46
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit diare hingga kini masih merupakan penyebab kedua morbiditas dan mortalitas pada anak usia kurang dari dua tahun di seluruh dunia terutama di negara-negara berkembang. Jumlahnya mendekati satu dalam lima orang, sehingga penyakit diare ini menyebabkan kematian pada anak-anak melebihi AIDS dan malaria. Hampir satu triliun dan 2,5 milyar kematian karena diare dalam dua tahun pertama kehidupan. Diare juga menyebabkan 17% kematian anak balita di dunia. Tercatat 1,8 milyar orang meninggal setiap tahun karena penyakit diare (termasuk kolera), banyak yang mendapat komplikasi seperti malnutrisi, retardasi pertumbuhan, dan kelainan imun.Rata-rata 8 sampai 10 juta balita meninggal tiap tahun, atau 23 balita meninggal setiap harinya. Di negara-negara miskin seperti Afrika angka kematian balita akibat penyakit diare senantiasa meningkat jumlahnya tiap tahun (Depkes RI,2013) Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitas- nya yang masih tinggi. Menurut Riskesdas 2013, insiden diare berdasarkan gejala pada seluruh kelompok umur sebesar 3,5% (kisaran menurut provinsi 1,6%-6,3%) dan insiden diare pada balita sebesar 6,7% (kisaran provinsi 3,3%-10,2%). Sedangkan period prevalence diare pada seluruh kelompok

Proposal Hubungan Antara Sarana Sanitasi Dasar Dengan Kejadian Diare

  • Upload
    farah

  • View
    69

  • Download
    2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

PROPOSAL PENELITIAN SKRIPSI

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit diare hingga kini masih merupakan penyebab kedua

morbiditas dan mortalitas pada anak usia kurang dari dua tahun di seluruh

dunia terutama di negara-negara berkembang. Jumlahnya mendekati satu

dalam lima orang, sehingga penyakit diare ini menyebabkan kematian pada

anak-anak melebihi AIDS dan malaria. Hampir satu triliun dan 2,5 milyar

kematian karena diare dalam dua tahun pertama kehidupan. Diare juga

menyebabkan 17% kematian anak balita di dunia. Tercatat 1,8 milyar orang

meninggal setiap tahun karena penyakit diare (termasuk kolera), banyak yang

mendapat komplikasi seperti malnutrisi, retardasi pertumbuhan, dan kelainan

imun.Rata-rata 8 sampai 10 juta balita meninggal tiap tahun, atau 23

balita meninggal setiap harinya. Di negara-negara miskin seperti Afrika

angka kematian balita akibat penyakit diare senantiasa meningkat

jumlahnya tiap tahun (Depkes RI,2013)

Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di

negara berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitas-

nya yang masih tinggi. Menurut Riskesdas 2013, insiden diare berdasarkan

gejala pada seluruh kelompok umur sebesar 3,5% (kisaran menurut provinsi

1,6%-6,3%) dan insiden diare pada balita sebesar 6,7% (kisaran provinsi

3,3%-10,2%). Sedangkan period prevalence diare pada seluruh kelompok

2

umur (>2 minggu-1 bulan terakhir sebelum wawancara) berdasarkan gejala

sebesar 7% dan pada balita sebesar 10,2%. Jumlah penderita pada KLB diare

tahun 2013 menurun secara signifikan dibandingkan tahun 2012 dari 1.654

kasus menjadi 646 kasus pada tahun 2013. KLB diare pada tahun 2013 terjadi

di enam provinsi dengan penderita terbanyak terjadi di Jawa Tengah yang

mencapai 294 kasus. Sedangkan angka kematian (CFR) akibat KLB diare

tertinggi terjadi di Sumatera Utara yaitu sebesar 11,76%. Secara nasional

angka kematian (CFR) pada KLB diare pada tahun 2013 sebesar 1,08%.

Sedangkan target CFR pada KLB Diare diharapkan <1%. Dengan demikian

secara nasional, CFR KLB diare hampir memenuhi target program (Depkes

RI,2013).

Kejadian diare di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 perkiraan

diare sebanyak 178.519 kasus, adapun diare yang ditangani sebanyak 243.669

kasus (136,49%). Dengan kejadian terbesar di Kabupaten Takalar dengan

jumlah yang ditangani dilaporkan sebanyak 15.272 kasus dari seluruh jumlah

penduduk sebanyak 293.331 jiwa (Profil Dinkes Prov.Sulsel,2014)

Jumlah perkiraan kasus diare di Kabupaten Maros pada tahun 2013

adalah sebesar 10.177 kasus dari 331.800 jiwa penduduk pada tahun yang

sama. Jumlah kasus diare yang ditangani adalah sebesar 5.174 kasus atau

50,84 % (Profil Dinkes Kab.Maros ,2014)

Berdasarkan data pada Profil Puskesmas Tahun 2012 angka kejadian

diare di Kecamatan Tanralili sebesar 509 kasus dari 24.375 jiwa penduduk

atau sekitar 2,09 %. Kemudian pada tahun 2013 kasus diare menjadi 438 dari

3

24.702 jiwa penduduk atau sekitar 1.77 %. Pada tahun 2014 terjadi

peningkatan angka kejadian diare sebesar 494 kasus. Jumlah penduduk

Kecamatan Tanralili pada tahun 2014 adalah 25.704 jiwa. Atau 1.92 % dari

jumlah penduduk (Profil Puskesmas Tanralili, 2015).

Penyakit diare merupakan penyakit yang berbasis lingkungan.

Beberapa faktor yang berkaitan dengan kejadian diare yaitu tidak

memadainya penyediaan air bersih, air tercemar oleh tinja, kekurangan sarana

kebersihan (pembuangan tinja yang tidak higienis), kebersihan perorangan

dan lingkungan yang jelek, rumah yang tidak sehat,penyiapan makanan

kurang matang dan penyimpanan makanan masak pada suhu kamar yang

tidak semestinya (Sander, 2005).

Prevalensi diare yang tinggi berkaitan dengan akses berkelanjutan

terhadap air minum berkualitas layak. Berdasarkan Profil Puskesmas Tanralili

tahun 2014, data penduduk dengan akses berkelanjutan terhadap air minum

berkualitas layak di Kecamatan Tanralili tahun 2014 sebesar 42.99 % hanya

mampu mengakses sumber air minum yang berasal dari air sumur gali

terbuka/ tidak terlindung. Akses air bersih menurut perpipaan atau ledeng

sebesar 20 % yang mencakup tiga desa namun belum menyeluruh di semua

dusun. Di samping itu terdapat tujuh penyelenggara air minum kemasan yang

terdapat di Kecamatan tanralili tahun 2014 dan setelah diperiksa sampelnya

85.71 % memenuhi syarat air minum yang sehat. Namun kondisi ini harus

terus dipantau agar kualitasnya tetap terjaga setiap saat.

4

Jumlah penduduk dengan akses sarana jamban sehat adalah 4286 atau

sekitar 17,1 %. Dari delapan desa yang ada hanya dua desa atau 25 % desa

yang telah melaksanakan sanitasi total berbasis masyarakat dan stop buang air

besar di sembarang tempat.

Data profil Puskesmas Tanralili tahun 2014 menunjukkan bahwa dari

100 KK yang disurveil di setiap desa, cakupan kepemilikan tempat sampah

sekitar 18,47 %. Dengan demikian sampah menjadi salah satu tempat yang

menarik bagi perkembang-biakan vektor lalat rumah atau musca domestica.

Lalat rumah ini berpotensi sebagai penyebab timbulnya diare pada manusia

melalui menempelnya mikroorganisme kuman dari sampah yang dibiarkan

pada bagian-bagian tubuh lalat.

