HUBUNGAN TINGKAT KECUKUPAN PROTEIN
DAN ZAT BESI (Fe) DENGAN KADAR HEMOGLOBIN IBU HAMIL
DI KOTA BOGOR
ERDI HUMEID
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2013
ABSTRACT
ERDI HUMEID. Relationship Between %RDA of Protein and Iron with
Levels of Hemoglobin at Pregnant Mother in Bogor City. Supervised by
SITI MADANIJAH and YEKTI HARTATI EFFENDI
Levels of hemoglobin is one of the most common indicator used to
determine the status of iron deficiency anemia, which is closely related by intake
of protein and iron that increased and must be adequate during pregnancy.
The aim of study was to explain relationship between %RDA of protein and iron
with levels of hemoglobin at pregnant mother in Bogor City. The design of
this study was cross-sectional study, and the number of samples were
45 pregnant women. The result of the research show that the anemia prevalence
was 22.2%. Consumption of animal foods as a source of iron was still low
(60.3 g) it might for 68.8% of the samples had inadequate iron. Intake of
vitamin C as a enhancer of iron bioavailability was 27.0 mg. This study has
shown that intake of heme iron (6.9 mg) was lower than the non-heme iron
(10.4 mg). Most of sample on group anemia and non anemia has %RDA
of energy and protein as a deficit level of heavy and then %RDA of vitamin A,
vitamin C, folic acid, and iron as a deficit. Results test correlation show there is
no relation between %RDA of protein and iron with levels of hemoglobin (p>0.05)
Key words: hemoglobin, anemia, pregnant mother, %RDA of Nutrients.
RINGKASAN
ERDI HUMEID. Hubungan Tingkat Kecukupan Protein dan Zat Besi (Fe) dengan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil di Kota Bogor. Di bawah bimbingan SITI MADANIJAH dan YEKTI HARTATI EFFENDI
Kadar hemoglobin merupakan salah satu indikator paling umum yang
digunakan dalam penentuan status anemia defisiensi zat besi yang sangat erat kaitannya dengan asupan protein dan zat besi yang meningkat dan harus tercukupi selama masa kehamilan. Tujuan umum penelitian ini untuk menjelaskan hubungan tingkat kecukupan protein dan zat besi dengan kadar hemoglobin Ibu hamil di Kota Bogor yang bertujuan khusus untuk mengetahui: (1) status anemia, prevalensi anemia dan status gizi ibu hamil di wilayah penelitian; (2) karakteristik contoh berdasarkan umur, besar keluarga, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan dengan status anemia; (3) kebiasaan konsumsi pangan, asupan zat gizi serta tingkat kecukupan zat gizi contoh, serta (4) menganalisis hubungan karakteristik contoh dan keluarga, nilai LILA, tingkat kecukupan energi, protein dan zat besi dengan kadar Hb.
Penelitian ini menggunakan sebagian data dasar Studi tentang Status Gizi dan Pola Makan pada Wanita Pra-Hamil (Usia Subur), Ibu Hamil, dan Menyusui yang telah dilakukan oleh SEAFAST Center IPB menggunakan data konsumsi pangan (recall 2X24 jam dan kuesioner frekuensi pangan (FFQ). Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Lokasi penelitian di Kota Bogor, meliputi enam kecamatan (Kecamatan Bogor Utara, Selatan, Barat, Timur, Tengah, dan Tanah Serial. Contoh adalah 45 ibu hamil yang bermukim di enam kecamatan di Kota Bogor dengan kriteria meliputi (1) umur 20-40 tahun, (2) usia kehamilan trimester II (3-6 bulan), (3) pengeluaran rumah tangga berada pada kuintil-2, 3 dan 4.(Kuintil-2 Rp. 253.875- Rp.330.787), (kuintil-3 Rp.332.781-Rp.430.137), (kuintil-4 Rp.432.210-Rp.618.983) (SUSENAS 2009). Kemudian contoh diambil darahnya untuk dilakukan analisis kadar hemoglobin. Sebelum contoh diambil darahnya dikenakan kriteria sehat dinyatakan oleh dokter setelah dilakukan pemeriksaan klinis.
Data yang dikumpulkan meliputi data karakteristik contoh dan keluarga, antropometri, konsumsi makanan, kebiasaan makan, pemeriksaan klinis, serta data status besi (hemoglobin). Semua data dimasukkan dan diolah menggunakan program Microsoft Excel kemudian dianalis secara deskritpif. Selanjutnya dilakukan analisis secara inferensia dengan uji korelasi pearson menggunakan SPSS 16.0 for windows
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa sebanyak 77.8% contoh tidak menderita anemia, 22.2% menderita anemia tingkat ringan, serta tidak ada yang menderita anemia tingkat berat. Prevalensi anemia ibu hamil di wilayah penelitian sebesar 22,2%. Sebanyak 80.0% dari keseluruhan contoh tidak menderita KEK. Karakteristik Ibu hamil trimester ke II yang dikelompokan dalam dua kelompok (10 orang, 22.2%) anemia dan (35 orang, 77.8%) tidak anemia menunjukkan secara umum 55.6% dari keseluruhan contoh berumur antara 20.0-29.0 tahun dengan rata-rata umur 29.0 tahun. Sebanyak 40.0% contoh dari keseluruhan berpendidikan SMA/sederajat namun terlihat sebanyak 80.0% contoh pada kelompok anemia berpendidikan SD/sederajat hingga SMP/sederajat. Secara umum 48.9% suami contoh berpendidikan SMA/sederajat. Sebanyak 86.7% dari keseluruhan berstatus tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga. Seluruh suami contoh baik pada kelompok anemia maupun tidak anemia berstatus bekerja. Secara umum 66.7% dari keseluruhan contoh
tergolong keluarga kecil (≤4orang). Seluruh keluarga contoh memiliki rata-rata total pendapatan Rp.1.606.444 per bulan dan rata-rata pendapatan/kapita/bulan Rp.388.813. Secara keseluruhan 84.5% keluarga contoh berstatus keluarga tidak miskin.
Konsumsi pangan contoh didominasi oleh serealia dan pangan nabati beserta olahannya yang ditunjukkan dengan rata-rata konsumsi serealia sebesar 487 g dengan frekuensi konsumsi 3-4. kali sehari dan konsumsi pangan nabati sebanyak 99.5 g per hari dengan frekuensi konsumsi sebanyak 3-4 kali sehari. Rata-rata asupan protein nabati dan zat besi non heme dari pangan nabati sebesar 32.6 g dan 10.4 mg per hari. Konsumsi pangan hewani sebagai sumber protein hewani dan zat besi heme masih sedikit dikonsumsi oleh contoh yaitu sebesar 60.3 g dengan frekuensi konsumsi antara 1-2 kali seminggu dengan rata-rata asupan protein hewani dan zat besi heme sebesar 17.3 g dan 6.9 mg per hari. Konsumsi serealia, pangan hewani, pangan nabati, sayur dan buah masih lebih rendah dibandingkan dengan ketetapan yang sudah ada. Rata-rata asupan contoh sebesar 1545.0 kkal energi, 49.9 g protein, 579.0 RE vitamin A, 27.0 mg vitamin C, 187.0 µg asam folat , 12 mg seng, dan 17.3 mg zat besi. Hampir separuh (44.0%) contoh memiliki tingkat kecukupan energi defisit tingkat berat (TKE <70% AKE), 46.7% contoh memilki tingkat kecukupan protein defisit tingkat berat (TKP <70% AKP), 66.4% contoh kurang vitamin A, 91.1% contoh kuang vitamin C dan 95.5% contoh kurang asam folat, dan 68.8% contoh kurang zat besi (TKG <77%AKG).
Uji korelasi pearson menunjukkan karakteristik contoh dan keluarga, tingkat kecukupan energi, protein dan zat besi tidak berhubungan dengan kadar hemoglobin (p>0.05) melainkan nilai LILA yang berhubungan kadar hemoglobin (p<0.05)
HUBUNGAN TINGKAT KECUKUPAN PROTEIN
DAN ZAT BESI (Fe) DENGAN KADAR HEMOGLOBIN IBU HAMIL
DI KOTA BOGOR
ERDI HUMEID
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
Judul Skripsi : Hubungan Tingkat Kecukupan Protein dan Zat Besi (Fe)
dengan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil di Kota Bogor
Nama Mahasiswa : Erdi Humeid
NIM : I14080072
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS dr. Yekti Hartati Effendi, S. Ked
NIP. 1949 1130 197 603 2001 NIP. 1947 1029 197 901 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS
NIP 19621218 198703 1 001 Tanggal lulus :
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang
menjadi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi. Skripsi ini berjudul
“Hubungan Tingkat Kecukupan Protein dan Zat Besi (Fe) dengan Kadar
Hemoglobin Ibu Hamil di Kota Bogor” untuk mengetahui tingkat kecukupan gizi
ibu hamil di Kota Bogor yang utamanya adalah protein dan zat besi.
Penulis ucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS
dan dr. Yekti Hartati Effendi, S.Ked selaku dosen pembimbing skripsi atas
bimbingan dan arahannya sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai dengan
baik. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua yang
selalu memberikan do’a dan dukungan, serta teman-teman yang telah memberi
bantuan dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi
ini.
Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan
masyarakat umumnya serta dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan
ilmu pengetahuan. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak
kekurangan oleh karena itu penulis membutuhkan saran dan kritikan dari
berbagai pihak untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini.
Bogor, Januari 2013
Erdi Humeid
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan dan dibesarkan di Jakarta pada tanggal 26 Juni 1990.
Penulis merupakan anak ke-dua pasangan Bapak Entje Rahman dan Ibu Siti
Rokayah. Pendidikan formal yang pertama kali ditempuh penulis adalah Taman
Kanak-kanak di TK Yayasan Rumah Kita, Jakarta Pusat pada tahun
(1995-1996). Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar
(SD) Republica de Venezuela, Jakarta Pusat, selama enam tahun (1996-2002).
Setelah itu penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri
(SMPN) 1 Jakarta, Jakarta Pusat selama tiga tahun (2002-2005). Kemudian
Penulis diterima di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 3 Jakarta pada tahun
2005. Setelah lulus pada tahun 2008, penulis diterima di Departemen Gizi
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk (USMI) IPB.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam tim asisten praktikum
mata kuliah biokimia gizi dan metabolisme zat gizi tahun 2010-2012 menjabat
sebagai ketua koordinator asisten, sempat menjabat sebagai staff Divisi
Biro Pelaksana Harian Organisasi Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fema
IPB 2010, Ketua Divisi Humas Organisasi Himpunan Pelajar dan Mahasiswa
Bogor (HPMB) 2011, Penanggungjawab Anggota Kelompok (PAK) pada acara
Masa Perkenalan Fakultas Ekologi Manusia 2010, ketua koordinator mahasiswa
Kuliah Kerja Profesi (KKP) wilayah Kalimantan Selatan bekerja sama dengan
PT Arutmin Indonesia 2011, staff Divisi Logistik dan Transportasi pada Seminar
Nasional SENZASIONAL 2011, melaksanakan Internship Dietetik di RSUD Ciawi
2012, Ketua delegasi IPB sekaligus penyaji hasil karya tulis ilmiah dalam
kegiatan Aceh Development International Conference di International Islamic
University Malaysia, Gombak, Kuala Lumpur, Malaysia 2012. Penulis aktif di
bidang penelitian dan pengembangan minuman alga coklat dalam kegiatan PKM
2012, dan sebagai asisten peneliti doctoral student of Tohoku University, Jepang,
dalam penelitian agribisnis di Kabupaten Cianjur 2012. Penulis juga mengikuti
seminar-seminar yang diadakan di kampus untuk menambah pengetahuan dan
pengalaman.
UCAPAN TERIMA KASIH
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Hubungan Tingkat
Kecukupan Protein dan Zat Besi (Fe) dengan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil di
Kota Bogor” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi
pada Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor.
Keberhasilan penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini tidak luput dari
bantuan banyak pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS dan dr. Yekti Hartati Effendi, S.Ked sebagai
dosen pembimbing yang selalu menyediakan waktu untuk memberikan
bimbingan, motivasi, nasihat, dan arahan selama penyusunan skripsi.
2. Dr. Ir. Budi Setiawan, MS selaku Ketua Departemen Gizi Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
3. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN sebagai dosen pemandu seminar dan dosen
penguji yang memberikan saran dan masukan yang berharga baik pada
waktu seminar maupun pada waktu sidang.
4. Para pembahas materi seminar (Tunggul Waloya, Yulmiaris Dwi Okto Putri,
Mely Choirul Nurfitri dan Saumi Lil Hairi)
5. Yayasan Supersemar yang telah memberikan beasiswa selama penulis
menempuh pendidikan.
6. Orang tua tercinta, Bapak Entje Rahman dan Ibu Siti Rokayah, serta kakak
ku, Wira Rahmanda, SE dan Angietha Putri Prameswari, SE yang selalu
mencurahkan kasih sayang, senantiasa berdoa, memberikan nasihat,
dukungan moral maupun materil, motivasi, pengertian, kesabaran, dan
perhatian yang tiada henti untuk diberikan kepada penulis.
7. Semua pihak yang tidak disebutkan namanya dalam kesempatan ini, namun
tidak mengurangi rasa terima kasih penulis atas kerja sama dan bantuannya
dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan yang telah diberikan
oleh semua pihak kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.
i
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ....... .. .................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ..... ................................................................................... iii
DAFTAR LAMPIRAN . . ................................................................................... iv
PENDAHULUAN...... ... .................................................................................... 1 Latar belakang ................................................................................... 1
Tujuan ....... .... .................................................................................... 2
Hipotesis.............................................................................................. 3
Kegunaan penelitian .......................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 4 Anemia gizi besi pada ibu hamil ........................................................ 4
Penilaian status gizi besi................................................... ................. 8
Status gizi ibu hamil...........................................................................10
Konsumsi pangan ibu hamil...............................................................11
Angka dan tingkat kecukupan gizi ibu hamil.......................................16
KERANGKA PEMIKIRAN ................................................... ....................……18
METODE PENELITIAN……………………………………………… ....... ………20
Desain, tempat, dan waktu penelitian .............................................. 20
Jumlah dan cara penarikan contoh………………………………… .... 20
Jenis dan cara pengumpulan data ................................................... 21
Pengolahan dan analisis data ......................................................... 23
Definisi operasional ......................................................................... 25
HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………………… ………27 Status anemia, prevalensi anemia dan status gizi ........................... 27
Karakteristik contoh dan keluarga………………… .......................... 29
Kebiasaan konsumsi pangan contoh ............................................... 34
Asupan dan tingkat kecukupan zat gizi contoh ................................ 39
Hubungan karakteristik contoh dan keluarga dengan kadar Hb....... 44
Hubungan nilai LILA dengan kadar Hb ............................................ 45
Hubungan TKE, TKP dan TKFe dengan kadar Hb .......................... 46
KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………………… ... ……49 Kesimpulan....................................................................................... 49
Saran………………………………… ................................................ 50
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................51
LAMPIRAN...................................................................................................... 56
ii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Nilai cut off Hemoglobin ................................................................. 10 Tabel 2 Kategori tingkatan status anemia. .................................................. 10 Tabel 3 Rentang pengeluaran keluarga pada kuintil 1-5 (SUSENAS 2009) .......................................................................... 20 Tabel 4 Jenis peubah dan cara pengumpulan data .................................... 22 Tabel 5 Jenis, kategori dan pengelompokan serta pengolahan data ............................................................................................... 24 Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan tingkatan status anemia .................. 27 Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan status gizi dan status anemia .......................................................................................... 28 Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan umur dan status anemia ................. 29 Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan dan status anemia ................................................................................ 30 Tabel 10 Sebaran suami contoh berdasarkan tingkat pendidikan dan status anemia ........................................................................ 31 Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan status pekerjaan dan status anemia ................................................................................ 31 Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan status pekerjaan suami dan status anemia contoh ............................................................. 31 Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga dan status anemia ................................................................................ 32 Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan besar pendapatan/kapita/bulan dan status anemia ................................. 33 Tabel 15 Konsumsi pangan contoh .............................................................. 35 Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan konsumsi berbagai kelompok pangan ........................................................... 37 Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan konsumsi suplemen ...................................................................................... 38 Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan minum teh dan kopi ........................................................................................ 39 Tabel 19 Asupan dan tingkat kecukupan zat gizi contoh .............................. 39 Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan TKG dan status anemia .................. 40
iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran hubungan tingkat kecukupan protein dan zat besi (Fe) dengan kadar hemoglobin ibu hamil di Kota Bogor.......................................................................19
iv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1 Hasil uji hubungan antar peubah dengan kadar hemoglobin ............................................................................... 56
1
PENDAHULUAN
Latar belakang
Suatu bangsa dalam menghadapi pasar persaingan bebas di era
globalisasi diperlukan sumberdaya manusia yang berkualitas. Pembentukan
sumberdaya manusia yang berkualitas dipengaruhi oleh banyak faktor.
Gizi merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam pembentukan
kualitas sumberdaya manusia. Masalah gizi akan berdampak negatif pada
sumberdaya manusia dan selanjutnya akan berpengaruh negatif terhadap
perekonomian nasional (Depkes 2005).
Salah satu masalah gizi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia
adalah anemia pada masa kehamilan. Kehamilan merupakan hal yang
diharapkan oleh setiap calon ibu. Namun pada kenyataannya ibu hamil
merupakan salah satu kelompok yang paling rawan terhadap masalah pangan
dan gizi (Rimbawan et al 2004). Masalah gizi di Indonesia yang dialami oleh ibu
hamil sebelum atau selama masa kehamilan dapat mempengaruhi pertumbuhan
janin yang sedang dikandung. Oleh karena itu diperlukan persiapan yang baik,
sehingga kualitas bayi yang akan dilahirkan juga baik (Khomsan 2000).
Menurut WHO, yang diacu dalam Aritonang (2010) menyatakan bahwa
prevalensi anemia secara global pada ibu hamil tahun 2000 sebesar 51.0%,
di Indonesia 40.1% pada tahun 2001 (SKRT 2004), di Jawa Barat 51.7% pada
tahun 2002 (Dinkes Jabar 2003) serta di Kota Bogor sebesar 40.4% pada tahun
2002 (Darlina & Hardinsyah 2003). WHO (2001) menyatakan bahwa prevalensi
anemia >20% menunjukkan adanya masalah kesehatan masyarakat.
Anemia merupakan salah satu gangguan yang paling sering terjadi
selama kehamilan dengan kondisi kadar hemoglobin darah yang lebih rendah
atau di bawah normal (Hb <11g/dL) (Wirakusumah 1998). Anemia secara
fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa sel darah merah
(eritrosit) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (Bakta 2006). Anemia bisa
disebabkan karena defisiensi zat gizi, kehilangan darah, atau adanya hemolisis
yang berlebihan (Fatmah 2007). UNICEF (1998) menyebutkan bahwa penyebab
lain anemia adalah infeksi akut dan kronis seperti malaria, HIV, serta diare
kronis.
