18
HUBUNGAN ISLAM DAN DEMOKRASI DALAM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA Oleh kelompok IV 1 I. PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG Pada era global ini, kemunculan Islam dalam pentas politik di Indonesia bukanlah suatu fenomena baru, tetapi merupakan kelanjutan dari apa yang sudah ada jauh sebelum keruntuhan rezim Soeharto. Keinginan untuk mewarnai bentuk negara dan pemerintahan Indonesia dengan nilai-nilai agama sudah dicetuskan para tokoh Islam sejak sebelum kemerdekaan. Berubahnya peta politik dunia, memunculkan media- media informasi baru, menguatnya interaktifitas manusia dan semakin terbukanya akses terhadap pengetahuan, memaksa kelompok-kelompok Islam untuk mendefinisikan kembali peran dan kiprah mereka di Indonesia. Demokrasi yang kita raih tidak memberi banyak opsi kepada kelompok-kelompok Islam selain mengikuti aturan main yang disepakati bersama dalam konteks ruang yang kita sebut parlemen. Tantangan demokrasi di Indonesia bukan apakah partai-partai berideologi Islam mampu mengubah dasar negara menjadi negara agama, tapi bagaimana partai-partai di negeri ini baik yang Islam maupun yang 1 Kurniawan Sunanto, Lina Rozanah, Manik Retno dan Moh. Tohir 1

Islam vs demokrasi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pancasila

Citation preview

HUBUNGAN ISLAM DAN DEMOKRASI DALAM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIAOleh kelompok IV[footnoteRef:2] [2: Kurniawan Sunanto, Lina Rozanah, Manik Retno dan Moh. Tohir]

I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGPada era global ini, kemunculan Islam dalam pentas politik di Indonesia bukanlah suatu fenomena baru, tetapi merupakan kelanjutan dari apa yang sudah ada jauh sebelum keruntuhan rezim Soeharto. Keinginan untuk mewarnai bentuk negara dan pemerintahan Indonesia dengan nilai-nilai agama sudah dicetuskan para tokoh Islam sejak sebelum kemerdekaan.Berubahnya peta politik dunia, memunculkan media-media informasi baru, menguatnya interaktifitas manusia dan semakin terbukanya akses terhadap pengetahuan, memaksa kelompok-kelompok Islam untuk mendefinisikan kembali peran dan kiprah mereka di Indonesia. Demokrasi yang kita raih tidak memberi banyak opsi kepada kelompok-kelompok Islam selain mengikuti aturan main yang disepakati bersama dalam konteks ruang yang kita sebut parlemen. Tantangan demokrasi di Indonesia bukan apakah partai-partai berideologi Islam mampu mengubah dasar negara menjadi negara agama, tapi bagaimana partai-partai di negeri ini baik yang Islam maupun yang bukan memiliki integritas dan mampu menjadi wadah bagi perekrutan pemimpin negara dan wakil rakyat seperti yang diharapkan.(Assyaukanie, 2013: 1)Jika masalah ini tidak disikapi hati-hati, maka ada kemungkinan besar akan semakin memperuncing rasa curiga antara pihak satu dengan pihak lainnya. Baik itu kelompok nonIslam yang semakin memperlihatkan sikap kelompok Islam yang bisa menumbuhkan kemayoritasan semakin menguat.Kalau hal ini terus berkembang, maka tak lama lagi peroses demokratisasi di Indonesia tidak akan menuai harapan. Untuk itu, sebuah sikap jernih masyarakat dalam memahami permasalahan sangat diperlukan untuk membedakan berbagai instrumentalia yang bergentayangan, baik itu yang menggunakan symbol-symbol keagamaan ataupun orasi klise dari seorang tokoh sekalipun.Hal ini sangat urgen dalam menemukan aspirasi sebenarnya masyarakat dan sekaligus supaya lolos dari upaya kelompok-kelompok yang sering menggunakan kepentingannya dengan symbol-symbol primordial.Tentu kita harus sadar pula, kesadaran masyarakat kita yang selama ini tidak