Upload
others
View
32
Download
0
Embed Size (px)
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 1
Hukum Perdata:
Pengertian Hukum Perdata
❖ Uraian mengenai hukum perdata tentang istilah hukum perdata menurut para ahli dan perbandingan
hukum perdata dengan hukum publik.
Manusia dikodratkan untuk selalu hidup bersama demi hidupnya, menimbulkan satu
jenis hukum yang ketentuannya mengatur tentang kehidupan itu dan dinamakan hukum
perdata (privat recht). Perkataan hukum perdata dalam arti luas meliputi ketentuan-ketentuan
dalam hukum perdata materiil yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan.
Hukum perdata materiil ini sering juga disebut “hukum sipil”, tetapi karena kata “sipil” lazim
digunakan sebagai lawan dari kata “militer”, sebaiknya terhadap pemakaian istilah kita
gunakan “hukum perdata” saja.
Istilah Hukum Perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai
terjemahan dari Burgerlijkrecht di masa penjajahan Jepang. Hukum perdata disebut juga
hukum sipil (civilrecht) dan hukum privat (privatrecht). Definisi Hukum Perdata menurut
para ahli:
1. Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan,
❖ Hukum yang mengatur kepentingan warga negara perseorangan yang satu dengan
perseorangan yang lainnya.
2. Prof. Soediman Kartohadiprodjo,
❖ Hukum yang mengatur kepentingan perseorangan yang satu dengan perseorangan
yang lainnya.
3. Prof. R. Soebekti,
❖ Hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materiil, yaitu segala
hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan Perseorangan. Adapun
menurut Subekti, perkataan hukum perdata mengandung dua istilah, yaitu: pertama,
hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum materiil, yaitu: segala hukum
pokok yang mengatur kepentingankepentingan perseorangan. Termasuk dalam
pengertian hukum perdata dalam arti luas ini adalah hukum dagang. Kedua, hukum
perdata dalam arti sempit, dipakai sebagai lawan dari hukum dagang.
4. Vollmar,
❖ Hukum perdata ialah aturan-aturan atau normanorma, yang memberikan
pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan-
kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang
satu dengan yang lain dari orang-orang di dalam suatu masyarakat tertentu.
5. Sudikno Mertokusumo,
❖ Hukum antar perseorangan yang mengatur hak dan kewajiban perseorangan yang
satu terhadap yang lain didalam lapangan berkeluarga dan dalam pergaulan
masyarakat.
Sudikno Mertokusumo menyebutkan beberapa tolok ukur dari hukum perdata terutama
dalam hal untuk membedakannya dengan hukum publik :
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 2
1) Dalam hukm publik salah satu pihak adalah penguasa, sedangkan dalam hukum perdata
kedua belah pihak adalah perorangan tanpa menutup kemungkinan bahwa dalam
hukum perdata pun penguasa dapat menjadi pihak juga.
2) Peraturan hukum publik sifatnya memaksa, sedangkan peraturan hukum perdata pada
umumnya bersifat melengkapi mekipun ada juga yang bersifat memaksa.
3) Tujuan hukum publik ialah melindungi kepentingan umum, sedangkan hukum perdata
betujuan melindungi kepentingan individu/perorangan. Kriteria ini ternyata mengalami
perkembangan, baik hukum publik maupun hukum perdata bertujuan memberi
perlindungan pada kepentingan umum.
4) Hukum publik mengatur hubungan hukum antar negra dengan individu, sedangkan
hukum perdata.
Maka dimaksud dengan hukum perdata adalah rangkaian peraturan yang mengatur
hubungan antara warga negara perseorangan dengan warga negara perseorangan yang lain.
Sedangkan hukum perdata tertulis yang dimaksud dalam hal ini ini adalah hukum perdata
yang diatur di dalam KUH Perdata (Burgelijk Wetboek).
Kita tahu bahwa walaupun KUH Perdata di atas pada awalnya (sebelum negara
Indonesia merdeka) dinyatakan berlaku bagi orang Belanda, namun kenyataannya sampai
sekarang masyarakat Indonesia tetap menggunakan KUH Perdata sebagai salah satu hukum
yang akan menentukan dalam pergaulan masyarakat. Apalagi sampai saat ini lembaga
legislatif kita belum mampu membuat hukum perdata yang sudah terkodifikasi dan berlaku
secara unifikasi. Tetapi untuk Indonesia mutlak diperlukan undang-undang baru yang khusus
mengatur hukum kontrak, baik yang khusus, maupun yang merupakan bagian dari undang-
undang hukum perdata.
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 3
Hukum Perdata:
Kedudukan Hukum Perdata di Indonesia
❖ Uraian mengenai hukum perdata tentang sejarah berlakunya hukum perdata (burgerlijk wetboek) di
Indonesia, sistimatika burgelijk wetboek, latar belakang penggolongan penduduk Indonesia oleh
pemerintahan belanda, pengertian dari penundukan diri, dasar hukum perdata di Indonesia, dan
perubahan-perubahan terhadap berlakunya KUHPerdata di Indonesia.
1. Sejarah Berlakunya Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) di Indonesia
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang juga dikenal dengan
sebutan Bugerlijk Wetboek (BW) yang digunakan di Indonesia saat ini merupakan kodifikasi
hukum perdata yang disusun di negeri Belanda. Kodifikasi tersebut sangat dipengaruhi oleh
Hukum Perdata Prancis (Code Napoleon) yang disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus
Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) berhasil disusun oleh sebuah panitia yang
dipimpin oleh Mr. J.M. Kemper dimana sebagian besar bersumber dari Code Napoleon dan
bagian yang lain serta kodifisikasi KUH Perdata selesai pada 5 Juli 1830, tetapi diberlakukan
di negeri Belanda pada 1 Oktober 1838 dan pada tahun yang sama diberlakukan juga KUH
Dagang (WvK).
Pada tanggal 31 Oktober 1837 Scholten van Oud Haarlem diangkat menjadi ketua
panitia kodifikasi bersama Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer sebagai anggota panita,
namun panitia tersebut ternyata juga belum berhasil mengerjakan BW. Pada akhirnya
dibentuk panitia baru yang diketuai Mr. C.J. scholten van Oud Haarlem lagi, akan tetapi
beberapa anggotanya diganti antara lain: Mr. J. Schneither dan Mr. J. Van Nes. Dimana pada
akhirnya panitia inilah yang berhasil mengkodifikasi KUH Perdata Indonesia berdasarkan
asas konkordasi yang sempit. Ini berarti KUH Perdata Belanda banyak menjiwai KUH
Perdata Indonesia karena KUH Perdata Belanda dicontoh dalam kodifikasi KUH Perdata
Indonesia. Kodifikasi KUH Perdata (BW) Indonesia diumumkan pada 30 April 1847 melalui
Statsblad No. 23, yang mulai berlaku pada 1 Januari 1848. Kondisi hukum perdata di
Indonesia sekarang ini masih bersifat majemuk, yaitu masih beraneka ragam. Beberapa faktor
yang mempengaruhinya antara lain: pertama, Faktor etnis, kedua, Faktor yuridis, pada pasal
163 I.S yang membagi penduduk Indonesia dalam 3 (tiga) jenis golongan sebagai berikut: a.
Golongan eropa, b. Golongan bumi putera (pribumi/bangsa Indonesia asli), c. Golongan
timur asing (bangsa tionghoa, India dan bangsa arab).
Golongan warga Negara bukan asli, yakni yang berasal dari tionghoa atau eropa
berlaku sebagian dari BW, yaitu hanya bagian-bagian yang mengenai hukum-hukum
kekayaan harta benda, tidak mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan termasuk hukum
warisan. Pedoman politik bagi pemerintahan hindia belanda terhadap hukum di Indonesia
terdapat dalam pasal 131, I.S yang sebelumnya terdapat pada pasal 75 RR
(Regeringsreglement) yang pokok-pokonya dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Hukum perdata dan hukum dagang (begitu pula hukum pidana serta hukum acara
perdata dan hukum acara pidana harus ditetapkan dalam kitab undang-undang atau
dikodifikasi);
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 4
2) Bagi mereka yang masuk dalam golongan bangsa eropa harus dianut perundang-
undangan yang berlaku di negeri belanda (sesuai azas konkordasi);
3) Bagi mereka yang masuk dalam golongan bangsa Indonesia dan timur asing jika
ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya;
4) Orang Indonesia asli dan timur asing, selama mereka belum ditundukkan dibawah suatu
peraturan bersama dengan suatu bangsa eropa sebelum hukum untuk bangsa Indonesia
ditulis dalam undang-undang, bagi mereka hukum yang berlaku adalah hukum adat.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) di Indonesia terdiri dari empat buku,
antara lain:
1) Buku Kesatu, berjudul perihal orang (van persoonen), mengatur hukum perorangan dan
hukum kekeluargaan.
2) Buku Kedua, berjudul perihal benda (van zaken), mengatur hukum benda dan hukum
waris.
3) Buku Ketiga, berjudul ”perihal perikatan” (van verbintennisen) yang mengatur hukum
harta kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-
orang atau pihak-pihak tertentu.
4) Buku Keempat, berjudul perihal pembuktian dan kadaluarsa (van bewijs en verjaring),
mengatur perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap
hubungan-hubungan hukum.
Ditinjau dari segi perkembangannya, hukum perdata Indonesia sekarang menunjukan
tendensi perubahan. Sebagaimana sistematika hukum perdata Belanda yang diundangkan
pada tanggal 3 Desember 1987 Stb. 590 dan mulai berlaku 1 April 1988 meliputi 5 buku,
yaitu :
1) Buku I tentang hukum orang dan keluarga (personen-familie-recht).
2) Buku II tentang hukum badan hukum (rechtspersoon).
3) Buku III tentang hukum hak kebendaan (van zaken).
4) Buku IV tentang hukum perikatan (van verbentennissen).
5) Buku V tentang daluarsa (van verjaring).
Sedangkan ditinjau dari segi pembidangan isinya, hukum perdata Indonesia dalam
perkembangannya terbagi menjadi bagian-bagian antara lain: Bidang Hukum Keluarga
(perkawinan, perceraian, harta bersama, kekuasaan orang tua, kedudukan, pengampuan dan
perwalian), Bidang Hukum Waris, Hukum Benda, Bidang Hukum Jaminan, Bidang Hukum
Badan Hukum, Bidang Hukum Perikatan Umum, bidang Hukum Perjanjian Khusus.
Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya
hukum perdata Belanda pada masa penjajahan. Bahkan Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (dikenal KUHPer) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang
kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW) yang berlaku di kerajaan
Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas
konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW
diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang
berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian.
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945,
KUHPerdata Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-
undang baru. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 5
Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia. Bagi kalangan hukum di Indonesia sudah
tidak asing lagi, bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek-BW)
yang sekarang berlaku di Indonesia adalah peninggalan pemerintah kolonial Belanda dan
dikenal pula dengan hukum perdata barat. Sebagai sebuah UU yang berasal dari pemerintah
Kolonial Belanda, maka tentu isi dan jiwanya tidak sepenuhnya cocok dengan masyarakat
Indonesia. Namun karena menghindari terjadinya kekosongan hukum, maka setelah
Indonensia merdeka KUHPrdata (BW) tetap berlaku sebagai hukum positif di Indonesia yang
keberlakuannya didasarkan pada aturan peralihan UUD 1945.
Beberapa ketentuan dalam KHUPerdata-BW sudah dicabut, namun sebagian besar
masih berlaku sebagai hukum positif bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dan Hukum perdata
yang berlaku di Indonesia itu pada dasarnya bersumber kepada Staatsblaad nomor 23 tahun
1847 dan tentu sudah semestinya dilakukan pembaharuan karena harus disesuaikan dengan
perkembangan zaman dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
Upaya perbaikan terhadap KUHPerdata-BW di Belanda itu berlansung beberapa lama
dan pada tahun 1986, naskah perbaikan atau pembaharuan KUHPedata Belanda menjadi
defenitif untuk bagian utama buku 3, 5 dan 6 . Meskipun sudah defenitif, KUHPerdata
Belanda itu tidak lansung diberlakukan karena parlemen memandang perlu ada kesiapan
untuk menghadapi perubahan baru tersebut. KUHPerdata Belanda yang baru itu baru
diberlakukan pada 1 Januari 1992. Sebelumnya beberapa ketentuan mengenai hukum orang
(Buku I) sudah diberlakukan pada tahun 1970 dan buku tentan orang dan keluarga
diberlakukan tahun 1976. Sementara itu Buku 2 yang baru mengenai Badan Hukum 2006.
Namun demikian pemerintah Belanda masih belum berbangga memiliki KUHPerdata yang
yang lengkap. Beberapa bagian terakhir, terutama terkait dengan kontrak-kontrak spesifik
masih menunggu rancangan akhir.
2. Sistimatika Burgelijk Wetboek
Berlakunya hukum perdata Belanda tersebut di Indonesia bertalian erat dengan politik
hukum pemerintah Hindia Belanda yang membagi penduduk Hindia Belanda menjadi 3
golongan yaitu: (1) Golongan Eropa yaitu semua orang Belanda, orang yang berasal dari
Eropa, orang Jepang, orang yang hukum keluarganya berdasarkan azas-azas yang sama
dengan hukum Belanda beserta anak keturunan mereka; (2) Golongan Timur Asing Tionghoa
dan Timur Asing bukan Tionghoa misalnya orang Arab, India dan Pakistan; (3) Mereka yang
telah meleburkan diri dan menyesuaikan hidupnya dengan golongan Bumi Putera.
Penggolongan tersebut diatur dalam pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) yang sampai
sekarang masih tetap berlaku berdasarkan ketentuan pasal 2 Aturan Peralihan Undang-
undang Dasar 1945.
Mengenai hukum apa yang berlaku bagi masing-masing golongan diatur dalam pasal
131 IS yang menentukan, bahwa: Pertama, bagi golongan Eropa berlaku hukum perdata dan
hukum Dagang yang berlaku di Negara Belanda atas dasar azas konkordansi. Kedua, bagi
golongan Timur Asing Tiongha berlaku hukum perdata yang diatur dalam BW dan Hukum
Dagang yang diatur dalam KUHD (WvK ) dengan beberapa pengecuaian dan penambahan
sebagaimana diatur dalam stablad tahun 1917 Nomor 129 jo Stb. Tahun 1925 Nomor 557.
Pengecualian dan penambahan meliputi : (a) Upacara Perkawinan; (b) Pencegahan
Perkawinan; (c) Kantor Pencatatan Sipil (Burgerlijk Stand); (d) Pengangkatan anak (adopsi);
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 6
(e) Peraturan tentang kongsi. Bagi golongan timur asing bukan Tinghoa berlaku hukum
perdata Eropa sepanjang mengenai hukum harta kekayaan sedang mengenai hukum
kekeluargaan dan hukum waris tunduk pada hukum asli mereka sendiri. Hal ini diatur dalam
Staatblad tahun 1924 Nomor 556 yang mulai berlaku sejak 1 Maret 1925. Ketiga, dari
golongan bumi putra berdasarkan ketentuan pasal 131 ayat 6 IS berlaku hukum perdata adat
yaitu keseluruhan peraturan hukum yang tidak tertulis tetapi hidup dalam tindakan – tindakan
rakyat sehari –hari. Dalam pada itu hukum perdata adat masih belum seragam sesuai dengan
banyaknya lingkungan hukum adat (adat rech skiringen) di Indonesia.
Sistematika Burgelijk Wetboek terdiri atas: Pertama, Perihal Orang (Van Personen),
yang mengatur tentang hukum badan pribadi dan hukum keluarga. Kedua Perihal Benda (Van
Zaken), yang mengatur tentang benda termasuk di dalamnya hukum waris. Ketiga, Perihal
Perikatan (Van Verbintenissen), yang mengatur tentang hukum kekayaan yang mengenai
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak
tertentu. Keempat, Perihal pembuktian dan Lewat Waktu (Van Bewijaeu Veryaring).
Sistimatika tersebut di atas sangat dipengaruhi oleh sistem institutiones Justiniasnse.
Jika kita bandingkan kedua sistematika tersebut di atas, terdapat perbedaan atau
ketidaktepatan-ketidaktepatan sebagai berikut, yaitu: Pertama, BW mengatur hukum keluarga
sebagai bagian dari buku I (hukum badan pribadi) dengan alasan bahwa di dalam hukum
keluarga terdapat hubungan-hubungan yang mempengaruhi kecakapan bertindak dari subyek
hak atau person. Kedua, BW mengatur hukum waris sebagai bagian dari buku II (buku
benda) dengan alasan karena pembentuk Undang-undang memandang hak waris itu sebagai
suatu hak kebendaan atas harta kekayaan dari orang yang meninggal dunia. Pewarisan
dianggap sebagai salah satu cara untuk memperoleh eigendom, sedangkan eigendom adalah
merupakan suatu hak kebendaan. Ketiga, dalam sistimatik ilmu pengetahuan hukum benda
dan hukum perikatan tidak diatur tersendiri sebab hukum harta kekayaan sebagai aturan yang
mengatur hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang dapat ditimbulkan karena hak–
hak kebendaan yang diatur dalam buku II BW maupun yang ditimbulkan karena perikatan
seperti diatur dalam buku III BW. Keempat, pengaturan alat bukti dan lewat waktu dalam
buku IV BW di pandang kurang tepat karena merupakan soal hukum acara, sedang BW
mengatur tentang hukum perdata pokok.
Burgelijk Weetbook Baru Belanda (BWBB) telah berhasil diubah, dirombak,
singkatnya dimodernisasi, sehingga dapat mengikuti perkembangan jaman, khususnya
menunjang berbagai kegiatan kegiatan ekonomi dalam arti luas. Upaya perubahan dan
modernisasi diawali dalam tahu 1947 dan baru berhasil akhir tahun 1992 dengan
pengundangan BWBB yang dinyatakan berlaku mulai 1 januari 1992. buku 1 (orang dan
keluarga) dan Buku 2 (Badan Hukum) sudah dinyatakan berlaku, yaitu berturut –turut tentang
jual beli dan tukar menukar (koop en huur), pemberian kuasa (lestgeving), Penitipan
(bewaargeving), dan penanggungan (borgtocht).
3. Latar belakang Penggolongan Penduduk Indonesia oleh Pemerintahan Belanda
Latar belakang pemerintahan Belanda memberlakukan penggolongan penduduk di
Indonesia adalah menjalankan politik devide et impera atau politik pemecah belah. Politik
devide et impera ini dilakukan dengan cara membagi penduduk nusantara dalam 3 (tiga)
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 7
golongan penduduk yaitu: Golongan Eropa, Golongan Timur Asing (seperti Tionghoa, India,
Arab, Pakistan), dan Golongan Pribumi, sebagaimana diatur dalam Pasal 163 IS.
Adanya pemisahan penduduk dengan golongan-golongan penduduk yang didasarkan
pada etnis atau ras dalam Pasal 163 IS ini berakibat pada bedanya sistem hukum yang
diberlakukan terhadap setiap golongan tersebut. Tiga golongan penduduk tersebut tunduk
pada hukum perdata yang berbeda-beda sebagaimana diatur dalam Pasal 131 IS.
Pemerintah Hindia Belanda pada saat itu percaya bahwa pemerintahan kolonial
Belanda akan terancam jika golongan pribumi dan golongan-golongan lain bersatu untuk
melawan mereka, sehinga ketiga golongan tersebut sengaja dipisahkan (segregated) secara
eksklusif dan mempunyai peranan serta kondisi ekonomi yang sangat berbeda.
Dengan adanya unsur-unsur pembeda tersebutlah pemerintah Hindia Belanda dapat
dengan leluasa menjalankan politik adu domba antargolongan, sehingga antara satu golongan
dengan golongan lain memiliki rasa saling curiga yang kemudian menimbulkan konflik.
Namun, rasa senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa yang terjajah menyebabkan
kecurigaan dan kebencian tersebut dapat diredam dan membangun rasa persatuan dan
kesatuan untuk memperoleh kemerdekaan.
Pasal 163 I.S suatu pasal yang mengadakan pembedaan golongan penduduk menjadi 3 (
tiga ) golongan yaitu:
a. Golongan Eropa, yang termasuk golongan eropa adalah:
1) Semua orang Belanda
2) Semua orang yang berasal dari Eropa tetapi tidak termasuk orang Belanda
3) Semua orang Jepang (berdasarkan perjanjian dagang antara Belanda dengan Jepang
tahun 1896 – S. 1898 – 49)
4) Semua orang yagn berasal dari tempat lainyang di negerinya hukum keluarganya
berasaskan yang sama degan hukum keluarga Belanda
5) Anak – anak sah atau yang diakui menurut ketentuan UU dari no. 2, 3, dan 4 yang
lahir di Hindia Belanda.
b. Golongan Bumiputera, yaitu semua orang asli dari Hinda Belanda (sekarang Indonesia).
c. Golongan Timur Asing, yaitu semua orang yang bukan golongan Eropa dan bukan
golongan Bumiputera. Golongan Timur Asing dibedakan menjadi golongan T.A Tionghoa
dan T.A bukan Tionghoa (seperti orang–orang yang berasal dari India, Arab, Afrika dan
sebagainya).
4. Pengertian dari Penundukan Diri, Bagaimana Cara Berlakunya
Pengertian Penundukan Diri adalah penundukan diri terhadap hukum perdata barat.
Dasar hukum dari pemberlakuan penundukan diri yaitu Indische Staatsregeling Pasal 131
Junto Staatsblad 1917 Nomor 12. Indische Staatsregeling adalah peraturan dasar di zaman
pemerintahan kolonial Hindia Belanda sebagai pengganti Reglement Regering.
Empat Jenis Penundukan Diri Menurut Indische Staatsregeling: Berdasarkan pasal 131
Indische Staatsregeling ayat 4 junto Staatsblad 1917 Nomor 12, penundukan diri secara
sukarela kepada Burgerlijk Wetboek terdapat empat macam, yaitu:
1) Penundukan diri sepenuhnya pada hukum perdata barat (Pasal 1 – 17)
2) Penundukan diri sebagian pada hukum perdata barat (Pasal 18 – 25)
3) Penundukan diri untuk perbuatan tertentu pada hukum perdata barat (Pasal 29)
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 8
4) Penundukan diri secara diam-diam pada hukum perdata barat. Orang dianggap
menundukan diri secara diam-diam atau sukarela apabila melakukan tindakan hukum
yang diatur dalam hukum perdata, dimana hal ini tidak ada diatur dalam hukum
mereka.
Contoh: Masyarakat atau Orang yang memegang hukum adat menandatangani cek,
dalam hukum adat tidak ada aturan mengenai cek.
Penundukan diri dalam perspektif UU No. 3 Tahun 2006. Seperti diketahui bahwa
lembaga penundukan diri pada dasarnya erat kaitannya dengan asas keberlakuan suatu
hukum/aturan.Bagi seseorang yang memang tidak tunduk kepada suatu hukum tertentu dapat
menundukkan diri pada hukum tersebut baik karena keinginan yang bersangkutan
menghendaki atau karena hukum itu sendiri menghendaki demikian.Oleh karena itu di dalam
terminologi hukum dikenal dua jenis penundukan diri yaitu ‘penundukan diri secara sukarela’
atas dasar keinginan yang bersangkutan sendiri (Vrijwillige Onderwerping) dan ‘penundukan
diri secara diam-diam’ karena perintah Undang-Undang atau disebut juga dengan istilah
‘penundukan diri anggapan’ (Verorderstelde Onderwerping).
Atas dasar itu, walaupun dalam penjelasan pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006 tersebut terdapat kata ‘sukarela’ tidak berarti yang dimaksudkan adalah penundukan diri
secara sukarela (Vrijwillge Onderwerping). Kata tersebut erat kaitannya dengan kata
sebelumnya, yaitu: “dengan sendirinya” sehingga yang dimaksudkan dalam penjelasan
tersebut adalah ‘penundukan diri anggapan’ hukum sendiri menghendaki demikian
(Verorderstelde Onderwerping). Seperti contoh misalnya, dalam perkara sengketa pembagian
warisan beda agama dimana sebagian ahli warisnya ada yang tidak beragama Islam maka
Pengadilan Agama berwenang mengadili karena yang bersangkutan harus tunduk kepada
hukum Islam karena menurut Undang-Undang tersebut ia dipandang dengan sendirinya
menundukkan diri kepada hukum Islam.
5. Dasar Hukum Perdata Di Indonesia
Proses pembentukan hukum perdata di Indonesia bukanlah seperti benda yang jatuh
dari langit akan tetapi secara bertahap dan terus menerus, akan tetapi harus mengandung
kebenaran keilmuan merupakan hasil berpikir hakiki berupa generalisasi yang maknanya
bersifat umum sementara implementasi dan operasionalnya dalam empiris selalu mungkin
berbeda Misalnya makna keadilan, keberaniaan, perdamaian. Hukum perdata Indonesia
adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang
berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat Belanda yang pada awalnya berinduk pada
kitab Undang Undang hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan
Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. sebagian materi B.W sudah dicabut
berlakunya dan sudah diganti dengan undang Undang RI, misalnya: mengenai UU
Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU kepailitan.
Pada 31 Oktober 1837 Mr. C.J.Scholten Van Oud Haaarlem diangkat menjadi Ketua
panitia kodifikasi dengan Mr. A.A.Van Vloten dan Mr.Meyer masing-masing sebgai anggota
yang kemudian anggotanya diganti dengan Mr. J. Scheneither dan Mr.A.J. Van Nes.
Indonesia diumumkan pada tangal 30 April 1847 melalui Staatsblaad no. 23 dan berlaku
Januari 1848 dengan berlakunya asas konkordansi/asas persamaan, setelah Indonesia
merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945 pra amandemen: Segala
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 9
badan negara dan peraturan yang masih ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang- Undang Dasar ini.
Berdasarkan aturan peralihan dalam undang undang dasar 1945 pra amandemen itu
pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden mengadakan dan mengumumkan Peraturan
Pemerintah Nomor 2 tahun 1945 untuk lebih menegaskan berlakunya Pasal II Aturan
Peralihan Undang Undang dasar 1945. KUHPerdata, Hindia Belanda tetap dinyatakan
berlaku sebelum digantikan dengan Undang Undang baru berdasarkan Undang Undang Dasar
ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang Undang Hukum Perdata Indonesia
sebagai Induk hukum perdata Indonesia.
