Upload
others
View
16
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
HUBUNGAN SANITASI DASAR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN
DIARE PADA BALITA DI KELURAHAN BABAKANSARI
KECAMATAN KIARACONDONG KOTA BANDUNG
TAHUN 2019
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
SILMI FARHAH ABIYYAH
NPM: BK.1.15.021
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
BHAKTI KENCANA BANDUNG
2019
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
Diare merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi, terutama di kalangan balita. Ketersediaan sarana sanitasi dasar lingkungan seperti air bersih, pemanfaatan jamban dan pembuangan sampah merupakan upaya untuk mencegah meningkatnya kejadian penyakit diare. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara sanitasi dasar lingkungan dengan kejadian diare pada balita di Kelurahan Babakansari Kecamatan Kiaracondong Kota Bandung. Penelitian ini menggunakan pendekatan kasus kontrol. Populasi kasus adalah balita yang menderita diare pada bulan Januari-April tahun 2019 yang tercatat di UPT Puskesmas Babakansari berjumlah 31 orang. Sedangkan populasi kontrol adalah semua keluarga yang memiliki balita dan tidak menderita diare pada bulan Januari-April tahun 2019 yang bertempat tinggal di kelurahan Babakansari. Teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah total sampling dan purposive sampling untuk sampel kontrol. Sampel penelitian yaitu 31 kasus dan 62 kontrol. Instrumen penelitian berupa lembar observasi. Hasil dari uji chi square penelitian ini tidak ditemukan hubungan sanitasi dasar lingkungan dengan kejadian diare pada balita dengan hasil sumber air bersih (p= 0,712), jamban sehat (p= 0,420) dan sarana pembuangan sampah (p= 1,000). Simpulan tidak ada hubungan antara sanitasi dasar lingkungan dengan kejadian diare pada balita di Kelurahan Babakansari Kecamatan Kiaracondong Kota Bandung tahun 2019. Saran perlu adanya observasi lebih lanjut untuk melihat apa yang menjadi faktor lain yang menyebabkan diare pada balita di Kelurahan Babakansari tinggi. Kata Kunci : Sanitasi Dasar Lingkungan, Sumber Air Bersih,
Jamban Sehat, Sarana Pembuangan Sampah, Diare. Daftar Pustaka : 83 (Tahun 2004 – 2019)
v
ABSTRACT
Diarrhea is a public health problem with high morbidity and mortality rates, especially among toddlers. The availability of basic environmental sanitation facilities such as clean water, latrine utilization and garbage disposal are efforts to prevent the increasing of diarrheal diseases. The purpose of this study was to determine the relationship between basic environmental sanitation and the incidence of diarrhea in toddlers in Babakansari Sub-District, Kiaracondong District, Bandung. This research used a case-control approach. The population case were toddlers suffering from diarrhea from January to April 2019 which were recorded at UPT Puskesmas Babakansari (Babakansari Community Health Centre) with 31 people (toddlres). Meanwhile the population control were families who have children under five years old and do not suffer from diarrhea from January to April 2019 that reside in the Babakansari village. The technique used in sampling waere total sampling and purposive sampling for control samples. The research sample were 31 cases and 62 controls. The research instrument was in form of an observation sheet. The results of the chi square test of this study found no relationship between basic environmental sanitation with the incidence of diarrhea in infants with the results of clean water sources (p= 0.712), healthy latrines (p= 0.420) and waste disposal facilities (p= 1,000). In conclusion, there was no relationship between basic environmental sanitation and the incidence of diarrhea in infants in Babakansari Sub-district, Kiaracondong Sub-District, Bandung in 2019. It is suggested for further observation to see what are other factors that caused diarrhea in infants in Babakansari Sub-District high. Keywords : Basic Environmental Sanitation, Clean Water Sources, Healthy Latrines, Waste Disposal Facilities, Diarrhea. References : 83 (2004 - 2019)
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat illahi rabbi, Allah SWT yang
telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga saya sebagai penyusun dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Tak lupa saya panjatkan shalawat serta
salam bagi junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Dalam kesempatan ini saya sebagai penulis berbahagia karena telah dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan judul “HUBUNGAN SANITASI DASAR
LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI
KELURAHAN BABAKANSARI KECAMATAN KIARACONDONG KOTA
BANDUNG TAHUN 2019”. Skripsi penelitian ini diajukan sebagai salah satu
syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Program Studi
S1 Kesehatan Masyarakat.
Penyusunan skripsi ini tak lepas dari dukungan dan dorongan semangat
dari berbagai pihak, sehingga saya sebagai penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan tepat waktu. Oleh karenaitu, saya mengucapkan terimakasih yang sebesar
besarnya kepada :
1. H. Mulyana SH.,MPd selaku Ketua Yayasan Adhi Guna Kencana.
2. Dr. Entis Sutrisno, MH.Kes.,Apt selaku Rektor Universitas Bhakti Kencana.
3. Dr. Ratna Dian K,M.Kes selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan sekaligus
pembimbing utama yang telah memberikan pengarahannya selama proses
bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini.
vii
4. Nova Oktavia, SKM.,MPH selaku Ketua Prodi Sarjana Kesehatan
Masyarakat Universitas Bhakti Kencana.
5. Agung Sutriyawan, SKM.,M.Kes pembimbing kedua yang telah memberikan
pengarahan selama proses bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.
6. dr. Gemi Hafitiani Otafirda selaku Kepala UPT Puskesmas Babakansari yang
telah memberikan izin selama penyusunan skripsi penelitian ini.
7. Teh Ima dan Teh Khusnul selaku petugas promosi kesehatan yang telah
memberikan dukungan saat melakukan studi penelitian.
8. Seluruh rekan-rekan S1 Kesehatan Masyarakat angkatan 2015 yang sedang
sama-sama berjuang dan saling memberikan dukungan untuk kelancaran
dalam penyusunan skripsi ini.
Serta terimakasih yang paling utama kepada kedua orang tua yang
senantiasa memberikan dukungan dan do’a nya untuk kelancaran penyusunan
skripsi penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak
kekurangan, penulis mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan dan
kesempurnaan skripsi ini.
Bandung, Agustus 2019
Silmi Farhah Abiyyah
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ......................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ iii
ABSTRAK ................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
DAFTAR ISI .............................................................................................. viii
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xii
DAFTAR BAGAN .................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................ 8
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................. 9
1.3.1. Tujuan Umum ................................................................................ 9
1.3.2. Tujuan Khusus ............................................................................... 9
1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................. 10
1.4.1. Manfaat Praktis ............................................................................ 10
1.4.2. Manfaat Teoritis .......................................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 12
2.1. Sanitasi ............................................................................................... 12
2.1.1 Definisi Sanitasi........................................................................... 12
ix
2.1.2 Sarana Sanitasi Dasar .................................................................. 12
2.2. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Diare ................. 13
2.3. Lingkungan ........................................................................................ 13
2.3.1. Sarana Air Bersih ........................................................................ 13
2.3.2. Jamban Sehat .............................................................................. 19
2.3.3. Tempat Pembuangan Akhir Tinja .............................................. 23
2.3.4. Sarana Pembuangan Air Limbah ................................................ 25
2.3.5. Sarana Pembuangan Sampah ...................................................... 27
2.4. Perilaku .............................................................................................. 29
2.4.1. Pemberian ASI Ekslusif ............................................................ 29
2.4.2. Mencuci Tangan dengan Sabun ................................................. 30
2.4.3. Imunisasi .................................................................................... 31
2.4.4. Pemberian MP-ASI ................................................................... 32
2.5. Pelayanan Kesehatan .......................................................................... 33
2.6. Keturunan (Genetik) ........................................................................... 33
2.5. Diare ................................................................................................... 34
2.5.1. Pengertian Diare ......................................................................... 34
2.5.2. Jenis-Jenis Diare ......................................................................... 34
2.5.3. Penyebab diare ........................................................................... 36
2.5.4. Cara Penularan Diare .................................................................. 39
2.5.5. Prinsip Tatalaksana Diare ............................................................ 42
2.6. Balita ................................................................................................... 44
2.6.1 Definisi Balita .............................................................................. 44
x
2.6.2 Karakteristik Balita ...................................................................... 45
BAB III METODELOGI PENELITIAN ................................................. 47
3.1. Rancangan Penelitian ......................................................................... 47
3.2. Paradigma Penelitian .......................................................................... 48
3.3. Hipotesa Penelitian ............................................................................. 51
3.4. Variabel Penelitian ............................................................................. 52
3.4.1. Variabel Independen .................................................................... 52
3.4.2. Variabel Dependen ...................................................................... 52
3.5. Definisi Konseptual dan Definisi Oprasional ..................................... 53
3.5.1. Definisi Konseptual ..................................................................... 53
3.5.2. Definisi Oprasional ...................................................................... 54
3.6. Populasi dan Sampel ........................................................................... 55
3.6.1. Populasi Penelitian ...................................................................... 55
3.6.2. Sampel Penelitian ........................................................................ 55
3.7. Pengumpulan Data .............................................................................. 56
3.7.1. Jenis Data..................................................................................... 56
3.7.2. Cara Pengumpulan Data .............................................................. 57
3.7.3. Instrumen Penelitian .................................................................... 58
3.8. Pengolahan dan Analisis Data ............................................................ 58
3.8 1. Teknik Pengolahan Data.............................................................. 58
3.8 2. Teknik Analisa Data .................................................................... 60
3.9. Etika Penelitian ................................................................................... 62
3.10. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 65
xi
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................... 66
4.1. Hasil Penelitian ................................................................................... 66
4.1.1. Gambaran Kejadian Diare Pada Balita ....................................... 66
4.1.2. Gambaran Sumber Air Bersih ..................................................... 66
4.1.3. Gambaran Jamban Sehat ............................................................. 67
4.1.4. Gambaran Sarana Pembuangan Sampah ..................................... 67
4.1.5. Hubungan Sumber Air Bersih dengan Kejadian Diare ............... 68
4.1.6. Hubungan Jamban Sehat dengan Kejadian Diare ....................... 69
4.1.7. Hubungan Sarana Pembuangan Sampah dengan Kejadian Diare 70
4.2. Pembahasan ........................................................................................ 70
4.2.1. Gambaran Kejadian Diare pada balita ......................................... 70
4.2.2. Gambaran sanitasi dasar lingkungan ........................................... 71
4.2.3. Hubungan sumber air bersih dengan kejadian diare .................... 72
4.2.4. Hubungan jamban sehat dengan kejadian diare ......................... 75
4.2.5. Hubungan sarana pembuangan sampah dengan kejadian diare .. 77
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 79
5.1. Kesimpulan ......................................................................................... 79
5.2. Saran ................................................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 82
LAMPIRAN ....................................................................................................
