18
41 IDENTIFIKASI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN DAYA TARIK WISATA DI KAWASAN EKOWISATA GUNUNG API PURBA NGLANGGERAN, KECAMATAN PATUK, KABUPATEN GUNUNGKIDUL Eko Sugiarto, S.S., M.Sc. Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo Surel: [email protected] Angesti Palupiningsih, S.Pd., M.Pd. Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo Surel: [email protected] ABSTRACT Lokal wisdoms which are exist in the society of ecotourism area of Gunung Api Purba Nglanggeran can improve its tourism attraction in this area. However, this potential attraction has not been executed maximally. Therefore, identification towards its local wisdoms which are exist in the society of ecotourism area of Gunung Api Purba Nglanggeran is important to be conducted. This research used qualitative method. This study is aiming at identifying the local wisdoms which can improve tourism attraction in the ecotourism area of Gunung Api Purba Nglanggeran. This research showed that there are some local wisdoms that were successfully identified such as sacred places or places which has its folklore, customary law, belief, rituals, and arts. Those various local wisdoms have its beauty, uniqueness, and appropriate meaning that can improve tourism attraction in the ecotourism area of Gunung Api Purba Nglanggeran. Key Word: Local Wisdom, Tourism Attraction PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu destinasi wisata di Indonesia yang memiliki beragam daya tarik. Selain alam, masyarakat Yogyakarta dan budaya (termasuk berbagai kearifan lokal) yang mereka miliki telah menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Perpaduan alam, masyarakat, dan budaya telah berhasil menyedot begitu banyak wisatawan untuk datang ke Yogyakarta. Salah satu destinasi wisata unggulan di Yogyakarta saat ini adalah Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran yang berada di Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul. Selain hawa yang sejuk, kawasan ekowisata ini menawarkan panorama alam dari ketinggian berupa hamparan persawahan, pepohanan yang hijau, hingga bebatuan besar yang menjulang tinggi. Satu hal unik yang tidak kalah menarik adalah berbagai kearifan lokal yang hidup dan diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat Desa Nglanggeran. Berbagai kearifan lokal yang dimiliki masyarakat di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran berpotensi dapat meningkatkan daya tarik wisata di destinasi wisata ini. Namun, kearifan lokal ini belum digarap secara maksimal dan sepengetahuan

IDENTIFIKASI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI UPAYA UNTUK

  • Upload
    others

  • View
    13

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: IDENTIFIKASI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI UPAYA UNTUK

41

IDENTIFIKASI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN DAYA TARIK WISATA DI KAWASAN EKOWISATA

GUNUNG API PURBA NGLANGGERAN, KECAMATAN PATUK, KABUPATEN GUNUNGKIDUL

Eko Sugiarto, S.S., M.Sc. Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo

Surel: [email protected]

Angesti Palupiningsih, S.Pd., M.Pd.Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo

Surel: [email protected]

ABSTRACT

Lokal wisdoms which are exist in the society of ecotourism area of Gunung Api Purba Nglanggeran can improve its tourism attraction in this area. However, this potential attraction has not been executed maximally. Therefore, identification towards its local wisdoms which are exist in the society of ecotourism area of Gunung Api Purba Nglanggeran is important to be conducted. This research used qualitative method. This study is aiming at identifying the local wisdoms which can improve tourism attraction in the ecotourism area of Gunung Api Purba Nglanggeran. This research showed that there are some local wisdoms that were successfully identified such as sacred places or places which has its folklore, customary law, belief, rituals, and arts. Those various local wisdoms have its beauty, uniqueness, and appropriate meaning that can improve tourism attraction in the ecotourism area of Gunung Api Purba Nglanggeran.Key Word: Local Wisdom, Tourism Attraction

PENDAHULUAN1. Latar Belakang Masalah

Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu destinasi wisata di Indonesia yang memiliki beragam daya tarik. Selain alam, masyarakat Yogyakarta dan budaya (termasuk berbagai kearifan lokal) yang mereka miliki telah menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Perpaduan alam, masyarakat, dan budaya telah berhasil menyedot begitu banyak wisatawan untuk datang ke Yogyakarta.

Salah satu destinasi wisata unggulan di Yogyakarta saat ini adalah Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran yang berada di Kecamatan Patuk,

Kabupaten Gunungkidul. Selain hawa yang sejuk, kawasan ekowisata ini menawarkan panorama alam dari ketinggian berupa hamparan persawahan, pepohanan yang hijau, hingga bebatuan besar yang menjulang tinggi. Satu hal unik yang tidak kalah menarik adalah berbagai kearifan lokal yang hidup dan diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat Desa Nglanggeran.

Berbagai kearifan lokal yang dimiliki masyarakat di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran berpotensi dapat meningkatkan daya tarik wisata di destinasi wisata ini. Namun, kearifan lokal ini belum digarap secara maksimal dan sepengetahuan

Page 2: IDENTIFIKASI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI UPAYA UNTUK

42 JURNAL Kepariwisataan Volume 13 Nomor 2 Mei 2019 : 41 - 58

peneliti, penelitian tentang kearifan lokal di kawasan ini belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Oleh karena itu, peneliti menganggap identifikasi terhadap kearifan lokal di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran melalui sebuah penelitian perlu dilakukan.

2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang masalah

tersebut, rumusan masalah penelitian ini adalah “Apa saja kearifan lokal yang dimiliki masyarakat di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran yang dapat meningkatkan daya tarik wisata di kawasan ini?”

TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsep Kearifan Lokal Kearifan lokal merupakan padanan dari

kata “local wisdom”dalam bahasa Inggris. Echols dan Shadily (2007) menerjemahkan kata “local” ke dalam bahasa Indonesia menjadi (1) setempat; (2) lokal, sedangkan kata “wisdom” antara lain diterjemahkan menjadi (1) kebijaksanaan; (2) kearifan.

Keraf (2010) selalu menggunakan istilah“kearifan tradisonal” yang merujuk kepada semua bentuk, keyakinan, pemahaman atau wawasan, serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Menurut Keraf, kearifan tradisional bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman, dan adat kebiasaan tentang manusia, alam, dan bagaimana relasi di antara semua penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun. Seluruh kearifan tradisional ini dihayati, dipraktikkan, diajarkan, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang

sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap manusia maupun terhadap alam dan “yang ghaib”.

Dari paparan di atas dapat dirumuskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, pemahaman, dan adat kebiasaan yang dihayati, dipraktikkan, diajarkan, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap manusia maupun terhadap alam dan “yang ghaib”.

Sirtha (dalam Sartini, 2004), menjelaskan bahwa bentuk kearifan lokal bermacam-macam. Bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa nilai (suatu anggapan yang oleh masyarakat dianggap baik), norma (standar-standar tingkah laku dalam masyarakat), kepercayaan (sesuatu yang diyakini keberadaannya), sanksi (tindakan yang diberikan kepada seseorang yang melanggar peraturan), dan aturan-aturan khusus (aturan yang dibuat untuk kepentingan tertentu).

Bentuk-bentuk kearifan lokal menurut Haryanto (2014) dapat berupa budaya (nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus). Kearifan lokal juga diungkapkan dalam bentuk falsafah (nasihat, pepatah, pantun, syair, folklore/cerita lisan), sistem sosial (norma dan aturan sosial), upacara tradisi, dan kebiasaan. Ahli yang menyebutkan bentuk kearifan lokal lainnya adalah Sutarso (2012) yang menyatakan bahwa kearifan lokal dapat berwujud benda-benda nyata.

