36
1 BAB I LAPORAN KASUS A. Identitas Nama : Ny. N Usia : 65 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Alamat : Karang tengah RT 6 RW VI No. Rekam Medik : 742439 Tanggal Periksa : 21 Maret 2012 B. Anamnesis Keluhan Utama : gatal di wajah, leher, dan kedua tangan Riwayat Penyakit Sekarang (RPS) Onset : sekitar 1 minggu yang lalu Lokasi : daerah wajah, leher, dan kedua tangan Kronologis : awalnya berupa kemerahan dan gatal di tangan kiri, pasien mengaku sering menggaruk sehingga daerah gatalnya bertambah lebar Kualitas : pasien merasa gatal sekali hingga cukup mengganggu aktivitas dan sulit untuk tidur di malam hari. Kuantitas : keluhan gatal dirasakan sepanjang hari Faktor memperberat : aktivitas di luar rumah dibawah terik matahari Faktor memperingan : minum obat dan diberi salep Gejala penyerta : keluhan gatal disertai dengan rasa pegal. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)

isi presus kulit huda.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: isi presus kulit huda.docx

1

BAB ILAPORAN KASUS

A. Identitas

Nama : Ny. N

Usia : 65 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Karang tengah RT 6 RW VI

No. Rekam Medik : 742439

Tanggal Periksa : 21 Maret 2012

B. Anamnesis

Keluhan Utama : gatal di wajah, leher, dan kedua tangan

Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)

Onset : sekitar 1 minggu yang lalu

Lokasi : daerah wajah, leher, dan kedua tangan

Kronologis : awalnya berupa kemerahan dan gatal di tangan kiri, pasien

mengaku sering menggaruk sehingga daerah gatalnya bertambah

lebar

Kualitas : pasien merasa gatal sekali hingga cukup mengganggu aktivitas dan

sulit untuk tidur di malam hari.

Kuantitas : keluhan gatal dirasakan sepanjang hari

Faktor memperberat : aktivitas di luar rumah dibawah terik matahari

Faktor memperingan : minum obat dan diberi salep

Gejala penyerta : keluhan gatal disertai dengan rasa pegal.

Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)

Keluhan gatal yang sama sebelumnya (-)

Asma (-)

Kencing manis / gula (-)

Riwayat alergi (-)

Riwayat Hipertensi (-)

Riwayat sakit jantung (-)

Page 2: isi presus kulit huda.docx

2

Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)

Keluhan yang sama dengan pasien (+) cucu

Asma (-)

Riwayat alergi (-)

Riwayat Sosial Ekonomi (RSosek)

Pasien tinggal bersama suami, dan 2 orang cucu dalam 1 rumah. Dalam

kesehariannya, pasien berada dirumah sebagai ibu rumah tangga dan terkadang

membantu suaminya bekerja di sawah.

C. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum / kesadaran : sedang / komposmentis

Tanda vital : TD = 120/80 mmHg; N = 80x/menit; RR = 20x/mnt S = 36,5oC

Berat Badan = 46 kg; Tinggi Badan = 155 cm

Status Generalis

Kepala : bentuk mesochepal

Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)

Hidung : napas cuping hidung (-/-), discharge (-/-)

Telinga : simetris, discharge (-/-)

Mulut : bibir sianosis (-), faring hiperemis (-)

Thoraks : bentuk normal, simetris, retraksi (-), ketinggalan gerak (-)

Cor/Pulmo: dalam batas normal

Abdomen : dalam batas normal

Status Lokalis (Dermatologis)

Secara umum, kondisi kulit pasien tampak kulit merah, kering (xerosis), dan

mengelupas pada daerah wajah, leher, dan kedua tangan.

I. Regio coli

Efloresensi : eritema, skuama, hiperpigmentasi, dan likenifikasi.

Sifat : ukurannya plakat, penyebarannya regional

Page 3: isi presus kulit huda.docx

3

Gambar 1.1. Regio coli

II. Regio ekstrimitas superior

Efloresensi : eritema, erosi, skuama tebal, hiperpigmentasi, likenifikasi-fissura.

Sifat : ukuran plakat, penyebaran multipel.

Gambar 1.2. Ekstrimitas superior (a)

Page 4: isi presus kulit huda.docx

4

Gambar 1.3. Regio superior (b)

III. Regio manus dextra et sinistra

Efloresensi : eritema, erosi, skuama tebal, hiperpigmentasi, likenifikasi-fissura.

Sifat : ukuran plakat, penyebaran multipel.

Gambar 1.4 Regio manus dextra et sinistra

Page 5: isi presus kulit huda.docx

5

D. Resume

Pasien perempuan berusia 65 tahun datang ke poli kulit-kelamin RSMS dengan

keluhan gatal di daerah wajah, leher, dan kedua tangan kurang lebih 1 minggu yang lalu.

Gatal dirasakan sepanjang hari hingga menggangu aktivitas dan tidurnya. Gatal

bertambah berat bila aktivitas di luar rumah dibawah terik matahari. Gatal berkurang bila

minum obat dan diberi salep. Keluhan gatal disertai dengan rasa pegal. Pasien mengaku

belum pernah menderita sakit yang serupa sebelumnya, pasien juga mengaku tidak

memiliki alergi baik makanan dan obat.. Cucu pasien mengalami sakit yang sama dengan

pasien. Pada pemeriksaan status dermatologis, didapatkan plak eritema dengan skuama

tebal, likenifikasi, dan fissure pada daerah wajah, leher, dan kedua tangan.