Banyak faktor yang secara langsung maupun tidak langsung menjadi

pendorong terjadinya diare yaitu faktor agent, penjamu, lingkungan dan

perilaku. Faktor lingkungan merupakan faktor yang paling dominan yaitu

sarana penyediaan air bersih dan pembuangan tinja, kedua faktor berinteraksi

bersama dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat

karena tercemar kuman diare serta terakumulasi dengan perilaku manusia

yang tidak sehat, maka penularan diare dengan mudah dapat terjadi

(Hapsari,dkk,2013).

Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Juariah (2000),

diketahui bahwa ada hubungan bermakna antara kesakitan diare dengan

sumber air bersih, kepemilikan jamban, jenis lantai, pencahayaan rumah dan

ventilasi rumah. Rahadi (2005) menyimpulkan bahwa ada hubungan antara

5

kepemilikan jamban, jarak SPAL, jenis lantai dengan kejadian diare.

Berdasarkan hasil penelitian Wibowo et al (2004) diketahui bahwa ada

hubungan yang bermakna antara terjadinya diare dengan pembuangan tinja

dan jenis sumber air minum.

Atas dasar uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai hubungan antara sarana sanitasi dasar dengan kejadian

diare pada balita di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.

B. Batasan Masalah

Penulis ingin meneliti faktor yang berhubungan dengan kejadian diare

pada balita, ditinjau dari tiga faktor yakni kualitas sumber air minum,

pengelolaan sampah, dan kepemilikan jamban. Dibatasinya hanya pada faktor

tersebut disebabkan oleh keterbatasan biaya, waktu dan tenaga yang dimiliki

oleh peneliti.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dan latar belakang tersebut dapat dirumuskan

masalah penelitian yaitu “Bagaimanakah hubungan antara sanitasi dasar

rumah dengan kejadian diare di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros?”

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara

sanitasi lingkungan dengan kejadian diare pada balita di Kecamatan

Tanralili.

2. Tujuan Khusus

6

a. Mengetahui hubungan antara kualitas sumber air minum dengan

kejadian diare pada balita di Kecamatan Tanralili

b. Mengetahui hubungan antara pengelolaan sampah dengan kejadian

diare pada balita di Kecamatan Tanralili

c. Mengetahui hubungan antara kepemilikan jamban dengan kejadian

diare pada balita di Kecamatan Tanralili

E. Manfaat Penelitian

1. Sebagai tambahan informasi dan bahan masukan tentang hubungan

antara sanitasi lingkungan dengan kejadian penyakit diare sehingga dapat

meningkatkan penyuluhan dan pembinaan terhadap masyarakat luas

2. Menambah pengetahuan tentang hubungan antara sanitasi lingkungan

dengan kejadian penyakit diare sehingga masyarakat dapat lebih

meningkatkan sanitasi lingkungannya.

3. Sebagai data dasar bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti tentang

hubungan sanitasi lingkungan dengan kejadian penyakit diare.

4. Menambah pengetahuan dan memberi pengalaman langsung dalam

mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang dimiliki

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Diare

1. Definisi Diare

Diare adalah penyakit yang ditandai bertambahnya frekuensi

defekasi lebih dari biasanya (> 3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi

tinja (menjadi cair), dengan atau tanpa darah atau lendir (Suraatmaja,

2007). Menurut WHO (2008), diare didefinisikan sebagai berak cair tiga

kali atau lebih dalam sehari semalam. Berdasarkan waktu serangannya

terbagi menjadi dua, yaitu diare akut (< 2 minggu) dan diare kronik (≥ 2

minggu) (Widoyono, 2008).

2. Klasifikasi Diare

Menurut Depkes RI (2000), jenis diare dibagi menjadi empat yaitu:

a. Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari

(umumnya kurang dari 7 hari). Akibat diare akut adalah dehidrasi,

sedangkan dehidrasi merupakan penyebab utama kematian bagi

penderita diare.

b. Disentri, yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya. Akibat

disentri adalah anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat,

kemungkinan terjadinya komplikasi pada mukosa.

8

c. Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari

secara terus menerus. Akibat diare persisten adalah penurunan berat

badan dan gangguan metabolisme.

d. Diare dengan masalah lain, yaitu anak yang menderita diare (diare

akut dan diare persisten), mungkin juga disertai dengan penyakit

lain, seperti demam, gangguan gizi atau penyakit lainnya.

Menurut Suraatmaja (2007), jenis diare dibagi menjadi dua yaitu:

a. Diare akut, yaitu diare yang terjadi secara mendadak pada bayi dan

anak yang sebelumnya sehat.

b. Diare kronik, yaitu diare yang berlanjut sampai dua minggu atau

lebih dengan kehilangan berat badan atau berat badan tidak

bertambah selama masa diare tersebut.

3. Etiologi Diare

Menurut Widoyono (2008), penyebab diare dapat dikelompokan

menjadi:

a. Virus: Rotavirus.

b. Bakteri: Escherichia coli, Shigella sp dan Vibrio cholerae.

c. Parasit: Entamoeba histolytica, Giardia lamblia dan

Cryptosporidium.

d. Makanan (makanan yang tercemar, basi, beracun, terlalu banyak

lemak, sayuran mentah dan kurang matang).

e. Malabsorpsi: karbohidrat, lemak, dan protein.

f. Alergi: makanan, susu sapi.

9

g. Imunodefisiensi.

4. Gejala diare

Menurut Widjaja (2002), gejala diare pada balita yaitu:

a. Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah. Suhu badannya pun

b. meninggi.

c. Tinja bayi encer, berlendir, atau berdarah.

d. Warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu.

e. Anusnya lecet.

f. Gangguan gizi akibat asupan makanan yang kurang.

g. Muntah sebelum atau sesudah diare.

h. Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah).

i. Dehidrasi.

5. Epidemiologi diare

Epidemiologi penyakit diare, adalah sebagai berikut (Depkes RI,

2005).

a. Penyebaran kuman yang menyebabkan diare biasanya menyebar

melalui fecal oral antara lain melalui makanan atau minuman yang

tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja penderita.

Beberapa perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran kuman

enterik dan meningkatkan risiko terjadinya diare, antara lain tidak

memberikan ASI (Air Susu Ibu) secara penuh 4/6 bulan pada

pertama kehidupan, menggunakan botol susu, menyimpan makanan

masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang tercemar,

10

tidak mencuci tangan dengan sabun sesudah buang air besar atau

sesudah membuang tinja anak atau sebelum makan atau menyuapi

anak, dan tidak membuang tinja dengan benar.

b. Faktor penjamu yang meningkatkan kerentanan terhadap diare.

Beberapa faktor pada penjamu yang dapat meningkatkan beberapa

penyakit dan lamanya diare yaitu tidak memberikan ASI sampai dua

tahun, kurang gizi, campak, immunodefisiensi, dan secara

proporsional diare lebih banyak terjadi pada golongan balita.

c. Faktor lingkungan dan perilaku. Penyakit diare merupakan salah satu

penyakit yang berbasis lingkungan. Dua faktor yang dominan, yaitu

sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan

berinteraksi dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan

tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan

perilaku yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman,

maka dapat menimbulkan kejadian diare.

6. Distribusi penyakit diare

Distribusi penyakit diare berdasarkan orang (umur) sekitar 80%

kematian diare tersebut terjadi pada anak di bawah usia 2 tahun. Data

Tahun 2004 menunjukkan bahwa dari sekitar 125 juta anak usia 0-11

bulan, dan 450 juta anak usia 1-4 tahun yang tinggal di negara

berkembang, total episode diare pada balita sekitar 1,4 milyar kali per

tahun. Dari jumlah tersebut total episode diare pada bayi usia di bawah

11

0-11 bulan sebanyak 475 juta dan anak usia 1-4 tahun sekitar 925 juta

kali per tahun (Amiruddin, 2007).

