Upload
qraen-uchen
View
206
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Hukum Diplomatik dan Korespondesi Diplomatik sebagai acuan Hukum Diplomasi
Citation preview
MODALITAS HUBUNGAN DIPLOMATIK
Di awali dari Kongres Wina 1814-1815 yang mengakhiri kekalahan Napoleon Bonaparte dan
menyepakati Orders of Precedence (hirarki diplomatik yaitu: ambassador, minister, minister
councellor, first secretary, second secretary, third secretary dan atache) dan kemudian
diteruskan dengan Vienna Convention on Diplomatic Relation 1961 yang merupakan
kepentingan PBB untuk menyelenggarakan konferensi mengenai kodifikasi diplomatik di
Wina, Austria yang menjadi sumber baru pengaturan atas hubungan diplomatik antar
negara di dunia. Konvesi yang berisi 53 pasal ini berisi mengenai ketentuan yang mengatur
hubungan dan kerjasama antar negara demi tercapainya kehidupan internasional yang
harmonis di mana berisikan (pembukaan hubungan diplomatik, fungsi diplomasi,
kemudahan2, kekebalan dan hak-hak istimewa para diplomat).
Dalam Konvensi Wina 1961 pasal 2 telah disebutkan bahwa pembukaan hubungan
diplomatik antara negara-negara dan pembukaan perwakilan tetap diplomatik dilakukan
atas dasar saling kesepakatan. Setelah pengangkatan dan penerimaan perwakilan
diplomatik sudah dilaksanakan, tentu saja diperlukannya “syarat/bukti” pemberitahuan dari
negara pengirim atas duta besar/perwakilan yang ditunjuk kepada negara penerima.
A. Pemberian dan Penerimaan Surat-surat Kepercayaan
Seperti yang sudah dijelaskan, bahwa pembukaan hubungan diplomatik atau
pembukaan perwakilan tetap berdasarkan pada kesepakatan bersama mutual consent.
Bahwasanya setelah pengangkatan, seorang pejabat diplomatik yang sebelumnya sudah di
setujui oleh pihak yang bersangkutan (negara pengirim dan penerima) berangkat ke negara
yang dituju dengan membawa surat-surat kepercayaan yang juga disebut letter of credence
atau credentials. Surat-surat inilah yang nantinya menjadi pedoman atau sekaligus bukti
sahnya perwakilan yang akan menjalankan misi diplomatik.
Surat kepercayaan (letter of credence) ialah surat dari kepala negara pengirim
kepada negara penerima, atau surat dari menteri luar negeri negara pengirim kepada
menteri luar negeri negara penerima yang berisikan pemberitahuan bahwa seseorang telah
ditunjuk untuk menjabat sebagai duta besar/duta perwkilan dan ditujukan kepada kepala
negara penerima. Dalam surat tersebut juga dijelaskan bahwa negara pengirim telah
“menaruh kepercayaan” penuh kepadanya. Kepala negara penerima diharapkan agar
mempercayai segala sesuatu yang akan disampaikan oleh pejabat tersebut kepada kepala
negara penerima. Oleh karena itu, disebut surat kepercayaan. Penyerahan surat
kepercayaan wakil diplomatik diatur dalam Pasal 13 Konvensi Wina 1961, yakni pada saat
kedatangan wakil yang telah ditunjuk di negara penerima. Walaupun terkadang terdapat
perilaku-perilaku berbeda mengenai penyerahan surat-surat kepercayaan dari berbagai
negara.
Dan juga sebagai negara pengirim, harus mengusahakan persetujuan dari negara
penerima untuk seseorang yang dicalonkan menjadi kepala misi diplomatik dari negara
pengirim di negara penerima. Hal itu sangat perlu karena adakalanya negara penerima
menolak dan tidak setuju akan pengangkatan duta yang dicalonkan karena memang setiap
negara mempunyai hak untuk menolak suatu perwakilan diplomatik yang biasa disebut
persona non grata. Dan apabila negara penerima tidak mau memberikan persetujuan
(agreement), negara penerima tidak diwajibkan memberikan alasan penolakannya seperti
yang sudah tercantum dalam Konvensi Wina 1961 pada ayat 9.
