25
BABI PENDAULUAN A. Latar belakang Dalam sebuah tulisan yang bertemakan “Islam dan pemahaman kebangsaan”, Nurcholis Madjid membuka tulisannya dengan mengatakan sebuah tesis bahwa Islam di Indonesia adalah agama Mayoritas. 1 Tentu saja, ungkapan ini tidak lahir dalam sebuah kesimpulan yang sederhana, namuan telah ada research yang berkaitan dengan itu. Sehingga Nurcholis menambahkan bahwa validitas fakta ini dapat dieprtanggung jawabkan, namun senantiasa terbuka untuk didiskusikan terlebih ditengah-tengah idiologi Negara yang tidak menggunakan Islam sebagai dasar Negara. Sehingga dalam kata lain dapat dipisahkan antara Negara islam dan Negara muslim. Negara Islam adalah sebuah Negara yang menggunakan unsur dogmatis keislaman sebagai dasar Negara dan 1 “Islam in Indonesia is the Religion of the majority”. Mungkin karena adanya kepercayaan diri yang besar sehingga secara retorika hingga kini banyak kalangan yang mengatakan bahwa umat Islam secara persentase mampu menyentuh angka 80-90% dari keseluruhan jumlah total penganut agama lain. Terlepas dari perdebatan yang sengit perihal masalah ini, namun yang jelas Islam merupakan agama terbesar bagian bangsa kita terlepas dari beraneka pula entitas bentuk anutan dari keislaman. Lihat Nurcholis Madjid, Islam dan Substansiasi Paham Kebangsaan di Indonesia, dalam F. Suleeman, dkk., (peny.) Bergumul dalam pengharapan; Buku Penghargaan untuk Pdt. Dr. Eka Darmaputera, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hlm. 490. 1

Islam dan demokrasi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Demokrasi Sebuah pilihan bangsa bukan tanpa tujuan, realitas majemuk yang ada menunjukkan bahwan pemilihan konsep ini bagian dari kesesuaian.

Citation preview

Page 1: Islam dan demokrasi

BABI

PENDAULUAN

A. Latar belakang

Dalam sebuah tulisan yang bertemakan “Islam dan pemahaman kebangsaan”, Nurcholis

Madjid membuka tulisannya dengan mengatakan sebuah tesis bahwa Islam di Indonesia adalah

agama Mayoritas.1 Tentu saja, ungkapan ini tidak lahir dalam sebuah kesimpulan yang

sederhana, namuan telah ada research yang berkaitan dengan itu. Sehingga Nurcholis

menambahkan bahwa validitas fakta ini dapat dieprtanggung jawabkan, namun senantiasa

terbuka untuk didiskusikan terlebih ditengah-tengah idiologi Negara yang tidak menggunakan

Islam sebagai dasar Negara. Sehingga dalam kata lain dapat dipisahkan antara Negara islam dan

Negara muslim. Negara Islam adalah sebuah Negara yang menggunakan unsur dogmatis

keislaman sebagai dasar Negara dan Negara muslim adalah Negara yang mayoritas penduduk

menganut agama Islam namun tidak menggunakan unsur dogmatis keislaman sebagai dasar

Negara seperti halnya Indonesia dan beberapa Negara yang lain.2

Sebagai mayoritas, terkadang terkesan memiliki kuasa dan kehendak sehingga unsur-

unsur yang lain dalam skala minorotas terkadang bukan hanya tidak didengar suaran, usulan dan

konsep-konsep yang membangun, namun bahkan ada terkesan diskriminatif. Adagium yang

besar yang membangun adalah fakta yang selama ini kita rasakan yang kecil “manutun bil

maslahah” seolah menjadi slogan wajib dan harus di lakukan.

1 “Islam in Indonesia is the Religion of the majority”. Mungkin karena adanya kepercayaan diri yang besar sehingga secara retorika hingga kini banyak kalangan yang mengatakan bahwa umat Islam secara persentase mampu menyentuh angka 80-90% dari keseluruhan jumlah total penganut agama lain. Terlepas dari perdebatan yang sengit perihal masalah ini, namun yang jelas Islam merupakan agama terbesar bagian bangsa kita terlepas dari beraneka pula entitas bentuk anutan dari keislaman. Lihat Nurcholis Madjid, Islam dan Substansiasi Paham Kebangsaan di Indonesia, dalam F. Suleeman, dkk., (peny.) Bergumul dalam pengharapan; Buku Penghargaan untuk Pdt. Dr. Eka Darmaputera, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hlm. 490.2 This fact is valid enough to discuss about islam and its role in developing pancasila as the nation ideology… Ibid, hlm. 489.