Menurut Sudikno Mertokusumoh, keberlakuan hukum produk dan peninggalan Belanda
tersebut di Indonesia didasarkan pada beberapa pertimbangan antara lain:
1) Para ahli tidak pernah mempersoalkan secara mendalam tentang mengapa “hukum
Belanda masih berlaku di Indonesia. Tatanan hukum Indonesia hendaknya tidak dilihat
sebagai kelanjutan dari tata hukum Belanda, tetapi sebagai hukum nasional.
2) Sepanjang hukum tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945,
peraturan perundang-undangan serta dibutuhkan; dan
3) Apabila hukum tersebut bertentangan, maka menjadi tidak berlaku lagi.
Kaidah hukum perdata dapat dilihat dari beberapa hal, antara lain bentuk, subyek
hukum, dan substansinya. Berdasarkan bentuk hukum perdata dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum perdata tertulis, terdapat di dalam
peraturan peraturan-peraturan perundang-undangan, seperti KUH Perdata, Undang Undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun kaidah hukum tidak tertulis adalah
kaidahkaidah hukum perdata yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam praktek
kehidupan bermasyarakat (kebiasaan/adat) seperti hukum adat dan hukum Islam.
6. Perubahan-perubahan terhadap Berlakunya KUH Perdata di Indonesia
Hukum Perdata di tinjau dari sudut Perundang-undangan, SEMA Nomor 3 Tahun 1963
mencabut beberapa pasal dalam KUHPerdata, antara lain pasal 284, 460,108, dan 110.
Sedangkan menurut Prof. Soebekti, SEMA No.3/1963 hanya merupakan pedoman bagi para
hakim untuk memutus, jika keputusan diikuti oleh keadilan / Jurisprudensi.
Keadaan Hukum Perdata di Indonesia pada dewasa ini masih berhubungan dengan
Pluralisme Hukum yang ada di Indonesia, seperti adanya Hukum Adat, Hukum Agama, dan
Hukum perdata itu sendiri. Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pun
sudah di ganti dengan Undang-Undang yang di buat untuk mengikuti perkembangan
masyarakat dan bersifat nasional, seperti contohnya: Undang-Undang Pokok Agraria,
Undang-Undang Perkawinan, dan lain-lain.
Penyebab dari keanekaragaman ada 2 macam yaitu: Faktor Ethnis, disebabkan
keanekaragaman Hukum Adat bangsa Indonesia, karena negara Indonesia terdiri dari
berbagai suku bangsa. Faktor Hostia Yuridis yang dapat kita lihat, yang pada pasal 163.I.S.
yang membagi penduduk indonesia dalam 3 golongan, yaitu: Golongan Eropa yang
dipersamakan, Golongan Bumi Putera (pribumi/ bangsa Indonesia asli) dan yang
dipersamakan., Golongan Timur asing (bangsa Cina, India , Arab).
Dalam mempelajari dan menerapkan ketentuan-ketentuan hukum perdata perlu
diperhatikan adanya ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia yang mempengaruhi
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 10
dan mengubah isi serta berlakunya KUH Perdata di Indonesia. Dengan demikian dapat
diketahui pasal-pasal mana yang dianggap tidak berlaku atau dicabut sehubungan dengan
adanya peraturan-peraturan baru tersebut. Dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 5
tahun 1960 tanggal 24 September 1960, Stb. tahun 1960 Nomor 104 tentang Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) mencabut semua ketentuanketentuan mengenai hak-hak kebendaan
yang bertalian dengan tanah dari buku II BW (KUHP) kecuali mengenai hipotek. Artinya
semua ketentuan-ketentuan yang mengenai hak kebendaan yang bertalian dengan tanah
mendapat pengaturannya di dalam hukum Agraria dan tidak menjadi obyek hukum perdata
lagi.
Dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung tanggal 5 September 1963 Nomor 3
Tahun 1963, beberapa pasal atau ketentuan dipandang tidak berlaku lagi, yaitu: (a) Pasal 108
–110 BW tentang ketidakwenangan bertindak seorang istri; (b) Pasal 284 ayat 3 BW tentang
pengakuan anak luar kawin yang lahir dari seorang wanita Indonesia; (c) Pasal 1682 BW
tentang keharusan dilakukannya hibah dengan akte notaris; (d) Pasal 1579 BW tentang
penghentian sewa menyewa dengan alasan akan memakai sendiri barang itu; (e) Pasal 1238
BW tentang pengajuan gugat pelaksanaan suatu perjanjian. (f) Pasal 1460 BW tentang resiko
dalam perjanjian jual beli barang; dan (g) Pasal 1603 ayat 1 dan 2 BW diskriminasi orang
Eropa dan bukan Eropa dalam perjanjian perburuhan.
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974 Jo.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tanggal 1 April 1975 tentang Undang-Undang
Pokok Perkawinan yang mengganggap tidak berlaku lagi semua peraturan-peraturan yang
mengatur perkawinan sepanjang telah diatur dalam Undangundang tersebut yaitu: (1)
Ketentuan-ketentuan perkawinan dalam KUH Perdata (BW); (2) Ordonansi Perkawinan
Indonesia Kristen (Buwelijksor donantio chesten Indonesiers) seperti tercantum dalam
Staatsblad tahun 1933 nomor 74; (3) Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling Opde
Gemengde Huwelijkken) seperti tercantum di dalam staatsblad tahun 1898 nomor 158; (4)
Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan. Undang-undang no. 42 tahun
1999 tentang jaminan fidusia telah mengantikan pengaturan tentang jaminan fidusia telah
digunakan di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda sebagai suatu bentuk jaminan yang
lahir dari yurisprudensi. Bentuk jaminan ini digunakan secara luas dalam transaksi pinjam-
meminjam karena proses pembebanannya dianggap sederhana, mudah, dan cepat, tetapi tidak
menjamin adanya kepastian hukum. Lembaga Jaminan Fidusia memungkinkan kepada para
pemberi fidusia untuk menguasai benda yang dijaminkan, untuk melakukan kegiatan usaha
yang dibiayai dari pinjaman dengan menggunakan jaminan fidusia. Pada awalnya, Benda
yang menjadi objek fidusia terbatas pada kekayaan benda bergerak yang berwujud dalam
bentuk peralatan. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, benda yang menjadi objek
fidusia termasuk juga kekayaan benda bergerak yang tak berwujud, maupun benda tak
bergerak. Dalam perkembangannya selama ini, kegiatan pinjammeminjam dengan
menggunakan hak tanggungan atau hak jaminan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 51
Undangundang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria, dan sekaligus
sebagai pengganti dari lembaga hipotek atas tanah dan credietverband. Di samping itu, hak
jaminan lainnya yang banyak digunakan pada dewasa ini adalah gadai, hipotek selain tanah,
dan jaminan fidusia. Undang-undang yang berkaitan dengan jaminan fidusia adalah Pasal 15
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 11
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, yang
menentukan bahwa rumah-rumah yang dibangun di atas tanah yang dimiliki oleh pihak lain
dapat dibebani dengan jaminan fidusia. Selain itu, Undangundang Nomor 16 Tahun 1985
tentang Rumah Susun mengatur mengenai hak milik atas satuan rumah susun yang dapat
dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia, jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah
negara.
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 12
Hukum Perdata:
Fungsi, Tujuan dan Ruang Lingkup Hukum Perdata
❖ Uraian mengenai hukum perdata tentang sumber hukum perdata dan ruang lingkup hukum perdata.
1. Sumber Hukum
Sumber hukum adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang
mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar
mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Dalam ilmu hukum, sumber hukum juga dapat
dibedakan menjadi : pertama, sumber pengenalan hukum (kenbron vanhetrecht), sumber
hukum yang mengharuskan untuk menyelidiki asal dan tempat dketemukannya hukum;
kedua, sumber asal nilai-nilai yang menyebabkan timbulnya atau lahirnya aturan hukum
(welbron van het recht) sumber hukum yang mengharuskan untuk membahas asal sumber
nilai yang menyebabkan atau menjadi dasar hukum. Sedangkan menurut Titik Triwulan Tutik
sumber hukum dalam ilmu pengetahuan hukum digunakan dalam beberapa pengertian antara
lain:
a. Sumber hukum dalam pengertian sebagai ‘asalnya hukum’ ialah berupa keputusan
penguasa yang berwenang untuk memberikan keputusan tersebut. Artinya, keputusan
itu haruslah berasal dari penguasa yang berwenang untuk itu.
b. Sumber hukum dalam pengertian sebagai ‘tempat’ dite mukannya peraturan-peraturan
hukum yang berlaku. Bentuknya berupa Undang Undang, kebiasaaan, traktat,
yurisprudensi, atau doktrin dan terdapat dalam Undang undang 1945, ketetapan MPR,
perpu, peraturan pemerintah, keppres, dan lainnya.
c. Sumber hukum dalam pengertian sebagai hal-hal yang dapat atau seyogyanya
mempengaruhi kepada penguasa dalam menentukan hukumnya. Misalnya keyakinan
akan hukumnya, rasa keadilan ataupun perasaan akan hukum.
Pada dasarnya sumber hukum perdata, meliputi sumber hukum materiil dan formal.
Sumber hukum materiil adalah sumber yang menentukan isi hukum, yaitu tempat dimana
materi hukum itu diambil. Sumber ini diperlukan ketika akan menyelidiki asal usul hukum
dan menentukan isi hukum. Sumber hukum materiil merupakan faktor yang membantu
pembentukan hukum, misalnya hubungan sosial, kekuatan politik, situasi ekonomi, tradisi
(pandangan keagamaan dan kesusilaan). Keadaan geografis, penelitian ilmiah, perundangan
internasional, sedangkan sumber hukum formal,yaitu tempat memperoleh kekuatan hukum.
Ini berkaitan dengan cara atau bentuk yang menyebabkan peraturan hukum formal itu
berlaku, misalnya UU, perjanjian antar negara, yurisprudensi, kebiasaan.
2. Ruang Lingkup Hukum Perdata
Berdasarkan klasifikasi ruang lingkup hukum perdata terdapat dua jenis diantaranya
adalah Hukum Perdata Dalam Arti Luas. Pada dasarnya meliputi semua hukum privat
meteril, yaitu segala hukum pokok (hukum materiil) yang mengatur kepentingan-kepentingan
perseorangan, termasuk hukum yang tertera dalam KUHPerdata (BW), KUHD, serta yang
diatur dalam sejumlah peraturan (undang-undang) lainnya.
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 13
Klasifikasi ruang lingkup hukum perdata selamjutnnya ditinjau dari hukum perdata
dalam arti sempit. Dimana diartikan sebagai kebalikan dari hukum dagang yang tercantum
dalam KUHP perdata. Dengan demikian jenis hukum ini merupakan jenis hukum yang
tertulis.
Contoh Hukum Perdata:
Hukum perdata dalam diberlakukan pada suatu masalah yang terjadi antara individu
dengan individu lainnya. salah satu contohnya adalah ketika pembelian tanah. Terkadang
terdapat sengketa tanah. Salah satu misalnya yang berkaitan dengan pelunasan pembelian
tanah yang tidak kunjung dibayar, atau pihak yang membeli enggan memberi biaya ganti rugi
pembuatan sertifikat tanah.
Contoh lainnya dari hukum perdata adalah ketika seseorang yang telah berkeluarga,
tiba-tiba dihadangkan permasalahan adanya seorang anak yang merupakan anak diluar nikah
dengan wanita lain. Nah tentunya anak tersebut secara logika memang berhak atas warisan
dari orang tuanya. Namun ketika anak tersebut lahir diluar pernikahan yang sah. Maka
dirinya dipastikan akan sulit mendapatkan warisan dari orang tuanya. Nah permasalahan
tersebut dapat diselesaikan dengan hukum perdata.
Selain permasalahan yang dialami perorangan dengan perorangan, hukum perdata juga
mengurus masalah yang terjadi antara sebuah organisasi atau kelompok dengan perorangan.
Sebagai contoh pencemaran nama baik terhadap suatu kelompok yang dilakukan oleh
seorang individu. Tentunya hal tersebut akan berlaku hukum perdata.
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 14
Hukum Perdata:
Asas-asas Hukum Perdata
❖ Uraian mengenai hukum perdata tentang asas-asas hukum perdata terdiri dari: asas kebebasan
berkontrak, asas konsensualisme, asas kepercayaan, asas kekuatan mengikat, asas persamaan hukum,
asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas perlindungan, asas kepatutan, asas
kepribadian (personality) dan asas itikad baik (good faith).
Beberapa asas yang terkandung dalam KUHPerdata yang sangat penting dalam Hukum
Perdata adalah:
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun
juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur dalam
undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHPerdata).
2. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal
tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata
kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa
perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan
pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
3. Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan
perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari.
4. Asas Kekuatan Mengikat
Asas kekuatan mengikat ini adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian hanya
mengikat bagi para pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian tersebut dan sifatnya
hanya mengikat.
5. Asas Persamaan Hukum
Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan
perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka
tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda
warna kulit, agama, dan ras.
6. Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan
melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika
diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur
memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik
7. Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas
yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas
bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh
para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan
intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 15
8. Asas Moral
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang
tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini
terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela
(moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan
menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang
bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral)
sebagai panggilan hati nuraninya
9. Asas Perlindungan
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus
dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak
debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.Asas-asas inilah yang menjadi
dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian
dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan
asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat
kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan
terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak
10.Asas Kepatutan
Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPdt. Asas ini berkaitan dengan ketentuan
mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya
11.Asas Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan
melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini
dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPdt.
12.Asas Itikad Baik (Good Faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi: “Perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu
pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan
atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak.
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 16
Hukum Perdata:
Subjek Hukum (Orang dan Badan Hukum)
❖ Uraian mengenai hukum perdata tentang orang dan badan hukum sebagai subjek hukum mengenai
pengertian subjek hukum, pembagian subjek hukum, Hubungan Antara Hukum, Hak Dan Kewajiban,
Cakap Dan Tidak Cakap Bertindak Dalam Hukum, dan teori-teori badan hukum.
1. Pengertian Subyek Hukum
Istilah subyek hukum berasal dari terjemahan rechtsubjek (belanda) atau law of subject
(Inggris), pada umumnya rechtsubjek diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Menurut Algra, Pengertian subyek hukum adalah setiap orang yang mempunyai hak dan
kewajiban jadi mempunyai wewenang hukum (Rechtbevorgheid) adalah kewenangan untuk
mempunyai hak dan kewajiban untuk menjadi subyek dari hak-hak yang menjadi subyek
hukum adalah manusia dan hukum. Didalam buku I KUH Perdata yang disebut subjek hukum
ialah hanya orang yang disebut pribadi kodrat tidak termasuk badan hukum yang disebut
dengan pribadi hukum. namun dalam perkembangan selanjutnya badan hukum dimasukkan
menjadi subyek hukum yang diatur dalam kitab undang-undang hukum dagang, sehingga
subjek hukum itu meliputi :
1) Orang disebut pribadi kodrati
2) Badan hukum disebut pribadi hukum
Subjek hukum perdata dibedakan menjadi dua macam, manusia dan badan hukum.
Manusia dalam istilah biologis bahwa manusia yang berakal budi (mampumenguasai mahluk
lainnya) dan secara yurisi dipersamakan dengan orang atau individu hal ini karena manusia
mempunyai hak-hak subyektif dan kewenangan hukum. Kewenangan hukum adalah
kecakapan untuk menjadi subyek hukum yaitu sebagi pendukung hak dan kewajiban.
Sedangkan badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang memiliki tujuan tertentu, harta,
kekayaan serta hak dan kewajiban.
Obyek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum dan dapat
menjadi pokok suatu hubungan hukum yang dilakukan oleh para subyek hukum. Dan dalam
bahasa hukum maka obyek hukum disebut ‘Hak’ yang dapat dikuasai dan/atau dmiliki
subyek hukum. Substansi yang diatur dalam hukum perdata,yaitu pertama dalam hubungan
keluarga dan kedua dalam pergaulan masyarakat. Dalam keluarga akan timbul orang (badan
pribadi) dan hukum keluarga, sedangkan dalam pergaulan masyarakat akan menimbulkan
harta kekayaan, hukum perikatan dan hukum waris.
2. Pembagian Subyek Hukum
Berdasarkan konsep dalam dunia hukum, subyek hukum dapat diartikan sebagai
pembawa hak, yaitu:
1) Manusia (individu, orang)
Manusia adalah subyek hukum menurut konsep biologis, sebagai gejala alam, sebagai
makhluk budaya ciptaan tuhan yang dilengkapi dengan akal, perasaan dan kehendak.
Prof. Subekti: dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 19-21)
mengatakan bahwa dalam hukum, orang (persoon) berarti pembawa hak atau subyek di
dalam hukum. Seseorang dikatakan sebagai subjek hukum (pembawa hak), dimulai dari
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 17
ia dilahirkan dan berakhir saat ia meninggal. Bahkan, jika diperlukan (seperti misalnya
dalam hal waris), dapat dihitung sejak ia dalam kandungan, asal ia kemudian dilahirkan
dalam keadaan hidup. Pada dasarnya manusia mempunyai hak sejak dalam kendungan
(Pasal 2 KUH Perdata), namun tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan
kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
a. Cakap hukum (Pasal 1330 KUH Perdata), yaitu: Dewasa (berusia 21 tahun), Belum
berusia 21 tahun tetapi sudah menikah
b. Tidak cakap hukum (Pasal 1331 KUH Perdata), yaitu: Orang yang belum dewasa,
Kurang cerdas, Sakit ingatan, Orang yang berada dalam pengampuan, pengawasan
2) Badan hukum (perusahaan, organisasi, institusi)
Badan hukum adalah subjek hukum menurut konsep yuridis, sebagai gejala hidup
bermasyarakat, sebagai badan ciptaan manusia berdasar pada hukum,memiliki hak dan
kewajiban seperti manusia.
Prof. Subekti: mengatakan bahwa di samping orang, badan-badan atau perkumpulan-
perkumpulan juga memiliki hak dan melakukan perbuatan hukum seperti seorang
manusia. Badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai kekayaan
sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantara pengurusnya, dapat
digugat, dan dapat juga menggugat di muka hakim.
Sri Soedewi Masjchoen: Kumpulan orang yang bersama-sama bertujuan mendirikan
suatu badan, yaitu berwujud himpunan dan harta kekayaan yang disendirikan untuk
tujuan tertentu.
Salim HS: Kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu, harta kekayaan,
hak dan kewajiban, serta organisasi.
E. Utrecht: badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak,
selanjutnya dijelaskan bahwa badan hukum ialah setiap pendukung hak yang tidak
berjiwa, atau lebih tepat yang bukan manusia.
R. Soeroso: Suatu perkumpulan orang-orang yang mengadakan kerja sama dan atas
dasar ini merupakan suatu kesatuan yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh hukum.
Menurut Pasal 1653 BW badan hukum dapat dibagi atas 3 (tiga) macam, yaitu:
a. Badan hukum yang “diadakan” oleh pemerintah/kekuasaan umum, misalnya
pemerintahan daerah (pemerintahan provinsi,pemerintahan kabupaten/kota), bank-
bank yang didirikan oleh Negara dan sebagainya.
b. Badan hukum yang “diakui" oleh pemerintahan/kekuasaan umum, misalnya
perkumpulan-perkumpulan, gereja dan organisasi-organisasi agama dan sebagainya.
c. Badan hukum yang “didirikan” untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan,seperti perseroan terbatas, perkumpulan,
asuransi, perkapalan, dan lain sebagainya.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suatu badan perkumpulan/badan usaha,
agar dapat dikatakan sebagai badan hukum (rechtspersoon). Menurut doktrin syarat-
syaratnya adalah sebagai berikut dibawah ini:
a. Adanya harta kekayaan yang terpisah
Harta kekayaan ini diperoleh dari peranggota maupun perbuatan pemisahan yang
dilakukan seseorang/partikelir/pemerintah untuk suatu tujuan tertetntu. Adanya harta
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 18
kekayaan ini dimaksudkan sebagai alat untuk mencapai apa yang menjadi tujuan
badan hukum yang bersangkutan. Harta kekayaan ini,meskipun berasal dari
pemasukan pemasukan anggota-anggotanya,namun terpisah dengan harta kekayaan
pribadi anggota-anggotanya, perbuatan pribadi anggotanya-anggotanya tidak
mengikat harta kekayaan tersebut.sebaliknya,perbuatan badan hukum yang diwakili
pengurusnya,tidak mengikat harta-kekayaan anggota-anggotanya
b. Mempunyai tujuan tertentu
Tujuan tertentu ini dapat berupa tujuan yang adil maupun tujuan komersial yang
merupakan tujuan tersendiri daripada badan hukum. Jadi bukan untuk kepentingan
satu atau beberapa anggotanya. Usaha untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan
sendiri oleh badan hukum dengan diwakili organnya. Tujuan yang hendak dicapai
itu lazimnya dirumuskan dengan jelas dalam anggaran dasar badan hukum yang
bersangkutan.
c. Mempunyai kepentingan sendiri,
Dalam mencapai tujuannya, badan hukum mempunyai kepentingan sendiri yang
dilindungi oleh hukum. Kepentingan tersebut merupakan hak-hak subjektif sebagai
akibat dari peristiwa-peristiwa hukum.
d. Ada organisasi yang teratur
Badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis. Karena itu sebagai subjek hukum
disamping manusia badan hukum hanya dapat melakukan perbuatan hukum dengan
perantaraan organnya.
Dalam pasal 1653 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan mengenai adanya
3 jenis badan hukum, yaitu:
1) Yang diadakan oleh kekuasaan atau pemerintah atau negara;
2) Yang diakui oleh pemerintah/kekuasaan umum;
3) Yang diperkenankan dan yang didirikan dengan tujuan tertentu yang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang atau kesusilaan; biasa juga disebut dengan
badan hukum dengan konstruksi keperdataan.
Menurut bentuknya (berdasarkan pendiriannya): Badan Hukum Publik: adalah badan
hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik atau orang banyak atau menyangkut
kepentingan negara. Contoh: Negara Indonesia, Provinsi DKI Jakarta, Kota Bogor.
Badan Hukum Perdata: adalah badan hukum yang didirikan atas dasar hukum perdata
atau hukum sipil yang menyangkut kepentingan orang atau individu-individu yang
termasuk dalam badan hukum tersebut. Contoh: Perkumpulan, Perseroan Terbatas,
Koperasi, Yayasan
Menurut Sifatnya: Korporasi (Corporatie): Suatu gabungan orang yang dalam
pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai satu subjek hukum tersendiri.
Karena itu korporasi merupakan badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak-
hak dan kewajiban sendiri yang terpisah dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para
anggotanya. Yayasan (Stichting): Yaitu tiap kekayaan (vermogen) yang tidak
merupakan kekayaan orang atau kekayaan badan dan yang di beri tujuan tertentu.
Misalnya untuk kepentingan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Jadi pada yayasan
tidak ada anggota, yang ada hanya pengurus.
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 19
Secara prinsipal, badan hukum berbeda dengan manusia. Perbedaan tersebut dapat
dinyatakan sebagai berikut:
1) Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan, mempunyai akal, perasaan dan
kehendak. Badan hukum adalah badan ciptaan manusia berdasar pada undang-undang ,
diwakili oleh pengurusnya
2) Manusia memiliki kelamin, dapat kawan, dapat beranak. Badan hukum tidak memiliki
kelamin, tidak dapat kawin dan tidak dapat beranak.
3) Manusia dapat menjadi ahli waris, sedangkan badan hukum tidak dapat.
3. Hubungan Antara Hukum, Hak Dan Kewajiban
Hukum itu mengatur hubungan hukum antara tiap orang, tiap masyarakat, tiap lembaga,
bahkan tiap negara. Hubungan hukum tersebut terlaksana pada hak dan kewajiban yang
diberikan oleh hukum. Setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh hukum selalu
mempunyai dua sisi. Sisi yang satu ialah hak dan sisi lainnya adalah kewajiban. Tidak ada
hak tanpa kewajiban sebaliknya tidak ada kewajiban tanpa hak. Karena pada hakikatnya
sesuatu pasti ada pasangannya.
Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah dalam
kehidupan bersama, keseluruhan peraturan yang mengatur kehidupan bersama yang
pelaksanaanya dapat dipaksakan melalui sanksi.
Hak adalah suatu kewenangan atau kekuasaan yang diberikan oleh hukum. Suatu
kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Baik pribadi maupun umum. Dapat diartikan
bahwa hak adalah sesuatu yang patut atau layak diterima. Contoh hak: hak untuk hidup, hak
untuk mempunyai keyakinan dan lain-lain.
Kewajiban adalah suatu beban atau tanggungan yang bersifat kontraktual. Dengan kata
lain kewajiban adalah sesuatu yang sepatutnya diberikan. Contoh kewajiban: dalam jual beli,
bila kita membeli suatu barang, maka kita wajib membayar barang tersebut.
Perwujudan hukum menjadi hak dan kewajiban itu terjadi dengan adanya perantaraan
peristiwa hukum. Segala peristiwa atau kejadian dalam keadaan tertentu adalah peristiwa
hukum. Untuk terciptanya suatu hak dan kewajiban diperlukan terjadinya peristiwa yang oleh
hukum dihubungkan sebagai akibat. Karena pada umumnya hukum itu bersifat pasif. Contoh:
Terdapat ketentuan "barangsiapa mencuri, maka harus dihukum". Maka bila tidak terjadi
peristiwa pencurian maka tidaklah ada akibat hukum.
4. Cakap Dan Tidak Cakap Bertindak Dalam Hukum
Cakap yaitu sanggup melakukan sesuatu, mempunyai kemampuan dan pandai
melakukan sesuatu. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecakapan:
a. Psikologis
b. Fisiologis
c. Lingkungan
Sehingga sulit untuk menentukan kecakapan secara nyata yang melekat pada seorang
individu, mengingat kondisi individu masing-masing berbeda. Salah satu standar yang sering
digunakan untuk menilai batasan kecakapan adalah buku III pasal 1330 BW, yang
menyebut bahwa “ tidak cakap adalah mereka yang belum dewasa, dibawah pengampuan,
serta orang perempuan yang terikat perkawinan”.
