23
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daerah Aliran Sungai Daerah aliran sungai yang biasa disingkat dengan DAS dalam beberapa literatur menggunakan istilah yang berbeda dan arti yang sama, diantaranya menggunakan istilah: Watershed, river basin, catchment atau drainage basin. Istilah Watershed biasanya dihubungkan dengan batas aliran, sedang istilah river basin, catchment atau drainage basin dikaitkan dengan daerah aliran. Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama (Asdak, 2007). Daerah aliran sungai merupakan suatu sistem dinamis dengan karakteristik yang spesifik dan ditentukan oleh ruang, luas, bentuk, ketercapaian dan lintasannya. Karakter tersebut sangat terkait dengan masyarakat yang bermukim di sekitar sungai. Olehnya itu, tataguna lahan di Daerah Aliran Sungai harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kerugian dan degradasi akibat persaingan kepentingan. Asdak (2007) menyatakan tujuan dari pengelolaan DAS adalah melakukan pengelolaan sumberdaya alam secara rasional supaya dapat dimanfaatkan secara lestari dan berkelanjutan sehingga dapat diperoleh kondisi tata air yang baik. Dalam sistem DAS, terdapat ketergantungan antara hulu dan hilir. Perubahan komponen DAS di daerah hulu akan sangat mempengaruhi komponen DAS pada daerah hilirnya, oleh sebab itu perencanaan daerah hulu menjadi sangat penting. Dalam setiap aktifitas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di dalam sistem DAS, sangat diperlukan indikator yang mampu digunakan untuk menilai apakah pelaksanaan kegiatan tersebut telah berjalan sesuai dengan perencanaan atau belum. Indikator yang dimaksud adalah indikator yang dengan mudah dapat dilihat oleh seluruh masyarakat luas sehingga dapat digunakan peringatan awal dalam pelaksanaan kegiatan. Dengan demikian pengelolaan Daerah Aliran Sungai selain mempertimbangkan aspek teknis juga harus mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan. Sebagaimana bagan yang tergambar pada Gambar 2 berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · DAS, sangat diperlukan indikator yang mampu digunakan untuk menilai apakah ... Air merupakan kebutuhan dasar bagi seluruh makhluk hidup

  • Upload
    dinhanh

  • View
    224

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

13

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Daerah Aliran Sungai

Daerah aliran sungai yang biasa disingkat dengan DAS dalam beberapa

literatur menggunakan istilah yang berbeda dan arti yang sama, diantaranya

menggunakan istilah: Watershed, river basin, catchment atau drainage basin.

Istilah Watershed biasanya dihubungkan dengan batas aliran, sedang istilah river

basin, catchment atau drainage basin dikaitkan dengan daerah aliran. Daerah

aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh

punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk

kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama (Asdak, 2007). Daerah

aliran sungai merupakan suatu sistem dinamis dengan karakteristik yang spesifik

dan ditentukan oleh ruang, luas, bentuk, ketercapaian dan lintasannya. Karakter

tersebut sangat terkait dengan masyarakat yang bermukim di sekitar sungai.

Olehnya itu, tataguna lahan di Daerah Aliran Sungai harus diatur sedemikian rupa

sehingga tidak menimbulkan kerugian dan degradasi akibat persaingan

kepentingan.

Asdak (2007) menyatakan tujuan dari pengelolaan DAS adalah melakukan

pengelolaan sumberdaya alam secara rasional supaya dapat dimanfaatkan secara

lestari dan berkelanjutan sehingga dapat diperoleh kondisi tata air yang baik.

Dalam sistem DAS, terdapat ketergantungan antara hulu dan hilir. Perubahan

komponen DAS di daerah hulu akan sangat mempengaruhi komponen DAS pada

daerah hilirnya, oleh sebab itu perencanaan daerah hulu menjadi sangat penting.

Dalam setiap aktifitas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di dalam sistem

DAS, sangat diperlukan indikator yang mampu digunakan untuk menilai apakah

pelaksanaan kegiatan tersebut telah berjalan sesuai dengan perencanaan atau

belum. Indikator yang dimaksud adalah indikator yang dengan mudah dapat

dilihat oleh seluruh masyarakat luas sehingga dapat digunakan peringatan awal

dalam pelaksanaan kegiatan. Dengan demikian pengelolaan Daerah Aliran Sungai

selain mempertimbangkan aspek teknis juga harus mempertimbangkan aspek

sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan. Sebagaimana bagan yang tergambar

pada Gambar 2 berikut :

14

Pengelolaan

Ekosistem DAS

Ekonomi, Sosial,

Budaya

Batas Ekologi/

Administrasi

Hulu – Hilir

DAS

TeknologiKelembagaan Pendanaan

Lahan/Air

Gambar 2. Model pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Direktorat

Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air, 2004)

Untuk tujuan pengelolaan dan pengendalian, maka Daerah Aliran Sungai

dibagi atas tiga bagian yaitu daerah hulu, tengah dan daerah hilir. Daerah hulu

merupakan daerah yang berada dekat dengan aliran sungai yang merupakan

tempat tertinggi dalam suatu DAS. Daerah hulu memiliki ciri-ciri : lereng terjal,

terjadinya erosi vertikal, alur sungai yang sempit, tidak ada dataran banjir dan

airnya relatif bersih. Daerah ini biasanya merupakan daerah konservasi dengan

jenis vegetasi merupakan tegakan hutan. Sedang menurut Suripin (2002) daerah

hulu sungai merupakan bagian dari ekosistem DAS yang didalamnya terjadi

interaksi antara unsur-unsur biotik (vegetasi) dan unsur-unsur abiotik (iklim dan

tanah). Interaksi ini dinyatakan dalam bentuk keseimbangan antara masukkan dan

keluaran berupa air dan sedimentasi.

Daerah tengah merupakan daerah transisi antara daerah hulu dan hilir

sehingga biasa juga dinamakan transfer zone. Secara fisik, kawasan ini memiliki

karakter: sebagai tempat akumulasi material lepas seperti pasir dan kerikil,

tanahnya subur sehingga cocok menjadi area pertanian dan sebagai tandon air

15

permukaan sehingga terkadang dimanfaatkan sebagai budidaya perikanan. Sedang

daerah hilir merupakan daerah pengaliran akhir yang memilki karakteristik fisik:

alur melebar, tebing melandai (kurang dari 8%), dinding lembah landai, terbentuk

dataran banjir serta terbentuk meander.