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Definisi Operasional ........................................................................ 54
Tabel 3.2 Kriteria Univariat ............................................................................. 61
Tabel 3.3 Cara Menghitung Odds Ratio .......................................................... 62
Tabel 4.1 Gambaran Kejadian Diare pada Balita.............................................. 66
Tabel 4.2 Gambaran Sarana Air Bersih ............................................................ 66
Tabel 4.3 Gambaran Jamban Sehat ................................................................... 67
Tabel 4.4 Gambaran Sarana Pembuangan Sampah........................................... 67
Tabel 4.5 Hubungan Sarana Air Bersih dengan Kejadian Diare pada Balita ... 68
Tabel 4.6 Hubungan Jamban Sehat dengan Kejadian Diare pada Balita .......... 69
Tabel 4.7 Hubungan Sarana Pembuangan Sampah dengan Kejadian Diare ..... 70
xiii
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Perjalanan Penyakit ......................................................................... 40
Bagan 2.2 Skema Penularan Penyakit dari Tinja .............................................. 41
Bagan 3.1 Rancangan Penelitian Case Control ................................................. 47
Bagan 3.2 Kerangka Konsep Penelitian ............................................................ 50
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lembar Permohonan Menjadi Responden
Lampiran 2 Lembar Persetujuan Menjadi Responden
Lampiran 3 Lembar Observasi
Lampiran 4 Master Tabel dan Koding
Lampiran 5 Analisis Data Univariat dan Bivariat
Lampiran 6 Surat Permohonan Izin Studi Pendahuluan
Lampiran 7 Surat Balasan Kesbangpol Kota Bandung
Lampiran 8 Surat Balasan Penelitian Dinas Kesehatan Kota Bandung
Lampiran 9 Surat Permohonan Izin Penelitian Puskesmas
Lampiran 10 Surat Balasan dari Puskesmas Bersedia di Jadikan Tempat
Penelitian
Lampiran 11 Surat Balasan dari Puskesmas Bahwa Telah Melakukan
Penelitian di UPT Puskesmas Babakansari
Lampiran 12 Lembar Bimbingan
Lampiran 13 Dokumentasi
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sustainable Development Goals (SDG’s) sebagai program kelanjutan
dari Millenium Development Goals (MDG’s), dalam pesan yang ke-3
mengemas tujuan untuk menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan
kesejahteraan seluruh penduduk semua usia dengan salah satu indikatornya
adalah menurunkan angka kematian balita per 1000 kelahiran hidup (BPS,
2017).
Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2017,
penyakit diare merupakan penyebab utama kematian kedua pada anak di
bawah lima tahun. Setiap tahunnya terdapat sekitar 1,7 miliar kasus
penyakit diare pada anak-anak dengan membunuh sekitar 525.000 anak
balita (WHO, 2017).
United Nation Childhren’s Fund (UNICEF) mencatat sebanyak 5% dari
jumlah kematian balita akibat diare terjadi di kawasan Asia Tenggara. Di
Indonesia angka kematian balita akibat diare pada tahun 2015 sebanyak
8.600 balita yang menempati peringkat 12 dari 15 negara dengan angka
kematian balita tertinggi di dunia dan tertinggi di Asia Tenggara. India
menempati urutan pertama untuk kasus kematian balita mencapai 117.300
balita (UNICEF, 2016).
2
Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia.
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 yang dilaksanakan
oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen
Kesehatan RI prevalensi diare di Indonesia untuk kategori semua umur
sebesar 6,8%, sedangkan untuk kategori usia balita sebesar 11%. Prevalensi
diare pada balita tertinggi berada di provinsi Sumatra Utara sebesar 14,2%,
Papua 13,9%, dan Aceh 13,8%. Sedangkan prevalensi diare pada balita
terendah berada di provinsi Kepulauan Riau sebesar 5,1%, Bangka Belitung
6% dan Maluku Utara 7,3%. Sedangkan untuk Provinsi Jawa Barat berada
di urutan ke-8 dengan prevalensi diare sebesar 12,8% (Riskesdas, 2018).
Di Jawa Barat pada tahun 2018, cakupan penderita diare balita berada
diperingkat pertama yang diperkirakan terdapat 732.324 kasus diare,
sedangkan kasus yang ditangani di sarana kesehatan hanya sebanyak
166.103 kasus atau 22,68%. Angka tersebut menunjukkan bahwa cakupan
kejadian diare di Jawa Barat masih tinggi (Kemenkes, 2018).
Penyakit diare dapat mempengaruhi derajat kesehatan menurut
HL.Blum ada empat faktor yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan
masyarakat yaitu faktor perilaku, faktor lingkungan, faktor pelayanan
kesehatan dan faktor keturunan. Menjaga kebersihan lingkungan dan
sanitasi adalah faktor penentu tertinggi demi meningkatkan kesehatan
masyarakat (Notoatmodjo, 2011).
Sanitasi dasar merupakan syarat kesehatan lingkungan minimal yang
harus dimiliki oleh setiap keluarga untuk memenuhi keperluan sehari-hari.
3
Sanitasi mempunyai arti pemeliharaan kondisi yang higienis seperti sarana
pengelolaan sampah dan saluran pembuangan air limbah domestik.
Sedangkan sanitasi dasar adalah sanitasi minumum yang diperlukan untuk
menyediakan lingkungan sehat yang memenuhi syarat kesehatan dan
menitikberatkan pada pengawasan berbagai faktor lingkungan yang
mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat (Azwar, 1995). Ruang lingkup
sanitasi dasar rumah tangga meliputi penyediaan air bersih, pembuangan
kotoran manusia (jamban), pengelolaan sampah dan saluran pembuangan air
limbah.
Sanitasi mempunyai peranan penting dalam mewujudkan rumah sehat
dan sebagai penunjang untuk mencegah penyakit berbasis lingkungan.
Laporan UNICEF dan WHO tahun 2015 terkait fasilitas sanitasi terdapat 2,4
miliyar manusia di dunia masih menggunakan fasilitas sanitasi yang buruk.
Menurut Laporan Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017 persentase rumah
tangga yang memiliki akses terhasap sanitasi layak adalah sebesar 67,89%
(Kementerian Kesehatan, 2017).
Sanitasi berhubungan dengan kesehatan lingkungan yang dapat
mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Dampak dari rendahnya
tingkat cakupan sanitasi dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup
masyarakat, tercemarnya sumber air minum bagi masyarakat, dan
meningkatnya penularan penyakit berbasis lingkungan seperti diare
(Kementerian Kesehatan, 2017).
4
Ketersediaan air bersih sangat penting untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari seperti mandi, cuci, kakus, dan untuk dikonsumsi. Sarana air
bersih harus memenuhi persyaratan agar air tidak terkontaminasi. Sarana air
bersih yang memenuhi persyaratan adalah sumber air terlindungi yang
mencakup PDAM, sumur pompa, sumur gali dan mata air terlindungi
(Kementerian Kesehatan, 2017). Air yang terkontaminasi dapat
mengganggu kesehatan masyarakat seperti diare. berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh (Dini et al., 2015) bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara sarana air bersih dengan kejadian diare pada balita.
Responden dengan sumber air tidak sehat mempunyai risiko 3,7 kali
mengalami diare dibandingkan responden dengan sumber air yang sehat.
Diare dapat disebabkan oleh buruknya perilaku buang air besar (BAB)
sembarangan di masyarakat dan penggunaan fasilitas BAB yang belum
merata. Berdasarkan (Riskesdas, 2013), diketahui bahwa rumah tangga di
Indonesia menggunakan fasilitas buang air besar milik sendiri sebesar
76,2%, milik bersama 6,7% dan fasilitas umum 4,2%. Meskipun sebagian
besar rumah tangga memiliki fasilitas BAB, masih terdapat rumah tangga
yang tidak memiliki fasilitas BAB sehingga melakukan BAB sembarangan
yaitu sebesar 12,9%. Padahal salah satu target dari Sustainable Development
Goals (SDGs) adalah eliminasi perilaku BAB sembarangan (Kementerian
Kesehatan, 2015). Eliminasi perilaku dari BAB sembarangan menjadi
prioritas untuk meningkatkan kesehatan, gizi dan produktivitas masyarakat
di negara berkembang.
5
Sampah dan pengelolaan sampah mempunyai peranan penting dalam
tercapainya lingkungan yang bersih dan tercapainya sanitasi masyarakat.