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 20
Umur juga merupakan salah satu parameter yang digunakansebagai syarat bagi subyek
hukum dari segi kewenangan bertindak, namun kewenangan bertindak tidak bisa di samakan
dengan kecakapan. Dalam beberapa kondisi, seseorang yang mencapai umur tertentu
memiliki kewenangan bertindakdan juga memiliki kecakapan. Namun tidak berarti, bahwa
setiap orang yang mempunyai kewenangan berarti cakap dalam hukum, atau setiap yang
cakap hukum mempunyai kewenangan.
Umur dalam peraturan perundang-undangan yang digunakkonstruktif dan untuk
menentukan kewenangan sangatlah bervariasi. Diantaranya:
Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum perkawinan, sebagaimana termaktub dalam
pasal 7 UU No.1 1974 tentang perkawinan, yang menyatakan “ perkawinan di izinkan pihak
pria sudah mencapai 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun”.
5. Teori-Teori Badan Hukum
Dalam ilmu pengetahuan timbul bermacam-macam teori tentang badan hukum yang
satu sama yang lain berbeda-beda. Berikut ini hanya dikemukakan 5 (lima) macam teori yang
sering dikutip oleh penulis hukum.6
1) Teori Fictie
Menurut teori ini badan hukum itu semata-mata buatan Negara saja. Badan hukum itu
fictie, yakni sesuatu yang sesungguhnya tidak ada,tetapi orang menghidupkannya
dalam bayangan subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum yang
sesungguhny. Dengan kata lain bahwa,adanya badan hukum itu merupakan anggapan
saja ( fictie) yang diciptakan oleh Negara.
2) Teori harta kekayaan bertujuan (Doel vermoghenstheorie)
Menurut teori ini HANYA manusia saja yang dapat menjadi subjek hukum. Namun,
kata teori ni, ada kekayaan (vermogen)yang bukan merupakan kekayaan sesrang, tetapi
kekayaan itu terikat pada tujuan tertentu. Kekayaan yang tidak ada yang
mempunyainya dan terikat pada tujuan tertentu.
3) Teori Organ
Badan hukum menurut teori ini bukan abstrak (fiksi) dan bukan kekayaan (hak) yang
tidak bersubjek. Tetpai badan hukum adalah suatu orgasme yang riil, yang menjelma
sunguh-sungguh dalam pergaluan hukum,yang dapat membentuk kemauan sendiri
dengan perantara alat-alat yang ada padanya pengurus (pengurus anggota-anggotanya),
seperti manusia biasa yang mempunyai organ [pancaindra] dan sebagainya.
4) Teori pemilikan bersama (Propritie coolectief Theory)
Propritie coolectief Theory disebut juga dengan gezammen-like Eigendoms Theorie.
Teori ini diajarkan oleh planiol,Star-bus-man, dan Molengraaf. Menurut teori ini hak
dan kewajiban badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban para anggota.
5) Teori kenyataan yuridis (juridische Realiteitsleer theorie)
Dikatakan bahwa badan hukum itu merupakan suatu realiteit, konkret,riil, walapun
tidak bisa diraba,bukan khayal,tetapi kenyataan yuridis. Teori ini dikemukakan oleh
mejers ini menekan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan
manusia terbatas sampai pada bidang hukum saja.
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 21
Hukum Perdata:
Hukum Keluarga dan Hukum Perwalian
❖ Uraian mengenai hukum perdata mengenai hukum keluarga (pengertian hukum keluarga, sumber-
sumber hukum keluarga, asas-asas hukum keluarga, ruang lingkup hukum keluarga, hak dan kewajiban
dalam hukum keluarga) dan perwalian (definisi perwalian, asas-asas dan syarat-syarat perwalian,
bentuk-bentuk atau jenis-jenis perwalian, rang yang tidak dapat menjadi wali dan wewenang badan
hukum menjadi wali).
A. Hukum Keluarga
1. Pengertian Hukum Keluarga
Hukum Keluarga adalah peraturan hubungan hukum yang timbul dari hubungan
keluarga. Jadi, peraturan-peraturan hukum yang ditimbulkan dari adanya hubungan keluarga,
seperti hukum tentang perkawinan, tentang perwalian dan lain-lain.
Sebagaimana yang dikemukakan Ali Afandi pada teks yang ada pada pendahuluan
makalah ini. Ada dua pokok kajian dalam pengertian/definisi hukum keluarga, yaitu
mengatur hubungan hukum yang berkaitan dengan kekeluargaan sedarah dan perkawinan.
Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat pada beberapa orang yang
mempunyai leluhur yang sama. Sedangkan kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian
keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri
(suaminya).
Tahir Mahmoud mengartikan :”hukum keluarga sebagai prinsip-prinsip hukum yang
diterapkan berdasarkan ketaatan beragama berkaitan dengan hal-hal yang secara umum
diyakini memiliki aspek religius menyangkut peraturan keluarga, perkawinan, perceraian,
hubungan dalam keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin,
perwalian, dan lain-lain”.
Definisi yang terakhir ini mengkaji dua hal, yaitu tentang prinsip hukum dan ruang
lingkupnya. Prinsip hukum berdasarkan ketaatan beragama. Ruang lingkup kajian hukum
keluarga meliputi peraturan keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian
mas kawin, perwalian, dan lain-lain. Definisi ini sangat luas karena mencakup warisan,
padahal di dalam hukum perdata barat, warisan merupakan bagian dari hukum benda.
Pendapat lain disebutkan bahwa hukum keluarga adalah : “Mengatur hubungan hukum yang
timbul dari ikatan keluarga. Yang termasuk dalam hukum keluarga ialah peraturan
perkawinan, peraturan kekuasaan orang tua dan peraturan perwalian”.
Definisi terakhir ini hanya difokuskan pada peraturan perkawinan, peraturan kekuasaan
orang tua, dan perwalian yang bersumber dari hukum tertulis, sedangkan hal yang berkaitan
dengan peraturan perkawinan tidak tertulis tidak mendapat perhatian, padahal dalam
masyarakat Indonesia masih mengenal hukum adat, sehingga ketiga definisi diatas perlu
dilengkapi dan disempurnakan. hukum keluarga adalah keseluruhan kaedah-kaedah hukum
(baik tertulis maupun tidak tertulis) yang mengatur hubungan hukum mengenai perkawinan,
perceraian, harta benda dalam perkawinan, kekuasaan orang tua, pengampuan dan perwalian.
Hukum keluarga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
1) Hukum keluarga tertulis
2) Hukum keluarga tidak tertulis
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 22
Hukum keluarga tertulis adalah kaedah-kaedah hukum yang bersumber dari UU,
yurisprudensi, dan traktat. Sedangkan hukum keluarga tidak tertulis adalah kaedah-kaedah
hukum keluarga yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan masyarakat
(kebiasaan). Seperti misalnya, marari dalam kehidupan masyarakat sasak. Yang menjadi
kajian hukum keluarga meliputi perkawinan, perceraian, harta benda dalam perkawinan,
kekuasaan orang tua, pengampuan, dan perwalian.
2. Sumber-Sumber Hukum Keluarga
Pada dasarnya sumber hukum keluarga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu,
sumber hukum keluarga tertulis dan tidak tertulis. Sumber hukum keluarga tertulis adalah
sumber hukum yang berasal dari berbagai peraturan perundangan, yurisprudensi, dan traktat,
sedangkan sumber hukum keluarga tak tertulis adalah sumber hukum yang tumbuh dan
berkembang dalam kehidupan masyarakat. Sumber hukum keluarga tertulis, dikemukakan
berikut:
1) Kitab undang-undang hukum perdata (KUH Perdata).
2) Peraturan perkawinan campuran (regelijk op de gemengdehuwelijk), Stb. 1898 Nomor
158.
3) Ordonansi perkawinan indonesia, kristen, jawa, minahasa, dan ambon, Stb. 1933
Nomor 74.
4) UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk (beragama islam)
5) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
6) PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan.
7) PP Nomor 10 Tahun 1983 jo. PP Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Izin Perkawinan Dan
Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
Di samping itu, yang menjadi sumber hukum keluarga tertulis adalah inpres Nomor 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam ini
hanya berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam.
3. Asas-Asas Hukum Keluarga
Berdasarkan hasil analisis terhadap KUH Perdata dan UU Nomor 1 Tahun 1974
ditemukan 5 (lima) asas yang paling prinsip dalam hukum keluarga yaitu:
1) Asas Monogami (pasal 27 BW; pasal 3 UU Nomor 1 Tahun 1974)
Asas Monogami mengandung makna bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2) Asas Konsensual, suatu asas bahwa perkawinan atau perwalian dikatakan sah apabila
teradapat persetujuan atau konsensus antara calon suami-istri yang akan
melangsungkan perkawinan atau keluarga harus dimintai persetujuanya tentang
perwalian (pasal 28 KUH Perdata; pasal 6 UU Nomor 1 Tahun 1974).
3) Asas Persatuan Bulat, suatu asas dimana antara suami isteri terjadi persatuan harta
benda yang dimilikinya (pasal 119 KUH Perdata).
4) Asas Proposional, suatu asas di mana hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan
hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan di dalam pergaulan
masyarakat (pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1874).
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 23
5) Asas Tak Dapat Dibagi-Bagi, suatu asas bahwa tiap-tiap perwalian hanya terdapat satu
wali (pasal 331 KUH Perdata). Pengecualian dari asas ini adalah :
a. Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama
maka kalau ia kawin lagi, suaminya menjadi wali serta/wali peserta (pasal 351 KUH
Perdata).
b. Dan jika sampai ditunjuk pelaksana pengurusan yang mengurus barang-barang dari
anak dibawah umur diluar Indonesia (pasal 361 KUH Perdata).
Asas-asas itu dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan dan penegakan hukum
keluarga, khususnya tentang perkawinan. Seperti diketahui bahwa di dalam masyarakat kita
masih banyak yang belum memahami asas-asas yang tercantum dalam hukum keluarga, hal
ini terlihat pada banyak kasus-kasus perkawinan dibawah umur dan banyaknya perkawinan
liar. Akibat dari menonjolnya perkawinan di bawah umur adalah tingginya angka perceraian.
Semakin tinggi angka perceraian, semakin banyak wanita yang menjanda. Akibatnya anak-
anak mereka tidak terurus dengan baik. Oleh karena itu, diharapkan supaya asas-asas dalam
hukum keluarga dapat disosialisasikan dalam masyarakat, sehingga angka perceraian dapat
ditekan seminimal mungkin.
4. Ruang Lingkup Hukum Keluarga
Apabila kita kaji definisi yang dikemukakan pada pengertian hukum keluarga maka
dapat dikemukakan ruang lingkup kajian hukum keluarga. Ia memuat peraturan tentang:
1) Perkawinan, termasuk hubungan-hubungan yang bercorak hukum harta antara suami-
isteri (huwelijksgoederecht)
2) Hubungan antara orang tua dan anak (ouderlikemacht)
3) Hubungan antara wali dan anak yang diawasi (voogdij)
4) Hubungan antara orang yang diletakkan dibawah pengampuan karena gila atau pikiran
yang kurang sehat atau karena pemborosan, dan pengampunya (curatele)
Namun, menurut Salim HS didalam tulisanya, bahwasanya didalam bagian hukum
keluarga hanya difokuskan pada kajian perkawinan, perceraian dan harta benda dalam
perkawinan karena apabila mengkaji ketiga hal itu, telah mencakup secara singkat tentang
pembahasan kekuasaan orang tua, pengampuan, dan perwalian.
5. Hak Dan Kewajiban Dalam Hukum Keluarga
Hak dan kewajiban dalam hukum keluarga dapat dibeda-bedakan menjadi tiga macam,
yaitu:
1) Hak dan kewajiban antara suami-istri;
2) Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anaknya;
3) Hak dan kewajiban antara anak dengan orang tuanya manakala orang tuanya telah
mengalami proses penuaan.
Hak dan kewajiban antara suami-istri adalah hak dan kewajiban yang timbul karena
adanya perkawinan antara mereka. Hak dan kewajiban suami istri diatur dalam pasal 32
sampai pasal 36 UU Nomor1 Tahun 1974. Hak dan kewajiban antara suami-istri adalah
sebagai berikut:
1) Menegakkan rumah tangga.
2) Keseimbangan dalam rumah tangga dan pergaulan masyarakat.
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 24
3) Suami istri berhak melakukan perbuatan hukum.
4) Suami istri wajib mempunyai tempat kediaman yang tetap.
5) Suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia, dan member bantuan
lahir batin yang satu kepada yang lain.
6) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan rumah
tangga sesuai dengan kemampuanya.
7) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
Apabila kewajiban-kewajiban itu dilalaikan si suami maka istri dapat mengajukan
gugatan kepada pengadilan.
Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak diatur dalam pasal 45 sampai dengan
pasal 49 UU Nomor 1 Tahun 1974. Hak dan kewajiban orang tua dan anak dikemukakan
berikut:
1) Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak anak mereka sebaik-baiknya.
Kewajiban orang tua berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri (pasal 45
ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974).
2) Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik (pasal 46
ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974). Kewajiban yang ketiga disebut dengan alimentasi.
Alimentasi adalah kewajiban dari seorang anak untuk memberikan nafkah terhadap
orang tuanya manakala sudah tua.
3) Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya, manakala sudah tua (pasal 46
ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974).
4) Anak yang belum dewasa, belum pernah melangsungkan perkawinan, ada di bawah
kekuasaan orang tua (pasal 47 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974).
5) Orang tua mewakili anak di bawah umur dan belum pernah kawin mengenai segala
perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan (pasal 47 ayat (2) UU Nomor 1
Tahun 1974).
B. PERWALIAN (Pasal 330 – 418a BW)
1. Definisi Perwalian
Secara etimologi (bahasa), kata perwalian berasal dari kata wali, dan jamak awliya.
Kata ini berasal dari kata Arab yang berarti teman, klien, sanak, atau pelindung.(Lihat
Glossary of Islam. Glossary of the Middle East, terakhir diakses 12 Maret 2014 Pukul. 22.08
Wib.) Dalam literatur fiqih islam perwalian itu disebut dengan “Al-Walayah” (Orang yang
mengurus atau yang menguasai sesuatu), sedangkan al-wali yakni orang yang mempunyai
kekuasaan. (Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam Dikeluarga Islam, PT
Raja Grafindo,Jakarta, 2001, hal. 134)
Menurut Subekti bahwa perwalian adalah “pengawasan terhadap anak – anak yang di
bawah umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau
kekayaan anak tersebut sebagaimana diatur oleh Undang – Undang”. (Subekti, Pokok –
Pokok Dari Hukum Perdata,Cet.9, PT. Pembimbing Masa, Makassar, 1953, hal.35)
Menurut Ali Afandi, bahwa “perwalian atau voogdij adalah pengawasan terhadap
pribadi dan pengurusan harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak
berada di bawah kekuasaan orang tua.” (Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum
Pembuktian, Bina Aksara,Jakarta,1997, hal.151)
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 25
Menurut R. Sarjono bahwa “perwalian adalah suatu perlindungan hukum yang
diberikan seseorang kepada anak yang belum mencapai usia dewasa atau belum pernah kawin
yang tidak berada di bawah kekuasaannya”. (R. Sarjono, Masalah Perceraian. Cet
1,Academika, Jakarta, 1979, hal. 36)
Menurut Arif Masdoeki bahwa “perwalian adalah pengawasan terhadap anak di bawah
umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, serta pengurusan benda atau kekayaan
anak tersebut, sebagaimana diatur dalam Undang – undang. (Arif Masdoeki dan M.H
TirtaHamidjaja, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Persindo, Jakarta, 1963, hal. 156)
Wali merupakan orang selaku pengganti orang tua yang menurut hukum diwajibkan
mewakili anak yang belum dewasa atau yang belum akil baliq dalam melakukan perbuatan
hukum atau “orang yang menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap
sianak”. (Lihat pasal 1 angka 5 Undang –Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak)
Menurut Hukum Indonesia, “Perwalian didefinisikan sebagai kewenangan untuk
melaksanakan perbuatan hukum demi kepentingan, atau atas nama anak yang orang tuanya
telah meninggal, atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum atau suatu perlindungan
hukum yang diberikan pada seseorang anak yang belum mencapai umur dewasa atau tidak
pernah kawin yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.” (Wahyono Darmabrata dan
Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan Dan Keluarga di Indonesia, cet,2, Penerbit Fakultas
Hukum Indonesia, Jakarta, 2004 hal 147)
Wali adalah seseorang yang melakukan pengurusan atas diri maupun harta kekayaan
anak yang masih di bawah umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. “Dalam
hal pengurusan dimaksud juga dapat diartikan sebagai pemeliharaan, baik itu dalam
pemberian pendidikan, nafkah terhadap anak yang masih di bawah umur, sehingga dengan
demikian perwalian itu sendiri dapat juga diartikan sebagai suatu lembaga yang mengatur
tentang hak dan kewajiban wali.” (Siti Hafsah Ramadhany, Tanggung Jawab Balai Harta
Peninggalan Selaku Wali Pengawas Terhadap Harta Anak Dibawah Umur (Study Mengenal
Eksistensi Balai Harta Peninggalan Medan Sebagai Wali Pengawas), Tesis,Sps-USU, Medan
2004, hal.30.)
Menurut Undang – Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 : bahwa anak yang belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan,
yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua berada di bawah kekuasaan wali.(Lihat
Pasal 50 ayat 1 Undang – Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.) Perwalian itu
mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.(Lihat Pasal 50 ayat 2
Undang – Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.) Ketentuan ini adalah bertujuan
untuk menghindarkan adanya dua perwalian, yaitu : Perwalian mengenai pribadi si anak dan
perwalian mengenai harta bendanya, yang mana hal itu ada dikenal dalam hukum Islam.
Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Abdul Manan Hasyim, yaitu perwalian terhadap
anak menurut Hukum Islam meliputi perwalian terhadap diri pribadi anak tersebut dan
perwalian terhadap harta bendanya. Perwalian terhadap diri pribadi anak adalah dalam bentuk
mengurus kepentingan diri si anak, mulai dari mengasuh, memelihara, serta memberikan
pendidikan dan bimbingan agama. Pengaturan ini juga mencakup dalam segala hal yang
merupakan kebutuhan si anak. Semua pembiayaan tersebut adalah menjadi tanggung jawab si
wali. Sementara itu, perwalian terhadap harta bendanya, adalah dalam bentuk mengelola
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 26
harta benda anak secara baik, termasuk mencatat sejumlah hartanya ketika dimulai perwalian,
mencatat perubahan – perubahan hartanya selama perwalian, serta menyerahkan kembali
kepada anak apabila telah selesai masa perwaliannya karena si anak telah dewasa dan mampu
mengurus diri
sendiri. (Abdul Manan Hasyim, Hakim Mahkamah Syariah Provinsi Aceh
http://www.idlo.int/DOCNews/240DOCF1.pdf. terakhir diakses pada tanggal 12 Maret 2014,
Pukul. 22.27 Wib.) Pada umumnya dalam tiap perwalian hanyalah ada seorang wali saja.
Pengecualian terdapat apabila seorang wali (moedervoodges) berkawin lagi, dalam hal mana
suaminya menjadi medevoogd.
Seorang yang oleh hakim diangkat menjadi wali harus menerima pengangkatan itu,
kecuali jikalau ia seorang istri yang berkawin atau jikalau ia mempunyai alasan-alasan
menurut undang- undang untuk minta dibebaskan dari pengangkatan itu. Alasan-alasan itu
ialah diantaranya jikalau ia untuk kepentingan Negara harus berada di luar negeri, jikalau ia
seorang anggota Tentara dalam dinas aktif, jikalau ia sudah berusia 60 tahun, jikalau ia sudah
menjadi wali untuk seorang anak lain atau jikalau ia sendiri sudah mempunyai lima orang
anak sah atau lebih.
Ada golongan orang-orang yang tidak dapat diangkat menjadi wali. Mereka itu ialah
orang yang sakit ingatan, orang yang belum dewasa, orang yang dibawah curatele, orang
yang telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua, jikalau pengangkatan sebagai wali ini
untuk anak yang menyebabkan pencabutan tersebut. Lain dari pada itu juga Kepala dan
anggota – anggota Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) tidak dapat diangkat menjadi wali,
kecuali dari anak – anaknya sendiri. (Subekti, Op.Cit., hal.35-36)
Secara garis besar, menurut KUHPerdata perwalian itu dibagi atas 3 macam yaitu:
1) Perwalian oleh orang tua yang hidup terlama.
Terhadap anak sah ditentukan bahwa orang tua yang hidup terlama dengan sendirinya
di bawah menjadi wali. Jika pada waktu bapak meninggal dan ibu saat itu mengandung,
maka Balai Harta Peninggalan (BHP) menjadi pengampu (kurator) atas anak yang
berada dalam kandungan tersebut. Kurator yang demikian disebut “Curator Ventris”.
Apabila bayi lahir, maka ibu demi hukum menjadi wali dan Balai Harta Peninggalan
(BHP) menjadi pengawas. Apabila ibu tersebut kawin lagi maka suaminya demi hukum
menjadi wali peserta dan bersama istrinya bertanggung jawab tanggung renteng
terhadap perbuatan – perbuatan yang dilakukan setelah perkawinan itu berlangsung.
Bagi wali menurut undang – undang (Wetterlijk Voogdij) dimulai dari saat terjadinya
peristiwa yang menimbulkan perwalian itu, misalnya kematian salah satu orang tua.
Bagi anak luar kawin yang diakui dengan sendirinya di bawah perwalian bapak/ibu
yang mengakuinya, maka orang tua yang lebih dahulu mengakuinyalah yang menjadi
wali (Pasal 352 ayat 3 KUH Perdata). Apabila pengakuan bapak dan ibu dilakukan
bersama – sama maka bapaklah yang menjadi wali.
2) Perwalian yang ditunjuk oleh ayah atau ibu dengan surat wasiat atau dengan akta
autentik.
Pasal 355 (1) KUH Perdata menentukan bahwa orang tua masing – masing yang
melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian atas seorang anak atau lebih berhak
mengangkat seorang wali atas anak – anaknya itu bilamana sesudah ia meninggal dunia
perwalian itu tidak ada pada orang tua yang baik dengan sendirinya ataupun karena
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 27
putusan hakim seperti termaksud dalam Pasal 353 (5) KUHPerdata. Bagi wali yang
diangkat yang diangkat oleh orang tua (Terstamentaire Voogdij/wali wasiat) dimulai
dari saat orang tua itu meninggal dunia dan sesudah wali menyatakan menerima
pengangkatannya.
3) Perwalian yang diangkat oleh hakim.
Pasal 359 KUHPerdata menentukan bahwa semua orang yang di bawah yang tidak
berada di bawah kekuasaan orang tua dan yang perwaliannya tidak diatur dengan cara
yang sah, Pengadilan Negeri harus mengangkat seorang wali setelah mendengar atau
memanggil dengan sah keluarga sedarah dan semenda (periparan). Bagi wali yang
diangkat oleh hakim (datieve voogdij) dimulai dari saat pengangkatan jika ia hadir
dalam pengangkatannya. Bila tidak hadir perwalian dimulai sejak
diberitahukan kepadanya. (Komariah, Hukum Perdata Edisi Revisi, UMM Press,
Malang,2001 hal, 68-70)
Sedangkan menurut Undang – Undang No.1 Tahun1974 tentang perkawinan
perwalian itu hanya ada karena penunjukan oleh salah satu orang tua yang menjalankan
kekuasaan sebagai orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan
dihadapan dua orang saksi (Pasal 51 (1) UU No.1/74).
Kepentingan suatu masyarakat yang teratur menghendaki bahwa setiap orang, yang
karena usianya terlalu muda, memerlukan perlindungan. Bila tidak ada pengawasan dari
orang tua, harus ditetapkan dibawah perwalian.
2. Asas-asas dan Syarat-syarat Perwalian
Dalam pengaturan perwalian dikenal 2 asas, yaitu :
1) Asas tak dapat dibagi-bagi (ondeelbaarheid)
Pada setiap perwalian hanya ada satu orang wali saja (Pasal 331 B.W). Asas tak dapat
dibagi-bagi (ondeelbaarheid) ini mempunyai perkecualian dalam dua hal, yaitu :
(1) Jika perwalian dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup
terlama (langstlevende ouder) jika ia kawin lagi, maka suami barunya demi huum
menjadi wali peserta / wali serta (medevoogd, pasal 351 B.W) sepanjang suami
baru itu tidak dipecat menjadi wali. Medevoogd ini berakhir, jika :
a. Terjadi perpisahan meja dan tempat tidur; atau perceraian atau perkawinan
mereka dibubarkan;
b. Dipecat dari medevoogdig (dipecat jadi wali peserta);
c. Sang Ibu tersebut berhenti menjadi wali.
(2) Jika dirasa perlu, dilakukan penunjukkan seorang pelaksana
pengurusan (bewindvoerder) yang mengurus harta kekayaan minderjarige (anak
yang belum dewasa) di luar Indonesia berdasarkan Pasa1361 B.W.
2) Asas kesepakatan dari keluarga.
Keluarga harus diminta kesepakatannya mengenai perwalian. Jika keluarga tidak ada,
maka tidak diperlukan kesepakatan. Apabila sesudah ada pemanggilan pihak keluarga
tidak datang menghadap, maka dapat dituntut berdasarkan ketentuan Pasal 524 KUHP.
Syarat-syarat untuk berada dibawah perwalian (orang yang wajib ditempatkan dibawah
perwalian), yaitu:
1) Anak masih dibawah umur
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 28
Menurut Pasal 330 B.W, yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai
umur genap 21 tahun dan tidak kawin sebelumnya. Bila perkawinan dibubarkan
sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali
berstatus belum dewasa.
