Upload
si-puput
View
90
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
neuro
Citation preview
7/15/2019 Epilepsi Dan Trauma(3)
http://slidepdf.com/reader/full/epilepsi-dan-trauma3 1/13
EPILEPSI DAN TRAUMA
Sebuah Tantangan Persisten
L. James Willmore, MD, Daniel H. Lowenstein, MD
Trauma cidera otak telah dikenal sebagai penyebab epilepsi sejak zaman dahulu.
Selama ribuan tahun, mekanisme cidera otak telah berkembang dari trauma tumpul kepala
hingga trauma penetrasidengan kecepatan tinggi dan gelombang tekanan balistik selama
konflik militer hingga kecelakaan kendaraan bermotor dalam populasi sipil. Masa laten antara
cidera dan perkembangan epilepsi dilaporkan oleh Duretus (1527-1286) dengan deskripsi
seorang anak 17 tahun dengan kejang yang dimulai 5 tahun setelah dia mengalami patah
tulang tengkorak dan tertekan. Charcot membagi etiologi epilepsi menjadi langsung dan tidak
langsung dimana terdapat segera, kejang periconcussive atau kejang yang terjadi setelah
trauma yang dihubungkan dengan riwayat klinis.
Berbagai studi detail mengenai tentara yang terluka menyediakan informasi yang
berharga mengenai populasi spesifik dengan cidera penetrasi kepala. Resiko veteran militer
yang berkembang menjadi post traumatic epilepsy (PTE, perkembangan berulang, kejang
spontan lebih dari 1 minggu setelah cidera kepala) dalam hal ini sangat tinggi, dan observasi
dari perang yang berbeda juga didapatkan hasil yang konsisten. Studi Veteran US pada
Perang Dunia I, Perang Dunia II, atau perang Korea secara konsisten menunjukkan insidensi
PTE sekitar 50% dalam 10 tahun atau lebih setelah cidera kepala. Sebuah pendekatan
prospektif longitudinal awal dari 1221 veteran vietnam dengan ciderapenetrasi 15 tahun
sebelumnya diungkapkan bahwa sejumlah 53% mengalami PTE. 189 pasien dengan cidera
penetrasi kepala dari perang Iraq-Iran memiliki probabilitas 74,7% untuk kejang persisten
setelah 21 tahun.
Insidensi PTE di dalam populasi masyarakat susah untuk ditentukan karena kurangnya
keseragaman dalam pendefinisian dari derajat keparahan trauma kepala. Dari awal sebuah
kasus yang luas, ketika 29,5% pasien memiliki satu atau lebih riwayat kejang, hanya sekitar
14-15% dinyatakan memiliki PTE, setengah dari pasien ini memiliki kejang yang berat.
Sekitar 20% orang yang selamat dari trauma yang berat yang membutuhkan perawatan
rehabilitasi memiliki insidensi PTE. Pasien dengan cidera penetrasi kepala memiliki insidensi
epilepsi 35-50%. Resiko tertinggi untuk kejang pasca trauma yang terlambat ditemukan pada
pasien dengan multipel atau bilateral kontusi, subdural hematoma yang membutuhkan
7/15/2019 Epilepsi Dan Trauma(3)
http://slidepdf.com/reader/full/epilepsi-dan-trauma3 2/13
pembedahan, kejang pasca trauma awal, pembedahan cranial multipel, atau midline shift
besar yang berhubungan dengan cidera.
Dalam edisi Neurology ini, Raymontet al melakukan pendekatan cohort dengan jangka
waktu yang panjang pada tentara veteran yang terdaftar dalam Vietnam Head Injury Study.
Dari 199 pasien dalam penelitian cohort ini, prevalensi epilepsi adalah 43,7%. Hal yang
penting adalah data yang menunjukkan bahwa masa laten kejang pertama setelah cidera awal
dapat terjadi 10 tahun setelah cidera; dalam suatu kasus, kegawatan epilepsi muncul 35 tahun
setelah trauma kepala. Kejang parsial kompleks adalah tipe kejang yang paling umum (31%).
Kejadian kejang pasca trauma juga didukung dengan temuan bahwa 53% pasien mengalami
kejang pada tahun sebelum penelitian ini. Pada sebuah penilaian sementara penelitian cohort
yang dilaporkan pada tahun 1980-an, faktor resiko terkait dengan PTE adalah berkurangnya
jumlah volume otak moderat, terdapatnya fragmen logam di dalam otak, dan hematoma.
Raymon et al mengkonfirmasi hubungan antara cidera dalam dengan adanya fragmen logam.
