27
MODALITAS HUBUNGAN DIPLOMATIK Di awali dari Kongres Wina 1814-1815 yang mengakhiri kekalahan Napoleon Bonaparte dan menyepakati Orders of Precedence (hirarki diplomatik yaitu: ambassador, minister, minister councellor, first secretary, second secretary, third secretary dan atache) dan kemudian diteruskan dengan Vienna Convention on Diplomatic Relation 1961 yang merupakan kepentingan PBB untuk menyelenggarakan konferensi mengenai kodifikasi diplomatik di Wina, Austria yang menjadi sumber baru pengaturan atas hubungan diplomatik antar negara di dunia. Konvesi yang berisi 53 pasal ini berisi mengenai ketentuan yang mengatur hubungan dan kerjasama antar negara demi tercapainya kehidupan internasional yang harmonis di mana berisikan (pembukaan hubungan diplomatik, fungsi diplomasi, kemudahan2, kekebalan dan hak-hak istimewa para diplomat). Dalam Konvensi Wina 1961 pasal 2 telah disebutkan bahwa pembukaan hubungan diplomatik antara negara-negara dan pembukaan perwakilan tetap diplomatik dilakukan atas dasar saling kesepakatan. Setelah pengangkatan dan penerimaan

Hukum & Korespondensi Diplo

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Hukum Diplomatik dan Korespondesi Diplomatik sebagai acuan Hukum Diplomasi

Citation preview

Page 1: Hukum & Korespondensi Diplo

MODALITAS HUBUNGAN DIPLOMATIK

Di awali dari Kongres Wina 1814-1815 yang mengakhiri kekalahan Napoleon Bonaparte dan

menyepakati Orders of Precedence (hirarki diplomatik yaitu: ambassador, minister, minister

councellor, first secretary, second secretary, third secretary dan atache) dan kemudian

diteruskan dengan Vienna Convention on Diplomatic Relation 1961 yang merupakan

kepentingan PBB untuk menyelenggarakan konferensi mengenai kodifikasi diplomatik di

Wina, Austria yang menjadi sumber baru pengaturan atas hubungan diplomatik antar

negara di dunia. Konvesi yang berisi 53 pasal ini berisi mengenai ketentuan yang mengatur

hubungan dan kerjasama antar negara demi tercapainya kehidupan internasional yang

harmonis di mana berisikan (pembukaan hubungan diplomatik, fungsi diplomasi,

kemudahan2, kekebalan dan hak-hak istimewa para diplomat).

Dalam Konvensi Wina 1961 pasal 2 telah disebutkan bahwa pembukaan hubungan

diplomatik antara negara-negara dan pembukaan perwakilan tetap diplomatik dilakukan

atas dasar saling kesepakatan. Setelah pengangkatan dan penerimaan perwakilan

diplomatik sudah dilaksanakan, tentu saja diperlukannya “syarat/bukti” pemberitahuan dari

negara pengirim atas duta besar/perwakilan yang ditunjuk kepada negara penerima.

A. Pemberian dan Penerimaan Surat-surat Kepercayaan

Seperti yang sudah dijelaskan, bahwa pembukaan hubungan diplomatik atau

pembukaan perwakilan tetap berdasarkan pada kesepakatan bersama mutual consent.

Bahwasanya setelah pengangkatan, seorang pejabat diplomatik yang sebelumnya sudah di

setujui oleh pihak yang bersangkutan (negara pengirim dan penerima) berangkat ke negara

Page 2: Hukum & Korespondensi Diplo

yang dituju dengan membawa surat-surat kepercayaan yang juga disebut letter of credence

atau credentials. Surat-surat inilah yang nantinya menjadi pedoman atau sekaligus bukti

sahnya perwakilan yang akan menjalankan misi diplomatik.