dibangun dalam pola pikir dan kultur yang demokratis bahkan sebenarnya yang berkembang adalah alam sakwsangka, merupakan unsur-unsur yang memiliki potensi konflik yang tinggi dalam mendukung terpecahnya masyarakat kita. Dalam keadaan ini, usaha menempatkan konflik dalam batas-batas tertentu untuk mencapai sebuah kompromi, konsensus atau kesepakatan lain dimana semua sisi diterima dan dihargai secara legitimate sangat penting. Disini semua unsur harus mendapat perhatian yang proporsional ketika persamaan akan diterjemahkan maknanya.Perlu adanya kepercayaan dalam orang kebanyakan dan mencari jaminan semua warga negara tersebut bahwa mereka akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai cita-cita mereka.Konsep demokrasi dalam konsep Islam yang paling kental terlihat dari prinsip-prinsipnya, yaitu musyawarah (perundingan), musawa (kesetaraan), dan syura (konsultasi dalam artian luas).Prinsip-prinsip ini memiliki tafsiran luas terhadap gagasan ide demokrasi. Menurut Amien Rais, seperti yang telah dikutip Anders Uhlin dalam bukunya Oposisi berserak, ada 5 prinsip demokrasi dalam Islam yakni: Pertama, pemerintahan harus dilandaskan pada keadilan. Kedua, sistem politik harus dilandaskan pada prinsip syura dan musyawarah.Ketiga, terdapat prinsip kesetaraan yang tidak membedakan orang atas dasar gender, etnik, warna kulit, atau latar belakang sejarah, sosial atau ekonomi dan lain-lain.Keempat, kebebasan di definisikan sebagai kebebasan berfikir, berpendapat, pers, beragama, kebebasan dari rasa takut, hak untuk hidup, mengadakan gerakan dll.Dan yang terakhir, pertanggungjawaban para pemimpin kepada rakyat atas kebijakan-kebijakan mereka. Dan semua ini, menurut Amien Rais tidak lepas dari check and balance sebagai kontrol rakyat terhadap para pemimpin mereka.Seperti apa yang dikatakan Gus Dur (Anders Uhlin,1998;83), Islam secara inheren bersifat demokratis. Namun demikian, Islam tidak punya hak monopoli terhadap ide-ide demokratis.Sebab perjuangan demi hak-hak asasi manusia dan demokrasi adalah perjuangan universal.Islam harus ikut memberikan kontribusi, tetapi tidak mengklaim bahwa kontribusi yang nyata hanya berasal dari Islam. Dalam makna terdalamnya, tanpa menilai pandangan pesimistis, Islam secara teoritis memiliki kandungan nilai-nilai demokrasi yang mencukupi, namun kekuatan Islam sendiri akan diuji dalam persoalan praktis dalam mengembangkan kehidupan yang demokratis.Dengan adanya kasus permasalahan tersebut makadapat diketahui bahwaberbagai peristiwa yang terjadiakhir akhir ini, yang lebihbanyak diakibatkan dari padak onspirasi elite politik.Untuk menyikapi masalah ini menjadi sebuah pertanyaan mendasar dalam memandang masa depan proses demokratisasi di Indonesia.Sehingga dengan adanya latar belakang dan permasalahan diatas makap ada penjudsulan makalah ini diberikanj udulHubungan antara Islam dan Demokrasi dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia.1.2 RumusanMasalaha) Apakah makna hakekat Islam dalam demokrasi?b) Bagaimanakah hubungan demokrasi dan Islam dalam ketatanegaraan Republik Indonesia?c) Apa dampak politik Islam terhadap proses demokrasi bangsa Indonesia?1.3 Tujuana) Untuk mengetahui makna hakekat Islam dalam demokrasi.b) Untuk menjelaskan hubugan demokrasi dan Islam dalam ketatanegaraan Republik Indonesiac) Untuk mengetahui dampak politik Islam terhadap demokrasi bangsa Inonesia