E. Diagnosis Kerja

Fotosensitivitas reaksi fotoalergik

F. Diagnosis Banding

1. Dermatitis kontak alergik

2. Eritema multiforme

3. Psoriasis

4. Dermatitis seboroik

G. Pemeriksaan Anjuran

Tidak dilakukan

H. Penatalaksanaan

1. Non farmakologis

a. Memberitahu pasien tentang perkembangan atau perjalanan penyakitnya.

b. Member saran kepada pasien untuk menghindari pajanan sinar matahari.

c. Sebaiknya pasien menggunakan pakaian yang melindungi seluruh tubuh dan

berkaca mata jika hendak keluar rumah di siang hari.

d. Pasien juga sebaiknya menggunakan sunscreen yang memiliki SPF (factor

proteksi matahari) sekurang-kurangnya 15 atau lebih untuk badan dan SPF 20 atau

lebih untuk bibir dengan spectrum proteksi yang luas terhadap sinar ultraviolet A

dan B.

Page 6: isi presus kulit huda.docx

6

e. Pasien juga dianjurkan untuk tidak keluar rumah ketika matahari sedang mencapai

puncak terpanas, biasanya antara jam 10 pagi sampai jam 3 sore.

2. Farmakologis

a. Injeksi metilprednisolon 125 mg + difenhidramin 1 ampul (iv)

b. Metilprednisolon 4 mg tab No. XX diberikan 2x1sehari

c. Loratadine10 mg tab No. XX diberikan 2x1 sehari

d. Inerson + Asam Salisilat 3% + LCD 5% + Vas Album

I. Prognosis

1. Ad vitam : Ad bonam

2. Ad fungsionam : Ad bonam

3. Ad sanationam : Dubia ad bonam

Page 7: isi presus kulit huda.docx

7

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

REAKSI FOTOALERGIK

A. Definisi

Reaksi fotoalergik adalah perubahan reaktivitas kulit untuk bereaksi dengan

energi sinar saja atau dengan adanya photosensotizer, dalam hal ini disebut fotoalergen,

melalui mekanisme respon imun humoral atau respon imun selular. Penyakit kulit ini

berupa proses peradangan pada epidermis dan dermis yang timbul akibat pajanan sinar

matahari.

B. Etiologi dan Epidemiologi

Reaksi fotoalergik merupakan kelainan yang jarang ditemui, kemungkinan karena

mekanisme yang mendasarinya belum diketahui jelas dan kelainan tersebut hanya terjadi pada individu

tertentu. Pajanan pertama dengan fotoalergen tidak akan segera menimbulkan reaksi

karena dibutuhkan fase induksi yang berkisar antar 1-2 minggu. Reaksi baru akan terlihat

pada pajanan berikutnya atau setelah fase induksi terlampaui. Berbeda dengan reaksi

fototoksik, fotoalergik tidak memerlukan dosis tinggi, baik dalam fotoalergen maupun

energi yang dibutuhkan untuk memacu reaksi.

Sinar matahari dengan panjang gelombang antara 297-317 nm dapat

menimbulkan reaksi fotoalergik ini. Pada umumnya penyakit ini diderita oleh orang

dewasa, laki-laki mempunyai factor resiko yang lebih tinggi untuk terkena reaksi

fotoalergi daripada perempuan..

C. Patogenesis

Photosensitizer eksogen dapat mengenal tubuh melalui olesan secara topical pada

kulit atau masuk ke tubuh secara sistemik. Dasar dari timbulnya reaksi fotoalergik ini

adalah hipersensitifitas tipe lambat (delay). Mekanismenya meliputi absorpsi sinar oleh

photosensitizer, kemudian terjadi perubahan sehingga terbentuk hapten yang akan

bergabung dengan protein karier dan memacu terjadinya proses respon imun.

Berikut dijelaskan beberapa teori terbentuknya hapten, yaitu :

1. Terbentuk hapten yang stabil akibat pajanan bahan kimia dengan sinar radiasi yang

sesuai dan pajanan ulang dengan hapten pada individu tersensitisasi akan

mengakibatkan reaksi alergi. Misalnya reaksi fototoksik terhadap salisilanilid dan

metoksalen.

Page 8: isi presus kulit huda.docx

8

2. Terbentuk hapten yang tidak stabil, yang terjadi dalam waktu singkat dan harus

terletak berdekatan dengan protein kariernya pada saat pajanan sinar radiasi. Hal

tersebut dapat menerangkan terjadinya hasil negative pada uji temple atau tes

intradermal.

3. Perubahan pada protein karier sehingga dapat bergabung, baik dengan bahan kimia

yang telah berubah, maupun yang belum untuk membentuk antigen. Dapat pula terjadi

perubahan pada organ target sehingga terbentuk autoantibody yang akan memacu

terjadinya reaksi hipersensitifitas. Teori ini membutuhkan pembuktian lebih lanjut.

D. Patofisiologi

Fotoalergi adalah respons hipersensitifitas tertunda tipe IV yang memerlukan

keberadaan fotoalergen dan panjang gelombang radiasi pengaktivasi, yang bagi

kebanyakan agen adalah panjang gelombang dalam rentang UVA. Setelah absorpsi

energi UV, sebuah fotoalergen bisa dikonversi menjadi molekul tereksitasi, yang

selanjutnya kembali ke keadaan normal dengan melepaskan energi. Dalam proses ini,

molekul bisa berkonjugasi dengan sebuah protein karier untuk membentuk sebuah

antigen lengkap. Ini dianggap sebagai mekanisme fotoalergi yang ditimbulkan oleh

salisilanilida terhalogenasi, klorpromazin, dan asam paraaminobenzoat (PABA). Atau,

sebuah fotoalergen bisa membentuk sebuah fotoproduk stabil pada saat terpapar terhadap

radiasi, yang selanjutnya bisa berkonyugasi dengan sebuah protein karier membentuk

antigen lengkap. Sulfanilamida dan klorpramazine telah terbukti berpartisipasi dalam

reaksi ini.

Ketika antigen utuh terbentuk, mekanisme fotoalergi identik dengan mekanisme

pada alergi kontak. Antigen ditangkap dan diproses oleh sel-sel Langerhans, yang

kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening regional untuk menampakkan antigen ke

limfosit-limfosit T. Lesi-lesi kutaneous terjadi ketika limfosit-limfosit T teraktivasi

bersirkulasi ke tempat yang terpapar untuk memulai respon inflammatory.