Pengeloolaan sampah yang baik yaitu dengan menggunakan 3R yaitu reuse,
reduce, dan recycle. Sampah dan pengelolaan sampah di Indonesia
umumnya dikelola dengan cara dibakar (49,5%) dan hanya 34,9% rumah
tangga yang pengelolaan sampahnya diangkut oleh petugas. Cara lain
pengelolaan sampah rumah tangga dengan cara ditimbun dalam tanah
(1,5%), dibuat kompos (0,4%), dibuang ke kali/selokan (7,8%), dan dibuang
sembarangan (5,9%) (Riskesdas, 2018). Pengelolaan sampah kini menjadi
masalah yang kian mendesak, sebab apabila tidak dilakukan penanganan
yang baik dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan seperti
pencemaran air, tanah dan udara serta dapat menganggu kesehatan
masyarakat. Timbulan sampah akan mengundang binatang pembawa
penyakit seperti tikus dan lalat yang dapat berpotensi terjangkit penyakit
pes, tifus dan diare (Hermawati et al., 2015)
Menurut data Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2017,
jumlah kasus diare tertinggi di Jawa Barat berada di kabupaten Bogor
dengan jumlah kasus 122.301 kasus, kabupaten Bandung sebanyak 78.273
kasus dan kabupaten Bekasi sebanyak 74.900 kasus. Sedangkan kasus diare
terendah berada di kota Banjar dengan jumlah kasus 3.903 kasus, kota
Cirebon 6.705 kasus, dan kota Sukabumi 6.929 kasus. Sedangkan jumlah
kasus diare di kota Bandung mengalami fluktasi dari tahun 2015 sampai
tahun 2017. Tahun 2015 tercatat sebanyak 25.209 kasus, di tahun 2016
6
mengalami kenaikan sebanyak 57.425 kasus dan tahun 2017 menurun
sebanyak 53.456 kasus. Kota Bandung pada tahun 2017 menempati urutan
ke-6 yang artinya jumlah kasus di kota Bandung masih cukup tinggi (BPS,
2018).
Penderita diare di Kota Bandung tahun 2017 tercatat sebanyak 57.525
kasus dan di tahun 2018 jumlah kasus diare mengalami peningkatan
sebanyak 59.511 kasus. Dimana kasus diare tertinggi berada di Kecamatan
Andir dengan jumlah 3.832 kasus dengan 604 kasus diare pada balita,
Kecamatan Kiaracondong sebanyak 3.644 kasus dengan 796 kasus diare
pada balita, dan Kecamatan Astana Anyar sebanyak 3.256 kasus dengan
1194 kasus diare pada balita. Sedangkan kecamatan terendah berada di
Kecamatan Sumur Bandung dengan jumlah kasus diare sebanyak 881
dengan 331 kasus diare pada balita (Dinkes Kota, 2019).
Kecamatan Kiaracondong membawahi tiga Puskesmas yaitu UPT
Puskesmas Babakansari, UPT Puskesmas Babakan Surabaya, dan UPT
Puskesmas Ibrahim Adjie. UPT Puskesmas Babakansari pada tahun 2018
tercatat kasus diare pada balita sebanyak 630 kasus, UPT Puskesmas
Babakan Surabaya 166 kasus dan UPT Puskesmas Ibrahim Adjie 505 kasus
(Dinkes Kota, 2019).
Kondisi sanitasi dasar yang kurang memadai dapat mengakibatkan
penyakit berbasis lingkungan seperti diare. Berdasarkan data dari UPT
Puskesmas Babakansari pada tahun 2019 bulan januari sampai april
terdapat 279 kasus diare dengan kasus terbanyak terjadi pada balita. UPT
7
Puskesmas Babakansari membawahi empat kelurahan yaitu Kelurahan
Babakansari, Kelurahan Sukapura, Kelurahan Kebon Jayanti dan Kelurahan
Kangkung dimana Kelurahan Babakansari menjadi wilayah yang tertinggi
kasus diare dan wilayah yang padat penduduk. Di kelurahan Babakansari
terdapat 130 kasus diare dimana 31 kasus terjadi pada balita.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 16 Mei 2019,
sarana air bersih yang digunakan masyarakat setempat kebanyakan
menggunakan air PDAM dan sumur pompa tangan (SPT). Ada juga yang
menggunakan sumur gali (SGL) dan jetpam sebagai sarana air bersih yang
digunakan. Namun ada juga warga yang belum mempunyai sarana sumber
air bersih yang menyebabkan cakupan sarana air bersih masih belum
memenuhi target yaitu sebesar 75% dari target yang harus dicapai sebesar
80%.
Fasilitas jamban masyarakat setempat menggunakan closet, namun
masih terdapat masyarakat yang buang air besar (BAB) di cemplung/sungai
yang menyebabkan cakupan jamban masih belum memenuhi target yaitu
sebesar 62% dari target yang harus dicapai sebesar 75% dan persentase
masyarakat yang melakukan buang air besar sembarangan (BABS) sebesar
38%. Kepemilikan sarana pengolahan air limbah domestik belum semua
rumah mempunyai drainase.
Sarana pengelolaan sampah dimasyarakat masih banyak yang tidak
terdapat fasilitas penampungan sampah sementara di setiap gang. Masih
terdapat masyarakat yang membakar sampah dan membuang sampah ke
8
sungai yang menyebabkan cakupan TPS masih kurang yaitu sebesar 66%
dari target yang harus dicapai sebesar 80%.
Berdasarkan fenomena dan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk
mengkaji sanitasi dasar lingkungan dengan kejadian diare pada balita di
kelurahan Babakansari kecamatan Kiaracondong kota Bandung.
1.2. Rumusan Masalah
Sanitasi dasar merupakan syarat kesehatan lingkungan minimal yang
harus dimiliki oleh setiap keluarga untuk memenuhi keperluan sehari-hari.
Ruang lingkup sanitasi meliputi sarana air bersih, jamban keluarga, sarana
pembuangan air limbah dan sarana pengelolaan sampah. Pemenuhan syarat
sanitasi dasar dapat mencegah penyakit berbasis lingkungan seperti diare.
UPT Puskesmas Babakansari merupakan puskesmas dengan jumlah
kasus diare balita yang cukup tinggi dimana berada diurutan ke enam di
Kota Bandung dengan wilayah pemukiman padat penduduk dengan kondisi
sanitasi dasar masih tergolong rendah dari segi sarana air bersih, jamban,
dan sarana pengelolaan sampah dimana Kelurahan Babakansari menjadi
wilayah kasus tertinggi diare dengan jumlah penduduk yang cukup padat
dan sanitasi yang masih kurang. Maka rumusan masalah dalam penelitian
ini apakah ada hubungan sanitasi dasar lingkungan dengan kejadian diare
pada balita di Kelurahan Babakansari Kecamatan Kiaracondong Kota
Bandung tahun 2019?
9
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengidentifikasi hubungan sanitasi dasar lingkungan
dengan kejadian diare pada balita di Kelurahan Babakansari Kecamatan
Kiaracondong Kota Bandung tahun 2019.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengidentifikasi gambaran kejadian diare pada balita di kelurahan
Babakansari kecamatan Kiaracondong Kota Bandung tahun 2019.
2. Untuk mengidentifikasi gambaran sanitasi dasar lingkungan (sumber air
bersih, jamban sehat, dan sarana pembuangan sampah) di kelurahan
Babakansari kecamatan Kiaracondong Kota Bandung tahun 2019.
3. Untuk mengidentifikasi hubungan sumber air bersih dengan kejadian
diare pada balita di kelurahan Babakansari kecamatan Kiaracondong
Kota Bandung tahun 2019.
4. Untuk mengidentifikasi hubungan jamban sehat dengan kejadian diare
pada balita di kelurahan Babakansari kecamatan Kiaracondong Kota
Bandung tahun 2019.
5. Untuk mengidentifikasi hubungan sarana pembuangan sampah dengan
kejadian diare pada balita di kelurahan Babakansari kecamatan
Kiaracondong Kota Bandung tahun 2019.
10
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan agar data yang dihasilkan dapat
bermanfaat dalam pengembangan program kesehatan dan sebagai
informasi yang mempunyai kontribusi terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan terutama di bidang kesehatan masyarakat.
1.4.2. Manfaat Praktis
1. Bagi Prodi Kesehatan Masyarakat STIKes Bhakti Kencana Bandung
Untuk menambah kepustakaan baru yang dapat dijadikan dalam
rangka meningkatkan kualitas dan pengetahuan mahasiswa maupun
mahasiswi program studi kesehatan masyarakat STIKes Bhakti Kencana
Bandung mengenai hubungan sanitasi dasar lingkungan dengan kejadian
diare pada balita.
2. Bagi UPT Puskesmas Babakansari
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan informasi
sebagai acuan dalam rangka peningkatan program pencegahan dan
sebagai acuan dalam perencanaan program yang akan datang.
3. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu upaya untuk
memberikan stimulus kepada masyarakat agar masyarakat tahu, mau dan
mampu merubah perilaku yang kurang baik dan membiasakan diri
berprilaku hidup bersih dan sehat, khususnya dalam upaya pencegahan
terhadap penyakit diare.
11
4. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai penambah wawasan,
ilmu, sarana pembelajaran dan dapat dipakai sebagai bahan referensi dan
perbandingan untuk penelitian selanjutnya.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sanitasi
2.1.1 Definisi Sanitasi
Sanitasi merupakan suatu usaha pencegahan penyakit yang
menitikberatkan kegiatan pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia
(Lestari et al., 2015). Sedangkan menurut World Health Organization
(1992), Sanitasi adalah keadaan atau kondisi yang dapat mempengaruhi
kesehatan, terutama mengenai kotoran manusia dan infeksi yang secara
khusus berkaitan dengan drainase, pembuangan kotoran dan sampah dari
rumah tangga.