Manajemen daerah aliran sungai merupakan upaya pengelolaan sumber

daya air. Kodoatie dan Sjarief (2005) menguraikan bahwa dalam suatu DAS

banyak sekali komponen, sistem dan fungsi/peran terkait dengan sumber daya air.

Oleh karena itu pengelolaan sumber daya air harus dilihat secara utuh dalam satu

kesatuan minimal pada suatu Daerah Aliran Sungai.

Selanjutnya, Tideman (1996) memberikan argumentasi bahwa manajemen

DAS adalah pemanfaatan secara rasional dari sumberdaya lahan dan air untuk

produksi maksimum dengan resiko kerusakan minimum terhadap sumber daya

alam. Setiap masukan dalam DAS terjadi proses interaksi dan berlangsung dalam

ekosistem tersebut. Proses interaksi tersebut dapat dievaluasi berdasarkan

keluaran dari ekosistem. Sebagai contoh, masukan dalam ekosistem DAS adalah

curah hujan dan erosi, sedang keluarannya adalah debit air serta muatan sedimen.

Komponen DAS berupa vegetasi, tanah dan saluran air atau sungai bertindak

sebagai prosessor. Proses erosi pada Daerah Aliran Sungai sangat erat kaitannya

dengan sistem hidrologi serta aktivitas manusia. Olehnya sistem DAS merupakan

suatu rangkaian komponen ekosistem yang harus dipertimbangkan dalam

pengelolaannya. Fungsi ekosistem DAS yang terdiri atas input, proses dan output

tergambar pada Gambar 3.

Pengelolaan DAS bertujuan untuk mempertahankan jasa lingkungan yang

diberikannya yaitu keseimbangan sistem hidrologi di alam. Keseimbangan

tersebut ditunjukkan dengan kuantitas air, kualitas air, perbandingan debit

maksimum dan minimum serta tinggi permukaan air tanah. Indikator

keseimbangan ekosistem DAS sangat dipengaruhi oleh kondisi vegetasi, kualitas

tanah serta kondisi sungai.

16

INPUT = Curah Hujan

Vegetasi Tanah Sungai

DAS = Prosessor

Output = Debit dan Muatan

Manusia =

IPTEK

Gambar 3. Fungsi ekosistem DAS (Asdak, 2007)

2.2. Sumberdaya Air

Air adalah sumberdaya yang sangat vital bagi kelangsungan hidup dan

kehidupan manusia. Namun, dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk,

maka air suatu saat mungkin tidak akan mencukupi kebutuhan seluruh umat

manusia apabila tidak diupayakan cara-cara untuk melestarikannya. Para ahli

memperediksikan bahwa menjelang Tahun 2025 sekitar dua pertiga penduduk

dunia akan kekurangan air. Ini berarti akan terjadi persaingan yang sangat ketat

antar pengguna dalam pemanfaatan sumberdaya air (Sutawan, 2001).

Undang-Undang No 7 Tahun 2004 mendefinisikan Sumberdaya Air adalah

air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya. Air adalah semua air

yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam

pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di

darat. Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang

terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah. Pengelolaan sumber

daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan

mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan

sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.

17

Keberadaan air bagi manusia untuk menunjang hidup dan kehidupannya

merupakan sesuatu yang mutlak dibutuhkan dan tak dapat dipungkiri lagi. Namun

sejak beberapa dasawarsa terakhir ini keberadaan air sebagai suatu sumberdaya

sudah mencapai titik kritis yang mengkhawatirkan banyak orang karena akan

sangat mempengaruhi hidup dan kehidupan manusia selanjutnya. Kerawanan telah

terjadi tidak hanya dipandang dari sudut pandang ketimpangan antara jumlah

ketersediaan yang semakin tak sepadan dengan kebutuhan saja tetapi kerawanan

juga terjadi di seluruh dimensi keberadaan air itu sendiri. Kerawanan itu terjadi

pula dari sudut mutu, temporal maupun spasial (Sutawan, 2001).

Dalam kehidupan awal manusia, hubungan antara air dengan pangan

dilakukan melalui proses pemberian air untuk tanaman atau lebih dikenal sebagai

proses irigasi. Sistem irigasi dibangun manusia karena menyadari bahwa untuk

dapat menjamin diperolehnya keberhasilan panen dan produksi yang lebih tinggi,

maka kebutuhan air tanaman tidak dapat sepenuhnya tergantung lagi dari hujan

atau bentuk-bentuk presipitasi alami lainnya yang bersifat stochastik.

Keberhasilan produksi tanaman memerlukan jaminan perolehan air yang lebih

deterministic (Sutawan, 2001).

Dalam konteks Indonesia dewasa ini, berbagai masalah terkait dengan

sumberdaya air dapat diidentifikasi antara lain: adanya gejala krisis air; degradasi

sumberdaya air; konflik akibat persaingan antar pengguna air; mengecilnya lahan

beririgasi karena alih fungsi; kurang jelasnya ketentuan hak penguasaan air;

lemahnya koordinasi antar instansi dalam menangani sumberdaya air; dan

kelemahan kebijakan sumberdaya air (Sutawan, 2001). Masalah-masalah ini

tentunya menuntut adanya opsi kebijakan yang tepat sehingga pemanfaatan

sumberdaya air bisa berkelanjutan.

18

2.3. Siklus Hidrologi dan Ketersediaan Air

2.3.1. Siklus Hidrologi

Siklus air atau siklus hidrologi merupakan konsep dasar tentang

keseimbangan air secara global dan juga menunjukkan semua hal yang

berhubungan dengan air. secara skematik, siklus hidrologi dapat dijelaskan

sebagai berikut (Asdak, 2007):

1. Presipitasi, merupakan curah hujan, yaitu jatuhnya air ke permukaan tanah.

Presipitasi terjadi akibat naiknya uap air di atmosfir hingga mencapai suhu

dingin dan terkondensasi.

2. Intersepsi, yaitu tertahannya air hujan oleh tajuk vegetasi sebelum mencapai

permukaan tanah, untuk selanjutnya diuapkan kembali atau diserap oleh

vegetasi tersebut.

