Upload
dinhanh
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
13
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Daerah Aliran Sungai
Daerah aliran sungai yang biasa disingkat dengan DAS dalam beberapa
literatur menggunakan istilah yang berbeda dan arti yang sama, diantaranya
menggunakan istilah: Watershed, river basin, catchment atau drainage basin.
Istilah Watershed biasanya dihubungkan dengan batas aliran, sedang istilah river
basin, catchment atau drainage basin dikaitkan dengan daerah aliran. Daerah
aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh
punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk
kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama (Asdak, 2007). Daerah
aliran sungai merupakan suatu sistem dinamis dengan karakteristik yang spesifik
dan ditentukan oleh ruang, luas, bentuk, ketercapaian dan lintasannya. Karakter
tersebut sangat terkait dengan masyarakat yang bermukim di sekitar sungai.
Olehnya itu, tataguna lahan di Daerah Aliran Sungai harus diatur sedemikian rupa
sehingga tidak menimbulkan kerugian dan degradasi akibat persaingan
kepentingan.
Asdak (2007) menyatakan tujuan dari pengelolaan DAS adalah melakukan
pengelolaan sumberdaya alam secara rasional supaya dapat dimanfaatkan secara
lestari dan berkelanjutan sehingga dapat diperoleh kondisi tata air yang baik.
Dalam sistem DAS, terdapat ketergantungan antara hulu dan hilir. Perubahan
komponen DAS di daerah hulu akan sangat mempengaruhi komponen DAS pada
daerah hilirnya, oleh sebab itu perencanaan daerah hulu menjadi sangat penting.
Dalam setiap aktifitas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di dalam sistem
DAS, sangat diperlukan indikator yang mampu digunakan untuk menilai apakah
pelaksanaan kegiatan tersebut telah berjalan sesuai dengan perencanaan atau
belum. Indikator yang dimaksud adalah indikator yang dengan mudah dapat
dilihat oleh seluruh masyarakat luas sehingga dapat digunakan peringatan awal
dalam pelaksanaan kegiatan. Dengan demikian pengelolaan Daerah Aliran Sungai
selain mempertimbangkan aspek teknis juga harus mempertimbangkan aspek
sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan. Sebagaimana bagan yang tergambar
pada Gambar 2 berikut :
14
Pengelolaan
Ekosistem DAS
Ekonomi, Sosial,
Budaya
Batas Ekologi/
Administrasi
Hulu – Hilir
DAS
TeknologiKelembagaan Pendanaan
Lahan/Air
Gambar 2. Model pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Direktorat
Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air, 2004)
Untuk tujuan pengelolaan dan pengendalian, maka Daerah Aliran Sungai
dibagi atas tiga bagian yaitu daerah hulu, tengah dan daerah hilir. Daerah hulu
merupakan daerah yang berada dekat dengan aliran sungai yang merupakan
tempat tertinggi dalam suatu DAS. Daerah hulu memiliki ciri-ciri : lereng terjal,
terjadinya erosi vertikal, alur sungai yang sempit, tidak ada dataran banjir dan
airnya relatif bersih. Daerah ini biasanya merupakan daerah konservasi dengan
jenis vegetasi merupakan tegakan hutan. Sedang menurut Suripin (2002) daerah
hulu sungai merupakan bagian dari ekosistem DAS yang didalamnya terjadi
interaksi antara unsur-unsur biotik (vegetasi) dan unsur-unsur abiotik (iklim dan
tanah). Interaksi ini dinyatakan dalam bentuk keseimbangan antara masukkan dan
keluaran berupa air dan sedimentasi.
Daerah tengah merupakan daerah transisi antara daerah hulu dan hilir
sehingga biasa juga dinamakan transfer zone. Secara fisik, kawasan ini memiliki
karakter: sebagai tempat akumulasi material lepas seperti pasir dan kerikil,
tanahnya subur sehingga cocok menjadi area pertanian dan sebagai tandon air
15
permukaan sehingga terkadang dimanfaatkan sebagai budidaya perikanan. Sedang
daerah hilir merupakan daerah pengaliran akhir yang memilki karakteristik fisik:
alur melebar, tebing melandai (kurang dari 8%), dinding lembah landai, terbentuk
dataran banjir serta terbentuk meander.
Manajemen daerah aliran sungai merupakan upaya pengelolaan sumber
daya air. Kodoatie dan Sjarief (2005) menguraikan bahwa dalam suatu DAS
banyak sekali komponen, sistem dan fungsi/peran terkait dengan sumber daya air.
Oleh karena itu pengelolaan sumber daya air harus dilihat secara utuh dalam satu
kesatuan minimal pada suatu Daerah Aliran Sungai.
Selanjutnya, Tideman (1996) memberikan argumentasi bahwa manajemen
DAS adalah pemanfaatan secara rasional dari sumberdaya lahan dan air untuk
produksi maksimum dengan resiko kerusakan minimum terhadap sumber daya
alam. Setiap masukan dalam DAS terjadi proses interaksi dan berlangsung dalam
ekosistem tersebut. Proses interaksi tersebut dapat dievaluasi berdasarkan
keluaran dari ekosistem. Sebagai contoh, masukan dalam ekosistem DAS adalah
curah hujan dan erosi, sedang keluarannya adalah debit air serta muatan sedimen.
Komponen DAS berupa vegetasi, tanah dan saluran air atau sungai bertindak
sebagai prosessor. Proses erosi pada Daerah Aliran Sungai sangat erat kaitannya
dengan sistem hidrologi serta aktivitas manusia. Olehnya sistem DAS merupakan
suatu rangkaian komponen ekosistem yang harus dipertimbangkan dalam
pengelolaannya. Fungsi ekosistem DAS yang terdiri atas input, proses dan output
tergambar pada Gambar 3.
Pengelolaan DAS bertujuan untuk mempertahankan jasa lingkungan yang
diberikannya yaitu keseimbangan sistem hidrologi di alam. Keseimbangan
tersebut ditunjukkan dengan kuantitas air, kualitas air, perbandingan debit
maksimum dan minimum serta tinggi permukaan air tanah. Indikator
keseimbangan ekosistem DAS sangat dipengaruhi oleh kondisi vegetasi, kualitas
tanah serta kondisi sungai.
