Upload
oscar-brooks
View
329
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
Tinjauan Ilmiah
IKTERUS OBSTRUKTIFPanduan Diagnosis dan Penatalaksanaan
Pembimbing :
dr. Kunsemedi, SpB-KBD
STASE SUB BAGIAN BEDAH DIGESTIFBAGIAN BEDAH FK UNDIP – RS DR. KARIADI SEMARANG
JANUARI 2013
BAB I
PENDAHULUAN
DEFINISI
Jaundice adalah manifestasi klinik dari proses penyakit yang berhubungan dengan
peningkatan bilirubin serum dan deposit dari pigmen bilirubin dalam jaringan tubuh.Jaundice
muncul gejala klinik pertama pada sklera dan palatum dan kulit,ketika bilirubin serum ketika
konsentrasinya melebihi 2,5 mg/dl.
Ikterus obstruksi saluran empedu :disebabkan adanya hambatan oleh sumbatan mekanik yang
menyebabkan terjadinya kolestasis. Insidensi di Amerika terdapat 5 kasus per 1000 orang.
ANATOMI HEPATO-BILIAR
HEPAR
Hepar merupakan kelenjar terbesar di tubuh, berat rata-rata 1500 g atau 2,5 % berat
badan orang dewasa normal, terletak di bawah kubah kanan diafragma dan sebagian kubah
kiri. Hepar terbagi menjadi 2 lobus utama, kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi
segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis. Lobus kiri dibagi menjadi segmen
medial dan lateral oleh ligamentum falciforme yang berjalan dari hepar ke diafragma dan
dinding depan abdomen. Permukaan hepar diliputi oleh peritoneum viseralis, kecuali daerah
kecil pada permukaan posterior yang melekat langsung pada diafragma.
Gambar 1a : Hepatic ligaments suspending the liver to the diaphragm and anterior abdominal wall
Gambar 1b : Pembaggian segmen hepar menurut Couinaud
Lobi Hepati menurut Couinaud
Couinaud , Healey , dan Schroy menyusun nomenklatur pembagian lobus sebagai berikut :
hepar terbagi oleh bidang utama, yaitu bidang parasagital khayal melalui vesika biliaris
( felea ) di anterior sampai vena cava inferior di posterior menjadi lobus dexter dan sinister
secara fungsional. Selanjutnya hepar terbagi menjadi segmentum. Segmentum I, II, III , dan
IV menyusun lobus sinister fungsional dan segmen V, VI, VII dan VIII menyusun lobus
dexter fungsional. Lobus dexter terdiri dari atas sektor anterior dan posterior. Sektor dexter
anterior terdiri dari atas segmental V dan VIII sedang sektor posterior terdiri atas segemental
VI dan VII.
Lobus sinester terdiri atas sektor; segmental IV sesuai dengan sektor sinister medial,
segmental II dan III sesuai dengan sektor sinister lateral. Segmental I sesuai dengan lobus
kaudatus sedang segmental IV sesuai dengan lobus quadratus. Vena hepatika berada dialam
parenkim hepar di antara sektor-sektor.
Struktur Mikroskopik
Setiap lobus hepar terbagi menjadi lobulus-lobulus, yang merupakan unit mikroskopis dan
fungsional organ. Setiap lobulus merupakan badan heksagonal yang terdiri dari lempeng-
lempeng sel hepar yang berbentuk kubus, tersusun mengelilingi vena sentralis. Di antara
lempeng sel hepar terdapat kapiler-kapiler yang disebut sinusoid, yang merupakan cabang
vena porta dan arteri hepatika. Sinusoid dibatasi oleh sel fagositik yaitu sel kupfer. Sel
kupfer merupakan sistem monosit-makrofag, dengan fungsi utama memfagosit bakteri dan
benda asing dalam darah. Selain cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika yang
melingkari bagian perifer lobulus hepar, juga terdapat saluran empedu. Saluran empedu
interlobular membentuk kapiler empedu yang sangat kecil yang disebut kanalikuli, berjalan di
tengah-tengah lempengan sel hepar. Empedu yang dibentuk dalam hepatosit diekskresikan ke
dalam kanalikuli yang bersatu membentuk saluran empedu yang semakin lama semakin
besar, hingga membentuk saluran empedu yang besar ( ductus Choledochus ).
Sirkulasi
Hepar memiliki dua sumber suplai darah, dari daluran cerna dan limpa melalui vena
porta, dan dari aorta melalui arteri hepatika. Sekitar sepertiga darah yang masuk adalah darah
arteri dan duapertiganya adalah darah dari vena porta. Volume darah yang melewati hepar
setiap menit adalah 1500 ml dan dialirkan melalui vena porta dan arteri hepatika kanan dan
kiri, yang selanjutnya bermuara ke vena kava inferior.
Gambar 2. Arterial anatomy of the upper abdomen and liver, including the celiac trunk and
hepatic artery branches. a. = artery; LHA = left hepatic artery; RHA = right hepatic artery.
Saat mencapai hepar vena porta bercabang-cabang menempel melingkari lobulus
hepar. Cabang-cabang ini kemudian mempercabangkan vena-vena interlobularis yang
berjalan di antara lobulus-lobulus. Vena-vena ini selanjutnya membentuk sinusoid yang
berjalan di antara lempengan hepatosit dan bermuara dalam vena sentralis. Vena sentralis dari
beberapa lobulus bersatu membentuk vena sublobularis yang selanjutnya kembali menyatu
membentuk vena hepatika. Cabang-cabang terhalus dari arteri hepatika juga mengalirkan
darahnya ke sinusoid, sehingga terjadi campuran darah dari arteri hepatika dan darah vena
dari vena porta.
APPARATUS BILIARIS
Gambar 3. Anatomi biliaris dari anterior; a = right hepatic duct; b = left hepatic duct; c = common hepatic
duct; d = portal vein; e = hepatic artery; f = gastroduodenal artery; g = left gastric artery; h = common bile duct;
i = fundus of the gallbladder; j = body of gallbladder; k = infundibulum; l = cystic duct; m = cystic artery; n =
superior pancreaticoduodenal artery. Note: the situation of the hepatic bile duct confluence anterior to the right
branch of the portal vein, the posterior course of the right hepatic artery behind the common hepatic duct
Anatomi Apparatus Biliaris
Apparatus billiaris merupakan suatu sistem yg terdiri atas vesica fellea, ductus hepaticus,
ductus cysticus, dan ductus choledochus.
Vesica fellea
Merupakan suatu kantung berbentuk seperti pear yg terletak di impressio biliaris pd fascies
visceralis lobus hepatis dextra. Vesica fellea memiliki panjang sekitar 8cm dan volume 40-50
cc. Vesica fellea terletak di cavum abdomen pada regio hipokondrium / hipokondriaka dextra.
Vesica fellea memiliki bagian fundus, corpus, dan collum. Fundus vesica fellea menonjol di
margo inferior hepar. Proyeksinya terletak pada perpotongan tepi lateral m. rectus abdominis
(MRA) dan pertengahan dari arcus costa dextra. Corpus vesica fellea bersentuhan dengan
facies viseralis hepar ke arah superoposterior sinistra. Colum vesica fellea melanjut sbg
ductus cysticus yg berjalan dalam omentum minus, bersatu dg ductus hepaticus communis
membentuk ductus choledocus/ ductus billiaris. Vesica fellea berfungsi utk menyimpan
cairan billiaris yg diproduksi oleh sel hepatosit, yang kemudian diregulasi ke dalam lumen
duodenum utk mengemulsi lemak.
Gambar 4. Anatomi vesica felea
Vaskularisasi Vesica Fellea
Bagan I. Vaskularisasi sistem hepato-bilier
Vesica fellea divaskularisasi oleh a. cystica yang merupakan cabang dari ramus dextra
a. hepatica propria, yang merupakan cabang dari a. hepatica propria, yang merupakan cabang
dari a. hepatica communis, yang merupakan cabang dari truncus coeliacus/ triple hallery yang
dicabangkan melalui aorta abdominalis setinggi vertebrae thoracal XII – lumbal I. Sedangkan
aliran vena melalui v. cystica yang bermuara ke v. porta hepatis.
Inervasi Vesica Fellea
Vesica fellea diinnervasi secara parasimpatis oleh truncus vagalis anterior (cabang dari n.
Vagus/n.X), dan persarafan simpatis oleh n. spinalis segmen thoracal VI-X.
Ductus hepaticus
Ductus hepaticus dextra et sinistra keluar dari hepar melalui porta hepatis, lalu akan
bersatu membentuk ductus hepaticus communis. Ductus hepaticus communis berukuran
panjang sekitar 4 cm, dan berjalan di tepi bebas omentum minus. Ductus hepaticus communis
akan bersatu dengan ductus cysticus utk membentuk ductus choledocus (billiaris).
Ductus cysticus
Ductus cysticus berukuran panjang sekitar 4 cm, berbentuk seperti huruf S dan
berjalan pada tepi bebas di kanan dari omentum minus. Ductus cysticus ini menghubungkan
collum vesica fellea dengan ductus hepaticus communis, lalu bersatu membentuk ductus
choledocus (biliaris). Mukosa ductus cysticus menonjol berbentuk lipatan spiral yg disebut
plica spiralis/ valvula heister/ valvula spiralis. Fungsi valvula ini yaitu memperkuat dinding
ductus cysticus dan membantu agar lumen ductus cysticus tetap terbuka.
Ductus Choledochus (Billiaris)
Ductus Choledochus berukuran panjang sekitar 8 cm, merupakan penyatuan ductus cysticus
dan ductus hepaticus communis.
Ductus choledocus awalnya terletak pada tepi bebas kanan omentum minus di depan foramen
epiploica winslow, di depan tepi kanan v. portae hepatis dan di sebelah kanan a. hepatica
communis. Selanjutnya ductus choledocus terletak di belakang duodenum pars superior, di
kanan a. gastroduodenalis, melanjut pada permukaan posterior caput pancreas. Selanjutnya
ductus choledocus akan bersatu dengan ductus pancreaticus major (ductus wirsungi),
bermuara pada dinding posteromedial pertengahan duodenum pars descendens, pada suatu
lumen kecil melalui papilla duodeni major. Bagian terminal ampulla vater dikelilingi oleh
serabut sirkuler yg disebut sphincter oddi.
Gambar 5. Trias Porta
BAB II
FISIOLOGI TRAKTUS BILIARIS
Empedu diproduksi oleh hepar 600 – 1000 ml / hari yang mempunyai dua fungsi :
(1) membantu absorbsi dan metabolisme lemak dengan dua cara: (a) membantu proses
emulsi partikel besar dari lemak makanan menjadi partikel yang lebih kecil yang dapat
dicerna oleh enzim lipase. (b) membantu absorbsi produk akhir metabolisme lemak melalui
membran mukosa usus.
(2) ekskresi beberapa sisa produk penting dari darah, terutama bilirubin dan kelebihan
kolesterol .
FISIOLOGI SALURAN EMPEDU
Empedu disekresi dalam dua tingkat oleh liver:
1. Porsi awal disekresi oleh hepatosit; mengandung banyak garam empedu, kolesterol, dan
unsur pokok organik lainnya. Empedu disekresi ke kanalikuli biliaris yang berada di
antara sel-sel hepar.
2. Empedu mengalir dari kanalikuli menuju septum interlobularis, di mana kanalikuli
bermuara ke saluran-saluran empedu terminal dan kemudian ke saluran yang lebih besar,
akhirnya mencapai duktus hepatis dan duktus biliaris komunis. Dari sini empedu
langsung bermuara ke dudenum atau dibelokkan dalam beberapa menit sampai beberapa
jam melalui duktus sistikus sampai kantong empedu.
Dalam perjalanannya melalui saluran-saluran empedu, bagian kedua sekresi dari
hepar ditambahkan ke empedu, berupa larutan ion natrium bikarbonat yang disekresikan oleh
sel-sel epitel sekretorik yang melapisi duktulus dan duktus.
Sekresi kedua ini dapat meningkatkan jumlah empedu hampir 100 persen. Sekresi
kedua dirangsang terutama oleh secretin, yang menyebabkan pelepasan sejumlah tambahan
ion bikarbonat untuk melengkapi ion bikarbonat dalam sekresi pankreas (untuk penetral asam
yang bermuara di duodenum dari perut).
Gambar 7. Fisiologi Aliran Empedu
Penyimpanan dan Konsentrasi Empedu
Empedu disekresikan terus menerus oleh sel-sel hepar, sebagian besar disimpan dalam
kantong empedu sampai dibutuhkan di duodenum. Volume yang dapat disimpan dalam
kantong empedu hanya 30 - 60 ml. Namun demikian, selama 12 jam sekresi empedu
(biasanya sekitar 450 ml ) dapat disimpan di kantong empedu karena air, natrium, klorida,
dan sebagian kecil elektrolit lainnya terus-menerus diserap dengan transpor aktif melalui
mukosa kantong empedu, empedu yang tersisa mengandung garam empedu, kolesterol,
lesitin, dan bilirubin. Empedu biasanya terkonsentrasi dengan cara ini sekitar 5 kali lipat,
maksimum 20-kali lipat.
Pada proses pengkonsentrasian dalam kantong empedu, air dan sebagian besar dari
elektrolit (kecuali ion kalsium) diserap oleh mukosa kantong empedu, semua unsur – unsur
penting lainnya, khususnya garam empedu dan substansi lemak kolesterol dan zat lesitin,
tidak diserap oleh karena itu, memiliki konsentrasi yang tinggi dalam kandung empedu,
dengan komponen yang paling banyak adalah garam empedu.
Pengosongan kandung empedu
Ketika makanan mulai dicerna di saluran pencernaan bagian atas, kandung empedu mulai
kosong, terutama ketika makanan berlemak mencapai duodenum sekitar 30 menit setelah
makan. Mekanisme pengosongan kandung empedu adalah kontraksi ritmis dari dinding
kantong empedu diiringi relaksasi simultan sfingter Oddi, yang menjaga pintu keluar dari
duktus biliaris komunis ke dalam duodenum. Stimulus terkuat untuk menyebabkan kantong
empedu kontraksi adalah hormon cholecystokinin.
Selain itu kantong empedu juga dirangsang oleh asetilkolin yang disekresi N. Vagus dan
sistem nervus enterik intestinal (saraf yang sama yang memacu motilitas dan sekresi bagian
lain dari saluran pencernaan bagian atas).
Hormon secretin yang juga merangsang sekresi pankreas juga meningkatkan sekresi
empedu, yang menyebabkan peningkatan sekresi natrium bikarbonat, bergabung dengan
bikarbonat dari pankreas dalam menetralisir HCl dari gaster.
Bila lemak tidak dalam makanan, pengosongan kantong empedu berjalan kurang baik,
tetapi ketika jumlah lemak yang ada signifikan, maka pengosongan kandung empedu
biasanya terjadi dalam waktu sekitar 1 jam.
Sel-sel hepar mensintesis sekitar 6 gram garam empedu perhari. Prekursor dari garam
empedu adalah kolesterol,yang terdapat dalam makanan atau disintesis dalam sel hepar
selama metabolisme lemak. Kolesterol pertama-tama diubah menjadi asam kolat atau asam
chenodeoxycholic kira-kira dalam jumlah yang sama. Asam ini akan bersenyawa terutama
dengan glisin dan taurin, membentuk garam empedu glyco dan tauroconjugated. Garam-
garam dari asam ini, terutama garam natrium, kemudian disekresikan dalam empedu.
Fungsi garam empedu: (1) emulsifiying / aksi deterjen pada partikel lemak dalam
makanan, sehingga mengurangi tegangan permukaan partikel dan memungkinkan memecah
gelembung-gelembung lemak ke dalam ukuran kecil; (2) membantu penyerapan: asam lemak,
monogliserida, kolesterol, dan lipid lain dari saluran usus. Hal ini dilakukan dengan
membentuk micelles, yang semi-larut dalam cairan lambung. Lipid usus diangkut dalam
bentuk ini pada mukosa usus, kemudian diserap ke dalam darah.
Tanpa adanya garam empedu di saluran usus, sampai dengan 40 persen lemak hilang
tertelan ke dalam feses.
Sirkulasi enterohepatik garam empedu
Sekitar 94 % garam empedu diserap ke dalam darah dari usus kecil, sekitar setengahnya
dengan difusi melalui mukosa usus halus bagian proksimal, sisanya oleh transpor aktif
melalui mukosa usus di ileum distal. Mereka kemudian memasuki darah portal menuju ke
hepar, melalui sinusoid garam-garam diserap hampir seluruhnya kembali ke dalam sel hepar
dan kemudian disekresi kembali ke dalam empedu.
Dengan cara ini, sekitar 94% dari semua garam empedu diresirkulasi ke dalam empedu,
sehingga rata-rata garam tersebut membuat rangkaian sekitar 17 kali sebelum dibawa dalam
feses. Beberapa kandungan garam empedu akan hilang ke dalam feses dan diganti dengan
jumlah yang baru, terbentuk terus-menerus oleh sel-sel hepar. Resirkulasi garam empedu ini
disebut sirkulasi enterohepatik garam empedu.
Jumlah empedu disekresi oleh hepar setiap hari sangat tergantung pada ketersediaan
garam empedu (biasanya total garam empedu sekitar 2,5 gram). Konsumsi suplemen garam
empedu dapat meningkatkan sekresi empedu beberapa ratus mililiter per hari.
Tingkat sekresi harian garam empedu hepar secara aktif dikendalikan oleh ketersediaan
garam empedu di dalam sirkulasi enterohepatic. Adanya fistula biliaris yang mengalirkan
garam empedu ke luar sehingga tidak bisa diserap kembali dari ileum, memacu hepar
meningkatkan produksi garam empedu 6 - 10 kali lipat.
Sekresi kolesterol oleh hepar dan pembentukan batu empedu
Garam empedu dibentuk dalam sel-sel hepar dari kolesterol dalam plasma darah.
Dalam proses sekresi garam empedu, sekitar 1 – 2 gram kolesterol diambil dari plasma darah
dan disekresi ke dalam empedu setiap hari. Kolesterol hampir sepenuhnya larut dalam air.
Garam empedu dan lecithin dalam empedu bergabung dengan kolesterol membentuk misell
ultramikroskopik dalam bentuk larutan koloid.
Dalam kondisi abnormal, kolesterol dapat mengendap dalam kantong empedu, sehingga
terjadi pembentukan batu kolesterol. Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan
oleh kuantitas lemak yang dimakan, karena sel hepar juga mensintesis kolesterol sebagai
salah satu produk metabolisme lemak dalam tubuh. Sehingga diet tinggi lemak selama
periode tertentu rentan terhadap pembentukan batu empedu.
Inflamasi kronis pada epitel kandung empedu dapat mengubah daya serap mukosa
kantong empedu, kadang-kadang memungkinkan penyerapan berlebihan air dan garam
empedu tetapi meninggalkan kolesterol dalam kandung empedu dalam konsentrasi yang
meningkat. Kemudian kolesterol mulai mengendap, awalnya membentuk kristal-kristal kecil
kolesterol pada permukaan mukosa yang meradang, kemudian berkembang menjadi batu
empedu besar.
Gambar 8. Pembentukan Batu Saluran Empedu
Metabolisme bilirubin
Normalnya sekitar 85% bilirubin terbentuk dari pemecahan eritrosit tua dalam sistem
monosit makrofag. Masa hidup rata-rata sel darah merah adalah 120 hari. Setiap hari sekitar
50 ml darah dihancurkan, menghasilkan 200 sampai 250 mg bilirubin. Namun sekitar 15 %
pigmen empedu tidak bergantung pada mekanisme ini, tetapi berasal dari destruksi sel
eritrosit matang dalam sumsum tulang (hematopoiesis tidak efektif) dan dari hemoprotein
lain, terutama dari hepar.
Pada katabolisme hemoglobin (terutama terjadi dalam limpa), globulin mula-mula
dipisahkan dari hem, setelah itu hem diubah menjadi biliverdin. Bilirubin tak terkonjugasi
kemudian dibentuk dari biliverdin. Bilirubin tak terkonjugasi berikatan lemah dengan
albumin, diangkut oleh darah ke sel-sel hepar. Metabolisme bilirubin oleh sel hepar
berlangsung dalam empat langkah produksi, transportasi, konjugasi, dan ekskresi.
1. Produksi
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi hemoglobin pada sistem
retikuloendotelial (RES). Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada neonatus lebih tinggi
dari pada bayi yang lebih tua. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin
indirek. Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang bereaksi tidak langsung dengan zat warna diazo
(reaksi Hymans van den Bergh), yang bersifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak.
2.Transportasi
Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin. Sel parenkim hepar mempunyai cara
yang selektif dan efektif mengambil bilirubin dari plasma. Bilirubin ditransfer melalui
membran sel ke dalam hepatosit, sedangkan albumin tidak. Pengambilan oleh sel hepar
memerlukan protein sitoplasma atau protein penerima, yaitu protein Y dan Z. Di dalam sel
hepar bilirubin akan terikat terutama pada ligandin (protein Y, glutation S-transferase B) dan
sebagian kecil pada glutation S-transferase lain dan protein Z. Proses ini merupakan proses 2
arah, tergantung dari konsentrasi dan afinitas albumin dalam plasma dan ligandin dalam
hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit dikonjugasi dan diekskresi ke dalam
empedu. Dengan adanya sitosol hepar, ligandin mengikat bilirubin sedangkan albumin tidak.
Pemberian fenobarbital mempertinggi konsentrasi ligandin dan memberi tempat pengikatan
yang lebih banyak untuk bilirubin.