3. Evaporasi, penguapan air dari permukaan air, tanah dan bentuk permukaan

vegetasi oleh proses fisik. Unsur utama yang penting adalah energi matahari.

4. Transpirasi, merupakan penguapan air oleh tanaman melalui pori-pori daun

karena proses biologi. Sedangkan total air yang dikembalikan lagi ke

atmosfer dari permukaan tanah, badan air dan vegetasi karena faktor iklim

dan fisiologis vegetasi disebut evapotranspitasi.

5. Infiltrasi, merupakan proses penetrasi air ke dalam tanah akibat gaya kapiler

atau gerakan arah vertikal. Sedangkan air yang tidak terserap akan

tertampung sementara dalam cekungan permukaan tanah, yang selanjutnya

mengalir ke tempat yang lebih rendah, lalu masuk ke sungai.

Menurut Arsyad (2006), sebelum mencapai permukaan tanah air hujan

tersebut akan tertahan oleh tajuk vegetasi. Sebagian dari air hujan tersebut akan

tersimpan di permukaan tajuk/daun selama proses pembasahan tajuk, dan

sebagian lainnya akan jatuh ke atas permukaan tanah melalui sela-sela daun

(throughfall) atau mengalir ke bawah melalui permukaan batang pohon

(steamflow). Sebagian air hujan tidak akan pernah sampai di permukaan tanah,

melainkan terevaporasi kembali ke atmosfer (dari tajuk dan batang) selama dan

setelah berlangsung hujan (interception loss) .

Air hujan yang mencapai permukaan tanah, sebagian akan masuk kedalam

tanah (infiltration). Sedangkan air hujan yang tidak terserap ke dalam tanah akan

19

tertampung sementara dalam cekungan-cekungan permukaan tanah (surface

detention) untuk kemudian mengalir di atas permukaan tanah ke tempat yang

lebih rendah (runoff), untuk selanjutnya masuk ke sungai (Arsyad, 2006).

Air infiltrasi akan tertahan di dalam tanah oleh gaya kapiler yang

selanjutnya akan membentuk kelembaban tanah. Apabila tingkat kelembaban

tanah telah cukup jenuh maka air hujan yang baru masuk kedalam tanah akan

bergerak secara lateral (horisontal) untuk selanjutnya pada tempat tertentu akan

keluar dari permukaan tanah (subsurface flow) dan akhirnya mengalir ke sungai,

lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini (Arsyad, 2006).

Curah hujan

Jatuh LangsungIntersepsiEvaporasi

Lolos Tajuk dan Aliran Batang

Suplai Air Permukaan

Simpanan Bawah

PermukaanInfiltrasi Langsung

Evaporasi

Infiltrasi Tertunda

Simpanan Bawah

Perkolasi

Cadangan air

bawah tanah

Aliran air bawah

tanahAliran Sungai

Aliran Permukaan

Aliran Bawah

PermukaanTranspirasi

Evaporasi

Evapotranspirasi

Gambar 4. Siklus hidrologi (Arsyad, 2006).

20

2.3.2. Ketersediaan Air

Air merupakan kebutuhan dasar bagi seluruh makhluk hidup di dunia.

Untuk memenuhi standar kehidupan manusia secara sehat, manusia membutuhkan

air bersih. Dengan makin meningkatnya jumlah penduduk serta laju

pertumbuhannya, makin naik pula pemanfaatan sumber-sumber air. ketersediaan

air yang terjangkau dan berkelanjutan menjadi bagian terpenting bagi setiap

individu.

Kebutuhan manusia akan sumberdaya air menjadi sangat nyata bila

dikaitkan dengan empat hal, yaitu pertambahan penduduk, pertumbuhan pangan,

peningkatan industrialisasi dan perlindungan ekosistem terhadap teknologi.

Diketahui bahwa jumlah air di bumi tetap, perubahannya hanya mengikuti siklus

hidrologi yang berputar sepanjang masa. Padahal penduduk dunia selalu

bertambah dan kehidupannya semakin maju, sehingga keperluan air semakin

bertambah banyak (Soerjani et al. 1987).

Sugiharto (1983) dalam Suhendy (2009) menyatakan bahwa untuk

mencukupi kebutuhan air sehari-hari adalah sejalan dengan tingkat kemajuan

masyarakat. Selain jumlahnya yang cukup, air untuk keperluan rumahtangga juga

harus memenuhi syarat kesehatan. Hal ini karena selain air dapat dicemari oleh

zat-zat yang bersifat racun, juga merupakan media dari berbagai kuman penyakit.

Air minum yang juga disebut air bersih adalah salah satu kebutuhan utama

manusia. Manusia memerlukan air untuk berbagai keperluan seperti MCK,

produksi pangan, sandang dan papan. Air yang digunakan untuk rumah tangga

harus memenuhi syarat kesehatan. Namun sampai dengan Tahun 2000,

berdasarkan data Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, baru sekitar

19% penduduk Indonesia yang baru menikmati air bersih (39% di perkotaan) dan

hanya 5% yang menggunakan sistem perpipaan dan sisanya 47% penduduk desa

menggunakan air yang bersumber dari sumur gali dan sumber air yang tidak

terlindungi (Parahita, 2005 dalam Muis, 2005)

Eda dan Chan (2008) dengan kasus sumberdaya air di Peru menyatakan

bahwa menggunakan informatika yang tepat tentang potensi air, kualitas air,

kuantitas air dan karakteristik suatu wilayah maka dapat ditemukan ketersediaan

air suatu wilayah untuk memasok kebutuhan domestik, serta peranan lembaga-

21

lembaga yang terkait tentang sumberdaya air perlu lebih efisien dalam mengatasi

masalah lingkungan.

2.4. Konservasi Tanah dan Air

Konservasi tanah dalam arti yang luas adalah penempatan setiap bidang

tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan

memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi

kerusakan tanah. Dalam arti sempit konservasi tanah diartikan sebagai upaya

untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan memperbaiki tanah yang rusak

oleh erosi. Sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah menentukan kemampuan tanah

(soil capability) untuk suatu penggunaan dan perlakuan yang diperlukan agar

tanah tidak rusak dan tanah dapat digunakan secara berkelanjutan (sustainable).