Apabila negara penerima sudah menyatakan persetujuannya maka duta besar itu
datang dengan membawa surat kepercayaan yang telah ditandatangani oleh kepala
negaranya ke tempat tugasnya. Surat-surat kepercayaan yang sudah disegel beserta sebuah
salinan tersebut harus dibawa sendiri oleh wakil yang bersangkutan dan harus segera
ditujukan kepada Kepala negara penerima setelah tiba dinegara tujuan. Di samping surat-
surat kepercayaan tersebut, wakil itu juga dapat membawa dokumen-dokumen penting
lainnya seperti perjanjian kerjasama antar negara dan sebagainya. Pada umumnya seorang
duta besar diterima oleh kepala negara penerima dengan menyerahkan surat-surat tersebut
kepada kepala negara penerima dalam suatu upacara kenegaraan resmi.
B. Akreditasi Rangkap Kepala Perwakilan Diplomatik
Sistem akreditasi rangkap atau multiple accreditation sudah dipraktikkan sejak berakhirnya
Perang Dunia II oleh negara-negara yang baru merdeka sebagai akibat dekolonisasi.
Meningkatnya jumlah negara pada permulaan 1960-an dan keterbatasan dana yang dimiliki
negara-negara kecil untuk membeli dan menyewa kantor perwalian dan membiayai personil
merupakan faktor yang mempengaruhi semakin luasnya praktik akreditasi rangkap ini.
Betapa pun besar dan kayanya suatu negara, tidaklah mungkin dapat memiliki
perwakilan diplomatic tetap di setiap negara di seluruh dunia. Amerika Serikat misalnya,
sejak 1994 hanya mempunyai 144 perwakilan diplomatik tetap dan masih dirangkapkan.
Perancis pada 1987, karena kendala anggaran, hanya mengakreditasikan seorang duta besar
untuk Uni Soviet, Mongolia, Sri Langka, dan Maldavies. Sedangkan Inggris pada 1992,
setelah pecahnya Uni Soviet hanya membuka dua perwakilan diplomatik tetap dari sepuluh
negara baru tersebut.
Atas dasar peraktik yang sudah lama berlaku ini, Konvensi wina 1961 hanya sekedar
mengukuhkan praktik seperti yang tercantum dalam pasal 5 yang menentukan : suatu
negara dapat mengakreditasikan seorang kepala perwakilan atau setiap anggota staff
diplomatik ke negara lain, kecuali ada beberapa keberatan dari negara penerima. Vatikan
contohnya yang menolak duta besar yang diakreditasikan di Roma untuk merangkap negara
tersebut. Di mana Vatikan menerangkan bahwa jika ingin merangkap Vatikan harus oleh
duta besar di luar Italia.
Dalam sistem akreditasi multiple ini, Pasal 5 ayat (2) Konvensi Wina 1961
memperkenankan negara pengirim membuka perwakilan diplomatik tetap yang dikepalai
oleh seorang kuasa usaha ad interim pada tiap-tiap negara penerima, sedangkan duta besar
tidak berdiam di sana.
C. Mulai dan Berakhirnya Fungsi Misi Diplomatik
Misi diplomatik ialah dimana sekelompok orang dari satu negara atau organisasi antar-
pemerintah internasional hadir di negara bagian lain untuk mewakili negara mengirim /
organisasi di negara penerima. Dalam praktek sebuah misi diplomatik, biasanya misi
permanen ditandai dengan adanya kantor perwakilan diplomatik suatu negara yang
bertempat di ibukota negara penerima yang biasa disebut kantor KEDUBES atau embassy.
1. Mulai Berlakunya Fungsi Misi Diplomatik
Sebagaimana yanng sudah ditetapkan pada Pasal 13 Konvensi Wina 1961 bahwa,
Kepala misi diplomatik segera mungkin dianggap telah memulai tugasnya di negara
penerima, baik saat ia menyerahkan surat-surat kepercayaan maupun saat ia
memberitahukan kedatangannya dan menyerahkan salinan asli surat kepercayaannya
kepada menteri luar negeri negara penerima. Urutan penyerahan surat-surat kepercayaan
atau sebuah salinan asli akan ditentukan oleh hari dan saat kedatangan kepala misi yang
bersangkutan.
