18
HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN MENGENAI ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI INFEKSI ACANTHAMOEBA DENGAN KARAKTERISTIK MAHASISWA FKUI Haloho AS 1 , Wahdini S 2 1. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia 2. Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia Email:[email protected] Abstrak Acanthamoeba dikenal sebagai organisme penginfeksi baru yang mulai banyak mendapatkan perhatian dalam dunia kedokteran. Organisme ini merupakan sejenis parasit yang diketahui cukup sering menginfeksi pengguna lensa kontak dan bermanifestasi di mata sebagai Acanthamoeba Keratitis (AK). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar tingkat pengetahuan mahasiswa kedokteran mengenai etiologi dan patofisiologi infeksi yang dapat ditimbulkan oleh Acanthamoeba. Responden adalah mahasiswa kedokteran FKUI tingkat I, II, dan III yang menggunakan lensa kontak. Tingkat pengetahuan responden dinilai berdasarkan jawaban mereka terhadap kuesioner penelitian yang sebelumnya telah dilakukan uji validitas dan realibilitas. Hasil penelitian menunjukkan 18,6% responden memiliki tingkat pengetahuan baik, 41,2% cukup, dan 40,2% kurang. Analisis data menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan responden (chi square, p=0,902; p>0,05), namun tingkat pendidikan memiliki hubungan yang bermakna dengan tingkat pengetahuan (chi square, p=0,000; p<0,05). Faktor yang mempengaruhi hasil ini adalah tidak ditemukannya diskriminasi gender pada responden dan sistem kurikulum yang membuat responden dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi mempunyai tingkat pengetahuan yang lebih baik. Abstract Acanthamoeba is known as the new infectious agent which begin to get much more attention in medicine. This organism is a kind of parasite which is known to infect the contact lens user frequently and has manifestation in the eyes as Acanthamoeba Keratitis (AK). The aim of this research is to get the information about the medicine students’ level of knowledge about the etiology and pathophysiology of Acanthamoeba Infection. Respondents is the students in first, second, and third degree in FMUI who use the contact lens. The level of knowledge is measured based on the the answers of the respondents to the questionnaire which has been done validation and realibility testing. The results show 18,6% respondents have the good level of knowledge, 41,2% fair, and 40,2% poor. After these data have been analyzed, we got the conclusion that the gender has no differences to the level of knowledge (chi-square, p=0,902; p>0,05), but the level of education is proven to influence the level of knowledge (chi square, p=0,000; p<0,05). These results are caused by no gender discrimination between respondents and the curriculum which makes the higher degree respondents have the better level of knowledge. Keywords: Acanthamoeba infection, etiology and pathophysiology, FMUI students’ characteristic, level of knowledge Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN MENGENAI …

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN MENGENAI …

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN MENGENAI ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI INFEKSI ACANTHAMOEBA

DENGAN KARAKTERISTIK MAHASISWA FKUI

Haloho AS1, Wahdini S2

1. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia 2. Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia

Email:[email protected]

Abstrak

Acanthamoeba dikenal sebagai organisme penginfeksi baru yang mulai banyak mendapatkan perhatian dalam dunia kedokteran. Organisme ini merupakan sejenis parasit yang diketahui cukup sering menginfeksi pengguna lensa kontak dan bermanifestasi di mata sebagai Acanthamoeba Keratitis (AK). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar tingkat pengetahuan mahasiswa kedokteran mengenai etiologi dan patofisiologi infeksi yang dapat ditimbulkan oleh Acanthamoeba. Responden adalah mahasiswa kedokteran FKUI tingkat I, II, dan III yang menggunakan lensa kontak. Tingkat pengetahuan responden dinilai berdasarkan jawaban mereka terhadap kuesioner penelitian yang sebelumnya telah dilakukan uji validitas dan realibilitas. Hasil penelitian menunjukkan 18,6% responden memiliki tingkat pengetahuan baik, 41,2% cukup, dan 40,2% kurang. Analisis data menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan responden (chi square, p=0,902; p>0,05), namun tingkat pendidikan memiliki hubungan yang bermakna dengan tingkat pengetahuan (chi square, p=0,000; p<0,05). Faktor yang mempengaruhi hasil ini adalah tidak ditemukannya diskriminasi gender pada responden dan sistem kurikulum yang membuat responden dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi mempunyai tingkat pengetahuan yang lebih baik.

Abstract

Acanthamoeba is known as the new infectious agent which begin to get much more attention in medicine. This organism is a kind of parasite which is known to infect the contact lens user frequently and has manifestation in the eyes as Acanthamoeba Keratitis (AK). The aim of this research is to get the information about the medicine students’ level of knowledge about the etiology and pathophysiology of Acanthamoeba Infection. Respondents is the students in first, second, and third degree in FMUI who use the contact lens. The level of knowledge is measured based on the the answers of the respondents to the questionnaire which has been done validation and realibility testing. The results show 18,6% respondents have the good level of knowledge, 41,2% fair, and 40,2% poor. After these data have been analyzed, we got the conclusion that the gender has no differences to the level of knowledge (chi-square, p=0,902; p>0,05), but the level of education is proven to influence the level of knowledge (chi square, p=0,000; p<0,05). These results are caused by no gender discrimination between respondents and the curriculum which makes the higher degree respondents have the better level of knowledge. Keywords: Acanthamoeba infection, etiology and pathophysiology, FMUI students’ characteristic, level of knowledge

Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014

Page 2: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN MENGENAI …

Pendahuluan

Dalam kurun 30 tahun terakhir, organisme penyebab infeksi selain bakteri dan virus mulai

mendapatkan perhatian serius dalam dunia kedokteran, salah satunya adalah free living

amoeba (FLA). Seperti namanya, organisme ini hidup bebas di alam. Keberadaannya dapat

ditemukan di tanah, debu, udara, air keran, air kolam, hingga air minum yang dikonsumsi

sehari-hari. FLA merupakan anggota dari kingdom protista yang terdiri dari banyak spesies.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa Acanthamoeba sp merupakan spesies yang paling

banyak berperan dalam menyebabkan sejumlah permasalahan kesehatan pada manusia.1

Organisme ini merupakan musuh utama bagi para pengguna lensa kontak karena kerap kali

menyebabkan infeksi pada kornea.2 Namun belakangan, Acanthamoeba sp juga diketahui

dapat menyebabkan infeksi pada petani dan pekerja yang rentan mengalami iritasi pada mata.3

