23
45 Faktor-faktor Biopsikososial dalam Pengobatan Nyeri (Gallagher RM, Verma S. Biopsychosocial Factors in Pain Medicine. In: Wallace MS, Staats PS. Pain Medicine and Management Just the Facts. Chapter 45. New York: McGraw-Hill; 2005, 244-54) Bab ini menjelaskan tentang bagaimana hubungan antara depresi dan nyeri, mengungkapkan bukti-bukti klinis dan neurosains tentang hubungan nyeri dan depresi, serta bagaimana pengobatan nyeri dan depresi Ruslan, S. Ked 4/1/2008

Faktor Biopsikososial Doc

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Faktor Biopsikososial Doc

 

45 Faktor-faktor Biopsikososial dalam Pengobatan Nyeri (Gallagher RM, Verma S. Biopsychosocial Factors in Pain Medicine. In: Wallace MS, Staats PS. Pain Medicine and Management Just the Facts. Chapter 45. New York: McGraw-Hill; 2005, 244-54) Bab ini menjelaskan tentang bagaimana hubungan antara depresi dan nyeri, mengungkapkan bukti-bukti klinis dan neurosains tentang hubungan nyeri dan depresi, serta bagaimana pengobatan nyeri dan depresi Ruslan, S. Ked 4/1/2008

Page 2: Faktor Biopsikososial Doc

Halaman  2 dari 23 

 

 

45  FAKTOR‐FAKTOR BIOPSIKOSOSIAL DALAM   PENGOBATAN NYERI  

PENDAHULUAN

Nyeri kronik, nyeri yang tidak terkontrol sepertinya merupakan masalah penanganan kesehatan

yang paling banyak dijumpai di Amerika Serikat. Hal tersebut merupakan gejala yang paling

sering dikeluhkan pasien untuk mencari pertolongan medis, yang juga berhubungan dengan

aspek psikososial dan ekonomi, dan seringkali tidak mendapat pengobatan atau salah

pengobatan.

Oleh karena nyeri yang menetap tersebut mempengaruhi komponen emosional pasien serta

seringkali disertai dengan depresi dan/atau kecemasan, manfaat dapat diperoleh pasien dari

penilaian yang lengkap dan penatalaksanaan multidisplin.

Faktor-faktor psikologis memainkan peranan yang signifikan terhadap nyeri kronik dan dalam

masa transisi nyeri akut menjadi nyeri kronik, dan bukti neurosains serta bukti klinis

memperlihatkan hubungan yang erat antara nyeri dan status mood.

Fishbain menggunakan Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV) untuk

membuat kategori komorbiditas psikiatrik dengan kelainan nyeri sebagai:

Komorbiditas Aksis I, sebagai contoh, gangguan psikiatrik utama, seperti depresi (yang

paling sering) atau penyalahgunaan zat, gangguan somatoform, gangguan kecemasan, serta

kelompok lain yang termasuk gangguan psikosis, skizofrenia, gangguan delusional, dan

gangguan afektif bipolar.

Komorbiditas aksis I dan aksis II (gangguan kepribadian), contohnya depresi (aksis I) dan

kelainan antisosial (aksis II).

Aksis I gangguan penyalahgunaan zat psikoaktif dan gangguan psikiatrik lainnya,

contohnya, ketergantungan alkohol dan depresi.

Komorbiditas dengan penyalahgunaan zat psikoaktif, contohnya kokain dan ketergantungan

alkohol.

Komorbiditas dari kelainan aksis I dengan kondisi medis aksis III, contohnya depresi dan

neuropati diabetik.

Page 3: Faktor Biopsikososial Doc

Halaman  3 dari 23 

 

NYERI DAN DEPRESI

• Banyak penelitian dan laporan yang mendokumentasikan angka komorbiditas yang tinggi antara

depresi dan nyeri kronik dan terdapat bukti dimana insiden depresi pada pasien dengan nyeri

kronik lebih tinggi daripada nyeri medis kronik lainnya, walaupun pada pasien tanpa resiko

depresi.

• Model resiko mengalami depresi yang menyertai nyeri kronik (diperlihatkan pada gambar 45-1)

yang diperoleh dari penelitian perbandingan antara wanita dengan nyeri temporomandibular dan

sindrom disfungsi dengan kecocokan kontrol komunitas untuk status sosioekonomi dan dengan

derajat-pertama relatif pasien dan kontrol.

• Logikanya, depresi memainkan peranan penting dalam hal pengalaman mengenai nyeri kronik.

Oleh karena itu, pasien depresi memperlihatkan tingkat nyeri yang lebih tinggi, disabilitas yang

lebih besar, dan pengaruh yang lebih luas akibat nyerinya; cenderung untuk kurang aktif; serta

memperlihatkan perilaku nyeri yang lebih daripada pasien nondepresi dengan nyeri.

• Laporan sistematik dari penelitian prospektif, studi kohort yang mencakup kelainan, mood

depresi, dan somatisasi sebagai faktor-faktor dalam transisi nyeri LBP akut menjadi kronik.

Page 4: Faktor Biopsikososial Doc

Halaman  4 dari 23 

 

Gambar 45-1. Hipotesis Model Resiko Penyakit Depresi pada orang yang berkembang nyeri

kronik

• Depresi dapat meningkatkan gangguan yang terkait-nyeri dan menyebabkannya menetap

bahkan pada populasi yang memiliki akses ke pelayanan kesehatan yang lebih maju.

• Sebuah penelitian prospektif selama 24 bulan yang melibatkan 288 penduduk usia tua yang

memiliki jaminan kesehatan dari komunitas yang sudah pensiun yang menjalani pemeriksaan

tengah tahunan untuk nyeri, gangguan fisik, serta penggunaan alat bantu kesehatan

mengungkapkan bahwa:

Nyeri dan depresi merupakan komorbid yang sering dijumpai.

Depresi yang meningkat berhubungan dengan peningkatan kelainan yang terkait-nyeri.

Komorbiditas ini biasanya dilanjutkan secara longitudinal.

Walaupun ringan, depresi subklinis dapat meningkatkan penggunaan alat bantu kesehatan.

• Adanya gejala fisik apa saja meningkatkan kemungkinan diagnosis adanya gangguan mood atau

kecemasan pada sampel pasien-pasien penting sekitar tiga kali lipat. Tingkat relatif tingginya

kelainan mood (34-46%) yang terjadi dengan keluhan nyeri yang menyertai:

34% dari pasien dengan nyeri sendi atau tungkai bawah

38% dari pasien dengan nyeri punggung

40% dari pasien dengan nyeri kepala

46% dari pasien dengan nyeri dada

43% dari pasien dengan nyeri perut

PENANGANAN DEPRESI PADA PASIEN NYERI

Skrining Depresi

• Keberhasilan penanganan depresi dimulai dengan penilaian awal yang seksama untuk dapat

menegakkan diagnosis dan menyelidiki resiko dan kekuatan aspek biopsikososial. Perangkat

atau strategi skrining sederhana meliputi:

Susunan tingkat Depresi Beck

Selama mengawasi pasien (untuk mengurangi bias), tentukan jika pasien memiliki mood

depresi; keluhan minat atau rasa senang, dan/atau lokasi nyeri yang multipel.

