Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ETIKA MINANGKABAU
(TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO SAJARANGAN)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Dyan Chlaudina
NIM: 11150331000054
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M/1442 H
ii
Etika Minangkabau
(Telaah Terhadap Tungku Tigo Sajarangan)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Dyan Chlaudina
NIM: 11150331000054
Dosen Pembimbing
Rosmaria Sjafariah Widjajanti, S.S., M.Si.
NIP. 19710409 199803 2 003
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M/1442 H
iii
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
ETIKA MINANGKABAU
(TELAAH TERHADAP TUNGKU TIGO SAJARANGAN)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Dyan Chlaudina
NIM: 11150331000054
Dosen Pembimbing
Rosmaria Sjafariah Widjajanti, S.S., M.Si.
NIP. 19710409 199803 2 003
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M/1442 H
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Surat Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta No: 507 Tahun
2017 tentang Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
1. Huruf Arab – Latin
No Huruf
Arab
Huruf
Latin
Keterangan
Tidak dilambangkan ا .1
b be ب .2
t te ت .3
ts te dan es ث .4
j je ج .5
h h dengan garis bawah ح .6
kh ka dan ha خ .7
d de د .8
dz de dan zet ذ .9
r er ر .10
z zet ز .11
s es س .12
sy es dan ye ش .13
v
s es dengan garis di bawah ص .14
ḏ de dengan garis di bawah ض .15
t te dengan garis di bawah ط .16
z zet dengan garis di bawah ظ .17
koma terbalik di atas hadap kanan ع .18
gh ge dan ha غ .19
f ef ف .20
q ki ق .21
k ka ك .22
l el ل .23
m em م .24
n en ن .25
w we و .26
h ha ه .27
apostrof ˋ ء .28
y ye ي .29
2. Vokal
Vokal adalah bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri
dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk
vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
vi
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah
I Kasrah
U Dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i ا ي
au a dan u ا و
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas با
î i dengan topi di atas ب ي
û u dengan topi di atas ب و
vii
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan
dengan huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti
huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-
rijâl, al-dîwân bukan ad- diwân.
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydìd yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan sebuah tanda tasydìd ) ), dalam alih aksara ini
dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang
diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang
menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh
huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulis ad-ḏarûrah
melainkan al-ḏarûrah, demikian seterusnya.
6. Ta Marbūṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat
pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan
menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku
jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2).
Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka
huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh nomor 3).
viii
Contoh:
No. Kata Arab Alih Aksara
Ṯarîqah طريقة .1
al-Jâmi‘ah al-Islâmiyyah الجامعة الإسلامية .2
Wahdat al-wujûd وحدة الوجود .3
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf tidak dikenal, dalam
alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa
Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal
nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri
didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap
huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya.
Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi
bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat
diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak
miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu
ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya,
demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan
ix
meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Mislanya ditulis
Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbani; Nuruddin
al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’il), kata benda (ism), maupun huruf
(harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara
atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada
ketentuan-ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
dzahaba al-ustadzu ذهب الا ستا ذ
tsabata al-ajru ثبت الا جر
العصرية الحر كة al-harakah al-‘asriyyah
yu’atstsirukum Allah يؤثركم الله
x
ABSTRAK
Dyan Chlaudina
“Etika Minangkabau (Telaah terhadap Tungku Tigo Sajarangan)”
Tungku Tigo Sajarangan adalah sebuah etika kepemimpinan dalam nagari
yang ada di Minangkabau, Tungku Tigo Sajarangan terdiri dari Niniak Mamak,
Alim Ulama, dan Cadiak Pandai ini merupakan kepemimpinan informal pada
sistem kepemerintahan Sumatera Barat. Dalam menjalankan peran dan fungsinya
sebagai pemuka adat di dalam nagari serta pergolakan generasi yang semakin
berkembang pada zamannya saat ini, Tungku Tigo Sajarangan berusaha
mengupayakan, mempertahankan etika Minangkabau serta syarak kepada
masyarakat dan Anak Nagari yang akan dipakai dan dibawa sebagai pedoman
hidup masyarakat Minangkabau “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah,
syarak mangato, adat mamakai, alam takambang jadi guru, dan adat nan lazim
syarak nan kawi” yang dapat mewujudkan cita-cita nagari dan masyarakat.
Sehingga dari penelitian inilah diketahui bagaimana penerapan etika
Minangkabau pada Tungku Tigo Sajarangan.
Penelitian ini mengulas analisis penulis tentang etika Minangkabau dalam
telaahnya terhadap Tungku Tigo Sajarangan yang ada dan berkembang di
masyarakat Minangkabau. Penelitian ini menggunakan metode analisis-deskriptif,
dengan pendekatan filosofis dan perilaku sosial atau etika Minangkabau. Dalam
mendapatkan informasi serta menggali data penelitian ini menggunakan analisis
deskriptif, dan studi kepustakaan (library research). Data yang diperoleh
selanjutnya akan diolah secara kualitatif yang kemudian dijadikan acuan sebagai
hasil penelitian untuk mendeskripsikan hasil tersebut.
Kata Kunci: Etika Minangkabau, Tungku Tigo Sajarangan, Adat Basandi
Syarak-Syarak Basandi Kitabullah.
xi
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan
keridaan-Nya yang senantiasa memberikan penulis keberkahan, kekuatan, dan
kelapangan dalam setiap perjalanan hidup. Atas segala hal yang pasang surut dalam
perjalanan penulis sampai saat ini, untuk perjalanan hidup esok, dan hari nanti.
Selawat serta salam kepada baginda Nabi Muhammad SAW atas pedoman dan
jujungannya.
Pada kala yang terus berganti, sehingga penulis dapat menyelesaikan buah
dari jari-jari dan isi kepala; Skripsi, berjudul “Etika Minangkabau (Telaah terhadap
Tungku Tigo Sajarangan)” dengan bahagia dan sebaik-baiknya. Karya ilmiah yang
berbentuk skripsi ini disusun dan diajukan sebagai bagian dari tugas akhir dalam
menyudahi studi dan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Program
Studi Aqidah dan Filsafat Islam di Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, sangat disadari bahwa penulis banyak
menerima bimbingan, semangat dan solusi, dukungan dan bantuan serta kemudahan
dari berbagai pihak. Melalui lembaran khusus ini penulis menyampaikan apresiasi
dan penghormatan dengan terima kasih paling dalam kepada:
xii
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., Rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajaran Rektorat UIN Jakarta.
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, M.A., Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, serta Wakil Dekan I, Wakil Dekan II, Wakil
Dekan III Fakultas Ushuluddin.
3. Ibu Dra. Tien Rohmatin, M.A., dan Dra. Banun Binaningrum, M.Pd.,
selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam dan Wakil Ketua
Jurusan Aqidah Filsafat Islam yang senantiasa mendukung,
menyemangati dan memberi kemudahan untuk penulis dalam
menyelesaikan perkuliahan dan juga tentunya skripsi ini, serta
Khoiriyah, S.Ag., selaku kakak tingkat yang telah banyak menyokong
penulis dalam menyelesaikan hal yang berkaitan pemenuhan syarat
skripsi, juga selaku bagian Pengurus Internal Administrasi Jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak (Alm) Drs. Nanang Tahqiq, M.A., selaku Dosen Penasehat
Akademik penulis. Atas segala pelajaran dan hal baik dari Bapak,
semoga Bapak ditempatkan di sisi terbaik Allah, al-Fathihah.
5. Ibu Rosmaria Syafariyah Widjayanti, S.S., M.Si., selaku Dosen
Pembimbing Skripsi yang dengan sangat baik membimbing dan
mengarahkan penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. Kemudahan,
segala kebaikan, dan keberkahan menyertai Ibu.
xiii
6. Bapak Roswan Rio Utomo, M.A., terima kasih atas semangat,
kemudahan, serta do’a-do’a baik yang senantiasa diberikan kepada
penulis selama menyelesaikan skripsi ini, kemudian Bapak Toto Tohari,
S.Th.I, yang teruntuk penulis begitu berjasa dari masa kuliah, skripsi
sampai kini beliau sudah dipindahtugaskan ke institusi lain. Pak, terima
kasih, penulis sangat terkenang dan terkesan.
7. Dosen-dosen Aqidah dan Filsafat Islam, Ilmu Tasawuf UIN Jakarta, atas
pembaharuan ilmu yang selama ini diberikan dan menjalar yang
merupakan sebuah keberuntungan bagi penulis, serta Dosen-dosen yang
murah hati memberikan pengetahuan, semoga seluruh penghuni langit
memberkahi, Amin.
8. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A., selaku Guru Beasar Fakultas
Ushuluddin sekaligus “Bapak Akademis” penulis yang sangat berjasa
dalam pengelanaan pengetahuan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penghormatan dan terima kasih teruntuk Bapak yang senantiasa
menasehati, membimbing, menunjuki penulis kepada pribadi yang akan
terus berkembang ini, doa-doa baik selalu menyertai Bapak.
9. Uda Mursal Tanjung, S.Fil., M.S.I., yang telah melapangkan waktu dan
memberikan penguasaan berpikir kepada penulis untuk membantu,
membimbing jalannya skripsi, memberikan banyak pengetahuan
tentang Minangkabau yang sangat penulis gemari, serta memberikan
masukan-masukan hingga purnanya skripsi ini.
xiv
10. “Sepacketku” (Yunita Anggi, Nur Tiffany Ariana) atas apa-apa yang
menjadi ketidaksepakatan di bumi ini, semoga kita tetap sepaket atas
apa yang datang dan pergi. Awalia Nurkholisoh, “Roommate” penulis
saat ini yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini,
menyemangati, dan menemani penulis hingga saat ini dituliskan.
Semoga bahagia, kebaikan dan rasa syukur selalu menyertai hari-hari.
11. “HORE” teman-teman yang menjadi teman rupa-rupa; sewarna
#serukitabeda, “Nyinyir Syantik” (Iis Paujiah, Laraswati, Siti Zubaedah,
Sari Agustin) cerita-cerita, hal-hal bebal dan segalanya terus menjadi
genang di dalam kepala. “Gadih Minang AFI” (Rivani, Nurjannah)
Limpapeh rumah nan gadang, umbun puruak pagangan kunci.
“Keluarga HMJ AFI-IT” yang sedari penulis menjadi mahasiswa baru,
hingga sampai penulis berada dikesempatan terhormat, diamanahi.
Terima kasih atas kebersamaan, membantu penulis dalam perkuliahan
dan pendidikan keorganisasian, membagi semangat dalam masa
menjadi seorang mahasiswa, menjadi hikmat perjuangan di masanya.
12. Milea-ku, Aulia Ning Ma’rifati, S.Ag, (soon) M.Ag., yang telah menjadi
sosok Kakak “Dilanis” yang begitu menginspirasi, mengayomi penulis,
memberikan banyak hal-hal positif. Darinya penulis banyak belajar
bahwa anak perempuan pertama dari orang tua, seorang perempuan di
masyarakat bukan hanya tentang dapur dan tempat tidur, tapi juga isi
kepala; pengetahuan sebagai tolak ukur. Terima kasih, Lia-ku.
13. Teman-teman Aqidah Filsafat Islam 2015; Republik Filsafat (REFI).
Semoga apapun itu, yang terbaik untuk teman-teman. Terkenang.
xv
14. Keluarga Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Aqidah Filsafat Islam
dan Ilmu Tasawuf, Ikatan Mahasiswa Tarbiyah Islamiyah (IMTI),
Mahasiswa Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Paninggahan, Akar
Seni Ushuluddin (ASUS), Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) UIN
Jakarta, Lingkar Mahasiswa Filsafat se-Indonesia (LIMFISA), Keluarga
Mahasiswa Minang (KMM), Perkumpulan Gerakan Kebangsaan
(PGK), Ikatan Pemuda Pelajar Paninggahan (IPPP), Teras Inspirasi
Lembaga Kesejahteraan Sosial Berbasis Mahasiswa (LKS-Bmh).
Seluruh rekan-rekan aktivis organisasi, pegiat literasi dan sosial, teman-
teman selingkar dalam wadah dan ruang penulis berproses,
mengembangkan diri dan memperluas pengetahuan penulis.
15. Keluarga Rumah Belajar At-Ta’awun (RUMBEL) Griya Jakarta,
Pamulang. Kepada Bunda Nur’aini dan Ayah Syaiful Achzab, Kakak-
kakak guru sebagai orang tua dan saudara penulis di tanah rantau, terima
kasih atas seluruh kebaikan, kasih sayang, serta keikhlasan yang
diberikan pada penulis selama ini.
16. Kepada Tuan Ahmad Nubli, S.H., adalah do’a paling pagi untuk
keselamatan, kemudahan, dan cita yang terus tumbuh. Terima kasih
untuk segala yang ada-ada saja di bumi ini; pengajaran, perlindungan,
penghormatan, penguatan, dan perjalanan harapan yang senantiasa
ditempuh dengan syukur. Pada separuh yang merumah kepada seluruh;
teruslah bertumbuh. Tuhan, seluruh penghuni langit dan bumi
senantiasa meng-Aamiin-i.
xvi
17. Adik-adik penulis, KHAIRA’s: Muhammad Jihan Dwikilana (Abang),
Kheisya Armiagustyra (Tehnca), Arsyilla Chaerina Almahyra (Dedek).
Terima kasih menjadi adik-adik Maryam yang begitu baik,
menenangkan, pengertian, menyenangkan, sangat membanggakan.
Cinta dan kasih untukmu. Semoga kita selalu punya banyak waktu untuk
menemani Appa dan Amma, membanggakannya serta memuliakan
mereka di sepanjang hidupnya yang tidak akan pernah ada habisnya
dalam hidup kami, kami yang hidup di hidupnya.
18. Teruntuk tempat berpulang penulis; kedua orang tua.
Amma-ndutku Iklina Sahra, Appa Khairul. Ma, Pa terima kasih atas
segala cinta, kasih, dan hidup yang tidak dapat terbalas, kepadamu
seluruh Aku yang tak terbatas. Teruntuk sebatang tubuh dan kedua
tangan yang terjaga dalam 5 waktu menemani pasang surutku,
menguatkan do’a-do’aku, menjaga seluruh cara kerja semesta
“Allaahummaghfirli dzunuubi wa liwaalidayya warhamhumaa, kamaa
rabbayaani saghiiraa. Aamiin”. Maryam-mu begitu mencintaimu,
adalah Aku yang paling diam dalam mencintaimu. Seluruh muaraku
adalah Amma Appa, seluruh yang tidak pernah Aku ucapkan sampai ia
menjadi kalimat paling sedu dalam do’a-do’aku. Terakhir, kepada
Almarhumah. Bainan, Makwo; Nenek yang terlebih dahulu pergi
sebelum Aku kembali datang menemuinya, semoga Makwo diberikan
tempat terbaik di Sisi-Nya, kami merindukanmu. al-Fatihah.
xvii
Terima kasih dan syukur kepada semua pihak, untuk semua yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu kembali, seluruh apa yang penulis terima semoga
menjadi hal-hal baik untuk seluruhnya, semoga Allah SWT senantiasa melindungi,
memudahkan dan menjadikan kita pengabdi yang semakin baik. Aamiin.
Depok, 31 Juli 2021
22 Zulhijah 1442 H
Dyan Chlaudina
xviii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................ iv
ABSTRAK ................................................................................................ x
KATA PENGANTAR ............................................................................ xi
DAFTAR ISI ....................................................................................... xviii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................ 9
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 10
D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 10
E. Landasan Teori ................................................................................... 11
F. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 13
xix
G. Metode Penelitian ............................................................................... 15
1. Jenis Penelitian ............................................................................... 15
2. Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 15
3. Teknik Pengolahan dan Analisis Data............................................ 19
4. Teknik Penulisan ........................................................................... 19
H. Sistematika Penulisan ......................................................................... 19
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG ETIKA
MINANGKABAU
A. Definisi Etika ................................................................................. 21
B. Sekilas Tentang Minangkabau ....................................................... 22
C. Etika Minangkabau ........................................................................ 26
D. Bentuk-bentuk Etika Minangkabau ............................................... 43
1. Adat Nan Sabana Adat (Etika yang Sebenarnya) ..................... 43
2. Adat Nan Diadatkan (Etika Nenek Moyang) ............................. 51
3. Adat Nan Taradat (Etika Hasil Musyawarah)............................ 54
4. Adat Istiadat (Etika Kaum/Nagari) ............................................ 57
xx
BAB III GAMBARAN TENTANG TUNGKU TIGO SAJARANGAN
A. Definisi Tungku Tigo Sajarangan ................................................. 62
B. Sejarah Tungku Tigo Sajarangan di Minangkabau ....................... 63
C. Kedudukan Tungku Tigo Sajarangan ............................................ 68
D. Tungku Tigo Sajarangan sebagai Badan Musyawarah Adat,
Syarak, dan Ilmu Pengetahuan di Minangkabau ........................... 75
E. Sistem Tungku Tigo Sajarangan .................................................... 79
F. Bentuk- bentuk, Pengaruh, dan Perkembangan Tungku Tigo
Sajarangan dalam Masyarakat ...................................................... 86
1. Ninik Mamak ............................................................................. 74
2. Alim Ulama................................................................................ 76
3. Cadiak Pandai ............................................................................ 78
xxi
BAB IV HASIL TELAAH ETIKA TUNGKU TIGO SAJARANGAN
MINANGKABAU
A. Telaah Etika Tungku Tigo Sajarangan .......................................... 91
B. Telaah Etika Niniak Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai ......... 106
1. Niniak Mamak ......................................................................... 106
2. Alim Ulama.............................................................................. 109
3. Cadiak Pandai .......................................................................... 115
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 119
B. Saran ........................................................................................ 120
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 121
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia memiliki banyak suku dan bangsa. Masing-
masingnya juga memiliki adat serta budaya yang telah menjadi
kekayaan dan kebanggaan masyarakat. Dari sekian banyaknya daerah di
Indonesia yang memiliki ragam adat dan budaya, salah satunya ada di
Minangkabau. Daerah yang memiliki keunikan, ciri khas dan memiliki
daya tarik tersendiri. Filosofi hidup yang tergambar dari pepatah
Minangkabau “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” yang
artinya “adat bersandarkan kepada syariat (agama), syariat bersandarkan
kepada kitab Allah (Al-qur’an) menjadi pedoman yang kuat bagi
masyarakat Minangkabau dalam menjalankan kehidupan sehari-hari
yang sesuai dengan syariat agama Islam yang merupakan rahmatan lil
alamin.1
Kepemimpinan dalam masyarakat Minangkabau tidak terkotak-
kotak hanya dalam satu kesukuan atau dalam strata tertentu, tetapi
berbentuk sebuah etika kepemimpinan nagari yang disebut dengan
Tungku Tigo Sajarangan. Salah satu unsur dari sistem ini adalah
1 Ridwan Maronrong, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah: Filosofi
Hidup Orang Minangkabau, (Jakarta, STIE Indonesia Jakarta, 2014), h. xi.
2
orang yang diharapkan menghasilkan kajian ilmiah atau pemikiran yang
bermanfaat di wilayah budaya Minangkabau yang nantinya akan dipakai
pula oleh masyarakat Minangkabau dalam setiap generasinya, sebagai
sebuah pengetahuan yang mengokohkan penerapan adat. Kelompok ini
disebut sebagai urang cadiak pandai atau cendikiawan, yang merupakan
satu dari tiga elemen institusi kepemimpinan Tungku Tigo Sajarangan
tersebut.
Di Minangkabau, Tungku Tigo Sajarangan ini bukanlah sesuatu
yang baru karena sejak dulu wilayah Minangkabau sudah terbiasa
dengan keterwakilan dan permusyawaratan. Tungku Tigo Sajarangan ini
berisikan tiga unsur utama yang tidak mempunyai kekuasaan secara
mutlak. Minangkabau sendiri hanyalah kesatuan adat dan budaya yang
menurut sebagian kalangan tidak terkait sama sekali dengan teritorial
kerajaan.2
Masyarakat Minangkabau memiliki tiga kekuatan yang bersinergi
dan saling menguatkan dalam membentuk kekuatan antara Tungku Tigo
Sajarangan, dan ketiga kekuatan ini merupakan gabungan
kepemimpinan adat, agama, dan ilmu pengetahuan dalam penerapannya
terhadap anak-anak nagari atau masyarakat Minangkabau.
Kepemimpinan ini adalah sebuah perpaduan yang indah dari tiga unsur
2 Saafroedin Bahar, “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah: Filosofi
Hidup untuk Dipraktikkan Bukan Sekedar Konsep” dalam Musril Zahari, Kekeliruan
Pemahaman Hubungan Adat dengan Syara di Minangkabau, (Jakarta: Gria Media, 2015),
h. xvii.
3
keahlian masing-masing dalam satu wadah yang disebut dengan Tungku
Tigo Sajarangan dalam kepemimpinan masyarakat Minangkabau.3
Corak kepemimpinan Minangkabau yang demokratis tercermin dari
permusyawaratan sebagai pegangan bersama. Banyak tugas, fungsi,
serta peran pemimpin Tungku Tigo Sajarangan yang merupakan sinergi
tiga kekuatan dalam sistem kepemimpinan di Minangkabau ini, setiap
masing-masingnya haruslah memiliki kemampuan untuk mengajari anak
nagari bajalan luruih, bakato bana, tahu jo raso pareso dengan
berpedoman pada al-Qur’an dan Hadis.
Mereka harus menjadi agen of change yang dapat mengokohkan
adat dan menjadi teladan dalam masyarakat sehingga jabatan mereka
nantinya dapat diturunkan kepada generasi berikutnya, karena kualitas
pribadi sebagai orang yang memiliki keteladanan serta pengetahuan adat
tersebut dapat sesuai dengan filosofi hidup “adat basandi syarak dan
syarak basandi kitabullah, syarak mangato adat mamakai, alam
takambang jadi guru, dan syarak nan kawi adat nan lazim”.4
Dengan adanya sistem kepemimpinan di Minangkabau yang baik,
perubahan zaman dan globalisasi pun tidak lepas menghampiri dengan
begitu cepat yang turut memberi dampak bagi masyarakat, perubahan
norma-norma sosial secara lansung disadari atau tidaknya memberikan
hasil baru bagi masyarakat di zaman ini, semisal orang-orang yang
3 Ridwan Maronrong, ABS-SBK: Filosofi Hidup Orang Minangkabau, h.12. 4 Bahar, “ABS-SBK: Filosofi Hidup untuk Dipraktikkan Bukan Sekedar Konsep”,
h. xxi.
4
ramai mengemukakan beraneka argumentasi mulai dari demokrasi,
emansipasi wanita, globalisasi, humanisme, pelanggaran norma hukum,
dan modernisme yang arahnya tidak lain adalah mengganti “cupak
usali” dengan cupak impor yang berteknologi tinggi. Mereka mengganti
saluang, talempong, dan rabab5 dengan orgen tunggal yang dapat
dimainkan oleh satu orang dengan berbagai bunyi instrumen serta
penyanyi yang sedemikian rupa. Perubahan-perubahan nilai dan fungsi
dalam sistem kepemimpinan ini pun menjadi salah satu perhatian dan
tolak ukur perkembangan budaya dan adat Minangkabau pada generasi
berikutnya.6 Adat dan budaya yang dipraktikkan oleh masyarakat
Minangkabau tersebut telah memunculkan sifat atau karakter yang
sangat kental dengan kesetaraan, kepemimpinan yang demokratis, dan
sentrifugal. Adat dan budaya Minangkabau ini seringkali disebut
sebagai antitesis dari kebudayaan yang bersifat foedal7 dan sinkretik.
Adat dan budaya Minangkabau yang menganut sistem kekerabatan
berbeda yaitu sistem kekerabatan matrilineal atau sistem kekerabatan
dalam suku bangsa/ etnis yang diambil dari garis keturunan Ibu.8
5 Saluang, Talempong, Rabab merupakan alat musik atau kesenian tradisional
yang berasal dari daerah Minangkabau. 6 Bahar, “ABS-SBK: Filosofi Hidup untuk Dipraktikkan Bukan Sekedar Konsep”,
.h. xx. 7 Foedal atau Foedalisme adalah struktur pendelagasian kekuasaan sosiopolitik
(sosial politik) yang dijalankanoleh kalangan bangsawan atau monarki untuk
mengendalikan berbagai wilayah yang diklaimnya melalui kerja sama dengan pemimpin-
pemimpin lokal sebagai mitra atau rekan kekuasaan.
8 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syara di
Minangkabau, (Jakarta: PT Gria Media Prima, 2015), h. 2-3.
5
Kepemimpinan dalam Nagari ini merupakan sistem yang berada
sebagai bentuk pemerintahan terendah di Sumatera Barat, secara
bersama-sama memimpin masyarakat sesuai dengan kompetensi
masing-masing. Dalam menjalakan tugas pun masing-masing unsur
kepemimpinan tersebut memiliki tugas pokok dan fungsi tertentu.