Lebih lanjut, beberapa penelitian menyebutkan bahwa infeksi Acanthamoeba juga terbukti

dapat menyebabkan meningoensefalitis, suatu peradangan pada selaput otak, walaupun

kasusnya masih terhitung jarang.4

Prevalensi keratitis akibat infeksi Acanthamoeba meningkat sejak kasus pertama yang

dilaporkan pada pertengahan tahun 1970-an. Namun, Acanthamoeba Keratitis (AK) menjadi

kurang populer di masyarakat disebabkan oleh kasusnya yang masih jarang. Namun

belakangan ditemukan suatu fakta yang menarik. Suatu penelitian di Kroasia melaporkan

bahwa AK sering salah didiagnosis sebagai herpes simplek keratitis. Gejalanya sama persis,

yaitu terdapat lesi epitelial dan infiltrasi stroma5. Perbedaannya, keratitis yang disebabkan

oleh Acanthamoeba memiliki ciri khas berupa nyeri yang berkepanjangan dan visus yang

menurun.6 Hal inilah yang kemudian menyebabkan penelitian AK mengalami peningkatan

dan mengakibatkan FLA serta Acanthamoeba khususnya menjadi primadona baru dalam

banyak penelitian ilmiah beberapa tahun belakangan ini.

Seiring dengan meningkatnya penggunaan lensa kontak, kasus ini mengalami peningkatan

signifikan. Insiden acanthamoeba keratitis (AK) dilaporkan sebesar 1 berbanding 30 000

pengguna lensa kontak setiap tahunnya.5 Pada tahun 1997 di Chennai, kota yang dahulu

dikenal sebagai Madras di India, dilakukan penelitian untuk menemukan prevalensi AK di

wilayah tersebut. Hasil penelitian tersebut melaporkan bahwa AK yang berhasil diidentifikasi

sebesar 27,3%.3 Malaysia merupakan negara pertama di Asia Tenggara yang melaporkan AK.

Kasus ini dilaporkan pada tahun 1995 dan ditemukan pada seorang wanita pengguna lensa

Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014

Page 3: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN MENGENAI …

kontak. Pada tahun 2001, sedikitnya terdapat 10 kasus yang diidentifikasi sebagai AK di

Rumah Sakit Universitas Kebangsaan Malaysia.6 Sementara itu, di Amerika Serikat, insidensi

AK mencapai angka 1-2 juta kasus setiap tahunnya pada pengguna lensa kontak. Penelitian

tersebut akhirnya menyimpulkan bahwa pengguna lensa kontak memiliki risiko 10 kali lebih

besar untuk terinfeksi Achantamoeba.7

Meskipun pemakaian lensa kontak menjadi faktor risiko utama, 10% kasus yang ditemukan

pada AK juga terjadi akibat trauma okular dan paparan terhadap debu, tanah atau air yang

terkontaminasi oleh Acanthamoeba.6 Penelitian panjang selama 6 tahun (1997-2003) di India

Selatan membuktikan bahwa prevalensi AK meningkat sebesar 6% pada pasien yang tidak

menggunakan lensa kontak.8

Meningkatnya prevalensi AK pada pasien yang tidak menggunakan lensa kontak dapat

dikaitkan dengan keberadaan Acanthamoeba sp yang semakin melimpah di alam. Suatu

penelitian pada tahun 1992-1993 di salah satu negara bagian di Amerika Serikat, Ohio,

melaporkan bahwa Acanthamoeba yang berhasil diidentifikasi pada air yang digunakan untuk

keperluan rumah tangga mencapai 51%. Dari jumlah tersebut, air shower (52%) dan cairan

pembersih dapur (50%) merupakan habitat utama dari Acanthamoeba.9 Lima belas tahun

setelah itu, penelitian terbaru di Florida, Amerika Serikat, menyebutkan bahwa pada tahun

2006-2008, Acanthamoeba sp yang diidentifikasi dari air keran sebesar 2,8%. Hasil ini

berkurang signifikan dari angka 51% yang diteliti 15 tahun sebelumnya. Namun, jumlah FLA

sendiri masih tergolong tinggi, yakni sebesar 19,4%.2 Di Santos, Brazil, penelitian dilakukan

di dua kampus dengan kriteria kebersihan serta kesehatan yang sudah distandardisasi baik.

FLA yang ditemukan pada kampus pertama sebesar 39%, sedangkan pada kampus kedua

sebesar 17%. Dari hasil penelitian di kedua kampus tersebut, Acanthamoeba sp merupakan

populasi terbesar dari semua jenis FLA yang ditemukan. Hasil penelitian ini memberikan

pemahaman baru bahwa Acanthamoeba juga dapat ditemukan dalam lingkungan dengan

tingkat sanitasi yang baik.4 Hasil-hasil penelitian tersebut semakin diperkuat oleh penelitian

yang diadakan di Pakistan yang menunjukkan bahwa antibodi terhadap Acanthamoeba sp

teridentifikasi sebesar 78,8% dan 73,8% pada pria dan wanita sehat.10 Namun, penelitian di

Brazil tersebut juga menegaskan bahwa risiko infeksi dari Acanthamoeba sp meningkat

sebesar 2,99 kali pada lingkungan dengan tingkat sanitasi rendah.4

Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014

Page 4: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN MENGENAI …

Mengingat dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh organisme ini serta semakin

meningkatnya kasus yang ditemukan, maka peneliti ingin mengetahui seberapa besar tingkat

pengetahuan mahasiswa mengenai etiologi dan patofisiologi infeksi Acanthamoeba.

Mahasiswa FKUI adalah calon tenaga kesehatan di masa depan yang kemungkinan akan

berhadapan dengan masalah ini.