E. Gambaran Klinis

Secara umum gambaran klinis berkisar antara urtikaria akut sampai lesi popular

atau eksematosa. Kelainan dapat terjadi lebih luas daripada daerah terpajan dan apabila

terjadi eksaserbasi dapat berlokasi jauh dari daerah pajanan.

Kelainan klinis bersifat polimorfi terutama eksematosa dan disertai dengan

keluhan gatal. Pada stadium akut terlihat vesikel disertai dengan efloresensi berupa

skuama, krusta, dan ekskoriasi. Pada stadium kronik dijumpai kelainan dengan cirri

Page 9: isi presus kulit huda.docx

9

efloresensi berupa likenifikasi, meski demikian dapat pula dijumpai bentuk-bentuk lain,

seperti urtika dan papul. Hiperpigmentasi hanya kadang-kadang ditemukan.

Gambar 2.1 Reaksi fotoalergi (a)

Gambar 2.2 Reaksi fotoalergi (b)

F. Klasifikasi

Reaksi fotoalergik dibagi menjadi 2, yaitu :

1. Yang dipicu oleh photosensitizer

a. Photosensitizer kontak

b. Photosensitizer Sistemik

2. Yang tidak berhubungan dengan photosensitizer

a. Tipe cepat : urtikaria solaris

b. Tipe lambat : polymorphous light eruption

Page 10: isi presus kulit huda.docx

10

Berikut penjabarannya :

1. Reaksi fotoalergik yang dipacu oleh photosensitizer eksogen

a. Photosensitizer kontak

Reaksi fotoalergik dapat terjadi akibat pemakaian berbagai macam bahan

secara topical, antara lain aftershave lotion, tabir matahari psoralen dan

salisilalanid halogen serta zat turunannya yang terkandung didalam bahan anti

bakteri atau anti mikotik. Sedangkan penggunaan trichosalicylanilide (TCSA)

dalam sabun, deodoran, dan bahan lain untuk membunuh bakteri merupakan

penyebab terbanyak reaksi fototoksik.

Gambaran klinis

Secara klinis erupsi berbentuk popular, likenoid, dan ekzematosa. Dasar

reaksi tersebut adalah reaksi hipersensitivitas tipe lambat, sehingga lesi akan

timbul dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari setelah pajanan dengan

spectrum sinar ultraviolet gelombang panjang.

Gambaran histopatologik

Terdapat adanya perubahan pada epidermis berupa akantosis, spongiosis,

dan pembentukan vesikel disertai infiltrate padat sel radang bulat di sekitar

pembuluh darah. Gambaran klinis dan histologist reaksi fotoalergik sangat mirip

dengan dermatitis kontak alergik.

Penegakan diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan memperhatikan distribusi dan sifat erupsi,

dan untuk penyebabnya perlu dilakukan uji tempel dengan sinar (photopatch test).

Cara melakukan uji tempel dengan sinar hamper sama dengan uji tempel biasa,

bedanya deretan allergen ditempelkan secara ganda. Dalam waktu 24-48 jam

setelah penempelan dilakukan penyinaran pada salah satu deretan dengan sinar

UV gelombang panjang. Setelah 24 jam, kedua deretan diperiksa dan dilakukan

perbandingan antara deretan yang disinari dengan yang tidak disinari. Hasil yang

positif akan menimbulkan kelainan klinis yang sama, baik secara morfologis

maupun histologis.

Penanggulangan penyakit ini dapat diharapkan member hasil baik apabila

diketahui photosensitizer penyebabnya, serta dapat menghindari baik

photosensitizer penyebab, maupun zat yang bereaksi silang dengannya. Meskipun

demikian 25% penderita dapat mengalami reaksi persisten (persistent light

reactors). Mekanisme fotosensitivitas kronik ini belum diketahui. Adanya reaksi

Page 11: isi presus kulit huda.docx

11

silang dan retensi photosensitizer di kulit mungkin dapat menerangkan mekanisme

terjadinya reaksi kronik tersebut.

b. Photosensitizer sistemik

Reaksi fotoalergi terhadap photosensitizer sistemik lebih jarang ditemukan

daripada photosensitizer kontak, mekanismenya juga belum dimengerti secara

tuntas. Umumnya bahan-bahan seperti griseofulvin, beberapa antihistamin,

pemanis artificial kalsium siklamat, sulfonamide, klorotiazid, dan sulfonil urea

dapat menimbulkan reaksi fotoalergik.

Gambaran klinis

Waktu reaksi berlangsung lambat dengan erupsi klinis bervariasi berupa

papul likenoid sampai perubahan ekzematosa. Kelainan biasanya cepat

menghilang, tetapi ditemukan juga keadaan yang persisten (persistent light

reactivity).

Gambaran histopatologis

Terdapat kelainan likenoid mirip liken planus, yaitu adanya sebukan padat

sel radang bulat berbentuk pita didaerah subepidermal disertai sebukan sel radang

bulat disekitar pembuluh darah dermis bagian bawah. Pada erupsi ekzematosa

akan terlihat edema di epidermis dan sebukan sel radang bulat di dermis.

Penegakan diagnosis

Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis, gambaran morfologik, dan

histologik. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan tes provokasi dengan pemberian

obat yang dicurigai sebagai penyebabnya, secara sistemik diikuti penyinaran.

2. Reaksi fotoalergik yang tidak berhubungan dengan photosensitizer

a. Tipe cepat : urtikaria solaris

Urtikaria solaris dapat dipacu oleh spectrum berbagai varietas panjang

gelombang, tetapi umumnya reaksi terhadap sinar UV dengan panjang gelombang

kurang dari 370 nm.

