13
EPILEPSI DAN TRAUMA Sebuah Tantangan Persisten  L. James Willmore, MD, Daniel H. Lowen stein, MD Trauma cidera otak telah dikenal sebagai penyebab epilepsi sejak zaman dahulu. Selama ribuan tahun, mekanisme cidera otak telah berkembang dari trauma tumpul kepala hingga trauma penetrasidengan kecepatan tinggi dan gelombang tekanan balistik selama konflik militer hingga kecelakaan kendaraan bermotor dalam populasi sipil. Masa laten antara cidera dan perkembangan epilepsi dilaporkan oleh Duretus (1527-1286) dengan deskripsi seorang anak 17 tahun dengan kejang yang dimulai 5 tahun setelah dia mengalami patah tulang tengkorak dan tertekan. Charcot membagi etiologi epilepsi menjadi langsung dan tidak langsung dimana terdapat segera, kejang periconcussive atau kejang yang terjadi setelah trauma yang dihubungkan dengan riwayat klinis. Berbagai studi detail mengenai tentara yang terluka menyediakan informasi yang  berharga mengenai populasi spesifik dengan cidera penetrasi kepala. Resiko veteran militer yang berkembang menjadi post traumatic epilepsy (PTE, perkembangan berulang, kejang spontan lebih dari 1 minggu setelah cidera kepala) dalam hal ini sangat tinggi, dan observasi dari perang yang berbeda juga didapatkan hasil yang konsisten. Studi Veteran US pada Perang Dunia I, Perang Dunia II, atau perang Korea secara konsisten menunjukkan insidensi PTE sekitar 50% dalam 10 tahun atau lebih setelah cidera kepala. Sebuah pendekatan  prospektif longitudinal awal dari 1221 veteran vietnam dengan ciderapenetrasi 15 tahun sebelumnya diungkapkan bahwa sejumlah 53% mengalami PTE. 189 pasien dengan cidera  penetrasi kepala dari perang Iraq-Iran memiliki probabilitas 74,7% untuk kejang persisten setelah 21 tahun. Insidensi PTE di dalam populasi masyarakat susah untuk ditentukan karena kurangnya keseragaman dalam pendefinisian dari derajat keparahan trauma kepala. Dari awal sebuah kasus yang luas, ketika 29,5% pasien memiliki satu atau lebih riwayat kejang, hanya sekitar 14-15% dinyatakan memiliki PTE, setengah dari pasien ini memiliki kejang yang berat. Sekitar 20% orang yang selamat dari trauma yang berat yang membutuhkan perawatan rehabilitasi memiliki insidensi PTE. Pasien dengan cidera penetrasi kepala memiliki insidensi epilepsi 35-50%. Resiko tertinggi untuk kejang pasca trauma yang terlambat ditemukan pada  pasien dengan multipel atau bilateral kontusi, subdural hematoma yang membutuhkan

Epilepsi Dan Trauma(3)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

neuro

Citation preview

7/15/2019 Epilepsi Dan Trauma(3)

http://slidepdf.com/reader/full/epilepsi-dan-trauma3 1/13

EPILEPSI DAN TRAUMA

Sebuah Tantangan Persisten

 L. James Willmore, MD, Daniel H. Lowenstein, MD

Trauma cidera otak telah dikenal sebagai penyebab epilepsi sejak zaman dahulu.

Selama ribuan tahun, mekanisme cidera otak telah berkembang dari trauma tumpul kepala

hingga trauma penetrasidengan kecepatan tinggi dan gelombang tekanan balistik selama

konflik militer hingga kecelakaan kendaraan bermotor dalam populasi sipil. Masa laten antara

cidera dan perkembangan epilepsi dilaporkan oleh Duretus (1527-1286) dengan deskripsi

seorang anak 17 tahun dengan kejang yang dimulai 5 tahun setelah dia mengalami patah

tulang tengkorak dan tertekan. Charcot membagi etiologi epilepsi menjadi langsung dan tidak 

langsung dimana terdapat segera, kejang periconcussive atau kejang yang terjadi setelah

trauma yang dihubungkan dengan riwayat klinis.

Berbagai studi detail mengenai tentara yang terluka menyediakan informasi yang

 berharga mengenai populasi spesifik dengan cidera penetrasi kepala. Resiko veteran militer 

yang berkembang menjadi post traumatic epilepsy (PTE, perkembangan berulang, kejang

spontan lebih dari 1 minggu setelah cidera kepala) dalam hal ini sangat tinggi, dan observasi

dari perang yang berbeda juga didapatkan hasil yang konsisten. Studi Veteran US pada

Perang Dunia I, Perang Dunia II, atau perang Korea secara konsisten menunjukkan insidensi

PTE sekitar 50% dalam 10 tahun atau lebih setelah cidera kepala. Sebuah pendekatan

 prospektif longitudinal awal dari 1221 veteran vietnam dengan ciderapenetrasi 15 tahun

sebelumnya diungkapkan bahwa sejumlah 53% mengalami PTE. 189 pasien dengan cidera

 penetrasi kepala dari perang Iraq-Iran memiliki probabilitas 74,7% untuk kejang persisten

setelah 21 tahun.

