70
HUBUNGAN TINGKAT KECUKUPAN PROTEIN DAN ZAT BESI (Fe) DENGAN KADAR HEMOGLOBIN IBU HAMIL DI KOTA BOGOR ERDI HUMEID DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

HUBUNGAN TINGKAT KECUKUPAN PROTEIN DAN ZAT BESI … · s. ebanyak 7. 7.8% contoh tidak menderita anemia, 22.2% menderita anemia tingkat ringan, serta tidak ada yang menderita anemia

Embed Size (px)

Citation preview

HUBUNGAN TINGKAT KECUKUPAN PROTEIN

DAN ZAT BESI (Fe) DENGAN KADAR HEMOGLOBIN IBU HAMIL

DI KOTA BOGOR

ERDI HUMEID

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

ABSTRACT

ERDI HUMEID. Relationship Between %RDA of Protein and Iron with

Levels of Hemoglobin at Pregnant Mother in Bogor City. Supervised by

SITI MADANIJAH and YEKTI HARTATI EFFENDI

Levels of hemoglobin is one of the most common indicator used to

determine the status of iron deficiency anemia, which is closely related by intake

of protein and iron that increased and must be adequate during pregnancy.

The aim of study was to explain relationship between %RDA of protein and iron

with levels of hemoglobin at pregnant mother in Bogor City. The design of

this study was cross-sectional study, and the number of samples were

45 pregnant women. The result of the research show that the anemia prevalence

was 22.2%. Consumption of animal foods as a source of iron was still low

(60.3 g) it might for 68.8% of the samples had inadequate iron. Intake of

vitamin C as a enhancer of iron bioavailability was 27.0 mg. This study has

shown that intake of heme iron (6.9 mg) was lower than the non-heme iron

(10.4 mg). Most of sample on group anemia and non anemia has %RDA

of energy and protein as a deficit level of heavy and then %RDA of vitamin A,

vitamin C, folic acid, and iron as a deficit. Results test correlation show there is

no relation between %RDA of protein and iron with levels of hemoglobin (p>0.05)

Key words: hemoglobin, anemia, pregnant mother, %RDA of Nutrients.

RINGKASAN

ERDI HUMEID. Hubungan Tingkat Kecukupan Protein dan Zat Besi (Fe) dengan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil di Kota Bogor. Di bawah bimbingan SITI MADANIJAH dan YEKTI HARTATI EFFENDI

Kadar hemoglobin merupakan salah satu indikator paling umum yang

digunakan dalam penentuan status anemia defisiensi zat besi yang sangat erat kaitannya dengan asupan protein dan zat besi yang meningkat dan harus tercukupi selama masa kehamilan. Tujuan umum penelitian ini untuk menjelaskan hubungan tingkat kecukupan protein dan zat besi dengan kadar hemoglobin Ibu hamil di Kota Bogor yang bertujuan khusus untuk mengetahui: (1) status anemia, prevalensi anemia dan status gizi ibu hamil di wilayah penelitian; (2) karakteristik contoh berdasarkan umur, besar keluarga, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan dengan status anemia; (3) kebiasaan konsumsi pangan, asupan zat gizi serta tingkat kecukupan zat gizi contoh, serta (4) menganalisis hubungan karakteristik contoh dan keluarga, nilai LILA, tingkat kecukupan energi, protein dan zat besi dengan kadar Hb.

Penelitian ini menggunakan sebagian data dasar Studi tentang Status Gizi dan Pola Makan pada Wanita Pra-Hamil (Usia Subur), Ibu Hamil, dan Menyusui yang telah dilakukan oleh SEAFAST Center IPB menggunakan data konsumsi pangan (recall 2X24 jam dan kuesioner frekuensi pangan (FFQ). Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Lokasi penelitian di Kota Bogor, meliputi enam kecamatan (Kecamatan Bogor Utara, Selatan, Barat, Timur, Tengah, dan Tanah Serial. Contoh adalah 45 ibu hamil yang bermukim di enam kecamatan di Kota Bogor dengan kriteria meliputi (1) umur 20-40 tahun, (2) usia kehamilan trimester II (3-6 bulan), (3) pengeluaran rumah tangga berada pada kuintil-2, 3 dan 4.(Kuintil-2 Rp. 253.875- Rp.330.787), (kuintil-3 Rp.332.781-Rp.430.137), (kuintil-4 Rp.432.210-Rp.618.983) (SUSENAS 2009). Kemudian contoh diambil darahnya untuk dilakukan analisis kadar hemoglobin. Sebelum contoh diambil darahnya dikenakan kriteria sehat dinyatakan oleh dokter setelah dilakukan pemeriksaan klinis.

Data yang dikumpulkan meliputi data karakteristik contoh dan keluarga, antropometri, konsumsi makanan, kebiasaan makan, pemeriksaan klinis, serta data status besi (hemoglobin). Semua data dimasukkan dan diolah menggunakan program Microsoft Excel kemudian dianalis secara deskritpif. Selanjutnya dilakukan analisis secara inferensia dengan uji korelasi pearson menggunakan SPSS 16.0 for windows

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa sebanyak 77.8% contoh tidak menderita anemia, 22.2% menderita anemia tingkat ringan, serta tidak ada yang menderita anemia tingkat berat. Prevalensi anemia ibu hamil di wilayah penelitian sebesar 22,2%. Sebanyak 80.0% dari keseluruhan contoh tidak menderita KEK. Karakteristik Ibu hamil trimester ke II yang dikelompokan dalam dua kelompok (10 orang, 22.2%) anemia dan (35 orang, 77.8%) tidak anemia menunjukkan secara umum 55.6% dari keseluruhan contoh berumur antara 20.0-29.0 tahun dengan rata-rata umur 29.0 tahun. Sebanyak 40.0% contoh dari keseluruhan berpendidikan SMA/sederajat namun terlihat sebanyak 80.0% contoh pada kelompok anemia berpendidikan SD/sederajat hingga SMP/sederajat. Secara umum 48.9% suami contoh berpendidikan SMA/sederajat. Sebanyak 86.7% dari keseluruhan berstatus tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga. Seluruh suami contoh baik pada kelompok anemia maupun tidak anemia berstatus bekerja. Secara umum 66.7% dari keseluruhan contoh

tergolong keluarga kecil (≤4orang). Seluruh keluarga contoh memiliki rata-rata total pendapatan Rp.1.606.444 per bulan dan rata-rata pendapatan/kapita/bulan Rp.388.813. Secara keseluruhan 84.5% keluarga contoh berstatus keluarga tidak miskin.

Konsumsi pangan contoh didominasi oleh serealia dan pangan nabati beserta olahannya yang ditunjukkan dengan rata-rata konsumsi serealia sebesar 487 g dengan frekuensi konsumsi 3-4. kali sehari dan konsumsi pangan nabati sebanyak 99.5 g per hari dengan frekuensi konsumsi sebanyak 3-4 kali sehari. Rata-rata asupan protein nabati dan zat besi non heme dari pangan nabati sebesar 32.6 g dan 10.4 mg per hari. Konsumsi pangan hewani sebagai sumber protein hewani dan zat besi heme masih sedikit dikonsumsi oleh contoh yaitu sebesar 60.3 g dengan frekuensi konsumsi antara 1-2 kali seminggu dengan rata-rata asupan protein hewani dan zat besi heme sebesar 17.3 g dan 6.9 mg per hari. Konsumsi serealia, pangan hewani, pangan nabati, sayur dan buah masih lebih rendah dibandingkan dengan ketetapan yang sudah ada. Rata-rata asupan contoh sebesar 1545.0 kkal energi, 49.9 g protein, 579.0 RE vitamin A, 27.0 mg vitamin C, 187.0 µg asam folat , 12 mg seng, dan 17.3 mg zat besi. Hampir separuh (44.0%) contoh memiliki tingkat kecukupan energi defisit tingkat berat (TKE <70% AKE), 46.7% contoh memilki tingkat kecukupan protein defisit tingkat berat (TKP <70% AKP), 66.4% contoh kurang vitamin A, 91.1% contoh kuang vitamin C dan 95.5% contoh kurang asam folat, dan 68.8% contoh kurang zat besi (TKG <77%AKG).

Uji korelasi pearson menunjukkan karakteristik contoh dan keluarga, tingkat kecukupan energi, protein dan zat besi tidak berhubungan dengan kadar hemoglobin (p>0.05) melainkan nilai LILA yang berhubungan kadar hemoglobin (p<0.05)

HUBUNGAN TINGKAT KECUKUPAN PROTEIN

DAN ZAT BESI (Fe) DENGAN KADAR HEMOGLOBIN IBU HAMIL

DI KOTA BOGOR

ERDI HUMEID

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013

Judul Skripsi : Hubungan Tingkat Kecukupan Protein dan Zat Besi (Fe)

dengan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil di Kota Bogor

Nama Mahasiswa : Erdi Humeid

NIM : I14080072

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS dr. Yekti Hartati Effendi, S. Ked

NIP. 1949 1130 197 603 2001 NIP. 1947 1029 197 901 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS

NIP 19621218 198703 1 001 Tanggal lulus :

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas

rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang

menjadi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi. Skripsi ini berjudul

“Hubungan Tingkat Kecukupan Protein dan Zat Besi (Fe) dengan Kadar

Hemoglobin Ibu Hamil di Kota Bogor” untuk mengetahui tingkat kecukupan gizi

ibu hamil di Kota Bogor yang utamanya adalah protein dan zat besi.

Penulis ucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS

dan dr. Yekti Hartati Effendi, S.Ked selaku dosen pembimbing skripsi atas

bimbingan dan arahannya sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai dengan

baik. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua yang

selalu memberikan do’a dan dukungan, serta teman-teman yang telah memberi

bantuan dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi

ini.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan

masyarakat umumnya serta dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan

ilmu pengetahuan. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak

kekurangan oleh karena itu penulis membutuhkan saran dan kritikan dari

berbagai pihak untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini.

Bogor, Januari 2013

Erdi Humeid

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan dan dibesarkan di Jakarta pada tanggal 26 Juni 1990.

Penulis merupakan anak ke-dua pasangan Bapak Entje Rahman dan Ibu Siti

Rokayah. Pendidikan formal yang pertama kali ditempuh penulis adalah Taman

Kanak-kanak di TK Yayasan Rumah Kita, Jakarta Pusat pada tahun

(1995-1996). Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar

(SD) Republica de Venezuela, Jakarta Pusat, selama enam tahun (1996-2002).

Setelah itu penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri

(SMPN) 1 Jakarta, Jakarta Pusat selama tiga tahun (2002-2005). Kemudian

Penulis diterima di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 3 Jakarta pada tahun

2005. Setelah lulus pada tahun 2008, penulis diterima di Departemen Gizi

Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB melalui jalur Undangan

Seleksi Masuk (USMI) IPB.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam tim asisten praktikum

mata kuliah biokimia gizi dan metabolisme zat gizi tahun 2010-2012 menjabat

sebagai ketua koordinator asisten, sempat menjabat sebagai staff Divisi

Biro Pelaksana Harian Organisasi Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fema

IPB 2010, Ketua Divisi Humas Organisasi Himpunan Pelajar dan Mahasiswa

Bogor (HPMB) 2011, Penanggungjawab Anggota Kelompok (PAK) pada acara

Masa Perkenalan Fakultas Ekologi Manusia 2010, ketua koordinator mahasiswa

Kuliah Kerja Profesi (KKP) wilayah Kalimantan Selatan bekerja sama dengan

PT Arutmin Indonesia 2011, staff Divisi Logistik dan Transportasi pada Seminar

Nasional SENZASIONAL 2011, melaksanakan Internship Dietetik di RSUD Ciawi

2012, Ketua delegasi IPB sekaligus penyaji hasil karya tulis ilmiah dalam

kegiatan Aceh Development International Conference di International Islamic

University Malaysia, Gombak, Kuala Lumpur, Malaysia 2012. Penulis aktif di

bidang penelitian dan pengembangan minuman alga coklat dalam kegiatan PKM

2012, dan sebagai asisten peneliti doctoral student of Tohoku University, Jepang,

dalam penelitian agribisnis di Kabupaten Cianjur 2012. Penulis juga mengikuti

seminar-seminar yang diadakan di kampus untuk menambah pengetahuan dan

pengalaman.

UCAPAN TERIMA KASIH

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, sehingga

penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Hubungan Tingkat

Kecukupan Protein dan Zat Besi (Fe) dengan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil di

Kota Bogor” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

pada Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,

Institut Pertanian Bogor.

Keberhasilan penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini tidak luput dari

bantuan banyak pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS dan dr. Yekti Hartati Effendi, S.Ked sebagai

dosen pembimbing yang selalu menyediakan waktu untuk memberikan

bimbingan, motivasi, nasihat, dan arahan selama penyusunan skripsi.

2. Dr. Ir. Budi Setiawan, MS selaku Ketua Departemen Gizi Masyarakat,

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

3. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN sebagai dosen pemandu seminar dan dosen

penguji yang memberikan saran dan masukan yang berharga baik pada

waktu seminar maupun pada waktu sidang.

4. Para pembahas materi seminar (Tunggul Waloya, Yulmiaris Dwi Okto Putri,

Mely Choirul Nurfitri dan Saumi Lil Hairi)

5. Yayasan Supersemar yang telah memberikan beasiswa selama penulis

menempuh pendidikan.

6. Orang tua tercinta, Bapak Entje Rahman dan Ibu Siti Rokayah, serta kakak

ku, Wira Rahmanda, SE dan Angietha Putri Prameswari, SE yang selalu

mencurahkan kasih sayang, senantiasa berdoa, memberikan nasihat,

dukungan moral maupun materil, motivasi, pengertian, kesabaran, dan

perhatian yang tiada henti untuk diberikan kepada penulis.

7. Semua pihak yang tidak disebutkan namanya dalam kesempatan ini, namun

tidak mengurangi rasa terima kasih penulis atas kerja sama dan bantuannya

dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan yang telah diberikan

oleh semua pihak kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.

i

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ....... .. .................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR ..... ................................................................................... iii

DAFTAR LAMPIRAN . . ................................................................................... iv

PENDAHULUAN...... ... .................................................................................... 1 Latar belakang ................................................................................... 1

Tujuan ....... .... .................................................................................... 2

Hipotesis.............................................................................................. 3

Kegunaan penelitian .......................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 4 Anemia gizi besi pada ibu hamil ........................................................ 4

Penilaian status gizi besi................................................... ................. 8

Status gizi ibu hamil...........................................................................10

Konsumsi pangan ibu hamil...............................................................11

Angka dan tingkat kecukupan gizi ibu hamil.......................................16

KERANGKA PEMIKIRAN ................................................... ....................……18

METODE PENELITIAN……………………………………………… ....... ………20

Desain, tempat, dan waktu penelitian .............................................. 20

Jumlah dan cara penarikan contoh………………………………… .... 20

Jenis dan cara pengumpulan data ................................................... 21

Pengolahan dan analisis data ......................................................... 23

Definisi operasional ......................................................................... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………………… ………27 Status anemia, prevalensi anemia dan status gizi ........................... 27

Karakteristik contoh dan keluarga………………… .......................... 29

Kebiasaan konsumsi pangan contoh ............................................... 34

Asupan dan tingkat kecukupan zat gizi contoh ................................ 39

Hubungan karakteristik contoh dan keluarga dengan kadar Hb....... 44

Hubungan nilai LILA dengan kadar Hb ............................................ 45

Hubungan TKE, TKP dan TKFe dengan kadar Hb .......................... 46

KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………………… ... ……49 Kesimpulan....................................................................................... 49

Saran………………………………… ................................................ 50

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................51

LAMPIRAN...................................................................................................... 56

ii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Nilai cut off Hemoglobin ................................................................. 10 Tabel 2 Kategori tingkatan status anemia. .................................................. 10 Tabel 3 Rentang pengeluaran keluarga pada kuintil 1-5 (SUSENAS 2009) .......................................................................... 20 Tabel 4 Jenis peubah dan cara pengumpulan data .................................... 22 Tabel 5 Jenis, kategori dan pengelompokan serta pengolahan data ............................................................................................... 24 Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan tingkatan status anemia .................. 27 Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan status gizi dan status anemia .......................................................................................... 28 Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan umur dan status anemia ................. 29 Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan dan status anemia ................................................................................ 30 Tabel 10 Sebaran suami contoh berdasarkan tingkat pendidikan dan status anemia ........................................................................ 31 Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan status pekerjaan dan status anemia ................................................................................ 31 Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan status pekerjaan suami dan status anemia contoh ............................................................. 31 Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga dan status anemia ................................................................................ 32 Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan besar pendapatan/kapita/bulan dan status anemia ................................. 33 Tabel 15 Konsumsi pangan contoh .............................................................. 35 Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan konsumsi berbagai kelompok pangan ........................................................... 37 Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan konsumsi suplemen ...................................................................................... 38 Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan minum teh dan kopi ........................................................................................ 39 Tabel 19 Asupan dan tingkat kecukupan zat gizi contoh .............................. 39 Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan TKG dan status anemia .................. 40

iii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran hubungan tingkat kecukupan protein dan zat besi (Fe) dengan kadar hemoglobin ibu hamil di Kota Bogor.......................................................................19

iv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Hasil uji hubungan antar peubah dengan kadar hemoglobin ............................................................................... 56

1

PENDAHULUAN

Latar belakang

Suatu bangsa dalam menghadapi pasar persaingan bebas di era

globalisasi diperlukan sumberdaya manusia yang berkualitas. Pembentukan

sumberdaya manusia yang berkualitas dipengaruhi oleh banyak faktor.

Gizi merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam pembentukan

kualitas sumberdaya manusia. Masalah gizi akan berdampak negatif pada

sumberdaya manusia dan selanjutnya akan berpengaruh negatif terhadap

perekonomian nasional (Depkes 2005).

Salah satu masalah gizi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia

adalah anemia pada masa kehamilan. Kehamilan merupakan hal yang

diharapkan oleh setiap calon ibu. Namun pada kenyataannya ibu hamil

merupakan salah satu kelompok yang paling rawan terhadap masalah pangan

dan gizi (Rimbawan et al 2004). Masalah gizi di Indonesia yang dialami oleh ibu

hamil sebelum atau selama masa kehamilan dapat mempengaruhi pertumbuhan

janin yang sedang dikandung. Oleh karena itu diperlukan persiapan yang baik,

sehingga kualitas bayi yang akan dilahirkan juga baik (Khomsan 2000).

Menurut WHO, yang diacu dalam Aritonang (2010) menyatakan bahwa

prevalensi anemia secara global pada ibu hamil tahun 2000 sebesar 51.0%,

di Indonesia 40.1% pada tahun 2001 (SKRT 2004), di Jawa Barat 51.7% pada

tahun 2002 (Dinkes Jabar 2003) serta di Kota Bogor sebesar 40.4% pada tahun

2002 (Darlina & Hardinsyah 2003). WHO (2001) menyatakan bahwa prevalensi

anemia >20% menunjukkan adanya masalah kesehatan masyarakat.