2) Perkawinan orang tuanya telah bubar, baik karena cerai hidup atau cerai mati maupun
karena perpisahan meja dan ranjang. Mereka yang belum dewasa dan tidak di bawah
kekuasaan orangtua, berada di bawah perwalian (Pasal 330 BW)
3) Anak tersebut telah lahir, maksudnya selama anak masih dlm kandungan ibunya, maka
janin tsb berada dibawah pengampuan balai harta peninggalan (pasal 348 BW). Akan
ttp setelah anak itu lahir maka barulah kmd sang ibu menjadi walinya.
Pasal 348: Jika setelah suami meninggal dunia, isteri menerapkan, atau setelah
dipanggil secara sah untuk itu, mengaku bahwa ia sedang mengandung, maka balai
harta peninggalan harus jadi pengampu atas buah kandungan itu dan wajib mengadakan
segala tindakan yang perlu dan yang mendesak guna menyelamatkan dan mengurus
harta kekayaannya, baik demi kebaikan anak bila ia lahir hidup maupun demi kebaikan
semua orang yang berkepentingan. Bila anak itu lahir hidup, ketentuan-ketentuan biasa
tentang perwalian harus diperhatikan.
3. Bentuk-Bentuk atau Jenis-Jenis Perwalian
Bentuk perwalian macam apa tergantung pada cara penunjukan orang2 yang menjadi
wali.
1. Tutela Legitima (Pasal 345 – 354 BW)
Adalah perwalian yang demi hukum oleh bapak atau ibu, maksudnya demi hukum
perwalian tsb dgn sendirinya oleh suami atau istri yang hidup terlama. Jadi orang tua
yang hidup terlama (langstlevende ouder) dengan sendirinya menjadi wali bagi anak
mereka yang masih belum dewasa. Misalnya :
a. perkawinan orang tuanya telah bubar dan salah satu orang tuanya yang menjadi
wali meninggal dunia maka otomatis orang tua yang satunya lagi yang menjadi
walinya.
b. Ayah yang meninggal dunia pada saat istrinya mengandung, maka Balai Harta
Peninggalan lah yang menjadi pengampu (curator) atas anak yang berada dalam
kandungan tersebut. Jika anak itu lahir dalam keadaan hidup maka ibu dengan
sendirinya atau menurut hukum menjadi wali dan Balai Harta Peninggalan
sebagai pihak pengampu akan menjadi wali pengawas.
c. suami baru dari ibu yang mempunyai anak dibawah umur dari perkawinan
terdahulu, sepanjang suami barunya tersebut tidak dikecualikan atau dipecat
sebagai wali.
d. Pengakuan terhadap anak luar kawin oleh Bapak/Ibu nya. Orang tua yang lebih
dahulu mengakui anaknya maka dianggap sebagai wali akan tetapi apabila
pengakuan tsb dilakukan pada saat yg bersamaan maka bapaklah yang dianggap
sebagai wali. Pengangkatan wali tersebut, baik oleh ibu atau bapak, harus
dilakukan dengan putusan Pengadilan negeri agar sah (Pasal 358 BW). Apabila
ibu maupun ayah tidak dapat menjadi wali maka Pengadilan Negeri harus
menentukan pihak yang diangkat menjadi wali.
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 29
Menjadi wali dimulai pada saat terjadinya peristiwa yang menimbulkan perwalian
itu, misalnya kematian salah satu orang tua yang menjadi wali.
2. Tutela Testamentaria (Pasal 355 – 356 BW)
Adalah perwalian yang ditunjuk oleh ayah atau ibu dgn suatu testament atau akta
khusus. Perwalian berdasarkan penunjukan dari salah satu orang tua (tutela
testamentaria). Misalnya : dgn tertamen orang tua yg menjalankan kekuasaan orang
tua/perwalian menunjuk siapa yang akan menjadi wali dari anak-anaknya (badan
hukum tidak dapat menjadi wali). Tutela Testamentaria ini hanya dapat
dilaksanakan apabila :
a. kedudukan dari bapak/ibu yg meninggal dunia tsb (yang membuat testament)
adalah sebagai wali semasa hidupnya dan
b. pada saat ia meninggal dunia maka perwalian tersebut memang masih terbuka,
maksudnya tidak ada pihak orang tua yg lain yg dgn sendirinya dpt menjadi wali
atau tidak ada putusan hakim tentang pengangkatan wali.
Tutela Testamentaria ini tidak berlaku apabila:
a. orang tua yang membuat testament ini semasa hidupnya bukan wali atau bukan
pemangku kekuasaan orang tua (pasal 356 BW).
b. yang ditunjuk menjadi wali adalah badan hukum (Pasal 355 : 2 BW).
Pengangkatan Badan hukum sebagai wali hanya dapat dilakukan berdasarkan
putusan hakim atau diperintahkan oleh hakim (Pasal. 365:1 BW).
Cara pengangkatan Tutela Testamentaria ini harus dilaksanakan berdasarkan surat
wasiat atau akte notaris yang khusus dibuat untuk itu. Apabila dalam Tutela
Testamentaria ditunjuk lebih dari satu wali maka pengangkatan nya harus diurutkan
(Pasal. 353 : 4 BW), maksudnya jika pihak pertama tidak ada atau tidak bisa maka
barulah bisa diangkat yang berikutnya untuk menggantikannya. Demikian
seterusnya. Menjadi wali dimulai pada saat orang tua yang membuat testament
tersebut meninggal dunia dan sesudah wali yang ditunjuk dalam testament
menyatakan menerima pengangkatannya itu.
3. Tutela Davita (Pasal 359 BW)
Adalah perwalian yg berdsrkan penunjukkan hakim (ptsan hakim) a/ diangkat oleh
hakim. Jadi seorang anak yg belum dewasa barada dibawah perwalian apabila ia tdk
dibawah kekuasaan orang tua. Tutela Davita ini terjadi jika :
a. anak dibawah umur (minderjarige) tsb tidak berada dibawah kekuasaan orang
tua;
b. orang tua dari anak yang bersangkutan tidak diketahui keadaan atau tidak
diketahui keberadaannya dimana.
c. orang tua dari anak yang bersangkutan tidak dapat menjalankan kekuasaan orang
tua atau perwalian.
Oleh karena itu hakim dapat mengangkat “wali sementara” atau tutela davita selama
orang tua atau wali yang sebenarnya belum ada dan berakhir sampai mereka meminta
haknya kembali. Dengan adanya pengangkatan tutela davita maka kekuasaan orang
tua menjadi tertunda. (Ps. 359:6 BW). Hakim akan mengangkat seorang wali setelah
mendengar pendapat atau memanggil keluarga sedarah (bloedverwanten) atau
semenda/periparan (aangehuwden). Dalam hal ini Balai Harta Peninggalan dapat
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 30
campur tangan dengan mengambil tindakan-tindakan atas diri (persoon) harta
kekayaan minderjarig itu baik sebelum maupun pada saat wali itu baru ditunjuk samai
melakukan perwaliannya (Pasal 359:7) Menjadi wali dimulai pada saat pengangktan,
jika ia hadir dlam pengangkatan tersebut. Apabila ia tidak hadir maka perwalian
dimulai sejak saat pengangkatannya itu diberitahukan kepadanya.
Setiap orang yang diangkat menjadi wali, wajib mengangkat sumpah dihadapan Balai
Harta Peninggalan, kecuali wali yg merupakan badan hukum. (Pasal 362 BW).
4. Orang Yang Tidak Dapat Menjadi Wali (Ps. 379 Bw)
Pada asasnya menurut UU, setiap orang dpt a/ berwenang menjadi wali, kecuali mereka
yang UU telah dikecualikan, sebgmn ditetapkan dalam Pasal 379 B.W mengatur ada 5
golongan orang yang dikecualikan atau yang tidak boleh menjadi wali, yaitu :
1) orang-orang sakit ingatan atau Orang Gila (krankzinnigen);
2) minderjarigen (Orang yang masih dibawah umur);
3) orang yang diletakkan di bawah pengampunan (curatele);
4) mereka yang dipecat atau dicabut (ontzet) dari kekuasaan orang tua atau haknya utk
dapat menjadi wali / wali pengawas atas penetapan pengadilan;
5) para ketua, wakil ketua, sekretaris Balai Harta Peninggalan, kecuali atas anak-anak
tiri pejabat2 itu sendiri.
5. Wewenang Badan Hukum Menjadi Wali
Sehubungan dengan kewewenangan perhimpunan, yayasan, dan lembaga2 sebagai wali
atas penunjukan bapak atau ibu maka dalam pasal 355 (2) B.W dikatakan bahwa badan
hukum tidak boleh diangkat sebagai wali, kecuali jika perwalian itu diperintahkan oleh
Pengadilan. Pasal 365 (1) B.W menyatakan bahwa dalam segala hal apabila hakim harus
mengangkat seorang wali, maka perwalian itu dapat diperintahkan dan diserahkan kepada
perkumpulan yang berbadan hukum atau yayasan-yayasan, atau juga lembaga sosial yg
bertempat berkedudukan di Indonesia. Hal tersebut bergantung pula pada anggaran dasar,
akte pendirian, atau peraturannya yang memuat aturan2 yg memang bertujuan untuk
memelihara atau mengasuh anak-anak yg masih minderjarig untuk waktu lama (duurzame
verzorging van minderjarigen).
Tugas wali: Pertama, Wali berkewajiban utk mengadakan pencatatan harta benda,
pupilnya, memberi jaminan (hipotik) yg seimbang dengan tanggungjawabnya yang timbul
dari perwaliannya (apabila yang menjadi wali bukan orang tua sendiri): mengurus harta
benda pupilnya secara bapak rumah tangga yg baik. Kedua, Wali tidak dapat tanpa izin hakim
mengasingkan atau dialihkan benda2 tetap; menjual surat2 berharga pupilnya; menerima
warisan atas nama pupilnya kecuali secara benefisiar. Ketiga, Sebelum mulai memegang
perwalian wali datip wajib mengadakan sumpah dimuka hakim. Keempat, Menurut Pasal 383
BW tapi wali berkewajiban mengurus pemeliharaan dan pendidikan anak yang diawasinya
sesuai dengan harta kekayaan anak itu. Kelima, Apabila kekayaan anak tidak mencukupi
untuk membiayai pendidikan anak tersebut, wali tidak diwajibkan untuk menambahnya dari
kekayaannya sendiri, tetapi dapat mengajukan permohonan untuk menjual kekayaan anak itu
untuk dapat membiayai pendidikannya.
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 31
Hukum Perdata:
Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan
❖ Uraian mengenai hukum perdata tentang hukum perkawinan (pengertian dan dasar-dasar perkawinan
serta syarat-syarat perkawinan ) dan hukum kewarisan (pengertian ahli waris, syarat – syarat ahli waris,
hak dan kewajiban ahli waris, penggolongan ahli waris dan bagiannya, ahli waris yang tidak berhak
mewaris serta ahli waris pengganti).
A. Hukum Perkawinan
1. Pengertian dan Dasar-Dasar Perkawinan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, Perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2, Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Prof. Subekti, SH, Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
Prof. Mr. Paul Scholten, Perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dan
seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara.
Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Perkawinan adalah suatu hidup bersama dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam
peraturan hukum perkawinan.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, sahnya suatu perkawinan adalah
merujuk pada dasar hukum sebagai berikut:
Pasal 2, (1).Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. (2).Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3, (1).Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2).Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang
apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Pasal 4, (1).Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana
tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan
kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (2).Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal
ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang
apabila: a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. isteri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. isteri tidak dapat melahirkan
keturunan.
Pasal 5, (1).Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut: a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. adanya kepastian bahwa suami
mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; c. adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2).Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 32
suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-
kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari
Hakim Pengadilan.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, Dasar-dasar perkawinan tertulis dalam Bab
II, yaitu: Pasal 2, Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.
Pasal 3, Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Pasal 4, Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan
pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 5, (1). Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946
jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
Pasal 6, (1). Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. (2).
Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai
kekuatan Hukum.
Pasal 7, (1). Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh
Pegawai Pencatat Nikah., (2). Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata
Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama., (3). Itsbat nikah yang dapat
diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: (a)
Adanya perkawinan dalam rabgka penyelesaian perceraian; (b) Hilangnya Akta Nikah; (c)
Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian; (d) Adanyan
perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan; (e)
Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan
menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974; (4). Yang berhak mengajukan permohonan
itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang
berkepentingan dengan perkawinan itu.
Pasal 8, Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat
cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,ikrar talak,
khuluk atau putusan taklik talak.
Pasal 9, (1). Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang
dan sebagainya, dapat dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama. (2). Dalam hal surat
bukti yang dimaksud dala ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke
Pengadilan Agama.
Pasal 10, Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yanh
dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
2. Syarat-syarat Perkawinan
Syarat-syarat Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 33
1) Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 sampai dengan
11 UU No. 1 tahun 1974, yaitu:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun
harus mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah
satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah
meninggal dunia.
3. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan
pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada penyimpangan harus ada
ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria
maupun wanita.
4. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin
lagi kecuali memenuhi Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4.
5. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan
bercerai lagi untuk kedua kalinya.
6. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
Syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut Pasal 12 UU No.1
Tahun 1974 direalisasikan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 13 Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975. Secara singkat syarat formal ini dapat diuraikan
sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan
kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di mana perkawinan di
mana perkawinan itu akan dilangsungkan, dilakukan sekurang-kurangnya 10
hari sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan dapat dilakukan
lisan/tertulis oleh calon mempelai/orang tua/wakilnya. Pemberitahuan itu
antara lain memuat: nama, umur, agama, tempat tinggal calon mempelai
(Pasal 3-5).
(2) Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti,
apakah sudah memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar
khusus untuk hal tersebut (Pasal 6-7).
(3) Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat
pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang
memuat antara lain:
a. Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin.hari
b. tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (pasal 8-9)
(4) Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua
calon mempelai menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat
dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara
resmi. Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan
satu lagi disimpan pada Panitera Pengadilan. Kepada suami dan Istri masing-
masing diberikan kutipan akta perkawinan (pasal 10-13).
2) Sedangkan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), syarat-
syaratnya adalah sebagai berikut:
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 34
1. kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam undang-undang,
yaitu bagi laki-laki 18 tahun dan bagi perempuan 15 tahun.
2. Harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak.
3. Untuk seorang perempuan yang telah kawin harus lewat 300 hari dahulusetelah
putusnya perkawinan pertama.
4. Tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua belah pihak.
5. Untuk pihak yang masih dibawah umur harus ada izin dari orangtua atauwalinya.
6. Asas Monogami yang mutlak (Pasal 27 KUH Perdata).
Pencatatan perkawinan diperlukan sebagai bukti adanya perkawinan. Buktiadanya
perkawinan ini diperlukan kelak untuk melengkapi syarat-syarat administrasiyang diperlukan
untuk membuat akta kelahiran, kartu keluarga dan lain-lain. Dalam KUHPerdata, pencatatan
perkawinan ini diatur dalam bagian ke tujuh Pasal 100 danPasal 101. Dalam Pasal 100, bukti
adanya perkawinan adalah melalui akta perkawinan yang telah dibukukan dalam catatan sipil.
Pengecualian terhadap pasal ini yaitu Pasal 101, apabila tidak terdaftar dalam buku di catatan
sipil, atau hilang maka bukti tentang adanya suatu perkawinan dapat diperoleh dengan
meminta pada pengadilan. Di pengadilan akan diperoleh suatu keterangan apakah ada atau
tidaknya suatu perkawinan berdasarkan pertimbangan hakim.
Lalu menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) syarat perkawinan terdiri dari: Pasal 14,
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a. Calon Suami; b. Calon Isteri; c. Wali nikah; d.
Dua orang saksi dan; e. Ijab dan Kabul.
B. Hukum Kewarisan
1. Pengertian Ahli Waris
Ahli waris adalah setiap orang yang berhak atas harta peninggalan pewaris dan
berkewajiban menyelesaikan hutang – hutangnya. Hak dan kewajiban tersebut timbul setelah
pewaris meninggal dunia. Hak waris itu didasarkan pada hubungan perkawinan, hubungan
darah, dan surat wasiat, yang diatur dalam undang – undang. Tetapi legataris bukan ahli
waris, walaupun ia berhak atas harta peninggalan pewaris, karena bagiannya terbatas pada
hak atas benda tertentu tanpa kewajiban. Menurut undang – undang, ada dua cara untuk
mendapatkan warisan, yaitu:
1) Sebagai ahli waris menurut ketentuan undang – undang
2) Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
Cara yang pertama dinamakan mewarisi “menurut undang – undang” atau “ab
intestato”. Sedangkan cara yang kedua disebut dengan mewaris dengan “testamentair”.
Dalam hukum waris berlaku asas, bahwa apabila seorang meninggal, maka seketika itu juga
segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya. Asas ini tercantum dalam
suatu pepatah Perancis yang berbunyi : “le mort saisit le vif”, sedangkan pengukuran segala
hak dan kewajiban dari si meninggal oleh para ahli waris itu dinamakan “saisine”.
Dalam Pasal 833 ayat 1 KUHPerdata dinyatakan bahwa sekalian ahli waris dengan
sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas semua harta kekayaan orang yang
meninggal dunia (pewaris). Dalam Pasal 874 KUHPdt juga dinyatakan bahwa segala harta
kekayaan orang yang meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut
undang – undang, sekedar terhadap itu dengan surat wasiat tidak diambil suatu ketetapan
yang sah. Ketentuan Pasal – Pasal di atas pada dasarnya didasari oleh asas “le mort saisit le
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 35
vif”, yang telah disebut di atas. Yang artinya orang yang mati berpegang pada orang yang
masih hidup. Asas ini mengandung arti bahwa setiap benda harus ada pemiliknya. Setiap ahli
waris berhak menuntut dan memperjuangkan hak warisnya, menurut Pasal 834 B.W. seorang
ahli waris berhak untuk menuntut upaya segala apa saja yang termasuk harta peninggalan si
meninggal diserahkan padanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris (heriditatis petito).
Hak penuntutan ini menyerupai hak penuntutan seorang pemilik suatu benda, dan menurut
maksudnya penuntutan itu harus ditujukan kepada orang yang menguasai satu benda warisan
dengan maksud untuk memilikinya. Oleh karena itu, penuntutan tersebut tidak boleh
ditujukan pada seorang yang hanya menjadi houder saja, yaitu menguasainya benda itu
berdasarkan suatu hubungan hukum dengan si meninggal, misalnya menyewa. Penuntutan
tersebut tidak dapat ditujukan kepada seorang executeur – testamentair atau seorang curator
atas suatu harta peninggalan yang tidak diurus. Seorang ahli waris yang menggunakan hak
penuntutan tersebut, cukup dengan mengajukan dalam surat gugatannya, bahwa ia adalah ahli
waris dari si meninggal den barang yang dimintanya kembali itu termasuk benda
peninggalan.
Menurut Pasal 1066 ayat 2 KUHPdt setiap ahli waris dapat menuntut pembagian harta
warisan walaupun ada larangan untuk melakukan itu. Jadi, harta warisan tidak mungkin
dibiarkan dalam keadan tidak terbagi kecuali jika diperjanjikan tidak diadakan pembagian,
dan inipun tidak lebih lama dari lima tahun. Walaupu ahli waris itu berhak atas harta warisan,
dimana pada asasnya tiap orang meskipun seorang bayi yang baru lahir adalah cakap untuk
mewaris hanya oleh undang - undang telah ditetapkan ada morang orang yang karna
perbuatannya, tidak patut (onwaardig) menerima warisan. Hal ini ditentukan dalam Pasal 838
KUHPdt yang dianggap tidak patut jadi ahli waris, sehingga dikecualikan dari pewarisan
adalah :
1) mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba
membunuh pewaris;
2) mereka yang dengan putusan hakim dipersalahkan karena fitnah telah mengadikan
pewaris bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan
hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat;
3) mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut surat
wasiat;
4) mereka yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat pewaris.
Selain itu, oleh undang-undang telah ditetapkan bahwa ada orang-orang yang
berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya, maupu hubungannya dengan si meninggal,
tidak diperbolehkan menerima keuntungan dari suatu surat wasiat yang diperbuat oleh si
meninggal. Mereka ini, diantaranya adalah notaries yang membuatkan surat wasiat itu serta
saksi-saksi yang menghadiri pembuatan testament itu, pendeta yang melayani atau dokter
yang merawat si meninggal selama sakitnya yang terakhir. Bahkan pemberian waris dalam
surat wasiat kepada orang-orang mungkin menjadi perantara dari orang -orang ini
(“tussenbiede komende personen”) dapat dibatalkan. Sebagai orang-orang perantara ini oleh
undang-undang diangap anak-anak dan isteri dari orang -orang yang tidak diperbolehkan
menerima warisan dan tastement itu.
Selanjutnya dalam Pasal 912 ditetapkan alasan – alasan yang menurut pasal 838
tersebut diatas, menyebabkan seseorang tidak patut menjadi waris, berlaku juga sebagai
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 36
halangan untuk dapat menerima pemberian – pemberian dalam suatu testament, kecuali
dalam pasal 912 tidak disebutkan orang yang telah mencoba membunuh orang yang
meninggalkan warisan. Jika si meninggal ini ternyata dalam surat wasiatnya masih juga
memberikan warisan pada seorang yang telah berbuat demikian, hal itu dianggap sebagai
suatu “pengampunan” terhadap orang itu.
2. Syarat – Syarat Ahli Waris
Dalam pasal 832 KUHPdt dinyatakan bahwa menurut undang - undang yang berhak
menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin, dan si suami
atau istri yang hidup terlama. Dalam hal, bilamana baik keluarga sedarah, maupun si yang
hidup terlama di antara suami istri, tidak ada, maka segala harta peninggalan si yang
meninggal, menjadi milik negara, yang mana berwajib akan melunasi segala hutangnya,
sekedar harga harta peniggalan mencukupi untuk itu.
Kemudian menurt Pasal 874 KUHPdt dinyatakan segala harta peninggalan seseorang
yang meninggal dunia, adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang – undang,
sekedar terhadap itu dengan surat wasiat telah diambilnya suatu ketetapan yang sah.
Menurut Pasal 836 KUHPdt dinyatakan dengan mengingat akan ketentuan dalam Pasal 2
KUHPdt, supaya dapat bertindak sebagai waris, seorang harus telah lahir, pada saat warisan
jatuh meluang. Dimana Pasal 2 KUHPdt menyatakan bahwa anak yang ada dalam kandungan
seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bila mana juga kepentingan si anak
mengkehendakinya, namun apabila mati suatu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah telah
ada.
Jadi menurut pasal – pasal tersebut di atas syarat – syarat ahli waris adalah sebagai berikut:
1) mempunyai hak atas harta peninggalan si pewaris, yang timbul karena :
a. hubungan darah (Pasal 832 B.W.)
b. karena wasiat (Pasal 874 B.W.)
2) harus sudah ada dan masih ada ketika si pewaris meninggal dunia (Pasal 836 B.W.),
dengan tetap memperhatikan ketentuan dari pasal 2 B.W.
3) ahli waris bukan orang yang dinyatakan tidak patut menerima warisan atau orang yang
menolak harta warisan, adapun Pasal yang mengatur mengenai orang yang tidak patut
menjadi ahli waris yaitu Pasal 838 B.W. yang telah tersebut di atas dalam sub bab
sebelumnya.
Jika kita tinjau dari syarat pewarisan tersebut di atas, maka akan timbul suatu
pertanyaan, bagaimanakah jika antara dua orang yang saling mewaris meninggal dalam
waktu yang sama? Dari ketentuan Pasal 831 B.W. dapat diketahui jika terjadi dua orang atau
lebih yang sama atau lebih yang saling mewaris itu meninggal dalam waktu yang sama atau
dalam waktu yang hampir bersamaan namun tidak dapat dibuktikan siapa yang meninggal
terlebih dahulu maka diantara keduanya tidak saling mewaris.
3. Hak dan Kewajiban Ahli Waris
Dalam rangka untuk mengetahui hak dan kewajiban ahli waris perlu kiranya untuk
diketahui hak dan kewajiban pewaris. Hak pewaris timbul sebelum terbukanya harta
peninggalan dalam arti bahwa pewaris sebelum meninggal dunia berhak menyatakan
kehendaknya dalam sebuah testament atau wasiat. Isi dan wasiat tersebut dapat berupa:
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 37
1) Erfstelling, yaitu suatu penunjukan satu atau beberapa orang menjadi ahli waris untuk
mendapatkan sebagian atau keseluruhan harta peninggalan. Orang yang ditunjuk
dinamakan testamentair erfgenaam (ahli waris menurut wasiat).
2) Legaat, adalah pemberian hak kepada seseorang atas dasar tastement atau wasiat yang
khusus. Pemberian itu dapat berupa :
a. (hak atas) satu atau beberapa benda tertentu;
b. (hak atas) seluruh dari satu macam benda tertentu;
c. hak vruchtgebruik atas sebagian / seluruh warisan (Pasal 957 KUHperdat).
Kewajiban si pewaris adalah merupakan pembatsan terhadap haknya ditentukan
undang-undang. Ia harus mengindahkan adanya legitieme portie, yaitu suatu bagian tertentu
dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan.
Hak ahli waris dapat diperinci sebagai berikut: Setelah terbuka warisan, ahli waris diberikan
hak untuk menentukan sikap:
1) Menerima secara penuh (zuivere aanvaarding), yaitu dapat dilakukan secara tegas atau
secara lain. Dengan tegas yaitu jika penerimaan tersebut dituangkan dalam suatu akte
yang memuat penerimaannya sebagai ahli waris. Secara diam – diam, jika ahli waris
tersebut melakukan perbuatan penerimaannya sebagai ahli waris dan perbuatan tersebut
harus mencerminkan perbuatan penerimaan terhadap warisan yang meluang, yaitu
dengan mengambil, menjual atau melunasi hutang – hutang pewaris.