Observasi ini menekankan pentingnya fenomena epilepsi (proses, terjadi dalam beberapa
tahun, dari yang awalnya otak normal hingga menjadi rawan untuk kejang berulang kali).
Bagaimana kaskade peristiwa dan efek yang terjadi dengan cidera tembus otak?
Pembentukan cicatrix, gliosis dan hemosiderin, dan cidera geser dari akson dengan cortical
yang tidak terhubung telah diusulkan. Predisposisi genetik merupakan pertimbangan yang
menarik tetapi tidak ada bukti yang menyatakan bahwa genetik memainkan peran signifikan,
sebuah observasi dapat mendukung penelitian terbaru ini. Apakah toksisitas darah dalam
neuropil dengan formasi radikal bebas? Bagaimana dengan hilangnya neuron kritis selektif
dan koneksi mereka atau reorganisasi dari tunas akson?
Sayangnya, mekanisme epilepsi yang mengikuti cidera kepala belum jelas, dan
rasional, target terapi yang dapat mencegah kegawatan epilepsi juga belum dikembangkan.
Sejumlah penelitian yang dirancang dengan baik untuk mencari efek potensial dari obat
antiepilepsi yang umum digunakan untuk mencegah PTE mendapatkan hasil yang
mengecewakan, menekankan pentingnya kebutuhan kritis bagi pemahaman yang lebih dalam
mengenai dasar bilogis epileptogenesis
Pentingnya pendekatan longitudinal yang dilaporkan Raymont et al mengingatkan
kita mengengai kenyataan PTE bagi tentara, serta masyarakat sipil yang mengalami cidera
dalam perang. Kita perlu melakukan segala sesuatu yang mungkin untuk mengerti komplikasi
dari cidera orak dan mengembangkan perawatannya.
7/15/2019 Epilepsi Dan Trauma(3)
http://slidepdf.com/reader/full/epilepsi-dan-trauma3 3/13
KORELASI EPILEPSI PASCA TRAUMA (PTE) 35 TAHUN SETELAH
CIDERA OTAK AKIBAT PERANG
V. Raymont, MB ChB, A.M. Salazar, MD, R. Lipsky, PhD, D. Goldman, MD, G. Tasick, PA,
J. Grafman, PhD
ABSTRAK
Latar Belakang The Vietnam Head Injury Study (VHIS) adalah sebuah pendekatan
prospektif longitudinal dari 1221 veteran perang Vietnam dengan cedera kepala akibat luka
penetrasi. Tingginya prevalensi (45%-53%) dari epilepsi post trauma (PTE) dalam studi
kohort ini, membuat hal ini layak untuk diteliti.
Metode Standarisasi multidisiplin neurologi, kognitif, tingkah laku, dan evaluasi gambaran
otak pada 199 veteran VHIS ditambah dengan kontrol non-traumatik, sekitar 30-35 tahun
setelah cidera, sebagai bagian dari fase ketiga dari penelitian ini.
Hasil Prevalensi dari kejang (87 pasien, 43,7%) serupa dengan penemuan pada fase 2
evaluasi 20 tahun sebelumnya, tetapi 11 dari 87 (12,6%) diantaranya dilaporkan memiliki
onset epilepsi post trauma setelah fase 2 (lebih dari 14 tahun setelah cidera). Pasien-pasien itu
tidak berbeda dengan pasien epilepsi post trauma dengan onset lebih awal pada beberapa
penelitian. Dalam kohort fase 3, tipe kejang yang paling sering terjadi adalah kejang parsial
kompleks. Dengan subjek epilepsi post trauma, 88% mendapat terapi antikonvulsan. Lesi
lobus parietal sinistra dan terdapatnya fragmen logam besi berhubungan dengan epilepsi post
trauma dalam model regresi logistik. Berkurangnya jumlah volume otak dapat memprediksi
frekuensi kejang.
Simpulan Pasien dengan luka penetrasi kepala memiliki risiko tinggi untuk epilepsi post
trauma beberapa dekade setelah terjadinya luka, dan juga membutuhkan perawatan medis
jangka panjang. Lokasi lesi, ukuran lesi, dan tipe lesi merupakan prediktor dari epilepsi post
trauma.
Epilepsi post trauma adalah penyebab utama dari epilepsi onset baru pada dewasa
muda, dengan mencapai 30.000 kasus baru per tahun di Amerika Serikat, dan terkait dengan
region, tipe, dan beratnya cidera. Tingginya insiden dari epilepsi post trauma akibat perang,
dibandingkan dengan populasi sipil, membuat populasi ini berarti untuk diteliti. VHIS terdiri
dari 1221 veteran Vietnam dengan trauma kepala. Fase 1 dari penelitian ini adalah review
dari rekam medis subjek 5 tahun setelah trauma.