2.1.2 Sarana Sanitasi Dasar
Sanitasi dasar merupakan syarat kesehatan lingkungan minimal yang
harus dimiliki oleh setiap keluarga. Sanitasi dasar menurut (Azwar, 1995)
sanitasi dasar adalah sanitasi minimum yang diperlukan untuk
menyediakan lingkungan sehat yang memenuhi syarat kesehatan dan
menitikberatkan pada pengawasan berbagai faktor lingkungan yang
mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Ruang lingkup sanitasi dasar
meliputi sarana air bersih, ketersediaan jamban, sarana pembuangan air
limbah dan sarana pengelolaan sampah. Sanitasi merupakan elemen yang
penting untuk menunjang kesehatan masyarakat. Buruknya kondisi sanitasi
akan berdampak negative pada aspek kehidupan mulai dari turunnya
13
kualitas lingkungan hidup masyarakat, tercemarnya sumber air minum
bagi masyarakat, meningkatnya jumlah kejadian diare dan penyakit
lainnya (Kemenkes, 2016).
2.2. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Diare
Menurut H.L Blum, dikutip (Notoatmodjo, 2011), derajat kesehatan
dipengaruhi 4 (empat) macam faktor yaitu lingkungan, perilaku, pelayanan
kesehatan dan keturunan (genetik). Faktor-faktor tersebut memiliki peranan
yang sangat besar dalam meningkatkan status kesehatan baik individu
maupun masyarakat.
2.3. Lingkungan
2.3.1 Sarana Air Bersih
Air merupakan komponen lingkungan hidup yang sangat penting bagi
kelangsungan hidup manusia. Air digunakan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari seperti untuk minum, masak, mandi, mencuci (Notoatmodjo,
2011). Air bersih merupakan air yang digunakan untuk keperluan sehari-
hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum
apabila telah dimasak (Kemenkes, 2010). Sedangkan air minum adalah air
yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung
diminum.
Sumber air berasal dari air hujan, air permukaan dan air tanah. Didalam
urutan prioritas, umumnya air tanah merupakan urutan pertama
(Machfoedz, 2004). Air tanah berasal dari air hujan yang mengalami
perkolasi atau penyerapan ke dalam tanah dan mengalami proses filtrasi
14
secara alamiah. Proses filtrasi alamiah ini membuat air tanah menjadi lebih
baik dan lebih murni dibandingkan dengan air permukaan (Sumantri,
2013).
Sumber air bersih memiliki peranan penting dalam penyebaran
beberapa penyakit menular salah satunya adalah diare yang ditularkan
melalui fecal oral. Diare disebabkan oleh bakteri E.coli yang dapat masuk
ke dalam air dengan capa pasa saat hujan turun, air membawa limbah dari
kotoran hewan maupun manusia kemudian meresp kedalam tanah melalui
pori-pori tanah atau mengalir dalam sumber air (Langit, 2016).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan
Keluarga, sarana air bersih yang memenuhi persyaratan adalah sumber air
bersih yang terlindungi yang mencakup PDAM, sumur pompa, sumur gali,
dan mata air terlindungi (Kemenkes, 2016).
Satara air bersih merupakan sarana yang dapat menghasilkan sumber air
bersih seperti sumur gali, sumur dalam, penampungan air hujan, sistem
perpipaan.
a. Sumur Dangkal
Sumur dangkal merupakan pengambilan sumber mata air di dalam
tanah dengan kedalaman sekitar 5-15 meter. Diperkirakan sampai
kedalaman 3 meter tanah dan belum dipastikan aman dikonsumsi
karena masih mengandung kuman-kuman akibat kontaminasi kotoran
15
dari permukaan tanah yang masih ada. Dan dinding sumur sebaiknya
dibuat lapisan dari semen untuk menghindari pencemaran air tanah.
b. Sumur Dalam
Sumur dalam berasal dari air tanah yang kedalamannya lebih dari
15 meter. Sebagian besar air sumur dalam sudah cukup sehat untuk
dijadikan air minum (Notoatmodjo, 2011).
c. PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum)
PDAM adalah badan usaha milik pemerintah yang mencakup
usaha dalam pengelolaan air minum untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. PDAM biasanya menggunakan sistem
perpipaan untuk mendistribusikan air bersih kepada masyarakat.
Sistem perpipaan air bersih digunakan untuk menyalurkan air bersih
dengan jarak sumber air dengan pemukiman warga sangat jauh.
Sistem perpipaan memudahkan masyarakat memperoleh air bersih.
d. Mata Air Terlindungi
Mata air terlindungi merupakan sumber air yang berasal dari
permukaan tanah dimana air timbul dengan sendirinya. Digolongkan
menjadi sumber mata air terlindungi jika sumber air bersih yang
digunakan berasal hanya dari mata air tanpa sistem perpipaan atau
pompa dan tanpa melalui proses penyaringan/pengolahan dimana
penduduk harus pergi ke sumber mata air tersebut untuk mendapatkan
air bersih (Yayasan Cipta Sarana Mandiri, 2013 )
16
e. Penampungan Air Hujan
Air hujan dapat ditampung kemudian dijadikan air minum.
Biasanya air hujan ditampung melalui paralon dan wadah hujan sering
terkena debu dari lingkungan sekitar rumah, maka air hujan harus
dilakukan penyaringan. Penampungan air hujan apabila tidak rutin
dibersihkan dan dikuras dapat menjadi sarang perkembangbiakan
nyamuk dan dapat menyebabkan penyakit demam berdarah.
Persyaratan kualitas menggambarkan mutu atau kualitas dari air
baku air bersih. Persyaratan ini meliputi persyaratan fisik, kimia, biologis
dan radiologis. Syarat-syarat tersebut berdasarkan permenkes No.416
/MENKES/PER/IX/1990 tentang persyaratan kualitas air bersih.
1. Syarat Fisik
Secara fisik air bersih harus jernih, tidak berbau, dan tidak berasa.
Selain itu juga suhu air bersih sebaiknya sama dengan suhu udara atau
kurang lebih 25°c dan apabila terjadi perbedaan maka batas yang
diperbolehkan adalah 25° ± 3°c
a. Bau
Bau air dapat memberi petunjuk akan kualitas air. Air yang berbau
tidak akan disukai oleh masyarakat.
b. Rasa
Air yang bersih biasanya tidak memberi rasa/tawar. Air yang tidak
tawar dapat menunjukkan kehadiran berbagai zat yang dapat
membahayakan kesehatan.
17
c. Warna
Air sebaiknya tidak berwarna dan untuk mencegah keracunan dari
berbagai zat kimia maupun mikroorganisme yang berwarna. Warna
dapat disebabkan adanya taannin dan asam humat yang terdapat
secara alamiah di air rawa., berwarna kuning muda menyerupai
urin, oleh karenanya orang tidak mau menggunakannya. Selain itu,
zat organik ini bila terkena khlor dapat membentuk senyawa-
senyawa khloroform yang beracun. Warna pun dapat berasal dari
buangan industri.
d. Suhu
Suhu air sebaiknya sejuk atau tidak panas terutama agar tidak
terjadi perlarutan zat kimia yang ada pada saluran/pipa yang dapat
membahayakan kesehatan, menghambat reaksi-reaksi biokimia di
dalam saluran/pipa, mikro organisme patogen tidak mudah
berkembang biak dan bila diminum air dapat menghilangkan
dahaga.
e. Jumlah Zat Padat Terlarut (TDS)
Jumlah zat padat terlarut biasanya terdiri atas zat organik, garam
anorganik, dan gas terlarut. Bila TDS bertambah maka keadaan
akan naik pula.
f. Kekeruhan
Kekeruhan air disebabkan oleh zat padat yang tersuspensi, baik
yang bersifat anorganik maupun yang organik. Zat organik,
18
biasanya berasal dari lapukan batuan dan logam, sedangkan yang
organik dapat berasal dari lapukan tanaman atau hewan. Buangan
industri dapat juga merupakan sumber kekeruhan
2. Syarat Kimia
Kandungan zat kimia dalam air bersih yang digunakan sehari-hari
hendaknya tidak melebihi kadar maksimum yang diperbolehkan.
Penggunaan air yang mengandung bahan kimia beracun dan zat-zat
kimia lainnya yang melebihi ambang batas berakibat tidak baik bagi
kesehatan dan material yang digunakan manusia seperti Besi (Fe), pH,
Tembaga (Cu), Klorida, Seng (Zn) dan Mangan (Mn).
3. Syarat Mikrobiologis
Pada umumnya sumber-sumber air yang terdapat di alam bumi ini
mengandung bakteri. Jumlah dan jenis bakteri bermacam-macam dan
berbeda-beda sesuai dengan tempat dan kondisi yang
mempengaruhinya. Oleh karena itu, air yang digunakan untuk
keperluan sehari-hari haruslah bebas dari bakteri patogen. Bakteri
golongan coli tidaj nerupakan bakteri golongan patogen, namun
bakteri ini merupakan indikator dari pencemaran air oleh bakteri
patogen.
4. Syarat Radiokativitas
Apapun bentuk radioaktivitas efeknya adalah sama dilihat dari segi
parameternya, yakni dapat menimbulkan kerusakan pada sel-sel yang
terpapar. Kerusakan dapat berupa kematian dan juga perubahan
19
komposisi genetik. Kematian sel dapat diganti kembali apabila tidak
seluruh sel mati. Perubahan genetis dapat menimbulkan berbagai
penyakit seperti kanker dan mutasi.
