127
Tinjauan Ilmiah IKTERUS OBSTRUKTIF Panduan Diagnosis dan Penatalaksanaan Pembimbing : dr. Kunsemedi, SpB-KBD STASE SUB BAGIAN BEDAH DIGESTIF BAGIAN BEDAH FK UNDIP – RS DR. KARIADI SEMARANG JANUARI 2013

Ikterus Obstruktif

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Ikterus Obstruktif

Tinjauan Ilmiah

IKTERUS OBSTRUKTIFPanduan Diagnosis dan Penatalaksanaan

Pembimbing :

dr. Kunsemedi, SpB-KBD

STASE SUB BAGIAN BEDAH DIGESTIFBAGIAN BEDAH FK UNDIP – RS DR. KARIADI SEMARANG

JANUARI 2013

Page 2: Ikterus Obstruktif

BAB I

PENDAHULUAN

DEFINISI

Jaundice adalah manifestasi klinik dari proses penyakit yang berhubungan dengan

peningkatan bilirubin serum dan deposit dari pigmen bilirubin dalam jaringan tubuh.Jaundice

muncul gejala klinik pertama pada sklera dan palatum dan kulit,ketika bilirubin serum ketika

konsentrasinya melebihi 2,5 mg/dl.

Ikterus obstruksi saluran empedu :disebabkan adanya hambatan oleh sumbatan mekanik yang

menyebabkan terjadinya kolestasis. Insidensi di Amerika terdapat 5 kasus per 1000 orang.

ANATOMI HEPATO-BILIAR

HEPAR

Hepar merupakan kelenjar terbesar di tubuh, berat rata-rata 1500 g atau 2,5 % berat

badan orang dewasa normal, terletak di bawah kubah kanan diafragma dan sebagian kubah

kiri. Hepar terbagi menjadi 2 lobus utama, kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi

segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis. Lobus kiri dibagi menjadi segmen

medial dan lateral oleh ligamentum falciforme yang berjalan dari hepar ke diafragma dan

dinding depan abdomen. Permukaan hepar diliputi oleh peritoneum viseralis, kecuali daerah

kecil pada permukaan posterior yang melekat langsung pada diafragma.

Gambar 1a : Hepatic ligaments suspending the liver to the diaphragm and anterior abdominal wall

Page 3: Ikterus Obstruktif

Gambar 1b : Pembaggian segmen hepar menurut Couinaud

Lobi Hepati menurut Couinaud

Couinaud , Healey , dan Schroy menyusun nomenklatur pembagian lobus sebagai berikut :

hepar terbagi oleh bidang utama, yaitu bidang parasagital khayal melalui vesika biliaris

( felea ) di anterior sampai vena cava inferior di posterior menjadi lobus dexter dan sinister

secara fungsional. Selanjutnya hepar terbagi menjadi segmentum. Segmentum I, II, III , dan

IV menyusun lobus sinister fungsional dan segmen V, VI, VII dan VIII menyusun lobus

dexter fungsional. Lobus dexter terdiri dari atas sektor anterior dan posterior. Sektor dexter

anterior terdiri dari atas segmental V dan VIII sedang sektor posterior terdiri atas segemental

VI dan VII.

Lobus sinester terdiri atas sektor; segmental IV sesuai dengan sektor sinister medial,

segmental II dan III sesuai dengan sektor sinister lateral. Segmental I sesuai dengan lobus

kaudatus sedang segmental IV sesuai dengan lobus quadratus. Vena hepatika berada dialam

parenkim hepar di antara sektor-sektor.

Page 4: Ikterus Obstruktif

Struktur Mikroskopik

Setiap lobus hepar terbagi menjadi lobulus-lobulus, yang merupakan unit mikroskopis dan

fungsional organ. Setiap lobulus merupakan badan heksagonal yang terdiri dari lempeng-

lempeng sel hepar yang berbentuk kubus, tersusun mengelilingi vena sentralis. Di antara

lempeng sel hepar terdapat kapiler-kapiler yang disebut sinusoid, yang merupakan cabang

vena porta dan arteri hepatika. Sinusoid dibatasi oleh sel fagositik yaitu sel kupfer. Sel

kupfer merupakan sistem monosit-makrofag, dengan fungsi utama memfagosit bakteri dan

benda asing dalam darah. Selain cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika yang

melingkari bagian perifer lobulus hepar, juga terdapat saluran empedu. Saluran empedu

interlobular membentuk kapiler empedu yang sangat kecil yang disebut kanalikuli, berjalan di

tengah-tengah lempengan sel hepar. Empedu yang dibentuk dalam hepatosit diekskresikan ke

dalam kanalikuli yang bersatu membentuk saluran empedu yang semakin lama semakin

besar, hingga membentuk saluran empedu yang besar ( ductus Choledochus ).

Sirkulasi

Hepar memiliki dua sumber suplai darah, dari daluran cerna dan limpa melalui vena

porta, dan dari aorta melalui arteri hepatika. Sekitar sepertiga darah yang masuk adalah darah

arteri dan duapertiganya adalah darah dari vena porta. Volume darah yang melewati hepar

setiap menit adalah 1500 ml dan dialirkan melalui vena porta dan arteri hepatika kanan dan

kiri, yang selanjutnya bermuara ke vena kava inferior.

Gambar 2. Arterial anatomy of the upper abdomen and liver, including the celiac trunk and

hepatic artery branches. a. = artery; LHA = left hepatic artery; RHA = right hepatic artery.

Saat mencapai hepar vena porta bercabang-cabang menempel melingkari lobulus

hepar. Cabang-cabang ini kemudian mempercabangkan vena-vena interlobularis yang

berjalan di antara lobulus-lobulus. Vena-vena ini selanjutnya membentuk sinusoid yang

Page 5: Ikterus Obstruktif

berjalan di antara lempengan hepatosit dan bermuara dalam vena sentralis. Vena sentralis dari

beberapa lobulus bersatu membentuk vena sublobularis yang selanjutnya kembali menyatu

membentuk vena hepatika. Cabang-cabang terhalus dari arteri hepatika juga mengalirkan

darahnya ke sinusoid, sehingga terjadi campuran darah dari arteri hepatika dan darah vena

dari vena porta.

APPARATUS BILIARIS

Gambar 3. Anatomi biliaris dari anterior; a = right hepatic duct; b = left hepatic duct; c = common hepatic

duct; d = portal vein; e = hepatic artery; f = gastroduodenal artery; g = left gastric artery; h = common bile duct;

i = fundus of the gallbladder; j = body of gallbladder; k = infundibulum; l = cystic duct; m = cystic artery; n =

superior pancreaticoduodenal artery. Note: the situation of the hepatic bile duct confluence anterior to the right

branch of the portal vein, the posterior course of the right hepatic artery behind the common hepatic duct

Anatomi Apparatus Biliaris

Apparatus billiaris merupakan suatu sistem yg terdiri atas vesica fellea, ductus hepaticus,

ductus cysticus, dan ductus choledochus.

Vesica fellea

Merupakan suatu kantung berbentuk seperti pear yg terletak di impressio biliaris pd fascies

visceralis lobus hepatis dextra. Vesica fellea memiliki panjang sekitar 8cm dan volume 40-50

cc. Vesica fellea terletak di cavum abdomen pada regio hipokondrium / hipokondriaka dextra.

Vesica fellea memiliki bagian fundus, corpus, dan collum. Fundus vesica fellea menonjol di

margo inferior hepar. Proyeksinya terletak pada perpotongan tepi lateral m. rectus abdominis

Page 6: Ikterus Obstruktif

(MRA) dan pertengahan dari arcus costa dextra. Corpus vesica fellea bersentuhan dengan

facies viseralis hepar ke arah superoposterior sinistra. Colum vesica fellea melanjut sbg

ductus cysticus yg berjalan dalam omentum minus, bersatu dg ductus hepaticus communis

membentuk ductus choledocus/ ductus billiaris. Vesica fellea berfungsi utk menyimpan

cairan billiaris yg diproduksi oleh sel hepatosit, yang kemudian diregulasi ke dalam lumen

duodenum utk mengemulsi lemak.

Gambar 4. Anatomi vesica felea

Vaskularisasi Vesica Fellea

Page 7: Ikterus Obstruktif

Bagan I. Vaskularisasi sistem hepato-bilier

Vesica fellea divaskularisasi oleh a. cystica yang merupakan cabang dari ramus dextra

a. hepatica propria, yang merupakan cabang dari a. hepatica propria, yang merupakan cabang

dari a. hepatica communis, yang merupakan cabang dari truncus coeliacus/ triple hallery yang

dicabangkan melalui aorta abdominalis setinggi vertebrae thoracal XII – lumbal I. Sedangkan

aliran vena melalui v. cystica yang bermuara ke v. porta hepatis.

Inervasi Vesica Fellea

Vesica fellea diinnervasi secara parasimpatis oleh truncus vagalis anterior (cabang dari n.

Vagus/n.X), dan persarafan simpatis oleh n. spinalis segmen thoracal VI-X.

Ductus hepaticus

Ductus hepaticus dextra et sinistra keluar dari hepar melalui porta hepatis, lalu akan

bersatu membentuk ductus hepaticus communis. Ductus hepaticus communis berukuran

panjang sekitar 4 cm, dan berjalan di tepi bebas omentum minus. Ductus hepaticus communis

akan bersatu dengan ductus cysticus utk membentuk ductus choledocus (billiaris).

Ductus cysticus

Ductus cysticus berukuran panjang sekitar 4 cm, berbentuk seperti huruf S dan

berjalan pada tepi bebas di kanan dari omentum minus. Ductus cysticus ini menghubungkan

collum vesica fellea dengan ductus hepaticus communis, lalu bersatu membentuk ductus

choledocus (biliaris). Mukosa ductus cysticus menonjol berbentuk lipatan spiral yg disebut

Page 8: Ikterus Obstruktif

plica spiralis/ valvula heister/ valvula spiralis. Fungsi valvula ini yaitu memperkuat dinding

ductus cysticus dan membantu agar lumen ductus cysticus tetap terbuka.

Ductus Choledochus (Billiaris)

Ductus Choledochus berukuran panjang sekitar 8 cm, merupakan penyatuan ductus cysticus

dan ductus hepaticus communis.

Ductus choledocus awalnya terletak pada tepi bebas kanan omentum minus di depan foramen

epiploica winslow, di depan tepi kanan v. portae hepatis dan di sebelah kanan a. hepatica

communis. Selanjutnya ductus choledocus terletak di belakang duodenum pars superior, di

kanan a. gastroduodenalis, melanjut pada permukaan posterior caput pancreas. Selanjutnya

ductus choledocus akan bersatu dengan ductus pancreaticus major (ductus wirsungi),

bermuara pada dinding posteromedial pertengahan duodenum pars descendens, pada suatu

lumen kecil melalui papilla duodeni major. Bagian terminal ampulla vater dikelilingi oleh

serabut sirkuler yg disebut sphincter oddi.

Gambar 5. Trias Porta

Page 9: Ikterus Obstruktif

BAB II

FISIOLOGI TRAKTUS BILIARIS

Empedu diproduksi oleh hepar 600 – 1000 ml / hari yang mempunyai dua fungsi :

(1) membantu absorbsi dan metabolisme lemak dengan dua cara: (a) membantu proses

emulsi partikel besar dari lemak makanan menjadi partikel yang lebih kecil yang dapat

dicerna oleh enzim lipase. (b) membantu absorbsi produk akhir metabolisme lemak melalui

membran mukosa usus.

(2) ekskresi beberapa sisa produk penting dari darah, terutama bilirubin dan kelebihan

kolesterol .

FISIOLOGI SALURAN EMPEDU

Empedu disekresi dalam dua tingkat oleh liver:

1. Porsi awal disekresi oleh hepatosit; mengandung banyak garam empedu, kolesterol, dan

unsur pokok organik lainnya. Empedu disekresi ke kanalikuli biliaris yang berada di

antara sel-sel hepar.

2. Empedu mengalir dari kanalikuli menuju septum interlobularis, di mana kanalikuli

bermuara ke saluran-saluran empedu terminal dan kemudian ke saluran yang lebih besar,

akhirnya mencapai duktus hepatis dan duktus biliaris komunis. Dari sini empedu

langsung bermuara ke dudenum atau dibelokkan dalam beberapa menit sampai beberapa

jam melalui duktus sistikus sampai kantong empedu.

Dalam perjalanannya melalui saluran-saluran empedu, bagian kedua sekresi dari

hepar ditambahkan ke empedu, berupa larutan ion natrium bikarbonat yang disekresikan oleh

sel-sel epitel sekretorik yang melapisi duktulus dan duktus.

Sekresi kedua ini dapat meningkatkan jumlah empedu hampir 100 persen. Sekresi

kedua dirangsang terutama oleh secretin, yang menyebabkan pelepasan sejumlah tambahan

ion bikarbonat untuk melengkapi ion bikarbonat dalam sekresi pankreas (untuk penetral asam

yang bermuara di duodenum dari perut).

Page 10: Ikterus Obstruktif

Gambar 7. Fisiologi Aliran Empedu

Penyimpanan dan Konsentrasi Empedu

Empedu disekresikan terus menerus oleh sel-sel hepar, sebagian besar disimpan dalam

kantong empedu sampai dibutuhkan di duodenum. Volume yang dapat disimpan dalam

kantong empedu hanya 30 - 60 ml. Namun demikian, selama 12 jam sekresi empedu

(biasanya sekitar 450 ml ) dapat disimpan di kantong empedu karena air, natrium, klorida,

dan sebagian kecil elektrolit lainnya terus-menerus diserap dengan transpor aktif melalui

mukosa kantong empedu, empedu yang tersisa mengandung garam empedu, kolesterol,

lesitin, dan bilirubin. Empedu biasanya terkonsentrasi dengan cara ini sekitar 5 kali lipat,

maksimum 20-kali lipat.

Pada proses pengkonsentrasian dalam kantong empedu, air dan sebagian besar dari

elektrolit (kecuali ion kalsium) diserap oleh mukosa kantong empedu, semua unsur – unsur

penting lainnya, khususnya garam empedu dan substansi lemak kolesterol dan zat lesitin,

tidak diserap oleh karena itu, memiliki konsentrasi yang tinggi dalam kandung empedu,

dengan komponen yang paling banyak adalah garam empedu.

Page 11: Ikterus Obstruktif

Pengosongan kandung empedu

Ketika makanan mulai dicerna di saluran pencernaan bagian atas, kandung empedu mulai

kosong, terutama ketika makanan berlemak mencapai duodenum sekitar 30 menit setelah

makan. Mekanisme pengosongan kandung empedu adalah kontraksi ritmis dari dinding

kantong empedu diiringi relaksasi simultan sfingter Oddi, yang menjaga pintu keluar dari

duktus biliaris komunis ke dalam duodenum. Stimulus terkuat untuk menyebabkan kantong

empedu kontraksi adalah hormon cholecystokinin.

Selain itu kantong empedu juga dirangsang oleh asetilkolin yang disekresi N. Vagus dan

sistem nervus enterik intestinal (saraf yang sama yang memacu motilitas dan sekresi bagian

lain dari saluran pencernaan bagian atas).

Hormon secretin yang juga merangsang sekresi pankreas juga meningkatkan sekresi

empedu, yang menyebabkan peningkatan sekresi natrium bikarbonat, bergabung dengan

bikarbonat dari pankreas dalam menetralisir HCl dari gaster.

Bila lemak tidak dalam makanan, pengosongan kantong empedu berjalan kurang baik,

tetapi ketika jumlah lemak yang ada signifikan, maka pengosongan kandung empedu

biasanya terjadi dalam waktu sekitar 1 jam.

Sel-sel hepar mensintesis sekitar 6 gram garam empedu perhari. Prekursor dari garam

empedu adalah kolesterol,yang terdapat dalam makanan atau disintesis dalam sel hepar

selama metabolisme lemak. Kolesterol pertama-tama diubah menjadi asam kolat atau asam

chenodeoxycholic kira-kira dalam jumlah yang sama. Asam ini akan bersenyawa terutama

dengan glisin dan taurin, membentuk garam empedu glyco dan tauroconjugated. Garam-

garam dari asam ini, terutama garam natrium, kemudian disekresikan dalam empedu.

Fungsi garam empedu: (1) emulsifiying / aksi deterjen pada partikel lemak dalam

makanan, sehingga mengurangi tegangan permukaan partikel dan memungkinkan memecah

gelembung-gelembung lemak ke dalam ukuran kecil; (2) membantu penyerapan: asam lemak,

monogliserida, kolesterol, dan lipid lain dari saluran usus. Hal ini dilakukan dengan

membentuk micelles, yang semi-larut dalam cairan lambung. Lipid usus diangkut dalam

bentuk ini pada mukosa usus, kemudian diserap ke dalam darah.

Tanpa adanya garam empedu di saluran usus, sampai dengan 40 persen lemak hilang

tertelan ke dalam feses.

Sirkulasi enterohepatik garam empedu

Sekitar 94 % garam empedu diserap ke dalam darah dari usus kecil, sekitar setengahnya

dengan difusi melalui mukosa usus halus bagian proksimal, sisanya oleh transpor aktif

Page 12: Ikterus Obstruktif

melalui mukosa usus di ileum distal. Mereka kemudian memasuki darah portal menuju ke

hepar, melalui sinusoid garam-garam diserap hampir seluruhnya kembali ke dalam sel hepar

dan kemudian disekresi kembali ke dalam empedu.

Dengan cara ini, sekitar 94% dari semua garam empedu diresirkulasi ke dalam empedu,

sehingga rata-rata garam tersebut membuat rangkaian sekitar 17 kali sebelum dibawa dalam

feses. Beberapa kandungan garam empedu akan hilang ke dalam feses dan diganti dengan

jumlah yang baru, terbentuk terus-menerus oleh sel-sel hepar. Resirkulasi garam empedu ini

disebut sirkulasi enterohepatik garam empedu.

Jumlah empedu disekresi oleh hepar setiap hari sangat tergantung pada ketersediaan

garam empedu (biasanya total garam empedu sekitar 2,5 gram). Konsumsi suplemen garam

empedu dapat meningkatkan sekresi empedu beberapa ratus mililiter per hari.

Tingkat sekresi harian garam empedu hepar secara aktif dikendalikan oleh ketersediaan

garam empedu di dalam sirkulasi enterohepatic. Adanya fistula biliaris yang mengalirkan

garam empedu ke luar sehingga tidak bisa diserap kembali dari ileum, memacu hepar

meningkatkan produksi garam empedu 6 - 10 kali lipat.

Sekresi kolesterol oleh hepar dan pembentukan batu empedu

Garam empedu dibentuk dalam sel-sel hepar dari kolesterol dalam plasma darah.

Dalam proses sekresi garam empedu, sekitar 1 – 2 gram kolesterol diambil dari plasma darah

dan disekresi ke dalam empedu setiap hari. Kolesterol hampir sepenuhnya larut dalam air.

Garam empedu dan lecithin dalam empedu bergabung dengan kolesterol membentuk misell

ultramikroskopik dalam bentuk larutan koloid.

Dalam kondisi abnormal, kolesterol dapat mengendap dalam kantong empedu, sehingga

terjadi pembentukan batu kolesterol. Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan

oleh kuantitas lemak yang dimakan, karena sel hepar juga mensintesis kolesterol sebagai

salah satu produk metabolisme lemak dalam tubuh. Sehingga diet tinggi lemak selama

periode tertentu rentan terhadap pembentukan batu empedu.

Inflamasi kronis pada epitel kandung empedu dapat mengubah daya serap mukosa

kantong empedu, kadang-kadang memungkinkan penyerapan berlebihan air dan garam

empedu tetapi meninggalkan kolesterol dalam kandung empedu dalam konsentrasi yang

meningkat. Kemudian kolesterol mulai mengendap, awalnya membentuk kristal-kristal kecil

kolesterol pada permukaan mukosa yang meradang, kemudian berkembang menjadi batu

empedu besar.

Page 13: Ikterus Obstruktif

Gambar 8. Pembentukan Batu Saluran Empedu

Metabolisme bilirubin

Normalnya sekitar 85% bilirubin terbentuk dari pemecahan eritrosit tua dalam sistem

monosit makrofag. Masa hidup rata-rata sel darah merah adalah 120 hari. Setiap hari sekitar

50 ml darah dihancurkan, menghasilkan 200 sampai 250 mg bilirubin. Namun sekitar 15 %

pigmen empedu tidak bergantung pada mekanisme ini, tetapi berasal dari destruksi sel

eritrosit matang dalam sumsum tulang (hematopoiesis tidak efektif) dan dari hemoprotein

lain, terutama dari hepar.

Pada katabolisme hemoglobin (terutama terjadi dalam limpa), globulin mula-mula

dipisahkan dari hem, setelah itu hem diubah menjadi biliverdin. Bilirubin tak terkonjugasi

kemudian dibentuk dari biliverdin. Bilirubin tak terkonjugasi berikatan lemah dengan

albumin, diangkut oleh darah ke sel-sel hepar. Metabolisme bilirubin oleh sel hepar

berlangsung dalam empat langkah  produksi, transportasi, konjugasi, dan ekskresi. 

1. Produksi

Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi hemoglobin pada sistem

retikuloendotelial (RES). Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada neonatus lebih tinggi

dari pada bayi yang lebih tua. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin

indirek. Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang bereaksi tidak langsung dengan zat warna diazo

(reaksi Hymans van den Bergh), yang bersifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak.

Page 14: Ikterus Obstruktif

2.Transportasi

Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin. Sel parenkim hepar mempunyai cara

yang selektif dan efektif mengambil bilirubin dari plasma. Bilirubin ditransfer melalui

membran sel ke dalam hepatosit, sedangkan albumin tidak. Pengambilan oleh sel hepar

memerlukan protein sitoplasma atau protein penerima, yaitu protein Y dan Z. Di dalam sel

hepar bilirubin akan terikat terutama pada ligandin (protein Y, glutation S-transferase B) dan

sebagian kecil pada glutation S-transferase lain dan protein Z. Proses ini merupakan proses 2

arah, tergantung dari konsentrasi dan afinitas albumin dalam plasma dan ligandin dalam

hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit dikonjugasi dan diekskresi ke dalam

empedu. Dengan adanya sitosol hepar, ligandin mengikat bilirubin sedangkan albumin tidak.

Pemberian fenobarbital mempertinggi konsentrasi ligandin dan memberi tempat pengikatan

yang lebih banyak untuk bilirubin.

