Upload
mangge
View
233
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis Nabi merupakan sumber pokok ajaran Islam setelah al-Qur’an.
Dari segi dalalahnya, al-Qur’an sama dengan hadis, masing-masing ada yang
qath’i dalalah dan ada yang zhanni dalālah, hanya saja al-Qur’an pada umumnya
bersifat global sedangkan hadi bersifat terperinci, salah satu fungsi hadis nabi
terhadap al-Qur’an adalah bayan al-tafsir (keterangan rincian dan tafsiran). Pada
sisi lain, al-Qur’an berbeda dengan hadis Nabi. Misalnya dari segi periwayatan,
al-Qur’an seluruhnya bersifat qath’I al-wurud sedangkan untuk hadis Nabi, pada
umumnya bersifat zhanni al-wurud hadis Nabi dalam sejarahnya telah terjadi
periwayatan secara makna, sehingga memunculkan problem menyangkut teks
hadis sedangkan al-Qur’an telah dijamin keaslian teksnya.1
Hadis menempati posisi yang sangat penting dan strategis dalam kajian
keislaman. Bukan hanya karena hadis merupakan sumber kedua ajaran Islam,
tetapi juga karena Nabi sebagai “ushwatun hasanah” sehingga seluruh ucapan,
perbuatan, pengakuan Nabi terhadap perlakuan sahabat serta segala sifat dan hal
ihwal yang ada sangkut-pautnya dengan Nabi Muhammad saw, menjadi pusat
perhatian umat Islam. Para sahabat, tabi’in dan seterusnya sangat besar
perhatiannya dalam menjaga hadis-hadis Nabi atau Sunnah-Sunnahnya serta
periwayatannya dari gengerasi kegenerasi yang lain.
Motivasi untuk mempelajari dan mengkaji lebih jauh hadis, ini
dilatarbelakangi oleh keadaan hadis itu sendiri. Sehingga sangat memerlukan
kajian yang komperhensif, baik dari segi kesa}hihan maupun syarah-nya.
B. Rumusan Masalah
1 Arifuddin Ahmad, Paradiqma Baru Memahami Hadits Nabi Refleksi Pembaruan Pemikiran Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail Cet. I (Jakarta: Renaisan, 2005), h. 1-2
1
2
Sebagaimana uraian di atas maka yang perlu diuraikan pada bahasan
ini adalah
1. Bagaimana Hadis dan Sunnah (Tinjauan Ontologis)?
2. Bagaimana Hadis dan Sunnah (Tinjauan Epistemologi)?
3. Bagaimana Hadis dan Sunnah (Tinjauan Aksiologi)?
2
3
BAB II
HADIS DAN SUNNAH (TINJAUAN ONTOLOGIS, TINJAUAN
EPISTEMOLOGI, DAN TINJAUAN AKSIOLOGI)
Hadis dan Sunnah (Tinjauan Ontologis)
1. Pengertian Hadis dan Sunnah
a. Pengertian hadis
Berbagai pendapat dikemukakan ulama tentang definisi hadis, antara
lain:
1). Al-Qaththan menyatakan hadis menurut bahasa adalah baru, sesuatu yang
dibicarakan dan dinukilkan. Bentuk jamaknya adalah ahadis.2 Makna ini
didasarkan dengan firman Allah QS. al-Kahfi (18):6
2). Syuhudi Ismail berpendapat bahwa hadis berasal dari bahasa Arab: al-
hadis, al-hidsan dan al-hudsan, kata tersebut memiliki makna al-jadid
(yang baru) lawan dari kata al-qadim (yang lama) dan al-khabar.3 Al-
Hadis bentuk jamaknya adalah hidats yang berarti al-hadits atau al-jadid
(yang baru).4
3). Ibnu Hajar mengemukakan bahwa yang dimaksud hadis menurut
pengertian syara’ ialah apa yang disandarkan kapada Nabi saw.5
4) M. Ajaj al-khatib mengemukakan definisi hadis adalah segala sesuatu
yang diambil dari Rasulullah saw.6
2 Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, Terj. Mufidhal Abdurrahman dengan judul Pengantar Studi Hadis, (cet. 1; Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005), h. 22
3 Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah, (Jakarta: Bulang Bintang, 1995), h. 27
4 Adid Bisri dan Munawwir AF, Al-Bisri Kamus Arab-Indonesia Indonesia-Arab, (cet. 1, Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), h. 102
5 Subhi as-Shalih, Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu, Terj. Tim Pustaka Firdaus dengan judul Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (cet. III; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 16
3
4
5). Menurut ahli hadis yaitu segala berita yang bersumber dari Nabi
Muhammad saw baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir7, maupun
deskripsi sifat-sifat Nabi saw.8
b. Pengertian Sunnah
Sunnah menurut bahasa berarti perjalanan, dalam konteks yang baik dan yang
buruk. Setiap orang yang mengawali suatu perbuatan kemudian hal itu dilakukan
oleh orang-orang sesudahnya maka dikatakan orang yang melakukan Sunnah.9
Sunnah juga secara etimologis berarti al sirah (perikehidupan, perilaku), al-
tabi’ah (tabiat, watak), al-syari’ah (syariat, peraturan, hukum).10 Sunnah pula
berarti tatacara dan tingkah laku hidup yang menjadi anutan.11
T.M. Hasbi Ash-Shidieqy menganngap Sunnah sebenarnya adalah sebutan
bagi amaliyah yang mutawatir, yakni cara Rasulullah saw melaksanakan suatu
ibadah yang dinukilkan kepada kita dengan amaliyah yang mutawatir pula. Nabi
melaksanakannya bersama para sahabat, kemudian para sahabat
melaksanakannya, diteruskan pula oleh para tabiin walaupun penukilannya tidak
mutawatir namun cara pelaksanaannya mutawatir.12
6M. Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Terj. M. Qudirun Nur dan Ahmad Musyafiq dengan judul Ushul al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadis, (cet, II;Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 2
7Kata taqrir adalah bentuk masdar dari kata kerja qarrara. Dari segi bahasa dapat berarti penetapan, pengakuan atau persetujuan. Lihat Ibn Manshur, Lisanul ‘Arab, Juz IV, h. 394
8Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam 2, (cet. III; Jakarta: PT. Intemasa, 1994), h. 41
9M. Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits... op. cit. h. 1
10Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam 4, op. cit., h. 296
11M. M. Azami, Studies In Early Hadith Literature, Terj. Ali Mustapa Yaqub, Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, (cet. III Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 20
12T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu Hadis, (Cet. I; Semarang: Pustaka Rezki Putra, 1997), h. 21
4
5
2. Sinonim Hadis
Penggunaan kata hadis biasa disinonimkan dengan Sunnah, khabar
dan atsar. Mayoritas ulama hadis menyatakan bahwa hadis sama dengan
Sunnah. Meskipun ada diantara mereka yang membedakan keduanya,
hadis adalah segala sesuatu yang diambil dari Rasulullan saw sedangkan
Sunnah adalah sesuatu yang memiliki dasar amalan dari masa awal
Islam.13
Khabar menurut bahasa berarti semua berita yang disampikan oleh
seseorang kepada orang lain.14 Sebagian ulama menyamakan khabar sama
dengan hadis, keduanya dapat dipakai untuk sesuatu yang marfu’, mauquf
dan maqthu dan mencakup segala sesuatu yang datang dari Nabi
Muhammad saw, sahabat dan tabi’in.15 Sedangkan sebagian ulama
mengatakan bahwa khabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi
Muhammad saw. Karena yang datang dari Nabi disebut hadis sedangkan
orang yang meriwayatkan sejarah disebut akhbary atau khabary. Olehnya
itu mereka beranggapan bahwa khabar lebuh umum dari hadis karena
khabar mengandung segala perkataan Nabi maupun yang selainnya
sedangkan hadis khusus terhadap apa yang diriwayatkan dari nabi.16 “Tiap
hadis dapat dikatakan khabar tapi tidak setiap khabar merupakan hadis”.