Anemia merupakan salah satu gangguan yang paling sering terjadi

selama kehamilan dengan kondisi kadar hemoglobin darah yang lebih rendah

atau di bawah normal (Hb <11g/dL) (Wirakusumah 1998). Anemia secara

fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa sel darah merah

(eritrosit) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen

dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (Bakta 2006). Anemia bisa

disebabkan karena defisiensi zat gizi, kehilangan darah, atau adanya hemolisis

yang berlebihan (Fatmah 2007). UNICEF (1998) menyebutkan bahwa penyebab

lain anemia adalah infeksi akut dan kronis seperti malaria, HIV, serta diare

kronis.

2

Anemia yang disebabkan karena defisiensi zat gizi (anemia gizi)

merupakan jenis anemia yang paling sering terjadi (Fatmah 2007). Sebagian

besar anemia gizi disebabkan oleh defisiensi besi, tetapi beberapa studi juga

menyatakan bahwa defisiensi zat gizi mikro lainnya seperti protein, asam folat,

vitamin A, vitamin C, dan vitamin B1, B3, B6, B9, B12 dapat menyebabkan

anemia gizi. Berbagai vitamin dan zat gizi mikro tersebut berperan dalam

penyerapan besi dan pematangan sel darah merah (eritropoiesis)

(Marcia et.al 2010). Anemia pada ibu hamil menurut Cheryl (1996) dalam Darlina

2003) disebabkan karena penurunan kadar haemoglobin (Hb) dan hematokrit

(Ht) pada trimester 1 dan 2 sebagai akibat peningkatan volume plasma darah

yang terjadi lebih dahulu dibandingkan produksi sel darah merah.

Menurut Muslimatun et.al (2000) anemia selama masa kehamilan

dapat mengakibatkan ibu melahirkan bayi lahir prematur, bayi lahir dengan Berat

Badan Lahir Rendah (BBLR), pendarahan pada saat melahirkan sampai dengan

kematian ibu. Pernyataan itu didukung oleh Allen et.al (2000) yang menyatakan

rendahnya kadar hemoglobin yang terus menerus terjadi selama masa

kehamilan berisiko ibu melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR).

Meskipun berbagai program telah dilakukan untuk menanggulanginya tetapi

nampaknya angka prevalensi tidak mengalami penurunan secara bermakna.

Masih cukup tingginya prevalensi anemia di Kota Bogor menjadi salah satu

alasan penelitian ini dilaksanakan.

Tujuan

Tujuan Umum

Menjelaskan hubungan tingkat kecukupan protein dan zat besi (Fe)

dengan kadar hemoglobin ibu hamil di Kota Bogor.

Tujuan Khusus

1. Mengetahui status anemia, prevalensi anemia dan status gizi pada ibu

hamil di wilayah penelitian.

2. Mengetahui karakteristik contoh dan keluarga berdasarkan sebaran

status anemia.

3. Mengetahui kebiasaan konsumsi pangan, asupan zat gizi serta tingkat

kecukupan gizi contoh.

3

4. Menganalisis hubungan karakteristik contoh dan keluarga dengan kadar

hemogobin.

5. Menganalisis hubungan nilai LILA dengan kadar hemogobin.

6. Menganalisis hubungan tingkat kecukupan energi, protein dan zat besi

(Fe) dengan kadar hemoglobin.

Hipotesis

Ada hubungan tingkat kecukupan protein dan zat besi (Fe) dengan kadar

hemoglobin ibu hamil di Kota Bogor.

Kegunaan Penelitian

Memberikan informasi mengenai hubungan tingkat kecukupan protein,

dan zat besi (Fe) dengan kadar hemoglobin ibu hamil di Kota Bogor guna

memberikan masukan kepada pelaksana dan penanggung jawab program

gizi masyarakat Dinas Kesehatan Kota Bogor atau Pemerintah Daerah Kota

Bogor untuk dijadikan pedoman pembuatan kebijakan dalam pencegahan dan

penanganan anemia pada ibu hamil, sehingga angka prevalensi anemia ibu

hamil di Kota Bogor dapat terus diturunkan, dengan harapan akan meningkatnya

kesejahteraan ibu dan anak sebagai sumberdaya pembangunan bangsa

Indonesia.

4

TINJAUAN PUSTAKA

Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil

Kehamilan merupakan hal yang diharapkan oleh setiap calon ibu. Namun

pada kenyataannya ibu hamil merupakan salah satu kelompok yang paling

rawan terhadap masalah pangan dan gizi (Rimbawan et al 2004). Kekurangan

gizi pada ibu hamil mempunyai dampak yang cukup besar terhadap proses

pertumbuhan janin dan anak yang akan dilahirkan. Kehamilan yang disertai oleh

penyakit atau kondisi seperti diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, usia

remaja, dan vegetarian merupakan kehamilan berisiko tinggi.

Pengertian Anemia

Anemia adalah suatu keadaan dengan kadar hemoglobin yang lebih

rendah dari nilai normal (Hb < 11g/dL) (Wirakusumah 1998). Anemia bisa juga

berarti suatu kondisi ketika terdapat defisiensi ukuran / jumlah eritrosit atau

kandungan hemoglobin. Anemia tidak pernah menjadi sebab utama dari suatu

penyakit. Biasanya anemia selalu menjadi akibat sampingan dari keadaan

patologis atau penyakit tertentu. Semakin rendah kadar Hb maka anemia yang

diderita makin berat (Wirakusumah 1998). Pada ibu hamil peningkatan volume

plasma darah terjadi lebih dahulu dibandingkan produksi sel darah

merah menyebabkan penurunan kadar Hb dan hematokrit pada trimester 1 dan 2

sedangkan pembentukan sel darah merah terjadi pada pertengahan akhir

kehamilan sehingga konsentrasi mulai meningkat pada trimester 3 kehamilan

(Cheryl 1996 diacu dalam Darlina 2003).

Klasifikasi anemia

Menurut Wirakusumah (1998), anemia secara morfologis dapat

diklasifikasikan menurut ukuran sel dan hemoglobin yang dikandung seperti

berikut. (1) Makrositik, (2) Mikrositik, dan (3) Normositik. Pada anemia makrositik

ukuran sel darah merah bertambah besar dan jumlah hemoglobin tiap sel juga

bertambah. Ada dua jenis anemia makrositik, yaitu anemia megaloblastik dan

anemia non megaloblastik. Kekurangan vitamin B12, asam folat, atau gangguan

sintesis DNA merupakan penyebab anemia megaloblastik. Sedangkan anemia

non megaloblastik disebabkan oleh eritropoiesis yang dipercepat dan

peningkatan luas permukaan membran.

5

Anemia mikrositik adalah anemia yang disebabkan oleh mengecilnya

ukuran sel darah merah merupakan salah satu tanda anemia mikrositik.

Penyebabnya adalah defisiensi besi, gangguan sintesis globin, porfirin, dan

heme, serta gangguan metabolisme besi lainnya. Sedangkan pada anemia

normositik ukuran sel darah merah tidak berubah. Penyebab anemia jenis ini

adalah kehilangan darah yang parah, meningkatnya volume plasma secara

berlebihan, penyakit, penyakit hemolitik, gangguan endokrin, ginjal, dan hati.

Sebagian besar anemia di Indonesia disebabkan karena kekurangan zat

besi (Fe) sehingga disebut Anemia Gizi Besi. Anemia gizi besi adalah anemia

yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah. Artinya, konsentrasi

hemoglobin dalam darah berkurang karena terganggunya pembentukan sel-sel

darah merah akibat kurangnya kadar zat besi dalam darah. Semakin berat

kekurangan zat besi yang terjadi akan semakin berat pula anemia yang diderita

(Wirakusumah 1998). Anemia defisiensi gizi besi merupakan masalah kesehatan

masyarakat yang serius. WHO (2001) memperkirakan sekitar 40.0% penduduk

dunia terkena anemia defisiensi zat besi. Prevalensi tertinggi anemia pada ibu

hamil secara global tahun 2000 sebesar 51.0% (Aritonang 2010), di Indonesia

sebesar 40.1% pada tahun 2001 (SKRT 2004), di Jawa Barat sebesar 51.7%

pada tahun 2002 (Dinkes Jabar 2003) serta prevalensi anemia ibu hamil di Kota

Bogor tahun 2002 sebesar 40.4.0% (Darlina & Hardinsyah 2003). WHO (2001)

menyatakan bahwa prevalensi anemia >20% menunjukkan anemia masih

menjadi masalah kesehatan masyarakat.

Penyebab Umum Anemia Gizi Besi

Zat gizi yang paling berperan dalam proses terjadinya anemia gizi besi

adalah zat besi. Defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia gizi

dibanding defisiensi zat gizi lain, seperti asam folat, vitamin B12, protein, vitamin,

dan trace elements lainnya. Itulah sebabnya anemia gizi sering diidentikkan

dengan anemia gizi besi. Wirakusumah (1998) menyatakan secara umum, faktor

utama yang menyebabkan anemia gizi besi adalah;

1. Kurangnya konsumsi zat besi dan zat gizi lainnya yang berasal dari makanan

terkait proses pembentukan sel darah merah. Apabila zat-zat gizi tersebut

tidak terpenuhi kecukupannya berdampak terhadap kurangnya prosuksi sel

darah merah dalam tubuh sehingga mengakibatkan anemia.

6

2. Tidak terpenuhinya kebutuhan zat besi selama masa kehamilan sebab

rendahnya absorpsi zat besi yang ada dalam makanan ke dalam tubuh.

Pangan protein nabati sebagai sumber zat besi non heme memiliki

penyerapan yang lebih rendah dibandingkan dengan pangan protein hewani

sebagi sumber zat besi heme. Zat besi non heme harus dibantu

penyerapannya dengan vitamin C. Oleh karena itu tingkat kecukupan

vitamin C harus terpenuhi tingkat kecukupannya agar penyerapannya optimal

dan terhindar dari anemia.

3. Pendarahan mengakibatkan tubuh kehilangan banyak sel darah merah.

Pendarahan dapat terjadi secara mendadak dan dalam jumlah banyak yang

bisa disebut pendarahan ekternal dan terjadi pada waktu kecelakaan. Selain

itu, pendarahan kronis juga dapat mengakibatkan kehilangan sel darah

merah dalam jumlah banyak. Yang dimaksud pendarahan kronis adalah

pendarahan yang sedikit demi sedikit, tetapi berlangsung secara terus

menerus. Pendarahan jenis ini dapat disebabkan oleh kanker saluran

pencernaan, wasir, atau peptik ulser.

4. Investasi cacing tambang pada masyarakat di daerah tertentu menyebabkan

banyak darah yang keluar, karena cacing tambang menghisap darah. Selain

itu, pada gadis remaja dan wanita dewasa, kehilangan darah dalam jumlah

banyak bisa terjadi akibat menstruasi.

Faktor lain yang berpengaruh pada kadar hemoglobin ibu hamil selain

dari konsumsi yaitu karena kehamilan berulang dalam waktu singkat, sehingga

cadangan zat gizi ibu yang sebenarnya belum pulih akhirnya terkuras untuk

keperluan janin yang dikandung berikutnya (Khomsan 2002). Berdasarkan

Laporan SKRT (1985-1986) dalam Wijianto (2002) bahwa semakin rendah

jumlah paritas, maka semakin rendah angka prevalensi anemia. Selain itu, usia

ibu pada saat hamil akan mempengaruhi timbulnya anemia. Umur seorang ibu

berkaitan dengan alat-alat reproduksi wanita. Sistem reproduksi wanita yang

sehat dan aman berada pada umur 20.0-35.0 tahun. Kehamilan pada umur

<20.0 tahun dan >35.0 tahun dapat menyebabkan anemia, karena kehamilan

pada umur <20.0 tahun secara biologis belum optimal, emosinya cenderung labil,

mentalnya belum matang sehingga mudah mengalami keguncangan yang

mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan zat-zat

gizi selama kehamilannya. Sedangkan jika berumur >35 tahun terkait dengan

7

kemunduran dan penurunan daya tahan tubuh serta berbagai penyakit yang

sering menimpa pada umur itu (Manuaba 1999). Apabila zat gizi yang dibutuhkan

tidak terpenuhi maka akan terjadi kompetisi zat gizi antara ibu dengan bayinya

(Wijianto 2002).

Ibu dengan pendidikan tinggi cenderung lebih memperhatikan kesehatan

diri dan keluarganya. Sebaliknya ibu dengan tingkat pendidikan yang rendah

menyebabkan kurangnya perhatian mereka akan bahaya yang dapat menimpa

ibu hamil ataupun bayinya. Menurut Suhardjo (1989) dalam Permatahati (2012)

menyatakan bahwa orang yang berpendidikan tinggi biasanya akan memilih

untuk mengonsumsi makanan yang bernilai gizi tinggi sehingga kebutuhan gizi

tetap terpenuhi. Pendidikan formal sangat penting dalam menentukan status gizi

keluarga. Kemampuan baca tulis di pedesaan akan membantu dalam

memperlancar komunikasi dan penerimaan informasi, dengan demikian informasi

tentang kesehatan akan lebih mudah diterima oleh keluarga. Tristiyanti (2006)

menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang dicapai seseorang mempunyai

hubungan nyata dengan prilaku gizi dari makanan yang dikonsumsinya.

Berat ringannya pekerjaan ibu juga akan mempengaruhi kondisi tubuh

dan pada akhirnya akan berpengaruh pada status kesehatannya. Menurut Junadi

(1998) dalam Permatahati (2012) ibu yang bekerja memiliki risiko anemia yang

lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja, hanya proporsinya

tergantung pada beban kerja yang dimilikinya. Wijianto (2002) menyatakan

bahwa ibu yang bekerja mempunyai kecenderungan kurang istirahat, konsumsi

makan yang tidak seimbang sehingga mempunyai resiko lebih besar untuk

menderita anemia dibandingkan ibu yang tidak bekerja.

Menurut Khumaidi (1989) dalam Tristiyanti (2006) status pekerjaan

biasanya erat hubungannya dengan pendapatan seseorang atau keluarga. Ibu

hamil yang tidak bekerja kemungkinan akan menderita anemia lebih besar

dibanding dengan yang bekerja. Hal ini kemungkinan disebabkan pada ibu yang

bekerja akan dapat menyediakan makanan terutama yang mengandung sumber

zat besi dalam jumlah yang cukup dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Biasanya

dengan meningkatnya pendapatan perorangan, maka terjadi perubahan-

perubahan dalam susunan makanan. Akan tetapi, pengeluaran uang yang lebih

banyak untuk pangan tidak menjamin konsumsi pangan akan lebih beragam.

Terkadang perubahan utama yang terjadi dalam kebiasaan makanan ialah

pangan yang dimakan lebih mahal (Suhardjo 1989). Menurut Sediaoetama

8

(1996) pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan

kuantitas makanan, sehingga terjadi hubungan yang erat antara pendapatan dan

gizi.

Dampak Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil

Wirakusumah (1998) menyatakan bahwa anemia gizi besi dapat

berakibat fatal bagi ibu hamil karena ibu hamil memerlukan banyak tenaga untuk

melahirkan. Ibu Hamil yang menderita anemia gizi besi tidak akan mampu

memenuhi kebutuhan zat-zat gizi bagi dirinya dan janin dalam kandungannya.

Oleh karena itu, keguguran, kematian bayi dalam kandungan, berat badan lahir

rendah, atau kelahiran prematur rawan terjadi pada ibu hamil yang menderita

anemia gizi besi.

Selain itu Depkes (1998) menyakatan anemia dalam kehamilan yang

tidak diterapi dapat mengakibatkan pengaruh buruk pada ibu, persalinan dan

janin. Pengaruh buruk bagi ibu antara lain (1) timbulnya gejala umum anemia

yaitu lesu, lemah, letih, lalai dan lunglai (5L), (2) pendarahan saat melahirkan, (3)

preeklampsi, (4) abortus, (5) kematian ibu dan (6) hipoksia akibat anemia dapat

menyebabkan syok dan kematian ibu pada persalinan sulit (Depkes 1998).

Muslimatun et.al (2000) menyatakan bahwa anemia pada masa kehamilah

berdampak ibu berisiko melahirkan bayi lahir prematur, bayi lahir dengan berat

badan lahir rendah (BBLR), atau bayi lahir dalam keadaan meninggal

Allen et al. (2000) juga menyatakan bahwa rendahnya kadar hemoglobin yang

terus menerus terjadi selama masa kehamilan berisiko ibu melahirkan bayi

dengan berat badan lahir rendah (BBLR).

Penilaian Status Gizi Besi

Perkembangan defisiensi besi terbagi atas tiga tahapan. Tahapan

defisiensi besi ini umumnya digunakan untuk menetapkan status besi di dalam

tubuh seseorang dan menunjukkan tingkatan defisiensi besi yang terjadi

(Briawan 2008). Tiga tahapan tersebut adalah perubahan besi pada simpanan,

defisiensi besi tanpa anemia, dan defisiensi besi dengan anemia (Gibson 2005).

Tahap pertama terjadi ketika terjadi penurunan yang bersifat progresif

simpanan besi di hati. Pada tahap ini, suplai besi ke dalam setiap bagian

fungsional tubuh tidak terpengaruh dan hemoglobin dalam keadaan normal.

Pada tahap ini, konsentrasi serum feritin menurun. Oleh karena itu, pengukuran

serum feritin dapat digunakan untuk mengindikasikan adanya defisiensi besi

tahap pertama (Gibson 2005).

9

Defisiensi tahap kedua ditunjukkan dengan habisnya cadangan besi dan

adanya penurunan suplai besi ke dalam sumsum tulang sehingga produksi sel

darah merah terganggu. Pada tahap ini juga terjadi penurunan kejenuhan

transferin, dan kenaikan konsentrasi eritrosit protoporfirin (Gibson 2005), serta

tingginya serum transferin reseptor (STfR) (WHO 2004 dalam Briawan 2008).

Kadar hemoglobin mungkin mulai menurun, tetapi umumnya tidak jauh dari

rentang normal (Gibson 2005).

Tahap ketiga merupakan tahap akhir dari defisiensi besi. Tahap ini

ditandai dengan habisnya simpanan besi, penurunan kadar besi dalam sirkulasi,

serta terjadi penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit. Penurunan kadar

hemoglobin dan hematokrit dapat dilihat dari ukuran sel darah yang lebih kecil

dari normal (mikrositik) dan warnanya lebih pucat (hipokromik). Kondisi ini

disebut sebagai anemia defisiensi besi dan sering disertai gejala-gejala terkait

anemia (Gibson 2005).