7/15/2019 Epilepsi Dan Trauma(3)
http://slidepdf.com/reader/full/epilepsi-dan-trauma3 4/13
Fase 2 mengevaluasi 520 subjek dengan trauma kepala dan 85 relawan normal. 92%
memiliki trauma penetrasi kepala. Prevalensi dari epilepsi post trauma adalah 53%,
berhubungan dengan berkurangnya jumlah volume otak dan ditemukannya hematom atau
terdapatnya fragmen logam. Onset epilepsi post trauma paling banyak ditemukan pada tahun
pertama setelah trauma. Dari pasien dengan kejang persisten, 66% menggunakan medikasi
antikonvulsan. Hanya 5 area otak yang signifikan menunjukkan kejadian kejang, substansi
grisea vertex kanan, korteks kiri, substansi grisea temporal kiri, substansi albae frontal kanan,
dan korona radiata kanan. Lesi pada hipokampus kiri berkorelasi dengan peningkatan
frekuensi kejang, dimana lesi splenium dan insula berhubungan dengan frekuensi kejang
yang lebih rendah. Lesi dari caliosum posterior dan nucleus kaudatus berhubungan dengan
rendahnya kejang persisten.
Performa kognitif secara umum tidak berhubungan dengan epilepsy post trauma
setelah kompensasi untuk berkurangnya volume otak dan intelegensi sebelum trauma.
Pengecualian intelegensi non-verbal, kemampuan berbahasa, memori, motor speed dan
kontrol.
Peneliti meninjau populasi ini untuk menaksir hubungan jangka panjang dari cedera
otak akibat trauma dan epilepsy post trauma.
METODE
520 subyek dengan cedera kepala dinilai di PH2, 484 yang masih hidup, dan 182 yang
mengikuti PH 3, 35 tahun setelah cedera. 17 subyek dengan cidera kepala yang diidentifikasi
pada PH1 dan tidak mengikuti PH2 juga dinilai. Dari 80 subyek kontrol yang direkrut saat
PH2 (veteran Vietnam yang tidak cidera, disesuaikan dengan usia), 32 orang mengikuti dan
lebih lanjut 23 direkrut melalui iklan dalam publikasi veteran. Subyek dinilai selama 5
sampai 7 hari di Nasional Naval Medical Center, Bethesda, Maryland. Ini termasuk sejarah
dan pemeriksaan oleh seorang ahli saraf berpengalaman dengan populasi ini (AMS).
Diagnosis PTE didasarkan pada wawancara semistruktur. Pengujian meliputi 2 pengukuran
Inteligensi, armed Force Qualification Test (AFQT) dan Wechler Adult Intelligence Score
(WAIS) III
Persetujuan protokol standar, Pendaftaran, dan persetujuan pasien.
Kami Menerima persetujuan dari intitut Komite Standar Etika. Persetujuan tertulis didapat
dari semua subjek.
7/15/2019 Epilepsi Dan Trauma(3)
http://slidepdf.com/reader/full/epilepsi-dan-trauma3 5/13
CT scan analisis.
Lesi otak diidentifikasi dengan CT scan, dan datadirekonstruksi dengan ketebalan potongan 1
mm yang tumpang tindih dan dengan interval 1 mm. Lesi yang dievaluasi oleh dokter
spesialis radiologi dan diproses dengan menggunakan Analysis of Brain Lession (ABLe)
software. ABLe adalah program interaktif yang dijalankan dengan MEDX Medical Imaging
software (Medical numeric Inc, Sterling, VA). Dengan ABLe, lesi digambar secara manual di
ruangan oleh V.R. dan dikaji oleh J.G., dan didapatkan sebuah keputusan konsensus
mengenai batasan setiap lesi.Volume lesi dihitung dan gambar Otak secara otomatis terdaftar
ke template otak dalam ruang Talairach. Gambar template berasal dari CT scan seorang pria
27 tahun, sesuai dengan dimensi Talairach pada MEDx dengan menggunakan 12 parameter
transformasi yang didapatkan dari Automated Image Registration (AIR) software di dalam
MEDx. Dari parameter transformasi berasal Automated Image registraction (AIR) dalam
MEDx softwere. Gambaran komputer area Broadman diperoleh dengan pemetaan
pemotongan kembali di CT scan. Perpotongan lesi area Broadman ditentukan dengan
menggunakan VOTL database dalam ABLe. Prosedur ini dapat digunakan untuk mengukur
volume lesi yang normal dan persentasi otak yang terkena. Tiga pengukuran atrofi dibuat
melalui keputusan konsensus antara AMS dan VR: Luas Corpus callosum (Berdasarkan 3
pengukuran: genu, splenium dan bagian tengah), penilaian atrofi otak secara keseluruhan, dan
atrofi pada masing-masing lobus. Luas Ventikel ketiga telah diketahui sebelumnya
berkorelasi dengan pengukuran lain dari atrofi. Kami menemukan luas ventrikel ketiga
berkorelasi dengan lebar corpus callosum (r=0,416, p<0,001; r=0,352,p<0,001),serta atropi
keseluruhan (r=0,377,p<0,001).