16
INPUT = Curah Hujan
Vegetasi Tanah Sungai
DAS = Prosessor
Output = Debit dan Muatan
Manusia =
IPTEK
Gambar 3. Fungsi ekosistem DAS (Asdak, 2007)
2.2. Sumberdaya Air
Air adalah sumberdaya yang sangat vital bagi kelangsungan hidup dan
kehidupan manusia. Namun, dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk,
maka air suatu saat mungkin tidak akan mencukupi kebutuhan seluruh umat
manusia apabila tidak diupayakan cara-cara untuk melestarikannya. Para ahli
memperediksikan bahwa menjelang Tahun 2025 sekitar dua pertiga penduduk
dunia akan kekurangan air. Ini berarti akan terjadi persaingan yang sangat ketat
antar pengguna dalam pemanfaatan sumberdaya air (Sutawan, 2001).
Undang-Undang No 7 Tahun 2004 mendefinisikan Sumberdaya Air adalah
air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya. Air adalah semua air
yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam
pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di
darat. Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang
terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah. Pengelolaan sumber
daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan
mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan
sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.
17
Keberadaan air bagi manusia untuk menunjang hidup dan kehidupannya
merupakan sesuatu yang mutlak dibutuhkan dan tak dapat dipungkiri lagi. Namun
sejak beberapa dasawarsa terakhir ini keberadaan air sebagai suatu sumberdaya
sudah mencapai titik kritis yang mengkhawatirkan banyak orang karena akan
sangat mempengaruhi hidup dan kehidupan manusia selanjutnya. Kerawanan telah
terjadi tidak hanya dipandang dari sudut pandang ketimpangan antara jumlah
ketersediaan yang semakin tak sepadan dengan kebutuhan saja tetapi kerawanan
juga terjadi di seluruh dimensi keberadaan air itu sendiri. Kerawanan itu terjadi
pula dari sudut mutu, temporal maupun spasial (Sutawan, 2001).
Dalam kehidupan awal manusia, hubungan antara air dengan pangan
dilakukan melalui proses pemberian air untuk tanaman atau lebih dikenal sebagai
proses irigasi. Sistem irigasi dibangun manusia karena menyadari bahwa untuk
dapat menjamin diperolehnya keberhasilan panen dan produksi yang lebih tinggi,
maka kebutuhan air tanaman tidak dapat sepenuhnya tergantung lagi dari hujan
atau bentuk-bentuk presipitasi alami lainnya yang bersifat stochastik.
Keberhasilan produksi tanaman memerlukan jaminan perolehan air yang lebih
deterministic (Sutawan, 2001).
Dalam konteks Indonesia dewasa ini, berbagai masalah terkait dengan
sumberdaya air dapat diidentifikasi antara lain: adanya gejala krisis air; degradasi
sumberdaya air; konflik akibat persaingan antar pengguna air; mengecilnya lahan
beririgasi karena alih fungsi; kurang jelasnya ketentuan hak penguasaan air;
lemahnya koordinasi antar instansi dalam menangani sumberdaya air; dan
kelemahan kebijakan sumberdaya air (Sutawan, 2001). Masalah-masalah ini
tentunya menuntut adanya opsi kebijakan yang tepat sehingga pemanfaatan
sumberdaya air bisa berkelanjutan.
18
2.3. Siklus Hidrologi dan Ketersediaan Air
2.3.1. Siklus Hidrologi
Siklus air atau siklus hidrologi merupakan konsep dasar tentang
keseimbangan air secara global dan juga menunjukkan semua hal yang
berhubungan dengan air. secara skematik, siklus hidrologi dapat dijelaskan
sebagai berikut (Asdak, 2007):
1. Presipitasi, merupakan curah hujan, yaitu jatuhnya air ke permukaan tanah.
Presipitasi terjadi akibat naiknya uap air di atmosfir hingga mencapai suhu
dingin dan terkondensasi.
2. Intersepsi, yaitu tertahannya air hujan oleh tajuk vegetasi sebelum mencapai
permukaan tanah, untuk selanjutnya diuapkan kembali atau diserap oleh
vegetasi tersebut.
3. Evaporasi, penguapan air dari permukaan air, tanah dan bentuk permukaan
vegetasi oleh proses fisik. Unsur utama yang penting adalah energi matahari.
4. Transpirasi, merupakan penguapan air oleh tanaman melalui pori-pori daun
karena proses biologi. Sedangkan total air yang dikembalikan lagi ke
atmosfer dari permukaan tanah, badan air dan vegetasi karena faktor iklim
dan fisiologis vegetasi disebut evapotranspitasi.
5. Infiltrasi, merupakan proses penetrasi air ke dalam tanah akibat gaya kapiler
atau gerakan arah vertikal. Sedangkan air yang tidak terserap akan
tertampung sementara dalam cekungan permukaan tanah, yang selanjutnya
mengalir ke tempat yang lebih rendah, lalu masuk ke sungai.
Menurut Arsyad (2006), sebelum mencapai permukaan tanah air hujan
tersebut akan tertahan oleh tajuk vegetasi. Sebagian dari air hujan tersebut akan
tersimpan di permukaan tajuk/daun selama proses pembasahan tajuk, dan
sebagian lainnya akan jatuh ke atas permukaan tanah melalui sela-sela daun
(throughfall) atau mengalir ke bawah melalui permukaan batang pohon
(steamflow). Sebagian air hujan tidak akan pernah sampai di permukaan tanah,
melainkan terevaporasi kembali ke atmosfer (dari tajuk dan batang) selama dan
setelah berlangsung hujan (interception loss) .
