Upload
rozanfikri
View
124
Download
26
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Hubungan Ikterus Obstruktif Dengan Pemanjangan Faal Hemostasis
Citation preview
HUBUNGAN IKTERUS OBSTRUKTIF
DENGAN PEMANJANGAN FAAL
HEMOSTASIS
Oleh :
I Wayan Dede Fridayantara 1002005024
I Gusti Amanda Jaya 1002005026
Putri Citra Laksmi Darsana 1002005064
Nyoman Intan Permatahati Wiguna 1002005070
Rozan Fikri 1002005133
I Kadek Arya Candra 1102005184
Gregory James Fernandez 1102005203
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
DI BAGIAN/SMF ILMU BEDAH RSUP SANGLAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2015i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmatNya penulis dapat menyelesaikan tinjauan pustaka yang berjudul
“Hubungan Ikterus Obstruktif Dengan Pemanjangan Faal Hemostasis” tepat pada
waktunya. Penulisan tugas ini merupakan salah satu prasyarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian Lab/SMF Bedah FK Unud/RSUP Sanglah.
Dalam penyusunan tugas ini, banyak pihak yang telah membantu dari awal hingga
akhir, baik moral maupun material. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1) Semua staf Lab/SMF Bedah RSUP Sanglah
2) Semua pihak yang telah turut membantu penyelesaian tugas ini.
Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka dan laporan kasus ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu saran dan kritik membangun, sangat penulis harapkan demi
perbaikan tugas serupa di waktu berikutnya. Semoga tugas ini juga dapat memberi
manfaat bagi pihak yang berkepentingan.
Denpasar, 11 November 2015
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Judul............................................................................................................. i
Kata Pengantar............................................................................................. ii
Daftar Isi...................................................................................................... iii
BAB I Pendahuluan..................................................................................... 1
BAB II Tinjauan Pustaka............................................................................. 3
2.1 Definisi Ikterus Obstruksi......................................................... 3
2.2 Epidemiologi Ikterus Obstruksi................................................ 3
2.3 Anatomi sistem hepatobilier..................................................... 3
2.4 Histologi Sistem Hepatobilier................................................... 4
2.5 Metabolisme Bilirubin Normal................................................. 6
2.6 Etiologi Ikterus Obstruktif........................................................ 8
2.7 Patofisiologi Ikterus Obstruktif................................................. 9
2.8 Hemostasis................................................................................ 10
2.9 Pemeriksaan Fungsi Hemostasis............................................... 15
2.10 Faktor-Faktor Koagulasi......................................................... 17
2.11 Metabolisme Vitamin K.......................................................... 21
2.12 Hubungan Ikterus Obstuktif Terhadap Terjadinya Gangguan Faal
Hemostasis....................................................................................... 24
BAB III Kesimpulan.................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Kata ikterus (jaundice) berasal dari bahasa perancis jaune yang berarti
kuning. Ikterus adalah perubahan warna kulit, sclera mata atau jaringan lainnya
(membrane mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang
meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Bilirubin dibentuk sebagai
akibat pemecahan cincin heme pada metabolism sel darah merah. Keadaan ini
merupakan tanda penting penyakit hati atau kelainan fungsi hati, saluran empedu
dan penyakit darah (khususnya kelainan sel darah merah). Kadar normal bilirubin
dalam serum berkisar antara 0,3-1,0 mg/dl dan dipertahankan dalam batasan ini
oleh keseimbangan antara produksi bilirubin dan penyerapannya oleh hepar,
konjugasi dan ekskresi empedu. Bila kadar bilirubin sudah mencapai 2-2,5mg/dl
maka sudah terlihat warna kuning pada sclera dan mukosa sedangkan bilasudah
mencapai > 5 mg/dl maka kulit tampak berwarna kuning. Ikterus terjadi karena
peningkatan kadar bilirubin direk (conjugated bilirubin) dan atau kadar bilirubin
indirek (unconjugated bilirubin).1
Ada 3 tipe ikterus yaitu pre-hepatika (hemolitik), ikterus hepatica (parenkimatosa)
dan ikterus post hepatika (obstruksi). Ikterus obstruksi (post hepatika) adalah
ikterus yang disebabkan oleh gangguan aliran empedu antara hati dan duodenum
yang terjadi akibat adanya sumbatan (obstruksi) pada saluran empedu. Ikterus
obstruksi disebut juga ikterus kolestasis dimana terjadi stasis sebagian atau
seluruh cairan empedu dan bilirubin ke dalam duodenum. Pada ikterus obstruktif,
kecepatan pembentukan bilirubin adalah normal, tapi bilirubin yang dibentuk
tidak dapat lewat dari darah ke dalam usus akibat adanya suatu obstruksi.2
Ada 2 bentuk obstruksi yaitu obstruksi intra hepatal dan ekstra hepatal. Pada
ikterus obstruksi intra hepatal terjadi kelainan di dalam parenkim hati, kanalikuli
atau kolangia yang menyebabkan tanda-tanda stasis empedu, sedangkan ikterus
obstruktif ekstra hepatal terjadi kelaianan di luar parenkim hati (saluran empedu di
hati) yang juga menyebabkan tanda-tanda stasis empedu.2
1
Adanya keadaan kolestasis pada hati yang berkepanjangan dapat memicu
terjadinya kerusakan pada sel parenkim hati baik secara fungsional maupun
struktural.3 Salah satu fungsi parenkim sel hati salah satunya adalah sebagai
tempat utama pembentukan berbagai faktor pembekuan, berbagai komponen pada
sistem fibrinolisis, dan berbagai protein yang sangat penting peranannya dalam
sistem koagulasi dan sistem fibrinolitik. Adanya gangguan pada sel hati akan
menyebabkan perubahan pada mekanisme hemostasis. Produksi yang rendah
ataupun sintesis yang abnormal dari berbagai komponen hemostasis akan
menyebabkan gangguan pada keseimbangan antara protrombotik dan
antitrombotik pada sistem hemostasis.4,5
Pada pasien dengan penyakit hati, baisanya disertai dengan trombositopenia,
gangguan fungsi trombosit, defisiensi vitamin K, koagulasi intravaskular
menyeluruh (disseminated intravascular disease/DIC), disfibrinogenemia, dan
peningkatan aktivitas fibrinolitik. Derajat gangguan hemostasis pada pasien
dengan penyakit hati, akan sesuai dengan beratnya kerusakan sel-sel hati yang
terjadi. Gangguan hemostasis pada pasien dengan penyakit hati yang berat akan
bermanifestasi berupa gangguan perdarahan. Dan, adanya penyakit obstruksi
bilier telah diteliti dapat menyebabkan gangguan pada sistem hemostasis hati itu
sendiri, seperti terjadinya defisiensi vitamin K oleh karena gangguan pada proses
absorbsi vitamin K.6,7 Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih lanjut maka dalam
laporan ini akan dibahas mengenai hubungan antara ikterus obstruktif dengan
pemanjangan faal hemostasis.5,6
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Ikterus Obstruksi
Ikterus (jaundice) berasal dari bahasa Greek, yang berarti kuning.