Sifat-sifat tanah tersebut juga menentukan kepekaan tanah untuk tererosi. Sistem

penilaian tanah untuk maksud menentukan kemampuan tanah, dirumuskan di

dalam sistem klasifikasi kemampuan lain (land capability classification). Upaya

konservasi tanah ditunjukan untuk (1) mencegah erosi, (2) memperbaiki tanah

yang rusak, dan (3) memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar tanah

dapat digunakan secara berkelanjutan (lestari). Dengan demikian maka konservasi

tanah tidaklah berarti penundaan penggunaan tanah atau pelarangan penggunaan

tanah, melainkan menyesuaikan macam dan cara penggunaan tanah dengan

kemampuan tanah serta memberikan perlakuan sesuai dengan syarat yang

diperlukan agar tidak rusak dan dapat berfungsi secara berkelanjutan. Inilah

kaidah kegunaan konservasi tanah (Arsyad, 2006) .

Konservasi tanah mempunyai hubungan dengan konservasi air. Setiap

perlakuan yang di berikan pada sebidang tanah akan mampengaruhi tata air pada

tempat itu dan tempat-tempat di hilirnya. Oleh karena itu konservasi tanah dan

konservasi air merupakan dua hal yang sangat berhubungan erat sekali : berbagai

tindakan konservasi tanah adalah merupkan tindakan konservasi air.

Berdasarkan hubungan ini, maka tanggungjawab sektor pertanian dalam

masalah air ada 2 yaitu : (1) memelihara jumlah, waktu aliran dan kualitas air, dan

(2) mengoptimumkan manfaat air melalui penerapan cara-cara penggunakaan air

untuk pertanian yang efisien. Persoalan konservasi tanah dan air adalah kompleks

22

dan memerlukan kerja sama yang erat antara berbagai disiplin ilmu dan

pengetahuan seperti ilmu tanah, biologi, hidrologi dan teknik konservasi tanah dan

air. Pada akhirnya pengembangan dan penerapan konservasi tanah dan air

ditentukan oleh berbagai aspek sosial, ekonomi dan budaya manusia.

Menurut Arsyad (2006), konservasi tanah adalah penempatan setiap

bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah

tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar

tidak terjadi kerusakan tanah. Konservasi tanah mempunyai hubungan yang erat

dengan konservasi air.

2.5. Pengelolaan Vegetasi dan Hasil Air

Pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan pengelolaan

vegetasi atau tataguna lahan adalah agar daerah aliran sungai secara keseluruhan

dapat berperan atau memberikan manfaat sebesar-besarnya secara lestari bagi

manusia didalam memenuhi kebutuhan hidup serta kesejahteraannya (Dahuri

et al. 1996), sehingga selain dapat menampung perkembangan dan dinamika

kegiatan ekonomi masyarakat setempat, maka pengelolaan tersebut diharapkan

dapat mengantisipasi berbagai permasalahan yang mungkin terjadi.

Kegiatan tataguna lahan yang bersifat merubah tipe atau jenis penutup

lahan dalam suatu DAS seringkali dapat memperbesar atau memperkecil hasil air.

Perubahan dari suatu jenis vegetasi ke jenis vegetasi lainnya adalah umum dalam

suatu pengelolaan DAS atau pengelolaan sumberdaya alam. Penebangan hutan,

perladangan berpindah, atau perubahan tataguna lahan hutan menjadi areal

pertanian, padang rumput atau permukiman adalah contoh kegiatan yang sering

dijumpai pada wilayah yang sedang bertumbuh. Terjadi perubahan tataguna lahan

dan jenis vegetasi tersebut dalam skala besar dan bersifat permanen dapat

mempengaruhi besar kecil hasil air (Lokollo, 2000).

Siriwardena et al. (2006) melakukan penelitian tentang Dampak

Perubahan Lahan terhadap Kondisi hidrologi Daerah Aliran Sungai di DAS

Comet, Central Queensland, Australia dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh

hasil akhir air dari Daerah Aliran Sungai Sungai Comet akibat konversi hutan

23

menjadi padang rumput, menunjukan bahwa dampak pembukaan vegetasi hutan

dari luasan 83% menjadi 38% menyebabkan kenaikan limpasan sebesar 40%.

Kebanyakan persoalan sumberdaya air berkaitan dengan waktu dan

penyebaran aliran air. kekeringan dan banjir adalah dua contoh klasik yang

kontras tentang perilaku aliran air sebagai akibat perubahan kondisi tataguna

lahan dan faktor meteorologi, terutama curah hujan. Hasil penelitian jangka

panjang yang dilakukan di berbagai penjuru dunia menunjukan bahwa pengaruh

tataguna lahan dan aktivitas lain terhadap perilaku aliran air dapat terjadi dengan

cara (Hibbert, 1983; Bosch and Hewlett, 1982; dalam Asdak, 2007):

1) Penggantian atau konversi vegetasi dengan transpirasi atau intersepsi tahunan

tinggi menjadi vegetasi dengan transpirasi atau intersepsi rendah dapat

meningkatkan volume aliran air dan mempercepat waktu yang diperlukan

untuk mencapai debit puncak. Mekanisme peningkatan volume aliran air ini

terjadi ketika hujan turun, kelembaban tanah awal cenderung meningkat dan

karenanya daya tampung air dalam tanah menjadi berkurang.

2) Kegiatan yang bersifat memadatkan tanah seperti pengembalaan yang

intensif, pembuatan jalan dan bangunan lainnya, dan penebangan hutan.

Kegiatan-kegiatan tersebut dalam batas waktu tertentu dapat meningkatkan

volume dan waktu berlangsungnya air limpasan, dan dengan demikian

memperbesar debit puncak. Kegiatan yang bersifat memacu infiltrasi

diharapkan dapat memberikan pengaruh sebaliknya.

Berdasarkan karakteristik perubahan tataguna lahan di atas, maka dapat

dikatakan bahwa permasalahan yang paling serius yang berkaitan dengan

pembangunan adalah berubahnya laju dan kuantitas limpasan dalam mencapai

sungai, sehingga perencanaan dan manajemen penutupan lahan yang baik sangat

bergantung kepada akuratnya analisis dampak lingkungan hidrologi yang

diakibatkan oleh pembangunan.

Lisnawati (2006) melakukan penelitian dengan judul Analisis perubahan

penutupan lahan dan pengaruhnya terhadap debit sungai dan daya dukung lahan di

kawasan puncak Kabupaten Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah 1).

