Upload
others
View
23
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT PADA
IKAN SAPU-SAPU (Pterygoplichthys pardalis Castelnau, 1855)
DI SUNGAI CILIWUNG JAKARTA
MARITA YUNI FITRIADI
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M/ 1441 H
IDENTIFIKASI CACING EKTOPARASIT
PADA IKAN SAPU-SAPU (Pterygoplichthys pardalis Castelnau, 1855)
DI SUNGAI CILIWUNG JAKARTA
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
MARITA YUNI FITRIADI
11140950000009
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M/ 1441 H
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI
ATAU LEMBAGA MANAPUN
Ciputat, Maret 2020
MARITA YUNI FITRIADI
11140950000009
i
ABSTRAK
Marita Yuni Fitriadi. Identifikasi Cacing Ektoparasit pada Ikan Sapu-sapu
(Pterygoplichthys pardalis Castelnau, 1855) di Sungai Ciliwung Jakarta.
Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2020. Dibimbing oleh Fahma
Wijayanti dan Dewi Elfidasari.
Ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) diketahui telah mendominasi
komunitas ikan di Sungai Ciliwung. Salah satu aktivitas yang terjadi di Sungai
Ciliwung adalah penangkapan ikan sapu-sapu yang dijadikan sebagai bahan baku
olahan makanan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan
menghitung nilai prevalensi cacing ektoparasit yang menginfeksi ikan sapu-sapu.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Oktober 2018, menggunakan
metode survei. Penentuan titik sampling pengambilan sampel ikan menggunakan
metode purposive sampling dan diambil sebanyak 60 ekor ikan. Berdasarkan
penelitian sebelumnya, pemeriksaan cacing ektoparasit dilakukan pada bagian
insang, permukaan tubuh, dan sirip menggunakan mikroskop cahaya dan
mikroskop stereo. Hubungan antara keberadaan cacing ektoparasit dengan kualitas
perairan Sungai Ciliwung Jakarta dianalisis menggunakan Principal Component
Analysis (PCA) pada program SPSS 2.2. Hasil identifikasi cacing ektoparasit
berjumlah 2 spesies, yaitu Benedenia sp. dan Dactylogyrus sp. yang tergolong ke
dalam Filum Plathyhelmintes, Kelas Trematoda dan Subkelas Monogenea. Nilai
prevalensi pada titik sampling Cawang 60%, Kalibata 65%, dan Bidara Cina 50%.
Selain itu, nilai prevalensi organ tertinggi sebesar 58,3% yang menginfeksi bagian
permukaan tubuh ikan sapu-sapu karena memiliki luas permukaan yang lebih
besar. Kesimpulan dari penelitian ini adalah nilai prevalensi dari ketiga titik
sampling tergolong ke dalam kategori infeksi sangat sering yaitu 69-50%.
Kata kunci: Cacing ektoparasit, ikan sapu-sapu, prevalensi
ii
ABSTRACT
Marita Yuni Fitriadi. Identification of Worms Ectoparasites in Suckermouth
armored catfish (Pterygoplichthys pardalis Castelnau, 1855) in the Ciliwung
River, Jakarta. Undergraduate Thesis. Departement of Biology. Fakulty of
Science and Technology. State Islamic University Syarif Hidayatullah
Jakarta. 2020. Advised by Fahma Wijayanti dan Dewi Elfidasari.
Suckermouth armored catfish (Pterygoplichthys pardalis) has dominate the fish
community in the Ciliwung River. One of the activities in the Ciliwung River that
is catching fish used as raw material for food processing. The purpose of this
study was to identify and calculate prevalence based on ectoparasites in
suckermouth armored catfish. This research was conducted on June to October
2018, using survey methods. Determination of sampling points to take samples
using a purposive sampling method and taken as many as 60 fish. Based on
previous research, ectoparasites were examined on the gills, body surfaces, and
fins using a binocular light microscope and stereo microscope. The relationship
between the presence of ectoparasites with water quality in the Ciliwung River
Jakarta was using Principal Component Analysis (PCA) in the SPSS 2.2 program.
Identification results of worms ectoparasites as much 2 species, that are
Benedenia sp. and Dactylogyrus sp. which belong to the Plathyhelmintes Phylum,
Trematode Class and Monogenea subclass. The prevalence value at the Cawang
sampling point was 60%, Kalibata 65%, and Bidara Cina 50%. Besides that, the
highest organ prevalence value 58.3% which is against the body surface of
suckermouth armored catfish because it has a larger surface area. The conclusion
of this study is the prevalence value from three sampling points classified is
frequently infections, that is 69-50%.
Keywords: Prevalence, suckermouth armored catfish, worms ectoparasites
iii
KATA PENGANTAR
Assallamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufiq,
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Identifikasi Cacing Ektoparasit pada Ikan Sapu-sapu, (Pterygoplichthys pardalis
Castelnau, 1855) di Sungai Ciliwung Jakarta”. Penulisan skripsi ini merupakan
salah satu syarat yang wajib ditempuh untuk mendapatkan gelar Sarjana Sains
Jurusan Biologi pada Falkutas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selanjutnya di dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah mendapatkan
bantuan baik secara moril dan materil, bimbingan, masukan, kritik serta saran dari
berbagai pihak, oleh karena itu, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang tidak
terhingga kepada:
1. Nashrul Hakiem, S.Si. M.T., Ph.D selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Priyanti, M.Si. dan Narti Fitriana, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris
Program Studi Biologi.
3. Dr. Fahma Wijayanti, M.Si. dan Dr. Dewi Elfidasari, M.Si. selaku
Pembimbing I dan II yang telah memberikan bimbingan, saran, dan masukan
yang sangat bermanfaat.
4. Dr. Dasumiati, M.Si, Narti Fitriana, M.Si., Etyn Yunita, M.Si., dan Fahri
Fahrudin, M.Si selaku Penguji Seminar Proposal, Seminar Hasil, dan Sidang
yang banyak memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun.
5. PTUPT Kemenristekdikti yang telah memberikan dana riset kepada penulis.
6. LIPI Bidang Nutrisi yang telah membantu melengkapi data penulis.
7. Ibunda tercinta Wahyuni Lestari dan Ayahanda tercinta Suyadi atas seluruh
kasih sayang, dukungan moril, maretil, dan spiritual kepada penulis sejak kecil
hingga saat ini.
8. Adik-adik tersayang Ayunita Nur Kholisyah dan Nafizhar Muhammad
Yudisyah yang turut memberikan dukungan kepada penulis.
iv
9. Rekan tim peneliti Ade Lisdaniyah, Afifatus Sholiha, Hurunin Fathonah
Muthmainnah, Marsheleika, dan Maulidatul Hasanah yang telah memberikan
bantuan, motivasi, dan dukungan selama melaksanakan penelitian.
10. Rekan dekat penulis Ratna Lestyana Dewi, Renitha Ashari, Reo Vebria
Ningsih, Nadia Sarah Adelina, dan Ronni Darmawan Putra, serta seluruh
teman-teman Biologi Angkatan 2014 yang telah banyak membantu,
memotivasi, dan berjuang bersama.
11. Serta semua pihak yang mungkin tidak tersebutkan satu-persatu identitasnya
yang telah membantu dan menyemangati penulis hingga penyusunan skripsi
ini dapat terselesaikan.
Akhir kata, penulis berharap Allah SWT dapat membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan semua pihak.
Wassallamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Jakarta, Maret 2020
Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ............................................................................................. i
ABSTRACT .......................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................... v
DAFTAR TABEL ................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. viii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....... ............................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................. 3
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................ 3
1.4 Manfaat Penelitian ................ .............................................. 3
1.5 Kerangka Berfikir ............ ................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) ........................ 5
2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi ................................................... 5
2.1.2 Distribusi dan Habitat ........................................................ 6
2.2 Ekosistem Sungai Ciliwung ................................................ 7
2.3 Ikan Konsumsi ................................................................... 8
2.4 Ektoparasit pada Ikan ......................................................... 10
2.5 Cacing Ektoparasit ............................................................. 10
2.5.1 Nematoda ........................................................................... 11
2.5.2 Digenea .............................................................................. 12
2.5.3 Monogenea ......................................................................... 13
BAB III METODE
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan ......................................... 15
3.2 Alat dan Bahan ................................................................... 16
3.3 Metode Penelitian ................................................................ 16
3.3.1 Pengambilan Sampel Ikan Sapu-sapu ................................. 16
3.3.2 Pengukuran Kualitas Perairan Sungai Ciliwung Jakarta ...... 17
3.3.3 Pemeriksaan dan Pengukuran Sampel Ikan Sapu-sapu ........ 17
3.3.4 Pemeriksaan Cacing Ektoparasit ......................................... 17
3.3.5 Analisis Data ........................... ............................................ 18
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Identifikasi Cacing Ektoparasit .......................................... 20
4.1.1 Banedenia sp. ..................................................................... 21
4.1.2 Dactylogyrus sp. ................................................................. 22
4.1.3 Pemeriksaan Morfologi Ikan Sapu-sapu .............................. 24
4.2 Prevalensi dan Intensitas Infeksi Cacing Ektoparasit ........... 25
vi
4.3 Hubungan Faktor Abiotik dengan Keberadaan Cacing
Ektoparasit ........................................................................... 30
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ......................................................................... 37
5.2 Saran .................................................................................. 37
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 38
LAMPIRAN ........................................................................................... 43
vii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kriteria prevalensi infeksi parasit .............................................. 18
Tabel 2. Kriteria intensitas infeksi parasit ................................................. 19
Tabel 3. Genus dan jumlah cacing ektoparasit pada organ yang
terinfeksi .................................................................................... 20
Tabel 4. Perbandingan antara organ sehat dengan organ yang
terinfeksi .................................................................................... 24
Tabel 5. Prevalensi dan intensitas infeksi cacing ektoparasit ................... 26
Tabel 6. Data pengukuran kualitas air Ciliwung Jakarta pada ketiga titik
Sampling ................................................................................... 32
Tabel 7. Hasil output component matrix .................................................. 34
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka berfikir identifikasi cacing ektoparasit.................... 4
Gambar 2. Morfologi ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) .......... 5
Gambar 3. Tipe-tipe Monogenea ............................................................. 13
Gambar 4. Titik sampling pengambilan ikan sapu-sapu .......................... 15
Gambar 5. Morfologi Benedenia sp. ........................................................ 21
Gambar 6. Morfologi Dactylogyrus sp. .................................................. 22
Gambar 7. Nilai prevalensi (%) pada organ ikan sapu-sapu ..................... 28
Gambar 8. Nilai prevalensi (%) dari ketiga titik ampling ........................ 30
Gambar 9. Kondisi titik sampling di sungai Ciliwung Jakarta .................. 31
Gambar10. Hasil output component plot in rotated space ........................ 35
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Kegiatan Penelitian ............................................................. 43
Lampiran 2. Perhitungan Nilai Prevalensi dan Intensitas Infeksi Cacing
Ektoparasit pada Ikan Sapu-sapu ........................................ 44
Lampiran 3. Hasil Output KMO (Kaiser-Meyer-Olkin) ........................... 47
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pterygoplichthys pardalis atau dikenal dengan nama ikan sapu-sapu,
merupakan salah satu spesies Loricariidae yang berasal dari Amerika Selatan dan
Amerika Tengah (Armbruster, 2004). Karakteristik utama dari golongan
Loricariidae adalah mulut penghisap, yang memungkinkan ikan ini untuk
menempel pada substrat tertentu, bahkan pada sungai yang deras (Geerinckx et
al., 2007). Banyaknya jumlah ikan sapu-sapu di suatu perairan bukan hanya
karena sifatnya sebagai spesies invasif, melainkan ikan ini mampu hidup dan terus
berkembang biak walaupun dalam kondisi perairan yang ekstrim dan termasuk ke
dalam jenis eurifagik (ikan pemakan bermacam-macam makanan) (Armbruster &
Page, 2006). Akibat kurang terkontrolnya laju penyebaran ikan introduksi
(pendatang) yang masuk ke perairan Indonesia, sehingga keberadaannya menjadi
dominan di suatu perairan akan berpeluang menjadi invasif (Lestari, 2014). Ikan
sapu-sapu menurut Wowor (2010) dan penduduk sekitar diketahui telah
mendominasi komunitas ikan di Sungai Ciliwung.