2
Anemia yang disebabkan karena defisiensi zat gizi (anemia gizi)
merupakan jenis anemia yang paling sering terjadi (Fatmah 2007). Sebagian
besar anemia gizi disebabkan oleh defisiensi besi, tetapi beberapa studi juga
menyatakan bahwa defisiensi zat gizi mikro lainnya seperti protein, asam folat,
vitamin A, vitamin C, dan vitamin B1, B3, B6, B9, B12 dapat menyebabkan
anemia gizi. Berbagai vitamin dan zat gizi mikro tersebut berperan dalam
penyerapan besi dan pematangan sel darah merah (eritropoiesis)
(Marcia et.al 2010). Anemia pada ibu hamil menurut Cheryl (1996) dalam Darlina
2003) disebabkan karena penurunan kadar haemoglobin (Hb) dan hematokrit
(Ht) pada trimester 1 dan 2 sebagai akibat peningkatan volume plasma darah
yang terjadi lebih dahulu dibandingkan produksi sel darah merah.
Menurut Muslimatun et.al (2000) anemia selama masa kehamilan
dapat mengakibatkan ibu melahirkan bayi lahir prematur, bayi lahir dengan Berat
Badan Lahir Rendah (BBLR), pendarahan pada saat melahirkan sampai dengan
kematian ibu. Pernyataan itu didukung oleh Allen et.al (2000) yang menyatakan
rendahnya kadar hemoglobin yang terus menerus terjadi selama masa
kehamilan berisiko ibu melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR).
Meskipun berbagai program telah dilakukan untuk menanggulanginya tetapi
nampaknya angka prevalensi tidak mengalami penurunan secara bermakna.
Masih cukup tingginya prevalensi anemia di Kota Bogor menjadi salah satu
alasan penelitian ini dilaksanakan.
Tujuan
Tujuan Umum
Menjelaskan hubungan tingkat kecukupan protein dan zat besi (Fe)
dengan kadar hemoglobin ibu hamil di Kota Bogor.
Tujuan Khusus
1. Mengetahui status anemia, prevalensi anemia dan status gizi pada ibu
hamil di wilayah penelitian.
2. Mengetahui karakteristik contoh dan keluarga berdasarkan sebaran
status anemia.
3. Mengetahui kebiasaan konsumsi pangan, asupan zat gizi serta tingkat
kecukupan gizi contoh.
3
4. Menganalisis hubungan karakteristik contoh dan keluarga dengan kadar
hemogobin.
5. Menganalisis hubungan nilai LILA dengan kadar hemogobin.
6. Menganalisis hubungan tingkat kecukupan energi, protein dan zat besi
(Fe) dengan kadar hemoglobin.
Hipotesis
Ada hubungan tingkat kecukupan protein dan zat besi (Fe) dengan kadar
hemoglobin ibu hamil di Kota Bogor.
Kegunaan Penelitian
Memberikan informasi mengenai hubungan tingkat kecukupan protein,
dan zat besi (Fe) dengan kadar hemoglobin ibu hamil di Kota Bogor guna
memberikan masukan kepada pelaksana dan penanggung jawab program
gizi masyarakat Dinas Kesehatan Kota Bogor atau Pemerintah Daerah Kota
Bogor untuk dijadikan pedoman pembuatan kebijakan dalam pencegahan dan
penanganan anemia pada ibu hamil, sehingga angka prevalensi anemia ibu
hamil di Kota Bogor dapat terus diturunkan, dengan harapan akan meningkatnya
kesejahteraan ibu dan anak sebagai sumberdaya pembangunan bangsa
Indonesia.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil
Kehamilan merupakan hal yang diharapkan oleh setiap calon ibu. Namun
pada kenyataannya ibu hamil merupakan salah satu kelompok yang paling
rawan terhadap masalah pangan dan gizi (Rimbawan et al 2004). Kekurangan
gizi pada ibu hamil mempunyai dampak yang cukup besar terhadap proses
pertumbuhan janin dan anak yang akan dilahirkan. Kehamilan yang disertai oleh
penyakit atau kondisi seperti diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, usia
remaja, dan vegetarian merupakan kehamilan berisiko tinggi.
Pengertian Anemia
Anemia adalah suatu keadaan dengan kadar hemoglobin yang lebih
rendah dari nilai normal (Hb < 11g/dL) (Wirakusumah 1998). Anemia bisa juga
berarti suatu kondisi ketika terdapat defisiensi ukuran / jumlah eritrosit atau
kandungan hemoglobin. Anemia tidak pernah menjadi sebab utama dari suatu
penyakit. Biasanya anemia selalu menjadi akibat sampingan dari keadaan
patologis atau penyakit tertentu. Semakin rendah kadar Hb maka anemia yang
diderita makin berat (Wirakusumah 1998). Pada ibu hamil peningkatan volume
plasma darah terjadi lebih dahulu dibandingkan produksi sel darah
merah menyebabkan penurunan kadar Hb dan hematokrit pada trimester 1 dan 2
sedangkan pembentukan sel darah merah terjadi pada pertengahan akhir
kehamilan sehingga konsentrasi mulai meningkat pada trimester 3 kehamilan
(Cheryl 1996 diacu dalam Darlina 2003).
Klasifikasi anemia
Menurut Wirakusumah (1998), anemia secara morfologis dapat
diklasifikasikan menurut ukuran sel dan hemoglobin yang dikandung seperti
berikut. (1) Makrositik, (2) Mikrositik, dan (3) Normositik. Pada anemia makrositik
ukuran sel darah merah bertambah besar dan jumlah hemoglobin tiap sel juga
bertambah. Ada dua jenis anemia makrositik, yaitu anemia megaloblastik dan
anemia non megaloblastik. Kekurangan vitamin B12, asam folat, atau gangguan
sintesis DNA merupakan penyebab anemia megaloblastik. Sedangkan anemia
non megaloblastik disebabkan oleh eritropoiesis yang dipercepat dan
peningkatan luas permukaan membran.
5
Anemia mikrositik adalah anemia yang disebabkan oleh mengecilnya
ukuran sel darah merah merupakan salah satu tanda anemia mikrositik.
Penyebabnya adalah defisiensi besi, gangguan sintesis globin, porfirin, dan
heme, serta gangguan metabolisme besi lainnya. Sedangkan pada anemia
normositik ukuran sel darah merah tidak berubah. Penyebab anemia jenis ini
adalah kehilangan darah yang parah, meningkatnya volume plasma secara
berlebihan, penyakit, penyakit hemolitik, gangguan endokrin, ginjal, dan hati.
Sebagian besar anemia di Indonesia disebabkan karena kekurangan zat
besi (Fe) sehingga disebut Anemia Gizi Besi. Anemia gizi besi adalah anemia
yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah. Artinya, konsentrasi
hemoglobin dalam darah berkurang karena terganggunya pembentukan sel-sel
darah merah akibat kurangnya kadar zat besi dalam darah. Semakin berat
kekurangan zat besi yang terjadi akan semakin berat pula anemia yang diderita
(Wirakusumah 1998). Anemia defisiensi gizi besi merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang serius. WHO (2001) memperkirakan sekitar 40.0% penduduk
dunia terkena anemia defisiensi zat besi. Prevalensi tertinggi anemia pada ibu
hamil secara global tahun 2000 sebesar 51.0% (Aritonang 2010), di Indonesia
sebesar 40.1% pada tahun 2001 (SKRT 2004), di Jawa Barat sebesar 51.7%
pada tahun 2002 (Dinkes Jabar 2003) serta prevalensi anemia ibu hamil di Kota
Bogor tahun 2002 sebesar 40.4.0% (Darlina & Hardinsyah 2003). WHO (2001)
menyatakan bahwa prevalensi anemia >20% menunjukkan anemia masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Penyebab Umum Anemia Gizi Besi
Zat gizi yang paling berperan dalam proses terjadinya anemia gizi besi
adalah zat besi. Defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia gizi
dibanding defisiensi zat gizi lain, seperti asam folat, vitamin B12, protein, vitamin,
dan trace elements lainnya. Itulah sebabnya anemia gizi sering diidentikkan
dengan anemia gizi besi. Wirakusumah (1998) menyatakan secara umum, faktor
utama yang menyebabkan anemia gizi besi adalah;
1. Kurangnya konsumsi zat besi dan zat gizi lainnya yang berasal dari makanan
terkait proses pembentukan sel darah merah. Apabila zat-zat gizi tersebut
tidak terpenuhi kecukupannya berdampak terhadap kurangnya prosuksi sel
darah merah dalam tubuh sehingga mengakibatkan anemia.
6
2. Tidak terpenuhinya kebutuhan zat besi selama masa kehamilan sebab
rendahnya absorpsi zat besi yang ada dalam makanan ke dalam tubuh.
Pangan protein nabati sebagai sumber zat besi non heme memiliki
penyerapan yang lebih rendah dibandingkan dengan pangan protein hewani
sebagi sumber zat besi heme. Zat besi non heme harus dibantu
penyerapannya dengan vitamin C. Oleh karena itu tingkat kecukupan
vitamin C harus terpenuhi tingkat kecukupannya agar penyerapannya optimal
dan terhindar dari anemia.
3. Pendarahan mengakibatkan tubuh kehilangan banyak sel darah merah.
Pendarahan dapat terjadi secara mendadak dan dalam jumlah banyak yang
bisa disebut pendarahan ekternal dan terjadi pada waktu kecelakaan. Selain
itu, pendarahan kronis juga dapat mengakibatkan kehilangan sel darah
merah dalam jumlah banyak. Yang dimaksud pendarahan kronis adalah
pendarahan yang sedikit demi sedikit, tetapi berlangsung secara terus
menerus. Pendarahan jenis ini dapat disebabkan oleh kanker saluran
pencernaan, wasir, atau peptik ulser.
4. Investasi cacing tambang pada masyarakat di daerah tertentu menyebabkan
banyak darah yang keluar, karena cacing tambang menghisap darah. Selain
itu, pada gadis remaja dan wanita dewasa, kehilangan darah dalam jumlah
banyak bisa terjadi akibat menstruasi.
Faktor lain yang berpengaruh pada kadar hemoglobin ibu hamil selain
dari konsumsi yaitu karena kehamilan berulang dalam waktu singkat, sehingga
cadangan zat gizi ibu yang sebenarnya belum pulih akhirnya terkuras untuk
keperluan janin yang dikandung berikutnya (Khomsan 2002). Berdasarkan
Laporan SKRT (1985-1986) dalam Wijianto (2002) bahwa semakin rendah
jumlah paritas, maka semakin rendah angka prevalensi anemia. Selain itu, usia
ibu pada saat hamil akan mempengaruhi timbulnya anemia. Umur seorang ibu
berkaitan dengan alat-alat reproduksi wanita. Sistem reproduksi wanita yang
sehat dan aman berada pada umur 20.0-35.0 tahun. Kehamilan pada umur
<20.0 tahun dan >35.0 tahun dapat menyebabkan anemia, karena kehamilan
pada umur <20.0 tahun secara biologis belum optimal, emosinya cenderung labil,
mentalnya belum matang sehingga mudah mengalami keguncangan yang
mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan zat-zat
gizi selama kehamilannya. Sedangkan jika berumur >35 tahun terkait dengan
7
kemunduran dan penurunan daya tahan tubuh serta berbagai penyakit yang
sering menimpa pada umur itu (Manuaba 1999). Apabila zat gizi yang dibutuhkan
tidak terpenuhi maka akan terjadi kompetisi zat gizi antara ibu dengan bayinya
(Wijianto 2002).
Ibu dengan pendidikan tinggi cenderung lebih memperhatikan kesehatan
diri dan keluarganya. Sebaliknya ibu dengan tingkat pendidikan yang rendah
menyebabkan kurangnya perhatian mereka akan bahaya yang dapat menimpa
ibu hamil ataupun bayinya. Menurut Suhardjo (1989) dalam Permatahati (2012)
menyatakan bahwa orang yang berpendidikan tinggi biasanya akan memilih
untuk mengonsumsi makanan yang bernilai gizi tinggi sehingga kebutuhan gizi
tetap terpenuhi. Pendidikan formal sangat penting dalam menentukan status gizi
keluarga. Kemampuan baca tulis di pedesaan akan membantu dalam
memperlancar komunikasi dan penerimaan informasi, dengan demikian informasi
tentang kesehatan akan lebih mudah diterima oleh keluarga. Tristiyanti (2006)
menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang dicapai seseorang mempunyai
hubungan nyata dengan prilaku gizi dari makanan yang dikonsumsinya.
Berat ringannya pekerjaan ibu juga akan mempengaruhi kondisi tubuh
dan pada akhirnya akan berpengaruh pada status kesehatannya. Menurut Junadi
(1998) dalam Permatahati (2012) ibu yang bekerja memiliki risiko anemia yang
lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja, hanya proporsinya
tergantung pada beban kerja yang dimilikinya. Wijianto (2002) menyatakan
bahwa ibu yang bekerja mempunyai kecenderungan kurang istirahat, konsumsi
makan yang tidak seimbang sehingga mempunyai resiko lebih besar untuk
menderita anemia dibandingkan ibu yang tidak bekerja.
Menurut Khumaidi (1989) dalam Tristiyanti (2006) status pekerjaan
biasanya erat hubungannya dengan pendapatan seseorang atau keluarga. Ibu
hamil yang tidak bekerja kemungkinan akan menderita anemia lebih besar
dibanding dengan yang bekerja. Hal ini kemungkinan disebabkan pada ibu yang
bekerja akan dapat menyediakan makanan terutama yang mengandung sumber
zat besi dalam jumlah yang cukup dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Biasanya
dengan meningkatnya pendapatan perorangan, maka terjadi perubahan-
perubahan dalam susunan makanan. Akan tetapi, pengeluaran uang yang lebih
banyak untuk pangan tidak menjamin konsumsi pangan akan lebih beragam.
Terkadang perubahan utama yang terjadi dalam kebiasaan makanan ialah
pangan yang dimakan lebih mahal (Suhardjo 1989). Menurut Sediaoetama
8
(1996) pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan
kuantitas makanan, sehingga terjadi hubungan yang erat antara pendapatan dan
gizi.
Dampak Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil
Wirakusumah (1998) menyatakan bahwa anemia gizi besi dapat
berakibat fatal bagi ibu hamil karena ibu hamil memerlukan banyak tenaga untuk
melahirkan. Ibu Hamil yang menderita anemia gizi besi tidak akan mampu
memenuhi kebutuhan zat-zat gizi bagi dirinya dan janin dalam kandungannya.
Oleh karena itu, keguguran, kematian bayi dalam kandungan, berat badan lahir
rendah, atau kelahiran prematur rawan terjadi pada ibu hamil yang menderita
anemia gizi besi.
Selain itu Depkes (1998) menyakatan anemia dalam kehamilan yang
tidak diterapi dapat mengakibatkan pengaruh buruk pada ibu, persalinan dan
janin. Pengaruh buruk bagi ibu antara lain (1) timbulnya gejala umum anemia
yaitu lesu, lemah, letih, lalai dan lunglai (5L), (2) pendarahan saat melahirkan, (3)
preeklampsi, (4) abortus, (5) kematian ibu dan (6) hipoksia akibat anemia dapat
menyebabkan syok dan kematian ibu pada persalinan sulit (Depkes 1998).
Muslimatun et.al (2000) menyatakan bahwa anemia pada masa kehamilah
berdampak ibu berisiko melahirkan bayi lahir prematur, bayi lahir dengan berat
badan lahir rendah (BBLR), atau bayi lahir dalam keadaan meninggal
Allen et al. (2000) juga menyatakan bahwa rendahnya kadar hemoglobin yang
terus menerus terjadi selama masa kehamilan berisiko ibu melahirkan bayi
dengan berat badan lahir rendah (BBLR).
Penilaian Status Gizi Besi
Perkembangan defisiensi besi terbagi atas tiga tahapan. Tahapan
defisiensi besi ini umumnya digunakan untuk menetapkan status besi di dalam
tubuh seseorang dan menunjukkan tingkatan defisiensi besi yang terjadi
(Briawan 2008). Tiga tahapan tersebut adalah perubahan besi pada simpanan,
defisiensi besi tanpa anemia, dan defisiensi besi dengan anemia (Gibson 2005).
Tahap pertama terjadi ketika terjadi penurunan yang bersifat progresif
simpanan besi di hati. Pada tahap ini, suplai besi ke dalam setiap bagian
fungsional tubuh tidak terpengaruh dan hemoglobin dalam keadaan normal.
Pada tahap ini, konsentrasi serum feritin menurun. Oleh karena itu, pengukuran
serum feritin dapat digunakan untuk mengindikasikan adanya defisiensi besi
tahap pertama (Gibson 2005).
9
Defisiensi tahap kedua ditunjukkan dengan habisnya cadangan besi dan
adanya penurunan suplai besi ke dalam sumsum tulang sehingga produksi sel
darah merah terganggu. Pada tahap ini juga terjadi penurunan kejenuhan
transferin, dan kenaikan konsentrasi eritrosit protoporfirin (Gibson 2005), serta
tingginya serum transferin reseptor (STfR) (WHO 2004 dalam Briawan 2008).
Kadar hemoglobin mungkin mulai menurun, tetapi umumnya tidak jauh dari
rentang normal (Gibson 2005).
Tahap ketiga merupakan tahap akhir dari defisiensi besi. Tahap ini
ditandai dengan habisnya simpanan besi, penurunan kadar besi dalam sirkulasi,
serta terjadi penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit. Penurunan kadar
hemoglobin dan hematokrit dapat dilihat dari ukuran sel darah yang lebih kecil
dari normal (mikrositik) dan warnanya lebih pucat (hipokromik). Kondisi ini
disebut sebagai anemia defisiensi besi dan sering disertai gejala-gejala terkait
anemia (Gibson 2005).
Indikator yang dapat digunakan untuk menilai status besi yaitu kadar
hemoglobin (Hb), serum transferin reseptor (STfR), serum feritin (SF), dan mean
cell volume (MCV). Kombinasi antara pengukuran Hb dan serum feritin (SF) akan
meningkatkan ketepatan dalam pengukuran status besi. Jika kedua indikator ini
menunjukkan normal, berarti tidak terjadi defisiensi besi. Jika SF rendah dan Hb
normal kemungkinan pada individu simpanan besinya berkurang (AISAP 2005
dalam Briawan 2008).