Gambaran klinis

Lesi karakteristik pada urtikaria solaris berupa urtika dikelilingi daerah

eritematosa, meskipun kadang-kadang terlihat urtika multiple disertai pseudopodi.

Lokalisasi lesi biasanya didaerah terpajan, tetapi dapat timbul diseluruh tubuh,

meskipun daerah yang sering terpajan sinar matahari bersifat lebih toleran. Waktu

reaksi berkisar antara beberapa detik sampai beberapa menit dan urtikaria yang

timbul sesuai dengan daerah terpajan. Lesi dapat menetap untuk beberapa menit

Page 12: isi presus kulit huda.docx

12

sampai beberapa jam bergantung pada intensitas pajanan. Untuk menunjang

hipotesis bahwa mekanisme yang mendasarinya merupakan reaksi

hipersensitivitas perlu dilakukan evaluasi, baik terhadap spectrum aksi dengan

manometer, maupun antibody yang bersirkulasi secara transfer pasif dengan

serum penderita. Pemeriksaan ini menunjang teori mekanisme alergi yang

mendasari reaksi hipersensitivitas tersebut, meskipun tidak menutup kemungkinan

jika reaksi non imunologik dapat memicu urtikaria solaris.

Penyelidikan yang dilakukan untuk mengetahui antibody yang berperan

pada urtikaria solaris menemukan bahwa antibody tersebut bersifat tidak tahan

panas, merupakan molekul protein yang tidak dapat didialisis, dan mungkin

termasuk golongan IgE. Urtikaria solaris merupakan reaksi fotoalergik yang tidak

berhubungan dengan photosensitizer namun kemungkinan bahwa sensitizer

tersebut tidak dapat dilacak secara endogen dan eksogen tidak dapat disingkirkan.

Hal ini juga ditunjang dengan adanya hubungan antara urtikaria solaris dan

protoporfiria eritropoetika.

Gambaran histopatologis

Gambaran ini kurang dapat menyokong diagnosis. Terdapat pemisahan

jaringan kolagen di dermis dengan sedikit edema disertai sebukan sel radang

perivaskular.

Penegakan diagnosis

Fototes dapat membantu menegakkan diagnosis dan dipakai untuk

pedoman pengobatan. Pengobatan spesifik tidak ada kecuali mengkindarkan

pajanan sinar matahari. Antihistamin golongan H1 kadang-kadang dapat

menghilangkan gejala. Desensitisasi dengan sinar merupakan pengobatan yang

sekarang banyak dipakai.

b. Tipe lambat : polymorphous light eruption (PMLE)

PMLE, yang biasanya tampak sebagai ruam gatal pada kulit yang terpapar

matahari, merupakan masalah kulit terkait matahari kedua paling umum yang

diamati oleh dokter, setelah lecur-surya (sunburn) yang umum. Ini terjadi pada

sekitar 10% sampai 15% populasi Amerika Serikat, dengan mengenai semua ras

dan etnis. Wanita lebih sering terkena PMLE dibanding pria, dan gejala-gejalanya

biasanya dimulai pada awal masa dewasa. Pada iklim sedang, PMLE biasanya

jarang terjadi di musim dingin, tetapi umum selama bulan-bulan musim semi dan

musim panas. Pada banyak kasus, ruam PMLE terjadi setiap musim semi,

Page 13: isi presus kulit huda.docx

13

beberapa saat setelah orang yang bersangkutan mulai menghabiskan lebih banyak

waktu di luar rumah. Pada saat musim semi berganti menjadi musim panas,

keterpaparan matahari yang berulang bisa menyebabkan seseorang menjadi

kurang sensitif terhadap sinar matahari, dan ruam PMLE bisa hilang total atau

secara perlahan menjadi kurang parah. Walaupun efek proses desensitisasi ini,

yang disebut “pengerasan”, biasanya berlangsung sampai akhir musim panas,

namun ruam PMLE sering kembali dengan intensitas penuh pada musim semi

yang akan datang selanjutnya.

Gambaran klinis

Secara klinis gambaran lesi bervariasi, dapat menyerupai prurigo atau

kadang-kadang menyerupai eritema multiforme. Beberapa lesi dapat bersatu

membentuk plakat, dengan lokalisasi di daerah muka. Biasanya terdapat satu

bentuk lesi yang menonjol dan umumnya adalah lesi ekzematosa, lesi akan

tersusun secara tidak beraturan. Kelainan klinis tersebut akan selalu berulang

setiap kali pajanan dengan sinar matahari, meskipun pada keadaan tertentu reaksi

yang terjadi akan semakin ringan. Terdapat dugaan bahwa 30-50% penderita

PMLE akan mengalami kelainan klinis berat pada pajanan pertama, sedangkan

pada pajanan selanjutnya kelainan tersebut akan semakin ringan sehingga

menimbulkan keadaan yang disebut sebagai fenomena hardening.

Melanogenensis dan penebalan stratum korneum akibat pajanan sinar UV

mungkin memegang peranan dalam pathogenesis fenomena tersebut. Lesi PMLE

biasanya timbul antara 30 menit sampai 72 jam setelah pajanan dengan sinar

matahari.

Patogenesis

Patogenesis PMLE masih belum jelas diketahui. Adanya sel-sel radang

bulat perivaskular di dermis menyokong pendapat bahwa hipersensitivitas tipe

lambat memegang peran dalam pathogenesis PMLE. Spektrum aksi terdapat

diantara panjang gelombang 290-320 nm, meskipun panjang yang lain dapat pula

memacu reaksi klinis, sehingga terjadinya PMLE tidak bergantung pada panjang

gelombang.

Gambaran histopatologis

Gambaran histologik epidermis hampir tidak mengalami perubahan pada

lesi popular, akan terlihat edema, spongiosis, dan pembentukan vesikel pada lesi

ekzematosa. Kelainan primer akan tampak di dermis berupa sebukan sel radang

Page 14: isi presus kulit huda.docx

14

bulat di sekitar pembuluh darah seperti ditemukan pada dermatitis kontak alergik.