Atsar secara bahasa berarti bekasan atau sisa sesuatu atau yang
dinukilkan. Atsar menurut istilah terjadi perbedaan pendapat diantara
13M. Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits... op. cit. h. 7
14T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, op. Cit., h. 14
15 M. Ajjaj al-Khatib, As-Sunnah Qabla Tadwin, Terj. Ali Akrom Fahmi, Hadis Nabi Sebelum Dibukukan, (Cet. I; Jakarta: Gema Islami Press, 1999) h. 43, lihat pula Mudasir, Ilmu Hadis, (Cet. IV; Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 32
16T.M. Hasbi ash-Shiddieqy loc. Cit., lihat pula Mudasir loc. Cit.
5
6
ulama. Menurut ulama khurasan bahwa atsar ditujukan untuk perkataan
sahabat (mauquf) sedangkan khabar ditujukan untuk yang marfu’. Namun
jumhur ulama mengatakan bahwa atsar sama dengan khabar yaitu suatu
yang didasarkan kepada Nabi Muhammad saw, sahabat dan tabiin
sehingga doa yang dinukilkan dari Nabi disebut doa ma’tsur.17
3. Perbedaan Pandangan Ulama tentang Hadis dan Sunnah
Hadis dan Sunnah menurut Hasbi ash-Shiddieqy dapat dibedakan,
hadis konotasinya adalah suatu peristiwa yang dinisbahkan kepada Nabi
saw walaupun hanya sekali beliau ucapkan atau kerjakan dan walaupun
diriwayatkan oleh perorangan saja. Sedangkan Sunnah adalah sesuatu
yang dilaksankan atau diucapakan Nabi saw terus menerus dinukilkan dari
masa kemasa dengan jalan mutawatir, Nabi melaksanakannya beserta para
sahabat, kemudian oleh para tabi’in dan generasi berikutnya sampai pada
masa-masa berikutnya menjadi pranata sosial dalam kehidupan Islam.18
Sunnah lebih ditekankan pada aspek amaliah mutawatir (yang
berkelanjutan sampai saat ini), sedangkan hadis berita tentang Nabi yang
disampaikan kepada umatnya.
Latar belakang konteks kajian ulama terhadap hadis dan Sunnah
juga membuat perbedaan pendapat diantara mereka
1). Ulama Hadis (Muhadditsun)
Ulama hadis mengkaji Rasulullah saw sebagai orang yang
dijadikan uswah hasanah dan posisi beliau sebagai imam (pemimpin)
yang memberi petunjuk berdasarkan pemberitahuan Allah.
Sehubungan dengan itu mereka menukilkan segala hal yang
berhubungan dengan diri beliau meliputi: perjalanan akhlak, tabiat,
17M. Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits... op. cit. h. 8-9, lihat pula T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Op. Cit., h. 15, lihat pula Mudasir, Op. Cit., h. 32
18T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Op. Cit., h. 21
6
7
keutamaannya, keistimewaanya, ucapan, perbuatan dan hal ihwal
lainnya, baik yang berhubungan dengan penetapan hukum syara’
maupun yang tidak.19
2). Ulama Ushul Fikih (Ushuliyyun)
Ulama ushul hanya mengkaji Rasulullah saw dari kedudukan
beliau sebagai penegak hukum syara’ yang menciptakan dasar-dasar
kaidah untuk para mujtahid sesudah beliau dan menjelaskan undang-
undang kehidupan manusia. Olehnya itu mereka menaruh perhatian
terhadap segala ucapan dan prbuatan beliau yang semuanya dalam
rangka menetapkan hukum-hukum syara’.20
3). Ulama Fikih (Fuqaha)
Pokok kajian ulama fikih hanya berdasarkan posisi Rasulullah
sebagai seorang yang seluruh perbuatannya atau perkataanya
menunjuk pada suatu hukum syar’i. Mereka membahas hukum wajib,
sunnat, haram makruh dan seterusnya
B. Hadis dan Sunnah (Tinjauan Epistimologis)
1. Unsur unsur hadis
a. Sanad
Menurut arti kebahasaan sanad adalah sandaran atau sesuatu yang
dijadikan sandaran, karena hadis disandarkan kepadanya.21 Sedangkan
menurut istilah terdapat beberapa rumusan pengertian antara lain
disebutkan, sanad ialah silsilah atau rentetan para periwayat yang
19 M. Ajjaj al-Khatib, As-Sunnah..., Op. Cit., h. 36
20 Ibid.
21 Mahmud ai-Thahan, Tafsir Mushtalahul al-Hadis, (Surabaya: Syarikat Bhulugul Indah, 1998), h. 16
7
8
menukilkan hadis dari sumbernya yang pertama, dengan kata lain sanad
adalah jalan yang dapat menghubungkan matan hadis kepada Nabi saw.
Adapun istilah yang terkait dengan istilah sanad ialah isnad,
musnid dan musnad. Isnad adalah upaya seseorang (musnid) dalam
menerapkan suatu hadis yang diikutinya dengan menjelaskan kepada siapa
hadis tersebut diisnadkan. Kumpulan hadis yang telah diisnadkan itulah
yang disebut musnad, kemudian jika dilihat dari kualifikasi periwayat
dalam rangkaian sanad, maka sanad itu dapat dibedakan menjadi tiga
kalsifikasi yaitu: ashahh al-asa>nid (sanad-sanad yang paling shahih),
ahsan al-asa>nid (sanad-sanad yang paling hasan) adl’af al-asa>nid
(sanad-sanad yang paling lemah).
b. Matan
Menurut bahasa kata matan berasal dari bahasa Arab, matana
berarti punggung jalan (muka jalan), tanah yang keras dan tinggi.22
Sedangkan menurut terminologinya matan adalah penghujung sanad.23
Yakni sabda Nabi yang disebutkan sesudah habis disebutkan sanadnya.