Menganalisis perubahan penutupan lahan, 2). Menganalisis keterkaitan perubahan

penutupan lahan terhadap selisih debit maksimum-minimum, 3). Menganalisis

24

besarnya daya dukung lahan di kawasan puncak Kabupaten Bogor; menunjukan

bahwa perubahan lahan dari kebun campuran mengarah kepada permukiman

sebesar 250,42 ha (15,44%). Hasil analisis regresi berganda menyimpulkan bahwa

hutan mampu menurunkan selisih debit maksimum-minimum sebesar 0,027

m3/detik jika luas hutan naik sebesar satu hektar.

Perubahan penutupan lahan merupakan perubahan penggunaan dari satu

sisi penggunaan ke penggunaan lainnya yang diikuti dengan berkurangnya tipe

penutupan lahan dari suatu waktu ke waktu berikutnya. Perubahan atau

perkembangan penutupan lahan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor alami

dan faktor manusia (Vink, 1975).

Ma et al. (2005) melakukan penelitian karakteristik sumberdaya air dan

dampaknya akibat aktivitas manusia di DAS Shiyang China dengan tujuan untuk

mengetahui sumberdaya air tanah dan geokimia air tanah akibat kegiatan manusia.

Hasil penelitian menunjukan bahwa aktivitas manusia selama 50 tahun terakhir,

telah menyebabkan perubahan luar biasa dari keberadaan air tanah. Proses

pengisian ulang air tanah telah berkurang 50%, akibatnya secara umum terjadi

penurunan sebesar 3-5 meter dengan penurunan maksimum 35 meter di beberapa

kota sehingga perubahan hidrologi ini telah mengakibatkan degradasi ekosistem

yang serius, sehingga disarankan bahwa teknologi irigasi modern dan peraturan

yang terkait dengan pengelolaan air dan alokasi sumberdaya dalam DAS sangat di

butuhkan untuk mencapai proses keberlanjutan sumberdaya air.

2.6. Indikator Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Secara umum pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan paling

sedikit harus memenuhi indikator lestari dan berkelanjutan dibawah ini (Rahmadi,

2002), yaitu:

1. Pengelolaan yang mampu mendukung produktifitas optimum bagi

kepentingan kehidupan (indikator ekonomi)

2. Pengelolaan yang mampu memberikan manfaat merata bagi kepentingan

kehidupan (sosial)

3. Pengelolaan yang mampu mempertahankan kondisi lingkungan untuk tidak

terdegradasi (indikator lingkungan)

25

4. Pengelolaan dengan menggunakan teknologi yang mampu dilaksanakan oleh

kondisi penghidupan setempat, sehingga menstimulir tumbuhnya sistem

institusi yang mendukung (indikator teknologi)

Pada pengelolaan DAS indikator paling memungkinkan adalah melihat

kondisi tata airnya. Yang dimaksud indikator kondisi tata air yang meliputi:

1. Indikator kuantitas air. Kondisi kuantitas air ini sangat berkaitan dengan

kondisi tutupan vegetasi lahan di DAS yang bersangkutan. Bila tutupan

vegetasi lahan DAS yang bersangkutan berkurang dapat dipastikan

perubahan kuntitas air akan terjadi. Sehingga setiap pelaksanaan kegiatan

yang bermaksud mengurangi tutupan lahan pada suatu tempat maka harus

diiringi dengan usaha konservasi. Indikator ini dapat dilihat dari besarnya air

limpasan permukaan maupun debit air sungai.

2. Indikator kualitas air. Kondisi kualitas air disamping dipengaruhi oleh

tutupan vegetasi lahan seperti pada kondisi kuantitas, tetapi juga dipengaruhi

oleh buangan domestik, buangan industri, pengolahan lahan, pola tanam, dan

lain-lain. Dengan demikian bila sistem pengelolaan limbah, pengolahan

lahan, dan pola tanam dapat dengan mudah diketahui kejanggalannya dengan

melihat indikator kualitas air. Kualitas air ini dapat dilihat dari kondisi

kualitas air limpasan, air sungai ataupun air sumur.

3. Indikator perbandingan debit maksimum dan minimum. Yang dimaksud

disini adalah perbandingan antara debit puncak maksimum dengan debit

puncak minimum sungai utama (di titik outlet DAS). Indikator ini

mengisyaratkan kemampuan lahan untuk menyimpan. Bila kemampuan

menyimpan air dari suatu daerah masih bagus maka fluktuasi debit air pada

musim hujan dan kemarau adalah kecil. Kemampuan menyimpan air ini

sangat bergantung pada kondisi permukaan lahan seperti kondisi vegetasi,

tanah, dan lain-lain.

4. Indikator muka air tanah. Indikator ini dapat dilihat dari ketinggian muka air

tanah di suatu lahan. Indikator muka air tanah ini mengisyaratkan besarnya

air masukan ke dalam tanah dikurangi dengan pemanfaatan air tanah. Yang

mempengaruhi besarnya air masuk kedalam tanah adalah vegetasi,

kelerengan, kondisi tanahnya sendiri, dan lain-lain. Ketinggian muka air

26

tanah ini dapat dilihat dari ketinggian muka air tanah dalam (aquifer) ataupun

ketinggian air tanah dangkal (non-aquifer).

5. Indikator curah hujan. Besarnya curah hujan suatu tempat sangat dipengaruhi

oleh kondisi klimatologi daerah sekitarnya, sedangkan kondisi klimatologi ini

diperanguhi perubahan tutupan lahan, ataupun aktifitas lainnya. Sehingga bila

terjadi perubahan secara besar pada tutupan lahan maka akan mempengaruhi

klimatologi dan juga curah hujan yang terjadi.

Indikator tata air yang dapat dengan mudah dilihat dengan pengamatan

masyarakat umum diharapkan menjadi kontrol pelaksanaan pembangunan yang

dilakukan dengan lebih terbuka. Sebagai gambaran bahwa suatu Daerah Aliran

Sungai dikatakan masih baik apabila:

1. Memberikan produksi tinggi bagi keperluan kehidupan dalam DAS yang

bersangkutan

2. Menjamin kelestarian DAS, dimana erosi yang terjadi dibawah erosi yang

dapat ditoleransi

3. Terdapat kelenturan, dimana bila terjadi gangguan pada salah satu bagian,

maka bagian lain mampu memberikan supply/bantuan.