5. Syarat Bakteriologis
Air minum tidak boleh mengandung bakteri-bakteri penyakit dan
juga tidak boleh mengandung bakteri-bakteri penyakit dan juga tidak
boleh mengandung bakteri-bakteri coli yang telah melebihi batas
tertentu yaitu 1 coliper 100ml air. Bakteri golongan ini berasal dari
usus besar dan tanah. Bakteri patogen yang mungkin terdapat didalam
air seperti bakteri Typosium, Vibrio Colerae, Bakteri Dysentriae,
Entamoeba Hystolotica, Bakteri Enteristis (penyakit perut)
(Permenkes, 2016).
Hasil penelitian yang dilakukan (Bumulo, 2014) menunjukan
terdapat hubungan antara sarana penyediaan air bersih dengan kejadian
diare pada balita dimana nilai p= 0,005. Sedangkan hasil penelitian
(Laela Mardriyatun, 2016) menunjukkan penggunaan air bersih dengan
kejadian diare bernilai p= 0,762 yang berarti tidak terdapat hubungan
yang bermakna.
2.3.2 Jamban Sehat
2.3.2.1. Ketersediaan Jamban
Jamban merupakan suatu bangunan yang digunakan untuk tempat
membuang dan mengumpulkan kotoran manusia yang biasanya disebut
dengan kakus atau wc dengan atau tanpa kloset dan dilengkapi dengan
20
sarana penampungan kotoran/tinja sehingga tidak menjadi penyebab atau
peyebar penyakit dan mengotori lingkungan rumah (Kemenkes, 2016).
Tinja merupakan sumber penyebaran penyakit seperti diare, disentri,
kolera, kecacingan, Schistosomiasis dan penyakit pencernaan lainnya.
Upaya pencegahan kontaminasi tinja terhadap lingkungan dapat
dilakukan dengan pengelolaan pembuangan kotoran manusia dengan baik
yaitu dengan menggunakan jamban sehat. Persyaratan jamban sehat
sebagai berikut :
1. Tidak mengotori permukaan tanah disekeliling jamban
2. Tidak mengotori air permukaan di sekitarnya
3. Tidak mengotori air tanah sekitarnya
4. Tidak terjangkau oleh serangga terutama lalat dan kecoa
5. Tidak menimbulkan bau
6. Mudah digunakan dan diperlihara
7. Desain sederhana
8. Dapat diterima oleh pemakainya
9. Bangunan jamban tertutup untuk melindungi dari panas dan hujan
serta binatang, terlindungi dari pandangan orang (privacy)
10. Bangunan jamban mempunyai lantai yang kuat, tempat berpijak
kuat
Ketersediaan jamban sehat adalah kepemilikan jamban berbentuk
leher angsa oleh sebuah keluarga. Jika dalam satu rumah terdiri dari
beberapa keluarga dan menggunakan jamban leher angsa yang sama,
21
maka dikatakan seluruh keluarga tersebut dinyatakan memiliki jamban
keluarga. Jamban komunal (Umum) tidak termasuk dalam ketersediaan
jamban keluarga karena biasanya digunakan oleh beberapa keluarga yang
tidak tinggal pada rumah yang sama (Kemenkes, 2016).
Ketersediaan jamban berperan penting dalam perilaku buang air
besar masyarakat. Penelitian yang dilakukan (Ratnawati and Trisno)
(Ratnawati and Trisno), menunjukan bahwa risiko balita terkena diare
akut lebih besar pada penggunaan jamban dan penggunaan sarana air
bersih yang tidak memenuhi syarat. Sedangkan, penelitian oleh (Galman
and Wahyuni, 2014) menyatakan terdapat hubungan yang bermakna
antara sanitasi/jamban dengan kejadian diare pada balita.
Masih banyak terdapat masyarakat yang BAB disembarang tempat
atau BAB di tempat terbuka karena tidak tersedianya jamban di rumah
maupun jamban umum. Menurut laporan Progress on Sanitation and
Drinking Water 2015, tujuh dari 10 orang tanpa fasilitas jamban masih
melakukan BAB ditempat terbuka.
Berdasarkan laporan WHO dan UNICEF (2015) dalam
(Komarulzaman et al., 2017) Indonesia menduduki peringkat ke 2 dalam
jumlah masyarakat yang masih buang air besar sembarangan yaitu
sebesar 54 juta. Setiap tahun sekitar 136.000 sampai 190.000 balita
meninggal akibat terserang penyakit diare di Indonesia. MDGs
mempunyai target untuk meneliminasi BAB sembarangan.
22
Masyarakat yang masih melakukan BAB di tempat terbuka biasanya
memanfaatkan sungai, danau dan pinggir laut untuk dijadikan tempat
pembuangan tinja. Perilaku BAB sembarangan atau BAB ditempat
terbuka mempunyai risiko terhadap pencemaran lingkungan dan
gangguan kesehatan.
2.3.2.2. Jenis Jamban
Jenis jamban yang digunakan untuk membuang tinja terdapat
beberapa jenis antara lain :
1. Jamban Leher Angsa
Jamban leher angsa merupakan salah satu jenis jamban saniter
dengan bentuk kloset (tempat jongkok) yang digunakan
menggunakan sistem water seal. Ciri-ciri jamban leher angsa sistem
water seal adalah adanya genangan air pada lubang kloset yang
berfungsi untuk menahan bau atau mencegah masuknya serangga
(Kemenkes, 2016). Jamban ini dilengkapi dengan bak penampung
kotoran yang kedap air (septic tank) dan sumur resapan. Air limbah
yang dihasilkan dari jamban akan dialirkan ke septic tank agar tidak
merembes ke air tanah (Asmadi et al., 2012). Jamban leher angsa
adalah jenis jamban yang sering digunakan oleh masyarakat
Indonesia.
2. Jamban Cemplung
Jamban cemplung merupakan jenis jamban yang sering digunakan
di daerah pedesaan dan daerah yang sulit dalam pengadaan air
23
bersih. Kontruksi jamban cemplung sangat sederhana yaitu dengan
cara menggali tanah sebagai lubang penampungan, lalu diperkuat
dengan bahan penguat misalnya anyaman bambu (Asmadi et al.,
2012). Biasanya desainnya kurang sempurna seperti tanpa rumah
jamban dan tidak terdapat atap. Hal ini dapat menimbulkan bau dan
serangga mudah masuk. Ketika hujan akan terpenuhi dengan air,
sehingga jamban tidak dapat dipakai (Notoatmodjo, 2011). Bila tinja
dibuang pada jamban cemplung, maka mikroorganisme dapat masuk
ke dalam tanah vertical paling dalam 3 meter (Machfoedz, 2004)
3. Jamban Empang
Jamban empang merupakan jenis jamban yang dibangun diatas
empang. Kolam/empang terdapat ikan-ikan yang secara sengaja
dipelihara untuk memakan tinja yang dibuang secara langsung.
Biasanya ikan-ikan tersebut dibudidaya dan sebagian akan
dikonsumsi oleh masyarakat. Jamban jenis ini masih banyak terdapat
didaerah pedesaan terutama didaerah budidaya ikan.
2.3.3 Tempat Pembuangan Akhir Tinja
Septic tank merupakan salah satu cara pengolahan limbah cair
domestik seperti tinja dan air seni yang paling sederhana. Sistem septic
tank menggunkan bak kedap air yang berfungsi sebagai penampungan
limbah kotoran manusia (tinja dan urine) (Kemenkes, 2014). Septic tank
menggunakan proses perombakan limbah cair secara anaerobic yang
24
dilengkapi dengan fasilitas resapan efluen. Jarak septik tank dengan
sumber air minimal 10 meter (Depkes, 1999a).
Menurut Wardhana (2001) dalam (Angeline et al., 2013) bahwa
rendahnya penggunaan jamban yang sehat kan berpengaruh terhadap
tingginya angka kesakitan diare. penyebaran kuman secara bakterologis
di sekitar jaman dikarenakan jamban yang tidak memenuhi syarat
kesehatan sehingga kemungkinan adanya mata rantai penularan penyakit
dari tinja dan berkembangbiak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh (Cronin et al., 2016) bahwa terdapat hubungan antara pembuangan
feses balita di jamban dengan kejadian diare (p= 0,0001).
Buang air besar sembarangan mempunyai risiko untuk terkena
penyakit diare. Kementrian Kesehatan telah melakukan himbauan
mengenai stop buang air besar sembarangan yang tercantum pada
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat. Stop Buang Air Besar Sembarangan adalah kondisi
ketika individu dalam suatu komunitas tidak lagi melakukan perilaku
buang air besar sembarangan yang berpotensi menyebarkan penyakit.
Stop buang air besar sembarangan dapat diwujudkan melalui kegiatan
membudayakan perilaku buang air besar sehat yang dapat memutuskan
alur kontaminasi kotoran manusia sebagai sumber penyakit secara
berkelanjutan dan menyediakan serta memelihara sarana buang air besar
yang memenuhi standar dan persyaratan kesehatan.
25
Perilaku buang air besar yang sehat menggunakan fasilitas sanitasi
yang saniter berupa jamban sehat. Jamban sehat yaitu jamban leher angsa
yang dilengkapi dengan septic tank. Jamban sehat efektif untuk memutus
mata rantai penularan penyakit. Jamban sehat harus dibangun, dimiliki
dan digunakan oleh keluarga dengan penempatan yang mudah dijangkau
oleh penghuni rumah (Kemenkes, 2014).