Dengan kata lain matan adalah isi hadis, sesudah habis disebutkan
sanadnya yang terbagi atas tiga bagian perkataan nabi perbuatannya serta
ketetapan Nabi Muhammad saw. Matan dalam kitab tidak termasuk yang
bersifat komentar kualitas dan bukan tambahan-tambahan penjelasan.
jamaknya adalah mutun.Yang dimaksud matan dalam ilmu hadis ialah
sabda Nabi
22Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariyah, Maqa>yis al-Lugah, Jilid V, (Beirut: Ittiha>d al-kita>b al-Arab 2002), h. 294
23Mahmud ath-Thahhan, Tafs>ur Mushtalah al-Hadi>s (Cet. VIII; Riyadh: Maktabah al-Ma’arif,1987), h. 16
8
9
c. Periwayat
Periwayat adalah orang yang meriwayatkan, menyampaikan atau
menuliskan hadis dalam suatu kitab yang pernah diterimanya dari seorang
(gurunya). Sebenarnya antara sanad dan periwayat merupakan dua istilah
yang tidak dapat dipisahkan. Sanad-sanad hadis pada tiap-tiap
thabaqahnya juga disebut periwayat, hanya yang membedakan antara
sanad dan periwayat terletak pada pembukuan atau pentadwinan hadis.
Kedudukan sanad dalam riwayat hadis sangat penting sehingga
suatu berita dinyatakan hadis oleh seseorang tapi yang tidak bersanad
sama sekali maka berita ini tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah
hadis.24
2. Hadis ditinjau dari segi kuantitasnya
a. Hadis mutawatir
hadis mutawatir ialah apa yang diriwayatkan oleh sejumlah
orang yang mustahil bersepakat berdusta menurut adat, dan jumlah
sanadnya seperti sejak awal penerimaan hadis itu sampai kepada akhir
sanadnya
memperhatikan pengertian diatas, dapat dipahami bahwa hadis
mutawatir itu mempunyai syarat sebagai berikut:
1. Hadis yang disampaikan oleh periwayat hadis mutawatir tersebut
harus berdasarkan tanggapan panca indera, baik indra penglihatan
maupun indra pendengaran secara langsung
2. banyaknya periwayat sampai jumlah yang tidak ditentukan, hanya
saja dibatasi oleh adat kebiasaan jumlah orang yang mengatakan sesuatu
dengan jaminan mustahil dusta.
24 lihat pula Mudasir, Op. Cit., h. 61-63
9
10
3. adanya keseimbangan periwayat dari awal sampai akhir dalam
bilangan mutawatir.
Adapun mengenai jumlah orang periwayat pada sebuah hadis
yang disebut mutawatir, terdapat beberapa perbedaan pendapat. Ada
yang menyatakan lebih dari empat orang, dua belas orang, empat puluh
orang, tujuh puluh orang, dan lain-lain. Namun ulama sepakat bahwa
tidak ada batas mengenai jumlah periwayatnya, yang penting dalam hal
ini adalah ketika khabar itu disampaikan oleh orang banyak lantas
terbetik keyakinan akan kebenaran khabar tersebut dalam hati, maka
khabar tersebut dapat dikatakan mutawatir, sebagaimana halnya
seseorang yang merasa kenyang ketika selesai makan.
Hadis mutawatir tebagi tiga yaitu; mutawatir lafzhi, mutawatir
maknawi, dan mutawatir a’mali. Mutawatir lafzhi adalah hadis
mutawatir yang lafazh dan maknanya sama antara satu riwayat dengan
riwayat yang lain. mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang
lafazh dan maknanya berbeda tapi terdapat penyesuain makna secara
umum, sedangkan mutawatir a’mali adalah sesuatu yang diketahui
dengan mudah bahwa ia dari ajaran agama dan telah mutawatir
dikalangan umat islam bahwa Nabi saw telah mengajarkannya atau
memerintahkannya, seperti: jumlah rakaat shalat lima waktu, sholat
jenazah, kadar zakat dan lain-lain
Hadis mutawatir ini sudah pasti shahih ditinjauh dari segi
maqbul dan mardudnya sebuah hadis, baik ia mutawatir lafzhi maupun
mutawatir maknawi karena diriwayatkan oleh banyak orang yang
menurut rasio mustahil mereka berkomplot untuk berdusta.25
25 A. Qadir Hasan, Ilmu Mushthala Hadits, (cet, VIII. Bandung: CV diponegoro, 2002), h.43-48
10
11
Hadis mutawatir merupakan derajat hadis yang paling tinggi.
Oleh karena itu, para ulama dan segenap umat Islam sepakat pedapatnya
bahwa hadis mutawatir itu memberi faedah ilmu dharuriy (penting),
yakni suatu keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang
diberitakannya sehingga membawa kepada keyakinan yang qath’i
(pasti).
b. Hadis ahad
hadis ahad adalah hadis yang periwayatnya tidak sampai
mencapai tingkatan jumlah periwayat hadis mutawatir, tidak memnuhi
persyaratan mutawatir, dan tidak pula mencapai derajat mutawatir.
Hadis ahad adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang, dua orang
atau lebih yang tidak mencapai tingkatan mutawatir. Dan hukumnya
wajib diamalkan apabila memenuhi syarat-syarat maqbulnya sebuah
hadis ahad tersebut. Hadis ahad terbagi tiga yaitu:
1. hadis ahad masyhur
Masyhur menurut bahasa ialah al-intisyar wa az-zuyu’ (sesuatu
yang sudah tersebar atau populer).26 Sedangkan menurut istilah ialah
hadis yang diriwayatkan tiga orang atau lebih (dalam suatu thabaqah)
namun tidak mencapai derajat mutawatir.27 Hadis masyhur disebut
juga hadis mustafidh walaupun terdapat perbedaan yaitu hadis
mustafidh jumlah periwayatnya tiga orang atau lebih mulai dari
thabaqah pertama hingga thabaqah terakhir. Sedangkan hadis
masyhur jumlah periwayat untuk tiap thabaqah tidak harus tiga orang.
Bahkan sebuah hadis yang diriwayatkan seorang periwayat pada
26 Mudasir op. Cit., h. 127
27 Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Cet. x; Bandung: PT al-Ma’arif, 2007) h. 86
11
12
awalnya tetapi pada thabaqah selanjutnya diriwayatkan banyak orang,
juga termasuk hadis masyhur. Hadis masyhur ada yang shahih, hasan
dan ada pula yang dha’if, karena keshahihan sebuah hadis masyhur
tidaklah identik dengan kemasyhurannya tapi keshahihan hadis
ditentukan oleh periwayat, sanad dan matannya.
2. hadis ahad aziz
hadis yang diriwayatkan oleh dua orang pada tiap thabaqahnya
atau hadis yang diriwayatkan oleh kurang dari dua orang periwayat
pertama. Bahkan menurut Ibnu Hibban bahwa jika sebuah hadis
terdapat didalamnya dua orang periwayat pada salah satu
thabaqahnya, maka hadis tersebut juga dinamakan hadis aziz dengan
alasan bahwa tidak satupun hadis yang diriwayatkan oleh dua orang
pada setiap thabaqahnya. Atau kedua sanadnya berlai-lainan
rawinya.28
3. hadis ahad gharib
hadis yang terdapat diantara mata rantai periwayatnya satu
orang (penyendirian). Hadis gharib dibagi menjadi dua yaitu:
a. Hadis gharib muthlak, yaitu hadis yang terdapat penyendirian
sanad menurut jumlah personilnya.
b. Hadis gharib nisby, yaitu hadis yang terdapat penyendirian
dalam sifat, tempat tinggal atau golongan tertentu misalnya antara
ayah dan anak.