Air hujan yang mencapai permukaan tanah, sebagian akan masuk kedalam
tanah (infiltration). Sedangkan air hujan yang tidak terserap ke dalam tanah akan
19
tertampung sementara dalam cekungan-cekungan permukaan tanah (surface
detention) untuk kemudian mengalir di atas permukaan tanah ke tempat yang
lebih rendah (runoff), untuk selanjutnya masuk ke sungai (Arsyad, 2006).
Air infiltrasi akan tertahan di dalam tanah oleh gaya kapiler yang
selanjutnya akan membentuk kelembaban tanah. Apabila tingkat kelembaban
tanah telah cukup jenuh maka air hujan yang baru masuk kedalam tanah akan
bergerak secara lateral (horisontal) untuk selanjutnya pada tempat tertentu akan
keluar dari permukaan tanah (subsurface flow) dan akhirnya mengalir ke sungai,
lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini (Arsyad, 2006).
Curah hujan
Jatuh LangsungIntersepsiEvaporasi
Lolos Tajuk dan Aliran Batang
Suplai Air Permukaan
Simpanan Bawah
PermukaanInfiltrasi Langsung
Evaporasi
Infiltrasi Tertunda
Simpanan Bawah
Perkolasi
Cadangan air
bawah tanah
Aliran air bawah
tanahAliran Sungai
Aliran Permukaan
Aliran Bawah
PermukaanTranspirasi
Evaporasi
Evapotranspirasi
Gambar 4. Siklus hidrologi (Arsyad, 2006).
20
2.3.2. Ketersediaan Air
Air merupakan kebutuhan dasar bagi seluruh makhluk hidup di dunia.
Untuk memenuhi standar kehidupan manusia secara sehat, manusia membutuhkan
air bersih. Dengan makin meningkatnya jumlah penduduk serta laju
pertumbuhannya, makin naik pula pemanfaatan sumber-sumber air. ketersediaan
air yang terjangkau dan berkelanjutan menjadi bagian terpenting bagi setiap
individu.
Kebutuhan manusia akan sumberdaya air menjadi sangat nyata bila
dikaitkan dengan empat hal, yaitu pertambahan penduduk, pertumbuhan pangan,
peningkatan industrialisasi dan perlindungan ekosistem terhadap teknologi.
Diketahui bahwa jumlah air di bumi tetap, perubahannya hanya mengikuti siklus
hidrologi yang berputar sepanjang masa. Padahal penduduk dunia selalu
bertambah dan kehidupannya semakin maju, sehingga keperluan air semakin
bertambah banyak (Soerjani et al. 1987).
Sugiharto (1983) dalam Suhendy (2009) menyatakan bahwa untuk
mencukupi kebutuhan air sehari-hari adalah sejalan dengan tingkat kemajuan
masyarakat. Selain jumlahnya yang cukup, air untuk keperluan rumahtangga juga
harus memenuhi syarat kesehatan. Hal ini karena selain air dapat dicemari oleh
zat-zat yang bersifat racun, juga merupakan media dari berbagai kuman penyakit.
Air minum yang juga disebut air bersih adalah salah satu kebutuhan utama
manusia. Manusia memerlukan air untuk berbagai keperluan seperti MCK,
produksi pangan, sandang dan papan. Air yang digunakan untuk rumah tangga
harus memenuhi syarat kesehatan. Namun sampai dengan Tahun 2000,
berdasarkan data Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, baru sekitar
19% penduduk Indonesia yang baru menikmati air bersih (39% di perkotaan) dan
hanya 5% yang menggunakan sistem perpipaan dan sisanya 47% penduduk desa
menggunakan air yang bersumber dari sumur gali dan sumber air yang tidak
terlindungi (Parahita, 2005 dalam Muis, 2005)
Eda dan Chan (2008) dengan kasus sumberdaya air di Peru menyatakan
bahwa menggunakan informatika yang tepat tentang potensi air, kualitas air,
kuantitas air dan karakteristik suatu wilayah maka dapat ditemukan ketersediaan
air suatu wilayah untuk memasok kebutuhan domestik, serta peranan lembaga-
21
lembaga yang terkait tentang sumberdaya air perlu lebih efisien dalam mengatasi
masalah lingkungan.
2.4. Konservasi Tanah dan Air
Konservasi tanah dalam arti yang luas adalah penempatan setiap bidang
tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan
memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi
kerusakan tanah. Dalam arti sempit konservasi tanah diartikan sebagai upaya
untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan memperbaiki tanah yang rusak
oleh erosi. Sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah menentukan kemampuan tanah
(soil capability) untuk suatu penggunaan dan perlakuan yang diperlukan agar
tanah tidak rusak dan tanah dapat digunakan secara berkelanjutan (sustainable).
Sifat-sifat tanah tersebut juga menentukan kepekaan tanah untuk tererosi. Sistem
penilaian tanah untuk maksud menentukan kemampuan tanah, dirumuskan di
dalam sistem klasifikasi kemampuan lain (land capability classification). Upaya
konservasi tanah ditunjukan untuk (1) mencegah erosi, (2) memperbaiki tanah
yang rusak, dan (3) memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar tanah
dapat digunakan secara berkelanjutan (lestari). Dengan demikian maka konservasi
tanah tidaklah berarti penundaan penggunaan tanah atau pelarangan penggunaan
tanah, melainkan menyesuaikan macam dan cara penggunaan tanah dengan
kemampuan tanah serta memberikan perlakuan sesuai dengan syarat yang
diperlukan agar tidak rusak dan dapat berfungsi secara berkelanjutan. Inilah
kaidah kegunaan konservasi tanah (Arsyad, 2006) .
Konservasi tanah mempunyai hubungan dengan konservasi air. Setiap
perlakuan yang di berikan pada sebidang tanah akan mampengaruhi tata air pada
tempat itu dan tempat-tempat di hilirnya. Oleh karena itu konservasi tanah dan
konservasi air merupakan dua hal yang sangat berhubungan erat sekali : berbagai
tindakan konservasi tanah adalah merupkan tindakan konservasi air.