Oleh karena (1) tingkat negatif palsu yang signifikan untuk identifkasi depresi bisa

menyertai evaluasi awal nyeri dan (2) resiko berkembangnya depresi tinggi selama

terjadinya nyeri kronik, dokter harus melakukan skrining depresi secara periodik selama

Page 5: Faktor Biopsikososial Doc

Halaman  5 dari 23 

 

pengobatan, khususnya pada saat timbul gejala nyeri, gangguan atau perubahan disabilitas

atau tambahan stressor hidup.

MENDIAGNOSA KELAINAN MOOD

Pengumpulan riwayat pasien sebaiknya memuat informasi mengenai:

• Gejala dan penyakit yang saat ini diderita

• Gangguan psikiatrik sebelumnya, termasuk mania

• Pengobatan, termasuk respon pengobatan

• Kondisi medis umum

• Penyalahgunaan zat

• Penyakit psikiatrik dalam keluarga

• Perkembangan psikologis, keterampilan yang dimiliki, dan respon terhadap kejadian di masa

lalu

• Status mental

• Pemeriksaan fisik selektif dan laboratorium sesuai indikasi

• Apakah pasien menderita depresi mayor, depresi minor, distimia, kelainan bipolar, atau

gangguan mood yang diinduksi zat atau secara medis

• Apakah pasien mempunyai masalah perkawinan (oleh karena hubungan pernikahan dan

hubungan negatif dengan pasangan yang berespon terhadap nyeri berhubungan dengan gejala

depresif).

MENGEVALUASI KESELAMATAN PASIEN

• Karena nyeri kronik berhubungan dengan kasus bunuh diri dan kekerasan, penilaian hati-hati

dari resiko ini akan menunjukkan jika seorang pasien terobati dengan baik pada pasien rawat

jalan atau rawat inap.

• Semua pasien yang bunuh diri harus dievaluasi oleh tenaga ahli yang sesuai untuk menilai

resiko dan mengatur penanganan yang sesuai.

• Penilaian resiko bunuh diri harus mempertimbangkan adanya ide bunuh diri, rencana yang

dibuat pasien, cara atau metode yang tersedia, dan bahaya dari metode yang dimaksud.

• Para klinisi nyeri harus mewaspadai bahwa depresi meningkatkan resiko timbulnya perasaan

marah, orang dengan nyeri kronik yang sementara dalam pengobatan memiliki tingkat ide

Page 6: Faktor Biopsikososial Doc

Halaman  6 dari 23 

 

kekerasan yang lebih tinggi daripada sampel pada kontrol komunitas, dan adanya depresi

meningkatkan resikonya.

• Faktor-faktor lain yang meningkatkan resiko meliputi ketidakpuasan dalam pekerjaan,

pengangguran, upah pekerja, program rehabilitasi, proses pengadilan, dan yang didiagnosa

malingering.

• Hubungan antagonis antara jaminan kompensasi buruh, pegawai, dan pekerja yang cidera dapat

memberi rasa takut pada keluarga pasien yang dalam kondisi baik.

• Pada evaluasi awal jika pengobatannya merosot, dokter harus menanyakan pasien jika mereka

pernah mengalami marah yang meluap-luap atau pikiran marah dan, jika demikian, bagaimana

mereka mengatasi keadaan ini.

MENENTUKAN DAN MEMPERTAHANKAN TERAPI KOMBINASI

• Dengan mengembangkan hubungan kerja yang saling percaya dan sikap positif dengan pasien

dan, jika memungkinkan, dengan keluarga pasien atau orang lain penting untuk menjamin

keselamatan dan efektifitas pengobatan.

• Keberhasilan pengobatan dengan analgetik dan antidepresan potensial memerlukan komunikasi

yang baik antara dokter dengan pasien mengenai efek samping potensial, toksisitas, interaksi

obat, dan target pengobatan.

• Hubungan kerja yang efektif dimulai dengan edukasi pasien mengenai kondisi nyeri, tujuan

pengobatan, rasionalisasi pilihan pengobatan, dan harapan dokter terhadap tanggung jawab

pasien menjaga informasi yang diberikan, kepatuhan, dan follow up.

MENGAJARI PASIEN DAN KELUARGA PASIEN

• Semua pasien dan, jika memungkinkan, anggota keluarga yang sesuai harus mendapatkan

pengetahuan mengenai depresi, nyeri, dan hubungan antara nyeri dan depresi.

• Anggota keluarga yang tidak diberitahu bisa saja menakut-nakuti pasien dengan pengobatan

psikotropik karena efek samping atau sifat adiksinya.

• Akan lebih sesuai untuk memberikan pengajaran pasien dalam bentuk kelompok dalam 7-10

sesi yang menerangkan berbagai macam aspek nyeri, mood, stress, kecemasan, hubungan,

aktifitas, dan isu-isu yang berhubungan lainnya, termasuk rasionalisasi penggunaan obat-

obatan. Keikutsertaan pasangan akan sangat bermanfaat untuk sesi ini.

• Kelompok yang longitudinal, terbuka dapat membantu pasien mempertahankan pengobatan

yang dijalaninya.

Page 7: Faktor Biopsikososial Doc

Halaman  7 dari 23 

 

KEPATUHAN PENGOBATAN

• Keberhasilan pengobatan depresi membutuhkan kepatuhan pasien terhadap rencana pengobatan

untuk pengobatan yang lama atau tidak terbatas agar dapat tercapai remisi penuh dan mencegah

relaps atau rekurensi.

• Untuk bisa membuat pasien patuh pada pengobatan, efek samping dari obat harus dijelaskan

secara hati-hati.

• Pada tahap awal pengobatan, dokter harus melakukan intervensi dasar untuk menerapkan

kepatuhan pengobatan dengan pemahaman bahwa pasien dengan nyeri dan depresi dapat kurang

bersemangat dan cenderung pesimis mengenai peluang kesembuhannya.

PENANGANAN FARMAKOLOGIS DEPRESI

• Terdapat 22 jenis obat-obatan yang dianjurkan oleh Bagian Obat dan Makanan Amerika Serikat

(FDA) sebagai antidepresan yang diklasifikasikan pada tabel 45-1.

• Walaupun tidak terdapat satu jenis obat yang sangat efektif dalam pengobatan depresi,

antidepresi kerja ganda dengan noradrenalin dan serotonergic reuptake inhibitor dapat

memberikan pengobatan yang lebih efektif.

• Lebih dari 80% pasien depresi berespon paling tidak dengan satu macam obat, walaupun

pemberian antidepresan saja efektif pada sekitar 50-60%. Dengan demikian, jika salah satu obat

tersebut tidak dapat bekerja, harus diganti dengan obat jenis lain (misalnya, jika SSRI tidak

mempan, dapat diganti dengan buproprion atau SNRI), dan seterusnya.