Antara hadis mutawatir dan hadis ahad mempunyai perbedaan yang
sangat mendasar dari segi maqbulnya, hadis mutawatir mutlak diterima
sebagai dasar hukum ajaran agama tanpa perlu diteliti lagi sanadnya
sedangkan hadis ahad sangat perlu diteliti sanadnya terutama sanad yang
28 A. Qadir Hasan, Op. Cit., h. 276
12
13
satu orang menjadi satu mata rantai yang dilalui oleh satu matan hadis ahad
tersebut.
3. Hadis ditinjauh dari segi kualitasnya
Hadis bila ditinjauh dari segi kualitasnya, maka hadis terbagi
menjadi tiga bagian yaitu:
a. Hadis shahih
Menurut para ulama hadis bahwa hadis shahih adalah hadis yang
bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan
dhabith dan periwayat lain yang juga adil dan dhabit sampai akhir
sanadnya dan hadis itu juga tidak janggal serta tidak mengandung cacat.
Definisi diatas mengandung lima karakteristik sebuah hadis yang
dapat menjadi hadis shahih yaitu:
1) bersambung sanadnya, yaitu setiap periwayat yang bersangkutan
benar-benar dari periwayat yang berada di atasnya, dan begitu pula
seterusnya sampai kepada periwayat yang pertama, konsekwensinya
definisi tersebut tidak mencakup hadis mursal dan hadis munqathi’.
Sanad suatu hadis dikatakan tidak bersambung bila terputus salah
seorang periwayatnya atau lebih, boleh jadi periwayat yang dianggap
putus itu adalah periwayat yang dha’if, sehingga menyebabkan hadis
yang diriwayatkan tidak shahih
2) keadilan para periwayatnya, yaitu sifat yang mendorong sesorang
untuk bertakwa dan mencegahnya dari perbuatan maksiat, dusta dan
hal-hal lain yang merusak harga diri (muru’ah) seseorang. Dengan
persyaratan ini tidak mencakup hadis ma’udhu dan hadis-hadis
dha’if yang disebabkan periwayatnya dituduh fasik, rusak
muru’ahnya dan lain-lain.
3) Kedhabitan para periwayatnya yaitu periwayat hadis dapat
menguasai materi hadis yang disampaikan dengan baik, baik dengan
13
14
hafalan yang kuat ataupun dengan tulisan yang terpelihara,
kemudian ia mampu mengungkapkannya ketika meriwayatkannya.
4) Hadis yang diriwayatkan tidak mengandung syadz (rancu), yaitu
seorang periwayat tidak berbeda riwayatnya dengan periwayat lain
yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya hafalan atau
jumlah mereka lebih banyak yang menyebabkan periwayat lain lebih
diunggulkan.
5) Tidak berillat, kata illat berarti cacat, penyakit, keburukan, dan
kesalahan baca. Dengan pengertian ini maka yang disebut ber-illat
adalah hadis-hadis yang mengandung cacat atau penyakit.
Sedangkan menurut istilah illat berarti suatu sebab yang tersembunyi
atau samar-samar, sehingga dapat merusak keshahihan hadis.
Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua bagian yaitu
hadis shahih lidza>tih dan hadis shahih lighairi. Perbedaan antara
kedua bagian ini terletak pada segi hafalan atau ingatan periwayatnya .
pada hadis shahih li ghairih ingatan periwayat kurang sempurna.Para
ulama hadis dan sebagian ulama ahli uhsul serta ahli fiqhi sepakat
menjadikan hadis shahih sebagai hujjah yang wajib di amalkan.
Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan
penetapan halal dan haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang
berhubungan dengan aqidah.
Perlu diketahui bahwa martabat hadis shahih itu bertingkat-tingkat.
Tinggi atau rendah tingkatan hadis shahih ini tergantung pada
kedhabithan dan keadilan para periwayatnya. Semakin tinggi tingkat
kedhabithan dan keadilan para periwayatnya, semakin tinggi tingkatan
hadis yang diriwayatkannya.
14
15
b. Hadis hasan
Para ulama berbeda pendapat dalam memposisikan hadis hasan,
ada yang memposisikan hadis hasan diantara hadis shahih dan hadis
dha’if, tetapi ada juga yang memasukkannya sebagai bagian dari hadis
dha’if yang dapat dijadikan hujjah. Sedangkan pengertian hadis hasan
menurut at-Turmudziy adalah tiap-tiap hadis yang pada sanadnya tidak
terdapat periwayat yang tertuduh dusta, pada matannya tidak terdapat
kejanggalan dan hadis diriwayatkan tidak dengan hanya satu jalan
(mempunyai banyak jalan) yang sepadan dengannya.
Sementara itu menurut at-Thibi mendefinisikan hadis hasan
adalah hadis musnad (muttashil dan marfu’) yang sanad-sanadnya
mendekati derajat tsiqah. Atau hadis murshal yang sanad-sanadnya
tsiqah, tetapi pada keduanya ada periwayat lain, dan hadis itu terhindar
dari syadz (kejanggalan) dan illat (kecacatan).
Berbeda dengan dua definisi sebelumnya, Ibnu Hajar al-
Ashqalaniy memberikan definisi hadis hasan yakni hadis yang
diriwayatkan oleh periwayat yang adil, kurang kuat hafalannya,
bersambung sanadnya tidak mengandung syadz dan illat.
Ditinjau dari segi hukumnya maka hasan dapat dijadikan hujjah
dan dapat diamalkan menurut pendapat ulama. Alasan mereka karena
telah diketahi kejujuran periwayatnya dan keselamatan perpindahan
dalam sanad, rendah tingkat kedhabithannya, tidak lantas menggugurkan
mereka dari jajaran periwayat yang mampu menyampaikan hadis
sebagaimana keadaan hadis itu ketika didengar, karena sesungguhnya
adanya perbedaan itu hanyalah semata-mata menunjukkan hadis hasan
itu berada satu tingkat dibawah hadis shahih.
15
16
Hadis hasan terbagi kepada hasan lidza>tih dan hasan lighairi.
Hasan lidzatih adalah apabila diriwayatkan jalur lain yang semisal atau
yang lebih kuat, baik dengan redaksi yang sama maupun dengan
maknanya saja yang sama, maka kedudukan hadis tersebut meningkat
dan menjadi kuat dan mencapai tingkatan hadis shahih lighairih. Dan
hadis hasan lighairih adalah hadis dha’if yang meningkat kualitasnya
menjadi hasan karena diperkuat oleh hadis yang lain. Oleh Imam at-
Turmudziy mendefinisikannya sebagai hadis yang diriwayatkan melalui
sanad yang didalamnya tidak terdapat periwayat yang dicurigai
berdusta, matan hadisnya tidak janggal, diriwayatkan oleh sanad lain
yang sederajat.29
c. Hadis dha’if
Kata dha’if menurut bahasa berarti lemah, sebagai lawan dari
kata kuat. Maka sebutan hadis dha’if dari segi bahasa berarti yang lemah
atau hadis yang tidak kuat. An-Nawawi mendefinisikan bahwa hadis
dha’if hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih
dan hadis hasan. Ulama lain menyebutkan bahwa hadis dha’if ialah
hadis yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul. Lebih-lebih
lagi jika yang hilang dua atau tiga syarat, seperti periwayat yang tidak
adil, tidak dhabith dan adanya kejanggalan dalam matan.