3. Konjugasi

Konjugasi molekul bilirubin dengan asam glukuronat berlangsung dalam retikulum

endoplasma sel hepar, bergantung pada katalisis oleh enzim glukuroniltransferase. Konjugasi

molekul bilirubin sangat mengubah sifat-sifat bilirubin. Bilirubin terkonjugasi tidak larut

dalam lemak, tetapi larut dalam air dan dapat diekskresi dalam kemih.Sebaliknya bilirubin

tak terkonjugasi larut lemak, tidaklarut air, dan tidak dapat diekskresi dalam kemih. Agar

dapat diekskresi dalam empedu, bilirubin harus dikonjugasi. Bilirubin terkonjugasi kemudian

diekskresi ke usus halus. Bilirubin tak terkonjugasi tidak diekskresikan ke dalam empedu

kecuali setelah proses foto-oksidasi

4. Ekskresi

Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air dan

diekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Bakteri usus mereduksi

bilirubin terkonjugasi menjadi sterkobilin atau urobilinogen. Zat-zat ini mewarnai feses

menjadi coklat. Dalam usus bilirubin direk ini tidak diabsorpsi; sebagian kecil bilirubin direk

dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorpsi dalam siklus enterohepatik. Sekitar

10% - 20% urobilinogen mengalami siklus enterohepatik, sedangkan sejumlah kecil

diekskresi dalam kemih.

Page 15: Ikterus Obstruktif

BAB III

PATOFISIOLOGI IKTERUS OBSTRUKTIF

DEFINISI

Ikterus didefinisikan sebagai penumpukan kadar bilirubin dalam darah lebih dari 2.5

mg% yang akan memberikan gejala klinis berupa warna kuning pada sklera mata, mukosa,

dan kulit. Berdasarkan penyebabnya, ikterus diklasifikasikan menjadi ikterus prehepatik,

hepatik, dan post hepatik. Pada pembahasan ini akan dititikberatkan pada ikterus obstruktif

yang disebabkan faktor post hepatik (surgical ikterus)

PATOFISIOLOGI

Empedu merupakan hasil sekresi hepar dengan berbagai fungsi yaitu proses

pencernaan dan penyerapan lipid, menetralisir toxin, karsinogen, obat-obatan, dan

metabolitnya (xenobiotik), dan sebagai rute utama ekskresi untuk berbagai senyawa endogen

dan produk metabolisme, seperti kolesterol, bilirubin, dan banyak hormon.

Pada ikterus obstruktif, efek patofisiologis yang terjadi adalah tidak adanya konstituen

empedu yang paling penting (bilirubin, garam empedu, dan lipid) di dalam usus, dan

masuknya konstituien tersebut kedalam sirkulasi sitemik. Feses akan menjadi pucat karena

bilirubin tidak mencapai usus. Tidak adanya garam empedu menyebabkan terjadinya

malabsorpsi lipid dan vitamin yang terlarut didalam lemak (terutama A, K, dan D). Adanya

maloabsorpsi dari lemak akan menyebabkan terjadinya steatorrhea dan kekurangan vitamin K

dapat mengurangi kadar protrombin dan dalam jangka waktu lama, malabsorpsi vitamin D

dan Ca dapat menyebabkan osteoporosis atau osteomalacia.

Retensi bilirubin menghasilkan hiperbilirubinemia campuran. Bilirubin terkonjugasi

yang banyak pada sirkulasi akan menyebabkan urin berwarna gelap. Tingginya kadar garam

empedu berhubungan dengan timbulnya pruritus. Retensi kolesterol dan fosfolipid

menghasilkan hiperlipidemi. Asam empedu hidrofobik diindikasikan sebagai penyebab utama

hepatotoksisitas dengan perubahan beberapa fungsi sel penting, seperti produksi energi

mitokondria. Gangguan metabolisme mitokondria dan akumulasi asam empedu hidrofobik

berhubungan dengan peningkatan produksi oksigen radikal bebas dan berkembangnya

kerusakan sel sel hepar.

Page 16: Ikterus Obstruktif

ANAMNESIS

Pasien mengeluh kulit, mata, dan mukosa berwarna kuning, disertai urin kuning

kehitaman, feses dempul dan pruritus. Adanya riwayat demam, nyeri kolik, dan ikterus yang

intermiten mungkin mengarah pada cholangitis atau choledocolithiasis. Jika ditemukan

keluhan penurunan berat badan, adanya tumor di dalam perut dan nyeri yang menyerang ke

tulang belakang secara progresif mengarah pada keganasan pankreas. Sedangkan ikterus yang

bertambah berat intensitasnya bisa berhubungan dengan keganasan peri ampullar. Adanya

pembesaran kandung empedu yang dapat diraba pada pasien dengan ikterus bisa dicurigai

terjadi keganasan.

PEMERIKSAAN FISIK

Pada pasien dengan ikterus obstruktif dapat ditemukan kondisi :

1. Warna kulit kuning tua

2. Adanya massa dalam abdomen

3. Urin gelap berwarna seperti teh

4. Feces pucat seperti dempul

5. Pruritus

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Lab:

Bilirubin direk tinggi, bilirubin urin meninggi, sterkobilin feses dan urobilin urin sangat

rendah. Peningkatan SGOT, SGPT, gamma GT, dan Alkali Fosfatase.

Imaging

USG Mengetahui adanya batu, dilatasi duktus bilier. Pemeriksaan ini memiliki

keuntungan karena biaya yang rendah dan tidak memberikan radiasi.

Foto polos abdomen

CT-scan abdomen Mengetahui letak obstruksi. Pemeriksaan ini lebih mahal dan

memberikan radiasi.

ERCP Merupakan tehnik yang mengkombinasikan endoskopi dan fluoroskopi

untuk mendiagnosis dan menangani sistem bilier dan pancreas.

MRCP Teknik imaging non invasif yang menggunakan medan magnet untuk

memvisualisasi duktus biliaris dan pankreatis. Prosedur ini digunakan

Page 17: Ikterus Obstruktif

untuk menentukan batu empedu yang menyumbat duktus sekitar

kandung empedu

PTC Tehnik untuk menvisualisasikan anatomi dari sistem bilier. Menggunakan

kontras medium yang diinjeksikan kedalam duktus bilier didalam hepar dan

dilakukan x-ray. Pemeriksaan ini dilakukan bila pemeriksaan ERCP gagal

dan juga bertujuan untuk drainage aliran empedu pada kasus obstruktif.

DIFERENSIAL DIAGNOSIS

- Choledocholithiasis

- Cholangitis

- Kista duktus Choledochus

- Striktur Bilier

- Keganasan :

o Cholangiokarsinoma

o Kanker ampulla vateri

o Kanker kaput pankreas

- Penyebab lain :

o Kolangitis sklerosis

o Kolangitis Piogenik Rekuren (Oriental Kolangiohepatitis)

o Disfungsi dan Stenosis ampulla

o Kista Choledochus kongenital

o Caroli disease

o Pankreatitis

o Hemobilia

o Divertikel duodenal

o Ascariasis

A. CHOLEDOCHOLITHIASIS

DEFINISI

Cholelithiasis istilah medis untuk menunjukan suatu batu pada saluran empedu. Sedangkan

Choledocholithiasis adalah adanya batu baik satu atau lebih pada duktus biliaris komunis /

(common bile duct / CBD) yang terjadi karena migrasi batu dari kandung empedu atau primer

terbentuk pada duktus biliaris sendiri.

Page 18: Ikterus Obstruktif

KLASIFIKASI

Berdasarkan penyebabnya, batu saluran empedu / choledocholithiasis dibagi menjadi dua :

1. Batu sekunder / secondary bile duct stones

Banyak ditemukan di negara maju / negara barat. Batu ini biasanya berasal dari batu

kandung empedu yang bermigrasi melalui duktus sistikus. Jenis batunya adalah batu

kolesterol (75%) dan batu pigmen / black pigment stones (25%). Batu kolesterol

terbentuk karena adanya kolesterol yang tersaturasi, stasis aliran empedu dan adanya

faktor yang membentuk inti batu. Faktor gaya hidup yang berpengaruh terhadap

timbulnya batu kolesterol antara lain obesitas, penurunan berat badan, dan aktifitas

fisik. Faktor biologi yang berpengaruh adalah bertambahnya usia, jenis kelamin

wanita subur, kadar lemak serum, dan keturunan (kulit putih, hispanik). Batu pigmen

hitam / black pigment stones berhubungan dengan adanya ganguan hemolitik, sirosis,

reseksi ileum, puasa lama, dan nutrisi parenteral total.

2. Batu primer /Primary bile duct stones

Batu primer yang terbentuk pada duktus biliaris biasanya adalah batu pigmen coklat /

brown pigment. Mengandung campuran kolesterol dan bilirubin dengan jumlah

bilirubin lebih dominan. Batu ini sangat berhubungan dengan adanya stasis bilier dan

infeksi bakteri. Pembentukan batu ini diawali dengan adanya infeksi pada sistem

bilier. Pada penelitian terbukti dengan ditemukannya bakteri pada batu pigmen coklat

dan tidak ditemukan pada batu pigmen hitam. Batu jenis ini banyak ditemukan pada

populasi orang asia terutama asia tenggara dan berhubungan dengan batu primer pada

duktus biliaris intrahepatal. Jenis batunya biasanya adalah calcium bilirubinate dan

batu campuran dengan kandungan kolesterol yang lebih banyak dibandingkan dengan

bilirubin. Patogenesis terbentuknya batu ini berhubungan dengan adanya infeksi

duktus bliaris, stasis bilier, diet rendah protein dan lemak, malnutrisi dan infeksi

parasit. Penyebab dari stasis bilier yang memicu berkembangnya batu ini adalah

striktur bilier, stenosis papil, tumor, dan batu sekunder.

ETIOLOGI

Masing masing jenis batu memiliki faktor resiko dan patogenesis yang berbeda-beda.

Cholesterol gallstones

Page 19: Ikterus Obstruktif

Batu kolesterol berhubungan dengan jenis kelamin perempuan, bertambahnya usia dan

genetik. Faktor resiko lainnya yaitu: obesitas, kehamilan, stasis aliran empedu, obat.

Kondisi obesitas sentral / truncal obesity akan menimbulkan metabolic syndrome,

resistensi insulin, DM tipe II, hipertensi, dan hiperlipidemia berhubungan dengan

meningkatnya sekresi kolesterol oleh hepar, merupakan faktor resiko mayor untuk

terbentuknya batu kolesterol. Pada saat kehamilan, tubuh akan memproduksi lebih banyak

hormone progesterone. Hormon ini akan menyebabkan menurunnya kontraktilitas kandung

empedu sehinggga memicu retensi dan pengendapan empedu. Faktor lain yang menyebabkan

stasis aliran empedu adalah cedera medulla spinalis, pemberian TPN (Total Parenteral

Nutrition) jangka lama dan penurunan berat badan yang cepat yang berhubungan dengan

pengurangan asupan karbohidrat dan lemak seperti pada kasus pasca operasi bypass gaster.

Terapi esterogen seperti untuk kontrasepsi atau terapi kanker prostat meningkatkan resiko

terjadinya batu kolesterol melalu peningkatan sekresi kolesterol dari hepar. Clofibrat dan obat

golongan fibrate hypolipidemic lainnya meningkatkan eliminasi kolesterol hepar dengan

meningkatkan sekresi kolesterol melalui empedu, sedangkan golongan somatostatin menjadi

predisposisi batu empedu dengan menurunkan kecepatan pemgosongan lambung. Sekitar

25% pembentukan batu empedu juga berhubungan dengan genetik.

Batu pigmen hitam / black pigment gallstones berhubungan dengan ganguan

hematologi seperti sickle cell anemia, hereditary spherocytosis, dan beta-thalassemia.

Pada kondisi ini terjadi hemolisis sehingga banyak tebentuk bilirubin yang tak terkonjugasi.

Pada sirosis akan terjadi hipertensi portal yang menyebabkan terjadinya splenomegali yang

akhirnya juga akan menyebabkan terjadinya sequestrasi sel darah merah.

Batu pigmen cokelat / brown pigment gallstones berhubungan dengan adanya statis

aliran empedu dan adanya infeksi kronis pada saluran empedu. Di Amerika serikat banyak

berhubungan dengan stricture post operasi dan kista duktus choledochus. Di negara asia

terutama asia tenggara batu ini banyak ditemukan dan berhubungan dengan infeksi parasit.

Faktor resiko lain dari batu empedu adalah Crohn disease, post reseksi ileum, atau

penyakit lain pada sistem gastrointestinal yang menyebabkan terjadinya penurunan reabsorpsi

garam empedu.

PATOFISIOLOGI

Pembentukan batu vesika felea

Batu vesika velea adalah hasil dari pengendapan zat-zat yang terlarut dalam cairan

empedu. Larutan orgnik terbanyak pada cairan empedu adalah bilirubin, garam empedu,

Page 20: Ikterus Obstruktif

phosfolipid, dan kolesterol. Berdasarkan kandungan kolesterolnya, batu empedu dibagi

menjadi batu kolesterol dan batu pigmen. Batu pigmen diklasifikasikan lagi menjadi batu

pigmen hitam dan cokelat. Pada negara-negara maju (negara barat) 80% nya adalah batu

kolesterol dan antara 15-20% adalah batu pigmen hitam.

Batu kolesterol

Batu kolesterol murni jarang ditemukan, kurang dari 10% dari semua batu. Batu

kolesterol murni biasanya tunggal, besar, permukaannya rata. Kebanyakan batu kolesterol

adalah campuran antara kolesterol (selalu > 70%), pigmen empedu, dan kalsium. Batu ini

biasanya multiple, ukurannya bervariasi, permukaannya ireguler, bisa keras atau lunak.

Warnanya bervariasi dari putih kehijauan sampai hijau kehitaman. Kebanyakan batu

kolesterol bersifat radiolusen dan hanya <10% yang radioopak.

Batu kolesterol baik yang murni ataupun yang campuran, awalnya terjadi karena

adanya supersaturasi kolesterol pada cairan empedu. Kolesterol sebenarnya tidak larut dalam

air ataupun cairan empedu. Kelarutan kolesterol tergantung pada konsentrasi realatif antara

kolesterol, garam empedu dan lesitin (fosfolopid utama pada cairan empedu). Keadaan

supersatuasi hampir semua disebabkan oleh hipersekresi kolesterol daripada berkurangnya

fosfolipid atau garam empedu. Kolesterol disekresi ke dalam empedu dalam bentuk

gelembung kolesterol- phosfolipid (cholesterol-phospholipid vesicles/ unilamellar vesicles) .

Hepar juga mensekresi garam empedu yang sangat bermanfaat untuk proses pencernaan dan

penyerapan lemak. Garam empedu akan memecah unilamellar vesicles untuk membentuk

aggregates yang larut dalam air yang disebut mixed micelles. Adanya vesicles dan micelles

di dalam suatu larutan memungkinkan terjadinya pergerakan lipid di antara keduanya.

Maturasi vesikel terjadi jika lipid vesikel bergabung dengan micelles.Vesikel fosfolipid lebih

mudah bergabung dengan micelles dibandingkan dengan vesikel kolesterol sehingga vesikel

akan lebih banyak mengandung kolesterol. Keadaan ini menjadikannya tidak stabil dan

kemudian membentuk kristal kolesterol. Pada cairan empedu yang jenuh, akan terbentuk

cholesterol-dense zones pada permukaan vesikel kolesterol yang akan berkembang menjadi

kristal kolesterol.

Page 21: Ikterus Obstruktif

Gambar 9. Tiga komponen utama cairan empedu. Menggambarkan rasio relative dari garam empedu, kolesterol

dan fosfolipid (lesitin). Daerah yang diberi tanda sebagai "micellar liquid" menunjukan disini kolesterol terlarut

sempurna, daerah arsiran menunjukan kondisi metastabil dimana kolesterol sudah mulai jenuh. Sedangkan

daerah diatas arsiran menunjukan kolesterol banyak yang tidak larut sehingga mudah mengendap untuk

membentuk Kristal.

Batu Pigmen

Batu pigmen memiliki kandungan kolesterol < 20 %. Warna hitam pada batu pigmen

hitam terjadi karena adanya kandungan kalsium bilirubinat. Batu ini biasanya kecil, rapuh,

dan kadang bergerigi. Sama seperti batu kolesterol, batu ini kebanyakan tebentuk didalam

kandung empedu. Terbentuknya batu ini terjadi karena adanya supersaturasi dari kalsium

bilirubinat, karbonat, dan phosfat. Meningkatnya kalsium bilirubinat banyak terjadi pada

kasus gangguan hemolisis seperti pada kasus spherocytosis herediter dan penyakit sickle cell,

dan pada kasus sirosis, dimana kondisi-kondisi tersebut menyebabkan meningkatnya kadar

bilirubin yang belum terkonjugasi / unconjugated bilirubin yang kurang larut dalam cairan

empedu. Banyaknya unconjugated bilirubin yang tidak terlarut akan berikatan dengan

kalsium dan mengendap.

Batu pigmen cokelat biasanya <1 cm, berwarna cokelat kekuningan, halus dan sering

lembek. Batu ini bisa terbentuk didalam kandung empedu atau pada duktus biliaris da terjadi

sebagai akibat adanya infeksi karena adanya stasis dari aliran bilier. Pada infeksi Escherichia

coli, bakteri ini akan menghasilkan enzim glucuronidase yang secara enzimatis akan

Page 22: Ikterus Obstruktif

memecah bilirubin glukuronid untuk membentuk unconjugated bilirubin yang tidak larut.

Unconjugated bilirubin yang tidak larut ini akan mengendap bersama kalsium dan bersama

sel-sel bakteri yang mati akan membentuk batu disepnjang saluran bilier. Stasis aliran bilier

yang terjadi sering disebabkan adanya stricture atau adanya batu sekunder yang menyumbat

duktus bilier sehingga memicu timbulnya infeksi. Pada orang asia, batu ini sering ditemukan

sebagai akibat adanya infeksi parasit

PENEGAKAN DIAGNOSIS

Gejala klinis

Kebanyakan batu saluran empedu / tidak menimbulkan gejala, ditemukan secara tidak

sengaja pada saat pemeriksaan pasien dengan suspek batu vesika felea. Pada penelitian ,

dikatakan bahwa 5% kasus batu CBD ditemukan secara tidak terduga saat operasi. Walaupun

demikian, koledokolitiasis bisa juga muncul dalam kondisi pasien yang parah seperti pada

sudden toxic cholangitis, yang berlanjut ke kematian. Keparahan gejala yang muncul

sebanding dengan derajat obstruksi, lamanya obstruksi, dan luasnya infeksi bakteri

(kolangitis) yang terjadi.

Gejala yang sering muncul adalah kolik bilier, mual, muntah, nyeri perut kanan atas /

epigastrium. Jika sudah terjadi obstruksi pada duktus biliaris maka akan muncul ikterik,

pruritus, BAB dempul, dan BAK seperti teh. Jika sudah terjadi komplikasi seperti

pankreatitis akut, cholangitis, atau abses hepar, maka dapat timbul demam, nyeri pinggang,

hipotensi, dan penurunan kesadaran.

Kolik bilier karena obstruksi CBD tidak dapat dibedakan dengan kolik yang

disebabkan adanya batu pada kandung empedu. Nyeri dirasakan pada regio subkosta kanan,

epigastrium, atau sampai substernal. Pruritus biasanya muncul setelah obstruksi lama, lebih

terasa saat cuaca panas/pasien berkeringat dan terutama pada ekstremitas, lebih sering terjadi

pada obstruksi akibat keganasan.

Klinis bisa tampak normal atau kuning / ikterik, ikterik sclera, dan nyeri tekan perut

kanan atas tanpa tanda rangsang peritoneal. Awalnya mungkin menyerupai kolesistitis.

Adanya nyeri tekan yang berat, mungkin merupakan tanda adanya acute gallstone

pancreatitis, sementara jika ada gejala demam, hipotensi dan ganguan kesadaran, mungkin

mengarah kepada suatu kolangitis.

Jarang sekali pada kasus choledocholitiasis ditemukan pembesaran dari vesika felea,

hal ini terjadi karena biasanya obstruksi yang terjadi bersifat transien dan parsial dan adanya

scar dari vesila felea menyebabkannya tidak elastik dan tidak bisa mengembang. Nyeri tekan

Page 23: Ikterus Obstruktif

mungkin bisa muncul pada perut kanan atas tetapi tanda ini juga bisa muncul karena adanya

kolesistitis, perforasi ulkus peptic, atau pancreatitis akut. Juga bisa didapatkan pembesaran

dan nyeri tekan hepar.

Diagnosis choledocholitiasis menjadi sangat mungkin jika muncul gejala menggigil

yang hilang timbul, demam atau ikterus yang disertai adanya kolik bilier. Beberapa pasien

ditemukan adanya urin yang kehitaman selama serangan kolik walaupun tidak terdapat

adanya ikterus.

Pemeriksaan penunjang

Seringkali sulit untuk membedakan gejala dari koledokolitiasis dengan

cholesistolitiasis. Dengan meningkatnya umur, adanya riwayat demam, kolangitis dan

pancreatitis adalah faktor resiko choledocholitiasis, sementara meningkatnya bilirubin serum,

aspartat transaminase atau alkalifosfatase adalah faktor prediksi yang lain independent

positive predictors.

Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium akan terjadi peningkatan kadar bilirubin, alkali

fosfatase, transaminase, dan gamma-glutamyl transpeptidase (gamma GT). Sedikit

peningkatan dari aspartate aminotransferase dan alanine aminotransferase bisa terjadi

khususnya jika disertai dengan adanya kolangitis. Meskipun kadar bilirubin dan

aminotransferase meningkat pada 70-90% pasien pada saat onset gejala, hampir semua pasien

akan mengalami peningkatan alkaline phosphatase dan gamma-glutamyl transpeptidase.

Meningkatnya kadar amylase dan lipase mungkin mengarah kepada pancreatitis. Adanya

leukositosis mungkin terjadi jika disertai kolangitis, pancreatitis, atau bersaman dengan

kolesistitis. Jika pada pemeriksaan labratorium tidak didapatkan adanya kelainan, tidak

berarti diagnosis choledocolitiasis bisa disingkirkan sehingga menghalangi untuk dilakukan

pemeriksaan penunjang lainnya.

Peningkatan kadar bilirubin terjadi pada 24 jam pasca onset gejala. Kadar bilirubin

bisa mencapai 10 mg/dl, tetapi nilai rata-rata antara 2-4 mg/dl. Bilirubin terkonjugasi / direct

akan meningkat melebihi indirect, tetapi kemudian bilirubin indirect akan meningkat. Kadar

bilirubin tidak akan meningkat sampai tinggi seperti yang terjadi pada kasus keganasan, hal

ini terjadi karena obstruksi yang disebebkan koledokolitiasis biasanya parsial atau transien

(hilang timbul). Salah satu tanda ikterik yang disebabkan oleh koledokolitiasis adalah kadar

Page 24: Ikterus Obstruktif

bilirubin yang berfluktuasi. Jika obstruksi sudah teratasi, kadar alkali fosfatase dan bilirubin

akan kembali normal dalam waktu 1-2 minggu.

