Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ESTETIKA ISLAM DALAM LUKISAN AFFANDI
KOESOEMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin sebagai syarat untuk memenuhi persyaratan
mendapatkan gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Nur Amalia Dini Priatmi
NIM: 1113033100044
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M./ 1440 H.
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
i
Abstrak
Affandi Koesoema merupakan maestro pelukis dari Indonesia. Dengan
gaya lukisannya yang ekspresionis, membuat lukisan Affandi Koeseoma cukup
diminati oleh kalangan kolektor. Dengan teknik pelototan atau melukis dengan
jari-jarinya, lukisan ekspresionis Affandi sarat akan makna estetiknya.
Sebagaimana yang ada dalam lukisan Ayam Tarung, Ka’bah, maupun dalam
lukisan Potret Diri.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menganalisis secara
deskritptif tentang estetika pada lukisan-lukisan Affandi Koeseoma. Meskipun
sumber utama penelitian ini adalah lukisan-lukisan Affandi Koeseoma, namun
dalam mendeskripsikannya penulis menggunakan data-data dokumenter seperti
buku-buku estetika maupun deskripsi tentang lukisan Affandi Koesoema.
Penelitian ini menemukan bahwa lukisan Affandi sarat akan nilai
religiusitas lukisan dalam lukisan yang berjudul Ka’bah. Dengan pilihan warna
cerah cenderung identik dengan estetika Islam yang menggambarkan cahaya,
kecerahan dan kebahagiaan. Selain itu, lukisan Affandi Koesoema juga sarat akan
nilai humanis dan idealis, sebab hampir semua lukisan Affandi Koesoema
mengambil objek aktifitas sehari-hari. Adapun makna estetika yang tersirat dalam
lukisan Affandi Koesoema merupakan kritik terhadap realita sosial dimana
menggambarkan masih banyaknya kesedihan dan kesusahan maupun perilaku
buruk yang dilakukan oleh manusia.
Kata Kunci: Affandi Koesoema, Lukisan, Estetika
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan karunia Nya,
Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Estetika Isalam yang
Terdapat Dalam Lukisan Karya Affandi Koesoema ini untuk memenuhi salah satu
syarat kelulusan studi serta dalam rangka memperoleh gelar sarjana pendidikan strata
satu pada program studi Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negri Syraif Hidayatullah Jakarta.
Penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda tercinta
Priatmojo dan Ibunda tersayang Fatchurochmi yang telah mencurahkan segenap cinta
dan kasih sayang serta perhatian moril maupun materil. Semoga Allah SWT selalu
melimpahkan rahmat, kesehatan dan keberkahan di dunia dan di akhirat atas budi baik
yang telah diberikan kepada penulis, serta terimakasih kepada :
1. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku pembimbing akademik.
2. Drs. Fakhruddin, MA selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan
menasihati dengan setulus hati dalam memberikan masukan serta arahan yang
baik kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir atau
skripsi ini.
3. Dra. Tien Rohmatin, MA., Selaku ketua jurusan Aqidah dan Filsafat Islam.
4. Dr. Abdul Hakim Wahid, MA., Selaku sekertaris jurusan Aqidah dan Filsafat
Islam.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta
jajarannya, yang tak bisa penulis sebut namanya satu persatu. Semoga ilmu
yang telah diajarkan kepada penulis dapat diamalkan dan semoga kelak
mendapat balasan dari Allah.
Scanned by CamScanner
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .........................................
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................
ABSTRAK ........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 6
D. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 7
E. Metode Penelitian .................................................................................. 8
F. Sistematika Penulisan ............................................................................ 10
BAB II ESTETIKA DAN LUKISAN ............................................................... 11
A. Estetika ................................................................................................... 11
1. Pengertian Estetika ........................................................................... 11
2. Unsur-Unsur Estetika ....................................................................... 16
3. Estetika Islam ................................................................................... 18
B. Lukisan ................................................................................................... 22
1. Pengertian Lukisan ........................................................................... 22
2. Aliran-Aliran dalam Lukisan ........................................................... 24
BAB III BIOGRAFI AFFANDI KOESOEMA ............................................... 28
A. Riwayat Hidup ....................................................................................... 28
B. Perkembangan Gaya Lukisan Affandi ................................................... 34
C. Karya-Karya Affandi ............................................................................. 37
BAB IV ANALISIS NILAI ESTETIKA ISLAM DALAM LUKISAN
AFFANDI KOESEOMA ................................................................................... 44
A. Estetika Religius dalam Lukisan Ka’bah ................................................ 44
B. Humanisme dalam Lukisan Affandi ...................................................... 50
C. Estetika Idealisme .................................................................................. 58
D. Kritik Sosial Affandi melalui Lukisan ................................................... 62
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 70
A. Kesimpulan ............................................................................................ 70
B. Kritik dan Saran ..................................................................................... 71
Daftar Pustaka .................................................................................................... 72
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertanyaan yang sering kita dengar mengenai keindahan adalah apakah
yang dimaksud dengan keindahan ? Apakah yang indah itu harus selalu
menampilkan yang cantik, menyenangkan, menyejukan dan memberi
ketentraman serta kenyamanan dalam kebahagiaan bathin? Apakah kehadiran
keindahan dalam karya seni, sebuah jaminan bahwa karya tersebut berkualitas
dan memiliki nilai? Di sisi lain terdapat satu pemahaman yang sama tentang
keindahan yang sama nilainya bagi semua orang. Salah satu contohnya dalam
lukisan. Ini disebabkan lukisan bukan saja mengandung atau memunculkan
nilai intrinsik keindahan, tetapi bagaimana nilai ekstrinsik dalam keindahan
dikelolah sebagai komunikasi.
Perumusan, perdebatan dan pertentangan mengenai indah dan kurang
indah, merupakan perdebatan yang sudah terjadi sejak zaman Yunani Kuno.
Plato sendiri menyebut keindahan sebagai ide kebaikan, yang memunculkan
tentang watak yang indah dan hukum yang indah. Aristoteles menyebutkan
keindahan sebagai, selain baik juga menyenangkan.1 Akan tetapi, di luar
perdebatan soal keindahan, terdapat perdebatan mengenai diperbolehkan atau
dilarangnya sebuah karya seni, terutama lukisan. Dalam pemikiran Islam,
perdebatan keindahan dalam lukisan cukup meruncing semenjak adanya klaim
dari Ettinghausen mengenai kematian lukisan Arab seabgai dampak pemikiran
1 Bagoes P. Wiryomartono, Pijar Menyingkap Rasa: Sebuah Wacana Seni dan
Keindahan, (Jakarta: Gramedia, 2001), h. vii.
2
al-Ghazālī.2 Namun klaim tersebut dianggap terburu-buru, sebab banyak faktor
yang menjadikan kemandekan seni lukis dalam Islam.
Pada intinya perdebatan mengenai keindahan dalam lukisan mengarah
pada dua hal. Pertama bagaimana perspektif seseorang dalam memahami
keindahan dalam lukisan. Kedua adalah apakah terdapat lukisan-lukisan yang
sarat akan nilai Islamnya. Untuk menjawab kedua pertanyaan di atas, maka
diperlukan penelitian secara akademis dalam kajian estetika dan keislaman.
Oleh karena itu, perlu mengambil objek lukisan untuk diteliti sisi estetikanya
sekaligus menguraikan nilai-nilai keislaman dalam sebuah lukisan.
Salah satu pelukis yang bisa dijadikan objek penelitian dalam kajian
estetika adalah lukisan-lukisan karya Affandi Koesoema. Affandi Koeseoma
merupakan maestro pelukis asal Indonesia yang terkenal hingga mancanegara.
Gaya lukisannya yang ekspresionis tampil beda dengan pelukis lain yang se-
zamannya. Lebih dari 2000an lukisan yang dibuatnya, baik di pamerkan di
Indonesia maupun di luar negeri. Akan tetapi, dibalik pencapaiannya yang
sangat tinggi, terdapat masalah utama, yakni Affandi tidak pernah merasa puas
mendapat sanjungan atas lukisan yang dibuatnya. Persoalan ini berakar pada
pernyaataan Affandi tentang pesan yang tidak dipahami baik oleh para
penikmat lukisannya.3
Untuk memahami lukisan-lukisan Affandi, dibutuhkan perspektif
estetika. Estetika merupakan cabang filsafat yang berbicara tentang keindahan.
Kesatuan, keselarasan, kesetangkupan, keseimbangan, dan perlawanan adalah
2 Oliver Leaman, Estetika Islam, h. 60.
3 Ajip Rosidi, 100 Tahun Affandi, (Bandung: Nuansa, 2008), h. 45.
3
kwalitas dalam suatu benda yang biasa dijadikan ukuran dari keindahan.
Estetika secara sederhana berarti keindahan. estetika merupakan pemikiran
filsafat dalam persoalan keindahan seni dan alam.4
Estetika sebagai suatu ilmu normatif sebanding dengan etika dan lebih
berpengaruh daripada logika. Dalam menilai segala sesuatu kadang manusia
tidak menilai dari segi baiknya atau benarnya, tetapi dari segi bagusnya.
Seperti seorang wanita yang membeli gaun indah yang berharga mahal, ia tidak
mempertimangkan sisi baik atau buruknya pakaian itu, atau
membertimbangkan apakah menggunakan pakaian tersebut adalah tindakan
yang benar atau salah. Dari sini dapat diketahui bahwa peran estetika sangat
penting sekali dalam kehidupan manusia. Bahkan bagaimana profil dan citra
diri kita dilihat dari kerapihan dan sisi estetis dari segi penampilan kita.
sehingga dapat disimpulkan bahwa seseorang dalam beberapa hal
mengedepankan sisi estetisnya, bukan sisi etik atau logis dalam menilai
sesuatu.5
Perasaan akan keindahan diekspresikan oleh manusia dalam bentuk
seni, sebab manifestasi dan rasa kekaguman manusia pada keindahan
tercerminkan kedalam bentuk seni. Hasrat manusia pada keindahan,
mendorong manusia untuk meniru dalam bentuk karya seni. Bahkan sejak
zaman dahulu ingin menciptakan sesuatu yang indah dan bernilai.6
4 Jacob Sumardjo, Filsafat Seni, (Bandung, Penerbit ITB, 2000), h. 20.
5 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat: Pengantar Kepada Dunia Filsafat, Teori
Pengetahuan Metafisika, Teori Nilai, Jilid IV, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978) h. 549 6 Michael hauskeller, Seni- Apa itu?,(Yogyakarta: Kanisius, 2015), h. 13
4
Dibalik sesuatu yang indah, tersimpan pemikiran tentang indah yang
tidak hanya secara indrawi. Dalam pengertian indah yang inderawi tertuju pada
benda yang terserap melalui penglihatan, yaitu berupa bentuk dan warna. Akan
tetapi, dalam menguraikan makna keindahan yang sesungguhnya atau yang
murni akan berusaha mengungkapkan pengalaman estetis dari seseorang dalam
keterkaitannya dengan segala sesuatu yang diserapnya. Upaya refleksi kritis
terhadap pemikiran tentang keindahan tersebut harus didasari pada karya seni
sebagai proses kreasi seniman, gagasan atau ide si seniman dikomunikasikan
pada hasil karyanya.7
Selain persoalan gagasan atau ide, dalam estetika juga memuat
persoalan pengalaman spiritual seseorang. Hasil karya seni seseorang tidak
melulu hasil pengalaman inderawi semata, akan tetapi juga terdapat
pengalaman spiritual dari seniman yang tertuang dari hasil karya-karyanya.
Bahan ini disebut juga dengan “living spirit”. Dalam kajian lukisan disebut
sebagai pengaruh mistis dan menjadi simbolis, terutama dalam lukisan-lukisan
surealis.8
Konsepsi tentang pengalama spritual yang dirasakan seniman dan
tertuang dalam karya-karyanya secara umum dipertegas oleh pemikiran Islam.
Sebagaimana estetika Islam berupaya mengungkap kualitas spiritual yang tidak
hanya tertera dalam objeknya. Akan tetapi lebih mendalam seperti makna serta
pengalam spiritualitas atas seni Islam tersebut.9 Ismail Raji Al-Faruqi
7 Darsono Sony Kartika dan Nanang Ganda, Pengatar Estetika, (Bandung; Rekayasa
Sains, 2004), h. 6. 8 Abdul Hadi WM, Hermeneutika, Estetika, Religiusitas, (Jakarta: Sadra Pres, 2016),
h. 137. 9 Oliver Leaman, Estetika Islam, (Bandung: Mizan, 2004), h. 42.
5
mengatakan bahwa seni Islam ekspresi estetis seni yang tak terbatas pada jenis
desain daun tertentu yang disempurnakan umat Islam. Seni Islam juga bukan
semata mata pola dua dimensi abstrak, akan tetapi entitas struktural selaras
dengan prinsip estetis ideologi Islam. Dengan merenungkan pola tak terbatas
ini, benak orang yang mempersepsinya dialihkan ke Tuhan, dan senipun
memperkuat keyakinan religius. Jadi, seni Islam mempunyai tujuan mengajar
dan memperkuat persepsi tentang transendensi Tuhan dalam diri manusia.10
Selain itu, estetika Islam juga dibahas oleh Seyyed Hosein Nasr. Nasr
menjelaskan bahwa seni Islam adalah seni yang memiliki unsur spiritual, baik
secara ma’nawi maupun didapatkan berdasarkan pengalam spiritual. Kemudian
menjadi pandangan yang menggambarkan keagungan Tuhan dan menyadarkan
manusia untuk kembali pada Tuhannya.11
Dengan kata lain, estetika Islam
merupakan seni yang menggambarkan persoalan ketauhidan atau persoalan
ketuhanan.
Secara praksis, Abdul Hadi WM memberikan ciri-ciri lukisan Islami
seperti memiliki citra sejarah, tidak membutuhkan perspektif karena lukisan
dipandang dari jarak jauh ataupun dekat akan menghasilkan makna yang sama
saja. Lukisan Islam menolak kegelapan, lukisan Islam merupakan ekspresi
tunggal berupa cinta atau memiliki nilai sufistik. Lukisan Islam merupakan
ilustrasi teks atau wacana atas firman Tuhan.12
10
Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, (Bandung: Mizan, 2002), h. 198. 11
Seyyed Hosein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Sutedjo, (Bandung: Mizan,
1994), h. 13. 12
Abdul Hadi WM, Hermeneutika, h. 231-238.
6
Dari gagasan estetika sebagai teori dalam rangka menguraikan jawaban
mengenai keindahan sangat tepat untuk meneliti lukisan-lukisan Affandi
Koesoema. Dengan genre ekspresionisnya tidak mudah memahami maksud
dan makna dalam setiap lukisan-lukisannya. Namun beberapa penjelasan Ajip
Rosidi dalam buku-bukunya tentang Affandi menegaskan adanya buah
pemikiran dalam setiap lukisan Affandi. Dengan kata lain lukisan Affandi
memiliki nilai-nilai estetika. Selain itu, perlu dianalisa juga mengenai konsep
estetika Islam dalam lukisan Affandi dalam rangka membuktikan estetika
Islam dalam lukisan masih ada. Atas dasar ini penulis tertarik untuk meneliti
“Estetika Islam dalam Lukisan Affandi Koeseoma”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada estetika Islam yang terdapat dalam lukisan
Affandi Koesoema. Adapun rumusannya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana nilai-nilai estetika Islam yang terdapat dalam lukisan Affandi
Koesoema?
2. Apa saja Indikator estetika Islam dalam Lukisan Affandi Koesoema?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan nilai-nilai estetika Islam pada lukisan-lukisan Affandi,
2. Melacak pemikiran estetika pada lukisan-lukisan Affandi Koesoema,
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Sebagai tambahan wawasan serta ilmu pengetahuan terkait keindahan
dalam lukisan-lukisan Affandi Koesoema.
7
2. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar akademik Sarjana
Agama (S.Ag) pada Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
D. Tinjauan Pustaka
Terdapat beberapa penelitian terkait atau berhubungan dengan
penelitian yang akan dilakukan. Di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama Skripsi berjudul “Musik Sufistik Perspektif Seyyed Hossein
Nasr” ditulis oleh Agung Hidayat, Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas
Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017. Penelitian tersebut
terfokus pada masalah musik, namun musik juga bagian dari estetika, sehingga
secara umum membahas estetika Islam. Hasil penelitiannya adalah musik
merupakan tingkatan spiritual dalam Islam. Persamaan dan perbedaan dengan
penelitian yang akan dilakukan adalah dalam penelitian sebelumnya
menggunakan estetika. Perbedaannya adalah penulis menggunakan seni
sebagai sub teori dari estetika dan lukisan sebagai objek penelitiannya.
Kedua skripsi yang ditulis oleh Dian Permatasari “Kaligrafi Dalam
Estetika Islam Menurut Isma’il Raji Al-Faruqi”. Dalam skripsi ini Dian hanya
menjelaskan pendapat Isma’il Raji Al-Faruqi tentang kaligrafi dalam estetika
islam. Untuk mengetahui kaligrafi dalam estetika islam dalam pandangan
Isma’il Raji Al-Faruqi.
8
Dari dua skripsi di atas dapat disimpulkan bahwa belum ada penelitian
tentang estetika dalam seni yang mengambil objek lukisan. Dengan demikian
penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian baru dan original.
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode serta langkah-langkah
penelitian. Berikut rinciannya:
1. Pendekatan
Pendekatan metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah
pendeketan kualitatif, yaitu penelitian dengan mendeksripsikan apa adanya
dengan teori yang ada.