Analisis genetik .
Karena baik satu maupun beberapa mutasi gen terkait dengan epillepsy, kami menyaring
sejumlah penanda genetik. Termasuk APOE ε4, asam dekarboksilase gutamic (GAD),
katekol-o-methyltransferase, GRIN (reseptor glutamat dan memiliki subunit NMDA), faktor
yang diturunkan dari neurothropic otak, dan dopamin β-hidroksilase.
DNA Genomik diisolasi dari leukosit dengan menggunakan nukleon BACC2 seuasi
protokol pabrik (Amersham Life Science, Piscataway, NJ). Kualitas dan kuantitas DNA
genom ditentukan secara spektrofotometri dengan menggunakan absorbansi 260 nm dan 280
nm. Beberapa sampel DNA yang dimurnikan kembali dengan penambahan ekstraksi fenol-
kloroform (24:1 vol/vol) sebelum pemulihan dengan presipitasi etanol. Konsentrasi DNA
yang diukur dengan menggunakan Nano Drop ND-1000 spektrofotometer (Nano Drop
7/15/2019 Epilepsi Dan Trauma(3)
http://slidepdf.com/reader/full/epilepsi-dan-trauma3 6/13
Technologies, Wilmington, DE). Tingkat penyelesaian setiap pengujian > 99%, dengan
tingkat kesalahan <1%.
Analisis statistik .
Sebuah variasi prosedur parametrik digunakan dalam penelitian ini. Analisis varian dan
logistic linier sertaprosedur regresi multipel bertahap dilakukan untuk menilai pengaruh
intellegensi sebelum cidera, intellgensi saat ini atau selama perubahan berlangsung,
kehilangan volume otak, lokasi lesi, karakteristik luka, dan penanda genetik riwayat PTE,
durasi kejang, frekuensi, atau tipe. Tingkat signifikansi p = 0,05 atau kurang diperlukan untuk
prosedur regresi bertahap.
HASIL
Prevalensi kejang dan sifat-sifatnya
Keseluruhan Prevalensi PTE dari kelompok yang mengalami cedera kepala adalah
43,7% (87 dari 199 sampel). Ini sama dengan hasil penelitian cohort di fase 2, yakni 53%.
Durasi rata-rata periode kejang terakhir (diukur dari awal sampai dengan akhir laporan
kejang) adalah 33 bulan. Dari hasil penelitian kejang pada beberapa tahun terakhir ini,
frekuensi yang paling sering adalah 2 sampai 10 kali kejang per tahun. Kejang parsial
kompleks terjadi sekitar 31%, dan kejang parsial sederhana yang berkembang menjadi kejang
umum terjadi 25%. Berlawanan dengan hasil di atas, kejadian yang paling banyak dan biasa
dilaporkan ialah kejang parsial sederhana yang berkembang menjadi kejang umum (33,3%),
diikuti oleh kejang umum (20,7%; sebagai diagnosis adalah semata-mata berdasarkan pada
cerita sampel, kita tidak dapat menentukan apakah ini merupakan yang pertama atau yang
kedua). Seperti pada PH2, ada sebuah hubungan antara durasi dan frekuensi dari kejang
selama laporan pertama periode kejang (r = 0,320, p = 0,008).
7/15/2019 Epilepsi Dan Trauma(3)
http://slidepdf.com/reader/full/epilepsi-dan-trauma3 7/13
Sebelas pasien (12,6% dari mereka dengan PTE; 5,5% dari keseluruhan) dilaporkan
mengalami kejang awal sejak PH2. Tidak ada hubungan antara onset laten dan riwayat
penyakit jantung, kecerdasan sebelum cedera, perubahan kecerdasan, kemunculan dari
kepingan tulang atau logam, atau ukuran luka.
Bagi mereka yang mengalami onset PTE sebelum PH3, 73,8% digambarkan tidak ada
perubahan pada tipe kejang, 3,2% dari hasil di atas, dilaporkan mengalami sebuah perubahan
kejang dari kejang parsial sederhana menjadi kejang umum, dan 4,7% berubah dari kejang
umum menjadi kejang parsial sederhana atau kejang parsial kompleks. Dua sampel kontrol
juga dilaporkan mempunyai sebuah pengalaman kejang, 13 tahun sebelum PH3.
