53
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hadis Nabi merupakan sumber pokok ajaran Islam setelah al-Qur’an. Dari segi dalalahnya, al-Qur’an sama dengan hadis, masing-masing ada yang qath’i dalalah dan ada yang zhanni dalālah, hanya saja al-Qur’an pada umumnya bersifat global sedangkan hadi bersifat terperinci, salah satu fungsi hadis nabi terhadap al- Qur’an adalah bayan al-tafsir (keterangan rincian dan tafsiran). Pada sisi lain, al-Qur’an berbeda dengan hadis Nabi. Misalnya dari segi periwayatan, al-Qur’an seluruhnya bersifat qath’I al-wurud sedangkan untuk hadis Nabi, pada umumnya bersifat zhanni al-wurud hadis Nabi dalam sejarahnya telah terjadi periwayatan secara makna, sehingga memunculkan problem menyangkut teks hadis sedangkan al-Qur’an telah dijamin keaslian teksnya. 1 Hadis menempati posisi yang sangat penting dan strategis dalam kajian keislaman. Bukan hanya karena hadis merupakan sumber kedua ajaran Islam, tetapi 1 Arifuddin Ahmad, Paradiqma Baru Memahami Hadits Nabi Refleksi Pembaruan Pemikiran Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail Cet. I (Jakarta: Renaisan, 2005), h. 1-2 1

Hadis dan Sunnah.doc

  • Upload
    mangge

  • View
    233

  • Download
    4

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hadis Nabi merupakan sumber pokok ajaran Islam setelah al-Qur’an.

Dari segi dalalahnya, al-Qur’an sama dengan hadis, masing-masing ada yang

qath’i dalalah dan ada yang zhanni dalālah, hanya saja al-Qur’an pada umumnya

bersifat global sedangkan hadi bersifat terperinci, salah satu fungsi hadis nabi

terhadap al-Qur’an adalah bayan al-tafsir (keterangan rincian dan tafsiran). Pada

sisi lain, al-Qur’an berbeda dengan hadis Nabi. Misalnya dari segi periwayatan,

al-Qur’an seluruhnya bersifat qath’I al-wurud sedangkan untuk hadis Nabi, pada

umumnya bersifat zhanni al-wurud hadis Nabi dalam sejarahnya telah terjadi

periwayatan secara makna, sehingga memunculkan problem menyangkut teks

hadis sedangkan al-Qur’an telah dijamin keaslian teksnya.1

Hadis menempati posisi yang sangat penting dan strategis dalam kajian

keislaman. Bukan hanya karena hadis merupakan sumber kedua ajaran Islam,

tetapi juga karena Nabi sebagai “ushwatun hasanah” sehingga seluruh ucapan,

perbuatan, pengakuan Nabi terhadap perlakuan sahabat serta segala sifat dan hal

ihwal yang ada sangkut-pautnya dengan Nabi Muhammad saw, menjadi pusat

perhatian umat Islam. Para sahabat, tabi’in dan seterusnya sangat besar

perhatiannya dalam menjaga hadis-hadis Nabi atau Sunnah-Sunnahnya serta

periwayatannya dari gengerasi kegenerasi yang lain.

Motivasi untuk mempelajari dan mengkaji lebih jauh hadis, ini

dilatarbelakangi oleh keadaan hadis itu sendiri. Sehingga sangat memerlukan

kajian yang komperhensif, baik dari segi kesa}hihan maupun syarah-nya.

B. Rumusan Masalah

1 Arifuddin Ahmad, Paradiqma Baru Memahami Hadits Nabi Refleksi Pembaruan Pemikiran Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail Cet. I (Jakarta: Renaisan, 2005), h. 1-2

1

2

Sebagaimana uraian di atas maka yang perlu diuraikan pada bahasan

ini adalah

1. Bagaimana Hadis dan Sunnah (Tinjauan Ontologis)?

2. Bagaimana Hadis dan Sunnah (Tinjauan Epistemologi)?

3. Bagaimana Hadis dan Sunnah (Tinjauan Aksiologi)?

2

3

BAB II

HADIS DAN SUNNAH (TINJAUAN ONTOLOGIS, TINJAUAN

EPISTEMOLOGI, DAN TINJAUAN AKSIOLOGI)

Hadis dan Sunnah (Tinjauan Ontologis)

1. Pengertian Hadis dan Sunnah

a. Pengertian hadis

Berbagai pendapat dikemukakan ulama tentang definisi hadis, antara

lain:

1). Al-Qaththan menyatakan hadis menurut bahasa adalah baru, sesuatu yang

dibicarakan dan dinukilkan. Bentuk jamaknya adalah ahadis.2 Makna ini

didasarkan dengan firman Allah QS. al-Kahfi (18):6

2). Syuhudi Ismail berpendapat bahwa hadis berasal dari bahasa Arab: al-

hadis, al-hidsan dan al-hudsan, kata tersebut memiliki makna al-jadid

(yang baru) lawan dari kata al-qadim (yang lama) dan al-khabar.3 Al-

Hadis bentuk jamaknya adalah hidats yang berarti al-hadits atau al-jadid

(yang baru).4

3). Ibnu Hajar mengemukakan bahwa yang dimaksud hadis menurut

pengertian syara’ ialah apa yang disandarkan kapada Nabi saw.5

4) M. Ajaj al-khatib mengemukakan definisi hadis adalah segala sesuatu

yang diambil dari Rasulullah saw.6

2 Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulum al-Hadis, Terj. Mufidhal Abdurrahman dengan judul Pengantar Studi Hadis, (cet. 1; Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005), h. 22

3 Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah, (Jakarta: Bulang Bintang, 1995), h. 27

4 Adid Bisri dan Munawwir AF, Al-Bisri Kamus Arab-Indonesia Indonesia-Arab, (cet. 1, Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), h. 102

5 Subhi as-Shalih, Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu, Terj. Tim Pustaka Firdaus dengan judul Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (cet. III; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 16

3

4

5). Menurut ahli hadis yaitu segala berita yang bersumber dari Nabi

Muhammad saw baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir7, maupun

deskripsi sifat-sifat Nabi saw.8

b. Pengertian Sunnah

Sunnah menurut bahasa berarti perjalanan, dalam konteks yang baik dan yang

buruk. Setiap orang yang mengawali suatu perbuatan kemudian hal itu dilakukan

oleh orang-orang sesudahnya maka dikatakan orang yang melakukan Sunnah.9

Sunnah juga secara etimologis berarti al sirah (perikehidupan, perilaku), al-

tabi’ah (tabiat, watak), al-syari’ah (syariat, peraturan, hukum).10 Sunnah pula

berarti tatacara dan tingkah laku hidup yang menjadi anutan.11

T.M. Hasbi Ash-Shidieqy menganngap Sunnah sebenarnya adalah sebutan

bagi amaliyah yang mutawatir, yakni cara Rasulullah saw melaksanakan suatu

ibadah yang dinukilkan kepada kita dengan amaliyah yang mutawatir pula. Nabi

melaksanakannya bersama para sahabat, kemudian para sahabat

melaksanakannya, diteruskan pula oleh para tabiin walaupun penukilannya tidak

mutawatir namun cara pelaksanaannya mutawatir.12

6M. Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Terj. M. Qudirun Nur dan Ahmad Musyafiq dengan judul Ushul al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadis, (cet, II;Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 2