Namun, kadangkala sulit untuk membedakan ketiga unsur tersebut
dalam diri seseorang pemimpin karena fungsi ganda yang seringkali
dipakai oleh masing-masing unsur kepemimpinan tersebut.9
Perkembangan dinamika masyarakat serta kemajuan ilmu
pengetahuan saat ini menuntut adanya pemaknaan ulang terhadap
konsep Tungku Tigo Sajarangan dalam kepemimpinan yang
menghendaki adanya integrasi dan persenyawaan nilai-nilai adat dan
kebudayaan yang seharusnya ada dalam diri seorang pemimpin atau
pemuka masyarakat di Minangkabau, baik kompetensi intelegensi,
emosional, dan spiritual. Ketiga bentuk kompetensi tersebut sering
dipahami secara terpisah oleh masyarakat melalui tiga sosok dari
Tungku Tigo Sajarangan yang berbeda. Sebagaimana halnya
pemahaman terhadap suatu agama yang dipisahkan antara aspek
perbuatan fisik atau perilaku dengan penghayatan nilai-nilai agama
secara ruhaniah. Sebab, apabila diteruskan pemisahan kompetensi antara
tokoh satu dengan yang lainnya, maka dapat terjadi konflik ideologi
9 Febri Yulika, Epistimologi Minangkabau; Makna Pengetahuan dalam Filsafat
Adat Minangkabau, (Padang Panjang: LPPMPP ISI Padang Panjang, 2017), h. 150.
6
yang mengakibatkan bukan penyelesaian masalah yang didapatkan,
tetapi justru perpecahan di antara tokoh-tokoh masyarakat.10
Landasan falsafah hidup “Alam Takambang Jadi Guru, Dima Bumi
Dipijak, Disinan Langik Dijunjuang”11 membuat masyarakat
Minangkabau mempunyai prinsip “menjadi orang” di mana pun berada;
di ranah ataupun di rantau. Di ranah Minangkabau prinsip tersebut
dikategorikan menjadi prinsip sudah baku dalam kepemimpinan dan
bermasyarakat. Namun, di rantau pengkategorian ini kelihatannya tidak
terstruktur, terfungsikan, dan teroganisir seperti yang ada di ranah.
Mereka lebih mentingkan persoalan dan kepentingan pribadi atau lebih
kuat kepada nafsi-nafsi, maju sendiri-sendiri melupakan peran dan tugas
pokok sebagai pemimpin yang ditauladani oleh masyarakat padahal
orang utama nomor satu adalah mereka.12 Seorang pemimpin di
Minangkabau dinyatakan sebagai urang nan didahulukan salangkah,
ditinggikan sarantiang, gadang karano diumbuak dan tinggi karano
dijunjuang, bakato baiyo, pai bamolah.13
Nilai-nilai adat Minangkabau didasarkan pada keserasian ajaran
Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK), namun
sukar dibantah bahwa masih terdapat berbagai masalah kongkret yang
10 Febri Yulika, Epistimologi Minangkabau; Makna Pengetahuan dalam Filsafat
Adat Minangkabau, h. 152-153. 11 Idrus Hakimy, 1000 Pepatah Petitih, Mamang, Bidal Pantun, Gurindam,
(Bandung: Remadja Rosdakarya, 1988), h. 24. 12 Yulika, Epistimologi Minangkabau, h. 9-10. 13 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat Dengan Syarak Di
Minangkabau, h. 1.
7
terjadi dalam pelaksanaannya sehari-hari khususnya tentang hubungan
kekerabatan, sistem kepemimpinan, kesimpangan fungsi dan peran
pemimpin kaum di masyarakat dengan adanya berbagai perbedaan
tafsiran tentang keserasian norma dengan nilai.14
Dewasa ini terdapat pertanyaan-pertanyaan tentang pengaruh dan
keterhubungan nilai-nilai adat yang ada di Minangkabau dalam
penerapannya terhadap sistem kepemimpinan masyarakat nagari,
pertanyaan-pertanyaan seputar bagaiman pertahanan jati diri orang
Minangkabau dalam berkehidupan, terutama faktor yang berkembang
dari luar yang menyebabkan masyarakat Minangkabau kehilangan jati
diri, peran dan makna terdalam dari budayanya. Perubahan sosial dalam
masyarakat Minangkabau menyebabkan semakin menyusutnya peranan
kaum dan suku, serta peranan pemimpin masyarakat dalam nagari,
kaum atau secara garis besar sebagai pemimpin.
Pemimpin dalam Tungku Tigo Sajarangan yang semakin waktu
mengalami kemerosotan fungsi dan peran dalam nilai-nilai adat yang
seharusnya menjadi perhatian penting bagi masyarakat, sebab konsep
kepemimpinan itulah yang menjadi landasan kokohnya adat dalam
nagari dan masyarakat di Minangkabau. Namun demikian terdapat
kesenjangan-kesenjangan antara harapan dengan kenyataan yang terjadi
dalam sosok pemuka masyarakat, perubahan sosial terhadap nilai yang
14 Febri Yulika, Epistimologi Minangkabau Minangkabau; Makna Pengetahuan
dalam Filsafat Adat Minangkabau, h.15.
8
berkembang dalam adat serta pergeseran-pergeseran tugas dan fungsi
dimulai dari pepatah petitih yang tidak lagi berlaku dalam realitasnya.
Untuk menyejahterakan masyarakat, para tokoh serta pemimpin
lainnya berusaha menciptakan berbagai sistem pengaturan yang cocok
untuk kelompok masyarakatnya. Demikian juga dalam tata kehidupan
masyarakat Minangkabau, para tokoh dan pemimpin memberlakukan
pengaturan yang didasarkan pada ikatan kekeluargaan dengan Tungku
Tigo Sajarangan tersebut untuk kemudian dipraktikkan dengan berbagai
variasinya dari zaman dahulu, di ranah maupun di rantau.15 Namun,
apakah Tungku Tigo Sajarangan ini dapat bertahan dalam menghadapi
berbagai tantangan era globalisasi dan westernisasi yang sekarang
dengan mudah masuk dan berkembang dalam masyarakat. Sedang
dalam realitasnya sekarang ini, kepemimpinan Tungku Tigo Sajarangan
mengalami ketimpangan fungsi serta peran terhadap nilai-nilai adat
yang seharusnya berlaku pada pemimpin atau pemuka masyarakat di
Minangkabau, berkembangnya pemikiran terhadap keterkaitan nilai adat
yang mengatur kepemimpinan, apakah masih terpakai pada masa
sekarang ini.
Pemaknaan etika Minangkabau dalam penerapan dan telaah
terhadap Tungku Tigo Sajarangan menjadi titik sentral kondisi
masyarakat Minangkabau dalam beberapa aspek kehidupan, serta
15 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat Dengan Syarak Di
Minangkabau, h. 164.
9
perkembangan pemahaman etika Minangkabau untuk masyarakat pada
realitasnya menggambarkan bagaimana bentuk etika Minangkabau dan
telaahnya pada Tungku Tigo Sajarangan berlaku di Minangkabau. Oleh
karena itu maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih jauh
dan mendalam terkait “Etika Minangkabau (Telaah terhadap
Tungku Tigo Sajarangan.”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap masalah yang
terkandung dalam judul skripsi ini, mengingat begitu banyak bahasan
terkait dengan etika Minangkabau dan Tungku Tigo Sajarangan. Maka,
penulis membatasi ruang lingkup masalah, yaitu dengan mengkaji etika
Minangkabau dan Tungku Tigo Sajarangan dalam masyarakat di
Minagkabau yang berada di salah satu tempat atau Nagari. Agar tidak
melebar, maka pembahasan ini perlu dibatasi serta difokuskan kepada
telaah penulis tentang seperti apakah etika Minangkabau dan Tungku
Tigo Sajarangan terhadap perkembangan fenomena masyarakat
memahami etika Minangkabau tersebut.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka
yang akan menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini adalah:
1. Seperti apakah konsep Etika Tungku Tigo Sajarangan di
Minangkabau?
10
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui seperti apakah konsep etika Minangkabau
dan telaahnya terhadap Tungku Tigo Sajarangan.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan dari tujuan penelitian di atas, maka penulis berharap
penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut, di antaranya:
1. Secara akademis. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan
pengetahuan tentang seperti apakah konsep etika Minangkabau
dalam kepemimpinan Tungku Tigo Sajarangan yang berlaku di
Minangkabau, tentang pemahaman etika bagi masyarakat yang
ada di Minangkabau yang mengatur kehidupan masyarakat.
Penelitian ini juga diharapkan mampu menambah referensi
daftar pustaka di Jurusan Aqidah Filsafat Islam, Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta terhadap kajian yang berkaitan dengan Tungku Tigo
Sajarangan, konsep etika Minangkabau terkhusunya dalam
pembahasan kepemimpinan Tungku Tigo Sajarangan, serta
dapat menjadi bahan rujukan terhadap perkembangan keilmuan
tentang etika yang ada di Minangkabau dalam penelitian
lainnya.
11
2. Secara praktis, hasil dari penelitian ini dapat memberikan
kontribusi keilmuan yang berkembang dalam masyarakat
terkhusunya bagi masyarakat Minangkabau.
E. Landasan Teori
Landasan teori ini membantu penulis dalam menentukan tujuan,
arah penelitian dan dasar penelitian, agar langkah dalam kepenulisan
selanjutnya jelas dan konsisten. Teori merupakan serangkaian asumsi,
konsep, definisi, dan proporsi untuk menerangkan suatu fenomena sosial
secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep,
untuk itu diperlukan teori-teori yang berkaitan dengan penulisan ini
sebagai berikut:
Menurut Dr. Febri Yulika, S. Ag., M. Hum dalam buku yang
berjudul “Epistimologi Minangkabau: Makna Pengetahuan dalam
Filsafat Adat Minangkabau” menjelaskan bahwa konsep Tungku Tigo
Sajarangan merupakan interpretasi dari konsep Rajo Tigo Selo yaitu
Raja Alam, Raja Ibadat, dan Raja Adat. Konsep inilah yang kemudian
dipakai oleh pemerintah Belanda dan diterapkan hingga saat ini dalam
sistem kelola pemerintahan, termasuk dalam pemerintahan nagari
sebagai bentuk sistem pemerintahan terendah di Sumatera Barat.
Berdasarkan hal tersebut, maka Tungku Tigo Sajarangan disebut
sebagai cupak buatan (hasil musyawarah dan kesepakatan para
pemimpin pada masa tertentu) dan urang Ampek Jinih disebut sebagai
12
cupak usali (ketentuan yang didasarkan pada falsafah alam takambang
jadi guru dan telah diterima dari nenek moyang dahulunya).
Menurut Yuzirwan Dt. Gadjah Tongga. Pada saat ini sosok
pemimpin yang memiliki kompetensi tidak lagi terlihat karena lebih
menonjolnya kompetensi keilmuan dibandingkan yang lainnya.
Rasionalitas lebih terasah daripada emosionalitas dan spiritualitas,
sehingga sukar untuk mencari sosok yang seimbang. Sebaliknya,
sebagian pemuka adat atau seorang pemimpin hanya mengasah diri
dalam pengetahuan adat, hafal pepatah petitih tetapi tidak tahu dengan
agama dan sukar mengomunikasikan pikirannya dengan orang lain.
Seharusnya seorang pemimpin harus mampu menganalisa,
berkomunikasi, dan berdasarkan pada nilai-nilai adat serta agama.
Dari berbagai teori yang dikemukakan di atas, penulis mengacu
pada pembahasan bagaimana konsep Tungku Tigo Sajarangan di
Minangkabau khususnya terhadapan etika Minangkabau dalam
masyarakat. Serta bagaimana Tungku Tigo Sajarangan ini diterapkan
dalam mempertahankan etika alam Minangkabau, kelanjutan pengajaran
adat dalam pembentukan karakteristik anak-anak nagari dan masyarakat
Minangkabau yang sesuai dengan falsafah adat dan hidup orang
Minangkabau. Hal tersebut menjadi titik berat penulis dalam
merumuskan hubungan teori terhadap penelitian.
13
F. Tinjauan Pustaka
Dalam penulisan ini, sebelum mengadakan penelitian lebih lanjut
dan menyusun menjadi sebuah karya ilmiah berupa skripsi, maka
penulis telah mengkaji beberapa karya ilmiah dalam bentuk skripsi,
thesis, disertasi, jurnal dan artikel yang mempunyai konsep pembahasan
seputar kepemimpinan di Minangkabau, hal-hal yang berkaitan dengan
pembahasan atau judul skripsi ini.
Dalam dunia akademis, ditemukan beberapa karya yang berkaitan
dengan permasalahan etika Minangkabau, pembahasan yang
berhubungan dengan khususnya konsep Tungku Tigo Sajarangan, dan
pembahasan tentang peranan serta pengaruh adanya kepemimpinan
Tungku Tigo Sajarangan di Minangkabau.
Berikut ini ada beberapa tulisan serta karya ilmiah yang ditemukan
penulis, membahas tentang etika Minangkabau dan telaah Tungku Tigo
Sajarangan serta tulisan-tulisan yangb berkaitan dengan penelitian
penulis, yaitu:
Pertama, skripsi yang ditulis oleh Refdiana dengan judul
“Pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Pemerintahan Nagari dengan
Diberlakukannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Desa
(Studi Kasus di Nagari Sicincin, Kecamatan 2X11 Enam Lingkung,
Kabupaten Padang Pariaman, Propinsi Sumatera Barat)”, diterbitkan
oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2017.
14
Kedua, skripsi yang ditulis oleh Triana Trisnawati dengan judul
“Peran Tungku Tigo Sajarangan dalam Penyelesaian Sengketa Tanah
Ulayat di Nagari Salareh Aia Kabupaten Agam” yang dterbitkan oleh
Universitas Andalas, 2016.
Ketiga, Tesis yang ditulis oleh Ramli Putra dengan judul
“Peranan Tungku Tigo Sajarangan dalam Pembangunan Masyarakat
Nagari (Studi Kasus Nagari Pilubang Kabupaten Padang Pariaman)”
yang diterbitkan oleh Institut Teknologi Bandung, 2008.
Keempat, Jurnal yang ditulis oleh Ahmad Kosasih dengan judul
“Upaya Penerapan Nilai-nilai Adat dan Syarak Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Nagari” yang diterbitkan oleh
Universitas Negeri Padang, 2013.
Kelima, Artikel yang ditulis oleh Reza Putra dengan judul “Upaya
Ninik Mamak dalam Mengatasi Perjudian (Studi Kasus Di Nagari
Layang Kecamatan Rao Selatan Kabupaten Pasaman)” yang diterbitkan
oleh Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI
Sumatera Barat, 2015.
Dari tinjauan pustaka di atas, penulis tidak menemukan kesamaan
isi skripsi atau tulisan karya ilmiah, dan dari tulisan-tulisan tersebut
Penulis juga tidak menemukan tulisan yang secara khusus menganalisis
tentang etika Minangkabau dan konsep Tungku Tigo Sajarangan,
sehingga penulis berfikir untuk mengangkat tema Etika Minangkabau
telaah terhadap Tungku Tigo Sajarangan tersebut dalam penelitian ini.
15
G. Metode Penelitian
Metode adalah cara yang tepat dan utama yang digunakan untuk
mencapai tujuan. Metode ini meliputi seluruh perjalanan dan
perkembangan peengetahuan, seluruh rangkaian dari permulaan sampai
kesimpulan ilmiah, baik untuk bagian khusus maupun untuk seluruh
bidang atau objek penelitian.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai ini merupakan penelitian
pustaka (liberary research), yaitu penelitian dengan
mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan permasalahan
yang dibahas, bersumber dari buku-buku serta karya tulis ilmiah
lainnya.
Metode yang digunakan penulis adalah metode kualitatif
deskriptif, metode ini termasuk jenis penelitian teks dengan
mengumpulkan data, menganalisa, lalu menjabarkannya
menjadi pembahasan dalam skripsi yang ditulis.
2. Teknik Pengumpulan Data
1) Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis
adalah teknik studi literatur. Teknik pengumpulan data
ini, pada dasarnya merupakan pengumpulan data
kepustakaan atau metode kepustakaan.
16
Oleh karena itu, teknik pengumpulan data ini ditempuh
dengan penelitian kepustakaan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
Pertama, mengumpulkan buku-buku yang berkaitan
dengan etika Minangkabau, serta mengumpulkan buku-
buku yang membahas tentang Tungku Tigo Sajarangan di
Minangkabau.
Kedua, mengumpulkan buku-buku yang membahas
tentang konsep Tungku Tigo Sajarangan di Minangkabau
dalam pengaruh dan perannya dalam perkembangan
msayarakat Minangkabau.
Berdasarkan teknik pengumpulan data di atas, penulis
mendapatkan sumber data yang digunakan dalam penelitian dan
pembahasan, lalu mengelompokkannya menjadi dua bagian yaitu
sumber data primer dan sekunder.
a. Sumber Primer
Sumber data primer yang dipakai penulis adalah
buku yang ditulis oleh Ibrahim Dt. Sanggouno Diradjo
yang berjudul “Tambo Alam Minangkabau: Tatanan
Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang”,
(Sumatera Barat: Kristal Multimedia Penerbit Buku
17
Alam Minangkabau, 2009). Buku terbitan Gebu Minang
yang berjudul “Pedoman Pengamalan Adat Basandi
Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Syarak Mangato
Adat Mamakai, Alam Takambang Jadi Guru.”, (Jakarta:
Penerbit Gebu Minang, 2011).
b. Sumber Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data
pendukung yang diperoleh dari buku-buku karangan
para pakar yang ahli dalam ilmu pengetahuan dan adat
Minangkabau khususnya, antara lain seperti: buku yang
ditulis oleh H. Datoek Toeah yang berjudul Tambo Alam
Minangkabau, buku yang ditulis oleh Febri Yulika
dengan judul Epistimologi Minangkabau: Makna
Pengetahuan dalam Filsafat Adat Minangkabau, buku
yang ditulis oleh Muhammad Jamil dengan judul Hiduik
Baradaek: Inilah Karakter Pendidikan dan Budi Pekerti
Orang Minang, buku yang ditulis oleh Mas’oed Abidin
dengan judul Ensiklopedi Minangkabau, buku karangan
MS. Amir dengan judul Adat Minangkabau; Pola dan
Tujuan Hidup Orang Minang, buku karangan Julius Dt.
Malako Nan Putiah dengan judul Mambangkik Batang
Nan Tarandam: Dalam Upaya Melestarikan Adat
Minangkabau Menghadapi Modernisasi Kehidupan
18
Bangsa, buku karangan H.B. Saanin Dt. Tanpariaman
dengan judul Kepribadian Orang Minangkabau: dalam
kepribadian dan Perubahan, buku karangan H. Idrus
Hakimy Dt. Rajo Penghulu dengan judul 1000 Pepatah
Petitih, Mamang, Bidal Pantun, Gurindam, buku
karangan Hamka yang berjudul Islam dan Adat
Minangkabau, buku karangan Saafroedin Bahar dan
Muhammad Zulfan Tadjoeddin dengan judul Masih Ada
Harapan (Posisi sebuah etnik minoritas dalam hidup
berbangsa dan bernegara), serta banyak sumber-sumber
lainnya yang juga menunjang kepenulisan dan penelitian
ini.
c. Sumber dan Data-data Penunjang Lainnya
Sumber serta data penunjang yang dipakai oleh
penulis yaitu data-data yang bersumber dari jurnal,
bahan penelitian, tesis dan disertasi, artikel, hasil
wawancara dan sumber-sumber lain yang berkaitan
dengan masalah penelitian.
19
3. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Teknik pengolahan dan analisis data adalah sebuah
proses pengelolahan data, mereduksi data, dan menyusun
data yang sudah terkumpul oleh penulis dalam
menganalisis data ini. Penulis memilih hal-hal pokok
yang sesuai dengan fokus penelitian dan selanjutnya
penulis mengkaji data dalam bentuk yang sistematis agar
dapat dikuasai.
4. Teknik Penulisan
Adapun panduan penulisan skripsi ini adalah
berdasarkan pada buku Pedoman Akademik Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2015,
dan Buku Panduan Penulisan Skripsi Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan dalam penelitian,
skripsi ini dibagi menjadi lima bab sistematis yang saling
berkaitan.
Bab pertama, dalam penulisan skripsi ini berisi
pendahuluan yang meliputi latar belakang serta menjadi
20
dasar mengapa penulisan ini diperlukan, batasan dan
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
landasan teori, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab kedua, yaitu pembahasan tentang Definisi Etika,
Sekilas tentang Minangkabau: sejarah, kedudukan, dan bentuk-
bentuk Etika Minangkabau.
Bab ketiga, yaitu pembahasan tentang gambaran Tungku
Tigo Sajarangan, definisi, sejarah, kedudukannya di Minangkabau
dan dalam Nagari di Minangkabau, dan kategori Tungku Tigo
Sajarangan di Minangkabau.
Bab keempat, yaitu pembahasan yang berisi tentang hasil
kajian etika Tungku Tigo Sajarangan Minangkabau yang meliputi
tentang bagaimana etika Niniak Mamak, Alim Ulama, dan Cadiak
Pandai.
Bab kelima, pada bab ini penulis menguraikan penutup yang
merupakan hasil akhir kesimpulan berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan. Kemudian pada bagian penutup ini penulis juga memberikan
saran yang sesuai dengan pokok permasalahan yang penulis kaji.
21
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG ETIKA MINANGKABAU
A. Definisi Etika
Sebelum mengupas tentang bagaimana konsep serta penjelasan etika
adat di Minangkabau, perlu dijabarkanlah tentang penjelasan etika tersendiri.
Seperti halnya dengn banyak istilah yang menyangkut konteks ilmiah,
istilah “etika” berasalh dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam
bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang
rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara
berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Dan
arti terakhir inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah
“etika” yang oleh Aristoteles (384-322 s.M.) sudah dipakai untuk
menunjukkan filsafat moral. Jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini,
ma etika berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat
kebiasaan.1
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika merupakan ilmu tentang
apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. 2
1 K. Berthens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2007), h. 4. 2 Kamus Besar Bahasa Indonesia (Online), diakses pada Kamis, 5 Agustus 2021, 13.35 WIB.
22
Hemat penulis, etika adalah sistem yang merupakan prinsip moral
yang memengaruhi seseorang tentang bagaimana ia membuat keputusan dan
menjalani kebiasaan dalam hidup sehari-hari. Etika berkaitan dengan apa yang
baik bagi setiap individudan masyarakat pada umumnya. Praktik etika sangat
berguna dalam menjalani kehidupan sehrai-hari karena ini memengaruhi cara
manusia berlaku.
B. Sekilas Tentang Minangkabau
Di Minangkabau, masyarakatnya dikenal sebagai masyarakat yang
menjadikan nilai-nilai adat sebagai pedoman hidupnya atau patokan dalam
bertingkah laku, bersikap, berbicara, bergaul dan berpakaian. Perpaduan
antara nilai adat dan Islam yang dikenal dengan ungkapan adat basandi
syarak, syarak basandi kitabullah, telah melandasi tatanan hidup dan menjadi
pandangan atau falsafah hidup bagi masyarakat Minangkabau.3
Sejak abad ke-13 Masehi, masyarakat Minangkabau telah mengalami
rangakaian goncangan dan perubahan sosial, yang secara mendasar telah
mempengaruhi sistem nilai dan tatanan kelembagaan masyarakat
Minangkabau yang berbasis nagari.4
3 Febri Yulika, Epistimologi Minangkabau; Makna Pengetahuan dalam Filsafat Adat
Minangkabau, (Padang Panjang: LPPMPP ISI Padang Panjang, 2017), h. 1.
4 Gebu Minang, Pedoman Pengamalan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
Syarak Mangato, Adat Mamakai. Alam Takambang Jadi Guru, (Jakarta: Penerbit Gebu Minang, 2011),
h. 57.
23
Agama Hindu-Budha yang dianut oleh keluarga kerajaan-kerajaan
Minangkabau lama selama berabad-abad sejak abad ke-13 tersebut tidak
banyak berpangaruh kepada masyarakat Minangkabau, yang tetap berpegang
pada adat di Minangkabau, berpedoman pada ajaran alam takambang jadi
guru. Berbeda dengan agama Hindu-Budha tersebut, agama Islam yang masuk
dalam abad ke-16 Masehi secara bertahap dianut oleh masyarakat
Minangkabau, dan tumbuh sebgai faktor yang paling penting dalam
perkembangan sejarah dan kebudayaan Minangkabau dalam abad-abad
sesudahnya.
Pada mulanya ada perbedaan ajaran antara adat Minangkabau dengan
agama Islam khususnya dalam masalah hubungan kekerabatan dan hukum
waris yang telah menimbulkan serangkaian masalah dalm hukum perdata,
yang memerlukan penyesuaian mendasar dalam kaidah hukum perdata, yang
memerlukan penyesuaian mendasar dalam kaidah hukm serta kelembagaan
sosial. Oleh karena masyarakat Minangkabau tidak mempunyai tatanan
kelembagaan di atas tingkat nagari, maka rangkaian goncangan dan perubahan
sosial tersebut hanya diselesaikan secara setempat-setempat, dan belum
pernah dikonsolidasikan secara menyeluruh, terarah, terpadu, dan terencana.5
Abad ke-19 Masehi adalah abad yang paling menentukan dalam sejarah
dan kebudayaan Minangkabau. Dalam abad ini bukan saja telah terjadi
rangkaian upaya pemurnian dan pembaharuan terhadap akidah dan
5 Gebu Minang, Pedoman Pengamalan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
Syarak Mangato, Adat Mamakai. Alam Takambang Jadi Guru, h. 57-58.