2. Berakhirnya Fungsi Misi Diplomatik
Konvensi Wina 1961 saat ini sudah dapat dikatakan sebagai hukum internasional yang
berlaku secara umum sebab hampir semua negara di dunia sekarang ini sudah
menjadikannya sebagai pedoman dalam praktik hubungan diplomatiknya, juga mengatur
mengenai pengakhiran masa tugas misi diplomatik yang dimuat dalam Pasal 43 yang
berbunyi :
“Fungsi seorang agen diplomatik akan berakhir apabila ada :
a) Pemberitahuan oleh negara pengirim kepada negara penerima bahwa fungsi
agen diplomatik yang bersangkutan berakhir, dan
b) Demikian pula jika ada pemberitahuan dari negara penerima kepada negara
pengirim sesuai dengan ketentuan Pasal 9 (mengenai persona no-grata) yg
negara penerima tidak lagi mengakui agen diplomatik tersebut sebagai anggota
misi diplomatik.
Pada umumnya, tugas seorang wakil diplomatik akan berakhir karena sudah habis masa
jabatan yang diberikan kepadanya untuk menjalankan tugas. Bisa juga karena ia ditarik
kembali (recalled) oleh pemerintah negaranya, atau karena tidak disenangi lagi (persona
non grata). Kalau antara negara pengirim dan negara tempat ia diakreditasikan pecah
perang maka tugas seseorang diplomat juga akan terganggu (terhenti) dan lazimnya ia
disuruh pulang.
Selain pendapat di atas, ada pula pendapat lain dari Starke, menegaskan pandangannya
bahwa berakhirnya misi diplomatik disebabkan oleh beberapa hal,
1. Pemanggilan kembali wakil oleh negaranya.
2. Permintaan negara penerima agar wakil yang bersangkutan diambil kembali.
3. Penyerahan paspor kepala wakil dan staf serta para keluarganya pada saat perang
pecah antar kedua negara yang bersangkutan.
4. Selesainya tugas misi
5. Berakhirnya surat-surat kepercayaan yang diberikan untuk jangka waktu yang sudah
ditetapkan.
D. Tugas-tugas Perwakilan Diplomatik
Dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya, para pejabat diplomatik tersebut
memiliki perbedaan-perbedaan yang prinsipiil. Bagi misi perwakilan tidak tetap (sementara),
fungsinya terbatas pada tugas yang diserahkan kepada wakil diplomatik itu untuk
menangani masalah-masalah tertentu sesuai dengan isi surat kepercayaan yang diberikan
kepada mereka untuk hal hal khusus. Misalnya, untuk mengadakan pembicaraan atau
perundingan khusus menyangkut penyelesaian masalah para pelintas batas antara wilayah
perbatasan Indonesia dan Papua Nugini. Tugas tersebut dilakukan oleh seorang wakil
diplomatik atau lebih dan pada umumnya jika perundingan atau konferensi tersebut telah
selesai maka selesai pula tugas misi diplomatik yang dimaksud.
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang diplomat dapat berfungsi sebagai lambang
prestise nasional negaranya di luar negeri dan mewakili kepala negaranya di negara
penerima. Selain itu, dia dapat berfungsi sebagai perwakilan yuridis dari pemerintah
negaranya. Misalnya, dia dapat menandatangani perjanjian, meratifikasi dokumen,
mengumumkan pernyataan, dan lain-lain. Dia juga dapat berfungsi sebagai perwakilan
politik. Dalam melaksanakan fungsinya tersebut, seorang diplomat dapat menjadi alat
penghubung timbal balik antara kepentingan negaranya dengan kepentingan negara
penerimanya.
Tugas dan fungsi diplomatik tetap sudah ditentukan sebagian besar dalam konvensi Wina
1961 sebagai berikut :
1. Mewakili negaranya di negara penerima.
2. Melindungi kepentingan negara pengirim dan kepentingan warga negaranya di
negara penerima dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum internasional.