2. Sumber Data
Sumber data penelitian terdiri dari dua sumber yaitu sumber primer dan sumber
sekunder. Sumber primer dalam penelitian ini adalah lukisan-lukisan Affandi
Koesoema yang terdapat dalam buku 100 Tahun Affandi yang berisi kumpulan-
kumpulan lukisan Affandi. Selain itu lukisan juga diambil dari Museum
Affandi di Yogyakarta. Diambil sebagai dokumentasi pribadi untuk bahan
penelitian. Di antaranya adalah lukisan yang berjudul Potret Diri, Ayam
Tarung, Keluarga, dan Ka’bah.
Adapun sumber sekundernya adalah buku-buku terkait Affandi Koesoema
seperti Affandi: Hari Sudah Tinggi, 100 Tahun Affandi, The Histori of Affandi.
Selain itu penulis mengambil dari buku-buku seni dan estetika seperti Estetika;
Fisafat Keindahan, Estetika, Estetika Islam, dan sebagainya.
9
3. Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian ini, pengumpulan data diambil dari data-data
perpustakaan (library research) yaitu data – data yang diperlukan, baik
primer maupun sekunder dieksplorasi dari kepustakaan.13
4. Pengolahan Data
Setelah data – data penelitian terkumpul, maka langkah selanjutnya
penulis menentukan metode deskriptif dan analisis. Dalam metode deskriptif
penulis akan menjelaskan gambaran yang jelas mengenai permasalahan
yang terkait dengan skripsi ini agar mampu dipahami. Sementara dalam
metode analisis dipakai oleh penulis untuk menyusun skripsi ini dalam
bentuk yang sistematis sehingga mengena pada inti permasalahan.
Metode analisis juga dipakai oleh penulis dalam pemilihan lukisan-
lukisan yang hendak dimasukkan kedalam bab pembahasanya yakni
Eksistensi Estetika Islam yang terdapat dalam lukisan – lukisan Affandi.
Hal tersebut bertujuan untuk memperoleh data primer dan sekunder.
5. Pedoman Penulisan
Pedoman penulisan skripsi ini mengacu pada buku Pedoman Akademik
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013-2014. Adapun
transliterasi mengacu pada Jurnal HIPIUS yang diterbitkan HIPIUS,
Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
13
Abuddin Nata, Metode Studi Islam, (Jakarta : Raja Grafid Persada, 2010), h. 125.
10
G. Sistematika Penulisan
Agar lebih tersusunnya penelitian ini maka perlu adanya
sistematika penulisan. Dalam penyusunan inidi bagi menjadi beberapa bab
di antaranya adalah :
BAB I Membahas tentang latar belakang masalah yang didalamnya
memuat penjelasan mengapa masalah yang diteliti timbul dan penting
serta memuat alasan pemilihan masalah teresebut sebagai judul. Bab ini
juga berisi rumusan masalah yang disajikan dalam bentuk pertanyaan
untuk mempermudah penulis mengkaji dan mengarahkan pembahasan,
tujuan penulisan, tinjauan pustaka, metode, dan sistematika penulisan.
BAB II Membahas tentang biografi Affandi Koesoema, mencakup
riwayat hidup, perkembangan lukisan dan karya-karya Affandi Koesoema.
BAB III Membahas tinjauan umum teori estetika. Di dalamnya
memuat pembahasan mengenai pengertian estetika secara umum, ruang
lingkup, aliran-aliran estetika, dan estetika Islam. Bab ini menjadi acuan
teori yang digunakan dalam penelitian.
BAB IV Merupakan hasil penelitian. Di dalamnya membahas
lukisan-lukisan Affandi Koesoema dengan perpeptif estetika Islam.
Adapun hasilnya mengelompokkan lukisan Affandi menjadi tiga bagian,
yaitu nilai estetik berkaitan dengan Ketuhanan, Kehidupan dan
Kemanusiaan (humanis).
BAB V Merupakan bab akhir dalam penelitian yang berisi
kesimpulan dan kritik-saran. Kesimpulan merupakan jawaban dari
11
rumusan masalah yang telah dibuat, sedangkan kritik-saran merupakan
upaya
mengkritisi penelitian sekaligus memberikan saran bagi peneliti
selanjutnya.
11
BAB II
ESTETIKA DAN LUKISAN
A. Estetika
1. Pengertian Estetika
Estetika adalah cabang filsafat yang berbicara tentang keindahan.
Kesatuan, keselarasan, kesetangkupan, keseimbangan, dan perlawanan adalah
kwalitas dalam suatu benda yang biasa dijadikan ukuran dari keindahan.
Estetika secara sederhana berarti keindahan. estetika merupakan pemikiran
filsafat dalam persoalan keindahan seni dan alam.1
Estetika sendiri merupakan cabang dari filsafat Akiologi. Aksiologi
adalah filsafat yang membahas mengenai nilai-nilai, entah itu nilai kebaikan,
nilai keindahan, nilai kebenaran, dan nilai apapun. Nilai adalah ukuran derajad
tinggi-rendah atau kadar yang dapat diperhatikan, diteliti atau dihayati dalam
berbagai objek yang bersifat fisik maupun abstrak. Nilai dapat diartikan
sebagai esensi, pokok yang mendasar, yang akhirnya dapat menjadi dasar-dasar
normatif.
Kata estetika sendiri berakar dari bahasa latin “aestheticus” atau bahasa
Yunani “aestheticos” yang merupakan kata yang bersumber dari istilah
“aishte” yang memiliki makna merasa. Estetika dapat didefinisikan sebagai
susunan bagian dari sesuatu yang mengandung pola, dimana pola tersebut
mempersatukan bagian-bagian yang membentuknya dan mengandung
keselarasan dari unsur-unsurnya, sehingga menimbulkan keindahan. Dari hal
1 Jacob Sumardjo, Filsafat Seni, (Bandung, Penerbit ITB, 2000), h. 20.
12
tersebut dapat diartikan bahwa esetetika menyangkut hal perasaan seseorang,
dan perasaan ini dikhususkan akan perasaan yang indah.2
Estetika juga kerap disebut dengan filsafat seni. Filsafat seni
merupakan salah satu cabang dari rumpun estetik filsafati yang khusus
menelaah tentang seni. Lucius Garvin berpendapat filsafat seni adalah cabang
filsafat yang berhubungan dengan teori tentang penciptaan seni, pengalaman
seni dan kritik seni. Joseph Brennan merumuskan : „penelaahan mengenai
asasasas umum dari penciptaan dan penghargaan seni.3
Kajian mengenai keindahan, sebenarnya telah lama didiskusikan oleh
para filsuf Yunani kuno. Bagi Plato, Keindahan adalah gambaran dari alam
idea yang abstrak, keindahan menyebabkan orang merindukan kebenaran
abadi dari dunia idea,4 karena pada setiap benda-benda empiris (materi) yang
indah, maka keindahan tersebut mampu membangun rasa cinta. Tanpa
keindahan, maka hidup manusia akan berjalan biasa-biasa saja, karena
keindahan tersebutlah yang membuat hidup kita berwarna dan merangsang
daya tarik diri kita pada sesuatu, entah manusia atau benda. Plato
menjelaskan, bahwa asal-usul keindahan di dunia ini adalah berasal dari
pantulan keindahan murni dari alam idea, keindahan di alam materi ini begitu
lemah dan tidak abadi.
Menurut Aristoteles estetika merupakan keindahan yang menyangkut
keseimbangan dan keteraturan ukuran, yakni ukuran material. Pandangan ini,
menurut Aristoteles, berlaku untuk benda-benda alam ataupun untuk karya
2 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedi, 2002), h. 345.
3 The Liang Gie, Garis-Garis Besar Estetik, (Yogyakarta: Penerbit Karya, 1983), h.
59. 4 Matius Ali, Pengantar Estetika, (Yogyakarta: Sanggar Luxor, 2011), h. 15.
13
seni buatan manusia. Karya seni yang dibicarakan Aristoteles terutama karya
sastra dan drama. Sedangkan menurut Immanuel Kant definisi dari estetika
adalah estetika tidak berkaitan dengan bendanya, melainkan kesenangan yang
dirasakan ketika melihat benda itu. Disitu tidak terdapat karakteristik yang
objektif yang disebut keindahan sebagai karya yang berhasil, dan tidak ada
konsep mental yang membuat keindahan dapat diketahui, tetapi hanya semata
mata persaan senang melihat sesuatu, misalnya karya seni, dan perasaan ini
dapat dikomunikasikan secara universal, tidak secara pribadi.5
Estetika sebagai suatu ilmu normatif sebanding dengan etika dan lebih
berpengaruh daripada logika. menurut Sidi Gazalba, nilai keindahan dalam
estetika, sebanding dengan nilai kebaikan dalam etika. Sebab dalam menilai
segala sesuatu kadang manusia tidak menilai dari segi baiknya atau benarnya,
tetapi dari segi bagusnya. Seperti seorang wanita yang membeli gaun indah
yang berharga mahal, ia tidak mempertimangkan sisi baik atau buruknya
pakaian itu, atau membertimbangkan apakah menggunakan pakaian tersebut
adalah tindakan yang benar atau salah. Atau dalam contoh lain, ketika
seseorang membeli makanan kemasan, pasti orang itu mempertimbangakn
bentuk dari kemasan tersebut, apakah bagus atau ada cacatnya. Orang
tersebut tidak melihat dari sisi baik-buruk atau benar-salah. Dari sini dapat
diketahui bahwa peran estetika sangat penting sekali dalam kehidupan
manusia. Bahkan bagaimana profil dan citra diri kita dilihat dari kerapihan
dan sisi estetis dari segi penampilan kita. sehingga dapat disimpulkan bahwa
5 Matius Ali, Estetika: Pengantar Filsafat Seni, (Tanpa Tempat: Sanggar Luxor,
2011), h. 24
14
seseorang dalam beberapa hal mengedepankan sisi estetisnya, bukan sisi etik
atau logis dalam menilai sesuatu.6
Perasaan akan keindahan diekspresikan oleh manusia dalam bentuk
seni, sebab manifestasi dan rasa kekaguman manusia pada keindahan
tercerminkan kedalam bentuk seni. Hasrat manusia pada keindahan,
mendorong manusia untuk meniru dalam bentuk karya seni. Sejak manusia
mulai menggunakan alat-alat, diera Megalitik, manusia sudah mengenal apa
itu seni dan berusaha meniru keindahan alam. Lukisan-lukisan gua, pahatan
batu seperti peti kubur, dolmen, menhir, patung-patung, dan juga alat-alat dari
batu seperti pisau batu, kapak, dan perhiasan merupakan hasil karya tangan
manusia yang menjadi bukti bahwa manusia sejak zaman dahulu ingin
menciptakan sesuatu yang indah dan bernilai.7
Nilai itu sifatnya subjektif, yaitu berupa tanggapan individu terhadap
sesuatu yang berdasarlkan pengetahuan dan pengalamannya. Penilaian atau
tanggapan seseorang terhadap sebuah benda seni yang akan membakitkan
kualitas seni itu. Tentu saja berdasarkan pengetahuan orang yang menilai
sebuah karya seni atau sebuah benda seni. Jadi penilaian bisa disebut sebagai
penelaahan atau suatu pengalaman subjektif manusia. Karya seni juga dalam
ruang lingkup nilai tersebut. Sebagai hasil ciptaan manusia, Seni mempunyai
nilai-nilai tertentu untuk memuaskan suatu keinginan manusia. Sekiranya
tidak memiliki nilai-nilai itukarya seni takkan diciptakan manusia dan seni
6 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat: Pengantar Kepada Dunia Filsafat, Teori
Pengetahuan Metafisika, Teori Nilai, Jilid IV, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978) h. 549 7 Michael hauskeller, Seni- Apa itu?,(Yogyakarta: Kanisius, 2015), h. 13
15
tidak mungkin berkembang sejak dulu sampai mencapai kedudukannya
dewasa ini yang demikian universal dan tinggi.8
Ketika manusia sudah mengenal agama dan juga ritual penyembahan
pada roh nenek moyang dan alam, seni berkembang atas dorongan hasrat
spiritual tersebut. contoh jelasnya adalah peradaban di India dan Mesir.
Hasrat untuk menyembah para dewa, mendorong mereka untuk bertindak
demi menyenangkan hati para dewa tersebut. Mereka memuja Dewa dengan
mantera dan hymne sehingga lahirlah musik dan puisi. Mereka ingin
merealisasikan sosok Dewa, maka mereka menciptakan patung dewa dan
dihias dengan sosok yang agung, sehingga lahirlah seni pahat dan patung.
Patung-patung Dewa tersebut merupakan benda sakral, sehingga patung
tersebut harus diperlakukan secara khusus, maka dibuatlah bangunan megah
khusus untuk patung Dewa dan para pemuja dewa tersebut, maka lahirla seni
arsitektur.
Dapat disimpulkan kesenian dengan estetika tidak dapat dipisahkan.
Sebab keduanya saling memiliki keterkaitan. Tetapi tidak berarti estetika
adalah seni, sebab estetika lebih luas ketimbang seni. Setiap keindahan dapat
kita rasakan pada benda-benda selain benda seni, seperti keindahan alam,
ketampanan atau kecantikan manusia, keindahan suatu ruangan yang tertata
rapih. Setiap tempat pasti mempunyai nilai estetik (entah rendah atau tinggi)
namun tidak semua yang memiliki nilai estetik tersebut adalah benda-benda
8 Mudji Sutrisno & Crist Verhaak, Estetika: Filsafat Keindahan,(Yogyakarta:
Kanisius: 1993), h. 16.
16
seni. Namun benda seni pasti adalah hasil dari refleksi manusia atas dasar
rasa estetik tersebut.9
2. Unsur Estetika
Manusia selain dikenal sebagai manusia yang berekonomi, manusia
yang berbudaya, atau manusia yang berpolitik, juga dikenal dengan manusia
yang memiliki cita rasa seni. Sudah menjadi kodrat bagi manusia, dimana
mereka dapat menikmati dan menghayati segala bentuk-bentuk keindahan
manusia. Dalam menikmati suatu keindahan, estetika dibagi dalam dua unsur,
yaitu: pengalaman artistik dan pengalaman estetik.
Pengalaman artistik adalah pengalaman seni yang terjadi dalam proses
penciptaan karya seni. Pengalaman ini dirasakan oleh seniman atau pencipta
seni pada saat melakukan aktifitas artistik. Sedangkan pengalaman estetik
adalah pengalaman yang dirasakan oleh penikmat terhadap karya estetik
(keindahan). Konteksnya bisa ditujukan untuk penikmat karya seni dan
keindahan alam.
Pengalaman estetik terhadap benda seni dan alam adalah dua
pengalaman yang berbeda tanggapan estetiknya. Kant dan beberapa filsuf lain
menandaskan bahwa pengalaman estetik bersifat tanpa pamrih, manusia tidak
mencari keuntungan, tidak terdorong pertimbangan praktis.
Pengalaman estetik terhadap alam dan karya seni merupakan dua
pengalaman yang berbeda tanggapan estetiknya, karena keindahan alam dan
karya seni memiliki karakteristik yang tidak sama. Pengalaman religius dalam
beberapa gejala menampakkan diri sebagai (mirip dengan) pengalaman
9 Tan Liang Gie, Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan), ( Yogyakarta: Penerbit
Karya, 1976) h. 24.
17
estetis, tetapi terdapat perbedaan yang terletak pada suatu dorongan atau
dinamisme yang termuat dalam pengalaman religius yaitu ke arah yang
transenden.10
Berkesenian juga berarti berkebudayaan, artinya seseorang menikmati
segala sesuatunya bukan mendasarkan pada sisi fungsionalis semata, akan
tetapi terdapat nilai keindahan sebagai tolak ukurnya. Seperti seseorang
memakai pakaian. Pakaian yang dipilih tentu bukan hanya sebatas sarana
untuk menutup badan dengan kain, akan tetapi pemilihan model
menunjukkan kecenderungan seni yang tinggi. Dengan seni seseorang lebih
bebas mengekspresikan dirinya. Oleh karena itu, apa yang ada dalam diri
menunjukkan pada hal-hal keindahan. Dengan demikian berkesenian
merupakan bagian dari proses kebudayaan.11
Kebudayaan sendiri tercipta karena kebiasaan sehari-hari yang
dilakukan oleh masyarakat setempat. Nilai-nilai kebudayaan yang terlahir itu
menciptakan keindahan tersendiri yang dimiliki oleh setiap masyarakat. Hal
inilah yang menjadi daya tarik oleh masyarakat luar. Keindahan tidak terlepas
dari kebudayaan dan masyarakat, Menurut Hope M. Smith, kebudayaan
merupakan penentu corak, typical, gaya hidup suatu kelompok masyarakat
sebagai pendukung kebudayaan tersebut.
Di sisi lain manusia sebagai makhluk multidimensi mempunyai peran
untuk mencipta dan mengamati suatu karya seni sesuai dengan cita rasanya.
Kebudayaan secara hakiki mempunyai pengertian sebagai keseluruhan
pengetahuan, kepercayaan, dan nilai-nilai yang isinya berupa sistem-sistem
10
Mudji Sutrisno & Crist Verhaak: Filsafat Keindahan, (Yogyakarta: Kanisius, 1993)
h. 36 11
Mudji utrisno dan Christ Verhaak, Estetika, h. 6.