24
pengamalan adat dan syarak, tetapi juga telah terjadi camur tangan kaum
kolonialis Belanda yang mengadu domba kaum adat dan kaum agama, yang
sama-sama menganut agama Islam.
Setelah mengalami konflik berkepanjangan yang disusun oleh perang
saudara yang dahsyat antara tahun 1803-1821, yang disusul oleh Perang
Minangkabau antara tahun 1821-1838 untuk menghadapi balatentara kolonial
Hindia Belanda, pada tahun 1832 Tuanku Imam Bonjol memberikan fatwa
ishlah yang menjadi dasar untuk pengembangan ajaran Adat Basandi Syarak,
Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato, Adat Mamakai (ABS-SBK)
yang kemudian dilengkapi dengan Alam Takambang Jadi Guru sebagai nilai
dasar dalam menata masyarakat Minangkabau. Fatwa Tuanku Imam Bonjol
ini kemudian dikukuhkan dalam Sumpah Satie Bukik Marapalam pada taun
1837 di Bukit Pato, Lintau, dekat Batusangkar. Oleh karena kemudian seluruh
Minangkabau dijajah oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang
melancarkan politik adu domba dan politik tanam paksa yang disusul oleh dua
kali Perang Dunia, dua kali Perang Kemerdakaan, serta serangkaian konflik
dalam negeri yang berkepanjangan, nilai dasar dan ajaran adat basandi
syarak, syarak basandi kitabullah tersebut belum sempat terhimpun dan
disatukan secara terpadu dalam suatu dokumen yang disahkan bersama oleh
masyarakat Minangkabau.6
6 Gebu Minang, Pedoman Pengamalan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
Syarak Mangato, Adat Mamakai. Alam Takambang Jadi Guru, h. 58-59.
25
Pada abad ke-20, masyarakat Minangkabau telah aktif ikut serta, baik
dalam pergerakan kemerdekaan nasional, dalam membentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia, maupun dalam pembelaan menghadapi ancaman dari
dalam dan luar negeri baik sistem hukum nasional maupun hukum hukum
internasional hak asasi manusia pada dasarnya menghormati, melindungi,
memfasilitasi, dan memenuhi hak suku bangsa dan masyarakat hukum adat.
Pengakuan konstitusional terhadap kemajemukan masyarakat Indonesia ini
tercantum dalam sesanti "Bhineka Tunggal Ika" pada lambang negara.
Masyarakat Minangkabau memperhatikan dengan sungguh-sungguh
berbagai masalah nasional yang dihadapi Bangsa dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia dalam abad ke-21 ini, walaupun telah 65 tahun berada
dalam alam kemerdekaan, namun dua tujuan nasional dan empat tujuan tugas
pemerintahan yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 masih belum tercapai dan memuaskan.
Dalam mempersiapkan diri, memanfaatkan peluang untuk melakukan
konsolidasi, menjawab tantangan, menunaikan kewajiban sebagai warga
negara Indonesia yang berdasarkan pancasila, dipandang perlu untuk
menetapkan secara formal ajaran adat basandi sayarak, syarak basandi
kitabullah sebagai jati diri dan identitas kultural suku bangsa dan masyarakat
hukum adat Minangkabau serta mengembangkan aspek kelembagaan, norma
etika, serta dasar-dasar kebijakan dalam tindak lanjutnya. 7
7 Gebu Minang, Pedoman Pengamalan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
Syarak Mangato, Adat Mamakai. Alam Takambang Jadi Guru, h. 59-60.
26
C. Etika Minangkabau
Dalam sejarahnya, di Minangkabau tidak memiliki konsep secara
tertulis yang menjelaskan tentang pengertian atau pemahaman etika adat
Minangkabau yang berlaku dalam kehidupan masyarakatnya. Kebiasaan
masyarakat Minangkabau inilah yang disebut sebagai adat, seluruh aspek
kehidupan bermasyarakat maupun kehidupan sehari-hari secara turun temurun
diatur dalam adat, begitulah seperti yang dijelaskan dalam sejarah alam
Minangkabau dalam nilai-nilai adat yang terdapat dalam Tambo Alam
Minangkabau.
Etika kehidupan orang Minangkabau juga disangkutkan dengan
kegiatan rohaniah yang disebut raso jo pareso (rasa dengan periksa), yang
menjadi sumber dari tahu nan ampek (memahami empat perkara), yaitu tahu
di diri (memahami diri sendiri), tahu di urang (memahami orang lain), tahu di
alam (memahami alam), tahu di Tuhan (menyadari adanya Tuhan).8 Dalam
pengaplikasiannya, Adat basandi syarak syarak basandi kitabullah menjadi
pegangan serta pedoman hidup masyarakat Minangkabau dalam
mempraktikan nilai-nilai etika dalam adat.
Intisari ajaran adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah adalah
dengan menyuruh berpegang kepada tali Allah yang berlandaskan kepada
iman Islam dan menegakkan kebenaran yang terkandung dalam adat
Minangkabau, etika hidup orang Minangkabau ini bertujuan untuk
8 Maruhum, A.M. Bagindo Batuah, Tanameh. Hukum Adat dan Adat Minangkabau, (Jakarta:
Pustaka Aseli, 1956), h. 34.
27
terwujudnya masyarakat Minangkabau yang berbudi luhur dan berakhlak
mulia, selamat di dunia dan akhirat. Falsafah hidup dan kaidah etika adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah ini bertumpu kepada kaidah agama,
adat, dan undang-undang, yang berlaku bagi seluruh masyarakat
Minangkabau.9
Etika Minangkabau pada dasarnya sama seperti etika suku-suku lain,
tetapi ada beberapa perbedaan atau kekhasan yang membedakannya, kekhasan
ini terutama disebabkan karena masyarakat Minangkabau menganut sistem
garis keturunan Ibu, matrilinial. Orang Minangkabau memahami ajaran
adatnya akan memandang bahasa dan budi itu berada pada derajat yang sama.
Dalam mamangan (ungkapan-ungkapan berisi kearifan) adat Minangkabau
dikatakan bahwa yang baik adalah budi, yang indah adalah bahasa atau
ucapan (nan kuriak kundi, nan merah sago/ nan baiak budi, nan indah
bahaso).10
Melalui tutur kata yang disampaikan seseorang kepada orang lain
dapat dilakukan penilaian terhadap budi mereka. Budi tidak hanya berkaitan
dengan etika, tetapi juga dengan akal pikiran dan kecerdasan dan kesadaran
sebagai manusia dan bagian dari sebuah komunitas.
9 Gebu Minang, Pedoman Pengamalan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
Syarak Mangato, Adat Mamakai. Alam Takambang Jadi Guru, h. 90. 10 A.B. Madjo Indo, Kato Pusako (Papatah, Patitih, Mamang, Pantun, Ajaran dan Filsafat
Minangkabau, (Jakarta: PT Rora Karya, 1999), h. 19.
28
Norma tentang cara bicara dan penilaian-penilaian kultural terhadap
praktik penggunaan bahasa dapat menjadi titik berangkat untuk memahami
lebihjauh bagaimana Minagkabau membangun konsep filosofis tentang
komunikasi. Konsep tersebut menjadi bagian dari filsafat hidup atau alam
pemikiran orang Minangkabau terhadap hubungan antara manusia dengan
manusia, dan manusia dengan alam.
Dengan komunikasi, maka konstruksi alam pemikiran tersebut
diwariskan dari satu generasi ke genarasi lain, agar konseptualisasi hubungan
tidak mengalami kehancuran. Dalam prinsip hidup orang Minangkabau alam
itu adalah guru (alam takambang jadi guru; alam terkembang jadi guru).
Komunikasi juga disangkutkan dengan kegiatan rohaniah yang disebut raso jo
pareso (rasa dengan periksa), yang menjadi sumber dari tahu nan ampek
(memahami empat perkara), yaitu tahu di diri (memahami diri sendiri), tahu
di urang (memahami orang lain), tahu di alam (memahami alam), tahu di
Tuhan (menyadari adanya Tuhan).11
Sumber etika orang Minangkabau adalah Islam dan adat, sebelum
masuknya Islam dan menerima Islam sebagai satu-satunya agama yang
dianut, Minangkabau hidup di bawah norma-norma dan hukum beretika.
Setelah Islam masuk, orang Minangkabau tetap mempertahankan sebagian
adatnya dengan cermat mengkombinasikan aturan adat dengan Islam,
sehingga kini keduanya bersatu dan menjadi pokok pegangan kehidupan
11 Maruhum, A.M. Bagindo Batuah, Tanameh. Hukum Adat dan Adat Minangkabau,
(Jakarta: Pustaka Aseli, 1956), h. 34.
29
orang Minangkabau “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”
(Adat bersendi akan Syarak, Syarak bersendi akan Kitabullah) dengan yang
sering disebut dengan singkatan ABS-SBK. Artinya, etika Minangkabau
berperan sebagai praktik kebudayaan sehari-hari, yang menjadikan syariat
sebagai rujukannya, dan syariat itu berasal dari al-Qur’an atau kitab Allah.
Adat merupakan sumber nilai yang penting dalam berperan membentuk etika
orang Minangkabau.12
Di Minangkabau, masyarakatnya dikenal sebagai masyarakat yang
menjadikan nilai-nilai adat sebagai pedoman hidupnya atau patokan dalam
bertingkah laku, bersikap, berbicara, bergaul dan berpakaian. Perpaduan
antara nilai adat dan Islam yang dikenal dengan ungkapan adat basandi
syarak, syarak basandi kitabullah, telah melandasi tatanan hidup dan menjadi
pandangan atau falsafah hidup bagi masyarakat Minangkabau.13
Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah adalah etika atau
norma hukum yang digunakan nenek moyang orang Minangkabau, yang
berdasarkan kepada ajaran syarak. Sendi artinya dasar atau pondasi yang kuat.
Sedangkan syarak dan kitabullah artinya al-Qur’an. Filosofi adat basandi
syarak, syarak basandi kitabullah di Minangkabau baru dikenal setelah agama
Islam masuk dan mewarnai kehidupan masyarakat.
12 Tan Pariaman H.B Saanin, Kepribadian Orang Minangkabau; dalam Kepribadian dan
Perubahan, (Jakarta: PT Gramedia, 1980), h. 21.
13 Febri Yulika, Epistimologi Minangkabau; Makna Pengetahuan dalam Filsafat Adat
Minangkabau, (Padang Panjang: LPPMPP ISI Padang Panjang, 2017), h. 1.
30
Di dalam perkembangan adat Minangkabau, telah terjadi beberapa
perubahan penting, terutama setelah masuknya agama Islam ke Minangkabau,
sebelum kedatangan agama Islam orang Minangkabau menggunakan filosofi
adat “adat basandi alua jo patuik” (sesuatu perbuatan itu berdasarkan pada
kelayakan dan norma-norma yang berlaku).
Filisofi adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah diterapkan
beberapa tahun setelah berakhirnya Perang Paderi (1821-1837), perang antar
kelompok pemangku adat yang ingin melestarikan tradisi lama, berlawanan
dengan kelompok agama puritan yang dikenal dengan gerakan Paderi. Setelah
kedua belah pihak menyadari kesalahannya, maka diadakan rekonsiliasi pada
tahun 1840 di Puncak Pato Bukit Marapalam, Tanah Datar, Sumatera Barat.
Kesepakatan tersebut dikukuhkan adalam baiat yang dikenal dengan nama
Piagam Bukit Marapalam yang esensinya adalah adat basandi syarak, syarak
basandi kitabullah.14
Etika adalah aturan atau kebiasaan dalam suatu masyarakat di mana
aturan itu menjadi kesepakatan untuk sama-sama ditaati dan ada sanksi bagi
setiap pelanggaran. Etika atau adat merupakan aturan hidup sehari-hari, dan
hidup yang tak beraturan bagi masyarakat adalah hidup yang tidak beradat.
Jadi, aturan itulah etika, etika itulah yang menjadi pakaian sehari-sehari.15
Bagi orang Minang; duduk tagak beretika, makan minum beretika, berbicara
14 Febri Yulika, Epistimologi Minangkabau Minangkabau; Makna Pengetahuan dalam
Filsafat Adat Minangkabau, h. 1. 15Muhammad Jamil, Hiduik Baradek “Inilah Karakter Pendidikan dan Budi Pekerti Orang
Minang”, (Bukittinggi, Sumatera Barat: Cinta Buku Agency, 2015), h. 23-24.
31
beretika, berjalan beretika, menguap beretika, dan bahkan untuk batuk saja
beretika. Aturan-aturan itu biasanya disebutkan dalam bentuk pepatah-petitih,
mamang, bidal, serta pantun, seperti:
“batanyo salapeh panek,
barundiang sasudah makan.”
Makna dari pepatah tersebut ialah, jika hendak bertanya kepada
sesorang tunggulah terlebih dahulu sampai yang bersangkutan hilang
lelahnya, kepada tamu biasanya langsung menyuguhkan minuman. Setelah
lelah dan haus dahaga hilang, barulah bertanya maksud kedatangannya.
Begitu pula ketika kita kedatangan rombongan tamu yang tujuannya sudah
diketahui terlebih dahulu, misalnya untuk merundingkan pelaksanaan
perkawinan maka tamu-tamu setelah diberi minum kemudian diajak makan
terlebih dahulu (biasanya makan malam), setelah selesai makan malam
barulah diajak berunding mengenai pelaksanaan pekerjaan tersebut dan
sebagainya.
Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah merupakan etika
hidup orang Minangkabau dan yang berkembang dalam kehidupan
msayarakat Minangkabau secara menyeluruh, falsafah hidup ini yang
kemudian merupakan rumusan jati diri dan identitas kultural Minangkabau,
menjadi rujukan dalam kehidupan pribadi, keluarga, suku, dan masyarakat
32
Minangkabau, baik di ranah maupun juga di rantau.16 Rumusan jati diri inilah
yang menjadi identitas kultural Minangkabau yang sudah disepakati adalah
adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah; syarak mangato, adat
mamakai, alam takambang jadi guru, yang tumbuh, berkembang, dan
memasyarakat dalam perjalanan sejarah dan kebudayaan Minangkabau.
Untuk mengetahui pengertian etika Minangkabau, maka dilihatlah
pengertian tersebut dalam 4 (empat) segi, yaitu:
a.) Segi Etimologi
Menurut Jalaluddin Tunsam (seseorang berbangsa Arab,
tinggal di Aceh. Menulis di bukunya pada tahun 1660). “Adat”
berasal dari bahasa Arab عا دات, yang berarti “cara”, dan atau
“kebiasaan”. Di Indonesia, kata adat baru digunakan pada sekitar
akhir abad 19.17 Sebelum dikenal di Indonesia, kata adat ini hanya
dikenal oleh masyarakat Melayu setelah pertemuan budayanya
dengan agama Islam sekitar abad ke-16.
Jadi, etika adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari
nilai-nilai norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang
lazim dilakukan di suatu daerah.
16 Gebu Minang, Pedoman Pengamalan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
Syarak Mangato, Adat Mamakai. Alam Takambang Jadi Guru, (Jakarta: Penerbit Gebu Minang, 2011),
h. 88. 17 Muhammad Jamil, Hiduik Baradek “Inilah Karakter Pendidikan dan Budi Pekerti Orang
Minang”h. 25.
33
Apabila etika ini tidak dilaksanakan akan terjadi kerancuan
yang menimbulkan sanksi tak tertulis oleh masyarakat setempat
terhadap pelaku yang dianggap menyimpang. Bagi masyarakat
Minangkabau, etika dapat diartikan sebagai aturan yang berlaku
dalam masyarakatnya, berfungsi sebagai pedoman dan pegangan
hidup agar terciptanya ketertiban dan ketentraman dalam
masyarakat. Nilai adat tersebut adalah budi;
Nan kurik kundi, nan merah sago,
Nan baik budi, nan indah baso.
Nilai-nilai adat tersebut tidak bersifat material, tetapi nilai-nilai
yang bersifat immaterial, yang dalam bahasa adat disebut raso,
pariso, malu, jo sopan. Keempat unsur inilah yang merupakan
unsur yang integral dari budi, dan budi merupakan hakekat dari
ajaran adat Minangkabau.
b.) Segi Pendapat Para Ahli
Menurut H. Idrus Hakimi Dt. Rajo Pangulu:
“Etika atau Adat Minangkabau tersebut adalah tata nilai yang
mengatur kehidupan masyarakat di Minangkabau, baik kehidupan
pribadi, maupun kehidupan bermasyarakat yang didasarkan pada
34
budi pekerti yang mulia sehingga terwujud keamanan, ketertiban,
bahagia serta sejahtera lahir dan batin”.
c.) Segi Pendapat Umum
Ketika ditanyakan kepada orang tua-tua atau niniak mamak
yang banyak mengetahui tentang seluk beluk adat Minangkabau,
apakah pengertian adat itu sesungguhnya?
Pada umumnya mereka menjawab dengan mengemukakan
kenyataan-kenyataan yang terdapat pada alam, fenomena-
fenomena alam serta sifat-sifat yang terkandung dalam alam dan
sebagainya. Sebagai contoh:
“Adat api mambaka,
Adat aia mambasahi,
Adat ayam bakotek,
Adat murai bakicau,
Adat gunuang timbunan kabuik,
Adat lurah timbunan aia,
Gabak di hulu tando ka hujan,
Cewang di langik tando ka paneh.”
35
Jadi, kalau kita simpulkan menurut pendapat tersebut,
pengertian etika Minangkabau adalah kenyataan-kenyataan atau
ketentuan-ketentuan yang terdapat pada alam, yang ada disekitar
sebagaimana yang telah diciptakan oleh Allah.
d.) Arti Kaidah Etika Minangkabau
Kalau dilihat dari pengertian etika menurut kaidah
Minangkabau, maka dapat disimpulkan dari kaidah adat yang
berbunyi:
“Sawah diagiah bapamatang,
Ladang diagiah bamintalak,
Rimbo diagiah bajiluang,
Hutan diagiah bakaratau,
Babedo tapuang jo sadah,
Babiteh minyak jo aia,
Balain kundua jo bubua.”
Maksud dari kaidah etika Minangkabau di atas ini adalah
ketentuan-ketentuan hidup bermasyarakat orang Minangkabau
yang didasarkan pada budi pekerti yang tinggi guna terciptanya
keamanan, ketertiban, dan kesejahteraan ditengah-tengah
masyarakat. Jadi, fungsi etika Minangkabau tersebut adalah agar
masyarakat dapat merasakan hidup aman, tertib, damai, bahagia,
36
serta sejahtera. Karena, ruang lingkup kehidupan tersebut sangat
luas, maka adat Minangkabau mengatur seluruh aspek dan bidang
kehidupan, mulai dari masalah yang menyangkut kehidupan
pribadi sampai kepada masalah kehidupan bermasyarakat, seperti
misalnya: ekonomi, politik, sosial budaya, kepemimpinan dan
sebagainya. Hal inilah yang terkandung dalam kaedah etika yang
berbunyi “Hiduik dikanduang adat, mati dikanduang tanah”.
Tegasnya, bahwa seluruh aspek kehidupan telah diatur oleh etika.
Hikmah yang terkandung dalam setiap etika bermuara untuk
membentuk individu dan masyarakat yang berbudi luhur, muara
atau tujuan akhirnya sama. Yang berbeda hanyalah caranya sesuai
dengan ajaran adat yang dianutnya, seperti pepatah Minang “Lain
lubuk lain ikan, lain padang lain ilalang, lain nagari lain
adatnyo”. Lebih jauh dari itu, tujuan etika Minangkabau adalah
bagaimana seharusnya orang berprilaku dalam Nagari, bagaimana
seseorang bersikap, bertindak, bergaul, dan berbicara, itulah
substansinya manusia Minangkabau melaksanakan etika dalam
kesehariannya. Dengan beradat itulah orang bisa hidup teratur dan
terkendali. Dengan artian lain bahwa tujuan etika itu adalah
menjadi orang Minangkabau yang “sabana-bana urang”.18
18 Muhammad Jamil, Hiduik Baradek“Inilah Karakter Pendidikan dan Budi Pekerti Orang
Minang”, h. 31-32.
37
Etika atau adat juga menghendaki setiap orang yang berada
dalam kaum dan Nagari berprilaku sesuai dengan ketentuan etika
di mana mereka berada, biasanya dalam etika diistilahkan dengan
“perangai Ninik Mamak” perilaku inilah yang mencerminkan tipe
orang yang berperilaku ideal bagi orang Minang;
“Tahu dek duri kamuncucuak, tahu dek dahan nan
kamahimpok, mangarati hereang jo gendeng, takilek ikan dalam
aia jaleh jantan batinonyo, pai tampek batanya dan pulang tampek
babarito, alamnyo lapang pandangnyo lapang, batangnyo tampek
basanda, dahannyo tampek bagantuang, daunnyo tampek
bataduah, muluik manih kacindan murah, dibucuik ndak mati
diasak tak layua.”
Menurut M. Nasrun dalam bukunya “Filsafat Adat
Minangkabau”, ia mengatakan bahwa etika Minangkabau disusun
berdasarkan kebersamaan, oleh bersama untuk bersama menempuh
kebahagiaan dunia akhirat. Maka dengan demikian, siapapun
manusia dalam masyarakat Minangkabau harus dihargai dan
dihormati, sebab siapapun manusianya ia mempunyai fungsi yang
berguna sesuai kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya.
Masyarakat Minangkabau memakai bentuk budaya matrilineal
dalam soal-soal ekonomi, hukum, dan sosio-politis, tetapi
38
memakai budaya patrilineal dalam kehidupan beragama. Namun,
perlu ditegaskan bahwa etika Minangkabau yang dikatakan
matrilineal itu pun tidak boleh keluar dari tuntunan falsafah adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato adat
mamakai, alam takambang jadi guru, dan syarak nan kawi adat
nan lazim.
Ketentuan ini adalah kesepakatan yang tidak boleh diganggu
gugat atau sudah menjadi harga mati bagi orang Minangkabau.
Berdasarkan hal ini banyak suku bangsa lain di Indonesia
menyebut Minangkabau sebagai negeri Serambi Mekah dan orang
Minangkabau sering disebut-sebut sebagai kelompok masyarakat
yang taat beribadah. Meskipun, konsep atau yang dicita-citakan
(das Sollen) dengan realitas atau keadaan sebenarnya yang ada
(das Sein) dapat saja seringkali tidak sejalan.19
Dalam berkehidupan nyata, etika dapat dimaknai sebagai
perilaku manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya yang dapat
berubah sesuai dengan kebutuhan zamannya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pada makna
yang keempat, adat diartikan sebagai “wujud gagasan kebudayaan
yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma hukum, dan aturan-
19 Amran Rusli, Sumatera Barat hingga Plakat Panjang, (Jakarta, Penerbit Sinar Harapan,
1981), h. 61.
39
aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi suatu
sistem”.20 Namun, dalam konteks keminangan adat itu harus
disesuaikan, diselaraskan, disenyawakan, disatukan, dan
didasarkan pada syarak yang bersumber dari al-Qur`an dan Hadis
Rasulullah bukan sebaliknya atau bukan pula timbal balik. Dengan
demikian, segala sesuatu yang tidak sesuai atau menyimpang dari
ajaran Islam bukanlah Etika Minangkabau, tetapi adat jahiliyah
dan harus ditolak.
Etika Minangkabau adalah adat Islami dan menolak segala
bentuk yang bertentangan atau yang tidak sesuai dengan ajaran
Islam. Batasan ini memiliki makna bahwa etika Minangkabau
yang sudah ada sejak zaman dahulu itu tidak ada yang tidak dapat
berubah sepanjang perubahan itu sejalan atau tidak menyalahi adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato adat
mamakai, alam takambang jadi guru dan syarak nan kawi (kuat)
adat nan lazim. Dalam bahasa Inggris etika dapat diartikan dengan
“tradition is founded upon islamic law, islamic law is founded
upon the Allah’s Book and Sunnah (al-Qur’an and Hadis), islamic
law dictates tradition or islamic law says tradition uses, the wide
20 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online.
40
world has to become the teacher, islamic law is the strongest, the
tradition is the habit that obeys the islamic law.”21
Etika Minangkabau merupakan pengetahuan yang sangat
berarti dan sarat dengan pengajaran dan pendidikan yang
mencakup seluruh aspek kehidupan, tidak hanya tersimpan di
dalam pepatah petitih namun mengandung nilai ajaran yang sangat
dalam, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa adat
Minangkabau merupakan salah satu konsep budaya yang sangat
pas untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekalipun ajaran
adat Minangkabau banyak diajarkan dalam pepatah petitih, pantun
dan gurindam, namun dibalik itulah terkandung mutiara-mutiara
dan falsafah yang tinggi nilainya untuk bisa diaplikasikan dalam
kehidupan bersosial di tengah masyarakat.22
Navis (1984) dalam catatan kaki pada buku yang ditulisnya
menyebutkan bahwa “adat berasal dari bahasa Arab yaitu 'adah
yang memiliki arti kebiasaan atau perbuatan yang dilakukan
berulang-ulang.”
