Upload
others
View
20
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
HUBUNGAN MANUSIA DAN TUHAN DALAM PERSPEKTIF ALIRAN
KEBATINAN PERJALANAN DI KEC. JATI SAMPURNA, BEKASI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Athoillah Tantowi
NIM: 11140321000071
PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
v
ABSTRAK
Athoillah Tantowi
Judul Skripsi: Hubungan Manusia Dan Tuhan Dalam Perspektif Aliran
Kebatinan Perjalanan Di Kec. Jati Sampurna, Bekasi
Dalam Skripsi ini, penulis meneliti tentang “Hubungan Manusia Dan
Tuhan Dalam Perspektif Aliran Kebatinan Perjalanan Di kec. Jati Sampurna,
Bekasi” yang terletak di Kampung Keranggan Kelurahan Jati Rangga Kecamatan
Jati Sampurna, Bekasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami
fenomena hubungan manusia dan tuhan dalam perspektif Aliran Kebatinan
Perjalanan. Penelitian ini juga untuk mengetahui tujuan dan ritual apa yang
dilakukan para penghayat Aliran Kebatinan Perjalanan.
Untuk mencapai tujuan tersebut peneliti menggunakan metode
pendekatan historis, fenomenologis, dan teologis terhadap objek yang akan
diteliti. Adapun metodologi yang penulis gunakan untuk melakukan penelitian
yaitu dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi dengan menelusuri bahan-
bahan pustaka yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti. Kemudian
data diolah dan dianalisis dengan teknik deskriptif analitik.
Hasil Penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: Tuhan dan
manusia memiliki hubungan yang sangat erat karena mereka itu satu tanpa ada
pemisah di antaranya. Di dalam ajaran Aliran Kebatinan Perjalanan dijelaskan
bahwa adanya bumi dan lagit beserta isinya adalah Tuhan Yang Maha Esa yang
menciptakannya. Maka bila ingin mencari tuhan carilah pada diri sendiri, sebab
Tuhan Yang Maha Esa ini selalu berada di dalam diri. Ketika eling pada diri
sendiri maka secara tidak langsung juga eling terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Maka dari itu eling haruslah dipakai untuk yang benar jangan dipakai untuk
melakukan susuatu yang tidak benar karena dengan melakukan perbuatan yang
baik maka akan mendapatkan hal yang baik pula. Oleh sebab itu, para penganut
kepercayaan atau agama, sepakat akan adanya hukum timbal balik dari Tuhannya
kepada mereka yang menjalankan segala perintahnya maupun yang tidak. Untuk
menjalankan segala perintah Tuhannya maka para penganut Aliran Perjalanan
melakukannya dengan ritual guna mendekatkan dirinya terhadap Tuhannya.
Ritualnya ini terbagi beberapa bagian yakni, ritual keseharian, ritual mingguan,
dan ritual tahunan.
Kata kunci: Manusia, Tuhan, Aliran Kebatinan Perjalanan.
vi
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Alhamdulillah segala puji dan puji syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT, Dialah yang telah melimpahkan nikmat iman, nikmat Islam dan
nikmat sehat. sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag). Dalam bidang Studi Agama-
Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam proses mengerjakan skripsi ini, penulis merasa sangat
bersyukur sekali karena tidak mendapatkan hambatan yang berat atau yang
membuat penulis mengurungkan niat dan semangat untuk segera menyelasaikan
skripsi ini. Di karnakan sifat keterbukaan para narasumber terhadap penulis. Dan
tentunya, berkat bantuan dari Allah SWT serta dukungan dari keluarga serta
motivasi dari teman-teman terdekat, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada yang telah
mendukung baik moril maupun materil dalam penulisan skripsi ini, antara lain:
1. Orang tua penulis, Ayahanda tercinta Udin Rafiuddin dan Ibunda Karneti yang
tidak pernah lelah memberikan doa, semangat, dan nasehatnya untuk penulis.
Wajah mereka yang selalu terbayang ketika penulis mengalami semangat yang
fluktuatif dalam mengerjakan skripsi. Serta kepada kakak dan adik tersayang.
Terimakasih kebawelannya yang tidak henti-hentinya mengingatkan penulis
untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
2. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A Selaku Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
3. Dr. Hamid Nasuhi, M.Ag selaku dosen Pembimbing Skripsi. Terima kasih
atas kesabaran dan semangatnya dalam membimbing, memotivasi dan
membantu kelancaran proses penulisan dari awal hingga sampai
terselesaikannya skripsi ini.
4. Dr. Yusuf Rahman, MA Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Syaiful Azmi, MA. selaku Doen Pembimbing Akademik yang telah
menyetujui permohanan skripsi ini dan memberian motivasi dalam
penyusunan skripsi ini.
6. Dr. Media Zainul Bahri, MA. Selaku ketua jurusan Studi Agama-Agama UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Dra. Halimah SM, MA. Selaku seketaris jurusan Studi Agama-Agama UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin, para Staff Akademik Fakultas
Ushuluddin. Serta dengan Kak Jamil yang membantu dalam informasi tentang
skripsi.
9. Kepada saudari Nur Shabrina, terimakasih banyak karena telah berjuang
bersama-sama untuk menyusun skripsi dari awal hingga terselesaiknya skripsi
ini.
10. Sahabat-Sahabat: Irfan, Riyan, Swandi, Ibnu, Qoyyum yang selalu ada ketika
penulis merasa lelah di saat penulis menulis skripsi. Untuk Tika makasih atas
masukan-masukannya yang terus mendukung penulis untuk segera
menyelesaikan skripsi ini. Juga telah berjuang bersama dari perkuliahan
hingga terselesaikannnya skripsi ini. Tempat curhat di saat penulis mulai stress
viii
dan tidak tahu harus ke mana lagi untuk bertanya tentang skripsi. kalianlah
alasan utama saya bertahan hingga saat ini.
Terima kasih selalu menemani penulis disaat sedih maupun senang,
canda tawanya dan juga masukan-masukan berharga dalam penyusunan skripsi
ini. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan kalian semua yang telah tulus
membantu dan selalu memberi warna di kehidupan penulis. Akhir kata semoga
Skripsi ini bermanfaat untuk semua Amiiin.
Wassalamu‟alaikum Warrohmatullahi Wabarakatuh.
Jakarta, 12 April 2019
Athoillah Tantowi
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQOSYAH ........ Error! Bookmark not
defined.
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 9
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian ................................................ 9
D. Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 10
E. Metodologi Penelitian ................................................................................ 11
F. Sistematika Penulisan ................................................................................ 15
BAB II SEJARAH ALIRAN KEBATINAN PERJALANAN ......................... 17
A. Riwayat Hidup Pendiri Aliran Kebatinan Perjalanan ................................ 17
B. Sejarah Aliran Kebatinan Perjalanan di Indonesia..................................... 20
C. Perkembangan Aliran Kebatinan Perjalanan di Bekasi ............................. 34
BAB III KONSEP TENTANG HUBUNGAN MANUSIA DAN TUHAN
DALAM ALIRAN KEBATINAN PERJALANAN ......................................... 38
A. Konsepsi Tentang Tuhan............................................................................ 38
B. Konsepsi Tentang Manusia ........................................................................ 46
C. Konsepsi Tentang Alam ............................................................................. 56
D. Konsep Tentang Hubungan Manusia dan Tuhan ....................................... 60
x
BAB IV RITUAL SEBAGAI MANIFESTASI HUBUNGAN ........................ 63
MANUSIA DAN TUHAN................................................................................... 63
A. Ritual dalam Aliran Kebatinan Perjalanan ................................................. 63
B. Memperingati Satu Syuro .......................................................................... 64
C. Mendirikan Rumah..................................................................................... 68
D. Adat Penganten .......................................................................................... 70
E. Bibit Amit (Doa) ........................................................................................ 71
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 75
A. Kesimpulan ................................................................................................ 75
B. Saran ........................................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 77
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia merupakan salah satu bangsa yang paling majemuk
dipandang dari segi banyaknya agama, kepercayaan, etnis, bahasa, kesenian,
dan tradisi. Realitas keragaman dan kemajemukan bangsa Indonesia tercermin
secara nyata dengan adanya enam agama besar seperti Islam, Hindu, Budha,
Katolik, Protestan, dan Konghucu dan dengan berbagai etnis seperti Jawa,
Sunda, Betawi, Madura, Batak, Bugis, Dayak dan lain-lain.
Menurut Hildred Geertz, antropolog dari Amerika Serikat, seperti
dikutip oleh Faisal Ismail, Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnis,
masing-masing memiliki identitas budayanya tersendiri dan diperkirakan lebih
dari 250 bahasa daerah yang dipakai. Sangat penting diketahui bahwa adanya
keanekaragaman agama, budaya, dan bahasa menunjukkan identitas tersendiri
bagi Indonesia sebagai bangsa yang majemuk. Hal tersebut juga menunjukkan
arti penting bahwa adat dan ritual dari satu daerah dengan daerah lain sebagai
bentuk perwujudan budaya lokal memiliki penafsiran dan manifestasi yang
luas dan berbeda-beda serta sebagai sumber identitas khas mereka.1
Sebelum ada agama di Nusantara atau sebelum agama masuk ke
Indonesia, nenek moyang bangsa Indonesia telah mempunyai kepercayaan
akan adanya kekuatan di luar kekuasaan manusia, yaitu yang menciptakan
dunia dan seisinya. Tetapi karena pada prinsipnya manusia waktu itu kurang
mengerti tentang cara-cara menyembah atau berbakti kepada sang pencipta
1Faisal Ismail, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia
(Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012), h. xxi.
2
sehingga cara menyembahnya sangat sederhana. Kegiatan ini telah
terkelompok sedemikian rupa berbentuk organisasi. Dengan adanya Tap MPR
No: IV/MPR/1978 pemerintah memberikan arah dan pembinaan, maka
seakan-akan organisasi itu tumbuh kembali, sehingga oleh masyarakat
dianggap hal yang baru.2
Suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa pada akhir-akhir
ini di Indonesia tampak perkembangan yang mencolok pada perikehidupan
beragama maupun perikehidupan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa. Perkembangan ini dapat diketahui dengan munculnya bermacam-macam
organisasi dan aliran kepercayaan yang jumlahnya mencapai beberapa puluh
bahkan sampai jumlah ratusan. Pada tahun 1951 Kementerian Negara
Republik Indonesia menyusun daftar aliran kepercayaan yang ada dan berhasil
mengumpulkan sebanyak 73 aliran. Tahun 1965 jumlah itu naik menjadi 300
aliran. Tahun 1972 di kota-kota besar terdapat 151 aliran, sedangkan menurut
berita ANTARA ada 217 aliran tingkat pusat, dan 427 pada tingkat cabang
sehingga jumlah seluruhnya kurang lebih menjadi 644 aliran kepercayaan.3
Pada era Orde Baru berdasarkan GBHN paham keagamaan lokal
digolongkan ke dalam aliran kepercayaan. Pada waktu itu pembinaan aliran
kepercayaan diarahkan agar kembali ke induk agamanya masing-masing.
Maka pada waktu itu ada kebijakan, agama/kepercayaan lokal untuk
digabungkan dengan agama yang ajarannya mendekati. Berbagai
agama/kepercayaan lokal seperti Keharingan (Dayak), Aluk Todolo (Toraja)
2M. Jandra, Hasil Penelitin Organisasi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Daerah Istimewa Yogyakarta II (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990), h.
1. 3M. Jandra, Hasil Penelitin Organisasi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Daerah Istimewa Yogyakarta II, h. 2.
3
digabungkan ke dalam agama Hindu, agama Konghucu, digabungkan ke
dalam agama Budha, agama Sunda Wiwitan, agama Samin dan Aliran
Kebatinan digabungkan ke dalam agama Islam. Dengan kebijakan pemerintah
yang sangat represif, maka demi menyelamatkan diri mereka dengan sangat
terpaksa menerima penggabungan tersebut.4
Dengan berakhirnya Orde Baru dan munculnya Era Reformasi, maka
hal-hal yang tadinya tertutup, mulai terbuka. Para penganut kepercayaan yang
awalnya tidak berani menyuarakan aspirasinya, kini mulai berani
menyuarakan tuntutannya. Di antara tuntutannya ialah, mereka ingin agama
atau kepercayaan lokal mereka diakui terpisah dari agama induknya, karena
menurut mereka dari segi ajaran sangat jauh berbeda. Dengan demkian
muncul tuntutan agar agama atau kepercayaan lokal diberikan pelayanan
sebagaimana agama-agama lainnya. Pertama kali tuntutan itu muncul dari
agama Keharingan, Konghucu, dan Sunda Wiwitan. Selama ini informasi
tentang keberadaan paham keagamaan lokal masih belum banyak diketahui
oleh pemerintah dan masyarakat luas, meskipun Puslitbang Kehidupan
Keagamaan telah dua tahun berturut-turut pada tahun 2010 dan tahun 2011
melakukan penelitian tentang agama lokal. Pada tahun 2012 penelitian
tersebut dilanjutkan kembali dengan fokus masalah pelayanan hak-hak sipil
mereka.5
Aliran Kebatinan Perjalanan ini didirikan oleh Mei Kartawinata. Mei
Kartawinata lahir pada tanggal 1 Mei 1897 di Kebonjati Bandung. Ada juga
4Bashori A Hakim, Penyiaran Agama Dalam Mengawal Kerukunan di Indonesia
(Jakarta: Puslibang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
2014), h. 1. 5Bashori A Hakim, Penyiaran Agama Dalam Mengawal Kerukunan di Indonesia, h. 2.
4
yang mencatat bahwa tahun kelahirannya 1 Mei 1898 di Kecamatan Ciparay
Kabupaten Bandung. Abdul Rozak, dalam buku Teologi Kebatinan Sunda,
menyebutkan bahwa Mei Kartawinata adalah tokoh yang dikenal sebagai
spiritualis. Konon ia masih keturunan kerabat kerajaan Majapahit (dari garis
ayah) dan keluarga Prabu Siliwangi Pajajaran (ibu). Pendidikan formalnya
diperoleh dari sekolah rakyat (SR) atau HIS Zendingschool pada zaman
Belanda. Selain sekolah di SR ia juga pernah mengenyam pendidikan
pesantren dan berguru ilmu kebatinan kepada Mochamad Ishak yang dikenal
dengan tarekat Nahdlatul Arifin. Ajaran tarekat ini cenderung menekankan
cara seseorang dapat mengetahui Allah dengan sebenar-benarnya yaitu dengan
memahami rahasia alif lam mim yang berarti Allah-Muhammad-Adam. Dalam
tarekat, seseorang dapat meraih kesempurnaan jika mampu menyelami
hakekat dari Al-Quran dan Al-Hadist. Kemungkinan besar ajaran tarekat ini
berpengaruh terhadap pemikiran dan sikap Mei Kartawinata di kemudian
hari.6
Selain Mei Kartawinata, terdapat dua sahabatnya yang terlibat dalam
pembentukan Aliran Kebatinan Perjalanan yakni M. Rasyid dan Sumitra. Pada
mulanya mereka bekerja di percetakan di Subang dan menjadi kawan karib,
sehingga mereka suka berkumpul untuk membicarakan suka duka masing-
masing, baik masalah keluarga maupun keilmuan. Ketiganya ini terdapat
persamaan sikap yaitu mereka menyukai hal-hal yang berkaitan dengan ajaran
kebatinan atau spiritual.
6Asep Lukman Hakim, “Studi Tentang Aliran Kepercayaan Perjalanan Ciparay
Bandung,” al-Afkar, Vol. 2, No. 1, (Juli 2018): h. 115.
5
Asal mula berdirinya Aliran Kebatinan Perjalanan tidak lepas dari
sosok Mei Kartawinata yang pada suatu saat dia berada di tepi sungai, lalu
mendengar suara tanpa jasad. Atas dasar peristiwa itu, para pengikutnya
menyebut istilah wangsit. Berdasarkan wangsit tersebut, Mei Kartawinata
beserta sahabatnya membentuk organisasi Aliran Kebatinan Perjalanan pada
hari Supra atau Jumat Kliwon jam 12.00 tanggal 19 Hasyi (Maulud) tahun
1858 Saka atau pada tanggal 17 September 1927. Pendiriannya bertepat di
kampung Cimerta, Kelurahan Pasir Kareumbi, Kecamatan Subang, Kabupaten
Subang.7
Berdirinya Aliran Kebatinan Perjalanan ini tidak serta merta atas
keinginan bapak Mei Kartawinata, melainkan atas wangsit yang ia terima dari
Tuhan Yang Maha Esa. Adapun wangsit yang diterimanya: yaitu, (1)
Janganlah membiarkan dirimu dihina dan direndahkan oleh siapapun, sebab
dirimu tidak lahir dan besar oleh sendirinya,8 (2) Barangsipa yang menghina
dan merendahkan orang lain, sama juga artinya dengan menghina dan
merendahkan diri sendiri. (3) Tidak ada kekuatan dan kekuasaan yang
melebihi Tuhan Yang Maha Belas dan Kasih. Karena hanya tuhanlah yang
memiliki segalanya di dunia ini. (4) Kagumilah dirimu sendiri yang telah
mempertemukan kamu dengan dunia dan isinya. Serta betapa nikmat rasa
yang kamu telah rasakan sebagai hikmah dari Tuhan Yang Maha Esa. (5)
Kemana kamu pergi dan di mana kamu berada Tuhan Yang Maha Esa selalu
berserta denganmu. (6) Perubahan besar dalam kehidupan manusia akan
7Asep Lukman Hakim, “Studi Tentang Aliran Kepercayaan Perjalanan Ciparay
Bandung,” h. 116. 8Dewan Musyawarah Pusat Aliran Kebatinan Perjalanan, Budaya Spiritual Aliran
Kebatinan Perjalanan (Bandung: T.P, 2005), h. 2.
6
menjadi pembalasan terhadap segala penindasan serta mencetuskan atau
melahirkan kemerdekaan bangsa. (7) Apabila pengetahuan disertai kekuatan
raga dan jiwamu digunakan secara salah untuk memuaskan hawa nafsu, akan
menimbulkan dendam kesumat, kebencian, pembalasan, dan perlawanan.