II. Pembahasan2.1 Makna Hakekat Islam dalam Demokrasi Demokrasi secara etimologis terdiri dari dua kata yaitu demos dan kratos. Demos artinya rakyat dan cratos yang berarti kekuasaan yang berdaulat. Jadi secara bahasa demos-cratos adalah keadaan negara yang sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyan dan kekuasaan oleh rakyat. (Rosyada, 2013: 110) Bangsa Amerika mendefinisikan demokrasi menurut ucapan presiden ke-16, Abraham Lincoln (1809-1865):pemerintah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Definisi yang biasa saya kemukakan adalah Partisipasi public dalam keputusan-keputusan yang menyangkut kehidupan masyarakat banyak, baik secara langsung maupun tidak langsung.(Kurzman : 125)Demokrasi sebagai suatu sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai tatanan aktifitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa negara. Seperti diakui oleh Moh. Mahfud MD, ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara. Hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas fundamental dan demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya.(Rosyada:109-110)Dengan demikian makna demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat dan bernegara mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang memberikan ketentuan dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan negara, karena kebijakan tersebut akan menentukan kehidupan rakyat. Dengan demikian negara yang menganut sistem demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat. Dari sudut orgaisasi, demokrasi berarti pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada ditangan rakyat.Dari beberapa pendapat diatas diperoleh kesimpulan bahwa hakikat demokrasi sebagai suatu sistem bermasyarakat dan bernegara serta pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan di tangan rakyat baik dalam penyelenggaan negara maupun pemerintahan. Kekuasaan pemerintahan berada di tangan rakyat mengandung pengertian tiga hal : pertama, pemerintah dari rakyat (goverment of the people); kedua, pemerintahan oleh rakyat (goverment by people); ketiga, pemerintahan untuk rakyat (goverment for people). Jadi hakikat suatu pemerintahan yang demokratis bila ketiga hal diatas dapat dijalankan dan ditegakkan dalam tata pemerintahan. ( Rosyada, 2003 : 111)Nilai dan prinsip Islam sebenarnya menyangkut gagasan demokrasi.Islam menurut definisinya adalah universal, bukan teritorial.Universalisme Islam ini tampak dari kandungan ajaran-ajarannya yang meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama, keimanan, etika, kemanusiaan, sikap hidup, prinsip-prinsip keadilan (sosial) dan lain-lain.Karena itu, seperti yang disinyalir dalam al Qur an, bahwasanya Islam merupakan Rahmat untuk seluruh Alam, dunia dan semua bangsa tanpa memandang batas-batas geografis, rasial atau strata sosial. Dalam Al Qur an (QS 02:256) menyebutkan bahwa" Tidak ada paksaan dalam memeluk (agama) Islam...", yang secara normatif mengandung makna terhadap pengakuan Islam akan hak dan keberadaan pengikut agama lain atau para ahli Kitab. Pengakuan ini secara otomatis merupakan prinsip dasar doktrin Islam terhadap pluralisme agama dan sosial budaya sebagai sunnatullah.2.1 Hubungan Demokrasi dengan IslamSalah satu isu yang paling populer sejak dasawarsa abad kedua puluh yang baru lalu adalah isu demokratisasi. Perdebatan dan wacana hubungan anatara Islam dan demokrasi sebagaimana diakui oleh Mun`im A. Sirry memang masih menjadi tema perdebatan dan wacana yang menarik dan belum tuntas. Karena itu kesimpulan yang diberikan oleh para pakar di atas (Larry Diamond, Juan J. Linze, Seymour Martin Lipset dan Samuel P. Huntington) bahwa Islam tidak sesuai dengan demokrasi hanyalah bagian dari wacana yang berkembang di kalangan para pakar politik Islam ketika mereka mengkaji hubungan Islam