21 Tan Pariaman H.B Saanin, Kepribadian Orang Minangkabau; dalam Kepribadian dan
Perubaha, h. 150. 22 Muhammad Jamil, Hiduik Baradek “Inilah Karakter Pendidikan dan Budi Pekerti Orang
Minang”, h. 5.
41
Dengan mengutip M. Rasyid Manggis, Navis dalam buku dan
halaman yang sama juga mengemukakan bahwa “adat berasal dari
bahasa Sanskerta, yang terdiri dari a yang berarti tidak dan dato
yang berarti bersifat kebendaan.” Jadi, makna adat menurut M.
Rasyid Manggis adalah “sesuatu yang tidak bersifat kebendaan.”
Pendapat lain yang dikutip oleh Navis pada halaman yang
sama dalam bukunya adalah apa yang dikemukakan oleh D.
Darwas Dt. Rangkayo Malano bahwa “adat berasal dari bahasa
Yunani, a adalah tidak dan dat adalah yang memiliki makna tidak
nyata, tapi terasa, seperti norma, etika, budi, dan kemanusiaan.”
Dengan demikian adat diartikan sebagai sesuatu yang tidak
berbentuk, tidak nyata dan tidak terasa, seperti norma, etika, dan
budi yang ada dalam kehidupan manusia.23 Dari mencermati
keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa etika itu adalah
kebiasaan masyarakat dalam berinteraksi dengan sesamanya yang
lama-kelamaan menjadi aturan yang dipatuhi. Dengan kata lain
etika itu juga dikatakan sebagai aturan yang telah dihimpun dan
ditaati oleh masyarakatnya dari satu generasi ke generasi
berikutnya yang diterima dari nenek moyang mereka dan aturan itu
hidup serta berlaku dalam masyarakat tersebut. Namun, setiap
keberadaan etika yang penting diingat adalah bertujuan agar
23 Navis, A.A, Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, (Jakarta:
PT. Grafiti Pers, 1984), h. 85.
42
terciptanya manusia dalam lingkungannya yang berakhlak mulia
atau berbudi luhur, aman, damai, makmur, dan sejahtera sesuai
dengan peradaban atau standar kehidupan yang seharusnya berlaku
dalam masyarakat itu.
Sementara itu, Dt. Malako Nan Putiah (2007:6-10)
merumuskan pengertian etika Minangkabau itu dengan
mendasarkan pada beberapa pituah yang sangat dibenarkan oleh
akal sehat, baik dilihat dari sudut pandang dunia maupun akhirat.
Pituah tersebut adalah “Bajalan luruih, bakato bana. Malatakkan
sesuatu pado tampeknyo. Manimbang samo barek,mauji samo
merah. Janji ditapati, ikara dimuliakan”24 Atas dasar pituah atau
landasan ini, dirumuskan batasan etika Minangkabau sebagai
berikut:
Etika Minangkabau adalah kumpulan dari aturan-aturan dan
norma-norma kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan
hukum alam yang nyata, sesuai dengan hukum Islam, dibuat
berdasarkan mufakat, untuk mencapai kesempurnaan hidup di
dunia dan kehidupan di akhirat.25
24 Malako Nan Putiah, Julius, Mambangkik Batang Tarandam: Dalam Upaya Melestarikan
Adat Minangkabau Menghadapi Modernisasi Kehidupan Bangsa, (Bandung: Penerbit Citra Umbara,
2007), h. 6-10. 25 Malako, Julius, Mambangkik Batang Tarandam, h. 10.
43
D. Bentuk-bentuk Etika Minangkabau
Etika Minangkabau dikelompokkan ke dalam empat kategori, yang
sering juga disebut dengan Adat nan ampek:
1. Adat nan Sabana Adat (Etika Yang Sebenarnya)
Etika di Minangkabau adalah etika yang tidak lekang oleh
panas, tidak lapuk oleh hujan yaitu adat ciptaan Tuhan Yang Maha
Pencipta. Sebagaimana dikatakan dalam pepatah adat Minangkabau
“ikan adatnya berair, air adatnya membasahi, pisau adatnya melukai”
arti etika yang dimaksud disini adalah perilaku alamiah yang hidup
ditengah-tengah masyarakat sehingga menjadi ketetapan yang tidak
berubah.26
Adaik (adat) atau etika secara umum diartikan suatu aturan atau
perbuatan yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu.27 etika dan
budaya Minangkabau yang sering dikatakan sebagai budaya unik di
dunia serta hanya satu-satunya budaya dengan etika yang berbeda
dengan suku-suku bangsa atau etnis yang ada di Indonesia. etika dan
budaya ini merupakan bagian kebudayaan Indonesia yang didukung
masyarakat beretnis Minangkabau, baik yang berada di wilayah
Minangkabau maupun yang berada di wilayah perantauan, kebudayaan
26 Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia; Meninjau Hukum Adat Minangkabau, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1997), h. 5-6. 27 Gouzali Saydam, Kamus Lengkap Bahasa Minang Jilid I, (Padang: Pusat Pengkajian Islam
Dan Minangkabau, 2004), h. 3.
44
Minangkabau merupakan salah satu dari dua kebudayaan besar di
Nusantara yang sangat menonjol dan memberikan pengaruh.
Pada mulanya budaya dan etika Minangkabau masih bercorak
budaya animisme dan Hindu-Budha. Sejak kedatangan para putra
Minangkabau yang belajar Islam di Mekah pada akhir abad ke-18,
etika dan budaya Minangkabau ini diperjuangkan untuk menjadi adat
dan budaya dengan ajaran Islami. Putra Minangkabau ini adalah Haji
Piobang, Haji Miskin, dan Haji Sumanik. Dengan dimotori oleh para
ulama ini bersama ninik mamak dan cerdik pandai yang semula
berkonfrontasi (bertentangan) satu sama lain, akhirnya pada tahun
1830-an mereka bersepakat untuk mengubah etika dan budaya
Minangkabau menjadi etika yang islami sebagaimana yang
diperjuangkan oleh tiga ulama ini.28
Kesepakatan masyarakat Minangkabau ini ditandai dengan
adanya perjanjian di Bukit Marapalam yang sampai sekarang ini
dikenal oleh masyarakat Minangkabau sebagai Perjanjian Bukik
Marapalam. Setelah mengadakan perundingan tersebut, mereka
menghasilkan dokumen bersejarah yang mendasarkan etika dan
budaya Minangkabau pada syariat Islam yang bersumber dari al-
Qur’an dan Hadis Rasulullah Saw. Dengan adanya kesepakatan ini,
etika dan budaya serta segala sesuatu yang berkenaan dengan
28 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau, h.
3-4.
45
kehidupan suku Minangkabau harus sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Kesepakatan itu adalah adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah, syarak mangato adaik mamakai, dalam perjalanan waktu
dilengkapi dengan ungkapan alam takambang jadi guru, dan syarak
nan kawi adat nan lazim. Dengan kata lain, etika Minangkabau
bersumber dari ayat qauliyah (al-Qur’an yang diberi penjelasan
dengan hadis Rasulullah SAW). Sementara itu, ayat kauniyah
dijadikan sebagai salah satu sarana untuk dapat memahami ayat
qauliyah. Dengan demikian, semua etika dan budaya di tengah
masyarakat Minangkabau yang tidak sesuai dengan ajaran Islam
adalah adat jahiliyah dan harus direformasi sehingga bersesuaian
dengan ajaran Islam atau syariat Islam yang bersumber dari al-Qur’an
dan hadis Rasulullah SAW.29
Etika adat nan sabana adat ialah segala sesuatu yang telah
demikian terjadi menurut kehendak Allah SWT, jadi yang telah
merupakan undang-undang alam yang selalu abadi dan tidak berubah-
ubah.30
Etika adat nan sabana adat juga dapat diartikan sebagai apa
yang ada dalam firman Allah dalam kitab suci al-Qur’an dan Sunah
Nabi Muhammad SAW. Dengan artian adalah bahwa segala yang
tertuang dalam al-Qur’an dan Sunah adalah sebagai acuan dasar yang
29 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau,
h.4. 30 Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia, h. 5-6.
46
tidak berubah, acuan yang kokoh, dan menyatu. Begitu pula dengan
apa yang tertulis di dalam tambo-tambo Minangkabau bahwa setiap
tingkah laku masyarakat Minangkabau bersandar kepada aturan etika
dan agama.31
Adat nan Sabana Adat merupakan etika Minangkabau paling
asli yang menjadi dasar penyusunan untuk tingkat adat-adat lain di
bawahnya. Adat nan sabana adat ini didasarkan kepada ajaran agama
ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa serta berdasarkan ajaran alam
masyarakat Minangkabau, sebuah ajaran yang dipakai sampai
sekarang ini yaitu “alam takambang jadi guru” yang kemudian hingga
akhirnya menjadi sebuah pegangan dan falsafah hidup orang
Minang.32 Seperti disampaikan dalam pepatah Minangkabau, yaitu:
“Adaik basandi syarak, Syarak basandi Kitabullah
Syarak mangato, adaik mamakai”.33
Dapat diartikan bahwa dari falsafah hidup yang dipakai oleh
orang Minangkabau, harus berdasarkan kepada syarak dan pedoman
hidup yang ada dalam kitab Allah (al-Qur’an), pemberlakuan etika
yang disesuaikan terhadap syariat sebagai pegangan hidup manusia.
Orang Minangkabau dengan benar meyakini bahwa cara terbaik
menjalani kehidupan adalah berpedoman kepada ayat qauliyah (al-
31 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau,
h. 3-4. 32 Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Tambo Alam Minangkabau; Tatanan Adat Warisan Nenek
Moyang Orang Minang, (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2009), h. 148. 33 Idrus Hakimy, 1000 Pepatah Petitih, Mamang, Bidal Pantun, Gurindam, h. 4.
47
Qur’an) dan Hadis Rasulullah sebagai rujukan utama atau sumber
primer, serta ayat kauniyah yang dibunyikan dalam masyarakat
Minangkabau dengan petatah dan petitih Minang yang berbunyi adat
basandi syarak, basandi kitabullah, alam takambang jadi guru, syarak
mangato adaik mamakai. Karena pedoman utama orang Minangkabau
adalah al-Qur’an dan Hadis.
Syarak yang dimaksud adalah syariat atau ajaran agama Islam.
Sementara itu, ayat kauniyah juga dijadikan sebagai rujukan
pendukung/sekunder sehingga muncullah ungkapan alam takambang
jadi guru. Bahwa manusia harus menjadikan alam semesta yang
terkembang atau ayat kauniyah sebagai guru juga merupakan isyarat
yang telah diberikan oleh al-Qur’an antara lain dengan firman Allah
SWT. Karena itu, orang Minangkabau diharamkan menjadikan hal-hal
yang bertentangan dengan syariat dijadikan pedoman dalam
kehidupannya segala sesuatu berselisih atau bertentangan dengan
ajaran Islam.
Kedudukan syarak adalah kekuatan untuk tegaknya adat di
Minangkabau, lalu muncul frasa “syarak nan kawi adaik nan lazim”,
hal ini bermakna bahwa aturan adat adalah aturan yang harus
disesuaikan dengan aturan syarak, aturan adat haruslah tunduk kepada
aturan syarak karena adat itu bersumber dari syarak (syarak nan kawi)
dan adat boleh saja berganti atau berubah sepanjang tidak menyalahi
syarak (adaik nan lazim). Adat sebagai aturan horizontal sesama
48
manusia dan segala aturan adat yang tidak sesuai dengan aturan syarak
dengan sendirinya harus batal sebab kekuatan syarak (kawi/kuat)
adalah di atas kekuatan adat (lazim).34
etika yang dipakai di Minangkabau ada beberapa macam
perkara adat, salah satu adat yang menjadi sumber bagi etika lainnya
adalah adat yang sebenar adat ini (Adat nan Sabana Adat). Apa yang
berlaku dalam adat nan sabana adat itu adalah segala hal yang diterima
oleh nabi Muhammad SAW, adat nan sabana adat bersumber dari
firman-firman Tuhan dalam kitab suci-Nya.35 Dari sumber-sumber
tersebutlah etika atau adat yang sebenarnya disandarkan, sehingga
dikatakan:
Adat nan sabana adat
Indak lapuak dek hujan
Indak lakang dek paneh
Kok dicabuik indak mati
Kok diasak indak layua.36
(Adat yang sebenar-benarnya adat
Tidak lapuk oleh hujan
Tidak lekang oleh panas
Jika dicabut tidak mati
34 Saafroedin Bahar, ABS-SBK: Filosofi Hidup untuk Dipraktikkan Bukan Sekedar Konsep,h.
18. 35 Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo,Tambo Alam Minangkabau; Tatanan Adat Warisan Nenek
Moyang Orang Minang, h. 149. 36 Idrus Hakimy, 1000 Pepatah Petitih, Mamang, Bidal Pantun, Gurindam, h. 4.
49
Jika dipindahkan tidak layu.)
Adat berdasarkan kepada syarak (syari’at)
Syarak berdasarkan kepada kitabullah (kitab Allah)
Syarak mengatakan, adat yang memakai.
Etika adat yang sabana adat yang terdapat dalam ayat-ayat
Allah dalam al-Qur’an dan hadis secara tersurat, juga terdapat dalam
ayat-ayat Allah yang disampaikan dengan tersirat (tidak tersurat).
Ayat-ayat Allah yang tersirat adalah ayat-ayat Allah yang ditebarkan
ke dalam alam semesta termasuk diantaranya Sunnatullah atau
ketentuan-ketentuan, atau hukum alam yang meliputi jagad raya.
Sebab dengan begitu kuatnya adat nan sabana adat ini menjadi
landasan utama hukum etika Minangkabau.
Begitupun demikian sebagian besar peradilan etika diambil dan
berpedoman dari kitab suci, tidak lepas dari situasi dan kondisi
masyarakat dan berdasarkan kebijaksanaan para “cadiak pandai”
kaum adat pada masa dahulu. Meskipun pada masa dahulu itu belum
ada pendidikan hukum dalam tingkatan yang tinggi disertakan sarana
dan prasarana yang mendukung pendidikan tersebut, tetapi para
terdahulu sudah dapat menyusun peraturan-peraturan yang
diberlakukan untuk masa-masa kedepannya tanpa dapat dirubah
(kekal), tanpa ada bukti tertulis di atas kertas, hanya dihapalkan
sehingga menjadi pedoman hidup yang kuat bagi orang-orang
Minangkabau, dan dari sinilah kiranya masyarakat berpedoman
50
kepada alam yang melekat pada sebuah pepatah Minangkabau “alam
takambang jadi guru”.
Pada masa itu pula lah dirembuk dan ditentukannya istilah-
istilah hukum seperti apa-apa yang sah dan batal, halal dan haram,
sunah dan wajib, dakwa dan jawab, saksi dan bainah (bukti yang
nyata), serta hukum-hukum lainnya yang berlaku dalam kehidupan
sehari-hari bagi orang Minangkabau baik dalam kehidupan sosial
bermasyarakat, beradat dan bernagari, dan sampai kepada hal-hal yang
menyangkut kehidupan pribadi setiap masyarakat di Minangkabau.37
Sesuai dengan sumpah satie Bukit Marapalam, masyarakat
Minangkabau telah sepakat menjadikan syariat agama Islam menjadi
pedoman kuatnya adat di nagari oleh masyarakat Minangkabau. Dalam
hal-hal yang terdapat perbedaan atau pertentangan antara kaidah ajaran
Islam dengan etika Minangkabau, maka yang diutamakan adalah
kaidah ajaran Islam, penyesuaian antara etika Minangkabau dengan
kaidah ajaran Islam dilakukan secara damai, bertahap, dan melalui
jalan musyawarah untuk mufakat, sehingga pada suatu saat di masa
depan syarak akan menjadi adat. Ajaran Adat Basandi Syarak, Syarak
Basandi Kitabullah merupakan jati diri dan identitas kultural
Minangkabau, yang menjadi rujukan dalam kehidupan pribadi,
37 Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo,Tambo Alam Minangkabau; Tatanan Adat Warisan Nenek
Moyang Orang Minang, h. 149.
51
keluarga, suku, dan masyarakat Minangkabau, di Ranah Minang dan
di rantau.
Penyesuaian etika dengan syarak ini adalah termasuk bagian
dari adat nan sabana adat atau adat nan sabatang panjang, dicabui
indak mati, diinjak indak layua, indak lapuak dek hujan, indak lakang
dek paneh, dan berlaku di seluruh Minangkabau.38
2. Adat nan Diadatkan (Etika Nenek Moyang)
Adat nan diadatkan adalah etika buatan yang direncanakan,
dirancang, dan disusun oleh nenek moyang orang Minangkabau untuk
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Aturan yang berupa adat nan
diadatkan disampaikan dalam pepatah dan petitih, mamangan, pantun,
dan ungkapan bahasa yang berkias.39
Di daerah Minangkabau, etika ini pada umumnya dikenal
dengan kaidah, peraturan, ajaran, undang-undang dan hukum yang
ditetapkan atas dasar “bulat mufakat” (kesepakatan) adat yang dibuat
oleh orang ahli pengatur tata alam Minangkabau, para penghulu tua-
tua adat cerdik pandai dalam majelis kerapatan adat atas dasar alur dan
patut.
38 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau,
h.47-48. 39 Muhammad Jamil, Hiduik Baradek “Inilah Karakter Pendidikan dan Budi Pekerti Orang
Minang”, h. 39.
52
Orang Minangkabau mempercayai dua orang tokoh sebagai
perancang, perencana, dan penyusun adat nan diadatkan, yaitu Datuak
Perpatih Nan Sabatang dan Datuak Katumangguangan. Masyarakat
Minangkabau juga mempunyai adat lembaga yang sangat baik yang
telah diatur oleh ninik Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatih
Nan Sabatang. Kedua ninik inilah yang menjadi payung panji bagi
orang Minangkabau secara turun temurun sejak zaman dahulunya.
Etika adat yang diadatkan ini diterima dari ninik Datuk
Katumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang, adat yang
diadatkan ini pun disusun berdasarkan dari adat yang sebenar adat
yang didukung dengan kesepakatan para pemuka adat lainnya pada
waktu itu.40
Pada saat perancangan dan penyusunan itu pulalah, ditetapkan
bahwa susunan etika itu harus diterima oleh seluruh anak kemenakan
dan tidak boleh diubah-ubah. Kalaupun diperlukan perubahan, maka
yang akan mengubahnya hanya boleh oleh yang menyusun dan
menyepakati pada pertama kali. Dengan demikian, sampai saat
sekarang etika yang diadatkan itu harus diterima oleh seluruh generasi
karena tidak mungkin dirubah lagi, sebab para ninik moyang yang
telah menyusun dan yang berhak mengubahnya ini sudah tidak ada
40 Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Tambo Alam Minangkabau; Tatanan Adat Warisan Nenek
Moyang Orang Minang, h. 150.
53
lagi. Untuk etika yang diadatkan ini sebuah pepatah-petitih
Minangkabau mengatakan:
“Adaik nan diadaikkan
Kok dicabuik mati
Kok diasak layua.”
(Adat yang diadatkan
Kalau dicabut akan mati
Kalau digeser akan layu).
Artinya, apabila ada pihak-pihak mana saja yang mencoba
menghapus atau mengubah adat yang diadatkan ini maka akan
menimbulkan kerusakan, kemudaratan kepada orang tersebut.
Begitupun jika ada pihak-pihak yang menghapus atau bahkan
melakukan perubahan adat yang diadatkan maka hal tersebut akan
menghancurkan adat Minangkabau.41
Inti dari etika adat nan diadatkan yang dirancang oleh Datuak
Perpatih Nan Sabatang ialah demokrasi, berdaulat kepada rakyat, dan
mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Sedangkan etika yang
disusun oleh Datuak Katumangguangan ialah pada intinya
melaksanakan pemerintahan yang berdaulat ke atas, otokrasi namun
tidak sewenang-wenang. Sepintas, kedua konsep etika tersebut
berlawanan. Namun, dalam pelaksanaannya kedua konsep itu bertemu,
41 Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Tambo Alam Minangkabau; Tatanan Adat Warisan Nenek
Moyang Orang Minang, h. 150
54
membaur, dan saling mengisi. Gabungan keduanya melahirkan
demokrasi yang khas Minangkabau. Penggabungan kedua sistem ini
ibarat hubungan legislatif dan eksekutif pada pemerintahan saat ini.
Diungkapkan dalam ajaran Minangkabau, sebagai berikut:
“Bajanjang naiak, batanggo turun.
Naiak dari janjang nan di bawah,
Turun dari janjang nan di ateh`
Titiak dari langik, tabasuik dari bumi.”
Dengan tangga naik, dengan tangga turun.
Naik dari tangga yang di bawah,
Turun dari tangga yang di atas.
Rintik dari langit, terbesit dari bumi.
3. Adat nan Taradat (Etika Hasil Musyawarah)
Adat nan Taradat atau Adat yang teradat ialah aturan-aturan
etika yang disusun dengan hasil musyawarah mufakat penghulu-
penghulu ninik mamak di tiap-tiap nagari di Minangkabau. Peraturan-
peraturan etika tersebut bertujuan untuk melaksanakan aturan-aturan
atau hukum-hukum dasar dari adat nan diadatkan oleh nenek moyang
yang menciptakan etika Minangkabau tersebut, karena yang
disebutkan hanya hukum dasar dan pokoknya saja, dengan sendirinya
setiap Nagari harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisinya.
Sehingga aturan adat nan teradat ini tidak sama coraknya di setiap
55
nagari Minangkabau, sebagaimana yang diungkapkan dalam pepatah
yang berbunyi “lain lubuak lain ikannyo, lain padang lain
hilalangnyo, lain nagari lain adatnyo” artinya, aturan pelaksanaan
etika di setiap Nagari akan berbeda antara satu dengan yang lain.
Walaupun berbeda dalam aturan pelaksanaannya, namun tidak berbeda
tentang dasar hukumnya, yakni sama-sama berdasarkan adat nan
didatkan oleh nenek moyang yang menciptakannya.42
Adat yang teradat merupakan etika yang dipakai dalam
seluhak, senagari, selaras. Di sini terpakainya:
“Cupak sapanjang batuang.
Adaik nan sapanjang jalan.”
Cupak sepanjang bambu.
Adat sepanjang jalan.
Pepatah orang tua-tua Minangkabau juga mengatakan:
Dima sumua digali, di situ rantiang dipatah.
Dima bumi dipijak, di sinan langik dijunjuang.
Dima nagari dihuni, di situ adaik dipakai.”
Di mana sumur digali, di situ ranting dipatah
Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung
Di mana nagari dihuni, di sana adat dipakai.
42Idrus Hakimi, Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau, (Bandung:
Remaja Rosda Karya, 1997), h. 110.
56
Adat yang teradat tersebut tidak boleh bertentangan dengan
adat yang sebenar adat dan adat yang diadatkan. Bahkan adat yang
teradat di dalam Nagari ini haruslah memperkuat etika terdahulu (adat
yang sebenar adat, dan adat yang diadatkan) di atasnya. Ketentuan-
ketentuan yang telah ditetapkan oleh adat yang sebenar adat dan adat
yang diadatkan itu tetap dijalankan di setiap Nagari. Namun masing-
masing Nagari dapat menambah persyaratannya, dengan syarat pun
tambahan tersebut tidak bertentangan dengan etika yang dua di atas.
Dengan demikian, adat yang teradat itu belum tentu sama pada nagari
yang satu dengan Nagari yang lainnya. Adanya perbedaan tersebut
dimungkinkan menurut pepatah yang berbunyi:
Adaik sapanjang jalan
Cupak sapanjang batuang
Lain lubuak lain ikannyo
Lain padang lain ilalang
Lain nagari lain adaiknyo.
(Adat sepanjang jalan
Cupak sepanjang bambu
Lain kolam lain ikannya
Lain padang lain belalangnya
Lain nagari lain adatnya).
57
Etika adat yang teradat juga tidak boleh berubah. Kalau
memang perlu dirubah, maka ninik mamak/penghulu dalam nagari
harus bermusyawarah terlebih dahulu. Tidak boleh diputuskan sendiri-
sendiri sekalipun dia seorang penghulu yang dulunya ikut menyepakati
adat itu. Kalau ada kesepakatan bersama yang matang di dalam nagari
bersama para ninik mamak/penghulu maka barulah Adat yang teradat
tersebut dapat dirubah.
4. Adat Istiadat (Etika Kaum/Nagari)
Setiap kumpulan individu dalam sebuah daerah atau tempat
yang sering kita sebut dengan istilah masyarakat tentu memiliki
kebiasaan dan hal-hal yang turun temurun diajarkan kepada anak-anak,
cucu keturunannya, sampai kepada yang paling kecil untuk nanti
diajarkan kembali kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam sebuah
daerah, hal tersebut dikembangkan dari orang-orang tertua pada masa
dahulunya yang merangkak dari satu ke satu lainnya, kelompok
kepada kelompok-kelompok lainnya hingga menjadi hal yang
dibiasakan dalam sebuah tempat tersebut. Turun temurun mengikuti
langkah tertua yang tidak berubah sekalipun telah berganti-ganti tetuah
dan masanya.