Berdasarkan hubungan ini, maka tanggungjawab sektor pertanian dalam
masalah air ada 2 yaitu : (1) memelihara jumlah, waktu aliran dan kualitas air, dan
(2) mengoptimumkan manfaat air melalui penerapan cara-cara penggunakaan air
untuk pertanian yang efisien. Persoalan konservasi tanah dan air adalah kompleks
22
dan memerlukan kerja sama yang erat antara berbagai disiplin ilmu dan
pengetahuan seperti ilmu tanah, biologi, hidrologi dan teknik konservasi tanah dan
air. Pada akhirnya pengembangan dan penerapan konservasi tanah dan air
ditentukan oleh berbagai aspek sosial, ekonomi dan budaya manusia.
Menurut Arsyad (2006), konservasi tanah adalah penempatan setiap
bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah
tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar
tidak terjadi kerusakan tanah. Konservasi tanah mempunyai hubungan yang erat
dengan konservasi air.
2.5. Pengelolaan Vegetasi dan Hasil Air
Pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan pengelolaan
vegetasi atau tataguna lahan adalah agar daerah aliran sungai secara keseluruhan
dapat berperan atau memberikan manfaat sebesar-besarnya secara lestari bagi
manusia didalam memenuhi kebutuhan hidup serta kesejahteraannya (Dahuri
et al. 1996), sehingga selain dapat menampung perkembangan dan dinamika
kegiatan ekonomi masyarakat setempat, maka pengelolaan tersebut diharapkan
dapat mengantisipasi berbagai permasalahan yang mungkin terjadi.
Kegiatan tataguna lahan yang bersifat merubah tipe atau jenis penutup
lahan dalam suatu DAS seringkali dapat memperbesar atau memperkecil hasil air.
Perubahan dari suatu jenis vegetasi ke jenis vegetasi lainnya adalah umum dalam
suatu pengelolaan DAS atau pengelolaan sumberdaya alam. Penebangan hutan,
perladangan berpindah, atau perubahan tataguna lahan hutan menjadi areal
pertanian, padang rumput atau permukiman adalah contoh kegiatan yang sering
dijumpai pada wilayah yang sedang bertumbuh. Terjadi perubahan tataguna lahan
dan jenis vegetasi tersebut dalam skala besar dan bersifat permanen dapat
mempengaruhi besar kecil hasil air (Lokollo, 2000).
Siriwardena et al. (2006) melakukan penelitian tentang Dampak
Perubahan Lahan terhadap Kondisi hidrologi Daerah Aliran Sungai di DAS
Comet, Central Queensland, Australia dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh
hasil akhir air dari Daerah Aliran Sungai Sungai Comet akibat konversi hutan
23
menjadi padang rumput, menunjukan bahwa dampak pembukaan vegetasi hutan
dari luasan 83% menjadi 38% menyebabkan kenaikan limpasan sebesar 40%.
Kebanyakan persoalan sumberdaya air berkaitan dengan waktu dan
penyebaran aliran air. kekeringan dan banjir adalah dua contoh klasik yang
kontras tentang perilaku aliran air sebagai akibat perubahan kondisi tataguna
lahan dan faktor meteorologi, terutama curah hujan. Hasil penelitian jangka
panjang yang dilakukan di berbagai penjuru dunia menunjukan bahwa pengaruh
tataguna lahan dan aktivitas lain terhadap perilaku aliran air dapat terjadi dengan
cara (Hibbert, 1983; Bosch and Hewlett, 1982; dalam Asdak, 2007):
1) Penggantian atau konversi vegetasi dengan transpirasi atau intersepsi tahunan
tinggi menjadi vegetasi dengan transpirasi atau intersepsi rendah dapat
meningkatkan volume aliran air dan mempercepat waktu yang diperlukan
untuk mencapai debit puncak. Mekanisme peningkatan volume aliran air ini
terjadi ketika hujan turun, kelembaban tanah awal cenderung meningkat dan
karenanya daya tampung air dalam tanah menjadi berkurang.
2) Kegiatan yang bersifat memadatkan tanah seperti pengembalaan yang
intensif, pembuatan jalan dan bangunan lainnya, dan penebangan hutan.
Kegiatan-kegiatan tersebut dalam batas waktu tertentu dapat meningkatkan
volume dan waktu berlangsungnya air limpasan, dan dengan demikian
memperbesar debit puncak. Kegiatan yang bersifat memacu infiltrasi
diharapkan dapat memberikan pengaruh sebaliknya.
Berdasarkan karakteristik perubahan tataguna lahan di atas, maka dapat
dikatakan bahwa permasalahan yang paling serius yang berkaitan dengan
pembangunan adalah berubahnya laju dan kuantitas limpasan dalam mencapai
sungai, sehingga perencanaan dan manajemen penutupan lahan yang baik sangat
bergantung kepada akuratnya analisis dampak lingkungan hidrologi yang
diakibatkan oleh pembangunan.
Lisnawati (2006) melakukan penelitian dengan judul Analisis perubahan
penutupan lahan dan pengaruhnya terhadap debit sungai dan daya dukung lahan di
kawasan puncak Kabupaten Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah 1).
Menganalisis perubahan penutupan lahan, 2). Menganalisis keterkaitan perubahan
penutupan lahan terhadap selisih debit maksimum-minimum, 3). Menganalisis
24
besarnya daya dukung lahan di kawasan puncak Kabupaten Bogor; menunjukan
bahwa perubahan lahan dari kebun campuran mengarah kepada permukiman
sebesar 250,42 ha (15,44%). Hasil analisis regresi berganda menyimpulkan bahwa
hutan mampu menurunkan selisih debit maksimum-minimum sebesar 0,027
m3/detik jika luas hutan naik sebesar satu hektar.
Perubahan penutupan lahan merupakan perubahan penggunaan dari satu
sisi penggunaan ke penggunaan lainnya yang diikuti dengan berkurangnya tipe
penutupan lahan dari suatu waktu ke waktu berikutnya. Perubahan atau
perkembangan penutupan lahan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor alami
dan faktor manusia (Vink, 1975).