Ikterus adalah gambaran klinis berupa perubahan warna pada kulit dan
mukosa yang menjadi kuning karena adanya peningkatan konsentrasi
bilirubin dalam plasma, yang mencapai lebih dari 2 mg/dl. Terdapat 3
jenis ikterus berdasarkan lokasi penyebabnya, yaitu ikterus prahepatik
(hemolitik), ikterus intrahepatik (parenkimatosa), dan ikterus ekstrahepatik
(obstruktif). Ikterus obstruktif merupakan ikterus yang disebabkan oleh
adanya obstruksi pada sekresi bilirubin pada jalur post hepatik, yang
dalam keadaan normal seharusnya dialirkan ke traktus gastrointestinal.1
2.2 Epidemiologi Ikterus Obstruksi
Ikterus obstruktif dapat ditemukan pada semua kelompok umur.
Insidens di Amerika Serikat diperikirakan mencapai 5 kasus per 1000
pasien. Hatfield et al, melaporkan bahwa kasus ikterus obstruktif
terbanyak adalah 70% karena karsinoma kaput pankreas, 8% pada batu
common bile duct, dan 2% adalah karsinoma kandung empedu.
2.3 Anatomi sistem hepatobilier2
2.3.1 Hepar
Hepar merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh dan mempunyai
banyak fungsi. Tiga fungsi dasar hepar, yaitu: (1) membentuk dan
mensekresikan empedu ke dalam traktus intestinalis; (2) berperan pada
metabolism yang berhubungan dengan karbohidrat, lemak, dan protein; (3)
menyaring darah untuk membuang bakteri dan benda asing lain yang
masuk ke dalam darah dari lumen intestinum.
Hepar bertekstur lunak, lentur, dan terletak dibagian atas cavitas
abdominalis tepat dibawah diafragma. Hepar terbagi menjadi lobus hepatis
dekstra dan lobus hepatis sinistra. Lobus hepatis dekstra terbagi lagi
menjadi lobus caudatus dan lobus quadratus.
3
Porta hepatis, atau hilus hepatis, terdapat pada fasies visceralis dan
terletak diantara lobus caudatus dan quadratus, bagian atas ujung bebas
omentum minus melekat pada pinggir-pinggir porta hepatis. Pada tempat
ini terdapat duktus hepatikus dekstra dan sinistra, ramus dekstra dan
sinistra arteri hepatica, vena porta hepatica, serta serabut-serabut saraf
simpatis dan parasimpatis. Hepar tersusun atas lobuli hepatis. Vena
sentralis dari masing-masing lobulus bermuara ke vena hepatica. Di dalam
ruangan diantara lobulus-lobulus terdapat kanalis hepatis yang berisi
cabang-cabang arteria hepatica, vena porta hepatis, dan sebuah cabang
duktus koledokus (trias hepatis). Darah arteria dam vena berjalan diantara
sel-sel hepar melalui sinusoid dan dialirkan ke vena sentralis.
2.3.2 Vesika biliaris
Vesika biliaris merupakan sebuah kantong berbentuk buah pir yang
terletak pada permukaan bawah (fasies visceralis) hepar. Vesika biliaris
mempunyai kemampuan menampung empedu sebanyak 30-50 ml dan
menyimpannya serta memekatkan empedu dengan cara mengabsorbsi air.
Vesika biliaris dibagi menjadi fundus, corpus, dan collum. Fundus vesika
biliaris berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah inferior hepar,
penonjolan ini merupakan tempat fundus bersentuhan dengan dinding
anterior abdomen setinggi ujung cartilage costalis IX dekstra. Corpus
vesika biliaris terletak dan berhubungan dengan fasies visceralis hepar dan
arahnya keatas, belakang, dan kiri. Collum vesika biliaris melanjutkan diri
sebagai duktus cystikus yang berbelok kea rah dalam omentum minus dan
bergabung dengan sisi kanan duktus hepatikus komunis untuk membentuk
duktus koledokus.
2.4 Histologi Sistem Hepatobilier3
2.4.1 Hepar
Hepar terdiri atas unit-unit heksagonal, yaitu lobulus hepatikus. Di
bagian tengah setiap lobulus terdapat sebuah vena sentralis, yang
dikelilingi secara radial oleh lempeng sel hepar, yaitu hepatosit, dan
sinusoid kearah perifer. Sinusoid hati dipisahkan dari hepatosit
dibawahnya oleh spatium perisinusoideum subendotelial.
4
Hepatosit mengeluarkan empedu ke dalam saluran yang halus
disebut kanalikulus biliaris yang terletak diantara hepatosit. Kanalikulus
menyatu di tepi lobulus hati di daerah porta sebagai duktus biliaris. Duktus
biliaris kemudian mengalir ke dalam duktus hepatikus yang lebih besar
yang membawa empedu keluar dari hati. Di dalam lobulus hati, empedu
mengalir di dalam kanalikulus biliaris ke duktus biliaris ke daerah porta,
sementara darah dalam sinusoid mengalir ke dalam vena sentralis.
Akibatnya, empedu dan darah tidak bercampur.
2.4.2 Vesika biliaris
Vesika biliaris merupakan organ kecil berongga yang melekat pada
permukaan bawah hepar. Empedu diproduksi oleh hepatosit dan kemudian
mengalir dan disimpan di dalam kandung empedu (vesika biliaris).
Empedu keluar dari kandung empedu memalui duktus sistikus dan masuk
ke duodenum melalui duktus biliaris komunis menembus papilla duodeni
mayor. Empedu dicurahkan ke dalam saluran pencernaan akibat
rangsangan kuat hormon kolesistokinin dan secara kurang kuat oleh
serabut-serabut saraf yang menyekresikan asetilkolin dari system saraf
vagus dan enterik usus, yang meningkatkan motilitas dan sekresi empedu.
Gambar 2.1 Sel hepar5
2.5 Metabolisme Bilirubin Normal
Bilirubin merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme
heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi. Metabolisme bilirubin
meliputi pembentukan, transportasi, asupan, konjugasi, dan ekskresi
bilirubin.4,5
Fase Pre-hepatik
1) Pembentukan bilirubin.
Bilirubin berasal dari katabolism protein heme, dimana
75% berasal dari penghancuran eritrosit dan 25% berasal dari
penghancuran eritrosit yang imatur dan protein heme lainnya
seperti mioglobin, sitokrom, katalase, dan peroksidase.
Pembentukannya berlangsung di sistem retikoloendotelial.
Langkah oksidase pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari
heme dengan bantuan enzim heme oksigenase. Biliverdin yang
larut dalam air kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh
enzim biliverdin reduktase. Bilirubin bersifat lipofilik dan terikat
dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut.