Menurut Geerinckx et al. (2007) ikan sapu-sapu mampu hidup di
lingkungan perairan dalam kondisi apapun bahkan pada perairan yang tercemar,
seperti sungai Ciliwung. Aliran Sungai Ciliwung di Jakarta tergolong ke dalam
cemaran berat yakni mengacu pada parameter banyaknya kandungan logam berat
dan bakteri Escherichia coli (BPLHD DKI Jakarta, 2011). Menurut Yudo (2010),
cemaran logam berat yang berbahaya yaitu timbal (Pb), merkuri (Hg), dan
kadmium (Cd). Data pengukuran Pb, Hg, dan Cd pada perairan Daerah Aliran
Sungai (DAS) Ciliwung Jakarta masing-masing menunjukkan nilai konsentrasi
logam yang melebihi ambang batas yang mengacu pada Baku Mutu Air Kelas II
PP No. 82/2001 (Yudo & Nusa, 2018). Menurut data dari Dinas Lingkungan
Hidup Provinsi DKI Jakarta (2017), kandungan bakteri E. coli di Sungai Ciliwung
sebanyak 40.000/ 100 ml yaitu telah mencapai 90%, dengan baku mutu yang
diizinkan adalah 1.000/ 100 ml. Penyebab polusi terbesar di sungai tersebut adalah
limbah domestik (International River Foundation, 2011). Kondisi ini
2
menimbulkan dugaan adanya berbagai organisme parasit selain E. coli yang dapat
hidup di perairan Sungai Ciliwung.
Sungai Ciliwung dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan, seperti sumber
baku air minum, industri, perikanan, dan pertaninan (Hendrawan et al., 2005).
Berbagai aktivitas yang terjadi di Sungai Ciliwung salah satunya adalah aktivitas
penangkapan ikan sapu-sapu yang dijadikan sebagai bahan baku olahan makanan
(Hardi, 2013). Ikan ini dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan baku pembuatan
siomay, batagor, kerupuk, dan otak-otak. Hal ini karena ikan sapu-sapu memiliki
kadar protein yang tinggi, database Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan
Bioteknologi KKP (2013) menunjukkan ikan sapu-sapu memiliki kadar protein
sebesar 19,71% per 100 gram dan angka ini mengalahkan kadar protein pada ikan
nila (18,8% per 100 gram) dan ikan lele dumbo (18,2% per 100 gram). Selain itu,
bagian eksternal (kulit dan sisik) ikan sapu-sapu dapat dimanfaaatkan sebagai
bahan baku pembuatan gelatin (Hermanto, 2014).
Parasit merupakan organisme yang hidup pada tubuh organisme lain dan
umumnya menimbulkan efek negatif pada inangnya (Handajani, 2005). Kasus
parasit ikan yang menjadi perhatian publik saat ini yaitu adanya cacing parasit
pada produk ikan kaleng atau olahan sarden, hal ini membuat keresahan
masyarakat maupun konsumen. Badan Pengawas Obat dan Makanan (2018)
menemukan sebanyak 27 merk ikan makarel atau sarden kalengan positif
mengandung parasit cacing atau cacing spesies Anisakis sp., Anisakis sp.
merupakan cacing Nematoda yang siklus hidupnya memerlukan inang perantara
beberapa spesies ikan dan mamalia laut. Larva dari Anisakis sp. infektif bagi
manusia dan menyebabkan Anisakiasis, Anisiakis menginfeksi manusia melalui
makanan ikan laut mentah atau setengah matang (Puspitasari, 2013). Pertama kali
produk ikan kaleng yang mengandung cacing ditemukan di wilayah Riau,
kemudian dikembangkan seluruh BPOM di Indonesia. Menurut Food and
Agriculture Organization (2005), prevalensi penyebaran cacing parasitik pada
ikan di Indonesia dapat mencapai 30 persen. Cacing ektoparasit yang hidup pada
spesies ikan tertentu, akan menjadikan ikan tersebut sebagai transmisi penyakit
bagi spesies ikan lain (Handajani, 2005).
3
Mengingat potensinya sebagai salah satu bahan baku poduksi pangan
maupun non-pangan yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan industri,
menjadikan ikan sapu-sapu banyak dimanfaatkan. Namun hal ini tidak lepas pula
dari ancaman berbagai macam penyakit oleh adanya parasit, maka perlu dilakukan
penelitian untuk mengindentifikasi adanya keberadaan cacing ektoparasit pada
ikan sapu-sapu yang berada di perairan tercemar yaitu Sungai Ciliwung Jakarta.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah pada penelitian ini adalah:
1.) Bagaimana keberadaan cacing ektoparasit pada ikan sapu-sapu (P.
pardalis) di Sungai Ciliwung Jakarta?
2.) Bagaimana prevalensi cacing ektoparasit yang ditemukan pada ikan sapu-
sapu (P. pardalis) di Sungai Ciliwung Jakarta?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.) Mengetahui dan mengindentifikasi keberadaan cacing ektoparasit pada
ikan sapu-sapu (P. pardalis) di Sungai Ciliwung Jakarta.
2.) Mengetahui tingkat prevalensi cacing ektoparasit yang ditemukan pada
ikan sapu-sapu (P. pardalis) di Sungai Ciliwung Jakarta.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan dan melengkapi
informasi ilmiah mengenai adanya cacing ektoparasit yang menginfeksi ikan
sapu-sapu (P. pardalis). Selain itu hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan pemanfaatan ikan sapu-sapu sebagai ikan konsumsi.
4
1.5 Kerangka Berfikir
Adapun kerangka berfikir dalam penelitian ini dapat dilihat dalam gambar
berikut,
Gambar 1. Kerangka Berfikir Identifikasi Ektoparasit
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis)
2.1.1 Klasifikasi dan morfologi
Menurut Geerinckx et al., (2007), Pterygoplichthys pardalis tergolong ke
dalam Famili Loricariidae. Pterygoplichthys pardalis dikenal dengan nama ikan
sapu-sapu di Indonesia. Beberapa nama lain (sinonim) dari spesies P. pardalis
diantaranya adalah Hypostomus pardalis, Liposarcus pardalis, Liposarcus varius,
dan Liposarcus jeanesianus.
Gambar 2. Morfologi Ikan Sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis): A. Bagian
lateral tubuh, B. Bagian ventral tubuh, C. Tipe mulut penghisap
berada di ventral tubuh. (Sumber: Armbruster & Page (2006);
Hossain, et al., (2018)).
Karakteristik utama dari golongan Loricariidae adalah bertipe mulut
penghisap-penyaring, dengan letak mulut inferior (Armbruster & Page, 2006).
Tipe mulut ini berfungsi untuk mencari makan, bernafas, dan menempel pada
objek dengan cara menghisap. Mulut ikan sapu-sapu juga beradaptasi terhadap
berbagai makanan seperti alga, invertebrata, dan detritus (Geerinckx et al., 2007).
Ikan sapu-sapu memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi karena memiliki
dua alat pernafasan. Alat pernafasan utama adalah insang yang digunakan saat
berada di air yang jernih. Alat pernafasan lainnya adalah labirin, labirin adalah
4cm
A
B
C
5 cm
3 cm
6
alat pernafasan binatang lumpur atau air yang keruh (Samat et al., 2008). Adanya
alat pernafasan tambahan, maka ikan sapu-sapu mampu hidup dalam perairan
dengan kadar oksigen terlarut yang rendah dan juga dapat hidup di perairan yang
tercemar limbah (Martin et al., 1998).
Pterygoplichthys pardalis memiliki karakteristik bentuk tubuh pipih
dorsoventral tertutup oleh kulit yang keras (Murdy et al., 1994). Ikan ini memiliki
tubuh dengan sisik yang tebal dan keras, kecuali pada bagian perutnya
(Tunjungsari, 2007). Tipe sisik dari spesies ini adalah sikloid. Ciri-ciri bagian
tubuh spesies P. pardalis memiliki titik-titik spot hitam, kepala dengan pola garis
gelap terang geometris, dan panjang tubuhnya bisa mencapai 40-60 cm. Sirip ekor
(pinna caudalis) bertipe heterocercal. Spesies dewasa memiliki bintik-bintik
hitam berukuran besar di bagian ventral tubuh (Armbruster & Page, 2006).
2.1.2 Distribusi dan habitat
Ikan sapu-sapu bukan merupakan spesies ikan asli Indonesia, melainkan
diintroduksi dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan (Armbruster, 2004). Ikan
ini tergolong ke dalam spesies ikan invasif yang mengancam keanekaragaman
spesies lokal Indonesia (Lestari, 2014). Umumnya ikan sapu-sapu bersifat
omnivora, yaitu memakan bangkai ikan dan hewan-hewan lain yang tenggelam di
dasar perairan. Ikan sapu-sapu dapat ditemukan pada berbagai wilayah perairan,
seperti aliran sungai yang sempit di pegunungan, muara sungai, bahkan pada
perairan dengan tingkat pencemaran tinggi, sehingga ikan ini dapat berperan
sebagai indikator pencemaran lingkungan, khususnya pada lingkungan perairan
(Ismi et al., 2019).
Ikan sapu-sapu dapat hidup secara optimal di perairan tropis dengan kisaran
pH 7-7,5 dan suhu antara 23-280C. Ikan ini mampu hidup dan berkembangbiak di
dasar perairan, walaupun dengan kadar oksigen yang rendah (Ismi et al., 2019).
Ikan ini memiliki tingkat adaptasi yang tinggi, sehingga mampu hidup pada
kondisi lingkungan yang ekstrim (Samat et al., 2008).
Menurut penelitian Hossain et al. (2018) ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys
pardalis) diintroduksi ke berbagai negara oleh para pecinta ikan hias kemudian
memasuki perairan setempat secara disengaja maupun tidak disengaja, salah satu
7
lokasi keberadaannya di Indonesia adalah Sungai Ciliwung (Wowor, 2010).
Menurut Wowor (2010) dan penduduk sekitar, saat ini ikan sapu-sapu telah
mendominasi dasar perairan di Sungai Ciliwung. Berbagai aktivitas yang terjadi
di Sungai Ciliwung salah satunya adalah aktivitas penangkapan ikan sapu-sapu
yang dijadikan sebagai bahan baku olahan makanan dan produk non-pangan
(Hardi, 2013).
2.2 Ekosistem Sungai Ciliwung
Sungai merupakan badan air mengalir (perairan lotic) yang membentuk
aliran di daerah daratan dari hulu menuju ke hilir dan akhirnya bermuara ke laut,
danau, atau sungai yang lebih besar. Arus air di bagian hulu sungai (umumnya
terletak di daerah pegunungan) biasanya lebih deras dibandingkan dengan arus
sungai di bagian hilir. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991,
sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan pengalir air mulai
dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan dan kirinya serta sepanjang
pengalirannya oleh garis sempadan (garis batas luar pengamanan sungai).
Daerah Aliran Sungai (DAS), dalam istilah asing disebut catchment area,
drainage area, drainage basin, river basin, atau watershed (Notohadiprawiro,
1981). Tiga belas sistem aliran sungai yang mengalir di wilayah DKI Jakarta
sebagian besar berhulu di daerah Jawa Barat dan bermuara di Teluk Jakarta,
diantara 13 sungai yang mengalir di Jakarta, Sungai Ciliwung memiliki dampak
yang paling luas karena sungai ini mengalir melalui tengah kota Jakarta dan
melintasi banyak perkampungan, perumahan padat, dan pemukiman-pemukiman
kumuh (BPLHD DKI Jakarta, 2011).
Sungai Ciliwung berasal dari kawasan Gunung Gede, Gunung Pangrango,
dan Cisarua Jawa Barat, mengalir ke arah Jakarta melalui Kabupaten Bogor, Kota
Bogor, Kota Depok, dan bermuara di Teluk Jakarta. Panjang Sungai Ciliwung dari
bagian hulu hingga kawasan hilir di pesisir pantai utara Jakarta ±120 km, dengan
luas DAS Ciliwung sekitar 387 km2, yang dibatasi oleh DAS Cisadane di sebelah
barat dan DAS Citarum di sebelah timur (BPDAS Citarum Ciliwung, 2013).