Para ulama menemukan kedha’ifan hadis itu pada tiga bagian
1). Dha’if dari segi persambungan sanadnya, hadis yang tergolong
kedalam kelompok hadis ini adalah hadis mursal, munqathi’,
mu’dal, mudallas.
2). Dha’if dari segi sandarannya, hadis yang tergolong kedalam
kelompok ini adalah hadis mauquf dan maqthu’
29Mudasir op. Cit., h. 151-155
16
17
3). Dha’if dari segi lainnya, kedha’ifan pada bagian ini adalah
kedha’ifan karena kecacatan matan dan periwayatnya, seperti hadis
ma’udhu, matruk, mungkar, mu’allal, mudraj, maqlub, mudhtharrib,
muharraf, mushahhaf, mubham, majhul, matsur. Syadz dan
mahfudh, dan mukhtalidh30
C. Hadis dan Sunnah (Tinjauan Aksiologis)
1. Otoritas Nabi Muhammad saw
Pengakuan terhadap peran dan fungsi kenabian berimplikasi
terhadap pengakuan kedudukan hadis Nabi sebagai ajaran Islam yang
kedua. Hal ini diterima oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam.
Legitimasi otoritas ini tidak diraih dari pengakuan komonitas muslim
terhadap Nabi sebagai seseorang yang berkuasa, akan tetapi diperoleh
lewat kehendak Ilahiyah. Oleh karena itu segala perkataan, perbuatan dan
taqrir beliau dijadikan pedoman dan panutan oleh umat Islam. Ini
disebabkan karena Nabi mendapat wahyu dan ilham, sehingga apa saja
yang berkenaan dengan beliau pasti mendapat jaminan teologis.
Sebagaimana QS. an-Najm(53):3-4
Terjemahan;
Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). QS. an-Najm(53):3-431
Interpretasi terhadap petunjuk Allah ini diwujudkan dalam bentuk
nyata dalam kehidupan Nabi Muhammad saw. Sabda, prilaku dan
30Fatchur Rahman, op. cit., h.168-22731 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Penerbit: Jumanatul
‘Ali-Art, 2005), h. 526
17
18
sikapnya terhadap sesuatu terkadang menjadi hukum tersendiri yang tidak
ditemukan dalam al-Qur’an. Otoritas Nabi sebagai pembawa risalah untuk
memberikan petunjuk kehidupan yang benar kapada ummatnya ini
dibenarkan oleh Allah swt, bahkan taat kepada ajaran Nabi merupakan ciri
utama ketakwaan seseorang. Dan sebaliknya yang menentang kenabian
Muhammad saw atau menentang ajaran yang dibawanya, menjadi ukuran
kualitas keimanan seseorang.32 Sebagaimana firman Allah swt dalam QS.
al-Hasyr (59):7
Terjemahnya:
apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.33
2. Kedudukan dan Fungsi Hadis
a. kedudukan hadis sebagai sumber hukum Islam
Secara struktural, umat Islam sepakat bahwa hadis merupakan
sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. al-Qur’an dan as-Sunnah
merupakan dua sumber hukum syariat yang tetap, yang orang Islam
tidak mampu memahami syariat Islam dengan tanpa kembali kepada
kedua sumber tersebut. Mujtahid dan orang alim pun tidak
diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari
keduanya.
kedudukan hadis sebagai sumber ajaran Islam ditegaskan Allah
swt dalam QS. al-Hasyr (59):7 dan QS. an-Nisa’(4): 80
32 Badri Khaeruman, Otentitas Hadis Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, cet. 1
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 27-28
33 Departemen Agama RI, op. cit., h. 546
18
19
Terjemahnya:
apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa
yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.34
Terjemahnya:
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu,
Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. QS. an-
Nisa’(4): 8035
b. Fungsi hadis
Di dalam al-Qur’an terdapat ajaran-ajaran, perintah, larangan,
informasi dan konfirmasi yang bersifat umum dan global. Universalitas
al-Qur’an membuat dirinya tampil simpel, ringkas, tetapi mengandung
banyak cakupan. Oleh karean itu, kehadiran hadis sebagai sumber ajaran
kedua tampil “petunjuk praktis” dan sebagai penjelas (bayan)
keumuman isi al-Qur’an tersebut.
Hadis sebagai penjelas (bayan) memiliki bermacam-macam
fungsi, dibawah ini akan diuraikan satu persatu.
1. Bayan al-taqrir
Bayan al-taqrir disebut juga bayan al-ta’kid dan bayan al-
itsbat. Yang dimaksud bayan al-taqrir ialah hadis yang memperkuat
dan memperkokoh apa yang telah diterangkan dalam al-Qur’an.36
Contoh hadis yang diriwayatkan Oleh bukhari dari Abu
Hurairah, sebagai berikut:
34Ibid
35Departemen Agama RI, op. cit., h. 91
36Mudasir, op. cit., h. 76
19
20
: من الصالة تقبل ال وسلم عليه الله صلي الله رسول قال
يتوضا حتي احدث
Artinya: “Rasulullah saw telah bersabda: tidak diterima shalat
seseorang yang berhadats sebelum ia berwudhu”
Hadis ini mentaqrir QS. al-Maidah (5): 6
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, QS. al-Maidah (5): 637
2. Bayan al-tafsir
Bayan al-tafsir berfungsi memberikan rincian dan tafsiran
terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal, memberikan
taqyid (membatasi) ayat-ayat al-Qur’an yang masih mutlak. Dan
memberikan takhshish (penentuan khusus) yang masih umum.38
Contoh hadis yang berfungsi sebagai bayan al-tafsir sebagai
berikut:
رايتموني كما صلوا
اصلي
37Departemen Agama RI, op. cit., h. 108
38Totok Sumarjono, Kamus Ilmu Hadis, (cet.1; Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h. 32
20
21
Artinya: “shalatlah sebagaimana engkau melihatku shalat”
(H.R. Bukhari)
Hadis tersebut menjelaskan QS. al-Baqarah: 43 bagaimana
mendirikan shalat
Terjemahnya:
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
ruku'lah beserta orang-orang yang ruku' QS. al-
Baqarah (1): 4339
Contoh hadis yang membatasi (taqyid) ayat al-Qur’an
واما والجرد الحوت الميتتان فاما ميتتانودمان لن احللت
الدمان
فالكبد
والطحا
ل
Artinya:
“Telah dihalalkan bagi kami dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua bangkai adalah bangkai ikan dan belalang sedang dua darah adalah hati dan limpa.”