2) Transport plasma
Selanjutnya bilirubin yang telah dibentuk akan diangkut ke hati
melalui plasma, harus berikatan dengan albumin plasma terlebih
dahulu oleh karena sifatnya yang tidak larut dalam air.
Fase Intra-Hepatik
3) Liver uptake
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai permukaan
sinusoid hepatosit, terjadi proses ambilan bilirubin oleh hepatosit
melalui ssistem transpor aktif terfasilitasi, namun tidak termasuk
pengambilan albumin. Setelah masuk ke dalam hepatosit, bilirubin
akan berikatan dengan ligandin, yang membantu bilirubin tetap
larut sebelum dikonjugasi.
4) Konjugasi
Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati (bilirubin tak
terkonjugasi) akan mengalami konjugasi dengan asam glukoronat
6
yang dapat larut dalam air di reticulum endoplasma dengan
bantuan enzim uridine diphosphate glucoronosyl transferase
(UDPG-T) membentuk bilirubin konjugasi, sehingga mudah untuk
diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu.
Fase Post-Hepatik
5) Ekskresi bilirubin
Bilirubin yang terkonjugasi diekskresikan ke dalam kanalikulus
empedu melalui proses mekanisme transport aktif yang
diperantarai oleh protein membran kanalikuli, dikenal sebagai
multidrug-resistance associated protein-2 (MRP-2).
Setelah bilirubin terkonjugasi diekskresikan ke dalam kandung
empedu, bilirubin kemudian memasuki saluran cerna. Sewaktu
bilirubin terkonjugasi mencapai ileum terminal dan usus besar,
glukoronida dikeluarkan oleh enzim bakteri khusus, yaitu ß-
glukoronidase, dan bilirubin kemudian direduksi oleh flora feses
menjadi sekelompok senyawa tetrapirol tak berwarna yang disebut
urobilinogen. Di ileum terminal dan usus besar, sebagian kecil
urobilinogen direabsorpsi dan diekskresi ulang melalui hati
sehingga membentuk siklus urobilinogen enterohepatik. Pada
keadaan normal, urobilinogen yang tak berwarna dan dibentuk di
kolon oleh flora feses mengalami oksidasi menjadi urobilin
(senyawa berwarna) dan diekskresikan di tinja.
7
Gambar 2.2 Metabolisme bilirubin
2.6 Etiologi Ikterus Obstruktif
Penyebab ikterus obstruktif secara garis besar terbagi menjadi 2
bagian, yaitu ikterus obstruksi intrahepatik dan ikterus obstruktif
ekstrahepatik. Ikterus obstruktif intrahepatik pada umumnya terjadi pada
tingkat hepatosit atau membran kanalikuli bilier sedangkan ikterus
obstruktif ekstrahepatik, terjadinya ikterus disebabkan oleh karena adanya
sumbatan pada saluran atau organ diluar hepar. Adapun penyakit yang
menyebabkan terjadinya ikterus obstruktif adalah sebagai berikut:
1) Ikterus obstruktif intrahepatik :
Penyebab tersering ikterus obstruktif intrahepatik adalah hepatitis,
penyakit hati karena alkohol, serta sirosis hepatis.6 Peradangan
intrahepatik mengganggu ekskresi bilirubin terkonjugasi dan
menyebabkan ikterus.
2) Ikterus obstruktif ekstrahepatik :
a. Kolelitiasis dan koledokolitiasis
Batu saluran empedu mengakibatkan retensi pengaliran bilirubin
terkonjugasi ke dalam saluran pencernaan sehingga mengakibatkan
8
aliran balik bilirubin ke dalam plasma menyebabkan tingginya
kadar bilirubin direk dalam plasma.7
b. Tumor ganas saluran empedu
Insidens tumor ganas primer saluran empedu pada penderita
dengan kolelitiasis dan tanpa kolelitiasis, pada penderita laki-laki
dan perempuan tidak berbeda. Umur kejadian rata-rata 60 tahun,
tetapi tidak jarang didapatkan pada usia muda. Jenis tumor
kebanyakan adenokarsinoma pada duktus hepatikus atau duktus
koledokus.7
c. Atresia bilier
Terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik
sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu, sehingga terjadi
peningkatan kadar bilirubin direk. Atresia bilier merupakan
penyebab kolestatis ekstrahepatik neonatal yang terbanyak.
Terdapat dua jenis atresia biliaris, yaitu ekstrahepatik dan
intrahepatik. Bentuk intrahepatik lebih jarang dibandingkan dengan
ekstrahepatik.7
d. Tumor kaput pankreas
Tumor eksokrin pankreas pada umumnya berasal dari sel duktus
dan sel asiner. Sekitar 90% merupakan tumor ganas jenis
adenokarsinoma duktus pankreas, dan sebagian besar kasus (70%)
lokasi kanker adalah pada kaput pankreas. Pada stadium lanjut,
kanker kaput pankreas sering bermetastasis ke duodenum,
lambung, peritoneum, hati, dan kandung empedu.7
2.7 Patofisiologi Ikterus Obstruktif
Ikterus secara umum terbagi menjadi 3, yaitu ikterus prehepatik,
ikterus hepatik, dan ikterus posthepatik atau yang disebut ikterus
obstruktif. Ikterus obstruktif disebut juga ikterus posthepatik karena
penyebab terjadinya ikterus ini adalah pada daerah posthepatik, yaitu
setelah bilirubin dialirkan keluar dari hepar.
9
Pada ikterus obstruktif, terjadi obstruksi dari pasase bilirubin direk
sehingga bilirubin tidak dapat diekskresikan ke dalam usus halus dan
akibatnya terjadi aliran balik ke dalam pembuluh darah. Akibatnya kadar
bilirubin direk meningkat dalam aliran darah dan penderita menjadi
ikterik. Ikterik paling pertama terlihat adalah pada jaringan ikat longgar
seperti sublingual dan sklera. Karena kadar bilirubin direk dalam darah
meningkat, maka sekresi bilirubin dari ginjal akan meningkat sehingga
urine akan menjadi gelap dengan bilirubin urin positif. Sedangkan karena
bilirubin yang diekskresikan ke feses berkurang, maka pewarnaan feses
menjadi berkurang dan feses akan menjadi berwarna pucat seperti dempul
(acholis).6
2.8 Hemostasis
Faal hemostasis adalah suatu fungsi tubuh yang bertujuan untuk
mempertahankan keenceran darah sehingga darah tetap mengalir dalam pembuluh
darah dan menutup kerusakan pada dinding pembuluh darah sehingga mengurangi
kehilangan darah pada saat terjadinya kerusakan pembuluh darah. Faal hemostasis
melibatkan sistem vaskular, sistem trombosit, sistem koagulasi dan sistem
fibrinolisis.1 Untuk mendapatkan faal hemostasis yang baik maka keempat sistem
tersebut harus bekerja sama dalam suatu proses yang berkeseimbangan dan saling
mengontrol. Kelebihan atau kekurangan suatu komponen akan menyebabkan
kelainan. Kelebihan fungsi hemostasis akan menyebabkan trombosis, sedangkan
kekurangan faal hemostasis akan menyebabkan pendarahan. Faal hemostasis
untuk dapat berjalan normal memerlukan 3 langkah yaitu:1,2
1. Langkah I : hemostasis primer, yaitu pembentukan “primary platelet
plug”
2. Langkah II : hemostasis sekunder,yaitu pembentukan stable hemostatic
plug (platelet+fibrin plug)
3. Langkah III : fibrinolisis yang menyebabkan lisis dan fibrin setelah
dinding vaskuler mengalami reparasi sempurna sehingga pembuluh darah
kembali paten
Faal hemostasis terdiri atas 2 komponen yaitu:1,2
10
1. Faal koagulasi : yang berakhir dengan pembentukan fibrin stabil yang
melibatkan 3 komponen yaitu komponen vaskuler, trombosit dan
koagulasi.