Peruntukan Sungai Ciliwung berdasarkan Keputusan Gubernur Propinsi
DKI Jakarta No. 582 Tahun 1995 adalah sebagai sumber air baku air minum
8
dengan klasifikasi Golongan B, namun keadaan kualitas air Sungai Ciliwung saat
ini rata-rata dalam kondisi tercemar berat pada seluruh segmennya, mulai dari
hulu (daerah Puncak, Kab. Bogor) sampai dengan hilir (di DKI Jakarta) (Yudo &
Said, 2018). Saluran atau anak sungai merupakan saluran air hujan, air limbah
domestik, serta merupakan saluran pembuangan air limbah kegiatan komersil dan
industri, sehingga sangat berpengaruh terhadap kualitas perairan Sungai Ciliwung
(International River Foundation, 2011)..
Sungai Ciliwung memiliki keanekaragaman biota perairan seperti ikan,
udang, kepiting, dan bentos. Spesies ikan yang berada di DAS Ciliwung dari hulu
sampai hilir sudah mulai punah dan menurun hingga 92,5%, dari 187 jumlah
spesies yang tersisa hanya 20 spesies. Sejumlah 20 spesies ikan yang masih
bertahan di DAS Ciliwung, 15 spesies diantaranya merupakan ikan endemik dan 5
spesies lainnya merupakan ikan eksodus dari perairan luar seperti Amazon dan
Afrika. Ikan endemik yang masih ditemukan di Sungai Ciliwung diantaranya ikan
lubang (Anguilla bicolor), ikan julung-julung (Dermogenys pusilla), ikan arelot
(Pangio oblonga), ikan paray (Rasbora cf. lateristriata), ikan beunteur (Puntius
binotatus), ikan tawes (Barbonymus gonionotus), ikan soro (Tor soro), ikan
hampal (Hampala macrolepidota), ikan jeler (Nemacheilus chrysolaimos), ikan
betok (Anabas testudineus), ikan bogo (Channa striata), ikan tembakang
(Helostoma temminckii), ikan sepat rawa (Trichopodus trichopterus), ikan cupang
sawah (Trichopsis vittata), dan ikan lele lokal (Clarias batrachus). Lima spesies
ikan eksodus yang ditemukan di Sungai Ciliwung adalah ikan sapu-sapu
(Pterygoplichthys pardalis) (Gambar 3), ikan seribu (Poecilia reticulata), ikan
mujair (Oreochromis niloticus), serta dua spesies masih merupakan ikan seribu
yaitu Poecillia sp. dan Xiphophorus helleri (ikan ekor pedang) (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, 2010).
2.3 Ikan Konsumsi
Ikan konsumsi adalah semua sumber daya ikan yang ada di air tawar
maupun laut yang dapat dikonsumsi oleh manusia. Ikan konsumsi diartikan pula
sebagai sumber daya hayati kelautan dan air tawar yang mengandung protein
tinggi dan penting bagi kepentingan perekonomian. Ikan konsumsi digolongkan
9
berdasarkan hasil upaya perolehan dan tempat habitat. Ikan konsumsi berdasarkan
upaya perolehan yaitu ikan hasil penangkapan dan ikan hasil budidaya, sedangkan
ikan konsumsi digolongkan berdasarkan tempat habitatnya yaitu ikan yang hidup
di perairan darat dan ikan yang hidup di perairan laut (Marimin, 2010).
Marimin (2010) mengemukakan bahwa produksi perikanan global secara
keseluruhan baik dari ikan hasil perikanan tangkap maupun budidaya sebesar
141,6 juta ton per tahun. Sekitar 105,7 juta ton ini (75%) dikonsumsi manusia
secara langsung, sedangkan sisanya dipakai untuk produk non pangan, khususnya
pembuatan fishmeal dan minyak. Ikan memiliki kandungan nutrisi yang tinggi
antara lain omega 3, protein asam amino yang tinggi, lemak, karbohidrat, vitamin,
dan mineral seperti vitamin A, vitamin D, vitamin B12 (Afrianto & Liviawaty,
1992).
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi KKP (2013)
mencatat data bahwa ikan sapu-sapu memiliki kadar protein yang tinggi sebesar
19,71% per 100 gram dan angka ini mengalahkan kadar protein pada ikan nila
sebesar 18,8% dan ikan lele dumbo sebesar 18,2% masing-masing per 100
gramnya. Daging ikan sapu-sapu telah banyak dimanfaatkan masyarakat sebagai
bahan baku pembuatan makanan seperti siomay, batagor, kerupuk, otak-otak, dan
sebagainya. Selain dagingnya, bagian kulit ikan sapu-sapu juga sudah
dimanfaatkaan sebagai bahan baku pembuatan gelatin (Hermanto, 2014).
Semua makhluk yang terdapat di langit maupun bumi diciptakan Allah
SWT tidaklah tanpa adanya hikmah dan tidaklah sia-sia, hal ini sesuai dengan
Firman-Nya yang terkandung dalam Surah Al-Imran (189-191) berikut:
ملك السهماوات والأرض والله على كل شيء قديز ﴿ ﴾٨١ولله
إنه في خلق السهماوات والأرض واختلاف اللهيل والىههار لآيات
ولي الألباب ﴿ ﴾١لأ الهذيه يذكزون الل قياما وقعىدا وعلى
جىىبهم ويتفكهزون في خلق السهماوات والأرض ربهىا ما خلقت
﴾١هذا باطلا سبحاوك فقىا عذاب الىهار ﴿
10
”Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.
Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci
Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Al-„Imran. 189-191).
2.4 Ektoparasit pada Ikan
Parasit merupakan organisme yang hidup pada tubuh organisme lain dan
umumnya menimbulkan efek negatif pada inangnya (Handajani, 2005). Parasit
dinilai merugikan karena mengambil makanan atau nutrisi dari tubuh inang
(Kabata, 1985). Kontaminasi yang berasal dari luar tubuh baik yang bersifat
infeksi atau non infeksi dapat menyebabkan hadirnya penyakit ikan. Kualitas air
yang buruk, pemberian pakan ikan yang berlebih, dan perubahan iklim merupakan
faktor penyebab timbulnya parasit (Handajani, 2005).
Kabata (1985) membagi parasit menjadi dua kelompok yang berbeda yaitu
ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang terdapat pada bagian
luar tubuh ikan atau di bagian yang masih mendapat udara dari luar. Ektoparasit
menginfeksi kulit, sirip, operkulum, dan insang ikan, sedangkan endoparasit
adalah parasit yang hidupnya di dalam tubuh inang, misalnya di dalam alat
pencernaan, peredaran darah, atau organ dalam lainnya (Rahmaningsih, 2016).
Beberapa organisme yang tergolong ke dalam ektoparasit antara lain udang renik,
protozoa, cacing, virus, jamur, dan bakteri (Handajani, 2005). Agen patogenik
yang menyebabkan penyakit parasit ikan sering ditemukan di Indonesia terutama
ektoparasit. Infeksi ektoparasit dapat mengakibatkan pertumbuhan yang lambat
dan mempengaruhi tingkah laku ikan serta sensitifitas ikan (Scholz, 1999).
2.5 Cacing Ektoparasit
Salah satu organisme ektoparasit adalah cacing. Adanya cacing
ektoparasitik pada ikan memiliki dampak besar bagi kesehatan hewan lain
maupun manusia (Handajani, 2005). Menurut Food and Agriculture Organization
(2005) prevalensi penyebaran cacing parasitik pada ikan di Indonesia telah
11
mencapai 30 persen, angka ini menjadikan Indonesia sebagai deretan negara
berkembang yang memiliki tingkat prevalensi yang paling tinggi.
Tingkat prevalensi penyebarannya bisa melalui cacing ektoparasit maupun
cacing endoparasit. Walaupun kerugian akibat infeksi cacing ektoparasit pada
ikan tidak sebesar kerugian akibat adanya cacing endoparasit, namun tingkat
infeksi cacing ektoparasit yang tinggi dapat mengakibatkan ikan tersebut sebagai
transmisi penyakit bagi ikan atau hewan lain (Handajani, 2005). Cacing
ektoparasit yang menginfeksi akan menimbulkan adanya kelainan morfologi pada
ikan. Cacing parasit dari kelompok digenea dan nematoda lebih banyak
ditemukan pada bagian dalam tubuh (endoparasit) pada ikan, sedangkan
kelompok monogenea terdapat pada bagian luar tubuh ikan (ektoparasit)
(Rahmaningsih, 2016).
2.5.1 Nematoda
Nematoda dikenal juga dengan sebutan round worm atau cacing gilig.
Nematoda dewasa biasanya ditemukan dalam saluran pencernaan ikan. Semua
stadium cacing nematoda dapat ditemukan hampir di seluruh bagian dari tubuh
ikan termasuk pada organ dalam seperti gelembung renang, kulit, otot, dan insang
(Yanong, 2002). Menurut Buchmann dan Bresciani (2001), cacing ini berbentuk
panjang, ramping, silindris, tidak bersegmen, dengan kedua ujung meruncing,
mempunyai mulut serta anus (saluran pencernaan yang lengkap) serta memiliki
rongga tubuh semu yang disebut pseudoselom. Tubuhnya memiliki panjang
sekitar dua milimeter hingga satu meter dan tertutup oleh suatu kantung
dermomuskular yang terdiri dari tiga lapisan kutikula, hipodermis, dan otot
(Grabda, 1991).
Secara umum di dalam tubuh ikan, cacing nematoda memiliki lima stadium
dalam siklus hidupnya yang dipisahkan oleh empat kali pergantian kulit
(moulting) (Buchmann & Bresciani, 2001). Yanong (2002) membagi siklus hidup
nematoda menjadi dua kategori utama, yaitu siklus hidup langsung dan tidak
langsung. Siklus hidup langsung, ikan bertindak sebagai hospes definitif yaitu
sebagai tempat hidup parasit tumbuh menjadi dewasa dan tidak memerlukan
hospes perantara, sehingga infeksi dapat langsung disebarkan secara langsung dari
12
satu ikan ke ikan lain melalui telur atau larva infektif yang termakan. Nematoda
yang memiliki siklus hidup tidak langsung, telur atau larva akan dikeluarkan ke
dalam air dan selama proses perkembangannya, larva yang belum dewasa ini
memerlukan hospes perantara yang berbeda, salah satunya adalah ikan.
Salah satu Nematoda yang banyak ditemukan pada ikan adalah spesies
Anisakis sp., siklus hidup Anisakis sp. memerlukan inang perantara yang terdiri
dari beberapa spesies ikan dan mamalia laut. Anisakis sp. beresiko terhadap
kesehatan manusia, larva dari parasit ini infektif bagi manusia dan menyebabkan
Anisakiasis. Anisakiasis menginfeksi manusia melalui makanan ikan laut mentah
atau setengah matang dan menimbulkan gejala pada saluran pencernaan.
(Puspitasari, 2013).
2.5.2 Digenea
Digenea merupakan cacing yang berbentuk pipih dorsoventral, oval, dan
memanjang. Tubuh Digenea tidak bersekat-sekat dan memiliki bagian posterior
yang jelas. Digenea memiliki dua organ pelengkap, yaitu oral sucker dan ventral
sucker (Kabata, 1985). Cacing Digenea pada umumnya bersifat endoparasit yang
dapat ditemukan pada organ dalam ikan seperti usus, pembuluh darah atau
terbungkus kista di jaringan tubuh (Moller & Anders, 1986). Beberapa spesies
digenea bersifat ektoparasit dan dapat ditemukan pada permukaan insang,
operkulum, dan rongga mulut. Digenea ditemukan pada ikan dalam bentuk larva
ataupun dewasa. Stadium larva Digenea berbentuk kista sebagai metaserkaria
dalam jaringan bawah kulit atau di dalam alat tubuh internal (saluran
gastrointestinal) dan beberapa ditemukan pada insang atau darah (Dawes, 1956).