Sebaliknya apabila pengetahuan dan kekuatan raga dan jiwamu digunakan
untuk menolong sesama akan menumbuhkan rasa kasih sayang dan
persaudaraan yang mendalam. (8) Cintailah sesama hidupmu tanpa
memandang jenis dan rupa, sebab ketika kamu mati, kamu tidak akan
mengubur dirimu dengan sendirinya. Selama kamu masih hidup berusahalah
agar dapat memelihara kelangsungan hidup sesamamu sesuai dengan
Kodratnya menurut kehendak Tuhan Yang Maha Esa. (9) Jikalau kamu ingin
kayaraya maka bekerjalah dengan sesungguh hati dan kerja keras yang sesuai
dengan kebutuhanmu, sebab yang membuat mu kayaraya bukanlah karna
belas kasih dari orang lain, akan tetapi adalah hasil kerjamu sendiri. (10)
Saling tolong-menolong atas sesamamu, maka akan tercapai masyarakat
kemanusiaan yang rukun dan harmonis.9
Aliran Kebatinan Perjalanan ini memiliki tiga saudara sebagai
pendirinya yakni M. Rasyid, Sumitra, dan Mei Kartawinata. Ketiganya ini
mendapatkan wangsit dari Tuhan Yang Maha Esa sehingga menghasilkan
ajaran-ajaran di antaranya, yakni: (1) Tuhan Yang Maha Esa (2) Rasa Gusti
(3) Badan Jasmani dan Rohani (4) Nafsu-Nafsu (5) Jiwa (6) Cinta Kasih dan
Ketunggalan (7) Kebatinan (8) Aku (Ingsun).
9Dewan Musyawarah Pusat Aliran Kebatinan Perjalanan, Budaya Spiritual Aliran
Kebatinan Perjalanan h. 5.
7
Kemudian ada pembahasan mengenai konsep-konsep, di antaraya: (1)
Konsepsi Tentang Tuhan (2) Konsepsi Tentang Manusia (3) Konsepsi
Tentang Alam.
Di beberapa agama atau aliran kepercayaan yang berkembang di
Indonesia, antara manusia dan Tuhan sangat erat sekali hubungannya seperti
yang terlihat dalam ajaran Agama Hindu. Setiap pemeluk agama Hindu
diajarkan lima prinsip kepercayaan yang disebut Panca Sarada yaitu: (1)
Brahman percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa. (2) Aman percaya adanya
roh. (3) Karma Pala percaya kepada segala perbuatan pasti ada hasilnya. (4)
Reinkarnasi percaya adanya penitisan kembali. (5) Moksah tujuan akhir
pemeluk Hindu, yaitu ketenangan abadi atau bebas dari ikatan duniawi.
Dengan menerapkan kelima ajaran tersebut maka setiap pemeluk
agama Hindu ini dapat berhubungan baik dengan tuhannya.10
Dalam ajaran Sapta Darma untuk mencapai kesempurnaan sebagai
manusia terlihat dari beberapa hal berikut: (1) Kesempurnaan terdiri dari
bersatunya manusia dengan Tuhan, asalnya. Karena manusia pada hakikatnya
roh Tuhan itu sendiri. (2) Kesempurnaan itu dapat dicapai degan melakukan
sujud dan mengamalkan wewarah pitu atau tujuh petuah. (3) Buah sujud
adalah bahwa manusia dilepaskan dari kekuasaan segala nafsunya dan
manusia mendapatkan suatu kekuatan yang mengatasi atau melebihi segala
yang bersifat alamiah yaitu atom berjiwa. Kekuatan ini dapat dipergunakan
untuk menyembuhkan orang sakit, berhubungan dengan roh yang baik dan
jahat, dan untuk mengalami mati di dalam hidup (mati sajroning urip) dengan
10
Dewa Nyoman Wastika, “Penerapan Konsep Tri Hita Karena Dalam Perencanaan
Perumahan di Bali,” Jurnal Permukiman Nata, Vol. 3, No. 2, (Agustus 2005): h. 75.
8
singkat, karena kesempurnaan yang telah dicapai oleh manusia mendapat
bagian dari sifat-sifat Allah.11
Menurut Pak Mait,12
hubungan manusia dan Tuhan dalam Aliran
Kebatinan Perjalanan, adanya bumi dan langit beserta isinya adalah Tuhan
Yang Maha Esa yang menciptakannya, maka bila ingin mencari tuhan carilah
pada diri sendiri, sebab Tuhan Yang Maha Esa ini selalu berada di dalam diri
kita, ketika eling pada diri sendiri maka secara tidak langsung juga eling
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Maka dari itu eling haruslah dipakai untuk
yang benar jangan dipakai untuk melakukan sesuatu yang tidak benar karena
dengan melakukan perbuatan yang baik maka akan mendapatkan hal yang
baik pula.13
Dalam setiap upacara atau ritual terdapat pelaku, kegiatan, benda,
waktu dan tempat tertentu. Tentunya dalam hal ini sebagai pemimpin
pelaksanaan ritual adalah sesepuh, kemudian diikuti oleh para penganut Aliran
Kepercayaan Perjalanan. Salah satu contohnya untuk dekat dengan Tuhan
Yang Maha Esa yakni dengan melakukan ritual memperingati satu Syuro,
yang dilakukan setiap setahun sekali oleh para panganut Aliran Kebatinan
Perjalanan. Dalam pelaksanaannya dilakukan secara serentak di Pasewakan
(rumah ibadah) dan ada juga yang dilakukan di setiap rumah para penganut
Aliran Kebatinan Perjalanan. Dalam pelaksanaannya, ritual ini memakai
sesajen sebagai perantara melakukan ritual tersebut, di antaranya: Tumpeng,
11
Harun Hadiwijono, Konsepsi Tentang Manusia Dalam Kebatinan Jawa (Jakarta: Sinar
Harapan, 1983), h. 115. 12
Pak Mait sebagai sesepuh Aliran Kebatinan Perjalanan di Jati Sampurna. 13
Wawancara pribadi dengan bapak Mait, Jati Sampurna. Pada tanggal 29 Oktober 2018.
9
Pisang Raja/emas, kelapa degan, buah buti, kendi isi air, daun anjong, rujak,
garam, kembang, bubur merah/putih, dan bekakak ayam.14
Dari fenomena-fenomena yang ada sangat menarik bagi penulis untuk
mengangkat atau meneliti Aliran Kepercayaan Perjalanan, karena sesuai
dengan jurusan yang ditempuh penulis di Jurusan Studi Agama-Agama
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri (UIN) Jakarta. Karena ingin
mengetahui lebih mendalam tentang ajaran-ajaran yang ada di dalamnya maka
penulis mengangkatnya dalam sebuah skripsi dengan judul Hubungan
Manusia dan Tuhan dalam Perspektif Aliran Kebatinan Perjalanan di Kec.
Jati Sampurna, Bekasi).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, Penulis merumuskan
masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana hubungan manusia dan Tuhan dalam Aliran Kebatinan
Perjalanan?
2. Bagaimana pelaksanaan ritualnya untuk sampai ke Tuhan?
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.).
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini dibagi menjadi tiga, yakni kegunaan teoritis,
praktis dan Akademis.
14
Wawancara pribadi dengan bapak Mait, Jati Sampurna. Pada tanggal 29 Oktober 2018.
10
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
sumbangan data ilmiah dan mampu memperkaya khasanah keilmuan
dalam memahami dan mengintrepretasikan hasil karya para penulis di
Indonesia mengenai Aliran Kebatinan Perjalanan
b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi para
mahasiswa/I khususnya jurusan Studi Agama-agama agar lebih
subjektif lagi dalam menginterpretasikan setiap hasil karya orang lain,
dan hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan para peneliti lain dengan
tema atau judul yang serupa.
c. Kegunaan Akademis
Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi
persyaratan akhir perkuliahan guna mendapatkan gelar Sarjana Agama
(S.Ag) jurusan Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Tinjauan Pustaka
Penulis telah berusaha melakukan penelitian terhadap pustaka yang
ada, berupa karya-karya penelitian terdahulu yang mempunyai relevansi
dengan topik yang diteliti, di antaranya:
Sebuah buku dari Dewan Musyawarah Aliran Kebatinan Perjalanan,
yang berjudul Budaya Spiritual Aliran Kebatinan Perjalanan yang diterbitkan
oleh Tim Penulis Dewan Musyawarah Aliran Kebatinan Perjalanan pada tahun
2005. Buku tersebut membahas tentang sejarah, penghayatan dan pengamalan
11
Kebatinan Perjalanan dan konsep-konsep mengenai Tuhan, Manusia, Alam
dan Tata Cara Ritual.
Adapun karya lain yakni sebuah buku dari, Tim Penulis Dewan
Musyawarah Aliran Kebatinan Perjalanan yang berjudul Pedoman
Dasar/Pedoman Rumah Tangga Aliran Kebatinan Perjalanan yang
diterbitkan oleh Dewan Musyawarah Aliran Kebatinan Perjalanan pada tahun
2005. Buku tersebut membahas tentang Pedoman Dasar Aliran Kebatinan
Perjalanan, Pedoman Rumah tangga Aliran Kebatinan Perjalanan dan
Pandangan Hidup Kebatinan.
Ada pun perbedaan kajian yang akan penulis tulis dengan hasil
penelitian di atas, bahwa penulis akan menggunakan metode kualitatif. Dalam
penulisan ini pendekatannya menggunakan pendekatan historis,
fenomenologis, dan Teologis. Dengan demikian penelitian yang akan
dilakukan oleh penulis merupakan penelitian pertama yang membahas tentang
“Hubungan Manusia dan Tuhan dalam Perspektif Aliran Kebatinan
Perjalanan di kec. Jati Sampurna, Bekasi”.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, penelitian kualitatif
adalah penelitian di aman peneliti membuat suatu usaha untuk memahami
suatu realitas organisasi tertentu dan fenomena yang terjadi dari perspektif
semua pihak yang terlibat. Penelitian ini mencoba untuk memahami hal
12
tersebut baik “dari dalam keluar” maupun sebaliknya “dari luar kedalam”
yang merupakan hal fundamental bagi metodelogi kualitatif.15
Penelitian kualitatif berakar pada latar belakang alamiah sebagai
kebutuhan mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan
metode kualitatif, mengandalkan analisis secara induktif, mengarahkan
sasaran penelitian pada usaha menemukan teori dasar yang bersifat
deskriptif, lebih mementingkan proses dari pada hasil. Mengatasi studi
dengan fokus, memiliki seperangkat untuk memeriksa keabsahan data,
rancangan penelitian bersifat sementara dan hasil penelitian disepekati
oleh kedua belah pihak: peneliti dan subjek penelitian.16
Secara umum penelitian kualitatif sangat berkembang sejak tahun
1984, karena berbagai segi yang memang sulit dilaksanakan secara
kuantitatif.17
Oleh karena itu penulis menggunakan jenis penelitian
kualitatif pada penelitian ini karna sulit dilaksanakan jika menggunakan
penelitian kauntitatif.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan tiga
pendekatan yaitu pendekatan historis, pendekatan fenomenologis dan
pendekatan teologis.
1) Pendekatan historis digunakan untuk menelusuri asal-usul serta
pertumbuhan pemikiran-pemikiran dan lembaga-lembaga keagamaan
15
Jan Joker, Metodelogi Penilitian Panduan Untuk Master dan Ph.D di Bidang
Manajemen (Jakarta: Salemba Empat, 2011), h. 71-72. 16
Lexy J Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdokarya,
1996), h. 27. 17
Boy S. Sarbaguna, Analisis Data pada Penelitian Kualitatif (Jakarta: UI Press, 2008), h.
1.
13
melalui periode perkembangan sejarah tertentu, serta untuk memahami
peranan kekuatan yang diperlihatkan oleh agama dalam periode-
periode tersebut.18
Pendekatan historis yang digunakan untuk
menggambarkan sejarah dan perkembangan aliran.
2) Sementara fenomenologis berasal dari bahasa Yunani, phaenesthai,
berarti menunjukan dirinya sendiri, menampilkan. Metode
fenomenologi yang dirintis Edmun Husserl bersemboyan: Zuruck zu
den sachen selbst (kembali kepada hal-hal itu sendiri). Fenomenologi
adalah studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesadaran, atau
cara memahami suatu objek atau peristiwa dengan mengalaminya
secara sadar. Fenomenologi juga berupaya mengungkapkan tentang
makna dari pengalaman seseorang. Makna tentang sesuatu yang
dialami seseorang akan sangat tergantung bagaimana orang
berhubungan dengan sesuatu hal itu. Fenomenologi berkaitan dengan
penampakan suatu objek, peristiwa, atau suatu kondisi dalam persepsi
kita. Dalam hal ini, fenomenologi berarti membiarkan sesuatu datang
mewujudkan dirinya sebagaimana adanya, dengan demikian, di satu
sisi, makna itu muncul dengan cara membiarkan realitas atau
fenomena atau pengalaman itu membuka dirinya. Di sisi lain, makna
itu muncul sebagai hasil interaksi antara subjek dengan fenomena yang
dialaminya.19
Dengan pendekatan fenomenologi ini untuk
mendiskripsikan atau mengintrepretasikan ajaran-ajaran.
18
Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama Pengenalan Awal Metodelogi
Studi Agama-agama untuk IAIN, STAIN, PTAIS (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), h. 39. 19
O. Hasbiansyah, Fenomenologi, Fenomena, Metode Riset, Vol. 9, No. 1, h. 166.
14
3) Pendekatan teologis ini dalam rentang sejarah yang cukup lama
merupakan pendekatan yang paling dominan dan paling berpengaruh
dalam Studi Agama dan Studi Agama-Agama (Perbandingan Agama),
bahkan hingga hari ini meskipun tidak lagi mendomonasi. Selama
berabad-abad, teologi dianggap sebagai “Ratu Ilmu Pengetahuan
(Queen of the Sciences),” terutama di dunia Yahudi, Kristen dan Islam.
Inilah pendekatan yang bersifat normatif dan subyektif. Dengan
pendekatan ini seorang penganut suatu agama, apakah itu Kristen,
Islam atau agama lain ketika membuat studi teologis biasanya ia
melakukan satu dari dua hal: pertama, studi dalam (insider) yang
berusaha secara aktif dalam kegiatan ilmiahnya untuk melestarikan
atau mempromosikan keunggulan agamanya serta mempertahankannya
dari ancaman atau serangan orang lain. Kedua, eksternal. Dalam hal ini
seorang peneliti atau penganut agama tertentu melakukan kajian
terhadap agama/keyakinan orang lain untuk “menilai” dan
“menghakiminya” dengan ukuran agama sang peneliti. Dulu,
pendekatan ini disebut juga pendekatan tekstual atau pendekatan kitabi
dengan sifat utamanya: apologis dan polemis.20
3. Sumber Penelitian.
Sumber data ini dibagi menjadi dua, yaitu sumber data primer dan
sumber data sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang dapat
memberikan data penelitian secara langsung. Sumber data primer ini
merupakan sumber utama, berupa karya yang ditulis langsung oleh
20
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama Dari Era Teosofi Indonesia (1901-
1940) Hingga Masa Reformasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 20.
15
penganutnya sendiri maupun yang ahli dalam bidangnya atau hasil dari
wawancara. Sedangkan sumber data sekunder adalah data yang materinya
secara tidak langsung berhubungan dengan masalah yang diungkapkan.
Sumber data sekunder ini digunakan sebagai pelengkap dari sumber data
primer.21
4. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Desertasi) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Biro Akademik dan
Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013/2014.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam pembahasan, skripsi tersebut dibagi
menjadi beberapa bab dan sub bab, yaitu:
Bab pertama: Pendahuluan. Bab ini membahas tentang alasan
pemilihan judul, dengan menunjukkan faktor yang mendorong pemilihan
judul skripsi. Kemudian diikuti dengan menuliskan rumusan masalah, tujuan
penelitian dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian,
dan sistematika penulisan. Secara garis besar bagian ini bertujuan sebagai
landasan teoritis metodologis dalam penelitian.
Bab kedua: Dalam bab ini penulis ingin menjelaskan mengenai sejarah
Aliran Kebatinan Perjalanan.
Bab ketiga: Dalam bab ini penulis ingin menjelaskan ajaran Aliran
Kebatinan Perjalanan.
21
Suharsini Ari Kunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka
Cipta, 2002), h.117.
16
Bab keempat: Dalam bab ini penulis ingin menjelaskan ritual-ritual
Aliran Kebatinan Perjalanan.
Bab kelima: Kesimpulan, saran dan kata penutup. Yaitu memuat
kesimpulan yang mencakup semua isi skripsi, saran dan diakhiri dengan kata
penutup.
17
BAB II
SEJARAH ALIRAN KEBATINAN PERJALANAN
A. Riwayat Hidup Pendiri Aliran Kebatinan Perjalanan
Aliran Kebatinan Perjalanan terdapat tiga tokoh pendirinya yaitu, Mei
Kartawinata, M. Rasyid, dan Sumitra. Berikut riwayat hidup dari para pendiri
Aliran Kebatinan Perjalanan:
a. Mei Kartawinata merupakan tokoh pendiri Aliran Kebatinan
Perjalanan. Ia lahir pada tanggal 1 Mei 1897 di Kebon Jati
Bandung. Ada juga yang mencatat bahwa tahun kelahirannya 1
Mei 1898 di Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung. Abdul
Rozak, dalam buku Teologi Kebatinan Sunda, menyebutkan bahwa
Mei Kartawinata adalah tokoh yang dikenal sebagai spiritualis.
Konon beliau masih keturunan kerabat kerajaan Majapahit (dari
garis ayah) dan keluarga Prabu Siliwangi Pajajaran (ibu).
Pendidikan formalnya diperoleh dari sekolah rakyat (SR) atau HIS
Zendingschool pada zaman Belanda. Selain sekolah di SR ia juga
pernah mengenyam pendidikan pesantren dan berguru ilmu
kebatinan kepada Mohammad Ishak yang dikenal dengan tarekat
Nahdlatul Arifin. Ajaran tarekat ini cenderung menekankan cara
seseorang dapat mengetahui Allah dengan sebenar-benarnya yaitu
dengan memahami rahasia alif lam mim yang berarti Allah-
Muhammad-Adam. Dalam tarekat, seseorang dapat meraih
kesempurnaan jika mampu menyelami hakekat dari Al-Quran dan
18
Al-Hadist. Kemungkinan besar ajaran tarekat ini berpengaruh
terhadap pemikiran dan sikap Mei Kartawinata di kemudian hari.22
Pada masa remajanya Mei Kartawinata ikut dan tinggal bersama kakak
iparnya di kediaman sultan Kanoman Cirebon. Mei Kartawinata termasuk
orang banyak bergaul dengan kehidupan priayi keraton, apalagi ia termasuk
orang yang terpelajar, ia banyak memahami ilmu kebatinan atau ilmu
kepribadian Ketuhanan Yang Maha Esa di komplek Kraton Cirebon. Di
Kraton Cirebon banyak berkembang Aliran Kebatinan antara lain Ngelmu
Sejati. Aliran ini dikenal sebagai Agama Kuring, atau Ngelmu Garingan,
maksudnya ilmu kering, karena pengikutnya kurang rajin menjalankan syariat
Islam, seperti shalat yang selalu identik dengan air untuk berwudhu. Dapat
kita duga ia sangat terpengaruh dengan kebatinan yang berkembang di
lingkungan Kraton Cirebon.23
Selain itu Mei Kartawinata juga aktif dalam dunia politik, ia pernah
menjadi aktifis perjuangan melawan Belanda. Menurut para pengikutnya, di
masa pergerakan nasional ia sangat dekat dengan kalangan pergerakan yang
berideologi Marhaenis, termasuk Bung Karno. Bahkan menurut salah satu
sumber, sang spiritualis adalah kawan diskusi Bung Karno mengenai berbagai
hal menyangkut politik dan ideologi, termasuk mengenai ideologi negara
Indonesia bila merdeka kelak. Selain itu, ia tercatat pernah dipenjara oleh
Belanda di Bandung pada tahun 1937. Menjelang tahun 1955 ia beserta J.B.