2.3.4 Sarana Pembuangan Air Limbah
Air limbah merupakan sisa dari suatu usaha dan atau kegiatan yang
berwujud cair. Air limbah dapat berasal dari kegiatan industri dan rumah
tangga (domestik). Air limbah domestik adalah hasil buangan dari
perumahan, bangunan perdagangan, perkantoran dan sarana sejenisnya
(Asmadi et al., 2012). Menurut Hammer 1997 dalam Asmadi (2012)
volume limbah cair dari perumahan bervariasi mulai dari 200 liter sampai
400 liter per orang per hari. Air limbah rumah tangga terdiri dari 3
macam yaitu tinja, air seni dan grey water. Grey water merupakan air
bekas cucian dapur, mesin cuci dan kamar mandi. Campuran tinja dan
urin disebut dengan extreta. Extreta tersebut mengandung mikroba dan
pathogen yang dapat berpotensi menyebarkan penyakit melalui
kontaminasi air. Air limbah domestik harus dilakukan pengelolaan agar
tidak mencemari lingkungan sekitarnya.
Pengelolaan air limbah dapat dilakukan secara alami maupun dengan
bantuan peralatan. Pengolahan air secara alami biasanya menggunakan
kolam stabilisasi. Kolam stabilisasi direkomendasikan digunakan pada
26
daerah tropis dan negara berkembang karena biaya yang diperlukan
untuk membuat kolam stabilisasi relatif murah tetapi membutuhkan
waktu yang cukup lama. Kolam stabilisasi yang umum digunakan adalah
kolam anaerobic, kolam fakultatif dan kolam matrasi. Kolam anaerobic
biasanya digunakan untuk mengolah air limbah dengan kandungan bahan
organik yang sangat pekat, sedangkan kolam maturasi biasanya
digunakan untuk memusnahkan mikroorganisme patogen dalam air.
Penanganan pembuangan air limbah rumah tangga dapat
dikelompokan menjadi 2 kelompok, yaitu (Ditjen Cipta Karya, 2009) :
1. Cara setempat, yaitu jika satu atau beberapa rumah tangga
membuang air limbah/kotoran manusia pada suatu bangunan
pengolahan yang terletak dekat dengan rumah mereka, umumnya
berupa cubluk atau tangki septic tank dan untuk air limbah dapur
(dapur, cuci, mandi) dibuang ke saluran pembuangan air limbah.
2. Cara terpusat, yaitu pembuangan seluruh air limbah rumah tangga
(air limbah, jamban dan air limbah) dari rumah tangga satu
lingkungan pemukiman (RW, desa) yang dialirkan melalui sistem
saluran (riool, pipa) menuju tempat pengolahan akhir (instalasi
pengolahan air limbah) .
Hasil penelitian (Sohor, 2013) menunjukkan bahwa adanya
hubungan erat antara kondisi SPAL (OR= 3,588) dengan kejadian diare.
Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan
27
(Langit, 2016), yang menyatakan ada hubungan antara kondisi saluran
pembuangan air limbah dengan kejadian diare dengan nilai p= 0,000.
2.3.5 Sarana Pembuangan Sampah
Sampah merupakan sisa kegiatan sehari-hari manusia dan proses
alam yang berbentuk padat. Menurut Environment Protection Agency
(2009) diartikan sebagai sesuatu yang tidak digunakan kembali, tidak
terpakai tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari
manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Menurut Undang-undang
Nomor 18 tahun 2008 sampah merupakan sisa kegiatan sehari-hari
manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Pengertian sampah
yang lain menurut (Machfoedz, 2004), sampah merupakan segala sesuatu
yang oleh pemiliknya dianggap tidak berguna lain dan harus dibuang.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa sampah merupakan hasil
buangan yang berasal dari manusia, yang sudah tidak digunakan kembali,
dan sudah dianggap tidak berguna lagi dan dibuang.
Sampah yang dihasilkan oleh manusia akan membusuk karena
aktifitas mikroorganisme di alam, sehingga sampah sering menimbulkan
bau tidak sedap dan sebarusnya sampah harus dilakukan pengelolaan
yang baik. Pengeolaan sampah merupakan kegiatan yang sistematis,
menyeluruh dan berkesinambungan. Penyelenggaraan pengelolaan
sampah yaitu dengan melakukan 3 R (Reduce, Reuse, Recyle) sedangkan
penaganan sampah pemilihan, pengumpulan sampah ke Tempat
28
Penampungan Sementara (TPS) dan pengangkutan dari TPS ke Tempat
Pemrosesan Akhir (TPA).
Setiap individu diwajibkan mempunyai sarana atau tempat
pewadahan sampah agar tidak menimbulkan bau dan mencemari
lingkungan sekitarnya. Syarat pewadahan individu menurut Dirjen
Pekerjaan Umum Nomor 3 tahun 2013 sebagai berikut :
1. Kedap air dan udara
2. Mudah dibersihkan
3. Ringan dan mudah diangkat
4. Memiliki tutup
5. Volume pewadahan dapat digunakan ulang
Pengelolaan sampah di Indonesia umumnya mengelola sampah
dengan cara dibakar (49,5%) dan hanya 34,9% rumah tangga yang
pengelolaan sampahnya diangkut oleh petugas. Cara lain pengelolaan
sampah rumah tangga dengan cara ditimbun dalam tanah (1,5%), dibuat
kompos (0,4%), dibung ke kali/parit/laut (7,8%) dan dibuang
sembarangan (5,9%) (Riskesdas, 2018).
Sampah yang dibakar dapat menyebabkan polusi udara disekitarnya
sehingga pembakaran sampah tidak dianjurkan untuk dilakukan oleh
masyarakat. Presentase sampah yang dibakar masih tinggi dibandingkan
dengan sampah yang diangkut ke TPA. Hal ini dikarenakan masih belum
terpenuhinya akses dan pemerataan dalam pengangkutan sampah di
berbagai daerah. Sampah yang sering diangkut oleh petugas berlokasi di
29
perkotaan. Sampah masyarakat pedesaan memilih untuk membakar
sampahnya. Sampah yang dibuang sembarangan dan dibuang ke
laut/sungai berpotensi menyebabkan pencemaran lingkungan dan banjir.
Sampah-sampah tersebut akan memenuhi aliran air dan dapat
menyebabkan mampet di saluran sehingga rawan terjadi banjir.
Hasil penelitian (Syahrizal, 2016) menunjukkan ada hubungan
antara penanganan sampah dengan kejadian diare pada balita dengan
nilai p= 0,001. Penelitian tersebut sesuai dengan penelitian yang telah
dilakukan (Laela Mardriyatun, 2016) yang mununjukkan terdapat
perbedaan signifikan dengan nilai p= 0,005 terdapat hubungan antara
penggunaan jamban responden dengan kejadian diare.
2.4. Perilaku
2.4.1 Pemberian ASI Ekslusif
ASI adalah makanan paling baik untuk bayi, karena komponen zat
makanan yang tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk
dicerna dan diserap secara optimal oleh alat pencernaan bayi. ASI saja
sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur bayi mencapai 6
bulan. ASI bersifat steril, berbeda dengan sumber susu lain seperti susu
formula atau cairan lain yang disiapkan dengan air atau bahan-bahan
dapat terkontaminasi dalam botol yang kotor. Pemberian ASI saja, tanpa
cairan atau makanan lain dan tanpa menggunakan botol, mengindarkan
anak dari bahaya bakteri dan organisme lain yang akan menyebabkan
diare. keadaan seperti ini disebut disusui secara penuh (memberikan ASI
30
Ekslusif). Bayi harus disususi secara penuh sampai mereka berumur 6
bulan. Setelah 6 bulan dari kehidupannya, pemberian ASI harus
diteruskan sambil ditambahkan dengan makanan lain (proses menyapih).
Hal ini didukung pula dengan hasil penelitian (Herawati and Murni,
2018), menunjukkan ada hubungan pemberian susu formula dengan
kejadian diare pada bayi usia 0-6 bulan dengan nilai p= 0,021.
Sedangkan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan (Galman and
Wahyuni, 2014), menyatakan tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara memberi bayi ASI ekslusif dengan kejadian diare.
2.4.2 Mencuci Tangan dengan Sabun
Mencuci tangan merupakan suatu kebiasaan seseorang yang
berkaitan langsung dengan kebersihan diri dalam penyebaran dan
penularan kuman diare. Kebiasaan yang dapat mengurangi penularan
kuman diare yaitu mencuci tangan dengan menggunakan sabun baik
sesudah buang air besar, sebelum menyuapi makan bayi dan anak
(Depkes, 2012).
Perilaku cuci tangan pakai sabun (CTPS) dapat mencegah berbagai
penyakit infeksi yang menyebabkan tingginya angka kesakitan dan atau
kematian jutaan anak di indonesia. Perilaku CTPS merupakan
pengetahuan yang sudah umum di masyarakat, tetapi perilakunya tidak
dilakukan secara berkesinambungan, ini disebabkan karena tidak
tersedianya sarana di tempat mereka. Keuntungan perilaku CTPS adalah
menurunkan hampir separuh kasus diare dan seperempat kasus infeksi
31
saluran nafas atas (ISPA), mencegah infeksi kulit, mata dan orang yang
terkena HIV/AIDS (Depkes, 2011c). Lima waktu penting melakukan
CTPS adalah setelah buang air besar, setelah membersihkan anak yang
buang air besar, sebelum menyiapkan makanan, sebelum makan, setelah
memegang atau menyentuh hewan, serta menggunakan lap khusus untuk
mengeringkan tangan.
Hal ini didukung oleh hasil penelitian (Riki, 2013), yang menyatakan
terdapat hubungan antara mencuci tangan sebelum kegiatan menyuapi
anak makan dengan kasus diare pada balita dimana nilai p=0.015. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan (Rifai et al., 2016) , yang
menunjukkan ibu yang cuci tangan tidak pakai sabun berpeluang 6,6 kali
anak mereka mengalami diare dibandingkan dengan ibu yang mencuci
tangan dengaan sabun.