3. Mengadakan perundingan-perundingan dengan pemerintah negara penerima.
4. Memberikan laporan kepada negara pengirim mengenai keadaan-keadaan dan
perkembangan-perkembangan di negara penerima dengan cara-cara yang dapat
dibenarkan oleh hukum.
5. Meningkatkan hubungan persahabatan antar negara pengirim dan negara penerima,
serta mengembangkan dan memperluas hubungan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu
pengetahuan.
Tugas umum seorang perwakilan diplomatik, adalah mencakup hal-hal berikut :
1. Representasi
Sebagaiman ditentukan dalam Pasal 3 Ayat (1,a) Konvensi Wina 1961, fungsi
perwakilan diplomatik adalah “mewakili negara pengirim di negara penerima” (representing
the sending State in the receiving State). Selain untuk mewakili pemerintah negaranya di
negara penerima, ia juga dapat melakukan protes, mengadakan penyelidikan pertanyaan
dengan pemerintah negara penerima, ia mewakili kebijaksanaan politik pemerintah
negaranya.
Bagi Indonesia, pemerintah kita juga memberikan batasan-batasan tentang tugas atau
fungsi mewakili tersebut, yaitu “mewakili negara Repunlik Indonesia secara keseluruhan di
negara penerima atau organisasi internasional”. Diselenggarakan sesuai dengan politik luar
negeri dan prinsip bebas aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional.
2. Proteksi
Dalam Konvensi Wina 1961, dijelasakan bahwa perwakilan diplomatik berfungsi
melindungi kepentingan-kepentingan negara pengirim serta warga negaranya di dalam
wilayah di mana ia diakreditasikan dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum
internasional. Perlindungan itu juga harus diberikan oleh negara penerima kepada para
pejabat diplomatik di negara penerima, bahkan negara ketiga pun harus memberikan
perlindungan juga kepada para pejabat diplomatik jika mereka in transit di negara ketiga
tersebut.
Mayarakat internasional menganggap perlu diadakan usaha-usaha untuk melengkapi
ketentuan-ketentuan internasional yang ada agar dapat menjamin keselamatan dan
keamanan wakil-wakil negara, khususnya usaha yang dianggap penting untuk memusatkan
perhatian kepada tanggung jawab internasional bagi negara-negara pelanggarnya.
Disamping itu, perlu juga untuk meningkatakn tindakan-tindakan pencegahan di dalam
wilayah negara-negara yang menerima wakil-wakil dan misi-misi asing. Alasannya
tergantung pada langkah-langkah yang akan diambil untuk mengatasi dan mencegah
kegiatan-kegiatan dari kelompok, organisasi, maupun perkumpulan teror yang
mempersiapkan atau melakukan tindakan-tindakan agresif dan yang bersifat teror yang
dilakukan di berbagai negara terhadap perwakilan-perwakilan diplomatik dan konsuler
termasuk para pejabatnya.
3. Negosiasi
Menurut Pasal 3 Ayat (1,c) Konvensi Wina 1961, ditentukan bahwa pejabat-pejabat
diplomatik mengadakan perundingan dengan pemerintah negara penerima (negotiating
with the government of the receiving State).
Dalam hukum internasional dikenal bentuk hubungan antar negara yang dinamakan
negosiasi. Negosiasi atau perundingan ini dapat diadakan antara dua negara atau lebih.
Yang dapat turut serta dalam perundingan itu pada umumnya adalah negara-negara
berdaulat. Sebagai pengecualian, negara-negara yang belum merdeka dan belum berdaulat
penuh juga dapat diizinkan turut serta. Kondisi tersebut pernah terjadi ketika perang dunia
ke II, saat itu India yang belum berdaulat diperkenankan turut serta dalam perundingan
konferensi “San Fransisco” pada tahun 1945.
Perundingan-perundingan tersebut merupakan salah satu fungsi diplomatik dalam
mewakili negaranya. Namun biasanya perundingan mengenai masalah tertentu dilakukan
oleh utusan utusan khusus, terutama jika hal tersebut mengenai masalah teknis.