2) Menerima dengan reserve (hak untuk menukar) Voorrecht van boedel beschriyving
atau beneffeciare aanvaarding. Hal ini harus dinyatakan pada Panitera Pengadilan
Negeri ditempat warin terbuka. Akibat yang terpenting dalam warisan secara beneficare
ini adalah bahwa kewajiban untuk melunasi hutang – hutang dan beban lain si pewaris
dibatasi sedemikian rupa sehingga pelunasannya dibatasi menurut kekuatan warisan,
dalam hal ini berarti si ahli waris tersebut tidak usah menanggunga pembayaran hutang
dengan kekayaan sendiri, jika hutang pewaris lebuh besar dari harta bendanya. Adapun
kewajiban – kewajiban seorang ahli waris beneficiair, ialah :
a. melakukan pencatatan adanya harta peninggalan dalam waktu 4 (empat) bulan
setelahnya ia menyatakan kehendaknya kepada Panitera Pengadilan Negeri, bahwa
ia menerima warisan secara beneficiair.
b. Mengurus harta peninggalan sebaik – baiknya.
c. Selekas – lekasnya membereskan urusan warisan.
d. Apabila diminta oleh semua orang berpiutang harus memberikan tanggungan untuk
harga benda – benda yang bergerak beserta benda – benda yang tak bergerak yang
tidak diserahkan kepada orang – orang berpiutang yang memegang hypothek.
e. Memberikan pertanggungan jawab kepada sekalian penagih hutang dan orang –
orang yang menerima pemberian secara legaat. Pekerjaan ini berupa menghitung
harga serta pendapatan – pendapatan yang mungkin akan diperoleh, jika barang –
barang warisan dijual dan sampai berapa persen piutang – piutang dan legaten itu
dapat dipenuhi.
f. Memanggil orang – orang berpiutang yang tidak terkenal,dalam surat kabar resmi.
3.Menolak warisan. Hal ini mungkin jika ternyata jumlah harta kekayaan yang
berupa kewajiban membayar hutang lebih besar dari pada hak untuk menikmati
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 38
harta peninggalan. Penolakan wajib dilakukan dengan suatu pernyataan kepada
Panitera Pengadilan Negeri setempat. Kewajiban ahli waris, antara lain:
1) memelihara harta keutuhan harta peninggalan sebelum harta peninggalan
dibagi.
2) mencari cara pembagian yang sesuai dengan ketentuan dan lain – lain.
3) melunasi hutang pewaris jika pewaris meniggalkan hutang.
4) melaksanakan wasiat jika ada.
4. Penggolongan Ahli Waris Dan Bagiannya
Ada dua macam ahli waris yang diatur dalam undang - undang yaitu Ahli Waris
berdasarkan hubungan perkawinan dan hubungan darah, dan Ahli Waris berdasarkan surat
wasiat. Ahli Waris yang pertama disebut Ahli Waris ab intestato, sedangkan yang kedua
disebut dengan Ahli Waris testamentair.
Ahli Waris ab intestato diatur dalam pasal 832 KUHPerdata, dinyatakan bahwa yang
berhak menjadi Ahli Waris adalah para keluarga sedarah dan istri (sumi) yang masiih hidup
dan jika ini semua tidak ada, maka yang berhak menjadi Ahli Waris adalah Negara.
Pertanyaannya adalah siapa sajakah yang termasuk dalam keluarga sedarah yang berhak
mewaris itu?
Untuk menjawabnya kita dapat melihat dalam B.W., dimana Ahli Waris dibedakan menjadi 4
(empat) golongan ahli waris, yaitu:
Golongan I
Golongan ini terdiri dari anak dan keturunannya kebawah tanpa batas beserta janda atau
duda. Menurut ketentuan pasal 852 KUHPerdata, anak – anak walaupun dilahirkan dari
perkawinan yang berlainan dan waktu yang berlainan, laki – laki atau perempuan
mendapatkan bagian yang sama, mewaris kepala demi kepala. Anak – anak yang mewaris
sebagai pengganti dari ayah (ibu) mewaris pancang demi pancang. Yang dimaksud dengan
pancang adalah semua anak dari seorang yang berhak mewaris, tetapi telah meninggal
terlebih dahulu. Kemudian tetang anak adopsi, Ali Afandi, S.H. menyatakan bahwa anak
adopsi kedudukannya sejajar seperti anak yang lahir dalam perkawinan orang yang
mengadopsinya.
Menurut ketentuan pasal 852 a KUHPerdata, bagian seorang istri (suami) jika ada anak
dari parkawiannya dengan orang yang meninggal sama dengan bagian seorang anak yang
meninggal. Jika perkawinan itu bukan perkawinan yang pertama dan dari perkawinan yang
dahulu ada juga anak, maka baigan dari istri (suami) itu tidak boleh lebih dari bagian terkecil
dari anak – anak pewaris itu. Bagaimanapun juga seorang istri tidak boleh lebih dari
seperempat harta warisan.
Yang dimaksud dengan “terkecil” itu adalah bagian dari seorang anak yang dengan
ketetapan surat wasiat dapat berbeda – beda, asal tidak kurang dari legitieme portie.
Selanjutnya dalam pasal 852 b KUHPerdata, ditentukan bahwa apabila istri (suami) mewaris
bersama – sama dengan orang – orang lain dari pada anak – anak atau keturunannya dari
perkawinannya yang dulu, maka ia dapat menarik seluruh atau bagian prabot rumah tangga
dalam kekuasannya. Yang dimaksud dengan “orang – orang lain dari pada anak – anak” itu
ialah orang – orang yang menjadi Ahli Waris karena ditetapkan dengan surat wasiat. Harga
perabot rumah tangga itu harus dikurangkan dari bagian warisan istri (suami) itu. Jika
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 39
harganya lebih basar dari pada harga bagian warisannya maka harga kelebihan itu harus
dibayar lebih dahulu pada kawan warisnya.
Golongan II
Golongan ini terdiri dari ayah dan / atau ibu si pewaris beserta saudara dan
keturunannya sampai derajat ke 6 (enam). Menurut ketentuan pasal 854 KHUPerdata, apabila
seorang meninggal dunia tanpa meniggalkan keturunan maupun istri(suami), sedangkan
bapak dan ibunya masih hidup, maka yang berhak mewarisi ialah bapak, ibu, dan saudara
sebagai berikut :
a.bapak dan ibu masing - masing mendapat sepertiga dari hrta warisan, jika yang meninggal
itu hanya mempunyai seorang saudara, yang mana mendapat sepertida lebihnya,
b.bapak dan ibu masing – masing mendapat seperempat dari harta warisan, jika yang
meninggal itu mempunyai lebih dari seorang saudara, yang mana mendapat dua seperempat
lebihnya.
Selanjutnya dalam pasal 855 KUHPerdata ditentukan bahwa apabila orang yang
meninggal dunia itu tampa meninggalkan keturunan maupun istri (suami), sedangkan bapak
atau ibunya masih hidup, maka:
a. bapak atau ibu mendapat seperdua dari harta warisan, jika yang meninggal itu hanya
mempunyai seorang saudara, yang mana mendapat seperdua lebihnya ;
b. bapak atau ibu mendapat sepertiga dari harta warisan, jika yang meninggal itu
mempunyai dua orang saudara yang mana mendapat duapertiga lebihnya ;
c. bapak atau ibu mendapat seperempat dari harta warisan, jika yang meninggal itu
mempunyai lebih dari dua orang saudara, yang mana mendapat tigaperempat lebihnya.
Jika bapak dan ibu telah meninggal dunia, maka seluruh harta warisan menjadi bagian
saudara – saudaranya (pasal 856 KUHPerdata).
Pembagian antara saudara – saudara adalah sama, jika mereka itu mempunyai bapak
dan ibu yang sama. Apabila mereka berasal dari perkawinan yang berlainan (bapak sama
tetapi lain ibu, atau ibu sama tetapi lain bapak), maka harta warisan dibagi dua. Bagian yang
pertama adalah bagin bagi garis bapak dan bagian yang kedua adalah bagian bagi garis ibu.
Saudara – saudara yang mempunyai bapak dan ibu yang sama mendapat bagian dari bagian
dari garis bapak dan garis ibu. Saudara – saudara yang hanya sebapak atau seibu dapat baian
dari bagian garis bapak atau garis ibu saja (Pasal 857). Apabila orang yang mennggal dunia
itu tidak meninggalkan keturunan istri atau suami, saudara, sedangkan bapak atau ibunya
masih hidup. Maka bapak atau ibunya yang masih hidup itu mewarisi seluruh warisan
anaknya yang meniggal dunia itu (pasal 859 KUHPdt)
Golongan III
Golongan ini terdiri dari keluarga sedarah menurut garis lurus ke atas.
Menurut ketentuan Pasal 853 dan Pasal 858 KUHPerdata apabila orang yang meninggal
dunia itu tidak meninggalkan keturunan, maupun istri atau suami, saudara – saudara, ataupun
orang tua, maka warisan jatuh kepada kakek dan nenek.
Dalam hal ini warisan itu dibelah menjadi dua. Satu bagian diberikan kepada kakek dan
nenek yang diturunkan bapak dan satu bagian lagi diberikan kepada kakek dan nenek yug
menurunkan ibu. Apabila kakek dan nenek tidak ada, maka warisan jatuh kepada orang tua
kakek dan nenek (puyang). Apabila yang tidak ada itu hanya kakek dan nenek, maka bagian
jatuh pada garis keturunannya, dan menjadi bagian yang masih hidup. Ahli waris yang
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 40
terdekat derajatnya dalam garis lurus ke atas, mendapat setengah warisan dalam garisnya
dengan menyampingkan semua ahli waris lainnya. Semua keluarga sedarah dalam garis lurus
keatas dalam derajat yang sama mendapat begian kepala demi kepala (bagian yang sama).
Golongan IV
Golongan ini terdiri dari keluarga sedarah dalam garis kesamping yang lebih jauh
sampai derajat ke 6 (enam). Apabila orang yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan
keturunan, istri atau suami, saudara – saudara, orangtua, nenek dan kakek, maka menurut
ketentuan Pasal 853 dan Pasal 858 ayat 2 KUHPerdata warisan jatuh pada Ahli Waris yang
terdekat pada tiap garis. Jika ada beberapa orang yang derajatnya sama, maka warisan dibagi
berdasarkan bagian yang sama.
Keluarga sedarah dalam garis menyimpang lebih dari derajat ke 6 (enam) tidak mewarisi.
Jika dalam garis yang satu tidak ada keluarga yang sedarah dalam derajat yang mengijinkan
untuk mewarisi, maka semua keluarga sedarah dalam garis yang lain memperoleh seluruh
warisan (Pasal 861 KUHPerdata).
Apabila semua orang yang berhak mewarisi tidak ada lagi, maka seluruh warisan dapat
dituntut oleh anak luar kawin yang diakui. Apabila anak luar kawin inipun juga tidak ada,
maka seluruh warisan jatuh pada Negara (Pasal 873 ayat 1 dan Pasal 832 ayat 2
KUHPerdata).
Dengan berlakunya undang - undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 maka pewarisan anak
luar kawin walaupun diakui, tidak relevan lagi. Undang - undang no. 1 tahun 1974 hanya
mengenal anak sah dan anak luar kawin (tidak sah). Anak sah adalah Ahli Waris, sedangkan
anak luar kawin hanya berhak mewarisi dari ibu yang melahirkannya dan keluarga sedarah
dari pihak ibunya.
5. Ahli Waris Yang Tidak Berhak Mewaris
Menurut ketentuan Pasal 838 KUHPdt, yang dianggap tidak patut menjadi Ahli Waris
dan karenanya tidak berhak mewaris adalah:
1) mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba
membunuh pewaris.
2) mereka yang dengan putusan hakim dipersalahkan karena dengan fitnah mengajajukan
pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman
penjara 5 (lima) tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.
3) mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membut atau mencabut surat
wasiatnya.
4) mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan syarat wasiat pewaris.
Berbeda dengan KUHPdt adalah hukum waris adat. Menurut uraian Prof. Hilman
Adikusuma, S.H. (1980) seorang yang telah berdosa terhadap pewaris apabila dosanya itu
diampuni, ia tetap menerima harta warisan, artinya masih berhak mewaris.
Sedangkan menurut hukum waris Islam, orang yang tidak berhak mewaris adalah:
1) pembunuh pewaris, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ap-Tirmidzi, Ibnmajah,
Abu Dawud, Am-Masaai.
2) orang yang murtad yaitu keluar dari Agama Islam, berdasarkan hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Bardah.
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 41
3) orang yang berbeda agama dengan pewaris, yaitu orang bukan menganut Agama Islam
atau Kafir, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, Ibn Majah,
At-Tirmidzi.
4) anak zina, yaitu onak yang lahir karena hubungan diluar nikah, berdasarkan hadis yang
diriwayatkan oleh At-Tirmidzi.
Tidak berhak mewaris terdapat juga pada ahli waris yang menolak warisan dalam Pasal
1058 ditentukan bahwa seorang ahli waris yang menolak warisan dianggap tidak pernah
menjadi Ahli Waris. Penolakan itu berlaku surut sampai waktu meninggalnya pewaris.
Menurut Pasal 1059 KUHPerdata bagian dari Ahli Waris yang menolak itu jatuh pada ahli
waris lainnya, seolah – olah ahli waris yang menolak itu tidak pernah ada. Menurut Pasal
1057 KUHPerdata penolakan warisan harus dinyatakan dengan tegas dikepaniteraan
Pengadilan Negeri. Menurut Pasal 1062 KUHPerdata dinyatakan pula bahwa hak untuk
menolak warisan tidak dapat gugur karena Daluarsa.
Penolakan warisan itu harus dengan suka rela atas kemauan sendiri, apabila penolakan
itu terjadi na paksaan atau penipuan, maka menurut Pasal 1065 KUHPerdata penolakan itu
dapat dibatalkan (ditiadakan). Tetapi kesukarelaan penolakan itu tidak boleh dilakukan
dengan alasan tidak mau membayar hutang. Jka terjadi demikian, menurut Pasal 1061
KUHPerdata hakim dapat memberi kuasa kepada para kreditur dari ahli waris yang menolah
itu untuk atas namanya menjadi pengganti menerima warisan.
6. Ahli Waris Pengganti
KUHPerdata membedakan antara ahli waris “uit eigen hoofed” dan ahli waris “bij
plaasvervulling”. Ahli Waris “uit eigen hoofed” adalah ahli waris yang memperoleh warisan
berdasarkan kedudukannya sendiri terhadap pewaris,misalnya anak pewaris ,istri/suami
pewaris. Ahli waris “bij plaasvervulling” adalah ahli waris pengganti berhubung orang yang
berhak mewaris telah meninggal dunia lebih dahulu daripada pewaris. Misalnya seorang ayah
meniggal lebih dahulu daripada kakek, maka anak-anak ayah yang meninggal itu
menggantikan kedudukan ayahnya sebagai ahli waris dari kakek.
Penggantian ini terjadi dalam garis kebawah dan terjadi tanpa batas. Tiap ahli waris
yang meninggal lebih dahulu digantikan oleh anak-anaknya. Jika lebih dari satu anak sebagai
penggantinya, maka penggantian itu dihitung sebagai satu cabang, artinya semua anak yang
menggantikan itu mendapatkan bagian yang sama. Penggantian dapat juga terjadi pada
keluarga dalam garis samping. Tiap saudara pewaris baik saudara kandung maupun saudara
tiri, jika meninggal lebih dahulu, digantikan oleh anaknya. Penggantian ini juga dapat tanpa
batas. Tiap penggantian dihitung sebagai satu cabang (bij staken). Menurut ketentuan pasal
841 KUHPerdata penggantian adalah hak yang memberikan kepada seseorang untuk
menggantikan seorang Ahli Waris yang telah meninggal labih dahulu dari pada pewarisnya
untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam hak orang yang digantikannya.
Penggantian ini menurut pasal 842 KUHPerdata hanya terjadi dalam garis lurus ke bawah
tanpa batas, sedangkan pasal 843 KUHPerdata manyatakan dalam garis lurus ke atas tidak
terdapat penggatian. Dalam hal ada penggantian, maka menurut pasal 846 KUHPerdata
pembagian dilakukan pancang demi pancang.
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 42
Hukum Perdata:
Hukum Perikatan dan Hukum Perjanjian
❖ Uraian mengenai hukum perdata tentang hukum perikatan (pengertian hukum perikatan, dasar dan
syarat hukum perikatan, sifat dan unsur-unsur dalam perikatan, sistem pengaturan hukum perikatan,
azas-azas hukum perikatan dan hapusnya perikatan) dan hukum perjanjian (standar kontrak, macam –
macam perjanjian, syarat sahnya perjanjian, pembatalan dan pelaksanaan suatu perjanjian serta
pengertian prestasi dan wanprestasi dalam hukum kontrak).
A. Hukum Perikatan
1. Pengertian Hukum Perikatan
Asal kata perikatan dari obligatio (latin), obligation (Perancis, Inggris) Verbintenis
(Belanda = ikatan atau hubungan). Selanjutnya Verbintenis mengandung banyak pengertian,
di antaranya:
1) Perikatan: masing-masing pihak saling terikat oleh suatu kewajiban/prestasi(Dipakai
oleh Subekti dan Sudikno)
2) Perutangan: suatu pengertian yang terkandung dalam verbintenis. Adanya hubungan
hutang piutang antara para pihak (dipakai oleh Sri Soedewi, Vol Maar, Kusumadi);
3) Perjanjian (overeenkomst): dipakai oleh (Wiryono Prodjodikoro)
Hukum perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan
antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain
berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu
akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang
menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam
bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga
(family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum
pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu
hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu
berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan
pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua
orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain
berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu.
Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang
sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian.
Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan
tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian. Contohnya; perjanjian untuk tidak
mendirikan bangunan yang sangat tinggi sehingga menutupi sinar matahari atau sebuah
perjanjian agar memotong rambut tidak sampai botak
Perikatan ialah hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang pihak atau lebih, yakni
pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi, begitu juga
sebaliknya. Pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, perikatan terjadi karena:
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 43
1) Perjanjian
2) UndangUndang
Hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan.
Perjanjian merupakan salah satu sumber yang paling banyak menumbulkan perikatan karena
hukum perjanjian menganutsistimterbuka.
2. Dasar dan Syarat Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber yaitu :
1) Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2) Perikatan yangy timbul dari undang–undang.
3) Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (
onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming ).
Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
1) Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau
karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2) Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan
dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3) Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-
undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan
orang.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syaratyaitu Pasal 1320 KUHPerdata
mengatur tentang syarat sahnya perjanjian yaitu :
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (tidak ada paksaan, tidak ada keleiruan dan
tidak ada penipuan)
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ; (dewasa, tidak dibawah pengampu)
3) Suatu hal tertentu (objeknya jelas, ukuran, bentuk dll)
4) Suatu sebab yang halal; (tidak bertentangan dengan ketertiban, hukum/UU dan
kesusilaan)
Bagaimana jika Pasal 1320 KUHPerdata tersebut dilanggar? Suatu perjanjian yang
mengandung cacat pada subjeknya yaitu syarat : 1). sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya dan 2) kecakapan untuk bertindak, tidak selalu menjadikan perjanjian tersebut
menjadi batal dengan sendirinya (nietig) tetapi seringkali hanya memberikan kemungkinan
untuk dibatalkan (vernietigbaar), sedangkan perjanjian yang cacat dalam segi objeknya yaitu :
mengenai 3) segi “suatu hal tertentu” atau 4) “suatu sebab yang halal” adalah batal demi
hukum. Artinya adalah jika dalam suatu perjanjian syarat 1 dan 2 dilanggar baru dapat
dibatalkan perjanjian tersbeut setelah ada pihak yang merasa dirugikan mengajukan tuntutan
permohonan pembatalan ke pengadilan. Dengan demikian perjanjian menjadi tidak sah.
Lain hal jika syarat 3 dan 4 yang dilanggar maka otomatis perjanjian tersebut menjadi batal
demi hukum walaupun tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Maka dapat disimpulkan suatu perjanjian dapat terjadi pembatalan karena:
1) Dapat dibatalkan, karena diminta oleh pihak untuk dibatalkan dengan alas an
melanggar syarat 1 dan 2 pasal 1320 KUHPerdata.
2) Batal demi hukum, karena melanggar syarat 3 dan 4 pasal 1320 KUHPerdata
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 44
3. Sifat dan Unsur-Unsur Dalam Perikatan
Sifat Hukum Perikatan, diantaranya:
1) Sebagai hukum pelengkap/terbuka, dalam hal ini jika para pihak membuat ketentuan
sendiri, maka para pihak dapat mengesampingkan ketentuan dalam undang-undang.
2) Konsensuil, dalam hal ini dengan tercapainya kata sepakat di antara para pihak, maka
perjanjian tersebut telah mengikat.
3) Obligatoir, dalam hal ini sebuah perjanjian hanya menimbulkan kewajiban saja, tidak
menimbulkan hak milik. Hak milik baru berpindah atau beralih setelah dilakukannya
penyerahan atau levering.
Unsur-unsur perikatan, yaitu:
1) Hubungan hukum (legal relationship)
2) Pihak-pihak yaitu 2 atau lebih pihak (parties)
3) Harta kekayaan (patrimonial)
4) Prestasi (performance)
4. Sistem Pengaturan Hukum Perikatan
Sistem pengaturan hukum perikatan adalah bersifat terbuka, artinya bahwa setiap orang
bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur
dalam UU. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam pasal 1338 ayat 1
yang berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”. Dari ketentuan pasal ini memberikan kebebasan kepada para
pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan
siapapun, menemukan isi perjanjian dan bebas menetukan bentuk perjanjian baik tertulis
maupun tidak tertulis. Dalam menentukan suatu perikatan, maka tidak boleh melakukan
perbuatan yang melawan hukum. Sebagaimana dalam H.R. 1919 yang mengartikan perbuatan
melawan hukum sebagai berikut:
1) Melanggar hak orang lain
2) Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku yang dirumuskan dalam UU
3) Bertentangan dengan kesusilaan
4) Bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam masyarakat, aturan
kecermatan ini menyangkut aturan-aturan yang mencegah orang lain terjerumus dalam
bahaya dan aturan-aturan yang melarang merugikan orang lain ketika hendak
menyelenggarakan kepentinagn sendiri.
5. Azas-Azas Hukum Perikatan
Asas-asas hukum perikatan, sebagai berikut:
1) Asas Konsensualisme
Asas konsnsualisme dapat disimpulkan dari Pasal 1320 ayat 1 KUHPdt. Pasal 1320
KUHPdt : untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat sarat :
(1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
(2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
(3) suatu hal tertentu
(4) suatu sebab yang halal.
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 45
Pengertian kesepakatan dilukiskan dengan sebagai pernyataan kehendak bebas yang
disetujui antara pihak-pihak ASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN
2) Asas Pacta Sunt Servanda
Asas pacta sun servanda berkaitan dengan akibat suatu perjanjian. Pasal 1338 ayat (1)
KUHPdt:
a) Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang….”
b) Para pihak harus menghormati perjanjian dan melaksanakannya karena perjanjian itu
merupakan kehendak bebas para pihak asas-asas hukum perikatan.
3) Asas Kebebasan Berkontrak
Pasal 1338 KUHPdt : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undangundang bagi mereka yang membuatnya”. Ketentuan tersebut memberikan
kebebasan parapihak untuk :
a) Membuat atau tidak membuat perjanjian;
b) Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
c) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
d) Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Di samping ketiga asas utama tersebut, masih terdapat beberapa asas hukum perikatan
nasional, yaitu:
1) Asas kepercayaan;
2) Asas persamaan hukum;
3) Asas keseimbangan;
4) Asas kepastian hukum;
5) Asas moral;
6) Asas kepatutan;
7) Asas kebiasaan;
8) Asas perlindungan;
6. Hapusnya Perikatan
Dalam KUHpdt (BW) tidak diatur secara khusus apa yang dimaksud berakhirnya
perikatan, tetapi yang diatur dalam Bab IV buku III BW hanya hapusnya perikatan. Pasal
1381 secara tegas menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan. Cara-cara tersebut adalah:
1) Pembayaran.
2) Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsignasi).
3) Pembaharuan utang (novasi).
4) Perjumpaan utang atau kompensasi.
5) Percampuran utang (konfusio).
6) Pembebasan utang.
7) Musnahnya barang terutang.
8) Batal/ pembatalan.
9) Berlakunya suatu syarat batal.
10) Dan lewatnya waktu (daluarsa).
Terkait dengan Pasal 1231 perikatan yang lahir karena undang-undang dan perikatan
yang lahir karena perjanjian. Maka berakhirnya perikatan juga demikian. Ada perikatan yang
berakhir karena perjanjian seperti pembayaran, novasi, kompensasi, percampuran utang,
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 46
pembebasan utang, pembatalan dan berlakunya suatu syarat batal. Sedangkan berakhirnya
perikatan karena undang–undang diantaranya; konsignasi, musnahnya barang terutang dan
daluarsa.
Agar berakhirnya perikatan tersebut dapat terurai jelas maka perlu dikemukakan
beberapa item yang penting, perihal defenisi dan ketentuan-ketentuan yang mengaturnya
sehinga suatu perikatan/ kontrak dikatakan berakhir:
1) Pembayaran.
Berakhirnya kontrak karena pembayaran dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 1382 BW
sampai dengan Pasal 1403 BW. Pengertian pembayaran dapat ditinjau secara sempit dan
secara yuridis tekhnis.
Pembayaran dalam arti sempit adalah pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur,
pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Sedangkan pengertian
pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk jasa
seperti jasa dokter, tukang bedah, jasa tukang cukur atau guru privat.
Suatu maslah yang sering muncul dalam pembayaran adalah masalah subrogasi.
Subrogasi adalah penggantian hak-hak siberpiutang (kreditur) oleh seorang ketiga yang
membayar kepada siberpiutang itu. Setelah utang dibayar, muncul seorang kreditur yang baru
menggantikan kreditur yang lama. Jadi utang tersebut hapus karena pembayaran tadi, tetapi
pada detik itu juga hidup lagi dengan orang ketiga tersebut sebagai pengganti dari kreditur
yang lama.
2) Konsignasi
Konsignasi terjadi apabila seorang kreditur menolak pembayaran yang dilakukan oleh
debitur, debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas utangnya, dan jika
kreditur masih menolak, debitur dapat menitipkan uang atau barangnya di pengadilan.