18
makna atau sistem-sistem simbol. Di dalam suatu kebudayaan mengandung
unsur-unsur seperti ilmu pengetahuan, kepercayaan, agama, dan nilai-nilai
moral dan etika. Keberadaan kebudayan itu telah di dukung oleh manusia,
maka dengan sendirinya manusia tidak dapat terlepas dari kebudayaan
tersebut, karena budaya merupakan wujud/ ekspresi dari eksistensi manusia.12
3. Estetika Islam
Estetika sebagai suatu filsafat, hakikatnya telah menempatkannya
pada satu titik dikotomis antara realitas dan abstraksi, serta juga antara
keindahan dan makna. Estetika tidak lagi menyimak keindahan dalam
pengertian konvensional, melainkan telah bergeser ke arah sebuah wacana
dan fenomena. Estetika dalam karya seni modern, jika didekati melalui
pemahaman filsafat seni yang merujuk pada konsep-konsep keindahan zaman
Yunani atau abad pertengahan, akan mengalami pemiuhan karena estetika
bukan hanya simbolisasi dan makna, melainkan juga daya.13
Islam ketika berpendapat bahwa seni Islam atau seni yang Islamis
adalah seni yang mengungkapkan sikap pengabdian kepada Allah. Pendapat
ini cukup memberi kejelasan, tetapi kita harus bertanya pada diri sendiri:
dapatkah pendapat tersebut diterima? Mungkin tidak. Secara teoritis, memang
seni Islam dapat mengungkapkan konsep tauhid, tetapi dalam prakteknya,
apakah seni Islam selalu menyampaikan pesan Keesaan Tuhan? M. Abdul
Jabbar Beg menolak pandangan tersebut dengan argumentasinya yang
mengemukakan bahwa suatu bentuk kesenian menjadi „Islamis‟ jika hasil
seni itu mengungkapkan pandangan hidup kaum Muslim. Seni Islam dapat
12
Pramoedya Ananta Toer, Sastra Realisme Sosialis, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. 2006) h. 13
Agus Sachari, Estetika, (Bandung: ITB Press, 2002), h. 2.
19
juga diberi batasan sebagai suatu seni yang dihasilkan oleh seniman atau
desainer Muslim; atau dapat juga berupa seni yang sesuai dengan apa yang
dibayangkan oleh seorang Muslim, sedangkan seniman yang membuat obyek
seninya tidak mesti seorang Muslim.14
Menurut Seyyed Hossein Nasr, seni Islam merupakan hasil dari
pengejawantahan Keesaan pada bidang keanekaragaman. Artinya seni Islam
sangat terkait dengan karakteristik-karakteristik tertentu dari tempat
penerimaan wahyu alQur‟an yang dalam hal ini adalah masyarakat Arab. Jika
demikian, bisa jadi seni Islam adalah seni yang terungkap melalui ekspresi
budaya lokal yang senada dengan tujuan Islam.Sementara itu, bila kita
merujuk pada akar makna Islam yang berarti menyelamatkan ataupun
menyerahkan diri, maka bisa jadi yang namanya seni Islam adalah ungkapan
ekspresi jiwa setiap manusia yang termanifestasikan dalam segala macam
bentuknya, baik seni ruang maupun seni suara yang dapat membimbing
manusia kejalan atau pada nilai-nilai ajaran Islam.15
Ungkapan artistik dalam ajaran Islam yang termanifestasikan dalam
seni ruang dan yang lainnya, membawa kita pada pemahaman bahwa seni
Islam memiliki karekteristik yang membedakan dengan seni yang lainnya.
Karekteristik-karakteristik tersebut adalah sebagai berikut: 30 Pertama seni
Islam bercirikan abstrak dan mujarat. Ciri ini didasari atas munculnya
penafsiran seni Figural yang berangkat dari pemahaman bahwa alam ini
adalah ilusi yang dinafikan. Namun bagi seni Islam, alam adalah kreasi seni
14
M. Abdul Jabbar Beg, Seni Dalam Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka, 1981), h.
3. 15
Oliver Leaman, Estetika Islam: Menafsir Seni Keindahan, Terj. Irfan, (Bandung:
Mizan, 2005), h. 210.
20
Tuhan yang dapat dirasa dan di raba. Kedua seni Islam bercirikan Struktur
Modular. Artinya dalam karya seni Islam senantiasa di bangun dari atau
bentuk-bentuk yang lebih kecil yang pada akhirnya bergabung menjadi
bentuk yang lebih komplek.
Ketiga seni Islam bercirikan gabungan berurutan. Artinya dalam
berbagai bentuknya baik yang berkenaan dengan seni suara, ruang dan gerak,
seni Islam senantiasa terbangun dari komponen kecil yang bergabung secara
berurutan. Gabungan berurutan yang lebih besar tesebut dalam kenyataannya
tidak menafikan keberadaan komponen yang lebih kecil. Justru gabungan-
gabungan tersebut di sambung dengan komponen yang lebih besar yang
membentuk gabungan yang lebih kompleks. Contoh dari ciri ini dapat kita
lihat dalam al-Qur‟an.
Keempat seni Islam bercirikan perulangan. Artinya dalam berbagai
coraknya, karya seni Islam mengandung model perulangan yang tinggi, baik
perulangan motif, struktur modularnya maupun kombinasi berurutannya.
Manifestasi dari ciri ini juga dapat kita lihat dalam al-Qur‟an. Artinya betapa
tidak bisa kita pungkiri bahwa dalam Qur‟an kita temukan model-model
pengulangan. Dari sisi seni Islam ini merupakan karya maha agung yang
menakjubkan, sebab membuat perulangan yang dibarengi dengan perulangan
keseragaman makna dan bunyi adalah hal yang sangat luar biasa sulitnya.
Kelima seni Islam bercirikan dinamis. Artinya dalam karya-karya seni Islam
senatiasa melalui lingkungan masa. Menurut Boas bahwa setiap seni yang ada
pada dasarnya sama, yaitu meliputi lingkungan masa dan ruang. Seni yang
21
meliputi lingkungan masa adalah seni sastra dan seni musik. Sedangkan seni
yang meliputi lingkungan ruang adalah seni tampak atau bina (arsitektur).16
Selain Nasr, Ismail Raji al-Faruqi berpendapat bahwa seni umat Islam
merupakan ekspresi estetis seni yang tak terbatas namun entitas struktural
inilah yang selaras dengan prinsip estetis ideologi Islam. Pembatasan seni
menurut al-Faruqi disebut sebagai Arabesque membangkitkan pada
pemandangnya intuisi kualitas dari yang tak terbatas, dari yang berada di luar
ruang dan waktu. Namun arabesque melakukannya tanpa membuat klaim
musykil bagi umat Islam bahwa pola ini sendiri menunjukkan apa yang
berada di luar. Dengan merenungkan pola tak terbatas ini, benak orang yang
mempersepsinya dialihkan ke Tuhan, dan senipun memperkuat keyakinan
religius. Jadi, seni Islam mempunyai tujuan mengajar dan memperkuat
persepsi tentang transendensi Tuhan dalam diri manusia.17
Keseluruhan ekspresi seni Islam ini memiliki enam karakteristik yaitu:
Pertama, abtraksi. Pada umumnya seni Islam hanya memuat sedikit gambar
naturalistis. Kedua, struktur modular. Karya seni Islam diciptakan dari
banyak bagian atau modul yang digabung untuk melahirkan desain yang lebih
besar. Masing-masing modul ini merupakan entitas yang memberikan batas
klimaks dan kesempurnaan yang dapat dipandang sebagai unit ekspresif yang
indah. Ketiga, kombinasi berurutan. Kombinasi tidak berarti menghancurkan
identitas dan karakter unit-unit lebih kecil yang membentuknya. Keempat,
pengulangan tingkat tinggi. Kombinasi aditif seni Islam memakai
pengulangan motif, modul struktural, dan kombinasi berurutan mereka yang
16
Seyyed Hossein Nasr, Intelegensi dan Spiritualitas Agama-Agama, Terj. Suharsono.
(Jakarta: Inisiasi Press, 2004), h. 272. 17
Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, (Bandung: Mizan, 2002), h. 198.
22
tampaknya berlanjut ad infinitum. Kelima, dinamis, yang mengandung
maksud bahwa seni Islam harus dinikmati sepanjang zaman. Keenam/yang
terakhir yaitu memiliki detail yang rumit. Kerumitan ini meningkatkan
kemapuan pola atau arabesque untuk menarik perhatian orang yang
memandangnya dan mengupayakan konsentrasi pada entitas struktural yang
ditampakkannya.18
B. Lukisan
1. Pengertian Lukisan
Lukisan merupakan salah satu hasil karya seni yang dihasilkan dari
kesanggupan akal menciptakan sesuatu dengan keahlian luar biasa.19
Istilah
lukisan paling dekat dengan istilah seni, sebagaimana penjelasan seni
merupakan suatu bahasa perasaan. Kesenian selalu melukiskan suatu unsur
atau aspek kodrat, tanggapan atau pengalaman manusia. Dari pengertian
tersebut melukis menjadi aktifitas dalam rangka mengekspresikan rasa hidup
dan kesadaran diri sebagai bagian dari keseluruhan, sifat sosial, dari kesenian
meratakan pengalaman dan perasaan dari seorang seniman kepada orang lain
yang berkat kesenian memanusiakan fitrah diri dan mengasah fitrahnya lebih
dengan sempurna.20
Lukisan merupakan bagian dari seni rupa, yaitu karya seni dengan
media yang bisa ditangkap mata dan dirasakan dengan rabaan. Kesan ini
diciptakan dengan mengolah konsep titik, garis, bidang, bentuk, volume,
warna, tekstur, dan pencahayaan dengan acuan estetika. proses penciptaan seni
18
Ismail, Atlas Budaya Islam, h. 200-204. 19
Departemen Pendidikan Naional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,
(Jakarta:PT. Gramedia Pustaka,2008), h. 1273. 20
Louis O Kattsof, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), hlm. 379.
23
rupa murni lebih menitik beratkan pada ekspresi jiwa semata misalnya lukisan,
sedangkan seni rupa terapan proses pembuatannya memiliki tujuan dan fungsi
tertentu misalnya seni kriya. Sedangkan, jika ditinjau dari segi wujud dan
bentuknya, seni rupa terbagi dua yaitu seni rupa 2 dimensi yang hanya
memiliki panjang dan lebar saja dan seni rupa 3 dimensi yang memiliki
panjang lebar serta ruang.21
Dalam pengertian modern seni lukis adalah
ungkapan rasa estetis dengan menggunakan unsur – unsur garis, bidang, ruang,
bentuk, warna serta cahaya, dalam kesatuan yang harmonis pada bidang dua
dimensi atau dua matra.
Semua aspek kehidupan manusia sebenarnya mengandung unsur seni,
seperti pada pakaian tutur kata, kendaraan, perumahan, alat-alat rumah tangga,
alat tulis, dan lainnya. mewujudkan dengan seni lukis, seperti lukisan
keindahan alam, kaligrafi, bentuk-bentuk lukisan indah, dan gambar-gambar.
Setiap bentuk seni lahir dari situasi dan kondisi alam serta berusaha untuk
menjelaskan situasi dan kondisi alam fisik manusia. Misalnya, ketika seorang
pelukis melukis tanah yang gersang dengan dinaungi awan hitam pekat, lukisan
itu lahir dari imajinasinya mengenai situasi dan kondisi alam fisik manusia,
yaitu kegersangan dan masa depan yang buram. Penjelasan yang hendak
diberikan lukisan itu adalah bahwa alam sangat gersang dapat menyebabkan
kesengsaraan kehidupan manusia.
Adapun fungsinya, lukisan mempunyai nilai inderawi yang
menyebabkan seseorang pengamat menikmati atau memperoleh kepuasan dari
ciri-ciri inderawi yang disajikan oleh suatu karya seni. Dalam konteks
21
H. Hartono, Ilmu Alamiah Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), h. 40.
24
keindahan, lukisan merupakan bagian dari kajian estetika, baik estetika
deskriptif maupun normatif. Estetika deskriptif adalah menggambarkan gejala-
gejala pengalaman keindahan, sedangkan estetika normatif mencari dasar
pengalaman.22
Dengan kata lain, estetika deskrptif dapat dilihat dari segi
lukisannya, sedangkan etika normatif kembali pada si pelukisnya.
2. Aliran-Aliran dalam Lukisan
Di dalam seni lukis, terdapat berbagai macam aliran. Aliran-aliran
tersebut merupakan perkembangan dari bagaimana manusia
menginterpretasikan sebuah keindahan dalam bentuk seni. Aliran-aliran
tersebut terbagi menjadi beberapa kelompok, seperti realisme, ekspresionisme,
impresionisme, mistisme, dan surealisme. Berikut rinciannya:
1. Realisme
Aliran realisme ialah aliran yang ingin mengemukakan kenyataan, barang
yang lahir (lawan batin). Sifatnya harus obyektif karena pengaranag
melukiskan dunia kenyataan. Segala-galanya digambarkan seperti apa
yang tampak, tak kurang tak lebih. Rasa simpati dan antipati pengarang
terhadap obyek yang dilukiskannya, tak boleh disertakannya. Dengan
perkataan lain, pengarang dalam ceritanya itu tidak ikut bermain, dia
hanya penonton yang obyektif.
2. Ekspresionisme
Ekspresionisme merasakan apa yang bergejolak dalam jiwanya.
Pengarang ekspresionisme menyatakan perasaan cintanya, bencinya, rasa
kemanusiaannya, rasa ketuhanannya yang tersimpan di dalam dadanya.
22
The Liang Gie, Garis-Garis Besar Estetika, (Yogyakarta: Supersukses, 1983), h. 73.
25
Baginya, alam hanyalah alat untuk menyatakan pengertian yang lebih
tentang manusia yang hidup.
3. Impresionisme
impresionistis menyatakan kesannya sesudah dia melihat sesuatu, maka
seniman ekspresionistis mengeluarkan rasa yang menyesak padat di
dalam kalbunya dengan tak memerlukan rangsangan dari luar. Sifat
lukisannya subyektif. Pernyataan jiwa sendiri ini terutama dinyatakan
dengan bentuk puisi karena puisi adalah alat utama pujangga sastra untuk
melukiskan perasaannya. Sajak-sajak Chairil Anwar kebanyakan
ekspresionistik sifatnya. Ke dalam aliran ekspresionisme termasuk juga
aliran-aliran: romantic, idealisme, mistisisme, surealisme, simbolik, dan
psikologisme.
4. Naturalisme
Aliran naturalisme ingin melukiskan keadaan yang sebenarnya, sering
cenderung kepada lukisan yang buruk, karena ingin memberikan
gambaran nyata tentang kebenaran. Untuk melukiskan kejelekan
masyarakat, pengarang naturalis tidak segan-segan melukiskan
kemesuman. Emelia Zola seorang pengarang naturalis Perancis yang
paling besar di zamannya. Sering lukisannya dianggap melampaui batas
kesopanan sehingga seolah-olah tidak ada lagi batas-batas ukuran susila
dan ketuhanan padanya.23
5. Mistisme
23
Kartono Parmono, Estetika: Filsafat Keindahan, (Yogyakarta: UGM Press, 1985),
h. 6.
26
Dalam aliran ini terasa ciptaan yang bernapaskan rasa ketuhanan atau
religiusitas. Pengarang selalu mencari dan mendekatkan dirinya kepada
Zat Yang Mahatinggi. Aliran ini melahirkan ciptaan yang didasarkan
pada ketuhanan, pada filsafat, dan alam gaib. Contohnya dapat dilihat
pada karangan-karangan Hamzah Fansuri (pujangga lama), Amir
Hamzah (Pujangga baru), Taslim Ali (Angkatan 45).
6. Surealisme
Dalam aliran ini lukisan realitasnya bercampur angan-angan, mala angan-
angan amat mempengaruhi bentuk lukisan. Di dalamnya ada pernyataan
jiwa, pemasakan dalam jiwa. Kalau dalam film semua hal (gerak-gerik,
suara, musik, pemandangan) dapat dinyatakan serentak, maka di dalam
tulisan, hal-hal seperti itu harus dinyatakan satu demi satu. Itu sebabnya,
lukisan tampak melompat-lompat dari yang satu kepada yang lain, justru
untuk menyatakan keseluruhan itu sekaligus. Payah pembaca mengikuti
karangan yang bercorak surealisme. Pembaca harus menyatukan dalam
pikirannya segala lukisan yang seakan-akan bertaburan itu. Jalan atau
aturan tata bahasa seolah-olah diabaikan oleh pengarang karena pikiranna
meloncat-loncat dengan cepat. Logika seakan-akan hilang, alam benda
dan alam pikiran bercampur aduk menjadi satu. Kebanyakan sajak-sajak
Sitor Situmorang beraliran surealisme.
Sidi Gazalba, membagi menjadi dua aliran, yaitu teori tiru dan teori
cipta, Yang pertama adalah. Aliran tiru, tujuannya adalah untuk memurnikan
perasaan. Dalam aliran ini, sumber keindahan merupakan yang ada dialam
realitas. Maka hasil seni yang sejati adalah menangkap keindahan di alam dan
27
diabadikan dalam bentuk karya seni. Aliran yang mengikuti teori tiru adalah
naturalisme dan realisme.