Indikator yang dapat digunakan untuk menilai status besi yaitu kadar

hemoglobin (Hb), serum transferin reseptor (STfR), serum feritin (SF), dan mean

cell volume (MCV). Kombinasi antara pengukuran Hb dan serum feritin (SF) akan

meningkatkan ketepatan dalam pengukuran status besi. Jika kedua indikator ini

menunjukkan normal, berarti tidak terjadi defisiensi besi. Jika SF rendah dan Hb

normal kemungkinan pada individu simpanan besinya berkurang (AISAP 2005

dalam Briawan 2008).

Penggunaan indikator serum feritin tidak dianjurkan pada populasi

dengan kemungkinan infeksi tinggi karena keadaan infeksi mempengaruhi kadar

serum feritin (WHO & CDC 2004 dalam Briawan 2008). Jika biaya menjadi

kendala dalam penelitian maka Indikator Hb dapat digunakan tanpa pengukuran

SF dan STfR (AISAP 2005 dalam Briawan 2008). Hemoglobin dapat digunakan

untuk mengukur status besi pada beberapa populasi. Pemilihan indikator

hemoglobin dengan alasan lebih sederhana dan membutuhkan biaya lebih

rendah dibandingkan indikator lain (Gibson 2005). Berdasarkan WHO dan CDC

(2004) dalam Briawan (2008), pengukuran kadar hemoglobin sangat penting

untuk mengetahui tingkat keparahan dari defisiensi besi.

Salah satu metode pengukuran kadar hemoglobin yang biasa dilakukan

yaitu metode Cyanmethemoglobin. Merupakan salah satu metode

untuk mengukur kadar hemoglobin menggunakan spektrofotometer

dengan prinsip hemoglobin yang ada pada sel darah merah diubah menjadi

10

cyanmenthemoglobin dengan larutan drabkin yang diukur pada

panjang gelombang 540 nm. Larutan drabkin berperan sebagai pengubah

semua derivat hemoglobin menjadi cyanmethemoglobin yang berwarna merah.

Tinggi rendahnya nilai absorbansi atau intensitas warna merah akan menentukan

kadar hemoglobin dari sampel. (Kee 2007). Tabel 1 berikut adalah cut off point

kadar hemoglobin sebagai indikator anemia.

Tabel 1 Nilai Cutoff Hemoglobin

Umur (tahun) Nilai Cut off Hemoglobin untuk anemia (g/L)

Pria dan Wanita Pria Wanita

0,5-5 < 110 - -

5-11 < 115 - -

12-13 < 120 - -

>14 (Pria) - 130

>14 (Wanita) - - <110 (hamil)

<120 (tidak hamil)

Sumber : Gibson (2005)

WHO (2005) menggolongkan tingkatan anemia ibu hamil dengan kategori

normal, anemia ringan dan anemia berat. Nilai ambang batas yang digunakan

untuk menentukan status anemia ibu hamil, didasarkan pada kriteria WHO tahun

2005 yang ditetapkan dalam tiga kategori dapat dilihat dalam Tabel 2 berikut.

Tabel 2 Kategori tingkatan status anemia ibu hamil

Tingkatan Anemia Kadar Hemoglobin (g/dL)

Normal ≥ 11 Ringan 8-10 g/dL Berat < 8 g/dL

Sumber : WHO 2005

Status Gizi Ibu Hamil

Kelompok ibu hamil merupakan kelompok yang memerlukan pengukuran

khusus dalam penentuan status gizinya. Penentuan status gizi menggunakan

Indeks Massa Tubuh (IMT) tidak berlaku pada kondisi fisiologis hamil.

Oleh karena itu, status gizi ibu hamil ditetapkan dengan menggunakan

pengukuran Lingkar Lengan Atas (LILA) (Anggraeni 2012). Apabila nilai LILA

<23.5 cm maka termasuk dalam kategori Kurang Energi Kronik (KEK) dan

apabila nilai LILA ≥ 23.5 cm maka termasuk dalam kategori normal (Depkes 2001

yang diacu dalam Anggraeni 2012). Menurut Depkes (1994) bagi ibu hamil yang

KEK mempunyai resiko lebih besar untuk melahirkan dengan Berat Bayi Lahir

Rendah (BBLR). Selain itu ibu yang mengalami KEK yang telah melalui masa

persalinan dengan selamat, akan mengalami masa pascapersalinan yang sulit

11

karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan. Hal ini akan

menurunkan kemampuan merawat anak serta dirinya sendiri.

Konsumsi Pangan Ibu Hamil

Konsumsi pangan ibu hamil adalah jenis pangan yang dimakan oleh ibu

hamil dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan

dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologis,

maupun sosial (Baliwati et.al 2004). Ada beberapa metode yang dapat

digunakan untuk menilai konsumsi pangan, baik tingkat individu, keluarga,

maupun masyarakat. Setiap metode masing-masing mempunyai kelebihan dan

kekurangan. Oleh karena itu, metode yang akan digunakan untuk menilai

konsumsi pangan harus dipilih yang paling relevan dan cocok dengan penelitian.

Kombinasi antara metode yang satu dengan metode yang lain dapat dilakukan

untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Selain itu, dapat pula dilakukan

modifikasi terhadap suatu metode yang digunakan dengan menyesuaikannya

terhadap karakteristik masyarakat setempat (Kusharto 2010).

Penilaian konsumsi pangan individu dapat dilakukan dengan berbagai

cara dan metode. Untuk menentukan kuantitas pangan yang dikonsumsi

seseorang, metode yang dapat digunakan antara lain metode recall 24 jam,

metode ulangan recall 24 jam, metode pencatatan makanan (food record),

metode penimbangan makanan, dan metode riwayat makanan (dietary history).

Sedangkan untuk menilai frekuensi jenis pangan yang dikonsumsi, metode yang

dapat digunakan adalah menggunakan food frequency questionnaire (FFQ).

Frekuensi konsumsi pangan ini dapat memberikan gambaran kualitatif tentang

pola konsumsi pangan (Gibson 2005).

Kebiasaan makan adalah cara individu atau kelompok individu memilih

pangan dan mengonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik,

sosial dan budaya (Sanjur 1982). Kebiasaan makan merupakan hasil interaksi

anatar beberapa peubah yang terbentuk sejak kecil. Menurut Sanjur (1982),

kebiasaan makan mencakup empat komponen : konsumsi pangan, preferensi

terhadap makanan, ideologi (pengetahuan) terhadap makanan dan sosial

budaya pangan. Menurut Khumaidi (1989) dalam Tristiyanti (2006), kebiasaan

makan dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan segi gizi, yaitu kebiasaan

makan yang baik dan kebiasaan makan yang buruk. Kebiasaan makan yang baik

adalah kebiasaan makan yang mendorong terpenuhinya kebutuhan gizi.

Sedangkan kebiasaan makan yang buruk adalah kebiasaan makan yang

12

menghambat terpenuhinya kebutuhan gizi. Kebiasaan makan bahan makanan

dari sumber protein dan zat besi berpengaruh terhadap proses pembentukan sel

darah merah terkait dengan komponen pembentuk hemoglobin (Sayogo 2007).

Pangan Sumber Protein, Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia

Protein terdiri dari asam-asam amino. Protein atau asam amino esensial

berfungsi terutama sebagai katalisator, pembawa, penggerak, pengatur, ekspresi

genetik, neurotransmmitter, penguat struktur, penguat imunitas, dan untuk

pertumbuhan (Sayogo 2007). Menurut Almatsier (2002), protein juga berfungsi

mengatur keseimbangan air di dalam tubuh, memelihara netralisasi tubuh,

membantu antibodi dan mengangkut zat-zat gizi. Protein memegang peranan

esensial dalam mengangkut zat gizi dari saluran cerna ke dalam darah, dari

darah ke jaringan, dan melalui membran sel ke dalam sel-sel.

Sumber protein berasal dari pangan hewani seperti susu, telur, daging,

unggas, ikan, dan kerang, serta pangan nabati seperti kedelai dan produk

olahannya seperti tempe, tahu dan kacang-kacangan lainnya (Almatsier 2002).

Sayogo (2007) mengemukakan bahwa pada umumnya pangan hewani

mempunyai mutu protein yang lebih baik dibandingkan dengan pangan nabati.

Pangan protein hewani sebagai sumber zat besi heme yang penyerapannya

lebih tinggi dibandingkan dengan protein nabati sebagai sumber zat besi non

heme.

Pangan Sumber Zat Besi, Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia

Zat gizi besi (Fe) merupakan kelompok mineral yang diperlukan sebagai

inti dari hemoglobin, unsur utama sel darah merah. Fungsi sel darah merah itu

penting mengingat tugasnya antara lain sebagai sarana transportasi zat gizi

terutama oksigen yang diperlukan pada proses fisiologis dan biokimia dalam

setiap jaringan tubuh (Wirakusumah 1998). Besi merupakan mineral mikro yang

paling banyak terdapat di tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5

di dalam tubuh manusia dewasa (Almatsier 2002).

Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme seperti terdapat

dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani, dan zat besi non heme

dalam makanan nabati. Besi heme merupakan bagian kecil dari besi yang

diperoleh makanan. Akan tetapi yang dapat diabsorbsi mencapai 25%

sedangkan besi non heme hanya 5% (Almatsier 2002). Konsumsi pangan dapat

menjadi faktor penyebab terjadinya anemia. Pangan yang dikonsumsi bila

termasuk golongan protein hewani kaya akan zat besi, mampu memberikan

13

kontribusi terhadap kebutuhan tubuh akan zat besi. Bila pangan hewani

dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang mampu membantu penyerapan zat

besi secara optimal didalam tubuh maka tubuh tidak akan mengalami

kekurangan zat besi yang berdampak pada kejadian anemia.

Ketersediaan zat besi dalam suatu pangan (bioavailabilitas) berperan

dalam pemenuhan kebutuhan zat besi, Monsen et.al (1978) dalam Permatahati

(2012) menyatakan bahwa penyerapan zat besi pada suatu pangan akan optimal

bila dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang menjadi faktor pendorong

penyerapan zat besi. Pangan sumber zat besi terutama zat besi heme,

yang bioavailabilitasnya tinggi sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat

berkembang, yang kebanyakan memenuhi kebutuhan besi mereka dari produk

nabati (Achadi 2007). Menurut Almatsier (2002), makan besi heme dan non

heme secara bersama dapat meningkatkan penyerapan besi non heme. Daging,

ayam, dan ikan mengandung suatu faktor yang membantu penyerapan besi.

Faktor ini terdiri atas asam amino yang mengikat besi dan membantu

penyerapannya. Susu sapi, keju, dan telur tidak mengandung faktor ini sehingga

tidak dapat membantu penyerapan besi. Lebih lanjut (Alsuhendra 2005)

menyebutkan bahwa polifenol seperti tanin dalam teh, kopi dan sayuran tertentu

mengikat besi heme membentuk kompleks besi-tannat yang tidak larut sehingga

zat besi tidak dapat diserap dengan baik.

Metabolisme Zat Besi (penyerapan, transportasi, penyimpanan)

Di dalam tubuh, besi disimpan dalam bentuk feritin atau hemosiderin

dalam hati, limpa, dan sumsum tulang. Ferritin dan hemosiderin merupakan

simpanan zat besi ada di hati dan sumsum tulang. Simpanan zat besi sebagai

feritin dan hemosiderin sebanyak 30% dalam hati, sumsum tulang sebanyak 30%

dan sisanya berada dalam limfa dan otot. Simpanan zat besi yang dapat

dimobilisasi untuk keperluan tubuh berkisar 50 mg sehari (IOM-FNB 2001;

Almatsier 2002)

Ferritin bersikulasi dalam darah mencerminkan simpanan besi di dalam

tubuh. Pengukuran ferritin dalam serum merupakan indikator penting untuk

menilai status besi. Jumlah zat besi di dalam tubuh bervariasi antara 0-1000 mg

dimana jumlahnya pada wanita lebih rendah dari pria. Simpanan besi pada pria

dewasa berkisar antara 500-1000 mg sedangkan pada wanita dewasa lebih

rendah lagi dan jarang melebihi 500 mg. Wanita di negara berkembang banyak

yang tidak mempunyai cadangan besi karena keterbatasan biologis rendah dan

14

sumber besi heme dalam makanan terbatas (O’Brien et al. 1999).

Total besi pada manusia dipengaruhi oleh berat badan, jenis kelamin,

jumlah kompartemen, simpanan besi, dan konsentrasi Hb. Hemoglobin

merupakan senyawa protein heme yang mengandung Fe++. Diperkirakan bahwa

hemoglobin berisi lebih dari 65% zat besi tubuh. Hemoglobin berfungsi

mengangkut oksigen melalui aliran darah dari paru-paru ke jaringan tubuh yang

lain. Dalam keadaan normal 100 ml darah mengandung 15 gram Hb. Jumlah

tersebut dapat mengangkut 0.03 gram oksigen. Perhitungan perkiraan

penyerapan zat besi dapat didasarkan pola konsumsi makanan yaitu penyerapan

zat besi tinggi (15%), penyerapan zat besi sedang (10%), dan penyerapan besi

rendah (5%) (Gibson 2005).

Banyaknya zat besi yang dimanfaatkan untuk pembentukkan hemoglobin

umumnya sebesar 20-25 mg per hari. Pada sumsum tulang yang berfungsi baik,

dapat memproduksikan sel darah merah dan hemoglobin sebanyak enam kali.

Zat besi yang berlebihan disimpan sebagai cadangan dalam bentuk ferritin dan

hemosiderin di dalam sel parenkim hepatik, sel retikuloendotelial sumsum tulang,

hati dan limfa. Eksresi zat besi sebanyak 0.5- 1.0 mg per hari yang dikeluarkan

bersama-sama urin, keringat dan feses. Zat besi dalam hemoglobin dapat pula

keluar dari tubuh melalui pendarahan, menstruasi, dan saluran urin. Siasanya

dibawa ke bagian tubuh lain yang membutuhkan sedangkan kelebihan besi

dapat mencapai 200-1500 mg disimpan sebagai protein ferritin dan hemosiderin

di dalam hati (30%), sumsum tulang belakang (30%), dan selebihnya di dalam

limfa dan otot (Mahan et.al 2004).

Pangan Sumber Vitamin A, Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia

Vitamin A dalam bentuk retinol terdapa pada makanan hewani seperti

hati, kuning telur, krim, mentega, dan susu difortifikasi. Sedangkan dalam bentuk

karoten terdapat pada makanan nabati yaitu sayuran berwarna hijau dan jingga,

serta buah-buahan. Vitamin A berfungsi pada siklus penglihatan yaitu

penyesuaian terhadap terang dan gelap serta berguna untuk pertumbuhan

jaringan terutama kulit (Almatsier 2009).

Defisiensi vitamin A dapat menyebabkan mobilisasi cadangan Fe di

dalam tubuh akan turun. Vitamin A berperan dalam memobilisasi cadangan Fe

tubuh untuk dapat mensintesa Hb. Apabila jumlah vitamin A di dalam tubuh

kurang, akan mempengaruhi status besi dengan menghambat penggunaan besi

pada proses erythropoesis (Setiyobroto et.al 2004) dalam (Andriani 2012).

15

Pangan Sumber Vitamin C, Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia

Vitamin C banyak ditemukan pada cabe hijau, buah sitrus (jeruk lemon),

strawberry, tomat, brokoli, lobak hijau dan sayuran hijau lainnya serta semangka.

Salah satu fungsi vitamin C adalah membantu proses penyerapan zat besi non

heme dari bahan pangan ke dalam tubuh dengan mereduksi bentuk besi ferro

menjadi ferri agar lebih mudah diserap usus halus (Sayogo 2007). Apabila terjadi

kekurangan vitamin C maka jumlah zat besi yang diserap tidak akan optimal

sehingga persediaan zat besi dalam tubuh akan berkurang dan lambat laun

menurunkan kadar hemoglobin darah sebagai salah satu indikator status

anemia (Khomsan 2002).

Pangan Sumber Vitamin C, Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia

Asam folat banyak ditemukan pada sayuran berdaun hijau, hati ayam

atau sapi, kacang merah, dan kedelai (Almatsier 2009). Asam folat berfungsi

sebagai salah satu komponen pembentuk hemoglobin dalam proses

pembentukan sel dalrah merah (Khomsan 2002). Ketika makanan sumber asam

folat dimakan, asam folat yang tercerna kemudian dikirim ke hati. Hari

menyimpannya sebagian dan mengirimkan sebagian lainnya ke sumsum tulang.

Dalam sumsum tulang inilah asam folat digunakan untuk membuat sel darah

merah (Khomsan 2002). Apabila terjadi kekurangan asam folat maka akan

menghambat proses pembentukan sel darah merah yang berdampak terhadap

penurunan kadar hemoglobin sebagai salah satu indikator anemia.

Pangan Sumber Seng (Zn), Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia

Seng banyak ditemukan pada daging, makanan laut seperti lobster,

kerang, ikan, dan daging kepiting, kacang-kacangan dan produk olahan susu

seperti yougurt dan keju (Almatsier 2009). Seng memegang peranan esensial

dalam banyak fungsi tubuh. Sebagai bagian dari enzim atau sebagai kofaktor

pada kegiatan lebih dari dua ratus enzim, seng memiliki peran dalam berbagai

aspek metabolisme, seperti reaksi-reaksi yang berkaitan dengan sintesis dan

degradasi karbohidrat, protein, lipida, dan asam nukleat. Sebagai bagian dari

karbonik anhidrase dalam sel darah merah, seng berperan dalam keseimbangan

asam basa di dalam tubuh. Peran penting lain dari seng adalah sebagai bagian

integral enzim DNA polimerase dan RNA polimerase yang diperlukan dalam

sintesis DNA dan RNA. Seng juga berperan dalam perkembangan fungsi

reproduksi (Almatsier 2004).

16

Berdasarkan Whitney & Rolfes (2008) dalam Hardiansyah (2012)

seng mempengaruhi penyerapan besi. Di dalam darah, seng juga dapat

berikatan dengan transferin (protein pengangkut yang berperan dalam

pengangkutan besi di dalam darah). Dalam individu yang sehat, transferin

biasanya kurang dari 50% jenuh terhadap besi, tetapi dalam keadaan berlebihan,

kejenuhannya dapat meningkat. Diet dari makanan seharusnya mengandung

porsi besi dua kali lebih besar dibandingkan dengan seng sehingga lebih sedikit

transferin yang mengikat seng. Dengan demikian absorbsi seng akan lebih

rendah. Jika diet menyediakan lebih besar seng daripada besi, maka penyerapan

besi akan terhambat oleh seng.