3. Konjugasi
Konjugasi molekul bilirubin dengan asam glukuronat berlangsung dalam retikulum
endoplasma sel hepar, bergantung pada katalisis oleh enzim glukuroniltransferase. Konjugasi
molekul bilirubin sangat mengubah sifat-sifat bilirubin. Bilirubin terkonjugasi tidak larut
dalam lemak, tetapi larut dalam air dan dapat diekskresi dalam kemih.Sebaliknya bilirubin
tak terkonjugasi larut lemak, tidaklarut air, dan tidak dapat diekskresi dalam kemih. Agar
dapat diekskresi dalam empedu, bilirubin harus dikonjugasi. Bilirubin terkonjugasi kemudian
diekskresi ke usus halus. Bilirubin tak terkonjugasi tidak diekskresikan ke dalam empedu
kecuali setelah proses foto-oksidasi
4. Ekskresi
Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air dan
diekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Bakteri usus mereduksi
bilirubin terkonjugasi menjadi sterkobilin atau urobilinogen. Zat-zat ini mewarnai feses
menjadi coklat. Dalam usus bilirubin direk ini tidak diabsorpsi; sebagian kecil bilirubin direk
dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorpsi dalam siklus enterohepatik. Sekitar
10% - 20% urobilinogen mengalami siklus enterohepatik, sedangkan sejumlah kecil
diekskresi dalam kemih.
BAB III
PATOFISIOLOGI IKTERUS OBSTRUKTIF
DEFINISI
Ikterus didefinisikan sebagai penumpukan kadar bilirubin dalam darah lebih dari 2.5
mg% yang akan memberikan gejala klinis berupa warna kuning pada sklera mata, mukosa,
dan kulit. Berdasarkan penyebabnya, ikterus diklasifikasikan menjadi ikterus prehepatik,
hepatik, dan post hepatik. Pada pembahasan ini akan dititikberatkan pada ikterus obstruktif
yang disebabkan faktor post hepatik (surgical ikterus)
PATOFISIOLOGI
Empedu merupakan hasil sekresi hepar dengan berbagai fungsi yaitu proses
pencernaan dan penyerapan lipid, menetralisir toxin, karsinogen, obat-obatan, dan
metabolitnya (xenobiotik), dan sebagai rute utama ekskresi untuk berbagai senyawa endogen
dan produk metabolisme, seperti kolesterol, bilirubin, dan banyak hormon.
Pada ikterus obstruktif, efek patofisiologis yang terjadi adalah tidak adanya konstituen
empedu yang paling penting (bilirubin, garam empedu, dan lipid) di dalam usus, dan
masuknya konstituien tersebut kedalam sirkulasi sitemik. Feses akan menjadi pucat karena
bilirubin tidak mencapai usus. Tidak adanya garam empedu menyebabkan terjadinya
malabsorpsi lipid dan vitamin yang terlarut didalam lemak (terutama A, K, dan D). Adanya
maloabsorpsi dari lemak akan menyebabkan terjadinya steatorrhea dan kekurangan vitamin K
dapat mengurangi kadar protrombin dan dalam jangka waktu lama, malabsorpsi vitamin D
dan Ca dapat menyebabkan osteoporosis atau osteomalacia.
Retensi bilirubin menghasilkan hiperbilirubinemia campuran. Bilirubin terkonjugasi
yang banyak pada sirkulasi akan menyebabkan urin berwarna gelap. Tingginya kadar garam
empedu berhubungan dengan timbulnya pruritus. Retensi kolesterol dan fosfolipid
menghasilkan hiperlipidemi. Asam empedu hidrofobik diindikasikan sebagai penyebab utama
hepatotoksisitas dengan perubahan beberapa fungsi sel penting, seperti produksi energi
mitokondria. Gangguan metabolisme mitokondria dan akumulasi asam empedu hidrofobik
berhubungan dengan peningkatan produksi oksigen radikal bebas dan berkembangnya
kerusakan sel sel hepar.
ANAMNESIS
Pasien mengeluh kulit, mata, dan mukosa berwarna kuning, disertai urin kuning
kehitaman, feses dempul dan pruritus. Adanya riwayat demam, nyeri kolik, dan ikterus yang
intermiten mungkin mengarah pada cholangitis atau choledocolithiasis. Jika ditemukan
keluhan penurunan berat badan, adanya tumor di dalam perut dan nyeri yang menyerang ke
tulang belakang secara progresif mengarah pada keganasan pankreas. Sedangkan ikterus yang
bertambah berat intensitasnya bisa berhubungan dengan keganasan peri ampullar. Adanya
pembesaran kandung empedu yang dapat diraba pada pasien dengan ikterus bisa dicurigai
terjadi keganasan.
PEMERIKSAAN FISIK
Pada pasien dengan ikterus obstruktif dapat ditemukan kondisi :
1. Warna kulit kuning tua
2. Adanya massa dalam abdomen
3. Urin gelap berwarna seperti teh
4. Feces pucat seperti dempul
5. Pruritus
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Lab:
Bilirubin direk tinggi, bilirubin urin meninggi, sterkobilin feses dan urobilin urin sangat
rendah. Peningkatan SGOT, SGPT, gamma GT, dan Alkali Fosfatase.
Imaging
USG Mengetahui adanya batu, dilatasi duktus bilier. Pemeriksaan ini memiliki
keuntungan karena biaya yang rendah dan tidak memberikan radiasi.
Foto polos abdomen
CT-scan abdomen Mengetahui letak obstruksi. Pemeriksaan ini lebih mahal dan
memberikan radiasi.
ERCP Merupakan tehnik yang mengkombinasikan endoskopi dan fluoroskopi
untuk mendiagnosis dan menangani sistem bilier dan pancreas.
MRCP Teknik imaging non invasif yang menggunakan medan magnet untuk
memvisualisasi duktus biliaris dan pankreatis. Prosedur ini digunakan
untuk menentukan batu empedu yang menyumbat duktus sekitar
kandung empedu
PTC Tehnik untuk menvisualisasikan anatomi dari sistem bilier. Menggunakan
kontras medium yang diinjeksikan kedalam duktus bilier didalam hepar dan
dilakukan x-ray. Pemeriksaan ini dilakukan bila pemeriksaan ERCP gagal
dan juga bertujuan untuk drainage aliran empedu pada kasus obstruktif.
DIFERENSIAL DIAGNOSIS
- Choledocholithiasis
- Cholangitis
- Kista duktus Choledochus
- Striktur Bilier
- Keganasan :
o Cholangiokarsinoma
o Kanker ampulla vateri
o Kanker kaput pankreas
- Penyebab lain :
o Kolangitis sklerosis
o Kolangitis Piogenik Rekuren (Oriental Kolangiohepatitis)
o Disfungsi dan Stenosis ampulla
o Kista Choledochus kongenital
o Caroli disease
o Pankreatitis
o Hemobilia
o Divertikel duodenal
o Ascariasis
A. CHOLEDOCHOLITHIASIS
DEFINISI
Cholelithiasis istilah medis untuk menunjukan suatu batu pada saluran empedu. Sedangkan
Choledocholithiasis adalah adanya batu baik satu atau lebih pada duktus biliaris komunis /
(common bile duct / CBD) yang terjadi karena migrasi batu dari kandung empedu atau primer
terbentuk pada duktus biliaris sendiri.
KLASIFIKASI
Berdasarkan penyebabnya, batu saluran empedu / choledocholithiasis dibagi menjadi dua :
1. Batu sekunder / secondary bile duct stones
Banyak ditemukan di negara maju / negara barat. Batu ini biasanya berasal dari batu
kandung empedu yang bermigrasi melalui duktus sistikus. Jenis batunya adalah batu
kolesterol (75%) dan batu pigmen / black pigment stones (25%). Batu kolesterol
terbentuk karena adanya kolesterol yang tersaturasi, stasis aliran empedu dan adanya
faktor yang membentuk inti batu. Faktor gaya hidup yang berpengaruh terhadap
timbulnya batu kolesterol antara lain obesitas, penurunan berat badan, dan aktifitas
fisik. Faktor biologi yang berpengaruh adalah bertambahnya usia, jenis kelamin
wanita subur, kadar lemak serum, dan keturunan (kulit putih, hispanik). Batu pigmen
hitam / black pigment stones berhubungan dengan adanya ganguan hemolitik, sirosis,
reseksi ileum, puasa lama, dan nutrisi parenteral total.
2. Batu primer /Primary bile duct stones
Batu primer yang terbentuk pada duktus biliaris biasanya adalah batu pigmen coklat /
brown pigment. Mengandung campuran kolesterol dan bilirubin dengan jumlah
bilirubin lebih dominan. Batu ini sangat berhubungan dengan adanya stasis bilier dan
infeksi bakteri. Pembentukan batu ini diawali dengan adanya infeksi pada sistem
bilier. Pada penelitian terbukti dengan ditemukannya bakteri pada batu pigmen coklat
dan tidak ditemukan pada batu pigmen hitam. Batu jenis ini banyak ditemukan pada
populasi orang asia terutama asia tenggara dan berhubungan dengan batu primer pada
duktus biliaris intrahepatal. Jenis batunya biasanya adalah calcium bilirubinate dan
batu campuran dengan kandungan kolesterol yang lebih banyak dibandingkan dengan
bilirubin. Patogenesis terbentuknya batu ini berhubungan dengan adanya infeksi
duktus bliaris, stasis bilier, diet rendah protein dan lemak, malnutrisi dan infeksi
parasit. Penyebab dari stasis bilier yang memicu berkembangnya batu ini adalah
striktur bilier, stenosis papil, tumor, dan batu sekunder.
ETIOLOGI
Masing masing jenis batu memiliki faktor resiko dan patogenesis yang berbeda-beda.
Cholesterol gallstones
Batu kolesterol berhubungan dengan jenis kelamin perempuan, bertambahnya usia dan
genetik. Faktor resiko lainnya yaitu: obesitas, kehamilan, stasis aliran empedu, obat.
Kondisi obesitas sentral / truncal obesity akan menimbulkan metabolic syndrome,
resistensi insulin, DM tipe II, hipertensi, dan hiperlipidemia berhubungan dengan
meningkatnya sekresi kolesterol oleh hepar, merupakan faktor resiko mayor untuk
terbentuknya batu kolesterol. Pada saat kehamilan, tubuh akan memproduksi lebih banyak
hormone progesterone. Hormon ini akan menyebabkan menurunnya kontraktilitas kandung
empedu sehinggga memicu retensi dan pengendapan empedu. Faktor lain yang menyebabkan
stasis aliran empedu adalah cedera medulla spinalis, pemberian TPN (Total Parenteral
Nutrition) jangka lama dan penurunan berat badan yang cepat yang berhubungan dengan
pengurangan asupan karbohidrat dan lemak seperti pada kasus pasca operasi bypass gaster.
Terapi esterogen seperti untuk kontrasepsi atau terapi kanker prostat meningkatkan resiko
terjadinya batu kolesterol melalu peningkatan sekresi kolesterol dari hepar. Clofibrat dan obat
golongan fibrate hypolipidemic lainnya meningkatkan eliminasi kolesterol hepar dengan
meningkatkan sekresi kolesterol melalui empedu, sedangkan golongan somatostatin menjadi
predisposisi batu empedu dengan menurunkan kecepatan pemgosongan lambung. Sekitar
25% pembentukan batu empedu juga berhubungan dengan genetik.
Batu pigmen hitam / black pigment gallstones berhubungan dengan ganguan
hematologi seperti sickle cell anemia, hereditary spherocytosis, dan beta-thalassemia.
Pada kondisi ini terjadi hemolisis sehingga banyak tebentuk bilirubin yang tak terkonjugasi.
Pada sirosis akan terjadi hipertensi portal yang menyebabkan terjadinya splenomegali yang
akhirnya juga akan menyebabkan terjadinya sequestrasi sel darah merah.
Batu pigmen cokelat / brown pigment gallstones berhubungan dengan adanya statis
aliran empedu dan adanya infeksi kronis pada saluran empedu. Di Amerika serikat banyak
berhubungan dengan stricture post operasi dan kista duktus choledochus. Di negara asia
terutama asia tenggara batu ini banyak ditemukan dan berhubungan dengan infeksi parasit.
Faktor resiko lain dari batu empedu adalah Crohn disease, post reseksi ileum, atau
penyakit lain pada sistem gastrointestinal yang menyebabkan terjadinya penurunan reabsorpsi
garam empedu.
PATOFISIOLOGI
Pembentukan batu vesika felea
Batu vesika velea adalah hasil dari pengendapan zat-zat yang terlarut dalam cairan
empedu. Larutan orgnik terbanyak pada cairan empedu adalah bilirubin, garam empedu,
phosfolipid, dan kolesterol. Berdasarkan kandungan kolesterolnya, batu empedu dibagi
menjadi batu kolesterol dan batu pigmen. Batu pigmen diklasifikasikan lagi menjadi batu
pigmen hitam dan cokelat. Pada negara-negara maju (negara barat) 80% nya adalah batu
kolesterol dan antara 15-20% adalah batu pigmen hitam.
Batu kolesterol
Batu kolesterol murni jarang ditemukan, kurang dari 10% dari semua batu. Batu
kolesterol murni biasanya tunggal, besar, permukaannya rata. Kebanyakan batu kolesterol
adalah campuran antara kolesterol (selalu > 70%), pigmen empedu, dan kalsium. Batu ini
biasanya multiple, ukurannya bervariasi, permukaannya ireguler, bisa keras atau lunak.
Warnanya bervariasi dari putih kehijauan sampai hijau kehitaman. Kebanyakan batu
kolesterol bersifat radiolusen dan hanya <10% yang radioopak.
Batu kolesterol baik yang murni ataupun yang campuran, awalnya terjadi karena
adanya supersaturasi kolesterol pada cairan empedu. Kolesterol sebenarnya tidak larut dalam
air ataupun cairan empedu. Kelarutan kolesterol tergantung pada konsentrasi realatif antara
kolesterol, garam empedu dan lesitin (fosfolopid utama pada cairan empedu). Keadaan
supersatuasi hampir semua disebabkan oleh hipersekresi kolesterol daripada berkurangnya
fosfolipid atau garam empedu. Kolesterol disekresi ke dalam empedu dalam bentuk
gelembung kolesterol- phosfolipid (cholesterol-phospholipid vesicles/ unilamellar vesicles) .
Hepar juga mensekresi garam empedu yang sangat bermanfaat untuk proses pencernaan dan
penyerapan lemak. Garam empedu akan memecah unilamellar vesicles untuk membentuk
aggregates yang larut dalam air yang disebut mixed micelles. Adanya vesicles dan micelles
di dalam suatu larutan memungkinkan terjadinya pergerakan lipid di antara keduanya.
Maturasi vesikel terjadi jika lipid vesikel bergabung dengan micelles.Vesikel fosfolipid lebih
mudah bergabung dengan micelles dibandingkan dengan vesikel kolesterol sehingga vesikel
akan lebih banyak mengandung kolesterol. Keadaan ini menjadikannya tidak stabil dan
kemudian membentuk kristal kolesterol. Pada cairan empedu yang jenuh, akan terbentuk
cholesterol-dense zones pada permukaan vesikel kolesterol yang akan berkembang menjadi
kristal kolesterol.
Gambar 9. Tiga komponen utama cairan empedu. Menggambarkan rasio relative dari garam empedu, kolesterol
dan fosfolipid (lesitin). Daerah yang diberi tanda sebagai "micellar liquid" menunjukan disini kolesterol terlarut
sempurna, daerah arsiran menunjukan kondisi metastabil dimana kolesterol sudah mulai jenuh. Sedangkan
daerah diatas arsiran menunjukan kolesterol banyak yang tidak larut sehingga mudah mengendap untuk
membentuk Kristal.
Batu Pigmen
Batu pigmen memiliki kandungan kolesterol < 20 %. Warna hitam pada batu pigmen
hitam terjadi karena adanya kandungan kalsium bilirubinat. Batu ini biasanya kecil, rapuh,
dan kadang bergerigi. Sama seperti batu kolesterol, batu ini kebanyakan tebentuk didalam
kandung empedu. Terbentuknya batu ini terjadi karena adanya supersaturasi dari kalsium
bilirubinat, karbonat, dan phosfat. Meningkatnya kalsium bilirubinat banyak terjadi pada
kasus gangguan hemolisis seperti pada kasus spherocytosis herediter dan penyakit sickle cell,
dan pada kasus sirosis, dimana kondisi-kondisi tersebut menyebabkan meningkatnya kadar
bilirubin yang belum terkonjugasi / unconjugated bilirubin yang kurang larut dalam cairan
empedu. Banyaknya unconjugated bilirubin yang tidak terlarut akan berikatan dengan
kalsium dan mengendap.
Batu pigmen cokelat biasanya <1 cm, berwarna cokelat kekuningan, halus dan sering
lembek. Batu ini bisa terbentuk didalam kandung empedu atau pada duktus biliaris da terjadi
sebagai akibat adanya infeksi karena adanya stasis dari aliran bilier. Pada infeksi Escherichia
coli, bakteri ini akan menghasilkan enzim glucuronidase yang secara enzimatis akan
memecah bilirubin glukuronid untuk membentuk unconjugated bilirubin yang tidak larut.
Unconjugated bilirubin yang tidak larut ini akan mengendap bersama kalsium dan bersama
sel-sel bakteri yang mati akan membentuk batu disepnjang saluran bilier. Stasis aliran bilier
yang terjadi sering disebabkan adanya stricture atau adanya batu sekunder yang menyumbat
duktus bilier sehingga memicu timbulnya infeksi. Pada orang asia, batu ini sering ditemukan
sebagai akibat adanya infeksi parasit
PENEGAKAN DIAGNOSIS
Gejala klinis
Kebanyakan batu saluran empedu / tidak menimbulkan gejala, ditemukan secara tidak
sengaja pada saat pemeriksaan pasien dengan suspek batu vesika felea. Pada penelitian ,
dikatakan bahwa 5% kasus batu CBD ditemukan secara tidak terduga saat operasi. Walaupun
demikian, koledokolitiasis bisa juga muncul dalam kondisi pasien yang parah seperti pada
sudden toxic cholangitis, yang berlanjut ke kematian. Keparahan gejala yang muncul
sebanding dengan derajat obstruksi, lamanya obstruksi, dan luasnya infeksi bakteri
(kolangitis) yang terjadi.
Gejala yang sering muncul adalah kolik bilier, mual, muntah, nyeri perut kanan atas /
epigastrium. Jika sudah terjadi obstruksi pada duktus biliaris maka akan muncul ikterik,
pruritus, BAB dempul, dan BAK seperti teh. Jika sudah terjadi komplikasi seperti
pankreatitis akut, cholangitis, atau abses hepar, maka dapat timbul demam, nyeri pinggang,
hipotensi, dan penurunan kesadaran.
Kolik bilier karena obstruksi CBD tidak dapat dibedakan dengan kolik yang
disebabkan adanya batu pada kandung empedu. Nyeri dirasakan pada regio subkosta kanan,
epigastrium, atau sampai substernal. Pruritus biasanya muncul setelah obstruksi lama, lebih
terasa saat cuaca panas/pasien berkeringat dan terutama pada ekstremitas, lebih sering terjadi
pada obstruksi akibat keganasan.
Klinis bisa tampak normal atau kuning / ikterik, ikterik sclera, dan nyeri tekan perut
kanan atas tanpa tanda rangsang peritoneal. Awalnya mungkin menyerupai kolesistitis.
Adanya nyeri tekan yang berat, mungkin merupakan tanda adanya acute gallstone
pancreatitis, sementara jika ada gejala demam, hipotensi dan ganguan kesadaran, mungkin
mengarah kepada suatu kolangitis.
Jarang sekali pada kasus choledocholitiasis ditemukan pembesaran dari vesika felea,
hal ini terjadi karena biasanya obstruksi yang terjadi bersifat transien dan parsial dan adanya
scar dari vesila felea menyebabkannya tidak elastik dan tidak bisa mengembang. Nyeri tekan
mungkin bisa muncul pada perut kanan atas tetapi tanda ini juga bisa muncul karena adanya
kolesistitis, perforasi ulkus peptic, atau pancreatitis akut. Juga bisa didapatkan pembesaran
dan nyeri tekan hepar.
Diagnosis choledocholitiasis menjadi sangat mungkin jika muncul gejala menggigil
yang hilang timbul, demam atau ikterus yang disertai adanya kolik bilier. Beberapa pasien
ditemukan adanya urin yang kehitaman selama serangan kolik walaupun tidak terdapat
adanya ikterus.
Pemeriksaan penunjang
Seringkali sulit untuk membedakan gejala dari koledokolitiasis dengan
cholesistolitiasis. Dengan meningkatnya umur, adanya riwayat demam, kolangitis dan
pancreatitis adalah faktor resiko choledocholitiasis, sementara meningkatnya bilirubin serum,
aspartat transaminase atau alkalifosfatase adalah faktor prediksi yang lain independent
positive predictors.
Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium akan terjadi peningkatan kadar bilirubin, alkali
fosfatase, transaminase, dan gamma-glutamyl transpeptidase (gamma GT). Sedikit
peningkatan dari aspartate aminotransferase dan alanine aminotransferase bisa terjadi
khususnya jika disertai dengan adanya kolangitis. Meskipun kadar bilirubin dan
aminotransferase meningkat pada 70-90% pasien pada saat onset gejala, hampir semua pasien
akan mengalami peningkatan alkaline phosphatase dan gamma-glutamyl transpeptidase.
Meningkatnya kadar amylase dan lipase mungkin mengarah kepada pancreatitis. Adanya
leukositosis mungkin terjadi jika disertai kolangitis, pancreatitis, atau bersaman dengan
kolesistitis. Jika pada pemeriksaan labratorium tidak didapatkan adanya kelainan, tidak
berarti diagnosis choledocolitiasis bisa disingkirkan sehingga menghalangi untuk dilakukan
pemeriksaan penunjang lainnya.
Peningkatan kadar bilirubin terjadi pada 24 jam pasca onset gejala. Kadar bilirubin
bisa mencapai 10 mg/dl, tetapi nilai rata-rata antara 2-4 mg/dl. Bilirubin terkonjugasi / direct
akan meningkat melebihi indirect, tetapi kemudian bilirubin indirect akan meningkat. Kadar
bilirubin tidak akan meningkat sampai tinggi seperti yang terjadi pada kasus keganasan, hal
ini terjadi karena obstruksi yang disebebkan koledokolitiasis biasanya parsial atau transien
(hilang timbul). Salah satu tanda ikterik yang disebabkan oleh koledokolitiasis adalah kadar
bilirubin yang berfluktuasi. Jika obstruksi sudah teratasi, kadar alkali fosfatase dan bilirubin
akan kembali normal dalam waktu 1-2 minggu.