Penggunaan indikator serum feritin tidak dianjurkan pada populasi
dengan kemungkinan infeksi tinggi karena keadaan infeksi mempengaruhi kadar
serum feritin (WHO & CDC 2004 dalam Briawan 2008). Jika biaya menjadi
kendala dalam penelitian maka Indikator Hb dapat digunakan tanpa pengukuran
SF dan STfR (AISAP 2005 dalam Briawan 2008). Hemoglobin dapat digunakan
untuk mengukur status besi pada beberapa populasi. Pemilihan indikator
hemoglobin dengan alasan lebih sederhana dan membutuhkan biaya lebih
rendah dibandingkan indikator lain (Gibson 2005). Berdasarkan WHO dan CDC
(2004) dalam Briawan (2008), pengukuran kadar hemoglobin sangat penting
untuk mengetahui tingkat keparahan dari defisiensi besi.
Salah satu metode pengukuran kadar hemoglobin yang biasa dilakukan
yaitu metode Cyanmethemoglobin. Merupakan salah satu metode
untuk mengukur kadar hemoglobin menggunakan spektrofotometer
dengan prinsip hemoglobin yang ada pada sel darah merah diubah menjadi
10
cyanmenthemoglobin dengan larutan drabkin yang diukur pada
panjang gelombang 540 nm. Larutan drabkin berperan sebagai pengubah
semua derivat hemoglobin menjadi cyanmethemoglobin yang berwarna merah.
Tinggi rendahnya nilai absorbansi atau intensitas warna merah akan menentukan
kadar hemoglobin dari sampel. (Kee 2007). Tabel 1 berikut adalah cut off point
kadar hemoglobin sebagai indikator anemia.
Tabel 1 Nilai Cutoff Hemoglobin
Umur (tahun) Nilai Cut off Hemoglobin untuk anemia (g/L)
Pria dan Wanita Pria Wanita
0,5-5 < 110 - -
5-11 < 115 - -
12-13 < 120 - -
>14 (Pria) - 130
>14 (Wanita) - - <110 (hamil)
<120 (tidak hamil)
Sumber : Gibson (2005)
WHO (2005) menggolongkan tingkatan anemia ibu hamil dengan kategori
normal, anemia ringan dan anemia berat. Nilai ambang batas yang digunakan
untuk menentukan status anemia ibu hamil, didasarkan pada kriteria WHO tahun
2005 yang ditetapkan dalam tiga kategori dapat dilihat dalam Tabel 2 berikut.
Tabel 2 Kategori tingkatan status anemia ibu hamil
Tingkatan Anemia Kadar Hemoglobin (g/dL)
Normal ≥ 11 Ringan 8-10 g/dL Berat < 8 g/dL
Sumber : WHO 2005
Status Gizi Ibu Hamil
Kelompok ibu hamil merupakan kelompok yang memerlukan pengukuran
khusus dalam penentuan status gizinya. Penentuan status gizi menggunakan
Indeks Massa Tubuh (IMT) tidak berlaku pada kondisi fisiologis hamil.
Oleh karena itu, status gizi ibu hamil ditetapkan dengan menggunakan
pengukuran Lingkar Lengan Atas (LILA) (Anggraeni 2012). Apabila nilai LILA
<23.5 cm maka termasuk dalam kategori Kurang Energi Kronik (KEK) dan
apabila nilai LILA ≥ 23.5 cm maka termasuk dalam kategori normal (Depkes 2001
yang diacu dalam Anggraeni 2012). Menurut Depkes (1994) bagi ibu hamil yang
KEK mempunyai resiko lebih besar untuk melahirkan dengan Berat Bayi Lahir
Rendah (BBLR). Selain itu ibu yang mengalami KEK yang telah melalui masa
persalinan dengan selamat, akan mengalami masa pascapersalinan yang sulit
11
karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan. Hal ini akan
menurunkan kemampuan merawat anak serta dirinya sendiri.
Konsumsi Pangan Ibu Hamil
Konsumsi pangan ibu hamil adalah jenis pangan yang dimakan oleh ibu
hamil dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologis,
maupun sosial (Baliwati et.al 2004). Ada beberapa metode yang dapat
digunakan untuk menilai konsumsi pangan, baik tingkat individu, keluarga,
maupun masyarakat. Setiap metode masing-masing mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Oleh karena itu, metode yang akan digunakan untuk menilai
konsumsi pangan harus dipilih yang paling relevan dan cocok dengan penelitian.
Kombinasi antara metode yang satu dengan metode yang lain dapat dilakukan
untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Selain itu, dapat pula dilakukan
modifikasi terhadap suatu metode yang digunakan dengan menyesuaikannya
terhadap karakteristik masyarakat setempat (Kusharto 2010).
Penilaian konsumsi pangan individu dapat dilakukan dengan berbagai
cara dan metode. Untuk menentukan kuantitas pangan yang dikonsumsi
seseorang, metode yang dapat digunakan antara lain metode recall 24 jam,
metode ulangan recall 24 jam, metode pencatatan makanan (food record),
metode penimbangan makanan, dan metode riwayat makanan (dietary history).
Sedangkan untuk menilai frekuensi jenis pangan yang dikonsumsi, metode yang
dapat digunakan adalah menggunakan food frequency questionnaire (FFQ).
Frekuensi konsumsi pangan ini dapat memberikan gambaran kualitatif tentang
pola konsumsi pangan (Gibson 2005).
Kebiasaan makan adalah cara individu atau kelompok individu memilih
pangan dan mengonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik,
sosial dan budaya (Sanjur 1982). Kebiasaan makan merupakan hasil interaksi
anatar beberapa peubah yang terbentuk sejak kecil. Menurut Sanjur (1982),
kebiasaan makan mencakup empat komponen : konsumsi pangan, preferensi
terhadap makanan, ideologi (pengetahuan) terhadap makanan dan sosial
budaya pangan. Menurut Khumaidi (1989) dalam Tristiyanti (2006), kebiasaan
makan dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan segi gizi, yaitu kebiasaan
makan yang baik dan kebiasaan makan yang buruk. Kebiasaan makan yang baik
adalah kebiasaan makan yang mendorong terpenuhinya kebutuhan gizi.
Sedangkan kebiasaan makan yang buruk adalah kebiasaan makan yang
12
menghambat terpenuhinya kebutuhan gizi. Kebiasaan makan bahan makanan
dari sumber protein dan zat besi berpengaruh terhadap proses pembentukan sel
darah merah terkait dengan komponen pembentuk hemoglobin (Sayogo 2007).
Pangan Sumber Protein, Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia
Protein terdiri dari asam-asam amino. Protein atau asam amino esensial
berfungsi terutama sebagai katalisator, pembawa, penggerak, pengatur, ekspresi
genetik, neurotransmmitter, penguat struktur, penguat imunitas, dan untuk
pertumbuhan (Sayogo 2007). Menurut Almatsier (2002), protein juga berfungsi
mengatur keseimbangan air di dalam tubuh, memelihara netralisasi tubuh,
membantu antibodi dan mengangkut zat-zat gizi. Protein memegang peranan
esensial dalam mengangkut zat gizi dari saluran cerna ke dalam darah, dari
darah ke jaringan, dan melalui membran sel ke dalam sel-sel.
Sumber protein berasal dari pangan hewani seperti susu, telur, daging,
unggas, ikan, dan kerang, serta pangan nabati seperti kedelai dan produk
olahannya seperti tempe, tahu dan kacang-kacangan lainnya (Almatsier 2002).
Sayogo (2007) mengemukakan bahwa pada umumnya pangan hewani
mempunyai mutu protein yang lebih baik dibandingkan dengan pangan nabati.
Pangan protein hewani sebagai sumber zat besi heme yang penyerapannya
lebih tinggi dibandingkan dengan protein nabati sebagai sumber zat besi non
heme.
Pangan Sumber Zat Besi, Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia
Zat gizi besi (Fe) merupakan kelompok mineral yang diperlukan sebagai
inti dari hemoglobin, unsur utama sel darah merah. Fungsi sel darah merah itu
penting mengingat tugasnya antara lain sebagai sarana transportasi zat gizi
terutama oksigen yang diperlukan pada proses fisiologis dan biokimia dalam
setiap jaringan tubuh (Wirakusumah 1998). Besi merupakan mineral mikro yang
paling banyak terdapat di tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5
di dalam tubuh manusia dewasa (Almatsier 2002).
Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi heme seperti terdapat
dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani, dan zat besi non heme
dalam makanan nabati. Besi heme merupakan bagian kecil dari besi yang
diperoleh makanan. Akan tetapi yang dapat diabsorbsi mencapai 25%
sedangkan besi non heme hanya 5% (Almatsier 2002). Konsumsi pangan dapat
menjadi faktor penyebab terjadinya anemia. Pangan yang dikonsumsi bila
termasuk golongan protein hewani kaya akan zat besi, mampu memberikan
13
kontribusi terhadap kebutuhan tubuh akan zat besi. Bila pangan hewani
dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang mampu membantu penyerapan zat
besi secara optimal didalam tubuh maka tubuh tidak akan mengalami
kekurangan zat besi yang berdampak pada kejadian anemia.
Ketersediaan zat besi dalam suatu pangan (bioavailabilitas) berperan
dalam pemenuhan kebutuhan zat besi, Monsen et.al (1978) dalam Permatahati
(2012) menyatakan bahwa penyerapan zat besi pada suatu pangan akan optimal
bila dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang menjadi faktor pendorong
penyerapan zat besi. Pangan sumber zat besi terutama zat besi heme,
yang bioavailabilitasnya tinggi sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat
berkembang, yang kebanyakan memenuhi kebutuhan besi mereka dari produk
nabati (Achadi 2007). Menurut Almatsier (2002), makan besi heme dan non
heme secara bersama dapat meningkatkan penyerapan besi non heme. Daging,
ayam, dan ikan mengandung suatu faktor yang membantu penyerapan besi.
Faktor ini terdiri atas asam amino yang mengikat besi dan membantu
penyerapannya. Susu sapi, keju, dan telur tidak mengandung faktor ini sehingga
tidak dapat membantu penyerapan besi. Lebih lanjut (Alsuhendra 2005)
menyebutkan bahwa polifenol seperti tanin dalam teh, kopi dan sayuran tertentu
mengikat besi heme membentuk kompleks besi-tannat yang tidak larut sehingga
zat besi tidak dapat diserap dengan baik.
Metabolisme Zat Besi (penyerapan, transportasi, penyimpanan)
Di dalam tubuh, besi disimpan dalam bentuk feritin atau hemosiderin
dalam hati, limpa, dan sumsum tulang. Ferritin dan hemosiderin merupakan
simpanan zat besi ada di hati dan sumsum tulang. Simpanan zat besi sebagai
feritin dan hemosiderin sebanyak 30% dalam hati, sumsum tulang sebanyak 30%
dan sisanya berada dalam limfa dan otot. Simpanan zat besi yang dapat
dimobilisasi untuk keperluan tubuh berkisar 50 mg sehari (IOM-FNB 2001;
Almatsier 2002)
Ferritin bersikulasi dalam darah mencerminkan simpanan besi di dalam
tubuh. Pengukuran ferritin dalam serum merupakan indikator penting untuk
menilai status besi. Jumlah zat besi di dalam tubuh bervariasi antara 0-1000 mg
dimana jumlahnya pada wanita lebih rendah dari pria. Simpanan besi pada pria
dewasa berkisar antara 500-1000 mg sedangkan pada wanita dewasa lebih
rendah lagi dan jarang melebihi 500 mg. Wanita di negara berkembang banyak
yang tidak mempunyai cadangan besi karena keterbatasan biologis rendah dan
14
sumber besi heme dalam makanan terbatas (O’Brien et al. 1999).
Total besi pada manusia dipengaruhi oleh berat badan, jenis kelamin,
jumlah kompartemen, simpanan besi, dan konsentrasi Hb. Hemoglobin
merupakan senyawa protein heme yang mengandung Fe++. Diperkirakan bahwa
hemoglobin berisi lebih dari 65% zat besi tubuh. Hemoglobin berfungsi
mengangkut oksigen melalui aliran darah dari paru-paru ke jaringan tubuh yang
lain. Dalam keadaan normal 100 ml darah mengandung 15 gram Hb. Jumlah
tersebut dapat mengangkut 0.03 gram oksigen. Perhitungan perkiraan
penyerapan zat besi dapat didasarkan pola konsumsi makanan yaitu penyerapan
zat besi tinggi (15%), penyerapan zat besi sedang (10%), dan penyerapan besi
rendah (5%) (Gibson 2005).
Banyaknya zat besi yang dimanfaatkan untuk pembentukkan hemoglobin
umumnya sebesar 20-25 mg per hari. Pada sumsum tulang yang berfungsi baik,
dapat memproduksikan sel darah merah dan hemoglobin sebanyak enam kali.
Zat besi yang berlebihan disimpan sebagai cadangan dalam bentuk ferritin dan
hemosiderin di dalam sel parenkim hepatik, sel retikuloendotelial sumsum tulang,
hati dan limfa. Eksresi zat besi sebanyak 0.5- 1.0 mg per hari yang dikeluarkan
bersama-sama urin, keringat dan feses. Zat besi dalam hemoglobin dapat pula
keluar dari tubuh melalui pendarahan, menstruasi, dan saluran urin. Siasanya
dibawa ke bagian tubuh lain yang membutuhkan sedangkan kelebihan besi
dapat mencapai 200-1500 mg disimpan sebagai protein ferritin dan hemosiderin
di dalam hati (30%), sumsum tulang belakang (30%), dan selebihnya di dalam
limfa dan otot (Mahan et.al 2004).
Pangan Sumber Vitamin A, Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia
Vitamin A dalam bentuk retinol terdapa pada makanan hewani seperti
hati, kuning telur, krim, mentega, dan susu difortifikasi. Sedangkan dalam bentuk
karoten terdapat pada makanan nabati yaitu sayuran berwarna hijau dan jingga,
serta buah-buahan. Vitamin A berfungsi pada siklus penglihatan yaitu
penyesuaian terhadap terang dan gelap serta berguna untuk pertumbuhan
jaringan terutama kulit (Almatsier 2009).
Defisiensi vitamin A dapat menyebabkan mobilisasi cadangan Fe di
dalam tubuh akan turun. Vitamin A berperan dalam memobilisasi cadangan Fe
tubuh untuk dapat mensintesa Hb. Apabila jumlah vitamin A di dalam tubuh
kurang, akan mempengaruhi status besi dengan menghambat penggunaan besi
pada proses erythropoesis (Setiyobroto et.al 2004) dalam (Andriani 2012).
15
Pangan Sumber Vitamin C, Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia
Vitamin C banyak ditemukan pada cabe hijau, buah sitrus (jeruk lemon),
strawberry, tomat, brokoli, lobak hijau dan sayuran hijau lainnya serta semangka.
Salah satu fungsi vitamin C adalah membantu proses penyerapan zat besi non
heme dari bahan pangan ke dalam tubuh dengan mereduksi bentuk besi ferro
menjadi ferri agar lebih mudah diserap usus halus (Sayogo 2007). Apabila terjadi
kekurangan vitamin C maka jumlah zat besi yang diserap tidak akan optimal
sehingga persediaan zat besi dalam tubuh akan berkurang dan lambat laun
menurunkan kadar hemoglobin darah sebagai salah satu indikator status
anemia (Khomsan 2002).
Pangan Sumber Vitamin C, Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia
Asam folat banyak ditemukan pada sayuran berdaun hijau, hati ayam
atau sapi, kacang merah, dan kedelai (Almatsier 2009). Asam folat berfungsi
sebagai salah satu komponen pembentuk hemoglobin dalam proses
pembentukan sel dalrah merah (Khomsan 2002). Ketika makanan sumber asam
folat dimakan, asam folat yang tercerna kemudian dikirim ke hati. Hari
menyimpannya sebagian dan mengirimkan sebagian lainnya ke sumsum tulang.
Dalam sumsum tulang inilah asam folat digunakan untuk membuat sel darah
merah (Khomsan 2002). Apabila terjadi kekurangan asam folat maka akan
menghambat proses pembentukan sel darah merah yang berdampak terhadap
penurunan kadar hemoglobin sebagai salah satu indikator anemia.
Pangan Sumber Seng (Zn), Fungsi dan Kaitannya dengan Status Anemia
Seng banyak ditemukan pada daging, makanan laut seperti lobster,
kerang, ikan, dan daging kepiting, kacang-kacangan dan produk olahan susu
seperti yougurt dan keju (Almatsier 2009). Seng memegang peranan esensial
dalam banyak fungsi tubuh. Sebagai bagian dari enzim atau sebagai kofaktor
pada kegiatan lebih dari dua ratus enzim, seng memiliki peran dalam berbagai
aspek metabolisme, seperti reaksi-reaksi yang berkaitan dengan sintesis dan
degradasi karbohidrat, protein, lipida, dan asam nukleat. Sebagai bagian dari
karbonik anhidrase dalam sel darah merah, seng berperan dalam keseimbangan
asam basa di dalam tubuh. Peran penting lain dari seng adalah sebagai bagian
integral enzim DNA polimerase dan RNA polimerase yang diperlukan dalam
sintesis DNA dan RNA. Seng juga berperan dalam perkembangan fungsi
reproduksi (Almatsier 2004).
16
Berdasarkan Whitney & Rolfes (2008) dalam Hardiansyah (2012)
seng mempengaruhi penyerapan besi. Di dalam darah, seng juga dapat
berikatan dengan transferin (protein pengangkut yang berperan dalam
pengangkutan besi di dalam darah). Dalam individu yang sehat, transferin
biasanya kurang dari 50% jenuh terhadap besi, tetapi dalam keadaan berlebihan,
kejenuhannya dapat meningkat. Diet dari makanan seharusnya mengandung
porsi besi dua kali lebih besar dibandingkan dengan seng sehingga lebih sedikit
transferin yang mengikat seng. Dengan demikian absorbsi seng akan lebih
rendah. Jika diet menyediakan lebih besar seng daripada besi, maka penyerapan
besi akan terhambat oleh seng.
Angka dan Tingkat Kecukupan Gizi pada Ibu Hamil
Gizi pada ibu hamil merupakan hal penting yang harus dipenuhi selama
kehamilan berlangsung. Risiko akan kesehatan janin yang sedang dikandung
dan ibu yang mengandung akan berkurang jika ibu hamil mendapatkan gizi yang
seimbang. Bersama dengan usia kehamilan yang terus bertambah, makan
bertambah pula kebutuhan gizi ibu hamil, khususnya ketika usia kehamilan
memasuki trimester kedua. Pada saat trimester kedua, janin tumbuh dengan
sangat pesat, khususnya mengenai pertumbuhan otak dan sistem syarafnya
(Sayogo 2007).