Dari 520 pasien yang diperkirakan di PH2, 336 pasien tidak mengalami PH3. Ketika
kami memeriksa pasien yang mengalami cedera kepala dan termasuk dalam P2 dan P3,
prevalensi PTE pada PH3 adalah 45,1% (82 dari 182 sampel), bandingkan dengan 39,6%
pada PH2. 19,2% melaporkan mengalami kejang pada tahun sebelum P3. Seperti pada
Keseluruhan sampel PTE, pada beberapa tahun belakangan ini kebanyakan mengalami
kejang sebanyak 2 hingga 10 kali dalam satu tahun, dan kejang parsial kompleks adalah tipe
yang paling umum, terjadi pada 15,1%. Pada 17 sampel yang berada pada P3 tetapi bukan P2,
prevalensi PTE 29,4%. Tiga sampel melaporkan serangan kejang sejak P2, dan empat telah
mengalami satu serangan kejang pada tahun sebelum P3. Sampel-sampel yang telah lama
mengalami kejang tetapi tidak mengalami PH3 mendapatkan cedera awal yang sangat ringan,
dan nilai kecerdasan PH2 (pada table 2), dan juga sebuah kecenderungan untuk kehilangan
volume otak lebih besar, mengingat tidak ada perbedaan yang berarti pada istilah dari tipe
kejang dan frekuensi. Dari sampel-sampel dengan cedera kepala yang mengalami PH2 dan
bukan PH3, 43,9% positif mengalami sebuah riwayat kejang pada PH2. Pada saat PH2,
28,0% dari sampel ini mengalami kejang umum, dibandingkan dengan 21,7% dari mereka
yang menuju ke PH3, mengindikasikan bahwa tidak ada perbedaan pada istilah dari tipe
kejang pada peserta PH3 dan bukan peserta ( p = 0,486).
Tabel 1 Masa laten onset dan durasi kejang
Masa laten onset < 12 bln 1-5
thn
5-10 th 10-15 th 15-35 th
n 133 49 22 13 14
Rata-rata durasi kejang,
bulan
98,5 103 46 8 32,5
7/15/2019 Epilepsi Dan Trauma(3)
http://slidepdf.com/reader/full/epilepsi-dan-trauma3 8/13
Tabel 2 Perbedaan antara kehadiran fase 3 dan ketidakhadiran
Kehadiran fase 2 Kehadiran fase 3 Nilai P
Tahun pendidikan 12.98 (5.26) 14.16 (2.28) 0.004
Pre traumaAFQT
50.56 (24.48) 60.87 (25.11) 0.000
Perekaman
AFQT akhir
48.28 (26.53) 63.14 (25.15) 0.000
Kehilangan
hemisfer kanan, cc
19.04 (30.76) 18.95 (29.02) 0.976
Kehilangan
hemisfer kiri, cc
20.47 (34.60) 14.33 (26.44) 0.044
Total kehilangan
volume otak
42.51 (45.94) 35.45 (38.87) 0.089
Singkatan: AFQT= Armed Forces Qualification Test. *Data dipresentasikan sebagai mean
(rata-rata)
Pengobatan dari PTE
Lebih dari 88% (n =77) dari sampel yang memiliki riwayat PTE pada PH3 masih
menggunakan pengobatan dari waktu kejang terakhir mereka. 70% diresepi phenitoin,
pengobatan tersering ke dua adalah Phenobarbital (14,5%). Dan pilihan terapi umum yang
terakhir adalah carbamazepine (4,5%) dan sodium valproate (4,5%). Antikonvulsan yang
terbaru tidak sering diresepkan. Bagaimanapun 53% dari sampel (n = 41) dilaporkan
mengalami kejang pada tahun sebelum PH3, yang mana menunjukkan tingkatan yang tinggi
dari kesulitan penyembuhan atau kegagalan, tapi kita tidak dapat menilai faktor mana yang
bertanggung jawab pada pembelajaran ini.