Pemeriksaan imaging

USG adalah pemeriksaan penunjang yang sering digunakan untuk mendiagnosa batu

vesika felea > 2mm, mengidentifikasi acute calculous cholecystitis dan menetukan ukuran

CBD. Sensitifitas dan spesifitasnya dilaporkan 48 – 100% dan 64 – 100%, tetapi

kemampuannya untuk mendiagnosa koledokolitiasis hanya 50% bervariasi antara 30 – 90%.

Dalam mendiagnosa choledocholitiasis, USG dilakukan untuk mencari adanya pelebaran

CBD > 8 mm. Dengan menggunakan USG sangat sulit untuk melihat adanya batu pada

duktus biliaris karena batu duktus bilaris cenderung untuk bergerak turun dan adanya udara di

dalam usus dapat menggangu. Adanya pelebaran CBD > 8 mm disertai dengan adanya batu

pada vesika felea, ikterik, dan kolik bilier memberikan kemungkinan yang sangat besar untuk

diagnosis choledocholitiasis.

Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP) bisa memberikan

gambaran anatomi yang detail, dapat mendeteksi choledocholitiasis > 5 mm dengan

sensitivitas dan spesifitas 95 dan 89%. Endoscopic cholangiography adalah gold standard

untuk mendiagnosa choledocholitiasis. Alat ini juga bisa digunakan sebagai terapeutik

sekaligus saat melakukan diagnosis. Endoscopic ultrasonografi bisa digunakan sebagai alat

diagnostik dengan akurasi yang sama dengan ERCP tetapi tidak bisa digunakan sebagai alat

terapeutik (sensitivitas 91% dan spesifisitas 100%). Pemeriksaan ini lebih baik diikuti dengan

ERCP,sebagai prosedur preterapetik. EUS bisa mendeteksi batu kecil dibanding MRCP. Batu

yang radioopak mungkin bisa terlihat pada periksaan foto polos abdomen atau CT- scan.

ERCP memiliki sensitivitas dan spesifitas 90% dan 98% dengan akurasi 96%. Pada

saat batu sudah teridentifikasi, dengan menggunakan ERCP dapat sekaligus berfungsi

terapetik dengan dilakukan endoscopic sphincterotomy dan pengambilan batu. Jika batu

tidak ditemukan, alat ini bisa digunakan untuk mengambil cairan empedu untuk dilakukan

pemeriksaan mikrolitiasis. Angka keberhasilan ekstraksi batu mengggunakan ERCP dengan

teknik sphincterotomy dan balon kateter atau Dormia basket mencapai 80 - 90%. Dengan

tambahan alat seperti electrohydraulic, laser, atau extracorporeal shockwave lithotripsy pada

kasus batu yang besar, angka keberhasilannya meningkat melebihi 95%.

Page 25: Ikterus Obstruktif

B. CHOLANGITIS

Kolangitis merupakan komplikasi fatal yang cepat dari batu empedu, terjadi sebagai

akibat infeksi bakteri pada saluran empedu pada keadaan obstruksi billiar. Kematian

mendekati 100 % pada pasien yang gagal menjalani terapi konservatif.

PATOFISIOLOGI

Meskipun empedu normalnya steril, dapat dimasuki bakteri ketika percabangan biliar

terganggu seperti adanya batu, striktur atau endoprotesis. Bersamaan dengan sphincter oddi

dan properti bakteriostatik empedu, aliran empedu merupakan komponen penting untuk

mempertahankan sterilitas. Obstruksi duktus billiaris berakibat penurunan pertahanan

antibakterial, membiarkan bakteri memperoleh akses menuju cabang empedu. Jalur infeksi

belum begitu jelas, diduga berjalan ke atas dari duodenum atau penyebaran hematogen

melalui jalur vena porta. Seiring tekanan empedu meningkat oleh obstruksi, bakteri dan

produknya seperti endotoksin bocor menuju sirkulasi sistemik dan menyebabkan septikemia.

Pasien dengan obstruksi parsial memiliki kemungkinan yang tinggi berkembang

menjadi kolangitis dibandingkan obstruksi total, batu saluran empedu seringkali berkaitan

dengan kolangitis dibandingkan dengan neoplasma yang menyebabkan obstruksi. Di US,

koledokolitiasis sekunder merupakan penyebab tersering kolangitis. Di Hong Kong dan Asia

Tenggara, batu saluran empedu primer seringkali terdapat pada daerah endemik

kolangiohepatitis oriental. Penyebab lainnya termasuk tumor periampullar yang menyumbat,

tumor metastatik terhadap porta hepatik atau kelenjar getah bening peripankreatik, striktur

jinak, kolangitis sklerosing primer. Intervensi pada saluran empedu dapat menyebabkan

kolangitis setelah prosedur, kasus kolangitis yang jarang adalah hemobilia, parasit dan

abnormalitas kongenital dari pohon empedu.

E. coli, Streptococcus sp, Klebsiella sp, dan Enterobacteriaceae merupakan organisme

yang paling sering didapatkan pada kultur kolangitis. Pseudomonas sp, flora kulit dan mulut

berkaitan dengan intervensi saluran empedu. Anaerob paling sering didapatkan pada usia tua

setelah pembedahan empedu.

KLINIS DAN DIAGNOSIS

Trias charcot yaitu demam, nyeri kuadran kanan atas, dan jaundice tampak pada 50 –

70% pasien dengan kolangitis. Demam, nyeri perut, dan jaundice terjadi pada 90 %, 70 %

dan 60 % pasien. Hipotensi (20 %) dan perubahan status mental (30 %) tampak pada pasien

sepsis dan dikenal sebagai penta Reynold ketika ada bersama trias charchot. Meskipun

Page 26: Ikterus Obstruktif

peritonitis jarang terjadi, 65 % pasien mengalami nyeri pada kuadran kanan atas. Studi

radiologis dan laboratoris penting untuk membedakan kolangitis dari kolesistitis akut, abses

hepar, dan pankreatitis. Peningkatan serum alkali phospatase, gamma-glutamyl

transpeptidase, dan bilirubin merupakan hal yang khas. Dapat terjadi peningkatan ringan

transaminase, di mana hiperamilasemia ditemukan lebih dari 30 % pasien. Diskusi pada

pencitraan untuk mengevaluasi choledocolithiasis telah ditunjukkan pada potongan di batu

duktus billiaris komunis. Pada pasien dengan tanda kolangitis, modalitas yang paling banyak

digunakan adalah ultrasonografi dan CTscan. Ultrasound memiliki akurasi yang tinggi dalam

mendiagnosis kolesistitis akut dan mengidentifikasi batu empedu. Bagaimanapun juga,

kemampuannya untuk mendiagnosis choledocolithiasis hanya 50 %, bervariasi dari 30 –

90%. Meskipun adanya batu saluran empedu dapat berkaitan dengan dilatasi saluran empedu,

ultrasonografi normal tanpa dilatasi saluran belum menyingkirkan choledocolithiasis atau

cholangitis. CT scan lebih unggul dalam menentukan level obstruksi saluran empedu dengan

akurasi 94 % dalam mendiagnosis choledocolithiasis. MRCP memiliki sensitivitas dan

spesifitas mendekati ERCP dalam mendiagnosis batu saluran empedu dan berguna untuk

melihat anatomi empedu. Namun penggunaannya pada keadaan kolangitis akut masih

terbatas. ERCP memiliki akurasi tinggi dalam mengetahui penyebab obstruksi empedu dan

sekaligus melakukan intervensi terapetik. ERCP sebaiknya tidak digunakan sebagai alat

diagnostik pada kolangitis akut.

C. KISTA CHOLEDOCHUSKondisi duktus bilier ekstrahepatik dapat bervariasi dari dilatasi fokal atau difus (kista

choledocus) untuk striktur obstruktif dari duktus bilier. Kista choledocus sering terjadi di

masa kanak-kanak dan semakin tampak saat dewasa. Di US, striktur bilier paling sering

terjadi akibat cedera pasca kolesistektomi, tetapi juga terjadi pada sejumlah kondisi inflamasi

yang mempengaruhi saluran empedu.

Kista choledocus merupakan kelainan bawaan berupa dilatasi fokal atau difus dari

saluran empedu. Insiden kista choledocus di Asia 1 dalam 1000, di negara Barat lebih jarang

terjadi. Rasio perempuan dibanding laki-laki 3-4:1.

KLASIFIKASI

Sistem klasifikasi direvisi oleh Todani dan rekan pada tahun 1977 untuk memasukkan

anomali kista intrahepatik yang dikenal sebagai penyakit Caroli.

Page 27: Ikterus Obstruktif

Tipe I

Kista klasik ditandai dengan dilatasi kistik dari duktus choledocus komunis; yang tersering terdiri dari 50-85% dari semua kista bilier, dibagi menjadi IA (kistik), IB (fusiform), dan IC (sakular)

Tipe II

Simple divertikel sal.empedu ekstrahepatik, terdiri dari kurang dari 5% dari semua kista; terletak di proksimal duodenum

Tipe III

Dilatasi kistik intraduodenum duktus bilier komunis; juga dikenal sebagai choledochocele (5%)

Tipe IV

Multipel kista intrahepatik dan ekstrahepatik sal.empedu, dibagi menjadi tipe IVA (kista pada intrahepatik dan ekstrahepatik) dan IVB (multipel kista extrahepatik tanpa keterlibatan intrahepatik), tipe IVA jenis yang paling sering kedua pada kista bilier (30-40%)

Tipe V

Penyakit kista bilier intrahepatik dikenal sebagai Caroli’s disease, disertai fibrosis atau sirosis periportal, bisa multilobar atau terbatas pada lobus tunggal

Tabel 3. Klasifikasi Todani

A B

C D

E F

Page 28: Ikterus Obstruktif

Gambar 10. Ilustrasi Klasifikasi Todani

PATOGENESIS

Penyebab kista choledocus tidak diketahui, mungkin melibatkan beberapa

mekanisme. Tingginya insiden kista bilier di Asia menunjukkan peran faktor genetik atau

lingkungan. Obstruksi saluran empedu atau distensi pada periode prenatal atau neonatal dapat

menyebabkan pembentukan kista bilier. Dalam model hewan, ligasi duktus bilier pada

neonatus menyebabkan pembentukan kista, sebaliknya, ligasi duktus bilier pada hewan

dewasa menyebabkan distensi kantong empedu. Bukti lain ditemukan pada infeksi virus pada

janin dari isolasi RNA Retrovirus dari jaringan bilier pada anak dengan kista choledocus.

Maljunction pancreaticobilier didefinisikan sebagai persimpangan extramural dari

pankreas dan saluran empedu dalam duodenum melampaui fungsi sfingter intramural dan

ditandai oleh saluran umum yang panjang (biasanya lebih dari 2 cm) (Gambar 11).

Maljunction pancreaticobilier dilaporkan terkait dengan kista choledocus. Maljunction

pancreaticobilier dianggap sebagai faktor risiko yang signifikan untuk pembentukan

cholangiocarcinoma dalam kista bilier, serta pembentukan kanker kandung empedu.

Gambar 11. Pancreaticobilier maljunction

Karena saluran yang panjang, pasien dengan maljunction pancreaticobilier mungkin

telah meningkatkan refluks jus pankreas ke dalam sal.empedu, sejak persimpangan duktus di

luar sfingter Oddi. Refluks sekret pankreas dapat menyebabkan peradangan, aktivasi enzim

proteolitik, kerusakan epitel bilier, perubahan komposisi empedu, dan distensi duktus.

Diperkirakan dari faktor-faktor ini memberikan kontribusi terhadap perkembangan

malignansi kista choledocus atau kandung empedu. Peningkatan tekanan sfingter Oddi juga

terdapat pada maljunction pancreaticobilier, sehingga lebih memungkinkan terjadi reflux.

Page 29: Ikterus Obstruktif

Secara patologi, kista choledochus bervariasi dari mukosa duktus empedu normal ke

karsinoma. Pada anak-anak, gambaran histologis klasik adalah dinding kista tebal dan padat

fibrosis dengan bukti peradangan akut dan kronis. Pada orang dewasa, gambaran umum

adalah peradangan, erosi, kekurangan kelenjar musin, dan metaplasia. Kista tipe III paling

sering dilapisi oleh mukosa duodenum, meskipun kadang oleh epitel saluran empedu.

Keganasan paling sering ditemukan di sepanjang dinding posterior kista.

KLI NIS

Trias klasik untuk kista choledocus adalah nyeri, ikterus, dan massa intraabdominal.

Trias ini ditemukan di sebagian kecil anak-anak. Pada bayi umumnya timbul dengan bilirubin

terkonjugasi tinggi (80%), gagal tumbuh, atau massa intraabdominal (30%). Pada pasien usia

lebih dari 2 tahun, gejala yang paling sering adalah nyeri perut. Jaundice intermiten dan

cholangitis terjadi berulang, seperti pankreatitis, terutama pada pasien dengan kista tipe III

(choledochocele).

Diagnosa

Pasien dengan obstruksi bilier akut maupun kronis memiliki dilatasi bilier yang mirip

kista tipe I. Pada kista tipe I, lesi sering menyebabkan obstruksi dan menyebabkan alkali

fosfatase dan bilirubin tinggi. Pencitraan USG atau CTscan dapat membantu menunjukkan

adanya kista choledochus. USG adalah standar diagnosis antenatal dan pada masa kanak-

kanak, sedangkan CT scan lebih tepat pada pasien dewasa. CT scan digunakan untuk menilai

anatomi hepatobilier dan pankreas, kemungkinan malignansi bilier, penyakit metastasis, dan

vaskularisasi.

A B

Gambar 12

A. CT scan kista Choledochus tipe IA (panah menunjukkan lumpur dalam kista).

Page 30: Ikterus Obstruktif

B. CT scan melalui penampilan hepar menunjukkan beberapa struktur low-density (panah)

dalam lobus kanan dan kiri sesuai dengan kista Choledochus tipe IVA

Magnetik Resonansi Kolangiopankreatografi (MRCP) juga dapat membantu dalam

diagnosis kista choledochus. CT Scan lebih unggul dalam menentukan maljunction

pancreaticobiliary, MRCP kurang sensitif dibandingkan CT scan untuk memeriksa anatomi

empedu intrahepatik.

Kolangiografi merupakan standar baku emas untuk mendiagnosis kista choledochus.

Percutaneous transhepatik kolangiografi (PTC) atau kolangiografi endoscopic retrograde

(ERC) biasanya dilakukan pada orang dewasa dan anak-anak yang lebih besar, sementara

kolangiografi intraoperatif dapat dilakukan pada bayi dan anak kecil. Kolangiografi dapat

menunjukkan dilatasi kistik, adanya batu, obstruksi total dari saluran empedu, dan

maljunction pancreaticobiliary.

Gambar 13. Percutaneous cholangiogram via the right hepatic duct. A large type I

choledochal cyst is seen. Note the anomalous choledochopancreatic duct junction.

Pada kista tipe I atau tipe IV yang memanjang ke bifurkasi hepatik, penempatan PTC

dengan satu atau dua kateter transhepatik bilier dapat memfasilitasi reseksi komplit dan

rekonstruksi empedu. Untuk mengurangi resiko pankreatitis pada maljunction

pancreaticobiliary dan saluran yang panjang, penting untuk menghindari penempatan stent

melalui ampula saat melakukan PTC.

Page 31: Ikterus Obstruktif

Gambar 14. Kista choledocus tipe IVA. Kateter drainase bilier perkutan bilateral (panah) ditempatkan pada

pasien ini, yang memiliki dilatasi duktus empedu intrahepatik yang luas (panah) dan kista choledochus

ekstrahepatik (panah melengkung). Kateter empedu keluar dari kista dan masuk ke duodenum (panah terbuka).

D. STRIKTUR BILIER

Pada prinsipnya, evaluasi dan pengobatan semua pasien dengan penyempitan saluran

empedu berusaha untuk meringankan obstruksi saluran empedu. Ada berbagai etiologi

striktur bilier (Tabel 34-2). Sebagian besar striktur terjadi akibat cedera saluran empedu

selama kolesistektomi. Kondisi peradangan seperti pankreatitis, penyakit batu empedu, dan

primary sclerosing cholangitis juga penyebab penting dari penyempitan saluran empedu.

Postoperative Strictures   Laparoscopic cholecystectomy  Open cholecystectomy  Common bile duct exploration  Injury at other operative procedures    Gastrectomy    Hepatic resection    Portacaval shunt    Biliary-enteric anastomotic stricture  Blunt or penetrating traumaStrictures Due to Inflammatory and Other Conditions   Primary sclerosing cholangitis  Chronic pancreatitis  Cholelithiasis and Choledocholithiasis  Cholangiohepatitis and other parasitic disease

Page 32: Ikterus Obstruktif

  Sphincter of Oddi stenosis  Duodenal ulcer  Granulomatous lymphadenitis  Secondary sclerosing cholangitis    Toxic drugs    Infectious cholangiopathy from AIDS    Hepatic allograft rejection    Graft-versus-host disease in bone marrow transplantation     Histiocytosis X    Congenital biliary abnormality    Mast cell cholangiopathy

Tabel 4. Etiologi Striktur Bilier

Striktur Bilier Pasca Operasi

Penggunaan laparoskopi kolesistektomi pada 1990-an menghasilkan peningkatan

yang signifikan dalam frekuensi trauma bilier dan striktur bilier. Luka pascaoperasi saluran

empedu dapat muncul lebih awal pada periode pasca operasi dengan kebocoran empedu, atau

beberapa bulan atau tahun kemudian dengan ikterus atau kolangitis dari striktur bilier.

KLASIFIKASI

Trauma akibat laparoskopi kolesistektomi sangat kompleks, lokasi dekat bifurkasi

duktus hepatikus, dan termasuk satu atau lebih dari cabang duktus hepatikus. Trauma ringan

pada duktus biliaris meliputi laserasi dari duktus bilier, penempatan klip pada saluran

empedu, trauma elektrokauter, atau avulsi duktus sistikus.

Klasifikasi tradisional striktur bilier dijelaskan oleh Bismuth berdasarkan tingkat

obstruksi dari saluran empedu. Kelemahan dari klasifikasi Bismuth adalah bahwa pasien

dengan striktur yang terbatas seperti striktur duktus hepatikus kanan atau kebocoran duktus

sistikus tidak dapat diklasifikasikan. Klasifikasi Strasberg mampu mengklasifikasikan semua

jenis trauma dan digunakan secara luas dalam menggambarkan trauma duktus bilier akibat

laparoskopi kolesistektomi.

Page 33: Ikterus Obstruktif

Gambar 15. Klasifikasi Bismuth.

Tabel 5. Klasifikasi Strasberg dari Striktur dan trauma Biliar

Class A Injury to small ducts in continuity with the biliary system, with cystic duct leakClass B Injury to sectoral duct with consequent obstructionClass C Injury to sectoral duct with consequent bile leakClass D Lateral injury to extrahepatic ductsClass E1 Stricture >2 cm distal to bifurcationClass E2 Stricture <2 cm distal to bifurcationClass E3  Stricture at bifurcationClass E4  Stricture involving right and left bile ducts; ducts are not in continuityClass E5  Complete occlusion of all bile ducts

PATOGENESIS

Umumnya trauma dan striktur bilier terjadi pasca pembedahan abdomen di kuadran

kanan atas. Insiden trauma bilier terjadi 1 – 3 per 1.000 kasus dilaporkan selama era open

cholescystectomy. Insiden trauma bilier terkait laparoskopi kolesistektomi lebih besar dari

open cholecystetomy, yaitu 0,4-0,7%.

Cedera laparoskopi klasik terjadi ketika duktus sistikus dan CBD terletak dalam

bidang yang sama. Retraksi infundibulum bilier yang berlebihan dapat menyebabkan

kesalahan identifikasi dan trauma. Arteri hepatika kanan juga bisa terluka, menciptakan

Page 34: Ikterus Obstruktif

pendarahan yang berlebihan. Trauma klasik ini diperkirakan terjadi lebih dari 75% dari kasus

trauma bilier.

Gambar 16. Classic laparoscopic bile duct injury.

Resiko cedera saluran empedu meningkat pada pasien dengan obesitas, peradangan

kronis, lemak yang berlebihan di daerah pembedahan, paparan memadai, penempatan klip

yang buruk atau berlebihan, penggunaan yang teledor dari elektrokauter, dan perdarahan ke

dalam bidang operasi.

Page 35: Ikterus Obstruktif

Gambar 17.Cholangiogram intraoperatif diperoleh selama laparoskopi kolesistektomi.

DIAGNOSA

Pasien dengan striktur bilier pasca operasi biasanya menunjukkan profil biokimia

menyerupai kolestasis. Alkaline phosphatase tinggi dan transaminase hepar normal atau

sedikit meningkat (alanin dan aspartat aminotransferases). Serum bilirubin biasanya

meningkat pada kisaran 2-6 mg / dL.

Diagnosis definitif untuk penyempitan saluran empedu dan cedera membutuhkan

pencitraan radiografi. Computed tomography dan USG abdomen keduanya membantu dalam

pasien yang hadir pada awal periode pascaoperasi untuk mendeteksi bilomas dan asites

empedu, serta dilatasi saluran empedu dari obstruksi. Magnetic Resonance

Cholangiopancreatography (MRCP) merupakan metode non-invasif yang efektif untuk

menunjukkan kebocoran empedu atau sumbatan, serta mendefinisikan anatomi bilier dan sifat

cedera (Gambar 19).

Gambar 18. CT scan menunjukkan biloma terkait

dengan kebocoran empedu setelah cedera saluran

empedu.

Gambar 19. Diagnostik MRCP menunjukkan anatomi

bilier terkait dengan kebocoran duktus sistikus setelah

laparoskopi kolesistektomi. Terdapat ekstravasasi

kontras sistem bilier di subhepatik.

Page 36: Ikterus Obstruktif

Kolangiografi saat ini tetap menjadi gold standar untuk mengevaluasi biliary tree.

Endoscopy Retrograde Cholangiography (ERC) dilakukan melalui pendekatan distal ke

traktus biliaris dan bermanfaat pada cedera parsial ke traktus biliaris ekstrahepatik atau

kebocoran duktus sistikus (Gambar 20). ERC tidak menentukan lokasi kebocoran empedu

maupun anatomi proksimal yang diperlukan untuk rekonstruksi. Dalam kasus tersebut,

perkutan transhepatik kolangiografi (PTC) diperlukan untuk menentukan anatomi bilier

proksimal dan tempat cedera.