Surat kepercayaan (letter of credence) ialah surat dari kepala negara pengirim

kepada negara penerima, atau surat dari menteri luar negeri negara pengirim kepada

menteri luar negeri negara penerima yang berisikan pemberitahuan bahwa seseorang telah

ditunjuk untuk menjabat sebagai duta besar/duta perwkilan dan ditujukan kepada kepala

negara penerima. Dalam surat tersebut juga dijelaskan bahwa negara pengirim telah

“menaruh kepercayaan” penuh kepadanya. Kepala negara penerima diharapkan agar

mempercayai segala sesuatu yang akan disampaikan oleh pejabat tersebut kepada kepala

negara penerima. Oleh karena itu, disebut surat kepercayaan. Penyerahan surat

kepercayaan wakil diplomatik diatur dalam Pasal 13 Konvensi Wina 1961, yakni pada saat

kedatangan wakil yang telah ditunjuk di negara penerima. Walaupun terkadang terdapat

perilaku-perilaku berbeda mengenai penyerahan surat-surat kepercayaan dari berbagai

negara.

Dan juga sebagai negara pengirim, harus mengusahakan persetujuan dari negara

penerima untuk seseorang yang dicalonkan menjadi kepala misi diplomatik dari negara

pengirim di negara penerima. Hal itu sangat perlu karena adakalanya negara penerima

menolak dan tidak setuju akan pengangkatan duta yang dicalonkan karena memang setiap

negara mempunyai hak untuk menolak suatu perwakilan diplomatik yang biasa disebut

persona non grata. Dan apabila negara penerima tidak mau memberikan persetujuan

(agreement), negara penerima tidak diwajibkan memberikan alasan penolakannya seperti

yang sudah tercantum dalam Konvensi Wina 1961 pada ayat 9.

Page 3: Hukum & Korespondensi Diplo

Apabila negara penerima sudah menyatakan persetujuannya maka duta besar itu

datang dengan membawa surat kepercayaan yang telah ditandatangani oleh kepala

negaranya ke tempat tugasnya. Surat-surat kepercayaan yang sudah disegel beserta sebuah

salinan tersebut harus dibawa sendiri oleh wakil yang bersangkutan dan harus segera

ditujukan kepada Kepala negara penerima setelah tiba dinegara tujuan. Di samping surat-

surat kepercayaan tersebut, wakil itu juga dapat membawa dokumen-dokumen penting

lainnya seperti perjanjian kerjasama antar negara dan sebagainya. Pada umumnya seorang

duta besar diterima oleh kepala negara penerima dengan menyerahkan surat-surat tersebut

kepada kepala negara penerima dalam suatu upacara kenegaraan resmi.

B. Akreditasi Rangkap Kepala Perwakilan Diplomatik

Sistem akreditasi rangkap atau multiple accreditation sudah dipraktikkan sejak berakhirnya

Perang Dunia II oleh negara-negara yang baru merdeka sebagai akibat dekolonisasi.

Meningkatnya jumlah negara pada permulaan 1960-an dan keterbatasan dana yang dimiliki

negara-negara kecil untuk membeli dan menyewa kantor perwalian dan membiayai personil

merupakan faktor yang mempengaruhi semakin luasnya praktik akreditasi rangkap ini.

Betapa pun besar dan kayanya suatu negara, tidaklah mungkin dapat memiliki

perwakilan diplomatic tetap di setiap negara di seluruh dunia. Amerika Serikat misalnya,

sejak 1994 hanya mempunyai 144 perwakilan diplomatik tetap dan masih dirangkapkan.

Perancis pada 1987, karena kendala anggaran, hanya mengakreditasikan seorang duta besar

untuk Uni Soviet, Mongolia, Sri Langka, dan Maldavies. Sedangkan Inggris pada 1992,

setelah pecahnya Uni Soviet hanya membuka dua perwakilan diplomatik tetap dari sepuluh

negara baru tersebut.