3) Novasi
Novasi diatur dalam Pasal 1413 Bw s/d 1424 BW. Novasi adalah sebuah persetujuan,
dimana suatu perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu perikatan lain harus dihidupkan,
yang ditempatkan di tempat yang asli. Ada tiga macam jalan untuk melaksanakan suatu
novasi atau pembaharuan utang yakni:
Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang
mengutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya. Novasi
ini disebut novasi objektif.
Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang
oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatannya (ini dinamakan novasi subjektif pasif).
Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk
menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya (novasi
subjektif aktif)
4) Kompensasi
Kompensasi atau perjumpaan utang diatur dalam Pasal 1425 BW s/d Pasal 1435 BW.
Yang dimaksud dengan kompensasi adalah penghapusan masing-masing utang dengan jalan
saling memperhitungkan utang yang sudah dapat ditagih antara kreditur dan debitur (vide:
Pasal 1425 BW). Contoh: A menyewakan rumah kepada si B seharga RP 300.000 pertahun.
B baru membayar setengah tahun terhadap rumah tersebut yakni RP 150.000. Akan tetapi
pada bulan kedua A meminjam uang kepada si B sebab ia butuh uang untuk membayar SPP
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 47
untuk anaknya sebanyak Rp 150.000. maka yang demikianlah antara si A dan si b terjadi
perjumpaan utang.
5) Konfusio
Konfusio atau percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 BW s/d Pasal 1437 BW.
Konfusio adalah percampuran kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan
sebagai kreditur menjadi satu (vide: Pasal 1436). Misalnya si debitur dalam
suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya, atau sidebitur kawin dengan
krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin.
B. Hukum Perjanjian
1. Standar Kontrak
Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi 2 yaitu umum dan khusus.
1) Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh
kreditur dan disodorkan kepada debitur.
2) Kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik
adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
Menurut Remi Syahdeini, keabsahan berlakunya kontrak baru tidak perlu lagi
dipersoalkan karena kontrak baru eksistensinya sudah merupakan kenyataan.
Kontrak baru lahir dari kebutuhan masyarakat. Dunia bisnis tidak dapat berlangsung
dengan kontrak baru yang masih dipersoalkan.
Suatu kontrak harus berisi:
1) Nama dan tanda tangan pihak-pihak yang membuat kontrak.
2) Subjek dan jangka waktu kontrak
3) Lingkup kontrak
4) Dasar-dasar pelaksanaan kontrak
5) Kewajiban dan tanggung jawab
6) Pembatalan kontrak
2. Macam – Macam Perjanjian
Diantara macam-macam perjanjian, yaitu:
1) Perjanjian Jual-beli
2) Perjanjian Tukar Menukar
3) Perjanjian Sewa-Menyewa
4) Perjanjian Persekutuan
5) Perjanjian Perkumpulan
6) Perjanjian Hibah
7) Perjanjian Penitipan Barang
8) Perjanjian Pinjam-Pakai
9) Perjanjian Pinjam Meminjam
10) Perjanjian Untung-Untungan
3. Syarat Sahnya Perjanjian
Menurut Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, sahnya perjanjian harus
memenuhi empat syarat yaitu :
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 48
1) Sepakat untuk mengikatkan diri Sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang
mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju untuk seia sekata mengenai
segala sesuatu yang diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas,
artinya tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan.
2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian Kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian berarti mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian atau mngadakan
hubungan hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat
pikirannya adalah cakap menurut hukum.
3) Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian. Syarat ini
diperlukan untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan. Pasal
1338 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai
suatu pokok yang paling sedikit ditetapkan jenisnya.
4) Sebab yang halal Sebab ialah tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai
maksud untuk mencapainya. Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, sebab yang tidak
halal ialah jika ia dilarang oleh Undang Undang, bertentangan dengan tata susila
atau ketertiban. Menurut Pasal 1335 KUHPerdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu
atau dilarang tidak mempunyai kekuatan atau batal demi hukum.
4. Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Pembatalan Perjanjian Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang
membuat perjanjian ataupun batal demi hokum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu
pihak biasanya terjadi karena;
1) Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka
waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
2) Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan
atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
3) Terkait resolusi atau perintah pengadilan
4) Terlibat hukum
5) Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan
perjanjian
5. Pengertian Prestasi dan Wanprestasi Dalam Hukum Kontrak
Dalam kesempatan kali ini, saya akan menjelaskan pengertian prestasi dan wanprestasi
dalam hukum kontrak.
1) Pengertian Prestasi
Pengertian prestasi (performance) dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu
pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah
mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan“term” dan“condition”
sebagaimana disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan. Model-model dari
prestasi (Pasal 1234 KUH Perdata), yaitu berupa:
a) Memberikan sesuatu;
b) Berbuat sesuatu;
c) Tidak berbuat sesuatu.
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 49
2) Pengertian Wanprestasi
Pengertian wanprestasi (breach of contract) adalah tidak dilaksanakannya prestasi
atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap
pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.
Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang
dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan
ganti rugi sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang
dirugikan karena wanprestasi tersebut. Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi
karena:
a) Kesengajaan;
b) Kelalaian;
c) Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian)
Kecuali tidak dilaksanakan kontrak tersebut karena alasan-alasan force majeure,
yang umumnya memang membebaskan pihak yang tidak memenuhi prestasi (untuk
sementara atau selama-lamanya).
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 50
Hukum Perdata:
Hukum Benda dan Hukum Pertanahan
❖ Uraian mengenai hukum perdata tentang hukum benda (pengertian benda, pengertian hukum benda,
macam-macam benda dan hak kebendaan, asas-asas kebendaan dan timbul dan terhapusnya hak
kebendaan) dan hukum pertanahan (pengertian agraria, pengertian hukum agraria, pembidangan dan
pokok bahasan hukum agraria, pengertian hukum tanah, hukum dan politik agraria, hak penguasaan
atas tanah, ruang lingkup hak atas tanah serta hukum agraria Indonesia).
A. Hukum Benda
1. Pengertian Benda
Berdasarkan Pasal 504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), benda
dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak. Mengenai benda
tidak bergerak, diatur dalam Pasal 506 – Pasal 508 KUHPer. Sedangkan untuk benda
bergerak, diatur dalam Pasal 509 – Pasal 518 KUHPer.
Prof. Subekti, dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 61-62),
suatu benda dapat tergolong dalam golongan benda yang tidak bergerak (onroerend) pertama
karena sifatnya, kedua karena tujuan pemakaiannya, dan ketiga karena memang demikian
ditentukan oleh undang-undang.
Lebih lanjut, Subekti menjelaskan bahwa adapun benda yang tidak bergerak karena
sifatnya ialah tanah, termasuk segala sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung,
karena perbuatan alam atau perbuatan manusia, digabungkan secara erat menjadi satu dengan
tanah itu. Jadi, misalnya sebidang pekarangan, beserta dengan apa yang terdapat di dalam
tanah itu dan segala apa yang dibangun di situ secara tetap (rumah) dan yang ditanam di situ
(pohon), terhitung buah-buahan di pohon yang belum diambil. Tidak bergerak karena tujuan
pemakaiannya, ialah segala apa yang meskipun tidak secara sungguh-sungguh digabungkan
dengan tanah atau bangunan, dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan itu untuk
waktu yang agak lama, yaitu misalnya mesin-mesin dalam suatu pabrik. Selanjutnya, ialah
tidak bergerak karena memang demikian ditentukan oleh undang-undang, segala hak atau
penagihan yang mengenai suatu benda yang tidak bergerak.
Pada sisi lain masih menurut Subekti, suatu benda dihitung termasuk golongan benda
yang bergerak karena sifatnya atau karena ditentukan oleh undang-undang. Suatu benda yang
bergerak karena sifatnya ialah benda yang tidak tergabung dengan tanah atau dimaksudkan
untuk mengikuti tanah atau bangunan, jadi misalnya barang perabot rumah tangga. Tergolong
benda yang bergerak karena penetapan undang-undang ialah misalnya vruchtgebruik dari
suatu benda yang bergerak, lijfrenten, surat-surat sero dari suatu perseroan perdagangan,
surat-surat obligasi negara, dan sebagainya.
Selanjutnya menurut Frieda Husni Hasbullah (Ibid, hal. 44-45) untuk kebendaan
bergerak dapat dibagi dalam dua golongan:
1) Benda bergerak karena sifatnya, yaitu benda-benda yang dapat berpindah atau dapat
dipindahkan misalnya ayam, kambing, buku, pensil, meja, kursi, dan lain-lain (Pasal
509 KUHPer). Termasuk juga sebagai benda bergerak ialah kapal-kapal, perahu-
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 51
perahu, gilingan-gilingan dan tempat-tempat pemandian yang dipasang di perahu dan
sebagainya (Pasal 510 KUHPer).
2) Benda bergerak karena ketentuan undang-undang (Pasal 511 KUHPer) misalnya:
a) Hak pakai hasil dan hak pakai atas benda-benda bergerak;
b) Hak atas bunga-bunga yang diperjanjikan;
c) Penagihan-penagihan atau piutang-piutang;
d) Saham-saham atau andil-andil dalam persekutuan dagang, dan lain-lain.
2. Pengertian Hukum Benda
Dalam kamus hukum disebutkan pengertian hukum benda, yaitu:
Hukum benda adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan-
hubungan hukum antara subyek hukum dengan benda dan hak kebendaan.
Menurut Titik Triwulan Tutik, hukum benda adalah suatu ketentuan yang mengatur
tentang hak-hak kebendaan dan barang-barang tak terwujud (immaterial). Hukum harta
kekayaan mutlak disebut juga dengan hukum kebendaan: yaitu hukum yang mengatur tentang
hubungan hukum antara seseorang dengan benda. Hubungan hukum ini, melahirkan hak
kebendaan (zakelijk recht) yakni yang memberikan kekuasaan langsung kepada seseorang
yang berhak menguasai ssesuatu benda didalam tangan siapapun benda itu. Menurut titik tri
wulan tutik mengemukakan pengertian hukum kekayaan relatif yang merupakan bagian dari
hukum harta kekayaan, yaitu : ketentuan yang mengatur utang piutang atau yang timbul
karena adanya perjanjian. Hukum harta kekayaan relatif disebut juga dengan hukum
perikatan. Yaitu : hukum yang mengatur hubungan hukum antara seseorang dengan
seseorang lain. Hubungan hukum ini menimbulkan hak terhadap seseorang atau perseorangan
(personalijk recht), yakni hak yang memberikan kekuasaan kepada seseorang untuk menuntut
seseorang yang lain untuk berbuay sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
Menurut P.N.H.Simanjuntak, hukum benda yaitu Hukum benda adalah peraturan-
peraturan hukum yang mengatur mengenai hak-hak kebendaan yang sifatnya mutlak.
Menurut Prof. Soediman Kartihadiprojo, bahwa hukum kebendaan ialah semua kaidah
hukum yang mengatur apa yang diartikan dengan benda dan mengatur hak-hak atas benda.
Menurut Prof. L.J Van Apel Doorn, yaitu hukum kebendaan adalah peraturan mengenai
hak-hak kebendaan.
Menurut Prof Sri Soedewi Masjchoen Sofwan juga mengemukakan ruang lingkup yang
diatur dalam hukum benda itu, sebagai berikut: Apa yang diatur dalam dalam hukum benda
itu? Pertama-tama hukum benda itu mengatur pengertian dari benda, kemudian pembedaan
macam-macam benda dan selanjutnya bagran yang terbesar mengatur mengeras macam-
macam hak kebendaan.
3. Macam-macam Benda dan Hak Kebendaan
Pembedaan berbagai macam kebendaan dalam hukum perdata berdasarkan perspektif
kitab undang-undang hukum perdata. KUH perdata membeda-bedakan benda dalam berbagai
macam:
1) Kebendaan dibedakan atas benda tidak bergerak (anroe rende zaken) dan benda
bergerak (roerendes zaken) (pasal 504 KUH perdata).
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 52
2) Kebendaan dapat dibendakan pula atas benda yang berwujud atau bertubuh
(luchamelijke zaken) dan benda yang tidak berwujud atau berubah (onlichme Lijke
Zaken) (pasal 503 KUH perdata).
3) Kebendaan dapat dibedakan atas benda yang dapat dihabiskan (verbruikbare zaken)
atau tak dapat dihabiskan (pasal 505 KUH perdata).
Pembedaan kebendaan demikian ini diatur dalam pasal-pasal 503,504 dan 505 KUH
perdata yang berbunyi sebagai berikut: (pasal 503, tiap-tiap kebendaan adalah bertubuh/ tidak
bertubuh), (pasal 504, tiap-tiap kebendaan adalah bergerak atau tidak bergerak, satu sama lain
menurut ketentuan-ketentuan dalam kedua bagian berikut), (pasal 505, tiap-tiap kebendaan
bergerak adalah dapat dihabiskan/tak dapat dihabiskan kebendaan terlepas dn benda-benda
sejenis itu, adalah kebendaan bergerak). Selain itu, baik didalam buku I dan buku II KUH
Perdata, kebendaan dibedakan atas benda yang sudah ada (tegenwoordige zaken) dan benda
yang baru akan ada (taekomstige zaken) (pasal 1134 KUH Perdata) dibedakan lagi atas
kebendaan dalam perdagangan (zaken in de handel) dan benda diluar perdagangan (zaken
buiten de handel) (pasal 1332 KUH Perdata), kemudian kebendaan dibedakan lagi benda
yang dapat dibagi (deelbare zaken) dan benda yang tidak dapat dibagi (ondeelbare zaken)
(pasal 1163 KUH Perdata), serta akhirnya kebendaan dibedakan atas benda yang dapat
diganti (vervangbare zaken) dan benda yang tidak dapat dibagi (onvervange zaken) (pasal
1694 KUH Perdata). Pembedaan benda yang sangat penting yaitu pembedaan atas benda
bergerak dan tidak bergerak serta benda terdaftar dan benda tidak terdaftar. Pembedaan
macam kebendaan berdasarkan totalitas bendanya:
Didasarkan kepada ketentuan dalam pasal 500 dan pasal 501 KUHPerdata yang
menyatakan sebagai berikut:
Pasal 500 KUHPerdata: “Segala apa yang karena hukum perlekatan termasuk dalam
sesuatu kebendaan sepertipun segala hasil dari kebendaan itu, baik hasil karena alam maupun
hasil karena pekerjaan orang lain, selama yang akhir-akhir ini melekat paada kebendaan itu
laksana dan akar terpaut pada tanahnya, kesemuanya itu adalah bagian dari pada kebendaan
tadi”
Pasal 501: “Dengan tak mengurai ketentuan-ketentuan istimewa menurut undang-
undang atau karena perjanjian tiap-tiap hasil perdata adalah bagian dari pada sesuatu
kebendaan, jika dan selama hasil itu belum dapat ditagih”.
Dari pasal-pasal diatas benda dapat dibagi menjadi benda pokok (utama) dan benda
perlekatan. Benda pokok adalah benda yang semula telah dimiliki oleh seseorang tertentu,
sedangkan benda perlekatan adalah setiap yang:
1) karena perbuatan alam;
2) karena perbuatan manusia;
3) karena hasil perdata yang belum dapat ditagih.
Benda tak bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya, tujuannya atau penetapan
undang-undang dinyatakan sebagai benda tak bergerak. Ada tiga golongan benda tak
bergerak, yaitu:
1) Benda menurut sifatnya tak bergerak dapat dibagi menjadi 3 macam :
a) Tanah
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 53
b) Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena tumbuh dan berakar serta
bercabang (seperti tumbuh-tumbuhan, buah-buahan yang belum dipetik, dan
sebagainya)
c) Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena didirikan diatas tanah, yaitu
karena tertanam dan terpaku seperti tanaman.
2) Benda yang menurut tujuan pemakaiannya supaya bersatu dengan benda tak bergerak,
yaitu:
a) Pada pabrik; segala macam mesin-mesin katel-katel dan alat-alat lain yang
dimaksudkan supaya terus-menerus berada disitu untuk digunakan dalam
menjalankan pabrik.
b) Pada suatu perkebunan; segala sesuatu yang dapat digunakan rabuk bagi tanah,
ikan dalam kolam dan lain-lain.
c) Pada rumah kediaman; segala kacak, tulisan-tulisan, dan lain-lain serta alat-alat
untuk menggantungkan barang-barang itu sebagai bagian dari dinding, sarang
burung yang dapat dimakan (walet).
d) Barang reruntuhan dari suatu bangunan, apabila dimaksudkan untuk dipakai guna
untuk mendirikan lagi bangunan itu.
3) Benda yang menurut penetapan undang-undang sebagai benda tak bergerak, yaitu:
a) Hak-hak atau penagihan mengenai suatu benda yang tak bergerak (seperti : hak
opstal, hak hipotek, hak tanggungan dan sebagainya).
b) Kapal-kapal yang berukuran 20 meter kubik keatas (WvK).
Benda bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya, tujuannya atau penetapan
dalam undang-undang dinyatakan sebagai benda bergerak. Ada 2 golongan benda bergerak,
yaitu:
1) Benda yang menurut sifatnya bergerak dalam arti benda itu dapat dipindah atau
dipindahkan dari suatu tempat ketempat lain. Misalnya : kendaraan (seperti : sepeda,
sepeda motor, mobil); alat-alat perkakas (seperti : kursi, meja, alat-alat tulis).
2) Benda yang menurut penetapan undang-undang sebagai benda bergerak adalah segala
hak atas benda-benda bergerak. Misalnya : hak memetik hasil, hak memakai, hak atas
bunga yang harus dibayar selama hidup seseorang, hak menuntut dimuka pengadilan
agar uang tunai atau benda-benda beregerak diserahkan kepada seseorang
(penggugat), dan lain-lain.
Perbedaan mengenai benda bergerak dan benda tak bergerak tersebut penting artinya,
karena adanya ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku bagi masing-masing golongan benda
tersebut, misalnya: pengaturan mengenai hal-hal sebagai berikut:
1) Mengenai hak bezit; Untuk benda bergerak yang menentukan, barang siapa yang
menguasai bendaa bergerak dianggap ia sebagai pemiliknya.
2) Mengenai pembebanan (bezwaring); Terhadap benda bergerak harus digunakan
lembaga jaminan gadai (pand). Sedangkan benda tak bergerak harus digunakan
lembaga jaminan hyphoteek. (pasal 1150 dan pasal 1162 BW).
3) Mengenai penyerahan (levering); Pasal 612 BW menetapkan bahwa penyerahan
benda bergerak dapat dilakukan dengan penyerahan nyata. Sedangkan benda tak
bergerak, menurut pasal 616 BW harus dilakukan dengan balik nama pada daftar
umum.
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 54
4) Mengenai kedaluarsa (verjarinng); Terhadap benda bergerak tidak dikenal daluarsa,
sebab bezti sama dengan eigendom. Sedangkan benda tak bergerak mengenai
kadaluarsa. Seseorang dapat mempunyai hak milik karena lampaunya 20 tahun
(dalam hal ada alas yang sah) atau 30 tahun (dalam hal tidak ada alas hak), yang
disebut dengan “acquisitive verjaring”.
5) Mengenai penyitaan (beslag); Revindicatior beslag adalah penyitaan untuk menuntut
kembali suatu benda bergerak miliknya pemohon sendiri yang ada dalam kekuasaan
orang lain.
Benda yang musnah: Sebagaimana diketahui, bahwa objek hukum adalah segala
sesuatu yang berguna bagi subyek hukum dan yang dapat menjadi pokok (obyek) suatu
hubungan hukum. Maka benda-benda yang dalam pemakaiannya akan musnah, kegunaan
benda-benda itu terletak pada kemusnahannya. Misalnya : makanan dan minuman, kalau
dimakan dan diminum (artinya musnah) baru memberi manfaat bagi kesehatan.
Benda yang tetap ada: Benda yang tetap ada ialah benda-benda yang dalam
pemakaiannya tidak mengakibatkan benda itu musnah, tetapi memberi manfaat bagi
pemakaiannya. Seperti : cangkir, sendok, piring, mobil, motor, dan sebagainya.
Benda yang dapat diganti dan benda yang tak dapat diganti: Menurut pasal 1694, BW
pengambilan barang oleh penerima titipan harus in natura, artinya tidak boleah diganti oleh
benda lain. Oleh karena itu, maka perjanjian pada penitipan barang umumnya hanya
dilakukan mengenai benda yang tidak musnah. Bilamana benda yang dititipkan berupa uang,
maka menurut pasal 1714 BW, jumlah uang yang harus dlkembalikan harus dalam mata uang
yang sama pada waktu dititipkan, baik mata uang itu telah naik atau turun nilainya. Lain
halnya jika uang tersebut tidak dititipkan tetapi dipinjam menggantikan, maka yang
menerima pinjaman hanya diwjibkan mengembalikan sejumlah uang yang sama banyaknya
saja, sekalipun dengan mata uang yang berbeda dari waktu perjanjian (pinjam mengganti)
diadakan.
Benda yang diperdagangkan: Benda yang diperdagangkan adalah benda-benda yang
dapat dijadikan objek (pokok) suatu perjanjian. Jadi semua benda yang dapat dijadikan pokok
perjanjian dilapangan harta kekayaan termasuk benda yang dipertahankan.
Benda yang tak diperdagangkan: Benda yang tak diperdagangkan adalah benda-benda
yang tidak dapat dijadikan objek (pokok) suatu perjanjin dilapangan harta kekayaan.
4. Asas-asas Kebendaan
Asas-asas kebendaan, yaitu:
a. Asas individualitas. Yaitu objek kebendaan selalu benda tertentu, atau dapat
ditentukan secara individual, yang merupakan kesatuan. Hak kebendaan selalu
benda yang dapat ditentukan secara individu. Artinya berwujud dan merupakan satu
kesatuan yang ditentukan menurut jenis jumlahnya. Contoh: rumah, hewan.
b. Asas totalitas. Yaitu hak kebendaan terletak diatas seluruh objeknya sebagai satu
kesatuan. Contoh: seorang memiliki sebuah rumah, maka otomatis dia adalah
pemilik jendela, pintu, kunci, dan benda-benda lainnya yang menjadi pelengkap dari
benda pokoknya (tanah).
c. Asas tidak dapat dipisahkan.Yaitu orang yang berhak tidak boleh memindah
tangankan sebagian dari kekuasaan yang termasuk hak kebendaan yang ada
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 55
padanya. Contoh: seseorang tidak dapat memindah tangankan sebagian dari
wewenang yang ada padanya atas suatu hak kebendaan, seperti memindahkan
sebagian penguasaan atas sebuah rumah kepada orang lain. Penguasaan atas rumah
harus utuh, karena itu pemindahannya harus juga utuh.
d. Asas publisitas. Yaitu hak kebendaan atas benda tidak bergerak diumumkan dan di
daftarkan dalam register umum. Contoh: pengumunam status kepemilikan suatu
benda tidak bergerak (tanah) kepada masyarakat melalui pendaftaran dalam buku
tanah/ register.sedangkan pengumuman benda bergerak terjadi melalui penguasaan
nyata benda itu.
e. Asas spesialitas. Dalam lembaga hak kepemilikan hak atas tanah secara individual
harus ditunjukan dengan jelas ujud, batas, letak, luas tanah. Contoh Asas ini terdapat
pada hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atas benda tetap.
f. Asas zaaksvelog atau droit de suit (hak yang mengikuti), artinya benda it uterus
menerus mengikuti bendanya dimanapun juga (dalam tangan siapapun juga) barang
itu berada.
g. Asas accessie/asas pelekatan. Suatu benda biasanya terdiri atas bagian-bagian yang
melekat menjadi satu dengan benda pokok. Contohnya: hubungan antara bangunan
dengan genteng, kosen, pintu dan jendela. Menurut asas ini pemilik benda pokok
dengan sendirinya merupakan pemilik dari benda pelengkap. Dengan perkataan lain
status hukum benda pelengkap mengikuti status hukum benda pokok.
h. Asas zakelijke actie. Adalah hak untuk menggugat apabila terjadi gangguan atas hak
tersebut. Misalnya: penuntutan kembali, gugatan untuk menghilangkan gangguan-
gangguan atas haknya, gugatan untuk memulihkan secara semula, gugatan untuk
menuntut ganti rugi, dll.
i. Asas hukum pemaksa (dewingen recht). Bahwa orang tidak boleh mengadakan hak
kebendaan yang sudah diatur dalam UU. Aturan yang sudah berlaku menurut UU
wajib dipatuhi atau tidak boleh disimpangi oleh para pihak.
j. Asas dapat dipindah tangankan. Yaitu semua hak kebendaan dapat dipindah
tangankan. Menurut perdata barat, tidak semua dapat dipindah tangankan ( seperti
hak pakai dan hak mendiami) tetapi setelah berlakunya undang-undang hak atas
tanah UUHT, semua hak kebendaan dapat dipindah tangankan.
5. Timbul dan Terhapusnya Hak Kebendaan
Timbulnya hak kebendaan:
a. Pendakuan (toeeigening), Yaitu memperoleh hak milik atas benda-benda yang tidak
ada pemiliknya (res nullius). Res nullius hanya atas benda bergerak. Contohnya:
memburu rusa di hutan, memancing ikan dilaut, mengambil harta karun, dll.
b. Perlekatan (natrekking), yaitu suatu cara memperoleh hak milik, dimana benda itu
bertambah besar atau berlipat ganda karena alam. Contoh: tanah bertambah besar
sebagai akibat gempa bumi, seseorang membeli seekor sapi yang sedang bunting
maka anak sapi yang dilahirkan dari induknya itu menjadi milinya juga, pohon
berbuah, dll.
c. Daluarsa (verjaring), yaitu suatu cara untuk memperoleh hak milik atau
membebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 56
syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-Undang (pasal 1946 KUH Perdata).