A B

Gambar 20 A. Endoscopic retrograde cholangiopancreatogram demonstrating cystic duct leak. B. Endoscopic retrograde cholangiopancreatogram with multiple clips across the common bile duct without visualization of the proximal biliary tree in a patient with total transection of the common bile duct during laparoscopic cholecystectomy.

Gambar 21. Percutaneous transhepatic cholangiogram in a patient with complete transection of the common hepatic bile duct. Note the surgical clips near the cutoff point.

E. KANKER KANDUNG EMPEDU

Insiden meningkat sejalan usia, 2 – 6 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan

pria. Di seluruh dunia, tingkat insiden tertinggi (hingga 7,5 per 100.000 pada pria dan 23 per

100.000 pada wanita) terjadi di populasi bagian barat Amerika Selatan (misalnya, Chili dan

Peru), dan di bagian utara India dan Meksiko Amerika.

Page 37: Ikterus Obstruktif

Faktor resiko paling nyata untuk kanker kandung empedu adalah adanya batu

empedu. Batu empedu terdapat pada 70-90% kasus kanker kandung empedu. Pola geografis

kejadian kanker kandung empedu berkorelasi dengan cholelithiasis. Namun, hanya 0,5-3%

dari pasien dengan cholelithiasis yang akan berkembang menjadi kanker kandung empedu.

Resiko kanker kandung empedu berkorelasi dengan ukuran batu empedu dan durasi dari

cholelithiasis. Faktor-faktor resiko lain meliputi kandung empedu porselen (kejadian kanker

kandung empedu 12,5-60%), polip adenomatosa dari kantong empedu (kolesterol dan polip

inflamasi dan adenomyomas tidak terbukti menjadi faktor risiko), infeksi kronis Salmonella

typhi, paparan karsinogen (misalnya radon), dan abnormal pancreaticobiliary duct junction.

PATOGENESIS

Iritasi kronis mukosa kandung empedu oleh batu diduga menjadi faktor utama

penyebab transformasi ganas. Perkembangan dari displasia sampai karsinoma in situ (CIS)

dan kemudian menjadi kanker invasif.

Sebanyak 80% kanker kandung empedu primer adalah adenocarcinoma. Jenis

histologis lain: kanker small cell, karsinoma sel skuamosa, limfoma, dan sarcoma. Kanker

kandung empedu juga diklasifikasikan menurut morfologi sebagai infiltratif, nodular, papiler,

atau kombinasi. Kanker papiler cenderung tumbuh dalam lumen kandung empedu dan

cenderung menyerang hepar atau bermetastasis ke kelenjar getah bening, kanker ini memiliki

prognosis paling baik. Kanker infiltratif atau nodular memiliki pola pertumbuhan lebih

menyebar, sulit untuk dikenali pada studi pencitraan. Lesi ini lebih mungkin untuk

menyerang hepar dan telah menyebar ke kelenjar getah bening pada saat diagnosis.

Tabel 6. Staging TNM pada Kanker kandung Empedu

KLINIS DAN DIAGNOSIS

Gejala umumnya baru muncul pada stadium lanjut: nyeri perut, anoreksia, mual, dan

muntah, yang mungkin bisa dibedakan dari cholelithiasis atau kolesistitis. Penyakit stadium

Page 38: Ikterus Obstruktif

lanjut, terjadi penurunan berat badan, ikterus obstruktif (karena invasi tumor ke dalam traktus

biliaris atau metastasis hepar), obstruksi duodenum, teraba massa abdomen, hepatomegali,

dan ascites.

Uji laboratorium mungkin memberi kesan ikterus obstruktif jika terdapat kondisi ini,

jika tidak, uji ini tidak bermakna dalam diagnosis kanker kandung empedu. Penanda tumor

Carcinoembryonic Antigen (CEA) dan CA 19-9 mungkin meningkat, sensitivitas dan

spesifisitas rendah.

Kebanyakan pasien hadir dengan kondisi batu empedu terkait pemeriksaan

ultrasonografi transabdominal (USG). Temuan sugestif dari kanker kandung empedu di USG

termasuk penebalan mural atau kalsifikasi, massa kandung empedu lebih besar dari 1 cm

diameter, dan hilangnya dinding kandung empedu normal-hepar. Endoskopi ultrasonografi

(EUS) memiliki akurasi yang lebih tinggi dalam menilai kedalaman penetrasi dinding

kandung empedu oleh massa dan pembesaran kelenjar getah bening regional.

Gambar 22. USG kanker kandung empedu. Gambar-gambar menunjukkan penebalan dinding asimetris tubuh

dan leher kandung empedu.

CT scan harus dilakukan pada semua pasien yang diduga menderita kanker kandung

empedu. Temuan kanker kandung empedu termasuk massa menonjol ke dalam lumen

kandung empedu. CT scan juga memberikan informasi tentang metastasis jauh, keterlibatan

kelenjar getah bening regional, dan invasi lokal ke dalam hepar dan porta hepatis.

Page 39: Ikterus Obstruktif

Gambar 23. CT scan kanker kandung empedu. Gambar menunjukkan 3,5 x 4 cm lesi yang timbul dari kantong

empedu fundus dan memperluas ke segmen 5 dari hepar.

Magnetic resonance imaging (MRI) dan magnetic resonance

cholangiopancreatography (MRCP) dapat memberi informasi tentang invasi lokal, khususnya

ke porta hepatis. Tes ini digunakan jika CT tidak jelas. Kolangiografi endoskopik perkutan

tidak dilakukan secara rutin, digunakan terutama untuk paliatif atau manajemen preoperatif

ikterus obstruktif.

F. KANKER DUKTUS BILIARIS

Cholangiocarcinoma (kanker saluran empedu) merupakan kanker di intrahepatik atau

extrahepatic biliar tree, ataupun ampula Vater dan kantong empedu. Umumnya didiagnosis

pada dekade ke-5 – 7. Kejadian kanker saluran empedu sedikit lebih besar pada laki-laki

daripada perempuan.

Di negara Barat, primary sclerosing cholangitis (PSC) merupakan faktor risiko yang

paling penting. Sekitar 30% kasus cholangiocarcinoma di Barat didiagnosis pada pasien

dengan PSC.

Di Asia, cacing hepar Opisthorchis viverrini atau Clonorchis sinensis dan

hepatolithiasis merupakan faktor penting untuk cholangiocarcinoma. Faktor risiko lain

meliputi: kista choledochal, penyakit Caroli, paparan Thorotrast (agen kontras radiologis),

pekerja otomotif, karet, kimia, dan industri kayu, infeksi virus hepatitis C, genetik (Lynch

sydrome II dan multiple papillomatosis bilier).

PATOGENESIS

Transformasi ganas di epitel saluran empedu diduga berhubungan dengan akumulasi

bertahap dari kelainan genetik. Berbagai mutasi dan kelainan lain yang melibatkan onkogen

Page 40: Ikterus Obstruktif

(misalnya, K-ras, c-myc, c-neu, c-erbB-2, dan c-bertemu) dan gen supresor tumor (misalnya,

p53) telah dilaporkan sering pada kanker saluran empedu.

Lebih dari 90% kanker saluran empedu adalah adenocarcinoma. Jenis lainnya yaitu

karsinoma sel skuamosa, karsinoma small cell, dan sarkoma. Adenocarcinoma dari saluran

empedu diklasifikasikan sebagai sclerosing, nodular, atau papiler (analog dengan skema

klasifikasi untuk adenokarsinoma kandung empedu). Sclerosing (scirrous) tumor, yang terdiri

lebih dari 80% dari cholangiocarcinomas, berhubungan dengan reaksi desmoplastic intens,

cenderung sangat invasif, dan dikaitkan dengan tingkat resektabilitas rendah. Tumor nodular

memiliki penampilan konstriksi lesi annular dan juga dikaitkan dengan tingkat resektabilitas

rendah. Tumor papiler relatif langka dan muncul sebagai massa besar tumbuh ke dalam

lumen saluran empedu. Karena lesi cenderung menyebabkan ikterus obstruktif maka gejala

diketahui relatif awal, sehingga lebih resectable dibanding sclerosing atau tumor nodular.

Cholangiocarcinoma juga diklasifikasikan berdasar lokasi anatomi: (1) intrahepatik atau

perifer (10%), (2) perihilar (65%), dan (3) distal (25%). Transisi antara lokasi perihilar dan

distal terjadi di mana CBD menjadi retroduodenal. Tumor saluran empedu yang melibatkan

bifurkasi ductus hepaticus dikenal sebagai tumor Klatskin. Sebuah sistem klasifikasi untuk

cholangiocarcinomas perihilar diusulkan oleh Bismuth.

Tabel 7. Klasifikasi Kanker Duktus Bilier dan Perihiler

Cholangiocarcinoma intrahepatik digolongkan dengan cara yang sama dengan

hepatoselular carcinoma.

Tabel 8. Staging TNM Pada Kanker Duktus Biliaris

Page 41: Ikterus Obstruktif

Tabel 9. Staging TNM pada Kanker Duktus Biliaris Ekstrahepatik

KLINIS

Cholangiocarcinoma intrahepatik biasanya hadir dengan gejala spesifik: nyeri perut,

anoreksia, penurunan berat badan, dan malaise. Seringkali terdeteksi insidental massa

intrahepatik pada pemeriksaan fisik atau pada studi pencitraan. Gambaran klinis paling umum

cholangiocarcinomas extrahepatic adalah ikterik. Manifestasi lain dari obstruksi bilier: feses

acholic, urin gelap, pruritus, nyeri perut, kelelahan, malaise, dan penurunan berat badan.

Tanda-tanda kanker saluran empedu lanjut meliputi nyeri perut kuadran kanan atas,

hepatomegali, dan kandung empedu teraba. Biasanya tidak terjadi cholangitis jika tidak

dilakukan instrumentasi saluran empedu.

Diagnosis banding: neoplasma hepatobilier dan pankreas primer dan metastasis dan

striktur bilier jinak karena kondisi seperti PSC, choledocholithiasis, sindrom Mirizzi, dan

striktur pasca operasi.

Cholangiocarcinoma intrahepatik, biasanya menunjukkan peningkatan alkali fosfatase

meski bilirubin normal. Cholangiocarcinoma extrahepatic, tes laboratorium sesuai dengan

ikterus obstruktif. Penanda tumor (misalnya, CEA, CA 19-9, CEA dan dalam kombinasi

dengan CA 19-9) mungkin memiliki utilitas dalam pengawasan pasien dengan PSC, namun

memiliki sensitivitas dan spesifitas yang terlalu rendah untuk skrining atau diagnosis.

Transabdominal ultrasonography adalah tes awal yang berguna untuk pasien dengan

ikterus obstruktif. Dilatasi traktus biliaris tanpa choledocholithiasis menunjukkan

kemungkinan keganasan empedu atau pankreas dan harus dilakukan contrast enhancement

spiral CT scan. CT scan pada cholangiocarcinomas intrahepatik: massa hepar dengan atau

tanpa dilatasi saluran perifer. Pada cholangiocarcinomas perihilar, tumor primer mungkin

tidak divisualisasikan, dicurigai jika saluran empedu intrahepatik membesar (sering

Page 42: Ikterus Obstruktif

bilateral), kandung empedu normal atau kolaps (jika letak obstruksi bilier adalah proksimal

ke saluran saluran empedu-cystic pertemuan), kaliber CBD distal normal, dan pankreas

normal. Temuan cholangiocarcionoma distal meliputi pelebaran saluran empedu intra-dan

extrahepatic dan kantong empedu, dengan atau tanpa massa di kepala pankreas. CT scan juga

memberikan informasi tentang invasi vaskular lokal, limfadenopati regional, metastasis jauh,

dan atrofi hepar. Obstruksi saluran empedu unilobar biasanya menghasilkan atrofi lobus

hepar yang terkena bersamaan dengan hipertrofi (atrofi-hipertrofi kompleks).

Gambar 24. CT scan cholangiocarcinoma intrahepatik. Gambar menunjukkan sebuah cholangiocarcinoma

intrahepatik terutama melibatkan lobus kiri hepar

Bagi pasien yang akan dilakukan pembedahan, tujuan evaluasi pra operasi adalah

menentukan perluasan tumor ke proksimal dan distal. Jika CT scan gagal untuk menunjukkan

tumor (cholangiocarcinomas perihilar yang dapat di operasi), pencitraan tambahan membantu

dalam perencanaan operasi. Di sebagian besar pusat, tumor distal yang dinilai oleh

endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP), sedangkan tumor intrahepatik dan

perihilar yang terbaik dinilai oleh percutaneous transhepatic cholangiography (PTC). Pada saat

ini, telah terjadi peningkatan penggunaan MRCP. Berbeda dengan kolangiografi

konvensional, MRCP adalah pemeriksaan noninvasif dan tidak memerlukan bahan kontras

harus disuntikkan dalam sistem duktus biliaris. Hal ini juga memungkinkan untuk visualisasi

dari sistem biliaris baik proksimal dan distal striktur. Beberapa laporan terbaru menunjukkan

bahwa MRCP, bila diterapkan pada pasien dengan cholangiocarcinoma, menghasilkan

informasi setara dengan CT scan dan kombinasi kolangiografi konvensional. Untuk alasan

ini, MRCP telah menggantikan kolangiografi konvensional dalam evaluasi pasien diduga

dengan cholangiocarcinoma .

Page 43: Ikterus Obstruktif

ERCP cholangiocarcinoma hilus. menggambarkan striktur pada pertemuan saluran hepatikus pada pasien

dengan tumor Klatskin.

pemeriksaan tambahan yang tidak diindikasikan secara rutin. Ultrasonografi

endoskopik (EUS) memberikan sensitivitas lebih besar dari CT scan dalam mendeteksi tumor

periampula dengan ukuran kecil. Peran positron-emission tomographic (PET) scanning dalam

evaluasi pasien dengan cholangiocarcinoma terus di teliti. Jika tidak direncanakan operasi,

diagnosis jaringan dapat diperoleh melalui endoskopi perkutan atau biopsi. Jika direncanakan

operasi eksplorasi, biopsi preoperative tidak diindikasikan

G. TUMOR PANKREAS

NEOPLASMA KISTIK PANKREAS

Lesi kistik pada pankreas telah lama menimbulkan dilema diagnostik dan pengobatan

untuk ahli bedah dan pasien. Sementara banyak lesi diidentifikasi sebagai inflamasi

pseudocysts atau kondisi jinak lainnya, kemungkinan keganasan dalam lesi kistik

membutuhkan diagnostik secara menyeluruh. Kemajuan dalam disiplin medis radiologi,

patologi, gastroenterologi, dan operasi telah menyebabkan peninjauan kembali baru-baru ini

klasifikasi neoplasma kistik pada pankreas, yang mencerminkan peningkatan pemahaman

diagnosis, prognosis, dan pengobatan lesi.

Sejumlah besar neoplasma kistik pankreas mungkin sebelumnya tak terdeteksi,

peningkatan penggunaan pencitraan cross-sectional resolusi tinggi, khususnya computed

Page 44: Ikterus Obstruktif

tomography (CT) dan kualitas pencitraan magnetik resonansi tinggi (MRI), telah

menyebabkan peningkatan penemuan lesi kistik dari pankreas. Banyak dari lesi tetap

asimtomatik, dan dengan demikian terdeteksi.

Reseksi bedah tetap satu-satunya therapi definitif untuk neoplasma pankreas kistik.

Tidak seperti adenokarsinoma duktal invasif pankreas, banyak neoplasma kistik pada

pankreas memiliki prognosis yang cukup menguntungkan setelah dilakukan reseksi.

KLINIS

Manifestasi klinis pada neoplasma pankreas kistik bervariasi. Sejumlah besar pasien

mungkin tidak memiliki gejala, dengan lesi yang terdeteksi pada studi pencitraan yang

dilakukan untuk indikasi lain. Apabila memberikan gejala, lokasi lesi pada caput, korpus,

atau cauda pankreas sering menentukan tanda-tanda dan gejala. Pada penelitian terbaru

pasien dengan neoplasma kistik pankreas diungkapkan bahwa nyeri perut sebagai gejala yang

paling umum, terjadi pada 60-70% dari gejala pasien., teraba sebuah massa abdomen dan

pengembangan pankreatitis akut adalah presentasi lain yang mungkin. Sebagai neoplasma

kistik pada pankreas dapat menghasilkan pankreatitis.

ikterus dan penurunan berat badan juga mungkin terjadi, meskipun pada frekuensi

yang jauh lebih rendah daripada yang sering terlihat pada pasien dengan adenokarsinoma

duktal.

DIAGNOSIS

Evaluasi komprehensif lesi kistik pada pankreas membutuhkan pemahaman tentang

peran yang cocok teknik pencitraan individu, interpretasi yang tepat terukur penanda serum

biokimia, dan penggunaan ultrasonografi endoskopik dengan aspirasi atau biopsi pada pasien

yang tepat. Masing-masing memiliki kelebihan modalitas dan keterbatasan, dan penerapan

salah satu modalitas dalam diagnostik dari lesi harus selektif.

Di antara teknik-teknik pencitraan, CT scan telah menjadi modalitas yang paling

sering digunakan. scanner tiga-dimensi resolusi tinggi multidetektor meningkatkan

sensitivitas diagnostik dan spesifisitas CT dalam mendeteksi lesi pankreas. karakteristik CT

lesi kistik yang mungkin memberikan petunjuk untuk diagnosis histopatologi termasuk

kehadiran septatisasi, penampilan macrocystic atau microcystic, kalsifikasi, ukuran, atau

adanya scar.

Page 45: Ikterus Obstruktif

CT menggambarkan neoplasma kistik di kepala dan leher pankreas (panah kecil) terdeteksi kebetulan dalam

evaluasi laki-laki 75 tahun. Pasien menjalani operasi preservasi pancreaticoduodenectomy pilorus tanpa

komplikasi. Pemeriksaan patologi mengungkapkan neoplasma 6-cm kistik serous tanpa ada keganasan.

CT Abdomen dari seorang perempuan 80 tahun dengan nyeri perut. Pasien menjalani preservasi

pancreaticoduodenectomy pilorus, akhir pemeriksaan patologi mengungkapkan IPMN 3,5 cm dengan fokus

kecil karsinoma-situ di-terletak di caput pankreas.

KANKER PANKREAS DAN KANKER PERIAMPULLA

Kanker periampular termasuk kelompok neoplasma ganas yang timbul di pankreas

atau di atau dekat ampula Vater. Biasanya ditemukan karena ikterus obstruktif atau nyeri.

Page 46: Ikterus Obstruktif

Reseksi yang berhasil pertama pada tumor periampula dilakukan oleh Halsted pada tahun

1898. Dia menggambarkan reseksi ampullary lokal dengan reanastomosis dari saluran-

saluran pankreas dan bilier ke dalam duodenum seorang wanita dengan obstruktif jaundice.

keberhasilan pasca operasi pertama dua tahap pancreaticoduodenectomy dilakukan oleh

Kausch pada 1.909 pada tahun 1914, Hirschel melaporkan sukses pertama satu tahap

pancreaticoduodenectomy. sebagian besar periampula kanker dikelola oleh pendekatan

transduodenal mirip dengan yang pertama kali dilaporkan oleh Halsted.

Pancreaticoduodenectomy tidak dilakukan sampai 1935 dengan laporan Whipple pada

dekade berikutnya, sejumlah modifikasi dan penyempurnaan teknis dibuat dalam prosedur,

termasuk pancreaticoduodenectomy satu-tahap pertama, dilaporkan di Amerika Serikat oleh

Trimble pada tahun 1941. Prosedur ini jarang dilakukan meskipun dengan adanya kemajuan

teknis, sampai tahun 1980-an karena morbiditas, mortalitas, dan prognosis buruk terkait

dengan kanker periampula. Selama dua dekade terakhir, kemajuan signifikan telah dibuat

dalam pemahaman patogenesis karsinoma periampula. Telah ada perbaikan dalam

kemampuan untuk mendiagnosa dan tahap penyakit, dan pendekatan bedah dan nonsurgical

untuk mengobati pasien telah berkembang.

INSIDENSI

Karsinoma periampular adalah masalah kesehatan masyarakat yang utama di seluruh

dunia. Kanker pankreas adalah penyebab utama keempat kematian kanker di Amerika

Serikat. Pada tahun 2005, ada sebuah diperkirakan 31.800 kematian di Amerika Serikat.

Insiden karsinoma periampula meningkat dengan usia, dan sebagian besar pasien pada

dekade keenam mereka hidup, sedikit yang dominan laki-laki

PATOLOGI

Mengingat dekat kaput pankreas, duktus biliaris distal, ampula Vater, dan duodenum

periampula, tempat asal dari keganasan periampula bisa sulit untuk ditentukan. Sebagian

besar pusat yang melakukan pancreaticoduodenectomi, sekitar 10-20% dari spesimen adalah

jinak, sehingga sebagian besar klinis tumor periampula signifikan biasanya ganas.

Pemeriksaan patologis dari spesimen pancreaticoduodenectomy yang dilakukan reseksi

mengungkapkan bahwa 40-60% adalah adenocarcinoma dari kaput pankreas, 10-20% adalah

adenocarcinoma dari ampula Vater, 10% adalah adenocarcinoma duktus biliaris distal, dan 5-

10% adalah adenocarcinoma duodenum.

Adenokarsinoma duktus pankreas adalah sejauh ini merupakan jenis histologi yang

paling umumpada keganasan pankreas dengan lebih dari dua pertiga dari tumor yang timbul

di kaput pankreas, leher, atau prosesus uncinatus. Histologis yang jarang lainnya adalah

Page 47: Ikterus Obstruktif

asinar, skuamosa, tumor sel islet, atau tumor nonepithelial. Tumor sel islet, atau tumor

neuroendokrin, mungkin baik jinak atau ganas dan mungkin fungsional dengan produksi

hormon yang mengakibatkan manifestasi klinis. Tumor islet nonfunctional sel baik tidak

menghasilkan hormon apapun, atau melakukannya pada tingkat subklinis dan biasanya

terdeteksi, tetapi dapat terjadi dengan lesi ganas. Neoplasma kistik pada pankreas juga dapat

timbul dari pankreas eksokrin dan diklasifikasikan sebagai cystadenomas serosa jinak,

cystadenomas mucinous berpotensi ganas, dan entitas semakin lebih umum dikenal,

intraductal neoplasma mucinous papiler (IPMNs). Sarkoma Berbagai termasuk

gastrointestinal (GI) tumor stroma, fibrosarcomas, leiomyosarcomas, hemangiopericytomas,

dan histiocytomas juga mungkin timbul di wilayah periampula. Demikian pula, limfoma

dapat terjadi di daerah ini. Akhirnya, daerah periampula dapat menjadi tempat metastasis dari

primer lainnya, termasuk ginjal, payudara, paru-paru, melanoma, lambung, usus.