4. Bersifat pemerataan, dimana setiap stakeholder yang ada di dalam DAS

mampu berperan sesuai dengan kemampuan yang dipunyai dan mendapatkan

imbalan yang sesuai

Sedangkan dari aspek biofisik, suatu DAS dikatakan baik apabila:

1. Debit sungai konstan dari tahun ke tahun

2. Kualitas air baik dari tahun ke tahun

3. Fluktuasi antara debit maksimum dan minimum kecil

4. Ketinggian muka air tanah konstan dari tahun ke tahun

5. Kondisi curah hujan tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu tertentu

27

2.7. Soil and Water Assessment Tool (SWAT)

Analisis hidrologi dapat dilakukan dengan menggunakan software SWAT

yang pertama kali dikembangkan oleh DR. Jeff Arnold pada awal tahun 1990-an

untuk Agricultural Research Service (ARS) dari USDA. Menurut Neitsche et al

(2005), SWAT merupakan hasil gabungan dari beberapa model yaitu Simulator

for Water Resources in Rural Basin (SWWRRB); Chemical, Runoff, and Erosion

from Agricultural Management Sistem (CREAMS); Groundwater Loading effects

on Agricultural Management Sistem (GREAMS); dan Erosion Productivity

Impact Calculator (EPIC).

Software SWAT pertama kali digunakan di Amerika Serikat yang

kemudian meluas ke Eropa, Afrika, dan Asia. Software SWAT dikembangkan

untuk mengetahui pengaruh dari manajemen lahan terhadap siklus hidrologi,

sedimen yang ditimbulkan dan daur ulang bahan kimia pertanian yang diperoleh

berdasarkan data pada jangka waktu tertentu. Software SWAT akan diaplikasikan

sebagai tools tambahan pada menu bar plug-in Map Window-46SR. Map Window

46SR adalah open source software berbasis GIS yang memungkinkan para

penggunanya untuk menambahkan sendiri program atau tool baru. Dengan

demikian, SWAT dapat diintegrasikan dengan MapWindow (MapWindow

SWAT/MWSWAT) tanpa perlu membeli sistem berbasis GIS lainnya secara

lengkap.

SWAT merupakan model hidrologi berbasis fisika (physically based) yang

membutuhkan informasi spesifik tentang iklim, sifat-sifat tanah, topografi ,

vegetasi dan praktek pengelolaan lahan yang terjadi di dalam DAS. SWAT dapat

dimodelkan secara langsung proses-proses fisika yang terkait dengan pergerakan

air, sedimen, pertumbuhan tanaman, siklus unsur hara dan lain sebagainya (Neitch

et al., 2005). Proses-proses tersebut didasarkan pada konsep neraca air. Untuk

pemodelan, suatu DAS dibagi menjadi beberapa Sub DAS atau Sub Basin yang

didasarkan pada kesamaan penutupan lahan dan kesamaan lereng atau sifat lain

yang berpengaruh terhadap hidrologi.

Simulasi hidrologi suatu DAS dengan model SWAT dipisahkan kedalam

dua bagian utama yaitu fase lahan pada siklus hidrologi (Gambar 5) dan fase air

pada siklus hidrologi. Fase lahan mengendalikan jumlah air, sedimen, unsur hara

28

dan pestisida yang masuk ke dalam saluran utama pada setiap Sub DAS. Fase air

atau penelusuran siklus hidrologi.

Gambar 5. Representasi lahan pada siklus hidrologi (Neitsch et al. 2010)

SWAT terus mengalami perkembangan sejak awal diciptakan. Hingga

kini, SWAT telah dicoba dikembangkan untuk daerah tropis yang pada dasarnya

memiliki ketersediaan data yang berbeda dengan daerah sub tropis dimana model

ini diciptakan. Pengembangan sangat didukung oleh perkembangan teknologi.

Pada awalnya, SWAT untuk dikembangkan oleh Windows (Visual Basic),

GRASS, Arcview, ArcGIS dan terakhir dikembangkan dalam Map Windows,

suatu interface untuk SWAT yang dapat diakses bebas oleh pengguna.

SWAT telah mengalami validasi yang luas. Kalibrasi dan validasi output

SWAT oleh Reungsang et al. (2005) dengan membandingkan aliran hasil model

dan aliran NO3-N dalam sungai menghasilkan nilai R2 sebesar 0.73. Kalibrasi

aliran permukaan bulanan yang dilakukan oleh Schuol dan Abbaspour (2006)

menggunakan teknik Nash-Sutcliffe menghasilkan nilai efesiensi sebesar 0.82.

Analisis sensitivitas model yang dilakukan Reungsang et al. (2005) menunjukan

bahwa model sangat peka terhadap variasi curah hujan, CN, Soil Available water

capacity, dan koefesien evaporasi tanah.

29

Siklus hidrologi disimulasikan dalam SWAT berdasarkan pada persamaan

water balance. Persamaannya adalah :

Keterangan :

SWt = kandungan akhir air tanah (mmH2O)

SW0 = kandungan air tanah awal pada hari ke-i (mmH2O)

Rday = Jumlah presipitasi pada hari ke-i (mmH2O)

QSurf = Jumlah surface runoff pada hari ke-i (mmH2O)

Ea = Jumlah evapotranspirasi pada hari ke-i (mmH2O)

Wseep = Jumlah air yang memasuki vadose zone pada profil tanah pada

hari ke- I (mmH2O)

Qgw = Jumlah air yang kembali pada hari ke-i (mmH2O)

Data masukan model untuk setiap HRUs (Hydrologic Respon Unit/HRU)

Sub DAS dikelompokan ke dalam beberapa kategori yaitu iklim, unit respon

hidrologi, genangan/daerah basah, air bawah tanah dan saluran utama yang

mendrainase Sub DAS. HRU merupakan kelompok lahan dalam Sub DAS yang

memiliki kombinasi tanaman penutup, tanah dan pengolahan yang unik. Data

yang dibutuhkan dalam model ini merupakan data harian.