2. Faal fibrinolisis : yang berakhir dengan pembentukan plasmin
2.8.1. Sistem Vaskular
Pembuluh darah memiliki peran penting dalam menjaga hemostasis. Sel endotel
menghasilkan:1
1. Prostasiklin, yang menyebabkan vasodilatasi dan mencegah terjadinya
agregasi dari trombosit.
2. Anti trombin (AT) dan protein C activator (thrombomodulin), dimana
keduanya mencegah terjadinya koagulasi
3. Tissue plasminogen activator (t-PA), yang berperan mengaktifkan
fibrinolisis
Perlukaan yang terjadi pada dinding pembuluh darah menyebabkan aktifnya
membran yang mengikat tissue factor (TF) yang mengaktfkan koagulasi dan
membentuk jaringan subendothelial yang memungkinkan pengikatan platelet ke
faktor von Willebrand (vWF), protein multimerik dibuat oleh sel-sel endotel, yang
memediasi adhesi platelet pada endotel dan membawa faktor pembekuan VII
dalam plasma.1,2
2.8.2. Sistem trombosit
Trombosit diaktifkan pada lokasi cedera vaskular untuk membentuk sebuah plug
trombosit yang memberikan respon hemostatik awal untuk menghentikan
pendarahan. Respon fungsional trombosit diaktifkan melibatkan empat proses
yang berbeda:
2.8.2.1.Adhesi trombosit
Setelah aktivasi, trombosit mengalami perubahan bentuk yang signifikan,
menghasilkan pseudopods yang membuat trombosit sangat gampang melekat.
Adhesi trombosit terutama dimediasi oleh pengikatan platelet pada permukaan
reseptor kompleks GP Ib /IX /V dengan vWF dalam matriks subendothelial.
Defisiensi komponen dari kompleks GP Ib/IX/V atau vWF menyebabkan
gangguan pendarahan kongenital seperti penyakit Bernard-Soulier dan penyakit
11
von Willebrand. Selain itu, ada interaksi perekat lainnya yang berkontribusi
terhadap adhesi platelet. Salah satu contoh adalah pengikatan reseptor platelet
kolagen GPIA / IIa dengan kolagen fibril dalam matriks.4
2.8.2.2.Agregasi trombosit
Hasil aktivasi trombosit pada reseptor GP IIb/IIIa pada permukaan platelet,
menyebabkan pengikatan pada vWF dan fibrinogen. GP IIb/IIIa adalah anggota
superfamili dari reseptor protein yang disebut integrin perekat yang ditemukan di
banyak jenis sel yang berbeda. Kompleks GP IIb/IIIa (integrin alpha IIb beta 3)
adalah reseptor yang paling banyak di permukaan platelet, dengan sekitar 80.000
kompleks per platelet. GP IIb/IIIa tidak mengikat fibrinogen, suatu divalen
molekul simetris yang menjembatani yang menyebabkan trombosit diaktifkan,
pada trombosit yang belum distimulasi. Namun, setelah trombosit distimulasi, GP
IIb/IIIa mengalami perubahan afinitas dan dikonversi dari afinitas rendah ke
afinitas tinggi dari reseptor fibrinogen, sebuah proses yang disebut sebagai sinyal
"inside-out".4
Selain memediasi agregasi platelet, bagian dari sitosol diaktifkan
kompleks GP IIb/IIIa yang mengikat sitoskeleton platelet dan dapat memediasi
trombosit menjadi menyebar dan membentuk retraksi bekuan, yang telah disebut
sebagai sinyal "outside-in". Dengan demikian, kompleks GP IIb/IIIa
mengintegrasikan interaksi reseptor-ligan yang terjadi pada bagian eksternal dari
membran dengan peristiwa sitosol yang terjadi secara dua arah; hal ini merupakan
jalur akhir yang umum untuk agregasi platelet, terlepas dari modus stimulasi
trombosit.1
2.8.2.3.Sekresi trombosit
Trombosit mengandung dua jenis butiran butiran alpha dan butiran padat. Granul
alpha mengandung banyak protein termasuk fibrinogen, vWF, thrombospondin,
platelet derived growth factor (PDGF), faktor trombosit 4, dan P-selektin. Butiran
padat mengandung ADP, ATP, kalsium terionisasi, histamin, dan serotonin.
Trombosit mengeluarkan berbagai zat dari butiran mereka pada stimulasi sel
antara lain:1,2
1. ADP dan serotonin merangsang dan merekrut tambahan trombosit. Platelet
yang merilis serotonin biasanya menyebabkan vasodilatasi, Namun dapat
12
menyebabkan vasokonstriksi pada endotelium yang rusak atau abnormal.
Trombosit ADP yang aktif meningkatkan ekspresi permukaan antar
molekul adhesi (ICAM) -1 pada sel endotel.
2. Fibronektin dan trombospondin adalah protein adhesi yang dapat
memperkuat dan menstabilkan agregat trombosit.
3. Fibrinogen dilepaskan dari butiran alpha trombosit, menyediakan sumber
fibrinogen pada daerah endotel yang cedera selain itu fibrinogen juga
dijumpai pada plasma.
4. Tromboksan A2, merupakan metabolit prostaglandin yang menyebabkan
vasokonstriksi dan agregasi platelet.
5. Faktor pertumbuhan, seperti PDGF, memiliki efek mitogenik yang kuat
pada sel-sel otot polos. Pelepasan PDGF dari trombosit pada lokasi
vaskular yang vaskular mungkin mempengaruhi perbaikan jaringan
fisiologis dan pada tempat yang mengalami cedera berulang, dapat
berkontribusi untuk terjadinya aterosklerosis dan oklusi koroner setelah
angioplasti.