Insidensi PTE di dalam populasi masyarakat susah untuk ditentukan karena kurangnya

keseragaman dalam pendefinisian dari derajat keparahan trauma kepala. Dari awal sebuah

kasus yang luas, ketika 29,5% pasien memiliki satu atau lebih riwayat kejang, hanya sekitar 

14-15% dinyatakan memiliki PTE, setengah dari pasien ini memiliki kejang yang berat.

Sekitar 20% orang yang selamat dari trauma yang berat yang membutuhkan perawatan

rehabilitasi memiliki insidensi PTE. Pasien dengan cidera penetrasi kepala memiliki insidensi

epilepsi 35-50%. Resiko tertinggi untuk kejang pasca trauma yang terlambat ditemukan pada

 pasien dengan multipel atau bilateral kontusi, subdural hematoma yang membutuhkan

7/15/2019 Epilepsi Dan Trauma(3)

http://slidepdf.com/reader/full/epilepsi-dan-trauma3 2/13

 pembedahan, kejang pasca trauma awal, pembedahan cranial multipel, atau midline shift

 besar yang berhubungan dengan cidera.

Dalam edisi Neurology ini, Raymontet al melakukan pendekatan cohort dengan jangka

waktu yang panjang pada tentara veteran yang terdaftar dalam Vietnam Head Injury Study.

Dari 199 pasien dalam penelitian cohort ini, prevalensi epilepsi adalah 43,7%. Hal yang

 penting adalah data yang menunjukkan bahwa masa laten kejang pertama setelah cidera awal

dapat terjadi 10 tahun setelah cidera; dalam suatu kasus, kegawatan epilepsi muncul 35 tahun

setelah trauma kepala. Kejang parsial kompleks adalah tipe kejang yang paling umum (31%).

Kejadian kejang pasca trauma juga didukung dengan temuan bahwa 53% pasien mengalami

kejang pada tahun sebelum penelitian ini. Pada sebuah penilaian sementara penelitian cohort

yang dilaporkan pada tahun 1980-an, faktor resiko terkait dengan PTE adalah berkurangnya

 jumlah volume otak moderat, terdapatnya fragmen logam di dalam otak, dan hematoma.

Raymon et al mengkonfirmasi hubungan antara cidera dalam dengan adanya fragmen logam.

Observasi ini menekankan pentingnya fenomena epilepsi (proses, terjadi dalam beberapa

tahun, dari yang awalnya otak normal hingga menjadi rawan untuk kejang berulang kali).

Bagaimana kaskade peristiwa dan efek yang terjadi dengan cidera tembus otak?

Pembentukan cicatrix, gliosis dan hemosiderin, dan cidera geser dari akson dengan cortical

yang tidak terhubung telah diusulkan. Predisposisi genetik merupakan pertimbangan yang

menarik tetapi tidak ada bukti yang menyatakan bahwa genetik memainkan peran signifikan,

sebuah observasi dapat mendukung penelitian terbaru ini. Apakah toksisitas darah dalam

neuropil dengan formasi radikal bebas? Bagaimana dengan hilangnya neuron kritis selektif 

dan koneksi mereka atau reorganisasi dari tunas akson?

Sayangnya, mekanisme epilepsi yang mengikuti cidera kepala belum jelas, dan

rasional, target terapi yang dapat mencegah kegawatan epilepsi juga belum dikembangkan.

Sejumlah penelitian yang dirancang dengan baik untuk mencari efek potensial dari obat

antiepilepsi yang umum digunakan untuk mencegah PTE mendapatkan hasil yang

mengecewakan, menekankan pentingnya kebutuhan kritis bagi pemahaman yang lebih dalam

mengenai dasar bilogis epileptogenesis

Pentingnya pendekatan longitudinal yang dilaporkan Raymont et al mengingatkan

kita mengengai kenyataan PTE bagi tentara, serta masyarakat sipil yang mengalami cidera

dalam perang. Kita perlu melakukan segala sesuatu yang mungkin untuk mengerti komplikasi

dari cidera orak dan mengembangkan perawatannya.

7/15/2019 Epilepsi Dan Trauma(3)

http://slidepdf.com/reader/full/epilepsi-dan-trauma3 3/13

KORELASI EPILEPSI PASCA TRAUMA (PTE) 35 TAHUN SETELAH

CIDERA OTAK AKIBAT PERANG

V. Raymont, MB ChB, A.M. Salazar, MD, R. Lipsky, PhD, D. Goldman, MD, G. Tasick, PA,

 J. Grafman, PhD

ABSTRAK 

Latar Belakang The Vietnam Head Injury Study (VHIS) adalah sebuah pendekatan

 prospektif longitudinal dari 1221 veteran perang Vietnam dengan cedera kepala akibat luka

 penetrasi. Tingginya prevalensi (45%-53%) dari epilepsi post trauma (PTE) dalam studi

kohort ini, membuat hal ini layak untuk diteliti.