1

Page 2: Islam dan demokrasi

Harkristuti Harkrisnowo dalam ini mencoba untuk membaca isu-isu kemanusiaan yang terjadi di

Indonesia terlebih khusus isu-isu yang berkaitan dengan interfaith dialogue yang selama ini

dapat dikatakan sebagai salah satu penyebab utama beberapa pelanggaran HAM dan tentu saja

kekerasan-kekerasan yang terjadi di segenap pelosok tanah air.

2

Page 3: Islam dan demokrasi

BAB II

PEMBAHASAN

Sebagai pengantar, pada dasarnya isu-isu kemanusiaan adalah merupakan isu yang telah

lama berusaha untuk di-bumikan kembali, hal ini terjadi karena banyaknya kasus-kasus

kekerasan yang terjadi sebenarnya tidak hanya di Indonesia namun juga di seluruh penjuru dunia.

Kita dapatkan beberapa contoh kongkret semisal Cina yang mengontrol habis-habisan daerah

Tibet sehingga mereka (baca-tibet) sering dikenal berbangsa namun tidak bernegara. Kasus

kemanusiaan yang ada adalah proses pembakaran diri oleh para biksu yang merupakan bentuk

protes, tercatat hingga kini sudah ada ratusan korban. Belum lagi Rohingya di kamboja yang

masih hangat bahkan hingga saat ini dan masih belum mendapatkan penanganan yang serius dari

Negara tempat terjadi masalah dan Negara-negara yang lain yang sering menyebut dirinya pro

terhadap kebebasan manusia dan menjunjung tinggi hak-hak yang dimiliki manusia. Belum lagi

bicara masalah Palestina dan Israel yang jika dibilang membosankan terkesan kurang etis namun

demikian adanya karena hampir setiap saat seluruh media menyampaikan berita yang serupa dan

itu-itu saja.

Guna membaca ini, Harkristuti mengangkat sebuah isu nasional yang sejatinya mendunia

dengan melirik sebuah konsep yang sebelumnya diangkat oleh Nicholas Adam seorang teolog

yang memfokuskan diri pada isu-isu kemanusiaan (terutama dengan pelanggaran hak-hak asasi

manusia) yang bersumber pada dialog antar agama dengan berbasis pada nilai-nilai filosofis.

Kerja keras Harkristuti tidak bisa kita katakana sia-sia karena faktanya toh hingga zaman yang

“katanya” semakin banyak masyarakat yang terdidik dan tercerahkan justru masih banyak

pelanggaran terhadap hak asasi dalam prakteknya dan lebih parahnya lagi pelanggaran yang

3

Page 4: Islam dan demokrasi

terjadi bersumber dari satu hal yakni agama.3 Sehingga beralasan ketika Harkristuti nyatakan

ketertarikannya mengangkat isu-isu filosofis seperti haki asasi manusia yang di dalam bentuk

diskusinya difokuskan pada nilai-niali universal yang dihadapkan nilai-nilai kebudayaan yang

bersifat relative.4

A. Islam dan Demokrasi: Hak-Hak Asasi, Universalism dan Relativism Kebudayaan.

Islam merupakan salah satu agama yang mayoritas di Indonesia secara pesentase mampu

menembus angka hingga 86 persen sehingga dengan angka ini dapat katakana bahwa Indonesia

adalah Negara the world’s most populous muslim country, sekaligus menempatkan dirinya pada

urutan ketiga selaku Negara penerap demokrasi di dunia.5

Namun setidaknya data ini tidak menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu

Negara penerap demokrasi yang baik mengingat banyaknya kesenjangan dan pelanggaran hak-

hak asasi yang bententangan dengan nilai-nilai demokrasi. Statement ini pada dasarnya ambigu,

karena selama ini memang tidak ada Negara yang mampu menerapkan konsep demokrasi secara

sempurnya karena sangat terbukanya idiologi ini dan proses perkembangan akan senantiasa ada.

Memang, disis yang lain kritik dan pantauan senantiasa menerpa Indonesia karena banyaknya

isu-isu yang dianggap bertentangan, namun kami menilai bahwa pelaku kritik sendiri pada

dasarnya belum menemukan formula yang pas dalam menghadapi kenyataan bahwa pluralitas

disegala lini adalah bom waktu yag senantiasa meledak dan terbuka terhadap kemungkinan