Page 4: Hukum & Korespondensi Diplo

Atas dasar peraktik yang sudah lama berlaku ini, Konvensi wina 1961 hanya sekedar

mengukuhkan praktik seperti yang tercantum dalam pasal 5 yang menentukan : suatu

negara dapat mengakreditasikan seorang kepala perwakilan atau setiap anggota staff

diplomatik ke negara lain, kecuali ada beberapa keberatan dari negara penerima. Vatikan

contohnya yang menolak duta besar yang diakreditasikan di Roma untuk merangkap negara

tersebut. Di mana Vatikan menerangkan bahwa jika ingin merangkap Vatikan harus oleh

duta besar di luar Italia.

Dalam sistem akreditasi multiple ini, Pasal 5 ayat (2) Konvensi Wina 1961

memperkenankan negara pengirim membuka perwakilan diplomatik tetap yang dikepalai

oleh seorang kuasa usaha ad interim pada tiap-tiap negara penerima, sedangkan duta besar

tidak berdiam di sana.

C. Mulai dan Berakhirnya Fungsi Misi Diplomatik

Misi diplomatik ialah dimana sekelompok orang dari satu negara atau organisasi antar-

pemerintah internasional hadir di negara bagian lain untuk mewakili negara mengirim /

organisasi di negara penerima. Dalam praktek sebuah misi diplomatik, biasanya misi

permanen ditandai dengan adanya kantor perwakilan diplomatik suatu negara yang

bertempat di ibukota negara penerima yang biasa disebut kantor KEDUBES atau embassy.

1. Mulai Berlakunya Fungsi Misi Diplomatik

Sebagaimana yanng sudah ditetapkan pada Pasal 13 Konvensi Wina 1961 bahwa,

Kepala misi diplomatik segera mungkin dianggap telah memulai tugasnya di negara

penerima, baik saat ia menyerahkan surat-surat kepercayaan maupun saat ia

memberitahukan kedatangannya dan menyerahkan salinan asli surat kepercayaannya

Page 5: Hukum & Korespondensi Diplo

kepada menteri luar negeri negara penerima. Urutan penyerahan surat-surat kepercayaan

atau sebuah salinan asli akan ditentukan oleh hari dan saat kedatangan kepala misi yang

bersangkutan.

2. Berakhirnya Fungsi Misi Diplomatik

Konvensi Wina 1961 saat ini sudah dapat dikatakan sebagai hukum internasional yang

berlaku secara umum sebab hampir semua negara di dunia sekarang ini sudah

menjadikannya sebagai pedoman dalam praktik hubungan diplomatiknya, juga mengatur

mengenai pengakhiran masa tugas misi diplomatik yang dimuat dalam Pasal 43 yang

berbunyi :

“Fungsi seorang agen diplomatik akan berakhir apabila ada :

a) Pemberitahuan oleh negara pengirim kepada negara penerima bahwa fungsi

agen diplomatik yang bersangkutan berakhir, dan

b) Demikian pula jika ada pemberitahuan dari negara penerima kepada negara

pengirim sesuai dengan ketentuan Pasal 9 (mengenai persona no-grata) yg

negara penerima tidak lagi mengakui agen diplomatik tersebut sebagai anggota

misi diplomatik.

Pada umumnya, tugas seorang wakil diplomatik akan berakhir karena sudah habis masa

jabatan yang diberikan kepadanya untuk menjalankan tugas. Bisa juga karena ia ditarik

kembali (recalled) oleh pemerintah negaranya, atau karena tidak disenangi lagi (persona

non grata). Kalau antara negara pengirim dan negara tempat ia diakreditasikan pecah

perang maka tugas seseorang diplomat juga akan terganggu (terhenti) dan lazimnya ia

disuruh pulang.

Page 6: Hukum & Korespondensi Diplo

Selain pendapat di atas, ada pula pendapat lain dari Starke, menegaskan pandangannya

bahwa berakhirnya misi diplomatik disebabkan oleh beberapa hal,

1. Pemanggilan kembali wakil oleh negaranya.

2. Permintaan negara penerima agar wakil yang bersangkutan diambil kembali.

3. Penyerahan paspor kepala wakil dan staf serta para keluarganya pada saat perang

pecah antar kedua negara yang bersangkutan.