Adalah Adat Istiadat, etika yang dibiasakan dalam suatu
Nagari (di daerah Minangkabau) atau daerah-daerah dan tidak tetap
58
seperti itu saja dari masa ke masa.43 Pengertian lainnya menyebutkan,
Adat Istiadat adalah etika yang bisa diubah sesuai dengan
perkembangan zaman, yaitu etika yang dipakai dalam seluhak atau
daerah yang tidak tetap.44 Seperti dalam sebuah pepatah Minang:
Sakali aia gadang sakali tapian baranjak
Sakali musim bertukar sakali caro baganti
Hukum biaso dibanding
Undang biaso dikarasi
Limbago biaso dituangi
Cupak bakaadaan.
(Sekali air besar sekali tepian beranjak
Sekali musim bertukar sekali cara berganti
Hukum biasa dibanding
Undang biasa dikarasi
Lembaga biasa dituangi
Cupak berkeadaan.)
Ada kelapangan dalam pelaksanaan etika yang dinamis, karena
etika adalah sebuah hasil kesepakatan dalam nagari, namun dalam
etika ada yang tidak boleh dirubah, yakni adat nan sabana adat dan
adat nan diadatkan. Artinya, etika tersebut adalah apa yang sudah
43 Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Tambo Alam Minangkabau; Tatanan Adat Warisan Nenek
Moyang Orang Minang, h. 152. 44 Muhammad Jamil, Hiduik Baradek“Inilah Karakter Pendidikan dan Budi Pekerti Orang
Minang”, h. 37.
59
menjadi dasar etika yang lahir dari jiwa syarak, dan adat tersebut
adalah ketentuan yang sudah baku.45 Seperti di dalam pepatah,
dikatakan:
“Babungkuih bakabek arek,
Babuhua jo babuhua mati,
Bungkuih nan indak kabakambang,
Buhua nan indak kabaungkai.”
(Dibungkus diikat kuat,
Dibuhul dengan buhul mati/ sangat kuat,
Bungkusan yang tidak akan berkembang,
Buhul yang tidak akan dilepas.)
Lain halnya dengan adat lainnya, yang bisa dirubah, ditambah,
dan atau dikurangi sesuai perkembangan zaman, namun demikian
tidak semua orang bisa mengubah begitu saja, harus melalui
kesepakatan etika berdasarkan musyawarah ninik mamak.
Maksudnya adalah, walaupun ikatannya tidak kuat atau
buhulnya sentak, tetapi jangan coba-coba mengubah etika tanpa
dibuka oleh pemuka adat yang berhak untuk melakukannya, karena
apabila dirubah sembarangan maka dapat menimbulkan masalah
ditengah nagari.46
45 Muhammad Jamil, Hiduik Baradek“Inilah Karakter Pendidikan dan Budi Pekerti Orang
Minang”, h. 37-38. 46 Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Tambo Alam Minangkabau; Tatanan Adat Warisan Nenek
Moyang Orang Minang, h. 152-153.
60
Hukum kitabullah biasa mencari kuat dan daif dalil yang
mengatakan: “Apabila hukum yang jatuh kepada dua orang yang
berkesumat, biasa dibanding, dibawa serantau hilir serantau mudik.
Dan limbago yang jatuh kepada kedua orang itu biasa dituangi.”
Jiko jauah buliah ditunjuaki
Dakok buliah diraso
Jiko mati ka tampek basumpah
Jiko hiduik ka tampek batanyo.
(Jika jauh boleh ditunjuki
Dekat boleh dirasakan
Jika mati akan tempat bersumpah
Jika hidup akan tempat bertanya.)
Adapun cupak47 yang jatuh kepada orang yang berkesumat.
Biasa menilik kuat dan daif (lemah), keterangannya sebelah
menyebelah yakni bandingan juga namanya. Karena etika itu juga
berdasarkan kepada Kitabullah, dan limbago boleh diturun dinaikkan.
Bagaimana turun naiknya dan tinggi rendahnya kepada orang tua-tua
di nagari, itulah sendinya atau dasarnya;
47 Cupak dalam adat Minangkabau memiliki makna dasar dengan cupak yang sesungguhnya
yaitu alat ukur atau takaran.Cupak adat adalah berupa alat ukuran bisa dikatakan sebuah aturan
mengenai pergaulan dalam kehidupan sehari-hari di Minangkabau.
61
Undang-undang berbatu intan
Adat bersendi
Syarak bersendi dalil
Cupak berkeadaan
Kata-kata ini mengandung makna yang sangat dalam dan amat
sukar memutuskan arti kata-kata itu semenjak orang tua-tua dahulu.
Oleh sebab itu dikatakan orang ‘kata pusaka’. Barang siapa yang
menaruh dan memakai kata-kata itu, niscaya dia akan menjadi
pemimpin dan ikutan orang banyak meskipun yang bersangkutan
masih belum baligh, karena diyakini dia pasti cerdik pandai.
62
BAB III
GAMBARAN TENTANG TUNGKU TIGO SAJARANGAN
A. Definisi Tungku Tigo Sajarangan
Istilah Tungku Tigo Sajarangan adalah bahasa kiasan terhadap sistem
kepemimpinan di Minangkabau. Tungku adalah tempat masak yang terdiri dari
tiga buah batu yang sama tingginya dan baru dapat berfungsi sebagai tempat
masak apabila sudah lengkap ketiga batunya (Saydam, 2004: 403).
Tungku Tigo Sajarangan adalah kepemimpinan kolektif masyarakat
Minangkabau, terdiri dari ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, dan lain-
lainnya yang dianggap perlu. Tungku Tigo Sajarangan sebagai kepemimpinan
sosial masyarakat Minangkabau saling bekerjasama dengan penyelenggara
Negara Kesatuan Republik Indonesia guna menyusun program jangka
menengah sampai panjang. 1
Tungku Tigo Sajarangan merupakan forum musyawarah kepemimpinan
sosial dan etika Minangkabau yang terpadu dari unsur niniak mamak, alim
ulama, cadiak pandai, ditambah dengan unsur bundo kanduang dan kaum muda
yang dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama dalam suatu nagari yang ada
di Minangkabau.
1 Gebu Minang, Pedoman Pengamalan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,
Syarak Mangato, Adat Mamakai, Alam Takambang Jadi Guru, (Jakarta: Penerbit Gebu Minang, 2011),
h. 111
63
Tungku Tigo Sajarangan melaksanakan segala perumusan etika, tugas
pokok, fungsi dan lainnya yang berhubungan dengan masyarakat dan nagari
dapat berkiprah baik secara perorangan atau sendiri-sendiri atau juga adapt
secara bersama sebagai suatu kesatuan. Sebelum berperkara di pengadilan
negeri, menurut tingkatnya Tungku Tigo Sajarangan dapat melakukan mediasi
terhadap sengketa sako dan pusako yang diajukan oleh pihak-pihak yang
bersengketa dalam masyarakat Minangkabau. 2
B. Sejarah Tungku Tigo Sajarangan di Minangkabau
Kepemimpinan di Minangkabau yang terdiri dari tiga luhak3 dan rantau-
rantau baik di rantau barat maupun di rantau timur bentuk etika adalah Tungku
Tigo Sajarangan, yang terdiri dari Niniak Mamak, Alim Ulama, dan Cadiak
Pandai/cendikiawan atau intelektual yang tugas mereka adalah melayani anak
nagari. Kepemimpinan di Minangkabau pada dasarnya lebih menekankan pada
kepentingan bersama yang memberi perlindungan kepada masyarakat baik
kaum, suku, maupun masyarakat nagari, bukan menekankan pada kepentingan
pihak yang dianggap melindungi. Tungku Tigo Sajarangan memiliki kewajiban
menciptakan suasana yang membuat anak nagari di seluruh alam Minangkabau
2 Gebu Minang, Pedoman Pengamalan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,
Syarak Mangato, Adat Mamakai, Alam Takambang Jadi Guru, h. 109. 3 Luhak adalah wilayah konfederasi dari beberapa nagari di Minangkabau yang terletak di
pedalaman Sumatra Barat, wilayah ini merupakan pemukiman awal penduduk Minangkabau yang
dikenal dengan istilah darek (bahasa Indonesia: darat) untuk membedakannya dengan wilayah rantau
Minangkabau baik Rantau Pasisie di sepanjang pantai Barat Sumatra maupun Rantau Hilie di wilayah
Riau dan bagian barat Jambi. Dalam Tambo Alam Minangkabau, Luak memiliki makna Urang atau
berkurang.
64
merasakan suatu perlindungan dari segala sesuatu yang mengganggu mereka.
Kekuasaan adalah pengabdian pada rakyat bukan untuk diri penguasa atau
pemimpin.
Etika Minangkabau dalam kepemimpinan dan kekuasaan bagi masyarakat
Minangkabau, seorang pemimpin di Minangkabau menempatkan diri secara
sentrifugal yang berarti bahwa seorang pemimpin yang menempatkan diri
untuk orang yang dipimpinnya, untuk seluruh bagian masyarakatnya, bukan
menjadi pemimpin yang sentripetal atau pemimpin yang menjadikan
masyarakatnya untuk kepentingan dirinya. Di Minangkabau, pemimpin adalah
orang yang didahulukan salangkah ditinggikan sarantiang, tumbuah dek
ditanam tinggi dek dianjuang gadang dilambuak. Seperti sebuah pantun yang
berbunyi:4
Dahan kamuniang bialah patah
Asa mangkudu jan punah
Di lahia rajo nan di sambah
Di batin rakyaik nan mamarintah
Dahan kemuning biarlah patah
Asalkan mengkudu jangan punah
Secara lahir raja yang disembah
Secara batin rakyat yang memerintah
4 Madjo Indo, Kato Pusako (Papatah, Patitih, Mamang, Pantun Ajaran, dan Filsafat
Minangkabau), (Jakarta: PT Rora Karya, 1999), h. 150.
65
Orang Minangkabau lazim menyebut kampung halamannya dengan Alam
Minangkabau atau Ranah Minang yang sekarang merujuk kepada daerah
Sumatera Barat dan beberapa wilayah di luar Sumatera Barat yang memiliki
kesamaan adat dan budaya. Minangkabau yang dahulunya dipimpin oleh raja-
raja yang berbentuk tiga serangkaian yang disebut dengan Rajo Nan Tigo Selo,
yaitu Rajo Alam, Rajo Adat, Rajo Ibadat yang disebut dalam istilah Rajo nan
Tigo Selo.
Sistem Rajo Tigo Selo konon kabarnya, pada mulanya dipraktikkan di
Kerajaan Pagarruyuang yang terdiri dari tiga raja, yaitu: Rajo Alam, Rajo Adat,
dan Rajo Ibadat. Rajo Alamatau Raja Alam ialah sebagai yang dipertuankan
Pagarruyuang merupakan pimpinan tertinggi yang mengurusi kerajaan secara
keseluruhan atau kepala kepemerintahan yang digelari dengan Yang
Dipatuankan Basa dan dianggap sebagai primus inter pares atau yang
terpenting di antara yang sama derajatnya, Rajo Adatatau Raja Adat mengatur
tentang adat istiadat pemegang urusan undang-undang dan hukum, dan Rajo
Ibadat atau Raja Ibadah adalah pemegang urusan keagamaan yang mengatur
tata kehidupanagar tidak keluar dari adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah, syarak mangato, adat mamakai, dan alam takambang jadi guru,
syarak nan kawi, dan adat yang lazim. Tungku Tigo Sajaranganyang berakar
pada sistem Rajo nan Tigo Seloini dengan berbagai variasinya yang kabarnya
telah diberlakukan juga di Luhak Nan Tigo dan di daerah rantau sejak zaman
dahulu. Raja-raja yang berbentuk tiga serangkai yang merupakan sistem
66
kepemimpinan Minangkabau yang biasa disebut dengan tungku tigo
sajarangan ini disebut dengan Rajo nan Tigo Selo.5
Rajo nan Tigo Selo berarti Raja yang Tiga Sila, yaitu raja-raja yang
memiliki kedudukan, fungsi, dan peran yang sama rata untuk anak alam
Minangkabau. Difilosofikan dalam kata “selo” yang berarti cara duduk laki-
laki Minangkabau yang bersila, tidak ada yang lebih tinggi ataupun rendah,
lebih besar atau kecil, kedudukan dan pangkat raja tersebut sama dalam
mendidik dan mengayomi anak-anak alam Minangkabau. Gelar dan fungsi
sitem kepemimipina Rajo nan Tigo Selo ini diwariskan dan turun temurun
secara patrilineal dari ayah kepada anaknya, dalam menjalankan tugasnya, tiga
serangkai ini dibantu oleh sebuah dewan menteri yang disebut dengan Basa
Ampek Balai dan pusat pemerintahan berkedudukan di Pagarruyuang. Dewan
menteri yang menjadi topangan selanjutnya dalam membantu pemimpin
Tungku Tigo Sajarangan adalah Bandaharo dari Sungai Tarab, Tuan Kadi dari
Padang Ganting, Mangkudum dari Sumanik, dan Indomo dari Saruaso, dan
ditambah dengan Tuan Gadang dari Batipuh yang dipercayakan untuk urusan
pertahanan keutuhan wilayah Minangkabau. Kerajaan dengan Rajo nan Tigo
Selo ini runtuh dan musnah ketika terjadi Perang Padri pada tahun 1820-an
sehingga berakhirlah pemerintahan kerajaan di Alam Minangkabau.6
5 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syara di Minangkabau, h.
222-223. 6 Mochtar Naim, Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1979), h. 17.
67
Pada masa sekarang ini, Tungku Tigo Sajarangan diperankan oleh Ninik
Mamak yang dipresentasikan oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam
Minangkabau (LKAAM), Alim Ulama oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Sumatera Barat, dan Cadiak Pandai yang terdiri para akademisi, budayawan,
cendikiawan, dan termasuk di dalamnya Bundo Kandung. Ketiga unsur
kepemimpinan ini memiliki kedudukan yang setara, tetapi memang perlu
disatukan dalam satu wadah agar komunikasi dapat berjalan secara efektif.
Penyatuan LKAAM, MUI Sumatera Barat, dan cadiak pandai dalam satu
wadah yang dapat saja disebut dinamakan kembali baik Tungku Tigo
Sajarangan, Tigo Tali Sapilin maupun Badan Musyawarah Adat, Syarak dan
Ilmu Pengetahuan, bukan berarti mempersempit ruang gerak ketiga unsur ini,
tetapi malah sebaliknya yaitu memperkuat serta mensinergikan tiga kekuatan
tersebut. 7
Pengurusan syarak, adat, dan ilmu pengetahuan tidak dapat dipisah-
pisahkan di Alam Minangkabau karena fatwa adat tidak memisah-
misahkannya, juga agar pengambilan keputusan berkenaan dengan adat dan
syarak dapat dilakukan dengan cepat serta hasil keputusan dapat memecahkan
persoalan secara holistik. Untuk pengaturan pemimpinan lembaga gabungan ini
dapat diatur secara secara bergiliran antara ketua MUI Sumatera Barat, ketua
LKAAM Sumatera Barat, dan cerdik pandai Minangkabau.8
7 Mochtar Naim, Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau, h. 19. 8 Madjo Indo, Kato Pusako (Papatah, Patitih, Mamang, Pantun Ajaran, dan Filsafat
Minangkabau), h. 152.
68
C. Kedudukan Tungku Tigo Sajarangan
Tungku Tigo Sajarangan, Tali Tigo Sapilin terdiri dari ninik mamak, alim
ulama, dan cadiak pandai. Kedudukan yang ditempatkan dan dijalankan sesuai
oleh masing-masingnya memiliki pola yang berbeda-beda, sebagai berikut:9
a. Kepemimpinan ninik mamak mengikuti pola yang telah digariskan adat
secara berkelanjutan “patah tumbuh, hilang berganti” dalam kaum
masing-masing. Kepemimpinan ini dibunyikan dalam pepatah “tinggi
tampak jauah, gadang tampak dakek, ba padang laweh ba alam leba,
nan tinggi dek dianjuang, nan gadang dek diambak”.
b. Kepemimpinan alim ulama merupakan suluah bendang dalam nagari,
palito nan indak panah padam, nan manunjuak mangajari untuk
bajalan luruih, bakato bana. Alim ulama memiliki kewajiban untuk
membimbing masyarakatnya agar selamat hidup di dunia dan di akhirat
sesuai dengan ajaran agama Islam. Alim ulama utamanya harus
memiliki pengetahuan agama Islam yang mumpuni dan memiliki ilmu
alat yaitu Nahu, Sharaf, dan sebagainya untuk menguasai bahasa Arab
dalam mempelajari wajib, sunat, dan harus, sah, dan batal, serta halal
dan haram sesuatu dari sumber aslinya. Mereka juga mempunyai tugas
untuk mengawasi apakah syarak mangato adat mamakai berjalan
dengan baik di dalam masyarakatnya.
9 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syara di Minangkabau, h.
170-171.
69
c. Kepemimpinan cadiak pandai terdiri dari orang-orang yang memiliki
pengetahuan yang luas dan cerdik serta cerdas menyelesaikan masalah
yang ada dalam masyarakatnya. Cerdik pandai adalah problem solver
yang handal bersama ninik mamak dan alim ulama sehingga “adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato, adat
mamakai, alam takambang jadi guru adat nan lazim syarak nan kawi”
diamalkan dan berjalan dengan baik bukan hanya sekedar dokumen
yang dibaca ketika ada acara seremonial.
Pemerintahan di Minangkabau pada dasarnya lebih menekankan
pada kepentingan bersama yang memberi perlindungan kepada
masyarakat, baik kaum, suku, maupun masyarakat nagari. Sistem ini
bukan menekankan kepada kepentingan pihak yang dianggap
melindungi yang disebut orang-orang besar, yang pada tingkat suku dan
nagari umumnya terdiri dari penghulu. Orang-orang besar pada
tingkatan kerajaan terdiri dari basa yang ampek balai, yaitu ulama,
kepala adat, hakim, dan panglima perang.
Mereka ini disebutkan sebagai:
Kayu gadang di tangah padang
Urek tampek baselo
Dahan tampek bagantuang
Daun tampek balinduang
Batang tampek basanda.
70
Kayu besar di tengah padang
Akarnya sebagai tempat duduk bersila
Dahannya tempat bergantung
Daunnya tempat berlindung (ketika panas)
Batangnya sebagai tempat bersandar.
Pada tingkat kerajaan, raja hanyalah simbol kebesaran dari daerah
gabungan unit-unit yang terdiri dari nagari-nagari yang masing-masing
bediri sendiri dan bekerjasama mengatur kepentingan bersama. Artinya,
kerajaan itu ada karena adanya nagari-nagari bukan sebaliknya dan sifatnya
hanya sebagai lambang dan yang berbentuk konfederasi. Hal itu juga
bermaknakan bahwa kekuasaan di Minangkabau adalah mengabdi kepada
rakyat bukan untuk kepentingan raja dan keluarganya. Konfederasi yang
dimaksud adalah bahwa kerajaan yang ada adalah gabungan dari nagari-
nagari yang dibentuk untuk mengatur kepentingan bersama, tetapi masing-
masing tetap memiliki kedaulatan penuh.10
Kategori atau Langgo Langgi pemerintah yang berbentuk Rajo Nan
Tigo Selo atau yang disebut dengan sistem kepemimpinan Tungku Tigo
Sajarangan, pembagian atau pemecahan ini dilakukan hanya pada peran
dan kedudukannya dalam nagari, bukan pada kualitas keilmuan atau
intelektualitas atau harus mumpuni dalam ketiga bidang ini. Begitu juga,
bukan pada kualifikasi umur. Sebab, mungkin saja ninik mamak tersebut
10 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syara di Minangkabau,
h.172.
71
umurnya masih terbilang muda tetapi ilmu dan pengetahuannya tentang
adat, agama, dan kecendikiawanannya lebih baik. Pun, pembagian ini
bukan serta merta dalam hal gender.11
Seorang pemimpin harus benar-benar orang terbaik dalam
kelompoknya sebab dia adalah teladan dan panutan “pai tampek batanyo,
pulang tampek mambarito”. Pemimpin memiliki tanggung jawab dan
kewajiban yang harus diingat sepanjang hayatnya sebab ia adalah “kayu
gadang di tangah padang, urek tampek baselo, dahan tampek bagantuang,
daun tampek balinduang, dan batang tampek basanda”. Seorang pemimpin
di Minangkabau akan terjaga nama baiknya apabila mematuhi aturan
hukum sesuai dengan kepatutan dan melaksanakan aturan hukum itu pada
situasi dan kondisi yang tepat (alua jo patuik) yang berpedoman kepada al-
Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW.
Seorang pemimpin harus mematuhi ketentuan perjanjian yang
disepakati (jalan nan pasa). Pemimpin harus menggunakan kekayaan dan
harta benda kaum secara bertanggung jawab untuk kemakmuran kaum dan
menggunakan pusaka yang merupakan warisan dari mamak-mamak
terdahulu yang berbentuk benda-benda kehormatan sesuai dengan aturan
dan pada tempatnya (harato jo pusako).
11 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau, h.
195.
72
Pemimpin harus memelihara dan menjaga kemenakan agar berguna
bagi dirinya dan berguna bagi orang lainnya. Pemenuhan kewajiban
pemimpin terlihat apabila orang yang di bawah kepemimpinannya menjaga
martabat atau marwahnya, yaitu kehormatan jabatannya sebagai pemimpin.
Ini mempunyai makna bahwa terhormat atau tidak terhormatnya seorang
pemimpin dapat dilihat dari penghormatan yang dilakukan oleh masyarakat
terhadap dirinya sebagai pemimpin. Itulah sebabnya, pemimpin di
Minangkabau dikatakan “tumbuh karano ditanam, tinggi karano
dianjuang, gadang karano diambak/dilambuak”. Dengan demikian,
marwah pemimpin akan terjaga dengan baik apabila dia sendiri
melaksanakan tugas dengan baik dan benar serta masyarakat selalu menjaga
dan memelihara nama baik serta kehormatan kepemimpinannya.12
Tungku Tigo Sajarangan, dalam memimpin kehati-hatian dan
kecermatan dalam berkata dan bertindak merupakan kunci keberhasilan.
Mereka harus mempunyai pantangan yang tidak boleh dilanggar, sebab
pelanggaran terhadap hal tersebut membawa kerugian bagi diri sendiri dan
masyarakat. Mamangan tentang ini berbunyi:
Mamerah-merahkan muko,
Mahariak mahantam tanah,
Manyinsiang langan baju,
Balari-lari,
12 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau, h.
236.
73
Mamanjek-manjek,
Manjunjuang kapalo.
Memerah-merahkan wajah
Menghardik menghantam tanah
Menyinsingkan lengan baju
Berlari-lari
Memanjat-manjat
Menjunjung kepala.
Mamangan ini menjelaskan bahwa tantangan seorang pemimpin
“mamerah-merahkan muko” seorang pemimpin tidaklah boleh emosional
atau mudah marah (pendek sumbu) terhadap apa yang dihadapinya tanpa
tahu yang sebenarnya, seorang pemimpin mestilah memiliki jiwa yang
lapang dalam menerima setiap persoalan hidup dan masyarakat.
Seorang pemimpin tidak boleh sembarang menerima langsung kabar
berita yang tidak jelas kebenarannya. “mahariak mahantam tanah” seorang
pemimpin tidak boleh berbicara dengan membentak-bentak, berbicara
menjustifiksi terhadap hal-hal yang sekalipun jelas salahnya, seorang
pemimpin mestilah berbicara dengan bijaksana dan berbicara dengan
santun. Manyinsiang langan baju bahkan saat sedang bekerja, seorang
pemimpin tidak boleh menyinsingkan lengan bajunya, ia tetap harus
berwibawa dalam berpakaian dan menunjukkan kewibawaannya sebagai
seorang pemimpin “balari-lari, mamanjek-manjek, manjunjuang jo
kapalo”, seorang pemimpin mestilah memperhatikan bagaimana
74
menunjukkan kewibawaannya dalam masyarakat termasuk dengan tidak
berlari-lari meski dalam kondisi bagaimanapun, tidak memanjat-manjat,
dan bersikap tenang dengan tidak menjunjung tangan di atas kepalanya.
Hal ini masih sangat relevan dengan kepemimpinan sekarang meskipun
dalam menjalankan tugas kenegaraan. Seorang pemimpin harus
menghindari segala sifat-sifat yang tercela. Dengan demikian, seorang
pemimpin harus orang yang mempunyai ilmu pengetahuan yang mumpuni,
baik tentang adat maupun syarak (agama Islam), tetapi bukan untuk
diselewengkan. Seorang pemimpin harus cerdik dan cerdas sebab dengan
dua hal ini, ia dapat terhindar dari berbagai persoalan yang dapat
menjeratnya karena ketidakhati-hatian dalam menyikapi tata aturan dan
konstelasi politik kekuasaan yang berjalan sehingga itu dapat direkayasa
seperti melakukan pelanggaran hukum. Setiap pemimpinakan dimintai
pertanggungjawaban terhadap kepemimpinannya oleh Alah SWT.