3 Pada dasarnya bukan bermaksud menimbulkan profokasi dan berita tanpa sumber namun kasus yang terjadi belakangan ini bahkan hingga menimbulkan korban jiwa adalah karena perbedaan paham dan ideology keagamaan seperti kasus di Madura, aliran Ahmadiayah dan gereka HKBP Philadelpia yang walau dari beberap kasus tidak ada korban jiwa namun scara psikologis hal ini menimbulkan dampak negative dan tentu saja ada pelanggaran hak –hak asasi di sana.4 I start with a review of how the philosophical issues parallel human rights discussion focused on universal value versus cultural relativism… Harkristuti Harkrisnowo, Multiculturalism in Indonesia: Human Rights in Practice, dalam Waled El-Anshary, Muslim And Cristian Understanding Theory ang Aplication Of “A Common World”, (New York: St. Martin Press LLc, 2010). hlm. 189. 5Harkrisuti mendapati secara data cukp dapat dipertanggung jwabkan karena melihat thn yang dekat dengan saat ini yakni 2010, didapatkan bahwa jumlah penduduk Indonesia sebanyak 240 juta dan 86 peren diantaranya memeluk agama Islam. Berkaitan dengan statement kedua lebih condong kepada keluasan wilayah NKRI yag secara defakto dan deyure menrapkan system demokrasi. Ibid, hlm. 189.

4

Page 5: Islam dan demokrasi

konflik. Karena Harkristuti menekankan pada argument bahwa harapan senantiasa ada berkaitan

dengan penerapan demokrasi di Indonesia. Hal ini juga diharapkan menambah kemajuan dan

perkembangan disegala sisi (dimensi) baik ekonomi sosial dan politik.

Lalu dimana Islam dan agama-agama yang lain dalam konsep demokrasi ? apakah krisis

yang terjadi pada tahun 1997 hingga mencapai puncaknya pada 1998 menunjukkan bahwa Islam

tidak sesuai dengan demokrasi ? atau kita kembalikan pemaknaan dengan membuat dikotomi

bahwa demokrasi adalah barat dan agama secara luas, Islam khususnya dalah timur sehingga

tidak sesuai dengan demokrasi ? penilaian ini sepihak terkesan benar namun sejatinya, demokrasi

bukanlah murni berasal dan berisikan nilai-nilai barat.6

Melirik konsep demokrasi yang ada di Indonesia, sama sepertihalnya Turkey Indonesia

bukanlah Negara yang berlandaskan idiologi suatu agama atau aliran keagamaa (sekterian)

sehingga basis-basis pergerakan keagamaan yang hendak masuk dalam kancah kepemimpinan

maupun pemerintahan hendaknya mengikuti aturan dan ketentuan yang telah ditetapkan dalam

konstitusi dan perundang-undangan NKRI. Disinilah kesamaan posisi manusia dihadapan hukum

dan letak kesadaran realitas multikultur yang ada di Indonesia.

Sangat disayangkan, keindahan konsep yang disampaikan dan diinginkan sepertihalnya

Haskristuti sampaikan hingga kini masih menjadi hal yang semu semata. Pada kenyataannya,

partai politik yang berbasis agama dalam kampanyenya masih menrapkan konsep menjatuhkan

terhadap partai lain yang tidak sejalan dengan idiologinya. Bahkan pada masa orde baru, banyak

6 Dalam menyikapi masalah ini Harkristuti mengatakan “demokrasi is not a pureryWestern value”. Dia mengambil contoh Negara India yang sejatinya berpenduduk lebih dari 1,2 milyar dengan jumlah populasi masyarakat muslim mencapai 100 juta jiwa dapat menerapkan demokrasi walaupun tidak sama percis dengan demokrasi ala barat. Selain itu nilai-nilai mayoritas keagamaan (Hindu) juga masuk dalam undang-undang di india. Sejatinya angka 100 juta merupakan bukan angka yang kecil namun India dalam hal ini tetap tidak dapat dimasukkan dalam OKI karena melihat mayoritas penduduk, sebaliknya Indonesia yang sempat menolak masuk dalam OKI justru menjadi anggota dengan sebelumnya menteri luar negeri Indonesa Adam malik dibuat repot menerangkan bahwa Indonesia bukan Negara Islam sehingga adabaiknya jika posisi di OKI sebatas sebagai peninjau. Hal yang demikian tidak terjadi pada India, walaupun perdana menteri Indira Gandhi mengajukan protes agas India dimasukkan kedalam anggota OKI tetap saja tidak bisa. Hingga kini India tetap tidak dapat masuk sebagai anggota OKI dan Indonesia menjadi anggota penuh dengan peranan semakin penting di dalamnya.

5

Page 6: Islam dan demokrasi

berjatuhan korban jiwa hanya karena perbedaan partai dan warna sebagai simbol dominasi partai.

Pada point ini sekiranya cukup untuk menunjukkan bahwa penerapan demkrasi di Indonesia

memang belum maksimal sehingga penyelewengan dan pelanggaran terhadap hak asasi7 dan

kesadaran atas perbedaan masih saja senantiasa terjadi.