Siklus hidupnya di dalam tubuh ikan sebagai hospes definitif terjadi secara
seksual dengan pembentukan telur. Telur Digenea yang menetas menjadi larva
bersilia (mirasidium) akan dimakan oleh hospes perantara pertama. Mirasidium
akan berubah menjadi sebuah sporokista, setiap sporokista parasit aseksual
menghasilkan banyak larva yang pada gilirannya menghasilkan larva infektif
(serkaria). Serkaria akan menginfeksi hospes perantara kedua dan menjadi
metaserkaria. Metasersaria akan berkembang menjadi cacing dewasa jika
menemukan hospes definitif (Noga, 2011).
13
2.5.3 Monogenea
Monogenea merupakan cacing pipih yang tidak bersegmen, dengan ukuran
panjang sekitar 0,15-20 milimeter, dan bentuk tubuhnya fusiform. Monogenea
mempunyai sistem pencernaan sederhana yang mencangkup lubang mulut, usus,
dan anus. Tahap awal hidupnya, Monogenea memiliki sebuah organ mirip kait
atau penghisap di bagian posteriornya yang disebut haptor. Cacing dewasa
memiliki prohapthor (untuk makan) dan opisthapthor (untuk menempel).
Monogenea dapat ditemukan dikulit, sirip, dan insang ikan.
Gambar 3. Tipe-tipe Monogenea, kelompok monopisthocotylea: A.
Gyrodactylidae, B. Dactylogyridae, C. Tetraonchinae, D.
Capsuloidae, E. Capsalidae, F. Acanthocotylidae, G.
Monocotylidae, H. Mirobothriidae; kelompok polypisthocotylea:
I. Hexabothridae, J. Polystomatidae, K. Diclidophoridae, L.
Hexastomatidae, M. Mazocraeidae, N. Microcotylidae, O.
Discocotylidae. (Sumber: Olsen, 1974).
Berdasarkan kompleksitas haptor, Monogenea terbagi menjadi 2 tipe yaitu
monopisthocotylea dan polypisthocotylea (Gambar 3). Monopisthocotylea
memiliki satu bagian utama pada haptor, sering berupa kait atau cakram yang
besar, sedangkan polyopisthocotylea memiliki beberapa bagian pada haptor
200 µ
14
berupa penjepit. Monogenea mempunyai siklus hidup langsung (satu hospes)
tanpa memerlukan hospes perantara (Olsen, 1974). Siklus hidupnya tidak
mengalami reproduksi aseksual, telur akan mengalami tahap larva yang disebut
onkomirasidium. Cacing dewasanya memakan darah, lendir, serta sel-sel epitel
inangnya.
Monogenea yang paling banyak menginfeksi beberapa spesies ikan air tawar
yaitu Dactylogyrus spp. dan Gyrodactylus spp. Kelompok Gyrodactylus sp.
menginfeksi kulit dan insang, namun kelompok Dactylogyrus sp. lebih sering
menyerang insang pada semua spesies ikan air tawar terutama ukuran benih.
Bagian anterior Dactylogyrus sp. terdapat 1-2 pasang kait dan bagian posterior
terdapat opisthapthor yang dikelilingi 14 kait marginal (Kabata, 1985), sedangkan
Gyrodactylus sp. memiliki opisthapthor yang tidak mengandung batil isap tetapi
memiliki sederet kait-kait kecil berjumlah 16 buah di sepanjang tepinya dan kait
besar di tengah-tengah (Dawes, 1956).
15
BAB III
METODE
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Juni 2018 sampai Januari 2019.
Lokasi pengambilan sampel ikan dilakukan pada bagian tengah Sungai Ciliwung,
yaitu aliran yang melintasi Ibukota Jakarta. Lokasi tersebut terdiri dari 3 titik yaitu
Cawang (titik koordinat 6014‟34”S dan 106
051‟45”E), Kalibata (titik koordinat
6015‟29”S dan 106
051‟37”E), dan Bidara Cina (titik koordinat 6
014‟02”S dan
106051‟58”E) (Gambar 4). Selanjutnya pemeriksaan sampel ikan sapu-sapu dan
uji parameter fisik-kimia kualitas perairan Sungai Ciliwung dilakukan di
Laboratorium Ekologi Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Gambar 4. Titik Sampling Pengambilan Ikan Sapu-sapu. (Sumber: Peta
Administrasi DKI Jakarta, Peta DAS (Daerah Aliran Sungai)
Ciliwung Jakarta, dan Hasil Pengamatan Lapangan).
16
3.2 Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain alat pengukuran
parameter air (spektrofotometer Uv-Vis, termometer, tali, tongkat skala, pH meter,
DO meter), box ikan, nampan, mistar, sarung tangan lateks, alat bedah/ dissecting
kit (gunting, pisau bedah, pinset, scalpel), kaca objek, kaca penutup, tisu,
mikroskop cahaya binokuler (Olympus), mikroskop stereo (Olympus), kertas
label, alat tulis, kamera (Handphone).
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain ikan sapu-sapu
(Pterygoplichthys pardalis), larutan garam fisiologis NaCl 0,9%, dan akuades.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Pengambilan sampel ikan sapu-sapu
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
survei, yaitu merupakan upaya pengumpulan informasi dari sebagian populasi
yang dianggap dapat mewakili populasi tertentu (Mantra, 2001). Penentuan titik
sampling pengambilan sampel ikan menggunakan metode purposive sampling
yang merupakan suatu teknik penentuan sampel yang dilakukan berdasarkan
pertimbangan maupun tujuan tertentu. Pertimbangan dari metode ini adalah titik
yang ditentukan dianggap mewakili keberadaan ikan sapu-sapu berdasarkan
informasi dari pengepul ikan sapu-sapu dan masyarakat setempat.
Total ikan sapu-sapu sebanyak 60 ekor ditangkap, jumlah tersebut mewakili
10% dari populasi yang ada (Bailey, 1984). Lokasi sampling terbagi ke dalam 3
titik (Cawang, Kalibata, dan Bidara Cina) dan setiap titik diambil sebanyak 20
ekor ikan sapu-sapu (P. pardalis). Ikan sapu-sapu yang diambil berukuran sedang
yaitu sekitar 90-250 gram dan panjangnya sekitar 20-35 cm.
Ikan yang sudah ditangkap kemudian dimasukkan ke dalam box ikan dan
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut di laboratorium. Ikan-ikan tersebut diletakkan
di kolam ikan yang telah diberi aerasi. Selain itu, dibawa pula sampel air untuk
diperiksa kemungkinan terdapat cacing parasit yang terdapat di sampel air
tersebut dan untuk keperluan uji parameter kualitas perairan Sungai Ciliwung
Jakarta.
17
3.3.2 Pengukuran kualitas perairan Sungai Ciliwung Jakarta
Penentuan titik sampling untuk pengamatan dan pengukuran parameter
lingkungan disamakan dengan titik pengambilan sampel ikan sapu-sapu.
Pengambilan data kualitas air dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan dengan
masing-masing jarak antar titik ulangan ± 5 meter dan dilakukan pada pagi hari
(pukul 08.00-10.00 WIB). Data kualitas air yang diukur berupa suhu, pH, oksigen
terlarut (DO), kebutuhan oksigen biokimia (BOD), kedalaman sungai, kecerahan,
kekeruhan, dan kecepatan arus. Selain itu, dilakukan pengukuran kandungan
fosfat (PO4) dan amonia (NH3) di Laboratarium Ekologi PLT Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.3.3 Pemeriksaan dan pengukuran sampel ikan sapu-sapu
Sampel ikan sapu-sapu yang telah diperoleh selanjutnya dibawa ke
Laboratorium Ekologi PLT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk diperiksa.
Sebelum dilakukan pemeriksaan mengenai infeksi parasit, terlebih dahulu
dilakukan pemeriksaan sampel dengan mengamati morfologi sampel ikan
tersebut. Pengamatan morfologi bertujuan untuk mengamati adanya kelainan
maupun gejala klinis yang berpotensi adanya parasit yang melekat pada tubuh
ikan.
Masing-masing sampel ikan yang ditangkap dilakukan pengukuran panjang
dan berat ikan. Selanjutnya sampel ikan diletakkan pada nampan, kemudian
diamati dengan memerhatikan morfologinya. Salah satu kelainan morfologi pada
ikan seperti adanya luka pada tubuh ikan tersebut.
3.3.4 Pemeriksaan cacing ektoparasit
Setelah dilakukan pemeriksaan sampel, selanjutnya dilakukan pemeriksaan
cacing parasitik pada bagian luar tubuh ikan (ektoparasit). Berdasarkan pada
penelitian sebelumnya mengenai pemeriksaan ektoparasit pada ikan, pemeriksaan
cacing ektoparasit pada ikan sapu-sapu dilakukan pada permukaan tubuh, sirip
dorsal, sirip pektoral, sirip kaudal, sirip anal, dan insang. Sampel lendir pada
permukaan tubuh dan sirip ikan dilakukan pengerokan atau scrapping, sedangkan
sampel insang digunting terlebih dahulu dan dilakukan pengerokan. Bagian kulit
18
yang diperiksa merupakan bagian sisik yang tebal dan keras pada tubuh bagian
lateral, sedangkan sampel ingsang yang diperiksa adalah bagian lemela terutama
lamela primer. Masing-masing sampel diletakkan pada kaca objek yang telah
ditetesi dengan larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%). Selanjutnya ditutup dengan
kaca penutup dan diamati menggunakan mikroskop cahaya maupun mikroskop
stereo.
3.3.5 Analisis data
Analisis data disajikan dalam bentuk tabel dan grafik, yang diolah
mengunakan Microsoft Excel 2010 dengan menghitung jumlah total ektoparasit
yang telah ditemukan dan menghitung prevalensinya. Selanjutnya, analisis data
yang digunakan untuk mengetahui kualitas air yang mempengaruhi keberadaan
ektoparasit diolah menggunakan uji statistik Principal Component Analysis (PCA)
pada program SPSS 2.2. Berikut merupakan rumus perhitungan untuk mengetahui
tingkat infeksi ektoparasit (Dogiel et al., 1961),
Prevalensi
.
Intensitas
Hasil perhitungan tingkat prevalensi dan intensitas infeksi ektoparasit
dimasukkan dalam kategori yang mengacu pada pengelompokan Williams dan
Williams (1996) (Tabel 1 dan Tabel 2),
Tabel 1. Kriteria prevalensi infeksi parasit (Williams & Williams, 1996)
No. Prevalensi (%) Kategori Keterangan
1. < 0,001 Almost never Infeksi tidak pernah
2. < 0,1 - 0,1 Very rarely Infeksi sangat jarang 3. < 1 - 0,1 Rarely Infeksi jarang
4. 9 - 1 Occasionally Infeksi kadang
5. 29 - 10 Often Infeksi sering 6. 49 - 30 Commonly Infeksi biasa
7. 69 - 50 Frequently Infeksi sangat sering
8. 89 - 70 Usually Infeksi sedang
9. 98 - 90 Almost always Infeksi parah 10. 100 - 99 Always Infeksi sangat parah
19
Tabel 2. Kriteria intensitas infeksi parasit (Williams & Williams, 1996).
No. Intensitas (ind/ ekor) Kategori
1. < 1 Sangat rendah
2. 1 – 5 Rendah
3. 6 – 55 Sedang
4. 51 – 100 Parah
5. > 100 Sangat parah
6. > 1000 Super infeksi
20
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Identifikasi Cacing Ektoparasit
Ikan sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) ditangkap sebanyak 20 ekor
ikan pada masing-masing titik sampling, sehingga total keseluruhan ikan yang
diperiksa sebanyak 60 ekor ikan. Ikan sapu-sapu (P. pardalis) yang terinfeksi
cacing ektoparasit berjumlah 35 dari total 60 ekor ikan yang diperiksa (Tabel 3).