dan demokrasi. Bedasarkan pemetaan yang dikembangkan oleh John L.Esposto dan James P. Piscatory (Sukron Kamil,2002) secara umum dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok pemikiran (Mun`in A. Sirry,2002).Pertama, Islam dan demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda. Islam tidak bisa disubordinatkan dengan demokrasi. Islam merupakan sistem poltik yang self-sufficient. Hubungan keduanya bersifat mutually exclusive. Islam di pandang sebagai sistem politik alternatif terhadapdemokrasi. Dengan demikian Islam dan demokrasi adalah dua hal yang berbeda, karena itu demokrasi sebagai konsep Barat tidak tepat untuk dijadikan sebagai acuan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sementara Islam sebagai agama yang kaffah (sempurna) yang tidak saja mengatur persoalan teologi (akidah), dan ibadah, melainkan mengatur segala aspek kehidupan umat manusi. Ini diungkapkan misalnya oleh elit Kerajaan Arab Saudi dan elit politik Iran pada masa awal revolusi Iran, Syekh Fadhallah Nuri, Sayyid Qutb, Thabathabai, al-Syarawi dan Ali BenhadjKedua, Islam berbeda dengan demokrasi apabila demokrasi apabila demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti dipahami dan dipraktikan di negara-negara maju (Barat), sedangkan Islam merupakan sistem politik demokratis kalau demokrasi didefinisikan secara subtantif,yakni kedaulatan di tangan rakyat dan negara merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat ini. Dengan demikian dalam pandangan kelompok ini demokrasi adalahkonsep yang sejalan dengan Islam setelah diadakan penyesuaian penafsiran terhadap konsep demokrasi itu sendiri. Diantara tokoh dari kelompok ini adalah al-Maududi, Rasyid al-Ghanaoushi, Abdul Fattah Morou dan Taufiq asy-Syawi. Di Indonesia diwakili oleh Moh. Natsir danJalalddin Rahmat.Ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem politik demokrasi seperti yang dipraktikannegara-negara maju.Di Indonesia, pandangan yang ketiga tampaknya yanglebih dominankarena demokrasi sudah menjadi bagian integral sistem pemerintahan Indonesia dan Negara-Negara muslim lainnya. Islam sebagai jaminan demokrasi tidak bisa disandarkan pada kekuatan dan kesadaran tokoh, tanpa masuk dalam program pendidikan politik massa yang memliki tujuan mendasar. Sebagai kekuatan simbolis massa, Islam harus memberanikan dasar-dasar berpijak secara moral terhadap supermasi hukum dan keadilan sosial dalam sistem politik yang terbuka , sekaligus menjadi kekuatan komunitas yang mampu membuka kesadaran subkultur yang tertutup.2.2 Politik Islam terhadap Proses Demokratisasi Bangsa IndonesiaSecara umum, pada dasarnya kaum Muslim sudah tidak lagi memiliki persoalan dengan demokrasi. Kontroversi apakah Islam kompatibel dengan demokrasi tidak lagi menjadi isu besar yang diperdebatkan, seperti lima atau enam dekade silam. Bagi mereka, masalahnya kini bukanlah apakah Islam cocok dengan demokrasi, tapi bagaimana demokrasi bisa digunakan untuk mendukung aspirasi dan cita-cita politik mereka.Inilah yang kini terjadi di Mesir dan juga di Indonesia.Bagi mereka, demokrasi bukanlah persoalan, tapi justru sebuah jawaban yang bisa digunakan untuk memperjuangkan agenda politik mereka.Hubungan agama dan politik di Indonesia memang tidak bisa disepelekan. Rasanya tidak ada soal politik yang bisa diperbincangkan tanpa mengaitkan dengan isu agama. Dominasi politik Islam dan peranan para politikus Islam menentukan kekuatan politik Islam. Dinamika politik yang baru, tidak hanya memperebutkan posisi birokrasi agama, tapi juga bagaimana mengusai pusat kekuasaan itu. Dalam dunia politik, kita