Angka dan Tingkat Kecukupan Gizi pada Ibu Hamil

Gizi pada ibu hamil merupakan hal penting yang harus dipenuhi selama

kehamilan berlangsung. Risiko akan kesehatan janin yang sedang dikandung

dan ibu yang mengandung akan berkurang jika ibu hamil mendapatkan gizi yang

seimbang. Bersama dengan usia kehamilan yang terus bertambah, makan

bertambah pula kebutuhan gizi ibu hamil, khususnya ketika usia kehamilan

memasuki trimester kedua. Pada saat trimester kedua, janin tumbuh dengan

sangat pesat, khususnya mengenai pertumbuhan otak dan sistem syarafnya

(Sayogo 2007).

Selama kehamilan, angka kecukupan zat gizi yang terkait dengan proses

pembentukan hemoglobin seperti energi, protein, vitamin C, asam folat, zat besi

dan seng pun meningkat berdasarkan acuan AKG 2004 dengan kondisi fisiologis

ibu hamil trimester ke II. Angka kecukupan gizi energi, protein, vitamin C,

vitamin A asam folat, zat besi dan seng masing-masing sebesar 2100.0 kkal,

67.0 g, 85.0 mg, 800 RE, 600.0 µg, 26.0 mg dan 11.5 mg. Perhitungan asupan

zat gizi seseorang dapat menggunakan Daftar Kecukupan Gizi (DKG) yaitu daftar

yang memuat angka-angka kecukupan gizi rata-rata per orang per hari bagi

orang sehat Indonesia. Angka Kecukupan Gizi (AKG) tersebut sudah

memperhitungkan variasi kebutuhan individu, sehingga kecukupan ini setara

dengan kebutuhan rata-rata ditambah jumlah tertentu untuk mencapai tingkat

aman. AKG dapat digunakan untuk menilai tingkat kecukupan gizi seseorang

(Hardinsyah & Briawan 1994).

Angka kecukupan gizi adalah taraf konsumsi zat-zat gizi esensial yang

berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan

hampir semua orang sehat (Almatsier 2009). Namun, angka kecukupan ini

17

digunakan untuk berbagai keperluan yang sifatnya menyangkut populasi seperti

merencanakan dan menyediakan suplai pangan untuk penduduk atau kelompok

penduduk (Almatsier 2002). Penilaian untuk mengetahui tingkat kecukupan zat

gizi dilakukan dengan membandingkan antar asupan zat gizi aktual (nyata)

dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Hasil perhitungan kemudian

dinyatakan dalam persen. Tingkat kecukupan zat gizi dirumuskan sebagai berikut

menurut Hardinsyah & Briawan 1994:

Tingkat kecukupan energi dan protein dikategorikan menurut Depkes

(1996) menjadi (1) defisit tingkat berat jika <70% AKG, (2) defisit tingkat sedang

jika 70-79% AKG, (3) defisit tingkat ringan jika 80-89% AKG, (4) normal jika

90-119% AKG dan (5) kelebihan jika ≥120% AKG. Sedangkan untuk zat gizi

mikro seperti vitamin dan mineral hanya dikategorikan menjadi dua yaitu kurang

jika <77% AKG dan cukup jika ≥ 77% AKG (Gibson 2005).

Tingkat kecukupan zat gizi =

x 100%

18

KERANGKA PEMIKIRAN

Karakteristik contoh diduga sebagai salah satu faktor yang

mempengaruhi atau berhubungan dengan kejadian anemia pada ibu hamil.

Pada penelitian ini karakteristik contoh meliputi usia ibu, pendidikan, pekerjaan

pendapatan dan status gizi. Usia ibu pada saat hamil akan mempengaruhi

timbulnya anemia. Selain usia ibu, usia kehamilan pun juga mempengaruhi

kejadian anemia pada ibu hamil. Kebutuhan zat besi pada ibu hamil terus

meningkat sesuai dengan bertambahnya usia kehamilan. Ibu yang mempunyai

pendidikan tinggi lebih sedikit dipengaruhi oleh praktek-praktek tradisional yang

merugikan terhadap ibu hamil terutama dalam hal kualitas maupun kuantitas

makanan untuk konsumsi setiap harinya. Ibu hamil yang bekerja cenderung tidak

menderita anemia dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja.

Karakteristik contoh tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi

konsumsi pangan. Konsumsi pangan akan mempengaruhi asupan energi,

protein, zat besi serta zat gizi lainnya yang berperan dalam pembentukan

hemoglobin. Apabila konsumsi pangan sumber zat gizi tinggi maka asupan zat

gizi juga akan tinggi. Tingginya asupan zat gizi tersebut akan mempengaruhi

tingkat kecukupannya.

Bioavailabilitas zat besi dipengaruhi oleh faktor penghambat dan

pendorong penyerapan zat besi. Adapun faktor penghambat tersebut adalah

asam fitat dalam serealia dan kacang-kacangan, tanin dalam teh, asupan

kalsium yang berlebihan dan lain-lain. sementara itu faktor pendorong dalam

penyerapan zat besi adalah vitamin C. Vitamin C dapat mereduksi besi ferri

menjadi ferro agar lebih mudah diserap.

Salah satu faktor yang mempengaruhi status anemia adalah konsumsi

pangan yang terkait dengan nilai bioavailabilitas zat besi. Apabila bioavailabilitas

zat besi tinggi maka ketersediaan zat besi didalam tubuh akan lebih banyak.

Selain faktor konsumsi, status anemia pada ibu hamil juga dipengaruhi oleh jarak

kehamilan, perdarahan dan penyakit infeksi. Secara keseluruhan, hubungan

antar peubah disajikan pada Gambar 1.

19

Keterangan :

: peubah yang diteliti

: peubah yang tidak diteliti

: hubungan antar peubah yang dianalisis

: hubungan antar peubah yang tidak dianalisis

Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan tingkat kecukupan protein dan zat besi (fe) dengan kadar hemoglobin Ibu hamil di Kota Bogor.

Asupan Energi

Protein dan Zat Besi

Faktor pendorong

penyerapan zat besi

Faktor penghambat

penyerapan Zat besi

Tingkat Kecukupan

Energi, Protein dan

Zat besi

Status anemia ibu hamil

Kadar Hemoglobin

Konsumsi

pangan sumber energi,

protein hewani

(besi heme) dan nabati

(besi non heme)

Bioavailabilitas zat

besi

Penyakit infeksi

Perdarahan

Jarak kehamilan yang terlalu dekat

Karakteristik contoh

(umur, besar keluarga ,

pendidikan, pekerjaan,

dan pendapatan)

Angka Kecukupan

Gizi (AKG)

Status Gizi

Nilai LILA

Feritin

20

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study dilaksanakan di

Kota Bogor menggunakan data sekunder dari data dasar penelitian Status Gizi

dan Pola Makan pada Wanita Pra-Hamil (Usia Subur), Ibu Hamil dan Menyusui di

Kota Bogor yang telah dilaksanakan oleh SEAFAST Center IPB. Contoh diambil

dari enam kecamatan di Kota Bogor yaitu Kecamatan Bogor Utara, Bogor

Selatan, Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Tanah Sareal yang

berlangsung pada bulan Agustus hingga Desember 2010.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

Contoh dalam penelitian ini adalah Ibu hamil yang bermukim di enam

kecamatan di Kota Bogor dengan kriteria meliputi (1) umur 20-40 tahun,

(2) usia kehamilan trimester kedua (3-6 bulan), (3) pengeluaran rumah tangga

berada pada kuintil-2, 3 dan 4. Kuintil adalah nilai yang menandai batas interval

dari sebaran frekuensi yang berderet dalam lima bagian sebaran yang sama

(Probohandojo 1989). Penentuan Kuintil dihitung berdasarkan tingkat sosial

ekonomi keluarga yang didapat dari data SUSENAS 2009 pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3 Rentang pengeluaran keluarga pada kuintil 1-5 (SUSENAS 2009)

Quintiles Kota Bogor (Rp/kap/bln)

Rentang Mean

Q5 622,421 - 6,676,869 1,158,923 Q4 432,210 – 618,983 517,468 Q3 332,781 – 430, 137 378,730 Q2 253,875 – 330,787 295,701 Q1 127,869 – 247,698 213,570

Ukuran minimal calon contoh dihitung menggunakan rumus (Lemeshow

et al. 1997) : n ≥ (1-α)2 x P (1-P)

d² n ≥ (1,96)2 x 0,5 (1-0,5) (0,1)² n ≥ 97 Ket : n =Jumlah calon contoh yang akan dipilih P = Perkiraan prevalensi anemia pada wanita hamil (50%) α = Batas kepercayaan (95%) d = Batas toleransi kesalahan yang diinginkan (10%) Tahap awal dikumpulkan sebanyak 203 calon contoh yang memenuhi

kriteria tersebut diatas. Pelaksanaannya dibantu oleh oleh kader posyandu

dengan cara mendatangi ke rumah-rumah ibu hamil di enam kecamatan Kota

Bogor setelah mendapatkan izin dari puskesmas setempat. Tahap berikutnya

21

dilakukan penentuan ukuran minimal contoh untuk penelitian klinis yang

dihitung berdasarkan populasi minimal calon contoh (N): 97,

menggunakan rumus (Lemeshow et.al 1997):

Z2α p (1-p) N n = ------------------------------------------------ d2(N-1) + Z2α p (1-p)

(1,96)2 x 0,5 (1-0,5) 97 n = ------------------------------------------------- (0,1)2(97-1) + (1,96)2 x 0,5 (1-0,5)

n= 49 ± 10 %

keterangan:

n = ukuran contoh penelitian yang akan dipilih

Z2α = nilai peubah acak normal baku pada derajat kepercayaan (1,96)

p = perkiraan prevalensi anemia pada ibu hamil (50%)

d = batas toleransi proporsi (10%)

N = populasi minimal calon contoh (97 orang)

Penentuan calon contoh untuk pemeriksaan biokimia darah dipilih

diantara 203 calon contoh yang dinyatakan sehat oleh dokter dan bersedia

diambil darahnya, diperoleh sejumlah 45 calon contoh. Seluruhnya dijadikan

contoh dalam penelitian ini karena telah memenuhi ukuran minimal (49-10%).

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Seluruh data yang dikumpulkan merupakan data sekunder. Data tersebut

meliputi data karakteristik contoh dan keluarga, konsumsi pangan, antropometri

dan kadar hemoglobin contoh. Data karakteristik contoh dan keluarga contoh

meliputi umur, besar keluarga, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan

dikumpulkan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner terstruktur.

Data konsumsi pangan meliputi semua makanan dan minuman yang

dikonsumsi oleh contoh diperoleh dengan melakukan recall 2x24 jam.

Pengambilan data konsumsi dilakukan secara berturut-turut dengan tidak

membedakan antara hari libur dengan hari kerja. Data konsumsi dan kebiasaan

konsumsi pangan terdiri dari 12 kelompok pangan yaitu (1) serealia; (2) daging;

(3) unggas (4) ikan; (5) telur; (6) susu; 7) kacang-kacangan; (8) sayuran ; (9)

buah beserta produk olahannya (g); (10) Minuman (ml); (11) Makanan ringan

(snack) (g) serta (12) Ramuan tradisional/suplemen (mg).

22

Data antropometri meliputi berat badan, tinggi badan dan Lingkar Lengan

Atas (LILA) yang diukur secara langsung. Berat badan diukur dengan

menggunakan timbangan injak, tinggi badan diukur menggunakan microtoise

serta lingkar lengan atas (LILA) diukur menggunakan pita LILA / meteran jahit.

Jenis data status besi didapatkan dari hasil pemeriksaan biokimia darah

dengan menggunakan analisa Hb sebagai salah satu indikator status anemia

dengan metode Cyanmethemoglobin. Pemeriksaan dan analisis kadar hemglobin

darah contoh dilakukan dengan cara mengambil specimen darah dari pembuluh

darah vena menggunakan jarum suntik kurang lebih sebanyak 10-12 ml oleh

analis kesehatan Laboratorium PRODIA Bogor.

Sebelum darah diambil, dokter umum mendeteksi calon contoh yang

akan diambil darahnya dengan melakukan pemeriksaan klinis terhadap contoh

seperti pengukuran suhu, tekanan darah, denyut nadi, dan kecepatan

pernafasan. Contoh yang dinyatakan sehat oleh dokter yang dapat diambil

darahnya. Tabel 4 berikut adalah daftar rinci data yang dikumpulkan :

Tabel 4 Jenis peubah dan cara pengumpulan data

No.

Peubah Data yang dikumpulkan Cara pengumpulan

1

Karakteristik contoh dan keluarga

Umur

Wawancara menggunakan kuesioner terstruktur Besar keluarga

Pendidikan Pekerjaan Pendapatan

2 Status Gizi (Antropometri)

Berat Badan (BB) Pengukuran Langsung menggunakan timbangan injak, microtoise, dan meteran jahit

Tinggi Badan (TB) Lingkar Lengan Atas (LILA)

3 Konsumsi Pangan

Makan pagi, siang, malam dan selingan: a. Nasi (g), b. Lauk hewani (g), c. Lauk nabati (g), d. Sayur (g), e. Buah (g), f. Lainnya

Pengisian kuesioner Recall 2x24 jam dan Food Frequency Questionaire (FFQ)

4 Pemeriksaan Klinis

a. Suhu b. Tekanan darah c. Denyut nadi d. Kecepatan pernafasan

Pengukuran langsung menggunakan termometer, tensimeter,stetoskop dan spirometer

5 Status Besi Kadar Hemoglobin dari hasil pemeriksaan biokimia darah

Dimabil spesimen darah dari pembuluh darah vena kurang lebih sebanyak 10-12 ml kemudian dianalisis di Laboratorium menggunakan metode Cyanmethemoglobin

23

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan melakukan proses

coding, entry, cleaning, dan analisis. Coding dilakukan dengan menyusun

code-book sebagai panduan entry dan pengolahan data. Setelah itu semua data

di entri dan kemudian dilakukan cleaning data untuk memastikan bahwa tidak

ada kesalahan dalam memasukkan data. Analisa data dilakukan dengan

menggunakan program komputer Microsoft Excel 2007 dan SPSS 16 for

Windows. Hubungan antara peubah yang diteliti, dianalisis menggunakan

uji korelasi pearson

Data karakteristik contoh dan keluarga contoh meliputi umur, besar

keluarga, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan. Umur contoh dalam penelitian

ini dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu 20-29 tahun dan 30-40 tahun.

Data besar keluarga dikategorikan menjadi tiga yaitu : (1) keluarga kecil dengan

jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang, (2) keluarga sedang 5-6 orang, dan

(3) keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga ≥ 7 orang (BKKBN 1998).

Data pendidikan contoh dan suami contoh dikelompokkan menurut

jenjang pendidikan yang pernah diperoleh yaitu (1) SD, (2) SMP, (3) SMA

dan (4) Perguruan Tinggi (PT) yang kemudian dianalisis secara deskriptif.

Data status pekerjaan contoh dan suami contoh dikelompokkan dalam 2

kelompok, yaitu: (1) bekerja dan (2) tidak bekerja. Data pendapatan/ kapita/

bulan dikategorikan dalam dua kategori yaitu; (1) Miskin (<Rp.278.530)

dan (2) Tidak Miskin (≥Rp.278.530) berdasarkan garis kemiskinan Kota Bogor

tahun 2010 (BPS 2011).

Data konsumsi pangan diperoleh dari hasil recall 2x24 jam. Data yang

telah didapat lalu dikonversikan kedalam satuan energi (kkal), protein (g), vitamin

A (RE), vitamin C (mg), dan Fe (mg) dan seterusnya untuk zat gizi lainnya.

Setelah jumlah asupan energi protein dan zat besi serta zat gizi lainnya diketahui

maka tingkat kecukupan zat gizi pun dapat diketahui dari hasil pembagian antara

asupan zat gizi aktual dengan angka kecukupan zat gizi tertentu kemudian dikali

dengan seratus. Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) dihitung menggunakan rumus

menurut Hardinsyah dan Briawan (1994) adalah sebagai berikut :

Angka kecukupan energi, protein dan zat besi serta zat gizi lainnya diacu

Tingkat kecukupan zat gizi = x 100%

24

Berdasarkan AKG 2004 dengan kondisi fisiologis ibu hamil trimester II,

Angka kecukupan energi, protein, vitamin C, vitamin A, asam folat, zat besi dan

seng adalah sebesar 2100.0 kkal; 67.0 g protein; 85.0 mg vitamin C; 800.0 RE

vitamin A; 600.0 µg asam folat, 35.0 mg zat besi dan 11.5 mg seng.

Menurut Depkes (1996), tingkat kecukupan energi dan protein dikatakan

(1) defisit tingkat berat jika <70% AKG, (2) defisit tingkat sedang jika 70-79%

AKG, (3) defisit tingkat ringan jika 80-89% AKG. (4) Normal jika 90-119% AKG

dan (5) kelebihan jika >120% AKG. Sedangkan untuk zat gizi mikro seperti

vitamin dan mineral hanya dikategorikan menjadi dua yaitu (1) kurang jika <77%

AKG dan (2) cukup jika ≥ 77% AKG (Gibson 2005).

Status gizi menggunakan metode pengukuran Lingkar Lengan Atas

(LILA) untuk menentukan ada tidaknya status gizi Kurang Energi Kronis (KEK).

Jika panjang Lingkar Lengan Atas (LILA) < 23,5 cm maka ditetapkan menderita

Kurang Energi Kronis (KEK) (Depkes 2001). Sedangkan tingkatan status anemia

dibagi dalam tiga kategori, yaitu (1) normal (Hb ≥11g/dL), (2) anemia tingkat

ringan (Hb 8-10 g/dL) dan (3) anemia tingkat berat (Hb < 8 g/dL) (WHO 2005).

Hubungan antara karakteristik contoh dan keluarga, LILA, tingkat

kecukupan energi, protein dan zat besi dengan kadar hemoglobin contoh

dapat diketahui dengan menggunakan uji korelasi pearson agar dapat diketahui

ada tidaknya hubungan peubah independent (penyebab) dengan peubah

dependent (akibat). Tabel 5 berikut disajikan informasi mengenai jenis peubah,

kategori dan pengelompokan, pengolahan serta analisis data yang digunakan.