4. Selesainya tugas misi

5. Berakhirnya surat-surat kepercayaan yang diberikan untuk jangka waktu yang sudah

ditetapkan.

D. Tugas-tugas Perwakilan Diplomatik

Dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya, para pejabat diplomatik tersebut

memiliki perbedaan-perbedaan yang prinsipiil. Bagi misi perwakilan tidak tetap (sementara),

fungsinya terbatas pada tugas yang diserahkan kepada wakil diplomatik itu untuk

menangani masalah-masalah tertentu sesuai dengan isi surat kepercayaan yang diberikan

kepada mereka untuk hal hal khusus. Misalnya, untuk mengadakan pembicaraan atau

perundingan khusus menyangkut penyelesaian masalah para pelintas batas antara wilayah

perbatasan Indonesia dan Papua Nugini. Tugas tersebut dilakukan oleh seorang wakil

diplomatik atau lebih dan pada umumnya jika perundingan atau konferensi tersebut telah

selesai maka selesai pula tugas misi diplomatik yang dimaksud.

Dalam melaksanakan tugasnya, seorang diplomat dapat berfungsi sebagai lambang

prestise nasional negaranya di luar negeri dan mewakili kepala negaranya di negara

penerima. Selain itu, dia dapat berfungsi sebagai perwakilan yuridis dari pemerintah

negaranya. Misalnya, dia dapat menandatangani perjanjian, meratifikasi dokumen,

Page 7: Hukum & Korespondensi Diplo

mengumumkan pernyataan, dan lain-lain. Dia juga dapat berfungsi sebagai perwakilan

politik. Dalam melaksanakan fungsinya tersebut, seorang diplomat dapat menjadi alat

penghubung timbal balik antara kepentingan negaranya dengan kepentingan negara

penerimanya.

Tugas dan fungsi diplomatik tetap sudah ditentukan sebagian besar dalam konvensi Wina

1961 sebagai berikut :

1. Mewakili negaranya di negara penerima.

2. Melindungi kepentingan negara pengirim dan kepentingan warga negaranya di

negara penerima dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum internasional.

3. Mengadakan perundingan-perundingan dengan pemerintah negara penerima.

4. Memberikan laporan kepada negara pengirim mengenai keadaan-keadaan dan

perkembangan-perkembangan di negara penerima dengan cara-cara yang dapat

dibenarkan oleh hukum.

5. Meningkatkan hubungan persahabatan antar negara pengirim dan negara penerima,

serta mengembangkan dan memperluas hubungan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu

pengetahuan.

Tugas umum seorang perwakilan diplomatik, adalah mencakup hal-hal berikut :

1. Representasi

Sebagaiman ditentukan dalam Pasal 3 Ayat (1,a) Konvensi Wina 1961, fungsi

perwakilan diplomatik adalah “mewakili negara pengirim di negara penerima” (representing

the sending State in the receiving State). Selain untuk mewakili pemerintah negaranya di

negara penerima, ia juga dapat melakukan protes, mengadakan penyelidikan pertanyaan

Page 8: Hukum & Korespondensi Diplo

dengan pemerintah negara penerima, ia mewakili kebijaksanaan politik pemerintah

negaranya.

Bagi Indonesia, pemerintah kita juga memberikan batasan-batasan tentang tugas atau

fungsi mewakili tersebut, yaitu “mewakili negara Repunlik Indonesia secara keseluruhan di

negara penerima atau organisasi internasional”. Diselenggarakan sesuai dengan politik luar

negeri dan prinsip bebas aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional.