Barang siapa menguasai benda bergerak yang dia tidak ketahui pemilik benda itu
sebelumnya (misalnya karena menemukannya), hak milik atas benda itu diperoleh
setelah lewat waktu 3 tahun sejak orang tersebut menguasai benda yang
bersangkutan.
d. Melalui penemuan. Benda yang semula milik orang lain, akan tetapi lepas dari
penguasanya, karena misalnya jatuh di perjalanan, maka barang siapa yang
menemukan barang tersebut dan ia tidak mengetahui siapa pemiliknya, menjadi
pemilik barang yang ditemukannya.
e. Melalui penyerahan. Cara ini yang lazim, yaitu hak kebendaan diperoleh melalui
penyerahan. Contoh: jual beli, sewa menyewa. Dengan adanya penyerahan maka
title berpindah kepada siapa benda itu diserahkan.
f. Pewarisan, yaitu suatu proses beralihnya hak milik atau harta warisan dari pewaris
kepada ahli warisnya. Pewarisan dapat dibedakan menjadi dua macam: karena UU
dan wasiat
g. Dengan penciptaan. Seseorang yang menciptakan benda baru, baik dari benda yang
sudah ada maupun baru, dapat memperoleh hak milik atas benda ciptaannya
tersebut. Contoh: orang yang menciptakan patung dari sebatang kayu, menjadi
pemilik patung itu. Demikian pula hak kebendaan tidak berwujud seperti hak paten,
dan hak cipta.
Hapusnya hak kebendaan
a. Bendanya lenyap/ musnah. Karena musnahnya suatu benda, maka hak atas benda
tersebut ikut lenyap. Contohnya: hak sewa atas rumah yang habis/musnah tertimbun
longsor. Hak gadai atas sebuah sepeda motor ikut habis apabila barang tersebut
musnah karena kebakaran.
b. Karena dipindah tangankan. Hak milik, hak memungut hasil atau hak pakai menjadi
hapus bila benda yang bersangkutan dipindah tangankan kepada orang lain.
c. Karena pelepasan hak (pemilik melepaskan benda tersebut). Pada umumnya
pelepasan yang bersangkutan dilakukan secara sengaja oleh yang memiliki hak
tersebut.
Contohnya: radio yang rusak dibuang ke tempat sampah. Dalam hal ini, maka hak
kepemilikan menjadi hapus dan bisa menjadi hak milik orang lain yang menemukan
radio tersebut.
d. Karena pencabutan hak. Penguasa public dapat mencabut hak kepemilikan seseorang
atas benda tertentu, dengan syarat: harus didasarkan undang-undang, dilakukan
untuk kepentingan umum (dengan ganti rugi yang layak).
B. Hukum Pertanahan
1. Pengertian Agraria
Istilah Agraria berasal dri kata Akker ( Bahasa Belanda ), Agros (Bahasa Yunani)
berarti tanah pertanian, Agger (Bahas Latin) berarti tanah atau sebidang tanah,Agrarius
(Bahasa Latin) berarti perladangan,persawahan, pertanian, Agrarian (Bahasa Inggris) berarti
tanah untuk pertanian.
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 57
1) Menurut Andi Hamzah, agraria adalah masalah dan semua yang ada di dalam dan
diatasnya
2) Menurut Subekti dan R Tjitrisoedibio, agraria adalah urusan tanah dan segala apa
yang ada di dalam dan di atasnya, yang di dalam tanah misalnya batu, kerikil,
tambang, sedangkan yang ada diatas tanah berupa tanaman, bangunan.
Ruang lingkup agraria / sumber daya alam dapat dijelaskan sebagi berikut :
1) Bumi; Pengertian bumi menurut pasal 1 ayat (4) UUPA adalah permukaan bumi,
termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air.
2) Air; Pengertian air menurut pasal 1 ayat (5) UUPA adalah air yang berada diperairan
pedalaman maupun air yang berada dilaut diwilayah Indonesia
3) Ruang Angkasa; Penertian ruang angkasa menurut pasal 1 ayat (6) UUPA adalah
ruang diatas bumi wilayah Indonesia dan ruang diatas air wilayah Indonesia.
Pengertian ruang angkasa menurut pasal 48 UUPA ruang diatas bumi dan air yang
mengandung tenaga dan unsur – unsur yang dapat digunakan untuk usaha – usaha
memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya.
4) Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; Kekayaan alam yang terkandung
didalam bumi disebut bahan, yaitu unsur – unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih
dan segala macam batuan, termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan endapan –
endapan alam.
2. Pengertian Hukum Agraria
Menurut Soedikno Mertokusumo, hukum Agraria adalah Keseluruhan kaidah-
kaidah hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur agraria. Bachsan
Mustofa menjabarkan kaidah hokum yang tertulis adalah Hukum Agraria dalam bentuk
hokum undang-undang dan peraturan-peraturan tertulis lainnya yang dibuat negara,
sedangkan kaidah hokum yang tidak tertulis adalah Hukum Agraria dalam bentuk hokum
Adat Agraria yang dibuat oleh masyarakat adapt setempat dan yang pertumbuhan,
perkembangan serta berlakunya dipertahankan oleh masyarakat adat yang
bersangkutan. Boedi Hasono menyatakan Hukum Agraria merupakan satu kelompok
berbagai bidang hokum, yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-
sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian agrarian. Kelompok berbagai bidang
hokum tersebut terdiri atas:
1) Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti permukaan
bumi
2) Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air
3) Hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan penguasaan atas bahan –
bahan galian yang dimaksudkan oleh undang-undang pokok pertambangan
4) Hukum Perikanan yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang
terkandung dadalam air
5) Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam ruang Angkasa mengatur
hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsure-unsur dalam ruang angkasa yang
dimaksudkan oleh pasal 48 UUPA
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 58
3. Pembidangan dan Pokok Bahasan Hukum Agraria
Secara garis besar Hukum Agraria setelah berlakunya UUPA dibagi menjadi dua
bidang yaitu;
1) Hukum Agraria Perdata
Adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang bersumber pada hak perseorangan
dan badan hukum yang memperbolehkan, mewajibkan, melarang diperlakukan
perbuatan hukum yang berhubungan dengan tanah.
2) Hukum Agraria Administrasi
Adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang memberi wewenang kepada pejabat
dalam menjalankan praktek hukum negara dan mengambil tindakan dari masalah-
masalah agrarian yang timbul sebelum berlakunya UUPA, Hukum Agraria di Hindia
Belanda (Indonesia) terdiri atas lima perrangkat hukum, yaitu :
1. Hukum Agraria Adat
2. Hukum Agraria Barat
3. Hukum Agraria Administratif
4. Hukum Agraria Swapraja
5. Hukum Agraria Antar Golonga
Kelima perangkat Hukum Agraria tersebut setelah negara Indonesia merdeka, atas
dasar pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 dinyatakan masih
berlaku selama belum diadakan yang baru.
4. Pengertian Hukum Tanah
Dalam ruang lingkup agrarian tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut
permukaan bumi, dalam pasal 4 ayat (1) UUPA atas dasar hak menguasai dari negara sebagai
yang dimaksud pasal 2 ditentukan adanya macam-macamhak atas permukaan bumi yang
disebut tanah. Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi sedangkan hak atas
tanah adalah hak atas sebgian tertentu permukaan bumi yang berbatas, berdimensi dua
dengan ukuran panjang dan lebar. Objek hukum tanah adalah hak penguasaan atas tanah
maksudnya Hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi
pemegang haknyauntuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.
Hirarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam hokum tanah nasional adalah :
1) Hak bangsa Indonesia atas tanah
2) Hak menguasai dari negara atas tanah
3) Hak ulayat masyarakat hokum adapt
4) Hak perseorangan meliputi ;
a) Hak-hak atas tanah
b) Wakap tanah hak milik
c) Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan)
d) Hak milik atas satuan rumah susun
Hukum Tanah adalah keseluruhan ketentuan- ketentuan hukum baik tertulis maupun
tidak tertulis yang semuanya mempunyai ibjek pengaturan yang sama yaitu hak-hak
penguasan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum yang
konkret, beraspek public dan privat yang dap[at disusun dan dipelajari secara sistematis
hingga keseluruhannya menjadi saqtu kesatuan yang merupakan satu sistem.
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 59
Ada dua macam asas dalam Hukum tanah, yaitu :
1) Asas Accessie atau Asas Perlekatan
Dalam asas ini bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah merupakan satu
kesatuan; bangunan dan tanaman tersebut bagian daari tanah yang bersangkutan
2) Asas Horizontale Scheiding atau Asas Pemisahan Horizontal
Dalam asas ini bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah bukan merupkan bagian
dari tanah. Hak atas tanah tidak deengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan
tanaman yang ada diatasnya.
5. Hukum Dan Politik Agraria
Dari segi berlakunya Hukum Agraria di Indonesia dibagi menjadi 2, yaitu :
1) Hukum Agraria Kolonial, yang berlaku sebelum Indonesia merdeka bahkan berlaku
sebelum diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 september 1960.
2) Hukum Agraria Nasional, yang berlaku setelah diundangkannya UUPA, yaitu tanggal
24 september 1960.
❖ Hukum Agraria Kolonial
Bahwa Hukum Agraria yang berlaku sebelum Indonesia merdeka disusun berdasarkan
tujuan dan sendi-sendi pemerintahan Hindia Belanda, dapat dijelaskan sebagai berikut
diantaranya :
1) Pada masa pemerintahan dipegang oleh Gubernur Herman Willem Daendles (1800-
1811) telah menetapkan kebijaksanaan yaitu menjual tanah-tanah rakyat Indonesia
kepada orang-orang Cina, Arab maupun bangsa belanda sendiri. Tanah yang dijual itu
dikenal dengan sebutan tanah partikelir
2) Pada masa pemerintahan Gubernur Thomas Stanford Raffles telah menetapkan
Landrent atau Pajak tanah. Pemilikan tanah di daerah swapraja di jawa disimpulkan
bahwa semua tanah milik raja, sementara rakyat hanya sekedar menggarap dan rakyat
wajib membayar pajak kepada raja inggris.
3) Pada masa pemerintahan gubernur Johanes Van den Bosch tahun 1830 telah
menetapkan kebijakan pertanahan yang dikenal dengan system Tanam Paksa atau
Cultuur Stelsel, yaitu petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu
yang secara langsung maupun tidak langsung dibutuhkan oleh pasr internasiaonal
pada waktu itu. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintahan colonial
tanpa mendapatkan imbalan apa pun
4) Pada masa berlakunya Agrarische Wet Stb 1870 No. 55 yaitu berlakunya politik
monopoli (politik colonial konservatif) dihapuskan dan digantikan dengan politik
liberal yaitu pemerintah tidak ikut mencampuri di bidang usaha pengusaha diberikan
kesempatan dan kebebasan mengembangkan usaha dan modalnya dibidang pertanian
di Indonesia.
Hukum Agraria kolonial mempunyai sifat dualisme hukum, yaitu dengan berlakunya
hukum agraria yang berdasarkan atas hukum adat,sifat dualisme tersebut meliputi bidang-
bidang:
1) Hukum, yaitu pada saat yang sama berlaku macam-macam hukum agraria barat,
hokum agrarian adat, hukum agraria swapraja, hukum, hokum agrarian administrative
dan hukum agrarian antar golongan
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 60
2) Hak atas tanah yaitu yang tunduk pada hukum agraria barat yang diatur dalam KUH
Perdata, hak atas tanah yang tunduk pada hukum agraria adat, hak atas tanah yang
merupkan ciptaan pemerintah swapraja, hak atas tanah yang merupakan ciptaan
pemerintah hindia belanda
3) Hak Jaminan atas tanah
4) Pendaftaran tanah dilakukan oleh kantor pendaftaran tanah tanah atas tanah-tanah
yang tunduk pada hukum barat dan pendaftaran tanah ini menghasilkan tanda bukti
berupa sertifikat.
Politik agraria yang dimaksudkan disini adalah kebijaksanaan agraria, politik agraria
adalah garis besar kebijaksanaan yang dianut oleh negara dalam usaha memelihara,
mengawetkan, memperuntukan, mengusahakan, mengambil manfaat,mengurus dan membagi
tanah dan sumber alam lainnya termasuk hasilnya untuk kesejahteraan rakyat dam negara.
Ada dua tujuan politik agraria kolonial yang dijelmakan dalam Agrarische wet yaitu :
1) Tujuan Primer yaitu memberikan kesempatan kepada pihak swasta mendapatkan
bidang tanah yang luas dari pemerintah pada waktu yang cukup lama dengan uang
sewa yang murah
2) Tujuan Sekunder, melindungi hak penduduk bumi putera atas tanahnya dalam
perjalanan berlakunya agrarische wet terjadi penyimpangan terhadaptujuan
sekundernya, yaitu adanya penjualan tanah-tanah milik orang Bumi Putera langsung
kepada orang-orang belanda atau Eropa lainnya.
Menurut Imam Soetikno stuktur agraria warisan penjajah sebagai hasil politik agraria
kolonial apabila :
1) Dipandang dari sudut hukumnya, tidak ada kesatuan hukum.
2) Dilihat dari sudut subjeknya, tidak ada kesamaan status subjek
3) Dilihat dari yang menguasai tanah, tidak ada keseimbangan dalam hubungan antara
manusia dengan tanah
4) Dilihat dari sudut penggunaan tanah, tidak ada keseimbangan dalam penggunaan
tanah
5) Dilahat dari sudut tertib hukum, tidak ada tertib hukum
❖ Hukum Agraria Nasional
UUD 1945 meletakkan dasar politik agraria nasional yang dimuat dalam pasal 33 ayat
(3) nya yaitu“Bumi, air, dan kekeyaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan ini
bersifat imperative yaitu mengandung perintah kepada negara agar bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya yang diletakkan dalam penguasaan negara itu
dipergunakan untuk mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menyesuaikan Hukum Agraria
colonial dengan keadaan dan kebutuhan setelah Indonesia merdeka, yaitu
1) Menggunakan kebijaksanaan dan tafsir baru
2) Penghapusan hak-hak konversi
3) Penghapusn tanah partikelir
4) Perubahaan peraturan persewaan tanah rakyat
5) Peraturan tambahan untuk mengawasi pemindahan hak atas tanah
6) Peraturan dan tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 61
7) Kenaikan canon dan cijn
8) Larangan dan penyelesaian soal pemakaian tanah tanpa ijin
9) Peraturan perjanjian bagi hasil(tanah pertanian)
10) Pengalihan tugas dan wewenang agraria
❖ Faktor-faktor Penting dalam Pembangunan Hukum Agraria Nasional
Menurut Notonagoro, Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pembangunan
Hukum Agraria nasional, adalah:
1) Faktor Formal, yaitu Keadaan hukum agraria di Indonesia sebelum diundangkannya
UUPA merupakan keadaan peralihan, keadaan sementara waktu, berdasarkan pada
peraturan-peraturan yang sekarang berlaku ini berdasarkan pada peraturan-peraturan
peralihan yang terdapat dalam pasal 142 Undang-undang Dasar Sementara (UUDS)
1950, pasal 192 Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) dan pasal 2 Aturan
peralihan UUD 1945.
2) Faktor Material, yaitu Hukum Agraria mempunyai sifat dualisme hukum yang
meliputi hukum subjek maupun objeknya menurut hukumnya disatu pihak berrlaku
Hukum Agraria Barat yang diatur dalam KUH Perdata, dipihak lain berlaku Hukum
Agraria adat yang diatur dalam hukum adat. Oleh karena itu setelah Indonesia
merdeka, maka sifat dualisme hokum agraria colonial ini harus diganti dengan sifat
unifikasi (kesatuan) hukum yang berlaku secara nasional.
3) Faktor Ideal. Dari factor ideal (tujuan negara) sudah tentu tujuan Hukum Agraria
kolonial tidak cocok dengan tujuan Negara Indonesia yang tercantum dalam alinea IV
Pembukaan UUD 1945 dan tujuan penguasaan bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya. Hukum Agraria kolonial dibuat untuk kepentingan
pemerintah Hindia Belanda, Eropa, Timur asing, sedangkan Hukum Agraria nasional
dibuat dengan tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
Indonesia. Untuk itu Hukum Agraria kolonial harus diganti dengan Hukum Agraria
Nasional yang diarahkan kepada terwujudnya fungsi bumi, air, dan kekayaan
alamyang terkandung didalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Indonesia.
4) Faktor Agraria Modern. Faktor-faktor agraria modern terletak dalam lapangan-
lapangan : Lapangan Sosial, ekonomi, etika,idiil fundamental factor-faktor inilah yang
mendorong agar dibuat Hukum Agraria Nasional
5) Faktor Ideologi Politik. Indonesia sebagai bangsa dan negara mempunyai keterkaitan
hidup dengan negara-negara lain. Dalam menyusun Hukum Agraria nasional boleh
mengadopsi Hukum Agraria negara lain sepanjang tidak bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 1945.
❖ Sejarah Penyusunan Undang-undang Pokok Agaria
Upaya Pemerintah Indonesia untuk membentuk Hukum Agraria nasional yang akan
menggantikn Hukum Agraria kolonial, yang sesuai dengan pancasila dan UUD 1945 sudah
dimulai pada tahun 1948 dengan membentuk kepanitian yang diberi tugas menyusun
Undang-undang Agraria. Setelah melalui rangkaian yang cukup panjang maka baru pada
tanggal 24 september 1960 pemerintah berhasil membentuk Hukum Agraria nasional, yang
dituangkan dalam Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria yang lebih dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 62
Tahapan-tahapan dalam penyusunan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dapat
dijelaskan sebgai berikut :
1) Panitia Agraria Yogya. Panitia ini dibentuk dengan Penetapan Presiden No. 16 Tahun
1948 tanggal 21 Mei 1948 berkedudukan di yogyakarta diketuai oleh Sarimin
Reksodihardjo, kepala bagian agraria kementrian dalam negeri.
2) Panitia Agraria Jakarta. Panitia Agraria Yogya dibubarkan dengan Keputusan
Presiden No. 36 Tahun 1951 tanggal 19 maret 1951, sekaligus dibentuk Panitia
Agraria Jakarta yang berkedudukan di Jakarta diketuai oleh Singgih Praptodiharjo
3) Panitia Soewahjo.Berdasarkan Keputusan Presiden No. 1Tahun 1956 tanggal 14
januari 1956 dibentuklah Panitia Negara Urusan Agraria berkedudukan di Jakarta
yang diketuai Soewahjo Soemodilogo,Sekretaris Jendral Kementrian Agraria
4) Rancangan Soenarjo. Setelah dilakukan beberapa perubahan mengenai sistematika
dan perumusan beberapa pasalnya, maka rancangan Panitia Soewahjo oleh Menteri
Agraria Soenarjo diajukan kepada Dewan Menteri pada tanggal 14 Maret 1958.
5) Rancangan Sadjarwo. Berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 kita kembali
kepada UUD 1945. Berhubung Rancangan Soenarjo yang telah diajukan kepada DPR
beberapa waktu yang lalu disusun berdasarkan UUDS 1950, maka dengan surat
Presiden tanggal 23 Maret 1960 rancangan tersebut ditarik kembali dan disesuaikan
dengan UUD 1945.
❖ Undang-undang Pokok Agraria Sebagai Hukum Agraria Nasional
UUPA merupakan pelaksanaan Pasal 33 ayat (33) UUD 1945 sebagaimana yang
dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, yaitu Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3)
Undang-undang Dasar dan hal-hal yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air, dan ruang
angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh Negara,sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Dengan berlakunya
UUPA maka mempunyai dua substansi yaitu pertama tidak memberlakukannya lagi atau
mencabut Hukum Agraria colonial, dan kedua membangun Hukum Agraria nasional.
UUPA merupakan Undang-undang yang didalamnya memuat program yang dikenal
Panca Program Agraria Reform Indonesia, yang meliputi :
1) Pembaruan Hukum Agraria melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional dan
pemberian jaminan kepastian hokum
2) Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah
3) Mengakhiri penghisapan feudal secara berangsur-angsur
4) Perombakan pemilikan dan penguasaan atas tanah serta hubungan-hubungan hokum
yang berhubungan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan
kemakmuran dan keadilan yang kemudian dikenal dengan Landreform
5) Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya serta penggunaan secara terencana.
❖ Peraturan dan Keputusan yang dicabut oleh Undang-undang Pokok Agraria
Dalam pembentukan UUPA disertai dengan pencabutan terhadap peraturan dan
keputusan yang dibuat pada masa Pemerintahan Hindia Belanda. Adapun peraturan dan
keputusan yang dicabut UUPA, yaitu :
1) Agrarische wet Stb. 1870 No. 55 sebagai yang termuat dalam pasal 51 IS Stb. 1925
No. 447.
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 63
2) Peraturan-peraturan tentang Domein Verklaring baik yang bersifat umum maupun
khusus
3) Koninklijk Besluit (Keputusan Raja) tanggal 16 april 1872
4) Buku II KUH Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi,air,serta kekayaan
alam yang terkandung didalamnya
❖ Tujuan Undang-undang Pokok Araria
Tujuan diundangkannya UUPA sebagai tujuan Hukum Agraria nasional dimuat dalam
penjelasan umum UUPA, yaitu :
1) Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria nasioanl, yang merupakan
alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan
rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakatyang adil dan makmur.
2) Melatakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan
3) Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas
tanah bagi rakyat seluruhnya
❖ Asas-asas dalam Undang-undang Pokok Agraria
Dalam UUPA dimuat 8 asas dari hokum Agraria nasional, asas –asas ini harus
menjiwai pelaksanaan dari UUPA dan segenap peraturan pelaksanaannya, 8 asas tersebut
temasuk adalah :
1) Asas Kenasionalan, bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari
seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia dan seluruh bumi,air
dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya sebagai
karunia tuhan yang maha esa dan merupakan kekayan nasional
2) Asas pada tingkatan tertinggi, bumi ,air, ruang angkasa dan kekayaan alam
yang dapat terkandung didalamnya dikuasai oleh negara
3) Asas mengutamakan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas
persatuan bangsa dari pada kepentingan perseorangan atau golongan
4) Asas semua hak atas tanah mempunyai fungsi social, hak atas tanah apapun yang ada
pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu dipergunakan semata-
mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu merugikan masyarakat
5) Asas hanya warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik atas tanah, bahwa hak
milik tidak dapat dimiliki oleh orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang
asing maka batal demi hukum
6) Asas persamaan bagi seluruh warga negara Indonesia
7) Asas tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya
sendiri dan mencegah cara-cara yang bersifat pemerasan
8) Asas tataguna tanah / penggunaan tanah secara berencana
❖ Undang-undang Pokok Agraria Didasarkan Atas Hukum Adat
Dalam rangka mewujudkan unifikasi (kesatuan) hokum maka Hukum Adat tentang
tanah dijadikan dasar pembentukan Hukum Agraria nasional. Hukum adapt dijadikan dasar
dikarenakan hokum tersebut dianut oleh sebagian besar rakyat Indonesia, sehingga Hukum
Adat tentang tanah mempunyai kedudukan yang istimewa dalam pembentukan Hukum
Agraria nasional. Asas-asas/konsepsi hukum adat yang diambil sebagai dasar:
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 64
1) Menurut konsepsi Hukum Adat, hubungan manusia dengan kekayaan alam seperti
tanah mempunyai sifat religiomagis, artinya kekayaan alam itu merupakan kekayaan
yang dianugerahkan tuhan kepada masyarakat hokum adapt
2) Didalam lingkungan masyarakat Hukum Adat dikenal hak ulayat. Hak ulayat
merupakan hak dari masyarakat Hukum Adat yang berisi wewenang dan kewajiban
untuk menguasai, menggunakan dan memelihara kekayaan alam yang ada dalam
lingkungan wilayah hak ulayat tersebut
3) Didalam konsepsi hokum adat disamping ada hak masyarakat Hukum Adat yaitu hak
ulayat juga ada hak perseorangan atas tanah yang diakui
4) Dalam masyarakat Hukum Adat terdapat asas gotong royong, setiap usaha yang
menyangkut kepentingan individu dan masyarakat selalu dilakukan melalui gotong
royong
5) Asas lain yang terdapat dalam Hukum Adat adalah ada perbedaan antara warga
masyarakat dan warga asing dalam kaitannya dalam penguasaan, penggunaan
kekayaan alam.
6. Hak Penguasaan Atas Tanah
Ruang lingkup bumi menurut UUPA adalah permukaan bumi, dan tubuh bumi
dibawahnya serta yang diberada dibawah air. Pengertian “Penguasaan” dapat dipakai dalam
arti fisik, juga dalam arti yuridis. Juga beraspek privat dan beraspek public. Penguasaan
dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan
pada umumnya memberi kewenangan pada pemegang hak untuk menguasai secara fisik
tanah yang dihaki. Menurut Oloan Sitorus kewenangan negara dalam bidang pertanahan
sebagai mana yang dimaksud pasal 2 ayat (2) UUPA diatas merupakan pelimpahan tugas
bangsa untuk mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah bersama yang
merupakan kekayaan nasioanal. Yang dimaksud dengan hak ulayat masyarakat hukum adat
adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang
berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.