Tinjauan Teoritis

1. Acanthamoeba sp.

Acanthamoeba merupakan protista dari golongan amoeba yang hidup bebas dan melimpah

keberadaannya di alam. Organisme ini pertama kali ditemukan pada tahun 1930 sebagai

kontaminan pada kultur suatu spesies jamur/ragi, yaitu Cryptococcus pararoseus.11

Taksonomi Achantamoeba sp dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Taksonomi Achantamoeba sp11,12

2. Morfologi

Terminologi Acanthamoeba dikutip dari istilah dalam bahasa Yunani, acanth yang berarti

“duri” yang ditambahkan ke dalam kata amoeba yang berarti suatu amoeba yang memiliki

struktur berupa duri-duri pada permukaannya. Organisme ini diperlengkapi dengan sejumlah

Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014

Page 5: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN MENGENAI …

vakuola kontraktil yang dapat ditemukan di dalam struktur intraselulernya yang berfungsi

sebagai osmoregulator untuk mengekskresikan cairan dari dalam tubuhnya. Selain vakuola

kontraktil, terdapat berbagai bentuk vakuola lain di dalam tubuhnya, seperti lisosom, vakuola

digestif, dan suatu jenis vakuola yang mengandung sejumlah besar glikogen. Membran

plasma dari sel penyusun organisme ini terdiri dari protein (33%), fosfolipid (25%), sterol

(13%), dan lipofosfonoglikan (29%). Fosfolipid utama yang terdapat pada amoeba ini terdiri

dari fosfatidilkolin (45%), fosfatidiletanolamin (33%), fosfatidilserin (10%), fosfoinositid

(6%), dan difosfatidilgliserol (4%). Sementara asam lemak utama pada Acanthamoeba

tersusun atas asam oleat (40-50%) dan asam lemak tidak jenuh rantai panjang

(polyunsaturated fatty acid/PUFA) sebesar 20-30%. Acanthamoeba hanya mengandung

sedikit glikolipid dimana glukosa menjadi penyusun terbesar senyawa ini dengan level 60%

dari total glikolipid. Sterol yang terdapat pada Acanthamoeba mengandung sejumlah fraksi

yang tidak dapat mengalami reaksi penyabunan (saponifisasi) berupa ergosterol dan 7-

dehidrostigmasterol. Di samping itu, organisme ini juga diketahui dapat memproduksi

prostaglandin.

Acanthamoeba sudah sejak lama diteliti sebagai model dari sel eukariotik yang memiliki

kemampuan spesial berdasarkan kemampuannya berpindah/bergerak karena memiliki

perangkat berupa sitoskeleton aktin. Mikrofilamen aktin ini paling banyak terkonsentrasi di

bawah membran plasma, dan bertanggung jawab dalam menghasilkan tensi/tekanan yang

kemudian membentuk protrusi sitoplasma, yakni tonjolan-tonjolan sitoplasma yang dapat

terlihat ketika organisme ini bergerak. Acanthamoeba dapat berpindah/bergerak relatif lebih

cepat bila dibandingkan jenis sel-sel lain, dengan kecepatan rata-rata mencapai 0,8 mm/detik.

Perpindahan/pergerakan ini melibatkan pembentukan dari pseudpodia hialin. Cara

Acanthamoeba untuk berpindah/bergerak relatif sama baik pada medium solid maupun pada

medium air dan udara. Ada suatu tekanan adhesi yang tercipta di antara Acanthamoeba

dengan medium-medium itu yang lebih besar dari tekanan gravitasi sekalipun. Hal ini

membuktikan bahwa Acanthamoeba dapat melekat bebas di mana saja tanpa terpengaruh

akan gaya gravitasi, termasuk di air ataupun udara tanpa terpengaruh permukaan air atau

udara itu sendiri.11

3. Siklus Hidup

Acanthamoeba melewati dua fase dalam dalam hidupnya, fase vegetatif sebagai trofozoit serta

fase dormansi sebagai kista. Pada fase vegetatif, organisme ini layaknya materi hidup lainnya

Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014

Page 6: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN MENGENAI …

yang ada di alam mencerna makanan berupa partikel organik untuk memenuhi kebutuhan

energi dan metabolismenya. Sebagai trofozoit, organisme ini berkembang optimal pada suplai

makanan yang adekuat, pH netral, suhu sekitar 30oC, dan nilai osmolaritas larutan sebesar 50-

80 mOsm.

Adanya gangguan pada kondisi optimal ini memaksa Acanthamoeba berdiferensiasi

membentuk kista. Kista dari Acanthamoeba memiliki 2 lapis dinding, lapisan yang terluar

tersusun atas protein dan polisakarida, sementara lapisan yang di dalam tersusun atas selulosa.

Karbohidrat yang terdapat pada lapisan luar dinding sel parasit ini kebanyakan mengandung

galaktosa dan glukosa serta sebagian kecil sisanya berupa mannosa dan xylosa. Kedua lapisan

dinding kista ini sebenarnya dipisahkan oleh suatu rongga, namun pada suatu titik rongga ini

menyatu membentuk suatu operculum yang dapat ditemukan pada pusat ostiole. Perangkat ini

nantinya akan dipergunakan dalam proses excystivication, suatu proses dimana kista berubah

kembali membentuk trofozoit karena kondisi optimal untuk tumbuh-kembang organisme ini

sudah tercapai kembali.

Kista dari Acanthamoeba castellanii, salah satu spesies dari organisme ini, telah dibuktikan

mengandung protein sebesar 33% pada dinding selnya, sisanya disusun oleh lipid (4-6%),

karbohidrat (umumnya selulosa), abu (8%), dan 20% sisanya berupa materi-materi lain yang

belum dapat diidentifikasi.11

4. Klasifikasi

Hingga saat ini Acanthamoeba dibagi berdasarkan klasifikasi yang dilakukan oleh Pussard

dan Pons pada tahun 1977. Klasifikasi ini berdasarkan dua karakteristik utama dari

Acanthamoeba, yakni ukuran kista dan jumlah lengan di dalam suatu kista tunggal.