Selama kehamilan, angka kecukupan zat gizi yang terkait dengan proses
pembentukan hemoglobin seperti energi, protein, vitamin C, asam folat, zat besi
dan seng pun meningkat berdasarkan acuan AKG 2004 dengan kondisi fisiologis
ibu hamil trimester ke II. Angka kecukupan gizi energi, protein, vitamin C,
vitamin A asam folat, zat besi dan seng masing-masing sebesar 2100.0 kkal,
67.0 g, 85.0 mg, 800 RE, 600.0 µg, 26.0 mg dan 11.5 mg. Perhitungan asupan
zat gizi seseorang dapat menggunakan Daftar Kecukupan Gizi (DKG) yaitu daftar
yang memuat angka-angka kecukupan gizi rata-rata per orang per hari bagi
orang sehat Indonesia. Angka Kecukupan Gizi (AKG) tersebut sudah
memperhitungkan variasi kebutuhan individu, sehingga kecukupan ini setara
dengan kebutuhan rata-rata ditambah jumlah tertentu untuk mencapai tingkat
aman. AKG dapat digunakan untuk menilai tingkat kecukupan gizi seseorang
(Hardinsyah & Briawan 1994).
Angka kecukupan gizi adalah taraf konsumsi zat-zat gizi esensial yang
berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan
hampir semua orang sehat (Almatsier 2009). Namun, angka kecukupan ini
17
digunakan untuk berbagai keperluan yang sifatnya menyangkut populasi seperti
merencanakan dan menyediakan suplai pangan untuk penduduk atau kelompok
penduduk (Almatsier 2002). Penilaian untuk mengetahui tingkat kecukupan zat
gizi dilakukan dengan membandingkan antar asupan zat gizi aktual (nyata)
dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Hasil perhitungan kemudian
dinyatakan dalam persen. Tingkat kecukupan zat gizi dirumuskan sebagai berikut
menurut Hardinsyah & Briawan 1994:
Tingkat kecukupan energi dan protein dikategorikan menurut Depkes
(1996) menjadi (1) defisit tingkat berat jika <70% AKG, (2) defisit tingkat sedang
jika 70-79% AKG, (3) defisit tingkat ringan jika 80-89% AKG, (4) normal jika
90-119% AKG dan (5) kelebihan jika ≥120% AKG. Sedangkan untuk zat gizi
mikro seperti vitamin dan mineral hanya dikategorikan menjadi dua yaitu kurang
jika <77% AKG dan cukup jika ≥ 77% AKG (Gibson 2005).
Tingkat kecukupan zat gizi =
x 100%
18
KERANGKA PEMIKIRAN
Karakteristik contoh diduga sebagai salah satu faktor yang
mempengaruhi atau berhubungan dengan kejadian anemia pada ibu hamil.
Pada penelitian ini karakteristik contoh meliputi usia ibu, pendidikan, pekerjaan
pendapatan dan status gizi. Usia ibu pada saat hamil akan mempengaruhi
timbulnya anemia. Selain usia ibu, usia kehamilan pun juga mempengaruhi
kejadian anemia pada ibu hamil. Kebutuhan zat besi pada ibu hamil terus
meningkat sesuai dengan bertambahnya usia kehamilan. Ibu yang mempunyai
pendidikan tinggi lebih sedikit dipengaruhi oleh praktek-praktek tradisional yang
merugikan terhadap ibu hamil terutama dalam hal kualitas maupun kuantitas
makanan untuk konsumsi setiap harinya. Ibu hamil yang bekerja cenderung tidak
menderita anemia dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja.
Karakteristik contoh tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi
konsumsi pangan. Konsumsi pangan akan mempengaruhi asupan energi,
protein, zat besi serta zat gizi lainnya yang berperan dalam pembentukan
hemoglobin. Apabila konsumsi pangan sumber zat gizi tinggi maka asupan zat
gizi juga akan tinggi. Tingginya asupan zat gizi tersebut akan mempengaruhi
tingkat kecukupannya.
Bioavailabilitas zat besi dipengaruhi oleh faktor penghambat dan
pendorong penyerapan zat besi. Adapun faktor penghambat tersebut adalah
asam fitat dalam serealia dan kacang-kacangan, tanin dalam teh, asupan
kalsium yang berlebihan dan lain-lain. sementara itu faktor pendorong dalam
penyerapan zat besi adalah vitamin C. Vitamin C dapat mereduksi besi ferri
menjadi ferro agar lebih mudah diserap.
Salah satu faktor yang mempengaruhi status anemia adalah konsumsi
pangan yang terkait dengan nilai bioavailabilitas zat besi. Apabila bioavailabilitas
zat besi tinggi maka ketersediaan zat besi didalam tubuh akan lebih banyak.
Selain faktor konsumsi, status anemia pada ibu hamil juga dipengaruhi oleh jarak
kehamilan, perdarahan dan penyakit infeksi. Secara keseluruhan, hubungan
antar peubah disajikan pada Gambar 1.
19
Keterangan :
: peubah yang diteliti
: peubah yang tidak diteliti
: hubungan antar peubah yang dianalisis
: hubungan antar peubah yang tidak dianalisis
Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan tingkat kecukupan protein dan zat besi (fe) dengan kadar hemoglobin Ibu hamil di Kota Bogor.
Asupan Energi
Protein dan Zat Besi
Faktor pendorong
penyerapan zat besi
Faktor penghambat
penyerapan Zat besi
Tingkat Kecukupan
Energi, Protein dan
Zat besi
Status anemia ibu hamil
Kadar Hemoglobin
Konsumsi
pangan sumber energi,
protein hewani
(besi heme) dan nabati
(besi non heme)
Bioavailabilitas zat
besi
Penyakit infeksi
Perdarahan
Jarak kehamilan yang terlalu dekat
Karakteristik contoh
(umur, besar keluarga ,
pendidikan, pekerjaan,
dan pendapatan)
Angka Kecukupan
Gizi (AKG)
Status Gizi
Nilai LILA
Feritin
20
METODE PENELITIAN
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study dilaksanakan di
Kota Bogor menggunakan data sekunder dari data dasar penelitian Status Gizi
dan Pola Makan pada Wanita Pra-Hamil (Usia Subur), Ibu Hamil dan Menyusui di
Kota Bogor yang telah dilaksanakan oleh SEAFAST Center IPB. Contoh diambil
dari enam kecamatan di Kota Bogor yaitu Kecamatan Bogor Utara, Bogor
Selatan, Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor Tengah, dan Tanah Sareal yang
berlangsung pada bulan Agustus hingga Desember 2010.
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh
Contoh dalam penelitian ini adalah Ibu hamil yang bermukim di enam
kecamatan di Kota Bogor dengan kriteria meliputi (1) umur 20-40 tahun,
(2) usia kehamilan trimester kedua (3-6 bulan), (3) pengeluaran rumah tangga
berada pada kuintil-2, 3 dan 4. Kuintil adalah nilai yang menandai batas interval
dari sebaran frekuensi yang berderet dalam lima bagian sebaran yang sama
(Probohandojo 1989). Penentuan Kuintil dihitung berdasarkan tingkat sosial
ekonomi keluarga yang didapat dari data SUSENAS 2009 pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3 Rentang pengeluaran keluarga pada kuintil 1-5 (SUSENAS 2009)
Quintiles Kota Bogor (Rp/kap/bln)
Rentang Mean
Q5 622,421 - 6,676,869 1,158,923 Q4 432,210 – 618,983 517,468 Q3 332,781 – 430, 137 378,730 Q2 253,875 – 330,787 295,701 Q1 127,869 – 247,698 213,570
Ukuran minimal calon contoh dihitung menggunakan rumus (Lemeshow
et al. 1997) : n ≥ (1-α)2 x P (1-P)
d² n ≥ (1,96)2 x 0,5 (1-0,5) (0,1)² n ≥ 97 Ket : n =Jumlah calon contoh yang akan dipilih P = Perkiraan prevalensi anemia pada wanita hamil (50%) α = Batas kepercayaan (95%) d = Batas toleransi kesalahan yang diinginkan (10%) Tahap awal dikumpulkan sebanyak 203 calon contoh yang memenuhi
kriteria tersebut diatas. Pelaksanaannya dibantu oleh oleh kader posyandu
dengan cara mendatangi ke rumah-rumah ibu hamil di enam kecamatan Kota
Bogor setelah mendapatkan izin dari puskesmas setempat. Tahap berikutnya
21
dilakukan penentuan ukuran minimal contoh untuk penelitian klinis yang
dihitung berdasarkan populasi minimal calon contoh (N): 97,
menggunakan rumus (Lemeshow et.al 1997):
Z2α p (1-p) N n = ------------------------------------------------ d2(N-1) + Z2α p (1-p)
(1,96)2 x 0,5 (1-0,5) 97 n = ------------------------------------------------- (0,1)2(97-1) + (1,96)2 x 0,5 (1-0,5)
n= 49 ± 10 %
keterangan:
n = ukuran contoh penelitian yang akan dipilih
Z2α = nilai peubah acak normal baku pada derajat kepercayaan (1,96)
p = perkiraan prevalensi anemia pada ibu hamil (50%)
d = batas toleransi proporsi (10%)
N = populasi minimal calon contoh (97 orang)
Penentuan calon contoh untuk pemeriksaan biokimia darah dipilih
diantara 203 calon contoh yang dinyatakan sehat oleh dokter dan bersedia
diambil darahnya, diperoleh sejumlah 45 calon contoh. Seluruhnya dijadikan
contoh dalam penelitian ini karena telah memenuhi ukuran minimal (49-10%).
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Seluruh data yang dikumpulkan merupakan data sekunder. Data tersebut
meliputi data karakteristik contoh dan keluarga, konsumsi pangan, antropometri
dan kadar hemoglobin contoh. Data karakteristik contoh dan keluarga contoh
meliputi umur, besar keluarga, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan
dikumpulkan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner terstruktur.
Data konsumsi pangan meliputi semua makanan dan minuman yang
dikonsumsi oleh contoh diperoleh dengan melakukan recall 2x24 jam.
Pengambilan data konsumsi dilakukan secara berturut-turut dengan tidak
membedakan antara hari libur dengan hari kerja. Data konsumsi dan kebiasaan
konsumsi pangan terdiri dari 12 kelompok pangan yaitu (1) serealia; (2) daging;
(3) unggas (4) ikan; (5) telur; (6) susu; 7) kacang-kacangan; (8) sayuran ; (9)
buah beserta produk olahannya (g); (10) Minuman (ml); (11) Makanan ringan
(snack) (g) serta (12) Ramuan tradisional/suplemen (mg).
22
Data antropometri meliputi berat badan, tinggi badan dan Lingkar Lengan
Atas (LILA) yang diukur secara langsung. Berat badan diukur dengan
menggunakan timbangan injak, tinggi badan diukur menggunakan microtoise
serta lingkar lengan atas (LILA) diukur menggunakan pita LILA / meteran jahit.
Jenis data status besi didapatkan dari hasil pemeriksaan biokimia darah
dengan menggunakan analisa Hb sebagai salah satu indikator status anemia
dengan metode Cyanmethemoglobin. Pemeriksaan dan analisis kadar hemglobin
darah contoh dilakukan dengan cara mengambil specimen darah dari pembuluh
darah vena menggunakan jarum suntik kurang lebih sebanyak 10-12 ml oleh
analis kesehatan Laboratorium PRODIA Bogor.
Sebelum darah diambil, dokter umum mendeteksi calon contoh yang
akan diambil darahnya dengan melakukan pemeriksaan klinis terhadap contoh
seperti pengukuran suhu, tekanan darah, denyut nadi, dan kecepatan
pernafasan. Contoh yang dinyatakan sehat oleh dokter yang dapat diambil
darahnya. Tabel 4 berikut adalah daftar rinci data yang dikumpulkan :
Tabel 4 Jenis peubah dan cara pengumpulan data
No.
Peubah Data yang dikumpulkan Cara pengumpulan
1
Karakteristik contoh dan keluarga
Umur
Wawancara menggunakan kuesioner terstruktur Besar keluarga
Pendidikan Pekerjaan Pendapatan
2 Status Gizi (Antropometri)
Berat Badan (BB) Pengukuran Langsung menggunakan timbangan injak, microtoise, dan meteran jahit
Tinggi Badan (TB) Lingkar Lengan Atas (LILA)
3 Konsumsi Pangan
Makan pagi, siang, malam dan selingan: a. Nasi (g), b. Lauk hewani (g), c. Lauk nabati (g), d. Sayur (g), e. Buah (g), f. Lainnya
Pengisian kuesioner Recall 2x24 jam dan Food Frequency Questionaire (FFQ)
4 Pemeriksaan Klinis
a. Suhu b. Tekanan darah c. Denyut nadi d. Kecepatan pernafasan
Pengukuran langsung menggunakan termometer, tensimeter,stetoskop dan spirometer
5 Status Besi Kadar Hemoglobin dari hasil pemeriksaan biokimia darah
Dimabil spesimen darah dari pembuluh darah vena kurang lebih sebanyak 10-12 ml kemudian dianalisis di Laboratorium menggunakan metode Cyanmethemoglobin
23
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan melakukan proses
coding, entry, cleaning, dan analisis. Coding dilakukan dengan menyusun
code-book sebagai panduan entry dan pengolahan data. Setelah itu semua data
di entri dan kemudian dilakukan cleaning data untuk memastikan bahwa tidak
ada kesalahan dalam memasukkan data. Analisa data dilakukan dengan
menggunakan program komputer Microsoft Excel 2007 dan SPSS 16 for
Windows. Hubungan antara peubah yang diteliti, dianalisis menggunakan
uji korelasi pearson
Data karakteristik contoh dan keluarga contoh meliputi umur, besar
keluarga, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan. Umur contoh dalam penelitian
ini dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu 20-29 tahun dan 30-40 tahun.
Data besar keluarga dikategorikan menjadi tiga yaitu : (1) keluarga kecil dengan
jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang, (2) keluarga sedang 5-6 orang, dan
(3) keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga ≥ 7 orang (BKKBN 1998).
Data pendidikan contoh dan suami contoh dikelompokkan menurut
jenjang pendidikan yang pernah diperoleh yaitu (1) SD, (2) SMP, (3) SMA
dan (4) Perguruan Tinggi (PT) yang kemudian dianalisis secara deskriptif.
Data status pekerjaan contoh dan suami contoh dikelompokkan dalam 2
kelompok, yaitu: (1) bekerja dan (2) tidak bekerja. Data pendapatan/ kapita/
bulan dikategorikan dalam dua kategori yaitu; (1) Miskin (<Rp.278.530)
dan (2) Tidak Miskin (≥Rp.278.530) berdasarkan garis kemiskinan Kota Bogor
tahun 2010 (BPS 2011).
Data konsumsi pangan diperoleh dari hasil recall 2x24 jam. Data yang
telah didapat lalu dikonversikan kedalam satuan energi (kkal), protein (g), vitamin
A (RE), vitamin C (mg), dan Fe (mg) dan seterusnya untuk zat gizi lainnya.
Setelah jumlah asupan energi protein dan zat besi serta zat gizi lainnya diketahui
maka tingkat kecukupan zat gizi pun dapat diketahui dari hasil pembagian antara
asupan zat gizi aktual dengan angka kecukupan zat gizi tertentu kemudian dikali
dengan seratus. Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) dihitung menggunakan rumus
menurut Hardinsyah dan Briawan (1994) adalah sebagai berikut :
Angka kecukupan energi, protein dan zat besi serta zat gizi lainnya diacu
Tingkat kecukupan zat gizi = x 100%
24
Berdasarkan AKG 2004 dengan kondisi fisiologis ibu hamil trimester II,
Angka kecukupan energi, protein, vitamin C, vitamin A, asam folat, zat besi dan
seng adalah sebesar 2100.0 kkal; 67.0 g protein; 85.0 mg vitamin C; 800.0 RE
vitamin A; 600.0 µg asam folat, 35.0 mg zat besi dan 11.5 mg seng.
Menurut Depkes (1996), tingkat kecukupan energi dan protein dikatakan
(1) defisit tingkat berat jika <70% AKG, (2) defisit tingkat sedang jika 70-79%
AKG, (3) defisit tingkat ringan jika 80-89% AKG. (4) Normal jika 90-119% AKG
dan (5) kelebihan jika >120% AKG. Sedangkan untuk zat gizi mikro seperti
vitamin dan mineral hanya dikategorikan menjadi dua yaitu (1) kurang jika <77%
AKG dan (2) cukup jika ≥ 77% AKG (Gibson 2005).
Status gizi menggunakan metode pengukuran Lingkar Lengan Atas
(LILA) untuk menentukan ada tidaknya status gizi Kurang Energi Kronis (KEK).
Jika panjang Lingkar Lengan Atas (LILA) < 23,5 cm maka ditetapkan menderita
Kurang Energi Kronis (KEK) (Depkes 2001). Sedangkan tingkatan status anemia
dibagi dalam tiga kategori, yaitu (1) normal (Hb ≥11g/dL), (2) anemia tingkat
ringan (Hb 8-10 g/dL) dan (3) anemia tingkat berat (Hb < 8 g/dL) (WHO 2005).
Hubungan antara karakteristik contoh dan keluarga, LILA, tingkat
kecukupan energi, protein dan zat besi dengan kadar hemoglobin contoh
dapat diketahui dengan menggunakan uji korelasi pearson agar dapat diketahui
ada tidaknya hubungan peubah independent (penyebab) dengan peubah
dependent (akibat). Tabel 5 berikut disajikan informasi mengenai jenis peubah,
kategori dan pengelompokan, pengolahan serta analisis data yang digunakan.