Aliran kedua adalah teori cipta, aliran ini berpendapat bahwa hakikat
dan akar keindahan tidak terletak pada barang (alam atau kenyataan), tetapi
emosi si manusia (si seniman) yang menangkap keindahan tersebut dan
mengapresiasikannya kedalam bentuk karya seni. Mengutip pernyataan David
Hume, bahwa keindahan itu tidak terdapat di dalam barang itu sendiri, tetapi
berada di dalam konsep idea atau alam rohani, sebagai reaksi manusia yang
memandang barang tersebut. teori cipta mempengaruhi aliran seni abstrak,
surealisme, ekspresionisme, imprisionisme, dan seni mistik.24
24
Sidi Gazalba,Sistematika Filsafat, h. 553.
28
BAB III
BIOGRAFI AFFANDI KOESOEMA
A. Riwayat Hidup
Affandi Koesoema merupakan salah satu maestro seniman dalam
bidang lukisan di Indonesia. Affandi mulai dikenal setelah munculnya
“Lukisan Diri”. Affandi lahir pada tahun 1907. Affandi anak ketiga dari tujuh
bersaudara. Ayahnya bernama Raden Koesoema, ia seorang pembuat peta di
Ciledug, Cirebon. Kepiawaian menggambarnya dapat dilihat sejak Affandi
kecil. Sejak kecil Affandi gemar menulis dan menggambar di papan tulis.
Bakatnya kemudian ditekuni selama bersekolah di HIS (Hollandsch Inlandsche
School), MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau AMS (Algemeene
Middelbare School). Walaupun sejak kecil ayahnya menginginkannya menjadi
dokter, namun nampaknya bakat ayahnya, yaitu menggambar, menurun ke
Affandi sehingga Affandi tetap bersikeras untuk terus melukis dan mengikuti
keinginan hatinya.1
Sejak di bangku SMP, setiap ada pelajaran menggambar, Affandi
membuat gambar yang berbeda dengan murid lainnya. Affandi memilih
menggambar corat-caret yang bersifat abstrak. Salah satu yang mempengaruhi
cara menggambar Affandi adalah ia sering melihat buku lukisan yang terdiri
dari beberapa lukisan-lukisan terkenal seperti karya Rembrandt, Van Gough,
dan Lautrec. Affandi lebih menyukai gaya lukisan Van Gough dan Lautrec,
menurutnya gaya lukisannya lebih ekspresif.2
1 Ray Rizal, Affandi: Hari Sudah Tinggi, (Jakarta: Metrp Pos, 1990) h. 15
2 Zulkifli, “Analisis Karya Affandi dan Van Gough” dalam Jurnal UNIKUSA, Vol. 2.
No. 2. Universitas Negeri Medan, Tahun 2005, h. 144.
29
Walaupun dia mengenyam pendidikan yang baik, namun studinya tidak
selalu berjalan dengan mulus. Keingainannya untuk menggambar terus
dikembangkan dan berdampak pada studinya yang tersendat. Keinginannya
untuk menekuni dunia lukis ditolak oleh keluarganya. Setelah selesai dari
AMS, Affandi tidak lagi dibiayai sekolahnya. Affandi memilih keluar dari
AMS dengan alasan ingin mandiri dan tidak mau menyusahkan keluarga.
Setelah keluar dari sekolah AMS ia mencoba untuk mengajar di
Hollands Inlandsche School (Sekolah dasar). Disana ia bertemu dengan
Maryati, murid sekaligus cinta pertama Affandi. Pada tahun 1933, Affandi
memutuskan untuk menikahi Maryati. Dari pernikahan tersebut, Affandi dan
Maryati dikaruniai seorang putri yaitu Kartika Affandi, yang kelak mewarisi
bakat Affandi sebagai pelukis.
Setelah berkeluarga dan memiliki anak, Affandi berhenti menjadi guru
dan pindah ke Bandung. Affandi berkerja apa saja demi menafkahi
keluarganya, mulai dari tukang sobek karcis sampai pembuat gambar reklame
bioskop di gedung bioskop “Elita” Bandung. Di kota kembang ini, hasrat
melukis Affandi mulai berkobar, Affandi belajar pada Basuki Abdullah, salah
satu pelukis ternama yang baru pulang dari studi di Belanda.3
Keinginan Affandi untuk mengeluti seniman tidak dapat ditahan lagi,
atas restu istrinya, Affandi berhenti menjadi tukang gambar reklame. Dalam
sebulan, ia membagi waktu 10 hari untuk mencari nafkah keluarga, sedangkan
20 hari untuk menggeluti kegemarannya dalam melukis. Affandi kemudian
bergabung dengan kelompok Lima Bandung, ia bersama rekan-rekan
3 Ajib Rosidi, 100 Tahun Affandi, (Bandung: Nuansa, 2008) h. 24.
30
kelompok lima , yaitu: Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdi
mencurahkan minatnya sebagai „tukang gambar‟ dan Affandi dipercaya
menjabat sebagai pimpinan kelompok. Kelompok lima pada dasarnya adalah
kumpulan pelukis amatir yang berkecimpung didunia lukis secara otodidak.
Pada masa kolonial, di Bandung setiap tahun diselenggarakan Pasar
Malam atau Jaarbeurs. Di Pasar Malam tersebut biasanya diselenggarakan
pameran lukisan. Affandi beserta kawan-kawannya, kerap mengikuti pameran
tersebut. Ternyata lukisan Affandi disukai oleh Sjafei Soemardja , seorang
Mahasiswa lulusan Rijkinstituut tot Opleiding Voor Teekenlaren (Perguruan
Tinggi Guru Gambar) di Belanda. Sjafei memuji hasil lukisan Affandi dan
menyarankan agar dia mendalami setiap aliran seni lukis, salah satunya
mendalami lukisan bergaya naturalisme. Untuk beberapa saat Affandi melukis
dengan gaya naturalisme.
Karir Affandi sebagai pelukis terus menanjak, para sahabat terdekatnya
sering mengusulkan agar Affandi membuka pameran tunggal di Bandung. Pada
tahun 1943, atas bantuan rekannya, Sudjojono yang bekrja di Poesat Tenaga
Ra‟jat (POETERA) akhirnya Affandi menyelenggarakan pameran tunggal di
Jakarta. Saat sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia.
Jepang memanfaatkan kelompok Empat Serangkai, yang terdiri dari Ir.
Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas
Mansyur, untuk melakukan penggalangan tenaga rakyat dan propaganda demi
menggalang dukungan rakyat Indonesia dalam perang Asia Timur Raya.
Melalui Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) para pemimpin menggalang tenaga
dan menyebarkan propaganda. Affandi turut aktif dalam organisasi Poetera
31
dibidang kebudayaan. Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S.
Soedjojono sebagai penanggung jawab.4
Saat masa-masa kemerdekaan, Affandi bersama para seniman turut
ambil bagian. Sebagai seorang pelukis, Affandi mendapat tugas membuat
poster. Soekarno memberikan konsep bagi poster tersebut untuk itu
menggambarkan seseorang yang dirantai tetapi rantainya putus, sebagai simbol
bangsa yang bebas dari belenggu penjajahan. Yang menjadi model adalah
Dullah, slogan "Bung, ayo bung" berasal dari dari penyair Chairil Anwar.
Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-
daerah.5
Pada tahun 1946 hingga 1949, Affandi masuk ke dalam organisasi
Seniman Muda Indonesia (SIM). Organisasi tersebut berpusat di Solo dan
dipimpin oleh Soedjojono. Jumlah anggota organisasi SIM ini memanglah
tidak banyak, akan tetapi di dalamnya terdapat beberapa seniman besar, seperti
Affandi, Roesli, Soedarso, Dullah, maupun Hariadji.6
Setelah era revolusi fisik, Affandi masuk kedalam organisasi seniman,
Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Dia masuk kelingkarang pimpinan
pusat Lekra, di bagian seni rupa bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung,
dan sebagainya. Ia memilih Lekra sebab organisasi tersebut dianggap
mewakili seni yang merakyat. Memang pada dasarnya Affandi tidak
menyetujui seni yang mencerminkan kebudayaan barat seperti kaum Mooi
Indie, sebagaimana Basuki Abdullah, ia lebih menyukai seni yang
4 Raka Sumichan dan Umar Kayam, Buku Tentang Affandi, (Jakarta: Yayasan Bina
Lestari Budaya Jakarta, 1987), h. 25. 5 Raka Sumichan dan Umar Kayam, Buku Tentang Affandi, h. 34.
6 Ajip Rosidi, 100 Tahun Affandi, (Yogyakarta: Nuansa, 2008), h. 57.
32
menggambarkan citra rakyat atau kepribadian bangsa. Meskipun dia berada
dalam organisasi Lekra yang berafiliasi pada PKI, namun Affandi tetap
bersikap terbuka dan ramah dalam bergaul bersama sesama seniman.
Pada tahun 1960-an, Presiden Soekarno menyerukan revolusi dibidang
kepribadian dan kebudayaan nasional. para seniman Indonesia yang
tergabung dalam Lekra menyambut seruan Presiden Sukarno dan turut
berjuang dibidang kebudayaan. Para seniman Lekra menyerukan agar segenap
rakyat mengganyang imperialis AS yang saat itu sedang meninvasi Vietnam.
Lekra menyerukan untuk „mengganyang kebudayaan imperialis' serta
memboikot film-film Amerika, musik, dan model pakaian. Namun sebagai
tokoh Lekra Affandi sempat datang ke gedung USIS (pusat informasi dan
penerangan Amerika di Jakarta) untuk memenuhi undangan pameran disana.
Ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan.
Mengapa Affandi hadir ditempat pemimpin kaum imperialis tersebut. Namun
sikap Affandi yang santai dan penuh guyon, dapat mencairkan suasana yang
sempat menegang.7
Meski sudah menjadi seniman besar Indonesia yang menyamai
kemasyuran Raden Saleh, Affandi dikenal sebagai sosok yang sederhana dan
suka merendah. Ini diakui dari kesaksian para karyawan dan asistennya yang
menuturkan bahwa Pak Affandi kerap memberikan uang tip meski tidak
diminta. Pak Affandi juga selalu memikirkan kesejahteraan istri dan anak-
anaknya, jika ia memiliki rezeki lebih, ia suka memberikan anak-anaknya uang
saku tambahan. Yang menjadi cirikhas dari pak Affandi adalah ia selalu suka
7 Wahyuddin, Imagined Affandi,(Semarang: Galeri Semarang, 2007), h. 23.
33
menggunakan sarung daripada celana, menurutnya dengan menggunakan
sarung, ia lebih bebas bergerak daripada menggunakan celana. Ini yang
membuat ia pernah menjadi guyonan anak-anak di Bali.
Salah satu sebab lain yang membuat ini memilih menjadi seorang
pelukis adalah kegemaran dia kepada wayang kulit. Ia menggemari wayang
kulit dan menghapal setiap lakon dan tokoh dalam wayang purwa. Namun
dalam memilih idola pewayangan, Affandi punya selera yang berbeda dari
orang kebanyakan, biasanya orang lebih memilih tokoh pewayangan yang
gagah dan ganteng, serta bijak, seperti; Arjuna, Gatutkaca, Bima, Krisna.
Namun, Affandi memilih Sukrasana yang wajahnya jelek namun sangat sakti.8
Affandi menggambarkan sosok dirinya seperti Sukrasana dalam
pewayangan. Sukrasana tidak tampan, gagah, ataupun jagoan, namun sakti.
Selain itu, Sukrasana juga digambarkan dengan sosok yang yang baik hati, taat
pada junjungannya, Bathara Wisnu, dan mencintai keluarganya. Dari sifat
itulah Affandi sangat menggemari tokoh pewayangan Sukrasana.9
Nama Affandi sebagai seorang seniman lukis Indonesia telah sejajar
dengan Basuki Abdullah, Raden Saleh dan lain-lain. Karya-karyanya yang
bercorak ekspresionisme dengan wajah “keindonesiaan” menjadi cirikhas
tersendiri yang membedakan antara Affandi dengan pelukis lainnya di
Indonesia. Keistimewaan dan keunikan lukisannya, membuat Affandi
mendapat banyak pujian dan julukan, Koran International Herald Tribune
Amerika, menjulukinya sebagai Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia
sementara di Florence, Italia dia telah diberi gelar Grand Maestro.
8 https://id.wikipedia.org/wiki/Affandi diakses 28/07/2018
9 Purwadi, Mengenal Gambar Tokoh Wayang Purwa dan Keterangannya , (Jakarta:
Cendrawasih, 2007), h. 56.
34
Affandi tetap menggeluti profesi sebagai pelukis hingga ia meninggal.
Ia wafat karena faktor ketuaan dan terkena penyakit komplikasi. Selama
beberapa hari dirawat dirumah sakit dan tidak ada kemajuan, maka Affandi
dipulangkan dan dirawat oleh keluarga di rumah. Dalam masa sakitnya,
Affandi tidak dapat berkomunikasi dengan siapapun. Akhirnya Affandi tidak
kuasa menahan penyakitnya, ia wafat pada 23 Mei 1990 dan di makamkan
tidak jauh dari museum yang didirikannya tersebut.10
B. Perkembangan Gaya Lukisan Affandi
Selama hidupnya Affandi telah menghasilkan ratusan bahkan
ribuan karya. Dalam melukis Affandi tidak hanya untuk sekedar mencari
nyawa dalam mengekspresikan obyek yang dilukisnya. Namun Affandi
juga mencari makna dari obyek atau suatu peristiwa disekelilingnya untuk di
ekspresikan lewat lukisannya. Adakalanya Affandi suka melukis dirinya
sendiri di depan cermin, karena itu dianggap melatihnya dalam melukis
dan memuaskan hasrat melukisnya. Meski demikian, Namun beliau tidak
selalu merencanakan apa yang akan dia lukis, semuanya terekspresikan dalam
dirinya dan dituangkan melalui kedalam kanvas.
Sebagaimana lukisan yang dibuat ketika menunaikan ibadah Haji.
Affandi menyelesaikan 7 lukisan bertemakan Ka‟bah, Arafah, Musdalifah
Mina, bukit Safa dan Marfah. Setelah selesai Haji, Affandi meneruskan
melukis di Indonesia. Affandi berkeliling dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Madura, hingga Bali. Dalam bepergian, Affandi selalu membawa
10
Ray Rizal, Affandi: Hari Sudah Tinggi, h. 145.
35
perlengkapan melukis. Hal ini berkaitan erat dengan ide motif yang dicarinya
untuk diekspresikan dalam lukisan.11
Teknik melukisnya semakin berkembang setelah Affandi mendapat
kesempatan untuk menimba ilmu di India, dia memenuhi undangan belajar
melukis selama dua tahun dari Santineketan. Proses melukis Affandi selalu
memilih tempat di alam terbuka atau di luar ruangan. Untuk mnyelesaikan
sebuah lukisan Affandi hanya membutuhkan waktu beberapa jam saja.
Proses melukis yang cukup cepat itu dilakukannya semata mata agar
moment estetik yang di dapatkan tidak hilang. Garis warna dan sapuan
Affandi yang ekspresif adalah manifestasi dunia dalam emosinya, baginya
melukis tidaklah dalam pikiran tapi lebih berdasarkan naluri12
Pada awalnya Affandi berusaha untuk melukis dengan gaya naturalis,
Sebelum melukis Affandi selalu melakukan observasi dan mempelajari
terlebih dahulu objek yang akan dilukisnya sehingga ia sangat mengenal
obyek lukisannya dengan sangat baik. Karena merasa tidak puas dengan
gaya naturalis yang ia anggap membosankan, Affandi akhirnya sepenuhnya
melukis dengan gaya ekspresionis pada tahun 1940-an, pada masa itu
Affandi mulai langsung mengeluarkan cat dari tubenya. Meskipun
menjadi boros dalam pemakaian cat, Affandi telah menemukan teknik
baru dalam melukis dan merasa seakan-akan kuas menghalangi kelangsungan
curahan emosinya13
11
Ajip Rosidi, 100 Tahun Affandi, h. 67. 12
Ed Zoelverdi., Syahril Chili., Aries Margono., Fadjri. 8Juni (1990). Affandi saya
sudah melihat.Tempo. h 2. 13
Brenda Kusumastuti Maulidina, “Perancangan Komunikasi Visual Animasi
Dokumenter “Affandi Maestro Seni Lukis Indonesia” Skripsi Bina Nusantara, Jurusan Desain
Komunikasi Visual-Animasi, Jakarta.
36
Seiring dengan berjalannya waktu, lukisan Affandi banyak dinikmati
dan disukai oleh orang banyak. Affandi dipercaya sebagai seorang pewaris
Raden Saleh, yang merupakan pelukis nomor satu di Indonesia pada
masanya. Dalam memperkenalkan karya-karyanya, Banyak pameran-pameran
yang memajang dan memperkenalkan hasil lukisannya. Tak pelak lembaga
nasional dan internasional bersedia membuat pameran tunggal untuk
memajangkan lukisan hasil karyanya, Berikut ini beberapa pameran yang
pernah diselenggarakan oleh Affandi: Museum of Modern Art (Rio de
Janeiro, Brazil, 1966), East-West Center (Honolulu, 1988), Festival of
Indonesia (AS, 1990-1992) Gate Foundation (Amsterdam, Belanda, 1993),
Singapore Art Museum (1994), Centre for Strategic and International Studies
(Jakarta, 1996), Indonesia-Japan Friendship Festival (Morioka, Tokyo,
1997), ASEAN Masterworks (Selangor, Kuala Lumpur, Malaysia, 1997-
1998).14
Selain membuat berbagai macam pameran di seluruh dunia, Affandi
juga banyak mendapat penghargaan dan juga apresiasi atas seluruh karya
lukisnya. Pada tahun 1977, Affandi mendapat hadiah perdamaian dari
International Dag Hammershjoeld. Menjadi anggota Akademi Hak-hak Azasi
Manusia yang diangkat oleh Komite Pusat Diplomatic Academy of Peace
PAX MUNDI di Castelo San Marzano, Florence, Italia. Di dalam negeri
sendiri, Affandi banyak menerima penghargaan yang tidak kalah banyaknya.
di antaranya, penghargaan "Bintang Jasa Utama" yang dianugerahkan
Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1978. Mendapat mendali emas
9 Nasjah Djamin, Pelukis Affandi, (Bandung: Aqua Press, 1979), h. 5.
37
dari Menteri Pendidikan dan kebudayaan, serta menerima penghargaan gelar
Doctor Honoris Causa dari University of Singapore.15
Pada tahun 1998 Pemerintah membantu Affandi untuk mendirikan
museum untuk memamerkan lukisannya Terdapat sekitar 1.000-an lebih
lukisan di Museum Affandi, dan 300-an di antaranya adalah karya Affandi.