Dari paparan para ahli di atas, secara umum bentuk kearifan lokal dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kearifan lokal yang dapat diraba (tangible) dan kearifan lokal yang tidak dapat diraba atau “takbenda” (intangible).

Kearifan lokal yang dihayati, dipraktikkan, diajarkan, dan diwariskan dari generasi ke generasi bisa menjadi bagian

Page 3: IDENTIFIKASI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI UPAYA UNTUK

43Eko Sugiarto, S.S., M.Sc. ; Angesti Palupiningsih, S.Pd., M.Pd. : Identifikasi Kearifan Lokal sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Tarik Wisata di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul

dari wisata warisan (heritage tourism). Heritage tourism merupakan salah satu daya tarik yang kini mengemuka dan diminati wisatawan. Kegiatan kepariwisataan di kawasan heritage atau yang berkaitan dengan heritage semakin populer setelah dilakukan upaya mempromosikan fenomena dan objek masa lalu yang unik dan unggul (Baiquni, 2018).

2. Konsep Daya Tarik WisataDaya tarik wisata adalah suatu objek

ciptaan Tuhan maupun hasil karya manusia yang menarik minat orang untuk berkunjung dan menikmati keberadaannya (Axioma, 2006). Daya tarik wisata juga didefinisikan sebagai segala sesuatu yang memicu seseorang dan/atau sekelompok orang mengunjungi suatu tempat karena sesuatu itu memiliki makna tertentu (Warpani dan Warpani, 2007).

Dalam UU 10/2009 disebutkan bahwa daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Definisi ini dengan jelas menunjukkan bahwa daya tarik wisata antara lain terkait erat dengan unsur keunikan dan keindahan.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa daya tarik wisata adalah segala sesuatu baik berupa ciptaan Tuhan maupun hasil karya manusia yang memiliki keunikan, keindahan, dan makna tertentu sehingga menarik minat orang untuk berkunjung dan menikmati keberadaannya. Dengan demikian, suatu objek dikatakan memiliki daya tarik wisata jika kriteria keunikan, keindahan, atau makna tertentu dimiliki oleh objek tersebut.

Suatu objek bisa jadi tidak memiliki keunikan dan keindahan, tetapi jika objek tersebut memiliki makna tertentu tetap saja

akan menarik bagi wisatawan. Makna ini bisa dikaitkan dengan aspek intangible (“takbenda”, tak dapat diraba) yang melekat pada objek tersebut.

Daya tarik wisata memiliki cakupan yang sangat luas. Hampir semua yang memiliki kriteria keunikan, keindahan, dan makna tertentu bisa menjadi sebuah daya tarik wisata. Meskipun demikian, secara umum daya tarik wisata dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu segala sesuatu yang berasal dari alam, segala sesuatu yang bersumber dari budaya, dan segala sesuatu hasil buatan manusia (Prasiasa, 2011).

3. Kerangka PenelitianKearifan lokal yang dimiliki masyarakat

di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran berpotensi dapat meningkatkan daya tarik wisata di destinasi wisata ini. Akan tetapi, kearifan lokal di kawasan ini belum digarap secara maksimal dan sepengetahuan peneliti, penelitian tentang kearifan lokal di kawasan ini belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Oleh karena itu, peneliti menganggap identifikasi terhadap kearifan lokal di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran melalui sebuah penelitian perlu dilakukan.

Tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi kearifan lokal yang dapat meningkatkan daya tarik wisata di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif dipilih karena tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi kearifan lokal yang potensial untuk dikemas sebagai daya tarik wisata di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran.

Ada dua jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari observasi dan informan di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran

Page 4: IDENTIFIKASI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI UPAYA UNTUK

44 JURNAL Kepariwisataan Volume 13 Nomor 2 Mei 2019 : 41 - 58

(para pemangku kepentingan), wisatawan, dan masyarakat setempat. Data sekunder diperoleh dari berbagai literatur dan hasil penelitian yang terkait dengan Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Adapun hasil yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah teridentifikasinya berbagai kearifan lokal di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran yang diharapkan bisa djadikan sebagai modal untuk meningkatkan daya tarik wisata di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Agar lebih mudah dipahami, kerangka penelitian ini disajikan dalam bentuk gambar berikut.

METODE PENELITIANPenelitian ini menggunakan metode

kualitatif. Metode kualitatif dipilih karena tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi kearifan lokal yang potensial untuk dikemas sebagai daya tarik wisata di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran.

Menurut Creswell (dalam Emzir, 2012), salah satu alasan mengapa seseorang melakukan penelitian kualitatif adalah karena topik yang diteliti perlu dieksplorasi.

Metode penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian naturalistik karena penelitian dilakukan terhadap objek dalam kondisi yang alamiah atau apa adanya. Dengan demikian, kondisi pada saat peneliti memasuki objek, selama berada di objek, dan setelah keluar dari objek, kondisi objek yang diteliti relatif tidak berubah (Sugiyono, 2013).

Ada dua jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah informasi yang diperoleh dari sumber-sumber primer, yakni informasi dari tangan pertama atau narasumber. Data sekunder adalah informasi yang diperoleh tidak secara langsung dari narasumber, tetapi dari pihak ketiga (Wardiyanta, 2010).

Gambar 1 Kerangka Penelitian

Page 5: IDENTIFIKASI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI UPAYA UNTUK

45Eko Sugiarto, S.S., M.Sc. ; Angesti Palupiningsih, S.Pd., M.Pd. : Identifikasi Kearifan Lokal sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Tarik Wisata di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul

Data primer diperoleh dari observasi dan informan di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran (para pemangku kepentingan), wisatawan, dan masyarakat setempat. Data sekunder diperoleh dari berbagai literatur dan hasil penelitian yang terkait dengan Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran terletak di Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul. Secara administratif Desa Nglanggeran berbatasan dengan Desa Ngoro-Oro di sebelah utara, Desa Nglegi di sebelah timur, Desa Putat di sebelah selatan, dan Desa Salam di sebelah barat. Wilayah Desa Nglanggeran terbagi menjadi lima dusun, lima RW (rukun warga), dan 23 RT (rukun tetangga). Kelima dusun yang ada di Desa

Nglanggeran adalah Dusun Karangsari, Dusun Doga, Dusun Nglanggeran Kulon, Dusun Nglanggeran Wetan, dan Dusun Gunungbutak. Pusat pemerintahan desa terletak di Dusun Doga.

Luas Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba adalah 48 hektar, sedangkan luas keseluruhan wilayah Desa Nglanggeran adalah 762,8 hektar. Dari 762,8 hektar, seluas 72,1 hektar berupa tanah persawahan, 351,2 hektar tanah kering, 288,7 hektar bangunan, dan 50,8 lain-lain (BPS Kabupaten Gunungkidul, 2017). Kepemilikan tanah di kawasan ini sebagian besar merupakan tanah milik Sultan atau Sultan Ground. Namun, pengelolaan tanah tersebut sepenuhnya diberikan kepada Pemerintah Desa Nglanggeran (Prasetyo, 2016). Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba termasuk ke dalam Kawasan Baturagung di bagian utara Kabupaten Gunungkidul dengan ketinggian antara

Sumber: BPS Kabupaten Gunungkidul, 2017 (Tanpa Skala)Gambar 2 Peta Batas Wilayah Desa Nglanggeran

Page 6: IDENTIFIKASI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI UPAYA UNTUK

46 JURNAL Kepariwisataan Volume 13 Nomor 2 Mei 2019 : 41 - 58

200-700 meter dari permukaan laut (mdpl) dengan suhu udara rata-rata 23˚Celsius--27˚Celsius.