Tabel 5 Jenis, kategori dan pengelompokan serta pengolahan data
No Peubah Kategori dan Pengelompokan
Peubah Acuan Baku Pengolahan
1 Umur a. 20-29 tahun
Microsoft Excell 2007
b. 30-40 tahun
2 Tingkat pendidikan
a. SD/sederajat
b. SMP/sederajat c. SMA/sederajat d. PT
3 Status pekerjaan a. Bekerja
b. Tidak bekerja
4 Besar keluarga
a. Kecil (≤ 4 orang) BKKBN 1998
b. Sedang (5-7 orang) c. Besar (>7 orang)
5 Pendapatan/ kapita/bulan
a. Miskin (<Rp.278.530) BPS 2011 b. Tidak Miskin (≥ Rp.278.530)
6
Status anemia
a. Normal (Hb≥11 g/dL)
WHO 2005 b Anemia ringan (Hb 8-9 g/dL) c. Anemia berat (Hb<8 g/dL)
25
No Peubah Kategori dan Pengelompokan
Peubah Acuan Baku Pengolahan
7 Status KEK a. KEK (LILA < 23,5 cm) Depkes
2001 b. Tidak KEK (LILA ≥ 23,5 cm)
8 Asupan Zat Gizi
a. Energi (kka)
Recall Konsumsi Pangan
b. Protein (g) c. Zat Besi (mg) d. Seng (mg) e. Vitamin C (mg) f. Asamfolat (µg)
9 Tingkat kecukupan energi
a. Defisit berat (TKE<70% AKE) Depkes 1996 Gibson 2005
Microsoft Excell 2007 Dan SPSS 16 For Windows
b. Defisit sedang (70% AKE <TKE<79% AKE) c. Defisit ringan (80% AKE <TKE<89% AKE) d. Normal (90% AKE <TKE<119% AKE) e. Kelebihan (TKE≥ 120% AKE)
10 Tingkat kecukupan protein
a. Defisit berat (TKP<70% AKP) b. Defisit sedang (70% AKP <TKP<79% AKP) c. Defisit ringan (80% AKP <TKP<89% AKP) d. Normal (90% AKP <TKP<119% AKP) e. Kelebihan (TKP≥ 120% AKP)
11
Tingkat kecukupan vitamin dan mineral
a. Kurang (TKG<77% AKG) b. Cukup (TKG≥77%AKG)
Definisi Operasional
Ibu Hamil adalah wanita yang sedang mengandung janin
Contoh adalah ibu hamil trimester II yang bermukim di enam kecamatan di Wilayah Bogor Kuintil adalah nilai yang menandai batas interval dari sebaran frekuensi yang
berderet dalam lima bagian sebaran yang sama (Probohandojo 1989) Umur Contoh adalah umur ibu yang dinyatakan dalam tahun berdasarkan atas identitas ibu. Tingkat Pendidikan Contoh adalah tingkat pendidikan formal tertinggi yang
pernah diikuti oleh contoh. Besar Keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu
rumah dengan sumber perolehan makanan yang sama. Status Pekerjaan adalah keterangan tentang bekerja atau tidaknya ibu hamil. Pendapatan/ kapita/ bulan adalah gaji/ upah yang diperoleh keluarga ibu hamil
dalam waktu satu bulan yang kemudian dibagi dengan jumlah anggota keluarga.
Status Anemia adalah keadaan kadar Hb dan Ht contoh yang menunjukkan kondisi contoh menderita anemia atau tidak anemia (Briawan 2008)
Status Besi adalah keadaan atau gambaran kecukupan zat besi di dalam tubuh
yang dapat dinilai dari biomarker darah meliputi kadar Hb, serum ferritin dan serum transferrin reseptor (Briawan 2008)
26
Kurang Energi Kronis (KEK) adalah suatu keadaan kekurangan energi dalam
waktu yang lama yang dideteksi dengan pengukuran Lingkar Lengan Atas (LILA); LILA < 23,5 cm termasuk kategori KEK (Depkes 2001)
NILAI LILA adalah ukuran lingkar lengan bagian atas dari ibu hamil yang
dinyatakan dalam satuan centimeter (cm) (Aritonang 2010). Konsumsi Pangan Ibu Hamil adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam)
yang dimakan oleh Ibu Hamil dengan tujuan tertentu dalam aspek gizi, tujuan memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan oleh tubuh selama masa kehamilan
Kebiasaan makan adalah cara individu atau sekelompok individu dalam memilih
bahan pangan dan mengonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, sosial dan budaya (Sanjur 1982)
Asupan Zat Gizi adalah sejumlah zat gizi yang masuk kedalam tubuh ibu hamil
yang diperoleh dari makanan dan minuman yang dinilai dengan cara recall konsumsi pangan (WNPG 2004).
Angka Kecukupan Gizi adalah nilai rata-rata yang menunjukkan jumlah zat gizi
yang diperlukan untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua penduduk menurut kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu (WNPG 2004).
Tingkat Kecukupan Gizi adalah perbandingan asupan zat gizi aktual terhadap
angka kecukupan zat gizi ibu hamil yang dinyatakan dalam persen (%) (WNPG 2004).
27
HASIL DAN PEMBAHASAN
Status Anemia
Kadar hemoglobin contoh yang terendah 9.20 g/dL dan yang tertinggi
14.0 g/dL dengan rata-rata kadar Hb 11.56 g/dL. Pada Tabel 6 berikut dapat
diketahui sebaran contoh berdasarkan tingkatan status anemia.
Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan tingkatan status anemia
Status Anemia1 n %
Normal (Tidak Anemia) (Hb ≥11 g/dL) 35 77.8
Anemia Ringan (Hb 8-10 g/dL) 10 22.2
Anemia Berat (Hb <8 g/dL) 0 0.0
Total 45 100.0 1) Kategori status tingkatan anemia contoh berdasarkan ketetapan WHO 2005
Sebanyak 77.8% dari keseluruhan contoh tidak menderita anemia dan
22.2% contoh menderita anemia tingkat ringan namun tidak ada contoh yang
menderita anemia tingkat berat. Dengan demikian diketahui prevalensi anemia
ibu hamil di wilayah penelitian sebesar 22.2%. Menurut WHO (2001) prevalensi
anemia >20% menunjukkan adanya masalah kesehatan masyarakat. Sementara
itu hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada ibu hamil
>20% dapat diartikan bahwa anemia masih menjadi masalah kesehatan
dikalangan ibu hamil. Prevalensi anemia ibu hamil pada penelitian ini lebih
rendah dibandingkan dengan prevalensi anemia ibu hamil berdasarkan penelitian
Darlina dan Hardinsyah (2003) yang menyatakan bahwa prevalensi anemia ibu
hamil di Kota Bogor pada tahun 2002 sebesar 40.4% dan lebih rendah
dibandingkan dengan data dari Dinas Kesehatan Jawa Barat tahun 2003
dengan prevalensi sebesar 51.7%. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian anemia
pada ibu hamil masih menjadi salah satu masalah kesehatan di Kota Bogor.
Tingginya prevalensi anemia pada ibu hamil tidak hanya terjadi pada
penelitian ini saja tetapi juga dibeberapa daerah lain seperti penelitian yang
dilakukan oleh Prihatini et al. (2009) di Kota Bau-bau sebanyak 48.4% ibu hamil
trimester kedua mengalami anemia. Penelitian yang dilakukan oleh Wijanti et al.
(2012) di Puskesmas Sambi sebanyak 63.0% ibu hamil trimester II mengalami
anemia. Tingginya angka anemia pada ibu hamil menurut Cheryl (1996) dalam
Darlina 2003 disebabkan karena penurunan kadar hemoglobin (Hb) dan
hematokrit (Ht) pada trimester 1 dan 2 sebagai akibat peningkatan volume
plasma darah yang terjadi lebih dahulu dibandingkan produksi sel darah merah.
28
Status Gizi Contoh Berdasarkan Nilai LILA
Selain menggunakan indeks massa tubuh (IMT), status gizi ibu hamil
dapat diukur secara antropometri atau pengukuran komposisi tubuh dengan
mengukur LILA (Lingkar Lengan Atas). Apabila nilai LILA <23.5 cm maka
termasuk dalam kategori Kurang Energi Kronik (KEK) dan apabila nilai
LILA ≥ 23.5 cm maka termasuk dalam kategori normal (Depkes 2001) yang
diacu dalam Anggraeni 2012). Menurut Depkes (2003) pengukuran LILA pada
kelompok wanita usia subur adalah salah satu cara untuk mendeteksi dini yang
mudah dan dapat dilaksanakan oleh masyarakat awam, untuk mengetahui
kelompok berisiko Kekurangan Energi Kronis (KEK). Gambaran sebaran contoh
berdasarkan status KEK disajikan pada Tabel 7 berikut.
Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan status gizi dan status anemia
Status Gizi2
Status Anemia Total
Anemia Tidak Anemia
n % n % n %
KEK (LILA<23,5 cm) 5 50.0 4 11.4 9 20.0
Tidak KEK (LILA≥23,5 cm) 5 50.0 31 88.5 36 80.0
Total 10 100.0 35 100.0 45 100.0 2) Kategori status KEK contoh berdasarkan ketetapan Depkes 2001.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa LILA contoh terendah sebesar
20.0 cm dan yang tertinggi sebesar 41.0 cm dengan rata-rata sebesar 26.15 cm.
Sebagian besar contoh (80.0%) tidak memiliki resiko KEK atau normal dan hanya
20.0 % contoh yang termasuk KEK. Namun demikian terlihat jelas bahwa contoh
pada kelompok anemia memiliki status gizi yang lebih rendah dibandingkan
dengan contoh pada kelompok tidak anemia. Menurut Depkes (1994) bagi ibu
hamil yang KEK mempunyai resiko lebih besar untuk melahirkan dengan Berat
Bayi Lahir Rendah (BBLR). Selain itu ibu yang mengalami KEK yang telah
melalui masa persalinan dengan selamat, akan mengalami masa pasca
persalinan yang sulit karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan.
Hal ini akan menurunkan kemampuan merawat anak serta dirinya sendiri. Jika
hasil pengukuran LILA menunjukkan nilai >23.5 cm maka contoh tidak menderita
KEK dan diiharapkan contoh melahirkan bayi dengan berat bayi lahir normal
(Arisman 2007). Tingginya persentase ibu hamil dengan status gizi normal tidak
hanya terjadi pada penelitian ini tetapi juga didukung oleh beberapa penelitian
sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Ipa (2010) menyatakan bahwa
sebesar 87.1% ibu hamil di Kecamatan Makassar memiliki nilai LILA >23.5 cm.
29
Karakteristik Contoh dan Keluarga
Umur Contoh
Contoh adalah ibu hamil trimester ke II (Dua) di enam kecamatan di Kota
Bogor yang dikelompokan kedalam dua kelompok yaitu kelompok anemia
(10 orang, 22.2%) dan tidak anemia (35 orang, 77.8%) yang berumur antara
20.0-40.0 tahun dengan umur rata-rata 29.0 tahun. Sebaran contoh berdasarkan
umur disajikan pada Tabel 8 berikut.
Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan umur dan status anemia
Umur (tahun)
Status Anemia Total
Anemia Tidak Anemia
n % n % n %
20-29 6 60.0 19 54.3 25 55.6
30-40 4 40.0 16 45.7 20 44.4
Rata-rata (tahun) 28.3 29.0 29.0
Total 10 100.0 35 100.0 45 100.0 Sebanyak 55.6% dari keseluruhan contoh atau 60.0% contoh pada
kelompok anemia dan 54.3% contoh pada kelompok tidak anemia, berumur
antara 20.0-29.0 tahun, dengan rata-rata umur secara keseluruhan 29.0 tahun,
atau 28.3 tahun pada kelompok anemia dan 29.0 tahun pada kelompok
tidak anemia. Contoh pada kelompok anemia memiliki rata-rata umur yang relatif
lebih muda dibandingkan dengan contoh pada kelompok tidak anemia.
Umur seorang ibu berkaitan dengan alat-alat reproduksi wanita. Sistem
reproduksi wanita yang sehat dan aman berada pada umur 20.0-35.0 tahun.
Kehamilan pada umur < 20.0 tahun dan > 35.0 tahun dapat
menyebabkan anemia, karena kehamilan pada umur < 20.0 tahun secara
biologis belum optimal, emosinya cenderung labil, mentalnya belum matang
sehingga mudah mengalami keguncangan yang mengakibatkan kurangnya
perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan zat-zat gizi selama kehamilannya.
Sedangkan jika berumur > 35 tahun terkait dengan kemunduran dan penurunan
daya tahan tubuh serta berbagai penyakit yang sering menimpa pada umur itu
(Manuaba 1999). Dalam penelitian ini tidak ada contoh yang berumur <20.0
tahun dan hanya 20.0% contoh yang berumur >35 tahun. Sehingga dapat
diketahui bahwa sebagian besar contoh tidak berada pada rentang umur
berisiko.
30
Tingkat Pendidikan Contoh
Tingkat pendidikan contoh dikelompokan dalam lima kelompok,
yaitu: 1) SD/sederajat, 2) SMP/sederajat, 3) SMA/sederajat, dan 4) Perguruan
Tinggi (PT). Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat dalam
Tabel 9 berikut.
Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan dan status anemia
Tingkat Pendidikan
Status Anemia Total
Anemia Tidak Anemia
n % n % n %
SD/sederajat 4 40.0 13 37.1 17 37.8
SMP/sederajat 4 40.0 6 17.1 10 22.2
SMA/sederajat 2 20.0 16 45.7 18 40.0
PT 0 0.0 0 0.0 0 0.0
Total 10 100.0 35 100.0 45 100.0
Sebanyak 40.0% dari keseluruhan contoh atau 45.7% contoh pada
kelompok tidak anemia berpendidikan SMA/sederajat. Namun terlihat
sebanyak 80.0% contoh pada kelompok anemia berpendidikan
SD hingga SMP/sederajat dengan persentase masing-masing sebesar 40.0%.
Tidak ada contoh pada kelompok anemia maupun tidak anemia yang
berpendidikan perguruan tinggi (PT). Sehingga dapat diketahui bahwa contoh
pada kelompok anemia memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah
dibandingkan dengan contoh pada kelompok tidak anemia.
Tingkat pendidikan merupakan salah satu penyebab tidak langsung
anemia yang berkaitan dengan pengetahuan. Ibu hamil yang memiliki tingkat
pendidikan yang rendah cenderung memiliki pengetahuan gizi ibu hamil yang
rendah pula. Sehingga berpengaruh dalam pemilihan dan pemenuhan konsumsi
pangan selama masa kehamilan (Soenarko 2002). Ibu dengan pendidikan tinggi
cenderung lebih memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya. Sebaliknya ibu
dengan tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan kurangnya perhatian
mereka akan bahaya yang dapat menimpa ibu hamil ataupun bayinya.
Menurut Suhardjo (1989) bahwa orang yang berpendidikan tinggi
biasanya akan memilih untuk mengonsumsi makanan yang bernilai gizi tinggi
sehingga kebutuhan gizi tetap terpenuhi. Pendidikan formal sangat penting
dalam menentukan status gizi keluarga. Kemampuan baca tulis akan membantu
dalam memperlancar komunikasi dan penerimaan informasi, dengan demikian
informasi tentang kesehatan akan lebih mudah diterima oleh keluarga.
31
Tingkat Pendidikan Suami Contoh
Tingkat pendidikan suami contoh diduga memiliki pengaruh secara tidak
langsung terhadap status anemia ibu hamil dalam hal mendukung dan peduli
akan pemenuhan zat gizi untuk ibu hamil selama kehamilan. Menurut Tristiyanti
(2006) menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan suami contoh maka
semakin baik pula pengetahuan gizi contoh. Pada praktek sehari-hari diduga
bahwa selain memperoleh pengetahuan gizi dari pendidikan formal yang
ditempuhnya, contoh juga memperoleh pengetahuan gizi dari suami. Sebaran
tingkat pendidikan suami contoh disajikan pada Tabel 10 berikut.
Tabel 10 Sebaran suami contoh berdasarkan tingkat pendidikan
dan status anemia
Tingkat Pendidikan
Status Anemia Total
Anemia Tidak Anemia
n % n % n %
SD/sederajat 3 30.0 9 25.7 12 26.7 SMP/sederajat 2 20.0 7 20.0 9 20.0 SMA/sederajat 5 50.0 17 48.6 22 48.9 PT 0 0.0 2 6.0 2 4.4
Total 10 100.0 35 100.0 45 100.0 Berbeda dengan tingkat pendidikan contoh, sebanyak 48.9%
dari keseluruhan suami contoh menempuh pendidikan hingga tingkat
SMA/sederajat. Tidak ada suami contoh pada kelompok anemia yang
berpendidikan Perguruan Tinggi (PT). Sehingga dapat diketahui bahwa suami
contoh pada kelompok anemia memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah
dibandingkan dengan suami contoh pada kelompok tidak anemia.
Status Pekerjaan Contoh
Status pekerjaan contoh dibagi kedalam dua kelompok berdasarkan
sebaran contoh bekerja dan tidak bekerja. Tabel 11 berikut ini memberikan
gambaran sebaran contoh berdasarkan status pekerjaan.
Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan status pekerjaan dan status anemia
Kategori keluarga
Status Anemia Total
Anemia Tidak Anemia
n % n % n %
Bekerja 1 10.0 5 14.3 6 13.3
Tidak Bekerja 9 90.0 30 85.7 39 86.7
Total 10 100.0 35 100.0 45 100.0
32
Sebanyak 86.7% dari keseluruhan contoh berstatus tidak bekerja atau
sebagai ibu rumah tangga, baik pada kelompok anemia maupun tidak anemia
dengan persentase yang hampir sama. Terdapat 10% contoh pada kelompok
anemia yang bekerja. Berat ringannya pekerjaan ibu juga akan mempengaruhi
kondisi tubuh dan pada akhirnya akan berpengaruh pada status kesehatannya
(Wijianto 2002). Menurut Junadi (1998 dalam Permatahati 2012) ibu yang
bekerja memiliki risiko anemia yang lebih besar dibandingkan dengan ibu yang
tidak bekerja, hanya proporsinya tergantung pada beban kerja yang dimilikinya.
Wijianto (2002) menyatakan bahwa ibu yang bekerja mempunyai kecenderungan
kurang istirahat, konsumsi makan yang tidak seimbang sehingga mempunyai
resiko lebih besar untuk menderita anemia dibandingkan ibu yang tidak bekerja.
Status Pekerjaan Suami Contoh
Status pekerjaan suami contoh juga dibagi kedalam dua kelompok
menurut sebaran suami contoh bekerja dan tidak bekerja. Berbeda dengan
status pekerjaan contoh, 100% suami contoh, baik pada kelompok anemia
maupun tidak anemia, berstatus bekerja. Sebaran contoh berdasarkan status
pekerjaan suami dapat dilihat pada Tabel 12 berikut.
Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan status pekerjaan suami
dan status anemia
Kategori keluarga
Status Anemia Total
Anemia Tidak Anemia
n % n % n %
Bekerja 10 10.0 35 100.0 45 100.0
Tidak Bekerja 0 0.0 0 0.0 0 0.0
Total 10 100.0 35 100.0 45 100.0 Besar Keluarga
Contoh dalam penelitian ini memiliki keluarga dengan jumlah
anggota keluarga paling sedikit 2 orang dan paling banyak 9 orang. Tabel 13
berikut memberikan gambaran sebaran contoh berdasarkan besar keluarga.
Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga dan status anemia
Besar Keluarga1
Status Anemia Total
Anemia Tidak Anemia
n % n % n %
Kecil (≤ 4 orang) 8 80.0 22 62.9 30 66.7
Sedang (5-6 orang) 2 20.0 11 31.4 13 28.9
Besar (≥ 7 orang) 0 0.0 2 5.7 2 4.4
Rata-rata 3.1 4.2 3.8
Total 10 100.0 35 100.0 45 100.0
33
1) Kategori besar keluarga berdasarkan ketetapan BKKBN 1998.
Secara umum 66.7% dari keseluruhan contoh atau 80.0% contoh pada
kelompok anemia dan 62.9% contoh pada kelompok tidak anemia memiliki
keluarga tergolong keluarga kecil (≤ 4 orang). Keluarga contoh pada kelompok
anemia memiliki jumlah rata-rata anggota keluarga yang lebih sedikit
dibandingkan dengan keluarga contoh pada kelompok tidak anemia. Jumlah
anggota keluarga akan mempengaruhi distribusi makanan di dalam keluarga.
Semakin besar jumlah anggota keluarga maka semakin besar risiko terjadinya
kurang pemerataan terhadap makanan. Dengan kecilnya jumlah anggota
keluarga maka kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi yang akan berpengaruh
terhadap status gizi ibu hamil (Almatsier 2003).
Pendapatan/kapita/bulan
Seluruh keluarga contoh dalam penelitian ini memiliki total pendapatan
antara Rp.425.000,- sampai dengan Rp.10.700.000,- per bulan dengan
rata-rata Rp.1.606.444,- per bulan. Ketika pendapatan per bulan dalam keluarga
dibagi dengan jumlah anggota dalam keluarga tersebut akan menghasilkan nilai
pendapatan/kapita/bulan pada keluarga itu. Hasil pengolahan data menunjukkan
bahwa keluarga contoh memiliki pendapatan per kapita per bulan antara
Rp.85.000,- sampai dengan Rp.1.783.333,- dengan rata-rata pendapatan
per kapita per bulan sebesar Rp. 388.813,-. BPS Kota Bogor (2011)
mengkategorikan pendapatan per kapita per bulan dalam dua
kategori berdasarkan garis kemiskinan Kota Bogor tahun 2010 yaitu,
miskin (<Rp.278.530) dan tidak miskin (≥ Rp.278.530). Tabel 14 berikut
memberikan gambaran sebaran contoh berdasarkan pendapatan/kapita/bulan
pada keluarga contoh.
Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan besar pendapatan/kapita/bulan
dan status anemia
Kategori pendapatan/kapita/bulan
2
Status Anemia Total
Anemia Tidak Anemia
n % n % n %
Miskin (< Rp. 278.530) 2 20.0 5 14.3 7 15.5 Tidak Miskin (≥ Rp.278.530) 8 80.0 30 85.7 38 84.5
Total 10 100.0 35 100.0 45 100.0 2)
Kategori pendapatan/kapita/bulan berdasarkan garis kemiskinan Kota Bogor tahun 2010 (BPS 2011)
Secara keseluruhan keluarga contoh, hampir semua berstatus keluarga
tidak miskin dengan persentase sebesar 84.5%. Hanya sebesar 15.5% dari
34
keseluruhan jumlah contoh termasuk dalam kategori keluarga miskin.
Menurut Sediaoetama (1996) pendapatan merupakan salah satu faktor yang
menentukan kualitas dan kuantitas makanan, sehingga terjadi hubungan yang
erat antara pendapatan dan gizi. Namun dalam penelitian ini diketahui sebanyak
14.3% contoh pada kelompok tidak anemia berstatus keluarga miskin. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak selamanya contoh dari keluarga miskin identik
menderita anemia.
Hal tersebut mungkin dapat terjadi karena contoh biasa atau patuh
mengonsumsi suplemen penambah darah selama masa kehamilan. Uji korelasi
pearson menunjukkan ada hubungan yang nyata antara besar keluarga dengan
pendapatan/kapita/bulan. Hal itu dibuktikan dengan nilai (p=0.002, r=-0.44).
Artinya, semakin banyak jumlah anggota dalam suatu keluarga, maka tingkat
pendapatan/kapita/bulan dalam keluarga itu akan semakin rendah.
Kebiasaan Konsumsi Pangan Contoh
Kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia
dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan
dan pemilihan makanan (Sanjur 1982). Kebiasaan makan contoh terdiri dari
makan pagi, siang, malam dan selingan. Adapun makanan yang sering
dikonsumsi oleh contoh pada pagi hari adalah nasi dengan lauk-pauk, bubur
ayam, mie kuah, lontong sayur, teh manis dan susu. Pada siang hari rata-rata
contoh mengonsumsi nasi dan lauk pauk serta sayur. Terdapat beberapa contoh
pada siang hari hanya mengonsumsi jajanan seperti mie ayam, mie goreng atau
bakso. Pada malam hari sebagian besar contoh mengonsumsi nasi dan lauk
pauk serta sayuran, tetapi terdapat beberapa contoh yang mengonsumsi mie
kuah atau mie goreng serta susu. Pada penelitian ini masih terdapat beberapa
contoh atau sebagian kecil yang hanya mengonsumsi air putih saja di makan
pagi, siang ataupun malam.
Sebagian besar contoh memiliki kebiasaan makan selingan pada selingan
satu atau antara makan pagi dan siang, sementara hanya 10-15 contoh yang
memiliki kebiasaan makan pada selingan dua (antara makan siang dan malam)
dan tiga (setelah makan malam). Makanan yang paling sering dikonsumsi contoh
pada selingan pagi yaitu susu. Selain susu, sebagian besar contoh juga
mengonsumsi biskuit, roti, bubur kacang hijau, buah atau siomay. Pada selingan
satu, sebagian kecil contoh mengonsumsi nasi dan lauk pauk atau bubur ayam.
35
Adapun makanan yang sering dikonsumsi contoh pada selingan dua adalah nasi
lauk pauk serta sayur.
Sebagian besar contoh memiliki menu makanan yang sama pada setiap
waktu makan utama. Terdapat beberapa contoh yang masih mengonsumsi air
putih saja pada waktu makan utama. Contoh yang telah makan pada selingan
dua atau selingan sore maka biasanya tidak makan pada waktu makan malam
atau pada makan malam contoh tersebut hanya mengonsumsi air putih dengan
makanan kecil saja. Hal yang perlu diperhatikan dalam mempelajari kebiasaan
makan adalah konsumsi pangan (kuantitas dan kualitas), kesukaan terhadap
makanan tertentu. Kepercayaan, pantangan, atau sikap terhadap makanan
tertentu (Wahyuni 1988 dalam Permatahati 2012). Konsumsi pangan merupakan
jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang dengan
tujuan tertentu. Konsumsi pangan pada penelitian ini dibagi menjadi 6 kelompok
pangan yaitu serealia dan olahannya, pangan hewani dan olahannya, kacang-
kacangan dan olahannya, sayur dan olahannya, buah dan olahannya serta susu
dan olahannya. Tabel 15 merupakan rata-rata konsumsi pangan contoh dalam
dua hari berdasarkan hasil recall 2x24 jam.
Tabel 15 Konsumsi pangan contoh
No Kelompok Pangan Rata-rata konsumsi (g)
1 Serealia dan olahannya 487.0
2 Hewani dan olahannya 60.3
3 Nabati dan olahannya 99.5
4 Sayuran dan olahannya 176.0
5 Buah dan olahannya 130.0
6 Susu dan olahannya 271.0
Tabel 15 menunjukkan bahwa konsumsi pangan contoh didominasi oleh
serealia dan olahannya yang ditunjukkan dengan rata-rata konsumsi pangan
sebesar 487 g serealia per hari. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Amrin (2011) bahwa konsumsi pangan tertinggi
pada ibu hamil adalah serelia dan olahannya yaitu sebesar 257 g per hari.
Hal ini mungkin disebabkan karena kebiasaan makan masyarakat Indonesia
lebih didominasi oleh makanan pokok seperti serelia daripada lauk pauk dan
sayuran. Depkes (2005) menyatakan bahwa konsumsi serealia pada ibu hamil
sebanyak 6 penukar, namun pada penelitian ini konsumsi serealia masih kurang
dari yang dianjurkan. Apabila dikonversikan ke dalam satuan penukar, maka 487
g serealia setara dengan 4 penukar nasi.
36
Lebih tingginya konsumsi serealia daripada konsumsi pangan lainnya
tidak hanya terjadi pada penelitian ini saja tetapi juga di India. Penelitian yang
dilakukan oleh Nair dan Iyengar (2009) pada ibu hamil di india bahwa rata-rata
konsumsi serealia sebesar 320 g hingga 477 g dalam sehari. Pangan hewani
merupakan salah satu pangan sumber zat besi. Pada penelitian ini hanya sedikit
jumlah pangan hewani yang dikonsumsi contoh dalam sehari yaitu sebesar
60.3 g. Apabila berat tersebut dikonversikan kedalam satuan penukar, maka
kurang lebih contoh pada penelitian hanya mengonsumsi pangan hewani hanya
satu atau dua penukar saja. Sementara itu Depkes (2005) menyarankan kepada
ibu hamil agar mengonsumsi pangan hewani minimal tiga penukar dalam sehari.
Pangan hewani yang sering dikonsumsi contoh adalah ikan (ikan asin) dan telur.
Menurut Achadi (2007) sumber utama zat besi adalah pangan hewani
terutama yang berwarna merah, seperti hati dan daging namun, contoh yang
mengonsumsi daging dan hati hanya sebagian kecil saja. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa hanya 27.0 % contoh yang mengonsumsi daging. Tingginya
harga daging dipasaran mungkin merupakan salah satu penyebab rendahnya
konsumsi daging. Persentase contoh yang mengonsumsi hati juga masih rendah
sebesar 12.6 %. Darlina (2003) dalam penelitiannya pada ibu hamil di Kota
Bogor mengatakan bahwa sebanyak 53.9% ibu hamil tidak menyukai hati.
Mungkin hal tersebut yang menjadi salah satu penyebab sedikitnya ibu hamil
yang mengonsumsi hati.
Kurangnya konsumsi pangan pada contoh juga terjadi pada pangan
nabati, sayuran, buah-buahan dan susu. Pada penelitian ini, contoh
mengonsumsi pangan nabati sebanyak 99.5 g, sayuran sebanyak 176.0 g,
buah-buahan sebanyak 130.0 g dan susu sebanyak 271 g. Apabila berat
konsumsi pangan tersebut dikonversikan ke dalam satuan penukar maka
konsumsi contoh terhadap pangan-pangan tersebut masih kurang.
Depkes (2005) menyatakan bahwa konsumsi pangan nabati untuk ibu hamil
sebanyak 3 penukar, sayuran sebanyak 3 penukar, buah sebanyak 4 penukar
dan susu sebanyak 3 penukar. Pada penelitian ini pangan nabati, sayuran, buah
dan susu yang dikonsumsi oleh contoh hanya sebanyak satu sampai dua
penukar saja. Rata-rata frekuensi konsumsi akan bahan pangan tertentu
diperoleh dari data Food Frequency Quesionaire (FFQ) contoh . Tabel 16 Berikut
37
disajikan data rata-rata frekuensi dari berbagai kelompok pangan yang
dikonsumsi oleh contoh.
Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan kebiasan konsumsi
berbagai kelompok pangan
No Kelompok Pangan n Persentase
(%)
Rata-rata (kali /bulan)
1 Serealia dan olahannya 45 100.0 99.0
2 Daging dan olahannya 12 27.0 9.0
3 Unggas dan olahannya 32 71.0 12.0
4 Ikan dan olahannya 42 93.0 26.0
5 Telur dan olahannya 41 91.0 17.0
6 Susu dan olahannya 34 75.5 38.0
7 Kacang-kacangan dan olahannya 44 97.7 47.0
8 Sayuran dan olahannya 45 100.0 44.0
9 Buah dan olahannya 45 100.0 26.0
10 Minuman 45 100.0 187.0
11 Makanan Ringan (Snack) 45 100.0 30.0
12 Ramuan tradisional/suplemen 26 57.8 20.0
Seluruh contoh biasa mengonsumsi serealia dan olahannya dengan
rata-rata frekuensi konsumsi 3.0 - 4.0 kali sehari. Sebanyak 97.7% contoh biasa
mengonsumsi pangan sumber protein nabati dari kelompok kacang-kacangan
dan olahnnya dengan rata-rata frekuensi konsumsi 1.0-2.0 kali sehari.
Bahan pangan sumber protein nabati yang lebih sering dikonsumsi contoh antara
lain kacang hijau, oncom, tahu, dan tempe. Tidak semua contoh pada penelitian
ini biasa mengonsumsi pangan sumber protein hewani dari kelompok pangan
daging, unggas, ikan, telur dan susu. Hal tersebut dapat diketahui dari
persentase contoh yang mengonsumsi pangan sumber protein hewani
diantaranya sebesar 27.0% contoh biasa mengonsumsi daging dan olahannya
dengan rata-rata frekuensi konsumsi 2.0 kali/minggu, 71.0% biasa mengonsumsi
unggas dan olahnnya dengan rata-rata frekuensi konsumsi 2.0-3.0 kali/minggu,
93.0% biasa mengonsumsi ikan dan olahannya dengan rata-rata frekuensi
konsumsi 1.0 kali/hari, 91.0% biasa mengonsumsi telur dan olahannya dengan
rata-rata frekuensi sebesar 3.0-4.0 kali/minggu, serta sebesar 75.5% biasa
mengonsumsi susu dan olahannya dengan rata-rata frekuensi konsumsi
1.0 kali/hari.
Kemudian yang perlu diketahui selanjutnya yaitu 100.0% contoh pada
penelitian ini biasa mengonsumsi makanan ringan (snack) dengan rata-rata
frekuensi konsumsi satu kali sehari. Makanan ringan (snack) yang biasa
dikonsumsi contoh antara lain biskuit, donat, aneka goreng-gorengan seperti
pisang goreng, bakwan, crieng, serta aneka kripik seperti keripik singkong dan
38
pisang. Terdapat bermacam-macam suplemen yang dikonsumsi ibu hamil
meliputi suplemen zat gizi dan suplemen ramuan tradisional untuk meningkatkan
kecukupan zat gizi mikro guna menunjang pemenuhan akan kebutuhan zat gizi
mikro pada ibu hamil. Tabel 17 berikut memberikan gambaran sebaran contoh
berdasarkan kebiasaan konsumsi suplemen.
Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan konsumsi suplemen
Jenis Suplemen
Status Anemia Total Rata-rata
(kali/bulan) Anemia Tidak
Anemia
n % n % n %
Jamu 1 10.0 4 11.4 5 11.1 8.0
Tablet Ca 0 0.0 1 2.8 1 2.2 30.0
Tablet Multivitamin 2 20.0 9 25.7 11 24.4 30.0
Penambah Darah (sirup) 0 0.0 1 2.8 1 2.2 30.0
Tablet Fe 0 0.0 10 28.5 10 22.2 30.0
Tablet vitamin B 1 10.0 1 2.8 2 4.4 21.0
Tablet vitamin C 2 20.0 2 5.7 4 8.9 21.0
Sub total yang mengonsumsi 6 60.0 28 80.0 34 75.5 20.0
Sub total yang tidak mengonsumsi 4 40.0 7 20.0 11 24.5 0.0
Total 10 100.0 35 100.0 45 100.0 20.0 Secara keseluruhan sebanyak 75.5% contoh atau 60.0% contoh pada
kelompok anemia dan 80.0% contoh pada kelompok tidak anemia biasa
mengonsumsi suplemen zat gizi dan suplemen ramuan tradisional dengan
rata-rata frekuensi konsumsi 20 kali/bulan atau 5 kali/minggu. Suplemen yang
biasa dikonsumsi diantanranya, jamu, tablet Ca, tablet multivitamin, penambah
darah (sirup), tablet Fe, tablet vitamin B dan vitamin C. Suplemen yang paling
banyak dikonsumsi contoh adalah tablet multivitamin sebanyak 24.4% dengan
frekuensi konsumsi satu kali sehari. Selanjutnya diikuti oleh konsumsi tablet Fe
sebanyak 22.2% contoh yang mengonsumsi dengan frekuensi konsumsi satu kali
sehari yang dapat memenuhi kebutuhan akan zat besi guna membantu proses
pembentukan hemoglobin dalam darah. Contoh yang biasa mengonsumsi tablet
terhindar dari masalah anemia. Tablet Ca dan penambah darah (sirup)
paling sedikit dikonsumsi contoh dengan persentase masing-masing sebesar
2.2% dengan frekuensi konsumsi masing-masing 2.0 kali seminggu dan 2.0 kali
sehari. Polifenol seperti tanin dalam teh, kopi dan sayuran tertentu, mengikat besi
heme membentuk kompleks besi tannat yang tidak larut sehingga zat besi tidak
dapat diserap dengan baik (Alsuhendra 2005). Pada penelitian ini konsumsi zat
inhibitor lebih ditujukan pada konsumsi teh dan kopi. Data konsumsi teh dan kopi
39
diperoleh dengan menanyakan frekuensi konsumsi teh melalui FFQ terhadap
contoh. Tabel 18 berikut memberikan gambaran kebiasaan contoh minum
teh dan kopi
Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan minum teh dan kopi
Konsumsi minuman Total Rata-rata
(kali/bulan) n %
Teh tawar 16 35.6 30.0
Teh manis 18 40.0 30.0
Kopi 8 17.8 13.0
Secara keseluruhan contoh lebih banyak mengonsumsi teh manis
dibandingkan dengan teh tawar dengan persentase contoh yang mengonsumsi
teh manis sebanyak 40.0% dengan frekuensi satu kali sehari. Hanya 17.8%
contoh dari keseluruhan yang biasa mengonsumsi kopi dengan frekuensi
konsumsi sebanyak 2.0-3.0 kali seminggu. Kebiasaan minum teh dan kopi dapat
menghambat proses penyerapan zat besi ke dalam tubuh yang mengakibatkan
turunnya kadar hemoglobin dalam darah yang berdampak terhadap risiko
menderita anemia (Sayogo 2007).
Asupan dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi Contoh
Asupan Zat Gizi Contoh
Asupan zat gizi dari konsumsi pangan akan mempengaruhi tingkat
kecukupan zat gizi. Proses terbentuknya hemoglobin terkait dengan asupan
protein, vitamin dan mineral dari konsumsi pangannya antara lain; protein nabati,
protein hewani, vitamin B3, B6, B9, B12, C dan K serta mineral Fe, Cu, Zn dan
Co (Effendi et.al 2009). Pada penelitian ini tidak seluruh unsur pembentuk
hemoglobin dianalisis dengan alasan keterbatasan data sekunder terkait asupan
vitamin dan mineral. Hanya energi, protein, vitamin C, vitamin A, zat besi (Fe),
seng (Zn) dan asam folat (B9). Tabel 19 berikut memberikan gambaran
mengenai asupan zat gizi contoh yang terkait dengan proses pembentukan
hemoglobin.