22
Asep Lukman Hakim, “Studi Tentang Aliran Kepercayaan Perjalanan Ciparay
Bandung,” al-Afkar, Vol. 2, No. 1, (Juli 2018): h. 115. 23
Ilim Abdul Halim, Nilai-Nilai Aliran Kebatinan Perjalanan dan Dasar Negara, Jurnal
Agama dan Lintas Budaya, Vol. 1, No. 1, (September 2016): h. 79.
19
Assa mendirikan Partai Permai (Persatuan Rakyat Marhaenis). Partai ini
memperoleh dua kursi di konstituante.24
Mei Kartawinata tampak seperti orang yang rendah hati. Ia sering
menyebut dirinya sebagai “Emang” (bahasa Sunda: paman). Dalam bahasa
sehari-hari orang Sunda, Emang adalah orang yang suka membantu orang lain.
Namun, ketika Mei Kartawinata menyapa orang lain, khususnya warga Aliran
Kebatinan Perjalanan, selalu menyebut “Juragan” (bahasa Sunda: tuan).
Juragan, dalam bahasa sehari-hari orang Sunda, adalah orang yang menguasai
jiwa dan raga Emang. Mei Kartawinata memang sangat menghormati orang
lain. Dan, ada suatu kelebihan kepribadian Mei Kartawinata, yaitu mampu
mengobati orang yang sakit secara tradisional tanpa memungut bayaran sedikit
pun. Pada tahun 1967, Mei Kartawinata meninggal dunia dalam usia 70 tahun
di Jalan Cikutra, Sukasirna, Bandung, dan dimakamkan di Desa Paku Tandang
Ciparay, Bandung.25
Selain Mei Kartawinata, terdapat dua sahabatnya yang terlibat dalam
pembentukan Aliran Kebatinan Perjalanan yakni M. Rasyid dan Sumitra. Pada
mulanya mereka bekerja di percetakan di Subang dan menjadi kawan karib,
sehingga mereka suka berkumpul untuk membicarakan suka duka masing-
masing, baik masalah keluarga maupun keilmuan. Ketiganya ini terdapat
persamaan sikap yaitu mereka menyukai hal-hal yang berkaitan dengan ajaran
kebatinan atau spiritual.26
24
Asep Lukman Hakim, “Studi Tentang Aliran Kepercayaan Perjalanan Ciparay
Bandung,” h. 116-117. 25
Abdul Rozak, Teologi Kebatinan Sunda Kajian Antropologi Agama tentang Aliran
Kebatinan Perjalanan (Bandung: Kiblat, 2005), h. 129-130. 26
Asep Lukman Hakim, “Studi Tentang Aliran Kepercayaan Perjalanan Ciparay
Bandung,” h. 115.
20
b. M. Rasyid, tahun kelahirannya kurang jelas, ia satu generasi
dengan Mei Kartawinata. M. Rasyid berasal dari keluarga kaya di
kota Bandung, persisnya di sekitar Pasar Baru. Namun, pada 1926
ia pergi ke Subang untuk bekerja di sebuah percetakan, yang
kemudian ia bertemu dengan Mei Kartawinata. Di Subang, M.
Rasyid dan Mei kartawinata berkawan akrab.
c. Sumitra berasal dari Garut. Tanggal kelahirannya juga kurang
jelas, tetapi pada tahun 1926 ia mencoba mengadu nasib pergi ke
Subang dan bekerja di percetakan tempat Mei Kartawinata dan M.
Rasyid bekerja. Ketiganya bertemu hampir setiap saat, sehingga
sehingga selalu berbagi suka dan duka. Sumitra diceritakan
mempunyai ilmu hipnotis, yang dengan itu mampu membanting
binatang yang mengamuk dari jarak jauh. Karena begitu sering
bertemu dan bersama, maka ketiganya saling mengangkat saudara
dan berjanji untuk hidup rukun dan saling mencintai27
B. Sejarah Aliran Kebatinan Perjalanan di Indonesia
Nama Perjalanan diambil dari kata nglampahi yang mempunyai arti
bahwa untuk mewujudkan segala cita-cita atau usaha apapun, baik yang
bersifat kelahiran maupun kebatinan, haruslah dengan menjalani (nglampahi),
juga karena antara pangkal cita-cita dan keinginan hingga terwujudnya tujuan
akhir terdapat jarak (antara) yang harus ditempuh dan dijalani (dilampahi).
Hal tersebut digambarkan sebagai air yang menetes keluar dari sumber yang
mengalir terlebih dahulu ke selokan, ke sungai kemudian sampai ke samudra.
27
Abdul Rozak, Teologi Kebatinan Sunda Kajian Antropologi Agama tentang Aliran
Kebatinan Perjalanan, h. 130.
21
Perjalanan yang harus ditempuh oleh air dari sumber sampai ke samudra
mendatangkan manfaat bagi kehidupan. Demikian juga dengan manusia dalam
mewujudnkan cita-cita untuk mencapai tujuan akhir harus meleburkan diri
dalam kehidupan masyarakat agar dapat bermanfaat bagi dirinya dan orang
lain.28
Asal mula berdirinya Aliran Kebatinan Perjalanan tidak lepas dari
sosok Mei Kartawinata yang pada suatu saat dia berada di tepi sungai, lalu
mendengar suara tanpa jasad. Atas dasar peristiwa tersebut, para pengikutnya
menyebut istilah wangsit. Berdasarkan wangsit tersebut, Mei Kartawinata
beserta sahabatnya membentuk organisasi Aliran Kebatinan Perjalanan pada
hari Supra atau Jumat Kliwon jam 12.00 tanggal 19 Hasyi (Maulud) tahun
1858 Saka atau pada tanggal 17 September 1927. Pendiriannya bertepat di
kampung Cimerta, Kelurahan Pasir Kareumbi, Kecamatan Subang, Kabupaten
Subang.29
Aliran Kebatinan Perjalanan ini didirikan oleh ketiga tokohnya yakni:
Mei Kartawinata, M. Rasyid, dan Sumitra. Ketiganya ini saling berjanji untuk
hidup rukun, saling cinta-mencintai, serta memiliki tujuan yang sama dalam
hal kebatinan. Akan tetapi meskipun memiliki tujuan yang sama, namun
dalam hal memenuhi kebahagiaan, masing-masing berbeda, baik dari cara
maupun ruang lingkupnya. M. Rasyid merasa dirinya bahagia bila ia berhasil
mengalahkan orang lain. Meskipun untuk itu, ia harus menggunakan kekuatan
28
S Dloyana Kusuma, Organisasi Terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Aliran Kebatinan
Perjalanan” di Kelurahan Cipayung Kecamatan Lubang Buaya Jakarta Timur (Bandung:
Kementrian Kebudayaan dan Parawista Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung,
2003), h. 7. 29
Asep Lukman Hakim, “Studi Tentang Aliran Kepercayaan Perjalanan Ciparay
Bandung,” h. 116.
22
jasmani maupun rohaniah. Karena itu, agar selalu memperoleh kebahagiaan, ia
pun terus mempertinggi kekuatan kanuragan dan jayakawijayan. Dengan
kekuatan itu, akhirnya tidak ada lagi yang mampu menandinginya, segala
yang diinginkannya terpenuhi dan itulah yang membuatnya senang.30
Beda halnya dengan Sumitra, ia merasa bahagia apabila orang tidak
saling mengganggu, meskipun harus mengorbankan diri sendiri. Agar tidak
saling mengganggu maka harus memiliki kekuatan agar tidak dianggap lemah.
Untuk itu, Sumitra mempunyai kanuragan dan jayakawijayan, agar ia siap
menghadapi segala sesuatu hal apa pun itu, baik yang jasmani maupun rohani,
sehingga terjadi suasana saling menghargai, karena ada keseimbangan
kekuatan dan keadaan menjadi tenang. Bagi Sumitra keadaan semacam ini
yang disebut bahagia.
Adapun Mei Kartawinata yang berlatar pendidikan pesantren,
mendalami isi dari kitab kuning dengan teologi murjiah yang mendukung
pemikiran tentang kebatinan. Pemikiran murjiah sendiri menyatakan bahwa
“Iman cukup dengan percaya kepada Allah dan Rasul-Nya”, dari sini dapat
diketahui bahwa Mei Kartawinata adalah seorang mukmin, meski
meninggalkan hal-hal yang diwajibkan atau difardhukan. Di sisi lain Mei
Kartawinata juga bergaul dengan lingkungan keraton cirebon, dimana pada
saat itu di cirebon banyak terdapat aliran kebatinan. Oleh karena itu, dapat
diduga bahwa Mei Kartawinata dipengaruhi oleh pemikiran kebatinan yang
berkembang di lingkungan keraton cirebon.31
Mei menganggap bahwa yang
30
Abdul Rozak, Teologi Kebatinan Sunda Kajian Antropologi Agama tentang Aliran
Kebatinan Perjalanan, h. 130. 31
Abdul Rozak, Teologi Kebatinan Sunda Kajian Antropologi Agama tentang Aliran
Kebatinan Perjalanan, h. 121.
23
disebut bahagia adalah sesuatu yang menggembirakan dan menyenangkan
dengan tidak membedakan ras, suku, agama dan lain-lain. Maka dari itu
haruslah mewujudkan hidup yang rukun dengan bersama-sama. Bagi Mei
Kartawinata untuk mewujudkan kesenangan tidaklah harus memiliki kekuatan
kanuragan dan jayakawijayan, seperti pandangan kedua kawannya tersebut,
namun kedekatan dan hidup damai saling pengertian antar sesama. Mei selalu
peduli dengan kepedihan orang lain, kepada orang yang sakit, Mei tidak
segan-segan mencoba mengobati sesuai dengan kemampuannya, tanpa
memungut biaya sepeser pun. Banyak yang sembuh karena pengobatannya
sehingga hal ini menambah karismanya di hadapan masyarakat.32
Namun, sikap Mei Kartawinata yang tidak mau mempunyai
kanuragan, justru menjadikan karibnya, M. Rasyid, menganggap Mei sangat
lemah. Karena itu, ia ingin membagi ilmunya dengan saudaranya itu, agar Mei
dapat berbuat seperti dirinya. M. Rasyid ingin membagi ilmunya kepada Mei
itu merupakan tanda rasa kasih sayang saudara kepada saudaranya yang
lemah. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Mei tidak mau menerima uluran
tangan saudaranya tersebut. Ia mencoba menolaknya dengan halus. Tetapi,
penolakan itu membuat M. Rasyid penasaran. Rasa penasaran itu memuncak
ketika suatu hari tetangga dekat M. Rasyid bernama Sukarma sakit, kemudian
M. Rasyid diminta untuk mengobatinya. Ia dengan segala daya dan upaya
mencoba melakukan pertolongan, namun tidak berhasil. Lalu ia meminta
Sumitra untuk menolong Sukarma, namun Sumitra pun tidak dapat
menolongnya juga. Akhirnya ia meminta Mei Kartawinata untuk mengobati
32
Abdul Rozak, Teologi Kebatinan Sunda Kajian Antropologi Agama tentang Aliran
Kebatinan Perjalanan, h. 131.
24
Sukarma. Hasilnya di luar dugaan, Sukarma ternyata sembuh seketika. Hal ini
membuat M. Rasyid tidak senang. Ia menjadi geram bahkan berprasangka
buruk kepada Mei, bahwa Mei menyembunyikan ilmu yang dipunyainya
sehingga ia merasa terkalahkan. Akhirnya M. Rasyid secara terbuka
menantang Mei untuk bertarung.
Sebagaimana diketahui, Mei Kartawinata tidak mempunyai kanuragan
dan jayakawijayan, sehingga ketika ditantang oleh M. Rasyid untuk bertarung
ia mengatakan tidak bersedia. Sikap Mei ini membuat kemarahan M. Rasyid
bertambah. M. Rasyid merasa direndahkan dan diremehkan. Maka dengan
sangat marah ia menghina dan mencerca Mei habis-habisan. Secara sepihak
M. Rasyid menetapkan hari dan waktu untuk menyelesaikan permasalahan
mereka dengan perkelahian. Perkelahian ini direncanakan bertempat di hutan
Tutupan Kampung Cimerta di pinggir Sungai Cileuleuy, Kelurahan Pasir
Kareumbi.33
Menjelang waktu perkelahian tiba, Mei merasa kehabisan akal.
Hampir-hampir ia putus asa, karena baginya: Pertama, tidak mungkin
mengalahkan M. Rasyid, karena dirinya tidak punya kanuragan dan
jayakawijayan. Karena itu, ia berfikir untuk bunuh diri saja dari pada harus
berkelahi dengan M. Rasyid. Kedua, seandainya dirinya terus mengalah, itu
pun tetap menjadikan M. Rasyid marah, karena merasa diremehkan dan
dikelabui olehnya, sehingga sangat mungkin kalau M. Rasyid justru akan
merasa lebih terhina, yang boleh jadi akan membunuhnya.
33
Abdul Rozak, Teologi Kebatinan Sunda Kajian Antropologi Agama tentang Aliran
Kebatinan Perjalanan, h. 131-132.
25
Kedua hal tersebut bukan pilihan yang menyenangkan. Karena itu,
agar perkelahian tidak terjadi, maka Mei bertekad untuk bunuh diri. Tempat
yang dipilih adalah jembatan gantung setinggi kurang lebih sepuluh meter di
atas Sungai Cileuleuy yang banyak batunya.34
Dalam perjalanan hendak bunuh diri, tidak diketahui dari mana
datangnya dan siapa orangnya, Mei mendengar suara himbauan yang cukup
jelas. Yakni:
Pertama, janganlah membiarkan dirimu dihina dan direndahkan oleh
siapapun, sebab dirimu tidak lahir dan besar oleh sendirinya.
Kedua, barangsipa yang menghina dan merendahkan orang lain, sama
juga artinya dengan menghina dan merendahkan ibu bapakmu, bahkan
leluhur bangsa.35
Suara yang datang tiba-tiba dan cukup jelas itu menjadikan Mei
merasa memperoleh motivasi dan harapan baru. Dengan itu, ia pun
menyerahkan segala persoalan yang terjadi pada dirinya kepada Tuhan Yang
Maha Esa, bunuh diri pun tidak jadi ia laksanakan.
Ketika Mei pulang kembali dari rencana bunuh diri, ia bertemu dengan
Sumitra, yang menyatakan akan membantunya melawan M. Rasyid.
Pernyataan Sumitra itu sungguh membuat dirinya memperoleh support untuk
mendapatkan kemenangan. Pada saat M. Rasyid menjemput Mei untuk
berkelahi, keduanya pergi ke suatu tempat yang telah ditentukan, namun
secara diam-diam diikuti oleh Sumitra. Di tempat itu, masing-masing
34
Abdul Rozak, Teologi Kebatinan Sunda Kajian Antropologi Agama tentang Aliran
Kebatinan Perjalanan, h. 133. 35
Dewan Musyawarah Pusat Aliran Kebatinan Perjalanan, Budaya Spiritual Aliran
Kebatinan Perjalanan (Bandung: T.P, 2005), h. 2.
26
mengambil posisi. M. Rasyid duduk bersila sambil bertafakur, sementara
Sumitra tetap berdiri santai didampingi Mei Kartawinata.
Kemudian M. Rasyid memusatkan kekuatan magisnya untuk
menguasai Sumitra maupun Mei. Lalu secara tiba-tiba Sumitra menendang
Mei. Sehingga Mei pun sempat terkejut karena sekonyong-konyong keadaan
justru berubah dan berbalik. Namun, atas ketentuan Tuhan Yang Maha Kuasa,
refleks Mei berhasil menangkap kaki Sumitra yang melayang dan mau
menendang. Kemudian Mei mampu mengikuti dan menangkap ayunan kaki
Sumitra, dan Sumitra pun terangkat lalu dibanting di atas M. Rasyid yang
sedang khusyu dan bertafakur.36
Kejadian yang tak di sengaja dan tak diduga itu ternyata menimbulkan
dua dampak. Pertama, Sumitra yang semula terhipnotis oleh M. Rasyid
memperoleh kesadarannya kembali lalu langsung menyerang M. Rasyid
sehingga membuatnya tak berdaya. Kedua, terjadi perubahan situasi yang
mendadak, sehingga Sumitra kehilangan kontrol diri dan tidak punya
kesempatan untuk menggunakan ilmu simpanannya, sehingga kehilangan
semua daya dan kekuatan andalannya.
Karena itu, mereka bertiga akhirnya bersalaman, kemudian saling
memaafkan dan berpelukan. Segala ketegangan hilang, segala prasangka
buruk dan rasa permusuhan terhapus. Dalam kondisi inilah datang wangsit
berikut.37
36
Abdul Rozak, Teologi Kebatinan Sunda Kajian Antropologi Agama tentang Aliran
Kebatinan Perjalanan, h. 134. 37
Abdul Rozak, Teologi Kebatinan Sunda Kajian Antropologi Agama tentang Aliran
Kebatinan Perjalanan, h. 134.
27
Ketiga, Tidak ada kekuatan dan kekuasaan yang melebihi Tuhan Yang
Maha Belas dan Kasih. Karna hanya tuhanlah yang memiliki segalanya di
dunia ini.
Setelah datangnya wangsit ketiga ini, ketiga orang itu berikrar kembali
untuk tidak akan menggunakan lagi kekuatan kanuragan dan jayakawijayan
masing-masing dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di antara mereka di
masa yang akan datang.
Dalam situasi hening dan suasana yang sangat tenang, sambil
beristirahat, Mei Kartawinata memperhatikan aliran Sungai Cileuleuy sambil
berbicara di dalam hati,
“alangkah besarnya Tuhan Yang Maha Esa. Betapa air yang keluar
setetes demi setetes dari sumber mata air, kini telah tampak bersatu padu
sehingga membentuk aliran air sungai. Airnya pun memberikan
kesejahteraan bagi pepohonan, tumbuhan, binatang, dan kepada
manusia.”