ETIOLOGI

Ada beberapa faktor risiko untuk kanker pankreas. Mereka termasuk merokok dan

keturunan ( 5-10% ). Pankreatitis kronis, diabetes mellitus tipe II, dan obesitas telah secara

konsisten dikaitkan dengan kanker pankreas, dan faktor risiko yang lemah. Kemungkinan

faktor risiko lainnya termasuk aktivitas fisik, pestisida tertentu, dan tinggi karbohidrat /

asupan gula. Kolesistektomi, cholelithiasis, konsumsi kopi, dan alkohol telah secara sporadis

dikaitkan dengan perkembangan kanker pankreas, tetapi mereka mungkin faktor risiko yang

benar.

Faktor Lingkungan untuk Kanker Pankreas

Ada sejumlah besar bukti yang menghubungkan merokok dengan kanker pankreas.

Beberapa penelitian pada hewan telah menunjukkan efek karsinogenik dari asap tembakau

dan nitrosamine pada pankreas. Banyak studi telah menunjukkan hubungan dosis-respons

dengan baik jumlah rokok yang dihisap atau durasi merokok.

Ada sering data yang bertentangan dalam tinjauan dalam meneliti hubungan dari

faktor makanan dan kanker dari kanker pancreas. Pankreas tampaknya dikaitkan dengan

peningkatan asupan kalori total, serta peningkatan konsumsi karbohidrat, kolesterol, daging,

garam, gorengan, gula halus, dan nitrosamine. Lemak, beta karoten, dan kopi adalah risiko

terbukti. Konsumsi serat makanan, vitamin C, buah-buahan, kemungkin memiliki efek

perlindungan.

Alkohol, kopi, dan radiasi tidak muncul untuk menjadi faktor risiko yang signifikan

untuk perkembangan kanker pankreas. Ketika usia, jenis kelamin, merokok, jumlah alkohol

Page 48: Ikterus Obstruktif

yang dikonsumsi, dan kelas sosial ekonomi tidak menunjukkan peningkatan risiko kanker

pankreas .

Faktor host pada kanker pankreas

Contoh yang paling mencolok dari faktor tubuh yang mempengaruhi perkembangan

kanker pankreas adalah sindrom genetik dengan peningkatan risiko. Nonpolyposis kanker

kolorektal herediter (HNPCC), keluarga kanker payudara terkait dengan mutasi BRCA2,

Peutz-Jeghers sindrom, ataksia telangiectasia-sindrom, familial atypical multiple mole-

melanoma syndrome (FAMMM). Anggota keluarga dengan dua atau lebih tingkat pertama

kerabat yang terkena kanker pankreas dalam National Familial Pancreas Tumor Registry

(NFPTR) memiliki risiko 16 kali lipat terkena kanker pankreas. Ini peningkatan risiko bisa

disebabkan ke salah satu dasar genetik atau paparan lingkungan, tetapi ada bukti yang kuat

bahwa agregasi keluarga memiliki beberapa basis genetik.

pankreatitis kronis telah dikaitkan dengan kanker pancreas. Sulit, namun, untuk

memisahkan apakah ada faktor risiko umum untuk kedua penyakit, atau apakah pankreatitis

kronis mungkin merupakan presentasi indolen kanker pankreas. Hubungan antara diabetes

tipe II dan kanker pankreas juga sama terlibat dalam beberapa studies. Sekali lagi, sulit untuk

membedakan apakah diabetes merupakan gejala awal dari kanker pankreas atau apakah itu

benar-benar merupakan faktor penyebab.

Faktor Risiko Kanker untuk periampular Nonpancreatic

Distal duktus choleduchus , ampullary, dan kanker duodenum lebih jarang daripada

kanker pankreas dan kurang baik ditandai dari segi faktor risiko mereka. Semua lebih sering

terjadi pada orang tua dengan insiden puncak pada umur 60 - 80-tahun. Kanker empedu distal

saluran umum berhubungan dengan beberapa faktor tuan rumah yang dikenal selain usia

lanjut, termasuk penyakit radang usus, sclerosing cholangitis, kista choledochal, dan

intrahepatik atau batu saluran empedu. Kanker duodenum dan ampullary terjadi dengan

frekuensi yang meningkat pada pasien dengan sindrom poliposis herediter, termasuk

HNPCC, Peutz-Jeghers sindrom, poliposis adenomatosa familial, dan sindrom Gardner.

Perubahan dalam genetik kanker pankreas

Kebanyakan penyakit keganasan mutasi diperoleh dan diturunkan dalam

protooncogenes, tumor supresor gen, dan atau mismatch perbaikan gen DNA. Mutasi pada

gen ini terakumulasi untuk menghasilkan kanker pankreas invasif. Rozenblum dan rekan

Page 49: Ikterus Obstruktif

menganalisis kanker pankreas dari 42 pasien dan menemukan bahwa mereka semua (100%)

memiliki mutasi pada protoonkogen K-ras, dan 82%, 76%, 53%, dan 10% memiliki mutasi

dalam gen supresor tumor p16, p53, DPC4, dan BRCA2. Onkogen berasal dari gen seluler

normal yang disebut protooncogenes yang, ketika diaktifkan oleh mutasi atau amplifikasi,

memiliki sifat transformasi. Gen supresor tumor biasanya berfungsi untuk menahan

proliferasi sel. Hilangnya fungsi gen oleh mutasi, penghapusan, penataan ulang kromosom,

atau hasil rekombinasi mitosis dalam proliferasi sel abnormal meningkat. Mutasi mismatch

perbaikan pada gen DNA yang terlibat pada sekitar 4% dari kanker pankreas.

DIAGNOSIS

Diagnosis kanker periampula dibuat atas dasar presentasi klinis, data laboratorium,

dan radiologis .

KLINIS

Pasien dengan kanker periampula sering memiliki gejala yang samar-samar pada awal

perjalanan penyakit mereka. Gejala-gejala yang berkaitan tergantung dengan lokasi tumor.

Lesi yang terjadi di dekat saluran empedu jauh lebih mungkin dengan ikterus obstruktif,

sedangkan yang muncul pada corpus atau cauda lebih mungkin dengan nyeri. Dua pertiga

hingga tiga perempat dari pasien dengan kanker pankreas hadir dengan konstelasi gejala

klasik menunjukkan ikterus obstruktif: ikterus, pruritus, feses acholic, dan urin berwarna teh.

pasien dengan kanker pankreas sering mengalami nyeri sebagai bagian dari gejala. Meskipun

di awal perjalanan penyakit, rasa sakit sering tidak jelas pada perut bagian atas, epigastrium,

atau punggung. Kemudian dalam perjalanan penyakit, rasa sakit ini bisa berkembang menjadi

nyeri yang sering menjalar ke punggung. Pasien juga dapat dengan gejala umum lainnya

termasuk anoreksia, kelelahan, malaise, dan penurunan berat badan. Mual dan muntah

mungkin dengan obstruksi lambung dari keterlibatan duodenum.

Pasien juga mungkin hadir dengan tanda-tanda yang sangat halus seperti memiliki tes

fungsi hepar yang tinggi dilakukan pada skrining laboratorium rutin, memiliki diabetes

mellitus onset akut, atau anemia dari kehilangan darah dari pencernaan, biasanya dari erosi

tumor ke duodenum. Pasien mungkin juga dengan pankreatitis akut dari obstruksi saluran

pankreas. Oleh karena itu, pasien tua yang hadir dengan pankreatitis akut tetapi tanpa riwayat

penggunaan alkohol atau batu kandung empedu harus diskrining untuk pankreas atau kanker

periampula.

Pasien dengan kanker saluran empedu distal umum bahkan lebih mungkin untuk

menyajikan dengan ikterus obstruktif. Pasien dengan kanker pankreas yang melibatkan

Page 50: Ikterus Obstruktif

corpus atau cauda dari kelenjar lebih cenderung memiliki berat badan dan sakit perut

ketimbang ikterus sebagai keluhan mereka presentasi. Karena tumor dapat tumbuh ke ukuran

yang lebih besar sebelum memproduksi gejala nyata, kanker pankreas pada corpus sering

didiagnosis pada tahap berikutnya dan memiliki prognosis yang lebih buruk.

Temuan pada pemeriksaan fisik meliputi ikterus sclera, ikterus, hepatomegali, teraba

kandung empedu (tanda Courvoisier), dan ekskoriasi kulit dari pruritus. Tanda-tanda penyakit

lanjut termasuk cachexia, nodul teraba di hepar, teraba nodul metastatik pada fossa

supraklavikula kiri (nodus Virchow), teraba nodul metastatik di daerah periumbilikalis

(nodus Suster Maria Joseph), dan teraba nodul metastasis pada panggul anterior pada

pemeriksaan rektal (Blumer's shelf).

Pasien dengan ikterus obstruktif terdapat peningkatan kadar serum bilirubin dan

alkali fosfatase, terdapat peningkatan ringan sampai sedang pada transaminase hepar.

Obstruksi jangka panjang duktus biliaris juga dapat menyebabkan koagulopati dan

perpanjangan protime karena penurunan penyerapan vitamin K dan efek pada faktor-faktor

pembekuan dari jalur intrinsik. Tidak ada serum marker yang baik untuk kanker pankreas

untuk memfasilitasi diagnosis dini. Sebuah marker umum digunakan adalah antigen

karbohidrat 19-9 (CA 19-9) yang meningkat pada 75% pasien dengan kanker pankreas.

Sayangnya, tingkat CA 19-9 juga meningkat pada kondisi jinak dari pankreas, hepar, dan

saluran empedu. CA 19-9 tidak sensitif atau cukup spesifik untuk digunakan dalam skrining

populasi. Kadang-kadang digunakan dalam mencoba untuk mengukur respon terhadap terapi

atau untuk skrining untuk kekambuhan pada pasien yang awalnya memiliki peningkatan

marker.

Karena sekitar 90% dari kanker pankreas mengandung mutasi pada protoonkogen K-

ras, beberapa kelompok telah mencoba untuk mendeteksi mutasi ini dari aspirasi duodenum,

aspirasi saluran pankreas, dan feses. Tes ini diperlukan untuk mendeteksi penyakit pada tahap

awal.

IMAGING

Modalitas pencitraan utama yang digunakan untuk pasien dengan neoplasma

periampula diduga pada kuadran kanan atas ultrasonografi, CT, MRI dengan atau tanpa

Kolangiopankreatografi magnetic resonance (MRCP), endoscopic retrograde

cholangiopancreatography (ERCP), dan perkutan transhepatik kolangiografi (PTC). Peran

tomografi emisi positron (PET).

Page 51: Ikterus Obstruktif

USG Kuadran kanan atas adalah tes awal yang umum digunakan dan sangat sensitif

untuk mendeteksi batu empedu, adanya dilatasi sistem bilier, dan apakah kolesistitis akut

menyebabkan nyeri pada kuadran kanan atas. Selain batu empedu, dilatasi sistem bilier, dan

cairan pericholecystic, modalitas pencitraan ini juga dapat menampilkan metastasis hepar,

massa pankreas, peripancreatic dan limfadenopati hilus, dan ascites. Sensitivitas untuk

menunjukkan massa pankreas tidak tinggi

Jika massa pankreas diidentifikasi , CT spiral sering digunakan, karena CT

memberikan pencitraan yang lebih lengkap dan akurat dari caput pankreas dan struktur di

sekitarnya. Ini telah banyak digantikan USG sebagai prosedur diagnostik awal pilihan.

Kanker pankreas jauh lebih mungkin terlihat pada CT spiral dari duktus choleducus distal,

ampullary, atau kanker duodenum. Ini memberikan informasi yang sangat penting tentang

struktur vaskular berbatasan langsung seperti vena mesenterika superior, vena porta, dan vena

lienalis, serta arteri mesenterika superior dan truncus celiacus. Rekonstruksi tiga dimensi dari

pembuluh darah dipotong tipis multidetektor spiral CT scan yang dilakukan dalam fase kedua

arteri dan vena juga dapat membantu dalam memvisualisasikan hubungan anatomi antara

pembuluh darah dan massa. Keterlibatan kelenjar getah bening dan struktur retroperitoneal

periampula mungkin didemonstrasikan. Selain itu, informasi tentang penyakit metastasis jauh

dapat diperoleh jika metastatik terlihat di hepar atau di rongga peritoneal. adanya ascites

biasanya merupakan pertanda buruk.

Ketika kedua pelebaran intra-dan extrahepatic duktal ditemukan pada studi

pencitraan, tetapi tidak ada lesi massa terlihat pada CT, kolangiografi mungkin berguna.

Kemajuan teknologi MRI memungkinkan modalitas ini untuk meningkatkan perannya dalam

pencitraan hepatobilier. Ultrafast spin-echo MRI juga bisa sangat sensitif, tetapi terbatas oleh

artefak gerak, opasitas usus, dan ketidaknyamanan pasien. MRCP sekarang banyak

digunakan untuk gambar sistem bilier dan duktus pankreas. Keuntungannya adalah

pemeriksaan ini non invasif dan kerugiannya akan mengakibatkan stasis biliaris dan infeksi.

Struktur vaskular juga dapat divisualisasikan dengan penggunaan kontras gadolinium dan

angiogram resonansi magnetik (MRA).

ERCP kadang-kadang diperlukan untuk memperkuat diagnosis kanker pankreas.

Temuan klasik striktur, panjang tidak teratur dalam saluran pankreas dengan pelebaran distal

atau "tanda saluran ganda" di mana ada cutoff dari kedua saluran pankreas dan saluran

empedu distal pada tingkat genu dari saluran pankreas yang patognomonik. Dengan

kemampuan pencitraan saat CT dan MRI, ERCP diagnostik jarang diperlukan.. ERCP

mungkin bermanfaat pada pasien dengan obstruksi bilier dan kolangitis dimana sebuah stent

Page 52: Ikterus Obstruktif

endoskopi dapat ditempatkan untuk dekompresi. ERCP adalah yang paling berguna ketika

ada obstruksi saluran pankreas, namun massa tidak jelas di kedua CT atau MRI. Dalam

situasi ini, perlu untuk mencoba untuk membedakan pankreatitis kronis akibat kanker

pankreas.

PTC merupakan cara invasif untuk mendefinisikan anatomi bilier dan lebih baik

mendefinisikan anatomi bilier proksimal atas tingkat obstruksi. Selama prosedur ini drainase

bilier perkutan (PBD). Kelemahan PTC adalah hasil dari sifat lebih invasif teknik ini dan

termasuk perdarahan, hemobilia, dan ketidaknyamanan pasien, serta ketidakmampuan untuk

memvisualisasikan saluran pankreas. Untuk kanker periampula, ERCP lebih sering

digunakan daripada PTC atau PBD.

Saat ini peran PET scan tidak didefinisikan dengan baik untuk pankreas atau kanker

periampula lainnya. Namun, laporan yang lebih baru mendukung kesimpulan bahwa FDG-

PET pencitraan mungkin merupakan studi adjunctive berguna dalam evaluasi pasien diduga

dengan kanker pankreas.

DIAGNOSIS HISTOPATOLOGIS

Penggunaan biopsi perkutan pankreas dalam evaluasi pasien dengan massa pankreas

yang dapat direseksi masih kontroversial. Biopsi perkutan massa pankreas dengan mudah

dapat dilakukan, tetapi keganasan tidak dapat dikesampingkan dengan pasti ketika tidak ada

sel-sel ganas yang ditemukan dalam aspirat FNA. Mereka dapat dilakukan dengan aman

dengan komplikasi rendah, fistula, perdarahan pankreatitis, abses, perluasan tumor, dan

kematian. Biopsi perkutan hanya boleh dilakukan pada pasien dianggap memiliki risiko

operasi sangat tinggi atau yang dipertimbangkan untuk baik neoadjuvant atau terapi paliatif..

Penyakit ini sering terbaik dikelola tanpa reseksi. FNA mungkin dapat dilakukan dengan

USG endoskopik (EUS) dan dapat menjadi sarana yang lebih baik untuk mendapatkan

diagnosis jaringan.

Diagnosa jaringan kanker ampulla dan duodenum relatif sederhana dan mudah dapat

dilakukan melalui endoskopi. Karena lokasi mereka, kemampuan untuk mendapatkan biopsi

besar dan mendalam memungkinkan pengambilan sampel yang lebih baik.

STAGING KLINIKOPATOLOGIS

Pasien dengan pankreas eksokrin, saluran biliaris distal, ampullary, dan karsinoma

duodenum yang di lakukan penilaian menurut (AJCC) sistem staging. Kriteria staging

didasarkan pada ukuran dan luasnya tumor primer (T stage), keterlibatan kelenjar getah

Page 53: Ikterus Obstruktif

bening (N stage), dan adanya metastasis jauh (M stage). Berdasarkan kriteria tersebut, pasien

dikelompokkan ke pengelompokan staging yang berbeda yang memandu prognosis dan

terapi. Adenokarsinoma pankreas yang di lakukan staging menggunakan pedoman AJCC

eksokrin pankreas. Kanker duktus choleduchus distal yang di staging menggunakan pedoman

AJCC traktus biliaris extrahepatic. Kanker ampullary yang di staging menggunakan pedoman

AJCC ampula Vater. Kanker duodenum yang di staging menggunakan pedoman AJCC

intestinal.

H. Penyebab Obstruksi Duktus Biliaris lainKolangitis Sklerosis

Kolangitis Sklerosis adalah penyakit kronis yang ditadai dengan adanya striktur

fibrosis yang melibatkan duktus biliaris intrahepatal maupun ekstrahepatal, jarang diketahui

penyebabnya. Sekitar 60% kasus terjadi pada pasien dengan kolitis ulseratif, dan kolangitis

sklerosis berkembang pada sekitar 5% pasien dengan gangguan tersebut. Kondisi lain yang

umumnya kurang terkait adalah tiroiditis, fibrosis retroperitoneal, dan fibrosis mediastinum.

Penyakit ini terutama mempengaruhi laki-laki 20-50 tahun. Dalam kebanyakan kasus, seluruh

bilier tree dipengaruhi oleh proses inflamasi, yang menyebabkan obliterasi parsial ireguler

dari lumen duktus.Dinding saluran yang mengeras mengandung kolagen dan elemen limfoid

yang meningkat dan penebalan yang mengisi lumen. Faktor genetic dan imunologik

tampaknya memiliki peran terhadap pathogenesis penyakit ini. Haplotipe HLA-B8, -DR3, -

DQ2, dan -DRw52A sering ditemukan pada pasien dengan penyakit autoimun dan sering

ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis

Onset klinis biasanya terdiri dari penampilan bertahap kolestatis berupa ikterus ringan

dan pruritus sebanyak 75% penderita. Pada beberapa pasien tetap asimptomatik beberapa

tahun kemudian terjadi progresi berupa sirosis dan gagal hepar. Penderita rata-rata berusia

40-45 tahun dan kebanyakan mengenai laki-laki. Gejala kolangitis bakteri (demam dan

menggigil) jarang terjadi tanpa adanya operasi empedu sebelumnya. Temuan laboratorium

khas kolestasis. Serum bilirubin total rata-rata sekitar 4 mg / dL dan jarang melebihi 10 mg /

dL. ERCP biasanya bertujuan diagnostik, menunjukkan stenosis duktus dan iregularitas, yang

sering memberikan gambaran manik-manik. Biopsi hepar menunjukkan pericholangitis dan

empedu stasis, dan dapat menentukan derajat fibrosis hepar atau adanya sirosis untuk

penentuan terapi.

Page 54: Ikterus Obstruktif

Komplikasi dari kolangitis sklerosis termasuk penyakit batu empedu dan

adenokarsinoma duktus biliaris. Adenokarsinoma duktus biliaris paling umum pada pasien

dengan kolitis ulserativa. Selain itu, pasien dengan colitis ulcerative dan kolangitis sklerosis

tampaknya berisiko lebih besar untuk displasia mukosa kolon dan kanker kolon dibandingkan

dengan kolitis ulserativa tidak terkait dengan kolangitis sklerosis.

Pada pemeriksaan kolangiografi dapat ditemukan striktur multifocal difus baik pada

duktus biliaris intrahepatik maupun ekstrahepatik. Keterlibatan duktus ekstrahepatik tanpa

keterlibatan intrahepatik sebanyak 10% penderita. Kebanyakan segmen striktur yang terkena

paling berat berada pada bifurkasio duktus biliaris.

Ursodiol (asam ursodeoxycholic), 10 mg / kg / hr, meningkatkan tes fungsi hepar dan

gejala. Cholestyramine akan meringankan pruritus. Dilatasi balon transhepatik perkutaneus

dapat mengatasi striktur yang dominan. Dalam kasus di mana penyakit ini sebagian besar

terbatas pada duktus ekstrahepatik distal dan duktus proksimal melebar, Roux-en-Y

hepaticojejunostomy diindikasikan. Pada pasien dengan keterlibatan intrahepatik berat,

transplantasi hepar harus dipertimbangkan dengan angka 5 tahun survival sampai dengan

85%. Kolangitis Sklerosis primer rekuren pada pasien tersebut sebesar 10-20% dan

membutuhkan retransplantasi.

Riwayat alami kolangitis sklerosis adalah salah satu kronisitas dan keparahan tak

terduga. Beberapa pasien tampaknya dapat terjadi remisi lengkap setelah pengobatan, tetapi

hal ini tidak umum. Kolangitis bakteri dapat berkembang setelah operasi jika drainase yang

adekuat belum dilakukan. Dalam kasus ini, antibiotik akan diperlukan. Kebanyakan pasien

mengalami evolusi bertahap dari sirosis bilier sekunder setelah bertahun-tahun dengan

penyakit ikterus dan pruritus mulai ringan sampai sedang. Transplantasi hepar dianjurkan bila

penyakit memberat.

Kolangitis Piogenik Rekuren (Oriental Kolangiohepatitis)

Kolangiohepatitis Oriental adalah jenis kolangitis rekuren kronis sering terjadi di

daerah pantai dari Jepang ke Asia Tenggara. Keadaan ini jarang ditemukan di Amerika,

Eropa, dan Australia kecuali pada populasi orang Cina dan sering terjadi pada kondisi

ekonomi rendah. Penyakit ini mengenai kedua jenis kelamin dengan jumlah yang sama dan

sering terjadi pada usia dekade ketiga dan keempat. Di Hong Kong hal ini merupakan

indikasi yang paling umum ketiga untuk laparotomi darurat dan jenis yang paling sering pada

penyakit empedu. Penyakit ini diperkirakan sebagai akibat dari portal kronis bakteremia

seperti E coli, Klebsiella species, Bacteroides species, dan Enterococcus faecalis atau parasit

Page 55: Ikterus Obstruktif

biler Clonorchis sinensis, Opisthorchis viverrini, dan Ascaris lumbricoides menyebabkan

infeksi sekunder dari saluran empedu, yang diawali dengan pembentukan pigmen batu dalam

saluran empedu disertai obstruksi parsial. Enzim bakteri menyebabkan dekonjugasi bilirubin

yang mengendapkan lumpur empedu. Lumpur dan sel sel bakteri membentuk batu pigmen.