Ma et al. (2005) melakukan penelitian karakteristik sumberdaya air dan
dampaknya akibat aktivitas manusia di DAS Shiyang China dengan tujuan untuk
mengetahui sumberdaya air tanah dan geokimia air tanah akibat kegiatan manusia.
Hasil penelitian menunjukan bahwa aktivitas manusia selama 50 tahun terakhir,
telah menyebabkan perubahan luar biasa dari keberadaan air tanah. Proses
pengisian ulang air tanah telah berkurang 50%, akibatnya secara umum terjadi
penurunan sebesar 3-5 meter dengan penurunan maksimum 35 meter di beberapa
kota sehingga perubahan hidrologi ini telah mengakibatkan degradasi ekosistem
yang serius, sehingga disarankan bahwa teknologi irigasi modern dan peraturan
yang terkait dengan pengelolaan air dan alokasi sumberdaya dalam DAS sangat di
butuhkan untuk mencapai proses keberlanjutan sumberdaya air.
2.6. Indikator Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Secara umum pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan paling
sedikit harus memenuhi indikator lestari dan berkelanjutan dibawah ini (Rahmadi,
2002), yaitu:
1. Pengelolaan yang mampu mendukung produktifitas optimum bagi
kepentingan kehidupan (indikator ekonomi)
2. Pengelolaan yang mampu memberikan manfaat merata bagi kepentingan
kehidupan (sosial)
3. Pengelolaan yang mampu mempertahankan kondisi lingkungan untuk tidak
terdegradasi (indikator lingkungan)
25
4. Pengelolaan dengan menggunakan teknologi yang mampu dilaksanakan oleh
kondisi penghidupan setempat, sehingga menstimulir tumbuhnya sistem
institusi yang mendukung (indikator teknologi)
Pada pengelolaan DAS indikator paling memungkinkan adalah melihat
kondisi tata airnya. Yang dimaksud indikator kondisi tata air yang meliputi:
1. Indikator kuantitas air. Kondisi kuantitas air ini sangat berkaitan dengan
kondisi tutupan vegetasi lahan di DAS yang bersangkutan. Bila tutupan
vegetasi lahan DAS yang bersangkutan berkurang dapat dipastikan
perubahan kuntitas air akan terjadi. Sehingga setiap pelaksanaan kegiatan
yang bermaksud mengurangi tutupan lahan pada suatu tempat maka harus
diiringi dengan usaha konservasi. Indikator ini dapat dilihat dari besarnya air
limpasan permukaan maupun debit air sungai.
2. Indikator kualitas air. Kondisi kualitas air disamping dipengaruhi oleh
tutupan vegetasi lahan seperti pada kondisi kuantitas, tetapi juga dipengaruhi
oleh buangan domestik, buangan industri, pengolahan lahan, pola tanam, dan
lain-lain. Dengan demikian bila sistem pengelolaan limbah, pengolahan
lahan, dan pola tanam dapat dengan mudah diketahui kejanggalannya dengan
melihat indikator kualitas air. Kualitas air ini dapat dilihat dari kondisi
kualitas air limpasan, air sungai ataupun air sumur.
3. Indikator perbandingan debit maksimum dan minimum. Yang dimaksud
disini adalah perbandingan antara debit puncak maksimum dengan debit
puncak minimum sungai utama (di titik outlet DAS). Indikator ini
mengisyaratkan kemampuan lahan untuk menyimpan. Bila kemampuan
menyimpan air dari suatu daerah masih bagus maka fluktuasi debit air pada
musim hujan dan kemarau adalah kecil. Kemampuan menyimpan air ini
sangat bergantung pada kondisi permukaan lahan seperti kondisi vegetasi,
tanah, dan lain-lain.
4. Indikator muka air tanah. Indikator ini dapat dilihat dari ketinggian muka air
tanah di suatu lahan. Indikator muka air tanah ini mengisyaratkan besarnya
air masukan ke dalam tanah dikurangi dengan pemanfaatan air tanah. Yang
mempengaruhi besarnya air masuk kedalam tanah adalah vegetasi,
kelerengan, kondisi tanahnya sendiri, dan lain-lain. Ketinggian muka air
26
tanah ini dapat dilihat dari ketinggian muka air tanah dalam (aquifer) ataupun
ketinggian air tanah dangkal (non-aquifer).
5. Indikator curah hujan. Besarnya curah hujan suatu tempat sangat dipengaruhi
oleh kondisi klimatologi daerah sekitarnya, sedangkan kondisi klimatologi ini
diperanguhi perubahan tutupan lahan, ataupun aktifitas lainnya. Sehingga bila
terjadi perubahan secara besar pada tutupan lahan maka akan mempengaruhi
klimatologi dan juga curah hujan yang terjadi.
Indikator tata air yang dapat dengan mudah dilihat dengan pengamatan
masyarakat umum diharapkan menjadi kontrol pelaksanaan pembangunan yang
dilakukan dengan lebih terbuka. Sebagai gambaran bahwa suatu Daerah Aliran
Sungai dikatakan masih baik apabila:
1. Memberikan produksi tinggi bagi keperluan kehidupan dalam DAS yang
bersangkutan
2. Menjamin kelestarian DAS, dimana erosi yang terjadi dibawah erosi yang
dapat ditoleransi
3. Terdapat kelenturan, dimana bila terjadi gangguan pada salah satu bagian,
maka bagian lain mampu memberikan supply/bantuan.
4. Bersifat pemerataan, dimana setiap stakeholder yang ada di dalam DAS
mampu berperan sesuai dengan kemampuan yang dipunyai dan mendapatkan
imbalan yang sesuai
Sedangkan dari aspek biofisik, suatu DAS dikatakan baik apabila:
1. Debit sungai konstan dari tahun ke tahun
2. Kualitas air baik dari tahun ke tahun
3. Fluktuasi antara debit maksimum dan minimum kecil
4. Ketinggian muka air tanah konstan dari tahun ke tahun
5. Kondisi curah hujan tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu tertentu
27
2.7. Soil and Water Assessment Tool (SWAT)
Analisis hidrologi dapat dilakukan dengan menggunakan software SWAT
yang pertama kali dikembangkan oleh DR. Jeff Arnold pada awal tahun 1990-an
untuk Agricultural Research Service (ARS) dari USDA. Menurut Neitsche et al
(2005), SWAT merupakan hasil gabungan dari beberapa model yaitu Simulator
for Water Resources in Rural Basin (SWWRRB); Chemical, Runoff, and Erosion
from Agricultural Management Sistem (CREAMS); Groundwater Loading effects
on Agricultural Management Sistem (GREAMS); dan Erosion Productivity
Impact Calculator (EPIC).