7. Penularan diare

Penyakit diare sebagian besar disebabkan oleh virus dan

bakteri.Penularan penyakit diare melalui fekal oral yang terjadi karena:

a. Melalui air yang sudah tercemar, baik tercemar dari sumbernya,

tercemar selama perjalanan sampai ke rumah-rumah, atau tercemar

pada saat disimpan di rumah. Pencemaran ini terjadi bila tempat

penyimpanan tidak tertutup atau apabila tangan yang tercemar

menyentuh air pada saat mengambil air dari tempat penyimpanan.

b. Melalui tinja yang terinfeksi. Tinja yang sudah terinfeksi,

mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar. Bila tinja

tersebut dihinggapi oleh binatang dan kemudian binatang tersebut

hinggap dimakanan, maka makanan itu dapat menularkan diare ke

orang yang memakannya (Widoyono, 2008). Sedangkan menurut

(Depkes RI, 2005) kuman penyebab diare biasanya menyebar

melalui fecal oral antara lain melalui makanan atau minuman yang

tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja penderita.

Beberapa perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran kuman

enterik dan meningkatkan risiko terjadinya diare, yaitu: tidak

memberikan ASI (Air Susu Ibu) secara penuh 4-6 bulan pada

pertama kehidupan, menggunakan botol susu, menyimpan makanan

masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang tercemar,

12

tidak mencuci tangan dengan sabun sesudah buang air besar, tidak

mencuci tangan sesudah membuang tinja anak, tidak mencuci tangan

sebelum atau sesudah menyuapi anak dan tidak membuang tinja

termasuk tinja bayi dengan benar.

8. Penanggulangan diare

Menurut Depkes RI (2005), penanggulangan diare antara lain:

a. Pengamatan intensif dan pelaksanaan SKD (Sistem Kewaspadaan

Dini) Pengamatan yang dilakukan untuk memperoleh data tentang

jumlah penderita dan kematian serta penderita baru yang belum

dilaporkan dengan melakukan pengumpulan data secara harian pada

daerah focus dan daerah sekitarnya yang diperkirakan mempunyai

risiko tinggi terjangkitnya penyakit diare. Sedangakan pelaksanaan

SKD merupakan salah satu kegiatan dari surveilance epidemiologi

yang kegunaanya untuk mewaspadai gejala akan timbulnya KLB

(Kejadian Luar Biasa) diare.

b. Penemuan kasus secara aktif

Tindakan untuk menghindari terjadinya kematian di lapangan karena

diare pada saat KLB di mana sebagian besar penderita berada di

masyarakat.

c. Pembentukan pusat rehidrasi

Tempat untuk menampung penderita diare yang memerlukan

perawatan dan pengobatan pada keadaan tertentu misalnya lokasi

KLB jauh dari puskesmas atau rumah sakit.

13

d. Penyediaan logistik saat KLB

Tersedianya segala sesuatu yang dibutuhkan oleh penderita pada saat

terjadinya KLB diare.

e. Penyelidikan terjadinya KLB

Kegiatan yang bertujuan untuk pemutusan mata rantai penularan dan

pengamatan intensif baik terhadap penderita maupun terhadap faktor

risiko.

f. Pemutusan rantai penularan penyebab KLB

Upaya pemutusan rantai penularan penyakit diare pada saat KLB

diare meliputi peningkatan kualitas kesehatan lingkungan dan

penyuluhan kesehatan.

9. Pencegahan diare

Menurut Depkes RI (2000), penyakit diare dapat dicegah melalui

promosi kesehatan antara lain:

a. Meningkatkan penggunaan ASI (Air Susu Ibu).

b. Memperbaiki praktek pemberian makanan pendamping ASI.

c. Penggunaan air bersih yang cukup.

d. Kebiasaan cuci tangan sebelum dan sesudah makan.

e. Penggunaan jamban yang benar.

f. Pembuangan kotoran yang tepat termasuk tinja anak-anak dan bayi

yang benar.

g. Memberikan imunisasi campak.

14

B. Tinjauan Umum Tentang Sanitasi Dasar

Masalah kesehatan merupakan suatu masalah yang sangat kompleks,

yang saling berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu

sendiri. Banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan

individu maupun kesehatan masyarakat (Notoatmodjo, 2003). Menurut model

segitiga epidemiologi, suatu penyakit timbul akibat interaksi satu sama lain

yaitu antara faktor lingkungan, agent dan host (Timmreck, 2004).

Faktor yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menjadi

penentu pendorong terjadinya diare. Faktor lingkungan merupakan faktor

yang paling penting, sehingga untuk penanggulangan diare diperlukan upaya

perbaikan sanitasi lingkungan (Zubir, 2006). Seseorang yang daya tahan

tubuhnya kurang, maka akan mudah terserang penyakit. Penyakit tersebut

antara lain diare, kolera, campak, tifus, malaria, demam berdarah dan

influensa (Slamet, 2002). Masalah-masalah kesehatan lingkungan antara lain

pada sanitasi (jamban), penyediaan air minum, perumahan, pembuangan

sampah dan pembuangan air limbah (Notoatmodjo, 2003).

C. Tinjauan Umum Tentang Kualitas Sumber Air Minum

Air merupakan hal yang sangat penting bagi manusia. Kebutuhan

manusia akan air sangat komplek antara lain untuk minum, masak, mencuci,

mandi dan sebagainya. Di antara kegunaan-kegunaan air tersebut, yang sangat

penting adalah kebutuhan untuk minum. Oleh karena itu, untuk keperluan

minum (termasuk untuk memasak) air harus mempunyai persyaratan khusus

agar air tersebut tidak menimbulkan penyakit bagi manusia termasuk diare.

15

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan nomor

492/Menkes/Per/IV/2010 tanggal 19 April 2010 tentang Persyaratan Kualitas

Air Minum, ada beberapa persyaratan terkait air minum sebagai berikut :

1. Parameter Wajib

a. Parameter yang berhubungan langsung dengan kesehatan :

1) Parameter mikrobiologi

a) E.Coli, kadar maksimum yang diperbolehkan dalam jumlah

per 100 sampel adalah nol

b) Total bakteri Koliform, kadar maksimum yang diperbolehkan

dalam jumlah per 100 sampel adalah nol

2) Kimia anorganik, batas maksimum yang diperbolehkan dalam

satuan mg/l adalah

a) Arsen : 0.01

b) Fluorida : 1.5

c) Total kromium : 0.05

d) Kadmium : 0.003

e) Nitrit : 3

f) Nitrat : 50

g) Sianida : 0.07

h) Selenium : 0.01

b. Parameter yang tidak langsung berhubungan dengan kesehatan

1) Fisik

a) Bau : tidak berbau

16

b) Warna : maksimal 5 TCU

c) Total Sat Padat Terlarut : maklsimal 500 mg/l

d) Kekeruhan : 5 NTU

e) Rasa ; tidak berasa

f) Suhu : ± 3 0 C

2) Kimiawi ; kadar maksimum yang diperbolehkan tiap mg/l adalah:

a) Aluminium : 0.2

b) Besi : 0.3

c) Kesadahan : 500

d) Klorida : 250

e) Mangan : 0.4

f) Ph : 6.5-8.5

g) Seng : 3

h) Sulfat : 250

i) Tembaga : 2

j) Amonia : 1.5

2. Parameter Tambahan :

a. Kimiawi

1) Bahan Anorganik yaitu air raksa maksimum 0.001 mg/l,

antimon 0,02 mg/l, barium 0.7 mg/l, boron 0,5 mg/l,timbal

0,01 mg/l

2) Bahan organik seperti deterjen maksimum 0,05 mg/l

3) Pestisida seperti DDT maksimum 0.001 mg/l

17

4) Desinfektan dan hasil sampingannya seperti klorin

maksimum 5 mg/l.

b. Radioaktifitas yaitu gross alfa activity maksimum 0,1 Bq/l, dan

Gross Beta Activity maksimum 1 Bq/l

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyediaan air bersih adalah:

1) Mengambil air dari sumber air yang bersih.