Metode Standarisasi multidisiplin neurologi, kognitif, tingkah laku, dan evaluasi gambaran

otak pada 199 veteran VHIS ditambah dengan kontrol non-traumatik, sekitar 30-35 tahun

setelah cidera, sebagai bagian dari fase ketiga dari penelitian ini.

Hasil Prevalensi dari kejang (87 pasien, 43,7%) serupa dengan penemuan pada fase 2

evaluasi 20 tahun sebelumnya, tetapi 11 dari 87 (12,6%) diantaranya dilaporkan memiliki

onset epilepsi post trauma setelah fase 2 (lebih dari 14 tahun setelah cidera). Pasien-pasien itu

tidak berbeda dengan pasien epilepsi post trauma dengan onset lebih awal pada beberapa

 penelitian. Dalam kohort fase 3, tipe kejang yang paling sering terjadi adalah kejang parsial

kompleks. Dengan subjek epilepsi post trauma, 88% mendapat terapi antikonvulsan. Lesi

lobus parietal sinistra dan terdapatnya fragmen logam besi berhubungan dengan epilepsi post

trauma dalam model regresi logistik. Berkurangnya jumlah volume otak dapat memprediksi

frekuensi kejang.

Simpulan Pasien dengan luka penetrasi kepala memiliki risiko tinggi untuk epilepsi post

trauma beberapa dekade setelah terjadinya luka, dan juga membutuhkan perawatan medis

 jangka panjang. Lokasi lesi, ukuran lesi, dan tipe lesi merupakan prediktor dari epilepsi post

trauma.

Epilepsi post trauma adalah penyebab utama dari epilepsi onset baru pada dewasa

muda, dengan mencapai 30.000 kasus baru per tahun di Amerika Serikat, dan terkait dengan

region, tipe, dan beratnya cidera. Tingginya insiden dari epilepsi post trauma akibat perang,

dibandingkan dengan populasi sipil, membuat populasi ini berarti untuk diteliti. VHIS terdiri

dari 1221 veteran Vietnam dengan trauma kepala. Fase 1 dari penelitian ini adalah review

dari rekam medis subjek 5 tahun setelah trauma.

7/15/2019 Epilepsi Dan Trauma(3)

http://slidepdf.com/reader/full/epilepsi-dan-trauma3 4/13

Fase 2 mengevaluasi 520 subjek dengan trauma kepala dan 85 relawan normal. 92%

memiliki trauma penetrasi kepala. Prevalensi dari epilepsi post trauma adalah 53%,

 berhubungan dengan berkurangnya jumlah volume otak dan ditemukannya hematom atau

terdapatnya fragmen logam. Onset epilepsi post trauma paling banyak ditemukan pada tahun

 pertama setelah trauma. Dari pasien dengan kejang persisten, 66% menggunakan medikasi

antikonvulsan. Hanya 5 area otak yang signifikan menunjukkan kejadian kejang, substansi

grisea vertex kanan, korteks kiri, substansi grisea temporal kiri, substansi albae frontal kanan,

dan korona radiata kanan. Lesi pada hipokampus kiri berkorelasi dengan peningkatan

frekuensi kejang, dimana lesi splenium dan insula berhubungan dengan frekuensi kejang

yang lebih rendah. Lesi dari caliosum posterior dan nucleus kaudatus berhubungan dengan

rendahnya kejang persisten.

Performa kognitif secara umum tidak berhubungan dengan epilepsy post trauma

setelah kompensasi untuk berkurangnya volume otak dan intelegensi sebelum trauma.

Pengecualian intelegensi non-verbal, kemampuan berbahasa, memori, motor speed dan

kontrol.

Peneliti meninjau populasi ini untuk menaksir hubungan jangka panjang dari cedera

otak akibat trauma dan epilepsy post trauma.

METODE

520 subyek dengan cedera kepala dinilai di PH2, 484 yang masih hidup, dan 182 yang

mengikuti PH 3, 35 tahun setelah cedera. 17 subyek dengan cidera kepala yang diidentifikasi

 pada PH1 dan tidak mengikuti PH2 juga dinilai. Dari 80 subyek kontrol yang direkrut saat

PH2 (veteran Vietnam yang tidak cidera, disesuaikan dengan usia), 32 orang mengikuti dan

lebih lanjut 23 direkrut melalui iklan dalam publikasi veteran. Subyek dinilai selama 5

sampai 7 hari di Nasional Naval Medical Center, Bethesda, Maryland. Ini termasuk sejarah

dan pemeriksaan oleh seorang ahli saraf berpengalaman dengan populasi ini (AMS).

Diagnosis PTE didasarkan pada wawancara semistruktur. Pengujian meliputi 2 pengukuran

Inteligensi, armed Force Qualification Test (AFQT) dan Wechler Adult Intelligence Score

(WAIS) III

Persetujuan protokol standar, Pendaftaran, dan persetujuan pasien.