• Faktor-faktor yang menjadi bahan pertimbangan dalam pemilihan antidepresi meliputi respon

cepat, riwayat respon dalam keluarga, efek samping yang dirasakan, efisiensi, kecepatan remisi,

kesederhanaan dosis (mendukung kepatuhan), kepatuhan, dan biaya (jika pasien tidak sanggup

membayar resep obat antidepresinya yang mahal, biasanya pasien berhenti meminum obatnya).

Tabel 45-1 Obat-obatan untuk Depresi

Trisiklik dan Tetrasiklik

Trisiklik Amina Tertier

Amitriptilin

Klomipramin

Trimipramin

Page 8: Faktor Biopsikososial Doc

Halaman  8 dari 23 

 

Trisiklik Amin Sekunder

Desipramin

Nortriptilin

Protriptilin

Tetrasiklik

Amoksapin

Maprotilin

Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)

Sitalopram

Esitalopram

Fluoksetin

Fluvoksamin*

Paroksetin

Dopamin-Norepinefrin Reuptake Inhibitors

Bupropion

Serotonin-Norepinefrin Reuptake Inhibitors (SNRIs)

Venlafaksin

Duloksetin†

Serotonin Modulator

Nefazodon

Trazodon

Norepinefrin-Serotonin Modulator

Mirtazapin

Monoamin Oksidase Inhibitors (MAOIs)

Irreversible, nonselektif

Isokarboksazid

Fenelzin

Tranilsipromin

Reversibel MAOI-A

Moklobemid*

Selektif Noradrenalin Reuptake Inhibitor

Reboksetin†

* Dipercaya hanya untuk pengobatan gangguan obsesif-kompulsif.

Page 9: Faktor Biopsikososial Doc

Halaman  9 dari 23 

 

†Tidak tersedia di Amerika Serikat.

• Kecemasan dan insomnia tidak dapat memprediksi seperlunya respon pengobatan yang lebih

baik dari obat yang meningkatkan efek sedasi.

• Pasien harus dipantau ketat untuk mengetahui adanya respon terhadap pengobatan

farmakoterapi dan dosis dapat ditingkatkan secara titrasi jika dosis yang diberikan tidak

berespon dalam beberapa minggu.

• Perilaku pasien yang timbul akibat pemberian antidepresan harus ditentukan dan apakah pasien

tersebut benar-benar menjalani pengobatan harus dikonfirmasikan.

• Mengajarkan pasien dan keluarganya (jika memungkinkan) mengenai manfaat dari obat yang

diberikan dan resiko relapsnya penyakit dapat membantu meningkatkan kepatuhan minum obat

pasien.

Antidepresi Trisiklik dan Tetrasiklik

• Ketika meresepkan antidepresan trisiklik (TCAS), potensi overdosis yang mematikan dan

kemungkinan mempengaruhi episode manik pada pasien dengan atau tanpa riwayat mania harus

selalu dipertimbangkan.

• Data dari 41 percobaan yang dikontrol menunjukkan bahwa TCAS adalah analgesik yang

efektif.

• Amitriptyline menjadi bahan yang paling banyak dipelajari secara meluas, walaupun

desipramine, imipramine, clomipramine, nortriptyline, dan doxepin telah dipelajari pula dengan

baik.

• Dari percobaan yang dikontrol memberikan bukti konsisten bahwa TCAS adalah analgesik

untuk neuropati diabetik, neuralgia postherpetic, sindrom nyeri sentral, nyeri post stroke, dan

sakit kepala kronis.

• TCAS manjur pula sebagai analgesia preemptif dan untuk opioid potensial untuk perawatan

nyeri postoperasi operasi.

• Bukti mengenai kemanjuran efek penghilang nyeri dari maprotilin tetrasiklik dan amoxapine

terbatas. Maprotiline lebih efektif dibanding paroxetine tetapi tidaklah lebih kuat daripada

TCAS.

• Dengan mengetahui bahwa semua TCAS dan antidepresan tetrasiklik sama efektifnya dalam

pengobatan depresi dan bahwa sebagian besar TCAs manjur dalam pengobatan nyeri, pemilihan

antidepresan biasanya dipengaruhi oleh profil efek sampingnya:

Page 10: Faktor Biopsikososial Doc

Halaman  10 dari 23 

 

Efek antikolinergiknya biasa dijumpai, pada pasien seperti dapat menimbulkan toleransi,

dan menimbulkan pula rasa mulut kering, konstipasi, pandangan kabur, dan retensi urine.

Amitriptilin, imipramin, trimipramin, dan doxepin merupakan obat yang sifat

antikolinergiknya lebih besar; amoxapine, maprotiline, dan nortriptyline merupakan obat

yang lebih sedikit sifat antikolinergiknya; sementara desipramine merupakan obat yang

paling kecil sifat antikolinergiknya.

Sedasi menjadi efek samping yang dapat diterima pada pasien dengan gangguan tidur.

Amitriptyline, doxepin, dan trimipramine bersifat lebih sedatif; sementara desipramine dan

protriptyline efek sedasi paling kurang.

Efek otonom akibat blokade α1-adrenergik mengakibatkan hipotensi ortostatik yang dapat

terjadi dengan penggunaan amitriptyline, doxepine, clomipramine, amoxapine, dan

nortriptyline, dalam hal ini mulai dari yang paling kurang menimbulkan efek sampai yang

paling besar efeknya pada otonom.

Efeknya pada jantung, meliputi takikardi, memperpanjang interval QT, dan penekanan

segmen ST pada EKG, dikontraindikasikan penggunaan TCAs dan tetrasiklik pada pasien

dengan waktu konduksinya memanjang. Pada pasien dengan riwayat penyakit jantung, obat-

obat ini harus diawali dengan dosis rendah, yang selanjutnya ditingkatkan secara perlahan-

lahan sambil memantau fungsi jantung.

Efek samping yang merugikan dan resiko dari reaksi yang tidak diinginkan dari TCAs

meningkat sesuai dengan usia pasien.

• Antidepresan terbaru biasanya kurang toksik dalam kasus-kasus overdosis namun tidak

menurunkan semua resiko bunuh diri.

Selective Serotonin Reuptake Inhibitors

• Sejak diperkenalkannya fluoxetine pada tahun 1988, obat-obatan golongan SSRIs seperti

fluoxetine, fluvoxamine, sertraline, paroxetine, dan citalopram telah banyak digunakan dalam

resep antidepresan lebih dari 50% di Amerika Serikat karena profil efek sampingnya yang

disukai.

• Oleh karena rata-rata efikasinya baik dan kesederhanaan dosisnya, banyak pasien dengan nyeri

dan depresi mendapat SSRIs sebagai terapi awalnya.