Software SWAT pertama kali digunakan di Amerika Serikat yang
kemudian meluas ke Eropa, Afrika, dan Asia. Software SWAT dikembangkan
untuk mengetahui pengaruh dari manajemen lahan terhadap siklus hidrologi,
sedimen yang ditimbulkan dan daur ulang bahan kimia pertanian yang diperoleh
berdasarkan data pada jangka waktu tertentu. Software SWAT akan diaplikasikan
sebagai tools tambahan pada menu bar plug-in Map Window-46SR. Map Window
46SR adalah open source software berbasis GIS yang memungkinkan para
penggunanya untuk menambahkan sendiri program atau tool baru. Dengan
demikian, SWAT dapat diintegrasikan dengan MapWindow (MapWindow
SWAT/MWSWAT) tanpa perlu membeli sistem berbasis GIS lainnya secara
lengkap.
SWAT merupakan model hidrologi berbasis fisika (physically based) yang
membutuhkan informasi spesifik tentang iklim, sifat-sifat tanah, topografi ,
vegetasi dan praktek pengelolaan lahan yang terjadi di dalam DAS. SWAT dapat
dimodelkan secara langsung proses-proses fisika yang terkait dengan pergerakan
air, sedimen, pertumbuhan tanaman, siklus unsur hara dan lain sebagainya (Neitch
et al., 2005). Proses-proses tersebut didasarkan pada konsep neraca air. Untuk
pemodelan, suatu DAS dibagi menjadi beberapa Sub DAS atau Sub Basin yang
didasarkan pada kesamaan penutupan lahan dan kesamaan lereng atau sifat lain
yang berpengaruh terhadap hidrologi.
Simulasi hidrologi suatu DAS dengan model SWAT dipisahkan kedalam
dua bagian utama yaitu fase lahan pada siklus hidrologi (Gambar 5) dan fase air
pada siklus hidrologi. Fase lahan mengendalikan jumlah air, sedimen, unsur hara
28
dan pestisida yang masuk ke dalam saluran utama pada setiap Sub DAS. Fase air
atau penelusuran siklus hidrologi.
Gambar 5. Representasi lahan pada siklus hidrologi (Neitsch et al. 2010)
SWAT terus mengalami perkembangan sejak awal diciptakan. Hingga
kini, SWAT telah dicoba dikembangkan untuk daerah tropis yang pada dasarnya
memiliki ketersediaan data yang berbeda dengan daerah sub tropis dimana model
ini diciptakan. Pengembangan sangat didukung oleh perkembangan teknologi.
Pada awalnya, SWAT untuk dikembangkan oleh Windows (Visual Basic),
GRASS, Arcview, ArcGIS dan terakhir dikembangkan dalam Map Windows,
suatu interface untuk SWAT yang dapat diakses bebas oleh pengguna.
SWAT telah mengalami validasi yang luas. Kalibrasi dan validasi output
SWAT oleh Reungsang et al. (2005) dengan membandingkan aliran hasil model
dan aliran NO3-N dalam sungai menghasilkan nilai R2 sebesar 0.73. Kalibrasi
aliran permukaan bulanan yang dilakukan oleh Schuol dan Abbaspour (2006)
menggunakan teknik Nash-Sutcliffe menghasilkan nilai efesiensi sebesar 0.82.
Analisis sensitivitas model yang dilakukan Reungsang et al. (2005) menunjukan
bahwa model sangat peka terhadap variasi curah hujan, CN, Soil Available water
capacity, dan koefesien evaporasi tanah.
29
Siklus hidrologi disimulasikan dalam SWAT berdasarkan pada persamaan
water balance. Persamaannya adalah :
∑
Keterangan :
SWt = kandungan akhir air tanah (mmH2O)
SW0 = kandungan air tanah awal pada hari ke-i (mmH2O)
Rday = Jumlah presipitasi pada hari ke-i (mmH2O)
QSurf = Jumlah surface runoff pada hari ke-i (mmH2O)
Ea = Jumlah evapotranspirasi pada hari ke-i (mmH2O)
Wseep = Jumlah air yang memasuki vadose zone pada profil tanah pada
hari ke- I (mmH2O)
Qgw = Jumlah air yang kembali pada hari ke-i (mmH2O)
Data masukan model untuk setiap HRUs (Hydrologic Respon Unit/HRU)
Sub DAS dikelompokan ke dalam beberapa kategori yaitu iklim, unit respon
hidrologi, genangan/daerah basah, air bawah tanah dan saluran utama yang
mendrainase Sub DAS. HRU merupakan kelompok lahan dalam Sub DAS yang
memiliki kombinasi tanaman penutup, tanah dan pengolahan yang unik. Data
yang dibutuhkan dalam model ini merupakan data harian.
Data iklim menyediakan masukan air dan energi yang berpengaruh
terhadap keseimbangan air. Input energi berupa iklim penting dalam melakukan
simulasi dalam SWAT untuk menghasilkan perhitungan water balance yang
akurat (Neitsch et al., 2005). Paramater iklim yang digunakan dalam SWAT
berupa hujan harian, temperatur udara maksimum dan minimum, radiasi matahari,
kecepatan angin, serta kelembaban nisbi. Keunggulan dari SWAT adalah data
iklim yang sulit untuk disediakan secara harian dapat dibangkitkan dengan
menggunakan input file weather generator (.wgn).