Berdasarkan hal ini, Pussard dan Pons membagi Acanthamoeba ke dalam tiga grup.

Grup 1: Empat spesies diklasifikasikan ke dalam grup ini, termasuk A astronyxis, A

comandoni, A echinulata, A tubiashi. Spesies-spesies ini mempunyai trofozoit yang berukuran

besar, sementara pada kista membentuk ektokista dan endokista yang terpisah jauh serta

memiliki karakteristik-karakteristik berikut ini:

• Jumlah lengan < 6; diameter kista ≥ 18 mm - A astronyxis

• Jumlah lengan 6-10; diameter kista ≥ 25,6 mm - A comandoni

• Jumlah lengan 12-14; diameter kista ≥ 25 mm - A echinulata

Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014

Page 7: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN MENGENAI …

• Diameter kista ≥ 22,6 mm - A tubiashi

Grup 2: grup ini merupakan grup terbesar yang terdiri atas 11 spesies sejauh ini. Ektokista

dan endokista bisa saja terpisah dalam jarak yang dekat maupun jarak yang jauh. Ektokista

ada yang berdinding tebal, ada juga yang berdinding tipis. Sementara endokista ada yang

poligonal, triangular, atau bulat dengan diameter rata-rata kurang dari 18 mm. Spesies

Acanthamoeba yang termasuk ke dalam grup ini: A mauritaniensis, A castellanii, A

polyphaga, A quina, A divionensis, A triangularis, A lugdunensis, A griffini, A rhysodes, A

paradivionensis, A hatchetti.

Grup 3: Lima spesies tergolong ke dalam grup ini: A palestinensis, A culbertsoni, A royreba,

A lenticulata, A pustulosa. Ektokista dari grup ini berdinding tipis dan endokista memiliki 5

sudut yang rapuh dari dindingnya dengan diameter rata-rata kurang dari 18mm.13

5. Distribusi Acanthamoeba

Acanthamoeba diketahui hidup bebas dan melimpah di alam. Organisme ini dapat ditemukan

di mana saja, termasuk di air, tanah, dan udara. Mereka dapat hidup di air laut, air tawar,

bahkan pada mata air murni sekalipun, baik mata air segar (fresh water) yang biasa diolah

untuk menghasilkan air mineral yang layak diminum maupun mata air panas (hot spring).

Acanthamoeba juga dapat diisolasi dari air saringan (distilled water), limbah pabrik,

pendingin serta pemanas listrik, ventilasi udara, alat pengatur kelembaban udara (humidifier),

AC, shower head, pembersih dapur, gunting, kompos, sayur-sayuran, alat-alat bedah, lensa

kontak, kotoran merpati, ikan segar, hingga bangkai hewan. Organisme ini menyebar luas di

ruang publik seperti rumah sakit, pusat kesehatan mata dan kolam renang. Acanthamoeba

juga dapat ditemukan keberadaanya pada alat cuci darah (dialyzer), rongga hidung, swab

tenggorok, jaringan paru, lesi di kulit, feses, biopsi kornea, sinus maxilaris, pencangkokan

mandibula, urin, serta cairan cerebrospinal. Oleh karena jumlahnya yang demikian melimpah,

organisme ini sudah hampir pasti berinteraksi dengan kehidupan manusia sehari-hari. Hal ini

terlihat dari penelitian mengenai antibodi terhadap Acanthamoeba yang mencapai angka 80%

di London. Di Selandia Baru, hampir semua orang yang ada di negara itu pernah atau sedang

terinfeksi oleh Acanthamoeba karena angka penelitian terhadap anti-acanthamoeba mendekati

angka 100%.11

6. Peran dalam Ekosistem

Acanthamoeba berperan sebagai dekomposer sekunder, yakni organisme yang memangsa

dekomposer primer dalam rantai makanan. Oleh karena perannya ini, Acanthamoeba secara

Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014

Page 8: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN MENGENAI …

langsung turut terlibat dalam rantai makanan itu sendiri dan secara khusus meregulasi jumlah

dari populasi dekomposer primer, khususnya bakteri, di dalam ekosistem. Penelitian

menunjukkan bahwa tanah yang mengandung bakteri dan Acanthamoeba mengandung jumlah

mineral yang lebih banyak dibandingkan tanah yang hanya mengandung bakteri saja.

Penelitian ini mengindikasikan peran Acanthamoeba untuk menghasilkan mineral dari

penguraian bakteri yang lebih dahulu menguraikan materi organik.11

7. Infeksi Acanthamoeba pada Manusia

Infeksi organisme ini pada manusia pertama kali diidentifikasi pada tahun 1960-an sebagai

Acanthamoeba Granulomatosa Ensefalitis (AGE), kemudian disusul pada tahun 1970-an

sebagai AK yang dewasa ini menjadi perhatian oleh dunia kedokteran khususnya pada bagian

opthalmologi.11 Organisme ini juga diketahui menyebabkan infeksi pada jaringan subkutan,

kulit, hati, paru-paru, ginjal, kelenjar adrenal, pankreas, prostat, nodus limfa, dan sumsum

tulang.13

8. Acanthamoeba Granulomatosa Ensefalitis

Infeksi Acanthamoeba dalam bentuk kontak langsung antara penderita dengan lingkungan

(host and environment) paling sering bermanifestasi pada keadaan yang disebut

Acanthamoeba Granulomatosa Ensefalitis (AGE). Kasus ini terbilang jarang namun

menimbulkan risiko yang fatal. Acanthamoeba yang hidup bebas di alam dapat menyerang

manusia melalui inhalasi ataupun melalui lesi pada kulit. AGE biasanya terjadi akibat

penyebaran Acanthamoeba secara hematogen melalui infeksi saluran napas bawah ataupun

langsung melalui kulit yang tidak intak menuju sistem saraf pusat. Infeksi baik pada paru

maupun pada kulit ini biasanya dapat menimbulkan risiko serius dalam hitungan bulan hingga

tahun, namun infeksi pada sistem saraf pusat yang bermanifestasi pada AGE dapat

menyebabkan risiko serius pada keadaan akut dalam hitungan hari hingga minggu.13

Manifestasi klinis dari penyakit ini dapat menyerupai infeksi virus, bakteri, atau meningitis

tuberculosis yaitu sakit kepala, demam, perubahan tingkah laku, hemiparesis, letargi, kaku

kuduk, aphasia, ataxia, mual dan muntah, cranial nerve palsy, peningkatan tekanan

intrakranial, kejang-kejang, hingga kematian. Semua gejala ini berhubungan dengan nekrosis

haemoragik yang mengakibatkan iritasi selaput otak dan ensefalitis. Namun hingga saat ini

belum diketahui apakah nekrosis ini disebabkan oleh trofozoit dari Acanthamoeba tersebut

atau disebabkan oleh rekasi imun yang merangsang pelepasan mediator-mediator inflamasi

Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014

Page 9: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN MENGENAI …

seperti sitokin. AGE biasanya terjadi pada ganglia basal, otak tengah (midbrain), batang otak,

cerebral hemiparesis, mengakibatkan lesi pada parenkimal sistem saraf pusat yang berujung

pada AGE. AGE lebih rentan terjadi pada pasien-pasien immunocompromised.13

9. Acanthamoeba Keratitis

Acanthamoeba keratitis (AK) banyak terjadi pada pengguna lensa kontak. Hal ini biasanya

diakibatkan oleh beberapa hal, seperti pemakaian lensa kontak yang terlalu lama, kebiasaan

mencuci lensa kontak sembarangan, tidak melepas lensa kontak saat mandi atau berenang,

higienitas yang rendah, serta pembentukan biofilm pada lensa kontak. Penelitian

menunjukkan bahwa dalam 30 menit pemakaian, pada permukaan lensa kontak dapat

ditemukan sakarida seperti mannosa, glukosa, galaktosa, fukosa, N-asetil-D-glukosamin, N-

asetil-D-galaktosamin, Asam N-asetil neuraminat (asam sialat), dan juga protein,

glikoprotein, lipid, mucin, polisakarida, kalsium, besi, silika, magnesium, natrium, laktoferin,

lisozim, serta molekul imunoglobulin. Hal ini dapat meningkatkan kecenderungan

Acanthamoeba untuk menetap di lensa kontak karena semua molekul itu berperan layaknya

suatu reseptor bagi organisme ini. Keberadaan mannosa menjadi reseptor tersendiri bagi

Acanthamoeba karena mengekspresikan suatu protein pengikat mannosa yang disebut

mannose-binding protein (MBP). Selain itu, kecenderungan pembentukan biofilm pada lensa

kontak dapat meningkatkan kemampuan Acanthamoeba untuk menetap. Biofilm ini bahkan

dapat melindungi Acanthamoeba agar tidak terlepas dari lensa kontak saat dibersihkan. Lensa

kontak yang terkontaminasi apabila kemudian digunakan akan memudahkan invasi langsung

parasit ini menuju kornea dan menyebabkan infeksi.13

Keratitis yang disebabkan oleh Acanthamoeba tidak selalu menginfeksi pengguna lensa

kontak, melainkan juga orang-orang yang tidak menggunakannya sama sekali. Penyebaran

organisme ini melimpah di alam dan setiap orang berisiko untuk terinfeksi. Kebersihan serta

kesehatan mata mutlak dijaga karena penelitian menunjukkan kecenderungan Acanthamoeba

untuk menginfeksi kornea yang teriritasi 1,8 kali lebih besar dibandingkan kornea yang

sehat.13

Infeksi Acanthamoeba hanya berlangsung ketika berada dalam fase vegetatif/trofozoit. Tidak

ada bukti yang menunjukkan kista dapat menempel pada kornea mata. Gejala awal dari

penyakit ini dapat terjadi beberapa hari atau beberapa minggu setelah infeksi, bergantung

kepada ukuran inokulum dari Acanthamoeba dan juga luas dari trauma kornea. Kebanyakan

kasus Acanthamoeba keratitis menampilkan gejala klinis berupa produksi air mata berlebih,

Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014

Page 10: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN MENGENAI …

defek epitel, fotofobia, tenda-tanda inflamasi seperti mata kemerahan, infiltrasi stroma,

edema, serta nyeri yang ekstrim dan tidak tertahankan yang disebabkan oleh neuritis radial,

degradasi epitel dan abses stromal dengan konsekuensi terburuk berupa hilangnya

kemampuan penglihatan. Gejala-gejala lainnya dapat berupa uveitis anterior, perforasi stroma,

serta inflamasi pada sklera.13

Bakteri dapat menyebabkan infeksi sekunder yang membuat kasus ini menjadi lebih rumit.

Glaukoma merupakan tanda umum yang dilaporkan, sementara yang lain dapat berupa edema

saraf, atrofi optik, serta pelepasan retina. Pada kasus Acanthamoeba keratitis yang tidak

ditangani, kebutaan menjadi hasil akhir akibat nekrosis yang meluas hingga ke bagian lebih

dalam dari jaringan mata.13

10. Respon Imun Infeksi Acanthamoeba

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, keberadaan Acanthamoeba yang melimpah di

alam tidak serta-merta menjadi faktor penentu keberhasilannya menginfeksi manusia. Ada 3

hal yang harus senantiasa diperhatikan dalam proses terjadinya penyakit, yakni: host-agent-

environment. Faktor host berkaitan dengan kekebalan tubuh/sistem imun penderita, faktor

agen berhubungan dengan virulensi dari Acanthamoeba, sementara lingkungan merupakan

higienitas dan kecenderunga kontak dengan organisme penginfeksi. Pada kasus

Acanthamoeba granulomatosa ensefalitis, misalnya, lebih rentan menyerang pasien-pasien

yang berada dalam status imun yang kurang baik/immunocompromised. Berbeda dengan

Acanthamoeba keratitis yang bahkan dapat menyerang orang dengan status imun yang baik

sekalipun. Hal ini mengindikasikan pentingnya peran respon imun dalam infeksi

Acanthamoeba.13

Pada Acanthamoeba keratitis, sekret kelenjar lakrimal (air mata) serta gerakan kelopak mata