Pemeriksaan imaging
USG adalah pemeriksaan penunjang yang sering digunakan untuk mendiagnosa batu
vesika felea > 2mm, mengidentifikasi acute calculous cholecystitis dan menetukan ukuran
CBD. Sensitifitas dan spesifitasnya dilaporkan 48 – 100% dan 64 – 100%, tetapi
kemampuannya untuk mendiagnosa koledokolitiasis hanya 50% bervariasi antara 30 – 90%.
Dalam mendiagnosa choledocholitiasis, USG dilakukan untuk mencari adanya pelebaran
CBD > 8 mm. Dengan menggunakan USG sangat sulit untuk melihat adanya batu pada
duktus biliaris karena batu duktus bilaris cenderung untuk bergerak turun dan adanya udara di
dalam usus dapat menggangu. Adanya pelebaran CBD > 8 mm disertai dengan adanya batu
pada vesika felea, ikterik, dan kolik bilier memberikan kemungkinan yang sangat besar untuk
diagnosis choledocholitiasis.
Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP) bisa memberikan
gambaran anatomi yang detail, dapat mendeteksi choledocholitiasis > 5 mm dengan
sensitivitas dan spesifitas 95 dan 89%. Endoscopic cholangiography adalah gold standard
untuk mendiagnosa choledocholitiasis. Alat ini juga bisa digunakan sebagai terapeutik
sekaligus saat melakukan diagnosis. Endoscopic ultrasonografi bisa digunakan sebagai alat
diagnostik dengan akurasi yang sama dengan ERCP tetapi tidak bisa digunakan sebagai alat
terapeutik (sensitivitas 91% dan spesifisitas 100%). Pemeriksaan ini lebih baik diikuti dengan
ERCP,sebagai prosedur preterapetik. EUS bisa mendeteksi batu kecil dibanding MRCP. Batu
yang radioopak mungkin bisa terlihat pada periksaan foto polos abdomen atau CT- scan.
ERCP memiliki sensitivitas dan spesifitas 90% dan 98% dengan akurasi 96%. Pada
saat batu sudah teridentifikasi, dengan menggunakan ERCP dapat sekaligus berfungsi
terapetik dengan dilakukan endoscopic sphincterotomy dan pengambilan batu. Jika batu
tidak ditemukan, alat ini bisa digunakan untuk mengambil cairan empedu untuk dilakukan
pemeriksaan mikrolitiasis. Angka keberhasilan ekstraksi batu mengggunakan ERCP dengan
teknik sphincterotomy dan balon kateter atau Dormia basket mencapai 80 - 90%. Dengan
tambahan alat seperti electrohydraulic, laser, atau extracorporeal shockwave lithotripsy pada
kasus batu yang besar, angka keberhasilannya meningkat melebihi 95%.
B. CHOLANGITIS
Kolangitis merupakan komplikasi fatal yang cepat dari batu empedu, terjadi sebagai
akibat infeksi bakteri pada saluran empedu pada keadaan obstruksi billiar. Kematian
mendekati 100 % pada pasien yang gagal menjalani terapi konservatif.
PATOFISIOLOGI
Meskipun empedu normalnya steril, dapat dimasuki bakteri ketika percabangan biliar
terganggu seperti adanya batu, striktur atau endoprotesis. Bersamaan dengan sphincter oddi
dan properti bakteriostatik empedu, aliran empedu merupakan komponen penting untuk
mempertahankan sterilitas. Obstruksi duktus billiaris berakibat penurunan pertahanan
antibakterial, membiarkan bakteri memperoleh akses menuju cabang empedu. Jalur infeksi
belum begitu jelas, diduga berjalan ke atas dari duodenum atau penyebaran hematogen
melalui jalur vena porta. Seiring tekanan empedu meningkat oleh obstruksi, bakteri dan
produknya seperti endotoksin bocor menuju sirkulasi sistemik dan menyebabkan septikemia.
Pasien dengan obstruksi parsial memiliki kemungkinan yang tinggi berkembang
menjadi kolangitis dibandingkan obstruksi total, batu saluran empedu seringkali berkaitan
dengan kolangitis dibandingkan dengan neoplasma yang menyebabkan obstruksi. Di US,
koledokolitiasis sekunder merupakan penyebab tersering kolangitis. Di Hong Kong dan Asia
Tenggara, batu saluran empedu primer seringkali terdapat pada daerah endemik
kolangiohepatitis oriental. Penyebab lainnya termasuk tumor periampullar yang menyumbat,
tumor metastatik terhadap porta hepatik atau kelenjar getah bening peripankreatik, striktur
jinak, kolangitis sklerosing primer. Intervensi pada saluran empedu dapat menyebabkan
kolangitis setelah prosedur, kasus kolangitis yang jarang adalah hemobilia, parasit dan
abnormalitas kongenital dari pohon empedu.
E. coli, Streptococcus sp, Klebsiella sp, dan Enterobacteriaceae merupakan organisme
yang paling sering didapatkan pada kultur kolangitis. Pseudomonas sp, flora kulit dan mulut
berkaitan dengan intervensi saluran empedu. Anaerob paling sering didapatkan pada usia tua
setelah pembedahan empedu.
KLINIS DAN DIAGNOSIS
Trias charcot yaitu demam, nyeri kuadran kanan atas, dan jaundice tampak pada 50 –
70% pasien dengan kolangitis. Demam, nyeri perut, dan jaundice terjadi pada 90 %, 70 %
dan 60 % pasien. Hipotensi (20 %) dan perubahan status mental (30 %) tampak pada pasien
sepsis dan dikenal sebagai penta Reynold ketika ada bersama trias charchot. Meskipun
peritonitis jarang terjadi, 65 % pasien mengalami nyeri pada kuadran kanan atas. Studi
radiologis dan laboratoris penting untuk membedakan kolangitis dari kolesistitis akut, abses
hepar, dan pankreatitis. Peningkatan serum alkali phospatase, gamma-glutamyl
transpeptidase, dan bilirubin merupakan hal yang khas. Dapat terjadi peningkatan ringan
transaminase, di mana hiperamilasemia ditemukan lebih dari 30 % pasien. Diskusi pada
pencitraan untuk mengevaluasi choledocolithiasis telah ditunjukkan pada potongan di batu
duktus billiaris komunis. Pada pasien dengan tanda kolangitis, modalitas yang paling banyak
digunakan adalah ultrasonografi dan CTscan. Ultrasound memiliki akurasi yang tinggi dalam
mendiagnosis kolesistitis akut dan mengidentifikasi batu empedu. Bagaimanapun juga,
kemampuannya untuk mendiagnosis choledocolithiasis hanya 50 %, bervariasi dari 30 –
90%. Meskipun adanya batu saluran empedu dapat berkaitan dengan dilatasi saluran empedu,
ultrasonografi normal tanpa dilatasi saluran belum menyingkirkan choledocolithiasis atau
cholangitis. CT scan lebih unggul dalam menentukan level obstruksi saluran empedu dengan
akurasi 94 % dalam mendiagnosis choledocolithiasis. MRCP memiliki sensitivitas dan
spesifitas mendekati ERCP dalam mendiagnosis batu saluran empedu dan berguna untuk
melihat anatomi empedu. Namun penggunaannya pada keadaan kolangitis akut masih
terbatas. ERCP memiliki akurasi tinggi dalam mengetahui penyebab obstruksi empedu dan
sekaligus melakukan intervensi terapetik. ERCP sebaiknya tidak digunakan sebagai alat
diagnostik pada kolangitis akut.
C. KISTA CHOLEDOCHUSKondisi duktus bilier ekstrahepatik dapat bervariasi dari dilatasi fokal atau difus (kista
choledocus) untuk striktur obstruktif dari duktus bilier. Kista choledocus sering terjadi di
masa kanak-kanak dan semakin tampak saat dewasa. Di US, striktur bilier paling sering
terjadi akibat cedera pasca kolesistektomi, tetapi juga terjadi pada sejumlah kondisi inflamasi
yang mempengaruhi saluran empedu.
Kista choledocus merupakan kelainan bawaan berupa dilatasi fokal atau difus dari
saluran empedu. Insiden kista choledocus di Asia 1 dalam 1000, di negara Barat lebih jarang
terjadi. Rasio perempuan dibanding laki-laki 3-4:1.
KLASIFIKASI
Sistem klasifikasi direvisi oleh Todani dan rekan pada tahun 1977 untuk memasukkan
anomali kista intrahepatik yang dikenal sebagai penyakit Caroli.
Tipe I
Kista klasik ditandai dengan dilatasi kistik dari duktus choledocus komunis; yang tersering terdiri dari 50-85% dari semua kista bilier, dibagi menjadi IA (kistik), IB (fusiform), dan IC (sakular)
Tipe II
Simple divertikel sal.empedu ekstrahepatik, terdiri dari kurang dari 5% dari semua kista; terletak di proksimal duodenum
Tipe III
Dilatasi kistik intraduodenum duktus bilier komunis; juga dikenal sebagai choledochocele (5%)
Tipe IV
Multipel kista intrahepatik dan ekstrahepatik sal.empedu, dibagi menjadi tipe IVA (kista pada intrahepatik dan ekstrahepatik) dan IVB (multipel kista extrahepatik tanpa keterlibatan intrahepatik), tipe IVA jenis yang paling sering kedua pada kista bilier (30-40%)
Tipe V
Penyakit kista bilier intrahepatik dikenal sebagai Caroli’s disease, disertai fibrosis atau sirosis periportal, bisa multilobar atau terbatas pada lobus tunggal
Tabel 3. Klasifikasi Todani
A B
C D
E F
Gambar 10. Ilustrasi Klasifikasi Todani
PATOGENESIS
Penyebab kista choledocus tidak diketahui, mungkin melibatkan beberapa
mekanisme. Tingginya insiden kista bilier di Asia menunjukkan peran faktor genetik atau
lingkungan. Obstruksi saluran empedu atau distensi pada periode prenatal atau neonatal dapat
menyebabkan pembentukan kista bilier. Dalam model hewan, ligasi duktus bilier pada
neonatus menyebabkan pembentukan kista, sebaliknya, ligasi duktus bilier pada hewan
dewasa menyebabkan distensi kantong empedu. Bukti lain ditemukan pada infeksi virus pada
janin dari isolasi RNA Retrovirus dari jaringan bilier pada anak dengan kista choledocus.
Maljunction pancreaticobilier didefinisikan sebagai persimpangan extramural dari
pankreas dan saluran empedu dalam duodenum melampaui fungsi sfingter intramural dan
ditandai oleh saluran umum yang panjang (biasanya lebih dari 2 cm) (Gambar 11).
Maljunction pancreaticobilier dilaporkan terkait dengan kista choledocus. Maljunction
pancreaticobilier dianggap sebagai faktor risiko yang signifikan untuk pembentukan
cholangiocarcinoma dalam kista bilier, serta pembentukan kanker kandung empedu.
Gambar 11. Pancreaticobilier maljunction
Karena saluran yang panjang, pasien dengan maljunction pancreaticobilier mungkin
telah meningkatkan refluks jus pankreas ke dalam sal.empedu, sejak persimpangan duktus di
luar sfingter Oddi. Refluks sekret pankreas dapat menyebabkan peradangan, aktivasi enzim
proteolitik, kerusakan epitel bilier, perubahan komposisi empedu, dan distensi duktus.
Diperkirakan dari faktor-faktor ini memberikan kontribusi terhadap perkembangan
malignansi kista choledocus atau kandung empedu. Peningkatan tekanan sfingter Oddi juga
terdapat pada maljunction pancreaticobilier, sehingga lebih memungkinkan terjadi reflux.
Secara patologi, kista choledochus bervariasi dari mukosa duktus empedu normal ke
karsinoma. Pada anak-anak, gambaran histologis klasik adalah dinding kista tebal dan padat
fibrosis dengan bukti peradangan akut dan kronis. Pada orang dewasa, gambaran umum
adalah peradangan, erosi, kekurangan kelenjar musin, dan metaplasia. Kista tipe III paling
sering dilapisi oleh mukosa duodenum, meskipun kadang oleh epitel saluran empedu.
Keganasan paling sering ditemukan di sepanjang dinding posterior kista.
KLI NIS
Trias klasik untuk kista choledocus adalah nyeri, ikterus, dan massa intraabdominal.
Trias ini ditemukan di sebagian kecil anak-anak. Pada bayi umumnya timbul dengan bilirubin
terkonjugasi tinggi (80%), gagal tumbuh, atau massa intraabdominal (30%). Pada pasien usia
lebih dari 2 tahun, gejala yang paling sering adalah nyeri perut. Jaundice intermiten dan
cholangitis terjadi berulang, seperti pankreatitis, terutama pada pasien dengan kista tipe III
(choledochocele).
Diagnosa
Pasien dengan obstruksi bilier akut maupun kronis memiliki dilatasi bilier yang mirip
kista tipe I. Pada kista tipe I, lesi sering menyebabkan obstruksi dan menyebabkan alkali
fosfatase dan bilirubin tinggi. Pencitraan USG atau CTscan dapat membantu menunjukkan
adanya kista choledochus. USG adalah standar diagnosis antenatal dan pada masa kanak-
kanak, sedangkan CT scan lebih tepat pada pasien dewasa. CT scan digunakan untuk menilai
anatomi hepatobilier dan pankreas, kemungkinan malignansi bilier, penyakit metastasis, dan
vaskularisasi.
A B
Gambar 12
A. CT scan kista Choledochus tipe IA (panah menunjukkan lumpur dalam kista).
B. CT scan melalui penampilan hepar menunjukkan beberapa struktur low-density (panah)
dalam lobus kanan dan kiri sesuai dengan kista Choledochus tipe IVA
Magnetik Resonansi Kolangiopankreatografi (MRCP) juga dapat membantu dalam
diagnosis kista choledochus. CT Scan lebih unggul dalam menentukan maljunction
pancreaticobiliary, MRCP kurang sensitif dibandingkan CT scan untuk memeriksa anatomi
empedu intrahepatik.
Kolangiografi merupakan standar baku emas untuk mendiagnosis kista choledochus.
Percutaneous transhepatik kolangiografi (PTC) atau kolangiografi endoscopic retrograde
(ERC) biasanya dilakukan pada orang dewasa dan anak-anak yang lebih besar, sementara
kolangiografi intraoperatif dapat dilakukan pada bayi dan anak kecil. Kolangiografi dapat
menunjukkan dilatasi kistik, adanya batu, obstruksi total dari saluran empedu, dan
maljunction pancreaticobiliary.
Gambar 13. Percutaneous cholangiogram via the right hepatic duct. A large type I
choledochal cyst is seen. Note the anomalous choledochopancreatic duct junction.
Pada kista tipe I atau tipe IV yang memanjang ke bifurkasi hepatik, penempatan PTC
dengan satu atau dua kateter transhepatik bilier dapat memfasilitasi reseksi komplit dan
rekonstruksi empedu. Untuk mengurangi resiko pankreatitis pada maljunction
pancreaticobiliary dan saluran yang panjang, penting untuk menghindari penempatan stent
melalui ampula saat melakukan PTC.
Gambar 14. Kista choledocus tipe IVA. Kateter drainase bilier perkutan bilateral (panah) ditempatkan pada
pasien ini, yang memiliki dilatasi duktus empedu intrahepatik yang luas (panah) dan kista choledochus
ekstrahepatik (panah melengkung). Kateter empedu keluar dari kista dan masuk ke duodenum (panah terbuka).
D. STRIKTUR BILIER
Pada prinsipnya, evaluasi dan pengobatan semua pasien dengan penyempitan saluran
empedu berusaha untuk meringankan obstruksi saluran empedu. Ada berbagai etiologi
striktur bilier (Tabel 34-2). Sebagian besar striktur terjadi akibat cedera saluran empedu
selama kolesistektomi. Kondisi peradangan seperti pankreatitis, penyakit batu empedu, dan
primary sclerosing cholangitis juga penyebab penting dari penyempitan saluran empedu.
Postoperative Strictures Laparoscopic cholecystectomy Open cholecystectomy Common bile duct exploration Injury at other operative procedures Gastrectomy Hepatic resection Portacaval shunt Biliary-enteric anastomotic stricture Blunt or penetrating traumaStrictures Due to Inflammatory and Other Conditions Primary sclerosing cholangitis Chronic pancreatitis Cholelithiasis and Choledocholithiasis Cholangiohepatitis and other parasitic disease
Sphincter of Oddi stenosis Duodenal ulcer Granulomatous lymphadenitis Secondary sclerosing cholangitis Toxic drugs Infectious cholangiopathy from AIDS Hepatic allograft rejection Graft-versus-host disease in bone marrow transplantation Histiocytosis X Congenital biliary abnormality Mast cell cholangiopathy
Tabel 4. Etiologi Striktur Bilier
Striktur Bilier Pasca Operasi
Penggunaan laparoskopi kolesistektomi pada 1990-an menghasilkan peningkatan
yang signifikan dalam frekuensi trauma bilier dan striktur bilier. Luka pascaoperasi saluran
empedu dapat muncul lebih awal pada periode pasca operasi dengan kebocoran empedu, atau
beberapa bulan atau tahun kemudian dengan ikterus atau kolangitis dari striktur bilier.
KLASIFIKASI
Trauma akibat laparoskopi kolesistektomi sangat kompleks, lokasi dekat bifurkasi
duktus hepatikus, dan termasuk satu atau lebih dari cabang duktus hepatikus. Trauma ringan
pada duktus biliaris meliputi laserasi dari duktus bilier, penempatan klip pada saluran
empedu, trauma elektrokauter, atau avulsi duktus sistikus.
Klasifikasi tradisional striktur bilier dijelaskan oleh Bismuth berdasarkan tingkat
obstruksi dari saluran empedu. Kelemahan dari klasifikasi Bismuth adalah bahwa pasien
dengan striktur yang terbatas seperti striktur duktus hepatikus kanan atau kebocoran duktus
sistikus tidak dapat diklasifikasikan. Klasifikasi Strasberg mampu mengklasifikasikan semua
jenis trauma dan digunakan secara luas dalam menggambarkan trauma duktus bilier akibat
laparoskopi kolesistektomi.
Gambar 15. Klasifikasi Bismuth.
Tabel 5. Klasifikasi Strasberg dari Striktur dan trauma Biliar
Class A Injury to small ducts in continuity with the biliary system, with cystic duct leakClass B Injury to sectoral duct with consequent obstructionClass C Injury to sectoral duct with consequent bile leakClass D Lateral injury to extrahepatic ductsClass E1 Stricture >2 cm distal to bifurcationClass E2 Stricture <2 cm distal to bifurcationClass E3 Stricture at bifurcationClass E4 Stricture involving right and left bile ducts; ducts are not in continuityClass E5 Complete occlusion of all bile ducts
PATOGENESIS
Umumnya trauma dan striktur bilier terjadi pasca pembedahan abdomen di kuadran
kanan atas. Insiden trauma bilier terjadi 1 – 3 per 1.000 kasus dilaporkan selama era open
cholescystectomy. Insiden trauma bilier terkait laparoskopi kolesistektomi lebih besar dari
open cholecystetomy, yaitu 0,4-0,7%.
Cedera laparoskopi klasik terjadi ketika duktus sistikus dan CBD terletak dalam
bidang yang sama. Retraksi infundibulum bilier yang berlebihan dapat menyebabkan
kesalahan identifikasi dan trauma. Arteri hepatika kanan juga bisa terluka, menciptakan
pendarahan yang berlebihan. Trauma klasik ini diperkirakan terjadi lebih dari 75% dari kasus
trauma bilier.
Gambar 16. Classic laparoscopic bile duct injury.
Resiko cedera saluran empedu meningkat pada pasien dengan obesitas, peradangan
kronis, lemak yang berlebihan di daerah pembedahan, paparan memadai, penempatan klip
yang buruk atau berlebihan, penggunaan yang teledor dari elektrokauter, dan perdarahan ke
dalam bidang operasi.
Gambar 17.Cholangiogram intraoperatif diperoleh selama laparoskopi kolesistektomi.
DIAGNOSA
Pasien dengan striktur bilier pasca operasi biasanya menunjukkan profil biokimia
menyerupai kolestasis. Alkaline phosphatase tinggi dan transaminase hepar normal atau
sedikit meningkat (alanin dan aspartat aminotransferases). Serum bilirubin biasanya
meningkat pada kisaran 2-6 mg / dL.
Diagnosis definitif untuk penyempitan saluran empedu dan cedera membutuhkan
pencitraan radiografi. Computed tomography dan USG abdomen keduanya membantu dalam
pasien yang hadir pada awal periode pascaoperasi untuk mendeteksi bilomas dan asites
empedu, serta dilatasi saluran empedu dari obstruksi. Magnetic Resonance
Cholangiopancreatography (MRCP) merupakan metode non-invasif yang efektif untuk
menunjukkan kebocoran empedu atau sumbatan, serta mendefinisikan anatomi bilier dan sifat
cedera (Gambar 19).
Gambar 18. CT scan menunjukkan biloma terkait
dengan kebocoran empedu setelah cedera saluran
empedu.
Gambar 19. Diagnostik MRCP menunjukkan anatomi
bilier terkait dengan kebocoran duktus sistikus setelah
laparoskopi kolesistektomi. Terdapat ekstravasasi
kontras sistem bilier di subhepatik.
Kolangiografi saat ini tetap menjadi gold standar untuk mengevaluasi biliary tree.
Endoscopy Retrograde Cholangiography (ERC) dilakukan melalui pendekatan distal ke
traktus biliaris dan bermanfaat pada cedera parsial ke traktus biliaris ekstrahepatik atau
kebocoran duktus sistikus (Gambar 20). ERC tidak menentukan lokasi kebocoran empedu
maupun anatomi proksimal yang diperlukan untuk rekonstruksi. Dalam kasus tersebut,
perkutan transhepatik kolangiografi (PTC) diperlukan untuk menentukan anatomi bilier
proksimal dan tempat cedera.
A B
Gambar 20 A. Endoscopic retrograde cholangiopancreatogram demonstrating cystic duct leak. B. Endoscopic retrograde cholangiopancreatogram with multiple clips across the common bile duct without visualization of the proximal biliary tree in a patient with total transection of the common bile duct during laparoscopic cholecystectomy.