Hubungan dengan lesi otak
Seperti pada PH2, kehilangan volume otak pada PH3 berhubungan dengan PTE (t =
3,758, df = 186, p = 0,000). Ada hubungan antara ukuran dari lesi dan frekuensi kejang pada
tahun pertama (r = -0,203, p = 0,005) dan tahun terakhir dari laporan kejang (r = -0,274, p =
0,000) sama seperti pada durasi dari riwayat kejang (r = -0,179, p = 0,014). Tetapi,
berkebalikan dengan hasil pada PH2, kami menemukan bahwa mereka dengan lesi parietal
(X2 = 13,603, df = 2, p = 0,001) dan keterlibatan insula kiri (X2 = 12,845, df = 2, p = 0,002)
7/15/2019 Epilepsi Dan Trauma(3)
http://slidepdf.com/reader/full/epilepsi-dan-trauma3 9/13
yang mana lebih mirip dengan laporan sebuah riwayat kejang. Tidak ada hubungan lain yang
berarti antara lokasi lesi dan kejang. Tapi ada suatu hubungan antara jumlah dari lobus yang
terlibat dan PTE (r = 0,196, p = 0,006), dan kejang parsial kompleks lebih umum pada
mereka dengan keterlibatan beberapa lobus. Tidak ada hubungan yang berarti antara atrofi
dan PTE.
Tabel 3 Karakteristik pasien dengan dan tanpa Post Traumatic Epilepsy (PTE)
SubjektanpaPTE
(n=112)
SubjekdenganPTE
(n=87)
nilai p
Rata-rata usia, y 58.8 (3.5) 57.8 (2.3) 0.007b
Rata-rata pretrauma
AFQT
62.8 (25.1) 57.2 (25.9) 0.151
Rata-rata PH2 AFQT 69.7 (23.0) 54.6 (25.9) 0.000b
Rata-rata PH3 AFQT 59.7 (24.5) 44.3 (23.1) 0.000b
Rata-rata PH3 WAIS
skalapenuh IQ
106.2 (14.3) 98.0 (14.4) 0.000b
Perubahan
AFQT,pretraumake PH3
-4.3 (17.9) -13.3 (20.0) 0.002b
Perubahan AFQT,PH2
ke PH3
-8.0 (11.2) -11.0 (12.9) 0.131
CT volumsisikanan yang
hilang,cc
17.4 (29.8) 24.8 (32.8) 0.111
CT volumsisikiri yang
hilang,cc
12.2 (17.6) 27.7 (46.2) 0.004b
Riwayatkardivaskular.
Positif,n (%)
45 (40.2) 39 (44.8) 0.942
Keberadaan
metal/fragmentulangpada
CT scan,n (%)
59 (52.7) 67 (77.0) 0.001b
AFQT = Armed Forces Qualification Test
PTE= Post Traumatic Epilepsy
WAIS = Wechsler Adult Intelligence Scale
7/15/2019 Epilepsi Dan Trauma(3)
http://slidepdf.com/reader/full/epilepsi-dan-trauma3 10/13
a. Data dipresentasikan sebagai rata-rata (SD) dinotasikan sebagai n (%)
b. Signifikan secara statistik
Hubungan dengan penanda genetik
Kami mencari hubungan antara beberapa kandidat gen dengan PTE (tabel 3).
Terdapat hubungan antara keberadaan GRIN2A rs11074504 dan kejang pada PH3
(x2=14.126, df=4, p=0.007) dan GAD2 rs1330582 dan PTE pada PH2 (x2=11,779, df=4,
p=0.019). Terdapat juga hubungan antara GAD1 rs 769395 dan kejang pada PH2 (x2=9.351,
df=4, p=0.053), tetapi tidak ada hubungan antara PTE dan keberadaan alel APOE ε4.
Bagaimanapun, ketika nilai p dikoreksi untuk beberapa perbandingan, nilai ini tidak
mencapai signifikansi.
Hubungan dengan intelejensi
Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada nilai pre trauma AFQT antar subjek
dengan dan tanpa PTE (tabel 3), sedangkan terdapat perbedaan signifikan antara grup ini
dalam nilai AFQT PH3 dan PH2 mereka dan perubahan dalam skor dari PH2 ke PH3 (PH3
menunujkkan penurunan yang lebih besar)
Terdapat hubungan antara frekuensi kejang yang terahir dan nilai AFQt PH3
(F=5.876, df=6, p=0.000), dan perubahan pada nilai AFQT dari pre trauma ke PH3 (F=4.140,
df=6, p=0.001) dimana pada frekuensi kejang yang lebih sering mempunyai nilai AFQT yang
lebih rendah dan penurunan intelejensi yang lebih besar. Terdapat pula hubungan antara tipe
dari kejang terahir dengan nilai AFQT PH3 (F=6.010, df=5, p=0.000) dan perubahan dalam
nilai AFQT dari pre trauma ke PH3 (F=4.140, df=6, p=0.000). Mereka dengan kejang parsial
yang berkembang menjadi kejang umum mempunyai nilai AFQT pada PH3 yang terendah
dan penurunan dalam pretrauma ke PH3 yang terbesar, dimana mereka dengan kejang parsial
sederhana mempunyai nilai AFQT pada PH3 dan level penurunan yang terkecil
Kami memeriksa riwayat kejang, durasi, frekuensi, dan tipe dan intelejensi yang
sekarang menggunakan model regresi linear. Tidak seperti pada PH2, PTE memprediksi
intelejensi yang sekarang, walaupun ketika kehilangan volume otak dan intelejensi yang
sekarang diperkenalkan dalam suatu model (F=4.102, df=2, p=0.018). Keberadaan PTE juga
memprediksi penurunan nilai AFQt pada pre trauma ke PH3 (F=4.102, df=2, p=0.018).