2) Mengambil dan menyimpan air dalam tempat yang bersih dan tertutup,

serta menggunakan gayung khusus untuk mengambil air.

3) Memelihara atau menjaga sumber air dari pencemaran oleh binatang,

anak-anak, dan sumber pengotoran. Jarak antara sumber air minum

dengan sumber pengotoran (tangki septik), tempat pembuangan sampah

dan air limbah harus lebih dari 10 meter.

4) Menggunakan air yang direbus.

5) Mencuci semua peralatan masak dan makan dengan air yang bersih dan

cukup (Depkes RI, 2000).

Masyarakat membutuhkan air untuk keperluan sehari-hari, maka

masyarakat menggunakan berbagai macam sumber air bersih menjadi air

minum. Sumber-sumber air minum tersebut seperti :

1) Air hujan atau Penampungan Air Hujan (PAH)

Air hujan dapat ditampung kemudian dijadikan air minum. Tetapi air

hujan ini tidak mengandung kalsium. Oleh karena itu, agar dapat

dijadikan air minum yang sehat perlu ditambahkan kalsium di dalamnya.

18

2) Air sungai dan danau

Menurut asalnya sebagian dari air sungai dan air danau ini juga dari air

hujan yang mengalir melalui saluran-saluran ke dalam sungai atau danau.

Kedua sumber air ini sering disebut air permukaan.

3) Mata air

Air yang keluar dari mata air ini biasanya berasal dari air tanah yang

muncul secara alamiah. Oleh karena itu, air dari mata air ini, bila belum

tercemar oleh kotoran sudah dapat dijadikan air minum langsung, tetapi

karena belum yakin apakah betul belum tercemar, maka sebaiknya air

tersebut direbus terlebih dahulu sebelum diminum.

4) Air sumur dangkal

Air ini keluar dari dalam tanah, maka juga disebut air tanah. Dalamnya

lapisan air ini dari permukaan tanah dari tempat yang satu ke tempat

yang lain berbeda-beda. Biasanya berkisar antara 5 sampai dengan 15

meter dari permukaan tanah.

5) Air sumur dalam

Air ini berasal dari lapisan air kedua di dalam tanah. Dalamnya dari

permukaan tanah biasanya di atas 15 meter. Oleh karena itu, sebagian

besar air minum dalam ini sudah cukup sehat untuk dijadikan air minum

yang langsung (tanpa melalui proses pengolahan).

Berdasarkan hasil penelitian (Wibowo, 2004) kelompok kasus

sebesar 68,25% keluarga menggunakan sumber air minum yang

memenuhi syarat sanitasi, persentase terbesar (53,9%) menggunakan

19

sumur terlindung. Sumber air minum yang tidak memenuhi syarat

sanitasi akan meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah pada anak

balita sebesar 2,5 kali lipat dibandingkan keluarga yang menggunakan

sumber air minum yang memenuhi syarat sanitasi.

Air minum yang ideal seharusnya jernih, tidak berwarna, tidak berasa

dan tidak berbau. Menurut Notoatmodjo (2003), syarat-syarat air minum yang

sehat adalah sebagai berikut:

1. Syarat Fisik

Persyaratan fisik untuk air minum yang sehat adalah bening (tidak

berwarna), tidak berasa, tidak berbau, suhu dibawah suhu udara di

luarnya, sehingga dalam kehidupan sehari-hari cara mengenal air yang

memenuhi persyaratan fisik tidak sukar.

2. Syarat Bakteriologis

Air untuk keperluan minum yang sehat harus bebas dari segala

bakteri, terutama bakteri patogen. Cara untuk mengetahui apakah air

minum terkontaminasi oleh bakteri patogen adalah dengan memeriksa

sampel air tersebut. Bila dari pemeriksaan 100 cc air terdapat kurang dari

empat bakteri E. coli, maka air tersebut sudah memenuhi syarat

kesehatan.

3. Syarat Kimia

Air minum yang sehat harus mengandung zat-zat tertentu di

dalam jumlah tertentu pula. Kekurangan atau kelebihan salah satu zat

kimia di dalam air, akan menyebabkan gangguan fisiologis pada manusia

20

seperti flour (1-1,5 mg/l), chlor (250 mg/l), arsen (0,05 mg/l), tembaga

(1,0 mg/l), besi (0,3 mg/l), zat organik (10 mg/l), pH (6,5-9,6 mg/l), dan

CO2 (0 mg/l).

Berdasarkan hasil penelitian Rahadi (2005) bahwa air mempunyai

peranan besar dalam penyebaran beberapa penyakit menular. Besarnya

peranan air dalam penularan penyakit disebabkan keadaan air itu sendiri

sangat membantu dan sangat baik untuk kehidupan mikroorganisme. Hal

ini dikarenakan sumur penduduk tidak diplester dan tercemar oleh tinja.

Banyaknya sarana air bersih berupa sumur gali yang digunakan

masyarakat mempunyai tingkat pencemaran terhadap kualitas air bersih

dengan kategori tinggi dan amat tinggi.

Kondisi fisik sarana air bersih yang tidak memenuhi syarat

kesehatan berdasarkan penilaian inspeksi sanitasi dengan kategori tinggi

dan amat tinggi dapat mempengaruhi kualitas air bersih dengan adanya

pencemaran air kotor yang merembes ke dalam air sumur.

D. Tinjauan Umum Tentang Sampah

1. Pengertian Sampah

Sampah merupakan material sisa baik dari hewan, manusia,

maupun tumbuhan yang tidak terpakai lagi dan dilepaskan ke alam dalam

bentuk padatan, cair ataupun gas. Sampah adalah istilah umum yang

sering digunakan untuk menyatakan limbah padat. Sedangkan limbah itu

sendiri pada dasarnya berarti suatu bahan yang terbuang atau dibuang

dari suatu hasil aktivitas manusia, maupun proses-proses alam dan tidak

21

atau belum mempunyai nilai ekonomi, bahkan dapat mempunyai nilai

ekonomi yang negatif. Sampah dikatakan mempunyai nilai negatif karena

penanganan untuk membuang atau membersihkannya memerlukan biaya

yang cukup besar, disamping juga dapat mencemari lingkungan

(Najmulmunir, 2000).

Sampah dalam pengertian ilmu kesehatan lingkungan, sebenarnya

hanya sebagian dari benda yang dipandang tidak digunakan, tidak

dipakai, tidak disenangi atau harus dibuang, sedemikian rupa sehingga

tidak sampai mengganggu kelangsungan hidup (Azrul, 1983).

Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan atau proses

alam yang berbentuk padat. Para Ahli Kesehatan Masyarakat Amerika,

membuat batasan, sampah (waste) adalah sesuatu yang tidak

digunakan,tidak dipakai, tidak disenangi, atau sesuatu yang dibuang

berasal dari kegiatan manusia, dan tidak terjadi dengan sendirinya.