Tabel 5 Jenis, kategori dan pengelompokan serta pengolahan data

No Peubah Kategori dan Pengelompokan

Peubah Acuan Baku Pengolahan

1 Umur a. 20-29 tahun

Microsoft Excell 2007

b. 30-40 tahun

2 Tingkat pendidikan

a. SD/sederajat

b. SMP/sederajat c. SMA/sederajat d. PT

3 Status pekerjaan a. Bekerja

b. Tidak bekerja

4 Besar keluarga

a. Kecil (≤ 4 orang) BKKBN 1998

b. Sedang (5-7 orang) c. Besar (>7 orang)

5 Pendapatan/ kapita/bulan

a. Miskin (<Rp.278.530) BPS 2011 b. Tidak Miskin (≥ Rp.278.530)

6

Status anemia

a. Normal (Hb≥11 g/dL)

WHO 2005 b Anemia ringan (Hb 8-9 g/dL) c. Anemia berat (Hb<8 g/dL)

25

No Peubah Kategori dan Pengelompokan

Peubah Acuan Baku Pengolahan

7 Status KEK a. KEK (LILA < 23,5 cm) Depkes

2001 b. Tidak KEK (LILA ≥ 23,5 cm)

8 Asupan Zat Gizi

a. Energi (kka)

Recall Konsumsi Pangan

b. Protein (g) c. Zat Besi (mg) d. Seng (mg) e. Vitamin C (mg) f. Asamfolat (µg)

9 Tingkat kecukupan energi

a. Defisit berat (TKE<70% AKE) Depkes 1996 Gibson 2005

Microsoft Excell 2007 Dan SPSS 16 For Windows

b. Defisit sedang (70% AKE <TKE<79% AKE) c. Defisit ringan (80% AKE <TKE<89% AKE) d. Normal (90% AKE <TKE<119% AKE) e. Kelebihan (TKE≥ 120% AKE)

10 Tingkat kecukupan protein

a. Defisit berat (TKP<70% AKP) b. Defisit sedang (70% AKP <TKP<79% AKP) c. Defisit ringan (80% AKP <TKP<89% AKP) d. Normal (90% AKP <TKP<119% AKP) e. Kelebihan (TKP≥ 120% AKP)

11

Tingkat kecukupan vitamin dan mineral

a. Kurang (TKG<77% AKG) b. Cukup (TKG≥77%AKG)

Definisi Operasional

Ibu Hamil adalah wanita yang sedang mengandung janin

Contoh adalah ibu hamil trimester II yang bermukim di enam kecamatan di Wilayah Bogor Kuintil adalah nilai yang menandai batas interval dari sebaran frekuensi yang

berderet dalam lima bagian sebaran yang sama (Probohandojo 1989) Umur Contoh adalah umur ibu yang dinyatakan dalam tahun berdasarkan atas identitas ibu. Tingkat Pendidikan Contoh adalah tingkat pendidikan formal tertinggi yang

pernah diikuti oleh contoh. Besar Keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu

rumah dengan sumber perolehan makanan yang sama. Status Pekerjaan adalah keterangan tentang bekerja atau tidaknya ibu hamil. Pendapatan/ kapita/ bulan adalah gaji/ upah yang diperoleh keluarga ibu hamil

dalam waktu satu bulan yang kemudian dibagi dengan jumlah anggota keluarga.

Status Anemia adalah keadaan kadar Hb dan Ht contoh yang menunjukkan kondisi contoh menderita anemia atau tidak anemia (Briawan 2008)

Status Besi adalah keadaan atau gambaran kecukupan zat besi di dalam tubuh

yang dapat dinilai dari biomarker darah meliputi kadar Hb, serum ferritin dan serum transferrin reseptor (Briawan 2008)

26

Kurang Energi Kronis (KEK) adalah suatu keadaan kekurangan energi dalam

waktu yang lama yang dideteksi dengan pengukuran Lingkar Lengan Atas (LILA); LILA < 23,5 cm termasuk kategori KEK (Depkes 2001)

NILAI LILA adalah ukuran lingkar lengan bagian atas dari ibu hamil yang

dinyatakan dalam satuan centimeter (cm) (Aritonang 2010). Konsumsi Pangan Ibu Hamil adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam)

yang dimakan oleh Ibu Hamil dengan tujuan tertentu dalam aspek gizi, tujuan memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan oleh tubuh selama masa kehamilan

Kebiasaan makan adalah cara individu atau sekelompok individu dalam memilih

bahan pangan dan mengonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, sosial dan budaya (Sanjur 1982)

Asupan Zat Gizi adalah sejumlah zat gizi yang masuk kedalam tubuh ibu hamil

yang diperoleh dari makanan dan minuman yang dinilai dengan cara recall konsumsi pangan (WNPG 2004).

Angka Kecukupan Gizi adalah nilai rata-rata yang menunjukkan jumlah zat gizi

yang diperlukan untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua penduduk menurut kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu (WNPG 2004).

Tingkat Kecukupan Gizi adalah perbandingan asupan zat gizi aktual terhadap

angka kecukupan zat gizi ibu hamil yang dinyatakan dalam persen (%) (WNPG 2004).

27

HASIL DAN PEMBAHASAN

Status Anemia

Kadar hemoglobin contoh yang terendah 9.20 g/dL dan yang tertinggi

14.0 g/dL dengan rata-rata kadar Hb 11.56 g/dL. Pada Tabel 6 berikut dapat

diketahui sebaran contoh berdasarkan tingkatan status anemia.

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan tingkatan status anemia

Status Anemia1 n %

Normal (Tidak Anemia) (Hb ≥11 g/dL) 35 77.8

Anemia Ringan (Hb 8-10 g/dL) 10 22.2

Anemia Berat (Hb <8 g/dL) 0 0.0

Total 45 100.0 1) Kategori status tingkatan anemia contoh berdasarkan ketetapan WHO 2005

Sebanyak 77.8% dari keseluruhan contoh tidak menderita anemia dan

22.2% contoh menderita anemia tingkat ringan namun tidak ada contoh yang

menderita anemia tingkat berat. Dengan demikian diketahui prevalensi anemia

ibu hamil di wilayah penelitian sebesar 22.2%. Menurut WHO (2001) prevalensi

anemia >20% menunjukkan adanya masalah kesehatan masyarakat. Sementara

itu hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada ibu hamil

>20% dapat diartikan bahwa anemia masih menjadi masalah kesehatan

dikalangan ibu hamil. Prevalensi anemia ibu hamil pada penelitian ini lebih

rendah dibandingkan dengan prevalensi anemia ibu hamil berdasarkan penelitian

Darlina dan Hardinsyah (2003) yang menyatakan bahwa prevalensi anemia ibu

hamil di Kota Bogor pada tahun 2002 sebesar 40.4% dan lebih rendah

dibandingkan dengan data dari Dinas Kesehatan Jawa Barat tahun 2003

dengan prevalensi sebesar 51.7%. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian anemia

pada ibu hamil masih menjadi salah satu masalah kesehatan di Kota Bogor.

Tingginya prevalensi anemia pada ibu hamil tidak hanya terjadi pada

penelitian ini saja tetapi juga dibeberapa daerah lain seperti penelitian yang

dilakukan oleh Prihatini et al. (2009) di Kota Bau-bau sebanyak 48.4% ibu hamil

trimester kedua mengalami anemia. Penelitian yang dilakukan oleh Wijanti et al.

(2012) di Puskesmas Sambi sebanyak 63.0% ibu hamil trimester II mengalami

anemia. Tingginya angka anemia pada ibu hamil menurut Cheryl (1996) dalam

Darlina 2003 disebabkan karena penurunan kadar hemoglobin (Hb) dan

hematokrit (Ht) pada trimester 1 dan 2 sebagai akibat peningkatan volume

plasma darah yang terjadi lebih dahulu dibandingkan produksi sel darah merah.

28

Status Gizi Contoh Berdasarkan Nilai LILA

Selain menggunakan indeks massa tubuh (IMT), status gizi ibu hamil

dapat diukur secara antropometri atau pengukuran komposisi tubuh dengan

mengukur LILA (Lingkar Lengan Atas). Apabila nilai LILA <23.5 cm maka

termasuk dalam kategori Kurang Energi Kronik (KEK) dan apabila nilai

LILA ≥ 23.5 cm maka termasuk dalam kategori normal (Depkes 2001) yang

diacu dalam Anggraeni 2012). Menurut Depkes (2003) pengukuran LILA pada

kelompok wanita usia subur adalah salah satu cara untuk mendeteksi dini yang

mudah dan dapat dilaksanakan oleh masyarakat awam, untuk mengetahui

kelompok berisiko Kekurangan Energi Kronis (KEK). Gambaran sebaran contoh

berdasarkan status KEK disajikan pada Tabel 7 berikut.

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan status gizi dan status anemia

Status Gizi2

Status Anemia Total

Anemia Tidak Anemia

n % n % n %

KEK (LILA<23,5 cm) 5 50.0 4 11.4 9 20.0

Tidak KEK (LILA≥23,5 cm) 5 50.0 31 88.5 36 80.0

Total 10 100.0 35 100.0 45 100.0 2) Kategori status KEK contoh berdasarkan ketetapan Depkes 2001.

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa LILA contoh terendah sebesar

20.0 cm dan yang tertinggi sebesar 41.0 cm dengan rata-rata sebesar 26.15 cm.

Sebagian besar contoh (80.0%) tidak memiliki resiko KEK atau normal dan hanya

20.0 % contoh yang termasuk KEK. Namun demikian terlihat jelas bahwa contoh

pada kelompok anemia memiliki status gizi yang lebih rendah dibandingkan

dengan contoh pada kelompok tidak anemia. Menurut Depkes (1994) bagi ibu

hamil yang KEK mempunyai resiko lebih besar untuk melahirkan dengan Berat

Bayi Lahir Rendah (BBLR). Selain itu ibu yang mengalami KEK yang telah

melalui masa persalinan dengan selamat, akan mengalami masa pasca

persalinan yang sulit karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan.

Hal ini akan menurunkan kemampuan merawat anak serta dirinya sendiri. Jika

hasil pengukuran LILA menunjukkan nilai >23.5 cm maka contoh tidak menderita

KEK dan diiharapkan contoh melahirkan bayi dengan berat bayi lahir normal

(Arisman 2007). Tingginya persentase ibu hamil dengan status gizi normal tidak

hanya terjadi pada penelitian ini tetapi juga didukung oleh beberapa penelitian

sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Ipa (2010) menyatakan bahwa

sebesar 87.1% ibu hamil di Kecamatan Makassar memiliki nilai LILA >23.5 cm.

29

Karakteristik Contoh dan Keluarga

Umur Contoh

Contoh adalah ibu hamil trimester ke II (Dua) di enam kecamatan di Kota

Bogor yang dikelompokan kedalam dua kelompok yaitu kelompok anemia

(10 orang, 22.2%) dan tidak anemia (35 orang, 77.8%) yang berumur antara

20.0-40.0 tahun dengan umur rata-rata 29.0 tahun. Sebaran contoh berdasarkan

umur disajikan pada Tabel 8 berikut.

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan umur dan status anemia

Umur (tahun)

Status Anemia Total

Anemia Tidak Anemia

n % n % n %

20-29 6 60.0 19 54.3 25 55.6

30-40 4 40.0 16 45.7 20 44.4

Rata-rata (tahun) 28.3 29.0 29.0

Total 10 100.0 35 100.0 45 100.0 Sebanyak 55.6% dari keseluruhan contoh atau 60.0% contoh pada

kelompok anemia dan 54.3% contoh pada kelompok tidak anemia, berumur

antara 20.0-29.0 tahun, dengan rata-rata umur secara keseluruhan 29.0 tahun,

atau 28.3 tahun pada kelompok anemia dan 29.0 tahun pada kelompok

tidak anemia. Contoh pada kelompok anemia memiliki rata-rata umur yang relatif

lebih muda dibandingkan dengan contoh pada kelompok tidak anemia.

Umur seorang ibu berkaitan dengan alat-alat reproduksi wanita. Sistem

reproduksi wanita yang sehat dan aman berada pada umur 20.0-35.0 tahun.

Kehamilan pada umur < 20.0 tahun dan > 35.0 tahun dapat

menyebabkan anemia, karena kehamilan pada umur < 20.0 tahun secara

biologis belum optimal, emosinya cenderung labil, mentalnya belum matang

sehingga mudah mengalami keguncangan yang mengakibatkan kurangnya

perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan zat-zat gizi selama kehamilannya.

Sedangkan jika berumur > 35 tahun terkait dengan kemunduran dan penurunan

daya tahan tubuh serta berbagai penyakit yang sering menimpa pada umur itu

(Manuaba 1999). Dalam penelitian ini tidak ada contoh yang berumur <20.0

tahun dan hanya 20.0% contoh yang berumur >35 tahun. Sehingga dapat

diketahui bahwa sebagian besar contoh tidak berada pada rentang umur

berisiko.

30

Tingkat Pendidikan Contoh

Tingkat pendidikan contoh dikelompokan dalam lima kelompok,

yaitu: 1) SD/sederajat, 2) SMP/sederajat, 3) SMA/sederajat, dan 4) Perguruan

Tinggi (PT). Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat dalam

Tabel 9 berikut.

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan dan status anemia

Tingkat Pendidikan

Status Anemia Total

Anemia Tidak Anemia

n % n % n %

SD/sederajat 4 40.0 13 37.1 17 37.8

SMP/sederajat 4 40.0 6 17.1 10 22.2

SMA/sederajat 2 20.0 16 45.7 18 40.0

PT 0 0.0 0 0.0 0 0.0

Total 10 100.0 35 100.0 45 100.0

Sebanyak 40.0% dari keseluruhan contoh atau 45.7% contoh pada

kelompok tidak anemia berpendidikan SMA/sederajat. Namun terlihat

sebanyak 80.0% contoh pada kelompok anemia berpendidikan

SD hingga SMP/sederajat dengan persentase masing-masing sebesar 40.0%.

Tidak ada contoh pada kelompok anemia maupun tidak anemia yang

berpendidikan perguruan tinggi (PT). Sehingga dapat diketahui bahwa contoh

pada kelompok anemia memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah

dibandingkan dengan contoh pada kelompok tidak anemia.

Tingkat pendidikan merupakan salah satu penyebab tidak langsung

anemia yang berkaitan dengan pengetahuan. Ibu hamil yang memiliki tingkat

pendidikan yang rendah cenderung memiliki pengetahuan gizi ibu hamil yang

rendah pula. Sehingga berpengaruh dalam pemilihan dan pemenuhan konsumsi

pangan selama masa kehamilan (Soenarko 2002). Ibu dengan pendidikan tinggi

cenderung lebih memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya. Sebaliknya ibu

dengan tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan kurangnya perhatian

mereka akan bahaya yang dapat menimpa ibu hamil ataupun bayinya.

Menurut Suhardjo (1989) bahwa orang yang berpendidikan tinggi

biasanya akan memilih untuk mengonsumsi makanan yang bernilai gizi tinggi

sehingga kebutuhan gizi tetap terpenuhi. Pendidikan formal sangat penting

dalam menentukan status gizi keluarga. Kemampuan baca tulis akan membantu

dalam memperlancar komunikasi dan penerimaan informasi, dengan demikian

informasi tentang kesehatan akan lebih mudah diterima oleh keluarga.

31

Tingkat Pendidikan Suami Contoh

Tingkat pendidikan suami contoh diduga memiliki pengaruh secara tidak

langsung terhadap status anemia ibu hamil dalam hal mendukung dan peduli

akan pemenuhan zat gizi untuk ibu hamil selama kehamilan. Menurut Tristiyanti

(2006) menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan suami contoh maka

semakin baik pula pengetahuan gizi contoh. Pada praktek sehari-hari diduga

bahwa selain memperoleh pengetahuan gizi dari pendidikan formal yang

ditempuhnya, contoh juga memperoleh pengetahuan gizi dari suami. Sebaran

tingkat pendidikan suami contoh disajikan pada Tabel 10 berikut.

Tabel 10 Sebaran suami contoh berdasarkan tingkat pendidikan

dan status anemia

Tingkat Pendidikan

Status Anemia Total

Anemia Tidak Anemia

n % n % n %

SD/sederajat 3 30.0 9 25.7 12 26.7 SMP/sederajat 2 20.0 7 20.0 9 20.0 SMA/sederajat 5 50.0 17 48.6 22 48.9 PT 0 0.0 2 6.0 2 4.4

Total 10 100.0 35 100.0 45 100.0 Berbeda dengan tingkat pendidikan contoh, sebanyak 48.9%

dari keseluruhan suami contoh menempuh pendidikan hingga tingkat

SMA/sederajat. Tidak ada suami contoh pada kelompok anemia yang

berpendidikan Perguruan Tinggi (PT). Sehingga dapat diketahui bahwa suami

contoh pada kelompok anemia memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah

dibandingkan dengan suami contoh pada kelompok tidak anemia.

Status Pekerjaan Contoh

Status pekerjaan contoh dibagi kedalam dua kelompok berdasarkan

sebaran contoh bekerja dan tidak bekerja. Tabel 11 berikut ini memberikan

gambaran sebaran contoh berdasarkan status pekerjaan.

Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan status pekerjaan dan status anemia

Kategori keluarga

Status Anemia Total

Anemia Tidak Anemia

n % n % n %

Bekerja 1 10.0 5 14.3 6 13.3

Tidak Bekerja 9 90.0 30 85.7 39 86.7

Total 10 100.0 35 100.0 45 100.0

32

Sebanyak 86.7% dari keseluruhan contoh berstatus tidak bekerja atau

sebagai ibu rumah tangga, baik pada kelompok anemia maupun tidak anemia

dengan persentase yang hampir sama. Terdapat 10% contoh pada kelompok

anemia yang bekerja. Berat ringannya pekerjaan ibu juga akan mempengaruhi

kondisi tubuh dan pada akhirnya akan berpengaruh pada status kesehatannya

(Wijianto 2002). Menurut Junadi (1998 dalam Permatahati 2012) ibu yang

bekerja memiliki risiko anemia yang lebih besar dibandingkan dengan ibu yang

tidak bekerja, hanya proporsinya tergantung pada beban kerja yang dimilikinya.

Wijianto (2002) menyatakan bahwa ibu yang bekerja mempunyai kecenderungan

kurang istirahat, konsumsi makan yang tidak seimbang sehingga mempunyai

resiko lebih besar untuk menderita anemia dibandingkan ibu yang tidak bekerja.

Status Pekerjaan Suami Contoh

Status pekerjaan suami contoh juga dibagi kedalam dua kelompok

menurut sebaran suami contoh bekerja dan tidak bekerja. Berbeda dengan

status pekerjaan contoh, 100% suami contoh, baik pada kelompok anemia

maupun tidak anemia, berstatus bekerja. Sebaran contoh berdasarkan status

pekerjaan suami dapat dilihat pada Tabel 12 berikut.

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan status pekerjaan suami

dan status anemia

Kategori keluarga

Status Anemia Total

Anemia Tidak Anemia

n % n % n %

Bekerja 10 10.0 35 100.0 45 100.0

Tidak Bekerja 0 0.0 0 0.0 0 0.0

Total 10 100.0 35 100.0 45 100.0 Besar Keluarga

Contoh dalam penelitian ini memiliki keluarga dengan jumlah

anggota keluarga paling sedikit 2 orang dan paling banyak 9 orang. Tabel 13

berikut memberikan gambaran sebaran contoh berdasarkan besar keluarga.