4. Pelaporan
Kewajiban membuat laporan bagi perwakilan diplomatik memang sudah ditentukan
oleh Konvensi Wina 1961 yang menegaskan bahwa “memberikan laporan kepada negara
pengirim mengenai keadaan-keadaan dan perkembangan-perkembangan di negara
penerima dengan cara-cara yang sah dan dibenarkan oleh hukum”.
Tugas pelaporan ini merupakan suatu hal yang utama bagi perwakilan diplomatik di
negara penerima, termasuk tugas observasi secara seksama atas segala peristiwa yang
terjadi di negara penerima. Perlunya demi memperlancar kepengurusan kepentingan
negaranya.
Dasar dari kewajiban seorang diplomat adalah memberikan laporan kepada
pemerintahnya mengenai kebijaksaan-kebijaksanaan politik dan peristiwa-peristiwa lain
yang ada di negara di mana ia diakreditasikan kepada pemerintah negaranya. Asalkan dalam
hal membuat laporan ini wakil tersebut bukan bertindak sebagai seorang spionase.
5. Peningkatan Hubungan Persahabatan Antarnegara
Dalam Konvensi Wina 1961 yang menentukan bahwa meningkatkan hubungan-
hubungan persahabatan antara negara penerima dan negara pengirim, sekaligus
mengembangkan hubungan-hubungan ekonomi, kebudayaan, serta ilmu pengetahuan di
antara mereka.
Perwakilan diplomatik berkewajiban untuk selalu berusaha dan menjaga hubungan
antara negara pengirim dan negara penerima. Usaha-usaha peningkatan dilakukan dengan
berbagai cara diplomasi.
Fungsi penting lain seorang wakil diplomatik dalam meningkatkan hubungan
persahabatan ini adalah meningkatkan persahabatan antar rakyat negara pengirim dan
rakyat negara penerima secara luas. Hal ini memang terbukti bahwa sekarang para pejabat
diplomatik sudah sering diundang untuk berbicara di depan umum, khususnya pada
berbagai kesempatan mengenai suatu program khusus yang berkenaan dengan kepentingan
negaranya.
Berkaitan dengan hal tersebut, apa saja fungsi perwakilan diplomatik bagi bangsa
Indonesia? Bagi bangsa Indonesia, penempatan perwakilan diplomatik di negara lain
berfungsi sebagai sarana untuk:
a. Mewakili negara Republik Indonesia secara keseluruhan di negara penerima atau
pada suatu organisasi internasional.
b. Melindungi kepentingan nasional dan warga negara Indonesia di negara penerima.
c. Melaksanakan pengamatan, penilaian, dan pelaporan.
d. Memperrtahankan kebebasan Indonesia terhadap imperialisme dalam segala bentuk
dan manifestasinya dengan melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
e. Mengabdi kepada kepentingan nasional dalam mewujudkan masyarakat adil dan
makmur.
f. Menciptakan persahabatan yang baik antara negara Republik Indonesia dan semua
negara guna menjamin pelaksanaan tugas negara perwakilan diplomatik.
g. Menyelanggarakan bimbingan dan pengawasan terhadap warga negara Indonesia
yang berada di wilayah kerjanya.
h. Menyelenggarakan urusan pengamanan, penerangan, konsuler protokol,
komunikasi, dan persandian.
i. Melaksanakan urusan tata usaha, kepegawaian, keuangan, perlengkapan, dan
urusan rumah tangga perwakilan diplomatik.
E. Korespondensi dan Komunikasi Diplomatik
Dalam konteks pembicaraan ini istilah korespondensi berpadanan dengan istilah
correspondence dalam bahasa Inggris, yang artinya surat-menyurat atau komunikasi dengan
surat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa korespondensi berarti hal
surat-menyurat (1989 : 462). Orang yang berkomunikasi dengan menggunakan surat disebut
koresponden. Dapat dikatakan bahwa korespondensi merupakan salah satu jenis
komunikasi tulis. Korespondensi dapat terjadi antara seseorang dengan orang lain, antara
seseorang dengan instansi atau sebaliknya, antara organisasi dengan organisasi, dan
sebagainya.