7Kata taqrir adalah bentuk masdar dari kata kerja qarrara. Dari segi bahasa dapat berarti penetapan, pengakuan atau persetujuan. Lihat Ibn Manshur, Lisanul ‘Arab, Juz IV, h. 394

8Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam 2, (cet. III; Jakarta: PT. Intemasa, 1994), h. 41

9M. Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits... op. cit. h. 1

10Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam 4, op. cit., h. 296

11M. M. Azami, Studies In Early Hadith Literature, Terj. Ali Mustapa Yaqub, Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, (cet. III Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 20

12T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu Hadis, (Cet. I; Semarang: Pustaka Rezki Putra, 1997), h. 21

4

5

2. Sinonim Hadis

Penggunaan kata hadis biasa disinonimkan dengan Sunnah, khabar

dan atsar. Mayoritas ulama hadis menyatakan bahwa hadis sama dengan

Sunnah. Meskipun ada diantara mereka yang membedakan keduanya,

hadis adalah segala sesuatu yang diambil dari Rasulullan saw sedangkan

Sunnah adalah sesuatu yang memiliki dasar amalan dari masa awal

Islam.13

Khabar menurut bahasa berarti semua berita yang disampikan oleh

seseorang kepada orang lain.14 Sebagian ulama menyamakan khabar sama

dengan hadis, keduanya dapat dipakai untuk sesuatu yang marfu’, mauquf

dan maqthu dan mencakup segala sesuatu yang datang dari Nabi

Muhammad saw, sahabat dan tabi’in.15 Sedangkan sebagian ulama

mengatakan bahwa khabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi

Muhammad saw. Karena yang datang dari Nabi disebut hadis sedangkan

orang yang meriwayatkan sejarah disebut akhbary atau khabary. Olehnya

itu mereka beranggapan bahwa khabar lebuh umum dari hadis karena

khabar mengandung segala perkataan Nabi maupun yang selainnya

sedangkan hadis khusus terhadap apa yang diriwayatkan dari nabi.16 “Tiap

hadis dapat dikatakan khabar tapi tidak setiap khabar merupakan hadis”.

Atsar secara bahasa berarti bekasan atau sisa sesuatu atau yang

dinukilkan. Atsar menurut istilah terjadi perbedaan pendapat diantara

13M. Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits... op. cit. h. 7

14T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, op. Cit., h. 14

15 M. Ajjaj al-Khatib, As-Sunnah Qabla Tadwin, Terj. Ali Akrom Fahmi, Hadis Nabi Sebelum Dibukukan, (Cet. I; Jakarta: Gema Islami Press, 1999) h. 43, lihat pula Mudasir, Ilmu Hadis, (Cet. IV; Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 32

16T.M. Hasbi ash-Shiddieqy loc. Cit., lihat pula Mudasir loc. Cit.

5

6

ulama. Menurut ulama khurasan bahwa atsar ditujukan untuk perkataan

sahabat (mauquf) sedangkan khabar ditujukan untuk yang marfu’. Namun

jumhur ulama mengatakan bahwa atsar sama dengan khabar yaitu suatu

yang didasarkan kepada Nabi Muhammad saw, sahabat dan tabiin

sehingga doa yang dinukilkan dari Nabi disebut doa ma’tsur.17

3. Perbedaan Pandangan Ulama tentang Hadis dan Sunnah

Hadis dan Sunnah menurut Hasbi ash-Shiddieqy dapat dibedakan,

hadis konotasinya adalah suatu peristiwa yang dinisbahkan kepada Nabi

saw walaupun hanya sekali beliau ucapkan atau kerjakan dan walaupun

diriwayatkan oleh perorangan saja. Sedangkan Sunnah adalah sesuatu

yang dilaksankan atau diucapakan Nabi saw terus menerus dinukilkan dari

masa kemasa dengan jalan mutawatir, Nabi melaksanakannya beserta para

sahabat, kemudian oleh para tabi’in dan generasi berikutnya sampai pada

masa-masa berikutnya menjadi pranata sosial dalam kehidupan Islam.18

Sunnah lebih ditekankan pada aspek amaliah mutawatir (yang

berkelanjutan sampai saat ini), sedangkan hadis berita tentang Nabi yang

disampaikan kepada umatnya.

Latar belakang konteks kajian ulama terhadap hadis dan Sunnah

juga membuat perbedaan pendapat diantara mereka

1). Ulama Hadis (Muhadditsun)

Ulama hadis mengkaji Rasulullah saw sebagai orang yang

dijadikan uswah hasanah dan posisi beliau sebagai imam (pemimpin)

yang memberi petunjuk berdasarkan pemberitahuan Allah.

Sehubungan dengan itu mereka menukilkan segala hal yang

berhubungan dengan diri beliau meliputi: perjalanan akhlak, tabiat,

17M. Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits... op. cit. h. 8-9, lihat pula T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Op. Cit., h. 15, lihat pula Mudasir, Op. Cit., h. 32

18T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Op. Cit., h. 21

6

7

keutamaannya, keistimewaanya, ucapan, perbuatan dan hal ihwal

lainnya, baik yang berhubungan dengan penetapan hukum syara’

maupun yang tidak.19

2). Ulama Ushul Fikih (Ushuliyyun)

Ulama ushul hanya mengkaji Rasulullah saw dari kedudukan

beliau sebagai penegak hukum syara’ yang menciptakan dasar-dasar

kaidah untuk para mujtahid sesudah beliau dan menjelaskan undang-

undang kehidupan manusia. Olehnya itu mereka menaruh perhatian

terhadap segala ucapan dan prbuatan beliau yang semuanya dalam

rangka menetapkan hukum-hukum syara’.20

3). Ulama Fikih (Fuqaha)

Pokok kajian ulama fikih hanya berdasarkan posisi Rasulullah

sebagai seorang yang seluruh perbuatannya atau perkataanya

menunjuk pada suatu hukum syar’i. Mereka membahas hukum wajib,

sunnat, haram makruh dan seterusnya

B. Hadis dan Sunnah (Tinjauan Epistimologis)

1. Unsur unsur hadis

a. Sanad

Menurut arti kebahasaan sanad adalah sandaran atau sesuatu yang

dijadikan sandaran, karena hadis disandarkan kepadanya.21 Sedangkan

menurut istilah terdapat beberapa rumusan pengertian antara lain

disebutkan, sanad ialah silsilah atau rentetan para periwayat yang

19 M. Ajjaj al-Khatib, As-Sunnah..., Op. Cit., h. 36

20 Ibid.

21 Mahmud ai-Thahan, Tafsir Mushtalahul al-Hadis, (Surabaya: Syarikat Bhulugul Indah, 1998), h. 16

7

8

menukilkan hadis dari sumbernya yang pertama, dengan kata lain sanad

adalah jalan yang dapat menghubungkan matan hadis kepada Nabi saw.

Adapun istilah yang terkait dengan istilah sanad ialah isnad,

musnid dan musnad. Isnad adalah upaya seseorang (musnid) dalam

menerapkan suatu hadis yang diikutinya dengan menjelaskan kepada siapa

hadis tersebut diisnadkan. Kumpulan hadis yang telah diisnadkan itulah

yang disebut musnad, kemudian jika dilihat dari kualifikasi periwayat

dalam rangkaian sanad, maka sanad itu dapat dibedakan menjadi tiga

kalsifikasi yaitu: ashahh al-asa>nid (sanad-sanad yang paling shahih),

ahsan al-asa>nid (sanad-sanad yang paling hasan) adl’af al-asa>nid

(sanad-sanad yang paling lemah).

b. Matan

Menurut bahasa kata matan berasal dari bahasa Arab, matana

berarti punggung jalan (muka jalan), tanah yang keras dan tinggi.22

Sedangkan menurut terminologinya matan adalah penghujung sanad.23

Yakni sabda Nabi yang disebutkan sesudah habis disebutkan sanadnya.