Penghisaban terhadap kepemimpinannya oleh Allah SWT setelah
semua yang dipimpinnya dihisab lebih dahulu. Karena itu, pertimbangan
yang baik perlu dilakukan sebelum menerima jabatan. Seseorang harus
menghitung dengan baik apakah dia mampu memikul kepemimpinannya itu
dan mempunyai keahlian melaksanakannya. Kualifikasi seorang pemimpin
yang tepat dan berkualitas akan terlihat pada perilaku yang santun,
kebijakan yang menyenangkan sehingga akan dapat dipertanggung
jawabkan secara intelektualitas dan moralitas.
75
D. Tungku Tigo Sajarangan sebagai Badan Musyawarah Adat, Syarak, dan
Ilmu Pengetahuan di Minangkabau.
Kepemiminan Tungku Tigo Sajarangan sebagai badan musyawarah adat,
syarak, dan ilmu pengetahuan adalah pengawal akidah serta suluah bendang
dalam nagari dan sebagai penjaga adat agar tidak keluar dari koridor adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato, adaik mamakai,
alam takambang jadi guru, dan syarak nan kawi adaik nan lazim. Apabila
kepemimpinan ini tidak dapat melaksanakan tugas dan perannya dengan baik,
ketimpangan, kejahatan, dan kekacauan dalam segala aspek kehidupan akan
tetap terjadi dan bahkan semakin menjadi-jadi di Ranah Minang. Badan
musyawarah adat, syarak, dan ilmu pengetahuan di Minangkabau sebagai salah
satu badan bantuan hukum sebagai tempat para Niniak Mamak, Cadiak Pandai
dan Alim Ulama bermusyawarah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang
terjadi untuk selanjutnya dibagikan kepada pemerintahan nagari.
Kerapatan Adat Nagari (KAN) adalah bentuk badan musyawarah adat,
syarak, dan ilmu pengetahuan di Minangkabau dalam nagari. Kerapatan Adat
Nagari merupakan sebuah lembaga otonom keperintahan Minangkabau, KAN
menematkan posisi dalam setiap nagari-nagari yang ada di Minangkabau.
Kerapatan Adat Nagari (KAN) merupakan lembaga yang juga diisi oleh
para petinggi nagari di Minangkabau seperti Datuak, Panghulu dan Niniak
Mamak yang juga ikut menjalankan sistem kepemimpinan yang ada di nagari
ini. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai keahlian menjalankan
76
kenagarian, perintah kenagarian, dan menjalankan pemerintahan kenagarian
Minangkabau serta dianggap orang pandai dan berpendidikan dalam
kenagarian, yang ikut serta dalam membantu menjalankan misi keadatan.13
Para pemuka adat dan nagari yang berada dalam kepemimpinan nagari
inilah yang kemudian dibentuk dalam sebuah lembaga kerapatan yang bernama
KAN (Kerapatan Adat Nagari), selanjutnya keputusan-keputusan yang
dibentuk dalam hasil musyawarah adat, syarak, dan ilmu pengetahuan ini
nantinya yang akan dipresentasikan dalam kepemerintahan. 14
KAN yang merupakan lembaga kenagarian yang non struktural dalam
keperintahan ini memberikan keputusan-keputusan adat untuk dijalankan oleh
pemerintah di Minangkabau. Secara eksistensinya dalam kepemerintahan,
lembaga yang diisi oleh Tungku Tigo Sajarangan ini tidak menempati
struktural pemerintahan Minangkabau baik di dalam struktural Kecamatan,
Kabupaten, ataupun Provinsi. Para petinggi atau kepala KAN dalam nagari
inilah yang kemudian menjadi wakil dalam kepemerintahan nagari untuk
menjadi representatif hukum adat, syarak, serta ilmu pengetahuan kenagarian
dalam struktur pemerintahan di Minangkabau.15
13 Wawancara pribadi dengan Masri Mansoer, Ciputat, 20 Januari 2020, Pukul 16.25 WIB. 14 Madjo Indo, Kato Pusako (Papatah, Patitih, Mamang, Pantun Ajaran, dan Filsafat
Minangkabau), h. 153. 15 Wawancara pribadi dengan Masri Mansoer.
77
Struktur atau Langgo Langgi pemerintahan yang berbentuk Rajo Tigo Selo
ini pada mulanya berlaku di Pagaruyuang. Diberlakukan, diadopsi, dan ditiru
oleh pemerintahan nagari-nagari di seluruh alam Minangkabau yang kemudian
dikenal dengan nama Tungku Tigo Sajarangan yang terdiri dari tiga unsur
utamanya yaitu Ninik Mamak, Cadiak Pandai, dan Alim Ulama.16 Pembagian
ini, seperti yang telah dikemukakan di atas, dilakukan hanya pada peran dan
kedudukannya dalam nagari bukan pada kualitas keilmuan dari yang
bersangkutan sebab ketiga unsur ini harus memilki kualitas yang sangat baik
dalam adat, agama, dan wawasan keilmuan atau intelektualitasnya atau
disebutkan mereka adalah orang yang mumpuni dalam ketiga bidang ini.
Begitu juga, bukan pada kualifikasi umur dan bukan pula dalam hal gender
sebab dalam Tambo dan Hikayat, Bundo Kanduang ibu dari Dang Tuanku dan
Cindua Mato pernah menjadi Raja Alam di Pagaruyuang. Struktur berkembang
secara memusat ke atas, dalam struktur asli di Minangkabau, Raja adil raja
disembah, Raja zalim raja disanggah. Demikian, berdasarkan struktur asli
Minangkabau ini, seseorang menjadi besar karena dibesarkan, bukan karena
besar dengan sendirinya saja dengan kemampuan yang dimilikinya; bukan pula
karena haknya.
16 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau,
h.195.
78
Masyarakat Minangkabau di perantauan lalu mengembangkan sebuah Forum
Tungku Tigo Sajarangan sebagai kepemimpinan kolektif masyarakat untuk
menghadapi dan menyelesaikan masalah untuk mencari mufakat dalam
menghadapi berbagai tantangan di masa mendatang. Dengan difasilitasi oleh
Badan Koordinasi Kemasyarakatan dan Kebudayaan Alam Minangkabau
(BK3AM), perantau Minang yang terkhusus di Jakarta dan sekitarnya
membentuk Lembaga Kajian Tungku Tigo Sajarangan Minangkabau
(LKTTSM) yang dideklarasikan pada 16 April 2014.
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, LKTTSM ini dapat berkiprah
secara sendiri-sendiri, lembaga dapat menyelenggarakan penelitian dan
pengkajian ABS-SBK (Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah) dan
penerapannya, mengadakan seminar dan simposium dan kegiatan-kegiatan
lainnya yang dapat memberikan manfaat kepada masyarakat Minangkabau,
baik di ranah maupun di perantauan.
Kegiatan-kegiatan akademis yang dinaungi oleh LKKTS Minangkabau
diharapkan dapat menciptakan kehidupan Minangkabau yang beradat dan
bersyarak sesuai dengan falsafah hidup masyarakat Minangkabau.17
17 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau, h.
194.
79
E. Sistem Tungku Tigo Sajarangan
Dalam memberlakukan etika Minangkabau yang dimiliki oleh suku
bangsa Minangkabau ini, kepemimpinan harus berjalan secara baik. Pilihan
pada sistem Tungku Tigo Sajarangan sebagai sistem kepemimpinan hendaknya
diberlakukan mulai dari level paling bawah sampai pada level tertinggi di
Sumatera Barat.18
Minangkabau yang sudah terbiasa dengan sistem keterwakilan dan
permusyawaratan sehingga hal ini dapat membuktikan bahwa Minangkabau
tidak memiliki perangkat administrasi pemerintahan secara bertingkat, tidak
memiliki sistem pertahanan dengan tentara regular kerajaan yang dapat
dikerahkan setiap saat diperlukan dan sebagainya.19
Hal ini juga diperkuat dengan 4 (empat) asas dalam hidup orang
Minangkabau yang menyebutkan bahwa kepemimpinan dan kekuasaan di
Minangkabau harus menempatkan dan atau mendudukkan seorang pemimpin
untuk mengabdi kepada orang yang dipimpinnya,20 karena pemimpin adalah
orang yang didahulukan salangkah, ditinggikan sarantiang, tumbuh dek
ditanam, tinggi dek dianjuang, gadang dek diambik/dilambuak. Bahwa
pengelolaan masyarakat berdasarkan asas musyawarah, mufakat, dan
18 Saafroedin Bahar, “ABS-SBK: Filosofi Hidup untuk Dipraktikkan Bukan Sekedar Konsep”
dalam Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syara di Minangkabau, (Jakarta:
Gria Media, 2015), 2015, h. xvii. 19 Saafroedin Bahar, ABS-SBK: “Filosofi Hidup untuk Dipraktekkan Bukan Sekedar Konsep”,
h. xvii. 20 Mursal Esten, Minangkabau: Tradisi dan Perubahan, (Padang: Angkasa Raya, 1993), h. 98.
80
kebersamaan. Bulek aia ka pambuluh, bulek kato ka mufakaik, bulek alah
buliah digolongkan, picak alah buliah dilayangkan.
Kepemimpinan yang dikembangkan dalam masyarakat di Minangkabau
adalah kepemimpinan kolektif, pola kepemimpinan ini yang merupakan sinergi
tiga kekuatan. Dengan asas yang hidup dan berlaku dalam masyarakat
Minangkabau yang akan menciptakan masyarakat yang seperti tersebut dalam
pepatah:
Sahino Samalu,
Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang.
Kaba baiak baimbauan, kaba buruak baambauan.
Ka bukik samo mandaki, ka lurah samo manurun.
Tatungkuik samo makan tanah, tatilantang samo minum ambun.
Tuah dek sakato, hino dek silang sangketo. 21
Sama-sama hina, sama-sama malu.
Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Kabar baik diberitakan, kabar buruk disingkirkan.
Ke bukit sama mendaki, ke lembah sama menurun.
Telungkup sama-sama makan tanah,
Menelentang sama-sama minum embun.
Bertuah karena sekata, hina karena bersengketa.
21 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syara di Minangkabau,
(Jakarta: PT Gria Media Prima, 2015), h. 165.
81
Pada masa penjajahan dahulu, kepala nagari masih dipilih oleh
masyarakat nagari, tetapi dalam memilih itu mereka diatur dan harus tunduk
kepada kekuasaan penjajahan yang tentu saja demi kepentingan penjajahan
itu sendiri. Saat itu, struktur kepemerintahan anak nagari berpucuk pada
pejabat yang disebut laras22 (kemudian demang23) dan para laras ini harus
tunduk kepada pejabat bangsa Belanda dengan jabatan asisten residen.24
Ketika struktur seperti ini berlaku, kepala/wali nagari tdak lebih
hanyalah perpanjangan tangan dari atasannya, penjajah Belanda daripada
sebagai penyalur kepentingan atau suara rakyat atau masyarakat anak
nagari. Struktur berkembang secara memusat ke atas, bukan melanjutkan
tradisi yang berlaku di alam Minangkabau yang lebih menekankan pada
mewujudkan kemauan rakyat banyak/anak nagari.25 Dalam struktur asli
Minangkabau, Raja adil raja disembah, Raja zalim raja disanggah.
Berdasarkan sturuktur asli Minangkabau ini, seseorang menjadi besar
karena dibesarkan, bukan karena besar sendirinya dengan kemampuan yang
dimilikinya.26
22 Laras berarti dasar pemerintahanmenurut adat sebagai distrik di Minangkabau, yaitudaerah
bagian dari kabupaten yang pemerintahannya dipimpin oleh pembantu bupati (sebelum tahun 1970). 23 Demang adalah sebuah gelar untuk kepala daerah di Minangkabau pada masa penjajahan.
24 Umar Junus, Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau: Suatu Problema Sosiologi Sastra,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 53. 25 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau, h.
195-196. 26 Deliar Noer, Muhammad Hatta: Biografi Politik, (Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan,
dan Penerangan Ekonomi Sosial, 1990), h. 6.
82
Di alam kemerdekaan, kita menemui dalam Undang-Undang Dasar
1945 dalam Penjelasan Bab VI pasal 18 sebelum diamandemen tentang
Pemerintahan Daerah dikatakan bahwa nagari-nagari merupakan satuan
pemerintahan terkecil di Minangkabau yang disebut sebagai bentuk daerah
istimewa atau daerah otonom.27
Keistimewaan tersebut menurut penjelasan Undang-Undang Dasar
1945 harus dipelihara dan dilestarikan karena satuan seperti ini adalah
bentuk pemerintahan yang unik. Pada umumnya menyebutkan bahwa
nagari-nagari di Minangkabau bagaikan republik-republik kecil yang
melaksanakan prosedur dan tata pemerintahannya secara mandiri.
Pelaksanaan pemerintahan nagari tidak dikendalikan pemimpin tunggal
tertinggi, tetapi secara kolektif merencakan dan melaksanakan aktifitas
pemerintahan untuk kebaikan nagari beserta semua isinya.
Struktur pemerintahan di Minangkabau pada situasi kekinian sungguh
berbeda, yang dulu kerajaan terdiri dari nagari-nagari, sedangkan sekarang
alam Minangkabau bagian integral dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berbentuk sebuah provinsi yang membawahi kabupaten
atau kota madya, kabupaten ataau kota madya membawahi kecamatan.
Kecamatan di kota madya membawahi kelurahan dan semua yang bekerja
di sana adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sementara itu, kecamatan di
27 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diakses online pada laman
www.dpr.go.id, 02 September 2020, pukul 20.35 WIB.
83
bawah kabupaten membawahi nagari-nagari, tetapi wali nagari saat ini
adalah bukan Pegawai Negeri Sipil, dan begitu juga dengan staf-stafnya.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah bentuk pemerintahan Tungku
Tigo Sajarangan ini masih relevan dilaksanakan di wilayah budaya
Minangkabau? sebuah kenyataan di tengah masyarakat Minangkabau kini
adalah banyak nagari dan kampung yang tidak lagi mengerti bahwa mereka
berada di nagari beradat bersyarak dalam wilayah adat dan budaya yang
bernama alam Minangkabau, ditambah dengan adanya di antara wali nagari,
penghulu, dan perangkat lainnya yang tidak peduli bahwa mereka adalah
pemegang amanah yang harus dipertanggung jawabkan.
Saat ini, pada tingkat provinsi seperti sudah disebutkan bahwa ada
Gubernur dengan jajarannya yang digaji oleh pemerintah, ada pula Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau
(LKAAM). Tetapi fungsi, peran, kesempatan serta wewenang pada dua
lembaga terakhir nyaris tidak terdengar dalam mengatur anak nagari sesuai
dengan namanya masing-masing. Walaupun tidak mengakui sistem
pemerintahan Rajo nan Tigo Selo di wilayah adat dan budaya Minangkabau
ataupun sistem Tungku Tigo Sajarangan, nagari beradat dan bersyarak
seperti Minangkabau, keberadaan ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai
adalah suatu keniscayaan mulai dari tingkat provinsi sampai kepada
tingkatan kepemerintahan yang paling rendah.28
28 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau, h.
197-198.
84
Keberadaannya bukan hanya sekedar institusi pelengkap sebagai
pemanis dan pajangan, tetapi keberadaannya itu harus bersama dengan hak
dan kewajiban yang jelas karena keduanya juga mempunyai tanggung
jawab untuk menjaga dan mengusahakan anak nagari hidup sejahtera dan
selamat di dunia dan juga di akhirat. Jadi, kedudukan para alim ulama, ninik
mamak, dan cadiak pandai (termasuk di dalamnya ilmuwan, Bundo
Kanduang, dan pemuda)29 di Minangkabau dalam adat maupun nagari
kekinian harus dapat diperjelas agar mereka dapat memainkan peran dalam
menjaga akidah dan adat anak nagari.
Kepemimpinan Tungku Tigo Sajarangan secara kelembagaan harusnya
ada di Sumatera Barat dan peran ulama, dan lembaga adat dalam struktur
tersebut harus dapat dirasakan manfaatnya oleh anak nagari. Jadi, perlu
dipertimbangkan untuk menyatukan kedua lembaga ini dengan ditambah
dengan cerdik pandai dalam satu wadah yang dapat menampung semua
unsur masyarakat; ninik mamak, alim ulama, bundo kandung, pemuda, dan
cerdik pandai.30 Penyatuan ini juga dimaksudkan agar ada efektivitas dan
efisiensi dalam menjalankan misinya bersama dengan gubernur beserta
jajarannya dalam membangun nagari serta memakmurkan surau dan masjid
sehingga syiar agama dan adat betul-betul berjalan di nagari beradat dan
bersyarak ini.
29 Mansoer, M.D., dkk, Sejarah Minangkabau, (Jakarta: Bhratara, 1970), h. 79. 30 Mursal Esten, Minangkabau: Tradisi dan Perubahan , h. 114.
85
Sebagai nagari berpedoman kepada adat basandi syarak, syarak
basandi kitabullah, syarak mangato, adat mamakai, alam takambang jadi
guru, dan syarak nan kawi adat nan lazim, tugas dari Tungku Tigo
Sajarangan jelas sangat berat karena itu perlu diwujudkan secara
kelembagaan di Ranah Minangkabau sesegera mungkin.31
Sistem pemerintahan Rajo Tigo Selo di tingkat Provinsi Sumatera Barat
atau Minangkabau tidak mungkin dapat diterapkan pada masa kekinian.
Gubernur tidak dapat dan tidak mungkin ditempatkan sebagai raja alam
sebagai primus inter pares, menempatkan MUI sebagai raja ibadat yang
mengatur kehidupan keberagamaan di Sumatera Barat, dan LKAAM
sebagai raja adat yang mengatur adat istiadat yang tidak menyalahi aturan
syarak. Hal ini tidak dapat diterapkan terutama karena terbentur pada
ketentuan bahwa Sumatera Barat adalah bagian integral dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Memberlakukan sistem pemerintahan Rajo
Tigo Selo di tingkat Provinsi Sumatera Barat tidak akan dapat terwujud
karena hal itu menyalahi Undang-undang Dasar 1945, peraturan perundang-
undangan dan lainnya.32 Oleh karena itu, perlu dicarikan jalan keluarnya
sehingga misi, peran, fungsi, dan tugas dapat berjalan dengan menerapkan
sistem kepemimpinan Tungku Tigo Sajarangan.33
31 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau, h.
198. 32 Mansoer M.D, dkk, Sejarah Minangkabau, h. 77-78. 33 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau, h.
199.
86
F. Bentuk-bentuk, Pengaruh dan Perkembangan Tungku Tigo Sajarangan
dalam Masyarakat
Kelangsungan adat adalah tanggung jawab pemimpin nagari di
Minangkabau, para pemimpin memiliki tanggung jawab besar dalam
keberlangsungan pendidikan ajaran adat Minangkabau. Seorang pemimpin di
Minangkabau, khususnya pemimpin dalam sebuah nagari di Minangkabau
mempunyai tugas, kewajiban, dan tanggung jawab yang sudah diatur dalam
adat. Hal-hal tersebut juga wajib dijalankan dan dilaksanakan oleh para
pemimpin adat, jika pemimpin nagari tidak melaksanakan tanggung jawab
tersebut maka jadilah pemimpin nagari tidak dihargai oleh anak kemenakannya.
Suatu tugas dan amanat yang sangat menentukan dalam pembagunan
pemerintahan dalam nagari atau lebih luasnya.34
Sungguhpun adat dan kepemimpinan dalam adat telah diatur
sedemikian rupa oleh para pendiri Minangkabau dan sampai sekarang masih
diakui oleh anak cucu, cicit, dan buyut sebagai warisan leluhur, masih banyak
juga di antara kita penduduk dan masyarakat Minangkabau yang merasa kurang
memiliki dan mencintai lembaga yang terbentuk di Minangkabau dengan baik
ini.
Kurang terlaksananya adat dalam kehidupan disebabkan kurang
pahamnya masyarakat terhadap maksud dan tujuan adat yang dipakai dalam
nagari, juga adanya ketidaktertarikan atau ketidakpedulian masyarakat pada
34 Mansoer M.D, dkk, Sejarah Minangkabau, h. 81.
87
masa kekinian untuk bertanya serta berguru dalam mempelajari adat-adat
Minangkabau ini secara sungguh-sungguh, padahal adat itu jualah yang sangat
dibutuhkan oleh generasi sekarang ini sampai pada masa-masa berikutnya.
Terkhusus pada generasi muda, perlu disadari tujuan adat adalah kebutuhan
untuk menyelamatkan generasi Minangkabau dari pengaruh budaya lain dan
dampak buruk perkembangan zaman.35
Jika kurang pahamnya masyarakat pada zaman sekarang tentang
maksud, tujuan, serta kegunaan adat, kerapkali menjadikannya salah, sumbang,
dan sesat, kesalahan itu tidak hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi juga
merugikan kaum, kampuang, dan nagarinya sendiri. Begitu juga dengan
ketidakpahaman seseorang terhadap tujuan adat, kerap menimbulkan sengketa
di antara orang yang menganggap pendirinya itu adalah benar.36
Minangkabau yang menganut falsafah “Adar basandi syarak, syarak
basandi kitabullah.” Adat dan agama seperti dua sisi mata uang, tidak bisa
dipisahkan, saling mendukung dan melengkapi. Begitupun seperti pepatah
“Syarak mangato, adat mamakai”, maka pendidikan adat adalah sumber awal
setiap pendidikan orang Minangkabau dalam berkaum di nagari.37
Perjalanan adat Minangkabau masih lambat, sementara perputaran ilmu
pengetahuan berjalan cepat. Akibatnya, banyak generasi tidak peduli lagi
terhadap adat. Tugas untuk memberi pemahaman adat inilah yang perlu
35 Muhammad Jamil, Hiduik Baradek “Inilah Karakter Pendidikan dan Budi Pekerti Orang
Minang”, (Bukittinggi, Sumatera Barat: Cinta Buku Agency, 2015), h. 4. 36 Jamil, Hiduik Baradek, h. 5-6. 37 Mansoer, dkk, Sejarah Minangkabau, h. 79.
88
diperankan oleh kalangan pendidik agar kesinambungan generasi adat bisa
berjalan dan berkembang sesuai dengan tujuan adat.
Di satu sisi, beruntungnya pembelajaran Budaya Alam Minangkabau
(BAM) di sekolah-sekolah masih dimuat, namun di sisi lainnya sangat
memprihatinkan saat melihat generasi muda jauh dari ajaran adat
Minangkabau. Keprihatinan ini tentu harus diiringi dengan keikutsertaan dalam
menyumbangkan pikiran menciptakan kesinambungan adat yang sesuai dengan
ajaran Islam. Tujuannya agar adat dan syarak sama-sama berkembang, maka
memasukkan BAM di sekolah dan mensosialisasikan adat Minangkabau di
tengah masyarakat harus diiringi dengan SDM yang memadai melalui
keseimbangan pengetahuan adat sejajar dengan pengetahuan Islam yang
ditopang dengan profesionalisme masyarakatnya.38
Pepatah mengatakan “Di dalam nan duo kalarasan, adat manjadi darah
dagiang, syarak, nan lazim kaimanan, adat nan kawi kamandidiang, si Muncak
mati tarambau, ka ladang mambaok ladiang, lakoklah pado kaduonyo. Adat jo
syarak Miangkabau, sarupo aua jo tabiang, sanda manyanda kaduonyo.
Pariangan manjadi tampuak tangkai, Pagaruyuang manjadi pusek tanah data,
tigo luak urang manamokan, adat jo syarak, kok bacarai, bakeh bagantuang
nan lah sakah, tampek bapijak nan alah tabanam.”39
38 Irwan Prayitno Dt. Rajo Bandaro Basa, dalam pengantar ”Hiduik Baradaek”, (Bukittinggi:
Cinta Buku Agency, 2015), h. 8-9. 39 Irwan Prayitno Dt. Rajo Bandaro Basa, dalam pengantar ”Hiduik Baradaek”, h. 9.
89
Cita-cita adat tersebut tidak akan tegak, jika para pendidik adat dan
pemimpin adat sebagai ujung tombak tidak berani memulai langkah real untuk
menjadikan adat yang selaras dengan cita-cita masyarakat Minangkabau yakni
“Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”. Harus diakui, masih banyak
ketimpangan yang perlu penerapan adat dalam bernagari di Minangkabau.
Ketika keran otonomi daerah dicanangkan dan kembali banagari mau tidak mau
semua elemen masyarakat harus memulai dengan konsep yang jelas sehingga
generasi muda Minang tidak kehilangan pegangan.