Inti batu dapat mengandung cacing Clonorchis atau Ascaris. Batu ini terbentuk pada seluruh

duktus biliaris dan menyebabkan obstruksi. Striktur bilier yang terbentuk karena kolangitis

rekuren atau batu, atau sirosis bilier sekunder akibat infeksi, abses hepar dan gagal hepar.

Obstruksi bilier dari batu menimbulkan cholangitis rekuren, tidak seperti penyakit

batu empedu di negara Barat, bisa tanpa disertai batu kandung empedu. Kantong empedu

biasanya distensi saat serangan dan dapat berisi nanah. Kolangitis berulang paling sering

terjadi yang dapat mengakibatkan abses hepar dan sirosis. Pasien beresiko terjadi

kolangiokarsinoma karena infeksi dan iritasi persisten akibat batu.

Infeksi kronis rekuren sering menyebabkan striktur bilier dan pembentukan abses

hepar. Striktur biasanya terletak di dalam saluran empedu intrahepatik, dan untuk beberapa

alasan yang tidak diketahui lobus kiri hepar terlibat lebih parah. Batu empedu intrahepatik

sering terjadi dan operasi pengangkatan mungkin sulit atau tidak mungkin. Nyeri abdomen

akut, menggigil, dan demam tinggi biasanya didapatkan, dan ikterus berkembang di sekitar

setengah dari kasus. Didapatkan pembengkakan abdomen kuadran kanan atas, dan sekitar

80% dari kasus kantong empedu teraba. Gejala dapat bervariasi pada setiap individu, akan

tetapi tanpa intervensi dapat berkembang malnutrisi dan insufisiensi hepar. Ultrasonografi

akan mendeteksi batu pada duktus biliaris, pneumobilia akibat infeksi organism pembentuk

gas, abses hepar, dan striktur. Dinding kandung empedu dapat menebal dan terjadi inflamasi

sebanyak 20% dan jarang disertai adanya batu. ERCP atau THC adalah cara terbaik untuk

mempelajari bilier tree, monitoring progresi penyakit dan dapat membantu dalam

menentukan kebutuhan untuk operasi dan jenis prosedur lain seperti dekompresi duktus

biliaris pada pasien sepsis.

Pasien harus ditangani oleh multidisiplin karena striktur dan batu yang sulit diakses.

Terapi jangka panjang berupa ekstraksi batu, membuang debris dan melepas striktur.

Antibiotik sistemik harus diberikan untuk cholangitis akut. Pembedahan terdiri dari

kolesistektomi, eksplorasi CBD, dan pengangkatan batu. Sphincteroplasty harus dilakukan

untuk memungkinkan setiap batu sisa atau batu rekuren untuk keluar dari duktus. Roux-en-Y

Koledokojejunostomy diindikasikan pada pasien dengan striktur, pelebaran duktus (ukuran >

3 cm), atau penyakit rekuren setelah sphincteroplasty sebelumnya. Hasil operasi baik pada

Page 56: Ikterus Obstruktif

80% pasien. Batu dan infeksi intrahepatik kronis, yang sering hanya melibatkan satu lobus,

mungkin memerlukan lobektomi hepar.

Meskipun banyak pasien yang sembuh, sakit yang berkepanjangan akibat infeksi

berulang hampir tidak dapat dihindari meskipun striktur telah muncul atau saluran

intrahepatik telah menjadi dipenuhi oleh batu.

Disfungsi dan Stenosis Ampulla

Stenosis ampulla hepatopankreatik (ampullary stenosis) dapat menyebabkan nyeri dan

manifestasi lain akibat obstruksi ampulla dan sering dianggap sebagai penyebab keluhan

postkolesistektomi. Beberapa kasus idiopatik, sedangkan kasus lain karena trauma akibat batu

empedu. Jika pasien memiliki manifestasi sekunder obstruksi bilier (ikterus, peningkatan

konsentrasi alkali fosfatase, cholangitis) tanpa disertai batu empedu atau lesi penyebab

obstruksi lain, kolangiografi menunjukkan dilatasi CBD, stenosis ampulla dapat dijelaskan.

Akan tetapi, diagnosis lebih sering karena adanya nyeri abdomen atas tanpa disertai temuan

objektif lain. Pada kasus ini lebih disebut disfungi ampulla.

Disfungsi sphincter Oddi disebabkan nyeri biliary-like sering ditemukan pada pasien

setelah kolesistektomi dengan keluhan nyeri yang menetap. Patogenesis gejala ini sama

seperti pada dismotilitas esophagus dan irritable bowel syndrome. Pasien sering mengeluh

nyeri abdomen atas yang berat dan intermitten setiap 1-3 jam, kadang timbul setelah makan.

Batu empedu residu dan penyakit pancreas harus disingkirkan terlebih dahulu.

Disfungsi ampulla dapat didiagnosis dengan manometri sphincter Oddi. Kelainan yang dicari

pada studi motilitas mencakup peningkatan tekanan sfingter basal (> 40 mm Hg) dan

peningkatan paradoksal tekanan sfingter sebagai respon terhadap CCK. Yang pertama adalah

yang paling dapat diandalkan. Tes scintigrafi bisa menguur dengan akurat. Pasien diberi

bolus CCK diikuti oleh 99mTc-DISIDA. Gambar kamera gamma dari duktus hepar dan

empedu yang diperoleh selama 60 menit. Sebuah sistem penilaian (skor: 0-12) didasarkan

pada laju agen pencitraan melewati berbagai poin yang relevan (misalnya, gambaran klirens

melalui hepar, saluran empedu, dan usus). Kisaran normal adalah 0-5, abnormal 6-12.

Disfungsi sfingter Oddi disfungsi jarang menyebabkan nyeri perut, dan lebih tepat

untuk tetap dicurigai kecuali ditemukan obstruksi bilier yang jelas. Pada beberapa kasus

pilihan endoskopik sfingterotomi sangat menguntungkan.

Page 57: Ikterus Obstruktif

Kista Choledochus Kongenital

Sekitar 30% kista Choledochus Kongenital menampilkan gejala pertamanya saat usia

dewasa, biasanya dalam bentuk ikterus, cholangitis, dan massa kuadran kanan atas. Diagnosis

dapat dibuat berdasarkan THP atau ERCP. Prosedur pembedahan yang optimal berupa eksisi

kista dan rekonstruksi berupa Roux-en-Y hepatikojejunostomi. Apabila keadaan ini tidak

memungkinkan secara teknis atau kondisi pasien tidak memungkinkan operasi, isi kista

berupa endapan biliary sludge harus dibuang dan dibuatkan anastomosis kistenterik. Kista

congenital biliary tree memiliki insiden yang tinggi terjadinya degenerasi malignansi,

sehingga beberapa ahli menganjurkan eksisi daripada drainase.

Penyakit Caroli

Penyakit Caroli, bentuk lain penyakit kista congenital, terdiri dari dilatasi duktus

intrahepatik sakuler. Pada beberapa kasus, hanya ditemukan abnormalitas bilier, akan tetapi

lebih sering disertai dengan fibrosis hepatic congenital dan spongiosum medulla ginjal. Dapat

juga ditemukan pada anak kecil atau usia dewasa mudadengan komplikasi hipertensi porta.

Beberapa pasien memiliki manifestasi awal berupa cholangitis dan ikterus obstruktif.. Tidak

ada indikasi definitive pembedahan kecuali kasus jarang berupa keterlibatan salah satu lobus

hepar, dimana tindakan lobektomi merupakan tindakan kuratif. Terapi antibiotik intermitten

biasanya digunakan untuk cholangitis.

Pankreatitis

Pankreatitis dapat menyebabkan obstruksi pada duktus biliaris bagian intrapankreatik

dikarenakan pembengkakan inflamasi, pendesakan jaringan parut, atau kompresi oleh

pseudokista. Pada pasien dapat timbul ikterus painless atau cholangitis. Biasanya distensi

vesika felea dapat dirasakan pada pemeriksaan abdomen. Diferensiasi dari

Choledocholithiasis dan pancreatitis akut sekunder berdasarkan rontgen biliaris atau

eksplorasi pembedahan jika ikterus menetap. Ikterus yang disebabkan murni inflamasi jarang

sekali bertahan lebih dari 2 minggu, ikterus persisten setelah serangan pancreatitis akut lebih

disebabkan karena berkembangnya pseudokista, obstruksi oleh jaringan fibrosis karena

pancreatitis kronik, atau disebabkan obstruksi karena neoplasma.

Obstruksi biliaris karena pancreatitis kronik kadang tanpa atau sedikit manifestasi

klinis. Biasanya didapatkan ikterus dengan kadar bilirubin puncak rata-rata 4-5 mg/dl.

Beberapa pasien dengan stenosis hanya memiliki kadar alkali fosfatase meningkat, apabila

tidak dilakukan dekompresi duktus biliaris, pada pasien ini dapat berkembang sirosis biliaris

Page 58: Ikterus Obstruktif

sekunder dalam 1 tahun. Diagnosis striktur ditegakkan oleh ERCP, yang menunjukkan

stenosis panjang duktus bagian intrapankreatik, dilatasi proksimal, dan penyempitan lumen

pada perbatasan dengan pancreas, biasanya diikuti dengan kelengkungan duktus. Jika pada

kolangiogram ditemukan stenosis dan jika kadar alkali fosfatase atau bilirubin tetap lebih dari

dua kali normal dengan durasi lebih dari dua bulan, stenosis secara fungsional bermakna dan

tidak memungkinkan resolusi serta membutuhkan koreksi pembedahan. Pada kebanyakan

kasus dilakukan koledokoduodenostomi. Kolesistoduodenostomi tidak dilakukan karena

duktus sistikus terlalu sempit untuk memungkinkan dekompresi biliaris.

Pasien dengan ikterus obstruktif dan pseudokista biasanya respon terhadap tindakan

pembedahan drainase pseudokista. Kadang tindakan tersebut tidak berhasil karena skar kronis

di luar kista yang menyebabkan obstruksi. Prosedur drainase terhadap duktus biliaris dan

pseudokista diindikasikan jika kolangiogram operatif menunjukkan obstruksi duktus biliaris

persisten setelah dilakukan dekompresi kista.

Hemobilia

Hemobilia ditandai dengan trias kolik bilier, ikterus obstruktif, dan perdarahan

intestinal nyata atau samar. Kebanyakan kasus pada budaya barat muncul beberapa minggu

setelah trauma hepar dengan perdarahan dari arteri hepatica cabang intrahepatik ke dalam

duktus. Saat ini lebih jarang ditemukan dikarenakan pengetahuan yang bertambah terhadap

prinsip umum penanganan trauma hepar. Di daerah Asia hemobilia biasanya dikarenakan

parasit pada duktus (Ascaris lumbricoides) atau cholangiohepatitis oriental. Penyebab lain

berupa neoplasma hepar, rupture aneurisma arteri hepatica, abses hepar, dan

Choledocholithiasis. Diagnosis dapat ditegakkan dengan scan sel darah merah yang dilabeli

technetium 99m, arteriogram dibutuhkan untuk diagnosis dan perencanaan terapi. Kadang-

kadang perdarahan dapat dihentikan dengan embolisasi dengan koil stainless steel, Gelfoam,

atau faktor pembeku darah yang diinfuskan melalui kateter yag ditempatkan pada arteri

hepatica. Bila tindakan ini tidak berhasil, dibutuhkan ligasi langsung pada lokasi perdarahan

pada hepar atau ligasi proksimal dari arah aliran arteri hepatica pada hilus.

Divertikel Duodenal

Divertikel duodenal biasanya muncul pada aspek medial duodenum < 2 cm dari

muara duktus biliaris, dan beberapa kasus duktus langsung bermuara pada divertikel. Pada

beberapa keadaan divertikel duodenal tidak berbahaya, biasanya distorsi pada pintu masuk

Page 59: Ikterus Obstruktif

duktus atau obstruksi oleh enterolith pada diverticulum menimbulkan gejala.

Koledokoduodenostomi atau Roux-en-Y koledokojejunostomi biasanya metode yang aman

dalam membuat drainase bilier dibandingkan eksisi divertikulum dan reimplan duktus

Ascariasis

Cacing ascariasis yang menginvasi duktus dari duodenum dapat menimbulkan gejala

obstruksi duktus. Udara kadang terlihat di dalam duktus pada foto polos. Antibiotik

sebaiknya diberikan sampai kolangitis terkontrol, dan terapi athelmintik (mebendazole,

albendazole, atau pirantel pamoat) sebaiknya diberikan. Gejala akut biasanya reda oleh

antibiotic, tetapi bila menetap sphincterotomi endoskopik sebaiknya dilakukan dan percobaan

pengangkatan cacing. Jika hal ini tidak berhasil dan pasien tetap mengeluh nyeri, duktus

sebaiknya dikosongkan secara pembedahan.

Page 60: Ikterus Obstruktif

Bab III

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan kista choledocus

Pada beberapa tahun terakhir ini, eksisi kista ductus choledochus, dengan rekonstruksi

melalui anastomosis bilier-enterik Roux-en-Y, menjadi pilihan terapi pada kebanyakan tipe

kista choleduchus. External drainase kista tidak dianjurkan lagi. Jika cholangitis berat,

decompresi kista dapat dilakukan cara perkutaneus atau endoskopik.

Persiapan Operasi

Pasien dipersiapkan seperti pada persiapan operasi elektif lainnya. Pada pasien

dengan ikterus harus diperhatikan faktor koagulasi. Antibiotik profilaksis harus diberikan

sebelum dilakukan insisi, dan dilanjutkan 24 jam kemudian. Intraoperative cholangiografi

dan choledochoscopi dapat membantu.

Teknik Operasi

Pada dewasa, insisi midline supraumbilicus dan subcostal memberikan eksposure

adekuat. Pada anak sering digunakan insisi transversal. Awalnya, dilakukan mobilisasi

kandung empedu dan duktus cistikus, dilakukan identifikasi arteri hepatika kanan, yang

kadang mengalami anomali atau berdekatan dengan dinding kista. Saat kandung empedu

didiseksi dari fossa-nya, akan teridentifikasi dinding anterior kista. Kista yang mengalami

peradangan merupakan masalah. Diseksi harus dari bagian kaudal hingga seluruh bagian

retrokaudal dari kista dibebaskan, meluas hingga entry point CBD kedalam bagian posterior

parenkim pancreas.

Setelah membebaskan kedua sisi kista , bagian posterior kista diidentifikasikan dan

didiseksi , dan pembuluh darah lewat dibelakang kista. Dinding anterior kista dibuka, kateter

transhepatik yang diletakkan sebelum operasi di keluarkan, dan dinding posterior kista

dibelah. Pada kebanyakn kasus, CBD dibelah dibagian distal, atau berdekatan dengan lokasi

intra pankreatik, ketika diameter kista menyempit mendekati kaliber normal. Setelah

transeksi, distal CBD dilihat seksama, mencegah cedera pada letak anomali letak tinggi

duktus pancreas dengan duktus cistikus. Ketika cista choledukus dibelah dibagian distal,

anterior,lateral, bagian posterior didiseksi, dan kista dibebaskan dari vena portal dan arteri

hepatik.

Page 61: Ikterus Obstruktif

Diseksi dilakukan di bagian proksimal hingga bagian kaliber normal duktus hepatikus

didapat. Pada kebanyakan kasus, bifurkasio tidak mengalami dilatasi kistik, dan anastomosis

antara duktus hepatikus komunis dan Roux-en-Y yeyenum dapat dilakukan. Jika, bifukartio

juga dilatsi, reseksi juga dilakukan.

Jika penilaian cholangiografik preoperative tidak dapat dilakukan dalam menilai

traktus bilier intrahepatik, choledochoscopi atau cholangiografi intra operatif dapat

dilakukan. Rekonstruksi traktus bilier dikerjakan menggunakan bagian retrokolik yeyenum

Roux-en-Y sepanjang 60 cm. Anastomosis hepatikoyeyenostomi end-to-end dilakukan,

menggunakan jahitan tunggal diserap (PGA 4-0). Ditinggalkan stent transhepatik.

Komplikasi

Kebocoran pada anastomosis enteric-bilier dapat terjadi dan biasanya dikenal dengan

mudah berupa adanya cairan empedu di drain post operasi dan dikonfirmasi dengan

cholangiografi. Pada kebanyakan dengan kebocoran bilier pada anastomosis akan

menyembuh. Jika stent trans hepatik digunakan, hemobilia post operasi dapat terjadi.

Komplikasi lainnya, berupa komplikasi pada duktus pankreatikus berupa pancreatitis

jika diseksi distal kista choleduchal terlalu ekstensif atau jika jahitan menyebabkan sumbatan

aliran duktus pankreatikus.

Striktur billier

Penatalaksanaan striktur bilier mencakup :

- Non operatif

- Operatif

1.Operatif

Tujuan utama melakukan tindakan operasi pada striktur bilier adalah untuk

mematenkan kembali aliran empedu sebaik mungkin dari system bilier ke usus. Komplikasi

prosedur operasi yang tidak berhasil, meliputi pembentukan sludge atau batu, striktur

berulang, kebocoran empedu yang berbentuk pengumpulan cairan atau abses, cholangitis, dan

sirosis bilier.

Prosedur teknik operasi yang ideal, berupa bebas tegangan, repair mukosa ke mukosa

pada segmen duktus biliaris yang tidak cedera. Pilihan operasi repair striktur meliputi: end to

end repair, Roux-En-Y hepaticoyeyenostomy, choledochoyeyenostomi,

choledochoduodenostomi, dan graft mukosa. Hasil operasi yang dilakukan bergantung pada

waktu terjadinya, keadaan status umum pasien, derajat cedera dan tipe cedera.

Page 62: Ikterus Obstruktif

Ada 2 macam pengelolaan secara operatif, yaitu :

1. Segera saat operatif

2. Elektif.

Segera Saat operasi

Repair segera secara umum harus segera dilakukan, bila ditemukan cedera duktus

biliaris saat operasi. Ketika operator mencurigai adanya suatu cedera atau adanya variant

anatomi, maka dapat dilakukan intraoperatif cholangiografi dan atau diseksi yang bersih.

Duktus segmental atau accesorius dengan diameter duktus < 3 mm dan duktus tidak

berhubungan dengan duktus utama dapat diligasi.Tetapi, pada duktus dengan diameter > 4

mm, harus direpair secara operatif.

Transeksi CBD parsial, diameter kurang < 180o , dapat direpair dengan menggunakan

T-tube dengan jahitan benang serab.Sedang transeksi dengan diameter > 180o atau komplet,

dilakukan anastomosis end-to-end dengan T-tube diatas dan dibawah

anastomosis.Rekonstruksi primer duktus biliaris harus selektif dan harus dihindari ketika

cedera dekat dengan bifurkasio atau ketika aproksimasi duktus tidak dapat baik tanpa tension.

Transeksi yang mengenai duktus biliaris tinggi atau dengan kehilangan panjang duktus yang

bermakna, tidak dapat direpair dengan anastomosis bilier primer tanpa tegangan. Cedera tipe

ini memerlukan rekonstruksi dengan anastomosis entero-bilier menggunakan

hepaticojejenostomy Roux-En-Y untuk memastikan repair yang bebas tegangan. Stent bilier

silastic transhepatik diperlukan dipasang untuk mengontrol potensial kebocoran anastomosis

dan untuk keperluan cholangiografi post operasi. Drain perianastomotik dipasang post

operasi.

Repair Elektif

Repair elektif harus dilakukan pada pasien dengan keadaan optimal klinisnya. Pasien

dengan cholangitis harus diterapi dengan antibiotik spektrum luas dengan drainase bilier.

Tipe repair ditentukan oleh sejumlah faktor, yaitu :

1. Riwayat repair yang dilakukan sebelumnya

2. Lokasi striktur atau cedera

3. Pengalaman Ahli bedah, dan

4. Preferensi dokter bedah.

Page 63: Ikterus Obstruktif

Intra operasi, anatomi bilier harus jelas, dengan menampakkan bagian duktus yang

sehat. Harus diperhatikan untuk menghindari diseksi yang berlebihan dan devaskularisasi

jaringan. Anastomosis enteric-bilier menggunakan tehnik jahitan mukosa-mukosa dengan

tanpa tegangan.

Tehnik yang disukai, adalah dengan hepatiko-jejunostomi atau choledochojejenostomi

pada Roux-En-Y di jejunum. Anastomosis End-to-End setelah dilakukan reseksi striktur tidak

bijaksana oleh karena hilangnya sebagian panjang duktus biliaris dan sehubungan dengan

fibrosis. Hilangnya panjang duktus biliaris yang bermakna juga merupakan suatu striktur dan

merupakan kontraindikasi untuk melakukan choledochodoudenostomi.

Penatalaksanaan Keganasan Vesika Felea

Penatalaksanaan keganasan vesica felea dimulai dengan penentuan resektabilitasnya.

Resektabilitas tergantung pada kondisi pasien keseluruhan dan tumornya. Kondisi pasien

dilihat dari kondisi jantung dan paru, fungsi hepar, ginjal dan status nutrisi pasien serta ada

tidaknya tanda-tanda sepsis. Sedangkan dari faktor tumornya tergantung dari :

1. Ukuran tumor vesica felea

2. Struktur vaskuler porta hepatis

Dalam hal ini dilihat ada tidaknya oklusi pada vena porta atau arteri hepatika, jika ditemukan

oklusi pada pembuluh darah tersebut merupakan kontraindikasi dilakukan operasi reseksi tumor.

3. Perluasan tumor ke hepar, pancreas, duodenum, colon. Jika ditemukan perluasan tumor ke

organ tersebut maka merupakan kontraindikasi dilakukan reseksi.

4. Jika perluasan mengenai dinding kolon, makan reseksi dilakukan secara en blok.

5. Metastasis ke peritoneum / ekstraperitoneum juga menjadi kontraindikasi dilakukan

operasi reseksi

Penatalaksanaan dibagi menjadi operasi paliatif, non operasi paliatif, reseksi bedah,

kemoterapi dan radioterapi.

Non operatif paliatif

Indikasi

Terdapat kontraindikasi operasi baik dari kondisi pasien secara umum maupun dari

tumornya yang tidak memungkinkan direseksi berdasarkan perluasan lokal yang ekstensif maupun

adanya metastasi jauh.