Data iklim menyediakan masukan air dan energi yang berpengaruh

terhadap keseimbangan air. Input energi berupa iklim penting dalam melakukan

simulasi dalam SWAT untuk menghasilkan perhitungan water balance yang

akurat (Neitsch et al., 2005). Paramater iklim yang digunakan dalam SWAT

berupa hujan harian, temperatur udara maksimum dan minimum, radiasi matahari,

kecepatan angin, serta kelembaban nisbi. Keunggulan dari SWAT adalah data

iklim yang sulit untuk disediakan secara harian dapat dibangkitkan dengan

menggunakan input file weather generator (.wgn).

2.8. Konsep Pembanguan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan merupakan antidisertasi terhadap model

pembangunan yang berorientasi ekonomi. Pembangunan yang berorientasi

ekonomi semata dinilai gagal menyelesaikan agenda pembangunan yaitu

kemiskinan dan kerusakan lingkungan (Salim, 2005). Konsep pembangunan

30

berkelanjutan mengeksplorasi kaitan antara pembangunan ekonomi, kualitas

lingkungan dan keadilan sosial (Rogers et al. 2007).

Konsep ini berawal dari pertemuan konfrensi internasional lingkungan

hidup di Stockholm, Swedia tahun 1972. Konfrensi ini pertama kali dalam sejarah

yang di gagas oleh PBB. Sepuluh tahun kemudian PBB kembali menggelar

konperensi tentang lingkungan hidup pada tahun 1982 di Nairobi, Kenya. Usul

yang dihasilkan dari pertemuan lingkungan di Nairobi ini dibawa kesidang umum

PBB tahun 1983, dan oleh PBB dibentuk WCED (World Comission on

Environment and Development) yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland.

Komisi ini menghasilkan dokumen "Our Common Future" pada tahun 1987, yang

memuat analisis dan saran bagi proses pembangunan berkelanjutan. Dalam

dokumen itu diperkenalkan suatu konsep baru yang disebut suatu konsep

pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa

kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi

kebutuhan mereka sendiri. Beberapa pengertian tentang pembangunan

disampaikan oleh ilmuwan sebagai berikut.

1. Pembangunan berkelanjutan ialah sebuah pendekatan yang mempertemukan

perbaikan kualitas hidup yang terus menerus dengan pemanfaatan sumberdaya

alam yang efektif, sehingga generasi yang akan datang dapat mewarisi

sumberdaya tersebut untuk kehidupannya;

2. Pembangunan berkelanjutan ialah upaya untuk memelihara proses ekologi dan

sistem penopang hidup, melindungi keanekaragaman genetik, dan

pemanfaatan spesies serta ekosistem secara berkelanjutan (WWF 1987 dalam

oleh Rogers et al., 2007).

3. Pembangunan berkelanjutan mencakup proses dan perubahan yang mendalam

dalam aspek politik, sosial, ekonomi, kelembagaan, teknologi termasuk juga

mendeskripsikan ulang hubungan antara negara berkembang dengan negara

maju (Maurice 1992 dalam Rogers et al. 2007).

4. Pembangunan berkelanjutan berarti mendasarkan kebijakan pembangunan dan

lingkungan pada perbandingan biaya dan manfaat dan analisis ekonomi yang

cermat yang akan memperkuat perlindungan lingkungan dan menyebabkan

31

naiknya tingkat kesejahteraan secara berkelanjutan (World Bank 1992 dalam

oleh Rogers et al. 2007).

Rogers, Jalal dan Boyd (2007) menyatakan bahwa terdapat tiga pilar

utama dalam pembangunan berkelanjutan yaitu dimensi ekologi, dimensi sosial

dan dimensi ekonomi. Dimensi ekologi artinya optimalisasi manfaat ekologis

tidak harus mengabaikan aspek ekonomi dan sosial. Dimensi sosial maksudnya

tidak harus mengabaikan aspek ekonomi dan ekologis. Sedangkan dimensi

ekonomi artinya tidak mengabaikan dimensi ekologi dan sosial. Dengan demikian

ketiga pilar tersebut harus digerakkan secara simultan dalam perencanaan dan

implimentasi pembangunan. Selanjutnya Smith dan Jalal (2000) dalam Rogers

et al. (2007) menjelaskan kaitan antara pembangunan berkelanjutan, lingkungan

dan kemiskinan seperti pada Gambar 5.

Permasalahan lingkungan disumbang oleh dua kutub, yaitu (1) kemiskinan

yang berimplikasi pada kerusakan sumberdaya alam, dan (2) pembangunan yang

berimplikasi pada degradasi lingkungan serta deplesi sumberdaya alam. Strategi

atas permasalahan tersebut ialah dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan.

Pada kutub kemiskinan melalui pengurangan kemiskinan dengan beberapa

programnya. Sedangkan pada kutub pembangunan dilakukan integrasi antara

pembangunan dengan lingkungan hidup (Gambar 6).

Penjelasan tersebut sejalan dengan pengertian pembangunan berkelanjutan

dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup yaitu upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup,

sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan

lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup

generasi masa kini dan generasi masa depan.

Pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem

alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan

manfaat bagi kehidupan bagi umat manusia tidak rusak. Pembangunan

berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang

memberikan semacam ambang batas (limit) pada laju pemanfaatan ekosistem

alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidaklah

bersifat mutlak (absolute), tetapi merupakan batas yang luwes (flexible) yang

32

tergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan

sumberdaya alam serta kemampuan biosfir menerima dampak kegiatan manusia.

Beberapa peneliti menguraikan keberlanjutan lebih rinci lagi dalam lima

dimensi yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial, dimensi

kelembagaan dan dimensi teknologi (Fauzi dan Anna, 2005). Dimensi ekologi

ialah terkait menjaga daya dukung, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari

ekosistem menjadi perhatian utama. Dimensi sosial ekonomi ialah terkait

keberlanjutan kesejahteraan masyarakat dalam rangka keberlanjutan. Dimensi

kelembagaan ialah terkait kelembagaan yang mendorong keberlanjutan. Dimensi

sosial ialah terkait keberlanjutan sosial masyarakat.