Gambar 21. Percutaneous transhepatic cholangiogram in a patient with complete transection of the common hepatic bile duct. Note the surgical clips near the cutoff point.
E. KANKER KANDUNG EMPEDU
Insiden meningkat sejalan usia, 2 – 6 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan
pria. Di seluruh dunia, tingkat insiden tertinggi (hingga 7,5 per 100.000 pada pria dan 23 per
100.000 pada wanita) terjadi di populasi bagian barat Amerika Selatan (misalnya, Chili dan
Peru), dan di bagian utara India dan Meksiko Amerika.
Faktor resiko paling nyata untuk kanker kandung empedu adalah adanya batu
empedu. Batu empedu terdapat pada 70-90% kasus kanker kandung empedu. Pola geografis
kejadian kanker kandung empedu berkorelasi dengan cholelithiasis. Namun, hanya 0,5-3%
dari pasien dengan cholelithiasis yang akan berkembang menjadi kanker kandung empedu.
Resiko kanker kandung empedu berkorelasi dengan ukuran batu empedu dan durasi dari
cholelithiasis. Faktor-faktor resiko lain meliputi kandung empedu porselen (kejadian kanker
kandung empedu 12,5-60%), polip adenomatosa dari kantong empedu (kolesterol dan polip
inflamasi dan adenomyomas tidak terbukti menjadi faktor risiko), infeksi kronis Salmonella
typhi, paparan karsinogen (misalnya radon), dan abnormal pancreaticobiliary duct junction.
PATOGENESIS
Iritasi kronis mukosa kandung empedu oleh batu diduga menjadi faktor utama
penyebab transformasi ganas. Perkembangan dari displasia sampai karsinoma in situ (CIS)
dan kemudian menjadi kanker invasif.
Sebanyak 80% kanker kandung empedu primer adalah adenocarcinoma. Jenis
histologis lain: kanker small cell, karsinoma sel skuamosa, limfoma, dan sarcoma. Kanker
kandung empedu juga diklasifikasikan menurut morfologi sebagai infiltratif, nodular, papiler,
atau kombinasi. Kanker papiler cenderung tumbuh dalam lumen kandung empedu dan
cenderung menyerang hepar atau bermetastasis ke kelenjar getah bening, kanker ini memiliki
prognosis paling baik. Kanker infiltratif atau nodular memiliki pola pertumbuhan lebih
menyebar, sulit untuk dikenali pada studi pencitraan. Lesi ini lebih mungkin untuk
menyerang hepar dan telah menyebar ke kelenjar getah bening pada saat diagnosis.
Tabel 6. Staging TNM pada Kanker kandung Empedu
KLINIS DAN DIAGNOSIS
Gejala umumnya baru muncul pada stadium lanjut: nyeri perut, anoreksia, mual, dan
muntah, yang mungkin bisa dibedakan dari cholelithiasis atau kolesistitis. Penyakit stadium
lanjut, terjadi penurunan berat badan, ikterus obstruktif (karena invasi tumor ke dalam traktus
biliaris atau metastasis hepar), obstruksi duodenum, teraba massa abdomen, hepatomegali,
dan ascites.
Uji laboratorium mungkin memberi kesan ikterus obstruktif jika terdapat kondisi ini,
jika tidak, uji ini tidak bermakna dalam diagnosis kanker kandung empedu. Penanda tumor
Carcinoembryonic Antigen (CEA) dan CA 19-9 mungkin meningkat, sensitivitas dan
spesifisitas rendah.
Kebanyakan pasien hadir dengan kondisi batu empedu terkait pemeriksaan
ultrasonografi transabdominal (USG). Temuan sugestif dari kanker kandung empedu di USG
termasuk penebalan mural atau kalsifikasi, massa kandung empedu lebih besar dari 1 cm
diameter, dan hilangnya dinding kandung empedu normal-hepar. Endoskopi ultrasonografi
(EUS) memiliki akurasi yang lebih tinggi dalam menilai kedalaman penetrasi dinding
kandung empedu oleh massa dan pembesaran kelenjar getah bening regional.
Gambar 22. USG kanker kandung empedu. Gambar-gambar menunjukkan penebalan dinding asimetris tubuh
dan leher kandung empedu.
CT scan harus dilakukan pada semua pasien yang diduga menderita kanker kandung
empedu. Temuan kanker kandung empedu termasuk massa menonjol ke dalam lumen
kandung empedu. CT scan juga memberikan informasi tentang metastasis jauh, keterlibatan
kelenjar getah bening regional, dan invasi lokal ke dalam hepar dan porta hepatis.
Gambar 23. CT scan kanker kandung empedu. Gambar menunjukkan 3,5 x 4 cm lesi yang timbul dari kantong
empedu fundus dan memperluas ke segmen 5 dari hepar.
Magnetic resonance imaging (MRI) dan magnetic resonance
cholangiopancreatography (MRCP) dapat memberi informasi tentang invasi lokal, khususnya
ke porta hepatis. Tes ini digunakan jika CT tidak jelas. Kolangiografi endoskopik perkutan
tidak dilakukan secara rutin, digunakan terutama untuk paliatif atau manajemen preoperatif
ikterus obstruktif.
F. KANKER DUKTUS BILIARIS
Cholangiocarcinoma (kanker saluran empedu) merupakan kanker di intrahepatik atau
extrahepatic biliar tree, ataupun ampula Vater dan kantong empedu. Umumnya didiagnosis
pada dekade ke-5 – 7. Kejadian kanker saluran empedu sedikit lebih besar pada laki-laki
daripada perempuan.
Di negara Barat, primary sclerosing cholangitis (PSC) merupakan faktor risiko yang
paling penting. Sekitar 30% kasus cholangiocarcinoma di Barat didiagnosis pada pasien
dengan PSC.
Di Asia, cacing hepar Opisthorchis viverrini atau Clonorchis sinensis dan
hepatolithiasis merupakan faktor penting untuk cholangiocarcinoma. Faktor risiko lain
meliputi: kista choledochal, penyakit Caroli, paparan Thorotrast (agen kontras radiologis),
pekerja otomotif, karet, kimia, dan industri kayu, infeksi virus hepatitis C, genetik (Lynch
sydrome II dan multiple papillomatosis bilier).
PATOGENESIS
Transformasi ganas di epitel saluran empedu diduga berhubungan dengan akumulasi
bertahap dari kelainan genetik. Berbagai mutasi dan kelainan lain yang melibatkan onkogen
(misalnya, K-ras, c-myc, c-neu, c-erbB-2, dan c-bertemu) dan gen supresor tumor (misalnya,
p53) telah dilaporkan sering pada kanker saluran empedu.
Lebih dari 90% kanker saluran empedu adalah adenocarcinoma. Jenis lainnya yaitu
karsinoma sel skuamosa, karsinoma small cell, dan sarkoma. Adenocarcinoma dari saluran
empedu diklasifikasikan sebagai sclerosing, nodular, atau papiler (analog dengan skema
klasifikasi untuk adenokarsinoma kandung empedu). Sclerosing (scirrous) tumor, yang terdiri
lebih dari 80% dari cholangiocarcinomas, berhubungan dengan reaksi desmoplastic intens,
cenderung sangat invasif, dan dikaitkan dengan tingkat resektabilitas rendah. Tumor nodular
memiliki penampilan konstriksi lesi annular dan juga dikaitkan dengan tingkat resektabilitas
rendah. Tumor papiler relatif langka dan muncul sebagai massa besar tumbuh ke dalam
lumen saluran empedu. Karena lesi cenderung menyebabkan ikterus obstruktif maka gejala
diketahui relatif awal, sehingga lebih resectable dibanding sclerosing atau tumor nodular.
Cholangiocarcinoma juga diklasifikasikan berdasar lokasi anatomi: (1) intrahepatik atau
perifer (10%), (2) perihilar (65%), dan (3) distal (25%). Transisi antara lokasi perihilar dan
distal terjadi di mana CBD menjadi retroduodenal. Tumor saluran empedu yang melibatkan
bifurkasi ductus hepaticus dikenal sebagai tumor Klatskin. Sebuah sistem klasifikasi untuk
cholangiocarcinomas perihilar diusulkan oleh Bismuth.
Tabel 7. Klasifikasi Kanker Duktus Bilier dan Perihiler
Cholangiocarcinoma intrahepatik digolongkan dengan cara yang sama dengan
hepatoselular carcinoma.
Tabel 8. Staging TNM Pada Kanker Duktus Biliaris
Tabel 9. Staging TNM pada Kanker Duktus Biliaris Ekstrahepatik
KLINIS
Cholangiocarcinoma intrahepatik biasanya hadir dengan gejala spesifik: nyeri perut,
anoreksia, penurunan berat badan, dan malaise. Seringkali terdeteksi insidental massa
intrahepatik pada pemeriksaan fisik atau pada studi pencitraan. Gambaran klinis paling umum
cholangiocarcinomas extrahepatic adalah ikterik. Manifestasi lain dari obstruksi bilier: feses
acholic, urin gelap, pruritus, nyeri perut, kelelahan, malaise, dan penurunan berat badan.
Tanda-tanda kanker saluran empedu lanjut meliputi nyeri perut kuadran kanan atas,
hepatomegali, dan kandung empedu teraba. Biasanya tidak terjadi cholangitis jika tidak
dilakukan instrumentasi saluran empedu.
Diagnosis banding: neoplasma hepatobilier dan pankreas primer dan metastasis dan
striktur bilier jinak karena kondisi seperti PSC, choledocholithiasis, sindrom Mirizzi, dan
striktur pasca operasi.
Cholangiocarcinoma intrahepatik, biasanya menunjukkan peningkatan alkali fosfatase
meski bilirubin normal. Cholangiocarcinoma extrahepatic, tes laboratorium sesuai dengan
ikterus obstruktif. Penanda tumor (misalnya, CEA, CA 19-9, CEA dan dalam kombinasi
dengan CA 19-9) mungkin memiliki utilitas dalam pengawasan pasien dengan PSC, namun
memiliki sensitivitas dan spesifitas yang terlalu rendah untuk skrining atau diagnosis.
Transabdominal ultrasonography adalah tes awal yang berguna untuk pasien dengan
ikterus obstruktif. Dilatasi traktus biliaris tanpa choledocholithiasis menunjukkan
kemungkinan keganasan empedu atau pankreas dan harus dilakukan contrast enhancement
spiral CT scan. CT scan pada cholangiocarcinomas intrahepatik: massa hepar dengan atau
tanpa dilatasi saluran perifer. Pada cholangiocarcinomas perihilar, tumor primer mungkin
tidak divisualisasikan, dicurigai jika saluran empedu intrahepatik membesar (sering
bilateral), kandung empedu normal atau kolaps (jika letak obstruksi bilier adalah proksimal
ke saluran saluran empedu-cystic pertemuan), kaliber CBD distal normal, dan pankreas
normal. Temuan cholangiocarcionoma distal meliputi pelebaran saluran empedu intra-dan
extrahepatic dan kantong empedu, dengan atau tanpa massa di kepala pankreas. CT scan juga
memberikan informasi tentang invasi vaskular lokal, limfadenopati regional, metastasis jauh,
dan atrofi hepar. Obstruksi saluran empedu unilobar biasanya menghasilkan atrofi lobus
hepar yang terkena bersamaan dengan hipertrofi (atrofi-hipertrofi kompleks).
Gambar 24. CT scan cholangiocarcinoma intrahepatik. Gambar menunjukkan sebuah cholangiocarcinoma
intrahepatik terutama melibatkan lobus kiri hepar
Bagi pasien yang akan dilakukan pembedahan, tujuan evaluasi pra operasi adalah
menentukan perluasan tumor ke proksimal dan distal. Jika CT scan gagal untuk menunjukkan
tumor (cholangiocarcinomas perihilar yang dapat di operasi), pencitraan tambahan membantu
dalam perencanaan operasi. Di sebagian besar pusat, tumor distal yang dinilai oleh
endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP), sedangkan tumor intrahepatik dan
perihilar yang terbaik dinilai oleh percutaneous transhepatic cholangiography (PTC). Pada saat
ini, telah terjadi peningkatan penggunaan MRCP. Berbeda dengan kolangiografi
konvensional, MRCP adalah pemeriksaan noninvasif dan tidak memerlukan bahan kontras
harus disuntikkan dalam sistem duktus biliaris. Hal ini juga memungkinkan untuk visualisasi
dari sistem biliaris baik proksimal dan distal striktur. Beberapa laporan terbaru menunjukkan
bahwa MRCP, bila diterapkan pada pasien dengan cholangiocarcinoma, menghasilkan
informasi setara dengan CT scan dan kombinasi kolangiografi konvensional. Untuk alasan
ini, MRCP telah menggantikan kolangiografi konvensional dalam evaluasi pasien diduga
dengan cholangiocarcinoma .
ERCP cholangiocarcinoma hilus. menggambarkan striktur pada pertemuan saluran hepatikus pada pasien
dengan tumor Klatskin.
pemeriksaan tambahan yang tidak diindikasikan secara rutin. Ultrasonografi
endoskopik (EUS) memberikan sensitivitas lebih besar dari CT scan dalam mendeteksi tumor
periampula dengan ukuran kecil. Peran positron-emission tomographic (PET) scanning dalam
evaluasi pasien dengan cholangiocarcinoma terus di teliti. Jika tidak direncanakan operasi,
diagnosis jaringan dapat diperoleh melalui endoskopi perkutan atau biopsi. Jika direncanakan
operasi eksplorasi, biopsi preoperative tidak diindikasikan
G. TUMOR PANKREAS
NEOPLASMA KISTIK PANKREAS
Lesi kistik pada pankreas telah lama menimbulkan dilema diagnostik dan pengobatan
untuk ahli bedah dan pasien. Sementara banyak lesi diidentifikasi sebagai inflamasi
pseudocysts atau kondisi jinak lainnya, kemungkinan keganasan dalam lesi kistik
membutuhkan diagnostik secara menyeluruh. Kemajuan dalam disiplin medis radiologi,
patologi, gastroenterologi, dan operasi telah menyebabkan peninjauan kembali baru-baru ini
klasifikasi neoplasma kistik pada pankreas, yang mencerminkan peningkatan pemahaman
diagnosis, prognosis, dan pengobatan lesi.
Sejumlah besar neoplasma kistik pankreas mungkin sebelumnya tak terdeteksi,
peningkatan penggunaan pencitraan cross-sectional resolusi tinggi, khususnya computed
tomography (CT) dan kualitas pencitraan magnetik resonansi tinggi (MRI), telah
menyebabkan peningkatan penemuan lesi kistik dari pankreas. Banyak dari lesi tetap
asimtomatik, dan dengan demikian terdeteksi.
Reseksi bedah tetap satu-satunya therapi definitif untuk neoplasma pankreas kistik.
Tidak seperti adenokarsinoma duktal invasif pankreas, banyak neoplasma kistik pada
pankreas memiliki prognosis yang cukup menguntungkan setelah dilakukan reseksi.
KLINIS
Manifestasi klinis pada neoplasma pankreas kistik bervariasi. Sejumlah besar pasien
mungkin tidak memiliki gejala, dengan lesi yang terdeteksi pada studi pencitraan yang
dilakukan untuk indikasi lain. Apabila memberikan gejala, lokasi lesi pada caput, korpus,
atau cauda pankreas sering menentukan tanda-tanda dan gejala. Pada penelitian terbaru
pasien dengan neoplasma kistik pankreas diungkapkan bahwa nyeri perut sebagai gejala yang
paling umum, terjadi pada 60-70% dari gejala pasien., teraba sebuah massa abdomen dan
pengembangan pankreatitis akut adalah presentasi lain yang mungkin. Sebagai neoplasma
kistik pada pankreas dapat menghasilkan pankreatitis.
ikterus dan penurunan berat badan juga mungkin terjadi, meskipun pada frekuensi
yang jauh lebih rendah daripada yang sering terlihat pada pasien dengan adenokarsinoma
duktal.
DIAGNOSIS
Evaluasi komprehensif lesi kistik pada pankreas membutuhkan pemahaman tentang
peran yang cocok teknik pencitraan individu, interpretasi yang tepat terukur penanda serum
biokimia, dan penggunaan ultrasonografi endoskopik dengan aspirasi atau biopsi pada pasien
yang tepat. Masing-masing memiliki kelebihan modalitas dan keterbatasan, dan penerapan
salah satu modalitas dalam diagnostik dari lesi harus selektif.
Di antara teknik-teknik pencitraan, CT scan telah menjadi modalitas yang paling
sering digunakan. scanner tiga-dimensi resolusi tinggi multidetektor meningkatkan
sensitivitas diagnostik dan spesifisitas CT dalam mendeteksi lesi pankreas. karakteristik CT
lesi kistik yang mungkin memberikan petunjuk untuk diagnosis histopatologi termasuk
kehadiran septatisasi, penampilan macrocystic atau microcystic, kalsifikasi, ukuran, atau
adanya scar.
CT menggambarkan neoplasma kistik di kepala dan leher pankreas (panah kecil) terdeteksi kebetulan dalam
evaluasi laki-laki 75 tahun. Pasien menjalani operasi preservasi pancreaticoduodenectomy pilorus tanpa
komplikasi. Pemeriksaan patologi mengungkapkan neoplasma 6-cm kistik serous tanpa ada keganasan.
CT Abdomen dari seorang perempuan 80 tahun dengan nyeri perut. Pasien menjalani preservasi
pancreaticoduodenectomy pilorus, akhir pemeriksaan patologi mengungkapkan IPMN 3,5 cm dengan fokus
kecil karsinoma-situ di-terletak di caput pankreas.
KANKER PANKREAS DAN KANKER PERIAMPULLA
Kanker periampular termasuk kelompok neoplasma ganas yang timbul di pankreas
atau di atau dekat ampula Vater. Biasanya ditemukan karena ikterus obstruktif atau nyeri.
Reseksi yang berhasil pertama pada tumor periampula dilakukan oleh Halsted pada tahun
1898. Dia menggambarkan reseksi ampullary lokal dengan reanastomosis dari saluran-
saluran pankreas dan bilier ke dalam duodenum seorang wanita dengan obstruktif jaundice.
keberhasilan pasca operasi pertama dua tahap pancreaticoduodenectomy dilakukan oleh
Kausch pada 1.909 pada tahun 1914, Hirschel melaporkan sukses pertama satu tahap
pancreaticoduodenectomy. sebagian besar periampula kanker dikelola oleh pendekatan
transduodenal mirip dengan yang pertama kali dilaporkan oleh Halsted.
Pancreaticoduodenectomy tidak dilakukan sampai 1935 dengan laporan Whipple pada
dekade berikutnya, sejumlah modifikasi dan penyempurnaan teknis dibuat dalam prosedur,
termasuk pancreaticoduodenectomy satu-tahap pertama, dilaporkan di Amerika Serikat oleh
Trimble pada tahun 1941. Prosedur ini jarang dilakukan meskipun dengan adanya kemajuan
teknis, sampai tahun 1980-an karena morbiditas, mortalitas, dan prognosis buruk terkait
dengan kanker periampula. Selama dua dekade terakhir, kemajuan signifikan telah dibuat
dalam pemahaman patogenesis karsinoma periampula. Telah ada perbaikan dalam
kemampuan untuk mendiagnosa dan tahap penyakit, dan pendekatan bedah dan nonsurgical
untuk mengobati pasien telah berkembang.
INSIDENSI
Karsinoma periampular adalah masalah kesehatan masyarakat yang utama di seluruh
dunia. Kanker pankreas adalah penyebab utama keempat kematian kanker di Amerika
Serikat. Pada tahun 2005, ada sebuah diperkirakan 31.800 kematian di Amerika Serikat.
Insiden karsinoma periampula meningkat dengan usia, dan sebagian besar pasien pada
dekade keenam mereka hidup, sedikit yang dominan laki-laki
PATOLOGI
Mengingat dekat kaput pankreas, duktus biliaris distal, ampula Vater, dan duodenum
periampula, tempat asal dari keganasan periampula bisa sulit untuk ditentukan. Sebagian
besar pusat yang melakukan pancreaticoduodenectomi, sekitar 10-20% dari spesimen adalah
jinak, sehingga sebagian besar klinis tumor periampula signifikan biasanya ganas.
Pemeriksaan patologis dari spesimen pancreaticoduodenectomy yang dilakukan reseksi
mengungkapkan bahwa 40-60% adalah adenocarcinoma dari kaput pankreas, 10-20% adalah
adenocarcinoma dari ampula Vater, 10% adalah adenocarcinoma duktus biliaris distal, dan 5-
10% adalah adenocarcinoma duodenum.
Adenokarsinoma duktus pankreas adalah sejauh ini merupakan jenis histologi yang
paling umumpada keganasan pankreas dengan lebih dari dua pertiga dari tumor yang timbul
di kaput pankreas, leher, atau prosesus uncinatus. Histologis yang jarang lainnya adalah
asinar, skuamosa, tumor sel islet, atau tumor nonepithelial. Tumor sel islet, atau tumor
neuroendokrin, mungkin baik jinak atau ganas dan mungkin fungsional dengan produksi
hormon yang mengakibatkan manifestasi klinis. Tumor islet nonfunctional sel baik tidak
menghasilkan hormon apapun, atau melakukannya pada tingkat subklinis dan biasanya
terdeteksi, tetapi dapat terjadi dengan lesi ganas. Neoplasma kistik pada pankreas juga dapat
timbul dari pankreas eksokrin dan diklasifikasikan sebagai cystadenomas serosa jinak,
cystadenomas mucinous berpotensi ganas, dan entitas semakin lebih umum dikenal,
intraductal neoplasma mucinous papiler (IPMNs). Sarkoma Berbagai termasuk
gastrointestinal (GI) tumor stroma, fibrosarcomas, leiomyosarcomas, hemangiopericytomas,
dan histiocytomas juga mungkin timbul di wilayah periampula. Demikian pula, limfoma
dapat terjadi di daerah ini. Akhirnya, daerah periampula dapat menjadi tempat metastasis dari
primer lainnya, termasuk ginjal, payudara, paru-paru, melanoma, lambung, usus.