Dengan kata lain matan adalah isi hadis, sesudah habis disebutkan

sanadnya yang terbagi atas tiga bagian perkataan nabi perbuatannya serta

ketetapan Nabi Muhammad saw. Matan dalam kitab tidak termasuk yang

bersifat komentar kualitas dan bukan tambahan-tambahan penjelasan.

jamaknya adalah mutun.Yang dimaksud matan dalam ilmu hadis ialah

sabda Nabi

22Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariyah, Maqa>yis al-Lugah, Jilid V, (Beirut: Ittiha>d al-kita>b al-Arab 2002), h. 294

23Mahmud ath-Thahhan, Tafs>ur Mushtalah al-Hadi>s (Cet. VIII; Riyadh: Maktabah al-Ma’arif,1987), h. 16

8

9

c. Periwayat

Periwayat adalah orang yang meriwayatkan, menyampaikan atau

menuliskan hadis dalam suatu kitab yang pernah diterimanya dari seorang

(gurunya). Sebenarnya antara sanad dan periwayat merupakan dua istilah

yang tidak dapat dipisahkan. Sanad-sanad hadis pada tiap-tiap

thabaqahnya juga disebut periwayat, hanya yang membedakan antara

sanad dan periwayat terletak pada pembukuan atau pentadwinan hadis.

Kedudukan sanad dalam riwayat hadis sangat penting sehingga

suatu berita dinyatakan hadis oleh seseorang tapi yang tidak bersanad

sama sekali maka berita ini tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah

hadis.24

2. Hadis ditinjau dari segi kuantitasnya

a. Hadis mutawatir

hadis mutawatir ialah apa yang diriwayatkan oleh sejumlah

orang yang mustahil bersepakat berdusta menurut adat, dan jumlah

sanadnya seperti sejak awal penerimaan hadis itu sampai kepada akhir

sanadnya

memperhatikan pengertian diatas, dapat dipahami bahwa hadis

mutawatir itu mempunyai syarat sebagai berikut:

1. Hadis yang disampaikan oleh periwayat hadis mutawatir tersebut

harus berdasarkan tanggapan panca indera, baik indra penglihatan

maupun indra pendengaran secara langsung

2. banyaknya periwayat sampai jumlah yang tidak ditentukan, hanya

saja dibatasi oleh adat kebiasaan jumlah orang yang mengatakan sesuatu

dengan jaminan mustahil dusta.

24 lihat pula Mudasir, Op. Cit., h. 61-63

9

10

3. adanya keseimbangan periwayat dari awal sampai akhir dalam

bilangan mutawatir.

Adapun mengenai jumlah orang periwayat pada sebuah hadis

yang disebut mutawatir, terdapat beberapa perbedaan pendapat. Ada

yang menyatakan lebih dari empat orang, dua belas orang, empat puluh

orang, tujuh puluh orang, dan lain-lain. Namun ulama sepakat bahwa

tidak ada batas mengenai jumlah periwayatnya, yang penting dalam hal

ini adalah ketika khabar itu disampaikan oleh orang banyak lantas

terbetik keyakinan akan kebenaran khabar tersebut dalam hati, maka

khabar tersebut dapat dikatakan mutawatir, sebagaimana halnya

seseorang yang merasa kenyang ketika selesai makan.

Hadis mutawatir tebagi tiga yaitu; mutawatir lafzhi, mutawatir

maknawi, dan mutawatir a’mali. Mutawatir lafzhi adalah hadis

mutawatir yang lafazh dan maknanya sama antara satu riwayat dengan

riwayat yang lain. mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang

lafazh dan maknanya berbeda tapi terdapat penyesuain makna secara

umum, sedangkan mutawatir a’mali adalah sesuatu yang diketahui

dengan mudah bahwa ia dari ajaran agama dan telah mutawatir

dikalangan umat islam bahwa Nabi saw telah mengajarkannya atau

memerintahkannya, seperti: jumlah rakaat shalat lima waktu, sholat

jenazah, kadar zakat dan lain-lain

Hadis mutawatir ini sudah pasti shahih ditinjauh dari segi

maqbul dan mardudnya sebuah hadis, baik ia mutawatir lafzhi maupun

mutawatir maknawi karena diriwayatkan oleh banyak orang yang

menurut rasio mustahil mereka berkomplot untuk berdusta.25

25 A. Qadir Hasan, Ilmu Mushthala Hadits, (cet, VIII. Bandung: CV diponegoro, 2002), h.43-48

10

11

Hadis mutawatir merupakan derajat hadis yang paling tinggi.

Oleh karena itu, para ulama dan segenap umat Islam sepakat pedapatnya

bahwa hadis mutawatir itu memberi faedah ilmu dharuriy (penting),

yakni suatu keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang

diberitakannya sehingga membawa kepada keyakinan yang qath’i

(pasti).

b. Hadis ahad

hadis ahad adalah hadis yang periwayatnya tidak sampai

mencapai tingkatan jumlah periwayat hadis mutawatir, tidak memnuhi

persyaratan mutawatir, dan tidak pula mencapai derajat mutawatir.

Hadis ahad adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang, dua orang

atau lebih yang tidak mencapai tingkatan mutawatir. Dan hukumnya

wajib diamalkan apabila memenuhi syarat-syarat maqbulnya sebuah

hadis ahad tersebut. Hadis ahad terbagi tiga yaitu:

1. hadis ahad masyhur

Masyhur menurut bahasa ialah al-intisyar wa az-zuyu’ (sesuatu

yang sudah tersebar atau populer).26 Sedangkan menurut istilah ialah

hadis yang diriwayatkan tiga orang atau lebih (dalam suatu thabaqah)

namun tidak mencapai derajat mutawatir.27 Hadis masyhur disebut

juga hadis mustafidh walaupun terdapat perbedaan yaitu hadis

mustafidh jumlah periwayatnya tiga orang atau lebih mulai dari

thabaqah pertama hingga thabaqah terakhir. Sedangkan hadis

masyhur jumlah periwayat untuk tiap thabaqah tidak harus tiga orang.

Bahkan sebuah hadis yang diriwayatkan seorang periwayat pada

26 Mudasir op. Cit., h. 127

27 Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Cet. x; Bandung: PT al-Ma’arif, 2007) h. 86

11

12

awalnya tetapi pada thabaqah selanjutnya diriwayatkan banyak orang,

juga termasuk hadis masyhur. Hadis masyhur ada yang shahih, hasan

dan ada pula yang dha’if, karena keshahihan sebuah hadis masyhur

tidaklah identik dengan kemasyhurannya tapi keshahihan hadis

ditentukan oleh periwayat, sanad dan matannya.