Dalam lembaga kepemimpinan, yang bertanggung jawab dalam
melestarikan adat Minangkabau adalah lembaga formal seperti Sekolah,
Pesantren, Masjid, atau lembaga Kerapatan Nagari seperti LKAAM dan
KAN.40 Pergeseran zaman membuat segalanya berubah, jikalau dulu
pendidikan adat melalui tanggung jawab oleh Ninik Mamak terhadap
kemenakannya, sekarang sudah adanya lembaga formal sampai perguruan
tinggi. Perubahan itu sudah terjadi, yang disebut dalam adat Minangkabau
“Sakali aia gadang, Sakali tapian barubah”.41 Punahnya surau sebagai
lembaga adat dan agama bagi kaum nagari di Minangkabau, dan tidak adanya
upaya membangun surau secara fisik, rubuhnya Rumah Gadang sebagai simbol
adat dalam berkaum dan bernagari, pun hampir tidak lagi diperhatikan oleh
kaum nagari itu sendiri.
40 Mansoer, dkk, Sejarah Minangkabau, h. 80. 41 Muhammad Jamil, Hiduik Baradek“Inilah Karakter Pendidikan dan Budi Pekerti Orang
Minang”, h. 128.
90
Harapan saat ini dalam membangun peradaban adat adalah Institusi
KAN dan atau LKAAM untuk bisa berdaya guna sebagai corong terakhir
dalam menuntaskan persoalan adat yang kian waktu kian memudar. KAN
adalah lembaga resmi Ninik Mamak yang eksistensinya masih dan akan diakui
oleh masyarakat untuk memecahkan persoalan sengketa dan sako pusako di
nagari.42
Keberadaan Niniak Mamak juga yang turut disertai dengan peran Alim
Ulama dan Cadiak Pandai masih tetap akan berfungsi untuk kapasitas benteng
terakhir masyarakat Minangkabau. Kemudian pemerintahan nagari juga sangat
menentukan kelangsungan adat di Minangkabau, karena pemerintah
mempunyai kekuatan dan kekuasaan dalam memajukan nagari-nagari di
Sumatera Barat.43 Artinya, kalau selama ini permasalahan adat hanya
dilimpahkan kepada Ninik Mamak atau penghulu di nagari sekarang sudah
menjadi bagian dari pemerintahan. Maka KAN, LKAAM hendaknya menjadi
bagian dari pemerintah demi kesinambungan adat.44
42 Mansoer, dkk, Sejarah Minangkabau, h. 77. 43 Mursal Esten, Minangkabau: Tradisi dan Perubahan , h. 124. 44 Muhammad Jamil, Hiduik Baradek“Inilah Karakter Pendidikan dan Budi Pekerti Orang
Minang”, h. 128-129.
91
BAB IV
HASIL TELAAH ETIKA
TUNGKU TIGO SAJARANGAN MINANGKABAU
A. Telaah Etika Tungku Tigo Sajarangan
Pemerintahan nagari beserta masyarakat nagari di Minangkabau
memiliki etika Minangkabau utama yang sangat dijunjung yaitu sebagai
“Pembentuk masyarakat anak nagari yang sejahtera, adil, dan makmur yang
selamat di dunia dan akhirat”.1
Maka dalam mewujudkan etika Minangkabau tersebut stakeholder
Minangkabau harus melaksanakan misi-misi dengan peran pembentukan
masyarakat yang tersebut sebagai berikut:2
a) Melaksanakan kepemimpinan pada semua tingkatan di wilayah
budaya Minangkabau yang berbentuk Tungku Tigo Sajarangan
(Niniak Mamak, Alim Ulama, dan Cadiak Pandai).
b) Menyiapkan pemimpin yang betul-betul berkualitas sebagai
ninik mamak, orang alim, dan cerdik dan pandai atau
cendikiawan sehingga memiliki kewibawaan kepada semua
lapisan, baik ke dalam maupun ke luar, baik kepada kawan
maupun kepada lawan.
c) Menyiapkan pemimpin yang bersih dan mampu membersihkan
dirinya sendiri dari segala sifat tercela dengan berpegang teguh
1 Mursal Esten, Minangkabau: Tradisi dan Perubahan, h. 98. 2 Zahari,Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau, h. 177-
180.
92
kepada pedoman adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah, syarak mangato, adat mamakai, alam takambang
jadi guru, dan adat nan lazim syarak nan kawi.
d) Menata pemerintahan dengan berlandaskan pada adat basandi
syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato, adat
mamakai, alam takambang jadi guru, dan adat nan lazim syarak
nan kawi tidak boleh melenceng sedikitpun dari ketentuan ini.
e) Menegakkan hukum; baik hukum syarak, hukum adat, maupun
hukum negara secara benar dan bertanggung jawab sehingga
ketertiban dan keamanan dapat dirasakan oleh seluruh anak
nagari.
f) Mendorong anak nagari untuk menunutut ilmu setinggi-
tingginya, dan pada waktunya nanti ilmu itu disumbangkan
untuk kemajuan, baik ditempat dia menetap atau ke kampung
asalnya. Dengan demikian, kampung serta nagari dibangun dan
dimajukan berbarengan dengan memajukan kehidupannya di
rantau.
g) Mengajak dan memberi penyuluhan keepada masyarakat agar
mengusahakan dan menata dengan baik sawah, ladang, baik
harta pusaka tinggi (harta kaum) maupun harta pencarian atau
pusaka rendah untuk kemakmuran keluarga yang dengan
sendirinya akan memakmurkan anak nagari.
h) Mengisi kegiatan di masjid dan surau dengan pendidikan ilmu
agama dan adat, dan pengetahuan lainnya sehingga anak nagari
93
tahu akan kewajiban dan haknya, baik hubungan vertikal dengan
Allah Swt maupun hubungan horizontal dengan sesama
manusia. Artinya, semboyan kembali ke surau perlu digalakkan
dan betul-betul dilaksanakan.
i) Memberikan penyuluhan kepada masyarakat sehingga mereka
memiliki informasi yang cukup agar dapat memagari diri, sanak
kemenakan, dan orang kampung dari berbagai hal yang dapat
merusak akidah dan adat anak nagari Minangkabau.
j) Menimbulkan kembali rasa kebersamaan atau jiwa
kegotongroyongan yang kelihatannya menghilang dari jati diri
orang Minangkabau sehingga semua sarana dan prasarana yang
dibutuhkan dapat dibangun dan dipelihara sehingga memberi
manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat.
k) Mendorong masyarakat untuk memanfaatkan dan menjaga
penggunaan tepian sesuai dengaan aturan, baik aturan adat
istiadat maupun aturan syarak sehingga marwah
keminangkabauan tetap terjaga.
l) Menyediakan sarana dan prasarana untuk menyalurkan
kreatifitas anak nagari, baik dalam bidang seni, olahraga maupun
bidang lainnya yang positif, dan mendukung kegiatan itu dengan
segala daya upaya guna menyemarakkan nagari.
m) Menjaga hubungan baik dalam bertetangga (toleransi) dengan
suku bangsa lain dengan tidak menggadaikan akidah serta
merendahkan martabat dan harga diri.
94
n) Mengeksplorasi sumber daya alam yang ada, baik di darat
maupun di laut secara bertanggung jawab dan sebesar-besarnya,
dimanfaatkan untuk kepentingan anak nagari.
o) Memanfaatkan berbagai teknologi pertanian, pertenakan,
perikanan, dan pangan untuk mengolah lahan dan hasil
pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan anak nagari
sehingga mereka mendapatkan nilai tambah dari hasil
pengolahan dengan menggunakan teknologi ini.
p) Memanfaatkan teknologi informasi yang semakin lama semakin
canggih untuk memperluas wawasan anak nagari dengan
pengawasan yang memadai agar tidak diselewengkan kepada
hal-hal yang merugikan anak nagari itu sendiri.
Jelasnya, etika Minangkabau dalam Tungku Tigo Sajarangan ini
merupakan tugas yang harus dilaksanakan oleh para pemimpin
dalam sistem Tungku Tigo Sajarangan sebagai pengemban amanah
dari rakyat atau sanak kemenakan.
Pada masa sekarang seharusnya di tangan ninik mamaklah
terletak pengemban emotional quotient; kecerdasan emosional, di
tangan ulamalah terletaknya pengembangan spiritual quotient;
kecerdasan spiritual, dan di tangan cerdik pandailah pengembangan
95
intelligence quotient; kecerdasan intelektual dari penduduk nagari
dan sanak kemenakan.3
Pemangku adat dan etika Minangkabau yang sebagai suluah
bendang harus melakukan kegiatan pendidikan dengan mengajak
dan mengajari anak nagari berjalan lurus dan berkata benar
berdasarkan dengan al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW.4
Terkendalanya pengembangan etika di masa sekarang ini banyak
didukung oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam nagari sendiri,
banyaknya hal-hal yang menjadi ketimpangan dalam pengembangan etika
Minangkabau di masyarakat terutama oleh pemerintah dalam menjalankan
misi keberlangsungan dan pertahanan etika Minangkabau, sebagai berikut:
Kurangnya keseriusan pemerintahan dalam memberikan ruang yang luas
terhadap pengembangan etika Minangkabau; Terputusnya regenerasi
pendidikan adat tradisional, hal ini juga disebabkan kurang berfungsinya
penghulu serta jajaran pemimpin yang tergabung dalam Tungku Tigo
Sajarangan meliputi Niniak Mamak dalam pengembangannya kepada anak
nagari, Alim Ulama dalam pendidikan akhlak, dan karakter agama anak
nagari, dan Cadiak Pandai dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
kepada masyarakat Minangkabau.
3 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarak di Minangkabau,
h. 297. 4 Mursal Esten, Minangkabau: Tradisi dan Perubahan, h. 101.
96
Menata etika Minangkabau dengan prinsip ABS-SBK (Adat
Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah) sangat dituntut kepada
pribadi-pribadi yang utuh dan unggul, dengan iman dan takwa, berlimu
pengetahuan menguasai teknologi, berjiwa wiraswasta, bermoral ahlak,
beradat dan beragama, karena yang akan kita kembangkan adalah hidup
modern dan maju dengan keimanan yang kokoh.
Konsekuensinya, penyediaan sumber daya manusia berkualitas
tampilnya penggerak pembangunan nagari berbekal teoritikus yang tajam,
dan efektif, qana’ah dan istiqamah di bidangnya, sebelum melaksanakan
social reform.5 Bila tidak, akan mengundang kerawanan sosial apalagi bila
banyak penduduk desa yang selama 17 tahun dibiarkan berkembang dan
serta merta berubah menjadi nagari yang cenderung tidak berkemampuan
mengantisipasi dampak besar yang akan timbul dalam menerima
perubahan.6
Masyarakat yang berada di nagari-nagari, di masa derasnya arus
globalisasi yang menggeser pola hidup masyarakat di bidang sosial,
ekonomi, politik dan juga budaya ini senantiasa menjadi sasaran empuk dan
umpan dari satu perubahan berbalut westernisasi dan pembudayaan di luar
prinsip ABS-SBK, dan acap kali masyarakat kini tersasar sesat jalan, hanya
karena kurangnya pemahaman terhadap adat dan syarak (agama Islam),
karena ketiadaan bekalan itulah penyebabnya.7
5 Mas’oed Abidin, Tiga Sepilin Suluah Bendang dalam Nagari, (Yogyakarta: Gre
Publishing, 2014), h. 28. 6 Mas’oed Abidin, Implementasi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, h. 72-
73. 7 Abidin, Implementasi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, h. 74.
97
Kehidupan sosial berteras kebersamaan atau musyawarah sebagai
salah satu landasan yang mengemuka di dalam prinsip ABS-SBK bergeser
menjadi individualis dan konsumerismenya condong berjuang memelihara
kepentingan sendiri dalam menata pemerintahan nagari karena kurang
pemahaman dan lemahnya penegasan pola pelaksanaan undang-undang dan
Perda No.9/2000 tentang pemerintahan di nagari di Sumatera Barat, tidak
jarang terjadi setiap nagari tumbuh dengan sikap bernafsi-nafsi dan condong
kepada melupakan nasib orang lain yang tentu saja tidak pernah ada di
dalam prinsip ABS-SBK itu, dan persaingan antar nagari tanpa kawalan
akan bergerak kepada “yang kuat akan bisa bertahan dan yang lemah akan
mati sendiri, yang kuat akan menelan yang lemah di antara mereka".8
Tantangan sosial, budaya, ekonomi, politik dan lemahnya
penghayatan agama di nagari-nagari, dewasa ini tidak terelakkan.Maraknya
pekat hingga ke taratak-taratak terpencil seperti tuak, arak, judi, dadah,
pergaulan bebas di kalangan kaula muda, narkoba, dan beberapa tindakan
kriminal dan anarkis, merusak tatanan keamanan, mengaburkan prinsip-
prinsip ABS-SBK, padahal pengendali kemajuan sebenarnya adalah agama
dan budaya umat dalam masyarakat (kita menyebutnya ABS-SBK dalam
tataran umatisasi), yang didukung budaya tamaddun turun temurun dalam
masyarakat kita yang tidak lain adalah Adat Basandi Syarak, Syarak
Basandi Kitabullah.
8 Mas’oed Abidin, Tiga Sepilin Suluah Bendang dalam Nagari, h. 26.
98
Tercerabutnya agama dari diri masyarakat Sumatera Barat,
Minangkabau, berakibat besar kepada perubahan prilaku dan tatanan
masyarakatnya, karena “adatnya bersendi syarak, syaraknya bersendi
kitabullah” dan “syarak (agama) mangato (memerintahkan), adat mamakai
(melaksanakan)” sungguhpun dalam pengamatan sehari-hari sudah sulit
dijumpai.9
Ada beberapa kendala dalaam mengembangkan etika Minangkabau
terhadap anak nagari di masa sekarang:10
a) hubungan muda-mudi yang terbiasa meniru kekiri kanan,
b) hubungan kekerabatan keluarga mulai menipis,
c) peran ninik mamak hanya dalam batas-batas seremonial,
d) peran substantif dari ulama, dalam pembinaan akhlak anak
nagari kerap kali tercecerkan,
e) peran pendidikan akhlak berdasarkan prinsip-prinsip budaya
adat berdasarkan ABS-SBK menjadi kabur dan melemah.
Hal ini disebabkan oleh beberapa hal;
1) Kualitas dan sumber daya manusia (SDM) sebagai penerus
kepemimpinan dan penghulu dalam nagari.
2) Tidak adanya regenerasi dalam penghulu dan kelanjutan peran
Ninik Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai dalam upaya
pembangunan masyarakat
9 Abidin, Tiga Sepilin Suluah Bendang dalam Nagari, h. 28. 10 Mas’oed Abidin, Implementasi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,
(Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau, 2004), h. 107.
99
3) Pudarnya simbol-simbol adat di nagari, seperti: surau, rumah
gadang, balai adat, parik paga, manti, dubalang, dan lain-
lainnya. Bahkan generasi sekarang lupa dengan kehadiran
pertahanan adat tersebut.
4) Hilangnya kontrol adat bagi perantau. Salah satu faktor yang
mempengaruhi budaya dan adat saat beradaptasinya para
perantau di nagarinya. Seringkali etika pergaulan dan pengaruh
negatif di perantau disebarkan di kampung. Baik pergaulan,cara
berpakaian dan pengaruh negatif lainnya.
5) Kurangnya responsif dari media untuk memberikan provokasi
dan edukasi adat Minangkabau.
6) Kurangnya materi penunjang tugas kepemimpinan nagari; dulu
anak-anak nagari masih mendengar adanya sawah
panggadangan atau sawah abuhan sebagai bekal pemimpin
nagari untuk membiayai hidupnya atau katakanlah sebagai
honornya. Sekarang sawah panggadangan atau sawah abuhan
sudah tidak ada lagi, maka jelas faktor ekonomi juga akan
mempengaruhi loyalitas dalam menjalankan tugas
kepenghuluan.
100
Dalam adat, hak setiap pemimpin nagari itu mesti ada, yang
dalam istilah lainnya, dalam Tambo disebut seperti “adat batanam
batu, adat mandirikan rumah, manaruko sawah” dan lain-lain.
Semua itu jatah persen yang harus dikeluarkan untuk sang
pemuka adat, namun karena tidak kuat lagi pranata11 adat seolah
segala hak-hak pemimpin atau pemuka adat banyak terabaikan.
1) Tidak adanya institusi di nagari untuk membina adat, baik
ditingkat kaum maupun dalam banagari.Misalnya membuat
balai latihan adat, sanggar kesenian adat, dan lainnya.
2) Belum adanya lembaga atau sekolah adat di Sumatera Barat.
Hanya daerah kabupaten Solok yang baru-baru ini mencoba
merintis mendirikan sekolah adat pertama di Minangkabau.
Kedepannya harapannya tentu perlu dicontoh oleh daerah-
daerah lain di Minangkabau.
Berikut saran-saran mengenai pembangunan etika
Minangkabau dalam masyarakat pada setiap nagari di
Minangkabau, seperti:
a. Pemerintah untuk membuat sebuah sekolah percontohan
adat Minangkabau, mulai dari tingkat kanak-kanak
sampai perguruan tinggi.
11 Pranata merupakan sebuah sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi seperti adat
istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku, dan seluruh perlengkapannya guna memenuhi
berbagai kompleks kebutuhan manusia dalam masyarakat; intitusi.
101
b. Pemerintah untuk melibatkan Urang Cadiak Pandai
nonformal kepemerintahan untuk menyusun kurikulum
pendidikan adat Minangkabau.
c. Pemerintah untuk meninjau ulang kembali kurikulum
BAM yang sudah terlanjur di sekolah-sekolah, terutama
muatan materi sejarah adat Minangkabau untuk tingkat
SD. Sejarah Adat Minangkabau adalah level perguruan
tinggi, untuk level pada anak dasarnya yang cocok dan
tepat adalah menyangkut pendidikan budi pekerti.
d. Memberikan APBD khusus untuk pembinaan adat di
kalangan pemangku adat di Minangkabau.
e. Perlu keikutsertaan pemerintah dalam menata,
meningkatkan SDM pemimpin nagari atau pemuka adat
sebagai ujung tombak adat Minangkabau di nagari.
f. Perlu revitalisasi dari tugas kepenghuluan sebagai garda
terdepan pelaku adat di dalam nagari, serta sangsi hukum
atau sangsi adat bagi pelaku adat.
g. Mengkaji ulang syarat atau sistem pengangkatan pejabat
nagari seperti Wali Nagari, dari sistem pemilu menjadi
sistem pemilihan Wali Nagari oleh KAN. Karena, nagari
di Minangkabau adalah kesatuan hukum adat yang
dilindungi undang-undang.
102
h. Media dan pers ikut membantu pengembangan adat
melalui pembuatan ruang khusus halaman adat, sehingga
akan membantu sosialisasi adat Minangkabau.
Saat ini, surau dan masjid sebagai tempat membina akidah
umat, balai pertemuan adat, dan gelanggang sepertinya tidak seiring
sejalan, tidak seayun selangkah dalam menjalankan peran dan
fungsinya, dan banyak pula yang tidak mau tahu bahwa ada sebuah
masjid yang terletak di ibu nagari yang imam masjidnya orang buta
yang dalam membaca ayat ketika salat terkadang salah karena
kebutaannya. Bahkan, kadang-kadang di waktu salat subuh ia
muazin, merangkap bilal, imam, dan makmum laki-laki sekaligus
sebab makmumnya hanya beberapa nenek-nenek tua renta saja.
Dengan demikian, tantangan kepada Tungku Tigo
Sajarangan di zaman sekarang ini semakin berat.12 Belakangan ini
pun, ada sejumlah kalangan pemuka masyarakat Sumatera Barat
memberi kesempatan kepada orang yang tidak seiman untuk
membangun Supermall, Rumah Sakit, Sekolah-sekolah, dan
berbagai sarana lainnya yang dicurigai mengandung agenda-agenda
terselubung. Kekhawatiran makin bertambah dengan adanya
permurtadan terhadap sejumlah masyarakat Minangkabau karena
berbagai alasan.13
12 Musril Zahari, Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syarakdi Minangkabau,
h. 198-199.
103
Sebagai nagari yang berpedoman ke pada adat basandi
syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato, adat mamakai,
alam takambang jadi guru,dan syarak nan kawi adat nan lazim,
tugas dari Tungku Tigo Sajarangan jelas sangat berat terhadap
pergejolakan yang menjadi pusat degradasi pemahaman dan
penerapan adat,karena itu perlu diwujudkan secara kelembagaan
yang harus tetap hidup di Minangkabau.
Mengembalikan etika Minangkabau untuk sampai ke
akarnya, tidak boleh dibiarkan dan terlalai, karena akibatnya akan
terlahir bencana akidah serta akhlak dalam masyarakat yang
berbudaya dan beradat di Minangkabau. Amatlah penting untuk
mempersiapkan generasi umat yang mengenali;14
(a) keadaan masyarakat nagari, aspek geografi, demografi,
bersejarah, kondisi sosial, ekonomi, latar belakang
masyarakat nagari itu,
(b) tamadun, budaya, dan adat-istiadat dan berbudi bahasa
yang baik;nan kuriak kundi nan sirah sago, nan baik
budi nan indah baso.
14 Mas’oed Abidin,Implementasi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, h.
81.
104
Khulasahnya adalah:
i. Perankan kembali organisasi informal di nagari-nagari,
ii. Seiringkan dengan refungsionisasi peran alim ulama
cerdik pandai “suluah bendang dalam nagari”.
iii. Sangat diandalkan untuk membangun masyarakat nagari
berdasarkan prinsip ABS-SBK ialah mempererat sistem
komunikasi dan koordinasi antar komponen masyarakat
di nagari pada pola pembinaan dan kaderisasi pimpinan
dan organisasi banagari secara jelas.
iv. Dalam gerakan “membangun nagari” maka setiap
fungsionaris di nagari akan menjadi pengikat umat anak
nagari untuk membentuk masyarakat yang lebih kuat,
sehingga merupakan kekuatan sosial yang efektif.
v. Pemerintahan nagari mesti berperan menjadi media
pengembangan anak nagari, bukan sebaliknya dan
pemasyarakatan budaya adat dan syarak (Islami) sesuai
dengan prinsip “adat basandi syarak, syarak basandi
Kitabullah” melalui mengefektifkan media pendidikan
anak nagari dalam pembinaan umat untuk mencapai
derajat pribadi takwa, serta merencanakan dan
melaksanakan kegiatan dalam hubungan hidup
bermasyarakat sesuai tuntunan syarak (agama Islam).
vi. Di nagari mestinya dilahirkan media pengembangan
minat menata kehidupan dalam aspek ekonomi, sosial,
105
budaya, politik dan agama Islam dalam rangka
mengembangkan tujuan kemasyarakatan yang adil dan
sejahtera.
Mengatasinya dengan modal kesadaran, memanfaatkan
jalinan hubungan yang sudah lama terbina, rantau dll, penyadaran
masyarakat terhadap prinsip-prinsip ABS-SBK melahirkan sikap
anak nagari (mental attitude) yang penuh semangat vitalitas, enerjik,
dan bernilai manfaat sesama masyarakatnya, menanamkan
komitmen fungsional bermutu tinggi kemampuan penyatuan
konsep-konsep, alokasi sumber dana, perencanaan kerja secara
komprehensif, mendorong terbinanya center of excelences; tangga
musyawarah antara lembaga adat, syarak dan fungsionaris nagari.
Akhirnya, tentulah tidak dapat ditolak suatu realita objektif bahwa,
“siapa yang paling banyak bisa menyelesaikan persoalan
masyarakat, pastilah akan berpeluang banyak untuk mengatur
masyarakat itu.”15
Terakhir, tentulah merupakan keharusan untuk
dikembangkan dakwah yang sejuk, dakwah Rasulullah bil ihsan
dengan prinsip jelas, tidak campur aduk antara yang hak dan batil
(laa talbisul haq bil bathil), menyatu antara pemahaman dunia untuk
akhirat keduanya tidak boleh dipisah-pisahkan, dan belajar kepada
sejarah amatlah perlu adanya gerak dakwah dan pembangunan yang
15 Mas’oed Abidin, Implementasi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, h.
80.
106
terjalin dengan network (ta’awunik) yang rapi (bin-nidzam), untuk
penyadaran kembali generasi Islam di nagari-nagari di
Minangkabau tentang peran syarak (syari’at Islam) dalam
membentuk tatanan hidup duniawiyah yang baik.16
Begitulah semestinya peranan lembaga Adat Basandi
Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) dalam menapak
perubahan baru membangun etika Minangkabau pada masayarakat.
B. Telaah Etika Ninik Mamak, Cadiak Pandai, dan Alim Ulama
Tungku Tigo Sajarangan yang diperankan oleh Niniak Mamak, Cadiak
Pandai dan Alim Ulama dengan tujuannya yang adalah untuk kemajuan dan
kesejahteraan anak nagari. Karena itulah, hasil telaaah etika masing-masing
dalam membangun dan memelihara alam Minangkabau baik sumber daya
alamnya ataupun sumber daya manusianya sangat perlu diperjelas. Berikut
adalah masing-masing etika Minangkabau dalam hasil telaah pada Tungku
Tigo Sajarangan:
1. Niniak Mamak
Niniak Mamak sebagai salah satu unsur Tungku Tigo Sajarangan
yang dipresentasikan oleh LKAAM Sumatera Barat harus berusaha
sekuat tenaga agar tidak ada lagi penghulu yang tidak mengerti atau
buta dengan adat, tidak ada lagi penghulu yang tidak melaksanakan
16 Mas’oed Abidin, Implementasi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, h.
89.
