Upload
hendy-buana-vijaya
View
117
Download
14
Embed Size (px)
DESCRIPTION
syok abis
Citation preview
KONSEP DASAR
A. Pengertian
Syok anafilaktik adalah suatu reaksi aleri yang hebat, segera menyebabakan
orang pingsan dan menyebabakan kematian (E. Oswari. 1985)
Syok anafilaktik adalah syok yang terjadi secara akut yang disebabakan oleh
reaksi alergi atau reaksi hipersensitifitas (Tabrani, Rab. 1999)
Syok anafilaktik adalah syok yang disebabakan oleh alergi obat (Anthony
Nicholas. 2001)
Syok anafilaktik adalah suatu resiko pemberian obat, baik melalui suntikan atau
cara lain (Mansjoer, Ari F. 1999)
B. Etiologi
Zat – zat yang sering menyebabakan terjadinya reaksi anafilaksis dapat dibagi
atas :
- mediator Ig E
protein (kelapa, ikan, kerang – kerangan, telur)
antiserum (tetanus dan antitoksin dipteri)
hormone, enzim (insulin, ACTH, dan TSH)
bisa binatang
ekstrak allergen
vaksin
polisakarida
dekstran dan ferum dekstran
- mediator komplemen
reaksi tranfusi dengan defisiensi IG A metroteksat.
- mediator arakhidonat
aspirin dan NSAID (NonSteroid Antiinflamasi Drugs)
- yang disebabakan sel mast secara langsung
opiad : tuboku rarin, radiokontras, dan hidralasin serta olah raga.
- idiopatik
melphalan, prokarbazin, klorambusil, hidrokiurea, s- fluorourasil, busulfan, dan
mhiomsin.
Syok anafilaktik dapat timbul setelah suatu respons alergi luas yang
berkaitan dengan degranulasi sel mast dan pelepasan mediator – mediator
peradangan misalnya histamine prostaglandine, mediator – mediator ini
mencetuskan vasodilatasi luas sehingga TPR dan tekanan darah turun secara drastic.
C. Patofisiologi
Secara patofisiologi yang memegang peranan penting dalam syok anafilaktik
adalah antigen, sel T, IL-4,sel plasma, dan produksi Ig E, resting sel B,
prostaglandin, leukotrin dan asam arakidonat.
Sensitasi yang diikuti oleh reaksi alergi dapat merupakan reaksi sendiri atau
kombinasi dengan happen, sintesis Ig E atau dapat pula terikat pada permukaan sel
mast atau basofil. Pada re- eksposure antigen terikat Ig E, di permukaan sel dapat
terjadi degranulasi sel mast sehingga dibebaskan histamine, slow reacting substance
of anaphylaxis (SRC-A), eusinophilic chemopilic factor anafilakxis (ECF-A) dan
PAF.
Tekanan arteri ditentukan oleh sfingter arteriol. Bila sfingter ini berelaksasi
secara sistemik maka terjadilah shock distributive. Ada empat hal yang
menyebabakan relakasasi dari sfingter ini yakni karena factor neural, adanya
meditor dalam sirkulasi, defek pad autoregulasi dank arena mediator local.
Secara neural, reseptor stimulasi adrenergic alfa menyebabakan vasodilatasi.
Adanya zat mediator di dalam sirkulasi seperti ketokolamin, angatensin, dan
mediator inflamasi menyebabakan tonus vasikuler sistemik menurun. Sementara
hormone glukokortikoid menambah sensivitas terhadap katekolmin. Autoregulasi
terutama terdapat sebagai mekanisme pembuluh darah ginjal dan otak untuk
mempertahankan pengaliran darah kedua organ ini bila terjadi penurunan tekanan
darah sistemik. Mediator local mungkin sebagai pertahanan terakhir pembuluh
darah. Zat – zat seperti kalium, hydrogen, adenosine, karbondioksida dan asam
laktat yang dihasilkan oleh sel dapat menyebabakan vasodilatasi. Bila terjadi
pengurangan resistensi vaskuler secara sistemik (SVR) menyebabakan tekanan
darah meningkat.