Pelepasan dari thiol isomerase, protein disulfida isomerase (PDI), oleh
trombosit mengganggu sel-sel dinding pembuluh dan dapat berfungsi untuk
mengaktifkan TF dan meningkatkan pembentukan fibrin dan pembentukan
trombus pada daerah vaskular yang luka.1,2
2.8.2.4.Aktifitas prokoagulan
Aktivitas platelet prokoagulan merupakan aspek penting dari aktivasi platelet dan
melibatkan paparan fosfolipid prokoagulan, terutama phosphatidylserine, dan
pembentukan berikutnya dari kompleks enzim dalam kaskade pembekuan pada
permukaan platelet. Kompleks ini merupakan contoh penting dari keterkaitan erat
antara aktivasi trombosit dan aktivasi kaskade pembekuan.1
2.8.3. Sistem Koagulasi
Faktor koagulasi atau faktor pembekuan darah adalah protein yang terdapat dalam
plasma (darah) yang berfungsi dalam proses koagulasi. Jika terjadi aktivasi
protein ini dalam keadaan tidak aktif (proenzim atau zymogen), protein aktif ini
(enzim) akan mengaktifkan rangkaian aktivasi berikutnya secara beruntun, seperti
13
sebuah tangga (kaskade) atau seperti air terjun (water fall). Gambaran kaskade
koagulasi dapat dilihat pada gambar 2.5.
Gambar 2.8. Sistem Koagulasi
Proses pembekuan darah bertujuan untuk mengatasi vascular injury
sehingga tidak terjadi pendarahan berlebihan, tetapi proses pembekuan darah ini
harus dilokalisir hanya pada daerah injury, tidak boleh menyebar ke tempat lain
karena akan membahayakan peredaran darah. Untuk itu, tubuh membuat
mekanisme kontrol dimana endotil yang intak memegang peranan penting.1,2
14
1. Adanya AT III (anti-thrombin III) yang terikat pada permukaan endotil
dengan perantaraan heparan sulfat. AT III akan menginaktifkan thrombin
dan faktor Xa.
2. Molekul trombomodulin pada permukaan endotil akan mengikat trombin.
Kompleks trombin-trombomodulin akan mengaktifkan protein-C (dengan
bantuan protein-S sebagai kofaktor) akan menginaktifkan faktor Va dan
faktor VIIIa, dengan demikian pembentukan trombin akan berkurang.
Adanya proses pengendali (natural anticoagulant) serta pengenceran faktor
aktif di luar tempat injury dapat mengendalikan proses koagulasi sehingga tidak
menyebar ke tempat lain.
2.8.4. Sistem Fibrinolisis
Proses fibrinolitik bertujuan untuk membentuk plasmin yang berguna untuk
menghancurkan bekuan fibrin yang berlebihan atau menghancurkan fibrin setelah
proses reparasi dinding pembuluh darah selesai sehingga pembuluh darah tersebut
kembali paten. Fibrinolosis merupakan proses dimana fibrin di degradasi oleh
plasmin. Sirkulasi pro-enzim, plasminogen, diaktifkan oleh plasmin:1,2
1. Pada saat terjadi perlukaan, oleh t-PA dan urokinase-like plasminogen
activator (UPA) yang dilepaskan oleh sel yang rusak atau oleh sel yang
aktif
2. Bahan eksogen seperti streptokinase, atau oleh t-PA atau UPA terapetik
Plasmin mengubah fibrin atau fibrinogen menjadi fibrin degradation product
(FDPs) dan juga mendegradasi faktor V dan VII. Plasmin yang bebas di
nonaktifkan oleh plasma α2 antiplasmin dan α2 makroglobulin.
2.9 Pemeriksaan Fungsi Hemostasis
Sejumlah pemeriksaan sederhana dapat dilakukan untuk menilai fungsi trombosit,
pembuluh darah, serta komponen koagulasi dalam hemostasis. Pemeriksaan
penyaring ini meliputi : pemeriksaan darah lengkap, evaluasi darah apus, waktu
pendarahan, waktu protrombin (PT), aPTT serta agregasi trombosit.1
2.9.1. Pemeriksaan darah lengkap dan evaluasi hapusan darah tepi.
Trombositopenia merupakan penyebab tersering dari terjadinya pendarahan yang
abnormal, oleh karena itu pada pasien yang diduga menderita kelainan darah,
15
pertama kali harus dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap dan pemeriksaan
hapusan darah tepi.1
2.9.2. Pemeriksaan penyaring sistem koagulasi
Pemeriksaan meliputi penilaian jalur intrinsik dan ekstirnsik dari sistem koagulasi
dan perubahan dari fibrinogen menjadi fibrin :
2.9.2.1.Waktu protrombin (PT)
PT digunakan untuk menilai jalur ekstrinsik pembekuan, yang terdiri dari faktor
jaringan dan faktor VII, dan faktor koagulasi pada jalur umum (faktor II
(protrombin), V, X, dan fibrinogen). Nilai normal 10-14 detik.
Rasio waktu protorombin : PT pasien dinyatakan sebagai rasio, di mana hasil nya
adalah = (PT pasien kontrol : PT). Sebagai contoh, PTR> 1,2 dikaitkan dengan
peningkatan risiko yang signifikan dari koagulopati trauma akut dalam studi
retrospektif multicenter. Dalam penelitian ini, reagen yang digunakan memiliki
kepekaan yang sama (indeks sensitivitas internasional [ISI] berkisar 1,03-1,09).
Keterbatasan metode ini adalah bahwa variabilitas pereaksi atau instrumen dapat
mempengaruhi hasil.1
2.9.2.2.aPTT
Digunakan untuk menilai integritas koagulasi jalur intrinsik (prekallikrein, tinggi
kininogen berat molekul, faktor XII, XI, IX, VIII) dan jalur akhir yang umum
(faktor II, V, X dan fibrinogen), dan untuk memantau respon terapi pemakaian
heparin. Nilai normal aPTT antara 30-40 detik.1
2.9.2.3.Waktu trombin (thrombin time, TT)
Cukup sensitif untuk menilai defisiensi fibrinogen atau adanya hambatan terhadap
trombin. TT digunakan untuk mengukur langkah terakhir dari jalur pembekuan,
konversi fibrinogen menjadi fibrin. Nilai normal antara 14-16 detik.1
2.9.3. Pemeriksaan faktor koagulasi khusus
Termasuk disini adalah fibrinogen, faktor vW, dan faktor VII. Pemeriksaan bisa
secara kuantitatif atau dengan cara membandingkan efek koreksi dari plasma yang
mengandung kekurangan substrat tertentu yang mempunyai perpanjangan waktu
pembekuan (PT, aPTT) dengan efek koreksi terhadap plasma normal, yang
hasilnya dinyatakan dengan presentase aktivitas normal.1
16
2.9.4. Waktu pendarahan
Waktu pendarahan berguna untuk pemeriksaan fungsi trombosit. Pada keadaan
trombositopenia dengan gangguan fungsi trombosit waktu pendarahan akan
memanjang, namun trombositopeni tanpa gangguan fungsi trombosi, waktu
pendarahan biasanya normal. Pada keadaan normal, pendarahan akan berhenti
dalam waktu 3-8 detik.1
2.9.5. Pemeriksaan fungsi trombosit
Tes agregasi trombosit merupakan pemeriksaan yang mempunyai nilai penting.