ETIOLOGI
Ada beberapa faktor risiko untuk kanker pankreas. Mereka termasuk merokok dan
keturunan ( 5-10% ). Pankreatitis kronis, diabetes mellitus tipe II, dan obesitas telah secara
konsisten dikaitkan dengan kanker pankreas, dan faktor risiko yang lemah. Kemungkinan
faktor risiko lainnya termasuk aktivitas fisik, pestisida tertentu, dan tinggi karbohidrat /
asupan gula. Kolesistektomi, cholelithiasis, konsumsi kopi, dan alkohol telah secara sporadis
dikaitkan dengan perkembangan kanker pankreas, tetapi mereka mungkin faktor risiko yang
benar.
Faktor Lingkungan untuk Kanker Pankreas
Ada sejumlah besar bukti yang menghubungkan merokok dengan kanker pankreas.
Beberapa penelitian pada hewan telah menunjukkan efek karsinogenik dari asap tembakau
dan nitrosamine pada pankreas. Banyak studi telah menunjukkan hubungan dosis-respons
dengan baik jumlah rokok yang dihisap atau durasi merokok.
Ada sering data yang bertentangan dalam tinjauan dalam meneliti hubungan dari
faktor makanan dan kanker dari kanker pancreas. Pankreas tampaknya dikaitkan dengan
peningkatan asupan kalori total, serta peningkatan konsumsi karbohidrat, kolesterol, daging,
garam, gorengan, gula halus, dan nitrosamine. Lemak, beta karoten, dan kopi adalah risiko
terbukti. Konsumsi serat makanan, vitamin C, buah-buahan, kemungkin memiliki efek
perlindungan.
Alkohol, kopi, dan radiasi tidak muncul untuk menjadi faktor risiko yang signifikan
untuk perkembangan kanker pankreas. Ketika usia, jenis kelamin, merokok, jumlah alkohol
yang dikonsumsi, dan kelas sosial ekonomi tidak menunjukkan peningkatan risiko kanker
pankreas .
Faktor host pada kanker pankreas
Contoh yang paling mencolok dari faktor tubuh yang mempengaruhi perkembangan
kanker pankreas adalah sindrom genetik dengan peningkatan risiko. Nonpolyposis kanker
kolorektal herediter (HNPCC), keluarga kanker payudara terkait dengan mutasi BRCA2,
Peutz-Jeghers sindrom, ataksia telangiectasia-sindrom, familial atypical multiple mole-
melanoma syndrome (FAMMM). Anggota keluarga dengan dua atau lebih tingkat pertama
kerabat yang terkena kanker pankreas dalam National Familial Pancreas Tumor Registry
(NFPTR) memiliki risiko 16 kali lipat terkena kanker pankreas. Ini peningkatan risiko bisa
disebabkan ke salah satu dasar genetik atau paparan lingkungan, tetapi ada bukti yang kuat
bahwa agregasi keluarga memiliki beberapa basis genetik.
pankreatitis kronis telah dikaitkan dengan kanker pancreas. Sulit, namun, untuk
memisahkan apakah ada faktor risiko umum untuk kedua penyakit, atau apakah pankreatitis
kronis mungkin merupakan presentasi indolen kanker pankreas. Hubungan antara diabetes
tipe II dan kanker pankreas juga sama terlibat dalam beberapa studies. Sekali lagi, sulit untuk
membedakan apakah diabetes merupakan gejala awal dari kanker pankreas atau apakah itu
benar-benar merupakan faktor penyebab.
Faktor Risiko Kanker untuk periampular Nonpancreatic
Distal duktus choleduchus , ampullary, dan kanker duodenum lebih jarang daripada
kanker pankreas dan kurang baik ditandai dari segi faktor risiko mereka. Semua lebih sering
terjadi pada orang tua dengan insiden puncak pada umur 60 - 80-tahun. Kanker empedu distal
saluran umum berhubungan dengan beberapa faktor tuan rumah yang dikenal selain usia
lanjut, termasuk penyakit radang usus, sclerosing cholangitis, kista choledochal, dan
intrahepatik atau batu saluran empedu. Kanker duodenum dan ampullary terjadi dengan
frekuensi yang meningkat pada pasien dengan sindrom poliposis herediter, termasuk
HNPCC, Peutz-Jeghers sindrom, poliposis adenomatosa familial, dan sindrom Gardner.
Perubahan dalam genetik kanker pankreas
Kebanyakan penyakit keganasan mutasi diperoleh dan diturunkan dalam
protooncogenes, tumor supresor gen, dan atau mismatch perbaikan gen DNA. Mutasi pada
gen ini terakumulasi untuk menghasilkan kanker pankreas invasif. Rozenblum dan rekan
menganalisis kanker pankreas dari 42 pasien dan menemukan bahwa mereka semua (100%)
memiliki mutasi pada protoonkogen K-ras, dan 82%, 76%, 53%, dan 10% memiliki mutasi
dalam gen supresor tumor p16, p53, DPC4, dan BRCA2. Onkogen berasal dari gen seluler
normal yang disebut protooncogenes yang, ketika diaktifkan oleh mutasi atau amplifikasi,
memiliki sifat transformasi. Gen supresor tumor biasanya berfungsi untuk menahan
proliferasi sel. Hilangnya fungsi gen oleh mutasi, penghapusan, penataan ulang kromosom,
atau hasil rekombinasi mitosis dalam proliferasi sel abnormal meningkat. Mutasi mismatch
perbaikan pada gen DNA yang terlibat pada sekitar 4% dari kanker pankreas.
DIAGNOSIS
Diagnosis kanker periampula dibuat atas dasar presentasi klinis, data laboratorium,
dan radiologis .
KLINIS
Pasien dengan kanker periampula sering memiliki gejala yang samar-samar pada awal
perjalanan penyakit mereka. Gejala-gejala yang berkaitan tergantung dengan lokasi tumor.
Lesi yang terjadi di dekat saluran empedu jauh lebih mungkin dengan ikterus obstruktif,
sedangkan yang muncul pada corpus atau cauda lebih mungkin dengan nyeri. Dua pertiga
hingga tiga perempat dari pasien dengan kanker pankreas hadir dengan konstelasi gejala
klasik menunjukkan ikterus obstruktif: ikterus, pruritus, feses acholic, dan urin berwarna teh.
pasien dengan kanker pankreas sering mengalami nyeri sebagai bagian dari gejala. Meskipun
di awal perjalanan penyakit, rasa sakit sering tidak jelas pada perut bagian atas, epigastrium,
atau punggung. Kemudian dalam perjalanan penyakit, rasa sakit ini bisa berkembang menjadi
nyeri yang sering menjalar ke punggung. Pasien juga dapat dengan gejala umum lainnya
termasuk anoreksia, kelelahan, malaise, dan penurunan berat badan. Mual dan muntah
mungkin dengan obstruksi lambung dari keterlibatan duodenum.
Pasien juga mungkin hadir dengan tanda-tanda yang sangat halus seperti memiliki tes
fungsi hepar yang tinggi dilakukan pada skrining laboratorium rutin, memiliki diabetes
mellitus onset akut, atau anemia dari kehilangan darah dari pencernaan, biasanya dari erosi
tumor ke duodenum. Pasien mungkin juga dengan pankreatitis akut dari obstruksi saluran
pankreas. Oleh karena itu, pasien tua yang hadir dengan pankreatitis akut tetapi tanpa riwayat
penggunaan alkohol atau batu kandung empedu harus diskrining untuk pankreas atau kanker
periampula.
Pasien dengan kanker saluran empedu distal umum bahkan lebih mungkin untuk
menyajikan dengan ikterus obstruktif. Pasien dengan kanker pankreas yang melibatkan
corpus atau cauda dari kelenjar lebih cenderung memiliki berat badan dan sakit perut
ketimbang ikterus sebagai keluhan mereka presentasi. Karena tumor dapat tumbuh ke ukuran
yang lebih besar sebelum memproduksi gejala nyata, kanker pankreas pada corpus sering
didiagnosis pada tahap berikutnya dan memiliki prognosis yang lebih buruk.
Temuan pada pemeriksaan fisik meliputi ikterus sclera, ikterus, hepatomegali, teraba
kandung empedu (tanda Courvoisier), dan ekskoriasi kulit dari pruritus. Tanda-tanda penyakit
lanjut termasuk cachexia, nodul teraba di hepar, teraba nodul metastatik pada fossa
supraklavikula kiri (nodus Virchow), teraba nodul metastatik di daerah periumbilikalis
(nodus Suster Maria Joseph), dan teraba nodul metastasis pada panggul anterior pada
pemeriksaan rektal (Blumer's shelf).
Pasien dengan ikterus obstruktif terdapat peningkatan kadar serum bilirubin dan
alkali fosfatase, terdapat peningkatan ringan sampai sedang pada transaminase hepar.
Obstruksi jangka panjang duktus biliaris juga dapat menyebabkan koagulopati dan
perpanjangan protime karena penurunan penyerapan vitamin K dan efek pada faktor-faktor
pembekuan dari jalur intrinsik. Tidak ada serum marker yang baik untuk kanker pankreas
untuk memfasilitasi diagnosis dini. Sebuah marker umum digunakan adalah antigen
karbohidrat 19-9 (CA 19-9) yang meningkat pada 75% pasien dengan kanker pankreas.
Sayangnya, tingkat CA 19-9 juga meningkat pada kondisi jinak dari pankreas, hepar, dan
saluran empedu. CA 19-9 tidak sensitif atau cukup spesifik untuk digunakan dalam skrining
populasi. Kadang-kadang digunakan dalam mencoba untuk mengukur respon terhadap terapi
atau untuk skrining untuk kekambuhan pada pasien yang awalnya memiliki peningkatan
marker.
Karena sekitar 90% dari kanker pankreas mengandung mutasi pada protoonkogen K-
ras, beberapa kelompok telah mencoba untuk mendeteksi mutasi ini dari aspirasi duodenum,
aspirasi saluran pankreas, dan feses. Tes ini diperlukan untuk mendeteksi penyakit pada tahap
awal.
IMAGING
Modalitas pencitraan utama yang digunakan untuk pasien dengan neoplasma
periampula diduga pada kuadran kanan atas ultrasonografi, CT, MRI dengan atau tanpa
Kolangiopankreatografi magnetic resonance (MRCP), endoscopic retrograde
cholangiopancreatography (ERCP), dan perkutan transhepatik kolangiografi (PTC). Peran
tomografi emisi positron (PET).
USG Kuadran kanan atas adalah tes awal yang umum digunakan dan sangat sensitif
untuk mendeteksi batu empedu, adanya dilatasi sistem bilier, dan apakah kolesistitis akut
menyebabkan nyeri pada kuadran kanan atas. Selain batu empedu, dilatasi sistem bilier, dan
cairan pericholecystic, modalitas pencitraan ini juga dapat menampilkan metastasis hepar,
massa pankreas, peripancreatic dan limfadenopati hilus, dan ascites. Sensitivitas untuk
menunjukkan massa pankreas tidak tinggi
Jika massa pankreas diidentifikasi , CT spiral sering digunakan, karena CT
memberikan pencitraan yang lebih lengkap dan akurat dari caput pankreas dan struktur di
sekitarnya. Ini telah banyak digantikan USG sebagai prosedur diagnostik awal pilihan.
Kanker pankreas jauh lebih mungkin terlihat pada CT spiral dari duktus choleducus distal,
ampullary, atau kanker duodenum. Ini memberikan informasi yang sangat penting tentang
struktur vaskular berbatasan langsung seperti vena mesenterika superior, vena porta, dan vena
lienalis, serta arteri mesenterika superior dan truncus celiacus. Rekonstruksi tiga dimensi dari
pembuluh darah dipotong tipis multidetektor spiral CT scan yang dilakukan dalam fase kedua
arteri dan vena juga dapat membantu dalam memvisualisasikan hubungan anatomi antara
pembuluh darah dan massa. Keterlibatan kelenjar getah bening dan struktur retroperitoneal
periampula mungkin didemonstrasikan. Selain itu, informasi tentang penyakit metastasis jauh
dapat diperoleh jika metastatik terlihat di hepar atau di rongga peritoneal. adanya ascites
biasanya merupakan pertanda buruk.
Ketika kedua pelebaran intra-dan extrahepatic duktal ditemukan pada studi
pencitraan, tetapi tidak ada lesi massa terlihat pada CT, kolangiografi mungkin berguna.
Kemajuan teknologi MRI memungkinkan modalitas ini untuk meningkatkan perannya dalam
pencitraan hepatobilier. Ultrafast spin-echo MRI juga bisa sangat sensitif, tetapi terbatas oleh
artefak gerak, opasitas usus, dan ketidaknyamanan pasien. MRCP sekarang banyak
digunakan untuk gambar sistem bilier dan duktus pankreas. Keuntungannya adalah
pemeriksaan ini non invasif dan kerugiannya akan mengakibatkan stasis biliaris dan infeksi.
Struktur vaskular juga dapat divisualisasikan dengan penggunaan kontras gadolinium dan
angiogram resonansi magnetik (MRA).
ERCP kadang-kadang diperlukan untuk memperkuat diagnosis kanker pankreas.
Temuan klasik striktur, panjang tidak teratur dalam saluran pankreas dengan pelebaran distal
atau "tanda saluran ganda" di mana ada cutoff dari kedua saluran pankreas dan saluran
empedu distal pada tingkat genu dari saluran pankreas yang patognomonik. Dengan
kemampuan pencitraan saat CT dan MRI, ERCP diagnostik jarang diperlukan.. ERCP
mungkin bermanfaat pada pasien dengan obstruksi bilier dan kolangitis dimana sebuah stent
endoskopi dapat ditempatkan untuk dekompresi. ERCP adalah yang paling berguna ketika
ada obstruksi saluran pankreas, namun massa tidak jelas di kedua CT atau MRI. Dalam
situasi ini, perlu untuk mencoba untuk membedakan pankreatitis kronis akibat kanker
pankreas.
PTC merupakan cara invasif untuk mendefinisikan anatomi bilier dan lebih baik
mendefinisikan anatomi bilier proksimal atas tingkat obstruksi. Selama prosedur ini drainase
bilier perkutan (PBD). Kelemahan PTC adalah hasil dari sifat lebih invasif teknik ini dan
termasuk perdarahan, hemobilia, dan ketidaknyamanan pasien, serta ketidakmampuan untuk
memvisualisasikan saluran pankreas. Untuk kanker periampula, ERCP lebih sering
digunakan daripada PTC atau PBD.
Saat ini peran PET scan tidak didefinisikan dengan baik untuk pankreas atau kanker
periampula lainnya. Namun, laporan yang lebih baru mendukung kesimpulan bahwa FDG-
PET pencitraan mungkin merupakan studi adjunctive berguna dalam evaluasi pasien diduga
dengan kanker pankreas.
DIAGNOSIS HISTOPATOLOGIS
Penggunaan biopsi perkutan pankreas dalam evaluasi pasien dengan massa pankreas
yang dapat direseksi masih kontroversial. Biopsi perkutan massa pankreas dengan mudah
dapat dilakukan, tetapi keganasan tidak dapat dikesampingkan dengan pasti ketika tidak ada
sel-sel ganas yang ditemukan dalam aspirat FNA. Mereka dapat dilakukan dengan aman
dengan komplikasi rendah, fistula, perdarahan pankreatitis, abses, perluasan tumor, dan
kematian. Biopsi perkutan hanya boleh dilakukan pada pasien dianggap memiliki risiko
operasi sangat tinggi atau yang dipertimbangkan untuk baik neoadjuvant atau terapi paliatif..
Penyakit ini sering terbaik dikelola tanpa reseksi. FNA mungkin dapat dilakukan dengan
USG endoskopik (EUS) dan dapat menjadi sarana yang lebih baik untuk mendapatkan
diagnosis jaringan.
Diagnosa jaringan kanker ampulla dan duodenum relatif sederhana dan mudah dapat
dilakukan melalui endoskopi. Karena lokasi mereka, kemampuan untuk mendapatkan biopsi
besar dan mendalam memungkinkan pengambilan sampel yang lebih baik.
STAGING KLINIKOPATOLOGIS
Pasien dengan pankreas eksokrin, saluran biliaris distal, ampullary, dan karsinoma
duodenum yang di lakukan penilaian menurut (AJCC) sistem staging. Kriteria staging
didasarkan pada ukuran dan luasnya tumor primer (T stage), keterlibatan kelenjar getah
bening (N stage), dan adanya metastasis jauh (M stage). Berdasarkan kriteria tersebut, pasien
dikelompokkan ke pengelompokan staging yang berbeda yang memandu prognosis dan
terapi. Adenokarsinoma pankreas yang di lakukan staging menggunakan pedoman AJCC
eksokrin pankreas. Kanker duktus choleduchus distal yang di staging menggunakan pedoman
AJCC traktus biliaris extrahepatic. Kanker ampullary yang di staging menggunakan pedoman
AJCC ampula Vater. Kanker duodenum yang di staging menggunakan pedoman AJCC
intestinal.
H. Penyebab Obstruksi Duktus Biliaris lainKolangitis Sklerosis
Kolangitis Sklerosis adalah penyakit kronis yang ditadai dengan adanya striktur
fibrosis yang melibatkan duktus biliaris intrahepatal maupun ekstrahepatal, jarang diketahui
penyebabnya. Sekitar 60% kasus terjadi pada pasien dengan kolitis ulseratif, dan kolangitis
sklerosis berkembang pada sekitar 5% pasien dengan gangguan tersebut. Kondisi lain yang
umumnya kurang terkait adalah tiroiditis, fibrosis retroperitoneal, dan fibrosis mediastinum.
Penyakit ini terutama mempengaruhi laki-laki 20-50 tahun. Dalam kebanyakan kasus, seluruh
bilier tree dipengaruhi oleh proses inflamasi, yang menyebabkan obliterasi parsial ireguler
dari lumen duktus.Dinding saluran yang mengeras mengandung kolagen dan elemen limfoid
yang meningkat dan penebalan yang mengisi lumen. Faktor genetic dan imunologik
tampaknya memiliki peran terhadap pathogenesis penyakit ini. Haplotipe HLA-B8, -DR3, -
DQ2, dan -DRw52A sering ditemukan pada pasien dengan penyakit autoimun dan sering
ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis
Onset klinis biasanya terdiri dari penampilan bertahap kolestatis berupa ikterus ringan
dan pruritus sebanyak 75% penderita. Pada beberapa pasien tetap asimptomatik beberapa
tahun kemudian terjadi progresi berupa sirosis dan gagal hepar. Penderita rata-rata berusia
40-45 tahun dan kebanyakan mengenai laki-laki. Gejala kolangitis bakteri (demam dan
menggigil) jarang terjadi tanpa adanya operasi empedu sebelumnya. Temuan laboratorium
khas kolestasis. Serum bilirubin total rata-rata sekitar 4 mg / dL dan jarang melebihi 10 mg /
dL. ERCP biasanya bertujuan diagnostik, menunjukkan stenosis duktus dan iregularitas, yang
sering memberikan gambaran manik-manik. Biopsi hepar menunjukkan pericholangitis dan
empedu stasis, dan dapat menentukan derajat fibrosis hepar atau adanya sirosis untuk
penentuan terapi.
Komplikasi dari kolangitis sklerosis termasuk penyakit batu empedu dan
adenokarsinoma duktus biliaris. Adenokarsinoma duktus biliaris paling umum pada pasien
dengan kolitis ulserativa. Selain itu, pasien dengan colitis ulcerative dan kolangitis sklerosis
tampaknya berisiko lebih besar untuk displasia mukosa kolon dan kanker kolon dibandingkan
dengan kolitis ulserativa tidak terkait dengan kolangitis sklerosis.
Pada pemeriksaan kolangiografi dapat ditemukan striktur multifocal difus baik pada
duktus biliaris intrahepatik maupun ekstrahepatik. Keterlibatan duktus ekstrahepatik tanpa
keterlibatan intrahepatik sebanyak 10% penderita. Kebanyakan segmen striktur yang terkena
paling berat berada pada bifurkasio duktus biliaris.
Ursodiol (asam ursodeoxycholic), 10 mg / kg / hr, meningkatkan tes fungsi hepar dan
gejala. Cholestyramine akan meringankan pruritus. Dilatasi balon transhepatik perkutaneus
dapat mengatasi striktur yang dominan. Dalam kasus di mana penyakit ini sebagian besar
terbatas pada duktus ekstrahepatik distal dan duktus proksimal melebar, Roux-en-Y
hepaticojejunostomy diindikasikan. Pada pasien dengan keterlibatan intrahepatik berat,
transplantasi hepar harus dipertimbangkan dengan angka 5 tahun survival sampai dengan
85%. Kolangitis Sklerosis primer rekuren pada pasien tersebut sebesar 10-20% dan
membutuhkan retransplantasi.
Riwayat alami kolangitis sklerosis adalah salah satu kronisitas dan keparahan tak
terduga. Beberapa pasien tampaknya dapat terjadi remisi lengkap setelah pengobatan, tetapi
hal ini tidak umum. Kolangitis bakteri dapat berkembang setelah operasi jika drainase yang
adekuat belum dilakukan. Dalam kasus ini, antibiotik akan diperlukan. Kebanyakan pasien
mengalami evolusi bertahap dari sirosis bilier sekunder setelah bertahun-tahun dengan
penyakit ikterus dan pruritus mulai ringan sampai sedang. Transplantasi hepar dianjurkan bila
penyakit memberat.
Kolangitis Piogenik Rekuren (Oriental Kolangiohepatitis)
Kolangiohepatitis Oriental adalah jenis kolangitis rekuren kronis sering terjadi di
daerah pantai dari Jepang ke Asia Tenggara. Keadaan ini jarang ditemukan di Amerika,
Eropa, dan Australia kecuali pada populasi orang Cina dan sering terjadi pada kondisi
ekonomi rendah. Penyakit ini mengenai kedua jenis kelamin dengan jumlah yang sama dan
sering terjadi pada usia dekade ketiga dan keempat. Di Hong Kong hal ini merupakan
indikasi yang paling umum ketiga untuk laparotomi darurat dan jenis yang paling sering pada
penyakit empedu. Penyakit ini diperkirakan sebagai akibat dari portal kronis bakteremia
seperti E coli, Klebsiella species, Bacteroides species, dan Enterococcus faecalis atau parasit
biler Clonorchis sinensis, Opisthorchis viverrini, dan Ascaris lumbricoides menyebabkan
infeksi sekunder dari saluran empedu, yang diawali dengan pembentukan pigmen batu dalam
saluran empedu disertai obstruksi parsial. Enzim bakteri menyebabkan dekonjugasi bilirubin
yang mengendapkan lumpur empedu. Lumpur dan sel sel bakteri membentuk batu pigmen.