Museum tersebut berdiri atas bantuan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
dan resmikan oleh DR. Fuad Hassan selaku menteri P & K pada saat itu.
Lukisan-lukisan Affandi yang dipajang di galeri I adalah karya restropektif
yang punya nilai kesejarahan mulai dari awal kariernya hingga selesai,
sehingga tidak dijual. Galeri II adalah lukisan teman-teman Affandi, baik
yang masih hidup maupun yang sudah meninggal seperti Basuki Abdullah,
Popo Iskandar, Hendra, Rusli, Fajar Sidik, dan lain-lain. Adapun galeri III
berisi lukisan-lukisan keluarga Affandi. Galeri III, saat ini terpajang lukisan-
lukisan terbaru Kartika Affandi yang dibuat pada tahun 1999. Lukisan itu
antara lain Apa yang Harus Kuperbuat (Januari 1999), Apa Salahku?
Mengapa ini Harus Terjadi (Februari 1999), Tidak Adil (Juni 1999), Kembali
Pada Realita Kehidupan, Semuanya Kuserahkan KepadaNya (Juli 1999).
Ada pula lukisan Maryati, Rukmini Yusuf, serta Juki Affandi.16
C. Karya Karya Affandi
Sebagai seorang pelukis yang tidak pernah mengikuti suatu aliran
tertentu, karya lukis Affandi selalu beragam, ada yang bercrak naturalis,
impresionis, ekspresionis, bahkan yang terlihat abstrak sekalipun. Bagi
15
Ray Rizal, Affandi: Hari Sudah tinggi, h. 110. 16
Direktorat Museum, Buku Panduan Museum-Museum Daerah Yogyakarta,
(Yogyakarta: Departemen Pendidikan, 1997), h. 34.
38
Affandi, segala jenis aliran dan pola melukis ia lalu sebab yang paling
penting bukan harus mengikuti aliran apa, tetapi yang paling penting adalah
yang mampu mengekspresikan isi hati yang akan dituangkan kedalam kanvas.
Affandi sendiri mengakui bahwa dirinya sangat dipengaruhi oleh pelukis
terkenal, Van Gogh dan Toulouse lautrec.
Pada masa kolonial, Gaya lukisan Mooi Indie atau nuansa kebarat-
baratan tengah melanda Indonesia pada masa itu, Basuki Abdullah, yang
merupakan pelukis terkemuka pada saat itu, merupakan pelukis dengan gaya
naturalis ala Mooi indie. Affandi sebagai seorang pelukis „kampung‟ tidak
begitu suka lukisan naturalis atau ala Eropa yang sekedar melukis gedung
mewah. Affandi mencari corak lukisan asli yang berakar dari budaya bangsa
sendiri. Karena itulah objek lukisan Affandi selalu merupakan realitas
keadaan masyarakat Indonesia dan juga pola goresannya yang berombak dan
ikal, menyerupai goresan lukisan wayang kulit.
Para kritikus seni di Barat mnngategorikan lukisan Affandi dengan
corak baru aliran ekspresionisme. Tapi ketika dijelaskan justru Affandi balik
bertanya, Aliran apa itu?. Bahkan hingga saat tuanya, Affandi membutakan
diri dengan teori-teori. Bahkan secara jujur Affandi mengaku sebagai
“seniman kerbau”, kerbau selalu diasosiasikan sebagai binatang yang bodoh,
Affandi menyerupakan dirinya dengan kerbau, sebab sebagai pelukis ia tidak
suka membaca. Baginya, huruf-huruf yang kecil didalam buku merupakan
masalah baginya.
Ketika Affandi ditanya mengapa ia melukis, dengan enteng, dia
menjawab, Saya melukis karena saya tidak bisa mengarang, saya tidak
39
pandai omong. Bahasa yang saya gunakan adalah bahasa lukisan. Bagi
Affandi, melukis adalah bekerja. Dia melukis seperti orang lapar. Sampai
pada kesan elitis soal sebutan pelukis, dia hanya ingin disebut sebagai tukang
gambar.
Lebih jauh ia berdalih bahwa dirinya tidak cukup punya kepribadian
besar untuk disebut seniman, dan ia tidak meletakkan kesenian di atas
kepentingan keluarga. Kalau anak saya sakit, saya pun akan berhenti
melukis, ucapnya. Sampai ajal menjemputnya pada Mei 1990, ia tetap
menggeluti profesi sebagai pelukis. Kegiatan yang telah menjadi bagian dari
hidupnya. Bahkan ia dimakamkan tidak jauh dari museum, mungkin agar
jasad Affandi bisa selalu dekat dengan karya lukisnya yang telah mengubah
dan menambah warna bagi seni lukis di Indonesia. Berikut karya-karya dan
deskripsi singkat mengenai lukisan-lukisan Affandi:
1. Potret Diri
Gambar 2.1. 17
Potret Diri Karya Affandi Koesoema.
17
Gambar diambil dari http//:www.arsip.galeri-nasional.or.id diakses pada 15
September 2018.
40
Lukisan yang paling banyak diulang atau dilukisnya oleh Affandi
adalah „Potret Diri‟. Salah satu yang di pajang dalam Museumnya adalah Potret
Diri tahun 1981. Dengan dimensi 65x50 Cm berbahan cat minyak di atas
kanvas. Dalam Bentara Budaya dijelaskan bahwa motif yang paling dihafal dan
paling di senangi Affandi adalah rupaku dhewe yang elek, mirip Sukrasana ini.
Namun demikian setiap kali hendak melukis wajahnya, ia masih juga
mencontek mukanya itu dari cermin. Pasalnya, Affandi hanya bisa melukis
langsung di depan motifnya, termasuk dalam melukis wajah sendiri.18
Walau
tema potret diri ini ia ulang-ulang hingga entah sampai berapa puluh kali,
namun Ajip Rosidi menilai dalam setiap lukisan Affandi menunjukkan passi
yang tetap, gairah yang sama besar.19
Potret diri memiliki beberapa makna, di antaranya merupakan orang tua
sederhana, tidak ngganteng, tidak bicara apa-apa, kecuali matanya yang sipit
itu nampak terus bertanya. Selain itu juga menjadi model yang paling mudah
didapat adalah melukis diri sendiri. Lukisan diri dibuat pada masa pendudukan
Jepang. Pada masa itu rakyat Indonesia mengalami kemiskinan yang buruk.20
Lebih lanjut Perkara potret diri yang khas ini terlihat bahwa dalam potret diri
karya pelukis Indonesia tidak sekedar sedang terungkap pernyataan “aku
adalah”, tetapi justru dipenuhi pertanyaan tentang “siapa aku” berikut berbagai
ragam jawabnya. Maka, potret diri di sini tidak sekadar hadir sebagai hasil
kerja pengamatan atas anatomi tubuh dan wajah, atau dokumentasi perubahan
fisik dari masa ke masa, tetapi menjadi simpul yang menghimpun berbagai soal
18
Bentara Budaya, Perjalanan Seni Lukis Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2004), h. 55. 19
Ajip Rosidi, 100 Tahun Affandi, h. 32. 20
Diambil dari keterangan yang ada pada museum. Sumber dokumentasi pribadi.
41
pencarian dan penegasan identitas. "Aku" yang hadir dalam potret diri
semacam ini dengan leluasa bisa mengalami perluasan makna sampai menjadi
masyarakat, rakyat. Wajah “aku” itu kadang membesar jadi wajah
“Indonesia”.21
2. Ayam Tarung
Gambar 2.2.
Lukisan Ayam Tarung22
Lukisan dengan judul “Ayam Tarung”. “Pelukis: Affandi, Tahun
karya: 1979, Judul : "Ayam tarung",Ukuran : 136cm X 91cm, Media : Oil on
Canvas. Dalam lukisan Affandi ini Melukiskan sebuah pertarungan ayam yang
sangat sengit, antara Ayam jago berwarna putih keemasan dan Ayam jago
berwarna hitam keemasan, yang merupakan simbol pertarungan antara
21
Bentara Budaya, Perjalanan Seni Lukis Indonesia, h. 22. 22
Gambar diambil dari http//:www.arsip.galeri-nasional.or.id diakses pada 15
September 2018. Penulis juga mengambil dokumentasi pribadi di Musuem Affandi yang
terletak di Yogyakarta.
42
kejahatan dan kebenaran, itulah yang terjadi dalam kehidupan, dalam setiap
diri manusia, dimana setiap waktu selalu dihadapkan antara dua pilihan baik
dan buruk, selalu terjadi pertarungan antara keduanya, adakalanya kebenaran
harus tersingkirkan, adakalanya kejahatan harus terhapuskan, namun yang pasti
kebenaran akan selalu menang pada akhirnya.
Ayam Tarung atau adu ayam merupakan salah satu tradisi rakyat
Indonesia khusunya jawa yang menjadi hiburan rakyat, dan sekaligus menjadi
ajang arena pertaruhan, hanya ayam-ayam kuat terpilih yang masuk dalam
arena pertarungan ini, dan ayam terbaik yang akan memenangkan pertarungan
sengit ini, untuk menjadi sang Jawara. Dalam lukisan Affandi ini Melukiskan
sebuah pertarungan ayam yang sangat sengit, antara Ayam jago berwarna putih
ke emasan dan Ayam jago berwarna hitam ke emasan.23
3. Ka’bah
Gambar 2.3.
Lukisan Ka‟bah24
23
Diambil dari www.lukisanku.id diakses pada 21 Januari 2019. 24
Foto merupakan dokumentasi penulis yang diambil dari Museum Affandi di
Yogyakarta.
43
Lukisan Affandi yang berjudul Ka‟bah tidak memiliki banyak
deskripsi. Lukisan Ka‟bah terpampang dalam dimensi 130x90 cm2 berbahan
cat minyak di atas kanvas. Lukisan Ka‟bah menjadi lukisan yang paling
berbeda di antara lukisan-lukisan Affandi yang lainnya. Sebab penggunaan
warna yang cerah di lukisan Ka‟bah tidak ditemui dalam lukisan-lukian
Affandi yang lainnya. Kebanyakan lukisan Affandi menggunakan warna kelam
dan pekat, akan tetapi dalam lukian Ka‟bah menggunakan warna terang dan
cerah.
44
BAB IV
ANALISIS NILAI ESTETIKA ISLAM DALAM LUKISAN AFFANDI
KOESEOMA
A. Estetika Religius dalam Lukisan Ka’bah
Salah satu lukisan Affandi Koeseoma yang identik dengan estetika Islam
adalah lukisannya yang berjudul Ka‟bah. Dalam lukisan Ka‟bah memiliki
perbedaan dengan lukisannya yang lain. Di antaranya, lukisan Ka‟bah dilukis di
luar Arab dan di antara sekian banyak lukisan, lukisan berjudul Ka‟bah memiliki
warna yang lebih cerah. Dua perbedaan tersebut bisa dijadikan analisis dalam
estetika Islam. Agus Dermawan menegaskan bahwa di antara sekian banyak
lukisan Affandi, yang benar-benar menunjukkan identitas keislamannya adalah
lukisan Ka‟bah. Lukisan Ka‟bah dibuat pada tahun 1981, sepulangnya Affandi
dari Mekkah selesai menunaikkan ibadah Haji. Lukisan tersebut menggambarkan
“rumah Allah” yang dikelilingi ribuan manusia dengan jubah keemasan. Di atas
Ka‟bah terlukis matahari yang bersinar cerah dan anggun memancarkan ke
bawah.1
Untuk menganalisanya, penulis menggunakan teori yang digagas oleh
Abdul Hadi WM tentang ciri-ciri lukisan Islami. Di antaranya adalah lukisan
dalam seni Islam kerap memiliki karakter garis-garis kuat serta bernuansa titik-
titik. Garis yang kuat, warna yang mempesona menggambarkan suasana
religiusitas ekspresif dan bermakna. Lukisan Islam kerap menampilkan gambaran
tentang alam, taman sebagai makna tentang kedamaian maupun latar belakang
kehidupan. Dengan kata lain, gambaran lukisan Islam menunjukkan arti
1 Agus Dermawana, Bukit-Bukit Perhatian, (Jakarta: Gramedia, 2004), h. 131.
45
kedamaian maupun penjelasan tentang makna hidup. Selanjutnya lukisan Islami
tidak memperhatikan perspektif.2
Jika mencari detail utama dalam objeknya lukisan, maka lukisan berjudul
Ka‟bah bisa dijadikan rujukan untuk memahami estetika Islam. Hal ini
dilandaskan keutamaan lukisan Islam membawakan warna cerah yang memiliki
makna serta kesan cahaya dan menolak dari kegelapan. Dengan kata lain, Islam
menawarkan gambaran yang bahagia tidak menggambarkan kesedihan,
kekelaman serta kesedihan. Warna cerah bisa diidentifikasi sebagai warna yang
menunjukkan kebahagiaan, petunjuk atau cahaya menerangi kegelapan duniawi.
Selanjutnya, cahaya yang menyinari langsung ke Ka‟bah dapat diartikan sebagai
Islam adalah mencahayai atau menerangi kehidupan. Ka‟bah adalah simbol atas
Islam yang benar-benar diterangi oleh cahaya matahari. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa Ka‟bah sebagai Islam yang terang, disinari oleh matahari atau
manifestasi dari kesempurnaan cahaya dari Tuhan.
Pada gambaran terakhir adalah adanya manusia yang mengelilinginya.
Gambaran tersebut jelas menunjukkan ibadah ṭawaf dalam ibadah haji. Akan
tetapi jika dipahami lebih mendalam, maka orang-orang tersebut mengelilingi
cahaya yang berada di Ka‟bah. Dengan kata lain, semua orang mendekat pada
Islam yang bercahaya, menawarkan kebahagiaan, dan melawan kegelapan.
Pada aspek pemikiran, lukisan Ka‟bah hanya didapati keterangan bahwa
munculnya lukisan tersebut dilatarbelakangi perjalanan haji Affandi Koeseoma.
Lukisan tersebut menjadi satu-satunya lukisan yang dibuat tidak di depan
2 Abdul Hadi WM, Hermeneutika, Estetika, Religiusitas, (Jakarta: Sadra Pers, 2016), h.
230-236.
46
objeknya. Kebiasaan Affandi melukis adalah melukis di depan objek yang hendak
dilukisnya, sedangkan lukisan Ka‟bah tidak bisa dilukis di depan Ka‟bah lantaran
masalah teknis serta alasan aturan ibadah. Ajip Rosidi sendiri tidak terlalu
menguraikan detail mengenai pengalaman Affandi dalam lukisan Ka‟bah. Hanya
beberapa keterangan yang menjelaskan bahwa Ka‟bah menjadi ekspresi
spiritualitas dan religiusitasnya.
Untuk menganalisa lukisan Affandi dalam konteks estetika Islam, penulis
mengambil pemikiran Ismail R. Faruqi sebagai landasan analisisnya.
Sebagaimana pendapat Abdu Hadi WM dalam Pengantar Estetika Islam Oliver
Leaman menyatakan bahwa secara tidak langsung Ismail lebih mengapresiasi
pada bentuk lukisan figuratif atau yang bersifat abstrak yang tertera dalam
beberapa lukisan Affandi.3 Hal ini dapat dipahami dalam pengertian seni Islami
menurut Ismail R. Faruqi bahwa seni umat Islam merupakan ekspresi estetis seni
yang tak terbatas. bukan semata mata pola dua dimensi abstrak yang
menggunakan kaligrafi, bentuk geometris, dan bentuk tumbuhan yang modis,
tetapi entitas struktural yang selaras dengan prinsip estetis ideologi Islam. Dengan
merenungkan pola tak terbatas ini, benak orang yang mempersepsinya dialihkan
ke Tuhan, dan senipun memperkuat keyakinan religius. Jadi, seni Islam
mempunyai tujuan mengajar dan memperkuat persepsi tentang transendensi
Tuhan dalam diri manusia.4
Setidaknya ada enam bentuk estetika atau seni dalam Islam menurut Ismail
R. Faruqi. Di antaranya adalah abstraksi atau juga tidak bersifat naturalistik,
3 Oliver Leaman, Estetika Islam, (Bandung; Mizan, 2005), h. 14.
4 Ismail Raji Faruqi, Atlas Budaya Islam, (Bandung: Mizan, 2002), h. 199.
47
struktur modular yang menekankan aspek ekspresif, kombinasi berurutan yang
memadukan berbagai unsur kompleks, pengulangan tingkat tinggi, dinamis yang
berarti tidak lekang oleh waktu atau dapat dinikmati kapanpun dan relevan
sepanjang masa, dan memiliki detail yang rumit. Manifestasi agung dari
keseluruhan karakteristik seni ini mewujud dalam al-Qur‟an.5
Dalam berbagai lukisan Affandi terdapat beberapa bentukan sebagaimana
karakteristik seni Islami yang dijelaskan Ismail R. Faruqi. Secara umum lukisan
Affandi sebagai bentuk lukisan ekspresionis adalah jawaban bentuk seni Islami
dalam pandangan Al-Faruqi. Eskpresif ini berarti sebagai menjelaskan adanya
struktur modular yang bersifat ekspresif sehingga menekankan pada unsur
abstraksi. Secara tidak langsung, luksisan-lukisan Affandi memiliki detail abstrak
yang tinggi. Beberapa di antaranya mengatakan bahwa lukisan Affandi jelas
nyaris abstrak. Artinya lukisan-lukisan seperti karya Affandi inilah yang jelas-
jelas menunjukkan identitas seni Islami dalam perspektif al-Faruqi.