• Walaupun harga SSRIs lebih mahal dari pada TCAs, total biaya perawatan biasanya hampir

sama antara pasien yang mulai pengobatan dengan SSRIs dan mereka yang mulai dengan TCAs

Page 11: Faktor Biopsikososial Doc

Halaman  11 dari 23 

 

tetapi tidak bisa memaksa mereka untuk menggunakan SSRIs dan harus melakukan visite ulang

bila ingin obatnya diganti ke SSRIs.

• Walaupun efek antidepressan SSRIs tidaklah lebih baik daripada TCAs dan MAOIs, profil efek

samping yang lebih disukai dan sifat keamanannya terhadap overdosis dari SSRIs membuat

mereka menjadi pengobatan pilihan pertama untuk depresi.

• SSRIs berbeda terutama pada waktu paruhya. Sekitar 2-3 hari, fluoxetine mempunyai waktu

paruh paling lama, dan metabolite aktifnya mempunyai waktu paruh 7-9 hari. Waktu paruh

golongan SSRIs lainnya sekitar 20 jam.

• Oleh karena SSRIs dimetabolisme di hati oleh isoenzim sitokrom P450, dokter harus berhati-

hati pada interaksi obatnya. Sitalopram merupakan obat yang paling kurang dipengaruhi oleh

isoenzim sitokrom P.

• Efek samping SSRIs yang umum meliputi agitasi, kecemasan, gangguan tidur, tremor, disfungsi

seksual, dan sakit kepala. Citalopram (Celexa) telah dilaporkan mempunyai efek samping

seksual lebih sedikit dibanding SSRIs lainnya. Walaupun jarang, SSRIs dihubungkan dengan

gejala mirip-ekstrapiramidal, arthralgia, lymphadenopathy, sindrom antidiuretik yang tidak

sesuai, agranulositosis, dan hipoglikemia.

• Interaksi SSRIs dengan MAOIs menyebabkan sindrom serotonin sentral dengan manifestasi

berupa nyeri perut, diare, berkeringat, demam, takikardi, peningkatan mood, hipertensi,

perubahan status mental, delirium, mioklonus, peningkatan aktifitas motorik, iritabiliitas, dan

sikap bermusuhan. Manifestasi berat dari sindrom ini dapat meliputi hiperemia, syok

kardiovaskular, dan kematian.

• SSRIs tidak mempunyai efek antagonis dengan α-adrenergik dan khususnya tidak memiliki efek

antiaritmia tipe 1A dari trisiklik; dengan demikian SSRIs jarang menimbulkan hipotensi

ortostatik.

Efek Analgesik SSRIs

• Efek anelgesik SSRIs tidak seperti yang dijumpai pada TCAs.

• Dari 10 penelitian yang mengevaluasi efikasi SSRIs dalam pengobatan nyeri kepala kronis, 3

penelitian didapati SSRIs tidak lebih baik daripada plasebo, 2 didapati SSRIs secara garis besar

lebih baik daripada plasebo, dan 5 ditemukan tidak ada peningkatan di luar obat perbandingan.

• Dari tiga percobaan terkontrol yang melakukan pengujian SSRIs dalam pengobatan nyeri

neuropati diabetik, studi yang lebih besar (n=46) ditemukan tidak ada perbedaan antara

Page 12: Faktor Biopsikososial Doc

Halaman  12 dari 23 

 

fluoxetine dan plasebo, tetapi studi yang lebih kecil menemukan citalopram dan paroxetine

lebih baik daripada plasebo.

• Studi yang membandingkan SSRIs dengan TCAs memperoleh efek analgesia yang lebih besar

pada TCAS.

• Pada tahun 2000, Sindrup dan Jensen mengidentifikasi semua percobaan placebo-obat

terkontrol yang diberikan dalam pengobatan nyeri pada polineuropati dan menentukan bahwa

jumlah pasien yang membutuhkan pengobatan untuk mempertahankan satu pasien dengan lebih

dari 50% pemulihan nyeri adalah 2,6 untuk trisiklik, 6,7 untuk SSRIs, 2,5 untuk antikonvulsan

yang memblok saluran natrium, 4,1 untuk gabapentin, dan 3,4 untuk tramadol.

DOPAMINE-NOREPINEPHRINE REUPTAKE INHIBITOR

• Bupropion (Wellbutrin) pertama kali disintesis pada tahun 1966 dan dimunculkan sebagai

antidepressan tanpa efek antikolinergik atau efek pada jantung. Namun, peningkatan insidens

kejang yang diinduksi-obat pada subjek bulimia nondepresi dalam suatu penelitian menunda

pemasarannya. Studi yang berikutnya pada pasien depresi tidak dapat menemukan kembali

temuan ini, dan obat ini diajukan kembali di tahun1989.

• Bupropion sama efektifnya untuk depresi seperti antidepresi lain tetapi sifat khasnya yakni lebih

kurang menyebabkan disfungsi seksual.

• Oleh karena sifatnya yang memblokade pengambilan kembali norepinefrin, bupropion

mempunyai potensi untuk menjadi obat antidepresan analgesik, walaupun hal ini masih perlu

ditelusuri lebih lanjut.

• Dalam suatu studi open-label, bupropion secara signifikan mengurangi sakit pada 8 minggu,

dan pada percobaan crossover, double-blind, placebo-terkontrol menunjukkan bahwa 150-300

mg bupropion efektif dan ditoleransi dengan baik untuk pengobatan nyeri neuropati.

• Pada sekitar 5% pasien yang mengkonsumsi obat 450-600 mg/hr, bupropion menyebabkan efek

yang tidak baik berupa delusi, halusinasi dan beresiko mengalami kejang karena potensi

efeknya pada sistem dopaminergik.

SEROTONIN–NOREPINEPHRINE REUPTAKE INHIBITORS

• Venlafaksin dari golongan SNRI memblok pengambilan ulangnya seefektif TCS tanpa

menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan yang berhubungan dengan agen tersebut.

• Venlafaksin memiliki onset kerja yang lebih cepat dari biasanya dan menunjukkan efikasi yang

lebih baik pada pasien depresi.

Page 13: Faktor Biopsikososial Doc

Halaman  13 dari 23 

 

• Kemampuan venlafaksin dalam menghambat pengambilan ulang norepinefrin, khususnya pada

dosis yang lebih besar, sesuai dengan bentuk strukturnya yang sama dengan tramadol, suatu

analgesik dengan sifat agonis opioid dan aktifitas monoaminergik, menjadikannya antidepresan

yang menjanjikan untuk pasien dengan nyeri kronik. Kenyataannya, penghambatan reuptake

norepinefrin penting untuk mengurangi nyeri diabetik dan nyeri neuralgia postherpetik.

• Pada sukarelawan sehat, venlafaksin meningkatkan ambang toleransi nyeri terhadap stimulasi

saraf sural elektrik dan meningkatkan toleransi terhadap nyeri, yang mengindikasikan adanya

efek analgesik yang potensial untuk nyeri neuropati klinik.