2. hadis ahad aziz

hadis yang diriwayatkan oleh dua orang pada tiap thabaqahnya

atau hadis yang diriwayatkan oleh kurang dari dua orang periwayat

pertama. Bahkan menurut Ibnu Hibban bahwa jika sebuah hadis

terdapat didalamnya dua orang periwayat pada salah satu

thabaqahnya, maka hadis tersebut juga dinamakan hadis aziz dengan

alasan bahwa tidak satupun hadis yang diriwayatkan oleh dua orang

pada setiap thabaqahnya. Atau kedua sanadnya berlai-lainan

rawinya.28

3. hadis ahad gharib

hadis yang terdapat diantara mata rantai periwayatnya satu

orang (penyendirian). Hadis gharib dibagi menjadi dua yaitu:

a. Hadis gharib muthlak, yaitu hadis yang terdapat penyendirian

sanad menurut jumlah personilnya.

b. Hadis gharib nisby, yaitu hadis yang terdapat penyendirian

dalam sifat, tempat tinggal atau golongan tertentu misalnya antara

ayah dan anak.

Antara hadis mutawatir dan hadis ahad mempunyai perbedaan yang

sangat mendasar dari segi maqbulnya, hadis mutawatir mutlak diterima

sebagai dasar hukum ajaran agama tanpa perlu diteliti lagi sanadnya

sedangkan hadis ahad sangat perlu diteliti sanadnya terutama sanad yang

28 A. Qadir Hasan, Op. Cit., h. 276

12

13

satu orang menjadi satu mata rantai yang dilalui oleh satu matan hadis ahad

tersebut.

3. Hadis ditinjauh dari segi kualitasnya

Hadis bila ditinjauh dari segi kualitasnya, maka hadis terbagi

menjadi tiga bagian yaitu:

a. Hadis shahih

Menurut para ulama hadis bahwa hadis shahih adalah hadis yang

bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan

dhabith dan periwayat lain yang juga adil dan dhabit sampai akhir

sanadnya dan hadis itu juga tidak janggal serta tidak mengandung cacat.

Definisi diatas mengandung lima karakteristik sebuah hadis yang

dapat menjadi hadis shahih yaitu:

1) bersambung sanadnya, yaitu setiap periwayat yang bersangkutan

benar-benar dari periwayat yang berada di atasnya, dan begitu pula

seterusnya sampai kepada periwayat yang pertama, konsekwensinya

definisi tersebut tidak mencakup hadis mursal dan hadis munqathi’.

Sanad suatu hadis dikatakan tidak bersambung bila terputus salah

seorang periwayatnya atau lebih, boleh jadi periwayat yang dianggap

putus itu adalah periwayat yang dha’if, sehingga menyebabkan hadis

yang diriwayatkan tidak shahih

2) keadilan para periwayatnya, yaitu sifat yang mendorong sesorang

untuk bertakwa dan mencegahnya dari perbuatan maksiat, dusta dan

hal-hal lain yang merusak harga diri (muru’ah) seseorang. Dengan

persyaratan ini tidak mencakup hadis ma’udhu dan hadis-hadis

dha’if yang disebabkan periwayatnya dituduh fasik, rusak

muru’ahnya dan lain-lain.

3) Kedhabitan para periwayatnya yaitu periwayat hadis dapat

menguasai materi hadis yang disampaikan dengan baik, baik dengan

13

14

hafalan yang kuat ataupun dengan tulisan yang terpelihara,

kemudian ia mampu mengungkapkannya ketika meriwayatkannya.

4) Hadis yang diriwayatkan tidak mengandung syadz (rancu), yaitu

seorang periwayat tidak berbeda riwayatnya dengan periwayat lain

yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya hafalan atau

jumlah mereka lebih banyak yang menyebabkan periwayat lain lebih

diunggulkan.

5) Tidak berillat, kata illat berarti cacat, penyakit, keburukan, dan

kesalahan baca. Dengan pengertian ini maka yang disebut ber-illat

adalah hadis-hadis yang mengandung cacat atau penyakit.

Sedangkan menurut istilah illat berarti suatu sebab yang tersembunyi

atau samar-samar, sehingga dapat merusak keshahihan hadis.

Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua bagian yaitu

hadis shahih lidza>tih dan hadis shahih lighairi. Perbedaan antara

kedua bagian ini terletak pada segi hafalan atau ingatan periwayatnya .

pada hadis shahih li ghairih ingatan periwayat kurang sempurna.Para

ulama hadis dan sebagian ulama ahli uhsul serta ahli fiqhi sepakat

menjadikan hadis shahih sebagai hujjah yang wajib di amalkan.

Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan

penetapan halal dan haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang

berhubungan dengan aqidah.

Perlu diketahui bahwa martabat hadis shahih itu bertingkat-tingkat.

Tinggi atau rendah tingkatan hadis shahih ini tergantung pada

kedhabithan dan keadilan para periwayatnya. Semakin tinggi tingkat

kedhabithan dan keadilan para periwayatnya, semakin tinggi tingkatan

hadis yang diriwayatkannya.

14

15

b. Hadis hasan

Para ulama berbeda pendapat dalam memposisikan hadis hasan,

ada yang memposisikan hadis hasan diantara hadis shahih dan hadis

dha’if, tetapi ada juga yang memasukkannya sebagai bagian dari hadis

dha’if yang dapat dijadikan hujjah. Sedangkan pengertian hadis hasan

menurut at-Turmudziy adalah tiap-tiap hadis yang pada sanadnya tidak

terdapat periwayat yang tertuduh dusta, pada matannya tidak terdapat

kejanggalan dan hadis diriwayatkan tidak dengan hanya satu jalan

(mempunyai banyak jalan) yang sepadan dengannya.

Sementara itu menurut at-Thibi mendefinisikan hadis hasan

adalah hadis musnad (muttashil dan marfu’) yang sanad-sanadnya

mendekati derajat tsiqah. Atau hadis murshal yang sanad-sanadnya

tsiqah, tetapi pada keduanya ada periwayat lain, dan hadis itu terhindar

dari syadz (kejanggalan) dan illat (kecacatan).

Berbeda dengan dua definisi sebelumnya, Ibnu Hajar al-

Ashqalaniy memberikan definisi hadis hasan yakni hadis yang

diriwayatkan oleh periwayat yang adil, kurang kuat hafalannya,

bersambung sanadnya tidak mengandung syadz dan illat.

Ditinjau dari segi hukumnya maka hasan dapat dijadikan hujjah

dan dapat diamalkan menurut pendapat ulama. Alasan mereka karena

telah diketahi kejujuran periwayatnya dan keselamatan perpindahan

dalam sanad, rendah tingkat kedhabithannya, tidak lantas menggugurkan

mereka dari jajaran periwayat yang mampu menyampaikan hadis

sebagaimana keadaan hadis itu ketika didengar, karena sesungguhnya

adanya perbedaan itu hanyalah semata-mata menunjukkan hadis hasan

itu berada satu tingkat dibawah hadis shahih.

15

16

Hadis hasan terbagi kepada hasan lidza>tih dan hasan lighairi.

Hasan lidzatih adalah apabila diriwayatkan jalur lain yang semisal atau

yang lebih kuat, baik dengan redaksi yang sama maupun dengan

maknanya saja yang sama, maka kedudukan hadis tersebut meningkat

dan menjadi kuat dan mencapai tingkatan hadis shahih lighairih. Dan

hadis hasan lighairih adalah hadis dha’if yang meningkat kualitasnya

menjadi hasan karena diperkuat oleh hadis yang lain. Oleh Imam at-

Turmudziy mendefinisikannya sebagai hadis yang diriwayatkan melalui

sanad yang didalamnya tidak terdapat periwayat yang dicurigai

berdusta, matan hadisnya tidak janggal, diriwayatkan oleh sanad lain

yang sederajat.29

c. Hadis dha’if

Kata dha’if menurut bahasa berarti lemah, sebagai lawan dari

kata kuat. Maka sebutan hadis dha’if dari segi bahasa berarti yang lemah

atau hadis yang tidak kuat. An-Nawawi mendefinisikan bahwa hadis

dha’if hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih

dan hadis hasan. Ulama lain menyebutkan bahwa hadis dha’if ialah

hadis yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul. Lebih-lebih

lagi jika yang hilang dua atau tiga syarat, seperti periwayat yang tidak

adil, tidak dhabith dan adanya kejanggalan dalam matan.