Dalam kondisi seperti itu terdengar oleh ketiganya suara tanpa wujud
dan rupa. Yang dianggap sebagai wangsit keempat.38
Keempat, Dengan kagum dan takjub kamu menghitung tetesan air
yang mengalir merupakan kesatuan mutlak menuju lautan, sambil memberi
manfaat kepada kehidupan manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Akan
tetapi belum pernah kamu mengagumi dirimu sendiri yang telah
mempertemukan kamu dengan dunia dan isinya. Serta betapa nikmat rasa
yang kamu telah rasakan sebagai hikmah dari Tuhan Yang Maha Esa.
38
Abdul Rozak, Teologi Kebatinan Sunda Kajian Antropologi Agama tentang Aliran
Kebatinan Perjalanan, h. 135.
28
Karena suara itu terdengar dari dalam hutan yang menimbulkan rasa
kaget dan takut di antara ketiganya, dan serentak berlari bersama-sama ke arah
pohon gempol yang letaknya agak jauh. Karena kehabisan nafas, ketiganya
kemudian duduk bersimpuh, tetapi seketika itu juga terdengar wangsit secara
berturut-turut.
Kelima, Kemana kamu pergi dan di mana kamu berada Tuhan Yang
Maha Esa selalu berserta denganmu.
Keenam, Perubahan besar dalam kehidupan manusia akan menjadi
pembalasan terhadap segala penindasan serta mencetuskan atau melahirkan
kemerdekaan bangsa.
Dengan badan yang sudah lemah, maka ketiganya tetap berdiam diri
sambil beristirahat, pasrah terhadap apapun yang akan terjadi. Sesudah pulih
kekuatan dan akan pergi meninggalkan tempat, terjadi sesuatu keganjilan.39
Mei Kartawinata merasa mendengar suara pepohonan, binatang dan lain-lain
yang semuanya berbicara, bahwa semuannya telah memenuhi kewajiban
hidupnya masing-masing dengan dipotong, dimakan, dan digunakan keperluan
hidup umat manusia.
Lain halnya dengan M. Rasyid yang hidupnya di masa lalu penuh
dengan pemuasan nafsu tanpa menghiraukan perasaan orang lain. Lalu kerbau,
kambing yang ada di tegalan semua menerjang. Bahkan perempuan-
perempuan yang dijumpainnya menyerang dan memukulinya dengan segala
apa yang ada untuk dipukulkan, maka lahirlah wangsit ketujuh.40
39
Dewan Musyawarah Pusat Aliran Kebatinan Perjalanan, Budaya Spiritual Aliran
Kebatinan Perjalanan, h. 3-4. 40
Dewan Musyawarah Pusat Aliran Kebatinan Perjalanan, Budaya Spiritual Ageman
Aliran Kebatinan “Perjalanan” (Bandung: T.P, 2013), h. 4.
29
Ketujuh, Apabila pengetahuan disertai kekuatan raga dan jiwamu
digunakan secara salah untuk memuaskan hawa nafsu, akan menimbulkan
dendam kesumat, kebencian, pembalasan, dan perlawanan. Sebaliknya
apabila pengetahuan dan kekuatan raga dan jiwamu digunakan untuk
menolong sesama akan menumbuhkan rasa kasih sayang dan persaudaraan
yang mendalam.
Lain halnya dengan Sumitra yang setiap kali menemui bangkai
binatang apa saja, ia memungut dan menangisinya serta membungkusnya
dengan baik layaknya jenazah manusia. Dan kemudian menguburnya dengan
baik pula. Maka lahir lah wangsit kedelapan.
Kedelapan, Cintailah sesama hidupmu tanpa memandang jenis dan
rupa, sebab ketika kamu mati, kamu tidak akan mengubur dirimu dengan
sendirinya. Selama kamu masih hidup berusahalah agar dapat memelihara
kelangsungan hidup sesamamu sesuai dengan Kodratnya menurut kehendak
Tuhan Yang Maha Esa.
Ketika mereka itu berkumpul di pinggir kali, di tengah kali terlihat
batu besar yang sangat menyolok. Kemudian terdengarlah suara petunjuk lirih,
bahwa batu itu mengandung kekayaan. Serentak dengan tak berfikir panjang,
ketiganya ini masuk ke dalam kali sambil mengeruk-ngeruk dan mencari
kekayaan, setelah beberapa waktu giat mencari dan tidak berhasil, ketiganya
kembali ke pinggir, sambil mengamati batu tersebut.
Setelah itu, selang beberapa menit datanglah seseorang tetangganya
yang bernama Sukarlin, ia membawa palu, pahat, dan pikulan menuju batu
30
tersebut.41
Dengan penuh keheranan ketiganya melihat dan memperhatikan
segala tingkah Sukarlin yang langsung membelah-belah batu tersebut dan
sesudah penuh lalu dibawa pulang. Dari itu lahirlah wangsit kesembilan.
Kesembilan, batu di tengah kali, jikalau olehmu digarap menurut
kebutuhan, kamu bisa menjadi kaya raya karenanya. Dalam hal itu yang
membuat kaya raya bukanlah pemberian batu itu, akan tetapi adalah hasil
kerjamu sendiri.
Memang Sukarni menjadi kaya raya di kampungnya karena berjualan
batu dalam bentuk kubikan. Dan ketika ketiganya bersiap untuk pulang
terdengarlah suara wangsit yang terakhir.
Kesepuluh, geraklah untuk kepentingan sesamamu, bantulah yang
sakit untuk mengurangi penderitaannya. Jaga (bahasa Sunda = kelak,
kemudian hari) akan tercapai masyarakat kemanusiaan yang menegakkan
kemerdekaan dan kebenaran.42
Dalam wangsit tersebut terkandung nilai-nilai yang harus dilaksanakan
oleh pengikut Aliran Kebatinan Perjalanan baik yang berupa larangan,
peringatan dan perintah. Bila ditelaah lebih lanjut, isi dari Dasa Wasita
tersebut cenderung sosialistis, sehingga pengikut Aliran Kebatinan Perjalanan
ini harus bisa berinteraksi dengan sesama manusia. Manusia sebagai individu
dalam pergaulannya dengan orang lain apalagi masyarakat umum hendaknya
41
Dewan Musyawarah Pusat Aliran Kebatinan Perjalanan, Budaya Spiritual Ageman
Aliran Kebatinan “Perjalanan”, h. 4-5. 42
Dewan Musyawarah Pusat Aliran Kebatinan Perjalanan, Budaya Spiritual Aliran
Kebatinan Perjalanan, h. 5.
31
mengedepankan kepentingan bersama, ia harus terhindar dari sikap egois dan
individualis.43
Oleh karena itu sejak 17 September 1927 itu mereka bertiga secara
bulat mendirikan Aliran Kebatinan Perjalanan. Aliran ini disebut “Perjalanan”
dimaksudkan sebagai ketegasan bahwa baik buruknya sesuatu tekad (maksud)
baru akan tercapai jika dijalankan secara baik dan benar. Ibarat air sungai yang
mengalir dari hulu menuju hilir (laut), air sungai adalah realitas bersatunya
secara mutlak sekian banyaknya tetesan air, lalu secara bersama tidak dapat
dipisahkan menuju tujuan akhir, yaitu laut. Dalam ajaran Islam, kata
“Perjalanan” identik suluk yang berarti rangkaian kegiatan dalam rangka
meraih ma`rifat, orangnya disebut salik. Aliran ini berintikan pada tiga hal,
yakni spiritualitas individu berdasarkan ketuhanan, kemanusiaan berdasarkan
persamaan, serta kebangsaan berlandaskan karakter dan nation building44
.
Munculnya Aliran Kebatinan Perjalanan ini tidak hanya berkaitan
dengan kajian keagamaan, tetapi juga memiliki kaitan dengan aspek politik.
Hal itu dapat dilihat dari tahun didirikannya yaitu tahun 1920 sampai dengan
tahun 1930, saat itu bangsa Indonesia berada dalam masa kebangkitan
nasional yang ditandai dengan lahirnya organisasi-organisasi pergerakan,
seperti PNI lahir 1927, NU lahir 1926, PKI lahir 1924. Pada 1927 itu
menandakan bahwa bangsa Indonesia berada pada tahap awal kebangkitan
nasional, memiliki cita-cita ingin segera terbebas dari cengkeraman kaum
imperialis dan kolonialis menuju Indonesia merdeka.
43
Asep Lukman Hakim, “Studi Tentang Aliran Kepercayaan Perjalanan Ciparay
Bandung,” h. 119. 44
Asep Lukman Hakim, “Studi Tentang Aliran Kepercayaan Perjalanan Ciparay
Bandung,” h. 116.
32
Ada beberapa hal yang menandakan lahirnya Aliran Kebatinan
Perjalanan. Dengan demikian terdapat dua aspek lahirnya Aliran Kebatinan
Perjalanan. Di satu sisi, pengalaman keberagamaan (religious experience)
yang dialami Mei Kartawinata menjadi latar belakang lahirnya aliran ini.
Pengalaman spiritual tereksperesikan dalam bentuk wangsit yang diterima
oleh Mei Kartawinata yang berdampak pada perumusan nilai-nilai ajaran,
ritual dan organisasi keagamaan sampai hari ini. Pada sisi lainnya, situasi
politik pada masa kebangkitan, penindasan dan krisis ekonomi pada tahun
1927 menjadi latar belakang terbentuknya organisasi. Keterkaitan Aliran
Kebatinan Perjalanan dengan politik ini terlihat ketika organisasi ini
membentuk Partai Politik yaitu Partai Permai.45
Aliran Kebatinan Perjalanan sering disebut juga dengan nama
komunitas penghayat kepercayaan. Pada saat didirikan hanya beranggotakan
15 orang dan terbatas hanya di Kabupaten Subang. Namun pada tahun 1987,
penganutnya telah berkembang ke beberapa kabupaten yang ada di Provinsi
Jawa Barat hingga mencapai 19.406 orang.46
Sebagai ajaran dari Yang Maha Kuasa, wangsit dihimpun di dalam
buku dan dijadikan sebagai pedoman bagi warga Aliran Kebatinan Perjalanan.
Ada dua buku yang menjadi pedoman bagi anggota Aliran Kebatinan
Perjalanan, yaitu:
a. Buku pengeling-ngeling dicetak dalam format kecil, ukuran 10 x 16 x 1
cm, tebal 23 halaman. Buku ini ditulis oleh Mei Kartawinata, satu dari tiga
orang pendiri dari Aliran Kebatinan Perjalanan yang memperoleh wangsit.
45
Ilim Abdul Halim, Nilai-Nilai Aliran Kebatinan Perjalanan dan Dasar Negara, h. 81. 46
Kementerian Agama RI, Dinamika Agama Lokal di Indonesia (Jakarta: Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Keme nterian Agama RI, 2014), h. 213.
33
Buku ini ditulis pada tahun 1951, di Sukasirna tanggal 1 Mei 1951. Buku
ini berisi nasihat-nasihat Mei Kartawinata kepada anggota Aliran
Kebatinan Perjalanan. Nasihat itu dalam bentuk dialog (Bahasa Sunda)
antara seorang yang bernama Nunggul dan Nunggal. Adapun nasihat-
nasihat yang lain berbentuk nyanyian. Nyanyian pertama berjudul
“Mamanis” dalam tambang Dandang Gula. Mamanis berisi sebelas
paragraf, yang masing-masing berisi sepuluh baris. Nyanyian kedua
berjudul “Ka Anu Anom” dalam tembang Sinom, yang berisi empat
paragraf, masing-masing berisi delapan baris. Nyanyian ketiga berjudul
“Kasamaran” dalam tambang Asmarandana. Kasmaran berisi delapan
paragraf, masing-masing berisi tujuh baris, hanya paragraf ketiga berisi
enam baris. Nyanyian keempat berjudul “Nu di Anti-anti” dalam tambang
Kinanti. Nu di Anti-anti berisi sepuluh paragraf, masing-masing berisi
enam baris. Nyanyian kelima berjudul “Mundur Maju” (Durma), suatu
nyanyian untuk berjuang. Mundur Maju berisi empat paragraf, masing-
masing berisi: paragraf pertama tujuh baris, kedua enam baris, ketiga tujuh
baris, keempat berisi lima baris, dan dilanjutkan dengan dialog antara
Nunggal dan Nunggul lagi. Nyanyian Keenam dalam tambang Sinom
tanpa judul, berisi sebelas paragraf, masing-masing berisi sembilan baris
dan hanya paragraf ketiga berisi delapan baris, dan paragraf keempat berisi
sepuluh baris. Nyanyian Terakhir dalam tambnag Kinanti, tanpa judul,
berisi lima paragraf, masing-masing berisi antara empat atau lima baris.
Paragraf satu, dua, dan lima berisi lima baris, sedangkan paragraf ketiga
dan keempat berisi empat baris.
34
b. Adapun Budaya Spiritual Aliran Kebatinan Perjalanan dicetak dalam
ukuran 14,5 x 20,5 x 1 cm, tebal 79 halaman. Buku berisi himpunan
Ajaran Aliran Kebatinan Perjalanan. Buku ini ditulis oleh I Rustama
Kartawinata, ketua di Dewan Musyawarah Pusat Aliran Kebatinan
Perjalanan (DMP AKP). Buku ini ditulis pada tanggal 6 Juli 1987 di
Jakarta. Seperti pengeling-eling, kover buku ini berlambang Aliran
Kebatinan Perjalanan. Buku budaya spiritual pada mulanya adalah
makalah yang diminta Depdikbud, Ditjen Kebudayaan, Direktorat
Pembinaan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada
Sarasehan yang diselenggarakan di Lembah Hijau, Ciloto, Kabupaten
Bogor, tanggal 7-15 Desember 1985.
Adapun Sarasehan yang dilakukan oleh para penganut Aliran
Kebatinan Perjalanan yang ada di Bekasi, khususnya yang ada di Kecamatan
Jati Sampurna. Sarasehan ini dilaksanakan setiap malam Minggu, yang
menghadiri Sarasehan tersebut tidak hanya para penganut Aliran Kebatinan
Perjalanan saja, melainkan untuk penganut yang lain pun juga diperbolehkan
ikut serta dalam acara tersebut.
C. Perkembangan Aliran Kebatinan Perjalanan di Bekasi
Cara untuk mengembangkan ajarannya adalah lewat anjangsana antar
warga, sarasehan, atau setiap kesempatan yang dapat dimanfaatkan untuk
keperluan itu, sesuai dengan waktu, tempat dan keadaan. Di antara hari-hari
penting yang dijadikan wahana untuk menyampaikan ajaran-ajaran aliran ini
yaitu: setiap tanggal 17 September, hari kelahirannya; tanggal 1 Sura tahun
Saka, karena dianggap sebagai hari yang monumental dalam budaya bangsa
35
Indonesia, tanggal 17 Agustus, hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Sementara hari-hari lain adalah setiap minggu. Minggu pertama setiap bulan
dijadikan sebagai sarasehan ajaran Aliran Kebatinan Perjalanan di tempat
tertentu yang disebut Pasewakan, untuk tingkat desa; minggu kedua untuk
sarasehan tingkat kecamatan, minggu ketiga untuk sarasehan tingkat
kabupaten; minggu keempat untuk sarasehan tingkat provinsi; dan untuk
tingkat pusat diatur tersendiri waktunya. Pasewakan berarti tempat untuk
saling bertemu muka dan saling melayani demi kepentingan bersama.
Khusus tanggal 17 September diperingati secara meriah, karena hari
itu dianggap sebagai hari atau tanggal diilhamkannya cita-cita serta tujuan
Aliran Kebatinan Perjalanan. Aliran ini mempunyai pengaruh kejiwaan yang
kuat atas warganya untuk meletakkan dasar hidup bersama atas dasar
musyawarah. Pada saat itu, digelar suatu acara yang digunakan untuk
meninjau kembali segala usaha yang telah lalu untuk mengambil manfaat
darinya. Pada saat itu pula diadakan musyawarah untuk mufakat dalam
meletakkan pola dasar baru agar upaya yang dilakukan Aliran Kebatinan
Perjalanan lebih berdaya dan berhasil.47
Bahwa setiap tahunnya pasti bertambah bagi pemeluk organisasi
Aliran Kebatinan Perjalanan, dengan lahirnya seorang anak dari para penganut
Aliran Kebatinan Perjalanan itu sendiri serta ada dari golongan atau dari
warga sekitar yang tadinya belum masuk dalam organisasi Aliran Kebatinan
Perjalanan. Akan tetapi jika ada dari masyarakat yang bukan penganut Aliran
Kebatinan Perjalanan yang ingin bergabung dalam aliran kebatinan ini, maka
47
Abdul Rozak, Teologi Kebatinan Sunda Kajian Antropologi Agama tentang Aliran
Kebatinan Perjalanan, h. 142-143.
36
tidak sembarang orang yang boleh menganut Aliran Kebatinan Perjalanan ini.
Karena jika sembarang orang masuk ke organisasi Aliran Kebatinan
Perjalanan, maka orang-orang yang tidak baik seperti: orang-orang yang suka
mabuk-mabukan, orang yang suka berjudi, orang yang suka berzinah, orang
yang suka melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk maka nantinya itu akan
merusak nama baik Aliran Kebatinan Perjalanan. Bagi setiap orang yang ingin
masuk ke dalam organisasi Aliran Kebatinan Perjalanan ini, harus melalui
beberapa tahap seleksi agar badan jasmani dan rohaninya ini terbebas dari sifat
yang buruk. Di antaranya yakni harus menjauhkan tujuh MA. pertama, jangan
maen (berjudi); kedua, jangan maling/mencuri; ketiga, jangan madon
(melacur/main perempuan); keempat, jangan mabuk dan narkoba; kelima,
madat (narkotika); keenam, jangan mengani yang artinya jangan
membicarakan keburukan orang lain; ketujuh, jangan mateni yang artinya
jangan membunuh. Membunuh di sini tidak hanya membunuh sesama
manusia saja tetapi juga membunuh usaha orang lain, membunuh pekerjaan
orang dan lain-lain. Jika syarat tersebut sudah bisa dilaksanakan selama 1-2
tahun, maka orang tersebut telah lulus dari seleksi yang ada, maka secara
otomatis akan dapat diterima masuk kedalam organisasi Aliran Kebatinan
Perjalanan. Dapat digarisbawahi, bahwa setiap para penganut Aliran
Kebatinan Perjalanan ini tidak memaksa orang lain bahkan saudara sekandung
dari orang yang menganut Aliran Kebatinan Perjalanan itu untuk menganut
atau masuk ke dalam organisasi Aliran Kebatinan Perjalanan. Akan tetapi para
37
penganut Aliran Kebatinan Perjalanan hanya memberikan pedoman dasar
terhadap saudara kandungnya saja, tidak ke masyarakat luas.48
Pada intinya AKP ini terbuka bagi siapa saja yang ingin menganutnya,
akan tetapi harus melewati seleksi-seleksi terlebih dahulu agar tidak
mencoreng nama organisasi Aliran Kebatinan Perjalanan. Serta tidak ada juga
paksaan untuk menganut Aliran Kebatinan Perjalanan.