• Sejumlah laporan kasus mengesahkan kemanjuran venlafaksin pada kelainan nyeri, tetapi pada

studi terkontrol tidak menunjukkan apa-apa.

• Venlafaksin biasanya dapat ditoleransi dengan baik, dan efek sampingnya meliputi nausea

(37%), somnolen (23%), mulut kering (22%), dan pusing (22%).

• Efek yang paling dikhawatirkan dari obat ini adalah peningkatan tekanan darah, khususnya pada

pasien yang memperoleh obat dengan dosis lebih dari 300 mg/hr.

SEROTONIN MODULATOR

• Antridepresan trazodon dan nefazodon secara struktural tidak berhubungan dengan TCAs,

MAOIs, atau SSRIs.

• Trazodon memiliki sifat sedatif yang berbeda dan digunakan untuk mengobati insomnia baik

untuk nyerinya maupun depresinya. Nefazodon relatif bebas dari efek samping ini dan biasanya

dapat ditoleransi dengan baik.

• Tidak ada studi yang dilakukan pada manusia yang menguji efek analgesik nefazodon.

• Empat percobaan placebo-terkontrol mendukung adanya efek analgesik trazodon.

• Nefazodon merupakan antidepresan yang efektif. Waktu paruhnya 2-4 jam dengan dosis

pemberian dua kali sehari.

• Reaksi yang tidak diinginkan dari nefazodon yang tampak meliputi gagal hati, penurunan

tekanan darah, interaksi obat dengan triazolam (Halcion), terfenadin/pseudoefedrin (Seldane),

asetamizole (Hismanal), alprazolam (Xanax), dan cisaprid (Propulsid) akibat penghambatannya

pada sitokrom P450.

NOREPINEPHRINE–SEROTONIN MODULATOR

• Antidepresan mirtazapin (Remeron) bersifat antagonis terhadap reseptor α2-adrenergik

presinaptik, mengakibatkan potensiasi noradrenergik sentral dan transmisi serotonergik.

Page 14: Faktor Biopsikososial Doc

Halaman  14 dari 23 

 

• Mirtazapine adalah suatu antidepresan yang efektif, sekalipun begitu tidak memiliki efek

antikolinergik TCAs dan anxiogenik dari beberapa SSRIs.

• Oleh karena luasnya profil neurotransmitter, mirtazapin mempunyai potensi menjadi obat

antidepresan analgesik, namun hal ini memerlukan penelitian lanjut.

• Efek yang kurang baik dari mirtazapine meliputi somnolen, yang mana baik diberikan pada

pasien dengan gangguan tidur; meningkatkan selera makan dengan pertambahan berat badan

yang mana baik diberikan pada penderita kanker; peningkatan kolesterol serum; dan (sekitar 3%

dari pasien) dijumpai agranulositosis dan neutropenia.

MONOAMINE OXIDASE PENGHAMBAT

• Fenelzin MAOIS (Nardil) dan tranilsipromin (Parnate) menghambat degenerasi tingkat

biogenik amina.

• MAOIs dapat efektif pula untuk gangguan panik dengan agoraphobia, gangguan stress post

trauma, gangguan makan, fobia sosial, dan depresi atipikal yang ditandai oleh hipersomnia,

hiperfagia, ansietas, dan tidak adanya gejala vegetatif; namun pengobatan ini biasanya tidak

digunakan oleh karena efek toksiknya.

• Studi pada hewan mendukung adanya efek analgesia MAOIs yang belum dapat dibuktikan

efeknya pada manusia.

• Efek samping MAOIs dan potensi untuk mempercepat timbulnya sindrom toksik serotonin

sentral saat dikombinasikan dengan pengobatan lainnya dan makanan tertentu, membatasi

penggunaannya terhadap depresi yang resisten-pengobatan.

• Krisis hipersensitif yang diinduksi tiramin pada pasien yang mendapat terapi MAOIs dapat

mengancam nyawanya. Efek samping lain meliputi hipertensi ortostatik, peningkatan berat

badan, edema, disfungsi seksual, dan insomnia.

ANTIKONVULSAN

• Antikonvulsan telah digunakan dalam penanganan nyeri sejak tahun 1960an, segera setelah

mereka mengadakan revolusi dalam hal penanganan medis epilepsi.

• Antikonvulsan telah menjadi dasar pengobatan nyeri neuropatik kronis, khususnya saat pasien

mengeluh adanya sensasi tembakan atau sensasi luka tajam atau terbakar.

• Mekanisme aksi antikonvulsan yang tepat masih belum dimengerti, namun bahan ini sepertinya

meningkatkan penghambatan asam γ-aminobutirat, dengan demikian menghasilkan efek yang

Page 15: Faktor Biopsikososial Doc

Halaman  15 dari 23 

 

menstabilkan membrane sel neuron, atau dapat bekerja pada daerah reseptor N-metil-D-

aspartat.

• Gabapentin, topiramat, dan lamotrigin semuanya mempunyai efikasi pada satu atau lebih

keadaan nyeri neuropatik.

• Antikonvulsan yang lama, seperti fenitoin, clonazepam, dan asam valproat, belum menunjukkan

efikasi untuk nyeri dalam studi klinis, oleh karena masalah toksisitasnya tersebut, umumnya

tidak digunakan, dengan pengecualian untuk karbamazepin, yang efektif dalam pengobatan

neuralgia trigeminal.

• Banyak antikonvulsants mempunyai komponen mood-stabilisasi, tapi tidak ada studi terkontrol

yang mendukung manfaat agen mood-stabilisasi sebagai terapi depresi.

• Antikonvulsan lamotrigine dan gabapentin memiliki aktifitas antimania dan antidepresi.

• Gabapentin sepertinya aman dan ditoleransi dengan baik dan memiliki profil efek samping yang

disukai, efek ansiolitik, dan tidak tampak adanya interaksi obat.

• Pemberian lamotrigine memerlukan takaran dosis yang hati-hati dan monitoring ketat oleh

karena dapat menyebabkan ruam pada kulit. Lamotrigine masih dalam penyelidikan untuk

pengobatan berbagai tahap dari gangguan bipolar refraktori, dan banyak klinisi nampaknya

menambahkan lamotrigine untuk regimen pengobatan pasien bipolar kompleks, bentuk keadaan

yang resisten-pengobatan dari penyakit ini.

• Suatu studi double-blind menemukan lamotrigine (50 atau 200 mg/hr) efektif dalam mengobati

pasien depresi dengan gangguan bipolar, dan dari studi placebo-terkontrol menemukan bahwa

hal tersebut efektif dan aman dalam mengurangi nyeri yang berhubungan dengan neuropati

diabetik.

TEKNIK PSIKOTERAPEUTIK

• Walaupun pengobatan yang diberikan sangat menolong, penatalaksanaan psikofarmakologi

pada komorbiditas psikiatrik yang berhubungan dengan nyeri kronik tidak pernah sukses bila

diberikan sendiri karena sakit itu sendiri dan faktor psikososial tergantung pengalaman nyerinya

maupun sistem neurofisiologi.