Pada tataran pemaknaan, lukisan abstrak serta tanpa keterangan yang tegas
dari Affandi memunculkan berbagai spekulasi mengenai arti setiap lukisan yang
dihasilkan. Akan tetapi sifat abstraksi yang ada dalam lukisan tersebut justru
menunjukkan penggambaran pola tak terbatas dan berakhir pada abstraksi
tertinggi, yakni persoalan ketuhanan. Dengan kata lain, lukisan Affandi secara
tidak langsung memuat kesadaran pemaknaan memberi pengagungan tertinggi
kepada Tuhan. Nilai-nilai ketuhanan inilah menjadi titik utama setiap dasar
estetika Islam. Sebagaimana dijelaskan oleh Oliver Leaman bahwa estetika Islam
mendasar pada persoalan ketauhidan atau ketuhanan. Dengan demikian nilai-nilai
5 Ismail, Atlas, h. 201.
48
ketuhanan dalam abstraksi lukisan Affandi menunjukkan makna ketuhanan yang
bersifat Islami.
Lukisan-lukisan Affandi, terutama dalam lukisan Ka‟bah tidak hanya
menggambarkan pada persoalan ibadah haji semata, lebih mendalam daripada
ibadah haji, lukisan Ka‟bah memberikan kesan Tuhan, Islam dan manusia secara
menyeluruh. Gambaran matahari dengan sinarnya, langsung menyinari pada
ka‟bah yang dikerubungi ribuan manusia. Maka secara tidak langsung lukisan
tersebut menjelaskan kepada kita bahwa Islam datang dari cahaya tuhan yang
menggantikan kegelapan duniawi. Pemaknaan tersebut tidak berlebihan,
mengingat estetika Islam beruapaya mengungkapkan kualitas spiritualitas yang
tidak tampak dari objek tersebut, melainkan membuatnya tanpa batas waktu
menghindari imintasi naturalnya.6 Pemaknaan terhadap Islam sebagai cahaya dari
Tuhan adalah makna yang tidak bisa hilang ditelan zaman. Makna tersebut bisa
dipahami kapanpun dan dimanapun. Ka‟bah sebagai simbolis utama atas Islam
adalah nyata sebagai bentuk naturalistiknya, akan tetapi ribuan manusia yang
mengelilinginya merupakan manifestasi bahwa manusia berbondong-bondong
mendekatkan diri pada cahaya Ilahi.
Hal yang cukup sulit ditemukan adalah kajian estetika Islam sangat dekat
dengan kondisi atau pengalaman spiritualitas manusianya. Dalam pandangan
Seyyed Hosein Nasr, estetika Islam tidak hanya bicara pada hasil karya, akan
tetapi juga merupakan hasil perilaku si pembuatnya. Dengan kata lain, karya
estetika Islami merupakan hasil pengalaman spiritualitas manusia.7 Persoalannya,
6 Oliver Leaman, Estetika Islam, h. 49.
7 Oliver Leaman, Estetika Islam, h. 15.
49
dokumentasi mengenai Affandi sangat sedikit, terutama penjelasannya mengenai
pengalaman spiritualitasnya. Sehingga dalam menganalisa estetika Islam dari segi
pengalaman spiritualitasnya cukup sulit dipastikan apakah Affandi melukis
berdasarkan pengalaman spiritualitasnya atau kembali pada aspek
kemanusiaannya.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, melukis bagi Affandi adalah
kebutuhan. Dimana ada keinginan, maka Affandi langsung melukisnya. Tanpa
perenungan mendalam, penuh emosional dan bersifat spontanitas. Sedangkan
gambaran seniman yang masuk kategori esteika Islam dalam pandangan Nasr
menekankan adanya pengalaman spiritualitas. Oleh karena itu, gambaran
mengenai makna yang terkandung dalam lukisan Affandi setidaknya cukup
mewakili estetika Islam. Pengalaman spiritualitasnya dapat didukung dari
keinginannya untuk tetap melaksanakan ajaran-ajaran Islamnya, berupa ibadah
haji. Keterangan tersebut sebagaiman dijelaskan Ajip bahwa, dalam setiap
pameran lukisannya, Affandi ingin melaksanakan ibadah haji untuk menuntaskan
kewajibannya sebagai seorang Muslim.8 Selain itu, Agus Dermawan juga
menuliskan bahwa Affandi menanggapi omongan mengenai lukisannya yang
Islami bukan hanya Ka‟bah, sebab hampir setiap lukisannya didasari pada nilai-
nilai keislaman.9
Pada intinya, lukisan Affandi dalam konteks estetika Islam dapat
disimpulkan pada beberapa hal. Pertama, dari segi bentuk lukisan yang
menampakkan ke khasan lukisan Islami adalah warna dalam lukisan Ka‟bah.
8 Ajip Rosidi, 100 Tahun Affandi, h. 78.
9 Agus Dermawana, Bukit-Bukit Perhatian, h. 132.
50
Lukisan Ka‟bah menggunakan warna yang cerah sebagaimana identitas estetika
Islam yang menawarkan keindahan serta kebahagiaan. Kedua karakteristik lukisan
Affandi yang emosional, ekspresif serta abstrak memiliki makna yang tak ada
habisnya sehingga harus diakhiri pada pemikiran tentang kesempurnaan utama,
yakni pada persoalan Ketuhanan. Ketiga, pengalaman spiritualitasnya menang
tidak sepenuhnya dapat dijelaskan, akan tetapi hadirnya lukisan-lukisan Affandi
yang memiliki nilai-nilai estetika Islam mewakili atas pengalaman spiritual
Affandi. Dengan demikian lukisan Affani kuat akan estetika Islaminya.
B. Humanisme dalam Lukisan Affandi
Dalam memahami lukisan Affandi kerap terjebak dalam usaha memahami
ekspresionistisnya. Hal ini dapat dipahami bagaimana tulisan-tulisan mengenai
Affandi kerap diorientasikan pada persoalan perkembangan gaya lukisan Affandi
dari tahun ke tahun. Masalah lainnya adalah Affandi bukan seniman yang bisa
menguraikan acuan seni lukisnya. Affandi bahkan jarang bicara tentang
lukisannya. Karena itu, betapa pun kuatnya ekspresi Affandi tampil sebagai
fenomena estetik, tidak mudah mendapat konfirmasi ketika fenomena estetik itu
mau diteguhkan sebagai buah pemikiran. Tannggapan yang paling sering
dilontarkan untuk mengkaji nilai-nilai di balik lukisannya, yaitu ia seorang
humanis. “Saya selalu ingin menjadi humanis, tapi tidak punya kemampuan. Yang
saya punya cuma perasaan sentimentil, cinta pada orang.”10
Akan tetapi
pernyataan tersebut juga tidak diimbangi dengan penjelasan detail mengenai
humanismenya. Cukup sulit menemukan penjelasan “humanisme” perspektif
Affandi.
10
Ajip Rosidi, Affandi Pelukis, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1979), h. 22.
51
Analisis pemikiran humanisme Affandi dalam lukisan dapat ditelusuri
melalui berbagai hal. Dimulai dari awal melukis, objek yang akan dilukisnya,
ekspresi saat melukis hingga hasil yang dilakukan secara berulang-ulang, atau
memiliki kesan tematik. Kronologi penciptaan lukisannya, objek sebagai pencetus
ekspresi artistiknya selalu melalui tahap observasi. Kemudian objek dipelajari
secara mendalam karena dalam melukis ia memerlukan empati. Dirinya seolah-
olah menyatu dengan objek yang menjadi motif lukisannya. Bahkan terhadap
masalah penderitaan, empatinya telah mengalami perluasan makna menjadi sikap
humanisme. Jadi bukan hanya penderitaan manusia dan binatang, tetapi juga
„penderitaan‟ benda-benda. Azas seperti ini menjadi obsesi daya kreatifnya,
menyebabkan dia kerap melukis dengan suasana yang akrab dengan penderitaan.11
Kaitan antara lukisan ini dengan konteks sosial dapat dijelaskan sebagai
berikut: Wajah Affandi dengan sudut bibir tertarik ke bawah mencerminkan rasa
amarah. Latar belakang bagian bawah berwarna kuning, oker, merah, dan warna
kusam seperti biru kecoklatan sangat meyakinkan telah menambah suasana
misteri. Emosi pelukis dalam lukisan ini secara jelas tampak dari sapuan kuas
besar, tarikan garis yang kasar dan spontan dengan warna kehitaman. Warna
coklat gelap menggambarkan ekspresi keprihatinan yang menimpa
masyarakatnya. Tetapi karena langkah-langkahnya hanya mengandalkan suara
hatinya untuk menggerakkan rasa kemanusiaan orang lain maka wajar kalau ia
selalu gagal. Dan kegagalan itu dianggapnya sebagai kegagalan dirinya sebagai
11
Ajip Rosidi, Pelukis Affandi, h. 45.
52
pelukis. Menganggap dirinya gagal karena tidak dapat mengangkat harkat
kemanusiaan pada kebaikan, kedamaian, dan kebahagiaan.12
Melalui mata penghayatan terhadap objek menjadi sensasi luapan emosi
kemudian diekspresikan ke bidang kanvas melalui goresan. Ekspresi seni Affandi
lebih didominasi oleh emosi dan garis-garis liar. Ketika melampiaskan emosi
pribadi, dia tidak lagi menoleh keluar untuk menguasai keadaan visual objek.
Melainkan sintesis antara faktor eksternal yakni segala sesuatu yang ada di luar
dirinya dengan faktor internal yakni temperamen, kepribadian, dan wawasannya.
Objek hanya pemberi ide bukan sumber, sementara sumbernya adalah dirinya
sendiri. Affandi hanya berperan sebagai medium ketika melampiaskan torehan
warna dan emosi.13
Selain itu, Gamal menegaskan bahwa Affandi melukis dengan memadukan
unsur rupa dan ide yang kuat dalam setiap lukisannya. Unsur rupa berisikan garis,
warna, tekstur, komposisi, dan lain- lainnya, termasuk pertimbangan desain.
Sementara unsur ide merupakan aspek yang diekspresikan, meliputi intelektual,
emosi, simbol, religi, dan unsur lain yang bersifat subjektif.14
Lukisan dengan tema emosional seperti pada karya potret diri atau
keluarganya, merupakan „dunia dalam‟ yang menampilkan kejujuran
kemanusiaannya. Sementara tema kehidupan rakyat jelata seperti pada lukisan
pengemis, petani, atau nelayan, tidak luput dari perhatiannya sebagai wilayah
kemanusiaan yang menyentuh perasaan. Perjuangan dan penderitaan yang
12
Gamal, Kartono, Bagaimana Cara Mengamati Lukisan Karya Affandi, (Medan:
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan, 2008), h. 8. 13
Dullah, Affandi 70 Tahun, (Jakarta; DKJ, 1977), h. 42, 14
Gamal Kartono, Bagaimana Memahami Lukisan Affandi, h. 7.
53
ditunjukkan dalam lukisan kakiku koreng, dia datang, dia menunggu dan dia
pergi, mengingatkan kita akan makna dari sisi kehidupan manusia.
Salah satu lukisan yang kerap diulang-ulang adalah lukisan berjudul
“Potret Diri”. Lukisan ini terdapat beberap jenis dan memiliki perbedaan baik
corak, maupun warna. Termasuk ada beberapa variasi tambahan seperti matahari
atau yang lainnya. Akan tetapi, satu lukisan khas tentang “Potret Diri” adalah
wajah Affandi yang menampakkan diri di setiap lukisan “Potret Diri”.
Pada awalnya, di tahun 1930-1940an, lukisan Affandi bertema Potret Diri
bergaya naturalis. Pada kategori ini lukisan yang dibuatnya sama seperti gambar
photo pada umumnya yang dilukis kembali menggunakan pensil. Pada tahun-
tahun selanjutnya, potret Diri berkembang menjadi realis. Perkembangan gaya
lukisan di Potret Diri terlihat pada tahun 1944. Pada luksan tersebut terkesan
semakin abstrak berkembang menjadi realis. Pada tahun 1950an, lukisan Potret
Diri bervariasi, kebanyakan potret diri dihiasi dengan gambar topeng, atau dalam
judulnya disebut Potret Diri dan Topeng. Terdapat lima lukisan di tahun 1960an
yang bertemakan potret diri dan topeng. Baru pada tahun 1970an hingga 1980an
lukisan Potret Diri kental akan ekspresi dan guratan yang semakin abstrak dan
menemukan gayanya yang disebut sebagai ekspresionis. Selain terdapat varian
topeng, Affandi juga kerap melukis Potret Diri dengan Kartika, dengan Istri dan
sebagainya.15
Banyaknya lukisan mengenai Potret Diri dengan berbagai variannya
menunjukkan kesan yang berulang-ulang mengenai gambar dirinya sendiri.
15
Sumber diambil langsung dari Museum Affandi.
54
Pertanyaannya, apakah Affandi sedang menjelaskan humanisme melalui
dirinya?Atau hanya sebatas lukisan tanpa makna?
Dalam riwayatnya, Affandi melukis dirinya setelah diusir dari Galeri di
Bandung. Affandi diusir lantaran berwajah jelek dan kumal yang dianggap tidak
pantas masuk Galeri. Karena alasan itulah akhirnya melukis tentang dirinya
sendiri untuk membuktikan apakah dirinya memang jelek sehingga tidak bisa
diterima oleh masyarakat atau dia bisa mengubah dirinya melalui lukisan sehingga
terkesan lebih menarik untuk orang lain. Akan tetapi disaat melukis potret diri
dengan dibumbui agar terlihat lebih gagah, Affandi justru merasa resah
mempertanyakan dirinya sendiri. Affandi tidak mengakui bahwa hasil lukisannya
adalah dirinya. Dengan kata lain, seolah-olah Affandi tidak mengakui realitas
tentang dirinya yang ada.16
Pada akhirnya Affandi memilih berdamai dengan realitas sosial yang
dihadapinya, dianggapnya sebagai bagian dari alam kehidupan. Dalam konteks ini
ia merasa bisa melawan, melayani desakan itu dengan reaksi spiritual. Melalui
Lukisan potret diri, Affandi justru menjelaskan realitas sosial yang pahit. Wajah
wajah yang tampil dalam lukisan lukisan ini muram dan menggambarkan
kehidupan keras keluarga Affandi. Dari semua kenyataan itu bisa disimpulkan
pembentukan acuan seni lukis Affandi berangkat dari “potret diri”. Melalui
lukisan potret ini Affandi “merenungkan” esksistensinya. Melalui wajahnya ia
mengkaji hubungan realitas dengan kepribadiannya.17
Dengan melukis diri sendiri, Affandi juga sedang berusahan
mengendalikan semua gerak emosinya. Itulah sebabnya mengapa ia selalu
16
Ajip Rosidi, Affandi 70 Tahun, h. 43. 17
Ajip Rosidi, Affandi 70 Tahun, h. 33.
55
kembali melukis potret diri ketika merasa gagal melukis. Ia seperti menyetel
kembali nada emosinya dengan melakukan instrospeksi. Pada lukisan potret diri
yang secara tetap dibuatnya, tercermin seluruh perkembangan seni lukisnya.
Lukisan potret, bagi Affandi adalah sebuah refleksi perkembangan dirinya.18
Affandi menegaskan, potret diri yang dibuatnya, adalah refleksi dari perjalanan
hidupnya.
Potret Diri adalah gambaran yang menjelaskan mengenai kondisi sosial
yang ada. Potret Diri secara tidak langsung melambangkan eksistenti manusia.
Guratan guratan yang tertuang dalam lukisan penuh emosi memiliki ide berupa
kondisi sosial yang terjadi, seperti kemiskinan, kesengsaraan. Beberpa lukisan
“potret diri” juga bervariasi dengan matahari (1950). Ajip Rosidi menjelaskan
bahwa Matahari yang terdapat pada lukisan Potret Diri meneguhkan Affandi
sebagai naturalis sejati, yang artinya Affandi menganggap alam adalah sumber
kekuatan dirinya.
Potret Diri dengan topeng juga menunjukkan bahwa sebagai manusia bisa
memakai topeng apapun, baik kesedihan, kebahagiaan, kemalratan, dan
sebagainya. Apa yang dilihat oleh mata seolah nyata, akan tetapi tidak
sepenuhnya nyata. Namun Affandi juga tidak menegaskan apakah hal tersebut
menjadi buah pemikiran eksistensinya sebagai manusia. Patut dicerna bahwa
potret diri selain menjelaskan mengenai eksistensi manusia juga menegaskan
sebagai kritik terhadap manusia yang suka bertopeng.19
Apakah Affandi memahami humanisme hanya dari dirinya sendiri?