Adapun masuknya Aliran Kebatinan Perjalanan di kota Bekasi ini
belum jelas kapan masuknya, karena tidak dibukukan sehingga sulit untuk
mengetahui secara pasti. Menurut cerita dari para nenek moyang, Aliran
Kebatinan Perjalanan ini masuk ke Bekasi pada tahun 1950-an. Pertama kali
berdirinya yakni di Kampung Keranggan Kelurahan Jati Rangga. Sehingga
data inilah yang dapat dijadikan sebagai acuan asal-usul masuknya Aliran
Kebatinan Perjalanan di kota Bekasi hingga saat ini.
Di kota Bekasi hingga pada saat ini tercatat bahwa jumlah penganut
Aliran Kebatinan Perjalanan mencapai 780 penganut, yang hanya mancakup
suami dan istri saja. Sedangkan untuk anak-anak belum diketahui. Data ini
merupakan hasil dari penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2017.49
48
Wawancara Dengan Bapak Mait, Jati Sampurna. Pada tanggal 19 Desember 2018. 49
Wawancara Dengan Bapak Ade Witarsa, Jati Sampurna. Pada tanggal 19 Desember
2018.
38
BAB III
KONSEP TENTANG HUBUNGAN MANUSIA DAN TUHAN DALAM
ALIRAN KEBATINAN PERJALANAN
A. Konsepsi Tentang Tuhan
Tuhan dipahami sebagai Roh Mahakuasa dan asas dari suatu
kepercayaan. Tidak ada kesepakatan bersama mengenai konsep ketuhanan,
sehingga ada berbagai konsep ketuhanan meliputi teisme, deisme, panteisme,
dan lain-lain. Dalam pandangan teisme, Tuhan merupakan pencipta sekaligus
pengatur segala kejadian di alam semesta. Menurut deisme, Tuhan merupakan
pencipta alam semesta, namun tidak ikut campur dalam kejadian di alam
semesta. Menurut panteisme, Tuhan merupakan alam semesta itu sendiri. Para
cendikiawan menganggap berbagai sifat-sifat Tuhan berasal dari konsep
ketuhanan yang berbeda-beda. Yang paling umum, di antarannya adalah
Mahatahu (mengetahui segalanya), Mahakuasa (memiliki kekuasaan tak
terbatas, Mahaada (hadir di mana pun), Mahamulia (mengandung segala sifat-
sifat baik yang sempurna), tak ada yang setara dengan-Nya, serta bersifat
kekal abadi.50
Dalam ajaran Aliran Kebatinan Perjalanan, yang menjadi satu-satunya
Tuhan segenap umat di dunia adalah Tuhan Yang Maha Esa. Konsep Tuhan
Yang Maha Esa didalam ajaran tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Tuhan Yang Maha Esa Itu Wujud Adanya
Tuhan Yang Maha Esa itu wujud ada-Nya, namun keadaan-Nya tidak
dapat dipersamakan dengan segala keadaan dunia dan alam semesta serta
50
Diakses dari http://id.m.wikipedia.org/wiki/Tuhan pada tanggal 6 februari 2019.
39
segala isinya. Keberadaannya juga tidak dapat diraba dan dirasa atau
dilihat dengan cara apa pun, Tuhan Yang Maha Esa itu tidak bersifat
benda ataupun rasa. Tuhan Yang Maha Esa tidak boleh dibandingkan
dengan segala keadaan apa pun, karena membandingkan Tuhan Yang
Maha Esa dengan sesuatu keadaan, baik di bumi atau di manapun, adalah
sama dengan memberhalakan-Nya. Tuhan Yang Maha Esa ada di mana-
mana tidak terbatas oleh ruang dan waktu.51
Tuhan Yang Maha Esa memang wujud ada-Nya. Meskipun demikian,
wujud Tuhan tidak mempunyai rupa dan warna, juga tiada arah dan
tempat. Dengan demikian, keberadaan Tuhan Yang Maha Esa bersifat
gaib. Sebagai contoh, Dia berada pada kayu, batu, semilir angin, riak air,
panas matahari atau api, bahkan dalam hati sanubari setiap umat dan
makhluknya. Kenyataan ini berarti bahwa Tuhan Yang Maha Esa ada di
mana-mana. Dia tidak terbatas oleh ruang dan waktu, bahkan mengatasi
ruang dan waktu.
Tuhan memang ada di segala benda, tempat, dan keadaan di alam
semesta ini. Namun demikian, semua yang disebutkan tadi tidak boleh
dinamakan Tuhan. Misalnya, kayu, batu, riak air, semilir angin, panas
matahari, api, dan hati sanubari disebut Tuhan. Hal itu tidak di
perbolehkan karena Tuhan Yang Maha Esa tidak mempunyai rasa, warna,
ataupun bersifat benda. Selain itu, karena Dia tidak boleh dibandingkan
dengan segala sesuatu yang ada di dunia. Perlu lebih dipahami di sini,
51
S Dloyana Kusuma, Organisasi Terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Aliran Kebatinan
Perjalanan” di Kelurahan Cipayung Kecamatan Lubang Buaya Jakarta Timur (Bandung:
Kementrian Kebudayaan dan Parawista Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung,
2003), h. 46.
40
membandingkan Tuhan dengan apa pun yang ada di dunia ini sama dengan
memberhalakan-Nya.52
Telah dijelaskan, Tuhan Yang Maha Esa ada di mana saja dan keadaan
di dunia ini. Petunjuk keberadaan Tuhan bukan melalui ucapan yang dapat
didengarkan oleh telinga. Petunjuk tersebut dapat dirasakan dan disaksikan
secara lahir dan batin melalui kenyataan positif. Wujud kenyataan positif
itu, baik berupa bentuk, warna, maupun rasa.
Pemberian unsur pada semua kenyataan positif tadi adalah Tuhan.
Dengan demikian, keberadaan itu semua merupakan kenyataan tentang
adanya Tuhan. Oleh karena itu, setiap umat berhadapan dengan benda atau
keadaan tadi, dia harus merasa sedang berhadapan dengan tuhan.
Wujud Tuhan Yang Maha Esa juga merupakan Zatnya Rasa Gusti.
Dalam ajaran kebatinan Perjalanan, Rasa Gusti adalah asal dari segala asal
rasa dunia. Selama rasa dunia masih belum mempunyai wujud yang nyata,
tetap belum mempunyai nama. Setelah rasa itu mempunyai bentuk atau
wujud barulah ia mempunyai nama.53
b. Tuhan Yang Maha Esa itu terdahulu ada-Nya, karena sudah ada sebelum
bumi, langit dan alam semesta berada.
c. Tuhan Yang Maha Esa itu kekal dan abadi. Keberadaan-Nya tidak berawal
dan tidak berakhir. Selain itu, Dia juga tidak berubah dan bergeser.
d. Tuhan Yang Maha Esa itu berbeda. Keadaan Tuhan Yang Maha Esa tidak
sama dengan alam semesta beserta isinya, yang memiliki awal dan akan
52
S Dloyana Kusuma, Organisasi Terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Aliran Kebatinan
Perjalanan” di Kelurahan Cipayung Kecamatan Lubang Buaya Jakarta Timur, h. 47. 53
S Dloyana Kusuma, Organisasi Terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Aliran Kebatinan
Perjalanan” di Kelurahan Cipayung Kecamatan Lubang Buaya Jakarta Timur, h. 47-48.
41
ada akhirnya. Selain itu, alam semesta beserta isinya juga akan mengalami
perubahan dan pergeseran.
e. Tuhan Yang Maha Esa itu mandiri. Dia tidak didirikan dan diadakan oleh
siapa pun.
f. Tuhan Yang Maha Esa itu maha tunggal. Dia adalah Tuhan seluruh umat
dan makhluk, baik yang ada, yang pernah ada, dan yang akan ada
kemudian.54
Tuhan Yang Maha Esa juga memiliki sifat-sifat seperti yang akan
diuraikan sebagai berikut:
a. Tuhan Yang Maha Esa bersifat Maha Kuasa. Kekuasaan-Nya mutlak
meliputi segala sesuatu yang ada. Karena kekuasaan-Nya, api dapat
membakar, air membasahi, gula menjadi manis, dan lain sebagainnya.
Dengan itu, manusia dan seluruh makhluk-Nya dapat memperoleh
kenikmatan dan keselamatan hidup, baik rohaniah dan jasmaniah.
b. Tuhan Yang Maha Esa bersifat Maha Kersa. Kekersaan-Nya menjadikan
dunia, alam semesta dan isinya bermanfaat dan dimanfaatkan oleh
manusia dan makhluk-Nya yang lain secara merata. Mereka dapat
memperoleh dan menikmati kesejahteraan hidup jasmaniah dan rohaniah.
c. Tuhan Yang Maha Esa bersifat Maha Uninga (Berilmu). Keilmuan-Nya
meliputi segala keadaan, kejadian dan peristiwa yang pernah ada, yang ada
dan yang akan ada. Ia tidak terbatas dengan segala situasi, kondisi, tempat,
ruang, dan waktu.
54
Dewan Musyawarah Pusat Aliran Kebatinan Perjalanan, Budaya Spiritual Aliran
Kebatinan Perjalanan (Bandung: T.P, 2005), h. 22.
42
d. Tuhan Yang Maha Esa bersifat Maha Hidup. Kehidupan-Nya tidak
memperlukan nafas. Namun, justru menghidupkan semua umat dan
makhluk-Nya sepanjang zaman secara lestari, berkesinambungan, tanpa
putus, tanpa rintangan, dan tanpa mati.
e. Tuhan Yang Maha Esa bersifat Maha Mendengar. Kemendengaran-Nya,
tidak memerlukan telinga untuk mendengar segala ucapan maupun
gerakan. Baik dari panca indra, hati maupun i`tikad umat manusia maupun
makhluk-Nya. Oleh sebab itu, segala sesuatu terdeteksi secara jelas tanpa
ada penghalang sedikit pun.
f. Tuhan Yang Maha Esa bersifat Maha Melihat. Kemelihatan-Nya tidak
memerlukan mata, Ia bisa melihat segala gerak perbuatan maupun
kediaman manusia dan makhluk-Nya. Di hadapan Tuhan tidak ada rahasia,
semua tampak sangat terang dan jelas tidak dapat disembunyikan. Oleh
sebab itu, Tuhan Yang Maha Adil menetapkan hukumnya secara adil atas
segala niat, kehendak, dan perbuatan baik maupun buruk dari semua umat
manusia maupun makhluk-Nya, dengan memberinya pahala, maupun siksa
karena dosa.
g. Tuhan Yang Maha Esa bersifat Maha Pengucap. Ke-pengucapan-Nya
tidak memerlukan mulut, karena wujud-Nya Maha Gaib. Namun
demikian, segala sesuatu yang ada di alam semesta dan dunia raya, baik
yang sifatnya wadag (kasar), dapat dilihat atau diraba, maupun yang
sifatnya halus seperti rasa dan segala umat dan makhluk seperti manusia,
43
binatang, tumbuhan, api, air, dan sebagainnya. Keberadaannya itu
diciptakan dan dijadikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.55
Secara garis besar, Aliran Kebatinan Perjalanan menyatakan bahwa
Tuhan mempunyai sifat Wujud, Terdahulu, Kekal Abadi, Beda, Mandiri,
Tunggal, Mahakuasa, Mahakersa, Mahatahu, Mahahidup, Mahamendengar,
Mahamelihat, dan Mahaucap.56
Sebagai Dzat Yang Maha Esa, Tuhan sering disebut umat-Nya dengan
nama berbeda-beda antara lain sebagai berikut.
1. Hyang Maha Agung, diberikan karena Tuhan Yang Maha Esa tidak
mempunyai bandingan. Ia adalah asal-usul keadaan, baik yang bersifat
lahiriah maupun batiniah.
2. Hyang Maha Murba, diberikan karena Tuhan Yang Maha Esa di segala
benda, tempat, ruang, dan alam suwung (kosong), bahkan di dalam hati
setiap umat.
3. Hyang Sukma, nama ini diberikan karena Tuhan itu Maha Kuasa, yang
dengan kekuasaan-Nya mampu menghidupkan jagat raya dan segala
isinya, sehingga semua makhluk-Nya dapat mengetahui dan menikmati
segala wujud benda dan segala rasa.
4. Hyang Widi, nama ini diberikan karena Tuhan yang nyata ada-Nya telah
menjadikan pucuk menjadi daun, bunga menjadi buah, telur itik menetas
menjadi itik, patah tumbuh hilang berganti.
55
Dewan Musyawarah Pusat Aliran Kebatinan Perjalanan, Budaya Spiritual Ageman
Aliran Kebatinan “Perjalanan” (Bandung: T.P, 2013), h. 24-25. 56
Abdul Rozak, Teologi Kebatinan Sunda Kajian Antropologi Agama tentang Aliran
Kebatinan Perjalanan (Bandung: Kiblat, 2005), h. 164-165.
44
5. Hyang Manon, diberikan kepada Tuhan karena Hyang Widi tidak pernah
melarang atau menyuruh umat-Nya melakukan sesuatu. Segala sesuatu
terserah kepada manusia untuk memilih yang baik atau yang buruk untuk
dilaksanakan menurut kehendak-Nya, karena untuk itu manusia telah
diberikan kelengkapan prima berupa akal pikiran dan budi pekerti.
6. Hyang Maha Adil. Nama itu diberikan kepada Tuhan, karena Hyang
Manon adalah Maha Uninga (Tahu). Pengetahuan-Nya tidak terbatas
bahkan gerak hati manusia pun diketahui-Nya. Tidak ada sesuatu yang
tersembunyi dari-Nya. Yang benar tetap benar dan yang salah tetap
salah.57
7. Hyang Maha Belas Kasih, nama ini diberikan karena Hyang Maha Adil
melindungi semua umat dengan hukum-Nya yang pasti dan kekal, merata
dan menyeluruh dalam setiap detik dan peristiwa dengan tidak
membedakan satu dengan lainnya. Yang memegang api akan terbakar,
yang memegang air akan basah, garam terasa asin dan sebagainya. Setiap
perbuatan baik atau buruk akan memperoleh balasan, yang menanam pasti
akan memetik buahnya.
8. Hyang Maha Pemurah, nama ini diberikan kepada Tuhan karena Hyang
Maha Belas Kasih nenetapkan hukum-Nya bagi setiap umat. Yang
dilahirkan mesti melalui proses pertemuan antara jenis yang berlawanan,
pria-wanita, jantan-betina, yang diliputi kemesraan, kasih-sayang dan
kenikmatan. Untuk hidup dan kehidupan umat-Nya, Tuhan melengkapinya
dengan sarana lahir dan batin serta dunia dan isinya. Di dalam kehidupan
57
Abdul Rozak, Teologi Kebatinan Sunda Kajian Antropologi Agama tentang Aliran
Kebatinan Perjalanan, h. 166.
45
masyarakat, disebut bangsa dan tanah air, untuk pengelolaan.
Pengolahannya menggunakan bahasa dan kebudayaannya sesuai dengan
sifat, adat, dan kodratnya agar dapat berkembang sesuai dengan tuntunan
dan perkembangan zaman.58
Karena panas menimbulkan matahari sebagai sumber api, angin
menimbulkan air, semilir menimbulkan angin, maka setiap sesuatu
mempunyai rasa yang beragam. Buah terasa manis, garam asin, cabe pedas,
gula manis, dan lain-lain. Semua itu meupakan manifestasi dari rasa alam.
Rasa alam mengisi segala keadaan dunia dan isinya. Untuk mengatur keadaan
yang beranekaragam itu, Tuhan menjadikan hukum yang disebut Hukum
Kekuasaan (kodrat). Kodrat adalah hukum yang menjadikan segala sesuatu
tunduk kepada-Nya, seperti gula berasa manis.
Wujud segala sesuatu pada dasarnya berasal dari Tuhan Yang Maha
Esa. Maka segala sesuatu yang tampak beranekaragam, sesungguhnya adalah
manifestasi riil dan empirik yang tunggal (sama). Adapun yang bentuknya
tampak berbeda seperti rasa, keturunan, tanah kelahiran, bangsa, tanah air,
budaya, dan bahasa berbeda. Bahkan ada pemimpin dan rakyat, hahikatnya
adalah pengembangan diri dalam melaksanakan iradat-Nya. Karena iradat-
Nya mereka menjadi bangsa yang besar, merdeka, berdaulat, adil dan
makmur, atas dasar persatuan pikiran, tenaga (gotong royong), persatuan
antara rakyat dan rakyat, antara rakyat dan pemerintah, dan persatuan
58
Abdul Rozak, Teologi Kebatinan Sunda Kajian Antropologi Agama tentang Aliran
Kebatinan Perjalanan, h. 167.
46
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dalam suasana rukun dan
manunggal(ketunggalan).59
B. Konsepsi Tentang Manusia
Bagi kebanyakan manusia, kerohanian, dan agama memainkan peran
utama dalam kehidupan mereka. Dalam konteks ini, manusia sering disebut
sebagai “orang manusia” terdiri dari sebuah tubuh, pikiran, dan juga sebuah
roh atau jiwa yang kadang memiliki arti lebih dari pada tubuh itu sendiri, dan
bahkan kematian. Seperti juga sering dikatakan bahwa jiwa (bukan otak
ragawi) adalah letak sebenarnya dari kesadaran (meski tak ada perdebatan
bahkan otak memiliki pengaruh penting terhadap kesadaran). Keberadaan jiwa
manusia tak dibuktikan ataupun ditegaskan, konsep tersebut disetujui oleh
sebagian orang dan ditolak oleh yang lainnya. Yang menjadi perdebatan di
antara organisasi agama adalah mengenai benar atau tidaknya hewan
memeiliki jiwa, beberapa percaya bahwa jiwa semata-mata hanya milik
manusia, serta ada juga yang percaya akan jiwa kelompok yang diadakan oleh
komunitas hewani, dan bukanlah individu. Bagian ini akan merincikan
bagaimana manusia diartikan dengan istilah kerohanian, serta beberapa cara
bagaimana definisi ini dicerminkan melalui ritual dan agama.60
1. Asal Usul Manusia
Manusia itu terdiri atas budi dan daya, budi artinya badan halus dan
daya artinya gerak badan kasar, geraknya badan kasar ini digerakan oleh
badan halus yang dapat disaksikan atau dirasakan dalam kenyataan.
59
Abdul Rozak, Teologi Kebatinan Sunda Kajian Antropologi Agama tentang Aliran
Kebatinan Perjalanan, h. 168. 60
Diakses dari http://id.m.wikipedia.org/wiki/manusia pada tanggal 4 maret 2019.