memiliki peranan penting. Kornea merupakan jaringan yang tidak mengalami vaskularisasi

sehingga Acanthamoeba cenderung lebih tertarik menempel di situ daripada di konjungtiva

yang kaya akan pembuluh darah. Hal ini untuk menghindari respon imun melalui infiltrasi

leukosit. Namun, tidak ada bagian dari dalam tubuh kita yang tidak terproteksi. Pada kornea,

peran air mata sangatlah penting. Ketika terjadi adhesi Acanthamoeba pada kornea, kelenjar

lakrimal akan segera merespon dengan mensekresikan sejumlah besar air mata untuk

membersihkan kornea. Selain itu, pada air mata juga dapat ditemukan sejumlah besar antibodi

non-spesifik, seperti lisozim, laktoferin, lisin-b, sIgA, prostaglandin, dan banyak perangkat

Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014

Page 11: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN MENGENAI …

anti mikroba lainnya. sIgA diketahui berperan dalam mencegah adhesi antara Acanthamoeba

dengan kornea. Mekanismenya belum diketahui dengan pasti, namun diduga sIgA dapat

menggangu proses pembentukan suatu protein berupa adhesin yang dihasilkan oleh

Acanthamoeba. Bagaimana mekanisme spesifik mengenai sekresi air mata ini belum

diketahui secara pasti. Gerakan kelopak mata berperan untuk menyapu dan mengeluarkan

parasit ini dari mata. Namun, apabila usaha ini tidak berhasil, maka kelopak mata akan

mendorong organisme ini menuju konjungtiva, yang nantinya akan dieliminasi melalui respon

imun humoral atau seluler.13

Hasil penelitian AGE pada hewan coba menunjukkan bahwa aktivasi komplemen merupakan

sistem pertahan pertama yang muncul akibat infeksi Acanthamoeba pada sistem saraf pusat.

Aktivasi komplemen ini meliputi tiga cara: claasical pathway yaitu pengaktifan oleh suatu

jenis antibodi yang terdapat pada permukaan tubuh Acanthamoeba, alternative pathway yang

diaktifkan melalui opsonisasi, dan mannose-binding lectin pathway pengaktifan oleh suatu

komponen yang terdapat pada permukaan tubuh patogen. Efeknya berupa deposisi dari

protein komplemen. opsonisasi kemudian dilanjutkan dengan fagositosis amoeba atau melalui

pembentukan membrane attack complex (MAC) yang berakibat kepada kematian sel target.13

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dengan subyek

penelitian adalah mahasiswa S1 FKUI. Pengambilan dan pengumpulan data dilakukan bulan

Mei hingga Juni 2013. Desain penelitian cross-sectional digunakan dalam penelitian ini

karena peneliti hendak melakukan observasi atau pengukuran variabel hanya pada satu saat

tertentu. Populasi target dari penelitian ini adalah mahasiswa FKUI yang menggunakan lensa

kontak. Sementara, populasi yang terjangkau adalah mahasiswa FKUI tingkat I, II dan III

yang menggunakan lensa kontak. Sampel penelitian merupakan populasi terjangkau yang

dipilih melalui consecutive sampling.

Besar sampel yang diperlukan untuk penelitian ini adalah 107 orang dengan kriteria inklusi

yaitu mahasiswa tingkat I,II, dan III Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang

menggunakan lensa kontak dan bersedia mengisi kuesioner. Pengumpulan data dilakukan

Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014

Page 12: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN MENGENAI …

dengan bantuan menyebarkan kuesioner kepada mahasiswa aktif yang sedang menempuh

pendidikan di FKUI tingkat I, II, dan III pada tahun ajaran 2012/2013.

Setelah dikumpulkan, data diverifikasi, diedit, dan dikoding. Kemudian data dimasukkan dan

diolah dengan menggunakan program SPSS untuk Windows versi 11,5. Kemudian, data

disajikan dalam bentuk tabel dan grafik disertai dengan penjelasan yang bersifat analitik.

Untuk melihat ada-tidaknya hubungan bermakna antara variabel dependen dan independen,

digunakan analisis dan uji statistik menggunakan uji statistik chi-square; dengan alternatif uji

Fisher jika distribusi data tidak normal, yaitu saat nilai expected count less than 5 lebih dari

20%. Uji ini digunakan karena kedua variabel yang diteliti adalah data berjenis kategorik.

Terakhir, dicari nilai kemaknaan (p).

Tingkat pengetahuan responden diukur berdasarkan skala likert. Lima soal yang diujikan pada

kuesioner apabila dijawab sempuna akan menghasilkan skor maksimal 10. Setiap jawaban

yang benar diberi skor 2 dan yang salah diberi skor 0. Tingkat pengetahuan baik, sedang, dan

buruk diinterpretasikan berdasarkan total skor yang diperoleh responden dimana skor 0-3

dikategorikan “kurang”; total skor 4-7 dikategorikan “cukup”; dan total skor 8-10

dikategorikan “baik”.

Hasil Penelitian

Jumlah responden yang mengisi kuesioner adalah 107 orang, dimana terdapat 10 orang yang

di-drop-out, sehingga total sampel menjadi 97 orang. Tabel 1 memaparkan persebaran

karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dan tingkat pendidikan.

Tabel 1. Persebaran Karakteristik Responden

Karakteristik   Kategori  Variabel   N   %  

Jenis  Kelamin   Laki-­‐laki   23   23,7  

Perempuan   74   76,3  

Tingkat  Pendidikan   Tingkat  I   36   37,1  

Tingkat  II   19   19,6  

Tingkat  III   42   43,3  

Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014

Page 13: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN MENGENAI …

Jumlah responden perempuan yang mengisi kuesioner lebih banyak 3,2 kali dibandingkan

responden laki-laki. Sementara itu, mahasiswa tingkat III menjadi responden yang paling

banyak mengisi kuesioner (43,3%), disusul oleh mahasiswa tingkat I (37,1%), dan terakhir

tingkat II (19,6%). Grafik 1 memperlihatkan persebaran jenis kelamin terhadap tingkat

pendidikan responden.