Para ulama menemukan kedha’ifan hadis itu pada tiga bagian

1). Dha’if dari segi persambungan sanadnya, hadis yang tergolong

kedalam kelompok hadis ini adalah hadis mursal, munqathi’,

mu’dal, mudallas.

2). Dha’if dari segi sandarannya, hadis yang tergolong kedalam

kelompok ini adalah hadis mauquf dan maqthu’

29Mudasir op. Cit., h. 151-155

16

17

3). Dha’if dari segi lainnya, kedha’ifan pada bagian ini adalah

kedha’ifan karena kecacatan matan dan periwayatnya, seperti hadis

ma’udhu, matruk, mungkar, mu’allal, mudraj, maqlub, mudhtharrib,

muharraf, mushahhaf, mubham, majhul, matsur. Syadz dan

mahfudh, dan mukhtalidh30

C. Hadis dan Sunnah (Tinjauan Aksiologis)

1. Otoritas Nabi Muhammad saw

Pengakuan terhadap peran dan fungsi kenabian berimplikasi

terhadap pengakuan kedudukan hadis Nabi sebagai ajaran Islam yang

kedua. Hal ini diterima oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam.

Legitimasi otoritas ini tidak diraih dari pengakuan komonitas muslim

terhadap Nabi sebagai seseorang yang berkuasa, akan tetapi diperoleh

lewat kehendak Ilahiyah. Oleh karena itu segala perkataan, perbuatan dan

taqrir beliau dijadikan pedoman dan panutan oleh umat Islam. Ini

disebabkan karena Nabi mendapat wahyu dan ilham, sehingga apa saja

yang berkenaan dengan beliau pasti mendapat jaminan teologis.

Sebagaimana QS. an-Najm(53):3-4

Terjemahan;

Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). QS. an-Najm(53):3-431

Interpretasi terhadap petunjuk Allah ini diwujudkan dalam bentuk

nyata dalam kehidupan Nabi Muhammad saw. Sabda, prilaku dan

30Fatchur Rahman, op. cit., h.168-22731 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Penerbit: Jumanatul

‘Ali-Art, 2005), h. 526

17

18

sikapnya terhadap sesuatu terkadang menjadi hukum tersendiri yang tidak

ditemukan dalam al-Qur’an. Otoritas Nabi sebagai pembawa risalah untuk

memberikan petunjuk kehidupan yang benar kapada ummatnya ini

dibenarkan oleh Allah swt, bahkan taat kepada ajaran Nabi merupakan ciri

utama ketakwaan seseorang. Dan sebaliknya yang menentang kenabian

Muhammad saw atau menentang ajaran yang dibawanya, menjadi ukuran

kualitas keimanan seseorang.32 Sebagaimana firman Allah swt dalam QS.

al-Hasyr (59):7

Terjemahnya:

apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.33

2. Kedudukan dan Fungsi Hadis

a. kedudukan hadis sebagai sumber hukum Islam

Secara struktural, umat Islam sepakat bahwa hadis merupakan

sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. al-Qur’an dan as-Sunnah

merupakan dua sumber hukum syariat yang tetap, yang orang Islam

tidak mampu memahami syariat Islam dengan tanpa kembali kepada

kedua sumber tersebut. Mujtahid dan orang alim pun tidak

diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari

keduanya.

kedudukan hadis sebagai sumber ajaran Islam ditegaskan Allah

swt dalam QS. al-Hasyr (59):7 dan QS. an-Nisa’(4): 80

32 Badri Khaeruman, Otentitas Hadis Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, cet. 1

(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 27-28

33 Departemen Agama RI, op. cit., h. 546

18

19

Terjemahnya:

apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa

yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.34

Terjemahnya:

Barangsiapa yang mentaati Rasul itu,

Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. QS. an-

Nisa’(4): 8035

b. Fungsi hadis

Di dalam al-Qur’an terdapat ajaran-ajaran, perintah, larangan,

informasi dan konfirmasi yang bersifat umum dan global. Universalitas

al-Qur’an membuat dirinya tampil simpel, ringkas, tetapi mengandung

banyak cakupan. Oleh karean itu, kehadiran hadis sebagai sumber ajaran

kedua tampil “petunjuk praktis” dan sebagai penjelas (bayan)

keumuman isi al-Qur’an tersebut.

Hadis sebagai penjelas (bayan) memiliki bermacam-macam

fungsi, dibawah ini akan diuraikan satu persatu.

1. Bayan al-taqrir

Bayan al-taqrir disebut juga bayan al-ta’kid dan bayan al-

itsbat. Yang dimaksud bayan al-taqrir ialah hadis yang memperkuat

dan memperkokoh apa yang telah diterangkan dalam al-Qur’an.36

Contoh hadis yang diriwayatkan Oleh bukhari dari Abu

Hurairah, sebagai berikut:

34Ibid

35Departemen Agama RI, op. cit., h. 91

36Mudasir, op. cit., h. 76

19

20

: من الصالة تقبل ال وسلم عليه الله صلي الله رسول قال

يتوضا حتي احدث

Artinya: “Rasulullah saw telah bersabda: tidak diterima shalat

seseorang yang berhadats sebelum ia berwudhu”

Hadis ini mentaqrir QS. al-Maidah (5): 6

Terjemahnya:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu

hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah

mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan

sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai

dengan kedua mata kaki, QS. al-Maidah (5): 637

2. Bayan al-tafsir

Bayan al-tafsir berfungsi memberikan rincian dan tafsiran

terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal, memberikan

taqyid (membatasi) ayat-ayat al-Qur’an yang masih mutlak. Dan

memberikan takhshish (penentuan khusus) yang masih umum.38

Contoh hadis yang berfungsi sebagai bayan al-tafsir sebagai

berikut:

رايتموني كما صلوا

اصلي

37Departemen Agama RI, op. cit., h. 108

38Totok Sumarjono, Kamus Ilmu Hadis, (cet.1; Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h. 32

20

21

Artinya: “shalatlah sebagaimana engkau melihatku shalat”

(H.R. Bukhari)

Hadis tersebut menjelaskan QS. al-Baqarah: 43 bagaimana

mendirikan shalat

Terjemahnya:

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan

ruku'lah beserta orang-orang yang ruku' QS. al-

Baqarah (1): 4339

Contoh hadis yang membatasi (taqyid) ayat al-Qur’an

واما والجرد الحوت الميتتان فاما ميتتانودمان لن احللت

الدمان

فالكبد

والطحا

ل

Artinya:

“Telah dihalalkan bagi kami dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua bangkai adalah bangkai ikan dan belalang sedang dua darah adalah hati dan limpa.”