Kami Menerima persetujuan dari intitut Komite Standar Etika. Persetujuan tertulis didapat

dari semua subjek.

7/15/2019 Epilepsi Dan Trauma(3)

http://slidepdf.com/reader/full/epilepsi-dan-trauma3 5/13

CT scan analisis.

Lesi otak diidentifikasi dengan CT scan, dan datadirekonstruksi dengan ketebalan potongan 1

mm yang tumpang tindih dan dengan interval 1 mm. Lesi yang dievaluasi oleh dokter 

spesialis radiologi dan diproses dengan menggunakan Analysis of Brain Lession (ABLe)

software. ABLe adalah program interaktif yang dijalankan dengan MEDX Medical Imaging

software (Medical numeric Inc, Sterling, VA). Dengan ABLe, lesi digambar secara manual di

ruangan oleh V.R. dan dikaji oleh J.G., dan didapatkan sebuah keputusan konsensus

mengenai batasan setiap lesi.Volume lesi dihitung dan gambar Otak secara otomatis terdaftar 

ke template otak dalam ruang Talairach. Gambar template berasal dari CT scan seorang pria

27 tahun, sesuai dengan dimensi Talairach pada MEDx dengan menggunakan 12 parameter 

transformasi yang didapatkan dari Automated Image Registration (AIR) software di dalam

MEDx. Dari parameter transformasi berasal Automated Image registraction (AIR) dalam

MEDx softwere. Gambaran komputer area Broadman diperoleh dengan pemetaan

 pemotongan kembali di CT scan. Perpotongan lesi area Broadman ditentukan dengan

menggunakan VOTL database dalam ABLe. Prosedur ini dapat digunakan untuk mengukur 

volume lesi yang normal dan persentasi otak yang terkena. Tiga pengukuran atrofi dibuat

melalui keputusan konsensus antara AMS dan VR: Luas Corpus callosum (Berdasarkan 3

 pengukuran: genu, splenium dan bagian tengah), penilaian atrofi otak secara keseluruhan, dan

atrofi pada masing-masing lobus. Luas Ventikel ketiga telah diketahui sebelumnya

 berkorelasi dengan pengukuran lain dari atrofi. Kami menemukan luas ventrikel ketiga

 berkorelasi dengan lebar corpus callosum (r=0,416, p<0,001; r=0,352,p<0,001),serta atropi

keseluruhan (r=0,377,p<0,001).

Analisis genetik .

Karena baik satu maupun beberapa mutasi gen terkait dengan epillepsy, kami menyaring

sejumlah penanda genetik. Termasuk APOE ε4, asam dekarboksilase gutamic (GAD),

katekol-o-methyltransferase, GRIN (reseptor glutamat dan memiliki subunit NMDA), faktor 

yang diturunkan dari neurothropic otak, dan dopamin β-hidroksilase.

DNA Genomik diisolasi dari leukosit dengan menggunakan nukleon BACC2 seuasi

 protokol pabrik (Amersham Life Science, Piscataway, NJ). Kualitas dan kuantitas DNA

genom ditentukan secara spektrofotometri dengan menggunakan absorbansi 260 nm dan 280

nm. Beberapa sampel DNA yang dimurnikan kembali dengan penambahan ekstraksi fenol-

kloroform (24:1 vol/vol) sebelum pemulihan dengan presipitasi etanol. Konsentrasi DNA

yang diukur dengan menggunakan Nano Drop ND-1000 spektrofotometer (Nano Drop

7/15/2019 Epilepsi Dan Trauma(3)

http://slidepdf.com/reader/full/epilepsi-dan-trauma3 6/13

Technologies, Wilmington, DE). Tingkat penyelesaian setiap pengujian > 99%, dengan

tingkat kesalahan <1%.

Analisis statistik .

Sebuah variasi prosedur parametrik digunakan dalam penelitian ini. Analisis varian dan

logistic linier sertaprosedur regresi multipel bertahap dilakukan untuk menilai pengaruh

intellegensi sebelum cidera, intellgensi saat ini atau selama perubahan berlangsung,

kehilangan volume otak, lokasi lesi, karakteristik luka, dan penanda genetik riwayat PTE,

durasi kejang, frekuensi, atau tipe. Tingkat signifikansi p = 0,05 atau kurang diperlukan untuk 

 prosedur regresi bertahap.

HASIL

Prevalensi kejang dan sifat-sifatnya

Keseluruhan Prevalensi PTE dari kelompok yang mengalami cedera kepala adalah

43,7% (87 dari 199 sampel). Ini sama dengan hasil penelitian cohort di fase 2, yakni 53%.