Tabel 3. Genus dan jumlah cacing ektoparasit pada organ yang terinfeksi
Titik Sampling
∑Sampel (ekor)
Ikan yang terinfeksi
Spesies cacing ektoparasit
Organ yang terinfeksi Jumlah
ektoparasit I PT SD SP SK SA
Cawang 20 12 Benedenia sp. 1 244 8 2 33 0 288
Dactylogyrus sp. 0 0 0 0 0 0 0
Kalibata 20 13 Benedenia sp. 0 138 7 0 18 1 164
Dactylogyrus sp. 1 0 0 0 0 0 1
Bidara Cina
20 10 Benedenia sp. 0 123 12 2 9 0 146
Dactylogyrus sp. 4 0 0 0 0 0 4
Total 60 35
6 505 27 4 60 1 603
Keterangan : I= Insang PT= Permukaan Tubuh SD= Sirip Dorsal
SP= Sirip Pektoral SK= Sirip Kaudal SA= Sirip Anal
Hasil pemeriksaan ektoparasit pada ikan sapu-sapu ditemukan dua genus
cacing ektoparasit yaitu Benedenia sp. dan Dactylogyrus sp. (Tabel 3). Cacing
Benedenia sp. yang diperiksa banyak menginfeksi permukaan tubuh dan sirip,
sedangkan Dactylogyrus sp. hanya ditemukan pada bagian insang. Dactylogyrus
sp. ditemukan sebanyak 5 individu, masing-masing 1 individu di Kalibata dan 4
individu di Bidara Cina, namun cacing ini tidak ditemukan di Bidara Cina.
Benedenia sp. ditemukan dalam jumlah yang banyak dan mendominasi dari
ketiga titik sampling tersebut, dengan total keseluruhan sebanyak 598 individu
dari 603 individu cacing ektoparasit yang ditemukan. Benedenia sp. dari ketiga
titik sampling banyak menginfeksi permukaan tubuh yaitu sebanyak 505 individu.
Hal ini karena permukaan tubuh mempunyai permukaan yang lebih luas
dibandingkan dengan organ sirip, sehingga cacing ektoparasit lebih banyak
21
menyebar dan menginfeksi. Masing-masing bagian sirip yang terinfeksi dari yang
terbanyak secara berturut-turut yaitu sirip kaudal (pinna caudalis) sebanyak 60
individu, sirip dorsal (pinna dorsalis) sebanyak 27 individu, sirip pektoral (pinna
pectoralis) sebanyak 4 individu, dan sirip anal (pinna analis) sebanyak 1 individu,
serta ditemukan pula 1 individu pada bagian insang.
4.1.1 Benedenia sp.
Organ target ditemukannya parasit Benedenia sp. saat pemeriksaan adalah di
bagian permukaan tubuh dan sirip, namun hanya ditemukan satu individu pada
organ insang. Benedenia sp. terlihat memiliki bentuk tubuh pipih. Cacing
ektoparasit ini memiliki sepasang alat penghisap (sucker) pada bagian anterior
tubuh dan opisthapthor yang membulat pada bagian posterior tubuh, namun
sucker dan bintik mata yang terdapat pada bagian anterior dan posterior tidak jelas
terlihat (transparan) (Gambar 5). Hal ini sesuai dengan penelitian Jithendran et al.
(2005), yang melaporkan bahwa parasit ini memiliki bentuk pipih dorsoventral
dengan tubuh memanjang dengan ukuran tubuh 2,05-3,29 x 0,66-1,33 mm dan
memiliki dua pasang bintik mata pada bagian anterior dan posterior. Bintik mata
bagian anterior memiliki ukuran lebih kecil dari pada posterior. Selain itu,
Benedenia sp. memiliki ciri yang khas yaitu memiliki bentuk faring yang
bergelombang (gilig).
Gambar 5. Morfologi Benedenia sp.: A. Bagian anterior (perbesaran 10x40), B.
Bagian utuh (perbesaran 10x10), C. Bagian posterior (perbesaran
10x40).
Grabda (1991) mengklasifikasikan Benedenia sp. ke dalam Filum
Platyhelminthes, Kelas Trematoda monogenea, Ordo Dactylogyridae, Famili
50µm
A 1mm B C
22
23
Grabda (1991) mengklasifikasikan Dactylogyrus sp. ke dalam Filum
Platyhelminthes, Kelas Trematoda monogenea, Ordo Dactylogyridea, Famili
Dactylogyridae, Genus Dactylogyrus. Ektoparasit ini merupakan spesies cacing
yang memiliki bentuk tubuh memanjang, memiliki dua pasang mata dan sucker
pada bagian anterior. Bagian posterior terdapat 2 kait besar yang dikelilingi 14
kait lebih kecil yang umumnya berfungsi untuk menempel dan menginfeksi
jaringan pada insang ikan. Parasit ini mampu menginfeksi ikan air tawar, ikan air
payau, dan ikan air laut (Putri et al., 2016).
Dactylogyrus sp. merupakan parasit yang lebih sering ditemukan dan
menginfeksi ikan pada bagian insang. Beberapa penelitian sebelumnya
Dactylogyrus sp. lebih dominan ditemukan pada insang ikan nila (Oreochromis
nilotica) (Nurhayati & Eri, 2018; Putri et al., 2016) dan pada insang ikan nila
merah (Oreochromis sp.) (Irwandi & Wulandari, 2017). Penelitian Irwandi dan
Wulandari (2017) melaporkan bahwa Dactylogyrus sp. merupakan ektoparasit
yang bersifat menyerang organ spesifik terhadap insang, ektoparasit ini lebih
sering menyerang bagian insang yang menyebabkan permukaan insang tertutup,
rusaknya epitelium, dan ditambah dengan banyaknya produksi lendir yang akan
mengganggu pertukaran oksigen, sehingga menyebabkan ikan mati karena tidak
mampu bernafas.
Perkembangan parasit Dactylogyrus sp. mencapai dewasa terjadi di insang,
tepatnya di lamela primer insang. Oncomirasidium (larva cacing) masuk dan
memakan sel epitel lamela dan tulang rawan hialin yang ada pada lamela primer
dan membentuk kista di dalamnya, hal ini mengakibatkan terjadinya hiperplasia
sel epitel lamela dan tulang rawan hialin yang menyebabkan organ insang
membengkak (Grabda, 1991). Infeksi pada organ insang ikan sapu-sapu yang
diamati terlihat dilapisi lendir dan berwarna merah pucat (Tabel 4), hal ini sesuai
dengan penelitian Putri et al., (2016) yang menyatakan bahwa ikan yang terinfeksi
penyakit mengalami perubahan warna tubuh, sebagian atau seluruh insang
dipenuhi dengan lapisan lendir, terjadi pembengkakan, dan tampak pucat. Gejala
klinis ikan yang terinfeksi Dactylogyrus sp. yaitu ikan mengalami tidak seimbang
saat berenang.
24
25
Hasil pengamatan pada bagian organ insang ikan sapu-sapu
(Pterygoplichthys pardalis) yang terinfeksi ektoparasit memiliki warna yang lebih
pucat (memutih) dan berlendir. Pemeriksaan permukaan tubuh ikan sapu-sapu
yang terinfeksi parasit ditandai dengan adanya luka, sedangkan ikan yang sehat
memiliki warna tubuh yang stabil (tidak berubah-ubah) dan kondisi tubuh normal
tidak ada kelainan atau cacat. Selain itu bagian sirip dorsal, sirip pektoral, dan
sirip kaudal terlihat patah atau robek pada ikan yang terinfeksi (Tabel 4). Menurut
Afrianto dan Liviawaty (1992), ikan dikatakan sakit apabila terjadi gangguan atau
kelainan baik secara morfologi maupun fisiologinya. Adapun yang menjadikan
ciri-ciri ikan sakit seperti permukaan tubuh yang terjadi pendarahan, kulit ikan
mengelupas, selain itu sirip dada, sirip punggung, maupun sirip ekor sering
terlihat rusak dan pecah-pecah. Tingkat infeksi yang lebih hebat kadang-kadang
hanya tinggal jari-jari siripnya saja, serta kelainan pada insang ditandai dengan
perubahan warna insang menjadi keputih-putihan.
Penurunan daya tahan tubuh ikan terjadi karena adanya penularan penyakit
melalui air atau kontak langsung dengan ikan yang terinfeksi dan penularannya
akan didukung oleh rendahnya kualitas air sebagai habitat ikan tersebut. Selain
itu, kepadatan populasi yang tinggi menjadikan ikan mempunyai daya saing di
dalam memanfaatkan makanan, kebutuhan oksigen, dan ruang gerak, sehingga
tingkah laku ikan yang saling berkompetisi ini memicu timbulnya luka terbuka
pada tubuh luar ikan yang bisa menjadi jalan bagi masuknya sumber penyakit
(Diansari et al., 2013). Faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi tingkat
infeksi parasit (prevalensi dan intensitas) pada ikan.
4.2 Prevalensi dan Intensitas Infeksi Cacing Ektoparasit
Prevalensi merupakan nilai presentase yang diperoleh berdasarkan jumlah
ikan yang terinfeksi suatu parasit dari jumlah total ikan yang diperiksa, nilai ini
berfungsi untuk mengetahui banyaknya sampel ikan yang terinfeksi suatu parasit.
Intensitas adalah nilai yang diperoleh dari jumlah individu suatu parasit yang
ditemukan pada satu ekor ikan dan nilai ini berfungsi untuk mengetahui tingkat
infeksi suatu organisme parasit (Dogiel et al., 1961). Nilai prevalensi dan
intensitas infeksi cacing ektoparasit yang dihasilkan pada ikan sapu-sapu
26
(Pterygoplichthys pardalis) di Sungai Ciliwung Jakarta berbeda-beda pada
masing-masing titik sampling (Tabel 5).
Tabel 5. Prevalensi dan intensitas infeksi cacing ektoparasit
Titik
Sampling Spesies Parasit
Jumlah
Parasit (ind)
Jumlah ikan
yang
terinfeksi (ekor)
Jumlah ikan
yang
diperiksa (ekor)
Prevalensi
(%)
Intensitas
(ind/ekor)
Cawang
Benedenia sp. 288 12
20
60 24
Dactylogyrus
sp. 0 0 0 0
Kalibata
Benedenia sp. 164 13
20
65 13
Dactylogyrus
sp. 1 1 5 1
Bidara
Cina
Benedenia sp. 146 10
20
50 15
Dactylogyrus
sp. 4 2 10 2
Jumlah ikan sapu-sapu yang terinfeksi cacing ektoparasit dari ketiga titik
sampling yaitu sebanyak 35 ekor dari 60 ekor ikan yang diperiksa (Tabel 3), maka
nilai prevalensi yang dihasilkan yaitu 58,33%. Menurut Wiliams dan Williams
(1996), kriteria nilai prevalensi 58,33% berada pada kategori frequently atau
infeksi sangat sering karena memiliki nilai prevalensi pada kisaran 69-50%.
Lokasi masing-masing titik sampling yang berada didekat pusat kegiatan
masyarakat dan penduduk sekitar menjadikan kualitas air selama pengambilan
sampel tidak begitu baik, sesuai pula dengan laporan BPLHD DKI Jakarta (2011)
yang menyatakan aliran Sungai Ciliwung di Jakarta tergolong ke dalam cemaran
berat, sehingga hal ini menjadikan cacing ektoparasit relatif mudah berkembang
dan dengan cepat menginfeksi inangnya.
Tingkat prevalensi serangan cacing ektoparasit Benedenia sp. pada ketiga
titik sampling berada pada kategori frequently atau infeksi sangat sering karena
memiliki nilai prevalensi pada kisaran 69-50%. Masing-masing nilai prevalensi
yang dihasilkan dari ketiga titik sampling yaitu 60% di Cawang, 65% di Kalibata,
dan 50% di Bidara Cina (Tabel 5). Secara umum Benedenia sp. dapat berpindah
dari ikan satu ke ikan yang lainnya karena adanya kontak langsung antar ikan.
Tingginya nilai prevalensi oleh Benedenia sp. yang menginfeksi permukaan tubuh
dan sirip ikan sapu-sapu, dapat disebabkan karena permukaan tubuh dan sirip
merupakan organ tubuh yang berhubungan langsung dengan air yang
27
memudahkan parasit untuk menempel dan penularannya didukung dengan kondisi
daya tahan tubuh ikan yang menurun sehingga memicu cepatnya sebaran infeksi
oleh parasit (Diansari et al., 2013).