• Keberhasilan pengobatan nyeri kronik harus dilakukan multidimensi, dan intervensi

psikoterapeutik sangat membantu dan sering diperlukan untuk penanganan nyeri dan

komorbiditas psikiatrik.

• Teknik psikoterapeutik digunakan dalam mengobati pasien nyeri kronik meliputi hal-hal:

Pengetahuan tentang nyeri

Page 16: Faktor Biopsikososial Doc

Halaman  16 dari 23 

 

Psikoterapi suportif untuk memberikan semangat pada pasien menjalani strategi

pengobatan.

Terapi perilaku kognitif, yang berfokus pada kognisi pasien yang maladaptif bersamaan

dengan teknik perilaku, seperti terapi relaksasi dan latihan ketegasan.

Terapi perilaku, berdasarkan pada teori perilaku dan teori belajar sosial.

Terapi interpersonal, yang berfokus pada kehilangan, peran transisi dan perselisihan, defisit

sosial, dan faktor-faktor interpersonal lainnya berdampak pada berkembangnya depresi.

Psikoterapi dinamis, dimana hubungan dengan terapist memberikan konteks yang sifatnya

mengoreksi pengalaman emosional.

Terapi keluarga dan terapi pasangan, yang mana menunjukkan fakta bahwa nyeri kronis

adalah suatu masalah mengganggu akan mempengaruhi keseluruhan keluarga.

Terapi kelompok, yang mana dapat bersifat mendidik dan/atau psikoterapeutik.

• Penggolongan dari strategi ini sebagai satu kesatuan yang berbeda bermanfaat hanya untuk

kepentingan penyelidikan saja. Di dalam praktek klinis, dokter jiwa membedakan kombinasi

pendekatan tersebut untuk dicocokkan dengan kebutuhan pasien.

TERAPI PERILAKU KOGNITIF

• Terapi perilaku kognitif (CBT/Cognitive behavioral therapy) berdasar pada teori bahwa

meyakini hal-hal yang irrasional dan sikap yang menyimpang ke arah diri sendiri, lingkungan,

dan depresi yang menetap.

• Studi klinis menunjukkan bahwa CBT merupakan metode pengobatan yang efektif pada depresi

ringan dan sedang serta mengurangi gangguan terkait-nyeri pada kelainan nyeri.

• Tujuan diberikannya CBT adalah untuk mengurangi depresi dengan cara menantang sikap dan

kepercayaan ini.

• CBT dapat membantu pasien mengenali bahwa respon emosional terhadap nyeri sangat

dipengaruhi oleh pikiran dan bahwa mereka dapat melatih mengendalikan gangguan yang

diproduksi oleh suatu peristiwa hidup tak terelakkan atau penyakit kronis.

• Beberapa penyelidik merekomendasikan memberikan CBT sedini mungkin dari perlangsungan

penyakit untuk meningkatkan percaya diri pasien dalam menangani gejala dan dalam

kemampuan mereka untuk mengurangi penggunaan alat bantu kesehatan.

TERAPI PERILAKU

Page 17: Faktor Biopsikososial Doc

Halaman  17 dari 23 

 

• Terapi perilaku menggunakan manajemen kontingensi atau operant conditioning untuk

membantu pasien memodifikasi nyeri-terkait perilaku

• Metode ini dapat juga membantu merehabilitasi nyeri pasien dengan terus meningkatkan

kemampuan fungsional mereka.

PSIKOTERAPI INTERPERSONAL

• Psikoterapi interpersonal (IPT/Interpersonal Therapy), dikembangkan untuk penatalaksanaan

depresi, yang bekerja dengan asumsi bahwa, karena adanya gejala yang terjadi dalam konteks

sosial, menunjukkan sebuah masalah atau banyak masalah dalam kehidupan interpersonal

pasien dapat membantu menghilangkan gejala.

• IPT untuk depresi berfokus pada:

Kedukaan (suatu reaksi terhadap kematian orang yang dicintai)

Peran transisi (menyerah dari peran sosial lama dan menyesuaikan ke bentuk yang baru)

Peran perselisihan (kesukaran dalam membangun hubungan dari harapan yang tidak sesuai)

Peran defisit (suatu kekurangan hubungan interpersonal)

• Prinsip-prinsip ini dapat diterapkan pada pasien nyeri kronik yang memiliki gejala dan

ketidakmampuan menempatkan mereka dalam status transisi peran yang tetap akibat depresi

atau kecemasan.

PSIKOTERAPI PSIKODINAMIK

• Psikoterapi psikodinamik meliputi semua intervensi psikoterapeutik yang membagi dasarnya

dalam teori psikodinamik mengenai penyebab kerentanan terhadap masalah psikologis.

• Bentuk psikoterapi ini paling sering digunakan jangka panjang dan bertujuan mengurangi gejala

dengan segera.

NYERI DAN GANGGUAN CEMAS

• Gangguan cemas merupakan bentuk paling banyak dari gangguan mental di Amerika Serikat

(25% dari populasi mempunyai riwayat gangguan kecemasan dan 20% dengan riwayat

gangguan mood).

• Nyeri kronik, akut mengaktifasi sistem noradrenergik terkait-stres di otak dan seringkali diikuti

oleh reaksi kognitif-emosional, seperti rasa takut dan kecemasan, yang mana sampai tingkat

tertentu ditentukan secara kontekstual. Sebagai contoh, nyeri pada saat melahirkan biasanya

Page 18: Faktor Biopsikososial Doc

Halaman  18 dari 23 

 

tidak menimbulkan ketakutan dan kecemasan, sementara nyeri yang berhubungan dengan cidera

traumatik, dengan outcome yang tidak tentu, biasanya demikian.

• Hubungan nyeri, kecemasan, dan depresi mungkin saja menghasilkan substrat neurokimia

dalam sistem serotonergik. Gangguan kecemasan, bersama dengan depresi dan gangguan

penyalahgunaan zat, merupakan kondisi komorbid yang umum pada pasien dengan nyeri

kronik.

• Pasien biasanya mengalami kecemasan oleh karena stres hidup dengan nyerinya.

• Stres terhadap trauma yang berat, contohnya, terlibat pertengkaran atau kecelakan kendaraan

bermotor, dapat memicu gangguan stres post-trauma (GSPT) atau fobia mengemudi, yang mana

dapat menjadi komorbid dengan nyeri terkait-obsesif. Adanya komorbid gangguan obsesif-

kompulsif dengan nyeri kronik dapat membuat kedua keadaan memburuk jika pasien

melakukan kerja motorik kompulsif (seperti ritual murni) untuk mengandalikan kecemasan

yang berhubungan dengan obsesi.