Durasi rata-rata periode kejang terakhir (diukur dari awal sampai dengan akhir laporan

kejang) adalah 33 bulan. Dari hasil penelitian kejang pada beberapa tahun terakhir ini,

frekuensi yang paling sering adalah 2 sampai 10 kali kejang per tahun. Kejang parsial

kompleks terjadi sekitar 31%, dan kejang parsial sederhana yang berkembang menjadi kejang

umum terjadi 25%. Berlawanan dengan hasil di atas, kejadian yang paling banyak dan biasa

dilaporkan ialah kejang parsial sederhana yang berkembang menjadi kejang umum (33,3%),

diikuti oleh kejang umum (20,7%; sebagai diagnosis adalah semata-mata berdasarkan pada

cerita sampel, kita tidak dapat menentukan apakah ini merupakan yang pertama atau yang

kedua). Seperti pada PH2, ada sebuah hubungan antara durasi dan frekuensi dari kejang

selama laporan pertama periode kejang (r = 0,320, p = 0,008).

7/15/2019 Epilepsi Dan Trauma(3)

http://slidepdf.com/reader/full/epilepsi-dan-trauma3 7/13

Sebelas pasien (12,6% dari mereka dengan PTE; 5,5% dari keseluruhan) dilaporkan

mengalami kejang awal sejak PH2. Tidak ada hubungan antara onset laten dan riwayat

 penyakit jantung, kecerdasan sebelum cedera, perubahan kecerdasan, kemunculan dari

kepingan tulang atau logam, atau ukuran luka.

Bagi mereka yang mengalami onset PTE sebelum PH3, 73,8% digambarkan tidak ada

 perubahan pada tipe kejang, 3,2% dari hasil di atas, dilaporkan mengalami sebuah perubahan

kejang dari kejang parsial sederhana menjadi kejang umum, dan 4,7% berubah dari kejang

umum menjadi kejang parsial sederhana atau kejang parsial kompleks. Dua sampel kontrol

 juga dilaporkan mempunyai sebuah pengalaman kejang, 13 tahun sebelum PH3.

Dari 520 pasien yang diperkirakan di PH2, 336 pasien tidak mengalami PH3. Ketika

kami memeriksa pasien yang mengalami cedera kepala dan termasuk dalam P2 dan P3,

 prevalensi PTE pada PH3 adalah 45,1% (82 dari 182 sampel), bandingkan dengan 39,6%

 pada PH2. 19,2% melaporkan mengalami kejang pada tahun sebelum P3. Seperti pada

Keseluruhan sampel PTE, pada beberapa tahun belakangan ini kebanyakan mengalami

kejang sebanyak 2 hingga 10 kali dalam satu tahun, dan kejang parsial kompleks adalah tipe

yang paling umum, terjadi pada 15,1%. Pada 17 sampel yang berada pada P3 tetapi bukan P2,

 prevalensi PTE 29,4%. Tiga sampel melaporkan serangan kejang sejak P2, dan empat telah

mengalami satu serangan kejang pada tahun sebelum P3. Sampel-sampel yang telah lama

mengalami kejang tetapi tidak mengalami PH3 mendapatkan cedera awal yang sangat ringan,

dan nilai kecerdasan PH2 (pada table 2), dan juga sebuah kecenderungan untuk kehilangan

volume otak lebih besar, mengingat tidak ada perbedaan yang berarti pada istilah dari tipe

kejang dan frekuensi. Dari sampel-sampel dengan cedera kepala yang mengalami PH2 dan

 bukan PH3, 43,9% positif mengalami sebuah riwayat kejang pada PH2. Pada saat PH2,

28,0% dari sampel ini mengalami kejang umum, dibandingkan dengan 21,7% dari mereka

yang menuju ke PH3, mengindikasikan bahwa tidak ada perbedaan pada istilah dari tipe

kejang pada peserta PH3 dan bukan peserta ( p = 0,486).

Tabel 1 Masa laten onset dan durasi kejang

Masa laten onset < 12 bln 1-5

thn

5-10 th 10-15 th 15-35 th

n 133 49 22 13 14

Rata-rata durasi kejang,

 bulan

98,5 103 46 8 32,5

7/15/2019 Epilepsi Dan Trauma(3)

http://slidepdf.com/reader/full/epilepsi-dan-trauma3 8/13

Tabel 2 Perbedaan antara kehadiran fase 3 dan ketidakhadiran

Kehadiran fase 2 Kehadiran fase 3 Nilai P

Tahun pendidikan 12.98 (5.26) 14.16 (2.28) 0.004

Pre traumaAFQT

50.56 (24.48) 60.87 (25.11) 0.000

Perekaman

AFQT akhir 

48.28 (26.53) 63.14 (25.15) 0.000

Kehilangan

hemisfer kanan, cc

19.04 (30.76) 18.95 (29.02) 0.976

Kehilangan

hemisfer kiri, cc

20.47 (34.60) 14.33 (26.44) 0.044

Total kehilangan

volume otak 

42.51 (45.94) 35.45 (38.87) 0.089

Singkatan: AFQT= Armed Forces Qualification Test. *Data dipresentasikan sebagai mean

(rata-rata)

Pengobatan dari PTE

Lebih dari 88% (n =77) dari sampel yang memiliki riwayat PTE pada PH3 masih

menggunakan pengobatan dari waktu kejang terakhir mereka. 70% diresepi phenitoin,

 pengobatan tersering ke dua adalah Phenobarbital (14,5%). Dan pilihan terapi umum yang

terakhir adalah carbamazepine (4,5%) dan sodium valproate (4,5%). Antikonvulsan yang

terbaru tidak sering diresepkan. Bagaimanapun 53% dari sampel (n = 41) dilaporkan

mengalami kejang pada tahun sebelum PH3, yang mana menunjukkan tingkatan yang tinggi

dari kesulitan penyembuhan atau kegagalan, tapi kita tidak dapat menilai faktor mana yang

 bertanggung jawab pada pembelajaran ini.