2. Proteksi

Dalam Konvensi Wina 1961, dijelasakan bahwa perwakilan diplomatik berfungsi

melindungi kepentingan-kepentingan negara pengirim serta warga negaranya di dalam

wilayah di mana ia diakreditasikan dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum

internasional. Perlindungan itu juga harus diberikan oleh negara penerima kepada para

pejabat diplomatik di negara penerima, bahkan negara ketiga pun harus memberikan

perlindungan juga kepada para pejabat diplomatik jika mereka in transit di negara ketiga

tersebut.

Mayarakat internasional menganggap perlu diadakan usaha-usaha untuk melengkapi

ketentuan-ketentuan internasional yang ada agar dapat menjamin keselamatan dan

keamanan wakil-wakil negara, khususnya usaha yang dianggap penting untuk memusatkan

perhatian kepada tanggung jawab internasional bagi negara-negara pelanggarnya.

Disamping itu, perlu juga untuk meningkatakn tindakan-tindakan pencegahan di dalam

wilayah negara-negara yang menerima wakil-wakil dan misi-misi asing. Alasannya

tergantung pada langkah-langkah yang akan diambil untuk mengatasi dan mencegah

kegiatan-kegiatan dari kelompok, organisasi, maupun perkumpulan teror yang

mempersiapkan atau melakukan tindakan-tindakan agresif dan yang bersifat teror yang

Page 9: Hukum & Korespondensi Diplo

dilakukan di berbagai negara terhadap perwakilan-perwakilan diplomatik dan konsuler

termasuk para pejabatnya.

3. Negosiasi

Menurut Pasal 3 Ayat (1,c) Konvensi Wina 1961, ditentukan bahwa pejabat-pejabat

diplomatik mengadakan perundingan dengan pemerintah negara penerima (negotiating

with the government of the receiving State).

Dalam hukum internasional dikenal bentuk hubungan antar negara yang dinamakan

negosiasi. Negosiasi atau perundingan ini dapat diadakan antara dua negara atau lebih.

Yang dapat turut serta dalam perundingan itu pada umumnya adalah negara-negara

berdaulat. Sebagai pengecualian, negara-negara yang belum merdeka dan belum berdaulat

penuh juga dapat diizinkan turut serta. Kondisi tersebut pernah terjadi ketika perang dunia

ke II, saat itu India yang belum berdaulat diperkenankan turut serta dalam perundingan

konferensi “San Fransisco” pada tahun 1945.

Perundingan-perundingan tersebut merupakan salah satu fungsi diplomatik dalam

mewakili negaranya. Namun biasanya perundingan mengenai masalah tertentu dilakukan

oleh utusan utusan khusus, terutama jika hal tersebut mengenai masalah teknis.

4. Pelaporan

Kewajiban membuat laporan bagi perwakilan diplomatik memang sudah ditentukan

oleh Konvensi Wina 1961 yang menegaskan bahwa “memberikan laporan kepada negara

pengirim mengenai keadaan-keadaan dan perkembangan-perkembangan di negara

penerima dengan cara-cara yang sah dan dibenarkan oleh hukum”.

Page 10: Hukum & Korespondensi Diplo

Tugas pelaporan ini merupakan suatu hal yang utama bagi perwakilan diplomatik di

negara penerima, termasuk tugas observasi secara seksama atas segala peristiwa yang

terjadi di negara penerima. Perlunya demi memperlancar kepengurusan kepentingan

negaranya.

Dasar dari kewajiban seorang diplomat adalah memberikan laporan kepada

pemerintahnya mengenai kebijaksaan-kebijaksanaan politik dan peristiwa-peristiwa lain

yang ada di negara di mana ia diakreditasikan kepada pemerintah negaranya. Asalkan dalam

hal membuat laporan ini wakil tersebut bukan bertindak sebagai seorang spionase.

5. Peningkatan Hubungan Persahabatan Antarnegara

Dalam Konvensi Wina 1961 yang menentukan bahwa meningkatkan hubungan-

hubungan persahabatan antara negara penerima dan negara pengirim, sekaligus

mengembangkan hubungan-hubungan ekonomi, kebudayaan, serta ilmu pengetahuan di

antara mereka.