• DSM-IV merincikan gangguan ansietas sebagai berikut:

Gangguan panik dengan atau agorafobia

Agorafobia dengan gangguan panik

Fobia khusus dan fobia sosial

Gangguan obsesif-kompulsif

Gangguan ansietas menyeluruh

Gangguan ansietas akibat keadaan medis umum

Gangguan ansietas yang diinduksi-zat

Gangguan ansietas yang tidak diklasifikasikan

• Gangguan tersebut dapat mempersulit kelainan nyeri dan begitupun sebaliknya karena

neurotransmitter yang terkandung dalam gangguan panik serta gangguan fobia, norepinefrin,

serotonin, dan asam γ-aminobutirat, terdapat dalam tahap modulasi nyeri.

• Pertimbangkan juga tantangan yang diperlihatkan oleh nyeri kronik pasien yang mendapat

terapi nyeri dan lompatan aktifitas yang dihalangi oleh (1) ritual-murni kompulsif yang tampak

pada gangguan obsesif kompulsif; (2) gangguan stres post-trauma dari suatu pertempuran,

pemerkosaan, dan kecelakaan kendaraan bermotor; atau (3) ansietas menyeluruh atau serangan

panik yang menimbulkan komplikasi disabilitas lanjut.

• Penanganan gangguan kecemasan dimulai dengan penilaian seksama, meliputi riwayat

lengkapnya.

Page 19: Faktor Biopsikososial Doc

Halaman  19 dari 23 

 

• Depresi merupakan penyebab tersering ansietas.

• Keadaan medis lain yang dapat muncul dengan ansietas, seperti gangguan neurologic

(neoplasma serebral, gangguan serebrovaskuler) keadaan sistemik (hipoksia, hipoglikemia,

aritmia jantung, anemia), gangguan endokrin (tiroid, hipofise, parairoid) dan status defisiensi

(B12, pellagra), harus dikesampingkan dengan pemeriksaan fisis dan pemeriksaan laboratorium

yang sesuai, termasuk pemeriksaan imaging.

• Penting pula untuk mengenyampingkan ansietas sekunder akibat obat-obatan, toksin, dan

penyalahgunaan zat psikoaktif.

GANGGUAN PANIK

• Serangan panik dapat ditemukan sebagai bagian dari gangguan psikiatrik, dan jika muncul

kembali atau berhubungan dengan timbulnya kecemasan yang signifikan dan perubahan

perilaku, merupakan manifestasi utama gangguan panik.

• Oleh karena panik menimbulkan perilaku kasar dan keras, dengan gejala yang dapat dijadikan

acuan kepada beberapa sistem tubuh, pasien seperti ini seringkali dibawa ke ruang gawat

darurat.

• Penatalaksanaan farmakologik terhadap gangguan panik meliputi benzodiazepine potensi tinggi,

TCAs, SSRIs, dan MAOIs, dan dari pengalaman mengungkapkan keunggulan SSRIs dan

klomipramin. Beberapa laporan mendukung peran nefazodon, venlafaksin, dan buspiron tapi

tidak untuk antagonis β-adrenergik.

• Salah satu pendekatan yang dapat dimulai dari SSRIs dan, jika dibutuhkan kontrol terhadap

ansietas lebih cepat, dengan menggunakan benzodiazepine kerja-singkat sampai SSRInya

efektif (jangan lupa adanya potensi penyalahgunaan dan efek negatif lain yang potensial dari

penggunaan benzodiazepine yang lama).

GANGGUAN FOBIA

• Fobia sosial adalah adanya suatu ketakutan yang tidak pada tempatnya dan menetap yang terjadi

pada peran dan aturan sosial dan dapat meliputi kecemasan antisipatori yang hebat.

• Seringkali, fobia sosial dihubungkan dengan hipersensitifitas terhadap kritikan dan menganggap

rendah diri sendiri.

• Dapat pula disamaratakan pada berbagai keadaan, yang hampir sama atau spesifik pada

kejadian tertentu.

Page 20: Faktor Biopsikososial Doc

Halaman  20 dari 23 

 

• Fobia sosial sering berupa masalah yang dialami sepanjang hidup yang dihadapinya dengan

cara menghindar, dengan kesempatan yang terbatas.

• Keadaan ini berespon baik dengan SSRIs dan benzodiazepine potensi tinggi dan dapat

bermanfaat pula bila dikombinasikan dengan terapi perilaku. MAOIs merupakan obat yang

efektif namun jarang digunakan karena relatif toksik dan pembatasan makanan. TCAs dan β-

bloker biasanya digunakan dalam praktek klinik walaupun belum ada bukti yang mendukung.

Gabapentin dan, mungkin juga, sodium divalproex merupakan pilihan yang layak untuk pasien

yang gagal dengan terapi konvensional.

• Dalam suatu penelitian plasebo-terkontrol double-blind, ditemukan bahwa paroxetin,

fluvoxamin, dan sertralin efektif digunakan untuk fobia sosial. Dari ketiganya, hanya paroxetin

yang dianjurkan oleh FDA untuk indikasi ini.

• Citalopram belum pernah diuji coba pada gangguan kecemasan sosial.

GANGGUAN OBSESIF-KOMPULSIF

• Diperkirakan sekitar 2% dari manusia menderita gangguan obsesif kompulsif (GOK).

• Obsesi adalah adanya pikiran, perasaan, ide, atau sensasi yang mengganggu dan rekuren,

sementara kompulsi adalah bentuk perilaku yang disadari, tindakan yang mendasar, serta timbul

berulang-ulang.

• Orang dengan gangguan ini mengenali reaksi mereka terhadap pikiran dan tindakan tersebut

bersifat irasional dan tidak sesuai.

• Pengenalan dan pemberian terapi awal untuk GOK seringkali tertunda.

• Hipotesis yang diterima secara umum bahwa GOK melibatkan regulasi fungsi serotonergik

yang abnormal (walaupun baik itu antidepresan serotonergik dan nonserotonergik efektif untuk

pengobatan depresi, hanya dari golongan serotonergik yang efektif untuk mengobati GOK).

• Fluoxetin, fluvoxamin, sertralin, dan paroxetin semuanya merupakan obat yang dianjurkan oleh

FDA untuk pengobatan GOK, dan pemberian dosis tinggi bisa saja diperlukan, seperti pada

fluoxetin 80 mg/hr.

• Dari golongan TCAs, clomipramin merupakan pilihan yang paling banyak digunakan dan

dianjurkan oleh FDA sebagai obat pilihan pertama untuk GOK. Penggunaannya dibatasi oleh

profil efek samping obat.

• Hasil pengobatan terbaik didapatkan dari kombinasi terapi farmakologik dan terapi perilaku.

GANGGUAN STRES POST TRAUMA

Page 21: Faktor Biopsikososial Doc

Halaman  21 dari 23 

 

• Gangguan stress pasca trauma (GSPT) terjadi akibat adanya pengalaman traumatik atau

merasakan kejadian traumatik yang terbayang kembali secara persisten, yang menyebabkan

penghindaran dari stimulus yang berhubungan dengan kejadian dan timbulnya peningkatan

gejala yang menetap.