Hadis ini mentaqyidkan QS. al-Maidah (5): 3
…
Terjemahnya:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi.... QS. al-Maidah (5): 340
39Departemen Agama RI, op. cit., h. 7
40Departemen Agama RI, op. cit., h. 107
21
22
Contoh hadis yang mentakhshishkan keumuman ayat al-Qur’an
من القاتل يرث ال
المق
تول
شيا
Artinya:
“Pembunuh tidak berhak menerima harta warisan”
Hadis ini mentakhshish keumuman firman Allah swt
Terjemahnya:
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. QS. An-Nisa(4): 1141
3. Bayan al- tasyri’
Yang dimaksud dengan Bayan al- tasyri’ ini adalah
mewujudkan suatu hukum atau ajaran yang tidak terdapat dalam al-
Qur’an.42 Sebagai contoh yakni hadis tentang zakat fitrah
من الفطر زكاة فرض وسلم عليه الله صلي الله رسول ان
علي شعير من صاعا او تمر من صاعا الناس علي رمضان
المسلمين من انثي او ذكر عبد او كل
Artinya:
41Ibid, h. 78
42Mudasir, op. cit., h. 85
22
23
“Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat islam pada bulan ramadhan satu sha’ kurma atau gandung untuk setiap orang baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan”
Bayan al- tasyri’ masih ada ulama mempersoalkannya,43
namun mayoritas ulama menerima fungsi hadis sebagai Bayan al-
tasyri’.
4. Bayan al-nasakh
Bayan al-nasakh berfungsi menjelaskan mana ayat yang
menasakh (menghapus) dan mana yang dimansukh (dihapus) yang
secarah lahiriah bertentangan. Fungsi bayan al-nasakh, ini juga
sering disebut bayan al-tabdil (mengganti suatu hukum atau
menghapusnya), hadis dalam hal ini menghapuskan atau
membatalkan ketentuan al-Quran demikian menurut ulama yang
menganggap ada bayan al-nasakh.44
Salah satu contoh yang biasa diangkat oleh ulama, yakni
hadis
وصية ال
لوارث
Artinya: “tidak ada wasiat bagi ahli waris”
43Persoalan yang diperselisihkan adalah apakah hadis atau sunnah dapat berfungsi menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalalm al-Qur’an kelompok yang menyetujuinya mendasarkan pendapatnya pada al-ishma (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syari’at). Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah swt (al-Qur’an). Ketika hendak menetapkan hukum. Namun Quraish Shihab memahami bahwa fungsi Nabi (hadis) terhadap al-Qur’an didefenisikan sebagai bayan al-murad (penjelasan terhadap maksud Allah), sehingga apakah ia merupakan penjelasan, penguat, atau rincian, pembatas dan bahkan tambahan, kesemuanya itu bersumber dari Allah. lihat M, Qurais Shihab, Membumikan Al-Qur’an Cet. XXVIII, (Bandung ;Misan, 2004)
44Mudasir, loc. cit.,
23
24
Hadis ini menasakh firman Allah swt
Terjemahnya:
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. QS. al-Baqarah (2): 180
3. Ingkar al-Sunnah
Dalam sejarah ada sekelompok kecil dari kalangan “ulama” dan
umat Islam yang menolak hadis nabi sebagai salah satu sumber ajaran
Islam. Mereka dikenal dengan sebutan ingkar al-Sunnah atau mungkir al-
Sunnah. Imam Syafi’i mengklasifikasi yang mengingkari hadis Nabi
kedalam tiga golongan: (1). Golongan yang menolak seluruh Sunnah (2)
golongan yang menolak Sunnah, kecuali bila Sunnah ada kesamaan
dengan al-Qur’an, (3) golongan yang menolak Sunnah yang berstatus
ahad.45
M.M. Azami mengutarakan bahwa pada masa sahabat sudah ada
orang-orang yang kurang memperhatikan kedudukan Sunnah, namun
mereka bersifat perorangan. penolakan tersebut lenyap pada akhir abad
ketiga dan muncul kembali pada abad ketiga belas hijriah hingga saat ini,46
mereka yang berpaham inkar Sunnah baik yang mengingkari seluruh atau
sebagian saja muncul diberbagai tempat, misalnya di Mesir, antara lain Dr.
Taufiq Sidqy, di Malaysia antara lain Kassim Ahmad dan seterusnya.
45 Arifuddin Ahmad, op. cit. h. 21
46 M.M. Azami, op. cit. h. 42-46
24
25
Cukup banyak alasan yang mereka untuk menolak hadis Nabi
sebagai sumber ajaran Islam. Alasan yang mereka ajukan ada yang berupa
dalil naqli dan ‘aqli antara lain:
Terjemahnya:
Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu.QS. al-Nahl (16): 89
Terjemahnya:
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab QS. an-Nisa (4):38
Para ulama membantah argumen naqli yang diutarakan, dan
menegaskan bahwa kedua ayat tersebut tidak ada kaitannya dengan
penolakan terhadap hadis, dalam surah QS. al-Nahl (16): 89
menerangkan tentang adanya berbagai kewajiban,
larangan, teknis pelaksanaan ibadah tertentu dan
seterusnya. Penjelasan al-Qur’an sangat bersifat global,
justru sangat memerlukan bantuan hadis untuk
menerangkan teknis pelaksanaannya serta
memperincinya. Demikian pula halnya dengan QS. an-Nisa
(4):38 tidak ada kaitannya dengan penolakan terhadap hadis.
Dalil-dalil ‘aqli yang mereka ungkapkan, diantanya menurut
Taufiq Sidqi, tidak ada satupun hadis yang tertulis pada zaman Nabi,
pencatatan hadis baru terjadi jauh setelah wafat nabi, sehingga manusia
mempermainkan hadis Nabi. Asal mula hadis yang dihimpun dalam kitab-
kitab hadis itu hanya dongen-dongen semata. Para ulama membantah
tuduhan tersebut terutama M.M. Azami, argumen ingkar Sunnah
merupakan argumen yang tidak kuat, pencatatan hadis Nabi bukan baru
25
26
dimulai pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, tetapi sejak zaman
Nabi, misalnya Abdullah ibn Umar, ibn Abbas, dan Ibn ‘Amr bin ‘Ash
dan lain-lain adalah sahabat nabi yang rajin mencatat hadis Nabi,
pemeliharaan hadis juga dibuktikan dengan usaha para ulama untuk
menyusun berbagai kaidah dalam ilmu hadis dalam rangka upaya
pemeliharaan hadis dari berbagai pemalsuan yang merusaknya.47
4. Hadis di Mata Orientalis48 dan Bantahan terhadap Pandangannya
Kajian orientalis terhadap Islam khususnya hadis cukup intensif
mereka terus berupanya untuk mencari kelemahan hadis dan hendak
menolaknya sebagai sumber ajaran yang dapat dipertanggungjawabnya
keilmiyahannya. Menurut mereka hadis itu baik sanad maupun matan
hanya dongen-dongen atau karagan-karangan, untuk menguatkan argumen
mereka atau untuk tujuan politis kemudian menyandarkannya kepada nabi.
diantara Tokoh orientalis yang cukup terkenal ialah Goldziher, J. Wenzik,
dan Joseph Schacht.
47Sanggahan dalil ‘aqli ingkar al-sunnah Penulis tidak sempat ungkap panjang lebar disini, namun untuk lebih jelasnya lihat Arifuddin Ahmad, op. cit., h. 26-31 dan M.M. Azami, op. cit.
48Orientalisme berasal dari kata orient, bahasa Perancis, yang secara harfiah bermakna: Timur dan secara geografis bermakna : dunia belahan Timur; dan secara etnologis bermakna : bangsa-bangsa di Timur. Kata “orient” itu telah memasuki berbagai bahasa di Eropa, termasuk bahasa Inggeris. Oriental adalah sebuah kata sifat yang bermakna : hal-hal yang bersifat Timur, yang teramat luas ruang lingkupnya.