Inti batu dapat mengandung cacing Clonorchis atau Ascaris. Batu ini terbentuk pada seluruh
duktus biliaris dan menyebabkan obstruksi. Striktur bilier yang terbentuk karena kolangitis
rekuren atau batu, atau sirosis bilier sekunder akibat infeksi, abses hepar dan gagal hepar.
Obstruksi bilier dari batu menimbulkan cholangitis rekuren, tidak seperti penyakit
batu empedu di negara Barat, bisa tanpa disertai batu kandung empedu. Kantong empedu
biasanya distensi saat serangan dan dapat berisi nanah. Kolangitis berulang paling sering
terjadi yang dapat mengakibatkan abses hepar dan sirosis. Pasien beresiko terjadi
kolangiokarsinoma karena infeksi dan iritasi persisten akibat batu.
Infeksi kronis rekuren sering menyebabkan striktur bilier dan pembentukan abses
hepar. Striktur biasanya terletak di dalam saluran empedu intrahepatik, dan untuk beberapa
alasan yang tidak diketahui lobus kiri hepar terlibat lebih parah. Batu empedu intrahepatik
sering terjadi dan operasi pengangkatan mungkin sulit atau tidak mungkin. Nyeri abdomen
akut, menggigil, dan demam tinggi biasanya didapatkan, dan ikterus berkembang di sekitar
setengah dari kasus. Didapatkan pembengkakan abdomen kuadran kanan atas, dan sekitar
80% dari kasus kantong empedu teraba. Gejala dapat bervariasi pada setiap individu, akan
tetapi tanpa intervensi dapat berkembang malnutrisi dan insufisiensi hepar. Ultrasonografi
akan mendeteksi batu pada duktus biliaris, pneumobilia akibat infeksi organism pembentuk
gas, abses hepar, dan striktur. Dinding kandung empedu dapat menebal dan terjadi inflamasi
sebanyak 20% dan jarang disertai adanya batu. ERCP atau THC adalah cara terbaik untuk
mempelajari bilier tree, monitoring progresi penyakit dan dapat membantu dalam
menentukan kebutuhan untuk operasi dan jenis prosedur lain seperti dekompresi duktus
biliaris pada pasien sepsis.
Pasien harus ditangani oleh multidisiplin karena striktur dan batu yang sulit diakses.
Terapi jangka panjang berupa ekstraksi batu, membuang debris dan melepas striktur.
Antibiotik sistemik harus diberikan untuk cholangitis akut. Pembedahan terdiri dari
kolesistektomi, eksplorasi CBD, dan pengangkatan batu. Sphincteroplasty harus dilakukan
untuk memungkinkan setiap batu sisa atau batu rekuren untuk keluar dari duktus. Roux-en-Y
Koledokojejunostomy diindikasikan pada pasien dengan striktur, pelebaran duktus (ukuran >
3 cm), atau penyakit rekuren setelah sphincteroplasty sebelumnya. Hasil operasi baik pada
80% pasien. Batu dan infeksi intrahepatik kronis, yang sering hanya melibatkan satu lobus,
mungkin memerlukan lobektomi hepar.
Meskipun banyak pasien yang sembuh, sakit yang berkepanjangan akibat infeksi
berulang hampir tidak dapat dihindari meskipun striktur telah muncul atau saluran
intrahepatik telah menjadi dipenuhi oleh batu.
Disfungsi dan Stenosis Ampulla
Stenosis ampulla hepatopankreatik (ampullary stenosis) dapat menyebabkan nyeri dan
manifestasi lain akibat obstruksi ampulla dan sering dianggap sebagai penyebab keluhan
postkolesistektomi. Beberapa kasus idiopatik, sedangkan kasus lain karena trauma akibat batu
empedu. Jika pasien memiliki manifestasi sekunder obstruksi bilier (ikterus, peningkatan
konsentrasi alkali fosfatase, cholangitis) tanpa disertai batu empedu atau lesi penyebab
obstruksi lain, kolangiografi menunjukkan dilatasi CBD, stenosis ampulla dapat dijelaskan.
Akan tetapi, diagnosis lebih sering karena adanya nyeri abdomen atas tanpa disertai temuan
objektif lain. Pada kasus ini lebih disebut disfungi ampulla.
Disfungsi sphincter Oddi disebabkan nyeri biliary-like sering ditemukan pada pasien
setelah kolesistektomi dengan keluhan nyeri yang menetap. Patogenesis gejala ini sama
seperti pada dismotilitas esophagus dan irritable bowel syndrome. Pasien sering mengeluh
nyeri abdomen atas yang berat dan intermitten setiap 1-3 jam, kadang timbul setelah makan.
Batu empedu residu dan penyakit pancreas harus disingkirkan terlebih dahulu.
Disfungsi ampulla dapat didiagnosis dengan manometri sphincter Oddi. Kelainan yang dicari
pada studi motilitas mencakup peningkatan tekanan sfingter basal (> 40 mm Hg) dan
peningkatan paradoksal tekanan sfingter sebagai respon terhadap CCK. Yang pertama adalah
yang paling dapat diandalkan. Tes scintigrafi bisa menguur dengan akurat. Pasien diberi
bolus CCK diikuti oleh 99mTc-DISIDA. Gambar kamera gamma dari duktus hepar dan
empedu yang diperoleh selama 60 menit. Sebuah sistem penilaian (skor: 0-12) didasarkan
pada laju agen pencitraan melewati berbagai poin yang relevan (misalnya, gambaran klirens
melalui hepar, saluran empedu, dan usus). Kisaran normal adalah 0-5, abnormal 6-12.
Disfungsi sfingter Oddi disfungsi jarang menyebabkan nyeri perut, dan lebih tepat
untuk tetap dicurigai kecuali ditemukan obstruksi bilier yang jelas. Pada beberapa kasus
pilihan endoskopik sfingterotomi sangat menguntungkan.
Kista Choledochus Kongenital
Sekitar 30% kista Choledochus Kongenital menampilkan gejala pertamanya saat usia
dewasa, biasanya dalam bentuk ikterus, cholangitis, dan massa kuadran kanan atas. Diagnosis
dapat dibuat berdasarkan THP atau ERCP. Prosedur pembedahan yang optimal berupa eksisi
kista dan rekonstruksi berupa Roux-en-Y hepatikojejunostomi. Apabila keadaan ini tidak
memungkinkan secara teknis atau kondisi pasien tidak memungkinkan operasi, isi kista
berupa endapan biliary sludge harus dibuang dan dibuatkan anastomosis kistenterik. Kista
congenital biliary tree memiliki insiden yang tinggi terjadinya degenerasi malignansi,
sehingga beberapa ahli menganjurkan eksisi daripada drainase.
Penyakit Caroli
Penyakit Caroli, bentuk lain penyakit kista congenital, terdiri dari dilatasi duktus
intrahepatik sakuler. Pada beberapa kasus, hanya ditemukan abnormalitas bilier, akan tetapi
lebih sering disertai dengan fibrosis hepatic congenital dan spongiosum medulla ginjal. Dapat
juga ditemukan pada anak kecil atau usia dewasa mudadengan komplikasi hipertensi porta.
Beberapa pasien memiliki manifestasi awal berupa cholangitis dan ikterus obstruktif.. Tidak
ada indikasi definitive pembedahan kecuali kasus jarang berupa keterlibatan salah satu lobus
hepar, dimana tindakan lobektomi merupakan tindakan kuratif. Terapi antibiotik intermitten
biasanya digunakan untuk cholangitis.
Pankreatitis
Pankreatitis dapat menyebabkan obstruksi pada duktus biliaris bagian intrapankreatik
dikarenakan pembengkakan inflamasi, pendesakan jaringan parut, atau kompresi oleh
pseudokista. Pada pasien dapat timbul ikterus painless atau cholangitis. Biasanya distensi
vesika felea dapat dirasakan pada pemeriksaan abdomen. Diferensiasi dari
Choledocholithiasis dan pancreatitis akut sekunder berdasarkan rontgen biliaris atau
eksplorasi pembedahan jika ikterus menetap. Ikterus yang disebabkan murni inflamasi jarang
sekali bertahan lebih dari 2 minggu, ikterus persisten setelah serangan pancreatitis akut lebih
disebabkan karena berkembangnya pseudokista, obstruksi oleh jaringan fibrosis karena
pancreatitis kronik, atau disebabkan obstruksi karena neoplasma.
Obstruksi biliaris karena pancreatitis kronik kadang tanpa atau sedikit manifestasi
klinis. Biasanya didapatkan ikterus dengan kadar bilirubin puncak rata-rata 4-5 mg/dl.
Beberapa pasien dengan stenosis hanya memiliki kadar alkali fosfatase meningkat, apabila
tidak dilakukan dekompresi duktus biliaris, pada pasien ini dapat berkembang sirosis biliaris
sekunder dalam 1 tahun. Diagnosis striktur ditegakkan oleh ERCP, yang menunjukkan
stenosis panjang duktus bagian intrapankreatik, dilatasi proksimal, dan penyempitan lumen
pada perbatasan dengan pancreas, biasanya diikuti dengan kelengkungan duktus. Jika pada
kolangiogram ditemukan stenosis dan jika kadar alkali fosfatase atau bilirubin tetap lebih dari
dua kali normal dengan durasi lebih dari dua bulan, stenosis secara fungsional bermakna dan
tidak memungkinkan resolusi serta membutuhkan koreksi pembedahan. Pada kebanyakan
kasus dilakukan koledokoduodenostomi. Kolesistoduodenostomi tidak dilakukan karena
duktus sistikus terlalu sempit untuk memungkinkan dekompresi biliaris.
Pasien dengan ikterus obstruktif dan pseudokista biasanya respon terhadap tindakan
pembedahan drainase pseudokista. Kadang tindakan tersebut tidak berhasil karena skar kronis
di luar kista yang menyebabkan obstruksi. Prosedur drainase terhadap duktus biliaris dan
pseudokista diindikasikan jika kolangiogram operatif menunjukkan obstruksi duktus biliaris
persisten setelah dilakukan dekompresi kista.
Hemobilia
Hemobilia ditandai dengan trias kolik bilier, ikterus obstruktif, dan perdarahan
intestinal nyata atau samar. Kebanyakan kasus pada budaya barat muncul beberapa minggu
setelah trauma hepar dengan perdarahan dari arteri hepatica cabang intrahepatik ke dalam
duktus. Saat ini lebih jarang ditemukan dikarenakan pengetahuan yang bertambah terhadap
prinsip umum penanganan trauma hepar. Di daerah Asia hemobilia biasanya dikarenakan
parasit pada duktus (Ascaris lumbricoides) atau cholangiohepatitis oriental. Penyebab lain
berupa neoplasma hepar, rupture aneurisma arteri hepatica, abses hepar, dan
Choledocholithiasis. Diagnosis dapat ditegakkan dengan scan sel darah merah yang dilabeli
technetium 99m, arteriogram dibutuhkan untuk diagnosis dan perencanaan terapi. Kadang-
kadang perdarahan dapat dihentikan dengan embolisasi dengan koil stainless steel, Gelfoam,
atau faktor pembeku darah yang diinfuskan melalui kateter yag ditempatkan pada arteri
hepatica. Bila tindakan ini tidak berhasil, dibutuhkan ligasi langsung pada lokasi perdarahan
pada hepar atau ligasi proksimal dari arah aliran arteri hepatica pada hilus.
Divertikel Duodenal
Divertikel duodenal biasanya muncul pada aspek medial duodenum < 2 cm dari
muara duktus biliaris, dan beberapa kasus duktus langsung bermuara pada divertikel. Pada
beberapa keadaan divertikel duodenal tidak berbahaya, biasanya distorsi pada pintu masuk
duktus atau obstruksi oleh enterolith pada diverticulum menimbulkan gejala.
Koledokoduodenostomi atau Roux-en-Y koledokojejunostomi biasanya metode yang aman
dalam membuat drainase bilier dibandingkan eksisi divertikulum dan reimplan duktus
Ascariasis
Cacing ascariasis yang menginvasi duktus dari duodenum dapat menimbulkan gejala
obstruksi duktus. Udara kadang terlihat di dalam duktus pada foto polos. Antibiotik
sebaiknya diberikan sampai kolangitis terkontrol, dan terapi athelmintik (mebendazole,
albendazole, atau pirantel pamoat) sebaiknya diberikan. Gejala akut biasanya reda oleh
antibiotic, tetapi bila menetap sphincterotomi endoskopik sebaiknya dilakukan dan percobaan
pengangkatan cacing. Jika hal ini tidak berhasil dan pasien tetap mengeluh nyeri, duktus
sebaiknya dikosongkan secara pembedahan.
Bab III
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kista choledocus
Pada beberapa tahun terakhir ini, eksisi kista ductus choledochus, dengan rekonstruksi
melalui anastomosis bilier-enterik Roux-en-Y, menjadi pilihan terapi pada kebanyakan tipe
kista choleduchus. External drainase kista tidak dianjurkan lagi. Jika cholangitis berat,
decompresi kista dapat dilakukan cara perkutaneus atau endoskopik.
Persiapan Operasi
Pasien dipersiapkan seperti pada persiapan operasi elektif lainnya. Pada pasien
dengan ikterus harus diperhatikan faktor koagulasi. Antibiotik profilaksis harus diberikan
sebelum dilakukan insisi, dan dilanjutkan 24 jam kemudian. Intraoperative cholangiografi
dan choledochoscopi dapat membantu.
Teknik Operasi
Pada dewasa, insisi midline supraumbilicus dan subcostal memberikan eksposure
adekuat. Pada anak sering digunakan insisi transversal. Awalnya, dilakukan mobilisasi
kandung empedu dan duktus cistikus, dilakukan identifikasi arteri hepatika kanan, yang
kadang mengalami anomali atau berdekatan dengan dinding kista. Saat kandung empedu
didiseksi dari fossa-nya, akan teridentifikasi dinding anterior kista. Kista yang mengalami
peradangan merupakan masalah. Diseksi harus dari bagian kaudal hingga seluruh bagian
retrokaudal dari kista dibebaskan, meluas hingga entry point CBD kedalam bagian posterior
parenkim pancreas.
Setelah membebaskan kedua sisi kista , bagian posterior kista diidentifikasikan dan
didiseksi , dan pembuluh darah lewat dibelakang kista. Dinding anterior kista dibuka, kateter
transhepatik yang diletakkan sebelum operasi di keluarkan, dan dinding posterior kista
dibelah. Pada kebanyakn kasus, CBD dibelah dibagian distal, atau berdekatan dengan lokasi
intra pankreatik, ketika diameter kista menyempit mendekati kaliber normal. Setelah
transeksi, distal CBD dilihat seksama, mencegah cedera pada letak anomali letak tinggi
duktus pancreas dengan duktus cistikus. Ketika cista choledukus dibelah dibagian distal,
anterior,lateral, bagian posterior didiseksi, dan kista dibebaskan dari vena portal dan arteri
hepatik.
Diseksi dilakukan di bagian proksimal hingga bagian kaliber normal duktus hepatikus
didapat. Pada kebanyakan kasus, bifurkasio tidak mengalami dilatasi kistik, dan anastomosis
antara duktus hepatikus komunis dan Roux-en-Y yeyenum dapat dilakukan. Jika, bifukartio
juga dilatsi, reseksi juga dilakukan.
Jika penilaian cholangiografik preoperative tidak dapat dilakukan dalam menilai
traktus bilier intrahepatik, choledochoscopi atau cholangiografi intra operatif dapat
dilakukan. Rekonstruksi traktus bilier dikerjakan menggunakan bagian retrokolik yeyenum
Roux-en-Y sepanjang 60 cm. Anastomosis hepatikoyeyenostomi end-to-end dilakukan,
menggunakan jahitan tunggal diserap (PGA 4-0). Ditinggalkan stent transhepatik.
Komplikasi
Kebocoran pada anastomosis enteric-bilier dapat terjadi dan biasanya dikenal dengan
mudah berupa adanya cairan empedu di drain post operasi dan dikonfirmasi dengan
cholangiografi. Pada kebanyakan dengan kebocoran bilier pada anastomosis akan
menyembuh. Jika stent trans hepatik digunakan, hemobilia post operasi dapat terjadi.
Komplikasi lainnya, berupa komplikasi pada duktus pankreatikus berupa pancreatitis
jika diseksi distal kista choleduchal terlalu ekstensif atau jika jahitan menyebabkan sumbatan
aliran duktus pankreatikus.
Striktur billier
Penatalaksanaan striktur bilier mencakup :
- Non operatif
- Operatif
1.Operatif
Tujuan utama melakukan tindakan operasi pada striktur bilier adalah untuk
mematenkan kembali aliran empedu sebaik mungkin dari system bilier ke usus. Komplikasi
prosedur operasi yang tidak berhasil, meliputi pembentukan sludge atau batu, striktur
berulang, kebocoran empedu yang berbentuk pengumpulan cairan atau abses, cholangitis, dan
sirosis bilier.
Prosedur teknik operasi yang ideal, berupa bebas tegangan, repair mukosa ke mukosa
pada segmen duktus biliaris yang tidak cedera. Pilihan operasi repair striktur meliputi: end to
end repair, Roux-En-Y hepaticoyeyenostomy, choledochoyeyenostomi,
choledochoduodenostomi, dan graft mukosa. Hasil operasi yang dilakukan bergantung pada
waktu terjadinya, keadaan status umum pasien, derajat cedera dan tipe cedera.
Ada 2 macam pengelolaan secara operatif, yaitu :
1. Segera saat operatif
2. Elektif.
Segera Saat operasi
Repair segera secara umum harus segera dilakukan, bila ditemukan cedera duktus
biliaris saat operasi. Ketika operator mencurigai adanya suatu cedera atau adanya variant
anatomi, maka dapat dilakukan intraoperatif cholangiografi dan atau diseksi yang bersih.
Duktus segmental atau accesorius dengan diameter duktus < 3 mm dan duktus tidak
berhubungan dengan duktus utama dapat diligasi.Tetapi, pada duktus dengan diameter > 4
mm, harus direpair secara operatif.
Transeksi CBD parsial, diameter kurang < 180o , dapat direpair dengan menggunakan
T-tube dengan jahitan benang serab.Sedang transeksi dengan diameter > 180o atau komplet,
dilakukan anastomosis end-to-end dengan T-tube diatas dan dibawah
anastomosis.Rekonstruksi primer duktus biliaris harus selektif dan harus dihindari ketika
cedera dekat dengan bifurkasio atau ketika aproksimasi duktus tidak dapat baik tanpa tension.
Transeksi yang mengenai duktus biliaris tinggi atau dengan kehilangan panjang duktus yang
bermakna, tidak dapat direpair dengan anastomosis bilier primer tanpa tegangan. Cedera tipe
ini memerlukan rekonstruksi dengan anastomosis entero-bilier menggunakan
hepaticojejenostomy Roux-En-Y untuk memastikan repair yang bebas tegangan. Stent bilier
silastic transhepatik diperlukan dipasang untuk mengontrol potensial kebocoran anastomosis
dan untuk keperluan cholangiografi post operasi. Drain perianastomotik dipasang post
operasi.
Repair Elektif
Repair elektif harus dilakukan pada pasien dengan keadaan optimal klinisnya. Pasien
dengan cholangitis harus diterapi dengan antibiotik spektrum luas dengan drainase bilier.
Tipe repair ditentukan oleh sejumlah faktor, yaitu :
1. Riwayat repair yang dilakukan sebelumnya
2. Lokasi striktur atau cedera
3. Pengalaman Ahli bedah, dan
4. Preferensi dokter bedah.
Intra operasi, anatomi bilier harus jelas, dengan menampakkan bagian duktus yang
sehat. Harus diperhatikan untuk menghindari diseksi yang berlebihan dan devaskularisasi
jaringan. Anastomosis enteric-bilier menggunakan tehnik jahitan mukosa-mukosa dengan
tanpa tegangan.
Tehnik yang disukai, adalah dengan hepatiko-jejunostomi atau choledochojejenostomi
pada Roux-En-Y di jejunum. Anastomosis End-to-End setelah dilakukan reseksi striktur tidak
bijaksana oleh karena hilangnya sebagian panjang duktus biliaris dan sehubungan dengan
fibrosis. Hilangnya panjang duktus biliaris yang bermakna juga merupakan suatu striktur dan
merupakan kontraindikasi untuk melakukan choledochodoudenostomi.
Penatalaksanaan Keganasan Vesika Felea
Penatalaksanaan keganasan vesica felea dimulai dengan penentuan resektabilitasnya.
Resektabilitas tergantung pada kondisi pasien keseluruhan dan tumornya. Kondisi pasien
dilihat dari kondisi jantung dan paru, fungsi hepar, ginjal dan status nutrisi pasien serta ada
tidaknya tanda-tanda sepsis. Sedangkan dari faktor tumornya tergantung dari :
1. Ukuran tumor vesica felea
2. Struktur vaskuler porta hepatis
Dalam hal ini dilihat ada tidaknya oklusi pada vena porta atau arteri hepatika, jika ditemukan
oklusi pada pembuluh darah tersebut merupakan kontraindikasi dilakukan operasi reseksi tumor.
3. Perluasan tumor ke hepar, pancreas, duodenum, colon. Jika ditemukan perluasan tumor ke
organ tersebut maka merupakan kontraindikasi dilakukan reseksi.
4. Jika perluasan mengenai dinding kolon, makan reseksi dilakukan secara en blok.
5. Metastasis ke peritoneum / ekstraperitoneum juga menjadi kontraindikasi dilakukan
operasi reseksi
Penatalaksanaan dibagi menjadi operasi paliatif, non operasi paliatif, reseksi bedah,
kemoterapi dan radioterapi.
Non operatif paliatif
Indikasi
Terdapat kontraindikasi operasi baik dari kondisi pasien secara umum maupun dari
tumornya yang tidak memungkinkan direseksi berdasarkan perluasan lokal yang ekstensif maupun
adanya metastasi jauh.