• Penatalaksanaan GSPT membutuhkan waktu yang cukup dari dokter untuk mengungkapkan

latar belakang masalahnya.

• Pendidikan yang diberikan meliputi penjelasan kepada korban yang selamat dan keluarga

mereka mengenai asal dari GSPT dan respon mereka terhadap stress, sebaik mungkin

mendorong korban selamat tersebut (tidak menekan) untuk mendiskusikan pengalaman

traumatiknya dengan keluarga dan/atau temannya.

• Antidepresan seperti amitriptilin, imipramin, dan phenelzine, bermanfaat untuk pengobatan

GSPT. Juga, dari golongan SSRIs seperti fluoxetine dan sertralin biasanya bekerja cepat untuk

memodulasi dampak, memori, dan impuls pada GSPT, yang berfungsi baik itu untuk

perlindungan melawan intensitasnya yang berlebihan maupun mengendurkan hambatan yang

berlebihan.

• Laporan dari studi tak terkontrol dengan sampel yang kecil mendukung manfaat penggunaan

paroxetine, citalopram hidroklorida, trazodone hidroklorida, bupropion hidroklorida, dan

mirtazapine.

• Obat-obatan non-SSRIs dipertimbangkan sebagai obat pilihan kedua atau sebagai obat

tambahan, dan pemberian trazodon disarankan untuk penanganan insomnia pada GSPT.

GANGGUAN CEMAS MENYELURUH

• Gangguan cemas menyeluruh (GCM) ditandai oleh kecemasan yang berlebihan yang sulit untuk

dikendalikan dan berhubungan dengan gejala somatik, seperti otot tegang, mudah marah, susah

tidur, dan gelisah.

• Obat-obatan yang dianjurkan FDA untuk penatalaksanaan GCM meliputi benzodiazepine dan

buspirone.

• Walaupun tidak terdapat data terkontrol-baik, penggunaan benzodiazepine kerja lama bisa

menimbulkan toleransi, penyalahgunaan, dan ketergantungan.

• Buspirone efektif digunakan dalam pengobatan GCM dan menghindari kerugian akibat

benzodiazepine, tapi onset kerjanya lebih lambat – biasanya dalam 1 sampai 3 minggu.

• Penggunaan TCAs, SSRIs, trazodone, dan nefazodone telah dievaluasi pada GCM, namun data

yang ada masih sangat terbatas dan, pada beberapa studi, dapat memperberat depresi pasien.

Page 22: Faktor Biopsikososial Doc

Halaman  22 dari 23 

 

• Di antara beberapa antidepresan terbaru, hanya venlafaxine extended-release (XR) yang sangat

baik digunakan pada pasien GCM. Efikasi ansiolitik venlafaxine XR telah didemonstrasikan

dalam dua studi klinis dalam populasi yang ditentukan dari pasien dengan GCM tanpa disertai

depresi mayor.

PSIKOTERAPI UNTUK GANGGUAN KECEMASAN

• Prinsip psikoterapi untuk pasien dengan gangguan kecemasan sama halnya dengan pasien

depresi tetapi menempatkan perhatian yang lebih besar pada metode perilakunya.

• Prinsip penatalaksanaan kecemasan dengan nyeri hampir sama dalam arti bahwa praktisi

berfokus pada usaha membantu pasien belajar meniru keterampilan kognitif dan perilaku untuk

mencegah, menggugurkan, atau memperbaiki gejala.

• Pada gangguan panik, terapi kognitif menantang keyakinan pasien yang salah dan informasi

mengenai serangan panik yang timbul dan digunakan bersamaan dengan latihan pernafasan,

latihan relaksasi, dan paparan in vivo serta pencegahan respon.

• Pada pasien GOK, terapi perilaku dapat sama efektifnya dengan farmakoterapi dan dapat

memberikan efek manfaat jangka panjang. Prinsip pendekatan perilaku pada penderita GOK

adalah paparan dan pencegahan respon. Desensitisasi, thought stopping, pembanjiran dan

pembiasaan aversif juga dapat digunakan.

• Psikoterapi psikodinamik dapat berguna pada pasien dengan GSPT. Pada beberapa kasus

rekonstruksi ulang kejadian traumatik yang dilakukan bersamaan dengan abreaksi dan katarsis

dapat membantu pengobatan. Intervensi lain untuk GSPT dapat dilakukan seperti pada GCM:

terapi kognitif, terapi perilaku, dan hipnosis.

KESIMPULAN

• Nyeri mengaktifasi emosi, dan pada keadaan tertentu, emosi yang mengaktifasi nyeri; dengan

demikian, emosi dan nyeri merupakan fenomena yang tidak terpecahkan dari penyakit dan

gangguan nyeri kronik.

• Emosi dan nyeri masing-masing menghasilkan substrat neuroanatomik dan neurofisiologik.

• Penanganan emosional yang tidak sehat berespon terhadap nyeri dan konsekuensi nyeri yang

timbul merupakan tanggung jawab dokter ahli nyeri. Mengobati nyeri tanpa menangani

emosinya atau mengobati emosi tanpa penanganan nyerinya umumnya sia-sia, membuat pasien

justru menderita kronik dan klinisi menjadi frustasi kronik.

Page 23: Faktor Biopsikososial Doc

Halaman  23 dari 23 

 

• Dengan demikian, untuk menangani sebagian besar pasien dengan nyeri kronik secara efektif,

klinisi harus mengenali, mendiagnosis, dan mengobati komorbiditas umumnya, seperti depresi

yang tidak berkomplikasi.

• Oleh karena prevalensi komorbid depresi dan kecemasan, akses yang mudah kepada ahli

kesehatan mental dengan pengalaman mengobati nyeri dan komorbiditasnya bersifat penting

demi keberhasilan penanganan nyeri kronik.

• Dokter harus dapat meyakinkan pasien bahwa keadaan seperti itu umum dijumpai dan

diharapkan dalam pengobatan nyeri, dan pasien harus pula memahami bahwa hal tersebut

penting demi keberhasilan pengobatan nyerinya.

• Pada kasus komorbiditas, dokter sebaiknya mengkomunikasikan kesediaan pasien menjalani

follow up gejala emosi dan fungsi psikososialnya dengan ketertarikan yang sama dengan yang

ditunjukkan dari hasil perawatan menyangkut gejala nyerinya.

• Dokter sebaiknya mengajarkan pasien tanpa komorbiditas mengenai frekuensi komorbiditas dan

sampaikan kepada pasien tersebut agar melaporkan adanya serangan depresi atau kecemasan

sesegera mungkin.

• Oleh karena banyaknya strategi farmasetikal dan psikoterapi yang ada dengan dasar yang kuat

dari dukungan penelitian, dokter harus mampu menentukan dengan percaya diri dalam

mencapai respon dan tujuan yang realistis demi tercapainya remisi depresi serta kontrol yang

efektif terhadap berbagai gejala kecemasan dan gangguannya.