Tabel 19 Asupan dan tingkat kecukupan zat gizi contoh
No Zat gizi Rata-rata asupan/ hari Angka Kecukupan Gizi3
Tingkat Kecukupan (%)
1 Energi 1545.0 kkal 2100.0 kkal 74.0 2 Protein 49.9 g 67.0 g 75.0 3 Vitamin C 27.0 mg 85.0 mg 31.0 4 Vitamin A 579.0 RE 800.0 RE 72.0 4 Asam folat 187.0 µg 600.0 µg 31.0 5 Zat besi 17.3 mg 26.0 mg 67.0
40
6 Seng 12.0 mg 11.5 mg 101.0 3Angka kecukupan gizi berdasarkan AKG 2004 dengan kondisi fisiologis ibu hamil trimester II
Berdasarkan hasil olah data recall konsumsi pangan dapat diketahui rata-
rata asupan energi, protein, vitamin C, vitamin A, asam folat, zat besi dan seng
contoh per hari dari konsumsi pangannya masing-masing sebesar 1545 kkal,
49.9 g, 27.0 mg, 579.0 RE, 187 µg, 17.3 mg, dan 12.0 mg. Rata-rata asupan
protein hewani dan nabati sebesar 17.3 g dan 32.6 g per hari. Rata-rata asupan
zat besi heme dan non heme masing-masing sebesar 10.4 mg dan 6.9 mg
per hari. Secara keseluruhan rata-rata asupan energi, protein, vitamin C, vitamin
A asam folat dan zat besi pada contoh masih dibawah angka kecukupannya.
Adapun kecukupan zat gizi ibu hamil trimester kedua menurut WNPG (2004)
adalah energi dengan kisaran umur 20-40 tahun sebesar 2100.0 kkal; 67.0 g
protein; 85.0 mg vitamin C; 800.0 RE vitamin A; 600.0 µg asam folat, 35.0 mg zat
besi dan 11.5 mg seng. Sehingga tingkat kecukupan energi, protein, vitamin C,
vitamin A, asam folat, zat besi dan seng per hari dapat diketahui masing-masing
sebesar 74.0%; 75.0%; 31.0%; 72.0 %; 31.0 %; 67.0%; dan 101.0%.
Rendahnya asupan zat gizi pada ibu hamil tidak hanya terjadi pada
penelitian ini melainkan juga terjadi pada penelitian-penelitian sebelumnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Barunawati (2000) di Kabupaten Bogor bahwa
rata-rata asupan energi responden sebesar 1616.0 kkal; 52.8 g protein; 36.6 mg
zat besi; dan 243.3 mg vitamin C. Menurut hasil penelitian Prihananto et al.
(2007) bahwa asupan zat gizi ibu hamil di Kabupaten Bogor sebesar 1412.0 kkal
energi; 30.0 g protein; 618.0 RE vitamin A; 23.8 mg vitamin C; dan 10.5 mg zat
besi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Amrin (2011) mengatakan bahwa rata-
rata contoh di Kota Bogor dalam sehari memiliki asupan energi sebesar 1846
kkal; 58.4 g protein; 23.3 mg zat besi; 3706.3 RE vitamin A; 149.3 vitamin C.
Sementara itu, rendahnya asupan zat gizi pada ibu hamil juga terjadi di
luar Kota Bogor. Penelitian yang dilakukan oleh Prihatini et al. (2009) di Kota
Bau-bau bahwa rata-rata asupan energi pada ibu hamil trimester kedua sebesar
1125.0 kkal; 36.6 g protein; 1222.0 RE vitamin A; 47.0 mg vitamin C; 8.0 mg zat
besi. Effendi (1999) menjelaskan bahwa rendahnya tingkat asupan pangan ibu
hamil dapat disebabkan oleh nafsu makan ibu hamil yang umumnya berkurang
pada empat bulan pertama. Pada penelitian ini sebanyak 78.0% contoh merasa
mual selama kehamilan; 69.5% contoh merasa pusing selama kehamilan; dan
54.7% contoh merasa bahwa dirinya mengurangi makan karena pusing dan mual
41
tersebut. Hal tersebut mungkin menyebabkan kurangnya asupan makan contoh
pada penelitian ini.
Tingkat Kecukupan Gizi (TKG)
Tingkat kecukupan gizi merupakan angka yang menggambarkan
perbandingan zat gizi yang dikonsumsi contoh terhadap angka kecukupan gizi
menurut jenis kelamin, umur, dan kondisi fisiologis contoh. Menurut Depkes
(1996), tingkat kecukupan energi dan protein dikatakan defisit tingkat berat jika
tingkat kecukupan <70 % AKG, defisit tingkat sedang 70-79% AKG, defisit tingkat
ringan jika tingkat kecukupan 80-89% AKG. Normal atau cukup jika tingkat
kecukupan energi antara 90-119% AKG dan berlebih atau diatas kecukupan jika
tingkat kecukupan >120% AKG. Sedangkan untuk tingkat kecukupan vitamin dan
mineral dikatan kurang jika <77% dan cukup jika ≥ 77% (Gibson 2005). Tabel 20
berikut disajikan sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi dan
status anemia contoh.
Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan gizi dan status anemia
Zat gizi Tingkat kecukupan
zat gizi
Anemia Tidak
Anemia Total
n % n % n %
Energi Defisit tingkat berat 5 50.0 15 43.0 20 44.0
Defisit tingkat sedang 1 10.0 4 11.0 5 11.0 Defisit tingkat ringan 3 30.0 7 20.0 10 22.0 Normal 1 10.0 6 17.0 7 16.0 Berlebih 0 0.0 3 9.0 3 7.0
Total 10 100,0 35 100.0 45 100.0
Protein Defisit tingkat berat 5 50.0 104 45.7 21 46.7
Defisit tingkat sedang 0 0.0 21 17.1 6 13.3
Defisit tingkat ringan 0 0.0 20 14.3 5 11.1
Normal 2 20.0 31 11.4 6 13.3
Berlebih 3 30.0 27 11.4 7 15.6
Total 10 100.0 203 100.0 45 100.0
Vitamin A Kurang 7 70.0 22 62.8 29 64.4 Cukup 3 30.0 13 37.2 16 35.6
Total 10 100,0 35 100.0 45 100.0
Vitamin C Kurang 10 100.0 31 88.5 41 91.1 Cukup 0 0.0 4 41.5 4 8.9
Total 10 100,0 35 100.0 45 100.0
Asam Folat Kurang 10 100.0 33 94.2 43 95.5 Cukup 0 0.0 2 5.8 2 4.5
Total 10 100,0 35 100.0 45 100.0
Seng Kurang 8 80.0 12 34.2 20 44.5 Cukup 2 20.0 23 65.8 25 55.5
Total 10 100,0 35 100.0 45 100.0
Zat besi Kurang 6 60.0 25 71.4 31 68.8 Cukup 4 40.0 10 28.6 14 31.2
42
Total 10 100,0 35 100.0 45 100.0
Pada penelitian ini rata-rata contoh memiliki tingkat kecukupan gizi yang
kurang untuk zat gizi makro maupun mikro. Secara keseluruhan, tingkat
kecukupan energi contoh dalam penelitian ini tergolong dalam kategori defisit
tingkat berat dengan persentase sebesar 44.0% atau sebanyak 50.0% contoh
pada kelompok anemia dan 43.0% contoh pada kelompok tidak anemia. Sebesar
16.0% contoh memiliki tingkat kecukupan energi dengan kategori normal dan
7.0% contoh memiliki tingkat kecukupan energi yang berlebih.
Secara keseluruhan, tingkat kecukupan protein contoh dalam penelitian
ini tergolong dalam kategori defisit tingkat berat dengan persentase sebesar
46.7% atau sebanyak 50.0% contoh pada kelompok anemia dan 45.07% contoh
pada kelompok tidak anemia. Walaupun terdapat 13.3% contoh yang memiliki
tingkat kecukupan protein dengan kategori normal tidak menjamin terhindar dari
anemia. Hal itu dibuktikan dengan adanya dua orang contoh yang memiliki
tingkat kecukupan protein normal namun menderita anemia. Hal tersebut terjadi
karena kurangnya asupan protein dari pangan sumber protein hewani yang
memiliki jumlah protein lebih banyak dalam setiap 100 gram bahan yang
dikonsumsi dibandingkan dengan pangan sumber protein nabati.
Sebagian besar contoh dalam penelitian ini lebih biasa mengonsumsi
pangan sumber protein nabati dari kelompok pangan kacang-kacangan dan
berbagai olahannya seperti yang mmerupakan sumber zat besi non heme.
Sayogo (2007) menyatakan penyerapan zat besi non heme lebih rendah
dibandingkan dengan sumber zat besi heme dalam bentuk ferro yang lebih
mudah di serap oleh dinding sel usus.
Secara keseluruhan contoh baik pada kelompok anemia maupun tidak
anemia memiliki tingkat kecukupan vitamin A yang tergolong kurang. Defisiensi
Vitamin A dapat menyebabkan mobilisasi cadangan Fe di dalam tubuh akan
turun. Vitamin A berperan dalam memobilisasi cadangan Fe tubuh untuk dapat
mensintesa hemoglobin. Apabila jumlah vitamin A di dalam tubuh kurang, akan
mempengaruhi status besi dengan menghambat penggunaan zat besi pada
proses erythropoesis (Setiyobroto et al. 2004 dalam Andriani 2012).
Rata-rata tingkat kecukupan vitamin C dan asam folat contoh baik pada
kelompok anemia maupun tidak anemia tergolong kurang. Vitamin C berperan
membantu proses penyerapan zat besi non heme, sehingga jika terjadi
43
kekurangan vitamin C maka jumlah zat besi yang diserap akan berkurang dan
bisa terjadi anemia (Sayogo 2007). Asam folat dalam tubuh berperan dalam
proses pembentukan sel darah merah. Ketika makanan sumber asam folat di
konsumsi, asam folat yang tercerna kemudian dikirim ke hati. Hati
menyimpannya sebagian dan mengirimkan sebagian lainnya ke sumsum tulang.
Dalam sumsum tulang inilah asam folat digunakan untuk membuat sel darah
merah (Khomsan 2002). Pada masa kehamilan, ibu memerlukan asam folat lebih
banyk daripada biasanya untuk keperluan tumbuh kembang janin.
Bila kadar asalm folat rendah maka akan menyebabkan bayi lahir
cacat, mengalami gangguan syaraf (spina bifida), atau retardasi mental
(Khomsan 2002).
Tingkat kecukupan mineral seng dan besi contoh, baik pada kelompok
anemia maupun tidak anemia masing masing tergolong cukup dan kurang.
Seng mempengaruhi penyerapan besi. Di dalam darah, seng juga dapat
berikatan dengan transferin (protein pengangkut yang berperan dalam
pengangkutan besi di dalam darah). Dalam individu yang sehat, transferin
biasanya kurang dari 50% jenuh terhadap besi, tetapi dalam keadaan berlebihan,
kejenuhannya dapat meningkat. Diet dari makanan seharusnya mengandung
porsi zat besi dua kali lebih besar dibandingkan dengan seng sehingga
lebih sedikit transferin yang mengikat seng. Dengan demikian absorbsi seng
akan lebih rendah. Jika diet menyediakan lebih besar seng daripada besi,
maka penyerapan besi akan terhambat oleh seng (Whitney & Rolfes 2008 dalam
Hardiansyah 2012).
Sedangkan besarnya persentase contoh yang memiliki tingkat kecukupan
zat besi dalam kategori kurang disebabkan oleh kurangnya asupan zat besi
dari pangan sumber zat besi heme yang dapat diperoleh dari pangan hewani.
Pangan sumber protein nabati sebagai sumber zat besi non heme dari kelompok
pangan kacang-kacangan dan olahannya penyerapannya lebih rendah
dibandingkan dengan sumber zat besi heme. Diperlukan bantuan vitamin C
untuk mereduksi zat besi non heme dalam bentuk ferri menjadi ferro agar lebih
mudah dalam proses penyerapan ke dalam tubuh. Namun ternyata tingkat
kecukupan vitamin C contoh juga kurang, ditambah lagi dengan jumlah asupan
seng yang lebih besar dibandingkan dengan zat besi mengakibatkan
terhambatnya penyerapan zat besi ke dalam tubuh.
44
Hubungan Karakteristik Contoh dan Keluarga dengan Kadar Hb
Hubungan umur contoh dengan kadar Hb
Uji korelasi pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
nyata antara umur contoh dengan kadar Hb (p>0.05) (lampiran 1).
Hasil penelitian Tristiyanti (2006) juga menyatakan bahwa umur tidak
berhubungan dengan kadar Hb. Tidak adanya hubungan tersebut karena umur
merupakan faktor yang secara tidak langsung penyebab anemia. Selain itu
hampir sebagian besar contoh dalam penelitian ini berada pada rentang umur
tidak berisiko.
Hubungan Besar Keluarga dengan kadar Hb
Hasil Uji korelasi pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang
nyata antara besar keluarga dengan kadar Hb (p>0.05) (Lampiran 1).
Hal ini diduga karena besar keluarga secara tidak langsung berhubungan
dengan kadar hemoglobin. Yunita (2006) menyatakan tidak ada hubungan antara
besar keluarga dengan kadar Hb karena status pekerjaan mempengaruhi
pendapatan guna memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga.
Semakin besar jumlah anggota keluarga maka semakin besar risiko terjadinya
kurang pemerataan terhadap makanan. Namun hal tersebut tidaklah cukup untuk
menarik kesimpulan. Ada faktor lain yang perlu diperhatikan yaitu mengenai jenis
sumber pangan apa yang biasa dikonsumsi dalam keluarga tersebut.
Hubungan Tingkat Pendidikan dengan kadar Hb
Berdasarkan Uji korelasi pearson diperoleh hasil bahwa tidak terdapat
hubungan yang nyata antara tingkat pendidikan contoh dengan kadar Hb
(p>0.05). Hal ini juga diduga karena tingkat pendidikan tidak secara langsung
berhubungan dengan kadar hemoglobin. Pendidikan sebagai proses
pembentukan pribadi, diartikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan
sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik (Arisman 2007).
Faktor pendidikan seharusnya mempengaruhi pola makan ibu hamil,
tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi
tentang gizi yang dimiliki lebih baik sehingga bisa memenuhi asupan gizinya.
Tristiyanti (2006) menyatakan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan
dengan kadar Hb diduga dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya, seperti perilaku
contoh dalam memilih pangan yang akan dikonsumsinya. Tidak menjamin contoh
yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dan memiliki akses informasi lebih
45
tentang gizi dalam masa kehamilan dapat menerapkan pola makan yang benar
selama masa kehamilan sesuai dengan kebutuhan gizi ibu hamil.
Hubungan Pendapatan/kapita/bulan dengan kadar Hb
Hasil Uji korelasi pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
antara pendapatan per kapita dengan kadar hemoglobin (p>0.05) (Lampiran 1)
Hal ini juga diduga karena pendapatan tidak secara langsung berhubungan
dengan kadar hemoglobin. Kemampuan keluarga untuk membeli bahan
makanan antara lain tergantung pada besar kecilnya pendapatan keluarga,
harga bahan makanan itu sendiri, serta tingkat pengelolaan sumber daya lahan
dan pekarangan. Keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar
akan kurang dapat memenuhi kebutuhan akan makanannya, terutama untuk
memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya. Terutama zat gizi yang terkait
dengan kadar hemoglobin yaitu protein dan zat besi dari pangan yang biasa
dikonsumsi.
Tingkat pendapatan dapat menentukan pola makan. Pendapatan
merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas hidangan.
Menurut Sediaoetama (1996) pendapatan merupakan salah satu faktor yang
menentukan kualitas dan kuantitas makanan, sehingga terjadi hubungan yang
erat antara pendapatan dan gizi. Semakin banyak mempunyai uang berarti
semakin baik makanan yang diperoleh. Namun semua hal tersebut tidak
menjamin bahwa setiap keluarga yang memiliki pendapatan per kapita per bulan
yang tinggi akan sadar untuk memenuhi kebutuhan gizi ibu hamil.
Hubungan Nilai LILA dengan Kadar Hb
Hasil Uji korelasi pearson menunjukkan terdapat hubungan yang nyata
antara nilai LILA dengan kadar Hb (p<0.05) (Lampiran 1). Artinya, Semakin kecil
nilai LILA maka akan semakin rendah nilai kadar hemoglobin contoh.
Status gizi ibu yang diukur melalui LILA mencerminkan cadangan zat gizi
dan kondisi status gizi ibu hamil sebelum dan selama masa kehamilan.
Jika LILA < 23.5 cm berarti contoh mengalami Kurang Energi Kronis (KEK)
dalam waktu sangat lama yang mengakibatkan asupan energi dari zat gizi makro
lainnya seperti dari protein dialokasikan guna memenuhi kebutuhan energi ibu
hamil terlebih dahulu untuk menyediakan cadangan energi di dalam sel otot.
Pembentukkan hemoglobin erat kaitannya dengan kecukupan energi,
protein dan zat besi (Sayogo 2007). Proses pembentukan sel darah merah
membutuhkan ketersediaan energi yang cukup. Untuk mengangkut oksigen,
46
protein harus berikatan dengan zat besi membentuk myoglobin di dalam serabut
otot kemudian membentuk enzim yang berperan dalam pembentukan energi di
dalam sel. Apabila energi di dalam sel dirasa cukup ketersediaannya, maka
protein dan zat besi yang saling berikatan akan membentuk hemoglobin dan
mengangkut oksigen dan dalam darah. Sehingga kadar hemoglobin akan
menjadi indikator status anemia. Oleh karena itu, asupan protein dan zat besi
harus tercukupi selama masa kehamilan karena berperan sangat penting dalam
proeses pembentukan hemoglobin. Apabila pada saat hamil, ibu mengalami
kurang energi kronis (KEK) berarti menunjukkan kekurangan energi dalam waktu
yang sangat lama yang akhirnya berdampak pada kondisi fisiologis sekarang
atau saat ini terkait dengan pembentukan hemoglobin yang tidak optimal dalam
proses sintesis darah merah.