Hadis ini mentaqyidkan QS. al-Maidah (5): 3

Terjemahnya:

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi.... QS. al-Maidah (5): 340

39Departemen Agama RI, op. cit., h. 7

40Departemen Agama RI, op. cit., h. 107

21

22

Contoh hadis yang mentakhshishkan keumuman ayat al-Qur’an

من القاتل يرث ال

المق

تول

شيا

Artinya:

“Pembunuh tidak berhak menerima harta warisan”

Hadis ini mentakhshish keumuman firman Allah swt

Terjemahnya:

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. QS. An-Nisa(4): 1141

3. Bayan al- tasyri’

Yang dimaksud dengan Bayan al- tasyri’ ini adalah

mewujudkan suatu hukum atau ajaran yang tidak terdapat dalam al-

Qur’an.42 Sebagai contoh yakni hadis tentang zakat fitrah

من الفطر زكاة فرض وسلم عليه الله صلي الله رسول ان

علي شعير من صاعا او تمر من صاعا الناس علي رمضان

المسلمين من انثي او ذكر عبد او كل

Artinya:

41Ibid, h. 78

42Mudasir, op. cit., h. 85

22

23

“Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat islam pada bulan ramadhan satu sha’ kurma atau gandung untuk setiap orang baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan”

Bayan al- tasyri’ masih ada ulama mempersoalkannya,43

namun mayoritas ulama menerima fungsi hadis sebagai Bayan al-

tasyri’.

4. Bayan al-nasakh

Bayan al-nasakh berfungsi menjelaskan mana ayat yang

menasakh (menghapus) dan mana yang dimansukh (dihapus) yang

secarah lahiriah bertentangan. Fungsi bayan al-nasakh, ini juga

sering disebut bayan al-tabdil (mengganti suatu hukum atau

menghapusnya), hadis dalam hal ini menghapuskan atau

membatalkan ketentuan al-Quran demikian menurut ulama yang

menganggap ada bayan al-nasakh.44

Salah satu contoh yang biasa diangkat oleh ulama, yakni

hadis

وصية ال

لوارث

Artinya: “tidak ada wasiat bagi ahli waris”

43Persoalan yang diperselisihkan adalah apakah hadis atau sunnah dapat berfungsi menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalalm al-Qur’an kelompok yang menyetujuinya mendasarkan pendapatnya pada al-ishma (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syari’at). Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah swt (al-Qur’an). Ketika hendak menetapkan hukum. Namun Quraish Shihab memahami bahwa fungsi Nabi (hadis) terhadap al-Qur’an didefenisikan sebagai bayan al-murad (penjelasan terhadap maksud Allah), sehingga apakah ia merupakan penjelasan, penguat, atau rincian, pembatas dan bahkan tambahan, kesemuanya itu bersumber dari Allah. lihat M, Qurais Shihab, Membumikan Al-Qur’an Cet. XXVIII, (Bandung ;Misan, 2004)

44Mudasir, loc. cit.,

23

24

Hadis ini menasakh firman Allah swt

Terjemahnya:

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. QS. al-Baqarah (2): 180

3. Ingkar al-Sunnah

Dalam sejarah ada sekelompok kecil dari kalangan “ulama” dan

umat Islam yang menolak hadis nabi sebagai salah satu sumber ajaran

Islam. Mereka dikenal dengan sebutan ingkar al-Sunnah atau mungkir al-

Sunnah. Imam Syafi’i mengklasifikasi yang mengingkari hadis Nabi

kedalam tiga golongan: (1). Golongan yang menolak seluruh Sunnah (2)

golongan yang menolak Sunnah, kecuali bila Sunnah ada kesamaan

dengan al-Qur’an, (3) golongan yang menolak Sunnah yang berstatus

ahad.45

M.M. Azami mengutarakan bahwa pada masa sahabat sudah ada

orang-orang yang kurang memperhatikan kedudukan Sunnah, namun

mereka bersifat perorangan. penolakan tersebut lenyap pada akhir abad

ketiga dan muncul kembali pada abad ketiga belas hijriah hingga saat ini,46

mereka yang berpaham inkar Sunnah baik yang mengingkari seluruh atau

sebagian saja muncul diberbagai tempat, misalnya di Mesir, antara lain Dr.

Taufiq Sidqy, di Malaysia antara lain Kassim Ahmad dan seterusnya.

45 Arifuddin Ahmad, op. cit. h. 21

46 M.M. Azami, op. cit. h. 42-46

24

25

Cukup banyak alasan yang mereka untuk menolak hadis Nabi

sebagai sumber ajaran Islam. Alasan yang mereka ajukan ada yang berupa

dalil naqli dan ‘aqli antara lain:

Terjemahnya:

Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu.QS. al-Nahl (16): 89

Terjemahnya:

Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab QS. an-Nisa (4):38

Para ulama membantah argumen naqli yang diutarakan, dan

menegaskan bahwa kedua ayat tersebut tidak ada kaitannya dengan

penolakan terhadap hadis, dalam surah QS. al-Nahl (16): 89

menerangkan tentang adanya berbagai kewajiban,

larangan, teknis pelaksanaan ibadah tertentu dan

seterusnya. Penjelasan al-Qur’an sangat bersifat global,

justru sangat memerlukan bantuan hadis untuk

menerangkan teknis pelaksanaannya serta

memperincinya. Demikian pula halnya dengan QS. an-Nisa

(4):38 tidak ada kaitannya dengan penolakan terhadap hadis.

Dalil-dalil ‘aqli yang mereka ungkapkan, diantanya menurut

Taufiq Sidqi, tidak ada satupun hadis yang tertulis pada zaman Nabi,

pencatatan hadis baru terjadi jauh setelah wafat nabi, sehingga manusia

mempermainkan hadis Nabi. Asal mula hadis yang dihimpun dalam kitab-

kitab hadis itu hanya dongen-dongen semata. Para ulama membantah

tuduhan tersebut terutama M.M. Azami, argumen ingkar Sunnah

merupakan argumen yang tidak kuat, pencatatan hadis Nabi bukan baru

25

26

dimulai pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, tetapi sejak zaman

Nabi, misalnya Abdullah ibn Umar, ibn Abbas, dan Ibn ‘Amr bin ‘Ash

dan lain-lain adalah sahabat nabi yang rajin mencatat hadis Nabi,

pemeliharaan hadis juga dibuktikan dengan usaha para ulama untuk

menyusun berbagai kaidah dalam ilmu hadis dalam rangka upaya

pemeliharaan hadis dari berbagai pemalsuan yang merusaknya.47

4. Hadis di Mata Orientalis48 dan Bantahan terhadap Pandangannya

Kajian orientalis terhadap Islam khususnya hadis cukup intensif

mereka terus berupanya untuk mencari kelemahan hadis dan hendak

menolaknya sebagai sumber ajaran yang dapat dipertanggungjawabnya

keilmiyahannya. Menurut mereka hadis itu baik sanad maupun matan

hanya dongen-dongen atau karagan-karangan, untuk menguatkan argumen

mereka atau untuk tujuan politis kemudian menyandarkannya kepada nabi.

diantara Tokoh orientalis yang cukup terkenal ialah Goldziher, J. Wenzik,

dan Joseph Schacht.

47Sanggahan dalil ‘aqli ingkar al-sunnah Penulis tidak sempat ungkap panjang lebar disini, namun untuk lebih jelasnya lihat Arifuddin Ahmad, op. cit., h. 26-31 dan M.M. Azami, op. cit.