Di kalangan peneliti geologi, Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran dahulu disebut dengan istilah ‘Nglanggran Beds’. Menururt Bronto (2016), nama ‘Nglanggran Beds’ pertama kali diperkenalkan oleh Bothe pada tahun 1929 dalam sebuah buku panduan ekskursi. Bothe mendapat tugas menyusun buku panduan itu untuk digunakan para peserta Kongres Ilmiah Pasifik IV di Bandung dalam acara kunjungan lapangan ke Pegunungan Selatan, Yogyakarta--Jawa Tengah. Sejak saat itu kata ‘Nglanggran Beds’ terus diacu oleh para peneliti berikutnya, misalnya oleh van Bemmelen pada tahun 1949. Selanjutnya, pada “Peta Geologi Lembar Surakarta dan Giritontro”, nama itu diubah menjadi “Formasi Nglanggran”. Agar selaras dengan nama pemerintah desa setempat, saat ini para peneliti banyak yang lebih memilih untuk menggunakan kata ‘Nglanggeran’ daripada ‘Nglanggran’.

Berdasarkan salah satu versi cerita yang beredar di kalangan masyarakat setempat, nama Nglanggeran berasal dari kata “planggaran” yang mempunyai makna ‘barang siapa yang melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum (nerak angger-angger) akan terungkap dan terhukum dengan sendirinya’. Menurut salah seorang warga setempat, dahulu ada salah satu warga Dusun Nglanggeran Wetan mempunyai hajat khitanan putranya dan mengadakan pertunjukan wayang. Tiba-tiba datang seorang pemuda berbuat onar di tempat tersebut. Pemuda tersebut menantang pemuda Dusun Nglanggeran Wetan untuk berkelahi. Singkat cerita, pemuda tersebut akhirnya kalah. Kemudian dia melarikan diri ke Gunung Nglanggeran dan tidak pernah diketahui keberadaannya hingga saat ini. Sebagian warga percaya

bahwa pemuda tersebut hilang di Gunung Nglanggeran karena mendapat “hukuman” atas perbuatannya.

Versi lain menyebutkan bahwa Gunung Api Purba Nglanggeran merupakan puncak dari Gunung Merapi. Konon pada suatu malam Raden Hanoman yang berwujud seekor kera putih sedang bermain dan ingin mengambil bintang di langit dengan menggunakan puncak Gunung Merapi sebagai pijakan. Namun, Raden Hanoman tidak bisa mencapai langit sehingga puncak gunung tersebut dia tendang. Bongkahan batu puncak gunung tersebut kemudian ditangkap oleh Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong). Bongkahan batu puncak Gunung Merapi rencananya akan dibawa ke daerah selatan menggunakan kayu jarak. Namun, di tengah jalan kayu tersebut patah. Bongkahan batu tersebut jatuh sehingga menyusun tumpakan batu menyerupai gunung di daerah Nglanggeran sehingga disebut sebagai Gunung Nglanggeran.

Menurut Lilik Suhariyanto (27), warga setempat sekaligus pengurus Desa Wisata Nglanggeran, sebagian warga menyebut Gunung Api Purba Nglanggeran sebagai Gunung Wayang karena bentuk fisik dari gunung tersebut menyerupai alat-alat dalam pewayangan, misalnya blencong dan kelir. Batu-batu di Gunung Nglanggeran yang menyerupai bentuk alat-alat dalam pewayangan tersebut dinamakan sesuai bentuknya, seperti Gunung Blencong dan Gunung Kelir. Selain Gunung Wayang, Gunung Api Purba Nglanggeran juga dikenal sebagai Gunung Wahyu karena banyak orang yang setelah melakukan ritual dan meditasi di tempat ini keinginannya dapat terkabul. Sejak dahulu, Gunung Api Purba Nglanggeran digunakan sebagai sarana meditasi memperoleh “wahyu” dari Tuhan Yang Mahakuasa. Sampai saat ini banyak pengunjung yang datang ke Gunung

Page 7: IDENTIFIKASI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI UPAYA UNTUK

47Eko Sugiarto, S.S., M.Sc. ; Angesti Palupiningsih, S.Pd., M.Pd. : Identifikasi Kearifan Lokal sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Tarik Wisata di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul

Api Purba Nglanggeran untuk mencari “wahyu”. Umumnya mereka datang pada malam Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon.

Versi lain menyebutkan bahwa keberadaan Desa Nglanggeran bermula pada masa keturunan Ronggowarsito. Berdasarkan hasil penelusuran sementara Tim Penggali Sejarah Desa Nglanggeran sebagaimana dimuat di situs web Desa Nglanggeran (http://nglanggeran-patuk.desa.id), disebutkan bahwa ketika bangsa Indonesia masih dijajah oleh Belanda, banyak daerah yang melakukan perlawanan untuk membebaskan diri dari tekanan penjajah Belanda. Politik Belanda untuk memecah belah persatuan dan kesatuan sampai masuk di Kerajaan Mataram. Berbagai upaya dilakukan sehingga terjadi Perjanjian Giyanti yang membuat Kerajaan Mataram terbagi menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Salah satu tokoh yang melakukan perlawanan terhadap Belanda adalah putra Ronggowarsito yang bernama Manguntirto. Srategi yang dilakukan Manguntirto dalam melawan Belanda adalah dengan mengunakan topeng/cadar sehingga tidak dikenali oleh Belanda dan setiap kali membunuh beberapa tentara Belanda, dia lari ke celah-celah bebatuan yang besar (goa) yang jauh dari lokasi dia membunuh.

Persembunyian Manguntirto tidak pernah ditemukan oleh Belanda. Sampai pada kondisi tertentu Manguntirto merasa sudah cukup dalam bersembunyi dan tempat persembunyian ini dibuka menjadi suatu tempat yang dapat dijadikan perkampungan yang diberi nama “Pelanggeran”. Karena lokasi yang dijadikan perkampungan banyak orang yang datang dan menetap, keberadaan ini diketahui oleh pihak Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sehingga Manguntirto diangkat menjadi seorang bekel.

Seiring berjalannya waktu, Manguntirto tertarik pada seorang gadis dan dijadikan seorang istri. Dari pernikahannya dikaruniai seorang anak laki-laki yang bernama Sutodipo dan dua anak perempuan (nama belum diketahui). Tidak tahu kenapa istri Manguntirto menetap di daerah Nglegi bersama dua orang anak perempuannya. Manguntirto bersama anak laki-laki berada di Planggeran. Saat dewasa Sutodipo memiliki kelebihan dan menjadi Kepala Desa Planggeran yang sangat disegani. Pada masa pemerintahannya, nama Desa Pelanggeran diubah menjadi Desa Nglanggeran.

Sebelum memaparkan tentang bentuk kearifan lokal di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran, perlu disampaikan di sini bahwa Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran dalam penelitian ini mengacu kepada sebuah kawasan di sepanjang jalur pendakian Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran yang biasa dilalui wisatawan baik “Jalur Mudah” maupun “Jalur Sedang” serta puncak Gunung Api Purba Nglanggeran dan Joglo Kalisong (titik pemberangkatan).