Perwakilan diplomatik berkewajiban untuk selalu berusaha dan menjaga hubungan

antara negara pengirim dan negara penerima. Usaha-usaha peningkatan dilakukan dengan

berbagai cara diplomasi.

Fungsi penting lain seorang wakil diplomatik dalam meningkatkan hubungan

persahabatan ini adalah meningkatkan persahabatan antar rakyat negara pengirim dan

rakyat negara penerima secara luas. Hal ini memang terbukti bahwa sekarang para pejabat

diplomatik sudah sering diundang untuk berbicara di depan umum, khususnya pada

berbagai kesempatan mengenai suatu program khusus yang berkenaan dengan kepentingan

negaranya.

Page 11: Hukum & Korespondensi Diplo

Berkaitan dengan hal tersebut, apa saja fungsi perwakilan diplomatik bagi bangsa

Indonesia? Bagi bangsa Indonesia, penempatan perwakilan diplomatik di negara lain

berfungsi sebagai sarana untuk:

a. Mewakili negara Republik Indonesia secara keseluruhan di negara penerima atau

pada suatu organisasi internasional.

b. Melindungi kepentingan nasional dan warga negara Indonesia di negara penerima.

c. Melaksanakan pengamatan, penilaian, dan pelaporan.

d. Memperrtahankan kebebasan Indonesia terhadap imperialisme dalam segala bentuk

dan manifestasinya dengan melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

e. Mengabdi kepada kepentingan nasional dalam mewujudkan masyarakat adil dan

makmur.

f. Menciptakan persahabatan yang baik antara negara Republik Indonesia dan semua

negara guna menjamin pelaksanaan tugas negara perwakilan diplomatik.

g. Menyelanggarakan bimbingan dan pengawasan terhadap warga negara Indonesia

yang berada di wilayah kerjanya.

h. Menyelenggarakan urusan pengamanan, penerangan, konsuler protokol,

komunikasi, dan persandian.

i. Melaksanakan urusan tata usaha, kepegawaian, keuangan, perlengkapan, dan

urusan rumah tangga perwakilan diplomatik.

Page 12: Hukum & Korespondensi Diplo

E. Korespondensi dan Komunikasi Diplomatik

Dalam konteks pembicaraan ini istilah korespondensi berpadanan dengan istilah

correspondence dalam bahasa Inggris, yang artinya surat-menyurat atau komunikasi dengan

surat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa korespondensi berarti hal

surat-menyurat (1989 : 462). Orang yang berkomunikasi dengan menggunakan surat disebut

koresponden. Dapat dikatakan bahwa korespondensi merupakan salah satu jenis

komunikasi tulis. Korespondensi dapat terjadi antara seseorang dengan orang lain, antara

seseorang dengan instansi atau sebaliknya, antara organisasi dengan organisasi, dan

sebagainya.

1. Beberapa Bentuk Korespondensi dan/atau Komunikasi antara Misi Diplomatik dan

Pemerintah Negara Penerima :

o Nota Diplomatik

Adalah nota yang dikirimkan oleh suatu pemerintah kepada pemerintah lainnya,

merupakan komunikasi antara Departemen Luar Negeri dan Kementerian Luar Negeri

asing antarpemerintah dengan perantara perwakilan diplomatik yang sudah diakreditasi

di nagara penerima. Contoh beberapa nota dapat dilihat di bawah :

a. Nota Resmi (Orang Ketiga)

Cara misi diplomatik dan menteri luar negeri biasa berkorespondensi ialah

melalui Nota Resmi. Nota ini biasa berupa tulisan yang diketik dalam bahasa

internasional pada kertas resmi diplomatik dengan kepala lambang nasional dan

alamat lengkap.