Hubungan dengan lesi otak 

Seperti pada PH2, kehilangan volume otak pada PH3 berhubungan dengan PTE (t =

3,758, df = 186, p = 0,000). Ada hubungan antara ukuran dari lesi dan frekuensi kejang pada

tahun pertama (r = -0,203, p = 0,005) dan tahun terakhir dari laporan kejang (r = -0,274, p =

0,000) sama seperti pada durasi dari riwayat kejang (r = -0,179, p = 0,014). Tetapi,

 berkebalikan dengan hasil pada PH2, kami menemukan bahwa mereka dengan lesi parietal

(X2 = 13,603, df = 2, p = 0,001) dan keterlibatan insula kiri (X2 = 12,845, df = 2, p = 0,002)

7/15/2019 Epilepsi Dan Trauma(3)

http://slidepdf.com/reader/full/epilepsi-dan-trauma3 9/13

yang mana lebih mirip dengan laporan sebuah riwayat kejang. Tidak ada hubungan lain yang

 berarti antara lokasi lesi dan kejang. Tapi ada suatu hubungan antara jumlah dari lobus yang

terlibat dan PTE (r = 0,196, p = 0,006), dan kejang parsial kompleks lebih umum pada

mereka dengan keterlibatan beberapa lobus. Tidak ada hubungan yang berarti antara atrofi

dan PTE.

Tabel 3 Karakteristik pasien dengan dan tanpa Post Traumatic Epilepsy (PTE)

SubjektanpaPTE

(n=112)

SubjekdenganPTE

(n=87)

nilai p

Rata-rata usia, y 58.8 (3.5) 57.8 (2.3) 0.007b

Rata-rata pretrauma

AFQT

62.8 (25.1) 57.2 (25.9) 0.151

Rata-rata PH2 AFQT 69.7 (23.0) 54.6 (25.9) 0.000b

Rata-rata PH3 AFQT 59.7 (24.5) 44.3 (23.1) 0.000b

Rata-rata PH3 WAIS

skalapenuh IQ

106.2 (14.3) 98.0 (14.4) 0.000b

Perubahan

AFQT,pretraumake PH3

-4.3 (17.9) -13.3 (20.0) 0.002b

Perubahan AFQT,PH2

ke PH3

-8.0 (11.2) -11.0 (12.9) 0.131

CT volumsisikanan yang

hilang,cc

17.4 (29.8) 24.8 (32.8) 0.111

CT volumsisikiri yang

hilang,cc

12.2 (17.6) 27.7 (46.2) 0.004b

Riwayatkardivaskular.

Positif,n (%)

45 (40.2) 39 (44.8) 0.942

Keberadaan

metal/fragmentulangpada

CT scan,n (%)

59 (52.7) 67 (77.0) 0.001b

AFQT = Armed Forces Qualification Test

PTE= Post Traumatic Epilepsy

WAIS = Wechsler Adult Intelligence Scale

7/15/2019 Epilepsi Dan Trauma(3)

http://slidepdf.com/reader/full/epilepsi-dan-trauma3 10/13

a.  Data dipresentasikan sebagai rata-rata (SD) dinotasikan sebagai n (%)

 b.  Signifikan secara statistik 

Hubungan dengan penanda genetik 

Kami mencari hubungan antara beberapa kandidat gen dengan PTE (tabel 3).

Terdapat hubungan antara keberadaan GRIN2A rs11074504 dan kejang pada PH3

(x2=14.126, df=4, p=0.007) dan GAD2 rs1330582 dan PTE pada PH2 (x2=11,779, df=4,

 p=0.019). Terdapat juga hubungan antara GAD1 rs 769395 dan kejang pada PH2 (x2=9.351,

df=4, p=0.053), tetapi tidak ada hubungan antara PTE dan keberadaan alel APOE ε4.

Bagaimanapun, ketika nilai p dikoreksi untuk beberapa perbandingan, nilai ini tidak 

mencapai signifikansi.