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga dan status anemia

Besar Keluarga1

Status Anemia Total

Anemia Tidak Anemia

n % n % n %

Kecil (≤ 4 orang) 8 80.0 22 62.9 30 66.7

Sedang (5-6 orang) 2 20.0 11 31.4 13 28.9

Besar (≥ 7 orang) 0 0.0 2 5.7 2 4.4

Rata-rata 3.1 4.2 3.8

Total 10 100.0 35 100.0 45 100.0

33

1) Kategori besar keluarga berdasarkan ketetapan BKKBN 1998.

Secara umum 66.7% dari keseluruhan contoh atau 80.0% contoh pada

kelompok anemia dan 62.9% contoh pada kelompok tidak anemia memiliki

keluarga tergolong keluarga kecil (≤ 4 orang). Keluarga contoh pada kelompok

anemia memiliki jumlah rata-rata anggota keluarga yang lebih sedikit

dibandingkan dengan keluarga contoh pada kelompok tidak anemia. Jumlah

anggota keluarga akan mempengaruhi distribusi makanan di dalam keluarga.

Semakin besar jumlah anggota keluarga maka semakin besar risiko terjadinya

kurang pemerataan terhadap makanan. Dengan kecilnya jumlah anggota

keluarga maka kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi yang akan berpengaruh

terhadap status gizi ibu hamil (Almatsier 2003).

Pendapatan/kapita/bulan

Seluruh keluarga contoh dalam penelitian ini memiliki total pendapatan

antara Rp.425.000,- sampai dengan Rp.10.700.000,- per bulan dengan

rata-rata Rp.1.606.444,- per bulan. Ketika pendapatan per bulan dalam keluarga

dibagi dengan jumlah anggota dalam keluarga tersebut akan menghasilkan nilai

pendapatan/kapita/bulan pada keluarga itu. Hasil pengolahan data menunjukkan

bahwa keluarga contoh memiliki pendapatan per kapita per bulan antara

Rp.85.000,- sampai dengan Rp.1.783.333,- dengan rata-rata pendapatan

per kapita per bulan sebesar Rp. 388.813,-. BPS Kota Bogor (2011)

mengkategorikan pendapatan per kapita per bulan dalam dua

kategori berdasarkan garis kemiskinan Kota Bogor tahun 2010 yaitu,

miskin (<Rp.278.530) dan tidak miskin (≥ Rp.278.530). Tabel 14 berikut

memberikan gambaran sebaran contoh berdasarkan pendapatan/kapita/bulan

pada keluarga contoh.

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan besar pendapatan/kapita/bulan

dan status anemia

Kategori pendapatan/kapita/bulan

2

Status Anemia Total

Anemia Tidak Anemia

n % n % n %

Miskin (< Rp. 278.530) 2 20.0 5 14.3 7 15.5 Tidak Miskin (≥ Rp.278.530) 8 80.0 30 85.7 38 84.5

Total 10 100.0 35 100.0 45 100.0 2)

Kategori pendapatan/kapita/bulan berdasarkan garis kemiskinan Kota Bogor tahun 2010 (BPS 2011)

Secara keseluruhan keluarga contoh, hampir semua berstatus keluarga

tidak miskin dengan persentase sebesar 84.5%. Hanya sebesar 15.5% dari

34

keseluruhan jumlah contoh termasuk dalam kategori keluarga miskin.

Menurut Sediaoetama (1996) pendapatan merupakan salah satu faktor yang

menentukan kualitas dan kuantitas makanan, sehingga terjadi hubungan yang

erat antara pendapatan dan gizi. Namun dalam penelitian ini diketahui sebanyak

14.3% contoh pada kelompok tidak anemia berstatus keluarga miskin. Hal ini

menunjukkan bahwa tidak selamanya contoh dari keluarga miskin identik

menderita anemia.

Hal tersebut mungkin dapat terjadi karena contoh biasa atau patuh

mengonsumsi suplemen penambah darah selama masa kehamilan. Uji korelasi

pearson menunjukkan ada hubungan yang nyata antara besar keluarga dengan

pendapatan/kapita/bulan. Hal itu dibuktikan dengan nilai (p=0.002, r=-0.44).

Artinya, semakin banyak jumlah anggota dalam suatu keluarga, maka tingkat

pendapatan/kapita/bulan dalam keluarga itu akan semakin rendah.

Kebiasaan Konsumsi Pangan Contoh

Kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia

dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan

dan pemilihan makanan (Sanjur 1982). Kebiasaan makan contoh terdiri dari

makan pagi, siang, malam dan selingan. Adapun makanan yang sering

dikonsumsi oleh contoh pada pagi hari adalah nasi dengan lauk-pauk, bubur

ayam, mie kuah, lontong sayur, teh manis dan susu. Pada siang hari rata-rata

contoh mengonsumsi nasi dan lauk pauk serta sayur. Terdapat beberapa contoh

pada siang hari hanya mengonsumsi jajanan seperti mie ayam, mie goreng atau

bakso. Pada malam hari sebagian besar contoh mengonsumsi nasi dan lauk

pauk serta sayuran, tetapi terdapat beberapa contoh yang mengonsumsi mie

kuah atau mie goreng serta susu. Pada penelitian ini masih terdapat beberapa

contoh atau sebagian kecil yang hanya mengonsumsi air putih saja di makan

pagi, siang ataupun malam.

Sebagian besar contoh memiliki kebiasaan makan selingan pada selingan

satu atau antara makan pagi dan siang, sementara hanya 10-15 contoh yang

memiliki kebiasaan makan pada selingan dua (antara makan siang dan malam)

dan tiga (setelah makan malam). Makanan yang paling sering dikonsumsi contoh

pada selingan pagi yaitu susu. Selain susu, sebagian besar contoh juga

mengonsumsi biskuit, roti, bubur kacang hijau, buah atau siomay. Pada selingan

satu, sebagian kecil contoh mengonsumsi nasi dan lauk pauk atau bubur ayam.

35

Adapun makanan yang sering dikonsumsi contoh pada selingan dua adalah nasi

lauk pauk serta sayur.

Sebagian besar contoh memiliki menu makanan yang sama pada setiap

waktu makan utama. Terdapat beberapa contoh yang masih mengonsumsi air

putih saja pada waktu makan utama. Contoh yang telah makan pada selingan

dua atau selingan sore maka biasanya tidak makan pada waktu makan malam

atau pada makan malam contoh tersebut hanya mengonsumsi air putih dengan

makanan kecil saja. Hal yang perlu diperhatikan dalam mempelajari kebiasaan

makan adalah konsumsi pangan (kuantitas dan kualitas), kesukaan terhadap

makanan tertentu. Kepercayaan, pantangan, atau sikap terhadap makanan

tertentu (Wahyuni 1988 dalam Permatahati 2012). Konsumsi pangan merupakan

jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang dengan

tujuan tertentu. Konsumsi pangan pada penelitian ini dibagi menjadi 6 kelompok

pangan yaitu serealia dan olahannya, pangan hewani dan olahannya, kacang-

kacangan dan olahannya, sayur dan olahannya, buah dan olahannya serta susu

dan olahannya. Tabel 15 merupakan rata-rata konsumsi pangan contoh dalam

dua hari berdasarkan hasil recall 2x24 jam.

Tabel 15 Konsumsi pangan contoh

No Kelompok Pangan Rata-rata konsumsi (g)

1 Serealia dan olahannya 487.0

2 Hewani dan olahannya 60.3

3 Nabati dan olahannya 99.5

4 Sayuran dan olahannya 176.0

5 Buah dan olahannya 130.0

6 Susu dan olahannya 271.0

Tabel 15 menunjukkan bahwa konsumsi pangan contoh didominasi oleh

serealia dan olahannya yang ditunjukkan dengan rata-rata konsumsi pangan

sebesar 487 g serealia per hari. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Amrin (2011) bahwa konsumsi pangan tertinggi

pada ibu hamil adalah serelia dan olahannya yaitu sebesar 257 g per hari.

Hal ini mungkin disebabkan karena kebiasaan makan masyarakat Indonesia

lebih didominasi oleh makanan pokok seperti serelia daripada lauk pauk dan

sayuran. Depkes (2005) menyatakan bahwa konsumsi serealia pada ibu hamil

sebanyak 6 penukar, namun pada penelitian ini konsumsi serealia masih kurang

dari yang dianjurkan. Apabila dikonversikan ke dalam satuan penukar, maka 487

g serealia setara dengan 4 penukar nasi.

36

Lebih tingginya konsumsi serealia daripada konsumsi pangan lainnya

tidak hanya terjadi pada penelitian ini saja tetapi juga di India. Penelitian yang

dilakukan oleh Nair dan Iyengar (2009) pada ibu hamil di india bahwa rata-rata

konsumsi serealia sebesar 320 g hingga 477 g dalam sehari. Pangan hewani

merupakan salah satu pangan sumber zat besi. Pada penelitian ini hanya sedikit

jumlah pangan hewani yang dikonsumsi contoh dalam sehari yaitu sebesar

60.3 g. Apabila berat tersebut dikonversikan kedalam satuan penukar, maka

kurang lebih contoh pada penelitian hanya mengonsumsi pangan hewani hanya

satu atau dua penukar saja. Sementara itu Depkes (2005) menyarankan kepada

ibu hamil agar mengonsumsi pangan hewani minimal tiga penukar dalam sehari.

Pangan hewani yang sering dikonsumsi contoh adalah ikan (ikan asin) dan telur.

Menurut Achadi (2007) sumber utama zat besi adalah pangan hewani

terutama yang berwarna merah, seperti hati dan daging namun, contoh yang

mengonsumsi daging dan hati hanya sebagian kecil saja. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa hanya 27.0 % contoh yang mengonsumsi daging. Tingginya

harga daging dipasaran mungkin merupakan salah satu penyebab rendahnya

konsumsi daging. Persentase contoh yang mengonsumsi hati juga masih rendah

sebesar 12.6 %. Darlina (2003) dalam penelitiannya pada ibu hamil di Kota

Bogor mengatakan bahwa sebanyak 53.9% ibu hamil tidak menyukai hati.

Mungkin hal tersebut yang menjadi salah satu penyebab sedikitnya ibu hamil

yang mengonsumsi hati.

Kurangnya konsumsi pangan pada contoh juga terjadi pada pangan

nabati, sayuran, buah-buahan dan susu. Pada penelitian ini, contoh

mengonsumsi pangan nabati sebanyak 99.5 g, sayuran sebanyak 176.0 g,

buah-buahan sebanyak 130.0 g dan susu sebanyak 271 g. Apabila berat

konsumsi pangan tersebut dikonversikan ke dalam satuan penukar maka

konsumsi contoh terhadap pangan-pangan tersebut masih kurang.

Depkes (2005) menyatakan bahwa konsumsi pangan nabati untuk ibu hamil

sebanyak 3 penukar, sayuran sebanyak 3 penukar, buah sebanyak 4 penukar

dan susu sebanyak 3 penukar. Pada penelitian ini pangan nabati, sayuran, buah

dan susu yang dikonsumsi oleh contoh hanya sebanyak satu sampai dua

penukar saja. Rata-rata frekuensi konsumsi akan bahan pangan tertentu

diperoleh dari data Food Frequency Quesionaire (FFQ) contoh . Tabel 16 Berikut

37

disajikan data rata-rata frekuensi dari berbagai kelompok pangan yang

dikonsumsi oleh contoh.

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan kebiasan konsumsi

berbagai kelompok pangan

No Kelompok Pangan n Persentase

(%)

Rata-rata (kali /bulan)

1 Serealia dan olahannya 45 100.0 99.0

2 Daging dan olahannya 12 27.0 9.0

3 Unggas dan olahannya 32 71.0 12.0

4 Ikan dan olahannya 42 93.0 26.0

5 Telur dan olahannya 41 91.0 17.0

6 Susu dan olahannya 34 75.5 38.0

7 Kacang-kacangan dan olahannya 44 97.7 47.0

8 Sayuran dan olahannya 45 100.0 44.0

9 Buah dan olahannya 45 100.0 26.0

10 Minuman 45 100.0 187.0

11 Makanan Ringan (Snack) 45 100.0 30.0

12 Ramuan tradisional/suplemen 26 57.8 20.0

Seluruh contoh biasa mengonsumsi serealia dan olahannya dengan

rata-rata frekuensi konsumsi 3.0 - 4.0 kali sehari. Sebanyak 97.7% contoh biasa

mengonsumsi pangan sumber protein nabati dari kelompok kacang-kacangan

dan olahnnya dengan rata-rata frekuensi konsumsi 1.0-2.0 kali sehari.

Bahan pangan sumber protein nabati yang lebih sering dikonsumsi contoh antara

lain kacang hijau, oncom, tahu, dan tempe. Tidak semua contoh pada penelitian

ini biasa mengonsumsi pangan sumber protein hewani dari kelompok pangan

daging, unggas, ikan, telur dan susu. Hal tersebut dapat diketahui dari

persentase contoh yang mengonsumsi pangan sumber protein hewani

diantaranya sebesar 27.0% contoh biasa mengonsumsi daging dan olahannya

dengan rata-rata frekuensi konsumsi 2.0 kali/minggu, 71.0% biasa mengonsumsi

unggas dan olahnnya dengan rata-rata frekuensi konsumsi 2.0-3.0 kali/minggu,

93.0% biasa mengonsumsi ikan dan olahannya dengan rata-rata frekuensi

konsumsi 1.0 kali/hari, 91.0% biasa mengonsumsi telur dan olahannya dengan

rata-rata frekuensi sebesar 3.0-4.0 kali/minggu, serta sebesar 75.5% biasa

mengonsumsi susu dan olahannya dengan rata-rata frekuensi konsumsi

1.0 kali/hari.

Kemudian yang perlu diketahui selanjutnya yaitu 100.0% contoh pada

penelitian ini biasa mengonsumsi makanan ringan (snack) dengan rata-rata

frekuensi konsumsi satu kali sehari. Makanan ringan (snack) yang biasa

dikonsumsi contoh antara lain biskuit, donat, aneka goreng-gorengan seperti

pisang goreng, bakwan, crieng, serta aneka kripik seperti keripik singkong dan

38

pisang. Terdapat bermacam-macam suplemen yang dikonsumsi ibu hamil

meliputi suplemen zat gizi dan suplemen ramuan tradisional untuk meningkatkan

kecukupan zat gizi mikro guna menunjang pemenuhan akan kebutuhan zat gizi

mikro pada ibu hamil. Tabel 17 berikut memberikan gambaran sebaran contoh

berdasarkan kebiasaan konsumsi suplemen.

Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan konsumsi suplemen

Jenis Suplemen

Status Anemia Total Rata-rata

(kali/bulan) Anemia Tidak

Anemia

n % n % n %

Jamu 1 10.0 4 11.4 5 11.1 8.0

Tablet Ca 0 0.0 1 2.8 1 2.2 30.0

Tablet Multivitamin 2 20.0 9 25.7 11 24.4 30.0

Penambah Darah (sirup) 0 0.0 1 2.8 1 2.2 30.0

Tablet Fe 0 0.0 10 28.5 10 22.2 30.0

Tablet vitamin B 1 10.0 1 2.8 2 4.4 21.0

Tablet vitamin C 2 20.0 2 5.7 4 8.9 21.0

Sub total yang mengonsumsi 6 60.0 28 80.0 34 75.5 20.0

Sub total yang tidak mengonsumsi 4 40.0 7 20.0 11 24.5 0.0

Total 10 100.0 35 100.0 45 100.0 20.0 Secara keseluruhan sebanyak 75.5% contoh atau 60.0% contoh pada

kelompok anemia dan 80.0% contoh pada kelompok tidak anemia biasa

mengonsumsi suplemen zat gizi dan suplemen ramuan tradisional dengan

rata-rata frekuensi konsumsi 20 kali/bulan atau 5 kali/minggu. Suplemen yang

biasa dikonsumsi diantanranya, jamu, tablet Ca, tablet multivitamin, penambah

darah (sirup), tablet Fe, tablet vitamin B dan vitamin C. Suplemen yang paling

banyak dikonsumsi contoh adalah tablet multivitamin sebanyak 24.4% dengan

frekuensi konsumsi satu kali sehari. Selanjutnya diikuti oleh konsumsi tablet Fe

sebanyak 22.2% contoh yang mengonsumsi dengan frekuensi konsumsi satu kali

sehari yang dapat memenuhi kebutuhan akan zat besi guna membantu proses

pembentukan hemoglobin dalam darah. Contoh yang biasa mengonsumsi tablet

terhindar dari masalah anemia. Tablet Ca dan penambah darah (sirup)

paling sedikit dikonsumsi contoh dengan persentase masing-masing sebesar

2.2% dengan frekuensi konsumsi masing-masing 2.0 kali seminggu dan 2.0 kali

sehari. Polifenol seperti tanin dalam teh, kopi dan sayuran tertentu, mengikat besi

heme membentuk kompleks besi tannat yang tidak larut sehingga zat besi tidak

dapat diserap dengan baik (Alsuhendra 2005). Pada penelitian ini konsumsi zat

inhibitor lebih ditujukan pada konsumsi teh dan kopi. Data konsumsi teh dan kopi

39

diperoleh dengan menanyakan frekuensi konsumsi teh melalui FFQ terhadap

contoh. Tabel 18 berikut memberikan gambaran kebiasaan contoh minum

teh dan kopi

Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan minum teh dan kopi

Konsumsi minuman Total Rata-rata

(kali/bulan) n %

Teh tawar 16 35.6 30.0

Teh manis 18 40.0 30.0

Kopi 8 17.8 13.0

Secara keseluruhan contoh lebih banyak mengonsumsi teh manis

dibandingkan dengan teh tawar dengan persentase contoh yang mengonsumsi

teh manis sebanyak 40.0% dengan frekuensi satu kali sehari. Hanya 17.8%

contoh dari keseluruhan yang biasa mengonsumsi kopi dengan frekuensi

konsumsi sebanyak 2.0-3.0 kali seminggu. Kebiasaan minum teh dan kopi dapat

menghambat proses penyerapan zat besi ke dalam tubuh yang mengakibatkan

turunnya kadar hemoglobin dalam darah yang berdampak terhadap risiko

menderita anemia (Sayogo 2007).

Asupan dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi Contoh

Asupan Zat Gizi Contoh

Asupan zat gizi dari konsumsi pangan akan mempengaruhi tingkat

kecukupan zat gizi. Proses terbentuknya hemoglobin terkait dengan asupan

protein, vitamin dan mineral dari konsumsi pangannya antara lain; protein nabati,

protein hewani, vitamin B3, B6, B9, B12, C dan K serta mineral Fe, Cu, Zn dan

Co (Effendi et.al 2009). Pada penelitian ini tidak seluruh unsur pembentuk

hemoglobin dianalisis dengan alasan keterbatasan data sekunder terkait asupan

vitamin dan mineral. Hanya energi, protein, vitamin C, vitamin A, zat besi (Fe),

seng (Zn) dan asam folat (B9). Tabel 19 berikut memberikan gambaran

mengenai asupan zat gizi contoh yang terkait dengan proses pembentukan

hemoglobin.