Berdasarkan hasil observasi, wawancara, dan studi pustaka, peneliti berhasil mengidentifikasi bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran, yaitu di sepanjang jalur pendakian. Bentuk-bentuk kearifan lokal di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran yang teridentifikasi antara lain adalah sebagai berikut.

1. Mata Air KalisongDi area pintu masuk Kawasan Ekowisata

Gunung Api Purba Nglanggeran, tepatnya di bawah bebatuan yang cukup besar, terdapat sumber mata air yang dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk memenuhi kebutuhan

Page 8: IDENTIFIKASI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI UPAYA UNTUK

48 JURNAL Kepariwisataan Volume 13 Nomor 2 Mei 2019 : 41 - 58

sehari-hari. Di area ini juga terdapat pohon bibisan yang di bawahnya digunakan untuk tempat ritual sesaji dalam tradisi bersih desa yang diselenggarakan rutin setiap bulan Besar (Zulhijjah) dalam kalender Jawa, yaitu pada Minggu Legi atau Senin Legi.

Waktu pelaksanaan ritual di sekitar mata air Kalisong ini tidak boleh digeser keluar dari perhitungan yang sudah ditentukan oleh sesepuh warga setempat. Laporan Fariyasari (2012) menyebutkan bahwa ada satu cerita di kalangan warga setempat bahwa dahulu pernah ada salah satu warga yang hendak mengubah bulan pelaksanaan upacara tradisi tersebut menjadi selain bulan Besar (Zulhijjah) dan tidak menurut kalender Jawa. Warga tersebut hendak mengubah pelaksanaan upacara tersebut menjadi bulan Mulud (Rabiul Awal). Akan tetapi, tidak berapa lama warga yang hendak mengubah atau menggeser waktu pelaksanaan ritual tersebut mengalami kecelakaan dan mengakibatkan lumpuh. Hal ini diyakini sebagian warga sebagai peringatan dari roh-roh yang bersemayam di sekitar mata air

Kalisong bahwa pelaksanaan ritual tersebut memang tidak boleh dipindah di luar bulan Besar pada Minggu Legi atau Senin Legi sehingga sampai sekarang tidak ada yang berani mengubah bulan pelaksanaan tradisi bersih desa di Nglanggeran.

Upacara tradisi bersih desa di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran, tepatnya di sumber mata air Kalisong selalu dilaksanakan pada Bulan Besar hari Minggu Legi atau Senin Legi antara tanggal 10 sampai 30 menurut kalender Jawa. Dengan demikian, jika tanggal tersebut jatuh pada hari Minggu Legi maka upacara kirab gunungan dilaksanakan pada hari Sabtu Kliwon, sedangkan jika jatuh pada hari Senin Legi maka kirab gunungan dilaksanakan pada hari Minggu Kliwon.

Sebagian warga meyakini bahwa di sekitar mata air Kalisong ada tempat yang didiami makhluk halus berwujud macan putih yang merupakan kesayangan Kyai Soyono, salah satu roh yang dipercaya sebagai “penunggu desa”. Perlu diketahui bahwa selain mempercayai keberadaan

Sumber: Diolah dari http://hildhanosaurus.blogspot.co.id (Tanpa Skala)

Gambar 3 Peta Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran

Page 9: IDENTIFIKASI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI UPAYA UNTUK

49Eko Sugiarto, S.S., M.Sc. ; Angesti Palupiningsih, S.Pd., M.Pd. : Identifikasi Kearifan Lokal sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Tarik Wisata di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul

Tuhan Yang Mahakuasa, sebagian warga Desa Nglanggeran juga masih percaya terhadap keberadaan dhanyang desa atau “roh-roh penunggu desa”. Mereka yang percaya terhadap keberadaan makhluk halus “penunggu desa” ini yakin bahwa roh-roh tersebut bersemayam di berbagai tempat di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran, salah satunya di sekitar mata air Kalisong.

Di sekitar mata air Kalisong terdapat bangunan joglo yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat setempat. Fungsi bangunan ini pada hari-hari biasa digunakan untuk istirahat wisatawan yang baru turun dari pendakian di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran sekaligus sebagai titik awal pendakian. Pada saat ada acara bersih desa, pendopo ini digunakan untuk menggelar pertunjukan kesenian ledekan/tayub.

2. Song GudelSong Gudel adalah batu besar yang

memiliki rongga di bawahnya dan bisa digunakan untuk berteduh. Berdasarkan cerita masyarakat setempat, dahulu lokasi ini pernah digunakan untuk “kandang” kerbau. Saat kerbau melahirkan, aroma amis darah tercium oleh seekor harimau. Harimau mendatangi “kandang” yang berupa goa (dalam bahasa Jawa disebut song) di bawah batu tersebut kemudian memakan anak kerbau (dalam bahasa Jawa disebut gudel) tersebut. Dari peristiwa itu masyarakat setempat memberi nama tempat tersebut Song Gudel.

3. Lorong SumpitanLorong Sumpitan adalah sebuah lorong

sempit yang berada di jalur pendakian berupa jalan setapak menanjak dengan lebar lebih kurang 75 sentimeter dan diapit oleh dua batu sangat besar sepanjang lebih kurang 50 meter. Lorong Sumpitan hanya bisa dilalui oleh satu orang sehingga

untuk melalui lorong ini harus antre. Jika ada wisatawan yang naik dan turun dalam waktu bersamaan di lokasi ini, salah satu harus mengalah dengan cara menunggu giliran di salah satu ujung lorong agar tidak berpapasan di tengah lorong yang menyebabkan kemacetan karena dipastikan tidak akan bisa berbagi ruang untuk berpapasan. Setelah melalui Lorong Sumpitan, pendaki akan mencapai Gardu Pandang 1 yang berupa dataran terbuka di atas batuan yang juga merupakan puncak Gunung Bagong.

Sekadar catatan, menurut Lilik Suhariyanto, salah seorang pengelola, dahulu Lorong Sumpitan sebenarnya adalah salah satu lokasi sakral di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran sehingga tidak boleh dilalui karena merupakan “ruang imajiner” yang menghubungkan Gunung Merapi dan Laut Selatan. Warga setempat menyebut Lorong Sumpitan sebagai “Pemean Gadhung” karena di tempat ini dipercaya tumbuh batang tanaman gadhung yang ujungnya sampai di puncak Gunung Merapi. Dahulu tempat ini juga menjadi sarang monyet, kelelawar, dan ular. Lorong Sumpitan akhirnya dibuka dan boleh dilalui wisatawan karena pada kurun waktu 2012--2014 pengunjung Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran sangat padat sehingga diperlukan tambahan jalur pendakian. Hal ini tentu dilakukan setelah sebelumnya oleh pengelola dipastikan bahwa Lorong Sumpitan aman dilalui pengunjung.

4. Gunung BagongGunung Bagong berupa gunung yang

menjulang ke arah selatan dan terletak di deretan paling barat dengan permukaan yang datar dan cukup luas. Gunung ini dinamakan Gunung Bagong karena relief batuan dari gunung ini menyerupai salah

Page 10: IDENTIFIKASI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI UPAYA UNTUK

50 JURNAL Kepariwisataan Volume 13 Nomor 2 Mei 2019 : 41 - 58

satu tokoh Punakawan dalam pewayangan, yaitu Bagong.