Tindakan

Kondisi yang sering ditemui pada pasien adalah dalam kondisi ikterus obstruktif yang dapat

ditangani dengan Percutaneus transhepatic biliary stent atau biliary endoprosthesis. Masalah yang

Page 64: Ikterus Obstruktif

potensial dari pemakaian stent adalah berkembangnya kondisi kolesistitis akut. Selain itu masalah

nyeri abdomen dapat diberikan terapi narkotik, radiasi eksternal, atau percutaneus blok ganglion

celiacus. Kelangsungan hidup pasien dengan keganasan vesica felea simptomatik yang dilakukan non

operatif paliatif adalah kurang dari 6 bln.

Gambar 1. Percutaneus transhepatic biliary stents

Gambar 2. BiIliary endoprosthesis (percutan/endoskopik)

Operasi Paliatif

Dilakukan operasi paliatif jika pasien yang merupakan kandidat dilakukan reseksi

tumor, namun pada durante operasi diketahui tumor dalam keadaan tidak memungkinkan

untuk diireseksi lengkap. Maka tujuan dilakukan operasi anatara lain :

- Tujuan diagnostik

- Mencegah kolesistitis dengan cara kolesistektomi

- Mencegah ikterus dengan cara anastomosis biliary-enteric

- Mengurangi nyeri abdomen

- Mencegah/menangani obstruksi saluran cerna (gaster outlet)

Macam operasi paliatif :

Jenis operasi paliatif pada keganasan vesika felea simpotamitk ikterus tergantung dari

kondisi perluasan tumor didaerah hilum. Pada pasien dengan penyebaran ke hati atau

peritoneum, penempatan percutaneus transhepatic stents atau endoprosthesis dapat

mengurangi gejala ikterus. Pada kondisi tumor yang tidak dapat direseksi maka hilum dapat

dilebarkan dengan stent menggunakan kateter silastic transhepatic berukuran besar dan

dilakukan Roux-en-Y choledoco-jejunostomi untuk tujuan dekompresi billiar. Jika tumor

Page 65: Ikterus Obstruktif

sudah memberikan tekanan pada gaster, duodenum dengan ancaman terjadinya obstruksi

saluran cerna maka dilakukan operasi gastro-jejunostomi, disertai pemberian H2 reseptor

antagonis / omeprazole untuk menurunkan sekresi asam lambung dan untuk mencegah

perkembangan menjadi ulserasi.

Reseksi Pembedahan

Stadium O (Ca in situ) :

Simple kolesistektomis, dengan survival rate : 100%

Stadium I (NEVIN ST I & II) :

– Simple kolesistektomi

– Laparoskopi kolesistektomi

Operasi ini masih kontroversi karena pernah didapatkan data terjadinya implantasi sel

kanker pada laparaskopi port.

Stadium II & III (NEVIN STAD III-IV): Extended kolesistektomi

Operasi pada stadium ini meliputi kolesistektomi disertai eksisi luas setebal 2 cm pada

fosa vesica felea, diseksi limfondi sekitar duktus sistikus, pericholedochal, retroporta,

a.hepatica, dan peripankreatik.

Gambar 3. Kolesistektomi sederhana Gambar 4. Extended kolesistektomi

Page 66: Ikterus Obstruktif

Gambar 5. Extended kolesistektomi yang diserati diseksi limfonodi yang dilakukan

pada keganasan vesica felea stadium II-III.

Stadium III/IV (NEVIN STAD IV)

Penatalaksanaan pada stadium ini masih kontroversi. Dahulu dilakukan radikal reseksi

namun menghasilkan morbiditas dan mortalitas yang masih tinggi. Saat sekarang dilakukan

reseksi regresif karena pengelolaan pasca operasi yang sudah maju. Reseksi agresif ini

meliputi reseksi liver luas, terdiri dari reseksi pada fossa vesica felea/segmen V, VI,

hepatetektomi sentral, hepatektomi kanan luas, trisegmentektomi, ditambah dengan

lymphadenektomi, pancreaticoduodenectomi, reseksi ductus bilier extrahepatik & vena porta,

reseksi organ yang terkena (ginjal/kolon).

Gambar 6. Segmen hepar.

Kemoterapi

Respon pemberian kemoterapi adjuvant masih kurang bagus (<20%). Regimen yang

dipakai antara lain : 5-FU + mytomicin C. Regimen terbaru yaitu Cis-Platin.

Radioterapi

Indikasi radiasi adalah pada tumor yang tidak dapat direseksi atau tidak dapat

direseksi secara lengkap. Beberapa rumah sakit utama pernah memberikan radiasi

intraoperatif dengan 5- FU diberikan untuk sensitizer.

Penatalaksanaan Keganasan Duktus Billiar

Resektabilitas pada penatalaksaan keganasan ductus bilier tergantung pada kondisi

pasien dan kondisi tumornya :

Perhatian khusus diberikan pada pasien dengan tanda-tanda ikterus obstruktif yang

akan direncanakan pembedahan besar dimana akan didapatkan keadaan abnormalitas fungsi

pankreas, liver, renal, fungsi imunologis, kardiopulmoner, hemostasis, proses penyembuhan

luka dan endotoksemia (terjadi insufisiensi jantung, paru dan renal).

Penentuan staging dengan pemeriksaan penunjang :

Page 67: Ikterus Obstruktif

- CT-Scan

Ditemukannya perluasan tumor ke 2 lobus hati atau metastasis jauh menjadi kontraindikasi

dilakukan reseksi.

- Cholangiografi

Ditemukan perluasan ekstensif ke parenkim hati menjadi kontraindikasi reseksi.

- Visceral angiografi

Oklusi a.hepatica communis atau vena porta, juga menjadi kontraindikasi reseksi.

Non operasi paliatif

Indikasi :

Pasien dengan resiko tinggi dilakukan operasi reseksi tumor, dan tumor tidak dapat di

reseksi komplit. Sehingga tujuan non operasi paliatif adalah untuk menjaga patensi ductus

bilier. Karena adanya obstruksi aliran bilier akan menyebabkan terjadinya disfungsi

hepatoseluler, malnutrisi progresif, koagulopati, pruritus, disfungsi ginjal dan cholangitis.

Jenis non operasi paliatif

PTC (Percutaneus Transhepatic Cholangiogram) dan Drainage Bilier

Menggunakan jarum ukuran 22 (flexible chita needle) dengan panduan pemeriksaan

fluoroskopi, dari arah kanan atas dengan memasukkan kawat pemandu melewati bagian yang

striktur dilanjutkan penempatan kateter (Ring chatater) dengan tujuan drainage.

Gambar 7. PTC (Percutaneus Transhepatic Cholangiogram)

Endoscopy dekompresi

Tehnik ini bertujuan untuk dekompresi bilier secara endoskopi. Melakukan

dilanjutkan dengan kanulasi ductus bilier dengan atau /tanpa guidewire dan jika perlu

spincterectomi, bagian yang striktur dilebarkan dengan dilator kemudian ditempatkan

endoprosthesis (polyethylene Teflon-coated chateter)

Page 68: Ikterus Obstruktif

Gambar 8. ERCP. (A) duodenoscope of sphincterotome (S) memasuki papila mayor

duodeni. (B)guide wire (panah hitam. (C) duodenoscope (DS) dengan guidewire (panah

hitam) memasuki CBD , biliary stent (panah putih) . gall bladder (GB) terisi kontras. (D)

biliary stent (asterisk) ditempatkan keluar papila duodeni mayor.

Operasi Paliatif

Indikasi :

Pada saat dilakukan laparotomi eksplorasi ditemukan adanya pendesakan lokal yang

membuat kondisi tumor tidak dapat direseksi (intraperitoneum, mendesak porta hepatis),

sehingga dilakukan operasi dengan minimal intervensi.

Tumor Mendesak perihiler

Beberapa tindakan yang dapat dilakukan :

Roux-en-Y hepaticojejunostomy dengan kateter silastic transhepatik

Prosedur :

- Dilakukan Percutaneus Transhepatic Chateter terlebih dahulu (PTC)

- Identifikasi ductus bilier extrahepatic pada distal tumor

- Ductus hepaticus communis distal tumor dibagi dua dan stump CBD bagian distal ditutup

dengan jahitan

- Stump CBD bagian proximal dari ductus bilier ekstrahepatic dilakukan choledochoscopy

(bisa mengambil spesimen dari tumor untuk dibiopsi)

- Ductus bilier dilebarkan dgn kateter Coude besar, ganti PTC dengan kateter silastic

transhepatik

- Dilakukan standard hepatico-jejunostomi dan jejuno-jejunosotmi.

Page 69: Ikterus Obstruktif

Gambar 9. Pemasangan transhepatic kateter yang tampak keluar dari proksimal CBD.

Tampak distal CBD dijahit.

Gambar 10. Retrocolon Roux-en-Y hepatico-jejunostomi dan jejuno-jejunostomi

dengan penempatan kateter Silastic billier transhepatik.

Tumor pada ductus bilier distal

Dekompresi bilier dengan cara Biliary-enteric bypass menggunakan ductus

ekstrahepatik bagian atas berupa Choledoco-jejunostomi, Hepatico-jejunostomi atau dari

vesica felea berupa Cholesisto-jejunostomi.

Ancaman Obstuksi gastroduodenal

Profilaksis Gastro-jejunostomi retrokolon

Nyeri abdomen/punggung

Splanchnicectomy menggunakan alkohol 50% dapat dilakukan intraoperatif untuk

mengontrol nyeri pasca operasi dan untuk mengurangi kebutuhan narkotik.

Reseksi pembedahan keganasan duktus billiar

Reseksi Ca ductus bilier proximal, rekonstruksi via bilateral hepatico-jejunostomi

dengan Silastic Transhepatic Billiary Stent

Page 70: Ikterus Obstruktif

Syarat : Tumor dapat direseksi

Prosedur:

• Percutaneus Cholangiografi. Insersi kateter bilier transhepatik menuju ductus hepaticus

dekstra dan sinistra melewati tumor

• Laparotomi eksplorasi. Insisi subcostal/midline, cari ada tidaknya penyebaran tumor

• Mobilisasi vesica felea

• CBD (Common Bile Duct) dibagi dua dengan bagian distal ditutup via jahitan, dilanjutkan

diseksi ke arah prox sampai dengan bifurcatio ductus hepaticus, potong spesimen dan

kirim ke PA. Spesimen yang dikirim berupa vesika felea, ductus hepatica dextra dan

sinistra, CBD proksimal dengan dipasang petunjuk batas reseksi berupa benang.

• Insersi ductus hepaticus dekstra dan sinistra dengan Silastic transhepatic billiary stent

melalui petunjuk kateter bilier transhepatik sebelumnya

• Lanjut operasi Roux-en-Y hepatico-jejunal retrokolon dengan jahitan 1 lapis.

Gambar 11. Mobilisasi vesica felea dengan membagi CBD

Gambar 12. Spesimen yang dikirim ke PA

Page 71: Ikterus Obstruktif

Gambar 13. Rekonstruksi akhir dengan retrokolon Roux-en-Y anastomosis (hepatico-

jejunostomi dan jejuno-jejunostomi)

Reseksi Carsinoma ductus bilier proksimal, reseksi hepar dengan rekonstruksi via

Hepaticojejunostomi dan Silastic Transhepatic Billiary Stent

Indikasi : keganasan ductus bilier proksimal yang ekspansi ke salah satu lobus hati

Prosedur:

Prosedur sama dengan sebelumnya, namun ditambahkan reseksi hepar yang terkena

secara en blok dengan ductus hepatika proksimal dan vesica felea, dilanjutkan pemasangan

kateter Silastik transhepatic melalui ductus hepatika pada lobus yang tidak terkena dan

diakhiri dengan rekonstruksi retrokolon Roux-en-Y anastomosis (hepatico-jejunostomi dan

jejuno-jejunostomi).

Gambar 14. Reseksi en blok lobus kiri hepar dengan vesica felea dan bifurcatio ductus

hepatica.

Page 72: Ikterus Obstruktif

Reseksi ductus biler distal dan rekonstruksi pancreaticoduodenectomi dengan

preservasi pylorus

Indikasi : tumor pada common bile duct bagian distal

Prosedur:

- Laparotomi eksplorasi : lihat ada tidaknya penyebaran ke intra abdomen

- Mobilisasi duodenum.

- Indentifikasi V.porta yang berada di belakang CBD dan V.mesenterika superior

setinggi duodenum pars III.

- Potong duodenum pars I (±2 cm distal dari pylorus), ikat dan potong a.

gastroduodenal.

- Diseksi vesica felea dari fosa vesica felea di hepar dan ductus hepaticus communis

dibagi menjadi dua

- Potong pancreas pada bagian leher dengan elektrokauter

- Jejunum dipotong 10-20cm dari lig. Treitz

- Hasil spesimen yg diambil : Vesica felea, CBD dan distal ductus hepatika komunis,

caput pancreas, duodenum pars I distal, pars II, pars III, pars IV), jejunum proximal

Gambar 15. Spesimen yang dikirim ke PA

- Rekonstruksi ada 3 cara .

1. Pancreatico-gastrostomi, end-to-side hepatico-jejunostomi, end-to-side duodeno-

jejunostomi.

2. End-to-end pancreatico-jejunostomi, end-to-side hepatico-jejunostomi, end-to-side

duodeno-jejunostomi. Tehnik ini paling sering dipakai.

3. End to side pancreatico-jejunostomi, end-to-side hepatico-jejunostomi, end-to-side

duodeno-jejunostomi

Page 73: Ikterus Obstruktif

Gambar 16. Jenis rekonstruksi

A. Pancreatico-gastrostomi, end-to-side hepatico-jejunostomi, end-to-side duodeno-

jejunostomi.

B. End-to-end pancreatico-jejunostomi, end-to-side hepatico-jejunostomi, end-to-side

duodeno-jejunostomi

C. End to side pancreatico-jejunostomi, end-to-side hepatico-jejunostomi, end-to-side

duodeno-jejunostomi

KEMOTERAPI

• Menggunakan regimen 5-FU

• Dari beberapa data penelitian, penggunaan kemoterapi belum mampu meningkatkan

kelangsungan hidup pasien

RADIOTERAPI

Terdapat beberapa metoda pemberian radiasi :

• Eksternal radiasi dengan dosis 1.8-20 Gy/hari, dengan total dosis 45-60 Gy

• Intraoperatif ER: 5-20 Gy

• Internal radiasi percutaneus/endoscopik billiary stent

• Radioimunoterapi : 131I-anti-CEA (CholangioCa unresectable)

• Iradium192/Cobalt60

• Data dari RS.John Hopkin menyatakan bahwa penggunaan radioterapi post reseksi

keganasan ductus bilier tidak perbaiki kelangsungan hidup pasien

Penatalaksanaan Keganasan Pankreas dan Periampula

Penatalaksanaan pada keganasan ini adalah tindakan operasi berupa

pancreaticoduodenectomi, dan jika jinak dilakukan lokal reseksi ampulla. Terdapat 2 fase

operasi :

Page 74: Ikterus Obstruktif

– Menentukan resektabilitas tumor (evaluasi pre operasi dan durante operasi)

– Jika dapat direseksi maka dilakukan pancreaticoduodenectomi dengan rekonstruksi

Tehnik operasi:

– Insisi midline atas atau dengan bilateral subcostal

– Inspeksi dan palpasi hati dan permukaan peritoneum, jika dicurigai lesi metastasis

dilakukan biopsi

– Evaluasi lymphono regional. Ditemukannya pembesaran limfonodi bukan kontraindikasi

operasi.

– Evaluasi apakah terdapat perluasan tumor nnll periaorta, yang berarti tumor sdh melewati

batas reseksi yg normal

– Evaluasi tumor primer :

Gambar 17. Mobilisasi duodenum dan caput pankreas dari aorta dan v.cava inferior

dibawahnya dan identifikasi arteri mesenterika superior antara jari I dan jari II,III

pemeriksa.

– Dilakukan pemisahan ductus hepaticus komunis. sewaktu memisahkan ductus hepaticus

komunis akan tampak vena porta.

– Dilakukan pancreaticoduodenectomi dengan preservasi pylorus:

1. Duodenum dipotong mulai 2 cm distal pylorus (pada whipple klasik dilakukan

pemotongan gaster

2. Identifikasi, ligasi dan potong a.gastroduodenal

3. Neck pancreas dipotong (identifikasi posisi vena porta yang berada dibelakang dari

duodenum pars I dan neck pankreas serta vena mesenterika superior yang terletak di

ventral dari duodenum pars III)

Page 75: Ikterus Obstruktif

4. Jejunum 10 cm dari lig.Treitz dipotong

Spesimen terdiri dari vesica felea, CBD, caput&neck pancreas, duodenum dan jejunum

proksimal.

Gambar 18. Pemotongan neck pankreas dan duodenum pars I distal

– Rekonstruksi :

1. End-to-end/side dengan / tanpa stent pancreatico-jejunostomi (jejunumdistal ditempatkan

retrokolik). Perhatian khusus pada anastomosis pancreatico-jejunostomi karena memiliki

morbiditas dan mortilitas yang tinggi.

Tehnik yang baik anastomosis adalah membuat Invaginasi (2-3cm) pancreas ke dalam lumen

duodenum kemudian jahit secara double layer (lapisan dalam secara interupted/kontinu

absorbable dan lapisan luar secara interupted non absorbable/silk)

2. Hepatico-jejunostomi (10 cm distal dari no.1). Penjahitan dengan one layer absorbable,

anastomosis dilewati kateter bilier transhepatic pre operatif ataudengan pemasangan T-Tube

durante operasi.

3. Duodenojejunostomi (15 cm distal dari no.2)

Gambar 19. Rekonstrusi akhir

– Pemasangan drain closed-suction Silastic ditempatkan dekat dengan anastomosis

pancreatico-jejunostomi dan hepatico-jejunostomi.

Page 76: Ikterus Obstruktif

Perawatan Pasca Operasi

– Pasien di puasakan terlebih dahulu

– NGT dan dekompresi bilier dipertahankan dalam jangka waktu pendek

– Pemberian analgetika parenteral

– Antibiotika profilaksis dan perioperatif dalam jangka waktu pendek

– Cholangiogram hari ke 4/5 pasca operasi via Transhepatic Billiary Chateter/T-tube dengan

kontras watersoluble, jika bocor (-) : diet cair ditingkatkan perlahan2 dgn perhatian khusus

pada pengosongan lambung dan ada tidaknya peningkatan out put drain anastomosis

– Aff drain jika sudah diet biasa tanpa adanya kebocoran anastomosis.

Penatalaksanaan choledocolithiasis dan cholangitis

Choledocolithiasis

ERCP diperkenalkan tahun 1968, sebagai alat bantu diagnostik pada penyakit bilier

dan pankreas. Lima tahun kemudian, seiring dengan perkembangan endoscopic

sphincterotomy, pemeriksaan ini ditransformasikan menjadi modalitas terapetik. Dengan

ERCP, setelah batu tampak dalam CBD, endoscopic sphincterotomy dan ekstraksi batu bisa

dilakukan sekaligus, jika batu tidak tampak,dilakukan test microlithiasis pada bile,bila klinis

mendukung.

Sphincterotomy dilakukan dengan membelah papila dan otot sfingter untuk

memperdalam/memperlebar distal end commom bile duct menggunakan sphincterotome.

Baloon sphincteroplasty merupakan alternatif preservasi sphingter menggunakan

baloon tekanan tinggi untuk melebarkan papila 6-8 mm. Kelemahan Sphincteroplasty

terbatas ukuran papilary opening dibandingkan Sphincterotomy.Pengambilan batu ada 2 cara

yaitu dengan dormia basket dan baloon catheter. Dormia basket direkomendasikan pada batu

ukuran lebih dari 1cm.

Mechanical lithotripsy merupakan cara paling umum yang digunakan untuk

memecah batu pada batu yang besar atau pada perbedaan diameter batu dan pintu

keluarnya.Apabila Mechanical lithotripsy gagal,dapat dilakukan intraductal shock wave

lithotripsy menggunakan cholangioscope yang dimasukkan melalui duodenoscope.

Extracorporeal shock wave lithotripsy ( ESWL) populer di eropa dan

jepang,digunakan pada batu CBD dengan comorbid mayor dan secara teknik sulit dengan

Endoscopic ekstraksi batu (ERCP stone extraction)

Large-balloon dilatation distal CBD dilakukan sebagai tambahan lithotripsi pada

batu CBD yang sulit diambil setelah Endoscopic ekstraksi batu tidak berhasil.

Page 77: Ikterus Obstruktif

Pada pasien yang tidak nyaman , tidak memungkinkan secara anatomis atau tidak

berhasil dengan ERCP, metoda lain cholangiografi dan nonsurgical terapi adalah

Percutaneus transhepatic cholangiography ( PTC ) diikuti dengan pengambilan batu

transhepatic. Transhepatic cholangioscopy dan lithotripsy dapat dilakukan setelah PTC dan

dilatasi intrahepatic channel, dengan angka keberhasilan 90-100% dan komplikasi 5-8%.

Ketika pasien akan dilakukan cholesistektomi, telah dilakukan pemeriksaan

preoperatif untuk konfirmasi adanya batu CBD (dengan ERCP,MRCP,atau EUS) atau

kecurigaan adanya batu CBD secara klinis, laboratoris, atau USG transabdominal , atau tidak

ada kecurigaan adanya batu CBD. Pada saat pembedahan, Intraoperative cholangiography

(IOC) merupakan metoda pemeriksaan paling sering digunakan untuk menetapkan adanya

batu duktus bilier.

Laparoscopic IOC telah berkembang menjadi metoda yang sangat berguna untuk

evaluasi biliary tree. Caranya dengan menginjeksi kontras melalui kateter kedalam duktus

cysticus. Kateter 14 G dimasukkan melalui dinding abdomen, 3 cm medial midclavicular

port. Angka keberhasilan kanulasi cholangiografi 75-100%. Dengan fluoroscopy menjadi

standard karena lebih cepat, detail,dan mengikuti interaksi ahli bedah dengan tepat.

Sensitifitas 80-90% dan spesifisitas 76-97%.

Intraoperative Ultrasound ( IOUS ) merupakan metoda noninvasif untuk evaluasi

sistem bilier durante operasi.Sangat sensitif untuk batu CBD dan sama sensitifnya dengan

IOC untuk batu duktus bilier. Sekali ditetapkan adanya batu CBD saat operasi,ada beberapa

pilihan penatalaksanaan. Tergantung local availability dan expertise, explorasi duktus secara

open atau laparoscopic dan teknik nonoperatif post cholesistektomi seperti ERCP atau PTC.