48Orientalisme berasal dari kata orient, bahasa Perancis, yang secara harfiah bermakna: Timur dan secara geografis bermakna : dunia belahan Timur; dan secara etnologis bermakna : bangsa-bangsa di Timur. Kata “orient” itu telah memasuki berbagai bahasa di Eropa, termasuk bahasa Inggeris. Oriental adalah sebuah kata sifat yang bermakna : hal-hal yang bersifat Timur, yang teramat luas ruang lingkupnya.

Dari beberapa pengertian yang telah diketengahkan dapat dipahami bahwa orientalisme adalah suatu cara pemikiran dan eskpressi Timur. Orang yang ahli disebut orientalis, mereka itu adalah sarjana-sarjana Barat dari golongan Yahūdi, Kristen atau golongan atehis yang mendalami bahasa-bahasa Timur misalanya bahasa Arab, Persi, Turki, masalah-masalah ideal dunia Arab, bahasa Semit dan juga bahasa-bahasa Timur lainnya (bahasa benua Asia). Intinya mendalami semua yang ada kaitannya dengan dunia timur khsususnya Islam.

Studi ini mereka perdalam dengan maksud ingin memasukkan ide-ide mereka ke dalam ajaran Islam untuk memberi kesan yang tidak baik terhadap ajaran Islam dan dakwah Islam menjadi merosot, berkurang pengaruhnya terhadap masyarakat sehingga ajaran Islam tidak mempunyai pengaruh terhadap umatnya. Di samping itu, kaum orientalis mengadakan studi secara intensif adalah dalam rangka mencari dan mengetahui Islam secara obyektif. Joesoef Sou’yb, Orientalisme dan Islam (Cet.I; Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1985), h. 1-7

26

27

Golziher banyak mengkritisi hadis Nabi dalam bukunya

muhammedanische studies, sebagai sesuatu yang dibuat-buat dan bukan

berasal dari Nabi Muhammad. Salah satu kritikannya terhadap hadis

khusunya terhadap matan hadis yakni krititikannya terhadap hadis “pergi

ke tiga mesjid”

, مسجد و مسجدي و الحرام المسجد مساجد ثالثة الي اال الرحال تشد ال

المقدس بيت

“Tidak dikencangkan tali kendaraan kecuali menuju tiga masjid yakni Masjidil Haram, Masjid Nabawi Madinah dan Masjid Baitul Maqdis

Hadis ini kemudian dipahami oleh Goldziher sebagai hadis

bolehnya melakuan haji di tiga masjid yaitu: masjid di Makkah, masjid di

Madinah dan masjid di Qudus. Dengan pemahaman tersebut kemudian

mengomentari hadis ini bahwa hadis ini sengaja dibuat oleh al-Zuhri

dengan tujuan politis. Ahli hadis al-Zuhri menurutnya, membuat sanad-

sanad hadis yang nantinya bersambung kepada Nabi Muhammad saw, dan

mengedarkannya dalam masyarakat, sehingga nantinya dapat dipahami

bahwa ada tiga masjid yang dapat dipakai untuk beribadah haji.49

Kata Goldziher; Malik bin Marwan merasa khawatir apabila orang-

orang syam pergi haji ke Mekkah itu membaiat ‘Abdullah bin Zubair

karena itu ia berusaha agar orang-orang dapat melakukan haji di Qubbah al

sakhra’ di Qudus (Jerussalem) sebagai ganti berhaji ke Mekkah, ia juga

mengeluarkan keputusan bahwa tawaf di sekitar sakhra sama nilainya

dengan tawaf di sekitar Ka’bah. 50Demikian pandangan (tuduhan)

Goldziher.

49Goldziher, muhammedanische studies, (t.tp, tth), h. 35

50Ibid,

27

28

Bantahan terhadapnya: pandangan Goldziher sangat tidak

berdasar. Pertama atas dasar apa memahami hadis di atas sebagai

dibolehkannya seseorang menunaikan haji di tiga mesjid tersebut? Kedua

kalau memang benar Malik bin Marwan mengarang hadis tersebut untuk

melarang orang menunaikan haji ke Mekah dan menyuruh menunaikannya

di Kudus Yerussalem mengapa tidak ada bukti sejarah tentang hal tersebut.

Malahan ini sangat tidak mungkin karena sejarah mencatat Qubbah al

sakhra’ di Qudus (Jerussalem) baru selesai di bangun pada tahun 72 H

sedang menurut Ya’quby, pada tahun 72 H dan sesudahnya, Makkah sudah

berada dalam kekuasaan Bani Umayyah. Oleh karena itu mereka tidak

berkepentingan untuk membuat aturan baru untuk mengadakan tawaf di

Qubbah al sakhra’. Dan Bani Umayyah tidak mungkin sebodoh itu, karena

dengan berbuat demikian mereka pasti akan mendapatkan perlawanan dari

umat Islam dan memberikan ruang kepada lawan politiknya untuk

menggalang massa menjatuhkan pemerintahannya.51

Selanjutnya bantahan tuduhan Goldziher kepada al-Zuhri yang

meriwayatkan hadis tersebut, hadis diriwayatkan al-Zuhri sama sekali tidak

ada hubungannya dengan kebolehan menunaikan ibadah haji di tiga masjid

tersebut. Hadis tersebut sama sekali tidak menunjukkan sakhra’ itu

merupakan tempat suci demikian juga tawaf di sekitarnya, hadis yang

diriwayatkan al-Zuhri hanya menunjukkan kedudukan khusus masjid al-

Aqsha dan memang sudah di maklumi bahwa mesjid al-Aqsha itu

merupakan kiblat pertama umat Islam dan tempat isra Nabi Muhammad

saw. Selanjutnya hadis ini bukan hanya diriwayatkan oleh al-Zuhri saja

melainkan diriwayatkan oleh 19 orang yang lain. Jadi jika hadis tersebut

palsu dengan logika apa kita hanya menuduh al-Zuhri yang memalsukan.52

51M. M. Azami, op. cit., h. 611

52Ibid,

28

29

Kritik J. Wensinck terhadap matan hadis.

Orientalis yang satu ini cukup besar jasanya dalam Islam, ia

menghabiskan umurnya untuk membuat Mu’jam Mufahras li Alfadz al-

Hadits. Prof. Wensinck menulis dalam bukunya Muslim Creed sebagai

berikut: beberapa dekade sesudah wafanya Nabi Muhammad saw terjadi

perkembangan dalam pemikiran Islam sebagai bukti dua hadis yakni hadis

tentang syahadat dan Islam dibangun atas lima pilar baru dibuat sahabat

sesudah nabi meninggal. Menurutnya, “nabi tidak pernah mempunyai

ungkapan khusus yang mesti diucapkan oleh orang-orang yang baru

memeluk Islam. ketika orang-orang Islam bertemu dengan orang-orang

Kristen di Syam dan mereka mengetahui bahwa orang Kristen mempunyai

ungkapan khusus akhinya mereka merasa perlunya untuk membuat

ungkapan seperti itu, akhirnya mereka mencetuskan dua kalimat syahadat

dan lima pilar Islam.”53

Bantahan terhadapnya. Tuduhan Wensinck sangat tidak beralasan

dan sebenarnya Wensick sangat mengetahui bahwa dua syahadat itu

merupakan bagian dari tasyahud yang dibaca diakhir setiap dua rakaat

dalam shalat. Seharusnya prof. Winsinck tidak berteori seperti itu karena

itu adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena kalau demikian tuduhannya

berarti shalat belum sempurna sampai nabi meninggal, sesuatu yang

mustahil. Terlebih lagi al-Qur’an berpuluh-puluh kali menyuruh untuk

melakukan shalat, begitu pula hadis nabi bahkan setiap hari nabi shalat

secara berjama’ah dengan sahabat, apakah mungkin shalat tampa tasyahud

dan nanti sahabat yang mengarang (membuatnya). Tuduhannya tidak lebih

dari omong kosong belaka.54

53Wensinck, the Muslim Creed, (Cambridge, 1932), h. 19-32 54 M. M. Azami, op. cit., h. 614

29

30

Kritik Prof. Schach terhadap hadis

Kajian para orientalis yang juga cukup menarik ialah kajian Prof.