Gunung Bagong merupakan tempat perhentian atau peristirahatan pertama bagi pendaki (Gardu Pandang 1). Puncak Gunung Bagong menawarkan daya tarik arah barat Nglanggeran berupa pemandangan terasering persawahan yang ada di lereng Bukit Ngoro-Oro. Pemandangan sebagian kota Yogyakarta dan Wonosari dari ketinggian adalah daya tarik lain yang bisa dinikmati dari puncak Gunung Bagong. Pada sore hari, dari puncak Gunung Bagong ini pendaki bisa menikmati panorama ketika matahari terbenam (sunset). Puncak Gunung Bagong juga dikenal dengan nama Tlatar Ombo.

Dari Gardu Pandang 1, pengunjung bisa memilih salah satu dari 2 jalur. Bagi pengunjung yang fisiknya masih kuat, bisa berbelok ke arah kanan masuk ke Lorong Sumpitan 2 dengan medan yang relatif terjal hingga mencapai Sumber Mata Air Comberan. Tidak begitu jauh dari Sumber Mata Air Comberan terdapat Gardu Pandang 4. Bagi pengunjung yang merasa fisiknya tidak begitu kuat, bisa berbelok ke arah kiri dengan medan yang relatif cukup datar dan akan sampai di Gardu Pandang 2. Dari Gardu Pandang 2 ini pengunjung yang merasa tidak kuat melanjutkan pendakian dan memutuskan untuk turun bisa langsung mengikuti jalur turun, tetapi bagi pengunjung yang akan melanjutkan pendakian bisa menyusuri jalur pendakian menuju Gardu Pandang 3 dan dilanjutkan sampai ke Gardu Pandang 4. Sekadar catatan, lokasi Gardu Pandang 3 berada di antara Gardu Pandang 2 dan Gardu Pandang 4 dan tidak melalui Lorong Sumpitan 2.

5. Sumber Mata Air ComberanAda sebuah mata air yang tidak pernah

mengalami kekeringan di Puncak Gunung Api Purba. Mata air ini oleh warga sekitar

dinamakan Sumber Mata Air Comberan dan ada pula yang menyebut Sendang Comberan. Tidak jauh dari Sumber Mata Air Comberan terdapat Gardu Pandang 4.

Sebagian masyarakat setempat percaya bahwa Gunung Api Purba Nglanggeran memiliki mata air di puncaknya yang disebut sebagai Tlogo Wungu. Telaga ini tidak dapat terlihat secara kasat mata dan hanya orang tertentu yang bisa melihatnya, yaitu orang yang sudah terbuka indra keenamnya. Air yang terlihat hanya air limbah (sendang) yang dikenal dengan nama Sumber Mata Air Comberan. Konon air di sendang ini merupakan limbah buangan air sisa mandi para bidadari di Tlogo Wungu. Perlu diketahui bahwa sebagian masyarakat percaya bahwa Tlogo Wungu digunakan oleh para bidadari yang turun dari kayangan (langit) untuk membersihkan diri (mandi). Konon, di telaga ini gayungnya terbuat dari emas (canting kencono) dan tempat menampung airnya juga terbuat dari emas (bokor kencono). Jalan menuju pemandiannya juga berupa undak-undakan bertahtakan emas.

Dahulu konon Sumber Mata Air Comberan tidak pernah mengalami kekeringan walaupun pada musim kemarau. Saat ini, kondisinya sudah berbeda. Seperti halnya di tempat lain, pada musim kemarau Sumber Mata Air Comberan juga sangat minim air. Hal ini merupakan salah satu dampak gempa di Bantul tahun 2006 yang bentangan retakan lempeng gempa berupa garis lurus arah Klaten. Lokasi Nglanggeran berdekatan dengan retakan lempeng tersebut. Berdasarkan penuturan salah seorang pengelola, menurut ahli Geologi pergeseran tanah akibat gempa tersebut menutup sebagian jalan keluarnya air di Sumber Mata Air Comberan.

Di area Sumber Mata Air Comberan terdapat tempat semedi atau pertapaan untuk mendapatkan anugerah dari Sang

Page 11: IDENTIFIKASI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI UPAYA UNTUK

51Eko Sugiarto, S.S., M.Sc. ; Angesti Palupiningsih, S.Pd., M.Pd. : Identifikasi Kearifan Lokal sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Tarik Wisata di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul

Pencipta. Bagi mereka yang menyakini, ritual di tempat ini bisa memudahkan seseorang untuk mencapai keinginan atau cita-cita. Kegiatan ritual “prihatin” di tempat pertapaan ini biasa dilakukan pada hari-hari tertentu yang dinilai mempunyai nilai mistis. Di lokasi ini terdapat Tapak Syahadatain (R. Siswo Laksono) yang dipasang pada tahun 2008 tepatnya bulan Suro (Muharram) dalam kalender Jawa oleh sembilan orang. Sebelum memasang Tapak Syahadatain di area Sumber Mata Air Comberan, mereka terlebih dahulu melakukan ritual khusus selama tiga hari tiga malam.

Untuk mencapai area Sumber Mata Air Comberan harus melalui “tangga tataran” yang berada di celah bebatuan yang sangat besar. Berdasarkan informasi dari masyarakat setempat, “tangga tataran” ini dibuat pada zaman Jepang dan dahulu Sumber Mata Air Comberan pernah digunakan sebagai tempat persembunyian tentara Jepang. Oleh karena itu, ada sebagian orang yang menyebut tempat ini dengan istilah “Goa Jepang”.

Sumber Mata Air Comberan adalah salah satu area yang dianggap “suci” atau sakral oleh masyarakat setempat. Air di Sumber Mata Air Comberan diyakini dapat membuat awet muda jika digunakan untuk mencuci muka. Namun, ada larangan yang harus ditaati oleh pengunjung, khususnya perempuan. Bagi perempuan yang sedang dalam keadaan datang bulan atau menstruasi dilarang masuk ke area Sumber Mata Air Comberan.

6. Gunung GedeGunung ini merupakan gunung terbesar

di antara pegunungan lainnya di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Gunung Gede merupakan puncak tertinggi sebelah barat di Gunung Api Purba. Pemandangan yang luas akan terlihat dari puncak tertinggi ini karena posisi yang sangat strategis di tengah-tengah Gunung

Api Purba. Di sebelah barat Gunung Gede terdapat tanah lapang yang luas dan sering digunakan untuk berkemah oleh para pencinta alam.

Para pendaki sering menggunakan area ini sebagai tempat istirahat serta melihat panorama ketika matahari terbit (sunrise). Tempat ini juga menjadi tempat kegemaran para fotografer karena bisa mengabadikan keindahan bentang alam di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran dari berbagai sudut.

Puncak Gunung Api Purba Nglanggeran ini biasa juga disebut Kawah Gunung Api Purba. Penyebutan Kawah Gunung Api Purba muncul setelah ada penelitian dari para ahli geologi. Selain Kawah Gunung Api Purba, lokasi ini juga sering disebut dengan Gardu Pandang 5.

7. Gunung Kelir dan Gunung BlencongGunung Kelir berada di sebelah selatan

jalan masuk ke sumber air comberan. Gunung ini berupa batu menjulang ke atas dan dari samping terlihat datar dan lebar menyerupai kelir (layar berupa kain putih yang tipis dan kuat, berfungsi sebagai tempat memainkan wayang). Sebagian warga setempat meyakini bahwa gunung ini merupakan tempat tinggal Kyai Ongko Wijoyo dan Punakawan.