Dasar terjadinya shock septic adalah sifat homeostatis dan kemudian terjadi
shock septic. Lamany inflamasi sistemik menentukan klinis daripasien. Manifestasi
kardiovaskuler bergantung pada jenis mediator yang disebabakan jumlah dan
lamanya mediator ini dibentuk serta disebabakan dan kemampuan kompensasi dari
host, akan tetapi tiga keluhan pokok yang terjadi adalah vasodilatasi, mal distribusi
aliran darah dan depresi miokard yang merupakan penyebaba – penyebab utama
shock anafilaktik:
1. vasodilatasi
vasodilatasi disebabakan oleh aktifasi asam arakidonat dan pembebasan
komplemen sebagai vasoaktif substansi.
2. mal distribusi alirn darah
pada permulaan shock terjadi reaksi simpatetik dengan pembebasan
katekolamin, angiotensin, dan tromboksan yang menyebabakan perubahan
aliran darah, paru, ginjal, dan terjadinya vasokontriksi splangnik. Akibatny
aliran darah mengalami mal distribusi di samping itu terjadinya oklusi vaskuler
juga makin memperburuk perfusi.
3. depresi miokard
apabila aliran darah ke pankreas menurun terjadi pembebasan enzim seperti
lipase, amylase, dan MDF ke cairan limfatik dan cairan sistemik.
D. Manifestasi klinis
Shock anafilaktik yang terjadi dapat disebabakan oleh antibiotic terutama
penicillin, serum, vaksin, sari bunga, anestesi local, dan gigitan ular. Pemberian oral
dapat pula terjadi akibat pemberian iodium dan asetil salisilat. Gejala – gejalanya
adalah gatal, urtikari, dispnea, wheezing, sinkope, nyeri abdomen, nausea dan
muntah.
Pada pemerikasaan fisik didapatkan ronki, susah bernafas, hipotensi, muka
merah atau pucat dan sianosis.
Shock ini dapat dibagi atas dua tipe, yaitu:
1. tipe I atau anafilaksis, disebaakan oleh reaksi hipersensitifitas. Secara serologis
terdapat antigen, anti bodi Ig E dan terdapat mediator yang disebabakan oleh sel
mast ataupun basofil. Mediator berupa granula terdapat dalam sel mast atau
dibentuk sesudah masuknya antigen. Yang bertindak sebagai mediator adalah
histamine, prostaglandin D2, leukotrin yang meliputio C4, D4, E4, PAF,
triptase, simase, heparin, vasodilatori, sitokines, factor tumor nekrosis dan
kondroitin sulfat. Factor mediator ini menyebabakan permeabilitas kapiler
bertambah, dilatasi pembuluh sistemik, vasokontriksi pulmoner,
bronkokonstriksi, aritmia dan negative inotropik.
2. tipe II atau reaksi anafilaktoid, sama dengan reaksi anafilaksis akan tetapi tidak
terdapat antibody Ig E. Shock anafilaktik seperti ini disebabakan oleh kontras
media, NSAID atau aspirin.
Pada manusia kegagalan sirkulasi dan respirasi merupakan penyebaba
kematian yang utama.
Secara klinis kecurigaan terhadap shock anafilaktik adalah bila terjadi nadi
irregular atau tak teraba, distress respirasi, sianosis, serak, disfagia yang
disebabakan oleh edema laring dan keluhan pernafasan.
Reaksi anafilaksis dapat dilihat dalam bentuk urtikaria, angiodema, obstruksi
respirasi sampai dengan kolaps pembuluh darah. Sebaba kematian utama dari shock
anafilaksis adalah shock dan obstruksi saluran pernafasan.
E. Pathway
Mediator mediator mediator yang dibebaskan sel mast idiopatik
Ig E komplemen arakidonat secara langsung
Syok anafilaktik
Permeabilitas kapiler vaso kontriksi pulmoner perlu perawatan khusus
Bertambah
Resiko tinggi dehidrasi adanya obstruksi saluran perlu informasi
pernafasan
Resiko tinggi kekurangan kurang pengetahuan pengobatan
volume cairan dan elektrolit dan kondisi penyakit
Gangguan ketidakefektifan intoleransi
pola tidur pola nafas aktifitas
F. Komplikasi
Shock dapat menyebar ke jantung sedangkan komplikasi jantung itu sendiri
dapat berupa aritmia, gagal jantung, iskemia, infark, stoke bahkan sampai kematian.
Walaupun demikian sebab kematian utama dari anafilaksis adalah shock dan
obstruksi saluran pernafasan. Obstruksi pernafasan dapat berupa edema laring,
bronkospasme dan edema bronkus, dan dapat pula terjadi dalam bentuk shock- lang
syndrome.
G. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya terbagi atas :
1. Usaha preventif
Untuk menghindari reaksi anafilaksis dapat dilakukan dua hal, yaitu
mengadakan tes kulit dan desensitasi, disamping mencari hubungan kausa
alergi. Untuk prevensi dapat dilakukan :
tes kulit dapat berguna untuk antibiotic beta-laktam, bisa ular, anestesi local,
insulin, kimopapin dan berbagai bahan makanan. Karena reaksi anafilaksis
dapat terjadi sekalipun hanya dengan tes kulit maka harus di bawah
pengawasan yang ketat.
Riwayat penyakit dan riwayat reaksi terhadap I E dari pemberian antigen.
Dalam riwayat penyakit iniharus dicurigai pula terdapatnya cross sensitive
terhadap obat yang lain.
Riwayat terdapatnya beta-blocker dapat menyebabakan resiko terhadap
anafilaksis lebih tinggi dan refraktur terhadap pengobatan.
Pada pemeriksaan laboratorium didapat kadar histamine yang tinggi, rendahnya
serum komplemen dan berkurangnya kadar kinogen yang berat molekul yang
tinggi.
2. usaha pengatasan anfilaksis
lindungi jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi
gunakan epinefrin yang merupakan drug of choise
ulangi injeksi epinefrin bila perlu setiap 10 sampai 20 menit, di samping itu
kalau tempat injeksi dapat dilokalisir dapat diberikan secara sub cutan dosis
yang sama pada tempat injeksi.
Bila terjadi hipotensi harus diberikan epinefrin, Na Cl 0,9%, Ringer Laktat
atau larutan osmotic koloid, levarterenolbitartart dalam dekstrosa 5%,
glukagon jika pasien menerima terapi beta blocker.
Bila shock akibat injeksi di tangan terutama karena vaksinasi pasang
tourniquet pada daerah yang proksimal dan berikan epinefrin pada tempat
injeksi.
Bila terjadi edema laring, berikan epinefrin IV dan bronkospasme.
Bila terjadi bronco konstriksi, berikan supplemental oksigen, aminofilin
metaproterenol atau albuterol, isoprotelenol.
Untuk pasien yang menderita penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus,
tiroiddan arterio sceloris serebral dapat diberikan setengah dosis dan harus
dievaluasi terjadinya hipertensi.
Untuk mempertahankan tekanan darah dapat pula diberikan levarterenol atau
metaraminol.
Pertimbangkan intubasi atau krikotiroidotomi dan berikan oksigen tinggi.
Harus diberikan pemberian antigen yang menyebabakan anafilaksis.
Pemberian antihistamin dapat menghambat efek mediator dan merupakan
pilihan sesudah epinefrin dan harus dikombinasi antara H1- blocking
antihistamin dan H2- blocking antihistamin.
Pengatasan hipotensi dapat menurut skema shock 1 liter kristaloid
(NaCl/ringer Laktat) tiap 20 – 30 menit.
Pada pasien dengan keluhan anafilaksis yang ringan harus diobservasi
selama 3 – 8 jam dan diberikan difenidremin.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. FOKUS PENGKAJIAN
1. Wawancara
Riwayat diet atau pola makan
Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit keluarga
Keluhan pasien : pasien mengatakan gatal, dispnea, nyeri abdomen nausea dan
muntah
2. Pemeriksaan fisik
Inspeksi : pasien pucat, sianosis, muka merah dan pasien terlihat susah bernafas.
Palpasi : nadi irreguler/tidak teraba, ada edema di laring
Auskultasi : didapatkan bunyi wheezing, ronchi.
3. Pemeriksaan penunjang
pemeriksaan laborat
- jumlah lekosit dan hitung jenis sel
- sel eosinofilia secret hidung
- serum Ig E
- pemeeriksaan Ig E spesifik
tes kulit
- metoda prick tes
tes provokasi
- tes hidung
- tes provokasi bronkhial
limfangiografi
B.ANALISA DATA
No Data Etiologi Problem
1.
2.
3.