Tindakan
Kondisi yang sering ditemui pada pasien adalah dalam kondisi ikterus obstruktif yang dapat
ditangani dengan Percutaneus transhepatic biliary stent atau biliary endoprosthesis. Masalah yang
potensial dari pemakaian stent adalah berkembangnya kondisi kolesistitis akut. Selain itu masalah
nyeri abdomen dapat diberikan terapi narkotik, radiasi eksternal, atau percutaneus blok ganglion
celiacus. Kelangsungan hidup pasien dengan keganasan vesica felea simptomatik yang dilakukan non
operatif paliatif adalah kurang dari 6 bln.
Gambar 1. Percutaneus transhepatic biliary stents
Gambar 2. BiIliary endoprosthesis (percutan/endoskopik)
Operasi Paliatif
Dilakukan operasi paliatif jika pasien yang merupakan kandidat dilakukan reseksi
tumor, namun pada durante operasi diketahui tumor dalam keadaan tidak memungkinkan
untuk diireseksi lengkap. Maka tujuan dilakukan operasi anatara lain :
- Tujuan diagnostik
- Mencegah kolesistitis dengan cara kolesistektomi
- Mencegah ikterus dengan cara anastomosis biliary-enteric
- Mengurangi nyeri abdomen
- Mencegah/menangani obstruksi saluran cerna (gaster outlet)
Macam operasi paliatif :
Jenis operasi paliatif pada keganasan vesika felea simpotamitk ikterus tergantung dari
kondisi perluasan tumor didaerah hilum. Pada pasien dengan penyebaran ke hati atau
peritoneum, penempatan percutaneus transhepatic stents atau endoprosthesis dapat
mengurangi gejala ikterus. Pada kondisi tumor yang tidak dapat direseksi maka hilum dapat
dilebarkan dengan stent menggunakan kateter silastic transhepatic berukuran besar dan
dilakukan Roux-en-Y choledoco-jejunostomi untuk tujuan dekompresi billiar. Jika tumor
sudah memberikan tekanan pada gaster, duodenum dengan ancaman terjadinya obstruksi
saluran cerna maka dilakukan operasi gastro-jejunostomi, disertai pemberian H2 reseptor
antagonis / omeprazole untuk menurunkan sekresi asam lambung dan untuk mencegah
perkembangan menjadi ulserasi.
Reseksi Pembedahan
Stadium O (Ca in situ) :
Simple kolesistektomis, dengan survival rate : 100%
Stadium I (NEVIN ST I & II) :
– Simple kolesistektomi
– Laparoskopi kolesistektomi
Operasi ini masih kontroversi karena pernah didapatkan data terjadinya implantasi sel
kanker pada laparaskopi port.
Stadium II & III (NEVIN STAD III-IV): Extended kolesistektomi
Operasi pada stadium ini meliputi kolesistektomi disertai eksisi luas setebal 2 cm pada
fosa vesica felea, diseksi limfondi sekitar duktus sistikus, pericholedochal, retroporta,
a.hepatica, dan peripankreatik.
Gambar 3. Kolesistektomi sederhana Gambar 4. Extended kolesistektomi
Gambar 5. Extended kolesistektomi yang diserati diseksi limfonodi yang dilakukan
pada keganasan vesica felea stadium II-III.
Stadium III/IV (NEVIN STAD IV)
Penatalaksanaan pada stadium ini masih kontroversi. Dahulu dilakukan radikal reseksi
namun menghasilkan morbiditas dan mortalitas yang masih tinggi. Saat sekarang dilakukan
reseksi regresif karena pengelolaan pasca operasi yang sudah maju. Reseksi agresif ini
meliputi reseksi liver luas, terdiri dari reseksi pada fossa vesica felea/segmen V, VI,
hepatetektomi sentral, hepatektomi kanan luas, trisegmentektomi, ditambah dengan
lymphadenektomi, pancreaticoduodenectomi, reseksi ductus bilier extrahepatik & vena porta,
reseksi organ yang terkena (ginjal/kolon).
Gambar 6. Segmen hepar.
Kemoterapi
Respon pemberian kemoterapi adjuvant masih kurang bagus (<20%). Regimen yang
dipakai antara lain : 5-FU + mytomicin C. Regimen terbaru yaitu Cis-Platin.
Radioterapi
Indikasi radiasi adalah pada tumor yang tidak dapat direseksi atau tidak dapat
direseksi secara lengkap. Beberapa rumah sakit utama pernah memberikan radiasi
intraoperatif dengan 5- FU diberikan untuk sensitizer.
Penatalaksanaan Keganasan Duktus Billiar
Resektabilitas pada penatalaksaan keganasan ductus bilier tergantung pada kondisi
pasien dan kondisi tumornya :
Perhatian khusus diberikan pada pasien dengan tanda-tanda ikterus obstruktif yang
akan direncanakan pembedahan besar dimana akan didapatkan keadaan abnormalitas fungsi
pankreas, liver, renal, fungsi imunologis, kardiopulmoner, hemostasis, proses penyembuhan
luka dan endotoksemia (terjadi insufisiensi jantung, paru dan renal).
Penentuan staging dengan pemeriksaan penunjang :
- CT-Scan
Ditemukannya perluasan tumor ke 2 lobus hati atau metastasis jauh menjadi kontraindikasi
dilakukan reseksi.
- Cholangiografi
Ditemukan perluasan ekstensif ke parenkim hati menjadi kontraindikasi reseksi.
- Visceral angiografi
Oklusi a.hepatica communis atau vena porta, juga menjadi kontraindikasi reseksi.
Non operasi paliatif
Indikasi :
Pasien dengan resiko tinggi dilakukan operasi reseksi tumor, dan tumor tidak dapat di
reseksi komplit. Sehingga tujuan non operasi paliatif adalah untuk menjaga patensi ductus
bilier. Karena adanya obstruksi aliran bilier akan menyebabkan terjadinya disfungsi
hepatoseluler, malnutrisi progresif, koagulopati, pruritus, disfungsi ginjal dan cholangitis.
Jenis non operasi paliatif
PTC (Percutaneus Transhepatic Cholangiogram) dan Drainage Bilier
Menggunakan jarum ukuran 22 (flexible chita needle) dengan panduan pemeriksaan
fluoroskopi, dari arah kanan atas dengan memasukkan kawat pemandu melewati bagian yang
striktur dilanjutkan penempatan kateter (Ring chatater) dengan tujuan drainage.
Gambar 7. PTC (Percutaneus Transhepatic Cholangiogram)
Endoscopy dekompresi
Tehnik ini bertujuan untuk dekompresi bilier secara endoskopi. Melakukan
dilanjutkan dengan kanulasi ductus bilier dengan atau /tanpa guidewire dan jika perlu
spincterectomi, bagian yang striktur dilebarkan dengan dilator kemudian ditempatkan
endoprosthesis (polyethylene Teflon-coated chateter)
Gambar 8. ERCP. (A) duodenoscope of sphincterotome (S) memasuki papila mayor
duodeni. (B)guide wire (panah hitam. (C) duodenoscope (DS) dengan guidewire (panah
hitam) memasuki CBD , biliary stent (panah putih) . gall bladder (GB) terisi kontras. (D)
biliary stent (asterisk) ditempatkan keluar papila duodeni mayor.
Operasi Paliatif
Indikasi :
Pada saat dilakukan laparotomi eksplorasi ditemukan adanya pendesakan lokal yang
membuat kondisi tumor tidak dapat direseksi (intraperitoneum, mendesak porta hepatis),
sehingga dilakukan operasi dengan minimal intervensi.
Tumor Mendesak perihiler
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan :
Roux-en-Y hepaticojejunostomy dengan kateter silastic transhepatik
Prosedur :
- Dilakukan Percutaneus Transhepatic Chateter terlebih dahulu (PTC)
- Identifikasi ductus bilier extrahepatic pada distal tumor
- Ductus hepaticus communis distal tumor dibagi dua dan stump CBD bagian distal ditutup
dengan jahitan
- Stump CBD bagian proximal dari ductus bilier ekstrahepatic dilakukan choledochoscopy
(bisa mengambil spesimen dari tumor untuk dibiopsi)
- Ductus bilier dilebarkan dgn kateter Coude besar, ganti PTC dengan kateter silastic
transhepatik
- Dilakukan standard hepatico-jejunostomi dan jejuno-jejunosotmi.
Gambar 9. Pemasangan transhepatic kateter yang tampak keluar dari proksimal CBD.
Tampak distal CBD dijahit.
Gambar 10. Retrocolon Roux-en-Y hepatico-jejunostomi dan jejuno-jejunostomi
dengan penempatan kateter Silastic billier transhepatik.
Tumor pada ductus bilier distal
Dekompresi bilier dengan cara Biliary-enteric bypass menggunakan ductus
ekstrahepatik bagian atas berupa Choledoco-jejunostomi, Hepatico-jejunostomi atau dari
vesica felea berupa Cholesisto-jejunostomi.
Ancaman Obstuksi gastroduodenal
Profilaksis Gastro-jejunostomi retrokolon
Nyeri abdomen/punggung
Splanchnicectomy menggunakan alkohol 50% dapat dilakukan intraoperatif untuk
mengontrol nyeri pasca operasi dan untuk mengurangi kebutuhan narkotik.
Reseksi pembedahan keganasan duktus billiar
Reseksi Ca ductus bilier proximal, rekonstruksi via bilateral hepatico-jejunostomi
dengan Silastic Transhepatic Billiary Stent
Syarat : Tumor dapat direseksi
Prosedur:
• Percutaneus Cholangiografi. Insersi kateter bilier transhepatik menuju ductus hepaticus
dekstra dan sinistra melewati tumor
• Laparotomi eksplorasi. Insisi subcostal/midline, cari ada tidaknya penyebaran tumor
• Mobilisasi vesica felea
• CBD (Common Bile Duct) dibagi dua dengan bagian distal ditutup via jahitan, dilanjutkan
diseksi ke arah prox sampai dengan bifurcatio ductus hepaticus, potong spesimen dan
kirim ke PA. Spesimen yang dikirim berupa vesika felea, ductus hepatica dextra dan
sinistra, CBD proksimal dengan dipasang petunjuk batas reseksi berupa benang.
• Insersi ductus hepaticus dekstra dan sinistra dengan Silastic transhepatic billiary stent
melalui petunjuk kateter bilier transhepatik sebelumnya
• Lanjut operasi Roux-en-Y hepatico-jejunal retrokolon dengan jahitan 1 lapis.
Gambar 11. Mobilisasi vesica felea dengan membagi CBD
Gambar 12. Spesimen yang dikirim ke PA
Gambar 13. Rekonstruksi akhir dengan retrokolon Roux-en-Y anastomosis (hepatico-
jejunostomi dan jejuno-jejunostomi)
Reseksi Carsinoma ductus bilier proksimal, reseksi hepar dengan rekonstruksi via
Hepaticojejunostomi dan Silastic Transhepatic Billiary Stent
Indikasi : keganasan ductus bilier proksimal yang ekspansi ke salah satu lobus hati
Prosedur:
Prosedur sama dengan sebelumnya, namun ditambahkan reseksi hepar yang terkena
secara en blok dengan ductus hepatika proksimal dan vesica felea, dilanjutkan pemasangan
kateter Silastik transhepatic melalui ductus hepatika pada lobus yang tidak terkena dan
diakhiri dengan rekonstruksi retrokolon Roux-en-Y anastomosis (hepatico-jejunostomi dan
jejuno-jejunostomi).
Gambar 14. Reseksi en blok lobus kiri hepar dengan vesica felea dan bifurcatio ductus
hepatica.
Reseksi ductus biler distal dan rekonstruksi pancreaticoduodenectomi dengan
preservasi pylorus
Indikasi : tumor pada common bile duct bagian distal
Prosedur:
- Laparotomi eksplorasi : lihat ada tidaknya penyebaran ke intra abdomen
- Mobilisasi duodenum.
- Indentifikasi V.porta yang berada di belakang CBD dan V.mesenterika superior
setinggi duodenum pars III.
- Potong duodenum pars I (±2 cm distal dari pylorus), ikat dan potong a.
gastroduodenal.
- Diseksi vesica felea dari fosa vesica felea di hepar dan ductus hepaticus communis
dibagi menjadi dua
- Potong pancreas pada bagian leher dengan elektrokauter
- Jejunum dipotong 10-20cm dari lig. Treitz
- Hasil spesimen yg diambil : Vesica felea, CBD dan distal ductus hepatika komunis,
caput pancreas, duodenum pars I distal, pars II, pars III, pars IV), jejunum proximal
Gambar 15. Spesimen yang dikirim ke PA
- Rekonstruksi ada 3 cara .
1. Pancreatico-gastrostomi, end-to-side hepatico-jejunostomi, end-to-side duodeno-
jejunostomi.
2. End-to-end pancreatico-jejunostomi, end-to-side hepatico-jejunostomi, end-to-side
duodeno-jejunostomi. Tehnik ini paling sering dipakai.
3. End to side pancreatico-jejunostomi, end-to-side hepatico-jejunostomi, end-to-side
duodeno-jejunostomi
Gambar 16. Jenis rekonstruksi
A. Pancreatico-gastrostomi, end-to-side hepatico-jejunostomi, end-to-side duodeno-
jejunostomi.
B. End-to-end pancreatico-jejunostomi, end-to-side hepatico-jejunostomi, end-to-side
duodeno-jejunostomi
C. End to side pancreatico-jejunostomi, end-to-side hepatico-jejunostomi, end-to-side
duodeno-jejunostomi
KEMOTERAPI
• Menggunakan regimen 5-FU
• Dari beberapa data penelitian, penggunaan kemoterapi belum mampu meningkatkan
kelangsungan hidup pasien
RADIOTERAPI
Terdapat beberapa metoda pemberian radiasi :
• Eksternal radiasi dengan dosis 1.8-20 Gy/hari, dengan total dosis 45-60 Gy
• Intraoperatif ER: 5-20 Gy
• Internal radiasi percutaneus/endoscopik billiary stent
• Radioimunoterapi : 131I-anti-CEA (CholangioCa unresectable)
• Iradium192/Cobalt60
• Data dari RS.John Hopkin menyatakan bahwa penggunaan radioterapi post reseksi
keganasan ductus bilier tidak perbaiki kelangsungan hidup pasien
Penatalaksanaan Keganasan Pankreas dan Periampula
Penatalaksanaan pada keganasan ini adalah tindakan operasi berupa
pancreaticoduodenectomi, dan jika jinak dilakukan lokal reseksi ampulla. Terdapat 2 fase
operasi :
– Menentukan resektabilitas tumor (evaluasi pre operasi dan durante operasi)
– Jika dapat direseksi maka dilakukan pancreaticoduodenectomi dengan rekonstruksi
Tehnik operasi:
– Insisi midline atas atau dengan bilateral subcostal
– Inspeksi dan palpasi hati dan permukaan peritoneum, jika dicurigai lesi metastasis
dilakukan biopsi
– Evaluasi lymphono regional. Ditemukannya pembesaran limfonodi bukan kontraindikasi
operasi.
– Evaluasi apakah terdapat perluasan tumor nnll periaorta, yang berarti tumor sdh melewati
batas reseksi yg normal
– Evaluasi tumor primer :
Gambar 17. Mobilisasi duodenum dan caput pankreas dari aorta dan v.cava inferior
dibawahnya dan identifikasi arteri mesenterika superior antara jari I dan jari II,III
pemeriksa.
– Dilakukan pemisahan ductus hepaticus komunis. sewaktu memisahkan ductus hepaticus
komunis akan tampak vena porta.
– Dilakukan pancreaticoduodenectomi dengan preservasi pylorus:
1. Duodenum dipotong mulai 2 cm distal pylorus (pada whipple klasik dilakukan
pemotongan gaster
2. Identifikasi, ligasi dan potong a.gastroduodenal
3. Neck pancreas dipotong (identifikasi posisi vena porta yang berada dibelakang dari
duodenum pars I dan neck pankreas serta vena mesenterika superior yang terletak di
ventral dari duodenum pars III)
4. Jejunum 10 cm dari lig.Treitz dipotong
Spesimen terdiri dari vesica felea, CBD, caput&neck pancreas, duodenum dan jejunum
proksimal.
Gambar 18. Pemotongan neck pankreas dan duodenum pars I distal
– Rekonstruksi :
1. End-to-end/side dengan / tanpa stent pancreatico-jejunostomi (jejunumdistal ditempatkan
retrokolik). Perhatian khusus pada anastomosis pancreatico-jejunostomi karena memiliki
morbiditas dan mortilitas yang tinggi.
Tehnik yang baik anastomosis adalah membuat Invaginasi (2-3cm) pancreas ke dalam lumen
duodenum kemudian jahit secara double layer (lapisan dalam secara interupted/kontinu
absorbable dan lapisan luar secara interupted non absorbable/silk)
2. Hepatico-jejunostomi (10 cm distal dari no.1). Penjahitan dengan one layer absorbable,
anastomosis dilewati kateter bilier transhepatic pre operatif ataudengan pemasangan T-Tube
durante operasi.
3. Duodenojejunostomi (15 cm distal dari no.2)
Gambar 19. Rekonstrusi akhir
– Pemasangan drain closed-suction Silastic ditempatkan dekat dengan anastomosis
pancreatico-jejunostomi dan hepatico-jejunostomi.
Perawatan Pasca Operasi
– Pasien di puasakan terlebih dahulu
– NGT dan dekompresi bilier dipertahankan dalam jangka waktu pendek
– Pemberian analgetika parenteral
– Antibiotika profilaksis dan perioperatif dalam jangka waktu pendek
– Cholangiogram hari ke 4/5 pasca operasi via Transhepatic Billiary Chateter/T-tube dengan
kontras watersoluble, jika bocor (-) : diet cair ditingkatkan perlahan2 dgn perhatian khusus
pada pengosongan lambung dan ada tidaknya peningkatan out put drain anastomosis
– Aff drain jika sudah diet biasa tanpa adanya kebocoran anastomosis.
Penatalaksanaan choledocolithiasis dan cholangitis
Choledocolithiasis
ERCP diperkenalkan tahun 1968, sebagai alat bantu diagnostik pada penyakit bilier
dan pankreas. Lima tahun kemudian, seiring dengan perkembangan endoscopic
sphincterotomy, pemeriksaan ini ditransformasikan menjadi modalitas terapetik. Dengan
ERCP, setelah batu tampak dalam CBD, endoscopic sphincterotomy dan ekstraksi batu bisa
dilakukan sekaligus, jika batu tidak tampak,dilakukan test microlithiasis pada bile,bila klinis
mendukung.
Sphincterotomy dilakukan dengan membelah papila dan otot sfingter untuk
memperdalam/memperlebar distal end commom bile duct menggunakan sphincterotome.
Baloon sphincteroplasty merupakan alternatif preservasi sphingter menggunakan
baloon tekanan tinggi untuk melebarkan papila 6-8 mm. Kelemahan Sphincteroplasty
terbatas ukuran papilary opening dibandingkan Sphincterotomy.Pengambilan batu ada 2 cara
yaitu dengan dormia basket dan baloon catheter. Dormia basket direkomendasikan pada batu
ukuran lebih dari 1cm.
Mechanical lithotripsy merupakan cara paling umum yang digunakan untuk
memecah batu pada batu yang besar atau pada perbedaan diameter batu dan pintu
keluarnya.Apabila Mechanical lithotripsy gagal,dapat dilakukan intraductal shock wave
lithotripsy menggunakan cholangioscope yang dimasukkan melalui duodenoscope.
Extracorporeal shock wave lithotripsy ( ESWL) populer di eropa dan
jepang,digunakan pada batu CBD dengan comorbid mayor dan secara teknik sulit dengan
Endoscopic ekstraksi batu (ERCP stone extraction)
Large-balloon dilatation distal CBD dilakukan sebagai tambahan lithotripsi pada
batu CBD yang sulit diambil setelah Endoscopic ekstraksi batu tidak berhasil.
Pada pasien yang tidak nyaman , tidak memungkinkan secara anatomis atau tidak
berhasil dengan ERCP, metoda lain cholangiografi dan nonsurgical terapi adalah
Percutaneus transhepatic cholangiography ( PTC ) diikuti dengan pengambilan batu
transhepatic. Transhepatic cholangioscopy dan lithotripsy dapat dilakukan setelah PTC dan
dilatasi intrahepatic channel, dengan angka keberhasilan 90-100% dan komplikasi 5-8%.
Ketika pasien akan dilakukan cholesistektomi, telah dilakukan pemeriksaan
preoperatif untuk konfirmasi adanya batu CBD (dengan ERCP,MRCP,atau EUS) atau
kecurigaan adanya batu CBD secara klinis, laboratoris, atau USG transabdominal , atau tidak
ada kecurigaan adanya batu CBD. Pada saat pembedahan, Intraoperative cholangiography
(IOC) merupakan metoda pemeriksaan paling sering digunakan untuk menetapkan adanya
batu duktus bilier.
Laparoscopic IOC telah berkembang menjadi metoda yang sangat berguna untuk
evaluasi biliary tree. Caranya dengan menginjeksi kontras melalui kateter kedalam duktus
cysticus. Kateter 14 G dimasukkan melalui dinding abdomen, 3 cm medial midclavicular
port. Angka keberhasilan kanulasi cholangiografi 75-100%. Dengan fluoroscopy menjadi
standard karena lebih cepat, detail,dan mengikuti interaksi ahli bedah dengan tepat.
Sensitifitas 80-90% dan spesifisitas 76-97%.
Intraoperative Ultrasound ( IOUS ) merupakan metoda noninvasif untuk evaluasi
sistem bilier durante operasi.Sangat sensitif untuk batu CBD dan sama sensitifnya dengan
IOC untuk batu duktus bilier. Sekali ditetapkan adanya batu CBD saat operasi,ada beberapa
pilihan penatalaksanaan. Tergantung local availability dan expertise, explorasi duktus secara
open atau laparoscopic dan teknik nonoperatif post cholesistektomi seperti ERCP atau PTC.