Page 13: Hukum & Korespondensi Diplo

b. Nota tentang Persetujuan Lisan

Tentang perjanjian lisan ini biasa dipakai untuk menjelaskan atau memperkuat

argumen-argumen yang sebelumnya sudah disampaika, atau mencatat masalah-

masalah yang diperkirankan mudah dilupakan.

c. Nota Resmi Orang Pertama

Suatu pendekatan resmi kepada menteri luar negeri (oleh kepala misi) ata

kepada petugas kementerian luar negeri (oleh seorang anggota staf diplomatik) ialah

nota dari orang pertama ke orang kedua.

o Nota Kolektif

Suatu komunikasi tertulis yang diajukan dan ditandatangani bersama ataupun yang erat

kaitannya dengan kerja sama politik mereka dan ditujukan kepada negara yang berdiri

di luar persekutuan atau kerja sama mera yang dilakukan antara suatu negara kepada

beberapa negara lainnya.

o Nota Identik

Bila kedua negara atau lebih mengajukan sesuatu kepada negara ketiga, menyampaikan

nota yang sama bunyinya, tetapi masing-masing menandatanganinya.

o Memorandum

Suatu pernyataan tertulis antarpemerintah, ataupun suatu kementerian Luar Negeri

kepada perwakilan diplomatik dan sebaliknya. Memorandum dikirim dengan tidak

ditandatangani oleh menteri luar negeri.

o Aide memoire

Bukti tertulis secara informal dari suatu pembicaraan diplomatik (diplomatic interview),

atu catatan tidak resmi dari suatu percakapan antara menteri luar negeri dengan

Page 14: Hukum & Korespondensi Diplo

seorang duta asing. Catatan seperti ini lazimnya diserahkan oleh sang duta besar

kepada menteri luar negeri atau sebaliknya saat ia masih berada di Departemen Luar

Negeri. Manfaatnya ialah untuk membantu mengingatkan ‘aid to memory’ mengenai

hal-hal yang telah mereka bicarakan.

o dll

2. Surat Kuasa (Full Power)

Full Power adalah kuasa penuh atau on behalf merupakan salah satu kaidah hukum

internasional yang menganggap tidak semua warga negara dapat mewakili suatu Negara

dalam pembuatan hingga pengesahan perjanjian, karena hanya terdapat beberapa orang

dengan jabatan (amtenar) kenegaraanya yang mendapatkan kuasa yang utuh untuk

mewakili negaranya.

Full Power telah lama dikenal sejak kerajaan Romawi, pada saat itu dikenal dengan

sebutan plena potentas yang digunakan untuk melakukan transaksi-transaksi yang bersifat

hokum, yang diberikan secara langsung kepada Duta Besar.

Full power sebagaimana UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24

TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL : Surat Kuasa (Full Powers) adalah

surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu

atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk menandatangani

atau menerima naskah perjanjian, menyatakan persetujuan negara untuk mengikatkan diri

pada perjanjian, dan/atau menyelesaikan hal-hal lain yang diperlukan dalam pembuatan

perjanjian internasional.

Page 15: Hukum & Korespondensi Diplo

Kusa Penuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Konfrensi Wina 1969 :

▬ Seseorang dianggap mewakili sesuatu Negara dengan maksud untuk mengesahkan atau

mengotentifikasi naskah dari suatu perjanjian atau dengan maksud untuk menyatakan

kesepakatan dari suatu Negara untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian jika : Ia

memberikan surat kuasa penuh selayaknya; atau

Nampaknya dari praktek Negara-negara yang bersangkutan atau dari lingkungan-

lingkungan lainnya, maksud mereka itu adalah menganggap bahwa seseorang yang mewakili

Negara untuk maksud-maksud semacam itu dan melepaskan surat kuasa penuh.