Jika melirik kembali sejarah keterbentukan NKRI saat ini, Harkristuti sendiri menyadari

bahwa Islam memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan formulasi dasar Negara. Namun

juga tentu saja tidak terlepas dari peranan agama-agama yang lain sepertihalnya kristiani. Hal ini

ditunjukkan dengan adanya pembentukkan nilai dan unsur keagamaan yang tercantum dalam

konsep Negara terhadap kepercayaannya kepada Tuhan yang Esa.8 Adapun penerapan konsep

bertumpu pada pergeraan sosial senantiasa berbenturan (conflcting) diakibatkan oleh tiga hal

yang bagi Harkristuti antara lain, pertama, Nasionalisme, kedua, Islamisme, dan terakhir

Sosialime yang dia memeberikan istilah left-leaning Progressives dengan memberikan catatan

adanya perbedaan antara sosialisme dan komunisme.9

Berkaitan dengan penerapan konsep demokrasi terhadap dampaknya dalam

penghormatan hak asasi manusia, terdapat perbedaan yang signifikan jika dalam sudut pandang

Nicolas Adam yang di bahas oleh Harkristuti dengan konsep Hak asasi versi demokrasi yang ada

ada di timur. Jika Adam, dalam hal ini hak asasi yang ada di timur lebih berasal dari dan

mewakili framework filosofis Hegellian vis a vis Kantian, maka di timur yang diwakili oleh

7 Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat anusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Lihat, Jack Donnely, niversal Human Rights in Theory and Practice, (London: Cornell University Press,2003), hlm. 7-21.8 Tentu saja para founding father dalam merumuskan ini telah melewati fase yang sangat panjang. Harkristuti sendiri mendapati data bahwa kesepakatan yang terjadi dalam dasar Negara dan perundang-undangan tentang kebebasan dalam beragama dan penghormatan terhadap pemeluk agama lain yang tercantum dalam undang-undang dasar 1945 adalah hasil formulasi sejarah. Lihat notes no 3. Waled El-Anshary, Muslim And Cristian Understanding Theory ang Aplication Of “A Common World”, (New York: St. Martin Press LLc, 2010). hlm. 199.9 Sometimes conflicting sosial movements or pillars of our independence movements and subsequent political development : nationalism, islamiscists, and left-leaning (once upon a time, sosialists is not communist). Waled El-Anshary, Muslim And Cristian Understanding Theory ang Aplication Of “A Common World”, (New York: St. Martin Press LLc, 2010). hlm. 190.

6

Page 7: Islam dan demokrasi

diskusi antara Mahatir Muhammad yang mewakili ASEAN dan Islam sebagai starting Value

berusaha berdialog dengan Lee Kuan Yew yang berasal dari Non-Muslim.10 Usaha yang

dibangun adalah bagaimana agar perbedaan sudut pandang dari dua pemahaman yang berbeda

ini mampu diterapkan ditengah-tengah kemajemukan culture dan budaya seiring dengan tidak

melanggar hak-hak individu kelompok dan golongan. Lahirnya konsep hak asasi dalam dunia

timur (baca Asean dan Indonesia) yang genuine dan benar-benar berpihak pada realitas sangat

diperlukan tanpa adanya campurtangan dan oppression dari barat, karena setidaknya hanya

orang-orang yang ada pada sejarah dan realitas tempat hidupnya yang tau apa saja yang

dibutuhkan, tentu saja dengan tidak meningalkan makna-makna universal yang hendak dicapai.

Jelas sudah bahwa Islam dalam hal ini yang merupakan agama mayoritas pada dasarnya

dalam sebuah Negara demokrasi hendaknya menyadari adanya perbedaan-perbedaan sehingga

penerapan dan ketundukan pada konstitusi adalah pilihan yang terbaik dan ini juga penulis yakini

menjadi landasan dari para pendiri Negara memilih konstitusi yang tidak memihak pada satu

ajaran agama apapun di Indonesia. Berkaitan dengan kasus Aceh yang menerapkan syari’ah pun

merupakan penerapan syariah yang masih terkontrol. Dilain pihak, dualism hukum yang ada

justru membingungkan karena pada kasus tertentu bisa saja orang memilih hukum Negara

dibanding hukum syari’ah dan sebaliknya melihat sebab dan hukuman yang akan diterima.