Tabel 19 Asupan dan tingkat kecukupan zat gizi contoh

No Zat gizi Rata-rata asupan/ hari Angka Kecukupan Gizi3

Tingkat Kecukupan (%)

1 Energi 1545.0 kkal 2100.0 kkal 74.0 2 Protein 49.9 g 67.0 g 75.0 3 Vitamin C 27.0 mg 85.0 mg 31.0 4 Vitamin A 579.0 RE 800.0 RE 72.0 4 Asam folat 187.0 µg 600.0 µg 31.0 5 Zat besi 17.3 mg 26.0 mg 67.0

40

6 Seng 12.0 mg 11.5 mg 101.0 3Angka kecukupan gizi berdasarkan AKG 2004 dengan kondisi fisiologis ibu hamil trimester II

Berdasarkan hasil olah data recall konsumsi pangan dapat diketahui rata-

rata asupan energi, protein, vitamin C, vitamin A, asam folat, zat besi dan seng

contoh per hari dari konsumsi pangannya masing-masing sebesar 1545 kkal,

49.9 g, 27.0 mg, 579.0 RE, 187 µg, 17.3 mg, dan 12.0 mg. Rata-rata asupan

protein hewani dan nabati sebesar 17.3 g dan 32.6 g per hari. Rata-rata asupan

zat besi heme dan non heme masing-masing sebesar 10.4 mg dan 6.9 mg

per hari. Secara keseluruhan rata-rata asupan energi, protein, vitamin C, vitamin

A asam folat dan zat besi pada contoh masih dibawah angka kecukupannya.

Adapun kecukupan zat gizi ibu hamil trimester kedua menurut WNPG (2004)

adalah energi dengan kisaran umur 20-40 tahun sebesar 2100.0 kkal; 67.0 g

protein; 85.0 mg vitamin C; 800.0 RE vitamin A; 600.0 µg asam folat, 35.0 mg zat

besi dan 11.5 mg seng. Sehingga tingkat kecukupan energi, protein, vitamin C,

vitamin A, asam folat, zat besi dan seng per hari dapat diketahui masing-masing

sebesar 74.0%; 75.0%; 31.0%; 72.0 %; 31.0 %; 67.0%; dan 101.0%.

Rendahnya asupan zat gizi pada ibu hamil tidak hanya terjadi pada

penelitian ini melainkan juga terjadi pada penelitian-penelitian sebelumnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Barunawati (2000) di Kabupaten Bogor bahwa

rata-rata asupan energi responden sebesar 1616.0 kkal; 52.8 g protein; 36.6 mg

zat besi; dan 243.3 mg vitamin C. Menurut hasil penelitian Prihananto et al.

(2007) bahwa asupan zat gizi ibu hamil di Kabupaten Bogor sebesar 1412.0 kkal

energi; 30.0 g protein; 618.0 RE vitamin A; 23.8 mg vitamin C; dan 10.5 mg zat

besi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Amrin (2011) mengatakan bahwa rata-

rata contoh di Kota Bogor dalam sehari memiliki asupan energi sebesar 1846

kkal; 58.4 g protein; 23.3 mg zat besi; 3706.3 RE vitamin A; 149.3 vitamin C.

Sementara itu, rendahnya asupan zat gizi pada ibu hamil juga terjadi di

luar Kota Bogor. Penelitian yang dilakukan oleh Prihatini et al. (2009) di Kota

Bau-bau bahwa rata-rata asupan energi pada ibu hamil trimester kedua sebesar

1125.0 kkal; 36.6 g protein; 1222.0 RE vitamin A; 47.0 mg vitamin C; 8.0 mg zat

besi. Effendi (1999) menjelaskan bahwa rendahnya tingkat asupan pangan ibu

hamil dapat disebabkan oleh nafsu makan ibu hamil yang umumnya berkurang

pada empat bulan pertama. Pada penelitian ini sebanyak 78.0% contoh merasa

mual selama kehamilan; 69.5% contoh merasa pusing selama kehamilan; dan

54.7% contoh merasa bahwa dirinya mengurangi makan karena pusing dan mual

41

tersebut. Hal tersebut mungkin menyebabkan kurangnya asupan makan contoh

pada penelitian ini.

Tingkat Kecukupan Gizi (TKG)

Tingkat kecukupan gizi merupakan angka yang menggambarkan

perbandingan zat gizi yang dikonsumsi contoh terhadap angka kecukupan gizi

menurut jenis kelamin, umur, dan kondisi fisiologis contoh. Menurut Depkes

(1996), tingkat kecukupan energi dan protein dikatakan defisit tingkat berat jika

tingkat kecukupan <70 % AKG, defisit tingkat sedang 70-79% AKG, defisit tingkat

ringan jika tingkat kecukupan 80-89% AKG. Normal atau cukup jika tingkat

kecukupan energi antara 90-119% AKG dan berlebih atau diatas kecukupan jika

tingkat kecukupan >120% AKG. Sedangkan untuk tingkat kecukupan vitamin dan

mineral dikatan kurang jika <77% dan cukup jika ≥ 77% (Gibson 2005). Tabel 20

berikut disajikan sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi dan

status anemia contoh.

Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan gizi dan status anemia

Zat gizi Tingkat kecukupan

zat gizi

Anemia Tidak

Anemia Total

n % n % n %

Energi Defisit tingkat berat 5 50.0 15 43.0 20 44.0

Defisit tingkat sedang 1 10.0 4 11.0 5 11.0 Defisit tingkat ringan 3 30.0 7 20.0 10 22.0 Normal 1 10.0 6 17.0 7 16.0 Berlebih 0 0.0 3 9.0 3 7.0

Total 10 100,0 35 100.0 45 100.0

Protein Defisit tingkat berat 5 50.0 104 45.7 21 46.7

Defisit tingkat sedang 0 0.0 21 17.1 6 13.3

Defisit tingkat ringan 0 0.0 20 14.3 5 11.1

Normal 2 20.0 31 11.4 6 13.3

Berlebih 3 30.0 27 11.4 7 15.6

Total 10 100.0 203 100.0 45 100.0

Vitamin A Kurang 7 70.0 22 62.8 29 64.4 Cukup 3 30.0 13 37.2 16 35.6

Total 10 100,0 35 100.0 45 100.0

Vitamin C Kurang 10 100.0 31 88.5 41 91.1 Cukup 0 0.0 4 41.5 4 8.9

Total 10 100,0 35 100.0 45 100.0

Asam Folat Kurang 10 100.0 33 94.2 43 95.5 Cukup 0 0.0 2 5.8 2 4.5

Total 10 100,0 35 100.0 45 100.0

Seng Kurang 8 80.0 12 34.2 20 44.5 Cukup 2 20.0 23 65.8 25 55.5

Total 10 100,0 35 100.0 45 100.0

Zat besi Kurang 6 60.0 25 71.4 31 68.8 Cukup 4 40.0 10 28.6 14 31.2

42

Total 10 100,0 35 100.0 45 100.0

Pada penelitian ini rata-rata contoh memiliki tingkat kecukupan gizi yang

kurang untuk zat gizi makro maupun mikro. Secara keseluruhan, tingkat

kecukupan energi contoh dalam penelitian ini tergolong dalam kategori defisit

tingkat berat dengan persentase sebesar 44.0% atau sebanyak 50.0% contoh

pada kelompok anemia dan 43.0% contoh pada kelompok tidak anemia. Sebesar

16.0% contoh memiliki tingkat kecukupan energi dengan kategori normal dan

7.0% contoh memiliki tingkat kecukupan energi yang berlebih.

Secara keseluruhan, tingkat kecukupan protein contoh dalam penelitian

ini tergolong dalam kategori defisit tingkat berat dengan persentase sebesar

46.7% atau sebanyak 50.0% contoh pada kelompok anemia dan 45.07% contoh

pada kelompok tidak anemia. Walaupun terdapat 13.3% contoh yang memiliki

tingkat kecukupan protein dengan kategori normal tidak menjamin terhindar dari

anemia. Hal itu dibuktikan dengan adanya dua orang contoh yang memiliki

tingkat kecukupan protein normal namun menderita anemia. Hal tersebut terjadi

karena kurangnya asupan protein dari pangan sumber protein hewani yang

memiliki jumlah protein lebih banyak dalam setiap 100 gram bahan yang

dikonsumsi dibandingkan dengan pangan sumber protein nabati.

Sebagian besar contoh dalam penelitian ini lebih biasa mengonsumsi

pangan sumber protein nabati dari kelompok pangan kacang-kacangan dan

berbagai olahannya seperti yang mmerupakan sumber zat besi non heme.

Sayogo (2007) menyatakan penyerapan zat besi non heme lebih rendah

dibandingkan dengan sumber zat besi heme dalam bentuk ferro yang lebih

mudah di serap oleh dinding sel usus.

Secara keseluruhan contoh baik pada kelompok anemia maupun tidak

anemia memiliki tingkat kecukupan vitamin A yang tergolong kurang. Defisiensi

Vitamin A dapat menyebabkan mobilisasi cadangan Fe di dalam tubuh akan

turun. Vitamin A berperan dalam memobilisasi cadangan Fe tubuh untuk dapat

mensintesa hemoglobin. Apabila jumlah vitamin A di dalam tubuh kurang, akan

mempengaruhi status besi dengan menghambat penggunaan zat besi pada

proses erythropoesis (Setiyobroto et al. 2004 dalam Andriani 2012).

Rata-rata tingkat kecukupan vitamin C dan asam folat contoh baik pada

kelompok anemia maupun tidak anemia tergolong kurang. Vitamin C berperan

membantu proses penyerapan zat besi non heme, sehingga jika terjadi

43

kekurangan vitamin C maka jumlah zat besi yang diserap akan berkurang dan

bisa terjadi anemia (Sayogo 2007). Asam folat dalam tubuh berperan dalam

proses pembentukan sel darah merah. Ketika makanan sumber asam folat di

konsumsi, asam folat yang tercerna kemudian dikirim ke hati. Hati

menyimpannya sebagian dan mengirimkan sebagian lainnya ke sumsum tulang.

Dalam sumsum tulang inilah asam folat digunakan untuk membuat sel darah

merah (Khomsan 2002). Pada masa kehamilan, ibu memerlukan asam folat lebih

banyk daripada biasanya untuk keperluan tumbuh kembang janin.

Bila kadar asalm folat rendah maka akan menyebabkan bayi lahir

cacat, mengalami gangguan syaraf (spina bifida), atau retardasi mental

(Khomsan 2002).

Tingkat kecukupan mineral seng dan besi contoh, baik pada kelompok

anemia maupun tidak anemia masing masing tergolong cukup dan kurang.

Seng mempengaruhi penyerapan besi. Di dalam darah, seng juga dapat

berikatan dengan transferin (protein pengangkut yang berperan dalam

pengangkutan besi di dalam darah). Dalam individu yang sehat, transferin

biasanya kurang dari 50% jenuh terhadap besi, tetapi dalam keadaan berlebihan,

kejenuhannya dapat meningkat. Diet dari makanan seharusnya mengandung

porsi zat besi dua kali lebih besar dibandingkan dengan seng sehingga

lebih sedikit transferin yang mengikat seng. Dengan demikian absorbsi seng

akan lebih rendah. Jika diet menyediakan lebih besar seng daripada besi,

maka penyerapan besi akan terhambat oleh seng (Whitney & Rolfes 2008 dalam

Hardiansyah 2012).

Sedangkan besarnya persentase contoh yang memiliki tingkat kecukupan

zat besi dalam kategori kurang disebabkan oleh kurangnya asupan zat besi

dari pangan sumber zat besi heme yang dapat diperoleh dari pangan hewani.

Pangan sumber protein nabati sebagai sumber zat besi non heme dari kelompok

pangan kacang-kacangan dan olahannya penyerapannya lebih rendah

dibandingkan dengan sumber zat besi heme. Diperlukan bantuan vitamin C

untuk mereduksi zat besi non heme dalam bentuk ferri menjadi ferro agar lebih

mudah dalam proses penyerapan ke dalam tubuh. Namun ternyata tingkat

kecukupan vitamin C contoh juga kurang, ditambah lagi dengan jumlah asupan

seng yang lebih besar dibandingkan dengan zat besi mengakibatkan

terhambatnya penyerapan zat besi ke dalam tubuh.

44

Hubungan Karakteristik Contoh dan Keluarga dengan Kadar Hb

Hubungan umur contoh dengan kadar Hb

Uji korelasi pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang

nyata antara umur contoh dengan kadar Hb (p>0.05) (lampiran 1).

Hasil penelitian Tristiyanti (2006) juga menyatakan bahwa umur tidak

berhubungan dengan kadar Hb. Tidak adanya hubungan tersebut karena umur

merupakan faktor yang secara tidak langsung penyebab anemia. Selain itu

hampir sebagian besar contoh dalam penelitian ini berada pada rentang umur

tidak berisiko.

Hubungan Besar Keluarga dengan kadar Hb

Hasil Uji korelasi pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang

nyata antara besar keluarga dengan kadar Hb (p>0.05) (Lampiran 1).

Hal ini diduga karena besar keluarga secara tidak langsung berhubungan

dengan kadar hemoglobin. Yunita (2006) menyatakan tidak ada hubungan antara

besar keluarga dengan kadar Hb karena status pekerjaan mempengaruhi

pendapatan guna memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga.

Semakin besar jumlah anggota keluarga maka semakin besar risiko terjadinya

kurang pemerataan terhadap makanan. Namun hal tersebut tidaklah cukup untuk

menarik kesimpulan. Ada faktor lain yang perlu diperhatikan yaitu mengenai jenis

sumber pangan apa yang biasa dikonsumsi dalam keluarga tersebut.

Hubungan Tingkat Pendidikan dengan kadar Hb

Berdasarkan Uji korelasi pearson diperoleh hasil bahwa tidak terdapat

hubungan yang nyata antara tingkat pendidikan contoh dengan kadar Hb

(p>0.05). Hal ini juga diduga karena tingkat pendidikan tidak secara langsung

berhubungan dengan kadar hemoglobin. Pendidikan sebagai proses

pembentukan pribadi, diartikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan

sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik (Arisman 2007).

Faktor pendidikan seharusnya mempengaruhi pola makan ibu hamil,

tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi

tentang gizi yang dimiliki lebih baik sehingga bisa memenuhi asupan gizinya.

Tristiyanti (2006) menyatakan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan

dengan kadar Hb diduga dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya, seperti perilaku

contoh dalam memilih pangan yang akan dikonsumsinya. Tidak menjamin contoh

yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dan memiliki akses informasi lebih

45

tentang gizi dalam masa kehamilan dapat menerapkan pola makan yang benar

selama masa kehamilan sesuai dengan kebutuhan gizi ibu hamil.

Hubungan Pendapatan/kapita/bulan dengan kadar Hb

Hasil Uji korelasi pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan

antara pendapatan per kapita dengan kadar hemoglobin (p>0.05) (Lampiran 1)

Hal ini juga diduga karena pendapatan tidak secara langsung berhubungan

dengan kadar hemoglobin. Kemampuan keluarga untuk membeli bahan

makanan antara lain tergantung pada besar kecilnya pendapatan keluarga,

harga bahan makanan itu sendiri, serta tingkat pengelolaan sumber daya lahan

dan pekarangan. Keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar

akan kurang dapat memenuhi kebutuhan akan makanannya, terutama untuk

memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya. Terutama zat gizi yang terkait

dengan kadar hemoglobin yaitu protein dan zat besi dari pangan yang biasa

dikonsumsi.

Tingkat pendapatan dapat menentukan pola makan. Pendapatan

merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas hidangan.

Menurut Sediaoetama (1996) pendapatan merupakan salah satu faktor yang

menentukan kualitas dan kuantitas makanan, sehingga terjadi hubungan yang

erat antara pendapatan dan gizi. Semakin banyak mempunyai uang berarti

semakin baik makanan yang diperoleh. Namun semua hal tersebut tidak

menjamin bahwa setiap keluarga yang memiliki pendapatan per kapita per bulan

yang tinggi akan sadar untuk memenuhi kebutuhan gizi ibu hamil.

Hubungan Nilai LILA dengan Kadar Hb

Hasil Uji korelasi pearson menunjukkan terdapat hubungan yang nyata

antara nilai LILA dengan kadar Hb (p<0.05) (Lampiran 1). Artinya, Semakin kecil

nilai LILA maka akan semakin rendah nilai kadar hemoglobin contoh.

Status gizi ibu yang diukur melalui LILA mencerminkan cadangan zat gizi

dan kondisi status gizi ibu hamil sebelum dan selama masa kehamilan.

Jika LILA < 23.5 cm berarti contoh mengalami Kurang Energi Kronis (KEK)

dalam waktu sangat lama yang mengakibatkan asupan energi dari zat gizi makro

lainnya seperti dari protein dialokasikan guna memenuhi kebutuhan energi ibu

hamil terlebih dahulu untuk menyediakan cadangan energi di dalam sel otot.

Pembentukkan hemoglobin erat kaitannya dengan kecukupan energi,

protein dan zat besi (Sayogo 2007). Proses pembentukan sel darah merah

membutuhkan ketersediaan energi yang cukup. Untuk mengangkut oksigen,

46

protein harus berikatan dengan zat besi membentuk myoglobin di dalam serabut

otot kemudian membentuk enzim yang berperan dalam pembentukan energi di

dalam sel. Apabila energi di dalam sel dirasa cukup ketersediaannya, maka

protein dan zat besi yang saling berikatan akan membentuk hemoglobin dan

mengangkut oksigen dan dalam darah. Sehingga kadar hemoglobin akan

menjadi indikator status anemia. Oleh karena itu, asupan protein dan zat besi

harus tercukupi selama masa kehamilan karena berperan sangat penting dalam

proeses pembentukan hemoglobin. Apabila pada saat hamil, ibu mengalami

kurang energi kronis (KEK) berarti menunjukkan kekurangan energi dalam waktu

yang sangat lama yang akhirnya berdampak pada kondisi fisiologis sekarang

atau saat ini terkait dengan pembentukan hemoglobin yang tidak optimal dalam

proses sintesis darah merah.