47
Asal usul manusia tak lepas dari kedua hal tersebut di atas, karena
manusia diciptakan oleh Tuhan melalui sebuah aksioma yang tak dapat
dipungkiri lagi. Kelahiran seorang manusia, tak lepas dari hubungannya
dengan budi daya manusia-manusia sebelumnya (karuhunnya).
Dimisalkan dalam sebuah analogi, bahwa kita ada sekarang berkat adanya
karuhun yang telah melahirkan kita dimulai dari generasi-generasi
sebelumnya. Awal kita dikandung oleh ibu hingga waktu sekarang itu
adalah jasa dari ibu dan bapak kita, sebab tidak akan ada makhluk lain
yang lebih mencintai dan menyayangi kita selain kedua orang tua kita
sendiri. Dengan demikian kita wajib mengakui adanya kasih sayang dari
orang tua kita, yaitu ibu dan bapak.61
Hubungan ibu dan bapak diawali dengan hal tikah (nikah) yaitu dari
bertemunya wujud cinta dengan cinta di dunia yang dipertemukan oleh
Yang Maha Mulya, contoh: tidak akan Kanjeng Nabi Adam bertemu
dengan Hawa apabila tidak mempunyai lahir dan batin dan dibarengi oleh
rasa saling mencintai dan menyayangi. Begitu pula ketika anak-anak
Adam dan Hawa, mereka bertemu antara laki-laki dan perempuan, harus
disaksikan oleh kedua orang tuannya, serta harus tau arti cinta, arti kuasa
(kawasa) yang ada dalam dirinnya yang berasal dari Yang Maha Mulya.
Ketika alam dunia sudah penuh dengan manusia, maka ketika orang
akan melakukan tikah (nikah) harus dilakukan dan disaksikan oleh
kaumnya dan melakukan hukum adat kaumnya. Begitulah seterusnya,
61
S Dloyana Kusuma, Organisasi Terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Aliran Kebatinan
Perjalanan” di Kelurahan Cipayung Kecamatan Lubang Buaya Jakarta Timur, h. 57-58.
48
hingga manusia ini ada di alam dunia atau dunya gede (kabir), yaitu
tempat berkelananya manusia.62
2. Struktur Bada Manusia
Setelah manusia ada di dunia, maka manusia diharapkan menyadari
siapa dirinya. Manusia dibekali dengan akal, dia akan berusaha untuk
mengetahui sesuatu serta menyaksikan keadaan dunya gede. Guna
mengetahui dan menyaksikan ini adalah diri badan yang komplit serta
sehat seperti: mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, mulut untuk
berbicara, hidung untuk mencuim, tangan untuk mengambil, kaki untuk
berjalan, dan seterusnya komplit oleh karsaning (kekuasaan-Nya) yang
mengasihi dan membekali manusia di dunia ini. Ketika manusia telah
mengetahui segala hal diatas, maka akan ada peringatan yang harus
dilaksanakan oleh manusia, yaitu agama. Agama adalah patokan yang
tetap yang tidak dapat dirubah kembali dari Yang Maha Suci.63
Sebagai manusia bahwa hidup ke alam dunia ini dari mana asalnya,
apa tugasnya, dan nantinya mau kemana. Bahwa hidup seseorang itu
bukan atas kehendak diri sendiri, bukan juga atas keinginan ibu bapak,
melainkan atas kehendak dari Tuhan Yang Maha Esa. Ibu dan bapak
hanyalah sebagai perantara saja, dengan di bantu oleh Tuhan melalui
saripati alam yaitu: pertama, api yang menjadi darah dan daging; kedua,
angin yang menjadi kulit dan bulu; ketiga, air menjadi tulang dan
sumsum; keempat, bumi yang menjadi seisi bandan dan sekujur badan.
62
S Dloyana Kusuma, Organisasi Terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Aliran Kebatinan
Perjalanan” di Kelurahan Cipayung Kecamatan Lubang Buaya Jakarta Timur, h. 61. 63
S Dloyana Kusuma, Organisasi Terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Aliran Kebatinan
Perjalanan” di Kelurahan Cipayung Kecamatan Lubang Buaya Jakarta Timur, h. 62.
49
Contohnya sirih ibu sirih bapak sinah disir bumbu menjadi satu (kasih
sayang ibu kasih sayang ayah bergabung menjadi satu). Lumenggang
herang (Satu bulan hidup di dalam kandungan ibu). Dua bulan kita sudah
bumambang (terbentuknya janin sang bayi), tiga bulan sudah ngewujud
(ada), empat bulan sudah ngerupa (tampak), lima bulan sudah ngusik
(gerak), enam bulan sudah malik (sang bayi sudah mulai berputar), tujuh
bulan sudah tua. Maka dari itu diadakan selametan tujuh bulan, delapan
dan sembilan bulan sudah lahir ke alam dunia. Maka proses inilah yang
disebut sebagai lahir.64
Batin berasal dari rasa gusti yang sejati. Rasa sejati ialah rasa yang
tidak mau di bohongi dan tidak mau di ajak untuk berbohong, karena igin
menjunjung tinggi kebenaran. Batin ini bersifat gaib atau tidak nampak,
akan tetapi dapat dirasakan. Contohnya yakni menanam sebuah pohon
rambutan di bumi pertiwi, lalu pohon tersebut terpapar sinar matahari
kemudian kehujanan sahingga menjadi sebuah pohon yang besar serta
memiliki buah yang lebat. Ketika memakan rambutan tersebut maka akan
terasa manis, maka rasa itulah yang disebut batin. Fungsi batin ialah ketika
mengalir ke otak maka akan menjadi eling (pikiran), ketika mengalir ke
mata akan dapat melihat, mengalir ke telinga maka akan mendengar,
mengalir ke mulut akan dapat berucap, mengalir ke tangan akan dapat
bergerak, mengalir ke kaki dapat digunakan untuk berjalan. Jika semua ini
dapat dilakukan denga benar maka akan mendapatkan hasil yang benar
atau baik.
64
Wawancara pribadi dengan bapak Ade Witarsa, jati sampurna. Pada tanggal 14 maret
2019.
50
Kuring (aku) disebut indung lanjang bapak bujang kuring sudah ada
(ibu masih perawan bapak masih perjaka aku sudah ada). Kuring sudah
ada, yang menciptakannya ialah Tuhan Yang Maha Esa. Kuring bukanlah
lahir atau batin, akan tetapi kuring harus tau lahir dan batin.65
Apabila dilihat dari segi spiritual, kuring ini bukan sesuata yang dapat
diraba. Kuring di sini dapat menunjukkan bentuk manusia yang terlahir ke
dunia. Manusia dilahirkan dalam wujud lahir dan batin atau badan wadag
(kasar) dan badan halus.66
Kesadaran Aku-manusia akan Tuhan-Nya agar selalu kamawula
(mengabdi kepada Tuhan) harus dilatih penghayatannya dengan jalan
membersihkan batinnya dari segala nafsu yang buruk yang mengotori
perasaannya. Penghayatan seperti ini harus dilakukan terus-menerus secara
berkesinambungan hingga tercapai rasa kejatian (memiliki rasa sejati).
Melalui rasa kejatian ini seseorang akan dapat menghubungkan hidup
Akunya dengan Yang Maha Hidup, sehingga diperoleh kekuatan Ilahi
yang dapat mempertajam pikiran dan memperhalus perasaan. Kekuatan
dan pancaran Ilahi ini merupakan daya spiritual yang dapat dimanfaatkan
dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat hidup
manunggal dengan sesamannya.67
3. Tugas dan Kewajiban Manusia
Manusia yang hidup di dunia selalu saling ketergantungan satu sama
lainnya. Manusia dapat dibedakan dengan makhluk lainnya, sebab
65
Wawancara pribadi dengan bapak mait, jati sampurna. Pada tanggal 19 desember 2018. 66
S Dloyana Kusuma, Organisasi Terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Aliran Kebatinan
Perjalanan” di Kelurahan Cipayung Kecamatan Lubang Buaya Jakarta Timur, h. 61. 67
Suwarno Imam S. Konsep Tuhan, Manusia, Mistik Dalam Berbagai Kebatinan Jawa
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 138.
51
manusia ini dibekali dengan akal, sedangkan makhluk yang lainnya tidak
diberi akal, mereka hanya diberi insting. Dengan akal dan budi dayanya,
manusia dituntut untuk menata dunia dan isinya, sehingga hukum saling
ketergantungan dari makhluk dan umat-Nya dijaga dan dipelihara
kelestariannya.
Sebagai contoh, pepohonan atau tumbuhan itu sangat terbatasa pada
hidup saja, ia berkembang dan berubah bentuk untuk memenuhi kebutuhan
manusia dan binatang, sedangkan pelestariannya tergantuk pada alam
sekitar, terutama pada manusia. Binatang mempunyai kelebihan dari
pepohonan atau tumbuhan, ia mempunyai hidup dan juga nafsu. Ia bisa
menghindar dari bahaya yang mengancam keselamatannya sesuai insting
dan naluri hidupnya. Bahkan sebaliknya ia bisa menyerang mangsanya
untuk dimangsa. Manusia mempunya kelebihan dari pepohonan dan
binatang, karena ia mempunyai hidup, nafsu dan budi pekerti (moral) atau
akal, sehingga ia mengetahui mana yang buruk dan mana yang baik, yang
wajib dan tidak wajib untuk dilakukan. Dengan kata lain bahwa manusia
hidup mempunyai reserve dalam menghadapi hidup ini. Sebaliknya bahwa
manusia sudah tidak lagi menjalankan akal budi pekertinya, maka ia akan
jatuh martabatnya seperti binatang yang hanya memiliki nafsu belaka,
bahkan bila manusia martabatnya sudah seperti binatang, maka ia akan
lebih dari binatang.68
Manusia yang mempunyai moral, ia pasti mempunyai harga diri yang
tidak ditentukan oleh kedudukan, kekayaan, dan kepandaian, namun
68
S Dloyana Kusuma, Organisasi Terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Aliran Kebatinan
Perjalanan” di Kelurahan Cipayung Kecamatan Lubang Buaya Jakarta Timur, h. 64-65.
52
ditentukan oleh sifat dan sikap hidup. Sikap hidup itu akan tercermin
dalam:
a. Jujur, menghargai dan menghormati sesuai adab prikemanusiaan.
b. Adil, mengakui, menghormati hak-hak manusia.
c. Bijaksana, mau menerima dan menghormati segala pikiran dan
pendapat orang lain.
d. Cinta sesama hidup, di hadapan Tuhan ia memandang semua uamt
mempunyai kedudukan dan drajat yang sama.
4. Sifat-Sifat Manusia
Pada dasarnya manusia itu baik, karena ia merupakan makhluk yang
paling sempurna. Manusia menjadi jahat, karena manusia sudah
kemasukan sifat-sifat setan, yang senantiasa menggoda manusia, manusia
yang kurang mempunyai keteguhan iman akan terjerumus ke jalan setan,
dan akan merusak hati nurani manusia, sehingga manusia menjadi jahat.
Di sinilah letak pentingnya kita harus selalu dekat dengan Tuhan Yang
Maha Esa, karena Tuhan Yang Maha Esa akan melindungi umat-Nya, dan
akan selalu dijauhi dari godaan-godaan setan.
Mengenai sifat-sifat manusia, salah seseorang anggota Dewan
Musyawarah Aliran Kebatinan Perjalanan, Bapak Nurasajati,
mengemukakan bahwa dalam wujud manusia terdapat empat nafsu yaitu:
1) Nafsu hewani, yang mencerminkan kelakuan yang galak, dan
mengutamakan kepentingan diri sendiri. Orang seperti ini mempunyai
sifat seperti hewan.
53
2) Nafsu duniawi mencerminkan jiwa buto (raksaksa), kelakuannya loba
(banyak) dan tamak (serakah). Orang seperti ini mempunyai sifat
seperti buto.
3) Nafsu rohani, mencerminkan jiwa iblis, kelakuannya kumawasa dan
sewenang-wenang, sedangkan sifat hidupnya seperti iblis.
4) Nafsu setani yaitu mencerminkan jiwa setan, kelakuannya kejam tidak
memiliki perasaan welas asih terhadap sesama manusia.69
Bila seseorang manusia mengutamakan sifat hidup seperti diatas, yaitu
tidak lagi memperhatikan budi pekerti (moral), ia akan jatuh martabatnya
menjadi seperti binatang.
5. Tujuan Hidup Manusia
Sebagai landasan dari tujuan hidup manusia menurut konsep
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Aliran Kebatinan Perjalanan
ialah cinta kasih dan ketunggalan. Untuk mencapai kedua hal tersebut,
maka manusia harus berbuat baik terhadap sesama makhluk dengan cara:
a. Memandang diri orang lain seperti diri sendiri.
b. Mewujudkan hidup saling tolong menolong (gotong royong).
c. Silih asih (saling mengasihi), silih asah (saling belajar), silih asuh
(saling melindungi), meningkatkan kesadaran atau kecerdasan dan
drajat hidup yang layak bagi kemanusiaan.
d. Meningkatkan rasa kebersamaan antar sesama manusia.
69
S Dloyana Kusuma, Organisasi Terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Aliran Kebatinan
Perjalanan” di Kelurahan Cipayung Kecamatan Lubang Buaya Jakarta Timur, h. 68.
54
6. Kehidupan Manusia Setelah Mati
Dalam kehidupan masyarakat penghayat kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, dalam ajaran Aliran Kebatinan Perjalanan. Meninggal
dunia disebut “mulih ka jati mulang ka asal” artinya kembali pada asal
muasalnya masing-masing. Hidup akan kembali pada Yang Maha Hidup,
rohani akan kembali ke alam, dan jasmani akan kembali ke bumi. Sebagai
silokaning Aku (ingsun) dapat dikemukakan dalam bentuk kata
tanya:”bapa bujang indung lajang, kuring dimana ayena” artinya ayah
masih perjaka, ibu masih perawan Aku ada di mana. Jawaban dari
pertanyaan tersebut adalah Aku ada di alam padang. Jawaban pasti tentang
keberadaan manusia setelah mati ialah “di alam padang poe panjang
„ra‟na gara-gara, tanjung sampurna (bahasa jawa), artinya dalam terang
yang terus menerus tanpa terputus (tiada siang dan malam), tiada
pergeseran dan perubahan (langgeng atau damai), yang sempurna tiada
awal maupun akhir.70
Namun untuk bisa mulih ka jati pulang ke asal bukanlah soal yang
sederhana, selain Aku, juga jasmani dan rohani harus kembali ke asalnya
masing-masing dan itu semua bisa kembali bilamana senyawa.
Umpamannya minyak tidak mungkin bisa bersatu (manunggal) dengan air,
karena tidak senyawa, sekalipun keduannya bersifat cair.
Caranya adalah, pertama, badan jasmani yang berasal dari bumi sudah
tentu saling terikat dengan hakikat asalnya akan kembali pulang ke bumi.
Siloka berkata, “kudu bisa mulangken cai susu ibu” artinya, harus bisa
70
S Dloyana Kusuma, Organisasi Terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Aliran Kebatinan
Perjalanan” di Kelurahan Cipayung Kecamatan Lubang Buaya Jakarta Timur, h. 71.
55
mengembalikan air susu ibu. Maksudnya, seseorang harus mencintai ibu,
karena ibu yang melahirkannya. Dengan kasih sayang, ibu mau menyusui
dan merawatnya sampai bisa hidup mandiri. Oleh sebab itu, sepatutnya
seseorang mencintai ibunya dan merawatnya dengan baik sebagaimana
ibunya telah melakukan terhada anaknya.
Kedua, manusia berasal dari bumi, karena pada dasarnya sandang,
pangan, dan papan, semua berasl dari bumi, sehingga tanpa bumi manusia
takan mampu bertahan hidup. Oleh sebab itu, manusia harus mencintai
bumi yang menjadi asal-usul keberadaan manusia. Manusia diharapkan
mampu menghidupkan rasa keterikatan dengan buminya yang menjadi
sumber utama sandang, pangan, dan papan sebagai sumber utama
kehidupan jasmani.71
Keberadaan badan jasmani yang terdiri atas empat unsur saripati itu
membuktikan bahwa badan jasmani adalah badan kasar (wadag) atau
badan jasmani yang tampak, dapat diraba, dan dirasa. Badan jasmani yang
bersifat wadag, sesuai dengan kondisinya, gigi putih, rambut keriting, dan
sebagainya. Sementara itu, badan rohani yang terbentuk dari rasa alam
yang tiada warna dan rupa, maka badan rohani tidak tampak, tidak dapat
diraba. Karena itu, tidak seorang pun bisa atau mampu menyatakan secara
konkrit bagaimana sifat warna, rupa, manis, asam dan sebagainnya, karena
bersifat halus dan abstrak. Berkenaan dengan itu, badan demikian disebut
raga purusa (batin). Adapun badan jasmani karena sifatnya yang konkrit,
71
Abdul Rozak, Teologi Kebatinan Sunda Kajian Antropologi Agama tentang Aliran
Kebatinan Perjalanan, h. 206-207.
56
maka disebut raga sarira (lahir). Raga purusa menunjang kekuatan raga
sarira.72
Manusia sesuai dengan perkembangannya, selalu membutuhkan alam
sekitarnya. Oleh sebab itu, manusia akan selalu terikat oleh alam
sekitarnya. Keterikatan antara manuisa dengan alam sekitarnya disebut
Hukum Ketergantungan antara satu dan yang lainnya. Hukum
ketergantungan menjadikan hubungan antara manusia dan alam sekitarnya
kuat tidak terpisahkan satu sama lain, meskipun secara riil antara manusia
dan alam sekitarnya tampak seperti terpisah. Ini sesuai dengan siklus
kehidupan.
C. Konsepsi Tentang Alam
Alam merupakan segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi:
pertama, seperti bumi, bintang, kekuatan kedua, lingkungan kehidupan.
Ketiga, alam juga segala sesuatu yang termasuk dalam satu lingkungan
(golongan dan sebagainnya) dan dianggap sebagai suatu keutuhan. Contoh
pikiran dan tumbuh-tumbuhan. Keempat, segala daya (gaya, kekuatan, dan
sebagainnya) yang menyebabkan terjadinya dan seakan-akan mengatur segala
sesuatu yang ada di dunia ini. Kelima, yang bukan buatan manusia. Keenam,
dunia. Ketujuh, kerajaan, daerah dan negeri.73
1. Asal-usul Alam
Wujud Tuhan Yang Maha Esa, adalah dzat-Nya rasa gusti, asal dari
segala rasa yang ada di dunia dan alam semesta. Rasa gusti mengadakan:
72
Abdul Rozak, Teologi Kebatinan Sunda Kajian Antropologi Agama tentang Aliran
Kebatinan Perjalanan, h. 169. 73
Diakses dari http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Alam pada tanggal 4 maret 2019.