Durasi PTE merupakan prediktor dari penurunan penurunan dalam skala penuh IQ dari PH2
ke PH3 (F=4.559, df=1, p=0.034), begitu juga penurunan intelejensi dari pre trauma ke PH2
(F=6.883 df=1, p=0.010)
7/15/2019 Epilepsi Dan Trauma(3)
http://slidepdf.com/reader/full/epilepsi-dan-trauma3 11/13
Kemampuan memprediksi PTE secara keseluruhan
Kami mempresentasikan analisis regresi logistik linear untuk menilai kemampuan
prediksi dari kejadian dan frekuensi PH3 dengan total volum yang hilang, lokasi lesi,
karakteristik luka, dan 3 penanda genetik yang ditemukan yang berhubungan dengan PTE.
PTE diprediksi oleh keberadaan GRIN2A rs 11074604 (F=3.944, df=2, p=0.021) dan
keterlibatan parietal kiri (F=5.931, df=1, p=0.041). Seperti pada PH2, keberadaan fragmen
metal merupakan prediksi PTE (F=5.522, df=1, p=0.020) dan kesimpulannya dalam analisis
mereduksi akibat dari GRIN2A rs11074504 (F=8.091, df=2, p=0.059) dan keterlibatan
temporal kiri (F=0.737, df=1, p=0.609). Total volum yang hilang (F=7.230, df=1, p=0.008)
hanyalah satu-satunya prediktor dari frekuensi kejang. Tidak satupun prediktor yang
signifikan ketika analisis diulang pada PTE yang onsetnya sangat terlambat (>14 tahun
setelah cedera). Bagaimanapun karena hanya melibatkan sedikit subyek, analisa ini hanya
bisa dilihat sebagai penelitian.
DISKUSI
Studi PTE dalam populasi militer telah dilaporkan lebih tinggi daripada masyarakat
sipil (32%-43%), yang dimungkinkan karena luka lebih sering terjadi pada kasus perembesan
dan perdarahan dural, yang mana dihubungkan dengan kenaikan resiko untuk PTE. Dalam
kelompok ini, kejadian PTE adalah 53% selama 15 tahun, tetapi 18 % diantaranya tidak
menunjukkan epilepsi yang mereka miliki hingga 10 tahun lebih setelah TBI.
Hasil ini nampak memeperkuat tingginya pengaruh serangan dalam kelompok ini,
dengan resiko PTE dan frekuensi serangan yang lebih tinggi, menjadi lebih besar dengan lesi
otak yang luas. Data kami menunjukkan bahwa insiden terjadi lebih sering daripada sesudah
konflik sebelumnya, yang dimungkinkan karena ketahanan dalam perbaikan dan pemantauan
jangka panjang. Bagaimanapun juga, meskipun kami menemukan pola serangan dengan PH3
dan tanpa PH3, kami yakin bahwa kami tidak dapat memasukkkan 65% sampel dari PH2
dalam evaluasi ini. Sebagai tambahan, karena peserta dengan trauma kepala dengan tingkat
inteligensi terendah pra injuri dan cenderung dengan lesi yang besar, tidak disertakan dalam
PH3, karena dapat menyebabkan bias yang signifikan, meskipun dapat dijelaskan dengan
penurunan prevalensi PTE pada PH3 yang dibandingkan dengan PH2.