107
salat lima waktu, tidak ada lagi penghulu yang mahariak mahantam
tanah, tidak ada lagi penghulu yang tidak mengerti akan hak serta
tanggung jawabnya, dan lain sebagainya. Ninik Mamak adalah
pemimpin atau perangkat adat termasuk orang yang ampek jinih
mempunyai tugas dan fungsi memimpin kaumnya serta memelihara
harta pusaka.17 Dengan demikian, Ninik Mamak adalah orang yang
harusnya menjadi benteng adat Minangkabau. Karena itu, mereka
harus berperan untuk:
a. Menyiapkan program pendidikan bagi semua penghulu dan
calon-calon penghulu sebagai pucuk pimpinan kaum dan
suku di nagari masing-masing sehingga mereka mengerti
dengan baik akan peran, fungsi, dan kewajibannya sebagai
pemimpin dalam kaumnya.
b. Membekali anak kemenakan dan anak nagari dengan
pengetahuan adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah, syarak mangato, adat mamakai, alam takambang
jadi guru, dan syarak nan kawi adat nan lazim. Dari kecil,
anak nagari seharusnya telah diberikan pengetahuan adat dan
syarak sehingga mereka tidak tercerabut dari akar
budayanya.
c. Memelihara dan mengembangkan harta pusaka tinggi
sehingga dapat dimanfaatkan oleh anak nagari untuk
kesejaahteraan hidup secara bermartabat.
17 Gebu Minang, Pedoman Pengamalan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,
Syarak Mangato, Adat Mamakai, Alam Takambang Jadi Guru, h. 108.
108
d. Menjaga agar tidak terjadi pengalihan harta pusaka tinggi
secara tidak bertanggung jawab apalagi kepada pihak luar
yang berlainan akidah. Adanya arus globalisasi, modernisasi
dan westernisasi memang merambah sampai ke pelosok-
pelosok nagari sehingga sebagian berpahaman bahwa harta
pusaka tinggi harus diwariskan secara patrilineal.
e. Memberi pencerahan kepada anak nagari tentang bagaimana
hidup bakaum, bakampuang, dan banagari dengan
berpedoman kepada adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah, syarak mangato, adaik mamakai, alam
takambang jadi guru, dan syarak nan kawi, adaik nan lazim.
f. Mendorong anak kemenakan untuk menuntut ilmu
pengetahuan setinggi-tingginya dan menegaskan kepada
mereka bahwa kampung halaman selalu menanti kontribusi
positif dari mereka. Sudah menjadi kewajiban anak nagari
untuk melindungi adat dan syarak dari gempuran
globalisasi,westernisasi, dan orang-orang Minangkabau
sendiri yang luput dari adat dan syaraknya.
109
2. Alim Ulama
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat memiliki
fungsi sebagai suluah bendang dalam wilayah Minangkabau,
yang berkewajiban untuk menciptakan hubungan horizontal
dengan sesame manusia dan hubungan vertikal dengan Sang
Maha Pencipta dengan berpedoman kepada al-Qur’an menjadi
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda antara baik dan yang buruk.
Alim Ulama adalah orang yang harus paling tahu dengan
keadaan akidah umat, masjid, surau di Minangkabau/Sumatera
Barat dan hal-hal lain yang berkaitan dengan masalah-masalah
kehidupan anak nagari sebagai orang yang beragama Islam di
Minangkabau.
Adalah alim ulama merupakan ahli agama yang ada di
seluruh alam Minangkabau.18
Oleh karena itu, alim ulama memiliki spesifikasi etika sebagai
pkok pengembangan etika Minangkabau bagi masayarakat untuk:
a) Mengkoordinasikan pembangunan dan perawatan fisik surau
dan masjid yang ada di ranah Minangkabau serta
menciptakan kerja sama dengan berbagai pihak terkait dalam
rangka menjaga surau dan masjid sebagai milik umat, bukan
kaum saja.
18 Gebu Minang, Pedoman Pengamalan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,
Syarak Mangato, Adat Mamakai, Alam Takambang Jadi Guru, h. 186.
110
b) Memakmurkan surau dan masjid dengan kegiatan-kegiatan
pembelajaran; ceramah umum, tauhid, atau peneguhan
akidah, kelas fikih, tafsir, hadis, dan lain-lain.
c) Menjadikan masjid dan surau sebagai pusat kegiatan
kemasyarakatan; sosial, ekonomi, pendidikan, dan lain
sebagainya.
d) Menjaga akhlak umat agar sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an
dan hadis Rasulullah SAW dengan mengadakan pengajian
rutin dan ceramah majelis lainnya.
e) Merancang dan melaksanakan kegiatan yang dapat menuntun
generasi muda anak nagari untuk hidup sejahtera di dunia dan
selamat di akhirat seperti taman baca Qur’an, didikan subuh,
cerdas cermat dalam bidang agama, dan kajian-kajian lain
yang memberi pencerahan dan tuntunan kebaikan.
f) Menyiapkan kader-kader ulama di nagari secara
berkelanjutan sehingga tidak ada lagi masjid dan surau yang
kekurangan imam, khatib, dan lainnya.
g) Menjaga masyarakat dari usaha-usaha pihak luar dan dalam
yang dapat mendangkalkan akidah, permutadan, dan
mencegah aliran atau paham menyimpang yang dapat
memecah belah persatuan anak nagari.
Dengan demikian, data lengkap kehidupan beragama
anak nagari, surau, dan masjid harus dimiliki oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Sumatera Barat. Kegiatan-kegiatan yang
111
dilakukan di surau, masjid, dan di tempat lainnya harus
terdokumentasi dengan cermat sehingga hal yang baik itu dapat
dilaksanakan dan dilanjutkan dengan lebih baik lagi. Sementara
itu, segala sesuatu yang masih kurang dapat diperbaiki sehingga
menghasilkan keluaran (output) yang berkualitas lebih baik lagi
dari sebelumnya.Semua kegiatan itu harus bertujuan untuk syiar
agama Islam, semarak nagari, dan kepentingan anak nagari.
Etika Minangkabaunya dalam telaah Tungku Tigo Sajarangan
alim ulama membangun etika di Minangkabau sejak dulu adalah
membawa umat melalui informasi dan aktifitas kepada keadaan
yang lebih baik;
a.) Kokoh dengan prinsip,
b.) Qanaah dan istiqamah; konsistensi,
c.) Berkualitas, dengan iman dan hikmah.
d.) Berilmu dan matang dengan visi dan misi.
e.) Amar makruf nahyun ‘anil munkar; melakukan yang baik
dan menjauhkan diri dari kemungkaran, teguh dan
professional.
f.) Research-oriented berteraskan iman dan ilmu pengetahuan.
g.) Mengedepankan prinsip musyawarah sebelum mufakat.
Dengan hal tersebut akan merajut khaira ummah; sebaik-
baik umat di dalam masyarakat nagari yang pacak menghadapi
kompleksitas di alaf baru dengan kekuatan budaya dominan.
112
Suatu kecemasan bahwa sebagian generasi yang bangkit kurang
menyadari tempat berpijak.19
Kelemahan mendasar ditemui karena,melemahnya jati diri,
kurangnya komitmen kepada nilai-nilai luhur agama dan adat
yang menjadi panutan bangsa, dipertajam oleh tindakan isolasi
diri,perbudakan politik, ekonomi, sosial budaya disertai oleh
lemahnya minat menuntut ilmu yang menutup peluang untuk
berperan serta dalam kesejagatan.20
Pemantapan tamadun, agama dan adat budaya menjadi
landasan dasar pengkaderan regenerasi di nagari-nagari di
Minangkabau dengan kewajiban,memelihara dan menjaga
generasi pengganti yang lebih sempurna, mengupayakan
berlangsung proses timbang terima kepemimpinan dalam satu
estafet alamiah; patah tumbuh hilang berganti, karena
kesudahannya yang dapat mencetuskan api adalah batu
pemantik api juga teguh dan setia melakukan pembinaan
retransformasi adat basandi syarak-syarak basandi kitabullah
yang sudah lama dimiliki, mampu berinteraksi dengan
lingkungan secara aktif21
Artinya ada kesiapan melakukan dan menerima perubahan
dalam tindakan yang benar karena sebuah premis syarak
19 Mas’oed Abidin, Implementasi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, h. 74. 20 Mas’oed Abidin, Tiga Sepilin Suluah Bendang dalam Nagari, h. 31. 21 Abidin, Tiga Sepilin Suluah Bendang dalam Nagari, h. 37-38.
113
mengatakan bahwa segala tindakan dan perbuatan akan selalu
disaksikan oleh Allah SWT, Rasul dan semua orang beriman.
Secara umum pemeranan syarak di tengah pembangunan
masyarakat nagari ialah Menghidupkan kembali sikap prilaku
yang menjadi modal utama membangun nagari dengan alas
musyawarah dan saling menghargai. Sulit membantah bahwa
hilangnya akhlak menjadi salah satu sumber malapetaka, yaitu
punahnya keamanan.22
Indikasi melemahnya syarak diantaranya berkurangnya
minat menyerahkan anak-anak ke Surau-surau, Majelis Taklim,
TPA, MDA, bahkan melemahnya frekuensi pengajian-pengajian
al-Qur’an, dan merebaknya kebiasaan meminum minuman keras
pada sebahagian kecil kalangan muda-remaja di nagari-nagari,
dan berkembangnya keinginan bergaul bebas di luar tatanan dan
batas-batas adat dan syarak (agama):23
a. Menjalin dan menjamin keikut sertaan semua komponen
di tengah masyarakat,
b. Memulai dari penataan akhlak masyarakat anak nagari
menurut kaidah syarak mangato aadat mamakai.
22 Mas’oed Abidin, Tiga Sepilin Suluah Bendang dalam Nagari, h. 23. 23 Mas’oed Abidin, Implementasi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, h. 82-
85.
114
Akan tetapi seringkali tidak terikuti oleh pembinaan
yang intensif, antara lain disebabkan oleh:
1) Kurangnya tenaga tuangku, imam khatib dan alim
ulama yang berpengalaman, mungkin berkurangnya
jumlah mereka di nagari-nagari atau karena
perpindahan ke kota,
2) Kurangnya minat menjadi imam-khatib dan alim
ulama di nagari,
3) Terabaikannya kesejahteraan alim ulama di nagari-
nagarisecara materil yang tidak seimbang dengan
tuntutan yang diharapkan oleh masyarakat dari
seorang da’i, di antara jalan keluarnya dapat
diupayakan pemerkasaan mereka dengan jalan
pelembagaan musyawarah, dan penetapan anggaran
nagari atau sumber tetap dari masayarakat, karena
umumnya imam-khatib bukanlah pegawai nagari
yang memiliki penghasilan bulanan yang tetap telah
dianggarkan dalam APBD, padahal mereka
senantiasa dituntut oleh tugasnya untuk selalu berada
di tengah umat di nagari yang dibinanya.
4) Memang tantangan dakwah selalu berhadapan
dengan tantangan yang sangat banyak, namun uluran
tangan yang didapat hanya sedikit.
115
Menghidupkan lembaga syarak sebagai institusi masyarakat
yang perannya tidak kalah penting dari lembaga adat nagari.
Penguatan lembaga kemasyarakatan yang ada di nagari mesti di
sejalankan dengan kelompok pemimpin pemegang kendali
pemerintahan nagari yang adil dalam spirit perubahan
membangun kembali masyarakat nagari.24
3. Cadiak Pandai
Cadiak Pandai (Cerdik Pandai) banyak tersebar di
berbagai bidang kehidupan, terutama yang berkarir sebagai
akademisi.
Mereka perlu diajak dan dihimbau untuk berpartisipasi
dalam membangun Minangkabau dengan sinerginya bersama
Ninik Mamak dan Alim Ulama dalam menciptakan sumber daya
manusia yang mumpuni untuk kemajuaan nagari.Para cerdik
pandai diharapkan melahirkan konsep-konsep aplikatif yang
dapat mengangkat harkat dan martabat masyarakat dalam
mengahadapi berbagai tantangan yang semakin hari semakin
berat.
24 Mas’oed Abidin, Tiga Sepilin Suluah Bendang dalam Nagari, h. 25.
116
Cerdik merupakan sifat positif yang dimiliki seseorang
untuk mengerti tentang berbagai situasi dan berbagai hal
sehingga dia mampu dengan cerdas mencarikan solusi atau
pemecahan masalah dengan baik dan bijaksana.
Sementara itu, pandai adalah cepat dan cerdas menangkap
sesuatu sehingga pokok permasalahan yang di sampaikan orang
lain dapat dipahaminya dengan cepat dan baik sehingga orang
lain itu tidak perlu menyampaikannya secara rinci.
Orang-orang cerdik pandai memiliki cara berpikir yang
kritis, rasional, sistemik, sistematik, dan holistik serta tidak
memiliki emosi yang meledak-ledak. Mereka menggunakan raso
jo pareso manuruik alua jo patuik dalam berbagai situasi dan
kondisi di dalam kehidupan sehari-hari. Mereka adalah orang
yang beradat dan beragama yang diperlihatkan dan dipraktikkan
dalam bentuk sebagai teladan bagi orang-orang lainnya.
Berkaitan dengan cerdik pandai, Hamka mengemukakan bahwa:
“Orang yang cerdik pandai adalah orang-orang yang
pahamnya luas penyelidikannya dalam, batjaanja banjak. Sebab
itu banjaklah jang diketahuinja, sehingga dia tidak merasa
tjanggung dalam pergaulan dengan segala lapisan. Oleh karena
ada pengetahuannja dalam suatu hal, maka ia berani
bertanggung djawab. Maka kita namai dia orang tang “tjerdik
pandai”.25
25 Hamka, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, (Jakarta: Fa. Tekad, 1963), h. 16.
117
Cerdik pandai dapat dengan baik menghargai pendapat
orang lain, pandai dan dapat bertoleransi dengan berbagai
kelompok masyarakat yang tingkatan pemahaman dan pemikiran
yang beragam pula. Mereka berpikir cepat dan tajam dalam
menghadapi kesulitan dan tantangan, mahir dan cerdas
menyampaikan pendapatnya dengan muka yang cerah
dansenyum dibibir.
Mereka bukanlah orang yang suka menghardik dengan
mengepal tinju serta memperlihatkan muka merah di depan
banyak orang. Mereka merupakan pemikir yang baik dengan
daya analisis yang tajam dan memiliki nas, mereka ahli dalam
mempresentasikan pemikirannya di hadapan orang ramai,
mereka mampu meladeni khalayak dalam berdiskusi dan
berdebat, dan mereka adalah diplomat ulung.
Cerdik pandai sebagai manusia intelektual, profesional,
dan terpelajar, diharapkan dapat mengevaluasi keadaan
masyarakat baik kekuatan maupun kelemahan yang dimiliki
sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
Cerdik pandai yang diharapkan menyusun konsep-konsep
hidup dan kehidupan untuk memastikan dicapai bumi sanang,
sawah manjadi, padi manguniang, jaguang mangupiah, taranak
bakambang biak. Bapak kayo, mandeh batuah mamak dihormati
urang pulo sehingga terciptanya masyarakat yang aman, damai,
dan makmur, serta memperoleh keberkahan dari Allah SWT.
118
Segala tujuan dalam masyarakat hanya mungkin dapat
dicapai apabila disiapkan perangkat untuk mencapai tujuan itu.
Adalah tugas dari Cerdik Pandai menyiapkan sumber daya
manusia yang berkualitas dengan bersinergi bersama ninik
mamak dan alim ulama.
Sementara itu, hasil rumusan Seminar Kebudayaan
Minangkabau atau Kongres Kebudayaan Minangkabau
(SKM/KMM) Gebu Minang mengemukakan, bahwa:
“Cerdik Pandai adalah para cendikiawan, seniman,
budayawan, serta kaum intelektual lainnya yang bertugas dan
berfungsi memberi pencerahan kepada seluruh kaum
Minangkabau mengenai bidang masing-masing” (Gebu Minang,
2011:109).
Dengan demikian, cerdik pandai adalah problem solver
yang harus mampu mencarikan way out setiap permasalahan
yang ada di Minangkabau secara terukur, terencana, sistematik,
sistemik, dan holistik. Dengan berlakunya pula aturan syarak dan
adat dengan baik dan benar dalam kehidupan anak nagari,
masyarakat sejahtera, adil, dan makmur yang selamat di dunia
dan di akhirat tentu dapat diharapkan tercipta di ranah
Minangkabau.
119
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian penulis, penulis memperoleh beberapa
kesimpulan terhadap hasil penelitian tentang telaah etika Minangkabau
yang terdapat dalam konsep Tungku Tigo Sajarangan Minangkabau, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1.) Tungku Tigo Sajarangan merupakan etika Minangkabau yang
terbentuk oleh masyarakat di Minangkabau, Etika Minangkabau dalam
masyarakat Minangkabau membentuk serangkai Tungku Tigo
Sajarangan dengan etika Minangkabau yang berbeda dan saling
berkaitan dalam mempertahankan etika dan mengembangkannya
kepada masyarakat Minangkabau.
2.) Etika Minangkabau dalam telaah Tungku Tigo Sajarangan memiliki
empat bentuk etika yang terdapat dalam Etika Adat sabana Adat, etika
adat nan taradat, etika adat nan diadatkan, dan etika adat istiadat yang
berlaku dalam nagari di Minangkabau dan perkembangannya terhadap
etika Minangkabau bagi anak nagari.
120
B. Saran
Hemat penulis, hasil penelitian penulis terhadap hasil penelitian
tentang telaah etika Minangkabau yang terdapat dalam konsep Tungku
Tigo Sajarangan Minangkabau, maka penulis memiliki saran terhadap
perkembangan etika Minangkabau, yaitu:
1. Etika Minangkabau dan Tungku Tigo Sajarangan di nagari haruslah
dipertahankan dalam keberlangsungan pengembangan pedoman etika
Miangkabau dalam berkehipan “Adat Basandi Syara, Syarak Basandi
Kitabullah” terhadap masyarakat. Tungku Tigo Sajarangan
difungsikan sesuai dengan etika Miangkabau sebagai peranan dan
tugas pokok pemimpin yang berguna dalam perkembangan adat
terhadap anak nagari di Minangkabau. Minangkabau haruslah
memberikan ruang terhadap Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Cadiak
Pandai dalam mengembangkan etika Minangkabau.
Penulis menyadari, dalam pengembangan tulisan dan penelitian ini
terdapat berbagai kekurangan dan hal-hal lainnya, maka penulis sangat
menerima dan terbuka atas kritik beserta saran, agar berkembangnya
kedalaman ilmu pengetahuan terkhusus tentang adat dan budaya di
Minangkabau.
121
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Abidin, Mas’oed. Implementasi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah. Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau, 2004.
______, Mas’oed. Tiga Sepilin Suluah Bendang dalam Nagari. Yogyakarta:
Gre Publishing, 2014.
Anwar, Chairul. Hukum Adat Indonesia; Meninjau Hukum Adat
Minangkabau.Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Bahar, Saafroedin. Masih Ada Harapan: Posisi Sebuah Etnik Minoritas dalam
Hidup Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: Yayasan Sepuluh Agustus,
2004
_____, Saafroedin. ABS-SBK: Filosofi Hidup Untuk Dipraktikkan Bukan
Sekedar Konsep. Jakarta: Gria Media, 2015.
Batuah, Maruhum, A.M. Dt, Dt. Bagindo Tanameh. Hukum Adat dan Adat
Minangkabau. Jakarta: Pustaka Aseli, 1956.
Berthens, K.Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka, 2007.
122
Diradjo, Ibrahim Dt. Sanggoeno. Tambo Alam Minangkabau (Tatanan Adat
Warisan Nenek Moyang Orang Minang). Sumatera Barat: Kristal
Multimedia, 2009.
Esten, Mursal. Minangkabau: Tradisi dan Perubahan. Padang: Angkasa
Raya, 1993.
H.B Saanin, Dt. Tan Pariaman. Kepribadian Orang Minangkabau; dalam
Kepribadian dan Perubahan. Jakarta: PT Gramedia, 1980.
Hakimi, Idrus. 1000 Pepatah Petitih, Mamang, Bidal Pantun, Gurindam.
Bandung: Remadja Rosdakarya, 1988.
______, Idrus. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau.
Bandung: Remaja Rosda Karya, 1997.
Hamka. Sejarah Islam di Sumatera. Medan: Pustaka Nasional, 1950.
______. Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi. Jakarta: Fa. Tekad, 1963
Hanafiah. Tinjauan Adat Minangkabau. Jakarta, 1970.
Indo, Madjo. Kato Pusako (Papatah, Patitih, Mamang, Pantun Ajaran, dan
Filsafat Minangkabau). Jakarta: PT Rora Karya, 1999.
123
Jamil, Muhammad. Hiduik Baradek “Inilah Karakter Pendidikan dan Budi
Pekerti Orang Minang”. Bukittinggi, Sumatera Barat: Cinta Buku
Agency, 2015.
Julius, Dt. Malako Nan Putiah. Mambangkik Batang Tarandam: Dalam
Upaya Melestarikan Adat Minangkabau Menghadapi Modernisasi
Kehidupan Bangsa. Bandung: Penerbit Citra Umbara, 2007.
Junus, Mahmud. Sejarah Islam di Minangkabau (Sumatera Barat). Jakarta:
Al-Hidajah, 1971.
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan,
1971.
M.D., Mansoer, dkk. Sejarah Minangkabau. Jakarta: Bhratara, 1970.
Manggis, Rasjid, M. Dt. Radjo Panghoeloe. Minangkabau “Sejarah
Ringkasdan Adatnya. Padang: Sri Dharma, 1971.
Maronrong, Ridwan. ABS-SBK: Filosofi Hidup Orang Minangkabau.Jakarta:
STIE Indonesia Jakarta, 2014.
Minang, Gebu. Pedoman Pengamalan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah, Syarak Mangato, Adat Mamakai, Alam Takambang Jadi
Guru. Jakarta: Penerbit Gebu Minang, 2011.
124
Naim, Mochtar. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1979.
Nasroen, M. Dasar Falsafah Adat Minangkabau. Jakarta: Bulan Bintang,
1971.
Navis, A.A. Sastra Tradisional Minangkabau. Padang, 1970
_____, A.A. Meninjau Masalah Adat Minangkabau dalam Novel Indonesia.
Budaya Jaya: 1976.
_____, A.A. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan
Minangkabau. Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1984.
Noer, Deliar. Muhammad Hatta: Biografi Politik. Jakarta: Lembaga
Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial, 1990.
Radjab, Muhammad. Perang Paderi. Jakarta: Balai Pustaka, 1954.
______, Muhammad. Sistem Kekerabatan di Minnagkabau. Padang: Center
for Minangkabau Studies, 1969.
Rusli, Amran. Sumatera Barat hingga Plakat Panjang. Jakarta: Penerbit
Sinar Harapan, 1981.
Saydam, Gouzali. Kamus Lengkap Bahasa Minang Jilid I. Padang: Pusat
Pengkajian Islam Dan Minangkabau,2004.
125
Thaib, Darwis, Dt. Siti Bandaro. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi:
Nusantara, 1965.
Yulika, Febri. Epistimologi Minangkabau; Makna Pengetahuan Dalam Filsafat
Adat Minangkabau. Padang Panjang: LPPMPP ISI Padang Panjang,
2017.
Zahari, Musril. Kekeliruan Pemahaman Hubungan Adat dengan Syara di
Minangkabau. Jakarta: PT Gria Media Prima, 2015.
Sumber Jurnal
Ahmad Kosasih. Upaya Penerapan Nilai-nilai Adat dan Syarak Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Nagari. 2013.
Dwi Rini Sovia Firdaus, Djuara P.Lubis, dkk. Potret Budaya Masyarakat
Minangkabau Berdasarkan Keenam Dimensi Budaya Hofstede.
SODALITY Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 6 No. 2. Agustus 2018.
Erwin Mardiansyah, Rasmida, dkk. Nan Lah Lapuak (Pengaruh Modernitas
terhadap Adat). BESAUNG Jurnal Vol. 4 No. 4. September 2019.
Meri Handayani, V. Indah Sri Pinasti. Pergeseran Peran Niniak Mamak pada
Masyarakat Minangkabau dalam Era Modernisasi. 2017.
126
Nurwani Idris, Kedudukan Perempuan dan Aktualisasi Politik dalam
Masyarakat Matrilinial Minangkabau. Jurnal Masyarakat Kebudayaan
dan Politik Tahun 25, No: 2108-116. 2007.
Roni Afrizal. Peranan Wali Nagari dalam Pelaksanaan Pemerintahan Nagari
di Nagari Muaro Takung Kecamatan Kamang Baru Kabupaten
Sijunjuang. 2013.
Siti Fatimah, Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Minangkabau pada
Masa Pendudukan Jepang. TINGKAP Vol. VII No.1, 2011.
Teguh Haniko Putra, Rahayu Supanggah. Memudarnya Wibawa Niniak
Mamak sebagai Urang nan Gadang Basa Batuah di Minangkabau.
GELAR Jurnal Seni Budaya Vol. 15 No. 2. 2017.
Sumber Internet
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
www.dpr.go.id