1. Beberapa Bentuk Korespondensi dan/atau Komunikasi antara Misi Diplomatik dan
Pemerintah Negara Penerima :
o Nota Diplomatik
Adalah nota yang dikirimkan oleh suatu pemerintah kepada pemerintah lainnya,
merupakan komunikasi antara Departemen Luar Negeri dan Kementerian Luar Negeri
asing antarpemerintah dengan perantara perwakilan diplomatik yang sudah diakreditasi
di nagara penerima. Contoh beberapa nota dapat dilihat di bawah :
a. Nota Resmi (Orang Ketiga)
Cara misi diplomatik dan menteri luar negeri biasa berkorespondensi ialah
melalui Nota Resmi. Nota ini biasa berupa tulisan yang diketik dalam bahasa
internasional pada kertas resmi diplomatik dengan kepala lambang nasional dan
alamat lengkap.
b. Nota tentang Persetujuan Lisan
Tentang perjanjian lisan ini biasa dipakai untuk menjelaskan atau memperkuat
argumen-argumen yang sebelumnya sudah disampaika, atau mencatat masalah-
masalah yang diperkirankan mudah dilupakan.
c. Nota Resmi Orang Pertama
Suatu pendekatan resmi kepada menteri luar negeri (oleh kepala misi) ata
kepada petugas kementerian luar negeri (oleh seorang anggota staf diplomatik) ialah
nota dari orang pertama ke orang kedua.
o Nota Kolektif
Suatu komunikasi tertulis yang diajukan dan ditandatangani bersama ataupun yang erat
kaitannya dengan kerja sama politik mereka dan ditujukan kepada negara yang berdiri
di luar persekutuan atau kerja sama mera yang dilakukan antara suatu negara kepada
beberapa negara lainnya.
o Nota Identik
Bila kedua negara atau lebih mengajukan sesuatu kepada negara ketiga, menyampaikan
nota yang sama bunyinya, tetapi masing-masing menandatanganinya.
o Memorandum
Suatu pernyataan tertulis antarpemerintah, ataupun suatu kementerian Luar Negeri
kepada perwakilan diplomatik dan sebaliknya. Memorandum dikirim dengan tidak
ditandatangani oleh menteri luar negeri.
o Aide memoire
Bukti tertulis secara informal dari suatu pembicaraan diplomatik (diplomatic interview),
atu catatan tidak resmi dari suatu percakapan antara menteri luar negeri dengan
seorang duta asing. Catatan seperti ini lazimnya diserahkan oleh sang duta besar
kepada menteri luar negeri atau sebaliknya saat ia masih berada di Departemen Luar
Negeri. Manfaatnya ialah untuk membantu mengingatkan ‘aid to memory’ mengenai
hal-hal yang telah mereka bicarakan.
o dll
2. Surat Kuasa (Full Power)
Full Power adalah kuasa penuh atau on behalf merupakan salah satu kaidah hukum
internasional yang menganggap tidak semua warga negara dapat mewakili suatu Negara
dalam pembuatan hingga pengesahan perjanjian, karena hanya terdapat beberapa orang
dengan jabatan (amtenar) kenegaraanya yang mendapatkan kuasa yang utuh untuk
mewakili negaranya.
Full Power telah lama dikenal sejak kerajaan Romawi, pada saat itu dikenal dengan
sebutan plena potentas yang digunakan untuk melakukan transaksi-transaksi yang bersifat
hokum, yang diberikan secara langsung kepada Duta Besar.
Full power sebagaimana UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24
TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL : Surat Kuasa (Full Powers) adalah
surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu
atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk menandatangani
atau menerima naskah perjanjian, menyatakan persetujuan negara untuk mengikatkan diri
pada perjanjian, dan/atau menyelesaikan hal-hal lain yang diperlukan dalam pembuatan
perjanjian internasional.
Kusa Penuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Konfrensi Wina 1969 :
▬ Seseorang dianggap mewakili sesuatu Negara dengan maksud untuk mengesahkan atau
mengotentifikasi naskah dari suatu perjanjian atau dengan maksud untuk menyatakan
kesepakatan dari suatu Negara untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian jika : Ia
memberikan surat kuasa penuh selayaknya; atau
Nampaknya dari praktek Negara-negara yang bersangkutan atau dari lingkungan-
lingkungan lainnya, maksud mereka itu adalah menganggap bahwa seseorang yang mewakili
Negara untuk maksud-maksud semacam itu dan melepaskan surat kuasa penuh.