B. Multikulturalisme bagian dari sejarah Indonesia

10 Harkristuti mengutip pemikiran dua tokoh yang memiliki falfasah pemikiran yang berbeda, Mahathir Muhammad selaku politikus sekaligus akademisi yang menggunakan idiologi Islam dan menawarkan konsep “kapitalisme Islam” dan Lee Kuan Yew yang menggunakan idiologi Kongfusianism. Sejatinya konsep yang ditawarkan oleh kedua tokoh ini berusaha untuk mengkonter nilai-nilai dan konsep-konsep barat perihal demokrasi dan hak asasi manusia. Keduanya berusaha untuk menunjukkan bahwa Timur memiliki nilai dan pandangan yang berbeda dengan barat. Lihat, Sivamurugan Pandian, Legasi Mahathir. (Kuala Lumpur: Utusan Publications & Distributors, 2005). hlm. 351, dan Ahmad Fawzi Mohd Basri, Mahathirisme: Suatu pemetaan politik Malaysia. Seminar Kepimpinan Politik Malaysia Peringkat Kebangsaan. 16-17 Julai, (Bangi: UKM, 1996). hlm.1.

7

Page 8: Islam dan demokrasi

Harkristuti, bukan bertujuan menyampingkan konsep Kantian dalam penerapan hak asasi

manusia dalam suatu Negara, namun konsep Hegelian11 dianggap lebih cocok karena melihat

Indonesia yang juga memiliki rentetan sejaran yang panjang lebih menunjukkan bahwa jadi diri

bangsa ditunjukkan oleh pentingnya factor sejarah. Sejarah yang telah silam dan bahkan fakta

keadaan saat ini. Luasnya daerah Indonesia ditambah dengan keadaan geografisnya yang

terpisah-pisah multiculturalism dalam bentuk suku, budaya, ras bahkan agama tidak dapat

diabaikan. Tercatat sekitar 17.508 pulau yang masuk dalam wilayah NKRI ini sudah termasuk

pulau-pulau induk dan plau-pulau kecil yang mungkin hingga kini ada yang tidak berpenghuni.

Sehingga dalam arti lain jika meminjam bahasa Harkristuti bahwa, Multiculturalism is not a new

experience for our country.

Fakta multikulturalisme telah banyak membuka ruang kajian, ada bebrap astatment

seperti sebuah buku yang juga diterbitkan oleh penerbit CPS book bahkan lebih terperinci dari

pada review singkat yang di tulis Harkristuti, namun dari hasil kajian baik Harkristuti maupun

kajian-kajian yang ada lainnya berupaya untuk menunjukkan bahwa Indonesia adalah sebuah

Negara multi ragam.12

Indonesia, sebagai Negara yang memiliki keluasan wilayah yang besar dan dihadapkan

pada kenyataan keterpisahan secara geografis, tentusaja memiliki banyak etnis. Jumlah etnis

yang mencapai lebih dari 400 etnis yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia menjadikan

bangsa ini sebagai salah satu Negara yang memiliki jumlah etnis terbesar diseluruh dunia.

11 Konsepnya biasa disebut dengan, Dialektika Hegel. Konflik dikatakan sebagai pertentangan antara tesis, antitesis, dan sintesis yang membentuk siklus tak berujung. Tesis merupakan suatu ide, ide ini belum mencapai kesempurnaan sehingga menimbulkan antitesis. Sebagai hasil dari pertentangan di antara keduanya, maka lahirlah sintesis yang kemudian menjadi tesis baru. Tesis baru akan menghasilkan antitesis baru pula, dan seterusnya. Siklus ini hanya akan terhenti jika ditemukan tesis (ide) baru yang absolute, tanpa kekurangan. Lihat, Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik (Teori, Aplikasi, dan Penelitian), (Jakarta : Salemba Humanika, 2010). hlm.16.12 Setidaknya demikian ungkapan dari Robert Hefner dalam mendiskripsikan Indonesia yang masuk dalam salah satu Negara tua di Asia tenggara. Dalam koneksinya Hefner menyatakan bahwa Negara-negara tua yang memiliki kemajemukan yang menyangkut segala lini telah terjadi sejak Maja Pahit memerintah Nusantara. Lihat, Samsu Rizal Panggabean, Approaches to Ethnic and Religious Conflict Resolution, dalam Frans de Jalong (ed). The Making of Ethnick And Religious Conflicts in Southeast Asia : Case and Resolution, (Yogyakarta : CPS Book, 2004), hlm. 49.

8

Page 9: Islam dan demokrasi

Agama yang dalam pembahasan sebelumnya merupakan salah satu unsur fundamental dan

memiliki andil besar dalam keterbentukan Negara ini juga memiliki sejarah yang panjang.

Namun yang terpenting dari kesemua ini adalah bahwa dengan adanya multiculturalism

yang luar biasa di Negara ini konflik dan ancaman keharmonisan akan senantiasa terbuka.