Tes ini mengukur penurunan penyerapan sinar pada plasma kaya trombosit
sebagai agregat trombosit. Agregasi primer berasal dari rangsangan agen
eksternal, sedangkan respon sekunder berasal dari agen yang dilepas dari dalam
trombosit sendiri. Agen agregasi yang sering digunakan misalnya : ADP, kolagen,
ristosetin, asam arakidonat dan adrenalin.1
2.9.6. Pemeriksaan Fibrinolisis
Peningkatan aktivator plasminogen dalam sirkulasi dapat dideteksi dengan
memendeknya euglobulin clot lysis time. Beberapa teknik imunologik digunakan
untuk mendeteksi produk degradasi dari fibrin maupun fibrinogen (D-Dimer).1
2.10 Faktor-Faktor Koagulasi
Hemostasis merupakan suatu mekanisme lokal tubuh yang terjadi secara spontan
berfungsi untuk mencegah kehilangan darah yang berlebihan ketika terjadi trauma
atau luka. Sistem hemostasis pada dasarnya terbentuk dari tiga kompartemen
hemostasis yang sangat penting dan sangat berkaitan yaitu trombosit, protein
darah dan jaring-jaring fibrin pembuluh darah.3
Secara umum menurut Hoffbrand hemostasis terdiri dari 3 macam yaitu4:
1. Hemostasis primer yaitu akan terjadi jika terdapat deskuamasi dan luka kecil
pada pembuluh darah. Hemostasis primer ini melibatkan tunika intima pembuluh
darah dan trombosit. Luka akan menginduksi terjadinya vasokonstriksi dan
sumbat trombosit. Hemostasis primer ini bersifat cepat dan tidak tahan lama.
Karena itu, jika hemostasis primer belum cukup untuk mengkompensasi luka,
17
maka akan berlanjut menuju hemostasis sekunder. Pemeriksaan faal hemostasis
untuk melihat proses ini adalah dengan pemeriksaan bleeding time.
2. Hemostasis sekunder, terjadi bila terdapat luka yang besar pada pembuluh
darah atau jaringan lain, vasokonstriksi dan sumbat trombosit belum cukup untuk
mengkompensasi luka ini. Hemostasis sekunder yang melibatkan trombosit dan
faktor koagulasi. Hemostasis sekunder mencakup pembentukan jaring-jaring
fibrin. Hemostasis sekunder ini bersifat delayed and long-term response. Jika
proses ini sudah cukup untuk menutup luka, maka proses berlanjut ke hemostasis
tersier. Pemeriksaan faal hemostasis untuk melihat proses ini adalah dengan
pemeriksaan clotting time.
3. Hemostasis Tersier. Hemostasis tersier ini bertujuan untuk mengontrol agar
aktivitas koagulasi tidak berlebihan. Hemostasis tersier melibatkan sistem
fibrinolisis.
Mekanisme terjadinya proses hemostasis terdiri dari beberapa tahapan, pertama
pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi. Setelah pembuluh darah
mengalami suatu kerusakan atau pecah, rangsangan dari pembuluh darah
menyebabkan dinding pembuluh darah berkontraksi, sehingga dengan segera
aliran darah dari pembuluh yang pecah akan berkurang.5
Kontraksi terjadi akibat dari refleks saraf, spasme miogenik, dan faktor humoral
setempat yang berasal dari jaringan yang terkena trauma dan respon trombosit
darah. Refleks saraf ini dicetuskan oleh rasa nyeri atau oleh impuls-impuls lain
dari pembuluh darah yang rusak atau dari jaringan yang berdekatan. Sebagian
besar vasokonstriksi hasil dari kontraksi miogenik berasal dari pembuluh darah.
Untuk pembuluh darah yang lebih kecil, trombosit akibat sebagian besar
vasokonstriksi dengan melepaskan substansi tromboksan A2.5,6
Tahapan kedua adalah aktivasi trombosit. Pada saat terjadisebuah kerusakan
pembuluh darah, maka trombosit akan mulai membesar, berbentuk ireguler
dengan tonjolan-tonjolan yang keluar dari permukaannya, protein kontraktilnya
berkontraksi dengan kuat dan menyebabkan pelepasan granula yang mengandung
berbagai faktor aktif, sehingga trombosit lengket dan melekat pada serat kolagen,
kemudian mensekresi sejumlah besar ADP (Adenosin Diphospate) dan enzim-
enzimnya membentuk tromboksan A2 yang juga disekresikan ke dalam darah.
18
ADP dan tromboksan A2 kemudian mengaktifkan trombosit yang berdekatan
(Guyton and Hall, 2006). Karena sifat trombosit yang lengket maka akan
menyebabkan melekatnya trombosit tambahan pada trombosit semula yang sudah
aktif.5,6
Dengan demikian, pada setiap luka, dinding pembuluh darah yang rusak atau
jaringan di luar pembuluh disekitar luka menimbulkan siklus aktivasi trombosit
yang jumlahnya terus meningkat yang menyebabkannya menarik lebih banyak
lagi trombosit tambahan sehingga membentuk sumbat .4,5
Fase koagulasi merupakan tahapan ketiga dalam pembekuan darah. Terdapat 2
lintasan utama yang menginduksi terjadinya proses koagulasi yaitu jalur ekstrinsik
(tissue factor- faktor VII) dan jalur intrinsik (surface-contact factors). Jalur
ekstrinsik merupakan proses permulaan dalam pembentuk fibrin sedangkan jalur
intrinsik berperan dalam melanjutkan proses pembentukan fibrin yang stabil.7
Jalur ekstrinsik
Proses koagulasi dalam darah in vivo dimulai oleh jalur ekstrinsik yang
melibatkan komponen dalam darah dan pembuluh darah. Komponen utama adalah
tissue factor, suatu protein membran intrinsik yang berupa rangkaian polipeptide
tunggal yang diperlukan sebagai kofaktor faktor VIII dalam jalur intrinsik dan
faktor V dalam common pathway. Tissue factor ini akan disintesis oleh makrofag
dan sel endotel bilamana mengalami induksi oleh endotoksin dan sitokin seperti
interleukin dan-1 dan tumor necrosis factor. Komponen plasma utama dari jalur
ekstrinsik adalah faktor VII yang merupakan vitamin K dependen protein (seperti
halnya faktor IX, X, protrombin, dan protein C).8
Jalur ekstrinsik akan diaktifasi apabila tissue factor yang berasal dari sel-sel yang
mengalami kerusakan atau stimulasi mengalami kontak dengan faktor VII dalam
peredaran darah dan akan membentuk suatu kompleks dengan bantuan ion Ca.