 

Grafik 1. Persebaran Jenis Kelamin terhadap Tingkat Pendidikan

Jumlah responden laki-laki didominasi oleh mahasiswa tingkat I (13 orang), disusul oleh

mahasiswa tingkat III (8 orang), dan mahasiswa tingkat II (2 orang). Sementara itu, jumlah

responden perempuan didominasi oleh mahasiswi tingkat III (34 orang), disusul oleh

mahasiswi tingkat I (23 orang), dan mahasiswa tingkat II (17 orang). Grafik 2

memperlihatkan tingkat pengetahuan responden terhadap etiologi dan patofisiologi infeksi

Acanthamoeba.

Laki-­‐Laki   Perempuan  Tingkat  I   13   23  

Tingkat  II   2   17  

Tingkat  III   8   34  

Total   23   74  

0  

10  

20  

30  

40  

50  

60  

70  

80  

Jumlah  

Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014

Page 14: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN MENGENAI …

 

Grafik 2. Tingkat Pengetahuan Responden mengenai Etiologi & Patofisiologi Infeksi

Acanthamoeba

Tingkat pengetahuan mahasiswa mengenai etiologi dan patofisiologi infeksi Acanthamoeba

umumnya berada dalam rentang kurang hingga cukup. Hanya 18,6 % mahasiswa yang

memiliki tingkat pengetahuan yang baik. Tabel 2 memaparkan hubungan antara tingkat

pengetahuan terhadap karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dan tingkat

pendidikan.

Tabel 2. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Karakteristik Responden

Karakteristik  Responden  

Kategori   Tingkat  Pengetahuan   Nilai  Kemaknaan  (P)  

Uji  

Baik   Sedang   Buruk  

Jenis  Kelamin  Laki-­‐laki   5   9   9  

0,902  

 Chi-­‐

square  Perempuan   13   31   30  

Tingkat  Pendidikan  

Tingkat  I   2   9   25  

 0,000  

 Chi-­‐

square  Tingkat  II   1   5   13  

Tingkat  III   15   26   1  

       

Baik   Cukup   Kurang  Tingkat  Pengetahuan   18.6   41.2   40.2  

0  

10  

20  

30  

40  

50  

Persen

tase  

Tingkat  Pengetahuan  

Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014

Page 15: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN MENGENAI …

Analisis data dengan menggunakan uji chi-square menunjukkan tidak ada hubungan

bermakna antara tingkat pengetahuan terhadap jenis kelamin responden (p=0,902; p>0,05),

tetapi terdapat hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan terhadap tingkat pendidikan

mahasiswa (p=0,000; p<0,05).

Pembahasan

1. Tingkat Pengetahuan Responden Mengenai Etiologi dan Patofisiologi Infeksi

Acanthamoeba

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan

antara sedang hingga buruk. Hanya 18,6% responden yang memiliki pengetahuan yang baik

mengenai etiologi dan patofisiologi infeksi Acanthamoeba. Secara umum, hal ini cukup

mengkhawatirkan dimana mahasiwa yang menjadi responden seluruhnya menggunakan lensa

kontak yang merupakan faktor risiko utama dari infeksi yang dapat ditimbulkan oleh

Acanthamoeba pada mata.

Penyebab utama dari permasalahan ini adalah kurangnya sosialisasi mengenai permasalahan

kesehatan yang dapat ditimbulkan akibat infeksi Acanthamoeba. Kurangnya sosialisasi sendiri

disebabkan oleh prevalensi AK yang masih sedikit. Selain itu, manifestasi klinis dari AK

yang tidak khas kerap kali salah didiagnosis sebagai infeksi virus, khususnya infeksi Herpes

Simplex Virus (HSV) sehingga menyebabkan kasus ini tidak populer di masyarakat.5

 

2. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Responden dengan Jenis Kelamin

Hasil penelitian menunjukkan statistik perempuan yang terdaftar sebagai responden lebih

banyak sekitar 3 kali lipat dibandingkan laki-laki. Jumlah tersebut menggambarkan kenyataan

di masyarakat bahwa pengguna lensa kontak didominasi oleh kaum wanita. Kosmetika

mungkin menjadi alasan utama di balik pernyataan ini. Fakta ini menjadi risiko tersendiri

bahwa wanita lebih rentan terinfeksi dibandingkan pria.

WHO memberikan pendapat yang berbeda. Konferensi WHO tahun 2010 di Jenewa, Swiss,

yang terangkum dalam A Conceptual Framework for Action on the Social Determinants of

Health menyatakan bahwa kaum perempuan memiliki tingkat pengetahuan yang lebih rendah

dibandingkan kaum pria, khususnya pada negara berkembang. Hal ini diakibatkan oleh sistem

Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014

Page 16: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN MENGENAI …

paternalistik yang mendiskriminasi kaum wanita sehingga sulit mendapatkan layanan

pendidikan, termasuk pendidikan kesehatan.14

Penelitian serupa pada bagian mata yang dapat dipertimbangkan sebagai bahan perbandingan

untuk penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Ramesh Ve Sathyamangalam dkk

(2009) mengenai faktor-faktor sosial yang berpengaruh terhadap kewaspadaan dan tingkat

pengetahuan mengenai glaukoma pada kawasan urban di Chennai, India. Salah satu hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa kaum pria memiliki tingkat pengetahuan dan kewaspadaan

yang lebih rendah dibandingkan kaum wanita mengenai bahaya glaukoma. Hal ini disebabkan

oleh pembagian tanggung jawab dimana urusan rumah tangga, termasuk kesehatan, menjadi

tanggung jawab kaum wanita.15

Namun, analisis data pada hasil penelitian mengenai hubungan antara tingkat pengetahuan

responden mengenai etiologi dan patofisiologi infeksi Acanthamoeba dengan jenis kelamin

justru membuktikan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kedua variabel

tersebut. Jika melihat alasan-alasan yang dikemukakan sebelumnya, maka logis jika hasilnya

demikian. Responden tidak ada yang mengalami masalah diskriminasi sama sekali sehingga

tidak ada alasan untuk menyatakan adanya hubungan antara tingkat pengetahuan dengan jenis

kelamin. Pernyataan berikutnya yang mengungkapkan bahwa pembagian tanggung jawab

antara kaum perempuan dan laki-laki berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan juga tidak

dapat menjadi alasan karena semua responden masih berusia muda dan belum ada yang

menikah.