Meskipun tanda tersebut khas pada kedua keadaan diatas, tetapi tidak mempunyai

nilai diagnostik. Hasil pemeriksaan histopatologik juga dipengaruhi oleh waktu

dan lokalisasi daerah yang dibiopsi.

Penegakkan diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan dari hasil anamnesis, ujud kelainan kulit, dan

beberapa pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan darah rutin, biopsi kulit,

foto-testing, dan foto-patch. Pemeriksaan darah dapat digunakan untuk

menyingkirkan adanya lupus eritematosus sistemik (SLE atau lupus). Foto-testing

hanya berguna untuk membedakan PMLE dengan kelainan klinis yang serupa,

karena perubahan klinis PMLE bersifat nonspesifik.

G. Pemeriksaan Penunjang

1. Uji tempel tertutup (Pacth test)

Cara melakukan uji tempel adalah :

1) Bahan alergen yang digunakan adalah The European Standart Patch Test

Allergens, produksi Trolab Hermal Jerman.

2) Lembaran uji tempel di nomori,dan Finn chamber diisi bahan alergen.

3) Lembaran uji tempel dilekatkan di daerah punggung, secara vertikal di antara

scapula kiri dan kanan terkecuali kulit di atas vetebra.

4) Lama penempelan adalah 48 jam.

5) Pelepasan lembaran uji tempel dilakukan setelah 48 jam.

6) Pembacaan hasil uji tempel dilakukan 2 jam setelah pelepasan lembaran uji

tempel, dan pembacaan dilakukan kembali setelah 72 jam.

7) Alat Bantu yang dipakai adalah :

a. Tempat duduk penderita.

b. Kapas pembersih dan alkohol 70%

c. Plester micropore untuk fiksasi unit uji tempel

d. Spidol.

e. Kaca pembesar

Pembacaan hasil uji tempel berdasarkan skor menurut The International Contact

Dermatitis Research Group (ICDRG) yaitu :

? Reaksi meragukan, hanya macula eritema

+ Reaksi lemah (non vesikuler), eritema, infiltrasi, mungkin papula

++ Reaksi kuat (vesikuler),eritema, infiltrasi, papula, edematous atau vesikula

Page 15: isi presus kulit huda.docx

15

+++ Reaksi sangat kuat, ulseratif atau bulla

- Reaksi negatif

IR Reaksi iritan

NT Tidak di uji

Meskipun jarang, dapat terjadi reaksi alergi lambat yang timbul 6 hari atau

lebih setelah dilakukan uji tempel yang menunjukkan sensitisasi uji tempel. Reaksi ini

dapat timbul sampai 3 minggu setelah dilakukan uji tempel, sehingga pasien harus

beritahu untuk melaporkan bila timbul reaksi ini.

2. Uji tempel dengan sinar (photopatch test)

Digunakan untuk bahan yang bersufat fotosensif. Pelaksanaan uji ini sama

dengan uji tempel tertutup hanya dilaksanakan secara duplo (menggunakan dua set

tes, satu set sebagai kontrol). Sebagai sumber sinar ultra violet yang ideal adalah

sinar matahari. Namun bisa juga digunakan lampu xenon, merkuri dan Kromayer

yang disaring dengan kaca jendela sehingga menghasilkan sinar ultra violet A

dengan panjang gelombang > 320 nm. Dapat juga digunakan lampu Woods,

Westinghouse dan Philips dengan panjang gelombang 280-320 nm atau 320-420 nm.

3. Tes provokasi

Provokasi – Netralisasi adalah suatu prosedur yang bertujuan untuk tes alergi

terhadap makanan, hirup, dan bahan kimia lingkungan dengan memaparkan pasien

melalui tes dosis pada bahan-bahan tersebut secara intradermal, subkutan, atau

sublingual, yang bertujuan memicu atau menghalangi gejala-gejala subyektif.

Tes provokasi intrakutan sama dengan titrasi nilai akhir kulit. Tes memakai

dilusi alergen lima kali secara serial atau ekstrak kimia. Protokol berbeda, misalnya

volume suntikan dapat 0,01, 0,02, atau 0,05 ml. Suntikan biasanya diberikan di

lengan atas, dan pasien dicatat semua sensasi subyektif apapun yang terjadi dalam

periode lebih dari 10 menit setelah disuntik. Jenis atau intensitas gejala yang

menyatakan tes positif adalah tidak baku dan tidak selalu sama seperti yang

dilaporkan oleh pasien untuk penyakit yang dites. Jika tidak ada gejala yang

dilaporkan dalam 10 menit, dosis yang lebih tinggi diberikan dengan cara serial

sampai gejala timbul. Sekali tes dinyatakan positif, suatu seri progresif konsentrasi

lebih rendah diberikan sampai mencapai dosis dimana pasien melaporkan tidak ada

sensasi. Sejumlah zat tes ini dianggap `dosis netralisasi`, yang kemudian digunakan

untuk pengobatan kedepan.

Page 16: isi presus kulit huda.docx

16

4. Biopsi kulit

Alat dan Bahan

1) Lidokain 2%

2) Spuit

3) Pisau insisi (skapel)

4) Pinset sirurgis

5) Gunting jaringan

6) Klem jaringan

7) Needle holder

8) Jarum dan benang

Teknik Biopsi Insisi

a. Tentukan daerah yang akan dibiopsi.

b. Rancang garis eksisi dengan memperhatikan segi kosmetik.

c. Buat insisi bentuk elips dengan skalpel nomor 15.

d. Angkat tepi kulit normal dengan pengait atau pinset bergerigi halus.

e. Teruskan insisi sampai diperoleh contoh jaringan. Sebaiknya contoh jaringan ini

jangan sampai tersentuh.

f. Tutup dengan jahitan sederhana memakai benang yang tidak dapat diserap.