Dari beberapa pengertian yang telah diketengahkan dapat dipahami bahwa orientalisme adalah suatu cara pemikiran dan eskpressi Timur. Orang yang ahli disebut orientalis, mereka itu adalah sarjana-sarjana Barat dari golongan Yahūdi, Kristen atau golongan atehis yang mendalami bahasa-bahasa Timur misalanya bahasa Arab, Persi, Turki, masalah-masalah ideal dunia Arab, bahasa Semit dan juga bahasa-bahasa Timur lainnya (bahasa benua Asia). Intinya mendalami semua yang ada kaitannya dengan dunia timur khsususnya Islam.
Studi ini mereka perdalam dengan maksud ingin memasukkan ide-ide mereka ke dalam ajaran Islam untuk memberi kesan yang tidak baik terhadap ajaran Islam dan dakwah Islam menjadi merosot, berkurang pengaruhnya terhadap masyarakat sehingga ajaran Islam tidak mempunyai pengaruh terhadap umatnya. Di samping itu, kaum orientalis mengadakan studi secara intensif adalah dalam rangka mencari dan mengetahui Islam secara obyektif. Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam (Cet.I; Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1985), h. 1-7
26
27
Golziher banyak mengkritisi hadis Nabi dalam bukunya
muhammedanische studies, sebagai sesuatu yang dibuat-buat dan bukan
berasal dari Nabi Muhammad. Salah satu kritikannya terhadap hadis
khusunya terhadap matan hadis yakni krititikannya terhadap hadis “pergi
ke tiga mesjid”
, مسجد و مسجدي و الحرام المسجد مساجد ثالثة الي اال الرحال تشد ال
المقدس بيت
“Tidak dikencangkan tali kendaraan kecuali menuju tiga masjid yakni Masjidil Haram, Masjid Nabawi Madinah dan Masjid Baitul Maqdis
Hadis ini kemudian dipahami oleh Goldziher sebagai hadis
bolehnya melakuan haji di tiga masjid yaitu: masjid di Makkah, masjid di
Madinah dan masjid di Qudus. Dengan pemahaman tersebut kemudian
mengomentari hadis ini bahwa hadis ini sengaja dibuat oleh al-Zuhri
dengan tujuan politis. Ahli hadis al-Zuhri menurutnya, membuat sanad-
sanad hadis yang nantinya bersambung kepada Nabi Muhammad saw, dan
mengedarkannya dalam masyarakat, sehingga nantinya dapat dipahami
bahwa ada tiga masjid yang dapat dipakai untuk beribadah haji.49
Kata Goldziher; Malik bin Marwan merasa khawatir apabila orang-
orang syam pergi haji ke Mekkah itu membaiat ‘Abdullah bin Zubair
karena itu ia berusaha agar orang-orang dapat melakukan haji di Qubbah al
sakhra’ di Qudus (Jerussalem) sebagai ganti berhaji ke Mekkah, ia juga
mengeluarkan keputusan bahwa tawaf di sekitar sakhra sama nilainya
dengan tawaf di sekitar Ka’bah. 50Demikian pandangan (tuduhan)
Goldziher.
49Goldziher, muhammedanische studies, (t.tp, tth), h. 35
50Ibid,
27
28
Bantahan terhadapnya: pandangan Goldziher sangat tidak
berdasar. Pertama atas dasar apa memahami hadis di atas sebagai
dibolehkannya seseorang menunaikan haji di tiga mesjid tersebut? Kedua
kalau memang benar Malik bin Marwan mengarang hadis tersebut untuk
melarang orang menunaikan haji ke Mekah dan menyuruh menunaikannya
di Kudus Yerussalem mengapa tidak ada bukti sejarah tentang hal tersebut.
Malahan ini sangat tidak mungkin karena sejarah mencatat Qubbah al
sakhra’ di Qudus (Jerussalem) baru selesai di bangun pada tahun 72 H
sedang menurut Ya’quby, pada tahun 72 H dan sesudahnya, Makkah sudah
berada dalam kekuasaan Bani Umayyah. Oleh karena itu mereka tidak
berkepentingan untuk membuat aturan baru untuk mengadakan tawaf di
Qubbah al sakhra’. Dan Bani Umayyah tidak mungkin sebodoh itu, karena
dengan berbuat demikian mereka pasti akan mendapatkan perlawanan dari
umat Islam dan memberikan ruang kepada lawan politiknya untuk
menggalang massa menjatuhkan pemerintahannya.51
Selanjutnya bantahan tuduhan Goldziher kepada al-Zuhri yang
meriwayatkan hadis tersebut, hadis diriwayatkan al-Zuhri sama sekali tidak
ada hubungannya dengan kebolehan menunaikan ibadah haji di tiga masjid
tersebut. Hadis tersebut sama sekali tidak menunjukkan sakhra’ itu
merupakan tempat suci demikian juga tawaf di sekitarnya, hadis yang
diriwayatkan al-Zuhri hanya menunjukkan kedudukan khusus masjid al-
Aqsha dan memang sudah di maklumi bahwa mesjid al-Aqsha itu
merupakan kiblat pertama umat Islam dan tempat isra Nabi Muhammad
saw. Selanjutnya hadis ini bukan hanya diriwayatkan oleh al-Zuhri saja
melainkan diriwayatkan oleh 19 orang yang lain. Jadi jika hadis tersebut
palsu dengan logika apa kita hanya menuduh al-Zuhri yang memalsukan.52
51M. M. Azami, op. cit., h. 611
52Ibid,
28
29
Kritik J. Wensinck terhadap matan hadis.
Orientalis yang satu ini cukup besar jasanya dalam Islam, ia
menghabiskan umurnya untuk membuat Mu’jam Mufahras li Alfadz al-
Hadits. Prof. Wensinck menulis dalam bukunya Muslim Creed sebagai
berikut: beberapa dekade sesudah wafanya Nabi Muhammad saw terjadi
perkembangan dalam pemikiran Islam sebagai bukti dua hadis yakni hadis
tentang syahadat dan Islam dibangun atas lima pilar baru dibuat sahabat
sesudah nabi meninggal. Menurutnya, “nabi tidak pernah mempunyai
ungkapan khusus yang mesti diucapkan oleh orang-orang yang baru
memeluk Islam. ketika orang-orang Islam bertemu dengan orang-orang
Kristen di Syam dan mereka mengetahui bahwa orang Kristen mempunyai
ungkapan khusus akhinya mereka merasa perlunya untuk membuat
ungkapan seperti itu, akhirnya mereka mencetuskan dua kalimat syahadat
dan lima pilar Islam.”53
Bantahan terhadapnya. Tuduhan Wensinck sangat tidak beralasan
dan sebenarnya Wensick sangat mengetahui bahwa dua syahadat itu
merupakan bagian dari tasyahud yang dibaca diakhir setiap dua rakaat
dalam shalat. Seharusnya prof. Winsinck tidak berteori seperti itu karena
itu adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena kalau demikian tuduhannya
berarti shalat belum sempurna sampai nabi meninggal, sesuatu yang
mustahil. Terlebih lagi al-Qur’an berpuluh-puluh kali menyuruh untuk
melakukan shalat, begitu pula hadis nabi bahkan setiap hari nabi shalat
secara berjama’ah dengan sahabat, apakah mungkin shalat tampa tasyahud
dan nanti sahabat yang mengarang (membuatnya). Tuduhannya tidak lebih
dari omong kosong belaka.54
53Wensinck, the Muslim Creed, (Cambridge, 1932), h. 19-32 54 M. M. Azami, op. cit., h. 614
29
30
Kritik Prof. Schach terhadap hadis
Kajian para orientalis yang juga cukup menarik ialah kajian Prof.