Selama ini, studi genetik bertitik fokus pada molekuler epileptogenesis setelah
terjadinya luka akibat trauma. APOE ε4 telah dikelompokkan dengan kenaikan PTE dalam 6
bulan setelah TBI, diluar dari fungsi yang lain. Bentuk genetik lainnya telah dilengkapi
dengan reseptor gen asam γ-aminobutirat dan alel haptoglobin HPh2-2. Penelitian terakhir
7/15/2019 Epilepsi Dan Trauma(3)
http://slidepdf.com/reader/full/epilepsi-dan-trauma3 12/13
juga menunjukkan bahwa TBI menghasilkan transmisi glutamatergic yang dapat diganti dan
dari itu semua, maka ada jendela penting yang bersifat sementara dalam aturan
epileptogenesis. Oleh karena respon inisial seluler telah menjadi fokus studi sebelumnya,
maka kami memiliki hipotesa bahwa kejadian kejadian yang ada dapat menjadi pemicu
melekular yang bersifat spesifik, yang dapat merubah hubungan spesifik genotip. Ketika
terdapat koreksi untuk membuat perbandingan pada analisis kami, tidak didapatkan hasil
yang signifikan untuk analisis genetik. Sehingga, pendapat terkini menyebutkan bahwa faktor
faktor genetik dapat mempengaruhi kecenderungan untuk mengembangkan PTE, dan sebagai
keperluan pembelajaran lebih lanjut.
Hubungan antara outcome kognitif dan PTE masih menjadi perdebatan seperti
penggunaan jangka panjang anti konvulsan. Data kami menunjukkan terdapat hubungan
antara PTE, tingkat kecerdasan dan penurunan kognitif di masa lalu.
Penemuan kami sedikit berbeda dengan ketentuan hubungan dalam PH2 antara PTE
dan tempat lesi. Disaat kami menemukan lesi parietal kiri dan serpihan logam, lebih tampak
seperti riwayat serangan, yang mana juga merupakan kasus dengan lesi yang meliputi insula
bagian kiri. Bukti dalam literatur menganggap hubungan antara tempat lesi di otak dan
kecenderungan PTE pada dasarnya terdiri atas studi injuri kepala akibat penetrasi (PHI) dan
mekanismenya.Bagaimanapun juga, studi prospektif terakhir CHI dan PHI, sebuah hubungan
juga ditemukan antara lesi frontal dan parietal pada CT scan dan PTE. Hal ini sesuai dengan
penelitian PHI yang lain. Studi PHI lainnya menemukan hubungan antara lesi frontal dan
temporal dan PTE. Di sisi lain, penelitian CHI dan PHI, tidak didapatkan korelasi antara
tempat lesi dan PTE. Dilaporkan juga terdapat peningkatan insiden onset PTE dalam kasus
ini dengan lesi bilateral di parietal, yang mengindikasikan adanya kemungkinan proses
terjadinya lesi berdasarkan durasi pada subtipe PTE tertentu.Seperti studi yang lainnya, kami
menemukan korelasi antara terjadinya injury otak dan kecenderungan PTE, dan serangan
parsial komplek yang umum dalam kasus ini dengan keterlibatan kedua lobus. Meskipun
kami tidak menemukan antara atrofi dan kecenderungan PTE, mungkin saja dapat
disebabakan efek iatrogenik seperti pemakaian jangka panjang fenitoin, dapat menyebabkan
perubahan menjadi atrofi, karena sebagian besar subjek mendapatkan perawatan jangka
panjang dengan anti konvulsan tradisional.
Patogenesis mengenai perjalanan PTE, dan yang lebih spesifik, bagaimana
karakteristik seperti outcome klinis dan kedudukan lesi dapat berpengaruh pada onset
terjadinya serangan masih belum jelas. Meskipun, data kami menunjukkan bahwa onset
terjadinya serangan bisa tak tampak lebih dari 30 tahun setelah TBI. Tipe kejang umumnya
7/15/2019 Epilepsi Dan Trauma(3)
http://slidepdf.com/reader/full/epilepsi-dan-trauma3 13/13
juga berubah seiring jalannya waktu, yang cenderung meningkat menjadi kejang parsial
kompleks pada tahun tahun berikutnya untuk TBI.
Tingkat kesembuhan dengan PTE telah ditemukan lebih rendah pada onset kejang
berikutnya. Meskipun studi sebelumnya tidak menemukan hubungan yang demikian.
Bagaimanapun juga, kemungkinan dengan luka akibat kekerasan yang sering ditemukan pada
populasi militer, mengindikasikan bahwa para veteran membutuhkan pemantauan neurologis
dalam jangka panjang. Kelompok kami ialah bagian pertama dari para veteran yang dipantau
terus menerus seperti, periode ekstensifnya, sebagian hasil dari kenaikan ketahanan yang
dibandingkan dengan studi sebelumnya. Memberi tingkat ketahanan lebih besar yang sama
pada konflik ini, bersama dengan insiden injuri pada trauma otak, kami berpendapat bahwa
skrining untuk PTE harus menjadi komponen penting perawatan jangka panjang para veteran
dengan pemasukan TBI.