menyaksikan munculnya partai-partai Islam dengan corak baru. Didesak oleh situasi yang terus berubah, partai-partai ini mendifinisikan kembali jatidirinya yang berbeda dari partai-partai serupa pada tahun 1950an.Di tengah persaingan partai-partai politik yang begitu ketat diperlukan kreatifitas untuksurvive.Tantangan terbesar partai-partai Islam kini bukanlah bagaimana mendirikan negara Islam atau menerapkan Syari'ah, tetapi bagaimana tujuan akhir bernegara bisa dicapai. Tujuan akhir bernegara (termasuk negara Islam), saya kira, sama, yakni mewujudkan keadilan, menghadirkan kesejahteraan, dan menciptakan kenyamanan. Tak peduli apakah suatu partai politik menggunakan bendera merah, biru, kuning, hijau, atau putih, selama partai itu tak memperlihatkan keseriusan dalam memperjuangkan tujuan dasar bernegara, dia akan ditinggalkan orang. Orang memilih partai bukan lagi berdasarkan preferensi agama atau aliran, tapi sejauh mana partai-partai itu bisa memenuhi kebutuhan nyata hidup mereka.Karena alasan ini, beban yang dipikul pengelola partai-partai berlandaskan agama, sejatinya lebih berat ketimbang beban yang dipikul pengelola partai-partai sekular.Hal ini karena partai-partai Islam mengusung dua klaim besar sekaligus, yakni menjalankan misi agama yang mulia dan menegakkan cita-cita politik yang luhur.Pengalaman telah mengajarkan kelompok-kelompok Islam untuk tidak melawan sesuatu yang secara massif diterima orang. Alih-alih menentang demokrasi, kaum Islamis justru mendukungnya dan menggunakannya untuk kepentingan dan aspirasi politik mereka. Dengan kerja keras dan kampanye yang simpatik, merekaberusaha memobilisasi massa, memenangkan Pemilu, menguasai parlemen, dan mengubah konstitusi.Tapi, politik selalu tidak mudah. Demokrasi adalah arena di mana hasrat-hasrat harus dinegosiasikan. Para pengelola partai Islam harus berhadapan dengan lawan-lawan politik yang berbeda ideologi dan kepentingan. Mereka juga harus berhadapan dengan konstituen sendiri untuk menjelaskan setiap keputusan dan langkah yang diambil. Yang terjadi justru sebaliknya. Partai-partai Islam dipaksa untuk beradaptasi dengan keadaan. Para politisi Islamis harus menurunkan tuntutan mereka dan menyesuaikannya dengan kenyataan yang mereka hadapi. Berbagai studi tentang hubungan Islam dan demokrasi menunjukkan bahwa demokrasi tidak membuat kelompok-kelompok Islamis semakin radikal, tapi justru membuat mereka semakin moderat dan pragmatis. Bahkan, absennya demokrasi, sering kali, malah membuat kelompok-kelompok Islam semakin ekstrim.Salah satu persoalan yang kita hadapi dalam transisi menuju demokrasi ini adalah konflik-konflik dan ketegangan yang kerap terjadi dalam masyarakat.Sikap-sikap intoleran dan permusuhan kepada suatu kelompok merupakan kendala utama dalam membangun demokrasi yang beradab.Para tokoh masyarakat, khususnya tokoh agama, bertanggungjawab persis pada poin ini.Agama, sebagai salah satu pembentuk budaya, memainkan peran penting dalam menentukan hitam-putihnya demokrasi kita.Budaya kewargaan menuntut adanya pemahaman dan penafsiran agama yang sejalan dengan cita-cita demokrasi.Pada tataran idedan simbol agama dengan mudah dapat disandingkan dengan politik. Yang terpenting adalah aktualisasinya terutama melaluiperilaku para elit politik. Justru di sinilah dijumpai adanya paradoks. Banyak elit politik kita yang memperlihatkan perilaku yang menyimpang dengan tuntutan subtansial doktrin agama. Bahkan belakangan iniada kecerendungan kuat dari elit politik kita melakukan manipulasi terhadap simbol-simbol keagamaan. Yang sulit di nalar, jika kecenderungan yang sama