SDA rusak

Pembangunan Berkelanjutan

Reduksi kemiskinan

1. Pemenuhan kebutuhan dasar

2. Kontrol demografi

3. Kontrol penggunaan common

property

4. Meningkatkan produktivitas

ReduksIntegrasi Pembangunan &

lingkungan

1. Amdal

2. Teknologi ramah lingkungan

3. Kontrol mitigasi

4. Energi terbarukan

Permasalahan

Lingkungan:

Pencemaran,

Degradasi Lahan,

Perubahan IklimSDA rusak

Kemiskinan Pembangunan

Gambar 6. Keterkaitan pembangunan berkelanjutan, lingkungan dan

kemiskinan

2.9. Sistem dan Pendekatan Sistem

2.9.1. Pengertian dan Tipe Sistem

Sistem adalah suatu gugus dari komponen yang saling terkait dan

terorganisasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan tertentu,

(Manetsch dan Park, 1979 dalam Eriyatno, 1997). Pengertian tersebut

memberikan penjelasan bahwa dalam sistem terdapat bagian-bagian yang saling

33

berinteraksi dalam upaya pencapaian tujuan. Oleh karena itu Marimin (2004)

mengatakan bahwa sistem merupakan gugus dari elemen-elemen yang saling

berinteraksi secara teratur dalam rangka mencapai tujuan atau subtujuan.

Menurut Hartrisari (2007) suatu sistem dapat terdiri atas beberapa

subsistem. Masing-masing susbsistem tersebut memiliki fungsi yang berbeda.

Namun secara keseluruhan dalam konsep sistem memiliki fungsi yang sama.

Artinya masing-masing fungsi dari subsistem tersebut saling mendukung untuk

berjalannya fungsi sistem secara keseluruhan.

Hartrisari (2007) menjelaskan bahwa sistem dapat digolongkan dalam dua

tipe yaitu, (1) sistem terbuka atau open sistem dan (2) sistem tertutup atau closed

sistem. Sistem terbuka ialah sistem yang outputnya merupakan tanggapan dari

input, namun tidak memberi umpan balik terhadap input. Sebaliknya sistem

tertutup, outputnya memberikan umpan balik terhadap input.

2.9.2. Pendekatan Sistem

Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang

menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis (Marimin, 2004).

Sedangkan Eriyatno (1998) menjelaskan bahwa pemikiran sistem selalu mencari

keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu

kerangka fikir baru yang terkenal sebagai pendekatan sistem (sistim approach).

Dengan demikian pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang

komprehensif dan berorientasi tujuan. Selanjutnya disampaikan bahwa

pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas

mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan

dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka

sistem.

Hartrisari (2007) menjelaskan pendekatan sistem merupakan pendekatan

yang tidak secara langsung mereduksi faktor yang berpengaruh tetapi lebih

bersifat menyeluruh. Pendekatan yang bersifat holistik lebih memfokuskan

keterkaitan antara faktor. Pendekatan sistem menggunakan model untuk

mempelajari perilaku sistem yang dikaji, yang digunakan sebagai dasar perbaikan

sistem. Sementara model adalah penyederhanaan sistem. Artinya karena sistem

merupakan sangat komplek, maka model dibuat untuk memudahkan memahami

34

gambaran sistem. Tujuan penyusunan model yaitu; (1) memahami proses yang

terjadi dalam suatu sistem; (2) membuat prediksi dan (3) menunjang pengambilan

keputusan, (Hartrisari, 2007). Eryatno (1999) menjelaskan bahwa untuk dapat

bekerja secara sempurnah suatu pendekatan sistem mempunyai delapan unsur

yang meliputi (1) metodelogi untuk perencanaan dan pengelolaan, (2) tim yang

multidisipliner, (3) pengorganisasian, (4) disiplin untuk bidang yang kuantitatif,

(5) teknik model matematik, (6) teknik simulasi, (7) teknik optimasi dan (8)

aplikasi komputer.

Keunggulan pendekatan sistem antara lain: (1) pendekatan sistem

diperlukan karena makin lama makin dirasakan interdependensinya dari berbagai

bagian dalam mencapai tujuan sistem, (2) sangat penting untuk menonjolkan

tujuan yang hendak dicapai, dan tidak terikat pada prosedur koordinasi atau

pengawasan dan pengendalian itu sendiri, (3) dalam banyak hal pendekatan

manajemen tradisional seringkali mengarahkan pandangan pada cara-cara

koordinasi dan kontrol yang tepat, seolah-olah inilah yang menjadi tujuan

manajemen, padahal tindakan-tindakan koordinasi dan kontrol ini hanyalah suatu

cara untuk mencapai tujuan, dan harus disesuaikan dengan lingkungan yang

dihadapi, (4) konsep sistem terutama berguna sebagai cara berfikir dalam suatu

kerangka analisis, yang dapat memberi pengertian yang lebih mendasar mengenai

perilaku dari suatu sistem dalam mencapai tujuannya (Marimin, 2007).

Menurut Marimin (2007) sifat dasar dari suatu sistem terdiri atas tujuh,

yaitu:

1. Pencapaian tujuan, prinsip ini memberikan sifat bahwa sistem merupakan

sesuatu yang dinamis dalam mencapai tujuan;

2. Kesatuan usahan, prinsip ini menjelaskan bahwa hasil keselurahan dari sistem

melebihi bagian-bagiannya atau disebut konsep sinergi;

3. Keterbukaan terhadap lingkungan, prinsip ini menjelaskan bahwa lingkungan

merupakan sumber potensi dan hambatan. Oleh karena itu pencapaian tujuan

suatu sistem relatif tidak mutlak. Sebaliknya dapat dilakukan dengan berbagai

cara sesusia dengan tantangan lingkungannya;

4. Transformasi, yaitu prinsip yang menjelaskan tentang proses perubahan input

menjadi output.

35

Menurut Hartrisari (2007), pendekatan sistem memiliki beberapa tahapan

yaitu; (1) analisis kebutuhan, bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan-

kebutuhan dari masing-masing stakeholders, (2) formulasi permasalahan,

mengkombinasikan dan mensinergiskan semua permasalahan yang merupakan

kebutuhan stakeholders dalam sistem, (3) identifkasi sistem, yaitu memahami

mekanisme yang terjadi dalam sistem mencakup faktor-faktor yang terkait di

dalamnya. Identifikasi sistem dapat dilakukan dengan diagram input-output atau

diagram lingkar sebab akibat, (4) simulasi pemodelan, yaitu tahap interaksi antara

analisis sistem dengan pembuatan keputusan yang menggunakan model dengan

mempertimbangkan berbagai variabel yang dimasukkan, (5) validasi dan

verifikasi.