Schacht dalam bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence

menuliskan:

“Sanad-sanad hadis itu sebagian besar adalah palsu… dan hal itu

diketahui oleh semua orang bahwa sanad-sanad itu pemakaiannya

dimulai dalam bentuk yang sangat sederhana, kemudian berkembang

dan mencapai bentuknya yang sempurna pada paruh kedua abad ketiga

hijriyah… kebanyakan sanad-sanad itu tidak mendapatkan perhatian

yang cukup. Apabila ada suatu kelompok yang ingin mengaitkan

(menistbahkan) pendapatnya dengan orang-orang dahulu, maka

kelompok tersebut akan memilih tokoh-tokoh orang dahulu itu dan

menaruhnya dalam sanad”

Bantahan terhadapnya. Sekali lagi saya katakan tuduhan Prof.

Schacht tidak benar dan tidak beralasan. Karena kitab yang dikaji oleh

Prof. Schacht adalah kitab fiqh padahal sangat tidak tepat kalau yang

dijadikan rujukan untuk mengkritisi sanad adalah kitab fiqh karena

memang dalam kitab fiqh sebab terkadang dalam kitab itu tidak

dicantumkan sanadnya. Jadi objek kitab yang harusnya dikaji oleh

Prof. Schacht adalah kitab-kitab hadis.55

Sanad sudah ada pada zaman nabi jadi sangat tidak benar jika

dikatakan sanad hanya karangan belaka. Para sahabat sudah

mengunakan sanad untuk meriwayatkan hadis Nabi pada saat itu.

Namun secara umum memang terjadi pemalsuan hadis, khusunya pada

zaman Ali bin Abi Thalib. Banyak terjadi pemalsuan khusus dalam hal

politik diantara kelompok- kelompok yang bermusuhan. Nah justru

55Ibid, h. 563-583

30

31

karena itu perlunya sanad karena dengan sanad para ahli hadis pada

zaman itu bisa berhati-hati untuk memilih guru, lebih selektif

mendengarkan hadis, lebih teliti dalam menerima rawi dan

meriwayatkan hadis darinya. Olehnya itu keberadaan sanad justru

sangat penting. Terlebih lagi para ahli hadis telah melakukan upaya

maksimal untuk mengoreksi dan mengkritik matan dan sanad hadis,

bahkan kegiatan itu hingga sekarang untuk menjaga kemurnian hadis

dari segala pemalsunya.56

56 Arifuddin Ahmad, op. cit., h. 1-5 lihat pula halaman 33-35

31

32

32

33

BAB III

PENUTUP

A. kesimpulan

Hadis yaitu segala berita yang bersumber dari Nabi Muhammad saw

baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (peneguhan kebenaran), maupun

deskripsi sifat-sifat Nabi saw sedangkan Sunnah adalah sesuatu yang dilaksankan

atau diucapakan Nabi saw terus menerus dinukilkan dari masa kemasa dengan

jalan mutawati, sehingga menjadi tradisi yang bersifat praktis dan berkelanjutan

hingga saat ini. Namun demikian ada yang menyamakan antara hadis dan Sunnah.

Terjadinya perbedaan pendapat para ulama tentang hadis dan Sunnah disebabkan

oleh sudut pandang yang berbeda dalam menilai pribadi Rasulullah saw.

Hadis ketika ditinjau dari segi kuantitas dan segi kualitas

menggambarkan bahwa tidaklah semua hadis yang diriwayatkan oleh para

periwayat hadis bersumber dari Rasulullah saw sehingga terlebih dahulu harus

dilakukan penelitian sanad dan matan hadis. Kualitas hadis ditentukan oleh sanad

dan matan hadis tersebut sehingga lahirlah hadis shahih, hadis hasan, hadis dha’if

sedangkan jika dilihat dari segi kuantitas terbagi atas hadis mutawatir dan hadis

ahad. Dan diantara fungsi hadis yaitu sebagai bayan al-taqrir, bayan al-tafsir,

bayan al-nasakh, dan bayan al-tasyri’

33

34

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Arifuddin. Paradiqma Baru Memahami Hadits Nabi Refleksi Pembaruan Pemikiran Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail. Cet. I Jakarta: Renaisan, 2005.

Azami, M.M. Studies In Early Hadith Literature. diterjemahkan oleh Ali Mustapa Yaqub. Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasiny. Cet. III Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006.

Bisri, Adid dan Munawwir AF. Al-Bisri Kamus Arab-Indonesia Indonesia-Arab. Cet. 1 Surabaya: Pustaka Progressif, 1999).

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV. Penerbit: Jumanatul ‘Ali-Art, 2005.

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam 2. Cet. III; Jakarta: PT. Inter masa, 1994.

Hasan, A. Qadir. Ilmu Mushthala Hadits. Cet, VIII. Bandung: CV diponegoro, 2002.

ibn Faris, Abu al-Husain Ahmad ibn Zakariyah. Maqa>yis al-Lugah, Jilid V. Beirut: Ittiha>d al-kita>b al-Arab 2002.

Ismail, Syuhudi. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah, Jakarta: Bulang Bintang, 1995.

Khaeruman, Badri. Otentitas Hadis Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer. Cet. 1 Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.

al-Khatib, M. Ajjaj. As-Sunnah Qabla Tadwin. diterjemahkan oleh Ali Akrom Fahmi. Hadis Nabi Sebelum Dibukukan. Cet. I; Jakarta: Gema Islami Press, 1999.

----------, M. Ajjaj. Ushul al-Hadits. diterjemahkan oleh M. Qudirun Nur dan Ahmad Musyafiq dengan judul Ushul al-Hadits Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Cet, II;Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.

Mudasir. Ilmu Hadis. Cet. IV; Bandung: Pustaka Setia, 2008.

34

35

al-Qaththan, Manna. Mabahis fi Ulum al-Hadis. diterjemahkan oleh Mufidhal Abdurrahman dengan judul Pengantar Studi Hadis. Cet. 1; Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005.

Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Cet. x; Bandung: PT al-Ma’arif, 2007.

ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah Pengantar Ilmu Hadis. Cet. I; Semarang: Pustaka Rezki Putra, 1997.

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Cet. XXVIII, (Bandung ;Misan, 2004).

as-Shalih, Subhi. Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu. diterjemahkan Tim Pustaka Firdaus dengan judul Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Cet. III; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.

Sumarjono, Totok. Kamus Ilmu Hadis. Cet.1; Jakarta: Bumi Aksara, 1997.

Sou’yb, Joesoef. Orientalisme dan Islam. Cet.I; Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1985

at-Thahan, Mahmud. Tafs>ur Mushtalah al-Hadi>s. Cet. VIII; Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1987.

35