2.8. Konsep Pembanguan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan merupakan antidisertasi terhadap model
pembangunan yang berorientasi ekonomi. Pembangunan yang berorientasi
ekonomi semata dinilai gagal menyelesaikan agenda pembangunan yaitu
kemiskinan dan kerusakan lingkungan (Salim, 2005). Konsep pembangunan
30
berkelanjutan mengeksplorasi kaitan antara pembangunan ekonomi, kualitas
lingkungan dan keadilan sosial (Rogers et al. 2007).
Konsep ini berawal dari pertemuan konfrensi internasional lingkungan
hidup di Stockholm, Swedia tahun 1972. Konfrensi ini pertama kali dalam sejarah
yang di gagas oleh PBB. Sepuluh tahun kemudian PBB kembali menggelar
konperensi tentang lingkungan hidup pada tahun 1982 di Nairobi, Kenya. Usul
yang dihasilkan dari pertemuan lingkungan di Nairobi ini dibawa kesidang umum
PBB tahun 1983, dan oleh PBB dibentuk WCED (World Comission on
Environment and Development) yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland.
Komisi ini menghasilkan dokumen "Our Common Future" pada tahun 1987, yang
memuat analisis dan saran bagi proses pembangunan berkelanjutan. Dalam
dokumen itu diperkenalkan suatu konsep baru yang disebut suatu konsep
pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa
kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhan mereka sendiri. Beberapa pengertian tentang pembangunan
disampaikan oleh ilmuwan sebagai berikut.
1. Pembangunan berkelanjutan ialah sebuah pendekatan yang mempertemukan
perbaikan kualitas hidup yang terus menerus dengan pemanfaatan sumberdaya
alam yang efektif, sehingga generasi yang akan datang dapat mewarisi
sumberdaya tersebut untuk kehidupannya;
2. Pembangunan berkelanjutan ialah upaya untuk memelihara proses ekologi dan
sistem penopang hidup, melindungi keanekaragaman genetik, dan
pemanfaatan spesies serta ekosistem secara berkelanjutan (WWF 1987 dalam
oleh Rogers et al., 2007).
3. Pembangunan berkelanjutan mencakup proses dan perubahan yang mendalam
dalam aspek politik, sosial, ekonomi, kelembagaan, teknologi termasuk juga
mendeskripsikan ulang hubungan antara negara berkembang dengan negara
maju (Maurice 1992 dalam Rogers et al. 2007).
4. Pembangunan berkelanjutan berarti mendasarkan kebijakan pembangunan dan
lingkungan pada perbandingan biaya dan manfaat dan analisis ekonomi yang
cermat yang akan memperkuat perlindungan lingkungan dan menyebabkan
31
naiknya tingkat kesejahteraan secara berkelanjutan (World Bank 1992 dalam
oleh Rogers et al. 2007).
Rogers, Jalal dan Boyd (2007) menyatakan bahwa terdapat tiga pilar
utama dalam pembangunan berkelanjutan yaitu dimensi ekologi, dimensi sosial
dan dimensi ekonomi. Dimensi ekologi artinya optimalisasi manfaat ekologis
tidak harus mengabaikan aspek ekonomi dan sosial. Dimensi sosial maksudnya
tidak harus mengabaikan aspek ekonomi dan ekologis. Sedangkan dimensi
ekonomi artinya tidak mengabaikan dimensi ekologi dan sosial. Dengan demikian
ketiga pilar tersebut harus digerakkan secara simultan dalam perencanaan dan
implimentasi pembangunan. Selanjutnya Smith dan Jalal (2000) dalam Rogers
et al. (2007) menjelaskan kaitan antara pembangunan berkelanjutan, lingkungan
dan kemiskinan seperti pada Gambar 5.
Permasalahan lingkungan disumbang oleh dua kutub, yaitu (1) kemiskinan
yang berimplikasi pada kerusakan sumberdaya alam, dan (2) pembangunan yang
berimplikasi pada degradasi lingkungan serta deplesi sumberdaya alam. Strategi
atas permasalahan tersebut ialah dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan.
Pada kutub kemiskinan melalui pengurangan kemiskinan dengan beberapa
programnya. Sedangkan pada kutub pembangunan dilakukan integrasi antara
pembangunan dengan lingkungan hidup (Gambar 6).
Penjelasan tersebut sejalan dengan pengertian pembangunan berkelanjutan
dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup yaitu upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup,
sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan
lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup
generasi masa kini dan generasi masa depan.
Pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem
alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan
manfaat bagi kehidupan bagi umat manusia tidak rusak. Pembangunan
berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang
memberikan semacam ambang batas (limit) pada laju pemanfaatan ekosistem
alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidaklah
bersifat mutlak (absolute), tetapi merupakan batas yang luwes (flexible) yang
32
tergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan
sumberdaya alam serta kemampuan biosfir menerima dampak kegiatan manusia.
Beberapa peneliti menguraikan keberlanjutan lebih rinci lagi dalam lima
dimensi yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial, dimensi
kelembagaan dan dimensi teknologi (Fauzi dan Anna, 2005). Dimensi ekologi
ialah terkait menjaga daya dukung, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari
ekosistem menjadi perhatian utama. Dimensi sosial ekonomi ialah terkait
keberlanjutan kesejahteraan masyarakat dalam rangka keberlanjutan. Dimensi
kelembagaan ialah terkait kelembagaan yang mendorong keberlanjutan. Dimensi
sosial ialah terkait keberlanjutan sosial masyarakat.
SDA rusak
Pembangunan Berkelanjutan
Reduksi kemiskinan
1. Pemenuhan kebutuhan dasar
2. Kontrol demografi
3. Kontrol penggunaan common
property
4. Meningkatkan produktivitas
ReduksIntegrasi Pembangunan &
lingkungan
1. Amdal
2. Teknologi ramah lingkungan
3. Kontrol mitigasi
4. Energi terbarukan
Permasalahan
Lingkungan:
Pencemaran,
Degradasi Lahan,
Perubahan IklimSDA rusak
Kemiskinan Pembangunan
Gambar 6. Keterkaitan pembangunan berkelanjutan, lingkungan dan
kemiskinan
2.9. Sistem dan Pendekatan Sistem
2.9.1. Pengertian dan Tipe Sistem
Sistem adalah suatu gugus dari komponen yang saling terkait dan
terorganisasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan tertentu,
(Manetsch dan Park, 1979 dalam Eriyatno, 1997). Pengertian tersebut
memberikan penjelasan bahwa dalam sistem terdapat bagian-bagian yang saling
33
berinteraksi dalam upaya pencapaian tujuan. Oleh karena itu Marimin (2004)
mengatakan bahwa sistem merupakan gugus dari elemen-elemen yang saling
berinteraksi secara teratur dalam rangka mencapai tujuan atau subtujuan.