Selain Gunung Kelir, ada gunung yang bentuknya menyerupai blencong (alat penerangan yang berfungsi menghidupkan bayangan wayang pada kelir) sehingga warga setempat menamakan gunung ini dengan nama Gunung Blencong. Sebagian warga setempat juga meyakini gunung ini sebagai penerangan/lampu Kyai Ongko Wijoyo saat berkumpul dengan Punokawan.

Gunung Kelir dan Gunung Blencong termasuk lokasi yang tidak bisa diobservasi karena kedua gunung ini belum dibuka untuk tujuan wisata. Lokasi kedua gunung ini terpisah dari gunung yang lain sehingga

Page 12: IDENTIFIKASI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI UPAYA UNTUK

52 JURNAL Kepariwisataan Volume 13 Nomor 2 Mei 2019 : 41 - 58

sulit diakses pengunjung. Berdasarkan cerita salah seorang pengelola, di kedua gunung ini bahkan masih terdapat binatang buas, antara lain macan atau harimau. Karena pertimbangan medan yang sulit dijangkau dan faktor keselamatan pengunjung, kedua gunung ini belum dimasukkan ke dalam paket wisata pendakian Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran.

8. Goa Kaliwiyu dan Goa PutriPanjang Goa Kaliwiyu lebih kurang

300 meter dan tersusun dari bebatuan hasil letusan gunung berapi yang memiliki keunikan dan keindahan tersendiri. Tingkat kesulitan dalam penelusuran goa termasuk dalam kategori sedang dan susah. Sementara Goa Putri merupakan tempat yang dahulu diyakini sebagai pertapaan putri-putri keraton. Sekitar tahun 1980-an ditemukan dua buah arca yang sudah terpotong kepalanya. Arca tersebut sekarang di simpan salah satu rumah warga Nglanggeran. Sebagaimana Gunung Kelir dan Gunung Blencong, kedua goa ini juga belum dimasukkan ke dalam dalam paket wisata pendakian Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran.

9. Kampung PituMenurut Lilik Suhariyanto (27),

warga setempat sekaligus salah seorang pengelola Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran, saat ini sudah ada paket wisata ke Kampung Pitu (Kampung Tujuh). Paket wisata ini terpisah dari paket wisata pendakian ke Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran dan masih terbatas pada kegiatan berkemah (camping), mancakrida (outbond), dan kegiatan-kegiatan sejenis. Potensi daya tarik wisata budaya yang dimiliki Kampung Pitu belum digarap maksimal karena pengelola menganggap sumber daya manusia, khususnya warga Kampung Pitu, belum siap. Alasan lain adalah terkait dengan

lokasi Kampung Pitu yang terpisah jauh dari jalur pendakian dan medannya masih sulit dijangkau oleh kendaraan. Akses menuju Kampung Pitu belum bisa dijangkau oleh semua jenis kendaraan.

Berdasarkan cerita dari salah satu pengelola, asal mula kampung ini tidak terlepas dari cerita tentang keberadaan sebuah pohon kinah gadung wulung yang hidup di atas Gunung Nglanggeran sebelah timur. Pohon tersebut tergolong langka dan konon ada sebuah benda pusaka yang memiliki kekuatan besar berada di dalamnya. Singkat cerita, seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta mengetahui tentang keberadaan benda pusaka tersebut. Sang abdi dalem kemudian memerintahkan seseorang yang kuat untuk menjaga dan membersihkan lingkungan di sekitar pohon dan merawat benda pusaka yang ada di dalamnya. Bagi yang mampu melakukannya akan diberi tanah secukupnya untuk anak dan keturunannya.

Konon ketika itu banyak orang sakti yang datang dan ingin tinggal di daerah Tlogo. Salah orang tersebut adalah Eyang Irodikromo. Beliau mampu menjalankan perintah dari keraton. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian benda pusaka tersebut tidak diketahui keberadaannya. Ada versi dari sumber lain yang menceritakan bahwa sebenarnya pusaka tersebut disimpan oleh pihak Keraton Yogyakarta.

Seiring berjalannya waktu, banyak “orang sakti” yang ingin tinggal di tempat tersebut. Akan tetapi, selalu hanya tujuh orang mampu bertahan hidup, sementara yang lain meninggalkan tempat tersebut karena sesuatu bahkan ada juga yang meninggal dunia. Hal semacam itu konon terjadi karena mereka tidak kuat dengan energi supranatural yang dipancarkan oleh tempat tersebut sehingga sampai saat ini Kampung Pitu hanya dihuni oleh tujuh kepala keluarga. Ketika seorang anak dari

Page 13: IDENTIFIKASI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI UPAYA UNTUK

53Eko Sugiarto, S.S., M.Sc. ; Angesti Palupiningsih, S.Pd., M.Pd. : Identifikasi Kearifan Lokal sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Tarik Wisata di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul

sebuah keluarga menikah, dia harus keluar dari kawasan tersebut agar jumlah orang yang tinggal di tempat tersebut tetap tujuh kepala keluarga. Jika hal ini dilanggar, bisa dipastikan bahwa keluarga yang baru menikah tersebut tidak akan betah tinggal di sana karena sesuatu hal, misal sakit-sakitan atau kejadian aneh yang lain.

Kampung Pitu juga sering disebut dengan Tlogo Mardhido atau Tlogo Guyangan karena di tempat ini terdapat sebuah sumber mata air (belik) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat sekitar serta untuk irigasi. Menurut warga setempat, Togo Mardhido atau Tlogo Guyangan dahulu merupakan tempat untuk memandikan (guyangan) kuda sembrani yang digunakan para bidadari. Konon setiap kuda sembrani yang turun akan menginjakkan kaki di batu besar yang ada di samping mata air (belik).

Berdasarkan kearifan lokal yang telah teridentifikasi dan dipaparkan di atas, temuan tersebut kemudian dianalisis. Analisis ini dilakukan berdasarkan rumusan masalah penelitian, yaitu “Apa saja kearifan lokal yang dimiliki masyarakat di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran yang dapat meningkatkan daya tarik wisata di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran?”

Kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, pemahaman, dan adat kebiasaan yang dihayati, dipraktikkan, diajarkan, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap manusia maupun terhadap alam dan “yang ghaib”. Bentuk-bentuk kearifan lokal dapat berupa budaya (nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus). Kearifan lokal juga diungkapkan dalam bentuk falsafah (nasihat, pepatah, pantun, syair, folklore/cerita lisan), sistem sosial (norma

dan aturan sosial), upacara tradisi, dan kebiasaan. Bentuk kearifan lokal lainnya dapat berwujud benda-benda nyata. Dengan demikian, secara umum bentuk kearifan lokal dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kearifan lokal yang dapat diraba (tangible) dan kearifan lokal yang tidak dapat diraba atau “takbenda” (intangible). Dari pengelompokan bentuk-bentuk kearifan lokal ini, hasil penelitian pada sub-bab sebelumnya dapat dikelompokkan dalam tabel berikut.