Menurut Boedi Harsono Hak ulayat hukum adat dinyatakan masi apabila memenuhi 3
unsur :
1) Masih adanya suatu kelompok orang sebagai warga suatu persekutuan hukum adat
tertentu yang merupakan suatu masyarakat hukum adat
2) Masih adanya wilayah yang merupakan ulayat masyarakat hokum adapt tersebut yang
disadari sebagai tanah kepunyaan bersama para warganya sebagai “lebensraum”nya
3) Masih adanya penguasa adat yang pada kenyataannya dan diakui oleh para warga
masyarakat hokum adapt yang bersangkutan melakukan kegiatanya sehari-hari
sebagai pelaksana hak ulayat
Wakaf Tanah hak milik diatur dalam pasal 49 ayat (3) UUPA yaitu perwakafan tanah
milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah. Menurut pasal 1 ayat (1) PP No. 28
Tahun 1977 yang dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan
hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan
melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan
umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 65
Yang dimaksud dengan rumah susun menurut pasal 1angka 1 UU No. 16 Tahun 1985,
adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi
dalam bagian-bagian yang terstrukturkan secara fungsioanl dalam arah horizontal maupun
vertical dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan
secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama benda
bersama, dan tanah besama. Yang dimaksud dengan hak milik atas satuan rumah susun
menurut pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UU No.16 Tahun 1985,adalah Hak milik atas satuan
yang bersifat perseorangan dan terpisah , meliputi juga hak atas bagian bersama tanah
bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang
bersangkuutan
7. Ruang Lingkup Hak Atas Tanah
Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari negara atas tanah dapat diberikan
kepada perseorangan baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing, sekolompok
orang bersama-sama, dan badan hokum baik badan hokum privat maupun badan hokum
publik. Macam-macam hak tanah dimuat dalam pasal 16 jo.pasal 53 UUPA, yang
dikelompokkan menjadi 3 bidang yaitu :
1) Hak atas tanah yang bersifat tetap yaitu hak-hak atas tanah ini akan tetapadaselama
UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan undang-undang yang baru. Macam-
macam hak atass tanah ini adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
Hak Pakai, Hak Sewa untuk bangunan, Hak Membuka Tanah, dan Hak Memungut
Hasil Hutan
2) Hak atas tanah yang akan ditetapkan oleh undang-undang, yaitu hak atas tanah yang
akan lahirkemudian yang akan ditetapkan undang-unddang
3) Hak atas tanah yang bersifat sementara yaitu hak atas tanah ini sifatnya sementara,
dalam waktu yang singkat akan dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-sifat
pemerasan, mengandung sifat feudal dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Macam-
macam tanah ini adalah Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak
Sewa Tanah Pertanian
Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu :
1) Hak atas tanah yang bersifat primer, yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah
negara seperti : Hak milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Atas Tanah
Negara, Hak Pakai Atas Negara
2) Hak atas tanah yang bersifat sekunder, yaitu hak atas tanah yang berasal dari tanah
pihak lain, seperti : Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Pengelolaan, Hak Guna
Bangunan Atas Tanah Hak Milik, Hak Pakai Atas Tanah Hak Pengelolaan, Hak Pakai
Atas Tanah Hak Milik, Hak Sewa untuk Bangunan, Hak Gadai, Hak Bagi Hasil, Hak
Menumpang, Hak Sewa Tanah Pertanian.
Hak Milik
Pengerian Hak Milik menurut pasal 20 ayat (1) UUPA adalah Hak turun temurun,
terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan
dalam pasal 6. Turun temurun artinya Hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama
pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia maka hak miliknya dapat
dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Terkuat
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 66
artinya Hak Milik atas tanah lebih kuat bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain
tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain dan
tidak mudah hapus. Terpenuh artinya Hak Milik atas tanah memberi wewenang kepada
pemiliknya paling luas bila dibandingkan hak atas tanah yang lain.
Subjek Hak Milik. Yang dapat mempunyai (subjek hak) tanah Hak Milik menurut
UUPA dan peraturan pelaksanaanya adalah :
1) Perseorangan, yaitu Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik
( pasal 21 ayat (1) UUPA). Ketentuan ini menentukan perseorangan yang hanya
berkewarganegaraan Indonesia yang dapat mempunyai tanah hak milik
2) Badan-badan Hukum. Pemerintah menetapkan badan-badan hokum yang dapat
mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya (pasal 21 ayat (2) UUPA) yaitu Bank-
bank yang didirikan oleh negara (bank negara), Koperasi pertanian, badan keagamaan
dan badan social
Hak Guna Usaha
Pengertian Hak Guna Usaha menurut pasal 28 ayat (1) UUPA adalah Hak untuk
mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana
tersebut dalam pasal 29,guna perusahaan, pertanian atau peternakan.
Luas Hak Guna Usaha adalah untuk perseorangan luas minimalnya 5 hektar dan luas
maksimalnya 25 hektar. Sedangkan untuk badan hokum luas minimalnya 5 hektar dan luas
maksimalnya ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Jangka Waktu Hak Guna Usaha mempunyai jangka waktu untuk petama kalinya paling
lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 35 tahun (pasal 29
UUPA) sedangkan pasal 8 PP No. 40 tahun 1996 mengatur jangka waktu 35 tahun
diperpanjang 25 tahun dan diperbaharui paling lama 35 tahun.
Hak Guna Bangunan
Pengertian Hak Guna Bangunan menurut pasal 35 UUPA yaitu Hak untuk mendirikan
dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu
paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun.
Jangka Hak Guna Bangunan
Menurut pasal 26 sampai dengan pasal 29 PP No. 40 Tahun 1996 jangka waktu hak
guna bangunan berbeda sesuai dengan asal tanahnya, yaitu :
1) Hak Guna Bangunan Atas Tanah Negara Hak guna bangunan ini berjangka waktu
pertama kali paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang paling lama 20 tahun, dan
dapat perbaharui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun
2) Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Pengelolaan. Hak Guna Bangunan ini
berjangka waktu pertama kali paling lama 30 tahun dapat diperpanjang selama 20
tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun
3) Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik. Hak Guna Bangunan ini berjangka
waktu paling lama 30 tahun, tidak ada perpanjangan jangka waktu. Namun atas
kesepakatan pemilik tanah dengan pemegang hak guna bangunan dapat di perbaharui
dengan pemberian hak guna bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan
wajib didaftarkan pada kantor pertanahan kabupaten/kota setempat
Hapusnya Hak Guna Bangunan. Berdasarkan pasal 40 UUPA Hak Guna Bangunan
hapus karena:
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 67
1) jangka waktunya berakhir;
2) dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipen uhi;
3) dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
4) dicabut untuk kepentingan umum;
5) diterlantarkan;
6) tanahnya musnah;
7) ketentuan dalam pasal 36 ayat (2)
Hak Pakai
Penertian Hak Pakai. Menurut pasal 41 ayat (1) UUPA yang dimaksud dengan
HP adalah Hak untuk mengguanakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai
langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban
yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa
menyewa atau perrjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentengan dengan
ketentuan UUPA
Jangka Waktu Hak Pakai. Pasal 41 ayat (2) UUPA tidak menentukan secara tegas
berapa lama jangka waktu hak pakai. Dalam PP No. 40 Tahun 1996 jangka waktu hak pakai
diatur pada pasal 45sampai dengan 49 yaitu :
1) Hak Pakai Atas Tanah Negara. Hak pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali
paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jagka waktu paling lama 20 tahun,
dan dapat diperbaharui untuk paling lama 25 tahun
2) Hak Pakai Atas Tanah Hak Pengelolaan. Hak pakai ini berjangka waktu untuk
pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk paling lama 20 tahun,
dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 25 tahun.
3) Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik. Hak Pakai ini diberikan untuk paling lama 25 tahun
dan tidak dapat diperpanjang. Namun atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan
pemegang hak pakai dapat diperbaharui dengan pemberian hak pakai baru dengan
akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan ke kantor pertanahan kabupaten.
Hak Sewa Untuk Bangunan
Pengertian Hak Sewa Untuk Bangunan menurut pasal 44 ayat (1) UUPA adalah Hak
yang dimiliki seseorang atau badan hokum untuk mendirikan dan mempunyai bangungan
diatas tanah Hak Milik orang lain dengan membayar sejumlah uang sewa tertentu dan dalam
jangka waktu tertentu yang disepakati oleh pemilik tanah dengan pemegang hak sewa untuk
bangunan.
Hak Atas Tanah yang Bersifat Sementara
Ketentuan Umum. Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara disebutkan dalam pasal
16 ayat (1) huruf h UUPA yang meliputi Hak Gadai (gadai tanah), Hak Usaha Bagi Hasil
(perjanjian bagi hasil), Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
Macam-macam Hak Atas Tanah yang Bersifat Sementara dapat dijelaskan sebagai berikut :
Hak Gadai
Bahwa Pengertian Hak Gadai menurut Boedi Harsono, adalah Hubungan hukum antara
seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain yang telah menerima uang gadai daripadanya.
Perbedaan Hak Gadai dengan Gadai dalam Hukum Perdata Barat adalah Hak gadai
merupakan perjanjian penggarapan tanah bukan perjanjian pinjam meminjam uang dengan
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 68
dengan tanah sebagai jaminan, objek hak gadai adalah tanah. Sedangkan objek perjanjian
pinjam meminjam uang dengan tanah sebagai jaminan utang adalah uang. Perbedaan antara
hak gadai dengan gadai menurut hokum perrdata barat adalah pada hak gadai terdapat satu
perbuatan hukum yang berupa perjanjian penggarapan tanahpertanian oleh orang yang
memberikan uang gadai, sedangkan Gadai menurut hokum perdata barat terdapat dua
perbuatan hokum yang berupa perjanjian pinjam meminjam uang sebagai perjanjian pokok
dan penyerahan benda bergerak sebagai jaminan. Ciri-ciri Hak Gadai menurut hukum adat
adalah sebagai berikut :
1) Hak menebus tidak mungkin kadaluwarsa
2) Pemegai gadai selalu berhak untuk mengulanggadaikan tanahnya
3) Pemegang gadai tidak boleh menuntut supaya tanahnya segera di tebus.
Sifat pemerasan dalam Hak Gadai Hak gadai disamping mempunyai unsur tolong
menolong, namun juga mengandung sifat pemerasan karena selama pemilik tanah tidak dapat
menebus tanahnya, tanahnya tetap dikuasai oleh pemegang gadai.
Hak Usaha Bagi Hasil
Menurut Boedi Harsono yang dimaksud Bagi Hasil adalah Hak seseorang atau badan
hukum (yang di sebut penggarap) untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah
kepunyaan pihak lain (yang disebut pemilik) dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi
antara kedua belah pihak menurut imbangan yang telah disetujui sebelumnya. Sifat-sifat dan
Ciri-ciri Hak Usaha Bagi Hasil menurut Boedi Harsono adalah :
1) Perjanjian bagi hasil waktunya terbatas
2) Perjanjian bagi hasil tidak dapat dialihkan kepada pihak lain tanpa izin pemilik
tanahnya
3) Perjanjian bagi hasil tidak hapus dengan berpindahnya hak milik atas tanah yang
bersangkutan kepada pihak lain
4) Perjanjian bagi hasil juga tidak hapus jika penggarap meninggal dunia, tetapi hak itu
hapus jika pemilik tanahnya meninggal dunia
5) Perjanjian bagi hasil didaftar menurut peraturan khusus
6) Sebagai lembaga, perjanjian bagi hasil ini pada waktunya akan dihapus
Hak Menumpang
Pengertian Hak Menumpang menurut Boedi Harsono yaitu Hak yang memberi
wewenang kepada seseorang untuk mendirikan dan menempati rumah diatas tanah
pekarangan milik orang lain. Sifat-sifat dan cirri-ciri Hak Menumpang adalah sebagai
berikut:
1) Tidak mempunyai jangka waktu yang pasti karena sewaktu-waktu dapat dihentikan
2) Hubungan hukumnya lemah, yaitu sewaktu-waktu dapat diputuskan oleh pemilik
tanah jika ia memerluka tanah tersebut
3) Pemegang Hak Menumpang tidak wajib membayar sesuatu uang sewa kepada pemilik
tanah
4) Hanya terjadi pada tanah pekarangan
5) Tidak wajib didaftarkan ke kantor pertanahan
6) Bersifat turun-temurun, artinya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya
7) Tidak dapat dialihkan kepada pihak lain yang bukan ahli warisnya
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 69
8. Hukum Agraria Indonesia
Hukum Agraria di Indonesia di atur dalam Undang-undang Pokok Agraria ( UUPA)
No. 5 Tahun 1960. Menurut Pasal 16 ayat (1) dan (2) bahwa yang dimaksud dengan Hak-hak
atas tanah adalah sebagai berikut :
1) hak milik,
2) hak guna-usaha,
3) hak guna-bangunan,
4) hak pakai,
5) hak sewa,
6) hak membuka tanah,
7) hak memungut hasil hutan
8) hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan
dengan undang-undang sert hak-hak yang sifatnya sementara
Sementara di ayat (2) berkaitan dengn air bahwa Hak-hak atas air dan ruang angkasa
sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) ialah
1) hak guna air
2) hak pemeliharaan dan penangkapan ikan
3) hak guna ruang angkasa
Pasal 3 Undang-undang Pokok Agraria menetapkan bahwa Hak ulayat dan hak-hak
yang serupa itu dari masyarakat hokum adapt masih tetap dapat dilaksanakan oleh
masyarakat hokum adapt yang bersangkutan sepanjang hak ulayat itu menurut kenyataanya
masih ada. Hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat,didefinisikan
sebagai kewenangan yang menurut hukum adapt dipunyai oleh masyarakat hukum adat
tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk
mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi
kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriyah dan
batiniyah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan
wilayah yang bersangkutan. Hak ulayat mengandung 2 unsur:
1) Unsur Hukum Perdata yaitu Sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat
hokum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat yang dipercayaai berasal mulu-mula
sebagai peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia sesuatu kekuatan
gaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup
(lebensraum) seluruh warga masyarakat hukum adat itu.
2) Unsur Hukum Publik yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur
peruntukan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut baik dalam hubungan
intern dengan para warganya sendiri maupun ekstern dengan orang-orang bukan
warga atau “orang luar’.
Subyek hak ulayat adalah Masyarakat hukum adat, baik yang merupakan persekutuan
hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal, maupun yang didasarkan pada
keturunan yang dikenal dengan berbagai nama yang khas di daerah yang bersangkutan,
misalnya suku, marga, dati, dusun, nagari, dan sebagainya.
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 70
Hukum Perdata:
Komparasi Hukum Perdata Barat dan Hukum Perdata Islam
(Perkawinan, Perceraian, Kewarisan, Perwalian)
Tabel Perbedaan Perkawinan dan Perceraian
Antara KUHPerdata Barat Dengan Hukum Perdata Islam
Ketentuan KUHPerdata Barat (BW) UU RI No. 1/1974
Azas
Pada BW azas yang digunakan dalam
perkawinan adalah:
a) Sepakat (Pasal 28)
b) Monogami Mutlak (Pasal 27)
Pada UU No. 1 Tahun 1974, azas yang
digunakan dalam perkawinan adalah:
a) Sepakat (Pasal 3 ayat 2)
b) Monagami tidak Mutlak (Pasal 3 ayat 1)
Harta Benda
dalam
Perkwinan
a) Berlaku persatuan bulat antara harta
kekayaan suami dan isteri saat
perkawinan dilangsungkan meliputi:
harta yang sudah ada pada waktu
perkawinan dan harta yang diperoleh
selama perkawinan. Namun
harta tersebut bukan harta persatuan
apabila terdapat perjanjian kawin
dan ada hibah atau
warisan yang ditetapkan pewaris
(Pasal 119 dan Pasal 120)
b ) Suami atau isteri tidak diperboleh
kan memindahkan hak atas harta
benda yang bukan miliknya terlebih
ketika harta itu bukan merupakan
harta asal (Pasal 124-125)
a) Harta yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama (Pasal
35 ayat 1) dan mengenai harta bersama
dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36
ayat 1)
b) Harta bawaan adalah harta masing-
masing suami atauisteri sebelum
perkawinan yang di peroleh dari hadiah
atau warisan dan pengusaannya ada
dimasing-masing pihak sepanjang pihak
tidak menentukan hal lain (Pasal 35 ayat
2) dan mengenai harta bawaan masing-
masing suami atau isteri
mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai
hartanya (Pasal 36 ayat 2)
Pembubaran
atau
Putusnya
Perkawinan
Perkawinan bubar karena: kematian,
keadaan tak hadir suami atau isteri
selama 10 tahun dan diikuti dengan
perkawinan baru isteri/suaminya,
putusan Hakim setelah adanya
perpisahan meja dan ranjang selama 5
tahun dan perceraian (Pasal 199)
Putusnya Perkawinan dikarenakan: kematian,
perceraian dan atas Keputusan Pengadilan
(Pasal 38)
Perceraian
a) Tuntutan untuk perceraian
perkawinan, harus dimajukan ke
Pengadilan Negeri tempat daerah
hukumnya (Pasal 207) dan
pembukuan perceraian harus
dilakukan ditempat dilakukannya
perkwainan tersebut, jika
berlangsung diluar Indonesia maka
pembukuan harus dilakukan di
catatan sipil di Jakarta (Pasal 221)
b) Alasan yang dapat mengakibatka
perceraian adalah: zinah,
meninggalkan rumah dengan itikad
jahat, penghukuman dengan
hukuman penjara llamanya 5 tahun
atau lebih berta, keputusan bersalah
dari Pengadilan (Pasal 210)
c) Tatacara perceraian diatur dalam
KUHPerdata (Pasal 211-232)
a) Gugatan perceraian diajukan kepada
Pengadilan (Pasal 40 ayat 1). Pengadilan
disini maksudnya adalah Pengadilan
Agama bagi yang beragama Islam dan
Pengadilan Umum bagi lainnya.
b) Untuk melakukan perceraian harus ada
alasan bahwa tidak akan hidup rukun lagi
(Pasal 39 ayat 2)
c) Tata cara perceraian tidak diatur dalam
UU Perkawinan dan diatur dalam
perundangan sendiri (Pasal 40 ayat 2)
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 71
Tabel Perbedaan Perwalian
Antara KUHPerdata Barat Dengan Hukum Perdata Islam
Ketentuan-ketentuan KUHPerdata UU RI No. 1/1974
tentang
Perkawinan
KHI
Ketentuan
Umur
Umur 18 Tidak Ya Tidak
Umur 21 Ya Tidak Ya
Pengangkatan
wali
Perwalian oleh ayah dan
ibu
Ya Ya Ya
Perwalian berdasarkan
penunjukan oleh ayah
dan ibu
Ya Ya Ya
Perwalian berdasarkan
penunjukan hakim
Ya Ya Ya
Kewajiban wali
terhadap diri
anak
Pendidikan Ya Ya Ya
Bimbingan Agama Tidak Ya Ya
Kewajiban wali terhadap harta anak
yang berkaitan dengan hal penggunaan
harta anak
Tidak Tidak Ya
Ketentuan
perwalian
terhadap anak
di luar nikah
Hubungan perdata
dengan ayah
Ya Tidak Tidak
Hubungan perdata
dengan ibu
Ya Ya Ya
Tabel Perbedaan
Hukum Waris yang berlaku di Indonesia Hukum Waris Adat Hukum Waris Islam Hukum Waris Barat (BW)
Bagian seorang pria dan
wanita adalah sama
Bagian seorang pria dua kali
bagian seorang wanita
Bagian seorang pria dan
wanita adalah sama
seorang anak angkat
mempunyai kedudukan
yang sama dengan anak sah
dan di dalam soal warisan
juga diperlakukan sama
Tidak dikenal pengangkatan
anak dengan segala
akibatnya itu
Seorang anak luar kawin yang
diakui oleh bapak atau ibunya
mempunyai hak waris tetapi
berbeda dengan anak sah
Seorang janda bukan waris,
tetapi berhak sebagai istri
untuk mendapat nafkah
seumur hidup
Seorang janda harus diberi
warisan harta peninggalan
suaminya
Seorang janda harus diberi
warisan harta peninggalan
suaminya
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 72
Hukum Perdata:
Istilah-istilah Perdata
❖ Uraian mengenai hukum perdata tentang istilah-istilah yang sering dipergunakan dalam hukum perdata
✓ BRUIKLEEN = Peminjaman barang. (Wirdjono Prodjodikoro, 1959, Azaz azaz Hukum Perdata,
Bandung: Vorkink Van Hoeve, hlm. 28)
✓ BEGINSELEN EN STELSEL VAN HET ADATRECHT = Asas-Asas dan Susunan
Hukum Adat. (R. Soeroso, S.H, 2005 Perbandingan Hukum Perdata, Jakart : Sinar Grafika, hlm. 59)
✓ BESCHEKKING = Penguasaan, dalam pencampuran harta bahwa suami atau istri masing
masing mempunyai hak atas harta, namun mereka dapat tidak melakukan, penguasaan atas
bagian mereka masing masing. (Soedharyo Soimin, S.H., 2004, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta:
Sinar Grafika, hlm 26)
✓ BURGELIJKE STAND = Register Catatan Sipil, karena putusan hakim setelah ada
perpisahan meja dan ranjang dan pembukuan pernyataan bubarnya perkawinan dalam
putusan itu dalam register catatan sipil. (Soedharyo Soimin, 2004, Hukum Orang dan Keluarga,
Jakarta: Sinar Grafika, hlm 26)
✓ CONSENSUS = Perizinan atau permufakatan. (Wirdjono Prodjodikoro, 1959, Azaz azaz Hukum
Perdata, Bandung: Vorkink Van Hoeve, hlm. 28)
✓ EIGENDOM = Lampau waktu selama tiga puluh tahun untuk mendapatkan hak milik atas
suatu barang. (Wirdjono Prodjodikoro, 1959, Azaz azaz Hukum Perdata, Bandung : Vorkink Van Hoeve,
hlm.63)
✓ GESLACHTSNAAM = Mengenai Nama Keluarga, orang yang mengangkat anak, nama
nama juga menjadi nama dari anak yang diangkat. (Soedharyo Soimin, S.H., 2004, Hukum Orang
dan Keluarga, Jakarta : Sinar Grafika, hlm 36)
✓ GEWOONTE RECHT = Hukum pada umumnya pada segenap penduduk yang tidak
berdasar pada undang undang melainkan atas adat kebiasaan. (Wirdjono Prodjodikoro, 1959,
Azaz azaz Hukum Perdata, Bandung : Vorkink Van Hoeve, hlm.18)
✓ HUWELIJKSVOORWAARDEN = Perjanjian Perkawinan, perjanjian sebelum
berlangsungnya akad perkawinan. (R. Soeroso, S.H, 2005 Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta:
Sinar Grafika, hlm. 53)
✓ IN BEWAARGEVING = Penyimpanan Barang. (Wirdjono Prodjodikoro, 1959, Azaz azaz Hukum
Perdata, Bandung: Vorkink Van Hoeve, hlm.28)
✓ OPENBARE COMANDITAIRE VENNOOTSCHAP = Persekutuan Komanditer yang
terang terangan. (Prof Sukardono S.H., Hukum Dagang Indonesia, Jakarta : CV. Rajawali, hlm 111)
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 73
✓ OVEREENKOMST = Persetujuan, kesepakatan antara kedua belah pihak. (Wirdjono
Prodjodikoro, 1959, Azaz azaz Hukum Perdata, Bandung : Vorkink Van Hoeve, hlm. 33)
✓ ONROERENDE GOEDEREN = Barang-barang tidak bergerak. (Wirdjono Prodjodikoro, 1959,
Azaz azaz Hukum Perdata, Bandung : Vorkink Van Hoeve, hlm.37)
✓ OVERSPEL = Perzinahan, untuk melakukan perkawinan dilarang bagi mereka yang oleh
putusan hakim telah melakukan perzinahan, hal tersebut diatur dalam pasal 32 KUH
Perdata, (Soedharyo Soimin, S.H., 2004, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta : Sinar Grafika, hlm 16)
✓ PERSOONLIJKRECHT = Hak Perseorangan, hak seseorang terhadap seseorang yang
lain. (R. Soeroso, S.H, 2005 Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 54)
✓ ROERENDE GOEDEREN = Barang-barang bergerak. (Wirdjono Prodjodikoro, 1959, Azaz azaz
Hukum Perdata, Bandung: Vorkink Van Hoeve, hlm.37)
✓ RECHTPLICHT = Kewajiban Hukum. (Wirdjono Prodjodikoro, 1959, Azaz azaz Hukum Perdata,
Bandung: Vorkink Van Hoeve, hlm.28)
✓ RECHT PERSOON = Badan Hukum. (Wirdjono Prodjodikoro, 1959, Azaz azaz Hukum Perdata,
Bandung : Vorkink Van Hoeve, hlm. 20)
✓ SCHULDEN EV VERBINTENISSEN VAN DE VENNOOTSCHAP = Hutang-putang
dan perikatan perikatan persekutuan. (R. Soeroso, S.H, 2005 Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta
: Sinar Grafika, hlm. 53)
✓ VERMOGENSRECHT = Hukum tentang Harta Benda. (Wirdjono Prodjodikoro, 1959, Azaz azaz
Hukum Perdata, Bandung : Vorkink Van Hoeve, hlm.28)
✓ WEESKAMER = Balai Harta Peninggalan, Apabila bapak telah wafat dan ibu telh kawin
lagi maka harus ada persetujuan dari walinya dan balai harta peninggalan, selaku
pengawas wali. (Soedharyo Soimin, S.H., 2004, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta : Sinar Grafika,
hlm 35)
✓ ZAKELIJKRECHT = Hak Kebendaan, hak atas benda. (R. Soeroso, S.H, 2005, Perbandingan
Hukum Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 53)
✓ ZAKELIJKE ZEKERHEID = Tanggungan tanggungan mengenai barang. (Wirdjono
Prodjodikoro, 1959, Azaz azaz Hukum Perdata, Bandung : Vorkink Van Hoeve, hlm. 61)
✓ ZAKEN VAN DE VENNOOTSCHAP = Urusan urusan Persekutuan. (R. Soeroso, S.H, 2005
Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 53)
✓ ZAAKSGEVOLG = Mempunyai sifat melekat, Ciri ciri hak kebendaan. (R. Soeroso, S.H,
2005 Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 53)
Moh Shohib, SHI,.MH | Modul Hukum Perdata 74
Referensi Buku:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2. Prof. Dr. H. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet-4,
Jakarta: Kencana, 2014.
3. Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, edisi revisi, cet-2, Jakarta:
Rajawali Pres, 2015.
4. Prof. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2010.
5. Prof. Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, cet-5, Bandung: Citra Aditya,
2014.
6. Prof. Dr. Achmad Ali, Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata, Jakarta: Prenada Media,
2017.
7. Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta:
Liberty, 2000.
8. Dr. Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga: Harta-harta Benda dalam Perkawinan,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016.
9. Dr. Titik Triwulan T, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Prenada
Media, 2017.
10. H. Mahmudin Bunyamin dkk, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2017.
11. P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2017.
12. I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perikatan, Jakarta: Sinar Grafika, 2016.
13. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Sei Hukum Perikatan: Perikatan Yang Lahir dari
Perjanjian, Jakarta: Rajawali Press, 2008.
14. Surini Ahlan Sjarif dan Dr. Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat: Pewarisan
Menurut Undang-Undang, Jakarta: Prenada Media Group, 2006.
15. Dr. Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Jakarta:
Republika 2008.
16. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Jakarta: Rajawali, 1989.
17. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2007.
18. Mifdhol Abdurrahman, Hukum Perdata cet. 8, Jakarta: Pustaka Alkautsar, 2014.