Nilai intensitas cacing ektoparasit Benedenia sp. dari ketiga titik sampling
tergolong sedang karena berada pada kisaran angka 6-55 individu/ ekor. Nilai
intesitas tertinggi yaitu berada di Cawang sebesar 24 individu/ ekor, sedangkan di
Kalibata memiliki nilai sebesar 13 individu/ ekor dan di Bidara Cina 15 individu/
ekor (Tabel 5). Penelitian Irwandi dan Wulandari (2017) menyatakan bahwa nilai
intensitas yang tinggi dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang mendukung
kehidupan ektoparasit dan kurang mendukung bagi kehidupan ikan. Hal ini
membuat pergerakan ikan menjadi lemah dan mudah terinfeksi penyakit.
Nilai prevalensi oleh cacing ektoparasit Dactylogyrus sp. pada ketiga titik
sampling berbeda-beda yaitu 0% di Cawang, 5% di Kalibata, dan 10% di Bidara
Cina (Tabel 5). Menurut Williams dan Williams (1996) kriteria nilai prevalensi
0% di Cawang berada pada kategori rarely atau infeksi jarang, nilai prevalensi di
Kalibata sebesar 5% berada pada kategori occasionally atau infeksi kadang dan di
Bidara Cina sebesar 10% berada pada kategori often atau infeksi sering. Nilai
intensitas cacing ektoparasit Dactylogyrus sp. pada titik sampling Cawang kurang
dari 1 individu/ ekor, Kalibata 1 individu/ ekor, dan Bidara Cina kurang 2
individu/ ekor. Menurut Williams dan Williams (1996) nilai intensitas ektoparasit
1-5 individu/ ekor termasuk ke dalam tingkat infeksi rendah dan < 1 individu/
ekor yang termasuk ke dalam tingkat infeksi sangat rendah.
Rendahnya nilai infeksi (prevalensi dan intensitas) spesies Dactylogyrus sp.
pada ikan sapu-sapu, karena cacing ektoparasit ini hanya ditemukan pada organ
insang ikan dan tidak ditemukan pada organ lainnya. Dactylogyrus sp. bersifat
menyerang organ spesifik terhadap insang dan sepanjang siklus hidupnya berada
pada organ insang. Pemeriksaan terhadap organ insang ikan sapu-sapu terlihat
sehat dan berwarna merah segar. Perbedaan hanya terlihat dari kondisi insang
yang tampak lebih pucat dan terdapat 3 organ insang yang terinfeksi Dactylogyrus
sp. dari total 60 ekor ikan yang diperiksa.
Nilai prevalensi dan intensitas pada setiap parasit tidak selalu sama karena
banyaknya faktor yang berpengaruh, salah satu faktor yang berpengaruh adalah
28
ukuran inang. Beberapa spesies ikan terutama ikan konsumsi, semakin besar
ukuran atau berat inang, semakin tinggi pula tingkat infeksi oleh parasit tertentu
(Nurhayati & Eri, 2018). Rahmaningsih (2016) menjelaskan bahwa faktor yang
mempengaruhi tingkat infeksi suatu parasit disebabkan oleh kemampuan adaptasi
parasit pada tubuh inang dan kecocokan inang untuk kelangsungan hidup parasit,
serta kualitas lingkungan.
Nilai prevalensi pada masing-masing organ menunjukkan hasil yang
berbeda. Hasil prevalensi kehadiran ektoparasit tertinggi berada pada permukaan
tubuh, sedangkan yang menunjukkan nilai terendah yang berada pada sirip anal
(pinna analis). Nilai prevalensi tertinggi mencapai presentase 58,3% yaitu pada
bagian permukaan tubuh (Gambar 7). Nilai prevalensi yang berkisar 69-50%
termasuk ke dalam kategori frequently atau infeksi sangat sering (Williams &
Williams, 1996).
Gambar 7. Nilai Prevalensi (%) pada Organ Ikan Sapu-sapu
Permukaan tubuh yang diperiksa yaitu bagian sisik atau kulit dari lateral
tubuh ikan sapu-sapu. Tingginya ektoparasit yang menginfeksi kulit dikarenakan
kulit merupakan salah satu bagian yang berhubungan langsung dengan air yang
menjadikan parasit lebih mudah menempel dibagian kulit dibandingkan dengan
organ tubuh lainnya (Kabata, 1985). Selain itu, permukaan tubuh mempunyai
0
10
20
30
40
50
60
70
Insang Permukaan
Tubuh
Sirip Dorsal Sirip
Pektoral
Sirip
Kaudal
Sirip Anal
Nila
i pre
vale
nsi
(%
)
Organ yang diperiksa
29
permukaan yang lebih luas dibandingkan dengan organ tubuh lain, sehingga
cacing ektoparasit lebih banyak menyebar dan menginfeksi.
Bagian sirip kaudal (pinna caudalis) memiliki nilai prevalensi lebih besar
yaitu 26,7% dibandingkan pada bagian sirip lainnya. Sirip dorsal (pinna dorsalis)
memiliki nilai prevalensi sebesar 20%, sirip pektoral (pinna pectoralis) 5%, dan
sirip anal (pinna analis) 1,7% (Gambar 7). Tingkat infeksi pada sirip kaudal dan
sirip dorsal termasuk ke dalam kategori often atau sering, karena berada pada
kisaran 29-10% sesuai dengan pendapat Williams dan Williams (1996) yang
mengkategorikan infeksi berdasarkan prevalensi. Tingkat infeksi pada sirip
pektoral dan sirip anal termasuk ke dalam kategori occasionally atau kadang,
karena berada pada kisaran 9-1%. Sirip anal memiliki nilai prevalensi terendah,
hal ini dikarenakan sirip anal mempunyai luas permukaan yang lebih kecil jika
dibandingkan dengan sirip-sirip lainnya yang menjadikan hanya satu individu
ektoparasit yang ditemukan.
Secara umum sirip berfungsi untuk membantu menstabilkan ikan ketika
berenang dan organ ini memiliki kontak langsung dengan lingkungan abiotiknya
berupa air dan lumpur (Martin et al., 1998). Ikan sapu-sapu mempunyai kebiasaan
menggali lubang sepanjang tepian sungai menggunakan mulut dan siripnya
(Qoyyimah et al., 2016), hal ini membuat sirip dengan mudah terpapar parasit.
Sirip kaudal atau sirip ekor dapat dikatakan sebagai dayung yang terus-menerus
bergerak untuk membantu ikan berenang, sehingga pergerakannya lebih aktif
dibandingkan dengan sirip-sirip yang lain (Martin et al., 1998).
Insang pada ikan sapu-sapu terletak pada bagian ventral tubuh sama seperti
letak mulutnya (Samat et al., 2008). Nilai prevalensi pada organ insang yang
diamati memiliki nilai prevalensi yaitu sebesar 5% (Gambar 7). Tingkat infeksi
pada insang termasuk ke dalam kategori occasionally atau kadang, karena berada
pada kisaran 9-1%. Beberapa penelitian mengenai identifikasi parasit ikan
(Nurhayati & Eri, 2018; Putri et al., 2016), didapatkan hasil dengan nilai infeksi
pada insang yang dominan atau tertinggi. Hal ini dikarenakan masuk keluarnya air
pada saat melakukan proses respirasi melalui mulut dan insang, akan
meninggalkan salah satunya organisme air yaitu parasit ikan yang dapat
menempel dan menginfeksi permukaan insang (Moller & Anders, 1986). Selain
30
0
10
20
30
40
50
60
70
Cawang Kalibata Bidara Cina
Nil
ai
pre
vale
nsi
(%
)
itu, insang merupakan organ pernapasan yang langsung bersentuhan dengan
lingkungan sekitarnya yang menyaring bahan-bahan yang terlarut, menyaring
partikel-partikel pakan, dan mengikat oksigen (Ismi et al., 2019). Ikan sapu-sapu
memiliki alat pernafasan berupa labirin yang berfungsi untuk menyimpan
cadangan oksigen yang digunakan pada saat ikan berada pada lingkungan dengan
kadar oksigen rendah (Geerinckx et al., 2007).
4.3 Hubungan Parameter Kualitas Air dengan Keberadaan Cacing
Ektoparasit
Nilai prevalensi pada ketiga titik sampling menunjukkan hasil yang tidak
jauh berbeda. Masing-masing persentase prevalensi yang diperoleh dari ketiga
titik sampling yaitu 60% di Cawang, 65% di Kalibata, dan 50% di Bidara Cina
(Gambar 8). Menurut Williams dan Williams (1996) nilai prevalensi yang berada
pada kisaran 69-50% termasuk ke dalam kategori frequently atau infeksi sangat
sering.
Gambar 8. Nilai Prevalensi (%) dari Ketiga Titik Sampling
Faktor yang menunjukkan tingginya tingkat infeksi cacing ektoparasit dari
ketiga titik sampling, salah satunya karena kondisi perairan Sungai Ciliwung
berada dalam kondisi tercemar berat, mulai dari hulu (daerah Puncak, Kab.
Bogor) sampai dengan hilir (di DKI Jakarta) (Yudo & Said, 2018). Lokasi dari
31
ketiga titik sampling berada di tengah kota Jakarta yang alirannya dekat dan
melintasi banyak perkampungan, perumahan padat, dan pemukiman-pemukiman
kumuh (BPLHD DKI Jakarta, 2011). Kondisi air pada titik sampling Cawang,
Kalibata, dan Bidara Cina saat pengamatan sangat keruh karena dekat dengan
pemukiman warga yang menyebabkan adanya buangan limbah rumah tangga yang
masuk ke dalam perairan tersebut (Gambar 9). Selain disebabkan karena berada
didekat pemukiman warga, lokasi masing-masing titik sampling dekat dengan
pusat kegiatan masyarakat seperti mal, pasar tradisional, dan perusahaan-
perusahaan. Limbah domestik saat ini menjadi penyumbang terbesar terjadinya
pencemaran air sungai seperti pembuangan tinja, bekas air cucian dapur maupun
kamar mandi, dan sampah rumah tangga. Limbah domestik dan limbah industri
mengandung berbagai jenis bahan pencemar yang berkontribusi terhadap
buruknya kualitas air sungai (International River Foundation, 2011).
Gambar 9. Kondisi Titik Sampling di Sungai Ciliwung Jakarta: A. Cawang,
B. Kalibata, C. Bidara Cina.
B
R
iv
er
F
o
u
n
d
at
io
n,
2
0
1
1)
.
C R
iv
er
F
o
u
n
d
at
io
A
R
iv
er
F
o
u
n
d
at
io
n,
2
0
1
1
).
32
Jumlah spesies cacing yang ditemukan di Cawang (288 individu) lebih
banyak dibandingkan di Kalibata (164 individu), namun nilai prevalensi yang
diperoleh di Kalibata lebih tinggi yaitu sebesar 65% dibandingkan dengan
Cawang (60%) dan Bidara Cina (50%) (Gambar 8). Hal ini menunjukkan adanya
kemerataan penyebaran infeksi oleh cacing ektoparasit, sehingga jumlah ikan
sapu-sapu yang terinfeksi di Kalibata lebih banyak dibandingkan dari dua titik
sampling lainnya. Kondisi ini sesuai dengan data pengukuran yang menunjukkan
kecepatan arus di Kalibata lebih tinggi dibandingkan dari kedua titik sampling
lainnya (Tabel 6), hal ini dapat menyebabkan distribusi ikan akan menyebar cepat
dan mempengaruhi penyebaran cacing ektoparasit. Selain itu, kandungan amonia
pada perairan Kalibata cukup tinggi (Tabel 6), yang menyebabkan kondisi air di
Kalibata saat pengamatan berwarna lebih gelap (Gambar 9).