Harkristutipun menyadari ini, bahwa secara praktis sangat mustahil bagi seorang masyarakat

Indonesia hanya berinteraksi dengan etnis yang sama, agama dan melakukan relasi sosial juga

dengan sesame etnis semata di tengah-tengah beragamnya multicultural bangsa lebih-lebih

ditengah arus global yang mengharuskan seorang manusia memiliki banyak relasi dan kerabat.13

Sehingga dalam hal ini dengan demikian, masyarakat Negara ini harus kembali banyak

belajar untuk terus saling memahami dan toleransi, karena hal ini wajib dilakukan jika

menginkan bangsa yag plural dari beragam sisi ini ingin terus menjadi sebuah Nengara yang

satu.

C. Konflik dalam Masyarahat Heterogen

Sejatinya, seluruh masyarakat Indonesia memiliki pemahaman dan pengetahuan bahwa

dirinya berada dalam lingkungan Negara yang hiterogen. Dengan demikian, menjadi mustahil

untuk disatukan dalam suatu kelompok dan satu tujuan. Beragam pemikiran juga dalam

menanggapi keberagaman ini sangat multirupa, mulai dari kalangan yang memilih untuk

menutup diri terhadap hal yang lain dari dirinya sehingga bersifat eksklusif dan tertutup, atau

malah membuka diri seluas luasnya sehingga ada dua kemungkinan yang terjadi jika hal kedua

ini dilakukan. Pertama, sosok tersebut akan kehilangan jati diri dan memutasi dirinya menjadi

sosok yang berbeda atau, kedua, dia mampu menyerap apa yang menurutnya membangun dari

cultur dan budaya yang berbeda.

13 Waled El-Anshary, Muslim And Cristian Understanding Theory ang Aplication Of “A Common World”, (New York: St. Martin Press LLc, 2010). hlm. 193.

9

Page 10: Islam dan demokrasi

Namun landasan pada point kedua ini harus berpondasikan saling memahami dan tentu

saja toleransi. Harkristuti dalam hal ini menyadari sehingga bukan bermaksud pesimis dia

mengatakan “that to be insulated or isolated merely within one’s group would be impossible”.14

Selebihnya, Tanpa harus berpikir panjang pun kita sudah mengetahui bahwa Indonesia

merupakan salah satu dari sekian Negara yang memiliki kemajemukan yang luar biasa dari

segala bidang. Pluralnya segala bentuk nilai yang ada tentu saja rentan sekali akan konflik seperti

yang biasa kita saksikan di segala penjuru tanah air.15 Pemerintah pada dasarnya sudah berupaya

memebrikan pemahaman kepada masyarakat bahwa kemajemukan yang ada di Indonesia

bukanlah sebagai faktor pembeda, namun perbedaan adalah kekayaan yang memang dimiliki

bangsa ini. Salah satu upaya yang dilakukan dan hingga saat ini masih dilakukan oleh

pemerintah adalah dengan mengadakan transmigrasi (relocation programs).

Dengan adanya transmigrasi duharapkan, selain pelaku transmigrasi dapat meningkatkan

perekonomian kehidupan, pengenalan terhadap makna “heterogeneus cociety” pada dasarnya

merupakan tujuan utama. Karena jika kembali melihat sejarah kolonialisme di Indonesia, segala

bentuk pergerakan perjuangan pembebasan dari penjajah pada dasarnya didasarkan pada

pengaruh paham keagamaan yang menghegemoni diri setiap individu. Hal ini baik pada saat itu,

namun jika saat ini dibiarkan maka pemahaman keagamaan yang berubah menjadi “penjara”

karena tanpa kritik dapat mengancam kedaulatan bangsa.

Harkristuti merekan beberapa konflik yang terjadi di Indonesia seperti yang terjadi di

Sulawesi (Poso), Maluku (Ambon) dan Kalimantan sebagai the most violent communal conflicts

in the history of Indonesia. Kita bisa saja berspekulasi bahwa konflik yang terjadi bukan

diakibatkan oleh perbedaan paham keagamaan. Namun apapun namanya konflik yang terjadi

14 Ibid, hlm. 194.15 Selengkapnya baca, Arifah Rahmawati (ed). Perlawanan Tanpa Kekerasan Cerita-Cerita Dari Daerah Konflik di Indonesia, Yogyakarta : CSPS Book, 2006

10

Page 11: Islam dan demokrasi

benar-benar ada dan dilakukan oleh dua atau lebih paham, suku dan idiologi yang berbeda. Dari

perbedaan ini yang bagi Harkristuti kemudian melahirkan kesalah pahaman terutama dalam

bentuk konsep dan kebebesan berekspresi.