Setelah hasil penelitian ini dikelompokkan dalam tabel di atas, dapat dilihat bahwa Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran memiliki kedua bentuk kearifan lokal, yaitu kearifan lokal yang dapat diraba (tangible) dan kearifan lokal yang tidak dapat diraba atau “takbenda” (intangible). Kearifan lokal yang dapat diraba (tangible) di kawasan tersebut hampir semuanya berupa benda-benda alam, kecuali Joglo Kalisong yang merupakan buatan manusia. Benda-benda tersebut memiliki cerita-cerita sendiri (folklore), dipercaya memiliki energi-energi tertentu, serta memiliki aturan sendiri dalam pemanfaatannya yang umumnya digunakan oleh masyarakat setempat untuk menjalankan ritual-ritual yang semua masuk dalam kategori kearifan lokal yang tidak dapat diraba atau “takbenda” (intangible).

Dalam tinjauan pustaka telah didefinisikan bahwa daya tarik wisata adalah segala sesuatu baik berupa ciptaan Tuhan maupun hasil karya manusia yang memiliki keunikan, keindahan, dan makna tertentu sehingga menarik minat orang untuk berkunjung dan menikmati keberadaannya. Dengan demikian, suatu objek dikatakan memiliki daya tarik wisata jika kriteria keunikan, keindahan, atau makna tertentu dimiliki oleh objek tersebut. Sebelum penelitian ini dilakukan, sudah banyak daya tarik yang ditawarkan oleh pengelola Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran, antara

Page 14: IDENTIFIKASI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI UPAYA UNTUK

54 JURNAL Kepariwisataan Volume 13 Nomor 2 Mei 2019 : 41 - 58

Tabel 1 Kearifan Lokal di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran

Dapat Diraba

(tangible)Benda-benda

Nyata

Mata Air KalisongPohon BibisanSumber Mata Air Comberan Tapak Syahadatain Joglo KalisongGunung BagongSong GudelLorong SumpitanGunung GedeGunung KelirGunung BlencongGoa KaliwiyuGoa PutriKampung PituTlogo MardidoTlogo Guyangan

Tak Dapat Diraba

(intangible)

Aturan/Hukum

Larangan Kampung Pitu dihuni oleh lebih dari tujuh kepala keluargaPerempuan haid dilarang masuk Sumber Mata Air ComberanLarangan mengubah waktu pelaksanaan ritual

Kepercayaan

Tlogo WunguPemean GadungRoh berwujud macan putihAir dari Sumber Mata Air Comberan membuat awet muda

Ritual Upacara adat bersih desa

FolkloreAsal usul nama-nama gunung Asal usul nama tempat tertentu dan cerita yag terkait dengannyaAsal mula nama Nglanggeran

Kesenian Kesenian Ledekan/TayubSumber: Hasil olah data lain sebagai berikut.

Tabel di atas menunjukkan beberapa daya tarik yang ada di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran dan selama ini sudah ditawarkan oleh pengelola kepada wisatawan. Setelah penelitian ini dilakukan, ternyata kawasan ini memiliki banyak kearifan lokal yang sudah diwariskan secara turun-temurun di masyarakat Desa Nglanggeran. Seperti halnya Bali, identifikasi terhadap kearifan lokal ini diharapkan mampu meningkatkan daya tarik wisata kawasan ini. Mengacu

pada definisi di atas, hal ini berarti bahwa kearifan lokal yang telah teridentifikasi pada penelitian ini berpotensi meningkatkan daya tarik wisata di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran.

Kearifan lokal berupa benda-benda nyata yang dapat diraba (tangible) yang antara lain berupa Mata Air Kalisong, pohon bibisan, Sumber Mata Air Comberan, Tapak Syahadatain, Joglo Kalisong, Gunung Bagong, Song Gudel, Lorong Sumpitan, Gunung Gede, Gunung Kelir, Gunung

Page 15: IDENTIFIKASI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI UPAYA UNTUK

55Eko Sugiarto, S.S., M.Sc. ; Angesti Palupiningsih, S.Pd., M.Pd. : Identifikasi Kearifan Lokal sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Tarik Wisata di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul

Blencong, Goa Kaliwiyu, Goa Putri, Kampung Pitu, Tlogo Mardido, dan Tlogo Guyangan sebenarnya sudah dijadikan sebagai daya tarik wisata yang ditawarkan oleh pengelola kepada wisatawan. Meskipun demikian, para pemandu setempat umumnya hanya sebagian yang betul-betul memahami asal-usul nama tempat dan berbagai cerita (folklore) terkait dengan tempat-tempat

tersebut. Bahkan, beberapa pemandu yang menyertai peneliti dan tim saat melakukan observasi mengaku kurang mengetahui tentang cerita-cerita (folklore) di tempat tersebut dan menyarankan peneliti dan tim survei untuk menanyakannya kepada “orang yang dituakan” di Desa Nglanggeran.

Tabel 2 Daya Tarik Wisata Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglaggeran yang Sudah Ditawarkan oleh Pengelola

I. DAYA TARIK ALAMDaya Tarik Utama

Gunung api purba dan panorama alam yang indah serta area pertanian dan persawahan di Desa Nglanggeran

Daya Tarik Pendukung

Kawasan Embung (waduk mini) di atas bukit seluas 0,34 hektar untuk pengairan kebun buah seluas 20 hektar dengan pemandangan yang sangat indah.

II. DAYA TARIK BUATAN MANUSIADaya Tarik Budaya Daya Tarik Utama

Upacara adat kirab budaya rasulan, atraksi kesenian jathilan, dan ritual adat masyarakat.

Daya Tarik Pendukung

Kehidupan masyarakat desa dengan aktivitas gotong royong dan ramah, budaya kenduri, karawitan, serta beberapa adat lokal yang masih terjaga

Daya Tarik KerajinanDaya Tarik Utama Kerajinan kayu berupa topeng dan gelang

Daya Tarik Pendukung Paket belajar membuat kerajinan batik topeng

Daya Tarik Kuliner Daya Tarik Utama Makanan khas dodol kakao dan brownis singkong

Daya Tarik Pendukung

Pelatihan pengolahan yang digunakan sebagai paket pendidikan pembuatan dodol kakao dan brownis singkong

III. Daya Tarik Mintat Khusus

Daya Tarik Utama

Wahana permainan outbondFlying foxEmbung (waduk mini)Paket pendidikan di alam (bertani, budidaya kakao, paket cinta lingkungan)

Daya Tarik Pendukung

SDM dari pemuda yang masih energikLokasi kegiatan yang representatif

Sumber: http://gunungapipurba.com/pages/detail/potensi-dan-daya-tarik

Page 16: IDENTIFIKASI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI UPAYA UNTUK

56 JURNAL Kepariwisataan Volume 13 Nomor 2 Mei 2019 : 41 - 58

SIMPULAN DAN SARANBerdasarkan hasil analisis data pada

bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak kearifan lokal yang sudah diwariskan secara turun-temurun di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran. Kearifan lokal tersebut berupa tempat-tempat sakral maupun tempat-tempat yang memiliki cerita tertentu (folklore), antara lain Sumber Mata Air Kalisong, pohon bibisan, Sumber Mata Air Comberan, Tapak Syahadatain, Joglo Kalisong, Gunung Bagong, Song Gudel, Lorong Sumpitan, Gunung Gede, Gunung Kelir, Gunung Blencong, Goa Kaliwiyu, Goa Putri, Kampung Pitu, Tlogo Mardido, dan Tlogo Guyangan. Kearifan lokal lainnya yang berhasil teridentifikasi berupa aturan/hukum adat, kepercayaan, ritual, dan kesenian. Berbagai kearifan lokal tersebut memiliki keindahan, keunikan, dan makna tertentu yang bisa meningkatkan daya tarik wisata di kawasan tersebut.