Teknik Biopsi Eksisi

Rancang garis eksisi, bila perlu dengan zat pewarna, agar terletak pada RSTL

dan sebaiknya panjang elips empat kali lebarnya. Lebar maksimum ditentukan oleh

elastisitas, mobilitas, serta banyaknya kulit yang tersedia di kedua tepi sayatan.

Banyaknya jaringan sehat yang ikut dibuang tergantung pada sifat lesi, yaitu:

a. Lesi jinak, seluruh tebal kulit diangkat berikut 1-2 mm kulit sehat di tepi lesi

dengan sedikit lemak mungkin perlu dibuang agar luka mudah dijahit.

b. Karsinoma sel basal, angkat seluruh tumor beserta paling kurang 3 mm kulit

sehat.

c. Karsinoma sel skuamosa, angkat seluruh tumor beserta paling kurang 5 mm kulit

sehat.

Kedalaman eksisi tergantung pada ekstensivitas lesi, tapi paling kurang harus

menyertakan seluruh lapisan lemak superfisial.

a. Insisi dengan skalpel nomor 15 hingga menyayat seluruh tebal kulit.

b. Beri jahitan pada salah satu ujung jaringan agar dapat dijadikan patokan oleh ahli

patologi.

Page 17: isi presus kulit huda.docx

17

c. Inspeksi luka dan atasi perdarahan.

d. Lakukan jahitan subkutis dengan benang 3/0 yang dapat diserap untuk

merapatkan lapisan lemak dan menghentikan perdarahan.

e. Bila perlu buat sayatan horisontal di bawah kulit untuk mengurangi tegangan

daerah luka.

f. Tutup dengan jahitan sederhana menggunakan benang yang tidak dapat diserap

H. Diagnosis Banding

1. Dermatitis kontak alergik

Penderita umumnya mengeluh gatal. Pada stadium akut, efloresensi berupa

bercak eritematosa berbatas tegas kemudian diikuti dengan edema, papulovesikel,

vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi

(basah). Pada stadium kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan

mungkin fisur, batasnya tidak jelas. DKA dapat meluas ke tempat lain, misalnya

dengan cara autosensitisasi. Scalp, telapak tangan dan kaki relative resisten terhahap

DKA.

Faktor individu yang berpengaruh dalam timbulnya DKA, yaitu keadaan kulit

pada lokasi konrak (keadaan stratum korneum, ketebalan epidermis), status

imunologik (sedang menderita sakit, terpajan sinar matahari).

2. Eritema multiforme

Faktor-faktor penyebabnya selain alergi terhadap obat sistemik, juga karena

peradangan oleh bakteri dan virus tertentu, rangsangan fisik, misalnya sinar

matahari, hawa dingin, faktor endokrin seperti hamil dan haid, juga bisa karena

keganasan.

Gejala klinisnya berupa erupsi yang timbul mendadak, simetrik dengan tempat

predileksi di punggung tangan, telapak tangan, bagian ekstensor ekstrimitas, dan

selaput lender. Dapat pula berupa macula, papul, dan urtika yang kemudian timbul

lesi vesikobulosa di tengahnya. Gejala khasnya adalah bentuk iris yang terdiri dari 3

bagian, yaitu bagian tengahnya vesikel atau eritema keunguan, dan dikelilingi

lingkaran konsentris pucat, kemudian lingkaran merah.

3. Psoriasis

Faktor genetik berperan dalm timbulnya psoriasis. Bila salah satu orangtuanya

menderita psoriasis, maka risiko menderita mencapai 34-39%. Berbagai faktor

pencetus psoriasis, diantaranya : stress psikis, infeksi fokal oleh streptococcus sp,

trauma (fenomena tetesan lilin, auspitz, dan kobner), endokrin (saat pubertas dan

Page 18: isi presus kulit huda.docx

18

menopause), gangguan metabolic (hipokalsemia, dialysis), obat (betaadrenergic

blocking agents, lithium, antimalaria, penghentian mendadak kortikosterois

sistemik), alcohol, dan merokok.

Tempat prdileksi pada scalp, perbatasan daerah tersebut dengan muka,

ekstrimitas bagian ekstensor terutama siku dan lutut, dan daerah lumbosakral.

Efloresensi berupa bercak eritema yang meninggi (plak) dengan skuama diatasnya.

Skuama berlapis-lapis, kasar, dan berwarna putih seperti mika, serta transparan.

4. Dermatitis seboroik

Faktor predisposisinya berhubungan erat dengan keaktivan glandula sebacea

sehingga merangsang peningkatan proliferasi epidermis, juga karena adanya aktivitas

yang berlebihan Pityrosporum ovale sehingga menyebabkan reaksi inflamasi.

Efloresensinya terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan agak

kekuningan, dengan batas yang kurang tegas, dapat berupa eritema dan krusta yang

tebal. Biasanya terdapat pada daerah kulit kepala, dan meyebar ke dahi, glabella,

telinga, dan leher.

I. Penatalaksanaan

1. Non Farmakologis

Pasien perlu untuk diberitahukan tentang perkembangan atau

perjalanan penyakit dari PMLE. Pengobatan yang paling efektif adalah dengan

menghindari pajanan sinar matahari. Sebaiknya pasien menggunakan pakaian yang

melindungi seluruh tubuh, seperti menggunakan kaos dengan lengan panjang, celana

panjang atau rok panjang, dan topi berpinggir lebar atau sejenisnya jika hendak

keluar rumah. Pasien juga sebaiknya menggunakan sunscreen yang memiliki SPF

(factor proteksi matahari) sekurang-kurangnya 15 atau lebih dengan spectrum

proteksi yang luas terhadap sinar ultraviolet A dan B. Untuk bibir, pasien sebaiknya

menggunakan sunblock dengan SPF 20 atau lebih. Pasien juga dianjurkan

menggunakan kaca mata hitam dengan proteksi sinar ultraviolet dan batasi waktu

diluar rumah ketika matahari sedang mencapai puncak terpanas, biasanya antara jam

10 pagi sampai jam 3 sore.