DS: -
DO: - respirasi 30x/mnt
- pasien terlihat susah
bernafas
DS: -
DO: - pasien tampak lemah
dan sianosis
- nadi irreguler dan tak
teraba
DS: -
DO: - tidur 4 – 5 jam/hari
- muka terlihat lesu dan
pucat
Vasokontriksi pulmoner
Permeabilitas kapiler
Obstriksi saluran
pernafasan
Ketidakefektifan pola
nafas
Resiko tinggi
kekurangan cairan dan
elektrolit
Kurang tidur
4. DS: -
DO: - adanya dipsnea
- TD 90/70 mmHg
Obstruksi saluran
pernafasan
Intoleransi aktifitas
C.DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan vaso kontriksi pulmoner ditandai
dengan respirasi : 30x/mnt, pasien terlihat susah bernafas.
2) Resiko tinggi kekurangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan permeabilitas
kapiler ditandai dengan lemas, nadi irreguler dan tak teraba.
3) Kurang tidur berhubungan dengan obstruksi saluran pernafasan ditandai dengan
tidur 4 – 5 jam/hari dan muka terlihat lesu dan pucat.
4) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan obstruksi saluran pernafasan ditandai
dengan adanya dipsnea, TD 90/70 mmHg.
D.INTERVENSI
5) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan vaso kontriksi pulmoner
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
pasien bisa bernafas dengan lega dengan criteria hasil :
- respirasi 20x/mnt
- pasien tidak terengah – engah dalam bernafas
- pasien tampak rileks
Intervensi :
Berikan terapi oksigen
Rasional : membantu mencukupi kebutuhan oksigen
Berikan posisi tendelenberg
Rasional : meningkatkan aliran balik vena
Observasi TTV, terutama respirasi tiap 4 jam sekali
Rasional : membantu mengevaluasi perkembangan pola nafas
Kolaborasi medis untuk pemberian obat golongan epinefrin
Rasional : membantu pembuluh kapiler dilatasi
2) Resiko tinggi kekurangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan permeabilitas
kapiler bertambah
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
kebutuhan cairan dan elektrolit terpenuhi dengan criteria hasil :
- mukosa lembab
- turgor kulit cukup
- tidak ada tanda – tanda sianosis
- nadi teratur 80x/mnt
Intervensi :
Observasi TTV terutama pada nadi
Rasional : membantu mengevaluasi kuat lemahnya denyut jantung
Beri terapi NaCl 0,9%, RL atau larutan osmotic koloid
Rasional : untuk membantu penyeimbangan cairan dan elektrolit
Kaji intake dan output
Rasional : output dapat melebihi intake yang sebelumnya sudah atau mencukupi
untuk mengkompensasi kehilangan yang tidak disadari. Dehidrasi dapat
meningkatkan laju filtrasi glomerolus
3) Kurang tidur berhubungan dengan obstruksi saluran pernafasan
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
pasien dapat tidur dengan nyenyak dengan kriteria hasil :
- tidak sering terbangun saat tidur
- tidur 6 – 8 jam /hari
- muka terlihat segar dan tidak pucat
Intervensi :
* kaji kualitas pola tidur pasien
Rasional : membantu mengevaluasi perkembangan masalah tidur pasien
berhubungan dengan syok
* batasi jumlah pengunjung
Rasional : mengurangi kebisingan
* ciptakan suasana yang nyaman
Rasional : membantu pola tidur pasien yang normal
4) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan obstruksi saluran pernafasan
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
pasien dapat melakukan aktifitas sehari – hari dengan baik dengan kriteria hasil :
- Badan pasien terlihat segar
- Tekanan darah kembali normal 120/80 mmHg
- Tidak ada keluhan sesak nafas
- Melakukan aktifitas dengan mandiri
Intervensi :
* Bantu pasien latihan aktif pasif
Rasional : menghindari kekakuan persendian
* Bantu pasien melakukan aktifitas sehari – hari
Rasional : menghindari kondisi yang lebih fatal
E. EVALUASI
Diagnosa I
* Pasien mengatakan tidak ada masalah dalam bernafas
* Respirasi normal 20x/mnt
Diagnosa II
* Pasien mengatakan sudah tidak muntah dan lemas
* Tidak ada tanda – tanda sianosis
* Nadi teratur 80x/mnt
* Turgor kulit baik
Diagnosa III
* Pasien dapat tidur seperti biasa dan tidak sering terbangun
* Pasien tidur 6 – 8 jam/hari
* Muka pasien tampak segar
Diagnosa IV
* Pasien mengatakan dapat melakukan aktifitas sehari – hari
* Tidak ada dipsnea
* Tekanan Darah normal 120/80 mmHg