: Telaah

Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta: UI Press, 1996.

Asshiddiqie, Jimly, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara

PascaReformasi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan

Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

________________, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca

Reformasi, Jakarta: Buana Ilmu, 2007.

Page 142: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

131

Attamimi, A. Hamid S., Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam

Penyelenggaraan Negara, Jakarta: Fakultas Hukum Pascasarjana UI,

1990.

Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-

Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada

Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang,

1992.

Ahmad, Rofiqul Umam, dkk., (ed.), Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia

Kontemporer: Pemikiran Prof. Jimly Asshiddiqie, SH, dan Pakar

Hukum, Jakarta: The Biography Institute, 2007.

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 1998.Budiardjo, Miriam, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi

Parlementer dan Demokrasi Pancasila, Jakarta: Gramedia Utama,

1994.

Busroh, Abu Daud dan Busroh, Abu Bakar, Asas-Asas Hukum Tata Negara,

Jakarta: Ghalia Indonesia, 1991.

Chazawi, Adami, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia,

Malang: Bayumedia Publishing, April 2005.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Jakarta: Gramedia, 1989.

Dewata, Mukti Fajar Nur dan Achmad, Yulianto, Dualisme Penelitian Hukum

Normatif Dan Empiris, Jakarta: Pustaka Pelajar 2010.

Dicey, A.V., Intoduction to Study of The Law of The Constitution, Indianapolis:

Liberty Fund, 1982.

Elgie, Robert and Moestrup, Sophia, Semi-Presidentialism Outside Europe: A

Comparative Study, New York: Routledge, 2007.

Page 143: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

132

Fatwa, A.M., Melanjutkan Reformasi Membangun Demokrasi : Jejak Langkah

Parlemen Indonesia Periode 1999-2004, Jakarta: Rajagrafindo

Persada, 2004.

Gaffar, Afan, “Amandemen UUD 1945 Dan Implikasinya Terhadap Perubahan

Kelembagaan” Dalam Buku Amandemen Konstitusi Dan Strategi

Penyelesaian Krisis Politik Indonesia, Jakarta: Asosiasi Ilmu Politik

Indonesia bekerjasama dengan Partnership for Governance Reform in

Indonesia (PGRI), 2002.

Ghoffar, Abdul, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia: Setelah Perubahan

UUD 1945 Dengan Delapan Negara Maju, Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2009.

Hadjon, Philipus M., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 2005.

Hamidi, Jazim dan Lutfi, Mustafa, Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia,

Bandung: Alumni, 2010.

Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT. Grafindo Persada,

2006.

Indroharto, Asas-Asas Hukum Pemerintahan Yang Baik, Dalam Pandangan

Paulus Effendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum

Pemerintahan Yang Baik, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.

Indroharto, Peradilan Tata Usaha Negara Buku I Beberapa Pengertian Dasar

Hukum Tata Usaha Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004.

Isra, Saldi, Pergeseran Fungsi Legislatif: Menguatnya Model Legislasi

Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta: Rajawali

Pers, 2010.

Kantaprawira, Rusadi, Hukum dan Kekuasaan, Yogyakarta: Universitas Islam

Indonesia, 1998.

Page 144: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

133

Kusnardi, Moh. dan Ibrahim, Harmaily, Pengantar Hukum Tata Negara

Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 1978.

Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Citra Aditya

Bakti, 1997.

Lijphart, Arend, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Jakarta:

PT. Grafindo Persada, 1995.

Marbun, B.N. DPR-RI Pertumbuhan Dan Cara Kerjanya, Jakarta: Pustaka

Utama, 2000.

Manan, Bagir, Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta: UII Press, 2006.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2005.

Masriani, Yulies Tiena, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Penerbit Sinar

Grafika, 2004.

MD, Moh. Mahfud, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta:

Rineka Cipta, 2000.

________________, Demokrasi Dan Konstitusi di Indonesia; Studi Tentang

Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Jakarta: Rineka

Cipta, 2000.

Muhamad, Abdulkadir, Hukum Dan Penelitian Hukum, Bandung: PT Citra

Aditya Bakti, 2004.

Mulyosudarmo, Suwoto, Kekuasaan Dan Tanggung Jawab Presiden Republik

Indonesia: Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis

Pertanggungjawaban Kekuasaan, Surabaya: Universitas Airlangga,

1990.

Mulyosudarmo, Suwoto, Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoritis dan Yuridis

terhadap Pidato Nawaksara, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997.

Page 145: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

134

Mustafa, Rachman, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2001.

Prakoso, Djoko, POLRI Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, Jakarta:

Bina Aksara, 1987.

Purnama, Eddy, Lembaga Perwakilan Rakyat, Medan: Syah Kuala University

Press, 2008.

Radjab, Dasril, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

Roestandi, Achmad, Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, Jakarta:

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

Salang, Sebastian, dkk, Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan,

Jakarta: Forum Sahabat, 2009.

Sanit, Arbi, Perwakilan Politik Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, 1985.

Sartori, Giovanni, Comparative Constitutional Engineering, New York: New

York Press, 1994.

Setiardja, A. Gunawan, Dialektika Hukum Dan Moral Dalam Pembangunan

Masyarakat Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Setjen MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945, Jakarta: Setjen MPR RI, 2006.