2. Jenis-Jenis Sampah :

a. Berdasarkan sumbernya terdiri dari sampah alam, sampah manusia,

sampah konsumsi, sampah nuklir, sampah industri, dan sampah

pertambangan.

b. Berdasarkan sifatnya, terdiri dari :

1) Sampah organik yaitu sampah yang dapat diurai atau mudah

membususk seperti sisa makanan, sayuran, daun-daun kering.

Sampah ini dapat diolah lebih lanjut menjadi kompos.

22

2) Sampah anorganik yaitu sampah yang tidak mudah membusuk,

seperti plastik wadah pembungkus makanan, kertas, plastik mainan,

botol dan gelas minuman, kaleng, kayu, dan sebagainya. Sampah ini

dapat dijadikan sampah komersil atau sampah yang laku dijual untuk

dijadikan produk laiannya. Beberapa sampah anorganik yang dapat

dijual adalah plastik wadah pembungkus makanan, botol dan gelas

bekas minuman, kaleng, kaca, dan kertas, baik kertas koran, HVS,

maupun karton.

c. Berdasarkan bentuknya terdiri dari :

1) Sampah padat adalah segala bahan buangan selain kotoran manusia,

urine dan sampah cair. Dapat berupa sampah rumah tangga: sampah

dapur, sampah kebun, plastik, metal, gelas dan lain-lain. Menurut

bahannya sampah ini dikelompokkan menjadi sampah organik dan

sampah anorganik. Sampah organik Merupakan sampah yang berasal

dari barang yang mengandung bahan-bahan organik, seperti sisa-sisa

sayuran, hewan, kertas, potongan-potongan kayu dari peralatan

rumah tangga, potongan-potongan ranting, rumput pada waktu

pembersihan kebun dan sebagainya.

2) Sampah cair adalah bahan cairan yang telah digunakan dan tidak

diperlukan kembali dan dibuang ke tempat pembuangan sampah.

3. Pengelolaan sampah

Pengelolaan sampah adalah pengumpulan, pengangkutan,

pemrosesan, pendaurulangan, atau pembuangan dari material sampah.

Kalimat ini biasanya mengacu pada material sampah yang dihasilkan dari

23

kegiatan manusia, dan biasanya dikelola untuk mengurangi dampaknya

terhadap kesehatan, lingkungan, atau keindahan. Pengelolaan sampah juga

dilakukan untuk memulihkan sumber daya alam. Pengelolaan sampah bisa

melibatkan zat padat, cair, gas, atau radioaktif dengan metode dan keahlian

khusus untuk masing-masing jenis zat.

Praktik pengelolaan sampah berbeda beda antara negara maju dan

negara berkembang, berbeda juga antara daerah perkotaan dengan daerah

pedesaan, berbeda juga antara daerah perumahan dengan daerah industri.

Pengelolaan sampah yang tidak berbahaya dari pemukiman dan institusi di

area metropolitan biasanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah,

sedangkan untuk sampah dari area komersial dan industri biasanya ditangani

oleh perusahaan pengolah sampah. Metode pengelolaan sampah berbeda-

beda tergantung banyak hal, di antaranya tipe zat sampah, tanah yang

digunakan untuk mengolah dan ketersediaan area.

a. Tujuan Pengelolaan sampah

b. mengubah sampah menjadi material yang memiliki nilai ekonomis (Lihat:

Pemanfaatan sampah), atau

c. mengolah sampah agar menjadi material yang tidak membahayakan bagi

lingkungan hidup.

Metode Pembuangan

Penimbunan darat

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Penimbunan darat

Penimbunan darat sampah di Hawaii.

24

Pembuangan sampah pada penimbunan darat termasuk menguburnya untuk

membuang sampah, metode ini adalah metode paling populer di dunia.

Penimbunan ini biasanya dilakukan di tanah yang tidak terpakai, lubang

bekas pertambangan, atau lubang-lubang dalam. Sebuah lahan

penimbunan darat yang dirancang dan dikelola dengan baik akan menjadi

tempat penimbunan sampah yang higienis dan murah. Sedangkan

penimbunan darat yang tidak dirancang dan tidak dikelola dengan baik akan

menyebabkan berbagai masalah lingkungan, di antaranya angin berbau

sampah, menarik berkumpulnya Hama, dan adanya genangan air sampah.

Efek samping lain dari sampah adalah gas methan dan karbon dioksida yang

juga sangat berbahaya. (di Bandung kandungan gas methan ini meledak dan

melongsorkan gunung sampah)

Kendaraan pemadat sampah penimbunan darat.

Karakteristik desain dari penimbunan darat yang modern di antaranya adalah

metode pengumpulan air sampah menggunakan bahan tanah liat atau

pelapis plastik. Sampah biasanya dipadatkan untuk menambah kepadatan

dan kestabilannya, dan ditutup untuk tidak menarik hama (biasanya tikus).

Banyak penimbunan sampah mempunyai sistem pengekstrasi gas yang

dipasang untuk mengambil gas yang terjadi. Gas yang terkumpul akan

25

dialirkan keluar dari tempat penimbunan dan dibakar di menara pembakar

atau dibakar di mesin berbahan bakar gas untuk membangkitkan listrik.

Metode Daur Ulang

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daur-ulang

Proses pengambilan barang yang masih memiliki nilai dari sampah untuk

digunakan kembali disebut sebagai daur ulang. Ada beberapa cara daur

ulang, pertama adalah mengambil bahan sampahnya untuk diproses lagi

atau mengambil kalori dari bahan yang bisa dibakar untuk membangkitkan

listrik. Metode-metode baru dari daur ulang terus ditemukan dan akan

dijelaskan di bawah.

Pengolahan kembali secara fisik

Baja dibuang, dan kelengkapan dilaporkan dipilih pada kemudahan Central

European Waste Management (Eropa).

Metode ini adalah aktivitas paling populer dari daur ulang, yaitu mengumpulkan

dan menggunakan kembali sampah yang dibuang, contohnya botol bekas

pakai yang dikumpulkan untuk digunakan kembali. Pengumpulan bisa

dilakukan dari sampah yang sudah dipisahkan dari awal (kotak

sampah/kendaraan sampah khusus), atau dari sampah yang sudah

tercampur.

26

Sampah yang biasa dikumpulkan adalah kaleng minum aluminium, kaleng baja

makanan/minuman, Botol HDPE dan PET, botol kaca, kertas karton, koran,

majalah, dan kardus. Jenis plastik lain seperti (PVC, LDPE, PP, dan PS) juga

bisa didaur ulang. Daur ulang dari produk yang kompleks seperti komputer

atau mobil lebih susah, karena bagian-bagiannya harus diurai dan

dikelompokkan menurut jenis bahannya.

Pengolahan biologis

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pengkomposan

Pengkomposan.

Material sampah ((organik)), seperti zat tanaman, sisa makanan atau kertas, bisa

diolah dengan menggunakan proses biologis untuk kompos, atau dikenal

dengan istilah pengkomposan. Hasilnya adalah kompos yang bisa digunakan

sebagai pupuk dan gas methana yang bisa digunakan untuk membangkitkan

listrik.

Contoh dari pengelolaan sampah menggunakan teknik pengkomposan adalah

Green Bin Program (program tong hijau) di Toronto, Kanada, di mana

27

sampah organik rumah tangga, seperti sampah dapur dan potongan

tanaman dikumpulkan di kantong khusus untuk dikomposkan.

