Upload
rabiatull-adawiyah
View
209
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
Epidemiologi Glaukoma
Glaukoma adalah penyebab kebutaan kedua terbesar di dunia setelah katarak. Di
Amerika Serikat, glaukoma terjadi antara 1 dan 40 kali dari 1000 penduduk tergantung
etnisnya. Di Indonesia glaukoma diderita oleh 3% dari total populasi penduduk. Umumnya
penderita glaukoma telah berusia lanjut, Pada usia diatas 50 tahun, tingkat resiko penderita
glaukoma meningkat sekitar 10%. Hampir separuh penderita glaukoma tidak menyadari
bahwa mereka menderita penyakit tersebut. Menurut data dari WHO pada tahun 2002,
penyebab kebutaan paling utama di dunia adalah katarak (47,8%), galukoma (12,3%), uveitis
(10,2%), age- related mucular degeneration (AMD) (8,7%), trakhoma (3,6%), corneal apacity
(5,1%), dan diabetic retinopathy (4,8%).
Faktor Resiko Glaukoma
Beberapa faktor lain yang meningkatkan risiko terjadinya glaukoma, karena glaukoma
kronis dapat mengakibatkan kerusakan pada penglihatan tanpa gejala yang jelas, sebaiknya
kita berhati-hati pada beberapa faktor:
1. Usia
Usia merupakan faktor risiko terbesar dalam perkembangan munculnya glaukoma.
Glaukoma sering terjadi pada usia lebih dari 40 tahun dengan sudut bilik mata sempit, dengan
angka kejadian bertambah sesuai usia. Resiko terbesar terjadi pada orang lanjut usia dekade
keenam dan ketujuh.
2. Ras
Pada ras tertentu, seperti pada orang-orang berkulit hitam resiko terjadinya
glaukomameningkat sangat segnifikan dibandingkan dengan ras yang lain. Alasan perbedaan
ini belumdapat dijelaskan. Pada orang-orang asia cenderung untuk menderita glaukoma sudut
tertutup,sedangkan pada orang ras yang lain justru beresiko untuk terjadi glaukoma meskipun
tekananintraokuler rendah
3. Riwayat Keluarga dengan Glaukoma
Jika seseorang memiliki riwayat keluarga denganglaukoma, akan berpotensi untuk
menderita glaukoma, riwayat keluarga meningkatkan resiko4 hingga 9 kali lipat.
4. Kondisi Medis
Diabetes meningkatkan reskio glaukoma, selain itu riwayat darah tinggi atau penyakit
jantung juga berperan dalam meningkatkan resiko. Faktor risiko lainnya termasuk retinal
detasemen, tumor mata dan radang pada seperti uveitis kronis dan iritis. Beberapa jenis
operasi mata juga dapat memicu glaukoma sekunder.
Kondisi hipertensi menyebabkan meningkatnya retensi natrium. Meningkatnya retensi
natrium akan menyebabkan penumpukan cairan di mata yang juga menekan nervus optikus.
Hal ini dapat memicu peningkatan tekanan intraokuli akibat menumpuknya cairan dan
menyebabkan hilang atau gangguan penglihatan akibat penekanan pada nervus optikus.
Kondisi hipertensi yang diakibatkan oleh perubahan epithelial sodium transport pada distal
ginjal dan epitel bersilia yang akhirnya menyebabkan retensi natrium yang berlebihan.
Meningkatnya ciliated epithelial sodium transport menyebabkan ekstrusi natrium menuju
aqueous humor. Hal ini akan menyebabkan rintangan pada aliran aqueous humor sehingga
terjadi penumpukan cairan yang akan menyebabkan peningkatan tekanan intraokuli.
5. Cedera Fisik
Trauma yang parah, seperti menjadi pukulan pada mata, dapatmengakibatkan
peningkatan tekanan mata. Selain itu cedera juga dapat menyebabkanterlepasnya lensa,
tertutupnya sudut drainase. Selain itu dapat juga menyebabkan glaukomasekunder sudut
terbuka. Glaukoma jenis ini dapat terjadi segera setelah terjadinya traumaatau satu tahun
kemudian. Cedera tumpul seperti mata memar atau cedera tumbus pada matadapat merusak
sistem drainase mata, kerusakan pada sistem drainase ini yang seringkalimemicu terjadinya
glaukoma. Cedera paling umum yang menyebabkan trauma pada mata adalah aktivitas yang
berhubungan dengan olahraga seperti baseball atau tinju.
6. Penggunaan Kortikosteroid Jangka Panjang
Resiko terjadinya glaukoma meningkat pada penggunaan kortikosterid dalam periode
waktu yang lama. Sindroma nefrotik adalah salah satu penyakit ginjal yang paling umum
pada anak. Kortikosteroid merupakan terapi utama dalam pengobatan pasien sindroma
nefrotik. Mengingat konsekuensi berkepanjangan dosis tinggi dan jangka panjang asupan
steroid pada anak sindroma nefrotik maka harus diwaspadai efek samping dari pemakaian
kortikosteroid yang dapat menyebabkan steroid induced glaukoma.
Pada pemakaian kortikosteroid topikal biasanya meningkatkan TIO dalam waktu 2 sampai 6
minggu, sedangkan penggunaan sistemik dapat meningkatkan TIO dalam durasi yang lebih
lama yang belum diketahui waktu pastinya. Hal ini disebabkan karena pemakaian steroid
sistemik meningkatkan TIO secara bertahap dan tidak menimbulkan gejala, sehingga para
pemakai steroid sistemik dalam jangka waktu lama dapat terlambat terdiagnosis sehingga
dapat mengakibatkan kerusakan saraf optik.
Mekanisme secara pasti dari glaukoma yang diinduksi oleh obat steroid belum diketahui
pasti. Yang diketahui adalah steroid secara sekunder dapat meningkatkan resistensi
pengeluaran humour aqueous sehingga terjadi peningkatan tekanan intraokuler. Dengan
peningkatan TIO secara terus menerus menyebabkan tekanan pada saraf optik sehingga
terjadi kerusakan saraf optik (cupping), proses tersebut akan bertambah luas seiring dengan
terus berlangsungnya kerusakan jaringan, sehingga skotoma pada lapangan pandang makin
bertambah luas hingga terbentuk defek atau pola lapang pandang yang khas.
7. Kelainan Pada Mata
Kelainan struktural mata dapat menjadi penyebab terjadinyaglaukoma sekunder,
sebagai contoh, pigmentary glaukoma. Pigmentary glaukoma adalahglaukoma sekunder yang
disebabkan oleh pigmen granule yang di lepaskan dari bagian belakang iris, granule-granule
ini dapat memblokir trabecular meshwork.
Wahyuni, Andi Sri. 2012. Hubungan Antara Terapi Kortikosteroid dengan Kejadian
Glaukoma pada Anak dengan Sindorm Nefrotik. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro. Pp: 16-17.
Langman,M.J.S., Lancashire, R.J., Cheng K.K., Stewart P.M., 2005. Systemic hypertension
and glaucoma: mechanisms in common and co-occurrence. Br J Ophthalmol 89: 960-963.
Freedman, J., Aherne, A., Sinert, R.H., 2012. Acute Angle-Closure Glaucoma. Medscape.
http://emedicine.medscape.com/article/798811-overview#a0199