terjadi pada tokoh agama yang seharusnya memiliki tanggung jawab dalam menegakan moralitas agama. Belakangan banyak tokoh agama kita yang ikut-ikut memasuki pertarungan politik praktis dengan cara melakukan manipulasi terhadap simbol-simbol keagamaan. Jika dulu Imam al-Ghazali pernah mengingatkan bahwa politik adalah permainan yang memabukan. Justru ,sekarang banyak tokoh agama yang memabukkan diri dalam permainan politik.Strategi pemberdayaan politik Gus Dur hanya akan tepat bagi kita yang memandang politik Islam di Indonesia sebagai bagian integral dari politik bangsa dan oleh karenanya, tidak lagi mementingkan atribut keagamaan. Demikian juga, strategi itu akan sangat relevan buat kita yang memandang pulihnya hak-hak poltik warga negara sebagai landasan utama sebuah sistem politik demokratis, sekarang dan di masa yang akan datang. Tantangan terbesar demokrasi dalam masyarakat Muslim bukanlah mengajak mereka mendirikan partai, menyelenggarakan Pemilu, dan mengisi parlemen dengan wakil-wakil rakyat. Tetapi, bagaimana menumbuhkan nilia-nilai kewargaan (civic values) di tengah budaya yang miskin akan nilai-nilai itu. Tantangan terbesar demokrasi adalah bagaimana mengajak kaum Muslim untuk bersikap toleran di tengah budaya intoleransi, bagaimana mengajak mereka untuk menghormati hak-hak minoritas di tengah rasa percaya diri berlebih sebagai mayoritas.Berbagai persoalan yang mengurangi kualitas demokrasi kita selama ini bersumber dari sikap-sikap semacam itu. Sebagiandibentuk oleh budaya lokal kita, sebagain yang lain berasal dari doktrin-doktrin agama.

III. Kesimpulan3.1 Demokrasi adalah keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada ditangan rakyat, kekuasan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakya, rakyat berkuasa, pemrintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat sehingga makna demokrasi merupakan dasar hidup bermasyarakat yang mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang memberikan ketentuan dalam masalah dan menilai kebijakan negara. Sedangkan hakekat demokrasi mengandung pengertian pemerintah dari, oleh, dan untuk rakyat3.2 Hubungan Islam dan demokrasi adalah dua sistem politik yang berbeda, dan Islam adalah Sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem politik demokrasi3.3 Proses demokratis disini mengajak kaum Muslim untuk bersikap toleran di tengah budaya intoleransi, bagaimana mengajak mereka untuk menghormati hak-hak minoritas di tengah rasa percaya diri berlebih sebagai partai politik

Daftar Pustaka

Aburrahman, Muslim.2003.Islam Sebagai Kritik Sosial. Jakarta : ErlanggaArifin, Syamsul.2003. Islam Indonesia.Malang : Universitas Muhamadiyah MalangHikam, Muhamad A.S. Islam Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society.1999.Jakarta :ErlanggaKurzman, Charles.1998.Wacana Islam Liberal.Jakarta : ParamadinaRosyada, Dede dkk.2000.Demokrasi, Hak Asasi Manusia Masyarakat Madani.Jakarta :Tim ICCE UIN JakartaAssyaukanie,Luthfi .2013. Islam dalam Transisi Demokrasi di Indonesia.Diakses 18 November 2014(http://islamlib.com/ islam+dalam+transisi+demokrasi+di Indonesia)Kamil, Luthfie..2013. Islam dan Demokrasi. Diakses 18 November 2014 (http://www.oocities.org/capitolhill/3925/sd9/islamddemo)Zoelva, Hamdan.2008. Islam dalam bingkai Negara bangas. Diakses 18 November 2014 (http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/11/08/penerapan-syari%E2%80%99at-islam-dalam-bingkai-negara-bangsa1/)Ramadhan, Taufik..2013. Hubungan Islam dan Demokrasi. Diakses 18 Novemeber 2014(http://taufikramdhan401.wordpress.com/2013/03/06/hubungan-islam-dan-demokrasi/)

2