Pemulihan energi

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sampah menjadi energi (Waste-to-

energy)

Komponen pencernaan Anaerobik di pabrik Lübeck mechanical biological

treatment di Jerman, 2007

Kandungan energi yang terkandung dalam sampah bisa diambil langsung dengan

cara menjadikannya bahan bakar, atau secara tidak langsung dengan cara

mengolahnya menjadi bahan bakar tipe lain. Daur ulang melalui cara

"perlakuan panas" bervariasi mulai dari menggunakannya sebagai bahan

bakar memasak atau memanaskan sampai menggunakannya untuk

memanaskan boiler untuk menghasilkan uap dan listrik dari turbin-

generator. Pirolisa dan gasifikasi adalah dua bentuk perlakuan panas yang

berhubungan, ketika sampah dipanaskan pada suhu tinggi dengan keadaan

miskin oksigen. Proses ini biasanya dilakukan di wadah tertutup pada

Tekanan tinggi. Pirolisa dari sampah padat mengubah sampah menjadi

produk berzat padat, gas, dan cair. Produk cair dan gas bisa dibakar untuk

menghasilkan energi atau dimurnikan menjadi produk lain. Padatan sisa

selanjutnya bisa dimurnikan menjadi produk seperti karbon aktif. Gasifikasi

dan Gasifikasi busur plasma yang canggih digunakan untuk mengkonversi

28

material organik langsung menjadi Gas sintetis (campuran antara karbon

monoksida dan hidrogen). Gas ini kemudian dibakar untuk menghasilkan

listrik dan uap.

Metode penghindaran dan pengurangan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Minimalisasi sampah

Sebuah metode yang penting dari pengelolaan sampah adalah pencegahan zat

sampah terbentuk, atau dikenal juga dengan "pengurangan sampah".

Metode pencegahan termasuk penggunaan kembali barang bekas pakai,

memperbaiki barang yang rusak, mendesain produk supaya bisa diisi ulang

atau bisa digunakan kembali (seperti tas belanja katun menggantikan tas

plastik), mengajak konsumen untuk menghindari penggunaan barang sekali

pakai (contohnya kertas tisu), dan mendesain produk yang menggunakan

bahan yang lebih sedikit untuk fungsi yang sama (contoh, pengurangan

bobot kaleng minuman).

Konsep pengelolaan sampah

Terdapat beberapa konsep tentang pengelolaan sampah yang berbeda dalam

penggunaannya, antara negara-negara atau daerah. Beberapa yang paling

umum, multikonsep yang digunakan adalah:

Diagram dari hirarki limbah.

29

Hierarki Sampah - hierarki limbah merujuk kepada " 3 M " mengurangi sampah,

menggunakan kembali sampah dan daur ulang, yang mengklasifikasikan strategi

pengelolaan sampah sesuai dengan keinginan dari segi minimalisasi sampah. Hierarki

limbah yang tetap menjadi dasar dari sebagian besar strategi minimalisasi sampah.

Tujuan limbah hierarki adalah untuk mengambil keuntungan maksimum dari produk-

produk praktis dan untuk menghasilkan jumlah minimum limbah.

Perpanjangan tanggung jawab penghasil sampah/Extended Producer Responsibility

(EPR).(EPR) adalah suatu strategi yang dirancang untuk mempromosikan integrasi semua

biaya yang berkaitan dengan produk-produk mereka di seluruh siklus hidup (termasuk

akhir-of-pembuangan biaya hidup) ke dalam pasar harga produk. Tanggung jawab

produser diperpanjang dimaksudkan untuk menentukan akuntabilitas atas seluruh

Lifecycle produk dan kemasan diperkenalkan ke pasar. Ini berarti perusahaan yang

manufaktur, impor dan/atau menjual produk diminta untuk bertanggung jawab atas

produk mereka berguna setelah kehidupan serta selama manufaktur.

prinsip pengotor membayar - prinsip pengotor membayar adalah prinsip di mana pihak

pencemar membayar dampak akibatnya ke lingkungan. Sehubungan dengan

pengelolaan limbah, ini umumnya merujuk kepada penghasil sampah untuk membayar

sesuai dari pembuangan

Pendidikan dan Kesadaran

Pendidikan dan kesadaran di bidang pengelolaan limbah dan sampah yang

semakin penting dari perspektif global dari manajemen sumber daya.

Pernyataan yang Talloires merupakan deklarasi untuk kesinambungan

khawatir dengan skala dan belum pernah terjadi sebelumnya kecepatan

dan degradasi lingkungan, dan penipisan sumber daya alam. Lokal, regional,

30

dan global polusi udara; akumulasi dan distribusi limbah beracun, penipisan

dan kerusakan hutan, tanah, dan air; dari penipisan lapisan ozon dan emisi

dari "rumah hijau" gas mengancam kelangsungan hidup manusia dan

ribuan lainnya hidup spesies, integritas bumi dan keanekaragaman hayati,

keamanan negara, dan warisan dari generasi masa depan. Beberapa

perguruan tinggi telah menerapkan Talloires oleh Deklarasi pembentukan

pengelolaan lingkungan hidup dan program pengelolaan sampah, misalnya

pengelolaan sampah di universitas proyek. Universitas pendidikan kejuruan

dan dipromosikan oleh berbagai organisasi, misalnya WAMITAB Chartered

dan Lembaga Manajemen dari limbah.

Bencana sampah yang tidak dikelola dengan baik

1. Longsor tumpukan sampah

2. Sumber penyakit

3. Pencemaran lingkungan

4. Menyebabkan banjir

3. Pengelolaan Sampah

E. Tinjauan Umum tentang Kepemilikan Jamban

Jamban merupakan sarana yang digunakan masyarakat sebagai

tempat buang air besar. Sehingga sebagai tempat pembuangan tinja, jamban

sangat potensial untuk menyebabkan timbulnya berbagai gangguan bagi

masyarakat yang ada di sekitarnya. Gangguan tersebut dapat berupa

gangguan estetika, kenyamanan dan kesehatan. Menurut Notoatmodjo (2003),

31

suatu jamban disebut sehat untuk daerah pedesaan, apabila memenuhi

persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

1. Tidak mengotori permukaan tanah disekeliling jamban tersebut.

2. Tidak mengotori air permukaan di sekitarnya.

3. Tidak mengotori air tanah di sekitarnya.

4. Tidak dapat terjangkau oleh serangga terutama lalat, kecoak, dan

binatang-binatang lainnya.

5. Tidak menimbulkan bau.

6. Mudah digunakan dan dipelihara.

7. Sederhana desainnya.

8. Murah.

9. Dapat diterima oleh pemakainya.

Menurut Entjang (2000), macam-macam kakus atau tempat

pembuangan tinja, yaitu:

4. Pit-privy (Cubluk)

Kakus ini dibuat dengan jalan membuat lubang ke dalam tanah

dengan diameter 80-120 cm sedalam 2,5-8 meter. Dindingnya diperkuat

dengan batu atau bata, dan dapat ditembok ataupun tidak agar tidak

mudah ambruk. Lama pemakaiannya antara 5-15 tahun. Bila permukaan

penampungan tinja sudah mencapai kurang lebih 50 cm dari permukaan

tanah, dianggap cubluk sudah penuh. Cubluk yang penuh ditimbun

dengan tanah. Ditunggu 9-12 bulan. Isinya digali kembali untuk pupuk,

sedangkan lubangnya dapat dipergunakan kembali.

32

5. qua-privy (Cubluk berair)

Terdiri atas bak yang kedap air, diisi air di dalam tanah sebagai

tempat pembuangan tinja. Proses pembusukannya sama seperti halnya

pembusukan tinja dalam air kali. Untuk kakus ini, agar berfungsi dengan

baik, perlu pemasukan air setiap hari, baik sedang dipergunakan atau

tidak

6. Watersealed latrine (Angsa-trine)

Jamban jenis ini merupakan cara yang paling memenuhi

persyaratan, oleh sebab itu cara pembuangan tinja semacam ini yang

dianjurkan. Pada kakus ini closetnya berbentuk leher angsa, sehingga

akan selalu terisi air. Fungsi air ini gunanya sebagai sumbat, sehingga

bau busuk dari cubluk tidak tercium di ruangan rumah kakus.