Menurut Hartrisari (2007) suatu sistem dapat terdiri atas beberapa
subsistem. Masing-masing susbsistem tersebut memiliki fungsi yang berbeda.
Namun secara keseluruhan dalam konsep sistem memiliki fungsi yang sama.
Artinya masing-masing fungsi dari subsistem tersebut saling mendukung untuk
berjalannya fungsi sistem secara keseluruhan.
Hartrisari (2007) menjelaskan bahwa sistem dapat digolongkan dalam dua
tipe yaitu, (1) sistem terbuka atau open sistem dan (2) sistem tertutup atau closed
sistem. Sistem terbuka ialah sistem yang outputnya merupakan tanggapan dari
input, namun tidak memberi umpan balik terhadap input. Sebaliknya sistem
tertutup, outputnya memberikan umpan balik terhadap input.
2.9.2. Pendekatan Sistem
Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang
menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis (Marimin, 2004).
Sedangkan Eriyatno (1998) menjelaskan bahwa pemikiran sistem selalu mencari
keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu
kerangka fikir baru yang terkenal sebagai pendekatan sistem (sistim approach).
Dengan demikian pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang
komprehensif dan berorientasi tujuan. Selanjutnya disampaikan bahwa
pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan
dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka
sistem.
Hartrisari (2007) menjelaskan pendekatan sistem merupakan pendekatan
yang tidak secara langsung mereduksi faktor yang berpengaruh tetapi lebih
bersifat menyeluruh. Pendekatan yang bersifat holistik lebih memfokuskan
keterkaitan antara faktor. Pendekatan sistem menggunakan model untuk
mempelajari perilaku sistem yang dikaji, yang digunakan sebagai dasar perbaikan
sistem. Sementara model adalah penyederhanaan sistem. Artinya karena sistem
merupakan sangat komplek, maka model dibuat untuk memudahkan memahami
34
gambaran sistem. Tujuan penyusunan model yaitu; (1) memahami proses yang
terjadi dalam suatu sistem; (2) membuat prediksi dan (3) menunjang pengambilan
keputusan, (Hartrisari, 2007). Eryatno (1999) menjelaskan bahwa untuk dapat
bekerja secara sempurnah suatu pendekatan sistem mempunyai delapan unsur
yang meliputi (1) metodelogi untuk perencanaan dan pengelolaan, (2) tim yang
multidisipliner, (3) pengorganisasian, (4) disiplin untuk bidang yang kuantitatif,
(5) teknik model matematik, (6) teknik simulasi, (7) teknik optimasi dan (8)
aplikasi komputer.
Keunggulan pendekatan sistem antara lain: (1) pendekatan sistem
diperlukan karena makin lama makin dirasakan interdependensinya dari berbagai
bagian dalam mencapai tujuan sistem, (2) sangat penting untuk menonjolkan
tujuan yang hendak dicapai, dan tidak terikat pada prosedur koordinasi atau
pengawasan dan pengendalian itu sendiri, (3) dalam banyak hal pendekatan
manajemen tradisional seringkali mengarahkan pandangan pada cara-cara
koordinasi dan kontrol yang tepat, seolah-olah inilah yang menjadi tujuan
manajemen, padahal tindakan-tindakan koordinasi dan kontrol ini hanyalah suatu
cara untuk mencapai tujuan, dan harus disesuaikan dengan lingkungan yang
dihadapi, (4) konsep sistem terutama berguna sebagai cara berfikir dalam suatu
kerangka analisis, yang dapat memberi pengertian yang lebih mendasar mengenai
perilaku dari suatu sistem dalam mencapai tujuannya (Marimin, 2007).
Menurut Marimin (2007) sifat dasar dari suatu sistem terdiri atas tujuh,
yaitu:
1. Pencapaian tujuan, prinsip ini memberikan sifat bahwa sistem merupakan
sesuatu yang dinamis dalam mencapai tujuan;
2. Kesatuan usahan, prinsip ini menjelaskan bahwa hasil keselurahan dari sistem
melebihi bagian-bagiannya atau disebut konsep sinergi;
3. Keterbukaan terhadap lingkungan, prinsip ini menjelaskan bahwa lingkungan
merupakan sumber potensi dan hambatan. Oleh karena itu pencapaian tujuan
suatu sistem relatif tidak mutlak. Sebaliknya dapat dilakukan dengan berbagai
cara sesusia dengan tantangan lingkungannya;
4. Transformasi, yaitu prinsip yang menjelaskan tentang proses perubahan input
menjadi output.
35
Menurut Hartrisari (2007), pendekatan sistem memiliki beberapa tahapan
yaitu; (1) analisis kebutuhan, bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan-
kebutuhan dari masing-masing stakeholders, (2) formulasi permasalahan,
mengkombinasikan dan mensinergiskan semua permasalahan yang merupakan
kebutuhan stakeholders dalam sistem, (3) identifkasi sistem, yaitu memahami
mekanisme yang terjadi dalam sistem mencakup faktor-faktor yang terkait di
dalamnya. Identifikasi sistem dapat dilakukan dengan diagram input-output atau
diagram lingkar sebab akibat, (4) simulasi pemodelan, yaitu tahap interaksi antara
analisis sistem dengan pembuatan keputusan yang menggunakan model dengan
mempertimbangkan berbagai variabel yang dimasukkan, (5) validasi dan
verifikasi.