Memang dilain pihak, menyalahkan dengan serta merta bahwa konflik akibat dari “ulah”

agama tentu saja tidak dapat dibenarkan. Dan konflik yang selama ini melanggar hak-hak

kemanusiaan tentu saja tidak perlu terjadi jika “all religions promote peace and harmony”. Inilah

maksud dari makna “A common word”s jika kami mengartikan, sebuah kata yang dapat

dipahami oleh semua agama, ras, suku dan apapun perbedaannya.16

Lalu bagaiman dengan pemerintah yang hanya mengandalkan transmigrasi senagai

konsep yang diyakini mampu menyebarkan pemahaman multi ragam ? rasanya, Ivan A. Hadar

mengungkapkan dalam teori konfliknya, bahwa pada dasarnya mereduksi potensi konflik dan

disintegrasi nasional, relatif mudah. Yang diperlukan, sekedar kecerdasan menganalisis akar

permasalahan, kerendahan hati untuk mendengar aspirasi dari bawah dan kemauan politik untuk

mencarikan solusi humanis.17

D. Menghidari kemungkinan konflik dan melakukan pencegahan

Tindakan pengambilan sikap terhadap kemungkinan konflik ditengah-tengah realitas

majemuk yang ada di Indonesia pada dasarnya telah dilakukan. Hal ini dilakukan guna

menghindari konflik yang belakangan sering sekali terjadi di tanah air. Setidaknya dialog antar

keyakinan (interfaith dialogue) adalah agenda utama dan yang sering sekali dilakukan.

Yang menjadi kelemahan dari program ini adalah, faktanya didapatkan bahwa Indonesia

sebagai salah satu Negara “paling” multi ras dan agama memiliki ciri yang justru menutup

kemungkinan dilaksanakan konsep interfaith dialogue. Hal ini dikarenakan adanya rasa 16 Waled El-Anshary, Muslim And Cristian Understanding Theory ang Aplication Of “A Common World”, (New York: St. Martin Press LLc, 2010). hlm. 195.17 Ivan A. Hadar, Pemerintah Baru Prospek Konflik dan (Dis) Integrasi Nasional, dalam M. Najib Azca (ed). Konflik dan Reformasi-TNI di Era SBY, (Yogyakarta : CSPS Book, 2004). hlm. 117.

11

Page 12: Islam dan demokrasi

kepatuhan dan ketundukan kepada seorang pemuka agama, ulama, pendeta (religious leaders)

yang notabene memiliki pengaruh yang besar dalam terbentuknya sisi sosial masyarakat

termasuk isu-isu kemanusiaan yang berkaitan dengan dogma-dogma agama.

Bukan melakukan sebuah tuduhan tanpa dasar, bahkan kemudian dari pola penyampaian

dogma disertai dengan ketundukan yang sangat dari pengikutnya, tidak sedikit kemudian para

“yang dipertuan agung” ini melahirkan grop-grop fundamentalis yang siap menumpahkan darah

demi membela agama, ras, atau golongan. Dengan demikian, upaya dialog yang sejatinya

bertujuan melahirkan pemahaman serta menumbuhkan pengetahuan terhadap “yang lain” guna

saling memahami masih menjadi pekerjaan besar yang harus diupayakan hingga saat ini.

Interfaith dialogue juga pada akhirnya akan memberikan penyadaran kepada masyarakat

Indonesia bahwa saling memahami terhadap perbedaan juga merupakan nilai-nilai yang ada

dalam demokrasi. Dan ini sejatinya merupakan nilai-nilai inti dari Islam itu sendiri. Kajian

teologis seperti inilah yang perlu diterapkan demi mengarahkan kemajemukan pada

kebersamaan.18

Setidaknya inilah yang berupaya dilakukan oleh Negara secara konsepsi, yang untuk

tidak mendiskriminasi warga Negara apapun latar belakang ras, suku, agama. Membentuk

sebuah Negara yang di dalamnya terdapat masyarakat yang saling menghormati, menjunjung

tinggi kebersamaan, menghormai hukum dan konstitusi.

E. Pengenalan dan pengayoman terhadap hak asasi manusia

18 Konsep ini disampaikan guna memberikan tanggapan terhadap malasah pluralisme dengan tema bahasan berjudul “neo modernis Islam”. Merupakan hasil perenungan yang berlatar belakang kondisi masyarakat bangsa Indonesia yang ternyata menganut banyak agama, ras serta etnis. M. Amin Abdullah, Ulumul qur’an, dalam Amir Tajrid, Menjadikan Pluralitas Agama Sebagai Media Integrasi Sosial (Ikhtiar Memperkokoh Persatuan Dan Kesatuan Bangsa). Dalam situs. www. kemenag.go.id, diakses pada 1 Desember 2012.

12

Page 13: Islam dan demokrasi

“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak

mempertahankan hidup dan kehidupannya”. UUD 1945

Pasal 28 A. Tentang HAM.