2.4.3 Imunisasi
Imunisasi merupakan salah satu program pemerintah untuk dapat
menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi. Imunisasi campak adalah imunisasi yang
berkaitan erat dengan kejadian diare pada balita. Penyakit diare akan
diperparah dengan kejadian campak dalam empat minggu terakhir. Hal
tersebut diakibatkan oleh adanya penurunan kekebalan tubuh penderita,
karena virus campak menyerang sistem mukosa tubuh dan dapat
menyerang saluran cerna (Depkes, 2007a).
32
Hasil penelitian yang dilakukan (Azizah et al., 2012), menunjukkan
balita yang mendapatkan imunisasi lengkap berisiko lebih kecil terkena
diare dibandingkan balita yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap
dengan nilai p= 0,432. Hal ini juga sama dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh (Mano et al., 2015) yang menunjukkan ada hubungan
antara kelengkapan imuniasi terhadap kejadian diare dengan nilai p=
0,003.
2.4.4 Pemberian MP-ASI
Makanan pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang
mengandung zat gizi, diberikan pada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna
memenuhi kebutuhan gizi selain dari air susu ibu. Beberapa penyakit
sering muncul akibat dari pengenalan MP-ASI dini salah satunya
terjadinya diare. Dalam makanan tambahan bayi biasaya terkandung
konsentrasi tinggi karbohidrat dan gula yang masih sukar untuk dicerna
oleh organ pencernaan bayi apabila diberikan terlalu dini, karena
produksi enzim-enzim khususnya amylase pada bayi masih rendah.
Akibatnya akan terjadi gangguan pencernaan pada bayi yang salah
satunya adalah diare (Hariyani, 2011)
Hasil penelitian (Sasongko and Huriah, 2012) menunjukkan ada
hubungan pemberian MP-ASI dengan kejadian diare dengan nilai p=
0,001. Hal ini juga sama seperti penelitian yang dilakukan (Nutrisiani,
2010) menunjukkan bahwa ada hubungan pemberian MP-ASI dengan
nilai p= 0,000 dan OR= 14,043.
33
2.5. Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi
derajat kesehatan masyarakat karena keberadaan fasilitas kesehatan sangat
menentukan dalam pelayanan pemulihan kesehatan, pencegahan terhadap
penyakit, pengobatan dan keperawatan serta kelompok dan masyarakat yang
memerlukan pelayanan kesehatan. Ketersediaan fasilitas dipengaruhi oleh
lokasi, apakah dapat dijangkau atau tidak. Yang kedua adalah tenaga kesehatan
pemberi pelayanan, informasi dan motivasi masyarakat untuk mendatangi
fasilitas dalam memperoleh pelayanan serta program pelayanan kesehatan itu
sendiri apakah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang memerlukan
(Anggraini and Lisyaningsih, 2013).
2.6. Keturunan (Genetik)
Keturunan (genetik) merupakan faktor yang telah ada dalam diri manusia
yang dibawa sejak lahir, misalnya dari golongan penyakit keturunan seperti
diabetes melitus dan asma bronehial. Selain itu, faktor keturunan juga dapat
dikaji dari kondisi balita dan ibu hamil. Masa kehamilan dan balita sangat
menentukan perkembangan otak anak. Dalam hal ini perilaku ibu memegang
peranan karena kesehatan balita sangat tergantung oleh ibunya (Anggraini and
Lisyaningsih, 2013).
34
2.7. Diare
2.7.1 Pengertian Diare
Menurut (WHO, 2009) diare adalah buang air besar encer atau cair
lebih dari tiga kali sehari. Diare adalah buang air besar dengan frekuensi
yang lebih sering dari biasanya (biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari)
dengan konsistensi tinja lembek/cair bahkan dapat berupa air saja (Depkes,
2011a).
2.7.2 Jenis-Jenis Diare
Penyakit diare dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu berdasarkan
lamanya diare, berdasarkan sudut pandang klinis praktis dan berdasarkan
tingkat dehidrasi.
a. Berdasarkan lamanya diare, diare dibagi menjadi :
1) Diare Akut
Diare akut adalah buang air besar yang lembek/cair bahkan dapat
berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya
(biasanya 3 kali atau lebih dalam sehari) dan berlangsung kurang
dari 14 hari (Depkes, 2011a). Menurut WHO (2009) diare akut
(termasuk kolera), adalah berlangsung beberapa jam atau beberapa
hari dengan bahaya utamanya adalah dehidrasi.
2) Diare Kronik
Diare kronik adalah buang air besar yang cair/lembek dengan jumlah
lebih banyak dari normal dan berlangsung lebih dari 15 hari. Batasan
kronik di Indonesia, dipilih waktu lebih dari 15 hari agar dokter lebih
35
waspada, serta dapat lebih cepat menginvestigasi penyebab diare
dengan tepat.
3) Diare Persisten
Diare persisten adalah diare yang merupakan kelanjutan dari diare
akut biasanya berlangsung 15-30 hari, dan menurut WHO bahaya
utama dari diare persisten adalah malnutrisi, infeksi usus dan
dehidrasi.
b. Berdasarkan sudut pandang klinis praktis
Menurut (WHO, 2009) hal ini praktis untuk pengobatan dasar
diare, dengan mudah dan dapat ditentukan ketika seorang anak pertama
kali diperiksa serta tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium. Ada
empat jenis klinis penyakit diare berdasarkan patologi dan perubahan
fisiologinya :
1) Diare akut (termasuk kolera), diare dapat berlangsung beberaoa jam
atau beberapa hari, bahaya utamanya adalah terjadinya dehidrasi dan
akan terjadi penurunan berat badan jika anak tidak mau makan
2) Diare berdarah akut, disebut juga disentri, bahayanya adalah
terjadinya kerusakan mukosa usus, sepsis dan gizi buruk serta
dehidrasi.
3) Diare persisten, diare dapat berlangsung selama 14 hari atau lebih,
bahaya utamanya adalah malnutrisi dan infeksi non usus serius serta
dehidrasi.
36
4) Diare dengan malnutrisi berat (marasmus atau kwashiorkor), bahaya
utamanya adalah infeksi sistemik yang parah, dehidrasi, gagal
jantung dan kekurangan vitamin dan mineral.
c. Berdasarkan dehidrasi
Berdasarkan tingkat dehidrasinya, diare dapat dibedakan menjadi
tiga, yaitu (Depkes, 2011c) :
1) Diare tanpa dehidrasi
Diare tanpa dehidrasi adalah buang air besar dengan konsistensi tinja
cair/lembek serta frekuensi lebih sering dari biasanya, dimana tidak
cukup tanda-tanda untuk diklasifikasi sebagai dehidrasi berat atau
ringan/sedang.
2) Diare dengan dehidrasi ringan/sedang
Diare dengan dehidrasi ringan/sedang adalah diare yang disertai dua
atau lebih tanda-tanda: gelisah, rewel/mudah marah, mata cekung,
haus, serta sangat lahap apabila diberikan minum, cubitan kulit perut
kembali lambat.
3) Diare dengan dehidrasi berat
Diare dengan dehidrasi berat adalah diare yang disertai dua atau
lebih tanda-tanda: letargis atau tidak sadar, mata cekung, tidak bisa
minum atau malas minum, cubitan kulit perut kembali sangat lambat.
2.7.3 Penyebab Diare
Penyebab diare secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi enam
golongan yaitu (Depkes, 2007a) :
37
a. Infeksi
Diare yang disebabkan karena infeksi paling sering ditemui di
lapangan. Proses ini dapat diawali dengan adanya mikroorganisme yang
masuk ke dalam saluran pencernaan yang kemudian berkembang dalam
usus dan mengakibatkan kemampuan fungsi usus. Agen penyebab
penyakit diare karena infeksi, dapat di golongkan menjadi tiga yaitu:
1) Bakteri
Bakteri penyebab penyakit diare, diantaranya: Shigella, Salmonella,
Eshericia coli (E.coli), Golongan vibrio, Bacilus cereus, Clostridium
perfringrns, Staphylococcus aureus, Camphylo bacter, serta
Aeromonas.
2) Virus
Selain bakteri, virus juga dapat menyebabkan penyakit diare seperti;
Rotavirus, Norwalk dan Norwalk Like, serta Adenovirus. Penyebab
utama diare pada balita adalah Rotavirus. Rotavirus diperkirakan
menyebabkan diare balita sebesar 20%-80% di dunia, serta
merupakan penyebab utama kematian balita diare (Depkes, 2007b).
Penularan rotavirus terjadi melalui faecal-oral, virus ini
menyebabkan diare cair akut dengan masa inkubasi 24-72 jam, dapat
menyebabkan dehidrasi berat yang berujung pada kematian.
Tingginya angka kematian akibat rotavirus ini tidak dapat diatasi
dengan hanya higiene dan sanitasi saja.
38
3) Parasit
Parasit yang dapat menyebabkan diare diantaranya :
a) Protozoa seperti : Entamoeba histolytica, Giardia lambia,
Balantidium coli, Cryptosporidium.
b) Cacing perut, seperti : Ascaris, Trichuris, Stongloides, dan
Blastissistis huminis.
b. Malabsorpsi
Merupakan kegagalan usus dalam melakukan absorpsi yang
mengakibatkan tekanan osmotik meningkat kemudian akan terjadi
pergeseran air dan elektrolit ke rongga usus yang dapat meningkatkan
isi rongga usus, atau dapat diartikan dengan ketidak mampuan usus
menyerap zat-zat makanan tertentu sehingga menyebabkan diare.
c. Alergi
Yaitu tubuh tidak tahan terhadap makanan tertentu, seperti alergi
terhadap laktosa yang terkandung dalam susu sapi.
d. Keracunan
Keracunan yang dapat menyebabkan diare dapat dibedakan menjadi dua
yaitu keracunan dari bahan-bahan kimia, serta keracuanan oleh bahan
yang dikandung dan diproduksi oleh mahluk hidup tertentu (seperti
racun yang dihasilkan oleh jasad renik, algae, ikan, buah-buahan, sayur-
sayuran).