POSTOPERATIF

Pasien dengan batu CBD stelah cholesistektomy umumnya dilakukan ERCP. Jika T-

tube ( kateter transabdominal lain ) talah ditempatkan , cholangiogram dapat dilakukan untuk

menetapkan adanya batu CBD. Pasien dengan pemasangan T-tube ,instrumentasi percutaneus

melalui T-tube dibawah pengawalan fluoroscopy melalui T-tube dapat mengambil batu

CBD.

Proses Pembedahan Drainase Biliaris

Prosedur drainase pembedahan biliaris dilakukan pada batu multipel, pengangkatan

batu inkomplit, impaksi, batu distal CBD yang tidak dapat diangkat,dilatasi CBD,obstruksi

Page 78: Ikterus Obstruktif

distal CBD karena tumor/striktur,dan explorasi CBD berulang. Metodanya yaitu

transduodenal sphincterotomy,choledochoduodenostomy, dan choledocojejunostomy.

Transduodenal sphincterotomy ( TDS ) dilakukan pada choledocolithiasis yang

impaksi ke ampula vateri, stenosis papila, dan batu multipel khususnya nondilated bile duct.

Kateter Fogarty dipasang di CBD sampai duodenum melalui ampula vateri.Buat

duodenotomy longitudinal diatas ampula,masuk ke duktus pancreatikus pada posisi jam 4 jika

memungkinkan.Jahitan absorbable pada sisi ampula, kemudian sphincterotomy dimulai pada

jam 11 dan diperpanjang.Jahit pada apex untuk mencegah kebocoran

duodenum.Duodenotomy ditutup secara transversal untuk mencegah stenosis dan dipasang

drain.

Choledochoduodenostomy ( CDD ) dindikasikan pada batu rekuren yang membutuhan

intervensi berulang, batu impaksi,batu sangat besar, lumpur bilier, dan stenosis ampula.

Sindrom Funnel yaitu adanya stenosis distal CBD dengan batu CBD merupakan indikasi

klasik CDD. CDD dat dilakukan pada operasi elektif maupun emergensi seperti

cholangitis.Dilakukan anastomose side to side, bisa juga end to side. Diameter CBD minimal

1,2 cm untuk bisa dilakukan CDD. CBD didiseksi sepanjang permukaan distal anterior. Buat

longitudinal duodenotomi dekat CBD. CBD diincisi sepanjang axis CBD sedekat mungkin

dengan duodenum, panjang 2cm ,untuk mencegah stenosis. CBD diexplore dan bersihkan

dari batu.Buat anastomose sde to side single layer dengan benang absorbable,pasang

drain.Alternatif CDD adalah Choledochojejunostomy ( CDJ ) dengan loop jejunum atau

konfigurasi Roux- an- Y. Jika digunakan loop , jejunojejunostomy side to side anastomose

dilakukan. Laparoscopic Choledochoduodenostomy dapat dilakukan dengan masa rawat inap

lebih pendek ( 6 hari ).

Kolangitis

Penatalaksanaan awal yang cepat sangat diperlukan. Resusitasi cairan, koreksi elektrolit dan

koagulopati,analgetik, antibiotik spektrum luas kombinasi cefalosporin, metronidazole, dan

ampicillin. Drainase biliary tree adalah yang utama pada cholangitis akut. Waktu dan rute

dekompresi tergantung respon antibiotik, penyebab obstruksi, dan adanya morbiditas. Metoda

dekompresi bisa endoscopic, percutaneus transhepatik, dan drainase pembedahan.

Page 79: Ikterus Obstruktif

BAB IV

JURNAL

Diagnosis Awal dan Manajemen

Kolangiokarsinoma dengan Ikterus Obstruktif

World Journal of Gastroenterology 2008 May 21; 14(19): 3000-3005

Takashi Tajiri, Hiroshi Yoshida, Yasuhiro Mamada, Nobuhiko Taniai,

Shigeki Yokomuro, Yoshiaki Mizuguchi

Editor: Gianfranco D Alpini, PhD, Professor; Sharon DeMorrow, Assistant Professor

Abstrak

Kolangiokarsinoma merupakan kanker hati primer kedua tersering. Meskipun teknik

diagnostik sudah maju pada dekade terdahulu, kolangiokarsinoma biasanya ditemukan pada stadium

lanjut. Pada tinjauan ulang ini, kami menggambarkan klasifikasi, diagnosis, dan penanganan awal

kolangiokarsinoma dengan ikterus obstruktif.

INTRODUKSI

Kolangiokarsinoma adalah keganasan primer hepar kedua terbanyak, meskipun teknik

diagnostik berkembang selama dekade terakhir, kolangiokarsinoma, umumnya sudah memasuki

stadium lanjut, kolangiokarsinoma biasanya ditemukan pada stadium lanjut.

KLASIFIKASI

Kolangiokarsinoma merupakan keganasan epitelial yang berasal dari kolangiosit dan dapat

terjadi pada level manapun dari traktus billiaris. Secara umum diklasifikasikan menjadi

kolangiokarsinoma intrahepatik, kolangiokarsinoma hilar, dan tumor saluran empedu tumor duktus

billiaris ekstrahepatik distal. Secara histologis, lebih dari 95 % kolangiokarsinoma merupakan

adenokarsinoma. Secara patologis, diklasifikasikan menjadi kanker sklerosis, noduler, dan intraduktal

papiler. Klasifikasi patologi terbaru yang dapat diaplikasikan pada kolangiokarsinoma intrahepatik

dan ekstrahepatik membagi lesi ini menjadi kolangiokarsinoma mass - forming (noduler), periductal –

infiltrating (sclerosing), dan intraductal – growing (papillary).

Page 80: Ikterus Obstruktif

DIAGNOSIS

Data laboratoris

Pada umumnya dilakukan observasi pada abnormalitas tes fungsi hati yang menunjukkan

obstruksi duktus billiaris. Peningkatan yang tajam Ca 19-9 pada pasien bergejala umumnya

menunjukkan penyakit stadium lanjut. Carcinoembryonic antigen (CEA) juga meningkat pada pasien

dengan kolangiokarsinoma namun tidak bermakna diagnostik karena sensitivitas dan spesifitasnya

rendah. Kolangitis dan hepatolitiasis umumnya menyebabkan peningkatan kadar tumor marker.

Kolangiokarsinoma tidak dapat didiagnosis berdasarkan data laboratorik saja.

Ultrasonografi (USG)

USG merupakan teknik penciteraan pilihan untuk diagnosis kolangiokarsinoma dengan ileus

obstruktivus. Visualisasi memungkinkan diagnosis yang memadai dan staging lebih dari 90 % kasus.

Adanya pelebaran duktus tanpa hubungan yang jelas dengan lobus hepar menunjukkan ekstensi tumor

ke dalam traktus billiaris segmental. Ultrasonografi (USG) bermanfaat untuk evaluasi ekstensi lokal

dari penyakit namun memiliki keterbatasan dalam staging metastasis jauh. Kolangiokarsinoma

intrahepatal dapat diidentifikasi sebagai massa, kadang berhubungan dengan dilatasi duktus billiaris di

proksimal lesi. Vaskularisasi tumor, merupakan karakteristik yang penting untuk dapat dinilai dengan

USG doppler berwarna. Suatu sinyal doppler yang abnormal didapatkan dari sistem vena porta yang

disebabkan oleh penyempitan atau oklusi berat sangat mendukung keterlibatan tumor yang tak dapat

direseksi. Meskipun demikian suatu sinyal doppler yang normal tidak mengeksklusi keterlibatan

tumor, apabila tumor terkontaminasi dengan pembuluh darah menunujukkan gangguan dari

permukaan tumor – pembuluh darah hiperekoik.

Endoscopic ultrasound (EUS) bemanfaat dalam mengevaluasi perluasan penyakit dan dalam

melakukan aspirasi jarum halus. Eloubeidi et al melaporkan bahwa EUS guided FNAB bermanfaat

untuk diagnosis kolangiokarsinoma. Sensitivitas dan Spesifisitas, positive predictive value, negative

predictive value, akurasitas yaitu 86 %, 100%%, 100%, 57%, dan 88%. EUS guided FNA dari

limfonodi memfasilitasi staging dari penyakit ini.

Computed Tomography (CT)

CT memungkinkan identifikasi dilatasi duktus biliaris dan penilaian dari parenkim hepar dan

limfonodi. Meskipun demikian, evaluasi dari perkembangan penyakit baik oleh diagnostik imaging

via duktus biliaris masih merupakan tantangan pada pasien dengan kolangiokarsinoma, terutama pada

CT konvensional. Akhir-akhir ini, perkembangan multi detector row CT scan memungkinkan

rekonstruksi gambar secara cepat dan meningkatkan nilai CT scan sebagai alat diagnostik yang

interaktif. Lebih lanjut, metode inovatif untuk rekontstruksi dengan CT, meliputi rekonstruksi

multiplanar dan gambar 3 dimensi, telah digunakan untuk visualisasi duktus biliaris. CT angiografi

telah menunjukkan manfaat dalam deteksi dan pengelolaan penyangatan vaskular.

Page 81: Ikterus Obstruktif

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI disertai Magnetic Resonance Cholangio Pancreticography (MRCP) merupakan alat diagnostik

pilihan untuk mengevaluasi perluasan penyakit. Keterbatasan teknik imaging konvensional telah

meningkatkan penggunaan MRCP, yang merupakan teknik non invasif yang sangat akurat untuk

evaluasi pasien dengan obstruksi biliaris. MRCP sangat cocok untuk visualisasi kolangiokarsinoma

intrahepatik maupun ekstrahepatik yang tampak sebagai lesi intense, lesi hipointense pada gambar T1-

weighted dan lesi hiperintense pada gambar T2-weighted. Gambar dapat diperjelas dengan

menggunakan superparamagnetic iron atau dengan delayed gadolinium enhancement. Akurasi

diagnosis secara keseluruhan adalah 96,3% untuk level obstruksi dan 89,7% untuk penyebab

obstruksi. MR angiography dapat digunakan untuk mengevaluasi keterlibatan vaskuler.

Cholangiography

Sebelum MRCP berkembang, direct cholangiography adalah satu-satunya teknik untuk evaluasi

sistem bilier. Direct Cholangiography dapat dilakukan melalui perkutan transhepatik cholangiography

atau endoskopik retrograde cholangiography, dan dapat diambil contoh dari duktus biliaris. Hasil

kerokan dianalisis secara sitologi. Pada suatu studi sensitivity, spesificity, positive predictive value,

negative predictive value, accuracy dari hasil kerokan yang diperiksa secara sitologi : 75%, 100%,

100%, 12,5%, dan 75,9%. Spesimen dari duktus biliaris diperiksa secara sitologi. Performa diagnostik

dari transluminal forceps biopsy untuk obstruksi biliaris maligna adalah sebagai berikut : sensitivity

78,4%, specificity 100%, dan accuracy 79,2%. Savader et al membandingkan akurasi diagnostik dari

tiga teknik yang berbeda untuk percutaneus transhepatic intraductal biopsy : brush cytology,

clampshell forceps, dengan tuntunan koledokoskopik, dan clampshell forceps dengan tutunan

fluoroskopi. Teknik biopsi kolodoskop directed memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tertinggi

dari tiga teknik itu, namun tidak secara signifikan lebih baik (p>0.10>. Biopsi multiple tidak

meningkatkan sensitivitas biopsi bilier intraduktal sebagai teknik diagnostik. Ketiga teknik itu aman

dan mudah dikerjakan. Pada pasien dengan obstruksi biliris maligna, Sitologi kerokan lebih sensitiv

untuk diagnosis kolangiokarsinoma dibanding untuk diagnostik non kolangiokarsinoma (p<0.05).

Letak stenosis tidak berhubungan dengan sensitivitas dan keberhasilan teknik (p>0..9)

Cholangiography cine rotasional digunakan untuk mendiagnosis karsinoma duktus biliaris.

Cholangiography cine rotasionalmerupakan teknik andalan untuk mendeteksi kelancaran duktus

biliaris, sebaik mendiagnosis perpanjangan longitudinal penyebaran kanker sepanjang duktus biliaris.

Furukawa et al mengevaluasi manfaat cholangiography 3 dimensi dan Cholangiography cine

rotasional untuk menggambarkan anatomi hilus duktus biliaris dan ekstensi tumor, dan untuk

merencanakan prosedur operasi cholangiocarsinoma hilar.

Page 82: Ikterus Obstruktif

Angiography

Angiography menunjukkan anatomi arteri arteri hepar dan biliaris. Angiografi merupakan teknik yang

unggul untuk mendeteksi vaskuler dan bermanfaat untuk merencanakan prosedur operasi.

Scintigraphy

Technetium-99m galactosyl human serum albumin scintigraphy: Technetium-99m-

diethylenetriaminepentaacetic acid-galactosyl-human serum albumin (99mTc-GSA) merupakan ligan

analog asialoglycoprotein yang terikat spesifik dengan reseptor asialoglycoprotein (ASGP-R) yang

berada pada hepatosit mamalia. Uptake hepar terhadap 99mTc-GSA setelah 15 menit menandakan

populasi reseptor atau massa hepatosit fungsional.

Nanashima et al mempelajari hubungan antara pengukuran morfologis volume hepar pada CT dengan

volume fungsional pada scintigrafi 99mTc-GSA. Tidak didapatkan perbedaan bermakna pengukuran

volume diantara kedua teknik volumetric tersebut. Pengukuran volumetric dengan scintigrafi 99mTc-

GSA berguna untuk mendeteksi perubahan volume fungsional lobus hepar seseorang dan metode

yang lebih dinamik dibandingkan penilaian perubahan morfologi pada CT scan.

Kami mengkonfirmasi perubahan hemodinamik distribusi aliran vena splenik pada hepar, terutama

pada sirosis hepar, dan menunjukkan peran aliran vena splenik terhadap regenerasi atau pembesaran

lobus hepar bermakna pada scintiphotosplenoportography setelah injeksi 99mTc-GSA intrasplenik

perkutaneus. Kami menyimpulkan bahwa aliran darah vena splenik memacu fibrosis lobus kanan

hepar karena terpapar kerusakan kontinyu, dengan peningkatan aliran bertahap pada lobus kiri,

menunjukkan fibrosis yang lebih ringan.

Positron emission tomography (PET) : PET dengan [18F]-fluorodeoxyglucose dapat digunakan

untuk menyingkirkan metastasis, walaupun temuan ini harus benar-benar diperhatikan karena hasil

positif palsu menghasilkan lesi inflamasi, terlebih lagi, PET scan normal tidak mengeksklusi kanker.

MANAJEMEN AWAL

Drainase Bilier

Pada pasien dengan ikterus obstruktif karena cholangiocarcinoma, terutama cholangiocarcinoma

hilus, drainase bilier preoperatif direkomendasikan untuk meningkatkan fungsi hepar sebelum

pembedahan dan untuk mengurangi komplikasi postoperatif. Percutaneus transhepatic biliary drainage

(PTBD) dengan drain multiple merupakan metode yang sebelumnya dipilih preoperatif pada ikterus

obstruksi. Pada pasien dengan cholangiocarcinoma hilus, saat ini drainase hanya dilakukan pada lobus

hepar yang dipertahankan setelah reseksi dan pada area cholangitis segmental. Endoscopic biliary

drainage (EBD) kurang invasive dibandingkan PTBD. Akan tetapi, EBD telah dikonversi menjadi

PTBD pada pasien dengan cholangitis segmental, yang mana membutuhkan drainase lama, atau pada

kasus perluasan tumor yang belum diketahui dengan jelas.

Page 83: Ikterus Obstruktif

Kamiya et al melaporkan bahwa gangguan fungsi barier intestinal tidak berespon terhadap drainase

bilier eksterna tanpa penggantian empedu. Penggantian empedu selama drainase bilier eksterna dapat

mengembalikan fungsi barier intestinal pada pasien dengan obstruksi bilier, terutama memicu

perbaikan kerusakan fisik terhadap mukosa intestinal. Koivukangas et al melaporkan bahwa sintesis

sel protein awalnya terganggu dibandingkan dinamika sel pada ikterus obstruksi. Penurunan sintesis

skin-collagen basal sebagian membaik seiring resolusi ikterus.

Sebelumnya kami melaporkan bahwa peningkatan serum kolagen IV merupakan bentuk ikterus

obstruksi maligna dan sering berkaitan dengan klirens bilirubin yang lama, dan indikator yang

berguna dalam klinis, morbiditas postoperatif, dan mortalitas pasien dengan ikterus obstruktif

maligna.

Prosedur pilihan untuk drainase bilier sebelum hepatektomi pada pasien dengan ikterus obstruksi tetap

kontroversial, contoh drainase bilier selektif hanya untuk drainase total atau hepar yang tersisa.

Ishizawa et al melaporkan drainase bilier selektif lebih superior dibandingkan drainase bilier total

untuk memacu hipertrofi hepar yang tersisa pada pasien yang dilakukan embolisasi vena porta dan

untuk menjamin fungsi hepar yang baik sebelum hepatektomi. Hochwald et al menunjukkan bahwa

stenting bilier preoperative pada cholangiocarcinoma proksimal meningkatkan insidensi kontaminasi

empedu dan komplikasi infeksi postoperative. Cherqui et al menunjukkan bahwa reseksi hepar tanpa

drainase bilier preoperative merupakan prosedur yang aman pada kebanyakan pasien dengan ikteruks

obstruksi. Pemulihan fungsi sintesis hepar identik pada pasien tanpa ikterus. Kebutuhan tranfusi dan

insidensi komplikasi postoperative, terutama kebocoran empedu dan pengumpulan empedu

subdiafragma, lebih bnyak pada pasien ikterus. Pitt et al menyimpulkan bahwa PTBD preoperative

tidak menurunkan resiko operatif tetapi meningkatkan biaya perawatan dan juga mengecewakan

penggunaan rutin. Indikasi stenting bilier preoperative pada pasien dengan ikterus obstruksi tetap

controversial.

Portal Vein Embolization (PVE)

PVE sebelum hepatektomi didesain untuk menginduksi atrofi lobus yang akan dilakukan reseksi

dengan embolisasi. Induksi diikuti hipertrofi kompensasi dari lobus yang tersisa. PVE dengan

hipertrofi kompensasi dari lobus hepar kontralateral yang tersisa dilakukan untuk memperluas

hepatektomi (reseksi ≥ 5 segmen hepar). Kami melaporkan embolisasi kombinasi pada arteri hepatica

dan vena portal.

Ablasi Bilier

Infus etanol bilier selektif dapat dilakukan dengan aman tanpa komplikasi serius, termasuk ablasi

lobar dengan hipertrofi hepar kontralateral.

Page 84: Ikterus Obstruktif

Operasi

Pembedahan reseksi tetap merupakan terapi kuratif utama pada cholangiocarcinoma. Hepatektomi

dengan diseksi nodus sistematik berkaitan dengan survival yang baik pada pasien dengan karsinoma

yang melibatkan hilus hepar, termasuk pada penyakit yang lanjut. Hemihepatektomi ekstended,

dengan atau tanpa pancreaticoduodenektomi, disertai reseksi duktus biliaris ekstrahepatik dan

limfadenektomi regional telah diketahui sebagai terapi kuratif standar untuk kanker duktus biliaris

distal. Pancreaticoduodenektomi merupakan pilihan terapi untuk kanker duktus biliaris tengah dan

distal. Hepatektomi dengan pancreaticoduodenektomi (hepatopancreatoduodenektomi) dilakukan

pada beberapa pasien dengan penyakit yang telah meluas. Miyazaki et al melaporkan bahwa

hepatektomi dengan mempertahankan parenkim menghasilkan reseksi kuratif dan meningkatkan

keluaran pasien cholangiocarcinoma hilus terlokalisir dari duktus hepatikus yang menentukan perlu

tidaknya reseksi vaskular. Prosedur yang lebih sederhana dapat diterapkan jika batas reseksi bebas

tumor. Bahkan pada beberapa terapi kuratif selektif, dengan 5-year survival pasien dengan

cholangiokarsinoma berkisar 30% - 40%. Batas pembedahan bebas tumor merupakan predictor

survival yang paling baik. Beberapa skema staging yang diajukan, tidak ada yang berkaitan dengan

resektabilitas. Keterlibatan limfadenopati juga merupakan predictor survival.

Terapi Adjuvan

Terapi adjuvant dengan beberapa pilihan terapi, terutama radiasi, terapi fotodinamik, dan kemoterapi,

sama sekali tidak menunjukkan keuntungan.

Terapi Paliatif

Sebelumnya, endoprostese plastic diberikan untuk terapi paliatif pada kasus obstruksi bilier maligna.

Expandable Metal Stent (EMS) digunakan untuk menyediakan terapi paliatif pasien dengan ikterus

obstruksi maligna. EMS dibandingkan dengan endoprostese plastik untuk terapi paliatif pada ikterus

obstruksi maligna. EMS diinsersi perkutan atau secara endoskopi

Penanaman stent bilier dikombinasi dengan terapi tumor lokal, seperti brakiterapi, eksternal radiasi,

atau kemoterapi infuse arteri, dapat memperpanjang survival pasien dengan obstruksi biler maligna.

Mezawa et al mengembangkan tube PTBD baru yang dilapisi karboplatin.

Cholangiojejunostomy intrahepatik menghasilkan obstruksi bilier maligna unresectable. Stenting

endoskopik untuk penanganan pada kondisi tersebut mengurangi terapi pembedahan

Transplantasi

Walaupun survival awal setelah transplantasi untuk cholangiokarsinoma sangat memuaskan, angka

rekurensi yang tinggi memberi keraguan terhadap transplantasi hepar. Namun temuan terbaru

mengarah pada kebangkitan transplantasi hepar untuk cholangiokarsinoma unresectable. Becker et al

melaporkan serial 280 pasien dengan cholangiokarsinoma yang menerima transplantasi hepar. Setelah

Page 85: Ikterus Obstruktif

follow up pertengahan 452 hari, angka survival pada 1 dan 5 tahun sebesar 74% dan 38%. Heimbach

et al melaporkan 56 p asien yang diperlakukan unresectable, cholangiokarsinoma perihilar st I dan II.

Disease-free survival 5 tahun sangat memuaskan (82%) dan pasien yang terpilih yang dilakukan

pemberian neoadjuvan external-beam terapi radiasi, radiasi intrabiliary transchateter, kemoterapi, dan

laparotomi eksplorasi pretransplant-staging. Kemoradioterapi neoadjuvan dengan transplantasi hepar

memberikan hasil yang memuaskan pada beberapa pasien dengan cholangiokarsinoma hepar

terlokalisir dengan negative limfonodi regional.