POSTOPERATIF
Pasien dengan batu CBD stelah cholesistektomy umumnya dilakukan ERCP. Jika T-
tube ( kateter transabdominal lain ) talah ditempatkan , cholangiogram dapat dilakukan untuk
menetapkan adanya batu CBD. Pasien dengan pemasangan T-tube ,instrumentasi percutaneus
melalui T-tube dibawah pengawalan fluoroscopy melalui T-tube dapat mengambil batu
CBD.
Proses Pembedahan Drainase Biliaris
Prosedur drainase pembedahan biliaris dilakukan pada batu multipel, pengangkatan
batu inkomplit, impaksi, batu distal CBD yang tidak dapat diangkat,dilatasi CBD,obstruksi
distal CBD karena tumor/striktur,dan explorasi CBD berulang. Metodanya yaitu
transduodenal sphincterotomy,choledochoduodenostomy, dan choledocojejunostomy.
Transduodenal sphincterotomy ( TDS ) dilakukan pada choledocolithiasis yang
impaksi ke ampula vateri, stenosis papila, dan batu multipel khususnya nondilated bile duct.
Kateter Fogarty dipasang di CBD sampai duodenum melalui ampula vateri.Buat
duodenotomy longitudinal diatas ampula,masuk ke duktus pancreatikus pada posisi jam 4 jika
memungkinkan.Jahitan absorbable pada sisi ampula, kemudian sphincterotomy dimulai pada
jam 11 dan diperpanjang.Jahit pada apex untuk mencegah kebocoran
duodenum.Duodenotomy ditutup secara transversal untuk mencegah stenosis dan dipasang
drain.
Choledochoduodenostomy ( CDD ) dindikasikan pada batu rekuren yang membutuhan
intervensi berulang, batu impaksi,batu sangat besar, lumpur bilier, dan stenosis ampula.
Sindrom Funnel yaitu adanya stenosis distal CBD dengan batu CBD merupakan indikasi
klasik CDD. CDD dat dilakukan pada operasi elektif maupun emergensi seperti
cholangitis.Dilakukan anastomose side to side, bisa juga end to side. Diameter CBD minimal
1,2 cm untuk bisa dilakukan CDD. CBD didiseksi sepanjang permukaan distal anterior. Buat
longitudinal duodenotomi dekat CBD. CBD diincisi sepanjang axis CBD sedekat mungkin
dengan duodenum, panjang 2cm ,untuk mencegah stenosis. CBD diexplore dan bersihkan
dari batu.Buat anastomose sde to side single layer dengan benang absorbable,pasang
drain.Alternatif CDD adalah Choledochojejunostomy ( CDJ ) dengan loop jejunum atau
konfigurasi Roux- an- Y. Jika digunakan loop , jejunojejunostomy side to side anastomose
dilakukan. Laparoscopic Choledochoduodenostomy dapat dilakukan dengan masa rawat inap
lebih pendek ( 6 hari ).
Kolangitis
Penatalaksanaan awal yang cepat sangat diperlukan. Resusitasi cairan, koreksi elektrolit dan
koagulopati,analgetik, antibiotik spektrum luas kombinasi cefalosporin, metronidazole, dan
ampicillin. Drainase biliary tree adalah yang utama pada cholangitis akut. Waktu dan rute
dekompresi tergantung respon antibiotik, penyebab obstruksi, dan adanya morbiditas. Metoda
dekompresi bisa endoscopic, percutaneus transhepatik, dan drainase pembedahan.
BAB IV
JURNAL
Diagnosis Awal dan Manajemen
Kolangiokarsinoma dengan Ikterus Obstruktif
World Journal of Gastroenterology 2008 May 21; 14(19): 3000-3005
Takashi Tajiri, Hiroshi Yoshida, Yasuhiro Mamada, Nobuhiko Taniai,
Shigeki Yokomuro, Yoshiaki Mizuguchi
Editor: Gianfranco D Alpini, PhD, Professor; Sharon DeMorrow, Assistant Professor
Abstrak
Kolangiokarsinoma merupakan kanker hati primer kedua tersering. Meskipun teknik
diagnostik sudah maju pada dekade terdahulu, kolangiokarsinoma biasanya ditemukan pada stadium
lanjut. Pada tinjauan ulang ini, kami menggambarkan klasifikasi, diagnosis, dan penanganan awal
kolangiokarsinoma dengan ikterus obstruktif.
INTRODUKSI
Kolangiokarsinoma adalah keganasan primer hepar kedua terbanyak, meskipun teknik
diagnostik berkembang selama dekade terakhir, kolangiokarsinoma, umumnya sudah memasuki
stadium lanjut, kolangiokarsinoma biasanya ditemukan pada stadium lanjut.
KLASIFIKASI
Kolangiokarsinoma merupakan keganasan epitelial yang berasal dari kolangiosit dan dapat
terjadi pada level manapun dari traktus billiaris. Secara umum diklasifikasikan menjadi
kolangiokarsinoma intrahepatik, kolangiokarsinoma hilar, dan tumor saluran empedu tumor duktus
billiaris ekstrahepatik distal. Secara histologis, lebih dari 95 % kolangiokarsinoma merupakan
adenokarsinoma. Secara patologis, diklasifikasikan menjadi kanker sklerosis, noduler, dan intraduktal
papiler. Klasifikasi patologi terbaru yang dapat diaplikasikan pada kolangiokarsinoma intrahepatik
dan ekstrahepatik membagi lesi ini menjadi kolangiokarsinoma mass - forming (noduler), periductal –
infiltrating (sclerosing), dan intraductal – growing (papillary).
DIAGNOSIS
Data laboratoris
Pada umumnya dilakukan observasi pada abnormalitas tes fungsi hati yang menunjukkan
obstruksi duktus billiaris. Peningkatan yang tajam Ca 19-9 pada pasien bergejala umumnya
menunjukkan penyakit stadium lanjut. Carcinoembryonic antigen (CEA) juga meningkat pada pasien
dengan kolangiokarsinoma namun tidak bermakna diagnostik karena sensitivitas dan spesifitasnya
rendah. Kolangitis dan hepatolitiasis umumnya menyebabkan peningkatan kadar tumor marker.
Kolangiokarsinoma tidak dapat didiagnosis berdasarkan data laboratorik saja.
Ultrasonografi (USG)
USG merupakan teknik penciteraan pilihan untuk diagnosis kolangiokarsinoma dengan ileus
obstruktivus. Visualisasi memungkinkan diagnosis yang memadai dan staging lebih dari 90 % kasus.
Adanya pelebaran duktus tanpa hubungan yang jelas dengan lobus hepar menunjukkan ekstensi tumor
ke dalam traktus billiaris segmental. Ultrasonografi (USG) bermanfaat untuk evaluasi ekstensi lokal
dari penyakit namun memiliki keterbatasan dalam staging metastasis jauh. Kolangiokarsinoma
intrahepatal dapat diidentifikasi sebagai massa, kadang berhubungan dengan dilatasi duktus billiaris di
proksimal lesi. Vaskularisasi tumor, merupakan karakteristik yang penting untuk dapat dinilai dengan
USG doppler berwarna. Suatu sinyal doppler yang abnormal didapatkan dari sistem vena porta yang
disebabkan oleh penyempitan atau oklusi berat sangat mendukung keterlibatan tumor yang tak dapat
direseksi. Meskipun demikian suatu sinyal doppler yang normal tidak mengeksklusi keterlibatan
tumor, apabila tumor terkontaminasi dengan pembuluh darah menunujukkan gangguan dari
permukaan tumor – pembuluh darah hiperekoik.
Endoscopic ultrasound (EUS) bemanfaat dalam mengevaluasi perluasan penyakit dan dalam
melakukan aspirasi jarum halus. Eloubeidi et al melaporkan bahwa EUS guided FNAB bermanfaat
untuk diagnosis kolangiokarsinoma. Sensitivitas dan Spesifisitas, positive predictive value, negative
predictive value, akurasitas yaitu 86 %, 100%%, 100%, 57%, dan 88%. EUS guided FNA dari
limfonodi memfasilitasi staging dari penyakit ini.
Computed Tomography (CT)
CT memungkinkan identifikasi dilatasi duktus biliaris dan penilaian dari parenkim hepar dan
limfonodi. Meskipun demikian, evaluasi dari perkembangan penyakit baik oleh diagnostik imaging
via duktus biliaris masih merupakan tantangan pada pasien dengan kolangiokarsinoma, terutama pada
CT konvensional. Akhir-akhir ini, perkembangan multi detector row CT scan memungkinkan
rekonstruksi gambar secara cepat dan meningkatkan nilai CT scan sebagai alat diagnostik yang
interaktif. Lebih lanjut, metode inovatif untuk rekontstruksi dengan CT, meliputi rekonstruksi
multiplanar dan gambar 3 dimensi, telah digunakan untuk visualisasi duktus biliaris. CT angiografi
telah menunjukkan manfaat dalam deteksi dan pengelolaan penyangatan vaskular.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI disertai Magnetic Resonance Cholangio Pancreticography (MRCP) merupakan alat diagnostik
pilihan untuk mengevaluasi perluasan penyakit. Keterbatasan teknik imaging konvensional telah
meningkatkan penggunaan MRCP, yang merupakan teknik non invasif yang sangat akurat untuk
evaluasi pasien dengan obstruksi biliaris. MRCP sangat cocok untuk visualisasi kolangiokarsinoma
intrahepatik maupun ekstrahepatik yang tampak sebagai lesi intense, lesi hipointense pada gambar T1-
weighted dan lesi hiperintense pada gambar T2-weighted. Gambar dapat diperjelas dengan
menggunakan superparamagnetic iron atau dengan delayed gadolinium enhancement. Akurasi
diagnosis secara keseluruhan adalah 96,3% untuk level obstruksi dan 89,7% untuk penyebab
obstruksi. MR angiography dapat digunakan untuk mengevaluasi keterlibatan vaskuler.
Cholangiography
Sebelum MRCP berkembang, direct cholangiography adalah satu-satunya teknik untuk evaluasi
sistem bilier. Direct Cholangiography dapat dilakukan melalui perkutan transhepatik cholangiography
atau endoskopik retrograde cholangiography, dan dapat diambil contoh dari duktus biliaris. Hasil
kerokan dianalisis secara sitologi. Pada suatu studi sensitivity, spesificity, positive predictive value,
negative predictive value, accuracy dari hasil kerokan yang diperiksa secara sitologi : 75%, 100%,
100%, 12,5%, dan 75,9%. Spesimen dari duktus biliaris diperiksa secara sitologi. Performa diagnostik
dari transluminal forceps biopsy untuk obstruksi biliaris maligna adalah sebagai berikut : sensitivity
78,4%, specificity 100%, dan accuracy 79,2%. Savader et al membandingkan akurasi diagnostik dari
tiga teknik yang berbeda untuk percutaneus transhepatic intraductal biopsy : brush cytology,
clampshell forceps, dengan tuntunan koledokoskopik, dan clampshell forceps dengan tutunan
fluoroskopi. Teknik biopsi kolodoskop directed memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tertinggi
dari tiga teknik itu, namun tidak secara signifikan lebih baik (p>0.10>. Biopsi multiple tidak
meningkatkan sensitivitas biopsi bilier intraduktal sebagai teknik diagnostik. Ketiga teknik itu aman
dan mudah dikerjakan. Pada pasien dengan obstruksi biliris maligna, Sitologi kerokan lebih sensitiv
untuk diagnosis kolangiokarsinoma dibanding untuk diagnostik non kolangiokarsinoma (p<0.05).
Letak stenosis tidak berhubungan dengan sensitivitas dan keberhasilan teknik (p>0..9)
Cholangiography cine rotasional digunakan untuk mendiagnosis karsinoma duktus biliaris.
Cholangiography cine rotasionalmerupakan teknik andalan untuk mendeteksi kelancaran duktus
biliaris, sebaik mendiagnosis perpanjangan longitudinal penyebaran kanker sepanjang duktus biliaris.
Furukawa et al mengevaluasi manfaat cholangiography 3 dimensi dan Cholangiography cine
rotasional untuk menggambarkan anatomi hilus duktus biliaris dan ekstensi tumor, dan untuk
merencanakan prosedur operasi cholangiocarsinoma hilar.
Angiography
Angiography menunjukkan anatomi arteri arteri hepar dan biliaris. Angiografi merupakan teknik yang
unggul untuk mendeteksi vaskuler dan bermanfaat untuk merencanakan prosedur operasi.
Scintigraphy
Technetium-99m galactosyl human serum albumin scintigraphy: Technetium-99m-
diethylenetriaminepentaacetic acid-galactosyl-human serum albumin (99mTc-GSA) merupakan ligan
analog asialoglycoprotein yang terikat spesifik dengan reseptor asialoglycoprotein (ASGP-R) yang
berada pada hepatosit mamalia. Uptake hepar terhadap 99mTc-GSA setelah 15 menit menandakan
populasi reseptor atau massa hepatosit fungsional.
Nanashima et al mempelajari hubungan antara pengukuran morfologis volume hepar pada CT dengan
volume fungsional pada scintigrafi 99mTc-GSA. Tidak didapatkan perbedaan bermakna pengukuran
volume diantara kedua teknik volumetric tersebut. Pengukuran volumetric dengan scintigrafi 99mTc-
GSA berguna untuk mendeteksi perubahan volume fungsional lobus hepar seseorang dan metode
yang lebih dinamik dibandingkan penilaian perubahan morfologi pada CT scan.
Kami mengkonfirmasi perubahan hemodinamik distribusi aliran vena splenik pada hepar, terutama
pada sirosis hepar, dan menunjukkan peran aliran vena splenik terhadap regenerasi atau pembesaran
lobus hepar bermakna pada scintiphotosplenoportography setelah injeksi 99mTc-GSA intrasplenik
perkutaneus. Kami menyimpulkan bahwa aliran darah vena splenik memacu fibrosis lobus kanan
hepar karena terpapar kerusakan kontinyu, dengan peningkatan aliran bertahap pada lobus kiri,
menunjukkan fibrosis yang lebih ringan.
Positron emission tomography (PET) : PET dengan [18F]-fluorodeoxyglucose dapat digunakan
untuk menyingkirkan metastasis, walaupun temuan ini harus benar-benar diperhatikan karena hasil
positif palsu menghasilkan lesi inflamasi, terlebih lagi, PET scan normal tidak mengeksklusi kanker.
MANAJEMEN AWAL
Drainase Bilier
Pada pasien dengan ikterus obstruktif karena cholangiocarcinoma, terutama cholangiocarcinoma
hilus, drainase bilier preoperatif direkomendasikan untuk meningkatkan fungsi hepar sebelum
pembedahan dan untuk mengurangi komplikasi postoperatif. Percutaneus transhepatic biliary drainage
(PTBD) dengan drain multiple merupakan metode yang sebelumnya dipilih preoperatif pada ikterus
obstruksi. Pada pasien dengan cholangiocarcinoma hilus, saat ini drainase hanya dilakukan pada lobus
hepar yang dipertahankan setelah reseksi dan pada area cholangitis segmental. Endoscopic biliary
drainage (EBD) kurang invasive dibandingkan PTBD. Akan tetapi, EBD telah dikonversi menjadi
PTBD pada pasien dengan cholangitis segmental, yang mana membutuhkan drainase lama, atau pada
kasus perluasan tumor yang belum diketahui dengan jelas.
Kamiya et al melaporkan bahwa gangguan fungsi barier intestinal tidak berespon terhadap drainase
bilier eksterna tanpa penggantian empedu. Penggantian empedu selama drainase bilier eksterna dapat
mengembalikan fungsi barier intestinal pada pasien dengan obstruksi bilier, terutama memicu
perbaikan kerusakan fisik terhadap mukosa intestinal. Koivukangas et al melaporkan bahwa sintesis
sel protein awalnya terganggu dibandingkan dinamika sel pada ikterus obstruksi. Penurunan sintesis
skin-collagen basal sebagian membaik seiring resolusi ikterus.
Sebelumnya kami melaporkan bahwa peningkatan serum kolagen IV merupakan bentuk ikterus
obstruksi maligna dan sering berkaitan dengan klirens bilirubin yang lama, dan indikator yang
berguna dalam klinis, morbiditas postoperatif, dan mortalitas pasien dengan ikterus obstruktif
maligna.
Prosedur pilihan untuk drainase bilier sebelum hepatektomi pada pasien dengan ikterus obstruksi tetap
kontroversial, contoh drainase bilier selektif hanya untuk drainase total atau hepar yang tersisa.
Ishizawa et al melaporkan drainase bilier selektif lebih superior dibandingkan drainase bilier total
untuk memacu hipertrofi hepar yang tersisa pada pasien yang dilakukan embolisasi vena porta dan
untuk menjamin fungsi hepar yang baik sebelum hepatektomi. Hochwald et al menunjukkan bahwa
stenting bilier preoperative pada cholangiocarcinoma proksimal meningkatkan insidensi kontaminasi
empedu dan komplikasi infeksi postoperative. Cherqui et al menunjukkan bahwa reseksi hepar tanpa
drainase bilier preoperative merupakan prosedur yang aman pada kebanyakan pasien dengan ikteruks
obstruksi. Pemulihan fungsi sintesis hepar identik pada pasien tanpa ikterus. Kebutuhan tranfusi dan
insidensi komplikasi postoperative, terutama kebocoran empedu dan pengumpulan empedu
subdiafragma, lebih bnyak pada pasien ikterus. Pitt et al menyimpulkan bahwa PTBD preoperative
tidak menurunkan resiko operatif tetapi meningkatkan biaya perawatan dan juga mengecewakan
penggunaan rutin. Indikasi stenting bilier preoperative pada pasien dengan ikterus obstruksi tetap
controversial.
Portal Vein Embolization (PVE)
PVE sebelum hepatektomi didesain untuk menginduksi atrofi lobus yang akan dilakukan reseksi
dengan embolisasi. Induksi diikuti hipertrofi kompensasi dari lobus yang tersisa. PVE dengan
hipertrofi kompensasi dari lobus hepar kontralateral yang tersisa dilakukan untuk memperluas
hepatektomi (reseksi ≥ 5 segmen hepar). Kami melaporkan embolisasi kombinasi pada arteri hepatica
dan vena portal.
Ablasi Bilier
Infus etanol bilier selektif dapat dilakukan dengan aman tanpa komplikasi serius, termasuk ablasi
lobar dengan hipertrofi hepar kontralateral.
Operasi
Pembedahan reseksi tetap merupakan terapi kuratif utama pada cholangiocarcinoma. Hepatektomi
dengan diseksi nodus sistematik berkaitan dengan survival yang baik pada pasien dengan karsinoma
yang melibatkan hilus hepar, termasuk pada penyakit yang lanjut. Hemihepatektomi ekstended,
dengan atau tanpa pancreaticoduodenektomi, disertai reseksi duktus biliaris ekstrahepatik dan
limfadenektomi regional telah diketahui sebagai terapi kuratif standar untuk kanker duktus biliaris
distal. Pancreaticoduodenektomi merupakan pilihan terapi untuk kanker duktus biliaris tengah dan
distal. Hepatektomi dengan pancreaticoduodenektomi (hepatopancreatoduodenektomi) dilakukan
pada beberapa pasien dengan penyakit yang telah meluas. Miyazaki et al melaporkan bahwa
hepatektomi dengan mempertahankan parenkim menghasilkan reseksi kuratif dan meningkatkan
keluaran pasien cholangiocarcinoma hilus terlokalisir dari duktus hepatikus yang menentukan perlu
tidaknya reseksi vaskular. Prosedur yang lebih sederhana dapat diterapkan jika batas reseksi bebas
tumor. Bahkan pada beberapa terapi kuratif selektif, dengan 5-year survival pasien dengan
cholangiokarsinoma berkisar 30% - 40%. Batas pembedahan bebas tumor merupakan predictor
survival yang paling baik. Beberapa skema staging yang diajukan, tidak ada yang berkaitan dengan
resektabilitas. Keterlibatan limfadenopati juga merupakan predictor survival.
Terapi Adjuvan
Terapi adjuvant dengan beberapa pilihan terapi, terutama radiasi, terapi fotodinamik, dan kemoterapi,
sama sekali tidak menunjukkan keuntungan.
Terapi Paliatif
Sebelumnya, endoprostese plastic diberikan untuk terapi paliatif pada kasus obstruksi bilier maligna.
Expandable Metal Stent (EMS) digunakan untuk menyediakan terapi paliatif pasien dengan ikterus
obstruksi maligna. EMS dibandingkan dengan endoprostese plastik untuk terapi paliatif pada ikterus
obstruksi maligna. EMS diinsersi perkutan atau secara endoskopi
Penanaman stent bilier dikombinasi dengan terapi tumor lokal, seperti brakiterapi, eksternal radiasi,
atau kemoterapi infuse arteri, dapat memperpanjang survival pasien dengan obstruksi biler maligna.
Mezawa et al mengembangkan tube PTBD baru yang dilapisi karboplatin.
Cholangiojejunostomy intrahepatik menghasilkan obstruksi bilier maligna unresectable. Stenting
endoskopik untuk penanganan pada kondisi tersebut mengurangi terapi pembedahan
Transplantasi
Walaupun survival awal setelah transplantasi untuk cholangiokarsinoma sangat memuaskan, angka
rekurensi yang tinggi memberi keraguan terhadap transplantasi hepar. Namun temuan terbaru
mengarah pada kebangkitan transplantasi hepar untuk cholangiokarsinoma unresectable. Becker et al
melaporkan serial 280 pasien dengan cholangiokarsinoma yang menerima transplantasi hepar. Setelah
follow up pertengahan 452 hari, angka survival pada 1 dan 5 tahun sebesar 74% dan 38%. Heimbach
et al melaporkan 56 p asien yang diperlakukan unresectable, cholangiokarsinoma perihilar st I dan II.
Disease-free survival 5 tahun sangat memuaskan (82%) dan pasien yang terpilih yang dilakukan
pemberian neoadjuvan external-beam terapi radiasi, radiasi intrabiliary transchateter, kemoterapi, dan
laparotomi eksplorasi pretransplant-staging. Kemoradioterapi neoadjuvan dengan transplantasi hepar
memberikan hasil yang memuaskan pada beberapa pasien dengan cholangiokarsinoma hepar
terlokalisir dengan negative limfonodi regional.