Jawabannya adalah tidak. Sebab varian lukisan potret diri juga bersandingan
18
Ajip Rosidi, Affandi 70 Tahun, h. 19. 19
Ajip Rosidi, Affandi 100 Tahun, h. 54.
56
dengan Istri, anak maupun cucu. Dalam beberapa lukisan lain terdapat tema
seperti keluarga, Istri, ketelanjangan (cucunya), Kartika sedang tidur yang secara
tidak langsung Affandi sedang mendeskripsikan kondisi keluarganya.
Bagi Affandi, keluarga adalah hal utama yang tidak bisa diganggu gugat.
Realitas sosial dikemas oleh Affandi dari keluarganya yang setiap saat dilihatnya.
Affandi tidak beresentuhan dengan politik dan sebagainya, sehingga ketika bicara
kritik sosial, Affandi lebih menjelaskan tentang kondisi yang ada, melalui
keluarganya. Sebab menurutnya, setiap orang memiliki keluarga, maka bisa
dipastikan memiliki masalah dan tujuan yang sama. Misalkan, Affandi
menjelaskan mengenai melihat anak, maka ia menegaskan bahwa Affandi tidak
serta merta hanya melihat secara fisik anak, akan tetapi sekaligus memahami ada
kesejahteraan yang harus didapatkan, ada masa depan yang harus diembannya.
Baginya pandangan tersebut merefleksikan untuk semua orang.
Affandi kerap mengatakan dirinya sebagai humanis. Humanisme yang
dimaksudkan adalah Affandi mengedepankan urusan kemanusiaan daripada
melukis. Suatu contoh jika Affandi sedang ingin melukis tetapi ada keluarganya
yang butuh diantar ke rumah sakit, maka Affandi memilih mengantar keluarganya
ke rumah sakit daripada harus melukis.
Dalam kesempatan lain, Affandi juga mempertegas pengakuannya sebagai
seorang humanis. Affandi mencotohkan Hendra yang melukis dengan kain
Istrinya. Bagi Affandi, Hendra layak melakukan seperti itu karena dia merasa
sebagai pelukis. Bahkan tidak perlu mempertimbangkan hal lain meskipun itu
satu-satunya kain yang dimiliki Istrinya. Pengakuan Affandi juga diperkuat
dengan alasan untuk mendapatkan kain kanvas pada masa itu cukup sulit.
57
Sehingga apa yang dilakukan Hendra menjadi keharusan jika dia seorang
pelukis.20
Atas dasar tersebut Affandi enggan mengakui dirinya sebagai pelukis
atau seniman. Affandi memilih menjadi “tukang gambar”, daripada harus disebut
sebagai pelukis.
Argumen di atas adalah gambaran sederhana mengenai sisi kemanusiaan
yang dikedepankan Affandi dibalik dirinya sebagai pelukis. Menurutnya
mementingkan urusan keluarga berarti mengedepankan kemanusiaan. Sikap lain
yang menunjukkan mementingkan keluarga adalah Affandi bekerja selama 20 hari
dalam satu bulan, 10 hari sisanya untuk melukis. Dengan demikian, porsi untuk
keluarga lebih banyak daripada waktunya untuk melukis.21
Adapun dalam lukisan atau estetika humanisme dalam lukisan Affandi
sebenarnya tergambarkan melalui semua karyanya yang menceritakan realitas
sosial. Hampir seluruh yang dilukis merupakan ekspresi emosi atas objek
kemanusiaan pada umumnya. Baik berupa kekaguman maupun kritik tajam atas
yang dilakukan oleh manusia. Affandi akan memilih persoalan kemanusiaan yang
dihadapinya daripada melukis. Sebagaimana kasus di atas, dengan mendahulukan
urusan keluarga, Affandi lebih humanis daripada egois mementingkan
keinginannya untuk melukis.
Gamal Kartono, seorang dosen seni rupa di Universitas Negeri Medan
berusaha menjelaskan sumber inspirasi Affandi, dengan menuliskan :
Konsistensi pada humanisme merupakan titik tolak penciptaan dan perjuangannya
dalam melukis, dan tentu saja ekspresi emosi yang tercurah disertai dengan
eksperimen. Indikasi ini terlihat dari visualisasi karya karyanya yang terdiri dari
20
Ajip Rosidi, 100 Tahun Affandi, h. 25. 21
Ajip Rosidi, 100 Tahun Affandi, h. 43.
58
berbagai teknik dan objek pelukisan. Affandi termasuk seniman yang harus
melukis dengan objek nyata di hadapannya, oleh karena itu objeknya harus akrab
dengannya. Kondisi sosial, lingkungan alam, keluarga, sampai pada wajahnya
sendiri merupakan situasi lingkungan kesehariannya.22
C. Estetika Idealisme
Dalam memahami estetika yang terdapat dalam lukisan Affandi, kita perlu
kembali pada kaidah dasar mengenai keindahan. Immauel Kant menegaskan
bahwa keindahan tidak tergantung pada objeknya, sebab keindahan merupakan
substansi dan bukan gagasan atas pikiran manusia. Keindahan terletak pada objek
sensitif yang bisa dirasakan, bukan objek diam. Apa yang dibangun orang untuk
keindahan adalah komunitas yang berperasaan. Kant meyakini adanya kepastian
hakiki yang tidak empiris dan berada dalam wilayah transendential dalam diri
manusia melalui karya seni.23
Dengan kata lain, keindahan merupakan manifestasi
atas pengalaman yang dituangkan dalam bentuk karya.
Aliran ekspresionisme yang dinisbahkan kepada Affandi merupakan
deskripsi sederhana untuk menjelaskan bagaimana Affandi menciptakan lukisan.
Beberapa data menjelaskan bahwa Affandi melukis secara spontanitas dan
langsung berhadapan dengan objeknya. Baginya melukis adalah menumpahkan
emosinya tentan objek yang dilihatnya. Untuk mendapatkan emosi yang sesuai, ia
harus berhadapan langsung dengan objek yang akan dilukisnya. Jika emosi yang
dirasakan masih belum sempurna, Affandi kerap masuk ke dalam objek dan
22
Gamal Kartono, Bagaimana Cara Mengamati Lukisan Karya Affandi, (Medan:
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan, 2008), h. 2. 23
Bagus, Pijar Mengungkap Rasa; Wacana Seni dan Keindahan, (Jakarta: Gramedia,
2001), h. 33.
59
menjadi bagian objek tersebut, sehingga hasil emosi yang didapatkannya menjadi
sempurna. 24
Yang penting dicatat dalam memahami lukisan Affandi adalah
bukan tiruan objek, melainkan hal tersebut dilakukan demi menjaga emosinya.
Oleh karena itu, hasil lukisannya bersifat spontanitas. Spontanitas berarti sekali
melukis jadi tanpa direvisi. Soedarso menegaskan:
Ekspresi Affandi yang tertuang dalam lukisan menunjukkan buah ekspresi
yang dirasakannya. kalau akan melukiskan sesuatu objek, misalnya orang-orang
yang bekerja di sawah, terlebih dulu digaulinya objek tersebut sampai ia dapat
merasakan bahwa seakan-akan dialah yang melakukan pekerjaan itu, artinya, ia
bisa berempati atau berfeeling into, dan dalam keadaan seperti itu ia buru-buru
melukiskannya karena takut kalau-kalau emosi atau perasaan yang diperolehnya
itu hilang sebelum lukisannya itu siap, dan karena itulah maka ia berusaha
mencari jalan yang cepat untuk dapat menuangkan emosinya tersebut yang
akhirnya membuahkan teknik plototannya yang terkenal itu. Jadi buat almarhum
Affandi teknik plototan tersebut adalah sebuah keharusan, sedang untuk yang
lain-kalau ada-teknik itu adalah mode atau gaya. Kebebasan berekpresi, emosi,
penjiwaan dan Goresan-goresan Affandi dalam menciptakan sebah karya seni,
memberikan inspirasi tersendiri bagi perupa untuk mengaplikasikan semuanya
kedalam lukisan ekspresionistik tentang akar.25
Baginya, melukis ibarat naik sepeda. Terus mengayuh tanpa perlu berpikir
dengan teori ataupun metodenya. Hanya diperlukan insting untuk menjaga
keseimbangan agar tidak jatuh. Hal ini menjadi landasan aksiologisnya dalam
karya Affandi. Bahwa dalam melukis, Affandi hanya percaya pada ketajaman
24
Ajip Rosidi, 100 Tahun Affandi, (Bandung: Nuansan, 2008), h. 34. 25
Soedarso, Trilogi Seni Penciptaan Eksistensi dan Kegunaan Seni, (Yogyakarta : BP
ISI, 2006), h. 57.
60
mata dan insting dari hati nuraninya untuk mendapatkan ekspresi yang sesuai
antara objek dan lukisan.26
Bagi Affandi melukis bukan berdasarkan pikiran melainkan pada naluri.
Tidak meniru dari apa yang tersaji oleh alam, tetapi menyaringnya secara intuitif
sampai hanya pada esensinya saja. Goresan sederhananya membentuk ketepatan
yang meyakinkan sehingga garis-garis itu seolah menunjukkan cermin
kepribadiannya. Lukisannya menjadi paduan emosi dan intuisi karena dimensi
penciptaannya dikendalikan oleh sikap, instingtif, dan rasa yang fluktuatif
sehingga karyanya menjadi temperamental. Terbentuknya sikap batin seperti ini
juga diakibatkan oleh peran sosial budaya.
Pernyataan tersebut semakin menegaskan bahwa konsepsi atau pemikiran
Affandi dalam lukisannya merupakan buah emosi yang didapatkan secara matang.
Hal tersebut menjadi pengalaman inderawiah yang tertanam dalam pikiran
membentuk satu gagasan keindahan yang dimilikinya. Dalam penjelasan
idealisme Hegel dinyatakan sebagai bentuk dorongan naluriah yang muncul atas
dasar pengalaman spiritual maupun alamiahnya untuk dirinya sendiri.27
Salah satu contoh lukisan yang ekspresif dan penuh emosional dapat
dilihat dalam lukisan “Ayam Tarung”. Lukisan Ayam Tarung mendeskripsikan
mengenai ajang adu ayam yang dilihatnya waktu di Bali. Dalam lukisan tersebut
terdapat gambar ayam yang sedang bertarung dan satu ayam lagi mati. Di sisi-sisi
lukisan terdapat gambar semcam kaki-kaki yang menggambarkan kaki manusia.
Makna yang disampaikannya adalah bahwa yang mati dalam lukisan tersebut
bukan hanya ayamnya, akan tetapi manusia manusia di sekelilingnya. Kematian
26
Ajip Rosidi, 100 Tahun Affandi, h. 33. 27
Bagus, Pijar Mengungkap Rasa, h. 43.
61
yang dimaksud adalah bahwa manusia dengan riang gembiranya tanpa perasaan
menyiksa hewan-hewan tersebut. Manusia begitu kejam mengadu ayam (sabung
ayam) sampai mati.28
Lukisan berjudul “Ayam Tarung” merupakan buah emosional yang
dituangkan dalam bentuk lukisan. Baginya, pertarungan ayam yang dimaknai
hiburan adalah hal yang tidak pantas. Mempermainkan hewan sama halnya
mempermainkan ciptaan Tuhan. Secara tidak langsung kepekaan manusia untuk
menyayangi hewan telah hilang. Makna inilah yang disampaikannya bahwa
manusia telah benar-benar kehilangan rasa kasih sayangnya. Analisis lain yang
menekankan pesan “kematian” adalah pilihan warna yang dituangkannya dalam
lukisan. Affandi sengaja memilih warna kelam sebagai penggambaran aura atau
warna kekelaman, kegelapan, hingga kematian. Akan tetapi pesan yang ingin
disampaikannya bukan kematian secara fisik, melainkan kematian psikis atau
jiwa-jiwa manusia, yakni matinya rasa sayang manusia terhadap hewan.
Ayam Tarung melukiskan perasaan dan pengindraan batin yang timbul
dari pengalaman di luar yang diterima tidak saja oleh pancaindra, melainkan juga
oleh jiwa seseorang. Affandi berhasil mengejawantahkan bukan hanya apa yang
diterimanya dari pancaindera, tetapi juga apa yang dimilikinya dalam jiwanya, ke
dalam sebuah lukisan “Ayam Tarung”. Perkawinan antara materi dan ide dalam
buah-buah tangan Affandi yang sangat emosional dan ekspresionis.
Pesan-pesan yang terkandung di dalam lukisannya ditegaskan oleh Ajip.
Apa yang dilukiskan Affandi selalu memberikan pesan tentang kondisi sosial
yang mendalam. Ekspresi yang tertuang dalam lukisan berisi moralitas dan kritik
28
Ajip Rosidi, 100 Tahun Affandi, h. 69.
62
sosial yang begitu mendalam. Akan tetapi, apresiasi masyarakat saat melihal
lukisannya tidak dipahaminya dengan baik. Ajip menuturkan bahwa Affandi
justru menangis jika ada seseorang yang mengagumi lukisannya. Sebab pesan
yang disampaikan tidak bisa diterima oleh masyarakat. Affandi sendiri
mengakuinya bahwa lukisan-lukisannya tidak akan mudah mendapatkan apresiasi
masyarakat.29
Dengan penjelasan tersebut, analisis estetika dalam lukisan Affandi
mengarahkan pada estetika idealisme Hegel. Dari mulai pembuatan lukisan,
Affandi menyerap pegalaman inderawiyah, atau dengan kata lain Affandi tidak
bisa melukis jika tidak melihat atau memahami objek. Selanjutnya, dalam pesan
yang tersirat dalam setiap lukisannya merupakan pengejawentahan atas kondisi
sosial yang bermuatan kritis di dalamnya. Dengan kata lain, Affandi telah
berupaya membangun kesadaran budaya masyarakatnya melalui lukisan. Terlebih
dalam ketegasannya menolak diakuinya sebagai pelukis. Melukis baginya hanya
cara penyampaian isi hati kepada orang lain tentang kehidupan manusia.30
Maka
argumen ini senada dengan apa yang katakan oleh Hegel mengenai keindahan itu
sendiri. Keindahan bukanlah tujuan, melainkan cara pengungkapan yang ideal
dalam kehidupan sehari-hari.31
D. Kritik Sosial Affandi Melalui Lukisan
Secara teknis lukisan-lukisan Affandi berkembang dari model naturalis
atau relais bergeser pada ranah ekspresionis. Dapat dipahami karyanya
dipertengahan tahun 1930-an, sewaktu Affandi melukis dirinya sendiri, ibu, atau
anak dan istrinya, ia dikategorikan sebagai pelukis realis atau naturalis. Kemudian
29
Ajip Rosidi, 100 Tahun Affandi, h. 26. 30
Ajip Rosidi, 100 Tahun Affandi, h. 69. 31
Bagus P. Menyingkap Rasa, h. 43.
63
lambat laun bergeser menjadi pelukis ekspresionis dari tahun 1950- an sampai
pada akhir hayatnya.32
Salah satu penggerak daya kreatif penciptaan artistiknya
adalah penolakannya terhadap penggambaran yang terbatas pada realitas.
Keinginannya adalah mengungkapkan problem yang ada di balik ciptaan – subject
matter - sambil memberikan penekanan.
Lukisan karya Affandi bukan sekadar mengekspresikan objek yang ada di
alam, tetapi lebih jauh dari itu yakni sampai pada taraf mencari makna. Landasan
berpikir seperti ini ditandai dari fisis lukisannya. Pertama dari sisi garapannya
yang memperlihatkan beberapa teknik, gaya dan penggambaran objek pelukisan.
Kedua dari sudut „pesan‟ ada kalanya ia melukis peristiwa atau objek di
sekelilingnya, tetapi pada saat lain Affandi melukiskan dirinya sendiri.
Kesemuanya demi memuaskan hasratnya melukis.33
Terbentuknya sikap batin muncul diakibatkan oleh peran sosial budaya.
Kebiasaan orang yang tinggal di daerah perkebunan misalnya, menonton
pertunjukan wayang kulit sebagai hiburan. Secara lahiriah Affandi menjadi sangat
senang menggambar wayang. Bentuk bentuk wayang mengendap dalam
sanubarinya yang dikemudian hari mempengaruhi caranya melukis. Terlihat dari
garis-garis lukisannya yang meliuk, melingkar, dan padat warna, mengingatkan
kita pada alur garis wayang kulit. Sementara itu secara batiniah mempengaruhi
watak, prinsip hidup, dan pandangan keseniannya. Yakni menyatu dengan „orang
kecil‟ yang tidak mencitrakan kemewahan hidup.
Salah satu contohnya tertera pada lukisan yang berjudul “Pengemis”.
Pilihan sosok pengemis sebagai objek-objek dalam lukisan tidak lepas dari
32
Gamal, Memahami Lukisan Affandi, h. 2. 33
Gamal, Memahami Lukisan Affandi, h. 3.
64
empatinya pada kehidupan masyarakat bawah. Affandi adalah penghayat yang
mudah terharu, sekaligus petualang hidup yang penuh vitalitas.Objek-objek
rongsok dan jelata selalu menggugah empatinya. Oleh karenanya, ia sering
disebut sebagai seorang humanis dalam karya seninya.34
Kondisi seperti inilah yang kemudian dijadikannya sebagai sumber ilham.