2. Farmakologis

a. Emolien

Emolien merupakan pelembab. Digunakan untuk mengurangi kekeringan pada

kulit. Contoh emolien yang sering digunakan antara lain : aqueouscream,

gliserine dan cetomacrogol cream, wool fat lotions.

Page 19: isi presus kulit huda.docx

19

b. Steroid topikal

Untuk menghilangkan peradangan pada kulit dan mengurangi iritasi kulit.

Misalnya dengan pemberian triamcinolone 0,025-0,1%. Bila lesi masih eksudatif,

sebaiknya dikompres terlebih dahulu, misalnya dengan menggunakan larutan

permanganas kalikus 1 : 10.000.

c. Antihistamin oral

Antihistamin digunakan sebagai sedatif dan untuk mengurangi gatal.

Contohnya hidroksizin dengan dosis 3-4 x 25 mg sehari.

d. Antibiotik oral

Antibiotik dapat digunakan untuk mencegah infeksi sekunder atau bila

ditemukan infeksi bacterial. Antibiotik yang dapat diberikan seperti eritromisis,

tetrasiklin 20-40 mg/kgBB selama 7-14 hari, atau amoksilin 4 x 500mg/hari

selama 7-10 hari.

e. Steroid injeksi

Injeksi steroid digunakan pada kondisi kasus yang sangat berat. Contoh injeksi

steroid yang dapat diberikan yaitu triamsinolon asetonida 0,1 mg/ml (0,1 ml /

suntikan) secara intralesi, prednisone 30 mg/hari.

J. Prognosis

Seperti yang diketahui bahwa perkembangan atau perjalanan penyakit ini bersifat

kronik dan cenderung sering berulang (residif). Mencegah atau menghindari dari faktor-

faktor yang memperburuk atau meningkatkan frekuensi untuk cenderung berulang dengan

menggunakan pelembab pada kulit akan sangat membantu mencegah penyakit ini.

Adapun prognosis bervariasi dalam setiap individu. Fotosensitivitas reaksi fotoalergik

cenderung residif pada sebagian besar kasus. Umumnya prognosis dari penyakit kulit ini

adalah baik.

Page 20: isi presus kulit huda.docx

20

BAB IIIPEMBAHASAN

A. Penegakkan Diagnosis

Penyakit kulit yang terdapat pada pasien dalam kasus adalah fotosensitivitas

reaksi fotoalergik. Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik status dermatologis yang

mendukung ke arah diagnosis kerja fotosensitivitas reaksi fotoalergik adalah sebagai

berikut :

Hasil anamnesis :

1. Keluhan utama gatal yang dirasakan di wajah, leher, dan kedua tangan. Hal ini sesuai

predileksi dari fotosensitivitas reaksi fotoalergik, yaitu pada daerah-daerah yang

sering terpajan sinar matahari dan dapat meluas dari daerah terpajan.

2. Keluhan mulai dirasakan sejak sekitar 1 minggu yang lalu. Hal ini sesuai dengan sifat

fotosensitivitas reaksi fotoalergik, yaitu minimal membutuhkan waktu 30 menit

sampai 3 hari setelah pajanan dengan sinar matahari.

Hasil pemeriksaan fisik status dermatologis :

1. Lokasi : region fasialis, coli, dan ekstremitas superior dekstra et sinistra. Hal ini

sesuai predileksi dari fotosensitivitas reaksi fotoalergik.

2. Efloresensi : Plak eritema berbatas tegas, edem, skuama tebal, hiperpigmentasi dan

likenifikasi-fissura; dengan penyebaran simetris di kedua belah tangan. Hal ini

sesuai dengan efloresensi fotosensitivitas reaksi fotoalergik.

3. Secara umum, kondisi kulit pasien tampak kering (xerosis), terutama terlihat pada

kedua tangan pasien.

B. Menyingkirkan Diagnosis Banding

1. Dermatitis kontak alergik

Disingkirkan karena walaupun dari hasil anamnesis terdapat keluhan gatal pada daerah

tubuh yang mudah kontak (wajah, ekstrimitas superior), ada riwayat terpajan sinar

matahari, namun dari gambaran klinis dijumpai hal yang berbeda, yaitu efloresensi

berupa eksudasi (basah) pada stadium akut, dan papul pada stadium kronik.

2. Eritema multiforme

Disingkirkan karena walaupun dari hasil anamnesis terdapat keluhan gatal, dan ada

riwayat terpajan sinar matahari, namun tempat predileksi biasanya juga di telapak

tangan dan selaput lendir. Selain itu juga gambaran khasnya adalah bentuk iris.

Page 21: isi presus kulit huda.docx

21

3. Psoriasis

Disingkirkan karena walaupun dari hasil anamnesis terdapat riwayat keluarga dengan

keluhan yang sama, juga dari efloresensi mempunyai kuama yang tebal, namun pada

psoriasis biasanya tidak disertai dengan keluhan gatal, dan tidak terpengaruh dengan

riwayat pajanan sinar matahari.

4. Dermatitis seboroik

Disingkirkan karena walaupun dari hasil anamnesis terdapat keluhan gatal, dan

efloresensi yang berupa eritema, skuama, dan krusta namun berminyak dan dengan

predileksi yang banyak terdapat di biasanya terdapat pada daerah kulit kepala, dan

meyebar ke dahi, glabella, telinga, dan leher serta tidak dipengaruhi dengan riwayat

pajanan sinar matahari.