Hubungan Tingkat Kecukupan Energi, Protein dan Zat Besi
dengan Kadar HB
Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dengan Kadar Hb
Berdasarkan uji korelasi pearson maka diperoleh hasil bahwa tidak
terdapat hubungan yang nyata antara tingkat kecukupan energi dengan kadar Hb
(p>0.05) (Lampiran 1). Tidak adanya hubungan diduga karena asupan energi
yang diperoleh sebagian besar berasal dari pangan sumber karbohidrat sehingga
tidak memberikan sumbangan zat besi dalam jumlah besar. Sebagaimana
diketahui bahwa pangan yang memberikan kontribusi lebih banyak dalam
hubungannya dengan hemoglobin sebagai indikator status anemia adalah zat
besi. Menurut Sayogo (2007), zat gizi besi (Fe) merupakan kelompok mineral
yang diperlukan, sebagai inti dari hemoglobin, unsur utama sel darah merah.
Fungsi sel darah merah itu penting mengingat tugasnya antara lain sebagai
sarana transportasi zat gizi, dan terutama juga oksigen yang diperlukan pada
proses fisiologis dan biokimia dalam setiap jaringan tubuh.
Hubungan Tingkat Kecukupan Protein dengan Kadar Hb
Hasil Uji korelasi pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang signifikan anatara tingkat kecukupan protein dan dengan kadar Hb (p>0.05)
(Lampiran 1). Tidak adanya hubungan diduga karena pangan sumber protein
yang biasa dikonsumsi contoh merupakan sumber protein nabati dari kelompok
pangan kacang-kacangan, sayuran dan olahannya. Sebagaimana diketahui
bahwa pangan nabati merupakan sumber zat besi non heme.
47
Dalam penyerapannya, sumber zat besi non heme lebih rendah dibandingkan
dengan sumber zat besi heme (Sayogo 2007). Selain itu tingginya tingkat
kecukupan seng yang melebihi tingkat kecukupan zat besi dalam penelitian ini
menyebabkan transferin sebagai protein pembawa zat besi berikatan penuh
dengan seng yang berdampak terhadap rendahnya proses pengikatan zat besi
sehingga menghambat proses penyerapan dan mobilisasi zat besi kedalam
tubuh hal tersebut didukung oleh Whitney & Rolfes (2008) dalam Hardiansyah
(2012), yang menyatakan jika diet menyediakan lebih besar seng daripada besi,
maka penyerapan besi akan terhambat oleh seng.
Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Besi dengan Kadar Hb
Hasil Uji korelasi pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang nyata antara tingkat kecukupan zat besi dan dengan kadar Hb (p>0.05)
(Lampiran 1). Hal ini diduga karena pangan sumber zat besi yang dikonsumsi
sangat kurang atau bukan berasal dari besi heme sehingga kurang bisa
mendukung keberadaan zat besi dalam tubuh. Selain itu kemungkinan besar
konsumsi besi non heme tidak diimbangi dengan konsumsi besi heme.
Sebagaimana diketahui bahwa besi heme lebih mudah diserap oleh tubuh
daripada besi non heme. Selain itu menurut Almatsier (2009), makan besi heme
dan non heme secara bersamaan dapat meningkatkan penyerapan besi non
heme.
Contoh pada penelitian ini biasa mengonsumsi pangan sumber besi
heme (berasal dari kelompok pangan hewani) dalam frekuensi yang lebih rendah
jika dibandingkan dengan frekuensi konsumsi pangan sumber besi non heme
(berasal dari kelompok pangan nabati). Tingkat kecukupan vitamin A, Vitamin C,
dan asam folat sebagai unsur pembentuk hemoglobin yang tergolong menjadi
salah satu penyebab tidak ada hubungan tingkat kecukupan zat besi dengan
kadar hemoglobin. Apabila jumlah vitamin A di dalam tubuh kurang, akan
mempengaruhi status besi dengan menghambat penggunaan zat besi pada
proses erythropoesis (Setiyobroto et al. 2004 dalam Andriani 2012).
Vitamin C berperan membantu proses penyerapan zat besi non heme, sehingga
jika terjadi kekurangan vitamin C maka jumlah zat besi yang diserap akan
berkurang dan bisa terjadi anemia (Sayogo 2007). Asam folat yang
kurang menyebabkan proses pembentukan sel darah merah tidak
optimal (Khomsan 2002).
48
Menurut Kartono dan Soekatri (2004) diacu dalam Permatahati (2012)
bahwa status besi seseorang juga dipengaruhi oleh penyerapan besi.
Menurut Almatsier (2004) diperkirakan hanya 5-15% besi dari makanan yang
diabsorpsi oleh orang dewasa yang berada dalam status besi baik sedangkan
dalam keadaan defisiensi besi absorpsi dapat mencapai 50%. Apabila absorpsi
besi tinggi maka bioavailabilitasnya pun akan tinggi. Namun hasil penelitian
Permatahati (2012) menyatakan bahwa bioavailabilitas zat besi tidak
berhubungan dengan kadar Hb yang memiliki arti apabila bioavailabilitas zat besi
rendah maka belum tentu kadar haemoglobin juga rendah ataupun sebaliknya.
Tidak ada hubungan disebabakan karena faktor lain selain konsumsi
yang berpengaruh terhadap kadar hemoglobin ibu hamil diantaranya karena
kehamilan berulang dalam waktu singkat, sehingga cadangan zat gizi ibu yang
sebenarnya belum pulih akhirnya terkuras untuk keperluan janin yang dikandung
berikutnya (Khomsan 2002), perdarahan akibat penyakit atau infeksi parasit dan
saluran pencernaan serta proses hemolisis atau penghancuran sel darah merah
sebelum waktunya (Wirakusumah 1998). Penelitian yang dilakukan oleh Ayoya et
al (2006) di Banconi menunjukkan bahwa tingginya angka anemia memiliki
hubungan yang nyata (p<0.01) dengan adanya penyakit infeksi.
49
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Sebanyak 77.8% contoh berstatus normal, 22.2% contoh berstatus
anemia tingkat ringan serta tidak ada contoh yang berstatus anemia tingkat
berat. Prevalensi anemia di wilayah penelitian sebesar 22.2%. Sebagian besar
contoh, baik pada kelompok anemia dan tidak anemia tidak berstatus KEK.
Karakteristik contoh dan keluarga pada penelitian ini baik pada kelompok
anemia maupun tidak anemia sebagian besar berumur 20-29 tahun,
berpendidikan SD/sederajat, tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga, suami
berpendidikan SMA/sederajat dan bekerja, tergolong keluarga kecil (≤4orang)
dan tidak miskin dengan pendapatan/kapita/bulan ≥ Rp. 278.530.
Konsumsi pangan contoh didominasi oleh serealia dan pangan nabati
beserta olahannya yang ditunjukkan dengan rata-rata konsumsi serealia sebesar
487 g dengan frekuensi konsumsi 3-4 kali sehari dan konsumsi pangan nabati
sebanyak 99.5 g per hari dengan frekuensi konsumsi sebanyak 3-4 kali sehari.
Rata-rata asupan protein nabati dan zat besi non heme dari pangan nabati
sebesar 32.6 g dan 10.4 mg per hari. Konsumsi hewani sebagai sumber protein
hewani dan zat besi heme masih sedikit dikonsumsi oleh contoh yaitu sebesar
60.3 g dengan frekuensi konsumsi antara 1-2 kali seminggu dengan rata-rata
asupan protein hewani dan zat besi heme sebesar 17.3 g dan 6.9 mg per hari.
Konsumsi serealia, pangan hewani, pangan nabati, sayuran dan buah pada
contoh masih lebih rendah dari ketetapan yang seharusnya. Rata-rata asupan
energi, protein, vitamin A, vitamin C, asam folat, dan zat besi contoh
lebih kecil daripada angka kecukupan yang dianjurkan. Hal tersebut
menyebabkan sebagian besar contoh memiliki tingkat kecukupan energi
dan protein dalam kategori defisit tingkat berat (TKG <70%AKG) serta
kecukupan vitamin A, vitamin C , asam folat, dan zat besi juga dalam kategori
kurang (TKG < 77% AKG).
Uji korelasi pearson menunjukkan karakteristik contoh dan keluarga,
tingkat kecukupan energi, protein dan zat besi tidak berhubungan dengan kadar
hemoglobin (p>0.05), melainkan nilai LILA yang berhubungan dengan kadar
hemoglobin (p<0.05).
50
Saran
Pemerintah Daerah Kota Bogor disarankan untuk melakukan penyuluhan
kesehatan ibu hamil yang dilakukan secara rutin oleh Dinas Kesehatan Kota
Bogor yang dapat dilaksanakan di Puskesmas atau Posyandu setempat tentang
makanan sehat bagi ibu hamil. Khususnya terkait dengan sangat pentingnya
mengonsumsi pangan sumber protein hewani, zat besi dan pangan yang
membantu proses penyerapan zat besi selama masa kehamilan agar terhindar
dari anemia. Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan kepada ibu hamil agar
meningkatkan konsumsi pangan sumber protein hewani sebagai sumber zat besi
heme sekitar 100-150 g sehari setara daging sapi atau hati guna memenuhi
anjuran Depkes (2005) yang menyarankan kepada ibu hamil agar mengonsumsi
pangan hewani minimal tiga penukar dalam sehari.
Kemudian tingkatkan konsumsi buah-buahan yang banyak mengandung
vitamin C sekitar 200-300 g buah per hari setara jeruk manis atau jambu biji
guna meningkatkan penyerapan zat besi ke dalam tubuh. Selain itu disarankan
agar ibu hamil mengonsumsi suplemen zat besi agar kebutuhan zat besi selama
kehamilan dapat tercukupi. Sehingga diharapkan prevalensi anemia ibu hamil di
Kota Bogor dapat terus diturunkan.
51
DAFTAR PUSTAKA
Achadi LE. 2007. Gizi dan Kesehatan Mayarakat Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. Almatsier S.2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. ________ .2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. ________. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Alsuhendra. 2005. Sudah banyak konsumsi sayur masih saja kurang darah.
[terhubung berkala]. http://halamui.or.id. [2 Februari 2012].
Amrin AP. 2011. Pengetahuan dan sikap gizi, praktek konsumsi susu serta status
gizi ibu hamil [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas
Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Andriani N. 2012. Analisis Asupan Zat Gizi Mikro dan Hubungannya dengan Status Besi Pada Ibu Hamil di Wilayah Bogor [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Anggraeni AC. 2007. Asuhan Gizi Nutritional Care Process. Yogyakarta:
Graha Ilmu. Arisman MB. 2007. Gizi dalam daur Kehidupan: Gizi Wanita Hamil. Jakarta:
EGC. Hlm 4-25. Aritonang E. 2010. Kebutuhan Gizi Ibu Hamil. Bogor : IPB Press Ayoya M, et al. 2006. Determinants of anemia among pregnant women in Mali.
Food and Nutrition Bulletin. 27(1): 3-11. Bakta IM. 2006. Pendekatan terhadap Pasien Anemia. Di dalam: Sudoyo AW,
editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Barunawati M. 2000. Keragaan konsumsi pangan dan kadar mineral besi (fe) dan
seng (zn) dalam serum darah ibu hamil [skripsi]. Bogor : Departemen Gizi
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Briawan D. 2008. Efikasi suplementasi besi-multivitamin terhadap perbaikan
status besi remaja putri [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana,
Institut Pertanian Bogor.
[BKKBN] Badan Koordinasi keluarga Berencana Nasional. 1998. Opini Pembangunan Keluarga Sejahtera. Jakarta : Kantor Menteri Negara Kependudukan/Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.
52
[BPS] Biro Pusat Statistik.2011. Statistik Indonesia 2011. Jakarta Darlina, Hardinsyah. 2003. Faktor resiko anemia di Kota Bogor. Media gizi
keluarga. 27(2):34-41.
Darlina. 2003. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia gizi pada ibu hamil [skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 1994. Pedoman Pemantauan Wilayah
Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-KIA). Jakarta: Depkes RI ___________________________.1996. Pedoman Operasional Penanggulangan
Anemia Gizi di Indonesia. Jakarta: Depkes RI. ___________________________.1998. Pedoman Penanggulangan Anemia
Gizi Untuk Remaja Putri dan Wanita Subur. Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat.
___________________________.2001. Laporan Survei Kesehatan Rumah Tangga 2004 : studi Tindak Lanjut Ibu Hamil. Jakarta: Depkes RI
___________________________.2003. Program Penanggulangan Anemia Gizi pada Wanita Usia Subur (WUS). Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat Ditjen Bina Kesmas.
___________________________.2005. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat.
___________________________.2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.
[Dinkes] Dinas Kesehatan Jawa Barat. 2003. Akselerasi pencapaian visi Jawa Barat menuju IPM 80 Tahun 2008 Melalui pembangunan Kesehatan. Dinas Kesehatan Jawa Barat.
Effendi YH. 1999. Dampak makanan tambahan multi gizi terhadap status biokimia darah ibu hamil [skripsi]. Bogor: Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Effendi YH, Dewi M. 2009. Patofisiologi Gizi. Bogor : Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Fatmah B. 2007. Anemia Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rajawali Pers.
Gibson RS. 2005. Principal of Nutritional Assesment. Ed ke-2. Oxford: Oxford University Press.
53
Hardiansyah A. 2012. Efek suplementasi multivitamin mineral terhadap kadar hemoglobin dan hematokrit mahasiswi TPB IPB. [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Hardinsyah, Briawan D.1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor : Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya keluarga. Fakultas Pertanian IPB.
Ipa A. 2010. Status gizi dan pengetahuan ibu hamil tentang pemberian ASI ekslusif di Kelurahan Maccini Kecamatan Makassar. Media Gizi Pangan. 9 (1):27-32.
Kee. L. 2007. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik. Edisi 6. Jakarta: Penertbit Buku Kedokteran EGC.
Khomsan A. 2000. Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan. Bogor: Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor Kusharto CM. 2010. Penilaian Konsumsi Pangan. Diktat. Bogor : Fakultas
Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Mahan LK, Escott-Stump S. 2004. Krause’s Food, Nutrition, and Diet Therapy.
(11thed) Philadelphia : Elsevier. Manuaba IBG. 1999. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta : Arcan Marcia N et al. 2010. Nutrition Therapy and Pathophysiology second edition.
USA : Wadsworth Cengage Learning.
Muslimatun S. 2000. Weekly Supplementation with iron and Vitamin A during Pregnancy Increases Hemoglobin Concentration but Decreases Serum Ferritin Concentration In Indonesia Pregnant Women. Journal Of Nutrition.131-1
Nair KM, Iyengar V. 2009. Iron content, bioavailability and factors affecting iron status of Indians. Indian journal of medical research. 130 (5): 634-645
O’Brien KO, Zavaleta N, Caulfield LE, Yang DX, Abrams SA. 1999. Influence of prenatal iron and zinc supplement on supplemental iron absorbtion, red blood cell iron incorporation and iron status in pregnant Peruvian women. Am J Clin Nutr 69 : 509---515.
Permatahati I. 2012. Bioavailabilitas Zat Besi dan Konsumsi Pangan pada Ibu Hamil di Kota Bogor [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Prihananto V, Sulaeman A, Riyadi H, Palupi NHS. 2007. Pengaruh pemberian
makanan tambahan terhadap konsumsi energi dan protein ibu hamil. Jurnal gizi dan pangan. 2(1): 16-21
54
Prihatini S, Jahari AB, Sebayang S, Iswidahni. 2009. Gambaran konsumsi makanan dan status anemia ibu hamil sampel penelitian summit (the supplementation with multiple mikronutrients intervention trial) di Lombok. Penelitian gizi dan makanan. 32(1): 37-44
Probohandojo K. 1989. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta : Departemen Pendidikan dan kebudayaan
Rimbawan, Baliwati YF. 2004. Masalah Pangan dan Gizi. Di dalam : Baliwati YF,
Khomsan A & Dwiriani CM, editor. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta : Penebar Swadaya.
Sanjur D 1982. Social and Cultural Perspective in Nutrition: Engelwood Cliffs: Prentice Hall.
Sayogo S. 2007. Gizi Ibu Hamil. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Sediaoetama AD. 1996. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jilid II. Jakarta: Dian Rakyat.
Soenarko. 2002. Anemia gizi status kini dan harapan masa datang. [Prosiding]
WKNPG 2002
Suhardjo D. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC Tristiyanti WF. 2006. Faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia pada ibu
hamil di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor Jawa Barat [skripsi]. Bogor : Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
UNICEF. 1998. Preventing Iron Defisiency in Women and Children : Background
and Consensus on Key Technical Issues and Resource for Advocacy,
Planning and Implementing National Programs. Canada : International
Nutrition Foundation (INF)
Wijanti RE, Rahmaningtyas I, Widari D. 2012. Hubungan pola makan ibu hamil trimester III dengan kejadian anemia. Tunas-tunas riset kesehatan. 2(2):85-90.
Wijianto. 2002. Dampak Suplementasi Tablet Tambah Darah (TTD) dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap anemia gizi ibu hamil di Kabupaten Banggai Propinsi Sulawesi Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi manusia, Institut Pertanian Bogor
Wirakusumah ES. 1998. Perencanaan Menu Anemia Gizi Besi. Jakarta : Trubus
Agriwidya.
55
[WHO] World Health Organization. 2001. Iron Deficiency Anaemia, Assesment, Prevention, and Control : A guide for programme managers. Geneva : World Health Organization.
_____________________________. 2005. Worldwide prevalence of anemia in 1993-2005. Geneva : World Health Organization.
[WNPG] Widyakarya Nasional Pangan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI.
Yunita E. 2006. Status anemia ibu hamil dan berat badan lahir serta faktor-faktor yang mempengaruhi di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Lampiran 1 Hasil uji hubungan antar peubah dengan kadar hemoglobin
Umur Besar_Kel Tk_Pend_Cont Pendptn_Kapita LILA TKP TKFE TKE Kadar_HB
Umur Pearson Correlation
1
Sig. (2-tailed)
Besar_Kel Pearson Correlation .054
1
Sig. (2-tailed) .726
Tk_Pend_Cont Pearson Correlation .072 -.005
1
Sig. (2-tailed) .640 .972
Pendptn_Kapita Pearson Correlation -.273 -.449** .299*
1
Sig. (2-tailed) .069 .002 .046
LILA Pearson Correlation .387** .077 .145 -.264
1
Sig. (2-tailed) .009 .614 .341 .080
TKP Pearson Correlation -.074 -.017 .104 -.011 .016
1
*
Sig. (2-tailed) .627 .911 .496 .942 .919
TKFe Pearson Correlation -.015 .063 .151 -.151 .099 .751**
1
Sig. (2-tailed) .921 .683 .321 .323 .518 .000
TKE Pearson Correlation -.122 .004 .176 -.018 .059 .924** .797**
1
Sig. (2-tailed) .423 .980 .249 .908 .700 .000 .000
Kadar_HB Pearson Correlation .073 .128 .263 -.063 .429** -.030 .179 .091
1 Sig. (2-tailed) .634 .402 .081 .683 .003 .844 .239 .552
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).