Kearifan lokal yang dihayati, dipraktikkan, diajarkan, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi bisa menjadi bagian dari wisata warisan (heritage tourism) yang merupakan salah satu daya tarik yang kini mengemuka dan diminati wisatawan. Oleh karena itu, setelah kearifan lokal di Kawasan Ekowisata Gunung

Api Purba Nglanggeran teridentifikasi, sebaiknya diadakan program lanjutan untuk mempersiapkan sumber daya manusia berupa kegiatan pelatihan bagi pengelola, khususnya para pemandu wisata lokal, sebagai tindak lanjut atas hasil penelitian ini. Dengan demikian, para pemandu setempat diharapkan betul-betul memahami asl-usul nama tempat dan berbagai cerita (folklore) terkait dengan tempat-tempat di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepuasan bagi wisatawan yang berkunjung ke kawasan ini.

UCAPAN TERIMA KASIH Artikel ini merupakan luaran dari

Program Penelitian Dosen Pemula tahun usulan 2017 pelaksanaan tahun 2018 yang dibiayai oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada beberapa pihak yang telah turut berperan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan penelitian ini, khususnya Ketua Stipram, LPPM Stipram, dan UKM Mahapasti.

Tabel 3 Kearifan Lokal yang Berhasil Teridentifikasi yang Dapat Memperkuat Daya Tarik Wisata di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglaggeran

Aturan/HukumLarangan Kampung Pitu dihuni oleh lebih dari tujuh kepala keluarga, perempuan haid dilarang masuk Sumber Mata Air Comberan, larangan mengubah waktu pelaksanaan ritual adat.

Kepercayaan Tlogo Wungu, Pemean Gadung, Roh berwujud macan putih, air dari Sumber Mata Air Comberan dipercaya dapat membuat awet muda.

Ritual Upacara adat bersih desa termasuk pertunjukan ledek/tayub

Folklore

Asal usul nama-nama gunung (Gunung Bagong, Gunung Gede, Gunung Kelir, Gunung Blencong), cerita tentang beberapa tempat lainnya (Mata Air Kalisong, Pohon Bibisan, Sumber Mata Air Comberan, Tapak Syahadatain, Joglo Kalisong, Song Gudel, Lorong Sumpitan, Goa Kaliwiyu, Goa Putri, Kampung Pitu, Tlogo Mardido, Tlogo Guyangan), serta asal mula nama Nglanggeran.

Sumber: Hasil olah data

Page 17: IDENTIFIKASI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI UPAYA UNTUK

57Eko Sugiarto, S.S., M.Sc. ; Angesti Palupiningsih, S.Pd., M.Pd. : Identifikasi Kearifan Lokal sebagai Upaya untuk Meningkatkan Daya Tarik Wisata di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul

DAFTAR PUSTAKAAfifuddin dan Beni Ahmad Saebani. 2012.

Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia.

Axioma, Dananjaya. 2006. “Pengembangan Museum dalam Perspektif Pariwisata”. Dalam Oka A Yoeti (Editor). Pariwisata Budaya: Masalah dan Solusinya. Jakarta: Pradnya Paramita.

Baiquni, M. 2018. “Pariwisata Berbasis Warisan Budaya dan Seni yang Beragam di Negara Kepulauan Indonesia.” Orasi Ilmiah Dies Natalis Ke-17 Stipram yang disampaikan pada tanggal 17 September 2018.

BPS Kabupaten Gunungkidul. 2017. Kecamatan Patuk Dalam Angka 2017. Yogyakarta.

Bronto, Sutikno. 2015. “Gunung Api Purba Nglanggeran”. Dalam Geomagz: Majalah Geologi Populer, Volume 5, Nomor 4, Desember 2015 halaman 65. Bandung.

Creswell, John W. 2012. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Edisi Ketiga. Penerjemah Achmad Fawaid. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Damanik, Janianton dan Helmut F. Weber. 2006. Perencanaan Ekowisata: Dari Teori ke Aplikasi. Yogyakarta: Kerja Sama Puspar UGM dan Penerbit Andi.

Echols, John M dan Hassan Shadily. 2007. Kamus Inggris--Indonesia. Cetakan Ke-29. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Emzir. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta: Rajawali Pers.

Fariyasari, Erna. 2012. “Simbol Wujud Syukur yang Terkandung dalam Tradisi Bersih Desa di Sendang Kalisong, Gunung Nglanggeran, Patuk,

Gunungkidul”. Yogyakarta: Program Pendidikan Bahasa Jawa, Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.

Haryanto, Joko. 2014. “Kearifan Lokal Pendukung Kerukunan Beragama pada Komunitas Tengger Malang Jati”. Dalam Analisa Volume 21, Nomor 02, halaman 201-213.

Keraf, Sonny A. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Prasetyo, Andreas Yogi. 2016. “Evaluasi Ekowisata Situs Gunung Api Purba Nglanggeran Menggunakan Indikator Sustainable Tourism UNWTO”. Yogyakarta: Program Studi Magister Kajian Pariwisata, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Prasiasa, Dewa Putu Oka. 2011. Wacana Kontemporer Pariwisata. Jakarta: Salemba Humanika.

Rahayuningsih, Handayani. 2015. “Studi Eksplorasi Perilaku Wisatawan dalam Berfoto di Gunung Api Purba Nglanggeran, Gunungkidul”. Yogyakarta: Program Studi Magister Kajian Pariwisata, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Salinan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Jakarta.

Sartini. 2004. “Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafat”. Dalam Jurnal Filsafat, Volume 14, Nomor 2, Agustus 2004 halaman 111--120. Yogyakarta.

Sedyawati, Edi. 2012. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Cetakan Ke-5. Jakarta: Rajawali Pers.

Sugiyono. 2013. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Page 18: IDENTIFIKASI KEARIFAN LOKAL SEBAGAI UPAYA UNTUK

58 JURNAL Kepariwisataan Volume 13 Nomor 2 Mei 2019 : 41 - 58

Sutarso, Joko. 2012. “Menggagas Pariwisata Berbasis Budaya dan Kearifan Lokal”. Prosiding Seminar Nasional Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal. Purwokerto: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman.

Suwantoro, Gamal. 2004. Dasar-dasar Pariwisata. Edisi II. Yogyakarta: Penerbit Andi.

The International Ecotourism Society. 2015. “TIES Announces Ecotourism Principles Revision”. https://www.ecotourism.org/news/ties-announces-ecotourism-principles-revision. Diakses 2 Juni 2017.

Tim Penggali Data Sejarah Desa Nglanggeran. 2014. “Sejarah Desa Nglanggeran”. http://nglanggeran-patuk.desa.id/index.php/first/artikel/57. Diakses 16 Maret 2018.

Wardiyanta. 2010. Metode Penelitian Pariwisata. Edisi II. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Warpani, Suwardjoko P dan Indira P Warpani. 2007. Pariwisata dalam Tata Ruang Wilayah. Bandung: Penerbit ITB.

Yulianto, Sugeng. 2016. “Kajian Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan Pariwisata di Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Magister Pengelolaan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Yuniadi, Setyo Utomo Nugroho. 2016. “Pengembangan Desa Wisata sebagai Strategi Penghidupan Komunitas Desa (Studi Kasus Desa Wisata Nglanggeran, Gunungkidul)”. Yogyakarta: Program Studi Magister Studi Kebijakan,

Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.