Tabel 6. Hasil pengukuran kualitas air pada ketiga titik sampling
Keterangan * : PP No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air Kelas II
Sungai dikatakan tercemar jika kualitas airnya sudah tidak sesuai dengan
peruntukannya, hal ini didasarkan pada baku mutu kualitas air kelas II yaitu
sebagai sumber air minum dan kegiatan pembudidayaan ikan berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air
dan Pengendalian Pencemaran Air. Pengamatan kualitas air bertujuan untuk
mengetahui perubahan kualitas air, kualitas air yang buruk dapat menyebabkan
adanya serangan parasit pada biota air yang hidup pada perairan tertentu. Kondisi
Parameter
pengukuran
Baku
Mutu*
Titik Sampling
Cawang Kalibata Bidara
Cina
Suhu (°C) deviasi 3 28,1 28,5 27,9
pH 6 - 9 6,5 6,7 6
Kedalaman (cm) - 84 50 49
Kekeruhan (FTU) - 42,39 29,35 36,53
Kecepatan arus (m/s) - 0,4 5,3 0,3
BOD (mg/L) 3 5,7 3,8 4,8
Fosfat (ppm) 0,2 0,3 0,04 0,01
Amonia (ppm) 1 3,6 2,7 0,6
DO (mg/L) 4 5,93 4,66 4,01
33
perairan di Sungai Ciliwung Jakarta dapat mempengaruhi kelangsungan hidup
ikan maupun ektoparasit yang menginfeksi ikan sapu-sapu.
Parameter yang diukur pada perairan sungai Ciliwung Jakarta meliputi suhu,
pH, kedalaman, kekeruhan, kecepatan arus, BOD, dan DO, serta mengukur
kandungan senyawa kimia berupa fosfat dan amonia. Masing-masing parameter
tersebut diperoleh data suhu sekitar 27,9-28,5 oC, pH 6-6,7, kedalaman 49-84 cm,
kekeruhan 29,35-42,39 FTU, kecepatan arus 0,3-5,3 m/s, , BOD 3,8-5,7 mg/l, DO
4,01-5,93 mg/l, dengan kandungan fosfat sekitar 0,01-0,3 ppm dan amonia sekitar
0,6-3,6 ppm (Tabel 6). Nilai pengukuran suhu dan pH air berada pada kondisi
yang optimal ikan sapu-sapu untuk tumbuh dan berkembang. Pterygoplichthys
spp. dapat ditemukan di perairan dalam kondisi asam dan basa yaitu pH 5,5
hingga 8,0 dan memiliki rentang suhu air yang lebih hangat yaitu diantara 21-
29ºC (Hossain et al., 2018).
Hasil dari pengukuran parameter kualitas air tersebut, kemudian dilakukan
uji stastistik PCA (Principal Component Analysis) untuk mengetahui korelasi atau
hubungan antara keberadaan ektoparasit dengan kuliatas perairan yang terdapat di
Sungai Ciliwung Jakarta. Hasil output KMO (Kaiser-Meyer-Olkin) yaitu 0,636
dengan nilai signifikasi 0,000 (Lampiran 3). Nilai KMO yang diperoleh dapat
dianalisis lebih lanjut karena mempunyai nilai lebih besar dari 0,50 (0,636 > 0,50)
dan nilai signifikasi juga dapat dianalisis lebih lanjut karena mempunyai nilai
lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,50).
Nilai component matrix dapat berfungsi untuk mengetahui parameter apa
yang paling mempengaruhi kehadiran cacing ektoparasit yang menginfeksi ikan
sapu-sapu. Korelasi antara suatu variabel dengan faktor 1 dan faktor 2 ditunjukkan
pada angka yang terdapat di dalam tabel yang disebut dengan factor loading. Nilai
factor loading yang melebihi tujuh ( >7) merupakan nilai yang disarankan sebagai
penentu komponen faktor (Elpira, 2014). Berdasarkan tabel output component
matrix menunjukkan distribusi ketujuh parameter membentuk 2 faktor utama.
Parameter kedalaman (0,993), kekeruhan (0,747), BOD (0,766), DO (0,981),
fosfat (0,999), dan amonia (0822), berkontribusi pada faktor 1, sedangkan
kecepatan arus (0,785) lebih berkontribusi pada faktor 2 (Tabel 7).
34
Tabel 7. Hasil output component matrix
Nilai eigenvalue yang diperoleh menunjukkan ketujuh parameter tersebut
mempengaruhi keberadaan cacing ektoparasit pada ikan sapu-sapu di Sungai
Ciliwung Jakarta. Nilai eigenvalue yang paling mendekati 1,00 adalah parameter
yang paling berpengaruh, berdasarkan tabel didapatkan parameter kandungan
fosfat sebesar 0,999 dan kedalaman sebesar 0,993 (Tabel 7). Hal ini menunjukan
bahwa kandungan fosfat dan kedalaman paling berpengaruh terhadap adanya
cacing ektoparasit pada ikan sapu-sapu. Namun interpretasi hasil dilakukan
dengan melihat nilai komponen yang terdapat dalam rotasi matriks yang bertujuan
untuk menstabilkan dan memperjelas letak suatu variabel dalam faktor.
Komponen matriks rotasi (rotated component matrix) adalah matriks
korelasi yang memperlihatkan distribusi variabel yang lebih jelas dan nyata
dibandingkan component matrix (Elpira, 2014). Hasil dari component plot in
rotated space berfungsi untuk mengetahui hubungan yang positif atau negatif dari
setiap variabel yang diuji. Hasil analisis yang diperoleh menunjukkan bahwa
parameter kekeruhan dan konsentrasi BOD memiliki hubungan yang positif
(Gambar 10). Hubungan positif kedua faktor tersebut menunjukan bahwa
parameter kekeruhan dan konsentrasi BOD paling berpengaruh terhadap
keberadaan cacing ektoparasit pada ikan sapu-sapu di perairan Sungai Ciliwung
Jakarta.
35
Gambar 10. Hasil Output Component Plot in Rotated Space
Korelasi positif antara kekeruhan dan konsentrasi BOD dibuktikan dengan
hasil pengukuran kualitas air (Tabel 6), yang menyatakan bahwa semakin besar
nilai kekeruhan maka diikuti pula semakin tinggi nilai BOD yang dihasilkan.
Kekeruhan didefinisikan sebagai kondisi air yang disebabkan oleh adanya materi
tersuspensi (partikel tanah liat, lumpur, koloid tanah, dan organisme perairan) di
dalam perairan yang mengakibatkan warna air semakin gelap (Effendi, 2003).
Penyebab lain dari kekeruhan diantaranya seperti tingginya debit limbah, aktifitas
pertanian, dan kegiatan manusia (industri, petambangan, dan kontruksi) (Boyd,
1990). Nilai kekeruhan yang tinggi juga disebabkan oleh lubang yang dibuat oleh
ikan sapu-sapu di sekitar lingkungan riparian dengan pembuatan terowongan
pemijahan sehingga menyebabkan terjadinya erosi (Ende, 2014).
Biological oxygen demand (BOD) merupakan sebagai suatu ukuran jumlah
oksigen yang digunakan oleh populasi mikroba yang terkandung dalam perairan
sebagai respon terhadap masuknya bahan organik yang dapat diurai (Odum,
1993). Banyaknya limbah organik yang dilepaskan ke perairan, maka nilai BOD
yang dihasilkan akan semakin meningkat. Semakin besar konsentrasi BOD
36
mengindikasikan bahwa perairan tersebut tercemar (Effendi, 2003). Berdasarkan
hasil pengukuran pada masing-masing titik sampling (Tabel 6), konsentrasi BOD
dari ketiga lokasi berada diatas baku mutu (melebihi 3mg/L). Kondisi ini
mengindikasikan Sungai Ciliwung Jakarta tercemar dan menyebabkan adanya
organisme parasit, salah satunya yaitu cacing ektoparasit yang menginfeksi ikan
sapu-sapu (P. pardalis).
37
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Cacing ektoparasit yang terindentifikasi berjumlah 2 genus, yaitu Benedenia
sp. dan Dactylogyrus sp. yang tergolong ke dalam Filum Plathyhelmintes, Kelas
Trematoda dan Subkelas Monogenea. Nilai prevalensi pada titik sampling
Cawang 60%, Kalibata 65%, dan Bidara Cina 50%. Nilai prevalensi dari ketiga
titik sampling tersebut termasuk ke dalam kategori infeksi sangat sering. Nilai
prevalensi organ tertinggi sebesar 58,3% yang menginfeksi bagian permukaan
tubuh ikan sapu-sapu karena mempunyai permukaan yang lebih luas dibandingkan
orang tubuh lainnya.
5.2 Saran
Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai pemeriksaan ektoparasit
selain dari infeksi kecacingan dan perlu dilakukan pemeriksaan endoparasit pada
ikan sapu-sapu. Hal ini berguna untuk mengetahui tingkat keamanan ikan
sapu-sapu sebagasi ikan konsumsi saat ini. Selain itu dalam pemanfaatannya, ikan
sapu-sapu perlu dimasak terlebih dahulu sebelum dikonsumsi agar meminimalisir
tingkat kontaminasi logam berat dan parasit yang terdapat pada ikan tersebut.
38
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E., & Liviawaty, E. (1992). Pengendalian hama dan penyakit ikan.
Kanisius. Yogyakarta.
Armbruster, J. W. (2004). Phylogenetic relationships of the suckermouth
armoured catfishes (Loricariidae) with emphasis on the Hypostominae and
the Ancistrinae. Zoological Journal of the Linnean Society, 141(1), 1- 80.
DOI: 10.1111/j.1096-3642.2004.00109.x.
Armbruster, J. W., & Page, L. M. (2006). Redescription of Pterygoplichthys
punctatus and description of a new species of Pterygoplichthys
(Siluriformes: Loricariidae). Neotropical Ichthyology, 4(4), 401-409.
DOI: 10.1590/s1679-62252006000400003.
Badan Pengawas Obat dan Makanan. (2018). Perkembangan temuan parasit
cacing pada produk ikan makerel kaleng. Diakses dari
https://pom.go.id/new/more/, pada 4 November 2019.
Bailey, J. A. (1984). Principles of Wildlife Management. Colorado State
University. USA.
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi KKP. (2013). Database
nilai gizi ikan. Diakses dari http://www.bbp4b.litbang.kkp.go.id/, pada 12
Maret 2018.
Balai Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta. (2011). Laporan Status
Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta.
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum Ciliwung. (2013). Laporan
Rencana Pengelolaan DAS Ciliwung Terpadu Tahun 2013.
Boyd, C. E. (1990). Water quality in ponds for aquaculture. Birmingham
Publishing Co. Birmingham, Alabama.
Buchmann, K., & Bresciani, J. (2001). An introduction to parasitic diseases of
freshwater trout. DSR Publisher. Denmark.
Dawes, D. (1956). The trematoda. The Syndics of The Cambridge University
Press. Cambridge.
Diansari, RR. V. R., Arini, E., & Elfitasari, T. (2013). Pengaruh kepadatan yang
berbeda terhadap kelulushidupan dan pertumbuhan ikan nila (Oreochromis
niloticus) pada sistem resirkulasi dengan filter zeolit. Jurnal Aquakultur
Manajemen dan Teknologi, 2(3), 37-45.
39
Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta. (2017). Laporan Dinas
Lingkungan Hidup (DLH) mengenai kualitas air Sungai Ciliwung. Diakses
dari https://www.medcom.id/nasional/metro/VNnRYxXN-kualitas-air-
ciliwung-mencemaskan, pada 9 Desember 2018.
Dogiel, V. A. G, Petrushevki, G. K., & Polyanski, I. (1961). Parasitology of
fishes. T. F. H. Publisher. Hongkong.
Effendi, H. (2003). Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumber daya dan
lingkungan perairan. Kanisius. Yogyakarta.
Elfira, F. (2014). Penerapan analisis faktor untuk menentukan faktor-faktor yang
mempengaruhi mahasiswa dalam memilih jurusan matematika Fakultas
Sains dan Teknologi Islam Negeri Alauddin Makasar. Skripsi. Makasar.
Ende, O. V. D. (2014). Burrowing by sailfin catfish (Pterygoplichthys sp.): A
potential cause of erosion in disturbed environments. Aquatic Nuisance
Species, 14 (1), 1-9.
Food and Agriculture Organization. (2005). Corporate document repository.
Diakses dari http://www.fao.org/DOCREP/004, pada 18 Maret 2018.