Hubungan Tingkat Kecukupan Energi, Protein dan Zat Besi

dengan Kadar HB

Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dengan Kadar Hb

Berdasarkan uji korelasi pearson maka diperoleh hasil bahwa tidak

terdapat hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan energi dengan kadar Hb

(p>0.05) (Lampiran 1). Tidak adanya hubungan diduga karena asupan energi

yang diperoleh sebagian besar berasal dari pangan sumber karbohidrat sehingga

tidak memberikan sumbangan zat besi dalam jumlah besar. Sebagaimana

diketahui bahwa pangan yang memberikan kontribusi lebih banyak dalam

hubungannya dengan hemoglobin sebagai indikator status anemia adalah zat

besi. Menurut Sayogo (2007), zat gizi besi (Fe) merupakan kelompok mineral

yang diperlukan, sebagai inti dari hemoglobin, unsur utama sel darah merah.

Fungsi sel darah merah itu penting mengingat tugasnya antara lain sebagai

sarana transportasi zat gizi, dan terutama juga oksigen yang diperlukan pada

proses fisiologis dan biokimia dalam setiap jaringan tubuh.

Hubungan Tingkat Kecukupan Protein dengan Kadar Hb

Hasil Uji korelasi pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan

yang signifikan anatara tingkat kecukupan protein dan dengan kadar Hb (p>0.05)

(Lampiran 1). Tidak adanya hubungan diduga karena pangan sumber protein

yang biasa dikonsumsi contoh merupakan sumber protein nabati dari kelompok

pangan kacang-kacangan, sayuran dan olahannya. Sebagaimana diketahui

bahwa pangan nabati merupakan sumber zat besi non heme.

47

Dalam penyerapannya, sumber zat besi non heme lebih rendah dibandingkan

dengan sumber zat besi heme (Sayogo 2007). Selain itu tingginya tingkat

kecukupan seng yang melebihi tingkat kecukupan zat besi dalam penelitian ini

menyebabkan transferin sebagai protein pembawa zat besi berikatan penuh

dengan seng yang berdampak terhadap rendahnya proses pengikatan zat besi

sehingga menghambat proses penyerapan dan mobilisasi zat besi kedalam

tubuh hal tersebut didukung oleh Whitney & Rolfes (2008) dalam Hardiansyah

(2012), yang menyatakan jika diet menyediakan lebih besar seng daripada besi,

maka penyerapan besi akan terhambat oleh seng.

Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Besi dengan Kadar Hb

Hasil Uji korelasi pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan

yang nyata antara tingkat kecukupan zat besi dan dengan kadar Hb (p>0.05)

(Lampiran 1). Hal ini diduga karena pangan sumber zat besi yang dikonsumsi

sangat kurang atau bukan berasal dari besi heme sehingga kurang bisa

mendukung keberadaan zat besi dalam tubuh. Selain itu kemungkinan besar

konsumsi besi non heme tidak diimbangi dengan konsumsi besi heme.

Sebagaimana diketahui bahwa besi heme lebih mudah diserap oleh tubuh

daripada besi non heme. Selain itu menurut Almatsier (2009), makan besi heme

dan non heme secara bersamaan dapat meningkatkan penyerapan besi non

heme.

Contoh pada penelitian ini biasa mengonsumsi pangan sumber besi

heme (berasal dari kelompok pangan hewani) dalam frekuensi yang lebih rendah

jika dibandingkan dengan frekuensi konsumsi pangan sumber besi non heme

(berasal dari kelompok pangan nabati). Tingkat kecukupan vitamin A, Vitamin C,

dan asam folat sebagai unsur pembentuk hemoglobin yang tergolong menjadi

salah satu penyebab tidak ada hubungan tingkat kecukupan zat besi dengan

kadar hemoglobin. Apabila jumlah vitamin A di dalam tubuh kurang, akan

mempengaruhi status besi dengan menghambat penggunaan zat besi pada

proses erythropoesis (Setiyobroto et al. 2004 dalam Andriani 2012).

Vitamin C berperan membantu proses penyerapan zat besi non heme, sehingga

jika terjadi kekurangan vitamin C maka jumlah zat besi yang diserap akan

berkurang dan bisa terjadi anemia (Sayogo 2007). Asam folat yang

kurang menyebabkan proses pembentukan sel darah merah tidak

optimal (Khomsan 2002).

48

Menurut Kartono dan Soekatri (2004) diacu dalam Permatahati (2012)

bahwa status besi seseorang juga dipengaruhi oleh penyerapan besi.

Menurut Almatsier (2004) diperkirakan hanya 5-15% besi dari makanan yang

diabsorpsi oleh orang dewasa yang berada dalam status besi baik sedangkan

dalam keadaan defisiensi besi absorpsi dapat mencapai 50%. Apabila absorpsi

besi tinggi maka bioavailabilitasnya pun akan tinggi. Namun hasil penelitian

Permatahati (2012) menyatakan bahwa bioavailabilitas zat besi tidak

berhubungan dengan kadar Hb yang memiliki arti apabila bioavailabilitas zat besi

rendah maka belum tentu kadar haemoglobin juga rendah ataupun sebaliknya.

Tidak ada hubungan disebabakan karena faktor lain selain konsumsi

yang berpengaruh terhadap kadar hemoglobin ibu hamil diantaranya karena

kehamilan berulang dalam waktu singkat, sehingga cadangan zat gizi ibu yang

sebenarnya belum pulih akhirnya terkuras untuk keperluan janin yang dikandung

berikutnya (Khomsan 2002), perdarahan akibat penyakit atau infeksi parasit dan

saluran pencernaan serta proses hemolisis atau penghancuran sel darah merah

sebelum waktunya (Wirakusumah 1998). Penelitian yang dilakukan oleh Ayoya et

al (2006) di Banconi menunjukkan bahwa tingginya angka anemia memiliki

hubungan yang nyata (p<0.01) dengan adanya penyakit infeksi.

49

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Sebanyak 77.8% contoh berstatus normal, 22.2% contoh berstatus

anemia tingkat ringan serta tidak ada contoh yang berstatus anemia tingkat

berat. Prevalensi anemia di wilayah penelitian sebesar 22.2%. Sebagian besar

contoh, baik pada kelompok anemia dan tidak anemia tidak berstatus KEK.

Karakteristik contoh dan keluarga pada penelitian ini baik pada kelompok

anemia maupun tidak anemia sebagian besar berumur 20-29 tahun,

berpendidikan SD/sederajat, tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga, suami

berpendidikan SMA/sederajat dan bekerja, tergolong keluarga kecil (≤4orang)

dan tidak miskin dengan pendapatan/kapita/bulan ≥ Rp. 278.530.

Konsumsi pangan contoh didominasi oleh serealia dan pangan nabati

beserta olahannya yang ditunjukkan dengan rata-rata konsumsi serealia sebesar

487 g dengan frekuensi konsumsi 3-4 kali sehari dan konsumsi pangan nabati

sebanyak 99.5 g per hari dengan frekuensi konsumsi sebanyak 3-4 kali sehari.

Rata-rata asupan protein nabati dan zat besi non heme dari pangan nabati

sebesar 32.6 g dan 10.4 mg per hari. Konsumsi hewani sebagai sumber protein

hewani dan zat besi heme masih sedikit dikonsumsi oleh contoh yaitu sebesar

60.3 g dengan frekuensi konsumsi antara 1-2 kali seminggu dengan rata-rata

asupan protein hewani dan zat besi heme sebesar 17.3 g dan 6.9 mg per hari.

Konsumsi serealia, pangan hewani, pangan nabati, sayuran dan buah pada

contoh masih lebih rendah dari ketetapan yang seharusnya. Rata-rata asupan

energi, protein, vitamin A, vitamin C, asam folat, dan zat besi contoh

lebih kecil daripada angka kecukupan yang dianjurkan. Hal tersebut

menyebabkan sebagian besar contoh memiliki tingkat kecukupan energi

dan protein dalam kategori defisit tingkat berat (TKG <70%AKG) serta

kecukupan vitamin A, vitamin C , asam folat, dan zat besi juga dalam kategori

kurang (TKG < 77% AKG).

Uji korelasi pearson menunjukkan karakteristik contoh dan keluarga,

tingkat kecukupan energi, protein dan zat besi tidak berhubungan dengan kadar

hemoglobin (p>0.05), melainkan nilai LILA yang berhubungan dengan kadar

hemoglobin (p<0.05).

50

Saran

Pemerintah Daerah Kota Bogor disarankan untuk melakukan penyuluhan

kesehatan ibu hamil yang dilakukan secara rutin oleh Dinas Kesehatan Kota

Bogor yang dapat dilaksanakan di Puskesmas atau Posyandu setempat tentang

makanan sehat bagi ibu hamil. Khususnya terkait dengan sangat pentingnya

mengonsumsi pangan sumber protein hewani, zat besi dan pangan yang

membantu proses penyerapan zat besi selama masa kehamilan agar terhindar

dari anemia. Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan kepada ibu hamil agar

meningkatkan konsumsi pangan sumber protein hewani sebagai sumber zat besi

heme sekitar 100-150 g sehari setara daging sapi atau hati guna memenuhi

anjuran Depkes (2005) yang menyarankan kepada ibu hamil agar mengonsumsi

pangan hewani minimal tiga penukar dalam sehari.

Kemudian tingkatkan konsumsi buah-buahan yang banyak mengandung

vitamin C sekitar 200-300 g buah per hari setara jeruk manis atau jambu biji

guna meningkatkan penyerapan zat besi ke dalam tubuh. Selain itu disarankan

agar ibu hamil mengonsumsi suplemen zat besi agar kebutuhan zat besi selama

kehamilan dapat tercukupi. Sehingga diharapkan prevalensi anemia ibu hamil di

Kota Bogor dapat terus diturunkan.

51

DAFTAR PUSTAKA

Achadi LE. 2007. Gizi dan Kesehatan Mayarakat Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada. Almatsier S.2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. ________ .2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. ________. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Alsuhendra. 2005. Sudah banyak konsumsi sayur masih saja kurang darah.

[terhubung berkala]. http://halamui.or.id. [2 Februari 2012].

Amrin AP. 2011. Pengetahuan dan sikap gizi, praktek konsumsi susu serta status

gizi ibu hamil [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas

Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Andriani N. 2012. Analisis Asupan Zat Gizi Mikro dan Hubungannya dengan Status Besi Pada Ibu Hamil di Wilayah Bogor [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Anggraeni AC. 2007. Asuhan Gizi Nutritional Care Process. Yogyakarta:

Graha Ilmu. Arisman MB. 2007. Gizi dalam daur Kehidupan: Gizi Wanita Hamil. Jakarta:

EGC. Hlm 4-25. Aritonang E. 2010. Kebutuhan Gizi Ibu Hamil. Bogor : IPB Press Ayoya M, et al. 2006. Determinants of anemia among pregnant women in Mali.

Food and Nutrition Bulletin. 27(1): 3-11. Bakta IM. 2006. Pendekatan terhadap Pasien Anemia. Di dalam: Sudoyo AW,

editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Barunawati M. 2000. Keragaan konsumsi pangan dan kadar mineral besi (fe) dan

seng (zn) dalam serum darah ibu hamil [skripsi]. Bogor : Departemen Gizi

Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Briawan D. 2008. Efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan

status besi remaja putri [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana,

Institut Pertanian Bogor.

[BKKBN] Badan Koordinasi keluarga Berencana Nasional. 1998. Opini Pembangunan Keluarga Sejahtera. Jakarta : Kantor Menteri Negara Kependudukan/Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.

52

[BPS] Biro Pusat Statistik.2011. Statistik Indonesia 2011. Jakarta Darlina, Hardinsyah. 2003. Faktor resiko anemia di Kota Bogor. Media gizi

keluarga. 27(2):34-41.

Darlina. 2003. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia gizi pada ibu hamil [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 1994. Pedoman Pemantauan Wilayah

Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-KIA). Jakarta: Depkes RI ___________________________.1996. Pedoman Operasional Penanggulangan

Anemia Gizi di Indonesia. Jakarta: Depkes RI. ___________________________.1998. Pedoman Penanggulangan Anemia

Gizi Untuk Remaja Putri dan Wanita Subur. Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat.

___________________________.2001. Laporan Survei Kesehatan Rumah Tangga 2004 : studi Tindak Lanjut Ibu Hamil. Jakarta: Depkes RI

___________________________.2003. Program Penanggulangan Anemia Gizi pada Wanita Usia Subur (WUS). Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat Ditjen Bina Kesmas.

___________________________.2005. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat.

___________________________.2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.

[Dinkes] Dinas Kesehatan Jawa Barat. 2003. Akselerasi pencapaian visi Jawa Barat menuju IPM 80 Tahun 2008 Melalui pembangunan Kesehatan. Dinas Kesehatan Jawa Barat.

Effendi YH. 1999. Dampak makanan tambahan multi gizi terhadap status biokimia darah ibu hamil [skripsi]. Bogor: Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Effendi YH, Dewi M. 2009. Patofisiologi Gizi. Bogor : Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

Fatmah B. 2007. Anemia Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rajawali Pers.

Gibson RS. 2005. Principal of Nutritional Assesment. Ed ke-2. Oxford: Oxford University Press.

53

Hardiansyah A. 2012. Efek suplementasi multivitamin mineral terhadap kadar hemoglobin dan hematokrit mahasiswi TPB IPB. [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Hardinsyah, Briawan D.1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor : Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya keluarga. Fakultas Pertanian IPB.

Ipa A. 2010. Status gizi dan pengetahuan ibu hamil tentang pemberian ASI ekslusif di Kelurahan Maccini Kecamatan Makassar. Media Gizi Pangan. 9 (1):27-32.

Kee. L. 2007. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik. Edisi 6. Jakarta: Penertbit Buku Kedokteran EGC.

Khomsan A. 2000. Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan. Bogor: Fakultas

Pertanian. Institut Pertanian Bogor Kusharto CM. 2010. Penilaian Konsumsi Pangan. Diktat. Bogor : Fakultas

Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Mahan LK, Escott-Stump S. 2004. Krause’s Food, Nutrition, and Diet Therapy.

(11thed) Philadelphia : Elsevier. Manuaba IBG. 1999. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta : Arcan Marcia N et al. 2010. Nutrition Therapy and Pathophysiology second edition.

USA : Wadsworth Cengage Learning.

Muslimatun S. 2000. Weekly Supplementation with iron and Vitamin A during Pregnancy Increases Hemoglobin Concentration but Decreases Serum Ferritin Concentration In Indonesia Pregnant Women. Journal Of Nutrition.131-1

Nair KM, Iyengar V. 2009. Iron content, bioavailability and factors affecting iron status of Indians. Indian journal of medical research. 130 (5): 634-645

O’Brien KO, Zavaleta N, Caulfield LE, Yang DX, Abrams SA. 1999. Influence of prenatal iron and zinc supplement on supplemental iron absorbtion, red blood cell iron incorporation and iron status in pregnant Peruvian women. Am J Clin Nutr 69 : 509---515.

Permatahati I. 2012. Bioavailabilitas Zat Besi dan Konsumsi Pangan pada Ibu Hamil di Kota Bogor [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Prihananto V, Sulaeman A, Riyadi H, Palupi NHS. 2007. Pengaruh pemberian

makanan tambahan terhadap konsumsi energi dan protein ibu hamil. Jurnal gizi dan pangan. 2(1): 16-21

54

Prihatini S, Jahari AB, Sebayang S, Iswidahni. 2009. Gambaran konsumsi makanan dan status anemia ibu hamil sampel penelitian summit (the supplementation with multiple mikronutrients intervention trial) di Lombok. Penelitian gizi dan makanan. 32(1): 37-44

Probohandojo K. 1989. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta : Departemen Pendidikan dan kebudayaan

Rimbawan, Baliwati YF. 2004. Masalah Pangan dan Gizi. Di dalam : Baliwati YF,

Khomsan A & Dwiriani CM, editor. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta : Penebar Swadaya.

Sanjur D 1982. Social and Cultural Perspective in Nutrition: Engelwood Cliffs: Prentice Hall.

Sayogo S. 2007. Gizi Ibu Hamil. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Sediaoetama AD. 1996. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jilid II. Jakarta: Dian Rakyat.

Soenarko. 2002. Anemia gizi status kini dan harapan masa datang. [Prosiding]

WKNPG 2002

Suhardjo D. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC Tristiyanti WF. 2006. Faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia pada ibu

hamil di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor Jawa Barat [skripsi]. Bogor : Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

UNICEF. 1998. Preventing Iron Defisiency in Women and Children : Background

and Consensus on Key Technical Issues and Resource for Advocacy,

Planning and Implementing National Programs. Canada : International

Nutrition Foundation (INF)

Wijanti RE, Rahmaningtyas I, Widari D. 2012. Hubungan pola makan ibu hamil trimester III dengan kejadian anemia. Tunas-tunas riset kesehatan. 2(2):85-90.

Wijianto. 2002. Dampak Suplementasi Tablet Tambah Darah (TTD) dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap anemia gizi ibu hamil di Kabupaten Banggai Propinsi Sulawesi Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi manusia, Institut Pertanian Bogor

Wirakusumah ES. 1998. Perencanaan Menu Anemia Gizi Besi. Jakarta : Trubus

Agriwidya.

55

[WHO] World Health Organization. 2001. Iron Deficiency Anaemia, Assesment, Prevention, and Control : A guide for programme managers. Geneva : World Health Organization.

_____________________________. 2005. Worldwide prevalence of anemia in 1993-2005. Geneva : World Health Organization.

[WNPG] Widyakarya Nasional Pangan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI.

Yunita E. 2006. Status anemia ibu hamil dan berat badan lahir serta faktor-faktor yang mempengaruhi di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Lampiran 1 Hasil uji hubungan antar peubah dengan kadar hemoglobin

Umur Besar_Kel Tk_Pend_Cont Pendptn_Kapita LILA TKP TKFE TKE Kadar_HB

Umur Pearson Correlation

1

Sig. (2-tailed)

Besar_Kel Pearson Correlation .054

1

Sig. (2-tailed) .726

Tk_Pend_Cont Pearson Correlation .072 -.005

1

Sig. (2-tailed) .640 .972

Pendptn_Kapita Pearson Correlation -.273 -.449** .299*

1

Sig. (2-tailed) .069 .002 .046

LILA Pearson Correlation .387** .077 .145 -.264

1

Sig. (2-tailed) .009 .614 .341 .080

TKP Pearson Correlation -.074 -.017 .104 -.011 .016

1

*

Sig. (2-tailed) .627 .911 .496 .942 .919

TKFe Pearson Correlation -.015 .063 .151 -.151 .099 .751**

1

Sig. (2-tailed) .921 .683 .321 .323 .518 .000

TKE Pearson Correlation -.122 .004 .176 -.018 .059 .924** .797**

1

Sig. (2-tailed) .423 .980 .249 .908 .700 .000 .000

Kadar_HB Pearson Correlation .073 .128 .263 -.063 .429** -.030 .179 .091

1 Sig. (2-tailed) .634 .402 .081 .683 .003 .844 .239 .552

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).