Kreativitasnya dimulai dari merasakan, melihat, kemudian menyerap secara
mendalam hingga mencapai kesadaran sensasi dalam dirinya. Pada tahap
menghayati, dicoba merasakan temuan-temuan dalam kehidupan sampai ke tahap
menghayalkan dan menggunakannya sebagai daya imajinasi. Kemudian
diejawantahkan dalam ide yang terbentuk secara alamiah setelah disatupadukan
dengan unsur-unsur estetis seperti: Garis, warna, atau tekstur sampai memiliki
bentuk akhir. Proses seperti ini pada akhirnya menunjukkan sikap kepribadian -
personality. Guilford menjelaskan bahwa dalam arti sempit kreativitas mengacu
kepada kecakapan yang menjadi karakteristik orang-orang kreatif yakni
orisinalitas, fleksibilitas, kelancaran, dan elaborasi.35
Perjalanan kesenimanan Affandi tampaknya memiliki motivasi tinggi dan
sikap jujur yang diperjuangkannya secara konsisten. Dari cara konvensional yakni
menggunakan kuas ke sistem pelotot-an yakni menumpahkan bahan berwarna
langsung dari dalam tempat atau tube. Kemudian sebagai pengganti kuas, jari-
jemarinya digunakan untuk mengolah warna ketika mengekspresikan sesuatu
yang dilihat dan dirasakannya. Caranya melukis seperti ini. Bahkan pada karyanya
yang mutahir nyaris menjadi abstrak. Objeknya sulit untuk dikenali.36
34
Ajip Rosidi, 100 Tahun Affandi, h. 67. 35
Dedi Supriyadi, Kreatifitas, Kebudayaan, dan Perkembangan IPTEK, (Bandung:
Alfabeta, 1994), h. 55. 36
Sanento Yuliaman, Seni Lukis Indonesia Baru, (Jakarta: DKJ, 1976), h. 13.
65
Lewat ekpresionisme, Affandi menyatu dengan objek-objeknya bersama
dengan empati yang tumbuh lewat proses pengamatan dan pendalaman. Setelah
empati itu menjadi energi yang masak, maka terjadilah proses penuangan dalam
lukisan seperti luapan gunung menuntaskan gejolak lavanya. Dalam setiap
ekspresi, selain garis-garis lukisanya memunculkan energi yang meluap juga
merekam penghayatan keharuan dunia bathinnya.
Teknik plotot-an dalam melukis adalah hal yang baru, terlebih pada masa
awal Affandi melukis sedang berkembangnya lukisan naturalis. Kebanyakan
lukisan yang berkembang pada masanya adalah lukisan-luksan gaya naturalis,
dengan teknik melukis menggunakan kuas kemudian menggambarnya objeknya
semirip mungkin. Akan tetapi teknik plotot-an yang digunakan oleh Affandi
adalah dengan mencelupkan jemarinya di tube cat kemudian disapukan ke kain
kanvas yang akan dilukisnya. Dengan kata lain mengganti kuas dengan jemari-
jemarinya.
Gamal menjelaskan terdapat tiga alasan Affandi menggunakan teknik
plotot-an. Pertama saat di India, Affandi kerap kehilangan kuasnya. Kedua, saat
melukis dengan ukuran yang besar, emosinya meluap sehingga melepaskan kuas
dan digantinya dengan tangan. Ketiga, adalah ketika dia penyelesaian salah satu
lukisan tiba-tiba kuasnya patah. Proses selanjutnya melukis tetap diteruskan
dengan cara memelototkan pewarna langsung dari dalam tube. Torehan garis-
garisnya menjadi tegas dan efek pelototan tadi ternyata memberikan kesan
ekspresif yang lebih dramatis.37
37
Gamal, Memahami Lukisan Affandi, h. 5.
66
Dari semua alasan penggantian teknik kuas ke plotot-an, Ajip Rosidi
menegaskan bahwa emosionalnya yang meluap inilah yang menjadi alasan
utamanya. Saat melukis, Affandi kerap tak terbendung emosionalnya, bahkan
dirinya sedang merasa bertarung antara objek yang dilihatnya serta ide yang ada
dalam pikirannya. Hal inilah yang menjadikannya koleps ketika harus memilih
kuas dengan penghayatan. Selanjutnya, ketika menghadapi lukisannya justru
menemukan titik temu identitas atas lukisannya. Semakin melukis dengan teknik
plotot-an dan menghasilkan karya yang ekpresif, Affandi semakin merasa puas.
Meski kadang mengakui ada yang perlu direvisi, tetapi untuk sekali jadi, Affandi
merasa puas dengan hasil lukisannya.38
Dalam memahami teknik lukis Affandi, secara tidak langsung tersirat
nilai-nilai estetis di dalam lukisannya. Terdapat objek, emosi dan ekspresionis.
Objek yang dilukisnya harus dihadapannya secara langsung. Affandi kerap
mengatakan tidak bisa melukis jika tidak berhadapan dengan objek. Atau jika
memang tertarik pada objek tersebut tetapi dalam kondisi yang tidak bisa melukis,
maka ia akan menghayatinya sebagai objek tersebut.
Ajip Rosidi menceritakan tentang lukisan Petani. Lukisan tersebut
mendeskripsikan mengenai kondisi petani yang ada pada masa itu. Di dalam
sebuah perjalanan, Affandi melihat persawahan dan beberapa orang di sawah
tersebut. Seketika itu Affandi ingin melukis, akan tetapi sedang tidak membawa
peralatan. Kemudian beberapa kali Affandi harus ke tempat tersebut untuk alasan
yang tidak pernah diucapkan. Akan tetapi, pada saat yang tepat, Affandi datang
untuk melukis di daerah tersebut. Lukisan “Pring” atau “Rumpun Bambu” juga
38
Ajip Rosidi, Affandi 100 Tahun, h. 65.
67
memiliki kisah yagn sama, saat melihat objek, seketika itu Affandi ingin melukis
dan harus dua kali mendatangi tempat tersebut untuk memastikan bisa melukis
objek tersebut.39
Dari pemaparan tersebut dapat dipahami bahwa Affandi mengedepankan
pengalaman inderawinya sebagai ide dalam setiap lukisannya. Ide mengenai
lukisannya menjadi semakin emosional ditambah dengan dorongan naluriahnya
ingin melukis. Keinginan dan dorongan yang terjadi dalam dirinya merupakan
pertarungan jiwanya untuk menyampaikan pesan melalui lukisan. Emosionalnya
yang meletup-letup inilah menggambarkan setiap objek yang diambilnya bertema
kan kemiskinan, kesengsaran, maupun kepedihan. Atas dasar inilah, Affandi suka
memilih warna suram, coklat, serta dengan garis yang abstrak. Keseluruhannya
menceritakan penderitaan atas objek dan ide yang ada dalam pikirannya. Pesan
tersebut terangkum dalam ekspresi lukisan-lukisannya.
Dalam pandangan Immauel Kant maupun Hegel, keduanya terdapat
kecocokan dengan deksripsi yang terjadi pada Affandi dan lukisannya. Mengenali
kembali sesuatu yang diluar manusia sebagai dunia merupakan bagian dari
pemahaman. Pemahaman ini senantiasa dimainkan aktif dengan mengidentifikasi
sesuatu yang tertangkap indra. Penampakan tersebut kemudian ditafsirkan dalam
sesuatu yang diketahui. Pengalaman inderawi tidak lepas dari interaksi manusia,
akan tetapi pengalaman tidak ada artinya jiak tidak dipahaminya.40
Kemudian
Menurut Kant, keindahan tidak tergantung pada objeknya, sebab keindahan
merupakan substansi dan bukan gagasan atas pikiran manusia. Keindahan terletak
pada objek sensitif yang bisa dirasakan, bukan objek diam. Apa yang dibangun
39
Ajip Rosidi, Affandi 100 Tahun, h. 52. 40
Bagus, Pijar Mengungkap Rasa, h. 25-28.
68
orang untuk keindahan adalah komunitas yang berperasaan.Kant meyakini adanya
kepastian hakiki yang tidak empiris dan berada dalam wilayah transendential
dalam diri manusia melalui karya seni.41
Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan lukisan Affandi
adalah ceritanya nyata yang dialaminya. Berkaitan dengan ranah sosial, Affandi
menggambarkan kondisi sosial yang ada. Baik lukisan yang bertema “Petani”,
“Pengemis” maupun lukisannya tentang diri dan keluarganya merupakan potret
kehidupan yang sesungguhnya. Kemudian pilihan warna yang identik dengan
krem, coklat menunjukkan kemuraman, kesedihan serta kesengsaraan. Dengan
kata lain, hampir seluruh lukisan Affandi adalah pesan mengenai kondisi sosial
yang menyedihkan pada saat itu.
Bentuk kesedihan maupun kesengsaraan yang dilukiskan Affandi adalah
pesan yang terkandung di dalalmnya. Dengan model ekspresionis, Affandi berani
tampil beda dari pelukis-pelukis se masa-nya. Meski model yang berkembang
pada masa itu adalah realis atau naturalis, Affandi memilih gaya ekspresionis
yang sarat akan kritik terhadap sosial yang terjadi. Akan tetapi, gaya
ekpresionisme dalam lukisan tidak sepadan dengan pesan yang terkandung di
dalamnya. Affandi mengaku sedih jika ada yang menganggap lukisannya indah,
padahal di dalamnya menceritakan kesedihan yang mendalam.
Kritik tersebut belum sepenuhnya bisa dipahami mengingat ada beberapa
hal, pertama gaya lukisan yang berkembang di Timur adalah gaya-gaya naturalis.
Kedua, model ekspresionisme Affandi bahkan nyaris abstrak, sehingga amat
susah menemukan makna di dalamnya. Ketiga, Affandi sendiri sangat jarang
41
Bagus, Pijar Mengungkap Rasa, h. 33.
69
menjelaskan makna atau deskripsi lukisannya dalam bentuk pemikiran atau pun
penjelasan lain. Hanya ada beberapa kecocokan bila menggunakan pendekatan
fenomenologi, kritis maupun pendekatan komparasi dengan teori-teori lain.
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penelitian mengenai estetika dalam lukisan Affandi Koesoema
mengerucut pada dua hal, yakni bagaimana estetika Islam dalam lukisan
Affandi Koesoema serta apa saja indikator estetika Islam dalam lukisan-lukisan
Affandi. Adapun hasilnya adalah sebagai berikut:
Pertama estetika Islam dalam lukisan Affandi Koeseoma tertuang
dalam lukisan yang berjudul Ka’bah. Lukisan Ka’bah merepresentasikan ide,
pengalaman inderawi serta pengalaman spiritual dan kondisi religiusitasnya
Affandi Koeseoma. Lukisan Ka’bah merupakan satu-satunya lukisan yang
dibuat Affandi tanpa di depan objeknya. Dengan kata lain, lukisan Ka’bah
murni berdasarkan ide dan pengalaman spiritualnya. Alasan selanjutnya
estetika Islam dalam lukisan Ka’bah adalah lukisan tersebut memiliki makna
tentang Islam yang digambarkan dengan cahaya serta manusia di bawahnya
mengitari atau berkeliling di bawah cahaya matahari. Maksud dari deskripsi
tersebut adalah Affandi menyampaikan bahwa Islam datang dengan penuh
terang benderang dan semua manusia berlindung di bawah cahaya Islami
tersebut. Dengan kata lain, makna lukisan Ka’bah adalah berisi gagasan agama
Islam yang penuh cahaya kebenaran yang dikerubungi oleh manusia.
Kedua indikator estetika Islam dalam lukisan-lukisan Affandi paling
jelas terlihat dalam lukisan Ka’bah. Sebagaimana ciri-ciri lukisan Islam
menurut Abdul Hadi WM, maka lukisan Ka’bah lah yang paling Islami. Sebab
70
lukisan Ka’bah menggunakawan warna terang sebagaimana lukisan Islami
lainnya. Indikator lainnya adalah lukisan Islami memiliki pesan religiusitas.
Lukisan Ka’bah jelas mendeskripsikan rukum Islam yang ke lima, yaitu ibadah
Haji. Dengan demikian semakin jelas bahwa lukisan Ka’bah Affandi
Koesoema merupakan lukisan estetika Islam. Selain menyoal estetika Islami,
lukisan-lukisan Affandi secara umum memuat konsep estetis, sebab apa yang
dilukis bersumber dari ide dan perasaan serta pengalaman inderawinya.
Dengan demikian, setiap dalam lukisan-lukisan Affandi memiliki pemikiran
serta pesan yang akan disampaikan kepada yang melihatnya. Dalam konteks
ini, lukisan-lukisan Affandi memiliki nilai estetis atau memiliki konspesi
esetetika dalam setiap lukisannya.
B. Kritik dan Saran
Skripsi ini jauh dari sempurna, setidaknya terdapat beberapa kelemahan
di dalamnya. Terutama dalam bahan yang didapatkan sangat kurang. Oleh
karena itu masih bisa diperdalam lebih lanjut penelitian mengenai estetika
Islam dalam lukisan Affandi. Sebab yang masih perlu ditambahkan adalah
referensi mengenai pengalaman spiritualitas Affandi Koeseoma yang belum
terekam sepenuhnya. Sehingga dalam penelitian lebih lanjut diharapkan dapat
mengulas pengalaman spiritualitas Affandi Koeseoma sebagai kerangka
analisis estetika Islam dalam setiap lukisan-lukisannya.
71
Daftar Pustaka
Ali, Matius. Pengantar Estetika, Yogyakarta: Sanggar Luxor, 2011
Toer, Pramoedya Ananta. Sastra Realisme Sosialis, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. 2006.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedi, 2002
------Pijar Mengungkap Rasa; Wacana Seni dan Keindahan, Jakarta: Gramedia,
2001
Bentara Budaya. Perjalanan Seni Lukis Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2004.
Dermawan, Agus. Bukit-Bukit Perhatian, Jakarta: Gramedia, 2004
Direktorat Museum, Buku Panduan Museum-Museum Daerah Yogyakarta,
Yogyakarta: Departemen Pendidikan, 1997.
Djamin, Nasjah. Pelukis Affandi, Bandung: Aqua Press, 1979
Dullah. Affandi 70 Tahun, Jakarta; DKJ, 1977
Gamal, Kartono. Bagaimana Cara Mengamati Lukisan Karya Affandi, Medan:
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan, 2008
Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat: Pengantar Kepada Dunia Filsafat, Teori
Pengetahuan Metafisika, Teori Nilai. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Gie, The Liang. Garis-Garis BesarEstetik, Yogyakarta: Supersukus, 1983
Hadi, Abdul WM, Hermeneutika, Estetika, Religiusitas, Jakarta: Sadra Pres,
2016.
Hauskeller, Michael. Seni- Apa itu?Yogyakarta: Kanisius, 2015
Jabbar, M. Abdul Beg. Seni Dalam Peradaban Islam, Bandung: Pustaka, 1981.
Leaman, Oliver. Estetika Islam, Bandung: Mizan, 2004.
Maulidina, Brenda Kusumastuti. “Perancangan Komunikasi Visual Animasi
Dokumenter “Affandi Maestro Seni Lukis Indonesia” Skripsi Bina
Nusantara, Jurusan Desain Komunikasi Visual-Animasi, Jakarta.
Nasr, Seyyed Hosein. Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Sutedjo. Bandung: Mizan,
1994
------Intelegensi dan Spiritualitas Agama-Agama, Terj. Suharsono. Jakarta:
Inisiasi Press, 2004
72
Nata, Abuddin. Metode Studi Islam, Jakarta : Raja Grafid Persada, 2010
Parmono, Kartono. Estetika: Filsafat Keindahan, Yogyakarta: UGM Press, 1985
Purwadi. Mengenal Gambar Tokoh Wayang Purwa dan Keterangannya ,
Jakarta: Cendrawasih, 2007.
Raji, Ismail Faruqi. Atlas Budaya Islam, Bandung: Mizan, 2002
Rizal, Ray. Affandi: Hari Sudah Tinggi, Jakarta: Metrp Pos, 1990
Rosidi, Ajip. 100 Tahun Affandi. Bandung: Nuansa, 2008
------ Affandi Pelukis, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1979
Sachari, Agus. Estetika, Bandung: ITB Press, 2002
Soedarso. Trilogi Seni Penciptaan Eksistensi dan Kegunaan Seni, Yogyakarta :
BP ISI, 2006
Sony Kartika, Darsono. dan Ganda, Nanang. Pengatar Estetika, Bandung;
Rekayasa Sains, 2004.
Sumardjo, Jacob. Filsafat Seni. Bandung, Penerbit ITB, 2000
Sumichan, Raka. dan Kayam, Umar. Buku Tentang Affandi, Jakarta: Yayasan
Bina Lestari Budaya Jakarta, 1987.
Supriyadi, Dedi. Kreatifitas, Kebudayaan, dan Perkembangan IPTEK, Bandung:
Alfabeta, 1994
Sutrisno, Mudji. & Verhaak, Crist. Estetika: Filsafat Keindahan,Yogyakarta:
Kanisius: 1993.
Wahyuddin. Imagined Affandi,Semarang: Galeri Semarang, 2007
Yuliaman, Sanento. Seni Lukis Indonesia Baru, Jakarta: DKJ, 1976
Zulkifli, “Analisis Karya Affandi dan Van Gough” dalam Jurnal UNIKUSA, Vol.
2. No. 2. Universitas Negeri Medan, Tahun 2005
Pustaka Online
http//:www.arsip.galeri-nasional.or.id website resmi galeri seni budaya nasional
Indonesia.
http//www.lukisanku.id website resmi lukisan-lukisan Indonesia