7. Bored hole latrine

Sama dengan cubluk, hanya ukurannya lebih kecil karena untuk

pemakaian yang tidak lama, misalnya untuk perkampungan sementara.

33

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran Variabel Yang Diteliti

Secara umum faktor risiko diare pada dewasa yang sangat

berpengaruh terjadinya penyakit diare yaitu faktor lingkungan (tersedianya air

bersih, jamban keluarga, pembuangan sampah, pembuangan air limbah),

perilaku hidup bersih dan sehat, kekebalan tubuh, infeksi saluran pencernaan,

alergi, malabsorpsi, keracunan, immune defisiensi serta sebab-sebab lain.

Pada balita faktor risiko terjadinya diare selain faktor intrinsik dan

ekstrinsik juga sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan perilaku ibu atau

pengusaha balita karena balita masih belum bisa menjaga dirinya sendiri dan

sangat tergantung pada lingkunganya, jadi apabila ibu balita atau pengasuh

balita tidak bisa mengasuh balita dengan baik dan sehat maka kejadian diare

pada balita tidak dapat dihindari.

1. Sumber Air Minum

Penyediaan air untuk rumah tangga bisa tergolong penyediaan

air bersih dan bisa juga penyediaan air minum. Rumah tangga yang

mencukupi kebutuhan airnya dari sumur atau sumber-sumber lainya

termasuk penyediaan air bersih. Tetapi untuk perumahan/pemukiman

yang kebutuhan airnya dicukupi dari perusahan air minum yang

diusahakan baik pemerintah maupun badan hukum yang lain, maka

34

termasuk penyediaan air minum, karena kualitas air yang distribusikan

telah memenuhi syarat sebagai air minum (Sarudji, 2006).

Persyaratan untuk penyediaan air bersih yang mengusahakan

dari sumur sendiri perlu memperhatikan kualitas air sumurnya dengan

selalu memperhatikan kontruksi sumur, sumber pencemar dan cara

pengolahan sebelum dikonsumsi. Sedangkan untuk yang sumbernya dari

PDAM, perlu diperhatikan back siphonage dan cross conection. (Sarudji,

2006).

Berdasarkan hasil penelitian (Wibowo, 2004) kelompok kasus

sebesar 68,25% keluarga menggunakan sumber air minum yang

memenuhi syarat sanitasi, persentase terbesar (53,9%) menggunakan

sumur terlindung. Sumber air minum yang tidak memenuhi syarat

sanitasi akan meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah pada anak

balita sebesar 2,5 kali lipat dibandingkan keluarga yang menggunakan

sumber air minum yang memenuhi syarat sanitasi.

2. Kualitas Fisik Air Bersih

Menurut Sarudji (2006) erikut ini kita membahas tentang kualitas air

yang baik secara fisik. Kualitas air yang baik secara fisik adalah :

a. Rasa

Kualitas air bersih yang baik adalah tidak berasa. Rasa dapat

ditimbulkan karena adanya zat organik atau bakteri.usur lain yang

masuk kedalam badan air

35

b. Bau

Kualitas air bersih yang baik adalah tidak berbau, karena bau

ini dapat ditimbulkan oleh pembusukan zat organik seperti bakteri

serta kemungkinan akibat tidak langsung dari pencemaran

lingkungan, terutama sistem sanitasi.

c. Suhu

Secara umum, kenaikan suhu perairan akan mengakibatkan

kenaikan aktifitas biologi sehingga akan membentuk O2 lebih

banyak lagi. Kenaikan suhu perairan secara alamiah biasanya

disebabkan oleh aktifitas penebangan vegetasi di sekitar sumber air

tersebut, sehingga menyebabkan banyaknya cahaya matahari yang

masuk tersebut mempengaruhi akuifer yang ada secara langsung atau

tidak langsung.

d. Kekeruhan

Kekeruhan air dapat ditimbulkan oleh adanya bahan-bahan

organik dan anorganik, kekeruhan juga dapat mewakili warna.

Sedang dari segi estetika kekeruhan air dihubungkan dengan

kemungkinan hadirnya pencemaran melalui buangan sedang warna

air tergantung pada warna buangan yang memasuki badan air.

e. TDS atau jumlah zat padat terlarut (total dissolved solids)

Adalah bahan padat yang tertinggal sebagai residu pada

penguapan dan pengeringan pada suhu 103 C – 105 C dalam

portable water kebanyakan bahan bakar terdapat dalam bentuk

36

terlarut yang terdiri dari garam anorganik selain itu juga gas-gas

yang terlarut.Kandungan total solids pada portable water biasanya

berkisaran antara 20 sampai dengan 1000 mg/l dan sebagai suatu

pedoman kekerasan dari air akan meningkatnya total solids,

disamping itu pada semua bahan cair jumlah koloit yang tidak

terlarut dan bahan yang tersuspensi akan meningkat sesuai derajat

dari pencemaran

Zat padat selalu terdapat dalam air dan kalau jumlahnya

terlalu banyak tidak baik sebagai air minum, banyaknya zat padat

yang diisyaratkan untuk air minum adalah kurang dari 500 mg/l.

Pengaruh yang menyangkut aspek kesehatan dari pada

penyimpangan kualias air minum dalam hal total solids ini yaitu

bahwa air akan memberikan rasa tidak enak pada lidah dan rasa mual

3. Pemanfaatan Jamban

Dalam hal pemanfaatan sanitasi, masyarakat umumnya

memiliki beberapa pilihan akses yang digunakan secara bergantian,

sebelum dialirkan ke sungai. Khusus bagi masyarakat , meski memiliki

toilet dirumah, mereka juga masih memanfaatkan “toilet terbuka”

seperti sungai atau empang. Masyarakat menjadikan kepraktisan dan

norma umum (semua orang melakukanya) sebagai alasan utama untuk

menyalurkan kotorannya kesungai. tidak heran, sungai-sungai di

Indonesia bisa disebut sebagai jamban raksasa karena masyarakat

Indonesia umumnya menggunakan sungai untuk buang air. Masyarakat

37

urban diperkotaan yang tinggal di gang-gang sempit atau rumah-rumah

petak di Jakarta umumnya tidak mempunyai lahan besar untuk

membangun septic tank karena itu, mereka biasanya tak memiliki

jamban. Jika kemudian mereka memiliki sumur, umumnya tidak diberi

pembatas semen. Kala hujan tiba, kotoran yang ada ditanah terbawa air

hujan masuk ke dalam sumur. Air yang sudah terkontaminasi inilah

yang memudahkan terjadinya diare (Hiswani, 2003).

Berdasarkan hasil penelitian (Wibowo, 2004) jenis tempat

pembuangan tinja yang terbanyak digunakan pada kelompok kasus

adalah jenis leher angsa (68,3%), sedangkan 7,9% menggunakan jenis

plengsengan dan 23,8% tidak memiliki jamban.