Sibuea, Hotma P., Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, Dan Asas-Asas

Umum Pemerintahan Yang Baik, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1981.

Soemantri, Sri, Sistem-Sistem Pemerintahan Negara-Negara ASEAN, Bandung:

Penerbit Tarsito, 1976.

Page 146: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

135

Sirajuddin, Fatkhurohman, Zulkarnain, Legislative Drafting: Pelembagaan

Metode Partisipatif Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan, Malang: Setara Press, 2015.

Spelt, N.M. dan Berge, J.BJ.M.Ten, Pengantar Hukum Perizinan, Surabaya:

Yuridika, 1992.

Spiro, Herbert J., Responsibility in Government: Theory and Practice, New York:

Van Nostrand Reinhold Company, 1969.

Stefanus, Kotan Y., Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan Negara,

Yogyakarta: Univ. Atmajaya, 1998.

Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D, Bandung:

Alfabeta, 2005.

Sukardja, Ahmad, Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara Dalam

Perspektif Fikih Siyasah, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Suny, Ismail, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara Baru, 1986.

Supranto, J., Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2003.

Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT Grasindo, 2010.

Sutedi, Adrian, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, Jakarta: Sinar

Grafika, 2011.

Syafiie, Inu Kencana, Sistem Pemerintahan Indonesia, Yogyakarta: Rineka

Cipta, 2011.

Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa,

2004

Tutik, Titik Triwulan, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca

Amandemen UUD 1945, Jakarta: Kencana, 2010.

Page 147: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

136

Wahjono, Padmo, S.H., Kuliah-Kuliah Ilmu Negara, Jakarta: Ind-Hill. Co,1996.

B. JURNAL/MAKALAH HUKUM

Hadjon, Philipus M., Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga,

Surabaya, tanpa tahun.

Indrayana, Denny, “Mendesain Presidensial yang Efektif; Bukan “Presiden Sial‟

Atau „Presiden Sialan’”, (Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari

Memperkuat Sistem Pemerintahan Presidensial, Jakarta, 13 Desember

2006.

Indrayana, Denny, Negara Hukum Pasca-Soeharto: Transisi Menuju Demokrasi

vs Korupsi, Jurnal Konstitusi, Mahkamah Konstitusi RI Vol. 1 No. 1,

Juli 2004.

Kusuma, R. M. Ananda B., Sistem Pemerintahan Indonesiadalam Jurnal

Konstitusi, Volume 1 Nomor 1, Juli 2004, Jakarta: Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia, 2004.

Soemantri, Sri, “Kekuasaan dan Sistem Pertanggungjawaban Presiden Pasca

Perubahan UUD 1945”, Makalah disampaikan dalam Seminar Sistem

Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, yang

diselenggarakan oleh Depkumham bekerjasama dengan FH Unair dan

Kanwil Depkumham Provinsi Jawa Timur di Surabaya pada tanggal 9-

10 Juni 2004.

Suny, Ismail, Kedudukan MPR, DPR, dan DPD Pasca-Amandemen UUD 1945,

Makalah dipresentasikan pada Seminar tentang Sistem Pemerintahan

Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945 diselenggarakan oleh Badan

Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI bekerjasama

dengan FH Unair dan Kanwil Departemen Kehakiman dan HAM RI

Prov. Jatim di Surabaya, tanggal 9-10 Juni 2004.

Syafrudin, Ateng, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara YangBersih

dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Bandung,

Universitas Parahyangan, 2000).

Page 148: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

137

C. PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 Tentang Susunan Dan Kedudukan MPR,

DPR, dan DPRD.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Dan Kedudukan MPR,

DPR, DPD, Dan DPRD

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, Dan DPRD

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

D. INTERNET

http://gsihaloho.blogspot.co.id, diakses pada tanggal 30 Agustus 2018 pukul

07.35 BBWI.

http://www.hukumsumberhukum.com/2014/06/apa-itu-pengertian-tindak-

idana.html, diakses tanggal 1 September 2018 pukul 16.25 BBWI.

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5063148b69686/mk-pangkas-izin-

pemeriksaan-kepala-daerah, Diakses pada hari Rabu Tanggal 19 Desember 2018

pukul 17.00 BBWI.

https://www.google.co.id/amp/s/m.liputan6.com/amp/2101045/ini-alasan-

lukman-hakim-pilih-jadi-menteri-ketimbang-anggota-dpr pukul 14.00 BBWI,

tanggal 14 Agustus 2018.

Page 149: IZIN PRESIDEN DALAM TAHAP PENYIDIKAN ANGGOTA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44579/1/AGUNG... · mendapatkan persetujuan tertulis Presiden. Studi ini bertujuan

138

Moch. Harun Syah, “Ini Alasan Lukman Hakim Pilih Jadi Menteri Ketimbang

Anggota DPR”, diakses dari “Presiden” www://www.presiden-wikipedia

Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia. Diakses tanggal 31 Agustus

2018 sekitar pukul 14.00 BBWI.

Revisi UU MD3 Disahkan Sore Ini, Ada Pasal Kontroversial, bersumber dari

www.detik.com, terbitan Senin, 12 Februari 2018 Pukul 16.34 WIB, diakses pada

Selasa, 20 Februari 2018 Pukul 10.00 BBWI.