Secara perundang-undangan di Indonesia, perundang-undangan perihal HAM termuat di

dalam pasal 28a-28j undang-undang dasar 1945. Dan perjuangan terhadap penyamaan hak

merupakan perajanan yang panjang dan bahkan hingga saat ini masih berupaya untuk senantiasa

didengungkan. Kembali pada peristiwa pecahnya reformasi 1997-1998, bangsa Indonesia

dikejutkan oleh banyaknya pelanggaran terhadap hak-hak kemanusiaan. Belum lagi konflik yang

terjadi di poso, Ambon dan Kalimantan yang kesemuanya menyisakan cerita-cerita pahit

pelanggaran terhadap hak-hak kemanusiaan.

Pada era orde baru, Presiden Soeharto telah berupaya menjaga legalitas Negara dengan

menerapkan konsep yang berorientasi pada security-oriented. Sebuah konsep yang berbasis pada

mengutamanakn kepentingan keamanan dalam menjalankan control terhadap Negara baik dalam

bentuk politik maupun kemasyarakatan. Terlepas dari perdebatan yang panjang perihal masa

kepemimpinan Presiden Soeharto yang berlangsung selama 33 tahun, setidaknya dalam

penghormatan terhadap hak asasi manusia pada masa pemerintahannya telah dibentuk sebuah

institusi Negara yang sampai saat ini masih tetap dipertahankan.19

Rasanya upaya dalam bentuk konsepsi telah semaksimal mungkin dilakukan oleh pemilik

otoritas, tergantung bagaimana praktek yang ada di lapangan. Harus disadari, dengan

kemajemukan yang ada di Indonesia dalam segala bidang wajib untuk mendapatkan prioritas

dalam menemukan formula yang tepat dalam menanggulangi kemajemukan yang ada. Bukan

berupaya mentransformasi kemajemukan tersebut menjadi satu badan, organisasi atau terlebih

19 Dengan adanya institusi Negara yang berdiri sesuai dengan keputusan Presiden No. 50 tahun 1993 ini, membuktikan bahwa Indonesia adalah Negara yang konsen terhadap perjuangan hak-hak kemanusiaan. Indonesian National Human Rights Commission (Komnas HAM), yang dapat langsung diakses melalui alamat web. www.komnasham.go.id.

13

Page 14: Islam dan demokrasi

satu identitas. Namun membiarkan kemajemukan yang ada dan kemudian menjadikannya

kekayaan bangsa. Disinilah peran seluruh lapisan masyarakat terlebih “yang dipertuan agung”

yang memiliki basis masa yang banyak.

BAB III

14

Page 15: Islam dan demokrasi

KESIMPULAN

REFLEKSI

DAFTAR PUSTAKA

15

- Fundamentalism

- Eksklusivisme

- taqlid

Heterogeneus society-Religion - cultur-race etc-ethnic

Interaction

Conflict

1

2

Individual, group ect

- Interfaith Dialogue- Respect the

difference- Understanding and

tolerance

Heterogeneus society-Religion - cultur-race etc-ethnic

Interaction

“A Common Word”

Page 16: Islam dan demokrasi

Abdullah Amin, Ulumul qur’an, dalam Amir Tajrid, Menjadikan Pluralitas Agama Sebagai

Media Integrasi Sosial (Ikhtiar Memperkokoh Persatuan Dan Kesatuan Bangsa). Dalam situs.

www. kemenag.go.id, diakses pada 1 Desember 2012.

Donnely Jack, niversal Human Rights in Theory and Practice, London: Cornell University Press,

2003.

El-Anshary Waled, Muslim And Cristian Understanding Theory ang Aplication Of “A Common

World”, New York: St. Martin Press LLc, 2010.

Hadar Ivan A., Pemerintah Baru Prospek Konflik dan (Dis) Integrasi Nasional, dalam M. Najib

Azca (ed). Konflik dan Reformasi-TNI di Era SBY, Yogyakarta : CSPS Book, 2004.

Mohd Basri Ahmad Fawzi, Mahathirisme: Suatu pemetaan politik Malaysia. Seminar

Kepimpinan Politik Malaysia Peringkat Kebangsaan. 16-17 Julai, Bangi: UKM, 1996.

Pandian Sivamurugan, Legasi Mahathir, Kuala Lumpur: Utusan Publications & Distributors,

2005.

Panggabean Samsu Rizal, Approaches to Ethnic and Religious Conflict Resolution, dalam Frans

de Jalong (ed). The Making of Ethnick And Religious Conflicts in Southeast Asia : Case and

Resolution, Yogyakarta : CPS Book, 2004.

Rahmawati Arifah (ed). Perlawanan Tanpa Kekerasan Cerita-Cerita Dari Daerah Konflik di

Indonesia, Yogyakarta : CSPS Book, 2006

Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik (Teori, Aplikasi, dan Penelitian), Jakarta : Salemba

Humanika, 2010.

16