Geerinckx, T., Brunain, M., Herrel, A., Aerts, P., & Adriaens, D. (2007). A head
with a suckermouth: A fuctional-morphological study of the head of the
suckermouth armoured catfish Ancistrus cf. triradiatus (Loricariidae,
Siluriformes). Belgian Journal of Zoology, 137(1), 47-66.
Grabda, J. (1991). Marine fish parasitology: An Outline. Polish Scientific
Publishers, Warsawa. New York.
Handajani, H. (2005). Parasit dan penyakit ikan. UMM Press. Malang.
Hardi. (2013). Analisis kandungan logam berat merkuri (Hg) pada daging ikan
sapu-sapu (Pterygoplichthys pardalis) di Sungai Ciliwung. Diakses dari
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/64582, pada 31 Januari 2019.
Hendrawan, D., Fachrul, M. F., Nugrahadi. A. A., & Sitawati, A. (2005).
Perubahan guna lahan terhadap kualitas air di DAS Ciliwung. Loporan
Penelitian Unggulan Trisakti VII. Lemlit Usakti. Jakarta.
Hermanto, S. (2014). Karakteristik fisikokimia gelatin kulit ikan sapu-sapu
(Hyposarcus pardalis) hasil ekstraksi asam. Jurnal Kimia Valensi, 4(2),
109-120. DOI: 10.15408/jkv.v0i0.3608.
Hossain, M. Y., Vadas, R. L., Ruiz-Carus, R., & Galib, S. M. (2018). Amazon
sailfin catfish Pterygoplichthys pardalis (Loricariidae) in Bangladesh. A
critical review of its invasive threat to native and endemic aquatic species.
Fishes, 3 (14), 1-12. DOI: 10.3390/fishes3010014.
40
International River Foundation. (2011). Help Save The Ciliwung River Indonesia.
Diakses dari http://www.riverfoundation.org.au/event.php?e=1289, pada 31
Januari 2019.
Ismi, L. N., Elfidasari, D., Puspitasari, R. L., & Sugoro, I. (2019). Kandungan 10
jenis logam berat pada daging ikan sapu-sapu (Pterygopplichthys pardalis)
asal Sungai Ciliwung Wilayah Jakarta. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri
Sains dan Teknologi, 5(2), 56. DOI: 10.36722/sst.v5i2.350.
Jithendran, K. P., Vijayan, K. K., Alavandi, S. V., & Kailasam, M. (2005).
Benedenia epinepheli (Yamaguti 1937), a monogenean parasite in captive
broodstock of grouper, Epinephelus tauvina (Froskal). Asian Fisheries
Science, 18, 121.
Kabata, Z. (1985). Parasites and disease of fish cultured in the tropics. Taylor and
Francis. London.
Keputusan Gubernur Kepala DKI Jakarta Nomor 582 Tahun 1995. Tentang
Penetapan Peruntukan dan Baku Mutu Air Sungai/ Badan Air Serta Baku
Limbah Cair di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (2010). Jumlah spesies ikan air tawar asli
Sungai Ciliwung menciut 92,5 persen. Diakses dari
http://biologi.lipi.go.id/index.php/laboratorium-zoologi/ekologi-hewan/,
pada 19 Maret 2019.
Lestari, W. (2014). Dampak introduksi ikan di perairan. Laboran Ekologi
Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.
Mantra, I. B. (2001). Langkah-langkah penelitian survei, usulan penelitian dan
laporan penelitian. Badan Penerbit Fakultas Geografi, UGM. Yogyakarta.
Marimin. (2010). Komoditi ikan konsumsi, peluang, dan tantangan. IPB. Bogor.
Martin, K. L. M., & Graham, J. B. (1998). Air-breathing fishes: evolution,
diversity, and adaptation. Copeia, 1998(1), 254. DOI: 10.2307/1447734.
Moller, H., & Anders, K. (1986). Diseases and parasites of marine fishes. Verlag
Moller. Germany.
Murdy, E. O., Kottelat, M., Whitten, A. J., Kartikasari, N., & Wirjoatmodjo, S.
(1994). Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Copeia,
1994(3), 830. DOI: 10.2307/1447208.
Noga, E. J. (2011). Fish disease: diagnosis and treatment. Wiley Balckwell. USA.
41
Notohadiprawiro, T. (1981). Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Program
Penghijauan. Kajian Penataran Pembangunan, Pedesaan, dan Pertanian.
Staf Departemen Pertanian di Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.
Nurhayati, R., & Eri, Y. (2018). Prevalensi ektoparasit pada benih ikan nila
(Oreochromis nilotucus) pada kolam budidaya di Desa Baru Ladang Bambu
Kecamatan Medan Tuntungan. Diakses dari
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/12236, pada tanggal 12
Oktober 2019.
Odum, E. P. (1993). Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan Tjahjono Samingan. Edisi
Ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Olsen, O. W. (1974). Animal parasites, their life cycle and ecology. University of
Park Press. Baltimore, London and Tokyo.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 35 Tahun 1991. Tentang Sungai. Departemen
Pekerjaan Umum. Jakarta.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2011. Tentang Pengelolaan Kualitas
Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Kementrian Lingkungan Hidup.
Jakarta.
Puspitasari, A. F. (2013). Identifikasi dan prevalensi cacing ektoparasit pada ikan
kembung (Rastrelliger sp.) di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong,
Lamongan. Diakses dari http://
http://repository.unair.ac.id/26304/1/PUSPITASARI%2C%20AYUN%20F.
pdf, pada 7 Februari 2018.
Putri, S. M., Haditomo, A. H. C., & Desrina. (2016). Infestasi monogenea pada
ikan konsumsi air tawar di Kolam Budidaya Desa Ngrajek Magelang.
Aquaculture Management and Technology, 5(1), 162-170. DOI:
10.1016/j.cmet.2009.10.009.
Qoyyimah, F. D., Elfidasari, D., & Fahmi, M. R. (2016). Identifikasi Ikan Sapu-
sapu (Loricariidae) berdasarkan karakter pola abdomendi perairan
Ciliwung. Jurnal Biologi Udayana, 20(1), 40-43. DOI:
10.24843/jbiounud.2016.v20.i01.p07.
Rahmaningsih, S. (2016). Hama dan penyakit ikan. Deepblisher. Yogyakarta.
Samat, a., Shukor, M. N., Mazlan, a. G., Arshard, a., & Fatimah, M. Y. (2008).
Length-weight relationship and condition factor of Pterygopplichthys
pardalis (Pisces: Loricariidae) in Malaysia Peninsula. Research Journal of
Fisheries and Hydrobiology, 3(2), 48-53. DOI: 10.1111/j.1096-
3642.1978.tb01045.x.
42
Scholz, T. (1999). Parasites in cultured and feral fish. Veterinary Parasitology,
84(3-4), 317-335. DOI: 10.1016/S0304-4017(99)00039-4.
Tunjungsari, R. M. (2007). Pemanfaatan ikan sapu-sapu (Hyposarcus pardalis)
dalam pembuatan keripik ikan. Diakses dari
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/48387, pada tanggal 3 Maret
2018.
Williams, E. H., & Williams, L. B. (1996). Parasites offshore big game fishes of
Puerto Rico and The Western Atlantic. Puerto Rico. Dapartement of Natural
Enviromental Risourses, Rio Piedras.
Wowor, D. (2010). Studi biota perairan dan herpetofauna di Daerah Aliran
Sungai (DAS) Ciliwung dan Cisadane: Kajian hilangnya keanekaragaman
hayati. Pusat Penelitian Biologi LIPI, Bogor.
Yanong, R. P. E. (2002). Nematode (roundworm) infection in fish 1. University of
Florida, (August), 1-9.
Yudo, S. (2010). Kondisi kualitas air Sungai Ciliwung di Wilayah DKI Jakarta
ditinjuau dari parameter organik, amoniak, fosfat, deterjen, dan bakteri coli.
Jai, 6(1), 8.
Yudo, S., & Said, N. I. (2018). Status kualitas air Sungai Ciliwung di Wilayah
DKI Jakarta studi kasus: pemasangan stasiun online monitoring kualitas air
di Segmen Kelapa Dua - Masjid Istiqlal. Jurnal Teknologi Lingkungan,
19(1), 13. DOI: 10.29122/jtl.v19i1.2243.
44
Lampiran 2. Perhitungan Nilai Prevalensi dan Intensitas Infeksi Cacing
Ektoparasit pada Ikan Sapu-sapu
1. Nilai prevalensi infeksi Benedenia sp.
a) Cawang
Jumlah ikan yang diperiksa = 20 ekor
Jumlah ikan yang terinfeksi = 12 ekor
= 60%
b) Kalibata
Jumlah ikan yang diperiksa = 20 ekor
Jumlah ikan yang terinfeksi = 13 ekor
= 65%
c) Bidara Cina
Jumlah ikan yang diperiksa = 20 ekor
Jumlah ikan yang terinfeksi = 10 ekor
= 50%
2. Nilai prevalensi infeksi Dactylogyrus sp.
a) Cawang
Jumlah ikan yang diperiksa = 20 ekor
Jumlah ikan yang terinfeksi = 0 ekor
= 0%
b) Kalibata
Jumlah ikan yang diperiksa = 20 ekor
Jumlah ikan yang terinfeksi = 1 ekor
= 5%
c) Bidara Cina
Jumlah ikan yang diperiksa = 20 ekor
Jumlah ikan yang terinfeksi = 2 ekor
= 10%
3. Nilai intensitas infeksi Benedenia sp.
a) Cawang
Jumlah parasit A = 288 individu
Jumlah ikan yang terinfeksi parasit A = 12 ekor
= 24 ind/ekor
b) Kalibata
Jumlah parasit A = 164 individu
Jumlah ikan yang terinfeksi parasit A = 13 ekor
= 13 ind/ekor
45
c) Bidara Cina
Jumlah parasit A = 146 individu
Jumlah ikan yang terinfeksi parasit A = 10 ekor
= 15 ind/ekor
4. Nilai intensitas infeksi Dactylogyrus sp.
a) Cawang
Jumlah parasit B = 0 individu
Jumlah ikan yang terinfeksi parasit B = 0 ekor
= 0 ind/ekor
b) Kalibata
Jumlah parasit B = 1 individu
Jumlah ikan yang terinfeksi parasit B = 1 ekor
= 1 ind/ekor
c) Bidara Cina
Jumlah parasit B = 4 individu
Jumlah ikan yang terinfeksi parasit B = 2 ekor
= 2 ind/ekor
5. Nilai prevalensi dari keseluruhan total ikan yang diperiksa
Jumlah ikan yang diperiksa = 60 ekor
Jumlah ikan yang terinfeksi = 35 ekor
= 58,33%
6. Nilai prevalensi dari masing-masing organ yang diperiksa
a) Insang
Jumlah ikan yang diperiksa = 60 ekor
Jumlah ikan yang terinfeksi = 3 ekor
= 5%
b) Permukaan tubuh
Jumlah ikan yang diperiksa = 60 ekor
Jumlah ikan yang terinfeksi = 35 ekor
= 58,3%
c) Sirip dorsal
Jumlah ikan yang diperiksa = 60 ekor
Jumlah ikan yang terinfeksi = 12 ekor
= 20%
d) Sirip pektoral
Jumlah ikan yang diperiksa = 60 ekor
Jumlah ikan yang terinfeksi = 5 ekor
= 5%
46
e) Sirip kaudal
Jumlah ikan yang diperiksa = 60 ekor
Jumlah ikan yang terinfeksi = 16 ekor
= 26,7%
f) Sirip anal
Jumlah ikan yang diperiksa = 60 ekor
Jumlah cacing yang terinfeksi = 1 ekor
= 1,7%
7. Nilai prevalensi dari masing-masing titik sampling
a) Cawang
Jumlah ikan yang diperiksa = 20 ekor
Jumlah ikan yang terinfeksi = 12 ekor
= 60%
b) Kalibata
Jumlah ikan yang diperiksa = 20 ekor
Jumlah ikan yang terinfeksi = 13 ekor
= 65%
c) Bidara Cina
Jumlah ikan yang diperiksa = 20 ekor
Jumlah ikan yang terinfeksi = 10 ekor
= 50%
47