 

3. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Responden dengan Tingkat Pendidikan

WHO (2010) menyatakan bahwa pendidikan berpengaruh besar terhadap tingkat pengetahuan

seseorang akan kesehatan. Alasan tersebut dijelaskan ke dalam 3 hal: pematangan fungsi

kognitif, reseptibilitas terhadap pesan-pesan kesehatan, dan komunikasi yang efektif untuk

mendapatkan fasilitas layanan kesehatan.14 Paula Braveman (2011) juga mengungkapkan hal

yang senada. Pendidikan berpengaruh terhadap status sosioekonomi dan status kesehatan

seorang individu. Selain itu, status pendidikan juga berbanding lurus dengan pengetahuan

terhadap penyakit infeksi, baik penularan, pencegahan, maupun tatalaksananya.16

Hasil penelitian ini juga membuktikan hal yang serupa bahwa tingkat pendidikan responden

berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan mereka mengenai etiologi dan patofisiologi infeksi

Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014

Page 17: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN MENGENAI …

Acanthamoeba. Tingkat III secara signifikan memiliki tingkat pengetahuan yang lebih baik

dibandingkan dengan tingkat I dan II. Hal ini juga dipengaruhi oleh sistem kurikulum di

kampus FKUI dimana tingkat III sendiri sudah melalui beberapa modul yang terkait dengan

penelitian ini, seperti penginderaan dan infeksi-imun.

Kesimpulan

1. Berdasarkan tingkat pengetahuan responden terbagi menjadi responden dengan

pengetahuan kurang sebanyak 39 orang (40,2%), pengetahuan cukup sebanyak 40 orang

(41,2%), dan pengetahuan baik sebanyak 18 orang (18,6%).

2. Tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan mengenai etiologi dan patofisiologi

infeksi Acanthamoeba dengan jenis kelamin responden.

3. Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan mengenai etiologi dan patofisiologi infeksi

Acanthamoeba dengan tingkat pendidikan responden.

Saran

Perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi kepada mahasiswa pengguna lensa kontak mengenai

Acanthamoeba Keratitis.

Daftar Pustaka

1. Mergeryan H. The Prevalence of Acanthamoeba in the Human Environment. Reviews of

Infectious Diseases. 1991; 13:390-1

2. Shoff ME, Rogerson A, Kessler K, Scahtz S, Seal DV. Prevalence of Acanthamoeba and

other naked amoebae in South Florida domestic water. Journal of Water and Health.

2008; 6(1): 99-105

3. Davamani F, Gananaselvan J, Anandakannank, Sridhar N, Sundararaj T. Studies of the

Prevalence of Acanthamoeba Keratitis in and Around Chennai. Indian Journal of Medical

Microbiology. 1998: 16(4): 152-3

Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014

Page 18: HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN MENGENAI …

4. Teixeira LH, Rocha S, Pinto RMF, Caseiro M, Da Costa SOP. Prevalence of Potentially

Pathogenic Free-Living Amoebae from Acanthamoeba and Naegleria Genera in Non-

Hospital, Public, Internal Environments from the City of Santos, Brazil. The Brazilian

Journal of Infectious Diseases. 2009; 13(6):395-7

5. Kovacevic D, Misljenovic T, Misljenovic N, Mikulicic M, Dabeska-Novkovski D.

Acanthamoeba Keratitis-Importance of The Early Diagnosis. Collegium Antropologicum.

2008; 32(2): 221-4

6. Kamel AGM., Faridah H, Yusof S, Norazah A, Nakisah MA. A case of trauma related

Acanthamoeba keratitis. Trop Biomed. 2004; 21(2): 135-8

7. Zhang S, Ahearn DG, Stulting RD, Crow SA. Survival and Distribution of Fusarium and

Acanthamoeba in drying MPS. Presentation at 2008 ARVO meeting. Florida

8. Manikandan P, Bhaskar M, Revathy R, John RK, Narendran V, Pannerselvam K.

Acanthamoeba Keratitis – A Six Year Epidemiological Preview from A Tertiary Care Eye

Hospital in South India. Indian Journal of Medical Microbiology. 2004; 22(4):226-30

9. Stockman LJ, Wright CJ, Visvesvara GS, Fields BS, Beach MJ. Prevalence of

Acanthamoeba spp. and other free-living amoebae in household water, Ohio, USA, 1990-

1992. Parasitology Research. 2011; 108(3): 621-7

10. Matin A, Ismail M, Mehmood K. Acanthamoeba castellanii. antibody prevalence among

diverse tribal Pakistani population. Retrovirology. 2012; 9(1): 47

11. Siddiqui R, Khan NA. Biology and Pathogenesis of Acanthamoeba. Parasites and

Vectors. 2012; 5(6): 1-13

12. Cabral FM, Cabral G. Acanthamoeba spp. as Agents of disease in human.

Clin.Microbiol.Rev. 2003; 16(2): 273

13. Khan NA. Acanthamoeba: biology and increasing importance in human health. FEMS

Microbiol.Rev. 2006; 30: 564-95

14. World Health Organization. A Conceptual Framework for Action on the Social

Determinants of Health. [cited 2013 Aug 15]. Available from URL:

www.who.int/entity/ConceptualframeworkforactiononSDH_eng.pdf

15. Sathyamangalam RV, Paul PG, George R, et al. Determinants of glaucoma awareness and

knowledge in urban Chennai. Indian J Opthalmology. 2009; 57(5): 355-60

16. Braveman, Paula. Accumulating Knowledge on the Social Determinants of Health and

Infectious Disease. 2011; 126(3): 28-30

Hubungan antara…, Andreas S Haloho, FK UI, 2014