57
pertama, rasa panas yang kemudian menimbulkan matahari, sumbernya
api. Kedua, pada tempat atau bagian tertentu yang tidak terkena panasnya
matahari terjadilah rasa dingin, yang kemudian menjadi air. Ketiga, karena
adannya hawa panas dan dingin terjadilah daya tarik-menarik dengan rasa
semilir (tiupan angin), yang kemudian terjadilah angin. Keempat, karena
adannya matahari dan angin, terjadilah penguapan dan terjadilah rasa tetap
yang menimbulkan daratan (bumi).
Uap yang ada diudara ditiup angin dan tertahan oleh bagian-bagian
daratan yang tinggi (gunung-gunung). Karena suhu yang dingin, uap
kembali menjadi air dan jatuh kembali ke bumi. Namun dengan adannya
angin, jatuhannya itu tidak seperti aliran air terjun, tapi butiran-butiran
yang disebut hujan. Dengan adannya hujan, air tersebarkan diberbagai
tempat dan tanah menjadi subur. Dengan adannya tingkat kesuburan tanah
serta iklim yang panas, air dan angin yang menunjang, maka timbulah
kehidupan seperti: pepohonan, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan lain-lain
sampai makhluk yang sempurna ialah manusia. Maka dapat disimpulkan
pada pepohonan atau tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia di
dalamnya terdapat unsur sari pati: api, air, angin, dan bumi.74
2. Manfaat Alam Bagi Manusia
Api, air, angin dan bumi mempunyai sifat wadag (kasar) yang
mempunyai warna dan rupa, sedangkan badan rohani bersifat halus,
disebabkan berasal dari sari rasa alam, tentu ruang geraknya berbeda juga.
74
Dewan Musyawarah Pusat Aliran Kebatinan Perjalanan, Budaya Spiritual Aliran
Kebatinan Perjalanan, h. 7.
58
Ruang gerak badan jasmani ialah dunia wadag, sedangkan ruang gerak
badan rohani ialah dunia halus.
Seperti telah diketahui oleh banyak orang, segala keadaan di bumi itu
satu sama lain mempunyai ketergantungan seperti:
a. Pepohonan atau tumbuhan, dibutuhkan untuk makanan, tempat
berlindung dan bernaung untuk binatang. Selai dari pada itu,
pepohonan atau tumbuhan menghisap udara kotor dan mengeluarknnya
lagi menjadi udara yang bersih, menahan angin dan debu bahkan
menahan air hujan dan membendungnya menjadi kandungan air tanah,
sehingga suasana udara menjadi segar. Meningkatkan kesehatan dan
kesuburan.
b. Binatang pun dibutuhkan oleh pepohonan atau tumbuhan karena hama,
ulat dan sebagainya yang merusak kehidupannya dimakan oleh
binatang yang lainnya. Kotorannya menjadi rabuk (jamur) dan dapat
menyebarkan benihnya di sembarang tempat sehingga tumbuh dan
berkembang biak. Dan binatang itu pula yang mengawinkan bunga
jantan dan bunga betina, sehingga putik menjadi buah.
c. Pepohonan atau tumbuhan dan binatang sangat dibutuhkan oleh
manusia, baik untuk makanan, tempat permukiman dan segala
peralatan dan perlengkapan hidupnya, bahkan ada yang digunakan
tenaganya guna membantu kerja di ladang dan lain-lain.
d. Pepohonan atau tumbuhan itu sangat terbatas kemapuannya. Ia hanya
mempunyai hidup saja, seperti berkembang dan berbuah untuk
memenuhi kebutuhan hidup binatang dan manusia. Sedangkan
59
penyebaran dan perkembangbiaknya sangat tergantung pada air,
binatang, dan paling terutama pada manusia.
e. Binatang mempunyai kelebihan dari pohon, ia mempunyai hidup dan
juga nafsu. Ia bias menghindar dari bahaya yang mengancam
keselamatannya sesuai naruli hidupnya. Bahkan sebaliknya ia bias
menyerang mangsanya untuk bisa dimakan.
f. Manusia mempunyai kelebihan dari pohoon atau tumbuhan dan
binatang, karena ia mempunyai hidup, nafsu dan budi pekerti (moral)
sehingga ia tau mana yang baik dan mana yang buruk dan yang wajib
dan tidak wajib untuk dilakukan.
Apabila manusia telah tidak lagi memperhatikan budi pekerti (moral),
ia akan jatuh martabatnya menjadi binatang, namun binatang yang
mempunyai daya pikir dan kreasi yang luas, sehingga dapat merubah
sendi-sendi kehidupan dengan segala tatanannya sesuai nafsu-nafsu yang
diumbarnya.75
Alam semesta ini merupakan ciptaan Tuhan, demikian luasnya, begitu
besar, indah dan lengkap dengan segala isinya. Dibandingkan dengan batin
manusia yang juga luas, tetapi alam semesta ini penuh dengan misteri yang
belum terungkap. Alam semesta ini bukti keagungan Tuhan Yang Maha
Esa. Tuhan menciptakan alam dengan segala isinya yang diperuntukan
bagi manusia. Karena itu satu sama lain saling ketergantungan, demikian
juga alam semesta ini sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan
manusia. Misalnya tanah, ada yang subur dan ada yang gersang. Ini
75
Dewan Musyawarah Pusat Aliran Kebatinan Perjalanan, Budaya Spiritual Aliran
Kebatinan Perjalanan, h. 39-40.
60
mengundang hati manusia untuk berfikir dan mencukupi kebutuhan air.
Akan tetapi penggunaan isi alam oleh manusia tidak boleh dilakukan
dengan berlebihan tanpa memikirkan kelanjutan dan kelestariannya.76
D. Konsep Tentang Hubungan Manusia dan Tuhan
Hubungan Tuhan dan manusia tidak ada antaranya lagi, karena begitu
dekatnya Tuhan kepada makhluknya. Sebab yang mangusik (gerak) malikan
(berbalik) tubuh ini ialah Tuhan Yang Maha Esa. Dalam ajaran Aliran
Kebatinan Perjalanan, adanya bumi dan lagit beserta isinya adalah Tuhan
Yang Maha Esa yang menciptakannya, bila ingin mencari Tuhan carilah pada
diri sendiri, sebab Tuhan Yang Maha Esa ini selalu berada di dalam diri kita,
ketika eling pada diri sendiri maka secara tidak langsung juga eling terhadap
Tuhan Yang Maha Esa. Maka dari itu eling harus dipakai untuk yang benar
jangan dipakai untuk melakukan perbuatan yang tidak benar, karena degan
melakukan perbuatan yang baik maka akan mendapatkan hal yang baik pula.77
Wujud segala sesuatu pada dasarnya berasal dari Tuhan Yang Maha
Esa dan Maha Tunggal. Maka segala sesuatu yang nampak beranekaragam
semuanya adalah manifestasi ril dan empirik yang tunggal (sama). Adapaun
yang bentuknya tampak seperti ras keturunan, tanah kelahiran, bangsa, tanah
air, budaya dan bahasa yang berbeda, bahkan ada pemimpin dan rakyat,
hakikatnya adalah pengembangan diri dalam melaksanakan iradat-Nya.
Karena iradat-Nya mereka menjadi bangsa yang besar, merdeka, berdaulat,
adil dan makmur, atas dasar persatuan pikiran, tenaga (gotong royong),
76
S Dloyana Kusuma, Organisasi Terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Aliran Kebatinan
Perjalanan” di Kelurahan Cipayung Kecamatan Lubang Buaya Jakarta Timur, h. 80. 77
Wawancara pribadi dengan bapak Mait, Jati Sampurna. Pada tanggal 19 Desember
2018.
61
persatuan antara rakyat dan rakyat, antara rakyat dan pemerintah, dan
persatuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dalam suasana rukun dan
manunggal (ketunggalan). Adapun ketunggalan manifestasi dari adanya
kesadaran Aku sebagai Kawula (kaula) Gusti yang merasa wajib Kumawula
(mengabdi) kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan menata kehidupan dan
penghidupan secara sama, sama rasa di antara umat Tuhan tanpa membedakan
satu dengan yang lainnya, baik ras, keturunan, kelamin, strata sosial, agama
atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ketunggalan dalam diri
umat dalam bentuk Aku. Aku bukan diri, bukan lahir, bukan jasmani, bukan
batin, bukan rohani, aku bukan pria, aku bukan wanita, bukan anak dan
keturunan. Aku ini wujud yang berasal dari wujud Tuhan Yang Maha Esa.
Aku tidak mempunyai dzat dan sifat. Aku tidak mempunyai warna, rupa,
tempat dan arah.78
Tuhan Yang Maha Esa itu ada di mana-mana, di kayu, di batu, di
semilir angin, di riaknya air, di panasnya matahari, di api, bahkan ada di dalam
hati sanubari setiap umat dan makhluk-Nya. Akan tetapi kayu, batu, riak air,
semilirnya angin, panasnya matahari dan sebagainnya tidak boleh di sebut
Tuhan, sebab Tuhan Yang Maha Esa tidak mempunyai warna dan rupa, yang
tidak boleh dibandingkan dengan segala sesuatu yang ada di dunia dan alam
semesta.
Maka setiap kali umat berhadapan dengan segala keadaan, ia harus
merasa berhadapan dengan Tuhannya, karena pada setiap keadaan itu ada
yang ada (Tuhan). Pada saat itu yang ada pada keadaan itu menunjukkan
78
Abdul Rozak, Teologi Kebatinan Sunda Kajian Antropologi Agama tentang Aliran
Kebatinan Perjalanan, h. 168.
62
(memberi petunjuk) tidak dengan cara mengucap yang didengar oleh telinga,
akan tetapi dengan kenyataan positif, baik mengenai bentuk, rona/rupa serta
warna dan rasanya (wadag dan halus), yang bisa disaksikan atau dirasakan
oleh diri (lahir dan batin). Maka petunjuk ini adalah dari sabda Tuhan Yang
Maha Esa.79
79
Dewan Musyawarah Pusat Aliran Kebatinan Perjalanan, Budaya Spiritual Aliran
Kebatinan Perjalanan, h. 23.
63
BAB IV
RITUAL SEBAGAI MANIFESTASI HUBUNGAN
MANUSIA DAN TUHAN
A. Ritual dalam Aliran Kebatinan Perjalanan
Ritual adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan terutama untuk
tujuan simbolis. Ritual dilaksanakan berdasarkan agama atau bisa juga
berdasarkan tradisi dari suatu komunitas tertentu. Kegiatan-kegiatan dalam
ritual biasanya sudah diatur dan ditentukan, dan tidak dapat dilaksanakan
secara sembarang.80
Dalam tatanan ritual, Aliran Kebatinan Perjalanan memiliki tradisi atau
upacara tradisional dalam masyarakat. Terdapat dua jenis tradisi yaitu tradisi
yang berkaitan dengan kehidupan dan tradisi yang berkaitan dengan
penghidupan. Tradisi yang berkaitan dengan kehidupan dilakukan para
penganut aliran kebatinan melalui upacara selamatan 7 bulan kandungan,
khitanan, perkawinan dan kematian. Upacara kematian dilaksanakan pada saat
setelah 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari 1 tahun (mendak) dan 1000 hari.
Sedangkan tradisi yang berkaitan dengan penghidupan dilakukan para
penganut Aliran Kebatinan Perjalanan melalui upacara menanam padi,
memotong padi, dan membangun rumah.
Dalam setiap upacara terdapat pelaku, kegiatan, benda, waktu dan
tempat tertentu. Semua unsur ritual itu memiliki makna dan maksud tertentu.
Contoh unsur benda-benda yang digunakan dalam ritual di antaranya:
80
Diakses dari http://id.m.wikipedia.org pada tanggal 6 april 2019.
64
perhiasan, pakaian baru, kain, kembang-kembangan, daun-daunan dan
sebagainya.81
B. Memperingati Satu Syuro
Satu Syuro (saka) biasanya dirayakan secara khusus oleh semua warga
Aliran Kebatinan Perjalanan, baik secara individu maupun kolektif. Perayaan
individu biasanya dilakukan di rumah masing-masing. Untuk keperluan
perayaan satu Syuro, paling tidak mereka menyediakan sesajian berupa teh
manis, teh pahit, kopi manis, kopi pahit, dan air putih. Perayaan satu Syuro
ini, selain ditandai dengan pengadaan sesajian, juga melakukan tradisi saling
mengunjungi antar anggota komunitas Aliran Kebatinan Perjalanan.
Perayaan satu Syuro secara kolektif biasannya terpusat di Ciparay,
Kabupaten Bandung. Perayaan tersebut biasanya diisi dengan acara
pemaparan ajaran, pidato dari panitia penyelenggara dan Dewan Musyawarah
Pusat (DMP), serta sambutan dari instansi yang terkait organisasi tersebut.
Selain itu, tidak lupa disajikan acara hiburan berupa wayang golek. Pergelaran
tersebut, tidak hanya merupakan hiburan semata, karena alur cerita wayang
yang dipergelarkan memiliki filosofis hidup yang sangat mendalam.82
Dalam melaksanakan memperingati satu Syuro maka harus
menggunakan sesajen dalam pelaksanaannya yakni di antaranya:
1) Tumpeng artinya yang berasal dari butiran nasi yang dikumpulkan
sehingga menjadi tumpeng, tumpeng yang bersatu padu sehingga besar
81
Asep Lukman Hakim, “Studi Tentang Aliran Kepercayaan Perjalanan Ciparay
Bandung,” al-Afkar, Vol. 2, No. 1, (Juli 2018): h. 119. 82
S Dloyana Kusuma, Organisasi Terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Aliran Kebatinan
Perjalanan” di Kelurahan Cipayung Kecamatan Lubang Buaya Jakarta Timur (Bandung:
Kementrian Kebudayaan dan Parawista Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung,
2003), h. 101.
65
megah dan indah. Maka sebagai penerus bangsa kita harus bersatu padu
yang berarti teguh, mari kita bersama-sama menjaga keutuhan bangsa,
keutuhan rumah tangga, dan keutuhan negara. Tumpeng yang menjulur
tinggi ke atas artinya puncak mani. Puncak yang artinya atas dan mani
yang berarti cita-cita. Sebagai penerus bangsa yang memiliki cita-cita
setinggi langit untuk meraih keberhasilan yang ada manfaatnya bagi
bangsa dan negara, maka kita bersama-sama harus satu tujuan, sehaluan,
sekeperluan. Berat kita pikul bersama-sama, ringan kita angkat bersama-
sama, keberhasilahnya kita manfaatkan bersama-sama. Maka inilah arti
dari Tumpeng.83
2) Pisang Raja dan Pisang Emas
Raja adalah seorang pemimpin yang harus ditiru dan dicontoh, maka kita
sebagai penerus bangsa juga harus menjadi pemimpin, baik itu menjadi
pemimpin diri pribadi, baik itu pemimpin rumah tangga, organisasi,
bangsa dan negara. Kita harus sehat lahir dan batin, bijak dan bajik, rajin
dan jujur, pinter dan selamat. Untuk menuju kearah tujuan keselamatan
lahir dan batin, kesejahteraan rumah tangga, bangsa, dan negara memiliki
tujuan yang sama karena kedua-duannya ingin subur dan makmur. Maka
dari itu harus selaras dengan Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika,
dan NKRI.
Pisang Emas dapat diartikan sebagai intan berlian yang memiliki harga
yang mahal, akan tetapi semahal apa pun itu masih dapat untuk dibeli.
Menurut para leluhur Aliran Kebatinan Perjalanan bahwa yang mahal di
83
Wawancara pribadi dengan bapak Nata, Jati Sampurna. Pada tanggal 1 April 2019.
66
dunia ialah harga diri, karena harga diri ini tidak ternilai harganya.
Contohnya ialah, ada seseorang yang ingin menukarkan motornya dengan
salah satu organ tubuh pak Mait yakni mata, maka pak Mait akan menolak
hal tersebut karena untuk apa memiliki sebuah motor akan tetapi pak Mait
tidak bisa melihat. Maka diri itu, harga diri seseorang tidak tertanding
harganya. Untuk itu haruslah menghargain diri sendiri sebagaimana
menghargai orang lain, harus menghormati diri sendiri seperti halnya
menghormati orang lain. Oleh karena itu, hiduplah saling menghargai dan
menghormati, hal ini harus ditanamkan di dalam diri sendiri guna menjadi
pedoman hidup.84
3) Degan (kelapa)
Dalam hal ini haruslah menggunakan kelapa yang masih muda, karena
ditujukan kepada para penerus bangsa ini yakni pemuda. ketika ingin
mengupas kelapa, maka harus memotong bagain atas kelapa dan bawah
serta diberikan lubang di bagian tengahnya. Maknanya ialah agar bisa
berdiri tegak, kokoh, dan kuat, artinya sebagai penerus bangsa harus bisa
berdiri tegak, serta harus di aplikasikan kepada Pemadegan (seluruh
tubuh), maka Pemadegan ini harus ditanamkan kepada diri pribadi.
4) Buah
Buah itu yang disebut polo gantung. Buti yang disebut polo yang berada di
dalam tanah. Buah Buti ini yang mencukupi sandang pangan para
penganut Aliran Kebatinan Perjalanan. Hal ini menjadi kekuatan lahir dan
batin penganut Aliran Kebatinan Perjalanan atas dasar Dzat Ibu Pertiwi.
84
Wawancara pribadi dengan bapak Mait, Jati Sampurna. Pada tanggal 19 Desember
2018.
67
Contohnya: ketika menanam padi sehingga menjadi padi maka
menanamnya di Ibu Pertiwi, menanam pohon pisang sehingga menjadi
pisang menanamnya di Ibu Pertiwi, bahkan bahan bakar adanya di Ibu
Pertiwi. Artinya sebagai manusia harus berterima kasih terhadap Ibu
Pertiwi atau Tanah Air yang telah memberikan penghidupan bagi kita
semua.85
5) Kendi di Isi Air dan Daun Anjuang
Anjuang Bahasa Sunda ngehanjuk yang artinya bernafas. Kendi isi air
yang artinya Tanah Air.
6) Rujak
Dalam bahasa Sunda rujukkan yang artinya balik. Di dalam hidup ini pasti
memiliki kesalahan-kesalahan di masa lalu, maka dari itu jangan
melakukan rujuk (balik) lagi kemasa lalu ketika melakukan kesalahan
tersebut.
7) Garam
Garam merupakan penyambung rasa. Bahwa bangsa apapun, orang mana
pun, sepakat bahwa rasa dari garam itu ialah asin. Maka dari itu sebagai
masyarakat harus satu tujuan, satu rasa guna mambangun negara yang
lebih baik.86
8) Kembang
Sifatnya sengit atau wangi, hidup di alam dunia ini harus silih asah (saling
belajar), silih asih(saling mengasihi), silih asuh (saling melindungi)
terhadap sesama dan jangan saling mencelakakan.