kompleks factor VIIa–tissue factor ini akan menyebabkan aktifasi faktor X
menjadi Xa disamping juga menyebabkan aktifasi faktor IX menjadi IXa (jalur
intrinsik).8
Jalur Intrinsik
Jalur intrinsik merupakan suatu proses koagulasi paralel dengan jalur ekstrinsik,
dimulai oleh komponen darah yang sepenuhnya ada berada dalam sistem 19
pembuluh darah. Proses koagulasi terjadi sebagai akibat dari aktifasi dari faktor
IX menjadi faktor IXa oleh faktor XIa.9
Protein contact system (faktor XII, prekalikrein, high moleculer weight kininogen
dan C1 inhibitor) disebutkan sebagai pencentus awal terjadinya aktifasi ataupun
inhibisi faktor XI. Protein contact system ini akan berperan sebagai respon dari
reaksi inflamasi, aktifasi komplemen, fibrinolisis dan angiogenesis.9
Faktor XI dikonversikan menjadi XIa. Faktor IXa akan membentuk suatu
kompleks dengan faktor VIIIa dengan bantuan adanya fospolipid dan kalsium
yang kemudian akan mengaktifkan faktor X menjadi faktor Xa. Faktor Xa akan
mengikat faktor V bersama dengan kalsium dan fosfolipid membentuk suatu
kompleks yang disebut protrombinase, suatu kompleks yang bekerja
mengkonversi protrombin menjadi trombin. Faktor IX dapat juga diaktifkan oleh
faktor XIa.9
Bilamana telah terbentuk faktor Xa baik melalui faktor ekstrinsik atau intrinsik
maka akan terjadi konversi protrombin menjadi trombin. Bersama dengan vit K
dependen yang lain akan suatu kompleks pro- trombinase (faktor Xa, faktor V,
fosfolipid, dan kalsium).9
Trombin bekerja pada berbagai bahan, termasuk fibrinogen, faktor XIII, V dan
VII; membran trombosit; protein S dan protein C. Dapat dikatakan bahwa trombin
memegang peran sentral dalam mengontrol proses pembentukan hemostatic plug
melalui mekanisme positive dan negative feed back.9
Pembentukan fibrin merupakan suatu proses fase kedua (setelah fase pertama
agregasi trombosit). Fibrinogen merupakan bahan dasar dari fibrin. Trombin akan
terikat pada fibrinogen dan akan membebaskan fibrinopeptida dan membentuk
fibrin monomer dan selanjutnya membentuk fibrin polimer. Pengikatan fibrin
dengan faktor XIIIa ini akan menjadikan fibrin resisten terhadap degragasi
plasmin dan keadaan ini juga diperkuat oleh pengaruh á2- plasmin inhibitor yang
melindungi dari fibrin terhadap efek fibrinolisis dari plasmin.9
Mekanisme terakhir untuk membatasi pembentukan bekuan darah adalah
fibrinolisis. Mekanisme ini diperlukan untuk reparasi pembuluh darah dan struktur
jaringan lainnya bersamaan dengan pertumbuhan kembali sel endotel dan
rekanalisasi pembuluh darah. Pada proses permulaan pembentuk hemostatic plug,
20
trombosit dan sel endotel akan melepaskan plasminogen activator inhibitor untuk
menfasilitasi pembentukan fibrin. Proses selanjut, melalui suatu proses yang
belum diketahui dengan pasti danpada waktu yang tepat, sel endotel akan
melepaskan plasminogen aktivator dan prourokinase yang akan mengkonversi
plasminogen (terutama yang terikat pada fibrin) menjadi bentuk aktif yaitu
plasmin, yang nantinya akan mencetuskan terjadinya fibrinolisis.9
Gambar 2.10 Proses koagulasi
2.11 Metabolisme Vitamin K
Vitamin K sangat penting dalam sintesis protein yang termasuk dalam
kelompok protein GIa. Kelompok protein ini diantaranya termasuk empat buah
faktor koagulasi yang kesemuanya dibentuk di dalam hati. Defisiensi vitamin K
menyebabkan waktu pembekuan darah menjadi lebih panjang, sehingga penderita
defisiensi vitamin K bisa mati hanya karena perdarahan ringan.1
Struktur kimia vitamin K terdapat dalam tiga bentuk berbeda pertama adalah
vitamin K1 atau filoquinon, yaitu jenis yang ditemukan dan dihasilkan tumbuh-
tumbuhan dan daun hijau. Kedua, adalah K2 atau disebut juga dengan
menaquinon, yang dihasilan oleh jaringan hewan dan bakteri menguntungkan 21
dalam sistem pencernaan. Dan yang ketiga adalah K3 atau menadion, yang
merupakan vitamin sintetik, bersifat larut dalam air, digunakan untuk penderita
yang mengalami gangguan penyerapan vitamin K dari makanan.1
Fungsi vitamin K antara lain 1) memelihara kadar normal faktor-faktor pembeku
darah, yaitu faktor II, VII, IX, dan X, yang disintesis di hati; (2) berperan dalam
sintesis faktor II, yaitu protrombin; (3) sebagai komponen koenzim dalam proses
fosforilasi.1
Untuk memenuhi kebutuhan vitamin K terbilang cukup mudah karena selain
jumlahnya terbilang kecil, sistem pencernaan manusia sudah mengandung
bakteri yang mampu mensintesis vitamin K, yang sebagian diserap dan disimpan
di dalam hati. Namun begitu, tubuh masih perlu mendapat tambahan vitamin K
dari makanan.1
Meskipun kebanyakan sumber vitamin K di dalam tubuh adalah hasil sintesis oleh
bakteri di dalam sistem pencernaan, namun vitamin K juga terkandung dalam
makanan, seperti hati, sayur-sayuran berwarna hijau yang berdaun banyak dan
sayuran sejenis kobis (kol) dan susu. Vitamin K dalam konsentrasi tinggi juga
ditemukan pada susu kedele, teh hijau, susu sapi, serta daging sapi dan hati. Jenis-
jenis makanan probiotik, seperti yoghurt yang mengandung bakteri sehat aktif,
bisa membantu menstimulasi produksi vitamin ini.1
Sebagaimana vitamin yang larut lemak lainnya, penyerapan vitamin K
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan lemak, antara lain
cukup tidaknya sekresi empedu dan pankreas yang diperlukan untuk penyerapan
vitamin K. Hanya sekitar 40 -70% vitamin K dalam makanan dapat diserap oleh
usus. Setelah diabsorbsi, vitamin K digabungkan dengan kilomikron, diangkut
melalui saluran limfatik, kemudian melalui saluran darah ditranportasi ke hati.
Sekitar 90% vitamin K yang sampai di hati disimpan dalam bentuk menaquinone.