C. Penatalaksanaan

1. Non Farmakologis

Pengobatan yang paling efektif adalah dengan menghindari pajanan sinar

matahari. Sebaiknya pasien menggunakan pakaian yang melindungi seluruh tubuh,

seperti menggunakan kaos dengan lengan panjang, celana panjang atau rok panjang,

dan topi berpinggir lebar atau sejenisnya jika hendak keluar rumah. Pasien juga

sebaiknya menggunakan sunscreen yang memiliki SPF (factor proteksi matahari)

sekurang-kurangnya 15 atau lebih dengan spectrum proteksi yang luas terhadap sinar

ultraviolet A dan B. Untuk bibir, pasien sebaiknya menggunakan sunblock dengan

SPF 20 atau lebih. Pasien juga dianjurkan menggunakan kaca mata hitam dengan

proteksi sinar ultraviolet dan batasi waktu diluar rumah ketika matahari sedang

mencapai puncak terpanas, biasanya antara jam 10 pagi sampai jam 3 sore.

2. Farmakologis

a. Injeksi metilprednisolon 125 mg + difenhidramin 1 ampul (iv)

Metilprednisolon merupakan kortikosteroid dengan kerja intermediate yang

termasuk kategori adrenokortikoid, anti-inflamasi dan imunosupresan.

Difenhidramin adalah antihistamin yang menghambat pelepasan histamin (H1)

dan asetilkolin. Dalam kasus ini, dengan keadaan lesi kulit yang sudah

berlangsung kronis dan kondisi gatal pasien yang cukup mengganggu aktivitas

dan tidur, maka diperlukan kortikosteroid dan antihistamin sistemik, sehingga

diberikan injeksi metilprednisolon 125 mg + difenhidramin 1 ampul secara

intravena.

Page 22: isi presus kulit huda.docx

22

b. Metilprednisolon 4 mg tab 2x1 sehari

Metilprednisolon ini diberikan secara oral, dengan dosis awal 4-48 mg/hari,

dengan indikasi untuk beberapa jenis dermatitis dan reaksi alergi.

c. Loratadine 10 mg tab 2x1 sehari

Loratadine adalah suatu derivat azatadin. Absorbsinya cepat. Kadar puncak

dicapai setelah 1 jam pemberian. Waktu paruh 8-11 jam, mula kerja sangat cepat

dan lama kerja adalah panjang. Waktu paruh descarboethoxy-loratadin 18-24

jam.. Matabolitnya yaitu descarboetboxy-loratadin (DCL) bersifat aktif secara

farmakologi clan juga tidak ada kumulasi. Loratadin dibiotransformasi dengan

cepat di dalam hati dan di ekskresi 40% di dalam urine dan 40% melalui empedu.

Pada waktu ada gangguan fiungsi hati waktu paruh memanjang. Dosis yang

dianjurkan adalah 10 mg 1 X sehari.

d. Inerson + Asam Salisilat 3% + LCD 5% + Vas Album

Inerson mengandung Desoximetasone, suatu kortikosteroid yang

mempunyai khasiat sebagai antiflogistik, antipruritik. Digunakan untuk berbagai

macam eksema, dermatitis dan psoriasis. Tiap gram salep mengandung

Desoximetasone 2,5 mg. Pada pengobatan jangka panjang dengan preparat yang

mengandung kartikosteroid, dapat timbul gejala-gejala hipopigmentasi, atropi

kulit dan stria. Kadang kala juga terjadi iritasi kulit seperti rasa gatal dan rasa

panas.

Sebagai antiseptic, asam salisilat merupakan zat yang mengiritasi kulit

dan selaput lendir. Asam salisilat tidak diserap oleh kulit, tetapi membunuh sel

epidermis dengan sangat cepat tanpa memberikan efek langsung pada sel dermis.

Setelah pemakaian beberapa hari akan menyebabkan terbentuknya lapisan-lapisan

kulit yang baru.

Campuran asidum salisilikum dan tar (LCD5%) mempunyai efek

antipruritus dan anti inflamasi pada kulit. Dipakai pada lesi kronis, jangan pada

lesi akut. Sediaan dalam bentuk salep hidrofilik, misalnya yang mengandung

likuor karbonis detergen 5% sampai 10%, atau crude coal tar 1% sampai 5%.

Vas album adalah contoh salep dengan dasar senyawa hidrokarbon atau

dasar salep berlemak dengan sifat fisikanya, yaitu tidak mengandung air, tidak

tercuci oleh air. Fungsinya adalah sebagai emolien (pendingin) dan sebagai

protektan.

.

Page 23: isi presus kulit huda.docx

23

D. Prognosis

Seperti yang diketahui bahwa penyakit fotosensitivitas reaksi fotoalergik ini

memiliki perkembangan atau perjalanan penyakit yang cenderung kronis dan residif,

sehingga untuk prognosis ad sanationam adalah dubia ad bonam. Selama pasien dapat

menghindari hal-hal yang menjadi faktor predisposisi dari penyakit ini, maka munculnya

kekambuhan keluhan atau gejala dapat diminimalisasi.

Page 24: isi presus kulit huda.docx

24

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Dermatology. 2012. Solaris Dermatitis. Availble from URL :

http://www.aad.org/skin-conditions/dermatology-a-to-z/nummular-dermatitis.

Diakses pada tanggal 25 Maret 2012.

Djuanda, Adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta : FKUI.

Gapar, R. Soetiono. Farmakologi obat-obat antihistamin non sedatif pada penyakit Alergi.

Diakses pada tanggal 25 maret 2012. Available from URL :

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3491/1/farmakologi-soetiono.pdf.

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II. Edisi 3. Jakarta : FKUI.

Siregar, R.S. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : EGC.

Trihapsoro, Iwan. 2003. Dermatitis kontak alergik pada pasien rawat jalan Di RSUP Haji

Adam Malik Medan. Diakses pada tanggal 25 maret 2012. Available from URL :

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6372/1/kulit-iwan.pdf.