Selanjutnya Pasal 8 Konfrensi Wina 1969, pada intinya menyatakan Nilai default
(kebiasaan Internasional yang dikodifikasikan) mereka yang mendapatkan kuasa penuh
untuk mewakili Negara adalah :
Kepala-kepala Negara, Kepala-kepala pemerintahan dan para mentri luar negeri,
dengan maksud untuk melaksanakan semua tindakan yang berhubungan dengan
pembuatan perjanjian
Kepala-kepala perwakilan diplomatic dengan maksud untuk mengesahkan naskah
suatu perjanjian antara Negara yang memberikan akreditasi dan Negara dimana
mereka diakreditasikan;
Wakil-wakil yang diakreditasikan oleh Negara-negara pada suatu konferensi
internasional atau organisasi internasional, atau salah satu badannya, dengan
maksud untuk mengesahkan naskah dari suatu perjanjian di konfrensi, organisasi
atau badan tersebut.
3. Letter of Intent MoU Sister City dan Sister Province
Selalu digunakan dalam perjanjian yang tidak mengikat, yang berisikan komitmen
yang tidak mengikat. Indonesia selalu menggunakan bentuk ini dalam perencanaan
kerjasama “sister city/sister provinces”. Sebelum para pihak mengikatkan diri pada MoU
Pembentukan Sister City/Provinces, mereka selalu menuangkan komitmennya dalam bentuk
Letter of Intent. Bentuk ini digunakan juga dalam perjanjian yang mengikat komitmen para
pihaknya. Contoh: The Letter of Intent between Indonesia and (negara tertentu) Donors /
IMF concerning debt agreement.
Dalam Kerjasama yang dilakukan melibatkan pemerintah daerah, terdapat dua
macam perjanjian yang dapat digunakan yaitu; perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah
Daerah, seperti Sister City/Sister Province Agreement, dan perjanjian yang dibuat oleh
Pemerintah Pusat yang berkaitan dengan kepentingan Pemerintah Daerah seperti
Exchange of Notes 2000 and 2001 RI-Japan concerning Human Resources on fisheries and
Rural Water Supply in Sulawesi, Agreement RI-Singapore on Water Supply from Kepulauan
Riau to Singapore.
Penjelasan mengenai jenis perjanjian di atas mengemukakan bahwa jenis kerjasama
pertama adalah Perjanjian Internasional yang dibentuk oleh Pemerintah Walikota Surabaya,
Tri Rismaharini, dan Wakil Walikota Varna, Hristo Bozov, menandatangani Memorandum of
Understanding (MOU) Kerjasama Sister City Surabaya-Varna di Surabaya, tanggal 1
Desember 2010, disaksikan oleh Dubes RI untuk Republik Bulgaria, Immanuel Robert
Inkiriwang. Dengan demikian, penandatanganan MOU tersebut menggenapi
penandatanganan Letter of Intent (LOI) Sister City kedua kota di Varna, Bulgaria, 24
Nopember 2009.
Dasar hukum kewenangan pemerintah daerah untuk melakukan kerjasama
internasional diungkapkan di dalam UU No. 22 / 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU
No. 32 / 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan. Di mana di dalam UU No 22 / 1999 tertulis
sebagai berikut, “Daerah dapat mengadakan kerjasama yang saling menguntungkan dengan
lembaga/badan luar negeri….”. Sementara di dalam UU No. 32 / 2004UU No. 32/2004
kewenangan pemerintah daerah untuk melakukan kerjasama internasional dikemukakan
dalam rumusan pasal sebagai berikut “DPRD mempunyai tugas dan wewenang memberikan
pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian
internasional di daerah dan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang
dilakukan oleh pemerintah daerah.” Rumusan pasal ini membedakan pengertian Kerjasama
Internasional dan Perjanjian Internasional.
HUKUM DIPLOMATIK DAN KORESPONDEN
“Modalitas Hubungan Diplomatik”
Oleh :
SYARIF HUSEIN (151080198)
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta
2012