B. Skema Kerangka Konsep

Keterangan :

Variable independen

Variable dependen

Sumber Air Minum

Kualitas Fisik Air Bersih

Kepemilikan Jamban

Kejadian Diare Pada balita

38

C. Definisi Operasional Variabel

1. Variabel Independen

a. Sumber air minum adalah asal atau jenis air yang digunakan untuk

minum bagi keperluan hidup sehari-hari terdiri dari :

1) Skala pengukuran : Nominal

2) Kategori :

a) Air terlindung

(1) PDAM

(2) Air mineral

b) Air tidak terlindung

(1) Sungai

(2) Sumur

b. Kualitas Fisik Air Bersih adalah kondisi fisik air minum yang

digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

1) Skala pengukuran : Nominal

2) Kategori :

a) Memenuhi syarat, jika tidak keruh, tidak berwarna, tidak

berbau, dan tidak berasa.

b) Tidak memenuhi syarat, jika keruh, berwarna, berbau dan

berasa.

c. Kepemilikan jamban adalah sarana yang digunakan untuk buang air

besar yang dimiliki oleh responden.

1) Skala pengukuran : Nominal

39

2) Kategori :

a) Memiliki jamban, jika ada lubang leher angsa/tangki septik,

bersih dan tertutup.

b) Tidak memiliki jamban, jika tidak ada lubang leher

angsa/tangki septik, kotor dan tidak tertutup.

2. Variabel Dependen

Kejadian diare adalah balita yang menderita diare dengan buang air besar

lembek, cair dan bahkan dapat berupa air saja lebih dari tiga kali sehari

dalam 6 bulan terakhir.

a. Skala ukur : Nominal

b. Kategori :

1) Diare, jika mengalami diare dalam satu tahun terakhir.

2) Tidak diare, jika tidak mengalami diare dalam satu tahun

terakhir.

D. Hipotesis Penelitian

1. Hipotesis Null (Ho)

1. Tidak ada hubungan antara sumber air minum dengan kejadian diare

pada balita di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.

2. Tidak ada hubungan antara kualitas fisik air bersih dengan kejadian

diare pada balita di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.

3. Tidak ada hubungan antara kepemilikan jamban dengan kejadian

diare pada balita di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.

40

2. Hipotesis Alternatif (Ha)

1. Ada hubungan antara sumber air minum dengan kejadian diare pada

balita di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.

2. Ada hubungan antara kualitas fisik air bersih dengan kejadian diare

pada balita di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.

3. Ada hubungan antara kepemilikan jamban dengan kejadian diare

pada balita di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.

41

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dalam bentuk survey yang bersifat

observasional dengan metode pendekatan cross-sectional, yaitu suatu

penelitian yang dilakukan dengan pengamatan sesaat atau dalam suatu

periode waktu tertentu dan setiap subjek studi hanya dilakukan satu kali

pengamatan selama penelitian (Machfoedz, 2007).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan pada sebagian rumah yang mempunyai

balita dan pernah menderita diare di Kecamatan Tanrali pada bulan Maret

2015.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Keseluruhan keluarga yang mempunyai anggota keluarga balita

di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros. Populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh rumah yang mempunyai balita dan pernah menderita diare

pada tahun 2014 yang bertempat tinggal di Kecamatan Tanralili sebanyak

354 kasus.

2. Sampel Besar

Besar sampel dapat dihitung dengan rumus Khotari dalam Murti

(2006) sebagai berikut :

42

n = N.Z1

2 - α/2 p.q

d2 (N-1) + Z12 - α/2.p.q

Keterangan:

n : Besar sampel

N : Besar populasi

p : Perkiraan proporsi (prevalensi) variabel dependen pada

populasi (95%)

q : 1 – p

Z1 – α/2 : statistik Z (Z = 1,96 untuk α = 0,05)

d : Data presisi absolut atau largin of error yang diinginkan

diketahui sisi proporsi (5%)

Berdasarkan rumus di atas maka besar sampel pada penelitian ini

adalah

: = 354 (1,96)2 . 0,95 . 0,05

0,05 2 (354-1) + 1,962.0,95 . 0,05

= 1359,9264 . 0,0475

0,8825 + 0,182476

= 64.596504

1.064976

= 60.65536125

= 61

Jadi besar sampel pada penelitian ini adalah 61 balita.

3. Responden

Responden dalam penelitian ini adalah ibu balita yang pernah menderita

diare pada tahun 2014 di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.

43

4. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini

adalah menggunakan Simple Random Sampling, yaitu metode

pengambilan sampel secara acak di mana masing-masing populasi

mempunyai peluang yang sama besar untuk terpilih sebagai sampel

(Murti, 2006).

D. Metode Pengumpulan Data

1. Jenis Data

Jenis data dalam penelitian ini berupa data kuantitatif, yang

diperoleh dari wawancara menggunakan kuesioner dan observasi secara

langsung mengenai sumber air minum, kualitas fisik air bersih, dan

kepemilikkan jamban.

2. Sumber Data

a. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten

Maros, Puskesmas tanralili dan instansi terkait. Selain itu data juga

diperoleh melalui studi pustaka dan data berbasis elektronik Data

Primer

b. Data Primer

Data primer diperoleh langsung dari hasil wawancara

menggunakan kuesioner dan observasi oleh peneliti secara langsung

kepada responden mengenai sumber air minum, kualitas fisik air

bersih, dan kepemilikkan jamban.

44

3. Cara pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan

kuesioner dan observasi oleh peneliti secara langsung kepada responden

pada sumber air minum, kualitas fisik air bersih, dan kepemilikan

jamban.

E. Instrumen penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Kuesioner

b. Alat tulis

c. Kamera digital

Kuesioner diuji dengan uji validitas dan reliabilitas. Sifat valid

memberikan pengertian bahwa alat ukur yang digunakan mampu memberikan

nilai yang sesungguhnya dari nilai yang diinginkan. Uji validitas instrumen

menggunakan uji korelasi product moment person. Uji realiabilitas dengan

rumus Alfa Cronbach. Rumus korelasi product moment person adalah

sebagai berikut:

Keterangan :

rxy : Korelasi antara variabel x dan y

N : Banyaknya subjek

ΣX : Skor ganjil

ΣY : Skor genap

45

X dan Y : Skor masing-masing skala

F. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah terkumpul kemudian akan diolah (editing, coding,

entry, dan tabulating data).

1. Editing, yaitu memeriksa kelengkapan, kejelasan makna jawaban,

konsistensi maupun kesalahan antar jawaban pada kuesioner.

2. Coding, yaitu memberikan kode-kode untuk memudahkan proses

pengolahan data dengan memberikan angka nol atau satu.

3. Entry, yaitu memasukkan data untuk diolah menggunakan komputer.

4. Tabulating, yaitu mengelompokkan data sesuai variabel yang akan

diteliti guna memudahkan analisis data.

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Analisis univariat

Analisis univariat yaitu analisis yang digunakan untuk

menggambarkan atau mendiskripsikan dari masing-masing variabel, baik

variabel bebas dan variabel terikat dan karakteristik responden.

2. Analisis bivariat

Dilakukan untuk menguji hubungan variabel bebas dan variable

terikat dengan uji statistik chi square (χ2) untuk mengetahi hubungan

yang signifikan antara masing-masing variabel bebas dengan variabel

terikat. Uji chi square dilakukan dengan mengunakan bantuan perangkat

lunak berbentuk komputer dengan tingkat signifikan p>0,05 (taraf

46

kepercayaan 95%). Dasar pengambilan keputusan dengan tingkat

kepercayaan 95% :

a. Jika nilai sig p>0,05 maka hipotesis penelitian ditolak.

b. Jika nilai sig p ≤ 0,05 maka hipotesis penelitian diterima (Budiarto,

2001).

G. Personalia Penelitian

1. Pembimbing I : Prof.Dr.H.Indar,SH,MPH

2. Pembimbing II : Idris,SKM,M.Kes

3. Peneliti :

a. Nama : Jumiati

b. NIM : 1320011