Selanjutnya Pasal 8 Konfrensi Wina 1969, pada intinya menyatakan Nilai default

(kebiasaan Internasional yang dikodifikasikan) mereka yang mendapatkan kuasa penuh

untuk mewakili Negara adalah :

Kepala-kepala Negara, Kepala-kepala pemerintahan dan para mentri luar negeri,

dengan maksud untuk melaksanakan semua tindakan yang berhubungan dengan

pembuatan perjanjian

Kepala-kepala perwakilan diplomatic dengan maksud untuk mengesahkan naskah

suatu perjanjian antara Negara yang memberikan akreditasi dan Negara dimana

mereka diakreditasikan;

Wakil-wakil yang diakreditasikan oleh Negara-negara pada suatu konferensi

internasional atau organisasi internasional, atau salah satu badannya, dengan

maksud untuk mengesahkan naskah dari suatu perjanjian di konfrensi, organisasi

atau badan tersebut.

Page 16: Hukum & Korespondensi Diplo

3. Letter of Intent MoU Sister City dan Sister Province

Selalu digunakan dalam perjanjian yang tidak mengikat, yang berisikan komitmen

yang tidak mengikat. Indonesia selalu menggunakan bentuk ini dalam perencanaan

kerjasama “sister city/sister provinces”. Sebelum para pihak mengikatkan diri pada MoU

Pembentukan Sister City/Provinces, mereka selalu menuangkan komitmennya dalam bentuk

Letter of Intent. Bentuk ini digunakan juga dalam perjanjian yang mengikat komitmen para

pihaknya. Contoh: The Letter of Intent between Indonesia and (negara tertentu) Donors /

IMF concerning debt agreement.

Dalam Kerjasama yang dilakukan melibatkan pemerintah daerah, terdapat dua

macam perjanjian yang dapat digunakan yaitu; perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah

Daerah, seperti Sister City/Sister Province Agreement, dan perjanjian yang dibuat oleh

Pemerintah Pusat yang berkaitan dengan kepentingan Pemerintah Daerah seperti

Exchange of Notes 2000 and 2001 RI-Japan concerning Human Resources on fisheries and

Rural Water Supply in Sulawesi, Agreement RI-Singapore on Water Supply from Kepulauan

Riau to Singapore.

Penjelasan mengenai jenis perjanjian di atas mengemukakan bahwa jenis kerjasama

pertama adalah Perjanjian Internasional yang dibentuk oleh Pemerintah Walikota Surabaya,

Tri Rismaharini, dan Wakil Walikota Varna, Hristo Bozov, menandatangani Memorandum of

Understanding (MOU) Kerjasama Sister City Surabaya-Varna di Surabaya, tanggal 1

Desember 2010, disaksikan oleh Dubes RI untuk Republik Bulgaria, Immanuel Robert

Inkiriwang. Dengan demikian, penandatanganan MOU tersebut menggenapi

Page 17: Hukum & Korespondensi Diplo

penandatanganan Letter of Intent (LOI) Sister City kedua kota di Varna, Bulgaria, 24

Nopember 2009.

Dasar hukum kewenangan pemerintah daerah untuk melakukan kerjasama

internasional diungkapkan di dalam UU No. 22 / 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU

No. 32 / 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan. Di mana di dalam UU No 22 / 1999 tertulis

sebagai berikut, “Daerah dapat mengadakan kerjasama yang saling menguntungkan dengan

lembaga/badan luar negeri….”. Sementara di dalam UU No. 32 / 2004UU No. 32/2004

kewenangan pemerintah daerah untuk melakukan kerjasama internasional dikemukakan

dalam rumusan pasal sebagai berikut “DPRD mempunyai tugas dan wewenang memberikan

pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian

internasional di daerah dan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang

dilakukan oleh pemerintah daerah.” Rumusan pasal ini membedakan pengertian Kerjasama

Internasional dan Perjanjian Internasional.

Page 18: Hukum & Korespondensi Diplo

HUKUM DIPLOMATIK DAN KORESPONDEN

“Modalitas Hubungan Diplomatik”

Oleh :

SYARIF HUSEIN (151080198)

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”

Yogyakarta

2012