39
e. Immunodefisiensi
Immunodefisiensi dapat bersifat sementara (misalnya sesudah infeksi
virus), atau bahkan berlangsung lama seperti pada penderita HIV/AIDS.
Penurunan daya tahan tubuh ini menyebabkan seseorang lebih mudah
terserang penyakit termasuk penyakit diare.
f. Sebab-sebab lain
Berasal dari faktor perilaku, yaitu tidak memberikan ASI,
menggunakan botol susu, tidak menerapkan kebiasaan mencuci tangan,
penyimpanan makanan yang tidak higienis dan faktor lingkungan, yaitu
ketersediaan air bersih yang tidak memadai, kurangnya ketersediaan
jamban, kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk.
2.7.4 Cara Penularan Diare
Berbagai agen penyakit umumnya menumpang pada media udara,
air, pangan, serangga ataupun manusia melalui kontak langsung. Berbagai
agen penyakit beserta medianya disebut sebagai komponen lingkungan
yang memiliki potensi bahaya penyakit (Achmadi, 2011). Komponen
lingkungan yang mempunyai potensi dapat menimbulkan berbagai macam
penyakit diantaranya adalah air, pangan, serangga, udara dan manusia.
Diare merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan, dengan rantai
penularannya melalui media air, makanan, serangga dan manusia.
40
1) Udara Sakit 2) Air 3) Pangan 4) Vektor Sehat 5) Manusia
Bagan 2.1 Perjalanan Penyakit (Achmadi, 2011)
Sumber penyakit penyebab diare biasanya masuk ke dalam tubuh
manusia melalui:
a. Makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh tinja penderita diare.
b. Tangan yang terkontaminasi agen penyebab diare.
c. Air yang terkontaminasi agen penyebab diare.
Penyakit diare terutama ditransmisikan melalui kotoran manusia yang
terinfeksi melalui rute transmisi faecal-oral.
Tinja yang dibuang sembarangan akan mencemari lingkungan
(tanah,air), jika dibuang ke tempat terbuka tinja akan dihinggapi lalat,
kemudian lalat hinggap pada makanan/minuman dengan membawa
penyakit yang melekat pada anggota tubuhnya, makanan/minuman yang
telah dicemari lalat dikonsumsi oleh manusia, sehingga penyakitnya
masuk melalui mulut manusia. Tangan/kuku yang tidak bersih setelah
Manajemen Penyakit
Sumber Agen Penyakit
Komunitas (perilaku, umur, gender, ras)
Agen Penyakit
Lingkungan strategis/politik, iklim, topografi, suhu, dll
41
berhubungan dengan tinja merupakan sumber penyakit masuk melalui
mulut manusia melalui makanan/minuman (Soemirat, 2011).
Bagan 2.2 Skema Penularan Penyakit dari Tinja (Suyono, 2010)
Beberapa faktor risiko lain yang berhubungan dengan cara penularan
penyakit diare antara lain (WHO, 2009) :
a. Tidak tersedianya air bersih yang memenuhi standar kesehatan.
b. Air yang tercemar oleh agen penyebab diare.
c. Pembuangan limbah yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
d. Perilaku yang tidak sehat dan lingkungan yang kurang bersih.
e. Pengolahan, penyediaan, dan penyajian makanan yang tidak
memenuhi standar kesehatan. Pencemaran pada makanan dapat
terjadi karena:
1) Kontaminasi oleh mikroorganisme, pada saat penggunaan
peralatan makan yang terkontaminasi oleh orang yang
terinfeksi, penggunaan bahan pangan mentah yang
terkontaminasi, kontaminasi silang, dan akibat penambahan zat
Tinja
Tangan
Tanah
Lalat Sayuran
Makanan Minuman
Mati
Host
Sakit
Air
42
kimia toksik atau penggunaan bahan pangan yang mengandung
toksik dari alam.
2) Bertahan hidupnya mikroorganisme, akibat pemanasan atau
proses pengolahan makanan yang tidak memadai.
3) Pertumbuhan mikroorganisme akibat refrigerasi yang tidak
memadai, misalnya pendinginan yang tidak memadai atau
penyimpanan masakan yang panasnya tidak memadai.
2.7.5 Prinsip Tatalaksana Diare
Kebijakan pengendalian penyakit diare di Indonesia bertujuan untuk
menurunkan angka kesakitan dan kematian karena diare bersama lintas
program dan lintas sektor terkait (Depkes, 2011b). Kebijakan tersebut
diantaranya adalah melaksanakan tatalaksana diare yang sesuai standar,
baik di sarana kesehatan maupun di tingkat rumah tangga. Tujuan
penatalaksanaan diare adalah mencegah terjadinya dehidrasi, mencegah
adanya gangguan gizi dan memperpendek lamanya sakit dan mencegah
diare menjadi lebih berat.
Prinsip tatalaksana diare pada balita adalah Lintas Diare (Lima Langkah
Tuntaskan Diare), hal ini telah ditetapkan sebagai prinsip dasar
penatalaksanaan diare atas rekomendasi WHO. Rehidrasi bukan satu-
satunya cara untuk mengatasi diare, tetapi memperbaiki usus dan
mempercepat penyembuhan diare dan mencegah anak kekurangan gizi
akibat diare menjadi cara untuk mengobati diare (Depkes, 2011a). Lima
43
Langkah Tuntaskan Diare (Lintas Diare) yang telah ditetapkan oleh
Kementrian Kesehatan antara lain adalah :
1. Rehidrasi menggunakan Oralit Osmolaritas rendah
Cara mencegah dehidasi yaitu dengan mengembalikan cairan tubuh
yang hilang akibat diare, dan bisa dilakukan sejak awal balita
menderita diare di rumah. Oralit adalah campuran garam elektrolit
yang terdiri dari Natrium Clorida (NaCl), Kalium Clorida (KCl),
citrat dan glucose. Oralit osmolaritas rendah telah direkomendasikan
oleh WHO dan UNICEF. Manfaat oralit adalah untuk mencegah dan
mengobati dehidrasi sebagai pengganti cairan yang terbuang saat
diare.
2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut
Tablet zinc diberikan berturut-turut selama 10 hari walaupun diare
sudah berhenti, untuk efektifitas zinc dalam mempercepat
penyembuhan, mengurangi parahnya diare dan mencegah terjadinya
diare 2-3 bulan kedepan. Berdasarkan hasil penelitian WHO zinc
terbukti sebagai obat diare, dapat mengurangi pemakaian antibiotik
yang tidak rasional, dapat mengurangi biaya pengobatan dan aman
diberikan kepada anak.
3. Teruskan pemberian ASI dan makanan
Meberikan makanan pada balita selama diare akan membantu anak
tetap kuat dan tumbuh seta mencegah berkurangnya berat badan. Jika
balita selama mengalami kurang gizi dan mudah terkena diare
44
kembali. Selama diare dan selama masa penyembuhan berikan ASI
lebih sering dan lebih lama dari biasanya dan berikan makanan lebih
sering sesuai dengan umur balita.
4. Antibiotik selektif
Antibiotik tidak boleh diberikan kecuali atas indikasi, misalnya pada
diare berdarah dan kolera. Pemberian antibiotik yang tidak tepat akan
memperpanjang lamanya diare dan akan mengganggu flora usus.
Selain itu dengan memberikan antibiotik yang tidak akan
mengakibatkan resistensi kuman penyebab penyakit.
5. Nasihat kepada orang tua/pengasuh
Nasihat diberikan kepada orang tua/pengasuh tentang bagaimana
melakukan pengobatan dirumah, menganjurkan pemberian makanan
dan segera kembali ke petugas kesehatan jika terdapat tanda-tanda
bahaya, berupa demam, diare berdarah, muntah berulang, makan atau
minum sedikit, anak terlihat sangat haus dan diare makin sering.
2.8. Balita
2.8.1 Definisi Balita
Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun
atau lebih populer dengan pengertian usia anak dibawah lima tahun
(Muaris, 2006).
Menurut (Sutomo and Anggraini, 2010), Balita adalah istilah umum
bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat
usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua untuk
45
melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan.
Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik. Namun
kemampuan lain masih terbatas.
Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang
manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu
keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya.
Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang berlangsung
cepat dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden age
atau masa keemasan.
2.8.2 Karakteristik Balita
(Septiari, 2012) menyatakan karakteristik balita dibagi menjadi dua
yaitu :
1. Anak usia 1-3 tahun
Usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif artinya anak menerima
makanan yang disediakan orang tuanya. Laju pertumbuhan usia balita
lebih besar dari usia prasekolah, sehingga diperlukan jumlah makanan
yang relatif besar. Perut yang lebih kecil menyebabkan jumlah
makanan yang mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil
bila dibandingkan dengan anak yang usianya lebih besar oleh sebab
itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi
sering.
46
2. Anak usia prasekolah (3-5 tahun)
Usia 3-5 tahun anak menjadi konsumen aktif. Anak sudah mulai
memilih makanan yang disukainya. Pada usia ini berat badan anak
cenderung mengalami penurunan, disebabkan karena anak beraktivitas
lebih banyak dan mulai memilih maupun menolak makanan yang
disediakan orang tuanya.