Dari hati, vitamin K disebarkan ke seluruh jaringan tubuh yang memerlukan
melalui darah. Saat di darah, vitamin K bergabung dengan VLDL dalam plasma
darah.1
Setelah disirkulasikan berkali-kali, vitamin K dimetabolisme menjadi komponen
larut air dan produk asam empedu terkonjugasi. Selanjutnya, vitamin K
diekskresikan melalui urin dan feses. Sekitar 20% dari vitamin K diewkskresikan
22
melalui feses. Pada gangguan penyerapan lemak, ekskresi vitamin K bisa
mencapai 70 -80 %.1
2.12 Hubungan Ikterus Obstuktif Terhadap Terjadinya Gangguan Faal
Hemostasis
Sebagai bagian dari peran multifaktorial hati dalam sisntesis protein,
banyak faktor koagulasi (fibrinogen, protrombin, V, VII, VIII, IX, X, XI, XII,
XIII, prekallikrein, HMWK), antikoagulan alami (antitrombin-III, heparin
kofaktor-II, Protein C, protein S, TFPI-1, TFPI-2), dan senyawa dari sistem
fibrinolitik (plasminogen, suatu antiplasmin, TAFI) diproduksi di hati. Penyakit
hati yang berkepanjangan, baik obstruksi bilier atau penyakit hati parenkim,
biasanya disertai dengan faal hemostasis yang abnormal, dikarenakan diukur
dengan waktu protrombin dan Rasio International Normalized (INR) yang
abnormal.1,2,3,4
Gangguan produksi faktor pembekuan oleh hepatosit yang rusak disebabkan oleh
rendahnya absrobsi vitamin K karena tidak adanya garam empedu dalam usus.
Vitamin K merupakan kofaktor penting untuk sintesis mikrosomal sebuah enzim
yang mengkatalisis karboksilasi post-translasi dari multiple dan spesifik residu
asam glutamat peptida-bound di prekursor inaktif hati pada faktor koagulasi II,
VII, IX, dan X. Hasil residu asam gamma-carboxyglutamic mengkonversi
prekursor ke faktor koagulasi aktif yang kemudian disekresikan oleh sel-sel hati
ke dalam darah. 1,2,3,4
Translokasi bakteri memainkan peran kunci dalam patofisiologi gangguan
hemostasis pada pasien dengan ikterus obstruktif. Sejumlah penelitian telah
menunjukkan ikterus obstruktif signifikan memperlihatkan translokasi bakteri
pada model binatang serta pada manusia. Di kasus ini, bakteri dan endotoksin
yang berasal dari usus bisa menyeberang melalui penghalang mukosa dan
mencapai kelenjar getah bening mesenterika atau jaringan jauh lainnya, sehingga
menyebabkan respon inflamasi sistemik. Sebagai akibatnya, komplikasi septik
dan kegagalan organ multiple berkembang dalam presentase yang cukup tinggi
pada pasien ini. Pemicuan kaskade koagulasi muncul, terutama melalui jalur
Tissue Factor (TF), adalah parameter kunci untuk hasil akhir; produksi TF yang
23
ekstrim dan tidak seimbang (terutama oleh jalur inhibisi TF) dan aktivasi
kompleks tenase ekstrinsik yang tidak terkendali dapat menyebabkan peristiwa
trombotik dan / atau disseminated intravascular coagulation.5,6
Inflamasi sistemik juga muncul pada dua penyakit hati kronis yang disertai
dengan kolestasis: primary biliary sirosis dan primary sclerosing cholangitis, di
mana status hiperkoagulasi telah dilaporkan. Terlepas dari komplikasi
septic/inflamasi, dimana hal tersebut menyebabkan hiperkoagulabilitas, patologi
lain yang mendasari terjadinya ikterus obstruktif adalah penting untuk
mengidentifikasi patofisiologi tambahan dalam terjadinya gangguan hemostasis
pada ikterus obstruktif tersebut. Hal ini dapat dilihat pada penyakit ganas yang
menyebabkan ikterus obstruktif seperti adenokarsinoma pankreas, dapat
mempengaruhi koagulasi dalam berbagai cara. Selain itu, pankreatitis akut (yang
mungkin karena choledocholithiasis) telah dibuktikan dapat disertai adanya
prethrombotic state, terutama karena stimulasi trombosit.7,8,9
BAB III
KESIMPULAN
24
Ikterus obstruktif adalah ikterus dengan bilirubin terkonjugasi tinggi yang
dapat bersifat akut atau kronik dengan dilatasi atau tanpa dilatasi saluran empedu
yang disebabkan karena adanya hambatan dalam pengaliran empedu dari sel hati
yang menuju duodenum, sehingga bilirubin menumpuk di dalam aliran darah.
Ikterus obstruktif terjadi akibat sumbatan mekanik sehingga menyebabkan adanya
hambatan aliran empedu atau kolestasis. Faal hemostasis adalah suatu fungsi
tubuh yang bertujuan untuk mempertahankan keenceran darah sehingga darah
tetap mengalir dalam pembuluh darah dan menutup kerusakan pada dinding
pembuluh darah sehingga mengurangi kehilangan darah pada saat terjadinya
kerusakan pembuluh darah. Penyakit hati yang berkepanjangan, baik obstruksi
bilier atau penyakit hati parenkim, biasanya disertai dengan faal hemostasis yang
abnormal. Gangguan produksi faktor pembekuan oleh hepatosit yang rusak
disebabkan oleh rendahnya absrobsi vitamin K karena tidak adanya garam
empedu dalam usus.
DAFTAR PUSTAKA
25
1. Sulaiman, Ali. Pendekatan klinis pada pasien ikterus. In : Aru W sudoyo,
et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 1. 5th Ed. Jakarta : Penerbitan
FKUI ; 2007.p.420-3
2. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, et al. The liver bilirubinemias. In :
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. United States of
America : Mc Graw Hill ; 2007.p.297-8
3. Goodnight SH, Hathaway WE. Liver Disease. In : Disorder of Hemostasis
and Trombosis, 2nd ed. New York : The McGraw-Hill Campanies, 2001 :
226-36
4. Colman MD. Overview of Hemostasis. In : Hemostasis and Thrombosis,
4th ed. Philadelphia : Lippincott William and Wilkins, 2001 : 3-18
5. Collin VJ. Coagulation Mechanism : Hemostasis and Thrombosis. In :
Physiology and Pharmacologic Bases of Anesthesia. Pennsylvania :
William and Wilkins, 1996 : 214-32
6. Bick Rodger. Coagulation Defects in Liver Disease. In : The Medical
Clinic of North America : Common Bleeding and Clotting Disorder for the
Internist, volume 78, Number 3, May 1994. Philadelphia : WB Saunders
Company, 1994 : 545-54
7. Schiff ER, Sorrel MF, Maddrey WC. Hemostatic Disorder in Liver
Diseases. In : Schiff’s Diseases of the Liver, 9th ed. Philadelphia :
Lippincott William & Wilkins, 2003 : 625-35
8. Hoffbrand AV, Moss PAH, Petit JE. 2006. Essential Haematology, 5 th ed.
Massachusetts: Blackwell
9. Lichtman MA, Beutler E, Seligsohn U, Kaushansky K, Kipps TO.
Williams Hematology, 7th ed. McGraw-Hill.
26