Hubungan dengan intelejensi

Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada nilai pre trauma AFQT antar subjek 

dengan dan tanpa PTE (tabel 3), sedangkan terdapat perbedaan signifikan antara grup ini

dalam nilai AFQT PH3 dan PH2 mereka dan perubahan dalam skor dari PH2 ke PH3 (PH3

menunujkkan penurunan yang lebih besar)

Terdapat hubungan antara frekuensi kejang yang terahir dan nilai AFQt PH3

(F=5.876, df=6, p=0.000), dan perubahan pada nilai AFQT dari pre trauma ke PH3 (F=4.140,

df=6, p=0.001) dimana pada frekuensi kejang yang lebih sering mempunyai nilai AFQT yang

lebih rendah dan penurunan intelejensi yang lebih besar. Terdapat pula hubungan antara tipe

dari kejang terahir dengan nilai AFQT PH3 (F=6.010, df=5, p=0.000) dan perubahan dalam

nilai AFQT dari pre trauma ke PH3 (F=4.140, df=6, p=0.000). Mereka dengan kejang parsial

yang berkembang menjadi kejang umum mempunyai nilai AFQT pada PH3 yang terendah

dan penurunan dalam pretrauma ke PH3 yang terbesar, dimana mereka dengan kejang parsial

sederhana mempunyai nilai AFQT pada PH3 dan level penurunan yang terkecil

Kami memeriksa riwayat kejang, durasi, frekuensi, dan tipe dan intelejensi yang

sekarang menggunakan model regresi linear. Tidak seperti pada PH2, PTE memprediksi

intelejensi yang sekarang, walaupun ketika kehilangan volume otak dan intelejensi yang

sekarang diperkenalkan dalam suatu model (F=4.102, df=2, p=0.018). Keberadaan PTE juga

memprediksi penurunan nilai AFQt pada pre trauma ke PH3 (F=4.102, df=2, p=0.018).

Durasi PTE merupakan prediktor dari penurunan penurunan dalam skala penuh IQ dari PH2

ke PH3 (F=4.559, df=1, p=0.034), begitu juga penurunan intelejensi dari pre trauma ke PH2

(F=6.883 df=1, p=0.010)

7/15/2019 Epilepsi Dan Trauma(3)

http://slidepdf.com/reader/full/epilepsi-dan-trauma3 11/13

Kemampuan memprediksi PTE secara keseluruhan

Kami mempresentasikan analisis regresi logistik linear untuk menilai kemampuan

 prediksi dari kejadian dan frekuensi PH3 dengan total volum yang hilang, lokasi lesi,

karakteristik luka, dan 3 penanda genetik yang ditemukan yang berhubungan dengan PTE.

PTE diprediksi oleh keberadaan GRIN2A rs 11074604 (F=3.944, df=2, p=0.021) dan

keterlibatan parietal kiri (F=5.931, df=1, p=0.041). Seperti pada PH2, keberadaan fragmen

metal merupakan prediksi PTE (F=5.522, df=1, p=0.020) dan kesimpulannya dalam analisis

mereduksi akibat dari GRIN2A rs11074504 (F=8.091, df=2, p=0.059) dan keterlibatan

temporal kiri (F=0.737, df=1, p=0.609). Total volum yang hilang (F=7.230, df=1, p=0.008)

hanyalah satu-satunya prediktor dari frekuensi kejang. Tidak satupun prediktor yang

signifikan ketika analisis diulang pada PTE yang onsetnya sangat terlambat (>14 tahun

setelah cedera). Bagaimanapun karena hanya melibatkan sedikit subyek, analisa ini hanya

 bisa dilihat sebagai penelitian.

DISKUSI

Studi PTE dalam populasi militer telah dilaporkan lebih tinggi daripada masyarakat

sipil (32%-43%), yang dimungkinkan karena luka lebih sering terjadi pada kasus perembesan

dan perdarahan dural, yang mana dihubungkan dengan kenaikan resiko untuk PTE. Dalam

kelompok ini, kejadian PTE adalah 53% selama 15 tahun, tetapi 18 % diantaranya tidak 

menunjukkan epilepsi yang mereka miliki hingga 10 tahun lebih setelah TBI.

Hasil ini nampak memeperkuat tingginya pengaruh serangan dalam kelompok ini,

dengan resiko PTE dan frekuensi serangan yang lebih tinggi, menjadi lebih besar dengan lesi

otak yang luas. Data kami menunjukkan bahwa insiden terjadi lebih sering daripada sesudah

konflik sebelumnya, yang dimungkinkan karena ketahanan dalam perbaikan dan pemantauan

 jangka panjang. Bagaimanapun juga, meskipun kami menemukan pola serangan dengan PH3

dan tanpa PH3, kami yakin bahwa kami tidak dapat memasukkkan 65% sampel dari PH2

dalam evaluasi ini. Sebagai tambahan, karena peserta dengan trauma kepala dengan tingkat

inteligensi terendah pra injuri dan cenderung dengan lesi yang besar, tidak disertakan dalam

PH3, karena dapat menyebabkan bias yang signifikan, meskipun dapat dijelaskan dengan

 penurunan prevalensi PTE pada PH3 yang dibandingkan dengan PH2.