Schacht dalam bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence
menuliskan:
“Sanad-sanad hadis itu sebagian besar adalah palsu… dan hal itu
diketahui oleh semua orang bahwa sanad-sanad itu pemakaiannya
dimulai dalam bentuk yang sangat sederhana, kemudian berkembang
dan mencapai bentuknya yang sempurna pada paruh kedua abad ketiga
hijriyah… kebanyakan sanad-sanad itu tidak mendapatkan perhatian
yang cukup. Apabila ada suatu kelompok yang ingin mengaitkan
(menistbahkan) pendapatnya dengan orang-orang dahulu, maka
kelompok tersebut akan memilih tokoh-tokoh orang dahulu itu dan
menaruhnya dalam sanad”
Bantahan terhadapnya. Sekali lagi saya katakan tuduhan Prof.
Schacht tidak benar dan tidak beralasan. Karena kitab yang dikaji oleh
Prof. Schacht adalah kitab fiqh padahal sangat tidak tepat kalau yang
dijadikan rujukan untuk mengkritisi sanad adalah kitab fiqh karena
memang dalam kitab fiqh sebab terkadang dalam kitab itu tidak
dicantumkan sanadnya. Jadi objek kitab yang harusnya dikaji oleh
Prof. Schacht adalah kitab-kitab hadis.55
Sanad sudah ada pada zaman nabi jadi sangat tidak benar jika
dikatakan sanad hanya karangan belaka. Para sahabat sudah
mengunakan sanad untuk meriwayatkan hadis Nabi pada saat itu.
Namun secara umum memang terjadi pemalsuan hadis, khusunya pada
zaman Ali bin Abi Thalib. Banyak terjadi pemalsuan khusus dalam hal
politik diantara kelompok- kelompok yang bermusuhan. Nah justru
55Ibid, h. 563-583
30
31
karena itu perlunya sanad karena dengan sanad para ahli hadis pada
zaman itu bisa berhati-hati untuk memilih guru, lebih selektif
mendengarkan hadis, lebih teliti dalam menerima rawi dan
meriwayatkan hadis darinya. Olehnya itu keberadaan sanad justru
sangat penting. Terlebih lagi para ahli hadis telah melakukan upaya
maksimal untuk mengoreksi dan mengkritik matan dan sanad hadis,
bahkan kegiatan itu hingga sekarang untuk menjaga kemurnian hadis
dari segala pemalsunya.56
56 Arifuddin Ahmad, op. cit., h. 1-5 lihat pula halaman 33-35
31
33
BAB III
PENUTUP
A. kesimpulan
Hadis yaitu segala berita yang bersumber dari Nabi Muhammad saw
baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (peneguhan kebenaran), maupun
deskripsi sifat-sifat Nabi saw sedangkan Sunnah adalah sesuatu yang dilaksankan
atau diucapakan Nabi saw terus menerus dinukilkan dari masa kemasa dengan
jalan mutawati, sehingga menjadi tradisi yang bersifat praktis dan berkelanjutan
hingga saat ini. Namun demikian ada yang menyamakan antara hadis dan Sunnah.
Terjadinya perbedaan pendapat para ulama tentang hadis dan Sunnah disebabkan
oleh sudut pandang yang berbeda dalam menilai pribadi Rasulullah saw.
Hadis ketika ditinjau dari segi kuantitas dan segi kualitas
menggambarkan bahwa tidaklah semua hadis yang diriwayatkan oleh para
periwayat hadis bersumber dari Rasulullah saw sehingga terlebih dahulu harus
dilakukan penelitian sanad dan matan hadis. Kualitas hadis ditentukan oleh sanad
dan matan hadis tersebut sehingga lahirlah hadis shahih, hadis hasan, hadis dha’if
sedangkan jika dilihat dari segi kuantitas terbagi atas hadis mutawatir dan hadis
ahad. Dan diantara fungsi hadis yaitu sebagai bayan al-taqrir, bayan al-tafsir,
bayan al-nasakh, dan bayan al-tasyri’
33
34
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Arifuddin. Paradiqma Baru Memahami Hadits Nabi Refleksi Pembaruan Pemikiran Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail. Cet. I Jakarta: Renaisan, 2005.
Azami, M.M. Studies In Early Hadith Literature. diterjemahkan oleh Ali Mustapa Yaqub. Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasiny. Cet. III Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006.
Bisri, Adid dan Munawwir AF. Al-Bisri Kamus Arab-Indonesia Indonesia-Arab. Cet. 1 Surabaya: Pustaka Progressif, 1999).
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV. Penerbit: Jumanatul ‘Ali-Art, 2005.
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam 2. Cet. III; Jakarta: PT. Inter masa, 1994.
Hasan, A. Qadir. Ilmu Mushthala Hadits. Cet, VIII. Bandung: CV diponegoro, 2002.
ibn Faris, Abu al-Husain Ahmad ibn Zakariyah. Maqa>yis al-Lugah, Jilid V. Beirut: Ittiha>d al-kita>b al-Arab 2002.
Ismail, Syuhudi. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah, Jakarta: Bulang Bintang, 1995.
Khaeruman, Badri. Otentitas Hadis Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer. Cet. 1 Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
al-Khatib, M. Ajjaj. As-Sunnah Qabla Tadwin. diterjemahkan oleh Ali Akrom Fahmi. Hadis Nabi Sebelum Dibukukan. Cet. I; Jakarta: Gema Islami Press, 1999.
----------, M. Ajjaj. Ushul al-Hadits. diterjemahkan oleh M. Qudirun Nur dan Ahmad Musyafiq dengan judul Ushul al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Cet, II;Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
Mudasir. Ilmu Hadis. Cet. IV; Bandung: Pustaka Setia, 2008.
34
35
al-Qaththan, Manna. Mabahis fi Ulum al-Hadis. diterjemahkan oleh Mufidhal Abdurrahman dengan judul Pengantar Studi Hadis. Cet. 1; Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005.
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Cet. x; Bandung: PT al-Ma’arif, 2007.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah Pengantar Ilmu Hadis. Cet. I; Semarang: Pustaka Rezki Putra, 1997.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Cet. XXVIII, (Bandung ;Misan, 2004).
as-Shalih, Subhi. Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu. diterjemahkan Tim Pustaka Firdaus dengan judul Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Cet. III; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
Sumarjono, Totok. Kamus Ilmu Hadis. Cet.1; Jakarta: Bumi Aksara, 1997.
Sou’yb, Joesoef. Orientalisme dan Islam. Cet.I; Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1985
at-Thahan, Mahmud. Tafs>ur Mushtalah al-Hadi>s. Cet. VIII; Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1987.
35