85
Wawancara pribadi dengan bapak Nata, Jati Sampurna. Pada tanggal 19 Desember
2018. 86
Wawancara pribadi dengan ibu Yati, Jati Sampurna. Pada tanggal 19 Desember 2018.
68
9) Bubur Merah atau Putih
Bubur merah artinya darah ibu yang mengalir dari jantung ibu, sedangkan
bubur putih merupakan darah putih yang berasal dari balung sumsum
bapak.
10) Bekakak Ayam
Dalam bahasa Sunda Tumamprak (pungung dibawah perutnya diatas).
Tumamprak di sini bukan berarti menyerah atau putus asa, tumamprak
juga harus kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena hidup di dunia ini tidak
ada daya dan upaya, sebab yang mengusik (gerak), malikan (balik) hidup
ini semua adalah kekuasan Tuhan Yang Maha Esa.87
C. Mendirikan Rumah
1) Kain Berwarna Merah dan Putih diikatkan di Atap Rumah
Kain berwarna merah ini melambangkan darah dari ibu, sedangkan
kain berwarna putih melambangkan darah dari bapak. Merah putih berarti
badan sekujur yang berasal dari ibu dan bapak. Maksudnya dalam rumah
itu hendeknya sifat dan perbuatan manusiawi yang tertinggi
kedudukannya.
2) Padi Segandeng (2 eundan=2 ikatan padi)
Antara lahir dan batin, antara suami dan istri, antara orang tua dan
anak, antara keluarga dan masyarakat, hendaknya selalu berada dalam
suasana kehidupan yang seimbang. Kekurangan keseimbangan
menimbulkan ketimpangan dalam segala lapangan kehidupan. Dengan
adanya keseimbangan dalam bidang penghidupan dan kehidupan disertai
87
Wawancara pribadi dengan bapak Samit, Jati Sampurna. Pada tanggal 1 April 2019.
69
kecukupan hidup (padi) akan dapat menimbulkan kesejahteraan jasmani
dan rohaniah.
3) Tebu
Pada hakekatnya semua manusia itu sama, namun dalam pergaulan
hidup terdapat undak usuk (strata sosial) yang harus mendapatkan
perhatian seperlunya. Suasana hidup yang penuh maemanis ialah dengan
saling menghormati, serta saling menghargai dan menjauhkan segala
perbuatan yang menimbulkan kepahitan terhadap orang lain. Tebu yang
dari pangkal hingga ujung, dari bawah hingga atas seluruhnya
mengandung sari manis.88
4) Pisang Setandan
Seuhang (pisang teratas yang besar pada tandan) dan butiti (pisang
terkecil dan terbawah pada tandan) semuannya itu dari jantung yang sama,
karena proses alamiah pisang itu menjadi berbeda, ada yang kecil dan ada
yang besar, namun demikian kesemuannya itu adalah satu jenis dari satu
asal yang sama.
5) Daun Beringin
Hendaknya kehidupan manusia itu bagaikan pohon beringin yang
berdiri kokoh kuat menjulang tinggi ke langit. Supaya dapat berlindung di
saat hujan, bernaung di saat panas dan memberi arah bagi yang kehilangan
arah. Maksudnya supaya manusia itu dalam hidupannya kokoh kuat
sebagai kawula (pembantu) Tuhan, mampu bemberi perlindungan bagi
yang lemah dapat memberi arah kepada mereka yang tersesat, dalam
88
Dewan Musyawarah Pusat Aliran Kebatinan Perjalanan, Budaya Spiritual Ageman
Aliran Kebatinan “Perjalanan” (Bandung: T.P, 2013), h. 42.
70
menempuh hidup kerohanian supaya mencapai kesejahteraan lahir dan
batin.
6) Katupat, Tangtang Angin, Opak dan Lontong
Ketupat yang memiliki arti janganlah suka “ngupat”
(menggunjingkan/memfitnah) orang lain. Tangtang angin yang berarti
janganlah merasa tinggi hati namun tiada mempunyai hati (keberanian)
bagaikan pohon bambu yang kosong batangnya, yang selalu bergerak dan
bergoyang mengikuti hembusan angin. Opak dan lontong artinya
janganlah bersifat sok besar, sekiranya tidak berisi.89
D. Adat Penganten
1) Sawer
Kasih sayang orang tua tiada duanya, yang diperuntukkan bagi
keselamatan dan kebahagiaan anak keturunannya. Dalam melaksanakan
sawer tersebut ia menaburkan beras lambang pangan, menaburkan kunir
(kunyit) lambang emas dan kekayaan, dan memanjatkan doa guna
memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa serta para leluhur agar diberi
berkah selamat lahir dan batin.
2) Memecahkan Telur
I`tikad dan tujuan baik akan menelurkan kebaikan dan sebaliknya
segala i`tikad dan tujuan buruk akan menelurkan keburukan, demikianlah
hukum dalam kehidupan.
89
Dewan Musyawarah Pusat Aliran Kebatinan Perjalanan, Pedoman Dasar/Pedoman
Rumah Tangga Aliran Kebatinan Perjalanan (Bandung: T.P, 2005), h. 42-43.
71
3) Membasuh Kaki
Memebersihkan segala laku dan perbuatan, sebab kehidupan setiap
insan adalah sandi rumah tangga, dan setiap rumah tangga ialah sandi
kehidupan Bangsa dan Negara.
4) Teropong (bambu halus tidak berbulu)
Hidup rumah tangga antara suami istri, sekalipun berbeda sifat, ibarat
kiri dan kanan, namun keduannya mempunyai tanggung jawab yang sama.
Dari itu harus “bungbas” tiada kecurigaan antara yang satu terhadap yang
lain, tiada rahasia antara mereka, dan segalanya harus bersifat terbuka.
5) Batu Pipisan
Yang satu bersifat datar dan yang lainnya bersifat bulat panjang. Akan
tetapi, berbedaannya itu mempunyai fungsi yang dapat menumbuk jamu
hingga halus. Demikian halnya suami dan istri dalam berumah tangga
harus seimbang dan sehaluan sehingga kehidupannya dapat memberikan
kekuatan jasmani dan rohaniah.90
E. Bibit Amit (Doa)
Bagi para penghayat khususnya penghayat aliran Perjalanan, tidak ada
bacaan doa atau mantera-mantera khusus dalam pelaksanaan ritual. Mereka
berdoa dengan bahasa masing-masing. Mereka yakin bahwa Tuhan Yang
Maha Esa mendengar mereka, karena setiap doa diajukan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, kepada para leluhr, kepada ibu dan bapak, dan kepada Ibu Pertiwi
sebagai sumber kehidupan dan penghidupan.
90
Dewan Musyawarah Pusat Aliran Kebatinan Perjalanan, Pedoman Dasar/Pedoman
Rumah Tangga Aliran Kebatinan Perjalanan, h. 40.
72
Dalam melaksanakan kegiatan ritual, para penghayat tidak mengenal
ketentuan arah dan waktu, namun agar kegiatan ritual lebih khusyuk, mereka
(para penghayat) melakukan penghayatan dengan menghadap lurus ke depan.
Hal ini memberikan makna bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu ada di mana-
mana, tidak terbatas oleh ruang dan waktu.91
Untuk melakukan ritual kesehariannya, para penganut Aliran
Kebatinan Perjalanan ini melakukan ritual seperti berdoa kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Hal ini dilakukan setiap ketika para penganut aliran Perjalanan
ingin melakukan segala rutinitas yang dilakukan setiap hari, seperti: ingin
berangkat kerja, ketika sudah sampai di tempat kerja, sekolah, makan, tidur
dan lain-lain. Di antara doanya ialah:
1. Ketika ingin tidur, titip saya titip anak istri sekeluarga saya dari pagi
sampe sore, dari sore sampai pagi saya mau tidur bila mana ada setan
siluman yang mengganggu saya dan keluarga saya, saya mohon
dikembalikan ke tempat asalnya masing-masing, saya mohon berkah
selamat lahir dan batin jangan sampai ada halangan apapun.
2. Ketika bangun tidur maka berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa
karena istri anak dan keluarga saya, bisa bangun tidur dengan berkah
selamat lahir batin dan tidak ada kekurangan suatu apapun saya
berterimakasih semoga untuk kedepannya saya mohon berkah selamat
lahir batin lagi untuk anak dan keluarga saya.92
3. Hatur nuhun abi arek dahar sadayana anu aya di die daharen, leeten,
isepen, nu atah nu asakna ku simkuring di dahar kajerona sing jadi darah,
91
S Dloyana Kusuma, Organisasi Terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Aliran Kebatinan
Perjalanan” di Kelurahan Cipayung Kecamatan Lubang Buaya Jakarta Timur, h. 94-95. 92
Wawancara pribadi dengan bapak Nata, Jati Sampurna. Pada tanggal 1 April 2019.
73
daging, kulit, bulu, balung sumsum sa isi ning badan sakujur. Kaluarna
jadi cahaya, jadi bedas, jeng tenaga di penta rido galihna, di penta jeng
selamatna, hirumna sing balik ke manu hirup dei sing tunggal dalam
wujud Gusti Maha Suci pulih ke jati pulang ke asal sifat sampurna
didahar sing raos seetik loba hayang aya sesana nuhun Gusti. Artinya,
terimakasih saya mau makan semua yang ada seperti makanan, minuman,
yang mentah, yang mateng dimakan oleh saya supaya jadi darah, daging,
kulit, bulu, balung sumsum seluhur badan. Keluarnya jadi cahaya, jadi
kuat, dan tenaga diminta ridonya dan diminta untuk selamat. Hidupnya
balik ke yang Maha Hidup lagi yang tunggal dalam wujud Tuhan Yang
Maha Suci yang memiliki sifat sempurna, dimakan yang enak sedikit
banyaknya, terimakasih Gusti. Adapun doa yang lainnya, terimakasih saya
mau makan, semua makanan yang ada di sini berupa nasi, ikan, air minum
sama saya di minta ridhonya di minta selametnya.
4. Ketika ingin berangkat kerja, saya mohon kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Leluhur Bangsa dan Ibu Pertiwi saya mohon selamat lahir batin jangan ada
halangan atau hambatan suatu apapun.
5. Ketika sampai tujuan, saya terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Leluhur Bangsa dan Ibu Pertiwi bahwa habis kerja saya selamat nyatanya,
serta selamat lahir dan batin sampai ke rumah, untuk ke depannya saya
mohon selamat lahir dan batin lagi.
6. Ingin menebang pohon, saya minta kepada pengawasnya pohon di minta
ridhonya saya mau tebang.
74
7. Ingin mengendarai sepeda motor, suhunken karidho motor dipake lempang
ulah aya nu nyenggol ulah nu di senggol ulah aya nu nubruk atawa nu di
tubruk selamat di perjalanan sampai ke tujuan. Artinya di minta ridhonya
kepada motor karena mau dipakai. Jangan ada yang menabrak, jangan ada
yang ditabrak, semoga selamat di perjalanan sampai ke tujuan. 93
Kesimpulannya, segala perbuatan harus diawali dengan berdoa, sebab
berdoa merupakan suatu keharusan bagi mereka yang mau selamat dunia dan
akhirat dengan melaksanakan perintah Tuhannya. Hal itu juga diajarkan oleh
setiap agama, gunanya untuk meminta perlindungan, diselamatkan lahir dan
batin oleh sang penciptanya. Karena setiap agama atau penghayat kepercayaan
selalu mengajarkan kebaikan bagi para penganutnya, hal ini dapat dilihat dari
jejak historisnya yang dilakukan oleh para leluhur atau nenek moyang mereka.
93
Wawancara pribadi dengan bapak Nata, Jati Sampurna. Pada tanggal 1 April 2019.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setiap agama atau kepercayaan memiliki ajaran yang pemeluknya
saling berhubungan dengan Tuhannya. Hal ini dapat dilihat dari segi ritual
atau ibadah yang dilakukan sehari-hari. Dalam halini dapat kita jumpai di
dalam ajaran Aliran Kebatinan Perjalanan, di salah satu ajarannya
menjelaskan tentang hubungan manusia dan Tuhan. Adanya bumi dan lagit
beserta isinya adalah Tuhan Yang Maha Esa yang menciptakannya. Maka bila
ingin mencari tuhan carilah pada diri sendiri, sebab Tuhan Yang Maha Esa ini
selalu berada di dalam diri. Ketika eling pada diri sendiri maka secara tidak
langsung juga eling terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Maka dari itu eling
haruslah dipakai untuk yang benar jangan dipakai untuk melakukan susuatu
yang tidak benar karena dengan melakukan perbuatan yang baik maka akan
mendapatkan hal yang baik pula. Oleh sebab itu, para penganut kepercayaan
atau agama, sepakat akan adanya hukum timbal balik dari Tuhannya kepada
mereka yang menjalankan segala perintahnya maupun yang tidak.
Untuk menjalankan segala perintah Tuhannya maka para penganut
Aliran Perjalanan melakukannya dengan ritual guna mendekatkan dirinya
terhadap Tuhannya. Ritualnya ini terbagi beberapa bagian yakni, ritual
keseharian, ritual mingguan, dan ritual tahunan. Dalam melakukan ritual
kesehariannya dengan cara berdoa setiap melakukan aktifitas sehari-hari yang
ditujukan kepada Tuhan, Leluhur Bangsa, dan Ibu Pertiwi. Sedangkan ritual
mingguannya ialah sarasehan yang dilakukan setiap malam minggu di
76
Pasewakan. Kemudian ritual tahunannya ialah setiap tanggal satu Syuro yang
diadakan di berbagai tempat baik di rumah para penganut Perjalanan maupun
dilakukan secara serentak oleh seluruh para penganut kepercayaan di
Indonesia.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dari uraian-uraian atau pembahasan dan
kesimpulan yang sudah dijelaskan dari hasil penelitian maka ada beberapa
saran dari penulis di antaranya sebagai berikut:
1. Bagi masyarakat yang bukan penganut Aliran Perjalanan hendaklah jangan
mendiskriminasi yang bukan seiman atau sekepercayaan. Karena
perbedaan itu bukanlah suatu yang harus di musuhi akan tetapi berbudaan
itu harus slaing kita hormati dan hargai.
2. Jangan takut untuk mempelajari suatu agama atau kepercayaan yang bukan
kita anut, dikarnakan takun akan mengimani atau meyakininya. Sebab
mempelajari agama atau kepercayaan yang lain ini guna menambah
wawasan bagi diri pribadi serta untuk saling menghargai perbedaan yang
ada didalam ajaran agama atau kepercayaan masing-masing agar tidak
menimbulkan kesalah pahaman.
77
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku
Bahri, Media Zainul. Wajah Studi Agama-Agama Dari Era Teosofi Indonesia
(1901-1940) Hingga Masa Reformasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2015).
Ghazali, Adeng Muchtar. Ilmu Perbandingan Agama Pengenalan Awal
Metodelogi Studi Agama-agama untuk IAIN, STAIN, PTAIS (Bandung:
CV Pustaka Setia. 2000).
Hadiwijono, Harun. Konsepsi Tentang Manusia Dalam Kebatinan Jawa (Jakarta:
Sinar Harapan. 1983).
Hakim, Asep Lukman. “Politik Identitas Lokal,” Studi Tentang Aliran
Kepercayaan Perjalanan Ciparay Bandung, Vol. 2, No. 1, July 2018
Hakim, Bashori A dkk. Penyiaran Agama Dalam Mengawal Kerukunan di
Indonesia (Jakarta: Puslibang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI. 2014).
Halim, Ilim Abdul, Nilai-Nilai Aliran Kebatinan Perjalanan dan Dasar Negara,
Jurnal Agama dan Lintas Budaya, Vol. 1, No. 1, September 2016.
Hasbiansyah, Fenomenologi, Fenomena, Metode Riset, Vol. 9, No. 1.
Imam S, Suwarno. Konsep Tuhan, Manusia, Mistik Dalam Berbagai Kebatinan
Jawa (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2005).
Ismail, Faisal. Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia
(Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan. 2012).
78
Jandra, M. dkk, Hasil Penelitin Organisasi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa Daerah Istimewa Yogyakarta II (Yogyakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1990).
Joker, Jan. Metodelogi Penilitian Panduan Untuk Master dan Ph.D di Bidang
Manajemen (Jakarta: Salemba Empat, 2011).
Kementerian Agama RI, Dinamika Agama Lokal di Indonesia (Jakarta: Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Keme nterian
Agama RI, 2014).
Kunto, Suharsini Ari. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta:
Rineka Cipta, 2002).
Kusuma, S Dloyana. Organisasi Terhadap Tuhan Yang Maha Esa “Aliran
Kebatinan Perjalanan” di Kelurahan Cipayung Kecamatan Lubang
Buaya Jakarta Timur (Bandung: Kementrian Kebudayaan dan
Parawista Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung, 2003).
Moleong, Lexy J. Metodelogi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja
Rosdokarya. 1996).
Rozak, Abdul. Teologi Kebatinan Sunda Kajian Antropologi Agama tentang
Aliran Kebatinan Perjalanan (Bandung: Kiblat. 2005).
Sarbaguna, Boy. Analisis Data pada Penelitian Kualitatif (Jakarta: UI Press,
2008).
Tim Penulis Dewan Musyawarah Aliran Kebatinan Perjalanan, Budaya Spiritual
Aliran Kebatinan Perjalanan (Bandung: T.P. 2005).
79
Tim Penulis Dewan Musyawarah Pusat Aliran Kebatinan Perjalanan. Budaya
Spiritual Ageman Aliran Kebatinan “Perjalanan” (Bandung: T.P,
2013).
Tim Penulis Dewan Musyawarah Aliran Kebatinan Perjalanan, Pedoman
Dasar/Pedoman Rumah Tangga Aliran Kebatinan Perjalanan
(Bandung: T.P. 2005).
Wastika, Dewa Nyoman. “Penerapan Konsep Tri Hita Karena Dalam Perencanaan
Perumahan di Bali,” Jurnal Permukiman Nata, Vol. 3, No. 2,
(Agustus 2005.)
Referensi Online
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Tuhan
http://id.m.wikipedia.org/wiki/manusia
http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Alam
http://id.m.wikipedia.org
Wawancara
Wawancara pribadi dengan bapak Mait, jati sampurna pada tanggal 29 Oktober
2018.
Wawancara pribadi dengan bapak Ade Witarsa, jati sampurna. Pada tanggal 14
Maret 2019.
Wawancara pribadi dengan bapak Nata, Jati Sampurna. Pada tanggal 19
Desember 2018.
Wawancara pribadi dengan ibu Yati, Jati Sampurna. Pada tanggal 19 Desember
2018.
LAMPIRAN-LAMPIRAN