Selama ini, studi genetik bertitik fokus pada molekuler epileptogenesis setelah

terjadinya luka akibat trauma. APOE ε4 telah dikelompokkan dengan kenaikan PTE dalam 6

 bulan setelah TBI, diluar dari fungsi yang lain. Bentuk genetik lainnya telah dilengkapi

dengan reseptor gen asam γ-aminobutirat dan alel haptoglobin HPh2-2. Penelitian terakhir 

7/15/2019 Epilepsi Dan Trauma(3)

http://slidepdf.com/reader/full/epilepsi-dan-trauma3 12/13

 juga menunjukkan bahwa TBI menghasilkan transmisi glutamatergic yang dapat diganti dan

dari itu semua, maka ada jendela penting yang bersifat sementara dalam aturan

epileptogenesis. Oleh karena respon inisial seluler telah menjadi fokus studi sebelumnya,

maka kami memiliki hipotesa bahwa kejadian kejadian yang ada dapat menjadi pemicu

melekular yang bersifat spesifik, yang dapat merubah hubungan spesifik genotip. Ketika

terdapat koreksi untuk membuat perbandingan pada analisis kami, tidak didapatkan hasil

yang signifikan untuk analisis genetik. Sehingga, pendapat terkini menyebutkan bahwa faktor 

faktor genetik dapat mempengaruhi kecenderungan untuk mengembangkan PTE, dan sebagai

keperluan pembelajaran lebih lanjut.

Hubungan antara outcome kognitif dan PTE masih menjadi perdebatan seperti

 penggunaan jangka panjang anti konvulsan. Data kami menunjukkan terdapat hubungan

antara PTE, tingkat kecerdasan dan penurunan kognitif di masa lalu.

Penemuan kami sedikit berbeda dengan ketentuan hubungan dalam PH2 antara PTE

dan tempat lesi. Disaat kami menemukan lesi parietal kiri dan serpihan logam, lebih tampak 

seperti riwayat serangan, yang mana juga merupakan kasus dengan lesi yang meliputi insula

 bagian kiri. Bukti dalam literatur menganggap hubungan antara tempat lesi di otak dan

kecenderungan PTE pada dasarnya terdiri atas studi injuri kepala akibat penetrasi (PHI) dan

mekanismenya.Bagaimanapun juga, studi prospektif terakhir CHI dan PHI, sebuah hubungan

 juga ditemukan antara lesi frontal dan parietal pada CT scan dan PTE. Hal ini sesuai dengan

 penelitian PHI yang lain. Studi PHI lainnya menemukan hubungan antara lesi frontal dan

temporal dan PTE. Di sisi lain, penelitian CHI dan PHI, tidak didapatkan korelasi antara

tempat lesi dan PTE. Dilaporkan juga terdapat peningkatan insiden onset PTE dalam kasus

ini dengan lesi bilateral di parietal, yang mengindikasikan adanya kemungkinan proses

terjadinya lesi berdasarkan durasi pada subtipe PTE tertentu.Seperti studi yang lainnya, kami

menemukan korelasi antara terjadinya injury otak dan kecenderungan PTE, dan serangan

 parsial komplek yang umum dalam kasus ini dengan keterlibatan kedua lobus. Meskipun

kami tidak menemukan antara atrofi dan kecenderungan PTE, mungkin saja dapat

disebabakan efek iatrogenik seperti pemakaian jangka panjang fenitoin, dapat menyebabkan

 perubahan menjadi atrofi, karena sebagian besar subjek mendapatkan perawatan jangka

 panjang dengan anti konvulsan tradisional.

Patogenesis mengenai perjalanan PTE, dan yang lebih spesifik, bagaimana

karakteristik seperti outcome klinis dan kedudukan lesi dapat berpengaruh pada onset

terjadinya serangan masih belum jelas. Meskipun, data kami menunjukkan bahwa onset

terjadinya serangan bisa tak tampak lebih dari 30 tahun setelah TBI. Tipe kejang umumnya

7/15/2019 Epilepsi Dan Trauma(3)

http://slidepdf.com/reader/full/epilepsi-dan-trauma3 13/13

 juga berubah seiring jalannya waktu, yang cenderung meningkat menjadi kejang parsial

kompleks pada tahun tahun berikutnya untuk TBI.

Tingkat kesembuhan dengan PTE telah ditemukan lebih rendah pada onset kejang

 berikutnya. Meskipun studi sebelumnya tidak menemukan hubungan yang demikian.

Bagaimanapun juga, kemungkinan dengan luka akibat kekerasan yang sering ditemukan pada

 populasi militer, mengindikasikan bahwa para veteran membutuhkan pemantauan neurologis

dalam jangka panjang. Kelompok kami ialah bagian pertama dari para veteran yang dipantau

terus menerus seperti, periode ekstensifnya, sebagian hasil dari kenaikan ketahanan yang

dibandingkan dengan studi sebelumnya. Memberi tingkat ketahanan lebih besar yang sama

 pada konflik ini, bersama dengan insiden injuri pada trauma otak, kami berpendapat bahwa

skrining untuk PTE harus menjadi komponen penting perawatan jangka panjang para veteran

dengan pemasukan TBI.